JARAN KAMPUT (SEBUAH KAJIAN SEJARAH SENI RUPA)
Dadung Novela Sandi, Hardiman, I Nyoman Rediasa Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail: {
[email protected],
[email protected],
[email protected]}@undiksha.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Sejarah kelahiran Jaran Kamput, (2) Eksistensi Jaran Kamput. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan metode observasi, wawancara, dokumentasi, dan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Sejarah Lahirnya Jaran Kamput ditinjau dari kerupaan terdiri dari sepuluh pokok : (a) Jaran Kamput Ditinjau dari Sudut Pandang Seni Rupa, (b) Jenis Jaran Kamput, (c) Bagian-bagian Jaran Kamput, (d) Konstruksi Jaran Kamput, (e) Bagian-bagian Konstruksi Jaran Kamput, (f) Ukuran Jaran Kampu (g) Fariasi Bentuk-bentuk Jaran Kamput, (h) Motif Jaran Kamput, (i) Fungsi Jaran Kamput, (j) Makna Simbolis Kesenian Jaran Kamput. (2) Eksistensi Jaran Kamput dalam dalam keberadaanya hingga saat ini meliputi : (a) Faktor yang mempengaruhi perubahan dalam eksistensi Jaran Kamput, (b). Perubahan yang terjadi pada Jaran Kamput. Kata-kata kunci : sejarah, eksistensi, Jaran Kamput,
ABSTRAK This research aims to find out (1) History of Jaran Kamput, (2) The Existence of Jaran Kamput. The tyepe of reserc is used quantitative descriptive study. Method of data collection is done using the method of observation, interview, documentation and literatur. The results showed that the (1) History of Jaran Kamput in terms of sape of ten stapel : (a) Jaran Kamput is seen from the point of view of art, (b) Kind of Jaran Kamput, (c) Part ofJaran Kamput, (d) Construction of Jaran Kamput, (e) Part construction of Jaran Kamput, (f) size of Jaran Kampu (g) Variations in shape of Jaran Kamput, (h) Motif of Jaran Kamput, (i) Fuction of Jaran Kamput, (j) The symbolic meaning of Jaran Kamput. (2) The Existence of Jaran Kamput in Existence until today: (a) Factors effecting thr change in Existence of Jaran Kamput, (b). The changes in Jaran Kamput. Keywords : history, existence, Jaran Kamput,
Pendahuluan Pulau Lombok adalah sebuah pulau dari kesatuan Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terdiri dari dua pulau besar yaitu pulau Sumbawa dan pulau Lombok. Lombok adalah sebuah pulau, yang termasuk dalam untaian atau barisan pulaupulau Nusantara dari Sumatra sampai Papua. Pulau Lombok termasuk dalam kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh dua selat dan dua lautan yang luas. Bagian selatan dari pulau Lombok berbatasan dengan Samudra Hindia, bagian utara berbatasan dengan laut Flores, bagian barat Selat Lombok yang memisahkan Lombok dari Bali dan Selat Alas di sebelah timur memisahkan Lombok dengan Sumbawa. Selain kedua pulau utama, masih banyak kepulauan lain seperti Gili Trawangan, Gili Lampu dan Gili Air yang merupakan kesatuan dari Provinsi Nusa Tengara Barat. Pulau Lombok sebagai pusat dari pemerintahan daerah saat ini, jika ditelusuri kedua pulau ini memiliki tiga suku, yaitu Sasak (Lombok), Samawa (Sumbawa, Sumbawa Barat), dan Mbojo (Bima, Kota Bima, dan Dompu) yang kini terkenal dengan sebutan Sasambo (Sasak, Samawa, Mbojo), dengan berbagai tradisi dan kebiasaannya. Lombok dan Sasak adalah dua nama yang tidak bisa dipisahkan. Lombok merupakan sebutan untuk pulaunya dan Sasak untuk menyebut Suku orang yang menjadi Suku asli di Pulau Lombok. Lombok berasal dari bahasa Sasak, yaitu “Lombo” yang berarti “lurus”, sedangkan Sasak berasal dari kata “Saksak” yang berarti “perahu bercadik”. Suku Sasak temasuk dalam keturunan dari peradaban Yunan utara, disebut bangsa Melayu yang merupakan rumpun bangsa Austronesia masuk golongan Ras Mongoloid. Sejarah Lombok tidak lepas dari penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di Lombok maupun eksternal, yaitu penguasaan dari kerajaan di luar pulau Lombok. Perkembangan era Hindu-Budha memunculkan beberapa kerajaan seperti Selaparang Hindu dan Bayan. Kerajaan-
kerajaan tersebut dalam perjalannya, ditundukkan oleh penguasa dari kerajaan Majapahit saat ekspedisi Gajah Mada di abad XIII – XIV, penguasaan kerajaan Gel Gel dari Bali pada abad VI dan yang terakhir dikuasai oleh kerajaan Karangasem Bali. Gumi Sasak mengalami peralihan kekuasaan sampai pada era awal masuknya pengaruh agama Islam yang melahirkan kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik. Masuknya agama Islam ke kawasan Nusa Tenggara Barat sepanjang abad XVI Masehi melalui dua jalur. Agama Islam menyebar dan memengaruhi kerajaan-kerajaan di Lombok Timur dan Lombok Tengah. Ketika ajaran agama Islam di tanah Lombok diterima oleh kaum bangsawan, penyebaran agama Islam menjadi lebih mudah dan semakin meluas di kerajaan-kerajaan Lombok Tengah dan Lombok Timur. Pengaruh agama dan budaya lain yang pernah masuk kepulau Lombok memperkaya khasanah kebudayaan Sasak Sebagai bentuk dari Pertemuan kebudayaan, seperti tradisi dan kesenian. Kedua agama membawa kontribusi yang besar terhadap perkembangan kesenian-kesenian yang ada di Lombok hingga saat ini. Kesenian di Lombok sangat beragam mulai dari seni musik, tari, rupa dan seni pertunjukan. Kesenian asli dan pendatang saling melengkapi sehingga tercipta genre-genre baru. Pengaruh yang paling terasa berakulturasi dengan kesenian lokal, yaitu kesenian dari kebudayaan kesenian Hindu dan pengaruh kebudayaan agama Islam. Pengaruh agama Hindu Bali dalam bidang kesenian yaitu, kesenian Cepung, Cupak Gerantang, tari Jangger, Gamelan Thokol, sedangkan pengaruh agama Islam, yaitu kesenian Rudad, Cilokaq, Wayang Serat Menak Sasak, Gamelan Rebanadan dan Jaran Kamput. Kesenian Jaran Kamput merupakan kesenian yang digunakan pada acara pernikahan dan khitanan. Dalam bahasa Sasak “Jaran” berarti kuda sedangkan “Kamput” artinya dipikul atau digotong, jadi Jaran Kamput adalah kuda yang dipikul atau jempana yang berbentuk kuda. Pemikiran atau filosofi pembuatan Jaran
Kamput merupakan bentuk atau perwujudan dari kuda sakti yang dimiliki oleh para kesatria pembela Islam baik dalam tokoh wayang dan kisah nyata yaitu Nabi Muhammad. SAW, Raden Jayangrana, dan Raja-raja Pejsnggik. Jaran Kamput merupakan perwujudan dari sosok kuda hitam raja Pejanggik yang tinggi besar dan sangat kuat dalam medan peperangan. Kuda ini selalu menjadi kendaraanya dalam membela masyarakat dan agamanya. Jaran Kamput ini dibuat berpasangan yang digunakan dalam ritual adat nyongkolan atau arak-arakan setelah menikah dan pada acara besunat atau dalam agama Islam dikenal dengan istilah khitanan. Prosesi ritual ini dilakukan untuk mengantar sepasang pengantin jika acaranya pernikahan dan anak yang akan dikhitan, jika acaranya khitanan. Ritual atau upacara adalah prosesi dalam melakukan kegiatan dalam sebuah tradisi dalam kebudayaan. Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci (O’Dea, 1995: 5-36). Fungsi dan tujuan pelaksanaan kesenian ini untuk mendukung pelaksanaan sariat dalam agama Islam, seperti pernikahan dan khitanan. Pelaksanaan Kesenian Jaran Kamput merupakan bentuk dukungan moril dari pihak keluarga berupa harapan doa yang di mohonkan kepada Allah agar keturunannya menjadi orang yang akan menjadi sosok yang luhur, amanah dan berguna bagi bangsa dan agama. Seiring dengan perkembangan zaman saat ini dimana tradisi dan budaya sudah dikaitkan atau di hubungkan gaya hidup moderen. Moderenisasi atau pola pikir dan gaya hidup masa kini membuat kesenian tradisional mulai pudar dari ingatan masyarakat lokal, seperti halnya Jaran Kamput yang merupakan kesenian daerah Lombok ini yang sudah mulai pudar atau jarang digunakan dalam pelaksanaan upacara daur hidup suku Sasak.
Tujuan penelitian ini adalah, (1).
Mendeskripsikan sejarah kelahiran Jaran Kamput. (2). Mendeskripsikan eksistensi Jaran Kamput. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, karena dalam pembahasannya berupa uraian secara deskripsi dengan memaparkan data terkait Jaran Kamput sesuai dengan keadaan di lapangan. Data pendeskripsian yang dimaksudkan sebagai penjelas berupa sejarah dan eksistensi mengenai kesenian Jaran Kamput yang merupakan kesenian suku Sasak Lombok. Seperti pendapat Suharsami Arikunto (1993: 10) menyatakan bahwa “yang dimksud dengan penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk menjelaskan, atau menggambarkan variabel masa lalu dan sekarang”. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Dalam prosesnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain, penelitian deskriptif ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan saat ini, dan melihat kaitan antara variablevariabel yang ada. Penelitian ini tidak hanya menguji hipotesa atau tidak menggunakan hipotesa, melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variable-variabel yang diteliti (Mardalis, 2009: 26). Lokasi yang menjadi pusat penelitian kesenian tradisional suku sasak, Jaran Kamput ini dilakukan di Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah. Desa Pejanggik merupakan tanah kelahiran kesenian ini pada zaman kolonialisme. Lokasi selain Desa Pejanggik juga dilakukan di Desa lainnya yang memiliki sanggar atau kelompok kesenian Jaran Kamput sebagai perbandingan dari Jaran Kamput yang ada di Desa Pejanggik, yaitu di Desa Barejulat dan Desa Ubung. Subjek penelitian adalah benda, hal, atau orang tempat variabel melekat, dan
yang dipermasalahkan dalam penelitian. Subjek dalam penelitian adalah narasumber yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui sejarah dan eksistensi kesenian Jaran Kamput suku Sasak Lombok yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya kesenian Jaran Kamput. Objek penelitian adalah hal yang ingin dipahami secara lebih mendalam yang terjadi di dalamnya (Wendra, 2013:32). Objek penelitian ini adalah kesenian tradisional Jaran Kamput suku Lombok. Objek penelitian ini akan dikaji secara mendalam mengenai sejarah dan eksistensi kesenian Jaran Kamput Suku Sasak Desa Pejanggik yang ada di pulau Lombok. Berkaitan dengan kajian sejarah, peneliti akan memfokuskan penelitiannya trehadap sejarah, bentuk, dan kerupaan dari kesenian Jaran Kamput. Dalam pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi dan study kepustakaan. Analisis data diartikan sebagai upaya dalam pengolahan data menjadi informasi sehingga karakteristik atau sifatsifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami. Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan analisis penelitian budaya yang merupakan penelitian yang sejenis dengan penelitian deskriptif model Miles dan Hubermen. Ada tiga tahapan dalam metode analisis data kebudayaan atau deskriptif, yaitu Open Coding, Axial Coding, dan Selektif Coding (Sudikan, 2001: 105). Hasil dan Pembahasan A. Sejarah Lahirnya Jaran Kamput Jaran Kamput termasuk kesenian pada masa kejayaan agama Islam di Lombok, walaupun kemunculan Jaran Kamput pada masa itu terjadi sekitar masa kolonialisme, namun tampilan bentuk Jaran Kamput masih betahan hingga saat ini sebagai kesenian yang memiliki kesakralan yang kental. Hal ini dikarenakan dalam kesenian Jaran Kamput terdapat unsur
animisme dalam proses pembuatan hingga pelaksannaannya. Berdasarkan wawancara dengan tokoh adat di Desa Pejanggik mengenai kesenian kuda kayu atau yang dinamakan Jaran Kamput yang lahir dan berkembang di Desa Pejanggik, kepastian tentang tahun kelahiranya tidak ada yang mengetahui. Hal itu dikarenakan tidak adanya pendataan sejarah tentang kesenian Jaran Kamput. Kesenian kuda kayu atau Jaran Kamput tidak langsung dibuat secara proporsional seperti bentuk kuda, tetapi merupakan peralihan bentuk dari tandu atau istilah bahasa Indonesia disebut jempana yang digunakan untuk menggotong raja yang dalam bahasa sasak disebut julic. Jaran Kamput tidak dibuat seperti proses pembuatan patung kayu pada umumnya. Dilihat dari budaya masyarakat Lombok yang menganut paham animisme yaitu kebiasaan dan kepercayaan akan adanya arwah nenek moyang, serta hal yang berhubungan dengan hal mistis. Pembuatan Jaran Kamput direncanakan melalui proses ritual yang berkala. Mulai dari proses awal sampai akhir pembuatan bentuk Jaran Kamput harus mengadakan ritual untuk berkomunikasi antara pembuat dengan sosok arwah penunggu atau makhluk astral yang akan menghuni Jaran Kamput. Ritual selain dilakukan pada proses pembuatanya, dilakukan satu atau duakali selama seminggu. Ritual juga dilakukan sebelum dan sesudah Jaran Kamput di gunakan dalam acara daur hidup sebagai bentuk izin kepada penunggu atau leluhur, diharapkan juga dengan demikian keberlangsungan acara terhindar dari ganguan yang tidak di inginkan. Jaran Kamput difungsikan untuk acara pernikahan dan khitanan (sunatan). Jaran Kamput yang berbentuk kuda kayu ini natinya akan dinaiki pengantin dan anak yang akan dikhitan (disunat). Jaran Kamput dibuat berpasangan yakni, Jaran Kamput mame (jantan) yang khusus ditunggang laki-laki dan Jaran Kamput nine (betina) yang khusus ditunggang oleh wanita.
Jaran Kamput memiliki bentuk dan bagian anggota tubuhnya yang sama dengan kuda asli. Adapun bagian-bagian pada Jaran Kamput termuat dalam gambar:
Gambar 1 Jaran Kamput Mame (Jantan) (Foto : Penulis)
Gambar 3 Bagian-bagian Jaran Kamput Mame (Foto : Penulis) Keterangan 1 mata kuda 11 ekor kuda 2 hidung 12 paha 3 gigi 13 kaki kuda 4 leher 14 pengait kaki kuda 5 tali kuda 15kaitan depan belakang 6 dada kuda 16 penandu 7 kuping 17 perut kuda 8 jambul/rambut kuda 18 Bahu kuda 9 punggung 19 bapang
10 jempana/ kursi
Gambar 2 Jaran Kamput Mame (Jantan) (Foto : Penulis) Pembuatan Jaran Kamput yang berpasangan selain memfilosofikan raja dan ratu, juga dikaitkan dengan firman Allah yang menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan. Pembentukan Jaran Kamput sangat bermakna dalam pelaksanaan upacara daur hidup masyarakat sasak Lombok. Bentuk Jaran Kamput ini merupakan replika dari kuda. Jaran Kamput dibuat bukan sekadar menjadi patung kuda kayu hiasan, namun difungsikan sebagai alat penandu atau sebagai tunggangan dalam upacara pernikahan dan khitanan adat sasak.
Adapun bagian-bagian Jaran kamput nine di atas sama dengan bagian pada Jaran kamput mame. Namun perbedaannya terletak pada bagian punggung. Jaran kamput nine memiliki dudukan seperti kursi sedangkan pada Jaran kamput mame tidak memiliki dudukan seperti kursi kalaupun ada hanya mengunakan bantalan saja kadang juga tidak mengunakan bantalan. Jaran Kamput memiliki konstruksi awal berbentuk jempana atau tandu yang digunakan utuk menggotong raja. Namun sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan masyarakat terhadap raja, maka bentuk jempana atau tandu diubah menjadi bentuk kuda kayu yang disebut Jaran Kamput. Dalam perubahan jempana menjadi bentuk Jaran Kamput memiliki model atau tipe perakitan antara bagian-bagian anggota tubuh Jaran Kamput. Dalam perakitan Jaran Kamput menggunakan dua tipe perakitan yang dibedakan dalam tekhnik perangkaiannya yakni,
Konstruksi Jaran Kamput tipe pertama merupakan model pemasangan yang masih sederhana di mana bagian sambungan angota tubuh masih terlihat jelas dan terlihat kurang rapi. Konstruksi Jaran Kamput tipe kedua merupakan pemasangan yang sederhana namun lebih sipel dan rapi dan terlihat seperti tidak memiliki sambungan. Bagian-bagian dari Konstruksi Jaran Kamput: (1) Kepala Jaran Kamput, (2) Jambul Jaran Kamput, (2) Bagian leher Jaran Kamput, (4) Badan Jaran Kamput, (5) Bagian Kaki Jaran Kamput, (6) Bagian ekor Jaran Kamput, (7) Bagian telinga Jaran Kamput, (8) Tumpuan kaki jaran kamput, (9) Bagian Jempana Jaran Kamput, (10) Bapang Jaran Kamput, 11 Rangkaian tandu Jaran Kamput. Jaran Kamput pada umumnya memiliki panjang berukuran 130 cm, dan memiliki tinggi dari kaki kuda sampai punggung kuda berukuran 100 cm, untu lebarnya di ukur dari lebar bukaan kaki, yaitu 50 cm, sedangkan tinggi leher sampai jambul kuda berukuran 50 cm . Panjang tandu Jaran Kamput berukuran 200-250 cm. Jadi, Jaran Kamput dibuat tidak terlalu tinggi supaya pada saat ditandu antara kuda dan tandunya stabil. Ukuran Jaran Kamput dibagi menjadi dua macam berdasarkan tipe konstruksi pertama dan konstuksi kedua. Perbedaanya haya pada tingginya saja jikapada Jaran Kamput tipe pertama memiliki tinggi total 150 cm, sedangkan Jaran Kamput tipe ke dua memiliki tinggi 140cm saja. Bentuk Jaran Kamput yang pertama merupakan bentuk murni tiruan dari bentuk kuda. Jika dibandingkan dengan Jaran Kamput saat ini sudah lebih sederhana. Adapun beberapa variasi Jaran Kamput di beberapa daerah di Lombok Tengah berdasarkan tahun dan lokasi tahun pembuatan Jaran Kamput adalah sebagai berikut: (1) Jaran Kamput versi Desa Batu Entek Tahun 1980, (2) Jaran Kamput versi Desa Batu Etek Versi Tahun 1986, (3) Jaran Kamput Desa Barejulat Versi Tahun 2000
, (4) Jaran Kamput Desa Pejanggik Versi Tahun 2010. Motif yang digunakan pada Jaran Kamput tidak memiliki nama dan makna yang jelas karena motif yang digambarkan merupakan hasil visualisasi konsep saat ritual. Oleh karena itu, motif ini disebut atau dinamakan berdasarkan bagian tubuh Jaran Kamput tempat atau letak motif tersebut. Motif yang muncul terkadang beragam. Sepasang Jaran Kamput terdapat motif tumbuhan, hewan, wayang dan yang lebih dominan, yaitu motif simetris yang berupa pengulangan. Motif-motif digunakan untuk penghias leher jambul dan lainya. Dari keseluruhan motif jaran kamput Jaran Kamput tidak ada satupun pasangan Jaran Kamput yang memiliki hiasan yang sama. Perbedaan yang terjadi bukan akibat perubahan zaman melainkan perbedaan karena adanya proses ritual. Sebagai kesenian tradisional tentunya Jaran Kamput memiliki fungsi hiburan, upacara, dan pendidikan. Berikut fungsi dari kesenian Jaran kamput sebagai berikut: 1) Fungsi Praktis Kesenian Jaran Kamput merupakan seni terapan karena dibuat untuk digunakan bukan sekadar dinikmati sebagai hiasan. Kesenian Jaran Kamput digunakan sebagai media untuk menandu pasangan pengantin dalam arak-arakan saat acara Nyongkolan adat Sasak, pada arak-arakan saat ritual khitanan, dan untuk menyambut tamu penting, dan di gunakan di sertakan dalam vestival kesenian tradisional masyarakat Lombok. 2) Fungsi Upacara Kesenian Jaran kamput dalam adat suku Sasak digunakan sebagai sarana upacara dalam pernikahan dan upacara khitanan yang merupakan upacara keagamaan yang wajib dilakukan dalam Agama Islam. 3)
Fungsi Hiburan. Kesenian Jaran kamput memiliki fungsi hiburan dengan menampilkan Jaran kamput sebagai media dalam tarian yang diiringi alat musik tradisional khas suku Sasak. Terkadang dalam penampilan
kesenian ini juga ada tambahan hiburan dari pihak keluarga yang menikah atau khitanan ikut menari mengikuti irama musik sebagai bentuk dukungan dari pihak keluarga. 4)
Fungsi Spiritual Tujuan penyelenggaraan kesenian Jaran Kamput ini bertujuan untuk menyucikan jiwa dan pikiran kotor atau menghilangkan segala keburukan yang telah dilakukan. Dengan begitu, diharapkan setelah menjalani upacara daur hidup menggunakan Jaran Kamput, pengantin dan anak yang akan dikhitan bisa berpikir rasional dan bisa menjadi calon pemimpin sehingga berguna bagi agama, bangsa, dan negaranya. Pemikiran atau filosofi pembuatan Jaran Kamput merupakan bentuk atau perwujudan dari kuda sakti yang dimiliki oleh para kesatria pembela Islam baik dalam tokoh wayang dan kisah nyata. Jaran Kamput merupakan perwujudan dari sosok kuda hitam raja Pejanggik yang tinggi besar dan sangat kuat dalam medan peperangan. Kuda ini selalu menjadi kendaraanya dalam membela masyarakat dan agamanya. Dalam mitologi tokoh pewayangan sasak serat menak, Jaran Kamput diibaratkan sebagai Sekardiu yang konon merupakan kendaraan atau tunggangan dari Raden Jayangrana, Sekardiu digambarkan dalam bentuk makhluk aneh yang berbentuk perpaduan antara kuda, singa dan naga yang sakti. Raden Jayangrana dan kendaraannya Sekardiu merupakan simbol yang tidak terpisahkan dalam cerita pewayangan penyebaran agama Islam suku Sasak Lombok. Sedangkan dalam sebuah kisah Nabi Muhammad Jaran Kamput di ibaratkan seperti Buroq. Buroq merupakan tungangan berupa binatang berkaki empat seperti kuda dari surga yang diperintahkan oleh Allah untuk ditungangi Nabi Muhammad dalam Israq Mi’raj untuk menerima perintah Allah. Dalam Israq Mi’raj atau melakukan perjalanan satu malam dari Madinah ke Mekah, kemudian dari Mekah Nabi Muhammad dibawa menembus tujuh lapisan langit oleh Buroq. Sebelum menuju ke langit Buroq membersihkan hati Nabi Muhammad
terlebih, kemudian Nabi Muhammad dipertemukan dengan Allah untuk menerima perintah memimpin serta menyebarkan agama Islam kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu, kesenian Jaran Kamput dibuat dengan bentuk kuda karena dilandaskan dari mitologi Raden Jayang sosok Raja-raja Pejanggik, sosok Nabi Muhammad. Para kesatria pembela agama Islam tersebut memiliki tunggangan atau peliharaan berupa kuda yang menjadi pelidung dan menemani setiap perjuangannya. Dengan demikian sosok yang paling dekat berada di pejanggik Sebagai penghormatan kepada raja-raja Pejanggik bentuk jempana yang awalnya berbentuk kursi digunakan untuk menandu raja dimodifikasi menjadi bentuk kuda dan diberi nama Jaran Kamput yang artinya kuda yang ditandu. Jaran Kamput digunakan dalam upacara daur hidup masyarakat Sasak Lombok dalam upacara perkawinan dan khitanan (sunatan). Dalam kedua acara tersebut sepasang pengantin atau seseorang anak akan menjalani hidup baru menjadi pasangan suami istri dan anak yang sudah dihitan dianggap mampu mejalani tangung jawab setelah menjalani ritual dengan Jaran Kamput. Jaran Kamput diharapkn dapat membersihkan menjaga hati serta orang tersebut mampu menjadi pemimpin yang adil dan menjadi keluarga sakinah dan selalu berada di jalan kebenaran. Sebagai kesenian tradisional suku Sasak kesenian Jaran Kamput mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan tujuan pelaksanaannya. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan kesenian tersebut seperti nilai budaya, moral, dan agama. 1) Nilai Budaya Dari pelaksanaan upacara dengan menggunakan Jaran Kamput, Jaran Kamput merupakan sebuah bentuk apresiasi terhadap Raja di Lombok yang digambarkan kembali dalam sebuah bentuk kesenian dengan memfisualisasikan seperti sosok kuda perang milik sang raja dalam sebuah bentuk kesenian tradisional,
sebagai kesenian yang muncul dan berkembang di tanah Sasak maka kesenian ini harus dijaga keberadaannya sebagai budaya lokal yang menjadi identitas kebudayaan suku Sasak. 2) Nilai Moral Kesenian Jaran Kamput, selain memiliki nilai guna atas sebuah prosesi pernikahan dan khitan juga mengandung nilai moral sebagai bentuk upacara kesaksian dari masyarakat bahwa telah terjadi pernikahan atau anak yang dikhitan benar-benar terjadi dan bukan rekayasa agar tidak memicu fitnah dalam kehidupan selanjutnya. Dengan adanya acara atau upacara pernikahan mengunakan Jaran Kamput ini sebagai bentuk dukungan moril dari kedua pihak keluarga pengantin begitu juga dengan anak yang dikhitankan keluarga berharap sang anak bisa menjadi Muslimin (sebutan untuk laki-laki yang beragama Islam) yang sejati serta bisa menjadi pemimpin kelak seperti raja-raja Pejanggik dan seperti sosok Nabi MuhamnadS.A.W. 3)
Nilai Agama Kesenian tradisional ini diciptakan memang sebagai bentuk dukungan pelaksanaan khitanan dan pernikahan yang merupakan suatu perintah dalam agama Islam mengenai keharusan untuk menikah agar halal segala hubungan antara sepasang manusia dan bagi anak yang sudah waktunya balig akan disunat sesuai sariat dalam agama Islam. Selain dari makna pelaksanaan ini, dari maksud dibuatnya juga berdasarkan apa yang menjadi firman Allah bahwa setiap makhluk selalu diciptakan berpasangan. Begitu juga Jaran Kamput yang diciptakan berpasangan layaknya ciptaan dari sang pencipta. 4)
Nilai Estetik Sebagai bentuk kesenian yang lahir dan berkembang di daerah Lombok, Jaran Kamput memiliki unsur estetis yang sangat indah dilihat dari segi bentuk Jaran Kamput yang kreatif. Dilihat dari warna yang ditampilkan, ornamen atau motif yang variatif dan ukiran, serta ditambah dengan
pepayasannya yang seolah menyerupai sosok kuda perang. B. Eksistensi Jaran Kamput Keberadaan kesenian Jaran Kamput merupakan kesenian yang muncul dari masyarakat Lombok Tengah, tepatnya di daerah Pejanggik yang kemudian menyebar keseluruh daerah Lombok. Kesenian tradisional Jaran Kamput hingga saat ini keberadaannya masih terjaga di tengah masyarakat lokal namun eksistensinya saat ini, masyarakat sedikit keliru memaknai arti hadirnya Jaran Kamput sebagai kesenian yang digunakan dalam prosesi daur hidup. Menurut bapak Kumah “Jaran Kamput dalam eksistensinya saat ini masih dikenal dan masih sering digunakan. Hanya saja karena pengunaannya lebih sering digunakan pada acara khitanan dan jarang digunakan untuk acara pernikahan sehingga masyarakat kekinian menyimpulkan bahwa kesenian Jaran Kamput hanya digunakan dalam acara khitanan saja”(7,November, 2015). Jika ditinjau dari filosofi pembuatannya memang tidak pernah dan tidak akan ada yang memiliki kesam karena pembuatannya sudah dilandasi oleh firman Allah bahwa segala makhluk ciptaanya diciptakan tidak ada yang sama. Dengan demikian makhluk halus atau roh yang menjadi penungunya pun menginginkan visualisasi sesuai dengan bentuk yang diinginkan masing-masing. Menurut Amak Kureni selaku tukang servis Jaran Kamput, mengatakan “Dalam pembuatan Jaran Kamput tidak pernah ada pasangan yang sama persis dengan Jaran Kaput lainnya. Jika ada persamaan mungkin dari konstruksi dan beberapa motif karena Jaran Kamput juga dibuat melalui proses yang sakral dengan melakukan ritual. Pembuatan Jaran Kamput juga dilandasi oleh firman Allah yang menciptakan makhluk ciptaannya berbeda satu dengan yang lain sehingga Jaran Kaput juga dibuat seperti keinginan makhluk astral yang akan menjadi isi atau penunggu dalam Jaran Kamput”(25,Oktober, 2015). Oleh karena itu, dari setiap penunggunya memiliki keinginan yang berbeda sehinga bentuk
fisualnya menjadi bervariasi antara pasangan yang satu dan lainnya. Dalam
keberlangsungan suatu tradisi dan budaya ada dua faktor yang memengaruhi perubahan, yaitu faktor internal (faktor dari dalam) dan faktor eksternal (faktor dari luar). Adapun faktor eksternal dan Internal yang memengaruhi Jaran Kamput dalam eksistensinya saat ini sebagai berikut: 1) Faktor Migrasi dan Trasmigrasi Penduduk Faktor eksternal yang mempengaruhi eksistensi Jaran Kamput karena terlalu banyaknya pendatang yang masuk ke daerah Lombok dan berkurangnya masyarakat asli Lombok akibat transmigran ke daerah lain. Kesenian Jaran Kaput mulai jarang digunakan dan mengubah persepsi masyarakat mengenai fungsi dari Jaran Kamput yang dari dulu sampai saat ini digunakan untuk acara pernikahan dan khitanan.
2) Faktor Internal Adat Suku Sasak Karya seni rupa tradisional dapat diartikan sebagai hasil karya seni, hasil pewarisan atau peninggalan budaya turuntemurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karya seni tradisional seperti Jaran Kamput mempunyai pakem yang sering kali berdasarkan atas hal-hal yang keramat. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat tradisional bersifat animisme yaitu keyakinan akan adanya roh-roh di alam semesta ini di diami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, keyakinan animisme masyarakat menjadi penjelas bahwa karya seni rupa tradisional tidaklah sekadar bentuk semata, tetapi juga benarbenar sebagai sebuah hasil karya seni yang penuh makna dan berlambang serta sekaligus merupakan bagian yang menyatu dengan hidup dan kehidupan manusia. Dengan demikian, dalam pembuatan kesenian tradisional Jaran Kamput selalu disesuaikan dengan perintah yang dihasilkan dalam proses ritual mulai dari bentuk, motif hingga pewarnaan. Bentuk Jaran Kamput jika dibandingkan antara pasangan yang satu dan yang lainya tidak pernah ada yang sama karena
diyakini setiap pasangan memiliki roh atau arwah penunggunya masing-masing sehinga visualisasi yang diinginkan tidak akan sama antara pasangan Jaran Kamput manapun. Jadi perbedaan bentuk, hiasan, dan warna pada Jaran Kamput bukan perubahan, lebih tepatnya perbedaan internal yang terjadi karena proses ritual. Adapun sedikit perubahan dalam eksistensinya sampai saat ini tidak terlalu berdampak. Hanya saja, penggunaannya mulai jarang untuk upacara pernikahan, namun lebih sering digunakan untuk khitanan. Banyak orang yang salah memaknai kesenian ini, akibat penggunaannya yang lebih sering digunakan paada acara khitanan. Oleh sebab itu masyarakat saat ini mengenal Jaran Kamput hanya sebagai acara sunatan saja. Jadi pemaknaannya tidak berubah, hanya saja kurangnya informasi dan penggunaannya sehingga kesenian ini menjadi asing di tengah masyarakat kekinian. Selain itu, masyarakat Lombok saat ini juga sudah mulai meninggalkan paham animisme. a. Berkurangnya fungsi Jaran Kamput Dalam masa modern ini masyarakat dipengaruhi pola pikir yang instan, tidak ingin menjadi repot jika akan melangsungkan acara apalagi dengan semakin meningkatnya nilai dari materi berupa uang membuat pemikiran masyarakat semakin simpel. Pelaksanaan acara untuk pernikahan dan khitanan pun diadakan dengan apa adanya dan tidak lagi berpatokan pada adat istiadat daerahnya akan tetapi mengadopsi paham budaya lain yang di nilai sesuai dengan kondisi saat ini. b. Perubahan Bentuk Jaran Kamput Bentuk Jaran Kamput pada dasarnya hanya berbeda antara pasangan yang satu dan lainnya, dikarenakan oleh proses ritual, jika ditinjau dari filosofi pembuatannya memang tidak pernah dan tidak akan ada yang sam karena pembuatannya sudah dilandasi oleh firman Allah bahwa segala mahluk ciptaannya diciptakan tidak ada yang sama. Oleh karena itu, makhluk astral atau roh yang menjadi penungunya pun
menginginkan fisualisasi sesuai dengan bentuk yang diinginkan masing-masing.
Gambar 4 Bentuk jaran kamput Desa Pejanggik versi 2010 (Foto: Penulis)
Perubahan bentuk pada Jaran Kamput saat ini hanya pada bentuk mulut, susunan gigi, dan lidah. Perawakan Jaran Kamput masih berbentuk kuda biasa atau masih seperti perawakan Jaran Kaput pada umumnya. Jaran Kaput mame (jantan) Desa Pejanggik versi tahun 2010 masih berbentuk seperti Jaran Kamput pada umumnya.
Gambar 5 Ekspresi wajah jaran kamput nine 2010 dengan Tokoh Wayang Sekardiu (Foto: Penulis)
Untuk penyebutan keduanya atau sepasangnya masih disebut pasangan Jaran Kamput. Namun jika disebutkan satu persatu Jaran Kamput betina yang mulutnya terbuka sudah di ubah namanya menjadi Sekardiu.
Simpulan Jaran Kamput termasuk dalam kesenian pada masa awal masuknya agama Islam di Lombok. Walaupun kemunculan Jaran Kamput pada masa itu sekitar masa kolonialisme namun masih ada hingga saat ini sebagai kesenian yang memiliki kesakralan yang kental karena
terdapat unsur animisme dalam proses pembuatan hingga pelaksannaan kesenian Jaran Kamput. Pembuatan kesenian Jaran Kamput sangat bermakna dalam pelaksanaan upacara daur hidup masyarakat sasak Lombok. Jaran Kamput merupakan replika dari kuda. Jaran Kamput dibuat bukan sekadar menjadi patung kuda kayu namun difungsikan sebagai alat penandu atau sebagai tunggangan dalam upacara pernikahan dan khitanan adat Sasak. Bentuk Jaran Kamput merupakan perubahan bentuk dari Jempana (tandu) untunk mengotong raja sebagai alat transportasi pada zaman kerajaan. Perubahan ini merupakan bentuk apresiasi masyarakat pada raja-raja Pejanggik. Keberadaan atau eksistensi dari kesenian Jaran Kamput yang merupakan kesenian yang muncul dari masyarakat Lombok Tengah tepatnya di daerah Pejanggik yang kemudian menyebar ke seluruh daerah Lombok. Keberadaan Kesenian tradisional Jaran Kamput hingga saat ini masih terjaga di tengah masyarakat lokal. Namun dalam eksistensinya saat ini masyarakat sedikit keliru memaknai arti hadirnya Jaran Kamput sebagai kesenian yang digunakan dalam prosesi daur hidup. Perubahan yang terjadi hanya sekadar perubahan bentuk pada ekspresi saja namun untuk makna dan fungsi Jaran Kamput tidak mengalami perubahan hanya sekadar salah pengertian masyarakat karena kurangya informasi lisan dan tulisan mengenai kesenian Jaran Kamput ini. Eksistensi Jaran Kamput saat ini memang tidak sama persis dengan bentuk dan kondisi pada masa awal pembuatannya. Hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi eksistensi Jaran Kamput karena terlalu banyaknya pendatang yang masuk ke daerah Lombok dan berkurangnya masyarakat asli Lombok akibat transmigran ke daerah lain. Kesenian Jaran Kaput mulai jarang digunakan dan mengubah persepsi masyarakat mengenai fungsi dari Jaran Kamput. Sedangkan faktor internal merupakan pengaruh dari dalam
kebudayaan tersebut. Faktor internal ini berupa prosesi ritual, karena Jaran Kamput dibuat dengan ritual untu meminta izin pada arwah leluhur sehingga bentuknya akan dibuat sesuai dengan hasil ritual.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta. Mardalis. 2009. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Narboku, Cholid, Dkk,2005. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT Bumi aksara. O’Dea, Thomas F. 1995. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal.Terjemahan: Yasogama. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada. Wendra, I Wayan. 2013. Penulisan Karya Ilmiah (Buku Ajar). Singaraja: Undiksha.