ISSN 2541-3953
JSE
VOL. 1
NO. 1
HAL 1-71
Diterbitkan Oleh: SLB NEGERI SERDANG BEDAGAI Jl. Besar Desa Bengabing Kec. Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai 20988 Website: www.slbnserdangbedagai.sch.id
NOVEMBER DESEMBER 2016
Pengantar Puji syukur kita sampaikan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, Allah Swt., atas limpahan karunia-Nya kita terus dibimbing untuk menjadi insan-insan terdidik dan menebarkan energi kebaikan melalui dunia pendidikan. Terbitnya Jurnal Pendidikan Khusus dengan nama Jurnal Special Edu – sebagai Jurnal Pendidikan Khusus yang pertama dan satu-satunya di Sumatera Utara – adalah bagian usaha dari insan-insan terdidik SLB Negeri Serdang Bedagai untuk menebarkan energi kebaikan melalui dunia pendidikan terutama pendidikan khusus. Dengan kehadiran jurnal ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana bagi Praktisi, Pegiat dan/atau Pemerhati Pendidikan Khusus di Sumatera Utara pada khususnya dan Nusantara pada umumnya untuk berbagi ide dan gagasan; bertukar pengalaman dalam memberikan layanan prima, optima dan ultima berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan khusus serta tantangan dan harapan bagi Anak Berkemampuan/Berkebutuhan Khusus (ABK) pada masa yang akan datang. Pada Tahun Kedua Terbitan Pertama ini Jurnal Special Edu akan membahas tentang: Implementasi Supervisi Pendidikan Inklusi Di SD N Randu Boyolali; Kompetensi Guru Pendidikan Khusus; Pengaruh Pembelajaran Dengan Menggunakan Multimedia Interaktif Terhadap Ketrampilan Membaca Permulaan Anak Tunalaras Kelas 1 Di SLB-E Bhina Putera Surakarta Tahun 2014; Aksesibilitas Bagi Difabel Pada Gedung Pascasarjana Universitas Sebelas Maret; Program Pembelajaran Di Kelas Inklusif Untuk Anak Dengan Hambatan Pendengaran; Peningkatkan Keterampilan Bicara Bahasa Indonesia Dengan Media Foto Seri Bagi Siswa Kelas IV Tunarungu SLB ABCD YSD Polokarto Tahun Pelajaran 2016/2017. Akhirnya dengan mengharap ridho Tuhan Yang Mahakuasa, Allah Swt., semoga kehadiran jurnal ini mencerahkan, mengedukasi dan bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Serdang Bedagai, Januari 2017 Penanggung jawab Jurnal Special Edu
SUHENDRI NIP. 19820504 200604 1 004
i
Dewan Redaksi JURNAL SPECIAL EDU Jurnal Pendidikan Khusus Terbit Enam Kali Setahun (2 Bulanan) Pada Bulan Januari, Maret, Mei, Juli, September, November ISSN 2541-3953 PENANGGUNGJAWAB: SUHENDRI KETUA PENYUNTING: ELFA ADILA PENYUNTING PELAKSANA: DARTA PARDAMEAN SARAGIH NICKI ANDRINA SARI VIVI WAHYUNINGSIH ROSMA BR. SEMBIRING NELDEWITA PENYUNTING AHLI MUSYAFAK ASSJARI (UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG) RAHMAT HIDAYAT (UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN) CANDRA WIJAYA (UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA)
HAIDIR LUBIS (UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA) MUHAMMAD FADHLI (IAIN MALIKUSSALEH ACEH) TATA USAHA: RICKI KURNIAWAN IMELDA NASUTION SURI HAKIKI FREDY PRATAMA PENERBIT: SLB NEGERI SERDANG BEDAGAI JURNAL SPECIAL EDU menerima artikel kebijakan, penelitian, pemikiran, review teori/konsep/metodologi, dan informasi lain yang berkaitan dengan pendidikan khusus.
“Isi sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis”
ii
Pedoman Penulisan
1) Artikel merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah di publikasikan. 2) Artikel ditulis di kertas A4 dengan font “Times New Roman 12pt” 3) Artikel ditulis maksimal 15 halaman. 4) Seluruh artikel ditulis dengan Bahasa Indonesia 5) Susunan Jurnal Hasil Penelitian:
Judul (14 pt)
Nama Penulis
Institusi dan Alamat Email
Abstrak (150-200 kata)
Kata Kunci (Maks. 5 kata)
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Ucapan Terima Kasih (jika diperlukan)
Referensi (Daftar Pustaka)
6) Susunan Artikel Kajian Teori:
Judul (14 pt)
Nama Penulis
Institusi dan Alamat Email
Abstrak (150-200 kata)
Kata Kunci (Maks. 5 kata)
Pendahuluan
Sub Judul
Sub Judul
Kesimpulan
Ucapan Terima Kasih (jika diperlukan)
Referensi (Daftar Pustaka)
iii
Sistematika Penulisan
1.
Artikel yang ditulis untuk Jurnal Special Edu meliputi hasil penelitian dan hasil telaah di bidang Pendidikan Khusus, yakni mengenai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) baik berupa konsep pemikiran, hasil kajian, maupun hasil penelitian yang memberi kontribusi pada pemahaman, pengembangan, dan penanganan terhadap ABK di Indonesia.
2.
Naskah diketik dengan program Microsoft Word, huruf Times New Roman, ukuran 12pt dengan spasi 1,5 pada kertas A4 menggunakan margin sisi atas dan kiri 4 cm, margin sisi bawah dan kanan 3 cm, dengan panjang tulisan 1015 halaman.
3.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia.
4.
Artikel ditulis dengan sistematika dan ketentuan sebagai berikut: Judul Artikel Judul artikel tidak boleh lebih dari 25 kata. Judul dicetak dengan huruf kapital di tengah-tengah dengan ukuran huruf 14 pt.
Nama Penulis Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik, disertai asal lembaga, dan ditempatkan di bawah judul artikel. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyunting atau redaksi hanya berhubungan dengan penulis utama atau yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama harus mencantumkan alamat korespondensi atau e-mail.
Instansi Penulis Ditulis nama instansi tempat penulis berasal, letaknya dibawah nama penulis, misal: Universitas Negeri Medan.
iv
Abstrak Abstrak dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia. Abstrak diketik 1 cm menjorok kedalam. Panjang abstrak 150-200 kata, sedangkan jumlah kata kunci 3-5 kata (sesuai dengan variabel penelitian/telaah). Abstrak Hasil Penelitian: memuat tujuan, metode penelitian dan hasil penelitian. Artikel Kajian dan Konsep Pemikiran: memuat permasalahan dan pembahasan. Kata Kunci Berisi kata atau istilah yang mencerminkan esensi konsep dalam cakupan permasalahan, dapat terdiri dari beberapa buah kata/istilah dan terdapat dalam abstrak. Kata kunci ditulis di bawah abstrak dicetak miring-tebal. Batang Tubuh Artikel Artikel hasil penelitian terdiri atas pendahuluan yang memuat latar belakang permasalahan termasuk tujuan, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, serta kesimpulan. Artikel kajian dan konsep pemikiran terdiri atas pendahuluan yang berisi permasalahan dan kerangka berpikir dan atau kerangka analisis, subsubjudul yang berisi pembahasan, dan penutup. Daftar Pustaka/Daftar Rujukan Daftar pustaka yang dirujuk sangat disarankan dari pustaka primer, mutakhir dan bukan merupakan tulisan sendiri. Daftar rujukan/daftar pustaka disusun mengacu pada APA Style seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis: Rujukan dari buku: Dekker, N. 1992. Pancasila sebagai Ideology Bangsa: dari Pilihan Satusatunya ke Satu-satunya Azas. Malang: FPIPS IKIP Malang. Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yang sama dan diterbitkan dalam tahun yang sama pula, data tahun penerbitan diikuti oleh huruf a, b, c, dan seterusnya yang urutannya
v
ditentukan secara kronologis atau berdasarkan abjad judul bukubukunya. Contoh: Cornet, L. & Weeks, K. 1985a. Career Ladder Plans. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse. Cornet, L. & Weeks, K. 1985b. Planning Carrer Ladder: Lesson from the States. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse. Rujukan dari buku yang berisi kumpulan artikel (terdapat editornya). Ditambah dengan ed jika satu editor, eds jika editornya lebih dari satu. Contoh: Denzin, N.K., Lincoln, Y. S., eds. 2009. Handbook of Qualitative Research. Terj. Daryatmo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya) contoh: Hasan, M.Z. 1990. Karakteristik Penelitian Kualitatif. Dalam Aminuddin (Ed.). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: HISKI Komisariat dan YA3. Rujukan dari buku yang ditulis lebih dari dua penulis et.al maupun dkk. ditulis lengkap nama penulis lainnya. Heo, K. H. G., Cheatham, A., Mary, L. H., & Jina, N. 2014. Korean Early Childhood Educators’ Perceptions of Importance and Implementation of Strategies to Address Young Children’s Social-Emotional Competence. Journal of Early Intervention, 36 (1), hlm. 49-66. Rujukan dari artikel dalam jurnal, contoh: Naga, D.S. 1998. Karakteristik Butir pada Alat Ukur Model Dikotomi. Jurnal Ilmiah Psikologi, III (4), hlm. 34-42 Rujukan dari artikel dalam majalah atau koran, contoh: Alka, D.K. 4 Januari 2011. Republik Rawan Kekerasan? Suara Karya, hlm. 11 Rujukan dari Koran tanpa penulis, contoh: Kompas. 19 September 2011. Sosok: Herlambang Bayu Aji, Berkreasi dengan Wayang di Eropa, hlm. 16
vi
Rujukan dari dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbit tanpa pengarang dan tanpa lembaga, contoh: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: diperbanyak oleh PT Armas Duta Jaya. Rujukan dari lembaga yang ditulis atas nama lembaga tersebut, contoh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Rujukan dari karya terjemahan, contoh: Sztompka, P. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial (Terj. Alimandan) Jakarta: Penerbit Prenada. Rujukan berupa skripsi, tesis, atau disertasi, contoh: Indarno, J. 2002. Kontribusi Penerapan Berbasis Sekolah terhadap Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Tingkat Dasar di Jawa Tengah. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Rujukan berupa makalah yang disajikan dalam seminar, penataran, atau lokakarya, contoh: Siskandar. 2003. Teknologi Pembelajaran dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah: Disajikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran pada Tanggal 22-23 Agustus 2003 di Hotel Inna Garuda Yogyakarta. Rujukan dari internet, contoh: Jamhari, M. Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam, http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp. diakses tanggal 15 Januari 2012.
5.
Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah dan ihwal lain yang terkait dengan HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.
vii
6.
Artikel yang masuk ke meja redaksi diseleksi oleh tim penyunting. Redaksi hanya menerima tulisan yang sesuai dengan ketentuan redaksi. Artikel dapat diterima tanpa perbaikan, diterima dengan perbaikan dan/atau ditolak.
7.
Tulisan dapat dikirimkan kepada redaksi Jurnal “SPECIAL EDU” ke email
[email protected] Nama
:
(Wajib)
Alamat Instansi :
(Wajib)
Judul Artikel
:
(Wajib)
No. HP
:
(Wajib)
dengan
mencantumkan:
atau diserahkan langsung/via pos berupa hard copy dan softcopy sebanyak 1 eksemplar ke alamat: Sekretariat Jurnal Pendidikan Khusus “SPECIAL EDU” SLB Negeri Serdang Bedagai Jl. Besar Desa Bengabing Kec. Pegajahan Kab. Serdang Bedagai Kode Pos. 20988 8.
Biaya Penerbitan Artikel, didasarkan pada banyaknya kontribusi penulis dengan ketentuan jika: 1 orang Penulis
: Rp. 150.000,-
1 orang Penulis
: Rp. 250.000,-
1 orang Penulis
: Rp. 350.000,-
.... dst 9.
Sebagai bukti pemuatan artikel, kepada penulis akan dikirimkan Jurnal Special Edu melalui email.
viii
ISSN 2541-3953
Daftar Isi Pengantar
i
Dewan Redaksi
ii
Pedoman Penulisan
iii
Sistematika Penulisan
iv
Daftar Isi
ix
Annisa Chahya Sadmawati Implementasi Supervisi Pendidikan Inklusi Di SD N Boyolali Leny Yunita Kompetensi Guru Pendidikan Khusus
Randu 1-9
10-27
Muslimah Sholikhah Isnaini Pengaruh Pembelajaran Dengan Menggunakan Multimedia Interaktif Terhadap Ketrampilan Membaca Permulaan Anak Tunalaras Kelas 1 Di SLB-E Bhina Putera Surakarta Tahun 2014 28-42 Dwi Arnia Ulfa, Esty Zyadatul Khasanah, Nadia Devina Arya Putri, Dwi Aris Himawanto Aksesibilitas Bagi Difabel Pada Gedung Pascasarjana Universitas Sebelas Maret 43-51 Asrori Ahmad, Amanah , Suratmi Rachmat , Sri Rezeki Sulantina Program Pembelajaran Di Kelas Inklusif Untuk Anak Dengan Hambatan Pendengaran 52-58 Pujandari Widatmojo Peningkatkan Keterampilan Bicara Bahasa Indonesia Dengan Media Foto Seri Bagi Siswa Kelas IV Tunarungu SLB ABCD YSD Polokarto Tahun Pelajaran 2016/2017 59-73
ix
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
IMPLEMENTASI SUPERVISI PENDIDIKAN INKLUSI DI SDN RANDU BOYOLALI
Annisa Chahya Sadmawati Universitas Sebelas Maret
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan sistem supervisi pendidikan inklusi di SDN Randu. Metode Penelitian menggunakan deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Jenis Penelitian berupa studi kasus. Teknik sampling yang digunakan yaitu teknik purposive sampling. Sedangkan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi langsung, dan studi dokumen. Untuk meningkatkan keakuratan data, peneliti menggunakan triangulasi yaitu triangulasi sumber. Sementara analisis dilakukan dengan model analisis interaktif yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : dseskripsi dan analisis yang didapat dalam pelaksanaan supervisi pendidikan inklusif sekolah inklusif di SDN Randu Boyolali pelaksanaan masih terbilang baru. Sehingga tampak bagaimana penerapan supervisi pendidikan inklusi pada SDN Randu masih terbilang belum sesuai dan alakadarnya, maka perlu adanya suatu bentuk kesesuaian supervisi pendidikan inklusi sekolah inklusi di SDN Randu Boyolali. Kata kunci : supervisi pendidikan inklusi, sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus
1
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan
tonggak utama manusia untuk meraih
kesuksesan dan impian. Dengan pendidikan manusia akan memperoleh dasar ilmu pengetahuan yang nantinya akan dikembangkan dan diimplementasikan dalam kehidupan dan menjamin keberlangsungan hidupnya. Sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang telah diamandemen, Pasal 31 ditegaskan: “(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warga tanpa terkecuali termasuk kepada waga negara yang perbedaan dalam kemampuan atau bisa kita sebut dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Namun, selama ini Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tersebut disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan
jenis kekhususannya yang disebut dengan
Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun dengan didirikannya SLB tersebut, tanpa disadari justru sistem pendidikan di Indonesia bagi ABK terkesan eksklusifisme, yang berarti akan menghambat proses saling interaksi antara ABK dan non-ABK. Padahal Menurut UU No. 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) : “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”; ayat (2) :”Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”; ayat (3): “Warga negara di daerah terpencil berhak memperolehpendidikan layanan khusus”; ayat (4): “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.” Oleh karena itu pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan dengan kesetaraan melalui pendidikan inklusi yang merupakan 2
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
program pendidikan yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus dalam program yang sama. Pendidikan
inklusif
adalah
sistem
layanan
pendidikan
yang
memberikan wadah bagi anak berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolahsekolah reguler terdekat bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994). Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimana gradasinya. Penyelenggaraan pendidikan inklusi diharapkan mampu mencetak generasi penerus yang dapat memahami dan menerima segala bentuk perbedaan dan tidak menciptakan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat ke depannya. Sedangkan sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif bisa disebut dengan sekolah inklusif. Yang di konotasikan sebagai sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980). Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah inklusif melakukan penyesuaian baik dari segi supervisi, penerapan kurikulum, sarana parasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Untuk itu proses identifikasi dan asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan/atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun program pendidikan yang sesuai dan obyektif. Lokasi penelitian ini dilakukan di SDN Randu Boyolali yang merupakan salah satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusi yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Boyolali. Penelitian ini dianalisis dengan Analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan suatu model dalam mengidentifikasi berbagai permasalahan secara sistematis sehingga permasalahan tersebut dapat ditemukan solusinya. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat 3
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (treats) yang dimiliki SDN Randu Boyolali dalam melaksanakan supervisi pendidikan Inklusif. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisis
faktor-faktor strategis
(kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini (Rangkuti, 1997). Dalam penelitian ini hal yang menjadi rumusan masalah adalahBagaimana implementasi supervisi terhadap pendidikan inklusi.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif dengan cara pendekatan fenomenologi. Alasan metode dan teknik penelitian dipilih karena masalah yang dikaji menyangkut masalah yang sedang berkembang dalam kehidupan. Pendekatan fenomenologi merupakan salah satu rumpun yang berada dalam rumpun penelitian kualitatif. Fenomenologi adalah salah satu ilmu tentang fenomena atau yang nampak, untuk menggali esensi makna yang terkandung di dalamnya. Soelaeman (1985) mengemukakan pendapatnya: Pendekatan fenomenologis mengarah pada dwifokus dari pengamatan, yaitu (1) apa yang tampil dalam pengalaman, yang berarti bahwa seluruh proses merupakan objekstudi (noes); (2) apa yang langsung diberikan (given) dalam pengalaman itu,secara langsung hadir (present) bagi yang mengalaminya (noema). Sumber data berasal dari informan, yang meliputi Koordinator penyelenggara pendidikan inklusif, Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan, Wakil Kepala Sekolah bagian Kurikulum serta dokumentasi atau arsip yang berhubungan dengan perkembangan pendidikan inklusif di SDN Randu Boyolali. Sampling diambil dengan Dalam penelitian ini menggunakan Purposive sampling dilengkapi dengan snowball sampling. Snowball sampling adalah pengambilan sample yang mula-mula mengacu pada satu arah pembahasan namun 4
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
berkembang ke banyak arah (Sugiyono, 2013) Ibarat bola salju yang menggelinding dari kecil kemudian menjadi besar. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Triangulasi sumber digunakan dalam teknik validitas data. Analisis data menggunakan analisis SWOT. Menurut Jogiyanto (2005) SWOT digunakan untuk menilai kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari sumber-sumber daya yang dimiliki dan kesempatan-kesempatan eksternal dan tantangan-tantangan yang dihadapi. Teknik analisis interaktif yakni dengan tahapan sebagai berikut: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan simpulan dan verifikasinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pendidikan inklusi memang sudah tidak asing lagi ditelinga kita, konsep pendidikan ini merujuk pada kebutuhan pendidikan untuk semua (Education for All) tanpa memandang suku, budaya, ras, agama maupun sosial ekonomi. Banyak sekolah yang mulai merintis menjadi sekolah inklusi, akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial-emosional, atau kondisi lainnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah inklusif melakukan penyesuaian, salah satunya yaitu dari segi supervisi. Supervisi pembelajaran merupakan alat kontrol terhadap sistem pembelajaran di sekolah. Definisi ini mengandung makna bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi pembelajaran seperti; tujuan, bahan ajar, teknik, methode, guru, siswa, dan lingkungan. Penekanan dari situasi yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada salah satu sekolah yang ditetapkan sebagai sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusi yang ditunjuk Dinas Pendidikan Kabupaten Boyolali adalah SDN Randu Boyolali. Dalam melihat pelaksanaan sistem supervisi pendidikan inklusi di SDN Randu Boyolali dilakukan dengan analisis SWOT. Analisis SWOT akan melihat pelaksanaan 5
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
sistem supervisi pendidikan inklusif yang diselenggarakan di SDN Randu Boyolali dari segi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Teori analisis SWOT dilakukan untuk mengetahui apakah sekolah selaku penyelenggara sistem pendidikan inklusif sudah memenuhi hak-hak anak berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak No.5 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan demikian teori analisis SWOT digunakan untuk mengetahui bagaimana hak-hak anak dapat terpenuhi melalui pembelajaran di sekolah reguler yang melaksanakan sistem supervisi pendidikan inklusif. Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: 1.
Supervisi Klinis Prosedur penerimaan siswa ABK di SDN Randu Boyolali dapat dianalisis sebagai berikut, pada (S) strength atau kekuatan yakni disamakan dengan siswa non-ABK. Pelaksanaanya dilakukan identifikasi dan asssesmen terlebih dahulu untuk melihat apakah ABK tersebut dalam kategori ringan, berat atau sedang. sedangkan pada (W) weakness atau kelemahannya adalah walau dilakukan proses identifikasi dan assesmen, sekolah tidak secara spesifikasi “hanya” menerima ABK tertentu dan atau yang tergolong ringan lalu pada (O) oportunity atau kesempatannya apabila calon siswa ABK yang dalam kondisi sedang sampai berat , jika kondisi dan terdapat solusi untuk menghandel anak tersebut maka SDN Randu Boyolali akan tetap menerima ABK tersebut dan pada (T) treath atau
hambatannya apabila tidak
memungkinkan untuk dapat ditangani di sekolah inklusi maka biasanya di rujuk di SLB. Sehingga prioritas program terfokus pada bagaimana melayani ABK secara efektif. 2.
Supervisi Pelaksanaan Pembelajaran
6
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Pembelajaran yang dilakukan untuk kelas inklusif, baik teori praktek sama dengan kelas normatif. Kurikulum yang digunakan masih mengacu pada kurikulum KTSP, kebijakan di sekolah tersebut belum menerapkan kurikulum 13 sebagai kurikulum acuan. Hasil analisisnya pada (S) strength atau kekuatan yakni dapat dipakai untuk semua ABK sesuai dengan karakteristik ketunaannya, sedangkan pada (W) weakness atau kelemahannya bahwa kurikulum yang dimodifikasi membutuhkan waktu yang lama, lalu pada (O) oportunity atau kesempatannya kurikulum menyesuaikan kondisi dan karakteristik siswa dan pada (T) treath atau hambatan bahwa dalam memodifikasinya melibatkan semua pihak. Sehingga prioritas program terfokus pada bagaimana menyusun kuriulum agar dapat melayani sesuai kebutuhan ABK 3.
Supervisi Sarana dan Prasarana Sarana prasarana penunjang pendidikan bagi ABK masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhannya dalam mengakses pendidikan. Berikut hasil analisisnya, yakni pada (S) strength atau kekuatan sudah ada beberapa yang menunjang dan tersedia, sedangkan pada (W) weakness atau kelemahannya bahwa belum optimal dalam penggunanya, lalu pada (O) oportunity atau kesempatannya yakni mengajukan bantuan dan pada (T) treath atau hambatan belum maksimal dalam penerapan pada KBM. Sehingga prioritas program terfokus pada bagaimana sarana danprasaran yang ada dapat dijadikan fasilitas yang aksesebel bagi ABK.
4.
Supervisi Administrasi Penilaian Pembelajaran / Evaluasi Sistem penilaian yang diberlakukan sesuai kurikulum yang diterapkan, yaitu dengan memodifikasi dari penilaian siswa reguler. Hasil analisisnya, yakni pada (S) strength atau kekuatan yakni bahwa sistem evaluasi disesuaikan dengan karakteristik ABK, sedangkan pada (W) weakness atau kelemahan evaluasinya merupakan bentuk test yang berbeda-beda, lalu pada (O) oportunity atau kesempatannya yakni dapat menemukan nilai yang mendasar, 7
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
valid dan sebenarnya sesuai progres pada ABK, dan pada (T) treath atau hambatan bahwa memerlukan penambahan waktu dalam evaluasinya.
menyusun
Sehingga prioritas program terfokus pada bagaimana
mengevaluasi hasil belajar sesuai dengan karakteristik ABK.
KESIMPULAN Supervisi lebih menekankan pada pembinaan kepada seluruh staf sekolah diharapkan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang lebih baik. Berdasar definisi tersebut, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik maka deskripsi dan analisis yang didapat dalam pelaksanaan supervisi pendidikan inklusif sekolah inklusif di SDN Randu Boyolali pelaksanaan masih terbilang baru. Sehingga tampak bagaimana penerapan supervisi pendidikan inklusi pada SDN Randu masih terbilang belum sesuai dan alakadarnya, maka perlu adanya suatu bentuk kesesuaian supervisi pendidikan inklusi sekolah inklusi di SDN Randu Boyolali. SARAN 1. Dinas Pendidikan Daerah hendaknya mengadakan pendidikan dan latihan (Diklat) mengenai pendidikan inklusif untuk seluruh elemen sekolah 2. Dinas
Pendidikan
Daerah
hendaknya
melakukan
pendampingan,
pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan sistem pendidikan inkusif di sekolah yang ditunjuk agar sekolah dapat memperbaiki sistem supervisi yang masih tidak sesuai dengan prinsip inklusi 3. Dinas Pendidikan Daerah hendaknya melakukan penelusuran terhadap ABK yang belum tersentuh pendidikan dan memberikan sosialisasi kepada orangtua ABK mengenai keberadaan sekolah inklusif. DAFTAR PUSTAKA 8
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Jogiyanto. (2005)Sistem Informasi Strategik untuk Keunggulan Kompetitif. Penerbit Andi Offset: Yogyakarta. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak No.5 Thn 2011 - Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Rangkuti,
Freddy.(2005).
Analisis
SWOT
Tehnik
Membedah
Kasus
Bisnis.Jakarta:Gramedia Pusaka Utama. O`Neil,J. (1994). Can inclusion work? A Conversation with James Kauffman and Mara Sapon-Shevin. Journal Educational Leadership. 52 (4) 7-11. Soelaeman, Munandar (1985) Ilmu Sosial Dasar,Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Refika Aditama: Jakarta. Stainback,W. (1980). Support Networks for Inclusive Schooling:Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H.Brooks. Sugiyono. (2005) Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABET.
9
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN KHUSUS Leny Yunita SLB Negeri Bengkulu Selatan
[email protected]
ABSTRAK Keberhasilan dari suatu masyarakat yang teratur tergantung kepada guru, termasuk guru pendidikan khusus yang mempunyai kemampuan khusus dan dapat menunjang ketuntasan belajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Berdasarkan pengalaman penulis selama bekerja di SLB N 26 Sawahlunto dan SLB N 1 Bengkulu Selatan, diketahui bahwa tidak sedikit pengajar ABK yang bertalarbelakang bukan dari Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sehingga mereka belum melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang seharusnya diperoleh peserta didik sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dikarenakan kompetensi profesi sebagai guru pendidikan khusus belum dipahami. Oleh karena itu kami membuat artikel literatur tentang kompetensi guru pendidikan khusus, baik dari segi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesi yang disesuaikan dengan peserta didik berkebutuhan khusus, diantaranya; tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, lamban belajar, berkesulitan belajar, berbakat, serta tunalaras/kelainan tingkah laku dan sosial. Setiap jenis ABK tersebut membutuhkan pengembangan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya, diantaranya: dasar-dasar tulisan braille, orientasi mobilitas, Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI), bina diri, bina gerak, bina pribadi dan sosial, serta bina potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Artikel ini dibuat bertujuan untuk menambah wawasan baik bagi guru yang berlatar belakang PLB maupun bagi guru yang bukan berlatar belakang PLB. Kata kunci: kompetensi guru, guru pendidikan khusus
PENDAHULUAN Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha membudayakan manusia atau
memanusiakan
manusia.
Pendidikan
amat
strategis
untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan diperlukan guna meningkatkan mutu bangsa secara menyeluruh. Dalam hal ini, guru merupakan ujung tombak pendidikan
sebab
secara
langsung
berupaya
mempengaruhi
dan
mengembangkan peserta didik. Sebagai ujung tombak, guru dituntut untuk memiliki kemampuan dasar yang diperlukan sebagai pendidik, pembimbing dan pengajar dimana kemampuan tersebut tercermin pada kompetensi guru.
10
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Sejalan dengan yang diutarakan oleh M.Furqon (2009) bahwa guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugas profesi kependidikan mampu menunjukkan keprofesionalannya yang ditandai dengan penguasaan kompetensi akademik kependidikan dan kompetensi penguasaan substansi dan/atau bidang studi sesuai bidang ilmunya. Dalam rangka menyiapkan guru yang profesional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai guru. Persyaratan kualifikasi akademik seorang guru telah dibuktikan dengan telah dimilikinya ijazah minimal S-1 atau D-4. Kompetensi pokok sebagai guru adalah kompetensi pedagogik, personal, sosial dan profesional (M.Furqon, 2007). Selain itu seorang guru juga harus memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru mempunyai peranan dan kedudukan kunci dalam keseluruhan proses pendidikan terutama dalam pendidikan formal, bahkan dalam keseluruhan pembangunan masyarakat pada umumnya (Ondi Saondi & Aris Suherman, 2012). Sehingga keberhasilan dari suatu masyarakat yang teratur tergantung kepada guru, termasuk guru pendidikan khusus yang mempunyai kemampuan khusus dan dapat menunjang ketuntasan belajar anak didik berkebutuhan khusus. Guru pendidikan khusus biasanya memperoleh pendidikan disebuah lembaga penyelenggara pendidikan jurusan Pendidikan Khusus atau Pendidikan Luar Biasa, yang akhirnya diharapkan dapat mendidik peserta didik berkebutuhan khusus atau peserta didik luar biasa, yaitu peserta didik yang dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/ penyimpangan (phisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dibandingkan dengan peserta didikpeserta didik lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus pada hakekatnya berbeda dengan peserta didik normal. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
11
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Abdul Salim Choiri dan Munawir Yusuf (2009) bahwa di samping mereka memperoleh materi pokok dalam setiap mata pelajaran, mereka juga membutuhkan layanan pendidikan khusus yang berbeda dengan jenis kekhususan/kelainan lain, terutama yang berkaitan dengan program khusus untuk setiap jenis kekhususan, baik peserta didik yang sekolah di jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) ataupun yang ada TK, SD, SMP dan SMA inklusif . Guru yang mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) berdasarkan hasil pemantauan penulis selama bekerja di SLB N 26 Sawahlunto dan SLB N 1 Bengkulu Selatan, tidak sedikit yang bertalarbelakang bukan dari pendidikan luar biasa. Sehingga mereka belum melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang seharusnya diterima oleh peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Hal ini dikarenakan kompetensi sebagai guru pendidikan kebutuhan khusus belum dimilikinya. Oleh karena itu, kami menyusun sebuah artikel literatur mengenai kompetensi profesi bagi guru pendidikan khusus yang diharapkan dapat menambah wawasan baik bagi guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa maupun bagi guru yang bukan berlatar belakang pendidikan luar biasa.
Kompetensi Guru Banyak ahli mendefinisikan kompetensi, diantaranya menjabarkan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru untuk dapat melaksanakan tugas-tugas profesionalnya (Syaiful Sagala, 2009, Barnawi & Mohammad meningkatkan
Arifin, mutu
2012).
Pemerintah
pendidikan,
menaruh
diantaranya
perhatian
dengan
dalam
mengeluarkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Adapun kompetensi yang harus dimiliki guru adalah sebagai berikut:
12
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
1. Kompetensi Pedagogik Lebih lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 3 ayat 4 menetapkan bahwa kompetensi pedagogis adalah kemampuan guru dalam pengelolaan peserta didik. Dalam kompetensi pedagogis, minimal guru harus memiliki enam kemampuan, yaitu: 1) Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan Guru harus memiliki wawasan kependidikan yang luas dan dalam. Wawasan yang luas dan mendalam akan memudahkan guru untuk mengambil keputusan yang tepat dalam menentukan tindakan kependidikan. Keputusan yang tepat akan meminimalisasi kesalahan guru dalam menangani peserta didiknya. Setidaknya ada enam subkomponen kompetensi wawasan yang harus dikuasai oleh guru (Jamal Ma’mur Asmani, 2009), yaitu; memahami landasan kependidikan, memahami kebijakan pendidikan, memahami tingkat perkembangan siswa, memahami pendekatan pembelajaran yang sesuai materi pembelajaran, menerapkan kerja sama dalam pekerjaan, dan memanfaatkan kemajuan IPTEK dalam pendidikan. 2) Pemahaman terhadap peserta didik Guru tidak boleh menyamakan semua peserta didiknya. Masing-masing peserta didik memiliki keunikan yang berbeda sekaligus kemampuan yang berbeda. Ada peserta didik yang mudah paham dengan materi pelajaran, ada pula yang lambat dalam menerima pelajaran. Dibutuhkan kesabaran dan kemampuan guru dalam mencari solusi atas permasalahan tersebut. Diantara keunikan peserta didik dapat dikelompokkan oleh J.P Guilford (Akhmad Sudrajat, 2006) yang mengemukakan bahwa kecerdasan dapat dilihat dari tiga kategori dasar, yaitu; operasi mental (proses berpikir), content (isi yang dipikirkan), dan product (hasil berpikir). Selain itu ada juga pembagian peserta didik berdasarkan kebutuhannya, yang meliputi; tunanetra/ gangguan penglihatan, tunarungu/ gangguan pendengaran, tunadaksa/ gangguan gerakan/ kelainan anggota tubuh, tunagrahita/ keterbelakangan kemampuan intelektual, peserta didik
13
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
lamban belajar & hambatan belajar, peserta didik berkesulitan belajar,
peserta
didik
berbakat
(memiliki
kemampuan
dan
kecerdasan luar biasa), tunalaras/ kelainan tingkah laku dan sosial, peserta didik dengan gangguan komunikasi (Abdul Salim Choiri & Munawir Yusuf. 2009). 3) Pengembangan kurikulum atau silabus Kurikulum menjadi acuan bagi guru sebelum melakukan pembelajaran kepada peserta didiknya. Serupa dengan paparan beberapa ahli, diantaranya Hendyat Soetopo & Wasty Soemanto (1987), Nasution (1999), Oemar (2003), Barnawi & Mohammad Arifin (2012) yang mengungkapkan bahwa pada dasarnya kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum yang sedang digunakan sekarang yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berisi tujuan pendidikan, struktur, muatan kurikulum, kalender pendidikan, dan silabus. 4) Pengelolaan pembelajaran Kemampuan dalam mengelola pembelajaran merupakan puncak dari kemampuan seorang pendidik. Jamal Ma’mur Asmani (2009) mengatakan bahwa dalam pembelajaran, guru hendaknya menciptakan
hubungan
sosio-emosional
yang
baik.
Guru
menyayangi dan mengayomi siswanya, siswapun menghormati dan menaati gurunya. Keduanya harus saling menghormati dan menghargai sehingga pembelajaran dapat berlangsung efektif dan menyenangkan. Pengelolaan pembelajaran setidaknya mengandung kegiatan yang berupa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Masih dalam sumber yang sama, Jamal Ma’mur Asmani (2009) memapatkan
bahwa
ada
empat
subkomponen
kompetensi
pengelolaan pembelajaran yang harus dikuasai guru, yaitu: menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
14
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
menilai prestasi belajar peserta didik, dan melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajara peserta didik. 5) Pemanfaatan teknologi pembelajaran Teknologi
pembelajaran
berupaya
untuk
merancang,
mengembangkan, dan memanfaatkan aneka sumber belajar sehingga dapat memudahkan atau memfasilitasi seseoran untuk belajar dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja, dan dengan cara dan sumber belajar apa saja yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Ada lima domain atau bidang garapan teknologi pembelajaran atau teknoloi instruksional berlandaskan definisi AECT 1994, yaitu desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian tentang proses dan sumber untuk belajar yang tidak berjalan sendirisendiri melainkan memiliki hubungan yang sinergis (Bambang Warsito, 2008). 6) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya Pengembangan peserta didik merupakan salah satu dari kompetensi pedagogis yang harus dimiliki guru. Pengembangan peserta didik merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat sesuai dengan kondisi sekolah. Disini sangat dibutuhkan peran guru dalam mengoptimalkan kegiatan ekskul agar berjalan efektif dan sesuai dengan minat dan bakat peserta didik. Guru juga perlu menfasilitasi pengayaan bagi peserta didik yang telah menguasai kompetensi tertentu dan menfasilitasi kegiatan remedial bagi peserta didik yang hasil belajarnya di bawah standar (Mimin Haryati, 2010). 2. Kompetensi Kepribadian Ngalim Purwanto (1997) mengemukakan bahwa kepribadian itu dinamis, tidak statis. Selanjutnya Suparji (2009) mengatakan tentang kepribadian merupakan representatif dari karakteristik seseorang yang konsisten dilihat dari tingkah lakunya. Jadi pada intinya bahwa
15
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
kepribadian seseorang dapat tercermin dalam tingkah lakunya seharihari.
Standar
kompetensi
inti
kepribadian
guru
berdasarkan
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 mencakup lima hal, sebagai berikut; 1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, 2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, 3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang sabar, tekun, mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, 4) Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, dan 5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Selanjutkan Suparji (2009) memaparkan bahwa agar guru dapat bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nacional Indonesia, maka guru diharapkan mampu menghargai peserta didik tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat-istiadat, daerah, asal, dan gender. Selain itu, hendaknya guru juga dapat bersikap sesuai dengan norma agama yang dianut, hukum, norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan kebudayaan nasional Indonesia yang beragam.
Kemudian,
upaya
yang
dapat
guru
lakukan
untuk
menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat dengan berperilaku jujur, tegas, dan manusiawi, berperilaku yang mencerminkan ketakwaan dan akhlak mulia, berperilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik dan anggota masyarakat disekitarnya. Muhammad Uzer Usman (2009) juga mengungkapkan bahwa untuk menampilkan diri sebagai pribadi yang sabar, tekun, mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, guru hendaknya dapat menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap dan stabil, serta menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri dapat dilakukan dengan menunjukkan etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi, bangga menjadi guru dan percaya pada diri sendiri, serta bekerja mandiri secara profesional. Selanjutnya dalam hal
16
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
menjunjung tinggi kode etik profesi guru, dapat terwujud dengan memahami kode etik profesi guru, menerapkan kode etik profesi guru, dan berperilaku sesuai dengan kode etik guru. Dengan demikian, dapat digambarkan bahwa guru sebagai teladan bagi peserta didiknya harus memiliki sikap dan kepribadian utuh yang dapat dijadikan panutan idola dalam seluruh segi kehidupannya. Karena guru harus selalu berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama didepan peserta didiknya.
3. Kompetensi Sosial Kompetensi
sosial
guru
ialah
kemampuan
guru
untuk
berinteraksi dengan menjadi bagian dari warga sekolah dan warga masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli (Mukhtar & Iskandar, 2010; Agus Wibowo & Hamrin, 2012) yang mengungkapkan bahwa
kompetensi
sosial
merupakan
kemampuan
guru
untuk
menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 telah ditetapkan standar kompetensi sosial guru, sebagai berikut; bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi, dan berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat, beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya, serta berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. Menurut Mulyasa (2009), sedikitnya terdapat tujuh kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar dapat berkomunikasi dan bergaul secara efektif, baik di sekolah maupun di masyarakat, yaitu; memiliki pengetahuan tentang adat istiadat, baik sosial maupun agama, memiliki pengetahuan tentang budaya dan tradisi, memiliki pengetahuan tentang
17
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
inti demokrasi, memiliki pengetahuan tentang estetika, memiliki apresiasi dan kesadaran sosial, memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan, setia terhadap harkat dan martabat manusia. Saat ini, dengan adanya jaringan global bidang teknologi informasi, komputer juga bisa digunakan untuk komunikasi dan pembelajaran jarak jauh, antar daerah, antar pulau, bahkan antar benua dengan metode teleconference (Aji Supriyanto, 2007). 4. Kompetensi Profesional Guru yang bermutu niscaya mampu melaksanakan pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang efektif dan efisien. Guru yang profesional diyakini mampu memotivasi siswa untuk mengoptimalkan potensinya dalam kerangka pencapaian estándar pendidikan yang ditetapkan. Muhammad Uzer Usman (2006) memaparkan kompetensi profesional guru setidaknya mencakup beberapa hal, diantaranya yaitu; menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar
mata
pelajaran/
bidang
pengembangan
yang
diampu,
mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, mengembangkan
keprofesionalan
secara
berkelanjutan
dengan
melakukan tindakan reflektif, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Kompetensi Guru Pendidikan Khusus Standar kompetensi guru pendidikan khusus dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru pendidikan khusus. Dalam kompetensi pedagogik, guru pendidikan khusus diharapkan memiliki
pemahaman
terhadap
peserta
didik.
Beberapa
sumber
mendefenisikan anak berkebutuhan khusus adalah setiap orang yang
18
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktifitas secara selayaknya (Bandi Delphie, 2006; Mohammad Efendi, 2006; Alkaromah, 2013). Dalam pendidikan luar biasa, istilah penyimpangan secara eksplisit dijutukan kepada anak yang dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya, atau anak yang berbeda dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada permasalahan dalam kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran, sosialisai, dan bergerak (Hallahan , 1988). Berdasarkan pengertian tersebut, anak yang dikategorikan memiliki kelainan dalam aspek fisik meliputi kelainan indra penglihatan (tunanetra), kelainan indra pendengaran (tunarungu), kelainan kemampuan bicara (tunawicara), dan kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa). Anak yang memiliki kelainan dalam aspek mental meliputi anak yang memiliki kemampuan mental lebih (supernormal) yang dikenal sebagai anak berbakat atau anak unggul, dan anak yang memiliki kemampuan mental sangat rendah (subnormal) yang dikenal sebagai anak tunagrahita. Anak yang memiliki kelainan dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya terhadap sekitarnya, disebut tunalaras. Lebih lanjut dijabarkan klasifikasi ABK, diantaranya:
1. Tunanetra Sutjiati Somantri (2006) mengatakan tunanetra merupakan individu yang indera pengelihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang lawas. Anak-anak dengan gangguan pengelihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut; ketajaman pengelihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas, terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu, posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf
19
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
otak karena terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan. 2. Tunarungu Menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996) mengemukakan bahwa anak tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal, dan walaupun telah dibantu dengan alat bantu, mereka tetap membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Berdasarkan batasan tersebut ketunarunguan digolongkan menjadi dua yaitu kurang dengar dan tuli. 3. Tunagrahita Beberapa sumber mendefenisikan tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan (Mohammad Efendi, 2006; Bandi Delphie, 2006; Sutjihati Somantri, 2007). 4. Tunadaksa Beberapa sumber mendefenisikan tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan,
termasuk celebral
palsy, amputasi, polio,
dan lumpuh
(Mohammad Efendi, 2006; Bandi Delphie, 2006; Sutjihati Somantri, 2007). 5. Tunalaras Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya (Mohammad Efendi, 2006; Bandi Delphie, 2006; Sutjihati Somantri, 2007). Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
20
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Beberapa ahli mengkaji tentang hambatan dan kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yang disajikan dalam Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Hambatan dan Kebutuhan ABK No
Jenis ABK
1.
Anak tunanetra
Hambatan - Hambatan perkembangan mental - Hambatan pendidikan - Hambatan mobilitas - Hambatan motorik - Hambatan koordinasi gerak - Hambatan dalam kehidupan sosial
Kebutuhan - Bimbingan sosial psikologis - Bimbingan orientasi mobilitas - Bimbingan baca tulis braille
- Hambatan dalam ADL
- Bimbingan ADL
- Hambatan vokasional
- Bimbingan vokasional
(Turnbull, Shank & Smith, 2004)
2.
Anak tunarungu
- Gangguan persepsual
dan tuna wicara
- Gangguan komunikasi
- Bimbingan sosial psikologis
- Gangguan sosial
- Bimbingan komunikasi
- Gangguan emosi
- Bimbingan wicara
- Masalah pendidikan
- Bimbingan vokasional
- Masalah vokasional - Kemiskinan bahasa (Uden, 1977) 3.
Anak tuna grahita
- Hambatan perilaku adaptif / rendahnya kemandirian dan
- Bimbingan ADL - Bimbingan vokasional
tanggung jawab sosial - Hambatan dalam penyelesaian tugas karena kemampuan intelektual di bawah rata–rata secara signifikan - Hambatan dalam ADL (Turnbull, Shank & Smith, 2004) 4.
Anak tunadaksa
- Kelainan fungsi mobilitas
- Bimbingan psikologis
- Hambatan dalam ADL
- Bimbingan ADL
- Kelainan fungsi sosial psikologis
- Bimbingan gerak
- Hambatan dalam aspek ekonomis produktif
mobilitas - Bimbingan vokasional
(Hallahan, 1988) 5.
Anak tunalaras
- Kekacauan tingkah laku
- Bimbingan sosial
21
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1 - Kecemasan dan menarik diri
- Bimbingan psikologis
- Mudah terangsang emosinya/ emosional/ mudah marah - Agresif, merusak, mengganggu - Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum (Debora J. Bell, Sharon L. Foster, Eric J. Mash, 2005) 6.
7.
Anak
- Kesulitan belajar prakademik
berkesulitan
- Kesulitan belajar akademik
belajar
(Fujishima.T.1992)
- Pembelajaran remedial
Anak lamban
- Kesulitan belajar pada semua mata
- Pembelajaran remedial
belajar 8.
Anak autis
- Bimbingan modifikasi perilaku belajar
pelajaran - Gangguan interaksi sosial - Gangguan komunikasi - Perilaku terbatas dengan pola minat dan aktivitas berulang (Batshaw M, 2000)
- Bimbingan sosial dan tingkahlaku - Bimbingan komunikasi verbal dan non verbal - Terapi psychopharmakologis
9.
Anak yang
- Hambatan mobilisasi
- Bimbingan psikologis
memiliki
- Hambatan komunikasi
- Bimbingan ADL
gangguan
- Hambatan fungsi mental
- Bimbingan gerak
motorik
- Hambatan dalam ADL - Hambatan sosialisasi
mobilitas - Bimbingan vokasional
- Hambatan dalam pendidikan - Hambatan produktifitas (David Werner, 2002) 10
Cerdas istimewa
- Underachievement
- Kurikulum diferensiasi
dan bakat
(Joyce VanTassel-Baska
istimewa
2006) - Modifikasi pembelajaran (Jill Hearne, 2008)
Setelah mengenal jenis ABK beserta hambatan dan kebutuhannya, maka guru pendidikan khusus bisa memberikan perlakuan yang tepat kepada masing-masing peserta didik yang dihadapinya. Selanjutnya dalam kompetensi profesional, guru pendidikan khusus diharapkan menguasai
22
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/ bidang pengembangan yang diampu. Abdul Salim Choiri (2011) memaparkan bidang pengembangan dalam pendidikan khusus, diantaranya; 1) Dasardasar tulisan braille yang ditujukan kepada anak tunanetra, untuk itu guru hendaknya dapat menguasai konsep dasar tulisan braille dan menerapkan konsep dasar tulisan braille pada bidang pengembangan di TKLB/RALB, SDLB/MILB, SMPLB/MTsLB, SMALB/MALB, 2) Orientasi dan movilitas yang juga ditujukan kepada anak tunanetra, untuk itu guru hendaknya dapat menguasai konsep dasar orientasi movilitas, menguasai materi orientasi mobilitas, menguasai prinsip pelaksanaan orientasi mobilitas, serta menguasai teknik dan prosedur pembelajaran orientasi mobilitas sesuai dengan karakteristik anak usia dini, 3) Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) yang diberikan kepada anak tunarungu. Untuk itu guru hendaknya dapat menguasai konsep BKPBI, menguasai materi BKPBI untuk pengembangan komunikasi dan interaksi, menguasai prinsip pelaksanaan BKPBI, menguasai teknik dan prosedur pembelajaran BKPBI, menguasai konsep, dan metode pembelajaran serta evaluasi BKPBI. Selain itu Salim Choiri (2011) juga menambahkan bidang pengembangan dalam pendidikan khusus berupa Bina Diri yang dijukan kepada anak tunagrahita. Oleh karena itu guru diharapkan dapat menguasai konsep dasar bina diri, menguasai prinsip pelaksanaan bina diri, enguasai materi bina diri, menguasai teknik dan prosedur pembelajaran serta evaluasi bina diri. Bidang pengembangan selanjutnya berupa Bina Gerak yang ditujukan kepada anak tunadaksa. Guru hendaknya dapat menguasai konsep bina gerak, menguasai prinsip pelaksanaan bina gerak, menguasai materi bina gerak, menguasai teknik dan prosedur pembelajaran dan evaluasi bina gerak. Kemudian Bina Pribadi dan Sosial yang ditujukan kepada anak tunalaras. Guru diharapkan dapat menguasai konsep bina pribadi dan sosial, menguasai prinsip pelaksanaan bina pribadi dan sosial, menguasai materi bina pribadi dan sosial, menguasai teknik dan prosedur pembelajaran serta evaluasi bina pribadi dan sosial. Serta bidang pengembangan Bina Potensi Kecerdasan dan Bakat Istimewa yang ditujukan kepada anak Cerdas
23
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI). Oleh karena itu guru hendaknya dapat menguasai konsep dasar bina potensi kecerdasan dan bakat istimewa, menguasai prinsip-prinsip pelaksanaan bina potensi kecerdasan dan bakat istimewa, menguasai materi bina potensi kecerdasan dan bakat istimewa, menguasai teknik dan prosedur pembelajaran dan evaluasi bina potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Demikianlah beberapa kompetensi yang harus dimiliki guru pendidikan khusus dalam mendidik ABK, agar guru dapat memberikan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kebutuhan dari keunikan masingmasing peserta didik.
PENUTUP Standar kompetensi guru pendidikan khusus dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dalam kompetensi pedagogik, guru pendidikan khusus diharapkan memiliki pemahaman terhadap peserta didik yang terdiri dari berbagai macam keunikan, diantaranya; tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, serta cerdas istimewa dan bakat istimewa. Dengan ragam keunikan peserta didik tersebut, maka guru pendidikan khusus juga dituntut untuk memiliki kompetensi profesional dalam hal menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/ bidang pengembangan yang diampu, seperti: dasar-dasar tulisan braille, orientasi mobilitas, Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI), bina diri, bina gerak, bina pribadi dan sosial, serta bina potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Melalui artikel ini disarankan kepada pembaca yang akan atau sedang mengajar ABK untuk dapat meningkatkan kompetensinya sebagai guru pendidikan khusus agar peserta didik kita bisa mengoptimalisasikan potensi yang ada dalam dirinya sesuai dengan keunikan mereka masingmasing.
24
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
DAFTAR PUSTAKA Abdul Salim Choiri. (2011). Telaah Program Khusus Dalam Kurikulum Pendidikan Luar Biasa. Makalah. Disampaikan Pada Kegiatan Kajian Standar Isi Dan Kurikulum Satuan Pendidikan Dan Mata Pelajaran 18-21 Mei 2011 Abdul Salim Choiri dan Munawir Yusuf. (2009). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Secara Inklusif. Surakarta: Yuma Pustaka. Agus Wibowo dan Hamrin. 2012. Menjadi Guru Berkarakter: Strategi Membangun Kompetensi dan Karakter Guru. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Aji Supriyanto. (2007). Pengantar Teknologi Informasi. Jakarta: Salemba Infotek. Akhmad Sudrajat. (2006). Pokok-pokok Perkuliahan Materi Perkuliahan Psikologi Pendidikan. Kuningan: Universitas Kuningan FKIP. Alkaromah.
(2013).
Pengertian,
Klasifikasi
dan
Ciri-ciri
Anak
Berkebutuhan Khusus. Diunduh pada 29 Maret 2015. [Online] di http://tuisialkaromah27.blogspot.com/2013/11/pengertian-abkanak-berkebutuhan-khusus.html Bambang Warsito. (2008). Teknologi Pembelajaran: Landasan & Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Bandi Delphie. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Refika Aditama. Barnawi & Mohammad Arifin. (2012). Etika & Profesi Kependidikan. Jogjakarta: Ar-ruzz Media. Batshaw, M. (2000). When Your Child Has a Disability: The Complete Sourcebook of Daily and Medical Care (rev. ed.). Baltimore: Paul Brookes. David Werner. (2002). Anak-Anak Desa yang Menyandang Cacat. Malang: Bakti Luhur. Debora J. Bell, Sharon L. Foster, Eric J. Mash. (2005). Handbook of Behavioral and Emotional Problems. Kluwer Academic / Plenum Publishers. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow
25
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Fujishima.T. (1992). Handbook Of Care And Training For Developmental Disabilities. Tokyo: Japan League For The Mentally Retarded. Hallahan.
(1988). Exceptional
Children,
Introduction
to
Special
Education. New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Hendyat Soetopo dan Wasty Soemanto. (1987). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara. Jamal Ma’mur Asmani. (2009). 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional. Jogjakarta: Powerbooks. Jill Hearne. (2008). Students Accelerated in Learning: A Gifted & Talented Model. Department of Instruction and advised. Joyce VanTassel-Baska. (2006). Comprehensive Curriculum for Gifted Learners. Publisher: Merrill Mimin Haryati. (2010). Model & Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Kompetensi. Jakarta: GP Press. Mohammad Efendi. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara. M. Furqon. (2007). Mengantar Calon Pendidik Berkarakter di Masa Depan. Surakarta: Sebelas Maret University Press. M. Furqon. (2009). Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka. Muhammad Uzer Usman. (2006). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Rosda Karya. Mukhtar dan Iskandar. (2010). Desain Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: GP Press. Mulyasa. (2009). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Rosda. Nasution. (1999). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: PT Bumi Aksara. Ngalim Purwanto. (1997). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Oemar. (2003). Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Ondi Saondi. (2012). Etika Profesi Keguruan. Bandung: Refika Aditama. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
26
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Permanarian Somad dan Tati Hernawati. (1996). Ortopedagogik Anak Tunarungu. Bandung: Dirjen Dikti. Suparji. (2009). Pengembangan Instrumen Kompetensi Kepribadian Mahasiswa Calon Guru. Jogjakarta: Varia Pendidikan. Sutjiati Somantri. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama. Syaiful Sagala. (2009). Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta. Turnbull, Shank, & Smith. (2004). Exceptional Lives: Special Education In Today's Schools. Publish Readings Uden. (1977). A World of Language for Deaf Children; Basic Principles A Maternal Reflective Method. Holland: Swetz & Zeitlinger. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
27
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
PENGARUH PEMBELAJARAN DENGAN MENGGUNAKAN MULTIMEDIA INTERAKTIF TERHADAP KETRAMPILAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNALARAS KELAS 1 DI SLB-E BHINA PUTERA SURAKARTA TAHUN 2014
Muslimah Sholikhah Isnaini Program Magister Pascasarjana PLB Universitas Sebelas Maret
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif terhadap keterampilan membaca anak tunalaras pada kelas 1 di SLB-E Bhina Putera Surakarta tahun 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dalam bentuk Single Subject Research (SSR). Penelitian ini menggunakan bentuk desain A – B, pada desain ini langkah pertama adalah menentukan baseline kemudian diberikan intervensi dengan menggunakan multimedia interaktif. Subjek penelitian ini adalah siswa tunalaras kelas I SLB-E Bhina Putera Surakarta. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tes. Metode tes yang digunakan adalah tes dalam bentuk objektif jenis tes type menjodohkan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tes pada setiapsesi mengalami peningkatan yang ditunjukkan untuk subjek, pada pengukuran baseline35, setelah diberi intervensi pertama memperoleh 60, intervensi kedua 70, intervensi ketiga 75 dan intervensi keempat 90. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif berpengaruh terhadap ketrampilan membaca permulaan anak tunalaras pada kelas 1 di SLB-E Bhina Putera Surakarta tahun 2014.
Kata kunci: pengaruh multimedia interaktif, ketrampilan membaca permulaan, anak tunalaras
28
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
PENDAHULUAN Setiap anak membutuhkan pendidikan. Menurut undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara Pendidikan dilaksanakan agar peserta didik memperoleh kesempatan mengembangkan potensinya, dengan mengembangkan potensi yang dimilikinya, peserta didik dapat memiliki kesempatan untuk memiliki peran yang lebih besar di masyarakat, termasuk anak berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” dan pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelanggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”. Menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 5 ayat 2 telah dijelaskan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Melihat uraian dari undang-undang di atas, telah jelas bahwa semua warga negara baik normal atau yang berkebutuhan khusus wajib mendapatkan pendidikan. Mereka yang tergolong berkebutuhan khusus juga perlu pendidikan untuk bekal hidupnya. Selain itu dengan memperoleh pendidikan dan pengetahuan, membantu anak berkebutuhan khusus untuk memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai kemampuan yang dimiliki. Anak berkebutuhan khusus memerlukan pendidikan khusus dari pada anak normal lainnya. Hal ini juga dijelaskan dalam Undang-undang no 20 tahun 2003 bahwa pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
29
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
proses pembelajaran karena kelainan fisik emosional,mental, sosial atau memiliki potensi kecerdasan. Dapat diketahui bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan agar potensi yang ada dalam dirinya dapat dikembangkan sesuai dengan kemampuan dan minat yang dimilikinya, termasuk individu yang memiliki kelainan pada perilakunya atau biasa disebut dengan anak tuna laras. Tidak ada satu definisipun tentang tuna laras yang diterima secara Universal. Kenyataanya, batasan atau definisi yang telah dikemukakan para profesional dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan profesionalnya. Mendefinisikan ketunalarasan seperti halnya mendefinisikan suatu pengalaman seperti marah, kesepian, kebahagiaan (Hallahan dan Kauffman, 1988 ). Sunardi (1995;5) mengemukakan bahwa menyusun satu definisi yang obyektif tidaklah sederhana. Ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya membuat satu definisi. Dalam dunia pendidikan luar biasa, anak yang mengalami masalah tingkah laku ini disebut anak tunalaras yang didalamnya mencakup anak dengan gangguan emosi (emotional disturbance) dan anak dengan gangguan perilaku (beharioral disorder). Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991 disebutkan bahwa tunalaras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. . Kelainan perilaku mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Hal tersebut berpengaruh pada hasil belajar yang dibawah rata-rata. Disamping itu, Soemantri menjelaskan “Situasi Belajar yang anak tunalaras hadapi secara monoton biasanya akan mengubah perilaku bermasalahnya semakin berat, bila mereka tetap dilayani sebagaimana melayani anak pada umumnya tentu saja akan sangat merugikan anak tersebut” ( Soemantri; 2007 ).
30
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Menurut Hallahan dan Kauffman (1991) dalam Astati (2000;37) Mengemukakan beberapa komponen yang penting diperhatikan dalam menilai seorang anak mengalami gangguan emosi/ perilaku atau tidak, yaitu Adanya penyimpangan perilaku yang terus menerus menurut norma yang berlaku sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar dan penyesuaian diri, dan penyimpangan itu tetap ada walaupun telah menerima layanan belajar serta bimbingan Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak tuna laras dengan penyimpangan perilakunya mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk, sehingga mempengaruhi hasil belajar dibawah rata-rata misalnya pada ketrampilan membacanya. Salah satu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan, adalah dengan membaca, karena dengan membaca akan diperoleh berbagai informasi pengetahuan yang penting. Guru mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran sehingga guru harus menguasai bahan ajar, strategi pembelajaran dan dapat mengembangkan metode mengajar sesuai dengan topik yang akan diajarkan dan juga penggunaan media yang tepat dan sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, dasar, dan menengah” (Mustah, 2011;3). Penggunaan media yang tepat dalam proses pembelajaran akan membantu siswa dalam menerima materi tersebut dan meningkatkan minat siswa terhadap pelajaran. Penggunaan media pembelajaran juga akan membantu memudahkan guru dalam menyampaikan materi kepada siswa. Hal ini senada dengan Hamalik (1989:124) yang mendefinisikan “Media pendidikan sebagai cara, suatu alat atau proses yang digunakan/ ditempuh untuk menyampaikan pesan, yang berlangsung dalam proses pendidikan”. Pemilihan media yang kurang tepat pada pelajaran bahasa khususnya dalam hal ini adalah membaca yang dianggap kebanyakan siswa adalah mata
31
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
pelajaran yang sulit akan menimbulkan kebosanan pada anak, apalagi pada anak tunalaras kelas 1 dimana karakteristik mereka masih mentah, maksutnya belum diberikanya
pengetahuan
dan
penanganan
khusus,
memerlukan
media
pembelajaran yang tepat untuk membantu proses pembelajaran agar berjalan dengan baik dan menyenangkan. Prestasi belajar bahasa anak tunalaras pada kenyataannya ada yang dibawah rata-rata. Hal ini tidak sepenuhnya adalah faktor dari siswa itu sendiri, tetapi ada juga faktor lain yang mempengaruhi misalnya penggunaan media pembelajaran yang tidak sesuai dengan pokok bahasan dan juga cara penyampaian guru yang pengajarannya disamakan dengan anak normal padahal anak tunalaras lebih membutuhkan kemenarikan media agar mereka tak mudah bosan dan dapat berkonsentrasi. Pada Jurnal Penelitian yang relevan yang telah dilakukan oleh Karen Morrison pada penelitianya “Implementation Of Assistive Computer Technology: A Model For School Systems” Karen menjelaskan “The benefits of computer technology have transformed the academic experience for students with learning problems. The potential of assistive computer technology (ACT) to address educational needs for students with learning problems is well documented” yang maksudnya adalah “Manfaat dari teknologi komputer dapat mengubah pengalaman akademik untuk siswa dengan masalah belajar. Potensi teknologi komputer membantu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi siswa dengan permasalahan belajar akan didokumentasikan dengan baik. (Morrison;2007;83). Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti menggunakan multimedia interaktif dalam ketrampilan membaca. Penggunaan multimedia dalam membaca permulaan ini diharapkan dapat menarik minat siswa dalam belajar mengenal dan membaca huruf dan kataBerdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pengaruh pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif pada ketrampilan membaca permulaan anak tunalaras kelas 1 di SLB-E Bhina Putera Surakarta
32
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
tahun 2014?”Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif terhadap keterampilan membaca permulaan anak tunalaras kelas I di SLB - EBhina Putera Surakarta Tahun Ajaran 2013/ 2014.
METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil lokasi di SLB-E Bhina Putera Surakarta. Penelitian ini menggunakana metode eksperimen bentuk Single Subject Research (SSR) dengan desain A-B, dimana A sebagai fase baseline (kondisi awal)dan B sebagai fase intervensi (perlakuan), berarti yang akan dilihat yaitu kemampuan awalanak sebelum diadakan intervensi, dan kemampuan anak saat intervensi. Penelitian
ini
termasuk
dalampenelitian
kuantitatif
dengan
metodeeksperimen. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan diberikan.Subjek penelitian ini adalah satu siswa tunalaras SLB-E Bhina Putera Surakarta kelas 1. Variabel bebas dalam penelitian iniadalah multimedia interaktif dan variabel terikat adalah ketrampilan membaca permulaan. Teknik pengumpulandata yang digunakan dalam penelitian iniadalah dengan metode tes. Metode tes dalam penelitian ini,penulis menggunakan bentuk tes menjodohkan yang dibuat sendiri dengan terlebihdahulu membuat instrument tes yangdikonsultasikan dengan ahlinya, kemudiandivalidasi oleh para ahli dan dijadikan sebagai alat ukur penelitian. Penelitian ini menggunakan validitasisi (content validity). Jenis validitas isi yangdigunakan adalah validasi muka. Validitas muka adalah tipe validitas didasarkan padapenelitian terhadap format penampilan tes. Validator dalam penelitian ini melibatkan paraahli, yaitu ahli bahasa (isi) dan ahli pengukuran/psikometri dalam pendidikan luarbiasa (konstruk). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif komparatif yakni dengan membandingkan fase Baseline dengan fase Intervensi
33
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian Hasil fase baseline dan intervensi yang peneliti lakukan pada tiap subjek dapat dilihat perbedaan hasil tes prestasinya. Pada fase baseline yang masih menggunakan model pembelajaran tradisional/ ceramah dan fase intervensi yang menggunakan multimedia interaktif terlihat jelas peningkatan hasil tes prestasi Bahasa Indonesia siswa. Berikut ini tabel perbandingan nilai hasil tes prestasi Bahasa Indonesia siswa kelas I SLB-E Bhina Putera Surakarta materi membaca permulaan pada fase baseline dan intervensi. MA Sesi
2.
A
B
1
35
60
2
40
70
3
50
75
4
45
90
rata-rata
42,2
73,75
Pembahasan Hasil Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan multimedia interaktif
berpengaruh dalam meningkatkan prestasi belajar Bahasa Indonesia materi membaca permulaan untuk siswa tunalaras kelas 1 di SLB-E Bhina Putera Surakarta. Hal ini sejalan dengan teori yang dibahas pada bab sebelumnya. Terbukti pada statemen yang diungkapkan oleh beberapa ahli sesuai dengan kondisi siswa yang diteliti. Anak tunalaras adalah anak yang mengalamihambatan/kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma yang berlaku dan dalam kehidupan sehari-hari sering disebut anak
34
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
nakal sehingga dapat meresahkan/mengganggu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Menurut
Wardhani
(2007;7;30)
Kelainan
perilaku
akan
mengakibatkan adanya penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibat penyesuaian yang buruk tersebut maka dalam belajarnya memperlihatkan salah satu karakteristik akademik anak tunalaras yaitu pencapaian hasil belajar yang jauh dibawah rata-rata. Hal ini sama dengan karakteristik akademik siswa MA yang selalu mendapatkan nilai dibawah rata-rata temanya sebelum adanya perlakuan oleh peneliti. Hal ini dikarenakan karakteristik siswa yang cenderung mudah terpengaruh dan mengganggu proses pembelajaran sehingga sulit untuk berkonsentrasi terhadap materi pembelajaran membaca permulaan. Mengingat pentingnya pelajaran membaca bagi anak tunalaras maka pembelajaran membaca harus dilaksanakan dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat sesaui dengan karakteristik siswa tunalaras. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan metode pembelajaran dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini kemampuan siswa dalam membaca permulaan meningkat
setelah diberikan pembelajaran
membacamenggunakan multimedia interaktif. menurut Abdurrahman dalam Pamuji (2005;61) membaca merupakan salah satu komponen dari sistem komunikasi, yaitu interaksi secara tertulis antara pembaca dengan penulis. Kemampuan itu harus dimiliki oleh anak, agar anak dapat belajar berbagai bidang ilmu. Membaca sebagai ketrampilan yang harus diajarkan sejak anak masuk sekolah dasar, karena membaca merupakan suatu usaha untuk belajar. Pada penelitian ini peneliti berfokus pada pemahaman siswa tentang membaca permulaan. Pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar membaca permulaan, hal ini dapat dilihat dari nilai tes pada tahap intervensi yang lebih baik dibandingkan nilai tes pada tahap baseline yang pembelajarannya tanpa penggunaan multimedia interaktif. Terbukti penggunaan multimedia interaktif
dalam
menyelesaikan soal membaca permulaan sangat mudah dipahami siswa, siswa
35
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
dapat melihat dan mendengarkan langsung karena multimedia menyajikan gambar bergerak dan suara yang seolah mengajak. Hal ini selaras dengan pendapat Wibawa dan Mukti (2001:35-73) bahwa multimedia yang berbentuk audio visual ini menjadi lebih efektif penggunaannya bila dibandingkan dengan media visual saja. Kemampuannya akan meningkat lagi apabila media pesan visual dilengkapi dengan karakteristik gerak. Media ini tidak dapat menyampaikan pesan-pesan yang rumit, tetapi juga lebih realistis. Dalam penelitian tentang pembelajaran membaca yang dilakukan peneliti ini menggunakan multimedia interaktif, yaitu pembelajaran yang menggunakan multimedia untuk menyelesaikan soal membaca. Media tersebut disajikan dengan cara yang menyenangkan agar siswa tidak mudah bosan dan dapat memusatkan perhatian serta dapat berkonsentrasi dalam mengikuti pembelajaran membaca permulaan, sehingga meningkatkan hasil prestasi siswa yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Hasil penelitian dibandingkan dengan hasil penelitian lain dikatakan sejalan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan prestasi siswa yang mengalami masalah dalam belajarnya dengan media yang sama dengan media yang digunakan oleh peneliti. Penelitian tersebut dilakukan oleh Karen Morrison. Menurut Karen (2007;83) yang diambil dari penelitian yang telah dilakukanya menyimpulkan bahwa Manfaat dari teknologi komputer dapat mengubah pengalaman akademik untuk siswa dengan masalah belajar. Potensi teknologi komputer membantu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi siswa dengan permasalahan belajar akan didokumentasikan dengan baik. Hal ini sesuai sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dimana teknologi komputer dalam hal ini peneliti menggunakan multimedia interaktif dapat meningkatkan prestasi siswa dengan permasalahan belajar sesuai dengan karakteristik anak tunalaras. Penelitian ini dikatakan sama hasilnya karena media yang digunakan adalah sama-sama menggunakan media komputer yang berbentuk audio visual yang
36
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
sesuai dengan karakteristik anak tunalaras yang memiliki permasalahan dalam belajarnya. Hasil penelitian dibandingkan dengan fakta di lapangan. Hal tersebut terbukti sejalan dengan adanya hasil pekerjaan siswa yang diberikan oleh peneliti yang menunjukkan peningkatan setelah diberikan intervensi. Dalam penelitian ini, penggunaan multimedia interaktif terbukti efektif meningkatkan prestasi belajar membaca siswa. Keefektifan tersebut dapat dilihat pada saat siswa mempraktekkannya langsung sehingga dapat memusatkan perhatian dalam kegiatan belajar mengajarnya. Dapat dilihat secara jelas pada bab sebelumnya, dari hasil pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif (Intervensi) lebih bagus dibandingkan pada saat menggunakan metode ceramah (baseline). Berdasarkan pada hasil penelitian di atas dan melihat hasil dari baseline dan intervensi, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Multimedia interaktif berpengaruh terhadap ketrampilan membaca anak tunalaras kelas 1 di SLB-E Bhina Putera Surakarta tahun 2014”. Hasil penelitian tersebut sama dengan fakta di lapangan. Hal tersebut berpotensi adanya pengaruh multimedia interaktif dalam pembelajaran membaca permulaan. Selain berpengaruh pada peningkatan prestasi belajar membaca siswa, penggunaan multimedia interaktifjuga berpengaruh pada kualitas siswa pada saat kegiatan pembelajaran. Awalnya, sebelum penggunaan multimedia interaktif dalam pembelajaran siswa kurang bersemangat dalam mengikuti pembelajaran tetapi setelah penggunaan multimedia interaktifsiswa bersemangat dalam mengikuti pembelajaran dan berani bertanya kepada guru apabila ada hal yang tidak diketahuinya. Jadi, selain kognitif siswa yang bertambah baik afektif dan psikomotorik anak juga menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwodarminto dalam Ardiansyah
yang mengemukakan prestasi belajar
diartikan sebagai hasil yang dicapai (dilakukan/ dikerjakan) oleh siswa. Jadi prestasi itu adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada suatu
37
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
tingkat keberhasilan tentang suatu hal, yang disebabkan oleh suatu hal yang telah dilakukan. Peneliti menemukan beberapa hambatan didalam proses penelitian, sebagaimana siswa mengalami ketunalarasan bukan hal tidak mungkin siswa sering memberontak. Hal ini terlihat pada proses pembelajaran yang dilakukan sebelum menggunakan multimedia interaktif siswa sangat sering mengganggu teman lainya. Kedua, siswa sangat mudah bosan. Peneliti berkesulitan dalam menangani sikap siswa dalam pemberian materi pembelajaran membaca. Selain itu kesulitan peneliti untuk mengajarkan penggunaan multimedia interaktif pada komputer. Hal ini dikarenakan belum adanya pembelajaran yang diberikan oleh guru yang menggunakan media komputer. Siswa masih berkesulitan dalam menempatkan kursor. Selain itu, minimnya komputer di sekolah tersebut juga mempengaruhi kemampuan siswa terhadap komputer. Seharusnya pengenalan IT atau Teknologi Informatika diberikan pada siswa sejak dini agar siswa mampu menggunakan IT yang sekarang ini banyak sekali pembelajaran dari komputer. Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut, peneliti penelitimengajukan beberapa cara untuk mengatasinya, antara lain: 1) Guru memberikan pembelajaran kepada siswa secara individual pada satu ruangan tanpa ada siswa lain yang dapat mengganggu konsentrasi dan emosi siswa, 2) Sering diberikan game atau pelajaran mewarnai kepada siswa agar siswa tidak merasa bosan dengan pembelajaran yang diberikan. 3) Pembelajaran Teknologi Komputer atau IT diberikan kepada siswa sejak dini agar siswa dapat mengenali teknologi terutama teknologi komputer, sehingga siswa tidak mengalami kesulitan ketika menempatkan kursor.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan analisa data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Penggunaan multimedia
38
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
interaktif berpengaruh terhadap keterampilan membaca permulaan anak tunalaras kelas I di SLB-E Bhina Putera Surakarta Tahun 2013/2014. Berkaitan dengan simpulan di atas, maka peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut: 1.
Bagi Kepala Sekolah Kepala sekolah bisa memfasilitasi dengan mengadakan sosialisasi terhadap
guru-guru yang ada di lingkungan SLB-E Bhina Putera Surakarta dengan mendatangkan narasumber yang menguasai multimedia interaktif yang ada pada materi membaca permulaan. 2.
Bagi guru Multimedia interaktif diharapkan dapat digunakan dalam mata pelajaran
selain Bahasa Indonesia dengan penerapan sesuai kreativitas guru dan karakteristik siswa, selain itu pengenalan IT diberikan kepada siswa sejak dini agar siswa dapat mengikuti perkembangan global. 3.
Bagi siswa Multimedia interaktif untuk siswa diharapkan lebih memperhatikan
pelajaran agar tidak terjadi kekacauan dalam proses belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, M. (1999).Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta Abdurrachman, M. & Sudjadi.(1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru Ahmad, A. (2012). Pengertian Prestasi Belajar. Diperoleh dari http://pustakaaslikan.blogspot.com/2012/01/pengertian-prestasibelajar. html. Didownload: 20 Maret 2014
39
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Alkhadiah, Sabarti. (1993). Bahasa indonesia 1. Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Anitah, S. (2009). Media Pembelajaran. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 FKIP UNS Surakarta Anitah, S. (2008). Media Pembelajaran. Surakarta: LPP & UNS Press, Surakarta. Arsyad, A. (2002). Media Pembelajaran.Jakarta: Raja Grafindo Persada Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta; PT. Rineka Cipta Astati. (2000). Model Pembelajaran Anak Luar Biasa yang Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum. Bandung; Jurusan PLB FIP UPI Binanto, I. (2010). Multimedia Digital Dasar Teori + Pengembanganya. Yogyakarta: Andi Offset Bdk, Hall, Calvin S. (1960). Sigmund Freud. Jakarta: Pustaka Sarjana PT Pembangunan Efendi, M. (2006). Pengantar Psikopaedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara Ernalis. (2006). Penggunaan Metode SAS dalam Pembelajaran Membaca dan Menulis Permulaan di Sekolah Dasar. Bandung; PLB FIP UPI Freire, P. (1968). Paedagogy of the Oppressed. Newyork: The Seaburg Press Hakim, Aceng, L. (2008). Perbandingan Kesulitan Belajar Siswa Asal Pendidikan Prasekolah Dengan Non Prasekolah Dalam Membaca dan Menulis Permulaan di Kelas 1. Jakarta: Lembaga Penelitian UNJ. Hamalik, O. (1989). Metodologi Pengajaran Ilmu Pendidikan. Jakarta: Mandar Maju. Morrison, Karen. (2007). Implementation Of Assistive Computer Technology: AModel For School Systems. International Journal Of Special education. Volume 22, number 1. Hongkong. Kartini, Kartono. (1979). Psikologi Abnormal dan Psikologi Seks. Bandung: Alumni. Kartini, Kartono. (1974). Teori-teori Kepribadian dan Mental Hygiene. Bandung: Alumni.
40
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Mulyono, Bambang. (1984). Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja & Penanggulanganya. Jogjakarta. Kanisius. Mustah, Jejen. (2011). Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Pelatihan & Sumber Belajar. Jakarta: Kencana Mardalis. (1989). Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Pamuji. (2005). Peningkatan Ketrampilan Membaca Dengan Lembar Kerja Siswa Untuk Anak Tunanetra di SLB A Surabaya. Surabaya: FIP UNESA Purwanto, Ngalim & Alim, J. (1997). Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar. Jakarta: Rosda Jaya Putera. Rahim, Farida. (2008). Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Sukartaningsih, W. (2005). Peningkatan Kemampuan Membaca dan Menulis Permulaan Melalui Pembelajaran Kontruktivisme. Surabaya:Fakultas Ilmu Pendidikan, Kampus UNESA Soekanto, S. (1969). Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: yayasan Penerbit Universitas Indonesia Soemantri, S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama. Sunardi. (1995). Orthopaedagogik Anak Tunalaras 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surjadi, A. (1989). Membuat Siswa Aktif Belajar. Bandung: Mandar Maju. Sukarman, dkk. (2011). Panduan Penggunaan Alat Peraga. Diperoleh dari: www.google.com/ media sekolah dasar.co.id Didownload: 16 Maret 2014 Suharmini, Tin. (2002). Terapi Anak Tunalaras. Jogjakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Tarigan, Henry, G. (2008). Membaca sebagai Suatu Keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa Sumantri, M & Permana, J. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Maulana. Sunanto, J dkk. (2005). Pengantar Penelitian Deangan Subjek Tunggal. University of tsukuba: CRICED
41
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Sugiyono. (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RnD. Bandung: Alfabeta. Suwardani, eric. (2013). Karakteristik Anak Tunalaras. Diperoleh dari: http://vharsa.wordpress.com/2009/10/20/pembelajaran-tuna-laras/ Di download: 15 januari 2014 Sutopo, H. (2003). Multimedia Interaktif Dengan Flash. Yogyakarta : Graha Ilmu. Tammy. (2012). Pengertian Validitas. Diperoleh dari http://kapanpunbisa.blogspot.com/2012/11/ pengertian-validitas.html Didownload: 04 Februari 2013. Wardani. (2007). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional. Wibawa, B & Mukti, F. (2001). Media Pengajaran. Bandung: CV Maulana. Wira, Didik. (2009). Multimedia Pembelajaran Interaktif. Diperoleh dari: dikwirasamodra.wordpress.com/2008/09/05/multimedia%C2%A0pembel ajaran%C2%A0interaktif/.Browsing Di download: 15 Maret 2014
42
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
AKSESIBILITAS BAGI DIFABEL PADA GEDUNG PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET Dwi Arnia Ulfa, Esty Zyadatul Khasanah, Nadia Devina Arya Putri, Dwi Aris Himawanto Magister Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana UNS
[email protected]
ABSTRAK Aksesibilitas di gedung Pascasarjana UNS masih kurang aksesibel. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya fasilitas yang memadai yang dapat memudahkan penyandang tunanetra dalam mengakses tiap ruangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengefektifkan aksesibilitas bagi penyandang tunanetra. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gedung Pascasarjana UNS masih kurang aksesibel bagi penyandang tunanetra. Dengan demikian perlu melengkapi di beberapa bagian di gedung Pascasarjana UNS agar lebih aksesibel bagi penyandang tunanetra. Kata Kunci : Aksesibilitas, Gedung pascasarjana, Tunanetra
PENDAHULUAN Pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang penting untuk semua orang. Bahkan pentingnya pendidikan telah diatur dalam UUD 45 Pasal 31 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan agar nantinya mereka mampu mempersiapkan diri untuk masa depan yang gemilang. Hal ini pula berlaku bagi kaum difabel. Difabel merupakan suatu istilah yang digunakan untuk masyarakat berkebutuhan khusus atau dapat disebut different ability people. Difabel adalah individu yang mempunyai kemampuan berbeda baik secara fisik ataupun mental dengan individu normal lainnya. Kaum difabel berhak untuk mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah pendidikan.
43
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Pendidikan bagi kaum difabel diberikan agar mereka mampu mandiri tanpa tergantung pada orang lain. Untuk mempersiapkan kemandiriannya, mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun masih dirasa belum cukup untuk difabel, sehingga ada yang melanjutkan pendidikan lanjutan di universitas untuk jenjang Diploma, Starata 1 (S1), tidak jarang menempuh pendidikan di program Strata 2 (S2) atau magister bahkan Strata 3 (S3) atau doktoral. Salah satu universitas yang memiliki mahasiswa difabel pada program magister adalah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Universitas Sebelas Maret (UNS) adalah sebuat universitas negeri yang terdapat di Kota Surakarta. Mahasiswa magister di Universitas Sebelas Maret (UNS) menempuh pendidikan di beberapa fakultas yang tersedia di Universitas Sebelas Maret (UNS), tergantung dari jurusan yang diambil. Namun, mahasiswa magister dominan menempuh pendidikan di Gedung Pascasarjana. Gedung Pascasarjana di kampus UNS merupakan salah satu ruang publik untuk kegiatan proses pendidikan bagi semua orang tidak terkecuali difabel. Gedung pascasarjana UNS sudah seharusnya memenuhi standar aksesibilitas yang telah diatur secara nasional baik untuk individu normal maupun difabel, hal ini guna memenuhi hak dalam kesetaraan dan kesempatan bagi kaum difabel dalam berpartisipasi di tengah masyarakat. Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel yang dimaksud kesetaraan difabel adalah kondisi yang menjamin terwujudnya keadilan bagi difabel. Kesetaraan difabel salah satu sasarannya adalah pelayanan pendidikan bagi kaum difabel. Menurut Putri (2010) ada tiga hal yang harus dilakukan guna merealisasikan kampus ramah difabel yaitu penyediaan sarana yang ramah bagi mahasiswa difabel, penyediaan fasilitas yang mendukung aksesibilitas difabel dan lingkungan sosial yang tidak diskriminatif. Dalam pelayanan pendidikan bagi kaum difabel, aksesibilitas merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan. Dalam konteks ini adalah aksesibilitas menuju gedung serta gedung itu sendiri. Menurut Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 468 tahun 1998 aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan 44
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
penghidupan.
Aksesibilitas
sendiri
harus
mengutamakan
keselamatan,
kemudahan, kegunaan, dan kemandirian bagi penggunanya. Adapun persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan dari Permen PU No.30/PRT/M/2006 meliputi: ukuran dasar ruang, jalur pedestrian, jalur pemandu, area parkir, pintu, ram, tangga, lift, lift tangga (stairway lift), toilet, pancuran, wastafel, telepon, perlengkapan dan peralatan kontrol, perabot serta rambu dan marka. Persyaratan teknis dan aksesibilitas pada bangunan dan lingkungan berdasarkan peraturan menteri tersebut bisa dijadikan landasan guna membangun gedung maupun ruang publik dalam memberikan kesetaraan bagi kaum difabel. Sayangnya, Gedung Pascasarjana UNS masih jauh dari kata ramah bagi kaum difabel. Hal ini tentu harus mendapat perhatian khusus dimana Kota Surakarta merupakan salah satu dari 15 kota di dunia yang memiliki predikat sebagai kota ramah difabel. Pada konteks aksesibilitas bagi difabel di gedung pacasarjana UNS mempunyai tujuan yaitu mengidentifikasi hambatan yang dihadapi oleh individu difabel dalam mengakses dan mendapatkan solusi terhadap permasalahan aksesibilitas yang ada agar sesuai dengan pedoman teknis yang berlaku. Adapun hasil yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: dapat memberikan gambaran kepada masyarakat, instansi yang terkait dan termasuk individu difabel itu sendiri. selain itu dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Universitas Sebelas Maret (UNS) mengenai gedung perkuliahan yang aksesibel bagi difabel di Gedung Pascasarjana UNS. METODE PENELITIAN Metode penelitian diperlukan agar langkah-langkah penelitian dapat dilakukan dengan benar dan mendapat hasil yang optimal. Metode penelitian yang harus dilakukan antara lain: a. Desain Penelitian Tipe penelitian yang digunakan peneliti adalah tipe penelitian deskriptif, tepatnya menggunakan penelitian deskriptif kualitatif karena peneliti bermaksud untuk menggambarkan secara deksriptif bagaimana kondisi nyata 45
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
mengenai aksesibilitas bagi penyandang difabel
pada bangunan gedung
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Gedung Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Berada di jalan Ir. Sutami No. 36A, Surakarta, Jawa Tengah, Kode Pos 57126. c. Subjek penelitian Sumber informasi dalam penelitian ini adalah narasumber yang dinilai memiliki kompetensi untuk memberikan data dan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan ketersediaan aksesibilitas bagi penyandang difabel pada gedung Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yaitu mahasiswa difabel pada jurusan Magister Pendidikan Luar Biasa. d. Sumber dan teknik pengumpulan data Sumber data pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang didapat langsung dari peneliti yaitu sebagai berikut: observasi dengan menggunakan checklist. Pengumpulan data sekunder berasal dari telaah pustaka dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan observasi partisipan, wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Teknik analisis data kualitatif ini dilakukan secara interaktif. Aktivitas dalam analisis data pada penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data, dan yang terakhir adalah kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada pendeskripsian hasil penelitian ini, peneliti mengambil data meliputi observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Berdasarkan kisi-kisi yang telah dirancang hasil penelitian dideskripsikan sebagai berikut: 1.
Pintu Berdasarkan Permen PU nomor 30 2006 pintu adalah bagian dari suatu tapak,
bangunan atau ruang yang merupakan tempat untuk masuk dan keluar dan pada umumnya dilengkapi dengan penutup (daun pintu). Pintu utama pada gedung Pascasarjana UNS menggunakan pintu yang terbuka ke dalam. Berdasarkan hasil 46
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
wawancara, pintu utama yang menjadi jalan masuk dari luar bangunan ke dalam bangunan sudah aksesibel bagi penyandang tunanetra. Handle / gagang pintu yang digunakan di pintu utama adalah gagang pintu yang berjenis pengungkit dan berbentuk seperti huruf U. Menurut ASB (tanpa tahun, 40) gagang pintu yang berjenis pengungkit dan berbentuk seperti huruf U akan lebih mudah diakses oleh semua orang. Dimana semua orang bisa membuka pintu dengan mudah (tidak mengalami kesulitan) dan tidak menjadi belas kasihan. Namun, penempatan tempat sampah yang sering diletakkan di dekat pintu menjadi penghalang bagi aksesibilitas penyandang tunanetra. Selain tempat sampah, penempatan pot juga menghalangi kenyamanan penyandang tunanetra, dimana penyandang tunanetra sering menabrak temapat sampah dan pot ketika berjalan mendekati pintu. Hal ini diperparah lagi dengan penempatan tempat sampah yang terbuat dari bahan plastik sehingga mudah tertendang. Sehingga ada baiknya jika mengganti tempat sampah dengan bahan yang berat agar tidak mudah tertendang. Selain itu, penempatan temapat sampah maupun pot untuk tidak terlalu dekat dengan pintu. 2.
Lift Lift adalah alat mekanis elektris untuk membantu pergerakan vertikal di
dalam bangunan, baik yang digunakan khusus bagi penyandang cacat maupun yang merangkap sebagai lift barang (Permen PU:2006:35). Penempatan lift di gedung pascasarjana UNS terletak di sebelah kanan pintu utama jika masuk dari arah depan dan di sebelah kiri jika masuk dari arah parkir. Terdapat 2 buat lift yang dapat digunakan di gedung pascasarjana UNS. Dengan adanya lift, pengguna merasakan kenyamanan untuk menuju ruang kantor ataupun kelas masing-masing, dimana kantor dan kelas terdapat di laitai 2 hingga lantai 6. Berdasarkan hasil wawancara, penataan letak lift di gedung Pascasarjana telah aksesibel bagi penyandang tunanetra. Penyandang tunanetra tidak mengalami kesulitan untuk menuju letak lift. Ketika di dalam lift pun, penyandang tidak mengalami kesulitan dalam memencet tombol yang tertera. Hal ini dikarenakan lift di gedung Pascasarjaan telah dilengkapi tanda braille, sehingga memudahkan penyandang tunanetra menggunakannya. 47
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
3.
Toilet Toilet adalah fasilitas sanitasi yang aksesibel untuk semua orang, termasuk
penyandang cacat dan lansia pada bangunan atau fasilitas umum lainnya (Permen PU:2006:45). Berdasarkan hasil wawancara, penyandang tunanetra merasa bahwa tolit di gedung Pascasarjana UNS sudah aksesibel. Penyandnag tunanetra merasa mudah untuk keluar masuk toilet. Tidak terkendala dengan pintu maupun yang lainnya. Penyandnag tunanetra hanya memerlukan orientasi sekali di toilet kemudian bisa sendiri. Namun, toilet yang terdapat di gedung Pascasarjana UNS sebaiknya dilengkapi dengan handrail yang memudahkan penyandang difabel. Selain kemudahan keluar dan masuk toilet, ukuran toilet juga dirasa sudah aksesibel. Namun, jika digunakan oleh penyandang tunadaksa mungkin mengalami kesulitan karena ukuran yang tidak bisa dimasuki kursi roda. Penyandang tunanetra juga tidak mengalami masalah dalam menggunakan wastafel yang terdapat di dalam kamar mandi. Tetapi narasumber menambahkan untuk perlu adanya penambahan wastafel 1 lagi dengan ukuran yang lebih rendah lagi agar bisa digunakan untuk penyandanga difabel lainnya yang menggunaka kursi roda. 4. Ramp Menurut Peraturan Menteri PU No. 30/PRT/M/2006 (ASB, tanpa tahun: 7) ramp adalah jalur perlintasan yang memiliki bidang dengan kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga. Dengan adanya ramp, tidak hanya penyandang difabel yang bisa memanfaatkannya, namun juga bisa dimanfaatkan oleh lansia serta ibu hamil. Sayangnya, Gedung Pascasarjana belum dilengkapi dengan ramp. Ramp hanya terdapat pada tempat parkir dimana ramp ini menghubungkan parkir dalam dengan parkir luar pada gedung Pascasarjana. Sejauh ini, penggunaan lift sangat membantu penyandang tunanetra untuk menuju ruang kelas di lantai lima. 5.
Ruang kelas Ruangan kelas yang kecil lebih nyaman digunakan daripada ruang kelas yang
luas. Hal tersebut dikarenakan penyandang difabel tunanetra lebih mudah mendengarkan suara dalam ruangan yang kecil karena suara tidak menyebar ke mana-mana. Sedangkan jika ruangan kelas yang luas kurang nyaman digunakan 48
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
karena suara di dalam kelas menyebar ke mana-mana. Kemudian setiap ruangan yang ada belum terdapat keterangan huruf braille sehingga hal tersebut menyulitkan penyandang tunanetra untuk mengakses ruangan yang akan dituju. Saat ini huruf braille hanya terdapat di lift saja. Akan lebih baik apabila setiap runagan yang ada ditambahkan kode braille sehingga penyandang tunanetra lebih mudah dalam mengakses ruangan. 6.
Tangga Menurut Peraturan Menteri PU No. 30/PRT/M/2006 tangga adalah fasilitas
bagi pergerakan vertikal yang dirancang dengan mempertimbangkan ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan dengan lebar yang memadai. Tangga yang terdapat di gedung Pascasarjana UNS sudah aksesibel bagi penyandang tunanetra, hal ini karena sudah mencakup beberapa persyaratan dari Peraturan Menteri PU No. 30/PRT/M/2006
yaitu memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang
berukuran seragam, tidak terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan pengguna tangga, dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) minimum pada salah satu sisi tangga serta pegangan rambat yang mudah untuk dipegang. Selain itu bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu, dan bagian ujungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai, dinding atau tiang. Pegangan rambat atau handrail menggunakan material dari besi. Pemasangan handrail pada tangga yang terbuat dari besi sudah baik. Namun, berdasarkan hasil wawancara handrail yang terbuat dari kayu akan lebih nyaman digunakan karena apabila kita terbentur handrail tersebut, maka cedera akan lebih mudah sembuh daripada kita terbentur handrail yang terbuat dari besi karena lebih berbahaya. 7.
Tempat parkir Menurut Peraturan Menteri PU No. 30/PRT/M/2006
area parkir adalah
tempat parkir kendaraan yang dikendarai oleh penyandang cacat, sehingga diperlukan tempat yang lebih luas untuk naik turun kursi roda, daripada tempat parkir yang biasa. Sedangkan daerah untuk menaik-turunkan penumpang (Passenger Loading Zones) adalah tempat bagi semua penumpang, termasuk penyandang cacat, untuk naik atau turun dari kendaraan.
49
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Tempat parkir yang terdapat di gedung Pascasarjana UNS sudah cukup memadai. Hal ini karena jarak tempat parkir dengan gedung yang tidak jauh dan adanya ramp. Namun, tekstur tanah tempat parkir masih dinilai tidak rata bagi penyandang tunanetra. Kemudian belum adanya jalur pedestrian bagi penyandang tunanetra. Selain itu penataan kendaraan yang tidak rapi mengurangi kenyamanan penyandang tunanetra ketika melewati tempat parkir.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa aksesibilitas gedung Pascasarjana UNS masih kurang aksesibel bagi penyandang tunanetra. Hal ini dapat ditunjukkan dengan belum adanya ramp di dalam gedung, belum adanya tanda braille ssebagai penanda tiap ruangan, belum adanya guiding block pada lantai gedung, penataan motor di tempat parkiran yang kurang rapi sehingga menyebabkan kurang aksesibel bagi penyandang tunanetra ketika melewati tempat tersebut. Selain itu, penempatan tempat sampah yang terletak di sepanjang jalan menuju kelas dimana tempat sampah tersebut terlalu ringan sehingga sering tertabrak oleh penyandang tunanetra ketika melewatinya. 2. Saran Saran yang diberikan adalah melengkapi fasilitas yang ada di gedung Pascasarjana UNS agar aksesibel bagi penyandang tunanetra pada khususnya dan penyandang disabilitas pada umunya..
DAFTAR PUSTAKA ASB.
Tanpa tahun. Aksesibilitas Deutschland.Yogyakarta.
Fisik.Arbeiter-Samariter-Bund
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:468 /Kpts/1998 Tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum Dan Lingkungan. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kesetaraan Difabel.
50
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 30/Prt/M/2006 Tentang Pedoman Teknis Fasilitas Dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan. Putri, Pradizza Septiana. 2010. Three-in-One: Mengoptimalkan Realisasi Konsep Kampus yang Ramah bagi Difabel http://nasional.kompas.com/read/2010/07/28/18330345/Konsep.Kampus. yang.Ramah.bagi.Difabel. Surakarta.go.id. 2016. Solo Raih Piagam Kebijakan Inovatif 2014 Sebagai Penyelenggaran Aksesibilitas Difabel. (Online) http://surakarta.go.id/konten/solo-raih-piagam-kebijakan-inovatif-2014sebagai-penyelenggaran-aksesibilitas-difabel Tarsidi, Didi. 2008. Aksesibilitas Lingkungan Fisik Bagi Penyandang Cacat, makalah disampaikan pada FGD Tentang Draft Raperda Perlindungan Penyandang Cacat Kota Bandung. Diunduh pada bulan November 2016 disitus: http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/A%20%20FIP/JUR.%20PEND.% 20LUAR%20BIASA/195106011979031%20%20DIDI%20TARSIDI/Ko mpilasi%20Materi%20Pendidikan%20Tunanetra%20II_Tarsidi_PLB/&fi le=Aksesibilitas%20Lingkungan%20Fisik.pdf.
51
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
PROGRAM PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF UNTUK ANAK DENGAN HAMBATAN PENDENGARAN
Asrori Ahmad, Suratmie Rachmat, Amanah, Sri Rezeki Sulantina
[email protected]) ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya siswa dengan gangguan pendengaran di kelas reguler/inklusif yang belum terlayani secara maksimal dalam pembelajaran terutama dalam mengembangkan komunikasi padahal anak masih mempunyai sisa pendengaran dan menggunakan alat bantu mendengar. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan program pembelajaran yang sesuai di sekolah regular yang di dalamnya terdapat siswa dengan hambatan pendengaran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan teknik pengumpulan datanya dengan melakukan wawancara dan observasi dan subyek penelitiannya adalah guru dan anak berkebutuhan khusus dengan hambatan pendengaran. Hasil dari penelitian ini adalah anak terlibat aktif dalam pembelajaran dan anak diransang untuk berinteraksi dengan guru dan kawan sebayanya yang ada di kelas tersebut. Dengan demikian dengan menggunakan program pembelajaran yang dilakukan peneliti terlihat adanya pelayanan yang lebih maksimal terhadap anak yang mengalami hambatan pendengaran di kelas reguler.
Kata Kunci: Program Pembelajaran, Kelas Inklusif, Gangguan Pendengaran
PENDAHULUAN Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya siswa dengan hambatan pendengaran di kelas reguler/inklusif yang belum terlayani secara maksimal dalam pembelajaran terutama dalam mengembangkan komunikasi padahal anak masih mempunyai sisa pendengaran dan menggunakan alat bantu mendengar. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan program pembelajaran yang sesuai di sekolah regular yang di dalamnya terdapat siswa dengan hambatan pendengaran. Dalam kehidupan sosial komunikasi memiliki peran yang penting untuk membangun konsep diri (self-concept), aktualisasi diri (self-actualization) dan untuk memupuk harmonisasi hubungan dengan orang lain. Komunikasi adalah aktifitas kehidupan keseharian setiap manusia sepanjang hayatnya dan komunikasi
52
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
menunjukkan keberadaan seseorang (Nina Novita, 2010:1). Komunikasi merupakan kebutuhan dasar seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Komunikasi juga merupakan bentuk penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi pada kaidahnya merupakan penyampaian informasi melalui bicara dan bahasa, tekanan, kecepatan, intonasi, kualitas suara, pendengaran dan pemahaman, ekspresi muka, dan gerak isyarat tangan (Samuel A. Kirk, dalam Imas Diana, dalam Irwin, dalam Rila Muspita, 2014:1). Melalui komunikasi individu dapat mengenal, memahami perasaan serta keinginan dirinya sendiri. dapat mengekspresikan perasaan, keinginan serta kemampuan yang dimilikinya. Melalui komunikasi juga orang lain bisa mengerti dan memahami keinginan atau harapan individu. Pembelajaran dalam setting pendidikan inklusif dimana di kelas tersebut beranggotakan anak berkebutuhan khusus menuntut perubahan dan penyesuaianpenyesuaian. Guru kelas tidak lagi berorientasi klasikal tetapi dihadapkan pada keberagaman kebutuhan siswa. Keberhasilan pembelajaran di kelas ditandai meningkatnya kompetensi peserta didik. Meningkatnya kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor peserta yang diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam proses pendidikannya. Perolehan kompetensi peserta didik sangat tergantung pada kualitas proses pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Dalam tatanan pendidikan inklusif, Johansen (2003), menggambarkan bahwa prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusif menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Hal ini menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Dengan diberikannya kesempatan kepada siswa berkebutuhan khusus dengan hambatan pendengaran untuk belajar bersama dengan teman sebayanya pada sekolah reguler, maka berimplikasi pada perubahan orientasi dan manajemen tidak hanya sekolah juga manajemen kelas. Guru harus pandai mengatur pengelolaan kelas agar anak berkebutuhan khusus terutama yang mengalami hambatan pendengaran untuk dapat mengakses informasi dari guru dan juga
53
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
teman sebayanya di kelas dan juga agar anak dilatih untuk berkomunikasi dengan guru dan teman sebayanya. Pengelolaan kelas menjadi hal yang sangat menentukan bagi keberhasilan pembelajaran anak dengan hambatan pendengaran terutama agar anak mampu mengembangkan kemampuan komunikasinya. Selain itu program pembelajaran yang diterapkan di kelas oleh guru juga menjadi penentu keberhasilan belajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu guru harus betul-betul menyiapkan program pembelajaran yang sesuai di kelas dengan anak hambatan pendengaran. Tuntutan dan tanggung jawab profesional guru dalam proses pembelajaran adalah untuk selalu menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan program pembelajaran yang akan berlangsung, tentunya dengan tujuan agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan efektif dan efisien, yaitu tujuan akhir yang diharapkan dapat dikusai oleh semua peserta didik. Penggunaan strategi pembelajaran pada siswa tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran pada umumnya, namun dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan
kebutuhan
siswa
tunarungu
yang
lebih
banyak
memanfaatkan indera penglihatannya, sehingga pembelajaran hendaknya dapat diilustrasikan dalam bentuk visual agar pemahaman siswa dapat tercapai misalnya dengan menghubungkan isyarat dengan obyek, isyarat dengan gerak tubuh, dan isyarat dengan situasi yang berkaitan dengan situasi nyata, pengalaman riil dan benda nyata.
METODE PENELITIAN Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dan teknik
pengumpulan datanya dengan melakukan wawancara dan observasi dan subyek penelitiannya adalah guru dan anak berkebutuhan khusus dengan hambatan pendengaran. Prosedur penelitiannya adalah pertama tim peneliti melakukan observasi dan wawancara ke SD di mana anak dengan hambatan pendengaran belajar, kemudian menganalisis data dan membuat program pembelajaran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
54
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
PROSEDUR KERJA Persiapan
Pelaksanaan
Jadwal Kerja Asesmen
Profil
Kemampuan
Silabus
Perizinan Kemampuan
PPI
Persiapan Pelaksanaan
Evaluasi
Analisis
Kurikulum
Pembelajaran
Pelaksanaan
Kemampuan
Program
Program
Kesimpulan Revisi
Dokumentasi
Penerapan
Laporan
Gambar 1. Prosedur Kerja
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Hasil Asesmen Siswa Anak masih mempunyai sisa pendengaran dan menggunakan ABM, tetapi kemampuan komunikasinya masih sangat kurang. Penguasaan kosa kata dan perbendaharaan katanya masih sangat sedikit. Anak lebih cenderung mengulang-ulang kata-kata lawan bicaranya pada saat berkomunikasi. Ketika ditunjukkan beberapa gambar anak hanya mampu menyebutkan sedikit saja nama dari gambar-gambar yang ditunjukkan. Anak hanya mampu mengucapkan kalimat sederhana dengan artikulasi yang tidak jelas. B. Analisis Hasil Asesmen Kurikulum Dari asesmen kurikulum yang sudah dilakukan didapatkan hasil bahwa kurikulum yang sesuai untuk Subjek adalah kurikulum yang digunakan di SDLB kelas I semester 2. Dengan demikian guru kelas harus memodifikasi kurikulum yang digunakan untuk Subjek terutama dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia agar kemampuan berbahasa anak dapat berkembang dengan optimal karena anak mempunyai potensi yang cukup bagus.
55
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Dari hasil asesmen tersebut maka terdapat beberapa kebutuhan yang diperlukan Subjek yang harus dilakukan guru di kelas, yaitu: 1.
Mengoptimalkan fungsi pendengaran yang masih dimiliki Subjek dengan latihan keterarahwajahan dan keterarahsuaraan.
2.
Latihan BKPBI Bahasa
3.
Latihan wicara/speech teraphy
4.
Meningkatkan penggunaan fungsi-fungsi bahasa seperti bertanya, menjawab, mengungkapkan, menyapa, mengungkapkan permintaan, ajakan, larangan, mengungkapkan suka dan tidak suka.
5.
Mengembangkan kemampuan komunikasi melalui percakapan dari hati ke hati dengan menciptakan lingkungan yang selalu membahasakan semua aktivitas agar anak mandi bahasa/kaya kosa kata.
C. Penerapan Pembelajaran Khusus di SDN Cidadap 1 Kota Bandung Oleh Kelompok 1. Setting Kelas Sebelum melaksanakan pembelajaran, terlebih dahulu melakukan pengaturan tempat duduk siswa agar subjek mendapat akses yang mudah untuk mengembangkan kemampuan berbahasanya. Tempat duduk diatur setengah lingkaran dan terdiri dari dua deret, posisi subjek berada di deret depan bagian tengah berhadapan langsung dengan guru. Hal ini dilaksanakan untuk memungkinkan subjek bisa mendengar suara dari berbagai arah dan dapat melihat ke semua sumber suara (keterarahwajahan dan keterarahsuaraan). Kursi guru berada di bagian sentral sehingga dapat dengan mudah mengontrol dan mengendalikan kondisi kelas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.
56
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Subjek
Gambar 2. Setting Kelas
2. Pelaksanaan Pembelajaran Pembelajaran dilakukan pada hari Senin tanggal 20 dan 27 April 2015. Pendekatan pembelajaran menggunakan pendekatan tematik dengan tema peristiwa. Metode yang digunakan dalam pembelajaran yaitu Metode Maternal Reflektif (MMR) yang dimulai dengan percakapan tentang peristiwa yang pernah dialami di rumah. Pembelajaran berlangsung aktif dan masing-masing siswa berperan serta dalam pembelajaran yang dilakukan. Dalam proses pembelajaran, guru menggunakan media berupa gambar, kartu bilangan dan kartu kata serta benda asli. Pada saat pembelajaran berlangsung, siswa selain menyimak penjelasan guru, berdiskusi, dan kerja kelompok, siswa juga mendapat pengalaman langsung berupa merasakan rasa buah, mengamati warna dan bentuk buah, mengeskpresikan perasaan senang, bahagia, marah, sedih, kecewa, dan lain-lain. Hasil dari pelaksanaan pembelajaran ini adalah subjek terlibat aktif dalam pembelajaran dan subjek diransang untuk berinteraksi dengan guru dan kawan sebayanya yang ada di kelas tersebut. Dengan demikian dengan menggunakan program pembelajaran yang dilakukan peneliti terlihat adanya pelayanan yang lebih maksimal terhadap anak yang mengalami hambatan pendengaran di kelas reguler.
57
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan di SDN Cidadap 1 dapat disimpulkan; 1.
Siswa dengan hambatan pendengaran belum
terlayani dengan baik
dalam proses pembelajaran, 2.
Program pembelajaran harus memperhatikan kebutuhan siswa dengan hambatan pendengaran sehingga semua kebutuhan siswa dapat terpenuhi dengan baik.
B. Saran Untuk meningkatkan keberhasilan proses pembelajaran di kelas reguler yang terdapat siswa berkebutuhan khusus, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru, antara lain: 1. Guru lebih meningkatkan pelayanan terhadap ABK yang ada di kelas tersebut. 2. Guru agar dapat melanjutkan program yang telah dikembangkan oleh tim.
DAFTAR PUSTAKA Andi Prastowo. (2013), Pengembangan Bahan Ajar Tematik, Yogyakarta: DIVA Press Buku
Sumber
Elektronik
Bahasa
Indonesia
Kelas
1
SD/MI
https://rumahradhen.wordpress.com/materi-kuliahku/materlain/pembelajaran/materibelajar-dan pembelajaran/diunduh tgl 21-4-2014 jam 10.10 WIB Gambar buah-buahan dan sayuran, tersedia di internet diunduh tanggal 20 Maret 2015 Johnsen, Berit H. And Skjorten, Miriam D. (2003) Pendidikan kebutuhan khusus sebuah pengantar, Bandung;Program Pascasarjana UPI Kesuma, et.al 2010:58, Contextual Teaching & Learning, Garut; Rahayasa Reseach & Training Nina Novita (2010), Program Pengembanngan Kemampuan Komunikasi Ekspresif dan Reseptif Pada Anak Dengan Gangguan Komunikasi, Tesis, UPI, Tidak Diterbitkan Rahyubi H (2012), Teori-teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik. Bandung; Nusa Media Rila Muspita (2014), Studi Kasus Pelaksanaan Intervensi Dini terhadap Anak Dengan Hambatan Komunikasi Di Lingkungan Keluarga, Tesis, UPI Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung; Alfabeta.
58
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
PENINGKATKAN KETERAMPILAN BICARA BAHASA INDONESIA DENGAN MEDIA FOTO SERI BAGI SISWA KELAS IV TUNARUNGU SLB ABCD YSD POLOKARTO TAHUN PELAJARAN 2016/2017
Pujandari Widatmojo SLB ABCD YSD Polokarto Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah
[email protected]
ABSTRAK Upaya meningkatkan keterampilan bicara Bahasa Indonesia melalui media foto seri bagi Siswa Kelas IV Tunarungu SLB ABCD YSD Polokarto Tahun pelajaran 2016/2017, dilaksanakan berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa menemukan kelemahan tingkat penguasaan berbicara bahasa Indonesia pada siswa. Penelitian ini dilaksanakan pada SLB ABCD YSD Polokarto, kabupaten Sukoharjo, provinsi Jawa Tengah tahun pelajaran 2016/2017. Waktu penelitian dilaksanakan pada semester satu tahun pelajaran 2016/2017. Penelitian ini untuk mengetahui : (1)peningkatan aktifitas siswa dengan diterapkannya media foto seri dalam pembelajaran keterampilan bicara bahasa; (2)peningkatan hasil belajar siswa dengan diterapkannya media foto seri pada pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto tahun pelajaran 2016/2017? Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Hasil penelitian penggunaan media foto seri dalam meningkatkan keterampilan bicara, ditunjukkan pada siklus 1 sampai dengan siklus III. Hasil studi awal diperoleh nilai ratarata 58, pada siklus I meningkat menjadi 63, pada siklus II meningkat menjadi 65 dan pada siklus III menjadi 69. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan media foto seri dapat meningkatkan keterampilan bicara bahasa Indonesia bagi siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah tahun pelajaran 2016/2017.
Kata kunci : Keterampilan bicara, media foto seri, siswa tunarungu
PENDAHULUAN Latar Belakang masalah Kehilangan pendengaran bagi anak tunarungu sangat berpengaruh pada fungsi kognitif dan sosialnya, karena mereka mengalami kesulitan dalam memahami informasi verbal.Kesulitan yang dialami oleh anak tunarungu pada umumnya adalah kesulitan
59
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
dalam menyatakan fikiran dan keinginan kepada orang lain secara lisan. Mereka tidak mampu mendengar bahasa, maka keterampilan bicaranya tidak akan berkembang bila tidak dilatih secara khusus. Afin Murtie (2014:293) menuliskan bahwa, anak-anak tunarungu memiliki kelemahan yang berhubungan dengan verbal dan bahasa, hal ini dikarenakan mereka tidak dapat mendengarkan orang atau benda lain bersuara. Pentingnya keterampilan berbicara yang diungkapkan oleh Supriyadi (2005:178) bahwa apabila seseorang memiliki keterampilan bicara yang baik, akan memperoleh keuntungan social maupun professional. Keuntungan social berkaitan dengan kegiatan interaksi social dan individu; sedangkan keuntungan professional diperoleh waktu menggunakan bahasa. Keterampilan bicara bahasa Indonesia yang baik akan memudahkan siswa tunarungu berkomunikasi dan mengungkapkan ide atau gagasan kepada orang lain. Farris menyatakan (Supriyadi 2005: 179) bahwa pembelajaran keterampilan bicara penting dikuasai siswa agar mampu mengembangkan kemampuan berfikir, membaca, menulis, bicara dan menyimak, karena kemampuan keterampilan bicara berkaitan langsung dengan seluruh proses belajar siswa di sekolah. Salah satu aspek berbahasa
yang harus dikuasai oleh siswa tunarungu adalah berbicara, sebab
keterampilan berbicara menunjang keterampilan lainnya (Tarigan 1986 : 86). Namun demikian anak tunarungu memiliki potensi untuk belajar berbicara dan berbahasa.Berbagai metode diterapkan untuk membantu siswa tunarungu memahami bahasa, salah satunya dengan menggunakan gambar yang diberi keterangan lisan dan isyarat dari orang lain agar bisa mengenali nama-nama benda disekitarnya. Menurut John Tracy Clinic pada kutipan Mutrie Afin (2014:294) menuliskan bahwa, anak tunarungu untuk mengerti suatu kata harus mendengar 100 kali, untuk dapat mengucapkan harus mendengar 1.000 kali. Dalam mengembangkan kemampuan keterampilan bicara siswa tunarungu, harus melalui penglihatan memanfaatkan sisa pendengarnya dan segala aspek yang ada pada anak misalnya manipulasi gerak bibir.Menurut Badudu (1993:131)
60
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
pelaksanaan pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia di SLB masih terkesan guru terlalu banyak menyuapi materi, guru kurang mengajak siswa untuk lebih aktif menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Akibatnya siswa tunarungu keterampilan bicaranya rendah. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia siswa tunarungu adalah penerapan pendekatan pengalaman berbahasa Mereka memperoleh pengalaman bahasa dalam situasi bersama antara siswa dengan orang tua atau guru dengan lambang visual berupa gerakan organ artikulasi yang membentuk kata-kata. Pengembangan keterampilan bicara dapat dilakuan secara individual dan klasikal. Pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia untuk siswa tunarungu harus dilakukan sedini mungkin agar diperoleh hasil yang efektif. Terhambatnya keterampilan berbicara pada anak tunarungu, berimplikasi pada kebutuhan khusus mereka untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan keterampilan bicaranya Demikian pula yang terjadi pada siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto tahun 2016. Dari hasil observasi awal
diketahui bahwa nilai rata-rata
keterampilan bicara bahasa Indonesia masih rendah, yaitu 58. Angka ini masih jauh dari KKM bahasa Indonesia untuk kelas IV yang ditetapkan sekolah yaitu 65. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan harus ditangani sungguh-sungguh, simultan dan terencana. Rendahnya nilai rata-rata siswa akan mempengaruhi rendahnya kemampuan mereka dalam berbicara bahasa Indonesia. Hal ini terlihat pada turunnya minat siswa tunarungu untuk berbicara secara lisan/ verbal, dengan sesama teman tunarungu lebih nyaman menggunakan bahasa alamiah mereka (isyarat), sehingga berakibat prestasi akademiknya menurun. Berkaitan dengan pernyataan tersebut untuk
memperbaiki pembelajaran
keterampilan bicara bahasa Indonesia siswa tunarungu kelas IV di SLB Polokarto akan digunakan media foto seri. Media foto seri digunakan untuk membantu memberikan
61
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
pemahaman siswa akan makna bahasa melalui pengalaman anak yang di buat dalam rangkaian foto berseri
dan memberikan rangsangan
siswa mengemukakan fikiran
imajinasinya, untuk diungkapkan dalam keterampilan bicara bahasa verbal/ lisan.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan masalah yang akan di bahas sebagai berikut: 1. Bagaimana peningkatan aktifitas siswa dengan diterapkannya media foto seri dalam pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto tahun pelajaran 2016/2017? 2. Bagaimanakah peningkatan hasil belajar siswa dengan diterapkannya media foto seri pada pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto tahun pelajaran 2016/2017?
Pembelajaran Keterampilan Bicara Bahasa Indonesia Menurut Seifert (2007:5) menuliskan bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang didalamnya terdapat proses mengajar, membimbing, melatih, memberi contoh dan atau mengatur serta memfasilitasi berbagai hal kepada siswa agar bisa belajar sehingga tercapai tujuan pendidikan.Sedangkan
Makmun (2005:156) mengemukakan bahwa
proses pembelajaran juga dapat diartikan sebagai suatu rangkaian interaksi antara siswa dan guru dalam rangka mencapai tujuannya. Pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu upaya membelajarkan siswa untuk
belajar
bahasa
Indonesia
dengan
guru
sebagai
fasilitator
dengan
mengorganisasikan berbagai unsur untuk memperoleh tujuan yang ingin di capai. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia berupaya untuk membina dan mengembangkan kemahiran bahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
62
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Keterampilan bicara adalah kemampuan mengungkapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran berupa ide, pendapat, keinginan atau perasaan kepada mitra bicara. Keterampilan bicara merupakan keterampilan yang paling penting dalam berbahasa.Sebab keterampilan bicara merupakan sarana utama untuk membina saling pengertian, komunikasi timbal balik, dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.Menurut Nurgiyantoro (1995:276) berbicara adalah aktifitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, yaitu setelah aktifitas mendengarkan (menyimak).Berdasarkan bunyi-bunyi yang disimak, kemudian belajar untuk mengucapkan dan akhirnya diharapkan terampil berbicara.Pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan bicara adalahaktifitas lisan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa dalam berkomunikasi. Pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia pada siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD polokarto dikembangkan dengan beberapa strategi pembelajaran t yaitu (1) latihan menjawab pertanyaan secara lisan berdasarkan bahan simakan, dalam penelitian ini menggunakan media foto seri. Ada lima pertanyaan yang perlu disajikan guru, yaitu (a) siapa .. ; (b) apa… ; (c) mengapa … ; (d) dimana … , dalam kegiatan ini guru harus pandai memilih bahan cerita berdasakan pengalaman anak, sehingga pertanyaan
diatas
dapat
diajukan.
(2)
bermain
tebak-tebakan,
dimana
guru
mendeskripsikan secara lisan suatu benda dari apa yang dilihat pada foto seri, tanpa menyebutkan nama bendanya, lalu siswa diminta untuk menerka nama benda tersebut secara lisan. (3) Melalui kegiatan bercerita, siswa dilatih untuk berbicara jelas dengan intonasi yang tepat. Kegiatan bercerita dilakukan dengan perencanaan yang baik, sebelum kegiatan dilaksanakan.Siswa sebelumnya sudah di beri tahu agar menghafalkan cerita pada foto seri, agar dalam pelaksanaanya tidak mengalami kesulitan. Agar pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia dapat diterapkan dengan baik dan mencapai sasarannya perlu diperhatikan beberapa prinsip yang melandasi pembelajaran bicara yaitu (1) pembelajaran keterampilan bicara harus mempunyai tujuan
63
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
yang jelas yang diketahui guru dan siswa; (2) Pembelajaran keterampilan bicara disusun dari hal sederhana ke yang kompleks, sesuai tingkat perkembangan bahasa siswa; (3) pembelajaran keterampilan bicara harus mampu menumbuhkan partisipasi aktif pada diri siswa; (4) Pembelajaranj keterampilan bicara harus benar-benar mengajar bukan menguji, artinya skor yang diperoleh siswa harus dipandang sebagai balikan bagi guru; (5) menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Media Foto Seri Media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti „perantara‟, atau „ pengantar‟. Arsyat ( 2007:3), menuliskan bahwa media apabila difahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media Secara khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis atau elektronis untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi verbal dan visual. Konsep penelitian ini didasarkan dari pendapat bahwa untuk membuat siswa belajar adalah memberi kesempatan siswa untuk berinteraksi dengan sumber belajar. Aristo Rahadi, (2003:6) mengemukakan, bahwa „ sumber belajar adalah semua sumber baik berupa data, orang atau benda) yang dapat digunakan untuk memberi kemudahan belajar bagi siswa. Sumber belajar meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan lingkungan/ latar.Sedangkan alat dan bahan belajar disebut media pengajaran. Rahadi (2003:110), menyampaikan pendapat bahwa:‟ apa yang dinamakan media pengajaran adalah bahan dan. Alat belajar tersebut‟. Pemilihan media yang tepat dapat membantu memperbaiki keterampilan bicara siswa tunarungu.Konsep pemilihan media foto seri yang merupakan fokus dalam penelitian ini didasarkan dari pendapat dewasa ini gambar foto secara luas dapat
64
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
diperoleh dengan mudah, mulai dari kamera yang canggih sampai kamera yang terdapat pada hand phone.
Memanfaatkan gambar hasil dari jepretan foto tersebut dapat
dipergunakan oleh guru secara efektif dalam kegiatan belajar mengajar. Gambar foto tersebut, dibuat untuk media pengajaran bicara bahasa Indonesia pada siswa tunarungu kelas IV di SLB Polokarto.Gambar foto tersebut di buat berangkai menjadi sebuah cerita seri yang saling berhubungan.Oleh sebab itulah gambar foto berangkai ini dinamakan media foto seri. Media foto seri merupakan media yang
digunakan dalam setiap kegiatan
pembelajaran bicara bahasa Indonesia karena kesederhanaannya, mudah menarik perhatian siswa, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan,
tanpa memerlukan
perlengkapan dan tidak perlu diproyeksikan untuk mengamatinya, merupakan media yang digunakan untuk memvisualisasikan atau menyalurkan pesan dari sumber ke penerima. Foto seribersifat universal, mudah dimengerti tidak terikat oleh keterbatasan bahasa. Pesan yang disampaikan dituangkan dalam komunikasi visual. Rangkaian pada media foto seri merupakan alur yang menggambarkan “cerita” yang diambil dari topic pembelajaran. Sebagai perkenalan guru akan mengenalkan dialog dalam foto seri. Hubungan timbal balik antara siswa dan guru akan terjadi, dimana siswa dengan bimbingan guru akan membaca teks-teks dalam dialog foto seri, sekaligus memperhatikan
keterangan urutan gambar dalam foto seri. Dalam melakukan dialog
disesuaikan dengan urutan foto seri. Keterampilan bicara ini tidak akan muncul sendiri tanpa latihan. Melalui berbagai strategi pembelajaran dengan tanya jawab, bermain tebaktebakan dan bercerita, diharapkan dapat meningkatkan keterampilan bicara siswa. Dalam foto seri mengandung tulisan yang bersifat Menjelaskan. Dengan penjelasan tersebut, bisa membantu siswa untuk memahami maksud gambar. Melalui media foto seri dapat juga membantu siswa dalam mengekspresikan gagasannya untuk
65
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
memproduksi bahasa (kata/ kalimat) yang akan diungkapkan melalui bahasa lisan ( keterampilan bicara). Dengan pengertian di atas dapat diungkapkan bahwa media foto seri adalah media pembelajaran berupa media visual yang berupa potongan foto yang dirangkaikan menjadi sebuah cerita seri, yang memperkenalkan suatu peristiwa yang mengandung arti. Dikatakan foto seri karena foto satu dengan foto lainnya memiliki hubungan urutan peristiwa. Adanya kronologi peristiwa ini dapat memudahkan siswa untuk menguangkapkan bahasa dalam keterampilan bicara. Siswa Tunarungu Siswa tunarungu adalah siswa yang mempunyai gangguan pada pendengaran sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali.Hanyalah sisa-sisa pendengaran yang masih bisa dioptimalkan pada siswa tersebut.Ada beberapa pengertian tentang tunarungu sesuai dengan pandangan dan kepentingan masing-masing. Menurut Andreas Dwidjosumarto yang dikutip Sutjihati Sumatri (1996:74) mengemukakan bahwa : seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua katagori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah anak yang indera pendengarannya tidak berfungsi lagi; sedangkan kurang dengar adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar baik dengan alat bantu maupun tanpa alat bantu. Tin Sumarmini (2009:35Z) mengemukakan tunarungu dapat diartikan sebagai keadaan dari seorang individu yang mengalami kerusakan pada pancaindera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran. Selain itu, Mufti salim seperti yang dikutip Sutjihati Sumantri menyimpulkan bahwa tunarungu adalah anak yang mengalami atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam
66
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.Dari berbagai pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwadikatakan tunarungu apabila orang tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto adalah anak tunarungu yang mempunyai gangguan pendengaran baik secara keseluruhan ataupun masih ada sisa pendengaran, meskipun dibantu dengan alat bantu dengar, tetap saja mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Apabila dilihat secara fisik, tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat melakukan komunikasi diketahui anak tersebut mengalami ketunarunguan. Akibat dari keturunguannya ini, siswa mengalami hambatan dalam berkomunikasi, yang berpengaruh juga pada perkembangan kognitifnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto, di desa Mranggen, kecamatan Polokarto, kabupaten Sukoharjo.Waktu penelitian dilaksanakan pada semester satu tahun pelajaran 2016/2017. Data awal (pra siklus) dikumpulkan dengan teknik dokumentasi, untuk mengumpulkan data selama proses pembelajaran menggunakan teknik observasi, dan teknik unjuk kerja digunakan untuk mengumpulkan data hasil belajar keterampilan bicara Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data
pada penelitian ini
adalah dokumen catatan jurnal
pembelajaran dan observasi unjuk kerja siswa. Data-data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan teknik deskriptif komparatif, Membandingkan data pra siklus, data siklus pertama, siklus kedua dan ketiga. Hasil deskriptif komparatif kemudian direfleksi untuk menentukan simpulan hasil analisis data dan perlu tidaknya siklus berikutnya. Sebelum data di analisis terlebih dahulu dilakukan validasi data dengan cara melibatkan observer teman sejawat atau berkolaborasi. Indikator kinerja dalam penelitian ini adalah : “ minimal siswa mencapai 65 atau lebih
67
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
sebagai batas tuntas, sebab Standart Kriteria Minimal (KKM) untuk mata pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto adalah 65. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan diperoleh data mengenai aktifitas
siswa dan hasil belajar. Pada bagian ini akan diurai mengenai hasil penelitian. Hasil observasi peningkatan aktifitas siswa dalam pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia dengan penerapan media foto seri, pada siklus I, kategori kurang baik siswa cenderung pasif seperti: (1) malu bertanya, (2) tidak mau bekerjasama dengan temannya, (3) tidak serius melakukan kegiatan pengamatan, (4) kurang memperhatikan penjelasan guru, (5) kurang percaya diri. Pada siklus II hasil observasi katagori cukup, siswa sudah mulai berani bertanya, muncul kerjasama dengan temannya, ada peningkatan melakukan pengamatan, mau memperhatikan guru dan muncul kepercayaan diri siswa. Pada siklus III, hasil observasi siswa dalam katagori baik. Hal ini terlihat pada aktifitas siswa memuaskan, ditandai meningkatnya poin hasil observasi peningkatan aktifitas siswa. Telah muncul keberanian mengutarakan kalimat secara lisan, mau bekerjasama dengan teman ketika mengamati media foto, suasana kelas kondusif, kepercayaan diri siswa dalam bicara meningkat sehingga siswa dapat
memahami materi dan dapat
menyelesaikan tugas dengan baik. Dengan demikian hasil observasi siswa dari siklus I ke siklus III mengalami peningkatan dari katagori kurang, cukup lalu baik. Pada siklus I skor aktifitas siswa sebesar 8 poin, siklus II menjadi15 poin, dan padasiklus III menjadi 23 poin. Rekapitulasi hasil observasi aktifitas siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto tahun pelajaran 2016/2017 dapat dilihat pada tabel 1.1
68
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Tabel 1.1. Rekapitulasi Aktifitas Siswa Tunarungu Kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto tahun pelajaran 2016/2017 No
Aktifitas Belajar
Poin rata-rata
Keterangan
1
Siklus I
8
Kurang
2
Siklus II
15
Cukup
3
Siklus III
23
Baik
Peningkatan hasil belajar siswa pada pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia. siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto dengan penerapan media foto seri dapat dijawab secara deskriptif kuantitatif. Pada kegiatan studi awal, nilai rata-rata hasil belajar siswa adalah 58. Nilai tersebut belum memenuhi nilai ratarata yang sesuai dengan indikator keberhasilan yaitu 65. Dari dua siswa yang dijadikan sampel tidak ada siswa yang mengalami ketuntasan belajar. Nilai rata-rata keterampilan bicara bahasa Indonesia pada siklus I mencapai 63 atau termasuk katagori belum tuntas. Nilai rata-rata siklus II mencapai 65 termasuk katagori tuntas karena sesuai dengan standar ketuntasan dan siklus III mencapai 69.Hal ini menunjukkan peningkatan nilai rata-rata dari siklus II ke siklus III sebesar 4 poin. Lebih rinci peningkatan keterampilan bicara bahasa Indonesia dengan penerapan media foto seri pada siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto dapat dibaca pada tabel 1.2 berikut ini. Tabel 1.2 Perbandingan Rata-rata Nilai Keterampilan Bicara Bahasa Indonesia Dengan Penerapan Media Foto Seri Rata-rata
Peningkatan
SA
SI
S II
S III
SA – S I
S I – S II
SII – S III
SA – S III
58
63
65
69
5
2
4
11
69
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Keterangan : S A = Studi Awal S I = Siklus I S II = Siklus II S III = Siklus III Tabel 1.1 menunjukkan bahwa hasil studi awal nilai rata-rata kelas mencapai 58, ini masuk katagori kurang.Hasil siklus I nilai rata-rata mencapai 63, sudah ada peningkatan tetapi masih di bawah indikator keberhasilan. Hasil siklus II mencapai 65, nilai tersebut sama dengan indikator keberhasilan, berarti sudah memenuhi target yang ditetapkan yaitu 65. Meskipun demikian, masih ada satu siswa yang memperoleh di bawah nilai rata-rata target, disebabkan siswa kurang memperhatikan penjelasan guru, sehingga kurang sesuai dengan perintah guru. Pada siklus III nilai rata-rata mencapai 69 yang berarti mengalami peningkatan 4 poin dari siklus II, dan semua siswa ketuntasan belajar. PEMBAHASAN Prasiklus Hasil observasi diperoleh data bahwa aktifitas siswa pada tahap studi awal dalam katagori kurang baik. Siswa cenderung pasif seperti malu bertanya baik isyarat maupun lisan, tidak mau bekerjasama dengan temannya cenderung mengutakan egonya, tidak serius melakukan kegiatan pengamatan
terhadap media, kurang
memperhatikan
penjelasan guru, dan kurang percaya diri. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada studi awal rendah yaitu 58, jauh di bawah KKM yang diharapkan yaitu 65. Dari jumlah siswa sebanyak 2 orang, semua belum tuntas. Rendahnya hasil belajar tersebut disebabkan: (1) kurangnya perhatian siswa; (2) kurangnya keterlibatan siswa; (3) rendahnya penguasaan materi; (4) sedikitnya perbendaharaan siswa
70
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
Siklus I Pada siklus I hasil analisis data, aktifitas siswa dalam pembelajaran keterampilan bicara
mendapat poin 8. Telah muncul keberanian bertanya walau melalui isyarat,
kerjasama dengan teman sudah terlihat, mulai
perhatian pada media, mau
memperhatikan guru dan muncul kepercayaan diri dari siswa.Poin yang diperoleh 8, termasuk pada katagori kurang. Hasil belajar pada siklus I telah meningkat dibandingkan pada awal pembelajaran. Pada siklus I diperoleh nilai rata-rata kelas yang diperoleh siswa adalah 63, berarti ada peningkatan sebesar 5 dibandingkan hasil tes studi awal yaitu 58. Dua siswa belum tuntas belajar. Siklus II Berdasarkan
analisis
data,
bahwa
aktifitas
siswa
dalam
pembelajaran
keterampilan bicara bahasa Indonesia dengan penerapan media foto seri, terlihat dari hasil observasi meningkat semakin aktif. Siswa berani mengutarakan kalimat secara lisan dengan bimbingan dan dorongan guru, kerjasama mengamati media foto semakin aktif, suasana kelas yang kondusif, kepercayaan diri siswa dalam
bicara meningkat,
sehingga materi lebih mudah di mengerti dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik.Poin yang diperoleh 15, masuk pada katagori baik. Hasil belajar pada siklus II telah meningkat dibandingkan siklus I. Pada siklus II diperoleh nilai rata-rata kelas yang diperoleh siswa adalah 65, berarti ada peningkatan sebesar 2 dibandingkan hasil tes siklus I. Semua siswa telah tuntas belajar, walaupun belum optimal. Siklus III Pada siklus III aktifitas siswa dalam pembelajaran keterampilan bicara bahasa Indonesia dengan penerapan media foto seri,menunjukkan kemajuan yang signifikan. Dari hasil observasi aktifitas siswa meningkat meningkat pada poin 23, masuk pada
71
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
katagori baik. Terlihat siswa berani berbicara untuk mengeluarkan isi hatinya, bertanya dan menjawab kalimat sederhana sehingga terjadi komunikasi timbal balik dengan temannya. Kerjasama dan peran serta siswa baik, ketertarikan mengamati media fotoseri meningkat, apa yang di informasikan guru senantiasa diperhatikan, dan siswa lebih percaya diri dan senang melakukan untuk melakukan komunikasi lisan (berbicara). Pada siklus III hasil belajar meningkat lebih baik dibandingkan hasil pada siklus I dan siklus II. Nilai rata-rata yang diperoleh siswa adalah 69. Perbaikan keterampilan bicara dengan media foto seri meningkat 4 poin, semua siswa memperoleh hasil pembelajaran yang tuntas,sehingga perbaikan keterampilan bicara dengan media foto seri dihentikan pada siklus III. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan
bahwa perbaikan pembelajaran
dengan menerapkan media foto seri memberikan dampak positif dalam meningkatkan keterampilan bicara bahasa Indonesia siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya aktifitas siswa dalam KBM. Peningkatan aktifitas siswa selalu meningkat poinnya kearah lebih positif, mulai dari siklus I dengan poin 8 masuk katagori aktifitas siswa kurang, siklus II poin 15 masuk katagori aktifitas siswa cukup baik dan siklus III dengan poin 23 masuk katagori baik. Pemahaman siswa terhadap materi diperoleh dari hasil belajar siswa. Dengan menerapkan media foto seri dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Nilai rata-rata senantiasa meningkat dari siklus I, II dan III. Pada siklus I diperoleh nilai rata-rata 63,. Hasil yang diperoleh telah meningkat, namun belum mencapai batas tuntas
yang
ditetapkan yaitu 65. Pada siklus II memperoleh nilai rata-rata 65, berarti sudah mencapai batas tuntas namun belum optimal, lalu dilanjutkan perbaikan pada siklus III, diperoleh rata-rata hasil belajar 69, berarti sudah melampaui batas tuntas yang berada pada katagori tinggi.Kesimpulan penelitian ini adalah dengan menerapkan media foto seri dapat
72
Jurnal Special_Edu ISSN: 2541-3953 2017. Vol. 2 No. 1
meningkatkan keterampilan bicara bahasa Indonesia siswa tunarungu kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto tahun pelajaran 2016/2017. Berdasarkan hasil dari pembahasan dapat dikemukakan beberapa saran, yaitu kepada siswa disarankan supaya kegiatan belajar lebih aktif
dan kreatif, siap
memperhatikan materi dan menstimulasi diri untuk meningkatkan minat belajar bicara; kepada guru, disarankan menggunakan media foto seri disesuaikan dengan tema pembelajaran; Kepada sekolah disarankan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang memudahkan guru mengajar; kepada peneliti lainhendaknya dapat melaksanakan PTK dengan berbagai media pembelajaran lain sebagai pembanding dalam melakukan penelitian berikutnya DAFTAR PUSTAKA Arsyad, A. 2007.Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Prasada. Murtie, Afin (2014) Ensiklopedi Anak berkebutuhan Khusus.Jogyakarta. Maxima Makmun, Abin Syamsuddin. 2005. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Rahadi, Aristo (2003) Media Pembelajaran. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional Supriyadi, dkk. 2005. Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Depdikbud. Sutjihati somantri.(1996). Psikhologi anak luar Biasa. ………………….. Seifert, Kelvin. 2007. Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan. Jogjakarta:Ircisod. Tarigan, H.G. 1986. Berbicara sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa
73
1-9
Muslimah Sholikhah Isnaini Pengaruh Pembelajaran Dengan Menggunakan Multimedia Interaktif Terhadap Ketrampilan Membaca Permulaan Anak Tunalaras Kelas 1 Di SLB-E Bhina Putera Surakarta Tahun 2014
28-42
Dwi Arnia Ulfa, Esty Zyadatul Khasanah, Nadia Devina Arya Putri, Dwi Aris Himawanto Aksesibilitas Bagi Difabel Pada Gedung Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
43-51
Asrori Ahmad, Amanah , Suratmi Rachmat , Sri Rezeki Sulantina Program Pembelajaran Di Kelas Inklusif Untuk Anak Dengan Hambatan Pendengaran
52-58
Pujandari Widatmojo Peningkatkan Keterampilan Bicara Bahasa Indonesia Dengan Media Foto Seri Bagi Siswa Kelas IV Tunarungu SLB ABCD YSD Polokarto Tahun Pelajaran 2016/2017
59-73
Januari – Februari 2017
10-27
Volume. 2 Nomor. 1 Hal. 1-71
Leny Yunita Kompetensi Guru Pendidikan Khusus
SPECIAL EDU . Jurnal Pendidikan Khusus
Annisa Chahya Sadmawati Implementasi Supervisi Pendidikan Inklusi Di SD N Randu Boyolali