KAJIAN KESESUAIAN TAMAN HUTAN RAYA DI KECAMATAN TONDON DAN KECAMATAN NANGGALA, KABUPATEN TANA TORAJA
YOSEPI KENDEKALLO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan, bahwa tesis “Kajian Kesesuaian Taman Hutan Raya di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, Kabupaten Tana Toraja” merupakan karya saya dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2008
Yosepi Kendekallo NIM: P051060121
ABSTRACT YOSEPI KENDEKALLO. 2008. Suitability Study of Grand Forest Park in Tondon Subdistrict and Nanggala Subdistrict of Tana Toraja Regency. Under the supervision of RINEKSO SOEKMADI, and I NENGAH SURATI JAYA. This study was conducted between October 2007- July 2008 in the tropical lowland rainforest around Tondon Sub-District and Nanggala Sub-District in Tana Toraja District of South Sulawesi Province. The objectives of this study are to determine the suitability index of ecological, socio-economic and cultural aspects to facilitate the change of forest status from protection forest KHLN to TAHURA without altering the primary functions of the area; and to analyze the management block of TAHURA. There are several stages to conduct this study include: 1) Prestudy to determine location, problems and questions of the research; 2) Data collection through field survey; 3) Data processing and analyzing, divided into spatial classification/reclassification, rescaling, buffering, weighting by ranking methods based on the expert judgment, suitability index and spatial overlay modeling technique. According to result of the study of biophysical and socioeconomic-cultural aspects, the suitability index derived is in the 3 rd category which means suitable within 36,49 point, close to the other three reference suitability index that are 38,16; 38,99 and 36,69. This result shows that the change of protection forest status to TAHURA is considerably suitable in Tondon SubDisctrict and Nanggala Sub-District. The area of main TAHURA candidate that positioned in the state forest area is 1.421,637 ha (12%), and the other TAHURA candidate within the public property status is 7.589,271 ha (66%). The management block area of main TAHURA candidate in the state forest area consists of protected block (556,729 ha) and utilization block (864,875 ha). Keywords : Protected Forest Area Nanggala (KHLN), Grand Forest Park (TAHURA), Suitability Index, protected block, utilization block
RINGKASAN YOSEPI KENDEKALLO. 2008. Kajian Kesesuaian Taman Hutan Raya di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, Kabupaten Tana Toraja. Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI, dan I NENGAH SURATI JAYA. Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu daerah strategis dan penting di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun kawasan hutannya seluas 156.906 ha (48,94%) saat ini mengalami banyak masalah, diantaranya penyerobotan lahan untuk perluasan areal pertanian maupun perkebunan, penebangan liar serta tumpang tindih pelaksanan program pemerintah dalam kawasan hutan. Salah satunya dalam Kawasan Hutan Lindung Nanggala (KHLN) sebagai bagian dari sub DAS Saddang hulu dengan potensi sumberdaya alamnya yang beragam.. Kondisi dan potensi tersebut di atas mengisyaratkan pentingnya pengelolaan KHLN yang lebih bijaksana untuk menjamin kelestarian sumber daya alam dan meningkatkan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat tanpa mengubah fungsi pokok kawasan. Saat ini upaya konkrit yang ingin diwujudkan pemerintah daerah adalah pembangunan Taman Hutan Raya (TAHURA) yang dimaksudkan untuk memperluas fungsi kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji indeks kesesuaian terhadap aspek ekologi/biofisik, sosial-ekonomi dan budaya dalam upaya pengubahan status KHLN menjadi kawasan konservasi dengan kategori TAHURA tanpa mengubah fungsi pokok kawasan dan mengkaji blok pengelolaannya. Ada beberapa tahapan penelitian yang dilakukan: 1) Pra penelitian untuk menentukan lokasi study, perumusan masalah dan tujuan. 2) Pengumpulan data dengan survey lapangan meliputi: analisis vegetasi, metode line transect, analisis habitat satwa, inventarisasi, ground check serta survei mendalam (deep survey). 3) Pengolahan dan analisis data, meliputi: klasifikasi/reklasifikasi, rescaling, pembuatan sempadan (buffering), pembobotan (weighting) dengan metode rangking berdasarkan penilaian 7 orang ahli (expert judgement), indeks kesesuaian (IK) dan pemodelan spasial dengan teknik spatial overlay modeling. Kajian kesesuaian calon TAHURA dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan reklasifikasi fungsi hutan berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Dalam penelitian ini fungsi hutan hanya dikategorikan dua, yakni: hutan lindung (HL) dan hutan non lindung. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap indikator yang digunakan untuk tiap kriteria dalam mengkaji IK calon TAHURA meliputi kriteria biofisik/ekologi dan kriteria sosial-ekonomi-budaya. Berdasarkan pendapat 7 responden ahli, kriteria ekologi mendapat total bobot tertinggi (w1IB) 0,5454 dan kriteria sosial-ekonomi-budaya dengan bobot (w1IS) 0,4546. Potensi sumber air sebagai salah satu indikator ekologi yang dinilai mendapat bobot (w11) 0,1643 dan skor (x1) 77,5. Potensi sumber air dan pasokannya yang melimpah merupakan salah satu wujud tetap terpeliharanya fungsi hidroorologis KHLN sehingga ekosistem yang ada penting untuk dilindungi. Indikator lainnya adalah vegetasi, satwa dan habitatnya dengan bobot (w 12) 0,1503 dan skor (x2) 60. Ada beberapa potensi vegetasi yang merupakan bagian
dari kumpulan plasma nutfah yang ditemukan dalam HL Nanggala: 1) 64 jenis anggrek diantaranya Arundina graminifolia, dan Paphiopedilum sp; 2) Jenis non anggrek 49 suku, 56 marga, 106 jenis yang juga berpotensi sebagai tanaman hias diantaranya Rhododendron sp; 3) 60 jenis tanaman obat-obatan dengan potensi spesies 7.815 individu/ha untuk habitus pohon. Berdasarkan hasil analisis vegetasi maka diperoleh indeks nilai penting (INP tertinggi baik pada tingkat pohon, tiang dan pancang adalah jenis ”asa” (Castanopsis buruana) dengan nilai berturut-turut 48,40%, 39,93% dan 42,23%. Sedangkan jenis satwa yang ditemukan adalah ceba (Macaca tonkeana) dan ayam hutan. Habitatnya terletak pada ketinggian 1.0001.300 meter dpl dan masih dalam kondisi baik. Indikator slope dengan bobot (w13) 0,1294 penting dalam pengelolaan hutan terutama untuk areal perlindungan hidroorologis dengan skor (x3) bervariasi. Skor tertinggi 100 pada areal seluas 40,630 ha dan sekaligus sebagai skor terpilih. Hasil bobot indikator curah hujan adalah (w14 ) 0,1014. Curah hujan rata-rata bulanan di kedua wilayah kecamatan 10 tahun terakhir adalah 369 mm/bulan dengan rata-rata jumlah hari hujan bulanan 13 hari menghasilkan skor (x4) 77,5. Selanjutnya penilaian indikator potensi objek dan atraksi sosekbud dengan dengan bobot (w15) 0,1084. Ada enam macam objek dan atraksi sosekbud yang berpotensi menjadi ODTW yakni Marante, habitat kelelawar dan aset budaya, bentang alam, habitat ceba dan ayam hutan, situ Lengke’ serta simbuang batu dan patane sehingga skornya (x5) 100. Indikator penutupan lahan/landcover bobotnya (w 16) 0,1434. Komposisi landcover yang menempati indeks tertinggi sebagai patokan yakni tutupan lahan hutan sekunder 283,211 ha (2,443%), sehingga skornya (x6) 82. Indikator masyarakat dan lingkungan bobotnya (w17) 0,1084. Kecamatan Nanggala memiliki sembilan lembang dan satu lembang (Tondon Langi) di Kecamatan Tondon yang arealnya berada atau berbatasan langsung dengan KHLN. HL terluas 1.270,020 ha (31,760%) berada di Lembang Karre Limbong, Kecamatan Nanggala. Jumlah penduduknya di kedua kecamatan 16.880 jiwa yang berbanding dengan kepadatan penduduk 115 jiwa/km2 sehingga skor terpilih adalah 79,7. Variabel tingkat pendidikan ini menghasilkan skor 10. Mata pencaharian masyarakat kedua kecamatan adalah sebagai petani, menghasilkan skor 50. Variabel tata guna tanah dan perencanaan sesuai dengan rencana pembentukan TAHURA sehingga dihasilkan skor 100. Indikator potensi fasilitas umum bobotnya (w18) 0,0994 dan skornya berturut-turut 67,5 dan 32,5. Berdasarkan hasil kajian, maka diperoleh IK calon TAHURA 38,58 atau kategori sesuai (3) untuk perubahan status KHLN menjadi kawasan konservasi dengan kategori TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala dan IK calon TAHURA pembandingnya berturut-turut 38,27, 39,92 dan 37,93. Luas areal untuk calon TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala adalah 1.421,637 ha (12%) untuk calon TAHURA utama yang merupakan hak milik negara dan 7.589,271 ha (66%) merupakan calon TAHURA lain dengan status hak milik masyarakat yang dikategorikan juga sebagai blok penyangga. Luas blok pengelolaan dalam calon TAHURA utama terdiri atas blok perlindungan 556,729 ha dan blok pemanfaatan 864,875 ha. Kata kunci: Kawasan Hutan Lindung Nanggala, taman hutan raya, indeks kesesuaian
@Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Alinda F. Zain, MSc
KAJIAN KESESUAIAN TAMAN HUTAN RAYA DI KECAMATAN TONDON DAN KECAMATAN NANGGALA, KABUPATEN TANA TORAJA
YOSEPI KENDEKALLO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
Nama
: Kajian Kesesuaian Taman Hutan Raya di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, Kabupaten Tana Toraja : Yosepi Kendekallo
NRP
: P 05106012
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui: Komisi Pembimbing:
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Ketua
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof . Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS
Tanggal Ujian: 27 Agustus 2008
Tanggal Lulus:
PRAKATA Penulis bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan Rahmat dan Berkat-Nya, sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul “KAJIAN KESESUAIAN TAMAN HUTAN RAYA DI KECAMATAN TONDON DAN KECAMATAN NANGGALA, KABUPATEN TANA TORAJA” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilaksanakan dalam periode Oktober 2007 sampai dengan Juli 2008, berlokasi di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Penelitian dilatarbelakangi oleh adanya rencana Pemerintah Kabupaten Tana Toraja untuk merubah status Kawasan Hutan Lindung Nanggala menjadi kawasan konservasi dengan kategori Taman Hutan Raya yang merupakan salah salah satu kawasan hutan bagian dari Sub DAS Saddang hulu yang penting di Kabupaten Tana Toraja. Sebagai rimbawan muda, penulis terpanggil untuk berbuat sesuatu, sebelum rencana Pemda ini dilaksanakan dengan melakukan studi awal dan melihat bagaimana tingkat kesesuaian perubahan status kawasan ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. selaku pembimbing utama yang telah membimbing dan memberikan saran berharga dalam pelaksanaan maupun penulisan tesis. Demikian pula untuk Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr selaku pembimbing kedua yang telah mengenalkan saya tentang penataan ruang dan software Arc View sebagai tools yang dapat memberikan informasi penting serta menunjang dalam pengambilan keputusan terutama dalam pengelolaan kawasan hutan, terima kasih atas arahan dan bimbingannya. Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja dan staf, Bpk. Uus, Mas Edwin, Kak Sahabuddin, Kak Thoni sekeluarga, Kak Yosep, Pak Samsuddin, Kak Albert Kodea sekeluarga, Kak Heri, Kak Melewanto, Kak Rudi sekeluarga dan teman-teman yang lain atas pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini yang membantu kelancaran proses penelitian. Terima kasih juga kepada teman-teman PSL dan IPK angkatan 2006, sahabatku Kak Marthina Lebang, atas dukungan dan support semangatnya. Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis haturkan untuk kedua orang tuaku Marthen Luther Bara’ dan Ibu Yustina Parirak atas perhatian, doa dan kasih sayangnya. Kepada Kak Tina sekeluarga, Kak Rampak, Kak Gaby sekeluarga, Neli sekeluarga, sahabat terbaikku Alberto Tambing Tanduklangi, terima kasih atas pengorbanan, doa dan cinta tulus kalian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2008
Yosepi Kendekallo
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rantepao, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Maret 1980 dari Bapak Marthen Luther Bara’ dan Ibu Yustina Parirak. Penulis merupakan putri keempat dari lima bersaudara. Pada Tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan dasar dari SD Negeri Nomor 108 Rantelemo, pendidikan lanjutan tingkat pertama Tahun 1995 dari SMP Katolik Makale dan pendidikan lanjutan tingkat atas pada Tahun 1998 dari Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Ujung Pandang serta
Tahun 2006
menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dari Program Studi Manajemen Hutan, Universitas Winaya Mukti, Jatinangor, Bandung. Pada tahun yang sama (2006), penulis melanjutkan studi tingkat magister di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana
Institut
Pertanian Bogor. Penulis bekerja pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja, sejak Tahun 1999 sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... x DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv I. PENDAHULUAN........... ........................................................................... 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1.2 Kerangka Pemikiran.......................................................................... 1.3 Perumusan Masalah .......................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 1.6 Ruang Lingkup..................................................................................
1 1 4 7 8 8 9
II. TINJAUAN PUSTAKA.......... ................................................................... 2.1 Kawasan Lindung dan Konservasi Sumberdaya Alam ..................... 2.2 Kategori Kawasan Dilindungi atau Kawasan Konservasi ............... 2.3 Pengelolaan Hutan ........................................................................... 2.4 Bank Plasma Nutfah dan Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi ................................................................................................ 2.5 Taman Hutan Raya (TAHURA) ....................................................... 2.6 Penataan Ruang dan Kesesuaian Lahan ............................................ 2.7 Jenis-jenis Metode yang Digunakan .................................................
10 10 13 18
III. METODOLOGI PENELITIAN...... .......................................................... 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 3.3 Rancangan Penelitian ....................................................................... 3.3.1 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ...................................... 3.3.2 Tahapan Penelitian ...................................................................
32 32 32 32 32 36
IV KEADAAN UMUM WILAYAH ........ ..................................................... 4.1 Kondisi Biofisik ............................. .................................................. 4.1.1 Letak dan Luas ......................................................................... 4.1.2 Iklim ......................................................................................... 4.1.3 Topografi dan Tanah ................................................................ 4.1.4 Hidrologi .................................................................................. 4.1.5 Vegetasi dan Satwa ..................................................................
64 64 64 66 66 67 69
4.2
Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya......... ...................................... 4.2.1 Demografi ................................................................................ 4.2.2 Penggunaan Lahan dan Perekonomian Masyarakat................. 4.2.3 Sarana dan Prasarana................................................................
20 22 27 28
71 71 72 76
……Lanjutan Daftar Isi V HASIL DAN PEMBAHASAN ........... ...................................................... 5.1 Keterkaitan Hutan dan Adat di Kabupaten Tana Toraja ................... 5.2 Kearifan dan Sejarah Hutan Lindung Nanggala ............................... 5.3 Kajian Kesesuaian Calon Taman Hutan Raya (TAHURA) .............. 5.3.1 Komposisi Kawasan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala .................................................................................. 5.3.2 Reklasifikasi Fungsi Hutan ...................................................... 5.3.3 Deliniasi Peta Fungsi Hutan dan Calon TAHURA .................. 5.3.4 Pembobotan (weighting) .......................................................... 5.3.5 Analisis Terhadap Indikator yang digunakan untuk Tiap Kriteria dalam Mengkaji Kesesuaian Calon Taman Hutan Raya (TAHURA....................................................................... 5.3.6 Indeks Kesesuaian (IK) Calon TAHURA................................ 5.4 Penataan Zona /Blok Pengelolaan dalam Calon TAHURA................. 5.4.1 Blok Pengelolaan dalam Calon TAHURA Utama................... 5.4.2 Blok Pengelolaan dalam Calon TAHURA Lain ......................
77 77 79 82 84 86 86 97
101 117 118 120 125
VI KESIMPULAN DAN SARAN .. ............................................................... 130 6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 130 6.2 Saran.................................................................................................. 130 DAFTAR PUSTAKA ................ ...................................................................... 131 LAMPIRAN ..................................................................................................... 135
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Matriks 6 kategori kawasan konservasi ...............................................
2.
Kriteria, indikator, variabel dan metode pengumpulan serta pengolahan dan analisis data/informasi yang digunakan dalam penelitian ............. 37
3.
Ukuran plot, jenis data dan teknik analisis vegetasi ............................
38
4.
Rancangan tabel kriteria dan indikator dalam pembobotan .................
44
5.
Klasifikasi kelas lereng dan skornya....................................................
46
6.
Klasifikasi kelas tanah dan skornya .....................................................
46
7.
Klasifikasi kelas intensitas hujan dan skornya.....................................
46
8.
Rancangan tabel indikator sumber air dengan beberapa variabel ........
49
9.
Rancangan tabel indikator vegetasi dan satwa .....................................
50
10.
Kriteria untuk menentukan prioritas konservasi bagi perlindungan spesies dan komunitas (Indrawan et al. 2007) .....................................
50
11.
Variable yang digunakan dalam penilaian indikator lereng ........................
52
12.
Variable yang digunakan dalam penilaian indikator curah hujan ........
52
13.
Indikator objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya dengan beberapa variabel ................................................................................................
53
14.
Indiaktor penutupan lahan....................................................................
53
15.
Indikator masyarakat dan lingkungan dengan beberapa variabelnya ..
54
16.
Indikator potensi fasilitas umum dan variabelnya ...............................
55
17.
Kriteria blok /zona pengelolaan dalam TAHURA...............................
57
18.
Bentuk dan metode pengambilan data .................................................
59
19.
Penilaian terhadap objek dan atraksi wisata alam................................
59
20.
Penilaian akseptibilitas masyarakat......................................................
61
21.
Penilaian peluang pemberdayaan masyarakat......................................
62
22.
Keadaan lembang/kelurahan yang ada di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala ...........................................................................
65
Keadaan curah hujan 10 tahun terakhir di Kecamatan Nanggala dan sekitarnya .............................................................................................
66
24.
Kapasitas produksi PDAM Kabupaten Tana Toraja Tahun 2007........
69
25.
Keadaan penduduk di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala
71
23.
17
……Lanjutan Daftar Tabel 26.
Fasilitas pendidikan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala
72
27.
Penggunaan lahan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala ..
73
28.
Produktifitas beberapa jenis tanaman budidaya di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala.....................................................................
74
Populasi ternak masyarakat di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala ..............................................................................................
75
Keadaan sarana-prasarana di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala ..............................................................................................
76
29. 30. 31.
Cakupan pelayanan air minum oleh PDAM di Kabupaten Tana Toraja 84
32.
Fungsi hutan menurut TGHK di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala ..............................................................................................
85
33.
Hasil pembobotan dengan 7 orang ahli ................................................
97
34.
Bobot dari hasil penilaian ahli dengan jumlah terbanyak untuk urutan tingkat kepentingan yang bernilai 1 pada indikator yang dinilai ......... 100
35.
Penilaian ahli dengan jumlah terbanyak untuk urutan tingkat kepentingan yang bernilai 7 pada indikator yang dinilai ..................... 100
36.
Hasil penilaian dengan bobot yang seimbang untuk tiap indikator yakni 0,1250 ......................................................................................... 100
37.
Kondisi 5 vegetasi pohon yang dinilai ................................................. 106
38.
Kondisi 2 satwa yang dinilai
39.
Hasil interpretasi komposisi 5 kelas lereng.......................................... 109
40.
Hasil penilain 6 ODTW dalam blok pemanfaatan wisata alam ........... 125
41.
Hasil penilain tingkat akseptibilitas masyarakat 6 ODTW dalam blok pemanfaatan wisata alam ..................................................................... 126
42.
Hasil penilain peluang pemberdayaan masyarakat 6 ODTW dalam blok pemanfaatan wisata alam ............................................................. 127
................................ 107
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran dalam upaya pencapaian pengelolaan kawasan hutan lindung Nanggala dengan kategori TAHURA yang sustainable ............... 6
2.
Kategori kawasan konservasi dan pengklasifikasian ................................. 18
3.
Peta lokasi penelitian.................................................................................. 34
4.
Tahapan penelitian ..................................................................................... 35
5.
Bentuk dan urutan rencana petak contoh ................................................... 38
6.
Jenis tanaman Monochoria vaginalis......................................................... 67
7.
Sebuah tongkonan yang dikelilingi hutan, kebun dan sawah .................... 77
8.
Gambaran hutan lindung di: a) Lembang Tandung Nanggala; b) Lembang Karre Limbong...................................................................... 85
9.
Perbandingan luas kawasan hasil analisis spasial ...................................... 87
10.
Peta kelas lereng di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala .......... 88
11.
Peta jenis tanah di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala ............ 89
12.
Peta kelas curah Hujan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala 90
13.
Peta fungsi hutan berdasarkan hasil reklasifikasi pertama......................... 91
14.
Peta buffer pada sumber air di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala ................................................................................. 92
15.
Peta fungsi hutan berdasarkan hasil reklasifikasi kedua. ........................... 93
16.
Peta fungsi hutan menurut hasil TGHK ..................................................... 94
17.
Peta fungsi hutan dan calon TAHURA pertama ........................................ 95
18.
Peta fungsi futan dan calon TAHURA kedua ............................................ 96
19.
Peta hidrologi sebagai potensi sumber air di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala ................................................................................. 104
20.
Jenis pakan lebah madu yang ditemukan di dalam dan di sekitar KHLN . 108
21.
Peta letak beberapa ODTW di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala .................................................................................................... 112
22.
Peta penutupan lahan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala .. 114
23.
Peta fungsi hutan dan blok pengelolaan calon TAHURA ......................... 119
24.
Peta blok pengelolaan dalam calon TAHURA utama sebelum deliniasi... 122
25.
Peta blok pengelolaan dalam calon TAHURA utama sesudah deliniasi ... 123
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Beberapa jenis tanaman yang ditemukan dalam calon TAHURA ............. 135
2.
Hasil analisis vegetasi dan peta plot........................................................... 141
3.
Potensi objek dan daya tarik wisata (ODTW)............................................ 153
4.
Penutupan lahan dan status kepemilikan lahan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala ................................................................................. 161
5.
Hasil kusioner di blok pemanfaatan wisata alam calon TAHURA lain..... 163
6.
Kegiatan yang sudah dilakukan dalam kawasan hutan lindung Nanggala (KHLN)...................................................................................... 166
7.
Hasil pembobotan dan kajian indek kesesuaian calon TAHURA ............. 169
8.
Hasil analisis spasial .................................................................................. 177
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Sumber daya alam termasuk hutan bagi masyarakat pra-sejahtera di
pedesaan merupakan sumber mata pencaharian untuk kehidupan mereka. Sementara itu hutan juga mempunyai fungsi lingkungan atau jasa lingkungan sehingga perlu dikonservasi dan dilindungi. Jasa lingkungan yang dihasilkan dapat berupa fungsi daerah aliran sungai (DAS), penyerapan karbon, keanekaragaman dan keindahan alam. Pemberian hak atas lahan dalam kebijakan hutan kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu bentuk imbalan jasa lingkungan yang bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa hutan (Suyanto dan Khususiyah 2006). Jasa tersebut diatas juga berlaku di dalam kawasan lindung. Manfaat nyata yang diberikan kawasan lindung antara lain fungsi hidroorologis (pencegahan banjir, erosi dan longsor), perlindungan peninggalan budaya serta flora-fauna, mengurangi emisi CO2, mencegah pemanasan global, serta mencegah abrasi angin dan air laut. Manfaat yang intangible ini, mengakibatkan kawasan lindung dianggap sebagai sumber daya milik umum (common property) yang kemudian dipersepsikan berbeda menurut ruang dan waktu sehingga dalam prakteknya manfaat tersebut sulit dikelola. Kabupaten Tana Toraja dengan luas 320.577 ha termasuk salah satu daerah strategis dan penting baik ditinjau dari aspek ekologi, lingkungan hidup maupun aspek pembangunan sosial-ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara fisik Tana Toraja merupakan daerah perbukitan dan pegunungan. Letaknya berada di hulu DAS Saddang dengan panorama bentang alam dan objek wisata lain yang menarik seperti situs-situs budaya yang kebanyakan berada dekat atau dalam kawasan hutan. Tipe hutannya adalah hutan pegunungan rendah dengan keanekaragaman jenis flora-fauna dan habitatnya serta budaya yang tinggi seperti dijumpai dalam acara rambu solo’ dan rambu tuka’ (upacara kedukaan maupun upacara kegembiraan). Tana Toraja juga merupakan salah satu daerah dengan curah hujan tinggi dengan kisaran antara 100 sampai dengan 400 mm/bulan (BPS
2 2007a). Oleh karena itu penetapan kawasan hutan lebih didominasi oleh hutan dengan fungsi lindung (Dishutbun 2007). Berdasarkan hasil tata guna hutan kesepakatan (TGHK) pada Tahun 1980, kawasan hutan di Tana Toraja seluas 156.906 ha (48,94% dari luas wilayah Toraja) ditetapkan sebagai hutan lindung (HL) seluas 138.101 ha dan selebihnya (18.805 ha) merupakan hutan produksi (HP). Tanggung jawab pengelolaan HP kemudian diserahkan kepada pihak Inhutani III oleh pemerintah sejak Tahun 1990 sampai sekarang. Sedangkan tanggung jawab pengelolaan HL menjadi wewenang Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun ) Kabupaten Tana Toraja (Dishutbun 2007). Saat ini kawasan hutan di Tana Toraja mengalami banyak masalah, diantaranya penyerobotan lahan untuk perluasan areal pertanian maupun perkebunan serta penebangan liar yang juga menjadi salah satu penyebab makin luasnya lahan kritis. Data lahan kritis sampai dengan Tahun 2007 dalam kawasan hutan mencapai 33.821 ha dan luar kawasan hutan 39.456 ha (Dishutbun 2007). Masalah lain adalah terjadinya tumpang tindih pelaksanan program pemerintah dalam kawasan hutan. Salah satu kawasan hutan yang dimaksud adalah Kawasan Hutan Lindung Nanggala (KHLN). Masalah tumpang tindih pelaksanaan program pembangunan yang terjadi dalam KHLN saat ini, antara lain (Lampiran 6): a. Adanya program hutan rakyat (social forestry) yang dilaksanakan sejak Tahun 2000 sampai sekarang. Karena pengelolaannya kurang baik, maka berdampak pada pengurangan luas HL akibat makin maraknya perambahan dan klaim areal HL yang berbatasan dengan hutan milik (misalnya tanah tongkonan). b. Pengelolaan potensi sumber mata air dan air terjun diantaranya lokasi Wairede oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tana Toraja yang belum dilaksanakan dengan baik sehingga menimbulkan konflik. c. Dibangunnya areal model silvikultur intensif (SILIN) seluas 50 ha pada Tahun 2006 sebagai wujud dari kegiatan pengembangan jenis tanaman endemik dataran tinggi di Lembang Nanna’ Nanggala, Kecamatan Nanggala hasil kerjasama antara Balai Penglolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Saddang dengan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) UNHAS yang
3 dicadangkan untuk menjadi arboretum. Arboretum ini nanti bisa difungsikan untuk memajukan ilmu pengetahuan tetapi, saat ini areal tersebut tidak terawat dengan baik (BP DAS 2006). d. Diberikannya izin kepada PT Royal Cresh Indonesia pada awal Tahun 2007 untuk melakukan penyadapan getah pinus dengan konsesi seluas 500 ha pada beberapa lokasi hutan yang letaknya menyebar di beberapa kecamatan termasuk di dalam KHLN (Dishutbun 2007). Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah: a. Letak KHLN khususnya Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala yang berada di sub DAS Saddang hulu, berarti sangat penting dan potensial sebagai area tangkapan air (catchment area). Luas keseluruhan sub DAS Saddang hulu adalah 175.837 ha atau 54,04% dari total DAS di Kabupaten Tana Toraja (BP DAS 2007). b. Potensi sumber daya alam yang beragam diantaranya, panorama alam, situ (0,20 ha) yang merupakan habitat burung belibis, ayam hutan, karapuak, burinti dan ular hitam. Beberapa jenis pohon langka seperti damar, banga, iyasah dan lamben serta keanekaragaman hayati lainnya seperti kupu-kupu, monyet, babi hutan, burung alo, kaluppini, dan lain sebagainya yang merupakan hewan endemik Tana Toraja (Toding 2007). c. Hasil eksplorasi para ahli tanaman dari Kebun Raya Eka Bali pada Tahun 2002 yang menemukan 64 jenis anggrek (25 marga) diantaranya Arundina graminifolia, Phalaenopsis sp, Phaius flavus dan Paphiopedilum sp (Pendit et al. 2002). d. Hasil penelitian IPB Tahun 2003 yang menemukan 60 jenis tanaman obatobatan di Hutan Lindung Nanggala II (LPPM 2003). e. Adanya objek wisata dalam hutan adat misalnya rumah adat (tongkonan) dan habitat kelelawar yang berbatasan dengan HL Nanggala. f. Tekanan terhadap KHLN berupa kegiatan wisata alam karena letak Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, Taman Wisata Alam Nanggala III.
4 Kondisi dan potensi tersebut di atas mengisyaratkan pentingnya dilakukan pengelolaan KHLN yang lebih bijaksana untuk menjamin kelestarian sumber daya alam dan meningkatkan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat tanpa mengubah fungsi pokok kawasan. Upaya pengelolaan kawasan hutan khususnya dalam KHLN sebenarnya juga sejalan dengan tema pembangunan dalam rangka pelaksanaan tahun ketiga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Tana Toraja Tahun 2008: pembangunan berkelanjutan yang partisipatif, terpadu, harmonis dengan pendekatan kawasan, dan visi Dishutbun dalam Rencana Strategis (Renstra) 2006-2010: terwujudnya kelestarian fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dan meningkatkan hasil kebun untuk kesejahteraan rakyat guna mendukung pembangunan daerah. Saat ini upaya konkrit yang ingin diwujudkan Pemda adalah pembangunan Taman Hutan Raya (TAHURA) dalam Kawasan Hutan Lindung Nanggala (KHLN) tanpa mengubah fungsi pokok kawasan. Pengubahan status dari HL menjadi TAHURA dimaksudkan untuk memperluas fungsi kawasan tersebut. TAHURA merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (UU Nomor 5 Tahun 1990). Program pembangunan TAHURA ini diharapkan bisa terlaksana dengan baik jika memenuhi kriteria dan indikator penting yang dibutuhkan. Hal ini terkait dengan asas dan tujuan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya yang ingin diwujudkan yakni pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (pasal 2 dan 3 UU Nomor 5 Tahun 1990).
1.2
Kerangka Pemikiran Kawasan hutan di Nanggala pada awalnya merupakan hutan adat dan
kemudian setelah dilakukan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), sebagian arealnya resmi ditetapkan sebagai hutan lindung (HL) Nanggala dengan Surat
5 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 760/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 seluas 15.928 ha. HL Nanggala setelah terjadi beberapa kali pemekaran kecamatan, secara administratif mencakup beberapa wilayah kecamatan juga termasuk Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala (Dishutbun 2007). Meskipun statusnya sudah menjadi hutan lindung, tetapi masalah yang timbul tetap ada. Oleh karena itu penting untuk melakukan pengelolaan lebih bijaksana agar kelestarian sumber daya alamnya tetap terjamin dan bermanfaat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka Pemda Kabupaten Tana Toraja merencanakan pembangunan taman hutan raya (TAHURA) dalam KHLN tanpa mengubah fungsi pokok kawasannya. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesesuaian pengubahan status KHLN menjadi TAHURA, maka perlu dilakukan suatu kajian terhadap aspek ekologi (biofisik), sosial-ekonomi dan budaya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara diagramatik dalam kerangka pemikiran pada Gambar 1.
6 Kab. Tana Toraja sebagai daerah penting dan strategis
Kawasan Hutan Lindung Nanggala sebagai bagian dari Kab. Tana Toraja
Perambahan hutan dan penebangan liar berdampak pada pengurangan luas hutan dan penambahan luas lahan kritis (-) TT merupakan salah satu tujuan wisata (+)
KHLN termasuk dalam kawasan HL Nanggala yang juga bagian dari wilayah sub DAS Saddang hulu (+) Keanekaragaman hayati dan ekosistem KHLN belum dikelola dengan baik (-) Terjadi tumpang tindih pemanfaatan KHLN (-)
Perlu dikelola lebih bijaksana untuk menjamin kelestarian SDA-nya dan meningkatkan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat
1. 2.
3.
Pemenuhan fungsi kawasan konservasi : Sebagai wilayah perlindungan system penyanggah kehidupan Sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya Untuk pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
ya Analisis faktor berpengaruh
Aspek Ekologi / biofisik
Pemenuhan kriteria dan indikator kawasan untuk dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi (dasar: K&I, UU 5/1990, PP 68/1998, Kepres 32/1990 dan IUCN)
Apa memenuhi Kriteria dan indikator pengelolaan TAHURA ?
Aspek sosial-ekonomi & budaya
Tidak
Perlu alternative penggunaan lain yang sesuai
Aspek Kelembagaan
Indeks kesesuaian calon TAHURA
RTRW Kab
Blok-blok kawasan
Pengelolaan kawasan dilindungi yang sustainable Gambar 1 Kerangka pemikiran dalam upaya pencapaian pengelolaan kawasan hutan lindung Nanggala dengan kategori TAHURA yang sustainable.
7 1.3. Perumusan Masalah Kondisi dan potensi hutan di Tana Toraja saat menjadi hal penting yang perlu diperhatikan untuk kemudian dikelola dengan lebih bijaksana. Hal ini didasari oleh makin luasnya lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, meningkatnya pencurian hasil hutan (baik satwa maupun illegal logging) dan pengurangan luas kawasan hutan serta masalah–masalah lain yang mengancam kelestarian hutan (khususnya HL). Upaya pengelolaan kawasan hutan kearah yang lebih baik juga sejalan dengan tema pembangunan yang ingin diwujudkan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan tahun ketiga RPJMD Tahun 2008 di Tana Toraja: pembangunan berkelanjutan yang partisipatif, terpadu, harmonis dengan pendekatan kawasan dan visi Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam Renstra 2006-2010: terwujudnya kelestarian fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dan
meningkatkan hasil kebun untuk kesejahteraan rakyat guna mendukung
pembangunan daerah. Salah satu kawasan HL yang saat ini mengalami banyak masalah adalah Kawasan Hutan Lindung Nanggala (KHLN) yang terdapat di wilayah Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala. Dengan melihat kondisi dan potensi KHLN yang ada saat ini, maka diperlukan suatu pengelolaan KHLN yang menjamin kelestarian sumber daya alam dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengubah fungsi pokok kawasan, yakni dengan pembangunan kawasan konservasi dengan kategori TAHURA di dalam KHLN yang juga dimaksudkan untuk lebih memperluas fungsi KHLN tersebut. TAHURA merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (UU Nomor 5 Tahun 1990). Pengelolaan TAHURA diupayakan tidak mengurangi luas dan tidak mengubah fungsi pokok ekologis kawasan. Dalam pengembangannya diutamakan menampilkan koleksi jenis tumbuhan dan satwa yang ada dan menjadi kebanggaan propinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan. Dalam hal dijumpai
8 adanya kerusakan habitat dan penurunan populasi satwa yang dilindungi undangundang atau satwa penting lainnya, setelah melalui pengkajian seksama, dapat dilangsungkan kegiatan pembinaan habitat/populasi dan rehabilitasi kawasan. Masyarakat setempat secara aktif diikutsertakan untuk mendapatkan kesempatan lapangan kerja dan peluang berusaha, dan kegiatan pengusahaan wisata alam dapat diberikan kepada pihak ketiga, baik koperasi, BUMN/BUMD, swasta maupun perorangan. Untuk kepentingan pengelolaan kawasan, TAHURA ditata kedalam blok-blok pengelolaan yang terdiri dari blok perlindungan dan blok pemanfaatan (Ditjen PHKA 2008). Program pembangunan TAHURA ini diharapkan bisa terlaksana dengan baik jika memenuhi kriteria dan indikator penting yang dibutuhkan, oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian kesesuaian terhadap aspek ekologi, sosialekonomi dan budaya. Hal ini terkait dengan asas dan tujuan konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya yang ingin diwujudkan yakni pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia tanpa mengubah fungsi pokok kawasan. 1.4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji indeks kesesuaian aspek atau
kriteria ekologi/biofisik, sosial-ekonomi dan budaya dalam upaya pengubahan status kawasan hutan lindung Nanggala menjadi kawasan konservasi dengan kategori taman hutan raya tanpa mengubah fungsi pokok kawasan dan mengkaji blok pengelolaannya. 1.5
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:
a. Pemerintah: sebagai salah satu sumber informasi dan masukan dalam pengembangan pengelolaan kawasan hutan yang dilindungi di Kabupaten Tana Toraja. b. Masyarakat: khususnya bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar KHLN, bisa menjadi media informasi bagi mereka sehingga dapat
9 berpartisipasi
dalam
pengelolaan
KHLN
untuk
meningkatkan
kesejahteraannya. 1.6
Ruang Lingkup Kajian indeks kesesuaian dalam penelitian ini mencakup kesesuaian
spasial dan kesesuaian indeks perubahan status KHLN menjadi kawasan konservasi dengan kategori TAHURA serta kajian blok pengelolaannya dengan pembatasan kajian pada beberapa kriteria, yaitu: a. Kajian terhadap kriteria biofisik atau ekologi: (a) Indikator kelerengan/slope: jenis slope dan ketinggian tempat (b) Indikator tanah: jenis dan tingkat kepekaannya terhadap erosi (c) Indikator curah hujan: intensitas hujan (d) Indikator potensi sumber air: jumlah dan jenis sumber air (e) Indikator
potensi vegetasi, satwa dan habitatnya: jenis, keadaan serta
kondisinya b. Kajian terhadap aspek sosial-ekonomi dan budaya: (a) Indikator potensi objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya: jenis dan jumlah, letak serta keadaan objek yang berpotensi untuk wisata alam (b) Indikator penutupan lahan/landcover: jenis penutupan lahan, status dan luasnya (c) Indikator masyarakat dan lingkungan: jumlah dan kepadatan penduduk per km 2, tata ruang dan perencanaan, tingkat pendidikan dan mata pencaharian penduduk (d) Indikator fasilitas umum: jenis dan jumlah sarana prasarana
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kawasan Lindung dan Konservasi Sumberdaya Alam Kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan (MacKinnon et al. 1990 dalam Amir 1993). Regulasi yang lebih luas tentang fungsi lindung pada suatu kawasan di Indonesia diundangkan melalui UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pemahaman yang lebih integratif atas kawasan lindung dan fungsi lindung suatu kawasan serta pengelolaan kawasan tersebut kemudian diberikan oleh Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan diperkuat melalui UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pemahamana kawasan lindung dalam kepres ini juga sejalan dengan pengertian kawasan lindung menurut MacKinnon et al. (1990) dalam Amir (1993) yakni kawasan yang ditetapkan dengan fungsi umum melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kepres juga kemudian membagi kawasan lindung menjadi empat kategori, meliputi: a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya (kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air). b. Kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk dan kawasan sekitar mata air). c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya (kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya (TAHURA) dan taman wisata alam serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan). d. Kawasan rawan bencana alam (kawasan yang diidentifikasikan sering berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi dan tanah longsor).
11 Penetapan dalam peraturan ini menggeser orientasi perlindungan dari pendekatan sektoral ke pendekatan wilayah yang terpadu dimana kawasan lindung berupa hutan, baik itu kawasan pelestarian alam (KPA) maupun hutan lindung (HL) merupakan bagian dari suatu kesatuan kawasan lindung yang lebih luas. Peraturan ini juga memberikan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah, propinsi maupun kabupaten/kota dalam perencanaan dan penetapan kawasan lindung di daerahnya serta pengelolaan melalui pengendalian pemanfaatan ruang kawasan lindung. Hal ini kemudian menjadi sangat jelas dalam penjabaran hutan lindung menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (pasal 1). Pemanfaatannya dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (pasal 26). Meskipun hutan lindung berfungsi sebagai tempat perlindungan sumberdaya alam hayati, tetapi tidak digolongkan kawasan konservasi karena pengawetan keanekaragaman hayati bukan merupakan tujuan utamanya (Setiawan dan Alikodra 2001). Pengelolaan
kawasan
konservasi
sumberdaya
alam
hayati
dan
ekosistemnya (KPA dan KSA) bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan (Pasal 3, PP Nomor 68 Tahun 1998). Sedangkan menurut MacKinnon et al. (1990) dalam Amir (1993), kegiatan konservasi sumberdaya alam merupakan konsep pelestarian yang modern dimana terdapat pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Hal ini sejalan dengan pengertian International Union For Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), United Nations Environment Programme (UNEP) dan World Wildlife Fund (WWF) pada Tahun 1991, bahwa dasar utama strategi konservasi alam adalah perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam (SDA) dan meningkatkan kondisi
12 sosial dan ekonomi masyarakat yang kesemuanya mengarah pada pembangunan berkelanjutan (Angi 2005; Irwanto 2006 ). Kebijakan Nasional dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia diimplementasikan
menjadi
salah
satu
Kebijakan
Prioritas
Departeman
Kehutanan, yaitu: rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan. Secara nasional Departemen Kehutanan telah menetapkan visi Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) kedepan, yaitu: “terwujudnya konservasi sumberdaya alam hutan dan ekosistemnya yang aman dan mantap secara legal formal, didukung kelembagaan yang kuat dalam pengelolaannya serta mampu memberikan manfaat optimal kepada masyarakat” (Renstra PHKA 2005-2009 dalam Direktorat Konservasi Kawasan 2006). Sedangkan strategi pengelolaan kawasan konservasi dalam jangka panjang ditetapkan dalam dua kerangka penting: a. Meningkatkan efektifitas pengelolaan, melalui: (a) penataan kawasan, (b) rencana pengelolaan dan implementasi terpadu, (c) pemahaman potensi dan pengaturan pemanfaatan, (d) peningkatan kerjasama, (e) peningkatan kapasitas kelembagaan, (f) pemanfaatan hasil penelitian/kajian. b. Membangun Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) baru dengan memperhatikan standar/kriteria/proses serta kajian aspek ekologi, sosial ekonomi dan budaya, pengelolaan dan kelembagaan. Khusus
kebijakan
kelembagaan,
pengelolaan
kawasan
konservasi
mengikuti beberapa ketentuan, antara lain: a. Satu kesatuan ekosistem. b. Pola pemangkuan kawasan didasarkan atas: (a) rencana pengelolaan dan (b) zoning/blok system. c. Proses pengukuhan kawasan, meliputi: penunjukan kawasan, penataan batas (darat dan perairan laut) serta penetapan kawasan. d. Dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departeman Kehutanan: (a) Balai Taman Nasional ( TN),
13 (b) Balai KSDA ( Taman Wisata Alam, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa). e. Dilaksanakan oleh daerah (Provinsi dan Kabupaten): Taman Hutan Raya (TAHURA). f. Kewenangan penegakan hukum ( Polisi hutan (Polhut) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)). Dalam pengelolaan kawasan konservasi meskipun ketat dengan peraturanperundangan, namun masih terdapat peluang untuk dilakukan pengelolaan dengan azas ekonomis dan lestari. Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan antara lain: (a) penangkaran, (b)
pengembangan ekowisata dengan melibatkan dan
memberdayakan masyarakat,
(c) pembinaan daerah penyangga kawasan
konservasi, (d) program perdagangan karbon (carbon trading), (e) pemanfaatan daerah aliran sungai (DAS) dan (f) pemanfaatan air. Meskipun masih terdapat peluang pemanfaatan, perlu dipertimbangkan kondisi faktual yang terjadi pada kawasan-kawasan konservasi, antara lain: a. Degradasi sumberdaya alam hayati. b. Terbatasnya dana pemerintah yang dapat dialokasikan untuk
keperluan
pengelolaan kawasan konservasi. c. Terbatasnya keahlian yang dimiliki oleh sumberdaya manusia yang bertugas melakukan pengelolaan kawasan konservasi. d. Terjadinya konflik sosial atas akses sumberdaya alam (termasuk sumberdaya alam yang berupa keanekaragaman hayati) karena
belum
adanya
kesepakatan terhadap konsep pengelolaan kawasan konservasi. e. Lemahnya koordinasi (perencanaan dan program kegiatan) diantara para stakeholders di tingkat lapangan. 2.2
Kategori Kawasan Dilindungi atau Kawasan Konservasi Dalam penentuan kawasan konservasi ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan (Setiawan dan Alikodra 2001): a. Prinsip keterwakilan dan kelangkaan serta kegunaan spesies tertentu. b. Prinsip yang terkait dengan penentuan luas yakni teori biogeografi, makin banyak dan makin luas (kompak) kawasan konservasi akan makin banyak tipe ekosistem atau spesies yang diselamatkan (dilindungi).
14 c. Prinsip “save it, study it, use it” (Alikodra 1996). Artinya selamatkanlah suatu ekosistem atau spesies sebelum hilang (rusak), kemudian kaji kegunaannya bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia. Kawasan konservasi alam sangat besar sumbangannya bagi pelestarian sumberdaya alam dan kelangsungan pembangunan dalam hal: a. Memelihara stabilitas lingkungan wilayah sekitarnya, sehingga mengurangi intensitas banjir dan kekeringan, melindungi tanah dan erosi serta mengurangi iklim ekstrim setempat. b. Memelihara kapasitas produksi ekosistem, sehingga menjamin tersedianya air serta produksi tumbuhan dan hewan secara terus menerus. c. Menyediakan kesempatan bagi berlangsungnya penelitian dan pemantauan spesies maupun ekosistem alami serta kaitannya dengan pembangunan manusia. d. Menyediakan kesempatan bagi terselenggaranya pendidikan pelestarian untuk masyarakat umum dan para pengambil keputusan. e. Menyediakan kesempatan bagi terlaksananya pembangunan pedesaan yang saling mengisi serta pemanfaatan secara rasional tanah-tanah marginal. f. Menyediakan lokasi bagi pengembangan rekreasi dan wisata. Dalam pembentukan sistem kawasan konservasi secara nasional perlu ditetapkan kategori yang benar dan sesuai dengan tujuan pembangunannya (MacKinnon et al. 1990 dalam Amir 1993): a. Ciri khas kawasan: (a) karakteristik/keunikan
ekosistem
untuk
mendapatkan
informasi
keterwakilan, (b) spesies target/khusus untuk mengetahui derajat kelangkaan dan nilai, (c) areal dengan keragaman spesies yang tinggi, (d) lanskap/geofisik
bernilai
estetik
harus
disesuaikan
dengan jenis
pemanfaatan (rekreasi dan obyek wisata), (e) fungsi kawasan misalnya untuk perlindungan hidrologi, iklim, dan lain sebagainya, (f) peninggalan budaya.
15 b. Intensitas pengelolaan yang diinginkan. Hal ini terkait dengan daya tarik objek untuk kepentingan ekowisata dan manajemen yang tidak selalu berarti ada campur tangan manusia. c. Toleransi atau tingkat kerapuhan esosistem dan spesies. Hal ini menyangkut kesesuaian dengan kondisi dan karakteristik target perlindungan sehingga perlu manajemen habitat dan populasi. d. Tingkat pemanfaatan kawasan, dimana: (a) satu kawasan konservasi umumnya memiliki beberapa tujuan pengelolaan secara simultan dan tidak boleh saling bertentangan, (b) pengaturan pemanfaatan harus mengacu pada tujuan pengelolaan. e. Tingkat kebutuhan/permintaan dari berbagai pemanfaatan dan kepraktisan pengelolaan. Permintaan pemanfaatan harus disesuaikan dengan segi praktis pengelolaan, misalnya pengambilan kayu bakar skala rumah tangga sangat sulit dikontrol, sehingga diperlukan kategorisasi yang sesuai.
Tujuan kategorisasi kawasan konservasi: a. Menjamin kelestarian sumber daya alam hutan untuk pembangunan manusia berkelanjutan. b. Menstimulasi pemerintah agar lebih bertanggung jawab terhadap kawasan konservasi yang telah dibangun. c. Memudahkan aspek pengelolaan secara praktis: (a) instrumen pengatur dalam pengelolaan (undang-undang), (b) rencana strategis pengelolaan, (c) keputusan manajemen yang lebih tepat, (d) menentukan manfaat kawasan konservasi. d. Mendorong pemerintah untuk mengevaluasi status kawasan konservasi dengan menyesuaikan dengan standar kategori. e. Memungkinkan mengintegrasikan pengelolaan kawasan dengan tata guna lahan dan rencana pembangunan sehingga menjamin tanggung jawab biaya pengelolaan, misalnya pengembangan daerah penyangga.
16 f. Memudahkan organisasi internasional untuk melakukan evaluasi status dan penyebaran
serta
keterwakilan
kawasan
konservasi
untuk
tujuan
kemungkinan bantuan teknis/dana pengelolaan/fasilitas. Kategorisasi kawasan konservasi menurut IUCN (1994) diuraikan dalam point dibawah ini (AG 2008; Thomas dan Middleton 2003): I.
Strict protection. Ia: Strict Nature Reserve: Kawasan lindung untuk ilmu pengetahuan, misalnya: Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dan Ib: Wilderness area (Kawasan lindung untuk hidupan liar), misalnya kawasan rimba/wilderness area).
II.
National Park: Kawasan lindung untuk perlindungan ekosistem (ecosystem conservation and recreation) misalnya Taman Nasional dan Taman Hutan Raya.
III.
Kawasan lindung untuk konservasi pemandangan alam yang spesifik (conservation of national features) misalnya monumen alam/nature monument.
IV.
Kawasan lindung untuk konservasi melalui intervensi pengelolaan oleh manusia (conservation through achieved management), misalnya kawasan pengelolaan spesies dan habitat.
V.
Kawasan lindung untuk konservasi landsekap atau bentang laut dan rekreasi (landscape/seascape conservation and recreation, misalnya perlindungan landsekap daratan/lautan.
VI.
Kawasan lindung untuk pemanfaatan yang lestari terhadap ekosistem alam (sustainable use of natural ecosystem).
sedangkan matrik keenam kategorinya disesuaikan dengan tujuan pelestarian seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
17 Tabel 1 Matriks 6 kategori kawasan konservasi 1.
Kategori/Tujuan Utama Penelitian ilmiah
Ia
Ib
II
III
IV
V
VI
1
3
2
2
2
2
3
2. 3.
Perlindungan hidupan liar 2 1 2 3 3 2 Pengawetan (preservation) keragaman jenis 1 2 1 1 1 2 1 dan genetik 4. Pemeliharaan (fungsi) jasa lingkungan 2 1 1 1 2 1 5. Perlindungan terhadap keadaan alam dan 2 1 3 1 3 budaya yang spesifik 6. Pengembangan wisata (tourism) dan 2 1 1 3 1 3 rekreasi (recreation) 7. Pendidikan 2 2 2 2 3 8. Pemanfaatan sumber daya alam dan 3 3 2 2 1 ekosistem secara berkelanjutan 9. Pemeliharaan atribut budaya dan nilai-nilai 1 2 tradisional Sumber: IUCN (1994); Thomas dan Middleton (2003). Catatan : 1. Tujuan utama untuk pengelolaan kawasan dan sumberdaya 2. Tidak perlu utama tetapi selalu masuk dalam tujuan penting 3. Masuk sebagai tujuan bila dapat dipergunakan serta kapan saja sumberdaya dan tujuan pengelolaan lainnya memungkinkan
Beberapa karakter dari pengkategorian kawasan konservasi oleh IUCN: a. Kategorisasi kawasan konservasi didasarkan pada tujuan utama pengelolaan. b. Kategorisasi ini tidak berkaitan dengan efektifitas pengelolaan secara praktis sehingga harus dibedakan antara tujuan pengelolaan dengan apa yang terjadi. (misalnya perubahan kategori akibat tidak mampu membendung tekanan aktivitas manusia). c. Sistem kategorisasi kawasan konservasi berlaku secara internasional sehingga diharapkan ada keseragaman pemahaman antar negara yang memudahkan dalam monitoring. d. Penamaan secara nasional dimungkinkan berbeda untuk kategori yang sama. e. Dimungkinkan pengusulan kategori baru sepanjang tidak bertentangan dengan definisi kawasan konservasi. f. Semua kategori mempunyai derajat kepentingan yang sama. Dalam ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kita mengenal beberapa kategori kawasan konservasi dengan pengklasifikasian dalam Gambar 2.
18
Hutan produksi Hutan lindung
Cagar Alam Kawasan Suaka Alam
HUTAN/ EKOSISTEM
Kawasan/hutan konservasi
Suaka Margasatwa Taman Nasional
Kawasan Pelestarian Alam
Taman Wisata Alam Taman Hutan Raya Taman Buru
Gambar 2 Kategori kawasan konservasi dan pengklasifikasian. Kawasan konservasi mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 3, UU Nomor 5 Tahun 1990). Sampai bulan Mei 2005 luas kawasan konservasi di Indonesia mencapai 28.253.548,59 ha (Direktorat Konservasi Kawasan 2006). 2.3
Pengelolaan Hutan Kawasan hutan secara fungsional sebagai suatu kesatuan lahan atau
wilayah yang karena keadaan bio-fisiknya dan/atau fungsi ekonomisnya dan/atau fungsi sosialnya harus berwujud sebagai hutan. Keberhasilan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari (PHL) sangat ditentukan oleh persepsi dan tindakan para pihak terhadap kemantapan kawasan hutan. Ada 3 (tiga) prinsip dasar dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem, yaitu (Suhendang 2005): a. Prinsip keutuhan (holistik) Penyelenggaraan pengelolaan hutan harus mempertimbangkan dan sesuai dengan keadaan dan potensi seluruh komponen pembentuk hutan (hayati dan non hayati); kawasan lingkungannya (biofisik, ekonomi, politik, dan sosialbudaya masyarakat), serta memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan keseluruhan pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap hutan serta
19 mampu mendukung kehidupan mahluk hidup (selain manusia) dan keberlanjutan keberadaan alam semesta. b. Prinsip keterpaduan (integrated) Penyelenggaraan pengelolaan hutan harus berlandaskan kepada pertimbangan keseluruhan hubungan ketergantungan dan keterkaitan antara komponenkomponen pembentuk ekosistem hutan serta pihak-pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap hutan dalam keseluruhan aspek kehidupannya, mencakup: aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial-budaya. c. Prinsip keberlanjutan/kelestarian (sustainable) Bahwa fungsi dan manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia dan seluruh kehidupan di muka bumi ini dari generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara bekelanjutan dengan potensi dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul suatu generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya. Prinsip ini mengandung konsekuensi terhadap luasan hutan, produktivitas dan kualitas (kesehatan) hutan yang setidaknya tetap (tidak berkurang) dalam setiap generasinya. Oleh karena diperlukan ilmu pengetahuan teknologi dan seni (IPTEKS) ramah lingkungan yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas ekosistem hutan, tetapi memberikan dampak negatif yang minimal, serta dapat diterima dan cocok dengan nilai budaya masyarakat. IPTEKS seperti ini hanya akan dapat diperoleh apabila pengembangannya mengakar pada keadaan biofisik dan sosial-budaya masyarakat setempat. Guna mewujudkan penyelenggaraan kehutanan dilakukan pengurusan hutan yang diatur lebih lanjut melalui rencana pengelolaan hutan, yang meliputi kegiatan: a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan. Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari, meliputi: pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan (pasal 22, UU Nomor 41 Tahun 1999).
20 Untuk maksud tersebut di atas, maka tata hutan pada kawasan konservasi dilaksanakan pada setiap unit pengelolaan, yang memuat kegiatan: (a) penentuan batas-batas kawasan hutan, (b) inventarisasi, identifikasi dan perisalahan kondisi hutan, (c) pengumpulan data sosial, ekonomi dan budaya di dalam kawasan hutan dan sekitarnya, (d) pembagian kawasan kedalam blok-blok pengelolaan, (e) pemancangan tata batas blok, (f) pengukuran dan pemetaan. b. Pemanfaatan hutan dan penggunaan hutan. c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan. d. Perlindungan hutan dan konservasi alam (PHKA).
2.4
Bank Plasma Nutfah dan Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi Pelestarian sumber plasma nutfah merupakan tujuan primer pelaksanaan
dalam kategorisasi kawasan yang dilindungi. Bank plasma nutfah in situ adalah tempat dimana kumpulan plasma nutfah alami yang bernilai bagi pembiakan tanaman dan ternak, budidaya baru dan bioteknologi (termasuk rekayasa genetik), dilindungi dan dijaga dalam habitat aslinya (MacKinnon et al. 1990 dalam Amir 1993). Kawasan yang dijadikan bank plasma nutfah berbeda dengan kawasan yang dilindungi lainnya dalam tiga hal: a. Bank plasma nutfah in situ lebih diperuntukkan bagi perlindungan kelompok plasma nutfah daripada spesiesnya. Kelompok plasma nutfah berarti jumlah total berbagai plasma nutfah dalam satu kelompok tumbuhan atau hewan yang inter-breed yaitu kumpulan plasma nutfah dalam satu populasi. Jadi pelestarian kelompok plasma nutfah memerlukan juga perlindungan habitat yang merupakan bagian dari komunitas dan ekosistem, walaupun tujuan pelestarian adalah plasma nutfah semata-mata. b. Kelompok plasma nutfah yang dipentingkan adalah terutama spesies yang bernilai ekonomis. Pemanfaatan masa depan kelompok plasma nutfah ini
21 adalah dalam hal pemuliaan tanaman dan ternak budidaya: pemilihan spesies baru yang dibudidayakan. c. Ketentuan dibuat bagi pemanfaatan plasma nutfah yang dilindungi. Tujuan perlindungan bank plasma nutfah itu sendiri adalah terjaganya plasma nutfah (materi genetik) dalam jangka panjang sedangkan alasan yang mendasari pelestarian plasma nutfah adalah agar ia terus dapat dipergunakan. Hutan dengan nilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forests (HCVFs) secara sederhana adalah kawasan hutan dimana nilai-nilai penting ditemukan. Ide ini dikembangkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) dan pertama kali diterbitkan pada Tahun 1999. Konsep ini menggeser perdebatan kehutanan dari sekedar membicarakan
pengertian jenis -jenis hutan tertentu
(misalnya hutan primer, hutan tua ) atau metode - metode pemanenan hutan (misalnya penebangan oleh industri)
ke penekanan pada berbagai nilai yang
membuat suatu kawasan hutan menjadi penting. Dengan mengidentifikasi nilainilai kunci ini dan menjamin bahwa nilai-nilai tersebut dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, sangat dimungkinkan kemudian untuk membuat keputusan pengelolaan
yang rasional serta konsisten dengan pemeliharaan nilai-nilai
lingkungan dan sosial yang penting (RA 2003). Kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi adalah kawasan hutan yang memiliki satu atau lebih ciri-ciri berikut (RA 2003): a. HCV1:
Kawasan
hutan
yang
mempunyai
konsentrasi
nilai-nilai
keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional dan lokal (misalnya spesies endemik, spesies hampir punah, tempat menyelamatkan diri (refugia)). b. HCV2: Kawasan hutan yang mempunyai tingkat lanskap yang luas yang penting secara global, regional dan lokal, yang berada di dalam atau mempunyai unit pengelolaan, dimana sebagian besar populasi spesies, atau seluruh spesies yang secara alami ada di kawasan tersebut berada dalam pola pola distribusi dan kelimpahan alami. c. HCV3: Kawasan hutan yang berada di dalam atau mempunyai ekosistem yang langka, terancam atau hampir punah.
22 d. HCV4: Kawasan hutan yang berfungsi sebagai pengatur alam dalam situasi yang kritis (misalnya perlindungan daerah aliran sungai, pengendalian erosi). e. HCV5:
Kawasan hutan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat lokal (misalnya pemenuhan kebutuhan pokok, kesehatan). f. HCV6:
Kawasan hutan yang sangat penting untuk identitas budaya
tradisional masyarakat lokal (kawasan-kawasan budaya, ekologi, ekonomi, agama yang penting yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal yang bersangkutan). 2.5
Taman Hutan Raya (TAHURA) Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Pasal 1, ayat (15) UU Nomor 5 Tahun 1990 atau Pasal 1 ayat (7) PP Nomor 68 Tahun 1998). Sampai dengan bulan Mei 2005 luas 21 unit TAHURA daratan mencapai 330.260,61 ha atau 1,17% luas kawasan konservasi di Indonesia (Direktorat Konservasi Kawasan 2006). Prinsip pengelolaan TAHURA adalah: a. Pendayagunaan potensi untuk koleksi tumbuhan dan/atau satwa, wisata alam, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan. b. Peningkatan kesadaran konservasi alam, penyediaan plasma nutfah, materi kimia aktif, bahan baku obat. c. Menunjang budidaya dan budaya masyarakat. Pengelolaan TAHURA diupayakan tidak mengurangi luas dan tidak merubah fungsi ekologis kawasan, dalam pengembangannya diutamakan menampilkan koleksi jenis tumbuhan dan satwa yang ada dan menjadi kebanggaan propinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan. Dalam hal dijumpai adanya kerusakan habitat dan penurunan populasi satwa yang dilindungi undangundang atau satwa penting lainnya, setelah melalui pengkajian seksama, dapat dilangsungkan kegiatan pembinaan habitat/populasi dan rehabilitasi kawasan. Masyarakat setempat secara aktif diikut sertakan untuk mendapatkan kesempatan
23 lapangan kerja dan peluang berusaha, dan kegiatan pengusahaan wisata alam dapat diberikan kepada pihak ketiga, baik koperasi, BUMN/BUMD, swasta maupun perorangan. Untuk kepentingan pengelolaan kawasan taman hutan raya ditata kedalam blok-blok pengelolaan yang terdiri dari blok perlindungan dan blok pemanfaatan (Ditjen PHKA 2008). Pemerintah memberikan tugas pembantuan pengelolaan Kawasan TAHURA kepada Pemerintah (Gubernur atau Bupati/walikota) sesuai dengan Keputusan
Menteri
Kehutanan
Nomor
107/Kpts-II/2003
yang
meliputi
pembangunan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan TAHURA (pasal 2, ayat 1). Tetapi tugas pembantuan
yang berkaitan dengan teknis,
dikoordinasikan dengan Kepala Balai KSDA setempat (Pasal 2 ayat 2). Rencana pengelolaan TAHURA sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Beberapa kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan TAHURA adalah: (a) merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistem, (b) merusak keindahan dan gejala alam, (c) mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan, (d) melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang. Zonasi (Blocking) Kawasan Penataan zona dan atau blok pada kawasan lindung seharusnya diatur dalam ketentuan peraturan perundangan. Namun dari ketentuan peraturan perundangan yang ada antara lain UU Nomor 5 Tahun 1990, UU Nomor 41 Tahun 1999 maupun PP Nomor 68 Tahun 1998, baru sebatas mengatur penataan zonasi pada kawasan taman nasional (TN). Penataan kawasan hutan kedalam unit-unit pengelolaan hutan dilakukan dengan menentukan blok-blok dan petak-petak kegiatan berdasarkan rencana pembagian dari fungsi dan rencana pemanfaatan kawasan hutan. Tujuan penataan
24 zona/blok kawasan konservasi adalah untuk tercapainya pelaksanaan pengelolaan secara efektif dan efisien untuk (Anonim 2005): a. kepentingan konservasi, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi dan wisata alam, serta menunjang budidaya, b. memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sumber-daya alam hayati dan ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat secara lestari dan berkelanjutan. Pembagian kedalam blok-blok pengelolaan didasarkan atas hasil inventarisasi dan identifikasi berbagai faktor dan fakta, serta informasi
yang
sangat berpengaruh didalam pembentukan dari fungsi suatu kawasan hutan. Faktor-faktor (biofisik) yang berpengaruh terhadap pembentukan blok-blok: (a) kondisi vegetasi dan keaneka ragaman jenis, (b) kelerengan dan topografi serta konfigurasi bentang alam kawasan hutan, (c) jenis tanah dan kepekaannya terhadap erosi, longsor, dan bahaya banjir, (d) iklim dan curah hujan, (e) pola drainase, (f) habitat tertentu dan penyebaran satwa, (g) penyebaran perambahan hutan didalam kawasan hutan, (h) ketersediaan peta-peta tematik.
Arahan Khusus Pengelolaan TAHURA (Keputusan Dirjen PHPA Nomor 129/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 31 Desember 1996) Fungsi pengelolaan TAHURA adalah sebagai kawasan untuk koleksi tumbuhan dan/atau satwa baik yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, dan wisata alam, perlindungan sistem penyangga kehidupan, dan pengawetan keragaman jenis tumbuhan, satwa serta keunikan alam. Sedangkan fungsinya adalah untuk : (a) terjaminnya kelestarian kawasan, (b) terbinanya koleksi tumbuhan dan satwa serta potensi kawasan, (c) optimalnya
pemanfaatan
untuk
pariwisata
dan
rekreasi,
penelitian,
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi alam, penyediaan plasma nutfah, materi kimia aktif, bahan baku
25 obat, dan menunjang budidaya dan pelestarian budaya bagi kesejahteraan masyarakat dan (d) taman yang menjadi kebanggaan propinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan. Dalam upaya pencapaian fungsi dan tujuan pengelolaannya, kawasan Taman Hutan Raya ditata kedalam blok-blok pengelolaan, yaitu blok perlindungan dan blok pemanfaatan. a. Blok perlindungan merupakan blok TAHURA yang dilindungi dan diperuntukan untuk kepentingan monitoring sumberdaya alam hayati dan eksositemnya dan kegiatan wisata alam terbatas, serta tidak diperbolehkan adanya kegiatan yang dapat merubah bentang alam, dengan beberapa kriteria tambahan: (a) blok yang tetap menjadi prioritas perlindungan fungsi tata air (hidroorologis) dan koleksi flora-fauna setempat yang menjadi kebanggan propinsi atau kabupaten serta diperuntukan bagi kepentingan pemantauan perubahan terhadap potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dari akibat kegiatan wisata alam, (b) kegiatan wisata alam dalam batas tertentu diperkenankan dan kegiatan pengelolaan dalam bentuk pembinaan habitat dan populasi diperlukan untuk pelestarian kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan: (a) perlindungan hidroorologis sebagai fungsi pokok kawasan, (b) pelestarian kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dari bahaya kepunahan, (c) pemantauan atas pemanfaatan kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk kegiatan wisata alam secara terbatas. Fungsi dan Peruntukan: Untuk kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan fungsi pendidikan konservasi dan wisata alam terbatas.
26 Kriteria: Termasuk kriteria yang mempertimbangkan faktor: (a) keperwakilan (representation), (b) kealamian (naturalness), (c) keunikan (uniqueness), (d) keutuhan
satuan
ekosistem
(ecosystem
integrity),
(e)
keutuhan
sumberdaya/kawasan (intacness), (f) luasan kawasan (area/size), (g) memiliki potensi sumberdaya alam dan lingkungan alam yang dapat dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan wisata alam.
b. Blok Pemanfaatan adalah merupakan blok yang berfungsi dan dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata alam. Merupakan blok yang memiliki potensi phenomena alam yang menarik bagi kepentingan pembangunan sarana dan prasarana fisik akomodasi pariwisata alam dan pengelolaan wisata alam,
serta merupakan pusat rekreasi dan
kunjungan wisata. Tujuan: Untuk pemanfaatan potensi jasa lingkungan alam, phenomena dan keindahan alam bagi pengembangan pariwisata alam dan pusat rekreasi, serta mampu untuk menunjang keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam pelayanan jasa pariwisata alam serta mendorong pengembangan ekonomi masyarakat dan daerah dari jasa pariwisata alam. Fungsi dan Peruntukan: Untuk pengembangan pariwisata alam, pusat rekreasi, dan pendidikan konservasi alam dan lingkungan hidup, serta menunjang peranserta aktif masyarakat dalam pengembangan jasa pariwisata alam dan pengembangan ekonomi dan daerah. Melalui upaya ini diharapkan pengunjung akan dapat berwisata sambil belajar mengenai konservasi alam dan lingkungan hidup, yang akan dapat mendorong peransertanya dalam pengelolaan taman hutan raya, masyarakat dapat menikmati dan memperoleh keuntungan dari jasa pengembangan pariwisata alam, sehingga akan menumbuhkan rasa memiliki kawasan taman hutan raya dan berperan aktif untuk pelestariannya.
27 Kriteria : Termasuk kriteria yang mempertimbangkan faktor-faktor: (a) keunikan (uniqueness), (b) luasan kawasan (area/size), (c) keindahan alam (natural beauty), (d) kenyamanan (amenity), (e) kemudahan pencapaian (accessibility) dan (f) memiliki potensi phenomena alam, lanskap alam dan keindahan alam yang menarik yang dapat dikembangkan sebagai atraksi kegiatan wisata alam dan pendidikan konservasi alam 2.6
Penataan Ruang dan Kesesuaian Lahan Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang
didefenisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termask ruang di dalam bumi sebagai suatu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Pengertian ini menjelaskan keterkaitan hubungan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumber daya buatan/infrastruktur wilayah dan kegiatan usaha merupakan unsur pembentuk ruang wilayah dan sekaligus unsur bagi pembangunan wilayah. Sementara itu wilayah didefenisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional (pasal 1, ayat 17). Lebih lanjut pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pemerintahan dan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan. Kawasan merupakan wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya (Pasal 1, ayat 20, UU Nomor 26 Tahun 2007). Dengan demikian penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) harus memperhatikan aspek administratif dan fungsional kawasan. Menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak (Pasal 1, ayat 2). Tujuan pemanfaatan ruang adalah memanfaatan ruang secara berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan secara berkelanjutan melalui upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya alam didalamnya
28 secara berdaya guna dan berhasil guna, keseimbangan antar wilayah dan antar sektor, pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan serta peningkatan kualitas lingkungan hidup (pasal 4). Agar pemanfaatan ruang bisa efisien dan mampu menciptakan keterpaduan guna mencapai ruang kehidupan yang nyaman, produktif dan berkelanjutan maka diperlukan penataan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 ayat 5, UU Nomor 26 Tahun 2007). Penataan ruang merupakan kebijakan dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan, sehingga azas yang mendasari penataan ruang haruslah mampu menciptakan: (a) keterpaduan, (b)
keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan, (c) keberlanjutan, (d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, (e) keterbukaan, (f) keterbukaan, (g) kebersamaan dan kemitraan; (h) pelindungan kepentingan umum, (i) kepastian hukum dan keadilan dan (j) akuntabilitas. Kesesuaian lahan menurut Ritung et al. (2007) adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial).
Sedangkan pengertian tingkat kesesuaian lahan
menurut (Samsuri 2004) adalah: tingkat sesuai artinya semua persyaratan /kriteria yang dibutuhkan sudah optimal sedangkan tidak sesuai artinya ada dua atau lebih faktor yang tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
2.7
Jenis – jenis Metode yang Digunakan
2.7.1 Metode Deskriptif Menurut Whitney dalam Nazir (2003) metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Penelitian dengan metode deskriptif bertujuan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, mencakup tata cara yang berlaku dalam masyarakat pada situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-
29 kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Analisis deskriptif ini dilakukan dengan membuat diskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. 2.7.2 Wawancara Wawancara
adalah
bentuk
komunikasi/interaksi
yang
melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang dengan mengajukan pertanyaan-pertanyan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu. Wawancara secara garis besar dapat dibagi dua yakni : wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur sering disebut dengan wawancara mendalam (deep interview), wawancara intensif, wawancara kualitatif, wawancara terbuka dan
wawancara
etnographis.
Wawancara
ini
bersifat
luwes,
susunan
pertanyaannya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat dirubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pada saat wawancara termasuk karakteristik sosial budaya dan religi responden yang dihadapi. Sedangkan wawancara terstruktur seringkali disebut wawancara baku yang susunan pertanyaannya sudah ditetapkan sebelumnya dengan pilihan-pilihan jawaban yang juga sudah disediakan (Mulyana 2006)
2.7.3 Analisis Vegetasi dan Analisis Habitat Satwa Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005) analisis vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan yang meliputi: a. Mempelajari tegakan hutan, yaitu tingkat pohon dan tegakannya. b. Mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang dimaksud tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecualai permudaan tegakan hutan, padang rumput/ alang-alang dan vegetasi semak belukar. Untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi tegakan hutan yaitu pohon dan susunannya ada beberapa teknik pembuatan petak atau plot ukur yang digunakan
30 diantaranya: (a) cara petak tunggal, (b) cara petak ganda, (c) cara jalur atau transek dan (d) cara garis berpetak. Penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati bukan hanya disebabkan oleh eksploitasi manusia secara langsung, melainkan kerusakan habitat sebagai akibat yang tidak dapat dihindarkan dari bertambahnya populasi penduduk dan kegiatan manusia. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya karena habitat mempunyai fungsi menyediakan makanan, air dan pelindung. Sehingga bisa dikatakan bahwa habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (Alikodra 1996).
2.7.4 Analisis SIG (Sistem Informasi Geografis) SIG adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis serta menampilkan informasi yang bereferensi geografis (Jaya
2002). Aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan
seperti: lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan (Puntodewo et al. 2003). SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Dalam SIG, dunia nyata dijabarkan dalam data peta digital dimana kerincian datanya ditentukan oleh besarnya satuan pemetaan terkecil yang tersimpan dalam basis data. Kerincian data tersebut tergantung dari skala peta dan dasar acuan geografis atau peta dasar. Hal penting dari dunia nyata yang diolah dalam analisis spasila SIG dintaranya posisi dan klasifikasi, atribut serta hubungan antar item (Budiyanto 2002). Dalam analisis SIG dikenal analisis spasial. Analisis spasial salah satunya dilakukan dengan tumpang susun (overlay) terhadap beberapa data spasial (misalnya parameter kelerengan, jenis tanah, curah hujan dan sebagainya) untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya yang
31 tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis tabular. Manajemen data atribut dalam software Arc View memiliki beberapa fasilitas diantaranya: (a) sortir data, (b) perhitungan numerik, (c) penampilan statistik dan (d) pengekstraksian data tertentu. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial baru, misalnya fungsi hutan. Untuk analisa spasial, sistem proyeksi dan koordinat yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM). Sistem koordinat dari UTM adalah meter sehingga memungkinan analisa yang membutuhkan informasi dimensidimensi linier seperti jarak dan luas. Metode yang digunakan dalam analisis tabular adalah metode skoring.
32
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 sampai dengan Juli 2008.
Lokasi penelitian berada di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar 3). 3.2
Alat dan Bahan Dalam penelitian ini digunakan beberapa alat, antara lain:
a. Untuk survey dan pengukuran di lapangan maka digunakan global position sytem (GPS) Garmin e-trex Vista, kamera digital, kompas, meteran, tali rafia, haga, pita pengukur diameter dan kalkulator. b. Untuk pengolahan dan analisis data digunakan paket software Arc View versi 3.2, dan Microsoft Excel 2003 Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekosistem kawasan hutan lindung Nanggala (KHLN) dan sekitarnya, peta rupa bumi (peta topografi, peta jaringan sungai, peta jaringan jalan dan peta penutupan lahan, peta tanah, peta administrasi, informasi statistik dan tally sheet serta koordinat. 3.3 3.3.1
Rancangan Penelitian Jenis dan Metode Pengumpulan Data Kajian kesesuaian calon taman hutan raya (TAHURA) di Kecamatan
Tondon dan Kecamatan Nanggala serta kajian kesesuaian blok pengelolaan yang meliputi blok perlindungan dan blok pemanfaatan (khususnya wisata alam) membutuhkan dua jenis data yakni data sekunder dan data primer. Sedangkan pekerjaan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua metode yaitu: (a) survei lapangan dan (b) berdasarkan studi pustaka. Tahapan pekerjaan yang dilakukan seperti ditunjukkan pada Gambar 4. 3.3.1.1 Data Sekunder Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran pustaka dari berbagai sumber yang relevan seperti laporan tahunan, laporan hasil
33 survei, publikasi lainnya (Dinas Kehutanan dan Perkebunan, BP DAS Saddang, BPS dll) serta analisis peta. Data sekunder ini terdiri dari dua bentuk yaitu: a. Data spasial (Peta) (a) Peta Rupa Bumi skala 1 : 50.000 (indeks peta 2012-64, 2013-32, 2112-43, 2113-11), edisi Tahun 1999 dari Balai Pengukuhan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar yang dibuat oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). (b) Peta Landcover dari Balai Pengukuhan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar. (c) Peta Tanah skala 1 : 250.000 dari Dinas Pertanahan Kabupaten Tana Toraja. (d) Peta Batas Administrasi dari Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Tana Toraja. b. Data tabular (a) Data statistik dari Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, (b) Atribut dari peta yang dianalisis seperti: kelas lereng, kelas tanah, ketinggian tempat, data administrasi (luas kecamatan dan lembang/desa), penutupan lahan (landcover)
3.3.1.2 Data Primer Data primer diperoleh langsung di lapangan baik melalui wawancara, kusioner, survei maupun pengukuran. Untuk data biofisik (vegetasi, satwa dan habitatnya, kelerengan, jenis tanah, curah hujan) maka dilakukan analisis vegetasi, analisis jalur (transect), analisis habitat dan kunjungan lapang (ground check) terhadap lokasi penelitian. Sedangkan data sosial, ekonomi dan budaya dikumpulkan melalui beberapa metode diantaranya metode observasi yang bertujuan menginventarisasi potensi, atraksi sosial-ekonomi-budaya dan kualitas lingkungan serta metode kusioner dan/atau wawancara mendalam terhadap stakeholders. Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
34
Gambar 3 Peta lokasi penelitian.
35 Mulai
1
Penentuan lokasi study, perumusan masalah dan tujuan
Kawasan Konservasi dengan kategori TAHURA
Kategori pengelolaan kawasan terpilih
Penentuan Kriteria dan Indikator Pengumpulan Data / Informasi
2 Peta Kelas Landcover
Peta Landcover
Data kelembagaan
Data sosekbud
Data biofisik
Peta Tanah
Peta administrasi
Peta Rupa bumi
Survei Lapangan & studi pustaka
Ground check
Peta Kec & desa
3
Peta Sungai
Peta Jalan
Peta Topografi
Buffer Peta Kelas Slope
Peta Kelas Hidrologi
Peta Kelas Landcover
Data curah hujan
Layer kelas lereng Layer kelas tanah Layer curah hujan
Data sumber air
Peta Kelas Ketinggian
Data Vegetasi & satwa
Peta Kelas Tanah
Data objek atrakasi & sosekbud
Data Masy. & lingk
Data Fasilitas umum
Atributing
Reklasifikasi fungsi hutan
Peta + total skor Peta kelas & total skor CH hidrologi
Overlay
Hutan Lindung
Total skor vegetasi & satwa
Peta + tot skor potensi objek atraksi sosekbud
Tot skor masy & lingk.
Tot skor fasilitas umum
Peta TGHK
Hutan Non Lindung Overlay
Blok Pemanfaatan Blok Perlindungan
Kesesuaian Blok Pengelolaan
Indeks kesesuaian calon TAHURA
4
Selesai Keterangan: 1) Pra Penelitian; 2) Pengumpulan data/infromasi; 3) Pengolahan dan anlisis data; 4) Rekomendasi
Gambar 4 Tahapan penelitian.
36 3.3.2 Tahapan Penelitian 3.3.2.1 Pra Penelitian Pada tahap ini bertujuan untuk menentukan lokasi study. Lokasi study ditentukan dengan melakukan deliniasi peta administrasi yang kemudian ditindaklanjuti dengan survei pendahuluan untuk mendapatkan informasi awal yang diperlukan. Informasi ini kemudian dilengkapi dengan hasil penelusuran pustaka berupa data statistika, maupun data dokumen laporan pengelolaan hutan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala khususnya kawasan hutan lindung Nanggala (KHLN) yang ada di dalamnya dari instansi terkait serta hasil penelitian sebelumnya sehingga dapat dirumuskan masalah. Selanjutnya ditentukan tujuan penelitian untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Berdasarkan tujuan tersebut, maka ditentukan kategori pengelolaan kawasan terpilih untuk diterapkan dalam wilayah Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala yakni pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan (sustainable) dengan kategori taman hutan raya (TAHURA) menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia atau kawasan lindung untuk perlindungan ekosistem (ecosystem conservation and recreation) atau kategori II menurut kategori IUCN (1994) seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Kemudian
berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut dan prinsip pengelolaan TAHURA, maka ditentukan kriteria dan indikator pengelolaannya. Pada dasarnya aspek/kriteria yang dapat mendukung pengelolaan suatu kawasan hutan yang berkelanjutan mencakup beberapa kriteria umum, meliputi: kriteria biofisik/ekologi, sosial-ekonomi-budaya maupun kriteria kelembagaan. Dalam penelitian ini hanya akan dibahas kriteria biofisik dan sosial-ekonomibudaya. Kriteria, indikator, variabel atau peubah dan metode pengumpulan serta pengolahan dan analisis data/informasi yang digunakan untuk mengkaji indeks kesesuaian calon TAHURA serta kesesuaian blok pengelolaan TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
37 Tabel 2 Kriteria, indikator, variabel dan metode pengumpulan serta pengolahan dan analisis data/informasi yang digunakan dalam penelitian No
Kriteria
1
Ekologi/ Biofisik
Indikator
Variabel
Sumber air a. Jumlah dan jenis sumber air b. Posisi (koordinat)
Metode pengumpulan data Survei lapangan
Metode pengolahan dan analisis data 3,4,5 3,5
Vegetasi
a. Jenis & jumlah spesies b. Kondisi vegetasi
Survei lapangan Analisis vegetasi
Satwa & habitat
a. Jenis satwa b. Kondisi habitat
Survei lapangan Transect
3,5
Tanah
a. Jenis dan tingkat kepekaan tanah terhadap erosi
Studi pustaka Survei lapangan
1,5
Topografi
a. Kelas lereng b. Ketinggian tempat (m dpl)
Studi pustaka Survei lapangan
1,5
Studi pustaka
1,5
- Observasi - Wawancara - Studi pustaka
2,3,4,5
Penutupan a. Kelas penutupan lahan lahan b. Status kepemilikan /landcover tanah/lahan
- Survei lapangan - Wawancara - Studi pustaka
2,3,5
Masyrakat a. dan lingkungan b. c.
- Survei lapangan - Wawancara - Studi pustaka
2,3,4,5
- Survei lapangan - Wawancara - Studi pustaka Ket : 1. Reklasifikasi, 2. Klasifikasi, 3. Atributing, 4. Buffering, 5. Pembobotan dan skoring serta tumpang susun
2,3,4,5
Curah hujan 2
Sosial, ekonomi dan budaya
Objek dan atraksi sosialekonomibudaya
Kelas curah hujan (mm/hr hujan) a. Jenis dan jumlah objek b. Letak (koordinat) c. Keadaan objek
d. Fasilitas umum
a. b.
Jumlah & kepadatan 2 penduduk per km Tingkat pendidikan Mata pencaharian penduduk Tata guna tanah/perencanaan Sarana-prasarana Sarana penunjang
3.3.2.2 Pengumpulan Data/Informasi Pada tahap ini, sebagian data/informasi yang telah diperoleh dari tahap pra penelitian kemudian dilengkapi dengan survei lapangan meliputi: analisis vegetasi, metode jalur (transect), analisis habitat satwa, ground check dan inventarisasi serta survei mendalam (deep survey).
38 a. Analisis Vegetasi (ANVEG) Analisis vegetasi dilakukan untuk mempelajari susunan (komposisi vegetasi) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 2005). Analisis vegetasi dilakukan dengan metode garis berpetak pada beberapa jalur yang ditempatkan secara acak dalam calon TAHURA khususnya dalam KHLN berdasarkan ketinggian tempat. Bentuk dan urutan plot contoh yang dibuat seperti ditunjukkan pada Gambar 5, sedangkan uraian ukuran plot, jenis data dan teknik
analisis
keanekaragaman
vegetasi jenis
seperti
vegetasi
ditunjukkan dalam
pada
kawasan
Tabel
hutan
3.
didekati
penghitungan indeks nilai penting (INP).
D
A
D B
C
C
C
B
B D
A
Keterangan : A : Plot ukuran 2 x 2 m B : Plot ukuran 5 x 5 m
A
C : Plot ukuran 10 x 10 m D : Plot ukuran 20 x 20 m
Gambar 5 Bentuk dan urutan rencana petak contoh. Tabel 3 Ukuran plot, jenis data dan teknik analisis vegetasi No 1 2 3
Ukuran sub plot 2x2m 5x5m
Pengukuran regenerasi pohon
Data semai/seedling (tinggi s/d 1,5 m) Data sapihan/sapling (tinggi >1,5 m s/d diameter 10 cm 10 x 10 m Data tiang/poles diameter 10-20 cm
Data yang dicatat Nama spesies dan jumlah Nama spesies dan jumlah
Nama spesies, diameter dan tinggi 4 20 x 20 m Data pohon/tree diameter > 20 cm Nama spesies, diameter dan tinggi Catatan: Pengukuran diameter pohon 1,30 m dari permukaan tanah atau setinggi dada
Tingkat dengan
39 Prosedur pengamatan/pengukuran: a. Menentukan jalur pengamatan dengan menggunakan kompas dan titik awal pengamatan dengan mencatat koordinatnya untuk mulai membuat jalur (20 x 100 m pada titik kanan bawah). b. Membuat plot pertama ukuran 20 x 20 m dan sub plot berturut-turut lainnya ukuran 10 x 10 m, 5 x 5 m dan 2 x 2 m. c. Mengisi tally sheet yang dibedakan untuk tiap sub plot. Data-data yang diperoleh dari analisis vegetasi dihitung dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 2005): Jumlah individu suatu spesies Kerapa tan / K (ba tan g / ha ) Luas areal sub plot
Kerapa tan suatu spesies Kerapa tan Re latif / KR (%) 100% Jumlah ker apa tan seluruh spesies
Jumlah sub plot ditemukan suatu spesies Frekuensi / F Jumlah seluruh sub plot contoh
Frekuensi suatu spesies Frekuensi Re latif / KR (%) 100% Frekuensi seluruh spesies Luas bidang dasar suatu spesies Do min ansi / D Luas areal sub plot
Do min ansi suatu spesies Do min ansi Re latif / DR (%) 100% Do min ansi seluruh spesies
Indeks Nilai Penting (INP) dihitung dengan rumus: a. INP untuk tingkat pohon dan tiang INP (%) = KR + DR + FR b. INP untuk tumbuhan bawah, semai dan pancang INP (%) = KR + FR b. Metode Jalur (Transect) Jalur adalah metode yang umumnya digunakan untuk sensus primata, burung dan herbivora besar. Metode jalur ini dapat dipergunakan untuk mencatat data dari beberapa jenis satwa secara bersamaan baik secara langsung (satwa dijumpai dan diamati secara okuler) maupun tidak langsung dimana kehadiran satwa diketahui
40 melalui suara (50 m kiri-kanan dari sumbu jalur), jejak, kotoran, sarang, bekas gigitan atau cakaran, tempat berkubang dan tanda-tanda lain di habitat). Penentuan jumlah satwa liar dapat dilakukan dengan
berbagai
metoda
sensus
yang
memudahkan kita untuk melakukan estimasi populasinya. Satwa liar diamati dengan metode jalur (Leviren 1982 dalam Alikodra 1996). Metode jalur selain dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi juga dilakukan pada beberapa tempat lainnya. Asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam metode ini adalah: (a) satwa dan garis transek terletak secara random, (b) satwa tidak bergerak/pindah sebelum terdeteksi, (c) tidak ada satwa yang terhitung dua kali (double account), (d) seekor satwa atau kelompok satwa berbeda satu sama lainnya. seekor satwa yang terbang tidak mempengaruhi kegiatan satwa yang lainnya, (e) respon tingkah laku satwa terhadap kedatangan pengamat tidak berubah selama dilakukan sensus. c. Analisis Habitat Satwa Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya karena habitat mempunyai fungsi menyediakan makanan, air dan pelindung. Sehingga bisa dikatakan bahwa habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (Alikodra 1996). Analisis habitat satwa dilakukan bersamaan juga dengan pelaksanaan kegiatan estimasi populasi satwa liar dalam jalur dengan mengumpulkan karakteristik dominan vegetasi yang dijumpai pada habitat satwa di sepanjang garis transek dan juga mengukur koordinat, ketinggian dari permukaan laut dan kelerengannya. d. Deep Survey, Inventarisasi dan Kunjungan Lapang (Ground Check) Deep survey (survei mendalam) dilakukan melalui teknik wawancara dan kusioner terhadap stakeholders terkait. Stakeholders merupakan responden yang ditentukan dengan sistem purposif sampling sebanyak 28 orang, terdiri dari 3
41 (tiga) komponen penting, yakni: a) komponen masyarakat yang terkait dengan pengelolaan KHLN (termasuk tokoh masyarakat, petani, warga masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar KHLN) sebanyak 20 orang; b) para pakar terkait dengan reputasi, kredibilitas dan pengalamannya (misalnya akademisi dan lembaga swadaya masyarakat) sebanyak 3 orang serta c) para pejabat pada instansi yang terkait dengan pengelolaan KHLN (Dinas Kehutanan dan Perkebunan, BP DAS Saddang, Dinas Tata Ruang, Balai Besar KSDA Makassar) sebanyak 5 orang. Khusus untuk penentuan bobot tiap indikator yang digunakan, maka dipilih 7 orang dari ke-28 orang tersebut di atas sebagai responden ahli dalam pengelolaan hutan. Inventarisasi dan kunjungan lapang dilakukan untuk mengumpulkan data sebagai berikut: (a) lokasi/posisi sumber air meliputi: mata air dan situ, (b) lokasi/posisi objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya, seperti: objek wisata, habitat satwa, bentang alam, (c) lokasi/posisi fasilitas umum seperti: gereja, pasar tradisional, fasilitas sekolah, puskesmas dan kantor pemerintahan, (d) keadaan lahan untuk mengecek penutupan lahan (landcover) dan status kepemilikannya. 3.3.2.3 Pengolahan dan Analisis Data Ada beberapa tahapan pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian, diantaranya: a. Klasifikasi /reklasifikasi Klasifikasi/reklasifikasi diperlukan untuk mengekstraksi informasi dengan lebih baik dari data asli dengan pengelompokan informasi sesuai kebutuhan secara lebih homogen, sehingga persepsi kita menjadi lebih mudah dibandingkan dengan melihat objek detail. Misalnya klasifikasi terhadap indikator dalam kriteria ekologi yakni: klasifikasi indikator jenis tanah berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap erosi, klasifikasi lereng (slope), klasifikasi lahan berdasarkan tutupan lahan dan status kepemilikannya.
42 b. Rescaling Penentuan indeks kesesuaian calon TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala menggunakan panduan penilaian menurut ketentuan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Tahun 2001 dan Ketentuan Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Tahun 2007 yang dimodifikasi. Karena komposisi nilai yang digunakan belum seragam, maka dilakukan rescaling nilai/skor (score). Rescaling dilakukan pada tiap skor variabel yang diukur sehingga akan diperoleh skor terendah 10 dan skor tertinggi 100 dengan rumus sebagai berikut (hasil diskusi dengan dosen pembimbing):
Skorin Skormin Skorout ( 100 10 ) Skor Skor 10 max min skorout skorin skormin skormax
= skor yang akan digunakan dalam variabel (score rescaling) = skor yang akan diubah (skor sesuai panduan PHKA) = skor minimal yang digunakan dalam variabel panduan PHKA = skor maksimal yang digunakan dalam variabel panduan PHKA
c. Pembuatan sempadan (buffering) Buffering
merupakan proses untuk membuat sempadan (buffer) yang
merupakan wilayah (zone) dari suatu jarak tertentu di sekitar tentitas fisik seperti garis, titik dan poligon (Jaya 2002). Dalam penelitian ini akan dibuat buffer untuk sumber air yang berada dalam wilayah Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala seperti mata air dan situ denga radius 200 meter serta sungai dengan radius 100 meter. d. Pemodelan Spasial Pemodelan spasial dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara konvensional dan dengan menggunakan model builder. Jaya (2002) menggunakan teknik pemodelan konvensional dan model builder untuk pemodelan spasial tata guna hutan, kesesuaian lahan dan kerawanan kebakaran hutan. Model builder maupun pemodelan dengan konvensional menggunakan skor dan bobot yang dimiliki oleh tiap peubah untuk menampilkan model secara spasial yang direpresentasikan dalam bentuk peta berdasarkan poligon yang
43 terbentuk beratribut skor total. Dengan menggunakan SIG kita lebih mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan dan pemantauan terhadap perubahan suatu kawasan. Analisis spasial dapat dilakukan dengan teknik spatial overlay modeling (Setiawan dan Alikodra 2001). e. Pembobotan (weighting) Pembobotan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode rangking. Metode rangking dilakukan untuk menentukan bobot secara kualitatif berdasarkan penilaian ahli (expert judgement) yang dipilih sebanyak 7 orang pada setiap indikator yang digunakan. Setiap indikator diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya terkait dengan kesesuaian indikator yang digunakan dalam analisis dan dinyatakan dengan nilai tingkat kardinal (cardinal rank). Indikator tersebut akan diberi nilai 1, 3, 5 dan 7. Nilai 1 menyatakan kurang penting (weakly important), nilai 3 menyatakan cukup penting (moderately important), nilai 5 menyatakan penting (important) dan nilai 7 menyatakan sangat penting (very important). Menurut Jaya (2007), tingkat kepentingan relatif dari masing-masing kriteria dihitung berdasarkan rangking dari setiap indikator yang diberikan oleh penilai/ahli (k). Secara matematis, penentuan bobot secara kualitatif dengan metode rangking dapat diformulasikan sebagai berikut: n
rijk
wij mk n rijk i k Dimana: wij rijk m n
= = = =
bobot dari indikator ke-i dan kriteria ke-j rangking dari indikator ke-i, kriteria ke-j untuk ahli ke-k jumlah indikator jumlah ahli
Tabel 4 menjabarkan kriteria dan indikator yang akan digunakan dalam pembobotan dari beberapa ahli. Hasil pembobotan ini kemudian digunakan lebih lanjut dalam penentuan indeks kesesuaian calon TAHURA.
44 Tabel 4 Rancangan tabel kriteria dan indikator dalam pembobotan No I
Kriteria (j) Biofi-sik
Indikator (i)*
Rangking /tingkat kepentingan (r ijk) Ahli Ahli Ahli Ahli Ahli (k1 ) (k2 ) (k 3) (k 4) ke-n (ki)
Jumlah
Bobot (wnij)
1 Potensi sumber air 2 Potensi vegetasi, satwa dan habitatnya 3 Kelerengan (slope) 4 Curah hujan
II
Sosialekonomi dan
5 Potensi objek dan atraksi sos-ek-bud 6 Penutupan lahan
Budaya
7 Masyarakat dan lingkungan 8 Potensi fasilitas umum
Jumlah
Selanjutnya dibuat indeks kesesuaian calon TAHURA lain sebagai pembanding indeks kesesuaian calon TAHURA sebelumya yang menggunakan pendapat dari 7 orang ahli tadi. Indeks kesesuaian calon TAHURA pembanding ini menggunakan teknik pembobotan dengan metode trial and error (coba-galat). Trial and error dilakukan untuk memberi bobot secara eksplisit pada setiap elemen/kriteria keputusan dengan mengalokasikan sejumlah nilai yang jika dijumlahkan akan menjadi 100 atau 1 (Jaya 2007).
0 w nij 100 ; dimana:
w
nij
100 untuk semua i
wij = bobot dari indikator ke i pada kriteria j n = kelompok bobot (1.....4) Dalam penentuan indeks kesesuaian calon TAHURA pembanding, metode trial and error menggunakan beberapa asumsi penentuan bobot, yakni: (a) Indeks kesesuaian calon TAHURA untuk pembanding pertama. Bobot (w2ij) diperoleh dari expert yang memberikan nilai terendah yakni 1 (satu) dalam penilaian terhadap indikator yang digunakan dan jumlah nilai 1 tersebut adalah paling banyak. (b) Indeks kesesuaian calon TAHURA untuk pembanding kedua. Bobot (w3ij ) diperoleh dari expert yang memberikan nilai tertinggi yakni 7 (tujuh) dalam penilaian terhadap indikator yang digunakan dan jumlah nilai 7 tersebut adalah paling banyak.
45 (c) Indeks kesesuaian calon TAHURA untuk pembanding ketiga. Bobot (w4ij) yang digunakan dalam penilaian terhadap indikator adalah seimbang (w4ij = 0,1250). f. Kajian Kesesuaian Fungsi Hutan dan Calon TAHURA Taman hutan raya (TAHURA), menurut Ditjen PHKA (2008) dikelola dengan sistem zonasi/blocking. Dalam pengelolaan calon TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala direncanakan pengaturan ruang dengan penataan atas beberapa blok pengelolaan. Dalam penelitian ini, kesesuaian blok pengelolaan hanya difokuskan pada: (a) blok perlindungan (inti) dan (b) blok pemanfaatan (khususnya wisata alam). Kriteria setiap blok pengelolaan ditunjukkan pada Tabel 17, namun sebelumnya perlu dilakukan reklasifikasi fungsi hutan. Reklasifikasi Fungsi Hutan Sebelum melakukan kajian lebih lanjut dalam calon TAHURA yang terpilih nantinya, maka terlebih dahulu dilakukan reklasifikasi fungsi hutan pada seluruh wilayah administrasi Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala. Kegiatan ini dilakukan untuk menetapkan tiga fungsi hutan meliputi: hutan lindung (HL), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi bebas (HPB) berdasarkan kriteria penetapan fungsi hutan dalam SK Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/11/1980 tanggal 24 Nopember 1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Dalam penelitian ini fungsi hutan hanya dikategorikan dua, yakni: hutan lindung dan hutan non lindung. Areal yang kemudian terpilih menjadi HL dan tepat berada dalam KHLN berdasarkan perta TGHK akan tetap menjadi hutan lindung, sedangkan hutan non lindung yang diturunkan dari areal yang terpilih sebagai HPT dan HPB kemudian dianalisis untuk menjadi calon kawasan konservasi yang akan dikelola dengan kategori TAHURA. Reklasifikasi fungsi hutan dilakukan dengan menggunakan analisis spasial metode konvensional melalui tumpang susun (overlay) layer kelerengan (slope), jenis tanah dan intensitas hujan.
46 (a) Kelerengan/slope (WL = 20} Kelerengan terdiri atas beberapa kelas dengan skor seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Klasifikasi kelas lereng dan skornya Kelas lereng (KL) Lereng (%) Keterangan 1 0–8 Datar 2 8 – 15 Landai 3 15 – 25 Agak curam 4 25 – 45 Curam 5 > 45 Sangat curam Sumber: SK Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980
Skor 20 40 60 80 100
(b) Jenis tanah (WT = 15) Pengklasifikasian jenis tanah terdiri atas lima kelompok berdasarkan kepekaannya terhadap erosi. Skor untuk jenis tanah mulai dari nilai 15 untuk jenis tanah yang tidak peka terhadap erosi sampai dengan skor 75 untuk jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi (Tabel 6). Tabel 6 Klasifikasi kelas tanah dan skornya Kelas tanah (KT) 1
Jenis tanah
Aluvial, tanah glei, planosol, hidromorf kelabu, laterite air tanah 2 Latosol 3 Brown forest soil, caleic brown dan mediteran 4 Andosol, laterite, grumusol, podsol dan podsolik 5 Regosol, litosol, organosol dan benzina Sumber: SK Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980
Keterangan
Skor
Tidak peka
15
Agak peka Kurang peka Peka
30 45 60
Sangat peka
75
(c) Intensitas hujan (WIH = 10) Intensitas hujan terdiri atas 5 kelas dengan skor 10 sampai 50 seperti ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Klasifikasi kelas intensitas hujan dan skornya Kelas intens. hujan Intensitas hujan (mm/Hari hjn) (K IH) 1 s/d 13,6 2 13,6 – 20,7 3 20,7 – 27,7 4 27,7 – 34,8 5 > 34,8 Sumber: SK Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980
Keterangan
Skor
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
10 20 30 40 50
Total skor untuk fungsi hutan = [(KL x W L) + (K T x WT) + (K IH x WIH )]
47 Penetapan fungsi hutan: (a) Total skor > 175
: kategori Hutan Lindung (HL)
(b) Total Skor < 175
: kategori Hutan Non Lindung
Selain ketentuan total skor tersebut di atas, kategori untuk penetapan hutan lindung adalah jika memenuhi salah satu atau beberapa syarat: (a) mempunyai lereng lapangan > 45%, (b) tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng > 15%, (c) mempunyai ketinggian > 2.000 m dpl, (d) merupakan jalur pengaman aliran air/sungai, sekurang-kurangnya 100 m kiri-kanan sungai/aliran air tersebut, (e) merupakan perlindungan mata air, radius minimal 200 m. Deliniasi Peta Fungsi Hutan dan Calon TAHURA Pada tahap analisis ini, peta yang diperoleh dari reklasifikasi fungsi hutan pertama kemudian ditumpangsusunkan dengan peta buffer sungai (lebar buffer 100 meter) dan peta buffer mata air (lebar buffer 200 meter) menghasilkan peta reklasifikasi kedua. Peta reklasifikasi fungsi hutan kedua ditumpangtindihkan lagi dengan peta TGHK sehingga diperoleh peta fungsi hutan dan calon TAHURA pertama dengan komposisi kawasan yang terdiri atas tiga kriteria, yakni: a) hutan lindung (HL), b) areal calon TAHURA utama yang merupakan kawasan milik negara (CTHR_HN) dan c) areal calon TAHURA lain yang merupakan kawasan milik masyarakat (CTHR_HM) yang kemudian dicadangkan menjadi blok penyangga. Untuk menghindari terfragmentasinya HL dalam peta fungsi hutan dan calon TAHURA maka ada dua asumsi yang dipedomani dalam deliniasi HL sehingga diperoleh peta fungsi hutan dan calon TAHURA kedua, yakni: (a) areal yang merupakan irisan HL pada kedua peta yang ditumpang susun, (b) areal hutan non lindung maupun HL dari hasil reklasifikasi yang berdekatan dengan kelompok HL dalam TGHK.
48 Analisis Terhadap Indikator yang digunakan untuk Tiap Kriteria dalam Mengkaji Kesesuaian Calon Taman Hutan Raya (TAHURA) TAHURA menurut kategorisasi kawasan konservasi IUCN (1994) termasuk dalam kategori kawasan tingkat II yakni kawasan lindung untuk perlindungan ekosistem (ecosystem conservation and recreation). Suatu kawasan ditetapkan sebagai TAHURA, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut (pasal 32 (point a-c dan pasal 2, 3 PP Nomor 68 Tahun 1998): (a) merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya sudah berubah; (b) memiliki keindahan alam dan atau gejala alam; (c) mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli atau bukan asli; dan (d) mempunyai asas serta tujuan untuk melestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.
Oleh karena itu tujuan utama pembentukan TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala adalah membangun sebuah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli dan sekaligus sebagai bank plasma nutfah yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Kajian kesesuaian calon TAHURA dalam penelitian ini menggunakan pertimbangan beberapa aspek/kriteria yang juga merupakan penjabaran dari fungsi pokok perlindungan KHLN dan kriteria TAHURA menurut PP Nomor 68 Tahun 1998, yakni: (a) Kriteria biofisik/ekologi, mencakup: potensi sumber air, potensi vegetasi, satwa dan habitatnya, kelerengan (slope), jenis tanah, dan curah hujan,
49 (b) Kriteria sosial, ekonomi dan budaya, mencakup: potensi objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya, penutupan lahan (landcover), masyarakat dan lingkungan serta potensi fasilitas umum . Kajian kesesuaian calon TAHURA dilakukan pada setiap indikator yang digunakan berdasarkan panduan penilaian menurut ketentuan Ditjen PHKA Tahun 2001 dan Ketentuan Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata (2007) yang dimodifikasi dalam wilayah Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala yang sebelumnya sudah terdeliniasi sebagai hutan non lindung. a. Kriteria Biofisik/Ekologi (bobot (wnIB)) (a) Indikator potensi sumber air (bobot (wn1 )) Untuk mengetahui informasi tentang potensi hidrologi, maka dilakukan inventarisasi sumber-sumber air berdasarkan peta sungai dan ketinggian tempat dengan menggunakan GPS sehingga diperoleh titik-titik koordinat sumber air yang ada dalam wilayah Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala. Titik lokasi sumber air tersebut berupa mata air yang sudah dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat terutama sumur untuk kebutuhan sehari-hari yang tidak pernah kering saat musim kemarau dan mata air yang telah dikelola oleh perusahaan daerah air minun (PDAM), maupun sumber air lain yang belum dimanfaatkan langsung oleh masyarakat seperti situ. Langkah selanjutnya dilakukan input dan pemberian atribut serta pembuatan sempadan (buffer) dari titik-titik lokasi sumber air menggunakan Arc View 3.2, sehingga diperoleh peta hidrologi. Jenis data/informasi yang dikumpulkan seperti ditunjukkan pada Tabel 8. . Tabel 8 Rancangan tabel indikator sumber air dengan beberapa variabel No
Jenis sumber air
Koordinat
>4 jenis
1. Sungai 2. Situ 3. Air terjun 100 4. Mata air 5 Dll Sumber: Ditjen PHKA (2001) dan modifikasi
Ada 3 jenis
77,5
Skor (x1 ) Ada 2 jenis
55
Ada 1 jenis
Tdk ada
32,5
10
50 (b) Indikator potensi vegetasi, satwa dan habitatnya (bobot (wn2)) Potensi vegetasi, satwa dan habitatnya merupakan indikator yang digunakan
untuk
menilai
tingkat
keanekaragaman
hayati
komunitas/ekosistem. Untuk mengetahui tingkat keanekaragamn vegetasi dilakukan perhitungan indeks nilai penting (INP) berdasarkan hasil analisis vegetasi. Pengamatan satwa liar khususnya primata, burung dan herbivora besar dilakukan dalam jalur dengan mencatat jumlah dan jenis satwa serta kondisi habitatnya (pengambilan elevasi dan lereng) secara bersamaan. Pengamatan satwa dilakuakan secara langsung (satwa dijumpai dan diamati secara okuler) maupun secara tidak langsung dimana kehadiran satwa diketahui melalui suara (50 m kiri-kanan dari sumbu jalur), jejak, kotoran, sarang, bekas gigitan atau cakaran, tempat berkubang dan tanda-tanda lain di habitat dalam jalur plot analisis vegetasi dan lokasi lainnya. Tabel 9 menunjukkan indikator dan variabel vegetasi dan satwa yang diamati. Tabel 9 Rancangan tabel indikator vegetasi dan satwa Variabel No
Indikator
Jumlah (ekor_phn)
Jenis 1
Ket*
Vegetasi
1.... 2..... 3. dst 2 Satwa 1.... 2..... 3. dst Sumber: Ditjen PHKA (2001) dan modifikasi Keterangan : * diisi sesuai dengan kriteria untuk menentukan prioritas konservasi: (a) khas, (b) keterancaman dan (c) kegunaan.
Tabel 10 Kriteria untuk menentukan prioritas konservasi bagi perlindungan spesies dan komunitas (Indrawan et al. 2007) No 1
Variabel Vegetasi : a. Kekhasan b. Keterancaman c. Kegunaan
Skor (x 2) 100 Ada 3
2
Satwa : a. Kekhasan b. Keterancaman c. Kegunaan
100 Ada 3
60 Ada 2 60 Ada 2
10 Ada 1 10 Ada 1
51 Kategori konservasi menurut IUCN Tahun 1984, 1988 (Indrawan et al. 2007) adalah: (a) kekhasan: suatu komunitas hayati diberi prioritas yang lebih tinggi bagi konservasi bila ia lebih banyak tersusun atas spesies endemik, daripada spesies yang umum serta sebaran luas. Spesies diberi nilai lebih tinggi bila secara taksonomis ia bersifat unik, contoh terutama spesies merupakan anggota tunggal dalam marga atau familinya, dibandingkan bila ia merupakan anggota suatu marga dengan banyak spesies (Faith 1994; Vane Wright et.al 1994), (b) keterancaman: spesies yang menghadapi ancaman kepunahan akan lebih penting dimana komunitas hayati yang terancam dengan penghancuran langsung juga harus mendapat prioritas, (c) kegunaan: spesies yang memiliki kegunaan nyata atau potensial bagi manusia perlu diberikan nilai konservasi yang lebih dibandingkan spesies yang tidak memiliki kegunaan yang jelas bagi manusia. Total skor indikator vegetasi, satwa dan habitatnya (x2) yang mewakili dalam kajian kesesuain adalah total skor rata-rata kedua komponen indikator tersebut (vegetasi dan satwa). (c) Indikator kelerengan/slope (bobot (wn3)) Indikator kelerengan yang digunakan dalam penilaian ini menggunakan rentang skor sesuai dengan SK Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980 tanggal 24 Nopember 1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung yang dimodifikasi dengan melakukan rescaling, sehingga diperoleh komposisi skor terendah 10 dan tertinggi 100 (Tabel 11).
52 Tabel 11 Variable yang digunakan dalam penilaian indikator lereng Variabel
No
Luas (Ha) Skor (x 3) Total skor Keterangan 1 Datar ……… 10 2 Landai 32,5 3 Agak curam 55 4 Curam 77,5 5 Sangat curam 100 Jumlah Sumber: SK Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980 dan modofikasi Keterangan: Skor terpilih (x3) untuk indikator kelerengan berdasarkan total skor tertinggi yang diperoleh setelah dilakukan operasi perkalian skor tiap kelas kelerengan dengan bobot (w3n) Lereng (%) 0– 8 8 – 15 15 – 25 25 – 45 > 45
(d) Indikator curah hujan (bobot (wn4)) Kajian terhadap indikator curah hujan dalam pengelolaan TAHURA berdasarkan hasil interpretasi peta maupun informasi dari stasiun pengamatan curah hujan serta sumber informasi lain yang relefan. Standar curah hujan yang digunakan adalah intensitas hujan harian (Tabel 12). Tabel 12 Variable yang digunakan dalam penilaian indikator curah hujan Variabel Total Intensitas Hujan Luas (Ha) Skor (x 4) Keterangan skor (mm/Hari hjn) 1 s/d 13,6 Sangat rendah ……… 10 2 13,6 – 20,7 Rendah 32,5 3 20,7 – 27,7 Sedang 55 4 27,7 – 34,8 Tinggi 77,5 5 > 34,8 Sangat tinggi 100 Jumlah Sumber: SK Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980 dan modofikasi Keterangan : Skor terpilih (x4) untuk indikator curah hujan berdasarkan total skor tertinggi yang diperoleh setelah dilakukan operasi perkalian masing-masing skor kelas intensitas hujan dengan bobot (w4n ) No
b. Kriteria Sosial-Ekonomi-Budaya (bobot (w nIS)) (e) Indikator potensi objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya (bobot (w 5n)) Indikator potensi objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya
yang
digunakan dalam penelitian ini dapat berupa kearifan masyarakat/adat istiadat dan hasil budidaya, objek wisata lainnya yang merupakan objek dan daya tarik wisata (ODTW). Pengumpulan data untuk indikator potensi objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya dilakukan metode observasi dengan menginventarisasi titik-titik ODTW (Tabel 13).
53 Tabel 13 Indikator objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya dengan beberapa variabel No
Jenis objek
Letak (koordinat)
Variabel
1 2 3 4 dst
Skor (x 5)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Daya tarik (alam atau budaya) Estetika dan keaslian Atraksi Fasilitas pendukung Letak dari jalan utama Akses dan transportasi Dukungan dan partisipasi masyarakat Sumber: Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata (2007) dan modifikasi
10 32,50 55 77,5 100
Keterangan : Ada > 5 mcm objek 100
Ada 4 mcm objek 77,5
Skor Ada 3 mcm objek 55
Ada 2 mcm objek 32,50
Ada 1 mcm objek 10
Setiap objek dinilai menurut variabel di atas yang dibuat dalam bentuk panduan penilaian ODTW. Titik lokasi objek kemudian ditempatkan berdasarkan koordinatnya sehingga menghasilkan peta ODTW. (f) Indikator penutupan lahan/landcover (bobot (wn6 )) Indikator penutupan lahan dan status kepemilikannya, ditentukan oleh hasil klasifikasi berdasarkan informasi yang diperoleh dari peta penutupan lahan yang ditindaklanjuti dengan kunjungan lapang. Penutupan lahan dengan hutan alam maupun hutan sekunder mendapat penilaian tinggi karena merupakan aspek penting yang perlu dilindungi terkait dengan peran KHLN sebagai daerah tangkapan air dan fungsi perlindungan hidroorologisnya (Tabel 14). Tabel 14 Indiaktor penutupan lahan No 1
Variabel
Klasifikasi
Status lahan* a, b a, b a, b a, b
Luas (Ha)
Skor (x 6) 100 82 64 46
Total skor**
Penutupan (1) Hutan alam lahan (2) Ht sekunder (3) Perkebunan (4) Pertanian Lahan kering campur semak (5) Sawah a, b 18 (6) Savana/semak a, b 10 Sumber: Ditjen PHKA (2001) dan modifikasi Keterangan : a. Hak milik masyarakat; b. Hak milik negara. *) Lingkari yang sesuai ** Skor terpilih (x6) untuk indikator penutupan lahan berdasarkan total skor tertinggi yang diperoleh setelah dilakukan operasi perkalian skor klasifikasi penutupan lahan dengan bobot (w6n )
54 (g) Indikator masyarakat dan lingkungan (bobot (wn7 )) Informasi masyarakat dan lingkungan penting untuk diketahui terkait dengan ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam hutan (Tabel 15). Tabel 15 Indikator masyarakat dan lingkungan dengan beberapa variabelnya No
Variabel
Skor (x 7)
1
Jumlah penduduk (jiwa)/kepadatan 2 penduduk per km (jiwa)
>20.000
15.00020.000
10.00015.000
5.00010.000
<5.000
< 100
100
70
50
30
10
100 – 200
100
75,17
53,45
31,72
10
201 – 300
100
79,68
56,45
33,23
10
301 – 400
100
76,52
55,65
32,17
10
> 400
100
80,27
56,85
33,42
10
Skor (x 7) 70 50 10 2 Tata guna tanah/ Rencana atau Belum ada Tata guna perencanaan Tata guna tanah tata guna tanah tidak saja mendukung tanah/tata sesuai lingkungan tidak mendukung 3 Tingkat Sebagain Sebagain besar Sebagain Sebagain Pendidikan besar tidak lulusan SD besar lulusan besar lulusan lulus SD SLTP keatas SLTA keatas 4 Mata Sebagain Sebagain besar Petani Pemilik lahan pencaharian besar buruh pedagang kecil, /pegawai penduduk tani industri kecil dan pengrajin Sumber: Ditjen PHKA (2001); Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata (2007) dan modifikasi 100 Rencana dan tata guna tanah mendukung
(h) Indikator potensi fasilitas umum (bobot (w n8)) Untuk mengetahui informasi potensi fasilitas umum dalam wilayah Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, maka dilakukan observasi dengan menggunakan GPS untuk mengetahui keberadaan jenis dan jumlah sarana-prasarana yang ada sehingga diperoleh titik-titik potensi. Beberapa fasilitas umum dikelompokkan berdasarkan kelas sarana-prasarana dan faktor penunjang (Tabel 16).
55 Tabel 16 Indikator potensi fasilitas umum dan variabelnya No 1
2
Variabel Prasarana : a. Kantor pos b. Telepon umum c. Puskesmas d. Wartel dan faxmail e. Warnet f. Jaringan TV g. Jaringan radio h. Surat kabar i. Sarana pendidikan j. Pasar k. Dll Sarana penunjang : a. Rumah makan / minum b. Bank /money changer c. Toko cinderamata d. Tempat beribadah e. Toilet umum
Skor (x8 )
>9 mcm
7-9 mcm
4-6 mcm
3-1 mcm
Tdk ada
100
67,5
55
32,5
10
Ada 5 macam
Ada 4 macam
Ada 3 macam
Ada 2 macam
Ada 1 macam
100
67,5
55
32,5
10
Sumber : Ditjen PHKA (2001) dan modifikasi
Indeks kesesuaian TAHURA dibuat berdasarkan akumulasi dari total bobot dan total skor tiap kriteria dengan kategori: (1) Kurang sesuai; (2) Agak sesuai; (3) Sesuai dan (4) Sangat sesuai yang dijelaskan dengan rumus: Indeks Biofisik (IB n ) f x1 , x 2 , x3 , x 4 wn1 .x1 wn 2 . x2 wn 3 .x3 wn 4 .x 4 Indeks Sosekbud ( IS n ) f x5 , x6 , x 7 , x8 wn 5 .x5 wn 6 .x 6 wn 7 .x 7 wn 8 . x8 Indeks Kesesuaian ( IK n ) IBn IS n
atau
Indeks Kesesuaian ( IK n ) wnIB .x1 , x 2 , x3 , x 4 wnIS . x5 , x 6 , x 7 , x8 dimana wnIB + wnIS = 1 Keterangan: x1 = skor untuk indikator potensi sumber air x2 = skor untuk indikator potensi vegetasi, satwa dan habitatnya x3 = skor untuk indikator kelerengan/slope x4 = skor untuk indikator curah hujan x5 = skor untuk indikator potensi objek dan atraksi sosekbud x6 = skor untuk indikator penutupan lahan x7 = skor untuk indikator masyarakat dan lingkungan x8 = skor untuk indikator potensi fasilitas umum wnIB = bobot untuk kriteria biofisik
wn1 = bobot untuk indikator potensi sumber air wn2 = bobot untuk indikator potensi vegetasi, satwa dan habitatnya wn3 = bobot untuk indikator kelerengan/slope wn4 = bobot untuk indikator curah hujan wn5 = bobot untuk indikator potensi objek dan atraksi sosekbud wn6 = bobot untuk indikator penutupan lahan wn7 = bobot untuk indikator masyarakat dan lingkungan wn8 = bobot untuk indikator potensi fasilitas umum wnIS = bobot untuk kriteria sosekbud n = kelompok bobot (1...4)
56 Penataan Zona/Blok Pengelolaan dalam Calon TAHURA Setelah diperoleh indeks kesesuaian taman hutan raya (TAHURA) di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, maka selanjutnya dilakukan penataan ruang dalam blok pengelolaan calon TAHURA yang dikenal dengan zonasi atau blocking. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan dan penetapan zona dan atau blok kawasan lindung atau kawasan konservasi : a. Penetapan zona atau blok pada kawasan lindung dilakukan secara variatif sesuai dengan kebutuhan pengelolaan kawasan lindung berdasarkan: (a) potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem, (b) tingkat interaksi dengan masyarakat setempat, dan (c) kepentingan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung yang harus dilakukan. b. Penentuan zona atau blok kawasan lindung tersebut tidak bersifat permanen serta dapat disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan kebutuhan pengelolaan kawasan, kondisi potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem, dan kepentingan interaksi dengan masyarakat, dengan demikian minimal tiga sampai lima tahun sekali perlu ada kajian/review terhadap perkembangan dan efektivitas penataan zona/blok pada kawasan lindung c. Pembagian zona pada kawasan konservasi dan hutan lindung tidak selalu sama dan lengkap pada setiap kawasan konservasi dan hutan lindung Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan kesesuaian blok pengelolaan hanya untuk blok perlindungan dan blok pemanfaatan wisata alam dengan berpedoman pada beberapa kriteria dan indikator. Dasar penetapan kriteria dan indikator penentuan blok pengelolaan dipedomani dari beberapa kriteria yang ada seperti kriteria yang ditunjukkan pada Tabel 17 yang dimodifikasi.
57 Tabel 17 Kriteria blok /zona pengelolaan dalam TAHURA No 1.
2.
Blok Pengelolaan Blok Perlindungan
Blok Pemanfaatan
Kriteria
Fungsi dan Peruntukan
keperwakilan (representation); kealamian (naturalness); keunikan (uniqueness); keutuhan satuan ekosistem (ecosystem integrity); e. keutuhan sumberdaya/kawasan (intacness); f. luasan kawasan (area/size), g. memiliki potensi sumberdaya alam dan lingkungan alam yang dapat dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan wisata alam Kriteria lain terkait fungsi hidroorologis kawasan: * a. Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau b. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 45 % atau lebih, dan/atau c. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih d. Tanah dengan klasifikasi sangat peka terhadap erosi & mempunyai kemiringan lereng > 15% e. Merupakan jalur pengamanan aliran sungai, sekurang-kurangnya 100 m di kiri - kanan alur sungai f. Merupakan pelindung mata air , yaitu 200 m dari pusat mata ai a. keunikan (uniqueness), b. luasan kawasan (area/size), c. keindahan alam (natural beauty), d. kenyamanan (amenity), e. kemudahan pencapaian (accessibility), f. memiliki potensi phenomena alam, lansekap alam dan keindahan alam yang menarik yang dapat dikembangkan sebagai atraksi kegiatan wisata alam dan pendidikan konservasi alam
Kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan fungsi pendidikan konservasi dan wisata alam terbatas
a. b. c. d.
Pengembangan pariwisata alam, pusat rekreasi, dan pendidikan konservasi alam dan lingkungan hidup, serta menunjang peranserta aktif masyarakat dalam pengembangan jasa pariwisata alam dan pengembangan ekonomi dan daerah. Sumber: Keputusan Dirjen PHPA Nomor 129/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 31 Desember 1996 * Kepres Nomor 32 Tahun 1990 (pasal 8) untuk point a , b, c dan * SK Menteri Pertanian No. 837/KPTS/UM/11/1980 untuk point d, e, f
Selain faktor biofisik seperti yang diuraikan dalam peraturan perundangundangan yang terkait pengelolaan kawasan konservasi (khususnya TAHURA), juga perlu mengakomodir aspek sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) masyarakat yang berada di dalam maupun sekitar kawasan. Hal ini terkait dengan permasalahan
umum
pengelolaan
kawasan
hutan
saat
ini
yang lebih
menitikberatkan kepada penanganan permasalahan sosial (social problems).
58 Dengan suatu catatan bahwa penentuan aspek sosial-ekonomi dan budaya yang akan dimasukkan ke dalam indikator penilaian kesesuaian untuk setiap blok pengelolaan tersebut bersifat logis, realistis dan tidak menyalahi ketentuan dan aturan yang berlaku. a. Kesesuaian Blok Perlindungan (Inti) Blok perlindungan yang dibangun dalam calon TAHURA nantinya selain tetap mengakomodir fungsi hidroorologis juga diarahkan kepada penataan blok menjadi areal untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli dan sekaligus sebagai bank plasma nutfah yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Indikator untuk menilai kesesuaian blok perlindungan (inti) dalam TAHURA seperti diuraikan pada Tabel 17. b. Kesesuaian Blok Pemanfaatan Wisata Alam Dalam penelitian ini blok pemanfaatan yang dikaji khususnya blok pemanfaatan wisata alam saja. Untuk blok pemanfaatan lainnya seperti blok rehabilitasi, blok arboretum, blok pemanfataan tradisional dan blok-blok lainnya akan ditentukan dengan berdasarkan hasil operasi spasial terhadap aspek biofisik dan sosial-ekonomi dan budaya serta hasil diskusi terbuka dengan masyarakat setempat. Kriteria dan indikatornya seperti ditunjukkan pada Tabel 17. Sebagai tambahan maka dilakukan juga dua analisis, yaitu: (a) Analisis potensi objek dan atraksi wisata alam, (b) Analisis kondisi dan peluang pemberdayaan masyarakat lokal, meliputi: akseptibilitas masyarakat dan peluang pemberdayaan masyarakat (a) Analisis Potensi Objek dan Atraksi Wisata Alam Untuk melakukan analisis objek dan atraksi wisata alam, maka dibutuhkan data primer dan data sekunder. Data primer atau data lapangan diperoleh melalui survei lapangan
dan wawancara dengan 4 (empat) responden yang diminta
mengisi kusioner. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Karena dalam penilaian daya tarik terdapat unsur-unsur kualitatif lainnya seperti
59 keindahan, maka untuk memperoleh keobjektifan yang optimal skor terpilih merupakan rata-rata penilaian dari keempat responden tersebut (Tabel 18). Tabel 18 Bentuk dan metode pengambilan data Data
Metode pengambilan dan analisis data Survey lapanga Study pustaka
Variabel
Objek dan atraksi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Daya tarik (alam atau budaya) Estetika dan keaslian Atraksi Fasilitas pendukung Letak dari jalan utama Akses dan transportasi Dukungan dan partisipasi masyarakat
Sumber: Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata (2007) dan modifikasi
Selanjutnya dilakukan analisis data untuk mendeliniasi areal yang sesuai untuk blok pemanfaatan wisata alam atau wisata alam yang dilakukan dengan mengidentifikasi objek dan atraksi wisata alam yang potensial dikembangkan (Tabel 19). Tabel 19 Penilaian terhadap objek dan atraksi wisata alam Skor (xi) No.
Variabel
Bobot
1 Sangat buruk Tidak terdapat sama sekali
1.
Daya tarik (alam atau budaya)
6
2.
Estetika dan keaslian
6
Sudah berubah sama sekali
3.
Atraksi
6
Terdapat (> 5 lokasi) di tempat lain
4.
Fasilitas pendukung
5
Prasarana dan sarana tidak tersedia
5.
Letak dari jalan utama Akses dan transportasi menuju objek
5
Jarak > 1 km
5
Belum ada jalan dan alat transportasi
6.
7.
2
3
4
Buruk Terdapat (3-5 lokasi) di tempat lain
Baik Terdapat (< 3 lokasi) ditempat lain
Asimilasi, dominan bentuk baru Terdapat (3-5 lokasi) di tempat lain
Asimilasi, dominan bentuk asli Terdapat (1-3 lokasi) di tempat lain
Sangat baik Hanya terdapat diobjek wisata ini Asli
Prasarana dan sarana tersedia kondisi kurang baik Jarak 500-1000 m
Prasarana dan sarana tersedia kondisi baik
Jalan lokal
Jalan lokal dan kendaraan roda dua
Jarak 50-500 m
Dukungan dan 5 Tidak Kurang Mendukung partisipasi mendukung mendukung masyarakat Sumber: Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata (2007) dan modifikasi
Hanya terdapat di objek wisata ini Tersedia dengan kondisi sangat baik Jarak < 40 m Jalan lokal dan kendaraan roda empat Sangat mendukung
60 Perhitungan penilaian terhadap objek dan atraksi wisata alam :
Oi wn xi Keterangan : Oi wn xi Total
= Total skor untuk setiap objek dan atraksi wisata alam = bobot untuk tiap variabel (5 dan 6) = skor untuk tiap varibel yang terpilih (n = 1,2,3,4) skor
masing-masing
objek
dan
atraksi
wisata
alam
kemudian
diklasifikasikan dalam 3 kategori yakni: 1) Kurang potensial
total skor 38-75
2) Potensial
total skor 76-114
3) Sangat potensial
total skor 115-152
(b) Analisis Kondisi dan Peluang Pemberdayaan Masyarakat Jenis data yang dikumpulkan untuk analisis ini, yaitu data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan masyarakat lokal terkait dengan akseptibilitas masyarakat dengan adanya wisata alam di daerahnya serta peluang pemberdayaan masyarakat tersebut (khususnya masyarakat lokal). Akseptibilitas Masyarakat Dalam perencanaan blok pemanfaatan wisata alam perlu akseptibilitas masyarakat yang tinggi agar aktivitas wisata alam dapat menghasilkan nilai ekonomi bagi masing-masing pihak yang terlibat didalamnya (Tabel 20).
61 Tabel 20 Penilaian akseptibilitas masyarakat No 1.
2. 3.
4.
5.
Variabel* Kawasan dikelola dengan baik dan masyarakat lokal diikutsertakan Menerima wisatawan di rumah Harapan pengembangan kegiatan wisata alam Bersikap ramah, jika wisatawan datang ke tempat anda Menjawab jika wisatawan bertanya
Bobot 5
5
4 Bersedia Sangat berpartisipasi
Skor (xi) 3 2 Biasa saja Kurang Biasa saja Kurang berpartisipas i
Sangat bersedia Sangat bermanfaat
Biasa saja
5
Sangat ramah
5
Sangat bersedia
5
1 Tidak ingin Tidak sama sekali
Kurang bersedia Kurang bermanfaat
Tidak bersedia Tidak bermanfaat
Biasa saja
Kurang ramah
Tidak ramah
Biasa saja
Kurang bersedia
Tidak bersedia
Biasa saja
Penilaian akseptibilitas masyarakat untuk variabel tertentu di setiap objek dan atraksi wisata alam didasarkan pada perhitungan untuk variabel tertentu sebagai berikut:
Aacepwn xi Keterangan : Aacep = Total skor untuk tingkat akseptibilitas masyarakat pada tiap objek dan atraksi wisata alam wn = bobot untuk tiap variabel (5) xi = skor untuk tiap varibel yang terpilih (n = 1,2,3,4) Untuk mengetahui tingkat akseptiblitas masyarakat terhadap kegiatan wisata alam, maka total skor untuk masing-masing objek dan atraksi wisata alam dikelompokkan dalam tiga klasifikasi, yaitu: 1) Kurang sesuai
total skor 25-49
2) Sesuai
total skor 50-75
3) Sangat sesuai
total skor 76-100
Peluang Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan konservasi, bertujuan untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dan untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya melalui partisipasinya secara aktif dalam
62 kegiatan pemanfaatan, pengamanan dan pelestarian terhadap hutan konservasi (Setyadi 2005) . Untuk menilai peluang pemberdayaan masyarakat tersebut dilakukan teknik wawancara dengan mengisi kusioner (Tabel 21). Tabel 21 Penilaian peluang pemberdayaan masyarakat Skor (xi) No. 1.
2.
3. 4. 5. 7. 8. 9. 10.
Variabel
Bobot
4
3
2
1
Kegiatan wisata dapat memberikan keuntungan Berperan aktif dalam pengelolaan kawasan wisata Pemandu wisata/guide Berjualan makanan dan minuman Pembuatan dan penjualan souvenir Pagelaran seni dan budaya Pengelolaan cafe/tempat makan Penyewaan penginapan/homestay
5
Ingin sekali Banyak sekali
Biasa saja Biasa saja
Kurang Sedikit
Tidak ingin Tidak ada
5
Ingin sekali
Biasa saja
Kurang
Tidak ingin
5
Ingin
Biasa saja
Kurang
Tidak ingin
5
Ingin
Biasa saja
Kurang
Tidak ingin
5
Ingin
Biasa saja
Kurang
Tidak ingin
5
Ingin
Biasa saja
Kurang
Tidak ingin
5
Ingin
Biasa saja
Kurang
Tidak ingin
5
Ingin
Biasa saja
Kurang
Tidak ingin
Transportasi
5
Ingin
Biasa saja
Kurang
Tidak ingin
Penilaian peluang pemberdayaan masyarakat di setiap objek dan atrkasi wisata alam berdasarkan pada perhitungan total skor untuk setiap variabel seperti dalam rumus.
BPpmwn xi Keterangan : BPpm = Total skor untuk peluang pemberdayaan masyarakat pada setiap objek dan atraksi wisata alam wn = bobot untuk tiap variabel (5) xi = skor untuk tiap varibel yang terpilih (n = 1,2,3,4) Total skor peluang pemberdayaan masyarakat untuk setiap objek dan atraksi wisata alam yang dinilai pada variabel tertentu dikelompokkan dalam tiga kategori yakni: 1) Kurang potensial
total skor 45-89
2) Potensial
total skor 90-135
3) Sangat potensial
total skor 136-180
63 Deliniasi Blok Pemanfaatan Wisata Alam Kegiatan deliniasi merupakan tahap pembatasan areal berdasarkan potensi dan kondisi kawasan untuk mendapatkan blok pemanfaatan wisata alam yang juga didasarkan pada tumpang susun aspek biofisik dan sosial ekonomi budaya. 3.3.2.4
Rekomendasi Pada tahap akhir diperoleh indeks kesesuaian calon TAHURA. Output
yang dihasilkan berupa peta blok pengelolaan calon TAHURA yang menjadi rekomendasi dan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam pengelolaan KHLN.
64
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1
Kondisi Biofisik
4.1.1
Letak dan Luas Kawasan hutan lindung Nanggala (KHLN) terletak pada 119 57’00”
sampai dengan 120 05’55” BT dan 02 55’52” sampai dengan 03 02’30” LS dengan luas kawasan 15.928 ha (sesuai SK Menteri Pertanian Nomor 760/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982). KHLN ini pada dasarnya mencakup 2 (dua) wilayah kabupaten yakni Kabupaten Tana Toraja dan Kota Madya Palopo sehingga wilayahnya juga kemudian dikelompokkan menjadi 3 bagian yakni HL Nanggala I, HL Nanggala II dan HL Nanggala III (Dishutbun 2007). Areal yang termasuk dalam HL Nanggala III merupakan hutan tropis pegunungan bawah, terletak pada ketinggian 500 sampai dengan 1.485 meter di atas permukaan laut dan secara geografis berada 120 04’01” sampai dengan 120 05’55” BT dan 02 55’52” sampai dengan 02 58’55” LS. HL Nanggala III berstatus hukum penunjukan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) Nanggala III dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 663/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juli 1992. TWA
Nanggala III seluas
+ 968,82 ha, berada pada wilayah administrasi
Kecamatan Tellu Wanua, Kota Madya Palopo (Balai Besar KSDA Makassar 2008). Sedangkan HL Nanggala I dan HL Nanggala II dengan luas + 14.959,18 ha secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja yang terletak pada 4 (empat) kecamatan yakni Kecamatan Tondon, Kecamatan Nanggala, Kecamatan Buntao dan Kecamatan Rantebua. Batas wilayah KHLN yang ada di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala mencakup: - Sebelah utara
: Kecamatan Balusu
- Sebelah timur
: Kota Madya Palopo
- Sebelah selatan
: Kecamatan Buntao dan Kecamatan Rantebua
- Sebelah barat
: Kecamatan Sanggalangi
Sedangkan wilayah lembang yang termasuk KHLN mencakup sembilan lembang di wilayah Kecamatan Nanggala, yakni: Lembang Lilikira, Lembang Tandung
65 Nanggala, Lembang Nanna Nanggala, Lembang Nanggala, Lembang Karre Limbong, Lembang Karre Penanian, Kelurahan Nanggala Sangpiak Salu dan Lembang Basokan serta satu lembang di Kecamatan Tondon yakni Lembang Tondon Langi (Tabel 32). Dengan adanya pemekaran wilayah, maka sebagian dari areal KHLN kemudian masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Buntao dan Kecamatan Rantebua yang kemudian dikategorikan dalam kelompok hutan lindung ”Tumborera”. Saat ini batas antara HL Nanggala I dan HL Nanggala II belum jelas. Namun menurut data Dishutbun (2007), HL Nanggala II memiliki luas + 6.499 ha sedangkan luas areal HL Nanggala I tidak jelas. HL Nanggala I dan II letaknya + 25 km ke arah timur laut kota Rantepao, Tana Toraja. Sebagian wilayah HL Nanggala I dan HL Nanggala II ini juga dibelah oleh jalan propinsi yang menghubungkan kota Makassar dan kota madya Palopo. Berdasarkan data BPS (2007a), Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala memiliki luas masing-masing 3.600 ha (1,12% dari luas Kabupaten Tana Toraja) dan 4.800 ha (2,62% dari luas Kabupaten Tana Toraja) dengan jumlah dan penyebaran lembang atau kelurahan seperti ditunjukkan pada Tabel 22 dan Gambar 3. Tabel 22 Keadaan lembang/kelurahan yang ada di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala No
Lembang (Kelurahan)
I 1 2 3 4
Kecamatan Tondon Tondon Mataallo Tondon Siba’ta Tondon Tondon Langi’ Jumlah I Kecamatan Nanggala Basokan Karre Limbong Karre Penanian Lilikira Nanggala Nanggala Sangpiak Salu* Nanna Nanggala Rante Tandung Nanggala Jumlah II
II 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Klasifikasi lembang
Luas areal (ha)
Jarak dari ibukota kecamatan (km)
Jarak dari ibukota kabupaten (km)
Jumlah dusun
Swadaya Swadaya Swadaya Swadaya
930 775 925 970 3.600
1 3 2 0,5 -
21 14 20 22 -
3 3 3 3 12
Swadaya Swadaya Swadaya Swadaya Swadaya Swakarya
425 1.900 1.250 1.000 700 700
6 32 3 14 7 8
33 49 41 38 34 33
2 3 5 2 2 3
Swadaya Swadaya Swakarya
575 750 1.100 8.400
10 3 10
33 41 37
2 2 4 23
66 Total (I + II) Sumber: BPS (2007b, 2007c) *Kelurahan
4.1.2
12.000
35
Iklim Iklim di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala menurut klasifikasi
Schmid Fergusson termasuk tipe iklim A, dengan temperatur berkisar 18 C sampai dengan 29 C. Hasil pencatatan dari penakar curah hujan di Kecamatan Nanggala menunjukkan curah hujan rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir 369 mm dengan rata-rata jumlah hari hujan bulanan 13 hari hujan sehingga intensitas hujan hariannya kurang lebih 28,39 mm/hari hujan, sedangkan jumlah bulan basahnya sebanyak 11 bulan (Tabel 23). Tabel 23 Keadaan curah hujan 10 tahun terakhir di Kecamatan Nanggala dan sekitarnya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Bulan Basah Bulan Kering Sumber: BP DAS (2007)
4.1.3
Rata-rata curah hujan (mm) 550 558 707 668 315 226 114 158 81 114 293 645
Keterangan Bulan basah Bulan basah Bulan basah Bulan basah Bulan basah Bulan basah Bulan basah Bulan basah Bulan lembab Bulan basah Bulan basah Bulan basah 11 0
Topografi dan Tanah Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala memiliki topografi
bergelombang, berbukit-bukit terjal sampai bergunung dengan ketinggian 800 sampai dengan 1.400 m di atas permukaan laut (BPS 2007b, 2007c). Keadaan tanah umumnya berbatu dan berpasir. Berdasarkan pengamatan di lapangan secara umum tanah berwarna coklat. Hasil ini sesuai dengan peta tanah dari Dinas Pertanahan Kabupaten Tana Toraja, dimana areal Kecamatan Tondon-Nanggala (nama Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala sebelum pemekaran) termasuk jenis tanah podsolik coklat yang diklasifikasikan sebagai jenis tanah yang peka terhadap erosi. Bahan induk tanah podsolik coklat sebagian besar didominasi oleh tufa vulkan masam dan komplek batu pasir serta serpih
67 tufa. Keadaan fisik tanah utamanya menyangkut kedalaman tanah efektif dan solum tanah tergolong dalam (60-120 cm). Tekstur tanah tergolong sedang (lempung) sampai agak halus (agak liat). Reaksi tanah secara umum tergolong agak masam dengan konsisitensi lekat sampai sangat lekat, sedangkan akumulasi liat tanah dapat dijumpai pada lapisan 90-150 cm. Drainase tanah tergolong sedang sampai baik (BP DAS 2007). 4.1.4
Hidrologi KHLN termasuk kawasan hutan yang relatif mengandung banyak air,
terbukti dengan cukup banyak terdapat mata air dengan air yang mengalir sampai di pinggir-pinggir jalan terutama jalan menuju Palopo serta beberapa sungai kecil. Jenis tanaman Monochoria vaginalis adalah satu jenis tumbuhan air yang banyak ditemukan di kawasan ini (Gambar 6).
Gambar 6 Jenis tanaman Monochoria vaginalis. Kawasan hutan lindung Nanggala juga memiliki banyak sumber air diantaranya mata air Pedamaran dan Indok Kombong yang sudah dikelola oleh pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tana Toraja dan termasuk dalam sumber air Wairede. Sumber air Wairede menurut data PDAM Tana Toraja (2007) merupakan sumber mata air sistem grafitasi dengan kapasitas produksi terbanyak di Kabupaten Tana Toraja yakni 10 liter/detik pada musim hujan dan 2,5 liter/detik pada musim kemarau. Air dari sumber mata air ini mensuplai kebutuhan air minum untuk Kelurahan Nanggala Sangpiak Salu, Lembang Tondon dan Lembang Nanggala serta sebagian kota Rantepao (Tabel 24). Jika jumlah rumah tangga di ketiga lembang tersebut berjumlah 1.238 rumah tangga, maka Wairede seharusnya mensuplay air 364.337,70 m 3/tahunnya. Sedangkan
68 kapasitas produksi Wairede rata-rata hanya 239.544 m3/tahun. Hal ini berarti bahwa ada sumber air (mata air) lain dari HL Nanggala yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan air rumah tangganya sebesar 124.793,70 m3/tahun. Rata-rata kebutuhan air satu rumah tangga (dengan 4 orang jiwa) 25 m3/bulan atau 294,35 m3/thn yang menurut PDAM (2007) termasuk dalam pemakai air golongan C (pemakaian 21-30 m3), maka setiap rumah tangga harus mengeluarkan biaya untuk kebutuhan airnya rata-rata Rp 98.118,28-/bulan atau Rp. 1.177.419,35-/tahun. Berdasarkan data produksi rata-rata Wairede (239.544 m3/tahun) dan jika diasumsikan semua rumah tangga di ketiga lembang yang memakai air dari mata air, maka diperoleh jasa air dari HL Nanggala khususnya sumber air Wairede sejumlah Rp 958.176.000-/tahun. Jumlah ini hanya sebagian dari jasa hidrologi yang dihasilkan KHLN.
69 Tabel 24 Kapasitas produksi PDAM Kabupaten Tana Toraja Tahun 2007 Kapasitas produksi (liter/detik ) PerobaNo Lokasi KemaRataHujan han ratarau rata rata I. Air permukaan dengan sistem pengolahan dan pompanisasi : 1 IPA Bolu 20,00 20,00 20,00 20,00 Jenis sumber
2 3 4
Kapasitas terpasang liter/detik
IPA Kia'tang IPA Rura IPA Rantetayo Jumlah IPA (I) II. Mata air dengan sistem grafitasi: 1 Mata air Burake 2 Mata air Kombong 3 Mata air Limbong 4 Mata air Ge'tengan 5 Mata air Rembon 6 Mata air Pangli 7 Mata air Tikala 8 Mata air Saluallo 9 Mata air Rantealang 10 Mata air Sarira 11 Mata air Madandan 12 Mata air Ulusalu 13 Mata air Randanan 14 Mata air Salu 15 Mata air Kaero 16 Mata air Tiromanda 17 Mata air Sa'dan 18 Mata air Panggala' 19 Mata air Malimbong 20 Mata air Sillanan 21 Mata air Tallulembang 22 Mata air Wairede 23 Mata air Bittuang Jumlah Mata Air II) Jumlah kapasitas ( I + II )
Operasi instalasi (jam)
Operasi distribusi (jam)
18
18
20,00 20,00 20,00 80,00
20,00 14,00 20,00 74,00
20,00 14,00 20,00 74,00
20,00 14,00 20,00 74,00
-
18 18 18 18
18 18 18 18
10,00 10,00 10,00 5,00 5,00 5,00 2,50 5,00 2,00 4,00 2,00 5,00 4,00 5,00 5,00 5,00 3,00 3,00 2,00 2,00 2,00 15,00 2,00 113,50 193,50
8,50 8,50 8,50 2,00 2,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,50 1,00 5,00 0,50 5,00 5,00 1,50 1,00 1,00 1,64 1,32 10,00 1,00 68,96 142,96
1,20 0,60 0,80 0,15 0,12 0,10 0,10 0,10 0,20 0,20 0,10 0,20 0,10 0,10 0,20 2,50 0,10 6,87 80,87
4,85 4,55 4,65 1,08 1,06 0,55 0,50 0,50 0,55 0,50 0,25 0,55 2,50 0,25 2,60 2,60 0,80 0,60 0,55 0,87 0,76 6,25 0,55 37,92 111,92
7,00 7,00 6,00 3,00 1,00 3,00 2,00 10,00 1,00 40,00
24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24
24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24
Sumber: PDAM (2007)
4.1.5
Vegetasi dan Satwa Kawasan hutan lindung Nanggala kaya akan berbagai jenis vegetasi dan
satwa. Namun sampai saat ini belum diketahui dengan pasti jenis dan jumlah satwa yang terdapat dalam KHLN. Berdasarkan informasi dari warga masyarakat di sekitar KHLN ada beberapa satwa liar yang hidup alami di kawasan ini antara lain ceba (Macaca tonkeana), ayam hutan, babi hutan, beberapa jenis serangga diantaranya kupu-kupu, ular, wani (tawon yang menghasilkan madu), berbagai jenis burung diantaranya kaluppini, karasiak dan burung alo. Selain itu ada juga beberapa jenis flora yang tumbuh dalam KHLN berdasarkan hasil eksplorasi dan penelitian Pendit et al. (2002), sebagai berikut:
70 a. Jenis tumbuhan anggrek sebanyak 64 jenis (25 marga), diantaranya: Arundina graminifolia, Phalaenopsis sp, Phaius flavus dan Paphiopedilum sp b. Jenis tanaman yang berpotensi sebagai tanaman hias diantaranya: Begonia sp, Vaccinium sp, Cordyline sp, Rhododendron sp (danga-danga), dan Medinilla sp c. Jenis tumbuhan yang merambat seperti: Raphidophora sp, Monstera sp, Calamus sp (rotan), Meloinus leavigatus, Dinochloa sp, Piper sp, Lygodium sp dan Nepenthes sp (kantong semar). d. Jenis paku-pakuan yang tumbuh terestrial seperti: Pteris sp, Tectaria sp, Phymatodes longisima, Adianthum sp, Slaginela sp, Angioptersi sp, Cyathea sp, Cyathea contaminas dan Cyathea latebrosa (paku tiang). e. Jenis tumbuhan berkayu yang didominasi oleh jenis Syzigium spp, Filicium sp, Cinnamomum sintoc, Myrsine sp, Picus spp, Clethra spp dan Saurauia sp Di dalam hutan lindung Nanggala dan sekitarnya ditemui banyak jenis vegetasi tingkat pohon, diantaranya jenis tusam (Pinus merkusii) yang merupakan tanaman rehabilitasi lahan pada Tahun 1970-an. Tanaman pinus juga banyak ditanam di tanah milik masyarakat yang digunakan sebagai bahan bangunan. Disamping itu ada juga beberapa jenis bambu, kayu uru (Ermerillia sp) serta kayu buangin (Casuarina junghuniana) yang banyak dimanfaatkan dalam pertukangan, baik sebagai bahan ramuan rumah ”tongkonan” maupun ”alang” atau lumbung padi, pembuatan meubel maupun bahan baku ukiran.
71 4.2
Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya
4.2.1
Demografi
4.2.1.1 Kependudukan Jumlah penduduk Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala masingmasing 9.328 jiwa dan 9.649 jiwa (Tabel 25). Tabel 25 Keadaan penduduk di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala N o I 1 2 3 4 II 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lembang (Kelurahan) Kecamatan Tondon Tondon Mataallo Tondon Siba’ta Tondon Tondon Langi’ Jumlah I Kecamatan Nanggala Basokan Karre Limbong Karre Penanian Lilikira Nanggala Nanggala Sangpiak Salu* Nanna Nanggala Rante Tandung Nanggala Jumlah II Total (I + II)
Lakilaki
Perempuan
Jumlah
Rumah tangga (RT)
Rata-rata anggota RT (jiwa)
Seks Ratio (%)
Kepadatan jiwa/km 2
1.344 1.398 1.651 1.190 5.583
962 932 1.115 736 3.745
2.306 2.330 2.766 1.926 9.328
541 548 632 545 2.266
4 4 4 4
140 150 148 162 149
248 301 299 199 259
546 691 674 570 582 571
462 79 567 531 493 539
1.008 1.270 1.241 1.101 1.075 1.110
225 211 226 367 242 293
4 6 5 3 4 4
118 119 119 107 118 106
237 67 99 110 154 159
466 373 677 5.150 9.662
407 346 575 4.499 8.244
873 719 1.252 9.649 16.880
195 144 271 2.174 4.440
4 5 5
114 108 118 114
152 96 114 115
Sumber: BPS (2007b, 2007c) *Kelurahan
4.2.1.2 Pendidikan Menurut data BPS (2007b, 2007c), kelompok umur yang mencari pekerjaan pada Tahun 2006 di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala didominasi oleh kelompok umur 25-54 tahun sebanyak 56,31% kemudian kelompok umur 10-24 tahun sebanyak 43,69%. Sedangkan jika dilihat dari tingkat pendidikannya, maka komposisi masyarakat yang mencari pekerjaan sebagian besar berpendidikan sarjana dengan komposisi sarjana 29,43%, tamat SLTA umum 27,42%, tamat SD 13,89%, tamat SLTP umum 10,79%, tamat SLTA kejuruan 9,51%, sarjana muda 7,13% dan lain-lain 1,83%. Tetapi jika dilihat dari sarana pendidikan yang ada, masih sangat kurang. Sampai Tahun 2007 belum ada fasilitas pendidikan untuk sekolah lanjutan tingkat
72 atas (SLTA) yang dibangun di kedua kecamatan ini. Mereka yang kemudian ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA umum maupun kejuruan serta universitas harus ke kota Rantepao atau Makale bahkan keluar dari Kabupaten Tana Toraja. Sedangkan jumlah sarana pendidikan yang lain sudah ada, seperti: sekolah dasar negeri (SDN) 16 unit, sekolah lanjutan tingkat pertaman negeri (SLTP Negeri) 3 unit dan sekolah taman kanak-kanak berjumlah 2 unit (Tabel 26). Dengan melihat komposisi tingkat pendidikan yang ada, sebenarnya akan memudahkan peningkatkan pemahaman, pengertian dan peran serta masyarakat secara aktif dalam upaya perlindungan dan pelestarian kawasan hutan lindung Nanggala. Tabel 26 Fasilitas pendidikan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala No I
Lembang (Kelurahan) Kecamatan Tondon Tondon Mataallo Tondon Siba’ta Tondon Tondon Langi’
1 2 3 4
Jumlah I Kecamatan Nanggala Basokan Karre Limbong Karre Penanian Lilikira Nanggala Nanggala Sangpiak Salu* Nanna Nanggala Rante Tandung Nanggala Jumlah II Total (I + II) Sumber: BPS (2007b, 2007c) *Kelurahan
TK
Jenis sarana pendidikan (unit) SD SLTP Negeri SLTA Negeri
1 1
2 2 1 1 6
1 1
-
1 1 2
1 2 2 2 1 1 1 10 16
1 1 2 3
-
II
1 2 3 4 5 6 7 8 9
4.2.2
Penggunaan Lahan dan Perekonomian Masyarakat Menurut data BPS (2007b, 2007c) penggunaan lahan (landuse) di
Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala yang banyak ditemui adalah lahan sawah, kebun dan hutan campuran (Tabel 27). Secara umum penggunaan lahan dibagi dua yakni areal/lahan yang berada pada lembah diantara bukit dan gunung digunakan untuk persawahan dan tanaman pangan lainnya, sedangkan areal yang
73 terletak pada daerah yang berombak, bergunung sampai berbukit dijadikan pemukiman (tetapi pada daerah tertentu) serta perkebunan dan hutan campuran milik penduduk. Karena adanya budaya memelihara ternak babi, maka hampir semua rumah mempunyai lahan khusus untuk menanam ketela rambat sebagai bahan makanan utama ternak babi. Tanaman budidaya yang ditanam dengan teknik campuran baik dalam lahan milik maupun di sekitar areal rumah tinggal ataupun tongkonan antara lain cengkeh (Syzigium aromaticum), kopi (Coffea robusta), coklat (Theobroma cacao) dan buah-buahan seperti pisang (Musa paradisica), rambutan (Nephelium sp) dan aren (Arenga pinata) yang diambil niranya sebagai hasil tambahan masyarakat setempat. Tabel 27 Penggunaan lahan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala N o I 1 2 3 4
Lembang (Kelurahan)
Sawah tadah hujan (ha)
Kecamatan Tondon Tondon Mataallo 152 Tondon Siba’ta 123 Tondon 166 Tondon Langi’ 121 Jumlah I 562 II Kecamatan Nanggala 1 Basokan 48 2 Karre Limbong 70 3 Karre Penanian 131 4 Lilikira 61 5 Nanggala 225 6 Nanggala Sangpiak 109 Salu* 7 Nanna Nanggala 66 8 Rante 51 9 Tandung Nanggala 58 Jumlah II 819 Total (I + II) 1.381 Sumber: BPS (2007b, 2007c) *Kelurahan
Pekarangan dan kolam
Lahan kering (ha) Tegalan dan LainHutan kebun nya
Jumlah
40 34 41 37 152
79 117 127 103 426
29 41 27 35 132
236 236 266 390 1.128
19 22 34 28 66 29
113 452 206 324 298 247
173 317 142 205 12 71
72 377,00 1.039 1.830,00 737 1.119,00 382 939,00 99 475,00 244 591,00
22 13 20 253 405
83 98 214 2.035 2.461
270 552 775 2.517 2.649
134 36 33 2.776 3.904
394 224 298 284 1.200
509,00 699,00 1.042,00 7.581 8.781
Bidang pekerjaaan yang digeluti masyarakat di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala dikategorikan dalam dua bidang yakni bidang pertanian dan non pertanian dengan total penduduk yang bekerja untuk bidang pekerjaan tersebut masing-masing 6.594 jiwa dan 1.120 jiwa (BPS, 2007a).
74 Perekonomian masyarakat sebagian besar juga ditopang oleh potensi sumberdaya pertanian seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Usaha pertanian tanaman pangan (padi sawah) di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala memiliki rata-rata produksi 3,89 ton/ha dan jenis tanaman ubi kayu (hortikultura) yang tercatat hanya 18,04 ton/ha. Sedangkan rata-rata produksi perkebunan berdasarkan data BPS (2007a) hanya tercatat untuk wilayah Kecamatan Tondon dengan komposisi komoditas coklat 0,69 ton/ha, komoditas kopi robusta 0,36 ton/ha, komoditas cengkeh dan kopi arabika sama yakni 0,20 ton/ha dan 0,10 ton/ha untuk komoditas vanili (Tabel 28). Tabel 28 Produktifitas beberapa jenis tanaman budidaya di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala Areal yang ditanami No I 1 2 3 4 5 6 7
Jenis tanaman
Kecamatan Tondon Padi sawah Ubi kayu Kopi arabika Kopi robusta Vanili Coklat Cengkeh Jumlah I Kecamatan II Nanggala 1 Padi sawah 2 Ubi kayu 3 Kopi arabika 4 Kopi robusta 5 Vanili 6 Coklat 7 Cengkeh Jumlah I Total (I + II) Sumber: BPS (2007a)
Luas (ha)
%
Areal yang dipanen Luas (ha)
%
565 16 131 184 28 182 40 1.146
49,30 1,40 11,43 16,06 2,44 15,88 3,49 100,00
1.952 76,94 20 0,79 131 5,16 184 7,25 28 1,10 182 7,17 40 1,58 2.537 100,00
819 819 1.965
100,00 100,00
819 819 3.356
00,00 100,00
Produksi (ton)
Rata-rata produksi (ton/ha)
7.844 361 26 66 3 125 8 8.432
4,02 18,04 0,20 0,36 0,10 0,69 0,20 23,60
2.947 2.947 11.379
3,60 3,60
Kegiatan peternakan ayam buras sampai Tahun 2007 mendominasi populasi ternak yang diusahakan masyarakat (55,82%) terutama di Lembang Tondon Siba’ta 32,42%, Lembang Karre Limbong 4,08%, Lembang Karre Penanian 3,63% dan Lembang Tondon 3,13%. Sedangkan usaha peternakan kerbau dan babi merupakan kegiatan yang banyak ditemui di Kabupaten Tana
75 Toraja. Hampir setiap keluarga (terutama yang hidup agak jauh dari perkotaan) memiliki ternak babi maupun kerbau. Usaha ini, meskipun hanya dilakukan dalam skala kecil, namun tidak sedikit juga yang mengusahakannya dalam skala besar. Populasi ternak babi 37,49% dan populasi ternak kerbau 4,45% serta ternak itik 2,24% (Tabel 29). Khusus usaha perikanan sangat terbatas jumlahnya dan hanya dilakukan pada lahan sawah dengan sistem mina-padi. Tabel 29 Populasi ternak masyarakat di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala Lembang (Kelurahan) Kerbau Kecamatan Tondon I 1 Tondon Mataallo 297 2 Tondon Siba’ta 282 3 Tondon 32 4 Tondon Langi’ 361 Jumlah I 972 Kecamatan Nanggala II 1 Basokan 134 2 Karre Limbong 421 3 Karre Penanian 263 4 Lilikira 312 5 Nanggala 157 6 Nanggala Sangpiak 248 Salu* 7 Nanna Nanggala 157 8 Rante 261 9 Tandung Nanggala 324 Jumlah II 2.277 Total (I + II) 3.249 Persentase (%) 4,45 Sumber: BPS (2007b, 2007c) *Kelurahan No
Jenis ternak (ekor) Babi Ayam buras
Itik
Jumlah
1.877 1.698 1.512 1.613 6.700
1.816 23.666 2.285 124 27.891
257 50 135 144 586
4.247 25.696 3.964 2.242 36.149
3.294 1.584 2.615 2.662 1.478 1.753
397 2.975 2.650 1.051 2.234 851
100 65 77 142 322 125
3.925 5.045 5.605 4.167 4.191 2.977
2.486 3.247 1.547 20.666 27.366 37,49
625 406 1.672 12.861 40.752 55,82
82 50 84 1.047 1.633 2,24
3.350 3.964 3.627 36.851 73.000 100,00
Aktifitas masyarakat lain adalah memungut hasil hutan kayu maupun non kayu dari dalam hutan seperti madu, sarang semut, tanaman anggrek dan rotan serta kegiatan penggembalaan kerbau. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal pada 9 (sembilan) kelurahan atau lembang yang wilayah administrasinya di dalam maupun berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Nanggala yakni delapan lembang/kelurahan di wilayah Kecamatan Nanggala dan satu lembang di Kecamatan Tondon (Tabel 32).
76
4.2.3
Sarana dan Prasarana Jenis sarana prasarana yang ada di Kecamatan Tondon dan Kecamatan
Nanggala antara lain, sarana transportasi, sarana telekomunikasi, sarana kesehatan dan lain sebagainya (Tabel 30). Tabel 30 Keadaan sarana-prasarana di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala No
Lembang (Kelurahan)
Panjang jalan (km) dengan jenis permukaan Aspal Kerikil Tanah
Kecamatan Tondon Tondon Mataallo 2 Tondon Siba’ta 3 Tondon Tondon Langi’ Jumlah I II Kecamatan Nanggala 1 Basokan 2 Karre Limbong 3 Karre Penanian 4 Lilikira 5 Nanggala 6 Nanggala Sangpiak Salu* 7 Nanna Nanggala 8 Rante 9 Tandung Nanggala Jumlah II Total (I + II) Sumber: BPS (2007b, 2007c) *Kelurahan
Pasar umum (unit)
Hotel (unit)
I
1 2 3 4
35 28 60 32 -
50 40 36 45 -
1 (44 kamar) 1
-
-
-
-
-
1 -
1 1 -
-
-
2 3
2 2
-
77
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Keterkaitan Hutan dan Adat di Kabupaten Tana Toraja Konsep masyarakat Toraja tentang pengelolaan alam khususnya hutan,
memiliki arti dan makna tersendiri bahwa hutan mempunyai fungsi sebagai sumber mata air bagi kehidupan semua mahluk hidup (umpabu’tu mata wai, wai susunna mintu angge menono). Sebelum Tahun 1970-an pengelolaan kawasan hutan di Tana Toraja hanya mengenal istilah hutan adat (kombong). Kombong dirintis dan dibangun secara swadaya oleh masyarakat di atas tanah adat dan dalam pola pengelolaan vegetasinya menggunakan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang diwariskan kepada keturunannya untuk terus dipertahankan dan dipelihara sebagai milik kebanggaan rumpun keluarga (tongkonan). Namun sejak dilaksanakannya kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (Tahun 1970-an) maka mulai dikenal istilah hutan rakyat. Jenis hutan rakyat dapat terdiri dari hutan kompak jenis monokultur (didominasi oleh tusam atau Pinus merkusii) maupun hutan heterogen yang merupakan campuran jenis tanaman kehutanan dan perkebunan seperti coklat, kopi dan cengkeh (Eugenia aromatica). Selain hutan, aset yang dimiliki oleh sebuah tongkonan dapat berupa barang pusaka, sawah, kebun dan rumah adat beserta lumbungnya (Gambar 7).
Gambar 7 Sebuah tongkonan yang dikelilingi hutan, kebun dan sawah.
78 Karena adanya warisan indigenous knowledge tersebut, maka kita dapat melihat bukan hanya pemandangan alam yang indah tetapi juga rumah adat dengan vegetasi lain disekelilingnya di sepanjang jalan menuju Tana Toraja. Hutan dikelilingi rumah adat biasanya terdiri dari komposisi vegetasi bambu (Bambusa sp), cemara gunung atau buangin (Casuarina junghuniana), cempaka atau uru (Elmerrillia sp) dan pinus (Pinus merkusii) serta jenis-jenis tanaman perkebunan yang ditanam dalam pola wana tani tradisional. Hutan yang ada di Kabupaten Tana Toraja tetap lestari pada dasarnya berawal dari suatu tuntutan kebutuhan yang sangat besar, mendesak dan mendasar untuk kegiatan ritual adat atau keagamaan misalnya pembangunan pondokpondok (lantang) dalam pesta rambu solo’ atau kedukaan dan pembuatan atau perbaikan rumah adat yang disebut ”banua tongkonan”
serta lumbung padi
(alang). Banua tongkonan merupakan simbol potensi suatu rumpun keluarga dengan nama serta arti tersendiri yang diberikan oleh keturunannya berdasarkan hasil musyawarah keluarga. Jika dalam suatu lokasi dibangun lebih dari satu banua tongkonan
maka akan dibangun beberapa alang dengan jumlah lebih
banyak dan posisinya berhadapan dengan banua tongkonan. Semua bahan konstruksi banua tongkonan dan alang berupa kayu-kayuan. Hutan yang dimiliki oleh suatu tongkonan bisanya dikelola dengan sistem tanam-tebang pilih, sehingga sulit ditemui adanya lahan kosong. Untuk pengawasannya dipercayakan kepada seorang anggota keluarga yang dituakan dan dihormati yang berdomisili di lokasi tersebut. Setiap anggota tongkonan selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Hal ini juga berlaku dalam pemanfaatan maupun perubahan fungsi atau penggunaan lain dari aset yang dimiliki tongkonan tersebut. Karena aset-aset tersebut adalah milik bersama, maka pemanfaatannyapun untuk hal yang menyangkut kepentingan bersama. Namun jika ada anggota tongkonan yang ingin memanfaatkan secara pribadi misalnya hasil hutan kayu, maka harus mendapatkan izin dari anggota tongkonan lainnya yang diputuskan melalui musyawarah. Musyawarah selalu dipimpin oleh orang yang dituakan yang dipilih dari garis keturunan tertua dari rumpun keluarga yang disebut to parenge’/to makaka atau tokoh adat. Dalam suatu kelurahan atau lembang dapat
79 terdiri dari beberapa orang to parenge’. Mereka merupakan orang terpilih dan dianggap bisa menjadi wakil serta pembawa suara kebenaran dalam tongkonan, dusun maupun dalam satu lembang (kelurahan). Oleh karena itu setiap keputusan to parenge’ harus diikuti dan dilaksanakan oleh seluruh anggota tongkonan dan masyarakat lembang pada umumnya. Prioritas pemilihan anggota to parenge’ adalah dari setiap turunan anak tertua laki-laki yang sudah berkeluarga, karena mereka sudah dianggap mampu bertanggung jawab secara moral dan mampu dari aspek ekonomi. 5.2
Kearifan dan Sejarah Hutan Lindung Nanggala Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh kunci (key informan)
di lokasi penelitian yaitu kepala lembang dan to makaka atau to parenge’, maka dapat diperoleh gambaran tentang sejarah hutan lindung (HL) Nanggala dan kearifannya seperti pemaparan berikut ini. Bagi masyarakat Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala hutan selain menjadi tempat untuk mengambil kayu, juga merupakan areal untuk berburu, mengambil rotan, damar dan lebah madu. Sebelum seseorang atau masyarakat adat mengambil hasil hutan, maka terlebih dahulu harus meminta izin kepada to parenge’ untuk menentukan hari yang tepat, jumlah dan jenis hasil hutan yang boleh diambil. Kemudian dengan diantar oleh ”bunga’ lalan” (orang yang bertanggung jawab dalam bidang kehutanan dan pertanian), maka orang tersebut (masyarakat adat) dapat masuk ke dalam hutan dengan membawa sesajen berupa sirih atau ayam untuk memohon restu kepada ”pong tauriri” (dewa hutan) agar selamat dan beruntung di dalam hutan. Selama di dalam hutan dilarang untuk berbicara kotor atau mengambil bekal orang lain. Jika ini dilanggar maka dipercaya akan membawa bencana untuk masyarakat satu dusun. Ada beberapa aturan lain yang mengikat terkait dengan pemanfaatan hasil hutan dalam wilayah Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, diantaranya: a. Aturan pembatasan jenis vegetasi yang boleh ditebang. Dilarang menebang pohon bilante atau tedokan karena jenis ini digunakan dalam prosesi upacara kematian yakni ”ma’bolong” (menghitamkan pakaian), jenis pali’ karena
80 dianggap mereka yang menggunakan kayu ini untuk kebutuhan apa saja tidak akan tenang dalam hidupnya (palli-pallian). b. Larangan untuk menebang pohon yang rimbun dan tinggi, karena selain untuk perlindungan mata air, juga digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan upacara syukuran setiap tahun. c. Larangan untuk menebang atau mengambil rotan bersamaan dengan pengambilan hasil hutan lain seperti kayu. d. Larangan untuk masuk ke dalam kawasan hutan untuk mengambil kayu atau rotan sebelum panen padi dilaksanakan (keadaan ”keissi padang” atau padi menguning). Jika hal ini dilanggar, maka diyakini tikus yang ada dalam hutan akan keluar untuk merusak tanaman padi. Hal ini berdampak positif pada kelestarian hutan karena adanya pengaturan yang tidak legal dimana frekuensi pengambilan hasil hutan lebih terkontrol. e. Jika seseorang menebang satu pohon, maka wajib menanam pohon pengganti sebanyak tujuh pohon. Jika hal tersebut dilanggar, maka seseorang didakwa melanggar peraturan adat (pamalinna kurra manapa) dan diwajibkan memotong binatang persembahan (mengkalosso) untuk memberi makan penduduk di dusunnya dengan jumlah sesuai keputusan adat (kombongan). Selain itu ada beberapa kearifan lokal yang dimiliki perempuan dalam pengelolaan hutan khususnya di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala (Salubongga 2007): a.
Dilarang bagi para suami untuk masuk hutan dan menebang pohon ketika istrinya sedang haid atau selesai melahirkan atau sehabis atau sepulang dari upacara rambu solo’ (upacara kematian)
b.
Jika akan membangun rumah, maka kayu pertama yang akan digunakan harus ditebang secara simbolis oleh seorang perempuan. Hal ini diyakini bahwa tangan perempuan lebih sejuk, sehingga diharapkan penghuni rumah akan selalu rukun dan sehat-sehat nantinya
c.
Jika seorang bayi lahir prematur, maka harus dikubur oleh sang ibu di dalam pohon ”po’pong”. Pohon ini diyakini akan membawa berkah dikemudian hari bagi semua anggota keluarga, oleh karena itu jenis ini tidak boleh ditebang.
81 d.
Pohon beringin dan cendana merupakan jenis yang dikeramatkan dan tidak boleh ditebang untuk ramuan rumah, kecuali dilakukan upacara permintaan izin kepada yang empunya sebelumnya. Upacara ini ditandai dengan pembasuhan muka oleh seorang perempuan di sekitar pohon.
e.
Jika seseorang hilang atau tersesat di dalam hutan, maka sebelum kaum lelaki masuk ke dalam kawasan hutan untuk mencarinya maka seorang perempuan harus meniup periuk tanah liat sebanyak tiga kali. Diyakini dengan melakukan ritual ini, maka yang tersesat tersebut pasti bisa ditemukan kembali. Hutan lindung Nanggala (HLN) pada awalnya disebut hutan adat
Nanggala.
Pada Tahun 1932 Pemerintah Hindia Belanda mengadakan
kesepakatan dengan masyarakat untuk menetapkan hutan di Tandung Nanggala (nama Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala sebelum pemekaran) menjadi hutan lindung yang dituangkan dalam Surat Keputusan Salu Tandung (Nanggala I) dan Surat Keputusan Zelf Besteur Verordening. Penetapan ini berdampak pada hilangnya sebagian hak-hak masyarakat adat. Hutan lindung Nanggala ini kemudian sebagian arealnya masuk kedalam areal kelompok hutan lindung ”tumborera”. Hal ini bermula dari adanya pernikahan yang terjadi antara ketua adat Nanggala (Pairing) dan ketua adat Buntao (Indo’ Rante) sehingga diadakan penyatuan nama yang dikemas dalam satu upacara adat yang disebut ” urrambu langi” yang artinya asap yang naik ke langit sebagai ucapan syukur. Dalam upacara ini ditetapkan suatu peraturan adat tentang hutan yang memberikan sanksi berupa kutuk bagi siapa saja yang berani merusak hutan: ”barokona na koda’ buku bai na tambukna na tossok bulu pare” artinya kerongkongannya akan ditusuk tulang babi dan ususnya ditusuk bulu padi. Pada Tahun 1935 Pemerintah Hindia Belanda kemudian membagi kawasan hutan di Tandung Nanggala menjadi hutan lindung dan hutan adat. Batas ini kemudian membatasi pengelolaan dan masuknya masyarakat ke dalam kawasan hutan. Terkait dengan pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat sekitar, maka areal hutan dibagi atas tiga bagian: a. Panglili/pangala tua. Bagian hutan ini menurut kepercayaan masyarakat Tondon dan Nanggala merupakan hutan milik dewa (deata) yang merupakan
82 areal terlarang dan tidak bisa dimiliki oleh rakyat. Jika dalam keadaan genting dan ingin diadakan pengambilan hasil hutan (kayu maupun non kayu), maka terlebih dahulu harus dilakukan musyawarah adat atau kombongan untuk menyepakati jumlah, jenis dan hari yang baik untuk masuk dalam kawasan hutan panglili. b. Kombong. Bagian areal ini merupakan kawasan hutan milik tongkonan (rumpun keluarga) yang penggunaannya diatur oleh kepala adat kombong. Potensinya tetap dipertahankan oleh masing-masing tongkonan dan hal ini tetap berlaku sampai sekarang. Jika akan dilakukan pemanfaatn hasil hutan dari kawasan hutan ini, maka penting juga untuk melakukan musyawarah dengan anggota tongkonan. Biasanya hasil hutan dari kombong ini hanya digunakan
untuk
kepentingan
bersama,
misalnya
rehabilitasi
rumah
tongkonan, kebutuhan untuk kegiatan rambu tuka’ (upacara kematian) dan rambu solo’ (upacara kegembiraan seperti syukuran rumah dan pesta pernikahan) c. Panglambaran. Kawasan ini merupakan areal penggembalaan ternak (kerbau) oleh masyarakat adat. Pada sekitar Tahun 1980-an, pemerintah mengadakan penataan hutan melalui kegiatan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Dari kegiatan ini ditetapkan hutan lindung Nanggala (HLN). Konon penetapan HLN ini kurang mengindahkan peraturan adat tentang hutan. Akibatnya areal panglili dan panglambaran kemudian ditetapkan sebagai hutan negara. 5.3
Kajian Kesesuaian Calon Taman Hutan Raya (TAHURA) Adanya potensi dan kondisi dalam KHLN saat ini mengisyaratkan
pentingnya dilakukan pengelolaan KHLN yang lebih bijaksana untuk menjamin kelestarian sumber daya alam dan meningkatkan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Upaya konkrit yang ingin diwujudkan Pemda adalah pembangunan Taman Hutan Raya (TAHURA) dalam Kawasan Hutan Lindung Nanggala (KHLN) tanpa mengubah fungsi pokok kawasan tetapi lebih memperluas fungsinya. Taman hutan raya merupakan bagian dari kawasan konservasi. Dalam
83 kategorisasi kawasan konservasi hendaknya selalu didasarkan pada tujuan utama pengelolaan kawasannya (IUCN 1994). Meskipun hutan lindung berfungsi sebagai tempat perlindungan sumberdaya alam hayati, tetapi tidak digolongkan kawasan konservasi karena pengawetan keanekaragaman hayati bukan merupakan tujuan utamanya (Setiawan dan Alikodra 2001). Oleh karena itu pengelolaan KHLN dengan merubah status kawasan menjadi taman hutan raya dimaksudkan untuk lebih memperluas fungsinya, sehingga hutan (khususnya HL) tidak hanya berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, tetapi dapat lebih mendukung upaya pengawetan keanekaragaman hayati dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan. Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli konservasi, bahwa dasar utama strategi konservasi alam adalah perlindungan serta pelestaraian sumberdaya alam (SDA) dan meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang kesemuanya mengarah pada pembangunan berkelanjutan (Angi, 2005).
Sedangkan menurut MacKinnon et al. (1990) dalam Amir (1993),
kegiatan konservasi sumberdaya alam harus menjadi suatu konsep pelestarian yang modern dimana didalamnya terdapat upaya perlindungan, pengawetan, pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Dalam pengelolaan kawasan konservasi meskipun ketat dengan peraturanperundangan, namun masih terdapat peluang untuk dilakukan pengelolaan dengan azas ekonomis dan lestari. Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan antara lain: (a) penangkaran, (b) pengembangan wisata alam dengan melibatkan dan memberdayakan masyarakat,
(c) pembinaan daerah penyangga kawasan
konservasi, (d) program perdagangan karbon (carbon trading), (e) pemanfaatan daerah aliran sungai (DAS) dan (f) pemanfaatan air. Sebelumnya usaha pemanfaatan air sudah dilakukan oleh PDAM. Khusus untuk pelayanan jasa air minum di tingkat pedesaan, maka pemenuhan kebutuhan air minum oleh PDAM untuk Kecamatan Tondon dan Nanggala adalah yang terbesar. Berdasarkan data PDAM (2007) menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk 20.944 jiwa di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala yang bisa terlayani kebutuhan air minumnya adalah 17,45% atau 3.655 jiwa (Tabel 31)
84 Tabel 31 Cakupan pelayanan air minum oleh PDAM di Kabupaten Tana Toraja No
Uraian
I 1 2
Perkotaan Makale Rantepao Jumlah I
II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jumlah penduduk (jiwa) 2005 2006
Penduduk terlayani (jiwa) 2005 2006
Cakupan wilayah (%) 2005 2006
53.075 47.055 100.130
54.136 47.996 102.133
12.965 21.230 34.195
13.200 21.760 34.960
24,43 45,12 34,15
24,38 45,34 34,23
-0,04 0,22 0,08
12.562 52.983 23.627 36.116 38.192 35.635 26.010 16.690 29.444 20.944
190 2.280 2.375 3.095 905 2.930 1.290 165 3.500
205 2.285 2.390 3.095 925 3.000 1.290 165 3.655
1,54 4,39 10,25 8,74 2,42 8,39 5,06 0,57 17,05
1,63 4,31 10,12 8,57 2,42 8,42 4,96 0,56 17,45
0,09 -0,08 -0,04 -0,17 0.00 0,03 -0,10 -0,01 0,41
21.819 19.414 16.007
730 490 -
730 765 -
3,41 2,57 -
3,35 3,94 -
-0,07 1,37 -
349.714 451.846
17.950 52.145
18.505 53.465
5,24 11,77
5,29 11,83
0,06 0,06
Pedesaan Bonggakaradeng 12.315 Mengkendek 51.944 Sangalla’ 23.163 Saluputti 35.408 Rindingallo 37.443 Sanggalangi 34.937 Sesean 25.500 Simbuang 16.628 Rantetayo 28.867 Tondon 20.533 Nanggala 11 Sa’dan Balusu 21.392 12 Bittuang 19.033 13 Buntao’ 15.693 Rantebua Jumlah II 342.857 III Kabupaten Tana 442.987 Toraja (I + II) Sumber: PDAM (2007)
5.3.1
Naik/turun (%)
Komposisi Kawasan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala Menurut hasil analisis data dari peta tata guna hutan kesepakatan (TGHK),
dari 13 lembang yang ada di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, hanya ada 9 lembang yang memiliki hutan lindung (Tabel 32). Hutan lindung terluas berada di Lembang Karre Limbong 1.480,057 ha (37,01%) kemudian berturut turut Lembang Nanggala 639,392 ha (15,99%), Lembang Tandung Nanggala 586,917 ha (14,68%), Lembang Nanna Nanggala 463,809 ha (11,60%) dan Lembang Karre Penanian 399,185 ha (9,983%).
Kondisi hutan lindung di
lembang-lembang tersebut tergolong masih baik. Gambaran hutan lindung di kedua kecamatan bervariasi (Gambar 8), diantaranya hutan pinus (Pinus merkusii) yang merupakan hasil rehabilitasi hutan Tahun 1970-an. Sebagian areal HL tersebut sudah dikelola untuk diambil getahnya oleh PT Royal Cresh Indonesia sejak bulan Maret 2007 sampai sekarang.
85 Dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja PT Royal Cresh Indonesia diberikan areal konsesi pengelolaan seluas 16.156 ha yang tersebar di enam wilayah kecamatan diantaranya di Kecamatan Nanggala (Dishutbun 2007). Tabel 32 Fungsi hutan menurut TGHK di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala No I 1 2 3 4
Kelurahan/lembang Kecamatan Tondon Tondon Tondon Langi Tondon Matallo Tondon Siba'ta
Jumlah I II Kecamatan Nanggala 1 Basokan 2 Karre Limbong 3 Karre Penananian 4 Lilikira 5 Nanggala 6 Nanggala Sangpiak Salu* 7 Nanna Nanggala 8 Rante 9 Tandung Nanggala Jumlah II Total Sumber : Hasil analisis Peta TGHK
a
Fungsi hutan menurut TGHK (ha) Hutan Lindung APL
Total luas (ha)
166,77 -
753,591 326,573 539,872 687,733
753,327 493,670 539,862 687,796
166,792
2.307,769
2.474,561
0,639 1.480,057 399,185 248,124 639,392 13,908 463,809
3,563 982,377 705,494 657,269 247,434 1105,1 115,756 767,745 696,764 5.281,502 7.589,271
4,202 2.462,434 1.104,679 905,393 886,826 1.119,008 579,565 767,745 1.283,681 9.113,533 11.588,094
586,917 3.832,031 3.998,823 * Kelurahan
b
Gambar 8 Gambaran hutan lindung di: a) Lembang Tandung Nanggala; b) Lembang Karre Limbong. Mengkaji tingkat kesesuaian pengelolaan KHLN dengan kawasan konservasi kategori TAHURA diawali dengan melakukan reklasifikasi fungsi hutan pada seluruh wilayah administrasi Kecamatan Tondon dan Kecamatan
86 Nanggala
berpedoman
pada
SK
Menteri
Pertanian
Nomor
837/KPTS/UM/11/1980 tanggal 24 Nopember 1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. 5.3.2
Reklasifikasi Fungsi Hutan Hasil tumpang susun (overlay) dalam reklasifikasi fungsi hutan pertama
(Gambar 13) pada ketiga layer yakni layer kelerengan (Gambar 10), jenis tanah (Gambar 11) dan intensitas hujan (Gambar 12) diperoleh luasan HL yang lebih kecil yakni 897,775 ha atau 8% daripada luasan HL menurut hasil TGHK (bandingkan Gambar 9a dan Gambar 9c). Peta reklasifikasi pertama tersebut ditumpang susun lagi dengan peta buffer, untuk sungai 100 meter dan untuk mata air 200 meter (Gambar 14) maka diperoleh peta reklasifikasi kedua (Gambar 15). Luas HL bertambah menjadi 3.480,350 ha atau 30% daripada luasan HL menurut hasil TGHK (bandingkan Gambar 9b dan Gambar 9c). Selanjutnya peta reklasifikasi kedua ditumpang susun lagi dengan peta TGHK (Gambar 16) sehingga diperoleh peta fungsi hutan dan calon TAHURA pertama (Gambar 17) dengan luas HL lebih kecil yakni 1.313,272 ha atau 11% (Gambar 9d) dan letak HL yang tersebar (tidak kompak), sehingga perlu dilakukan deliniasi. 5.3.3
Deliniasi Peta Fungsi Hutan dan Calon TAHURA Deliniasi dalam peta fungsi hutan dan calon TAHURA pertama dilakukan
sebelum analisis yang lebih mendalam sehingga diperoleh peta fungsi hutan dan calon TAHURA kedua (Gambar 18) dengan luas HL 2.577,137 ha atau 22% (Gambar 9e) dan terletak dalam areal yang kompak. Selanjutnya berdasarkan peta fungsi hutan dan calon TAHURA kedua tersebut, maka dilakukan penataan blok pengelolaan.
87
Gambar 9 Perbandingan luas kawasan hasil analisis spasial.
88 Gambar 10
Peta Kelas Lereng di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala.
89 Gambar 11. Peta Jenis Tanah di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala
90 Gambar 12
Peta Kelas Curah Hujan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala
91 Gambar 13
Peta Fungsi Hutan menurut Hasil Reklasifikasi_1
92 Gambar 14
Peta Buffer pada Sumber Air di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala
93 Gambar 15
Peta Fungsi Hutan menurut Hasil Reklasifikasi_2.
94 Gambar 16
Peta Fungsi Hutan menurut Hasil TGHK.
95 Gambar 17
Peta Fungsi Hutan dan Calon TAHURA sebelum deliniasi.
96 Gambar 18
Peta Fungsi Hutan dan Calon TAHURA sesudah deliniasi
97 5.3.4 Pembobotan (weighting) Hasil penentuan bobot dengan metode rangking digunakan lebih lanjut dalam pengkajian indeks kesesuaian calon TAHURA. 5.3.4.1
Metode Rangking
Penentuan bobot secara kualitatif dengan metode rangking melalui wawancara dengan tujuh orang responden ahli yang berasal dari Dinas Tata Ruang Kabupaten Tana Toraja, lembaga swadaya masyarakat (LSM) Wahana Lestari Persada (WALDA) dan Jaya Lestari Desa (JALESA), akademisi yang saat ini telibat langsung dalam pengelolaan hutan lindung Nanggala serta dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja dan
BP DAS Saddang
memberikan hasil seperti ditunjukkan pada Tabel 33. Tabel 33 Hasil pembobotan dengan 7 orang ahli Kriteria (j) Biofisik /ekologi
Sosialekonomi dan budaya
Indikator / peubah (i)
Rangking/tingkat kepentingan ahli keI II III IV V VI VII 7 7 7 7 5 7 7
Jumlah 47
Bobot (w 1ij) 0,1643
1
Potensi sumber air
2
5
7
7
5
5
7
7
43
0,1503
3
Potensi vegetasisatwa dan habitatnya Kelerengan /slope
5
5
5
7
5
5
5
37
0,1294
4
Curah hujan
3
1
5
7
5
5
3
29
0,1014
5
Potensi objek dan atraksi sosialekonomi-budaya Penutupan lahan/landcover Masyarakat dan lingkungan Potensi fasilitas umum
5
1
5
5
3
7
31
0,5454 0,1084
5
5
7
7
5
5
7
41
0,1434
3
5
5
5
3
5
5
31
0,1084
5
3
3
5
3
5
3
27
0,0944
6 7 8
Jumlah 5
Jumlah
0,4546 286
1,0000
Sumber : Hasil analisis data primer
Berdasarkan pendapat para responden ahli, maka potensi sumber air dalam KHLN memperoleh bobot tertinggi (w11) 0,1643. Potensi sumber air menyangkut keberadaan dan pasokannya yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama ini. Hal ini merupakan salah satu indikator tetap terpeliharanya fungsi hidroorologis KHLN sehingga ekosistem yang ada perlu dan penting untuk dilindungi.
98 Menurut Mackinnon et al. (1990) dalam Amir (1993), seleksi kawasan yang perlu dilindungi bagi pelestarian fungsi hidrologi akan bergantung pada beberapa pertimbangan utama, yakni: kepekaan kawasan terhadap banjir dan erosi, ketersediaan air musiman serta kepentingan sosial-ekonomi aliran sungai tertentu. Ditambahkan lagi bahwa persediaan air yang sangat penting bagi kehidupan manusia, untuk pertanian dan industri menjadi alasan perlindungan fungsi tata air dari vegetasi alam yang bernilai lebih tinggi dibanding penggunaan lainnya, misalnya penetapan cagar hidrologi Malawi di Costa Rica (Verweij 2002 dalam Ramdan et al. 2004). Fungsi hidroorologis suatu kawasan dipengaruhi oleh keterkaitan potensi dan keadaan komponen biofisik dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat di sekitar maupun di dalam kawasan, misalnya jenis tanah, kelerengan dan jenis penutup lahan (landcover) serta kebiasaan sumberdaya alam yang ada sebagai bagian dari ekosistem. Sebagai contoh ekosistem hutan berperan memperlambat laju aliran permukaan, mengurangi erosi tanah dan sedimentasi, meningkatkan resapan air yang masuk ke dalam tanah, menjaga produktifitas akuatik di badan sungai dan mempengaruhi presipitasi dalam skala regional (Johnson et al. 2001; Verweij 2002 dalam Ramdan et al. 2004). Menurut hasil penilaian ahli (expert), indikator potensi vegetasi, satwa dan habitatnya (w12 = 0,1503), indikator penutupan lahan atau landcover (w 13 = 0,1434) serta kelerengan atau slope (w 14 = 0,1294) harus mendapat bobot yang tinggi juga serta menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Penutupan lahan dengan strata tajuk yang seimbang sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan air dalam tanah (dan meningkatkan infiltrasi), sedangkan untuk kawasan yang kritis terutama “areal kosong” perlu direhabilitasi. Kegiatan rehabilitasi lahan pada areal kosong dalam kawasan hutan harus selektif dalam memilihan jenis yang sesuai dan prioritas pada kelas slope tertentu (> 25%) penting untuk diperhatikan. Dalam penelitian ini areal kosong yang dimaksud adalah penutupan lahan dengan semak. Kelas lereng > 25% juga menjadi hal penting dan menarik serta menjadi tantangan tersendiri bagi para wisatawan terkait dengan fungsi pemanfaaatan kawasan sebagai wisata alam yang dikemas dengan wisata bentang alam dan kegiatan hiking.
99 Hasil pengamatan dan interpretasi peta tanah dari Dinas Pertanahan Kabupaten Tana Toraja menunjukan bahwa jenis tanah podsolik coklat yang dominan dalam KHLN umumnya bersifat peka terhadap erosi. Dengan tingkat kelerengan yang variatif serta penutupan lahan yang didominasi oleh pertanian lahan kering campur semak seluas 5.610,873 ha atau 48,427%, maka akan berpengaruh besar terhadap tingkat bahaya erosi (TBE) areal di wilayah Sub DAS Saddang hulu dengan kisaran 1.404,74 ton/ha/thn sampai dengan 71.197,54 ton/ha/thn. Erosi ini kemudian dipasok ke Sungai Sa’dan sebagai sungai besar yang ada dibawahnya (BP DAS, 2007). Sehingga ketiga indikator ini penting untuk menjaga fungsi lindung kawasan dan juga sangat mendukung dalam pencapaian tujuan pengelolaan kawasan konservasi dalam rangka mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya hayati serta keseimbangan ekosistem sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan (fungsi pengawetan dan fungsi pemanfaatan). Saat ini manfaat air dari KHLN selain untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga masyarakat di sekitar kawasan hutan maupun masyarakat pada kawasan di bawahnya (masyarakat di kota Rantepao) juga berdampak pada pengairan sawah petani. Terkait juga dengan letak KHLN yang berada di sub DAS Saddang hulu, maka aliran air dari KHLN ini juga mensuplai air ke sungai Sa’dan sebagai sungai besar yang ada di bawahnya yang kemudian bermuara di Kabupaten Pinrang sebagai lumbung padi di Provinsi Sulawesi Selatan. 5.3.4.1
Metode Trial and Error (Coba Galat) Hasil pembobot yang akan digunakan dalam metode trial and error terkait
pengkajian indeks kesesuaian calon TAHURA seperti ditunjukka pada Tabel 34, Tabel 35 dan Tabel 36.
100 Tabel 34 Bobot dari hasil penilaian ahli dengan jumlah nilai terbanyak untuk urutan tingkat kepentingan yang bernilai 1 pada indikator yang dinilai No I
Kriteria (j) dan indikator (i) Kriteria Biofisik 1 Potensi sumber air 2 Potensi vegetasi, satwa dan habitatnya 3 Kelerengan (slope) 4 Curah hujan Jumlah II Kriteria Sosekbud 5 Potensi objek dan atraksi sosekbud 6 Penutupan lahan (landcover) 7 Masyarakat dan lingkungan 8 Keberadaan fasilitas umum Jumlah Sumber: Hasil analisis data primer
Ahli 2
Jumlah
Bobot (w2ij)
7 7 5 1
7 7 5 1
0,2059 0,2059 0,1471 0,0294 0,5883
1 5 5 3
1 5 5 3 34
0,0294 0,1471 0,1471 0,0882 0,4118
Tabel 35 Penilaian ahli dengan jumlah nilai terbanyak untuk urutan tingkat kepentingan yang bernilai 7 pada indikator yang dinilai No I
Kriteria (j) dan indikator (i) Kriteria Biofisik 1 Potensi sumber air 2 Potensi vegetasi, satwa dan habitatnya 3 Kelerengan (slope) 4 Curah hujan Jumlah II Kriteria Sosekbud 5 Potensi objek dan atraksi sosekbud 6 Penutupan lahan (landcover) 7 Masyarakat dan lingkungan 8 Keberadaan fasilitas umum Jumlah Sumber: Hasil analisis data primer
Ahli 4
Bobot (w3ij)
7 5 7 7
7 5 7 7
0,1458 0,1042 0,1458 0,1458 0,5416
5 7 5 5
5 7 5 5 48
0,1042 0,1458 0,1042 0,1042 0,4584
Tabel 36 Hasil penilaian dengan bobot yang seimbang untuk tiap indikator yakni 0,1250 No I 1 2 3 4
Kriteria (j) dan indikator (i) Kriteria Biofisik Potensi sumber air Potensi vegetasi, satwa dan habitatnya Kelerengan (slope) Curah hujan
5 6 7 8
Kriteria Sosekbud Potensi objek dan atraksi sosekbud Penutupan lahan (landcover) Masyarakat dan lingkungan Keberadaan fasilitas umum
II
Sumber: Hasil analisis data primer
Bobot (w4ij)
Jumlah
0,1250 0,1250 0,1250 0,1250 0,5000
Jumlah
0,1250 0,1250 0,1250 0,1250 0,5000
101 5.3.5
Analisis Terhadap Indikator yang digunakan untuk Tiap Kriteria dalam Mengkaji Kesesuaian Calon Taman Hutan Raya (TAHURA) Sesuai dengan tujuan utama pembentukan TAHURA di Kecamatan
Tondon dan Kecamatan Nanggala yakni membangun sebuah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa (jenis asli dan atau bukan asli) dan sekaligus sebagai bank plasma nutfah yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi, maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut dengan mengkaji indeks kesesuaian terhadap aspek biofisik dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat dalam calon TAHURA. Hasil indeks kesesuaian calon TAHURA ini juga yang kemudian mendasari komposisi blok pengelolaan di dalamnya yakni blok perlindungan dan blok pemanfaatan untuk wisata alam. 5.3.5.1
Kriteria Ekologi/Biofisik (w1IB = 0,5454) Pendapat para responden ahli yang berhasil diwawancarai terkait dengan
rencana perubahan pengelolaan kawasan hutan lindung Nanggala (KHLN) menjadi kawasan konservasi kategori TAHURA menghasilkan bobot yang relatif sama untuk kedua aspek atau kriteria penilain yang digunakan. Kriteria ekologi/biofisik diberi bobot tertinggi 0,5454 sedangkan kriteria sosial-ekonomibudaya 0,4546. Menurut mereka aspek ekologi menjadi penting untuk diperhatikan terkait dengan fungsi pokok kawasan sebagai perlindungan hidroorologis dengan komposisi tutupan lahannya yang masih bagus serta habitat ceba (Macaca tonkena) yang ada di dalamnya. Hal ini juga sejalan dengan alasan yang mendasari perubahan pengelolaan hutan lindung di Lampung menjadi TAHURA dimana potensi vegetasi dan satwa dalam kawasan perlu dipertahankan untuk kepentingan konservasi plasma nutfah dalam pengembangan pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Kriteria biofisik yang digunakan berdasarkan hasil analisis dengan metode rangking mempunyai bobot tertinggi dengan komposisi urutan berdasarkan indikator penilaian yang digunakan. Indikator potensi potensi sumber air (w 11)
102 0,1643, indikator potensi vegetasi-satwa dan habitatnya (w12) 0,1503, indikator kelerengan/slope (w 13) 0,1294 dan indikator curah hujan (w1 4) 0,1014. a. Indikator potensi sumber air (w11 = 0,1643) Potensi sumber air menyangkut keberadaan dan kapasitas produksi air yang dihasilkan oleh satu atau beberapa sumber air yang terletak dalam suatu kawasan.
Kawasan
hutan
sebagai
suatu
ekosistem
mempunyai
fungsi
hidroorologis yang juga dapat diartikan sebagai penyumbang jasa lingkungan tepatnya jasa hidrologis (Soenaryo et al. 2005). Jasa
hidrologis
(terkait
fungsi
air)
jika
dihubungkan
dengan
keberadaannya, maka fungsi air secara umum akan terkait dengan berbagai kegiatan kehidupan masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan, misalnya air minum, sanitasi lingkungan, pertanian, industri, ekosistem dan sebagainya (Ramdan et al. 2004). Oleh karena itu sistem sumber daya air diatur untuk memenuhi perubahan terhadap kebutuhan air pada saat ini dan masa depan tanpa terjadi kerusakan lingkungan, sehingga diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan (Loucks 2000). Pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan
merupakan pengelolaan air yang besifat multidimensional
mengenai hubungan antara sumberdaya alam, sosial dan sistem ekonomi yang simultan dalam penggunaan dan pengelolaan air (Flint 2003). Berdasarkan data PDAM (2007), maka diketahui ada dua titik mata air yang telah mereka kelola di Kecamatan Tondon dan Nanggala yakni mata air Pedamaran dan mata air Indo Kombong (Gambar 19). Kedua mata air tersebut menjadi satu dengan nama mata air Wairede. Kapasitas produksi rata-rata mata air ini mencapai 6,25 liter/detik dengan kapasitas produksi tertinggi saat musim hujan 10 liter/detik dan terendah saat musim kemarau 2,5 liter/detik. Produksi mata air Wairede ini adalah yang terbesar jika dibandingkan dengan 22 mata air dengan sistem grafitasi yang sama yang dikelola oleh PDAM di Kabupaten Tana Toraja (Tabel 24). Jika kapasitas produksi Wairede rata-rata (6,25 lt/detik atau 540 m3/hari) dan harga air standar PDAM saat ini Rp 600-/m3, maka nilai air dari mata air Wairede saja akan mencapai Rp. 118.260.000-/tahunnya.
103 Penyediaan air minum masyarakat merupakan prioritas pertama yang perlu dilakukan dalam penatagunaan sumberdaya air di suatu wilayah (pasal 29, ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). Hoekstra (1998) dalam Sanim (2003) menyebutkan bahwa peningkatan kebutuhan air minum berkaitan dengan dinamika pertumbuhan penduduk, sehingga proyeksi kebutuhan air minum dihitung dengan mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut dan konsumsi air minum rata-rata. Khusus untuk pelayanan jasa air minum di tingkat pedesaan, maka pemenuhan kebutuhan air oleh PDAM untuk Kecamatan Tondon dan Nanggala merupakan yang terbesar. Berdasarkan data PDAM Tahun 2007 menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk 20.944 jiwa yang di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala
sebanyak 17,45% atau 3.655 jiwa yang bisa terlayani
kebutuhan air minumnya (Tabel 32). Selain itu pada pinggir jalan poros yang membelah KHLN dan menghubungkan kota Palopo dengan kota Rantepao ditemukan banyak mata air kecil dan beberapa sungai kecil dengan air yang mengalir sampai di pinggir-pinggir jalan raya. Jenis tanaman Monochoria vaginalis adalah satu indikasi tumbuhan air yang banyak ditemukan di kawasan hutan lindung Nanggala (Gambar 6). Selain sumber mata air, maka sumber air lain yang dipertimbangkan dalam kajian ini adalah potensi sungai dan situ yang ada di kedua wilayah kecamatan diantaranya situ Lengke’ dan sungai Nanggala yang dipergunakan oleh masyarakat setempat untuk pengairan sawah serta tempat merendam kerbau. Terkait dengan kajian kesesuaian yang dikaji, maka diketahui ada tiga jenis sumber air yang terletak menyebar dan dapat ditemui di Lembang Tandung Nanggala, Lembang Nanna Nanggala dan Lembang Nanggala, Kecamatan Nanggala yakni potensi sungai, mata air dan situ. Potensi sumber air ini mengindikasikan pentingnya fungsi perlindungan untuk menjaga kelestarian KHLN dengan perolehan skor (x1) adalah 77,5.
104 Gambar 19
Peta hidrologi sebagai potensi sumber air di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala
105 b. Indikator potensi vegetasi, satwa dan habitatnya (w12 = 0,1503) Penutupan vegetasi alam memainkan peranan penting dalam mangatur perilaku sistem drainase air, terutama “efek spons” yang menyekap air (air hujan) untuk ditahan oleh hutan dan padang rumput alam, sehingga mengalir keluar lebih lambat dan merata ke dalam sistem sungai, mengurangi kecenderungan banjir pada periode hujan lebat dan melepaskan air terus menerus selama periode rumah tangga. Fungsi kawasan dapat menjadi hilang jika vegetasi kawasan tangkapan di dataran tinggi menjadi rusak (MacKinnon et al. 1990 dalam Amir 1993). Lebih lanjut, Acreman (2004) berpendapat bahwa sebatang pohon di hutan alam dapat memompa air + 2,5 juta galon air ke atmosfer sepanjang daur hidupnya, didaur dan tidak hilang dari hutan. Lebih lanjut dicontohkan oleh Acreman bahwa akibat pengurangan vegetasi alami di Sahel, Afrika menyebabkan curah hujan berkurang hampir 22% antara bulan Juni dan Agustus serta musim hujan yang tertunda hampir setengah bulan. Beberapa potensi vegetasi hasil eksplorasi para ahli tanaman dari Kebun Raya Eka Bali pada Tahun 2002, berhasil menemukan 64 jenis anggrek (25 marga) diantaranya Arundina graminifolia, Phalaenopsis sp, Phaius flavus dan Paphiopedilum sp serta beberapa jenis non anggrek 49 suku, 56 marga, 106 jenis yang juga berpotensi sebagai tanaman hias seperti Begonia sp, Vaccinium sp, Cordyline sp, Rhododendron sp (danga-danga), dan Medinilla sp. Jenis Rhododendron sp merupakan salah satu jenis tanaman hias koleksi terbaru untuk Kebun Raya Eka Bali. Artinya jenis ini merupakan vegetasi yang khas. Rhododendron sp juga hanya ditemukan tumbuh pada tanah miring, agak terlindung pada ketinggian 900 m diatas permukaan laut (Pendit et al. 2002). Potensi lain yang berhasil
ditemukan di Hutan Lindung Nanggala II
adalah adanya 60 jenis tanaman obat-obatan yang dikategorikan kedalam jenis rumput, semak, perdu, pohon, liana dan benalu dengan potensi spesies 7.815 individu/ha untuk habitus pohon dan 2.773,3 individu/ha untuk habitus selain pohon. Kategori rumput merupakan jenis tumbuhan yang sering digunakan masyarakat untuk obat dan pengobatan (96,7%), salah satu contohnya adalah rea/mimic/alang-alang (Imperata cylindrical), bagian yang sering dimanfaatkan adalah akar, batang dan daun menyatu dalam satu kesatuan. Jenis tumbuhan obat
106 tradisional yang merupakan tumbuhan dengan jumlah individu terbanyak ditemukan di HL Nanggala adalah “sualang” atau narang-narang atau Gleicenia sp
(LPPM 2003). Beberapa jenis tanaman obat dan kegunaannya
ditunjukkan pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis vegetasi dalam kawasan hutan lindung Nanggala (KHLN) pada bulan Juni dan Juli 2008, maka diperoleh nilai INP tertinggi baik pada tingkat pohon, tiang dan pancang adalah jenis ”asa” (Castanopsis buruana) masing-masing dengan nilai INP berturut-turut 48,40%, 39,93% dan 42,23%. Jenis ”asa”, ”kole” dan ”pali’” tidak banyak ditebang masyarakat karena merupakan salah satu habitat yang disukai lebah (terutama tabuan wani) yang sering diambil madunya oleh masyarakat setempat. Hampir pada semua tingkatan strata vegetasi yang dinilai dalam analisis vegetasi ketiga jenis ini selalu mendominasi (Lampiran 2). Sedangkan untuk tingkat anakan ditemukan jenis ”kole” yang mempunyai INP tertinggi yakni 16,78% kemudian anakan ”asa” dan ”lada-lada” dengan nilai INP yang sama yakni 15,18%. Jenis yang mendominasi dalam KHLN adalah jenis ”asa” (Tabel 37). Tabel 37 Kondisi 5 vegetasi pohon yang dinilai Variabel No
Indikator Jenis
1
Vegetasi
1. Asa 2. Kole 3. Pali’ 4. Betau 5. Uru Sumber: personal judgement
Jumlah (pohon) 49 13 16 10 62
Ket b, c b, c b, c b, c b, c
Kelima jenis tanaman diatas dipilih berdasarkan jenis dominan yang ditemukan setelah dilakukan analisis vegetasi. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa setiap jenis vegetasi tersebut termasuk dalam dua kategori penilaian yakni jenis yang terancam punah (b) karena kegunaannya atau ketergantungan masyarakat terhadap jenis ini sangat tinggi (c), maka potensi vegetasi di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala mendapat skor 60. Sedangkan indikator potensi satwa yang ada dalam kawasan hutan berdasarkan hasil pengamatan diketahui satwa ini hanya dapat dideteksi dari hasil
107 identifikasi suara dan bekas cakaran, makanan dan tempat bermain yang ditemui (Tabel 38). Tabel 38 Kondisi 2 satwa yang dinilai Variabel No
Indikator
Ket Jumlah (ekor)* 1 Satwa 1. Ceba /Macaca tonkeana 5 -10 a, b 2. Ayam hutan 10-20 b, c Keterangan: * merupakan estimasi jumlah saat wawancara dengan masayarakat dan Polhut yang bertugas di pos penjagaan kehutanan di Kaleakan Jenis
Habitat ceba (Macaca tonkeana) dan ayam hutan terletak pada ketinggian 1.000 sampai dengan 1.300 meter diatas permukaan laut. Kondisi habitatnnya masih baik karena terletak jauh dari pemukiman penduduk dan dekat dengan pos penjagaan kehutanan di Kaleakan. Dalam habitat ceba ini ditemui sumber air dan tempat bermain yang masih aman (Lampiran 3). Selain itu berdasarkan informasi masyarakat, KHLN juga merupakan habitat yang sangat baik untuk beberapa jenis lebah madu. Kebenarannya terlihat dari banyaknya masyarakat yang menjual madu meski dalam jumlah kecil di sepanjang jalan menuju Palopo maupun sepanjang jalan cabang lainnya yang ada di dalam atau berbatasan dengan KHLN. Ada dua jenis lebah yang umumnya diambil madunya oleh masyarakat: a. ”Tabuan wani”. Menurut informasi masyarakat yang biasa mengambil madu, jenis lebah ini umumnya membuat sarang dengan menggantung di dahan pohon diantaranya pohon asa (Castanopsis buruan), kole, bala tampo, bongli (Aralia sp) dan balole (Ficus sp) . Warna badan tabuan wani hitam dengan ukuran badan lebih besar dibanding lebah yang kedua (tabuan merang). Produksi madu tabuan wani, kualitasnya lebih baik daripada jenis produksi madu lebah yang kedua sehingga harganya pun lebih mahal Rp. 30.000sampai dengan Rp. 35.000- untuk setiap 500 ml. b. ”Tabuan merang”. Jenis lebah ini yang biasa dibudidayakan masyarakat. Warna badannya kuning kecoklat-coklatan dengan ukuran lebih kecil. Harga 500 ml madunya Rp. 20.000- sampai dengan Rp. 30.000- .
108 Jenis tanaman sebagai sumber pakan yang ditemui banyak tumbuh di sekitar KHLN adalah jenis “kantirrik” (Spatodea campanulata) dan kaliandra atau Calyandra sp (Gambar 20). Jenis satwa lainnya adalah belibis, karapuak, burinti dan kaluppini yang merupakan jenis endemik Toraja dengan habitat yang terletak pada ketinggian 800 sampai dengan 1.400 meter diatas permukaan laut. Berdasarkan hasil penelitian jenis ini sangat liar dan tidak dapat diamati dalam jarak dekat. Saat berkunjung ke situ Lengke’ dari jauh terlihat beberapa ekor belibis (+ 10 ekor) namun saat didekati, mereka langsung terbang masuk kedalam semak dan hutan di sekitarnya.
Gambar 20 Jenis pakan lebah madu yang ditemukan di dalam dan di sekitar KHLN. Berdasarkan hasil penilaian, maka skor untuk keberadan satwa dan habitatnya adalah 60 karena kedua jenis satwa masing-masing memenuhi 2 indikator penilaian yakni: Jenis Macaca tonkeana merupakan satwa yang khas (a) dan terancam punah (b), sedangkan jenis ayam hutan merupakan satwa yang terancam punah (b) dan mempunyai fungsi kegunaan (c) untuk konsumsi masyarakat. c. Indikator kelerengan/slope (w13 = 0,1294) Indikator kelerengan sangat penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan terutama untuk kawasan dengan fungsi pokok sebagai areal perlindungan hidroorologis. Dalam calon TAHURA ditemui karakteristik lereng yang beragam. Mulai dari datar sampai bergelombang dan berbukit-bukit. Jurang terjal kadang
109 ditemui dalam kawasan hutan ini. Kondisi ini merupakan hal menarik dan menjadi tantangan tersendiri bagi wisatawan saat melakukan hiking maupun wisata pendidikan ke situ Lengke’ dan calon arboretum yang merupakan areal silvikultur intensif di Lembang Nanna Nanggala. Lereng juga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi tingkat erosi tanah. Faktor lereng yang mempengaruhi tingkat erosi tanah adalah tingkat kemiringan dan panjang lereng. Semakin miring lereng, aliran permukaan (run off) juga semakin cepat dan daya angkut tanah juga menjadi tinggi sehingga erosi meningkat. Hal ini juga berlaku untuk panjang lereng. Semakin panjang lereng, air yang terkumpul akan semakin banyak sehingga daya angkut tanah juga menjadi tinggi sehingga akan meningkatkan erosi juga. Komposisi lereng tertinggi di dalam kedua wilayah kecamatan berturutturut curam 35,75%, datar 29,75%, landai 26,75%, agak curam 7,40% dan sangat curam 0,35% (Tabel 39 dan Gambar 10). Tabel 39 Hasil interpretasi komposisi 5 kelas lereng Luas (Ha) 0– 8 Datar 3.446,936 8 – 15 Landai 3.099,500 15 – 25 Agak curam 857,157 25 – 45 Curam 4.142,996 > 45 Sangat curam 40,630 Jumlah 11.587,263 Sumber : Hasil analisis Peta Kelas Lereng Lereng (%)
Keterangan
(%) 29,75 26,75 7,40 35,75 0,35 100,00
Skor (x3) 10 32,5 55 77,5 100 -
Total skor 1,1290 4,2050 7,1170 10,0280 12,9400 -
Berdasarkan data tersebut diatas, maka dapat diketahui skor untuk indikator kelerengan atau slope (x3) bervariasi dengan skor tertinggi 100 pada areal seluas 40,630 ha dan sekaligus menjadi skor terpilih. d. Indikator curah hujan (w14 = 0,1014) Informasi curah hujan dalam calon TAHURA penting untuk diketahui, terkait dengan fungsi lindung kawasan hutan serta potensi vegetasi, satwa dan habitatnya. Hasil pencatatan penakar curah hujan di Kecamatan Nanggala menunjukkan curah hujan rata-rata bulanan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala selama 10 tahun terakhir 369 mm/bulan dengan rata-rata jumlah hari hujan bulanan 13 hari hujan sehingga intensitas hujan hariannya dikategorikan tinggi + 28,39 mm/hari hujan (Gambar 12). Jumlah bulan basah sebanyak 11
110 bulan yang terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, Arpil, Mei, Juni, Juli, Agustus, Oktober, Nopember, Desember (Tabel 23). Curah hujan yang tinggi merupakan salah satu indikasi keberadaan tutupan lahan yang baik di suatu kawasan. Menurut pendapat Acreman (2004) sebatang pohon di hutan alam dapat memompa air + 2,5 juta galon air ke atmosfer sepanjang daur hidupnya, didaur dan tidak hilang dari hutan. Lebih lanjut dicontohkan oleh Acreman bahwa akibat pengurangan vegetasi alami di Sahel Afrika menyebabkan curah hujan berkurang hampir 22% antara bulan Juni dan Agustus serta musim hujan yang tertunda hampir setengah bulan. Berdasarkan data hasil penelitian, maka skor untuk indikator curah hujan (x4) adalah 77,5. 5.3.5.2
Kriteria Sosial-Ekonomi-Budaya (w 1IS = 0,4546) Berdasarkan Tabel 31 kriteria sosial-ekonomi-budaya yang mempunyai
bobot tertinggi berturut-turut adalah indikator penutupan lahan (w15) 0,1434, indikator potensi objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya serta indikator masyarakat dan lingkungan dengan bobot yang sama yakni (w 16) 0,1084, dan indikator potensi fasilitas umum (w17) 0,0944. Total bobot untuk kriteria sosialekonomi- budaya (w1IS) adalah 0,4546. a. Indikator potensi objek dan atraksi sosial, ekonomi-budaya (w 15 = 0,1084) Berdasarkan hasil inventarisasi dan survei yang dilakukan dalam kawasan yang terpilih sebagai calon TAHURA, maka ditemui 4 (empat) macam objek dan atraksi sosekbud yang berpotensi menjadi objek dan daya tarik wisata (ODTW) yakni habitat kelelawar dan rumah tongkonan, bentang alam, objek situ Lengke’ dan simbuang batu (Gambar 21 dan Lampiran 3). Data tersebut diatas menghasilkan skor untuk indikator potensi objek dan atraksi sosial, ekonomi dan budaya (x5 ) adalah 77,5. ODTW yang memanfatkan bentang alam menjadi salah satu pilihan objek yang memungkinkan kegiatan wisata dalam calon TAHURA. Kegiatan ini jika dikelola dengan baik, maka berpotensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar calon TAHURA yang berarti peningkatan kesejahteraan
111 mereka. Masyarakat bisa menjadi guide dan pengelola yang menyediakan aneka cindera mata, fasilitas penginapan dan rumah makan bagi para wisatawan.
112 Gambar 21
Peta letak beberapa ODTW di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala.
113 b. Indikator penutupan lahan/landcover (w 16 = 0,1434) Bobot indikator penutupan lahan yang tinggi 0,1434 berada pada urutan ketiga setelah indikator potensi sumber air dan indikator kelerengan (slope) yang mengindikasikan pentingnya perhatian terhadap indikator ini. Hutan sekunder yang mendominasi tutupan lahan dalam calon TAHURA merupakan aspek penting yang perlu dilindungi terkait dengan peran KHLN sebagai catchment area dan fungsi lindung bagi sistem hidroorologis dalam KHLN itu sendiri. Hutan dapat mempengaruhi pola curah hujan melalui transpirasi dan melindungi daerah aliran sungai (Irwanto 2006). Berdasarkan hasil analisis peta penutupan lahan dan kunjungan lapang (ground check) yang dilakukan di lapangan, maka diperoleh informasi gambaran penutupan pertanian lahan kering campur semak adalah yang terluas yakni 5.610,873 ha (48,427%). Dalam pengkajian kesesuaian calon TAHURA komposisi penutupan lahan yang menempati indeks tertinggi yang diambil sebagai skor yang mewakili kajian kesesuaian yakni tutupan lahan hutan sekunder seluas 283,211 ha atau 2,443% (Lampiran 4 dan Gambar 22). Untuk pengkajian kesesuaian indikator penutupan lahan terpilih skor (x6) 82.
114 Gambar 22 Peta penutupan lahan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala.
115 c. Indikator masyarakat dan lingkungan (w 17 = 0,1084) Kecamatan Nanggala memiliki 9 (sembilan) lembang yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Nanggala (Tabel 33). KHLN terluas yakni 1.270,020 ha atau 31,760% berada dalam wilayah administrasi Lembang Karre Limbong. Sedangkan untuk wilayah Kecamatan Tondon, KHLN hanya berada di Lembang Tondon Langi seluas 166,778 ha atau 14,171% dari total KHLN di kedua kecamatan tersebut (Gambar 16). Berdasarkan data BPS (2007), diperoleh jumlah penduduk per km2 yang terpadat dari kesepuluh lembang tersebut adalah pada Lembang Basokan yakni 237 jiwa/km2 (Tabel 25). Hal ini mudah dipahami karena sebelumnya wilayah Lembang Basokan merupakan pemekaran wilayah dari Lembang Nanggala. Lembang Nanggala adalah pusat pemerintahan untuk Kecamatan TondonNanggala sebelumnya. Selain itu ada beberapa kemudahan yang dapat diperoleh jika masyarakat memilih tinggal dalam wilayah Lembang Basokan. Disamping kedekatan dan kemudahan akses transportasi baik sarana angkutan maupun kondisi jalan yang menghubungkan kedua ibukota kecamatan, juga kemudahan untuk akses ke tempat pendidikan serta akses ke pusat perdagangan di kota Rantepao. Kota Rantepao merupakan salah satu pusat niaga dan aneka jasa terbesar di Kabupaten Tana Toraja. Setelah pemekaran Kabupaten Tana Toraja yang diresmikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Februari 2008, maka kota Rantepao akan menjadi ibukota untuk Kabupaten Toraja Utara. Hal ini berarti kemajuan yang pesat akan dapat dicapai oleh wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pusat ibukota jika sumberdaya yang ada bisa dikelola dengan baik. Informasi jumlah penduduk penting untuk diketahui terkait dengan ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam hutan. Jumlah penduduknya di kedua kecamatan adalah 16.880 jiwa yang berbanding dengan kepadatan penduduk 115 jiwa/km2 sehingga skor terpilih adalah 79,7. Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala umumnya sudah baik. Hal ini terlihat dari persentase penduduk yang sudah bisa mengenyam bangku kuliah (sarjana muda dan sarjana) dan mencari
116 pekerjaan sebanyak 400 orang atau 36,563% dari 1.094 orang yang terdaftar sebagai pencari kerja menurut data BPS (2007a). Namun mereka dengan tingkat pendidikan tinggi ini umumnya keluar dari wilayah kecamatannya untuk mencari perkerjaan. Sehingga penduduk yang tinggal rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah (rata-rata lulus SD 13,89%). Variabel tingkat pendidikan ini menghasilkan skor 100. Mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala pada umumnya di sektor pertanian, termasuk kehutanan, peternakan dan perikanan. Hal ini dibuktikan dengan tingginya hasil produksi usaha mereka (Tabel 28). Umumnya mereka memiliki lahan pertanian sendiri untuk digarap sehingga mereka dikategorikan sebagai petani. Variabel mata pencaharian penduduk menghasilkan skor 50. Berdasarkan laporan Dinas Tata Ruang Kabupaten Tana Toraja dan Peta RTRW Kabupaten, wilayah administrasi Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala termasuk dalam kawasan lindung. Hal ini lebih memperkuat rencana Pemda untuk mengubah status KHLN yang ada di dalamnya menjadi kawasan konservasi dengan kategri TAHURA. Variabel tata guna tanah dan perencanaan menjadi sesuai dengan rencana pembentukan TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala sehingga dihasilkan skor 100. d. Indikator potensi fasilitas umum (w18 = 0,0994) Potensi fasilitas umum penting untuk diketahui selain terkait dengan kemungkinan pengembangan wisata alam sebagai salah satu kegiatan yang memungkinkan dalam calon TAHURA, juga untuk melihat keadaan sosialekonomi dan budaya masyarakat di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala. Berdasarkan hasil inventarisasi, maka ada 7 (tujuh) jenis prasarana dalam wilayah Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala yakni telepon umum, puskesmas, wartel, jaringan TV, surat kabar, sarana pendidikan dan pasar (Tabel 26 dan Tabel 30). Data ini menghasilkan skor 67,5. Sedangkan jenis sarana penunjang hanya ada dua yakni rumah makan dan tempat beribadah. Data ini menghasilkan skor 32,5.
117 5.3.6 Indeks Kesesuaian (IK) Calon TAHURA Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 7), maka klasifikasi dalam pengkajian indeks kesesuaian calon TAHURA dibagi atas 4 (empat) kategori yakni: 1. Kategori kurang sesuai
Total skor < 5 – 17
2. Kategori agak sesuai
Total skor 18 – 31
3. Kategori sesuai
Total skor 32 – 45
4. Kategori sangat sesuai
Total skor > 45
Interval indeks kesesuaian tersebut dibuat berdasarkan empat indeks kesesuaian (IK) calon TAHURA yang diperoleh. Keempat IK calon TAHURA ini menempati kategori 3 atau sesuai dengan nilai yang hampir sama (Lampiran 7), yakni: a. IK calon TAHURA 1 adalah 38,58. Bobot yang digunakan dalam analisis berdasarkan penilaian 7 (tujuh) orang ahli. b. IK calon TAHURA 2 adalah 38,27. Bobot yang digunakan dalam analisis berdasarkan penilaian ahli dengan jumlah terbanyak untuk urutan tingkat kepentingan yang bernilai 1 pada indikator yang dinilai. c. IK calon TAHURA 3 adalah 39,92. Bobot yang digunakan dalam analisis berdasarkan penilaian ahli dengan jumlah terbanyak untuk urutan tingkat kepentingan yang bernilai 7 pada indikator yang dinilai. d. IK calon TAHURA 4 adalah 37,93. Bobot yang digunakan dalam analisis seimbang yakni 0,1250 untuk maisng-masing indikator yang dinilai.
Berdasarkan indeks kesesuaian tersebut diatas, maka KHLN di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala sesuai untuk perubahan status menjadi kawasan konservasi dengan kategori taman hutan raya (TAHURA). Hasil kajian aspek biofisik maupun sosekbud sebelumnya juga mencerminkan KHLN sebagai salah satu hutan dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forests, HCVFs) terutama kriteria HCV 1, 2, 4, 5 dan 6 (RA, 2003).
118 5.4.
Penataan Zona /Blok Pengelolaan dalam Calon TAHURA Salah satu syarat penting dalam pengelolaan TAHURA adalah pembagian
areal/kawasan ke dalam beberapa zona/blok pengelolaan (Ditjen PHKA 2001). Namun kawasan konservasi yang tidak masif dan letaknya terpencar-pencar merupakan salah satu kendala manajemen. Bentuk kawasan konservasi yang kecil-kecil dan letaknya terpencar, dari segi biaya menyebabkan manajemen tidak efisien, sedangkan dari segi pengelolaan ekologi menjadi tidak efektif (Gunawan 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa suatu ekosistem hutan kawasan konservasi yang letaknya terpencar dari segi ekologis menjadi banyak efek tepi, sehingga luas habitat efektif menjadi berkurang dan secara sosial memiliki potensi banyak konflik. Disamping bentuk dan letak kawasan konservasi, manajemen juga akan terhambat oleh belum ada atau tidak jelasnya tata batas kawasan akibat belum ditata batas atau pal batasnya hilang. Oleh karena itu penataan batas kawasan konservasi harus menjadi prioritas sebelum menentukan langkah manajemen yang lain (Gunawan 2005). Setelah dilakukan kajian kesesuaian perubahan status KHLN menjadi kawasan konservasi dengan kategori taman hutan raya di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala dan analisis spasial, maka diperoleh blok pemanfaatan yang lebih kecil yakni (10%) dibandingkan blok-blok lain (66%) seperti ditunjukkan pada Lampiran 8. Tahap selanjutnya adalah mengakaji kesesuaian zona/blok blok tersebut yakni: blok pengelolaan dalam calon TAHURA utama (blok perlindungan dan blok pemanfaatan wisata alam) dan blok pengelolaan dalam calon TAHURA lain (blok pemanfaatan wisata alam).
119 Gambar 23 Peta Fungsi Hutan dan Blok Pengelolaan calon TAHURA.
120 5.4.1 Blok Pengelolaan dalam Calon TAHURA Utama 5.4.1.1 Blok Perlindungan (Inti) Terkait dengan fungsi utama TAHURA, maka blok perlindungan yang dibangun dalam calon TAHURA utama harus tetap memperhatikan fungsi hidroorologisnya. Pembangunan areal perlindungan adalah suatu strategi dalam konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hidrologis (Kramer et al. 1997 dalam Ramdan et al. 2004). Penataan blok perlindungan juga diprioritaskan untuk menjadi bank plasma nutfah yang menyimpan dan melindungi berbagai keanekaragaman hayati baik vegetasi maupun satwa dan habitatnya dalam KHLN pada khususnya serta di Kabupaten Tana Toraja pada umumnya. Potensi dalam blok perlindungan ini diharapkan bisa bermanfaat dalam jangka panjang terutama untuk menunjang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.. Berdasarkan hasil analisis spasial maka diperoleh luasan yang memungkinkan untuk blok perlindungan dalam calon TAHURA utama adalah 224,581 ha atau 16% yang berada dalam tujuh wilayah lembang, satu lembang di Kecamatan Tondon
dan enam lembang di wilayah Kecamatan Nanggala
(Gambar 24). Namun karena areal blok perlindungan tersebut terpencar-pencar maka perlu dilakukan deliniasi untuk membuat blok menjadi kompak. Deliniasi yang dilakukan untuk blok perlindungan dengan tujuan fungsi hidroorologis, pelestarian kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (SDAHE) dari bahaya kepunahan (bank plasma nutfah) serta keperluan pemantauan atas pemanfaatan kawasan dan potensi SDAHE untuk kegiatan wisata alam terbatas, maka yang menjadi pertimbangan adalah: a. Hasil analisis vegetasi pada empat plot pengamatan (Bataragoa, Langi, Basokan dan Sapan) yang terletak dalam blok pengelolaan calon TAHURA utama masing-masing jenis kole, bakan, uru dan sirak (Lampiran 2, II) yang mendominasi. Namun jenis asa pada tingkat tiang dan pancang kembali mendominasi. Jika INP ini dibandingkan dengan INP keseluruhan dalam analisis vegetasi yang dilakukan, maka deliniasi blok perlindungan yang dilakukan dianggap bisa memenuhi kriterIa keperwakilan (representation) dan kekayaan potensi sumberdaya alam dan lingkungan alam. Kriteria lainnya yakni kealamian (naturalness) dan keunikan (uniqeness) dianggap juga
121 terpenuhi karena letak blok perlindungan ini, jika dilihat dalam peta maka berhimpitan dengan areal hutan sekunder. Selain itu pertimbangan susunan (komposisi vegetasi) yang dipengaruhi oleh nilai kerapatan vegetasi tiap tingkat vegetasi yang dinilai sangat bervariasi. Bentuk (struktur) vegetasi dengan starata tajuk yang seimbang yang digambarkan oleh nilai dominansi vegetasi (terkait luas bidang dasar) untuk tingkat pohon dan tiang penting untuk menjadi pertimbangan terkait dengan proses infiltrasi air ke dalam tanah dan evapotranspirasi yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan tata air. b. Kemudahan dalam manajemen pengelolaan dan luas habitat yang efektif (efek tepi diminimalkan) sehingga blok perlindungan sebaiknya tidak terpencarpencar. c. Pemenuhan ruang minimal 30% untuk blok perlindungan dalam suatu areal konservasi. Berdasarkan
pertimbangan
tersebut,
maka
diperoleh
areal
perlindungan dalam calon TAHURA utama seluas 556,729 ha (Gambar 25).
untuk
blok
atau 39%
122 Gambar 24 Peta Blok Pengelolaan dalam calon TAHURA utama sebelum deliniasi.
123 Gambar 25
Peta Blok Pengelolaan dalam calon TAHURA utama sesudah delinasi.
124 5.4.1.2 Blok Pemanfaatan (Wisata Alam) Jenis wisata yang dilakukan di alam bebas adalah wisata alam atau ekowisata. Wisata alam adalah suatu kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan alam dan keindahan alam di Taman Nasional, TAHURA, Taman Wisata Alam, Taman Buru, Hutan Lindung dan Hutan Produksi (Direktorat Pemanfaatan Alam dan Jasa Lingkungan 2002). Menurut Rahardjo (2000) wisata alam mempunyai prinsip: a. Kontak dengan alam b. Pengalaman yang bermanfaat baik secara pribadi maupun sosial c. Wisata alam bukan mass tourism d. Mencari tantangan fisik dan mental e. Interaksi dengan masyarakat dan belajar budaya setempat f. Adaptive dengan kondisi akomodasi pedesaan g. Toleran terhadap ketidaknyamanan h. Partisipasi aktif i. Pengalaman lebih utama dibanding kenyamanan Tujuan pembangunan blok pemanfaatan adalah untuk pemanfaatan potensi
jasa
lingkungan
alam,
phenomena
dan
keindahan
alam
bagi
pengembangan pariwisata alam dan pusat rekreasi, serta mampu untuk menunjang keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam pelayanan jasa pariwisata alam serta mendorong pengembangan ekonomi masyarakat dan daerah dari jasa pariwisata alam. Berdasarkan prinsip wisata alam dan tujuan pembangunan blok pemanfataan tersebut diatas serta hasil inventarisasi objek dan atraksi sosialekonomi-budaya dalam calon TAHURA (baik di dalam calon TAHURA utama maupun calon TAHURA lainnya), maka wisata alam dengan komponen ODTW hanya ada dalam calon TAHURA lain (Gambar 21). Dan setelah dilakukan kajian kesesuaian fisik dan deliniasi untuk blok perlindungan, maka areal seluas 864,875 ha (61%) cocok menjadi blok pengelolaan dalam calon TAHURA utama. Untuk kepentingan pengelolaan (khususnya wisata alam), maka perlu segera dilakukan kajian ODTW dalam blok tersebut.
125 5.4.2
Blok Pengelolaan dalam Calon TAHURA Lain Calon TAHURA lain adalah areal yang berada di luar hutan lindung
Nanggala dan merupakan tanah milik seluas 7.589,271 ha (66%) yang dicadangkan sebagai blok penyangga. Dalam blok penyangga ini nantinya dimungkinkan pembentukan blok pengelolaan yang lain, berdasarkan kesepakatan bersama antar stakeholders dan masyarakat lokal diantarnya blok pemanfaatan wisata alam. Berdasarkan hasil kajian kesesuaian calon TAHURA sebelumnya, maka ada enam objek dan atraksi sosial-ekonomi-budaya yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam blok penyangga sebagai ODTW. Blok Pemanfaatan Wisata Alam Untuk menentukan batas blok pemanfaatan wisata alam, perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Namun sebagai gambarannya, maka dilakukan kajian potensi objek dan atraksi wisata alam serta peluang pemberdayaan masyarakat di sekitar enam ODTW yang telah dikaji dalam penelitian ini. a. Potensi Objek dan Atraksi Wisata Alam Berdasarkan hasil analisis penilaian kesesuaian blok pemanfaatan wisata alam terhadap objek dan atraksi wisata alam (Lampiran 5), maka diperoleh skor (O i) yang rata-rata berkategori sangat potensial untuk dikembangkan dan dikelola dengan melibatkan masyarakat didalamnya (Tabel 40 dan Gambar 21). Meskipun ada beberapa ODTW yang berdasarkan penilaian memiliki kemiripan namun karena lokasinya yang berdekatan, maka biaya untuk kegiatan wisata jatuhnya bisa lebih murah. Misalnya perjalanan wisata ke habitat ceba dan ayam hutan. Sepanjang jalan menuju kesana, mulai dari ibukota Kecamatan Nanggala para wisatawan dapat menikmati bentang alam yang asri (Gambar 21). Tabel 40 Hasil penilain 6 ODTW dalam blok pemanfaatan wisata alam No 1 2 3 4 5 6 Sumber:
Jenis objek dan atraksi sosekbud Marante Habitat kelelawar dan aset budaya Habitat ceba dan ayam hutan Simbuang batu dan patane Situ Lengke’ Bentang alam Hasil analisis data primer
Skor(Oi) 124 136 100 123 100 100
Keterangan Sangat potensial Sangat potensial Potensial Sangat potensial Sangat potensial Potensial
126 b. Kondisi dan Peluang Pemberdayaan Masyarakat Lokal Akseptibilitas Masyarakat Hasil penilaian terhadap kondisi dan peluang pemberdayaan masyarakat lokal (Lampiran 5), dapat diketahui bahwa tingkat akseptibilitas masyarakat untuk variabel tertentu di setiap ODTW sangat sesuai. Artinya mereka menyambut baik rencana kegiatan wisata alam dalam calon TAHURA (Tabel 41). Mereka berharap bisa dilibatkan dalam upaya pengelolaan misalnya menjadi guide, mengelola tempat penjualan souvenir dan warung
makan, sarana
penginapan serta fasilitas umum lainnya seperti toilet umum dan tempat parkir. Tabel 41 Hasil penilain tingkat akseptibilitas masyarakat 6 ODTW dalam blok pemanfaatan wisata alam No 1 2 3 4 5 6 Sumber:
Jenis objek dan atraksi sosekbud Marante Habitat kelelawar dan aset budaya Habitat ceba dan ayam hutan Simbuang batu dan patane Situ Lengke’ Bentang alam Hasil analisis data primer
Score (Aacep) 85 85 80 80 90 80
Keterangan Sangat sesuai Sangat sesuai Sangat sesuai Sangat sesuai Sangat sesuai Sangat sesuai
Peluang Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan konservasi, memiliki visi terwujudnya kemandirian masyarakat untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya melalui partisipasinya secara aktif dalam kegiatan pemanfaatan, pengamanan dan pelestarian terhadap hutan konservasi. Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan konservasi bukan sekedar untuk menghentikan terjadinya perusakan sumberdaya hutan dan ekosistemnya saja, tetapi harus benar-benar diarahkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan, kemudahan dan fasilitasi terhadap masyarakat yang tinggal disekitarnya, agar mereka secara mandiri mau dan mampu mengembangkan
kesadaran,
pengetahuan
dan
keterampilannya,
guna
memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk sebesar-besar kemakmurannya, dengan senantiasa memperhatikan upaya pelestarian (ekologi, ekonomi dan sosial budaya) sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya (Setyadi, 2005). Contoh-contoh kegiatan yang berpeluang dilakukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat antara lain: (a) pengembangan ekowisata, (b)
127 pengembangan industri rumah tangga dan kerajinan tangan, (c) pengembangan lebah madu, (d) budidaya rumput lat dan (e) pengembangan wanatani (Direktorat Konservasi Kawasan 2006). Berdasarkan peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005 tanggal 6 Mei 2005 tentang Struktur Organisasi Departemen Kehutanan (pasal 236), wilayah kerja pemberdayaan masyarakat terbatas pada wilayah disekitar hutan konservasi. Dilain pihak, mengacu pada SK Menhut Nomor 456/MenhutII/2004, dijelaskan tentang 5 (lima) kebijakan prioritas bidang kehutanan dimana salah satu diantaranya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, maka wilayah pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan konservasi, meliputi: (a) desa di sekitar hutan konservasi/di daerah penyangga, (b) desa enclave di dalam hutan konservasi dan (c) desa/desa adat (yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah). Berdasarkan hasil penilaian peluang pemberdayaan masyarakat di tiap objek wisata (Lampiran 5), maka hampir semua objek sangat potensial untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya (Tabel 42). Tabel 42 Hasil penilain peluang pemberdayaan masyarakat 6 ODTW dalam blok pemanfaatan wisata alam No Jenis objek dan atraksi sosekbud 1 Marante 2 Habitat kelelawar dan aset budaya 3 Habitat ceba dan ayam hutan 4 Simbuang batu dan patane 5 Situ Lengke’ 6 Bentang alam Sumber: Hasil analisis data primer
Skor(BPpm) 170 155 175 155 130 150
Keterangan Sangat potensial Sangat potensial Sangat potensial Sangat potensial Potensial Sangat potensial
Dalam pemberdayaan masyarakat disekitar calon TAHURA nantinya hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Oleh karena itu penggalian informasi yang diperlukan dalam upaya pemberdayaan ini perlu dilakukan dengan berdasar pada beberap prinsip (Gunawan 2005): a. Prinsip pendekatan keluarga dan kelompok Pemberdayaan masyarakat di sekitar calon TAHURA tidak hanya diperuntukan bagi kaum laki-laki dewasa (bapak-bapak) saja, tetapi juga para ibu dan anak-anaknya, sehingga seluruh anggota keluarga warga masyarakat desa sekitar hutan memperoleh pemberdayaan sesuai dengan masalah dan kebutuhan masing masing. Kelembagaan lokal merupakan pemegang posisi
128 kunci dan pemain utama. Di Kabupaten Tana Toraja, adanya “tongkonan” sebagai salah satu kelembagaan lokal yang merupakan kumpulan dari beberapa kelompok keluarga sangat potensial sebagai wadah pendekatan bagi pengelola kawasan konservasi nantinya untuk memberikan pemahaman awal tentang pentingnya konservasi dan perlindungan hutan di Kawasan Hutan Lindung Nanggala (KHLN). b. Prinsip keserasian dalam pendekatan kelompok Setiap kegiatan yang dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat harus melalui pendekatan kelompok terdiri dari warga masyarakat desa di sekitar hutan. Mereka karena sudah saling mengenal, saling percaya dan mempunyai kepentingan yang sama, maka diharapkan akan tumbuh kerjasama yang kompak dan serasi dalam upaya melanjutkan dan mengembangkan kegiatankegiatan yang ditumbuhkan dari, oleh dan untuk kepentingan warga masyarakat desa di sekitar hutan. Misalnya kegiatan budidaya lebah madu yang sudah dilakukan sejak dulu. Jika mereka berkumpul dalam satu wadah kelompok, maka pemasaran madu mereka bisa lebih mudah. Harga madu di tingkat petani saat ini adalah Rp 20.000 - untuk setiap 500 ml, sedangkan harga di tingkat pengecer mencapai Rp 35.000 - sampai dengan Rp 40.000- untuk setiap 500 ml madu. Sehingga jika dikelola dengan sistem kelompok, maka madu bisa menjadi sumber tambahan pendapatan yang menjanjikan bagi keluarga masyarakat yang tinggal di sekitar maupun di dalam calon TAHURA. Madu juga bisa menjadi
alternatif oleh-oleh saat wisatawan
berkunjung ke objek wisata alam dalam TAHURA. Atau dikembangkannya usaha kerajinan pembuatan patu ng, ukiran dan souvenir lainnya dalam satu kelompok. Disamping bisa terus meneruskan tradisi dalam keluarga dan menjaga kelestarian budaya sebagai warisan yang tak ternilai, juga bisa menjadi wadah yang dapat mengembangkan kreatifitas warga masyarakat khususnya kaum muda dalam berkreasi. c. Prinsip pendekatan kemitraan Perlakuan terhadap warga masyarakat desa khususnya terhadap beberapa tongkonan di sekitar maupun di dalam kawasan hutan harus sebagai
129 mitra kerja yang aktif dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan hutan yang lesteri dan dalam pengambilan keputusan. Pemberian pelatihan dan bantuan modal usaha bisa menjadi alternatif bentuk kerjasama kemitraan yang menjanjikan jika dikelola dengan baik. d. Prinsip belajar sambil bekerja untuk bisa menumbuhkan keswadayaan Semua kegiatan yang dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat disekitar hutan konservasi yang berupa bimbingan dan dukungan kemudahan yang
diberikan
haruslah
mampu
menumbuhkan
keswadayaan
dan
kemandirian. Masyarakat diajak berperan melalui suatu proses pembelajaran yang partisipatif, agar berani mengalami dan menemukan sendiri masalah serta alternatif pemecahannya.
130
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut: a. Indeks kesesuaian calon TAHURA termasuk kategori 3 atau sesuai dengan nilai 38,58. Kategori yang sama juga diperoleh dari ketiga indeks kesesuaian pembandingnya dengan nilai berturut-turut 38,27, 39,92 dan 37,93. Hal ini menyatakan kesesuaian perubahan status kawasan hutan lindung Nanggala (KHLN) menjadi kawasan konservasi dengan kategori taman hutan raya (TAHURA). b. Luas areal Calon TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala adalah 1.421,637 ha (12%) untuk calon TAHURA utama yang merupakan hak milik negara c. Luas blok pengelolaan dalam calon TAHURA utama terdiri atas blok perlindungan seluas 556,729 ha (39%) dan blok pemanfaatan seluas 864,875 ha (61%). 6.2 Saran Ada beberapa hal yang disarankan dalam penelitian ini: a. Perlu dilakukan penataan areal hutan yang melibatkan masyarakat setempat termasuk tata batas kawasan untuk mendapatkan kepastian kawasan. b. Sebelum penetapan calon TAHURA, agar dilakukan kajian yang lebih mendalam baik dalam bentuk inventarisasi potensi maupun kajian ekonomi KHLN sehingga dalam pengelolaan TAHURA nantinya bisa berkelanjutan c. Agar dilakukan diskusi terbuka dengan masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar calon TAHURA terkait pengelolaan lebih lanjut kawasan konservasi khususnya dalam penataan ruang. d. Perlunya kajian manajemen jika TAHURA sudah terbentuk diantaranya penyusunan peraturan daerah (Perda) tentang TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala dan pembentukan Unit Pelaksanan Teknis (UPT) sebagai pelaksana teknis di lapangan dengan penempatan pegawai yang sesuai dan proporsional.
131
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut: d. Indeks kesesuaian calon TAHURA termasuk kategori 3 atau sesuai dengan nilai 38,58. Kategori yang sama juga diperoleh dari ketiga indeks kesesuaian pembandingnya dengan nilai berturut-turut 38,27, 39,92 dan 37,93. Hal ini menyatakan kesesuaian perubahan status kawasan hutan lindung Nanggala (KHLN) menjadi kawasan konservasi dengan kategori taman hutan raya (TAHURA). e. Luas areal Calon TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala adalah 1.421,637 ha (12%) untuk calon TAHURA utama yang merupakan hak milik negara f. Luas blok pengelolaan dalam calon TAHURA utama terdiri atas blok perlindungan seluas 556,729 ha (39%) dan blok pemanfaatan seluas 864,875 ha (61%). 6.3 Saran Ada beberapa hal yang disarankan dalam penelitian ini: a. Perlu dilakukan penataan areal hutan yang melibatkan masyarakat setempat termasuk tata batas kawasan untuk mendapatkan kepastian kawasan. b. Sebelum penetapan calon TAHURA, agar dilakukan kajian yang lebih mendalam baik dalam bentuk inventarisasi potensi maupun kajian ekonomi KHLN sehingga dalam pengelolaan TAHURA nantinya bisa berkelanjutan c. Agar dilakukan diskusi terbuka dengan masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar calon TAHURA terkait pengelolaan lebih lanjut kawasan konservasi khususnya dalam penataan ruang. d. Perlunya kajian manajemen jika TAHURA sudah terbentuk diantaranya penyusunan peraturan daerah (Perda) tentang TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala dan pembentukan Unit Pelaksanan Teknis (UPT) sebagai pelaksana teknis di lapangan dengan penempatan pegawai yang sesuai dan proporsional.
132
DAFTAR PUSTAKA Acreman, M. 2004. Water and Ecology. United Nations Educational, Science and Cultural Organizations (UNESCO). Paris. [AG] Australian Government. 2008. Parks and Reserves: Six IUCN Protected Area Categories. http://www.environment.gov.au/parks/iucn.html [11 Mei 2008]. Alikodra, H.S. 1996. The implementation of forest resorce conservation in sustainable forest management in Indonesia (in) Indonesia efforts to achieve sustainable forestry (Revised Edition). Forum of Indonesiaan Forestry Scientist. Amir, H.H. 1993. Pengelolaan Kawasan yang dilindungi di Daerah Tropika [Penerjemah]. Terjemahan dari: Managing of Protected Areas in The Tropics. John, K. Mackinnon, G. Child and J. Thorsell. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Angi, E.M. 2005. Bagaimana Kebijakan dapat Dikoordinasikan Antara Pusat dan Masyarakat. Forest and Governance Programme: Governance Brief . Nomor 11. Juni 2005. CIFOR. Bogor. Anonim. 2005. Bahan Pelatihan KSDA Dasar bagi Kepala Seksi Wilayah Konservasi. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007a. Tana Toraja dalam Angka 2007. BPS. Tana Toraja. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007b. Kecamatan Tondon dalam Angka 2007. BPS. Tana Toraja. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007c. Kecamatan Nanggala dalam Angka 2007. BPS. Tana Toraja. Balai Besar KSDA Makassar. 2008. Data dan Kondisi Umum Kawasan Taman Wisata Alam Nanggala III. Makassar Budiyanto, E. 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS. Andi. Yogyakarta [BP DAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Saddang. 2006. Rancangan Teknik Kegiatan Pembangunan Jenis Tanaman Endemik Dataran Tinggi di Kabupaten Tana Toraja kerjasama Balai Pengelolaan DAS Saddang dengan LPPM UNHAS. BP DAS Saddang. Makale. [BP DAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Saddang. 2007. Data Lahan Kritis BP DAS Saddang. Makale. [Dephut] Departemen Kehutanan. Direktorat Konservasi Kawasan. 2006. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat. Disampaikan pada Pekan Raya Hutan dan Masyarakat di Yogyakarta, 19-22 September 2006. http://www.dephut.go.id. [14 Januari 2008].
133 [Dephut] Departemen Kehutanan. 2001. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA). Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam. Dephut. Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA). Kawasan Konservasi. http://www.ditjenphka.go.id/index.php. [14 Januari 2008] [Dishutbun] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja. 2007. Data Dinas Kehutanan dan Perkebunana Kabupaten Tana Toraja. Dishutbun. Rantepao. Flint, R. W. 2003. The sustainable development of water resources. http://www.sustainabledevelopmentsolutions.com. [11 Nopember 2007]. Indrawan, M., R.B. Primack, dan J. Supriatna. 2007. Edisi Revisi: Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Irwanto. 2006. Prespektif Silvika dalam Keanekaragaman Hayati dan Silvikultur. http://www.irwantoshut.com. [15 Maret 2007] [IUCN] Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1994. Guideines for Protected Area Management Categories. CNPPA with the assistance of WCMC. IUCN Gland, Switzerlans and Cambridge. United Kingdom. Gunawan, H. 2005. Tantangan Konservasi Sumber Daya Alam di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Buletin Konservasi Alam 5(5): 8-14. Jaya, I.N.S. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Kehutanan. IPB Press. Bogor. Jaya, I.N.S. 2007. Teknik-teknik Pemodelan Spasial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Johnson, N. A., White, dan D.P. Maitre. 2001. Developing Markets for Water Service from Forest: Issues and lessons for Innovators. Forest Trends. Washington, DC. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dephut. Jakarta. Loucks, D.P. 2000. Sustainable Water Resources Management. Water International, 25(1): 2-10. [LPPM] Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat IPB, 2003. Laporan Akhir: Studi identifikasi potensi dan analisis tumbuhan Obat di Kabupaten Tana Toraja. Kerja sama Bappedalda Kabupaten Tana Toraja dengan lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, IPB. Bogor. Mulyana, D. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
134 [PDAM] Perusaaan Daerah Air Minum Tana Toraja. 2007. Data Produksi PDAM Kabupaten Tana Toraja Tahun 2007. Makale. Pendit, I.M.R., I.W.T. Wirawan, N.M Suradi, I.M Auarina, I.K Wandra, dan I.K Anom. 2002. Laporan Eksplorasi, Penelitian dan Pengembangan Vegetasi di Kawasan Hutan Lindung Nanggala I dan II, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tanggal 14 Agustus–3 September 2002. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI. Bali. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam. Dephut. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional. Dephut. Jakarta. Puntodewo, A., S. Dewi, dan J. Tarigan. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. CIFOR. Bogor. [RA] Rainforest Alliance dan Proforest. 2003. Mengidentifikasi, Mengelola dan Memantau Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi: Sebuah Toolkit untuk Pengelola Hutan dan Pihak- pihak Terkait lainnya. http://www.rainforestalliance.org/programs/forestry/smartwood/pdfs/indotoolkit_indo.pdf. [12 Januari 2007] Rahardjo, T.S. 2000. Konsep dasar Pengembangan Wisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat. Lokakarya Pengembangan Ekotoirism di Taman Nasional. Direktorat PWAHK. Bogor. Ramdan, H. K., Mudikdjo, D. Darusman, dan H. Pawitan. 2004. Estimasi Dana Konservasi Penggunaan Air Minum di Kawasan Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan IX(2): 87-92. Ritung, S., Wahyunto, F. Agus, dan H. Hidayat. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Salubongga, D. 2007. Suara Perempuan Lebih Efektif daripada Senjata Polisi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Samsuri. 2004. Pembuatan Peta dan Analisis Kesesuaian dengan Metode Sistem Informasi Geografis (SIG). http://library.usu.ac.id/download/fp/hutansamsuri.pdf. [26 Juni 2008] Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan Sektor Air Bersih Bagi Kesejahteraan Publik [Orasi ilmiah]. Tanggal 27 September 2003. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Schelhas, J., R.E. Sherman, T.J. Fahey, and J.P. Lassoie. 2002. Linking community and national park development: A case from the Dominican Republict. Natural Resources Forum 26: 140-149.
135 Setiawan, A., dan H.S. Alikodra. 2001. Tinjauan Terhadap Pembangunan Sistem Kawasan Konservasi di Indonesia. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan VII(2): 39-46. Setyadi, A. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di sekitar Kawasan Konservasi. Buletin Konservasi Alam 5(3): 53-55. Soenaryo, T. M, T. Walujo, dan A. Harnanto. 2005. Pengelolaan sumberdaya air: Konsep dan Penerapannya. Bayumedia Publishing. Malang. Soerianegara, I., dan A. Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhendang, E. 2005. Arah dan Skenario Pengembangan dan Pemantapan Kawasan Hutan [ulasan]. Buletin Planologi 8:32-61. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Dephut. Jakarta. Suyanto, S., dan N. Khususiyah. 2006. Imbalan Jasa Lingkungan untuk Pengentasan Kemiskinan.http://pse.litbang.deptan.go.id.pdf/ [11 Nopember 2007]. Thomas, L., and J. Middleton. 2003. Guidelines for Management Planning of Protected Areas. IUCN Gland, Switzerlans and Cambridge. United Kingdom. Toding, S.D. 2007. Sistem Pengelolaan Hutan Adat Nanggala di Kabupaten Tana Toraja [Tesis]. Program Studi Sistem-Sistem Pertanian. Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dephut. Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alama Hayati dan Ekosistemnya. Dephut. Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta. Wiratno, D., Indriyo, A. Syarifudin, dan A. Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundaion Indonesia, PILI-NGO Movement. Jakarta.
136
LAMPIRAN
137 Lampiran 1 Beberapa jenis tanaman obat-obatan dan bahan makanan yang ditemui dalam calon TAHURA. 1. Poringa Kegunaan: Obat sariawan
2. Balintoto/Henslowia frutescens Kegunaan: Obat untuk kencing darah
3. Lapin Manuk /Glohidion sp
4. Loko’ atau langkan-langkan /Drynaria quersifolia
5. Kapa’-kapa’ Kegunaan: Obat bronhitis
6. Markisa Kegunaan: Pucuk daun sebagai obat diare
7. Botto’ /Harendong (Sunda) Kegunaan: Untuk bahan campuran daging agar tahan lama (tidak basi) saat dimasak
8. Sissing lampa / Paku-pakuan /Paku tanduk Kegunaan: Obat diare (dimasak dengan siput)
9. Kambola / Zingiber sp Kegunaan: Bahan masakan ikan air tawar,
10 Utan lepo Kegunaan: Obat cacing kecil, sayur
138 obat sariawan (direbus)
11.
Rariang Kegunaan : untuk bahan sambel
12. Suke-suke bombo/Nepenthes sp Kegunaan: Air dalam kantong untuk obat anak yang sering kecing malam (ngompol)
13. Balole atau Ficus sp Kegunaan : getahnya untuk membekukan susu hasil perahan
14. Induk / Caryota mitis. Kegunaan: Diambil niranya sebagai minuman yang disebut tuak
139 …….. lanjutan Lampiran 1 Beberapa jenis tanaman hias dalam kawasan hutan lindung Nanggala 1. Danga-danga Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
2. Kantirrik/ Spatodea campanulata
3. Kalosi seba /Palmae
4. Kating Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
.
5.
Kaliolong (Pinanga sp) Arec. Habitat : Tanah sedikit berhumus, agak terlindung, 1100 m dpl
6. Pune’ Bo’bo’ /Cyathea contaminans Habitat: Tanah miring, dekat mata air, 950 m dpl
7. Pune’ Batu (suku Polyp.) Habitat: Tanah sedikit berhumus, terlindung, 950 m dpl
140 8. Lasuna deata/Liparis sp Habitat: Tanah lembab, atau efifit, terlindung, 1050 m dpl
10. Pakin-pakin/Pteris sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1000 m dpl
9. Rhododendron sp Habitat: tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
11. Kaluppini / Lycopodium sp Habitat: Epipit pada Cyanthea, 950 m dpl
12. Popuasedrus sp
13. Suke-suke bombo/Nepenthes sp
14. Silli /pandan hutan/ Pandanus sp
15. Potok seba
16. Uwe /Calamus sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1050 m dpl
141 …….. lanjutan Lampiran 1 Beberapa jenis tanaman hias dalam kawasan hutan lindung Nanggala 1. Danga-danga Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
2. Kantirrik/ Spatodea campanulata
3. Kalosi seba /Palmae
4. Kating Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
.
5.
Kaliolong (Pinanga sp) Arec. Habitat : Tanah sedikit berhumus, agak terlindung, 1100 m dpl
6. Pune’ Bo’bo’ /Cyathea contaminans Habitat: Tanah miring, dekat mata air, 950 m dpl
7. Pune’ Batu (suku Polyp.) Habitat: Tanah sedikit berhumus, terlindung, 950 m dpl
142 8. Lasuna deata/Liparis sp Habitat: Tanah lembab, atau efifit, terlindung, 1050 m dpl
10. Pakin-pakin/Pteris sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1000 m dpl
9. Rhododendron sp Habitat: tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
11. Kaluppini / Lycopodium sp Habitat: Epipit pada Cyanthea, 950 m dpl
12. Popuasedrus sp
13. Suke-suke bombo/Nepenthes sp
14. Silli /pandan hutan/ Pandanus sp
15. Potok seba
16. Uwe /Calamus sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1050 m dpl
143 …….. lanjutan Lampiran 1 Beberapa jenis vegetasi pohon dalam kawasan hutan lindung Nanggala 1. Balole atau Ficus sp Kegunaan : getahnya untuk membekukan susu hasil perahan
2. Kadinge/ Cinnamomum sintoc Kayu bahan ramuan rumah
3. Nangka-nangka Kayu bahan ramuan rumah
4. Asa / Castanopsis buruana Kayu bahan ramuan rumah
5. Tariwan /Fragraea elliptica Kayu Kelas I untuk bahan bangunan
6. Betau/ Callophylum sp Kayu untuk bahan bangunan
7. Panopi Batang untuk pernis
8.
Bongli /Aralia sp. Habitat : Tanah miring, agak terbuka, 1100 m dpl
144 Simbol untuk pesta rambu solok (kematian) dengan acara besar. Minimal kerbau yang dipotong paling kurang 7 ekor
9. Bakan /Litsea firma Bahan bangunan, kelas 3
10.
Uru batu / Ermerillia sp Bahan bangunan
11. Rinni-rinni Bahan bangunan, kelas 3
12.
Pao-pao / Haplolbus celebicus Bahan bangunan
145
Lampiran 7 Hasil pembobotan indeks kesesuaian calon TAHURA Tabel 1 Hasil Penilaian Keseluruhan Expert (7 orang) No Kriteria Indikator Variabel I Biofisik 1 Potensi sumber Jenis sumber air: mata air mata air 1. Mata air 2. Situ 3. Air terjun 4. Sungai, dll 5. dll 2 Potensi vegetasi, Kondisi: satwa dan habitatnya 1. Kekhasan 2. Keterancaman 3. Kegunaan 3
Kelerengan
Kelas kelerengan: datar, 1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam 5. Sangat curam Curah hujan Kelas curah hujan: 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi Jumlah I Indeks Biofisk (IB) = 23.2066
4
II
Bobot 0.1643
0.1503
Skor
Tot Skor 100 77.5 55 32.5 10 100 60 10
12.7333
9.0180
0.1294 100 77.5 55 32.5 10
12.9400
0.1014 100 77.5 55 32.5 10 0.5454
7.8585
42.5498
Sosekbud 1
Potensi objek dan atraksi sosekbud
2
Landcover
1. Daya tarik (alam atau budaya) 2. Estetika dan keaslian 3. Atraksi 4. Fasilitas pendukung 5. Letak dari jalan utama 6. Akses dan transportasi 7. Dukungan dan partisipasi masyarakat Penutupan Lahan: 1. Hutan alam 2. Hutan sekunder 3. Perkebunan 4. Pertanian lahan kering campur semak 5. Sawah 6. Savana/semak
0.1084
100 77.5 55 32.5 10
10.8400
0.1434 100 82 64 46 18 10
11.7588
….lanjutan Lampiran 7 Hasil pembobobtan indeks kesesuaian calon TAHURA …..lanjutan Tabel 1 Hasil penilaian keseluruhan expert (7 orang) No Kriteria Indikator Variabel II Sosekbud 3 Masyarakat dan 1. Jumlah penduduk (jiwa)/ lingkungan kepadatan penduduk (jiwa/km2)
Bobot
Skor
0.1084
Tot Skor 100
… … 79.7
8.6395
… … 10 100 70 50 10 100 70 50 10 100 70 50 10
2. Tata guna tanah / perencanaan
3. Tingkat pendidikan
4. Mata pencaharian penduduk
4
Potensi fasilitas umum
Jumlah 3 1. Prasarana : kantor pos, telepon umum, puskesmas, wartel dlll
1.0840
5.4200 6.4959
0.0944
2. Saranan penunjang: rumah makan, bank, dll
Jumlah 4 Jumlah II
10.8400
0.4546
Indeks Sosekbud (IS) = 15.3721 Indeks Kesesuaian (IK) = 38.5788
….lanjutan Lampiran 7 Hasil pembobobtan indeks kesesuaian calon TAHURA
100 67.5 55 32.5 10 100 67.5 55 32.5 10
6.3720
3.0680 4.7200 33.8147
Tabel 2 Hasil penilaian expert dengan urutan tingkat kepentingan terendah nilai 1 dan terbanyak No Kriteria Indikator Variabel Bobot Skor I Biofisik 1 Potensi sumber Jenis sumber air: mata air 0.2059 mata air 1. Mata air 2. Situ 3. Air terjun 4. Sungai, dll 5. dll 2 Potensi vegetasi, Kondisi: 0.2059 satwa dan habitatnya 1. Kekhasan 2. Keterancaman 3. Kegunaan 3
Kelerengan
Kelas kelerengan: datar, 1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam 5. Sangat curam Curah hujan Kelas curah hujan: 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi Jumlah I Indeks Biofisk (IB) = 45.1068
4
II
Tot Skor 100 77.5 55 32.5 10 100 60 10
15.9573
12.3540
0.1471 100 77.5 55 32.5 10
14.7100
0.2059 100 77.5 55 32.5 10 0.7648
15.9573
58.9785
Sosekbud 1
Potensi objek dan atraksi sosekbud
2
Landcover
1. Daya tarik (alam atau budaya) 2. Estetika dan keaslian 3. Atraksi 4. Fasilitas pendukung 5. Letak dari jalan utama 6. Akses dan transportasi 7. Dukungan dan partisipasi masyarakat Penutupan Lahan: 1. Hutan alam 2. Hutan sekunder 3. Perkebunan 4. Pertanian lahan kering campur semak 5. Sawah 6. Savana/semak
0.2059
100 77.5 55 32.5 10
20.5900
0.1471
….lanjutan Lampiran 7 Hasil pembobobtan indeks kesesuaian calon TAHURA
100 82 64 46 18 10
12.0622
…. Lanjutan Tabel 2 Hasil penilaian expert dengan urutan tingkat kepentingan terendah nilai 1 dan terbanyak No Kriteria Indikator Variabel Bobot Skor Tot Skor II Sosekbud 3 Masyarakat dan 1. Jumlah penduduk (jiwa)/ 0.1471 100 lingkungan kepadatan penduduk … (jiwa/km2) … 79.7 11.7239 … … 10 2. Tata guna tanah / 100 14.7100 perencanaan 70 50 10 3. Tingkat pendidikan 100 70 50 10 1.4710 4. Mata pencaharian 100 penduduk 70 50 7.3550 10 Jumlah 3 8.8150 4 Potensi 1. Prasarana : kantor pos, 0.0882 100 fasilitas umum telepon umum, 67.5 5.9535 puskesmas, wartel dlll 55 32.5 10 2. Saranan penunjang: 100 rumah makan, bank, dll 67.5 55 32.5 2.8665 10 Jumlah 4 4.4100 Jumlah II 0.5883 45.8772 Indeks Sosekbud (IS) = 26.9895 Indeks Kesesuaian (IK) = 72.0963
….lanjutan Lampiran 7 Hasil pembobobtan indeks kesesuaian calon TAHURA Tabel Hasil Penilaian Expert dengan urutan tingkat kepentingan nilai tertinggi 7 dan terbanyak
No I
Kriteria Biofisik
1
Variabel
Potensi sumber mata air
2
3
Bobot
Jenis sumber air: mata air 1. Mata air 2. Situ 3. Air terjun 4. Sungai, dll 5. dll Potensi vegetasi, Kondisi: satwa dan habitatnya 1. Kekhasan 2. Keterancaman 3. Kegunaan
0.1643
Kelerengan
0.1707
Kelas kelerengan: datar, 1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam 5. Sangat curam Curah hujan Kelas curah hujan: 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi Jumlah I Indeks Biofisk (IB) = 31.6087
4
II
Indikator
Skor
0.1220
Tot Skor 100 77.5 55 32.5 10 100 60 10
100 77.5 55 32.5 10
12.7333
7.3171
17.0732
0.1707 100 77.5 55 32.5 10 0.627714634
13.2317
50.3552
Sosekbud 1
Potensi objek dan atraksi sosekbud
2
Landcover
1. Daya tarik (alam atau budaya) 2. Estetika dan keaslian 3. Atraksi 4. Fasilitas pendukung 5. Letak dari jalan utama 6. Akses dan transportasi 7. Dukungan dan partisipasi masyarakat Penutupan Lahan: 1. Hutan alam 2. Hutan sekunder 3. Perkebunan 4. Pertanian lahan kering campur semak 5. Sawah 6. Savana/semak
0.1220
100 77.5 55 32.5 10
12.1951
0.1707 100 82 64 46 18 10
14.0000
….lanjutan Lampiran 7 Hasil pembobobtan indeks kesesuaian calon TAHURA …..lanjutan Tabel Hasil Penilaian Expert dengan urutan tingkat kepentingan nilai tertinggi 7 dan terbanyak No Kriteria Indikator Variabel Bobot Skor Tot Skor
II
Sosekbud 3
Masyarakat dan lingkungan
1. Jumlah penduduk (jiwa)/ kepadatan penduduk (jiwa/km2)
0.1220
100 … … 79.7
9.7195
… … 10 100 70 50 10 100 70 50 10 100 70 50 10
2. Tata guna tanah / perencanaan
3. Tingkat pendidikan
4. Mata pencaharian penduduk
4
Potensi fasilitas umum
Jumlah 3 1. Prasarana : kantor pos, telepon umum, puskesmas, wartel dlll
1.2195
6.0976 7.3079
0.1220
100 67.5 55 32.5 10 100 67.5 55 32.5 10
2. Saranan penunjang: rumah makan, bank, dll
Jumlah 4 Jumlah II
12.1951
8.2317
3.9634 6.0976 39.6006
0.5366
Indeks Sosekbud (IS) = 21.2491 Indeks Kesesuaian (IK) = 52.8578
….lanjutan Lampiran 7 Hasil pembobobtan indeks kesesuaian calon TAHURA Tabel Hasil Penilaian dengan bobot yang seimbang untuk tiap indikator yakni 0,1250 No Kriteria Indikator Variabel Bobot I Biofisik
Skor
Tot Skor
1
Potensi sumber mata air
2
3
0.1250
Kelerengan
0.1250
Kelas kelerengan: datar, 1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam 5. Sangat curam Curah hujan Kelas curah hujan: 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi Jumlah I Indeks Biofisk (IB) = 19.6875
4
II
Jenis sumber air: mata air 1. Mata air 2. Situ 3. Air terjun 4. Sungai, dll 5. dll Potensi vegetasi, Kondisi: satwa dan habitatnya 1. Kekhasan 2. Keterancaman 3. Kegunaan
0.1250
100 77.5 55 32.5 10 100 60 10
100 77.5 55 32.5 10
9.6875
7.5000
12.5000
0.1250 100 77.5 55 32.5 10 0.5
9.6875
39.3750
Sosekbud 1
Potensi objek dan atraksi sosekbud
2
Landcover
1. Daya tarik (alam atau budaya) 2. Estetika dan keaslian 3. Atraksi 4. Fasilitas pendukung 5. Letak dari jalan utama 6. Akses dan transportasi 7. Dukungan dan partisipasi masyarakat Penutupan Lahan: 1. Hutan alam 2. Hutan sekunder 3. Perkebunan 4. Pertanian lahan kering campur semak 5. Sawah 6. Savana/semak
0.1250
100 77.5 55 32.5 10
12.5000
0.1250 100 82 64 46 18 10
10.2500
….lanjutan Lampiran 7 Hasil pembobobtan indeks kesesuaian calon TAHURA …..lanjutan Tabel Hasil Penilaian dengan bobot yang seimbang untuk tiap indikator yakni 0,1250 No Kriteria Indikator Variabel Bobot Skor II Sosekbud 3 Masyarakat dan 1. Jumlah penduduk (jiwa)/ 0.1250 100
Tot Skor
lingkungan
kepadatan penduduk (jiwa/km2)
… … 79.7
9.9625
… … 10 100 70 50 10 100 70 50 10 100 70 50 10
2. Tata guna tanah / perencanaan
3. Tingkat pendidikan
4. Mata pencaharian penduduk
4
Potensi fasilitas umum
Jumlah 3 1. Prasarana : kantor pos, telepon umum, puskesmas, wartel dlll
0.5000
Indeks Sosekbud (IS) = 18.2453 Indeks Kesesuaian (IK) = 37.9328
Lampiran 8 Hasil analisis spasial Tabel 1 Hasil Reklasifikasi_1 Fungsi Hutan Reklasifikasi_1 No Desa Hutan Lindung Hutan Non Lindung I Kecamatan Tondon 1 Tondon 753.591 2 Tondon Langi 16.622 476.743 3 Tondon Matallo 1.621 538.251 4 Tondon Siba'ta 2.859 684.874 Jumlah I 21.102 2,453.459 II Kecamatan Nanggala 1 Basokan 0.632 3.57 2 Karre Limbong 549.22 1913.214 3 Karre Penanian 68.256 1036.423 4 Lilikira 56.519 848.874 5 Nanggala 62.397 824.429 6 Nanggala Sangpiak Salu 8.825 1110.183 7 Nanna Nanggala 34.417 545.148 8 Rante 6.244 761.501 9 Tandung Nanggala 90.122 1193.559 Jumlah II 876.632 8,236.901
1.2500
6.2500 7.4906
0.1250
2. Saranan penunjang: rumah makan, bank, dll
Jumlah 4 Jumlah II
12.5000
Total 753.591 493.365 539.872 687.733 2,474.561 4.202 2,462.434 1,104.679 905.393 886.826 1,119.008 579.565 767.745 1,283.681 9,113.533
100 67.5 55 32.5 10 100 67.5 55 32.5 10
8.4375
4.0625 6.2500 36.4906
Total (I + II)
897.734
10,690.360
Tabel 2 Hasil Reklasifikasi_2 Fungsi Hutan Reklasifikasi_2 No Desa Hutan Lindung Hutan Non Lindung I Kecamatan Tondon 1 Tondon 192.491 561.1 2 Tondon Langi 160.774 332.591 3 Tondon Matallo 63.687 476.185 4 Tondon Siba'ta 117.073 570.66 Jumlah I 534.025 1,940.536 II Kecamatan Nanggala 1 Basokan 1.638 2.564 2 Karre Limbong 1051.328 1411.106 3 Karre Penanian 304.381 800.298 4 Lilikira 284.204 621.189 5 Nanggala 176.312 710.514 6 Nanggala Sangpiak Salu 300.887 818.121 7 Nanna Nanggala 154.963 424.602 8 Rante 192.253 575.492 9 Tandung Nanggala 478.712 804.969 Jumlah II 2,944.678 6,168.855 Total (I + II) 3,478.703 8,109.391
11,588.094
Total 753.591 493.365 539.872 687.733 2,474.561 4.202 2,462.434 1,104.679 905.393 886.826 1,119.008 579.565 767.745 1,283.681 9,113.533 11,588.094
Tabel 3 Hasil TGHK Fungsi Hutan TGHK Hutan Lindung APL I Kecamatan Tondon 1 Tondon 753.591 2 Tondon Langi 166.792 326.573 3 Tondon Matallo 539.872 4 Tondon Siba'ta 687.733 Jumlah I 166.792 2,307.769 II Kecamatan Nanggala 1 Basokan 0.639 3.563 2 Karre Limbong 1480.057 982.377 3 Karre Penanian 399.185 705.494 4 Lilikira 248.124 657.269 5 Nanggala 639.392 247.434 6 Nanggala Sangpiak Salu 13.908 1105.1 7 Nanna Nanggala 463.809 115.756 8 Rante 767.745 9 Tandung Nanggala 586.917 696.764 Jumlah II 3,832.031 5,281.502 Total (I + II) 3,998.823 7,589.271
No
Desa
Total 753.591 493.365 539.872 687.733 2,474.561 4.202 2,462.434 1,104.679 905.393 886.826 1,119.008 579.565 767.745 1,283.681 9,113.533 11,588.094
……lanjutan Lampiran 8 Hasil analisis spasial Tabel 4 Fungsi hutan untuk calon TAHURA sebelum deliniasi Fungsi Hutan Untuk TAHURA sebelum deliniasi No Desa Hutan Calon TAHURA Calon TAHURA Lindung utama lain I Kecamatan Tondon 1 Tondon 753.591 2 Tondon Langi 30.089 136.703 326.573
Total
753.591 493.365
3 Tondon Matallo 4 Tondon Siba'ta Jumlah I 30.089 II Kecamatan Nanggala 1 Basokan 0.632 2 Karre Limbong 688.653 3 Karre Penanian 49.927 4 Lilikira 103.488 5 Nanggala 100.537 6 Nanggala Sangpiak Salu 4.628 7 Nanna Nanggala 130.789 8 Rante 9 Tandung Nanggala 204.619 Jumlah II 1,283.273 Total (I + II) 1,313.362
136.703 0.007 791.404 349.258 144.636 538.855 9.28 333.02 382.298 2,548.758 2,685.461
539.872 687.733 2,307.769
539.872 687.733 2,474.561
3.563 982.377 705.494 657.269 247.434 1105.1 115.756 767.745 696.764 5,281.502 7,589.271
4.202 2,462.434 1,104.679 905.393 886.826 1,119.008 579.565 767.745 1,283.681 9,113.533 11,588.094
Tabel 5 Fungsi hutan untuk calon TAHURA sesudah deliniasi Fungsi Hutan Untuk TAHURA sesudah deliniasi No Desa Hutan Calon TAHURA Calon TAHURA Lindung utama lain I Kecamatan Tondon 1 Tondon 753.591 2 Tondon Langi 166.792 326.573 3 Tondon Matallo 539.872 4 Tondon Siba'ta 687.733 Jumlah I 166.792 2,307.769 II Kecamatan Nanggala 1 Basokan 0.639 3.563 2 Karre Limbong 1270.049 210.008 982.377 3 Karre Penanian 399.185 705.494 4 Lilikira 248.124 657.269 5 Nanggala 53.801 585.591 247.434 6 Nanggala Sangpiak Salu 13.908 1105.1 7 Nanna Nanggala 418.295 45.514 115.756 8 Rante 767.745 9 Tandung Nanggala 586.917 696.764 Jumlah II 2,577.186 1,254.845 5,281.502 Total (I + II) 2,577.186 1,421.637 7,589.271
Total
753.591 493.365 539.872 687.733 2,474.561 4.202 2,462.434 1,104.679 905.393 886.826 1,119.008 579.565 767.745 1,283.681 9,113.533 11,588.094
135 Lampiran 1 Beberapa jenis tanaman obat-obatan dan bahan makanan yang ditemui dalam calon TAHURA. 1. Poringa Kegunaan: Obat sariawan
2. Balintoto/Henslowia frutescens Kegunaan: Obat untuk kencing darah
3. Lapin Manuk /Glohidion sp
4. Loko’ atau langkan-langkan /Drynaria quersifolia
5. Kapa’-kapa’ Kegunaan: Obat bronhitis
6. Markisa Kegunaan: Pucuk daun sebagai obat diare
7. Botto’ /Harendong (Sunda) Kegunaan: Untuk bahan campuran daging agar tahan lama (tidak basi) saat dimasak
8. Sissing lampa / Paku-pakuan /Paku tanduk Kegunaan: Obat diare (dimasak dengan siput)
136 9. Kambola / Zingiber sp Kegunaan: Bahan masakan ikan air tawar, obat sariawan (direbus)
10 Utan lepo Kegunaan: Obat cacing kecil, sayur
11. Rariang Kegunaan : untuk bahan sambel
12. Suke-suke bombo/Nepenthes sp Kegunaan: Air dalam kantong untuk obat anak yang sering kecing malam (ngompol)
13. Balole atau Ficus sp Kegunaan : getahnya untuk membekukan susu hasil perahan
14. Induk / Caryota mitis. Kegunaan: Diambil niranya sebagai minuman yang disebut tuak
137 …….. lanjutan Lampiran 1 Beberapa jenis tanaman hias dalam kawasan hutan lindung Nanggala 1. Danga-danga Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
2. Kantirrik/ Spatodea campanulata
3. Kalosi seba /Palmae
4. Kating Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
.
5.
Kaliolong (Pinanga sp) Arec. Habitat : Tanah sedikit berhumus, agak terlindung, 1100 m dpl
6. Pune’ Bo’bo’ /Cyathea contaminans Habitat: Tanah miring, dekat mata air, 950 m dpl
7. Pune’ Batu (suku Polyp.) Habitat: Tanah sedikit berhumus, terlindung, 950 m dpl
138 8. Lasuna deata/Liparis sp Habitat: Tanah lembab, atau efifit, terlindung, 1050 m dpl
10. Pakin-pakin/Pteris sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1000 m dpl
9. Rhododendron sp Habitat: tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
11. Kaluppini / Lycopodium sp Habitat: Epipit pada Cyanthea, 950 m dpl
12. Popuasedrus sp
13. Suke-suke bombo/Nepenthes sp
14. Silli /pandan hutan/ Pandanus sp
15. Potok seba
16. Uwe /Calamus sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1050 m dpl
139 …….. lanjutan Lampiran 1 Beberapa jenis tanaman hias dalam kawasan hutan lindung Nanggala 1. Danga-danga Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
2. Kantirrik/ Spatodea campanulata
3. Kalosi seba /Palmae
4. Kating Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
.
5.
Kaliolong (Pinanga sp) Arec. Habitat : Tanah sedikit berhumus, agak terlindung, 1100 m dpl
6. Pune’ Bo’bo’ /Cyathea contaminans Habitat: Tanah miring, dekat mata air, 950 m dpl
7. Pune’ Batu (suku Polyp.) Habitat: Tanah sedikit berhumus, terlindung, 950 m dpl
140 8. Lasuna deata/Liparis sp Habitat: Tanah lembab, atau efifit, terlindung, 1050 m dpl
10. Pakin-pakin/Pteris sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1000 m dpl
9. Rhododendron sp Habitat: tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
11. Kaluppini / Lycopodium sp Habitat: Epipit pada Cyanthea, 950 m dpl
12. Popuasedrus sp
13. Suke-suke bombo/Nepenthes sp
14. Silli /pandan hutan/ Pandanus sp
15. Potok seba
16. Uwe /Calamus sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1050 m dpl
141 …….. lanjutan Lampiran 1 Beberapa jenis vegetasi pohon dalam kawasan hutan lindung Nanggala 1. Balole atau Ficus sp Kegunaan : getahnya untuk membekukan susu hasil perahan
2. Kadinge/ Cinnamomum sintoc Kayu bahan ramuan rumah
3. Nangka-nangka Kayu bahan ramuan rumah
4. Asa / Castanopsis buruana Kayu bahan ramuan rumah
5. Tariwan /Fragraea elliptica Kayu Kelas I untuk bahan bangunan
6. Betau/ Callophylum sp Kayu untuk bahan bangunan
142 7. Panopi Batang untuk pernis
8. Bongli /Aralia sp. Habitat : Tanah miring, agak terbuka, 1100 m dpl Simbol untuk pesta rambu solok (kematian) dengan acara besar. Minimal kerbau yang dipotong paling kurang 7 ekor
9. Bakan /Litsea firma Bahan bangunan, kelas 3
10.
Uru batu / Ermerillia sp Bahan bangunan
11. Rinni-rinni Bahan bangunan, kelas 3
12.
Pao-pao / Haplolbus celebicus Bahan bangunan
137 …….. lanjutan Lampiran 1 Beberapa jenis tanaman hias dalam kawasan hutan lindung Nanggala 1. Danga-danga Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
2. Kantirrik/ Spatodea campanulata
3. Kalosi seba /Palmae
4. Kating Habitat : Tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
.
5.
Kaliolong (Pinanga sp) Arec. Habitat : Tanah sedikit berhumus, agak terlindung, 1100 m dpl
6. Pune’ Bo’bo’ /Cyathea contaminans Habitat: Tanah miring, dekat mata air, 950 m dpl
7. Pune’ Batu (suku Polyp.) Habitat: Tanah sedikit berhumus, terlindung, 950 m dpl
138 8. Lasuna deata/Liparis sp Habitat: Tanah lembab, atau efifit, terlindung, 1050 m dpl
10. Pakin-pakin/Pteris sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1000 m dpl
9. Rhododendron sp Habitat: tanah miring, agak terlindung, 900 m dpl
11. Kaluppini / Lycopodium sp Habitat: Epipit pada Cyanthea, 950 m dpl
12. Popuasedrus sp
13. Suke-suke bombo/Nepenthes sp
14. Silli /pandan hutan/ Pandanus sp
15. Potok seba
16. Uwe /Calamus sp Habitat: tanah berhumus, terlindung, 1050 m dpl
139 …….. lanjutan Lampiran 1 Beberapa jenis vegetasi pohon dalam kawasan hutan lindung Nanggala 1. Balole atau Ficus sp Kegunaan : getahnya untuk membekukan susu hasil perahan
2. Kadinge/ Cinnamomum sintoc Kayu bahan ramuan rumah
3. Nangka-nangka Kayu bahan ramuan rumah
4. Asa / Castanopsis buruana Kayu bahan ramuan rumah
5. Tariwan /Fragraea elliptica Kayu Kelas I untuk bahan bangunan
6. Betau/ Callophylum sp Kayu untuk bahan bangunan
140 7. Panopi Batang untuk pernis
8. Bongli /Aralia sp. Habitat : Tanah miring, agak terbuka, 1100 m dpl Simbol untuk pesta rambu solok (kematian) dengan acara besar. Minimal kerbau yang dipotong paling kurang 7 ekor
9. Bakan /Litsea firma Bahan bangunan, kelas 3
10.
Uru batu / Ermerillia sp Bahan bangunan
11. Rinni-rinni Bahan bangunan, kelas 3
12.
Pao-pao / Haplolbus celebicus Bahan bangunan
…….lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi II. Hasil Anveg untuk empat jalur yang dibuat dalam blok pengelolaan calon TAHURA utama Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Ukuran plot : 20 x 20 m Jumlah sub plot tiap plot : 5 sub plot No plot/ Jenis Jumlah Jlh plot Kerapatan No jns veg Nama daerah pohon ditemukan ( phn/ha) I 1 Asa 7 3 17.50 2 Bakan 2 1 5.00 3 Betau 3 3 7.50 4 Ampak 1 1 2.50 5 Kayu riri 3 2 7.50 6 Kole 5 4 12.50 7 Letok 1 1 2.50 8 Uru 3 2 7.50 Jumlah 25.00 17.00 62.50 II 3 1 7.50 1 Ampak 2 Bakan 3 2 7.50 3 Betau 3 1 7.50 4 Lebani 2 1 5.00 5 Pali 4 3 10.00 15.00 8.00 37.50 III 1 Ampak 4 2 10.00 2 Bakan 3 2 7.50 3 Kalameno 2 2 5.00 4 Damar 1 3 2.50 8 4 20.00 5 Asa 6 Pao-pao 4 2 10.00 7 Kole 5 4 12.50 5 4 12.50 8 Pali 9 Uru 3 3 7.50 35.00 26.00 87.50
KR %
Frekuensi
FR %
LBDS 2
(m )
Dominansi
DR %
INP
Ket
28.00 8.00 12.00 4.00 12.00 20.00 4.00 12.00 100.00
0.60 0.20 0.60 0.20 0.40 0.80 0.20 0.40 3.40
17.65 5.88 17.65 5.88 11.76 23.53 5.88 11.76 100.00
0.2471 0.6307 0.9133 0.3143 0.1195 0.6128 0.2983 1.2258 4.3618
0.68 1.74 2.52 0.87 0.33 1.69 0.82 3.39 12.06
5.66 51.31 14.45 28.34 20.93 50.58 7.20 17.09 2.74 26.50 14.04 57.57 6.84 16.72 28.09 51.86 99.97 299.97
Bataragoa
20.00 20.00 20.00 13.33 26.67 100.00
0.20 0.40 0.20 0.20 0.60 1.60
12.50 25.00 12.50 12.50 37.50 100.00
0.8058 3.2742 2.2360 1.8319 1.1443 9.2922
2.01 8.19 5.59 4.58 2.86 23.23
8.67 41.17 35.24 80.24 24.06 56.56 19.71 45.55 12.31 76.48 100.00 300.00
Langi
11.43 8.57 5.71 2.86 22.86 11.43 14.29 14.29 8.57 100.00
0.40 0.40 0.40 0.60 0.80 0.40 0.80 0.80 0.60 5.20
7.69 7.69 7.69 11.54 15.38 7.69 15.38 15.38 11.54 100.00
0.8058 3.9833 2.8217 3.2698 0.6128 0.2983 2.5120 3.8282 8.1212 26.2531
2.01 9.96 7.05 8.17 1.53 0.75 6.28 9.57 20.30 65.63
3.07 22.19 15.17 31.44 10.75 24.16 12.46 26.85 2.33 40.58 1.14 20.26 9.57 39.24 14.58 44.25 30.94 51.05 100.00 300.00
Basokan
….lanjutan Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon No plot/ Jenis Jumlah Jlh plot Kerapatan No jns phn Nama daerah pohon ditemukan ( phn/ha) IV 3 1 7.50 1 Ampak 2 Betau 3 3 7.50 3 Sirak 4 1 10.00 4 Buangin 1 1 2.50 5 Dambu-dambu 4 2 10.00 6 Kole 3 3 7.50 7 Lebani 4 1 10.00 8 Letok 5 2 12.50 9 Pali 3 1 7.50 10 Tariwan 4 2 10.00 34.00 17.00 85.00
…….lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi
KR % 8.82 8.82 11.76 2.94 11.76 8.82 11.76 14.71 8.82 11.76 100.00
Frekuensi
0.20 0.60 0.20 0.20 0.40 0.60 0.20 0.40 0.20 0.40 3.40
FR %
LBDS 2 (m )
5.88 17.65 5.88 5.88 11.76 17.65 5.88 11.76 5.88 11.76 100.00
0.8058 3.0678 14.4508 0.6146 0.1353 0.9687 2.9629 2.5186 11.1936 3.3574 40.0755
Dominansi
2.01 7.67 36.13 1.54 0.34 2.42 7.41 6.30 27.98 8.39 100.19
DR %
INP
2.01 16.72 7.65 34.13 36.06 53.71 1.53 10.36 0.34 23.87 2.42 28.89 7.39 25.04 6.28 32.76 27.93 42.64 8.38 31.91 100.00 300.00
Ket Sapan
II. Hasil Anveg untuk empat jalur yang dibuat dalam blok pengelolaan calon TAHURA utama Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Tiang Ukuran plot : 10 x 10 m Jumlah sub plot tiap plot : 5 sub plot No jalur/ Jenis Jumlah Jlh plot Kerapatan No jns veg Nama daerah tiang ditemukan ( phn/ha) I 1 Ampak 4 3 40.00 2 Betau 2 1 20.00 3 Buangin 2 2 20.00 4 Kole 5 4 50.00 5 Malapare 6 4 60.00 6 Asa 5 3 50.00 7 Lebani 5 3 50.00 Palli 3 1 30.00 8 Jumlah 32.00 21.00 320.00 II 5 5 50.00 1 Asa 2 Sirak 3 3 30.00 3 Betau 1 1 10.00 4 Dambu-dambu 5 3 50.00 5 Lebani 3 1 30.00 6 Kaliolong 1 1 10.00 7 Palli 3 3 30.00 8 Uru 2 2 20.00 Jumlah 23.00 19.00 230.00 III 1 Aropi 2 1 20.00 3 2 30.00 2 Bakan 3 Palli 3 1 30.00 4 Asa 5 4 50.00 5 Dambu-dambu 4 2 40.00 6 Balole 3 3 30.00 Jumlah 20.00 13.00 200.00
KR %
Frekuensi
FR %
LBDS 2
(m )
Dominansi
DR %
INP
Ket
12.50 6.25 6.25 15.63 18.75 15.63 15.63 9.38 100.00
0.60 0.20 0.40 0.80 0.80 0.60 0.60 0.20 4.20
14.29 4.76 9.52 19.05 19.05 14.29 14.29 4.76 100.00
0.1072 0.6612 0.1909 0.5540 0.5134 0.4283 0.7313 0.8039 3.9902
1.07 6.61 1.91 5.54 5.13 4.28 7.31 8.04 39.90
2.69 29.47 16.57 27.58 4.78 20.56 13.88 48.56 12.87 50.66 10.73 40.65 18.33 48.24 20.15 34.28 100.01 300.01
Bataragoa
21.74 13.04 4.35 21.74 13.04 4.35 13.04 8.70 100.00
1.00 0.60 0.20 0.60 0.20 0.20 0.60 0.40 3.80
26.32 15.79 5.26 15.79 5.26 5.26 15.79 10.53 100.00
0.5680 0.8538 1.2087 0.8171 0.9332 0.5134 1.0792 0.9898 6.9632
5.68 8.54 12.09 8.17 9.33 5.13 10.79 9.90 69.63
8.16 56.21 12.26 41.09 17.36 26.97 11.73 49.26 13.40 31.71 7.37 16.98 15.50 44.33 14.22 33.44 100.00 300.00
Langi
10.00 15.00 15.00 25.00 20.00 15.00 100.00
0.20 0.40 0.20 0.80 0.40 0.60 2.60
7.69 15.38 7.69 30.77 15.38 23.08 100.00
0.0314 0.1041 0.6980 0.0360 0.0119 0.4241 1.3055
0.31 1.04 6.98 0.36 0.12 4.24 13.06
2.40 20.10 7.97 38.36 53.45 76.14 2.76 58.53 0.91 36.30 32.47 70.55 99.96 299.96
Basokan
…Lanjutan Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang No jalur/ No jns veg IV 1 2 3 4 5
Jenis Nama daerah Aropi Bakan Lebani Dambu-dambu Asa Jumlah
Jumlah tiang
Jlh plot ditemukan
Kerapatan ( phn/ha)
2 1 2 3 1 9.00
2 1 2 3 1 9.00
20.00 10.00 20.00 30.00 10.00 90.00
KR % 22.22 11.11 22.22 33.33 11.11 100.00
Frekuensi
0.40 0.20 0.40 0.60 0.20 1.80
FR % 22.22 11.11 22.22 33.33 11.11 100.00
…….lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi II. Hasil Anveg untuk empat jalur yang dibuat dalam blok pengelolaan calon TAHURA utama
LBDS 2
(m ) 0.0706 0.7618 0.1775 0.2286 0.3498 1.5883
Dominansi
0.71 7.62 1.78 2.29 3.50 15.88
DR %
INP
4.45 48.89 47.97 70.19 11.18 55.62 14.40 81.06 22.03 44.25 100.02 300.02
Ket Sapan
Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Ukuran plot : 5 x 5 m Jumlah sub plot tiap plot : 5 sub plot No jalur/ Jenis Jlh Jlh plot Kerapatan KR FR Frekuensi No jns veg Pancang pancang ditemukan ( phn/ha) % % I 2 3 80.00 11.11 0.10 10.31 1 Bakan 3 3 120.00 16.67 0.10 10.31 2 Kole 5 8 200.00 27.78 0.27 27.49 3 Asa 3 5 120.00 16.67 0.17 17.18 4 Kole 3 6 120.00 16.67 0.20 20.62 5 Palli 2 4 80.00 11.11 0.13 13.75 6 Uru Jumlah 18.00 29.00 720.00 100.00 0.97 99.66 II 2 3 80.00 18.18 0.10 17.54 1 Ampak 4 4 160.00 36.36 0.13 23.39 2 Asa 2 3 80.00 18.18 0.10 17.54 3 Bakan 1 3 40.00 9.09 0.10 17.54 4 Palli 5 Kole 1 3 40.00 9.09 0.10 17.54 1 1 40.00 9.09 0.03 5.85 6 Tariwan Jumlah 11.00 17.00 440.00 100.00 0.57 99.42 III 1 1 40.00 6.67 0.03 4.76 1 Ampak 2 3 80.00 13.33 0.10 14.29 2 Dambu-dambu 1 1 40.00 6.67 0.03 4.76 3 Bakan 4 5 160.00 26.67 0.17 23.81 4 Asa 2 3 80.00 13.33 0.10 14.29 5 Kole 2 4 80.00 13.33 0.13 19.05 6 Kayu riri 3 4 120.00 20.00 0.13 19.05 7 Kalameno Jumlah 15.00 21.00 600.00 100.00 0.70 100.00 IV 5 7 200.00 35.71 0.23 30.30 1 Asa 2 3 80.00 14.29 0.10 12.99 2 Bakan 1 3 40.00 7.14 0.10 12.99 3 Dambu-dambu 3 3 120.00 21.43 0.10 12.99 4 Kalameno 1 2 40.00 7.14 0.07 8.66 5 Letok 6 Kaliolong 1 3 40.00 7.14 0.10 12.99 1 2 40.00 7.14 0.07 8.66 7 Uru Jumlah 14.00 23.00 560.00 100.00 0.77 99.57 …….lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi II. Hasil Anveg untuk empat jalur yang dibuat dalam blok pengelolaan calon TAHURA utama
INP
Ket
21.42 26.98 55.27 33.85 37.29 24.86 199.66
Bataragoa
35.73 59.76 35.73 26.63 26.63 14.94 199.42
Langi
11.43 27.62 11.43 50.48 27.62 32.38 39.05 200.00
Basokan
66.02 27.27 20.13 34.42 15.80 20.13 15.80 199.57
Sapan
Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Anakan Ukuran plot : 2 x 2 m Jumlah sub plot tiap plot : 5 sub plot No jalur/ Jenis Jlh Jlh plot Kerapatan No jns veg anakan anakan ditemukan ( phn/ha) I 8 3 2,000 1 Ampak 7 4 1,750 2 Bakan 3 4 750 3 Kadinge 4 3 1,000 4 Damar 5 2 1,250 5 Pao-pao 5 4 1,250 6 Dengen 6 2 1,500 7 Kole 4 1 1,000 8 Malapare 5 2 1,250 9 Rinni-rinni 9 3 2,250 10 Ledan 6 2 1,500 11 Lada-lada 7 4 1,750 12 Pali 7 3 1,750 13 Uru Jumlah 76 37 19,000 II 6 3 1,500 1 Ampak 5 2 1,250 2 Bakan 5 3 1,250 3 Lemo-lemo 7 4 1,750 4 Lada-lada 4 1 1,000 5 Asa 5 3 1,250 6 Kole 8 5 2,000 7 Ampak 10 5 2,500 8 Kopi-kopian 14 5 3,500 9 Pali Jumlah 64 31 16,000 III 3 2 750 1 Balole 5 3 1,250 2 Kantirrik 7 5 1,750 3 Buangin 10 5 2,500 4 Kole 9 3 2,250 5 Lada-lada 6 2 1,500 6 Asa 4 3 1,000 7 Pali' 6 4 1,500 8 Uru Jumlah 50 27 12,500 IV 6 3 1,500 1 Asa
KR %
Frekuensi
FR %
INP
Ket
10.53 9.21 3.95 5.26 6.58 6.58 7.89 5.26 6.58 11.84 7.89 9.21 9.21 100.00
0.60 0.80 0.80 0.60 0.40 0.80 0.40 0.20 0.40 0.60 0.40 0.80 0.60 7.40
8.11 10.81 10.81 8.11 5.41 10.81 5.41 2.70 5.41 8.11 5.41 10.81 8.11 100.00
18.63 20.02 14.76 13.37 11.98 17.39 13.30 7.97 11.98 19.95 13.30 20.02 17.32 200.00
Bataragoa
9.38 7.81 7.81 10.94 6.25 7.81 12.50 15.63 21.88 100.00
0.60 0.40 0.60 0.80 0.20 0.60 1.00 1.00 1.00 6.20
9.68 6.45 9.68 12.90 3.23 9.68 16.13 16.13 16.13 100.00
19.05 14.26 17.49 23.84 9.48 17.49 28.63 31.75 38.00 200.00
Langi
6.00 10.00 14.00 20.00 18.00 12.00 8.00 12.00 100.00
0.40 0.60 1.00 1.00 0.60 0.40 0.60 0.80 5.40
7.41 11.11 18.52 18.52 11.11 7.41 11.11 14.81 100.00
13.41 21.11 32.52 38.52 29.11 19.41 19.11 26.81 200.00
Basokan
12.50
0.60
11.54
24.04
Sapan
2 3 4 5 6 7
Bakan Letok Kole Pao-pao Tariwan Uru Jumlah
4 7 5 7 5 7 41
2 3 3 5 3 3 22
1,000 1,750 1,250 1,750 1,250 1,750 10,250
8.33 14.58 10.42 14.58 10.42 14.58 85.42
0.40 0.60 0.60 1.00 0.60 0.60 4.40
7.69 11.54 11.54 19.23 11.54 11.54 84.62
16.03 26.12 21.96 33.81 21.96 26.12 170.03
141
…Lanjutan Lampiran 2 III Habitat beberapa vegetasi yang ditemui dalam analisis vegetasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama daerah Ampak Asa Bakan Betau Betau busa Balole Buangin Bu'bu Bura-bura bo'bok Damar Dambu-dambu Gola-gola Kadinge' Kalameno Kalumpang seba Kaniki Karirang Karoangin Kayu riri Kole Kotu Kuse-kuse pangala Lebani Letok Lemo-lemo Malapare Pali' Pao-pao Po'pong pangala Sirak Tariwan Uru Uwe Jumlah
Jenis Nama Latin Evodia sp Castanopsis buruana Litsea firma Callophyllum sp Callophyllum sp Ficus sp Casuarina junghuniana Elaocarpus spp
Suku Rutaceae Curculionoidea Lauracea Guttaceae Guttaceae Moracea Casuarinaceae Tillaceae
Agathis sp Syzigium sp
Araucariacea Mytraceae
Cinnamomum sintoc Pinanga sp Sterculia sp Paratrophis glabra
Lauracea Arecaceae Sterculiaceae Moracea
Podocarpus neriifolius
Podocarpaceae
Ilex sp
Aquiferaceae
Saurauia sp Gardenia sp Planchonia sp Garcinia sp
Actiaceae Rubiacea Lecythaceae Clusaceae
Quercus manadoensis Haplolbus celebicus
Fagaceae Burscaceae
Fragraea elliptica Elmerrillia sp Calamus sp
Logaceae Magnoliaceae Arecaceae
I. Hasil Anveg untuk keseluruhan plot yang dibuat dalam calon TAHURA
Habitat Tanah miring, agak terbuka, 1100 m dpl
Tanah miring, agak terbuka, 1050 m dpl
Tanah berbatu, terbuka, 1000 m dpl Tanah miring, dekat jalan, terbuka, 900 m dpl Tanah berhumus, terlindung 1150 m dpl
Tanah berhumus, terlindung 1050 m dpl Tanah berhumus, agak terlindung, 900 m dpl Tanah miring, terbuka, 1150 m dpl
Tanah berhumus, agak terlindung 1000 m dpl
141 Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Ukuran plot : 20 x 20 m Jumlah plot : 30 plot Jenis Jumlah No Nama daerah pohon 1 Ampak 11 2 Asa 49 3 Bakan 9 4 Betau 10 5 Betau busa 1 6 Buangin 1 7 Bu'bu 1 8 Bura-bura bo'bok 1 9 Damar 1 10 Dambu-dambu 5 11 Gola-gola 3 12 Kalameno 2 13 Kalumpang seba 1 14 Kaniki 1 15 Karirang 1 16 Karoangin 1 17 Kayu riri 5 18 Kole 13 19 Kotu 1 20 Kuse-kuse pangala 1 21 Lebani 6 22 Letok 7 23 Malapare 1 24 Pali' 16 25 Pao-pao 6 26 Po'pong pangala 2 27 Sirak 5 28 Tariwan 4 29 Uru 6 Jumlah 171
….. Lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi
Jlh plot ditemukan 5 16 6 10 1 1 1 1 1 5 3 2 1 1 1 1 4 11 1 1 2 4 1 12 4 1 2 2 5
Kerapatan ( phn/ha) 27.50 122.50 22.50 25.00 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 12.50 7.50 5.00 2.50 2.50 2.50 2.50 12.50 32.50 2.50 2.50 15.00 17.50 2.50 40.00 15.00 5.00 12.50 10.00 15.00 427.50
KR Frekuensi % 6.43 0.17 28.65 0.53 5.26 0.20 5.85 0.33 0.58 0.03 0.58 0.03 0.58 0.03 0.58 0.03 0.58 0.03 2.92 0.17 1.75 0.10 1.17 0.07 0.58 0.03 0.58 0.03 0.58 0.03 0.58 0.03 2.92 0.13 7.60 0.37 0.58 0.03 0.58 0.03 3.51 0.07 4.09 0.13 0.58 0.03 9.36 0.40 3.51 0.13 1.17 0.03 2.92 0.07 2.34 0.07 3.51 0.17 100.00 3.53
FR % 4.72 15.09 5.66 9.43 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 4.72 2.83 1.89 0.94 0.94 0.94 0.94 3.77 10.38 0.94 0.94 1.89 3.77 0.94 11.32 3.77 0.94 1.89 1.89 4.72 100.00
LBDS Dominansi (m2) 2.7317 6.83 3.9652 9.91 7.9844 19.96 6.2517 15.63 0.0380 0.09 0.6146 1.54 0.0615 0.15 0.0380 0.09 3.2698 8.17 0.1844 0.46 0.1514 0.38 2.8217 7.05 0.0531 0.13 0.0380 0.09 0.0707 0.18 0.0907 0.23 0.1955 0.49 4.0935 10.23 0.0962 0.24 0.0415 0.10 4.7948 11.99 2.8515 7.13 0.0346 0.09 16.7431 41.86 0.4303 1.08 0.1614 0.40 14.7825 36.96 3.3574 8.39 9.3470 23.37 85.2941 213.24
DR % 3.20 4.65 9.36 7.33 0.04 0.72 0.07 0.04 3.83 0.22 0.18 3.31 0.06 0.04 0.08 0.11 0.23 4.80 0.11 0.05 5.62 3.34 0.04 19.63 0.50 0.19 17.33 3.94 10.96 100.00
INP 14.35 48.40 20.28 22.61 1.57 2.25 1.60 1.57 5.36 7.86 4.76 6.36 1.59 1.57 1.61 1.63 6.93 22.78 1.64 1.58 11.02 11.21 1.57 40.31 7.79 2.30 22.14 8.16 19.18 300.00
141 I. Hasil Anveg untuk keseluruhan plot yang dibuat dalam calon TAHURA Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Tiang Ukuran plot : 10 x 10 m Jumlah plot : 30 plot No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Jenis Tiang
Jlh tiang
Ampak Aropi Asa Asing-asing pangala Bakan Balole Betau Buangin Dambu-dambu Gola-gola Kadinge' Kaliolong Karese Karongian Kayu riri Kole Lada-lada Lebani Lemo-lemo Le'tok Malapare Pali' Rame Sirak Te'dokan Uru Jumlah
….. Lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi
Jlh plot ditemukan 4 4 17 3 6 3 4 2 15 1 2 1 1 1 3 5 1 10 1 3 6 10 1 3 3 2 112
3 3 13 2 5 3 3 2 11 1 2 1 1 1 2 4 1 6 1 3 4 6 1 3 3 2
Kerapatan ( phn/ha) 40.00 40.00 170.00 30.00 60.00 30.00 40.00 20.00 150.00 10.00 20.00 10.00 10.00 10.00 30.00 50.00 10.00 100.00 10.00 30.00 60.00 100.00 10.00 30.00 30.00 20.00 1,120.00
KR Frekuensi % 3.57 0.10 3.57 0.10 15.18 0.43 2.68 0.07 5.36 0.17 2.68 0.10 3.57 0.10 1.79 0.07 13.39 0.37 0.89 0.03 1.79 0.07 0.89 0.03 0.89 0.03 0.89 0.03 2.68 0.07 4.46 0.13 0.89 0.03 8.93 0.20 0.89 0.03 2.68 0.10 5.36 0.13 8.93 0.20 0.89 0.03 2.68 0.10 2.68 0.10 1.79 0.07 100.00 2.90
FR % 3.45 3.45 14.94 2.30 5.75 3.45 3.45 2.30 12.64 1.15 2.30 1.15 1.15 1.15 2.30 4.60 1.15 6.90 1.15 3.45 4.60 6.90 1.15 3.45 3.45 2.30 100.00
LBDS Dominansi (m2) 0.11 1.07 0.10 1.02 1.40 14.05 0.05 0.47 0.87 8.74 0.42 4.24 1.90 18.95 0.19 1.91 1.10 10.99 0.01 0.11 0.03 0.26 0.51 5.13 0.01 0.08 0.03 0.25 0.07 0.66 0.55 5.54 0.05 0.47 1.84 18.42 0.01 0.13 0.05 0.54 0.51 5.13 2.61 26.13 0.01 0.08 0.85 8.54 0.05 0.48 0.99 9.90 14.33 143.28
DR % 0.75 0.71 9.80 0.32 6.10 2.96 13.23 1.33 7.67 0.08 0.18 3.58 0.05 0.18 0.46 3.87 0.32 12.86 0.09 0.38 3.58 18.23 0.05 5.96 0.34 6.91 100.00
INP 7.77 7.73 39.93 5.30 17.20 9.09 20.25 5.42 33.70 2.12 4.26 5.63 2.10 2.22 5.44 12.93 2.37 28.68 2.13 6.50 13.54 34.06 2.10 12.09 6.46 10.99 300.00
141 I. Hasil Anveg untuk keseluruhan plot yang dibuat dalam calon TAHURA Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Ukuran plot : 5 x 5 m Jumlah plot : 30 plot No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Jenis Pancang Ampak Asa Asing-asing pangala Bakan Betau Dambu serang Dambu-dambu Durian pangala Gola-gola Kadinge balao Kaite Pangala Kalameno Kalawa pangala Kaliolong Kaniki Karongian Kayu riri Kole Kuse-kuse pangala Lada-lada Langi' bidang Lemo-lemo Letok Malapare Pali' Rame Tanete Tariwan Uru Jumlah
Jlh pancang
….. Lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi
Jlh plot ditemukan 4 27 5 10 2 2 8 1 1 2 1 7 1 3 1 1 6 14 3 3 2 1 3 2 13 1 1 3 6 134
3 21 3 7 2 2 5 1 1 1 1 6 1 1 1 1 4 9 2 2 1 1 2 2 8 1 1 2 3
Kerapatan ( phn/ha) 160.00 1,080.00 200.00 400.00 80.00 80.00 320.00 40.00 40.00 80.00 40.00 280.00 40.00 120.00 40.00 40.00 240.00 560.00 120.00 120.00 80.00 40.00 120.00 80.00 520.00 40.00 40.00 120.00 240.00 5,360.00
KR Frekuensi % 2.99 0.10 20.15 0.70 3.73 0.10 7.46 0.23 1.49 0.07 1.49 0.07 5.97 0.17 0.75 0.03 0.75 0.03 1.49 0.03 0.75 0.03 5.22 0.20 0.75 0.03 2.24 0.03 0.75 0.03 0.75 0.03 4.48 0.13 10.45 0.30 2.24 0.07 2.24 0.07 1.49 0.03 0.75 0.03 2.24 0.07 1.49 0.07 9.70 0.27 0.75 0.03 0.75 0.03 2.24 0.07 4.48 0.10 100.00 3.17
FR % 3.15 22.08 3.15 7.36 2.10 2.10 5.26 1.05 1.05 1.05 1.05 6.31 1.05 1.05 1.05 1.05 4.21 9.46 2.10 2.10 1.05 1.05 2.10 2.10 8.41 1.05 1.05 2.10 3.15 99.89
INP 6.14 42.23 6.89 14.82 3.60 3.60 11.23 1.80 1.80 2.54 1.80 11.53 1.80 3.29 1.80 1.80 8.68 19.91 4.34 4.34 2.54 1.80 4.34 3.60 18.11 1.80 1.80 4.34 7.63 199.89
141
I. Hasil Anveg untuk keseluruhan plot yang dibuat dalam calon TAHURA Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Untuk Anakan Ukuran plot : 2 x 2 m Jumlah plot : 30 plot No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Jenis Pancang Ampak Asa Asing-asing Bakan Balole Betau Bo'tok Buangin Damar Dambu-dambu Dangi bidang Dengen Dirak pangala Gola-gola Kadinge Kantirrik Kole Kopi-kopian Kuse-kuse pangala Lada-lada Ledan Lemo-lemo Letok Malapare Pali' Pao-pao Paredean Rame (tum bawah) Rana-rana Rinni-rinni Tariwan Te'dokan pangala Torini Uru Jumlah
Jlh anakan
…….lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi
Jlh plot ditemukan 22 25 3 19 6 9 1 7 4 3 1 5 1 1 6 5 26 10 2 25 9 7 8 6 25 17 1 11 2 6 5 5 1 20 304
11 11 3 9 4 4 1 5 3 2 1 4 1 1 6 3 13 5 2 11 3 5 4 3 12 9 1 2 1 1 3 3 1 10
Kerapatan ( phn/ha) 5,500.00 6,250.00 750.00 4,750.00 1,500.00 2,250.00 250.00 1,750.00 1,000.00 750.00 250.00 1,250.00 250.00 250.00 1,500.00 1,250.00 6,500.00 2,500.00 500.00 6,250.00 2,250.00 1,750.00 2,000.00 1,500.00 6,250.00 4,250.00 250.00 2,750.00 500.00 1,500.00 1,250.00 1,250.00 250.00 5,000.00 76,000.00
KR Frekuensi % 7.24 0.37 8.22 0.37 0.99 0.10 6.25 0.30 1.97 0.13 2.96 0.13 0.33 0.03 2.30 0.17 1.32 0.10 0.99 0.07 0.33 0.03 1.64 0.13 0.33 0.03 0.33 0.03 1.97 0.20 1.64 0.10 8.55 0.43 3.29 0.17 0.66 0.07 8.22 0.37 2.96 0.10 2.30 0.17 2.63 0.13 1.97 0.10 8.22 0.40 5.59 0.30 0.33 0.03 3.62 0.07 0.66 0.03 1.97 0.03 1.64 0.10 1.64 0.10 0.33 0.03 6.58 0.33 100.00 5.27
FR % 6.96 6.96 1.90 5.69 2.53 2.53 0.63 3.16 1.90 1.27 0.63 2.53 0.63 0.63 3.80 1.90 8.22 3.16 1.27 6.96 1.90 3.16 2.53 1.90 7.59 5.69 0.63 1.27 0.63 0.63 1.90 1.90 0.63 6.33 99.94
INP 14.19 15.18 2.88 11.94 4.50 5.49 0.96 5.47 3.21 2.25 0.96 4.17 0.96 0.96 5.77 3.54 16.78 6.45 1.92 15.18 4.86 5.47 5.16 3.87 15.81 11.28 0.96 4.88 1.29 2.61 3.54 3.54 0.96 12.90 199.94
141 II. Hasil Anveg untuk empat jalur yang dibuat dalam blok pengelolaan calon TAHURA utama Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Ukuran plot : 20 x 20 m Jumlah sub plot tiap plot : 5 sub plot No plot/ Jenis Jumlah No jns veg Nama daerah pohon I 1 Asa 7 2 Bakan 2 3 Betau 3 4 Ampak 1 5 Kayu riri 3 5 6 Kole 7 Letok 1 8 Uru 3 Jumlah 25.00 II 1 Ampak 3 2 Bakan 3 3 Betau 3 4 Lebani 2 5 Pali 4 15.00 III 1 Ampak 4 2 Bakan 3 2 3 Kalameno 4 Damar 1 5 Asa 8 6 Pao-pao 4 7 Kole 5 8 Pali 5 9 Uru 3 35.00
….lanjutan Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon
Jlh plot ditemukan
Kerapatan ( phn/ha)
KR %
Frekuensi
FR %
LBDS (m2)
Dominansi
DR %
INP
Ket
3 1 3 1 2 4 1 2 17.00
17.50 5.00 7.50 2.50 7.50 12.50 2.50 7.50 62.50
28.00 8.00 12.00 4.00 12.00 20.00 4.00 12.00 100.00
0.60 0.20 0.60 0.20 0.40 0.80 0.20 0.40 3.40
17.65 5.88 17.65 5.88 11.76 23.53 5.88 11.76 100.00
0.2471 0.6307 0.9133 0.3143 0.1195 0.6128 0.2983 1.2258 4.3618
0.68 1.74 2.52 0.87 0.33 1.69 0.82 3.39 12.06
5.66 14.45 20.93 7.20 2.74 14.04 6.84 28.09 99.97
51.31 Bataragoa 28.34 50.58 17.09 26.50 57.57 16.72 51.86 299.97
1 2 1 1 3 8.00
7.50 7.50 7.50 5.00 10.00 37.50
20.00 20.00 20.00 13.33 26.67 100.00
0.20 0.40 0.20 0.20 0.60 1.60
12.50 25.00 12.50 12.50 37.50 100.00
0.8058 3.2742 2.2360 1.8319 1.1443 9.2922
2.01 8.19 5.59 4.58 2.86 23.23
8.67 35.24 24.06 19.71 12.31 100.00
41.17 80.24 56.56 45.55 76.48 300.00
2 2 2 3 4 2 4 4 3 26.00
10.00 7.50 5.00 2.50 20.00 10.00 12.50 12.50 7.50 87.50
11.43 8.57 5.71 2.86 22.86 11.43 14.29 14.29 8.57 100.00
0.40 0.40 0.40 0.60 0.80 0.40 0.80 0.80 0.60 5.20
7.69 7.69 7.69 11.54 15.38 7.69 15.38 15.38 11.54 100.00
0.8058 3.9833 2.8217 3.2698 0.6128 0.2983 2.5120 3.8282 8.1212 26.2531
2.01 9.96 7.05 8.17 1.53 0.75 6.28 9.57 20.30 65.63
3.07 15.17 10.75 12.46 2.33 1.14 9.57 14.58 30.94 100.00
22.19 Basokan 31.44 24.16 26.85 40.58 20.26 39.24 44.25 51.05 300.00
Langi
141 No plot/ Jenis No jns phn Nama daerah IV 1 Ampak 2 Betau 3 Sirak 4 Buangin 5 Dambu-dambu 6 Kole 7 Lebani 8 Letok 9 Pali 10 Tariwan
Jumlah pohon
…….lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi
Jlh plot ditemukan 3 3 4 1 4 3 4 5 3 4 34.00
1 3 1 1 2 3 1 2 1 2 17.00
Kerapatan ( phn/ha) 7.50 7.50 10.00 2.50 10.00 7.50 10.00 12.50 7.50 10.00 85.00
KR % 8.82 8.82 11.76 2.94 11.76 8.82 11.76 14.71 8.82 11.76 100.00
Frekuensi 0.20 0.60 0.20 0.20 0.40 0.60 0.20 0.40 0.20 0.40 3.40
FR % 5.88 17.65 5.88 5.88 11.76 17.65 5.88 11.76 5.88 11.76 100.00
LBDS (m2) 0.8058 3.0678 14.4508 0.6146 0.1353 0.9687 2.9629 2.5186 11.1936 3.3574 40.0755
Dominansi 2.01 7.67 36.13 1.54 0.34 2.42 7.41 6.30 27.98 8.39 100.19
DR % 2.01 7.65 36.06 1.53 0.34 2.42 7.39 6.28 27.93 8.38 100.00
INP
Ket
16.72 34.13 53.71 10.36 23.87 28.89 25.04 32.76 42.64 31.91 300.00
Sapan
141 II. Hasil Anveg untuk empat jalur yang dibuat dalam blok pengelolaan calon TAHURA utama Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Tiang Ukuran plot : 10 x 10 m Jumlah sub plot tiap plot : 5 sub plot No jalur/ Jenis Jumlah No jns veg Nama daerah tiang I 1 Ampak 4 2 Betau 2 3 Buangin 2 4 Kole 5 5 Malapare 6 5 6 Asa 7 Lebani 5 8 Palli 3 Jumlah 32.00 II 1 Asa 5 2 Sirak 3 3 Betau 1 4 Dambu-dambu 5 5 Lebani 3 6 Kaliolong 1 7 Palli 3 8 Uru 2 Jumlah 23.00 III 1 Aropi 2 2 Bakan 3 3 Palli 3 4 Asa 5 5 Dambu-dambu 4 6 Balole 3 Jumlah 20.00
…Lanjutan Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang
Jlh plot ditemukan
Kerapatan ( phn/ha)
KR %
Frekuensi
FR %
LBDS (m2)
Dominansi
DR %
INP
Ket
3 1 2 4 4 3 3 1 21.00
40.00 20.00 20.00 50.00 60.00 50.00 50.00 30.00 320.00
12.50 6.25 6.25 15.63 18.75 15.63 15.63 9.38 100.00
0.60 0.20 0.40 0.80 0.80 0.60 0.60 0.20 4.20
14.29 4.76 9.52 19.05 19.05 14.29 14.29 4.76 100.00
0.1072 0.6612 0.1909 0.5540 0.5134 0.4283 0.7313 0.8039 3.9902
1.07 6.61 1.91 5.54 5.13 4.28 7.31 8.04 39.90
2.69 16.57 4.78 13.88 12.87 10.73 18.33 20.15 100.01
29.47 Bataragoa 27.58 20.56 48.56 50.66 40.65 48.24 34.28 300.01
5 3 1 3 1 1 3 2 19.00
50.00 30.00 10.00 50.00 30.00 10.00 30.00 20.00 230.00
21.74 13.04 4.35 21.74 13.04 4.35 13.04 8.70 100.00
1.00 0.60 0.20 0.60 0.20 0.20 0.60 0.40 3.80
26.32 15.79 5.26 15.79 5.26 5.26 15.79 10.53 100.00
0.5680 0.8538 1.2087 0.8171 0.9332 0.5134 1.0792 0.9898 6.9632
5.68 8.54 12.09 8.17 9.33 5.13 10.79 9.90 69.63
8.16 12.26 17.36 11.73 13.40 7.37 15.50 14.22 100.00
56.21 41.09 26.97 49.26 31.71 16.98 44.33 33.44 300.00
1 2 1 4 2 3 13.00
20.00 30.00 30.00 50.00 40.00 30.00 200.00
10.00 15.00 15.00 25.00 20.00 15.00 100.00
0.20 0.40 0.20 0.80 0.40 0.60 2.60
7.69 15.38 7.69 30.77 15.38 23.08 100.00
0.0314 0.1041 0.6980 0.0360 0.0119 0.4241 1.3055
0.31 1.04 6.98 0.36 0.12 4.24 13.06
2.40 7.97 53.45 2.76 0.91 32.47 99.96
Langi
20.10 Basokan 38.36 76.14 58.53 36.30 70.55 299.96
141 No jalur/ Jenis No jns veg Nama daerah IV 1 Aropi 2 Bakan 3 Lebani 4 Dambu-dambu 5 Asa Jumlah
Jumlah tiang
…….lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi
Jlh plot ditemukan 2 1 2 3 1 9.00
2 1 2 3 1 9.00
Kerapatan ( phn/ha) 20.00 10.00 20.00 30.00 10.00 90.00
KR % 22.22 11.11 22.22 33.33 11.11 100.00
Frekuensi 0.40 0.20 0.40 0.60 0.20 1.80
FR % 22.22 11.11 22.22 33.33 11.11 100.00
LBDS (m2) 0.0706 0.7618 0.1775 0.2286 0.3498 1.5883
Dominansi 0.71 7.62 1.78 2.29 3.50 15.88
DR % 4.45 47.97 11.18 14.40 22.03 100.02
INP
Ket
48.89 70.19 55.62 81.06 44.25 300.02
Sapan
141
II. Hasil Anveg untuk empat jalur yang dibuat dalam blok pengelolaan calon TAHURA utama Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Ukuran plot : 5 x 5 m Jumlah sub plot tiap plot : 5 sub plot No jalur/ Jenis Jlh No jns veg Pancang pancang I 1 Bakan 2 3 2 Kole 5 3 Asa 4 Kole 3 3 5 Palli 2 6 Uru Jumlah 18.00 II 2 1 Ampak 2 Asa 4 2 3 Bakan 1 4 Palli 5 Kole 1 1 6 Tariwan Jumlah 11.00 III 1 Ampak 1 2 2 Dambu-dambu 3 Bakan 1 4 Asa 4 2 5 Kole 2 6 Kayu riri 7 Kalameno 3 Jumlah 15.00 IV 1 Asa 5 2 2 Bakan 1 3 Dambu-dambu 4 Kalameno 3 1 5 Letok 1 6 Kaliolong 7 Uru 1 Jumlah 14.00
Jlh plot ditemukan
Kerapatan ( phn/ha)
KR %
Frekuensi
FR %
INP
Ket
3 3 8 5 6 4 29.00
80.00 120.00 200.00 120.00 120.00 80.00 720.00
11.11 16.67 27.78 16.67 16.67 11.11 100.00
0.10 0.10 0.27 0.17 0.20 0.13 0.97
10.31 10.31 27.49 17.18 20.62 13.75 99.66
21.42 Bataragoa 26.98 55.27 33.85 37.29 24.86 199.66
3 4 3 3 3 1 17.00
80.00 160.00 80.00 40.00 40.00 40.00 440.00
18.18 36.36 18.18 9.09 9.09 9.09 100.00
0.10 0.13 0.10 0.10 0.10 0.03 0.57
17.54 23.39 17.54 17.54 17.54 5.85 99.42
35.73 59.76 35.73 26.63 26.63 14.94 199.42
Langi
1 3 1 5 3 4 4 21.00
40.00 80.00 40.00 160.00 80.00 80.00 120.00 600.00
6.67 13.33 6.67 26.67 13.33 13.33 20.00 100.00
0.03 0.10 0.03 0.17 0.10 0.13 0.13 0.70
4.76 14.29 4.76 23.81 14.29 19.05 19.05 100.00
11.43 27.62 11.43 50.48 27.62 32.38 39.05 200.00
Basokan
7 3 3 3 2 3 2 23.00
200.00 80.00 40.00 120.00 40.00 40.00 40.00 560.00
35.71 14.29 7.14 21.43 7.14 7.14 7.14 100.00
0.23 0.10 0.10 0.10 0.07 0.10 0.07 0.77
30.30 12.99 12.99 12.99 8.66 12.99 8.66 99.57
66.02 27.27 20.13 34.42 15.80 20.13 15.80 199.57
Sapan
…….lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi II. Hasil Anveg untuk empat jalur yang dibuat dalam blok pengelolaan calon TAHURA utama
141 Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Anakan Ukuran plot : 2 x 2 m Jumlah sub plot tiap plot : 5 sub plot No jalur/ Jenis Jlh No jns veg anakan anakan I 1 Ampak 2 Bakan 3 Kadinge 4 Damar 5 Pao-pao 6 Dengen 7 Kole 8 Malapare 9 Rinni-rinni 10 Ledan 11 Lada-lada 12 Pali 13 Uru Jumlah II 1 Ampak 2 Bakan 3 Lemo-lemo 4 Lada-lada 5 Asa 6 Kole 7 Ampak 8 Kopi-kopian 9 Pali
…….lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi
Jlh plot ditemukan
Kerapatan ( phn/ha)
KR %
Frekuensi
FR %
8 7 3 4 5 5 6 4 5 9 6 7 7 76
3 4 4 3 2 4 2 1 2 3 2 4 3 37
2,000 1,750 750 1,000 1,250 1,250 1,500 1,000 1,250 2,250 1,500 1,750 1,750 19,000
10.53 9.21 3.95 5.26 6.58 6.58 7.89 5.26 6.58 11.84 7.89 9.21 9.21 100.00
0.60 0.80 0.80 0.60 0.40 0.80 0.40 0.20 0.40 0.60 0.40 0.80 0.60 7.40
8.11 10.81 10.81 8.11 5.41 10.81 5.41 2.70 5.41 8.11 5.41 10.81 8.11 100.00
6 5 5 7 4 5 8 10 14
3 2 3 4 1 3 5 5 5
1,500 1,250 1,250 1,750 1,000 1,250 2,000 2,500 3,500
9.38 7.81 7.81 10.94 6.25 7.81 12.50 15.63 21.88
0.60 0.40 0.60 0.80 0.20 0.60 1.00 1.00 1.00
9.68 6.45 9.68 12.90 3.23 9.68 16.13 16.13 16.13
INP
Ket
18.63 Bataragoa 20.02 14.76 13.37 11.98 17.39 13.30 7.97 11.98 19.95 13.30 20.02 17.32 200.00 19.05 14.26 17.49 23.84 9.48 17.49 28.63 31.75 38.00
Langi
141
III 1 2 3 4 5 6 7 8 IV 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah
64
31
16,000
100.00
6.20
100.00
200.00
2 3 5 5 3 2 3 4 27
750 1,250 1,750 2,500 2,250 1,500 1,000 1,500 12,500
6.00 10.00 14.00 20.00 18.00 12.00 8.00 12.00 100.00
0.40 0.60 1.00 1.00 0.60 0.40 0.60 0.80 5.40
7.41 11.11 18.52 18.52 11.11 7.41 11.11 14.81 100.00
13.41 21.11 32.52 38.52 29.11 19.41 19.11 26.81 200.00
Basokan
Jumlah
3 5 7 10 9 6 4 6 50
3 2 3 3 5 3 3 22
1,500 1,000 1,750 1,250 1,750 1,250 1,750 10,250
12.50 8.33 14.58 10.42 14.58 10.42 14.58 85.42
0.60 0.40 0.60 0.60 1.00 0.60 0.60 4.40
11.54 7.69 11.54 11.54 19.23 11.54 11.54 84.62
24.04 16.03 26.12 21.96 33.81 21.96 26.12 170.03
Sapan
Jumlah
6 4 7 5 7 5 7 41
Balole Kantirrik Buangin Kole Lada-lada Asa Pali' Uru
Asa Bakan Letok Kole Pao-pao Tariwan Uru
153 Lampiran 3. Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata 1. Habitat kera/ceba (Macaca tonkeana) dan ayam hutan Areal yang tempat habitat ceba dapat ditemukan di KM 24 sampai KM 28 yakni pada areal hutan lindung yang berbatasan dengan TWA Nanggala III. Habitat hewan ini berada pada ketinggian + 1.000-1.300 m dpl. Areal ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki menelusuri hutan ke arah belakang pos pengamanan hutan di Kaleakan. Pada kawasan hutan ini juga ditemui berbagai jenis tumbuhan tingkat rendah seperti jamur dan lumut, dan palem seperti pada gambar.
154
Estimasi jumlah kera yang diamatai secara tidak langsung berdasarkan bunyi saat penelitian adalah 5 ekor. Pada habitatnya juga dapat ditemui pohon tempat bermain, bekas cakaran pada pohon, kotoran dan bekas makanan. Sedangkan berdasarkan informasi Polhut yang bertempat tinggal di dekat habitat kera tersebut estimasi kelompok ceba + 10 ekor.
155
2. Pemandangan alam a. Bentang alam di km 23-28
Panorama hutan alam, hutan pinus, kabut dan pemandangan ke arah kota Palopo dapat dijumpai sepanjang jalan ini. Areal ini juga biasanya dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan karena didekat areal ini tersedia sumber air yang bisa langsung dikonsumsi.dan menurut informasi masyarakat tidak pernah kering sepanjang tahun dan tempat ini juga sekaligus sebagai areal perkemahan para penikmat alam.
156 b. Panorama alam Nanna dan areal penggembalaan
157 3. Potensi situ Lengke’ Situ merupakan habitat burung belibis dan beberapa jenis burung lainnya. Areal ini terletak pada ketinggian 1.397 m dpl. Di sekeliling situ ini terdapat berbagai jenis vegetasi diantaranya kantong semar (Nepenthes sp) yang saat ini merupakan salah satu jenis tanaman yang dilindungi.
158 4
Habitat kelelawar dan aset budaya
Habitat kelelawar dan penorama diantaranya persawahan bisa kita saksikan ditepat ini. Deretan rumah adat (tongkonan) dan berbagai aset budaya didalamnya.
159 5. Simbuang batu dan patane Simbuang batu merupakan tanda upacara tertinggi dalam upacara rambu solo’ (upacara kematian) berbentuk hamparan areal dengan sejumlah batu yang sengaja ditancapkan. Simbol ini menandakan dalam acara upacara rambu solo’ tersebut telah dikorbankan banyak kerbau. Disamping simbuang batu, juga terdapat patane (kuburan berbentuk bangunan rumah).
Gambar Patane dan simbuang batu
160 6. Objek Wisata Marante dan rumah tongkonan tua Objek wisata ini terletak di jalan poros Makassar – Palopo atau 4 km dari kota Rantepao. Objek ini merupakan kuburan batu yang dikelola oleh Yayasan Keluarga dan aktif mendapat pembinaan dari pihak terkait dalam hal ini Dinas Pariwisata dan ramai dikunjungi oleh wisatawan. Jenis objek yang ada disini antara lain : Rumah adat (rumah tongkonan), patung-patung (tau-tau), erong atau kuburan batu/liang pahat dan Patane (kuburan kayu).
161
Lampiran 4 Penutupan lahan dan status kepemilikan lahan di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala No
Kec/Lembang
I 1
Kec. Tondon Tondon
2
Tondon Langi
3 4 II 1
Tondon Matallo Tondon Siba'ta Jumlah I Kec. Nanggala Basokan
2
Karre Limbong
3
Karre Penananian
4
Lilikira
5
Nanggala
6
Nanggala Sangpiak Salu
7
Nanna Nanggala
8
Rante
Status Lahan
Hs
P
Pk
Landcover Plkcs
Pr
Sw
Total
Sb
HM HN HM HN HM-Pp HM HM
-
12,168 12,168
23,725 23,725
463,754 197,891 163,193 423,744 524,814 1.773,396
-
276,812 98,158 3,259 114,289 161,817 654,335
-
740,566 12,168 296,049 166,452 23,725 538,033 686,631 2.463,624
HM HN HM-Pp HN-Pp HM HN HM HN HN-Pp HM HN HM HN HM HN HM HN HM
59,799 469,996 214,370 94,169 189,293 1,280 241,665 5,766 37,255 442,226
-
114,150 96,679 46,993 -
150,687 54,208 188,660 42,573 578,158 18,032 526,258 58,821 140,138 166,129 757,659 13,909 52,815 0,017 492,440
0,506 58,880 1,297 -
116,613 20,046 57,476 35,801
414,203 678,486 68,772 119,824 98,176 231,579 25,687 21,552
150,687 114,007 114,150 96,679 719,982 1.269,981 705,703 352,226 46,993 656,228 248,114 247,448 639,373 1.105,126 13,909 115,757 463,795 767,731
-
-
-
7,854 341,701 275,291
-
162
No 9
Kec/Lembang Tandung Nanggala
Status Lahan HM HN
Jumlah II Total
Hs 299,653 2.055,472 2.055,472
Hs P Pk Plkcs Pr Sw Sb
: Hutan sekunder : Perairan : Perkebunan : Pertanian lahan kering campur semak : Savana /padang rumput : Sawah : Semak / belukar
HN HM-Pp HN-Pp
: Hak Negara : Hak Milik Pinjam Pakai : Hak Negara Pinjam Pakai
P 12,168
Pk 257,822 281,547
Landcover Plkcs 493,798 98,325 3.832,627 5.606,023
Pr -
Sw 51,916 -
60,683 60,683
906,698 1.561,033
Sb 151,034 188,931 1.998,244 1.998,244
Total 696,748 586,909 9.111,546 11.575,170
163 Lampiran 5 Hasil kusioner di blok pemanfaatan wisata alam calon TAHURA lain 1. Keberadaan Objek dan Atraksi sosial-ekonomi-budaya Tabel 1. Hasil Penilaian Objek dan Atraksi sosial-ekonomi-budaya No 1
Jenis objek Marante
No 1 2 3 4 5 6 7
Variabel Daya tarik (alam atau budaya) Estetika dan keaslian Atraksi Fasilitas pendukung Letak dari jalan utama Akses dan transportasi menuju objek Dukungan dan partisipasi masyarakat Jumlah 2 Habitat 1 Daya tarik (alam atau budaya) kelelawar dan 2 Estetika dan keaslian aset budaya 3 Atraksi 4 Fasilitas pendukung 5 Letak dari jalan utama 6 Akses dan transportasi menuju objek 7 Dukungan dan partisipasi masyarakat Jumlah 3 Habitat ceba dan 1 Daya tarik (alam atau budaya) ayam hutan 2 Estetika dan keaslian 3 Atraksi 4 Fasilitas pendukung 5 Letak dari jalan utama 6 Akses dan transportasi menuju objek 7 Dukungan dan partisipasi masyarakat Jumlah 4 Simbuang (tugu 1 Daya tarik (alam atau budaya) batu ) dan patane 2 Estetika dan keaslian 3 Atraksi 4 Fasilitas pendukung 5 Letak dari jalan utama 6 Akses dan transportasi menuju objek 7 Dukungan dan partisipasi masyarakat Jumlah 5 Situ Lengke’ 1 Daya tarik (alam atau budaya) 2 Estetika dan keaslian 3 Atraksi 4 Fasilitas pendukung 5 Letak dari jalan utama 6 Akses dan transportasi menuju objek 7 Dukungan dan partisipasi masyarakat Jumlah 6 Bentang alam 1 Daya tarik (alam atau budaya) 2 Estetika dan keaslian 3 Atraksi 4 Fasilitas pendukung 5 Letak dari jalan utama 6 Akses dan transportasi menuju objek 7 Dukungan dan partisipasi masyarakat Jumlah Sumber : Hasil analisis data (2008)
Bobot 6 6 6 5 5 5 5
Nilai 3 3 3 2 4 4 4
6 6 6 5 5 5 5
4 3 4 4 3 4 3
6 6 6 5 5 5 5
3 4 3 2 3 1 2
6 6 6 5 5 5 5
2 3 3 4 4 4 4
6 6 6 5 5 5 5
3 4 3 1 1 3 3
6 6 6 5 5 5 5
3 4 3 1 1 3 3
Skor (Oi) 18 18 18 10 20 20 20 124 24 18 24 20 15 20 15 136 18 24 18 10 15 5 10 100 12 18 18 20 20 20 20 123 18 24 18 5 5 15 15 100 18 24 18 5 5 15 15 100
Keterangan
Sangat potensial
Sangat potensial
Potensial
Sangat potensial
Potensial
Potensial
164 ......lanjutan Lampiran 5 Hasil kusioner di Blok Pemanfaatan wisata alam .... 2. Kondisi dan Peluang Pemberdayaan Masyarakat Lokal a. Tingkat Akseptibilitas Masyarakat Tabel 2. Penilaian terhadap Tingkat Akseptibilitas Masyarakat No 1
Jenis objek Marante
No
Variabel
Bobot
Nilai
1
Kawasan dikelola dengan baik dan masyarakat lokal diikutsertakan Menerima wisatawan di rumah Harapan pengembangan kegiatan ekowisata Bersikap ramah, jika wisatawan datang ke tempat anda Menjawab jika wisatawan bertanya Jumlah Kawasan dikelola dengan baik dan masyarakat lokal diikutsertakan Menerima wisatawan di rumah Harapan pengembangan kegiatan ekowisata Bersikap ramah, jika wisatawan datang ke tempat anda Menjawab jika wisatawan bertanya Jumlah Kawasan dikelola dengan baik dan masyarakat lokal diikutsertakan Menerima wisatawan di rumah Harapan pengembangan kegiatan ekowisata Bersikap ramah, jika wisatawan datang ke tempat anda Menjawab jika wisatawan bertanya Jumlah Kawasan dikelola dengan baik dan masyarakat lokal diikutsertakan Menerima wisatawan di rumah Harapan pengembangan kegiatan ekowisata Bersikap ramah, jika wisatawan datang ke tempat anda Menjawab jika wisatawan bertanya Jumlah Kawasan dikelola dengan baik dan masyarakat lokal diikutsertakan Menerima wisatawan di rumah Harapan pengembangan kegiatan ekowisata Bersikap ramah, jika wisatawan datang ke tempat anda Menjawab jika wisatawan bertanya Jumlah Kawasan dikelola dengan baik dan masyarakat lokal diikutsertakan Menerima wisatawan di rumah Harapan pengembangan kegiatan ekowisata Bersikap ramah, jika wisatawan datang ke tempat anda Menjawab jika wisatawan bertanya Jumlah
5
4
Skor (A acep) 20
5 5 5
3 4 3
15 20 15
5
3
5
4
15 85 20
5 5 5
3 4 3
15 20 15
5
3
5
4
15 85 20
5 5 5
3 4 3
15 20 15
5
3
5
4
15 80 20
5 5 5
3 4 3
15 20 15
5
2
5
4
10 80 20
5 5 5
4 4 3
20 20 15
5
3
5
4
15 90 20
5 5 5
2 4 3
10 20 15
5
3
15 80
2 3 4 5 2
Habitat kelelawar dan aset budaya
1 2 3 4 5
3
Habitat ceba dan ayam hutan
1 2 3 4 5
4
Simbuang (tugu batu ) dan patane
1 2 3 4 5
5
Situ Lengke’
1 2 3 4 5
6
Bentang alam
1 2 3 4 5
Sumber : Hasil analisis data (2008)
Keterangan
Sangat sesuai
Sangat sesuai
Sangat sesuai
Sangat sesuai
Sangat sesuai
Sangat sesuai
165 ......lanjutan Lampiran 5 Hasil kusioner di Blok Pemanfaatan wisata alam .... b. Peluang Pemberdayaan Masyarakat Tabel 3 Penilaian terhadap Peluang Pemberdayaan Masyarakat No
Jenis objek
No
Variabel
Bobot
Nilai
1
Marante
1. 2. 3. 4. 5. 7. 8. 9. 10.
5 5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 3 4 4 4 3 4 4
2
Habitat kelelawar dan aset budaya
1. 2. 3. 4. 5. 7. 8. 9. 10.
5 5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 2 4 4 4 2 5 3
3
Habitat ceba dan ayam hutan
1. 2. 3. 4. 5. 7. 8. 9. 10.
5 5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 3 4 4 4 4 4 4
4
Simbuang (tugu batu ) dan patane
1. 2. 3. 4. 5. 7. 8. 9. 10.
5 5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 3 4 3 2 3 4
5
Situ Lengke’
1. 2. 3. 4. 5. 7. 8. 9. 10.
5 5 5 5 5 5 5 5 5
3 4 3 4 4 1 1 2 4
6
Bentang alam
1. 2. 3. 4. 5. 7. 8. 9. 10.
Kegiatan wisata dapat memberikan keuntungan Berperan aktif dalam pengelolaan kawasan wisata Pemandu wisata/guide Berjualan makanan dan minuman Pembuatan dan penjualan souvenir Pagelaran seni dan budaya Pengelolaan cafe/tempat makan Penyewaan penginapan/homestay Transportasi Jumlah Kegiatan wisata dapat memberikan keuntungan Berperan aktif dalam pengelolaan kawasan wisata Pemandu wisata/guide Berjualan makanan dan minuman Pembuatan dan penjualan souvenir Pagelaran seni dan budaya Pengelolaan cafe/tempat makan Penyewaan penginapan/homestay Transportasi Jumlah Kegiatan wisata dapat memberikan keuntungan Berperan aktif dalam pengelolaan kawasan wisata Pemandu wisata/guide Berjualan makanan dan minuman Pembuatan dan penjualan souvenir Pagelaran seni dan budaya Pengelolaan cafe/tempat makan Penyewaan penginapan/homestay Transportasi Jumlah Kegiatan wisata dapat memberikan keuntungan Berperan aktif dalam pengelolaan kawasan wisata Pemandu wisata/guide Berjualan makanan dan minuman Pembuatan dan penjualan souvenir Pagelaran seni dan budaya Pengelolaan cafe/tempat makan Penyewaan penginapan/homestay Transportasi Jumlah Kegiatan wisata dapat memberikan keuntungan Berperan aktif dalam pengelolaan kawasan wisata Pemandu wisata/guide Berjualan makanan dan minuman Pembuatan dan penjualan souvenir Pagelaran seni dan budaya Pengelolaan cafe/tempat makan Penyewaan penginapan/homestay Transportasi Jumlah Kegiatan wisata dapat memberikan keuntungan Berperan aktif dalam pengelolaan kawasan wisata Pemandu wisata/guide Berjualan makanan dan minuman Pembuatan dan penjualan souvenir Pagelaran seni dan budaya Pengelolaan cafe/tempat makan Penyewaan penginapan/homestay Transportasi Jumlah
5 5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 1 1 4
Sumber : Hasil analisis data (2008)
Skor (Aacep) 20 20 15 20 20 20 15 20 20 170 20 20 10 20 20 20 10 25 15 155 20 20 15 20 20 20 20 20 20 175 20 20 20 15 20 15 10 15 20 155 15 20 15 20 20 5 5 10 20 130 20 20 20 20 20 20 5 5 20 150
Keterangan
Sangat potensial
Sangat potensial
Sangat potensial
Sangat potensial
Potensial
Sangat potensial
166 Lampiran 6 Kegiatan yang sudah dilakukan dalam calon TAHURA di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala 1. Sumber air yang dikelola oleh PDAM Objek ini merupakan kuburan batu yang dikelola oleh Yayasan Keluarga. Areal ini telah mendapat pembinaan yang aktof dari pihak terkait dalam hal ini Dinas Parriwisata dan ramai dikunjungi oleh wisatawan.
167 .... lanjutan Lampiran 6 Kegiatan yang sudah dilakukan ....... 2.
Model social Forestry
Model social forestry yang ada dalam kawasan hutan ini adalalah campuran dengan tanaman tahunan seperti coklat dan kopi serta dilakukan juga budidaya lebah madu. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diasuh oleh WALDA (Wahana .....Persada).
3. Kegiatan penyadapan yang dilakukan oleh PT Royal Cresh Indonesia
168 .... lanjutan Lampiran 6 Kegiatan yang sudah dilakukan .......
4. Kegiatan pengembangan areal model silvikultur intensif seluas 50 Ha pada Tahun 2006 sebagai wujud dari kegiatan pengembangan jenis tanaman endemik dataran tinggi di Lembang Nanna’ Nanggala, Kecamatan Nanggala hasil kerjasama antara Balai Pengembangan (BP) DAS Saddang dengan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) UNHAS yang bisa difungsikan untuk memajukan ilmu pengetahuan yang perlu dilindungi dan ditata dalam suatu blok. Areal ini merupakan cadangan kawasan untu rencana pembangunan blok arboretum dalam kawasan calon TAHURA berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja (2008).
5. Kegiatan budidaya rotan pada Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh kelompok tani bekerja sama dengan BP DAS Saddang dalam suatu areal model seluas 20 ha dengan memanfaatkan ruang tumbuh dalam kawasan hutan lindung yang merupakan lokasi endemik tanaman roan yang berbatasan langsung dengan pemukiman masyarakat. Lokasinya terletak di Kaleakan, Lembang Tandung Nanggala, Kecamatan Nanggala. Kagiatan ini juga dimaksudakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku rotan, sehingga kelestarian hasil hutan ini juga dapat terus lestari dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (BP DAS Saddang, 2008)