KEBERADAAN SKB 5 MENTERI DIBANDINGKAN DENGAN UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003 DAN UU HAK ASASI MANUSIA NOMOR 39 TAHUN 1999 SKRIPSI Diajukan Memenuhi Tugas akhir Perkuliahan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum
Oleh : Syamsul Haq 050200207 Bidang Hukum Perburuhan
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Syamsul Haq : Keberadaan SKB 5 Menteri Dibandingkan Dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Dan UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, 2008. USU Repository © 2009
FAKULTAS HUKUM NIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI I.
PENULIS : NAMA NIM JURUSAN JUDUL SKRIPSI
II.
: SYAMSUL HAQ : 050200207 : HUKUM PERBURUHAN : KEBERADAAN SKB 5 MENTERI DIBANDINGKAN DENGAN UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003 DAN UU HAK ASASI MANUSIA NOMOR 39 TAHUN 1999
DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI : 1.
PEMBIMBING I NAMA : KELELUNG BUKIT, SH NIK :130 365 211 TANDA TANGAN :
2.
PEMBIMBING II NAMA NIK TANDA TANGAN
: SURIA NINGSIH, SH, M.HUM : 131 676 489 :
KETUA JURUSAN DEPARTEMEN HAN
Dr. PENDASTAREN TARIGAN, SH MS 131 410 462
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dalam rangka melaksanakan tugas akhir sebagai mahasiswa program S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai sarana mengembangkan wawasan penulis di bidang hukum pada umumnya dan bidang hukum perburuhan pada khususnya serta penerapannya pada masalah-masalah yang nyata di lapangan. Skripsi
penulis
ini
berjudul
“KEBERADAAN
SKB
5
MENTERI
DIBANDINGKAN DENGAN UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003 DAN
UU HAK ASASI MANUSIA NOMOR 39 TAHUN 1999”. Dalam
menyelesaikan tulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2.
Bapak Dr. Pendastaren Tarigan SH MS, Selaku Ketua
Departemen Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3.
Bapak Kelelung Bukit SH, Selaku Ketua Jurusan Hukum Perburuhan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I Penulis.
4.
Ibu Suria Ningsih SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis..
5.
Bapak dan Ibu Dosen dan sekaligus Staf Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6.
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda dan ibunda tercinta yang telah memberikan segalanya kepada penulis sehingga penulis mampu menjadi seorang sarjana, semoga kasih sayang mereka tetap menyertai penulis.
7.
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada kakak, abang serta adik penulis yang telah banyak memberikan dorongan atas selesainya penulisan skripsi ini.
8.
Buat rekan-rekanku yang se-almamater yang telah memberikan dorongan nasehat dan dorongan yang membangun, semoga kita selalu bersama-sama dalam suka dan duka.
Demikian penulis ucapkan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Oktober 2008 Penulis
(SYAMSUL HAQ) NIM: 050 200 207
4
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ABSTRAKSI BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Judul B. Perumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penulisan D. Keasliaan penulisan E. Metode Penulisan 1. Metode Penulisan 2. Data yang Digunakan 3. Teknik Pengumpulan Data 4. Analisis Data F. Sistematika Penulisan TINJAUAN UMUM KETENAGAKERJAAN A. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia 1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan 2. Asas dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan 3. Sifat Hukum Ketenagakerjaan 4. Subjek Hukum Ketenagakerjaan B. Syarat-Syarat Kerja 1. Perjanjian Kerja Sebagai Awal Hubungan Kerja 2. Peraturan-Peraturan Tentang Hubungan Kerja 3. Syarat-Syarat Kerja Sebagai Akibat Hubungan Kerja 4. Hubungan Industrial Pancasila C. Hak-Hak dan Kewajiban Buruh Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 1. Jaminan Perlindungan Buruh 2. Jaminan Upah Buruh 3. Lembur dan Cuti 4. Jaminan Sosial Tenaga kerja D. Hak-hak dan Kewajiban Tenaga Kerja dan Hak dan Kewajiban Pemerintah Menurut UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
TINJAUAN UMUM TERHADAP SKB 5 MENTERI A. Latar Belakang Timbulnya SKB 5 Menteri
1 10 10 11 12 13 13 14 15
17 19 20 21 33 37 40 42
46 48 51 55
59
64
B. Isi SKB 5 Menteri. C. Pandangan Pakar Terhadap SKB 5 MENTERI D. Jam kerja dan Cuti Menurut Undang-Undang No.13 tahun 2003 BAB IV
BAB V
PEMBAHASAN A. Perbandingan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 B. Pandangan Buruh terhadap SKB 5 Menteri C. Perbandingan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999 D. Kelemahan dan kekurangan SKB 5 Menteri. E. Kesepakatan Kerja antara Serikat Buruh dan Majikan dalam Solusi SKB 5 Menteri KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran C. Lampiran
DAFTAR PUSTAKA
67 69 75
78 81 82 84 85
86 87
6
ABSTRAKSI
Dalam penulisan skripsi ini mengambil judul ”Keberadaan SKB 5 Menteri Dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999”, dimana penulis akan memberikan uraian terhadap dikeluarkannya SKB 5 Menteri kemudian membandingkan berdasarkan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UndangUndang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan pembangunan tidak terlepas dari peran tenaga kerja yang ada di sektor-sektor industri. Agar tenaga kerja tersebut dapat bekerja dengan baik, tenang dan aman, maka tenaga kerja tersebut perlu mendapatkan perlindungan hukum. Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi pekerja adalah sebagaimana
diuraikan
dalam
Undang-Undang
No.13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan seperti mengenai jaminan upah yang memadai dan juga upah lembur dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja. Semakin pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia membuat semakin tinggi juga permintaan akan listrik yg diperlukan untuk menjalankan mesin ataupun untuk kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pemerintah harus meyediakan pasokan listrik yg cukup agar perindustrian dan perekonomian Indonesia dapat berkembang dengan pesat. Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah yaitu Menteri Perindustrian, Menteri Energi dan Sumber Daya mineral, Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi,Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN mengeluarkan surat keputusan yg dikenal dengan SKB 5 Menteri.
Sehubungan dengan dikeluarkannya SKB 5 Menteri tersebut, penulis dalam penulisan skripsi ini ingin memaparkan Sejauh mana SKB 5 Menteri dapat di terapkan dalam industri dan untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dari dikeluarkannya SKB 5 Menteri tersebut, dan juga memaparkan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam SKB 5 Menteri tersebut serta membandingkan apakah isi SKB 5 Menteri itu bertentangan dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.. Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis melakukan metode penulisan yang bersifat deskriptif (descriptive researh) yang bertujuan untuk melukiskan tentang suatu hal tertentu didaerah tertentu dan pada saat tertentu, yang mana dalam teknik pengumpulan data dilakukan dalam 2 (dua) teknik, yaitu: Library Research ( Penelitian Kepustakaan), dan Field Research (Penelitian Lapangan). Dari hasil penelitian dalam penulisan skripsi ini, penulis dapat menyimpulkan, bahwa dengan dikeluarkannya SKB 5 menteri tersebut menyebabkan pergeseran waktu libur bagi pekerja/buruh dan dengan di efektifkannya hari sabtu dan minggu sebagai hari kerja sedikit banyaknya akan mengganggu kenyamanan umat beragama tertentu yang aktifitas beragamanya dilakukan di hari minggu.
8
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pemilihan judul
Di zaman penjajahan Belanda ekonomi Indonesia adalah ekonomi kolonial, kedudukan ekonomi Indonesia ketika itu ialah: 1) sebagai sumber bahan mentah; 2) sebagai sumber tenaga buruh yang murah; 3) sebagai pasar buat menjual hasil-hasil produksi negeri-negeri kapitalis; 4) sebagai tempat investasi (penanaman) modal asing. Ini berarti bahwa Indonesia tergantung dari export bahan-bahan mentah (timah, bauksit, karet, dll. hasil perkebunan, dsb.) dan import barang keperluan hidup (textil, sepatu, sepeda, dsb.).
Susunan ekonomi kolonial mengakibatkan Indonesia tidak mempunyai industri sendiri yang bisa mengerjakan bahan mentahnya guna memenuhi kebutuhan Indonesia, di lapangan ekonomi Indonesia tergantung dari luar negeri, dengan demikian tidak mungkin ada perkembangan modal nasional dan industri nasional.
Ekonomi kolonial ini dipertahankan oleh imperialis Belanda dengan bantuan penanam modal asing lainnya di Indonesia dengan suatu politik kolonial yang dalam prakteknya bersifat setengah-fasis. Politik kolonial ini ditujukan untuk menindas gerakan Rakyat yang menuntut kemerdekaan sebagai jaminan guna penyusunan ekonomi nasional. Terutama gerakan buruh dan Partai Komunis Indonesia, sebagai partainya kaum buruh, mendapat rintangan yang paling besar dari pemerintah kolonial.
Pada tahun 1930 (statistik Hindia Belanda), penduduk Indonesia yang hidup dari upah berjumlah lebih kurang 6.000.000 (enam juta) orang. Dalam jumlah ini sudah dimasukkan buruh musiman (seizoen arbeiders) yang sangat besar jumlahnya dan bekerja di perkebunan-perkebunan atau di pabrik-pabrik gula. Buruh musiman ini umumnya terdiri dari buruh tani dan tani miskin, yaitu penduduk desa yang sama sekali tidak mempunyai tanah garapan atau mempunyai tanah tetapi sangat sedikit.
Di antara 6 juta kaum buruh itu, antara lain terdapat setengah juta buruh modern terdiri dari: 316.200 buruh transport, 153.100 buruh pabrik dan bengkel, 36.400 buruh tambang timah kepunyaan pemerintah dan partikulir, 17.100 buruh tambang batubara kepunyaan pemerintah dan partikulir, 29.000 buruh tambang minyak, 6.000 buruh tambang emas dan perak kepunyaan pemerintah dan partikulir. Selainnya adalah buruh pabrik gula, buruh perkebunan, berbagai golongan pegawai negeri (termasuk polisi dan tentara), buruh industri kecil, buruh lepas dsb. Perlu diterangkan bahwa yang terbesar ialah jumlah buruh industri kecil (2.208.900) dan buruh lepas (2.003.200)1. Dari angka-angka ini jelaslah bagi kita, bahwa merupakan bagian yang sangat kecil dari buruh Indonesia (setengah juta) yang sudah berhubungan dengan alat-alat produksi modern, sedangkan bagian terbesar belum berhubungan dengan alat-alat produksi modern dan masih erat hubungannya dengan pertanian.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang, dimana seluruh sektor pembangunan terus ditingkatkan. Dalam pembangunan ini terjadi proses perubahan dari negara agraris menuju negara industri. Dengan pembangunan juga diupayakan agar dapat meningkatkan pendapatan negara dan pendapatan masyarakat melalui industri yang menghasilkan prosuk-produk ekspor dan dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Semakin besar industri tersebut semakin besar juga tenaga kerja yang dapat di tampung. 1
2007.
Arief Chandra, KEWAJIBAN FRONT PERSATUAN BURUH, Komunis Indonesia, (Penerbit Yayasan "Pembaruan" ,
10
Pembangunan dalam suatu negara tentu saja tidak terlepas dari pada perekonomian suatu negara itu sendiri, yang pada hakekatnya pembangunan itu adalah merupakan suatu cara atau dasar untuk memperkuat perekonomian negara yang bersangkutan. Di setiap negara di dunia ini selalu berusaha untuk meningkatkan perekonomiannya melalui suatu kegiatan pembangunan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Dan apabila terjadi suatu penurunan pembangunan atau terjadinya penghentian pembangunan tersebut maka akan terasa akibat yang berlangsung terhadap keadaan perekonomian negara itu. Adapun pembangunan yang terus menerus ditingkatkan adalah untuk menaikkan tingkat pendapatan atau menaikkan tingkat kehidupan rakyat, apabila tingkat pendapatan atau tingkat penghidupan rakyat rendah maka akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi negara itu sendiri. Oleh karena itu apabila tingkat pendapatan rakyat rendah harus segera diatasi dengan memperbesar atau meningkatkan dengan cara memajukan produksi nasional. Dengan peningkatan produksi nasional agar berhasil adalah tergantung kepada tersedianya faktor-faktor produksi yang dapat digerakkan di negara tersebut, karena faktor-faktor produksi merupakan syarat utama dalam kelangsungan pelaksanaan pembangunan. Setiap negara di dunia ini mempunyai corak ekonomi yang berbeda-beda dalam melaksanakan pembangunannnya, namun tujuannya adalah tetap sama yaitu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat atau dengan perkataan lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya (Income Percapita) bagi seluruh penduduk, sehingga akan terwujud ke suatu arah akan terpenuhinya kebutuhan yang beraneka ragam.
Berdasarkan uraian dalam situs apindo mengenai daya produktivitas Indonesia dan negara-negara ASEAN diuraikan bahwa, dengan adanya pembangunan sudah tentu akan mendorong timbulnya berbagai macam usaha seperti mendirikan atau pengusahaan. Baik yang didirikan oleh pemerintah maupun pihak swasta, dengan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Dengan berdirinya perusahaan-perusahaan tersebut maka akan menimbulkan adanya suatu kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat. Dengan kata lain perusahaanperusahaan tersebut otomatis akan membutuhkan tenaga kerja yang akan turut berperan dalam menjalankan perusahaan tersebut. Maka dengan demikian para anggota masyarakat yang semula hanya hidup dengan pekerjaan yang tak tetap dan hidup sebagai pengangguran sudah dapat memiliki pekerjaan. Sebuah proses industri akan berjalan apabila telah terdapat unsur-unsur yang memungkinkan terlaksanakan kegiatan industri, seperti adanya pengusaha sebagai pemilik modal dan pekerja yang akan melaksanakan apa yang menjadi bidang garapan industri tersebut. Dalam kaitan ini pengusaha dan pekerja akan saling bekerja sama untuk mewujudkan terlaksananya kegiatan industri melalui hubungan kerja. Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dan pekerja dapat terjadi setelah diadakan perjanjian antara pengusaha dan pekerja, dimana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha tersebut dengan menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Perjanjian yang demikian disebut Perjanjian Kerja Pengawasan biasanya dilakukan ditempat kerja dengan melihat dan memeriksa langsung syarat-syarat kerja, waktu kerja, waktu kerja lembur, pekerja/buruh wanita dan anak, serta aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Bagi pekerja/buruh,
12
pengawasan ini menjamin terlaksananya hak-hak pekerja atau buruh yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan bagi pengusaha, pengawasan merupakan sarana untuk memperoleh penjelasan dari pihak yang berwenang dan kompeten tentang kewajibannya menurut aturan yang berlaku. Dalam perjanjian kerja akan disepakati tentang berapa lama pekerja akan mengikatkan diri dengan pengusaha dalam melakukan hubungan kerja. Oleh karena itu pekerja tidak boleh melakukan pekerjaannya sekehendak hati, begitu pula pengusaha tidak boleh mempekerjakan pekerjanya seumur hidup. Hal ini untuk memberikan jaminan bahwa hak pribadi manusia tetap diperhatikan. KUH Perdata tidak mengatur lebih jauh pengertian “waktu tertentu“. KUH Perdata hanya mengatur tentang keadaankeadaan dimana suatu hubungan kerja dapat berakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 1603(e) ayat 1, Pasal 1603(j) dan Pasal 1603(k) KUH Perdata yaitu sebagai berikut: a.
Jika habis waktunya seperti yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam peraturan undang-undang atau jika semua itu tidak ada, menurut kebiasaan.
b.
Jika pekerja telah meninggal dunia
c.
Jika pekerja telah meninggal dunia, kecuali jika dari perjanjian dapat disimpulkan sebaliknya 2. Sedangkan dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 59, menyatakan
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
2
. Soedharyo Soimin, SH, KUH Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, Hlm 401 dan 4003
a.
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dalam Undang-undang HAM dikatakan bahwa, hak asasi manusia adalah sesuatu hak yang diberikan oleh Tuhan dari sejak lahir. Hak merupakan sesuatu yang layak di terima oleh setiap manusia. Seperti mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak memeluk agama, dan hak untuk mendapat pengajaran. Hak selalu beriringan dengan kewajiban-kewajiban, ini merupakan sesuatu yang harus kita lakukan bagi bangsa, negara, dan kehidupan sosial.
Hak dan kewajiban ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi sering terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. Sudah sangat jelas bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan penghidupan yang layak, akan tetapi pada kenyataannya banyak warga negara yang belum merasakan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya. Semua itu terjadi karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih banyak mendahulukan hak daripada kewajiban. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan terjadi kesenjangan sosial yang berkepanjangan. Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak
14
dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera.
Dalam praktek, pengaturan hak dan kewajiban khususnya yang berkaitan dengan persyaratan kerja tidaklah sederhana. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor. Pertama, tidak mungkin mengatur semua persyaratan kerja kedalam peraturan perundangundangan. Kedua, adanya kepentingan yang berbeda dalam proses perumusan perjanjian kerja 3.
Menurut Saifudiendjsh dalam tulisannya yang berjudul upah dan pesangon buruh, bahwa faktor tenaga kerja sangat memegang peranan yang penting dalam jalur pembangunan di perusahaan atau pabrik. Apabila seorang bekerja pada suatu pabrik atau perusahaan dengan suatu hubungan kerja maka sudah barang tentu akan timbul berbagai masalah yang menyangkut hubungan buruh dengan pihak perusahaan yang antara lain mengenai upah, jam kerja, cuti, jaminan sosial, keselamatan kerja, dan lain sebagainya. Jelasnya akan timbul masalah tentang syarat-syarat kerja dan kondisi kerja yang menyangkut pihak buruh dan pihak pengusaha.
Semakin pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia membuat semakin tinggi juga permintaan akan listrik yg diperlukan untuk menjalankan mesin ataupun untuk kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pemerintah harus meyediakan pasokan listrik yg cukup agar perindustrian dan perekonomian Indonesia dapat berkembang dengan pesat. Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah yaitu Menteri Perindustrian, Menteri Energi dan Sumber Daya mineral, Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN mengeluarkan surat keputusan yg dikenal dengan SKB 5 Menteri. Dalam SKB 5 Menteri bertujuan untuk : 3
hlm 10
Wiwoho Soedjono, Hukum Pengantar Perjanjian Kerja, Bina Aksara, Jakarta, Cet. 1, 1983,
A
Mengatasi ketidakseimbangan pasokan listrik PT. PLN dengan kebutuhan listrik sektor Industri.
B.
Menghindari pemadaman listrik sehingga sektor Industri dapat melakukan Operasi dengan baik. Di dalam Situs Kapan lagi.com diuraikan bahwa, surat Keputusan Bersama
(SKB) lima menteri yang mengatur pergeseran hari libur, SKB tersebut mulai diberlakukan tanggal 21 Juli 2008. Keputusan tersebut diberikan, karena sesuai dengan perhitungan matematis, bahwa daya listrik di Indonesia terutama Jawa Bali tidak ada kekurangan, hanya perlu pengaturan pada saat beban puncak. Pada Senin hingga Jumat, khususnya listrik Jawa Bali kekurangan daya hingga 600 megawatt (mw), sebaliknya, pada Sabtu dan Minggu, justru kelebihan daya hingga 1.000 MW. Dengan pengaturan tersebut, maka kelebihan daya 1.000 mw bisa terserap dengan baik, tanpa harus mengganggu jam kerja industri. Ketentuan tersebut akan berlangsung hingga terbangunnya power plan pada sekitar Maret - april 2009, dengan tambahan daya 2.000 MW. Sejalan dengan uraian yang dituangkan dalam media ekonomi bisnis Indonesia bahwa, Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri terkait himbauan pemerintah melaksanakan penghematan energi listrik berefek pada sektor industri. SKB yang ditandatangani 5 menteri itu adalah Menteri Negara BUMN, Menteri Negara Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyepakati untuk penghematan energi sektor industri agar dapat mengalihkan pola jam kerja pada hari Sabtu dan Minggu atau perusahaan yang menggunakan listrik PLN untuk industri yang menggunakan daya minimal 200kVA.
16
Menurut hendy herdiman, pemadaman listrik dan pengalihan waktu kerja akan berdampak pada jadwal produksi. Apalagi jika perusahaan tersebut sangat terpaku pada 'delivery due date'. Berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan dengan mundurnya jadwal produksi. Berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan karena harus merubah media pengiriman/ekspor barang dari jalur laut menjadi jalur udara karena terbentur jadwal pengiriman yang sudah tidak bisa ditunda lagi. Apalagi jika melihat pasal 7 yang berisi kewenangan PT PLN untuk mengenakan sanksi berupa pemutusan aliran listrik sementara bagi perusahaan industri yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 2 peraturan bersama. Padahal selama ini PLN yang sering lebih diuntungkan setiap bulannya. Lalu pada saat terjadi krisis listrik perusahaanlah yang diberi sanksi hal ini sangat tidak adil, Perubahan jam kerja yang mewajibkan pekerja untuk bekerja di hari Sabtu dan Minggu untuk mengganti hari kerja biasa yang diliburkan karena adanya jadwal pemadaman listrik, jika dilihat dari segi jumlah jam kerja tidak ada yang dirugikan. Namun secara psikologis pekerja dirugikan karena selama ini secara umum, hari Sabtu dan Minggu merupakan 'weekday' atau saatnya pekerja beristirahat atau melakukan aktivitas sosial dalam keluarga dan masyarakat. kemudian ada berjuta-juta anak-anak kaum pekerja yang harus kecewa setiap Sabtu dan Minggu karena tidak bisa lagi bercengkerama dengan kedua orang tuanya pada kedua hari tersebut, karena pada hari biasa (Senin-Jumat) anak-anak ini harus tetap bersekolah. Menurut Menakertrans Erman Suparno, pengalihan hari kerja dengan tetap masuk pada hari Sabtu dan Minggu lebih pada esensi pengaturan waktu libur pekerja dan menyeimbangkan surplus listrik Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk membahas mengenai keberadaan SKB 5 Menteri dibandingkan dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi manusia No 39 tahun 1999.
B.
Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah ; 1.
Apakah SKB 5 Menteri dapat memenuhi kehendak para buruh?
2.
Apakah SKB 5 Menteri tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3.
Apakah SKB 5 Menteri tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
C.
Tujuan dan Manfaat penulisan
1.
Tujuan Penulisan Secara umum, tujuan penulis melakukan pembahasan dan menguraikannya
dalam skripsi ini adalah untuk menjawab pemasalahan yang timbul dari skripsi ini yaitu; b.
Sejauh mana SKB 5 menteri dapat di terapkan dalam industri ?
c.
Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dari dikeluarkannya SKB5 Menteri tersebut?
d.
Untuk mengetahui kelemahan dari SKB 5 Menteri tersebut di bandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dan UndangUndang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999.
18
2.
Manfaat Penulisan Secara teoritis, dari hasil pembahasan ini penulis mengharapkan dapat
memperoleh penjelasan tentang hak dan kewajiban buruh dalam undang-undang ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Selain itu, pembahasan ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis dalam bidang ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum perburuhan, dimana penulis berusaha melakukan pembahasan tentang di keluarkannya SKB 5 Menteri apakah mewakili keinginan para pekerja/buruh itu sendiri, dalam hal ini tentunya secara spesifik penulis menyoroti mengenai dampak yang di timbulkan SKB 5 Menteri tersebut terhadap pekerja/buruh dilihat dari Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No 39 tahun 1999. Secara praktis, kegunaan dari pembahasan yang penulis laksanakan selain menambah pengetahuan penulis sendiri tentang hak dan kewajiban buruh dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, apa peranannya bagi karyawan dan perusahaan, pembahasan yg penulis lakukan juga dapat bermanfaat sebagai bahan acuan ataupun literatur bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya yang ingin mengetahui dan mendalami masalah-masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Kemudian, dari pembahasan ini dapat juga penulis ketahui kendala-kendala yang timbul dalam lingkungan suatu perusahaan dalam kaitannya di keluarkannya SKB 5 Menteri tersebut.
D.
Keaslian penulisan Skripsi ini merupakan skripsi asli yang diangkat berdasarkan pemikiran
sekaligus keingin tahuan penulis sendiri terhadap topik permasalahan yang diangkat.
Penulis telah menelusuri terhadap judul skripsi hukum perburuhan di fakultas hukum Universitas Sumatera Utara dan di berbagai fakultas hukum universitas swasta lainnya di kota Medan dan penulis belum pernah melihat ada penulis sebelumnya yang mengangkat topik permasalahan yang sama dengan penulis. Hal ini menurut hemat penulis dikarenakan masih barunya permasalahan mengenai SKB 5 Menteri, sedangkan penulis ingin membandingkan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999. Jadi dapat disimpulkan bahwa skripsi ini murni dan asli dari hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan di dasarkan dari penulis-penulis terdahulu.
E.
Metode Penulisan
1. Metode Penelitian Metode penelitian ini bersifat deskriptif (desciptive researh). Menurut Bambang Waluyo, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang suatu hal tertentu di daerah tertentu dan pada saat tertentu. Namun, secara khusus, menurut jenis, sifat dan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian hukum empirik atau dikenal juga penelitian hukum sosiologis. “Penelitian hukum empirik didasarkan atas data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama melalui penelitian” 4. hal pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
menginventarisasi
hukum
perburuhan,
khususnya
Undang-Undang
Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999 dan membandingkan setelah keluarnya SKB 5 Menteri tentang 4
Abdul Muis, SH. MS, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode penelitian Hukum, FH-USU, Medan, 1990.
20
Pengoptimalan Beban Listrik Melalui Pengalihan Waktu Kerja Pada Sektor Industri di Jawa-Bali. Untuk efektifitas dari perbandingan tersebut, maka dibutuhkanlah data primer dari lapangan, yaitu pengusaha, buruh dan masyarakat.
2. Data Yang Digunakan Suatu penulisan dan pembahasan atas suatu masalah yang sedang di teliti membutuhkan data-data yang merupakan alat untuk melakukan penyelidikan dan analisa suatu masalah. Data-data juga diperlukan untuk menguraikan masalah yang sedang di teliti. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah: 1.
Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan (field research)
2.
Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui literatur-literatur hukum, hasil-hasil penelitian maupun peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) tenik pengumpulan data, yaitu : 1.
Library Research (Penelitian Kepustakaan) Library Research adalah penelitian melalui perpustakaan dengan cara membaca,
menafsirkan, mempelajari, mentransfer dari buku-buku, makalah-makalah seminar, Peraturan-Peraturan dan bahan perkuliahan penulis sendiri yang menurut penulis memiliki keterkaitan untuk mendukung terlaksananya penulisan skripsi ini.
2.
Field Research (Penelitian Lapangan) Field Research adalah penelitian yang dilakukan dengan melihat langsung
kondisi yang sebenarnya di lapangan melalui wawancara kepada pengusaha dan pekerja/buruh serta mengambil bahan-bahan tulisan yang berupa data-data yang dapat di gunakan untuk mendukung penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data Setelah diperoleh data dari lapangan dengan lengkap, maka tahap berikutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Data dianalisis dengan metode pendekatan yang bersifat analitis deskriptif dan metode induksi dan deduktif, tergantung data yang dianalisis dengan pendekatan yuridis sosiologis. Analitis deskriptif maksudnya bahwa penulis semaksimal mungkin berupaya untuk memaparkan data-data yang sebelumnya terjadi dilapangan. Metode deduktif artinya analitis didasarkan kepada peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999 dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian. Metode induktif artinya data-data yang khusus mengenai perbandingan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 dan UndangUndang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999, akan ditarik kesimpulan yang akan dijadikan bahan kajian untuk selanjutnya.
22
Pendekatan secara sosiologis maksudnya bahwa pendekatan yang dilakukan adalah berusaha meneliti bagaimana efektifitas (daya laku) Peraturan di dalam masyarakat.
F.
Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pemahaman materi maupun bentuk dari penulisan skripsi
ini, maka penulis membuat sistematika penulisan yang sekaligus merupakan gambaran isi skripsi, yaitu sebagai berikut : BAB 1
PENDAHULUAN Dalam bab yang pertama ini diuraikan tentang hal-hal yang bersifat umum dan dibagi dalam beberapa sub bab, antara lain : Latar Belakang Pemilihan Judul, Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan Dan Sistematika Penulisan.
BAB II
TINJAUAN UMUM KETENAGA KERJAAN Dalam bab yang kedua ini akan diuraikan tentang : Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia yang di dalamnya membahas mengenai pengertian Hukum Ketenagakerjaan, Asas dan Tujuan Hukum Ketengakerjaan, Sifat Hukum Ketenagakerjaan dan Subjek Hukum Ketenagakerjaan. Syarat-Syarat Kerja yang di dalamnya membahas mengenai Perjanjian Kerja Sebagai Awal Hubungan kerja, Peraturan-Peraturan Tentang Hubungan Kerja, SyaratSyarat Kerja Sebagai Akibat Hubungan Kerja dan Hubungan Industrial Pancasila. Hak-Hak dan Kewajiban Buruh menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang menguraikan mengenai
Perlindungan, Pengupahan dan Lembur, Kesejahteraan dan Waktu Istirahat, dan terakhir Hak-Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja dan Hak dan Kewajiban Pemerintah menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. BAB III
TINJAUAN UMUM TERHADAP SKB 5 MENTERI TENTANG MENGOPTIMALKAN BEBAN LISTRIK MELALUI PENGALIHAN WAKTU KERJA PADA SEKTOR INDUSTRI Dalam bab yang ketiga ini akan diuraikan tentang : Latar belakang timbulnya SKB 5 Menteri, Isi SKB 5 Menteri, Pandangan Pakar terhadap SKB 5 Menteri, Jam kerja dan Cuti menurut UU No. 13 tahun 2003.
BAB IV
PEMBAHASAN Dalam bab yang keempat ini akan diuraikan tentang : Perbandingan SKB 5 Menteri dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Pandangan Buruh terhadap SKB 5 Menteri, Perbandingan SKB 5 Menteri Dengan UndangUndang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999, Kelemahan dan kekurangan SKB 5 Menteri, kesepakatan Kerja antara Serikat Buruh dan Majikan dalam Solusi SKB 5 Menteri.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab terakhir ini penulis akan memuat kesimpulan penulis tentang apa yang dibahas dalam bab-bab terdahulu dan sumbangan pikiran dan saransaran atas permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan skripsi ini.
24
BAB II TINJAUAN UMUM KETENAGAKERJAAN
A.
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
1.
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Hukum ketenagakerjaan/perburuhan merupakan spesies dari genus hukum pada
umumnya. Sebagai bagian dari hukum pada umumnya memberikan batasan pengertian hukum ketenagakerjaan/perburuhan tidak terlepas dari pengertian hukum pada umumnya. Berbicara tentang batasan hukum, para ahli pada saat ini belum menemukan batasan yang baku serta memuaskan semua pihak tentang hukum. Hal ini disebabkan karena hukum memiliki bentuk dan cakupan yang sangat luas. Bentuk dan cakupan yang luas ini menjadikan hukum dapat diartikan dari berbagai sudut pandang yang berbeda 5. Untuk memberikan pengertian dari hukum ketenagakerjaan, kita harus kembali kepada pendapat para sarjana. Imam Soepomo dalam bukunya “Pengantar Hukum Perburuhan” mengemukakan pendapat beberapa ahli mengenai hukum ketenagakerjaan, yaitu: 1.
Menurut Moleenaar: Hukum Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan antara tenaga kerja dengan pemerintah.
5
Lalu Husni, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.Raja Grafindo Persadi, Jakarta, h.20.
2.
Menurut M.G.Levenbach: Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.
3.
Menurut N.E.H.Van Esveld: Hukum Ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung-jawab dan resiko sendiri 6. “Imam
Soepomo
sendiri
memberikan
pengertian
Hukum
Perburuhan
(Ketenagakerjaaan) adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah" 7. Mengkaji pengertian yang diberikan Imam Soepomo tampak jelas bahwa hukum perburuhan setidak-tidaknya mengandung unsur: 1. Himpunan peraturan (baik tertulis maupun tidak tertulis); 2. Berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa; 3. Seseorang bekerja pada orang lain; 4. Upah. Dari unsur diatas terlihat bahwa substansi hukum perburuhan hanya menyangkut peraturan yang mengatur hubungan hukum seorang yang disebut buruh dan bekerja pada orang lain disebut majikan (bersifat keperdataan), dimana tidak ada diatur hubungan hukum diluar hubungan kerja. Konsep ini sesuai dengan pengertian buruh didalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan 6
. Sendjun H.Manulang, 1988, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.1. 7 . Imam Soepomo, 1999, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, h.3.
26
Perburuhan. Dalam undang-undang ini buruh diartikan sebagai barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah. Sedangkan majikan adalah orang/atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Jika
kita
meneliti
Undang-Undang
Nomor
13
tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, maka kita tidak akan mendapati 1 Pasal pun yang memberikan defenisi mengenai hukum ketenagakerjaan/perburuhan. Tetapi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Berdasarkan pengertian ketenagakerjaan ini dapat kita ambil batasan bahwa hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja (pre employment), pada saat bekerja (during employment) dan sesudah bekerja (post employment). "pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama ini kita kenal ruang lingkupnya hanya berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam hubungan kerja saja" 8.
2.
Asas dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan Pasal 3 Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menegaskan
bahwa
pembangunan
ketenagakerjaan diselenggarakan
atas
asas
keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multi dimensi dan terkait.
8
. Lalu Husni, 2003, Op.Cit, h.23-24.
Dalam berbagai pihak, yaitu antara Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja/Buruh. Oleh karenanya pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung. "Asas hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan melalui asas Koordinasi Fungsional Lintas Sektoral Pusat dan Daerah" 9. Adapun yang menjadi tujuan hukum ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003,yaitu: a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; c. Memberikan perlindungan kepada
tenaga
kerja dalam
mewujudkan
kesejahteraan; d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya; Menurut Bahder Johan Nasution, Tujuan yang hendak dicapai dalam hubungan industrial adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan cara menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha yang dilandasi dengan prinsip kemitraan dan keseimbangan, berasaskan kekeluargaan dan gotong-royong serta musyawarah untuk mufakat.
3.
Sifat Hukum Ketenagakerjaan Menurut Sendjun H. Manulang, Hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat perdata
(privat) dan dapat bersifat publik. Dikatakan Hukum Perburuhan bersifat Perdata karena dalam Hukum Ketenagakerjaan hubungan antara para pihak, yaitu Pengusaha dan 9
h.6-7.
. Abdul Khakim, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
28
pekerja/buruh bersifat privat. Hubungan ini bersifat Privat dimana mereka para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian yang kita kenal dengan nama Perjanjian Kerja. Perjanjian Kerja ini sendiri tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ketiga tentang Hukum Perikatan (verbitenisen recht). Disamping bersifat privat, hukum ketenagakerjaan/Perburuhan bersifat publik. Pertama dalam hal-hal tertentu negara atau pemerintah turut campur dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya masalah-masalah PHK, Kedua, adanya sanksi/hukuman didalam setiap peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan 10. Tujuan campur tangan pemerintah dalam bidang perburuhan ini adalah untuk mewujudkan hubungan industrial yang adil, karena peraturan perundang-undangan ketenakerjaan memberikan hak-hak bagi buruh/pekerja sebagai manusia utuh sehingga harus dilindungi baik menyangkut keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak dan sebagainya. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan pengusaha/ majikan yakni kelangsungan hidup perusahaan. Sifat publik dari hukum perburuhan dapat dilihat dari : 1.
Adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan dibidang perburuhan/ketenagakerjaan;
2.
Ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standart upah (upah minimum) 11.
4.
Subjek Hukum Ketenagakerjaan Pihak dalam hukum ketenagakerjaan sangat
luas, yaitu tidak hanya
pengusaha/buruh saja tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait. Luasnya para pihak ini
10 11
. Sendjun H Manulang, 1988, Op.Cit, h.2. Lalu Husni, 2003, Op Cit, h,11-12
terjadi karena masing-masing pihak yang terkait dalam hubungan industrial saling berinteraksi sesuai dengan posisinya dalam menghasilkan barang dan/atau jasa 12. Adapun yang menjadi subjek dalam Hukum Perburuhan,antara lain:
1. Pekerja/buruh Semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada perorangan maupun pada badan hukum disebut sebagai buruh. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) (a) Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dalam pasal ini buruh diartikan sebagai “Barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah”. Setelah lahirnya Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, istilah buruh disandingkan dengan istilah pekerja. Istilah pekerja dan buruh secara yuridis sebenarnya adalah sama dan tidak ada perbedaan diantara keduanya. Kedua kata tersebut dipergunakan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dimana kedua istilah ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dalam defenisi pekerja/buruh yang diberikan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini terdapat dua unsur yaitu unsur orang yang bekerja dan unsur menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
2. Pengusaha Dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Dalam perkembangannya, istilah majikan ini tidak sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi 12
. Maimun, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, h.13.
30
sebagai pihak yang selalu berada diatas sebagai lawan atau kelompok penekan buruh. Adanya konotasi negatif seperti ini membuat konsep majikan kurang diterima secara yuridis. Pekerja/buruh dan majikan adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang sama. Oleh karena itu istilah majikan lebih tepat jika disebut dengan Pengusaha 13. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang lahir belakangan seperti Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang JAMSOSTEK, Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sendiri mengunakan istilah Pengusaha. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 menjelaskan: “ Pengusaha adalah : a. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan diluar Wilayah Indonesia”. Dalam menjalankan suatu industri pengusaha juga memiliki hak dan kewajiban yaitu: HAK PENGUSAHA 1.
Berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja.
2.
Berhak atas ditaatinya aturan kerja oleh pekerja, termasuk pemberian sanksi
3.
Berhak atas perlakuan yang hormat dari pekerja
4.
Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha
13
. Lalu Husni, 2003, Op.Cit, h.36.
KEWAJIBAN PENGUSAHA 1.
Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya
2.
Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali ada ijin penyimpangan
3.
Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan
4.
Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan
5.
Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur resmi
6.
Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih
7.
Wajib mengikut sertakan dalam program Jamsostek Selain pengertian pengusaha, Undang-Undang Ketenagakerjaan juga memberi
pengertian pemberi kerja yakni “orang perorangan, pengusaha, badan hukum atau Badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain" 14. Pengaturan istilah pemberi kerja ini muncul untuk menghindari orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai pengusaha khususnya bagi sektor informal.
3. Serikat pekerja/buruh Dasar hukum pembentukan serikat pekerja/buruh diatur dalam Pasal 104 ayat(1) Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Dalam pasal ini disebutkan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
14
. Lihat Pasal 1 Angka 4 UU Ketenagakerjaan
32
pekerja/serikat buruh”. Hak berserikat bagi pekerja/buruh ini secara global diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (Convention Concorning Fredom of Association and Protection of The Rights to Organise). Karena kondisi dalam negara kita yang sedang dilanda berbagai gejolak pada saat
pertama sekali konvensi ini diterbitkan, pemerintah pada awalnya
meratifikasi konvensi ini dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang yaitu Keppres No.83 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.87 tahun 1948. Konvensi ini pada hakekatnya memberikan jaminan yang seluas-luasnya kepada organisasi pekerja/buruh untuk mengorganisasikan dirinya dan untuk bergabung dengan federasi-federasi, konfederasi dan organisasi apapun dan hukum negara tidak boleh menghalangi jaminan berserikat bagi pekerja/buruh sebagaimana diatur oleh konvensi tersebut. Hak menjadi anggota serikat pekerja/buruh merupakan hak asasi pekerja/buruh. hak ini jugalah yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang mulai berlaku sejak ditetapkan pada tanggal 4 agustus 2000.
4. Asosiasi Pengusaha Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak ada satu pasal pun yang memberikan defenisi mengenai pengertian asosiasi pengusaha. Demikian pula dalam berbagai literatur-literatur hukum perburuhan, tidak ada juga ditemukan mengenai
defenisi asosiasi pengusaha. Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya mengisyaratkan bahwa pengusaha dapat membentuk dan menjadi anggota asosiasi pengusaha 15. Namun demikian, kita dapat memberikan defenisi asosiasi pengusaha dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 5. Dalam Pasal ini disebutkan: “Pengusaha adalah: a.
Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.
Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia“.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 6 disebutkan: “Perusahaan adalah: a.
Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.
Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain“.
15
. Lihat isi Pasal 105 UU Ketenagakerjaan
34
Dari dua batasan yang telah diberikan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan di atas, dapat kita ambil kesimpuan bahwa asosiasi pengusaha adalah kumpulan atau gabungan dari beberapa orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri atau bukan milik sendiri ataupun mewakili perusahaan yang berkedudukan di luar negeri. Organisasi pengusaha di Indonesia sebenarnya telah tumbuh sejak zaman Belanda. Beberapa organisasi pengusaha yang telah ada pada saat itu misalnya Nederlandsche Indische Maatschappij Voor Nijverheid yang didirikan tahun 1853, Indische Landbouw Genootschap didirikan pada tahun 1871 dan Kamers Van Koophandel En Nijverheid In Nederlandsche Indische tahun 1863. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi setelah proklamasi kemerdekaan, organisasi pengusaha dan berkembang sangat pesat. Pada sektor atau bidang-bidang tertentu selalu dibentuk organisasi pengusaha secara sendiri-sendiri. Keseluruhan organisasi pengusaha itu kemudian berafilasi menjadi bagian dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN). Organisasi pengusaha yang bergerak dibidang sosial ekonomi termasuk ketenagakerjaan yang dibentuk, yang sekarang ini dikenal dengan nama Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Semula APINDO adalah organisasi dibidang sosial ekonomi yang bernama Stichting Centraal Social Werkgevers Overleg (SCSWO) yang kemudian namanya diubah menjadi Yayasan Badan Permusyawaratan Urusan Sosial Pengusaha di Indonesia (YBPUSA). Melalui MUNAS pertama di Jogjakarta tanggal 15-16 januari 1982, nama ini kemudian diganti dengan “Perhimpunan Urusan Sosial Ekonomi Pengusaha Seluruh
Indonesia (PUSPI), lalu pada MUNAS kedua di Surabaya tanggal 29-31 januari 1985 nama PUSPI diganti dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)“ 16. Pada saat sekarang ini organisasi pengusaha yang kita kenal adalah: 1.
Kamar Dagang Indonesia (KADIN) KADIN pada awalnya dikenal dengan nama Kamers Van Koophandel en
Nijverhaid in Nederlandsche Indische yang dibentuk berdasarkan Besluit Gubernur Jendral tanggal 29 oktober 1863. Setelah Indonesia merdeka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No.11 tahun 1956 tentang Dewan dan Majelis Perniagaan dan Perusahaan. Selanjutnya untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan pembangunan nasional, maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 49 tahun 1973 membentuk KADIN. “KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomiaan” 17.
2.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) APINDO merupakan organisasi pengusaha yang khusus mengurus masalah-
masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. APINDO lahir didasari atas peran dan tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam rangka turut serta mawujudkan masyarakat adil dan makmur. APINDO wakil pengusaha dalam Lembaga Kerjasama Tripartit yaitu wadah antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh yang bertujuan memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi terutama dalam hal ketenagakerjaan. Dalam menjalankan tugasnya APINDO merupakan mandataris KADIN, dimana KADIN dan APINDO menjalin kerjasama dalam bidang ketenagakerjaan. KADIN dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya urusan-urusan yang berkaitan dengan 16 17
. Maimun, 2003, Op.Cit, h.21-22. . Lalu Husni, 2003, Op.Cit, h.45.
36
ketenagakerjaan dan hubungan industrial kepada APINDO. Hal ini kemudian diatur melalui Surat Keputusan MENAKERTRANS No.22243/MEN/1975 yang mengatur bahwa APINDO merupakan wakil pengusaha dalam lembaga tripartit. Kegiatan-kegiatan APINDO antara lain memberikan advokasi kepada anggota, pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia, khususnya dibidang ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Dalam menjalankan aktivitasnya, APINDO juga menjalin kerjasama dengan mitranya baik dari dalam maupun luar negeri.
3.
Asosiasi Pengusaha yang bersifat sektoral Asosiasi pengusaha yang bersifat sektoral ini berkonsenterasi pada bidang usaha
masing-masing sesuai sektornya dan bukan mengurusi sumber daya manusia dan hubungan industrial, sebagaimana APINDO. Organisasi sektoral ini antara lain: 1.
Sektor kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan , dibawah naungan Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI), yaitu:
2.
a.
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI);
b.
Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO);
c.
Indonesia Sawmill and WoodWorking Association (ISWA);
d.
Asosiasi Pengerajin Mebel Indonesia (ASMINDO);
e.
dan lain-lain.
Sektor pertanian dan perkebunan, yaitu: a.
Asosiasi Gula Indonesia (AGI);
b.
Asosiasi The Indonesia (ATI);
c.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia;
d.
dan lain-lain.
3.
4.
Sektor peternakan dan perikanan, yaitu: a.
Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (GAPPINDO);
b.
Himpunan Pengusaha Peternakan Indonesia (HIPERRINDO);
c.
Himpunan Pengusaha Perikanan Indonesia (HPPI);
d.
dan lain-lain.
Sektor pertambangan dan energi, yaitu: a.
Himpunan
Wiraswasta
Nasional
Minyak
dan
Gas
(HISWANAMIGAS);
5.
6.
7.
b.
Asosiasi Pemboran Minyak dan Gas Bumi;
c.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia;
d.
dan lain-lain.
Sektor Pariwisata, yaitu: a.
Association of The Indonesian Tour and Travel Agencies (ASITA);
b.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI);
c.
dan lain-lain.
Sektor jasa perhubungan, yaitu: a.
Organisasi Angkutan Darat (ORGANDA);
b.
Indonesia National Shipowners Association (INSA);
c.
dan lain-lain.
Sektor jasa konstruksi dan pengembangan (real estate), yaitu: a.
Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI);
b.
Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (GAPENSI);
c.
Persatuan Real Estate Indonesia (REI);
d.
dan lain-lain.
Bumi
38
8.
Sektor Industri Logam Dasar dan Mesin, yaitu: a.
Asosiasi Industri Karoseri Indonesia (AIKI);
b.
Gabungan Pabrik Besi Baja Indonesia (GAPBESI);
c.
Ikatan Perusahaan Industri Kapal Nasional Indonesia (IPRINDO);
d.
dan lain-lain 18.
5. Pemerintah Pemerintah selaku penguasa negara berkepentingan untuk ikut campur tangan dalam hukum ketenagakerjaan. Di negeri Belanda, orang mengatakan bahwa karena campur tangan negara, “Arbeidsrecht” menjadi hukum perburuhan yang adil 19. Hal ini dikarenakan jika hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha yang sangat berbeda secara sosial ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk mencapai keadilan dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan akan sulit untuk tercapai, karena para pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah. Atas dasar itulah pemerintah harus turut campur tangan. Dalam bidang ketenagakerjaan, pemerintah melalui DEPNAKERTRANS mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1.
Pembinaan
Pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap unsur-unsur dan kegiatankegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dan secara
terkoordinasi
dengan
mengikutsertakan
organisasi
pengusaha,
serikat
pekerja/buruh dan organisasi profesi yang terkait, baik melalui kerjasama nasional maupun internasional. Pembinaan dimaksud dilakukan pemerintah melalui kebijakan18 19
. Abdul Khakim, 2003, Op.Cit, h.139-141. . Imam Soepomo, 1999, Op.Cit, h.51.
kebijakan sesuai wewenang yang telah diberikan undang-undang sehingga tujuan pembangunan ketenagakerjaan dapat tercapai. 2.
Pengawasan
Pengawasan
yang
dilakukan
pemerintah
melalui
DEPNAKERTRANS
dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Dalam prakteknya, pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang telah ditetapkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pegawai ketenagakerjaan dalam menjalankan tugasnya wajib untuk: a.
Merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya wajib dirahasiakan;
b.
Tidak menyalagunakan wewenangnya 20. Pengawasan biasanya dilakukan ditempat kerja dengan melihat dan memeriksa
langsung syarat-syarat kerja, waktu kerja, waktu kerja lembur, pekerja/buruh wanita dan anak, serta aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Bagi pekerja/buruh, pengawasan ini menjamin terlaksananya hak-hak pekerja atau buruh yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan bagi pengusaha, pengawasan merupakan sarana untuk memperoleh penjelasan dari pihak yang berwenang dan kompeten tentang kewajibannya menurut aturan yang berlaku. 3.
Penyidikan
Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan memuat ketentuan pidana bagi setiap yang melanggarnya. Guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran pidana di bidang ketenagakerjaan maka ditunjuk pegawai atau badan yang berwenang dan kompeten melakukan penyidikan. Pasal 182 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan wewenang kepada Pejabat Polisi Negara
20
. Maimun, 2003, Op.Cit, h.33-34.
40
Republik Indonesia dan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) 21.
B.
SYARAT-SYARAT KERJA Dalam hal penerimaan tenaga kerja sebuah industri akan menerapkan pola
seleksi apabila ternyata tenaga kerja yang tersedia lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh industri tersebut. Dengan pola seleksi juga dapat dipilih tenaga-tenaga yang mempunyai keunggulan, seperti lebih berpengalaman, lebih ahli dan kelebihankelebihan lain yang memang dibutuhkan oleh industri tersebut. Menyadari bahwa untuk dapat diterima menjadi tenaga kerja dalam sebuah industri memerlukan beberapa keahlian, maka sudah selayaknya para calon pekerja akan berusaha meningkatkan kemampuannya sesuai dengan kriteria atau syarat-syarat yang dikehendaki oleh sebuah industri. 1.
Perjanjian Kerja Sebagai Awal Hubungan Kerja Sebuah proses industri akan berjalan apabila telah terdapat unsur-unsur yang
memungkinkan terlaksanakan kegiatan industri, seperti adanya pengusaha sebagai pemilik modal dan pekerja yang akan melaksanakan apa yang menjadi bidang garapan industri tersebut. Dalam kaitan ini pengusaha dan pekerja akan saling bekerja sama untuk mewujudkan terlaksananya kegiatan industri melalui hubungan kerja. Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dan pekerja dapat terjadi setelah diadakan perjanjian antara pengusaha dan pekerja, dimana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha tersebut dengan menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja
21
. Maimun, 2003, Op.Cit, hlm 33-34.
dengan membayar upah. Perjanjian yang demikian disebut Perjanjian Kerja 22. Dan menurut Pasal 1601 (a) KUH Perdata, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah sebagai berikut: Perjanjian Kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh (pekerja) mengikat diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan (pengusaha), dengan upah selama waktu tertentu. Dari batasan tentang perjanjian kerja dan isi Pasal 1601 (a) KUH Perdata tersebut diatas, ada beberapa hal yang terkandung dalam perjanjian kerja yang dapat disebut sebagai unsur-unsur dalam perjanjian kerja, yaitu;
1.
Melakukan pekerjaan tertentu. Suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang
membuat perjanjian kerja merupakan unsur penting dalam perjanjian kerja. Pasal 1601 (a) KUH Perdata menyatakan bahwa pekerja dalam melakukan pekerjaan wajib melakukan sendiri pekerjaannya, kecuali mendapat ijin dari pengusaha dimana ia dapat menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya. Dengan demikian pekerjaan itu dilakukan sendiri oleh si pekerja (bersifat pribadi) dan tidak boleh digantikan oleh orang lain.
2.
Di bawah perintah atau pimpinan orang lain. Yang dimaksud dengan di bawah perintah orang lain adalah bahwa pekerja
dalam melakukan kegiatannya di bawah perintah pengusaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 1603 (b) KUH perdata yang menyatakan bahwa pekerja wajib menaati aturan
22
R. Subekti, SH. Prof, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985, hlm 63
42
mengenai hal melakukan pekerjaan dan aturan yang ditujukan pada peningkatan tata tertib dalam perusahaan pengusaha yang diberikan kepadanya oleh dan atau atas nama pengusaha dalam batas aturan perundang-undangan atau perjanjian atau peraturan perusahaan , atau jika tidak ada, menurut kebiasaan.
3.
Adanya Upah Unsur adanya upah merupakan hal yang penting dan menentukan dalam setiap
perjanjian kerja dan diberikan dalam bentuk-bentuk yang telah ditetapkan sesuai perjanjian kerja. Apabila seseorang bekerja dengan tujuan bukan mencari upah maka tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan perjanjian kerja. Dan menurut Pasal 1601 (p) KUH Perdata, kalau upah yang dibayarkan oleh pengusaha diberikan dalam bentuk lain yang telah ditetapkan dianggap tidak memberi upah. Sedangkan bentuk-bentuk upah yang dapat dibayarkan oleh pengusaha antara lain: a.
Uang;
b.
Makanan yang harus dimakan;
c.
Pakaian kerja;
d.
Jumlah tertentu dari hasil perusahaan;
e.
Hak pakai sebidang tanah;
f.
Pekerjaan/jasa tertentu yang dilakukan oleh pengusaha;
g.
Hak pakai rumah atau sebagian rumah tertentu;
h.
Gaji selama cuti setelah bekerja selama waktu tertentu.
4.
Untuk waktu tertentu Bahwa dalam perjanjian kerja akan disepakati tentang berapa lama pekerja akan
mengikatkan diri dengan pengusaha dalam melakukan hubungan kerja. Oleh karena itu pekerja tidak boleh melakukan pekerjaannya sekehendak hati, begitu pula pengusaha tidak boleh mempekerjakan pekerjanya seumur hidup. Hal ini untuk memberikan jaminan bahwa hak pribadi manusia tetap diperhatikan. KUH Perdata tidak mengatur lebih jauh pengertian “waktu tertentu“. KUH Perdata hanya mengatur tentang keadaankeadaan dimana suatu hubungan kerja dapat berakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 1603(e) ayat 1, Pasal 1603(j) dan Pasal 1603(k) KUH Perdata yaitu sebagai berikut: a.
Jika habis waktunya seperti yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam peraturan undang-undang atau jika semua itu tidak ada,menurut kebiasaan.
b.
Jika pekerja telah meninggal dunia
c.
Jika pekerja telah meninggal dunia, kecuali jika dari perjanjian dapat disimpulkan sebaliknya 23. Dengan uraian peristiwa itu diatas timbullah suatu hubungan antara dua pihak
yang dinamakan perikatan dan pada hakekatnya perjanjian itu adalah suatu rangkaian perkataan yang mengandung hak dan kewajiban yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian perjanjian ini dapat dilakukan secara lisan atau dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu dengan membuat surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dan bila perjanjian tersebut dibuat secara tertulis, maka biaya akte dan biaya tambahan lainnya ditanggung oleh pengusaha 24. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa dalam pembuatan perjanjian kerja pada dasarnya tidak disyaratkan bentuk tertentu apakah dalam bentuk tertulis atau tidak 23 24
. Soedharyo Soimin, SH, KUH Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 401 dan 403. . Soedharyo Soimin, SH, Op.Cit, hlm 383.
44
tertulis. Jadi seperti perjanjian lainnya, bentuk perjanjian kerja adalah bebas. Akan tetapi lebih bermanfaat apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis karena dapat dinyatakan rumusan tertentu dengan tegas dan jelas. Sehingga dengan makin tegas dan jelasnya rumusan pernyataan kedua pihak akan timbul kepastian dan terhindar dari keragu-raguan. Begitu pula perjanjian kerja tertulis akan sangat bermanfaat sebagai tanda bukti tertulis bila terjadi perselisihan. Dalam perjanjian kerja yang bertindak sebagai atau mewakili pengusaha sangat tergantung kepada bentuk/badan hukum perusahaannya serta ketentuan peraturan yang berlaku di lingkungan perusahaan bersangkutan sedangkan pihak pekerja biasanya sebagai pihak yang berdiri sendiri. Sehingga dalam perjanjian kerja tertulis, penandatanganan perjanjian kerja dilakukan oleh setiap pekerja atau seorang pekerja atau setiap pribadi pekerja sebagai subjek hukum. Karena suatu perjanjian kerja bersifat perorangan atau individual, maka sering dipakai istilah “Perjanjian Kerja Perorangan (PKP)“ atau dalam bahasa Belanda disebut Individuele Arbeids Overeencomst (IAO) atau dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah Individual Labour Agreement (ILA). Istilah yang terakhir ini sudah dikenal dalam setiap sistem hubungan kerja atau hubungan industrial 25.
2.
Peraturan-Peraturan Tentang Hubungan Kerja Setelah terjadi hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja dengan dibuatnya
perjanjian kerja, maka pihak pengusaha akan membuat peraturan-peraturan yang disebut peraturan pengusaha atau peraturan perusahaan yang dibuat secara sepihak oleh pengusaha. Karena dibuat secara sepihak oleh pengusaha maka peraturan perusahaan biasanya mencantumkan kewajiban pekerja yang maksimal dengan hak yang minimal dan sebaliknya mencantumkan kewajiban pengusaha yang minimal dengan hak yang maksimal. Dan sekali pun peraturan perusahaan tidak mensyaratkan adanya persetujuan 25
. Koko Kosidin, SH, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm 18.
kerja, tetapi dalam membuat peraturan perusahan, pengusaha harus memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja perusahaan bersangkutan dan tidak boleh melanggar undang-undang tentang ketertiban umum, tata susila dan ketentuan perundang-undang yang sifatnya memaksa. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa selain perjanjian kerja KUH Perdata mengatur pula ketentuan-ketentuan tentang suatu bentuk peraturan yang memuat syaratsyarat kerja bagi kelompok/para pekerja yang disebut Peraturan Perusahaan. Peraturan perusahaan ini dimaksudkan sebagai perpanjangan (verlengstruk) dari semua perjanjian kerja yang terpisah, yang berlaku untuk semua pekerja yang melakukan hubungan kerja dengan seorang pengusaha. Akan tetapi peraturan perusahaan bukan untuk menggantikan adanya perjanjian kerja, sehingga apabila serikat pekerja menginginkan adanya perjanjian kerja, maka pengusaha wajib melayani. Dan menurut Levenbach kedudukan peraturan perusahaan lebih tinggi daripada perjanjian kerja individual, karena sifatnya sebagai hukum bersama, sekalipun perjanjian kerja individual tersebut dibuat secara tertulis 26. Dalam KUH Pedata peraturan perusahaan diatur dlam Pasal 1601 (j), (k), (l) dan (m), tetapi KUH Perdata tidak secara khusus memberikan batasan tentang peraturan perusahaan. Sebagai contoh pada Pasal 1601(j) KUH Perdata hanya memuat bahwa suatu peraturan yang ditetapkan oleh pengusaha hanya mengikat pekerja jika ia secara tertulis telah menyatakan menyetujui peraturan tersebut dan selain itu telah dipenuhi syarat-syarat formal sebagai berikut: 1.
Bahwa selembar lengkap peraturan perusahaan dengan cuma-cuma oleh dan atau atas nama pengusaha telah diberikan kepada pekerja.
26
. Koko Kosidin, SH. DR, Op.Cit, hlm 89
46
2.
Bahwa oleh dan/atau atas nama pengusaha telah diserahkan kepada Departemen Tenaga Kerja satu lembar lengkap peraturan perusahan tersebut yang ditandatangani oleh pengusaha, tersedia untuk dibaca oleh umum.
3.
Bahwa suatu lembar lengkap peraturan perusahaan ini ditempelkan dan tetap berada di tempat yang mudah dapat didatangi oleh pekerja, sedapat-dapatnya dalam ruangan kerja hingga dibaca dengan terang. Sebagai pelengkap dari KUH Perdata mengenai peraturan perusahaan, maka
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menerangkan pada Bab 1 Ketentuan Umum butir 14 bahwa yang dimaksud dengan peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan. Pembuatan peraturan perusahaan ini merupakan kewajiban pengusaha. Dan peraturan perusahaan sebagaimana tercantum pada Pasal 42 Undang-Undang tersebut harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan tentang: a.
Hak dan kewajiban pengusaha;
b.
Hak dan kewajiban pekerja;
c.
Syarat kerja;
d.
Tata tertib perusahaan;
e.
Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Sedangkan pengertian peraturan perusahaan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 pada Pasal 1 ayat (20), berbunyi: “Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan”.
3.
Syarat-Syarat Kerja Sebagai Akibat Hubungan Kerja Ketika antara pengusaha dan pekerja sudah terjalin hubungan kerja, maka pada
saat itulah berlaku apa yang dinamakan sebagai hak dan kewajiban pengusaha serta hak dan kewajiban pekerja. Seperti apa yang telah dikemukakan bahwa agar pelaksanaan kegiatan sebuah proses industri dapat berjalan dengan baik, maka antara pengusaha dan pekerja harus ada kerjasama yang baik pula. Demi terwujudnya kerjasama yang baik itulah perusahaan membuat peraturan-peraturan yang dinamakan peraturan perusahaan. Dengan adanya peraturan perusahaan maka antara pengusaha dan pekerja akan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Salah satu tujuan membuat peraturan perusahaan adalah mengusahakan perbaikan syarat-syarat kerja sebagai bentuk perlindungan bagi tenaga kerja. Usaha perbaikan syarat-syarat kerja bertujuan memperbaiki taraf hidup pekerja dan meningkatkan kegairahan serta ketenangan kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan produksi. Dalam penjelasan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja yang diatur dalam peraturan perusahaan, kesepakatan bersama antara pengusaha dan pekerja atau yang hak atau kewajiban yang timbul karena persetujuan kedua belah pihak. Dari uraian tersebut terungkap bahwa hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan akan diatur dalam syarat-syarat kerja. Seperti dalam Pasal 1602 dan Pasal 1603 KUH Perdata telah dinyatakan hal-hal yang menjadi kewajiban pengusaha dan pekerja, akan tetapi belum ada penjelasan rinci
48
besarnya upah, lamanya cuti dan bentuk-bentuk lain perlindungan pekerja. Dengan demikian syarat-syarat kerja mengatur segala sesuatu yang menjadi pedoman bagi pengusaha dan pekerja demi tercapainya tujuan perusahaan, dimana pengusaha akan membuat kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan pekerja mendapatkan timbal balik sesuai dengan yang dikerjakannya. Dalam syarat-syarat kerja juga diatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak pekerja seperti besarnya upah, jaminan sosial tenaga kerja dan kriteria-kriteria pemutusan hubungan kerja. Syarat-syarat kerja menjadi penting bagi pengusaha dan pekerja dalam mencapai tujuan perusahaan. Dan adanya syarat-syarat kerja akan terjalin komunikasi yang baik antara pengusaha dan pekerja. Hal ini dapat dipahami karena dengan dibuatnya syaratsyarat kerja, aka segala tindakan dalam rangka pelaksanaan kegiatan perusahaan akan mengacu atau berpedoman pada syarat-syarat kerja tersebut. Ada dua tujuan dibuat syarat kerja, yaitu: 1.
Agar pekerja dapat menikmati dan mengembangkan perikehidupannya sebagai manusia pada umumnya.
2.
Untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja (atau yang sering disebut sebagai kondisi kerja). Syarat kerja ini pada hakekatnya adalah kondisi kerja, yaitu suatu kondisi yang harus dipenuhi, baik oleh pengusaha maupun pekerja untuk mencegah timbulnya kecelakan kerja 27. Sesuai dengan pasala 1320 KUH Perdata, agar setiap perjanjian kerja yang
diadakan itu sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
27
. Endang Rokhani, SH, Pengetahuan Dasar Tentang Hak-Hak Buruh, Yakoma-PGI, Jakarta, 1999, hlm 1.
a.
Adannya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu (antara buruh dan majikan). Jadi tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, jika ada paksaan maka perjanjian tersebut adalah batal.
b.
Adanya kemauan atau kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian.
c.
Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan. Isi dari perjanjian kerja adalah hak-hak dan kewajiban tenaga kerja dan majikan.
Hak dari tenaga kerja merupakan kewajiban dari si majikan, yaitu upah. Sebaliknya apa yang merupakan kewajiban dari tenaga kerja adalah hak dari majikan yaitu pekerja, dimana tenaga kerja wajib melakukan pekerjaan dan majikan mempekerjakan tenaga kerja.
4.
Hubungan Industrial Pancasila Pemerintah orde baru telah bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satu aspek tersebut adalah tata pergaulan atau kehidupan di tempat bekerja/perusahaan yang lazim disebut Hubungan Industrial 28, oleh karena itu aspek ini harus pula ditata sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945. Disamping dalam menunjang terwujudnya stabilitas nasional. Dan salah satu faktor penunjang terwujudnya stabilitas produksi
tersebut adalah ketenangan bekerja dan berusaha
(industrial peace). Ketenangan bekerja dan berusaha akan tercapai apabila diantara para pelaku dalam proses produksi tersebut berjalan serasi, harmonis dan dinamis. Untuk
28
. Zainal Asikin, SH, dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm 191.
50
menciptakan keadaan tersebut maka hubungan industrial yang dilakukan harus berlandaskan Pancasila. Hubungan Industrial Pancasila adalah sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan atau jasa (pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan UUD 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia 29. Dari pengertian tersebut di atas jelas bahwa hubungan industrial Pancasila menghendaki agar para pihak yang terlibat di dalam produksi barang dan jasa apabila melakukan suatu tindakan harus sesuai dengan nilai Pancasila, atau jelasnya hubungan industrial Pancasila adalah hubungan industrial yang dijiwai oleh kelima sila Pancasila, yaitu: 1.
Suatu hubungan perburuhan yang didasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu hubungan perburuhan yang mengakui dan meyakini kerja sebagai pengabdian manusia kepada Tuhan dan sesama manusia;
2.
Suatu hubungan perburuhan yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak menganggap pekerja sekedar sebagai faktor produksi tetapi sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya;
3.
Suatu hubungan perburuhan yang di dalam dirinya mengandung asas yang dapat mendorong ke arah persatuan Indonesia, tidak membedakan golongan, perbedaan keyakinan, politik, faham, aliran, agama, suku maupun jenis kelamin;
29
145.
. Sendju H Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm
4.
Suatu hubungan perburuhan yang didasarkan atas prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat, berusaha menghilangkan perbedaan dan mencari persamaanpersamaan ke arah persetujuan antara pekerja dan pengusaha;
5.
Suatu hubungan perburuhan yang mendorong ke arah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan untuk itu seluruh hasil upaya bangsa khususnya pembangunan ekonomi harus dapat dinikmati bersama secara serasi, seimbang dan merata. Serasi dan seimbang dalam arti bagian yang memadai sesuai dengan fungsi dan prestasi para pelakunya. Merata dalam arti secara nasional meliputi seluruh daerah secara vertikal yaitu meliputi seluruh daerah kelompok masyarakat 30. Untuk dapat mewujudkan hubungan industrial Pancasila sebagaimana diuraikan
diatas, maka masing-masing pihak dituntut mempunyai dan mengembangkan sikap mental sebagai berikut: a.
Pekerja Hubungan Industrial Pancasila berpegang dan berusaha mendorong timbul dan
berkembangnya sikap mental pekerja yang sesuai dengan Tri Dharma, yaitu:
b.
1.
Merasa ikut memiliki;
2.
Ikut memelihara dan mempertahankan;
3.
Terus menerus mawas diri.
Pengusaha Sikap mental pengusaha yang diinginkan oleh hubungan industrial Pancasila
adalah sikap mental memanusiakan manusia, yaitu:
30
hlm 110.
. Wiwoho Soedjono, Hukum Pengantar Perjanjian Kerja, Bina Aksara, Jakarta, Cet. I, 1983,
52
1.
Kesadaran bahwa pekerja itu adalah manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri;
2.
Kesadaran bahwa meningkatkan derajat, martabat, harga diri dan kesejahteraan pekerja merupakan kewajiban dan tugas kemanusiaan.
c.
Pemerintah Pemerintah dalam hal ini menempati posisi dan mempunyai peranan sebagai
pengayom, pembimbing, pelindung dan pendamai yang secara singkat berperan sebagai pengayom bagi seluruh pihak dalam masyarakat pada umumnya dan pihak-pihak yang tersangkut dalam proses produksi dan jasa pada khususnya 31.
C.
HAK-HAK DAN KEWAJIBAN BURUH MENURUT UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003 Sebagai komponen yang sangat penting dalam pelaksanaan proses sebuah
industri, maka peranan pekerja dapat menentukan berkembang tidaknya proses industri tersebut. Dan seperti telah diungkapkan bahwa bekerjasama yang baik antara pengusaha dan pekerja mutlak diperlukan demi berhasilnya tujuan industri itu sendiri pada khususnya dan pembangunan pada umumnya. Sebab pada tingkat yang lebih luas pekerja dapat juga dikatakan sebagai pelaku pembangunan, dimana pekerja berperan meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu tenaga kerja harus diberdayakan agar dapat memiliki nilai lebih, dalam arti lebih mampu, lebih terampil dan lebih berkualitas. Kemampuan, keterampilan dan keahlian tenaga kerja perlu terus ditingkatkan melalui perencanaan dan program ketenagakerjaan termasuk dengan cara melakukan pelatihan dan pengembangan tenaga kerja.
31
. Zainal Asikin, SH, dkk, Op.Cit, hlm 199-200
Sesuai dengan tujuan pembangunan yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, maka tenaga kerja perlu memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan pekerjaannya seperti perlindungan hak-hak dasar pekerja, perlindungan atas upah, perlindungan mengenai kesejahteraan pekerja dan waktu istirahat. Hal ini dimaksudkan agar ada jaminan rasa aman, tenteram dan terpenuhinya rasa keadilan. Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap tenaga kerja sangat berkaitan dengan produktivitas pekerja. Sebab dengan adanya perlindungan hukum yang baik terhadap tenaga kerja maka pekerja pun akan melaksanakan pekerjaannya dengan baik juga.
1.
Jaminan Perlindungan Buruh a. Keselamatan Kerja Keselamatan kerja merupakan hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan kegiatan perusahaan. Karena tidak ada pekerja yang bersedia melakukan pekerjaan apabila dalam pekerjaan tersebut terdapat bahaya yang mengancam keselamatan dirinya. Seperti tertera dalam Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 Pasal 86 ayat (1), yaitu “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a.
keselamatan dan kesehatan kerja;
b.
moral dan kesusilaan; dan
c.
perlakuaan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Dimana untuk menerapkan hak perlindungan tersebut perusahaan wajib
menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi
54
dengan sistem manajemen perusahaan, yang mana ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam Undang-undang ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 ini sudah mengatur tentang perlindungan tersebut, seperti pada Pasal 76 ayat (1): “Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas tahun) dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00“. ayat (2): “Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00“. ayat (3):“Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d pukul 07.00 wajib: a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. Ayat (4): “Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang kerja antara pukul 23.00 s.d pukul 05.00. Dan juga pada Pasal 81 ayat (1) Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi:“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid, dan Pasal 82 ayat (1) dan (2) berbunyi: 1.
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
2.
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Dari uraian Pasal 76 ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82
ayat (1) dan (2) diatas, adalah kewajiban pengusaha untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan kerja kepada
para pekerjanya khususnya
memberikan
perlindungan kepada pekerja/buruh perempuan. Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan ini juga melindungi pekerja yang cacat, seperti tertera pada pasal 67 ayat (1)“Pengusaha yang mempekerjakan tanaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Pengusaha juga wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya seperti tersebut dalam Pasal 80 Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
2.
Jaminan Upah Buruh Tujuan pekerja melakukan pekerjaan adalah untuk mendapatkan penghasilan
yang cukup untuk membiayai kehidupan dirinya atau bila ia sudah bekeluarga bersama keluarganya, yaitu kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 menetapkan bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini berarti adanya keharusan untuk memberikan upah yang layak bagi kemanusiaan. Selama pekerja melakukan pekerjaannya, maka ia berhak atas penghasilan atau upah dari pengusaha untuk kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, upah adalah pembayaran yang diterima
56
pekerja dari pengusaha selama ia melakukan pekerjaan atau dipandang melakukan pekerjaan 32. Upah
sebenarnya
mempunyai
pengertian
yang
berbeda-beda
menurut
pengusaha, organisasi pekerja dan pekerja itu sendiri. Bagi pengusaha upah adalah biaya produksi yang harus ditekan serendah-rendahnya agar harga barang yang diproduksinya tidak menjadi terlalu tinggi atau agar keuntungan yang diperolehnya menjadi lebih tinggi. Bagi organisasi pekerja, upah adalah objek yang menjadi perhatiannya untuk dirundingkan dengan pengusaha agar terus dinaikkan. Dan bagi pekerja, upah adalah jumlah uang yang diterimanya pada waktu-waktu tertentu atau lebih penting lagi adalah banyaknya barang kebutuhan hidup yang dapat dibeli dari besarnya uang yang diterima 33. Pengertian upah juga terdapat pada Pasal 1 ayat (30) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi: “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dalam menetapkan besarnya upah, pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi antara pekerja pria dan wanita untuk melakukan pekerjaan yang sama nilainya seperti tercantum dalam Pasal 3 PP No.8 Tahun 1981. ketentuan ini sejalan dengan Konvensi ILO Nomor 100 tahun 1951 mengenai Kesamaan di Bidang
32
. Imam Soepomo, SH. Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1982 . _____________, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang KetenagaKerjaan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang serikat Pkerja/Serikat Buruh, cetakan ketiga, PT. Visimedia, 2008 33
Pengupahan. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia, sehingga sekarang telah menjadi hukum nasional kita. Di bidang pengupahan, Undang-Undang Ketenagakerjaan menjamin agar setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu pemerintah ditugasi untuk menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja. Agar dapat dipenuhi ketentuan bahwa upah yang akan diterima oleh pekerja dikatakan layak bagi kemanusiaan, maka dipandang perlu ada perlindungan terhadap upah pekerja. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh tercantum pada Pasal 88 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang meliputi : a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i.
struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j.
upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Mengenai upah tesebut pekerja/buruh juga berhak memperoleh upah kerja lembur, yang tujuan adanya upah kerja lembur adalah untuk menghindari adanya eksploitasi tenaga kerja, dan untuk itu maka dibuat kesepakatan tentang waktu kerja.
58
Dan bilamana karena keadaan tertentu pekerja harus melakukan pekerjaan di luar jam kerja, maka pengusaha wajib membayar upah di luar jam kerja atau upah kerja lembur, seperti tersebut pada Pasal 78 ayat (1) dan (2), yaitu: 1.
2.
3.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi batas waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. Yang mana pada Pasal 77 ayat (2) menyebutkan mengenai waktu kerja, yaitu: a. 7 (tujuh) jam 1( satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Lembur dan Cuti Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Oleh undang-
undang ditetapkan waktu kerja tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk enam hari kerja dalam satu minggu, atau delapan jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk lima hari kerja dalam satu minggu. Ketentuan kerja ini dikecualikan bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu, misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, supir angkutan arak jauh, pekerjaan di kapal laut, atau penebangan hutan. Pekerja diminta sedapat mungkin menghindari untuk mempekerjakan pekerja lebih dari waktu kerja, karena pekerja perlu mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun dalam hal-hal tertentu, apabila terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera, sehingga pekerja harus melebihi waktu kerja, diperbolehkan. Bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja (lembur), hal ini juga berarti penambahan biaya produksi, karena upah kerja lembur jelas lebih besar dari upah kerja biasa.
Yang dimaksud upah kerja lembur ialah upah yang diberikan oleh pengusaha sebagai imbalan kepada pekerja karena telah melakukan pekerjaan atas permintaan pengusaha yang melebihi dari jam dan hari kerjanya yang diperjanjikan atau pada hari istirahat minggu, atau pada hari-hari besar yang telah ditentukan Pemerintah. Perusahaan yang mempekerjakan pekerja selama waktu kerja lembur, berkewajiban untuk: 1) membayar upah kerja lembur, 2) memberikan kesempatan untuk istirahat secukupnya, dan 3) memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama tiga jam atau lebih, yang tidak boleh diganti dengan uang. Cara perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan. Cara perhitungan upah kerja lembur adalah sebagai berikut: 1)
Apabila upah kerja lembur dilakukan pada hari kerja, untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar satu setengah kali upah sejam, dan untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar dua kali upah sejam.
2)
Apabila jam kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja enam hari kerja 40 jam seminggu perhitungan upah kerja lembur untuk tujuh jam pertama dibayar dua kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar tiga kali upah sejam dan upah lembur kesembilan dan kesepuluh empat kali upah sejam.
3)
Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur lima jam pertama dibayar dua kali upah sejam, jam keenam, tiga kali upah sejam dan upah lembur ketujuh dan kedelapan empat kali upah sejam.
60
4)
Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja lima hari kerja dan 40 jam seminggu, perhitungan upah kerja lembur untuk delapan jam pertama dibayar dua kali upah sejam, jam kesembilan dibayar tiga kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas empat kali upah sejam. Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang
nilainya lebih baik dari ketentuan diatas, perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku. Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, yang berwenang menetapkan besarnya upah kerja lembur adalah pegawai pengawas ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Dan disamping lembur pekerja/buruh juga memiliki hak cuti. Tujuan utama diterapkannya waktu istirahat/cuti adalah ingin mempertinggi derajat kehidupan dan kecerdasan pekerja. Dengan pemberian istirahat yang cukup secara berkala dan teratur, pekerja diharapkan akan memiliki waktu yang lapang dan kehidupan yang teratur untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan jasmani dan rohaninya. Dengan jiwa raga yang sehat, diharapkan pekerja dapat mengembangkan dirinya melalui pendidikan dan latihan melalui pergaulan dalam masyarakat. Selain itu pekerja akan mempunyai waktu yang cukup pula untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya, sehingga dapat mengembangkan dirinya menjadi orang yang berkualitas. Dengan kecerdasan yang dimiliki pekerja, akan dapat meningkatkan mutu kerjanya di perusahaan yang sekaligus juga akan meningkatkan kualitas kehidupannya ditengah-tengah masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja sesuai dengan peraturan perundangundangan, disamping adanya kesepakatan dengan pekerja tentang waktu kerja dan
waktu istirahat. Dengan adanya waktu kerja dan waktu istirahat akan menjadi jelas pula kapan saatnya bekerja dan kapan saatnya istirahat. Waktu kerja adalah waktu dimana pekerja melaksanakan kewajibanya yaitu bekerja, sedangkan waktu istirahat adalah adalah hak pekerja untuk berhenti sementara dari kegiatan pekerjaan. Waktu istirahat ini penting bagi pekerja untuk memulihkan tenaga setelah beberapa saat melaksanaan pekerjaan dan memberikan kesempatan kepada pekerja untuk melakukan sesuatu di luar pekerjaannya seperti makan/minum, melaksanakan ibadah serta kegiatan lainnya. Waktu istirahat bermacam-macam, ada waktu istirahat antara jam kerja, waktu istirahat mingguan, cuti tahunan dan istirahat panjang. Pada Pasal 79 ayat (2) UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 mengatur tentang waktu istirahat, yang berbunyi : a.
b. c.
d.
istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; istirahat mingguan 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. Ditinjau dari segi kewajiban pekerja, maka istirahat beberapa hari atau cuti
artinya pekerja tidak melaksanakan kewajiban yaitu melakukan pekerjaan. Akan tetapi karena istirahat beberapa hari itu juga hak pekerja setelah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk mendapatkannya, maka hak pekerja pula untuk tetap menerima upah selama menjalankan waktu cuti tersebut. Karena pada dasarnya selama mengambil hak ‚cuti, pekerja tersebut bukan tidak mau bekerja atau akan memutuskan hubungan kerjanya, tetapi setelah menjalankan hak cuti ia akan kembali melaksanakan
62
kewajibannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi pengusaha untuk tidak membayar upah atau mengurangi upah yang seharusnya diterima pekerja yang menjalankan hak cuti. Dan didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 85 menyebutkan: Ayat(1); Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi, (2); Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekrja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, (3); Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur, (4); Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Sesuai Undang-Undang No.13 Tahun 2003 jelas bahwa SKB telah melanggar UU tersebut karena pada Pasal 85 menjelaskan pada hari libur resmi buruh tidak wajib bekerja, dan apabila terpaksa maka harus adanya kesepakatan antara buruh dan pengusaha, tetapi SKB tidak melalui kesepakatan yang jelas apakah menerima upah lembur atau tidak karena di dalam Pasal 85 ayat (4) menyebutkan pekerja/buruh yang bekerja pada hari libur resmi wajib membayar upah kerja lembur.
4.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pada Pasal 1 ayat (31) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan pengertian kesejahteraan pekerja/ buruh, yaitu: “Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat“. Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan, yang mana penyediaan fasilitas kesejahteraan
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan
ukuran kemampuan perusahaan 34. Untuk
meningkatkan
kesejahteraan
pekerja/buruh,
dibentuk
koperasi
pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan. Dan hak yang mendasar dari kesejahteraan pekerja/buruh adalah diperolehnya Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), seperti dalam Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi:“Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. Tujuan jaminan sosial tenaga kerja ini untuk melindungi pekerja/buruh, dimana kewajiban pekerja untuk melaksanakan pekerjaan yang mana segala sesuatu yang menyangkut pekerjaan beserta resiko-resiko yang kemungkinan timbul akibat pekerjaan tersebut akan dihadapi oleh pekerja. Untuk itu kemampuan, keahlian dan pengalaman kerja sangat diperlukan guna mendukung kelancaran pekerjaan yang dilakukan. Akan tetapi sering kali meskipun pekerja telah mengerahkan segala kemampuannya dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja menghadapi hambatan sehingga pekerjaan yang menjadi tanggung-jawabnya tidak selesai dikerjakannya, bahkan akhirnya pekerja tersebut tidak mampu lagi melakukannya. Hal ini dapat disebabkan karena pekerja yang bersangkutan sakit, mendapat kecelakaan ketika sedang bekerja, menderita cacat akibat pekerjaannya atau karena sudah berusia lanjut. Dengan kondisi yang demikian, ada
34
. Imam Soepomo, Op. Cit, 135
64
kalanya hubungan kerja dengan perusahaan dimana ia bekerja telah berakhir dan ada kalanya hubungan kerjanya diteruskan walaupun pekerja tersebut tidak melakukan pekerjaan. Untuk menghindari hal-hal yang merugikan pekerja pada saat melaksanakan pekerjaannya, maka menjadi hak pekerja untuk mendapatkan jaminan sosial, yaitu berupa pembayaran ganti rugi atau pembayaran lainnya akibat keadaaan di luar kesalahannya sehingga ia tidak dapat melakukan pekerjaannya. Dengan demikian, jaminan sosial tenaga kerja pada hakekatnya memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Juga jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek, antara lain : 1.
Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi pekerja dan keluarganya.
2.
Merupakan penghargaan kepada pekerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk perusahaan tempat mereka bekerja.
Adapun ruang lingkup jaminan sosial tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 Pasal 6, adalah sebagai berikut : a.
Jaminan kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan resiko yang dihadapi
oleh pekerja ketika sedang melakukan pekerjaannya. Untuk menanggulangi sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacat karena kecelakaan kerja, baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan sosial tenaga kerja.
b.
Jaminan kematian. Pekerja yang meninggal dunia dan bukan karena kecelakaan kerja akan
mengakibatkan terputusnya penghasilan dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkannya. Oleh karena itu diperlukan jaminan kematian dalam upaya meringankan beban keluarga, baik dalam bentuk biaya pemakaman maupu santunan berupa uang.
c.
Jaminan hari tua. Hari tua dapat menyebabkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu bekerja.
Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kesusahan bagi pekerja dan mempengaruhi ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Jaminan hari tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat pekerja mencapai usia pensiun atau telah memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga ia tidak lagi bekerja.
d.
Jaminan pemeliharaan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas pekerja
sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini pengusaha berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan pekerja yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Dengan demikian diharapkan dapat tercapainya derajat kesehatan pekerja yang optimal sebagai potensi produktif bagi pembangunan jaminan pemeliharaan kesehatan selain untuk pekerja bersangkutan juga untuk keluarganya. Jaminan sosial juga dimaksudkan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya. Sebab apabila seorang pekerja telah
66
bekerja beberapa lamanya, tetapi dalam kehidupannya selalu merasa kesulitan dan tidak mendapatkan kesejahteraan dari pekerjaannya, maka konsentrasi pekerja dengan pekerjaannya semakin berkurang karena ia merasa pekerjaan yang dilakukannya tidak menghasilkan seperti yang diharapkan. Apabila hal demikian berlanjut terus dapat mengurangi produktivitas pekerja dan pada akhirnya akan mengganggu jalannya kegiatan perusahaan yang bersangkutan. Untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan pekerja tersebut, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan, seperti pelayanan kesehatan, rumah ibadah, fasilitas kantin, dan fasilitas lainnya, Walaupun demikian, upaya peningkatan kesejahteraan pekerja disamping memperhatikan kebutuhan pekerja juga melihat kemampuan perusahaan.
D.
HAK-HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KERJA Dan HAK DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH MENURUT UU NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia adalah sesuatu yang diberikan oleh Tuhan dari sejak lahir. Hak merupakan sesuatu yang layak di terima oleh setiap manusia. Seperti mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak memeluk agama, dan hak untuk mendapat pengajaran. Hak selalu beriringan dengan kewajiban-kewajiban, ini merupakan sesuatu yang harus kita lakukan bagi bangsa, negara, dan kehidupan sosial. Hak dan kewajiban ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi sering terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. Sudah sangat jelas bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan penghidupan yang layak, akan tetapi pada kenyataannya banyak warga negara yang belum merasakan kesejahteraan
dalam menjalani kehidupannya. Semua itu terjadi karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih banyak mendahulukan hak daripada kewajiban. Padahal menjadi seorang pejabat itu tidak cukup hanya memiliki pangkat dan juga memikirkan diri sendiri. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan terjadi kesenjangan sosial yang berkepanjangan. Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera.
Akan tetapi, hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Apabila masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Karena para pejabat tidak akan pernah merubahnya, walaupun rakyat banyak menderita karena hal ini. Mereka lebih memikirkan bagaimana mendapatkan materi daripada memikirkan rakyat. Para pejabat dan pemerintah hanya mengobar janji manis kepada rakyat untuk mendapatkan haknya. Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak rakyat yang belum mendapatkan haknya.
Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak dan tak lupa melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi.
68
Mari kita katakan pada para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Mari kita menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya.
Pemahaman hak dan kewajiban telah dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 26, 27, 28, dan 30, yaitu sebagai berikut.
* Pasal 26, ayat (1), yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dan pada ayat (2), syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
* Pasal 27, ayat (1), segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat (2), tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
* Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
* Pasal 30, ayat (1), hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Dan ayat (2) menyatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.
Dan, pada Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang hak pekerja, seperti pada Pasal 38 ayat (1), (2), (3) dan(4), yaitu:
(1)
Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
(2)
Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
(3)
Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
(4)
Setiap orang, baik pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Juga pada Pasal 39 Undang-Undang No.39 tahun 1999 yang berbunyi: ”Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia ini juga mengatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah seperti tersebut pada Pasal 71, yang berbunyi:”Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah ini meliputi langkah implementasi dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lainnya.
Di dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di uraikan bahwa setiap warga negara diberikan kebebasan dalam menjalankan ibadahnya masing-masing. Dalam SKB 5 Menteri hari kerja berubah, dimana pada hari sabtu dan minggu di efektifkan sebagai hari kerja. Pada hari tersebut adalah hari yang digunakan
70
oleh umat kristen untuk menjalankan ibadahnya. Hak Asasi Manusia yang paling mendasar adalah hak untuk menjalankan ibadah, dengan berlakunya ketentuan tersebut akan menganggu kenyamanan dan menghambat kebebasan umat kristen dalam menjalankan aktivitas keagamaannya.
Isi dari SKB 5 Menteri telah melanggar UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu seperti pada Pasal 38 ayat (4) yang menyatakan setiap orang, baik pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya, yang mana dalam SKB 5 Menteri tersebut tidak memberikan upah yang adil karena prestasinya dimana pekerja tersebut harus merelakan keluarga dan kegiatan yang harusnya dilakukan pada hari libur itu untuk bekerja yang seharusnya pekerja tersebut memperoleh upah lembur demi terciptanya keadilan sesuai dengan martabat kemanusiaanya.
Di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pada pasal 85 di katakan bahwa setiap pekerja tidak diwajibkan bekerja pada hari-hari libur resmi, apabila pekerja bekerja maka wajib dibayarkan upah lembur. Di dalam SKB 5 menteri tidak ada penjelasan secara terperinci mengenai hal ini. Dengan di wajibkan masuk di hari libur tersebut maka seharunya pengusaha membayarkan upah lembur kepada karyawannya sesuai ketentuan depnaker. Dimana pemerintah seharunya melindungi hak-hak pekerja sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, sebaliknya pemerintah menetapkan kebijakan lain yaitu dengan dikeluarkannya SKB 5 Menteri sehingga isi dari SKB 5 Menteri tersebut bertentangan dengan hak-hak asasi manusia
BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP SKB 5 MENTERI
A.
Latar Belakang Timbulnya SKB 5 Menteri Pembangunan dalam suatu negara tentu saja tidak terlepas dari pada
perekonomian suatu negara itu sendiri, yang pada hakekatnya pembangunan itu adalah merupakan suatu cara atau dasar untuk memperkuat perekonomian negara yang bersangkutan. Di setiap negara di dunia ini selalu berusaha untuk meningkatkan perekonomiannya melalui suatu kegiatan pembangunan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Dan apabila terjadi sesuatu penurunan pembangunan atau terjadinya penghentian pembangunan tersebut maka akan terasa akibat yang berlangsung terhadap keadaan perekonomian negara itu. Adapun pembangunan yang terus menerus ditingkatkan adalah untuk menaikkan tingkat pendapatan atau menaikkan tingkat kehidupan rakyat, dimana apabila tingkat pendapatan atau tingkat penghidupan rakyat rendah maka akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi negara itu sendiri. Oleh karena itu apabila tingkat pendapatan rakyat rendah harus segera diatasi dengan memperbesar atau meningkatkan dengan cara memajukan produksi nasional. Dengan peningkatan produksi nasional agar berhasil adalah tergantung kepada tersedianya faktor-faktor produksi yang dapat digerakkan di negara tersebut, karena faktor-faktor produksi merupakan syarat utama dalam kelangsungan pelaksanaan pembangunan. Setiap negara di dunia ini mempunyai corak ekonomi yang berbeda-beda dalam melaksanakan pembangunannnya, namun tujuannya adalah tetap sama yaitu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat atau dengan
72
perkataan lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya (Income Percapita) bagi seluruh penduduk, sehingga akan terwujud ke suatu arah akan terpenuhinya kebutuhan yang beraneka ragam. Semakin pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia membuat semakin tinggi juga permintaan akan listrik yg diperlukan untuk menjalankan mesin ataupun untuk kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pemerintah harus meyediakan pasokan listrik yg cukup agar perindustrian dan perekonomian Indonesia dapat berkembang dengan pesat. Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah yaitu Menteri Perindustrian, Menteri Energi dan Sumber daya mineral, Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi,Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN mengeluarkan suarat keputusan yg di kenal dengan SKB 5 menteri. Dalam SKB 5 Menteri bertujuan untuk : A
Mengatasi ketidakseimbangan pasokan listrik PT. PLN dengan kebutuhan listrik sektor Industri.
B.
Menghindari pemadaman listrik sehingga sektor Industri dapat melakukan Operasi dengan baik.
Di dalam Situs Kapan lagi.com diuraikan bahwa, surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri yang mengatur pergeseran hari libur, SKB tersebut mulai diberlakukan tanggal 21 Juli 2008. Keputusan tersebut diberikan, karena sesuai dengan perhitungan matematis, bahwa daya listrik di Indonesia terutama Jawa Bali tidak ada kekurangan, hanya perlu pengaturan pada saat beban puncak. Pada Senin hingga Jumat, khususnya listrik Jawa Bali kekurangan daya hingga 600 megawatt (mw), sebaliknya, pada Sabtu dan Minggu, justru kelebihan daya hingga 1.000 MW. Dengan pengaturan tersebut, maka kelebihan daya 1.000 mw bisa terserap dengan baik, tanpa harus mengganggu jam kerja industri. Ketentuan tersebut akan berlangsung hingga
terbangunnya power plan pada sekitar Maret - april 2009, dengan tambahan daya 2.000 MW. Industri disebut-sebut sebagai biang keladi defisit energi nasional karena menghabiskan lebih dari 38 persen jatah listrik nasional (7000 MW) jauh diatas pemakaian rumah tangga. Alasan lain adalah adanya daya listrik yang iddle (nganggur) di hari sabtu-minggu sebesar 1000-2000 MW.
Menurut Menakertrans Erman Suparno, pengalihan hari kerja dengan tetap masuk pada hari Sabtu dan Minggu lebih pada esensi pengaturan waktu libur pekerja dan menyeimbangkan surplus listrik. Dengan dalih pengalihan beban listrik nasional, kalangan industri (di Jawa-Bali) diberi ‘keistimewaan’ untuk menggeser hari liburnya dari sabtu dan minggu menjadi hari lain (hari kerja biasa). Bagi kalangan industri, baik pengusaha maupun karyawan (buruh) hal ini menimbulkan masalah baru. Salah satunya adalah belum adanya kesepakatan mengenai status hari sabtu dan minggu sebagai hari yang di hitung overtime atau tidak.
Beberapa LSM perburuhan masih memperjuangkan hal ini. Saran pemerintah agar kalangan industri membahas masalah ini secara internal lewat wadah bipartit/tripartit pun tampaknya tidak mudah untuk diwujudkan. Sementara rencana Menakertrans mengeluarkan surat edaran mengenai pengalihan jam kerja sabtu minggu yang tidak dihitung sebagai lembur akan ‘bertabrakan’ dengan PP 8/1981 yang menegaskan bahwa - bekerja pada hari sabtu dan minggu akan dihitung lembur. 35 Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 membagi waktu istirahat bermacam-macam, ada waktu istirahat antara jam kerja, waktu istirahat
35
.www. Kapanlagi.com, SKB Lima Menteri Tak akan ganggu Jam Kerja dan Lembur, Jakarta, 16 juli 2008
74
mingguan, cuti tahunan dan istirahat panjang. Pada Pasal 79 ayat (2) Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003 mengatur tentang waktu istirahat, yang berbunyi : a.
b. c.
d.
B.
istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; istirahat mingguan 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. 36
Isi SKB 5 Menteri Pemerintah melalui 5 kementrian terkait telah mengeluarkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) yang berisi tentang Pengoptimalan Beban Listrik Melalui Pengalihan Waktu Kerja Pada Sektor Industri di Jawa-Bali. Bila anda belum pernah membaca isi dari SKB tersebut selengkapnya, bisa anda baca seperti yang tercantum dibawah ini : Pasal 1 Pengoptimalan beban listrik melalui pengalihan waktu kerja pada sektor industri di Jawa-Bali bertujuan: 1. Mengatasi ketidakseimbangan pasokan listrik PT PLN dengan kebutuhan listrik sektor industri. 2. Menghindari pemadaman listrik sehingga sektor industri dapat melakukan operasi dengan baik. Pasal 2 1. Perusahaan industri setiap bulannya wajib mengalihkan satu sampai dua hari waktu kerja pada hari Senin sampai dengan Jumat ke hari Sabtu dan Minggu.
36
__________Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003,
2. Penentuan perusahaan industri dan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan untuk setiap klaster/daerah industri oleh Bupati/walikota berdasarkan usulan PT PLN setempat. 3. Jumlah pemakaian listrik dari perusahaan industri yang mengalihkan waktu kerjanya sebagaimana pada ayat 1 dan ayat 2 harus mencapai 10 persen dari beban puncak pada klaster/daerah industri tersebut. 4. Bupati/walikota wajib mengeluarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 selambat-lambatnya tanggal 21 Juli 2008. Pasal 3 1. Bupati/walikota melakukan monitoring terhadap pelaksanaan pengalihan waktu kerja sebagaimana dimaksud pasal 2. 2. Bupati/walikota setiap tiga bulan melaporkan pelaksanaan pengalihan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepada Menteri Perindustrian, Menteri ESDM, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN. Pasal 4 Kewajiban pengalihan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 tidak berlaku bagi perusahaan industri yang beroperasi: a. 24 jam sehari selama 7 hari dalam 1 minggu atau b. 7 hari dalam 1 minggu Pasal 5 PT PLN wajib menjaga stabilitas dan ketersedian pasokan listrik untuk sektor industri. Pasal 6 1. Menteri Perindustrian bertugas : •
•
2.
Mengkoordinasikan melalui kerjasama antar lain dengan KADIN mengenai penanganan dan pembinaan program penghematan energi pada sektor industri dan, Monitoring pelaksanaan pengalihan waktu kerja di sektor industri. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bertugas :
1. Mengkoordinasikan pelaksanaan perhitungan pasokan dan kebutuhan listrik di setiap daerah; dan, 2. Mengawasi pelaksanaan kewajiban PT PLN dalam menjamin stabilitas dan kepastian pasokan listrik. 3. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertugas memfasilitasi pelaksanaan pengaturan pengalihan waktu kerja kepada pengusaha/organisasi pengusaha dan pekerja, serikat pekerja/serikat buruh.
76
4. Menteri Dalam Negeri bertugas mengkoordinasikan Bupati/walikota dalam melaksanakan dan monitoring pengalihan waktu kerja disektor industri. 5. Menteri Negara BUMN bertugas : 1. Mengawasi PT PLN dalam rangka melaksanakan kewajiban pengalihan waktu kerja; dan, 2. Mendorong perusahaan industri di lingkungan Kementerian Negara BUMN untuk melaksanakan pengalihan waktu kerja. Pasal 7 PT PLN diberikan kewenangan untuk mengenakan sanksi berupa pemutusan aliran listrik sementara bagi perusahaan industri yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 2 peraturan bersama. Pasal 8 Peraturan bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan di Jakarta tanggal 14 Juli 2008. Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 menteri terkait himbauan pemerintah melaksanakan penghematan energi listrik berefek pada sektor industri. SKB yang ditandatangani 5 menteri itu adalah Menteri Negara BUMN, Menteri Negara Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyepakati untuk penghematan energi sektor industri agar dapat mengalihkan pola jam kerja pada hari Sabtu dan Minggu atau perusahaan yang menggunakan listrik PLN untuk industri yang menggunakan daya minimal 200kVA. 37
C.
Pandangan Pakar terhadap SKB 5 Menteri Dengan di keluarkannya SKB 5 menteri ini banyak tanggapan-tanggapan yang
mendukung maupun yang menolak di terapkannya SKB 5 Menteri. Di dalam Situs Kapan lagi.com diuraikan bahwa, surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri yang mengatur pergeseran hari libur, SKB tersebut mulai diberlakukan tanggal 21 Juli 2008. Keputusan tersebut diberikan, karena sesuai dengan perhitungan matematis, bahwa daya listrik di Indonesia terutama Jawa Bali tidak ada kekurangan, hanya perlu pengaturan pada saat beban puncak. Pada Senin hingga Jumat, khususnya listrik Jawa Bali
37
.www. Kapanlagi.com, Loc. Cit
kekurangan daya hingga 600 megawatt (mw), sebaliknya, pada Sabtu dan Minggu, justru kelebihan daya hingga 1.000 MW. Dengan pengaturan tersebut, maka kelebihan daya 1.000 mw bisa terserap dengan baik, tanpa harus mengganggu jam kerja industri. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menjelaskan, keputusan itu diambil sambil menunggu suplai listrik kembali stabil. Yakni program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 10 ribu megawatt, yang diproyeksikan sudah bisa beroperasi pada awal 2009. Setiap hari Indonesia defisit 600 megawatt, itu artinya sekitar 3.000 megawatt per minggu. Tapi pada hari Sabtu dan Minggu ada kapasitas listrik yang tidak terpakai yang bisa dimanfaatkan untuk menutup defisit yang terjadi pada hari kerja.Untuk mengatasi hal ini maka harus dilakukan pergeseran hari libur kerja dari Sabtu-Minggu menjadi SeninJumat. Hal itu dilakukan karena pada hari Sabtu dan Minggu biasanya PLN memiliki pasokan listrik sekitar "1.000 megawatt dan 2.000 megawatt yang tidak terpakai". 38 Menurut Fahmi
Jika terjadi pemadaman bagi sektor industri Maka akan
menimbulkan kerugian bagi kita semua. Kita harus siap mengurangi kenyamanan soal pergeseran hari libur Sabtu dan Minggu agar tidak terjadi pemadaman. Dalam SKB antara Menteri Perindustrian, Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Menteri Negara BUMN disebutkan pengusaha diminta mengalihkan waktu libur kerja maksimal dua hari dalam satu bulan. Penjadwalan itu akan diatur oleh pemerintah daerah bersama PT PLN. Menurut Anggota Komisi VII Alvin Lie, menyatakan bahwa kurang efektivitas SKB 5 Menteri tentang penghematan energi. Menurutnya, SKB tersebut tidak menyelesaikan masalah dasar listrik di negeri ini, jika melihat carut- marutnya
38
ibid
78
manajemen energi listrik oleh pemerintah dan PLN. Menurut Alvin, seharusnya pemerintah
memberi
insentif
kepada
industri-industri
yang
akan
membuat
pembangkitnya sendiri. Dengan mengeluarkan SKB ini, justru memperlihatkan pemerintah tidak mampu membereskan manajemen listrik. Menurut Menakertrans Erman Suparno, pengalihan hari kerja dengan tetap masuk pada hari Sabtu dan Minggu lebih pada esensi pengaturan waktu libur pekerja dan menyeimbangkan surplus listrik. Dengan dalih pengalihan beban listrik nasional, kalangan industri (di Jawa-Bali) diberi ‘keistimewaan’ untuk menggeser hari liburnya dari sabtu dan minggu menjadi hari lain (hari kerja biasa). Menurut Direktur Utama PT. Karina Tata Busana Eddy Chow yang merupakan salah satu investor garment di KBN Cakung mengatakan, Kerugian yang timbul bagi pengusaha apabila pasokan listrik di industri mereka mengalami pemadaman bergilir cukup besar, baik dari segi finansial maupun citra perusahaan di mata buyer karena otomatis akan mengganggu kegiatan produksi sehingga kami tidak menepati jadwal ekspor yang telah ditentukan. Saat ini bukan hanya di Indonesia saja yang mengalami krisis energi / listrik tapi di negara China pun juga sama dan hal tersebut sangat mengganggu iklim investasi di China saat ini, dan apabila peraturan tersebut akan segera diterapkan nantinya para pengusaha juga akan melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada para pekerja, agar hal tersebut tidak menimbulkan kesalahpahaman para pekerja dengan pengusaha mengingat pergeseran hari kerja tersebut. Sebagai orang awam, menanggapi SKB tersebut sebagai berikut : Keluarnya SKB ini bersumber dari kesalahan orang-orang yang mengelola sebuah institusi negara yaitu PLN, Kementrian ESDM, dan Kementrian BUMN dalam mengelola sumber energi listrik. Adapun alasannya sebagai berikut:
1. Semestinya PLN sudah bisa menghitung berapa jumlah energi listrik yang mereka punya dan berapa jumlah energi listrik yang sudah terpakai. PLN sudah bisa menghitung setiap saat berapa jumlah energi listrik yang dihasilkan dari beberapa pembangkit listrik di seluruh Indonesia. Kemudian untuk menghitung jumlah pemakaian beban listrik, menurut masyarakat PLN bisa menghitungnya dengan mudah karena setiap pelanggan baik individu, industri, maupun institusi bisa dikontrol secara langsung, terbukti dari adanya tagihan listrik ke pelanggan. Kemudian untuk mengantisipasi adanya pelanggan baru yang mengakibatkan naiknya beban listrik terpakai, sebetulnya PLN dengan mudah mengontrolnya, karena setiap calon pelanggan sebelumnya diharuskan mengajukan permohonan dahulu ke pihak PLN. Artinya PLN jangan hanya bisa menjual listrik tanpa memperhitungkan jumlah ketersediaan listrik yang mereka miliki terlebih dahulu. 2. Kemudian jika membaca pasal 6.2.2. yang berisi tentang tugas Mentri ESDM untuk mengkoordinasikan pelaksanaan perhitungan pasokan dan kebutuhan listrik di setiap daerah. Dari pasal ini mengandung arti bahwa selama ini kementrian ESDM belum mempunyai data yang valid tentang jumlah pasokan dan jumlah kebutuhan listrik. Disamping itu belum pernah melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk menghitung hal tersebut tadi. Makanya tidak tidak aneh kalau sekarang terjadi krisis listrik, karena selama ini manajemen yang diterapkan adalah 'manajemen reaktif' bukan 'manajemen antisipatif'. 3. Kegagalan
Kementerian
BUMN
dan
ESDM
dalam
mengontrol
dan
mempersiapkan sumber-sumber pembangkit listrik secara dini. Betapa bodohnya
80
jika kedua departemen ini tidak mampu mengantisipasi jumlah besaran pertumbuhan kebutuhan listrik secara berkala, karena dari angka ini bisa diperhitungkan kapan, dimana, dan dengan menggunakan bahan pembangkit apa sehingga pembangkit listrik baru harus dibuat. Jika pembangkit listrik berbahan dasar fosil sangat mahal investasinya, semestinya negeri kita ini mampu membuat pembangkit listrik dengan sumber energi alternatif lainnya seperti panas bumi, air, dan sinar matahari. Orang awam sekalipun pasti paham bahwa negeri kita ini sangat kaya dengan ketiga jenis pembangkit energi alternatif tersebut.39
Kaum Pekerja Perubahan jam kerja yang mewajibkan pekerja untuk bekerja di hari Sabtu dan Minggu untuk mengganti hari kerja biasa yang diliburkan karena adanya jadwal pemadaman listrik, jika dilihat dari segi jumlah jam kerja tidak ada yang dirugikan. Namun secara psikologis pekerja dirugikan karena selama ini secara umum, hari Sabtu dan Minggu merupakan 'weekday' atau saatnya pekerja beristirahat atau melakukan aktivitas sosial dalam keluarga dan masyarakat. kemudian ada berjuta-juta anak-anak kaum pekerja yang harus kecewa setiap Sabtu dan Minggu karena tidak bisa lagi bercengkrama dengan kedua orang tuanya pada kedua hari tersebut, karena pada hari biasa (Senin-Jumat) anak-anak ini harus tetap bersekolah.
39
Juli 2008
. http://hendyherdiman.blogspot.com, Orang awam Bicara SKB 5 Menteri, htm 1, Jakarta,
Perusahaan/Industri Dengan seringnya terjadi pemadaman listrik dan pengalihan waktu kerja akan berdampak pada jadwal produksi. Apalagi jika perusahaan tersebut sangat terpaku pada 'delivery due date'. Berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan dengan mundurnya jadwal produksi. Atau berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan karena harus merubah media pengiriman/ekspor barang dari jalur laut menjadi jalur udara karena terbentur jadwal pengiriman yang sudah tidak bisa ditunda lagi. Jika dilihat pasal 7 yang berisi kewenangan PT PLN untuk mengenakan sanksi berupa pemutusan aliran listrik sementara bagi perusahaan industri yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 2 peraturan bersama. Hebat sekali bukan, padahal selama ini PLN yang sering lebih diuntungkan setiap bulan-nya. 40
Masyarakat Umum Seperti pada umumnya, setiap kebijakan pemerintah masyarakat umumlah yang menderita paling besar atas kerugian-kerugian akibat pemadaman listrik ini. Pernahkah PLN memberikan ganti rugi kepada pelanggan akibat pemadaman listrik secara mendadak ? Padahal yang paling sering terjadi PLN dengan mudahnya memutus aliran listrik ke pelanggan jika terlambat membayar kewajibannya. Apalagi saat ini PLN sudah ancang-ancang untuk menaikkan tarif listrik sebagai bagian dari 'cost recovery' dari krisis yang sebetulnya karena kesalahan manajemen mereka sendiri. Imbas dari semua ini bisa berimplikasi ke hal lain atau semacam efek bola salju seperti menjadi pemicu kenaikan harga dll. Lagi-lagi yang harus menanggung resiko ini adalah masyarakat umum 41. 40 41
. ibit Loc.cit
82
D.
Jam Kerja dan Cuti Menurut UU Nomor 13 tahun 2003 Di dalam undang-undang Nomor 13 tahun 2003 yang mengatakan jam kerja
adalah waktu yang di gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan ketentuan yang berlaku di perusahaan tersebut, karena keadaan tertentu pekerja harus melakukan pekerjaan di luar jam kerja, maka pengusaha wajib membayar upah di luar jam kerja atau upah kerja lembur, seperti tersebut pada Pasal 78 ayat (1) dan (2), yaitu: 1.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi batas waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. Yang mana pada Pasal 77 ayat (2) menyebutkan mengenai waktu kerja, yaitu: a. 7 (tujuh) jam 1( satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu: atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
2.
Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan, disamping adanya kesepakatan dengan pekerja tentang waktu kerja dan waktu istirahat. Dengan adanya waktu kerja dan waktu istirahat akan menjadi jelas pula kapan saatnya bekerja dan kapan saatnya isirahat. Waktu kerja adalah waktu dimana pekerja melaksanakan kewajibanya yaitu bekerja, sedangkan waktu istirahat adalah adalah hak pekerja untuk berhenti sementara dari kegiatan pekerjaan. Waktu istirahat ini penting bagi pekerja untuk memulihkan tenaga setelah beberapa saat melaksanaan pekerjaan dan memberikan kesempatan kepada pekerja untuk melakukan sesuatu di luar pekerjaannya seperti makan/minum, melaksanakan ibadah serta kegiatan lainnya.
Waktu istirahat bermacam-macam, ada waktu istirahat antara jam kerja, waktu istirahat mingguan, cuti tahunan dan istirahat panjang. Pada Pasal 79 ayat (2) UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 mengatur tentang waktu istirahat, yang berbunyi : a.
b. c.
d.
istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; istirahat mingguan 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. Ditinjau dari segi kewajiban pekerja, maka istirahat beberapa hari atau cuti
artinya pekerja tidak melaksanakan kewajiban yaitu melakukan pekerjaan. Akan tetapi karena istirahat beberapa hari itu juga hak pekerja setelah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk mendapatkannya, maka hak pekerja pula untuk tetap menerima upah selama menjalankan waktu cuti tersebut. Karena pada dasarnya selama mengambil hak cuti, pekerja tersebut bukan tidak mau bekerja atau akan memutuskan hubungan kerjanya, tetapi setelah menjalankan hak cuti ia akan kembali melaksanakan kewajibannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi pengusaha untuk tidak membayar upah atau mengurangi upah yang seharusnya diterima pekerja yang menjalankan hak cuti42. Perubahan jam kerja yang mewajibkan pekerja untuk bekerja di hari Sabtu dan Minggu untuk mengganti hari kerja biasa yang diliburkan karena adanya jadwal pemadaman listrik, jika dilihat dari segi jumlah jam kerja tidak ada yang dirugikan. 42
. Imam Soepomo, Op. Cit
84
Namun secara psikologis pekerja dirugikan karena selama ini secara umum, hari Sabtu dan Minggu merupakan 'weekday' atau saatnya pekerja beristirahat atau melakukan aktivitas sosial dalam keluarga dan masyarakat. kemudian ada berjuta-juta anak-anak kaum pekerja yang harus kecewa setiap Sabtu dan Minggu karena tidak bisa lagi bercengkrama dengan kedua orang tuanya pada kedua hari tersebut, karena pada hari biasa (Senin-Jumat) anak-anak ini harus tetap bersekolah.
BAB IV PEMBAHASAN
A.
Perbandingan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 Semakin pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia membuat semakin tinggi
juga permintaan akan listrik yg diperlukan untuk menjalankan mesin ataupun untuk kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pemerintah harus meyediakan pasokan listrik yg cukup agar perindustrian dan perekonomian Indonesia dapat berkembang dengan pesat. Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah yaitu menteri perindustrian, Menteri Energi dan Sumber daya mineral, Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi,Menteri dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN mengeluarkan surat keputusan yg dikenal dengan SKB 5 menteri. Dalam SKB 5 Menteri bertujuan untuk : A
Mengatasi ketidak seimbangan pasokan listrik PT. PLN dengan kebutuhan listrik sektor Industri.
B.
Menghindari pemadaman listrik sehingga sektor Industri dapat melakukan Operasi dengan baik. Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri yang mengatur pergeseran hari
libur, SKB tersebut mulai diberlakukan tanggal 21 Juli 2008. Keputusan tersebut diberikan, karena sesuai dengan perhitungan matematis, bahwa daya listrik di Indonesia terutama Jawa Bali tidak ada kekurangan, hanya perlu pengaturan pada saat beban puncak. Pada Senin hingga Jumat, khususnya listrik Jawa Bali kekurangan daya hingga 600 megawatt (mw), sebaliknya, pada Sabtu dan Minggu, justru kelebihan daya hingga 1.000 MW. Dengan pengaturan tersebut, maka kelebihan daya 1.000 mw bisa terserap
86
dengan baik, tanpa harus mengganggu jam kerja industri. Ketentuan tersebut akan berlangsung hingga terbangunnya power plan pada sekitar Maret - april 2009, dengan tambahan daya 2.000 MW. Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 menteri terkait imbauan pemerintah melaksanakan penghematan energi listrik berefek pada sektor industri. SKB yang ditandatangani 5 menteri itu adalah Menteri Negara BUMN, Menteri Negara Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyepakati untuk penghematan energi sektor industri agar dapat mengalihkan pola jam kerja pada hari Sabtu dan Minggu atau perusahaan yang menggunakan listrik PLN untuk industri yang menggunakan daya minimal 200kVA 43. Di dalam undang-undang Nomor 13 tahun 2003 yang mengatakan jam kerja adalah waktu yang di gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan ketentuaan yang berlaku di perusahaan tersebut, karena keadaan tertentu pekerja harus melakukan pekerjaan di luar jam kerja, maka pengusaha wajib membayar upah di luar jam kerja atau upah kerja lembur, seperti tersebut pada Pasal 78 ayat (1) dan (2), yaitu: 1.
2.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi batas waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. Yang mana pada Pasal 77 ayat (2) menyebutkan mengenai waktu kerja, yaitu: a. 7 (tujuh) jam 1( satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu: atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
43
. WWW. Kapanlagi.com, Op. Cit
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka kita tidak akan mendapati 1 Pasal pun yang memberikan defenisi mengenai hukum ketenagakerjaan/perburuhan. Tetapi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Menurut Menakertrans Erman Suparno, pengalihan hari kerja dengan tetap masuk pada hari Sabtu dan Minggu lebih pada esensi pengaturan waktu libur pekerja dan menyeimbangkan surplus listrik. Dengan dalih pengalihan beban listrik nasional, kalangan industri (di Jawa-Bali) diberi ‘keistimewaan’ untuk menggeser hari liburnya dari sabtu dan minggu menjadi hari lain (hari kerja biasa). Bagi kalangan industri, baik pengusaha maupun karyawan (buruh) hal ini menimbulkan masalah baru. Salah satunya adalah belum adanya kesepakatan mengenai status hari sabtu dan minggu sebagai hari yang di hitung overtime atau tidak. Beberapa LSM perburuhan masih memperjuangkan hal ini. Saran pemerintah agar kalangan industri membahas masalah ini secara internal lewat wadah bipartit/tripartit pun tampaknya tidak mudah untuk diwujudkan. Sementara rencana Menakertrans mengeluarkan surat edaran mengenai pengalihan jam kerja sabtu minggu yang tidak dihitung sebagai lembur akan ‘bertabrakan’ dengan PP 8/1981 yang menegaskan bahwa - bekerja pada hari sabtu dan minggu akan dihitung lembur 44. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 membagi waktu istirahat bermacam-macam, ada waktu istirahat antara jam kerja, waktu istirahat mingguan, cuti tahunan dan istirahat panjang. Pada Pasal 79 ayat (2) Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003 mengatur tentang waktu istirahat, yang berbunyi :
44
. www. Kapanlagi.com. Op. Cit, 16 Juni 2008
88
a.
b. c.
d.
B.
istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; istirahat mingguan 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi taas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Pandangan Buruh Terhadap SKB 5 Menteri Seperti pada umumnya, setiap kebijakan pemerintah masyarakat umumlah yang
menderita paling besar atas kerugian-kerugian akibat pemadaman listrik ini. Pernahkah PLN memberikan ganti rugi kepada pelanggan akibat pemadaman listrik secara mendadak ? Padahal yang paling sering terjadi PLN dengan mudahnya memutus aliran listrik ke pelanggan jika terlambat membayar kewajibannya. Apalagi saat ini PLN sudah ancang-ancang untuk menaikkan tarif listrik sebagai bagian dari 'cost recovery' dari krisis yang sebetulnya karena kesalahan manajemen mereka sendiri. Imbas dari semua ini bisa berimplikasi ke hal lain atau semacam efek bola salju seperti menjadi pemicu kenaikan harga dan lain-lain. Perubahan jam kerja yang mewajibkan pekerja untuk bekerja di hari Sabtu dan Minggu untuk mengganti hari kerja biasa yang diliburkan karena adanya jadwal pemadaman listrik, jika dilihat dari segi jumlah jam kerja tidak ada yang dirugikan. Namun, para buruh ini memiliki beberapa pandangannya mengenai komentar dikeluarkannya SKB 5 Menteri tersebut. Seperti pada hari minggu mereka biasanya jalan-jalan dengan keluarganya, ada juga beberapa buruh yang pada hari minggu itu ada
yang mempunyai pekerjaan sampingan seperti berjualan serta adanya beberapa pekerja/buruh yang beragama kristiani harus beribadah pada hari minggu tersebut. secara psikologis pekerja dirugikan karena selama ini secara umum, hari Sabtu dan Minggu merupakan 'weekday' atau saatnya pekerja beristirahat atau melakukan aktivitas sosial dalam keluarga dan masyarakat. kemudian ada berjuta-juta anak-anak kaum pekerja yang harus kecewa setiap Sabtu dan Minggu karena tidak bisa lagi bercengkrama dengan kedua orang tuanya pada kedua hari tersebut, karena pada hari biasa (Senin-Jumat) anak-anak ini harus tetap bersekolah.
C.
Perbandingan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 Di dalam Situs Kapan lagi.com diuraikan bahwa, surat Keputusan Bersama
(SKB) lima menteri yang mengatur pergeseran hari libur, SKB tersebut mulai diberlakukan tanggal 21 Juli 2008. Keputusan tersebut diberikan, karena sesuai dengan perhitungan matematis, bahwa daya listrik di Indonesia terutama Jawa Bali tidak ada kekurangan, hanya perlu pengaturan pada saat beban puncak. Pada Senin hingga Jumat, khususnya listrik Jawa Bali kekurangan daya hingga 600 megawatt (mw), sebaliknya, pada Sabtu dan Minggu, justru kelebihan daya hingga 1.000 MW. Dengan pengaturan tersebut, maka kelebihan daya 1.000 mw bisa terserap dengan baik, tanpa harus mengganggu jam kerja industri. Ketentuan tersebut akan berlangsung hingga terbangunnya power plan pada sekitar Maret - april 2009, dengan tambahan daya 2.000 MW. Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 menteri terkait himbauan pemerintah melaksanakan penghematan energi listrik berefek pada sektor industri. SKB yang
90
ditandatangani 5 menteri itu adalah Menteri Negara BUMN, Menteri Negara Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyepakati untuk penghematan energi sektor industri agar dapat mengalihkan pola jam kerja pada hari Sabtu dan Minggu atau perusahaan yang menggunakan listrik PLN untuk industri yang menggunakan daya minimal 200kVA. Perubahan jam kerja yang mewajibkan pekerja untuk bekerja di hari Sabtu dan Minggu untuk mengganti hari kerja biasa yang diliburkan karena adanya jadwal pemadaman listrik, jika dilihat dari segi jumlah jam kerja tidak ada yang dirugikan. Namun secara psikologis pekerja dirugikan karena selama ini secara umum, hari Sabtu dan Minggu merupakan 'weekday' atau saatnya pekerja beristirahat atau melakukan aktivitas sosial dalam keluarga dan masyarakat. kemudian ada berjuta-juta anak-anak kaum pekerja yang harus kecewa setiap Sabtu dan Minggu karena tidak bisa lagi bercengkerama dengan kedua orang tuanya pada kedua hari tersebut, karena pada hari biasa (Senin-Jumat) anak-anak ini harus tetap bersekolah. Di samping itu, pada hari minggu adalah hari di mana umat kristiani melakukan ibadah kebaktian di gereja. Dengan di berlakukannya SKB 5 Menteri ini akan menganggu ke nyaman beribada umat kristiani. Hal ini bertentangan dengan UndangUndang No. 39 tahun 1999 pasal 4 yang berbunyi hak untuk hidup, hak untuk tidak di siksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat di kurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Jadi berdasarkan pasal ini di katakan jelas bahwa hak beragama merupakan hak yang paling mendasar
dari manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Sehingga pemberlakuan SKB tersebut kurang memperhatikan kebebasan untuk beribadah.
D.
Kelemahan dan kekurangan SKB 5 Menteri Menurut Menakertrans Erman Suparno, pengalihan hari kerja dengan tetap
masuk pada hari Sabtu dan Minggu lebih pada esensi pengaturan waktu libur pekerja dan menyeimbangkan surplus listrik. Dengan dalih pengalihan beban listrik nasional, kalangan industri (di Jawa-Bali) diberi ‘keistimewaan’ untuk menggeser hari liburnya dari sabtu dan minggu menjadi hari lain (hari kerja biasa). Bagi kalangan industri, baik pengusaha maupun karyawan (buruh) hal ini menimbulkan masalah baru. Salah satunya adalah belum adanya kesepakatan mengenai status hari sabtu dan minggu sebagai hari yang di hitung overtime atau tidak. Sementara rencana Menakertrans mengeluarkan surat edaran mengenai pengalihan jam kerja sabtu minggu yang tidak dihitung sebagai lembur akan ‘bertabrakan’ dengan PP 8/1981 yang menegaskan bahwa - bekerja pada hari sabtu dan minggu akan dihitung lembur. Disamping itu SKB 5 Menteri ini juga membatasi kebebasan untuk menjalankan ibadah bagi umat tertentu. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang terdapat pada pasal 4 yang bunyinya ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”, yang di dalamnya terdapat hak untuk beragama.
92
Disamping itu dalam SKB 5 Menteri tersebut tidak di jelaskan secara terperinci apakah karyawan tersebut masuk kerja seperti ketentuan pada hari kerja dan selesai kerja pada jam kerja pada hari normal atau ada pengaturan tertentu seperti shifting.
E.
Kesepakatan Kerja antara Serikat Buruh dan Majikan dalam Solusi SKB 5 Menteri. Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri tentang pengalihan jam kerja
industri dinilai berpotensi menimbulkan kerawanan sosial. Hal ini di karenakan, SKB itu seakan-akan membenturkan antara pekerja/buruh dan pengusaha, karena pengalihan jam kerja ke hari Sabtu/Minggu jelas harus dengan upah lembur, sementara pengusaha sangat berat memenuhinya. Serikat buruh di Banten menyatakan, bahwa dengan dikeluarkan Surat keputusan bersama (SKB) 5 Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) telah menganggu kenyamanan pekerja yang saat ini bekerja di perusahaan dan merugikan seluruh pekerja. Menurut Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Banten, Sumantri, kebijakan pengalihan waktu kerja dari hari biasa ke hari libur dan tidak dihitung sebagai lembur sangat merugikan pekerja. Sebelumnya apabila pekerja lembur dihari sabtu dan minggu maka akan mendapatkan upah, tapi sekarang pekerja diliburkan disaat hari biasa. Selain itu, dengan adanya pengalihan waktu libur membuat dampak psikologis pekerja yang saat ini masih terauma akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu oleh pemerintah pusat. Menurut Sumantri, Ketua Konfederasi Serikat Buruh sejahtera Indonesia, Pemberlakuan SKB 5 Menteri mengenai jam kerja yang akan efektif pada tanggal 21 Juli mendatang ini menambah sulit ekonomi pekerja.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Dari Uraian bab-bab terdahulu dalam penulisan skripsi ini dapat disimpulkan
sebagai berikut : 2.
SKB 5 Menteri ini melanggar Pasal 85 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
3.
Dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 pasal 38 ayat 4 yang berbunyi : Setiap Orang, baik pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaanya berhak atas upah yang adil sesuai prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan
keluarganya.
Seharusnya
Pemerintah
melindungi
dan
menyalurkan pekerjaan sesuai dengan ketentuan Pasal 85 yang berbunyi: (1)
Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2)
Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
(4)
Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
94
4.
Dengan ketentuan pemerintah yang dituangkan dalam SKB 5 Menteri bahwa hari sabtu dan minggu dapat digunakan sebagai hari kerja, sedikit banyaknya akan menganggu kenyaman umat beragama tertentu yang aktifitas beragamanya dilakukan di hari minggu.
5.
Keinginan setiap buruh pada dasarnya adalah agar pengusaha dan pemerintah dapat memberikan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan pemberlakuan SKB 5 Menteri ini, buruh tidak mendapatkan haknya sesuai ketentuan yang di tuangkan dalam Pasal 85 Undang-Undang ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 seperti yg tertera di atas.
B.
Saran Dari fakta-fakta yang diuraikan dalam bab-bab terdahulu dan kesimpulan,
seperti tersebut di atas, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut : 1.
Cara untuk memberlakukan SKB 5 Menteri harusnya berdasarkan kesepakatan bersama antara buruh, majikan dan tidak boleh dipaksakan.
2.
Pemerintah Sebagai pihak yang mengeluarkan SKB 5 Menteri tersebut sebaiknya mensosialisasikan SKB 5 menteri tersebut sebelum diberlakukan ke masyarakat umum.
3.
Sebelum mengeluarkan SKB 5 menteri tersebut pemerintah seharusnya membicarakan terlebih dahulu dengan pengusaha, dan serikat pekerja mengenai ketentuan-ketentuan yg dituangkan dalam SKB 5 Menteri tersebut sehingga tidak merugikan pihak-pihak tertentu.
4.
Penulis menghimbau kepada PLN agar lebih transparan dalam memberikan informasi mengenai daya suplai listrik yang ada ke masyarakat, dan
pemerintah juga lebih ketat lagi dalam memberikan pengawasan kepada PLN serta memberikan tindakan tegas apabila ada penyimpangan yg di lakukan pihak PLN maupun masyarakat.
96
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Zainal SH, dkk. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1997. Chandra, Arief. KEWAJIBAN FRONT PERSATUAN BURUH. Komunis Indonesia. Penerbit Yayasan "Pembaruan" . 2007. Husni, Lalu. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. PT.Raja Grafindo Persadi. Jakarta. 2003. Khakim, Abdul. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003. Kosidin, Koko SH. Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan. Mandar Maju. Bandung,.1999. Maimun. Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Pradnya Paramita. Jakarta. 2003. Manulang, Sendjun H. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 1998 Musanef, Drs & Drs. H. Moersaleh. Pedoman Membuat Skripsi. PT.Gunung Agung. Cetakan I. Jakarta. 1985. Nasution, Bahder Johan. Hukum Ketenagakerjaan. CV.Mandor Maju. 2004 Rokhani, Endang SH. Pengetahuan Dasar Tentang Hak-Hak Buruh. YakomaPGI. Jakarta. 1999. R. Subekti, SH. Prof. Aneka Perjanjian. Alumni. Bandung, 1985. Soedjono, Wiwoho. Hukum Pengantar Perjanjian Kerja. Bina Aksara. Jakarta. Cetakan 1. 1983. Soepomo, Prof Imam SH. Pengantar Hukum Perburuhan. Djambatan. Jakarta. 1982. Soimin, Soedharyo SH. KUH Perdata. Sinar Grafika. Jakarta. 1995. ________________. Undang-Undang HAM. Cetakan Pertama. Visimedia. 2007. _____________. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang KetenagaKerjaan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang serikat Pkerja/Serikat Buruh. cetakan ketiga. PT. Visimedia. 2008.
http://apindo.or.id. Daya Saing Dan Produktivitas Indonesia Dan NegaraNegara Asean. 11 Febuari 2005. http:// ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com. SKB Lima Menteri Tidak Ganggu Jam Kerja Dan Lembur. Jakarta. Juli 2008 http://hendyherdiman.blogspot.com. Orang awam Bicara SKB 5 Menteri. Jakarta. Juli 2008 www. Kapanlagi.com. SKB Lima Menteri Tak Akan Ganggu Jam Kerja dan Lembur. Jakarta.16 Juli 2008 www. saifudiendjsh.blogspot.com. Upah dan Pesangon Buruh. 2007