JENIS JAMUR MAKRO PADA TIGA KONDISI HUTAN YANG BERBEDA DI MALINAU RESEARCH FOREST (MRF) CIFOR KABUPATEN MALINAU KALIMANTAN TIMUR Srisusila1 dan Sutedjo2 1
2
Fakultas Pertanian Universitas Alkhairat, Palu. Laboraorium Ekologi dan Dendrologi Fahutan Unmul, Samarinda
ABSTRACT. Mushrooms Diversity at Three Forests Types in Malinau Research Forest (MRF) Cifor, Malinau District, East Kalimantan. The purposes of this research were to identify mushrooms diversity in different conditions of MRF Cifor, i.e. in Reduced Impact Logging (RIL), Conventional (CNV) and Arable Farm (LDG), mushrooms distribution, dominant species, role of mushrooms whether they were edible, mycorrhizal or as parasite (pathogen) and saprophyte. The research resulted that in the three conditions of forests of MRF Cifor were found 270 species of mushrooms, where in the RIL plots, the number of mushrooms species were more than in CNV and LDG plots, they were 162, 152 and 42 species, respectively. The differences in species diversity were caused by differences condition of the habitats mainly microclimate. It was indicated that the more damage the forest the lower the diversity of mushrooms. The eveness of mushrooms species in the three habitats were not same, however there was different dominant species in each habitat. Between the mushrooms species, there were useful for human, such as row food, as medicine, usefull for plant as mycorrhizal and saprophyte mushrooms, but there were also the unknown use (useless) ones, since they were parasitic on higher plants. There were 14 species of edible mushrooms, i.e. Auricularia auricula, Auricularia sp.1, Auricularia sp.2, Hygroporosis aurantiaca, Marasmius sp.2, Panus conchatus, Panus sp.6, two species of Pleurotus, Polyporus sp.29, Sarcoscypha coccinea, Schizophyllum sp., Sparassis herbstii and Xylaria sp. The Auricularia spp. could also be used as drug. Thirty one species of mycorrhizal mushrooms found in the MRF Cifor were Amanita virosa, Amanita sp., two species of Boletus, Collybia sp., four species of Hygrocybe, Higroporus sp., three species of Laccaria, Lactarius uvidus, Lactarius helvius, two others Lactarius species, Lepista sp., three species of Lycoperdon, two species of Ramaria, four species of Rusulla, Scleroderma sp. and two species of Thelephora. The most mushrooms found in the MRF CIFOR were saprophytic, while the parasitic ones on the trees were three species of Ganoderma and one species of Hexagonia. Kata kunci: keanekaragaman, dominan, konsumsi, mikoriza, parasit, patogen.
Indonesia merupakan salah satu daerah tropis di dunia yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, bahkan dikategorikan sebagai salah satu negara yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan termasuk sebagai salah satu dari tujuh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Fithria, 2003). Kalimantan menduduki tempat kedua setelah Irian Jaya dalam kekayaan jenis flora dan fauna, termasuk jamur (Anonim, 1999a). Jamur merupakan salah satu kekayaan hayati yang juga merupakan hasil hutan 98
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
99
non kayu yang kini memberi peluang ekonomi yang berarti bagi masyarakat. Jamur adalah salah satu keunikan yang memperkaya keanekaragaman jenis makhluk hidup dalam dunia tumbuhan. Sifatnya yang tidak berklorofil menjadikannya tergantung kepada makhluk hidup lain, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Karena itu pulalah jamur memegang peranan penting dalam proses alam yaitu menjadi salah satu dekomposer sisa-sisa organisme (Suhardiman, 1990 dan Suriawiria, 2003). Selain itu beberapa di antara jenis-jenis jamur yang ada telah dimanfaatkan oleh manusia, baik sebagai bahan makanan maupun obat. Namun sebagai organisme yang menggantungkan hidupnya pada makhluk lain, jamur dapat bersifat parasit dan saprofit. Jenis-jenis jamur tersebut menggambarkan keanekaragaman hayati di dalam hutan yang keberadaannya perlu diketahui. Data keanekaragaman jenis jamur yang banyak ditemukan di berbagai tempat di Indonesia perlu dilengkapi dengan data keanekaragaman jenis jamur yang ada di kawasan Malinau Research Forest (MRF) Center of International Forestry Research (Cifor) yang terletak di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis jamur makro yang ada di hutan dengan kondisi yang berbeda, yaitu pada Petak Reduced Impact Logging (RIL), Petak Konvensional (CNV) dan Petak Ladang (LDG) di kawasan MRF Cifor, mengetahui penyebaran jenis-jenis jamur pada hutan yang kondisinya berbeda dan mengetahui jenis jamur yang paling dominan serta mengetahui jenis-jenis jamur yang dapat dimanfaatkan/dikonsumsi, yang bersimbiosis dengan pohon (jamur mikoriza), yang bersifat parasit pada pohon (jamur patogen) dan yang bersifat saprofit. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Malinau Research Forest (MRF) Cifor Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur dan di Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda. Waktu yang diperlukan untuk penelitian ini mencapai 5 bulan (awal Juni sampai pertengahan Oktober 2006) yang meliputi kegiatan orientasi lapangan, pembuatan plot, pengambilan data primer dan sekunder serta identifikasi jenis jamur di laboratorium. Sebagai objek penelitian adalah tubuh buah jamur yang ditemukan di lokasi penelitian. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapur barus/naphthalene, minyak tanah, kompas, meteran, parang, label plastic, kantong plastik, kamera digital, thermometer, hygrometer, Geographical Position System (GPS), penggaris, kompor minyak, oven dan mikroskop. Plot penelitian dibuat pada plot permanen (permanen sample plots) yang telah ada di MRF Cifor. Ukuran plot tersebut masing-masing adalah 100x100 m (1 ha) dan jumlahnya secara keseluruhan sebanyak 24 plot (24 ha). Plot permanen yang digunakan untuk penelitian adalah plot yang mempunyai kondisi hutan yang berbeda, yaitu plot yang mewakili keadaan hutan yang dikelola dengan sistem RIL sebanyak 9 plot, hutan yang dikelola dengan sistem CNV sebanyak 9 plot dan areal perladangan sebanyak 6 plot. Untuk mendapatkan data penelitian, maka dilakukan koleksi jamur secara sensus (100%) di dalam plot penelitian. Jamur yang diambil adalah yang bertubuh buah relatif besar (macro fungi/mushroom), yaitu yang tubuh
100
Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan
buahnya (diameter tudung) berukuran minimal 0,5 cm, baik yang tumbuh di tanah, serasah, kayu mati maupun pohon hidup. Jamur yang terlalu kecil tubuh buahnya tidak diambil karena kesulitan dalam pengeringan dan identifikasi. Jamur-jamur yang telah ditemukan diberi label kemudian difoto lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dibawa ke kamp (tempat tinggal sementara) untuk diidentifikasi. Data yang dicatat adalah jenis jamur yang ditemukan, jumlah jenis jamur, karakteristik jamur, substrat jamur, peranan jamur tersebut bagi makhluk hidup. Identifikasi jenis jamur dilakukan dengan melihat karakteristik dan substratnya kemudian dibandingkan dengan literatur. Karakteristik tubuh buah jamur dicatat dalam keadaan masih segar. Setelah dicatat, tubuh buah jamur dikeringkan di dalam oven yang dipanaskan dengan kompor minyak tanah selama beberapa menit atau jam sampai jamur benar-benar kering. Setelah kering kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik berisi kapur barus/naphthalene agar terhindar dari kerusakan karena gangguan organisme lain. Untuk identifikasi jenis jamur dan menggolongkan jamur tersebut sebagai jamur yang dapat dikonsumsi manusia yakni sebagai bahan makanan atau obat, jamur mikoriza, jamur parasit ataupun saprofit, maka digunakan beberapa literatur, yakni: Largent (1973), Largent and Thiers (1973), Bigelow (1979), Pacioni (1981), Nonis (1982), Largent and Baroni (1988), Imazeki dkk. (1988), Webster (1988), Jülich (1988), Bresinsky and Besl (1990), Breitenbach and Kränzlin (1991), Læssøe and Lincoff (1998), Pace (1998). Selain data di atas, diambil pula data tentang kondisi lingkungan plot penelitian, yaitu suhu udara yang diambil dengan menggunakan thermometer dan kelembapan udara dengan hygrometer serta data pendukung seperti data kondisi geografis MRF yaitu data topografi dan kondisi iklim seperti tipe iklim, curah hujan, kelembapan dan suhu udara. Data-data tersebut diperoleh dari Stasiun Penelitian Hutan MRF Cifor Seturan, Malinau. Data diolah dengan menggunakan rumus-rumus berikut: Indeks dominasi jenis (C) dihitung menurut Simpson (1949) dalam Odum (1993): C = ∑ (ni2 / N), yang mana ni = jumlah individu tiap jenis. N = jumlah individu seluruh jenis. Indeks keanekaragaman jenis (H) menurut Shannon-Wiener dalam Odum (1993): H = ∑ (pi log pi) dan pi = ni / N, yang mana pi = kelimpahan relatif setiap jenis. ni = jumlah individu tiap jenis jamur. N = jumlah individu seluruh jenis jamur. Indeks kekayaan jenis (Margalef indices) R dalam Ludwig and Reynolds (1998): R = {(S 1)} / Ln.N, yang mana S = jumlah jenis. N = jumlah individu seluruh jenis. Ln = logaritma natural. Indeks kemerataan jenis (e) menurut Pielou (1966) dalam Odum (1993) adalah: e = H / log S, yang mana H = indeks keanekaragaman jenis. S = jumlah jenis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dominasi Jenis Jamur pada Kondisi Hutan yang Berbeda Hasil koleksi jamur pada kondisi hutan yang berbeda disajikan pada Tabel 1 berikut.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
101
Tabel 1. Jumlah Jenis Jamur pada Kondisi Hutan yang Berbeda di MRF Petak RIL CNV LDG Jumlah
Jumlah jenis 162 152 42 270
Jumlah individu 326 320 99 745
Jenis diketahui 140 131 33 223
Jenis tidak diketahui 22 21 9 47
Secara umum dari seluruh plot penelitian di MRF yaitu di plot-plot pada petak RIL, CNV dan LDG berhasil ditemukan sebanyak 270 jenis jamur makro dari 745 individu dengan kehadiran masing-masing pada tiap petak adalah 162 jenis dengan 326 individu untuk petak RIL, 152 jenis dengan 320 individu pada petak CNV dan 42 jenis dengan 99 individu di petak LDG (Tabel 1). Jumlah seluruh jenis sebanyak 270 ini akan berbeda bila jumlah jenis pada semua petak di atas dijumlahkan, demikian pula halnya dengan jenis yang dapat diketahui dan jenis yang tidak diketahui, akan berbeda jumlahnya bila jumlah jenis dari semua petak diakumulasi lalu dibandingkan dengan jumlah yang tertera di tabel, hal ini karena terdapat jenisjenis jamur yang sama pada petak-petak tersebut sehingga jenis jamur total tepatnya adalah 270. Pada Tabel 1 tersebut terlihat bahwa petak yang paling tinggi keanekaragaman jenis jamurnya adalah petak RIL yang kemudian disusul oleh petak CNV dan terendah adalah petak LDG atau masing-masing sebesar 60%, 56% dan 16% dari jumlah jenis jamur yang ditemukan di kawasan MRF. Hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh pembalakan yang pernah diujicobakan beberapa tahun sebelumnya yang telah mengakibatkan terbukanya lahan dan tajuk hutan sehingga mengakibatkan perubahan iklim mikro pada petak-petak tersebut. Luas lahan dan tajuk yang terbuka pada masing-masing petak pengamatan berbeda karena perbedaan sistem yang digunakan. Pada petak RIL yang menerapkan prinsip-prinsip pembalakan berdampak rendah dalam pengelolaannya, luas lahan dan tajuk yang terbuka secara kasat mata relatif lebih sedikit daripada petak CNV dengan kaidah pembalakan konvensional, terlebih lagi bila dibandingkan dengan petak LDG, yang menerapkan sistem tebas bakar sehingga lahan serta tajuk terbuka lebih luas. Selain itu, banyak pohon-pohon terutama jenis-jenis Dipterocarpaceae dan jenis-jenis komersial lain telah hilang, jenis-jenis tersebut merupakan inang dari jamur mikoriza. Bila inangnya tidak ada, maka jamur mikoriza tidak dapat tumbuh, dengan adanya inangnya itulah jamur-jamur mikoriza bersimbiosis untuk mendapatkan karbohidrat yang cukup. Jamur tidak dapat membuat karbohidrat karena tidak mempunyai klorofil. Seperti diketahui bahwa setiap kegiatan pemanenan selalu memberi dampak terhadap hutan itu sendiri, di antaranya adalah terjadinya keterbukaan lahan dan tajuk. Keterbukaan lahan dan tajuk adalah suatu bentuk kerusakan pada lantai hutan dan bagian atas pohon akibat adanya penebangan, penggusuran dan pengikisan tanah akibat traktor khususnya pada waktu pembuatan jalan sarad dan kegiatan penyaradan sehingga sebagian dari pohonpohon tinggal mungkin akan tumbang, patah dan rusak. Hasil penelitian Ernayati (2001) di Labanan Berau menyatakan, keterbukaan lahan akibat jalan sarad pada plot pembalakan berdampak rendah sebesar 749 m2/ha
102
Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan
atau sebesar 7,49% dan pada plot pembalakan konvensional sebesar 888 m2/ha atau 8,88%. Hasil penelitian lain dari FAO menunjukkan, bahwa kerusakan pada lahan terjadi sekitar 20% pada cara konvensional dan sekitar 13% pada cara pembalakan yang ramah lingkungan (Anonim, 1997). Selanjutnya disebutkan pula, bahwa dampak pembalakan secara konvensional menyebabkan keterbukaan tajuk hingga 61,1% sedang dengan cara pembalakan ramah lingkungan sebesar 42,5% (Anonim, 1999b). Keterbukaan lahan dan tajuk ini akan berimplikasi terhadap suhu dan kelembapan udara di dalam hutan, faktor-faktor ini sangat berperan dalam kehadiran jamur makro di dalamnya. Dengan adanya perbedaan suhu dan kelembapan udara, maka perbedaan jumlah jenis jamur yang ditemukan pada petak RIL, CNV dan LDG juga berbeda. Hasil ini sesuai dengan pendapat Cahyana dkk. (1999) dan Gunawan (2001), bahwa beberapa faktor fisik yang mempengaruhi pertumbuhan jamur di antaranya adalah suhu dan kelembapan udara. Dari 270 jenis tersebut yang berhasil diidentifikasi adalah sebanyak 223 jenis dengan jumlah individu sebanyak 676 individu atau sekitar 90,7% dari jumlah jenis yang ditemukan, sedang yang tidak diketahui jenisnya adalah 47 jenis dengan jumlah individu sebanyak 69 individu atau sekitar 9,3% dari jumlah jenis yang ditemukan. Tabel 2. Jumlah Jenis Jamur Berdasarkan Famili dan Marga yang Ditemukan pada Tiap Petak di MRF
1 2 3 4
Amanitaceae Auriculariaceae Auriscalpiaceae Boletaceae
Jumlah marga 1 1 1 1
5 6 7
Chantarellaceae Clavariaceae Corticiaceae
1 1 5
8 9 10
Dacrymycetaceae Earliellaceae Ganodermataceae
1 1 2
11
Hydnangiaceae
1
12
Hygrophoraceae
3
13
Hymenochaetaceae
2
14 15 16
Lycoperdaceae Meruliaceae Paxyllaceae
1 1 1
No
Famili
Nama marga Amanita Auricularia Lentinellus Boletus Tidak diketahui Craterellus Clavariadelphus Irpex Plycatura Stereum Laeticortecium Sistotrema Dacrymyces Earliella Amauroderma Ganoderma Laccaria Tidak diketahui Camarophylus Hygrocybe Hygroporus Hymenochaete Phelinus Lycoperdon Meruliopsis Hygroporosis
Jumlah jenis pada petak RIL CNV LDG 1 0 1 1 1 2 1 0 0 0 2 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 2 5 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 2 1 0 5 4 0 36 28 1 0 3 1 0 1 0 1 0 0 2 3 0 1 0 0 0 1 0 5 3 0 2 2 0 0 1 1 0 0 2
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
103
Tabel 2 (Lanjutan)
17
Polyporaceae
Jumlah marga 13
18 19
Ramariaceae Rusullaceae
1 2
20 21 22 23 24 25
Sarcoschypaceae Schizophyllaceae Sclerodermataceae Sparassidaceae Thelephoraceae Tricholomataceae
1 1 1 1 1 4
26 27 28
Tuberaceae Xylariaceae Tidak diketahui
1 1 3
Jumlah
54
No
Famili
Nama marga Coriolopsis Coriolus Daedalea Fomes Fomitopsis Hexagonia Microporus Panus Picnoporus Trichaptum Pleurotus Polyporus Trametes Tidak diketahui Ramaria Rusulla Lactarius Sarcoschypa Schyzophyllum Scleroderma Sparassis Thelephora Collybia Lepista Marasmius Mycena Tidak diketahui Tuber Xylaria Guapenia Oxysporus Strompalia Tidak diketahui
Jumlah jenis pada petak RIL CNV LDG 1 0 1 0 1 1 4 4 0 12 7 2 0 2 0 1 1 1 1 0 1 4 5 3 1 1 0 2 2 0 0 2 1 37 21 5 7 4 6 17 16 8 0 2 0 3 2 0 2 3 0 0 2 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 2 0 0 1 0 0 1 0 1 2 1 1 1 0 1 2 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 2 1 162 152 42
Dari seluruh jumlah jenis jamur yang ditemukan pada petak-petak penelitian di MRF, baik pada petak RIL, CNV maupun LDG, dapat dikelompokkan dalam 27 famili yang diketahui dan 54 marga (Tabel 2). Jumlah jenis jamur makro yang ditemukan di kawasan MRF menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Retnowati (2003) di Taman Nasional Kayan Mentarang yang wilayahnya berbatasan dengan kawasan MRF, di mana ditemukan sebanyak 98 jenis jamur makro dan hasil penelitian Mardji dan Soeyamto (1999) di Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur sebanyak 143 jenis jamur, demikian pula bila dibandingkan dengan hasil penelitian Wahyudi (1999) di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Desa Napalicin Sumatera Selatan yang menemukan 128 jenis jamur makro, maka keanekaragaman jenis jamur di MRF jauh lebih tinggi. Keanekaragaman jenis jamur yang tinggi di kawasan MRF ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan. Pada kawasan ini temperatur udara tidak
104
Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan
terlalu panas, kelembapan udara relatif tinggi dan curah hujannya juga tinggi. Keadaan seperti ini sangat mendukung kehadiran dan pertumbuhan jamur makro di alam. Selain karena keadaan cuaca tersebut, banyaknya jenis jamur makro yang ditemukan di kawasan MRF ini disebabkan karena luasnya kawasan yang diteliti (24 ha) dan kondisi hutannya yang relatif masih bagus, yaitu masih banyak ditemukan pohon-pohon besar yang berdiameter >20 cm. Berdasarkan hasil penelitian juga diperoleh jenis-jenis dominan berdasarkan Indeks Dominasinya, jenis-jenis tersebut memiliki jumlah individu lebih tinggi dari jenis-jenis yang lain. Pada petak RIL, Ganoderma sp.1 merupakan jenis dominan pertama, Polyporus sp.30 dominan kedua, Ganoderma sp.7 dominan ketiga, Ganoderma sp.9 dominan keempat serta Fomes igniarius merupakan jenis dominan kelima. Bila dijumlahkan, maka terdapat 5 jenis jamur yang termasuk dalam lima kelompok jenis dominan tersebut dengan 49 individu (tubuh buah). Pada petak CNV, Trametes sp.4 sebagai jenis dominan pertama, Ganoderma sp.10 dominan kedua, Ganoderma sp.7 dan Earliella sp.2 sebagai dominan ketiga, Amauroderma sp.1, Amauroderma sp.2 dan Ganoderma sp.24 merupakan jenis dominan keempat serta Xylaria sp., Polyporus sp.30 dan Amauroderma sp.4 sebagai jenis dominan kelima. Jenis-jenis dominan tersebut berjumlah 10 jenis dengan 64 individu. Di antaranya ada jenis-jenis yang dalam satu kelompok sama jumlah individunya. Pada petak LDG, Trametes sp.1 sebagai jenis dominan pertama, Schizophyllum sp. dominan kedua, Coriolus sp. dominan ketiga, Polyporus sp.1 sebagai dominan keempat serta Panus sp.6 merupakan jenis dominan kelima. Seluruh jenis dominan tersebut berjumlah 5 jenis dengan 38 individu. Secara umum di kawasan MRF terdapat 9 jenis jamur yang termasuk dalam lima kelompok jenis dominan dari seluruh individu koleksi pada 3 petak pengamatan yaitu petak RIL, CNV dan LDG, yakni Ganoderma sp.1 sebagai jenis dominan pertama, Ganoderma sp.7 dominan kedua, Polyporus sp.30 dominan ketiga, Amauroderma sp.1 dan Fomes igniarius dominan keempat serta Ganoderma sp.6, Ganoderma sp.9, Trametes sp.1 dan Trametes sp.4 merupakan jenis dominan kelima. Kelima kelompok jenis dominan tersebut terdiri dari 9 jenis jamur dengan 111 individu (tubuh buah). Keanekaragaman Jenis Jamur pada Kondisi Hutan yang Berbeda Berdasarkan data yang diperoleh dari lokasi pengamatan yakni petak RIL, CNV dan LDG di kawasan MRF, diperoleh jumlah jenis dan jumlah individu yang berbeda-beda. Hal ni menentukan keanekaragaman jenis jamur yang ada. Hasil analisis indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon (H) menunjukkan, bahwa jenis-jenis jamur yang dominan juga memiliki tingkat keanekaragaman yang lebih tinggi dari jenis-jenis lain yang tidak dominan pada petak-petak pengamatan. Pada petak RIL jenis-jenis yang memiliki nilai keanekaragaman tinggi adalah sama dengan jenis-jenis yang termasuk dalam lima kelompok jenis dominan, demikian pula pada petak CNV dan LDG.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
105
Kemerataan Jenis Jamur Pada Kondisi Hutan yang Berbeda Ludwig dan Reynolds (1988) dalam Istomo (1995) menyatakan, bahwa keanekaragaman jenis jamur juga dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kemerataan jenis (penyebaran individu masing-masing jenis yang ada). Rekapitulasi Perbedaan Kondisi Hutan Secara keseluruhan, indeks keanekaragaman jenis, indeks kemerataan jenis dan indeks kekayaan jenis pada masing-masing plot pengamatan ditampilkan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Indeks Keanekaragaman, Kemerataan dan Kekayaan Jenis Jamur Makro pada Masingmasing Petak Penelitian Indeks Keanekaragaman Jenis (H) Kemerataan Jenis (e) Kekayaan Jenis (Da)
RIL 2,09387 0,94766 27,82147
Petak CNV 2,09853 0,96181 26,17746
LDG 1,48892 0,91725 8,92251
Pada Tabel 3 terlihat, bahwa nilai indeks kekayaan jenis (Da) jamur makro pada petak RIL paling tinggi, yaitu 27,82147 yang kemudian disusul oleh petak CNV 26,17746 dan paling rendah adalah pada petak LDG 8,92251. Hal ini disebabkan karena jumlah jenis dan individu pada petak RIL lebih banyak yang berpengaruh terhadap tingginya indeks keanekaragaman jenis daripada petak CNV dan LDG. Santosa (1995) dan Odum (1998) yang dikutip oleh Wahyuni (2002) menyatakan, bahwa kekayaan jenis sebagai indikator keanekaragaman dipengaruhi oleh jumlah jenis dan jumlah individu (tubuh buah) jamur pada setiap petak. Selanjutnya memperhatikan indeks keanekaragaman pada Tabel 3 tersebut juga terlihat bahwa indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada petak RIL dan kemudian disusul petak CNV dan LDG. Hal ini berhubungan erat dengan indeks kekayaan jenis di atas karena seperti diketahui bahwa indeks kekayaan jenis merupakan indikator untuk nilai keanekaragaman jenis, yang mana petak RIL menduduki urutan pertama untuk indeks kekayaan jenis lalu disusul petak CNV dan LDG. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif setiap jenis. Pada Tabel 3 juga tampak bahwa indeks kemerataan jenis pada ke-3 petak penelitian hanya mendekati nilai maksimal (kisaran nilai e = 0 sampai 1), berarti bahwa pada petak RIL, CNV dan LDG, jumlah individu setiap jenis tidak menyebar secara merata. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat konsentrasi individu pada beberapa jenis tertentu (dominasi jenis) di tiap-tiap petak penelitian yang disebabkan oleh proporsi individu yang tidak tersebar merata di seluruh petak. Indeks kemerataan jenis yang diperoleh dari petak-petak penelitian juga tidak berkorelasi positif dengan indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis, nilai kemerataan tertinggi dimiliki oleh petak CNV yang kemudian disusul oleh petak
106
Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan
RIL dan LDG. Hal tersebut dikarenakan pada petak CNV terdapat lebih banyak jenis yang jumlah individunya tersebar lebih merata. Peranan Jamur Bagi Manusia Dari seluruh jenis jamur yang ditemukan di petak-petak penelitian, ternyata ditemukan jamur yang dapat dikonsumsi, baik sebagai bahan makanan maupun sebagai bahan obat atau dapat berfungsi ganda sekaligus. Jamur yang dapat dikonsumsi sebagai bahan makanan saja berjumlah 11 jenis yaitu Hygroporosis aurantiaca, Marasmius sp.2, Panus conchatus, Panus sp.6, 2 jenis Pleurotus, Polyporus sp.29, Sarcoscypha coccinea, Schizophyllum sp., Sparassis herbstii dan Xylaria sp., sedangkan jamur yang dapat berfungsi sebagai bahan makanan sekaligus obat ada 3 jenis yakni Auricularia auricula dan 2 jenis Auricularia yang lain sehingga jumlah jenis jamur yang dapat dikonsumsi yang diperoleh dari petakpetak penelitian adalah sebanyak 14 jenis atau 5,2% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi dari kawasan MRF. Jenis jamur yang tidak dapat dikonsumsi karena beracun ada 2 jenis atau sebesar 0,7% dari jumlah seluruh jenis di MRF, yaitu Amanita virosa dan Lactarius helvius. Menurut Bigelow (1979), jenis Amanita virosa dijuluki sebagai “Destroying angel” atau “Death angel”. Berdasarkan hasil koleksi ditemukan sebanyak 43 jenis Ganoderma spp. Menurut Gunawan (2001), Suriawiria (2003) dan Chairul (1997), baru jenis Ganoderma lucidum (ling zhi) dan G. applanatum saja yang lazim digunakan sebagai bahan obat untuk memperkuat sistem imunitas tubuh dan mempertinggi kemampuan memerangi kanker serta menambah keseimbangan organ-organ dalam tubuh. Jamur Ganoderma adalah salah satu jamur kayu yang banyak jenisnya. Di Indonesia terdapat 21 jenis jamur yang diketahui. Pernyataan di atas juga menggambarkan bahwa di kawasan MRF terdapat lebih banyak jenis Ganoderma daripada jenis-jenis yang sudah ada atau diketahui di Indonesia. Selanjutnya dari jenis-jenis Ganoderma tersebut kemungkinan terdapat jenis-jenis yang dapat bermanfaat sebagai bahan obat, namun secara pasti peneliti tidak dapat merekomendasikan hal tersebut . Jamur Mikoriza Mikoriza adalah struktur akar yang terbentuk sebagai hasil simbiosis mutualistis antara jamur (mykes) dengan akar (rhiza) tumbuhan. Mikoriza berasal dari bahasa Yunani yang berarti fungi akar (Richard, 1972; Harley, 1979). Dengan kata lain, jamur mikoriza merupakan jamur yang bersimbiosis dengan akar tumbuhan tingkat tinggi membentuk mikoriza, fungsi jamur tersebut satu di antaranya adalah membantu menyerap nutrisi dan air dari dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan tingkat tinggi. Berdasarkan hasil diperoleh sebanyak 31 jenis jamur mikoriza pada kawasan MRF atau sekitar 11% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi dari petak-petak penelitian di MRF. Adapun ke-31 jenis tersebut adalah sebagai berikut: Amanita virosa, Amanita sp., 2 jenis Boletus, Collybia sp., 4 jenis Hygrocybe, Hygrophorus sp., 3 jenis Laccaria, Lactarius uvidus, Lactarius helvius, 2 jenis Lactarius yang
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
107
lain, Lepista sp., 3 jenis Lycoperdon, 2 jenis Ramaria, 4 jenis Rusulla, Scleroderma sp., 2 jenis Thelephora dan 1 jenis yang belum diketahui nama ilmiahnya. Dari 31 jenis jamur mikoriza yang terdapat di kawasan MRF tersebut, 13 jenis terdapat pada petak RIL, 22 jenis pada petak CNV dan 2 jenis pada petak LDG. Perbedaan jumlah jenis jamur mikoriza tersebut mengindikasikan keadaan hutan yang bersangkutan. Petak LDG merupakan petak yang paling sedikit jumlah jenis jamur mikorizanya, karena memang areal perladangan merupakan areal yang kondisi hutannya sudah buruk (sangat terbuka), sudah sangat jarang ditemukan pohon yang merupakan inang bagi jamur mikoriza, begitu juga suhu udaranya yang rata-rata 32,6C, jadi lebih tinggi daripada di petak RIL dan CNV, sehingga tidak mendukung pertumbuhan jamur mikoriza. Menurut Pardiyan (1977), jamur mikoriza dapat berkembang dengan baik pada suhu 5–27C. Jumlah jenis jamur mikoriza pada petak CNV lebih tinggi daripada petak RIL, padahal kondisi kedua petak ini termasuk baik bila ditinjau dari segi banyaknya jenis jamur mikoriza yang ditemukan, hal ini berhubungan dengan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh lantai hutan sebagai tempat hidup jamur mikoriza. Meijaard dkk. (2006) dan Sutisna (2004) menyatakan, bahwa pada hutan yang telah dipanen kayunya, tajuk hutan terbuka dan terbentuk rumpang yang biasanya lebih besar dan lebih banyak jumlahnya, sehingga sinar matahari akan masuk ke lantai hutan. Kebanyakan jenis jamur memerlukan sunar untuk awal pembentukan tubuh buah dan perkembangannya yang normal. Sinar diperlukan untuk pembentukan pileus. Sinar yang terlalu rendah akan mengganggu pembentukan pileus (Bakshi, 1974; Webster 1988; Gunawan, 2001). Sehubungan dengan hal tersebut, diduga bahwa pada petak CNV sinar yang masuk ke lantai hutan cukup memadai untuk pembentukan tubuh buah jamur mikoriza karena tajuk yang terbuka pada petak CNV relatif lebih luas daripada RIL sehingga jamur mikoriza yang ditemukan juga lebih banyak. Dengan adanya perbedaan jumlah jenis jamur mikoriza pada petak penelitian yang berbeda kondisinya tersebut, maka jamur mikoriza dapat dijadikan indikator apakah kondisi hutannya masih bagus atau buruk. Bila banyak jenis jamur mikoriza yang tumbuh di suatu kawasan hutan, maka berarti hutan tersebut kondisinya relatif baik, tetapi bila sedikit jenis jamur mikoriza yang tumbuh, maka dapat diindikasikan hutannya telah rusak atau kondisinya buruk.
Jamur Saprofit dan Parasit Jamur saprofit adalah jamur yang mengambil zat makanan dari organisme yang sudah mati sehingga tidak merugikan inangnya, sedangkan jamur parasit merupakan jamur yang mengambil zat makanan dari organisme yang masih aktif tumbuh sehingga merugikan bagi inangnya. Sebagian besar jenis jamur yang dikoleksi merupakan jamur saprofit yakni berjumlah 225 jenis atau sekitar 83,3% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi di MRF. Jenis-jenis ini umumnya termasuk marga Polyporus, Ganoderma, Amauroderma, Fomes, Phelinus, Trametes dan Stereum serta beberapa marga/jenis yang lain. Selain itu diperoleh pula 4 jenis jamur parasit atau sekitar 1,5% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi di MRF, 3 di antaranya yang dapat hidup sebagai saprofit setelah pohon yang diserangnya mati (jamur yang
108
Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan
bersifat saprofit fakultatif), seperti jenis-jenis Ganoderma yang bertubuh buah besar, monyet (Macaca sp.) sering duduk di atasnya sehingga dikenal dengan sebutan jamur “kursi monyet”. Dari seluruh jenis jamur yang dikoleksi di MRF ternyata sebagian besar adalah jamur yang hidup pada kayu mati, sedangkan yang hidup di tanah lebih sedikit. Dari 270 jenis yang ditemukan di MRF tersebut, jenis yang hidup pada kayu mati, akar mati dan serasah adalah 225 jenis, yang hidup di tanah 41 jenis dan 4 jenis pada pohon hidup. Bila dipersentasekan jumlah jenis jamur yang hidup pada kayu mati, tanah dan pohon hidup tersebut masing-masing adalah 83,3%, 15,2% dan 1,5%, seperti ditunjukkan oleh Gambar 1 di bawah ini.
15.20%
1.50%
83.30% Kayu mati
Tanah
Pohon hidup
Gambar 1. Grafik Perbandingan Jumlah Jenis Jamur yang Ditemukan di Kawasan MRF Berdasarkan Substratnya
Banyaknya jenis jamur yang tumbuh pada kayu mati, akar mati dan serasah tersebut menggambarkan bahwa di MRF terdapat banyak substrat dari kayu mati, hal ini karena kawasan ini merupakan areal bekas pembalakan sehingga banyak terdapat kayu mati sisa pembalakan. Menurut Gandjar dkk. (2006), untuk pertumbuhannya, jamur memerlukan nutrisi dari lingkungannya. Karbohidrat merupakan substrat utama untuk metabolisme karbon pada jamur. Karbohidrat yang umum ditemukan di alam dalam bentuk oligosakarida atau polisakarida dan umumnya merupakan materi cadangan di dalam tubuh tumbuhan. Jamur bergantung pada karbohidrat kompleks tersebut sebagai sumber nutrisi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari 3 kondisi hutan yang diamati di Malinau Research Forest (MRF) berhasil ditemukan sebanyak 270 jenis jamur makro. Pada petak RIL sebanyak 162 jenis, petak CNV 152 jenis dan pada petak LDG diperoleh 42 jenis jamur. Kemerataan jenis jamur yang ada ternyata tidak merata baik pada petak RIL, CNV maupun LDG, namun demikian dari jumlah jenis yang ditemukan tersebut terdapat jenis-jenis yang dominan.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
109
Dari jenis-jenis jamur yang diperoleh terdapat jenis yang dapat berguna bagi kehidupan yaitu sebagai bahan makanan yang cukup bergizi dan obat bagi manusia juga sebagai jamur mikoriza bagi tumbuhan, namun ada pula jamur yang merugikan terutama bagi tumbuhan. Jenis-jenis jamur yang dapat dimakan ada 11 jenis yaitu Hygroporosis aurantiaca, Marasmius sp.2, Panus conchatus, Panus sp.6, 2 jenis Pleurotus, Polyporus sp.14, Sarcoscypha coccinea, Schizophyllum sp., Sparassis herbstii dan Xylaria sp., sedangkan jamur yang dapat berfungsi sebagai bahan makanan sekaligus obat ada 3 jenis yakni Auricularia auricula dan 2 jenis Auricularia yang lain. Ditemukan 31 jenis jamur mikoriza yakni Amanita virosa, Amanita sp., 2 jenis Boletus, Collybia sp., 4 jenis Hygrocybe, Hygroporus sp., 3 jenis Laccaria, Lactarius uvidus, Lactarius helvius, 2 jenis Lactarius yang lain, Lepista sp., 3 jenis Lycoperdon, 2 jenis Ramaria, 4 jenis Rusulla, Scleroderma sp., 2 jenis Thelephora dan 1 jenis yang belum diketahui nama ilmiahnya. Jamur parasit yang ditemukan ada 4 jenis, 3 di antaranya dari jenis Ganoderma dan lainnya jenis Hexagonia, sedang jamur saprofit merupakan jenis umum yang ditemukan dan berasal dari jenis-jenis Amauroderma spp., Daedalea spp., Earliella spp., Fomes spp., Fomitopsis spp., Ganoderma spp., Hexagonia spp., Laccaria spp., Laeticortecium sp., Lentinellus sp., Marasmius spp., Meruliopsis sp., Microporus sp., Mycena spp., Oxysporus sp., Panus spp., Polyporus spp., Sarcoschypa spp., Schyzophyllum sp., Sistotrema sp., Stereum spp., Trametes sp., Trichaptum spp. dan beberapa jenis yang belum diketahui nama ilmiahnya. Saran Sehubungan dengan ditemukannya beberapa jenis jamur yang dapat dimakan dan berguna sebagai obat pada plot-plot pengamatan, maka disarankan adanya penelitian lebih lanjut tentang jenis-jenis jamur yang dapat dimakan tersebut terutama untuk pembudidayaannya karena jamur merupakan salah satu bentuk diversifikasi pangan yang cukup mengandung gizi dan zat-zat penting lainnya. Pengetahuan tentang budidaya ini selanjutnya diharapkan dapat disampaikan kepada masyarakat sekitar hutan yang diamati ini yang mana nantinya upaya tersebut dapat menjadi salah satu upaya pengembangan masyarakat sekitar hutan. Bila ingin melakukan inokulasi semai dengan jamur mikoriza, terutama pada pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae, maka disarankan untuk mengambil inokulan dari petak CNV karena keanekaragaman jenis jamur mikorizanya lebih tinggi yang disebabkan kondisi hutannya yang relatif masih baik. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. The Strek Project, Indonesia. Forest Harvesting Buletin 7 (1): 24. Anonim. 1999a. Fungsi Hutan Sebagai Bank Gen. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. 12 h. Anonim. 1999b. Draft Principle Practices for Forest Harvesting in Indonesia. Natural Resources Management Project (NRMP). Ministry of Forestry and Estate Crops, Jakarta.
110
Srisusila dan Sutedjo (2009). Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan
Bakshi, B.K. 1974. Mycorrhiza and Its Role in Forestry. Forest Research Institute and Colleges, Dehra Dun, India. 89 h. Bigelow, H.E. 1979. Mushroom Pocket Field Guide. Macmillan Publishing Co. Inc., New York. 117 h. Breitenbach, J. and F. Kränzlin. 1991. Fungi of Switzerland. Vol. 3. Boletes and Agarics. Mykologia Lucerne, Switzerland. 361 h. Bresinsky, A. and H. Besl. 1990. A Colour Atlas of Poisonous Fungi. Wolfe Publishing Ltd., London. 295 h. Cahyana, Y.A.; Muchrodji dan M. Bakrun. 1999. Jamur Tiram. Penebar Swadaya, Jakarta. 63 h. Chairul. 1997. Kenanga dan Mengkudu. Balitbang Botani, Puslitbang Biologi LIPI, Bogor. 5 h. Ernayati 2001. Keanekaragaman Jenis Vegetasi Semai dan Pancang pada Areal Bekas Sistem Pembalakan Berdampak Rendah (Reduced Impact Logging) dan Konvensional di PT Inhutani I Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Tesis Program Studi Magister Ilmu Kehutanan, Fahutan Unmul, Samarinda. Fithria, A. 2003. Keanekaragaman Jenis Satwa Liar di Areal Hutan PT Elbana Abadi Jaya Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Rimba Kalimantan 9 (1): 6370 Gandjar, I.; W. Sjamsuridzal dan Oetari. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 238 h. Gunawan, A.W. 2001. Usaha Pembibitan Jamur. Penebar Swadaya, Jakarta. 112 h. Harley, J.L. 1979. The Biology of Mycorrhiza. Plant Science Monographs. Leonard Hill, London. 291 h. Imazeki, R.; Y. Otani and T. Hongo. 1988. Nihon no Kinoko. Yama-kei Publishers Co. Ltd., Tokyo. 623 h. Istomo. 1995. Teknik Pengukuran dan Pemantauan Keanekaragaman Hayati Tumbuhan. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Jülich, W. 1988. Dipterocarpaceae and Mycorrhizae. Special Issue, GFG Report of Mulawarman University 9: 103 h. Læssøe, T. and G. Lincoff. 1998. Mushrooms. Dorling Kindersley Limited., London. 304 h. Largent, D.L. 1973. How to Identify Mushrooms to Genus I: Macroscopic Features. Mad River Press, Inc., Eureka, California. 85 h. Largent, D.L. and H.D. Thiers. 1973. How to Identify Mushrooms to Genus II: Field Identification of Genera. Mad River Press Inc., Eureka, California. 32 h. Largent, D.L. and T.J. Baroni. 1988. How to Identify Mushrooms to Genus VI: Modern Genera. Mad River Press, Inc., Eureka, California. 277 h. Ludwig, J.A. and G. Reynolds. 1998. Statistical Ecology. Wiley Intersciense Publication John Wiley and Sons, Toronto. Mardji, D. dan Ch. Soeyamto. 1999. Jenis-jenis Jamur dari Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Berau Forest Management Project, Samarinda. 71 h. Meijaard, E.; D. Sheil; R. Nasi; D. Augeri; B. Rosenbaum; Iskandar; Dj.T. Setyowati; M. Lammertink; I. Rahmatika; A. Wong; T. Soehartono; S. Stanley; T. Gunawan dan T. O’Brien. 2006. Hutan Pasca Pemanenan. Center for International Forestry Research (Cifor), Bogor. Nonis, U. 1982. Mushrooms and Toadstools. A Colour Field Guide. David and Charles, London. 229 h. Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Pace, G. 1998. Mushrooms of the World. Firefly Books Ltd., Spain. 310 h. Pacioni, G. 1981. Guide to Mushrooms. Simon and Schuster’s Inc., New York. 513 h.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
111
Pardiyan. 1977. Mikoriza. Yayasan Pembinaan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 13 h. Retnowati, A. 2003. The Mycoflora Diversity in Kayan Mentarang National Park. Dalam: "Joint Biodiversity in Kayan Mentarang National Park". Ministry of Forestry WWF Indonesia ITTO, Jakarta. Richard, B.N. 1972. Introduction of Soil Ecosystem. Longman, New York. 305 h. Suhardiman, P. 1990. Jamur Kayu. Penebar Swadaya, Jakarta. 72 h. Suriawiria, U. 2003. Sukses Beragrobisnis Jamur Kayu Shiitake Kuping Tiram. Penebar Swadaya, Jakarta. 104 h. Sutisna, M. 2004. Silvikultur Hutan Alami di Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 123 h. Wahyudi, R. 1999. Inventarisasi Jamur Makroskopis (Cendawan) dan Potensinya bagi Masyarakat di Desa Napalicin, Kabupaten Musi Rawas, Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera Selatan. Abstrak hasil penelitian. 1 h. Wahyuni, A. 2002. Studi Keanekaragaman dan Penyebaran Jenis Burung untuk Pengembangan Rekreasi Alam di Kebun Raya Samarinda Lempake Provinsi Kalimantan Timur. Tesis Program Studi Magister Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 123 h. Webster, J. 1988. Pengenalan Kepada Kulat. Universiti Pertanian Malaysia, Serdang, Selangor Darul Ehsan. 706 h.