KEANEKARAGAMAN HAYATI UNTUK PANGAN Eko B. Walujo Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Disampaikan pada Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional X Jakarta, 8 – 10 Nopember 2011
PENDAHULUAN Menyelamatkan keanekaragaman hayati berarti mengambil langkah untuk melindungi gen, species, habitat atau ekosistem. Oleh sebab itu menyelamatkan keanekaragaman hayati berarti pula mencegah merosotnya ekosistem alam yang utama dan mengelola serta melindunginya secara efektif. Disadari atau tidak bahwa keanekaragaman hayati (flora, fauna, jasad renik/mikroorganisme) adalah pusat dari semua sektor yang penting bagi kehidupan manusia (bioprospecting). Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki cakupan luas yang bervariasi, dari yang sempit hingga yang luas, dari yang datar, berbukit serta bergunung tinggi, dimana di dalamnya hidup flora, fauna dan mikroba yang sangat beranekaragam. Berdasarkan pembagian kawasan biogeografi, Indonesia memiliki posisi sangat penting dan strategis dari sisi kekayaan dan keanekaragaman jenis tumbuhan beserta ekosistemnya. Data IBSAP (2003) memperkirakan terdapat 38.000 jenis tumbuhan (55% endemik) di Indonesia, sedangkan untuk keanekaragaman hewan bertulang belakang, di antaranya 515 jenis hewan menyusui (39% endemik), 511 jenis reptilia (30% endemik), 1531 jenis burung (20% endemik), dan 270 jenis amphibi (40% endemik). Tingginya keanekaragaman hayati dan tingkat endemisme itu tadi menempatkan Indonesia sebagai laboratorium alam yang sangat unik untuk tumbuhan tropik dengan berbagai fenomenanya. Selain kaya sumber daya alam, Indonesia juga memiliki keanekaragaman kelompok etnis dengan kehidupan sosial dan budaya yang berbeda. Berkaitan dengan kekayaan sumber daya alam yang kemudian jika dipadukan dengan kebhinekaan suku-suku bangsa yang mendiami di seluruh Kepulauan Indonesia, maka tidak mengherankan jika tumbuh kembang berbagai sistem pengetahuan tentang alam dan lingkungan. Pengetahuan ini bervariasi dari satu kelompok suku ke kelompok suku lain yang tampaknya bergantung pada tipe ekosistem tempat mereka tinggal, iklim terutama curah hujan, adat, tatacara, perilaku, pola hidup kelompok atau singkatnya pada tingkat kebudayaan suku-suku bangsa tersebut (Walujo, et al, 1991)1. Lebih dari 6000 jenis tumbuhan berbunga, baik yang liar maupun budidaya, dikenali dan dimanfaatkan untuk keperluan bahan makanan, pakaian, perlindungan dan obat-obatan. Masyarakat Indonesia mengonsumsi tidak kurang dari 100 jenis tumbuhandan biji-bijan sebagai sumber karbohidrat. Tidak kurang dari 100 jenis
1
Walujo, Eko B., H. Soedjito, E.A. Widjaja & Mien A. Rifai. 1991. Penguasaan Etnoekologi Secuplikan Masyarakat Etnis di Indonesia. Makalah Utama pada KIPNAS V. LIPI 1991
Makalah KIPNAS X
Page 1
kacang-kacangan, 450 jenis buah-buahan serta 250 jenis sayur-sayuran dan jamur (KMNLH 2007)2. Begitu juga dengan sumber daya hayati laut, hewan serta miroba, sudah lama dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia. Meskipun Indonesia disebut-sebut sebagai negara agraris, akan tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan pangan. Bertambahnya penduduk bukan hanya menjadi satu-satunya pemicu yang menghambat untuk menuju ketahanan pangan nasional. Akan tetapi berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah menjadi ancaman dan tantangan tambahan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam bidang pangan. Ini semua merupakan beban ikutan baru baik dari segi ekonomi, ketahanan nasional maupun kesehatan masyarakat. Permasalahan pangan inilah yang kemudian menjadi isu politik yang cenderung dikaitkan dengan cita-cita terselenggaranya kecukupan pangan bagi semua rakyatnya. Oleh karena itu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pangan tesebut perlu diupayakan ketersediaan bahan yang memadai, baik dari segi jumlah maupun jenisnya. Berbagai jenis tumbuhan penghasil umbi, buah, dan biji dari hidupan liar, atau yang berada di pekarangan, bahkan hewan dan mikroba mestinya dapat dipergunakan sebagai modal dasar pembangunan ketahanan pangan.
KETAHANAN PANGAN Pengertian tentang ketahanan pangan sering disama artikan atau di identikkan dengan kecukupan swasembada beras. Padahal ketahanan pangan pada hakekatnya adalah terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat baik dari sisi ketersediaan, stabilitas,dan akses. Sastrapradja et.al (2010)3 dalam salahsatu tulisannya yang berjudul “Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan” menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia harus menyadari dan wajib mengetahui tentang kekayaan hayati yang dimiliki bangsanya. Kalau kita bisa memanfaatkannya dengan baik, kita akan dapat mempertahankan kedaulatan pangan kita. Melalui sistem pertanian, kekayaan dan keanekaragaman hayati harus dapat dikelola dan dikembangkan sehingga mampu menjamin ketersediaan pangan. Sayangnya kekayaan untuk mempertahankan kedaulatan pangan ini mulai menyusut karena berbagai perubahan. Penyebabnya adalah kegiatan dan tindakan manusia dalam membuka hutan untuk lahan pertanian tanaman pangan maupun industri serta menebang pohon secara berlebihan, berburu melampaui batas daya dukung serta perdagangan ilegal berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar tanpa melakukan rehabilitasinya. Dalam kaitan ketahanan pangan, maka sektor pertanian memegang peran sangat penting. Berbagai komoditas produksi hasil pertanian untuk sumber pangan, juga terkait erat dengan keanekaragaman budaya di Indonesia. Menurut sejarahnya setiap kelompok suku bangsa menyuguhkan keanekaragaman dalam cara membudidayakan jenis tumbuhan dan hewan. Jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang dimanfaatkan oleh masyarakat ternyata berevolusi sesuai dengan sejarah dan
2
KMNLH, 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Jakarta
3
Sastrapradja, S.D dan Elizabeth A. Widjaja (2010) Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan.LIPI Press. Jln. Gondangdia Lama 39, Menteng-Jakarta.
Makalah KIPNAS X
Page 2
tingkat peradabannya. Perbaikan mutu disesuaikan dengan kehendak dan kebutuhan untuk mendapatkan sumber pangan yang lebih baik. Dalam kasus tumbuh-tumbuhan, para “pembudidaya tradisional” secara tidak sengaja telah memilah-milah kultivar-kultivar unggul untuk dibudidayakan secara turun temurun. Nilai semacam ini terkait dengan nilai sosiokultural dan juga nilai pilihan. Ironisnya seringkali terabaikan. Demikian juga dengan koleksi plasma nutfah di berbagai lembaga penelitian, ternyata juga belum mendapat apresiasi, baik secara pengembangan maupun penelitiannya. Buktinya aksesi koleksi sumberdaya genetik yang dikumpulkan oleh Komisi Nasional Plasma Nutfah Badan Litbang Pertanian, baru sedikit yang dilakukan penelitiannya. Pada hal berbagai komoditas tanaman pangan, buah-buahan, sayuran, tanaman industri, tanaman perkebunan, ayam, ikan dan mikroba telah berhasil dikumpulkan (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah aksesi koleksi sumberdaya genetik di Badan Litbang Pertanian JUMLAH KOLEKSI No
PERSENTASI
KOMODITAS
DITELITI (AKSESI)
(%)
1
Tanaman Pangan
5.529
3.397
2
Buah-buahan
592
95
3
Sayur-sayuran
4.438
1.846
4
Tanaman industri
2.168
338
5
Tanaman perkebunan
10.404
1.273
6
Ayam
309
Tidak ada data
7
Ikan
1.660
idem
8
Mikroba
2.670
idem
TOTAL AKSESI
27.770
6.889
SUMBERDAYA HAYATI PANGAN YANG TERABAIKAN Sumberdaya hayati sering diartikan sebagai modal untuk menghasilkan produk dan jasa saja. Pada hal keanekaragaman hayati mestinya harus merujuk pada aspek keseluruhan dari sistem penopang kehidupan yaitu mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta aspek sistem pengetahuan dan etika, dan kaitan diantara berbagai aspek ini (IBSAB, 2003)4.
4
Bappenas, 2003. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan. Dokumen Nasional. Bappenas.
Makalah KIPNAS X
Page 3
Dalam hal sumberdaya hayati pangan, Indonesia tercatat sebagai kawasan yang menjadi salahsatu pusat persebaran tumbuhan ekonomi dunia. Menurut catatan Zeven dan Zhukovsky (1967)5 Indonesia bersama Indo-China merupakan kawasan yang banyak ditemukan kerabat jenis-jenis liar yang berpotensi ekonomi, misalnya jenis kelapa, sagu, pisang, durian, rambutan, kecipir, temu lawak, dan bahkan padi memperlihatkan kisaran keanekaragaman yang besar. Walaupun sebenarnya padi yang sekarang menjadi pangan utama bagi hampir seluruh penduduk Indonesia belum diketahui secara pasti dari mana nenek moyangnya (progenitor), namun forma dan varietasnya sangat banyak. Menurut Nagai (1962)6 di India dikenal ada 2000 varietas, di Jepang 2659, di Filipina 940, belum termasuk di daratan Cina. Di Indonesia, orang Dayak Benuaq di Kalimantan Timur mengenal 67 kultivar lokal padi dan 36 kultivar jenis padi pulut (Hendra, 2009)7. Jauh sebelum penelitian mengenai pusat asal tanaman budidaya, de Candolle (1855) telah menunjukkan bahwa terdapat tiga kawasan pertanian utama yaitu, Asia Selatan Barat, China, dan Amerika Tropika. Setelah itu Vavilov melanjutkan penelitiannya mengenai pusat-pusat dunia tentang tempat asal tanaman budidaya yaitu, Asia Selatan-Barat, Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Mediteranian, Abisinia, dan Amerika. Walaupun Indonesia pernah mengalami swasembada beras, namun kebutuhan pangan lainnya masih banyak yang perlu di import, semisal kedelai, jagung, gandum, bawang putih. Tidak luput berbagai komoditas buah dan sayur, Indonesia masih tetap kebanjiran produk-produk import. Kenyataan bahwa penduduk Indonesia dalam soal pangan masih mengandalkan pada tumbuhtumbuhan. Padahal sumber protein nabati ini jika dibandingkan dengan proten hewani, dari segi kualitas, sumber protein hewani lebih tinggi. Sayangnya penyediaan protein hewani belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Kalaupun tersedia, seringkali harganya juga belum terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Ini disebabkan terbatasnya jenis binatang yang dibudidayakan. Berbicara tentang sumber protein hewani, selain jenis hewan ternak, Indonesia cukup memiliki berbagai jenis yang lazim dikonsumsi masyarakat tetapi belum secara sungguh-sungguh ditangani model budidayanya. Hewan liar dari kelompok mamalia dan beberapa jenis ikan terdomestikasi menyediakan peluang untuk dikembangkan. Untuk jenis rusa tropika yang paling luas pengembangannya adalah dari jenis rusa asli Indonesia yaitu rusa timor (Cervus timorensis), dan rusa sambar (Cervus unicolor). Sementara itu di kawasan perairan air tawar, Indonesia menjadi habitat setidaknya 2000 jenis ikan. Setengah dari jenis ikan liar ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai ikan konsumsi. Memang masalah pangan akan tetap merupakan salah satu tantangan utama pembangunan, mengingat penambahan penduduk yang belum sepenuhnya terkendali. Penganekaragaman pangan yang diusahakan sejak lama sampai sekarang belum terwujud, sedangkan sumber pangan yang 5
Zeven, A.C. an Zhukovsky. 1967.Dictionary of the Cultivated Plants and Their Centre of Diversity. Centre for Agricultural Publishing and Documentation. Wageningen, 219 pp. 6
7
Nagai, I. 1962. Japonica Rice its breeding and culture. Yohendo Ltd. Tokyo. Hendra, M. 2009. Etnoekologi Perladangan dan Kearifan Botani Lokal Masyarakat Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana, IPB. 2009: 312 p.
Makalah KIPNAS X
Page 4
beranekaragam diperlukan untuk ketahanan nasional di Indonesia, yang pada kenyataannya berupa kepulauan dan yang kondisi untuk pertaniannya berbeda-beda. Keanekaragaman hayati yang dimiliki bangsa Indonesia ini sebenarnya merupakan “emas hijau” yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk keluar dari kondisi krisis multi dimensi. Namun sayangnya kita terlantarkan dan bahkan melupakannya (Sukara 2003)8 . Itulah sebabnya Rifai (2002)9 menyatakan tentang kenyataan terkini keanekaragaman hayati Indonesia bahwa: 1. Kita mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, namun kita miskin (tidak hanya miskin harta, tetapi kita juga miskin pengetahuan); 2. Kita mempunyai keanekaragaman hayati berpotensi, tetapi tidak tergali; 3. Kita mempunyai peluang untuk mengembangkan keanekaragaman hayati, tetapi tidak termanfaatkan; 4. Kita mempunyai tantangan untuk mengembangkan keanekaragaman hayati, tetapi kita tidak mampu menjawabnya; 5. Kita mengetahui bahwa keanekaragaman hayati sangat bernilai guna, tetapi tercampakkan; 6. Kita mengetahui bahwa keanekaragaman hayati mempunyai prospek masa depan yang menjanjikan, namun tidak pernah memenuhinya dan bahkan mengingkarinya melalui eksploitasi yang tidak bertanggung-jawab. Sejalan dengan penggunaan tumbuhan pangan, tumbuhan untuk kesehatan juga telah berlangsung sejak munculnya peradaban manusia dimuka bumi. Tradisi pengobatan ini dapat ditelusuri kembali lebih dari lima milenia yang silam dengan munculnya dokumen tertulis dari peradaban kuno Cina, India dan di Timur Tengah. Dengan kata lain penggunaan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia dalam bidang pengobatan adalah suatu seni yang sama tuanya dengan sejarah peradaban umat manusia. Penggunaan ramuan tumbuhan secara empirik, berlangsung selama beberapa abad diiukuti oleh penemuan beberapa senyawa bioaktif. Penemuan alkaloid morfin, striknin dan kuinin pada awal abad ke 19 merupakan era baru dalam penggunaan tumbuhtumbuhan sebagai bahan obat dan hal ini merupakan titik awal penelitian tumbuh-tumbuhan obat secara modern. Dunia kefarmasian kemudian maju dengan pesat berkat ditemukannya teknik-teknik kromatografi dan penentuan struktur molekul secara spektroskopi. Penemuan senyawa bioaktif farmakologis yang sangat berarti, seperti alkaloid bis-indol vimblastin dan vinbastin dari tanaman
8
9
Sukara, E. 2003. Keanekaragaman hayati (emas hijau), alternative bagi Indonesia keluar dari krisis multidimensi. Orasi Pengukuhan Sebagai Ahli Peneliti Utama Bidang Mikrobiologi. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Bogor.51 p.
Rifai, M. A. 2002. Presentasi pada Seminar Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia (tidak dipublikasi). Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Makalah KIPNAS X
Page 5
Catharanthus rosesus (Apocynaceae), yang kemudian dikembangkan menjadi obat komersial untuk penyakit kanker (Achmad et al 2002)10 adalah contoh perkembangan itu.
EDIBILITAS (KETERMAKANAN) JENIS TUMBUHAN PANGAN Pengetahuan dan pemahaman kita bahwa flora yang khas Indonesia juga banyak dikenali oleh masyarakat tempatan dan memiliki kegunaan. Kekayaan ini menghadirkan sumber-sumber pangan alternatif yang sekaligus telah diterima masyarakat. Praktis sejak revolusi hijau, kebijakan pemerintah cenderung memfokuskan pada peningkatan produktivitas pangan primadona saja (beras, jagung, singkong, kedelai), akhirnya menggiring masyarakat di pedesaan untuk melupakan komoditas pangan lokal seperti ubi-ubian, kacang-kacangan, buah-buahan, bumbu dan rempah, bahkan obat-obatan. Beberapa contoh dibawah ini adalah jenis-jenis yang telah banyak dikenali masyarakat yang memiliki potensi dan keanekaragamannya terdapat di Indonesia. Variasi kultivar yang dimiliki seiap jenis merupakan sumber plasma nutfah yang tidak ternilai harganya untuk kepentingan pengembangan sumber daya pangan lokal dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pertanian. a. Ubi-ubian Tidak kurang dari 59 jenis Dioscorea yang telah diketahui distribusi, ekologi, serta potensi ekonominya. Dari jumlah tersebut 18 jenis diantaranya telah dibudidayakan dan diketahui nilai kegunaannya sebagai sumber karbohidrat, alkohol, tepung untuk pengobatan, racun ikan, insektisida. Umbinya mengandung tanin, saponin, alkaloid.11 Selain Dioscorea, talas (Colocasia) juga kelompok ubi-ubian yang potensial untuk dikembangkan sebagai cadangan pangan. Mengingat sangat pentingnya talas bagi kehidupan masyarakat serinkali bahwa tanaman ini pemanfaatannya terkait dengan kebudayaan penduduk setempat. Diketahui ada 300 varietas talas budidaya yang dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, warna daun, batang, umbi, dan bunga.12 Menurut Ochse (1931) di Jawa Tengah pernah ditemukan ada 14 varietas dan di Jawa Timur ditemukan 3 varietas.13 Diantara ubiubian yang relatif populer adalah ubi jalar (Ipomoea batatas). Jenis ini walaupun bukan asli Indonesia, tetapi sudah membudaya dan menjadi makanan pokok bagi sebagian kelompok etnis di Indonesia. Menurut catatan Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (1969)14 ada beberapa klon ubi jalar harapan yang menjadi prioritas pengembangan yaitu: Southern Quen (27 klon), tembakur ungu (klon Jawa Barat),
10
Achmad, S.A. Euis Holisotan Hakim, Lukman Makmur, Didin Mujahidin, Yana Maolana Syah dan Lia Dewi Yuliawat. 2002. Strategi untu Obat-obatan yang Beasal dari Tumbuh-tumbuhan. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Kehati, LIPI, APINMAP, UNESCO, JICA. 11
Burkill, I.H. 1951. Dioscoreaceae. Flora Malesiana 43 (1): 293-335.
12
Neal, M.C. 1965. In gardens of Hawai. Lancaster Press, Lancaster. 924 p.
13
Ochse, J.J. 1931. Indische groenten. Vlkslectuur, Batavia-C. 1001 p. 3 gb.
14
Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. 1969. Ubi-ubian di wilayah tropika. Brosur LP3, Bogor, 1969. P1-7, 1 tabel.
Makalah KIPNAS X
Page 6
Putihkalibaru (klon Jawa Timur), Daya, Jongga, Karya, Kendalipayakputih (klon Jawa Timur), edang (klon Jawa Barat), SBY ( 4 klon), serdang, dan tanjung kait. Terkait dengan sumber pangan alternatif ini, LIPI juga mengadakan serangkaian penelitian umbi porang (Tacca) untuk menghasilkan produk turunan yang berfungsi khusus dan bernilai ekonomi tinggi yaitu oligosakarida. Diharapkan oligosakarida ini mampu diaplikaskan pada berbagai produk di industri pangan, dan minuman, atau menjadi produk supplemen dalam industri farmasi.15 b. Kacang-kacangan Kecipir (Psopocarpus tetragonolobus), telah lama menjadi perhatian dunia karena bijinya diduga mempunyai potensi yang besar untuk menggantikan kedelai. Jenis ini memiliki kultivar yang cukup banyak. Setiap kultivar dibedakan berdasarkan bentuk buahnya dan masing-masing memiliki nama daerah yang berbeda-beda. Di Indonesia tanaman kecipir memiliki keanekaragaman yang tinggi, terutama di daerah Papua. Hasil eksplorasi dan koleksi jenis-jenis kecipir yang dilakukan oleh Khan (1976)16, diperoleh 121 lini murni dalam koleksi plasma nutfah kecipir tersebut. Di WamenaPegunungan tinggi Jayawijaya, Papua, teridentifikasi adanya beberapa kultivar wenale puna dicirikan oleh renda pada pinggiran buahnya yang bergelombang; wenale namok dicirikan oleh renda pada pinggiran buahnya yang belekuk tajam, berwarna hijau muda sedangkan bagian tengahnya berwarna kuning pucat, bersirip hijau muda; wenale membu memiliki renda yang berlekuk sedang, berwarna ungu tua; wenale huputna memiliki renda berlekuk tajam, berwarna hijau muda; wenale mewa memiliki renda berlekuk tajam berwarna ungu tua (Walujo, 1994)17. Besar kemungkinan Papua dan Papua New Guinea menjadi pusat keanekaragaman kecipir. Selain kecipir kacang-kacangan potensial lainnya adalah kacang tunggak (Vigna unguiculata). Paling tidak ada 10 varietas kacang tunggak, dan pada umumnya mengandung vitamin B. Bijinya mengandung riboflavin, niacin dan thiamine.18 Kara benguk (Mucuna pruriens) dikenali sebagai cadangan makanan pada musim paceklik, terutama di daerah Jawa bagian selatan. Bijinya mengandung 6 macam alkaloid yaitu, mucunadine, mucunadinine, mucunadininene, prurienidine, prurieninine dan nicotine. Sebagai pangan alternatif bijinya dapat dibuat tempe. Menurut Ganjar et.al (1974)19, setelah difermentasi dengan menggunakan Rhizophus arrhizus, biji kara benguk ini dapat berubah menjadi tempe dengan komposisi kimia, kadar air 61%,
15
Laporan Tahunan. 2010. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta 12710.
16
Khan, T.N. 1976. Papua New Guinea: A centre of Genetic diversity in winged bean (Psopocarpus tetragonolobus). Euphytica. 1976. 17
Walujo, Eko B. 1994. Masyarakat Mukoko di Lembah Balim Irian Jaya: Suatu Tinjauan Etnobotani. Pembangunan Masyarakat Pedesaan: Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena, Irian Jaya. Pustaka Sinar Harapan, 119-130 p. 18
Ogunmodede, B.K. & V.A. Oyenuga. 1969. Vitamin B content of cowpeas (Vigna ungiculata). J.Sci.Fd.Agric. 20:101-103.
19
Ganjar, I. & Dewi S. Slamet. 1974. The nutrient content of fermented Mucuna pruriens. Paper presented in The first Asean Workshop on Grain Legumes. Bogr. Indonesia 15-20 January 1974.
Makalah KIPNAS X
Page 7
abu 1%, lemak 3%, protein 14%, karbohidrat 20,9%, serat kasar 2 %, Ca 185 mg%, P 136 mg%, dan Fe 1 mg%. c. Buah-buahan Indonesia memang kaya dengan berbagai jenis buah-buahan, seperti salak, mangga, manggis, durian, rambutan, kepel, belimbing. Durian misalnya, dari 27 jenis durian yang ada di Sumatra, Kalimantan dan Malaysia, 19 jenis diantaranya ditemukan di Kalimantan, dan baru 6 jenis saja yang diketahui berpotensi sebagai buah meja. Tanaman buah asli Indonesia lainnya adalah duku (Lansium domesticum). Jenis ini memiliki 3 forma yaitu duku (L. domesticum var. duku), lansat (L. domesticum var. domesticum), dan kokosan (L. domesticum var. aquaeum). Beberapa varietas yang umum diperdagangkan adalah duku Komering, Metesih, Condet dan Kalikajar. Sementara itu hasil eksplorasi yang dilakukan para peneliti Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI ke berbagai kawasan hutan diseluruh Indonesia, diantaranya di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone20 menghasilkan 40 jenis buah-buahan hutan yang bernilai ekonomi bagi masyarakat disekitarnya. Dari jumlah tersebut 5 jenis termasuk tumbuhan langka (Citrus macroptera, Cynometra cauliflora, Dillenia celebica, Macadamia hildebrandii dan Nephelium ramboutan) dan 3 jenis tumbuhan endemik ( Dillenia celebica D. Serrata, Macadamia hildebrandii). Sementara itu Purwaningsih et.al21 yang melakukan eksplorasi di hutan Riam Durian, Kotawaringin-Kalimantan Tengah, mencatat ada 26 jenis pohon buah ditemukan di hutan gambut, 18 jenis di bekas utan yang terakar dan 27 jenis ditemukan di hutan sekunder tua yang berpotensi sebagai sumber buah-buahan. Jenis-jenis tersebut antara lain Artocarpus kemando, Garcinia dioica, Baccaurea mino, Artocarpus anisophyllus, Sarcotheca diversifolia dan Nephelium unicatum. d. Sumber obat-obatan dan kosmetika Ditinjau dari segi ilmu kimia, setiap jenis tumbuhan merupakan gudang bahan kimia (chemical prospecting). Banyak diantara ratusan bahan kimia ini sangat berguna untuk pengobatan dan kosmetika. Paling tidak lebih dari 50% turunan produk yang ada saat ini berasal dari sumber daya alam hayati (Fransworth 1985)22. Soejarto (1991)23 bahkan melaporkan telah terbukti ada 120 senyawa kimia yang berasal dari 100 famili tumbuhan, yang sebagian besar adalah tumbuhan tropik, termasuk yang
20
Uji, Tahan. 2001. Keanekaragaman jenis buah-buahan hutan di TN Bogani Nani Wartabone, Suawesi Utara. Prosiding Seminar Sehar Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional: Menggali Potensi dan Meningkatkan Prospek Tanaman Hortikultura Menuju Ketahanan Pangan. Bogor, 5 Nopember 2000. Pusat Konservasi Tumbuan Kebun Raya Bogor-LIPI: 19-25. 21
Purwaningsih, Razali Yusuf dan Sudarsono Riswan. 2001. Pohon Penghasil Buah di Hutan Riam Durian, Kotawaringin Lama-Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Sehar Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional: Menggali Potensi dan Meningkatkan Prospek Tanaman Hortikultura Menuju Ketahanan Pangan. Bogor, 5 Nopember 2000. Pusat Konservasi Tumbuan Kebun Raya Bogor-LIPI: 134-142. 22
Fransworth, N.R. 1985. Medicinal Plants in Therapy. Bull. World Health Organiz.63. 965-961.
23
Soejarto, D.D. 1991. Why do medicinal sciences need tropical rain forests. Trans Illinois State Acad.Sci. 84: 65.
Makalah KIPNAS X
Page 8
terdapat di Indonesia. Jenis-jenis tersebut ternyata berpotensi untuk pengobatan berbagai jenis penyakit, antara lain malaria, kanker, jantung dan hipertensi.
PENUTUP Lingkungan yang terdegradasi dan kemiskinan membuat segalanya tidak sehat. Kehilangan keanekaragaman hayati sangat erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan. Ketidak seimbangan dinamis ekosistem mengasilkan bencana dimana-mana. Konversi hutan dan tataguna lahan yang tidak dikelola dengan baik akan membuat menurunnya produktivitas pertanian dan pangan makin merosot. Jika kondisi demikian tetap belum ada solusinya, maka Indonesia akan tetap menjadi negara pengimport bahan pokok, terutama beras dan terigu terbesar. Ironis sekali dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang dimilikinya logikanya Indonesia akan terbebas dari persoalan pangan. Dalam sektor agribisnis, harus kita akui bahwa kita belum mampu mengangkat sumber daya alam hayati asli Indonesia yang seharusnya mempunyai daya saing tinggi. Sistem rehabilitasi, sering mengambil jalan pintas dengan menanam jenis-jenis introduksi yang secara ekologi belum dikaji kelayakannya, sementara banyak jenis-jenis tumbuh cepat berpotensi yang asli belum dimanfaatkan. Nilai keanekaragaman hayati pada tingkat genetik akan menjadi penting di masa depan, terutama untuk menciptakan tanaman baru, mikroorganisme baru untuk proses industri maupun pengobatan hewan ternak dan manusia. Oleh karena itu kerja penelitian perlu difokuskan untuk mencari data dasar dan mengolah serta menghimpunnya menjadi informasi yang sahih yang dapat dengan mudah dipergunakan untuk mengambil keputusan bagaimana mengembangkan dan menerapkannya untuk kebutuhan pembangunan. Kemajuan ilmu bioteknologi diharapkan dapat mendorong teknologi guna meningkatkan nilai tambah keanekaragaman hayati yang berwawasan lingkungan sehingga dampak yang ditinggalkan tidak justru menimbulkan persoalan lingkungan yang baru. Pendayagunaan jasad renik baik sebagai pemacu di sektor agribisnis (peningkatan produksi, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah hasil-hasil pertanian) maupun sebagai produsen biokatalis untuk menggantikan bahan kimia sintetis maupun sebagai produsen bahan kimia adi perlu digiatkan, termasuk jasad renik endofitik (yang hidup di dalam jaringan vascular tumbuhan) juga akan sangat berarti di dalam upaya bioprospeksi dan upaya penyuburan kembali lahan-lahan yang perlu direklamasi. Terkait dengan keanekaragaman hayati untuk pangan, reposisi IPTEK perlu segera dilakukan dengan memberi prioritas riset dan perhatian khusus pada: (1) inventarisasi, karakterisasi, dan valuasi keanekaragaman hayati untuk pangan; (2) Pembaharuan produk dan proses produksi pangan dari tumbuhan, tanaman, hewan, dan mikroba; (3) Pembaharuan bahan baku pangan melalui teknologi kultur jaringan, rekayasa genetik, dan bioproses; (4) Penemuan/penyempurnaan pengetahuan lokal masyarakat tentang keanekaragaman pangan berbasis sumberdaya hayati.
Makalah KIPNAS X
Page 9