JPAK JURNAL PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK Jumal PendidikanAgama Katolik (JPAK) adalah media komunikasi ilmiah yang dimaksudkan untuk mewadahi hasil penelitian, basil studi, atau kajian ilmiah yang berkaitan dengan PendidikanAgamaKatolik sebagai salah satu bentuk smpbangan STKIP Widya Yuwana Madiun bagi pengembangan PendidikanAgama Katolik pada umumnya.
Penasihat Ketua Yayasan Widya Yuwana Madiun
Pelindung Ketua STKIP Widya Yuwana Madiun
Penyelenggara Lembaga Penelitian STKIP Widya Yuwana Madiun
Ketua Penyunting Hipolitus Kristoforus Kewuel
Penyunting Pelaksana FX. Hardi Aswinamo DB. Kaman Ardijanto
Penyunting Ahli John Tondowidjojo Ola Rongan Wilhelmus Armada Riyanto
Sekretaris Gabriel Sunyoto
Alamat Redaksi STKIP Widya Yuwana Jln. Mayjend Panjaitan. Tromolpos: 13. Telp. 0351-463208. Fax. 0351-483554 Madiun 63137- Jawa Timur- Indonesia
Jumal Pendidikan Agama Katolik (JPAK) diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, STKIP Widya Yuwana Madiun. Terbit 2 kali setahun (April dan Oktober).
JPAK Vol. 9, Tahun ke-5, Apri12013
ISSN; 2085-0743
DAFTARISI 2
Editorial
4
Pastoral Pengaturan Kehamilan Seturut Ajaran Moral Gereja Katolik Antonius VirdeiEresto Gaudiawan, M.Hum.
29
Arab Dasar Pendidikan Kita Prof. Dr. John Tondowidjojo, CM
42
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Agama Katolik di SMA Santo Bonaventura Madiun Murlani
81
Pendidikan Kristiani Melalw Pengalaman Berkomunitas bagiAnak-anak AlbertiKetutDeni W.
91
MendidikMurid Menjadi Pendidiklman Agustin us Supriyadi
100
Komunitas Basis Gerejani 0/aRongan Wilhemus
1
Editorial Gereja berpandangan bahwa dari kodratnya, Allah menciptakan pria dan wanita menurut rupa dan gambar-Nya. Allah sendiri mempersatukan pria dan wanita itu melalui pernikahan suci sehingga mereka menjadi suami-istri dan satu. Mereka menjadi rekan sederajat dan penolong yang sepadan. Tugas perutusan suami dan istri ialah memenuhi bumi dalam arti melanjutkan generasi berikutnya. Berdasarkan pandangan ini maka Gereja senantiasa menjaga serta memperjuangkan moralitas seksual dan prokreasi. Gereja memandang penggunaan alat-alat seksual dalam tubuh manusia sebagai sesuatu yang bermoral sejauh memiliki sifat prokreatif yaitu terbuka terhadap keturunan. Dunia politik dan pendidikan sebenarnya tidak mengenal istilah pendidikan dan politik Kristiani atau Katolik. Sebab dalam kenyataannya hanya ada praktek dan pandangan Kristiani tentang politik dan pendidikan berdasarkan visi Kristiani.atau Injil tentang manusia. Injil sendiri hanya berbicara tentang proyek Allah atas diri manusia, dan tidak berbicara tentang metode-metode pendidikan dan politik secara praktis. Dalam kaitannya dengan pendidikan, Paus Yohanes Paulus II mengatakan: hakekat pendidikan terletak dalam upaya memberikan kesempatan kepada manusia untuk menjadi lebih manusia atau menolong manusia supaya "menjadi lebih" tidak hanya dalam hal "memiliki lebih", tetapi juga melalui apa yang dimilikinya termasuk kuasa dan uang, manusia semakin sadar bahwa ia adalah manusia". Sejalan dengan pandangan ini maka manusia perlu dididik dan dibimbing dalam terang proyekAllah atas diri manusia. Pendidikan dalam terang proyek Allah ini merupakan contoh pendidikan yang sungguh-sungguh berkarakter. Karenanya karakter pendidikan ini harus menjadi jiwa atau roh dari seluruh aktivitas pendidikan Kristen katolik pada setiap jeJ:!iang pendidikan. Absennya karakter ini dalam proses pendidikan akan melahirkan manusia pintar tetapi tidak memiliki kecerdasan spiritual dan sosial. Untuk itu pendidikan katolik, terutama pendidikan agama katolik harus menjadi salah satu pioner pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang dibangun melalui pendidikan dan pengajaran agama Katolik lebih bersifat preventifkarena membangun generasi bangsa melalui proses yang lebih baik dan terencana. Pendidikan agama katolik-pada tempat pertama tidak sekedar
2
memperluas wawasan keagamaan, malainkan memperkuat iman katolik khusunya iman anak-anak katolik dan prilaku hidup mereka sehari-hari sebagai insan katolik. Anak-anak membutuhkan pendidikan iman yang benar dan tepat akan Allah dalam diri Yesus Kristus. Pendidikan iman yang tepat memerlukan tempat persemaian, komunitas pendidikan dan keluarga kristiani yang sungguh-sungguh beriman dan mampu membina atau mendidik iman anak sedemikian rupa sehingga anak · dapat memiliki iman yang kuat dan berkepribadiankristiani yang bisa membanggakan. Iman kepadaAllah dalam diri Yesus Kristus harus diwartakan. Karena itu Yesus bersabda kepada para murid-Nya: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, serta ajarlah mereka melakukan apa yang telali Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman" (Mat 28:1820). . Misi Yesus ini selanjutnya perlu dihadirkan dalam lingkungan Komunitas Basis Gerejani atau Komunitas Kecil Umat. Komunitas Basis Gerejani merupakan persekutuan kelompok kecil umat beriman kristiani yang terdiri dari kurang lebih 5-l 0 kepala keluarga. Kelompok kecil umat ini dapat berkumpul secara rutin untuk mendengarkan Sabda Tuhan dan berbagi masalah hidup (rohani, sosial, pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lainnya) sehari-hari dalam kelompok serta mencarikan pemecahannya secara kolektif dalam terang lnjil. SELAMAT MEMBACA!
.. · .. .,
...-~
3
PENDIDIKAN KRISTIANI MELALUI PENGALAMAN BERKOMUNITAS · BAGI ANAK-ANAK Albert I Ketut Deni W. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Katolik (STKIP) Widya Yuwana Madiun
Abstrak
Gereja masa depan tidak bisa terpisah dari mutu pendidikan iman anak-anak saat ini. Untuk itu, sejak dini · anak-anak perlu mendapat pendidikan iman yang bermutu sedini mungkin. Hal itu berarti bahwa anakanak perlu be/ajar tidak hanya dengan model ldasikal namun perlu dengan bentuk yang lain. Melihat hal tersebut, pendidikan yang berangkat dari pengalaman berkomunitas menjadi alternatif yang perlu dipikirkan kembali. Dalam pendidikan pengalaman berkomunitas, setiap pribadi be/ajar dari pengalaman ·untuk bersedia saling memberikan diri bagi orang lain dan soling mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan setiap pribadi secara utuh. Kata kunci: Pendidikan kristiani, pengalaman, perkembangan kepercayaan, komunitas, anak-anak. Kehidupan dan perkembangan Gereja harus dipikirkan dan diperhatikan secara serius oleh semua anggota Gereja, terlebih untuk zaman sekarang (bdk. Prasetya, 2009: 20-22). Hal ini tidak lepas dari tantangan Gereja pada masa mendatang yang semakin besar. Berbagai .tantangan yang mulai muncul antara lain gaya hidup manusia yang semakin sekular dan hedonis, perkembangan teknologi yang semakin pesat dan semakinmenantang bentuk pengajaran iman yang kontekstual, dunia kaum muda yang semakin marak dengan kasus-kasus narkoba, pergaulan bebas, perkelahian dan lain
81
sebagainya. Berhadapan dengan situasi tersebut, Gereja perlu mempersiapkan diri bersama dengan seluruh anggotanya, dan tidak lupa anak-anak juga perlu dipersiapkan. Sebab anak-anak merupakan generasi penerus, bahkan tumpuan yang dapat diharapkan dan dibanggakan bagi kehidupan dan perkembangan Gereja masa depan. Untukmereka perlu dipersiapkan melalui pendidikan iman yang baik danmemadai bagikehidupan di masa yang akan datang. Pendidikan iman yang tepat sangat penting bagi anak-anak. Dalam proses pembinaan, menciptakan suasana yang membahagiakan merupakan kunci utama. Penulis melihat apabila sejak dini anakanak mengalami berbagai kegiatan yang membahagiakan dapat dipastikan bahwa mereka akan senantiasa hadir dalam setiap pertemuan dengan setia. Mereka tidak hanya akan setia. tetapi juga akan merasa senang dan bersemangat untuk mengik-utinya. Selain menciptakan kegiatan yang membahagiakan, perlu juga senantiasa memperhatikan perkembangan kepribadian dan iman anak-anak tersebut. Pendidikan iman yang tepat berarti juga tersedianya tempat pesemaian yang khusus dan berkesinambungan agar anak-anak dapat mengembangkan iman dankepribadianmereka seturut ajaran Gereja. Tersedianya tempat persemaian yang tepat dapat diartikan dengan tersedianya komunitas yang dapat memberikan pendidikan dan pembinaan iman bagi anak-anak. Melaui tempat penyemaian ini, anak-anak mendapat pembinaan untuk bertumbuh kembang menjadi pribadi-pribadi yang dewasa dalam berpikir, bersikap dan beriman. Lebih jauh lagi, mereka akan menjadi orang Katolik yang militan sehingga dapat diandalkan untuk menghidupi dan mengembangkan Gereja sertamewujudkanKerajaanAllah di masadepan.
1. Pendidikan yangBerbasis pada Pengalaman John Dewey menganjurkan agar pendidikan sebaiknya berangkat dari pengalaman. Melalui pendidikan berbasis pengalaman diharapkan proses pembelajaran dapat lebih menarik dan berkesan. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya semua pendidikan sejati terjadi melalui pengalaman, meskipun demikian, tidak berarti bahwa setiap pengalaman sungguh-sungguh bersifat edukatif atau memiliki nilai pendidikan. Sebab pengalaman dan pendidikan tidak dapat secara langsung disamakan begitu saja. Beberapa pengalaman juga :inemiliki sifat ·salah didik, dimana pengalaman tersebut dapat
82
mengakibatkan rusaknya proses pertumbuhan pengalaman selanjutnya(bdk. Dewey, 2002: 12). Peneliti melihat bahwa apa yang diperoleh anak-anak di bangku sekolah masih kurang bagi pertumbuhan iman mereka. Proses pendidikan yang terjadi selama ini di sekolah cenderung menekankan aspek kognitif. Anak-anak lebih banyak memperoleh berbagai teori dan pada akhimya diuji me1alui sebuah tes dengan soal-soal yang cenderung menyentuh ranah kognitif Sedangkan pendidikan yang menyentuh ranah afektif dan psikomotorik masih sangat kurang. Dengan demikian, pendidikan iman melalui Pelaj aran Agama Katolik perlahan-lahan menjadi pelajaran yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu memperkenalkan iman Katolik melalui kegiatan yang menarik dan tidak kaku kiranya menjadi plihan yang lebih baik. Meskipun menekankan aspek pengalaman, hal itu tidak berarti bahwa kualitas pengalaman dapat diabaikan. Hal ini perlu diingat, sebab tidaklah cukup berpikir akan pentingnya pendidikan melalui sebuah pengalaman, serta perlunya sebuah kegiatan dalam pengalaman. Hal yang harus dipikirkan sekali lagi adalah sejauh mana kualitas pengalaman yang akan diberikan bagi mereka. Kualitas pengalaman sendiri memiliki dua aspek: pertama aspek langsung, yaitu menyenangkan atau tidak menyenangkan; dan kedua, aspek pangaruh terhadap pengalaman selanjutnya atau nilai kontinuitas dari pengalaman yang diperolehnya (bdk. Dewey, 2002: 14). Pada aspek pertama, John Dewey ingin mengingatkan bahwa setiap pengalaman sebaiknya mampu membawa suasana yang menyenangkan bagi para peserta didik. Pengalaman yang menyenangkan sangat banyak, namun Dewey ingin mengingatkan bahwa tidak semua pengalaman yang menyenangkan baik bagi proses pembelajaran. Hal ini tentu menjadi tugas para guru untuk menata kembali beberapa jenis pengalaman belajar. Pengalaman tersebut hendaknya tidak menjemukan dan mampu mendorong peserta untuk belajar. Pengalaman yang demikian tentunya tetap lebih baik daripada hanya sekedar memberikan pengalaman yang menyenangkan saja. Sebab dengan pengalaman yang menyenangkan dan mampu mendorong semangat belajar, anak-anak akan belajar lebih banyak dari yang diberikan. Anak-anak akan belajar dengan lebih mandiri, bersemangat serta menumbuhkan daya kreatifitas (bdk. Dewey, 2002: 15). Dengan melihat hal tersebut, maka setiap pengalaman harus senantiasa berpengaruh bagi pengalaman 83
selanjutnya. Bagi para pendidik sendiri, ia harus mampu memilih jenis pengalaman saat ini yang tentunya juga berpengaruh secara kreatif dan produktif dalam seluruh pengalaman berikutnya. Dalam prinsip kontinuitas pendidikan berdasarkan pengalaman, kita perlu mengingat bahwa pendidikan merupakan suatu perkembangan di dalam pengalaman, melalui pengalaman dan untuk pengalaman (bdk. Dewey, 2002: 16). Pendidikan hendaknya tetap berpegang pada prinsip pertumbuhan. Dimana pendidikan semakin membantu setiap peserta didik untuk semakin berkembang kearah kedewasaan. Dengan demikian berarti bahwa. setiap usaha pengajaran yang dilakukan senantiasa dilakukan dalam kerangka pengalaman-pengalaman, dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan sehingga nantinya membantu dan bermanfaat bagi perjalanan hidupnya di masamendatang. Pada akhimya, penulis melihat bahwa pendidikan yang disampaikan melalui pengalaman nyata akan tercapailah sebuah pembelajaran yang holistik. Maksudnya bahwa pembelajaran yang dilakukan tidak hanya mengarah pada ranah kognitif atau mengasah kecerdasan intelektual saja, namun juga mengarah pada aspek lainnya, yaitu aspek afektif dan psikomotorik. Melalui pendidikan yang diupayakan tersebut, tentunya ada harapan bahwa setiap peserta didik akan dapat tumbuh dan berkembang sebagai seorang pribadi yang utuh. Dimana dari segi kecerdasan intelektual, hati dan tingkah lakunya sungguh-sungguh seimbang.
2. Pendidikan yang Tetap Memperhatikan Aspek-aspek Perkembangan KepercayaanAnak-anak 2.1. Perkembangan Kepercayaan Manusia. Terdapat berbagai hasil penelitian tentang perkembangan manusia. Hasil penelitian perkembangan manusia tersebut yaitu: teori perkembangan mental kognitifyang ditemukan oleh Jean Piaget, teori perkembangan moral oleh L. Kohlberg, teori perkembangan psikososial atau kepribadian oleh Erik H. Erikson dan terakhir adalah teori perkembangan kepercayaan oleh James W. Fowler. Dalam mengembangkan pola pendidikan yang berangkat dari pengalaman, penulis merasa perlu untuk tetap memperhatikan tahaptahap perkembangan dari setiap pribadi. Entah itu mereka yang masuk dalam kelompok anak:-anak: maupun kaum muda, semuanya perlu mendapat perhatian sendiri-sendiri. Aspek yang peneliti perhatikan yaitu pada proses perkembangan iman/kepercayaan 84
berdasarkan penelitian James W. Fowler yang pada akhimya hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana model katekese yang harus diberikan agar sesuai dengan usia-usia dan kebutuhan mereka. Dalam teorinya, Fowler berusaha memanfaatkan hasil penemuan ketiga tokoh besar yang lain untuk sampai pada teori perkembangan kepercayaan seseorang. Menurut Fowler, kepercayaan (faith) adalah:
Faith, as approached here, is not necessarily religious; nor is to be equated with belief Rather, faith is a person's way of leaning into and making sense of life. More verb than noun, faith is dynamic system of image, values, and commitments that guide one's life. It is thus universal: everyone who chooses to go on living operates by some basic faith (Atmadja, 1990: 233). Dengan demikian, Fowler memandang kepercayaan merupakan kegiatan "relasional", sebagai berada dalam relasi dengan sesuatu. Sebab cara pemberian arti dalam kepercayaan tersebut berakar dalam suatu relasi rasa percaya antar pribadi, yang mengandung nilai orientasi bersama(bdk. Fowler, 1995:21). Berdasarkan pengertian tersebut, ditemukan bahwa hal yang paling utama adalah tumbuhnya rasa percaya. Dalam relasional kepercayaan, Fowler membedakannya menjadi tiga aspek. Pertama, kepercayaan sebagai cara seorang pribadi (atau kelompok) melihat hubungannya dengan orang lain, dengan siapa ia merasa diri bersatu berdasarkan latar belakang sejumlah tujuan dan pengertian yang dimiliki bersama. Kedua, kepercayaan sebagai cara tertentu, dengan mana pribadi menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung dalam segala lapangan daya kehidupannya yang majemuk dan kompleks. Ketiga, kepercayaan sebagai cara pribadi melihat seluruh nilai dan kekuatan yang merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi sesamanya. Dari hasil penelitiannya, Fowler membedakan tahap perkembangan kepercayaan manusia menjadi tujuh tahap. Pertama, tahap 0: masa kanak-kanak dan kepercayaan eksistensial yang tak terdiferensiasi. Kedua, tahap 1: kepercayaan eksistensial yang intuitif-proyektif. Ketiga, tahap 2: kepercayaan eksistensial yang mitis harfiah. · Keempat, tahap 3: kepercayaan eksistensial sintesiskonvensional. Kelima, tahap 4: kepercayaan eksisitensial individuatif-reflektif. Keenam, tahap 5: kepercayaan eksistensial 85
konjungtif. Ketujuh, tahap 6: kepercayaan eksistensial yang mengacu pada universal.
2.2. Perkembangan Kepercayaan dan Model Pendidikan Kristiani BagiAnak-Anak Anak~anak yang terlibat dalam kegiatan BIAK umumnya berusia 6-12 tahun. Menurut Fowler usia ini termasuk pada tahap 2, yaitu kepercayaan mitis-harfiah. Menurut Fowler (1995:29), perkembangan kepercayaan pada masa ini Operasi~operasi
logis tersebut masih bersifat "konkret", tetapi sudah memungkinkan sebuah daya pikir logis dengan menggunakan kategori-kategori sebab-akibat, ruang dan waktu. Hubungan sebab-akibat tersebut kini dimengerti secara jelas, dan dunia spasial temporal disusun menurut skema "linier" (garis sebab-akibat) serta sifat "dapat diramalkan. Pada masa ini anak juga belajar melepaskan diri dari sikap egosentrismenya, dan mulai membedakan antara perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain, serta memperluas pandangannya dengan mengambil alih pandangan orang lain. Berkat hal-hal tersebut, anak sanggup memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolak ukur logikanya sendiri, pengecekan atau pengamatannya, dan pandangan religius orang dewasa yang diandalkannya sebagai sumber autoritas. Pada tingkat moral, anak belum mampu menyusun dunia batinnya sendiri. Pandangan moral yang muncul yaitu bahwa yang baik harus mendapat hadiah dan yang jahat harus dihukum. Pola pembinaan tahap ini menggunakan media cerita guna mengumpulkan berbagi arti menurut sifat keterkaitannya dan untuk membentuk pendapatnya (bdk. Fowler, 1995:29-30). Dalam rangka pendidikan kristiani, Gereja mengharapkan pada masa ini sebaiknya lebih bersifat mendidik dan berusaha mengembangkan sumber daya manusia. Pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia hendaknya mampu memberikan basis antropologis bagi kehidupan iman, menumbuhkan rasa percaya, kebebasan, bersedia memberikan diri atau berkorban, mengungkapkan doa permohonan, bersedia ambil bagian dalam sebuah kegiatan atau kesediaan berpartisipasi dan menciptakan suasana yang menggembirakan. Pada masa anak-anak, aspek-aspek penting dalam
86
pembinaan adalah latihan doa dan perkenalan dengan Kitab Suci (bdk.KomkatKWI,2000: 162). Karya pendidikan kristiani juga perlu memberikan perhatian akan pentingnya dua loci pendidikan yang. vital. Menurut Petunjuk Umum Katekese, kedua hal tersebut yaitu keluarga dan sekolah (Komkat KWI, 2000: 162). Hal ini berarti bahwa pendidikan teologi hendaknya memperhatikan kedua tempat pembinaan ini. Keluarga dan sekolah merupakan komunitas atau tempat di mana anak-anak banyak menghabiskan waktunya untuk menjalin relasi. Oleh karena itu, pendidikan yang memberikan keteladanan nilai-nilai kristiani perlu diciptakan dan dijaga. Secara khusus dan utama keluarga hendaknya bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan tersebut. Dalam arti tertentu, tidak ada sesuatupun yang mampu menggantikan katekese keluarga, khususnya karena lingkungannya yang positif dan reseptif, karena teladan orang dewasa, dan karena pengalaman eksplisit dan praksis iman. 3. Pendidikan Kristiani yang Bertujuan Membangun Komunitas Iman yang Saling Mendukung Dalam salah satu tulisannya, Jack L. Seymoure menjelaskan bahwa pendidikan kristiani merupakan suatu percakapan untuk kehidupan, suatu pencarian untuk menggunakan sumber-sumber iman dan tradisi-tradisi budaya, untuk bergerak ke arah masa depan yang terbuka terhadap keadilan dan pengharapan (bdk. Seymour, 1997:18). Dengan demikian, setiap usaha pendidikan kristiani sedapat mungkin mampu memberi perubahan terhadap pribadipribadi yang turut serta dalam proses pendidikan Kristen. Menurut Seymoure, pendidikan kristiani yang ada saat ini dapat dikelompokkan ke dalam empat pendekatan, yaitu: pendekatan instruksional, pendekatan perkembangan spiritual, pendekatan komunitas iman dan pendekatan transformasi (bdk. Seymour, 1997:21 ). Di sisi lain, setiap orang membutuhkan pengalaman persaudaraan, pengalaman diterima dan menerima orang lain dalam kelompok. Pengalaman persaudaraan yang mendalam terjadi dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam kelompok kecil ini setiap anggota tidak m~rasa berbeda, namun diakui sebagai peribadi yang dikenal dan mengenal saudara-saudaranya. Demikianlah keberadaan komunitas tidak dapat dilepaskan dari proses pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dankaum muda. Berdasarkan apa yang telah Seymoure sampaikan dan
87
pentingnya komunitas, peneliti mencoba mengajak anak-anak dan kaum muda untuk membangun komunitas iman. Dalam membangun . komunitas iman, tentu harus memiliki tujuan. Menurut Seymoure, tujuan dari komunitas iman yaitu: · "Buildings communities that promote authentic human development; helping person enact community" (Seymour, 1997:21). Dalam pendekatan pendidikan komunitas iman, proses pendidikan yang dilalui yaitu melalui pelayanan (service), refleksi (reflection) dan aksi (communion). Berkaitan dengan ketiga hal tersebut, Jack L. Seymoure (Seymour, 1997:50) mengatakan:
Service is action to generate and develop community life to enact transformative change; reflection is the interpretation of the word of God in the present and an articulation ofour identityas Christians,~ and communion is the creation an maintenance of the bond within a particular church community and among other such communities. Dengan demikian, dalam pendidikan komunitas iman terdapat berbagai upaya yang harus dilakukan. Sebab pendidikan komunitas iman sendiri pertama-tama bukan hanya bertujuan bagi kelompok itu saja, namun juga sejauh mana keberadaan komunitas tersebut tetap mampu menjadi garam dan terang bagi kelompok lainnya. Melalui komunitas setiap anggota dapat saling berkomunikasi demi perkembangan keutuhan setiap pribadi dan diharapkan setiap pribadi dalam kelompok dapat mengembangkan komunitasnya. Dengan demikian, pendidikan melalui pengalaman berkomunitas dapat menjadi pengalaman yang sangat berkesan bagi mereka. Hanya melalui komunitas, anak-anak dapat menunjukkan berbagai bakat dan ketrampilan yang mereka miliki. Terdapat berbagai bentuk pendidikan kristiani melalui pengalaman berkomunitas bagi anak-anak. Beberapa kegiatan dapat di lakukan dalam kerangka pembinaan BIAK (Bina Iman Anak Katolik). Dalam kegiatan BIAK yang dilaksanakan setiap minggu, anak-anak diajak untuk berkumpul agar iman mereka semakin diperdalam, diteguhkan dan diperkaya. Untuk itu hendaknya pertemuan BIAK sedapat mungkin dilaksankan dalam suasana yang menggembirakan dan menyenangkan melalui berbagai kegiatan, seperti: bermain, menyampaikan cerita-cerita Kitab Suci, berdoa, tanya-jawab seputar bahan pertemuan serta melakukan aktifitas 88
tertenti. Aktifitas yang dilakukan hendaknya bertujuan rnendukung ptoses pendampingan, misalnya dengan menggambar, ·rnewarna, membuat hiasan foto keluarga, hiasan Natal, membuat lingkaran Adven atau korona dan lain sebagainya. Setiap kegiatan tersebut apabila diperhatikan sesungguhnya merupakan kegiatan yang sederhana. Saat mengadakan kegiatan pembinaan bagi anak-anak BIAK, hendaknya ditanamkan pemikiran bagairnana rnernperkenalkan kepada mereka sebanyak mungkin tradisi-tradisi iman Katolik dengan lebih rnenarik, sehingga pengalaman yang rnereka dapatkan rnemiliki aspek kontinuitas. Melalui kegiatan tersebut diharapkan anak-anak menjadi semakin bersemangat dan antusias dalam kegiatan BIAK. Salah satu faktor yang semakin jelas terlihat yaitu keaktifan mereka dalam setiap kegiatan, yang rnungkin rnereka tunjukkan dengan terlibat memirnpin doa dalam perternuan, bersedia ambil bagian dalam mempersiapkan tempat perternuan sekaligus mernbersihkan tempat perternuan, rnelayani ternan-ternan dalam mernbagi snack dan lain sebagainya. Selain pernbinaan yang dernikian, anak-anak BIAKjuga perlu dikenalkan dengan kornunitas-kornunitas lain. Kornunitaskomunitas terse but antara lain, Rernaja Katolik (Rekat), Orang Muda Katolik (OMK), misdinar, Legio Maria, Karismatik, Taize dan lain sebagainya. Dalam usaha ini, kelompok yang hendaknya paling berperan adalah yang memiliki usia lebih tua. Hal ini perlu diperhatikan mengingat bahwa nantinya diharapkan anak-anak akan masuk, tergabung dan turut terlibat dalam kelompok-kelornpok terse but. Oleh karena itu bentuk keteladanan dari pihak-pihak lainnya sangat berperan. Hal ini rnengingat bahwa anak-anak belajar dari pengalalam dan meniru pengalaman yang menurut rnereka berkesan. Perlu disadari pula bahwa sesunguhnya upaya memberikan keteladanan bagi anak-anak bukanlah hal yang rnudah. Pernberian keteladanan membutuhkan komitmen yang tinggi dan sikap rela berkorban.
Penutup Sampai saat ini Gereja rnernandang anak-anak dan kaum muda sebagai harapan bagi gerejarnasadepan. Disamping itu, merekajuga dipandangan sebagai tantangan yang besar bagi Gereja sendiri. Perubahan sosio budaya yang cepat dan menggebu-gebu, perkernbangan pribadi yang tidak wajar karena dalam usia muda sudah 89
memikil tanggung jawab orang dewasa, pengangguran, kemiskinan dan lain sebagainya. Di sisi lain rupanya terdapat pula kaum muda yang dengan penuh semangat tergerak untuk menemukan arti solidaritas, komitmen sosial dan bahkan pengalamanreligius. Melihat keanekaragaman tersebut, sangat penting memberikan pengalaman yang berharga bagi mereka saat mereka masih muda. Pengalaman yang tentunya bermanfaat bagi masa depan mereka. Pengalaman yang senantiasa memiliki sifat kontinuitas dan menyenangkan. Pengalaman yang berharga tentu akan lebih berharga dibandingkan dengan apapun juga. Pengalaman yang berharga dan membahagiakan dengan sendirinya akan tetap terpatri dalam memori setiap pribadi anak-anak dan kaum muda. Salah satu bentuk belajar melalui pengalaman yang membahagiakan dan menyenangkan dapat dilakukan melalui komunitas. Dalam pendidikan pengalaman berkomunitas, setiap pribadi diajak untuk bersedia memberikan diri bagi orang lain dan saling mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan setiap pribadi secara utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja- Hadinoto, Nieke. 1990. Dialog dan Edukasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Dewey, John. 2002. Pengalaman Dan Pendidikan. Yogyakarta: KepelPress Fowler, James. 1995. Teori Perkembangan Kepercayaan: KaryakaryaPentingJames W Fowler. Yogyakarta:Kanisius. Komisi Kateketik KWI. 2000. Petunjuk Umum Katekese. Jakarta: Depertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. Prasetya, L. 2009. Dasar-dasar Pendampingan !man Anak. Yogyakarta: Kanisius. Seymour, Jack L. 1997. Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press. Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius. Winkel, WS. 2005. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: MediaAbadi. 90
PERSYARATAN PENULISAN ILMIAH Dl JURNAL JPAK WIDYA YUWANA MADIUN 01. Jumalllmiah JPAK Widya Yuwana memuat hasil-hasil Penelitian, Hasil Refleksi, atau Hasil Kajian Kritis tentang Pendidikan Agama Katolik yang belum pernah dimuat atau dipublikasikan di Majalah/Jumalllmiah lainnya. 02. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau lnggris sepanjang 7500-10.000 kata dilengkapi denganAbstrak sepanjang 50-70 kata dan 3-5 kata kunci. 03. Artikel Hasil Refleksi atau Kajian Kritis memuat: Judul Tulisan, Nama Penulis, lnstansi tempat bemaung Penulis, Abstrak (lndonesia/lnggris), Kata-kata Kunci, Pendahuluan (tanpa anak judul), lsi (subjudul-subjudul sesuai kebutuhan), Penutup (kesimpulan dan saran), Daftar Pustaka. 04. Artikel Hasil Penelitian memuat: Judul Penelitian, Nama Penulis, lnstansi tempat bemaung Penulis, Abstrak (lndonesia/lnggris), Kata-kata Kunci, Latar Belakang Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Hasil Penelitian, Penutup (kesimpulan dan saran), Daftar Pustaka 05. Catatan-catatan berupa referensi disajikan dalam model catatan lambung. Contoh: Menurut Caputo, makna religius kehidupan harus berpangkal pada pergulatan diri yang terus menerus dengan ketidakpastian yang radikal yang disuguhkan oleh masa depan absolut (Caputo, 2001 : 15) 06. Kutipan lebih dari em pat baris diketik dengan spasi tunggal dan diberi baris baru. Contoh: Religions claim that they know man an the world as these really are, yet they they differ in their views of reality. Question therefore arises as to how the claims to truth by various religions are related. Are they complementary? Do they contradict or overlap one another? What -according to the religious traditions themselves-is the nature of religious knowledge?(Vroom, 1989: 13) 07. Kutipan kurang dari empat baris ditulis sebagai sambungan kalimat dan dimasukkan dalam teks dengan memakai tanda petik. Contoh: Dalam kedalaman mistiknya, Agustinus pernah mengatakan "saya tidak tahu apakah yang saya percayai itu adalah Tuhan atau bukan." (Agustin us, 1997: 195) 08. Daftar Pustaka diurutkan secara alfabetis dan hanya memuat literature yang dirujuk dalam artikel. Contoh; Tylor, E. B., 1903. Primitive Culture: Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Ert, and Custom, John Murray: London Aswinamo, Hardi, 2008. "Theology of Uberation As a Constitute of Consciousness," dalam Jumal RELIGIO No.I,April2008, hal. 25-35. Borgelt, C., 2003. Finding Association Rules with the Apriori Algorthm, http://www.fuzzi.cs.uni-magdeburg.de/-borgelt/apriori/. Juni 20, 2007 Derivaties Research Unicorporated. http//fbox.vt.edu.10021/business/finance/ dmc/RU/content.htrnl. Accesed May 13, 2003