6 Keanekaragaman Hayati Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati mendefinisikan keanekaragaman hayati adalah
keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua
sumber, termasuk diantaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lainnya, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya mencakup keanekaragaman spesies, antar spesies, dan ekosistem (terjemahan resmi pada lampiran UU No.5 Tahun 1994). Keanekaragaman hayati bisa diekspresikan ke dalam berbagai tingkatan berbeda berupa gen, jenis, dan ekosistem. Pada tingkatan ekosistem, peran keanekaragaman hayati bagi kesejahteraan manusia sangat besar. Hal ini dikarenakan ekosistem dapat memberikan barang dan jasa penunjang bagi kemakmuran dan kelangsungan hidup manusia melalui penyediaan makanan, udara dan air bersih, kayu dan obat-obatan (lihat Kotak 6.1). Ekosistem berfungsi sebagai penyangga sistem bagi kehidupan manusia dan dikenal dengan istilah jasa lingkungan. Fungsi ekosistem seperti tersebut di atas ternyata sangat dipengaruhi oleh kondisi keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Semakin tinggi keanekaragaman jenis dan genetik, membuat suatu ekosistem menjadi lebih resisten dan relisien terhadap perubahan (CBD Technical Series No. 10, 2003). Resisten berarti kemampuan untuk menghindari perubahan, sedangkan relisien adalah kecepatan untuk pulih kembali setelah mengalami gangguan. Misal kebun dengan beranekaragam tanaman memiliki kemungkinan lebih tahan dan cepat pulih atas gangguan perubahan cuaca atau serangan hama dibandingkan kebun satu jenis tanaman. Keadaan tersebut membuat ekosistem dapat terus memberikan jasa lingkungan terhadap manusia. Sebaliknya penurunkan keanekaragaman hayati akan membuat kemampuan fungsi ekosistem menjadi berkurang.
1
Sayangnya hingga kini penurunan keanekaragaman hayati terus terjadi baik di Indonesia maupun tingkat global. Penyebabnya bisa dari tekanan pertambahan penduduk, kemiskinan, sistem ekonomi dan keadaan sosial politik, mendorong terjadinya konversi lahan habitat keanekaragaman hayati dan pemanenan keanekaragaman hayati secara berlebihan. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan ekosistem dalam memberikan jasa lingkungan. Dampaknya adalah timbulnya berbagai bencana seperti banjir pada musim hujan, kekeringan dan kebakaran hutan saat kemarau, serta hilangnya sumber plasma nutfah pangan dan obatobatan, dan pada akhirnya semua hal tersebut memicu terjadinya penurunan kesejahteraan manusia. Jawa Barat, seperti halnya tempat lain di Indonesia, tidak terlepas dari permasalahan penurunan keanekaragaman hayati. Lokasi konsentrasi keanekaragaman hayati seperti hutan dan terumbu karang, semakin menyempit dan mengalami kerusakan. Kondisi ini memerlukan pihak-pihak berwenang untuk segera melakukan langkah-langkah nyata dalam upaya melestarikan, memulihkan dan memanfaatkan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati di Jawa Barat, sekaligus menjamin agar fungsi jasa lingkungan dapat tetap terus berjalan.
Kotak 6.1. Jasa Lingkungan (Ekosistem) Jasa lingkungan penting yang disediakan melalui keanekaragaman hayati adalah : Jasa Pendukung (jasa yang merawat kondisi-kondisi untuk kehidupan di bumi) : pembentukan dan perawatan tanah; siklus nutrisi; produktivitas primer; polinasi dan penyebaran biji; produksi oksigen; penyediaan habitat. Jasa Pengaturan (manfaat didapatkan dari pengaturan dalam proses ekosistem) : Perawatan kualitas udara; pengaturan iklim; pengaturan air; pengendalian banjir; pengendalian erosi; pemurnian air; pengolahan limbah, detoksifikasi, pengendalian penyakit; pengendalian biologi dalam penyakit dan hama pertanian dan peternakan; perlindungan badai. Jasa Penyediaan (produk yang didapat dari ekosistem) : Makanan, bahan bakar kayu; serat; biokimia; obat-obatan alami; farmasi; sumber genetik; sumber bahan ornamen; air tawar; mineral; pasir dan sumber daya non-hayati lainnya. Jasa Budaya (manfaat non material yang didapat dari ekosistem): Keragaman dan identitas budaya; nilai spiritual dan agama; sistem pengetahuan; nilai edukasi; sumber inspirasi; nilai estetis, hubungan sosial; rasa tempat; warisan budaya; rekreasi dan ekowisata; komunal; simbol. Sumber : Millenium Ecosystem Assessment 2003 Report “ People and Ecosystems : A Framework for Assessment.
2
6.1
Kondisi Fisik Jawa Barat
Pada Bab 2 sudah diuraikan bahwa secara garis besar kondisi fisik alam Jawa Barat adalah sebagai berikut: a. Topografi: Jawa Barat bisa dibedakan menjadi 3 karakter, yaitu: daerah pegunungan curam di bagian selatan dengan ketinggian > 1.500 m dpl, daerah lereng bukit landai di bagian tengah dengan ketinggian 100-1.500 m dpl. daerah dataran rendah yang luas di bagian utara dengan ketinggian 0-10 m dpl. b. Iklim: Jawa Barat merupakan daerah hampir selalu basah dengan curah hujan berkisar antara 1.000 - 6.000 mm, dengan pengecualian untuk daerah pesisir yang berubah menjadi kering pada musim kemarau. Pada daerah selatan dan tengah, intensitas hujan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah utara. c. Hidrologi (DAS): Bagian utara menjadi muara bagi beberapa sungai besar seperti Citarum, Cimanuk, Ciliwung dan Cisadane. Sedangkan di selatan terdapat lebih sedikit sungai besar yang mengalir ke arah Samudera Hindia, yaitu Citanduy dan Cimandiri. d. Perairan Laut: Daerah utara berbatasan dengan Laut Jawa dengan perairan dangkal sementara di selatan bersebelahan dengan Samudera Hindia yang memiliki perairan dalam. Kondisi fisik Jawa Barat ini menyebabkan terbentuknya keanekaragaman ekosistem yaitu mulai dari daerah pesisir meliputi terumbu karang, padang lamun dan mangrove, hingga hutan dataran rendah dan pegunungan, perbukitan kapur (karst), perairan air tawar (sungai, danau dan rawa). Perbedaan antara daerah utara yang datar, lebih kering namun banyak muara sungai besar dengan daerah selatan yang bergunung-gunung dan sering hujan, membawa konsekuensi perbedaan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Tidak hanya itu perbedaan fisik ini juga menyebabkan ketidaksamaan konsentrasi populasi manusia di Jawa Barat. Daerah utara yang datar dan memiliki perairan laut relatif tenang membuat lokasi ini lebih mudah dicapai sehingga pertanian terutama persawahan berkembang dengan baik. Sejalan dengan perkembangan pertanian ini, tumbuh pemukiman manusia sehingga kini daerah utara menjadi pusat populasi manusia terbesar dan industri di Jawa Barat. Dampaknya
3
adalah tingkat ancaman dan kerusakan terhadap keanekaragaman hayati akibat aktifitas manusia di daerah utara lebih tinggi dibandingkan daerah tengah dan selatan. 6.2
Kondisi Keanekaragaman Hayati Jawa Barat
6.2.1
Ekosistem Terumbu Karang
6.2.1.1 Karakteristik Terumbu Karang merupakan bentukan tumpukan zat kapur di perairan laut dangkal, terbentuk oleh aktifitas hewan karang dan hewan serta tumbuhan lainnya yang mengandung zat kapur melalui proses biologi dan geologi dalam kurun waktu lama (Lilley, 1999). Tumpukan zat kapur ini dilekatkan satu dengan yang lainnya oleh alga yang mengeluarkan zat kapur juga. Alga ini menjadi penyumbang aneka warna yang ditemukan pada terumbu karang. Perairan hangat dengan suhu 200-300 C dan air jernih tembus cahaya matahari dapat sampai ke dalam dasar laut adalah tempat terumbu karang dapat berkembang dengan baik (Allen, 2000). Disamping beberapa faktor lain seperti salinitas, arus dan subtrat juga berpengaruh terhadap penyebaran terumbu karang. Terumbu karang mendukung keanekaragaman flora dan fauna laut dan dinyatakan sebagai ekosistem laut paling tinggi keanekaragamannya di dunia. Di tempat ini hidup berbagai jenis karang batu berpadu dengan karang lunak, karang kipas dan karang api; menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis moluska, ekinodermata, udang-udangan, porifera, cnidaria, cacing laut, ikan karang dan tumbuhan laut berupa makroalga. Selain itu ekosistem ini memiliki manfaat jasa lingkungan sangat penting. Terumbu karang tidak hanya menjadi tempat tinggal tetapi sekaligus sebagai daerah pemijahan dan asuhan bagi banyak jenis ikan yang penting bagi industri perikanan. Disamping sebagai sumber pangan dan bahan kimiawi, keindahan terumbu karang juga bernilai tinggi bagi industri pariwisata. Ekosistem ini juga berperan penting dalam melindungi pantai dari erosi akibat gelombang dan badai tsunami melalui fungsinya sebagai pemecah gelombang. Walaupun demikian terumbu karang adalah ekosistem yang rapuh dan sensitif. Perubahan lingkungan yang sangat kecil akan mempengaruhi kondisinya.
4
Tipe terumbu karang di perairan laut Jawa Barat, seperti halnya di Indonesia, umumnya adalah karang tepi (fringing reef), yaitu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Pada pesisir selatan di Samudra Hindia, pertumbuhan karang didominasi oleh bentuk “branching”(bercabang), “encrusting”(kerak) dan “massive”(padat), mengindikasikan besarnya tekanan fisik perairan seperti arus dan gelombang di daerah ini. Contoh situasi seperti ini dapat dijumpai pada terumbu karang di Pangandaran dengan karang batu yang ditemukan di sini didominasi bentuk-bentuk di atas dari jenis-jenis Acropora dan Monticora (BPLHD, 2006). Studi terbaru oleh KMPP dan Indecon (2008) di Pangandaran memperlihatkan jenis yang diumum di daerah bergelombang besar adalah Goniastrea retformis, G. Pectinata. G. Favulus, Platygyra pini, P. Lamelina, Montastrea curta, M. Annuligera, M. Magnistellata, Leptastrea. Tranversa, Cyphastrea serailia, C. Chalcidium, Echinopora lamellosa, E. Gemmacea, dan E. Hirsitussima. Sementara di daerah berombak kecil banyak di jumpai Acropora polifera, A. Grandis, A. Digifera, A. cerealis, Montipora stellata, M. Danae, dan M. Aequituberculata. Di dalamnya hidup jenis-jenis ikan karang yang masih umum dijumpai seperti ikan Bannerfish (Heniochus sp.), ikan kepe-kepe (Chaetodon sp.), ikan angelfish (Pomacanthus sp.), ikan moris (Heniochus sp.), ikan buntal (Diodontidae), ikan kerapu (Serranidae), ikan parrotfish (Scaridae), ikan sersan mayor (Abudefduf sp.), ikan dokter (Diproctacanthus xanthurus), ikan kepe-kepe biru kuning (Chaetodontoplus sp.), ikan wrassefish (Labridae) dan ikan Pomacanthidae (Amasya, 2005). 6.2.1.2 Sebaran dan Kondisi Terkini Tidak banyak terumbu karang yang tersisa di Jawa Barat. Menurut Atlas Pesisir Utara Jawa Barat (2001), pantai utara hanya tersisa di beberapa tempat di Karawang, Subang dan Indramayu, sedangkan di pantai selatan masih dapat terlihat di pesisir Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi. Perkiraan luas terumbu karang tersebut bisa dilihat pada tabel 7.1 pada bab 7 mengenai Pesisir. Hampir seluruh terumbu karang tersebut ditemukan dalam kondisi rusak. Pengamatan di Pangandaran oleh Amasya (2005) memperlihatkan terumbu karang di
5
sini telah mengalami kerusakan. Persentase tutupan karang hidup maksimal hanya mencapai 30%, dengan keadaannya sangat buruk sehingga dikategorikan very poor abundance Situasi ini diperparah dengan kondisi perairan yang keruh sehingga jarak pandang pun sangat terbatas. Kerusakan terumbu karang ini membawa konsekuensi pada penurunan keanekaragaman biota laut penghuninya termasuk jenis-jenis ikan karang (lihat kotak 6.2). Hasil studi terbaru di Pangandaran (KMPP dan Indecon, 2008) menunjukan hasil tidak berbeda jauh, tutupan terumbu karang hidup berkisar 11,49%-40,39%. Berdasarkan kriteria baku Kementerian Lingkungan Hidup, kondisi terumbu karang ini di kategorikan dalam keadaan rusak.
Kotak 6.2. Terumbu Karang Rusak, Keanekaragaman pun Menurun Dokumen Himpunan Sebagian Data-data Potensi di Dalam Kawasan Pelestarian Alam Pangandaran tahun 1983 dari Sub-Balai Kawasan Pelestarian Alam Pangandaran dan Sekitarnya, PananjungPangandaran, menunjukkan keadaan laut sekitar Pangandaran pada saat itu masih kaya akan berbagai kehidupan. Sebanyak 42 jenis karang batu menjadi tempat tinggal bagi 103 jenis ikan karang bercampur dengan 100 jenis biota laut bertubuh lunak (moluska), 31 jenis Echinodermata dan 65 jenis makroalga. Ikan lain di perairan Pangandaran, beberapa di antaranya memiliki nilai ekonomi bagi perikanan, jumlahnya mencapai 53 jenis. Saat itu terumbu karang berada dalam kondisi sehat masih melimpah. Namun seiring dengan berjalannya waktu makin banyak kerusakan dialami pada terumbu karang akibat penangkapan ikan atau biota laut dengan cara merusak, tertabrak perahu atau aktifitas pariwisata seperti mengumpulkan kerang dan biota laut untuk bahan kerajinan cinderamata maupun dibawa langsung. Akibatnya tahun 1998, luas tutupan terumbu karang sehat hanya tinggal 21,15% (Mulyani 2002). Pengamatan terbaru, Amasya (2005) dan (KMPP&Indecon 2008) menemui kondisi yang sama yaitu luas tutupan terumbu karang tertinggi hanya mencapai 40% sehingga dikategorikan rusak. Pengaruh kerusakan terumbu karang di Pangandaran terlihat jelas pada terjadinya penurunan keaneragaman ikan dan biota laut penghuninya. Catatan terbaru memperlihatkan, hanya 21 jenis karang batu yang berhasil ditemukan (BPLHD 2006) bersama 38 jenis ikan karang (Mulyani 2002), 37 jenis moluska (Unpad 2000), 31 jenis ikan bernilai ekonomi (BPLHD 2006) dan 48 jenis makroalga (BPLHD 2006).
6.2.2
Ekosistem Padang Lamun Dan Rumput Laut
6.2.2.1 Karakteristik Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air tingkat tinggi yang beradaptasi hidup di bawah permukaan air laut, mempunyai akar dan daun-daun yang menyerupai rumput di darat. Hampir semua jenis lamun tumbuh baik pada perairan tenang, dengan dasar berlumpur atau berpasir halus. Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun, tersebar di beberapa perairan dangkal di
6
berbagai pulau. Ekosistem ini mempunyai fungsi sebagai penyaring, dapat menangkap unsurunsur hara dan mencegah zat-zat kimia berbahaya agar tidak terbawa ke laut. Padang lamun juga berfungsi menjadi tempat tinggal, mencari makan dan pemijahan bagi ikan, kerang, udang dan kepiting. Lamun juga sumber makanan bagi spesies langka seperti penyu hijau dan ikan duyung. Jasa lingkungan lainnya yang diberikan oleh ekosistem ini adalah menghambat sedimentasi dan mencegah erosi pantai. Rumput laut (seaweed) atau makroalga adalah tumbuhan tingkat rendah, -tidak memiliki akar, batang dan daun- yang hidup di laut. Rumput laut dapat hidup pada pada lamun, hamparan terumbu karang atau hutan mangrove. Tumbuhan ini memiliki nilai ekonomi cukup penting karena beberapa jenis telah dibudidayakan, seperti Eucheuma dan Gracilaria, menghasilkan berbagai macam produk. Makroalga secara umum dikelompokkan berdasarkan kandungan klorofil yang dimilikinya, yaitu alga hijau (chlorophyta), alga merah (rhodophyta) dan alga coklat (phaeophyta). 6.2.2.2 Sebaran dan Kondisi Terkini Data mengenai padang lamun di Jawa Barat sangatlah terbatas. Hasil kajian PKSPL-IPB (2004), menunjukkan adanya ekosistem padang lamun di perairan Kabupaten Sukabumi. Lamun di sini hanya hidup di beberapa daerah yang dangkal, berarus tenang, terlindung dan banyak di antara dataran karang (coral flat). Pada Pantai Ujung Genteng misalnya ditemukan jenis yang dominan adalah adalah Thalassia sp. Tidak ada data bagaimana kondisi terkini padang lamun baik di Sukabumi maupun di tempat lainnya di Jawa Barat. Sementara untuk rumput laut, hanya sedikit saja yang dapat dijumpai di pantai utara, yaitu di gugusan karang Sedulang di Karawang, itupun dalam jumlah terbatas. Sedangkan di pantai selatan penyebaran rumput laut lebih luas yaitu di pesisir kabupaten Ciamis, Garut dan Sukabumi. Menurut Atlas Pesisir Selatan Jawa Barat (2001) spesies yang ditemukan di sekitar Pangandaran yaitu Acanthophora spp, Amantia spp dan Gracilaria spp dari jenis alga merah, Sargassum spp, Padina spp, Hydroclathrus spp dan Turbinaria spp dari jenis alga coklat, serta Halimeda spp, Caulerpa spp dan Ulva spp dari jenis alga hijau. Pengamatan pada tahun 2006 di pesisir selatan Kabupaten Ciamis (BPLHD,2006) berhasil menjumpai sebanyak 48 jenis rumput laut.
7
6.2.3
Ekosistem Hutan Mangrove
6.2.3.1 Karakteristik Hutan mangrove merupakan ekosistem dari berbagai tipe tumbuhan dengan karakteristik khusus sehingga dapat bertahan hidup pada perairan mempunyai kadar garam tinggi dan persediaan oksigen terbatas. Ciri-ciri tumbuhan mangrove tersebut meliputi bentuk akar berupa akar nafas atau lutut yang keluar dari permukaan tanah sehingga memungkinkan mengambil oksigen dalam kondisi tumbuhan terendam air. Selain itu bentuk daunnya umumnya tebal untuk menampung air lebih banyak, mentoleransi kadar garam tinggi dari lingkungan sekitar. Bahkan beberapa jenis tumbuhan mangrove dapat menghasilkan kelenjar garam, berfungsi membuang kelebihan kadar garam. Mangrove tumbuh di daerah pasang surut di sepanjang garis pantai termasuk tepi laut, muara sungai, laguna dan tepi sungai. Hutan mangrove luas dapat ditemukan di daerah tepian pantai berlumpur yang terlindung dari angin dan arus laut yang kuat. Hutan ini dapat tumbuh subur jika terdapat tambahan sedimen halus dan air tawar. Mangrove juga dipengaruhi oleh keadaan air. Pada beberapa tempat mangrove dapat menunjukkan zonasi, yaitu jenis-jenis penghuni cenderung berubah dari tepian air hingga menuju ke daratan. Hutan mangrove memiliki manfaat besar sebagai tempat tinggal jenis-jenis burung, ular dan mamalia sekaligus lokasi pemijahan dan pembesaran berbagai jenis udang, kepiting dan ikan. Akar-akar mangrove juga membantu menangkap lumpur sehingga mengurangi sedimentasi, memerangkap polutan dan mencegah abrasi daerah pesisir. Selain itu pohon-pohon bakau yang tinggi dan rapat dapat berfungsi sebagai penahan angin besar. Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang di jumpai di Jawa Barat umumnya tidak berbeda jauh dengan tempat lain di Indonesia. Menurut Atlas Pesisir Selatan Jawa Barat (2001) jenis-jenis yang umum dijumpai di pantai selatan adalah Rhyzophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, Avicennia marina , Sonneratia alba, Aegiceras corniculata, Lumnitzera racemosa, Heritiera litoralis dan Nypa fruticans.
8
6.2.3.2 Sebaran dan Kondisi Terkini Luas hutan mangrove yang berada di wilayah pesisir Utara Jawa Barat sekitar 39.918 ha, tersebar di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Sementara di pesisir selatan diketahui bahwa sangat jarang diketemukan ekosistem mangrove, hanya terdapat di estuarin beberapa sungai dengan luasan sempit yaitu masing-masing kurang dari 1 ha. Areal tidak terlalu luas ini menyebabkan ekosistem mangrove tersebut tidak tumbuh secara optimal dengan keanekaragaman yang rendah dan tidak dapat membentuk zonasi. Gambaran lengkap mengenai sebaran dan luasan mangrove di Jawa Barat bisa dilihat pada tabel 7.2 di Bab 7 mengenai pesisir. Terlihat dari data tahun 2006 pada tabel tersebut, kerusakan mangrove di Jawa Barat telah mencapai 15.000 hektar atau 38% dari total luas mangrove yang ada. Sedangkan sisanya berada dalam kondisi sedang, tidak ada hutan mangrove yang ditemukan dalam kondisi baik. 6.2.4
Ekosistem Hutan Dataran Rendah Dan Pegunungan
6.2.4.1 Karakteristik Hutan hujan dataran rendah merupakan salah satu ekosistem terkaya di dunia. Hingga awal abad ke 18, Pulau Jawa masih diselimuti oleh hutan lebat ini (Whitten et al, 1996). Namun kini hutan yang terletak di bawah ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut ini hanya tersisa sedikit, tersebar dalam petak-petak kecil di beberapa lokasi. Pada daerah selalu basah seperti di bagian tengah dan selatan Jawa Barat, hutan ini tetap hijau sepanjang tahun dan dicirikan dengan kehadiran jenis Artocarpus elasticus, Disoxylum cauostachyum, langsat (Lansium domesticum) dan Planchonia valida. Pohon-pohon di hutan ini berukuran tinggi 2545 meter dengan beberapa mampu menjulang hingga 67 meter. Akar-akar papan dan pepohonan dengan bunga yang keluar dari batang (cauliflor) umum dijumpai dalam hutan. Sementara untuk daerah lebih kering seperti di utara Jawa Barat, ditemukan hutan yang berbeda. Di sini Pepohonan hanya mencapai tinggi hingga 25 meter dan banyak ditemukan tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya saat musim kemarau. Jenis-jenis pohon pada hutan ini, seperti yang dicatat oleh van Steenis pada tahun 1936 di daerah Indramayu,
9
umumnya adalah kesambi (Scheichera oleosa), Grewia, walikukun (Schoutenia ovata), Phyllanthus emblica, Vitex, Morinda tinctoria, Acacia leucophloea, Albizia dan Dillenia (Whitten et al, 1996). Wilayah pegunungan yang mendominasi Jawa Barat memiliki hutan berbeda dengan dataran rendah yaitu ekosistem hutan pegunungan. Hutan di sini mengalami perubahan, baik penampilannya maupun spesies-spesies penyusunnya, seiring dengan naiknya ketinggian. Pada ketinggian 1.000 - 1.500 meter, hutan - dikenal dengan istilah submontana- memiliki pepohonan dengan ketinggian 15-33 meter dengan anggrek dan paku epifit ditemukan melimpah. Umumnya hutan tipe ini didominasi oleh jenis-jenis pasang dan saninten (fagaceae) dan huru (lauraceae) bersama dengan puspa (Schima wallichii), ki hujan (Engelhardia spicata), huru bodas (Acer laurinum) dan rasamala (Altingia excelsa). Pada ketinggian 1.500 - 2.400 meter dari permukaan laut, hutan tertutup dengan pepohonan tinggi, namun diameter batang bertambah kecil dan memiliki banyak lumut. Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) adalah pepohonan besar yang umum ditemukan di tipe hutan yang dinamakan montana. Selain itu tumbuhan dari jenis Rhododendron atau segel (Myrsine avensis) mulai banyak bermunculan di sini. Pada zona paling tinggi, yaitu di atas 2.400 meter hingga sekitar 3.000 meter, dominasi pohon-pohon berukuran pendek dan dibalut oleh tumbuhan lumut yang melimpah terlihat jelas pada hutan yang diberi istilah sub-alpin. Cantigi (Vaccinium spp), rhododendron, jirak (Symplocos sessilifolia), Leptospermum flavescens dan ki teke (Myrica javanica) mudah dilihat di hutan ini, bersama dengan tumbuhan herba yang biasanya tumbuh di negara beriklim temperata, seperti Gentiana, Primula, Ranunculus dan Potentila. Diantara berbagai jenis penghuni hutan ini, paling terkenal adalah edelweis (Anaphalis javanica) atau sering dikenal dengan istilah tumbuhan bunga abadi. Ekosistem hutan, baik dataran rendah dan pegunungan, memiliki manfaat sangat penting bagi manusia. Berbagai berbagai macam bahan dapat diambil dari hutan seperti kayu, rotan, getah, buah-buahan, madu dan obat-obatan. Masih begitu banyak kandungan bahan kimia dalam berbagai jenis tumbuhan maupun binatang penghuni hutan yang di masa depan bisa digunakan untuk bahan obat-obatan maupun industri kimia. Selain menjadi tempat tinggal bagi ribuan jenis mahluk hidup dan sumber daya genetik, hutan menyediakan kebutuhan air dan udara bersih, menstabilkan tanah mencegah erosi, dan mengatur hidrologi mencegah banjir dan longsor. Ekosistem ini juga mempunyai fungsi penting sebagai tempat penampung
10
karbon atmosferik (carbon sink). Contohnya adalah penelitian Ulumudin (2004) menunjukkan bahwa hutan campuran Gunung Papandayan Garut mampu menyimpan karbon sampai 350 ton/ha. Karbon tersebut menjadi bagian dari biomassa pohon dan tumbuhan bawah, serasah dan karbon yang terikat dalam tanah. Sedangkan jumlah karbon yang tersimpan di dalam hutan monokultur milik Perhutani hanya berkisar 150-170 to/ha untuk hutan rasamala dan 30 50 ton/ha untuk hutan pinus. Fungsi hutan dalam kaitannya dengan peranannya sebagai penambat karbon, akhir-akhir ini mendapat perhatian penting masyarakat internasional, terutama sejak disetujuinya usaha penurunan konsentrasi karbon atmosferik dalam Protokol Kyoto pada tahun 1997 (Murdiyarso, 2003). Di samping itu suasana dan pemandangan indah di daerah pegunungan ditambah kekayaan mahluk hidup penghuninya menyebabkan daerah pegunungan sangat berpotensi untuk menjadi tempat wisata, edukasi dan sumber inspirasi. 6.2.4.2 Sebaran dan Kondisi Terkini Telah disinggung di atas bahwa hutan dataran rendah di Jawa Barat hanya tinggal sedikit dan tersebar dalam tempat-tempat berukuran kecil. Sisa-sisa hutan asli ini bisa dilihat di Dungus Iwul, Yan Lappa dan sebagian wilayah Gunung Halimun (Bogor), Sukawayana, Sukawayana dan Cikepuh (Sukabumi), Bojonglarang Jayanti (Cianjur), Cipatujah (Tasikmalaya), Leuweung Sancang (Garut) dan Pananjung Pangandaran (Ciamis). Sebagian areal tersebut telah mengalami degradasi dan kerusakan. Dengan sedikitnya hutan dataran rendah tersisa maka keberadaan hutan pegunungan menjadi sangat penting bagi kelestarian hutan. Masih cukup banyak wilayah pegunungan di Jawa Barat ditutupi oleh hutan - seperti Halimun-Salak, GedePangrango, Burangrang-Tangkuban Parahu, Papandayan-Kamojang, Masigit-Kareumbi atau Ciremai, walaupun telah berkurang jauh bila dibandingkan masa lalu, terfragmentasi dan beberapa sudah mengalami kerusakan. Dilihat dari sebarannya tampak sebagian besar hutan tersisa terletak di wilayah selatan Jawa Barat. Uraian lebih lanjut mengenai hutan ditampilkan pada Bab 5. Sekalipun tidak terdapat pembagian antara hutan dataran rendah dan pegunungan, kondisi terkini ekosistem ini bisa digambarkan dari data statistik kehutanan mengenai luas tutupan hutan pada tabel berikut di bawah ini.
11
Tabel 6.1 Luas Hutan Berdasarkan Fungsinya Tahun 2007 No 1 2
3
Fungsi Hutan Hutan Lindung Hutan Konservasi a. Cagar Alam b. Suaka Margasatwa c. Taman Wisata d. Taman Buru e. Taman Nasional f. Taman Hutan Raya Hutan Produksi Jumlah
Luas Hutan (Ha) 260.441,37 173.030,03 47.528,55 13.577,50 3.951,02 12.420,70 94.982,42 569,84 374.774,97 808.246,37
Sumber Data : Statistik Kehutanan Tahun 2007, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
Luas hutan konservasi di Jawa Barat, dengan salah satu fungsinya adalah sebagai lokasi pelestarian keanekaragaman hayati, mencapai 173.030,03 Ha atau 4,76 % dari luas Jawa Barat. Angka ini cukup baik karena sebenarnya RTRW Prov. Jawa Barat 2010 hanya mentargetkan luas kawasan hutan konservasi sebesar 107.966,42 Ha atau 3 % dari luas wilayah Jawa Barat. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tidak ada perubahan status yang terjadi sehingga luasan hutan konservasi juga tidak mengalami perubahan. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah tingkat kerusakan atau degradasi yang terjadi hutan-hutan tersebut. Hal ini bisa terlihat dengan masih adanya kasus gangguan hutan di kawasan konservasi pada tahun 2007 berupa kasus perambahan untuk garapan tercatat seluas 1.363,6 ha diikuti percurian kayu sebanyak 9.426 batang, pemukiman liar seluas 7566,9 ha, bencana alam 60,7 ha, perburuan liar 45 kasus, penggembalaan liar 54 ha, kebakaran hutan 9018,6 ha dan penambangan emas liar (PETI) 208,5 ha. Total gangguan meliputi areal seluas sekitar 18.268,3 ha atau 11% dari dari keseluruhan kawasan konservasi. Sementara untuk hutan lindung pada tahun 2007 tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini membuat target RTRW Prov. Jawa Barat 2010 yang menginginkan luasan hutan lindung mencapai 16% dari luas Jawa Barat masih belum terpenuhi karena luas hutan lindung yang ada sekarang hanya mencakup 7.17%. Sekalipun hutan lindung tidak memiliki fungsi sebagai tempat pelestarian keanekaragaman hayati, tetapi tetap saja memiliki peran cukup penting sebagai habitat flora-fauna walaupun mungkin tingkat keanekaragaman hayatinya tidak setinggi hutan konservasi (lihat kotak 6.3).
12
Kotak 6.3. Hutan Lindung Cirompang dan Sekitarnya, Habitat Tumbuhan dan Satwa Liar yang Terlupakan. Hutan lindung memang tidak memiliki fungsi sebagai perlindungan keanekaragaman hayati. Penetapkan hutan lindung lebih didasarkan kepentingan pemeliharaan fungsi hidrologis hutan. Bila dibandingkan dengan kawasan konservasi, nilai kekayaan dan keanekaragaman hayati di hutan lindung masih jauh di bawahnya. Luasan hutan lindung umumnya juga tidak terlalu besar. Tidak mengherankan jika pengelolaan hutan lindung pun – oleh Perhutani Unit III Jawa Barat- tidak seintensif kawasan konservasi. Sayangnya tidak banyak yang tahu di Jawa Barat masih terdapat blok-blok hutan lindung yang saling menyambung membentuk kawasan hutan cukup luas dan dihuni oleh tumbuhan atau satwa liar dilindungi, langka atau endemik. Kawasan Hutan Cirompang dan sekitarnya adalah salah satu kawasan hutan lindung terluas di Jawa Barat. Menurut Zuhri dan Sulistyawati (2007), luasan arealnya mencapai 19.269 ha –hampir setara dengan TN Gede Pangrangomemanjang dari Bungbulang Garut hingga Pengalengan Bandung. Pengamatan oleh BPLHD pada tahu 2008 menunjukkan di sini masih dapat dijumpai hutan rimba penuh dengan tegakan pohon rasamala (Altingia excelsa) yang sudah langka di Jawa Barat. Beberapa satwa liar dilindungi dan terancam kepunahan menghuni hutan ini seperti owa, surili dan lutung bersama dengan sebanyak 78 jenis burung dengan 11 diantara endemik di Jawa. Tahun sebelumnya KONUS melakukan survai Owa Jawa dan berhasil menemukan keberadaan satwa ini di sini dan pada beberapa lokasi hutan lindung lainnya. Pengamatan tersebut membuktikan bahwa hutan Cirompang merupakan tempat berlindung bagi berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Akan tetapi kegiatan pengrusakan telah mulai terjadi di sini. Tanpa ada upaya meningkatkan pengelolaan di hutan ini, dikawatirkan Cirompang akan bernasib sama dengan kebanyakan hutan lindung lainnya yang telah mengalami degradasi. Sumber: BPLHD, Pengembangan Basis Data Keanekaragaman Hayati di Kawasan Hutan Cirompang 2008
6.2.5
Ekosistem Hutan Rawa
6.2.5.1 Karakteristik Hutan rawa muncul
pada tempat-tempat yang
tergenang air secara periodik. Umumnya ekosistem ini terbentuk pada daerah cekungan/depresi, seperti bekas kawah gunung berapi, atau di sekitar pinggiran sungai. Tanahnya berupa tanah aluvial, relatif lebih subur
dibandingkan
lereng-lereng
di
sekitarnya
sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Dibandingkan dengan hutan dataran rendah atau pegunungan, hutan rawa umumnya lebih miskin dalam hal jumlah jenis tumbuhan. Namun hutan rawa merupakan tempat tinggal bagi berbagai jenis satwa terutama jenis-jenis ikan.
13
Tumbuhan penyusun rawa biasa bervariasi bergantung pada kondisi tanah dan ketersediaan air. Di daerah rawa Lakbok di tepian sungai Citanduy, pohon-pohon dari jenis Nauclea dan Neonaclea merupakan penghuni tempat ini , sementara jenis pohon lainnya, Eleaocarpus littoralis menghuni petak rawa berukuran kecil di jalur antara Bekasi dan Bogor. 6.2.5.2 Sebaran dan Kondisi Terkini Pulau Jawa diperkirakan pernah memiliki hutan-hutan rawa dengan jumlah keseluruhan mencapai 72.000 hektar (Whitten et al, 1996). Menurut catatan lama, hutan rawa di Jawa Barat dapat ditemukan di Rawa Lakbok Ciamis, Rawa Bojong Pamengpeuk Garut, Rawa Sirdayah di antara Bekasi dan Bogor, dan rawa di belakang hutan pantai Cikepuh Sukabumi. Catatan pada tahun 1989 menunjukkan hutan rawa tersisa di Jawa tinggal 7.700 hektar. Demikian pula yang terjadi pada hutan rawa di Jawa Barat, hampir seluruhnya telah hilang. Hal ini dikarenakan sebagian besar rawa dikeringkan untuk kemudian dijadikan lahan persawahan. Kisah rawa Lakbok pada kotak 6.4 berikut memberikan gambaran lenyapnya hutan-hutan rawa di Jawa Barat. Tidak ditemukan catatan terbaru mengenai keadaan hutan rawa, namun bukanlah hal yang mengherankan jika ternyata hutan jenis ini telah hilang dari Jawa Barat.
Kotak 6.4. Lakbok, Kisah Lenyapnya Hutan Rawa Dahulu rawa Lakbok di tepian sungai Citanduy merupakan hutan rawa gambut terbesar di Jawa dan bahkan kemungkinan hutan gambut tipe topogenous terbesar di Indonesia. Rawa ini sangat kaya akan kehidupan, sebagaimana digambarkan oleh Junghuhn (1854) saat mengunjungi Lakbok dipertengahan abad 18 : Pada suatu waktu perairan begitu hidup dengan kerumunan ikan-ikan besar dan menggiurkan, serta permukaannya dpenuhi oleh burung belibis dan burung air lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Buaya berbaring di tepian, dan burung pelikan bersama berbagai jenis bangau mengais-ngais di lumpur. Beberapa bulan kemudian, pada April dan Mei, ketika permukaan air mulai surut, ribuan ikan terdampar di sepanjang tepian. Harimau dan anjing hutan pun bermunculan, bersaing dengan para burung pemangsa. Beberapa bulan selanjutnya, pada pertengahan musim kemarau, rawa mengering berubah menjadi padang rumput yang lebat dan tinggi mengundang datangnya rusa dan babi hutan walau dalam bahaya intaian harimau dan macan tutul. Kini situasi seperti itu hanyalah tinggal kenangan. Pengeringan rawa untuk lahan pertanian mulai dilakukan sejak tahun 1924. Tahun 1940, rawa masih tersisa cukup luas sekitar 3.000 hektar namun proses perubahan rawa tetap terjadi terus. Survai terakhir tahun 1992 hanya menemukan petak seluas 500 x 600 meter dengan kedalaman gambut mencapai 6 meter. Sumber : Whitten et al, 1996. The Ecology of Java and Bali.
14
6.2.6
Ekosistem Karst
6.2.6.1 Karakteristik Karst adalah peristilahan bentang alam yang berkembang pada batuan karbonat (batugamping dan dolomit), dan terbentuk karena proses pelarutan air. Proses dinamis ini dikenal dengan kartifikasi. Karst tidak hanya terjadi di daerah berbatuan karbonat, tetapi terjadi juga di batuan lain yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder, seperti bahan gipsum dan halit. Namun untuk di Indonesia, gipsum dan halit jarang dijumpai, sehingga istilah karst selanjutnya ditujukan untuk batugamping saja. Selama batugamping mempunyai ketebalan cukup, memiliki sistem pencelahan-retakan karena tektonik, serta berada di kawasan dengan curah hujan tinggi dan iklim memadai, maka proses pelarutan melalui media air akan mengukir bagian permukaan (eksokarst) dan bawah (indokarst) permukaan batugamping menjadi karst. Kawasan karst menyimpan berbagai potensi baik dipermukaan maupun dibawah permukaan. Potensi dipermukaan kawasan karst antar lain berbagai vegetasi yang khas tumbuh dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan kering. Di samping itu, celah-celah batuan pada kawasan ini dapat digunakan sebagai tempat bersarang beberapa jenis burung seperti elang dan beberapa mamalia kecil. Di bawah permukaan karst terdapat gua-gua, habitat berbagai jenis satwa dan tumbuhan khas yang dapat bertahan hidup dalam kegelapan. Tumbuhan yang tumbuh di dalam permukaan karst ini memiliki kemampuan untuk beradaptasi dalam lingkungan yang sangat basa dengan tingkat kesadahan air yang sangat tinggi. Terdapat kelompok satwa yang murni hanya dapat hidup di dalam gua saja dan telah beradaptasi terhadapan kegelapan abadi. Hewan ini – berupa kepiting, ikan, udang, laba-laba dan serangga jenis tertentu-mereduksi indera penglihatan mereka dan menggantinya dengan mengembangkan indera peraba. Ada juga hewan yang bisa hidup dalam kegelapan tidak hanya di gua tetapi juga di luar gua seperti kalajengking, jangkrik dan kecoak jenis tertentu. Sementara kelelawar dan burung walet memanfaatkan gua sebagai tempat tinggal namun mereka mencari makan pada lingkungan di luar gua. Terkadang dapat ditemukan kelelawar dalam jumlah sangat besar menghuni suatu
15
gua, misalnya Gua Lalai di Pelabuhan Ratu Sukabumi dihuni oleh ratusan ribu kelelawar jenis Tadarica plicata. Selain menjadi tempat tinggal bagi tumbuhan dan hewan unik, kawasan karts juga berfungsi sebagai penyedia dan pemurni air bersih. Sering sekali dijumpai sungai-sungai di bawah tanah, mengalir di dalam gua. Gua-gua di kawasan karst
juga dapat dikembangkan sebagai
peternakan burung walet. Di samping itu kelelawar sebagai satwa berhabitat di gua-gua juga memberikan keuntungan yang bernilai. Keuntungan pertama, kelelawar tersebut menjadi musuh alami dari berbagai macam serangga hama dan kedua, kotoran kelelawar merupakan sumber fosfat guano yang terdiri dari senyawa P2O5 yang biasa digunakan untuk pupuk dengan fosfat sebagai salah satu senyawa penyusunnya. Fosfat guano yang bermutu baik dihasilkan oleh kelelawar pemakan serangga, misalnya Hippoisideras diadema. 6.2.6.2 Sebaran dan Kondisi Terkini Kawasan ekosistem karst di Jawa Barat menempati areal seluas 1.118,84 km2 dengan sebaran terbesar di daerah selatan mencapai 911,9 km2 (81,5%), sementara di tengah dan utara masing-masing seluas 89, 1 km2 dan 26,79 km2. Ekosistem ini terdapat di sebelas kabupaten dengan sebaran serta luasnya bisa di lihat pada tabel berikut . Pengamatan BPLHD (2007) pada 5 gua di Jawa Barat menunjukkan kondisi hutan di sekitar kawasan sebagian besar telah rusak. Ancaman terbesar yang dihadapi oleh ekosistem ini adalah kegiatan penambangan dan perubahan tata guna lahan (lihat kotak 6.5). Tabel 6.2 Sebaran dan Luas Kawasan Karst di Propinsi Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Wiilayah Kabupaten Sukabumi Kabupaten Bogor Kabupaten Bekasi Kabupaten Karawang Kabupaten Purwakarta Kabupaten Cianjur Kabupaten Bandung Kabupaten Cirebon Kabupaten Garut Kabupaten Tasik Kabupaten Ciamis Jumlah
Luas Kawasan (km2) 342,85 73,79 1,90 31,36 1,39 2,90 9,91 1,99 0,56 362,02 290,17 1.118,84
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi 2004, Provinsi Jawa Barat
16
Kotak 6.5. Kekayaan Lima Kawasan Karst di Jawa Barat dan Ancamannya. Tahun 2007, BPLHD mengadakan penelitian keanekaragaman hayati pada lima kawasan karts di Jawa Barat yaitu Gudawang, Ciampea, Ciseeng (ketiganya di Bogor), Pangkalan (Karawang) dan Pawon (Bandung). Berbagai macam jenis kelelawar menghuni gua-gua di kawasan tersebut, berpotensi untuk mengendalikan hama pertanian dan vektor penyakit. Di kawasan Gudawang misalnya ditemukan 9 jenis kelelawar pemakan serangga, sementara di gua Pawon terdapat 50.000 ekor kelelawar pemakan serangga Chaerophon plicata. Selain kelelawar, penghuni gua lainnya yang umum nampak adalah burung walet. Tumbuhan khas daerah karst masih bisa dilihat walaupun sudah jarang di karenakan hutan-hutan yang ada telah rusak atau beralih fungsi. Diantara tumbuhan langka yang ditemukan adalan Epithema involucrata dan Rhynchoglossum obliquum di gua Pawon. Kawasan karst tersebut atas memiliki manfaat lain sebagai penyimpan air. Akan tetapi pengamatan menemukan sebagian besar kawasan ini telah rusak dan proses perusakannya masih terus berjalan. Perubahan tata guna lahan adalah penyebab utamanya bersama dengan kegiatan penambangan kapur yang menghancur satui demi satu gua-gua di kawasan karst. Sumber : Kehati Kawasan Karst Jawa Barat, BPLHD 2007
6.2.7
Ekosistem Pertanian (Kebun Campuran)
6.2.7.1 Karakteristik Ekosistem ini sebenarnya merupakan ekosistem buatan manusia, ditanam oleh para petani tradisional sebagai sistem produksi skala kecil yang memadukan berbagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Biasanya ekosistem ini terdapat di pekarangan tidak jauh dari rumah para petani, dengan memiliki penampilan dan struktur kebun memiliki ciri-ciri khas ekosistem hutan alam. Kebun campuran mempunyai vegetasi dengan susunan vertikal berlapis-lapis mirip pada hutan alam. Pohon-pohon tinggi yang menjulang mencapai ketinggian 35 meter diisi oleh jenis-jenis durian, petai, kwini, embacang dan kemang. Sementara tajuk utama membentuk lapisan paling atas vegetasi diisi oleh pohon buah-buahan (rambutan-menteng, duku, jambu-jambuan, menggis dan kecapi) dan sayuran (tangkil dan jengkol) dengan ketinggian antara 15-25 meter. Di bawah lapisan ini ditanam pohon-pohon kecil seperti gandaria, belimbing, rukem, lobi-lobi, ciremai dan palem (aren, pinang dan salak). Lantai kebun
17
biasanya diisi oleh jenis-jenis herba dan perdu tahan naungan untuk melindungi semai dan anakan pohon di atasnya. Menurut Michon dan Mary (1994), sebanyak 250 jenis tumbuhan ditemukan pada kebun campuran di Cibitung-Bogor dengan 150 jenis di antaranya adalah spesies khas kebun tradisional dan kebanyakan berasal dari hutan setempat. Gambaran kekayaan dan keragaman tumbuhan bisa tergambar dari tabel berikut yang merupakan hasil penelitian pada pekarangan di Jawa Barat. Tabel 6.3 Keanekaragaman Tanaman Budidaya di Pekarangan Jawa Barat Jumlah Jenis Setiap Kelompok
Cinangka (jauh dari jalan raya)
Kramat Watu (dekat jalan raya)
44 10 17 10 29 14 4 14
33 6 6 6 15 4 2 4
Tanaman hias Tanaman pangan Sayuran Tanaman obat-obatan Tanaman buah-buahan Rempah-rempah Tanaman untuk produksi Lain-lain Sumber Data : Soemarwoto dkk, 1976
Kebun campuran memiliki peranan sangat penting dalam keanekaragaman hayati karena merupakan sumber keanekaragaman genetik tanaman budidaya. Kebun ini juga menghasilkan beragam buah-buahan, sayuran, tanaman obat dan kayu bagi para petani baik sebagai sumber pendapatan maupun digunakan untuk keperluan sendiri. Karena strukturnya yang mirp dengan hutan alam, kebun campuran juga menjadi habitat bagi berbagai jenis fauna dan memiliki fungsi hidrologis dalam menjaga ketersediaan air bersih. 6.2.7.2 Sebaran dan Kondisi Terkini Kebun campuran pekarangan di Pulau Jawa menurut Whitten et al (1996), pernah mencapai luas hingga 1,6 juta hektar atau 17% lahan pertanian. Tidak ada data pasti dan terbaru mengenai luasan kebun campuran di Jawa Barat karena bentuk lahan seperti ini tidak pernah dibuat klasifikasi tersendiri dalam analisa tutupan lahan. Karena itu sulit untuk melihat angka perubahannya dari tahun ke tahun. Walaupun demikian kecenderungan memperlihatkan penyusutan luasan kebun campuran. Dahulu kebun campuran mudah terlihat di jalur antara Jakarta dan Bogor, kini modernisasi menyebabkan kebun tersebut berubah fungsi menjadi peruntukan lainnya. Selain itu kondisi ekonomi petani dan permintaan pasar membuat para 18
petani cenderung mengarah pada kebun dengan satu jenis tanaman (monokultur). Akibatnya ciri kebun campuran di pekarangan, yaitu keanekaragaman hayati dan keragaman manfaat, semakin menghilang. 6.2.8
Keanekaragaman Flora Jawa Barat mempunyai keanekaragaman tumbuhan yang tinggi. Di sini terdapat 3.882 jenis (spesies) tumbuhan berbunga dan tumbuhan paku asli Jawa Barat dan 258 jenis yang dimasukkan dari luar. Lebih besar bila dibandingkan Jawa Tengah dengan 2.851 dan Jawa Timur 2.717 jenis tumbuhan asli. Khusus untuk anggrek (Orchidaceae) di Pulau Jawa, di Jawa
Barat terdapat 607 jenis alami, 302 jenis (50 %) hanya ada di Jawa Barat (Van Steenis dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965). Menurut Comber (1990) di Jawa Barat terdapat 642 jenis anggrek dan yang hanya terdapat di Jawa Barat 248 jenis. Tumbuhan yang termasuk pohon, di Jawa Barat terdapat 1.106 jenis (Prawira, tbt.) dengan 51 jenis disebut dengan pohon-pohon yang penting, diantaranya jati (Tectona grandis), rasamala (Altingia excelsa), kepuh (Sterculia foetida), jamuju (Podocarpus imbricatus), bayur (Pterospermum javanicum), puspa (Schima wallichii), kosambi (Schleichera oleosa), beleketebe (Sloenea sigun), pasang (Lithocarpus spp.), pedada (Sonneratia alba), dan bakau (Rhizhopora mucronata). Tabel 6.4 Status Keanekaragaman Tumbuhan di Jawa Barat Status Tumbuhan berbunga dan paku Dilindungi Endemik Anggrek Endemik Langka Introduksi
Jumlah spesies 3.882 33 49 167 19 258
Sumber : Atlas Keanekaragaman Hayati di Jawa Barat tahun 2003, Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005
19
Sementara berdasarkan data di dalam Atlas Keanekaragaman Hayati di Jawa Barat tahun 2003, untuk tumbuhan yang terdapat di kawasan konservasi, ditemukan 33 diantaranya merupakan jenis dilindungi, 19 langka, 49 endemik, 52 khas (termasuk khas kawah dan formasi pantai). Beberapa contoh jenis tumbuhan endemik misalnya Canarium kipella di Gunung Salak dan Pelabuhan Ratu, Shorea sp di Sancang, atau Nastus elegantissimus di Gunung Tilu. Data selengkapnya bisa dilihat di dokumen Kumpulan Data Status Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat Tahun 2008. Jawa Barat juga kaya akan tanaman budidaya, seperti yang telah dibahas pada sub bab 6.2.7. Kebun campuran di pekarangan menjadi konsentrasi kekayaan pohon buah-buahan, sayuran maupun tanaman obat. Sebagai contoh di Kampung Naga, Garut - sebuah perkampungan tradisional- memanfaatkan sebanyak 110 jenis tumbuhan untuk tanaman obat, 23 jenis untuk bahan pangan, 56 jenis untuk lalab/sayuran, 14 jenis buah-buahan, 49 jenis untuk bahan bangunan dan kayu bakar, 24 jenis untuk bahan kerajinan, 23 jenis untuk perlengkapan, 21 jenis untuk pakan ternak, dan 21 jenis untuk keperluan ritual. Seluruhnya ada 255 jenis tanaman yang digunakan. Selain itu daerah pertanian juga baik lahan tertutup maupun terbuka, kering maupun basah merupakan sentra keanekaragam genetik. Soemarwoto dan Soemarwoto (1984) menemukan sekurangnya 40 kultivar pisang ditanam masyarakat di sepanjang aliran Sungai Citarum. Sedangkan Husodo (2004) mencatat masyarakat Kasepuhan Ciptarasa Sukabumi menanam 66 varietas pada sawah lokal, 19 varietas padi huma dan 11 varietas padi ketan. Kondisi pada tahun 2007 untuk flora di Jawa Barat tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun sebelumnya, dalam hal ini tidak ada penemuan jenis baru atau kepunahan suatu jenis. Walaupun demikian ancaman penurunan populasi dapat terjadi apabila terdapat kegiatan yang merusak hutan atau pengambilan suatu jenis tumbuhan yang berlebihan bagi keperluan tertentu. Penurunan ini juga terjadi dalam hal keanekaragaman genetik tanaman budidaya. Semakin menyempitnya lahan kebun campuran dan kebijakan industri pertanian yang mendorong penyeragaman penggunaan varietas baik pada padi maupun tanaman lainnya, membuat semakin banyak varietas-varietas lokal yang menghilang. Padahal padi varietas lokal memiliki karakteristik tertentu hasil adaptasi dengan lahan pertanian setempat. Jika
20
disilangkan dengan tepat berpotensi menghasilkan padi berproduktifitas tinggi, tanpa perlu biaya pemupukan dan pestisida. Akibat kebijakan ini, penanaman padi varietas lokal hanya tinggal 10-15% dan untuk Jawa Barat hanya menempati areal seluas 50.778 hektar (4,6%) dari total 1.113.758 hektar lahan tanaman padi (Kompas 15 September 2008). 6.2.9
Keanekaragaman Fauna
6.2.9.1 Kelompok Mamalia Berdasarkan hasil penelusuran, saat ini di Jawa Barat terdapat 134 jenis mamalia daratan, 22 jenis diantaranya adalah spesies endemik Jawa. Jenis paling terkenal adalah Surili (Presbytis comata), Owa Jawa (Hylobates moloch) dan salah satu jenis mamalia predator yaitu macan tutul (Panthera pardus) yang sekaligus sebagai “maskot” satwa Jawa Barat. Sebanyak 12 jenis merupakan endemik Jawa Barat sementara 19 jenis dilindungi perundang-undangan (tabel 6.5). Tabel 6.5 Status Keanekaragaman Mamalia di Jawa Barat Status
Jumlah spesies
Jumlah total Dilindungi Endemik Jawa Barat Terancam kepunahan (IUCN)
134 19 12 5
Sumber : Buku "Profil, PolaPemanfaatan, dan Pelesarian Keanekaragaman Hayati Jawa Barat" BPLHD Jawa Barat, 2002; Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005; IUCN Red Data Book.
Diantara jenis-jenis yang dilindungi, terdapat lima satwa yang menurut lembaga konservasi dunia IUCN, dikategorikan spesies terancam kepunahan secara global yaitu banteng (Bos javanicus), anjing hutan (Cuon alpinus), owa (Hylobates moloch), surili (Prebytis commata) dan lutung (Trachypithecus auratus) sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Status kritis
21
disandang oleh owa akibat rusaknya habitat berupa hutan dataran rendah yang ada di Jawa Barat sehingga sekarang terdesak ke hutan-hutan pegunungan yang masih tersisa. Tidak ada perbedaan kondisi mamalia pada tahun 2007 dengan tahun sebelumnya karena tidak ada penemuan jenis baru atau kepunahan suatu jenis. Walaupun demikian penurunan populasi diperkirakan terus terjadi akibat hilangnya atau degradasi habitat dan aktifitas perburuan. Salah satu contoh penurunan drastis kelompok ini terjadi pada banteng (Bos javanicus) di hutan Sancang (Garut) dan di Pangandaran (lihat kotak 6.6).
Kotak 6.6. Kepunahan Banteng di Leuweung Sancang Ada jaman ketika banteng (Bos javanicus) memenuhi hutan-hutan di Jawa Barat. Tetapi kini nasib banteng sungguh menggenaskan, mengalami tekanan akbibat kehilangan tempat tinggal maupun diburu, populasinya merosot terus bahkan satu demi satu kawasan hutan mulai kehilangan satwa ini. Hutan Leuweung Sancang di Garut adalah contoh kisah tragis banteng yang berakhir dengan kepunahan lokal. Pada masa lalu Leuweung Sancang merupakan hutan lebat dan legendaris bagi masyarakat Jawa Barat. Demikian pula bagi banteng, hutan Sancang menjadi tempat tinggal yang nyaman. Jumlah mereka mencapai ratusan ekor pada tahun 1980-an hingga berkeliaran di kebun-kebun. Tahun 1988, jumlah banteng masih mencapai 200 ekor. Sekalipun status hutan Sancang adalah cagar alam, tahun 1998 terjadi penjarahan dan perambahan hutan besar-besaran di sini. Hutan dirusak sekarang hanya tersisa 30% sementara padang rumput tempat makan banteng berubah menjadi lahan garapan. Tidak hanya itu pengrusakan itu diikuti dengan maraknya perburuan liar terhadap satwa ini. Akibatnya bisa terlihat jelas, tahun 2000 populasi banteng tinggal 10 ekor. Pada pengamatan di tahun 2003 tidak menemukan satu ekor pun. Banteng yang tadinya berkeliaran di Sancang dalam jumlah besar, kini hanya tinggal cerita saja. Sumber : Does the Banteng (Bos javanicus) have a Future in Java? Challenges of the Conservation of a Large Herbivore in a Densely Populated Island (Satyawan Pudyatmoko 2004)
22
6.2.9.2 Kelompok Burung Menurut dokumen Keanekaragaman Flora-Fauna Jawa Barat 2005, jumlah burung di Jawa Barat diperkirakan mencapai 245 jenis. Sebagian besar merupakan jenis penetap dan lainnya adalah jenis migran. Jumlah tersebut mungkin berubah karena ada jenis yang diduga telah punah seperti Truilek Jawa
(Vanellus
macropterus) jenis
migran
dan yang
tidak lagi mengunjungi Jawa
Barat
akibat
adanya perubahan iklim. Dari jumlah tersebut 22 diantaranya merupakan jenis endemik Pulau Jawa (tabel 6.6). Sedangkan jumlah burung yang dilindungi oleh perundang-undangan jumlahnya ada 119 jenis.
Tabel 6.6 Status Keanekaragaman Burung di Jawa Barat Status
Jumlah spesies
Jumlah total Dilindungi Endemik Jawa & Bali Terancam kepunahan (IUCN)
245 119 22 7
Sumber : Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005; Ecology of Java & Bali 1996; IUCN Red Data Book
Jenis burung Jawa Barat yang dapat dikatakan paling terancam keberadaannya adalah Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang dikategorikan oleh lembaga konservasi dunia IUCN dalam kondisi secara global terancam punah dengan status dalam bahaya (endangered) dan merupakan endemik Jawa. Satus yang sama disandang oleh burung jalak putih (Sturnus melanopterus) sedangkan burung Tiung mungkal Jawa (Cochoa azurea), bangau tongtong (Leptostilus javanicus), bangau bluwok (Mycteria cinerea), Celepuk Jawa (Otus angelina), raja udang kalung biru (Alcedo euryzona) dan gelatik (Padda oryzivora) dikelompok dalam status rentan terhadapan kepunahan.
23
Sekalipun tidak ada penemuan jenis baru maupun kepunahan burung tertentu pada tahun 2007 namun penurunan populasi diperkirakan terus terjadi. Selain hilangnya habitat, kelangkaan jenis burung lebih disebabkan karena nilai ekonomis burung yang sangat tinggi sebagai hewan peliharaan sehingga penangkapan liar tidak bisa dihindarkan disamping ketersediaan habitat yang semakin berkurang. Contoh yang sangat tragis adalah untuk jenis burung gelatik jawa Padda oryzivora yang secara global terancam punah. Dahulu jumlahnya sangat berlimpah bahkan dianggap sebagai hama, lalu akibat penangkapan besar-besaran untuk peliharaan kini jenis ini menghadapi kepunahan. 6.2.9.3 Kelompok Amfibi-Reptil Menurut Iskandar (1998) terdapat sebanyak 42 jenis amfibi di Jawa dan Bali, termasuk diantaranya 11 jenis amfibi endemik. Dari jumlah tersebut 40 jenis terdapat di Jawa Barat dengan 2 di antaranya merupakan jenis introduksi dari luar.
Untuk jenis reptil, menurut dokumen
Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005 , terdapat sekitar 94 jenis reptil di Jawa Barat. Tabel 4.7 menunjukkan status endemik, dilindungi atau terancam kepunahan dari amfibi-reptil di Jawa Barat. Jenis yang perlu mendapat perhatian adalah buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan labi-labi bintang (Chitra chitra) berada dalam bahaya kepunahan global dengan status kritis. Selain itu jenis lain yang terancam punah namun dengan status rentan adalah bulus (Amyda cartilaginea), kuya batok (Coura amboinensis), kura-kura pemakan siput (Malayemys subtrijuga), kura-kura pipi putih (Siebenrockiella crassicolis) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Tabel 6.7 Status Keanekaragaman Amfibi-Reptil di Jawa Barat Status
Jumlah spesies
Jumlah total Dilindungi Endemik Jawa Barat
136 4 8
24
Status
Jumlah spesies
Terancam kepunahan (IUCN)
8
Sumber: Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005
Sama seperti kelompok fauna lainnya tidak ada perubahan berarti pada tahun ini dalam hal penambahan jenis atau kepunahan spesies. Namun penurunan populasi diperkirakan tetap terus terjadi akibat kerusakan habitat maupun pengambilan spesies berlebihan. Beberapa jenis amfibi-reptil mempunyai nilai ekonomi tertentu untuk makanan, obat, bahan kerajinan atau binatang hias seperti penyu hijau, katak sawah, ular, kura-kura, biawak, kadal dan tokek, sehingga penangkapan berlebihan tanpa mempertimbangkan besarnya populasi jenis tersebut dikawatirkan dapat menimbulkan kepunahan (lihat kotak 6.7 untuk penyu hijau). 6.2.9.4 Kelompok Ikan Keanekaragaman ikan di Jawa Barat, menurut dokumen Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005, tercatat sebanyak 147 jenis dengan 6 jenis di antaranya merupakan endemik Pulau Jawa (lihat tabel 6.8). Beberapa jenis ikan introkduksi telah tersebar luas di Jawa Barat bahkan ada yang memiliki nilai ekonomi, misalnya ikan seribu, ikan pedang, mujaer, nila, bawal air tawar, lele dumbo, grass carp, ikan mas dan sapu-sapu. Beberapa jenis ikan asli telah berhasil dibudidayakan seperti gurami, tambakan, belut, nilem dan lele. Namun ada juga ikan yang memiliki potensi karena ukuran bisa besar, daging tebal dan lezat tapi belum berhasil dibudidayakan secara memuaskan, yaitu ikan tambra atau kancera.
Kotak 6.7. Penyu Hijau, Berjuang Menghindari Kepunahan Hanya ada tiga lokasi peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) yang tersisa di Jawa Barat, yaitu di Pangumbahan dan Cikepuh Sukabumi, serta di Cipatujah Tasikmalaya. Penelitian oleh Yusriana (2004) menemukan jumlah penyu yang mendarat untuk bertelur per tahun per km adalah 3 ekor di Cipatujah, 1.708,7 ekor di Pangumbahan dan 39,4 ekor di Cikepuh. Jumlah telurnya per sarang rata-rata 72,5 butir di Cipatujah, 107 butir di Pangumbahan dan 81,81 butir di Cikepuh. Walaupun sepintas jumlah penyu cukup banyak begitu pula telurnya, ancaman penurunan populasi tetap terjadi akibat pengambilan oleh manusia. Jumlah telur yang diambil mencapai 38,17% di Cipatujah, 93,91% di Pangumbahan dan 24,13% di Cikepuh. Hal ini masih diperparah dengan hadirnya anjing-anjing liar yang turut memakan telur. Sumber : Pengelolaan pelestarian penyu hijau (Chelonia mydas) di pantai selatan Jawa Barat (Bintarti Yusriana 2004)
25
Tabel 6.8 Status Keanekaragaman Ikan di Jawa Barat Status
Jumlah spesies
Jumlah total Dilindungi Endemik Jawa Terancam kepunahan (IUCN)
147 2 6 -
Sumber : Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005
Tidak ada penemuan jenis baru maupun informasi kepunahan spesies ikan tertentu pada tahun 2007. Walau demikian kecenderungan penurunan populasi ikan terjadi terus akibat kerusakan pada sungai, danau atau rawa. Keanekaragaman pada beberapa jenis sungai besar di Jawa Barat, menurut beberapa penelitian telah mengalami penurunan. Di sungai Ciliwung dari 44 jenis yang tercatat sebelum masa kemerdekaan, hanya 9 jenis yang dapat ditemukan kembali pada survai tahun 1991/1992. Hal serupa juga terlihat di Sungai Citarum, dari 28 jenis ikan yang pernah tercatat sekarang hanya ditemukan 13 jenis. 6.2.10 Kawasan Perlindungan Keanekaragaman Hayati Pada masa lalu ketika populasi penduduk masih sedikit dan hutan masih menutupi sebagian besar Jawa Barat, lokasi-lokasi pusat keanekaragaman hayati kemungkinan tersebar luas dimana-mana. Seiring dengan pertambahan populasi penduduk dan laju pembangunan, banyak lokasi-lokasi alami seperti hutan atau rawa dikonversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Kini konsentrasi keanekaragaman hayati, hanya tersisa di kawasan lindung terutama daerah yang memang salah satu fungsinya diperuntukkan untuk pengawetan keanekaragaman hayati yaitu kawasan konservasi. Terdapat dua macam kawasan konservasi yaitu, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Kewenangan pengelolaan kedua kawasan ini berada ditangan pemerintah pusat yaitu departemen kehutanan. 6.2.10.1 Kawasan Konservasi Berdasarkan buku informasi yang diterbitkan oleh Sub balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat 1999, Jawa Barat memiliki kawasan konservasi sebanyak 45 lokasi, terdiri dari Taman Nasional (2), Cagar Alam (25), Suaka Margasatwa (2), Taman Wisata Alam (6 berdiri sendiri dan 7 bersama dengan Cagar Alam), Taman Buru (1) dan Taman Hutan Raya (1). Lokasi kawasan tersebut tersebar di 10 kapubaten yaitu Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Ciamis, Sumedang, Subang, Sumedang dan Kuningan. Kemudian pada tahun 2004 bertambah
26
lagi 1 (satu) taman nasional yaitu Taman Nasional Gunung Ciremai seluas 15.500 Ha yang terletak di kabupaten Kuningan dan Majalengka. Selanjutnya hingga tahun 2007 ini tidak ada penambahan atau perubahan status dari kawasan konservasi (lihat Bab 5 Gambar 5.8). Sebagaimana telah dibahas pada sub-bab sebelumnya luas total kawasan konservasi ini 130.030,03 hektar atau 4 % dari luas Jawa Barat. Adapun sebaran kawasan konservasi ini hampir seluruhnya berada pada wilayah tengah dan selatan Jawa Barat, seperti terlihat pada gambar berikut. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan memiliki fungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawet keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan untuk pemanfaatan lestari sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya. Kegiatan yang diperbolehkan di kawasan ini meliputi perlindungan dan pengamanan, inventarisasi, pembinaan habitat dan populasi satwa, penelitian dan pengembangan serta pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, pariwisata dan penunjang budidaya. Kawasan ini terdiri dari 3 macam yaitu taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya. Taman nasional merupakan bentuk kawasan konservasi yang dikelola dengan menggunakan sistem zonasi. Dalam tiap zona memiliki fungsi dan batasan aktifitas yang boleh dilakukan. Diantara kawasan konservasi lainnya, taman nasional merupakan
bentuk paling mantap
karena berukuran cukup luas dan memiliki badan pengelola tersendiri. Di Jawa Barat terdapat 3 taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (sebagian di Propinsi Banten) dan Taman Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan penilaian lokasi konservasi dalam dokumen Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005 (tabel 6.9), kondisi ekologis dua taman nasional pertama tergolong cukup baik, demikian pula halnya dengan pengelolaannya. Hanya saja Halimun-Salak masih kurang dalam hal keterlibatan masyarakat. Untuk Taman Nasional Gunung Ciremay belum ada penilaian karena saat itu sedang dalam masa transisi.
27
Tabel 6.9 Penilaian Lokasi Taman Nasional di Jawa Barat Lokasi
No 1 2
TN Gede Pangrango TN Halimun-Salak
Kondisi Ekologis
Pengelolaan
Keterlibatan Masyarakat
Total
3,7 3,4
3,65 4,2
3,3 2,55
10,65 10,15
3 TN Ciremay Sumber : Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005 Keterangan Nilai kondisi ekologis : (1) rusak sekali, (2) rusak, (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali Nilai pengelolaan & masyarakat : (1) kurang sekali, (2) kurang, , (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali
Taman Wisata Alam (TWA) adalah bentuk kawasan konservasi yang mempunyai potensi dan daya tarik bagi kegiatan pariwisata. Pengelolaan 13 taman wisata ini dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat (BBKSDA). Namun untuk pengusahaan pariwisata alamnya sebagian telah diserahkan ke pihak ke tiga dalam hal ini adalah Perum Perhutani. Kondisi taman wisata alam ini beragam, ada yang terkelola dengan cukup baik seperti TWA Linggarjati, tapi ada juga yang masih kurang seperti TWA Tampomas. Berdasarkan penilaian lokasi konservasi dalam dokumen Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005, sebanyak 8 TWA memiliki kondisi ekologis cukup baik sementara hanya 5 TWA yang memiliki tingkat pengelolaan cukup baik (tabel 6.10).
Hampir seluruh TWA dinilai kurang dalam
melibatkan masyarakat ke dalam pengelolaan lokasi. Tabel 6.10 Penilaian Lokasi Taman Wisata Alam di Jawa Barat No
Lokasi
1
TWA Linggarjati
2
TWA Pangandaran
3 4
Kondisi Ekologis
Pengelolaan
Keterlibatan Masyarakat
Total
3,7
3,75
2,65
10,1
3
2,75
3,45
9,2
TWA Situ Gunung
2,85
3,35
2,25
8,45
TWA Gunung Pancar
3,45
2,8
1,75
8
5
TWA Cimanggu
2,15
3,15
2,27
7,75
6
TWA Telaga Warna
2,3
2,6
2,55
7,45
7
TWA Papandayan
3,25
2,15
1,95
7,35
8
TWA Tangkuban Prahu
2,95
2
1,75
6,7
9
TWA Patenggang
2,75
1,8
1,5
6,05
10
TWA Kamojang
2,85
1,35
1,55
5,75
11
TWA Jember
2
2
1,75
5,75
12
TWA Telaga Bodas
2,15
1,65
1
4,8
1,45
1
4,2
13 TWA Tampomas 1,75 Sumber : Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005
28
Keterangan
Nilai kondisi ekologis : (1) rusak sekali, (2) rusak, (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali Nilai pengelolaan & masyarakat : (1) kurang sekali, (2) kurang, , (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali
Taman Hutan Raya biasanya berupa lokasi memiliki ciri khas asli maupun buatan dan memiliki luas yang memungkinan untuk membangun koleksi tumbuhan atau satwa baik asli maupun tidak. Hanya ada satu taman hutan raya di Jawa Barat yaitu Ir.H.Djuanda. Sayangnya menurut penilaian lokasi konservasi dalam dokumen Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005, tempat ini dinilai kurang baik dari aspek kondisi ekologis, pengelolaan maupun keterlibatan masyarakat. Kawasan konservasi lainnya adalah kawasan suaka alam yang terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. Kawasan ini memiliki fungsi yang sama dengan kawasan pelestarian alam namun kegiatan yang dapat dilakukan di sini lebih terbatas. Bahkan untuk di cagar alam hanya kegiatan perlindungan dan pengamanan, inventarisasi, penelitian dan pengembangan yang diperbolehkan di sini. Cagar Alam (CA) merupakan kawasan dengan keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Terdapat 25 cagar alam di Jawa Barat dengan kewenangan pengelolaan berada di BBKSDA. Sebagian kondisinya masih cukup baik seperti Pangandaran dan Panjalu, namun ada juga yang memprihatikan seperti CA laut Pangandaran dan Cadas Malang. Tabel 6.11 Penilaian Lokasi Cagar Alam di Jawa Barat No
Lokasi
1
CA Panjalu
2
CA Pangandaran
3
CA Cibanteng
4
CA Gunung Simpang
5
CA Telaga Warna
6
CA Papandayan
7
CA Burangrang
8 9
Kondisi Ekologis 3
3
Keterlibatan Masyarakat 3,5
Pengelolaan
Total 9,5
3
2,75
3,45
9,2
3,3
3,05
2,1
8,45
3
2,4
2,4
7,8
2,3
2,6
2,55
7,45
3,25
2,15
1,95
7,35
4
1
2,05
7,05
CA Gunung Tilu
3,55
1,4
1,85
6,8
CA Tangkuban Prahu
2,95
2
1,75
6,7
10
CA Junghuhn
3,3
1,6
1,6
6,5
11
CA Takokak
2,2
2
1,75
6,15
29
12
CA Patenggang
1,8
Keterlibatan Masyarakat 1,5
13
CA Kamojang
2,85
1,35
1,55
5,75
14
CA Sukawayana
1,7
2
1,55
5,25
15
CA Tangkuban Prahu Pel Ratu
2,3
1
1,7
5
16
CA Gunung Malabar
2,3
1,25
1,4
4,95
17
CA Bojonglarang Jayanti
2,3
1,25
1,4
4,95
18
CA Laut Sancang
2,9
1
0,9
4,8
19
CA Talaga Bodas
2,15
1,65
1
4,8
20
CA Leuweng Sancang
2,3
1
1,4
4,7
21
CA Yanlapa
2,3
1,4
1
4,7
22
CA Dungsu Iwul
2,3
1,2
1
4,5
23
CA Gunung Jagat
1,3
1,75
1,4
4,45
24
CA Cadas Malang
1,3
1,55
1,35
4,2
25
CA Laut Pangandaran
1,6
1,2
1,3
4,1
No
Lokasi
Kondisi Ekologis 2,75
Pengelolaan
Total 6,05
Sumber : Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005 Keterangan Nilai kondisi ekologis : (1) rusak sekali, (2) rusak, (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali Nilai pengelolaan & masyarakat : (1) kurang sekali, (2) kurang, , (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali
Berdasarkan penilaian lokasi konservasi dalam dokumen Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005, sebanyak 13 CA memiliki kondisi ekologis cukup baik, sebaliknya hanya 4 CA yang memiliki tingkat pengelolaan cukup baik dan hampir seluruhnya kurang melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Suaka Margasatwa (SM) adalah kawasan dengan ciri khas berupa keanekaragaman atau keunikan satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Di Jawa Barat ada 2 suaka margasatwa yaitu Gunung Sawal dan Cikepuh. Kondisi ekologis kedua SM ini masih cukup baik, tetapi tidak demikian halnya dengan pengelolaan dan keterlibatan masyarakat yang dinilai masih kurang. Satu lagi kawasan konservasi adalah taman buru yang diperuntukan bagi aktifitas perburuan satwa tertentu. Hanya ada satu taman buru di Jawa Barat yaitu Masigit Kareumbi. Kondisi taman ini masih cukup baik baik aspek ekologis maupun pengelolaannya namun kurang dalam melibatkan masyarakat. 6.2.10.2
Kawasan Lindung Lainnya
Di luar kawasan konservasi, sebenarnya masih terdapat lokasi-lokasi lainnya yang dapat menjadi tempat perlindungan dan pengawetan bagi keanekaragaman hayati. Di antara lokasi
30
tersebut Hutan Lindung adalah yang terpenting. Kawasan ini memiliki areal hutan terbesar di Jawa Barat bahkan lebih luas dari kawasan konservasi yaitu mencapai 236.601,12 hektar. Meskipun secara umum tingkat keanekaragaman hayatinya lebih rendah dibandingkan kawasan konservasi dan tidak memiliki fungsi sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati, beberapa areal hutan lindung menjadi habitat bagi beberapa satwa penting. Misalnya hutan lindung di wilayah Garut antara Papandayan - Pamengpeuk, hasil survai pendahuluan yang dilakukan oleh lembaga konservasi KONUS pada tahun 2007, menunjukkan tempat ini masih menjadi tempat tinggal jenis Owa Jawa. Sayangnya pengelolaan hutan lindung, tidak lah seintensif pengelolaan kawasan konservasi. Hutan lindung di Jawa Barat disatukan pengelolaannya dengan kawasan hutan produksi di bawah Perum Perhutani. Keterbatasan aktifitas pengelolaan membuat terjadinya degradasi kondisi hutan lindung mencapai 23.840 ha pada tahun 2007, sebagaimana telah dibahas pada sub bab 4.2.4 Kawasan lainnya yang menjadi tempat perlindungan keanekaragaman hayati adalah kawasan perlindungan plasma nutfah secara ex-situ seperti kebun raya, kebun binatang dan pusat rehabilitasi satwa. Di antara lokasi tersebut, kebun raya relatif memiliki pengelolaan yang baik. Jawa Barat memiliki dua kebun raya yaitu Kebun Raya Bogor dengan luas 80 hektar dan Kebun Raya Cibodas seluas 120 hektar dengan pengelolaan dilakukan oleh LIPI. Sampai tahun 2008, Kebun Raya Bogor menyimpan koleksi tumbuhan dataran rendah baik asli maupun pendatang sebanyak 3.443 jenis umum dan 519 jenis anggrek. Sedangkan Kebun Raya Cibodas memiliki koleksi mewakili tumbuhan pegunungan baik asli maupun pendatang mencapai 1.689 jenis umum (termasuk kaktus dan lumut) dan 232 jenis anggrek. 6.3
Tekanan Terhadap Keanekaragaman Hayati Jawa Barat
Daftar merah terbaru Badan Konservasi Dunia (IUCN) menunjukkan sepertiga spesies penghuni bumi terancam kepunahan. Baru-baru ini dalam konferensi IUCN Oktober 2008, terungkap sekitar 16.928 (38%) spesies terancam kepunahan dari total 44.838 spesies terdata. Amfibi dan mamalia adalah kelompok satwa yang paling terancam. Sebanyak 1.139 dari total 5.487 spesies mamalia dalam bahaya kepunahan sementara untuk amfibi angkanya mencapai 1.983 spesies atau 32% dari total spesies. Ancaman terhadap keanekaragaman hayati ini muncul akibat terjadinya perubahan tata guna dan tutupan lahan, pemanenan spesies, pemasukan jenis pendatang, polusi udara dan air, serta perubahan iklim. Sumber penyebab tekanan-
31
tekanan tersebut berasal dari faktor kependudukan, ekonomi, sosial-politik, iptek dan budaya (lihat kotak 6.8). Kotak 6.8. Pendorong Utama Perubahan Keanekaragaman Hayati Pendorong utama secara tidak langsung (underlying causes): Kependudukan (ukuran populasi, struktur umur dan jender, dan distribusi ruang); Ekonomi (pendapatan nasional dan perkapita, kebijakan makroekonomi, perdagangan international, dan aliran modal); Sosio-politik (demokratisasi, peranan wanita, masyarakat dan swasta, serta mekanisme perundingan international); Iptek (tingkat investasi untuk litbang dan tingkat adopsi teknologi baru termasuk teknologi informasi); Budaya dan agama (nilai non-utilitarian). Pendorong utama (penyebab atau tekanan): Perubahan tata guna dan tutupan lahan tingkat lokal; Pemasukan atau pemindahan spesies; Adaptasi dan pemakaian teknologi; Pemasukan eksternal ( misal penggunaan pupuk, pengendalian hama dan irigasi); Pemanenan; Kondisi fisik dan biologi dari alam (misal gunung api, longsor, banjir, badai); Polusi udara dan air; dan Iklim dan perubahan iklim. Sumber : Millenium Ecosystem Assessment 2003 Report “ People and Ecosystems : A Framework for Assessment
Permasalahan keanekaragaman hayati di Jawa Barat tidak jauh berbeda dengan tempat lain di Indonesia yaitu terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Penurunan ini disebabkan oleh habitat yang semakin menyempit dan rusak serta populasi berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang berkurang terus. Semua ini merupakan dampak dari kegiatan manusia yang menimbulkan berbagai tekanan terhadap kondisi keanekaragaman hayati. Tekanan-tekanan tersebut adalah sebagai berikut : Perubahan tata guna dan luas tutupan lahan Tekanan ini menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai jenis tumbuhan dan satwa. Pembukaan hutan untuk lahan pertanian, penambangan, pemukiman dan industri menyebabkan semakin menyusutnya luasan ekosistem hutan dataran rendah, hutan pegunungan, hutan rawa, hutan bakau dan karst. Seperti telah dibahas pada subbab sebelumnya hutan dataran rendah dan hutan rawa kini hanya sedikit sekali tersisa di Jawa
32
Barat, sedangkan hutan bakau dan pegunungan masih belum terlepas dari bahaya konversi bagi peruntukan lainnya. Demikian juga halnya dengan karst, kegiatan penambangan seperti terjadi di daerah Padalarang-Bandung, membuat luasan ekosistem ini terus mengecil. Perubahan tersebut di atas pada akhir akan menyisakan “pulau-pulau” hutan dalam ukuran kecil dan terfragmentasi. Akibatnya ukuran populasi tumbuhan dan satwa juga menjadi kecil sehingga rentan terhadap bahaya kepunahan lokal. Selain itu populasinya juga terpisah-pisah tanpa bisa saling berhubungan, membuat arus pertukaran genetik yang diperlukan untuk menjaga kemampuan spesies dalam bertahan hidup, tidak dapat terjadi. Dampak lainnya akibat perubahan ini adalah berkurangnya jasa lingkungan yang sediakan oleh ekosistem sehingga menimbulkan berbagai bencana alam seperti longsor, banjir, kekeringan dan kebakaran hutan. Pengambilan spesies secara berlebihan Pemanfaatan spesies-spesies tertentu biasanya dilakukan melalui perburuan satwa liar, penebangan kayu, dan pengkoleksian tumbuhan atau biota laut untuk kepentingan ekonomi ataupun hobi. Pengambilan biasanya dijalankan tanpa memperhitungkan aspek keberlanjutan dan dilakukan juga terhadap jenis-jenis dilindungi yang seharusnya terlarang untuk dimanfaatkan. Kegiatan ini bisa menyebabkan penurunan populasi atau bahkan kepunahan lokal sehingga dapat mengganggu keseimbangan suatu ekosistem. Contohnya, Sulistawati dkk tahun 2004 pada penelitian di Gunung Papandayan tidak berhasil menemukan 64 jenis burung yang masih terlihat berdasarkan catatan pengamatan tahun 1948. Hilangnya jenis-jenis burung tersebut diduga selain akibat pembukaan hutan pegunungan bagian bawah untuk lahan pertanian, juga karena aktifitas perburuan. Hal yang sama terjadi pada Banteng yang pernah memenuhi hutan Leuweung Sancang Garut tapi kini telah lenyap akibat perburuan (Pudyatmoko, 2004). Demikian pula dengan pohon rasamala, dahulu banyak ditebang karena kayunya bernilai cukup tinggi sehingga kini hanya dapat dijumpai di tempat tertentu saja. Walaupun tidak berhasil ditemukan data yang cukup komparatif, kegiatan pengambilan spesies termasuk jenis dilindungi untuk diperdagangkan masih tetap terjadi. Hal ini bisa tampak dengan masih cukup maraknya lokasi-lokasi perdagangan satwa liar di berbagai kota besar di Jawa Barat. Memang perburuan terhadap satwa berukuran besar sudah jarang terjadi, kini lebih mengarah pada penangkapan satwa berukuran kecil atau sedang. Menurut catatan Dinas
33
Kehutanan Jawa Barat, tahun 2007 kasus perburuan liar yang terjadi mencapai 45 kasus. Tahun ini BKSDA Jawa Barat menyatakan ada tiga jenis satwa liar dilindungi terancam punah akibat kegiatan perburuan, perdagangan satwa liar dan rusaknya habitat (Kompas 5 Juni 2007). Spesies tersebut adalah burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), owa (Hylobates moloch) dan Kukang (Nycticebus coucang).
LSM Profauna menyebutkan sebelum tahun 2000-an kukang
banyak ditangkap dari daerah Sukabumi namun kini pemburu sudah sulit mendapatkan kukang di hutan Jawa Barat. Pencemaran (air dan tanah) Pembuangan limbah cair dari rumah tangga dan industri tanpa pengolahan terlebih dahulu, sangat membahayakan berbagai ekosistem terutama perairan darat dan laut. Sungai tercemar dapat mematikan berbagai jenis biota air, sementara laut tercemar selain mematikan biota laut juga merusak ekosistem terumbu karang. Pencemaran juga mengancam keanekaragaman hayati di lahan pertanian melalui penggunaan pupuk kimia dan pestisida berlebihan. Penjelasan lebih rinci mengenai masalah ancaman pencemaran ini bisa dilihat pada bab 4. Pemasukan jenis pendatang Spesies-spesies pendatang yang menjadi invasif diperkirakan menjadi salah satu penyebab penurunan keanekaragaman hayati sekaligus menimbulkan kerugian secara ekonomi. Jenisjenis ini masuk ke tempat baru baik dengan sengaja sebagai jenis komoditas, perdagangan dan kepariwisataan; atau dapat pula terbawa tanpa sengaja melalui penempelan pada kapal, kontainer, mobil, benih dan tanah. Karena tidak mempunyai musuh, dengan cepat jenis ini akan berkembang biak, menjadi gulma, hama dan penyakit pada jenis-jenis asli. Jenis pendatang invasif ini mampu merambah semua bagian ekosistem asli da menyebabkan punahnya jenis-jenis asli. Di Jawa Barat jenis pendatang telah ada sejak dahulu dan sampai kini masih menimbulkan permasalahan. Kutu loncat, enceng gondok dan keong mas adalah beberapa contoh spesies tersebut. Dibuang melalui melalui sungai Ciliwung, enceng gondok awalnya adalah tanaman eksotik dari Brasil di Kebun Raya Bogor, kini berkembang pesat menjadi gulma menutupi badan air dimana-mana, bahkan telah mencapai Papua (Whitten et al, 1996). Sebagian besar danau atau situ di Jawa Barat, mengalami permasalah dengan jenis tanaman ini. Waduk Saguling misalnya, hampir seluruh permukaan airnya telah tertutup oleh gulma ini (Kompas 30
34
Juni 2007). Kasus lainnya adalah jenis-jenis ikan pendatang seperti mas, nila, mujaer atau ikan seribu semakin dominan pada danau atau situ di Jawa Barat. Kebiasaan para pemancing menebar benih ikan pendatang pada situ-situ membuat jenis-jenis ikan asli semakin sulit untuk ditemukan karena kemungkinan kalah bersaing dengan jenis pendatang tersebut. Budiman (2003) dalam penelitiannya menemukan dari 14 jenis ikan lokal di Situ Bagendit-Garut, 5 sudah tidak dijumpai lagi, sementara dari 9 jenis asli di Situ Cangkuang, 7 sudah tidak terlihat keberadaannya. Hilangnya jenis lokal tersebut disebabkan akibat ikan pendatang yang mendominasi di kedua situ tersebut. Tekanan-tekanan lingkungan tersebut di atas sebenarnya merupakan mekanisme atau penyebab langsung terhadap kerusakan pada wilayah pesisir dan laut. Akan tetapi dibalik itu sebenarnya ada akar permasalahan lebih besar penyebab terjadinya tekanan lingkungan ini. Sumber-sumber atau akar permasalahan (underlying causes) itu adalah sebagai berikut :
Peningkatan populasi penduduk dan kemiskinan, jumlah penduduk yang semakin banyak mendorong peningkatan permintaan barang dan jasa menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam semakin besar dan intensif. Selain itu distribusi hasil sumber daya alam yang tidak merata menimbulkan kemiskinan pada sebagian besar penduduk terutama para petani dan nelayan, yang biasanya hidup dekat dengan lokasi sumber daya alam, mendorong mereka untuk terus mengeksploitasi alam.
Pembangunan berorientasi ekonomi jangka pendek, memunculkan atau memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang mengedepankan pembangunan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Sering kali pemerintah gagal atau tidak memperhitungkan nilai-nilai lingkungan hidup seperti jasa lingkungan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Kurangnya kesadaran lingkungan hidup, pemahaman akan pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati sebagai modal untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat belum dipahami sepenuhnya oleh pemerintah maupun masyarakat.
Lemahnya penegakan hukum, sekalipun perangkat perundangan-undangannya telah ada namun masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap lingkungan hidup yang tidak diberi sangsi atau diproses secara hukum.
Lemahnya pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung, kedua kawasan ini adalah benteng terakhir perlindungan terhadap keanekaragaman hayati. Namun pengelolaan
35
kedua jenis kawasan ini masih jauh dari sempurna. Terbatas dan rendahnya sumber daya manusia serta minimnya anggaran membuat banyak kawasan konservasi maupun hutan lindung yang rawan terhadap tekanan-tekanan dari luar kawasan.
Kurangnya data-data keanekaragaman hayati, masih banyak keanekaragaman hayati di Jawa Barat yang belum terungkap atau terpantau. Demikian pula dari aspek pemanfaatan masih banyak kandungan-kandungan dalam keanekaragaman hayati yang memiliki kegunaan, menunggu untuk ditemukan. Hal ini terjadi karena rendahnya ketersediaan dana penelitian dasar maupun aplikasi. Sementara data-data yang sudah ada tersebar di beberapa tempat dengan sistem dokumentasi yang sulit untuk diakses oleh masyarakat.
6.4
Respon
Tekanan-tekanan terhadap keanekaragaman hayati di Jawa Barat bukanlah hal yang baru melainkan sudah terjadi dalam kurun waktu tertentu. Tekanan tersebut saling terhubungan erat dengan bidang-bidang lain berupa lahan dan hutan, air dan udara, serta pesisir dan laut. Berbagai respon dari pemerintah dan masyarakat telah dilakukan untuk mengatasi tekanan ini. Dari sisi aspek legal, telah tersedia perundang-undangan baik tingkat pusat maupun propinsi terhadap upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Permasalahannya adalah penegakan hukum atas peraturan-peraturan tersebut belum bisa berjalan seluruhnya. Di samping itu komitmen pemerintah baik di tingkat propinsi atau kabupaten/kota dinilai masih lemah terutama dalam aspek pengalokasian anggaran untuk pelestarian keanekaragaman hayati atau lingkungan hidup. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah masih belum bisa menyadari akan pentingnya manfaat dari keanekaragaman hayati. Kondisi inilah membuat berbagai kebijakan seperti Rencana Induk Pelestarian Keanekaragaman Hayati yang telah tersusun dan RTRWP yang mentargetkan 45% kawasan lindung, belum bisa terealisasikan sepenuhnya. Berbagai kegiatan telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Namun itu akan jauh lebih efektif jika dilakukan upaya penyadaran pentingnya keanekaragaman hayati pada semua tingkatan pemerintah daerah maupun masyarakat. Tumbuhnya kesadaran tersebut akan meningkatkan komitmen pemerintah daerah, terutama dalam bentuk pendanaan terkait keanekaragaman hayati, sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta meningkatkan sarana prasarana, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pelestarian maupun pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati.
36
Berikut
adalah
respon
selengkapnya,
baik
yang
telah
dilakukan
maupun
yang
direkomendasikan, disajikan dalam satu tabel dengan ringkasan dari status dan tekanan : Tabel 6.12 Analisis State, Pressure dan Response untuk Aspek Keanekaragaman Hayati State Tahun 2007 Ekosistem Terumbu Karang, Padang Lamun dan Mangrove - Sebagian besar terumbu karang dalam kondisi rusak (contoh di Pangandaran luas tutupan karang sehat hanya berkisar11,49%-40,39% ). - Kerusakan terumbu karang diikuti penurunan keanekaragaman ikan karang dan biota laut. - Areal padang lamun memiliki luasan sempit dengan kondisi tutupannya belum diketahui. - Tidak ada hutan mangrove yang berada dalam kategori baik, sebanyak 15.275 ha (38%) dalam kondisi rusak, selebihnya 24.845,38 ha (62%) dalam kondisi sedang. Ekosistem Hutan Dataran Rendah & Pegunungan, Hutan Rawa dan Karst - Sebanyak 18.268,3 ha atau 11% dari jumlah total hutan konservasi seluas 173.030,03 ha mengalami gangguan. - Hutan lindung mengalami penyusutan seluas 23.840 ha (4%) dari 260.441,37 ha menjadi 236.601,12 ha. - Hutan dataran rendah tersisa hanya dalam jumlah sedikit. - Hutan rawa dengan areal yang luas telah menghilang dari Jawa Barat. - Sebagian ekosistem karst telah mengalami kerusakan. Ekosistem Pertanian - Ekosistem kebun campuran cenderung mengalami penyusutan luas maupun penurunan keanekaragaman jenis tanaman.
Pressure Tekanan : Perubahan tata guna dan luas tutupan lahan - alih fungsi untuk pemukiman, industri, pertanian dan pertambangan - kebakaran hutan dan bencana alam Pengambilan spesies secara berlebihan - perburuan liar, pengambilan tumbuhan dan biota laut - perdagangan satwa liar Pencemaran - pencemaran air dan tanah Pemasukan jenis pendatang - jenis pendatang sengaja dimasukkan sebagai komoditas - jenis pendatang tidak sengaja terbawa Sumber Penyebab : - Peningkatan populasi penduduk dan kemiskinan - Pembangunan berorientasi ekonomi jangka pendek - Kurangnya kesadaran lingkungan hidup - Lemahnya penegakan hukum - Lemahnya pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung - Kurangnya data-data keanekaragaman hayati
Flora Fauna - Jumlah jenis tumbuhan berbunga dan paku mencapai 3.882 jenis, 19 diantaranya merupakan tumbuhan langka. - Penggunaan varietas lokal tanaman budidaya cenderung menurun (misal untuk sawah hanya 4,6% lahan tanaman padi yang menggunakan varietas lokal) - Jumlah mamalia ada 134 jenis, 5 jenis diantaranya dinyatakan terancam kepunahan global. - Jumlah burung ada 245 jenis, 7 jenis
37
Respon Yang Sudah Dilakukan : Kebijakan Perangkat perundang-undangan : - UU no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem - UU no 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. - UU no 5 tahun 1994 tentang Pengesahan UN Convention on Biological Diversity - UU no 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup - UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan - UU no 7 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil - PP no 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam - PP no 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa - PP no 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar - PP 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan - PP 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air - PP 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan - Perda Prop. Jawa Barat no. 2 tahun 2003 tentang RTRW Jawa Barat - Perda Prop. Jawa Barat no 3 tahun 2004 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air - Perda Jawa Barat no 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat telah memiliki Rencana Induk Konservasi Keanekaragaman Hayati 2004 – 2020. Penetapan kebijakan kawasan lindung yang harus mencapai 45% dari total luas Jawa Barat pada tahun 2010, tercantum dalam RTRWP Jabar 2010.
State Tahun 2007 diantaranya dinyatakan terancam kepunahan global. - Jumlah mamalia ada 136 jenis, 7 jenis diantaranya dinyatakan terancam kepunahan global - Jumlah ikan ada 147 jenis, belum ada yang dinyatakan terancam kepunahan global.
Pressure
Respon Kegiatan - Penegakan hukum pelanggaran dalam pelanggaran terhadap kawasan lindung seperti melalui operasi Wanalaga. - Gerakan Rehabilitasi lahan kritis. - Pengusulan perubahan status beberapa hutan lindung menjadi kawasan konservasi. - Penetapan satwa dan puspa Jawa Barat - Program-program BPLHD terkait keanekaragaman hayati seperti pengembangan basis data keanekaragaman hayati, pendidikan lingkungan dan lainlain. - Program PHBM pada kawasan hutan produksi - Persyaratan Amdal bagi kegiatan yang dapat menghasilkan limbah.
Kawasan Konservasi - Kawasan konservasi di Jawa Barat terdiri dari 3 taman nasional, 13 taman wisata alam, 1 taman hutan raya, 25 cagar alam, 2 suaka margasatwa dan 1 taman buru. - Kondisi ekologis sebagian kawasan konservasi mengalami kerusakan. - Pengelolaan sebagian besar kawasan konservasi dinilai masih kurang optimal. - Hampir seluruh kawasan konservasi dinilai kurang melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya.
Institusi - Perubahan pengelola sebagian kawasan konservasi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam I&II Jawa Barat menjadi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat - Pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jawa Barat di inisiasi oleh Bappeda Jawa Barat untuk menyelamatkan mangrove di Jawa Barat. Rekomendasi : Kebijakan - Melakukan evaluasi atas implementasi Rencana Induk Konservasi Keanekaragaman Hayati 2004-2020 - Mendorong pencapaian target 45% kawasan lindung di Jawa Barat pada tahun 2010 melalui kerjasama dengan pemerintah kabupaten dan kota - Meningkatkan komitmen untuk pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati dengan peningkatan alokasi anggaran terkait dengan keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup - Mendorong perbaikan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung melalui sistem pengelolaan kolaborasi Kegiatan - Melakukan upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya keanekaragaman hayati pada semua instansi pemerintah baik tingkat propinsi maupun
38
State Tahun 2007
Pressure -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
39
Respon kabupaten/kota Meningkatkan upaya penegakan hukum atas pelanggaranpelanggaran : penggunaan lahan tidak sesuaiperuntukannya penangkapan dan perdagangan tumbuhan dan satwa dilindungi pencemaran air dan tanah Memperketat pencegahan masuknya jenis-jenis introduksi yang didatangkan untuk berbagai keperluan Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pada instansi-instansi terkait dengan keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup Mengembangkan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan Memberikan insentif terhadap masyarakat terutama penduduk pinggiran hutan dan pesisir untuk melakukan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan sebagai pengganti kegiatan-kegiatan yang menimbulkan tekanan bagi keanekaragaman hayati Mendorong pengembangan kebun campuran atau agroforestry di lahan masyarakat untuk meningkatkan keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan luas tutupan hutan Mendorong pengembangan dan penggunaan varietas lokal dalam pertanian Meningkatkan kesadaran pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati pada berbagai lapisan masyarakat melalui aktifitas pendidikan lingkungan dan mengintegrasikannya ke dalam muatan lokal kurikulum pendidikan di Jawa Barat Mengalokasikan sebagian anggaran pada kegiatan rehabilitasi lahan untuk biaya perawatan pohon yang ditanam guna menjamin keberhasilan kegiatan ini Memanfaatkan program rehabilitasi lahan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dengan menanam beragam jenis pohon lokal Melakukan kajian nilai ekonomi keanekaragaman hayati (economic valuation) untuk menunjukkan manfaatkan keanekaragaman hayati secara ekonomi Meyusun basis data keanekaragaman hayati untuk berbagai macam ekosistem Mengembangkan pusat data keanekaragaman hayati yang
State Tahun 2007
Pressure
Respon mudah diakses oeh masyarakat umum - Mengembangkan sistem pemantauan keanekaragaman hayati - Kampanye keanekaragaman hayati dengan menggunakan media cetak maupun elektronik serta pameran Institusi - Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia serta anggaran bagi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jabar, Balai Taman Nasional, Pengelola Tahura dan Perum Perhutani Unit III, guna meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung - Pengembangan pengelolaan kolaborasi antara pengelola kawasan konservasi dan hutan lindung dengan pemerintah daerah, masyarakat dan pihak swasta
40