KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN SIFAT FUNGSIONAL PATI SUWEG (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) DENGAN METODE HEAT MOISTURE TREATMENT
RADEN CECEP ERWAN ANDRIANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan Metode Heat Moisture Treatment adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014 Raden Cecep Erwan Andriansyah NIM F251100301
RINGKASAN RADEN CECEP ERWAN ANDRIANSYAH. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan Metode Heat Moisture Treatment. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR, ELVIRA
SYAMSIR, dan AKMADI ABBAS Indonesia memiliki beragam sumber pati lokal, diantaranya adalah umbi suweg (Ammorphohallus campanulatus var hortensis). Sebagaimana pati alami umumnya, pasta pati umbi suweg tidak tahan kondisi proses pemasakan suhu tinggi dan pengadukan (shearing), yang ditandai dengan penurunan viskositas bila dipanaskan pada suhu tinggi atau dilakukan proses pengadukan. Hal ini membatasi pemanfaatan pati umbi alami sebagai ingredien pangan, terutama apabila proses pengolahan dilakukan pada suhu tinggi dan/atau proses shearing yang cukup intensif. Modifikasi secara kimia, seperti modifikasi ikatan silang (cross-lingking) dapat memperbaiki karakteristik pasta pati sehingga tahan panas dan tahan shearing. Namun, pati ikatan silang dikelompokkan sebagai bahan tambahan pangan, sehingga penggunaannya dibatasi. Alternatif modifikasi lain yang dapat memberikan karakteristik yang mirip dengan pati ikatan silang adalah modifikasi secara fisik dengan heat moisture treatment (HMT). Metode modifikasi HMT tidak menggunakan bahan kimia sebagai pereaksi sehingga tidak meninggalkan residu kimia terhadap pati termodifikasi yang dihasilkan sehingga dapat diperlakukan sebagai ingredien pangan. Modifikasi HMT digunakan untuk memperbaiki sifat fungsional pati yang dapat diaplikasikan lebih luas dalam proses pengolahan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk memperlajari perubahan sifat pasting pati suweg yang dimodifikasi HMT pada suhu and waktu pemanasan yang berbeda. Proses modifikasi HMT dilakukan pada kadar air 20% dengan perlakuan pemanasan pada suhu 110oC dan 120oC selama 16, 24, dan 32 jam. Pati hasil modifikasi HMT dianalisis perubahan morfologi, komposisi kimia dan karakteristik pasting dengan Rapid Visco Analyzer. Metode ekstraksi basah pati suweg menghasilkan rendemen 2.64% pati suweg (bb) dengan warna putih abu-abu. Pati suweg yang dihasilkan mengandung kadar air 10.62%, kadar abu 0.24%, kadar protein 0.24%, kadar lemak 0.18%, kadar karbohidrat 88.72% dan kadar pati 76.61%. Pati suweg mengandung amilosa sebesar 37.02% dan amilopektin 39.58%. Modifikasi HMT mampu meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan menurunkan viskositas puncak, viskositas akhir atau viskositas pasta dingin, viskositas breakdown, viskositas setback dan perubahan viskositas pada suhu 50oC. Hasil pengamatan mikroskopik dengan mikroskop polarisasi menunjukkan pati HMT masih memiliki sifat birefingence. Hal ini dikonfirmasi dari hasil pengamatan dengan scanning electron microscopic (SEM) dan pola difraksi sinar x yang tidak mengalami perubahan dibandingkan pati alaminya. Modifikasi HMT pada suhu 120oC selama 32 jam menyebabkan perubahan yang nyata terhadap karakteristik pasta pati, dimana pasta pati cenderung lebih tahan terhadap proses pemanasan dan shearing dibandingkan pati alaminya. Kata kunci: birefringence, HMT, pati suweg, sifat pasting,
SUMMARY RADEN CECEP ERWAN ANDRIANSYAH. Physicochemical and Functional Characteristics of Heat Moisture Treated Suweg Starch (Amorphophallus campanulatus var. hortensis). Supervised by FERI KUSNANDAR, ELVIRA SYAMSIR, dan AKMADI ABBAS Indonesia has various sources of starch, suweg (Ammorphohallus campanulatus var. hortensis). The viscosity of natural starch, including suweg starch, is unstable to heating and shearing condition during food processing. This limits its utilization as a food ingredient, especially when high processing temperature, stirring and/or pumping is applied. Chemical modification, such as cross linking can improve starch characteristics to be become more heat and shear resistant. However, cross-linked starch is classified as a regulated food additive. Another alternative starch modification that can yield starch with similar characteristics to that of cross-linked starch is physical heat moisture treatment (HMT). A HMT modification does not leave chemical residue and can be applied as a food ingredient that has unlimited application. The objective of this research was to study the effect of HMT modification to the change of pasting properties of suweg starch. HMT modification was performed at a moisture content of 20% with various heating treatment at 110oC and 120oC for 16, 24 and 32 hours. The HMT suweg starch was analyzed in terms of starch morphology, chemical composition, and pasting properties. Wet extraction of starch suweg yield 2.64% starch suweg. The native suweg starch contained water (10.62%), ashes (0.24%), protein (0.24%), fat (0.18%), carbohydrates (88.72%). The main component of carbohydrate is starch (76.61%) which is composed of amylose (37.02%) and amylopectin (39.58%). In general, HMT suweg starch iniatially gelatinized at higher temperature compared and had lower peak viscosity, final viscosity and cold paste viscosity compared to those of its native. HMT modification did not change birefringence properties. It was confirmed by SEM and X ray diffraction analysis that showed similarity between HMT and native suweg starch. Suweg starch HMT modified at 120oC for 32 hours had the most heat and shear resistant compared to those of its native. Keywords: birefringence, HMT, pasting properties, suweg starch
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN SIFAT FUNGSIONAL PATI SUWEG (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) DENGAN METODE HEAT MOISTURE TREATMENT
RADEN CECEP ERWAN ANDRIANSYAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi: Dr Tjahja Muhandri, STP MT
Judul Tesis : Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan Metode Heat Moisture Treatment Nama : Raden Cecep Erwan Andriansyah NIM : F251100301
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Feri Kusnandar, MSc Ketua
Dr Elvira Syamsir, STP MSi Anggota
Dr Ir Akmadi Abbas, MEngSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ratih Dewanti–Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 20-8-2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah Identifikasi dan Modifikasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan Metode Heat Moisture Treatment (HMT) Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Feri Kusnandar, MSc, Ibu Dr Elvira Syamsir, STP MSi dan Bapak Dr Ir Akmadi Abbas, MEngSc selaku pembimbing atas dorongan dan bimbingan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak Dr Tjahja Muhandri, STP MT atas kesediannya menjadi dosen penguji. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa karya siswa Ristek. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik tercinta atas kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani studi. Kepada rekan-rekan mahasiswa angkatan 2010 Mayor Ilmu Pangan penulis ucapkan terimakasih atas kerjasamanya selama perkuliahan dan penelitian ini. Kepada rekan-rekan teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, SEAFAST Center, dan Laboratorium Pengolahan Pangan Bertuzzi dan Laboratorium Kimia B2PTTG LIPI Subang, penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak ternilai harganya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 R. Cecep Erwan A
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian
1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Umbi Suweg Pati Gelatinisasi Modifikasi Pati Modifikasi Pati dengan Metode HMT
3 3 4 5 7 9
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metodologi Tahapan Penelitian Rancangan Percobaan Analisis Data Prosedur Analisis
10 10 10 10 10 14 14 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Karakterisasi Pati Suweg Alami Penentuan Kondisi Suhu dan Waktu Proses HMT Penentuan Waktu Tunda Modifikasi Pati Suweg dengan Teknik HMT
20 20 26 27 28
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
41 41 41
DAFTAR PUSTAKA
42
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
73
DAFTAR TABEL 1 2 3
Rendemen pati suweg Komposisi kimia pati suweg alami Data hasil analisis profil pasting pati suweg
20 21 35
DAFTAR GAMBAR 1 2
3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
17
18 19 20 21
(a) Pohon suweg (baltyra.com); (b) Umbi suweg (baltyra.com) Profil RVA pada pati (Copeland et al. 2009). Suhu Awal Gelatinisasi (SAG), Suhu Puncak Gelatinisasi (SPG), Viskositas Puncak (VP), Viskositas Pasta Panas (VPP), Viskositas Breakdown (VB), Viskositas Pasta Dingin (VPD), dan Viskositas Setback (VS) Perubahan granula pati selama pengukuran: (a) pati alami, (b) pati selama proses gelatinisasi ditandai dengan pengembangan granula, (c) pelepasan amilosa, (d) retrogradasi. Diagram alir penelitian pati suweg teknik HMT Diagram alir proses modifikasi pati suweg metode HMT (Collado et al. 2001, Purwani et al. 2006). Posisi probe termokopel dalam sampel Pati suweg alami dengan pengamatan mikroskop polarisasi (pembesaran 400x) Pengamatan dengan SEM pada pembesaran 200x (a) dan 400x (b) pati suweg alami Pola difraksi sinar X kristalin pati suweg alami Profil gelatinisasi pati suweg alami Data RVA pati suweg HMT selama 16 jam, 32 jam, dan 48 jam suhu 100 , 105, 110, 115, dan 120 0C dengan kadar air 20% Contoh granula pati pada suhu proses HMT 110 0C; 16 Jam (a) dan 120 0C; 16 Jam (b) pada pembesaran 400 x Data profil penetrasi panas pada loyang yang digunakan untuk proses HMT kadar air 20% Kurva kadar amilosa pati suweg modifikasi suhu 110 oC dan 120 oC Kurva kadar amilopektin pati suweg modifikasi HMT suhu 110 oC dan 120 oC Struktur granula pati suweg termodifikasi HMT 110 oC 16 jam (a), 24 jam (b) dan 32 jam (c) di bawah mikroskop polarisasi (pembesaran 400x) Struktur granula pati suweg termodifikasi HMT 120 oC 16 jam (a), 24 jam (b) dan 32 jam (c) di bawah mikroskop polarisasi (pembesaran 400x) Pengamatan dengan SEM pada pembesaran 200x (a) dan 400x (b) pati suweg HMT 110oC selama 32 jam Pengamatan dengan SEM pada pembesaran 200x (a) dan 400x (b) granula pati suweg HMT 120oC selama 32 jam Kurva derajat putih pati suweg modifikasi suhu 110 dan 120 oC Kurva densitas kamba pati suweg modifikasi suhu 110 dan 120 oC
3
6
6 11 12 13 23 23 25 25 26 27 28 29 29
30
30 31 31 32 32
22 23
24 25 26
Pola difraksi sinar X kristalin pati suweg dan pati suweg termodifikasi HMT 110oC dan 120oC dengan waktu HMT 32 jam. Kurva perubahan suhu awal pasting (a), viskositas puncak (b), viskositas pasta panas (c), dan viskositas breakdown (d) selama fase pemanasan Kurva perubahan viskositas akhir/pasta dingin (a) dan viskositas setback selama fase pendinginan (b) Kurva perubahan viskositas pada 50 ºC modifikasi suhu 110 dan 120 ºC Kekuatan gel pati suweg modifikasi HMT 110 oC dan 120 oC
33
36 38 39 40
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Data hasil analisis profil pasting pati suweg alami pada tahap uji pendahuluan Data analisis proksimat pati suweg alami Profil pasta pati suweg perlakuan HMT dan kontrol Tabel anova dan uji lanjut Duncan densitas kamba, amilosa, amilopektin dan derajat putih Pola Difraksi Sinar X pati suweg alami Pola Difraksi Sinar X pati suweg HMT 110 oC, 32 jam Pola Difraksi Sinar X pati suweg HMT 120 oC, 32 jam Perubahan viskositas pada suhu 50 oC Data kurva kalibrasi dan hasil pengujian kadar asam oksalat Hasil anova dan uji lanjut duncan RVA pati suweg
47 48 49 50 53 57 61 65 66 70
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki beragam sumber karbohidrat lokal, diantaranya adalah umbi-umbian. Salah satu jenis umbi-umbian sumber karbohidrat yang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, terutama kandungan patinya, adalah umbi suweg (Ammorphohallus campanulatus var hortensis). Kandungan karbohidrat umbi suweg berkisar 80-85% (Kriswidarti 1980), dengan kandungan pati 39.36%, protein 6.02%, lemak 0.81%, dan serat kasar 0.33% (Richana dan Sunarti 2004). Hasil penelitian Faridah (2005) menunjukkan bahwa umbi suweg memiliki indeks glikemik (IG) sebesar 42 yang dikategorikan sebagai bahan pangan dengan nilai IG rendah (<55). Sebagaimana pati alami umumnya, pasta pati umbi dari suweg tidak tahan kondisi proses pemasakan suhu tinggi dan shearing, yang ditandai dengan penurunan viskositas bila dipanaskan pada suhu tinggi atau dilakukan proses pengadukan (Singh et al. 2007). Hal ini membatasi pemanfaatan pati umbi alami sebagai ingredien pangan, terutama apabila proses pengolahan dilakukan pada suhu tinggi dan/atau proses pengadukan atau pemompaan yang cukup intensif. Modifikasi secara kimia, seperti modifikasi ikatan silang (cross-lingking) dapat memperbaiki karakteristik pasta pati sehingga tahan panas dan tahan pengadukan (Ayoub dan Rizvi 2009). Namun, pati ikatan silang dikelompokkan sebagai bahan tambahan pangan, sehingga penggunaannya diatur. Alternatif modifikasi lain yang dapat memberikan karaktersitik yang mirip dengan pati ikatan silang adalah modifikasi secara fisik dengan heat moisture treatment (HMT). Metode modifikasi HMT tidak menggunakan bahan kimia sebagai pereaksi sehingga tidak meninggalkan residu terhadap pati termodifikasi yang dihasilkan dan pati yang dihasilkan dapat diperlakukan sebagai ingredien pangan (bukan sebagai bahan tambahan pangan). Metode modifikasi HMT dilakukan dengan cara memanaskan granula pati di atas suhu gelatinisasinya pada kondisi kadar air terbatas yang tidak menyebabkannya mengalami gelatinisasi tetapi memungkinkan pati mengalami perubahan konformasi molekul amilosa dan amilopektin yang lebih kompak (Singh et al. 2005; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta dan Varavinit 2007). Beberapa peneliti melaporkan proses modifikasi HMT pada kondisi suhu, waktu dan kadar air yang berbeda, seperti pati canna pada suhu 100 oC selama 6 jam pada kadar air 15-25% (Watcharatewinkul et al. 2009), pati kentang pada suhu 110oC dengan proses stirring selama 30 menit pada kadar air 30% (Zhang et al. 2013), pati tapioka pada suhu 110 oC selama 240 menit pada kadar air 20% (Syamsir 2012), dan pati kacang hijau pada suhu 120 oC selama 12 jam pada kadar air 15-35% (Li et al. 2011). Hal tersebut menunjukkan kondisi modifikasi dapat berbeda-beda tergantung pada jenis pati dan cara modifikasi yang diterapkan. Perubahan kestabilan panas dan kestabilan pengadukan dapat dilihat dari profil pasta yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA). Pasta pati yang tahan panas dapat diamati dari penurunan viskositas breakdown dan ketahanan pengadukan dapat diamati dari perubahan viskositas pada suhu 50 °C. Pati yang
2 dimodifikasi HMT menunjukkan peningkatan kestabilan terhadap panas dan pengadukan, seperti ditunjukkan pada pati beras (Hormdok dan Noomhorm 2007) dan pati jagung (Chung et al. 2009).
Tujuan Penelitian Penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi suhu dan waktu proses modifikasi pati suweg yang dapat menghasilkan pati suweg termodifikasi HMT dengan sifat pasta yang tahan panas dan tahan pengadukan dan mengetahui pengaruhnya terhadap daya cerna berdasarkan kandungan pati resisten.
Hipotesis 1 2
Pati suweg hasil modifikasi HMT sifat-sifatnya dapat berubah Pati suweg hasil modifikasi HMT memiliki sifat ketahanan panas dan pengadukan yang lebih tinggi dibandingkan pati alami Manfaat Penelitian
1
2
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berikut: Informasi kondisi suhu dan waktu pemanasan pati modifikasi HMT yang menghasilkan pati suweg modifikasi dengan sifat ketahanan terhadap proses pemanasan dan pengadukan yang lebih baik. Pati suweg modifikasi HMT dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif dengan ketahanan terhadap proses pemanasan dan pengadukan yang lebih baik.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Umbi Suweg Umbi suweg (Amorphophallus campanulatus) adalah tanaman yang termasuk jenis Araceae yang berbatang semu dan memiliki daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Tangkai berwarna belang hijau putih, berbintil-bintil dan panjang nya 50-150 cm (Richana dan Sunarti 2004). Seluruh permukaan kulit suweg penuh dengan bintil-bintil dan tonjolan yang sebenarnya merupakan anak umbi dan tunas. Sementara di bagian atas tepat di tengah-tengah lingkaran umbi, terletak tunas utamanya. Bobot umbi suweg ukuran raksasa ini bisa mencapai 10 kg lebih. Kandungan airnya cukup tinggi, yakni antara 65-70%. Sementara kandungan patinya di bawah 30%. Umbi suweg masih satu kerabat dengan bunga bangkai raksasa dari Sumatera yang tingginya bisa mencapai 2 meter lebih. Suweg akan mengeluarkan bunga ketika pertumbuhan vegetatifnya telah mencapai titik optimum dan kandungan pati pada umbi telah penuh. Tepung umbi suweg mempunyai potensi mencegah beberapa penyakit degeneratif, termasuk penyakit jantung koroner, melalui mekanisme penurunan kolesterol dalam darah (Utami 2008). Di seluruh dunia, ada sekitar 90 jenis Amorphophallus. Selain suweg, masyarakat juga mengenal iles-iles (Amorphophlallus konyac) dan acung (Amorphophallus variabilis). Umbi suweg sebenarnya merupakan batang yang berada dalam tanah, sementara batang suweg yang bisa mencapai diameter 10 cm, tinggi 1.5 m, dan berwarna hijau belang-belang putih mirip tubuh ular itu, sebenarnya hanyalah tangkai daun. Daun suweg sendiri menjadi banyak dan membentuk seperti payung selebar 1 m. Batang semu ini akan menguning, layu, lalu mati menjelang musim kemarau, sehingga pada musim kemarau umbi akan mengalami masa dorman (istirahat) untuk tumbuh lagi pada awal musim penghujan. Benih berupa tonjolan di kulit umbi suweg seukuran kelereng, hingga mencapai ukuran optimal seberat 10 kg yang memerlukan masa pertumbuhan sekitar 5 tahun bahkan lebih. Suweg menuntut tanah yang gembur di bawah naungan tanaman pada dataran rendah sampai ketinggian 800 m di atas permukaan laut dengan curah hujan tinggi sampai sedang. Suweg kurang cocok tumbuh di kawasan yang ekstrem kering seperti Propinsi Nusa Tenggara Timur.
a b Gambar 1 (a) Pohon suweg (baltyra.com); (b) Umbi suweg (baltyra.com)
4 Tanaman suweg dibudidayakan di sela-sela tanaman jagung dan singkong atau di bawah tegakan tanaman keras. Suweg yang ditanam di bawah tegakan tanaman keras, biasanya hasilnya lebih optimal. Pertumbuhan tanaman lebih baik dan ukuran umbinya lebih besar. Namun kadar patinya lebih rendah sementara kandungan airnya lebih tinggi. Benih suweg berupa anakan umbi sebesar telur puyuh dan mata tunas yang berasal dari kulit umbi dewasa akan menghasilkan individu tanaman yang kecil dengan hasil umbi maksimal sebesar kepalan tangan. Umbi yang seperti itu masih belum bisa dikonsumsi. Petani akan membiarkan umbi ukuran kecil ini tetap berada dalam tanah hingga pada musim penghujan berikutnya akan tumbuh menjadi tanaman berukuran sedang. Setelah dua sampai dengan tiga tahun dibiarkan tumbuh terus, ukuran umbi akan mencapai diameter sekitar 15 cm. Umbi dengan ukuran ini sudah mulai dikonsumsi. Amorphophallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Tangkainya belang hijau putih, berbintil-bintil dengan panjang 50-150 cm. Perbungaannya muncul setelah daun hilang dari permukaan tanah, terdiri atas tangkai bunga, seludang, dan tongkol. Tongkolnya berbau tidak enak dan terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian bawah bunga betina, bagian tengah bunga jantan, dan bagian atas bunga mandul. Spesies Amorphophallus campanulatus mengandung kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 77% dan poliosa 14% (Ohtsuki 1968).
Pati Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan. Pati adalah bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman dapat berupa granula dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al. 2006). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan alfa-glikosidik. Molekul pati berbentuk semikristalin yang tersusun dari unit kristal dan unit amorphous. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorphous pati bersifat lebih labil. Pati memiliki sifat tidak larut air yang tergantung kepada panjang rantai karbonnya, dan terdiri dari granula-granula yang berukuran mikroskopik. Pati memberikan warna biru dalam larutan yodium sehingga dijadikan metode untuk menganalisis pati secara kualitatif. Struktur pati yang berbentuk spiral akan mengikat molekul yodium sehingga menyebabkan terbentuknya warna biru (Muchtadi et al. 1993) dan terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2004). Amilosa merupakan polimer berantai lurus dan amilopektin merupakan struktur dengan rantai bercabang. Polimer glukosa berantai lurus terbentuk dari ikatan α-(1-4)-D-glukosa, sedangkan percabangan polimer terbentuk dari ikatan α-(1-6)-D-glukosa (Fennema 2000). Umumnya pati pada tanaman mengandung amilosa 20-25% dan sisanya adalah amilopektin. Amilosa dan amilopektin memiliki perbedaan sruktur yang menyebabkan perbedaan ketahanan terhadap enzim pencernaan. Percabangan pada amilosa mungkin ditemui namun jumlahnya sangat terbatas. Percabangan ini akan timbul setelah lebih dari 500 unit glukosa yang membentuk rantai lurus. Panjang rantai polimer
5 akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Rantai polimer sendiri dipengaruhi oleh sumber patinya. Pada umumnya amilosa dari umbi-umbian mempunyai berat molekul lebih besar dan rantai polimer amilosa yang lebih panjang dibandingkan dengan berat molekul dan panjang rantai polimer amilosa serealia (Fennema 2000).
Gelatinisasi Pati dalam jaringan tanaman memiliki bentuk granula (butir) yang berbedabeda. Jenis pati dapat dibedakan dengan pengamatan mikroskopis karena memiliki bentuk, ukuran, letak hilum, dan juga sifat birefringence yang unik (Winarno 2004). Granula pati memiliki sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal gelap terang, sifat inilah yang disebut sifat birefringence. Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu sehingga granula membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible). Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu saat sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Menurut Kusnandar (2011) gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam sistem air. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi. Penelitian Richana dan Sunarti (2004) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati suweg adalah 79.5 oC. Granula pati tidak larut pada air dingin tetapi bagian amorphous pada granula pati dapat menyerap air sampai 30%. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Akan tetapi jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Menurut Winarno (2004), peningkatan volume granula pati terjadi di dalam air pada suhu 55-65 oC, ini merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali ke kondisi semula. Granula pati dapat dibuat sangat membengkak tetapi tidak dapat kembali pada kondisi semula. Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen yang berfungsi untuk mempertahankan struktur integritas granula. Adanya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan granula pati (Greenwood GT 1979). Menurut Winarno (2004) jumlah gugus hidroksil dari molekul pati yang sangat besar menyebabkan kemampuan penyerapan airnya juga besar. Peningkatan viskositas disebabkan oleh air yang berada di dalam granula pati yang tidak dapat bergerak bebas dengan adanya pemanasan. Proses gelatinisasi terjadi melalui tiga fase antara lain: air secara perlahan-lahan dan bolak-balik masuk ke dalam granula pati, fase kedua ditandai dengan pengembangan granula dengan cepat sehingga kehilangan sifat birefringence, dan fase ketiga terjadi jika suhu terus naik maka molekul amilosa terdifusi keluar granula. Mekanisme gelatinisasi diawali dengan adanya pemberian air yang mengganggu kristalinitas amilosa dan mengganggu struktur heliksnya. Granula pati mengembang dan volumenya menjadi 20-30 kalinya. Bila diberi air panas terus-menerus maka amilosa akan keluar dari granula. Apabila
6
Gambar 2 Profil RVA pada pati (Copeland et al. 2009). Suhu Awal Gelatinisasi (SAG), Suhu Puncak Gelatinisasi (SPG), Viskositas Puncak (VP), Viskositas Pasta Panas (VPP), Viskositas Breakdown (VB), Viskositas Pasta Dingin (VPD), dan Viskositas Setback (VS)
Gambar 3 Perubahan granula pati selama pengukuran: (a) pati alami, (b) pati selama proses gelatinisasi ditandai dengan pengembangan granula, (c) pelepasan amilosa, (d) retrogradasi. gelatinisasi terus berlanjut maka granula akan pecah dan terbentuklah struktur gel koloidal. Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, maka suhu tersebut akan semakin lama tercapai. Pada suhu tertentu kekentalan tidak bertambah bahkan kadang-kadang turun (Winarno 2004). Selain konsentrasi, pembentukan gel dipengaruhi oleh pH larutan. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Pada pH yang terlalu tinggi pembentukan gel berlangsung dengan cepat tetapi juga cepat menurun. Sedangkan bila pH terlalu rendah, gel terbentuk terlalu lambat dan saat pemanasan diteruskan maka viskositas akan kembali turun. Pati
7 yang telah mengalami gelatinisasi dapat keringkan, tetapi molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifat sebelum gelatinisasi. Bahan yang dikeringkan tersebut mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar. Sifat pati yang telah tergelanisasi inilah yang diaplikasikan pada berbagai produk pangan (Winarno 2004). Proses gelatinisasi setiap sumber pati bersifat khas yang dipengaruhi oleh jenis pati, konsentrasi pati yang digunakan, suhu pemastaan (pasting) atau suhu awal terjadinya gelatinisasi, ukuran granula pati, persentase amilosa, bobot molekul, derajat kristalisasi, tipe granula, prosedur pemasakan (suhu, pH, waktu, agitasi, metode), dan keberadaan komponen lain (Moorthy 2002, Elliason 2004) dalam Murdiati (2012). Proses gelatinisasi pati tersebut dapat diamati dengan menggunakan alat Brabender Viscoamilograph (BVA) atau Rapid Visco Analyzer (RVA). BVA dan RVA mencatat data-data profil gelatinisasi selama fase pemanasan dan pendinginan yaitu suhu awal gelatinisasi, waktu awal gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas setback, dan viskositas akhir (Gambar 2 dan Gambar 3). Penentuan parameter profil gelatinisasi tersebut yaitu (1) suhu awal gelatinisasi menunjukkan suhu pada saat nilai viskositas mulai terbaca; (2) waktu gelatinisasi adalah waktu saat nilai viskositas mulai terbaca; (3) viskositas puncak menunjukkan saat granula pati mengembang maksimum selama pemanasan; (4) viskositas breakdown diperoleh dari selisih antara viskositas maksimum dengan viskositas minimum setelah fase pemanasan. Suhu viskositas breakdown menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap proses pemanasan; (5) viskositas setback diperoleh dari selisih viskositas pada saat dimulai suhu pendinginan dengan viskositas maksimum saat pemanasan. Viskositas setback menggambarkan kecenderungan pasta pati untuk mengalami retrogradasi selama fase pendinginan yaitu semakin tinggi viskositas setback maka kecenderungan retrogradasi semakin meningkat; dan (6) viskositas akhir ditentukan dari viskositas setelah pati didinginkan pada fase pendinginan (Kusnandar 2011). Retrogradasi akan terjadi apabila gel pati didiamkan beberapa lama maka akan terjadi perluasan daerah kristal sehingga mengakibatkan pengerutan struktur gel yang biasanya diikuti dengan keluarnya air dari gel. Pati tergelatinisasi yang kemudian mengalami penurunan suhu dapat mengkristal kembali, peristiwa ini disebut dengan retrogradasi (Fennema 2000). Bila pati didinginkan, energi kinetik tidak cukup tinggi untuk mencegah kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk berikatan satu sama lain. Dengan demikian terjadi semacam jaring-jaring yang membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno 2004). Retrogradasi mengakibatkan perubahan sifat gel pati diantaranya meningkatkan ketahanan pati terhadap hidrolisis enzim amilolitik, menurunkan kemampuan melewatkan cahaya (transmisi), dan kehilangan kemampuan untuk membentuk kompleks berwarna biru dengan iodin.
Modifikasi Pati Pati tanpa perlakuan modifikasi telah banyak digunakan dalam proses pengolahan pangan namun terdapat keterbatasan dari segi properti fisik dan kimia pati untuk diaplikasikan pada produk pangan tertentu. Sifat fungsional pati dapat
8 ditingkatkan sesuai karakteristik produk pangan dengan teknik modifikasi (Elliason 2004). Pati modifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu sehingga dihasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya, terutama sifat fisiko-kimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan tersebut mencakup perlakuan secara fisik dan kimia. Metode modifikasi pati antara lain modifikasi dengan pemuliaan tanaman, konversi dengan hidrolisis (asam atau oksidator), cross linking, derivatisasi secara kimia (esterifikasi dan eterifikasi), serta perlakuan fisik yang akan menghasilkan perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati. Modifikasi pati dapat diklasifikasikan secara kimia menurut Beynum dan Roels (1985) dan secara fisik. Modifikasi secara kimia yaitu modifikasi pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat suatu reaksi kimia (esterifikasi atau oksidasi) atau dengan mengganggu struktur asalnya. Teknik modifikasi pati antara lain modifikasi sifat reologi dan modifikasi dengan stabilisasi. Modifikasi sifat reologi meliputi depolimerisasi dan ikatan silang. Proses depolimerisasi akan menurunkan viskositas sehingga dapat digunakan untuk tingkat total padatan yang tinggi. Depolimerisasi dapat dilakukan dengan cara dekstrinasi, konversi asam, dan oksidasi. Teknik ikatan silang akan membentuk jembatan antara molekul sehingga didapatkan jaringan molekul yang kaku. Cara ini akan mengubah sifat reologi pati dan sifat resistennya terhadap asam. Modifikasi dengan stabilisasi dilakukan melalui reaksi esterifikasi dan eterifikasi. Modifikasi ini menghasilkan pati dengan tingkat retrogradasi yang lebih rendah dan stabilitas yang meningkat. Modifikasi pati secara fisik yaitu melibatkan beberapa faktor antara lain: suhu, tekanan, pemotongan, dan kadar air pada pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip modifikasi fisik adalah dengan pemanasan. Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik antara lain: ekstruksi, praboiling, steam-cooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrotermal treatment dan autoclaving. (Sajilata et al. 2006). Metode modifikasi fisik yang telah disebutkan dapat meningkatkan kadar pati resisten (Sajilata et al. 2006). Metode steaming-cooking dan praboiling umumnya diaplikasikan pada beras sedangkan metode ekstruksi biasa digunakan untuk memodifikasi karakteristik fungsional pati serealia. Proses modifikasi tersebut menggunakan suhu tinggi, waktu yang singkat, dan gelatinisasi pati terjadi pada kandungan air rendah. Metode hydrotermal-treatment terdiri dari annealing dan Heat Moisture Treatment (HMT). Prinsip metode hydrotermal-treatment menggunakan air dan panas untuk memodifikasi pati. Pada annealing, modifikasi dilakukan dengan menggunakan jumlah air yang banyak (lebih dari 40%) dan dipanaskan pada suhu dibawah suhu gelatinisasi pati. Sedangkan HMT dilakukan dengan menggunakan jumlah kandungan air rendah (<35%) dan dipanaskan pada suhu melebihi suhu gelatinisasi. Metode hydrotermal-treatment dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati yaitu meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (Adebowale et al. 2005). Perlakuan fisik lainnya adalah metode autoclaving. Menurut Sajilata et al. (2006) perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode autoclaving dapat meningkatkan produksi pati resisten hingga 9%.
9
Modifikasi Pati dengan Metode HMT Modifikasi pati dengan metode HMT (Heat Moisture Treatment) merupakan metode modifikasi pati yang dilakukan secara fisik yaitu melibatkan perlakuan panas dan pengaturan kadar air yaitu pada pemanasan yang dilakukan di atas suhu gelatinisasi pati (80-120 oC) namun pada kadar air yang terbatas (<35%) (Collado et al. 2001). Energi yang diserap oleh granula pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati (Herawati 2009). Kondisi ini memberi peluang kepada air untk menginhibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT dari hasil analisi difraksi sinar x (Hoover dan Manuel 1996; Gunaratne dan Hoover 2002; Lawal 2005; Adebowale 2005; Vermeylen et al. 2006) dan studi bentuk granula dengan mikroskop polarisasi cahaya atau Scanning Electron Microscope (SEM) (Pukkahuta et al. 2008; Vermeylene et al. 2006). HMT menyebabkan pembentukan rongga dan mengaburnya persilangan dibagian tengah granula. (Herawati 2009; Pukkahuta et al. 2008; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta dan Varavinit 2007). Perubahan karakteristik pati termodifikasi HMT dipengaruhi oleh faktor internal (karakteristik awal pati) dan faktor eksternal (kondisi modifikasi HMT seperti suhu, kadar air, dan waktu pemanasan. Kombinasi antar faktor tersebut menghasilkan pati dengan karaktersitik fisik maupun kimia yang berbeda-beda.
10
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2012 – Oktober 2013. Penelitian dilakukan di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna – LIPI dan Laboratorium Seafast Center dan Laboratorium Kimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah umbi suweg (Amorphophallus campanulatus varietas hortensis) yang diperoleh dari wilayah Sumedang Jawa Barat dengan umur panen 12-18 bulan. Bahan lainnya antara lain HCl, H2SO4 NaOH (Merck), serta bahan-bahan kimia untuk analisis. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat chooper, pengepres hidrolik, oven pengering (Memmert tipe 100-800) dengan sirkulasi udara, Rapid Visco Analyzer (RVA) ) (Model Tec-master, Newpot Scientific Pty. Ltd, Warriewood, Australia), Kett White Tester, HPLC, Polarized Light Microscope (PLM) (olympus optical Co. Ltd, Jepang dan Scanning Electron Microscope, peralatan gelas untuk analisis dan alat sieve analysis.
Metodologi Penelitian ini dibagi menjadi empat tahapan penelitian. Tahap pertama adalah ektraksi dan karakterisasi pati suweg alami, tahap kedua adalah penentuan kondisi proses HMT, tahap ketiga adalah penentuan waktu tunda proses HMT, dan tahap keempat adalah modifikasi pati suweg dengan teknik HMT. Diagram alir penelitian ditampilkan pada Gambar 4 dan diagram proses HMT pada Gambar 5.
Tahapan Penelitian Ekstraksi dan karakterisasi pati suweg alami Proses ektraksi pati suweg dilakukan dengan tahapan berikut: umbi suweg dikupas, dicuci dan dipotong-potong secara manual, kemudian diperkecil ukurannya dengan menggunakan mesin chooper sehingga dihasilkan hancuran umbi dalam bentuk bubur kasar. Selanjutnya ditambah air hingga merata dengan rasio 1:2. Ekstraksi pati dilakukan dengan cara pengepresan dengan alat hidrolic press. Proses ekstraksi dilakukan dua kali ulangan dengan dua kali penambahan air dengan rasio 1:2 agar seluruh pati dapat diekstrak. Suspensi pati kemudian disaring dengan kain saring dan dibiarkan mengendap selama 12 jam. Pati kemudian dicuci dengan air bersih sampai diperoleh endapan pati yang bersih yang ditandai dengan kondisi air yang jernih dan dikeringkan dalam oven
11
Gambar 4 Diagram alir penelitian pati suweg teknik HMT pengering Memmert tipe 100-800 pada suhu 50 oC sampai diperoleh pati dengan kadar air < 13%. Pati yang dihasilkan kemudian disimpan dalam freezer untuk kepentingan analisis. Pati dianalisis kadar proksimat dengan metode AOAC (2005), kadar pati metode Luff schoorl (Sudarmadji et al. 1997), amilosa dan amilopektin, kemudian analisis sifat fisik: bentuk dan ukuran granula, densitas kamba, tipe kristalin dan kristalinitas granula pati dengan difraksi sinar x, sifat derajat putih, densitas kamba, analisis profil pasta pati dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) (Collado et al. 2001), amilosa-amilopektin (Apriyantono et al. 1989) dan kekuatan gel (Collado dan Corke 1999; Zhu et al. 2009).
12
*pada penelitian tahap 4 waktu proses HMT ditambahkan waktu tunda 47 menit Gambar 5 Diagram alir proses modifikasi pati suweg metode HMT (Collado et al. 2001, Purwani et al. 2006). Penentuan kondisi suhu dan waktu proses HMT Tahap kedua bertujuan untuk memilih suhu dan waktu proses HMT yang akan digunakan. Untuk memilih suhu, pati suweg pada proses HMT dengan kadar air 20% pada suhu 100, 105, 110, 115, dan 120 oC selama 16 jam. Kemudian dilakukan pengukuran pada suhu 120 oC selama 16, 32, dan 48 jam. Parameter yang diamati adalah bentuk dan ukuran granula pati, serta karakteristik pasting. Penentuan suhu proses HMT dilakukan dengan pertimbangan bahwa suhu proses tidak menyebabkan perubahan sifat birefringence granula pati dan mampu menghasilkan pati dengan karakteristik yang lebih stabil terhadap proses
13 pemanasan dan pengadukan. Untuk memilih waktu proses, pati suweg di proses HMT pada suhu 120 oC selama 16,32 dan 48 jam. Parameter yang diamati adalah karakteristik pasting pati HMT yang dihasilkan. Proses modifikasi pati suweg metode HMT mengacu pada prosedur Collado et al. (2001) dan Purwani et al. (2006). Perlakuaan modifikasi HMT yang dilakukan adalah dengan cara pati suweg 180 gr disebarkan secara merata diatas loyang alumunium 20x8.5x2 cm3 dengan ketebalan pati 0.5 mm dan kadar air pati suweg diatur menjadi 20% dengan cara sejumlah air ditambahkan ke dalam pati suweg yang telah diketahui kadar airnya. Selanjutnya agar kadar air merata dan homogen, loyang berisi pati suweg ditutup rapat dan disimpan dalam refrigerator (4 oC) selama 12 jam. Loyang kemudian dimasukan ke dalam oven Memmert tipe 100-800. Proses dilakukan sesuai tahap penelitian. Setelah proses HMT selesai, pati suweg disimpan pada suhu ruang dan dikeringkan selama 4 jam pada suhu 50 o C. Pati suweg hasil modifikasi kemudian diayak dengan ayakan 100 mesh (Retsch GmbH, Jerman). Diagram alir proses modifikasi pati suweg metode HMT ditampilkan pada Gambar 5. Penentuan waktu tunda proses HMT Tahap ketiga bertujuan untuk menentukan berapa lama waktu pemanasan yang dibutuhkan oleh bagian terdingin bahan untuk mencapai suhu HMT. Waktu tunda ini selanjutnya akan ditambahkan pada waktu proses HMT. Pengukuran waktu tunda ini dilakukan dengan cara memasukkan sampel pada loyang aluminium ukuran 20x8.5x2 cm. Sampel dengan kadar air 20% yang telah dipasang dengan probe atau sensor dari termokopel pada posisi 4 titik, yaitu: bagian ujung loyang sebelah kanan dan kiri dan bagian tengah loyang seperti terlihat pada Gambar 6. Perekam akan mencatat perubahan suhu terhadap waktu yang diprogram setiap satu menit dengan suhu awal oven yaitu 130 oC dan suhu target adalah 110 oC.
Gambar 6 Posisi probe termokopel dalam sampel
14 Modifikasi pati suweg dengan teknik HMT Tahap keempat bertujuan untuk memperbaiki ketahanan terhadap proses pemanasan dan pengadukan. Modifikasi HMT dilakukan pada suhu 110 dan 120 o C dengan waktu 16, 24, dan 32 jam dengan penambahan waktu 47 menit (waktu tunda). Sebagai contoh proses HMT pada suhu 110 dan 120 oC pada waktu proses HMT 16 jam menjadi 16 jam 47 menit. Demikian pula pada waktu proses HMT 24 dan 32 jam. Rancangan Percobaan Penelitian modifikasi pati suweg dengan metode HMT dan analisis karakteristiknya didesain dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua kali pengulangan dengan faktor kombinasi suhu dan waktu pemanasan. Rancangan penelitian untuk menentukan kondisi proses modifikasi pati suweg kombinasi suhu dan waktu dengan rancangan acak lengkap dengan model linier sebagai berikut: Yijk = µ + αi + εij Keterangan: Yij = nilai pengamatan pada perlakuan kombinasi suhu dan waktu ke i, ulangan ke j µ = nilai tengah αi = pengaruh kombinasi waktu dan suhu ke i εij = galat pengamatan atau percobaan pada perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j.
Analisis Data Analisis statistik untuk penelitian tahap modifikasi HMT menggunakan rancangan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel dan Torrie 1980) dengan tiga kali ulangan tiap-tiap perlakuan dan diolah dengan SPSS 17.
Prosedur Analisis Rendemen Pengukuran rendemen pati dihitung berdasarkan perbandingan berat pati yang diperoleh terhadap berat umbi tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen (%)
Bobot pati yang dihasilkan (g) 100% Bobot umbi segar (bk) (g)
Analisis proksimat 1 Kadar air (AOAC 2005) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit lalu ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ±2 g dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan
15
2
3
4
dalam oven 100 oC selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh berat konstan (C). Perhitungan: B (C A) Kadar air (% bb) = x100% B Kadar abu (AOAC 2005) Cawan yang akan digunaan untuk pengabuan terlebih dahulu dikeringkan di dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak ±3 g sampel ditimbang di dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang (C). Perhitungan: CA Kadar abu (% bb) = x100% B Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC 1995) Analisis protein metode ini terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sebanyak ±0.51 gram sampel ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan 1.0±0.1 g , 40±10 mg K2SO4 dan 2 ± 0.1 mL H2SO4 pekat. , Sampel didestruksi di ruang asam pada suhu 410 oC selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 mL, lalu ditanda bataskan pada labu ukur 100 mL dan dipipet 5 mL. Kemudian larutan yang dipipet tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0.1% dan methyl red 0.1% dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 mL larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 100-150 mL destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0.01 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut: (mL HCl - mL blanko) N HCl 14.007 %N x100% mg contoh % Protein = % N x faktor konversi* *) FK = 5.7 Fp = Faktor pengenceran Kadar lemak (AOAC 2005) Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Sebanyak ±2 g sampel ditimbang (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan
16
5
dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak. CA Kadar Lemak (%) = x100% B Kadar karbohidrat (By Different) Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan perhitungan: Kadar Karbohidrat (%) = 100% - (P + A + Ab + L) Dimana: P = kadar protein (% bb) A = kadar air (% bb) Ab = kadar abu (% bb) L = kadar lemak (% bb)
Residu oksalat (Hitachi High Technology Corporation) Sebanyak 1-5 g sampel pati suweg ditimbang lalu dilarutkan dalam labu ukur 25 mL dan dilarutkan dan ditandabataskan dengan aquabidest. Selanjutnya larutan tersebut tersebut disentrifusi 3 menit pada 7500 rpm. Larutan jernih kemudian disaring dengan membran filter 0.45 μm dan dimasukan ke dalam vial. Sebanyak 10 μL sampel kemudian diinjeksikan ke dalam sistem HPLC dengan detektor uv/vis yang diset pada 210 nm. Pemisahan dilakukan dengan kromatografi penukar ion menggunakan isokratik elution (Lichrospher Rp18 250x4 mm) pada 1.0 mL/menit dengan fasa gerak (1 mmol H2SO4 dan 1 mmol Na2SO4 pH 2.8). Kandungan asam oksalat dalam setiap sampel dianalisis dengan menggunakan kurva standar asam oksalat (0, 25, 50, 100, 250, 500, dan1000 ppm). Semua sampel dianalisis secara triplo. Kadar pati (Sudarmadji et al. 1997) Ditimbang 2-5 g sampel pati ke dalam gelas piala kemudian ditambah 50 ml akuades dan diaduk selama 1 jam hingga menjadi suspensi pati. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan aquades sampai volume filtrat 250 ml. Kemudian residu dicuci dengan ether 5x10 mL. Kemudian ether dibiarkan menguap dari residu dan di cuci dgn alkohol 10% sebanyak 150 mL. Residu dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlemeyer 500 ml. Kemudian dicuci dengan 200 ml aquadest dan ditambahkan 20 mL HCL 25%. Kemudian direflux selama 2.5 jam. Setelah dingin larutan dinetralkan dengan NaOH 45 % dan diencerkan sampai dengan volume 500 ml. Larutan disaring dan filtratnya kemudian dipipet 5 mL dimasukan ke dalam erlenmeyer 500 mL kemudian ditambah dengan 20 ml akuades dan ditambah 25 mL larutan Luff Schoorl. Disiapkan pula larutan blanko, yaitu 25 mL larutan Luff Schoorl ditambah dengan akuades 25 mL akuadest. Setelah ditambah beberapa butir batu didih, erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin balik, kemudian dididihkan dan dipertahankan dalam keadaan mendidih selama 10 menit. Setelah dingin, pada larutan ditambahkan KI 20% sebanyak 15 mL dan 25 mL H2SO4 25%, kemudian iodium
17 yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Na-thiosulfat (Na2S2O3) 0.1 N dengan indikator larutan pati 1% (2-3 mL). Kadar glukosa dan kadar pati dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar glukosa (G, %) =
x 100 dan Kadar pati (%) = Gx0.9
Dimana: W = Glukosa yang terkandung untuk ml Na2S2O3; W1 = Bobot sampel (mg); FP = Faktor pengenceran Kandungan amilosa-amilopektin (Apriyantono et al. 1989) Pembuatan kurva standar amilosa Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan ke dalam penangas air pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera sebagai larutan stok standar. Dari larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4 dan 5 mL dan dipindahkan masingmasing ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N. Ditambahkan 2 mL larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 mL air destilata) ke dalam setiap labu, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi. Analisis sampel Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dipipet 5 mL larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan kurva standar yang diperoleh. C V f 100 Kadar amilosa (%) W Dengan: C = Konsentrasi amilosa (mg/mL) V = Volume akhir contoh (mL) F = Faktor pengenceran W = Berat contoh (mg) Kandungan amilosa dalam sampel dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan amilopektin. Kandungan amilopektin dapat dihitung berdasarkan selisih antara total kandungan pati dengan kandungan amilosa.
18
Derajat putih (Kett Electric Laboratory 1981) Sampel diukur menggunakan alat Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter. Sebelum pengukuran dilakukan kalibrasi alat dengan standar derajat putih yaitu BaSO4 yang memiliki derajat putih 100% (81.6). Setelah dikalibrasi, sampelm diukur dengan memasukan sejumlah sampel dalam wadah sampel yang tersedia smpai benar-benar padat kemudian wadah ditutup. Wadah yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar (A). Derajat putih dihitung dengan cara sebagai berikut: Derajat Putih = x 100 % ( ) tandar a
A = Nilai yang terbaca pada alat. Densitas kamba (Muchtadi dan Sugiyono 2006) Sampel pati dimasukkan ke dalam gelas ukur 50 mL sampai volume tepat menjadi 50 mL lalu ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan membagi berat sampel dengan volume bahan (g/mL) Mikrostruktur (Yuliasih 2008 yang dimodifikasi) Mikrostruktur yang diamati adalah sifat birefringence, bentuk dan ukuran granula pati dianalisis dengan cara membuat suspensi encer dengan melarutkan 1 sudip sampel dalam ±20 mL air. Kemudian diambil beberapa tetes suspensi ke atas sebuah gelas objek. Gelas penutup dipasang, lalu preparat diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi cahaya pada skala pembesaran 400x dan gambar yang teramati dipotret dengan kamera digital. Analisis bentuk dan ukuran granula pati dilakukan dengan SEM. Sebanyak 2 mg sampel disimpan dalam cetakan logam peralatan SEM yang dilengkapi dengan pompa vakum. Dengan adanya tumbukan electron oleh senjata electron ke arah sampel terekam ke dalam monitor sehingga diperoleh gambar yang diamati pada pembesara 200 dan 400 kali. Tipe kristal dan kristalinitas granula pati (Kawabata et al. 1994) Tipe kristal dan kristalinitas granula pati diamati dari difraktogram sinar-X menggunakan difraktogram sinar-X (X-ray diffractometer, XRD 7000 Maxima dari Shimadzu). Sejumlah kecil sampel diletakkan dalam wadah sampel kemudian dimasukkan dalam alat difraktometer sinar X. Kondisi pengukuran adalah radiasi monokromatik yang digunakan Cu dengan panjang gelombang 1.54060 Å yang dihasilkan dari difraktometer X-ray pada 40 kV dan 30 mA. Daerah scanning difraksi pada sudut 2 theta adalah 5-35° dengan step interval 0.02° dan kecepatan scan 2.0°/menit. Stuktur dilihat dari puncak yang dihasilkan. Kristalinitas (%) dinyatakan sebagai persentase rasio dari daerah difraksi puncak dengan difraksi total. Karakteristik pasting (RVA standar 2 dalam Syamsir 2012) Pengukuran karakteristik pasting dilakukan menggunakan Ravid Visco Analyzer (RVA) tipe RVA-S4 dengan profil analisis standar 2. Sebanyak 3.5 g sampel (kadar air disesuaikan 14%) dicampur dengan 25 ml akuades di dalam wadah sampel (canister). Wadah berisi sampel selama 1 menit pertama diputar
19 pada kecepatan 160 rpm dan suhu 50oC. Selanjutnya, sampai menit ke 8.5, suhu pemanasan dinaikan dari 50 oC menjadi 95 oC. Suhu dijaga konstan pada 95 oC selama 5 menit (sampai menit ke 13.5). Setelah pemanasan konstan, suhu diturunkan menjadi 50 oC (pada menit ke 21) dan dipertahankan pada suhu 50 oC selama 2 menit (sampai menit ke 23). Dari kurva RVA akan diperoleh nilai dari suhu awal pasting (TP), suhu viskositas maksimum (T maks), viskositas puncak (VP), viskositas panas dan viskositas akhir. Nilai viskositas (breakdown) VBD dihitung sebagai selisih antara viskositas puncak dikurangi dengan viskositas panas. Viskositas balik (setback viscosity, VB) adalah nilai dari viskositas akhir (final viscosity) dikurangi dengan viskositas panas. Viskositas breakdown relatif (VBD-R) adalah persen rasio dari viskositas breakdown dengan viskositas puncak sementara viskositas balik relatif (VB-R) merupakan persen rasio dari viskositas balik dengan viskositas panas. Kekuatan gel (Collado dan Corke 1999; Zhu et al. 2009) Pengukuran tekstur gel dilakukan dengan menyiapkan pasta pati suweg dengan konsentrasi 20%. Pembuatan gel dibuat dengan melarutkan 20 g pati pada 100 g air destilata, kemudian dipanaskan selama 30 menit pada suhu 95oC. Pasta pati kemudian dituangkan ke dalam wadah pipa (diameter 2.7 cm dan tinggi 3.5 cm) pada suhu ruang hingga membentuk gel dan dibiarkan selama 1 jam, ditutup dengan alumunium foil lalu disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam. Gel yang terbentuk kemudian diukur dengan Texture Analyzer.(TA-XT2) Kondisi yang digunakan adalah pre test speed: 1.0 mm/detik, test speed: 1 mm/s, post test speed: 10.0 mm/detik, repture test distance 10 mm, distance: 50%, tipe:auto, force:5 gf. Probe yang digunakan adalah probe silinder 0.5 R dengan diameter 35 mm. Kekuatan gel dapat dilihat dari peak tertinggi yang diperoleh dari hasil pengukuran (gf).
20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Karakterisasi Pati Suweg Alami Ekstraksi pati suweg Tahap ekstraksi pati bertujuan mengekstrak pati dari umbi suweg. Umbi suweg mengandung kalsium oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal dan iritasi di mulut. Menurut Kriswidarti (1980), umbi suweg memiliki kandungan kalsium oksalat yang lebih rendah dibandingkan dengan umbi walur. Pada tahap ekstraksi umbi suweg tidak dilakukan reduksi kandungan kalsium oksalat karena apabila dilakukan reduksi oksalat dengan penambahan larutan HCl dengan konsentrasi tertentu diduga akan terjadi proses hidrolisis asam terhadap pati yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan pengembangan, viskositas, dan kestabilan pasta pati selama proses gelatinisasi (Ferrini et al. 2008). Hal yang berbeda dilaporkan oleh Purnomo et al. (2010) yang melakukan proses reduksi kalsium oksalat pada umbi basah yang telah diparut dengan cara direndam dengan larutan HCL 0.2 N selama 1.5 jam, kemudian dilanjutkan dengan perendaman dengan dalam larutan Na-bikarbonat 1% selama 5 menit, lalu dilakukan pencucian dengan air. Pada penelitian ini, pati suweg diekstraksi dengan cara basah yaitu dengan menambahkan sejumlah air dari umbi yang telah diperkecil ukurannya. Tahap ekstraksi pati cara basah meliputi tahapan pembersihan, pengupasan penghancuran dengan mesin chooper, pengepresan untuk mengekstrak pati, penyaringan untuk memisahkan pati, pengendapan, dekantasi, dan pengeringan. Selanjutnya pati suweg yang sudah kering digiling dan disaring menggunakan ayakan 100 mesh. Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa rendemen pati yang dihasilkan adalah 3.11% (bb). Rendemen dihitung dari perbandingan pati dengan bobot umbi setelah dikupas. Pati yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan ekstraksi pati suweg yang dilakukan oleh Richana dan Sunarti (2004) yaitu 11.56%. Dibandingkan dengan metode ekstraksi pada pati walur oleh Purnomo et al. (2010) diperoleh rendemen pati walur 2.58%, sedangkan metode ektraksi pati walur oleh Anggraini (2011) yaitu 5.06% dan Murdiati (2012) yaitu 5.72%.
Tabel 1 Rendemen pati suweg Ulangan Bobot umbi utuh (kg)
1 2 3 Ratarata
a 57.5 54.0 56.0
Bobot umbi setelah dikupas (kg) b 48.2 46.5 47.8
55.83
47.5
Bobot pati Rendemen setelah tahap proses ekstraksi (kg) c d 1.60 2.78 1.44 2.67 1.39 2.48 1.49
2.64
21 Karakteristik kimia pati suweg alami Kadar Air Tabel 2 menunjukkan hasil analisis proksimat dari pati suweg alami. Pati suweg memiliki kadar air 10.62% yang masih berada pada batas aman untuk pati dan produk kering lainnya sehingga daya tahan produk terhadap kerusakan selama penyimpanan dapat dikendalikan. Kadar Abu Kadar abu pada pati suweg adalah 0.24%. Kadar abu menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan. Menurut Elliason (2004), mineral dan garam anorganik dalam jumlah kecil dinyatakan sebagai abu yang merupakan residu bahan pangan setelah proses pembakaran menjadi karbon bebas. Pada umumnya pati mengandung kadar abu yang berasal dari berbagai mineral (Ca, Mg, P, K, dan Na) yang rendah yaitu <0.4% (Tester et al. 2004). Secara kuantitatif nilai kadar abu dalam tepung dan pati berasal dari mineral dalam umbi segar, pemakaian pupuk, dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama Tabel 2 Komposisi kimia pati suweg alami Parameter Kimia: Kadar Proksimat: Air Abu Protein Lemak Karbohidrat (by difference) Kadar Oksalat (ppm) Kadar pati Amilosa Amilopektin Fisik: Derajat putih Densitas kamba Tipe kristal Kristalinitas granula pati Karakteristik pasting: Suhu awal pasting (SAP) Viskositas puncak Viskositas pasta panas Viskositas breakdown Viskositas pasta dingin Viskositas setback Perubahan viskositas pada suhu 50 °C Kekuatan gel (gf)
Pati suweg alami (%)
10.62±0.02 0.24±0.04 0.24±0.03 0.18±0.01 88.72±0.04 185.47 76.61±0.98 37.02±0.97 39.58±0.97 53.30±0.00 0.434±0.00 A 25.03 82.95±0.07 3958.50±45.96 2799.00±38.18 1159.50±7.78 4617.00±53.74 1818.00±15.56 220.50±37.48 978.25±16.67
22 pengolahan (Soebito 1988). Menurut Anggraini (2012), kadar abu yang tinggi disebabkan karena kandungan mineral fosforus yang tinggi dan kandungan kalsium dari garam kalsium oksalat yang terdeteksi sebagai kalsium bebas. Kadar Lemak Kadar lemak yang diperoleh dari hasil analisis pati suweg adalah 0.18%. Menurut Gunaratne dan Hoover (2002) kandungan lemak tersebut termasuk rendah dan berada pada batas antara 0.1-1.14%. Kadar lemak yang tinggi mampu membentuk kompleks amilosa-lemak yang dapat menghambat keluarnya granula pati. Menurut Richana dan Sunarti (2004), lemak dapat berikatan dengan protein membentuk lapisan hidrofobik yang akan menghambat pengikatan air oleh granula pati yang dapat menyebabkan kekentalan pati menurun karena jumlah air berkurang dalam proses pengembangan granula pati. Kadar Protein Kadar protein yang dihasilkan pada pati suweg relatif rendah yaitu 0.24% dan masuk ke dalam kelompok pati murni (tanpa pengotor). Menurut Tester et al. (2004) kadar protein pati murni berada pada kisaran <0.6%. Nilai protein tersebut lebih rendah dibandingkan nilai kadar protein yang dihasilkan oleh Richana dan Sunarti (2004) yaitu 6.02%. Granula pati terdiri dari tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara lipid dan protein. Jumlah masing-masing komponen berbeda-beda untuk tiap jenis pati. Menurut Winarno (2004), fraksi terlarut adalah amilosa dan fraksi tidak larut adalah amilopektin. Hasil analisis amilosa pada pati suweg adalah 38.90% dan amilopektin adalah 37.24%. Residu Oksalat Residu oksalat yang terdapat pada pati suweg setelah melalui proses pencucian berulang-ulang dengan air adalah 185.47 ppm. Anggraini (2012) melaporkan umbi walur hasil perendaman HCl 0.2 N menyisakan total oksalat paling rendah yaitu 6066 ppm. Apabila konsumsi pati walur diasumsikan sama dengan konsumsi tepung terigu per hari, yaitu 47.8 g, maka jumlah oksalat yang dikonsumsi adalah 290 mg. Nilai tersebut masih sangat tinggi dari yang direkomendasikan yaitu 70-150 mg/hari (Noonan & Savage 1999). Sedangkan untuk pati suweg dengan nilai 185.47 ppm jumlah oksalat yang dikonsumsi harian adalah 8.87 mg. Jumlah tersebut jauh dibawah yang direkomendasikan sehingga aman untuk dikonsumsi. Pati Kadar pati yang dihasilkan dari pati suweg adalah 76.61%. Apabila dihitung sebagai berat kering dengan kadar air 10.32% maka kadar pati menjadi 84.94%. Menurut Sudarmadji (1997) karbohidrat yang berbentuk polimer pati, memiliki ukuran molekul yang sangat besar dan kompleks sehingga sulit ditentukan dalam jumlah yang sebenarnya. Amilosa-amilopektin Kandungan amilosa pada pati suweg alami dari hasil analisis diperoleh sekitar 37.02% sedangkan kadar amilopektin adalah 39.58%. Kadar amilosa dan amilopektin tersebut merupakan komponen utama penyusun pati. Variabilitas
23
Gambar 7 Pati suweg alami dengan pengamatan mikroskop polarisasi (pembesaran 400x) jumlah amilosa dan amilopektin diakibatkan karena adanya kompleksitas biosintesis pati yang dipengaruhi oleh faktor genetik berbagai enzim dan kondisi lingkungan (Copeland et al. 2009). Karakteristik fisik pati suweg alami Bentuk dan ukuran granula Pengamatan secara mikroskopis menggunakan mikroskop polarisasi bertujuan mengetahui struktur ganula pati. Gambar 7 menunjukkan bentuk granula pati suweg alami yang masih memiliki sifat birefringence sebagai indikator pati suweg alami bahwa proses gelatinisasi belum terjadi. Pada proses HMT terjadi gelatinisasi sebagian (parsial) yang ditandai dengan tidak rusaknya ukuran dan bentuk granula pati dimana masih terdapat sifat birefringence dalam jumlah sedikit, akan tetapi masih memperlihatkan warna biru dan kuning. Sifat birefringence menunjukkan bahwa kristalin granula pati memiliki struktur molekuler antara amilosa dan amilopektin yang tersusun secara teratur di dalam granula pati (Liu 2005).
a b Gambar 8 Pengamatan dengan SEM pada pembesaran 200x (a) dan 400x (b) pati suweg alami
24 Ukuran granula pati suweg adalah antara 15-26 μm dengan bentuk agak bulat seperti yang terlihat pada Gambar 8 pada pengamatan menggunakan SEM dengan pembesaran 200x dan 400x. Ukuran granula ini berbeda dengan ukuran granula pati walur yang diperoleh Anggraini (2012) yaitu 10.0-22 μm, akan tetapi hampir sama dengan pati walur yang dilaporkan oleh Murdiati (2012) yaitu 17.666 μm. Perbedaan ini diduga terkait dengan waktu pemanenan umbi walur. Ukuran granula pati suweg ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan granula pati lainnya seperti granula pati sagu yepha hongleu asal Irian Jaya yang memiliki kisaran granula panjang 45.1 – 91.6 μm dan kisaran lebar 29.8-74.8 μm (Herawati 2009). Ukuran granula pati suweg masuk ke dalam kelompok ukuran sedang, hal ini sesuai dengan pengelompokan ukuran granula pati menurut Adejumo et al. (2011) yaitu granula pati yang dikelompokan ke dalam empat kelompok ukuran yaitu besar (>25 μm), sedang (10-25 μm), kecil (5-10 μm) dan sangat kecil (<5 μm). Derajat putih Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan benda dibandingkan dengan standar BaSO4. Pengukuran derajat putih menggunakan Whitenessmeter dengan BaSO4 sebagai pengkalibrasi. Hasil pengukuran derajat putih pada pati suweg alami diperoleh nilai derajat putih sekitar 53.30%. Densitas kamba Densitas kamba mengindikasikan porositas suatu bahan yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel bahan (Limonu 2008) Semakin besar porositas bahan maka semakin kecil densitas kambanya. Densitas kamba menunjukkan bahwa pati suweg memerlukan ruang atau wadah yang lebih kecil sehingga dapat menghemat ruang baik dalam pengemasan, penyimpanan maupun dalam distribusi. Nilai densitas berbagai produk tepung-tepungan umumnya berkisar antara 0.2-0.8 g/mL (Wirakartakusumah et al. 1992). Dari hasil pengamatan diperoleh nilai densitas kamba pati suweg antara 0.4400 – 0.4734 g/mL. Tipe kristal dan kristalinitas granula pati (Derajat kristalinitas) Kristalinitas merupakan salah satu uji untuk mengetahui struktur kristalit suatu bahan apakah bahan tersebut memiliki kristalinitas yang tinggi. Derajat kristalinitas dihitung dengan cara membandingkan bagian kristalin dengan jumlah bagian kristal dan bagian amorf pada bahan. Uji derajat kristalinitas dilakukan menggunakan alat X-Ray Difraktometer (XRD). Prinsip kerja alat tersebut adalah dengan cara menyinari bahan dengan sinar X. Sinar X yang datang akan diteruskan dan direfleksikan. Intensitas sinar X yang datang akan lebih tinggi dibandingkan sinar X yang direfleksikan. Hal tersebut disebabkan karena terdapat penyerapan oleh bahan dan juga dipantulkan oleh atom-atom dalam bahan. Grafik Derajat kristalinitas pati suweg alami dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan pola difraksi sinar X kristalin pati suweg alami yang memiliki tiga puncak utama (strongest peaks) yaitu pada sudut 2Ɵ 17.92o, 17.04o, dan 22.91o. Terbentuknya puncak utama pada sudut tersebut menandakan pati suweg yang diamati memiliki kristal dengan tipe A. Pola kristal tipe A
25
Gambar 9 Pola difraksi sinar X kristalin pati suweg alami ditandai dengan adanya dua puncak yang sama pada sudut difraksi 2Ɵ sudut 17o dan satu puncak pada 23 oC (Charoenkul et al. 2011). Hasil analisis pola difraksi sinar X dengan XRD menunjukkan data tentang kristalinitas relatif (Xc). Xc pati suweg alami dari hasil analisis difraksi sinar X adalah 25.03%. Karakteristik pasting Karaktersitik pasta pati adalah fenomena yang mengikuti gelatinisasi dimana profil pasta pati menjadi indikator yang baik untuk menentukan sifat fungsional dan potensi aplikasinya sebagai ingredien / bahan tambahan pangan. Profil pasta pati pada Gambar 10 diperoleh dari hasil pengamatan terhadap profil gelatinisasi pati suweg alami yang ditandai dengan suhu awal pasting dimana granula pati mulai menyerap air atau terjadinya peningkatan viskositas. Suhu awal pasting pati suweg adalah 82.95 oC. Pada Gambar 10 terlihat bahwa pati suweg alami memiliki profil pasting tipe A yang dicirikan dengan viskositas puncak yang tinggi diikuti oleh penurunan viskositas secara cepat ketika proses
Gambar 10 Profil gelatinisasi pati suweg alami
26 pemanasan dilanjutkan (breakdown viscosity) dan viskositas balik (setback viscosity) yang rendah pada saat penurunan suhu. Kekuatan gel Kekuatan gel pati suweg sebesar 978.25 gf pada suspensi 20%. Nilai kekuatan pati suweg alami berbeda dengan nilai kekuatan gel pati walur yang dilaporkan oleh Saputra (2012) pada konsentrasi 20% yaitu 2137.6 gf. Kekuatan gel dipengaruhi oleh kadar amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen lebih mudah terjadi pada molekul amilosa daripada amilopektin (Aini dan Hariyadi 2007).
Penentuan Kondisi Suhu dan Waktu Proses HMT Pada uji pendahuluan ditentukan suhu HMT yaitu pada suhu 100, 105, 115 dan 120 oC dengan penentuan waktu HMT semula ditentukan waktunya adalah 16, jam. Selanjutnya dilakukan penambahan pengukuran pada suhu 120 oC selama 32 dan 48 jam untuk melihat perbedaan perubahan kurva amilografnya. Kurva amilogragraf disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan data kurva amilograf, terlihat bahwa pati suweg mulai menunjukkan perubahan profil amilograf berupa viskositas puncak, breakdown, dan setback yang lebih rendah dari pati alaminya pada saat HMT dilakukan selama 16 jam. Penentuan waktu HMT terlihat dari hasil pengamatan mikroskopik pada Gambar 12 bahwa pada suhu HMT 110 oC mulai terjadi gelatinisasi sebagian yang ditandai dengan granula pati yang mulai kehilangan sifat birefringence dan terdapat lingkaran hitam pada bagian tengah granula. Lingkaran hitam pada bagian tengah granula menandakan pati telah tergelatinisasi parsial. Pada Gambar 12 granula pati tidak tersebar secara merata karena suspensi pati yang dibuat belum homogen sehingga terlihat menempel satu sama lain, hal tersebut tidak terkait dengan hasil proses HMT. Oleh karena itu, waktu 16 jam dipilih sebagai waktu minimum dalam melakukan proses HMT
Gambar 11 Data RVA pati suweg HMT selama 16 jam, 32 jam, dan 48 jam suhu 100 , 105, 110, 115, dan 120 0C dengan kadar air 20%
27
a b 0 Gambar 12 Contoh granula pati pada suhu proses HMT 110 C; 16 Jam (a) dan 120 0C; 16 Jam (b) pada pembesaran 400 x terhadap pati suweg pada kadar air 20%. Modifikasi HMT pada pati suweg selanjutnya dilakukan selama 16 jam, 24 jam, dan 32 jam. Waktu HMT selama 48 jam tidak dilakukan mengingat terlalu lama waktu HMT dan tidak efisien secara ekonomi. Hasil analisis dengan RVA menunjukkan bahwa suspensi pati suweg mulai mengalami proses pasting pada suhu yang cukup tinggi, yaitu 82.95 oC. Bila dibandingkan dengan pati umbi lainnya seperti pati ganyong (70.5 oC) dan pati gembili (75.0 oC) (Richana dan Sunarti 2004), suhu pasting pati suweg ini sangat tinggi. Hal serupa dilaporkan oleh Richana dan Sunarti (2004) pada pati suweg, dimana suhu awal pasting pati suweg cukup tinggi (79.5 oC). Pasta pati suweg mencapai viskositas puncak (3958.50 cP) pada suhu 82.95 oC (Tabel 3) kemudian mengalami penurunan viskositas pada pemanasan selanjutnya. Selama proses pemanasan konstan pada suhu 95 oC selama 5 menit, viskositas pasta terus mengalami penurunan hingga mencapai viskositas 2799.0 cP di akhir proses pemanasan (Tabel 3). Hal ini menunjukkan pasta pati suweg tidak tahan terhadap proses pemanasan. Pada saat memasuki fase pendinginan, viskositas pasta pati kembali meningkat hingga mencapai maksimum pada suhu 50 oC (4617 cP) yang menunjukkan terjadinya retrogradasi pati. Pada saat dilakukan holding pada suhu 50 oC selama 2 menit, viskositas pasta pati mengalami penurunan hingga viskositas akhir mencapai 1818.0 cP. Penurunan pasta pati selama holding pada 50 oC ini menunjukkan pasta pati tidak tahan proses pengadukan. Hasil yang diperoleh dari analisis RVA tersebut mengkonfirmasi bahwa pasta pati suweg alami tidak tahan proses pemanasan dan pengadukan.
Penentuan Waktu Tunda Tujuan utama uji penetrasi adalah mengetahui keseragaman penyebaran panas di dalam wadah yang telah terisi sampel dan lama waktu tunda untuk mencapai suhu HMT. Waktu tunda dilihat dari titik terdingin pada sampel. Titik terdingin pada sampel, atau bagian sampel yang memiliki kecepatan peningkatan suhu paling rendah (coldest point). Penambahan waktu tunda menjamin proses
28
Keterangan: T adalah titik tempat pemasangan termokopel Gambar 13 Data profil penetrasi panas pada loyang yang digunakan untuk proses HMT kadar air 20% berlangsung pada suhu yang diinginkan. Profil hubungan suhu dan waktu proses termal yang disajikan pada Gambar 13. Sampel pati yang akan diproses dengan HMT berbentuk pati lembab dan memiliki perambatan panas secara konduksi. Proses pindah panas konduksi terjadi pada saat panas akan merambat dari dinding kemasan ke pusat kemasan dari segala arah, dengan demikian pusat terdinginnya akan berada di pusat kemasan (Toledo 1991). Dari hasil uji distribusi panas diperoleh 3 titik suhu yang tidak berbeda jauh, akan tetapi terdapat 1 titik suhu yang relatif jauh dari ketiga titik lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu target ± 47 menit.
Modifikasi Pati Suweg dengan Teknik HMT Modifikasi dengan teknik HMT merupakan metode modifikasi pati yang dilakukan secara fisik dengan perlakuan panas (80 – 120 oC) dan kadar air yang terbatas (<35%) (Collado et al. 2001). Modifikasi HMT pati suweg dilakukan pada suhu proses HMT 110 dan 120 oC dengan variasi waktu HMT 16, 24 dan 32 jam dan penambahan waktu tunda ± 47 menit pada setiap waktu proses HMT. Karakteristik kimia Amilosa dan amilopektin Secara umum pati tersusun dari 17-21% amilosa yang terdiri dari glukosa yang tergabung melalui ikatan α-(1-4) D-glukosa sedangkan amilopektin adalah pati yang mempunyai rantai cabang yang terdiri dari glukosa yang tergabung melalui ikatan α-(1-4) D-glukosa dan α-(1-6) D-glukosa (Schwartd dan Zelinskie 1978).
29
Gambar 14 Kurva kadar amilosa pati suweg modifikasi suhu 110 oC dan 120 oC Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kadar amilosa pati suweg adalah 37.02% sedangkan kadar amilopektin adalah 39.58%. Dari hasil uji duncan diperoleh bahwa kadar amilosa semua perlakuan HMT baik pada suhu 110 oC maupun 120 oC memiliki hasil yang tidak berbeda nyata kecuali pada perlakuan HMT suhu 120 oC selama waktu HMT 32 jam memiliki hasil yang berbeda nyata terhadap kontrol. Dari grafik yang ditunjukkan pada Gambar 14 terjadi penurunan nilai amilosa pati suweg HMT berbagai perlakuan dibandingkan pati suweg alaminya. Hal tersebut berbeda dengan yang dilaporkan Li et al. (2011) pada pati mung bean yang mengalami peningkatan kadar amilosa tertinggi pada kondisi HMT 120 oC selama 12 jam pada kadar air 20%. Kadar amilosa pati mung bean alami 29.7% meningkat menjadi 35.0%. Peningkatan kadar amilosa ini berkaitan
Gambar 15 Kurva kadar amilopektin pati suweg modifikasi HMT suhu 110 oC dan 120 oC
30 dengan interaksi rantai pati pada area amorphos granula (Li et al. 2011). Interaksi rantai pati terjadi pada interaksi rantai amilosa-amilosa dan interaksi rantai amilosa-amilopektin (Gunaratne dan Hoover 2002). Struktur yang kompak dari pati HMT akan menjadi lebih tahan terhadap hidrolisis enzim. Menurut Copeland et al. 2009, variasi dalam amilosa dan amilopektin disebabkan karena adanya kompleksitas biosintesis pati tersebut yang dipengaruhi oleh faktor genetik berbagai enzim dan faktor kondisi lingkungan. Kadar amilopektin pada pati suweg sesuai hasil uji duncan perlakuan HMT 120 oC berbeda nyata terhadap kontrol. Grafik kandungan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 15. Kandungan amilopektin mengalami peningkatan dibandingkan pati suweg alami yaitu dari 39.58% menjadi 42.22% pada perlakuan HMT 120 oC selama 32 jam. Peningkatan kandungan amilopektin ini terjadi karena adanya asosiasi rantai amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin.
Karakteristik fisik Bentuk dan ukuran granula Granula pati merefleksikan cahaya terpolarisasi dan memperlihatkan pola silang atau maltose cross yang dikenal dengan sifat birefringence. Pada Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa kombinasi suhu dan waktu pada berbagai perlakuan HMT 110 oC dan 120 oC pola silang atau maltose cross dan sifat birefringence masih tampak walaupun intensitas warnanya tidak seperti pada granula pati suweg alami. Perlakuan HMT pada kedua suhu tidak terlalu berbeda, tampak bahwa dari Gambar 17 dan Gambar 18 diketahui memiliki intensitas warna yang mulai berkurang. Menurut Kusnandar (2010) sebelum mengalami gelatinisasi, granula pati akan memberikan pola Maltose cross. Bila suspensi dipanaskan secara bertahap, energi kinetik molekul air akan melemahkan dan memecah ikatan hidrogen antar molekul amilosa/amilopektin sehingga kekompakan kristal granula pati menjadi terganggu dan air akan berpenetrasi ke dalam granula yang membuat granula pati mengembang. Suspensi pati akan mengalami peningkatan viskositas saat pati mulai mengembang. Setelah suhu awal gelatinisasi a terlewati maka granula bpati akan kehilangan sifat cbirefringence atau maltese cross-nya. Gambar 16 Struktur granula pati suweg termodifikasi HMT 110 oC 16 jam (a), 24 jam (b) dan 32 jam (c) di bawah mikroskop polarisasi (pembesaran 400x)
a b c Gambar 17 Struktur granula pati suweg termodifikasi HMT 120 oC 16 jam (a), 24 jam (b) dan 32 jam (c) di bawah mikroskop polarisasi (pembesaran 400x)
31
a b Gambar 18 Pengamatan dengan SEM pada pembesaran 200x (a) dan 400x (b) pati suweg HMT 110oC selama 32 jam
a b Gambar 19 Pengamatan dengan SEM pada pembesaran 200x (a) dan 400x (b) granula pati suweg HMT 120oC selama 32 jam Proses HMT belum mampu mengubah bentuk dan ukuran granula pati (Wacharatewinkul et al. 2009). Penelitian yang sama dilaporkan pada pati HMT dari ganyong (Wacharatewinkul et al. 2009) dan new cocoyam ( Lawal 2005). Granula pati yang diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM) pada berbagai perlakuan HMT pada suhu 110 oC dan 120 oC selama waktu 16, 24, dan 32 jam memiliki ukuran yang relatif sama yaitu antara 15-26 μm. Pada Gambar 18 sampai 19. SEM menunjukkan bahwa perlakuan HMT memberikan bentuk granul yang relatif mulai rapat dan mengkerut akibat pengaruh pemanasan pada suhu 110 oC dan 120 oC. Derajat putih Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan benda dibandingkan dengan standar BaSO4. Pengukuran derajat putih menggunakan Whitenessmeter dengan BaSO4 sebagai pengkalibrasi. Dari hasil pengukuran derajat putih seperti terlihat pada Gambar 20 diperoleh bahwa kombinasi suhu dan waktu pemanasan menghasilkan persentase derajat putih antara 49.55%-52.75% pada pengukuran suhu HMT 110 dan 120 oC pada waktu pemanasan 16, 24, dan 32 jam. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semua perlakuan HMT memberikan pengaruh nyata terhadap nilai derajat putih kontrol. Nilai derajat putih pati suweg kontrol adalah 53.50%. Proses HMT suhu 110 oC mampu meningkatkan nilai derajat putih dibandingkan pada proses HMT 120 oC yang cenderung menurun nilai derajat putihnya. Lama waktu HMT pada suhu 110 o C mampu meningkatkan nilai derajat putihnya. Pati suweg yang dihasilkan dari
32
Derajat putih (%)
59 57 55
53
y = -0,0781x + 53,542 R² = 0,3827
51 49
y = 0,0625x + 48,567 R² = 0,9967
47 45 12
16
20
24 Waktu (jam)
pati suweg alami
28
110
32
36
120
Gambar 20 Kurva derajat putih pati suweg modifikasi suhu 110 dan 120 oC
berbagai perlakuan HMT memiliki warna yang cenderung sedikit abu-abu atau cenderung sedikit gelap. Nilai derajat putih memiliki kecenderungan warna yang semakin cerah sejalan dengan meningkatnya suhu HMT dan waktu pemanasan. Nilai derajat putuh dipengaruhi oleh kondisi proses ekstraksi pati suweg. Reaksi kecoklatan yang terjadi selama proses ekstraksi membuat pati suweg lebih gelap. Faridah (2005) melaporkan tepung suweg yang berwarna krem disebabkan adanya reaksi kecoklatan pada saat pengupasan umbi suweg sehingga chips yang dihasilkan tidak berwarna putih. Densitas Kamba Densitas kamba mengindikasikan porositas suatu bahan yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel bahan (Limonu 2008) Semakin besar porositas
Densitas kamba (g/mL)
1
y = 0,0011x + 0,4399 R² = 0,6181
y = 0,0014x + 0,4164 R² = 0,9487
0 12
16
20
24 Waktu (jam)
pati suweg alami
110
28
32
36
120
Gambar 21 Kurva densitas kamba pati suweg modifikasi suhu 110 dan 120 oC
33 bahan maka semakin kecil densitas kambanya. Densitas kamba menunjukkan bahwa pati suweg memerlukan ruang atau wadah yang lebih kecil sehingga dapat menghemat ruang baik dalam pengemasan, penyimpanan maupun dalam distribusi. Nilai densitas berbagai produk tepung-tepungan umumnya berkisar antara 0.2-0.8 g/mL (Wirakartakusumah et al. 1992). Dari hasil pengamatan seperti Gambar 21 diperoleh nilai densitas kamba pati suweg antara 0.4400 – 0.4734 g/mL. Dari hasil pengukuran densitas kamba diperoleh bahwa kombinasi suhu dan waktu pemanasan pada perlakuan HMT 110 o C selama 24 jam memberikan nilai yang tidak berbeda nyata terhadap kontrol pati suweg alami dan berbeda nyata pada perlakuan HMT lainnya (110 oC, 16 dan 32 jam) serta pada suhu 120 oC untuk waktu HMT 16, 24, dan 32 jam. Tipe kristalin dan kristalinitas granula pati Tipe kristalin dan kristalinitas granula pati merupakan salah satu uji untuk mengetahui struktur kristalit suatu bahan apakah bahan tersebut memiliki kristalinitas yang tinggi. Derajat kristalinitas dihitung dengan cara membandingkan bagian kristalin dengan jumlah bagian kristal dan bagian amorf pada bahan. Gambar 22 menunjukkan tipe kristalin dan kristalinitas granula pati yang memiliki tiga puncak utama (strongest peaks) yaitu pada sudut 2Ɵ yaitu 7 92o, 17.04o, dan 22.91o. Terbentuknya puncak utama pada sudut tersebut menandakan pati suweg yang diamati memiliki kristal dengan tipe A. Pola kristal tipe A ditandai dengan adanya dua puncak yang sama pada sudut difraksi 2Ɵ sudut 7o dan satu puncak pada 23 oC (Charoenkul et al. 2011). Pada Gambar 22 menunjukkan difraktogram sinar X dan kristalinitas relatif
Gambar 22 Pola difraksi sinar X kristalin pati suweg dan pati suweg termodifikasi HMT 110oC dan 120oC dengan waktu HMT 32 jam.
34 (Xc) dari pati suweg alami dan pati suweg termodifikasi HMT 110 oC dan 120 oC selama 32 jam. Proses HMT menyebabkan menurunnya intensitas pada berbagai puncak. Penurunan puncak ini akibat proses pemanasan yang dapat menyebabkan terbukanya struktur double helix pada daerah kristalin amilopektin dengan hilangnya sifat birefringence. Fenomena birefringence dapat diamati dengan mikroskop polarisasi. Tipe kristal pati suweg setelah proses HMT sama seperti pati alaminya, pati suweg modifikasi HMT memiliki kristalit tipe A. Terjadi penguatan puncak setelah proses HMT, pada sudut 2Ɵ sekitar 19.8º. Perubahan profil pasting pati suweg HMT Perubahan profil pasting pati suweg sebelum dan setelah modifikasi pati dapat dilihat pada Gambar 23a-23d (suhu awal pasting, viskositas puncak, viskositas pasta panas dan viskositas breakdown selama pemanasan) dan Gambar 24a-24b (viskositas akhir/pasta dingin, viskositas setback) selama fase pendinginan. Perubahan profil pasta pati suweg tersebut dijelaskan sebagai berikut: Suhu awal pasting (SAP) Gambar 23a memperlihatkan pengaruh suhu dan waktu proses modifikasi HMT terhadap perubahan suhu pasting dari pasta pati suweg. Suhu pasting meningkat cukup tinggi dari pati suweg alami yaitu dari 82.95 oC menjadi 87-88 o C setelah proses HMT, baik yang dipanaskan pada suhu 110 oC maupun 120 oC. Penundaan proses pasting menunjukkan granula pati hasil modifikasi HMT lebih stabil dan tahan terhadap proses pemanasan. Peningkatan suhu pasting ini diduga karena granula yang semakin rigid akibat perubahan daerah kristalin pati. Kombinasi suhu dan waktu pemanasan yang digunakan memberikan perubahan suhu pasting yang tidak jauh berbeda pada perlakuan suhu 110 oC dan 120 oC. Hasil penelitian serupa dilaporkan oleh Murdiati (2012) pada pati walur dimana suhu awal pasting setelah modifikasi HMT meningkat dari 82.13 oC menjadi 86.54-88.56 oC. Kecenderungan yang sama dilaporkan pada pati ubi jalar (Shin et al. 2005), pati sagu (Pukkahuta dan Varavinit 2007), pati jagung, pea, dan lentil (Chung et al. 2009).
35 Tabel 3 Data hasil analisis profil pasting pati suweg Parameter profil pasting pati Perlakuan
SAP (oC)
VP (cP)
VPP (cP)
VB (cP)
VPD (cP)
VS (cP)
Perubahan viskositas pada 50 oC
Pati suweg alami 82.95±0.07a 3958.50± 45.96a 2799.00± 38.18a 1159.5±7.78a 4617.0±53.74a 1818.00±15.56a 220.5±37.48a Pati suweg HMT: 110oC-16 jam 88.00±0.28b,c 2110.00±128.69b 1499.50± 118.09b 610.50±10.61b 2163.00±145.66b 656.50±40.31b 82.0±0.0b,c o c,d c c c c c 110 C-24 jam 88.20±0.57 1782.00±52.33 1240.00±49.50 542.00±2.83 1754.50±78.49 521.00±19.80 53.5±3.54c,d o c,d d d d,e c,d d 110 C-32 jam 88.18±0.53 1507.50±12.02 1113.50±20.51 394.00±8.49 1444.50±26.16 331.00±5.56 38.0±0.0d o b e d d d d 120 C-16 jam 87.18±0.25 1180.50±16.26 733.00± 45.25 447.50±61.52 1299.00±339.41 330.50±84.15 101.5±0.71b o b,c e d e e d,e 120 C-24 jam 87.58±0.25 1054.00±97.58 690.00± 84.85 364.00±12.73 852.50±9.19 242.50±19.09 82.5±0.71b,c o d f e f e e 120 C-32 jam 88.58±0.04 729.00±9.90 453.50±6.36 275.50±3.54 622.50±7.78 168.50±0.71 63.5±0.71c,d a SAP (suhu awal pasting), VP (viskositas puncak), VPP (viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VS (viskositas setback). Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (P<0.05)
36
a
b
c d Gambar 23 Kurva perubahan suhu awal pasting (a), viskositas puncak (b), viskositas pasta panas (c), dan viskositas breakdown (d) selama fase pemanasan Viskositas puncak Viskositas puncak merupakan kemampuan granula pati untuk mengembang secara maksimal ketika pasta pati dipanaskan. Pati suweg yang mengalami modifikasi HMT, baik pada suhu 110 oC dan 120 oC mengalami penurunan nilai viskositas puncak dibandingkan dengan pati suweg alaminya. Semakin meningkat suhu dan waktu proses modifikasi, viskositas puncak semakin menurun. Penurunan nilai viskositas puncak yang paling besar terjadi pada pati suweg yang dimodifikasi pada suhu 120 oC selama 32 jam yaitu 729 cP dimana menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap berbagai perlakuan kombinasi suhu dan waktu HMT. Pengaruh kombinasi suhu dan waktu proses modifikasi HMT terhadap viskositas puncak pati suweg ditunjukkan pada Gambar 23b. Penurunan viskositas puncak ini mengindikasikan bahwa granula pati HMT memiliki daya mengembang dan daya penyerapan air yang lebih rendah (Lestari 2009; Hormdok dan Noomhorm 2007). Hal ini dipengaruhi oleh struktur granula pati yang makin rigid akibat dari interaksi inter dan intramolekul granula yang semakin kuat dan rapat yang akan menghambat penetrasi air sehingga pembengkakan menjadi terbatas. Menurut Gunaratne dan Corke (2007) adanya interaksi rantai amilosaamilosa, dengan rantai amilosa-amilopektin yang terjadi selama proses HMT menyebabkan ikatan antar molekul menjadi semakin rapat dan air semakin sulit untuk berpenetrasi ke dalam granula. Sementara itu, Elliason (2004) menjelaskan bahwa penurunan viskositas puncak dipengaruhi oleh adanya ikatan amilosa
37 lemak selama proses HMT yang dapat membatasi interaksi molekul pati dengan molekul lain di luar granula. Hal ini diduga terjadi karena pati suweg masih mengandung lemak dalam jumlah kecil. Viskositas pasta panas dan viskositas breakdown Pengukuran viskositas pasta panas dan viskositas breakdown bertujuan mengetahui pengaruh perlakuan proses HMT terhadap kestabilan pasta pati selama proses pemanasan. Perubahan viskositas pasta panas dan viskositas breakdown dari pati suweg HMT dapat dilihat pada Gambar 23c dan 23d. Viskositas pasta panas pati suweg HMT untuk semua perlakuan lebih rendah dibanding pasta pati suweg alaminya. Viskositas breakdown pati suweg HMT pada semua perlakuan mengalami penurunan. Penurunan viskositas breakdown menunjukkan kestabilan panas pati suweg HMT lebih baik dibandingkan pati suweg alami. Hasil uji Duncan untuk kombinasi suhu dan waktu HMT 120 oC dengan waktu HMT 32 jam berbeda nyata terhadap berbagai perlakuan. Laju penurunan pada suhu tersebut adalah 10.75 cP/jam. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pati suweg HMT pada perlakuan tersebut memiliki stabilitas panas yang lebih baik dibandingkan pati termodifikasi pada perlakuan yang lain. Nilai viskositas breakdown semakin rendah dengan semakin lamanya waktu pemanasan yaitu berkisar antara 610 cP (HMT 16 jam, 110 oC) sampai 275 cP (HMT 32 jam, 120 o C), hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Olayinka et al. (2008) dimana pengaruh HMT pada tepung sorgum putih memiliki nilai breakdown yang mengalami penurunan secara signifikan. Viskositas breakdown merupakan salah satu faktor penting ketika pati diaplikasikan pada produk yang menunjukkan kestabilan pasta pati terhadap pemanasan. Semakin kecil nilai viskositas breakdown maka pati akan semakin stabil pada kondisi pemanasan. Yadav et al. (2013) melaporkan bahwa semua parameter pada karakterisasi pasta pada komoditas pati Indian water chesnut yaitu peak viskosity, viskositas pasta panas, viskositas breakdown, dan viskositas setback menunjukkan penurunan sesuai dengan HMT pada pati suweg. Penurunan nilai breakdown dan setback dari perlakuan HMT mengindikasikan kestabilan pada pengadukan pada pasta pati termodifikasi. Viskositas pasta dingin dan viskositas setback Perbedaan kurva viskositas pasta dingin (VPD) dan viskositas setback (VS) dapat dilihat pada Gambar 24. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai viskositas pasta dingin yang tertinggi yaitu pada perlakuan HMT 110 oC (2163±145.66). Nilai VPD terendah pada perlakuan HMT 120 oC dengan waktu HMT 32 jam dengan nilai VPD 622.50±7.78 cP. Laju penurunan yang lebih cepat terjadi pada suhu 110 oC yang ditandai dengan gradien kemiringan yang lebih besar dibandingkan suhu HMT 120 oC. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) pada pati jagung yang menunjukkan penurunan nilai VPD setelah proses modifikasi HMT, sedangkan sebaliknya modifikasi HMT pada pati sagu (Purwani et al. 2006; Herawati 2009) menunjukkan kenaikan VPD akibat modifikasi HMT. Dari Gambar 24a diperoleh keterangan bahwa nilai VPD semakin menurun dengan semakin lamanya waktu modifikasi HMT baik pada suhu 110 oC maupun 120 oC.
38
a b Gambar 24 Kurva perubahan viskositas akhir/pasta dingin (a) dan viskositas setback selama fase pendinginan (b) Menurut Charles et al. (2006) viskositas setback adalah derajat reasosiasi atau pembentukan kembali ikatan-ikatan hidrogen yang telah terputus antara molekul pati yakni molekul amilosa dan amilopektin ketika mengalami pendinginan. Pendinginan lebih lanjut dapat menyebabkan pati membentuk gel dengan ikatan amilosa dan amilopektin yang semakin kuat dan kompak. Nilai viskositas setback pati suweg HMT tertinggi terdapat pada suhu pemanasan 110 o C dengan waktu HMT 16 jam yaitu 656.50±40.31 dan terendah pada suhu pemanasan 120 oC dengan waktu HMT 32 jam yaitu 168.50 cP±0.71. Sementara itu laju penurunan viskositas setback yang lebih cepat terjadi pada perlakuan suhu HMT 110 oC dibandingkan dengan suhu HMT 120 oC. Nilai viskositas setback dari berbagai perlakuan HMT cenderung menurun dengan semakin meningkatnya waktu pemanasan dan tingginya suhu pemanasan dibandingkan pati suweg alami. Hal ini menunjukkan pati suweg HMT memiliki kemampuan membentuk gel yang lebih rendah dari pati alaminya sehingga memiliki kemampuan retrogradasi yang tinggi. Menurut Hoover dan Manuel (1996), kemampuan membentuk gel yang tinggi ini menunjukkan kestabilan pasta pati terhadap proses pengadukan. Charles et al. (2006) menerangkan bahwa viskositas setback terkait dengan fenomena retrogradasi selama pendinginan yang diikuti peningkatan nilai viskositas dimana semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas setback semakin tinggi. Nilai viskositas setback yang rendah dapat dimanfaatkan pada industri pangan beku dan pangan dalam kaleng (Yadav et al. 2013). Perubahan viskositas tahan pada 50 oC Viskositas tahan pada 50 oC mengindikasikan ketahanan terhadap pengadukan. Nilai viskositas diperoleh berdasarkan selisih awal dan akhir dari viskositas pada saat fase pendinginan suhu 50 oC. Gambar 25 menerangkan bahwa proses modifikasi pati suweg pada suhu 120 oC memiliki laju penurunan yang lebih cepat dibandingkan dengan proses HMT pada suhu 110 oC sehingga proses HMT pada suhu 120 oC memiliki karakteristik yang lebih tahan terhadap pengadukkan dibandingkan dengan proses HMT pada suhu 110 oC. Kombinasi suhu dan waktu menunjukkan bahwa nilai viskositas menurun dengan bertambahnya waktu HMT. Penurunan nilai viskositas terjadi dengan
39
Perubahan viskositas pada 50 oC (cP)
bertambahnya suhu proses HMT. Hasil uji lanjut duncan menunjukkan bahwa perlakuan HMT berbagai perlakuan kombinasi suhu dan waktu berbeda nyata terhadap nilai viskositas pati suweg alami. 240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
y = -2,75x + 123,83 R² = 0,9717
y = -2,375x + 139,5 R² = 1
12
16
20
24 Waktu (jam)
pati suweg alami
120
28
32
36
110
Gambar 25 Kurva perubahan viskositas pada 50 ºC modifikasi suhu 110 dan 120 ºC Perubahan kekuatan gel pati suweg HMT Perubahan kekuatan gel dari pati suweg HMT dibandingkan pati alaminya dapat dilihat pada Gambar 26. Pati suweg termodifikasi secara umum memiliki nilai kekuatan gel yang lebih rendah (440.60-968.1 gf) dibandingkan pati alami (978.25 gf), akan tetapi terdapat kecenderungan peningkatan kekuatan gel selama proses HMT pada kombinasi suhu dan waktu pada proses HMT 110 oC dan 120 o C. Jika dibandingkan dengan nilai kekuatan gel pada pati suweg alami maka kekuatan gel mengalami penurunan paling besar pada proses HMT dengan waktu proses yang pendek yaitu 16 jam. Dengan meningkatnya waktu proses HMT maka kekuatan gel mendekati nilai kekuatan gel pati suweg alami. Nilai kekuatan gel selama proses HMT meningkat dengan bertambahnya suhu pemanasan dan lama waktu proses HMT. Laju peningkatan kekuatan gel terbesar terdapat pada proses HMT pada kombinasi suhu dan waktu 120 oC selama 32 jam. Karakteristik tekstur gel bergantung pada unsur utama pati dan amilosa, volume dan deformasi granula dan interaksi antara fase kontinyu dan fase dispersi. Hasil uji lanjut duncan kekuatan gel menunjukkan pati suweg alami berbeda nyata terhadap berbagai perlakuan HMT dimana selama proses HMT baik pada suhu 110 oC maupun 120 o C memiliki kecenderungan peningkatan nilai kekuatan gel dengan bertambahnya waktu HMT. Peningkatan nilai kekuatan gel ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Ahmad (2009) yang menyatakan bahwa peningkatan kekuatan gel dikarenakan teraturnya kembali molekul-molekul dalam granula pati yang akan berikatan semakin kuat selama proses modifikasi. Collado dan Corke (1999) menyatakan bahwa dengan adanya ikatan antara amilosa dan komponen pati lainnya menyebabkan kekuatan gel lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hormdok dan Noomhorm (2007) yang mempelajari pengaruh HMT pada pati beras dengan kandungan amilosa sekitar 27% yang mengalami peningkatan nilai kekuatan gel pada kadar air HMT 15% dan 20% dimana kekuatan gel semakin meningkat dengan bertambahnya suhu dan lama
40
Kekuatan Gel
1200 1000 y = 28,159x + 75,658 R² = 0,9956
800
y = 26,316x + 11,825 R² = 0,996
600
400 200 12
16
20
24
28
32
36
Waktu 110
120
pati suweg alami
Gambar 26 Kekuatan gel pati suweg modifikasi HMT 110 oC dan 120 oC modifikasi HMT. Menurut Hormdok dan Noomhorn (2007) kekerasan gel semakin meningkat dengan semakin meningkatnya suhu dan lama modifikasi. Peningkatan nilai kekuatan gel pada proses HMT dilaporkan oleh Ahmad (2009) dan Herawati (2009). Selama HMT peningkatan kekuatan gel ini dihubungkan dengan peningkatan ikatan silang antara rantai pati dalam bagian partikel amilosa dimana suspensi pati yang digelatinisasi akan mengalami leaching pada amilosa. Dengan semakin meningkatnya nilai leaching maka tekstur gel akan semakin keras setelah proses HMT. Pemanasan yang tinggi pada proses modifikasi HMT tidak menyebabkan granula menjadi rusak, hal ini dikarenakan jumlah air yang terbatas sehingga pati tidak tergelatinisasi sebagian (parsial). Selain itu sifat birefringence yang sedikit masih memperlihatkan warna biru dan kuning. Ukuran dan bentuk granula yang telah dimodifikasi HMT masih dapat dipertahankan. Proses HMT tidak mengubah bentuk dan ukuran granula pati tapioka, namun sebagian pati kehilangan sifat birefringence di bagian tengah granulanya (Syamsir 2012).
41
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pati suweg alami memiliki profil pasta yang tidak stabil selama proses pemanasan dan pengadukan. Modifikasi pati suweg dengan HMT pada suhu 120 o C selama 32 jam menyebabkan perubahan yang nyata terhadap perubahan pasta pati, dimana pasta pati cenderung lebih tahan terhadap proses pemanasan dan pengadukan. Kestabilan terhadap pemanasan dapat dilihat dari semakin menurunnya nilai viskositas breakdown sedangkan kestabilan terhadap proses pengadukan (shearing) dilihat dari semakin menurunnya nilai perubahan viskositas pada suhu 50 oC. Modifikasi HMT meningkatkan suhu pasting, menurunkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas setback dan viskositas akhir/pasta dingin.
Saran 1 2
Saran yang diberikan penelitian selanjutnya adalah : Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan jumlah rendemen pati suweg Perlu penangan lebih lanjut pada saat proses pencucian pati suweg sehingga pengotor yang ikut dalam pati dapat diminimalkan.
42
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington DC (US): AOAC. Adebowale KO, Owolabi BI, Olayinka OO, Lawal OS. 2005. Effects of heat moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red sorgum starch. African J of Biotechnology.4 (9): 928-933. Adejumo AL, Aderibigbe AF, Layokun SK. 2011. Cassava starch: production, physicochemical properties and hydrolysation- a review. Advances in Food and Energy Security. 2:8-17. Ahmad L. 2009. Modifikasi fisik pati jagung dan aplikasinya untuk perbaikan kualitas mi jagung [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian. Aini N, Hariyadi H. 2007. Pasta pati jagung putih waxy dan non-waxy yang dimodifikasi secara oksidasi dan asetilasi-oksidasi. J Ilmu Pertanian Indones. 12(2):108-115. Anggraini R. 2011. Penurunan Kadar Oksalat Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dan Karakterisasi serta Aplikasi Pati Walur pada Cookies dan Mi [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, dan Budijanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor (ID): IPB Press. Ayoub AS, Rizvi SSH. (2009). An overview on the technology of cross-lingking of starch for nonfood applications. Journal of Plastic Film and Sheeting. 25(1):25-45 Beynum GMAV, Roels JA.1985. Starch Conversion Technology. New York (US) and Basel (CH): Marcel Dekker Inc. Charles AL, Huang TC, Lai PY, Chen, Lee PP and Chang YH. 2006. Study of wheat flour-cassava starch composite mix and the function of cassava mucilage in Chinese noodles. Food Hydro Colloids. 21:368378.DOI:10.1016/j.foodhyd.2006.04.008 Charoenkul N, Dudsadee U, Worayudh P, Yasuhito T. 2011. Physicochemical characteristics of starches and flours from cassava varieties having different cooked root textures. Food Scie Technol. 44:17741781.doi:10.1016/j.lwt.2011.03.009 Chen Z, Schols HA, Voragen AGJ. 2003. Physicochemical properties of starches obtained from three varieties of Chiness sweet potatoes. J Food Sci 68: 431437. DOI:10.1111/j.1365-2621.2003.tb05690.x Chung HJ, Liu Q, Hoover R. 2009. Effect of singel and dual hydrothermal on the crystalline structure, thermal properties, and nutritional fractions of pea, lentil, and navy bean starches. Food Research International. 43:501508.doi:10.1016/j.foodres.2009.07.030. Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Food Chem 65:339346.doi:10.1016/S0308-8146(98)00228-3. Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-type noodles from heat moisture-treated sweet potato starch. J Food Sci. 66:604609.doi:10.111/j.1365-2621.2001.tb04608.x.
43 Copeland I, Blazek J, Salman H, dan Tang MC. 2009. Form and functionally of starch. Food Hydrocolloid. 23:1527-1534 Elliason AC. 2004. Starch in Food: Structure, Function, and Applications. Boca Raton (US): CRC Press, Taylor & Francis Group. Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fractions. European Journal of Clinic Nutrition 46, S33-S50. Faridah DN. 2005. Sifat fisiko-kimia tepung suweg (Amorphophallus campanulatus B1.) dan indeks gisemiknya. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 16(3):254 -259. Fennema OR. 2000. Food Chemistry (4th ed.). New York (US): Marcel Dekker. Ferrini LMK, Rochaa TS, Demiate IM, Franco CLM. 2008. Effect of acidmethanol treatment on the physicochemical and structural characteristics of cassava and maize starches. Starch/Stärke 60: 417-425. Greenwood GT. 1979. Starch and Glycogen. Pigmen W, Horton D, editor. The Carbohydrate Chemistry and Biochemistry. London (GB): Academic Press. Gunaratne A, Corke H. 2007. Effect of hydroxypropylation and alkaline treatments in hydroxypropylation on some structural and physicochemical properties of heat-moisture treated wheat, potato, and waxy maize starch. J. Carbohydrate Polymers. 68:305-313.DOI:10.1016/j.carbpol.2006.12.004 Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicocemichal properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers. 49(4):425-437. Gustama, A. 2012. Pembuatan Arang Aktif Tempurung Kelapa Sawit sebagai Absorben dalam Pemurnian Biodiesel. Skripsi. Bogor [ID]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Herawati D. 2009. Modifikasi pati sagu dengan teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dan aplikasinya dalam memperbaiki kualitas bihun [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor. Hoover R, Manuel H. 1996. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of legume starchs. Food Res Int. 29:731750.doi:10.1016/0008-6215.96.90004.3 Hormdok R, Noomhorn A. 2007. Hydrothermal treatments of rice starch for improvement of rice noodle quality. LWT-Food Science and Technology. 40:1723-1731. Huang Yu-Chan, Hsi-Mei Lai. 2010. Noodle quality affected by different cereal starches. Journal of Food Engineering 97 (2010) 135–143 Kawabata A, Takase N, Miyoshi E, Tokyo, Sawayama S, Kimura T, Saitama, Kudo K. 1994, Microscopic observation and x-ray difractiometry of heat/moisture-treated starch granules. Starch/Starke. 46(12):463-469. Kett Electric Laboratory.1981. Operating Intruction Kett Digital Whitenessmeter. Tokyo (JP). Kriswidarti T. 1980. Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl. J.) kerabat bunga bangkai yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Buletin Kebun Raya. 4(5):171-174. Kusnandar F. 2011. Kimia Pangan Seri 1: Komponen Makro. Jakarta (ID): Penerbit Dian Rakyat.
44 Lawal OS. 2005. Studies on the hydrothermal modifications of new cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) starch. International Journal of Biological Macromolecules. 37:268-277. Lestari OA.2009. Karakterisasi sifat-fisiko kimia dan evaluasi nilai gizi biologis mi jagung kering yang disubstitusi tepung jagung termodifikasi [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Li S, Ward R, Gao Q. 2011. Effect of heat-moisture treatment on the formation and physicochemical properties of resistant starch from mung bean (Phaseolus radiatus) starch. Food Hydrocolloids. 25:17021709.doi:10.1016/j.foodhyd.2011.03.009. Limonu M. 2008. Pengaruh pre-gelatinisasi dan pembekuan terhadap karakteristik fisiko-kimia jagung muda instan dan penentuan umur simpannya [Tesis.]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Liu Q. 2005. Understanding Starches and their Role in Foods. Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications 357-406. Boca Raton, Florida (US): CRC Pres. Moorthy SN. 2002. Physicochemical and functional properties of tropical tube starches: a review. Starch/Stärke. 54:559-592. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metode Kimia, Biokimia, dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.IPB. Muchtadi TR, Sugiyono. 2006. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Murdiati. 2012. Pengaruh perlakuan Heat-Moisture Treatment (HMT) terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional pati umbi walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Noonan S, Savage GP. 1999. Oxalate content of food and its effect on humans. Asia Pacific journal of Clinical Nutrition. 8(1):64-74. Ohtsuki T. 1968. Studies on reverse carbohydrate of flour Amorphophallus spesies with special refference to mannan. Botanical Magazine Tokyo. 8:119129 Olayinka OO, Adebowale KO, Olu OBI. 2008. Effect of heat moisture treatment on physicochemical properties of white sorgum starch. Food hydrocolloids. 22:225-230. Pukkahuta C, Suwannawat B, Shobsngob S, Varavinit S. 2008. Comparative study of pasting and thermal transition characteristics of osmotic pressure and heat-moisture treated corn starch. Carbohydrate Polymers. 72:527-536. Pukkahuta C, Varavinit S. 2007. Structural transformation of sago starch by heatmoisture and osmotic-pressure treatment. Starch-stärke. 59(12): 624-631. Purnomo E, Hariyadi P, Risfaheri. 2010. Karakterisasi dan Produksi Tepung dari Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) sebagai Sumber Pangan Alternatif. Jakarta (ID): Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Purwani EY, Widianingrum, Thahir R, Muslich. 2006. Effect of heat moisture treatment of sago starch on its noodle quality. Indonesian J Agr Sci 7: 8-14
45 Richana N, Sunarti TC. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal Pasca Panen.1(1):29-37. Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR. 2006. Resistant starch: a review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. 5:117.doi:10.1111/j.1541-4337.2006.tb00076.x. Sangketkit CG, P Savage, RJ Martin, SL Mason. 2001. Oxalate Content of Raw and Cooked Oca (Oxalis tuberosa). Journal of Food composition and analysis (2001) 14, 389d397 Saputra, KA. 2012. Modifikasi Pati Walur (Amorphophallus campanulatus Var. Sylvestris) dengan Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Sifat Fungsionalnya. Skripsi. Bogor [ID] Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Schwartd BJ, Zelinskie AJ. 1987. The binding and disintegrant properties of the corn starch fraction amylose and amylopectin. Pharma Res Lab West Point. 4(5):463-483.doi:10.3109/03639047809055654 Shin SI, Kim HJ, Ha HJ, Lee SH, Moon TW. 2005. Effect of hydrothermal treatment on formation and structural characteristics of slowly digestible nonpasted granular sweet potato starch. Starch/Starke. 57: 421-430. Singh J, Kaur L, McCarthy OJ. 2007. Factors influencing the physicochemical, morphological, thermal and rheological properties of some chemically modified starches for food applications – a review. Food Hydrocoll. 21:122.doi:10.1016/j.foodhyd.2006.02.006 Singh S, Raina CS, Bawa AS, Saxena DC. 2005. Effect of heat-moisture treatment and acid modification on rheological, textural, and differential scanning calorimetry characteristics of sweet potato starch. J Food Sci. 70:e373-e377.doi:10.1111/j.1365-2621.2005.tb11441.x. Soebito S. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Steel RG, JH Torrie. 1980. Principle and procedures of statistics, a biometrical approach. McGraw-Hill (US): Kogakusha, Ltd. 633p. Sudarmadji S. Bambang H, Suhardi. 1997. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi keempat. Yogyakarta (ID): Alberti. Syamsir E. 2012. Mempelajari fenomena perubahan karakteristik fisikokimia tapioka karena heat moisture treatment dan model kinetikanya [disertasi]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tester RF, Karkalas J. 2004. Review Starch—composition, fine structure and architecture. Journal of Cereal Science. 39:151-165. Toledo. 1991. Fundamentals of Food Process Engineering. New York (US): Chapman & Hall. Triyono, A. 2007. Peningkatan Fungsional Pati Dari Ubi Jalar (Ipomea Batatas L.) dengan Enzim Amilase (Bacillus Subtilis) Sebagai Bahan Substitusi Pengolahan Pangan. J. Sains MIPA. 2007 13: 1: 60 - 66 Utami AR. 2008. Kajian indeks glikemik dan kapasitas in Vitro pengikatan kolesterol dari umbi suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) dan umbi garut (Maranta arundinaceae L.) [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
46 Vermeylen R, Goderis B, Delcour JA. 2006. An X-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydrate Polymers. 64:364-375. Watcharatewinkul Y, Puttanlek C, Rungsardthong V, Uttapap D. 2009. Pasting properties of a heat-moisture treated canna starch in relation to its structural characteristics. Carbohydrate Polymers. 75:505– 511.doi:10.1016/j.carbpol.2008.08.018. Widowati S. 2009. Tepung aneka umbi sebuah solusi untuk ketahanan pangan. Sinar tani Edisi 6 - 12 Mei 2009, No.3302 Tahun XXXIX Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Wirakartakusumah MA, Kamarudin A, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Pangan. Jakarta (ID): PAU Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Yadav BS, Prixit G, Ritika BY. 2013. Hydrothermal modification of Indian water chestnut: Influence of heat-moisture treament and annealing on physicochemical, gelatinization and pasting characteristics. LWT-Food Science and Technology. 53:211-217.doi:10.1016/j.lwt.2013.02.007 Yuliasih I. 2008. Fraksinasi dan asetilasi pati sagu (Metroxylon sagu Rottb) serta aplikasi produknya sebagai bahan campuran plastik sintetis [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zhang B, Zhaoa Y, Lia X, Zhang P, Lia L, Xieb F, Chena L. 2013. Effects of amylose and phosphate monoester on aggregation structures of heat-moisture treated potato starches. Carbohydrate Polymers 103:228233.doi:10.1016/j.carbpol.2013.12.055. Zhu F, Yi-Zhong C, Sun M, Corke H. 2009. Effect of phytochemical extracts on the pasting, thermal, and gelling properties of wheat starch. Food Chemistry 1:2 (2009) 919-923.
47 Lampiran 1 Data hasil analisis profil pasting pati suweg alami pada tahap uji pendahuluan Parameter profil pasting pati Perlakuan
SAP (oC)
VP (cP)
VPP (cP)
VB (cP) VPD (cP)
VS (cP)
Pati alami 82.55 3620 2615 1005 4358 1743 100oC-16 jam 84.55 3253 2419 834 3974 1555 105oC-16 jam 86.1 2672 1867 805 2806 939 110oC-16 jam 85.3 2619 1780 839 2665 885 115oC-16 jam 85.7 2130 1409 721 2067 658 120oC-24 jam 86.05 1828 1146 682 1654 508 120oC-32 jam 88.25 721 376 345 552 176 120oC-48 jam 89.0 408 211 197 311 100 a SAP (suhu awal pasting), VP (viskositas puncak), VPP (viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VS (viskositas setback).
48 Lampiran 2 Data analisis proksimat pati suweg alami Perhitungan kadar air pati alami
Kode U1 U2
Cawan kosong
Berat (g) sampel
22.0246 23.4152
2.0096 2.0137
Berat cawan + sampel setelah pengeringan 23.8164 25.2170
Perhitungan kadar abu pati alami
Kode U1 U2
Cawan kosong
Berat (g) sampel
22.4160 25.1276
2.0149 2.0211
Berat cawan + sampel setelah pengeringan 22.4212 25.1320
Perhitungan kadar lemak pati alami
Kode
Labu lemak kosong
U1 U2
118.4005 114.3517
Berat (g) sampel
2.0135 2.0023
Berat labu + sampel setelah pengeringan 118.4044 114.3554
Perhitungan kadar protein pati alami
Kode
Berat Sampel (g)
Volume sampel (mL)
U1 U2
502.9 511.6
0.10 0.09
Keterangan Faktor Volume Pengenceran Blanko (mL) 20x 20x
0.02 mL 0.02 mL
Faktor konversi
5.7 5.7
49 Lampiran 3 Profil pasta pati suweg perlakuan HMT dan kontrol Perlakuan HMT
V. Puncak
V. Pasta Breakdown Final Visc V. Set back Panas
Pasting temp
110_16 U1
2019
1416
603
2060
628
87.80
110_16 U2
2201
1583
618
2266
685
88.20
Rerata
2110.00
1499.50
610.50
2163.00
656.50
88.00
Standardeviasi 128.69
118.09
1061
145.66
40.31
0.28
110_24 U1
1745
1205
540
1699
507
87.80
110_24 U1
1819
1275
544
1810
535
88.60
Rerata
1782.00
1240.00
542.00
1754.50
521.00
88.20
Standardeviasi
52.33
49.50
2.83
78.49
19.80
0.57
110_32 U1
1499
1099
400
1426
327
87.80
110_32 U1
1516
1128
388
1463
335
88.55
Rerata
1507.50
1113.50
394.00
1444.50
331.00
88.18
Standardeviasi
12.02
20.51
8.49
26.16
5.66
0.53
120_16 U1
1169
765
404
1059
271
87.00
120_16 U2
1192
701
491
1539
390
87.35
Rerata
1180.50
733.00
447.50
1299.00
330.50
87.18
Standardeviasi
16.26
45.25
61.52
339.41
84.15
0.25
120_24 U1
985
630
355
859
229
87.75
120_24 U1
1123
750
373
846
256
87.40
Rerata
1054.00
690.00
364.00
852.50
242.50
87.58
Standardeviasi
97.58
84.85
12.73
9.19
19.09
0.25
120_32 U2
736
458
278
628
169
88.55
120_32 U2
722
449
273
617
168
88.60
Rerata
729.00
453.50
275.50
622.50
168.50
88.58
Standardeviasi
9.90
6.36
3.54
7.78
0.71
0.04
Kontrol U 1
3926
2772
1154
4579
1807
83.00
Kontrol U 2 Rerata
3991 3958.50
2826 2799.00
1165 1159.50
4655 4617.00
1829 1818.00
82.90 82.95
Standardeviasi
45.96
38.18
7.78
53.74
15.56
0.07
50
Lampiran 4 Anova dan uji lanjut Duncan densitas kamba, amilosa, amilopektin dan derajat putih
ANOVA Sum of df Squares Between Groups Within Groups Total Between Groups amilosa Within Groups Total Between Groups amilopektin Within Groups Total Between Groups derajat putih Within Groups Total densitas kamba
sampel
N
110, 16 jam kontrol 110, 24 jam 120, 16 jam 110, 32 jam 120, 32 jam 120, 24 jam Sig.
2 2 2 2 2 2 2
,002 ,000 ,002 11,466 7,253 18,720 11,522 7,301 18,822 24,654 ,440 25,094
6 7 13 6 7 13 6 7 13 6 7 13
Mean Square
F
Sig.
,000 ,000
173,019
,000
1,911 1,036
1,844
,221
1,920 1,043
1,841
,221
4,109 ,063
65,371
,000
Densitas kamba Duncan Subset for alpha = 0.05 1 2 3 4 ,440000 ,443450 ,446550 ,453150 ,462100
1,000
,066
1,000
1,000
5
,470300 ,473400 ,066
51
Amilosa Duncan sampel
N
120, 32 jam 120, 24 jam 110, 24 jam 120, 16 jam 110, 32 jam 110, 16 jam kontrol Sig.
2 2 2 2 2 2 2
sampel kontrol 110, 16 jam 110, 32 jam 120, 16 jam 110, 24 jam 120, 24 jam 120, 32 jam Sig.
Subset for alpha = 0.05 1 2 34,3850 35,1100 35,4200 36,1350 36,4600 36,8750 ,058
35,1100 35,4200 36,1350 36,4600 36,8750 37,0250 ,122
Amilopektin Duncan Subset for alpha = 0.05 N 1 2 2 39,5850 2 39,7350 39,7350 2 40,1250 40,1250 2 40,4750 40,4750 2 41,1900 41,1900 2 41,5000 41,5000 2 42,2250 ,123 ,058
derajat putih Duncan sampel
N
110, 16 jam 110, 24 jam 110, 32 jam 120, 24 jam 120, 32 jam 120, 16 jam kontrol Sig.
2 2 2 2 2 2 2
1 49,5500 50,1000
2 50,1000 50,5500
Subset for alpha = 0.05 3 4
5
6
50,5500 50,7500 51,5000 52,7500
,064
,116
,451
1,000
1,000
53,5000 1,000
52
ANOVA kekuatan gel Sum of Squares 551820, 049 6164,88 0 557984, 929
Between Groups Within Groups Total
df
6 7
Mean Square 91970, 008 880,69 7
F
Sig .
10 4,429
,00 0
13
kekuatan gel Duncan Sample 110, 16 jam 120, 16 jam 110, 24 jam 120, 24 jam 110, 32 jam 120, 32 jam kontrol Sig.
N 2 2 2 2 2 2 2
1 440,6000
2
Subset for alpha = 0.05 3 4
5
6
517,5500 627,9500 768,8000 861,0500
1,000
1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
1,000
1,000
968,1000 978,2500 ,742
53
Lampiran 5 Pola difraksi sinar X pati suweg HMT pati alami
54
55
56
57 Lampiran 6 Pola difraksi sinar X Pati suweg HMT 110 oC, 32 jam
58
59
60
61 Lampiran 7 Pola difraksi sinar X pati suweg HMT 120 oC, 32 jam Kondisi proses, kristalinitas dan grafik pola difraksi pati suweg HMT 120 oC, 32 jam
62
63
64
65 Lampiran 8 RVA Perubahan viskositas pada suhu 50 oC ANOVA o
Perubahan Viskositas pada suhu 50 C Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
44004,714
6
7334,119
1418,500
7
202,643
45423,214
13
F 36,192
Perubahan viskositas pada suhu 50 o C Uji lanjut Duncan sampel
N
Subset for alpha = 0.05 1
2
3
4
110, 32 jam
2
38,0000
110, 24 jam
2
53,5000
53,5000
120, 32 jam
2
63,5000
63,5000
110, 16 jam
2
82,0000
82,0000
120, 24 jam
2
82,5000
82,5000
120, 16 jam
2
kontrol
2
Sig.
101,5000 220,5000 ,128
,096
,229
1,000
Sig. ,000
66 Lampiran 9 Kurva kalibrasi asam oksalat
67 a. Data hasil Pengujian kadar Asam Oksalat metode HPLC
68
b. Sampel Asam Oksalat Pati suweg kontrol 1
69
c. Sampel Asam Oksalat Pati suweg kontrol 2
70 Lampiran 10 Hasil anova dan uji lanjut Duncan analisis RVA pati suweg
Viskositas puncak
Viskositas pasta panas
Viskositas breakdown
Vikositas pasta dingin
Viskositas setback
Suhu pasting
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
ANOVA Sum of Squares 13834718,857 31441,500 13866160,357 7377351,714 27561,500 7404913,214 1039077,714 4212,000 1043289,714 21455255,714 146296,000 21601551,714 3898915,714 9736,000 3908651,714 45,352 ,810 46,162
df 6 7 13 6 7 13 6 7 13 6 7 13 6 7 13 6 7 13
Mean Square 2305786,476 4491,643
F 513,350
Sig.
1229558,619 3937,357
312,280
,000
173179,619 601,714
287,810
,000
3575875,952 20899,429
171,099
,000
649819,286 1390,857
467,208
,000
7,559 ,116
65,322
,000
,000
71 Viskositas puncak Duncan sampel
N
120 oC, 32 jam 120 oC, 24 jam 120 oC,16 jam 110 oC, 32 jam 110 oC, 24 jam 110 oC, 16 jam kontrol Sig.
1 729,0000
2 2 2 2 2 2 2
Subset for alpha = 0.05 3 4
2
5
6
1054,0000 1180,5000 1507,5000 1782,0000 2110,0000 1,000
,101
1,000
1,000
1,000
Subset for alpha = 0.05 3 4
5
3958,5000 1,000
Viskositas pasta panas Duncan sampel
N
120 oC, 32 jam 120 oC, 24 jam 120 oC,16 jam 110 oC, 32 jam 110 oC, 24 jam 110 oC, 16 jam kontrol Sig.
2 2 2 2 2 2 2
1 453,5000
2
690,0000 733,0000 1113,5000 1240,0000 1499,5000 1,000
,515
,084
1,000
2799,0000 1,000
Viskositas Breakdown Duncan sampel 120 oC, 32 jam 120 oC, 24 jam 120 oC,16 jam 110 oC, 32 jam 110 oC, 24 jam 110 oC, 16 jam kontrol Sig.
N 2 2 2 2 2 2 2
1 275,5000
Subset for alpha = 0.05 3 4
2 364,0000 394,0000
5
6
394,0000 447,5000 542,0000 610,5000
1,000
,261
,066
1,000
1,000
1159,5000 1,000
72
Viscositas pasta dingin Duncan sampel
N
120 oC, 32 jam 120 oC, 24 jam 120 oC,16 jam 110 oC, 32 jam 110 oC, 24 jam 110 oC, 16 jam kontrol Sig.
1 622,5000 852,5000
2 2 2 2 2 2 2
Subset for alpha = 0.05 3
2
1299,0000 1444,5000
4
5
1444,5000 1754,5000 2163,0000
,156
,348
,069
1,000
4617,0000 1,000
Viskositas Setback Duncan sampel
N
120 oC, 32 jam 120 oC, 24 jam 120 oC,16 jam 110 oC, 32 jam 110 oC, 24 jam 110 oC, 16 jam kontrol Sig.
2 2 2 2 2 2 2
1 168,5000 242,5000
2
Subset for alpha = 0.05 3 4
5
242,5000 330,5000 331,0000 521,0000 656,5000
,088
,056
1,000
1,000
Suhu pasting Duncan sampel
N
Subset for alpha = 0.05 1
2
3
4
kontrol
2
120o C,16 jam
2
87,1750
120o C, 24 jam
2
87,5750
87,5750
110o C, 16 jam
2
88,0000
88,0000
88,0000
110o C, 32 jam
2
88,1750
88,1750
110o C, 24 jam
2
88,2000
88,2000
120o C, 32 jam
2
Sig.
82,9500
88,5750 1,000
,052
,126
,154
1818,0000 1,000
73 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Subang, Jawa Barat pada tanggal 5 Agustus 1974 sebagai anak ke 5 dari pasangan R. Achmad U dan Roro Sri Herawati. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknik Industri Universitas Mpu Tantular Jakarta, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2010, penulis mendapatkan beasiswa karya siswa Ristek dari Kementerian Riset dan Teknologi dan diterima di program studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB. Saat ini penulis bekerja sebagai staf peneliti di Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna – LIPI sejak januari 2002. Sebagai Salah satu syarat untuk memperoleh gelar master sains pada program studi ilmu pangan di Institut Pertanian Bogor penulis melakukan penelitian yang berjudul Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan metode Heat Moisture Treatment.