KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA
SKRIPSI
DEVI ARYATI F34070018
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
STUDY OF SCALE UP FOR BIOINSECTICIDES PRODUCTION FROM Bacillus thuringiensis aizawai USING LIQUID WASTE INDUSTRIAL TOFU AND COCONUT WATER SUBSTRATE Devi Aryati and Mulyorini Rahayuningsih Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor, West Java, Indonesia.
ABSTRACT Bacillus thuringiensis aizawai is one type of bacteria which often used in the production of microbial bioinsecticide because this patties very effective in controlling larvae of Lepidoptera and Diptera, especially the leaf caterpillar pests of cabbage and other vegetables. The use of biopesticides in Indonesia is still rarely because bioinsecticide marketed in Indonesia is still an import product so that price is relatively expensive. This problem can be overcome with producing bioinsecticide contain active Bacillus thuringiensis aizawai using local raw materials such as liquid waste industrial tofu and coconut water. The objectives of this research was to study the scale up based on the optimum conditions for growth of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai in pilot and industrial scale in the production of bioinsecticide microbial use of liquid waste of industrial tofu and coconut water. Carbon-nitrogen ratio in this research is (7:1), with 80 : 20 composition of liquid waste of industrial tofu and coconut water, the starter added 10% (v/v), cultivation time during 72 hours and using fermentors 3 and 40 liters. The highest toxicity of the product can be obtained through bioassay test to larvae Croccidolomia pavonana and the highest toxicity levels is at 48 hours fermentation with LC50 value of 0.01 mg/L. The result showed that by 0.01 mg/L bioinsecticide microbial could kill 50% of the target insect. Range of pH value from 5.25.-7.23, and the highest total plate count (TPC) is 1.44 x 107 CFU/ml in the fermentor with a capacity of 40 litres. The highest viable spore count (VSC) is 8.03 x 105 spores/ml in fermentor with a capacity of 40 litres with cultivation 72 hours. The calculation of the scale up on industrial scale fermentor 10,000 L showed that the needs of Pg/V are 0.0256 HP/m3 per second, a rate of aeration: 0.27 VVM and agitation speed: 0.47 rps. Based on the similarity of geometry fermentor 10,000 litres, fermentor has tank diameter: 2.09 m and impeller diameter: 0.85 m with a working volume of 7,000 litres.
Keyword : bioinsecticide, Bacillus thuringiensis aizawai, scale up, Pg/V
DEVI ARYATI. F34070018. Kajian Peningkatan Skala Fermentor Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa. Di bawah bimbingan Mulyorini Rahayuningsih. 2011.
RINGKASAN Bioinsektisida merupakan bahan yang mengandung senyawa toksik yang yang berfungsi untuk membunuh atau menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan maupun yang menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur. Sifat insektisida ini aman terhadap organisme non-target, manusia dan lingkungan karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi atau kekebalannya pada serangga hama. Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida mikrobial karena patotipe Bacillus thuringiensis aizawai sangat efektif mengendalikan larva Lepidoptera, terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya. Di Indonesia, penggunaan biopestisida masih jarang dikarenakan bioinsektisida bermerk yang beredar di Indonesia merupakan produk impor sehingga harganya relatif mahal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dapat digunakan alternatif produksi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis aizawai dengan menggunakan bahan baku lokal seperti limbah cair tahu dan air kelapa. Limbah cair tahu masih mengandung nutrisi khususnya kandungan karbon dan nitrogennya yang dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai, serta dengan penambahan air kelapa yang bersifat fermentable sugar dapat dijadikan media pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai yang baik. Saat ini, telah banyak penelitian skala laboratorium yang mengembangkan bioinsektisida mikrobial yang efektif untuk mengendalikan hama pertanian salah satunya penelitian yang dilakukan Rachmawati (2011), menyatakan bahwa komposisi formulasi media dari limbah cair tahu dan air kelapa yang menghasilkan tingkat toksisitas tertinggi adalah 80:20 dengan waktu fermentasi selama 48 jam dengan rasio C/N adalah 7:1. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji peningkatan skala fermentor berdasarkan kondisi optimum pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai pada skala pilot dan industri dalam produksi bioinsektisida mikrobial menggunakan limbah cair tahu dan air kelapa berdasarkan parameter kebutuhan daya per volume. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah cair tahu dan air kelapa untuk produksi bioinsektisida serta mengetahui pertumbuhan dan daya toksisitas Bacillus thuringiensis aizawai pada fermentor 3 dan 40 liter. Pada penelitian ini diterapkan kondisi-kondisi optimal untuk pertumbuhan bakteri Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dari penelitian skala laboratorium yakni komposisi media yang digunakan adalah 80% limbah cair tahu dan 20% air kelapa, perbandingan rasio C/N 7:1, agitasi 200 rpm, serta laju aerasi 1 vvm pada fermentor yang memiliki kapasitas 3 liter dengan waktu fermentasi selama 72 jam menggunakan fermentor tangki berpengaduk. Berdasarkan kesamaan gometri fermentor maka dilakukan peningkatan skala pada skala pilot menggunakan fermentor 40 liter dengan volume kerja 22 liter dengan kecepatan agitasi 104 rpm dan laju aerasi 0.9 vvm. Hasil perhitungan jumlah sel menunjukkan bahwa jumlah sel terus meningkat seiring lamanya waktu fermentasi, dimana jumlah tertinggi adalah pada jam ke 72 pada fermentor berkapasitas 40 liter yaitu 1.44 x 107 CFU/ml dengan pH cairan fermentasi berkisar antara 5.25-
7.23. Pembentukan spora mulai terjadi pada jam ke 12 dengan kecenderungan jumlah spora meningkat dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hasil perhitungan jumlah spora menunjukkan bahwa jumlah spora tertinggi adalah pada waktu fermentasi 72 jam pada fermentor berkapasitas 40 liter yaitu 8.03 x 105 spora/ml. Bobot biomassa tertinggi dihasilkan pada waktu fermentasi ke 48 jam yaitu 0.033 g/ml. Efisiensi penggunaan substrat menunjukan metabolisme sel, dimana efisiensi penggunaan substrat tertinggi adalah pada skala fermentor 40 liter yaitu sebesar 95.78% yang menunjukkan bahwa peningkatan skala pada skala pilot menghasilkan metabolisme yang lebih baik. Aktivitas bioinsektisida mikrobial ditentukan dengan menggunakan metode bioassay untuk menetukan kadar letal (LC50) dan potensi produk. LC50 merupakan konsentrasi bioinsektisida yang menyebabkan 50 % serangga uji mati. Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat toksisitas tertinggi adalah pada waktu fermentasi 48 jam dengan nilai LC50 sebesar 0.01 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa dengan 0.01 mg/L bioinsektisida mikrobial dapat mematikan 50% serangga target. Hasil perhitungan penggandaan skala pada skala industri yaitu fermentor 10,000 L menunjukkan bahwa kebutuhan Pg/V adalah 0.0256 HP/m3 per sekon dengan laju aerasi sebesar 0.27 vvm, dan kecepatan agitasi 0.47 rps. Berdasarkan kesamaan geometri, fermentor 10,000 liter memiliki diameter tangki 2.09 m dan diameter impeller 0.85 m dengan volume kerja 7,000 liter.
KAJIAN PENINGKATAN SKALA FERMENTOR PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis aizawai MENGGUNAKAN SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh Devi Aryati F34070018
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
Nama NIM
: Kajian Peningkatan Skala Fermentor Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa : Devi Aryati : F34070018
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si. NIP. 19640810 198803 2 002
Mengetahui: Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus: 8 Juli 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Peningkatan Skala Fermentor Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011 Yang membuat pernyataan
Devi Aryati F34070018
© Hak cipta milik Devi Aryati, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS Devi Aryati lahir di Indramayu, 6 April 1990 dari ayah Suhari dan ibu Karsem, sebagai putri kedua dari lima bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMAN 1 Sindang-Indramayu dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakutas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin), Organisasi Mahasiswa Daerah Indramayu, dan termasuk menjadi Asisten Mata Kuliah Praktikum Bioproses 2011. Pada tahun 2009, penulis mengikuti lomba paper Agroindustrial Competition tingkat nasional dan memperoleh juara 3. Selain itu, pada tahun 2010 penulis mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Penelitian dengan judul “Produk Inovasi Baru Nasi Cepat Masak Alternatif Pengganti Beras dengan Bahan Dasar Sukun yang Kaya Isoflavon” yang lolos didanai DIKTI. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2010 di pabrik gula, PT. PG Rajawali II unit PG Jatitujuh dengan judul “Mempelajari Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Gula Di PT. PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh, Majalengka-Jawa Barat”.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Peningkatan Skala Fermentor Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri dan Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Departemen Teknologi Industri Pertanian sejak bulan Maret sampai Juni 2011. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang selalu memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi dengan lancar. 2. Ayah dan Ibu tercinta serta keluarga tersayang yang selalu memberikan dukungan, bantuan dan do’a. 3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M. Si. sebagai dosen pembimbing akademik atas segala dan bimbingannya dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 4. Dr. Ir. M. Yani dan Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si. sebagai dosen penguji atas segala bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibu Rini Purnawati, Ibu Egnawati, Ibu Sri Mulyasih, Pak Edy Sumantri, Pak Gunawan, Pak Sugiyardi, Pak Yogi, Pak Darwan dan Pak Diki selaku laboran yang selalu membantu penulis selama penelitian. Serta Pak Anwar, Pak Mul, Bu Ketih, dan Pak Ihsan dan karyawan Dept. TIN yang telah membantu penulis dalam hal administrasi dan fasilitas selama menyelesaikan perkuliahan di TIN IPB. 6. Bapak H. Odo serta karyawan tahu Yun-Yi yang telah membantu dalam penyediakan limbah cair tahu. 7. Dimas Fajrinnalar, Riryn N. Rachmawati, Nita Diansari, Nurhidayanti, Alisia Rachmaisni serta, Nelly yang selalu memberikan motivasi dan bantuan dalam hal apapun. 8. Teman-teman TIN 44 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi bioindustri.
Bogor, Juli 2011 Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .............................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................
vii
I.
PENDAHULUAN .............................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................................................
1
1.2. Tujuan ..........................................................................................................................
2
1.3. Ruang Lingkup ............................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................................
3
2.1. Bioinsektisida ..............................................................................................................
3
2.2. Bacillus thuringiensis ..................................................................................................
4
2.3. Proses Produksi Bioinsektisida Mikrobial ...................................................................
6
2.4. Peningkatan Skala........................................................................................................
9
III. METODE PENELITIAN ...................................................................................................
12
3.1. Alat dan Bahan ............................................................................................................
12
3.2. Tahapan Penelitian Pendahuluan .................................................................................
12
3.3. Penelitian Utama..........................................................................................................
13
3.3. Analisa Parameter ........................................................................................................
14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................................................
15
4.1. Analisa Bahan Baku ....................................................................................................
15
4.2. Proses Fermentasi Bt. aizawai .....................................................................................
16
4.3. Pertumbuhan Bt. aizawai .............................................................................................
16
4.4. Uji Toksisitas Bioinsektisida .......................................................................................
20
4.5. Peningkatan Skala Fermentor ......................................................................................
22
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................................
27
5.1. Kesimpulan ..................................................................................................................
27
5.2. Saran ............................................................................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................
28
LAMPIRAN .............................................................................................................................
31
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jumlah ekspor impor insektisida di Indonesia ..........................................................
3
Tabel 2. Produk komersil berbahan aktif Bacillus thiringiensis aizawai ...............................
4
Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis dan contoh produknya ........................
5
Tabel 4. Produksi tahu Indonesia tahun 2005-2009 ...............................................................
7
Tabel 5. Kandungan kimia limbah cair tahu ..........................................................................
7
Tabel 6. Komposisi nutrisi air kelapa .....................................................................................
7
Tabel 7. Kandungan mineral air kelapa ..................................................................................
8
Tabel 8. Komposisi medium fermentasi .................................................................................
13
Tabel 9. Hasil analisis kimia limbah cair tahu dan air kelapa ................................................
15
Tabel 10. Potensi toksisitas bioinsektisida ...............................................................................
20
Tabel 11. Perbandingan nilai LC50 produk bioinsektisida pada masing-masing perlakuan dengan lama fermentasi 48 jam ...............................................................................
21
Tabel 12. Geometri fermentor 3 dan 40 liter ............................................................................
22
Tabel 13. Parameter kinetika fermentasi Bta pada fermentor skala 3 dan 40 liter ...................
25
Tabel 14. Rancang bangun fermentor 10,000 liter ...................................................................
25
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Neraca massa proses pembuatan tahu....................................................................
6
Gambar 2. Diagram alir persiapan inokulum ..........................................................................
12
Gambar 3. Pertumbuhan Bt. aizawai selama waktu fermentasi pada fermentor 3 liter ...........
16
Gambar 4. Produksi biomassa dan gula sisa selama fermentasi pada fermentor 3 liter ..........
17
Gambar 5. Pertumbuhan Bt. aizawai selama fermentasi pada fermentor 40 liter....................
23
Gambar 6. Produksi biomassa dan gula sisa selama fermentasi pada fermentor 40 liter ........
24
Gambar 7. Kurva standar glukosa ..........................................................................................
33
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Metode analisa pada penelitian ..........................................................................
31
Lampiran 2. Perhitungan komposisi medium fermentasi .......................................................
36
Lampiran 3. Perhitungan uji toksisitas bioinsektisida (bioassay) ..........................................
40
Lampiran 4. Faktor- faktor skala geometrik untuk peralatan fermentasi tipikal dalam peningkatan skala...............................................................................................
42
Lampiran 5. Perhitungan kinetika fermentasi ........................................................................
43
Lampiran 6. Perhitungan peningkatan skala fermentor ..........................................................
47
vii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Insektisida mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertanian dan perindustrian, khususnya untuk melindungi hasil pertanian. Meskipun demikian, penggunaan insektisida yang tidak terbatas selama beberapa dekade telah mengakibatkan dampak yang negatif terhadap lingkungan dan spesies non-target. Selain itu, insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia yang menyebabkan serangga target tetap hidup dan merusak hasil-hasil pertanian. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka bioinsektisida merupakan salah satu alternatifnya. Bioinsektisida merupakan bahan yang mengandung senyawa toksik yang berfungsi untuk membunuh atau menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan maupun yang menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur. Sifat insektisida ini aman terhadap organisme non-target, manusia dan lingkungan. Sampai saat ini telah banyak penelitian untuk memperoleh bioinsektisida yang ampuh dan ramah lingkungan, salah satunya bioinsektisida mikrobial yang diperoleh dari Bacillus thuringiensis (Bt) yang bersifat aman karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama. Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida mikrobial. Bacillus thuringiensis aizawai sangat efektif mengendalikan larva Lepidoptera dan Diptera, terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya. Crocidolomia pavonana Zell. merupakan hama utama pada tanaman kubis yang juga menyerang tanaman Brassicaceae lainnya. Menurut Uhan (1993) serangan C. pavonana dapat menyebabkan kehilangan hasil kubis sebesar 65%. Bacillus thuringiensis aizawai ini menghasilkan protein yang bersifat insektisida yaitu δ-endotoksin atau kristal protein yang akan berikatan dengan reseptor spesifik dalam sel larva Crocidolomia pavonana Zell, sehingga terjadi lisis sel yang dapat menyebabkan kematian pada serangga target. Beberapa produk berbahan aktif Bacillus thuringiensis aizawai telah beredar di Indonesia dengan merek dagang xentari, certan, clobac, design WSP, florbac, quark, selectzin, turex (Glare et al 2000). Namun demikian, penggunaan biopestisida tersebut masih jarang karena bioinsektisida bermerk yang ada di Indonesia masih merupakan produk impor sehingga harganya relatif mahal. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan memproduksi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis dengan menggunakan bahan baku lokal seperti air kelapa serta limbah cair tahu yang selama ini belum banyak dimanfaatkan dan hanya mencemari lingkungan. Limbah cair industri tahu yang dibuang langsung ke lingkungan tanpa proses pengolahan, akan mengalami blooming (pengendapan zat-zat organik pada badan perairan), proses pembusukan, dan berkembangnya mikroorganisme patogen karena limbah cair tahu masih mengandung zat-zat organik yang tinggi terutama karbon dan nitrogen yang dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan bakteri. Saat ini, telah banyak penelitian yang mengembangkan bioinsektisida mikrobial menggunakan Bacillus thuringiensis aizawai yang efektif untuk mengendalikan hama pertanian, diantaranya adalah hasil penelitian Syarfat (2010) bahwa komposisi formulasi media dari ampas tahu dan limbah cair tahu yang menghasilkan tingkat toksisitas tertinggi adalah 20:80 dengan waktu kultivasi selama 30 jam. Sedangkan menurut Rachmawati (2011) menyatakan bahwa komposisi formulasi media dari limbah cair tahu dan air kelapa yang menghasilkan tingkat toksisitas tertinggi adalah 80:20 dengan waktu kultivasi selama 48 jam dengan rasio C/N adalah 7:1. Perbandingan sumber karbon dan
1
nitrogen 7:1 juga mengacu pada penelitian Wicaksono (2002) dan pernyataan Dulmage et al. (1990), sehingga untuk memperoleh rasio C/N yang sesuai maka ditambahkan urea. Tujuan akhir produksi skala laboratorium ini adalah teknik produksi skala komersial yang mampu menghasilkan suatu produk yang secara ekonomis, layak dan efektif. Pada penelitian penggandaan skala ini, kondisi-kondisi optimal mulai diterapkan bagi optimasi pertumbuhan mikroba dalam fermentor dengan memasok sumber energi dan nutrisi penting untuk memenuhi semua kebutuhan biosintesa, inokulum yang baik, serta kondisi fisika-kimiawi yang optimal dalam produksi bioinsektisida mikrobial sehingga dapat diaplikasikan dalam skala industri.
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Pemanfaatan limbah cair tahu dan air kelapa untuk media pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai dalam produksi bioinsektisida 2. Mengetahui pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai dengan menggunakan substrat limbah cair tahu dan air kelapa pada skala fermentor 3 dan 40 liter 3. Mengkaji peningkatan skala fermentor berdasarkan kondisi optimum pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai pada skala pilot 40 liter dan skala industri 10,000 liter dalam produksi bioinsektisida menggunakan limbah cair tahu dan air kelapa
1.3. Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian ini adalah: 1. Menerapkan parameter-parameter yang berpengaruh bagi optimalisasi produksi bioinsektisida mikrobial dari Bacillus thuringiensis aizawai meliputi konsentrasi media, rasio C/N, agitasi, dan aerasi 2. Menentukan pertumbuhan dan daya toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan dari Bacillus thuringiensis aizawai pada skala fermentor 3 dan 40 liter
3. Perhitungan peningkatan skala fermentor produksi bioinsektisida mikrobial pada fermentor 10,000 liter berdasarkan kebutuhan Pg/V
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bioinsektisida Bioinsektisida mikrobial merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Menurut Ignoffo dan Anderson (1979), insektisida mikrobial yang bersifat entomopatogen dapat dikembangkan dari bakteri, virus, fungi atau protozoa. Adapun bakteri yang paling banyak dikembangkan adalah Bacillus thuringiensis karena bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga (Bravo 1997). Bioinsektisida digunakan untuk menggantikan penggunaan insektisida kimia yang telah banyak menimbulkan kerugian bagi lingkungan. Selain itu, pemakaian insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi dapat menjadikan serangga target menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut. Sedangkan keunggulan bioinsektisida menurut Behle et al. (1999), antara lain spesifik terhadap hama serangga, aman dan ramah lingkungan, serta tidak mengakibatkan residu pada hasil pertanian dan tanah. Salah satu strain Bacillus thuringiensis yang banyak digunakan untuk produksi bioinsektisida mikrobial adalah Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang efektif mengendalikan larva ordo Lepidoptera dan Diptera. Salah satu hama ordo Lepidoptera yang banyak menyebabkan kerusakan pada pertanian adalah Croccidolomia pavonana, hama ini sangat merusak karena larva memakan daun baru di bagian tengah tanaman kubis. Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun ke daun yang lebih tua. Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur seluruhnya jika ulat krop kubis tidak dikendalikan (Kementrian Pertanian RI 2010). Berdasarkan peraturan pemerintah No 7 Tahun 1973 Pasal 1, bioinsektisida merupakan produk yang menjadi satu kategori dengan insektisida. Menurut Depperin (2010), hingga saat ini belum terdapat produk bioinsektisida lokal yang beredar di pasar pertanian dan secara umum kebutuhan bioinsektisida dipenuhi dari impor. Volume ekspor impor insektisida di Indonesia terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah ekspor dan impor insektisida di Indonesia Tahun
Ekspor
Impor
Kg
US$
Kg
US$
2007
103,815,562
47,218,898
8,285,950
37,545,132
2008
43,551,577
66,822,331
9,244,243
60,601,759
2009
45,885,889
86,455,061
7,429,138
71,009,115
Rata-Rata
64,417,676
66,832,096.67
8,319,777
56,385,335.33
Harga/unit (US$/kg)
1.04
6.78
Sumber: Depperin (2010) Dari data di atas terlihat bahwa sekitar 8,300 ton insektisida yang sebagian besar berupa bioinsektisida yang beredar di Indonesia adalah produk impor. Contoh beberapa produk komersil berbahan aktif Bacillus thuringiensis aizawai terdapat pada Tabel 2 di bawah ini.
3
Tabel 2. Produk komersil berbahan aktif Bacillus thuringiensis aizawai No
Merk
Objek Hama
Produsen
1
Xentari
Lepidoptera
Abbot
2
Certan
Wax moth/ lepidoptera
Sandoz
3
Clobac
Lepidoptera
-
4
Design WSP
Lepidoptera
-
5
Florbac
Diamond black moth /
Abbot
Lepidoptera 6
Quark
Lepidoptera
Abbot
7
Selectzin
Lepidoptera
-
8
Turex
Lepidoptera
Thermo Trillogy
Sumber: Glare et al. (2000)
2.2. Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri bersel vegetatif berbentuk batang, gram positif, bersifat aerob tapi umumnya anaerob fakultatif, mempunyai flagela dan membentuk spora. Koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki diameter 5-10 milimeter, berwarna putih, elevasi timbul dan permukaan koloni kasar (Shieh 1994). Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi serangga. Spora yang dibentuk oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1.0-1.3 mikrometer dan Bt membentuk kristal protein (δ-endotoksin) bersamaan dengan terbentuknya spora. Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya (Gill et al. 1992). Berbagai isolat Bt dengan berbagai jenis kristal protein yang dikandungnya telah teridentifikasi setelah diketahui besarnya potensi dari protein kristal Bt sebagai agen pengendali serangga. Sampai saat ini telah diidentifikasi kristal protein yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan dari kristal protein tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehingga tidak menumpuk dan mencemari lingkungan. Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah satu bakteri yang telah banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis aizawai sangat efektif mengendalikan larva ordo Lepidoptera dan Diptera, terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya (Lereclus et al. 1993). Kristal protein (δ-endotoksin) merupakan komponen utama yang bersifat insektisidal. Kristal protein (δ-endotoksin) bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas dan tidak larut dalam pelarut organik, namun larut dalam pelarut alkalin (Faust dan Bulla 1982). Kristal protein memiliki bentuk yang memiliki hubungan nyata dengan kisaran daya bunuhnya. Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap ordo Lepidoptera memiliki kristal protein berbentuk bipiramida dan jumlahnya satu untuk setiap sel vegetatifnya. Sedangkan kristal protein yang bersifat toksik terhadap ordo Diptera memiliki bentuk kubus, oval, dan amorf dengan jumlah dapat lebih dari satu untuk setiap selnya (Trizelia 2001). Aronson et al. (1986) dan Gill et al. (1992) menyatakan bahwa komponen utama penyusun penyusun kristal protein pada sebagian besar Bacillus thuringiensis adalah polipeptida dengan berat molekul 130-140 kilodalton (kDa). Polipeptida berikut merupakan protoksin yang dapat diubah
4
menjadi toksin dengan berat molekul yang bervariasi dari 30 sampai 80 kDa setelah mengalami hidrolisis dalam kondisi pH alkalin dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektidsida akan hilang kembali apabila berat molekulnya kurang dari 30 kDa. Kristal protein dibentuk dalam tujuh tahap yang berlangsung selama 12 jam dari saat pertama sel vegetatif akan bersporulasi sampai spora dan kristal terbentuk sempurna. Kristal protein ini dibentuk di luar eksosporum selama masa sporulasi tahap III sampai IV (Fast 1981). Gen penyandi penyususun kristal protein untuk masing-masing subspesies Bacillus thuringiensis berbeda-beda. Terdapat 14 gen penyandi kristal protein yang terdiri dari 13 gen Cry (kristal protein) dan 1 gen Cyt (sitolitik). Gen Cry pada Bacillus thuringiensis dibagi ke dalam 4 kelas, dimana masing-masing kelas memiliki toksisitas spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Berdasarkan tipe patogenitasnya, pengelompokan Bacillus thuringiensis dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis dan contoh produknya Subspesies
Jenis Gen
Tipe patogenitas
Contoh produk
Bacillus thuringiensis
Cry I
Spesifik untuk ordo
Dipel, Bactospeine
subsp. kurstaki Bacillus thuringiensis
Lepidoptera Cry II
subsp. aizawai Bacillus thuringiensis
subsp. israelensis
Certan
Lepidoptera dan Diptera Cry III
subsp. sandiego Bacillus thuringiensis
Spesifik untuk ordo
Spesifik untuk ordo
Trident, M-one
Coleoptera Cry IV
Spesifik untuk ordo
Vectobac, Bactimos
Diptera
Sumber: Ellar et al. (1986) Proses toksisitas kristal protein sebagai bahan aktif bioinsektisida dimulai dengan termakannya kristal protein oleh serangga. Kristal protein ini akan dipecah oleh enzim protease pada kondisi basa dalam usus tengah serangga sehingga melepaskan δ-endotoksin yang bersifat toksin. Toksin ini akan berinteraksi dengan reseptor-reseptor pada sel-sel epithelium usus tengah larva serangga yang rentan. Setelah toksin ini bereaksi, maka akan menyebabkan terbentuknya lubanglubang pada membran sel sehingga dapat mengganggu keseimbangan osmotik sel dan mengakibatkan terjadinya pembengkakan yang menyebabkan larva berhenti makan dan mati (Gill et al. 1990). Apabila serangga target tersebut tidak rentan terhadap aksi δ-endotoksin secara langsung, maka dampak dari pertumbuhan spora di dalam tubuh serangga tersebut yang akan menyebabkan kematiannya. Spora tersebut akan berkecambah dan menyebabkan membran usus serangga rusak. Replikasi dari spora akan membuat jumlah spora dalam tubuh serangga semakin banyak dan menyebabkan perluasan infeksi di dalam tubuh serangga yang pada akhirnya menyebabkan serangga tersebut mati (Swadener, 1994). Milne et al. (1990) melaporkan bahwa cara kerja toksin yang dihasilkan Bacillus thuringiensis ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor spesifikasi mikroorganisme dan kerentanan serangga target. Sedangkan menurut Swadener (2004) umur larva serangga juga mempengaruhi toksisitas toksin Bacillus thuringiensis dimana larva serangga yang muda lebih rentan dibandingkan larva yang lebih tua.
5
2.3. Proses Produksi Bioinsektisida Mikrobial 2.3.1.Media Pertumbuhan Media merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi Bacillus thuringiensis. Menurut Dulmage et al. (1990) medium basal untuk pertumbuhan Bacillus thuringiensis terdiri dari garam, glukosa, dan asam amino seperti asam glutamat, asam aspartat dan alanin dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi Bacillus thuringiensis. Karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, gula, minyak kedelai, dan molase dari bit dan tebu (Dulmage dan Rhodes 1971). Salah satu media yang dapat digunakan untuk pertumbuhan Bacillus thuringiensis adalah limbah cair tahu. Limbah cair tahu merupakan hasil samping produksi tahu yang dihasilkan pada proses pencucian, perendaman, serta pada proses penggumpalan tahu atau disebut whey. Menurut Nuraida (1985), setiap 1 kg kedelai dihasilkan limbah cair tahu berupa whey tahu rata-rata 43.5 liter seperti yang sajikan pada Gambar 1 mengenai neraca massa proses pembuatan tahu.
Kedelai 60 kg Air 2,700 kg
Proses produksi tahu
Tahu 80 kg
Ampas tahu 70 kg
Limbah cair tahu 2610 kg Gambar 1. Neraca massa proses pembuatan tahu (Nuraida, 1985) Kebutuhan tahu yang semakin meningkat dari tahun 2005 sampai 2009 akan mengakibatkan jumlah produksi tahu juga semakin meningkat sehingga jumlah limbah cair tahu yang dihasilkan turut meningkat. Peningkatan produksi tahu Indonesia dari tahun 2005 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 4. Sampai saat ini, limbah cair tahu belum dimanfaatkan secara maksimal dan hanya menjadi limbah yang mencemari lingkungan, padahal pada limbah cair tahu masih mengandung bahan-bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Limbah cair tahu ini potensial untuk dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan Bt. aizawai dalam produksi bioinsektisida karena jumlahnya yang banyak dan kandungan karbon dan nitrogennya yang dimanfaatkan untuk produksi sel dan spora. Kandungan kimia limbah cair tahu tercantum pada Tabel 5 berikut.
6
Tabel 4. Produksi tahu di Indonesia tahun 2005-2009 Tahun Produksi (Ton) 2005
6,158.25
2006
6,304.50
2007
6,435.00
2008
6,601.50
2009
6,754.50
Sumber : Puslitbang Sosek Pertanian (2009) Tabel 5. Kandungan kimia limbah cair tahu Komponen
Limbah Cair (%)
Kadar air
99.0
Kadar abu
0.43
Protein
0.13
Nitrogen (N)
0.02
Karbon (C)
0.27
Lemak
0.79
Serat
0.01
Sumber: Syarfat (2010) Priatno (1999) menyatakan bahwa air kelapa dapat digunakan sebagai sumber karbon untuk memproduksi bioinsektisida mikrobial dari Bacillus thuringiensis. Selain itu air kelapa bersifat fermentable sugar sehingga mudah diserap dalam proses fermentasi dan dapat mengoptimalkan media fermentasi. Nilai nutrisi yang terkandung dalam air kelapa cukup lengkap yaitu: vitamin, mineral, dan zat-zat tumbuh seperti asam nikoton, auksin, giberelin, piridoksin, dan thiamine, sehingga air kelapa ini sangat potensial untuk dijadikan media pertumbuhan Bacillus thuringiensis. Komposisi nutrisi dan mineral pada air kelapa dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7 di bawah ini. Tabel 6. Komposisi nutrisi air kelapa Komponen
Air Kelapa Muda (%)
Air Kelapa Tua (%)
Kadar air
95.01
91.23
Kadar abu
0.12
0.15
Kadar lemak
0.63
1.06
Kadar protein
0.13
0.29
Kadar karbohidrat
4.11
7.27
Sumber: Woodroof (1979)
7
Tabel 7. Kandungan mineral air kelapa Jenis Mineral
Kandungan (mg/100ml)
Kalium
312
Natrium
105
Kalsium
29.0
Magnesium
30.0
Besi
0.10
Tembaga
1.14
Fosfor
37.0
Belerang
24.0
Sumber: Ketaren (1978) Urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai dengan pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan pH. Namun urea ini bersifat kurang stabil selama proses sterilisasi sehingga penggunaannya dibatasi. Urea digunakan untuk menyeimbangkan konsentrasi rasio C/N dimana kondisi perbandingan sumber karbon dan nitrogen dalam media yang optimal adalah yaitu 7:1 (Wicaksono (2002) dan Dulmage et al. (1990). Mikroorganisme juga membutuhkan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Menurut Dulmage & Rodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme yaitu: K, Mg, P, S, dan mineral yang diperlukan dalam jumlah sedikit yaitu: Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, Mn. Ca selain berperan dalam produksi dan produksi δ-endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas. Penambahan ion Mg 2+, Mn 2+, Zn 2+, dan Ca 2+ ke dalam medium perlu dipertimbangkan karena berperan dalam pertumbuhan dan sporulasi Bacillus thuringiensis Dalam medium fermentasi Bacillus thuringiensis ditambahkan pula 0.3 g/l MgSO4. 7 H2O, 0.02 MnSO4.7 H2O, 0.02 g/l ZnSO4. 7 H2O, 0.02 g/l FeSO4. 7 H2O, dan 1.0 g/l CaCO3 (Vandekar & Dulmage 1982).
2.3.2. Kondisi Kultivasi (Fermentasi) Fermentasi yang umum digunakan untuk memproduksi bahan aktif bioinsektisida dengan menggunakan kultur Bacillus thuringiensis adalah fermentasi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam (submerged fermentation). Pada umumnya fermentasi terendam atau fermentasi cair lebih disukai karena menjaga kesterilan kultur serta proses pemanenan dan pengaturan parameter proses produksi atau fermentasi yang lebih sederhana. Selain itu, produk hasil fermentasi cair dapat langsung digunakan dibandingkan hasil fermentasi semi padat yang sulit disuspensikan karena ada kecenderungan menggumpal (Sjamsuritra et al. 1984). Teknik kultivasi secara terendam dapat dilakukan dengan sistem tertutup pada fermentor. Pada umumnya, jenis fermentor yang digunakan adalah fermentor tangki berpengaduk karena merupakan jenis fermentor yang paling sederhana. Fermentor ini digunakan untuk substrat yang mempunyai viskositas tinggi dan berbentuk koloid tanpa mengakibatkan penyumbatan, serta enzim terimobilisasi dengan aktivitas rendah (Machfud et al. 1989). Proses fermentasi terendam dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem tertutup (batch process), fermentasi kontinyu, dan fermentasi sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu atau semi kontinyu (fed batch process). Bernhard dan Utz (1993) menyatakan bahwa produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup karena hasil akhir yang diharapkan
8
adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi Bacillus thuringiensis adalah komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur. Kualitas dan kuantitas δ-endotoksin yang dihasilkan selama proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh metode produksinya. Menurut Bernhard dan Utz (1993), jumlah δ-endotoksin yang dihasilkan setiap sel yang sedang bersporulasi akan tergantung pada kepadatan populasi sel dalam kultur fermentasi tersebut. Sedangkan menurut Luthy et al. (1992), konsentrasi yang ditetapkan untuk produksi skala besar antara 5 x 109 sampai 1 x 1010 spora per ml. Kondisi fermentasi Bacillus thuringiensis dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28-32oC, pH awal medium kultur sekitar 6.8-7.2, agitasi 142-340 rpm dan dipanen pada waktu inkubasi 24-48 jam (Vandekar & Dulmage 1982). Sedangkan menurut Sikdar dan Majumdar (1993) menyatakan bahwa fermentasi Bacillus thuringiensis dalam fermentor dilakukan pada suhu 28-32oC, pH awal medium 6.8-7.2, volume medium sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi 400-700 rpm, aerasi 0.5-0.15 vvm, dan dipanen pada waktu inkubasi 40-72 jam. Menurut Benhard dan Utz (1993), Bacillus thuringiensis termasuk ke dalam bakteri mesofilik yang dapat tumbuh pada pH kisaran 5.5 dan 8.5 dan tumbuh optimum pada pH 6.5-7.5 dengan suhu antara 25-37oC. Afrianto (2006) menyatakan bahwa pemberian agitasi dan aerasi dapat mengoptimalkan pertumbuhan Bacillus thuringiensis dalam fermentor, dimana kecepatan agitasi 200 rpm dengan laju aerasi 1 vvm pada fermentor tangki berpengaduk menghasilkan tingkat toksisitas tertinggi. Aktivitas bioinsektisida dari mikroorganisme tidak dapat diukur secara kimia melainkan dengan bioassay. Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), bioassay merupakan salah satu cara untuk menentukan serbuk bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Aktivitas bioinsektisida mikrobial dapat ditentukan dengan menghitung jumlah spora hidup melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC50) dan International Unit (IU). Nilai LC50 menunjukkan konsentrasi bioinsektisida yang menyebabkan 50 % serangga uji mati. Potensi produk bioinsektisida (IU/mg) dapat dihitung dengan rumus potensi contoh uji (IU/mg). LC50 standar IU Potensi Contoh Uji (IU/mg)= × potensi standar ( ) (1.1) LC50 contoh uji mg Pemanenan produk bioinsektisida Bacillus thuringiensis berupa campuran spora dan kristal protein (delta-endotoksin ini dapat dilakukan dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, freeze drying atau kombinasi dari proses-proses berikut. Bahan aktif bioinsektisida ini dapat diformulasikan menjadi produk wettable powder, flowable liquid, dust atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi serta kebutuhan formulasi (Ignofo dan Anderson 1979).
2.4. Peningkatan skala (scale up) Scale-up adalah suatu studi yang mengolah dan mentransfer data penelitian skala laboratorium ke skala yang lebih besar menyangkut disain proses operasi atau dan perancangan bangunan peralatan. Scale up sangat penting karena aktivitas masing-masing mikrobial pada fermentor skala laboratorium itu sama. Peningkatan skala (scale up) meliputi peningkatan sistem baru yang lebih besar, serta perancangan dan penyusunan sistem yang lebih besar berdasarkan hasil percobaan dengan menggunakan model yang berukuran lebih kecil. Persyaratan penggandaan skala adalah geometri sistem sama, bahan yang digunakan sama dan proporsi bahan sama. Menurut Wang et al. (1978), pengembangan proses-proses mikrobial umumnya dilakukan dengan tiga skala yaitu:
9
1. Skala laboratorium yang merupakan tahap penyeleksian mikroba 2. Skala pilot plant, yaitu saat kondisi-kondisi optimal diterapkan 3. Skala industri, yaitu pelaksanaan proses-proses dengan mempertimbangkan perhitungan ekonomi. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam scale up diantaranya adalah biaya investasi fermentor dan peralatan lainnya harus minimum serta dapat dipercaya dan fleksibel untuk berbagai proses fermentasi, mikroba yang digunakan harus unggul. Selain itu, penggunaan tenaga dan panas harus efisien serta kebutuhan ruang yang minimum, dan apabila proses dilakukan secara curah maka harus dilakukan sesingkat mungkin sehingga diperoleh hasil yang tinggi dan penggunaan peralatan maksimum (Stanbury dan Whitaker 1984). Pada kajian penggandaan skala, faktor-faktor kimiawi dalam lingkungan harus dijaga konstan, sedangkan faktor fisik sangat tergantung pada pada ukuran dan skala produksi. Peubah skala pada proses fermentasi menyebabkan berubahnya beberapa peubah. Peubah yang tetap selama proses adalah rancangan dasar fermentor, spesies dan galur mikroba, jenis dan komposisi media, suhu sterilisasi, suhu operasi fermentor, reaksi di dalam kultur serta ukuran gelembung udara. Sedangkan peubah yang meningkat selama penggandaan skala adalah ukuran fisik fermentor, bahan baku dan peralatan, jumlah bahan baku yang ditangani pada proses sterilisasi dan pendinginan media. Peubah yang bersifat menurun selama proses penggandaan skala adalah luas permukaan untuk aerasi dan nisbah luas per volume media (Mangunwidjaja, 2002). Pada skala kecil, gradien konsentrasi dan tekanan sangat kecil (sistem pengadukan baik) maka gaya gunting juga kecil. Namun, pada skala besar perpindahan mikroorganisme jelas akan merubah konsentrasi oksigen, nutrient, dan tekanan, oleh karena itu daya gunting turbulen juga akan semakin besar. Apabila kesamaan geometri fermentor skala kecil dan skala besar dipertahankan, serta kondisi fermentasi seperti komposisi media, suhu, pH, dan konsentrasi oksigen terlarut dianggap sama maka perilaku penting dari cairan dalam tangki fermentor berpengaduk adalah tenaga yang digunakan untuk agitasi (P) dan kecepatan agitasi (N) (Aiba et al. 1973). Beberapa persamaan penting yang terlibat dalam penggandaan skala: 1.Tenaga per unit volume suspense kultur di dalam fermentor (P/V): PV= N3 D2
(1.2)
2.Kecepatan putar suspense kultur dalam fermentor (F/V) F/V= N
(1.3)
3.Kecepatan ujung impeller (v) V= ND
(1.4)
4.Modifikasi bilangan Reynold ND2ρ/µ= ND2
(1.5)
Keterangan: P = konsumsi tenaga F = laju alir ρ = densitas cairan fermentasi V= volume cairan fermentsi N = laju sirkulasi cairan fermentasi D = diameter pengaduk µ = viskositas media
10
Penggandaan skala dapat menyebabkan berubahnya lingkungan fisik, sehingga perlu ditentukan parameter penggandaan skala yang baik. Parameter-parameter penggandaaan skala adalah menggunakan masukan tenaga per unit volume (Pg/V), koefisien transfer oksigen (K La) yaitu korelasi empiris yang menghubungkan koefisien transfer oksigen keseluruhan dengan variabel-variabel peralatan dan operasi, kecepatan ujung impeller, kecepatan ujung impeler (N D), waktu pencampuran seimbang, bilangan Reynold, atau faktor-faktor momentum dan pengendalian umpan balik untuk menjamin besanya faktor-faktor kunci lingkungan setepat mungkin (Wang et al. 1978). Menurut Mangunwidjaja (2002), beberapa metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan skala reaktor yaitu: 1. Metode dasar (pemecahan neraca mikro untuk perpindahn momentum, massa, dan panas) 2. Metode semi dasar (pemecahan neraca yang disederhanakan) 3. Analisis dimensional (analisa tak berdimensi) 4. Kaidah ibu jari (rule of thumb) 5. Metode trial and error Kaidah ibu jari telah banyak diterapkan dalam industri fermentasi dengan patokan penggandaan skala yang berhubungan dan mengacu pada perpindahan oksigen (tekanan parsial O2 dan Po2 adalah fungsi dari KLa yang merupakan fungsi dari Pg/V). Hasil penelitian Purnawati (2006), menyatakan bahwa efisiensi penggunaan substrat berdasarkan hasil scale up skala laboratorium ke skala pilot plant berbasis Pg/V memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan peningkatan skala berbasis KLa yang menunjukkan bahwa metabolisme Bacillus thuringiensis berlangsung baik. Menurut Wang et al. (1978), apabila tenaga per volume pada berbagai skala dipertahankan tetap, maka terdapat hubungan antara kecepatan impeler (N) dengan diameter impeller (D) menurut persamaan berikut: N23D22= N13D12.
11
III. METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah fermentor volume 3 liter dan 40 liter, rotary shaking incubator, autoklaf, pH-meter, spektofotometer, inkubator, neraca analitik, penangas, oven, desikator, sentrifuse, lemari es, freezer, loop inokulasi, tabung reaksi, pipet, cawan petri, gelas piala, labu Erlenmeyer, tabung eppendorf, kertas saring, dan bunsen. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur Bacillus thuringiensis aizawai pada agar miring, limbah cair tahu Yun-Yi, air kelapa, larva ulat Crocidolomia pavonana, nutrient agar (NA), nutrient broth (NB), NaOH, CaCO3, urea, H2SO4 pekat, fenol, garam fisiologis, etanol 95%, aquades, spirtus, MgSO4.7 H2O, MnSO4.7 H2O, ZnSO4.7 H2O, FeSO4.7 H2O.
3.2. Tahapan Penelitian Pendahuluan 3.2.1.Analisa Bahan Baku Analisa bahan baku dilakukan untuk menganalisa kandungan kimia yang terdapat pada air kelapa dan limbah cair tahu. Analisa yang dilakukan meliputi analisa kadar nitrogen, kadar karbon, kadar air, dan kadar abu pada bahan. Prosedur analisa terlampir pada Lampiran 1.
3.2.2. Persiapan Inokulum Inokulum atau kultur bibit untuk menginokulasi medium fermentasi disiapkan secara bertahap mengikuti metode Vandekar dan Dulmage (1982) yaitu sebagai berikut: Satu lup biakan Bacillus thuringiensis aizawai
Inokulasi dalam 50 ml medim NB steril (labu pembibitan I) Inkubasi dalam rotary shaking incubator, 180 rpm, 30oC selama 12 jam
Inokulasi pada medium NB steril (labu pembibitan II ) yaitu 5 % dari labu pembibitan 1
Inkubasi dalam rotary shaking incubator, 180 rpm, 30oC selama 12 jam
Inokulum Gambar 2. Diagram alir persiapan inokulum (Vandekar dan Dulmage 1982)
12
3.3. Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan dengan mentranslasikan kondisi fermentasi yang optimal bagi pertumbuhan Bacillus thuringiensis dari skala laboratorium hasil penelitian sebelumnya yaitu rasio C/N= 7:1 pada fermentor 3 liter yang kemudian ditingkatkan menjadi skala pilot 40 liter melalui kesamaan geometri fermentor dengan dokumentasi penelitian yang terdapat pada Lampiran 1. Penelitian penggandaan skala ini dilakukan dengan memperhitungankan kebutuhan tenaga per unit volume (Pg/V) tetap sebagai dasar penggandaan skala pada skala industri menggunakan fermentor berkapasitas 10,000 liter.
3.3.1. Persiapan Medium Fermentasi Medium fermentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair tahu sebagai sumber nitrogen dan karbon serta air kelapa sebagai sumber karbon yang bersifat fermentable sugar dengan mengacu pada penelitian Wicaksono (2002) dan pernyataan Dulmage et al. (1990) yaitu konsentrasi C/N adalah 7:1. Hasil penelitian Rachmawati (2011), menunjukkan bahwa komposisi formulasi media limbah cair tahu dan air kelapa yang menghasilkan tingkat toksisitas tertinggi adalah 80:20. Komposisi medium fermentasi terdapat pada Tabel 8 dan perhitungan medium fermentasi yang terdapat pada Lampiran 2. Tabel 8. Komposisi medium fermentasi Komponen Medium
Konsentrasi
Campuran limbah cair tahu,
C:N = 7:1
air kelapa, dan urea CaCO3
1.0 g/l a
MgSO4.7 H2O
0.3 g/l a
MnSO4.7 H2O
0.02 g/l a
ZnSO4.7 H2O
0.02 g/l a
FeSO4.7 H2O
0.02 g/l a
Sumber: a Dulmage dan Rhodes (1971) Medium fermentasi berupa air kelapa dan limbah cair tahu dicampur dengan CaCO 3, urea dan trace element dan disterilisasi pada suhu 1210C pada tekanan 1 atm selama 15 menit, kemudian dimasukkan dalam fermentor kapasitas 3 dan 40 liter yang telah disterilisasi. Proses sterilisasi ini berfungsi untuk mematikan semua mikroorganisme pada media dan fermentor sehingga tidak mengganggu proses pertumbuhan Bt. aizawai selama proses fermentasi.
3.3.2. Proses Fermentasi Proses fermentasi Bacillus thuringiensis aizawai dilakukan dengan sistem curah pada fermentor berkapasitas 3 liter pada suhu 28-32oC, pH awal medium 6.8-7.2, volume medium sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, dan dipanen pada waktu fermentasi 72 jam. Pemberian agitasi dan aerasi yang mengacu pada penelitian Afrianto (2006) yaitu proses fermentasi pada fermentor tangki berpengaduk 3 liter dengan kecepatan agitasi 200 rpm dengan laju
13
aerasi 1 vvm memberikan kondisi yang optimum bagi pertumbuhan Bacillus thuringiensis. Kondisi fermentasi ini dilakukan 2 kali ulangan dengan penambahan starter 10 % (v/v). Hasil fermentasi pada fermentor 3 liter ini ditingkatkan menjadi skala pilot plant 40 liter melalui kesamaan geometri fermentor yakni tipe pengaduk dan jumlah pengaduk (N) serta perbandingan diameter tangki dan diameter impeller. Berdasarkan perhitungan kebutuhan daya per volume (Pg/V) tetap, proses fermentasi Bt. aizawai pada fermentor 40 liter dilakukan pada suhu 2832oC, pH awal medium 6.8-7.2, volume medium sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, dan dipanen pada waktu fermentasi 72 jam dengan kecepatan agitasi 104 rpm dengan laju aerasi 0.9 vvm. Kesamaan geometri fermentor skala pilot 40 liter dijadikan dasar penggandaan skala yang meliputi bangun reaktor skala industri dengan fermentasi skala 10,000 liter dengan perhitungan secara teoritis berdasarkan perhitungan kebutuhan tenaga per unit volume (Pg/V) tetap.
3.4. Analisis Parameter Parameter yang dianalisa pada penelitian ini meliputi analisa bahan baku yaitu analisa kandungan kimia yang terdapat pada air kelapa dan limbah cair tahu serta analisa selama fermentasi meliputi: densitas media, viskositas media, pengukuran pH cairan fermentasi, optical density (OD), pengukuran bobot kering biomassa, analisis kadar gula total sisa dengan metode fenol, pengukuran pertumbuhan sel menggunakan metode TPC (Total Plate Count), dan pengukuran pembentukan spora dengan menentukan jumlah spora hidup dengan metode VSC (viable spore count). Analisa toksisitas produk bioinsektisida dilakukan melalui metode bioassay dengan pengujian terhadap larva ulat Croccidolomia pavonana yang dinyatakan dalam LC50. Nilai LC50 ini ditentukan dengan menggunakan analisis program Probit Quant. Prosedur analisa pada penelitian ini tercantum pada Lampiran 1.
14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisa Bahan Baku Media merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi Bacillus thuringiensis. Di alam banyak tersedia bahan-bahan yang dapat digunakan untuk dijadikan media pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai diantaranya limbah cair tahu dan air kelapa karena mengandung sumber karbon dan nitrogen. Limbah cair tahu dan air kelapa terlebih dahulu dianalisa komponen karbon, nitrogen, kadar air dan kadar abunya yang tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil analisis kimia limbah cair tahu dan air kelapa Komponen
Limbah Cair Tahu
Air Kelapa
(%)
(%)
Kadar Air
99.44
95.24
Kadar Abu
0.26
0.51
Kadar Nitrogen
0.09
0.01
Kadar Karbon
0.497
1.018
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa limbah cair tahu dan air kelapa mengandung air, karbon dan nitrogen yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai media untuk pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai. Limbah cair tahu merupakan merupakan hasil samping produksi tahu yang dihasilkan pada proses pencucian, perendaman, serta pada proses penggumpalan tahu atau disebut whey. Pada penelitian ini digunakan limbah cair tahu sisa proses penggumpalan tahu atau whey karena pada umumnya limbah cair tahu ini belum banyak dimanfaatkan, hanya digunakan untuk biang penggumpal tahu berikutnya dan sebagian besar dibuang langsung ke lingkungan yang menyebabkan pencemaran. Penambahan air kelapa digunakan sebagai sumber karbon yang bersifat fermentable sugar sehingga dapat mengoptimalkan proses fermentasi. Namun dalam penerapannya, limbah cair tahu dan air kelapa ini memiliki sifat yang mudah rusak. Kerusakan ini dapat menyebabkan penurunan pH dan nutrien yang terkandungnya akibat aktivitas mikroorganisme yang tidak diharapkan. Sehingga untuk mencegahnya perlunya penanganan bahan baku yang baik berupa pengemasan limbah cair tahu dan air kelapa pada wadah-wadah yang bersih dan steril sehingga dapat mencegah kerusakan sebelum proses fermentasi. Penelitian peningkatan skala ini mengacu pada hasil penelitian Rachmawati (2011), bahwa formulasi media yang menghasilkan toksisitas tertinggi adalah limbah cair tahu 80% dan air kelapa 20% dengan perbandingan karbon dan nitrogen yaitu 7:1. Pada penelitian ini juga digunakan urea untuk menyesuaikan perbandingan karbon dan nitrogen. Menurut Stanbury dan Whitaker (1984), urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannnya untuk mempertahankan pH, namun penggunaanya harus dibatasi karena cenderung tidak stabil. Mikroorganisme juga memerlukan tambahan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produknya. Pada penelitian ini, digunakan komposisi mineral yang mengacu pada pernyataan Dulmage dan Rhodes (1971), yaitu 1.0 g/l CaCO 3, 0.03 g/l MgSO4.7 H2O, 0.02 g/l MnSO4.7 H2O, 0.02 g/l ZnSO4.7 H2O, 0.02 g/l FeSO4.7 H2O.
15
4.2. Proses fermentasi Bacillus thuringiensis aizawai Penelitian peningkatan skala fermentor produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis aizawai ini dilakukan pada fermentor tangki berpengaduk skala laboratorium 3 liter dan fermentor skala pilot 40 liter yang didasari pada kesamaan geometri fermentor, kesamaan bahan dan konsentrasi media yang digunakan. Pada penelitian ini diterapkan parameter-parameter yang berpengaruh bagi optimalisasi produksi bioinsektisida mikrobial dari Bacillus thuringiensis aizawa meliputi konsentrasi media, rasio C/N, agitasi, dan aerasi. Agitasi dan aerasi berfungsi untuk mensuplai oksigen secara merata, meratakan seluruh substrat agar dapat tercapai oleh mikroorganisme dan mendispersi gelembung udara dalam medium. Pada fermentor skala laboratorium digunakan fermentor volume 3 liter dengan volume kerja 2 liter, laju aerasi 1 vvm dan kecepatan agitasi 200 rpm. Berdasarkan perhitungan persamaan geometri fermentor digunakan fermentor skala pilot dengan volume 40 liter, laju aerasi 0.9 vvm dan kecepatan agitasi 104 rpm.
4.3. Pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai Pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai selama proses fermentasi pada fermentor 3 liter dapat diamati melalui perubahan pH cairan fermentasi, pengukuran optical density (OD), pengukuran jumlah sel melalui metode cawan sebar atau total plate count (TPC), dan pembentukan spora melalui metode viable spore count (VSC) seperti yang terlihat pada Gambar 3. Sedangkan pada Gambar 4 terlihat hubungan antara jumlah biomassa melalui pengukuran bobot kering biomassa dan gula sisa selama proses fermentasi. 8 7 6
Nilai
5 4 3 2 1 0 0
12
24 36 48 Lama Waktu Fermentasi (Jam)
pH
Log TPC (CFU/ml)
Log VSC (Spora/ml)
Optical Density
60
72
Gambar 3. Pertumbuhan Bt. aizawai selama fermentasi pada fermentor 3 liter
16
Jumlah Biomassa dan Gula Sisa Fermentasi (g/ml)
0.040 0.035 0.030
0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 0
12
24
36
48
60
72
Lama Waktu Fermentasi (Jam)
Biomassa (g/ml)
Gula Sisa Fermentasi (g/ml)
Gambar 4. Produksi biomassa dan gula sisa selama fermentasi pada fermentor 3 liter
4.3.1. Perubahan pH Selama Fermentasi Pengukuran pH dilakukan untuk mengamati perubahan pH media selama proses fermentasi. Pengukuran pH ini dilakukan setiap 12 jam sekali dari waktu fermentasi jam ke 0 sampai 72 jam. Hasil pengamatan terhadap pH cairan fermentasi menunjukkan bahwa fermentasi berlangsung pada pH 7.00-5.28 pada fermentor 3 liter yang merupakan proses translasi dari skala laboratorium. Pada tahap awal fermentasi ini terjadi penurunan pH mencapai 5.28 kemudian pada jam ke-48 pH cairan fermentasi pada fermentor 3 liter ini mulai meningkat kembali. Penurunan pH cairan fermentasi ini dapat disebabkan karena adanya proses enzimatis oleh Bacillus thuringiensis aizawai yang mengurai glukosa dari karbon menjadi asam-asam organik. Menurut Benoit et al. (1990), pada perombakan ini dihasilkan ATP dan asam-asam organik seperti asam piruvat, asam asetat, dan asam laktat sehingga dapat menurunkan pH cairan fermentasi. Peningkatan pH cairan fermentasi mulai terjadi pada jam ke 48, hal ini disebabkan oleh penggunaan urea sebagai media sumber nitrogen dan asam yang terakumulasi pada medium dimanfaatkan kembali oleh sel untuk memproduksi poli-βhidroksibutirat (PHB) yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi selama proses sporulasi. James (1993) menyatakan bahwa urea yang terlarut dalam air akan mengalami perubahan kimia menjadi ammonium bikarbonat sehingga dapat meningkatkan pH larutan. Bacillus thuringiensis dapat menghasilkan enzim urease dengan urea sebagai sumber nitrogen (Sneat 1986). Peningkatan nilai pH yang tidak terlalu tajam ini dapat disebabkan karena adanya ruang antara dasar fermentor dan pengaduk yang menyebabkan meningkatnya daya gunting sehingga sebagian urea mengendap di bagian dasar tangki fermentor dan tidak teraduk sempurna. Menurut Benhard dan Utz (1993), Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada pH kisaran 5.5 dan 8.5 dan tumbuh optimum pada pH 6.5-7.5. Namun pada grafik terlihat bahwa penurunan pH cairan fermentasi mencapai pH 5.2. Hal ini dapat dipengaruhi karena jumlah karbon pada limbah cair tahu dan air kelapa yang bersifat fermentable sugar lebih tinggi dibandingkan urea, sehingga semakin
17
banyak jumlah karbon berupa gula sederhana pada media maka pembentukan asam piruvat akan semakin besar sehingga penurunan pH cairan fermentasi semakin meningkat. Menurut Sjamsuripura et al. (1984), kemampuan tumbuh dan daya toksin Bacillus thuringiensis dapat hancur pada pH di atas 12 dan pH di bawah 3.3. Hal ini membuktikan bahwa Bacillus thuringiensis masih dapat hidup dan memiliki daya toksin pada pH 5.
4.3.2. Optical Density (OD) Optical density merupakan pengukuran jumlah sel dalam kekeruhan atau turbidity cairan fermentasi, dimana semakin keruh suatu larutan maka menunjukkan jumlah sel semakin meningkat. Menurut Gumbira-Said (1987), kekeruhan suspensi sel diukur pada panjang gelombang 600-700 nm menggunakan spektrofotometer. Pada penelitian ini, pengukuran optical density dilakukan pada panjang gelombang 660 nm menggunakan spektrofotometer. Pada Gambar 3 terlihat bahwa semakin lama waktu fermentasi maka nilai OD akan semakin meningkat yang menunjukkan bahwa cairan fermentasi semakin berwarna keruh akibat aktivitas sel, sehingga semakin lama waktu fermentasi hingga 72 jam jumlah sel pun semakin meningkat. Menurut Wang et al. (1978), pertumbuhan curah pada media tertentu memiliki empat fase dalam pertumbuhannya yaitu fase awal atau fase lag, fase logaritmik (eksponensial), fase stasioner, dan fase kematian. Pada grafik terlihat bahwa fase lag berlangsung sangat singkat, selanjutnya fase logaritmit terjadi sampai jam ke 24 dan mulai memasuki fase stasioner sampai jam ke 72. Berdasarkan penelitian Salamah (2002) dan Yulianti (2005), fase log Bacillus thuringiensis berlangsung kurang dari 3 jam dan mulai memasuki fase log pada waktu kultivasi 3-24 jam. Semakin tinggi nilai OD maka jumlah sel pada suatu larutan fermentasi semakin besar.
4.3.3. Jumlah Sel Hidup Pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai juga dapat diamati melalui pengukuran total plate count (TPC) atau metode cawan sebar. Metode TPC ini digunakan untuk mengukur jumlah sel hidup melalui koloni yang terbentuk dalam 1 ml cairan fermentasi yang dinyatakan dalam colony forming unit (CFU/ml). Pada gambar 3 terlihat bahwa fase lag berlangsung cepat yang menunjukan bahwa inokulum telah beradaptasi dengan medium fermentasi, selain itu banyaknya jumlah sel yang diinokulasikan juga mempengaruhi panjang pendeknya fase lag. Setelah fase lag selesai, mulai terjadi perbanyakan sel atau fase logaritmik yang terjadi sampai jam ke 60. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi jumlah sel semakin meningkat dengan jumlah sel hidup tertinggi adalah pada waktu kultivasi 72 jam yaitu dengan nilai Log TPC sebesar 6.60 atau 3.99 × 106 CFU/ml. Hal ini sesuai dengan grafik optical density dimana semakin lama waktu fermentasi hingga 72 jam cairan fermentasi semakin berwarna keruh akibat aktivitas sel yang menunjukkan jumlah sel dalam cairan fermentasi juga semakin besar. Namun jumlah sel yang dihasilkan pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Purnawati (2006) menggunakan substrat onggok tapioka pada fermentor tangki berpengaduk volume 3 liter memiliki konsentrasi sel berkisar antara 1.69 × 109 sampai 1.70 × 109 CFU/ml untuk waktu fermentasi 72 jam.
4.3.4. Jumlah Spora Hidup (VSC) Viable spore count (VSC) merupakan suatu analisa yang digunakan untuk mengukur jumlah spora hidup yang terkandung dalam campuran spora kristal. Pembentukan spora selama fermentasi merupakan hal yang sangat penting karena bahan aktif bioinsektisida berupa kristal protein dibentuk
18
bersamaan dengan pembentukan spora dimana satu buah sel vegetatif. Bacillus thuringiensis dapat membentuk satu buah spora dan satu buah kristal protein. Semakin banyak jumlah spora yang terbentuk maka diharapkan semakin tinggi pula kristal protein yang terbentuk. Berdasarkan hasil pengamatan pada grafik di atas terlihat bahwa pembentukan spora mulai terjadi pada waktu fermentasi jam ke 12 dan penambahan jumlah spora seiring lamanya waktu fermentasi yang cenderung tetap dan membentuk garis stasioner. Pembentukan spora umumnya mulai terlihat nyata pada saat fase eksponensial akhir atau awal fase stasioner. Hal ini sesuai dengan penelitian Salamah (2002) dan Yulianti (2005), bahwa Bacillus thuringiensis mulai memasuki fase eksponensial pada waktu kultivasi 3-24 jam. Jumlah spora tertinggi pada waktu fermentasi jam 72 yaitu 1.58 × 105 spora/ml. Jumlah spora ini lebih rendah dibandingkan pendapat Luthy et al. (1992), dimana konsentrasi yang ditetapkan untuk produksi skala besar antara 5 × 109 sampai 1 × 1010 spora per ml. Hal ini dapat disebabkan karena adanya daya gunting dan pengadukan yang kurang sempurna karena adanya jarak antara dasar tangki fermentor dan impeller sehingga penyebaran sumber karbon dan nitrogen tidak merata yang menyebabkan nilai pH tidak berada pada kondisi optimum pertumbuhan Bacillus thuringiensis yaitu pada pH 6.5-7.5. Menurut Sukmadi et al. (1996), cepat lambatnya pembentukan spora tergantung pada lingkungan kultur dan umumnya spora terbentuk pada keadaan lingkungan yang kurang sesuai seperti nilai pH dan suhu yang ekstrim, serta kurangnya suplai makanan bagi Bacillus thuringiensis. Pembentukan spora juga mulai terlihat nyata pada saat fase eksponensial akhir atau awal fase stasioner dimana pada kondisi fermentasi ini mengalami penurunan pH yang ekstrim yaitu dari pH awal 7 turun menjadi 5 sehingga sel mulai membentuk spora. Pada Gambar 3 terlihat bahwa jumlah log spora, log TPC dan nilai OD semakin meningkat seiring lamanya waktu fermentasi sampai 72 jam, hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi pertumbuhan Bt. aizawai semakin baik dan belum memasuki fase kematian.
4.3.5. Jumlah Biomassa Pengukuran jumlah biomassa dilakukan dengan cara pengukuran bobot kering biomassa dengan metode oven. Bobot kering biomassa merupakan salah satu cara untuk mengukur jumlah sel, namun pengukuran bobot kering biomassa ini adalah pengukuran jumlah sel total sehingga tidak hanya mengukur jumlah sel sel hidup saja, namun sel mati, spora, serta bahan-bahan lain yang tidak larut pun terkadang ikut terhitung, sehingga bobot kering boimassa tertinggi tidak menghasilkan jumlah sel tertinggi. Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah sel cenderung semakin meningkat seiring lamanya waktu fermentasi dengan jumlah sel tertinggi adalah pada jam ke 48 yaitu 0.033 g/ml. Namun, pada waktu fermentasi ke 60 dan 72 jam terjadi penurunan bobot kering biomassa sedangkan perhitungan jumlah sel hidup tertinggi berdasarkan metode TPC adalah pada lama waktu fermentasi 72 jam. Hal ini dapat disebabkan karena sel Bacillus thuringiensis aizawai mulai mengalami lisis dan massa sel yang mengalami lisis tersebut sebagian akan dikonversi menjadi energi yang dimanfaatkan oleh sel yang masih hidup sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya sehingga dapat mengurangi bobot biomassa yang terukur.
4.3.6. Gula Sisa Fermentasi Pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai ini juga berpengaruh dengan konsumsi substrat karena selama prose fermentasi berlangsung sel akan mengkonversi substrat sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Gula merupakan sumber karbon utama yang dikonsumsi bakteri sebagai sumber energi untuk metabolismenya. Hal ini ditandai dengan berkurangnya konsentrasi karbon selama proses
19
fermentasi berlangsung. Dalam penelitian ini, limbah cair tahu dan air kelapa sebagai sumber karbon mengalami penurunan kadar glukosa akibat dikonversi menjadi biomassa dan produk. Penggunaan substrat bagi pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai yang ditunjukan dengan berkurangnya konsentrasi gula dapat dilihat pada Gambar 4. Pada Gambar 4 di atas terlihat bahwa semakin lama waktu fermentasi, konsentrasi gula pada medium semakin menurun karena gula ini dikonsumsi oleh sel untuk menghasilkan biomassa dan produk. Hasil pengamatan menunjukkan penurunan konsentrasi gula terbesar adalah pada waktu fermentasi 72 jam yaitu 0.38% karena pada waktu kultivasi 72 jam. Pada grafik produksi biomassa dan gula sisa fermentasi selama waktu fermentasi pada fermentor 3 liter terlihat bahwa kadar gula dalam medium semakin menurun dan jumlah biomassa semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu fermentasi.
4.4. Uji Toksisitas Bioinsektisida Pengujian toksisitas bioinsektisida bertujuan untuk menentukan nilai LC50 dan potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. LC50 merupakan konsentrasi bioinsektisida yang menyebabkan 50 % serangga uji mati, sehingga semakin kecil nilai LC50 maka semakin besar tingkat toksisitasnya. Pengujian toksisitas ini dilakukan dengan metode bioassay yaitu dengan cara menentukan mortalitas larva ulat kubis C. pavonana atas perlakuan bioinsektisida yang diberikan. Potensi toksisitas bioinsektisida dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini dengan perhitungan yang terdapat pada Lampiran 3. Tabel 10. Potensi toksisitas bioinsektisida Waktu
LC50
Fermentasi
Fermentor 3 liter
Fermentor 40 liter
Potensi produk Rata-Rata
(Jam)
(IU/mg) Rata-Rata
48
0.01
0.01
0.01
80,000
60
0.09
0.01
0.05
16,000
0.02
0.04
0.03
26,667
72 Bactospeine
a
0.05
16,000
a
Syarfat (2010)
Hasil pengujian tingkat toksisitas bioinsektisida pada fermentor skala laboratorium 3 liter dan skala pilot 40 liter menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh. Nilai LC 50 memiliki korelasi yang berlawanan dengan potensi produknya, dimana semakin kecil nilai LC50 yang dihasilkan maka semakin besar potensinya. Pada penelitiaan ini dihasilkan tingkat toksisitas tertinggi adalah pada waktu fermentasi 48 jam dengan nilai LC50 yaitu 0.01 mg/L dan potensi produk 80,000 IU/mg. Nilai LC50 ini menunjukkan dengan penggunaan konsentrasi bioinsektisida 0.01 mg/L dapat mematikan 50% serangga target. Pengujian dan perhitungan toksistas bioinsektisida tercantum pada Lampiran 6. Nilai LC50 yang dihasilkan pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai LC 50 produk komersial bactospeine yang menunjukkan bahwa potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan lebih besar dari potensi produk bactospeine. Nilai LC50 yang dihasilkan pada penelitian ini sama dengan hasil penelitian skala laboratorium yang dilakukan Rachmawati (2011) dengan media yang sama, dan juga lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Syarfat (2010)
20
dengan menggunakan media 20% ampas tahu dan 80% limbah cair tahu dengan waktu fermentasi selama 30 jam yang menghasilkan nilai LC50 sebesar 1.34 mg/L dengan potensi produk 597.01 IU/mg. Nilai LC50 dan potensi produk tidak selalu berkorelasi positif dengan nilai TPC dan VSC produk. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat toksisitas produk bioinsektisida tidak selamanya dipengaruhi oleh jumlah sel dan jumlah spora yang terkandung dari produk bioinsektisida tersebut, namun lebih dipengaruhi oleh kualitas strain Bacillus thuringiensi dan kemudahan dicerna dalam usus serangga target karena produk bioinsektisida ini bersifat racun perut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayuningsih (2000) pada Bt. israelensis, dan Moris et al. (1996) pada Bt. aizawai. Produk bioinsektisida yang dihasilkan adalah bioinsektisida yang bersifat racun perut, sehingga untuk mengoptimalkan penggunaan produk ini dibuat dalam bentuk flowable suspension yang mudah diserap oleh daun dan kandungan gula dalam air kelapa ini akan menarik serangga target untuk memakan daun yang telah diberikan bioinsektisida. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), toksisitas spora Bacillus thuringiensis terhadap target dipengaruhi oleh strain bakteri dan keadaan serangga target. Struktur kristal, ukuran molekul protein yang menyusun kristal yang berbeda untuk setiap strain, serta kondisi pH di dalam usus besar serangga target akan berpengaruh pada kelarutan kristal protein. Proses toksisitas kristal protein sebagai bahan aktif bioinsektisida dimulai dengan termakannya kristal protein oleh serangga. Kristal protein ini akan dipecah oleh enzim protease pada kondisi basa dalam usus tengah serangga sehingga melepaskan δ-endotoksin yang bersifat toksin. Toksin ini akan berinteraksi dengan resptor-reseptor pada sel-sel epithelium usus tengah larva serangga yang rentan. Setelah toksin ini bereaksi, maka akan menyebabkan terbentuknya lubanglubang pada membran sel sehingga dapat mengganggu keseimbangan osmotik sel dan mengakibatkan terjadinya pembengkakan yang menyebabkan larva berhenti makan dan mati. Selain itu, kemampuan enzim protease dalam usus serangga untuk mencerna kristal protein dan adanya reseptor khusus yang mampu mengikat toksin dapat mempercepat aktifitas kerja bioinsektisida. Perbandingan nilai LC50 hasil penelitian ini dan hasil penelitian sebelumnya pada masing-masing perlakukan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Perbandingan nilai LC50 produk bioinsektisida pada masing-masing perlakuan dengan lama fermentasi 48 jam Perlakuan Nilai LC50 (mg/L) Produksi bioinsektisida Bt. aizawai pada fermentor tangki berpengaduk kapasitas 3 liter dengan agitasi 200 rpm dan aerasi 1 vvm pada media limbah cair tahu dan air kelapa
0.01
Produksi bioinsektisida Bt.israelensis pada fermentor tangki berpengaduk kapasitas 3 liter dengan agitasi 200 rpm dan aerasi 1 vvm pada media onggok tapioka
0.002a
Produksi bioinsektisida Bt.israelensis pada fermentor kolom gelembung kapasitas 3 liter dengan aerasi 1 vvm pada media air kelapa a Sumber: Afrianto (2006) b Yulianti (2001)
41.086b
Pada Tabel 11 terlihat bahwa nilai LC50 yang dihasilkan pada produksi bioinsektisida pada fermentor tangki berpengaduk lebih kecil dibandingkan nilai LC50 yang dihasilkan dari produksi bioinsektisida pada fermentor kolom gelembung. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan fermentor tangki berpengaduk memberikan kondisi yang lebih optimum karena penyebaran substrat lebih
21
merata. Nilai LC50 yang dihasilkan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Afrianto (2006) menggunakan Bt. israelensis pada media onggok tapioka, namun perbedaan nilai LC50 tidak berbeda jauh yang menunjukkan bahwa limbah cair tahu dan air kelapa dapat digunakan sebagai media dalam produksi bioinsektisida.
4.2. Peningkatan Skala Fermentor Kajian peningkatan skala ini dimulai dari percobaan skala laboratorium untuk mengetahui faktor-faktor fisik, kimia dan biologis yang mempengaruhi proses dan hasil fermentasi Bacillus thuringiensis aizawai pada substrat limbah cair tahu dan air kelapa. Berdasarkan data penelitian sebelumnya yaitu menurut Rachmawati (2011), bahwa kondisi optimal untuk pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai adalah perbandingan konsentrasi C dan N adalah 7:1 dengan formulasi media limbah cair tahu 80% dan air kelapa 20%. Mengacu pada penelitian Afrianto (2006) dan Purnawati (2006), kecepatan agitasi 200 rpm dan kecepatan aerasi 1 vvm selama proses fermentasi pada fermentor 2 liter menghasilkan tingkat toksisitas yang tinggi pada produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis. Berdasarkan data-data kondisi optimum pada proses fermentasi Bacillus thuringiensis aizawai ini, lalu dirancang suatu rancangan dan prosedur untuk skala pilot. Rancangan ini bertujuan untuk memberikan kondisi fermentasi yang optimum sehingga dapat dipergunakan untuk rancang bangun alat dan proses produksi pada skala yang lebih besar atau skala industri. Peningkatan skala fermentor produksi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis aizawai ini didasarkan kesamaan geometri fermentor, jenis bahan dan proporsi bahan yang digunakan sama yaitu 80% limbah cair tahu dan 20% air kelapa. Parameter kesamaan geometri fermentor meliputi jenis impeller, jumlah impeller (Ni), serta perbandingan diameter tangki (Dt) dan diameter impeller (Di) yang mengacu pada pendapat Wang (1978) yang terdapat pada Lampiran 4. Geometri fermentor skala laboratorium 3 liter dan skala pilot 40 liter dapat tercantum pada Tabel 12. Tabel 12. Geometri fermentor 3 dan 40 liter Parameter
Satuan
Tipe impeller Jumlah impeller (Ni)
-
Jumlah buffle (Nb) Tinggi fermentor Diameter impeller (Di) Diameter tangki (Dt) Volume kerja
m m m L
Ukuran Fermentor 3L 40 L Turbin pipih Turbin pipih 2 2 3 0.27 0.045 0.13 2
4 0.60 0.12 0.297 22
Metode peningkatan skala yang digunakan adalah metode kaidah ibu jari (rule of thumb) karena telah banyak diterapkan dalam industri fermentasi dengan patokan penggandaan skala yang berhubungan dan mengacu pada perpindahan oksigen (tekanan parsial O 2 dan Po2 adalah fungsi dari KLa yang merupakan fungsi dari Pg/V). Hasil penelitian Purnawati (2006) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan substrat berdasarkan hasil peningkatan skala laboratorium ke skala pilot plant berbasis Pg/V memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan peningkatan skala berbasis K La yang menunjukkan bahwa metabolisme Bacillus thuringiensis berlangsung baik. Sehingga pada penelitian ini digunakan kriteria tenaga per unit volume (Pg/V), dimana nilai tenaga per unit volume yang diperoleh dari skala laboratorium akan diterapkan dalam produksi skala pilot.
22
Jenis fermentor yang digunakan pada penelitian ini adalah fermentor tangki berpengaduk yang terdapat sistem agitasi dan aerasi yang digunakan untuk mentransfer kebutuhan oksigen. Peningkatan skala produksi bioinsektisida dari skala fermentor 3 liter menjadi 40 liter menggunakan basis kebutuhan tenaga per volume (Pg/V) tetap membutuhkan kebutuhan agitasi sebesar 104 rpm dengan laju aerasi 0.90 vvm.
8 7 6
Nilai
5 4 3 2 1 0 0
12
24 36 48 Lama Waktu Fermentasi (Jam)
pH Log VSC (Spora/ml)
60
72
Log TPC (CFU/ml) Optical Density
Jumlah Biomassa dan Gula Sisa Fermentasi (g/ml)
Gambar 5. Pertumbuhan Bt. aizawai selama fermentasi pada fermentor 40 liter
0.020
0.015
0.010
0.005
0.000 0
12
24
36
48
60
72
Lama Waktu Fermentasi (Jam) Biomassa (g/ml) Gula Sisa Fermentasi (g/ml) Gambar 6. Produksi biomassa dan gula sisa selama fermentasi pada fermentor 40 liter
23
Pada Gambar 5 terlihat bahwa pertumbuhan Bt. aizawai dan lama waktu fermentasi menunjukkan korelasi yang positif dimana semakin lama waktu fermentasi sampai 72 jam, pertumbuhan Bt. aizawai melalui pengukuran nilai optical density, log TPC dan log VSC yang semakin meningkat. Namun, nilai pH mengalami penurunan dan mulai meningkat kembali pada waktu fermentasi 48 jam. Produksi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis aizawai pada skala pilot yaitu fermentor 40 liter yang memiliki volume kerja 22 liter memperlihatkan pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai selama proses fermentasi yang tidak berbeda jauh dari produksi bioinsektisida pada fermentor skala laboratorium 3 liter seperti yang terlihat pada Gambar 5. Nilai pH cairan fermentasi pada fermentor 40 liter memilki kisaran antara 7.23-5.25, sedangkan pH cairan fermentasi pada fermentor 3 liter adalah 7.00-5.28. Jumlah sel yang dihasilkan selama proses fermentasi pada fermentor 40 liter dengan volume kerja 22 liter memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan Jumlah sel yang dihasilkan pada fermentasi 3 liter. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi, jumlah sel semakin meningkat dengan jumlah sel hidup tertinggi pada skala pilot adalah pada waktu kultivasi 72 jam yaitu 1.44 × 107 CFU/ml, sedangkan pada skala laboratorium menggunkan fermentor 3 liter dihasilkan jumlah sel tertinggi pada waktu kultivasi 72 jam yaitu 3.99 × 106 CFU/ml. Jumlah spora tertinggi pada skala pilot ini adalah pada waktu fermentasi 72 jam sebesar 8.03 × 105 spora/ml, sedangkan jumlah spora tertinggi pada skala produksi laboratorium menggunakan fermentor 3 liter adalah pada waktu fermentasi jam 72 yaitu 1.58 × 105 spora/ml. Pada Gambar 6 terlihat bahwa jumlah biomassa berkorelasi negatif dengan total gula sisa terhadap lamanya waktu fermentasi. Nilai biomassa tertinggi yang dihasilkan pada fermentasi skala pilot 40 liter ini adalah pada fermentasi selama 60 jam yaitu 0.018 g/ml, sedangkan pada fermentor skala laboratorium bobot biomasa tertinggi adalah pada waktu fermentasi 48 jam yaitu 0.033 g/ml. Perbedaan ini dapat terjadi karena pengukuran bobot kering biomassa ini tidak hanya mengukur jumlah sel sel hidup saja, tetapi sel mati, spora, serta bahan-bahan lain yang tidak larut pun terkadang ikut terhitung sehingga dapat terjadi perbedaan bobot kering biomassa pada skala produksi yang berbeda dan bobot kering boimassa tertinggi tidak menghasilkan jumlah sel tertinggi. Selain itu, total gula sisa fermentasi pada skala pilot lebih kecil dibandingkan pada skala produksi laboratorium, hal ini menunjukkan bahwa gula yang terdapat pada media yang terdapat pada fermentor 40 liter dikonversi menjadi produk dan biomassa lebih baik dibandingkan pada skala laboratorium. Secara umum, perubahan yang terjadi pada penggandaan skala berbasiskan kebutuhan daya per volume (Pg/V) pada skala pilot menghasilkan pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai yang lebih baik dari skala laboratorium. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wang et al. (1978) bahwa sifat-sifat biologis yang tercakup dalam pertumbuhan mikroorganisme selama fermentasi tergantung pada peningkatan skala. Selain itu, beberapa parameter kinetika akan berubah walaupun pola metabolisme tidak berubah, parameter kinetika fermentasi pada produksi bioinsektisida pada fermentor 3 dan 40 liter dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini dengan perhitungan yang tercantum pada Lampiran 5.
24
Tabel 13. Parameter kinetika fermentasi produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis aizawai pada fermentor skala 3 dan 40 liter Parameter Satuan 3 liter 40 liter Log N-max
CFU/L
9.60
10.16
Log VSC-max
Spora/L
8.20
8.91
(Jam )
0.0025
0.0035
YN/S
Log TPC/g substrat
0.26
0.196
YP/S
Log Spora/g substrat
0.91
0.65
%
49.76
95.78
-1
µN-max
(S0-St)/S0
Hasil pengamatan peningkatan skala dari skala laboratorium menjadi skala pilot menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan substrat dan laju pertumbuhan sel (µN-max) menjadi lebih baik, dimana pada skala fermentor 40 liter efisiensi penggunaan substrat sebesar 95.78% sedangkan pada fermentor 3 liter sebesar 49.76%. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan skala pada skala pilot menghasilkan metabolisme yang lebih baik. Selain itu, proses pengadukan menggunakan agitator juga mempengaruhi transfer substrat secara merata sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan substrat. Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai, parameter kinetika fermentasi dan tingkat toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan pada skala laboratorium ke skala pilot, maka rancang bangun fermentor produksi bioinsektisida mikrobial menggunakan limbah cair tahu dan air kelapa pada skala industri yaitu fermentor 10,000 liter dilakukan berdasarkan kesamaan geometri fermentor dengan menggunakan nilai Pg/V tetap dengan perhitungan yang terdapat pada Lampiran 6. Hasil perhitungan rancang bangun fermentor 10,000 liter dapat dilihat pada Tabel 14 berikut. Tabel 14. Rancang bangun fermentor 10,000 liter Parameter
Satuan
Ukuran
Tinggi Tangki
m
2.91
Diameter impeller (Di)
m
0.85
Diameter tangki (Dt)
m
2.09
Volume kerja (V)
L
7,000
Densitas media (ρ)
g/ml
1.0181
Viskositas media (µ)
CP
87.34
Kecepatan agitasi
rpm
28.29
Laju aerasi
vvm
Kebutuhan Pg/V
0.27 3
HP/m
0.0256
Hasil perhitungan penggandaan skala pada skala industri yaitu fermentor 10,000 L menunjukkan bahwa kebutuhan Pg/V adalah 0.0256 HP/m3 per sekon dengan laju aerasi 0.27 vvm, dan kecepatan agitasi 0.47 rps. Berdasarkan kesamaan geometri, fermentor 10,000 liter memiliki diameter tangki 2.09 m dan diameter impeller 0.85 m dengan volume kerja 7,000 liter. Hasil perhitungan peningkatan skala fermentor berdasarkan Pg/V pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil perhitungan peningkatan skala fermentor produksi bioinsektisida Bt. israelensis menggunakan substrat onggok tapioka yang dilakukan Purnawati (2006) bahwa kebutuhan daya per
25
volume (Pg/V) pada fermentor 10,000 L dengan volume kerja 7,000 L adalah sebesar 0.016 HP/m3 dengan dengan laju aerasi 0.18 vvm, dan kecepatan agitasi 0.53 rps.
26
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Limbah cair tahu dan air kelapa merupakan substrat yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis aizawai karena masih mengandung sumber karbon dan nitrogen yang cukup tinggi sebagai media dasar pertumbuhan Bacillus thuringiensis. Penerapan kondisi-kondisi optimal selama proses fermentasi pada skala pilot menggunakan fermentor mampu mempertahankan pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai yang optimum. Jumlah sel tertinggi yang hasilkan pada penelitian ini adalah pada fermentor skala pilot pada waktu kultivasi 72 jam yaitu 1.44 x 107 CFU/ml, sedangkan pada skala laboratorium menggunakan fermentor 3 liter dihasilkan jumlah sel tertinggi pada waktu kultivasi 72 jam yaitu 3.99 x 106 CFU/ml. Jumlah biomassa tertinggi yang dihasilkan pada penelitian ini adalah pada fermentor skala laboratorium pada waktu fermentasi 48 jam yaitu 0.033 g/ml dengan kadar gula sisa yang semakin menurun seiring lamanya waktu fermentasi karena gula ini dikonversi menjadi sel dan biomassa. Jumlah spora tertinggi diperoleh pada skala pilot menggunakan fermentor 40 liter dengan waktu fermentasi 72 jam sebesar 8.03 x 10 5 spora/ml, sedangkan jumlah spora tertinggi pada skala produksi laboratorium menggunakan fermentor 3 liter yaitu pada waktu fermentasi jam 72 sebesar 1.58 x 105 spora/ml. Hasil pengamatan peningkatan skala dari skala laboratorium menjadi skala pilot menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan substrat menjadi lebih baik, dimana pada skala fermentor 40 liter efisiensi penggunaan substrat sebesar 95.78% sedangkan pada fermentor 3 liter sebesar 49.76%. Selama waktu fermentasi, terjadi perubahan pH cairan fermentasi yang berkisar antara 5.25-7.23. Secara umum, perubahan yang terjadi pada penggandaan skala berbasiskan kebutuhan daya per volume (Pg/V) tetap pada skala pilot menghasilkan pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai yang lebih baik dari skala laboratorium. Hasil perhitungan penggandaan skala pada skala industri yaitu fermentor 10,000 L menunjukkan bahwa kebutuhan Pg/V adalah 0.0256 HP/m3 per sekon dengan laju aerasi 0.27 vvm, dan kecepatan agitasi sebesar 0.47 rps. Berdasarkan kesamaan geometri, fermentor 10,000 liter memiliki diameter tangki 2.09 m dan diameter impeller 0.85 m dengan volume kerja 7,000 liter.
5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pertumbuhan Bacillus thuringiensis dalam fermentor memerlukan kondisi lingkungan, laju aerasi dan kecepatan agitasi yang optimum, khususnya laju aerasi dan kecepatan agitasi sangat mempengaruhi pertumbuhan Bacillus thuringiensis dalam peningkatan skala, sehingga disarankan perlunya modifikasi dan desain fermentor yang lebih baik sehingga pengadukan dan transfer oksigen dapat lebih merata untuk mengoptimalkan pertumbuhan Bacillus thuringiensis dalam memproduksi bioinsektisida.
27
DAFTAR PUSTAKA
Aiba SAE. Humphrey and NF Milis. 1973. Biochemical Engineering (2nd edition). New York: Academic Press. Afrianto GF. 2006. Kajian pengaruh agitasi dan aerasi produksi bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis var israelensis menggunakan substrat onggok tapioka [skripsi]. Bogor: Fateta IPB. Aronson AI, W. Beckman dan P. Dunn. 1986. Bacillus thuringiensis and related insect pathogen. microbial. Rev. 50 (1); 1-24. Behle RW, P. Tamez-Guerra, B. S. Shasha, and M. R. Mc. Guire. 1999. Formulating Bioinsecticides to Improve Reciducal Activity. Illios: University Peoriia. Benoit LG, G. R. Wilson dan C. L. Baugh. 1990. Fermentation during growth and sporulation of Bacillus thuringiensis HD-1. Letter in Applied Microbial. 10: 15-16. Bernhard K. dan R. Utz. 1993. Production of Bacillus thuringiensis insecticides for experimental and commercial uses. In: P. F. Entwilse, J. S. Cory, M. J. Bailey dan S. Higgs (eds). Bacillus thuringiensis an Enviromental Biopesticide: Theory and Practice. Chichester: John Wiley and Sons., pp 255-265. Bravo A. 1997. Phylogenetic relationship of Bacillus thuringiensis δ-endotoksin family protein and their funcional domains. Bacterial 179 (9): 2793-2801. Bucher GE. 1981. Identification of Bacteria Found in Insect. In HD. Gurges (ed). Microbial Control of Insect and Mites. London: Academic Press. Departemen Perindustrian RI. 2010. Ekspor-Impor Insektisida. Departemen Perindustrian. Puslitbang Sosek Pertanian. 2009. Industri tahu di Indonesia. http://prepository.litbang.deptan.go.id/perpus/ detail-artikel-data0607.html. [30 Mei 2010]. Dulmage HT, J. A. Correa ang G. G. Morales. 1990. Potential of improved formulation of Bacillus thuringiensis through standardization and cultivation development. In. H. D. Barjac and D. J. Sutherland (eds). Bacterial Control of Mosquitoes and Blackfleis: Biochemistry, Genetics, and application of Bacillus thuringiensis and Bacillus sphaericus. New Jersey: Rutgers University Press, 110-133. Dulmage HT and Rhodes RA. 1971. Production of pathogens in artificial media. In: Burges H. D. (ed). Microbial Control of Pets and Plant Diseases 1970-1980. New York: Acad Press, pp: 507-540. Ellar DJ, J. Knowles BH, Haider MZ, and F. A. Drobniewski. 1986. Investigation of The Spesificity, Cytotoxic Mechanisms and Relatedness of Bacillus thuringiensis Insecticidal delta-endotoksin from Different Pathotypes. Stuttgart: Gastav Fisher Verlag. Fast DG. 1981. The crystal toxin of Bacillus thuringiensis. In: Burgs HD (ed). Microbiologi Control of Pest and Plant Disesases. London: Academis Press, pp: 223-247. Faust RM. and L. A. Bulla. 1982. Bacteria and their toxin as insecticides. In: E. Kurstak (ed). Microbial and Viral Pesticides. New York: Marcel Dekker Inc., pp 75-109.
28
Gill SS, E. A. Knowles, and P. V. Pietrantonio. 1992. The mode of action of Bacillus thuringiensis endotoxin. Annu. Rev. Entomol. 37: 615-636. Glare, Travis R, dan MO’ Callaghan. 2000. Bacillus thuringiensis: Biology, Ecology and Safety. New York: JohnWilley and Sons, Ltd. Hilwan M Rahayuningsih, Syamsu K, Purnawati R. 2006. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi XII Tahun anggaran 2006: Kajian Produksi Bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis var. israelensis untuk Pencegahan Wabah Demam Berdarah. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ignoffo CM dan R. F. Anderson. 1979. Bioinsecticides. In: H. J. Peppler and D. Perlman (eds). Microbial Technology. New York: Acad Press, pp. 1-27. J. A. Correa, Dulmage HT. and G. G. Morales. 1990. Potensial of improved formulation of Bacillus thuringiensis through standardization and cultivation development. In: H. D. Barjac and D. J. Sutherland (eds). Bacterial Control of Mosquitoas And Blackfleis: Biochemistry, Genetic and Application of Bacillus thuringiensis and Bacillus sphaericus. New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press., pp 110-133. James DW. 1993. Urea: a Low Cost Nitrogen for Fertilizer with Special Management Requirements. USA: Utah State University. Ketaren S. 1978. Daya Guna Hasil Kelapa. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta IPB. Lereclus DA, Deleclusa, and M. M. Lecadet. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis toxins and genes. In: P. F. Ent Winsle, J. S. Cory, m. J. Bailey, and S. Higgs (eds). Bacillus thuringiensis an Environmental Biopesticide: Theory and Practice. Chihester: John Wiley and Sons., pp 3760 Luthy P, J. L. Cordier dan H. M. Fischer .1982. Bacillus thuringiensis as a bacterial insecticide: basic consideration and application. In Mikrobial dan Viral Pesticides. New York: Mercel Dekker, Inc., pp 35-72. Machfud, E. Gumbira-Sa'id dan Krisnani. 1989. Fermentor. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Mangunwidjaja D, dan Suryani, Ani. 2002. Rekayasa Proses. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Milne R, AZ. Ge, D. Rivers and D. H. Dean. 1990. Specificity of insecticidal crystal protein: implication for industrial standardization. In: L. A. Hickle dan W. L. Fitch (eds). Analytical Chemistry of Bacillus thuringiensis. Washington D. C: American Chemical Society. Morris ON, V. Converse. 1996. Suitable of 30 agricultural product and by products as nutrient sources for laboratory production of Bt. aizawai (HD 133). Journal of Invertebrate Pathology 70: 113120. Nuraida L. 1985. Pengamatan terhadap Rangkaian Produksi Tahu pada Industri Kecil Tahu di Bondongan Kotamadya Bogor. Didalam: Partoatmodjo dan tim peneliti. 1991. Karakteristik Limbah Cair Tahu dan Pengolahannya dengan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes Solms). Priatno T. 1999. Mempelajari Pemanfaatan Air Kelapa sebagai Media Utama Dalam Produksi Bahan Aktif Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis [skripsi]. Bogor: Fateta IPB. Rachmawati R. 2011. Kajian Rasio C/N Terhadap Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa [skripsi]. Bogor: Fateta IPB.
29
Rahayuningsih M, Dancer BN, Darwis A, dan Syamsyu K. 2000. The effect of media formulation on toxicity yield and differential dipterocidal activity of bioinsecticides from wild types of Bt. Israelensis. Indonesian Journal of Biotechnology. Special Issue: 352-358. Said EG. 1987. Bioindustri. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Salamah U. 2002. Kajian produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis israelensis pada media tapioka [skripsi]. Bogor: Fateta-IPB. Sikdar DP, M. K. Majumdar. 1993. Optimization of process for production of delta endotoksin by Bacillus thuringiensis in 5 litres fermentor. BiochemicalArchieves. 9: 119-123. Sjamsuritra AA, Sastramihardja I dan Sastramihardja US. 1984. Pengaruh Beberapa Faktor Lingkungan dalam Optimasi Produksi Insektisida Bakteri dari bacillus thuringiensis var. aizawai IH-A. Bandung: ITB. Sneat PHA. 1986. Endospore forming gram positive rods and cocci. In: P. H. A. Sneath, N. S. Majr., M. E. Sharpe and J. E. Hold (eds). Bergey’s Manual Of Systematic Bacteriology. Vol 2. Baltimore, USA. Stanbury PF, A. Whitaker. 1984. Principles of Cultivation Technology. London: Pergamon Press. Sukmadi B, Haryanyo B. dan Ratna SH. 1996. Pengaruh Konsentrasi Dekstrosa pada Produksi Bahan Aktif Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Majalah BPPT No. LXXII: 17-23. Swadener C. 1994. Bacillus thuringiensis. Journal of Pesticides Reform vol 14, no. 3: 13-20. Syarfat, S. M. 2010. Produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawa menggunakan limbah industri tahu sebagai substrat [skripsi]. Bogor: Fateta IPB. Trizelia. 2001. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Bogor: Program Pascasarjana IPB. Uhan, TS. 1993. Kehilangan hasil panen karena ulat krop kubis (Croccidolomia pavonana zell) dan cara pengendaliannnya. J Hort 3: 22-26). Vandekar M. and H. T. Dulmage. 1982. Guideline of Production of Bacillus thuringiensis H-14. Special Programe for Research and Training in Tropical Diseases. Geneva, Switzerland. Wang DIC, C. L. Cooney, A. L. Demain, P. Dunnil, A. E. Humprey and M. D. Lilly. 1978. Fermentation and Enzyme Technology. New York: John Wiley and Sons. Wicaksono, Y. 2002. Pemanfaatan onggok tapioka dan urea sebagai media sumber karbon dan nitrogen dalam produksi bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis subsp kurstaki [skripsi]. Bogor: Fateta IPB. Yulianti F. 2001. Pengaruh aerasi dan jenis bioreaktor terhadap produksi bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis [skripsi]. IPB. Bogor.
30
Lampiran 1. Metode Analisa Pada Penelitian A.
Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984)
Cawan almunium kosong dipanaskan dengan oven selama 15 menit, kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan diulang sampai mendapatkan bobot yang tetap. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dalam cawan tersebut dan kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 3-5 jam. Selanjutnya cawan dikeluarkan dari oven dan diinginkan. Analisa kadar air ini dilakukan ulangan dua kali. Persentase kadar air ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
% Kadar Air=
A- B ×100% C
Keterangan: A = bobot cawan berisi sampel sebelum dioven (g) B = bobot cawan berisi sampel setelah dioven (g) C = bobot sampel awal
B.
Penentuan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)
Sampel bahan sebanyak 5 gram ditimbang dalam cawan porselen yang bobotnya konstan dan dibakar sampai tidak berasap di atas bunsen dengan api kecil. Selanjutnya sampel dimasukkan dalam tanur pada suhu 600oC sampai menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Pengabuan diulangi dengan cara dimasukkan ke dalam tanur 600 oC selama 1 jam sampai diperoleh bobot yang tetap. Persentase kadar abu ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
% Kadar Abu=
A- B ×100% C
Keterangan: A = bobot cawan berisi abu sampel (g) B = bobot cawan (g) C = bobot sampel awal C.
Penetapan Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal
Sampel sebanyak 10 gram ditimbang dan ditambahkan dengan 1 gram katalis (CuSO4 + Na2SO4) dan 5 larutan H2SO4 pekat. Kemudian sampel didestruksi dengan labu Kjedhal selama 1 jam atau sampai warna menjadi hijau bening. Setelah dingin, sampel didistilasi dengan NaOH 6 N dan asam borat selama 4 menit, selanjutnya di titrasi dengan menggunakan H 2SO4 0.02 N sampai warna berubah menjadi ungu. Blanko disiapkan seperti pada prosedur penentuan kadar nitrogen dengan metode Kjedhal. Penentuan kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus berikut:
% Total N =
ml titrasi sampel-ml titrasi blanko × NH2 SO4 × 0.014 ×100% bobot sampel (g)
31
D.
Pengukuran Densitas Media
Pengukuran densitas media dilakukan dengan menggunakan piknometer pada suhu 400C. Tabung piknometer kosong dan tutupnya ditimbang sampai memperoleh bobot konstan, kemudian tabung piknometer diisi dengan sampel media dan dipanaskan pada suhu 400C selama 30 menit. Selanjutnya tabung piknometer yang berisi media ditutup dan ditimbang. Pengukuran densitas media ini dibandingkan dengan densitas air yang dilakukan dengan metode yang sama dengan perhitungan densitas media sebagai berikut: g Bobot piknometer berisi media - bobot piknometer kosong Densitas media ( )= ml Bobot piknometer berisi air - bobot piknometer kosong
E.
Pengukuran Viskositas Media
Pengukuran viskositas media dilakukan dengan menggunakan viskometer bola jatuh pada suhu 40 C. Pengukuran viskositas media dilakukan dengan cara memasukkan sampel media yang telah dipanaskan sampai suhu 400C ke dalam viskometer, selanjutnya badan viskometer dibalikkan 180 derajat sehingga bolayang terdapat di dalam viskometer turun. Waktu penurunan bola dalam sekon ini dihitung sebagai nilai viskositas dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 0
Viskositas media (CP)= k ρf -ρ t Keterangan:
F.
k = konstanta viskometer =3.3 ρf=Densitas bola (g/ml) Bola gelas= 2.53 Bola stainless steel= 8.02 Bola tantalum= 16.6 ρ = Densitas media (g/ml) t = waktu bola jatuh (sekon)
Pengukuran pH Cairan Fermentasi
Pengukuran pH cairan fermentasi dilakukan dengan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan menggunakan buffer standar 7. Sampel cairan fermentasi diambil pada waktu yang telah ditentukan dan langsung diukur dengan pH meter tanpa dilakukan pengenceran terlebih dahulu.
G.
Pengukuran Bobot Kering Biomassa denganMetode Oven
Tabung eppendorf dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam sampai berat konstan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sebanyak 1 ml sampel cairan kultur fermentasi dimasukkan dalam tabung eppendorf dan dikeringkan dalam oven pada suhu 800C selama 4-5 jam atau sampai endapan kering. Selanjutnya didinginkan dalam desikator seelama 30 menit dan ditimbang. Bobot kering biomassa dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Bobot kering biomassa
= bobot eppendorf akhir - bobot eppendorf awal
32
H.
Analisis Kadar Gula Total Sisa dengan Metode Fenol
Penentuan kadar gula (gula total) sisa dilakukan seperti pada pembuatan kurva standar glukosa. Larutan glukosa dengan konsentrasi masing-masing 0, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 µg diambil sebanyak 2 ml dan masing-masing dimasukkan dalam tabung rekasi dan ditambahkan 1 ml larutan fenol 5 % dan dikocok, serta 5 ml larutan H2SO4 pekat dengan cepat. Setelah dibiarkan selama 10 menit, kocok larutan dan tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 490 nm. Selanjutnya ditentukan total gula sampel yang dinyatakan sebagai persen glukosa. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standard hanya saja larutan glukosa diganti dengan sampel yang akan dianalisa dan dimasukkan dalam persamaan kurva standar glukosa pada Gambar 7.
Gambar 7. Kurva standar glukosa
I.
Pengukuran Pertumbuhan Sel Menggunakan Metode TPC (Total Plate Count Prosedur penentuan pertumbuhan sel dengan metode TPC adalah sebagai berikut:
1 ml cairan kultur
Pengenceran serial dengan garam fisiologis
Inokulasi sebanyak 0.5 ml pada medium agar
Inkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam
Perhitungan jumlah koloni yang tumbuh
33
J.
Penentukan Jumlah Spora Hidup (Viable Spore Count/ VSC) Prosedur penentuan jumlah spora hidup adalah sebagai berikut: 1 ml cairan kultur
Pengenceran serial dengan garam fisiologis
Pemanasan pada suhu 70oC selama 15 menit
Inokulasi 0.5 ml pada medium agar yang ada dalam cawan petri
Inkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam
Perhitungan jumlah koloni
34
K.
Metode Analisa Uji Toksisitas Bioinsektisida (Bioassay) 1 ml cairan hasil fermentasi dari perlakuan
Pengenceran ke dalam 1 liter air suling yang diberikan pro-stiker (1 ml/L)
Pembuatan sederetan pengenceran menggunakan aquades
Perendaman dalam suspensi spora kristal selama 1 menit
Pemotongan daun kubis atau cesin
Kering anginkan 10 larva ulat kubis (Crocidolomia pavonana)
Penempatan dalam cawan petri
Inkubasi selama 4 hari pada suhu ruang
Perhitungan jumlah larva mati pada hari ke empat
Perhitungan Lc50 dan potensi bioinsektisida (IU/mg)
35
L.
Dokumentasi Penelitian
Inokulum Bt aizawai
Jumlah spora hidup (10-5)
Pengujian bioassay
Fermentor 3 liter
Labu pembibitan I
Labu pembibitan II
Jumlah spora hidup (10-6)
Kontrol ulat
Bobot kering biomassa
Ulat yang mati
Fermentor 40 liter
36
Hasil SEM Bacillus thuringiensis subsp. aizawai
Penampakan sel dan spora Bta di bawah mikroskop pada pembesaran 1000 x (Fermentor 2 liter selama 72 jam)
Penampakan sel dan spora Bta di bawah mikroskop pada pembesaran 1000 x (Fermentor 40 liter selama 72 jam
37
Lampiran 2. Perhitungan Komposisi Medium Fermentasi A. Fermentor Skala 3 liter dengan Volume Kerja 2 Liter Komponen
Limbah Cair Tahu
Air Kelapa
(%)
(%)
Kadar Air
99.44
95.24
Kadar Abu
0.26
0.51
Kadar Nitrogen
0.09
0.01
Kadar Karbon
0.497
1.018
Air Kelapa (20%)
= 360 ml
Limbah Cair Tahu (80%) = 1,440 ml Inokulum 10%
= 180 ml
C/N= 7/1 C C air kelapa+ C limbah cair tahu + C urea
=
7N
= 7(N air kelapa+ N limbah cair tahu + N urea)
(1.0175% ×360) + (0.4965% × 1,440) + (20% urea) = 7 [(0.01% × 360) + (0.09% × 1,440) + (46.667% urea)] 3.663 + 7.1424 + 0.2 urea
= 0.252 + 9.072 + 3.26669 urea
10.8054-9.324
= 3.26669 urea – 0.2 urea
1.4814
=3. 06669 urea
Urea
= 0.4831 gram
Kebutuhan trace element menurut Dulmage dan Rhodes (1971) CaCO3
= 1.0 gram/liter = 1.8 gram/liter
MgSO4. 7H2O
= 0.3 gram/liter = 0.54 gram/liter
MnSO4. 7H2O
= 0.02 gram/liter = 0.036 gram/liter
ZnSO4. 7H2O
= 0.02 gram/liter = 0.036 gram/liter
FeSO4. 7H2O
= 0.02 gram/liter = 0.036 gram/liter
38
B. Fermentor Skala 40 liter dengan Volume Kerja 22 Liter Komponen
Limbah Cair Tahu
Air Kelapa
(%)
(%)
Kadar Air
98.46
Kadar Abu
0.2168 + 0.0028
0.2691 + 0.02560
Kadar Nitrogen
0.0356 + 0.0042
0.0079 + 0.0002
Kadar Karbon
0.1836 + 0.0000
1.2164 + 0.0273
Air Kelapa (20%)
+ 0.0071
95.63
+ 0.02560
= 4,000 ml
Limbah Cair Tahu (80%) = 16,000 ml Inokulum 10%
= 2,000 ml
C/N= 7/1 C C air kelapa+ C limbah cair tahu + C urea
=
7N
= 7(N air kelapa+ N limbah cair tahu+N urea)
(1.2164% × 4,000) + (0.1836% × 16,000) + (20% urea) = 7 [(0.0079% × 4,000) + (0.0356% ×16,000) + (46.667% urea)] 48.656 + 29.376 + 0.2 urea
= 2.212 + 39.872+ 3.26669 urea
78.032 – 42.084
= 3.26669 urea – 0.2 urea
35.948
=3. 06669 urea
Urea
= 11.7221 gram
Kebutuhan trace element menurut Dulmage dan Rhodes (1971) CaCO3
= 1.0 gram/liter = 20 gram/liter
MgSO4. 7H2O
= 0.3 gram/liter = 6 gram/liter
MnSO4. 7H2O
= 0.02 gram/liter = 0.4 gram/liter
ZnSO4. 7H2O
= 0.02 gram/liter = 0.4 gram/liter
FeSO4. 7H2O
= 0.02 gram/liter = 0.4 gram/liter
39
Lampiran 3. Perhitungan Uji Toksisitas Bioinsektisida (Bioassay) Perlakuan
Fermentasi 48 Jam
Fermentasi 60 Jam
Fermentasi 72 Jam
Konsentrasi
Biomassa (mg/L)
Mortalitas ulat (3 Liter) (%)
10-4
3.31
80
10
-5
0.331
80
10
-6
0.0331
60
10-7
0.00331
10
-8
10
-4
10
-5
10-6 10
-7
0.00318
10
-8
10
-4
10-5
Biomassa (mg/L)
Mortalitas ulat (40 Liter) (%)
1.70
90
0.17
80
0.017
70
50
0.0017
20
0.000331
20
0.00017
20
3.18
70
1.80
70
0.318
70
0.0318
50
0.01
Potensi produk (IU/mg) 3 liter
80,000
0.18
70
0.018
70
20
0.0018
40
0.000318
10
0.00018
20
3.15
90
1.30
70
0.315
70
0.13
60
0.013
60
0.09
8,888.889
40,000
-6
0.0315
60
10-7
0.00315
30
0.0013
20
-8
0.000315 -
10
0.00013
10
10 10 Blanko (Aquades) Keterangan:
LC50 (3 Liter) (mg/L)
100
0.02
LC50 (40 Liter) (mg/L)
Potensi produk (IU/mg) 40 liter
LC50 Rata-Rata
Potensi produk (IU/mg) Rata-Rata
0.01
80,000
0.01 + 0.00
80,000
0.01
80,000
0.05 +0.057
16,000
0.04
20,000
0.03 +0.014
26,666.67
0
LC50 standar IU × potensi standar ( ) LC50 contoh uji mg LC50= Konsentrasi produk bioinsektisida yang dapat mematikan 50% serangga target Potensi produk dibandingkan dengan produk komersial bactospeine dengan LC 50 = 0.05 dan potensi produk = 16000 (Syarfat, 2010)
Potensi Contoh Uji (IU/mg) = Keterangan :
40
Contoh Perhitungan Penentuan LC50 Menggunakan Program Probit Quant
LC50 = 0.01; artinya untuk mematikan 50% dari total serangga target dibutuhkan konsentrasi toksin dalam larutan bioinsektisida sebanyak 0.01 mg/L.
41
Lampiran 4. Faktor-Faktor Skala Geometrik untuk Peralatan Fermentasi Tipikal dalam Peningkatan Skala (Wang, 1978) Volume Fermentor
Diameter Tangki
Diameter Impeller
(L)
(Dt)
Di/Dt
Kedalaman
Area Permukaan Tangki (Cm)
(Di)
Cairan
Volume Tangki
(cm)
(cm)
(cm)
51,000
333
137
0.41
622.7
0.014
3,000
152.4
66
0.43
243.8
0.030
550
74.9
30.5
0.41
95.1
0.064
200
59.7
25.4
0.43
72.2
0.08
30
29.8
12.7
0.43
42.9
0.16
10
21.0
12.1
0.58
29.2
0.22
3
14.3
5.24
0.37
19.6
0.33
1
13.0
6.20
0.48
8.45
0.43
Hasil Perhitungan Geometri Fermentor Berdasarkan Kesamaan Goemetri yang Digunakan dalam Penelitian Fermentor
Tank Diameter (Dt)
Impeller Diameter (Di)
Di/Dt
volume (L)
(cm)
(cm)
40
29.7
12
0.404
3
13
4.5
0.35
42
Lampiran 5. Perhitungan Kinetika Fermentasi Kinetika Fermentasi 3 Liter Waktu
P
N
S
Fermentasi
(Log Spora/L)
(Log TPC/L)
(g/L)
0
0.00
8.50
7.54
12
7.56
8.62
7.46
24
7.91
8.76
6.93
36
7.93
9.00
6.86
48
7.94
9.26
6.79
60
8.11
9.54
6.54
72
8.20
9.60
3.79
N-N0
P-P0
S0-S
Ln N
Ln Nt-ln N0
µ
0.00
0.00
2.14
7.56
0.07
2.15
0.01
0.0011
7.91
0.61
2.17
0.02
0.0014
7.93
0.68
2.20
0.03
0.0023
7.94
0.75
2.23
0.03
0.0023
8.11
1.00
2.26
0.03
0.0025
8.20
3.75
2.26
0.01
0.0005
(Jam)
Efisiensi penggunaan substrat pada fermentasi 48 jam =
S0 -S 0.75 = S0 7.54
= 0.0995
= 0.0995 × 100% = 9.95%
0.00 0.12 0.26 0.50 0.75 1.04 1.10
Efisiensi penggunaan substrat pada fermentasi 60 jam =
S0 -S 1 = S0 7.54
= 0.1327 × 100%
Efisiensi penggunaan substrat pada fermentasi 72 jam S0 -S 3.75 = S0 7.54
= 0.1327
=
= 13.27%
= 0.4976 × 100%
= 0.4976 = 49.76%
43
1.40 y = 0.260x + 0.283 P-P0 (Log Spora/L)
N-N0 (Log TPC/L)
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40
0.20 0.00
0
1 Yn/s
2 S0-S (g/L) Linear (Yn/s)
Yn/s = 0.260 Log TPC/gram substrat
3
4
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
y = 0.909x + 5.917
0
1
2
3
4
S0-S (g/L) Yp/s
Linear (Yp/s)
Yp/s= 0.909 Log Spora/gram substrat
44
Kinetika Fermentasi 40 Liter Waktu
P
N
S (g/L)
Fermentasi
(Log Spora /L)
(Log TPC/L)
0
0.00
8.70
7.61
12
8.30
8.90
6.77
24
8.66
9.02
6.20
36
8.47
9.41
5.47
48
8.47
9.51
5.86
60
8.51
9.78
3.54
72
8.90
10.16
0.32
N-N0
P-P0
S0-S
Ln N
Ln Nt-Ln
µ
N0
(Jam)
Efisiensi penggunaan substrat pada fermentasi 48 jam =
S0 -S 1.75 = S0 7.61
= 0.2301
= 0.2301 × 100% = 23.01%
0.00
0.00
0.20
8.30
0.32
8.66
0.71
8.47
0.81
8.47
1.08
8.51
1.46
8.90
Efisiensi penggunaan substrat pada fermentasi 60 jam =
S0 -S 4.07 = S0 7.61
= 0.5352 × 100%
0.0
2.16
0.84
2.19
0.02
0.0019
1.41
2.20
0.01
0.0011
2.14
2.24
0.04
0.0035
1.75
2.25
0.01
0.0008
4.07
2.28
0.03
0.0024
7.29
2.32
0.04
0.0032
Efisiensi penggunaan substrat pada fermentasi 72 jam
= 0.5352
=
S0 -S 7.29 = S0 7.61
= 0.9578
= 53.52%
= 0.9578 × 100%
= 95.78%
45
1.80
12
y = 0.196x + 0.161
y = 0.645x + 5.717
10
1.40 1.20
P-P0 (Spora/L)
N-N0 (Log TPC/L)
1.60
1.00 0.80 0.60 0.40
8 6 4 2
0.20
0
0.00 0
1 Yn/s
2
3 4 S0-S (g/L) Linear (Yn/s)
5
Yn/s = 0.196 Log TPC/gram substrat
6
7
8
0
1 Yp/s
2
3
Linear (Yp/s)
4
5
6
7
8
S0-S (g/L)
Yp/s= 0.645 Log Spora/gram substrat
46
Lampiran 6. Perhitungan Peningkatan Skala Fermentor Spesifikasi Fermentor 3 liter Parameter
Satuan
Tipe impeller
Turbin pipih (Flate Blade Turbin 6 blade)
Jumlah impeller (Ni)
2 buah
Jumlah buffle (Nb)
3 buah
Tinggi fermentor
0.27 m
Diameter impeller (Di)
0.045 m
Diameter tangki (Dt)
0.13 m
Volume kerja (V)
2 liter = 2 × 10-3 m3
Tinggi media (Hl)
0.171 m
Densitas media (ρ)
1.0181 g/ml = 1.0181 g/cm3=1.0181 × 103 kg/m3
Viskositas media (µ)
87.3417 CP = 87.3417 × 10-2 g/cm s =87.3417 × 10-3 kg/ms
Kecepatan putar impeller (N)
200 rpm = 3.333 rps
Bilangan Reynold = =
N × Di2 × ρ μ 3.333 rps × (4.5 cm)2 × (1.0181 g/cm3 ) 87.3417 ×10-2 g/cm s
= 78.6736 Hasil perhitungan: Dt/Di = 0.13 /0.045 = 2.8889 Hl/ Di = 0.171/ 0.045 = 3.8 Hasil tabel Power Consumtion of Agitation (untuk fermentor flate blade turbin 6 blade dengan 3 buffle dan 2 impeller): Dt/Di Hl/Di
=3 = 2.7-3.9 = 3.9
Faktor koreksi =
=
Dt Hl × Di Di Dt Hl tabel × tabel Di Di 2.8889 × 3.8 3 × 3.9
= 0.9687
47
Grafik Hubungan Bilangan Reynold dengan Bilangan Tenaga (Power Number) (Wang, 1978)
Dari kurva hubungan antara Power Number (Np) dan NRe pada impeller with six blade paddle and 3 buffle diperoleh nilai Np= 4 Menentukan Tenaga Eksternal dari Agitator Tenaga (P)= =
ρ × (N)3 × Di 5 × (Np ) gc 1.0181 × 103 × (3.333)3 × (0.045)5 × 4 9.8
= 2.8392 ×10-3 kg m/s = 2.8392 × 10-3 kg m/s ×
HP 76.028 kg m/s
= 3.7344 × 10-5 HP Tenaga Terkoreksi dengan Standar Impeller P koreksi = P × fc = 0.9687 × 3.7344 × 10-5 HP = 3.6175 × 10-5 HP Sehingga tenaga untuk 2 buah impeller
= 2 × 3.6175× 10-5 = 7.2350 × 10-5 HP
Bilangan Aerasi (Na)
Na= Na=
Kecepatan aliran udara pada tangki fermetor Kecepatan ujung impeller F N × (Di)3
48
=
2 × 10-3 200 × (0.045)3
= 10.9739 × 10-2 Grafik Hubungan antara Perbandingan Tenaga Berpengaduk pada Sistem Beraerasi dan Tanpa Aerasi (Pg/P) dengan Bilangan Aerasi pada Berbagai Tipe Impeller (Aiba et al. 1973)
Keterangan: A: turbin pipih B: baling-baling C: baling-baling D: baling-baling E: baling-baling F: dayung Dari grafik diatas diperoleh nilai Pg/P Tenaga untuk sistem beraerasi Pg Pg = ×P P
= 0.52
= 0.52 ×7.2350 × 10-5 HP = 3.7622 × 10-5 HP Tenaga perunit Volume (Pg/V) Pg 3.7622 × 10-5 = V 2 × 10-3 = 0.0188 HP/m3 = 0.02 HP/m3
49
Spesifikasi Fermentor 40 Liter (Skala Pilot) Parameter
Satuan
Tipe impeller
Turbin pipih (Flate Blade Turbin)
Jumlah impeller (Ni)
2 buah
Jumlah buffle (Nb)
4 buah
Tinggi fermentor
0.60 m
Diameter impeller (Di)
0.12 m
Diameter tangki (Dt)
0.297 m
Volume kerja (V)
22 liter = 22x 10-3 m3
Densitas media (ρ)
1.0181 g/ml = 1.0181 g/cm3 =1.0181 × 103 kg/m3
Viskositas media (µ)
87.3417 CP = 87.3417 × 10-2 g/cm s = 87.3417 × 10-3 kg/ms
Hasil perhitungan: Dt/Di = 0.297 /0.12 = 2.475 Hl/ Di = 0.2888/ 0.12 = 2.4067 Hasil tabel Power Consumtion of Agitation (untuk fermentor flate blade turbin 8 blade dengan 4 buffle dan 2 impeller): Dt/Di = 3 Hl/Di = 2.7-3.9 = 3.9
Faktor koreksi =
=
Dt Hl × Di Di Dt Hl tabel × tabel Di Di 2.475 × 2.4067 3 × 3.9
= 0.7135 Menentukan Kecepatan Agitasi (Metode Wang 1978). Menurut Wang et al. (1978), apabila tenaga per volume pada berbagai skala dipertahankan tetap, maka terdapat hubungan antara kecepatan impeler (N) dengan diameter impeller (D) menurut persamaan berikut: N23D22 = N13D12. 3 2 (N2) × (0.12) = (200)3 × (0.045)2 (N2)3 × 0.0144 = 8,000,000 × 2.025 × 10-3 N23 =16, 200 0.0144 N2 = 104 rpm = 1.7334 rps Dari grafik hubungan antara perbandingan tenaga pengadukan pada sistem beraerasi dan tanpa aerasi (Pg/P) dengan bilangan aerasi (Na) pada berbagai tipe impeller (Aiba et al1973), Na= 10.9739 x 10-2.
50
Menentukan laju Aerasi F = Na × N × (Di)3 = 10.9739 × 10-2 × 104 × (0.12)3 = 1.9721 × 10-2 Laju Aerasi = F Volume kerja = 1.9721 × 10-2 0.022 = 0.8964 vvm = 0.90 vvm
PERHITUNGAN RANCANG FERMENTOR 10000 LITER
BANGUN
Volume kerja fermentor
= 70% × 10000 = 7000 Liter = 7 m3
70%
Diameter tangki (Dt2) Fermentor skala 40 liter: Dt1 = 0.297 m Hl1 = 0.2888 m Hl1 = (0.2888/0.297) Dt1 Nisbah dipertahankan sama, maka: Hl2
ALAT
DAN
PROSES
PRODUKSI
PADA
= (0.2888/0.297) Dt2
Fermentor skala 10000 liter: V = ( π/4) × (Dt2)2 × Hl2 7 = ( π/4) × (Dt2)2 × (0.2888/0.297) Dt2 7 = ( π/4) × (Dt2)3 (0.2888/0.297) 7 = 0.7633 × (Dt2)3 Dt23 = 7/0.7633 3 Dt2 = 9.1704 Dt2 = 2.0931 m Tinggi Media Hl2 = (0.2888/0.297) Dt2 Hl2 = (0.2888/0.297) × 2.0931 Hl2 = 2.0353 m Diameter Impeller Dt1 = 0.297 m Di1 = 0.12 m Di1 = (0.12/0.297) Dt1 Nisbah dipertahankan sama, maka: Di2 = (0.12/0.297) Dt2
51
Di2 Di2
= (0.12/0.297) × 2.0931 = 0.8457 m
Tinggi Tangki (Ht) V = π × r2 × Ht2 Ht2 = V π × r2 Ht2 = 10 π × (0.5× 2.0931)2 Ht2 = 2.9077 m Penggandaan skala basis Pg/V Hasil perhitungan: Dt/Di = 2.0931 /0.8457 = 2.4750 Hl/ Di = 2.0353/ 0.8457 = 2.4066 Tabel: Dt/Di = 3 Hl/Di = 2.7-3.9 = 3.9 Faktor koreksi =
=
Dt Hl × Di Di Dt Hl tabel × tabel Di Di 2.475 × 2.4066 3 × 3.9
= 0.7135 Menentukan Kecepatan Agitasi (Metode Wang 1978). Menurut Wang et al. (1978), apabila tenaga per volume pada berbagai skala dipertahankan tetap, maka terdapat hubungan antara kecepatan impeler (N) dengan diameter impeller (D) menurut persamaan berikut: N23D22 = N13D12 (N2)3 × (0.8457)2 = (104)3 × (0.12)2 (N2)3 × 0.7152 = 1,124,864 × 0.0144 N23 =16,198.0416 0.7152 N2 = 28.2930 rpm = 0.4716 rps Menentukan Tenaga Eksternal dari Agitator Tenaga (P)=
ρ × (N)3 × Di 5 × (Np ) gc
1.0181 × 103 × (0.4716)3 × (0.8457)5 × 4 9.8 = 18.8550 kg m/s =
52
= 18.8550 kg m/s ×
HP 76.028 kg m/s
= 0.2480 HP Tenaga Terkoreksi dengan Standar Impeller P koreksi = P × fc = 0.2480 HP × 0.7135 = 0.1770 HP Sehingga tenaga untuk 2 buah impeller = 2 × 0.1770 HP = 0.3540 HP Bilangan Aerasi (Na)
Na= Na = =
Kecepatan aliran udara pada tangki fermetor Kecepatan ujung impeller F N × (Di)3 1.9721 104 ×(0.12)3
= 10.9739 × 10-2 Dari grafik diperoleh nilai Pg/P
= 0.52 (Aiba et al, 1973)
Menentukan laju Aerasi F = Na × N × (Di)3 = 10.9739 × 10-2 × 28.2930 × (0.8457)3 = 1.8780 m3/menit F Laju Aerasi = Volume kerja 1.8780 = 7 = 0.268 vvm Tenaga untuk sistem beraerasi Pg Pg = ×P P = 0.52 × 0.3450 HP = 0.1794 HP
Tenaga perunit Volume (Pg/V) Pg 0.1794 = V 7m3 = 0.0256 HP/m3
53
54