Kajian patogenisitas cendawan Metarhizium anisopliae terhadap hama Oryctes rhinoceros L. tanaman kelapa pada berbagai waktu aplikasi TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Magister
Oleh :
MULYONO S610906007
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2007
KAJIAN PATOGENISITAS CENDAWAN Metarhizium anisopliae TERHADAP HAMA Oryctes rhinoceros L. TANAMAN KELAPA PADA BERBAGAI TEKNIK APLIKASI
Disusun Oleh: MULYONO S610906007
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing:
Dosen Pembimbing: Jabatan
Nama
Tanda tangan
Tanggal
Pembimbing I
Prof. Dr. Ir. Sholahuddin, MS NIP. 130 814 806
……………….
……………
Pembimbing II
Dr. Ir. Subagiya, MP NIP. 131 791 747
……………….
……………
Mengetahui: Ketua Program Studi Agronomi
Prof. Dr. Ir. Edi Purwanto, M.Sc. NIP. 131 470 935
KAJIAN PATOGENISITAS CENDAWAN Metarhizium anisopliae TERHADAP HAMA Oryctes rhinoceros L. TANAMAN KELAPA PADA BERBAGAI TEKNIK APLIKASI Disusun Oleh: MULYONO S610906007 Telah disetujui oleh Tim Penguji: Jabatan
Nama
Tanda tangan
Tanggal
Ketua
Prof. Dr. Ir. Edi Purwanto, M.Sc
……………….
………….
Sekretaris
Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS
……………….
…………
Anggota
Prof. Dr. Ir. Sholahuddin, MS
……………….
…………
Anggota
Dr. Ir. Subagiya, MP
……………….
…………
Mengetahui: Direktur Program Pascasarjana
Ketua Program Studi Agronomi
Prof. Drs. Suranto, MSc.,Ph.D NIP. 131 472 192
Prof. Dr. Ir. Edi Purwanto, M.Sc NIP. 131 470 935
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Menyatakan
Nama
: Mulyono
NIM
: S610906007
dengan
sesungguhnya
bahwa
tesis
yang
berjudul:
KAJIAN
PATOGENISITAS CENDAWAN Metarhizium anisopliae TERHADAP HAMA Oryctes rhinoceros L. TANAMAN KELAPA PADA BERBAGAI TEKNIK APLIKASI adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Surakarta,
Pebruari 2008
Yang membuat pernyataan,
MULYONO NIM. S610906007
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO “Sekalipun engkau tahu bahwa besok akan kiamat, budidayakanlah sebutir benih yang ada dalam jangkauanmu” (Hadits). “Sampaikanlah sesuatu itu kemampuannya” (Hadits).
kepada
orang-orang
sesuai
dengan
PERSEMBAHAN Tesis ini kupersembahkan kepada: Kedua orang tuaku Istri dan anakku
ABSTRAK
Mulyono, 2008. KAJIAN PATOGENISITAS CENDAWAN Metarhizium anisopliae TERHADAP HAMA Oryctes rhinoceros L. TANAMAN KELAPA PADA BERBAGAI TEKNIK APLIKASI Tesis Program Pascasarjana Program Studi Agronomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap hama O. rhinoceros pada berbagai teknik aplikasi. Penelitian dilaksanakan di Green House Balai Perlindungan Tanaman Perkebunan (BPT-Bun) Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Desa Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga – Jawa Tengah selama 4 (empat) bulan yaitu bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2007. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 3 (tiga) faktor: Faktor pertama, asal M. anisopliae, terdiri atas dua level/jenis;1) M. anisopliae hasil eksplorasi (baru), 2) M. anisopliae dari BPT-Bun yang telah tersimpan dalam kulkas selama dua bulan. Faktor kedua, jenis media sarang, terdiri atas dua level/jenis; 1) Media sarang pupuk kandang, 2) Media sarang serbuk gergaji. Faktor ketiga, waktu pemberian larva O. rhinoceros, terdiri atas empat level; 1) Waktu pemberian 0 (nol) bulan: pemberian larva O. rhinoceros saat aplikasi M. anisopliae, 2) Waktu pemberian satu bulan: pemberian larva O. rhinoceros setelah satu bulan aplikasi M. anisopliae, 3) Waktu pemberian dua bulan: pemberian larva O. rhinoceros setelah dua bulan aplikasi M. anisopliae, 3) Waktu pemberia tiga bulan: pemberian larva O. rhinoceros setelah tiga bulan aplikasi M. anisopliae. Masing-masing teridiri atas 3 (tiga) ulangan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA), jika terdapat perbedaan diantara perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5 %. Hasil penelitian menunjukkan Patogenisitas cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi (baru) terhadap larva O. rhinoceros sebesar 81,61 % lebih tinggi dibanding cendawan M. anisopliae yang telah tersimpan selama dua bulan dalam kulkas sebesar 72,51 %. Patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap larva O. rhinoceros pada media sarang serbuk gergaji sebesar 86, 24 % lebih tinggi dibanding media sarang pupuk kandang sebesar 68, 27 %. Terjadi peneurunan patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap larva O. rhinoceros pada aplikasi tiga bulan.
ABSTRACT
Mulyono, 2008. STUDY of PATOGENECITY of Metarhizium anisopliae FUNGUS TO Oryctes rhinoceros L. PEST ON CROP of COCONUT ON VARIOUS APPLICATION TECHNIQUES. Thesis of Master Program in Agronomy Departement, Sebelas Maret University of Surakarta. The aims of this research are to study the patogenecity of M. anisopliae fungus to O. rhinoceros pest on various application techniques. The research conducted at Green House of Estate Crop Protection Board Central Java Province in Mangunsari Village, Sidomukti, Salatiga for four (4) months from August to December 2007. The research used Completely Random Design (CRD) Factorial three (3) factors. First factor: M. anisopliae fungus comes from, that consisted of two (2) levels, which is 1) M. anisopliae fungus come from exploration (new), 2) M. anisopliae from fungus from inoculation in Estate Crop Protection Board which storage in refrigerator during two months. Second factor: Type of nest media consisted of two (2) levels that is 1) Nest media from stable manure, 2) Nest media from wood dust. Third factor: Giving time of O. rhinoceros larva consisted of four (4) levels that is 1) Giving time zero (0) month: giving larva of O. rhinoceros at that moment of application M. anisopliae, 2) Giving time one (1) month: giving larva of O. rhinoceros after one (1) month aplication M. anisopliae, 3) Giving time two (2) months, giving larva of O. rhinoceros after two (2) months of application M. anisopliae, 4) Giving time three (3) monts: giving larva of O. rhinoceros after three (3) month: giving larva of O. rhinoceros after three (3) months application of M. anisopliae. Each consisted of three (3) replications. Data observation was analyzed by using Analysis of Variance (ANOVA), if there are differences among treatment continued with Test of Duncan Multiple Range Test (DMRT) at 5 % level. Result of research showed that patogenecity of M. anisopliae fungus from exploratin (new) to larva of O. rhinoceros was equal to 81,61 % more higher compared to M. anisopliae fungus which have storage during two (2) months in the refrigerator was equal to 72,51 %. The patogenecity of M. anisopliae fungus to larva of O. rhinoceros at wood dust nest media was equal to 86,24 % more higher compared to stable manure nest media was equal to 68,27 %. Three was degradation patogenecity of M. anisopliae fungus to larva of O. rhinoceros at three (3) months application.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
dan
penulisan
tesis
yang
berjudul:
KAJIAN
PATOGENISITAS
CENDAWAN Metarhizium anisopliae TERHADAP HAMA Oryctes rhinoceros L. TANAMAN KELAPA PADA BERBAGAI TEKNIK APLIKASI di Balai Perlindungan Tanaman Perkebunan (BPT-Bun) Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Desa Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga – Jawa Tengah. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus, kepada Yth.: 1. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Purwanto, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sholahuddin, M.S., selaku Pembimbing Pertama dalam penelitian ini. 4. Bapak Dr. Ir. Subagiya, M.P., selaku Pembimbing Kedua dalam penelitian ini. 5. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.
6. Kepala Balai Perlindungan Tanaman Perkebunan (BPT-Bun) Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah. 7. Semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. Demikian tesis ini semoga bermanfaat bagi semua pihak.
Surakarta,
Pebruari 2008
Penulis,
DAFTAR ISI
halaman
I
II
HALAMAN JUDUL …………………………………..................
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING …………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS …………………………….
iii
PERNYATAAN ………………………………….........................
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN …………………………….....
v
ABSTRAK ………………………………….................................
vi
ABSTRACT …………………………………...............................
vii
KATA PENGANTAR ………………………………………........
viii
DAFTAR ISI …………………………………………………......
x
DAFTAR TABEL ………………………………………………...
xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….
xiv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………..
xv
PENDAHULUAN ………………………………………………..
1
A. Latar Belakang .………………………………………………..
1
B. Rumusan Masalah …………………………………………......
5
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………...
5
D. Manfaat Penelitian ……………………………………….........
6
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS ……………………………..
7
A. Tinjauan Pustaka ……………………………………………...
7
III
IV
1. Hama Oryctes rhinoceros …………………………………..
7
2. Cendawan Metarhizium anisopliae …………………………
10
3. Sarang O. rhinoceros ............................................................
17
B. Kerangka Berpikir ……………………………………….........
17
C. Hipotesis ………………………………………………………
18
METODE PENELITIAN ………………………………………...
19
A. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………...
19
B. Bahan dan Alat Penelitian ……………………………….........
19
C. Persiapan Penelitian ………………………………...................
21
D. Cara Penelitian ………………………………………………..
24
E. Analisis Data
………………………………………………….
33
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………….
35
A. Hasil Penelitian ……………………………….........................
35
1. Persentase Kematian Larva Oryctes rhinoceros ……………
35
2. Persentase Larva Menjadi Pupa …………………………….
40
3. Kelembaban Media Sarang …………………………………
45
4. Suhu Media Sarang
……………………………………….
46
5. Kerapatan Spora …………………………………………….
47
6. Viabilitas (Daya Kecambah) ………………………………..
48
7. pH Media Sarang
48
………………………………………...
V
B. Pembahasan ………………………………...............................
49
1. Persentase Kematian Larva Oryctes rhinoceros ……………
49
2. Persentase Larva Menjadi Pupa …………………………….
53
3. Kelembaban Media Sarang …………………………………
54
4. Suhu Media Sarang
……………………………………….
54
5. Kerapatan Spora …………………………………………….
54
6. Viabilitas (Daya Kecambah) ………………………………..
55
7. pH Media Sarang
………………………………………….
55
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………......
56
A. Kesimpulan ……………………………………………………
56
B. Saran …………………………………………………………..
56
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………
57
LAMPIRAN ……………………………………………………...
61
DAFTAR TABEL
halaman Tabel 1.
Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai
36
Minggu Pengamatan ………………………................................ Tabel 2.
Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai
36
Minggu Pengamatan ………………………................................ Tabel 3.
Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai
37
Minggu Pengamatan ………………………................................ Tabel 4.
Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai
38
Minggu Pengamatan ………………………................................ Tabel 5.
Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai
39
Kombinasi Perlakuan ………………………………………….. Tabel 6.
Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai
39
Perlakuan ………………………………………………………. Tabel 7.
Persentase Larva Menjadi Pupu pada Berbagai Minggu
41
Pengamatan ……………………………………………………. Tabel 8.
Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Minggu
41
Pengamatan ……………………………………………………. Tabel 9.
Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Minggu
42
Pengamatan ……………………………………………………. Tabel 10. Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Minggu
43
Pengamatan ……………………………………………………. Tabel 11. Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Perlakuan …….
44
Tabel 12. Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Kombinasi
44
Perlakuan ………………………………………………………. Tabel 13. Kelembapan media sarang pada berbagai kombinasi perlakuan ...
46
Tabel 13. Suhu media sarang pada berbagai kombinasi perlakuan ...............
47
DAFTAR GAMBAR
halaman Gambar 1.
Persentase kematian larva O. rhinoceros pada berbagai minggu
35
pengamatan …………………………………………………….. Gambar 2.
Persentase kematian larva O. rhinoceros pada berbagai minggu
36
pengamatan …………………………………………………….. Gambar 3.
Persentase kematian larva O. rhinoceros pada berbagai minggu
37
pengamatan …………………………………………………….. Gambar 4.
Persentase kematian larva O. rhinoceros pada berbagai minggu
38
pengamatan …………………………………………………….. Gambar 5.
Hubungan kematian larva dan waktu aplikasi endawan M.
40
anisopliae ……………………………………………………… Gambar 6.
Persentase
larva
menjadi
pupa
pada
berbagai
minggu
40
pengamatan …………………………………………………….. Gambar 7.
Persentase
larva
menjadi
pupa
pada
berbagai
minggu
41
pengamatan …………………………………………………….. Gambar 8.
Persentase
larva
menjadi
pupa
pada
berbagai
minggu
42
pengamatan …………………………………………………….. Gambar 9.
Persentase
larva
menjadi
pupa
pada
berbagai
minggu
43
pengamatan …………………………………………………….. Gambar 10. Larva menjadi pupa pada berbagai waktu aplikasi ……………..
45
Gambar 11. Kelembapan media sarang pada berbagai kombinasi perlakuan ...
45
Gambar 12. Suhu media sarang pada berbagai kombinasi perlakuan ...............
46
Gambar 13. Penghitungan kerapatan spora cendawan M. anisopliae ……….
47
Gambar 14. Penghitungan viabilitas spora cendawan M. anisopliae …..........
48
DAFTAR LAMPIRAN
halaman Lampiran 1.
Siklus hidup O. rhinoceros …………………………………...
61
Lampiran 2.
Eksplorasi cendawan M. anisopliae …………………………..
62
Lampiran 3.
Hasil pemurnian cendawan M. anisopliae ……………………
63
Lampiran 4.
Perbanyakan cendawan M. anisopliae pada media jagung ….
64
Lampiran 5.
Hasil inokulasi biakan cendawan M. anisopliae
65
pada media
jagung ………………………………………………………… Lampiran 6.
Tempat penelitian ……………………………………………..
66
Lampiran 7.
Persiapan media sarang penelitian ……………………………
67
Lampiran 8.
Sterilisasi media sarang ……………………………………….
68
Lampiran 9.
Lay-aut penelitian dan serangga uji (larva O. rhinoceros) …...
69
Lampiran 10. Aplikasi O. rhinoceros pada media sarang …………………...
70
Lampiran 11. Kegiatan pengamatan dalam penelitian ………………………
71
Lampiran 12. Kunjungan dosen di tempat penelitian ………………………..
72
Lampiran 13. Larva O. rhinoceros terserang cendawan M. anisopliae ……...
73
Lampiran 14. Kondisi tanaman kelapa ………………………………………
74
Lampiran 15. Hasil Analysys of Variance (ANOVA) Kematian Larva O.
75
rhinoceros ……………………………………………………. Lampiran 16. Hasil Analysis of Variance (ANOVA) Larva O. rhinoceros Menjadi Pupa …………………………………………………
76
Lampiran 17. Hasil Analysis of Variance (ANOVA) Kelembaban Media
77
Sarang ………………………………………………………….. Lampiran 18. Hasil Analysis of Variance (ANOVA) Suhu Media Sarang …...
78
Lampiran 19. Hasil Analysis of Variance (ANOVA) pH Media Sarang …….
79
Lampiran 20. Hasil Analysis of Variance (ANOVA) Kerapatan Spora ………
80
Lampiran 21. Hasil Analysis of Variance (ANOVA) Viavilitas (Daya
81
Kecambah) ……………………………………………………
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tanaman kelapa (Cocos nucifera) mempunyai arti ekonomi penting bagi kehidupan manusia. Hal ini dapat dilihat, bahwa semua bagian tanaman kelapa bisa dimanfaatkan. Di samping itu, kelapa sebagai bahan dasar kopra, merupakan salah satu bahan industri dan perdagangan yang memberikan penghasilan cukup besar bagi masyarakat dan pemerintah. Pemerintah telah menaruh perhatian besar pada pertanaman kelapa, perhatian ini meliputi peremajaan dan perluasan areal tanaman kelapa. Sampai tahun 2005 luas areal tanaman kelapa di Indonesia mencapai 3.890.000 hektar lebih. Laju peningkatan produksi kelapa Indonesia (3,9 %) tidak dapat mengimbangi laju peningkatan konsumsi (5,9 %) sebagai akibat bertambahnya penduduk. Sasaran nasional 2005 – 2010 pertumbuhan perkebunan diharapkan antara 6,01 – 6,49 % (Anonim, 2005). Di Jawa Tengah
luas tanaman kelapa
mencapai 269.064,26 ha (Anonim, 2005). Dalam usaha budi daya tanaman kelapa dijumpai berbagai hambatan, antara lain hama dan penyakit. Salah satu jenis hama tanaman kelapa adalah kumbang nyiur/ wangwung (Oryctes rhinoceros) yang termasuk kumbang kelapa (Coleoptera), keluarga Scarabaeidae dan sub keluarga Dinastinae (Kalshoven, 1981). Serangan hama wangwung di Jawa Tengah pada tahun 2005 mencapai 13.453,2 ha dengan kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp
10.536.311.198,- (Anonim, 2005). Pada tahun 1980 serangan wangwung dilaporkan sekitar 153.269 ha di 15 provinsi dengan kerugian sekitar Rp 5,5 milyar (Wagiman, 2006). Di Indonesia hama ini merupakan hama utama tanaman kelapa, di Jawa utamanya menyerang tanaman kelapa, sedang di luar Jawa selain menyerang tanaman kelapa hama ini menyerang kelapa sawit (Wagiman, 2006). Hosang et al., 1989, mengatakan di Indonesia akibat hama ini diduga kehilangan hasil pertahun berkisar 10 – 20 milyar rupiah. Luasnya sebaran hama O. rhinoceros menurut Cumber (1957) dan Tjoa (1953) karena banyaknya jenis tumpukan bahan organik yang bisa dijadikan tempat berkembangbiak dan sumber bahan makanan, sehingga hama ini sangat merugikan. Dasar kebijakan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman menyatakan bahwa, Sistem PHT adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam sistem ini pestisida merupakan alternatif terakhir (Untung, 1993). Pengertian hama dalam Undang-Undang tersebut tidak dalam arti sempit, PHT diartikan sebagai pengelolaan OPT secara terpadu, baik hama, penyakit, maupun gulma, dan pengendalian hayati menjadi komponen utamanya (Pardede et al., 1997). Konsep PHT merupakan suatu cara pendekatan pengendalian hama yang secara
prinsip berbeda dengan konsep pengendalian hama konvensional yang sangat bergantung pada penggunaan pestisida. Konsep ini timbul dan berkembang di seluruh dunia karena kesadaran manusia terhadap penggunaan pestisida bagi lingkungan hidup. Konsep PHT ingin memanfaatkan dan meningkatkan proses dan mekanisme pengendalian alami (natural control) yang selalu bekerja di ekosistem pertanian. Sebagai hasil interaksi antar komponen yang rumit dan dinamis, maka dihasilkan keadaan seimbang pada populasi antara hama dan pengendali hayati berupa parasitoid, predator, dan patogen (Untung, 1996) Hama O. rhinoceros ini sulit dikendalikan dengan cara fisik, mekanis, maupun kimiawi mengingat cara dan keadaan lingkungan hidupnya yang kurang menguntungkan dikendalikan dengan cara tersebut. Lebih-lebih yang terjadi pada pohon tua (produksi) dengan ketinggian yang cukup. Berkat penelitian yang terusmenerus dilakukan oleh para peneliti, maka telah ditemukan cara pengendalian hama tersebut dengan mikro organisme yang berupa cendawan Metarhizium anisopliae yang merupakan salah satu agens pengendali hayati. Metode dengan menggunakan musuh alami tesebut menunjukan harapan besar untuk berhasil. Dalam praktek metode ini telah dilakukan secara luas di kepulauan samoa, Fiji, Tonga, dan Malaysia Barat (Anonim, 1986). Balai Pengembangan dan Penelitian Tanaman Industri Bogor telah melakukan penelitian penggunaan cendawan M. anisopliae untuk pengendalian hama ini. Usaha pengendalian hama O. rhinoceros secara hayati mengunakan cendawan M. anisopliae memberikan hasil yang cukup efektif.
Cendawan M. anisopliae mengendalikan larva/ uret O. rhinoceros dengan tingkat mortalitas 80 – 90 % (Wikardi, 1983). Pengendalian penggunaan cendawan M. anisopliae sasarannya adalah sarang aktif. Perlindungan
tanaman
dilaksanakan
dengan
menerapkan
sistem
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan menekankan pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) secara hayati (biological control) menggunakan agens hayati (Herdrajat, 2006). Dalam pengendalian hama O. rhinoceros secara terpadu dengan menggunakan agens hayati yaitu dengan cendawan M. anisopliae. Manfaat cendawan M. anisopliae dalam mengendalikan larva O. rhinoceros sudah terbukti baik, namun setiap kali dilakukan di lapang dalam jumlah luas, hasilnya kurang memuaskan. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari asal inokulum dan cara penggunaannya di lapang (Sitepu, 1988). Pengendalian O. rhinoceros sasarannya adalah tempat perkembangbiakan hama tersebut berupa bahan organik, seperti: kotoran ternak, limbah penggergajian, sekam padi, sampah yang telah melapuk, tunggul kelapa, dan bahan organik yang lainnya. Namun, untuk mencari sarang aktif (bahan organik/sarang yang ditemukan individu stadia hama O. rhinoceros) tidak selalu mudah ditemukan, maka dalam penelitian ini perlu dibuat sarang buatan (trapping), sehingga perlu dikaji patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap hama O. rhinoceros pada berbagai teknik aplikasi.
B. Rumusan Masalah Cendawan M. anisopliae sebagai agens pengendali hayati (APH) hama O. rhinoceros bersifat parasitik pada serangga dan saprofit pada tanah (Barnet, H.L dan B.N. Hunter, 1960). Keberadaan hama O. rhinoceros pada stadia larva/lundi/uret hidup pada bahan organik yang menjadi tempat perkembangbiakan. Namum, tidak selalu mudah ditemukan, sehingga aplikasi cendawan M. anisopliae disarankan pada sarang aktif (bahan organik/sarang yang ditemukan individu stadia hama O. rhinoceros). Untuk mengantisipasi kegagalan dalam aplikasi dan mengefektifkan aplikasi cendawan M. anisopliae di lapang, maka perlu dilakukan kajian patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap hama O. rhinoceros pada berbagai teknik apalikasi.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap hama O. rhinoceros pada berbagai teknik aplikasi.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dalam bidang ini dan untuk memberi pedoman teknik pengendalian hama O. rhinoceros dengan cendawan M. anisopliae agar diperoleh hasil yang maksimal sehingga kerugian hasil dapat ditekan seminimal mungkin.
II.
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka 1. Hama Oryctes rhinoceros Hama
kumbang
kelapa
O.
rhinoceros
termasuk
dalam
famili
Scarabaeidae dan ordo Coleoptera. Selain terdapat di Indonesia, juga tersebar luas di Kepulauan Samoa, Fiji, Tonga dan Malaysia. Stadium yang aktif menyerang adalah imago (kumbang dewasa), sedangkan telur dan lundinya (larva) berada pada sisa-sisa bahan organik di sekitar pohon-pohon kelapa (Anonim, 1983). Hama kumbang kelapa ini bentuknya seperti badak mempunyai cula tunggal, maka sering disebut pula sebagai kumbang badak. Kumbang betina umumnya mempunyai cula pendek, sedang kumbang jantan mempunyai cula lebih panjang, karakteristik yang paling menonjol kumbang betina pada ujung abdomen berbulu lebat, sedang kumbang jantan tidak (Purba, 2006). Siklus hidup O. rhinoceros melewati empat stadia, yaitu stadia telur, larva, pupa (kepompong), dan imago (dewasa/kumbang) yang lamanya mencapai 293 hari (Kartasapoetra, 1987). Kumbang betina yang telah kawin bertelur pada bahan organik yang telah lapuk, dengan kemampuan bertelur 35 – 70 butir (Tjoa, 1953). Telur berbentuk lonjong, berwarna putih, panjang 3 – 3,5 mm, terbungkus media tempat telur diletakkan, masa telur berlangsung 9 - 12 hari. Larva yang
baru keluar dari telur berwarna putih dengan panjang 7 – 8 mm, pada perkembangan selanjutnya panjang 60 – 105 mm, lebar 25 mm, masa larva berlangsung 3 – 4 bulan dipengaruhi lingkungannya, yaitu pakan dan iklim mikro. Pakan larva berupa kotoran atau bahan organik yang telah lapuk. Kepompong berukuran panjang 50 mm terbungkus hancuran medianya, masa kepompong rata-rata 20 hari.
Telur Warna Bentuk Panjang Lebar
: 9 – 12 hari : putih : lonjong : 0,3 – 0,35 cm : 0,2 cm
Imago jantan : 112 – 153 hari
Larva instar I Panjang Lebar Kepala
: 10 – 20 hari : 0,4 – 0,7 cm : 0,2 – 0,4 cm : 0,3 – 0,4 cm
Larva instar II Panjang Lebar Kepala
: 21 – 31 hari : 3 – 6 cm : 0,6 – 1,5 cm : 0,6 – 0,8 cm
Larva instar III Panjang Lebar Kepala
: 87 – 132 hari : 5 – 8 cm : 1,5 – 2,0 cm : 1,1 – 1,3 cm
Imago betina : 105 – 143 hari
Kepompong : 20 – 25 hari Warna : krem – coklat Panjang : 4,5 – 6 cm Lebar : 2,5 cm Skema siklus hidup O. rhinoceros Sumber: BPT-Bun
Pra Kepompong : 7 – 12 hari
Kumbang berwarna hitam, bagian bawah badan berwarna coklat. Kumbang jantan bercula dan umumnya lebih panjang dari cula betina dan kumbang betina mempunyai bulu-bulu pada bagian pasterior abdomen (Lever, 1969 dalam Kartasapoetra, 1987). Kumbang O. rhinoceros mempunyai tipe alat mulut menggigit-mengunyah, digunakan untuk menggerek pelepah daun muda yang belum membuka. Imago melakukan aktivitas pada malam hari yaitu kawin dan memakan pucuk tanaman kelapa. Kerusakan yang diakibatkannya tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1 – 2 bulan kemudian, berupa gambaran guntinganguntingan segitiga seperti huruf V. Sifat memakan ini selalu berpindah-pindah dari tanaman satu ke tanaman lainnya, 5 ekor kumbang kelapa ini dalam satu hektar dapat menurunkan produksi 38 % (Anonim, 1989). Stadia telur, larva dan pupa hidup pada bahan organik seperti kotoran ternak/pupuk kandang, limbah penggergajian kayu/grajen, sekam padi, sampah yang telah melapuk, tunggul kelapa, dan bahan bahan organik lainnya. Imago yang masih muda juga berada dalam sarang-sarang tersebut. Kumbang kelapa O. rhinoceros merupakan hama yang sangat merugikan sehingga mengancam pertanaman kelapa di daerahdaerah tertentu. Pada tahun 1992 kerugian mencapai sekitar Rp 6 milyar (Mardy, 1993).
Kedudukan O. rhinoceros dalam klasifikasi adalah sebagai berikut: Pylum
: Arthopoda
Classis
: Insekta
Ordo
: Coleoptera
Sub Ordo
: Polyphaga
Famili
: Scarabaeidae
Sub Famili
: Dinastinae
Genus
: Oryctes
Species
: Oryctes rhinoceros (Anonim, 1990).
Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh hama O. rhinoceros dapat dikendalikan secara biologis dengan penaburan cendawan M. anisopliae ke dalam tumpukan bahan organik lapuk (Darwis, 1989).
2. Cendawan Metarhizium anisopliae Barnett (1972), menyatakan cendawan M. anisopliae mempunyai conidiophore berbentuk tongkat, tegak dan bercabang, bersatu dalam bentuk kumpulan kompak atau tidak, membentuk selaput spora. Koloni-koloni berbentuk bulat panjang sampai silindris dengan ujung yang bundar. Massa berbentuk hijau olive, memparasit serangga yang mengakibatkan “green muscardine desease”. Cendawan M. anisopliae masuk ke dalam tubuh serangga tidak melalui saluran makanan, tetapi melalui kulit. Setelah konidia cendawan masuk ke dalam
tubuh serangga, cendawan memperbanyak diri melalui pembentukan hifa dalam jaringan epidermis dan jaringan lainnya sampai dipenuhi miselia cendawan. Perkembangan cendawan dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan sekitar 7 hari dan setelah inang terbunuh, jaringan membentuk konidia primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai muncul dari kutikula serangga. Konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan dan air. Penyebaran dan infeksi cendawan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain padatan inang kesediaan spora, angin dan kelembaban. Kelembaban tinggi dan angin yang kencang sangat membantu penyebaran konidia dan pemerataan infeksi patogen pada seluruh individu pada populasi inang. Larva yang terserang cendawan M. anisopliae akan berwarna hijau kecoklatan dan akhirnya akan mengalami mummifikasi (terselubung cendawan) dalam waktu 10 – 12 hari setelah aplikasi (Wikardi, 1983). Lebih lanjut Zelasny (1975), mendiagnosa larava-larva yang terinfeksi cendawan M. anisopliae pada tahap permulaan seringkali terlihat bercak-bercak coklat pada bagian tubuhnya selagi larva masih hidup. Bercak-bercak ini adakalanya terlihat dengan jelas dan banyak, tetapi sering hanya merupakan bintik kecil saja sehingga tidak terlihat jelas. Larva yang baru mati berwarna seperti larva hidup, tetapi lama-kelamaan akan mengeras dan kaku. Selama dua sampai tiga hari setelah mati, cendawan ini menembus bagian kulit larva sehingga larva tertutup oleh spora-spora seperti lapisan tepung. Lapisan spora ini berwarna putih dan sehari kemudian warnanya
berubah menjadi hijau. Cendawan ini sangat virulen membunuh larva dalam jumlah besar dan terdapat variasi serangan pada sarang-sarang yang diaplikasi cendawan M. anisopliae. Pracaya (2004) lebih lanjut menjelaskan, pada awal pertumbuhan, koloni cendawan berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur. Koloni dapat tumbuh dengan cepat pada beberapa media seperti potato dextrose agar (PDA), jagung dan beras (Pracaya dan Tengkano 2002). Miselium bersekat, diameter 1,98 – 2,97 µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu bewarna hialin, berbentuk bulat silindris dengan ukuran 9,94 x 3,96 µm. Cendawan ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman (Barnett dan Hunter, 1972 dalam Pracaya, 2004). Temperatur optimum untuk pertumbuhan cendawan M. anisopliae berkisar 22 – 27 ºC, walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa cendawan masih dapat tumbuh pada temperatur yang lebih dingin. Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban di atas 90 %, namun demikian konidia akan berkecambah dengan baik patogenisitasnya meningkat bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100 %. Patogenisitas cendawan M. anisopliae akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 86 % (Pracaya, 2004).
Ferron, 1985 dalam Pracaya, 2004 menggolongkan empat tahapan etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga. Propagul cendawan M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembangbiak secara tidak sempurna. Dalam proses ini, senyawa mukopolisakarida memegang peranan penting. Tahap kedua adalah proses penempelan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga. Kelembaban udara yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan.
Pada tahap ini,
cendawan
dapat
memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium). Dalam hal ini titik penetrasi sangat dipengaruhi olek konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Pada umumnya serangga sudah mati sebelum proliferasi blastospora. Enam senyawa enzim dikerluarkan oleh M. anisopliae, yaitu lipase, kithinase, amilase, proteinase, pospatase, dan esterase. Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma.
Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pertumbuhan cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toksin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Tidak selalu cendawan tumbuh ke luar menembus integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam jasad serangga tanpa ke luar menembus integumen dalam hal ini cendawan membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora (Ferron, 1985 dalam Pracaya, 2004). Widiyanti et al., 2004 menyatakan cendawan M anisopliae memiliki aktivitas
larvisidal
karena
menghasilkan
cyclopeptida,
destruxin
dan
desmethyldestrusin. Destruxin telah dipertimbangkan sebagai bahan insektisida generasi baru. Mittler, 1994 dalam Widiyanti et al., 2004 lebih lanjut menyatakan bahwa efek destruxin
berpengaruh pada organella sel target
(mitokondria, retikulum endoplasma dan membran nukleus), menyebabkan paralisa sel dan kelainan fungsi lambung tengah, tebulus maphigi, hemocyt dan jaringan otot. Daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integumen
serangga. Oleh karena itu, persentase daya kecambah sangat menentukan keberhasilan cendawan dalam pertumbuhan selanjutanya. Biakan M. anisopliae yang baik mengandung spora sebanyak 5 x 108 atau lebih untuk setiap gram materi (Anonim, 1989). Faktor lingkungan (sinar matahari, kelembaban dan temperatur) sangat menentukan keberhasilan proses infeksi di samping faktor ganti kulit (moulting) dari serangga (Pracaya, 2004). Lebih lanjut Pracaya, 2004 menjelaskan, kematian serangga sangat ditentukan oleh kerapatan konidia cendawan entomopatogen yang diaplikasikan. Makin tinggi kerapatan konidia M. anisopliae, makin tinggi pula mortalitas serangga. Biakan M. anisopliae yang baik akan mencapai daya kecambah di atas 90 % (Anonim, 1989). Penggunaan cendawan M. anisopliae direkomendasikan jika sudah diketahui tempat perkembangbiakan kumbang kelapa O. rhinoceros. Dengan cara mengumpulkan larva, menginfeksinya dengan cendawan M. anisopliae dan mengembalikannya ke tempat perkembangbiakannya. Sesudah 2 minggu tempat pembiakan diperiksa kembali untuk memastikan apakah larva telah mati atau sekurang-kurangnya menunjukkan gejala infeksi (bercak-bercak coklat). Larvalarva terinfeksi yang sudah mati ditumbuhi spora berwarna putih kemudian berubah warna menjad hijau (green muscardine / green oliv) dan spora-spora inilah yang menginfeksi larva lain di dalam sarang itu. Keuntungan menggunaan cendawan M. anisopliae adalah untuk mencegah sarang-sarang yang menjadi tempat berkembangbiaknya kumbang
kelapa O. rhinoceros terus-menerus. Larva O. rhinoceros dapat diinfeksi dengan 2 cara, yaitu: a. Dengan menggunakan larva mati terinfeksi cendawan M. anisopliae dicampurkan dengan larva sehat. Satu larva terinfeksi tadi dapat menulari dengan cepat sampai ratusan larva sehat dalam satu wadah. b. Dengan menggunakan cendawan M. anisopliae pada media jagung dengan 1 sendok makan (25 gram) untuk menginfeksi ratusan larva dalam satu wadah. Kedudukan M. anisopliae dalam klasifikasi adalah sebagai berikut: Devisi
: Eumycotina
Sub Devisi
: Deuteromycotina
Klas
: Deuteromycetes (Fungi Imperfecti)
Ordo
: Moniliales
Famili
: Moniliaceae
Genus
: Metarhizium
Species
: Metarhizium anisopliae (Anonim, 1990).
Cendawan M. anisopliae telah terbukti efektif dalam pengendalian kumbang kelapa (O. rhinoceros), terutama pada stadia larvanya. Aplikasi cendawan M. anisopliae dilaksanakan dengan cara ditaburkan pada sarang aktif O. rhinoceros sebanyak 25 gram/m2 (Djamin, 1992). Selanjutnya Lactch, 1976 dalam Darwis, 1989 menyatakan cendawan M. anisopliae bersifat saprofit di dalam tumpukan bahan organik lapuk dan bersifat
patogenik terutama pada stadia larva O. rhinoceros yang hidup dalam tumpukan bahan organik tersebut.
3. Sarang O. rhinoceros Hama O. rhinoceros menempatkan telurnya pada bahan organik yang telah lapuk, seperti kotoran ternak/pupuk kandang, limbah penggergajian kayu/grajen, sekam padi, sampah yang telah melapuk, tunggul kelapa, dan bahan bahan organik lainnya. Tempat yang demikian sangat potensial sebagai sarang hama O. rhinoceros sehingga disebut sarang aktif. Sarang inilah hama ini berkembangbiak dengan cepat, apalagi bila lingkungannya mendukung, seperti keadaan iklim dan ketersediaan pakan bagi larvanya. Ada empat macam media yang umum terdapat di Indonesia dan disukai oleh kumbang kelapa (O. rhinoceros) untuk meletakkan telur dan tempat larva hidup, yaitu (1) kotoran sapi lapuk, (2) serbuk gergaji lapuk, (3) sekam padi lapuk dan (4) batang kelapa lapuk (Darwis, 1989).
B. Kerangka Berpikir Sejak awal Pelita III (1970/1980) Pemerintah telah menetapkan Program Pembangunan Perkebunan yang dipercepat (akselerasi) dengan maksud untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki mutu hasilnya untuk keperluan sendiri maupun ekspor untuk peningkatan pendapatan devisa dan peningkatan pendapatan petani perkebunan. Sampai tahun 2005 luas areal tanaman kelapa di Indonesia
mencapai 3.890.000 hektar lebih dengan produksi 3.294.000 ton, yang hampir seluruhnya (97 %) adalah tanaman rakyat. Sasaran luas areal sampai dengan tahun 2010 adalah 3.510.000 hektar dengan produksi 3.462.000 ton. Untuk mencapai sasaran tersebut, dijumpai berbagai hambatan antara lain hama dan penyakit pada budidaya tanaman kelapa, salah satu jenis hama tanaman kelapa adalah kumbang nyiur / wangwung (O. rhinoceros). Usaha pengendalian dengan penggunaan cendawan M. anisopliae telah diketahui cukup efektif. Namun demikian dalam aplikasinya tidak selalu mudah untuk mendapatkan sarang aktif O. rhinoceros, maka perlu dilakukan kajian patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap hama O. rhinoceros agar diperoleh hasil yang maksimal sehingga sasaran produksi tahun 2010 sebanyak 3.462.000 ton dapat terpenuhi.
C. Hipotesis E. Diduga bahwa patogenisitas cendawan M. anisopliae yang masih baru terhadap larva O. rhinoceros lebih tinggi dibanding cendawan M. anisopliae yang telah tersimpan dalam kulkas selama dua bulan. F. Diduga bahwa patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap larva O. rhinoceros pada media sarang pupuk kandang berbeda dengan media sarang serbuk gergaji. G. Diduga bahwa patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap larva O. rhinoceros semakin lama semakin menurun.
III.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Green House Balai Perlindungan Tanaman Perkebunan (BPT-Bun) Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Desa Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga – Jawa Tengah dengan ketinggian 580 meter dari permukaan laut. Penelitian dilaksanakan selama 4 (empat) bulan yaitu bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2007.
B. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian Bahan penelitian terdiri atas: a.
Bahan persiapan penelitian yaitu untuk menyiapkan biakan cendawan M. anisopliae, meliputi: -
Larva O. rhinoceros yang terinfeksi cendawan M. anisopliae hasil dari eksplorasi
b.
-
Jagung giling
-
Air bersih dan akuades
-
Alkohol 70 % dan klorox 1 %
Bahan pelaksanaan penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
II.
Larva O. rhinoceros sehat instar III diperoleh dari daerah Salatiga. Asal larva belum pernah disebari/dilakukan pengendalian O. rhinoceros dengan cendawan M. anisopliae. Untuk memenuhi kebutuhan larva dalam penelitian, mencari larva dari lapangan dan dilakukan rearing di laboratorium sehingga diperoleh jumlah larva yang dibutuhkan dan dalam keadaan sehat.
III.
Pupuk kandang sapi diperoleh dari daerah Salatiga. Asal pupuk kandang sapi belum pernah disebari/dilakukan pengendalian O. rhinoceros dengan cendawan M. anisopliae. Sebelum digunakan dalam penelitian pupuk kandang disteril terlebih dahulu, agar media bebas dari mikroorganisme yang tidak dikehendaki.
IV.
Serbuk gergaji diperoleh dari daerah Salatiga. Asal serbuk geragaji belum pernah disebari/dilakukan pengendalian O. rhinoceros dengan cendawan M. anisopliae. Sebelum digunakan dalam penelitian pupuk kandang disteril terlebih dahulu, agar media bebas dari mikroorganisme yang tidak dikehendaki.
V.
Cendawan M. anisopliae diperoleh dari: A. Eksplorasi di lapangan berupa larva mati cendawan M. anisopliae diperoleh dari Desa Dukuh Seti, Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati merupakan daerah yang telah disebari/dilakukan pengendalian O. rhinoceros dengan cendawan M. anisopliae.
B. Diperoleh dari Balai Perlindungan Tanaman Perkebunan (BPT-Bun) Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Desa Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga – Jawa Tengah yang telah tersimpan dalam kulkas selama 2 (dua) bulan. 2. Alat Penelitian Alat penelitian terdiri atas; a.
Alat persiapan penelitian untuk pemurnian dan perbanyakan cendawan M. anisopliae dari hasil eksplorasi, meliputi: Test tube, petridish, kotak isolasi, lampu bunsen, disecting set, jarum ose, autoclave, dandang, timbangan, kantong plastik (panjang 15 cm, lebar 10 cm).
b.
Alat pelaksanaan penelitian Alat-alat yang digunakan antara lain; ember plastik, kertas label, hand counter, loupe, mikroskop, Haemacytometer type Neubauer Improve, Thermohygrometer, pH meter, timbangan elektrik, autoclave, cangkul, sekop, dll.
C. Persiapan Penelitian 1.
Menyiapkan pupuk kandang, serbuk gergaji sebagai media sarang O. rhinoceros.
2.
Eksplorasi larva terinfeksi/mati cendawan M. anisopliae dan dilakukan pemurnian untuk mendapatkan biakan murni cendawan M. anisopliae, meliputi: a. Isolasi cendawan M. anisopliae dari larva O. rhinoceros hasil eksplorasi 1) Untuk mengisolasi cendawan M. anisopliae digunakan media PDA (Potato Dextrose Agar) 2) Media PDA dicairkan, dituangkan ke dalam petridish steril dan dibiarkan hingga dingin/padat. 3) Mengambil larva O. rhinoceros instar III yang mati/terinfeksi cendawan M. anisopliae, lalu tubuhnya dibelah dengan skalpel steril dan isi perutnya dikeluarkan/dibuang. 4) Selanjutnya larva didisinfeksi dengan cara merendamnya dalam larutan klorox 1 % selama 10 menit, kemudian dicuci dengan akuades dan dikeringanginkan dalam petridish steril. 5) Inokulasi cendawan M. anisopliae dilakukan di dalam kotak isolasi dengan cara memotong/menyayat daging larva ± 0,5 cm² yang terinfeksi cendawan dengan skalpel steril, kemudian dimasukkan
ke dalam
petridish yang berisi media PDA. Selanjutnya diinkubasikan. 6) Pada hari keempat diadakan pemurnian dengan cara memotong ujung hifa cendawan yang tumbuh dan dipindahkan ke petridish lain. b. Penyiapan inokulum 1) Cendawan yang diperoleh dari hasil pemurnian tersebut selanjutnya dipindahkan/diinokulasikan ke dalam agar miring/test tube.
2) Selanjutnya diinkubasikan selama ± 10 hari, sampai cendawan tersebut mengalami sporulasi (terbentuk spora), dicirikan adanya perubahan warna menjadi hijau gelap. c. Perbanyakan cendawan M. anisopliae pada media jagung 1) Jagung dimasak kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik ± 200 gram/kantong, selanjutnya disterilkan dalam autoclave selama ± 60 menit. 2) Selanjutnya media jagung tersebut dinokulasikan dengan spora cendawan dari test tube. 3) Kemudian kantong plastik distaples rapat dengan menyisakan ¼ ruang udara dalam kantong plastik, selanjutnya diinkubasikan. 4) Cendawan siap aplikasi dicirikan media jagung dipenuhi spora berwarna hijau. 3.
Menyiapkan cendawan M. anisopliae yang telah tersimpan (tersimpan dua bulan dalam kulkas suhu 5 - 10° C).
4.
Menyiapkan larva O. rhinoceros sehat instar III sebanyak 480 ekor secara bertahap, masing-masing tahapan (setiap bulan) 120 ekor dan telah melalui rearing di laboratorium..
5.
Menyiapkan alat dan bahan lain yang diperlukan dalam penelitian.
D. Cara Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 3 (tiga) faktor: a.
Faktor pertama, asal M. anisopliae, terdiri atas dua level/jenis: 1) M. anisopliae hasil eksplorasi (baru) dengan simbul M1. 2) M. anisopliae dari BPT-Bun yang telah tersimpan dalam kulkas selama dua bulan dengan simbul M2.
b.
Faktor kedua, jenis media sarang, terdiri atas dua level/jenis: 1) Media sarang pupuk kandang dengan simbul S1. 2) Media sarang serbuk gergaji dengan simbul S2.
c.
Faktor ketiga, waktu pemberian larva O. rhinoceros, terdiri atas empat level: 1) Waktu pemberian 0 (nol) bulan, pemberian larva
O. rhinoceros
bersamaan dengan aplikasi M. anisopliae dengan simbul T0. 2) Waktu pemberian 1 (satu) bulan, pemberian larva
O. rhinoceros
dilaksanakan setelah satu bulan aplikasi M. anisopliae dengan simbul T1. 3) Waktu pemberian 2 (dua) bulan, pemberian larva
O. rhinoceros
dilaksanakan setelah dua bulan aplikasi M. anisopliae dengan simbul T2.
4) Waktu pemberia 3 (tiga) bulan, pemberian larva
O. rhinoceros
dilaksanakan setelah tiga bulan aplikasi M. anisopliae dengan simbul T3. Masing-masing teridiri atas 3 (tiga) ulangan. Ukuran plot sarang/trapping menggunakan ember plastik berdiameter 32 cm, setiap sarang diisi 10 ekor larva O. rhinoceros diinokulasi/disebari 25 gr cendawan. Sehingga dosis tiap ember =
22 x16 ² = 803,84 7
3,14 x 16² = 803,84 803,84 x 25 gram = 2,009 gram (dibulatka = 2 gram) 10000
(Djamin, 1992)
d. Aplikasi M. anisopliae dilaksanakan pada awal penelitian untuk semua percobaan. 2. Tatalaksana Penelitian V.
Sarang yang digunakan adalah bahan organik berupa pupuk kandang dan limbah penggergajian yang merupakan sarang O. rhinoceros sebagai sarang buatan (trapping).
VI.
Waktu pengamatan dilaksanakan: A. Pengamatan I: Satu minggu setelah aplikasi larva O. rhinoceros.
B. Pengamatan II: Dua minggu setelah aplikasi larva O. rhinoceros. C. Pengamatan III: Tiga minggu setelah aplikasi larva O. rhinoceros. D. Pengamatan IV: Empat minggu setelah aplikasi larva O. rhinoceros. VII.
Cara pengamatan: Sarang dibongkar/diaduk-aduk untuk mencari larva O. rhinoceros kemudian dikumpulkan dan diamati. Setelah diamati larva dikembalikan lagi pada sarang semula pada setiap perlakuan. Cara pembongkaran dan pengamatan dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi luka/mati karena mekanis. Ciri larva luka/mati mekanis berwarna kebiruan. Sedangkan larva mati cendawan M. anisopliae ditandai tubuh larva menjadi kaku dan adanya bercak-bercak berwarna coklat atau mati masih berwarna putih, atau sudah berwarna hijau (green muscardine).
VIII.
Variabel yang diamati: Variabel yang dimati dalam penelitian ini, meliputi: 1) Kematian larva; menghitung larva yang mati setiap kali pengamatan. 2) Larva menjadi pupa; menghitung larva menjadi pupa setiap pengamatan. Data pendukung dengan mengamati: A. Kelembapan media sarang; diukur kelembaban media sarang setiap pengamatan. B. Suhu media sarang; diukur suhu media sarang setiap pengamatan.
C. Kerapatan spora; kerapatan spora cendawan M. anisopliae dihitung sebelum aplikasi, adalah sebagai berikut: Mengambil dan menimbang 1 gram biakan cendawan M. anisopliae pada setiap sampel dan campur dengan akuades 100 ml di dalam gelas piala (beaker glass). Menambah 0,5 gram kristal detergent untuk membantu pemisahan spora. Suspensi diaduk dengan alat pengaduk (magnetik stirrer) selama 10 menit. D. Viabilitas (daya kecambah); viabilitas cendawan M. anisopliae dihitung sebelum aplikasi, sebagai berikut: Mencampur 1 gram biakan cendawan M. anisopliae dalam 1 liter air steril dalam gelas piala, ditutup dengan aluminium foil dan diaduk dengan magnetik stirrer selama 20 menit. Dengan pipet steril mengambil satu tetes dan diteteskan pada petridsh steril. Menuangkan media cair CMA (Corn Meal Agar) yang sudah dingin tapi belum kental ke atas suspensi cukup untuk melapisi dasar petridish, lalu petridish digoyang-goyang ke berbagai arah agar spora tersebar dalam media CMA dan dibiarkan kental. Diinkubasikan selama 24 jam. Kemudian dilakukan penghitungan spora di bawah mikroskop dengan besaran 100 kali. Jumlah spora yang berkecambah dan tidak. Kriteria spora berkecambah yang dihitung mulai pertumbuhan yang panjangnya 2 kali spora dan jumlah spora yang mewakili dalam satu sampel sebanyak 200 spora.
E. pH media sarang; diukur pH media sarang setiap pengamatan. IX.
Tata letak penelitian (lay-out penelitian) Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Penelitian Faktorial 2x2x4 Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomized Design) dengan 3 (tiga) ulangan.
Perlakuan Faktorial 2x2x4 Asal Metarhizium
Level – Media Sarang
M1
M2
Waktu Pemberian Larva (T)
S1
0 Bulan (T0) M1S1T0
1 Bulan (T1) M1S1T1
2 Bulan (T2) M1S1T2
3 Bulan (T3) M1S1T3
S2
M1S2T0
M1S2T1
M1S2T2
M1S2T3
S1
M2S1T0
M2S1T1
M2S1T2
M2S1T3
S2
M2S2T0
M2S2T1
M2S2T2
M2S2T3
Tata Letak Penelitian (lay-out penelitian) Perlakuan Faktorial 2 x 2 x 4 = 16 perlakuan x 3 Ulangan = 48 pot
M1S1T2
M2 S1T3
M1 S1T3
M1S2T1
M1 S2T2
M1 S1T2
M2 S2T0
M2 S2T1
M2 S1T0
M1 S1T0
M2 S2T2
M2 S1T1
M2 S2T3
M1S1T1
M2S1T3
M2S2T2
M2S1T2
M1S1T1
M1S2T1
M2S1T2
M1S2T3
M2S1T0
M2S1T3
M1S2T2
M1S1T2
M1S1T0
M1S2T0
M2 S1T0
M1S2T3
M2S1T1
M2S1T1
M1S1T0
M1S2T0
M2 S1T2
M2 S2T0
M1S2T2
M1S1T3
M1S2T3
M1S1T1
M2S2T1
M2S2T1
M2S2T3
M1S2T0
M1S2T1
M1S1T3
M2S2T3
M2S2T0
M2S2T2
Faktor yang diuji asal cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi dan cendawan telah tersimpan dalam kulkas dua bulan, media/sarang pupuk kandang dan limbah penggergajian/serbuk gergaji serta waktu aplikasi cendawan M. anisopliae:
M1S1T0
= Metarhizium hasil eksplorasi (baru) pada media sarang pupuk kandang, aplikasi larva O. rhinoceros bersamaan dengan aplikasi cendawan M. anisopliae.
M1S1T1
= Metarhizium hasil eksplorasi (baru) pada media sarang pupuk kandang, aplikasi larva
O. rhinoceros 1 (satu)
bulan setelah aplikasi cendawan M. anisopliae.
M1S1T2
= Metarhizium hasil eksplorasi (baru) pada media sarang pupuk kandang, aplikasi larva O. rhinoceros 2 (dua) bulan setelah aplikasi cendawan M. anisopliae.
M1S1T3
= Metarhizium hasil eksplorasi (baru) pada media sarang pupuk kandang, aplikasi larva O. rhinoceros 3 (tiga) bulan setelah aplikasi cendawan M. anisopliae.
M2S1T0
= Metarhizium
dari
Laboratorium
BPT.Bun
(telah
tersimpan) pada media sarang pupuk kandang, aplikasi larva O. rhinoceros bersamaan dengan aplikasi cendawan M. anisopliae.
M2S1T1
= Metarhizium
dari
Laboratorium
BPT.Bun
(telah
tersimpan) pada media sarang pupuk kandang, aplikasi larva
O. rhinoceros 1 (satu) bulan setelah aplikasi
cendawan M. anisopliae.
M2S1T2
= Metarhizium
dari
Laboratorium
BPT.Bun
(telah
tersimpan) pada media sarang pupuk kandang, aplikasi larva
O. rhinoceros 2 (dua) bulan setelah aplikasi
cendawan M. anisopliae.
M2S1T3
= Metarhizium
dari
Laboratorium
BPT.Bun
(telah
tersimpan) pada media sarang pupuk kandang, aplikasi larva
O. rhinoceros 3 (tiga) bulan setelah aplikasi
cendawan M. anisopliae.
M1S2T0
= Metarhizium hasil eksplorasi (baru) pada media sarang serbuk gergaji, aplikasi larva O. rhinoceros bersamaan dengan aplikasi cendawan M. anisopliae.
M1S2T1
= Metarhizium hasil eksplorasi (baru) pada media sarang serbuk gergaji, aplikasi larva O. rhinoceros 1 (satu) bulan setelah aplikasi cendawan M. anisopliae.
M1S2T2
= Metarhizium hasil eksplorasi (baru) pada media sarang serbuk gergaji, aplikasi larva O. rhinoceros 2 (dua) bulan setelah aplikasi cendawan M. anisopliae.
M1S2T3
= Metarhizium hasil eksplorasi (baru) pada media sarang serbuk gergaji, aplikasi larva O. rhinoceros 3 (tiga) bulan setelah aplikasi cendawan M. anisopliae.
M2S2T0
= Metarhizium dari Laboratorium BPT.Bun (telah tersimpan dua bulan dalam kulkas) pada media sarang serbuk gergaji, aplikasi larva O. rhinoceros bersamaan dengan aplikasi cendawan M. anisopliae.
M2S2T1
= Metarhizium dari Laboratorium BPT.Bun (telah tersimpan dua bulan dalam kulkas) pada media sarang serbuk gergaji, aplikasi larva O. rhinoceros 1 (satu) bulan setelah aplikasi cendawan M. anisopliae.
M2S2T2
= Metarhizium dari Laboratorium BPT.Bun (telah tersimpan dua bulan dalam kulkas) pada media sarang serbuk gergaji, aplikasi larva O. rhinoceros 2 (dua) bulan setelah aplikasi cendawan M. anisopliae.
M2S2T3
= Metarhizium dari Laboratorium BPT.Bun (telah tersimpan dua bulan dalam kulkas) pada media sarang serbuk gergaji, aplikasi larva O. rhinoceros 3 (tiga) bulan setelah aplikasi cendawan M. anisopliae.
X.
Pelaksanaan Penelitian 1.
Menyiapkan media untuk sarang O. rhinoceros pada ember yang telah dirancang sesuai dengan penelitian yang digunakan.
2.
Pelaksanaan penelitian aplikasi cendawan M. anisopliae dan aplikasi larva O. rhinoceros sesuai dengan perlakuan.
3.
Melakukan pengamatan sesuai dengan jadwal penelitian.
E. Analisis Data 1. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA), jika terdapat perbedaan diantara perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) atau Uji Jarak Duncan (UJD) taraf 5 %. 2. Persentase kematian larva digunakan rumus sebagai berikut: a x 100 % b
dimana:
a = jumlah larva mati yang diuji b = jumlah larva yang diuji
3. Kerapatan spora digunakan rumus sebagai berikut: S=
t.d x10 6 n.0,25
dimana: S = jumlah spora per gram media t = banyaknya spora yang dihitung pada kotak penghitungan (a, b, c, d, dan e) d = tingkat pengenceran n = banyaknya kotak yang diamati yaitu 5 x 16 = 80 kotak 106 = nilai konstanta dengan tingkat pengenceran 100 kali (Anonim, 1989) 4. Viabilitas (Daya Kecambah) digunakan rumus sebagai berikut: K=
t x 100 % t+m
dimana:
K = persentase spora kecambah t = jumlah spora tumbuh m = jumlah spora tidak tumbuh (Anonim, 1989)
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
H. Hasil Penelitian Penelitian kajian patogenisitas cendawan Metarhizium anisopliae terhadap hama Oryctes rhinoceros tanaman kelapa pada berbagai teknik aplikasi berupa hasil pengamatan kematian larva. Kematian merupakan respon serangan target uji yang diamati akibat perlakuan Agens Pengendali Hayati (APH) dari cendawan M. anisopliae yaitu berupa enzim dan toksin yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui kontak kulit. 1.
Persentase kematian larva Persentase Kematian Larva Perlakuan Nol Bulan
100 80 60
M1S1T0 M2S1T0 M1S2T0 M2S2T0
%
40 20 0 1
2
3
4
Minggu
Gambar 1. Persentase kematian larva O. rhinoceros pada berbagai minggu pengamatan Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan
Tabel 1. Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai Minggu Pengamatan Perlakuan
Pengamatan Minggu ke II III 66,7 100,0 63,3 86,7 93,3 100,0 80,0 93,3
I 13,3 6,7 30,0 10,0
M1S1T0 M2S1T0 M1S2T0 M2S2T0
IV 100,0 86,7 100,0 100,0
Persentase Kematian Larva Perlakuan Satu Bulan 100 80 %
60
M1S1T1
40
M2S1T1
20
M1S2T1 M2S2T1
0 1
2
3
4
Minggu
Gambar 2. Persentase kematian larva minggu pengamatan
O. rhinoceros pada berbagai
Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T1 = Waktu aplikasi satu bulan Tabel 2. Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai Minggu Pengamatan Perlakuan M1S1T1 M2S1T1 M1S2T1 M2S2T1
I 0,0 0,0 0,0 0,0
Pengamatan Minggu ke II III 53,3 86,7 13,3 76,7 56,7 93,3 26,7 73,3
IV 100,0 76,7 100,0 100,0
Persentase Kematian Larva Perlakuan Dua Bulan 100 80 %
60
M1S1T2 M2S1T2 M1S2T2 M2S2T2
40 20 0 1
2
3
4
Minggu
Gambar 3. Persentase kematian larva O. rhinoceros pada berbagai minggu pengamatan Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T2 = Waktu aplikasi dua bulan
Tabel 3. Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai Minggu Pengamatan Perlakuan M1S1T2 M2S1T2 M1S2T2 M2S2T2
I 0,0 0,0 0,0 0,0
Pengamatan Minggu ke II III 36,7 83,3 26,7 70,0 60,0 86,7 26,7 60,0
IV 83,3 70,0 100,0 100,0
Persentase Kematian Larva Perlakuan Tiga Bulan 100 80 %
60
M1S1T3 M2S1T3 M1S2T3 M2S2T3
40 20 0 1
2
3
4
Minggu
Gambar 4. Persentase kematian larva O. rhinoceros pada berbagai minggu pengamatan Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T3 = Waktu aplikasi tiga bulan
Tabel 4. Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai Minggu Pengamatan
Perlakuan M1S1T3 M2S1T3 M1S2T3 M2S2T3
I 0,0 0,0 0,0 0,0
Pengamatan Minggu ke II III 26,7 76,7 13,3 26,7 53,3 76,7 36,7 73,3
IV 76,7 63,3 93,3 90,0
Tabel 5. Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai Kombinasi Perlakuan
M1
M2
T0
T1
T2
T3
S1
100,0a
100,0a
83,6cd
76,8de
S2
100,0a
100,0a
100,0a
95,4b
S1
87,0bcd
76,8de
70,0e
63,4e
S2
100,0a
100,0a
100,0a
93,2bc
Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan T1 = Waktu aplikasi satu bulan T2 = Waktu aplikasi dua bulan T3 = Waktu aplikasi tiga bulan Tabel 6. Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada Berbagai Perlakuan Perlakuan M1 M2
Rata-rata Persentase Kematian Larva 81,61a 72,51b
S1 S2
68,27b 86,24a
T0 T1 T2 T3
84,40a 82,49a 75,53b 66,61c
Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan T1 = Waktu aplikasi satu bulan T2 = Waktu aplikasi dua bulan T3 = Waktu aplikasi tiga bulan
kematian larva
105.0 Y = 98.94 + 1.78T - 2.22T 2
100.0 95.0 90.0 85.0 80.0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
waktu aplikasi (bulan)
Gambar 5. Hubungan antara kematian larva dan waktu aplikasi cendawan M anisopliae 2.
Persentase larva menjadi pupa Persentase Larva Menjadi Pupa Perlakuan Nol Bulan 15 10
M1S1T0
5
M2S1T0
%
M1S2T0 0 1
2
3
4
M2S2T0
Minggu
Gambar 6. Persentase larva menjadi pupa pada berbagai minggu pengamatan Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan
Tabel 7. Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Minggu Pengamatan Perlakuan
Pengamatan Minggu ke II III 0 0 0 0 0 0 0 0
I 0 0 0 0
M1S1T0 M2S1T0 M1S2T0 M2S2T0
IV 0 13.3 0 0
Persentase Larva Mendai Pupa Perlakuan Satu Bulan 25 20 15 % 10 5 0 1
2
3
4
M1S1T1 M2S1T1 M1S2T1 M2S2T1
Minggu
Gambar 7. Persentase larva menjadi pupa pada berbagai minggu pengamatan Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T1 = Waktu aplikasi satu bulan Tabel 8. Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Minggu Pengamatan Perlakuan M1S1T1 M2S1T1 M1S2T1 M2S2T1
I 0,0 0,0 0,0 0,0
Pengamatan Minggu ke II III 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
IV 0,0 23.3 0,0 0,0
Persentase Larva Menjadi Pupa Perlakuan Dua Bulan 30 25 20
M1S1T2 M2S1T2 M1S2T2 M2S2T2
% 15 10 5 0 1
2
3
4
Minggu
Gambar 8. Persentase larva menjadi pupa pada berbagai minggu pengamatan Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T2 = Waktu aplikasi dua bulan
Tabel 9. Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Minggu Pengamatan Perlakuan M1S1T2 M2S1T2 M1S2T2 M2S2T2
I 0,0 0,0 0,0 0,0
Pengamatan Minggu ke II III 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
IV 16,7 30,0 0,0 0,0
Persentase Larva Menjadi Pupa Perlakuan Tiga Bulan 40 35 30 25 % 20 15 10 5 0
M1S1T3 M2S1T3 M1S2T3 M2S2T3 1
2
3
4
Minggu
Gambar 9. Persentase larva menjadi pupa pada berbagai minggu pengamatan Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T3 = Waktu aplikasi tiga bulan
Tabel 10. Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Minggu Pengamatan
Perlakuan M1S1T3 M2S1T3 M1S2T3 M2S2T3
I 0,0 0,0 0,0 0,0
Pengamatan Minggu ke II III 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
IV 23,3 36,7 6,7 10,0
Tabel 11. Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Perlakuan
Perlakuan M1 M2
Rata-rata Persentase Larva Menjadi Pupa 8,39b 17,09a
S1 S2
21,73a 3,76b
T0 T1 T2 T3
5,69c 7,51c 13,47b 23,39a
Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan T1 = Waktu aplikasi satu bulan T2 = Waktu aplikasi dua bulan T3 = Waktu aplikasi tiga bulan Tabel 12. Persentase Larva Menjadi Pupa pada Berbagai Kombinasi Perlakuan
M1
M2
T0
T1
T2
T3
S1
0.0 f
0.0 f
15.4 bcd
23.2 abc
S2
0.0 f
0.0 f
0.0 f
4.6 e
S1
13.0 cde
23.2 abc
30.0 ab
36.6 a
S2
00 f
0.0 f
0.0 f
6.8 de
Keterangan: M1 = Cendawan M. anisopliae baru M2 = Cendawan M. anisopliae telah tersimpan dua bulan dalam kulkas S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan T1 = Waktu aplikasi satu bulan T2 = Waktu aplikasi dua bulan T3 = Waktu aplikasi tiga bulan
20.0 Y = 1.07 - 1.79T + 2.23T2
pupa
15.0 10.0 5.0 0.0 0
1
2
3
4
w aktu aplikasi (bulan)
Gambar 10. Larva menjadi pupa pada berbagai waktu aplikasi 3.
Kelembapan media sarang
Gambar 11. Kelembapan media sarang pada berbagai kombinasi perlakuan Keterangan: S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan T1 = Waktu aplikasi satu bulan T2 = Waktu aplikasi dua bulan T3 = Waktu aplikasi tiga bulan
Tabel 13. Kelembapan media sarang pada berbagai kombinasi perlakuan
S1
T0
T1
T2
T3
82,2 bc
82,3 bc
83,8b
88,3c
76,5 d
80,5 c
80,5 c
80,7 bc
S2
Keterangan: S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan T1 = Waktu aplikasi satu bulan T2 = Waktu aplikasi dua bulan T3 = Waktu aplikasi tiga bulan
Suhu media sarang
30.0 29.5 29.0 suhu
4.
S1
28.5
S2
28.0 27.5 27.0 T0
T1
T2
T3
w aktu aplikasi (bulan)
Gambar 12. Suhu media sarang pada berbagai kombinasi perlakuan Keterangan: S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan T1 = Waktu aplikasi satu bulan T2 = Waktu aplikasi dua bulan T3 = Waktu aplikasi tiga bulan
Tabel 14. Suhu media sarang pada berbagai kombinasi perlakuan T0
T1
T2
T3
28.0 c
28.2 c
28.0 c
28.0 c
29.8 a 29.0 b Keterangan: S1 = Media sarang pupuk kandang S2 = Media sarang serbuk gergaji T0 = Waktu aplikasi nol bulan T1 = Waktu aplikasi satu bulan T2 = Waktu aplikasi dua bulan T3 = Waktu aplikasi tiga bulan
28.2 c
28.2 c
S1 S2
5.
Kerapatan spora 5.3 5.2 5.1 5
M1
4.9
M2
4.8 4.7 4.6 4.5 I
II
III
IV
RERATA
Ga mbar 13. Penghitungan kerapatan spora cendawan M. anisopliae
Rata-rata penghitungan kerapatan spora pada material cendawan M. anisopliae asal BPT-Bun (telah tersimpan dalam kulkas selama dua bulan) jumlah kerapatan spora = 5,05 x 108 dengan keterangan baik dan memenuhi syarat aplikasi. Demikian juga hasil penghitungan material
cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi (baru) = 5,08 x 108 dengan keterangan baik dan memenuhi syarat aplikasi.
6.
Viabilitas (Daya Kecambah)
98 96 94 92 90 88 86 84 82 80
M1 M2
I
IV
VII
X
Gambar 14. Penghitungan viabilitas spora cendawan M. anisopliae
Rata-rata penghitungan viabilitas pada material cendawan M. anisopliae asal BPT-Bun (telah tersimpan dalam kulkas selama dua bulan) = 90,8% dengan keterangan baik dan memenuhi syarat aplikasi. Demikian juga hasil penghitungan material cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi (baru) = 91,2% dengan keterangan baik dan memenuhi syarat aplikasi.
7.
pH media sarang pH media sarang pada media sarang pupuk kandang terendah 6,2 dan tertinggi 7,3. pH media sarang serbuk gergaji (grajen) terendah 5,8 dan tertinggi 6,6.
I. Pembahasan
1.
Persentase kematian larva Kematian larva pada kombinasi cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi (baru) dengan media sarang pupuk kandang sebesar 100 % tidak berbeda nyata dibanding kombinasi cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi (baru) dengan media sarang serbuk gergaji sebesar 100 %, dan tidak berbeda nyata pula dibanding kombinasi cendawan M. anisopliae yang telah tersimpan selam dua bulan dalam kulkas pada media sarang serbuk gergaji sebesar 100 %, tetapi lebih tingi dan berbeda nyata dibanding kombinasi cendawan M. anisopliae yang telah tersimpan dua bulan dalam kulkas pada media sarang pupuk kandang waktu aplikasi nol bulan sebesar 87, 0 % dan satu bulan 76, 8 %. Kematian larva waktu aplikasi dua bulan kombinasi cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi cendawan M. anisopliae yang telah tersimpan dua bulan dalam kulkas pada media sarang serbuk gergaji sebesar 100 % tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dan lebih tinggi dibanding cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi maupun cendawan M. anisopliae yang telah tersimpan dua bulan dalam kulkas pada media sarang pupuk kandang sebesar 83,6 % dan 70,0%. Kematian larva waktu aplikasi tiga bulan kombinasi cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi maupun yang telah tersimpan dua bulan dalam kulkas pada media sarang serbuk gergaji sebesar 95,4 % dan 93,2 % tidak berbeda nyata, tetapi lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding pada media sarang pupuk kandang sebesar 76,8 % dan 63,4 % (Tabel 5).
Persentase kematian larva pada cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi sebesar 81,61 % lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding
cendawan M.
anisopliae yang telah tersimpan selama dua bulan di dalam kulkas sebesar 72,51 %. Persentase kematian larva pada media sarang serbuk gergaji sebesar 86,24 % lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding media sarang pupuk kandang sebesar 68,27 %. Persentase kematian larva aplikasi nol bulan sebesar 84, 49 % tidak berbeda nyata dibanding aplikasi satu bulan sebesar 82,49 %. Tetapi lebih tingi dan berbeda nyata dibanding aplikasi dua bulan sebesar 75,53 % dan aplikasi tiga bulan sebesar 66,61 %. Persentase kepamtian larva pada aplikasi dua bulan sebesar 75,53 % lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding aplikasi tiga bulan sebesar 66,61 % (Tabel 6). Rata-rata kematian larva cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi sebesar 81,61 % lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding cendawan M. anisopliae yang telah tersimpan dua bulan dalam kulkas sebesar 72,51 %. Ratarata kematian larva pada media sarang serbuk gergaji sebesar 81,61 % lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding meia sarang pupuk kandang sebesar 68,27 %. Rata-rata kematian larva waktu aplikasi nol bulan sebesar 84,40 % tidak berbeda nyata dibanding waktu aplikasi satu bulan sebesar 82,49 %, tetapi lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding waktu aplikasi dua bulan sebesar 75, 53 % dan tiga bulan 66,61 %. Waktu aplikasi dua bulan lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding waktu aplikasi tiga bulan.
Patogenisitas cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi terhadap larva O. rhinoceros lebih tinggi dibanding yang telah tersimpan dua bulan dalam kulkas. Hal ini disebabkan cendawan yang masih baru pertumbuhannya terus tidak mengalami berhenti, sedangkan cendawan yang disimpan dalam kulkas pertumbuhannya mengalami berhenti sehingga pada saat diaplikasikan baru dapat menyesuaikan dengan media tumbuh. Patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap larva O. rhinoceros pada media sarang serbuk gergaji lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding media sarang pupuk kandang. Hal ini disebabkan media sarang serbuk gergaji strukturnya tidak padat dan berongga sehingga lebih banyak oksigennya. Muller (1967 dalam Mc.Coy 1974 dalam Darwis, 1990) memberikan kisaran suhu 20º - 30º dan kisaran pH 4,7 – 10 baik bagi pertumbuhan cendawan M. anisopliae. Kalau dilihat dari kisaran suhu dan pH itu, kisaran itu cukup luas bagi pertumbuhan cendawan M. anisopliae tidak akan mengurangi daya patogenisitasnya. Akan tetapi menurut Sitepu (1989) pertumbuhan cendawan M. anisopliae membutuhkan oksigen, sehingga struktur media sarang yang remah dan ada rongga udara akan baik bagi pertumbuhan cendawan M. anisopliae. Ferron, 1985 dalam Pracaya, 2004 menggolongkan empat tahapan etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga.
Propagul cendawan M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembangbiak secara tidak sempurna. Dalam proses ini, senyawa mukopolisakarida memegang peranan penting. Tahap kedua adalah proses penempelan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga. Kelembaban udara yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan.
Pada tahap ini,
cendawan
dapat
memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium). Dalam hal ini titik penetrasi sangat dipengaruhi olek konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Pada umumnya serangga sudah mati sebelum proliferasi blastospora. Enam senyawa enzim dikerluarkan oleh M. anisopliae, yaitu lipase, kithinase, amilase, proteinase, pospatase, dan esterase. Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma. Kematian larva O. rhinoceros terjadi karena konidia cendawan M anisopliae mengandung destruxin A (C29H47O7N5), destruxin B (C25H42O6N4), destruxin C,D,E dan dipertimbangkan sebagai bahan aktif insektisida generasi
baru). Mittler, 1994 dalam Widiyanti et al., 2004 lebih lanjut menyatakan bahwa efek destruxin berpengaruh pada organella sel target (mitokondria, endoplasmik retikulum endoplasma dan membran inti), menyebabkan paralisis sel dan berubahnya fungsi midgut, tebulus maphigi dan jaringan otot. Dijelaskan pula, destruxin yang dihasilkan oleh M anisopliae toksisitasnya berbeda tergantung dari jenis larva serangga.
2.
Persentase larva menjadi pupa Hasil pengamatan diperoleh larva tidak mati dan menjadi pupa, pada larva instar tiga yang dewasa keadaan kulitnya makin keras sehingga dimungkinkan konidia cendawan M. anisopliae yang sudah kontak tidak bisa mengadakan tahapan selanjutnya yaitu tahapan penetrasi. Hal ini disebabkan pada umumnya serangga struktur tubuh bagian luar keras dan serangga mempunyai ketahanan atau antibodi. Di samping itu, larva instar tiga yang dewasa (pra pupa) menjelang stadia pupa mulai membuat kokon yang terbuat dari bahan media sarang, sehingga dapat terhindar dari kontak cendawan M. anisopliae.
3.
Kelembapan Media Sarang Kelembapan media sarang menunjukkan kisaran 72, 0 % sampai 90,0 %, kelembapan ini masih sesuai untuk perkecambahan cendawan M. anisopliae.
Millstein et al., 1983 dalam Prayogo et al., 2004 menyatakan konidia akan membentuk kecambah pada kelembapan di atas 90 %. Lebih lanjut Milner et al., 1997 dalam Prayogo et al., 2004 menyatakan bahwa konidia akan berkecambah dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembapan hingga 100 %. Patogenisitas cendawan M. anisopliae akan menurun apabila kelembapannya di bawah 86 %.
4.
Suhu Media Sarang Suhu media sarang menunjukkan kisaran 28 – 30°C, suhu ini relatif lebih tinggi untuk pertumbuhan cendawan M. anisopliae. Muller (1967 dalam Mc.Coy 1974 dalam Darwis, 1990) memberikan kisaran suhu 20º - 30º.
5.
Kerapatan spora Kerapatan spora pada cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi 5,08 x 108 dan yang telah tersimpan dalam kulkas dua bulan 5,05 x 108 masing-masing dengan kategori baik dan memenuhi syarat untuk diaplikasikan yaitu minimal 5,0 x 108 sehingga sehingga cendawan M. anisopliae tidak mengalami pengurangan jumlah spora.
6.
Viabilitas (Daya Kecambah)
Viabilitas pada cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi 91,2% dan yang telah tersimpan dalam kulkas dua bulan 90,8% masing-masing dengan kategori baik dan memenuhi syarat untuk diaplikasikan yaitu minimal 90.0 %.
7.
pH Media Sarang pH media sarang menunjukkan kisaran 5,7 sampai 7,4, pH ini masih baik untuk pertumbuhan cendawan M. anisopliae. Muller (1967 dalam Mc.Coy 1974 dalam Darwis, 1990) memberikan kisaran pH 4,7 – 10 baik bagi pertumbuhan cendawan M. anisopliae.
XI.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan J. Patogenisitas cendawan M. anisopliae hasil eksplorasi (baru) terhadap larva O. rhinoceros sebesar 81,61 % lebih tinggi dibanding cendawan M. anisopliae yang telah tersimpan selama dua bulan dalam kulkas sebesar 72,51 %. K. Patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap larva O. rhinoceros pada media sarang serbuk gergaji sebesar 86, 24 % lebih tinggi dibanding media sarang pupuk kandang sebesar 68, 27 %. L. Terjadi peneurunan patogenisitas cendawan M. anisopliae terhadap larva O. rhinoceros pada aplikasi tiga bulan.
B. Saran Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan terhadap waktu aplikasi cendawan M. anisopliae sampai enam bulan dan 12 bulan.
PUSTAKA
Anonim, 1983, Petunjuk Penggunaan Cendawan Metarhizium anisopliae dan Baculovirus oryctes untuk Pengendalian Oryctes rhinoceros. Kerja sama antara Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian dengan Balai Penelitian Tanaman Industri. Bogor. hal 9 – 22. _______, 1985, Pedoman Pengembangbiakan Musuh Alami Hama Tanaman Kelapa. Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Jakarta. hal 1 – 6. _______, 1986, Pengendalian Hama Kumbang Nyiur (Oryctes rhinoceros) Menggunakan Cendawan Metarhizium anisopliae dan virus Baculovirus oryctes. Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Jakarta. _______, 1989, Pengendalian Kumbang Kelapa Secara Terpadu. Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor. hal 114 – 115. _______, 1990, Pengendalian Hama Kumbang Nyiur (Oryctes rhinoceros L. Menggunakan Metarhizium anisopliae dan virus Baculovirus oryctes. Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Buletin Media Perkebunan. _______, 1995, Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. _______, 2005, Kebijakan Perlindungan Perkebunan. Direktorat Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. 20 hal. _______, 2005, Statistik Perkebunan Jawa Tengah. 178 hal. Baehaki, S. E, dan Noviyanti, 1993, Pengaruh umur biakan Metarhizium anisopliae strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat, hal 113 – 124. dalam E. Martono, E. Mahrub, N. S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 12 – 13 Oktober 1993. Barnet, H.L dan B.N. Hunter, 1972, Illustrated Genera of Fungi Imperpecti. Thried Edition. Burges Publishing Compan. Minnosota. hal 90 – 96.
Darwis, M, 1989, Pengaruh Jenis Media Organik dan Kedalaman Inokulum Metarhizium anisopliae terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros. Balai Penelitian Kelapa. Manado. Herdrajat, 2006, Kebijakan Perlindungan Tanaman Perkebunan Dalam Menyonsong Era Globalisasi. Masyarakat Perlindungan Tumbuhan dan Hewan Indonesia. Direktorat Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan. Hosang, M. L., A. A. Lolong, D. Michellia dan D. Sitepu, 1989, Pengendalian Hayati Oryctes rhinoceros L. Dengan Baculovirus oryctes dan Metarhizium anisopliae. Balai Penelitian Kelapa. Manado. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Gabriel, B. P. dan Riyatno, 1989, Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sor. Taksonomi, Patologi, Produksi, dan Aplikasinya. Proyek Pengembangan Perlindungan Tanaman Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. 25 hal. Genthner, F. J, S. S. Foss dan P. S. Glas, 2004, Virulence of Metarhizium anisopliae to Embryos of the Grass Shrimp Palaemonetes Pugio. U.S. Environmental Ptrotection Agency and National Research Council, Environmental Research Laboratory, 1 Sabine Island Drive, Gulf Breeze, Florida 32561. 18 Desember 2007. Gomez, 1983, An Statistical Prosedures for Agricultural Research. International Rice Research Institute Book. Second Edition. Kalshoven, L.G.E, 1981, The Pest of Crop in Indoneia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. 701 hal. Madry, B, 1993, Masalah Perlindungan Tanaman Kelapa di Indonesia. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa III. Buku II. Puslitbangtri. hal 89 – 108. Mangoendiharjo, S. dan E. Mahrub, 1983, Pengendalian Hayati. Jurusan Ilmu Hama Tumbuhan. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. hal 125 – 144. Michellia, D. dan D. Sitepu, 1989a, Jenis Media dan Metode Perbanyakan Metarhizium anisopliae Guna Penanggulangan Oryctes rhinoceros. Balai Penelitian Kelapa. Manado. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. _______,1989b, Kelapa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor. hal 127 – 129. Nazir, M, 1998, Metode Penelitian. Galia Indonesia.
Nirula, K. K, 1957, Observations on the green muscardine fungus in the population of Oryctes rhinoceros L. J. Econ. Entomol. 50 (6): 767 – 770 dalam Munaan, A., W. Rumini, I. Sriwulan, dan Suharyon. Evaluasi Usaha Pengendalian hayati Oryctes rhinoceros di Jawa Tengah. 1995. 99 hal. Pardede, DJ, R.Y. Purba, dan C.U. Ginting, 1997, Pengertian Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kelapa Sawit. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit. 24 Juni 1887 di Medan. hal 1 - 8. Prayogo, Y, W. Tengkano, dan Marwoto, 2004, Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian. Malang. Purba, R.Y, 2006, Sistem dan Aplikasi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. 17 hal. Sastrosupadi, A, 2000, Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Kanisius. Yogyakarta. 27 hal. Sitepu, D., 1988, Pengendalian Hama Oryctes dengan Jamur Metarhizium. Efektivitas, Pembiakan dan Penyebaran M. Anisopliae di Laboratorium Lapangan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur. 12 hal. Sitepu, D. dan S, Kharie, J. S., Warokka, dan M. F. J. Motulo, 1988a, Methods for the production and use of Metarhizium anisopliae againt Oryctes rhinoceros. In Annual Report. Integrated Coconut Pest Control Project. UNDP / FAO - CRI. Manado. _______, 1988b, Methods for the production and use of Metarhizium anisopliae againt Oryctes rhinoceros. In Annual Report of Integrated Coconut Pest Control Project. FAO / UNDP. Balai Litbang Pertanian. - CRI. Manado. Hal 104 – 111. Strack, B. H., 2004, Biological Control of Termites by the Fungul Entomopathogen Metarhizium anisopliae. en.wikipedia.org. 18 Desember 2007. Susilo, A., S. Santoso, dan H. A. Tutung, 1993, Sporulasi, viabilitas cendawan Metarhizium anisopliae (Metsenikoff) Sorokin pada media jagung dan patonesitasnya terhadap larva Oryctes rhinoceros, hal 104 – 111. dalam E. Martono, E. Mahrub, N. S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed). Simposium
Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 12 – 13 Oktober 1993. Untung, K, 1993, Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press. 271 hal. _______, K, 1996, Pengembangan Sistem Pertanian Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan.. Seminar Nasional Pertanian Berwawasan Lingkungan. Kampus USI. P. Siantar. 29 Juli 1996. hal 1 – 13. Wagiman, F.X, 2006, Sistem Pengamatan dan Pengendalian Eksplosi Hama Oryctes rhinoceros. Laboratorium Pengendalian Hayati. Jurusan Perlindungan Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 21 hal. Wahyono, T.E. dan Tarigan, N., 2007, Uji Patogenisitas Agen Hayati Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae Terhadap Ulat Serendang (Xystrocera festiva). Buletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 1 2007. htpp://www.pustakadeptan.go.id/media/data/uji-toksis. 19 Desember 2007. Warauw, J, 1985, Pengendalian Hayati pada Tanaman Kelapa di Indonesia. Widiyanti, N. dan S. Muyadihardja, 2004, Uji Toksisitas Jamur Metarhizium anisopliae Terhadap Nyamuk Aedes aegypty. www.litbang.depkes.go.id. hal 25 – 30. 19 Desember 2007. Wikardi, E.A, 1980, Penggunaan Baculovirus oryctes dan Metarhizium anisopliae dalam Pengendalian Biologi Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera; Scarabaeidae). Laporan Intern. Balittri. 16 hal. Wikipedia, 2004, Metarhizium anisopliae. htpp://www.en.wikipedia.org. 29 Nopember 2007. Wikipedia, 2004, Metarhizium anisopliae. htpp://www.answers.com/topic/ metarhizium anisopliae. 29 Nopember 2007. _______, 1983, Pengujian Penggunaan Virus dan Cendawan untuk Pengendalian O. rhinoceros. Laporan Balittri. Bogor. 16 hal. Wirjosoehardjo, S, 1985, Pedoman Pengembangbiakan Musuh Alami Hama Tanaman Kelapa. Departemen Pertanian. Jakarta. 70 hal.
Lampiran 1. Siklus hidup O. rhinoceros
a
d
b
c
Gambar 15. a. Telur (Foto: Mul, 2007), b. Larva (Foto: Mul, 2007), c. Pupa (Foto: Anonim, 1989), dan d. Imago (Foto: Anonim, 1989)
Lampiran 2. Eksplorasi cendawan M. anisopliae
a
b Gambar 16. a. Sarang O. rhinoceros berupa kotoran ternak (pupuk kandang), b. Membongkar sarang O. rhinoceros (Foto: Mul, 2007)
Lampiran 3. Hasil pemurnian cendawan M. anisopliae
A
Gambar 17. A. Biakan cendawan M. anisopliae pada media PDA dalam petridish (Foto: Mul, 2007), B dan C. Konidiofor, D. Konidia (ilustrasi) (Foto: Barnet, H.L dan B.N. Hunter, 1972)
Lampiran 4. Perbanyakan cendawan M. anisopliae pada media jagung
a
b Gambar 18. a. Inokulasi cendawan M. anisopliae pada media jagung, b. inkubasi media jagung yang telah dinokulasi cendawan M. anisopliae (Foto: Pri, 2007)
Lampiran 5. Hasil inokulasi biakan cendawan M. anisopliae pada media jagung
a
b Gambar 19. a. Media jagung yang mulai ditumbuhi miselia cendawan M. anisopliae berwarna putih, b. pertumbuhan selanjutnya berwarna hijau dan siap diaplikasikan (Foto: Mul, 2007)
Lampiran 6. Tempat penelitian
Gambar 20. Green house BPT-Bun (Foto: Mul, 2007)
Lampiran 7. Persiapan media sarang penelitian
a
b Gambar 21. a. Media sarang serbuk gergaji, b. Persiapan sterilisai media (Foto: Mul, 2007)
Lampiran 8. Sterilisasi media sarang
a
b Gambar 22. a. Sterilisasi media (Foto: Mul, 2007), b. Media yang sudah disteril ditempatkan pada pot penelitian (Foto: Pri, 2007)
Lampiran 9. Lay-out penelitian dan serangga uji (larva O rhinoceros)
a
b Gambar 23. a. Tata letak penelitian (Lay-out) dengan RAL, b. Larva O. rhinoceros sebagai serangga uji (Foto: Mul, 2007)
Lampiran 10. Aplikasi O. rhinoceros pada media sarang
a
b Gambar 24. a. Aplikasi larva O. rhinoceros media sarang serbuk gergaji, b. Aplikasi larva O. rhinoceros media sarang pupuk kandang (Foto: Mul, 2007)