ireng-ydbs-th
KOMUNIKA
BERANDA Editorial
Wajah Kita
Upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka hotline telepon 24 jam dengan gubernur di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam, perlu mendapat apresiasi. Langkah itu sangat tepat, karena kemudahan akses komunikasi antara pusat dan daerah pasca otonomi daerah (otoda) merupakan faktor yang sangat penting bagi kelancaran proses pelaporan dan koordinasi, sehingga penanganan bencana di daerah dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat. Pasca otoda, daerah memang memiliki hak untuk mengatur kewenangan atas kemauan dan prakarsa sendiri, termasuk mengatur penanggulangan bencana alam. Daerah berhak membentuk tim penanggulangan sendiri, dengan pola kerja yang ditetapkan oleh masing-masing pemda. Pemda pada umumnya sudah memiliki lembaga semacam Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA), serta tim penolong seperti Search and Resque (SAR), Palang Merah Indonesia (PMI) dan para relawan yang akan bekerja sama mengevakuasi dan menyelamatkan para korban saat terjadi bencana alam. Jika bencana alam yang terjadi tergolong berskala kecil, dalam arti kerusakan yang terjadi tidak begitu parah dan hanya sedikit--atau tidak--memakan korban jiwa, pemda dengan bantuan berbagai lembaga dan para relawan biasanya sanggup mengatasi sendiri. Namun jika bencana alam yang terjadi berskala besar--seperti tsunami di NAD dan Sumut, banjir di Jember dan longsor di Banjarnegara--keterlibatan pemerintah pusat mutlak diperlukan. Masalahnya adalah kadang-kadang jalur komunikasi bencana alam antara pusat dan daerah kurang lancar karena adanya berbagai hambatan baik itu hambatan geografis, teknis maupun fisik. Lebih-lebih di daerah bencana pada umumnya jaringan komunikasi ikut rusak, sehingga hubungan dan koordinasi antar lembaga menjadi kurang baik. Laporan ke pusat juga relatif kurang lancar, sehingga sering terlambat dan substansinya berbeda jauh dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Kurang validnya laporan membuat data tentang bencana itu sendiri, wilayah yang tertimpa bencana, korban, maupun akibat yang terjadi, menjadi simpang siur. Akibatnya, penanganan pasca bencana tidak bisa tepat waktu dan tepat sasaran. Padahal semakin lama korban bencana berada dalam situasi krisis tanpa bantuan memadai, keadaan mereka akan semakin buruk. Bahkan tak jarang, keterlambatan penanganan membuat korban-terutama yang mengalami trauma fisik berat--tak bisa diselamatkan jiwanya. Kita tentu masih ingat bencana tsunami di NAD dan Nias yang menelan banyak korban akibat peringatan dininya belum tersedia. Atau kasus rawan pangan di Yahukimo yang baru "diketahui" setelah beberapa saat lamanya. Semua itu terjadi karena belum tersedianya saluran komunikasi bencana alam yang memadai. Karena itu jalur telepon hotline 24 jam antara gubernur dan presiden diharapkan akan menjadi jembatan komunikasi yang tepat untuk menghindari keterlambatan penanganan bencana. Short cut akses langsung ke presiden akan memotong jalur birokrasi yang terkadang memakan banyak waktu. Harus diakui, ini merupakan langkah maju dalam manajemen komunikasi penanganan bencana alam yang selalu dilaksanakan dalam situasi tanggap-darurat. Dengan akses langsung tersebut, presiden dapat segera mengambil keputusan untuk mengkoordinasikan tindakan terkait dengan penanganan bencana alam yang akan, sedang maupun telah terjadi di daerah. Namun jalinan komunikasi bencana alam yang baik tentu bukan hanya antara pemerintah pusat dan daerah saja. Pemda juga perlu mengefektifkan saluran komunikasi bencana intra maupun antar RT/RW, desa, kecamatan, kabupaten/kota hingga ke provinsi. Melalui jalinan komunikasi ini, peringatan dini bencana alam dapat segera disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga korban jiwa dan harta benda dapat diminimalisasi. Laporan terjadinya bencana, wilayah yang tertimpa dan jumlah korban, juga bisa dilakukan dalam waktu singkat ke jenjang pemerintahan yang lebih tinggi untuk segera mendapatkan penanganan dan penanggulangan sebagaimana mestinya.
"Tradisi" Bencana Alam Seorang bapak setengah baya berbaring santai di atas plafon rumahnya di pinggiran kota Indramayu. Tak ada bayangan kecemasan tergambar dalam bola matanya. Padahal tepat di bawah kakinya, air bah berwarna kecoklatan-genangan banjir malam itu--bergolak deras. Sementara di luar rumahnya, rinai hujan awal Februari belum juga mau berhenti. Bibirnya yang sedang menyedot rokok kretek bahkan tersenyum simpul, saat tim SAR mendekatinya dengan perahu karet dan menyorot sosok tubuhnya yang kerempeng dengan lampu halogen. "Bapak tidak mengungsi?" tanya salah seorang anggota tim SAR dengan nada heran. "Buat apa ngungsi?" si bapak balik bertanya. "Lo, di sini kan berbahaya. Kalau air naik lagi bagaimana?" "Ya nggak gimana-gimana, santai saja," jawab si bapak kalem. "Bapak tidak takut?" kejar anggota tim SAR lainnya. "Nggak. Apa yang ditakutin. Tiap tahun juga begini, sudah jadi tradisi, sudah biasa atuh," tukas si bapak. Saat ditawari naik perahu untuk pindah ke tempat yang lebih aman, si bapak menggeleng keras. "Tidak, saya tidak akan mengungsi," tolaknya tegas. Akhirnya tim SAR pun beringsut pergi sambil garuk-garuk kepala. Sudah jadi tradisi. Itulah kata si bapak tentang bencana banjir yang melanda daerahnya. Mungkin karena setiap tahun banjir selalu menggenangi rumahnya, ia lantas menganggapnya sebagai sebuah "tradisi". Banjir menjadi semacam kebiasaan rutin yang dilakoni secara periodik: event tahunan yang otomatis tergelar setiap kali musim hujan datang. Di beberapa daerah "langganan" banjir, kedatangan bencana alam ini memang disambut dengan persiapan khusus. Bukan persiapan yang bersifat preventif, namun sebatas upaya antisipatif. Karena itu, yang dilaksanakan bukan kiat-kiat pencegahan agar banjir tak datang, namun persiapan agar saat air bah datang seluruh keluarga dan barang-barang bisa selamat dari kebasahan. Di Kampung Melayu Jakarta, misalnya, setiap keluarga tampaknya sudah mahfum jika pada bulan Januari-Maret banjir selalu datang melanda. Mereka menganggap hal itu wajar dan biasa-biasa saja. "Kalau tidak banjir, kami malah bertanya-tanya, tumben kok tidak banjir?" seloroh seorang ibu di Kampung Melayu dalam berita yang ditayangkan TVRI. Karena banjir sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mereka juga sudah memiliki pengetahuan untuk menghadapinya. Misalnya media indonesia
Pentingnya Komunikasi Bencana Alam
dengan membangun pondasi rumah lebih tinggi, atau membuat tempat "pengungsian" sederhana di loteng rumah. Pertanyaannya adalah apakah antisipasi semacam itu cocok untuk menghadapi banjir? Ternyata tidak! Buktinya, banjir tetap saja datang setiap tahun meskipun pondasi rumah sudah ditinggikan bermeter-meter dan ratusan loteng pengungsian dibangun. Dengan kata lain, antisipasi memang penting agar masyarakat siap menghadapi bencana. Namun yang sesungguhnya diperlukan untuk menghadapi bencana alam bukan sekadar antisipasi. Aksi pencegahan lebih penting untuk dilakukan, agar bencana yang sama tidak terusmenerus terjadi--sampai-sampai dianggap sebagai tradisi. Caranya tentu saja dengan mencari akar masalah pemicu terjadinya bencana tersebut, kemudian menanggulanginya dengan actionplan yang jelas dan nyata. Banjir misalnya, harus ditelusuri faktor apa yang menjadi penyebab dan pendorongnya. Setelah ketemu, faktor itu harus diupayakan untuk dikurangi atau bila mungkin dihilangkan. Langkah yang sama dapat pula diterapkan untuk mengatasi bencana alam lainnya. Dengan cara demikian, frekuensi terjadinya bencana alam di Indonesia secara bertahap pasti dapat dikurangi. Si bapak dari Indramayu mungkin masih bisa tersenyum di tengah banjir bandang, karena ia sudah mengantisipasinya sejak awal. Akan tetapi senyumnya pasti akan lebih lebar jika rumahnya tidak kebanjiran. Si ibu dari Kampung Melayu pun tentu akan lebih senang jika di bulan Januari-Maret tidak harus bersusahpayah mengusung perabot rumahnya ke atas loteng, karena banjir tak lagi terjadi. Semua bisa dilakukan, asal ada kemauan keras yang disinergikan dengan kebijakan yang tepat dan terarah untuk menanggulangi bencana alam secara lintas sektoral. Lain lagi ceritanya, jika manajemen penanggulangan bencana masih berkutat pada manajemen antisipatif yang baru berlaku efektif jika bencana alam sudah terjadi. Jika ini yang dipertahankan, selamanya akar permasalahan penyebab bencana tak akan tersentuh. Akibat lanjutannya, pada periode waktu tertentu bencana tersebut akan terjadi lagi dan menimbulkan kerusakan di tempat yang sama. Haruskah kita ikut-ikutan menganggap bencana sebagai "tradisi", sedangkan kita memiliki kemampuan untuk menangkalnya.* (gun)
Diterbitkan oleh:
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
OMUNIK K A SATU KATA INDONESIA
Edisi 02/Tahun II/Januari 2006
Pengarah: Menteri Komunikasi dan Informatika Penanggungjawab: Kepala Badan Informasi Publik Pemimpin Redaksi: Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum Wakil Pemimpin Redaksi: Sekretaris BIP dan Para Kepala Pusat BIP Sekretaris Redaksi: Richard Tampubolon Redaktur Pelaksana: Nursodik Gunarjo Redaksi: Selamatta Sembiring, Tahsinul Manaf, Soemarno Partodihardjo, Sri Munadi, Effendy Djal, Ridwan Editor/Penyunting: Illa Kartila, Taufik Hidayat Alamat Redaksi: Jl Medan Merdeka Barat No 9 Jakarta Telp. (021) 3521538 e-mail:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut.
2
KESRA
repro
KOMUNIKA
Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2006
Pada peringatan tahun ini PWI Jawa Barat meluncurkan buku Seratus Tahun Pers Jawa Barat. Peluncurannya dilakukan bersamaan dengan penyerahan penghargaan kesetiaan pada profesi kewartawanan kepada mereka yang telah mengabdi selama 30 dan 40 tahun. Ketua Umum PWI Pusat, Tarman Azzam menyatakan dalam peringatan HPN tahun ini sekitar 800 orang wartawan se-Indonesia juga akan mendapat penghargaan. “Mereka yang menerima penghargaan itu adalah bentuk penghargaan atas pengabdian mereka selama ini kepada dunia pers dan telah mengabdi 30-40 tahun di dunia jurnalistik,” katanya.
Sehingga rakyat bisa memilah-milah partai mana yang pro atau melupakan rakyat. Hal ini telah bisa dilakukan media pada tingkat nasional. Sehingga pada tingkat nasional terjadilah seleksi rakyat melalui demokratisasi dan menghadirkan beragam perubahan. Pornografi dan Dilema Industrialisasi Media Di tengah optimisme melihat peran pers dalam proses demokratisasi, ternyata masih ada beberapa persoalan yang dihadapi pers, masyarakat dan pemerintah. Sebut saja persoalan pornografi dan pornoaksi. Sejak disahkannya UU No. 40/1999 tentang Pers perdebatan tentang pornografi
Memaknai Kebebasan Pers Desember 2004 lalu, saat buka puasa bersama wartawan dan gubernur di salah satu sudut kota Bandung, Us Tiarsa. Ketua PWI Jawa Barat menyampaikan pada Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, tentang rencana peringatan Hari Pers Nasional. Sebelumnya Us Tiarsa sempat ragu, sebab Pemda Jabar dihadapkan pada berbagai garapan even nasional dan internasional, antara lain Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Jambore Nasional Pramuka 2006. Sebagai tuan rumah, mau tidak mau, Jabar harus berusaha keras menjadi tuan rumah dan memberikan perhatian, tenaga, dan biaya yang pasti sangat besar. Beruntung sekali, kata Us Tiarsa, “Pak Danny mengatakan Jawa Barat bersedia menjadi tuan rumah peringatan HPN.” Akhirnya Us Tiarsa “mengajak” Ketua Umum PWI Pusat menemui Gubernur Jawa Barat untuk membahas rencana pelaksanaan Peringatan HPN 2006. Rencana pun dirancang dan dimatangkan. Berbagai acara seperti peluncuran buku, penyerahan penghargaan, pameran, dan seminar akan mewarnai Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT Ke-60 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Semuanya dipusatkan di di Kota Bandung 6 hari mulai tanggal 7 hingga 12 Februari 2006. Edisi 02/Tahun II/Januari 2006
Nama mereka, lanjut Tarman, akan ditulis dalam bentuk monumen plus dengan sukses yang mereka raih dalam kariernya. Sehingga HPN ke-60 tersebut benar-benar monumental. Penghargaan juga akan diberikan kepada beberapa perusahaan yang selama ini ikut berjasa terhadap dunia pers. Selain itu, penghargaan diberikan juga kepada penerbitan dan juga cabang PWI yang dianggap cukup aktif dan sukses membina wartawan di daerahnya. “PWI juga akan memberikan penghargaan kepada SPS yang selama ini dianggap bagus dalam melakukan hak jawab,” tambahnya. Peringatan HPN dan HUT PWI juga diisi konvensi yang diikuti tokoh pers dan masyarakat. Puncak acara peringatan HPN dan HUT PWI di Gedung Merdeka tanggal 9 Februari. Rencananya dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melakukan penanaman pohon diikuti serentak oleh berbagai elemen masyarakat. Sekitar 3.00pohon ditanam dipelbagai sudut kota untuk mendukung usaha penghijauan yang sedang dilakukan Pemerintah Kota Bandung. Pers dan Demokratisasi Pers sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia, ternyata lebih disukai oleh rakyat ketimbang lembaga partai politik. Demikian kata Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid suatu ketika. Meskipun pers sudah mengalami seleksi tapi saat ini masih menyisakan 800-an. Namun partai politik setelah diseleksi oleh publik tahun 1999 menjadi 48 kemudian tahun 2004 tinggal 24 dan yang mendapatkan electoral threshold hanya 6 partai politik. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa Pers sangat berperan dalam proses demokratisasi termasuk juga dalam meningkatkan kualitas berdemokrasi. Pendidikan politik yang dilakukan partai politik —kalau itu dilakukan— jelas tidak akan bisa mencapai target yang massif, mencakup mayoritas Indonesia. Tanpa media tidak mungkin mencapai seluruh rakyat Indonesia. Pengalaman Pemilu dan beberapa Pilkada telah membuktikan bahwa peran pers dalam proses demokratisasi demikian besar. Televisi lokal dan koran-koran lokal banyak menghadirkan menghadirkan suatu upaya untuk melakukan pendidikan politik bagi publik.
dalam pers tak kunjung surut. Foto artis Shopia Latjuba di majalah Popular mengawali perdebatan masalah pornografi pada awal era kemerdekaan pers tahun 1999. Perdebatan berlanjut ketika tahun 2002 sebuah lembaga pemantau media, Media Watch and Consumer Center, menyebut Majalah Popular dan Tabloid Pop sebagai “media porno”. Namun kedua media tersebut menolak disebut sebagai “media porno”. Bagi Dewan Pers, sebagian media penerbitan yang secara eksploitatif mempublikasikan pornografi dan kecabulan adalah tabloid dan majalah liar, sehingga sulit dilacak pertanggungjawaban penerbitannya. Terhadap penerbitan semacam ini, menurut Dewan Pers menjadi tugas Kepolisian untuk menegakkan hukum, bukan saja karena menyebarkan tulisan atau gambar pornografis yang melanggar Pasal 282 KUHP, melainkan juga pelanggaran mengenai ketidakjelasan status badan hukum penerbitannya. Kini pembahasan Rancangan Undangundang (RUU) tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) di DPR RI sudah dimulai, namun bersamaan dengan itu peredaran pornografi dan pornoaksi semakin marak di masyarakat. Ada pula rencana penerbitan Majalah Playboy versi Indonesia, yang juga mengundang pro kontra di kalangan masyarakat. Secara khusus, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap penerbitan majalah Playboy versi Indonesia karena dinilai melanggar etika bangsa Indonesia. Wakil Presiden membandingkan dengan negara Singapura yang tidak membolehkan penerbitan majalah yang lebih banyak menampilkan wanitawanita dengan busana minim. “Masalahnya, penerbitan kita tidak perlu ijin dan SIUPP tidak ada lagi dan UndangUndang yang ada mengatur tidak perlu SIUPP. Jadi ini kesulitannya bagi pemerintah untuk mengambil tindakan,” katanya. Namun demikian Wakil Presiden meyatakan bahwa Undang-Undang tentang Pornografi dan Pornoaksi yang akan diundangkan nantinya pasti akan mengatur masalah penerbitan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi. Sementara itu Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil mengatakan, ia
sudah bertemu dengan Kapolri Jenderal Sutanto untuk mengambil tindakan terhadap penerbitan porno atau cabul yang telah beredar di masyarakat. Sofyan A. Djalil menambahkan, terhadap majalah Playboy belum bisa diambil tidakan karena majalah tersebut belum terbit, sedangkan media yang sudah terbit sekarang ini malah lebih parah dari majalah Playboy dan kalau isunya memenuhi pasal 282 KUHP kan ditindak. Maraknya penerbitan porno di Indonesia lebih disebabkan oleh ringannya sanksi pidana terhadap pelanggaran pornografi, sehingga tidak menimbulkan efek jera terhadap pelakunya. Di Indonesia saat ini pendirian usaha media tidak perlu lagi perijinan, cukup ijin usahanya saja, namun demikian jika media tersebut melanggar undang undang, maka akan diambil tindakan berdasar KUHP. Momentum Refleksi Catatan Dewan Pers menyebutkan ada 391 pucuk surat pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan pemberitaan yang dilansir surat kabar dan media elektronik sepanjang tahun 2003 hingga awal 2006. Sebagian besar kasus pengaduan masyarakat itu karena mereka merasa dirugikan akibat pemberitaan yang dilansir oleh media massa baik menyangkut personal, instansi maupun lembaga pemerintah. Hampir semua pengaduan tersebut bisa diselesaikan secara musyawarah dan sebagian lagi atas mediasi dari Dewan Pers. “Dewan Pers memberikan pertimbangan dan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan itu,” kata Wakil Ketua Dewan Pers, RH Siregar. Sementara itu hasil inventarisasi Komisi I Dewan Pers atas fakta dalam sejumlah pengaduan ke Dewan Pers berkesimpulan bahwa tuntutan masyarakat saat ini adalah adanya informasi yang akurat. Karena itu Dewan Pers menghimbau agar wartawan mampu menyajikan fakta sedekat mungkin seakurat mungkin dalam bentuk paparan mendalam, analisis dan jika perlu interpretatif. Bagi Lukas Luwarso, keberadaan lembaga pemantau media sangat diperlukan sebagai sparring partner kebebasan pers. Melalui hasil riset dan pendokumentasian mereka, kelalaian dan kesalahan media bisa diidentifikasi dan diingatkan, sehingga media tidak mengulang kesalahan yang sama. Di Indonesia, lembaga pemantau media sempat bermunculan setelah reformasi bergulir,dan inilah wujud nyata keberdayaan rakyat dalam berinteraksi dengan media. Pemerintah pun hanya tinggal memfasilitasi agar hubungan yang ada tidak sampai menggoyahkan semangat kebersamaan yang menjadi modal bagi terlaksananya demokratisasi di Indonesia. Peringatan Hari Pers Nasional merupakan momentum untuk berkaca diri, bagi seluruh bangsa Indonesia. Merenungkan kembali tentang posisi dan peran pers serta bagaimana peran yang bisa dilakukan oleh masing-masing unsur bangsa dalam mengembangkan relasi yang ideal antara pers, masyarakat dan pemerintah dalam mewujudukan demokratisasi di Indonesia. *** Di Bandung, seratus tahun lalu hadir sebuah penerbitan suratkabar Medan Prijaji yang dikelola pribumi asli dan didirikan oleh RM Tirtoadisurjo. Surat kabar ini juga menjadi salah satu media untuk perubahan cara pikir dan cara pandang masyarakat kala itu. Karenanya ke depan, peran pers masih akan tetap dibutuhkan guna terjaminnya proses demokrasi diantara masyarakat. Selamat Hari Pers Nasional 2006, HUT ke-60 PWI, dan Seratus Tahun Pers Jawa Barat. Di nu kiwari ngancik bihari seja ayeuna sampeureun jaga. Dalam diri masa kini terdapat roh masa lampau, berbuat sekarang untuk masa datang . Cag! Begitu kata Us Tiarsa. (t-g)
3
POLHUKAM
KOMUNIKA
Wakil dari AMM, TNI dan GAM meneliti senjata yang akan dimusnahkan pada penyerahan senjata tahap IV.
"Ooh, Indahnya Perdamaian..." “Ooh, indahnya perdamaian!” seru Siti Chafsah (38), warga Pidie NAD, sambil memandang matahari pagi yang menerobos pepohonan di halaman rumahnya. Di jalan kampung yang terbentang di hadapannya, orang-orang berlalu-lalang menuju tempat tugas masing-masing. Ada yang ke ladang, ke pasar, ke kantor, ke sekolah dan sebagainya. Semua berlangsung wajar dan biasa-biasa saja, seperti tak tampak bahwa satu setengah tahun lalu di wilayah itu suasananya sangat mencekam. “Dulu jangankan ke pasar, ke luar rumah saja kami takut,” kenang Siti. “Tapi setelah penyerahan senjata dan penarikan TNI, suasananya sangat berbeda, aman, tenang, tak ada kekhawatiran lagi.” Babak baru telah dimulai dalam pelaksanaan MoU antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Setelah penyerahan senjata oleh pihak GAM kepada Misi Pemantau Aceh, kini pemerintah telah memberikan Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh kepada DPR-RI dan DPD untuk dibahas bersama. MoU yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus lalu menyatakan bahwa Undang-Undang itu harus sudah jadi paling lambat bulan Maret 2006 ini, untuk selanjutnya diadakan pemilihan langsung kepala pemerintahan di Serambi Mekah. Penyerahan Senjata Sukses Wajah Aceh saat ini memang tengah berubah. Seiring dengan perbaikan di beberapa lokasi pasca bencana Tsunami, proses pelaksanaan MoU antara Pemerintah RI dan GAM sudah menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Hingga akhir Desember 2005 lalu sudah menyerahkan 1.021 pucuk senjata kepada Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi Pemantau Aceh. Namun menurut pihak AMM hanya 838 pucuk senjata saja yang memenuhi syarat. Sisanya ditolak. Sedangkan TNI hanya mengakui 767 pucuk senjata dari 1.021 yang diserahkan GAM itu. Sesuai dengan perjanjian dalam MoU, GAM seharusnya menyerahkan sebanyak 840 pucuk senjata. Wakil RI di AMM, Bambang Darmono mengatakan, dari jumlah senjata yang diserahkan GAM, pihaknya mengesahkan hanya 767 pucuk senjata, sama seperti yang diakui pihak TNI. “Pemerintah RI hanya menerima 767 pucuk senjata”, katanya. Sementara itu juru bicara GAM, Bakhtiar Abdullah mengatakan, bahwa GAM telah mengakhiri penyerahan senjata kepada AMM. “Saya kira jumlahnya sudah cukup walau memang ada senjata yang ditolak dan dipermasalahkan karena ditolak TNI. Senjata yang dipermasalahkan ini akan diserahkan penyele-
Edisi 02/Tahun II/Januari 2006
saiannya oleh AMM”, katanya. Sedangkan Kepala Polda NAD, Inspektur Jenderal Bachrumsyah Kasman mengatakan, seharusnya tidak ada lagi senjata GAM di lapangan. “Kalau ternyata ada, kami dengan GAM harus bersama-sama mencarinya. Siapa tahu ada pihak ketiga”, tandasnya. Menurut penilaian Peter Feith, Ketua AMM, tingkat kepercayaan dan stabilitas sangat tinggi telah ditunjukkan semua pihak. Kondisi ini yang membuat tugas AMM menjadi lebih terbantu. Setelah penyerahan senjata, sesuai dengan nota kesepahaman Helsinki, sebanyak 5.078 personel TNI non organik kembali ditarik dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Supiadin menambahkan pemulangan pasukan sudah final dilakukan 29 Desember tahun lalu. Sementara itu pasukan organik yang masih ada di Aceh akan membantu pembinaan reintegrasi mantan anggota GAM untuk membangun Aceh pasca bencana tsunami. Tentara GAM Dibubarkan Sementara itu GAM secara resmi membubarkan sayap militernya seiring dengan selesainya proses de-commissioning (pemusnahan senjata). Sebagai gantinya, GAM membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA). Pernyataan resmi pembubaran militer GAM dibacakan juru bicara Tentra Neugra Acheh (TNA), Sofyan Dawood, di Kantor GAM di Banda Aceh. Surat pernyataan itu ditandatangani Panglima GAM Muzakkir Manaf. Dalam pernyataan itu disebutkan, TNA atau pasukan tempur GAM sekarang telah didemobilisasi dan dibubarkan. Pembubaran ini karena militer GAM menyerahkan seluruh persenjataan sesuai dengan nota kesepahaman Helsinki. Menurut Senior Representative GAM di AMM, Irwandi Yusuf, KPA yang dibentuk pasca pembubaran militer GAM dimaksudkan sebagai wadah untuk menampung anggotanya yang tak lagi berprofesi sebagai militer. Irwandi menyatakan, KPA bertugas menjaga masa transisi dari kehidupan militer anggota TNA menjadi sipil penuh. ”Dalam masa transisi, mereka harus terus diawasi karena kami menjaga kedisiplinan mereka agar tidak lari ke arah yang tidak baik. Kami tidak ingin mantan TNA menjadi semacam anak ayam yang kehilangan induk,” katanya. Perpanjangan Masa Tugas AMM Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang tugas Aceh Monitoring Mission (AMM) untuk memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan di bidang ini; memantau proses perubahan undang-undang; serta memutuskan kasus amnesti yang disengketakan. ”Perpanjangan selama tiga bulan ini lebih merupakan kebijakan kita untuk reintegrasi tokoh maupun anggota Gerakan Aceh Mer-
Pemerintah, DPR dan DPD Bahas RUU Pemerintahan Aceh Sementara itu, Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh telah diserahkan kepada DPR RI untuk dibahas. ”RUU ini telah dibahas secara demokratis di Aceh, melibatkan pemerintah daerah, DPRD, tokoh masyarakat, akademisi dan GAM,” jelas Menteri Sekretaris Negara, Yuhsril Ihza Mahendra. ”Seluruh RUU terdiri dari 206 pasal. Kesemuanya merupakan implementasi nota kesepahaman pemerintah dan GAM. Dan pembahasannya harus sudah selesai bulan Maret 2006, ” tambah Yusril yang bersama Mendagri Moh Ma’ruf bertugas mewakili pemerintah membahas RUU tersebut dengan DPR. Aceh dalam pasal RUU tersebut didefinisikan sebagai daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum bersifat istime-
wa dan diberi kewenangan khusus untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang jelas, kebijakan pemerintah mengenai Aceh saat ini selalu diupayakan agar tidak menimbulkan disntergrasi bangsa. “Beberapa istilah yang digunakan dalam MoU tidak selalu lazim dipergunakan dalam sistem perundangan-undangan nasional Indonesia. Namun demikian RUU ini mengacu kepada konstitusi dan UU Pemerintah Daerah,” kata Mensesneg menambahkan. Bagaimanapun juga, proses perumusan RUU tentang Pemerintahan Aceh dan inisiatif GAM untuk membubarkan tentaranya merupakan kemajuan yang sangat luar biasa bagi perdamaian Aceh. Setelah penyerahan senjata yang diikuti dengan penarikan personil TNI dari Aceh, dan kemudian dilanjutkan dengan pembubaran TNA, proses perdamaian Aceh ke depan sudah pasti akan berjalan lebih mulus. Di salah satu sudut gampong (desa) wilayah Pidie NAD Siti Chafsah tersenyum makin lebar. Kini ia dapat lebih lama menyaksikan kembali tawa anak-anak kecil yang bermain dengan bebas di halaman rumahnya. Ia pun lebih yakin akan dapat menikmati indahnya pagi tanpa adanya kekhawatiran akan letusan senjata kembali menghiasi keseharian warga Pidie. ”Kami hanya butuh damai. Kami merindukan Aceh yang bebas dari letusan senjata dan konflik, sehingga masyarakat bisa beraktivitas seperti mereka yang tinggal di daerah lain di Indonesia. Perseteruan hanya akan melahirkan kesengsaraan bagi rakyat. Kami tidak ingin suasana seperti itu terulang lagi,” kata Siti. (seba-t-g)
Aceh Monitoring Mission (AMM) Aceh Monitoring Mission atau AMM adalah sebuah tim yang dibentuk berdasarkan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia tanggal 15 Agustus 2005 dan bertugas mulai tanggal 15 September. AMM bertugas untuk memonitor implementasi dari komitmen yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM sehubungan dengan Memorandum of Understanding yang ditandatangani. AMM adalah misi Uni Eropa yang pertama di Asia dan bentuk kerjasama yang pertama dengan negara-negara ASEAN. Dengan membentuk AMM, Uni Eropa menekankan komitmennya untuk proses perdamaian di Aceh yang hancur dalam 30 tahun terakhir akibat konflik berkepanjangan dan tsunami pada Desember 2004. AMM terdiri dari lima negara ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand ditambah dengan negara-negara tergabung dalam Uni Eropa antara lain Swiss dan Norwegia. Fungsi AMM antara lain: Memonitor demobilisasi GAM dan penghancuran sejata dan amunisinya; Memonitor relokasi dari kekuatan militer non-organik dan pasukan polisi non-organik; Memonitor reintegrasi anggota aktif GAM; Memonitor penegakan situasi hak asasi manusia; Memonitor proses penggantian legislatif; Menengahi kasus-kasus amnesti yang masih diperdebatkan; Menengahi komplain-komplain dan pelanggaranpelanggaran terhadap MoU; Membentuk kerjasama yang baik dengan keduabelah pihak. Misi ini bermarkas di Banda Aceh dengan kantor daerah terdistribusi di 11 daerah di Aceh. Diketuai oleh Mr. Pieter Cornelis Feith, tugas AMM berakhir pada 15 Maret 2006. Namun pada tanggal 14 Januari 2006, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memperpanjang masa tugas AMM selama 3 bulan lagi. Hal ini dilakukan agar AMM turut memantau implementasi nota kesepahaman Helsinki. Aceh Monitoring Mission yang seharusnya berakhir pada 15 Maret 2006 akan terus bertugas hingga 15 Juni 2006.
istimewa
istimewa
deka sebagai bagian masyarakat Indonesia termasuk mereka yang bermukim di Swedia,” ujar Hassan menjelaskan isi pertemuan. Menurut Hassan, pertimbangan pemerintah memperpanjang tugas AMM adalah belum tuntasnya implementasi nota kesepahaman, termasuk belum rampungnya penyusunan Undang-Undang (UU) tentang Pemerintahan Aceh dan proses reintegrasi. Untuk implementasi itu, pemerintah memandang tetap perlunya pihak ketiga, yaitu AMM. ”Selama ini kita menilai tugas dan hasil kerja AMM sebagai pihak ketiga positif,” ujar Hassan. Terkait dengan perkembangan masalah Aceh, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, seusai proses penyerahan senjata dan penarikan pasukan TNI, maka Undang-Undang Pemerintah Aceh akan segera diproses ke DPR. Lalu selanjutnya diadakan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan sekitar April 2006 dan paling lambat Juni.
Pengajian di meunasah-meunasah kembali ramai, menyusul kembalinya suasana damai di Nanggroe Aceh Darussalam pasca penyerahan senjata tahap IV.
4
POLHUKAM
PERTAHANKAN NEGARA KEPULAUAN PERPRES 78/2005 ATUR PENGELOLAAN PULAU KECIL TERLUAR Cukuplah Sipadan dan Ligitan lepas dari bumi pertiwi. Namun pulau-pulau lain jangan sampai mengalami nasib sama seperti Sipadan dan Ligitan. Kisah ini tak boleh terulang untuk masa mendatang.
D
i Indonesia saat ini terdapat sembilan puluh dua pulau kecil terluar dengan sebagian diantaranya berbatasan langsung dengan sepuluh negara tetangga. Selain sebagai batas wilayah NKRI, secara ekonomis, pulau-pulau kecil terluar pada kenyataannya memiliki potensi sumber daya alam serta potensi pariwisata. Tak heran jika beberapa negara tetangga ada yang berupaya memanfaatkan potensi yang ada. Kebanyakan letak pulau-pulau terluar di Indonesia cenderung terisolasi. Hal ini mengakibatkan akses ke pulau-pulau tersebut cukup sulit. Kondisi ini membuat proses pembangunan di pulau-pulau tersebut kurang berjalan cepat. Keberadaan Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar yang ditandatangani pada tanggal 29 Desember 2005, lalu merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap pembangunan di wilayah kepulauan Indonesia terluar. Berdasar prinsip pengelolaan Wawasan Nusantara, berkelanjutan dan berbasis masyarakat, serta mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah; pengelolaan pulau-pulau terluar di Indonesia dilakukan terpadu antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Banyak aspek yang akan menjadi perhatian kebijakan pemerintah, mulai bidang-bidang sumberdaya alam dan lingkungan, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah, pertahanan dan keamanan, serta ekonomi, sosial dan budaya. Mengelola Negara Kepulauan Pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia. Karena itu pemerintah mengupayakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya, hukum, sumberdaya manusia, pertahanan dan keamanan. Saat ini pemerintah telah membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Pulau-pulau Terluar. Tim Koordinasi ini diketuai Menko Polhukam, sedangkan Wakil Ketua I adalah Menteri Kelautan dan Perikanan dan Wakil Ketua II adalah Menteri Dalam Negeri, dengan anggota-anggota beberapa menteri dan menteri negara dan Panglima TNI serta Kepala Polri, dan Kepala Badan Intelejen Negara. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Tim Koordinasi tersebut dibantu oleh Tim Kerja. Tim Kerja ini dikoordinir oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, yang terdiri dari 2 (dua) Tim Kerja yaitu: Tim Kerja I diketuai Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang akan menangani masalah-masalah sumber daya alam, lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, ekonomi, sosial dan budaya . Sementara Tim Kerja II diketuai oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam Negeri, dan akan membidangi masalah-masalah pembinaan wilayah dan pertahanan keamanan. Menko Polhukam Widodo AS mengatakan, tim pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mendapat tugas untuk merencanakan pengelolaan 92 pulau kecil terluar yang berbatasan dengan negara tetangga, Edisi 02/Tahun II/Januari 2006
pelbagai sarana prasarana, pastilah pulaupulau tersebut akan tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegasnya. Program pemberdayaan ini direncanakan menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung tindakan nyata di lapangan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Program pemberdayaan diarahkan agar kawasan di perbatasan tersebut dihuni, memiliki kegiatan ekonomi dan terjaga kelestarian lingkungan serta dijaga oleh aparat pemerintah dan keamanan. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah peluang untuk pemberdayaan pulaupulau tersebut kini lebih terbuka. Setiap pemda untuk merencanakan, mengelola dan
Malaysia, Australia, Timor Leste, Thailand, dan Pilipina. Penugasan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan PulauPulau Kecil Terluar. Perpres itu dengan tegas menugasi 14 menteri untuk melakukan pengelolaan92 Pembangunan menara suar dan mercusuar di seluruh pulau terluar Indonesia merupakan bagian pulau kecil terluar komitmen pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. yang menjadi titik dasar basis kedaulatan RI. mengatakan bahwa adanya peraturan mengendalikan pemanfaatan sumber daya Tim pengelo-laan mempersiapkan hal mengenai wilayah perbatasan sangat penting di daerahnya, termasuk sumberdaya yang dirumuskan secara matrik yaitu untuk mengamankan negara kepulaun kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang pengelolaan keutuhan wilayah dan anggaran Indonesia, sebagai kelanjutan dari perjanjian ada di wilayahnya. yang terkait dengan program sektor yang internasional tentang hukum laut. Menurut Widi, untuk tahun anggaran mempunyai orientasi terhadap pengelolaan “Kita mempunyai banyak masalah 2006 DAK diprioritaskan bagi kepentingan pulau itu dikoordinasikan Departemen menganai perbatasan wilayah di laut Pulau tambatan kapal atau dermaga mini), jalan Perhubungan dengan dana bantuan Jepang Natuna ada masalah dengan Vietnam, desa, listrik tenaga surya, pengadaan air Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, Malaysia, dan Singapura. Oleh karena harus bersih, alat desalinasi dan bak penampungan mengatakan pemerintah akan membangun ada UU Perbatasan yang taat pada UU air, serta sarana telekomunikasi berupa 47 navigasi pelayaran di seluruh pulau terluar hukum internasional yang namanya konvensi telepon satelit. tersebut. Departemen Perhubungan meng- internasional tentang hukum laut,” kata ”Pemerintah berharap DAK ini dapat alokasikan biaya Rp 150 miliar untuk pem- mantan Mensesneg itu . menjembatani keterbatasan dan kendala bangunan menara suar dan mercusuar. Mengenai keamanan pulau-pulau di pembangunan dalam bidang kelautan, pesisir Khusus untuk pulau yang tidak berpenghuni, Wilayah Barat, terutama yang berbatasan dedan pulau-pulau kecil seperti keterbatasan akan diupayakan ada aktivitas yang dapat ngan negara lain, menurut Panglima Armada dan mahalnya alat transportasi, sulitnya mendorong ekonomi di kawasan itu dan Barat, Laksamana Muda Tedjo Edhi P., TNI pembangunan pusat-pusat pelayanan publik, dapat menunjukkan bahwa pulau itu milik telah menempatkan sejumlah personil untuk populasi masyarakat di pulau kecil masih Republik Indonesia eksistensi dan pengamanan. rendah, serta rendahnya kualitas sumber Sementara Menko Polhukam menyatakan ”Seperti yang berbatasan dengan Malaysia daya manusia sebagai akibat keterbatasan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yakni Pulau Berhala, dengan Singapura Pulau dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat,” adalah bagian dari rangkaian kegiatan yang Nipah ditempatkan sejumlah personil. turur Widi. dilakukan secara terpadu untuk meman- Tujuannya untuk eksistensi dan Dana yang dialokasikan dari APBN ini faatkan dan mengembangkan potensi menunjukkan bahwa pulau itu memang diprioritaskan untuk daerah-daerah yang sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari berpenghuni warga Indonesia,” katanya memiliki kemampuan fiskal rendah atau di wilayah RI untuk menjaga keutuhan negara menegaskan. Terkait dengan kekuatan TNI bawah rata-rata. Kemampuan fiskal daerah kepulauan Republik Indonesia. AL, Laksamana Muda Tedjo Edhi menjelaskan didasarkan pada selisih antara realisasi saat ini baru memiliki 114 kapal, padahal Penerimaan Daerah (Pendapatan Asli Perhatian untuk Wilayah Perbatasan idealnya minimal 240-300 kapal. Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Wilayah perbatasan sebagai “halaman Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah) depan negara” merupakan kawasan strategis menambahkan penempatan pasukan di tidak termasuk Sisa Anggaran Lebih (SAL) yang memerlukan perhatian khusus. Menurut perbatasan terutama pulau-pulau luar dan Belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah Prof DR Rochadi Abdulhadi, Sekretaris Utama memang membutuhkan dana yang tidak (Fiskal Netto) pada Anggaran Pendapatan LIPI, minimnya pembangunan infrastruktur, sedikit. ’’Secara praktis tak mungkin kita Belanja Daerah Tahun Anggaran pendidikan dan kesehatan, akses komunikasi tempatkan prajurit atau kapal setiap hari. dari sebelumnya. dan informasi, kecukupan air bersih meru- segi logistik dan manusia perlu biaya besar,’’ Selain berdasarkan kemampuan fiskal pakan masalah yang umum terdapat di wila- kata Juwono. rendah, ada kriteria Khusus seperti Propinsi yah perbatasan. Karena itu pemerintah Padahal pertahanan pulau terluar menjadi Papua dan Propinsi Nanggroe Aceh akanberupaya mengoptimalkan potensi yang penting setelah terjadi beberapa peristiwa Darussalam (NAD), Kawasan Timur ada untuk mengatasi persoalan tersebut. klaim wilayah perbatasan di laut, terutama Indonesia, Daerah berpesisir dan Kepulauan Untuk membangun wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Kasus terakhir Daerah Paska Konflik, Daerah rawan bencana, agar dapat bersaing dengan negara adalah Gosong Niger yang terletak di Daerah Hilir Aliran Sungai Rawan Banjir dan tetangga, pemerintah menyadari perlunya perbatasan Kalimantan Barat dengan Daerah tertinggal atau terpencil. perencanaan dan penanganan yang kompre- Malaysia. Kedua negara berbagi wilayah di Sedangkan kriteria teknis kegiatan DAK hensif serta koordinasi yang baik antar instansi Gosong Niger yang tak berpenghuni. Salah untuk bidang Kelautan dan Perikanan di pusat dan daerah. “Disamping itu, masih satu solusi yang bisa diambil adalah tetapkan oleh Menteri Kelautan dan diperlukan alokasi dana khusus dari menjadikan pulau-pulau sebagai basis Perikanan melalui konsultasi dengan Dewan pemerintah pusat, “ kata Rochadi. pertahanan terpadu yang melibatkan Pertimbangan Otonomi Daerah. Sejumlah Sementara itu Gubernur Lembaga masyarakat, tambah Juwono. kriteria teknis seperti panjang garis pantai Ketahanan Nasional (Lemhanas), Muladi per kabupaten/kota, jumlah masyarakat mengatakan jika suatu pulau sudah Memberdayakan Pemerintah Daerah pesisir, potensi sumber daya kelautan dan dinyatakan sebagai wilayah kedaulatan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan perikanan, Indeks Kemahalan Konstruksi Republik Indonesia maka harus segera Pulau-pulau Kecil, Widi A. Pratikto (IKK), letak georafis pulau, luas pulau (ha), diamankan dengan menempatkan Marinir. mengungkapkan rencana Departemen serta jumlah penduduk menjadi bahan ”Kita harus manfaatkan pulau tersebut dan Kelautan dan Perikanan untuk memberpertimbangan.(t-g) jangan ditinggal, jika ditinggal akan digarap dayakan pulau-pulau terluar dengan berbagai negara lain,” kata Muladi. Lebih lanjut, Muladi kegiatan ekonomi. ”Dengan dilengkapi
5
ireng
KOMUNIKA
ydbs
LAPORAN UTAMA
“... atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita, coba kita bertanya, pada rumput yang bergoyang...” Pertanyaan Ebiet G Ade terasa begitu retoris, menggantung tanpa jawab. Sementara bencana alam masih saja terjadi susulmenyusul di negeri ini. Benarkah alam memang sudah enggan bersahabat dengan manusia, atau justru manusia yang tak peduli pada alam sehingga sang alam menjadi murka? Entahlah. Yang jelas, semua orang tahu bahwa pasti ada sesuatu yang “keliru” dalam siklus ekosistem, sehingga dinamika alam tiba-tiba berubah menjadi petaka yang menakutkan bagi umat manusia.
Kabupaten Banjarnegara yang longsor. “Walau pernah dibantah tidak terjadi penggundulan, tapi keadaan gundul itu benar-benar terjadi di sana,” tegas Hadi Supeno, Wakil Bupati Banjarnegara, dalam paparannya di hadapan Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. Dia menambahkan sangat mungkin terjadi praktik pembalakan liar di kawasan itu. Rahmat Witoelar menyatakan akan menindaklanjuti laporan itu. Indikasi penyimpangan peruntukan lahan itu ditemukan oleh tim yang melakukan pemantauan baik dari udara maupun dari darat. Oleh tim, penemuan itu juga direkam dan disimpan dalam bentuk VCD. Berdasarkan rekaman tersebut, terlihat tanaman jahe dan pisang yang tumbuh di lahan yang cukup luas. Selain itu terdapat pula tumpukan kayu dalam jumlah banyak di puncak mahkota Gunung Sijeruk yang memiliki kemiringan sekitar 60 persen. Sementara itu Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyatakan kemungkinan terjadinya musibah banjir dan longsor disebabkan oleh curah hujan tahun 2006 melebihi ambang batas normal hampir di seluruh kawasan Indonesia. Kondisi ini juga dipicu dengan adanya perubahan iklim global. Perubahan iklim yang dimaksud adalah peningkatan suhu bumi akibat penggundulan hutan dan pencemaran lingkungan yang merusak lapisan ozon. Perubahan iklim ini mengakibatkan kejadian yang keluar dari kebiasaan. Bencana di Jember, misalnya, bukan murni karena penggundulan hutan. Deputi Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas, Isa Karmisa mengatakan, citra dari satelit menampakkan tutupan hutan masih bagus. Banjir diduga karena tingginya debit air di kawasan pegunungan sehingga saluran air yang ada seperti sungai dan telaga yang ada di sekitar kawasan itu tidak mampu menampung debit air.
Menelusuri Penyebab Musibah Penyebab banjir bandang dan tanah longsor di Jember, Jawa Timur, dan Banjarnegara, Jawa Tengah, memang berbeda. Musibah di Banjarnegara lebih karena faktor geologi, sementara Jember akibat menurunnya daya dukung lingkungan dalam menyerap curah hujan yang tinggi. Namun di balik itu Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, Boen Purnama, di Jakarta, beberapa waktu lalu mengatakan, dari seluruh 120,35 juta hektare luas hutan di Indonesia, sekitar 59,7 juta hektare di antaranya harus diperbaiki karena sudah terdegradasi. Bahkan, menurut Boen kawasan hutan yang terdegradasi setiap harinya bisa mencapai tiga sampai lima kali luas lapangan sepak bola. Boen menambahkan, kerusakan hutan yang berdampak pada bencana alam juga menimpa kawasan hutan konservasi. Dari 28 juta hektare luas lahan konservasi, lebih dari 30 persennya saat ini mengalami gangguan. Sementara Pemerintah Kabupaten Banjarnegara menemukan adanya indikasi penyimpangan peruntukan tanaman di lereng bukit Pawinihan. Selain itu ditemukan pula tumpukan kayu bekas gergajian baru di Desa Sijeruk Kecamatan Banjarmangu
mediaindonesia
Secuilpun tak terbayang dalam benak Kusmadi, bahwa desanya akan tertimpa bencana alam yang begitu mengerikan. Namun Warga Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jateng ini harus menghadapi kenyataan, hanya dalam hitungan menit desa yang telah ia tempati selama 45 tahun lebih, nyaris musnah tertimbun tanah longsor dari lereng Pawinihan. Gambaran lembah pegunungan yang asri, tenteram dan damai, seketika lenyap bersama tewasnya istri dan anak yang sangat ia cintai serta puluhan warga yang tewas tertimbun dalam musibah yang terjadi dini-
hari, Rabu awal Januari lalu. “Bagaimana ini bisa terjadi, padahal selama ini di desa kami tak pernah terjadi bencana alam,” ratap Kusmadi seolah-olah tak percaya, seperti disiarkan oleh sebuah televisi swasta, sehari setelah bencana. Mimpi buruk yang menjadi nyata juga dialami Ahmad, warga Kecamatan Panti, Kabupaten Jember. Ia sama sekali tak menduga bahwa banjir bandang akan menewaskan ratusan orang dan menghancurkan ribuan rumah di kecamatannya. Seperti halnya Kusmadi, Ahmad mengaku sangat terpukul sekaligus heran menyaksikan amuk alam yang melanda Kecamatan Panti. “Dulu Panti memang pernah banjir, tapi cuma banjir air. Sekarang ini banjirnya lumpur, sehingga akibatnya benar-benar sangat parah,” tutur Ahmad yang kehilangan tujuh orang anggota keluarga dan rumah tinggalnya rata dengan tanah tersapu air bah di awal tahun baru 2006 itu.
6
Masih Mengancam Berbagai Daerah Amuk sang alam ternyata tidak hanya mengancam Banjarnegara dan Jember. Beberapa daerah lain di Indonesia juga rawan terjadi bencana alam. Di Banjarnegara sendiri, sedikitnya masih ada 79 titik lokasi permukiman penduduk di kawasan kaki Bukit Pawinihan yang terancam tanah longsor. Sementara untuk daerah Jawa Timur, BMG Maritim Tanjung Perak Surabaya mengingatkan warga agar mewaspadai banjir dan tanah longsor khususnya bagi mereka yang bermukim di kawasan perbukitan dan pegunungan seperti di wilayah Banyuwangi, Jember, Probolinggo, Situbondo, Lumajang, Pasuruan, Nganjuk, Madiun, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Blitar dan Pacitan. Gubernur Jatim, H Imam Utomo, juga telah menurunkan tim antisipasi bencana susulan pada 27 daerah di Jatim yang rawan bencana banjir dan longsor. “Ada 27 daerah di Jatim yang rawan banjir dan longsor. Dari jumlah itu ada 15 daerah diantaranya rawan longsor, terutama di kawasan pegunungan,” kata Imam Utomo. Di Jawa Barat, sedikitnya 600 titik ditengarai rawan bencana alam. Juru bicara Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, Slamet Riyadi menyatakan, 600 titik rawan bencana alam ini berada di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi di bawah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten dengan luas hutan seluas 669 ribu hektar. Bencana alam tersebut bisa berupa banjir, tanah longsor dan gempa. Tidak hanya di daerah, seluruh kawasan di Jakarta juga rawan banjir pada musim penghujan selama bulan Februari tahun ini. Selain itu sebagian daerah Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan tidak hanya rawan banjir tapi juga rawan longsor. Pantauan Badan Meterologi dan Geofisika (BMG) Balai Besar Wilayah IV Makassar memperingatkan bahwa tingginya curah hujan pada Januari dan Februari tahun ini Kabupaten Gowa dan Kota Makassar, Sulawesi Selatan, sangat rawan bencana banjir dan tanah longsor. BMG Balai Besar Wilayah IV Makassar, selain mengingatkan kerawanan di dua daerah bertetangga itu, juga mengingatkan masyarakat di daerah lainnya, seperti Kabupaten Maros, Jeneponto, Luwu, Sidrap dan Bulukumba. Hasil pemetaan wilayah rawan menyebutkan bahwa Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat, adalah wilayah yang rawan terjadi tsunami dan efeknya dapat meluas ke daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Meningkatnya wilayah yang rawan banjir ini disebabkan curah hujan di atas batas normal antara 100 – 200 persen dari biasanya. BMG juga mengingatkan penduduk yang tinggal di wilayah pesisir Tanjung Priuk, Cirebon, Surabaya, Teluk Bayur Padang dan Meulaboh mewaspadai air laut pasang yang potensial dapat terjadi. Secara umum, selama ini penyebab utama banjir adalah
Perhatikan Daerah Rawan Bencana Untuk mencegah terjadinya bencana yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar dilakukan penanaman kembali (reboisasi) di lahan yang gundul. "Agar bencana alam tidak terulang lagi, lahan gundul di daerah rawan bencana harus dihutankan lagi," kata presiden saat mengunjungi korban banjir di Jember beberapa waktu lalu. SBY juga menyatakan, pemerintah berkewajiban untuk mempersiapkan diri agar daerah menjadi lebih aman dari kemungkinan terjadinya bencana. Sementara Menteri Kehutanan, MS Kaban, di tempat terpisah menyatakan persoalan musibah longsor dan banjir yang terjadi akhir-akhir ini salah satu penyebabnya memang karena adanya penggundulan hutan. Kendati demikian, Kata Kaban, faktor lain juga turut mempengaruhi. “Pendekatannya juga harus dilihat dari kondisi geologi, cuaca dan perilaku masyarakat yang mengubah kawasan hutan menjadi kebun budidaya dengan pohon yang akarnya tidak kuat mengikat tanah,” tegasnya. Departemen Kehutanan, kata Kaban, akan mengupayakan relokasi penduduk di kawasan rawan banjir dan longsor. "Memang hal ini tidak akan mudah dilakukan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit”, terangnya. Namun demikian, relokasi warga hanya akan membuka peluang terjadinya ancaman baru ketika tidak ada perubahan perilaku dari masyarakat di sekitar lokasi hutan. Seperti dinyatakan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jatim, Soekarwo, “Masyarakat diharapkan ikut peduli terhadap masalah lingkungan dan sosial. Seperti menjaga kelestarian lingkungan sekitar dan secara bersama-sama meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya bencana”. Pemerintah pada dasarnya telah melakukan berbagai kebijakan dan berbagai program penanggulangan untuk mengurangi musibah banjir baik yang sifatnya prevention, intervention maupun recovery. (Baca Box: Kebijakan dan Tindakan Antisipasi dan Penanganan Bencana oleh Pemerintah) Saatnya Tingkatkan Kepedulian terhadap Alam Bencana banjir tidak saja menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen dan meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik bahkan menelan korban jiwa. Kerugian semakin besar apabila terganggunya bahkan terhentinya kegiatan ekonomi dan pemerintahan diperhitungkan secara ekonomi. Partisipasi masyarakat sangat kentara dan dominan terutama pada kegiatan tanggap darurat bahkan yang secara mandiri dan tanpa intervensi pemerintah mereka mampu memberikan bantuan darurat bagi para korban banjir. Semangat kesetiakawanan dalam bermasyarakat lebih mendorong upaya mandiri yang telah kita saksikan untuk membantu korban musibah. Terjadinya serangkaian bencana banjir dalam kurun waktu yang relatif pendek dan selalu terulang setiap tahunnya menuntut keseriusan dan upaya lebih besar untuk mengantisipasinya sehingga kerugian yang ditimbulkannya dapat diminimalkan. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah selama ini untuk mengantisipasi terjadinya musibah tidak akan berarti apapun tanpa perhatian dan partisipasi masyarakat. Selain itu harusnya sudah mulai dikembangkan pemahaman di kalangan masyarakat bahwa pada hakekatnya pengelolaan lingkungan hidup bukan sematamata menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi swasta dan masyarakat juga sangan penting peran sertanya dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat diharapkan tidak mengabaikan kaidah konservasi tanah dan air sehingga memastikan terjadinya keseimbangan ekosistem. Bencana yang melanda berbagai daerah ini merupakan fakta bahwa alam kini memang tidak begitu bersahabat dengan manusia. Satu hal yang sudah pasti, kemarahan alam juga lantaran ulah manusia. Baik yang sengaja merusak hutan untuk kepentingan pribadi maupun karena ketidaktahuan. Semestinya kita semua mulai bermawas diri, tidak hanya sekadar untuk dalih mempertahankan hidup, tapi malah mengorbankan jiwa dan harta benda
yang berarti mengorbankan kehidupan itu sendiri. Karenanya diperlukan kesadaran semua pihak untuk mulai menjaga lingkungan. Kebersamaan tidak hanya cukup dalam menangani korban bencana, namun juga kebersamaan untuk mencegah terjadinya bencana agar tidak terulang lagi di masa datang. Berbagai peristiwa bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan bencana lainnya, sedikit banyak pasti ada peran ulah tangan manusia. Namun bukan hal yang mudah untuk
mengubah perilaku masyarakat yang masih tidak peduli lingkungan. Karena itu, saatnya kita mulai peduli dengan lingkungan di sekitar kita sendiri. Saatnya untuk menyadari bahwa keseimbangan ekosistem meru-pakan "obat" paling mujarab untuk mencegah segala ma-cam jenis bencana alam. Kita semua telah belajar, bahwa ketidakimbangan ekosistem hanya akan membuahkan mala-petaka bagi umat manusia. (fik, gun, berbagai sumber)
Kebijakan dan Tindakan Antisipasi Penanganan Bencana oleh Pemerintah Tahapan Pra Bencana: (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi) (vii) (viii) (ix) (x) (xi) (xii) (xiii) (xiv) (xv)
membuat peta rawan bencana; membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai, tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya; menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai; membuat peta daerah genangan banjir; sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya; membuat sumur resapan; pemantapan Satkorlak PBP; merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan terintegrasi; mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu; membuat penampungan air berteknologi tinggi; menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (SWS) dan memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS; membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah; (xv) melakukan reboisasi kota dan daerah hulu; dan mendirikan posko banjir di wilayah RT/ RW.
Tahapan Ketika Terjadi Bencana: (i) (ii) (iii) (iv)
(vi)
pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca; menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan; menyiapkan sarana penanggulangan termasuk bahan banjiran; mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman sesuai yang telah direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri, Satlak PBP, Satkorlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan karang taruna; memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya serta pelayanan kesehatan darurat kepada korban bencana; dan mendata lokasi dan jumlah korban bencana.
(i) (ii) (iii) (iv)
pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik; memperbaiki prasarana publik yang rusak; pembersihan lingkungan; dan mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan fasilitas penanggulangan banjir.
(v)
Tahapan Pasca Bencana
Sumber: Hasil Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir Kedeputian Bidang Sarana dan Prasarana Direktorat Pengairan dan Irigasi, 2005
antara
perubahan dan eskalasi perilaku manusia dalam mengubah fungsi lingkungan. Di kawasan budidaya telah terjadi perubahan tata ruang secara massive sehingga daya dukung lingkungan menurun drastis. Pesatnya pertumbuhan permukiman dan industri telah mengubah keseimbangan fungsi lingkungan, bahkan kawasan retensi banjir (retarding basin) yang telah disediakan oleh alam berupa situ-situ (telaga) telah juga dihabiskan. Keadaan ini secara signifikan telah menurunkan secara drastis kapasitas penyerapan air oleh tanah dan kemudian diperparah dengan penyediaan sistem drainase permukiman yang kurang memadai sehingga pada curah hujan tertentu sudah menimbulkan genangan air di mana-mana.
7
KOMUNIKA
Kebijakan Perberasan Nasional Berbagai kebijakan telah ditempuh oleh pemerintah untuk menjaga keseimbangan tingkat kebutuhan dan pasokan dalam rangka memadukan kepentingan produsen dan konsumen. Dari perspektif kepentingan petani produsen, kebijakan yang paling populer adalah penetapan harga dasar gabah, pemberlakuan bea masuk impor beras dan penjadwalan impor beras. Sedangkan dari perspektif kepentingan konsumen, adalah melakukan operasi pasar, baik yang bersifat umum (Operasi Pasar Murni) maupun dengan target khusus seperti Program Raskin. Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2003, total jumlah petani diperkirakan berjumlah 24,869 juta KK, sebagian besar adalah petani yang hanya memiliki tanah garapan kurang dari setengah hektar (13,253 juta KK petani gurem) serta buruh tani yang pada musim paceklik menjadi konsumen. Sementara sentra-sentra produksi beras hanya terdapat pada daerah tertentu seperti sebagian besar Jawa dan Sulawesi. Di sisi lain ada pula daerah-daerah yang cenderung mengalami defisit beras seperti di NTT, Papua, Maluku, DKI, Riau, Kepri dan Kalimantan Timur. Dengan demikian Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan stok yang cukup dan merata dengan harga yang terjangkau. Dalam kebijakan perberasan nasional, Pemerintah berpihak kepada kepentingan petani dan konsumen. Untuk melindungi kepentingan petani, Pemerintah menetapkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) yang dimaksudkan agar harga beras tidak jatuh di bawah Rp. 3.550,-/kg (HPP tahun 2005 adalah Rp. 2.790), harga gabah kering panen Rp. 1.730,- (tahun 2005 Rp. 1.330,-) dan gabah kering giling Rp. 2.280,- (tahun 2005 Rp. 1.765,-). Pemerintah memberikan kewenangan pada Badan Urusan Logistik atau Bulog untuk melakukan pembelian beras dan gabah apabila harga berada di bawah HPP tersebut. Pada kondisi dimana harga yang terbentuk di pasar telah melampaui batas harga yang dianggap terjangkau oleh masyarakat, maka Bulog harus melakukan operasi pasar. Selain kebijakan harga di atas, keberpihakan Pemerintah terhadap petani di tahun 2006 diwujudkan juga dalam pemberian subsidi pupuk yang ditingkatkan dari Rp 2,53 triliun (tahun 2005) menjadi Rp 3,00 triliun (tahun 2006), dan subsidi benih dari Rp 106 miliar menjadi Rp 115 miliar, menambah kredit ketahanan pangan (KKP) dari plafon kredit Rp 2,4 triliun menjadi Rp 3 triliun, dan melakukan perbaikan sarana prasarana di pedesaan. Agar harga terjangkau oleh konsumen (termasuk petani gurem, PNS Golongan I dan II, buruh tani, dan keluarga miskin), instrumen yang digunakan Pemerintah adalah program RASKIN dan pengendalian harga. Bulog bertugas menstabilkan harga melalui operasi pasar murni, yakni dengan menambah pasokan beras ke pasar dengan harga tertentu. Impor Demi Ketahanan Pangan Kemampuan Bulog melakukan stabilisasi harga bergantung pada persediaan (stok) yang jumlahnya perlu terus dijaga pada tingkat aman, yakni tidak lebih rendah dari 1 juta ton. Jumlah ini diperlukan tidak saja untuk keperluan di atas tetapi juga untuk keadaan darurat, bencana alam dan penyaluran beras untuk golongan TNI, Polri dan Lembaga Pemasyarakatan. Selama ini, pengadaan beras untuk persediaan (stok) diutamakan dari dalam negeri namun pada kondisi tertentu pengadaan dilakukan dari luar negeri, melalui mekanisme impor beras. Edisi 02/Tahun II/Januari 2006
Kebijakan impor tentunya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian agar tidak merugikan petani. Untuk tahun ini impor beras sebanyak 110 ribu ton hanya dilakukan sampai dengan 31 Januari 2006. Hal ini dilakukan sebelum dimulainya panen raya pada bulan Pebruari 2006. Kebijakan impor tersebut dimaksudkan untuk mengisi stok/persediaan minimal Bulog, dan tidak
tujuan (di luar pulau Jawa, khususnya di daerah minus beras), dan dilakukan verifikasi penelusuran teknis (Preshipment InspectionPSI) di pelabuhan muat. Pemerintah juga telah mengambil langkah untuk memastikan terlaksananya koordinasi antar instansi terkait termasuk Polri dan TNI. Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, berjanji secara ketat memantau masuk-
th
S
ebagai bahan pangan pokok bagi rakyat Indonesia yang diproduksi oleh jutaan petani padi, beras merupakan salah satu komoditas yang dikonsumsi oleh lebih dari 90 persen masyarakat Indonesia. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk selalu cepat dan tanggap dalam menangani masalah perberasan nasional. Seluruh kebijakan pemerintah terkait dengan masalah perberasan ditujukan untuk menyediakan kecukupan beras bagi ketahanan pangan.
PEREKONOMIAN
Bijak Menangani Kebutuhan Pangan Sore itu Bu Ani, warga Kota Medan mengeluh pada suaminya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Harga beras mulai naik, sementara pendapatan suaminya tak kunjung bertambah. Harga beras di Kota Medan, Sumatera Utara pada awal Januari lalu meningkat tajam. Kenaikan harga beras terjadi hampir setiap hari. Kenaikan berkisar antara Rp 100 hingga Rp 200 per kilogram. Dalam sepekan terakhir, harga beras naik antara Rp 500 hingga Rp 1.000 per kilogram. Belum lagi di televisi ia menyaksikan demo untuk menolak impor beras. Pikiran lugu Bu Ani menduga kenaikan harga beras akibat adanya demo terhadap rencana impor beras. Bu Ani mungkin bukan satu-satunya orang yang mengalami kisah ini. Di pelbagai pelosok negeri tidak sedikit rakyat kecil yang menjalani keseharian seperti Bu Ani dan keluarganya. akan dijual ke pasar bebas, sehingga tidak akan mendistorsi harga beras di pasaran. Dengan demikian, kebijakan impor ditujukan guna melindungi konsumen dan tidak menyebabkan menurunnya kesejahteraan petani karena Bulog berkewajiban menjaga agar harga gabah maupun beras tidak jatuh di bawah HPP. Keputusan dan persiapan impor beras telah memperhatikan prosedur dan saran Komisi VI DPR-RI dalam Raker dengan Menteri Perdagangan, bahwa impor beras hanya dilakukan apabila betul-betul dibutuhkan dan setelah mendapat rekomendasi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang kemudian dibahas serta diputuskan dalam sidang Kabinet. Untuk mengamankan kebijakan impor beras maka izin dikeluarkan dengan persyaratan yang sangat ketat, meliputi mutu dan volume yang dapat diimpor, pelabuhan
nya 110 ribu ton beras impor. Sejumlah instansi yang terkait dengan kedatangan beras impor dari Vietnam pada akhir Januari nanti juga akan dilibatkan, masing-masing mempunyai tanggung jawab. Pihaknya telah membahas tugas dan wewenang masing-masing instansi terkait. Di antaranya pemeriksaan awal kedatangan hingga masuk ke gudang-gudang milik Badan Urusan Logistik. Dengan demikian, dapat dipastikan jumlah beras dari Vietnam tidak dapat ditumpangi masuknya beras impor ilegal. Ketahanan Pangan Tanggungjawab Bersama Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar —
mencapai sekitar 220 juta jiwa—dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, serta letak geografis dan potensi lahan yang sangat heterogen, maka upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan mustahil jika hanya dibebankan di pundak pemerintah semata. Pemerintah baik pusat maupun daerah sampai ditingkat desa harus bersama-sama dengan masyarakat harus saling bahu membahu bersinergi. Soalnya, ketahanan pangan tidak hanya menyangkut ketersediaan pangan semata tetapi juga terkait dengan distribusi dan pola makan/konsumsi masyarakat. Dalam soal akses atau jalur distribusi, kondisi geografi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan puluhan ribu desa dimana jalur transportasi banyak yang belum memadai ditambah faktor iklim, sering membuat distribusi beras menjadi sulit. Dari sektor produksi, Ketahanan Pangan sebenarnya dapat dilakukan melalui Peningkatan produksi dengan cara: ekstensifikasi atau perluasan areal tanam, dengan arah pengembangan di Luar Jawa; rehabilitasi sarana irigasi; dan peningkatan indeks pertanaman melalui efisiensi pemanfaatan air. Selain itu, peningkatan produksi pangan juga dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas atau intensifikasi seperti penggunaan benih unggul, pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu, dan efisiensi pemanfaatan air. Kegiatan lain yang juga dapat menyumbang pada penyediaan pasokan dari domestik adalah pengurangan kehilangan hasil saat panen dan pascapanen melalui introduksi alat mesin pertanian, termasuk teknologi penggilingan padi. Di sisi lain Ketahanan Pangan dapat pula diupayakan melalui diversifikasi pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Diversifikasi produksi dapat dilakukan melalui: pengembangan pangan karbohidrat khas Nusantara spesifik lokasi seperti sukun, talas, garut, sagu, jagung dan lain-lain; pengembangan produk (product development) melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas nusantara (image product); dan peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein (ikan, ternak) dan zat gizi mikro (hortikultura). Diversifikasi konsumsi pangan terkait dengan upaya mengubah selera dan kebiasaan makan. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan, sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi, berimbang. Dengan mengkonsumsi pangan yang lebih beragam, bergizi, dan dengan kandungan nutrisi yang berimbang, kualitas kesehatan akan tetap baik, sementara konsumsi beras akan menurun. Revitalisasi Pertanian Indonesia pernah berhasil menjadi negara yang berswasembada beras. Kala itu, begitu banyak negara asing mengundang para pakar kita untuk memberi penyuluhan di negaranya masing-masing. Namun, keberhasilan itu pada titik tertentu berubah menjadi antiklimaks, lantaran beberapa tahun kemudian, Indonesia menjadi pengimpor beras. Puncaknya terjadi ketika tahun 1998, ketika pemerintah terpaksa harus mendatangkan beras dari Jepang dan Thailand, karena rendahnya produksi gabah petani. Berkaca dari pengalaman yang ada, pemerintah berupaya keras untuk merevitalisasi sektor Pertanian bersama-sama dengan sektor Perikanan dan Kehutanan. Tertuang dalam konsep Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), kebijakan pemerintah tidak hanya ditujukan untuk swasembada beras menuju ketahanan pangan yang berkelanjutan semata, tapi lebih dari itu program ini juga merupakan salah satu dari “Triple Track Strategy” Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. RPPK merupakan tekad dan komitmen pemerintah untuk mendorong dan memajukan pertanian, perikanan, dan kehutanan, sekaligus suatu kebijakan dan strategi umum yang komprehensif, memadukan pandangan jangka panjang dan kepentingan jangka pendek, yang diharapkan dapat menjadi pemandu untuk menerapkan berbagai kebijakan operasional lintas departemen yang terkoordinasi. (S-ring, t-g)
8
KESRA
KOMUNIKA
AIDS, Wabah yang "Terlupakan"
12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901 12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901
Indonesia Masuki Tahap Awal Epidemi
Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS di dunia mulai terlihat sejak akhir abad ke 20. Badan PBB untuk penanganan AIDS (UNAIDS) melaporkan bahwa tidak satupun negara yang bebas dari kasus HIV/AIDS saat ini. Negara kecil miskin seperti Uganda di Afrika, misalnya, pernah tercatat sebagai negara dengan jumlah penderita HIV/AIDS sangat besar, diatas angka 30 persen dari seluruh jumlah penduduknya. Memang dalam masalah penyebaran HIV/ AIDS tidak ada beda antara negara besar dan negara kecil. Keduanya berpeluang sama mengalami kasus yang menjangkiti hampir setiap keluarga tanpa pandang bulu. Orang dewasa, anak-anak, bahkan bayi sekalipun, diserang tanpa ampun. Termasuk Indonesia, negara yang cukup ketat dalam penghargaan moralitas, norma sosial dan agama serta melarang keras kebebasan seksual, minuman keras, narkoba juga tak luput dari serangan virus yang belum ada obatnya tersebut. Indonesia saat ini berada dalam tahap awal epidemi sindrom penurunan kekebalan tubuh atau yang dikenal dengan AIDS. Hal ini didasarkan pada jumlah kasus HIV/AIDS yang dicatat berbagai institusi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-4 dalam hal kecepatan penambahan kasus infeksi HIV. Hal ini didasarkan pada data Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, jumlah kasus HIV/ AIDS Tahun 2001 tercatat 2.575 kasus, akhir Maret 2003 mencapai 3.614 kasus. Sedangkan laporan triwulan bulan September 2005, kasus HIV/AIDS mencapai 8.251 kasus. Daerah yang paling banyak kasusnya adalah DKI Jakarta dengan jumlah kumulatif 1.837 kasus. Agenda Mendesak: Pemberantasan HIV/AIDS Secara Terpadu Akhir tahun lalu Pemerintah Indonesia mulai mengadakan tindak lanjut komitmen Millenium Development Goals (MDGs). Indonesia menggelar konferensi nasional untuk membulatkan tekad mencapai sasaran dan target-target MDGs, salah satu sasaran pokoknya adalah pemberantasan HIV/AIDS. Konferensi Nasional merekomendasikan pelaksanaan Tri Program Aksi sebagai langkah terpadu dalam penanganan penyebaran HIV/AIDS. Pertama, integrasi
bersama dengan program kesehatan reproduksi berupa program konseling untuk mengurangi risiko hubungan seksual, promosi penggunaan kondom, konseling tentang HIV, tes darah dan lainnya. Kedua, integrasi pelayanan KB dan pelayanan untuk penderita HIV seperti pelayanan obat dan perhatian terhadap penderita HIV/AIDS. Dan ketiga, pelayanan KB dan integrasi pelayanan keluarga yang hidup dengan penderita HIV/AIDS. Pendekatan yang sama telah digunakan oleh negara-negara lain seperti pendekatan praktis yang telah dikembangkan oleh Pemerintah India bekerja sama dengan Partners in Population and Development. Mereka mengundang Menteri Kesehatan dan ahli-ahli gerakan masyarakat dari berbagai negara yang berpengalaman. Pemimpin gerakan KB dari Indonesia, yang dianggap berhasil, diberi kehormatan untuk menyampaikan pidato perdana sebagai key-note speaker, yang kemudian menjadi salah satu pedoman untuk menyusun “Deklarasi Agra”. Pemerintah India juga memilih fokus yang tajam dengan membatasi diri pada topik-topik tertentu dari sasaran MDGs yang sangat luas. Salah satu sasaran yang mendapat perhatian utama adalah bagaimana harus bersikap waspada dalam menghadapi dan mengatasi serangan HIV/ AIDS yang sangat ganas. Pengalaman lapangan dari Uganda, yang pernah mempunyai jumlah kasus HIV/AIDS sekitar 30 persen, juga membuktikan keberhasilan keterpaduan program. Menyadari hebatnya serangan HIV/AIDS, pemerintah dan rakyat Uganda mengadakan gerakan bersama yang luar biasa. Saat ini para pejabat dan pimpinan masyarakat di Uganda belum merasa puas dengan hasil-hasil yang telah dicapai, kendati prevalensi HIV telah menurun dari sekitar 30 persen di tahun 1988 menjadi 18 persen pada tahun 1995, dan 6,2 persen pada tahun 2000. Pasalnya angka kelahiran di Uganda masih sekitar 6,9 anak setiap wanita subur, angka kematian ibu hamil dan melahirkan masih sekitar 505 per 100.000 kelahiran, dan angka kematian bayi
yudi
Menyelinap perlahan, berkembang tanpa diketahui, dan akhirnya tanpa sadar telah menular ke seluruh dunia menjadi wabah yang mengerikan. Tak tanggung-tanggung, 40 juta manusia telah terjangkit penyakit bernama HIV/ AIDS ini. Semestinya angka itu menggugah kesadaran dan kewaspadaan dunia. Namun nyatanya, bahaya HIV/AIDS selalu "terlupakan", dan baru diingat-ingat pada saat Hari AIDS Sedunia diperingati.
Aktivis menggelar spanduk waspada HIV-AIDS di Bundaran Hotel Indonesia. masih sekitar 88 per 1000 penduduk. Negara tetangga Thailand, juga dapat dijadikan contoh yang menarik. Pada tahun 2004 secara kumulatif jumlah kasus HIV/ AIDS, dewasa dan anak-anak telah mencapai lebih dari 1.074.155 orang, sekitar 501.000 telah meninggal dunia dan lebih dari 572.500 hidup bersama penderita HIV/AIDS. Pada akhir tahun itu juga ada kasus baru HIV sekitar 19.500 orang dan kasus baru AIDS mencapai sekitar 49.500 orang dengan jumlah kasus anak yatim piatu yang ditinggal orang tua karena AIDS sekitar 34.372 anak. Kasus Thailand sungguh sangat menarik. Kalau semula orang beranggapan bahwa HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks yang aneh-aneh dan hubungan homoseksual, belakangan ini ternyata telah berubah bentuk penularannya. Tidak kurang dari 84 persen HIV/AIDS ditularkan melalui hubungan seksual biasa, hampir 5 persen karena penggunaan jarum suntik narkoba, dan sisanya karena diturunkan oleh orang tua—ibu kepada bayinya— dan sebab lainnya. Seperti juga Uganda, pemerintah dan rakyat Thailand mengadakan program berupa kegiatan terintegrasi. Program KB, seperti juga program KB di Indonesia yang dinilai sangat berhasil, dijadikan salah satu sarana yang diintegrasikan. Program ini dikembangkan menjadi program terpadu dengan memasukkan program kesehatan reproduksi, termasuk program penanggulangan HIV/AIDS kedalamnya. Hasilnya sangat menakjubkan. Jumlah ibu hamil yang mengikuti tes darah mencapai sekitar 50 persen pada tahun 1996, 75 persen pada tahun 1997, dan sekitar 95 persen pada tahun 2000.
yudi
Happenning art dipertunjukkan aktivis anti HIV-AIDS untuk mengingatkan masyarakat terhadap bahaya HIVAIDS yang saat ini telah menjadi epidemi (wabah) yang melanda seluruh negara di muka bumi. Edisi 02/Tahun II/Januari 2006
Meningkatkan Peran Masyarakat Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat sampai akhir tahun 2005 di Indonesia terdapat pengguna narkotika dengan jarum suntik sejumlah 572.000 orang, 60 persen di antaranya (sekitar 340.000 orang) diperkirakan HIV positif. Jumlah itu belum termasuk kasus HIV yang ditularkan melalui hubungan seks dan infeksi vertikal dari ibu ke anak. Profesor dr Herdiman Theodorus Pohan SpPD-KPTI, Ketua Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, menyatakan bahwa di Indonesia sampai September 2005, penularan melalui jarum suntik di antara pengguna narkotika menempati peringkat pertama dengan jumlah 66,4 persen, diikuti penularan melalui heteroseksual sebanyak 46,7 persen. Tantangan terbesar dalam wabah HIV/ AIDS menurut Profesor dr Herdiman Theodorus Pohan SpPD-KPTI, adalah sulitnya mendeteksi secara dini kasus baru HIV/AIDS. Selain itu, ketersediaan obat dan biaya juga menjadi kendala. Oleh karena itu, program komprehensif untuk pengguna narkotika perlu mendapat perhatian khusus dan harus segera dilaksanakan berbagai program untuk mencegah infeksi HIV. Tentunya kondisi ini perlu menjadi perhatian masyarakat luas. Sebab di Indonesia kebanyakan penularan HIV/AIDS lebih banyak melalui jarum suntik narkoba. Karenanya pemerintah telah mencanangkan kampanye anti penyalahgunaan narkoba sebagai salah satu bagian kampanye menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Pelajaran berharga dari negara-negara lain patut dijadikan strategi contoh yang diharapkan tepat untuk menangani masalah-masalah kesehatan lain yang menjadi sasaran MDGs. Masyarakat diajak waspada dan selalu terus berpartisipasi dalam setiap program kesehatan pemerintah. Berbagai program terintegrasi yang telah dirancang, atau program dan kegiatan penerangan dan informasi serta konsultasi intensif tentang hubungan seksual yang aman, cara hidup bersama penderita HIV/AIDS dan penghargaan terhadap penderita agar tidak merasa dikucilkan; pada akhirnya berpulang kepada masyarakat, apakah mau dan ikut sadar dan wasapada terhadap penularan wabah HIV/AIDS. Tanpa partisipasi masyarakat, semua program penanggulangan HIV-AIDS tidak akan berhasil. Partisipasi aktif masyarakat diharapkan bisa menumbuhkan semangat antisipasi berkelanjutan (sustainable anticipation) terhadap penyebaran HIV/AIDS. Bukan antisipasi temporal yang hanya muncul setahun sekali, pada saat hari AIDS sedunia diperingati, dan “lupa” lagi di lain hari. Sebab tanpa antisipasi terus-menerus yang diikuti dengan tindakan pencegahan yang ketat dan menyeluruh, mustahil wabah HIV-AIDS dapat dikendalikan. (azw-t-g)
9
KOMUNIKA
Keunggulan Komparatif
Indonesia sebagai negara bahari memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang begitu melimpah. Laut negeri ini (meski pernah menyusahkan sebagian warganya karena tsunami) ternyata punya kekayaan alam yang luar biasa besar, baik jumlah (kuantitas) maupun keanekaragaman (diversitas)-nya. Tak kepalang tanggung, untuk hasil ikan dan bioteknologi saja diperkirakan bisa dieksplorasi sebesar Rp820 triliun per-tahun. Karena itu tak berlebihan jika produk kekayaan bahari ini disyukuri sebagai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif Indonesia di pasar internasional. Untuk ikan saja, Indonesia sebenarnya bisa menangkap ikan sebanyak 5,4 juta ton per tahun, namun yang baru bisa digarap hanya 4,4 juta ton. Sementara untuk potensi budidaya laut secara kes-luruhan termasuk ikan, udang, moluska (kerang-kerangan) dan rumput laut, kita punya kekayaan yang bisa dimanfaatkan sebanyak 46,73 ton per tahun, namun hingga saat ini baru bisa digarap sekitar 0,7 juta ton. Artinya potensi sumberdaya hayati negeri ini baru tergarap dibawah satu persen. Akibatnya, kontribusi sektor ini terhadap penerimaan negara masih sangat kecil. Sektor perikanan hanya menyumbang 2,9 persen terhadap PDB Nasional ( tahun 2002). Sementara Jepang, Cina, Korea Selatan yang notabene luas lautnya (panjang pantai) kurang dari separuh luas laut kita memiliki kontribusi pada PDBnya 3 kali lipat lebih besar. Bisa dibayangkan, betapa sejahteranya bangsa ini jika keunggulan komparatif dan kompetitif tersebut bisa digarap sepenuhnya. Harapan dan optimisme tersebut terungkap dalam Forum Dialog Publik Tentang Pemberdayaan Potensi Kelautan dan Industri Perikanan Berbasis Kerakyatan, di Manado beberapa waktu lampu. Staf ahli Bidang Ekologi dan Sumberdaya Laut Departemen Kelautan dan Perikanan, Rizald Max Rompas, yang menjadi salah satu
Edisi 02/Tahun II/Januari 2006
pembicara pada forum tersebut melihat peluang pengembangan usaha perikanan dan kelautan Indonesia sangat berprospek, baik dilihat dari sisi kemampuan pengadaan (supply side) maupun dari sisi permintaan (demand side). Menurut Rompas, dari sebanyak 14 fishing ground perikanan di dunia, sembilan diantaranya telah over fishing sedangkan lima lagi--termasuk perairan laut Indonesia-masih dapat dikembangkan. Sementara statistik menunjukkan permintaan dunia akan ikan semakin tahun semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk dan kesadaran akan gizi dan kesehatan. Lebih dari itu, produk hasil laut kini banyak diolah menjadi suplemen natural product seperti Omega-3, polisakarida, squalence dan kosmetik. Jadi permintaan pasar akan hasil laut tak perlu diragukan. Tak terpungkiri, pembangunan sektor kelautan dan perikanan memiliki dampak bagi sektor lain, baik dihulu maupun di hilir. Komoditas udang misalnya memiliki koefisien dampak ke belakang sebesar 1,5 dan dampak ke depan sebesar 1,22. Artinya investasi pada komoditas ini akan memberikan dampak pada sektor hulu sebesar 1,5 kali nilai investasi dan pada sektor hilir sebesar 1,22 kali. Komoditas lain yang memiliki koefisien dampak cukup besar adalah jasa perdagangan hasil laut, penambangan, jasa angkutan laut dan hasil ikan laut. Karena bisnis hasil laut berspektrum luas yang mencakup banyak aktivitas dan melibatkan banyak orang maka pemberdayaan sek-
tor kelautan seyogyanya harus diupayakan bertumbuh-kembang dengan cepat. Untuk itu dibutuhkan investasi. Investor akan datang jika segala aspek yang meliputi kelembagaan, sosial politik, perekonomian daerah, ketenagakerjaan, produktivitas, serta infrastruktur fisik telah dipersiapkan dengan baik. Tidak hanya itu, investasi di sektor kelautan juga sangat rentan terhadap isuisu lingkungan, HAM, good governance, food security, food safety, bioterorisme, blok perdagangan dan perdagangan bebas. Lebih jauh Rompas berkisah, 50 tahun terakhir bisnis perikanan berkembang lambat dibanding sektor lain. Tahun-tahun awal setelah kemerdekaan hingga tahun 1980-an, perikanan digerakkan BUMN. Partisipasi swasta rendah, meskipun PMA telah dibuka. Apalagi dengan dihapuskan trawl pada tahun 1980, seolah-olah terjadi set-back dalam pembangunan perikanan. Soalnya, trawl merupakan alat tangkap ikan yang begitu efektif meski tidak ramah lingkungan. Baru pada akhir 1980-an penyesuaian terhadap penghapusan trawl membentuk keseimbangan baru dan sekaligus memicu perkembangan selanjutnya. Alat tangkap purse seine dan longline berkembang, begitupun dengan teknologi perkapalan, pasca panen, yang selanjutnya membuka pasar ekspor secara lebih luas dan melonjaknya investasi asing. Dari Tradisional ke Profesional Sementara Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Kawilarang, pada kesempatan itu mengatakan untuk mengoptimalkan hasil tangkapan ikan maka usaha perikanan tangkap yang menjadi tumpuan harapan sebagian besar nelayan harus dikembangkan dari usaha yang tradisional menjadi usaha profesional. Jika tidak maka hasil laut Indonesia akan dimanfaatkan oleh negara lain yang memiliki armada penangkapan ikan yang lengkap dan canggih. Lebih jauh Kawilarang menjelaskan, pemasangan rumpon perairan laut dalam merupakan masalah serius di laut Sulawesi antara Filifina dan Indonesia. Banyak sekali rumpon laut dalam yang berada di perairan Indonesia itu dikuasai nelayan Filipina. "Masalah ini belum diatur. Unregulated," katanya. Menurut Kawilarang jika masalah itu tak segera diselesaikan maka akan berpengaruh terhadap populasi berbagai jenis ikan seperti tuna, cakalang dan dego.
"Dengan tidak adanya aturan memasang rumpon laut dalam, terjadi pengaruh seperti curtain effect sehingga migrasi ikan-ikan pelagis tersebut akan terhalang dengan adanya pemasangan rumpon yang tidak teratur," jelasnya. Selain itu, dengan adanya rumpon maka ikan-ikan tersebut akan membentuk schooling (berkumpul-red) yang kemudian ditangkap pemilik rumpon yakni nelayan Filipina dengan armada yang canggih. "Akibatnya, nelayan Indonesia tinggal mendapat sisanya. Padahal secara geografis rumpon itu ada di wilayah kita," urainya. Penangkapan ikan secara illegal, menurut Kawilarang, tidak hanya terbatas pada masuknya nelayan asing ke wilayah Indonesia atau sebaliknya. Penangkapan ikan juga masuk illegal jika cara tangkap tidak mengikuti aturan, seperti menggunakan mata jaring yang terlalu kecil, penangkapan dengan racun atau bahan peledak, serta pengambilan sumberdaya laut yang dilindungi. "Cara-cara ilegal seperti itu masih marak dilakukan nelayan kita," tambahnya. Selain kondisi diatas, berbagai kendala lain seperti rendahnya kemampuan nelayan baik skill maupun ekonomi, juga sangat mempengaruhi upaya menggenjot produktivitas sektor ini jadi optimal. "Karena itu, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM), peningkatan kemampuan petani/nelayan dan pelaku pertanian serta perikanan lainnya diarahkan pada revitalisasi penyuluhan dan pendampingan petani/nelayan serta meningkatkan kemampuan SDM," kata staf ahli Menteri Kominfo, Freddy H Tulung, yang juga hadir pada acara tersebut. Tampaknya, jalan panjang berliku penuh duri dan onak masih ada di hadapan kita untuk menciptaakan kesejahteraan rakyat dari sektor kelautan dan perikanan ini. Tapi paling tidak, melalui forum tersebut masyarakat disadarkan ada kekayaan luar biasa yang harus dijaga dan diolah dari keindahan laut negeri ini. Karena itu kita harus belajar dan bekerja keras. Pemilik modal ikutlah ambil bagian! Pemerintah harus berperan mencari solusi atas masalah yang dihadapi. "Untuk itulah forum ini dilaksanakan, agar pemerintah mendapat masukan dari berbagai pihak dalam merumuskan kebijakan," kata Kepala BIP Depkominfo, Suprawoto. (S-ring).
istimewa
istimewa
Menggarap
PEREKONOMIAN
10
KOMUNIKA
LINTAS LEMBAGA
SEGERA TERBIT, PANDUAN PELAYANAN PUBLIK
KEMENPERA BANGUN 250.000 RUMAH BARU Kementerian Perumahan Rakyat pada 2006 mentargetkan pembangunan 250.000 unit rumah baru layak huni dari perumahan formal, sedangkan untuk rumah susun sewa akan dibangun 31 twin blok tersebar di seluruh Indonesia. Rumah susun sewa (Rusunawa) ini lebih dikhususkan bagi para pekerja dan mahasiswa di kota-kota yang ada industrinya. “Sementara untuk perumahan swadaya diharapkan 630.000 rumah akan mendapatkan kredit mikro, terdiri atas 130.000 rumah baru dan 500.000 untuk perbaikan kualitas rumah yang ada,” kata Sekretaris Menteri Negara Perumahan Rakyat, Noer Soetrisno, di kantornya di Jakarta, pertengahan Januari lalu. Noer Soetrisno mengatakan, untuk mempercepat pembangunan perumahan tersebut, pihaknya telah memberikan arah yang jelas dengan dikeluarkannya Peraturan Menpera No. 5 Tahun 2005 pada 29 Desember 2005 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan melalui KPR/KPRS Bersubsidi yang mulai berlaku 1 Januari 2006. Dalam Permen tersebut salah satunya diatur mengenai kenaikan subsidi yang semula Rp2 juta untuk kelompok sasaran I (pendapatan antara Rp1,4 juta – Rp2 juta), Rp3 juta untuk kelompok sasaran II (pendapatan antara Rp800.000 – Rp1,4 juta), dan Rp5 juta untuk kelompok sasaran III (pendapatan kurang dari Rp800.000) menjadi masing-masing Rp5 juta, Rp7 juta dan Rp9 juta. Untuk tahap pertama telah dialokasikan dana subsidi sebesar Rp63 miliar.(T. mul/Toeb)
DEKLARASI ASPERI DI JAKARTA Acara Temu Nasional Ajudan, Aspri dan Sekpri se Indonesia di Hotel Haston, Jakarta Pertengahan Januari lalu menghasilkan deklarasi terbentuknya ASPERI (Asosiasi Ajudan, Sekretaris Pribadi dan Asisten Pribadi Seluruh Indonesia). Tujuan utama pembentukan ASPERI adalah sebagai wahana pengembangan wawasan dan tukar pikiran antar anggota dalam pelaksanaan tugas menjadi lini terdepan pelayanan bagi pimpinan khususnya gubernur, walikota dan bupati. “Lewat Asperi diharapkan dapat memperjuangkan kepentingan para anggotanya, sebab selama ini kepentingan ajudan, sekpri dan aspri terabaikan baik dalam hal kesejahteraan maupun peningkatan karier,” jelas Mahmudi, Koordinator Humas Profesi. Jumlah anggota ASPERI di seluruh Indonesia tercatat 5.000 orang dan memiliki cabang di 32 propinsi. Pertemuan Nasional yang digelar kali ini menurut Kordinator Humas Profesi, Mahmudi, lebih mefokuskan pada pembentukan assosiasinya, baru kemudian merumuskan AD/ART serta membentuk presidium termasuk menyiapkan munas pertama. (T. EYV/id)
INVESTASI DIHARAPKAN CIPTAKAN LAPANGAN KERJA Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengharapkan investasi yang masuk ke Indonesia dapat menciptakan lapangan kerja baru, seiring dengan program departemennya yang terus berupaya menciptakan lapangan kerja baru. “Investasi yang diharapkan masuk ke Indonesia saat ini adalah investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja, antara lain seperti pembangunan pabrik-pabrik dan sektor lain lain yang bersifat padat karya,” kata Menakertrans kepada pers di Jakarta, Jumat. Untuk itu, Depnakertrans dan jajarannya siap memberi masukan yang diperlukan kepada pengusaha, namun meski demikian Menakertrans menghimbau agar pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi pilihan terakhir bagi pengusaha dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menurutnya, masih banyak cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan persoalan antara pekerja/buruh dengan pengusaha sebelum pengusaha melakukan PHK, antara lain dengan memperpendek jam kerja, kerja secara bergantian dan memotong gaji/upah melalui kesepakatan dengan pekerja/buruh, dan sejumlah cara lain yang bisa dirundingkan dengan pekerja. Dalam kesempatan lain, Dirjen Penyelesaian dan Perselisihan Buruh Depnakertrans Drs. Gandi Sugandi mengatakan, walaupun akhir-akhir ini banyak buruh yang berunjuk rasa menuntut UMK (Upah Mininum Kota) namun diharapakan investasi tetap masuk ke Indonesia seperti pembangunan pabrik-pabrik baru di sejumlah lokasi di Indonesia. Walaupun angka investasi yang masuk ke Indonesia masih relatif rendah, kata Dirjen, sejumlah pihak dari kalangan pengusaha memperkirakan PHK masih akan terjadi dalam tahun 2006 ini. Menurut Dirjen Gandi Sugandi, berdasarkan data Depnakertrans, jumlah pekerja formal di Indonesia sampai saat ini tercatat sekitar 29 juta orang dengan rincian 26 juta sebagai pekerja/buruh aktif dan selebihnya adalah para pekerja pasif. Untuk menghadapi kemungkinan terburuk, kata Dirjen, Depnakertrans siap memfasilitasi pekerja/buruh dengan para pengusaha untuk mencarikan solusi seiring dengan maraknya buruh yang berunjuk rasa di sejumlah daerah akhir-akhir ini. (T.MD/Toeb)
MENKO KESRA DUKUNG PROGRAM DNIKS Menko Kesra Aburizal Bakrie sepakat untuk bekerja sama lebih erat antara pemerintah dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) dengan lembaga-lembaga anggotanya yang tersebar di seluruh Indonesia. Kerjasama itu akan menjadi wahana yang Edisi 02/Tahun II/Januari 2006
istimewa
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) akan menerbitkan buku dan piringan bergambar (VCD) tentang panduan pelayanan publik. Buku dan VCD itu, menurut Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, disusun dari rangkuman keberhasilan sejumlah daerah yang dianggap berhasil memberikan pelayanan publik yang prima. Ia mengharapkan keberhasilan sejumlah daerah itu dapat menular ke daerah lain di Indonesia. “April 2006 seluruh Indonesia sudah mulai tertata pelayanan satu pintu,” katanya.Taufiq mencontohkan pelayanan di Sragen, Jawa Tengah, yang mampu memberikan pelayanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk hanya dalam waktu setengah jam. Peningkatan pelayanan publik di daerah itu justru berdampak pada peningkatan pendapatan daerah yang naik 250 persen. Ia juga menyebut Kabupaten Jembrana, Bali. Di daerah itu masyarakat mandapat pembebasan biaya pengobatan di rumah sakit (termasuk yang swasta), puskesmas, dan bahkan praktek dokter pribadi. Padahal Anggaran Pendapatan Belanja Daerah itu termasuk yang paling kecil se-Bali. Daerah lain yang dianggap berhasil dalam meningkatkan pelayanan publik adalah Solok, Pare-Pare, Klaten, Sidoarjo, Sragen, Yogyakarta, Surabaya, Gorontalo, Jembrana, Gianyar, Tabanan.
Dengan bahan pengawet alternatif, bakso aman untuk dikonsumsi.
DEPKES PERKENALKAN PENGGANTI FORMALIN Departemen Kesehatan (Depkes) dalam waktu dekat akan melakukan peluncuran bahan pengawet makanan alternatif yang aman bagi kesehatan. Menteri Kesehatan Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) mengatakan, bahan pengawet alternatif itu antara lain, asap cair (liquid smoke), Chitosan, dan Karagenan. “Ketiga bahan tersebut dalam waktu dekat akan kami sosialisasikan kepada masyarakat,” tegasnya. Menkes menjelaskan, asap cair merupakan bahan pengawet yang dibuat dari tempurung kelapa, biasa digunakan sebagai pengawet ikan bandeng, lidah dan daging asap. Bahan ini telah dipergunakan untuk ekspor ikan salmon asap ke Kanada. Asap cair juga dapat digunakan sebagai pengganti formalin untuk mie basah, tahu, bakso dan lain-lain. “Asap cair dapat dibeli dengan harga Rp6.000 per liter,” jelas Siti Fadilah. Sementara itu Chitosan yang berasal dari ekstrak limbah perikanan udang dan kepiting. Chitosan dapat mengawetkan ikan sampai dengan 48 jam dan bakso sampai dengan 24 jam. Dan karagenan, yang merupakan hasil ekstraksi rumput laut menurut menteri dapat digunakan untuk mengeyalkan produk makanan seperti mie, bakso, tahu, dan sebagainya. Selain itu, Depkes juga telah melakukan langkah–langkah untuk mencegah penggunaan formalin, antara lain dengan melakukan penyuluhan dengan sasaran nelayan, rumah potong hewan, pengusaha mie basah maupun masyarakat dengan metoda ceramah dan melalui siaran TV secara nasional. Kemudian dilakukan pula pengaturan tata niaga peredaran bahan berhaya seperti formalin. “Dengan langkah–langkah tersebut diharapkan masyarakat dapat mengenal makanan yang mengandung bahan berbahaya, serta dapat meminimalisir penyalahgunaan formalin,” kata Menkes.(AAM). kuat untuk membantu pemberdayaan masyarakat kurang beruntung, terutama, upaya penurunan tingkat kemiskinan sebesar 50 persen, yang menurut Menko Kesra akan dipercepat pencapaian sasarannya sesuai sasaran MDGs, bukan pada akhir 2015, tetapi pada akhir 2009. Menko mengharapkan upaya-upaya yang digagas pemerintah tersebut akan bergaung dan menghasilkan partisipasi rakyat yang makin luas dan berkembang menjadi gerakan masyarakat yang dinamis. Menko Kesra yakin bahwa upaya yang paling utama adalah meningkatkan pendidikan, kesehatan dan kemampuan sumber daya manusia. Sasarannya adalah ledakan anak-anak muda dan remaja sebagai hasil dari perubahan penomena demografi yang berkembang dengan pesat akibat keberhasilan program KB di masa lalu. Menko Kesra sangat ingin agar upaya pendidikan tersebut tidak saja menjadi prioritas di atas kertas, tetapi dapat dibuktikan dengan nyata di lapangan. Kualitas pendidikan juga harus ditingkatkan sehingga lulusan pendidikan di masa depan tidak saja memberi pembekalan kepada setiap anak didik untuk meneruskan sekolah ke perguruan tinggi, tetapi mendapat kemampuan yang berguna untuk terjun dalam pembangunan bangsa menuju bangsa yang sejahtera. Karenanya Menko Kesra menyambut baik rancangan program DNIKS 2005 yang intinya merupakan “upaya membangun budaya peduli anak bangsa”. Tema program kerja ini merupakan langkah konkret pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial yang dianut DNIKS sebagai gerakan “mewujudkan masyarakat yang maju, sejahtera dan berkeadilan” dan diputuskan oleh Musyawarah Nasional DNIKS di Bukittinggi beberapa waktu lalu. Abu Rizal Bakri menggarisbawahi keterbatasan kemampuan ekonomi kita untuk menyerap tenaga kerja yang memadai. Oleh karena itu Menko menganjurkan agar semua usaha untuk membantu mengangkat keluarga dan penduduk kurang mampu diarahkan sekaligus sebagai upaya pemberdayaan. Untuk mempererat kerja sama antara DNIKS dan pemerintah, Menko Kesra telah menyatakan kesediaannya menjadi penasehat DNIKS agar program dan upaya yang dikembangkan organisasi ini dan anggotanya makin synergik dengan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah di seluruh pelosok Tanah Air.
LIPI BERDAYAKAN MASYARAKAT PERBATASAN Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai lembaga pemerintah dalam mengkaji isu-isu wilayah perbatasan, tidak saja memfokuskan pada aktifitas penelitian (pengujian konsep semata) tapi juga mengembangkan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Wakil Ketua LIPI, Prof Dr. Lukman Hakim mengatakan, mulai tahun 2003 LIPI secara institusional membuat program pengembangan wilayah perbatasan dalam kerangka Kompetitif LIPI. Program ini diluncurkan dengan harapan dapat menggugah perhatian Pemda dan Pemerintah Pusat untuk mulai secara sungguh-sunguh dan bersama-sama membangun wilayah perbatasan. Disebutkan, LIPI sebagai institusi penelitian dapat menjadi mitra Pemda dalam pemecahan-pemecahan masalah-masalah yang dihadapi di daerah khususnya masalah teknis dan sosial.Kerjasama LIPI dengan Pemda dalam pembangunan wilayah perbatasan selama ini, menurutnya, diwujudkan melalui sharing pendanaan serta bantuan teknis. “Kendala di lapangan seperti kekurangan tenaga terampil, perawatan instalasi, penyesuaian anggaran masih sering terjadi,” katanya. Berkaitan dengan wilayah perbatasan ini, LIPI antara lain telah mengadakan penyelidikan air tanah untuk penyediaan air bersih di Kabupaten Belu, NTT, instalasi peralatan digital radio point to point di wilayah perbatasan NTT-Timor Leste. (T. GS/Toeb)
11
KOMUNIKA
empuan yang menjadi korban perkosaan. Di sisi lain, pelaku perdagangan manusia kerap digambarkan sebagai bagian dari kejahatan lintas negara yang terorganisir. Meski gambaran tersebut ada benarnya dalam sebagian kasus, namun ada juga pelaku perdagangan yang bukan bagian dari kelompok kejahatan terorganisir, mereka bekerja merekrut dan mengirim tenaga kerja secara independen, baik secara kelompok maupun individu, dan ada juga tokoh masyarakat. Namun, banyak dari aktor yang terlibat perdagangan perempuan dan anak ini, sebagian terlibat langsung, tidak menyadari apa yang telah mereka lakukan. Perdagangan perempuan dan anak dapat terjadi di dalam maupun di luar batas negara. Migrasi (perpindahan) orang merupakan elemen utama dalam perdagangan. Mereka dijanjikan bekerja sebagai buruh pabrik atau pekerja rumah tangga. Namun ternyata ketika sampai di tempat bekerja mereka dipaksa bekerja di perkebunan bahkan menjadi pekerja seks. Hingga kini perdagangan perempuan dan anak masih menghantui dunia. Asia Pasifik dan Timur Tengah merupakan kawasan utama tujuan buruh migran perempuan termasuk korban yang diperdagangkan. Negara tujuan tersebut antara lain: Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab, Yordania, Palestina, Qatar. Adapun Indonesia merupakan salah satu negara pengirim buruh migran khususnya buruh migran perempuan di kawasan Asia Tenggara yang ingin bekerja ke luar negeri. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Batam, Dumai, Medan, Pontianak merupakan daerah transit perdagangan perempuan dan anak Indonesia ke luar negeri. Dari gambaran tersebut, jelas bahwa trafficking berlangsung melintasi wilayah, dari pedalaman ke kota, dan dari negara berkembang ke negara industri. Maka, awas, jangan sampai terjebak rayuan maut para traffickers yang manis bermadu namun penuh bisa. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. (t-gun)
istimewa
“Jangan terjebak!” itulah peringatan yang disampaikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan melalui iklan layanan masyarakat di televisi. Memang benar, kebanyakan kasus perdagangan perempuan dan anak yang sering disebut dengan “trafficking”, berawal dari jebakan maut para calo. Dengan iming-iming pekerjaan yang baik, pendapatan melimpah dan kehidupan yang serba "wah", para calo mencari mangsa hingga ke pelosok perdesaan. Banyak perempuan (kebanyakan perempuan muda) tergiur dan mengikuti anjuran si calo. Maka terjadilah kasus seperti dialami Bunga dan Kembang. Bukan kebahagiaan dan penghasilan besar yang mereka dapat, namun justru sebaliknya penderitaan dan kenistaan. Presidium Nasional Mitra Gender dan mantan Deputi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Tubagus Rahmat Sentika, mengatakan perdagangan anak dan perempuan di Indonesia telah mengancam eksistensi dan martabat kemanusiaan yang membahayakan masa depan anak dan kaum perempuan. “Perdagangan anak adalah suatu kejahatan terorganisasi yang telah melampaui batasbatas negara, sehingga dikenal sebagai kejahatan Trans Nasional,” kata Rahmat Sentika dalam acara temu nasional Anti Trafficking dan Pengukuhan Presidium Nasional Mitra Gender serta formatur daerah Mitra Gender, di Jakarta akhir Januari lalu. Ironisnya lagi, Indonesia dinyatakan sebagai negara sumber dari transit perdagangan perempuan dan anak internasional, khususnya untuk tujuan seks komersial dan buruh anak di dunia, dan jumlah yang sudah diketahui mencapai ribuan orang. Perdagangan perempuan dan anak terjadi dalam berbagai bentuk. Di Indonesia terdapat pengakuan bahwa
istimewa
Menangis dan menangis. Hanya itu yang dapat dilakukan Bunga dan Kembang (bukan nama sebenarnya). Dua gadis manis asal Jawa Tengah itu terus meratapi hidup yang kini tercoreng aib, akibat ulah calo yang menjerumuskan mereka ke lembah hitam. Semula, oleh si calo mereka dijanjikan bekerja di sebuah pabrik di negara tetangga. Kenyataannya, mereka dipaksa melayani nafsu lelaki hidung belang. Beruntung, dua gadis malang ini bisa keluar dari lembah maksiat dan pulang ke tanah air berkat pertolongan seorang lelaki yang iba melihat penderitaan mereka.
bentuk-bentuk perburuhan eksploitatif sektor informal, perburuhan anak, perekrutan untuk industri seks, dan perbudakan berkedok pernikahan, yang sebelumnya telah ada dan diterima masyarakat, sebenarnya merupakan bentuk-bentuk perdagangan manusia dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dari individu yang terlibat. Pekerjaan-pekerjaan sebagai buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja seks, pekerja anak, serta pengantin pesanan, diketahui paling banyak dijadikan sebagai tujuan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia. Penelitian ILO tentang Perdagangan Anak di Indonesia menunjukan korban perdagangan anak berasal dari daerah: Banten, Bandung, Bogor, Indramayu, Cirebon, Solo, Wonogiri, Boyolali, Gresik, Nganjuk. Mereka dipindahkan menuju kota-kota tujuan: Riau, Batam, Belawan, Jakarta, Dumai, Tanjung Balai Karimun, Sibolangit, Deli Serdang, Solo, Surabaya, Yogyakarta (ILO, 2001, h.147). Beberapa bentuk perdagangan perempuan dan anak yang kerap ditemui kasusnya di lapangan di antaranya: pelacuran dan eksploitasi seksual termasuk eksploitasi seksual anak (pedofilia); menjadi buruh migran baik legal maupun illegal; adopsi anak; pekerja jermal; pekerja rumah tangga (PRT); pengemis; industri pornografi; pengedaran obat terlarang (narkoba); penjualan organ tubuh; sebagai penari, penyanyi, penghibur, pengantin pesanan; serta berbagai bentuk eksploitasi lainnya. Prasyarat utama kasus perdagangan perempuan dan anak adalah adanya unsur penipuan, kekerasan, atau pemaksaan, barulah seorang perempuan atau anak-anak dapat menjadi diakui sebagai korban perdagangan. Meski demikian, jika seorang perempuan atau anak-anak menyetujui perekrutan atau pengiriman dirinya ke tempat bekerjanya pun dapat dikatakan sebagai korban. Memang, kerap kali unsur pemaksaan yang dilakukan oleh pelaku perdagangan (traffickers) menjadi “dengan atau tanpa persetujuan” dari korban. Pada kenyataannya, seseorang yang menyetujui perekrutan diri mereka bahkan ingin sekali direkrut sebagai tenaga kerja ke luar negeri (buruh migran), namun calon tenaga kerja ini tidak mendapatkan informasi yang jelas dan benar mengenai kondisi kerja yang mereka akan hadapi di negara tujuan bekerja. Mereka mungkin akan dipaksa untuk menjadi pekerja seks, dipaksa untuk bekerja dengan pembayaran yang kecil atau tidak digaji sama sekali, dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang lain dari yang dijanjikan. Walhasil, siapa saja dapat menjadi korban perdagangan manusia tak peduli jenis kelamin dan umur. Meskipun demikian fokus program bantuan hukum kepada korban perdagangan lebih diarahkan pada korban perempuan dan anak, karena mereka adalah sasaran yang rentan. Banyak perempuan dan anak-anak jalanan, serta orang yang sedang mencari pekerjaan tidak mempunyai pengetahuan atau informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilih, terlebih kalangan perempuan dan anak di daerah konflik atau wilayah pengungsian, perempuan dan anak miskin di kota atau perdesaan, perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan antar negara, perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang, perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan per-
Edisi 02/Tahun II/Januari 2006
12