KAJIAN DIMENSI TENGGOROKAN RUANG REDUKSI GASIFIER TIPE DOWNDRAFT UNTUK GASIFIKASI LIMBAH TONGKOL JAGUNG Bambang Purwantana, Sunarto Ciptohadijoyo, Hasan Al-Banna, Yogi Rachmat Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jl. Flora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281. Email:
[email protected] Telp/Fax: 0274-589797
ABSTRAK Gasifikasi merupakan salah satu cara sepadan untuk mengkonversi energi dari biomassa. Rancangan dasar gasifier unggun tetap tipe downdraft telah dikembangkan dengan basis berbagai jenis bahan bakar biomassa. Kendala yang masih dihadapi antara lain adalah masih kurang lancarnya proses dan laju reduksi sehingga kinerja suhu dan kontinyuitas proses gasifikasi belum optimal. Rancangan dimensi tenggorokan ruang reduksi yang tepat diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh diameter tenggorokan dan tinggi ruang reduksi gasifier terhadap kinerja gasifikasi limbah tongkol jagung. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan variasi diameter tenggorokan yaitu 12 cm, 13 cm, 14 cm, 15 cm, dan 16 cm serta variasi tinggi ruang reduksi yaitu 10 cm, 15 cm, 20 cm, 25 cm, dan 30 cm. Kinerja gasifikasi dianalisis melalui hasil pengamatan terhadap besaran dan kestabilan suhu ruang reduksi, suhu bakar gas, waktu nyala efektif dan produksi gas metan yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter tenggorokan dan tinggi ruang reduksi berpengaruh nyata terhadap besaran suhu ruang reduksi, waktu nyala efektif dan produksi gas metan. Kinerja gasifikasi optimal diperoleh pada perlakukan diameter tenggorokan 13 cm dengan tinggi ruang reduksi 10 cm. Pada kombinasi perlakuan tersebut diperoleh suhu reduksi diatas 350oC, waktu produksi gas efektif 16 menit/kg-tongkol jagung dengan kadar gas metan rerata 0,75%. Kata kunci: downdraft gasifier, diameter tenggorokan, tinggi, ruang reduksi, tongkol jagung
1. PENDAHULUAN Pertambahan jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan perekonomian menyebabkan peningkatan konsumsi energi di Indonesia. Selain itu, produksi minyak dan gas Indonesia saat ini semakin mengalami penurunan sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan energi. Oleh karena itu diperlukan penyediaan sumber energi terbarukan sehingga ketergantungan terhadap bahan bakar fosil berkurang. Salah satu potensi energi terbarukan adalah limbah biomasa yang dihasilkan dari aktivitas produksi pertanian yang jumlahnya sangat besar. Biomassa merupakan material biologis berupa tumbuhan dan hewan yang dapat diubah menjadi sumber energi. Sebagai negara agraris, Indonesia menghasilkan banyak hasil sisa pengolahan bahan pertanian seperti sekam padi, tongkol jagung, ampas tebu, serbuk kayu, yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Biomassa ini dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi yang cocok dikembangkan di Indonesia karena jumlahnya yang melimpah (Babu dan Chaurasia, 2003). Salah satu limbah biomassa yang banyak dihasilkan di Indonesia adalah tongkol jagung. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2009 produksi jagung di Indonesia mencapai 17.659.000 ton. Schneider (1995) menyatakan
bahwa jagung terdiri atas dua bagian utama yaitu 20% tongkol jagung dan 80% biji jagung. Dari jumlah produksi jagung pada tahun 2009, berarti dihasilkan sekitar 3.531.800 ton tongkol jagung. Jumlah yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi energi alternatif. Dalam kegiatan industri berbasis jagung, limbah yang dihasilkan adalah kelobot dan tongkol jagung. Secara umum komposisi organik limbah jagung terdiri atas 6,04% abu, 15,70% lignin, 36,81% selulosa dan 27,01% hemiselulosa (Bull, 1991). Menurut Widodo dkk (2008), berdasarkan karakteristik fisik dan kimianya, tanaman jagung dan limbahnya berpotensi sebagai sumber bio energi dan produk samping yang bernilai ekonomis tinggi. Kandungan energi tongkol jagung adalah 3.500–4.500 kkal/ kg atau 14.7-18.9 MJ/kg. Melalui proses karbonisasi, kandungan energi tongkol jagung dapat mencapai 32 MJ/kg (Mochidzuki, et al.,2002). Limbah jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar padat untuk proses termal gasifikasi. Pada proses gasifikasi, terjadi pembakaran tidak sempurna. Proses gasifikasi menghasilkan produk berupa gas dengan nilai kalori 4000-5000 kJ/Nm3. Gas yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan udara panas, menggerakkan motor dan dapat digunakan sebagai pembangkit listrik. Konversi energi dengan cara gasifikasi dapat menghasilkan efisiensi panas mencapai 50-70%. Studi mengenai pengembangan potensi sumber energi terbarukan yang berasal dari tongkol jagung telah dilakukan oleh Sudarmanta dan Kadarisman (2010), yang mendapatkan pengaruh suhu reaktor dan ukuran partikel biomassa tongkol jagung terhadap kinerja gasifikasi tipe downdraft. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakterisasi biomassa tongkol jagung menghasilkan nilai kalor sebesar 10851,58 kJ/kg, sedangkan hasil karakterisasi gasifikasi berupa komposisi synthetic-gas dan visualisasi api pembakaran synthetic-gas menunjukkan kecenderungan yang terus membaik seiring dengan kenaikan suhu reaktor. Visualisasi api terbaik didapatkan pada suhu reaktor 900oC dan ukuran partikel biomassa 5mm. Pada suhu reaktor diatas 800oC, pengaruh ukuran partikel biomassa menjadi kurang signifikan. Menurut Lachke (2002), dalam bentuk arang (char), efisiensi penggunaan tongkol jagung dapat ditingkatkan. Proses pembentukan arang dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip dasar proses pirolisa cepat, dimana terjadi proses pembakaran pada suhu berkisar 150 oC – 600 oC dengan udara sangat tebatas. Gasifikasi biomassa merupakan suatu proses dekomposisi termal dari bahan-bahan organik melalui pemberian sejumlah panas dengan suplai oksigen terbatas untuk menghasilkan synthesis gas yang terdiri dari CO, H2, dan CH4 sebagai produk utama dan sejumlah kecil arang karbon dan abu sebagai produk ikutan. Alat yang digunakan untuk proses gasifikasi dinamakan gasifier (Jankes dan Milovanovic, 2001). Secara umum proses gasifikasi melibatkan empat tahapan proses yaitu proses pengeringan, pirolisis, oksidasi parsial dan reduksi. Pengeringan merupakan tahapan pertama dari proses gasifikasi dimana kandungan air didalam biomassa diuapkan melalui pemberian sejumlah panas pada interval suhu 100-300 oC. Pada pengeringan ini, biomassa tidak mengalami penguraian unsur-unsur kimianya, tetapi hanya terjadi pelepasan kandungan air dalam bentuk uap air. Proses pengeringan dilanjutkan dengan dekomposisi termal kandungan volatile matter berupa gas dan menyisakan arang karbon, dimana proses ini biasa disebut sebagai pirolisis. Proses pirolisis merupakan proses eksoterm yang melepas sejumlah panas pada interval suhu 300-900 oC. Selanjutnya sisa arang karbon akan mengalami proses oksidasi parsial, dimana proses ini merupakan proses eksoterm yang melepas sejumlah panas pada interval suhu diatas 900 oC. Panas yang dilepas dari proses oksidasi parsial ini digunakan untuk mengatasi kebutuhan panas dari reaksi reduksi endotermis dan untuk memecah
hidrokarbon yang telah terbentuk selama proses pirolisis. Proses reduksi terjadi pada interval suhu 400-900 oC. Dalam proses reduksi ini produk hasil proses pirolisa yang berupa arang, tar, metan dan gas-gas lain direduksi menjadi gas-gas bakar seperti CO, H2 dan CH4. Diantara jenis-jenis proses gasifikasi, yang paling sederhana dan mampu menghasilkan gas dengan kualitas yang cukup baik adalah gasifikasi tipe downdraft (Reed dan Das, 1998). Reaktor gasifikasi tipe downdraft menghasilkan kandungan tar yang lebih rendah dibandingkan tipe updraft. Hal ini dikarenakan kandungan tar hasil pirolisis terbawa bersama gas dan kemudian masuk ke dalam proses oksidasi parsial sehingga kandungan tar dimungkinkan dapat terurai menjadi senyawa yang lebih ringan (Pengmei et al., 2007). Gasifier unggun tetap aliran kebawah (downdraft gasifier) adalah gasifier dimana udara pembakaran dimasukkan dari atas atau samping daerah pembakaran dan gas hasil dikeluarkan dari daerah bawah reaktor. Pada reaktor ini terdapat keistimewaan yaitu terdapat daerah tenggorokan (throat) pada daerah pembakaran. Tujuan dari dibentuknya tenggorokan adalah untuk melokalisir daerah pembakaran dengan temperatur diatas 1000oC. Gas hasil gasifikasi sebelum keluar reaktor dilewatkan pada daerah pengecilan yang bersuhu tinggi ini. Dengan luasan sangat kecil diharapkan seluruh kandungan tar dalam gas bisa pecah. Gas hasil gasifikasi yang tidak mengandung tar sangat diperlukan untuk pembakaran pada mesin pembakaran dalam. Pada penelitian-penelitian sebelumnya telah dikembangkan penggunaan gasifier tipe downdraft pada aspek rancang bangun, campuran bahan padat biomassa dan kajian mengenai kinerja gasifier. Senoaji (2007), menyatakan bahwa dalam proses gasifikasi limbah padat biomassa terdapat kendala yang dihadapi yaitu aliran biomassa yang tidak lancar. Bahan tidak dapat turun melewati tenggorokan sehingga bahan pada zona oksidasi habis terbakar dan mengakibatkan terbentuknya rongga pada zona tersebut. Rongga tersebut berpotensi menjadi lidah api yang akan membakar gas metan yang terbentuk. Kasih (2009), mendapatkan bahwa dalam proses gasifikasi menggunakan gasifier tipe downdraft dengan bahan bakar tongkol jagung terdapat ketidakstabilan suhu pada gasifier yang disebabkan oleh kondisi dan ukuran bahan bakar yang tidak seragam. Untuk mengatasi masalah ketidaklancaran aliran biomassa, penyimpangan distribusi suhu ruang reduksi gasifier, dan meningkatkan kinerja gasifier secara keseluruhan diperlukan rancangbangun zona reduksi yang tepat. Penelitian ini mengkaji kinerja gasifier tipe downdraft dengan perlakuan dimensi tenggorokan pada zona reduksi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh diameter dan tinggi tenggorokan zona reduksi terhadap suhu zona reduksi, suhu bakar gas produksi, waktu nyala efektif dan produksi gas metan dari gasifier tipe downdraft dengan menggunakan bahan bakar biomassa limbah tongkol jagung.
2. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan 2011 di Laboratorium Energi dan Mesin Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Alat yang digunakan meliputi gasifier tipe downdraft (Gambar 1), kompresor, termokopel, data logger, termometer digital, timbangan, tabung venojet untuk menampung sampel gas, injector, parang, ember, dan alat tulis. Bahan yang dipakai adalah tongkol jagung (kadar air 7% – 15%) yang dicacah dengan ukuran 2-3 cm, arang kayu dan minyak tanah untuk penyalaan awal.
d= 12-16 cm
(a) (b) Gambar 1. (a) Downdraft gasifier dilengkapi dengan siklon dan scrubber, (b) Sketsa bagian dalam ruang reduksi gasifier Prosedur penelitian dilakukan sebagai berikut: (1) Instrumen downdraft gasifier dipasang sesuai dengan tata letak. (2) Dilakukan pemrograman pada termometer digital. (3) Dilakukan penimbangan arang dengan berat 250 gram dan tongkol jagung dengan berat 5 kg. (4) Dilakukan pembakaran awal dengan arang untuk starter penyalaan gasifier. (5) Kompresor dioperasikan untuk mempercepat proses pembakaran awal. (6) Setelah pembakaran awal merata, tongkol jagung dimasukkan pada gasifier. (7) Lubang input gasifier ditutup rapat. (8) Waktu pembakaran mulai dicatat setelah tongkol jagung dimasukkan hingga saat gasifikasi berhenti. (9) Percobaan dilakukan sampai 3 kali ulangan untuk setiap variasi tinggi dan diameter tenggorokan yang telah ditentukan. Pengamatan pengaruh diameter dan tinggi tenggorokan gasifier dilakukan secara terpisah. Pengamatan pengaruh diameter dilakukan pada tenggorokan dengan tinggi 25 cm dengan variasi diameter masing-masing 12 cm, 13 cm, 14 cm, 15 cm, dan 16 cm. Pengaruh tinggi tenggorokan diamati pada variasi tinggi: 10 cm, 15 cm, 20 cm, 25 cm dan 30 cm dengan diameter tenggorokan 13 cm. Parameter yang diamati meliputi suhu zona reduksi, suhu bakar gas produksi, waktu nyala efektif, kadar gas metan dan total waktu operasi. Pencatatan suhu menggunakan termometer digital, dengan interval dua menit. Waktu nyala efektif diukur mulai gas produksi bisa dibakar secara stabil sampai mati; waktu operasional dicatat dari gasifier mulai dioperasionalkan sampai berhenti menghasilkan gas. Kadar gas metan diamati menggunakan gas kromatografi dari sampel gas yang diambil saat gasifier menghasilkan gas bakar. Untuk membantu proses pengambilan keputusan digunakan pengujian statistik rancangan acak lengkap (RAL) untuk setiap parameter perlakuan dan análisis pembobotan menggunakan Simple Method Attribute Rangking Technique (SMART). Dalam penggunaan SMART, pemberian bobot untuk parameter yang telah diidentifikasikan didasarkan atas derajat atau tingkat kepentingannya. Dalam penelitian ini prioritas disusun berdasarkan urutan suhu ruang reduksi, waktu efektif penyalaan, suhu bakar gas dan kadar metan. Nilai diberikan dengan skala angka yang ditentukan berdasarkan range antara 0 s/d 10. Total nilai (bobot parameter × nilai parameter) dihitung dari masing-masing variasi. Ranking ditentukan berdasarkan total nilai bobot × skor dari variasi yang terbesar.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Pengaruh diameter tenggorokan gasifier
Suhu Zona Reduksi (°C)
Diameter tenggorokan gasifier berperan dalam menentukan kecepatan gas menuju ruang reduksi. Kecepatan gas yang terlalu besar secara teoritis diprediksi akan menyebabkan penguraian partikel arang karbon yang terlalu cepat. Pengaruh ukuran diameter tenggorokan terhadap perilaku suhu di dalam ruang reduksi downdraft gasifier selama proses gasifikasi ditunjukkan pada Gambar 2. Secara umum ditunjukkan bahwa peningkatan diameter tenggorokan diikuti dengan penurunan rata-rata suhu ruang reduksi. Analisa statistik menunjukkan bahwa perubahan diameter tenggorokan berpengaruh nyata terhadap perubahan suhu ruang reduksi. Diameter 12 cm dan 13 cm memberikan suhu rata-rata paling tinggi. Peningkatan diameter diikuti dengan penurunan besaran suhu. Lebih tingginya suhu pada diameter tenggorokan yang kecil disebabkan oleh lebih cepatnya laju udara dan gas produksi dari zona oksidasi dan pirolisa. Suhu yang tinggi diperlukan untuk mengurai lebih lanjut arang, tar dan gas CH4 dari hasil proses pirolisa menjadi gas bakar dalam bentuk CO, H2 dan CH4. Pada penelitian ini sebagai indikator kinerja proses reduksi gas hanya diamati berdasarkan produksi gas metan dan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 3. 500 400 300 200 100 0 11
12
13
14
15
16
17
Diameter Tenggorokan (cm)
Kadar Gas Metan (%)
Gambar 2. Perilaku suhu zona reduksi pada variasi diameter teggorokan gasifier
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 12
13
14
15
16
Diameter Tenggorokan (cm)
Gambar 3. Kadar gas metan gas bakar hasil gasifikasi pada variasi diameter tenggorokan gasifier
Hasil pengamatan kandungan gas metan menunjukkan perilaku yang tidak konsisten meskipun secara kecenderungan menunjukkan bahwa semakin besar diameter tenggorokan semakin kecil kadar metan yang dihasilkan. Kurang konsistennya data pengamatan kadar gas metan ini diperkirakan karena kadar metan diukur tidak secara kontinyu sehingga kemungkinan penyimpangan bisa terjadi. Meski demikian, perilaku besarnya produksi gas metan disamping tergambar dari besarnya suhu di ruang reduksi juga tergambarkan dari perilaku periode atau waktu nyala efektif dari gas hasil gasifikasi yang dibakar seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4 memperlihatkan pengaruh diameter tenggorokan gasifier terhadap waktu nyala efektif gas hasil gasifikasi. Pada diameter 12 cm waktu nyala efektif lebih kecil dari diameter 13 cm. Hal ini sejalan dengan hasil gas metan seperti ditunjukkan pada Gambar 3 dimana kadar gas metan pada diameter 12 cm lebih kecil dari gas metan pada diameter 13 cm. Berdasarkan perilaku suhu pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa suhu yang terjadi pada diameter 12 cm adalah paling tinggi. Suhu yang tinggi ini diperkirakan membakar sebagian gas metan selagi masih ada di ruang reduksi, sehingga kadar gas metan di ruang outlet telah berkurang sehingga nyala efektifnya juga menjadi lebih kecil.
Waktu Nyala Efektif (menit/kg)
25 20 15 10 5 0 11
12
13
14
15
16
17
Diamater Tenggorokan (cm)
Gambar 4. Waktu nyala efektif gas produksi gasifikasi pada variasi diemeter tenggorokan gasifier Pada diameter tenggorokan diatas 13 cm diperlihatkan bahwa waktu nyala efektif semakin kecil. Hal ini diperhitungkan karena pada kondisi tersebut suhu di ruang reduksi masih rendah (Gambar 2) dan belum mencapai batas optimal untuk proses reduksi sehingga gas produksi yang dihasilkan, yang diwakili dengan pengamatan gas metan, juga cenderung rendah (Gambar 3). Penyalaan terhadap gas produksi menghasilkan suhu bakar yang berbeda-beda tergantung kadar gas bakar (CO, H2, dan CH4) yang terkandung pada gas. Gambar 5 menunjukkan bahwa suhu gas bakar tertinggi dicapai pada diameter tenggorokan 13-15 cm. pada penelitian ini, karena kerusakan alat, tidak dilakukan pengukuran kadar gas H2 dan CO. namun demikian dengan mengacu pada Gambar 3 dapat dijelaskan bahwa disamping gas metan, pada diameter 13-15 cm dihasilkan gas H2 dan CO yang cukup sehingga menghasilkan suhu bakar gas yang cukup tinggi. Dari perilaku-perilaku parameter gasifikasi di atas maka berdasarkan metode SMART yang memberikan ranking bobot yang tinggi berturut-turut pada karakteristik waktu nyala efektif dan suhu ruang reduksi serta suhu bakar gas maka diameter tenggorokan gasifier sebesar 13 cm dapat direkomendasikan untuk diterapkan pada gasifier limbah tongkol jagung.
Suhu Bakar Gas (°C)
150 125 100 75 50 25 0 11
12
13
14
15
16
17
Diamater Tenggorokan (cm)
Gambar 5. Suhu bakar gas produksi pada variasi diameter tenggorokan gasifier
b. Pengaruh tinggi ruang reduksi Pada rancangbangun downdraft gasifier, tinggi ruang reduksi menentukan periode atau lamanya waktu reaksi yang terjadi untuk mengurai produk-produk pirolisa menjadi gas mampu bakar (H2, CO dan CH4). Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tinggi ruang reduksi yang besar memberikan waktu yang cukup bagi produk-produk pirolisa untuk direduksi lebih lanjut. Namun demikian karena proses ini tidak berdiri sendiri maka pemahaman sederhana tersebut tidak selalu berlaku. Apabila suhu dalam ruang reduksi cukup tinggi, terlebih apabila suplai udara juga terlalu besar maka besar kemungkinan gasgas bakar yang dihasilkan dalam ruang reduksi terbakar lebih awal sehingga gas produksi berkurang. Demikian sebaliknya apabila tinggi ruang reduksi terlalu pendek maka produk pirolisa tidak sempat diurai menjadi gas bakar. Gambar 6 memperlihatkan perilaku suhu zona reduksi pada beberapa ketinggian ruang reduksi. Uji statistik pada taraf kepercayaan 5% menunjukkan bahwa variasi tinggi memberikan pengaruh nyata pada suhu zona reduksi gasifier. Tinggi tenggorokan 10 cm dan 25 cm memberikan suhu rata-rata zona reduksi paling tinggi yaitu sekitar 350 °C sedangkan variasi tinggi tenggorokan 20 cm memberikan suhu rata-rata zona reduksi paling rendah. Secara keseluruhan besarnya suhu ruang reduksi untuk seluruh perlakuan tinggi ruang reduksi tersebut masih tergolong belum cukup tinggi untuk dapat mengurai produk-produk pirolisa menjadi gas-gas bakar sehingga belum mencapai efisiensi optimalnya. Isolasi panas pada ruang reduksi diperlukan untuk mengurangi panas yang hilang ke sekitar zona reduksi. Perilaku besarnya suhu zona reduksi sejalan dengan lamanya waktu penyalaan efektif seperti diperlihatkan pada Gambar 7. Pada suhu zona reduksi yang tinggi proses penguraian gas cukup baik sehingga produksi gas bakar yang dihasilkan juga optimal. Periode nyala efektif terbaik dicapai sebesar 16 menit/kg tongkol jagung. Untuk proses reduksi yang stabil diperlukan suhu yang cukup stabil bula. Pada ruang reduksi yang tinggi (30 cm) kurang optimalnya produksi gas bakar dimungkinkan terjadi disamping karena kehilangan tekanan (pressure drop) yang cukup besar juga karena kehilangan panas secara tajam. Meski demikian, tinggi ruang reduksi yang cukup juga diperlukan untuk meningkatkan peluang reduksi karbon dan gas yang belum terurai. Dari karakteristik yang ditunjukkan pada Gambar 7 tersebut tinggi ruang reduksi antara 10-15 cm diperhitungkan cukup untuk diterapkan pada gasifikasi tongkol jagung.
Suhu Zona Reduksi (°C)
400 300 200 100 0 5
10
15
20
25
30
35
Tinggi Ruang Reduksi (cm)
Gambar 6. Perilaku suhu zona reduksi pada variasi tinggi ruang reduksi gasifier
Waktu Nyala Efektif (menit/kg)
20 15 10 5 0 5
10
15
20
25
30
35
Tinggi Ruang Reduksi (cm)
Gambar 7. Waktu nyala efektif gas produksi gasifikasi pada variasi tinggi ruang reduksi gasifier
Gambar 8 memperlihatkan hasil pengukuran suhu bakar gas produksi pada variasi tinggi ruang reduksi gasifier. Ditunjukkan bahwa peningkatan tinggi ruang reduksi diikuti dengan penurunan suhu bakar gas. Suhu bakar gas disini mewakili besarnya komponen gas mampu bakar dari gas produksi. Dengan demikian penurunan besaran suhu ini menunjukkan penurunan besarnya komponen gas mampu bakar hasil gasifikasi. Pada ruang reduksi dengan tinggi 30 cm suhu gas bakar sangat rendah, dan ini sejalan dengan perilaku penurunan suhu ruang reduksi dan penurunan waktu nyala efektif seperti telah ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7. Salah satu komponen gas bakar yang diamati dalam penelitian ini adalah gas metan (CH4). Dari Gambar 9 ditunjukkan bahwa tidak ada konsistensi perubahan besarnya prosentase gas metan akibat perubahan besaran tinggi ruang reduksi. Berdasar perilaku Gambar 8 dan 9 tersebut dapat diprediksi bahwa peningkatan tinggi ruang reduksi menyebabkan penurunan prosentase gas CO dan/atau gas H2. Apabila proses gasifikasi berjalan optimal maka di sepanjang ruang reduksi, jumlah CO dan H2 secara teoritis mengalami peningkatan, sementara CO2, CH4 dan N2 berkurang. Kadar gas N2 akan relatif tetap sama karena merupakan gas inert. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi ruang reduksi menyebabkan kurang optimalnya proses reduksi gas
dan karbon hasil pirolisa menjadi gas-gas mampu bakar. Pada penelitian ini pengamatan gas produksi masih dilakukan secara sampling dan baru dilakukan untuk gas metan. Pengamatan gas secara kontinyu untuk semua komponen gas mampu bakar perlu dilakukan untuk analisis yang lebih komprehensif.
Suhu Bakar Gas (°C)
500 400 300 200 100 0 5
10
15
20
25
30
35
Tinggi Ruang Reduksi (cm)
Gambar 8. Suhu bakar gas produksi pada variasi tinggi ruang reduksi gasifier
Kadar Gas Metan (%)
1.2 0.9 0.6 0.3 0.0 10
15
20
25
30
Tinggi Ruang Reduksi (cm)
Gambar 9. Kadar gas metan gas bakar hasil gasifikasi pada variasi tinggi ruang reduksi gasifier
Dari perilaku-perilaku parameter gasifikasi di atas maka dengan menggunakan metode SMART melalui pemberian ranking bobot yang tinggi berturut-turut pada karakteristik waktu nyala efektif dan suhu ruang reduksi serta suhu bakar gas maka tinggi ruang reduksi gasifier sebesar 10 cm dapat direkomendasikan untuk diterapkan pada gasifier limbah tongkol jagung. Penambahan ruang dibawah zone reduksi berupa perbesaran diameter juga direkomendasikan untuk memberi tambahan luasan reduksi sehingga proses penguraian gas dapat lebih optimal. Isolasi panas pada ruang tambahan ini juga tetap diperlukan untuk meningkatkan efisiensi gasifikasi.
4. KESIMPULAN DAN SARAN a.
Kesimpulan 1. Diameter tenggorokan dan tinggi ruang reduksi berpengaruh nyata terhadap besaran suhu ruang reduksi, waktu nyala efektif dan produksi gas metan. Waktu nyala efektif yang besar ditentukan oleh suhu reduksi yang tinggi dan stabil. 2. Kinerja gasifikasi optimal diperoleh pada perlakukan diameter tenggorokan 13 cm dengan tinggi ruang reduksi 10 cm. Pada kombinasi perlakuan tersebut diperoleh suhu reduksi diatas 350oC, waktu produksi gas efektif 16 menit/kg-tongkol jagung dengan kadar gas metan rerata 0,75%.
b. Saran 1. Pengamatan secara kontinyu terhadap komposisi gas produksi perlu dilakukan untuk mempertajam evaluasi kinerja gasifikasi. 2. Pada konstruksi ruang oksidasi dan reduksi perlu diberikan isolator panas yang cukup untuk mencegah hilangnya panas ke lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Babu, B.V. dan Chaurasia, A.S. (2003). Modeling, Simulation, and Estimation of Optimum Parameters in Pyrolisis of Biomass. Energy Conversion and Management, 44, 2135-2158. Bull, 1991. Pabrik Bio Oil dari Eceng Gondok Dengan Proses Pirolisis Cepat. Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Surabaya. Jankes, Goran G. dan Milovanovic, Nebojsa M. (2001). Biomass Gasification In SmallScale Units For The Use In Agriculture And forestry In Serbia. Thermal Sciennce: Vol.5, No.2,pp.49-57. Kasih, A. (2009). Pengaruh Ukuran Bahan Bakar Terhadap Kinerja Gasifikasi Limbah Tongkol Jagung. Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Lachke, Anil. (2002). Biofuel from D-xylose the Second Most Abundant Sugar. http://www.iisc.ernet.in/academy/resonance/May2002/pdf/May2002p50-58. Mochidzuki, K., Lloyd, S. Paredes, Michael, J. Antal. 2002. Flash Carbonization of Biomass. http://www.hnei.hawai.edu/flash_carb_biomass. Pengmei, Lv., Zhenhong, Yuan., Longlong, Ma., Chuangzhi, Wu., Yong, Chen. dan Jingxu, Zhu., (2007), Hydrogen- rich Gas Production from Biomass Air and Oxygen/ Steam Gasification in a Downdraft Gasifier, Science Direct, China. Reed, T.B. dan Das, A. (1998). Handbook of Biomass Downdraft Gasifier Engine Systems, Golden, CO: Solar Energy Research Institute, SERI/SP-271-3022, 140 pp Schneider, Burch H. (1955). Corn and Corn Improvement. Chapter XV page 637 – 670. Academic Press., New York, N.Y. Senoaji, Angga. (2007). Pengaruh Debit Udara Terhadap Kinerja Gasifikasi Limbah Padat Pati Aren Tipe Downdraft. Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Yogyakarta. Sudarmanta, B. dan Kadarisman. (2010). Pengaruh Suhu Reaktor dan Ukuran Partikel Terhadap Gasifikasi Biomassa Tongkol Jagung Pada Reaktor Downdraft, Jurusan Teknik Mesin, FTI-ITS, Surabaya.