KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DAN KARAKTERISASI RISIKO DAGING BABI BAKAR BATU DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA
INRIYANTI ASSA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya Papua adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2012
Inriyanti Assa NRP. B261070011
ABSTRACT INRIYANTI ASSA. Considerable study of epidemiology porcine cysticercosis and risk characterization of pork meat by burning stones at Jayawijaya Regency Papua. Under the supervision of FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN and NYOMAN SADRA DHARMAWAN. Jayawijaya Regency is a hyperendemic area of human cysticercosis in Indonesia. Disease caused of metacestoda of Taenia solium. Therefore very limited data of porcine cysticercosis are available. This study was divided into three stages, the first to assess the spread of porcine cysticercosis in Jayawijaya Regency, second to characterize the risk of burning stones (barapen), the last was examined the level of knowledge and behavior about the source of tapeworm infection. A total of 111 pigs were tested serologically to detect the presence of circulating parasite antigen using monoclonal antibody-based sandwich enzymelinked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Fourty five samples (40.54%) were found positive by MoAb-ELISA, and the highest prevalence occurred from the District of Asolokobal (92.86%), followed by Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Homhom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Jibama market (14.29%), and the lowest prevalence from Wamena Kota (5.88%). Free-range pig husbandry system (OR=4.63; P<0.01) and uncooked pork feed (OR=3.65; P<0.05) were important risk factors for porcine cysticercosis. Asolokobal District are highly vulnerable to cycticercosis. Barapen is one of culture in Jayawijaya. The research was conducted to study the relationship between barapen method and infecting humans with cysticercosis/taeniosis. Field observations indicate a barapen is divided into three parts, namely, stone and wood burning, roasting pork and eat together. The highest hot stones temperature is 300 °C and lowest 170 °C. The roasting pork take more an hour with a temperature of 60 to 90 °C. The temperature of the stone (65.66 °C) and pork (83.33 °C) removed from the barapen process were highly. The pork was cooked only spread on the grass. Opportunity to get cysticercosis in Wamena is currently puting the food that cooked on the grass. Health education were done at 41 housewives in Wamena. Overall there is an increasing public knowledge of cysticercosis after the intervention through counseling about cysticercosis is 75.28% to 100%. Differences in knowledge there is very high at the time of education is given between 58.54% and 76.61%. After one week of the results obtained do counseling is an increase in the knowledge that is not too high (36.59%). Behavioral people after an education increase of 21.39%. Health education is conducted continuously to reduce the prevalence of cysticercosis/taeniosis in Jayawijaya. The needed for counseling regarding methods of handling food hygiene, an anthropology approach about pig husbandry system and pattern of cook pork feed. Keywords: cysticercosis, risk factor, barapen, knowledge, behavior, Jayawijaya
RINGKASAN INRIYANTI ASSA. Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi dan karakterisasi risiko daging babi bakar batu di Kabupaten Jayawijaya Papua. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN, NYOMAN SADRA DHARMAWAN.
Kabupaten Jayawijaya adalah daerah hiperendemis sistiserkosis. Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva T. solium merupakan salah satu zoonosa yang dapat memberikan gejala berat khususnya bila larva terdapat pada otak atau mata. Larva menyebabkan gejala lebih ringan bilamana ditemukan di jaringan subkutan, otot atau organ lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penyebaran sistiserkosis pada babi dan mengkarakterisasi risiko daging babi yang dimasak secara bakar batu serta mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang sumber infeksi cacing pita. Kegiatan penelitian ini terdiri atas tiga bagian besar, yaitu; 1) kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya, 2) karakterisasi risiko sistiserkosis pada daging babi bakar batu, 3) kaji tindak pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya terhadap sistiserkosis. Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya merupakan penelitian yang menggunakan metode survei yang terdiri tiga tahap, pertama pengambilan serum babi untuk mendapatkan seroprevalensi dan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner, tahap kedua yaitu faktor risiko sistiserkosis pada babi, tahap ketiga pemetaan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya. Sebanyak 111 serum yang diambil dari delapan distrik dan pasar Jibama. Sampel serum yang diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay. Metode sandwich yang digunakan berasal dari Institute of Tropical Medicine (ITM 2009). Hasil reaksi seropositif tertinggi terdapat di Distrik Asolokobal (92.86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.3%), Asologaima (31.82%), Homhom (18.18%), Hubikosi (14.29%), pasar Jibama (14.29%) dan prevalensi terendah terdapat di Distrik Wamena Kota sebesar 5.88%. Tahap selanjutnya yaitu untuk mengetahui faktor risiko sistiserkosis pada babi. Ada enam faktor yang menjadi risiko sistiserkosis yaitu; jenis kelamin babi, cara pemeliharaan babi, struktur kandang, pakan babi, air bersih dekat kandang dan kepemilikan jamban. Cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR=4.63; P<0.01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR=3.65; P<0.05) merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi. Tahap ketiga pemetaan sistiserkosis. Titik koordinat ditentukan saat pengambilan darah babi dari 56 responden peternak dengan menggunakan global
positioning system (GPS) 76CSx garmin. Data digitasi yang diperoleh dari GPS diolah dengan program ArcView 3.2. Tingkat kerawanan sistiserkosis terbagi atas tiga bagian yaitu; tidak rawan, rawan dan sangat rawan. Distrik yang masuk kategori tidak rawan adalah Distrik Wamena Kota dan Homhom, kategori rawan yaitu Distrik Asologaima dan daerah yang masuk kategori sangat rawan adalah Distrik Asolokobal, diikuti dengan Distrik Kurulu, Bolakme, Musatfak dan Distrik Hubikosi. Penelitian bagian kedua yaitu mengkarakterisasi risiko sistiserkosis pada daging babi bakar batu. Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu upacara bakar batu dan ketahanan sistiserkus daging babi bakar batu. Hasil observasi lapangan menunjukkan kegiatan upacara bakar batu terbagi atas tiga yaitu; pertama pembakaran batu dan kayu, kedua pemanggangan daging babi beserta hipere, sayuran dan ketiga yaitu makan bersama. Batu yang digunakan adalah batu kali, suhu rata-rata batu saat diletakkan dalam liang bakar batu yaitu 236.16 °C. Babi yang akan dipanggang terlebih dahulu dipanah lalu diletakkan di atas pembakaran sekitar tiga menit dengan tujuan melepaskan bulu babi. Makanan yang telah matang dihamparkan di atas rumput dan siap disantap bersama. Suhu daging babi selama pemanggangan diukur dengan menggunakan thermocouple. Pemanggangan bakar batu berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan 60-90 °C. Panas batu (65.66 °C) dan daging babi (83.33 °C ) yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan tetap masih tinggi. Penelitian bagian ketiga adalah kaji tindak pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya terhadap sistiserkosis. Desain penelitian terbagi atas dua yaitu, wawancara dan penyuluhan. Tingkat pengetahuan diukur dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan sebelum penyuluhan, sesudah penyuluhan dan satu minggu setelah penyuluhan. Perilaku diukur saat sebelum dilakukan penyuluhan dan satu minggu setelah penyuluhan. Secara keseluruhan terdapat peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap sistiserkosis setelah dilakukan intervensi melalui penyuluhan mengenai sistiserkosis yaitu, 75.28% sampai dengan 100%. Perbedaan pengetahuan terjadi sangat tinggi pada saat diberikan penyuluhan yaitu, antara 58.54% sampai dengan 76.61%. Setelah satu minggu dilakukan penyuluhan hasil yang diperoleh adalah terjadi peningkatan pengetahuan yang tidak terlalu tinggi yaitu 36.59%. Perilaku masyarakat setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan sebesar 21.39%.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DAN KARAKTERISASI RISIKO DAGING BABI BAKAR BATU DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA
INRIYANTI ASSA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi I. Sidang Tertutup: 1. Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto (Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB) 2. Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si. (Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB)
II. Sidang Terbuka: 1. Prof. dr. Ali Gufron Mukti, M.Sc., Ph.D. (Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia) 2. Dr. Zakharias Giay, SKM., M.Kes., MM. (Kepala Badan Pengelola Sumber Daya Manusia Provinsi Papua)
Judul Disertasi
: Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya Papua
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Inriyanti Assa : B261070011 : Kesehatan Masyarakat Veteriner
Disetujui: Komisi Pembimbing
drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D. Ketua
Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Anggota
Prof. Dr. drh. Nyoman S. Dharmawan, MS. Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr.
Tanggal Ujian: 26 Juli 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasihNya serta kesehatan dan lindungan yang diberikan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Fokus penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah peningkatan kesehatan, perilaku hidup bersih pada masyarakat Papua dalam upaya pencegahan dan menurunkan prevalensi Taenia solium, dengan judul Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya. Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD., Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. dan Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. yang sangat berdedikasi untuk memberikan bimbingan, arahan, sejak perencanaan dan berlangsungnya penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. Bagi penulis sungguh merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan menjadi mahasiswa bimbingan sehingga dapat menyerap ilmu. Jasa serta pengorbanan dari dosen pembimbing kepada penulis sungguh tidak ternilai dan tak mungkin dapat terlupakan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto dan Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup, serta yang terhormat Prof. dr. Ali Gufron Mukti, M.Sc., Ph.D. dan Dr. Zakharias Giay, SKM, M.Kes., MM. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pertanyaan, saran, kritik serta koreksinya sangat berharga dalam menyempurnakan disertasi ini sehingga bobotnya bertambah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. B. Kambuaya, MBA. selaku Rektor Universitas Cenderwasih (periode 2004 sampai 2009) dan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Drs. A.L Rantetampang, M.Kes. yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengikuti studi program doktor. Terima kasih yang tulus disampaikan kepada Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf, atas kesempatan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S3 di Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih atas biaya yang diberikan selama studi, kepada Program Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Tahun 2007-2010. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Dr. Pierre Dorny PhD, DVM, Dipl. EVPC (Veterinary Helminthology Department of Biomedical Sciences Institute of Tropical Medicine Antwerpen) atas bantuannya memfasilitasi penelitian untuk pemeriksaan Taenia spp. Ucapan terima kasih kepada Dr. drh. Sri Murtini, M.Si. yang banyak memberikan ide saat penyusunan
proposal penelitian, cara pengambilan sampel di lapangan serta banyak membantu penulis saat pengujian serum babi di laboratorium dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent (ELISA) di laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Made Putra sebagai Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Jayawijaya Papua, yang telah memberikan bantuan dalam pengambilan serum babi, banyak memberikan kemudahan di lapangan serta mengajarkan penulis untuk bisa mengambil darah babi dan pembuatan serum. Ucapan terima kasih kepada Bapak Agustinus Aronggear selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya, yang telah memberikan ijin dan kerjasama kepada penulis. Penulis ucapkan terima kasih kepada Dwi Ardei Dompas SKM, Rahmat SKM, Agustina Kurisi SKM, Demianus Huby SKM, Jannes STh, Daniel Rumbo-rumbo SKM, Christine, Lukas Logo, Annace Anneke Repi SPd, atas segala bantuan yang telah diberikan saat penulis berada di Wamena. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh. Risa Tiuria MS. Ph.D., Dr. drh. Elok B Retnani MS., yang banyak memberikan bantuan kepada penulis. Kepada staf pegawai Laboratorium Helminthologi, Pak Sulaeman, Ibu Irawati, Pak Kosasih dan Staf administrasi Pak Agus Haryanto, Pak Hendra, Ibu Gipra Setiwi yang banyak membantu, penulis ucapkan terima kasih. Secara khusus kepada rekan seperjuangan Dr. drh. Andriani M.Si atas kebersamaan dan dukungannya dalam menempuh pendidikan Pascasarjana. Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh keluarga besar Assa-Lampah (ayah, ibu, kakak dan adik) atas doa dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Kepada suami tercinta, Bill Jones Cuncun Pangayow, SE., MSi. Ak., penulis ucapkan terima kasih banyak atas kasih sayang, kesabaran, yang tentunya banyak berkorban dan telah memberikan bantuan yang tidak ternilai. Dalam penulisan disertasi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Kekurangan dalam penelitian maupun penulisan disertasi adalah kesalahan penulis semata. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk perbaikan disertasi. Harapan penulis, disertasi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak, bidang veteriner, kesehatan masyarakat, antropologi kesehatan, pengambil kebijakan dan pengembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2012 Inriyanti Assa
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak ke-7 dari sembilan bersaudara, ayah bernama Adolf Assa dan ibu Theresia Lampah. Dilahirkan di Manado pada tanggal 9 April 1977. Menyelesaikan pendidikan SD tahun 1989 di SD Negeri 1 Palu, SMP tahun 1992 di SMP Advent dan SMA Negeri 4 Palu. Tahun 2000 menyelesaikan Sarjana Pertanian dengan Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Sam Ratulangi. Pada tahun 2001 terdaftar sebagai mahasiswa Magister Program Studi Entomologi dengan peminatan Toksikologi Lingkungan dari universitas yang sama. Pendidikan strata-2 ini diselesaikan pada tahun 2003. Tahun 2005, penulis ditetapkan sebagai staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, Papua. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor diperoleh pada tahun 2007 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian diantaranya, program penelitian yang didanai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu; Penelitian Dosen Muda (2006) dengan judul Pengaruh Lingkungan terhadap Penyakit Malaria pada Anak-anak di Kabupaten Jayapura; Hibah Bersaing (2007) yang berjudul Penyebaran dan Prevalensi Penyakit Filariasis di Braso Kabupaten Jayapura, Papua; Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional (2009) dengan judul Pemetaan Penyakit Parasit Sisitserkosis dalam Upaya Menurunkan Prevalensi Taenia solium di Kabupaten Jayawijaya-Papua; Program Non Goverment Organization dengan UNICEF (2006) yang berjudul Penyakit Malaria pada Ibu Hamil dan Kesehatan Anak di 5 (Lima) Kampung Kabupaten Jayapura; Mass Blood Survey (MBS) Penyakit Malaria dengan Rapid Diagnostik Test di Kabupaten Keerom (Global Fund, 2007); Cakupan Pengobatan ACT (artemisimin combination therapy) Mass Blood Survey Penyakit Malaria di Distrik Sota Kabupaten Merauke (SCHS Uni Eropa 2007). Penulis juga mengikuti beberapa kegiatan pelatihan diantaranya, Pelatihan Vektor Kontrol Penyakit Malaria di BVRP Salatiga (2006); Kapasitas Pengembangan Sistem Kesehatan Provinsi Papua di Yamagata University (2007).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xv xvi xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................... Manfaat Penelitian .............................................................................
1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Sistiserkosis ...................................................................................... Sejarah ............................................................................................... Siklus Hidup ...................................................................................... Morfologi ........................................................................................... Metode Diagnosis ............................................................................. Gejala Klinis ...................................................................................... Pengendalian dan Pencegahan ........................................................... Sistem Informasi Geografis ............................................................... Kabupaten Jayawijaya ....................................................................... Gambaran Umum ..................................................................... Taeniosis dan sistiserkosis pada manusia ................................ Kebudayaan .............................................................................. Tempat Tinggal dan Pola Perkampungan ................................
5 6 6 8 8 9 10 12 13 13 17 18 20
KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA Abstract ............................................................................................. Abstrak............................................................................................... Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Kesimpulan ........................................................................................
24 24 25 26 29 39
KARAKTERISASI RISIKO SISTISERKOSIS PADA DAGING BABI BAKAR BATU Abstract ............................................................................................. Abstrak............................................................................................... Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Kesimpulan ........................................................................................
40 40 41 42 44 57
KAJI TINDAK PENGETAHUAN DAN PERILAKU MASYARAKAT KABUPATEN JAYAWIJAYA TERHADAP SISTISERKOSIS Abstract ............................................................................................. Abstrak............................................................................................... Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Kesimpulan ........................................................................................
58 58 59 60 61 73
PEMBAHASAN UMUM .......................................................................... KESIMPULAN UMUM ............................................................................ SARAN ...................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ LAMPIRAN ...............................................................................................
74 81 82 83 100
DAFTAR TABEL Halaman 1
Karakteristik peternak babi yang tersebar di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya .......................................................................
30
2
Seroepidemiologi serum babi di Kabupaten Jayawijaya ...................
32
3
Nilai crude-odds ratio (OR) faktor jenis kelamin babi, cara pemeliharaan, struktur kandang, pengolahan pakan, air bersih dan ketersediaan jamban bagi pemilik babi .............................................
33
Karakteristik responden berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan di empat kampung Kabupaten Jayawijaya ........................
62
Pengetahuan awal responden tentang sistiserkosis/taeniosis dalam persen .................................................................................................
63
Tingkat pengetahuan responden sebelum dilakukan intervensi (Pn0) dan setelah dilakukan intervensi (Pn1) ....................................
64
Tingkat pengetahuan responden setelah dilakukan intervensi (Pn1) dan satu minggu setelah dilakukan intervensi (Pn2) .........................
65
8
Persentase peningkatan pengetahuan responden secara keseluruhan
67
9
Perilaku awal responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam persen .................................................................................................
68
Tingkat perilaku responden sebelum dilakukan intervensi (Pn0) dan setelah satu minggu dilakukan intervensi (Pn1) ................................
69
Perilaku akhir responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam persen ................................................................................................
70
4
5
6
7
10
11
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Siklus hidup Taenia spp .................................................................... Denah pola perkampungan pada salah satu kelompok di Kurulu ..... Cara beternak babi yang baik menurut responden ............................ Peranan pemerintah dalam melakukan penyuluhan mengenai cara beternak babi ..................................................................................... Tindakan responden pada ternak babi yang mati ............................. Sebaran sistiserkosis di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya ........ Tingkat kerawanan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya ............... Waktu yang digunakan untuk melaksanakan bakar batu ................... Kebiasaan mencuci daging dan makanan sebelum bakar batu......... . Air yang digunakan untuk mencuci daging babi, hipere dan sayuran Tempat meletakkan makanan hasil bakar batu......... ......................... Cara mengonsumsi makanan dalam prosesi bakar batu .................... Responden yang mencuci tangan saat konsumsi makanan hasil bakar batu........................................................................................... Kegiatan bakar batu .......................................................................... Bagian dasar susunan batu dan kayu ................................................. Bagian tengah susunan batu dan kayu ............................................... Bagian atas susunan batu dan kayu ................................................... Liang pembakaran ............................................................................. Penyiapan daging babi ....................................................................... Penyiapan bahan ................................................................................ Penyiapan bumbu............................................................................... Proses barapen .................................................................................. Makan bersama .................................................................................. Tempat meletakkan makanan..................................................... ....... Suhu bagian dalam daging babi selama bakar batu ...........................
7 23 31 32 32 34 35 44 44 45 45 46 46 47 47 48 48 49 49 50 50 50 52 53 54
DAFTAR LAMPIRAN 1
Titik koordinat ...................................................................................
Halaman 100
2
Kuesioner penelitian ..........................................................................
104
3
Surat publikasi ...................................................................................
115
4
Naskah publikasi ................................................................................
116
5
Surat ijin penelitian ...........................................................................
133
6
Hasil simulasi bakar batu ..................................................................
134
KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PROVINSI PAPUA Abstract The aims of this study were to determine the prevalence and risk factors of porcine cysticercosis. The survey was carried out in eight district and Jibama trade, between October 2009 and Juni 2011. A total of 111 pigs were tested serologically. Serum samples were tested for the presence of circulating parasite antigen using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Fourty five samples (40.54%) were found positive by MoAb-ELISA and the highest prevalence occurred from the District of Asolokobal (92.86%), followed by Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Jibama trade (14.29%), and the lowest prevalence from Wamena Kota is 5.88%. Free-range pig husbandry system (OR=4.63; P<0.01) and uncook pork feed (OR=3.65; P<0.05) were important risk factors for porcine cysticercosis. Asolokobal District are highly vulnerable to cycticercosis. It is therefore necessary to anthropology approach about pig husbandry system and pattern of cook pork feed. Keywords: risk factor, porcine cysticercosis, prevalence Abstrak Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko sistiserkosis pada babi. Survei dilakukan pada delapan distrik dan pasar Jibama antara bulan Oktober 2009 dan Juni 2011. Jumlah babi yang diuji serologis adalah 111 ekor. Sampel serum diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Reaksi seropositif terjadi pada 45 sampel (40.54%), distrik dengan prevalensi tertinggi yaitu Asolokobal (92.86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), pasar Jibama (14.29%), dan prevalensi terendah ditemukan di distrik Wamena Kota sebesar 5.88%. Cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR=4.63; P<0.01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR=3.65; P<0.05) merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi. Distrik Asolokobal merupakan daerah yang sangat rawan sistiserkosis. Perlu pendekatan antrolopogi mengenai sistem pemeliharaan babi dengan cara dikandangkan dan pola pemberian pakan babi yang dimasak. Kata kunci: faktor risiko, sistiserkosis pada babi, prevalensi
KARAKTERISASI RISIKO SISTISERKOSIS PADA DAGING BABI BAKAR BATU Abstract Burning stones (barapen) is one of culture in Jayawijaya. The research was conducted to study the relationship between barapen method and infecting humans with cysticercosis/taeniosis. Field observations indicate barapen is divided into three parts, namely, stone and wood burning, roasting pork and eat together. The temperature of hot stones was between 300 °C and 170 °C. The roasting pork take more than an hour with a temperature of 60 to 90 °C. The temperature of the stone and pork removed from the barapen process average of 65.66 °C and 83.33 °C. The pork was cooked only spread on the grass. Opportunity to get cysticercosis/taeniosis in Wamena is currently puting the food that is cooked on the grass. The needed for counseling regarding methods of handling food hygiene. Keywords: barapen, pork meat, cysticercosis/taeniosis
Abstrak Bakar batu (barapen) merupakan salah satu kebudayaan di Kabupaten Jayawijaya. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara barapen dan terinfeksinya manusia dengan sistiserkosis. Hasil observasi lapangan menunjukkan barapen terbagi atas tiga bagian yaitu, pembakaran batu dan kayu, pemanggangan daging babi dan makan bersama. Suhu batu yang tertinggi adalah 300 °C dan terendah 170 °C. Pemanggangan daging babi berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan 60-90 °C. Suhu batu yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan rata-rata 65.66 °C dan daging babi memiliki suhu 83.33 °C. Daging babi yang telah matang hanya dihamparkan di atas rumput. Peluang terkenanya sistiserkosis/taeniosis pada masyarakat Wamena yaitu saat meletakkan makanan yang sudah matang di atas rumput. Perlunya penyuluhan mengenai metode penanganan makanan yang telah matang untuk diletakkan di wadah yang bersih. Kata kunci: barapen, daging babi, sistiserkosis
KAJI TINDAK PENGETAHUAN DAN PERILAKU MASYARAKAT KABUPATEN JAYAWIJAYA TERHADAP SISTISERKOSIS Abstract The purpose of this study was to assess the level of knowledge and behavior the community of Wamena. This research used questionnaire and health education in Hubikosi village, Yiwika, Milima and Isaima. The rate of knowledge during pre health education was 7.62%. After health education and a week later, the results obtained that knowledge about the causes and prevention of cysticercosis/taeniosis in terms of personal hygiene increase (P <0.001). Behavior of the respondents during pre health education were not washing hands after defecation (6.70%) and duration pork cooking take more than an hour (95.83%). After one week, behavior of respondents were washing hands before meals (69.35%, hand washing after defecation (28.57%), defecation at latrine (13.99 %), boiling water (50.30%), wash the pork before cooked (20.16%), duration of burning stones more an hour (100%) and eat pork contained cysts (91.67%). One week after education, the knowledge (36.59%) and behavior (21.39%) increased. Health education continuously will reduce the prevalence of cysticercosis/taeniosis in Jayawijaya. Keywords: knowledge, behavior, education, cysticercosis/taeniosis
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat wamena. Metode yang digunakan yaitu kuesioner serta dilakukannya penyuluhan di Kampung Hubikosi, Yiwika, Milima dan Kampung Isaima. Pengetahuan awal yang diperoleh dari keempat kampung yaitu 7.62%. Tingkat pengetahuan responden setelah dilakukan penyuluhan dan satu minggu sesudahnya, hasil yang diperoleh yaitu pengetahuan mengenai penyebab taeniosis dan cara pencegahan dari segi kebersihan diri (P<0.001). Perilaku awal responden yang terendah adalah tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (6.70%) dan yang tertinggi terdapat pada metode memasak daging babi selama satu jam ataupun lebih (95.83%). Perilaku akhir responden terhadap taeniosis/sistiserkosis yaitu cuci tangan sebelum makan (69.35%; P<0.001), mencuci tangan sesudah buang air besar (28.57%), tempat buang air besar (13.99%), memasak air minum (50.30%; P<0.001), mencuci daging babi sebelum dimasak (20.16%), memasak daging babi selama satu jam atau lebih (100%), memakan daging babi yang ada kista/benjolan (91.67%; P<0.001). Setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan (36.59%) dan perilaku (21.39%). Pendidikan kesehatan yang dilakukan secara terus menerus dapat menurunkan prevalensi sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya. Kata kunci: pengetahuan, perilaku, pendidikan, sistiserkosis/taeniosis
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sistiserkosis solium adalah penyakit zoonosa pada babi yang disebabkan karena babi mengonsumsi pakan yang tercemar telur atau proglotid cacing pita Taenia solium yang berparasit pada manusia. Selain sebagai inang definitif, manusia juga dapat menderita sistiserkosis bila secara tidak sengaja menelan telur T. solium. Sistiserkosis pada manusia sangat berbahaya bila menginfeksi otak dan sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) atau menginfeksi mata (okularsistiserkosis). Sistiserkosis merupakan penyakit yang dihubungkan dengan kemiskinan, defekasi sembarangan, serta ternak babi yang hidup berkeliaran tanpa dikandangkan. Prevalensi sistiserkosis di Asia memiliki variasi tinggi tergantung pada ada tidaknya faktor risiko dalam setiap wilayah di negara tersebut. Di Jepang dan Singapura yang memiliki perekonomian kuat, makmur, infrastruktur baik, penyakit ini hampir tidak ada. Di negara yang penduduknya mayoritas muslim, seperti Timur Tengah dan Asia Barat, yang melarang mengonsumsi babi, tidak terdapat sistiserkosis solium (Rajshekhar et al. 2003; Deckers dan Dorny 2010). Sistiserkosis telah diketahui keberadaannya di Asia lebih dari 40 tahun yang lalu. Penyakit ini kurang mendapat perhatian dan tidak menjadi prioritas utama sebagai penyebab penyakit yang menyerang syaraf dan menyebabkan kerugian ekonomi di negara-negara Asia. Tidak seperti negara-negara Amerika Latin yang telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap sistiserkosis, penyakit ini baru menjadi sorotan di Asia pada tiga dekade terakhir. Akibatnya, aspek epidemiologi sistiserkosis kurang diteliti di negara-negara Asia (Rajshekhar et al. 2003; Ito et al. 2003a; Anantaphruti et al. 2007a). Di Asia terdapat tiga spesies Taenia yang menginfeksi manusia, yaitu Taenia solium, T. saginata dan T. asiatica (Ito et al. 2003b; Dharmawan 2004; Okamoto et al. 2007). Babi merupakan inang antara untuk T. solium dan T. asiatica. sementara sapi menjadi inang antara T. saginata. Sistiserkosis pada manusia hanya disebabkan oleh T. solium. Walaupun inang antara T. asiatica adalah babi namun T. asiatica secara molekuler memiliki banyak kemiripan
2
dengan T. saginata (Puchades dan Fuentes 2000; Anantaphruti et al. 2007b; Ito et al. 2005; Ito et al. 2006; Ito et al. 2007; Okamoto et al. 2007). Sistiserkosis/taeniosis yang disebabkan oleh T. solium merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah endemik, sehingga diperlukannya ketekunan untuk mempromosikan upaya pengendalian penyakit zoonosa ini melalui pendekatan kebudayaan, sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan. Sistiserkosis dapat menjadi masalah yang serius bila setiap orang melakukan defekasi di sembarang tempat yang menyebabkan penyebaran telur parasit serta kontak antara babi dengan feses manusia. Faktor lainnya yang berhubungan dengan transmisi penyakit adalah tidak adanya pemeriksaan daging babi di rumah potong hewan, konsumsi daging babi yang tidak dimasak sempurna, konsumsi sayuran dan air yang terkontaminasi dengan feses manusia, serta rendahnya tingkat higienis personal sebagai contoh tidak mencuci tangan sebelum makan dan sesudah defekasi (Sarti dan Rajshekhar 2003). Sarti dan Rajshekhar (2003) mengemukakan, ada lima cara strategis untuk mengendalikan ataupun menurunkan kejadian sistiserkosis/taeniosis, yaitu; (1) pendidikan kesehatan, (2) perbaikan manajemen peternakan babi, (3) pemeriksaan post mortem di rumah potong hewan, (4) perbaikan sanitasi lingkungan, (5) penelitian epidemiologi. Menurut Sanchez dan Fairfield (2003), pendidikan kesehatan memiliki peran penting dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit. Sebagai langkah awal dalam tindakan pencegahan sistiserkosis, pendidikan
kesehatan
menjadi
satu-satunya
faktor
utama
yang
dapat
mempromosikan terjadinya perubahan. Pendekatan ini adalah pilihan terbaik jika tidak terdapat rumah potong hewan di suatu wilayah. Laporan pertama kasus infeksi T. solium di Indonesia terdapat pada warga keturunan etnis Tionghoa yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur pada tahun 1940 (Bonne 1940 dalam Suroso et al. 2006). Margono et al. (2006) menyatakan di Indonesia sistiserkosis/taeniosis terdapat di beberapa daerah yaitu Bali, Sumatera Utara, Papua, Nusa Tengara Timur, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat. Provinsi yang merupakan daerah endemik yaitu Bali (T. solium dan T. saginata), Sumatera Utara (T. asiatica) dan Papua (T. solium).
3
Kasus sistiserkosis pertama di Papua dilaporkan di Paniai daerah Pegunungan Tengah. Pada tahun 1972, beberapa kali ditemukan telur taenia dan proglotid dari T. solium di rumah sakit Enarotali (Paniai) saat dilakukan pemeriksaan rutin (Margono et al. 2006). Sejak saat itu infeksi cacing pita (Taenia solium) menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Survei seroepidemiologi yang dilakukan Salim et al. (2009) memperlihatkan bahwa prevalensi sistiserkosis/taeniosis pada manusia di Kabupaten Jayawijaya cukup tinggi yaitu 20.8% untuk sistiserkosis dan 7% taeniosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi sistiserkosis dan taeniosis tidak mengalami perubahan sejak dilaporkan 35 tahun yang lalu, saat terjadinya epidemik penyakit sistiserkosis/taeniosis di Papua. Kabupaten Jayawijaya dengan ibukota Wamena, identik dengan bakar batu. Bakar batu menjadi ciri khas masyarakat Papua memasak daging babi dengan batu. Bakar batu adalah salah satu acara adat terpenting sebagai wujud kegembiraan menyambut kelahiran, kematian atau mengumpulkan prajurit untuk berperang. Bakar batu juga menjadi sarana pemulihan keharmonisan hidup manusia yang terganggu dendam, peperangan dan kematian. Babi yang dimasak secara bakar batu biasanya tidak masak sempurna atau setengah matang (Handali et al. 1997; Suroso et al. 2006; Wandra et al. 2007b). Di Kabupaten Jayawijaya penelitian sistiserkosis pada babi yang dilakukan tahun 1998-1999 menunjukkan prevalensi sebesar 70.4% (Margono et al. 2003). Maitindom et al. (2008) melakukan studi pada babi yang dijual di Pasar Jibama, Wamena Kabupaten Jayawijaya tingkat prevalensi mencapai 77.1%. Selama ini, penelitian tentang sistiserkosis/taeniosis di wilayah ini sebagian besar dilakukan pada manusia (Handali et al. 1997; Simanjuntak 2000; Salwati 2001; Margono et al. 2006; Salim et al. 2009). Kajian terhadap sistiserkosis pada babi sebagai inang antara yang menjadi sumber infeksi bagi manusia masih terbatas, sehingga perlu dilakukan kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi, serta karakterisasi risiko pola masak tradisional (bakar batu) yang selama ini dikaitkan dengan penularan sistiserkosis/taeniosis. Dalam penelitian ini dilakukan penyuluhan kesehatan
4
untuk meningkatkan perilaku hidup bersih sebagai upaya pengendalian sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya.
Tujuan Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengkaji penularan sistiserkosis pada babi yang dipelihara masyarakat Kabupaten Jayawijaya. 2. Mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat kejadian sistiserkosis pada babi. 3. Memetakan daerah yang rawan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya 4. Mengkarakterisasi risiko penularan sistiserkus pada daging babi yang diolah dengan metode tradisional (bakar batu). 5. Mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang sumber infeksi cacing pita.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam pengendalian sistiserkosis/taeniosis dan dapat menemukan metode untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat di Kabupaten Jayawijaya.
5
TINJAUAN PUSTAKA Sistiserkosis Sistiserkosis solium adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi larva cacing pita (sistiserkus) Taenia solium dalam tubuh manusia dan babi. Induk semang definitif cacing pita tersebut adalah manusia, sedangkan induk semang antaranya adalah babi dan manusia. Stadium dewasa dari T. solium yang menginfeksi manusia juga menyebabkan penyakit yang dinamakan taeniosis (De Aluja et al. 1999; Garcia-garcia et al. 1999; Eddi et al. 2003; García et al. 2003c; Conlan et al. 2008; Carabin et al. 2009; Asaava et al. 2009). Taenia spp. berukuran panjang, bersegmen, dan bersifat parasitik (famili Taeniidae, subklas Cestoda). Infeksi dengan larva dari Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis atau T. hydatigena disebut sistiserkosis. Larva dari organisme ini disebut sistiserkus. Pada satu waktu, pernah dipertimbangkan larva cacing pita dan dewasa adalah spesies yang berbeda. Untuk alasan inilah, fase larva seringkali disebut dengan nama berbeda. Fase larva untuk T. solium disebut dengan Cysticercus cellulosae, fase larva untuk T. saginata disebut Cysticercus bovis, dan fase larva untuk T. crassiceps disebut Cysticercus longicollis, Taenia hydatigena disebut Cysticercus tenuicollis. T. solium seringkali ditemukan pada manusia sedangkan keempat spesies lainnya sangat jarang. T. solium adalah spesies taenia yang pada manusia dapat menjadi inang antara maupun inang definitif (Huisa et al. 2005; Boa et al. 2006; Joshi et al. 2007; Myadagsuren et al. 2007; Reyes dan Terrazas 2007; Conlan et al. 2011). Perkembangan T. solium hampir sama dengan pada inang antaranya (babi atau manusia), kecuali sistiserkus yang dapat tersebar keseluruh hati, otak, dan sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (Diop et al. 2003; Chung et al. 2005; Li et al. 2007; Sikasunge et al. 2008b; Juarez et al. 2008). Penyakit ini meningkat dengan cepat dan dikenal sebagai masalah kesehatan masyarakat, khususnya pada negara berkembang. Sistiserkosis/taeniosis jarang terjadi di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa Barat, tetapi prevalensinya di Amerika Latin, China dan Afrika nampak relatif tinggi. Neurosistiserkosis dilaporkan terdapat di beberapa wilayah dan menjadi penyebab utama epilepsi (Rai et al. 2000; Zoli et al. 2003; Townes et al. 2004; Guevara-Flores et al. 2008; Krecek et al. 2008; Bett et al. 2009).
6
Sejarah Kasus infeksi cacing pita pertama kali dilaporkan di zaman Mesir kuno dalam Papyrus Ebers yang diperkirakan ditulis sekitar 1550 SM. Penyakit ini mungkin disebabkan oleh parasit Taenia saginata karena menurut Herodotus orang Mesir kuno tidak memakan babi. Cacing pita oleh ilmuwan Yunani seperti Hippocrates (460-375 SM), Aristotle (384-322 SM), dan Threophrastus (372-286 SM) sebagai Helmins plateia yang berarti flatworm atau Tainia/Taenia. (Grove 1990; Bruschi et al. 2006). Orang Roma seperti Celsus (20 M), Pliny the Elder (23-79 M) dan Galen (129-200 M) mengenal cacing pita dan menamai Lumbricus latus. Lumbricus adalah kelompok istilah yang berarti cacing dan latus berarti lebar/pita. Cacing ini juga terdapat di berbagai belahan dunia, termasuk di India dan China yang disebut dalam literatur kuno Asia. Hippocrates, Aristotle dan Galen menganggap cacing pita ini sebagai hewan, tetapi Aetius (550 M) dan Paulus Aegineta (640 AD) mempertimbangkan cacing pita ini sebagai bidang penjelmaan dari lapisan usus. Pada akhir milenium pertama setelah masehi, beberapa penulis Arab seperti Serapion (800 M) mempertimbangkan proglotid cacing pita sebagai cacing yang berbeda. Cacing ini dinamai cucurbitini, karena selain mirip dengan biji labu (spesies Cucurbita), juga biji labu adalah salah satu obat pertama untuk infeksi cacing pita. Banyak penulis Arab tidak mempertimbangkan cacing pita sebagai cacing, tetapi percaya bahwa itu adalah membran yang dibentuk oleh usus untuk memegang cucurbitini, sedangkan yang lainnya, termasuk Ibnu Sina (981-1037 M) mempertimbangkan bahwa cucurbitini (cacing biji labu) dan taenia (cacing raksasa) adalah makhluk yang berbeda. Nama taenia “solium” pertama kali dipublikasi oleh Arnaldo Villanovani (Grove 1990).
Siklus hidup Terdapat
tiga
stadium
perkembangan
cestoda
yaitu
telur,
larva
(metacestoda) dan cestoda dewasa (Gambar 1). Telur dan proglotid yang keluar bersama tinja inang definitif dapat bertahan beberapa hari sampai beberapa bulan di lingkungan, apabila termakan inang antara yang sesuai, menetas mengeluarkan
7
onchosphere dalam usus inang antara. Oncosphere menembus dinding usus menuju bagian tubuh inang antara, melalui sirkulasi darah atau limfe menuju bagian jaringan organ inang antara menjadi metacestoda (sistiserkus). Sistiserkus dapat bertahan hidup untuk beberapa tahun pada inang antara. Metacestoda ditelan oleh inang definitif yang sesuai maka calon skoleks (protoskoleks) keluar dari kista lalu menempel pada mukosa usus dengan menggunakan batil hisapnya. Pada usus manusia, sistiserkus berkembang selama dua bulan sampai menjadi cestoda dewasa, yang dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cacing pita dewasa menempel pada usus halus dengan menggunakan skoleks. Manusia dapat terinfeksi dengan memakan daging mentah atau setengah matang yang mengandung sistiserkus.
Gambar 1 Siklus hidup Taenia sp (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Taeniasis.htm).
8
Morfologi Panjang cacing dewasa biasanya 2-7 meter. Cacing dewasa menghasilkan proglotid yang mature, menjadi gravid, terlepas dari strobila, dan keluar melalui tinja. Parasit ini berukuran panjang 24 kaki dan berjumlah 507 proglotid. Rata-rata diameter telur Taenia solium adalah 38 μm. Telur cacing Taenia solium berisi embrio yang khas, dengan tiga pasang kait (Noble et al. 1989; Riemann dan Cliver 2006). Fase dewasa cacing pita Taenia solium pada usus halus manusia dan disusun oleh rantai (strobila) dari segmen (proglotid) yang berisi sistem reproduksi jantan maupun betina. Segmen cacing dewasa yang berisi dengan telur, terlepas dan melewati anus, baik bebas maupun bercampur tinja. Jangka hidup cacing dewasa mencapai 30-40 tahun. Jumlah telur yang keluar dari inang per hari sangat tinggi (500 000 – 1 juta) dan dapat mengkontaminasi lingkungan. Telur taenia dapat bertahan lama di lingkungan pada temperatur yang rendah yaitu 4-5 °C. Masa infektif telur selama empat sampai enam bulan, 33 hari di sungai dan lebih dari 150 hari di permukaan tanah (Riemann dan Cliver 2006).
Metode Diagnosis Taeniosis dapat didiagnosa dengan adanya proglotid atau telur taenia di feses. Telur dapat juga ditemukan pada adhesive tape preparations yang diambil dari dekat anus. Pada umumnya, spesies cacing pita ditentukan oleh dasar morfologi dari proglotid atau skoleks
yang ditemukan. Enzyme-linked
immunosorbent assays (ELISAs) dan PCR dapat membedakan telur T. solium dan T. saginata, morfologi dapat digunakan untuk membedakan proglotidnya (Hubert et al. 1999; Wilkins et al. 1999; Gonzalez et al. 2000; Verastegui et al. 2003; Dekumyoy et al. 2004; Kara dan Doganay 2005; Yamasaki et al. 2005; Nunes et al. 2006; Mayta et al. 2008; Zheng et al. 2008; Deckers et al. 2009; Gasser et al. 2009; Praet et al. 2010b; Allepuz et al. 2011). Studi penggambaran termasuk scan computed tomography (CT) digunakan untuk mengidentifikasi sistisersi di dalam otak. Inaktif (calcified) kista pada berbagai bagian dari tubuh termasuk otot dan otak dapat dilihat dengan sinar x. Biopsi dapat digunakan untuk subkutan, dan larva dapat dilihat dengan mata pada
9
saat pemeriksaan okular (Molinari et al. 2002; Garcia dan Del Brutto 2003; Lucas et al. 2003; Rodriguez-Hidalgo et al. 2006; Prestes-Carneiro et al. 2006; Machado et al. 2007; Atluri et al. 2009). Uji serologi digunakan untuk mendiagnosa sistiserkosis pada manusia termasuk enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISAs, complement fixation dan hemagglutination. Antibodi dapat ditemukan dalam serum (Goodman et al. 1999; Hubert et al. 1999; Allan et al. 2003; Villota et al. 2003; Li et al. 2006; Gomes et al. 2007; Deckers et al. 2008b; Morales et al. 2008; Sahu et al. 2009). Diagnosis klinis neurosistiserkosis didasarkan pada riwayat pasien, penemuan radiografik, dan konfirmasi patologi. Gambar Magnetik Resonance (MR) juga sangat berguna untuk diagnosis. Lebih jauh, diagnosis terakhir neurosistiserkosis tergantung sepenuhnya pada penemuan histologi (Hellard et al. 1998; Engels et al. 2003; Ishikawa et al. 2007; Prasad et al. 2008; Prasad et al. 2009; Berata et al. 2010). Di Indonesia, Dharmawan (1995) mendiagnosis serum babi dengan menggunakan metode Sandwich ELISA untuk mendeteksi adanya antigen yang bersirkulasi dalam darah. Selain itu, Salwati (2001) mendeteksi sistiserkosis dengan
menggunakan
EITB
pada
manusia.
Arimbawa
et
al.
(2004)
mengemukakan bahwa untuk penderita neurosistiserkosis dapat didiagnosis dengan menggunakan CT scan pada otak.
Gejala Klinis Taeniosis biasanya asimptomatik, kecuali saat keluarnya proglotid melalui tinja. Gejala abdominal ringan terjadi pada beberapa kasus; hal ini termasuk sakit di bagian abdominal, diare atau sembelit, mual, penurunan atau peningkatan selera makan, dan kehilangan berat badan. Bayi dapat mengalami muntah, diare, demam, penurunan berat badan (Vilhenia et al. 1999). Gejala non spesifik lain seperti insomnia, rasa tidak enak badan dan kegelisahan juga terjadi (Meza et al. 2005). Gejala sistiserkosis bervariasi tergantung dari lokasi dan jumlah larva. Neurosistiserkosis adalah sistiserkosis yang paling serius. Pada beberapa kasus, gejala tidak terlihat. Pada kasus lainnya, gejala tersebut terjadi secara tiba-tiba,
10
sebagai akibat dari kejadian seperti terhalangnya cerebrospinal fluid (CSF) oleh sistiserkosis. Serangan dan sakit kepala kronis adalah gejala yang paling sering terjadi. Tanda lainnya dapat berupa mual, muntah, vertigo, kehilangan keseimbangan dan pusing. Beberapa kasus dari neurosistiserkosis adalah fatal (Alarcon et al. 1992; Bern et al.1999; Bueno et al. 2001; Arimbawa et al. 2004; Mitre et al. 2007; Tran et al. 2007).
Pengendalian dan Pencegahan Berbagai pedoman surveilans, pencegahan dan pengendalian taeniosis dan sistiserkosis telah dipublikasi oleh badan internasional. Inspeksi tempat pemotongan hewan memiliki beberapa kelemahan. Di beberapa negara, dengan diam-diam memasarkan daging babi tanpa pemeriksaan. Lebih lanjut, keakuratan dari prosedur pemeriksaan daging kurang dari 50% untuk inspeksi rendah sampai menengah. Konsekuensinya, penelitian yang sedang berlangsung dilakukan untuk mengembangkan teknologi pendeteksian secara lebih cepat dan sensitif. Uji immunodiagnostik menjadi perhatian khusus, dan beberapa uji sedang dalam pengembangan (Lekule dan Kyvsgaard 2003; Mukaratirwa et al. 2003; Rimm 2003; Schantz dan Tsang 2003; Somers et al. 2006; Geldhof et al. 2007; Scandrett et al. 2009; Tsigarida et al. 2009; Assana et al. 2010b; Praet et al. 2010a). Pengendalian yang efektif akan selalu menjadi capaian yang terbaik dengan meminimalkan faktor risiko. Pemerintah sebaiknya mengambil langkah yaitu semua daging sapi dan babi yang dipasarkan harus melakukan prosedur pemeriksaan daging. Manajemen peternakan harus menjaga agar hewan ternak tidak dapat memakan feses manusia. Sewaktu-waktu jika memungkinkan, pekerja peternakan selayaknya diperiksa. Penggunaan tempat kotoran dan air pembuangan untuk maksud peternakan harus menerima perhatian khusus. Sebagai contoh, hewan ternak tidak terkena kontak langsung dengan aliran air yang membawa air pembuangan dan sisa pembuangan kotoran. Legislator juga diperlukan untuk mengatur penggunaan pertanian dari pembuangan kotoran, khususnya pada tempat penggembalaan dan padang rumput (Martin et al. 1987; Gonzalez et al. 2001; Cabaret et al. 2002; Joshi et al. 2003; Nash 2003; Jackson dan Miller 2006; Kebede 2008; Sikasunge et al. 2009; Assana et al. 2010a).
11
Pada berbagai negara dimana inspeksi tidak berjalan dengan baik, sangat direkomendasikan bagi konsumen untuk memasak daging babi paling rendah dengan suhu 60 °C. Pengendalian sistiserkosis daging babi di negara berkembang diutamakan. Penghambat pada perubahan adalah kemiskinan, tradisi dan berbagai kepentingan. Word Health Organization dan Pan American Health Organization telah mengembangkan dua strategi alternatif untuk pengendalian infeksi T. solium pada manusia yaitu intervensi yang komprehensif jangka panjang dan intervensi jangka pendek berdasarkan pada pengobatan massal infeksi cacing dewasa (pada usus) dan terjadinya penyebaran telur. Strategi pertama termasuk peraturan yang cukup baik, sistem modernisasi produksi daging babi, peningkatan efisiensi dan pemenuhan inspeksi daging, ketentuan fasilitas sanitasi yang cukup, dan pemakaian pengukuran untuk mengidentifikasi dan mengobati penderita cacing pita. Untuk strategi yang kedua yaitu program mengidentifikasi telur dan pengobatan kepada semua penderita telah dikembangkan. Prospek pemberantasan T. solium dianggap baik bila dapat memutuskan siklus hidup dengan meningkatkan sanitasi, mengandangkan babi, dan inspeksi daging yang ketat dan teliti (Eichenberger et al. 2011). Strategi lain untuk mengendalikan sistiserkosis pada daging babi yaitu vaksinasi untuk babi (Lightowlers 2010; Fonseca-Coronado et al. 2011). Antigen homolog dari sistisersi mampu untuk mengindusi tingkat tinggi dari kekebalan protektif (71%) untuk melawan infeksi yang datang. Usaha lain yang dicapai pada identifikasi antigen protektif yaitu vaksin yang digunakan dapat dihasilkan dan tidak bergantung pada kompleksitas masalah (Noble et al. 1989; Molinari et al. 1997; Taylor et al. 2001; Toledo et al. 2001; Lightowlers 2003; Sato et al. 2007; Sciutto et al. 2007; Verastegui et al. 2007; Morales et al. 2008; Rupa et al. 2008; Sikasunge et al. 2008a; Morales et al. 2011). Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas sistiserkosis/taeniosis di Indonesia. Salah satunya adalah dengan membuat petunjuk pemberantasan sistiserkosis/taeniosis di Indonesia (Kandun 2000). Beberapa pencegahan yang harus dilakukan adalah: 1.
Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita Taeniosis
12
2.
Pemakaian jamban keluarga, sehingga tinja manusia tidak termakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput
3.
Memelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran
4.
Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di rumah potong hewan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas peternakan)
5.
Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging. Hal ini penting di daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Papua
6.
Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah
7.
Memasak daging sampai matang (diatas 57 °C dalam waktu cukup lama) atau membekukan dibawah 10 °C selama 5 hari. Pendekatan ini ada yang dapat diterima, tetapi dapat pula tidak dikerjakan, karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografi (SIG) merupakan sebuah sistem informasi yang berbasis spasial. Pada bidang kesehatan masyarakat, analisis spasial dengan SIG dapat digunakan untuk: 1) Pengendalian penyakit (pemetaan vektor, kasus penyakit; identifikasi jarak, kluster kasus/sumber penyakit), 2) Perencanaan program kesehatan, 3) Monitoring dan evaluasi program kesehatan. SIG mengintegrasikan berbagai macam data seperti data satelit, foto udara, peta digital, dan data lainnya sehingga akan membentuk informasi baru berupa peta tematik. Langkah awal yang harus disiapkan dalam membuat peta tematik adalah menyiapkan data spasial yang bisa menunjukkan lokasi suatu daerah. Untuk mendapatkan data spasial, kita dapat menggunakan global positioning system (GPS), yaitu suatu sistem navigasi berbasis satelit yang memberitahukan
13
posisi pasti dari suatu lokasi di bumi (Staubach et al. 2001; Jaya 2002; Allepuz et al. 2009; Martinez-Hernandez et al. 2009; Michelet et al. 2010). Setelah mendapatkan data spasial dari GPS, maka data tersebut dapat diolah menggunakan program SIG seperti Epimap, Quantum GIS, ArcView, dsb. Hingga akhirnya bisa menghasilkan suatu peta lengkap dengan titik – titik lokasi yang sedang diteliti.
Kabupaten Jayawijaya Gambaran umum lokasi penelitian Kabupaten Jayawijaya yang beribukota di Wamena, terletak antara 138° 30’- 139° 40’ bujur timur dan 3° 45’- 4° 20’ lintang selatan. Memiliki luas wilayah 8496 Km². Sebelah utara kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Yalimo, dan Kabupaten Tolikara, di sebelah selatan kabupaten ini adalah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yahukimo, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Yalimo, sebelah barat adalah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Lanny Jaya. Kabupaten ini memiliki 11 distrik /kecamatan. Distrik-distrik tersebut yaitu: Wamena kota, Asolokobal, Walelagama, Hubikosi, Pelebaga, Asologaima, Musatfak, Kurulu, Bolakme, Wollo, dan Yalengga. Dari 11 distrik di Kabupaten Jayawijaya, Distrik Kurulu memiliki wilayah terluas yaitu sekitar 15.54% dan Distrik Wollo sebagai distrik yang terkecil wilayahnya, yaitu hanya 7.42% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Jayawijaya. Distrik Bolakme merupakan distrik yang paling jauh jarak tempuhnya dari ibukota kabupaten (Wamena), hampir mencapai 46 Km. Sedangkan distrik yang terdekat dengan Wamena adalah Distrik Asolokobal dan Distrik Pelebaga, sekitar sembilan kilometer dari Wamena (BPS 2010). Berdasarkan hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah V Jayapura, Balai Wamena Tahun 2009, dilaporkan bahwa suhu udara rata-rata di wilayah Kabupaten Jayawijaya selama tahun 2009 mencapai 19.40 °C dengan kelembaban udara rata-rata diperkirakan sekitar 79%, dapat dipastikan bahwa di daerah Kabupaten Jayawijaya termasuk kategori daerah dingin. Ini juga dapat dilihat dari nilai suhu minimum Kabupaten Jayawijaya mencapai 14.80 °C
14
sementara suhu maksimum hanya sekitar 26.0 °C. Selanjutnya curah hujan ratarata yang terjadi yaitu sekitar 204.9 mm, dimana curah hujan tertinggi tahun 2009 terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 320.9 mm dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni yakni sebesar 144.3 mm. Banyaknya hari hujan rata-rata di Kabupaten Jayawijaya yaitu 23 hari, namun pernah juga hampir mencapai satu bulan, yaitu pada bulan Maret 2009 hingga 29 hari hujan. Hal ini bisa saja terjadi karena kondisi topografi yang bergunung-gunung dan masih banyak perbukitan sehingga sulit membedakan musim secara jelas. Persentase
penduduk
miskin
di
Kabupaten
Jayawijaya
cenderung
mengalami penurunan dari 50.62% pada tahun 2006 menjadi 35.97% pada tahun 2008. Meskipun demikian, persentase penduduk miskin masih tergolong tinggi sehingga pemerintah masih harus tetap berusaha untuk menurunkan angka kemiskinan khususnya di Kabupaten Jayawijaya. Air merupakan kebutuhan hidup yang sangat penting bagi manusia, terutama untuk kebutuhan minum dan memasak. Berdasarkan kelayakan pemakaian air minum, rumah tangga yang menggunakan air minum yang layak pakai mengalami peningkatan dari 52.48% pada tahun 2007 menjadi 56.54% pada tahun 2008. Fasilitas sanitasi yang layak adalah fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan yaitu tempat buang air besar yang dilengkapi dengan leher angsa dan tangki septik. Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Jayawijaya belum menggunakan tangki septik sebagai tempat pembuangan tinja (7.45%). Masyarakat masih belum memahami arti pentingnya kesehatan, hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase rumah tangga yang masih menggunakan kebun sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu sebesar 84.04%, dan masih ada yang menggunakan kolam/sawah (0.19%) dan lubang tanah (8.15%). Pada tahun 2009 Kabupaten Jayawijaya memiliki 162 sekolah dengan perincian 15 sekolah taman kanak-kanak, 105 sekolah dasar, 25 sekolah menengah pertama (SMP) dan 17 sekolah menengah atas (SMA). Dari 17 SLTA, 12 diantaranya merupakan SMA Umum dan sisanya merupakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Seluruh SD yang ada di Kabupaten Jayawijaya sudah beroperasi semuanya. Untuk tingkat SD, seluruh distrik memiliki SD dengan jumlah yang bervariasi. Distrik yang memiliki jumlah SD paling sedikit
15
yaitu Distrik Wollo dan Yalengga, masing-masing sebanyak empat dan tiga SD, sedangkan yang memiliki sekolah dasar terbanyak adalah Distrik Wamena, yaitu sebanyak 19 SD. Untuk pendidikan Sekolah Dasar, rasio murid terhadap guru yakni 22.85, artinya, rata-rata satu orang guru mengajar 23 siswa. Sedangkan ratio murid terhadap guru di tingkat SMP sebesar 32.57, tingkat SMA sebesar 36.47, dan tingkat SMK sebesar 88.82. Hal ini menunjukkan bahwa di tingkat SMK masih kekurangan tenaga pengajar karena rata-rata satu orang guru di SMK mengajar sebanyak 89 siswa. Di Kabupaten Jayawijaya terdapat satu rumah sakit umum daerah (RSUD), 12 puskesmas dan 24 buah puskesmas pembantu. RSUD hanya terdapat di Distrik Wamena sedangkan Puskesmas terdapat di semua distrik. Berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Jayawijaya, terdapat 13 dokter umum, lima dokter gigi, 49 bidan, dua apoteker dan 120 perawat. Jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk adalah infeksi saluran pernafaan atas yaitu sebanyak 10 932 kasus, diikuti oleh penyakit malaria klinis 3007 kasus, disentri basiler 2224 kasus dan disentri amuba 1427 kasus. Jumlah posyandu di Kabupaten Jayawijaya cenderung mengalami peningkatan dari 97 unit (2007) menjadi 111 unit pada tahun 2009. Kelahiran balita sebagian besar masih dibantu oleh keluarga dan dukun, baik kelahiran pertama maupun terakhir. Angka kematian bayi per 1000 kelahiran selama periode 2004-2007 cenderung mengalami penurunan dari 45 menjadi 34. Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jayawijaya terdapat 175 kasus untuk laki-laki dan 116 kasus untuk perempuan. Umbi-umbian merupakan salah satu makanan pokok penduduk Jayawijaya sehingga tidak mengherankan jika tanaman pangan ini cukup banyak ditanam di Kabupaten Jayawijaya. Berbagai macam tanaman sayuran banyak ditanam di daerah Jayawijaya karena iklimnya cocok untuk pertumbuhan tanaman sayursayuran. Produksi tanaman pangan terbesar tahun 2009 adalah ubi jalar yaitu sebesar 134 414 ton, disusul produksi sayuran 3476 ton dan padi sawah sebesar 2490 ton dengan produktivitas 20.80 ton/ha. Dari beberapa jenis sayuran yang ditanam, tomat merupakan tanaman yang paling besar produksinya, yaitu 750.38 ton dengan produkstivitas 72.49 ton/ha. Sedangkan buah-buahan dengan produksi
16
terbesar adalah pisang sebanyak 254.71 ton dengan produktivitas 126.08 ton/ha. Kopi, tembakau, buah merah merupakan tanaman perkebunan yang diusahakan di Kabupaten Jayawijaya. Luas areal tanaman kopi mengalami peningkatan dari 900 Ha pada 2008 menjadi 1775 Ha pada tahun 2009. Hampir semua distrik di Kabupaten Jayawijaya terdapat perkebunan kopi dan salah satu distrik yang paling banyak mengusahakannya adalah Distrik Asologaima. Populasi ternak babi masih menduduki jumlah yang paling banyak diusahakan oleh penduduk Jayawijaya. Jenis ternak besar yang diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Jayawijaya antara lain sapi (4237 ekor), kerbau (110 ekor), dan kuda (26 ekor), sedangkan ternak kecil, antara lain kambing (1137 ekor), babi (45 862 ekor), dan kelinci (3697 ekor). Ternak unggas yang banyak diusahakan adalah ayam buras (27 745 ekor) dan itik (507 ekor). Produksi daging babi merupakan produksi yang terbesar yaitu sebanyak 454 857 Kg sedangkan produksi terkecil adalah kerbau yaitu sebanyak 1406 Kg. Produksi ayam buras sebanyak 17 687 Kg dan itik 249 Kg (BPS 2010).
17
Taeniosis dan sistiserkosis pada manusia di Papua Papua dahulu dikenal dengan nama Irian jaya. Kasus pertama dilaporkan terjadi tahun 1972 di Kecamatan Paniai, Kabupaten Nabire (sebelum pemekaran kabupaten tahun 1999). Pasien yang berobat di rumah sakit Enarotali (dahulu adalah ibukota kecamatan, saat ini ibukota kabupaten), diambil 170 sampel feses dan terdeteksi telur Taenia spp. sebesar 9%, pengambilan kedua (bukan pasien) dari 74 sampel diperoleh 8% positif untuk telur taenia. Kedua kelompok pengambilan sampel tadi adalah masyarakat Ekari (Kapauku). Kelompok ketiga, suku Moni yang tinggal di lembah Dogindora, tidak ditemukan cacing taenia (Margono et al. 2006). Selama enam bulan (1972-1973), di rumah sakit Enarotali terdapat 13 kasus, termasuk delapan pria dan lima wanita dari umur 16-40 tahun didiagnosa sistiserkosis. Observasi medis menunjukkan tiga orang pasien memiliki nodul dengan jumlah nodul berkisar antara satu sampai 20, yang mendapat serangan epilepsi sebanyak dua orang pasien. Survei yang dilakukan pada tahun 1983 di Kampung Dukopu, Desa Hubikosi Kecamatan Wamena, ditemukan 11 orang (10.8%) dari 102 orang penduduk yang menunjukkan gejala sindroma cacing pita dan 10 orang dari jumlah tersebut mengalami kejang-kejang dan dua diantaranya mempunyai nodul, sedangkan seorang hanya mempunyai nodul tanpa gejala kejang (Gunawan et al. 1976). Tahun 1991, laporan Puskesmas Assologaima, dari 13 334 penduduk di enam kampung ditemukan empat kasus epilepsi dan 217 kasus luka bakar (1.6%), tahun 1995 meningkat menjadi 145 kasus epilepsi (0.83%), 452 kasus luka bakar (2.58%) dari 17 493 penduduk dan 50% kasus epilepsi menderita taeniosis dan sistiserkosis. Tahun 1993, terjadi peristiwa kematian tokoh gereja katolik akibat tenggelam di sungai saat serangan epilepsi sehingga dilakukan survei sistiserkosis/taeniosis dan cacing usus lainnya di delapan Paroki (Gereja Katolik) di seluruh Lembah Baliem. Survei terhadap 537 orang dewasa ditemukan 48% pernah mengalami epilepsi dan 26.5% merupakan penderita sistiserkosis (Simanjuntak 2000; Subahar et al. 2005; Wandra et al. 2007b).
18
Serangan epilepsi pada penderita sistiserkosis di Jayawijaya biasa terjadi pada waktu malam hari. Kondisi ini sering mengakibatkan terjadinya luka bakar karena penderita terguling ke dalam perapian yang terletak di tengah honai (rumah adat). Survei dari tahun 1973-1976 tercatat 257 kasus luka bakar dalam honai di Desa Obano dan pada tahun 1991-1995 ditemukan 1120 kasus luka bakar di Distrik Assologaima yang berpenduduk 15939 jiwa (Wandra et al. 2007b).
Kebudayaan Masyarakat Kabupaten Jayawijaya terdiri dari beberapa suku yang mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda. Suku yang besar adalah suku Dani, Lani dan Yali. Nama Dani dipakai pemerintah untuk menyebut seluruh penduduk Lembah Besar Balim, yang juga nama sebuah klen (suku). Walaupun demikian, di lembah-lembah yang berada di bagian barat, Dani juga merupakan nama dari bahasa mereka. Orang Moni, tetangga sebelah barat orang Dani kadang-kadang menyebut mereka orang Ndani, atau Lani. Namun orang Dani sendiri sebagai satu kesatuan manusia, menyebut dirinya sendiri dengan nama perkampungannya atau kadang-kadang dengan nama dari gabungan perkampungan tempat tinggal mereka. Beberapa orang yang berpandangan luas menyebut dirinya nit akhuni Balimmege, yang artinya kami manusia Balim (Koentjaraningrat 1992; SusantoSunario 1994). Sebagian besar orang Dani berambut keriting, berkulit cokelat tua, dengan tinggi badan rata-rata 1.60 meter, tetapi ada pula yang tingginya mencapai 1.70 meter. Mata pencarian hidup orang Dani yang utama adalah bercocok tanam. Cara bercocok tanam orang Dani adalah dengan berpindah-pindah. Tanah digarap selama beberapa musim, dan apabila tanah itu telah kehabisan zat-zatnya, tanah itu ditinggalkan kemudian dibuka sebidang tanah yang baru. Di samping bercocok tanam berpindah-pindah, orang Dani juga memelihara babi. Binatang ini dapat dimiliki secara pribadi oleh pria maupun wanita, tetapi yang biasanya memelihara babi adalah wanita dan anak-anak. Pada waktu pagi babi diberi makan ubi, tetapi sepanjang hari sampai sore binatang-binatang itu dibiarkan berkeliaran di desa atau di kebun untuk mencari makanannya sendiri. Babi jantan seringkali dikebiri agar tumbuh menjadi besar, dan hanya sedikit saja yang dipelihara untuk pejantan.
19
Orang Dani umumnya mengonsumsi daging babi pada waktu mereka mengadakan pesta, berkenaan dengan upacara-upacara sepanjang daur hidup individu (kelahiran, inisiasi, perkawinan dan sebagainya), pembakaran jenazah, dan pada pesta-pesta babi. Selain sebagai bahan pangan, babi juga dimiliki untuk menambah gengsi. Orang-orang yang mempunyai kedudukan penting atau orang yang berpengaruh tentu memiliki banyak babi. Babi juga merupakan barang berharga untuk keperluan-keperluan yang bersifat ekonomi dan sosial, dan dapat dipakai untuk membeli tanah, kapak besi, tetapi juga untuk meredakan suatu permusuhan, membalas jasa, maupun sebagai unsur mas kawin (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario 1994). Suatu hal yang sangat menarik adalah orang Dani merupakan contoh hidup dari sekelompok manusia yang masih hidup dengan sistem peralatan gaya neolitik. Alat-alat batu yang dipakai orang Dani adalah kapak batu berbentuk bujur sangkar yang diasah sampai licin. Alat rumah tangga orang Dani adalah berbagai bentuk pisau batu serta alat-alat lain yang terbuat dari tulang yang berfungsi
sebagai
sendok,
jarum
dan
sebagainya.
Dalam
kebudayaan
tradisionalnya orang Dani tidak mengenal periuk belanga, sebagai wadah mereka membuat piring dari kayu, benda cair biasanya ditempatkan dalam kulit buah labu yang sudah dikeringkan lalu mereka gunakan sebagai mangkuk. Untuk menyimpan barang-barang berharga, tembakau dan pinang, mereka membuat tastas anyaman. Orang Dani membuat kantung jaring atau tas yang dirajut dari tali serat kulit kayu (su-ebe/noken) untuk mengangkut barang-barang, yang mereka bawa di punggung, yang kadang-kadang menggelantung hingga ke pantat, dengan melingkarkan talinya di dahi, sehingga berat bebannya ditanggung oleh kepala. Kantung-kantung seperti itu dapat dipakai untuk mengangkut berbagai hasil kebun, anak babi, bahkan bayi sekali pun. Menganyam kantung seperti itu adalah pekerjaan wanita (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994). Senjata terpenting orang Dani adalah busur sepanjang 1.40-1.60 meter yang disebut sikhe. Anak panah ada berbagai bentuk, yang masing-masing mempunyai sebutan dan fungsinya sendiri-sendiri: ada yang khusus untuk berperang, ada yang dipakai untuk memanah burung, dan ada yang digunakan untuk memanah babi. Senjata orang Dani yang lain adalah tombak panjang (sege). Pakaian pria Dani
20
sehari-hari hanya sebuah penutup alat kelamin (holim) yang berasal dari kulit labu. Buah labu dibiarkan tumbuh menjadi panjang dengan menggantungkan batu di ujungnya. Anak laki-laki baru memakainya setelah berumur lima tahun. Wanita biasanya memakai sali yang terbuat dari beberapa lapis jerami yang diikatkan di pinggang untuk menutupi bagian depan dan belakang tubuhnya. Pakaian lain yang khusus dipakai oleh wanita yang telah menikah adalah penutup alat kelamin yang juga dibuat dari jerami, lebih tipis yang terbuat dari tali serat kulit kayu (yokal), yang hanya dipakai di bagian depan saja. Pada waktu pesta, baik pria maupun wanita memakai perhiasan kalung kerang, kalung manik-manik, atau kalung tulang burung. Lengan dan kaki memakai gelang-gelang anyaman rotan. Pakaian resmi untuk pria memerlukan lebih banyak perhiasan daripada wanita, karena mereka juga memakai jambul warna-warni dari bulu-bulu burung, sedang hidungnya diberi tusuk hidung dari tulang atau taring babi. Pada waktu pesta kaum pria juga mencemongkan dahinya dengan arang, sementara akhir-akhir ini mereka juga gemar memakai bahan kimia yang terdapat dalam batu batere untuk membuat dahi mereka hitam mengkilat (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994).
Tempat tinggal dan pola perkampungan Tempat
pemukiman
orang
Dani
terpencar-pencar
dalam
bentuk
perkampungan-perkampungan permanen yang dinamakan osili/usilimo, letaknya mempunyai dua pola yaitu di tempat yang tinggi di atas bukit atau lembah. Antara satu kampung dengan kampung lainnya pada umumnya berjarak beberapa kilometer, bahkan ada yang terpisah beberapa puluh kilometer dari kampungkampung lainnya. Setiap osili terdiri atas beberapa O-ugul (hamlet), yang biasanya dipagari sekelilingnya dengan menggunakan belahan-belahan kayu yang sangat rapat seperti dinding, sehingga tidak dapat dimasuki kecuali melalui gerbang yang tersedia. Masing-masing o-ugul terdiri atas satu atau beberapa honae/pilamo (rumah laki-laki) dan sejumlah ebe-ae (rumah perempuan atau rumah keluarga). Setiap o-ugul biasanya mempunyai satu bangunan dapur yang dipergunakan oleh semua anggota keluarga. Bangunan-bangunan honae maupun ebe-ae berbentuk bulat sedangkan bangunan dapur berbentuk persegi panjang.
21
Honae selalu berada dekat pintu gerbang o-ugul dan agak menyendiri dari bangunan-bangunan lainnya dan bangunan itu tidak boleh dimasuki oleh wanita dan anak-anak karena hanya diperuntukkan bagi laki-laki yang sudah dewasa (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994). Suatu keluarga tidak selalu tinggal bersama dalam satu rumah sebagai suatu kesatuan sosial yang tampak dengan jelas. Dalam satu desa Dani warga pria tinggal bersama dalam suatu rumah yang khusus, sedang para warga wanita tinggal
dalam
rumah
khusus
yang
lain.
Rumah
bagi
pria
disebut
belai/honae/pilamo, dan berbentuk bundar rendah. Kerangkanya terbuat dari batang-batang kayu yang kasar, yang dilapisi dengan dua deret papan kayu yang juga sangat kasar buatannya. Atapnya berbentuk payung dibuat dari ikatan-ikatan rumput yang disusun berlapis-lapis setebal kira-kira 15 cm. Pintu masuk sangat kecil dan rendah, sehingga orang harus membungkuk untuk masuk ke dalam honae. Loteng yang terbuat dari papan tersusun rapi di atas kerangka balok. Loteng yang ditopang oleh empat tiang yang dipancangkan di tengah, ruangan bawah itu merupakan ruang tidur. Dalam ruangan terdapat tempat perapian yang dibuat di antara keempat tiang penopang loteng. Lantai ruangan itu dilapisi rumput kering (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994). Rumah untuk wanita adalah ebe-ae, yang juga terbuat dari bahan-bahan yang sama seperti honae, namun ukurannya lebih kecil. Ebe-ae adalah tempat para wanita dan anak-anak makan dan tidur. Walaupun demikian mereka sering kali juga makan di dapur. Suami mereka karena itu juga sering datang ke ebe-ae untuk makan bersama keluarga inti mereka, untuk mengobrol atau untuk menggauli isteri mereka. Namun mereka jarang tidur bersama semalam suntuk. Sanggama antara suami dan isteri seringkali juga dilakukan di tempat yang sepi di kebun atau di hutan. Suatu ebe-ae biasanya dihuni oleh sebanyak empat sampai delapan orang. Selain rumah pria, rumah wanita dan dapur, dalam suatu perkampungan Dani masih ada satu bangunan yang sangat penting, yakni kandang babi. Bentuk kandang babi ini sama dengan dapur dan terbuat dari bahan-bahan yang sama pula, namun ruangannya dibagi-bagi menjadi kotak-kotak, yang masing-masing diisi oleh seekor babi dewasa.
22
Pengelompokan yang terkecil dalam masyarakat Dani adalah o-ugul, yang terdiri dari satu atau beberapa keluarga luas mengelompok menjadi satu compund/hamlet. Meskipun garis keturunan dihitung berdasarkan garis laki-laki tetapi dalam o-ugul tidak harus laki-laki bersaudara kandung bersama isteri-isteri dan anak-anak mereka yang sengaja tinggal melainkan bisa juga anak-anak perempuan yang sudah kawin bersama suami mereka ikut bergabung di dalamnya. Sehingga dalam suatu o-ugul bisa terdapat warga dari beberapa klen (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994). Setiap klen yang ada dalam suku Dani dipimpin oleh seorang kepala klen yang disebut gain yang populer dewasa ini sering disebut dengan istilah kepala suku. Gain sangat dihormati dan disegani dalam masyarakat karena orang yang menduduki jabatan itu biasanya adalah mereka yang mempunyai prestasi dan reputasi dalam hal keberanian, ketangkasan, kebijaksanaan dan kekayaan. Gain yang sangat menonjol prestasi dan reputasinya menjadi pemimpin dari konfederasi-konfederasi klen (dlabukako), yang pada masa lalu ketika sering terjadi perang antar kelompok berfungsi sebagai persekutuan perang yang menghimpun tenaga untuk melakukan pertempuran melawan pihak musuh. Pada masa lalu bilamana satu suku berselisih dengan suku lain yang berlainan konfederasi maka biasanya akan menimbulkan perang antar konfederasi yang akan menelan korban jiwa. Sebelum jatuh korban yang berimbang pada kedua belah pihak, maka tidak ada usaha untuk menghentikan perang. Hal ini sering menyebabkan banyak korban jiwa kalau terjadi perang. Satu konfederasi ada yang mencakup hanya lima atau enam klen tetapi ada juga yang mencakup sepuluh suku, dibawah koordinasi seorang gain yang terkemuka yang disebut gain tok atau disebut juga kepala suku besar. Sebagai contoh, ukumyarik yang menjadi gain tok dari dlabukako Aso-lopagal; silo yang menjadi gain tok dari dlabukako Gosi-loka (dlabukako Aso-lopagal mencakup tujuh suku, sedangkan dlabukako Gosi-loka mencakup sepuluh suku). Biasanya antara tiga sampai lima tahun sekali diadakan suatu pesta besar dalam setiap dlabukako yang disebut ebe-ako, yang dimaksudkan untuk memelihara hubungan antara suku-suku yang menjadi anggotanya. Pesta tersebut yang sering juga disebut dengan istilah pesta babi karena dalam pesta tersebut biasanya dipotong ratusan ekor babi, sekaligus
23
merupakan pesta untuk perkawinan dari puluhan pasangan pengantin dari warga suku-suku yang tergabung dalam dlabukako yang bersangkutan (Koentjaraningrat 1992; Depdikbud 1993; Susanto-Sunario1994).
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ
ϓ ϓ
1
ϓ
ϓ 2
4
2 3 2
Gambar 2 Denah pola perkampungan pada salah satu kelompok di Kurulu. Keterangan gambar 1 Rumah laki-laki dewasa (honae/pilamo), selalu lurus menghadap pintu pagar 2 Rumah wanita dan anak-anak yang belum menerima inisiasi (ebe-ae) 3 Dapur bersama dan tempat anak laki-laki yang belum dewasa (lese) 4 Kandang babi (debula) ϓ Tanaman pekarangan (pisang, labu, tembakau, dll) Pagar luar (sili)
25
PENDAHULUAN Penyakit sistiserkosis/taeniosis termasuk penyakit tropis yang sering terabaikan (neglected disease) (Pouedet et al. 2002; Anantaphruti et al. 2007a; Ito et al. 2007b; Okamoto et al. 2007; Hotez dan Brown 2009). Sistiserkosis adalah penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak disebabkan oleh larva dari spesies cacing Taenia yaitu Taenia solium (Prischich et al. 2008; Praet et al. 2010c; Ragunathan et al. 2010). Taeniosis adalah suatu infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing Taenia dewasa (Gandahusada et al. 1998; Cabaret et al. 2002; Ito et al. 2006; Anantaphruti et al. 2007b; Praet et al. 2009). Cacing pita pada manusia bersifat parasitik dan menjadi masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat di Indonesia yaitu T. solium, T. saginata dan T. asiatica (Margono et al. 2006; Suroso et al. 2006). Tiga provinsi di Indonesia yang merupakan endemis sistiserkosis/taeniosis adalah Bali T. solium dan T. saginata, Sumatera Utara T. asiatica, dan Papua T. solium. Survei yang dilakukan di Bali pada empat desa di empat kecamatan (Kecamatan Gianyar, Badung, Denpasar, Karang Asem) pada tahun 2002-2004, tingkat prevalensi taeniosis T. saginata berkisar antara 1.1-27.5%. Tingkat prevalensi taeniosis T. saginata meningkat secara cepat di Gianyar, tahun 2002 sebesar 25.6% dan tahun 2005 menjadi 23.8%, dibandingkan dengan survei sebelumnya pada tahun 1977 (2.1%) dan tahun 1999 (1.3%) (Wandra et al. 2006; Ito et al. 2007a). Tingkat prevalensi di Pulau Samosir Sumatera Utara, selama tahun 1972-1990 dilaporkan berkisar antara 1.9-20.7%. Survei epidemiologi yang dilakukan kembali tahun 2003-2006 pada 240 penduduk lokal menunjukkan bahwa 2.5% terinfeksi dengan T. asiatica, yakni 3.4% tahun 2003 dan 2.2% tahun 2005 (Wandra et al. 2007a). Di Papua, dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua dari 356 orang yang diperiksa, empat orang didiagnosis taeniosis dan 124 orang menderita sistiserkosis (Dinkes 2004). Pada tahun 2005 dilaporkan bahwa dari 38 orang yang diperiksa, 12 orang didiagnosis terinfeksi taeniosis (Dinkes 2005). Survei seroepidemiologi yang dilakukan Salim et al. (2009) melaporkan bahwa prevalensi sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya, Papua cukup tinggi yaitu 20.8% untuk sistiserkosis dan 7% taeniosis. Penelitian sebaran prevalensi sistiserkosis yang dilakukan pada ternak babi di Jayawijaya berkisar
26
8.5% sampai 70.4% (1998-1999) dan pada anjing dari 10.9% sampai 33.3% (1999-2000) (Margono et al. 2006; Suroso et al. 2006). Selama ini, penelitian tentang sistiserkosis/taeniosis di Papua sebagian besar dilakukan pada manusia (Margono 1989; Simanjuntak 2000; Subahar et al. 2005; Wandra et al. 2007b; Salim et al. 2009). Kajian terhadap sistiserkosis pada babi sebagai inang antara yang menjadi sumber infeksi bagi manusia masih terbatas. Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui prevalensi sistiserkosis pada babi, mengidentifikasi faktor risiko dan memetakan sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.
BAHAN DAN METODE Desain penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei yang terdiri tiga tahap, yaitu (1) pengambilan darah babi dan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner untuk mendapatkan seroprevalensi dan faktor risiko, (2) penentuan titik koordinat, (3) pengujian serum darah di laboratorium menggunakan enzymelinked immunosorbent assay (ELISA). Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai Juni 2011 di delapan Distrik dan satu daerah pasar yaitu Pasar Jibama yang terletak di Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya. Pengujian laboratorium dilakukan pada bulan Juli 2011 di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Pengambilan serum babi Sebanyak 111 serum babi diambil di Distrik Kurulu, Musatfak, Asolokobal, Assologaima, Hubikosi, Hom-hom, Bolakme, Wamena Kota, dan Pasar Jibama. Darah babi diambil dari vena jugularis dengan menggunakan syringe 5 ml, kemudian didiamkan selama enam jam. Serum yang terbentuk dipipet lalu dimasukkan ke dalam microtube dan disimpan dalam freezer (-4 °C). Selanjutnya,
27
serum tersebut dibawa ke Bogor dan disimpan pada suhu -20 °C sebelum dianalisis dengan ELISA. Pengambilan data menggunakan kuesioner Unit penarikan contoh pada survei ini adalah pemilik babi. Sebanyak 56 responden diwawancarai dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner atas karakteristik responden, manajemen peternakan, sanitasi lingkungan. Pertanyaan dalam kuesioner bersifat tertutup dan terbuka.
Penentuan titik koordinat Titik koordinat ditentukan dengan menggunakan global positioning system (GPS76CSx garmin) pada 56 responden peternak babi. Peta dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta rupa bumi Indonesia (RBI) tahun 1999.
Perlakuan serum Serum yang dikumpulkan dari lapangan diberi label lalu dilakukan pretreatment. Serum yang diuji terdiri atas tiga kelompok, yaitu (1) sebanyak 111 serum yang diambil dari delapan distrik dan Pasar Jibama di Kabupaten Jayawijaya, (2) serum kontrol positif yang diperoleh dari Distrik Bolakme di Kabupaten Jayawijaya yang mengandung sistiserkus dalam daging, (3) serum kontrol negatif, diambil dari babi yang berasal dari Jawa Tengah yang tidak mengandung sistiserkus dalam dagingnya. Sebanyak 75 µl serum sampel dan 75 µl Trichloroacetic acid (TCA 5% dalam akuabides) dicampurkan dalam tabung mikro. Campuran tersebut di vortex dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi, campuran tersebut kembali dihomogenkan lalu di sentrifus selama 9 menit dengan kecepatan 12.000 g pada suhu 4 °C. Sebanyak 75 µl supernatan diambil menggunakan mikro pipet dan dicampur dengan 75 µl neutralization buffer. Campuran tersebut kemudian disimpan dalam suhu 4 °C selama seminggu.
28
Deteksi antigen metacestoda dengan ELISA Metode sandwich ELISA yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari protokol yang dibuat oleh Institute of Tropical Medicine (2009). Setiap sumur (well) cawan ELISA dilapisi 100 µl penangkap antibodi monoklonal anti Taenia saginata (B158C11A10) (5 µl/ml buffer carbonat/bicarbonat pH 9.8) kecuali dua sumur untuk substrate control (SC), dan kemudian dimasukkan dalam shaker incubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Cawan lalu dicuci sebanyak satu kali dan diblok dengan 150 µl blocking buffer. Selanjutnya tanpa melakukan pencucian, setiap sumur diberi serum sebanyak 100 µl, (kecuali sumur SC dan conjugate control) dengan 100 µl blocking buffer lalu masukkan dalam shaker incubator selama 15 menit pada suhu 37 °C. Berikutnya deteksi antibodi (B60H8A4) (23 µg/ml larutan blocking buffer) sebanyak 100 µl di masukkan ke dalam setiap sumur (kecuali SC dan CC) dan diberi 100 µl blocking buffer. Setelah pendeteksian diberi konjugat 100 µl peroxidase streptavidin (1/10000 dalam blocking buffer) kecuali dua sumur SC yang diberi blocking buffer sebanyak 100 µl. Cawan dimasukkan kembali dalam shaker incubator selama 15 menit 37 °C (Dorny et al. 2004). Langkah selanjutnya, setiap sumur diisi dengan orthophenylenediamine (OPD) (satu tablet OPD dilarutkan dalam 10 ml akuabides dan H 2 O 2 sebanyak 2.5 µl) sebanyak 100 µl. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 µl H 2 SO 4 (4N) dalam setiap sumur, lalu dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 dan 630 nm.
Analisis data Data serum babi yang diperoleh dari hasil ELISA dianalisis dengan uji t. Standarisasi dilakukan dengan menentukan rasio dari rataan absorbansi optical density (OD) terhadap nilai cut off. Nilai cut off diperoleh dari variasi OD serum negatif yang diolah menggunakan metode statistika uji t pada P=0.05 (Sokal dan Rohlf 1981). Serum dinyatakan positif mengandung antigen Cysticerus cellulosae apabila hasil pembagian tersebut bernilai lebih dari satu (ITM 2009; Dorny et al. 2000). Faktor risiko dianalisis dengan penentuan odds ratio (OR) dan regresi
29
logistik (Kirkwood dan Sterne 2003; Le 2003; Budiarto 2001). Data digitasi yang diperoleh dari GPS dan diolah dengan program ArcView 3.2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Kondisi umum lokasi penelitian Kabupaten Jayawijaya, dengan ibukota kabupaten Wamena memiliki ketinggian 1724 meter di atas permukaan laut, suhu terendah 15.3 °C, luas wilayah kabupaten 5 364 266 Ha dengan jumlah desa 366, sekitar 4 desa termasuk daerah perkotaan dan 362 termasuk daerah pedesaan. Jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya yaitu 210 654 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 107 044 orang dan perempuan 103 610 orang serta sex ratio 103.31 dan jumlah KK 55 952 jiwa (BPS 2008).
Karakteristik responden peternak babi Hasil kuesioner (Tabel 1) menunjukkan lebih banyak perempuan (85.71%) dibandingkan dengan laki-laki (12.29%) yang menjaga dan memelihara babi. Peternak babi yang berumur di bawah 20 tahun hanya satu orang, 20-29 tahun sebanyak 11 orang, 30-39 tahun berjumlah 12 orang, 40-49 tahun sebanyak 12 orang, lebih dari 50 tahun sebanyak 11 orang. Responden yang tidak mengetahui tahun kelahiran ataupun umur mereka sebanyak sembilan orang (16.07%). Tingkat pendidikan peternak babi lebih banyak yang tidak bersekolah 73.21% (41 orang), yang menamatkan sekolah dasar (12.50%), sekolah menengah pertama (3.57%) dan sekolah menengah atas (5.36%) serta kategori responden berpendidikan tinggi
(5.36 %) yang terdiri dari satu orang tamatan D3 dan dua
orang tamatan sekolah theologia.
30
Tabel 1 No 1
2
3
4
Karakteristik peternak babi yang tersebar di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya Keterangan Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan Umur: < 20 20–29 30–39 40–49 > 50 Tidak tahu umur Pendidikan: Sekolah dasar Sekolah menengah pertama Sekolah menengah atas Pendidikan tinggi Tidak bersekolah Pekerjaan: Rumah tangga Petani Lainnya
Jumlah
%
8 48
14.29 85.71
1 11 12 12 11 9
1.79 19.64 21.43 21.43 19.64 16.07
7 2 3 3 41
12.50 3.57 5.36 5.36 73.21
18 35 3
32.14 62.50 5.36
Manajemen peternakan Saat dijalankan kuesioner para responden menjawab, bahwa cara beternak babi yang baik yaitu; pagi dan siang dilepaskan tetapi malam hari dikandangkan (48%), babi tidak dikandangkan dan dilepaskan berkeliaran mencari makan (18%), babi seharusnya dikandangkan (34%) (Gambar 3). Hal ini menunjukkan sebagian besar peternak (66%) yang memiliki kandang ataupun yang tidak memiliki kandang memilih ternak babi mereka berada di luar kandang pada siang hari. Responden berpendapat mengumbar maka ternak babi dapat secara leluasa untuk bergerak.
31
Selalu dikandangkan 48%
34%
Tidak dikandangkan
18%
Dikandangkan waktu malam hari
Gambar 3 Cara beternak babi yang baik menurut responden. Responden yang memiliki kandang menjelaskan bahwa kandang mereka adalah semi permanen (88%), kandang permanen (2%) dan yang tidak mengetahui kandang permanen atau tidak sebanyak 10%. Seluruh respoden menjelaskan bahwa makanan yang diberikan kepada ternak babi yaitu umbi-umbian dan sayuran. Saat ditelusuri peranan pemerintah mengenai penyuluhan tentang cara beternak babi yang benar maka responden menjawab bahwa pemerintah tidak pernah melakukan penyuluhan tentang cara beternak babi (79%) dan pemerintah pernah melakukan penyuluhan (14%) (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak pernah memperoleh informasi tentang cara beternak yang baik dan benar. Masyarakat Wamena melakukan cara beternak dengan mengikuti pola yang diberikan oleh orang tua mereka secara turunmenurun. Tindakan peternak bila ternak babi mereka mati (Gambar 5) sangat bervariasi, ada yang memotong dan memakannya (85%), menguburkan (2%) dan menjual (13%).
Seroprevalensi sistiserkosis pada babi Hasil
pemeriksaan
111
serum
babi
dari
Kabupaten
Jayawijaya,
menunjukkan reaksi seropositif terhadap sistiserkosis sebanyak 45 sampel (40.54%). Daerah dengan prevalensi tertinggi yaitu Asolokobal (92.86%), diikuti daerah Musatfak 75%, Kurulu (65.22%), Bolakme 33.33%, Assologaima
32
(31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Pasar Jibama (14.29%) dan yang terendah adalah daerah Wamena Kota 5.88% (Tabel 2).
7%
14%
2%
13%
Pernah
Menguburkan Menjual
Tidak pernah
85%
Memakannya
Tidak tahu 79%
Gambar 4 Peranan pemerintah dalam melakukan penyuluhan mengenai cara beternak babi.
Gambar 5 Tindakan responden pada ternak babi yang mati.
Tabel 2 Seroepidemiologi serum babi di Kabupaten Jayawijaya No.
Distrik/Pasar
Sampel (n)
Hasil Positif
Negatif
Prevalensi (%)
1
Kurulu
23
15
8
65.22
2
Musatfak
4
3
1
75.00
3
Asolokobal
14
13
1
92.86
4
Assologaima
22
7
15
31.82
5
Hubikosi
7
1
6
14.29
6
Homhom
11
2
9
18.18
7
Bolakme
6
2
4
33.33
8
Wamena Kota
17
1
16
5.88
9
Pasar Jibama
7
1
6
14.29
111
45
66
40.54
Total
33
Faktor risiko sistiserkosis pada babi Sistiserkosis pada babi memiliki beberapa faktor risiko yaitu; jenis kelamin, cara pemeliharaan ternak babi, struktur kandang, pengolahan pakan babi, air bersih dan ketersediaan jamban bagi pemilik babi (EFSA 2004; Pondja et al. 2007). Faktor risiko jenis kelamin babi, struktur kandang, air bersih dekat kandang dan kepemilikan jamban memiliki OR secara berturut-turut yaitu; 0.8140, 1.0754, 1.8583 dan 1.2210. Cara pemeliharaan babi memiliki nilai OR sebesar 4.6332 dan pakan babi nilai OR sebesar 3.6520 (Tabel 3).
Tabel 3
Nilai crude odds-ratio (OR) faktor jenis kelamin babi, cara pemeliharan, struktur kandang, pengolahan pakan, air bersih dan ketersediaan jamban bagi pemilik babi
Faktor risiko
Positif N %
Negatif N %
Koefisien
P
OR
Jenis kelamin babi: Jantan Betina
16 28
38.10 26 61.90 45.16 34 54.84
Cara pemeliharaan babi: Dikandangkan Tidak dikandangkan
14 30
23.73 45 76.27 66.67 15 33.33
1.5333 0.0038 ** 4.6332
Struktur kandang: Permanen Semi permanen
8 36
25.81 23 74.19 49.32 37 50.68
0.0727 0.9073
1.0754
Pakan Babi: Dimasak Tidak dimasak
10 34
22.22 35 77.78 57.63 25 42.37
1.2953 0.0120 *
3.6520
Air bersih dekat kandang babi Tersedia air bersih Tidak tersedia air bersih
12 32
26.67 33 73.33 54.24 27 45.76
0.6197 0.3489
1.8583
Kepemilikan jamban Tersedia jamban Tidak tersedia jamban
14 30
30.43 32 69.57 51.72 28 48.28
0.1996 0.7574
1.2210
* Signifikan pada P<0.05; ** Signifikan pada P<0.01
-0.2058 0.6876
0.8140
34
Pemetaan Sistiserkosis Sebaran pengambilan sampel serum berdasarkan titik koordinat peternak babi dapat dilihat pada Gambar 6. Tingkat kerawanan sistiserkosis terbagi atas tiga bagian yaitu; tidak rawan (warna hijau), rawan (warna kuning) dan sangat rawan (warna merah) (Gambar 7). Satu faktor dengan faktor yang lainnya saling berkaitan dalam mendukung terjadinya penyakit dan dapat menentukan tingkat kerawanan penyakit. Faktor-faktor yang menentukan tingkat kerawanan adalah babi positif terinfeksi sistiserkosis, jenis kelamin babi, cara pemeliharaan babi, struktur kandang, pakan babi, air bersih dan ketersediaan jamban.
Gambar 6 Sebaran sistiserkosis di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya.
35
Gambar 7 Tingkat kerawanan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya.
Pembahasan Cacing T. solium tersebar di Amerika Latin, Asia, dan Sub Sahara Afrika. Di Zambia ditemukan bahwa seroprevalensi sistiserkosis sebesar 20.6% di Lusaka dan 20.8% di Eastern dan Southern Province (Phiri et al. 2003; Mafojane et al. 2003), selain itu, di Meksiko, prevalensi sistiserkosis pada babi tertinggi di Tedzidz yaitu 35%, di El Salado dan Mexico City tidak ditemukan. Flisser et al. (2003) melaporkan beberapa hasil penelitian yang terjadi di negara-negara Amerika Latin, yaitu: di Bolivia, Ekuador dan Guatemala ditemukan prevalensi sistiserkosis berturut-turut adalah 38.9%, 7.5% dan 14%. Sementara itu, Rodriguez-Hidalgo et al. (2003) menemukan prevalensi pada babi sebesar 6.77% di Ekuador Utara. Rajshekhar et al. (2003) mengemukakan bahwa prevalensi sistiserkosis di Cina, Vietnam, India dan Nepal berturut-turut 0.8%-40%, 0.04%0.9%, 9.3% dan 32.5%. Penelitian yang dilakukan tahun 1998-1999 menunjukkan prevalensi pada babi sebesar 8.5% sampai 70.4% (Margono et al. 2003; Suroso et al. 2006). Bila
36
dibandingkan dengan penelitian ini, terdapat penurunan prevalensi di Kabupaten Jayawijaya. Berdasarkan hasil uraian di atas, nampak bahwa hasil penelitian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 40.54%. Hal ini sesuai dengan Margono et al. (2006) yang melaporkan bahwa penyebaran T. solium di Papua adalah salah satu daerah endemik yang terburuk di dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada faktor risiko yang berkaitan dengan jenis kelamin babi (P>0.05) (Tabel 3). Hal ini memperlihatkan bahwa jenis kelamin babi merupakan faktor risiko yang tidak mempengaruhi terjadinya sistiserkosis pada babi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Garcia et al. (2003) yang menemukan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap seroprevalensi sistiserkosis pada babi. Faktor yang memiliki risiko tertinggi penyebab sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya adalah cara pemeliharaan babi. Babi yang tidak dikandangkan memiliki risiko 4.6 kali lebih besar terinfeksi sistiserkosis dibandingkan babi yang dikandangkan (P<0.01). Saat tidak dikandangkan, babi dapat memakan feses yang terkontaminasi telur taenia, dan penularan sistiserkosis dapat terjadi (Garcia et al.1998; Garcia et al. 2007). Sikasunge et al. (2007) mengemukakan bahwa pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan memiliki faktor risiko yang signifikan mempengaruhi sistiserkosis pada babi. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa babi yang tidak dikandangkan memiliki risiko 1.68 kali lebih tinggi daripada yang dikandangkan. Garcia et al. (2007) melaporkan cara yang paling mudah untuk mengeliminasi proses transmisi cacing pita dengan mengandangkan babi. Suroso et al. (2006) menemukan bahwa terjadi penurunan yang signifikan pada sistiserkosis/taeniosis di Bali yang disebabkan oleh peningkatan sanitasi dan sistem perkandangan babi. Garcia et al. (2007) mengemukakan bahwa para peternak di negara berkembang memelihara babi dengan tidak membuat kandang karena berkaitan dengan faktor perekonomian peternak.
37
Pemeliharaan babi secara diumbar dapat memudahkan peternak dengan tidak mengeluarkan biaya untuk memberi pakan babi (Maitindom et al. 2008) Struktur kandang babi di Kabupaten Jayawijaya terbuat dari kayu dan lantai tanah. Sebagian besar peternak telah memiliki kandang yang semi permanen (70%). Struktur kandang yang semi permanen memiliki faktor risiko 1.07 kali lebih tinggi dari struktur kandang yang permanen. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara struktur kandang semi permanen dan permanen terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi (P>0.05). Pakan babi yang tidak dimasak memiliki risiko 3.65 kali lebih besar dari pakan babi yang dimasak. Pakan yang diberikan kepada babi berupa umbi-umbian dan sayur-sayuran. Peternak mengambil pakan tersebut dari lahan perkebunannya sendiri. Pakan babi dapat terkontaminasi dengan telur taenia saat penderita taeniosis buang kotoran di sekitar kebun. Oleh sebab itu, pakan ternak yang tidak dimasak terlebih dahulu, dapat menyebabkan babi menderita sistiserkosis (P<0.05). Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai sanitasi perkandangan, hubungan antara pakan babi yang tidak dimasak (Sakai et al. 2001; Sato et al. 2006; Flisser et al. 2006). Tersedianya air bersih di sekitar peternakan berpengaruh terhadap kebersihan kandang. Tidak tersedianya air bersih menimbulkan risiko 1.86 kali lebih besar daripada tersedianya air bersih. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang penting dalam sistem sanitasi perkandangan. EFSA (2004) mengemukakan bahwa tidak tersedianya air bersih sangat mempengaruhi sistiserkosis pada hewan ternak. Boone et al. (2007) menemukan bahwa tidak tersedianya air bersih merupakan salah satu faktor risiko sistiserkosis pada sapi. Tidak adanya jamban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sistiserkosis pada babi. Hal tersebut menyebabkan babi dapat mengakses kotoran manusia yang mengandung telur taenia. Tidak tersedianya jamban memiliki risiko 1.22 kali lebih tinggi daripada tersedianya jamban. Ngowi et al. (2004) menemukan bahwa rumah tangga yang tidak memiliki jamban meningkatkan risiko sistiserkosis pada babi 2.03 kali lebih tinggi daripada rumah tangga yang memiliki jamban. Pada penelitian lainnya, Lescano et al. (2007) tidak menemukan
38
hubungan antara keberadaan jamban dan seroprevalensi pada babi dan menurut Sikasunge et al. (2007) bahwa persentase seropositif rumah tangga yang tidak memiliki jamban sebesar 38.9%, rumah tangga yang memiliki jamban tetapi tidak menggunakannya yaitu 35.4% dan yang menggunakan jamban adalah 37%. Pemetaan sistiserkosis terbagi atas tiga daerah, yaitu daerah yang tidak rawan adalah Distrik Wamena kota dan Homhom. Daerah rawan adalah Distrik Asologaima. Daerah yang sangat rawan yaitu Distrik Asolokobal, diikuti dengan Kurulu, Bolakme, Musatfak dan Hubikosi. Faktor risiko babi yang tidak dikandangkan dan pakan babi yang tidak dimasak mempertinggi risiko sistiserkosis. Peternak babi dari Distrik Asolokobal, Bolakme dan Musatfak 100% tidak mengandangkan babinya, diikuti dengan Kurulu (52%), Homhom (36.36%), Wamena Kota (17.64%), Hubikosi (14.28%) dan Distrik Asologaima (9.09%). Pakan babi yang tidak dimasak kemudian diberikan kepada babi persentase tertinggi terdapat pada Distrik Asolokobal dan Hubikosi (100%), diikuti dengan Distrik Kurulu (82.60%), Musatfak (75%), Asologaima (50%), Wamena Kota (23.52%), Bolakme (16.6%) dan Distrik Homhom (0%). Menurut Staubach et al. (2001), tingkat kerawanan suatu penyakit diasosiasikan dengan sumber makanan sebagai dasar risiko penularan.
39
KESIMPULAN 1. Seroprevalensi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya yaitu 40.54%. 2. Faktor risiko sistiserkosis pada babi adalah cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan lebih berisiko dibandingkan dengan babi yang dikandangkan dan pakan babi yang tidak dimasak lebih berisiko dibandingkan pakan babi yang dimasak. 3. Distrik Asolokobal merupakan daerah yang sangat rawan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Program Penelitian Hibah Strategis Nasional Tahun Anggaran 2009 dan kepada Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Provinsi Papua Dr. Z. Giay, SKM, M.Kes, MM., yang telah membantu membiayai penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Jayawijaya drh. Made Putra, yang banyak membantu dalam pengambilan serum serta kemudahan yang diberikan kepada penulis selama berada di lapangan. Terima kasih juga disampaikan kepada Dwi Ardei Dompas, SKM, Agustina Kurisi SKM, Jannes STh, yang membantu penulis saat berada di lapangan.
41
PENDAHULUAN Sistiserkosis/taeniosis adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di beberapa daerah di Indonesia (Wandra et al. 2007a). Terdapat tiga spesies Taenia yang dilaporkan berada di tiga provinsi endemik yaitu Bali (T. solium dan T. saginata), Papua (T. solium) dan Sumatera Utara (T. asiatica) (Wandra et al. 2007a). Dengan memakan daging babi atau sapi mentah yang kurang masak dan terkontaminasi dengan metacestoda T. saginata, T. asiatica, atau T. solium, yang tertelan metacestoda akan yang menjadi cacing pita dewasa dalam beberapa bulan. Penyebaran sistiserkosis/taeniosis di Indonesia berhubungan dengan kebiasaan dan budaya yang ada. Di Bali, sumber infeksi T. saginata berkaitan dengan konsumsi daging sapi mentah atau biasa disebut dengan lawar. Ini adalah makanan tradisional di Bali yang masih dikonsumsi oleh masyarakat Bali (Sutisna et al. 1999; Ito et al. 2003; Ito et al. 2005; Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007b). Di Pulau Samosir, Sumatera Utara, penduduk menyukai makanan tradisional yang disebut sangsang. Pada saat memotong daging babi menjadi beberapa potongan kecil, penduduk akan memakan daging yang belum dimasak itu bersama dengan viscera dan darah (Ito et al. 2003a; Ito et al. 2005; Wandra et al. 2007b). Di Papua, terdapat kebiasaan masyarakat memasak daging babi dengan cara memasukkan ke dalam lubang yang digali dan dipanaskan dengan batu. Metode yang biasanya disebut barapen atau bakar batu ini adalah kebiasaan masyarakat yang sudah membudaya di Papua. Hampir di setiap acara masyarakat Papua memasak daging babi dengan cara bakar batu (Suroso et al. 2006; Margono et al. 2006; Wandra et al. 2007b). Beberapa tulisan menghubungkan metode memasak dengan bakar batu merupakan salah satu penyebab penyebaran sistiserkosis/taeniosis (Suroso et al. 2006; Margono et al. 2006; Wandra et al. 2007b). Namun, hingga saat ini belum ada penelitian yang menguji apakah metode bakar batu merupakan salah satu faktor risiko penyebaran penyakit tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah terdapat hubungan antara metode bakar batu dan terinfeksinya manusia dengan sistiserkosis/taeniosis.
42
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Pengamatan proses bakar batu dilakukan pada bulan Juni 2011 di Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya. Lokasi proses bakar batu dilaksanakan di pekarangan rumah salah satu warga Wamena yang bermarga Kurisi.
Desain penelitian. Penelitian ini menggunakan kuesioner dengan responden sebanyak 56 orang dan survei, yang menelaah tingkat ketahanan sistiserkus pada daging babi yang diolah dengan metode memasak tradisional secara bakar batu di Kabupaten Jayawijaya. Telaah yang akan dilakukan, yaitu (1) batu dan kayu yang digunakan dalam proses bakar batu, (2) liang bakar batu, (3) daging babi yang dimasak secara bakar batu.
Simulasi bakar batu Kegiatan simulasi bakar batu ini dilaksanakan di kampus FKH pada bulan Mei 2010. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini dibantu dengan mahasiswa Papua yang berasal dari Biak, Serui dan daerah Pegunungan Tengah (Paniai). Tujuan dari simulasi bakar batu adalah memvalidasi alat yang akan digunakan saat penelitian di lapangan (lampiran 6).
Batu dan kayu yang digunakan dalam proses bakar batu. Masyarakat Wamena menggunakan batu kali untuk memasak secara tradisional. Peranan batu dalam proses memasak bakar batu sangat penting,oleh sebab itu dalam penelitian ini perlu dihitung jumlah dan ukuran batu yang digunakan saat bakar batu. Saat membakar batu perlu melihat waktu pembakaran batu, suhu batu saat dibakar dan mengukur suhu batu yang diletakkan dalam liang bakar batu. Untuk mengetahui suhu batu, alat yang digunakan yaitu infrared thermometer. Penduduk Wamena membakar batu dengan menggunakan kayu. Dalam penelitian ini sangat penting untuk mendapatkan informasi mengenai jenis kayu yang digunakan dan jumlah kayu yang disusun untuk membakar batu.
43
Liang bakar batu Liang bakar batu adalah tempat meletakkan rumput, batu, ubi talas (hipere), sayuran dan bahan makanan yang siap dipanaskan secara bakar batu. Ukuran liang dapat menentukan berapa banyak batu yang siap digunakan dan banyaknya bahan makanan yang akan dimasak secara bakar batu. Menghitung jumlah susunan sayuran, batu, hipere, daging babi, daging ayam yang dibakar dalam liang bakar batu.
Daging babi Bahan utama dalam proses bakar batu adalah daging babi. Dalam penelitian ini yang akan dicermati adalah besaran daging babi yang diletakkan dalam liang, ketebalan daging babi dan suhu daging babi selama proses bakar batu. Mengukur suhu daging babi selama proses bakar batu dengan menggunakan thermocouple. Thermocouple ditancapkan dalam daging babi lalu ditutupi sayuran dan bahan makanan.
Analisis data Penelitian karakterisasi risiko sistiserkosis daging babi bakar batu, merupakan penelitian yang bersifat eksplorasi, sehingga hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk gambar dan dianalisis secara deskriptif (Ulin et al. 2005).
44
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Persepsi masyarakat mengenai upacara bakar batu Responden menjawab tempat melakukan bakar batu adalah di sekitar halaman rumah (100%). Ini berarti bahwa prosesi bakar batu sangat dekat dengan kehidupan mereka sehingga jika sekiranya mereka bisa melakukan bakar batu, maka mereka akan melakukan di sekitar halaman rumah mereka. Sebanyak 50% responden menjawab bahwa mereka melakukan bakar batu berkisar satu jam, responden yang menjawab dua jam (43%) dan yang lebih dari dua jam sebesar 7% (Gambar 8). Responden tidak mencuci daging babi, hipere, sayuran (93%) sebelum dimasak (Gambar 9). Air yang digunakan untuk mencuci, berasal dari selokan (58%) dan sungai (37%) (Gambar 10).
7% 1 jam 50% 43%
2 jam Lebih dari 2 jam
Gambar 8 Waktu yang digunakan untuk melaksanakan bakar batu.
7% Ya 93%
Tidak
Gambar 9 Kebiasaan mencuci daging dan makanan sebelum bakar batu.
45
5%
Sungai 37% Sumur gali, bor, pompa
58% 0%
Selokan lainnya
Gambar 10 Air yang digunakan untuk mencuci daging babi, hipere dan sayuran.
13% 2%
85%
Di dalam wadah logam/plastik Di atas tanah beralas rumput Diatas tanah
Gambar 11 Tempat meletakkan makanan hasil bakar batu.
Menurut responden makanan yang sudah matang dapat diletakkan pada wadah logam atau plastik (2%), meletakkan makanan diatas tanah yang beralaskan rumput (85%), di atas tanah (13%) (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan makanan yang sudah masak melalui proses bakar batu tidak pernah diperhatikan oleh responden. Mereka sudah terbiasa untuk meletakkan makanan di atas tanah, baik itu dengan beralaskan daun maupun tidak.
46
Diletakkan dalam wadah kemudian dimakan bersama
24%
5% 71%
Dimakan tanpa diwadahi sebelumnya Dimakan ramairamai di tempat pembakaran
Gambar 12 Cara mengonsumsi makanan hasil prosesi bakar batu. Sebanyak 71% responden mengonsumsi makanan yang telah matang, secara beramai-ramai dari tempat pembakaran, hanya 24% yang menjawab meletakkan makanan mereka di wadah tertentu sebelum dimakan dan 5% dimakan tanpa diwadahi sebelumnya (Gambar 12). Persepsi masyarakat Wamena terhadap daging babi yang sudah matang dan enak untuk dikonsumsi yaitu, sebanyak 100% responden menjawab daging babi yang enak dikonsumsi sudah tidak berdarah, bila daging babi masih berdarah atau setengah matang dan yang gosong sangat tidak diinginkan oleh penduduk Jayawijaya. Kurangnya perhatian responden terhadap kebersihan diri juga tercermin dari kebiasaan mereka tidak mencuci tangan sebelum makan (89%) dan juga hanya 11% mencuci tangan sebelum makan (Gambar 13).
11%
Ya 89% Tidak
Gambar 13 Responden yang mencuci tangan sebelum konsumsi makanan hasil bakar batu.
47
Upacara bakar batu Hasil observasi lapangan, kegiatan bakar batu terbagi atas tiga tahap (Gambar 14), yaitu; 1) pembakaran batu dan kayu; 2) pemanggangan daging babi beserta hipere dan sayuran; 3) makan bersama. A
B
C
Gambar 14 Kegiatan bakar batu. A. Pembakaran batu dan kayu, B. Pemanggangan daging babi beserta hipere dan sayuran, C. Makan bersama. Pembakaran batu dan kayu Sebelum proses bakar batu dilaksanakan masyarakat mengumpulkan batu dan kayu yang akan digunakan untuk memasak, lalu diletakkan disatu tempat. Batu yang dibakar disusun menjadi tiga bagian, yaitu; (1) bagian dasar batu berukuran kecil, batang kayu dan rumput kering; (2) bagian tengah, ranting serta kayu; (3) bagian atas adalah batu berukuran besar. Batu yang digunakan adalah batu kali, batu tersebut dicuci terlebih dahulu lalu dipisahkan berdasarkan ukuran.
Gambar 15 Bagian dasar susunan batu dan kayu.
48
Gambar 16 Bagian tengah susunan batu dan kayu.
Gambar 17 Bagian atas susunan batu dan kayu.
Pada bagian dasar batu yang digunakan berukuran ± 9x12 cm sebanyak 200 batu yang disusun diatas rumput kering. Batang kayu besar diletakkan membentuk ukuran segiempat, dengan jumlah empat buah (Gambar 15). Kayu yang sering digunakan untuk membakar batu yaitu kayu kasuari dan kayu besi. Pada bagian tengah digunakan delapan buah kayu berukuran sedang dan ranting sebanyak 100 buah kemudian disusun kembali dengan kayu sebanyak 10 buah (Gambar 16). Pada bagian atas, diletakkan batu berukuran besar yaitu ± 17x25 cm sebanyak 133 batu. Ukuran tempat pembakaran yang tersusun dari kayu dan batu tersebut memiliki lebar 138 cm, panjang 157 cm dan tinggi ± 60 cm (Gambar 17). Pembakaran batu dimulai pada pukul 10.35 WIT. Dua puluh lima menit kemudian sebuah batu terpental. Pada menit ke-35 suhu batu mencapai 235 oC, sesudah lima puluh menit batu terpental kembali. Pukul 11.20 waktu setempat suhu batu mencapai 250 oC, kemudian suhu meningkat mencapai 285 oC pada menit ke-90.
49
Pemanggangan daging babi beserta hipere dan sayuran Proses pemanggangan daging babi terdiri dari: (1) penyiapan liang pembakaran, (2) penyiapan daging babi, (3) penyiapan bumbu, ubi, sayuran dan daging ayam, (4) proses bakar batu (barapen). Liang pembakaran yang akan digunakan berukuran kedalaman 40 cm, lebar diameter permukaan liang 135 x 138 cm. Dasar lubang pemanggangan terlebih dahulu dilapisi rumput kemudian ilalang (Gambar 18).
B
A
Gambar 18 Liang pembakaran. A. Penyiapan. B. Liang yang siap digunakan. A
B
C
D
Gambar 19 Penyiapan daging babi. A. Memanah babi, B. Babi diletakkan di atas pembakaran, C. Melepaskan bulu babi, D. Mengeluarkan isi perut babi.
50
A
B
Gambar 20 Penyiapan bahan. A. Sayuran, B. Pencucian hipere. A
B
Gambar 21 Penyiapan bumbu. A. Proses penyiapan bumbu, B. Bumbu siap digunakan. A
B
C
D
Gambar 22 Proses barapen. A. Batu diletakkan di liang pembakaran, B. Susunan hipere, C. Menancapkan thermocouple pada daging babi, D. Mengikat susunan barapen dengan menggunakan rotan.
51
Bahan utama yang digunakan dalam upacara bakar batu yaitu daging babi. Babi disembelih dengan cara dipanah (Gambar 19A), lalu didiamkan beberapa saat diatas tanah kemudian diletakkan diatas pembakaran (Gambar 19B) sekitar tiga menit dengan tujuan melepaskan bulu babi (Gambar 19C). Selanjutnya babi dibersihkan dengan cara mengeluarkan isi perut (Gambar 19D). Daging babi yang siap bakar batu memiliki ukuran panjang 48 cm, lebar 15 cm dan tebal ± 4-5 cm, dimasukkan ke dalam lubang pemanggangan dengan suhu awal 28.3 oC. Masyarakat yang datang berkumpul membawa sayuran dan hipere. Sayuran yang dibawa berupa iprika (daun hipere), tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya) dan nahampun (labu parang) dan diletakkan di dekat liang pembakaran (Gambar 20A). Hipere yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu dengan air selokan (Gambar 20B). Para wanita berkumpul di dapur dan menyiapkan bumbu (Gambar 21A). Campuran bumbu yang digunakan yaitu; bawang merah, bawang putih, batang bawang, kunyit dan garam (Gambar 21B). Saat ini digunakan sebagai sarana untuk berkumpul para anggota keluarga dan kerabat. Mereka menangis mengingat keluarga ataupun kerabat yang telah meninggal. Pada saat proses pembakaran batu telah selesai, batu siap dipindahkan ke dalam liang pembakaran. Batu dipindahkan ke dalam liang pembakaran pada pukul 11.53 waktu setempat. Dengan menggunakan jepit kayu khusus, yang disebut apando, batu-batu panas diletakkan diatas ilalang. Batu yang berukuran besar diletakkan pada bagian dasar dengan suhu tertinggi 300 °C dan terendah 170 °C, suhu rata-rata semua batu yang diletakkan pada bagian dasar yaitu 236.16 °C (Gambar 22A). Susunan selanjutnya adalah ilalang dan hipere, diatasnya diletakkan daun pisang, ilalang dan batu, kemudian disusun kembali daun pisang dan sayuran berupa iprika (daun hipere), tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya) dan nahampun (labu parang) (Gambar 22B). Pukul 12.25 waktu setempat, daging wam (babi) dan ayam dimasukkan kedalam lubang pembakaran setelah dicampur dalam bumbu. Bagian ujung dari thermocouple ditancapkan pada daging babi dan pembacaan suhu selama proses bakar batu melalui layar thermocouple (Gambar 22C). Selanjutnya, disusun batu, daging ayam dan sayuran yang diberi bumbu.
52
Batu disusun kembali pada bagian atas dan pinggiran lubang pemanggangan, lalu ditutupi dengan rumput dan diikat dengan rotan pada pukul 12.50 waktu setempat (Gambar 22D). Hal ini dimaksudkan agar uap panas dari batu tidak menguap. Tinggi gundukan bakar batu adalah 70 cm dari permukaan tanah.
Makan bersama Makan bersama diawali dengan pembongkaran gundukan bakar batu pada pukul 14.20 waktu setempat. Para wanita bersama-sama membongkar gundukan hasil bakar batu (Gambar 23A). Tokoh adat membagi daging babi berdasarkan jumlah kelompok (Gambar 23B). Penduduk setempat terdiri atas anak-anak dan orang tua mulai duduk berkelompok, siap menikmati hidangan bakar batu (Gambar 23C dan 23D). Pada Gambar 24 tampak hasil barapen berupa sayuran, hipere, daging babi dan daging ayam hanya diletakkan di atas tanah yang beralaskan rumput. Tidak ada wadah yang disiapkan untuk meletakkan makanan yang sudah masak. A
C
B
D
Gambar 23 Makan bersama. A. Pembongkaran susunan barapen, B. Pembagian daging babi oleh tokoh adat, C. Makan bersama secara berkelompok, D. Kelompok anak-anak.
53
A
C
B
D
Gambar 24 Tempat meletakkan makanan yang selesai dimasak. A. Sayuran, B. Hipere, C. Daging babi dan sayuran, D. Daging ayam dan sayuran. Ketahanan sistiserkus daging babi ‘bakar batu’ Suhu daging babi selama pemanggangan diukur dengan menggunakan thermocouple. Proses pemanggangan dimulai pada pukul 12.50 waktu setempat dengan suhu daging babi 32.7 oC. Dua puluh menit selama proses bakar batu, suhu daging babi dalam lubang pemanggangan naik menjadi 60.7 oC. Pada pukul 13.25 WIT suhu daging babi mencapai 75 oC, satu jam kemudian suhu daging babi menjadi 84.0 oC, suhu tertinggi pada pukul 14.20 WIT yaitu 90.7 oC (Gambar 25). Pemanggangan bakar batu berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan 60-90 oC dan suhu udara pada saat itu 20.6 oC. Panas batu yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan rata-rata 65.66 oC. Daging babi yang diangkat dari tempat pemanggangan diukur suhunya pada beberapa titik dan memiliki suhu rata-rata 83.33 oC.
54
100 80 Suhu daging bagian dalam ( C)
60 40 20 0 1
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu Pemanasan (menit)
Gambar 25 Suhu bagian dalam daging babi selama bakar batu (sistiserkus mati pada suhu di atas 60 oC) . Pembahasan Bakar batu telah menjadi salah satu identitas daerah Papua. Cara memasak yang unik ini dilakukan masyarakat Papua, yang tinggal di wilayah pegunungan dan pesisir. Penyebutan nama teknik memasak ini berbeda-beda, masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii, di Wamena disebut kit oba isago dan di Biak menggunakan kata barapen. Istilah barapen ini adalah yang paling populer digunakan oleh masyarakat Papua. Kebudayaan ini erat kaitannya dengan berbagai upacara yang sering dilakukan oleh masyarakat, seperti: upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian serta pembayaran denda bila ada pertikaian antara suku atau keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa bakar batu merupakan bagian yang mendasar bagi masyarakat di Kabupaten Jayawijaya (Koentjaraningrat 1992). Pada proses bakar batu, jumlah batu dan ukuran batu memiliki peranan yang penting. Saat masyarakat meletakkan hipere dalam jumlah yang banyak, maka para pria menambah batu untuk dibakar. Mereka berpengalaman dalam menentukan jumlah batu yang seharusnya digunakan untuk menjadikan bahan makan bakar batu menjadi masak. Selain itu, batu yang digunakan adalah batu kali karena batu ini bisa menyerap panas. Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat, ukuran liang pembakaran tergantung pada besaran daging babi yang akan dibakar. Semakin besar babi yang
55
akan dibakar, maka semakin besar pula liang yang akan dibuat. Persediaan air bersih sangat minim di Kabupaten Jayawijaya. Oleh sebab itu, hipere yang disiapkan untuk bakar batu, dicuci dengan air selokan yang berada di sekitar tempat bakar batu. Masyarakat memiliki teknik agar suhu dalam gundukan bakar batu menjadi panas. Mereka menyelipkan beberapa batu di pinggiran gundukan bagian dalam secara merata sehingga suhu bagian dalam tetap terjaga dalam keadaan seimbang. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa suhu bagian dalam daging babi yang dimasak dengan teknik ini mencapai 60 oC setelah dimasak selama 20 menit dan suhunya terus meningkat sampai mencapai 90.7 oC pada menit ke-90. Hal ini berarti, daging tersebut mengalami proses pemanasan diatas suhu 60 oC selama tidak kurang dari 60 menit. Proses pemanasan ini dapat berlangsung lebih lama karena dari hasil wawancara sebagian besar responden mengemukakan bahwa pemasakan dengan bakar batu berlangsung lebih dari dua jam. Secara teoritis pada kondisi ini daging akan mengalami pematangan dan sistiserkus tidak akan bertahan hidup. Para pakar mengemukakan bahwa pemasakan daging babi sampai matang dengan suhu 60 oC dapat membunuh sistiserkus (Kandun 2000; Tsigarida et al. 2009; EFSA 2004). Dari fakta ini anggapan bahwa cara memasak bakar batu merupakan penyebab penularan Taenia solium di Kabupaten Jayawijaya adalah tidak tepat karena teknik ini mampu membunuh sistiserkus di daging babi. Sanitasi personal yang buruk merupakan salah faktor risiko penularan taeniosis/sistiserkosis (Rajshekhar et al. 2003; Flisser dan Gyorkos 2007). Pengamatan di lapangan menunjukkan makanan dari hasil bakar batu yang telah matang sempurna hanya diletakkan di tanah yang beralaskan rumput atau bahkan tanpa alas sama sekali. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya kontaminasi makanan yang telah matang oleh telur telur Taenia yang berada di permukaan tanah. Studi menunjukkan bahwa telur Taenia dapat bertahan di permukaan tanah selama 150 hari (Riemann dan Cliver 2006). Dalam prosesi tersebut, orang yang dituakan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu memotong dan membagi-bagikan daging babi yang telah matang kepada kelompok anak-anak, remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak. Masyarakat yang menyantap hasil pemanggangan daging babi, sayuran dan hipere juga tidak
56
mencuci tangan sebelum makan. Karena kebersihan lingkungan (sanitasi) sangat rendah dan didukung perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang maka makanan hasil bakar batu berpeluang tercemar telur Taenia. Kondisi buruk seperti itu memungkinkan masyarakat mengonsumsi telur Taenia solium. Salah satu upaya untuk mengurangi penularan Taenia adalah makanan yang telah matang dari hasil bakar batu sebaiknya diletakkan dalam wadah atau beralas daun pisang yang bersih agar terhindar dari kontaminasi telur Taenia. Melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya harus melakukan pendidikan dan penyuluhan kesehatan untuk membudayakan mencuci tangan sebelum makan sehingga dapat membentuk pola perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini.
57
KESIMPULAN 1. Cara memasak tradisional Papua dengan teknik bakar batu yang menggunakan batu kali dapat terbakar selama 90 menit sehingga mencapai suhu 300 °C. 2. Suhu daging babi bagian dalam yang dimasak melalui metode bakar batu dapat mencapai suhu 60-90 °C selama sekurang-kurangnya 60 menit. Secara teoritis kondisi pemaparan panas dengan suhu 60 °C dapat mematikan sistiserkus dalam daging babi. 3. Pola penyajian makanan hasil bakar batu oleh masyarakat Wamena yang hanya
diletakkan
diatas
tanah
dapat
memungkinkan
terjadinya
terkontaminasi makanan dengan telur Taenia.
SARAN Dalam penelitian ini dapat disarankan metode penyajian makanan hasil bakar batu dengan cara makanan yang telah matang diletakkan dalam wadah atau di atas daun yang bersih dapat memutuskan rantai penularan. Pendidikan kesehatan yang berkelanjutan tentang perilaku hidup bersih dan sehat khususnya berkaitan dengan mencuci tangan sebelum makan dan meletakkan makanan yang telah masak pada tempat yang bersih, dapat mencegah terjadinya penularan sistiserkosis/taeniosis melalui cara yang sederhana.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih diucapkan kepada Agustina Kurisi SKM, Christine, yang telah membantu menerjemahkan dan mengumpulkan masyarakat. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada dr. I Kadek Swastika M.Kes. yang telah banyak membantu dalam pengambilan gambar.
59
PENDAHULUAN Sistiserkosis/taeniosis solium adalah penyakit endemik di berbagai negara berkembang yang memiliki sanitasi rendah dan sistem peternakan babi yang tradisional (Flisser et al. 2003). Berbagai cara dilakukan untuk dapat mengendalikan taeniosis dan sistiserkosis. Dorny et al. (2009) mengemukakan bahwa pengendalian T. solium dilakukan dengan cara pendidikan kesehatan, peningkatan sistem sanitasi dan sistem peternakan babi, pemeriksaan daging babi dan pemberian obat kepada penduduk secara masal. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa terdapat dua strategi untuk memutuskan siklus hidup T. solium yaitu menjaga agar babi tidak memakan feses manusia, memasak daging babi dan visera dengan baik (Sarti dan Rajshekhar 2003; Gonzales et al. 2003; Sanchez dan Fairfield 2003; Flisser et al. 2003; Suroso et al. 2006; Ngowi et al. 2008). Kedua hal ini dapat dijalankan dengan cara meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pendidikan kesehatan (Ito et al. 2005). Sanchez dan Fairfield (2003) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan memainkan peranan yang penting dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit terlebih penyakit infeksi yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, sosial dan budaya. Pendidikan kesehatan merupakan faktor yang sangat penting sementara tindakan yang lain secara bersama-sama dapat diimplementasikan. Ngowi et al. (2008) menyatakan bahwa intervensi pendidikan kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan untuk menurunkan 20% tingkat konsumsi babi yang terinfeksi pada rumah tangga di Tanzania. Margono et al. (2006) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan harus diberikan kepada wanita di suku Dani Papua supaya mereka memiliki pengetahuan mengenai higienis dan sanitasi. Pengetahuan dan informasi yang lebih mendalam sangat penting diberikan kepada wanita di suku Dani untuk mencegah
sistiserkosis/taeniosis.
Pendidikan
kesehatan
masyarakat
yang
dilakukan secara terus-menerus mengenai praktek perilaku yang mencakup higienis individu, sanitasi lingkungan termasuk peningkatan perilaku bersih yang berhubungan dengan peternakan babi harus diberikan kepada masyarakat (Suroso et al. 2006).
60
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya dengan memasukkan intervensi penyuluhan sebagai faktor yang dapat meningkatkan pendidikan dan perilaku kesehatan.
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Kabupaten Jayawijaya terletak di antara 138° 30’- 139° 40’ bujur timur dan 3° 45’- 4° 20’ lintang selatan memiliki ketinggian 1724 meter di atas permukaan laut. Jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya menurut angka proyeksi BPS Kabupaten Jayawijaya tahun 2010 adalah 118 799 jiwa. Jumlah penduduk terbanyak berada di Distrik Wamena Kota, yaitu sebesar 38 358 jiwa dengan kepadatan penduduk 38.17 jiwa/Km², artinya, di kabupaten ini, setiap 1 Km² di huni sekitar 39 jiwa penduduk (BPS 2010).
Desain penelitian Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu wawancara dengan menggunakan kuesioner dan penyuluhan (intervensi) untuk mengukur tingkat pengetahuan serta perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya. Tingkat pengetahuan diukur dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan dalam tiga tahap yaitu (1) sebelum dilakukan penyuluhan, (2) sesudah penyuluhan dan (3) satu minggu setelah penyuluhan. Tingkat perilaku diukur dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan dalam dua tahap, (1) sebelum dilakukan penyuluhan dan (2) satu minggu setelah dilakukan penyuluhan.
Kampung penelitian Kabupaten Jayawijaya memiliki 11 distrik/kecamatan. Dari 11 distrik diambil dua distrik yang menjadi lokasi penelitian. Penentuan dua distrik yang menjadi lokasi penelitian yaitu Distrik Hubikosi dan Kurulu dikoordinasikan dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. Dari kedua distrik tersebut ditetapkan kampung lokasi penelitian yaitu Kampung Hubikosi di Distrik Hubikosi, dan Distrik Kurulu dengan tiga kampung yaitu; Kampung Yiwika
61
(ibukota distrik), Kampung Milima dan Kampung Isaima (kampung yang terjauh dari ibukota distrik)
Sampel penelitian Populasi penelitian adalah semua ibu rumah tangga penduduk asli (native people) dari Distrik Hubikosi dan Distrik Kurulu, yang menjadi sampel penelitian yaitu 20 orang ibu rumah tangga yang datang ke tempat pertemuan.
Analisis Data Tingkat pengetahuan dan perilaku pada masing-masing kampung diukur dengan menggunakan non-parametric test untuk 2 related sample Wilcoxon sedangkan secara keseluruhan diukur dengan menggunakan paired sample t-test (Le 2003)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Karakteristik Responden Karakteristik umum responden penelitian disajikan dalam Tabel 4. Responden paling banyak berumur antara 20-29 tahun yaitu 24.39%, kemudian umur 40-49 tahun sebanyak 21.95%, umur 30-39 tahun sebesar 19.51%, diatas 50 tahun sebanyak 17.07%, yang berumur dibawah 20 tahun tetapi sudah berkeluarga sebesar 12.19% dan ada juga responden yang tidak mengetahui tahun kelahiran mereka sebesar 4.87%. Responden yang tidak dapat mengikuti pendidikan formal atau yang tidak bersekolah sebanyak 41.46%. Tingkat pendidikan formal responden sebagian besar adalah sekolah dasar (SD) mencapai 46.34%, diikuti dengan pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) sebesar 7.31%. Responden yang mengecap pendidikan menengah atas (SMA) sebesar 4.87%. Ditinjau dari segi pekerjaan, sebagian besar responden bekerja sebagai petani (63.41%), diikuti dengan responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga
62
(34.14%) dan terdapat responden yang memiliki pekerjaan sebagai aparat desa atau pegawai negeri sebesar 2.43%.
Tabel 4 Karakteristik responden berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan di empat kampung Kabupaten Jayawijaya Umur
Pendidikan
No. Kampung n < 20 20-29 30-39 40–49 >50
Pekerjaan
Tidak Tidak Aparat SD SMP SMA RT Tani tahu sekolah Desa
1 Milima
6
1
3
0
2
0
0
2
1
1
2
3
3
0
2 Yiwika
12
1
0
3
3
5
0
11
0
1
0
8
3
1
3 Isaima
7
1
1
2
3
0
0
4
0
0
3
0
7
0
4 Hubikosi 16
2
6
3
1
2
2
2
2
0
12
3
13
0
Total
5
10
8
9
7
2
19
3
2
17
14 26
1
41
Pengetahuan Masyarakat Pengetahuan masyarakat yang diperoleh dari hasil kuesioner terbagi atas tiga bagian yaitu pengetahuan awal (Pn0), pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan atau intervensi (Pn1) kemudian pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan (Pn2). Dari hasil wawancara dengan responden diperoleh gambaran pengetahuan awal masyarakat Kabupaten Jayawijaya mengenai sistiserkosis/taeniosis (T/S). Secara keseluruhan pengetahuan awal responden tentang penyebab taeniosis, hal apa saja yang bisa menyebabkan sistiserkosis, bagaimana penularan T/S, dan akibat yang dapat ditimbulkan dari gejala sistiserkosis/taeniosis, masing-masing diperoleh rataan sebesar 4.88% (Tabel 5). Pengetahuan responden mengenai pengobatan yang diberikan pada penderita T/S sebesar 19.51%, bila ada penderita yang sakit, responden membawanya ke dokter dan bukan ke dukun sebesar 21.95%. Pengetahuan awal responden dari setiap kampung tentang kebersihan diri untuk pencegahan dan gejala yang dapat ditimbulkan sistiserkosis/taeniosis yaitu 0.00%. Dari keempat kampung dapat diketahui Kampung Milima memiliki pengetahuan awal tertinggi, yaitu 14.59% kemudian diikuti Kampung Isaima sebesar 14.29, Kampung Hubikosi 7.81% dan Kampung Yiwika 0.00%.
63
Tabel 5 Pengetahuan awal responden tentang sistiserkosis/taeniosis (%)
No.
Uraian
1
Penyebab taeniosis
2
Penyebab sistiserkosis
3 4
Milima (n=6)
Yiwika (n=12)
Isaima (n=7)
Hubikosi (n=16)
Rata-rata
16.67
0.00
14.29
0.00
4.88
0.00
0.00
28.57
0.00
4.88
Penularan T/S
16.67
0.00
14.29
0.00
4.88
Pengobatan yang diberikan pada penderita T/S Pencegahan T/S dari segi kebersihan diri
50.00
0.00
14.29
25.00
19.51
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6
Tempat dimana penderita T/S dibawa
16.67
0.00
42.86
31.25
21.95
7
Gejala yang ditimbulkan T/S Akibat yang dapat ditimbulkan dari gejala T/S
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16.67
0.00
0.00
6.25
4.88
Rata-rata pengetahuan awal per kampung
14.59
0.0
14.29
7.81
7.62
5
8
Perubahan
pengetahuan
sebelum
dilakukan
intervensi
(Pn0)
atau
pengetahuan awal dan setelah dilakukan penyuluhan (Pn1) dapat dilihat pada Tabel 6. Di Kampung Milima, pada perubahan pengetahuan Pn0 dan Pn1, tidak terjadi perubahan yang signifikan untuk setiap pertanyaan yang diberikan. Perubahan pengetahuan tertinggi pada aspek penyebab sistiserkosis/taeniosis dan pertanyaan penularan sistiserkosis/taeniosis. Namun demikian perubahan tingkat pengetahuan responden menunjukkan persentase yang tinggi yaitu diantara 33% hingga 67%. Dalam kaji tindak pengetahuan yang dilakukan di Kampung Yiwika terjadi perubahan pengetahuan awal dan pengetahuan sesudah dilakukan penyuluhan. Perubahan pengetahuan yang signifikan di Kampung Yiwika tampak pada pertanyaan tentang penyebab kista sistiserkosis dan pengobatan yang diberikan pada penderita sistiserkosis/taeniosis sebesar 100%. Perubahan lainnya berkisar antara 75% hingga 91.67% (P<0.01).
64
Tabel 6
Tingkat pengetahuan responden sebelum dilakukan intervensi (Pn0) dan dilakukan intervensi (Pn1)
No
Pengetahuan
Milima*
Yiwika*
Isaima*
Hubikosi*
Total**
Perubahan Pn0 - Pn1
Perubahan Pn0 - Pn1
Perubahan Pn0 - Pn1
Perubahan Pn0 - Pn1
Perubahan Pn0 - Pn1
P 0.0455
(%) P 75.00 0.0027
(%) P 57.14 0.046
(%) P 43.75 0.0082
(%) Ρ 58.54 <0.001
1
Penyebab taeniosis
(%) 66.67
2
Penyebab sistiserkosis
50.00
0.0833
100.00 0.00053
42.86 0.257
75.00 0.0005
73.17 <0.001
3
Penularan sistiserkosis/taeniosis
66.67
0.0455
83.33 0.00157
71.43 0.059
62.50 0.0016
70.73 <0.001
4
Pengobatan yang diberikan pada penderita sistiserkosis/taeniosis
50.00
0.0833
100.00 0.00053
85.71 0.014
56.25 0.0027
73.17 <0.001
5
Pencegahan T/S dari segi kebersihan diri
50.00
0.0833
91.67 0.00091
85.71 0.014
37.50 0.0143
63.41 <0.001
6
Tempat dimana penderita T/S dibawa
50.00
0.0833
91.67 0.00091
57.14 0.046
50.00 0.0114
63.41 <0.001
7
Gejala yang ditimbulkan T/S
33.33
0.1573
91.67 0.00091
100.00 0.008
68.75 0.0009
75.61 <0.001
8
Akibat yang dapat ditimbulkan dari gejala sistiserkosis/taeniosis
33.33
0.1573
91.67 0.00091
71.43 0.025
43.75 0.0196
60.98 <0.001
* Pengetahuan Responden untuk setiap Kampung dihitung dengan menggunakan Nonparametric test untuk 2 related sample Wilcoxon ** Pengetahuan Responden secara keseluruhan dihitung dengan menggunakan Paired sample T-test
65
Tabel 7
Tingkat pengetahuan responden setelah dilakukan intervensi (Pn1) dan satu minggu setelah dilakukan intervensi (Pn2)
No
Pengetahuan
Milima*
Yiwika*
Isaima*
Hubikosi*
Total**
Perubahan Pn1 - Pn2
Perubahan Pn1 - Pn2
Perubahan Pn1 - Pn2
Perubahan Pn1 - Pn2
Perubahan Pn1 - Pn2
P (%) P 0.317 25.00 0.08
(%) P (%) 28.57 0.157 56.25
Ρ 0.003
(%) 36.59
Ρ <0.001
1
Penyebab taeniosis
(%) 16.66
2
Penyebab sistiserkosis
33.33
0.157 0.00
1.00
28.57 0.157 12.50
0.414
14.63
0.057
3
Penularan sistiserkosis/taeniosis
16.66
0.317 16.7
0.16
14.29 0.317 25.00
0.157
19.51
0.019
4
Pengobatan yang diberikan pada Penderita sistiserkosis/taeniosis
0.00
1.00
0.32
0.00
0.655
0.00
1.00
5
Pencegahan T/S dari segi kebersihan diri
50.00
0.083 8.33
0.32
14.29 0.317 62.50
0.002
36.59
<0.001
6
Tempat dimana penderita T/S dibawa
33.33
0.157 8.33
0.32
0.00
1.00
12.50
0.317
12.20
0.058
7
Gejala yang ditimbulkan T/S
66.66
0.046 -8.33
0.56
0.00
1
-12.50
0.414
2.44
0.785
8
Akibat yang dapat ditimbulkan dari gejala sistiserkosis/taeniosis
33.33
0.317 8.33
0.32
14.29 0.317 50.00
0.005
29.27
0.001
-8.33
1.00
6.25
* Pengetahuan Responden untuk setiap Kampung dihitung dengan menggunakan Nonparametric test untuk 2 related sample Wilcoxon ** Pengetahuan Responden secara keseluruhan dihitung dengan menggunakan Paired sample T-test
66
Di Kampung Isaima, perubahan pengetahuan Pn0 dan Pn1 tertinggi terjadi pada pertanyaan mengenai gejala yang ditimbulkan sistiserkosis/taeniosis yaitu sebesar 100%, dan perubahan pengetahuan lainnya berkisar 42.86% hingga 85.71%. Kampung Hubikosi, perubahan pengetahuan yang signifikan terjadi pada pertanyaan mengenai gejala yang ditimbulkan sistiserkosis/taeniosis sebesar 68.75% dan signifikan pada P<0.001. Perubahan tingkat pengetahuan untuk pertanyaan lainnya berada sekitar 37.5% sampai 62.5% (Tabel 6). Secara keseluruhan terdapat perubahan pengetahuan yang signifikan Pn0 dan Pn1 (P<0.001). Peningkatan pengetahuan terendah sebesar 58.54% pada pengetahuan tentang penyebab timbulnya sistiserkosis/taeniosis dan perubahan pengetahuan
tertinggi
sebesar
75.61%
pada
gejala
yang
ditimbulkan
sistiserkosis/taeniosis. Perubahan pengetahuan dari Pn1 dan Pn2 dapat dilihat pada Tabel 7. Di Kampung Milima perubahan pengetahuan yang tertinggi terdapat pada pertanyaan mengenai gejala yang ditimbulkan sistiserkosis/taeniosis sebesar 66.66%. Kampung Yiwika perubahan tertinggi sebesar 25% pada pertanyaan penyebab taeniosis, Kampung Isaima perubahan pengetahuan pada pertanyaan penyebab taeniosis dan sistiserkosis (28.57%) selanjutnya di Kampung Hubikosi perubahan tertinggi pada pertanyaan mengenai pencegahan dari segi kebersihan diri (62.50%). Perubahan pengetahuan yang signifikan Pn1 dan Pn2 (P<0.001) di empat kampung terdapat pada pertanyaan penyebab taeniosis, pencegahan dari segi kebersihan diri (36.59%) dan akibat yang dapat ditimbulkan dari gejala sistiserkosis/taeniosis (29.27%). Berdasarkan hasil survei mengenai tingkat pengetahuan responden terhadap sistiserkosis, nampak bahwa secara keseluruhan terdapat peningkatan persentase tingkat pengetahuan dari Pn0 hingga Pn2 yang tinggi (berkisar antara 75.28% sampai dengan 100%) untuk setiap pengetahuan (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pendidikan kesehatan yang diberikan melalui penyuluhan dan poster memengaruhi tingkat pengetahuan responden. Peningkatan pengetahuan mengenai sistiserkosis dapat menurunkan kejadian sistiserkosis pada masyarakat (Engels et al. 2003).
67
Tabel 8 Persentase peningkatan pengetahuan responden secara keseluruhan
No
Pengetahuan
Perubahan Pn0 - Pn2 (%)
1
Penyebab taeniosis
95.12
2
Penyebab sistiserkosis
87.83
3
Penularan sistiserkosis/taeniosis
92.00
4
Pengobatan yang diberikan pada Penderita sistiserkosis/taeniosis
75.28
5
Pencegahan T/S dari segi kebersihan diri
100.00
6
Tempat dimana penderita T/S dibawa
76.49
7
Gejala yang ditimbulkan T/S
84.90
8
Akibat yang dapat ditimbulkan dari gejala sistiserkosis/taeniosis
87.38
Rata-rata
87.37
Perilaku Masyarakat Perilaku awal responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dapat dilihat pada Tabel 9. Pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku responden terbagi dalam dua bagian, yaitu pertanyaan yang berkenaan dengan kebersihan diri dan perilaku yang berkaitan dengan konsumsi daging babi. Perilaku masyarakat yang paling buruk adalah mencuci tangan sesudah buang air besar (6.70%) kemudian diikuti dengan mandi setiap hari (11.46%), tempat buang air besar (11.90%), dan mencuci tangan sebelum makan (29.39%). Perubahan tingkat perilaku sebelum dilakukan intervensi (Pr0) dan satu minggu setelah dilakukan intervensi (Pr1) nampak pada Tabel 10. Di kampung Milima, perubahan terjadi pada perilaku tidak memakan daging babi yang ada kista/benjolan sebesar 50%, cuci tangan sebelum makan 33.33% dan mencuci tangan sesudah buang air besar 33.33%. Terdapat penurunan perilaku pada air yang dimasak terlebih dahulu sebesar 16.67%.
68
Tabel 9 Perilaku awal responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam persen No
Perilaku
Milima Yiwika
Isaima
Hubikosi
Rata-rata
1
Cuci tangan sebelum makan
16.67
25.00
57.14
18.75
29.39
2
Mandi setiap hari
33.33
0.00
0.00
12.50
11.46
3
Mencuci tangan sesudah buang air besar (BAB)
0.00
0.00
14.29
12.50
6.70
4
BAB di jamban
0.00
8.33
14.29
25.00
11.90
5
Air minum dimasak terlebih dahulu
50.00
0.00
14.29
31.25
23.88
6
Sebelum memasak, daging babi dicuci terlebih dahulu
33.33
8.33
14.29
31.25
21.80
7
Memasak daging babi selama satu Jam atau lebih
100.00
83.33
100.00
100.00
95.83
8
Memakan daging babi yang ada kista/benjolan Rata-rata perilaku per kampung
50.00
25.00
57.14
68.75
50.22
35.42
18.75
33.93
37.50
31.4
Pada Kampung Yiwika, terdapat perubahan perilaku pada mandi setiap hari dan air minum dimasak terlebih dahulu sebesar 50%. Untuk perilaku yang berkaitan dengan mencuci daging babi terlebih dahulu sebelum dimasak mengalami penurunan 8.33%. Perubahan perilaku lainnya berkisar 8.33% sampai 41.67%. Perubahan perilaku tertinggi terdapat Kampung Isaima yaitu masyarakat tidak memakan daging babi yang ada kista/benjolan sebesar 42.86%. Untuk perilaku mencuci tangan sesudah buang air besar, tempat buang air besar di jamban dan memasak daging babi selama satu jam atau lebih tidak terjadi perubahan. Kampung Hubikosi, terjadi perubahan yang tinggi tentang cuci tangan sebelum makan dan mandi setiap hari yaitu 81.25% dan 68.75%. Tidak ada perubahan perilaku buang air besar di jamban dan memasak daging babi selama satu jam atau lebih.
69
Tabel 10 Tingkat perilaku responden sebelum dilakukan intervensi (Pr0) dan setelah satu minggu dilakukan intervensi (Pr1)
No
Perilaku
Milima
Yiwika
Isaima
Hubikosi
Total
Perubahan Pr0 - Pr1
Perubahan Pr0 - Pr1
Perubahan Pr0 - Pr1
Perubahan Pr0 - Pr1
Perubahan Pr0 - Pr1
(%)
Ρ
(%)
Ρ
(%)
Ρ
(%)
Ρ
(%)
Ρ
1
Cuci tangan sebelum makan
33.33
0.1573
16.67
0.4142
28.57
0.3173
81.25
0.0003
46.34
0.00003
2
Mandi setiap hari
0.00
1.0000
50.00
0.0143
28.57
0.1573
68.75
0.0009
46.34
0.00001
3
Mencuci tangan sesudah buang air besar (BAB)
33.33
0.1573
41.67
0.0253
0.00
1.0000
12.50
0.1573
21.95
0.00516
4
Buang air besar di jamban
0.00
1.0000
8.33
0.3173
0.00
1.0000
0.00
1.0000
2.44
0.32332
5
Air minum dimasak terlebih dahulu
-16.67
0.3173
50.00
0.0143
28.57
0.1573
43.75
0.0196
34.15
0.00048
6
Sebelum memasak, daging babi dicuci terlebih dahulu
0.00
1.0000
-8.33
0.3173
14.29
0.5637
-12.50
0.4795
-4.88
0.59917
7
Memasak daging babi selama satu Jam atau lebih Memakan daging babi yang ada kista/benjolan
0.00
1.0000
16.67
0.1573
0.00
1.0000
0.00
1.0000
4.88
0.15985
50.00
0.0833
41.67
0.0253
42.86
0.0833
31.25
0.0253
39.02
0.00001
8
* P<0.01 ** P<0.001
** ** *
**
**
70
Secara keseluruhan, terdapat perubahan perilaku yang sangat signfikan pada cuci tangan sebelum makan, mandi setiap hari, air minum yang dimasak terlebih dahulu dan tidak memakan daging babi yang ada kista/benjolan masing-masing 46.34%, 46.34%, 34.15% dan 39.02% pada P<0.001. Perubahan yang signifikan terjadi pada perilaku mencuci tangan sesudah buang air besar yaitu 21.95% (P<0.01) (Tabel 10). Tabel 11 Perilaku akhir responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam persen Milima
Yiwika
Isaima
Hubikosi
Cuci tangan sebelum makan Mandi setiap hari
50.00
41.67
85.71
100.00
Ratarata 69.35
33.33
50.00
28.57
81.25
48.29
3
Mencuci tangan sesudah buang air besar (BAB)
33.33
41.67
14.29
25.00
28.57
4
BAB di jamban
0.00
16.67
14.29
25.00
13.99
5
Air minum dimasak terlebih dahulu Sebelum memasak, daging babi dicuci terlebih dahulu Memasak daging babi selama satu jam atau lebih Memakan daging babi yang ada kista/benjolan Rata-rata perilaku per kampung
33.33
50.00
42.86
75.00
50.30
33.33
0.00
28.57
18.75
20.16
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
66.67
100.00
100.00
91.67
47.92
45.83
51.79
65.63
52.79
No 1 2
6 7 8
Perilaku
Tingkat perilaku akhir yang dipraktekkan oleh responden nampak berkisar 45.83% sampai 65.63% (Tabel 11). Perilaku memasak daging babi selama satu jam atau lebih dan tidak memakan daging babi yang ada kista/benjolan mencapai tingkat yang tinggi yaitu 100% dan 91.67%. Perilaku mencuci tangan sesudah buang air besar, tempat buang air besar di jamban, dan mencuci daging babi sebelum dimasak belum mendapat perhatian dari responden dengan tingkat perilaku hanya mencapai 28.57%, 13.99% dan 20.16%. Secara keseluruhan, terdapat peningkatan perilaku dari rata-rata perilaku awal sebesar 31.4% menjadi 52.79%. Perilaku responden dalam waktu satu minggu pengamatan menunjukkan perubahan sebesar 21.39%. Hal ini
71
memperlihatkan bahwa responden telah berusaha untuk mengadopsi pengetahuan yang telah diperoleh.
Pembahasan Pengetahuan tentang sistiserkosis/taeniosis dibutuhkan oleh masyarakat sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana cara untuk mencegah dan mengobati penyakit ini. Pengetahuan awal yang dimiliki oleh responden sangat rendah. Penyuluhan telah meningkatkan secara signifikan pengetahuan mengenai penyebab taeniosis, penularan sistiserkosis/taeniosis, cara pencegahannya dengan kebersihan
diri
dan
akibat
yang
dapat
ditimbulkan
dari
gejala
sistiserkosis/taeniosis di semua kampung. Setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan secara signifikan di Kampung Milima, Isaima dan Hubikosi sebesar 58.54% hingga 75.61%. Sesudah satu minggu dilakukan penyuluhan hasil yang diperoleh mencapai 36.59%. Nampak bahwa penyerapan pengetahuan masyarakat cukup tinggi terhadap sistiserkosis/taeniosis. Hal ini disebabkan oleh sistiserkosis berkaitan erat dengan kehidupan budaya mereka yaitu memelihara babi. Hasil survei awal menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengetahui cara pemeliharaan babi yang baik. Ini disebabkan oleh kurangnya peran pemerintah dalam memberikan penyuluhan tentang cara pemeliharaan babi, dari hasil kuesioner sebanyak 79% responden menyatakan bahwa pemerintah tidak pernah melakukan penyuluhan tentang cara berternak babi yang baik dan benar. Selain itu, perlakuan masyarakat terhadap ternak babi yang mati dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit. Babi yang mati seharusnya dikuburkan dan bukan untuk dijual atau dimakan. Penyuluhan mengenai perilaku yang berkaitan dengan pola hidup bersih masyarakat untuk mencegah sistiserkosis/taeniosis juga diberikan. Diharapkan responden mempraktekkan pola hidup bersih sehingga dapat menurunkan tingkat penyebaran sistiserkosis/taeniosis pada masyarakat. Perubahan perilaku yang signifikan terjadi pada beberapa hal yang sebelumnya tidak diketahui oleh masyarakat bahwa ini dapat mencegah penyakit yaitu mencuci tangan sebelum makan, mandi setiap hari, mencuci tangan sesudah buang air besar, air minum
72
dimasak terlebih dahulu dan tidak memakan daging babi yang ada kista/benjolan. Diharapkan perubahan perilaku respondan yang terjadi selama satu minggu tetap dipertahankan sehingga masyarakat dapat terus mempraktekkan cara hidup sehat yang mencegah mereka terkena sistiserkosis/taeniosis atau pun penyakit lainnya. Hasil penelitian Ngowi et al. (2008) mengemukakan bahwa intervensi pendidikan kesehatan dapat menurunkan tingkat sistiserkosis pada babi (0.57) dan tingkat konsumsi masyarakat terhadap babi yang terinfeksi (20%). Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki keinginan untuk terhindar dari suatu penyakit. Pendidikan dan informasi kesehatan harus diberikan secara berkelanjutan kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana cara untuk mencegah dan mengobati penyakit tersebut. Teori health belief model (HBM) menjelaskan perilaku kesehatan dalam pengambilan keputusan individu yaitu memungkinkan seseorang mengadopsi perilaku yang direkomendasikan merupakan fungsi dari persepsi perorangan terhadap ancaman kesehatan pribadinya (persepsi kerentanan dan persepsi keganasan
penyakit),
dan
keyakinan
mereka
bahwa
perilaku
yang
direkomendasikan akan menurunkan ancaman tersebut (Rosenstock et al. 1994 dalam Ngowi et al. 2008; Turner et al. 2004; Lin et al. 2005; Munro et al. 2007). Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa responden dapat menerima informasi yang
diberikan
sehingga
terjadi
peningkatan
pengetahuan
mengenai
sistiserkosis/taeniosis. Peningkatan pengetahuan responden dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk pengendalian sistiserkosis/taeniosis. Pendidikan kesehatan mengenai penyakit cacing pita dapat mempengaruhi perilaku responden dalam dua hal yaitu: praktek perilaku hidup bersih dan sehat serta pola mengandangkan babi. Kedua aspek ini dapat menurunkan tingkat sistiserkosis/taeniosis (Krecek dan Waller 2006). Disadari juga bahwa peningkatan pengetahuan dan perilaku masyarakat dalam penelitian ini tidak dapat menurunkan secara langsung penyakit sistiserkosis/taeniosis. Strategi pengendalian yang baik membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat seperti guru, organisasi masyarakat, dan tokoh agama dalam mengubah tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat (Sarti dan Rajshekhar 2003; Flisser et al. 2003).
73
KESIMPULAN
1. Pengetahuan awal responden dari empat kampung sebesar 7.62%. 2. Terjadi peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap taeniosis dan sistiserkosis saat dilakukan intervensi melalui penyuluhan yaitu 58.54% sampai dengan 75.61%. 3. Satu minggu setelah penyuluhan tingkat pengetahuan masyarakat yang dicapai sebesar 36.59%. 4. Perilaku awal responden terhadap sistiserkosis/taeniosis yaitu 31.4%. 5. Perubahan perilaku masyarakat setelah satu minggu dilakukan penyuluhan yang tertinggi adalah cuci tangan sebelum makan (46.34%), mandi setiap hari (46.34%) dan memasak air minum (34.15%). 6. Terdapat peningkatan perilaku responden rata-rata sebesar 21.39% setelah dilakukan intervensi melalui penyuluhan.
74
PEMBAHASAN UMUM Ibukota Kabupaten Jayawijaya adalah Wamena yang berasal dari kata wam yang berarti babi. Hal ini menunjukkan bahwa babi merupakan hewan yang penting bagi masyarakat suku Dani. Jenis babi yang dipelihara di Wamena adalah babi lokal dan persilangan dengan babi impor berwarna putih seperti large white (Katern 2008). Berbagai upacara yang dilakukan dalam masyarakat suku ini tidak lepas dari pesta babi. Upacara keagamaan pada orang Dani tertuju pada dua hal, yaitu kesejahteraan hidup dan perang, dimana pada masa lampau upacara diadakan dengan tujuan untuk memperoleh kesejahteraan warga kelompok dan untuk memperkuat keberanian dalam peperangan (Depdikbud 1993). Dengan banyaknya hewan babi yang digunakan sebagai bahan makanan yang penting bagi masyarakat, perlu dilakukan usaha-usaha yang dapat meningkatkan keamanan pengonsumsian daging babi seperti tindakan pencegahan terkontaminasinya daging babi dan pencegahan terkenanya sistiserkosis/taeniosis pada manusia. Survei seroprevalensi sistiserkosis pada babi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar babi di Kabupaten Jayawijaya terkena sistiserkosis sehingga dapat dipetakan tingkat sistiserkosis untuk berbagai distrik di Kabupaten Jayawijaya. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat prevalensi sistiserkosis pada babi cukup tinggi di Kabupaten Jayawijaya yaitu 40.54%. Nampak bahwa terjadi penurunan prevalensi sebesar 30.14% bila dibandingkan dengan pada tahun 1998-1999 yang mencapai 70.4% (Margono et al. 2006; Suroso et al. 2006). Hal ini menunjukkan bahwa sudah terdapat usaha dari Dinas Peternakan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya yang dilakukan dalam kaitannya dengan menurunkan tingkat prevalensi. Prevalensi yang tinggi terdapat di distrik Asolokobal (92.86%), Musatfak (75.00%) dan Kurulu (65.22%) yang terletak relatif jauh dari pusat kota Wamena. Tingkat prevalensi sistiserkosis di Distrik Wamena Kota, Hubikosi dan Homhom relatif lebih rendah, yaitu masing-masing 5.88%, 14.29 dan 18.18%. Di Kabupaten Jayawijaya, terlihat bahwa masih terdapat masalah yang sering terjadi di setiap distrik yaitu aksebilitas masyarakat terhadap fasilitas kesehatan hewan dan kesulitan tenaga kesehatan hewan untuk menjangkau hewan ternak masyarakat yang berada jauh dari kota.
75
Beberapa spesies yang termasuk ke dalam genus Taenia yang larvanya sering ditemukan pada babi adalah Taenia hydatigena, Taenia solium dan Taenia asiatica. Taenia hydatigena merupakan cacing pita dengan induk semang definitifnya adalah anjing, serigala dan karnivora liar, sedangkan kistanya yang dikenal dengan sebutan Cysticercus tenuicollis ditemukan pada hati atau rongga peritoneum domba, kambing, sapi maupun babi. Data sistiserkosis pada babi di Indonesia masih sangat terbatas. Dharmawan et al. (1995) melakukan pemeriksaan serologis terhadap adanya antigen dalam serum babi yang disembelih di rumah potong hewan Denpasar, maupun yang berasal dari babi yang dipelihara di daerah endemis taeniosis di Bali menunjukkan tingkat prevalensi mencapai 11.2%. Studi yang dilakukan oleh Saleh et al. (2010) mengatakan prevalensi sistiserkosis tenuicollis pada babi yang dipotong di tempat potong hewan tidak menemukan adanya sistiserkosis solium pada babi di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur. Meskipun demikian prevalensi sistiserkosis tenuicollis pada babi yang diperiksa mencapai 15.7%. Cukup tingginya prevalensi Cysticercus tenuicollis di Kabupaten Flores Timur berhubungan dengan tingginya populasi anjing di Kabupaten tersebut. Anjing merupakan induk semang definitif dari Taenia hydatigena yakni bentuk dewasa dari Cysticerus tenuicollis. Babi akan terinfeksi oleh Cycticercus tenuicollis apabila menelan makanan atau minuman yang tercemar oleh tinja anjing yang mengandung telur dari Taenia hydatigena. Metode ELISA yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Institute of Tropical Medicine, Belgia. Pendekatan yang digunakan adalah antigen captured ELISA menggunakan monoklonal antibodi yang dibuat dengan antigen Taenia saginata. Monoklonal antibodi ini mampu mengenali antigen semua spesies dari genus Taenia. Dalam penelitian ini pemeriksaan serologis pada babi dengan menggunakan ELISA, namun pemeriksaan serologis dengan ELISA tidak dapat membedakan sistiserkosis yang disebabkan oleh Taenia solium dan Taenia hydatigena. Menurut Dekumyoy et al. (2004) dan Dorny et al. (2004), monoklonal antibodi yang digunakan dalam uji ini dapat terjadi reaksi silang dengan metacestoda Taenia lainnya. Di Kabupaten Jayawijaya pada tahun 1999-2000 pernah dilakukan survei sistiserkosis pada anjing dengan prevalensi
76
33.3% (Margono et al. 2006; Suroso et al. 2006). Pada umumnya setiap keluarga memiliki anjing dan dibiarkan bebas berkeliaran tanpa dikandangkan atau diikat. Berdasarkan kajian faktor risiko sistiserkosis pada babi, nampak bahwa cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan dan pakan babi yang tidak dimasak memiliki risiko yang tinggi yaitu 4.6 dan 3.6. Tidak mengandangkan babi adalah salah satu faktor risiko terjadinya sistiserkosis pada babi (Lekule dan Kyvsgaard 2003). Hal ini telah dibuktikan pada beberapa penelitian (Garcia et al.1998; Suroso et al. 2006; Garcia et al. 2007; Sikasunge et al. 2007). Pada daerah yang memiliki situasi ternak babi bisa mengakses feses manusia, kombinasi pengendalian baik pada babi maupun manusia perlu dilakukan (Sarti dan Rajshekhar 2003). Kehidupan masyarakat Wamena sangat bergantung pada ubi jalar. Hubungan antara manusia, babi dan ubi jalar begitu harmonis dan kemungkinan turut membentuk perilaku masyarakat dalam memelihara ubi jalar dan ternak babi. Hubungan ketiganya sangat erat dan dapat digambarkan sebagai segitiga sama sisi. Tanaman ubi jalar dan ternak babi dikelola dengan baik agar ubi jalar berproduksi tinggi dan ternak babi tumbuh sehat. Jenis ubi jalar yang ditanam oleh masyarakat Wamena bergantung pada tujuannya, yaitu untuk konsumsi orang dewasa, anak-anak dan untuk pakan babi. Ubi jalar yang diperuntukkan bagi bayi dan anak-anak mempunyai umbi yang lembut, manis, berwarna kuning sampai jingga dan tidak berserat. Di desa Waga-waga, ubi jalar seperti ini disebut dengan umbi ‘wortel’ karena berwarna kuning seperti wortel. Jenis ubi jalar yang dominan adalah helalekue untuk konsumsi orang dewasa dan keperluan ritual dan jenis musan untuk pakan babi (Soenarto et al. 1987; Widyastuti et al. 2000; Kataren 2008). Ubi jalar merupakan pakan utama bagi ternak babi. Pakan diberikan pada pagi hari sebelum babi dilepas untuk mencari makan atau sore saat kembali ke kandang. Ubi jalar untuk pakan babi umunya berkualitas rendah atau kurang disukai masyarakat, yaitu yang rasanya kurang manis, lembek berserat, berukuran kecil atau sebagian rusak. Umbi dan daun ubi jalar diberikan kepada ternak dalam bentuk segar atau dimasak terlebih dahulu (Kataren 2008).
77
Sebaran peta yang diambil dari seroprevalensi sistiserkosis pada babi dan faktor risiko menunjukkan bahwa daerah yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi berada di sekitar Distrik Asolokobal, Musatfak dan Kurulu. Sementara itu yang memiliki tingkat kerawanan rendah berada di sekitar Distrik Wamena Kota dan Homhom. Kebudayaan masyarakat setempat dan kebiasaan mengolah atau memakan makanan merupakan penyebab penularan sistiserkosis/taeniosis pada beberapa daerah (Rajshekhar et al. 2003). Penyebaran sistiserkosis/taeniosis berhubungan erat dengan metode memasak makanan dengan bakar batu (Suroso et al. 2006; Margono et al. 2006; Wandra et al. 2007b). Metode memasak ini berkaitan dengan kebudayaan yang ada di Kabupaten Jayawijaya dan beberapa kabupaten di pegunungan Provinsi Papua. Meat inspection yang baik dan benar merupakan cara kontrol penyebaran penyakit ini, selain itu perlu disosialisasikan bagi populasi berisiko untuk selalu memasak daging babi diatas suhu 60 °C ataupun membekukannya -5 °C selama empat hari, -15 °C selama tiga hari atau -24 °C selama satu hari yang dapat membunuh larva di dalam daging (EFSA 2004; Tsigarida et al. 2009). Berdasarkan hasil observasi terhadap suhu daging dan lamanya daging dimasak dalam proses bakar batu, nampak bahwa proses ini sudah dapat menghasilkan daging babi yang aman dikonsumsi (Kandun 2000; Riemann dan Cliver 2006). Di Kabupaten Jayawijaya terdapat suatu kepercayaan bahwa apabila daging babi yang mereka masak melalui bakar batu menunjukkan sudah matang, yang dapat mereka ketahui dari habisnya uap panas yang mengepul keluar dari rumput penutup liang tempat memasak, lalu para wanita yang hadir membuka liang memasak dan mengeluarkan makanan dari dalamnya sambil selalu memperhatikan apakah semua makanan itu matang atau masih ada yang mentah atau setengah matang. Jika ternyata semua makanan matang dengan sempurna, para wanita itu menunjukkan mimik yang gembira bahkan kadang-kadang bersorak karena girang, tetapi bilamana ada di antara makanan itu ada yang masih mentah atau setengah matang, biasanya wanita itu menunjukkan rasa sedih karena kalau pada upacara kelahiran, mereka percaya bahwa si bayi tidak akan berumur
78
panjang (Depdikbud 1993). Kearifan lokal ini sangat membantu dalam mencegah penularan sistiserkosis/taeniosis dari proses bakar batu. Peluang penularan sistiserkosis/taeniosis dapat terjadi pada pasca proses bakar batu. Pada saat makanan dikeluarkan dari liang pembakaran, mereka tidak meletakkan makanan di tempat makan tertentu tetapi hanya diletakkan di atas rumput yang tidak bersih. Hal ini dapat menyebabkan makanan yang sudah masak dan bebas dari parasit menjadi tidak bersih. Selain itu, pada saat makan bersama, masyarakat yang turut makan tidak mencuci tangan mereka sebelum makan. Perilaku masyarakat yang berkaitan dengan kebersihan diri dan penanganan makanan yang sudah dimasak inilah yang dapat menyebabkan risiko penularan sistiserkosis kepada manusia. Oleh sebab itu, pendidikan tentang perilaku hidup bersih dan sehat perlu diberikan kepada masyarakat di Kabupaten Jayawijaya. Kaji tindak pengetahuan dilakukan untuk mengukur tingkat pengetahuan masyarakat tentang sistiserkosis/taeniosis. Survei dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama responden mengisi kuesioner mengenai sistiserkosis/taeniosis. Tahap ini dilakukan untuk mengukur pengetahuan awal responden sebelum dilakukan intervensi. Selanjutnya, intervensi kaji tindak dilakukan dengan memberikan kepada responden pengetahuan tambahan melalui penyuluhan dan poster yang berkaitan dengan terkenanya sistiserkosis pada babi dan sistiserkosis/taeniosis pada manusia. Survei tahap kedua dilakukan setelah responden diberikan tambahan pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan diserap oleh responden. Sesudah satu minggu, survei tahap ketiga dilakukan untuk mengukur tingkat pengetahuan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk melihat pengetahuan yang diterima oleh masyarakat mengenai penyakit sistiserkosis/taeniosis bisa bertahan lebih lama atau langsung terlupakan. Responden dalam kaji tindak pengetahuan adalah ibu rumah tangga. Di Kabupaten Jayawijaya, yang memelihara babi adalah ibu rumah tangga. Wanita memiliki risiko yang tinggi terhadap sistiserkosis/taeniosis (Margono et al. 2006). Oleh sebab itu, pengetahuan dan informasi harus diberikan kepada mereka sehingga mereka dapat memelihara ternak babi yang sesuai dengan prinsip kesehatan ternak.
79
Pengetahuan awal responden terhadap penyakit sistiserkosis/taeniosis sangat minim dengan rata-rata jawaban sampai 21.92% untuk masing-masing pertanyaan. Secara keseluruhan terdapat perbedaan tingkat pengetahuan pada tahap sebelum dilakukan intervensi dan setelah dilakukan intervensi berkisar 58.54% sampai 75.61% untuk masing-masing pertanyaan. Hal ini menunjukkan bahwa penyerapan pengetahuan tentang penyakit taeniosis atau sistiserkosis oleh responden cukup tinggi. Perbedaan tingkat pengetahuan saat dilakukan intervensi dan satu minggu setelah intervensi menunjukkan perubahan hingga 36.59% untuk masing-masing pertanyaan. Perubahan ini menunjukkan bahwa dalam waktu satu minggu bukan saja pengetahuan yang dimiliki oleh responden tetapi terjadi pertukaran informasi di antara responden itu sendiri. Di Kabupaten Jayawijaya, penduduk masih memilih pergi ke dukun dibanding pergi ke puskesmas atau dokter bila menderita penyakit. Ini nampak pada 21.95% responden yang menjawab membawa penderita ke puskesmas ataupun dokter. Dengan demikian, sulit bagi Dinas Kesehatan untuk mengatasi penyakit sistiserkosis/taeniosis. Selain itu, perilaku masyarakat yang dapat meningkatkan penyebaran penyakit sistiserkosis/taeniosis yaitu tempat BAB. Sebanyak 11.90% responden yang menjawab tempat BAB di jamban. Sebagian besar menjawab bahwa tempat BAB mereka di kebun atau rerumputan. Ketersediaan jamban di Kabupaten Jayawijaya masih minim, hal ini menyebabkan masyarakat melakukan defekasi di kebun atau halaman. Diperlukan perhatian dari pemerintah setempat untuk dapat menyediakan jamban yang sesuai dengan syarat kesehatan sehingga masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup sehat mereka. Rajshekhar et al. (2003) menemukan bahwa beberapa penyebab penyakit sistiserkosis/taeniosis berkaitan dengan pengunaan jamban (atau tidak tersedianya jamban). Penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2000) di lima Distrik Kabupaten Jayawijaya menunjukkan bahwa 154 responden (96.3%) tidak mempunyai jamban dan 151 responden (94.4%) melakukan defekasi di sekitar rumah. Di sisi lain, sebanyak 156 responden (97.5%) melepaskan babi berkeliaran sepanjang hari, 159 responden (99.4%) memakan daging babi dan ubi jalar yang hanya dibakar saja
80
dan 152 responden (95.0%) mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan. Menurut Dorny et al. (2003) sistiserkosis/taeniosis merupakan masalah bagi kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang di mana populasi babi dan tingkat konsumsi dagingnya tinggi serta rendahnya tingkat pendidikan, sarana dan prasarana kebersihan ataupun kesehatan. Sutisna et al. (1999) menyatakan bahwa kurang intensifnya kegiatan pemeriksaan daging di daerah pedesaan juga mempengaruhi penyebaran dari penyakit ini. Pendidikan kesehatan sangat penting untuk menurunkan terjadinya penyakit dari sisi pencegahan. Perubahan dalam pengetahuan, sikap dan perilaku akan menurunkan tingkat taeniosis pada manusia (Sarti dan Rajshekhar 2003). Seperti penyakit lainnya, pencegahan adalah kunci untuk mengendalian suatu penyakit. Perubahan pada perilaku hidup bersih masyarakat dapat mencegah penyebaran penyakit ini pada manusia maupun ternak (Nash 2003).
81
KESIMPULAN UMUM 1. Seroprevalensi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya adalah 40.54% 2. Faktor risiko sistiserkosis pada babi adalah cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR 4.6332; P<0.01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR 3.6520; P<0.05) 3. Tingkat kerawanan penyakit sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya terbagi atas tiga bagian yaitu; a. Daerah yang sangat rawan adalah Distrik Asolokobal diikuti dengan Distrik Kurulu, Bolakme, Musatfak, Hubikosi. b. Daerah yang rawan adalah Distrik Asologaima c. Daerah yang tidak rawan adalah Distrik Wamena kota dan Homhom 4. Daging babi yang dimasak dengan metode bakar batu berlangsung selama satu jam setengah dengan suhu selama pemanggangan yaitu 60 °C sampai dengan 90 °C 5. Pengetahuan awal responden dari empat kampung adalah 7.62%, setelah dilakukan penyuluhan meningkat menjadi 87.37%. 6. Setelah satu minggu dilakukan penyuluhan terdapat peningkatan perilaku responden sebesar 21.39%.
82
SARAN 1. Perlu pendekatan kebudayaan mengenai pola mengandangkan babi di Kabupaten Jayawijaya. 2. Dinas Peternakan Kabupaten Jayawijaya perlu melakukan pemeriksaan kesehatan pada ternak babi, penyuluhan kesehatan serta memberikan arahan yang harus dilakukan oleh masyarakat bila babi peliharaan mereka mati. 3. Pendidikan kesehatan secara berkelanjutan terhadap masyarakat perlu dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya dalam upaya meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
83
DAFTAR PUSTAKA
Alarcón F, Vanormelingen K, Moncayo J, Vinán I. 1992. Celebral cysticercosis as a risk factor for stroke in young and middle-aged people. Stroke 23:15631565 Allan JC, Wilkins PP, Tsang VCW, Craig PS. 2003. Immunodiagnostic tools for taeniasis. Acta Tropica 87:87-93 Allepuz A, Napp S, Picado A, Alba A, Panades J, Domingo M, Casal J. 2009. Descriptive and spatial epidemiology of bovine cysticercosis in NorthEastern Spain (Catalonia). Vet Parasitol 159:43-48 Allepuz A, Gabriel S, Dorny P, Napp S, Jansen F, Vilar MJ, Vives L, Picart L, Ortuno A, Gutierrez, Casal J. 2011. Comparison of bovine cysticercosis prevalence detected by antigen ELISA and visual inspection in the North East of Spain. Res Vet Sci 92(3):393-395 Anantaphruti MT, Waikagul J, Yamasaki H, Ito A. 2007a. Review: Cysticercosis and taeniasis in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38 (Supl 1):151-158 Anantaphruti MT, Yamasaki H, Nakao M, Waikagul J, Watthanakulpanich D, Nuamtanong S, Maipanich W, Pubampen S, Sanguankiat S, Muennoo C, Nakaya K, Sato MO, Sako Y, Okamoto M, Ito A. 2007b. Sympatric occurrence of Taenia solium, T. saginata, and T. asiatica, Thailand. Emerging Infectious Diseases 13:1413-1416 Arimbawa M, Kari IK, Laksminingsih NS. 2004. Neurocysticercosis. Paediatrica Indonesiana 44 (7-8):165-170 Asaava LL, Kitala PM, Gathura PB, Nanyingi MO, Muchemi G, Schelling. 2009. A survey of bovine cysticercosis/human taeniosis in Northern Turkana District, Kenya. Preventive Vet Med 89:197-204 Assana E, Amadou F, Thys E, Lightowlers MW, Zoli AP, Dorny P, Geerts S. 2010. Pig-farming systems and porcine cysticercosis in the north of Cameroon. J Helminthol 84:441-446 Assana E, Gauci CG, Kyngdon CT, Zoli AP, Dorny P, Geerts S, Lightowlers MW. 2010. Antibody responses to the host-protective Taenia solium oncosphere protein TSOL18 in pigs are directed against conformational epitopes. Parasite Immunol 32:399-405 Atluri SRV, Singhi P, Khandelwal N, Malla N. 2009. Neurocysticercosis immunodiagnosis using Taenia solium cysticerci crude soluble extract, excretory secretory and lower molecular mass antigens in serum and uring samples of Indian children. Acta Tropica 110:22-27
84
Berata IK, Arjana AAG, Sudira IW, Merdana IM, Budiasa IK, Oka IBM. 2010. Studi patologi kejadian cysticercosis pada tikus putih. J Vet 10(4):232-237 Bern C, Garcia HH, Evans C, Gonzalez AE, Verastegui M, Tsang VCW, Gilman RH. 1999. Magnitude of the disease burden from Neurocysticercosis in a developing country. Clin Infect Dis 29:1203-1209 Bett B, Jost C, Allport R, Mariner J. 2009. Using participatory epidemiological techniques to estimate the relative incidence and impact on livelihoods of livestock diseases amongst nomadic pastoralists in Turkana South Districts, Kenya. Preventive Vet Med 90:194-203 Boa ME, Kassuku AA, Willingham III AL, Keyyu JD, Phiri IK, Nansen P. 2002. Distribution and density of cysticerci of Taenia solium by muscle groups and organs in naturally infected local finished pigs in Tanzania. Vet Parasitol 106:155-164 Boa ME, Mahundi EA, Kassuku AA, Willingham III AL, Kyvsgaard NC. 2006. Epidemiological survey of swine cysticercosis using ante-mortem and postmortem examination tests in the southern highlands of Tanzania. Vet Parasitol 139:249-255 [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayawijaya. 2008. Kabuapten Jayawijaya dalam angka tahun 2008. Wamena: BPS Kabupaten Jayawijaya [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayawijaya. 2010. Kabupaten Jayawijaya dalam angka 2010. Wamena: BPS Kabupaten Jayawijaya Boone I, Thys E, Marcotty T, De Borchgrave J, Ducheyne E, Dorny P. 2007. Distribution and risk factor of bovine cysticercosis in Belgian dairy and mixed herds. Preventive Vet Med 82:1-11 Bruschi F, Masetti M, Locci MT, Ciranni R, Fornaciari G. 2006. Short report: Cysticercosis in an Egyptian mummy of the late ptolemaic period. Am J Trop Med Hyg 74(4):598-599 Budiarto E. 2001. Biostatistika untuk kedokteran dan kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC Bueno EC, Vaz AJ, Machado LR, Livramento JA, Avila SLM, Ferreira AW. 2001. Antigen-specific suppression of cultured lymphocytes from patients with neurocysticercosis. Clin Exp Immunol 126:304-310 Cabaret J, Geerts S, Madeline M, Ballandonne C, Barbier D. 2002. The use of urban sewage sludge on pastures: the cysticercosis threat. Vet Res 33:575597 Carabin H, Millogo A, Praet N, Hounton S, Tarnagda Z, Ganaba R, Dorny P, Nitiema P, Cowan LD. 2009. Seroprevalence to the antigens of Taenia
85
solium cysticercosis among residents of three villages in Burkina Faso: A cross-sectional study. PLoS Neglected Tropical Dis 3(11):e555 Chung JY, Eom KS, Yang Y, Li X, Feng Z, Rim HJ, Cho SY, Kong Y. 2005. Seroepidemiological survey of Taenia solium cysticercosis in Nabo, Guangxi Zhuang Autonomous Region, China. Korean J Parasitol 43(4):135-139 Conlan J, Khounsy S, Inthavong P, Fenwick S, Blacksell S, Thompson RCA. 2008. A review of taeniasis and cysticercosis in the Lao People’s Democratic Republic. Parasitol Int 57:252-255 Conlan JV, Sripa B, Attwood S, Newton PN. 2011. A review of parasitic zoonoses in a changing Southeast Asia. Vet Parasitol 182(1):22-40 De Aluja AS, Villalobos ANM, Plancarte A, Rodarte LF, Hernandez M, Zamora C, Sciutto E. 1999. Taenia solium cysticercosis: immunity in pigs induced by primary infection. Vet Parasitol 81:129-135 Deckers N, Dorny P, Kanobana K, Vercruysse J, Gonzalez AE, Ward B, Ndao M. 2008a. Use of Protein Chip technology for identifying biomarkers of parasitic diseases: The example of porcine cysticercosis (Taenia solium). Experimental Parasitol 120:320-329 Deckers N, Kanobana K, Silva M, Gonzalez AE, Garcia HH, Gilman RH, Dorny P. 2008b. Serological responses in porcine cysticercosis: A link with the parasitological outcome of infection. Int J Parasitol 38:1191-1198 Deckers N, Saerens D, Kanobana K, Conrath K, Victor B, Wernery U, Vercruysse J, Muyldermans S, Dorny P. 2009. Nanobodies, a promising tool for species-specific diagnosis of Taenia solium cysticercosis. Int J Parasitol 39: 625-633 Deckers N, Dorny P. 2010. Immunodiagnosis of Taenia taeniosis/cysticercosis. Trends in Parasitol 26(3):137-144
solium
Dekumyoy P, Waikagul J, Vanijanonta S, Thairungroj M, Nakao M, Sako Y, Watanabe S, Ito A. 2004. Cysticercosis: IgG-ELISA evaluation of peak 1 antigen and <30 KDA antigen of delipidized extract of Taenia solium metacestodes. Southeast Asian J Trop Med Public Health 35(1):1-9 [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Upacara tradisional lingkaran hidup suku Meybrat dan suku Dani di daerah Irian Jaya. Jayapura: Depdikbud Dharmawan NS. 1995. Pelacakan terhadap kehadiran Taenia saginata taiwanensis di Bali melalui kajian parasitologi dan serologi [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dharmawan NS. 2004. Taenia asiatica: bentuk ketiga cacing pita Taenia. J Vet 5(4)
86
Dharmawan NS, Damriyasa IM, Kapti IN, Sutisna P, Okamoto M, Ito A. 2009. Experimental infection of Taenia saginata eggs in bali cattle: distribution and density of Cysticercus bovis. J Vet 10 (4):178-183 [Dinkes] Dinas Kesehatan. 2004. Laporan tahunan sub dinas pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan Provinsi Papua. Jayapura: Dinkes [Dinkes] Dinas Kesehatan. 2005. Laporan tahunan sub dinas pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkunganProvinsi Papua. Jayapura: Dinkes Diop AG, De Boer HM, Mandlhate C, Prilipko L, Meinardi H. 2003. The global campaign against epilepsy in Africa. Acta Tropica 87:149-159 Dorny P, Vercammen F, Brandt J, Vansteenkiste W, Berkvens D, Geerts S. 2000. Sero-epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Belgian cattle. Vet Parasitol 88:43-49 Dorny P, Brandt J, Zoli A, Stanny Geerts. 2003. Immunodiagnostic tools for human and porcine cysticercosis. Acta Tropica 87:79-86 Dorny P, Phiri IK, Vercruysse J, Gabriel S, Willingham III AL, Brandt J, Victor B, Speybroeck N, Berkvens D. 2004. A Bayesian approach for estimating values for prevalence and diagnostic test characteristics of porcine cysticercosis. Int J Parasitol 34:569-576 Dorny P, Praet N, Deckers N, Gabriel S. 2009. Emerging food-borne parasites. Vet Parasitol 163:196-206 Eddi C, Nari A, Amanfu W. 2003. Taenia solium cysticercosis/taeniosis: potential linkage with FAO activities; FAO support possibilities. Acta Tropica 87:145-148 [EFSA] European Food Safety Authority. 2004. Opinion of the scientific panel on biological hazards on the “Risk assessment of a revised inspection of slaughter animals in areas with low prevalence of Cysticercus”. EFSA J 176:1-24 Eichenberger RM, Stephan R, Deplazes P. 2011. Increased sensitivity for the diagnosis of Taenia saginata cysticercus infection by additional heart examination compared to the EU-approved routine meat inspection. Food Control 22:989-992 Engels D, Urbani C, Belotto A, Meslin F, Savioli L. 2003. The control of human (neuro) cysticercosis: which way forward? Acta Tropica 87:177-182 Flisser A, Sarti E, Lightowlers M, Schantz P. 2003. Neurocysticercosis: regional status, epidemiology, impacts and control in the Americans. Acta Tropica 87:43-51
87
Flisser A, Rodriguez-Canul R, Willingham III AL. 2006. Control of the taeniosis/cysticercosis complex: future developments. Vet Parasitol 139:283-292 Flisser A, Gyorkos TW. 2007. Contribution of immunodiagnostic tests to epidemiological/intervention studies of cysticercosis/taeniosis in Mexico. Parasite Immunol 29:637-649 Fonseca-Coronado S, Ruiz-Tovar K, Perez-Tapia Mayra, Mendlovic F, Flisser A. 2011. Taenia solium: immune response against oral or systemic immunization with purified recombinant calreticulin in mice. Experimental Parasitol 127:313-317 Gandahusada S, Ilahude DH, Pribadi W. 1998. Parasitologi kedokteran. Jakarta: FKUI. Garcia HH, Araoz R, Gilman RH, Valdez J, Gonzalez AE, Gavidia C, Bravo ML, Tsang VCW. 1998. Increased prevalence of cysticercosis and taeniasis among professional fried pork vendors and the general population of a village in the peruvian highlands. Am J Trop Med Hyg 59(6):902-905 Garcia HH, Del Brutto OH. 2003. Imaging findings in neurocysticercosis. Acta Tropica 87:71-78 García HH, Gilman RH, Gonzalez AE, Verastegui M, Rodriguez S, Gavidia C, Tsang VCW, Falcon N, Lescano AG, Moulton LH, Bernal T, Tovar M. 2003a. Hyperendemic human and porcine Taenia solium infection in Perú. Am J Trop Med Hyg 68(3):268-275 Garcia HH, Gonzalez AE, Evans CAW, Gilman RH. 2003b. Taenia solium cysticercosis. Lancet 361:547-556 Garcia HH, Gonzalez AE, Gavidia C, Falcon N, Bernal T, Verastegui M, Rodriguez S, Tsang VCW, Gilman RH. 2003c. Seroincidence of porcine T. Solium infection in the Peruvian highlands. Preventive Vet Med 57:227-236 Garcia HH, Gonzalez AE, Del Brutto OH, Tsang VCW, Llanos-Zavalaga F, Gonzalez G, Romero J, Gilman RH. 2007. Strategies for the elimination of taeniasis/cysticercosis. J Neurological Sci 262:153-157 Garcia-garcia MDL, Torres M, Correa D, Flisser A, Sosa-Lechuga A, Velasco O, Meza-Lucas A, plancarte A, Avila G, Tapia R, Aguilar L, Mandujano A, Alcántara I, Morales Z, Salcedo A, Manon MDLL, Valdespino-Gomez JL. 1999. Prevalence and risk of cysticercosis and taeniasis in an urban population of soldiers and their relatives. Am J Trop Med Hyg 61(3):386389 Gasser RB, Campbell BE, Jex AR. 2009. Mutation scanning-coupled tools for the analysis of genetic variation in Taenia and diagnosis-status and prospects. Infection, Genetics and Evolution 9:740-747
88
Geldhof P, De Maere V, Vercruysse J, Claerebout E. 2007. Recombinant expression systems: the obstacle to helminth vaccines? Trends in Parasitol 23(11):527-532 Gomes AB, Soares KA, Bueno EC, Espindola NM, Iha AH, Maia AAM, Peralta RHS, Vaz AJ. 2007. Comparative evaluation of different immunoassays for the detection of Taenia solium cysticercosis in swine with low parasite burden. Mem Inst Oswaldo Cruz 102(6):725-731 Gonzalez LM, Montero E, Harrison LJS, Michael R, Parkhouse E, Garate T. 2000. Differental diagnosis of Taenia saginata and Taenia solium infection by PCR. J Clin Microbiol 38(2):737-744 Gonzalez AE, Gavidia C, Falcon N, Bernal T, Verastegui M, Garcia HH, Gilman RH, Tsang VCW. 2001. Protection of pigs with cysticercosis from further infections after treatment with oxfendazole. Am J Trop Med Hyg 65(1):1518 Gonzalez AE, Garcia HH, Gilman RH, Tsang VCW. 2003. Control of Taenia solium. Acta Tropica 87:103-109 Goodman KA, Ballagh SA, Carpio A. 1999. Case-control study of seropositivity for cysticercosis in Cuenca, Ecuador. Am J Trop Med Hyg 60(1):70-74 Grove DI. 1990. A history of human helminthology. UK: CAB International Guevara-Flores A, Olvera-Sánchez S, Gomez-Concha C, Juárez O, EsparzaPerusquía M, Pardo JP, Mendoza-Hernández G, Martínez F, Flores-Herrera O. 2008. 5'-p-Fluorosulfonyl benzoyl adenosine inhibits an ecto-ATPdiphosphohydrolase in the tegument surface of Taenia crassiceps cysticerci. Mol Biochem Parasitol 162:123-133 Gunawan et al. 1976. Taeniosis and cysticercosis in the Paniai Lakes area of Irian Jaya. Buletin Kesehatan 4:1-2 Handali S, Liying H, Lusikoy C, Senis J, Sihombing D. 1997. A survey reportJuly 1993: cysticercosis in the grand dani valley, Jayawijaya District, Irian Jaya Province, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1997 (supl 1):22-25 Hellard ME, Street AC, Johnson PDR, Popovic EA, Brown GV. 1998. Detection of an aberrant motile larval in the brain of a patient with Neurocysticercosis. Clin Infect Dis 27:391-393 Hotez PJ, Brown AS. 2009. Neglected tropical disease vaccines. Biologicals 37: 160-164 Hubert K, Andriantsimahavandy A, Michault A, Frosch M, Muhlschlegel FA. 1999. Serological diagnosis of human cysticercosis by use of recombinant antigens from Taenia solium cysticerci. Clin Diagnostic Lab Immunol 6(4):479-482
89
Huisa BN, Menacho LA, Rodriguez S, Bustos JA, Gilman RH, Tsang VCW, Gonzalez AE, García HH. 2005. Taeniasis and cysticercosis in housemaids working in affluent neighborhoods in Lima, Peru. Am J Trop Med Hyg 73(3):496-500 Ishikawa E, Komatsu Y, Kikuchi K, Yamasaki H, Kimura H, Osuka S, Tsurubuchi T, Ito A, Matsumura A. 2007. Neurocysticercosis as solitary parenchymal lesion confirmed by mitochondrial deoxyribonucleic acid sequence analysis. Neurol Med Chir 47:40-44 [ITM] Institute of Tropical Medicine, Departement of Animal Health. 2009. Detection of viable metacestodes of Taenia spp. in human, porcine and bovine serum samples with the use of a monoclonal antibody-based sandwich ELISA. Belgium: Antwerpen (Antwerp) Ito A, Nakao M, Wandra T. 2003a. Human taeniasis and cysticercosis in Asia. Lancet 362:1918-1920 Ito A, Yamasaki H, Nakao M, Sako Y, Okamoto M, Sato MO, Nakaya K, Margono SS, Ikejima T, Kassuku AA, Afonso SMS, Benitez-Ortiz W, Plancarte A, Zoli A, Geerts S, Craig PS. 2003b. Multiple genotypes of Taenia solium-ramifications for diagnosis, treatment and control. Acta Tropica 87:95-101 Ito A, Nakao M, Wandra T, Suroso T, Okamoto M, Yamasaki H, Sako Y, Nakaya K. 2005. Taeniasis and cysticercosis in Asia and The Pasific: Present state of knowledge and perspectives. Southeast Asian J Trop Med Public Health 36(Supl 4):123-130 Ito A, Wandra T, Sato MO, Mamuti W, Xiao N, Sako Y, Nakao M, Yamasaki H, Nakaya K, Okamoto M, Craig PS. 2006. Review: Towards the international collabaration for detection, surveillance and control of Taeniasis/Cysticercosis and Echinococcosis in Asia and The Pacific. Southeast Asian J Trop Med Public Health 37(Supl 3)82-90 Ito A. 2007. Welcome remarks and introduction to symposium on cestode zoonoses in Asia and The Pacific. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38(Supl 1):115-118 Ito A, Okamoto M, Wandra T, Wibisono H, Anantaphruti MT, Waikagul J, Li T, Qiu D. 2007. The present situation of taeniasis and cysticercosis in Asia and The Pacific. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38(Supl 1):119-124 Jackson F, Miller J. 2006. Alternative approach to control-Quo vadit? Vet Parasitol 139:371-384 Jaya, INS. 2002. Aplikasi sistem informasi geografis. penuntun praktis menggunakan ArcInfo Ver. 7.21 dan ArcView. Bogor
90
Joshi DD, Maharjan M, Johansen MV, Willingham III AL, Sharma M. 2003. Improving meat inspection and control in resource-poor communities: the Nepal example. Acta Tropica 87:119-127 Joshi DD, Bista PR, Ito A, Yamasaki H. 2007. Review: Present situation of porcine taeniasis and human cysticercosis in Nepal. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38(Supl 1)144:150 Juarez ACH, Balanzario MS, McManus DP, Ostria AM. 2008. Genetic similarity between cysticerci of Taenia solium isolated from human brain and from pigs. Infection, Genetics and Evolution 8:653-656 Kandun IN. 2000. Manual pemberantasan penyakit menular. Jakarta: Depkes Kara M, Doganay H. 2005. Investigation of antigenic specificity against Cysticercus tenuicollis cyst fluid antigen in dogs experimentally infected with Taenia hydatigena. Turk J Vet Anim Sci 29:835-840 Kataren PP. 2008. Manusia babi ubi jalar di Wamena. Warta penelitian dan pengembangan pertanian. 30:6 Kebede N. 2008. Cysticercosis of slaughtered cattle in northwestern Ethiopia. Res Vet Sci 85:522-526 Kirkwood BR, Sterne JAC. 2003. Essential medical statistics. UK: Blackwell Publishing Ltd Koentjaraningrat. 1992. Irian Jaya: membangun masyarakat majemuk. Jakarta: PT Penerbit Djambatan Krecek RC, Waller PJ. 2006. Towards the implementation of the “basket of options” approach to helminth parasite control of livestock: Emphasis on the tropics/subtropics. Vet Parasitol 139:270-282 Krecek RC, Michael LM, Schantz PM, Ntanjana L, Smith MF, Dorny P, Harrison LJS, Grimm F, Praet N, Willingham III AL. 2008. Prevalence of Taenia solium cysticercosis in swine from a community-based study in 21 villages of the Eastern Cape Province, South Africa. Vet Parasitol 154:38-47 Le CT. 2003. Introductory biostatistic. New Jersey: J Wiley pp 446-459 Lekule FP, Kyvsgaard NC. 2003. Improving pig husbandry in tropical resourcepoor communities and its potential to reduce risk of porcine cysticercosis. Acta Tropica 87:111-117 Lescano AG, Garcia HH, Gilman RH, Guezala MC, Tsang VCW, Gavidia CM, Rodriguez S, Moulton LH, Green JA, Gonzalez AE. 2007. Swine cysticercosis hotspots surrounding Taenia solium tapeworm carriers. Am J Trop Med Hyg 76(2):376-383 Li AH, Moon SU, Park YK, Na BK, Hwang MG, Oh CM, Cho SH, Kong Y, Kim TS, Chung PR. 2006. Identification and characterization of a cathepsin L-
91
like cysteine protease Taenia solium metacestode. Vet Parasitol 141:251259 Li T, Ito A, Craig PS, Chen X, Qiu D, Zhou X, Xiao N, Qiu J. 2007. Taeniasis/cysticercosis in China. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38(Supl 1):131-139 Lightowlers MW. 2003. Vaccines for prevention of cysticercosis. Acta Tropica 87:129-135 Lightowlers MW. 2010. Fact of hypothesis: concomitant immunity in taeniid cestode infections. Parasite Immunol 32:582-589 Lin P, Simoni JM, Zemon V. 2005. The health belief model, sexual behaviors, and HIV risk among Taiwanese immigrants. AIDS Education and Prevention 17(5):469-483 Lucas AM, Miranda LC, Jerónimo RCG, Miranda AT, Hidalgo GG, Castellanos GL, Correa D. 2003. Short report: limited and short-lasting humoral response in Taenia solium: seropositive households compared with patients with neurocysticercosis. Am J Trop Med Hyg 69(2):223-227 Machado GA, Santiago FM, Mineo JR, Costa-Cruz JM. 2007. Assessment of antigenic fractions of varying hydrophobicity from Taenia solium metacestodes for the diagnosis of human neurocysticercosis. Trop Med Int Health 12(11):1369-1376 Mafojane NA, Appleton CC, Krecek RC, Michael LM, Willingham III AL. 2003. The current of neurocysticercosis in Eastern and Southern Africa. Acta Tropica 87:25-33 Maitindom FG, Satrija F, Soejoedono RR. 2008. Studi kejadian sistiserkosis pada babi yang dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. [Tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Margono SS 1989. Cestodes in man in Indonesia. Bull Kesehatan 17:2 Margono SS, Ito A, Sato MO, Okamoto M, Subahar R, Yamasaki H, Hamid A, Wandra T, Purba WH, Nakaya K, Ito M, Craig PS, Suroso T. 2003. Taenia solium taeniasis/cysticercosis in Papua, Indonesia in 2001: detection of human worm carriers. J Helminthol 77:39-42 Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S, Craig PS, Ito A. 2006. Taeniasis/cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. Parasitol Int 55(Supl):143-148 Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary epidemiology. Iowa state University Press. pp. 22-47
92
Martinez-Hernandez F, Jimenez-Gonzalez DE, Chenillo P, Alonso-Fernandez C, Maravilla P, Flisser A. 2009. Geographical widespread of two lineages of Taenia solium due to human migrations: can population genetic analysis strengthen this hypothesis? Infection, Genetics and Evolution 9:1108-1114 Mayta H, Gilman RH, Prendergast E, Castillo JP, Tinoco YO, Garcia HH, Gonzalez AE, Sterling CR. 2008. Nested PCR for specific diagnosis of Taenia solium taeniasis. J Clin Microbiol 46(1):286-289 Meza NW, Rossi NE, Galeazzi TN, Sánchez NM, Colmenares FI, Medina OD, Uzcategui NL, Alfonzo N, Arango C, Urdaneta H. 2005. Cysticercosis in chronic psychiatric inpatients from a venezuelan community. Am J Trop Med Hyg 73(3):504-509 Michelet L, Carod JF, Rakontondrazaka M, Ma L, Gay F, Dauga C. 2010. The pig tapeworm Taenia solium, the cause of cystiercosis: biogeographic (temporal and spacial) origins in Madagascar. Molecular Phylogenetics and Evolution 55:744-750 Mitre E, Talaat KR, Sperling MR, Nash TE. 2007. Methotrexate as a Corticosteroid-Sparing agent in complicated neurocysticercosis. Clin Infect Dis 44:449-453 Molinari JL, Rodriguez D, Tato P, Soto R, Arechavaleta F, Solano S. 1997. Field trial for reducing porcine Taenia solium cysticercosis in Mexico by systematic vaccination of pigs. Vet Parasitol 69:55-63 Molinari JL, García-Mendoza E, De La Garza Y, Ramírez JA, Sotelo J, Tato P. 2002. Discrimination between active and inactive neurocysticercosis by metacestode excretory/secretory antigens of Taenia solium in an enzimelinked immunosorbent assay. Am J Trop Med Hyg 66(6):777-781 Morales J, Martínez JJ, Manoutcharian K, Hernández M, Fleury A, Gevorkian G, Acero G, Blancas A, Toledo A, Cervantes J, Maza V, Quet F, Bonnabau H, de Aluja AS, Fragoso G, Larralde C, Sciutto E. 2008. Inexpensive anticysticercosis vaccine: S3Pvac expressed in heat inactivated M13 filamentous phage proves effective against naturally acquired Taenia solium porcine cysticercosis. Vaccine 26:2899-2905 Morales J, De Aluja AS, Martinez JJ, Hernandez M, Rosas G, Villalobos N, Hernandez B, Blancas A, Manoutcharian K, Gevorkian G, Cervantes J, Diaz A, Fleury A, Fragoso G, Larralde C, Sciutto E. 2011. Recombinant S3Pvacphage anticysticercosis vaccine: simultaneous protection against cysticercosis and hydatid disease in rural pigs. Vet Parasitol 176:53-58 Mukaratirwa S, Kassuku AA, Willingham III AL, Murrell KD. 2003. Background to the international action planning workshop on Taenia solium cysticercosis/taeniosis with special focus on Eastern and Southern Africa. Acta Tropica 87:3-5
93
Munro S, Lewin S, Swart T, Volmink J. 2007. A review of health behaviour theories: how useful are these for developing interventions to promote longterm medication adherence for TB and HIV/AIDS? BMC Public Health 7:104 Myadagsuren N, Davaajav A, Wandra T, Sandar T, Ichinkhorloo P, Yamasaki H, Sako Y, Nakao M, Sato MO, Nakaya K, Ito A. 2007. Taeniasis in Mongolia, 2002-2006. Am J Trop Med Hyg 77(2):342-346 Nash TE. 2003. Human case management and treatment of cysticercosis. Acta Tropica 87:61-69 Ngowi HA, Kassuku AA, Maeda GEM, Boa ME, Carabin H, Willingham III AL. 2004. Risk factors for the prevalence of porcine cysticercosis in Mbulu District, Tanzania. Vet Parasitol 120:275-283 Ngowi HA, Carabin H, Kassuku AA, Mlozi MRS, Mlangwa JED, Willingham III AL. 2008. A health-education intervention trial to reduce porcine cysticercosis in Mbulu District, Tanzania. Preventive Vet Med 85:52-67 Noble ER, Noble GA, Schad GA, MacInnes AJ. 1989. Parasitology: The biology of animal parasites. USA: Lea & Febiger Nunes CM, Lima LGF, Manoel CS, Pereira RN, Nakano MM, Garcia JF. 2006. Technical report: Fecal specimens preparation methods for PCR diagnosis of human taeniosis. Rev Inst Med Trop S Paulo 48(1):45-47 Okamoto M, Nakao M, Tachi E, Sako Y, Sato MO, Yamasaki H, Nakaya K, Ito A. 2007. Asian Taenia: species or subspecies? Southeast Asian J Trop Med Public Health 38(Supl 1):125-130 Phiri IK, Ngowi H, Afonso S, Matenga E, Boa M, Mukaratirwa S, Githigia S, Saimo M, Sikasunge C, Maingi N, Lubega GW, Kassuku A, Michael L, Siziya S, Krecek RC, Noormahomed E, Vilhena M, Dorny P, Willingham III AL. 2003. The emergence of Taenia solium cysticercosis in Eastern and Southern Africa as a serious agricultural problem and public health risk. Acta Tropica 87:13-23 Pondja A, Neves L, Mlangwa J, Afonso S, Fafetine J, Willingham AL, Thamsborg S, Johansen MV. 2007. Epidemiological survey of porcine cysticercosis in angonia district, Mozambique. [Research report] Pouedet MSR, Zoli AP, Nguekam, Vondou L, Assana E, Speybroeck N, Berkvens D, Dorny P, Brandt J, Geerts S. 2002. Epidemiological survey of swine cysticercosis in two rural communities of West-Comeroon. Vet Parasitol 106:45-54 Praet N, Speybroeck N, Manzenedo R, Berkvens D, Nsame Nforminwe D. 2009. The disease burden of Taenia solium cysticercosis in Cameroon. PloS Negl Trop Dis 3(3):e406
94
Praet N, Kanobana K, Kabwe C, Maketa V, Lukanu P, Lutumba P, Polman K, Matondo P, Speybroeck N, Dorny P, Sumbu J. 2010a. Taenia solium cysticercosis in the Democratic Republic of Congo: how does pork trade affect the transmission of the parasite? PLoS Neglected Tropical Dis 4(9):e817 Praet N, Rodriguez-Hidalgo R, Speybroeck N, Ahounou S, Benitez-Ortiz W, Berkvens D, Van Hul A, Barrionuevo-Samaniego M, Saegerman C, Dorny P. 2010b. Infection with versus exposure to Taenia solium: what do serological test results tell us? Am J Trop Med Hyg 83(2):413-415 Praet N, Speybroeck N, Rodriguez-Hidalgo R, Benitez-Ortiz W, Berkvens D, Brandt J, Saegerman C, Dorny P. 2010c. Age-related infection and transmission patterns of human cysticercosis. Int J Parasitol 40:85-90 Prasad A, Gupta RK, Pradhan S, Tripathi M, Pandey CM, Prasad KN. 2008. What triggers seizures in neurocysticercosis? A MRI-based study in pig farming community from a district of North India. Parasitol Int 57:166-171 Prasad KN, Prasad A, Gupta RK, Nath K, Pradhan S, Tripathi M, Pandey CM. 2009. Neurocysticercosis in patients with active epilepsy from the pig farming community of Lucknow district, north India. Transactions Royal Soc Trop Med Hyg 103:144-150 Prestes-Carneiro LE, De Freitas SDBZ, Zago SCS, Miguel NA, Primo OB, Iha AH, Espindola NM, Vaz AJ. 2006. Taeniosis-cysticercosis complex in individuals of a peasants’ settlement (Teodoro Samaio, Pontal of Paranapanema, SP, Brazil). Mem Inst Oswaldo Cruz 101(1):15-20 Prischich F, De Rinaldis M, Bruno F, Egeo G, Santori C, Zappaterreno A, Fattouch J, Di Bonaventura C, Bada J, Russo G, Pizzuti A, Cardona F, Sa’a, Vullo V, Giallonardo AT, D’Erasmo E, Pelliccia A, Vanacore N. 2008. High prevalence of epilepsy in a village in the Littoral Province of Cameroon. Epilepsy Res 82:200-210 Puchades MTG, Fuentes MV. 2000. The Asian Taenia and the possibility of cysticercosis. Korean J Parasitol 38(1):1-7 Ragunathan L, Kalivaradhan SK, Ramadass S, Nagaraj M, Ramesh K. 2010. Helminthic infections in school children in Puducherry, South India. J Microbiol Immunol Infect 43(3):228-232 Rai SK, Uga S, Ono K, Rai G, Matsumura T. 2000. Contamination of soil with helminth parasite eggs in Nepal. Southeast Asian J Trop Med Public Health 31(2):388-393 Rajshekhar V, Joshi DD, Doanh NQ, Van De N, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia: epidemiology, impact and issues. Acta Tropica 87:53-60
95
Reyes JL, Terrazas LI. 2007. The divergent roles of alternatively activated macrophages in helminthic infections. Parasite Immunol 29:609-619 Riemann HP, Cliver DO. 2006. Foodborne infections and intoxications. UK: Elsevier Inc Rimm M. 2003. Extension materials for meat-borne parasitic diseases in developing countries. Acta Tropica 87:171-175 Rodriguez-Hidalgo R, Benitez-Ortiz W, Dorny P, Geerts S, Geysen D, RonRoman J, Proano-Perez F, Chavez-Larrea MA, Barrionuevo-Samaniego M, Celi-Erazo M, Vizcaino-Ordonez L, Brandt J. 2003. Taeniosis-cysticercosis in man and animals in the Sierra of Northern Ecuador. Vet Parasitol 118:5160 Rodriguez-Hidalgo R, Benitez-Ortiz W, Praet N, Saa LR, Vercruysse J, Brandt J, Dorny P. 2006. Taeniasis-cysticercosis in southern ecuador: assessment of infection status using multiple laboratory diagnostic tools. Mem Inst Oswaldo Cruz 101(7):779-782 Rupa P, Hamilton K, Cirinna M, Wilkie BN. 2008. Porcine IgE in the context of experimental food allergy: Purification and isotype-specific antibodies. Vet Immunol Immunopathol 125:303-314 Sahu PS, Parija SC, Narayan SK, Kumar D. 2009. Evaluation of an IgG-ELISA strategy using Taenia solium metacestoda somatic and excretory-secretory antigens for diagnosis of neurocysticercosis revealing biological stage of the larvae. Acta Tropica 110: 38-45 Sakai H, Barbosa JrHVB, Silva EM, Schlabitz FO, Noronha RP, Nonaka N, Franke CR, Ueno H. 2001. Short report: seroprevalence of Taenia solium cysticercosis in pigs in Bahia State, Northeastern Brazil. Am J Trop Med Hyg 64(5,6):268-269 Saleh USA, Sanjaya AW, Satrija F. 2010. Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salwati E 2001. Pengembangan imundiagnostik untuk mendeteksi cysticercosis cellulosa. [Research report]. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan Salim L, Ang A, Handali S, Tsang VCW. 2009. Seroepidemiology survey of cysticercosis-taeniasis in four central highland districts of Papua, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 80(3):384-388 Sanchez AL, Fairfield T. 2003. Using eletronic technology for Taenia solium education: educating the educators. Acta Tropica 87:165-170 Sarti E, Rajshekhar V. 2003. Measures for the prevention and control of Taenia solium taeniosis and cysticercosis. Acta Tropica 87:137-143
96
Sato MO, Cavalcante TV, Sako Y, Nakao M, Yamasaki H, Yatsuda AP, Nakaya K, Ito A. 2006a. Short report: evidence and potential for transmission of human and swine Taenia solium cysticercosis in the piracuruca region, Piauí, Brazil. Am J Trop Med Hyg 75(5):933-935 Sato MO, Sako Y, Nakao M, Yamasaki H, Nakaya K, Ito A. 2006b. Evaluation of purified Taenia solium glycoproteins and recombinant antigens in the serologic detection of human and swine cysticercosis. J Infect Dis 194:1783-1790 Sato MO, Sako Y, Nakao M, Wandra T, Yamasaki H, Nakaya K, Ito A. 2007. Usefulness of immunological and molecular tools: programs towards control and eradication of cysticercosis in endemic areas. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38(Supl 1):159-164 Scandrett B, Parker S, Forbes L, Gajadhar A, Dekumyoy P, Waikagul J, Haines D. 2009. Distribution of Taenia saginata cysticerci in tissues of experimentally infected cattle. Vet Parasitol 164:223-231 Schantz PM, Tsang VCW. 2003. The US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) and research and control of cysticercosis. Acta Tropica 87:161-163 Sciutto E, Chavarria A, Fragoso G, Fleury A, Larralde C. 2007. The immune response in Taenia solium cysticercosis: protection and injury. Parasite Immunol 29:621-636 Sikasunge CS, Phiri IK, Phiri AM, Dorny P, Siziya S, Willingham III AL. 2007. Risk factors associated with porcine cysticercosis in selected districts of Eastern and Southern provinces of Zambia. Vet Parasitol 143:59-66 Sikasunge CS, Johansen MV, Willingham III AL, Leifsson PS, Phiri IK. 2008a. Taenia solium porcine cysticercosis: viability of cysticerci and persistency of antibodies and cysticercal antigens after treatment with oxfendazole. Vet Parasitol 158:57-66 Sikasunge CS, Phiri IK, Phiri AM, Siziya S, Dorny P, Willingham III AL. 2008b. Prevalence of Taenia solium porcine cysticercosis in the Eastern, Southern and Western provinces of Zambia. Vet J 176:240-244 Sikasunge CS, Phiri IK, Willingham III AL, Johansen MV. 2009. Dynamics and longevity of maternally-acquired to Taenia solium in piglets born to naturally infected sows. Vet J 184(3):318-321 Simanjuntak 2000. Studi taeniosis/cysticercosis di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya.[Research report]. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan Soenarto, Rumawas F, Solahudin S, Sinukaban N. 1987. Wen hipere suatu sistem budidaya ubi jalar (Ipomoea batatas (L) Lam) di lembah Baliem Irian Jaya. [Tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
97
Sokal RR, Rohlf FJ, 1981. Biometry, Ed ke-2. New York: Freedman and Company Somers R, Dorny P, Nguyen VK, Dang TCT, Goddeeris B, Craig PS, Vercruysse J. 2006. Taenia solium taeniasis and cysticercosis in three communities in north Vietnam. Trop Med Int Health 11 (1):65-72 Staubach C, Thulke HH, Tackmann K, Hugh-Jones M, Conraths FJ. 2001. Geographic information system-aided analysis of factors associated with the spatial distribution of Echinococcus multilocularis infections of foxes. Am J Trop Med Hyg 65(6):943-948 Subahar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A, Margono SS. 2005. Taeniasis/sistiserkosis di antara anggota keluarga di beberapa desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makara, Kesehatan 9(1):9-14 Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for control of taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol Int 55(supl): 161-165 Susanto-Sunario AS. 1994. Kebudayaan Jayawijaya dalam pembangunan bangsa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Sutisna IP, Fraser A, Kapti N, Rodriguez-Canul R, Widjana DP, Craig PS, Allan JC. 1999. Community prevalence study of taeniasis and cysticercosis in Bali, Indonesia. Trop Med Int Health 4(4): 288-294 Taylor LH, Latham SH, Woolhouse MEJ. 2001. Risk factors for human diseases emergence. Phil Trans R Soc Lond B 356:983-989 Toledo A, Fragoso G, Rosas G, Hernández M, Gevorkian G, Casillas FL, Hernandez B, Acero G, Huerta M, Larralde C, Sciutto E. 2001. Two epitopes shared by Taenia crassiceps and Taenia solium conver protection against murine T. crassiceps cysticercosis along with a prominent T1 response. Infection and Immunity 69(3):1766-1773 Townes JM, Hoffmann CJ, Kohn MA. 2004. Neurocysticercosis in Oregon, 19952000. Emerging Infect Dis 10(3):508-510 Tran DS, Odermatt P, Oanh LT, Huc P, Poumindr N, Ito A, Druet-Cabanac M, Preux PM, Strobel M. 2007. Risk factors for epilepsy in rural Laos: A casecontrol study. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38(3):1-6 Tsigarida E, Hugas M, Robinson T. 2009. The EFSA scientific panel on biological hazards first mandate: may 2003-may 2006. Insight into scientific advice on food hygiene and microbiology. Trends in Food Science & Technology 20:587-594 Turner LW, Hunt SB, DiBrezzo R, Jones C. 2004. Design and implementation of an osteoporosis prevention program using the health belief model. American J Health Studies 19(2): 115-121
98
Ulin PR, Robinson ET, Tolley EE. 2005. Qualitative methods in public health: A field guide for applied research. San Francisco: A wiley imprint Verastegui M, Gilman RH, Garcia HH, Gonzalez AE, Arana Y, Jeri C, Tuero I, Gavidia CM, Levine M, Tsang VCW. 2003. Prevalence of antibodies to unique Taenia solium oncosphere antigens in taeniasis and human and porcine cysticercosis. Am J Trop Med Hyg 69(4):438-444 Verastegui M, Gilman RH, Arana Y, Barber D, Velasquez J, Farfan M, Chile N, Kosek JC, Kosek M, Garcia HH, Gonzalez A. 2007. Taenia solium oncosphere adhesion to intestinal epithelial and chinese hamster ovary cells in vitro. Am Soc Microbiol 75(11):5158-5166 Vilhena M, Santos M, Torgal J. 1999. Seroprevalence of human cysticercosis in Maputo, Mozambique. Am J Trop Med Hyg 61(1):59-62 Villota GE, Gomez DI, Volcy M, Franco AF, Cardona EA, Isaza R, Sanzon F, Teale JM, Restrepo BI. 2003. Similar diagnostic performance for neurocysticercosis of three glycoprotein preparations from Taenia solium metacestodes. Am J Trop Med Hyg 68(3):276-280 Wandra T, Sutisna P, Dharmawan NS, Margona SS, Sudewi R, Suroso T, Craig PS, Ito A. 2006. High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002-2004. Transact Royal Soc Trop Med Hyg 100:346-353 Wandra T, Margono SS, Gafar MS, Saragih JM, Sutisna P, Dharmawan NS, Sudewi AAR, Depary AA, Yulfi H, Darlan DM, Samad I, Okamoto M, Sato MO, Yamasaki H, Nakaya K, Craig PS, Ito A. 2007a. Review: Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38(Supl 1):140-143 Wandra T, Margono SS, Gafar MS, Saragih JM, Sutisna P, Sudewi AAR, Depary AA, Yulfi H, Darlan DM, Okamoto M, Sato MO, Sako Y, Nakao M, Nakaya K, Craig PS, Ito A. 2007b. Current situation of taeniasis and cysticercosis in Indonesia. Trop Med Health 35(4):323-328 Widyastuti CA, Sayogyo, Prain G, Sitorus MTF. 2000. Pengetahuan wanita tentang ubijalar dan kontribusinya terhadap kelestarian keanekaragaman ubijalar di Lembah Baliem (studi kasus di desa Waga-waga, Kecamatan Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya). [Tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wilkins PP, Allan JC, Verastegui M, Acosta M, Eason AG, Garcia HH, Gonzalez AE, Gilman RH, Tsang VCW. 1999. Development of a serologic assay to detect Taenia solium taeniasis. Am J Trop Med Hyg 60(2):199-204 Yamasaki H, Nakao M, Sako Y, Nakaya K, Sato MO, Mamuti W, Okamoto M, Ito A. 2002. DNA differential diagnosis of human taeniid cestodes by base excision sequence scanning thymine-base reader analysis with mitochondrial genes. J Clin Microbiol 40(10):3818-3821
99
Yamasaki H, Allan JC, Sato MO, Nakao M, Sako Y, Nakaya K, Qiu D, Mamuti W, Craig PS, Ito A. 2004. DNA differential diagnosis of taeniasis and cysticercosis by multiplex PCR. J Clin Microbiol 42(2):548-553 Yamasaki H, Nakao M, Sako Y, Nakaya K, Ito A. 2005. Molecular identification of Taenia solium cysticercosis genotype in the histopathological specimens. Southeast Asian J Trop Med Public Health 36(Supl 4):131- 134 Zheng Y, Cai X, Luo X, Hu Z, Jing Z. 2008. Characterization of a new gene (SLC10) with a spliced leader from Taenia solium. Vet J 175:96-101 Zoli A, Shey-Njila O, Assana E, Nguekam JP, Dorny P, Brandt J, Geerts S. 2003. Regional status, epidemiology and impact of Taenia solium cysticercosis in Western and Central Africa. Acta Tropica 87:35-42
104
Lampiran 2 Kuesioner penelitian KUISIONER PENELITIAN TITIK KOORDINAT KABUPATEN DISTRIK DESA KODE WILAYAH TANGGAL
: : : : : :
A. Identitas Pemilik a. Nama Kepala Keluarga: b. Jenis Kelamin : c. Umur : d. Pendidikan : e. Agama : f. Pekerjaan : g. Alamat : B. Komponen Manajemen Peternakan 1. Dari mana Bapak/Ibu memperoleh babi? a. Berburu dari hutan b. Dibantu pemerintah c. Pemberian Ortu/keluarga d. Dibeli dari peternakan lain (orang kedua) 2. Menurut Bapak/Ibu pelihara (beternak) babi yang baik, harus bagaimana? a. Dikandangkan b. Dilepaskan berkeliaran mencari makan c. Tidak tahu atau lainnya………………………………….. 3. Apakah kandang babi milik Bpk/Ibu permanen/semi permanen? a. Permanen b. Semi permanen c. Tidak tahu 4. Apakah Bpk/Ibu memiliki ternak selain babi? a. Ya b. tidak 5. Apa jenis ternak lain yang Bpk/Ibu miliki selain babi? a. Ayam b. Anjing c. Kelinci d. Hewan lainnya………………………………. 6. Dimana dan dari mana Bpk/ibu mengambil makanan babi? (jawaban bisa lebih dari satu) a. Membeli dari pasar b. Mengambil dari ladang
105
c. Membiarkan babi mencari makan sendiri d. Mengambil makanan sisa dari warung/rumah makan e. Tidak tahu atau lainnya……………………………… 7. Bagaimana bpk/ibu cara menyediakan makanan bagi babi? a. Memasak sebelum diberi pada babi b. Tidak memasak c. Tidak diberi makan 8. Jenis makanan apa saja yang Bpk/Ibu berikan pada babi? a. Umbi-umbian saja (batatas, singkong, kentang, wortel) b. Sayuran saja c. Umbi-umbian dan sayuran d. Tidak menentu atau tidak tahu………………………… 9. Bagaimana cara Bpk/Ibu memasak makanan mentah untuk pakan babi? a. Mencuci sebelum memasak b. Memasak tanpa mencuci terlebih dahulu c. Membakar langsung d. Tidak tahu atau yang lainnya………………………………. 10. Apakah Bpk/Ibu memasak makanan babi menggunakan wadah/alat masak? a. Ya b. tidak 11. Apakah wadah yang digunakan untuk masak terbuat dari logam? a. Ya b. tidak 12. Apakah wadah untuk memasak makanan babi dan manusia berbeda? a. Ya b. tidak c. digunakan bersama utk babi dan manusia 13. Bagaimana cara Bpk/Ibu memperlakukan babi dan anak bayi Bpk/Ibu? a. Babi dibiarkan di lingkungan perumahan bersama anak b. Babi digendong dan dibelai bersama anak c. Babi didahulukan dari anak d. Anak didahulukan dari babi 14. Apakah pemerintah pernah melakukan penyuluhan tentang cara beternak babi yang baik dan benar? a. Pernah b. Tidak pernah c. Tidak tahu 15. Cara yang biasa saudara lakukan untuk menjaga kebersihan tempat pakan ternak: a. Mencuci tempat pakan ternak setiap hari b. Mencuci tempat pakan ternak setiap 3 hari sekali c. Mencuci tempat pakan ternak seminggu sekali d. Tidak pernah mencuci tempat pakan ternak 16. Cara yang biasa saudara lakukan untuk menjaga kebersihan tempat minum ternak:
106
a. Mencuci tempat pakan ternak setiap hari b. Mencuci tempat pakan ternak setiap 3 hari sekali c. Mencuci tempat pakan ternak seminggu sekali d. tidak pernah mencuci tempat pakan ternak 17. Siapa yang memelihara ternak babi a. Istri b. Suami c. anak 18. Apakah ternak babi yang saudara pelihara pernah ada yang mati? a. Pernah, sebutkan waktunya: bulan……. Tahun b. Tidak pernah (langsung ke pertanyaan No. 19) 19. Jika “pernah” berapa jumlah ternak babi saudara yang mati pada saat itu: ………. Ekor 20. Apa tindakan yang saudara lakukan saat ternak babi mati? a. Menguburkan b. Menjual c. Memakannya d. Lain-lain, sebutkan……….. 21. Apakah saudara biasa melaporkan ke petugas dinas/KCD jika ternak babi saudara sakit a. Ya b. Tidak, sebutkan alasannya…………………………. 22. Jika “ya” bagaimana menurut saudara respon/tanggapan petugas dinas/KCD setempat terhadap laporan saudara? a. Sangat cepat b. Cepat c. Lambat d. Sangat lambat e. Tidak menangapi 23. Apakah ternak babi saudara pernah dikunjungi oleh dinas peternakan a. Ya b. Tidak 24. Jika ya, apa tindakan dari petugas dinas/KCD setempat a. Memeriksa ternak babi b. Hanya mengecek saja/mendata c. Lainnya, sebutkan…………….. 25. Apakah dari dinas kesehatan pernah memberi obat cacing untuk babi saudara? a. Ya b. Tidak 26. Apakah ada pemeriksaan rutin dari dinas peternakan? a. Ya b. tidak C. Komponen Kesehatan Lingkungan (Sanitasi) 1. Apakah Bpk/Ibu tahu arti rumah sehat? a. Ya b. tidak
107
2. Dimana Bok/Ibu tinggal dan bermukim a. Rumah permanen b. Rumah semi permanen c. Honai d. Tidak bertempat tinggal/rumah 3. Apakah rumah Bpk/Ibu dengan kandang babi berjauhan/berbeda tempat? a. Ya b. tidak c. berada bersama dalam satu rumah 4. Berapa jarak antara rumah Bpk/Ibu dengan kandang babi? a. 1 meter b. 2 meter c. 3 meter d. Lebih dari 3 meter 5. Berapa jumlah anggota keluarga Bpk/Ibu dalam satu rumah? a. 3-4 orang b. 5-7orang c. 7-9 orang d. Lebih dari 10 orang 6. Apakah rumah Bpk/Ibu memiliki sarana air bersih? a. Ya b. tidak 7. Jenis sarana air bersih yang Bpk/Ibu milliki seperti apa? (jawaban bisa lebih dari satu) a. Sumur gali b. Sumur pompa c. Air PDAM d. Sumur pompa e. Yang lainnya………………………………. 8. Dimana Bpk/Ibu mengambil air untuk minum? a. Sumur gali b. Sumur bor c. Sungai/kali d. Air hujan 9. Dimana Bpk/Ibu mengambil air untuk mandi dan mencuci? a. Sumur gali b. Sumur bor c. Sungai/kali d. Air hujan 10. Apakah Bpk/Ibu merebus (memasak) air sebelum diminum? a. Ya b. tidak 11. Apakah Bpk/Ibu memiliki alat masak untuk merebus air? a. Ya b. tidak 12. Apakah tersedia air bersih dekat dengan kandang babi? a. Ya b. tidak
108
13. Apakah di kandang babi tersedia sapu untuk membersihkan kandang? a. Ya b. tidak 14. Berapa kalikah kandang babi dibersihkan dalam seminggu? a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. 4 kali e. Lebih dari 4 kali 15. Apakah Bpk/Ibu memiliki jamban keluarga/wc dirumah? a. Ya b. tidak 16. Apakah jamban keluarga Bpk/Ibu berada di dalam rumah? a. Ya b. tidak 17. Bagaimana jenis jamban keluarga yang Bpk/Ibu miliki? a. Leher angsa b. Cemplung c. Jenis lainnya………………………………….. 18. Dimana Bpk/Ibu dan anggota keluarga melakukan defekasi? a. Wc/jamban keluarga b. Hutan c. Ilalang rumput d. Dibawah pohon e. Sekitar rumah 19. Apakah Bpk/Ibu biasa memasak makanan mentah sebelum mengkonsumsi? a. Ya b. tidak 20. Bagaimana cara Bpk/Ibu memasak makanan? a. Menggunakan alat masak b. Membakar karena tidak memiliki alat masak c. Membakar, bakar batu dan pengasapan d. Mengkonsumsi mentah 21. Bagaimana cara mencari makanan setiap hari? (Jawaban bisa lebih dari satu) a. Membeli di pasar b. Mengambil di ladang/kebun sendiri c. Berburu d. Lainnya………………………….. 22. Dimana Bpk/ibu melakukan bakar batu? a. Disekitar halaman rumah b. Di ladang atau kebun c. Di sembarang tempat 23. Berapa lama Bpk/Ibu membakar batu? a. 1 jam
109
b. 1 jam 30 menit c. 2 jam d. Lebih dari 2 jam 24. Bagaimana cara bpk/Ibu menyiapkan daging babi dalam prosesi bakar batu? a. Babi disembelih/dipotong langsung di lokasi bakar batu b. Daging babi dibeli di pasar c. Diambil dari persediaan di rumah d. Lainnya………………… 25. Bagaimana cara Bpk/Ibu mempersiapkan makanan pendamping yang akan dibakar bersama dengan daging babi? a. Diambil langsung dari kebun/ladang b. Dibeli di pasar c. Diambil dari persediaan di rumah d. Lainnya……………………………. 26. Apakah Bpk/Ibu mencuci daging dan makanan lainnya sebelum bakar batu? a. Ya b. tidak 27. Dari mana air yang Bpk/ibu gunakan untuk mencuci daging? a. Sungai b. Sumur gali, bor, pompa c. Selokan d. lainnya 28. Dimana Bpk/Ibu meletakkan daging babi dan makanan lainnya sebelum bakar batu? a. Diatas tanah berasal daun/rumput b. Langsung dimasukkan ke tempat pembakaran c. Diletakkan di atas tanah tanpa beralas daun/rumput d. Di dalam wadah logam/plastik e. Dipegang/lainnya………. 29. Apakah wadah yang digunakan untuk meletakkan bahan makan yang telah dicuci dalam kondisi bersih a. Ya b. tidak 30. Dimana Bpk/Ibu meletakkan makanan yang sudah matang? a. Di dalam wadah logam/pelastik b. Di atas lantai tanah beralas daun c. Diatas tanah tanpa beralas daun d. Langsung di konsumsi dari tempat pembakaran 31. Apakah makanan yang dibakar sudah matang semuanya? a. Ya b. tidak 32. Biasanya berapa jumlah anggota yang membantu dalam prosesi bakar batu?
110
a. 3-5 orang b. 5-7 orang c. 7-9 orang d. Lebih dari 10 orang 33. Bagaimana cara mengkonsumsi makanan dalam prosesi bakar batu? a. Diletakkan dalam wadah kemudian dimakan bersama b. Dimakan tanpa diwadahi sebelumnya c. Dimakan ramai-ramai dari tempat pembakaran 34. Menurut Bpk/Ibu, apakah daging babi yang dibakar sudah benar-benar matang untuk dikonsumsi? a. Ya b. tidak 35. Menurut Bpk/Ibu daging babi yang sudah matang dan enak untuk dikonsumsi seperti apa? a. Masih berdarah (setengah matang) b. Sudah tidak berdarah c. Lunak dagingnya dan hangus/gosong dagingnya d. Tidak tahu 36. Apakah makanan yang dibakar dimakan habis atau disimpan (jawaban bisa lebih dari satu) a. Dimakan habis b. Dimakan dan disimpan kelebihannya c. Dimakan dan dibuang kelebihan/sisanya d. Sisanya menjadi pakan ternak 37. Apakah setiap orang yang makan pada saat itu mencuci tangan/membersihakan diri sebelum mencicipi makanan? a. Ya b. tidak D. Perilaku Individu No 1. 2. 3. 4.
5. 6.
Pertanyaan Ya Apakah anda mencuci tangan sebelum makan? Apakah anda mandi setiap hari? Apakah anda mencuci tangan sesudah buang air besar (BAB) Tempat BAB a. Jamban b. Hutan c. Kebun d. kali/sungai Apakah air yg anda minum dimasak terlebih dahulu? Sumber air minum a. Sumur b. Kali/Sungai c. PAM
Tidak
111
7.
8. 9.
10.
11. 12.
Frekuensi makan daging babi a. Minggu b. Bulan c. Acara adat/pesta Apakah sebelum dimasak, daging babi terlebih dahulu anda cuci? Cara Memasak daging babi? a. Bakar batu b. Bakar api Berapa lama anda memasak daging babi a. 10 menit b. 30 menit c. 1 jam d. > 1 jam Apakah anda pernah makan daging babi yang ada kista-kista/benjolan? Saat bangun tidur pernah memperhatikan ada sesuatu berwarna putih di pakaian dalam bagian bawah?
E. Pengetahuan Individu No 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pertanyaan Ya Apakah anda pernah mendengar taeniosis/sistiserkosis? Apakah anda pernah makan daging babi yang sudah ada a. Wam walo pugu b. Wam walo leek Penyakit taeniasis/sistiserkosis pada babi disebabkan karena: a. Dosa b. Cacing pita Orang yang ada kista dibawah kulit disebabkan karena a. Memakan daging babi setengah matang b. Obat-obatan pembunuh dari alam Ternak babi yang makan kotoran manusia dapat menyebabkan babi tertular cacing pita karena a. Dalam tinja(kotoran) ada telur cacing pita b. Kotoran manusia tidak menyebakbab cacing pita Penyakit cacing pita dapat diobati dengan a. Guna-guna dukun b. Obat cacing Mencuci tangan sebeblum makan, mandi setiap hari dan BAB di WC/Jamban adalah usaha untuk pencegahan penyakit
Tidak
112
8.
9.
10.
a. Cacing pita b. Malaria Kalau ada keluarga yang kejang, mati-mati ayan dibawa berobat kemana: a. Dukun b. Puskesmas Orang yang meninggal dengan gejala kejang-kejang seperti gejala ayan disebabkan a. Sakit taeniasis/sistiserkosis b. Karena buatan orang Orang yang sering terbakar dalam api atau tenggelam dalam air adalah penderita penyakit a. Malaria b. Wam wallo pugu
F. KOMPONEN SOSIAL BUDAYA 1. Apa pekerjaan Bpk/Ibu? a. Pegawai negeri b. Swasta c. Petani d. Buruh e. lainnya 2. Berapa pendapatan Bpk/Ibu per bulan (dalam rupiah) a. 150.000 – 250.000 b. 250.000 – 350.000 c. 350.000 – 500.000 d. 500.000 – 1.000.000 e. Lebih dari 1.000.000 3. Sumber pendapatan Bpk/Ibu dari mana? a. Gaji/upah perbulan b. Menjual hasil ladang c. Menjual hasil ternak dan buruan d. Lainnya……………………. 4. Berapa jumlah anak yang ditanggung Bpk/Ibu? a. 1 orang c. 3 orang e. 5 orang b. 2 orang d. 4 orang 5. Pendidikan tertinggi Bpk/Ibu dan anggota keluarga: SD SMP SMA Perguruan Tinggi Tidak sekolah a. Ayah b. Ibu c. Anak-anak 1) Pertama 2) Kedua
113
3) Ketiga 4) Keempat 5) Kelima 6. Dimana Bpk/Ibu menyekolahkan anak? (jawaban bisa lebih dari satu) a. Di kampung asal b. Di Kota Wamena c. Di luar Wamena (dalam Papua) d. Di luar Papua 7. Adakah anak Bpk/Ibu yang sekolah di bidang peternakan atau pertanian? a. ada b. tidak 8. Apakah babi begitu berharga dalam budaya Bpk/Ibu a. Ya b. tidak 9. Bagaimana Bpk/Ibu menganggap babi dal hidup? (jawaban bisa lebih dari satu) a. Seperti anak sendiri b. Sebagai alat penukar mas kawin c. Sebagai pendukung acara ritual adat d. Sebagai harta kekayaan berharga e. Lainnya……………………………
G. CHECKLIST OBSERVASI PEMELIHARAAN TERNAK WAM
KONDISI
MANAJEMEN
No 1.
Kondisi Hasil Observasi Sistem pemeliharaan Selalu berada dalam kandang tertutup ternak babi Kandang dilengkapi dengan tempat umbaran berpagar Dibiarkan berkeliaran bebas di pekarangan rumah yang berpagar Dibiarkan berkeliaran bebas di dalam dan di luar pekarangan rumah Lain-lain, sebutkan…………..
2.
Jenis kandang
Panggung Lantai Lain-lain, sebutkan
3.
Alas/lantai kandang
Bambu/kayu Tanah Semen Lain-lain, sebutkan:………………..
4.
Ventilasi kandang
Baik
114
5.
Kebersihan secara umum
kandang
6.
Kebersihan tempat pakan
7.
Kebersihan minum
tempat
8.
Penanganan ternak
kotoran
9.
Hal-hal penting lain yang perlu dicatat
Buruk Sangat bersih Bersih Cukup bersih Kotor Sangat kotor Sangat bersih Bersih Cukup bersih Kotor Sangat kotor Sangat bersih Bersih Cukup bersih Kotor Sangat kotor Ditimbun di atas permukaan tanah Ditimbun pada lubang tanah (tertutup/terbuka) Lain-lain, sebutkan……………. ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… ………………………………………… …………………………………….
Lampiran 3 Surat Publikasi
116
Lampiran 4 Naskah Publikasi
Faktor Risiko Babi Tidak Dikandangkan dan Pakan Tidak Dimasak Mempertinggi Prevalensi Sistiserkosis, di Kabupaten Jayawijaya Papua Inriyanti Assa1, Fadjar Satrija2, Denny Widaya Lukman2, Nyoman Sadra Dharmawan3, Pierre Dorny4 1
Peminatan Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Cenderawasih, Jl. Sentani Abepura, Kampus Bawah Abepura, Jayapura, Papua, Telpon/Fax: 0967-588014, email:
[email protected] 2 Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana 4 Department of Animal Health, Institute of Tropical Medicine, Antwerp, Belgium ABSTRAK Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko sistiserkosis pada babi. Survei dilakukan pada delapan distrik dan pasar Jibama antara bulan Oktober 2009 dan Juni 2011. Jumlah babi yang diuji serologis adalah 111 ekor. Sampel serum diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Reaksi seropositif terjadi pada 45 sampel (40,54%), distrik dengan prevalensi tertinggi yaitu Asolokobal (92,86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65,22%), Bolakme (33,33%), Asologaima (31,82%), Hom-hom (18,18%), Hubikosi (14,29%), pasar Jibama (14,29%), dan prevalensi terendah ditemukan di distrik Wamena Kota sebesar 5,88%. Cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR=4,63; P<0,01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR=3,65; P<0,05) merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi. Dari penelitian ini dianjurkan bahwa perlu dilakukan pendekatan antrolopogi mengenai sistem pemeliharaan babi dengan cara dikandangkan dan pola pemberian pakan babi yang dimasak. Kata kunci: faktor risiko, sistiserkosis pada babi, prevalensi
ABSTRACT The aims of this study were to determine the prevalence and risk factors of porcine cysticercosis. The survey was carried out in eight district and Jibama trade, between October 2009 and Juni 2011. A total of 111 pigs were tested serologically. Serum samples were tested for the presence of circulating parasite antigen using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Fourty five samples (40,54%) were found
117
positive by MoAb-ELISA and the highest prevalence occurred from the District of Asolokobal (92,86%), followed by Musatfak (75%), Kurulu (65,22%), Bolakme (33,33%), Asologaima (31,82%), Hom-hom (18,18%), Hubikosi (14,29%), Jibama trade (14,29%), and the lowest prevalence from Wamena Kota is 5,88%. Free-range pig husbandry system (OR=4,63; P<0,01) and uncook pork feed (OR=3,65; P<0,05) were important risk factors for porcine cysticercosis. It is therefore necessary to anthropology approach about pig husbandry system and pattern of cook pork feed. Keywords: risk factor, porcine cysticercosis, prevalence
PENDAHULUAN Penyakit sistiserkosis-taeniosis termasuk penyakit tropis yang sering terabaikan (neglected disease). Sistiserkosis adalah penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak disebabkan oleh larva dari spesies cacing Taenia yaitu Taenia solium. Taeniosis adalah suatu infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing Taenia dewasa (Praet et al., 2009). Cacing pita pada manusia bersifat parasitik dan menjadi masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat di Indonesia yaitu T. solium, T. saginata dan T. asiatica (Margono et al., 2006; Suroso et al., 2006). Tiga provinsi di Indonesia yang merupakan endemis taeniosis/sistiserkosis adalah Bali T. solium dan T. saginata, Sumatera Utara T. asiatica, dan Papua T. solium. Survei yang dilakukan di Bali pada empat desa di empat kecamatan (Kecamatan Gianyar, Badung, Denpasar, Karang Asem) pada tahun 2002-2004, tingkat prevalensi taeniosis T. saginata berkisar antara 1,1% sampai 27,5%. Tingkat prevalensi taeniosis T. saginata meningkat secara cepat di Gianyar, tahun 2002 (25,6%) dan tahun 2005 (23,8%), dibandingkan dengan survei sebelumnya pada tahun 1977 (2,1%) dan tahun 1999 (1,3%) (Wandra et al., 2006, Dharmawan et al., 2009). Tingkat prevalensi di Sumatera Utara dan di Pulau Samosir, selama
118
tahun 1972-1990 dilaporkan berkisar antara 1,9% sampai 20,7%. Survei epidemiologi yang dilakukan kembali tahun 2003-2006 pada 240 penduduk lokal menunjukkan bahwa 2,5% terinfeksi dengan T. asiatica, yakni 3,4% tahun 2003 dan 2,2% tahun 2005 (Wandra et al., 2007). Di Papua, dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua dari 356 orang yang diperiksa, empat orang didiagnosis taeniosis dan 124 orang menderita sistiserkosis (Dinkes 2004). Pada tahun 2005 dilaporkan bahwa dari 38 orang yang diperiksa, 12 orang didiagnosis terinfeksi taeniosis (Dinkes 2005). Survei seroepidemiologi yang dilakukan Salim et al., (2009) melaporkan bahwa prevalensi sistiserkosis-taeniosis di Kabupaten Jayawijaya, Papua cukup tinggi yaitu 20,8% untuk sistiserkosis dan 7% taeniosis. Penelitian sebaran prevalensi sistiserkosis yang dilakukan pada ternak babi di Jayawijaya berkisar 8,5% sampai 70,4% (1998-1999) dan pada anjing dari 10,9% sampai 33,3% (1999-2000) (Margono et al., 2006; Suroso et al., 2006). Selama ini, penelitian tentang sistiserkosis-taeniosis di Papua sebagian besar dilakukan pada manusia (Simanjuntak 2000; Subahar et al., 2005; Wandra et al., 2007; Salim et al., 2009). Kajian terhadap sistiserkosis pada babi sebagai inang antara yang menjadi sumber infeksi bagi manusia masih terbatas. Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui prevalensi sistiserkosis pada babi dan mengidentifikasi faktor-faktor risikonya. METODE PENELITIAN Disain penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei yang terdiri dua tahap, yaitu (1) pengambilan darah babi dan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner untuk mendapatkan seroprevalensi dan faktor risiko, (2) pengujian
119
serum darah di laboratorium menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai Juni 2011 di delapan Distrik dan satu daerah pasar yaitu Pasar Jibama yang terletak di Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya. Pengujian laboratorium dilakukan pada bulan Juli 2011 di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Pengambilan serum babi Sebanyak 111 serum babi diambil di Distrik Kurulu, Musatfak, Asolokobal, Assologaima, Hubikosi, Hom-hom, Bolakme, Wamena Kota, dan Pasar Jibama. Darah babi diambil dari vena jugularis dengan menggunakan syringe 5 ml, kemudian didiamkan selama enam jam. Serum yang terbentuk dipipet lalu dimasukkan ke dalam microtube dan disimpan dalam freezer (-4°C). Selanjutnya, serum tersebut dibawa ke Bogor dan disimpan pada suhu -20°C sebelum dianalisis dengan ELISA. Pengambilan data menggunakan kuesioner Unit penarikan contoh pada survei ini adalah pemilik babi.
Setiap 56
responden diwawancarai dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner terdiri dari karakteristik responden, manajemen peternakan, sanitasi lingkungan. Pertanyaan dalam kuesioner bersifat tertutup dan terbuka.
120
Perlakuan serum Serum yang dikumpulkan dari lapangan diberi label lalu dilakukan pretreatment. Serum yang diuji terdiri atas tiga kelompok, yaitu (1) sebanyak 111 serum yang diambil dari delapan distrik dan Pasar Jibama di Kabupaten Jayawijaya, (2) serum kontrol positif yang diperoleh dari Distrik Bolakme di Kabupaten Jayawijaya yang mengandung sistiserkus dalam daging, (3) serum kontrol negatif, diambil dari babi yang berasal dari Jawa Tengah yang tidak mengandung sistiserkus dalam dagingnya. Sebanyak 75 µl serum sampel dan 75 µl Trichloroacetic acid (TCA 5% dalam akuabides) dicampurkan dalam tabung mikro. Campuran tersebut divortex dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi, campuran tersebut kembali divortex lalu diposing selama 9 menit dengan kecepatan 12.000 g pada suhu 4°C. Sebanyak 75 µl supernatan diambil menggunakan mikro pipet dan dicampur dengan 75 µl buffer neutralisasi. Campuran tersebut kemudian disimpan dalam suhu 4°C selama seminggu. Deteksi antigen metacestoda dengan ELISA Metode sandwich ELISA yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari protokol yang dibuat oleh Institute of Tropical Medicine (2009). Setiap sumur (well) cawan ELISA dilapisi 100 µl penangkap antibodi monoklonal anti Taenia saginata (B158C11A10) (5 µl/ml buffer carbonat/bicarbonat pH 9,8) kecuali dua sumur untuk substrate control (SC), dan kemudian dimasukkan dalam shaker incubator selama 30 menit pada suhu 37°C. Cawan lalu dicuci sebanyak satu kali dan diblok dengan 150 µl blocking buffer. Selanjutnya tanpa melakukan
121
pencucian, setiap sumur diberi serum sebanyak 100 µl, (kecuali sumur SC dan conjugate control) dengan 100 µl blocking buffer lalu masukkan dalam shaker incubator selama 15 menit pada suhu 37°C. Berikutnya deteksi antibodi (B60H8A4) (23 µg/ml larutan blocking buffer) sebanyak 100 µl di masukkan ke dalam setiap sumur (kecuali SC dan CC) dan diberi 100 µl blocking buffer. Setelah pendeteksian diberi konjugat 100 µl peroxidase streptavidin (1/10000 dalam blocking buffer) kecuali dua sumur SC yang diberi blocking buffer sebanyak 100 µl. Cawan dimasukkan kembali dalam shaker incubator selama 15 menit 37°C (Dorny et al., 2004). Langkah selanjutnya, setiap sumur diisi dengan orthophenylenediamine (OPD) (satu tablet OPD dilarutkan dalam 10 ml akuabides dan H 2 O 2 sebanyak 2,5 µl) sebanyak 100 µl. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 µl H 2 SO 4 dalam setiap sumur, lalu dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 dan 630 nm. Analisis data Data serum babi yang diperoleh dari hasil ELISA dianalisis dengan uji t. Standarisasi dilakukan dengan menentukan rasio dari rataan absorbansi optical density (OD) terhadap nilai cut off. Nilai cut off diperoleh dari variasi OD serum negatif yang diolah menggunakan metode statistika uji t pada P=0,05 (Sokal dan Rohlf, 1981). Serum dinyatakan positif mengandung antigen Cysticerus cellulosae apabila hasil pembagian tersebut bernilai lebih dari satu (ITM 2009; Dorny et al., 2000). Faktor risiko dianalisis dengan penentuan odds ratio (OR) dan regresi logistik (Kirkwood dan Sterne, 2003; Le 2003).
122
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum lokasi penelitian Kabupaten Jayawijaya, dengan ibukota kabupaten Wamena memiliki ketinggian 1724 meter di atas permukaan laut, suhu terendah 15,3°C, luas wilayah kabupaten 5.364.266 Ha dengan jumlah desa 366, sekitar 4 desa termasuk daerah perkotaan dan 362 termasuk daerah pedesaan. Jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya yaitu 210.654 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 107.044 orang dan perempuan 103.610 orang serta sex ratio 103,31 dan jumlah KK 55.952 jiwa (BPS 2008). Karakteristik responden peternak babi Hasil
kuesioner
menunjukkan
lebih
banyak
perempuan
(85,71%)
dibandingkan dengan laki-laki (12,29%) yang menjaga dan memelihara babi. Peternak babi yang berumur di bawah 20 tahun hanya satu orang, 20-29 tahun sebanyak 11 orang, 30-39 tahun berjumlah 12 orang, 40-49 tahun sebanyak 12 orang, lebih dari 50 tahun sebanyak 11 orang. Responden yang tidak mengetahui tahun kelahiran ataupun umur mereka sebanyak sembilan orang (16,07%). Tingkat pendidikan peternak babi lebih banyak yang tidak bersekolah 73,21% (41 orang), yang menamatkan sekolah dasar (12,50%), sekolah menengah pertama (3,57%) dan sekolah menengah atas (5,36%) serta kategori responden berpendidikan tinggi 5,36 % yang terdiri dari satu orang tamatan D3 dan dua orang tamatan sekolah teologia (Tabel 1).
123
Tabel 1. Karakteristik peternak babi yang tersebar di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya No 1
2
3
4
Keterangan Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan Umur: < 20 20–29 30–39 40–49 > 50 Tidak tahu umur Pendidikan: Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Pendidikan Tinggi Tidak Bersekolah Pekerjaan: Rumah Tangga Petani Lainnya
Jumlah
%
8 48
14,29 85,71
1 11 12 12 11 9
1,79 19,64 21,43 21,43 19,64 16,07
7
12,50
2
3,57
3 3 41
5,36 5,36 73,21
18 35 3
32,14 62,50 5,36
Seroprevalensi sistiserkosis pada babi Hasil
pemeriksaan
111
serum
babi
dari
Kabupaten
Jayawijaya,
menunjukkan reaksi seropositif terhasap sistiserkosis pada 45 sampel (40,54%). Daerah dengan prevalensi tertinggi yaitu Asolokobal (92,86%), diikuti daerah Musatfak 75%, Kurulu (65,22%), Bolakme 33,33%, Assologaima (31,82%), Hom-hom (18,18%), Hubikosi (14,29%), Pasar Jibama (14.29) dan yang terendah adalah daerah Wamena Kota 5,88% (Tabel 2). Penelitian yang dilakukan tahun 1998-1999 menunjukkan prevalensi pada babi sebesar 8,5% sampai 70,4% (Margono et al., 2006; Suroso et al., 2006). Bila
124
dibandingkan dengan penelitian ini, terdapat penurunan prevalensi di Kabupaten Jayawijaya. Tabel 2. Seroepidemiologi serum babi di Kabupaten Jayawijaya No.
Distrik/Pasar
Sampel (n)
Hasil Positif
Negatif
Prevalensi (%)
1
Kurulu
23
15
8
65,22
2
Musatfak
4
3
1
75,00
3
Asolokobal
14
13
1
92,86
4
Assologaima
22
7
15
31,82
5
Hubikosi
7
1
6
14,29
6
Homhom
11
2
9
18,18
7
Bolakme
6
2
4
33,33
8
Wamena Kota
17
1
16
5,88
9
Pasar Jibama
7
1
6
14,29
111
45
66
40,54
Total
Cacing T. solium tersebar di Amerika Latin, Asia, dan Sub Sahara Afrika. Di Zambia ditemukan bahwa seroprevalensi sistiserkosis adalah 20,6% di Lusaka dan 20,8% di Eastern dan Southern Province (Phiri et al., 2003), selain itu, di Meksiko, prevalensi sistiserkosis pada babi tertinggi di Tedzidz yaitu 35% dan di El Salado dan Mexico City tidak ditemukan. Flisser et al., (2003) melaporkan beberapa hasil penelitian yang terjadi di negara-negara Amerika Latin, yaitu: di Bolivia, Ekuador dan Guatemala ditemukan prevalensi sistiserkosis berturut-turut adalah 38,9%, 7,5% dan 14%. Sementara itu, Rodriguez-Hidalgo et al., (2003) menemukan prevalensi pada babi sebesar 6,77% di Ekuador Utara. Rajshekhar et al., (2003) mengemukakan bahwa prevalensi sistiserkosis di Cina, Vietnam, India dan Nepal berturut-turut 0,8%-40%, 0,04%-0,9%, 9,3% dan 32,5%.
125
Berdasarkan hasil uraian di atas, nampak bahwa hasil penelitian sistiserkosis pada Babi di Kabupaten Jayawijaya termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 40.54%. Hal ini sesuai dengan hasil uraian yang dilakukan oleh Margono et al., (2006) yang melaporkan bahwa penyebaran T. solium di Papua adalah salah satu daerah endemik yang terburuk di dunia. Faktor Risiko Sistiserkosis pada Babi Sistiserkosis pada babi memiliki beberapa faktor risiko yaitu; jenis kelamin, cara pemeliharaan ternak babi, struktur kandang, pengolahan pakan babi, air bersih dan ketersediaan jamban bagi pemilik babi (EFSA 2004; Pondja et al., 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada faktor risiko yang berkaitan dengan jenis kelamin babi (P>0,05) (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin babi merupakan faktor risiko yang tidak mempengaruhi terjadinya sistiserkosis pada babi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Garcia et al., (2003) yang menemukan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap seroprevalensi sistiserkosis pada babi. Faktor yang memiliki risiko tertinggi penyebab sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya adalah cara pemeliharaan babi. Babi yang tidak dikandangkan memiliki risiko 4,6 kali lebih besar terinfeksi sistiserkosis dibandingkan babi yang dikandangkan (P<0,01). Saat tidak dikandangkan, babi dapat memakan feses yang terkontaminasi telur taenia, dan penularan sistiserkosis dapat terjadi (Garcia et al., 1998; Garcia et al., 2007).
126
Tabel 3. Nilai crude odds-ratio (OR) faktor jenis kelamin babi, cara pemeliharan, struktur kandang, pengolahan pakan, air bersih dan ketersediaan jamban bagi pemilik babi Faktor risiko
Positif N %
Negatif N %
Koefisien
P
OR
Jenis kelamin babi: Jantan Betina
16 28
38,10 26 61,90 45,16 34 54,84
Cara pemeliharaan babi: Dikandangkan Tidak dikandangkan
14 30
23,73 45 76,27 66,67 15 33,33
1,5333 0,0038 ** 4,6332
Struktur kandang: Permanen Semi permanen
8 36
25,81 23 74,19 49,32 37 50,68
0,0727 0,9073
1,0754
Pakan Babi: Dimasak Tidak dimasak
10 34
22,22 35 77,78 57,63 25 42,37
1,2953 0,0120 *
3,6520
Air bersih dekat kandang babi Tersedia air bersih Tidak tersedia air bersih
12 32
26,67 33 73,33 54,24 27 45,76
0,6197 0,3489
1,8583
Kepemilikan jamban Tersedia jamban Tidak tersedia jamban
14 30
30,43 32 69,57 51,72 28 48,28
0,1996 0,7574
1,2210
-0.2058 0,6876
0,8140
* Signifikan pada P<0,05; ** Signifikan pada P<0,01
Sikasunge et al., (2007) mengemukakan bahwa pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan memiliki faktor risiko yang signifikan memengaruhi sistiserkosis pada babi. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa babi yang tidak dikandangkan memiliki risiko 1,68 kali lebih tinggi daripada yang dikandangkan. Garcia et al., (2007) melaporkan cara yang paling mudah untuk mengeliminasi proses transmisi cacing pita dengan mengandangkan babi. Suroso et al., (2006) menemukan bahwa terjadi penurunan yang signifikan pada taeniosis/sistiserkosis di Bali yang disebabkan oleh
127
peningkatan sanitasi dan sistem perkandangan babi. Garcia et al., (2007) mengemukakan bahwa para peternak di negara berkembang memelihara babi dengan tidak membuat kandang karena berkaitan dengan faktor perekonomian peternak. Pemeliharaan babi secara diumbar dapat memudahkan peternak dengan tidak mengeluarkan biaya untuk memberi pakan babi. Struktur kandang babi di Kabupaten Jayawijaya terbuat dari kayu dan lantai tanah. Sebagian besar peternak telah memiliki kandang yang semi permanen (70%). Struktur kandang yang semi permanen memiliki faktor risiko 1,07 kali lebih tinggi dari struktur kandang yang permanen. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara struktur kandang semi permanen dan permanen terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi (P>0,05). Pakan babi yang tidak dimasak memiliki risiko 3,65 kali lebih besar dari pakan babi yang dimasak. Pakan yang diberikan kepada babi berupa umbi-umbian dan sayur-sayuran. Peternak mengambil pakan tersebut dari lahan perkebunannya sendiri. Pakan babi dapat terkontaminasi dengan telur taenia saat penderita taeniosis buang kotoran di sekitar kebun. Oleh sebab itu, pakan ternak yang tidak dimasak terlebih dahulu, dapat menyebabkan babi menderita sistiserkosis (P<0,05). Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai sanitasi perkandangan, hubungan antara pakan babi yang tidak dimasak. (Sato et al., 2006; Sakai et al., 2001; Flisser et al., 2006). Tersedianya air bersih di sekitar peternakan berpengaruh terhadap kebersihan kandang. Meskipun ketersediaan air bersih tidak berpengaruh signifikan terhadap sistiserkosis pada babi (P>0,05), tidak tersedianya air bersih
128
menimbulkan risiko 1,86 kali lebih besar daripada tersedianya air bersih. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang penting dalam sistem sanitasi perkandangan. EFSA (2004) mengemukakan bahwa tidak tersedianya air bersih sangat mempengaruhi sistiserkosis pada hewan ternak. Boone et al., (2007) menemukan bahwa tidak tersedianya air bersih merupakan salah satu faktor risiko sistiserkosis pada sapi. Tidak adanya jamban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sistiserkosis pada babi. Hal tersebut menyebabkan babi dapat mengakses kotoran manusia yang mengandung telur taenia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan jamban tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sistiserkosis pada babi (P>0,05). Tidak tersedianya jamban memiliki risiko 1,22 kali lebih tinggi daripada tersedianya jamban. Ngowi et al., (2004) menemukan bahwa rumah tangga yang tidak memiliki jamban meningkatkan risiko sistiserkosis pada babi 2,03 kali lebih tinggi daripada rumah tangga yang memiliki jamban. Pada penelitian lainnya, Lescano et al., (2007) tidak menemukan hubungan antara keberadaan jamban dan seroprevalensi pada babi dan menurut Sikasunge et al., (2007) bahwa persentase seropositif rumah tangga yang tidak memiliki jamban sebesar 38,9%, rumah tangga yang memiliki jamban tetapi tidak menggunakannya yaitu 35,4%, dan rumah tangga yang menggunakan jamban adalah 37%. Hubungan antara kepemilikan jamban dan prevalensi sistiserkosis pada babi belum dapat dijelaskan.
129
KESIMPULAN Prevalensi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya yaitu 40,54%. Faktor risiko sistiserkosis pada babi adalah cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan lebih berisiko dibandingkan dengan babi yang dikandangkan dan pakan babi yang tidak dimasak lebih berisiko dibandingkan pakan babi yang dimasak. SARAN Perlu dilakukan penelitian sistem mengandangkan babi dengan pendekatan kebudayaan masyarakat Pegunungan Tengah dan melakukan penyuluhan mengenai pola pemberian pakan pada ternak babi.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Program Penelitian Hibah Strategis Nasional Tahun Anggaran 2009 dan kepada Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Provinsi Papua Dr. Z. Giay, SKM, M.Kes, MM., yang telah membantu membiayai penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Jayawijaya drh. Made Putra, yang banyak membantu dalam pengambilan serum serta kemudahan yang diberikan kepada penulis selama berada di lapangan. Terima kasih juga disampaikan kepada Dwi Ardei Dompas, SKM, Agustina Kurisi SKM, Jannes STh, yang membantu penulis saat berada di lapangan.
130
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayawijaya. 2008. Jayawijaya dalam angka tahun 2007/2008. Wamena: BPS Kabupaten Jayawijaya Boone I, Thys E, Marcotty T, De Borchgrave J, Ducheyne E, Dorny P. 2007. Distribution and risk factors of bovine cysticercosis in Belgian dairy and mixed herds. Preventive Vet Med 82 : 1-11 [Dinkes] Dinas Kesehatan. 2004. Laporan tahunan sub dinas pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan Provinsi Papua. Jayapura: Dinkes [Dinkes] Dinas Kesehatan. 2005. Laporan tahunan sub dinas pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan Provinsi Papua. Jayapura: Dinkes Dharmawan NS, Damriyasa IM, Kapti IN, Sutisna P, Okamoto M, Ito A. 2009. Experimental infection of Taenia saginata eggs in Bali Cattle: Distribution and Density of Cysticercus bovis. J Vet 10(4) : 178-183 Dorny P, Phiri IK, Vercruysse J, Gabriel S, Willingham III AL, Brandt J, Victor B, Speybroeck N, Berkvens D. 2004. A Bayesian approach for estimating values for prevalence and diagnostic test characteristics of porcine cysticercosis. Int J Parasitol 34 : 569-576 Dorny P, Vercammen F, Brandt J, Vansteenkiste W, Berkvens D, Geerts S. 2000. Sero-epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Belgian cattle. Vet Parasitol 88 : 43-49 [EFSA] European Food Safety Authority. 2004. Opinion of the scientific panel on biological hazards on the “Risk assessment of a revised inspection of slaughter animals in areas with low prevalence of Cysticercus”. EFSA J 176 : 1-24 Flisser A, Sarti E, Lightowlers M, Schantz P. 2003. Neurocysticercosis: regional status, epidemiology, impact and control in the Americas. Acta Tropica 87 : 43-51 Flisser A, Rodriguez-Canul R, Willingham III AL. 2006. Control of the taeniosis/cysticercosis complex: future developments. Vet Parasitol 139 : 283-292 Garcia HH, Araoz R, Gilman RH, Valdez J, Gonzalez AE, Gavidia C, Bravo ML, Tsang VCW. 1998. Increased prevalence of cysticercosis and taeniasis among professional fried pork vendors and the general population of a village in the peruvian highlands. Am J Trop Med Hyg 59(6) : 902-905 Garcia HH, Gilman RH, Gonzalez AE, Verastegui M, Rodriquez S, Ga Vidia C, Tsang VCW, Falcon N, Lescano AG, Moulton LH, Bernal T, Tovar M. 2003. Hyperendemic human and porcine Taenia solium infection in Peru. Am. J Trop Med Hig 68(3) : 268-275
131
Garcia HH, Gonzalez AE, Del Brutto OH, Tsang VCW, Llanos-Zavalaga F, Gonzalez G, Romero J, Gilman RH. 2007. Strategies for the elimination of taeniasis/cysticercosis. J Neurolog Sci 262 : 153-157 [ITM] Institute of Tropical Medicine, Departement of Animal Health. 2009. Detection of viable metacestodes of Taenia spp. in human, porcine and bovine serum samples with the use of a monoclonal antibody-based sandwich ELISA. Belgium: Antwerpen (Antwerp) Kirkwood BR, Sterne JAC. 2003. Essential Medical Statistics. Ed ke-2. Blackwell Publishing Company Le CT. 2003. Introductory biostatistic. New Jersey: J Wiley pp 446-459 Lescano AG, Garcia HH, Gilman RH, Guezala MC, Tsang VCW, Gavidia CM, Rodriguez S, Moulton LH, Green JA, Gonzalez AE. 2007. Swine cysticercosis hotspots surrounding Taenia solium tapeworm carriers. Am J Trop Med Hyg 76(2) : 376-383 Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S, Craig PS, Ito A. 2006. Taeniasis/cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. J Parasitol Int 55 : S143-S148 Ngowi HA, Kassuku AA, Maeda GEM, Boa ME Carabin H, Willingham III AL. 2004. Risk factors for the prevalence of porcine cysticercosis in Mbulu District, Tanzania. Vet Parasitol 120 : 275-283 Phiri IK, Ngowi H, Afonso S, Matenga E, Boa M, Mukaratirwa S, Githigia S, Saimo M, Sikasunge C, Maingi N, Lubega GW, Kassuku A, Michael L, Siziya S, Krecek RC, Noormahomed E, Vilhena M, Dorny P, Willingham III AL. 2003. The emergence of Taenia solium cysticercosis in Eastern and Southern Afrika as a serious agricultural problem and public health risk. Acta Tropica 87 : 13-23 Pondja A, Neves L, Mlangwa J, Afonso S, Fafetine J, Willingham AL, Thamsborg S, Johansen MV. 2007. Epidemiological survey of porcine cysticercosis in Angonia district, Mozambique. [Research report]. Praet N, Speybroeck N, Manzanedo R, Berkvens D, Nforninwe DN, Zoli A, Quet F, Preux PM, Carabin H, Greets S. 2009. The disease burden of Taenia solium cysticercosis in Cameroon. Plos Negl Trop Dis 3(3) : e406. Rajshekhar V, Joshi DD, Doanh NQ, Van De N, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia: epidemiology impact and issues. Acta Tropica 87 : 53-60 Rodriguez-Hidalgo R, Benitez-Ortiz W, Dorny P, Geerts S, Geysen D, RonRoman J, Proano-Perez F, Chavez-Larrea MA, Barrionuevo-Samaniego M, Celi-Erazo M, Vizcaino-Ordonez L, Brandt J. 2003. Taeniosis-cysticercosis in man and animals in the Sierra of Northern Ecuador. Vet Parasitol 118 : 51-60
132
Sakai H, Barbosa JrHVB, Silva EM, Schlabitz FO, Noronha RP, Nonaka N, Franke CR, Ueno H. 2001. Short report: seroprevalence of Taenia solium cysticercosis in pigs in Bahia State, Northeastern Brazil. Am J Trop Med Hyg 64 : 268-269 Salim L, Ang A, Handali S, Tsang VCW, 2009. Seroepidemiologi survey of cysticercosis-taeniosis in four central highland district of Papua, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 80 : 384-388 Sato MO, Sako Y, Nakao M, Yamasaki H, Nakaya K, Ito A. 2006. Evaluation of purified Taenia solium glycoproteins and recombinant antigens in the serologic detection of human and swine cysticercosis. J Infect Diseases 194 : 1783-1790 Sikasunge CS, Phiri IK, Phiri AM, Dorny P, Siziya S, Willingham III AL. 2007. Risk factors associated with porcine cysticercosis in selected districts of Eastern and Southern provinces of Zambia. Vet Parasitol 143 : 59-66 Simanjuntak GM, 2000. Studi taeniosis/cysticercosis di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. [Research report]. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan Sokal RR, Rohlf FJ, 1981. Biometry, Ed ke-2. New York: Freedman and Company Subahar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A, Margono SS. 2005. Taeniasis/sistiserkosis di antara anggota keluarga di beberapa desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makara Kesehatan 9(1) : 9-14 Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for control of taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol Int 55 : S161-S165 Wandra T, Margono SS, Gafar MS, Saragih JM, Sutisna P, Dharmawan NS, Sudewi AAR, Depary AA, Yulfi H, Darlan DM, Samad I, Okamoto M, Sato MO, Yamasaki H, Nakaya K, Craig PS, Ito A. 2007. Review: Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38 : 140-143 Wandra T, Sutisna P, Dharmawan NS, Margona SS, Sudewi R, Suroso T, Craig PS, Ito A. 2006. High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002-2004. Trans R SocTrop Med Hyg 100 : 346-353
133
Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian
134
Lampiran 6 Simulasi bakar batu 120 100 80 Suhu daging bagian dalam ( C)
60 40 20
A
B
0 1 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 153 Waktu Pemanasan (menit)
Gambar 1 Suhu daging ayam dalam liang pembakaran. A. Awal prosesi bakar batu. B. Pembongkaran bakar batu
120 100 80 Suhu ( C)
60 40 20 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Thermocouple ditancapkan di dada ayam Thermocouple ditancapkan di atas daun pisang
Gambar 2 Perbandingan suhu prosesi bakar batu dalam liang pembakaran dan permukaan
135
100 90 80 70 60 Suhu ( C) 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
Dalam daging
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Permukaan daging
Gambar 3 Suhu daging ayam saat dikeluarkan dari liang pembakaran