IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN Simulasi kebijakan merupakan salah satu cara yang lazim dilakukan untuk mengambil suatu kebijakan umum (public policy). Dalam penelitian ini, dilakukan berberapa skenario untuk simulasi kebijakan yang berkaitan dengan investasi sektor jalan dan jembatan. Simulasikebijakan dalam penulisan ini dimaksudkan guna mengetahui dampak masing-masing skenario terhadap output sektoral, peningkatan
pendapatan
dan
distribusi
pendapatan
institusi
khususnya
rumahtangga di Jawa-Bali dan Sumatera. Berdasarkan prinsip bahwa jalan merupakan biaya modal/ kapital, dan mengingat jalan juga merupakan pengeluaran pemerintah (public spending), maka simulasi dilakukan dengan cara memberikan shock melalui neraca kapital pada kolom pengeluaran kerangka IRSAMJASUM 2007 pada tahun 2008, tahun 2009 dan tahun 2010. Skenario ditentukan berdasarkan nilai aktual investasi jalan nasional dan dimaksudkan untuk melihat variasi dampak shock/ guncangan output untuk Jawa-Bali dan Sumatera kondisi aktual hingga skenario “keberpihakan” pada wilayah Jawa-Bali atau Sumatera. Analisis dilakukan untuk memperoleh potret output, faktor produksi dan institusi dengan adanya beberapa skenario tersebut, khususnya kesenjangan yang terjadi. Pembiayaan jalan pada prinsipnya digunakan untuk capacity expansion (pengembangan kapasitas) dan preservasi mencakup rekonstruksi, rehabilitasi, dan pemeliharaan yang terdiri dari pemeliharaan berkala dan pemeliharaan rutin. Penganggaran yang diberikan sebagian besar digunakan untuk preservasi dan hanya sebagian kecil untuk meningkatkan kapasitas jalan, baik pembangunan jalan baru maupun pelebaran jalan. Alokasi biaya untuk pembangunan jalan nasional terutama di wilayah Barat Indonesia didasarkan oleh nilai Benefit Cost
181
Ratio (BCR) yang membandingkan keuntungan yang diperoleh berupa reduksi biaya operasional kendaraan, naiknya nilai waktu dan turunnya biaya kecelakaan, terhadap biaya fisik jalan atau pembangunan jalan. Apabila permintaan akan infrastruktur jalan meningkat, maka jalan sebagai suplai akan dibangun. Sebagaimana di wilayah Timur Indonesia khususnya Papua, prioritas penanganan jalan bukan berdasarkan nilai BCR atau konsep demand-supply, namun dengan pola supply-demand yaitu jalan dibangun lebih dulu (supply) sehingga kegiatan ekonomi meningkat di lokasi sekitar jalan tersebut (teori lokasi). Semakin besar nilai BCR berarti semakin layak jalan tersebut dibangun dan dijadikan prioritas penanganan jalan. Perbaikan prasarana jalan yang sudah beroperasi dilakukan dengan pendekatan analisis kondisi jalan (road condition) dengan menggunakan nilai International Roughness Index (IRI). Semakin besar nilai roughness (kekasaran) jalan, semakin rusak jalan tersebut dan menjadi prioritas alokasi anggaran. Penentuan alokasi biaya dan lokasi penanganan jalan tidak jarang didasarkan oleh faktor politis. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum mengalokasikan biaya perbaikan jalan nasional untuk setiap provinsi di Indonesia. Besarnya alokasi biaya biasanya ditentukan berdasarkan kebutuhan di lapangan. Alokasi masingmasing biaya jalan nasional di provinsi di Sumatera dan Jawa-Bali dilihat pada Lampiran 5 yang diperoleh dari Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Binamarga. Alokasi biaya penanganan jalan nasional merupakan kontribusi dari biaya pelaksanaan fisik, biaya pengawasan (supervisi), biaya perencanaan dan biaya program/ manajemen. Dalam pelaksanaan simulasi, nilai yang di shock adalah selisih biaya terhadap tahun dasar 2007. Rekapitulasi nilai investasi sektor konstruksi jalan dan jembatan nasional seperti tercantum pada Tabel 11.
182
Tabel 11. Rekapitulasi Kenaikan Nilai Investasi Tahun 2008 – 2010 terhadap Nilai Investasi Tahun 2007 NILAI INVESTASI (Rp. juta) T.A. 2008 T.A. 2009
PULAU T.A. 2007 Sumatera
Jawa-Bali Sumatera+ Jawa Bali
T.A. 2010
Jumlah Selisih thd 2007
2 428 162.75
3 566 290.25
3 866 304.94
3 775 534.75
-
1 138 127.50
1 438 142.19
1 347 372.00
Jumlah
4 181 444.10
6 322 026.13
6 547 068.06
6 668 643.20
-
2 140 582.03
2 365 623.96
2 487 199.10
-
3 278 709.53
3 803 766.15
3 834 571.10
Selisih thd 2007 Selisih thd 2007
Sumber: Direktorat Bina Program, Ditjen Binamarga (diolah) Simulasi kebijakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 skenario yang dipandang dapat menggambarkan kondisi perekonomian Jawa-Bali dan Sumatera sebagai dampak investasi jalan dan jembatan nasional. Simulasi kebijakan skenario 1 dilakukan dengan investasi aktual sektor jalan dan jembatan hanya diberikan di Sumatera saja dengan peningkatan nilai investasi untuk tahun 2008, 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 1 138.18 miliar rupiah, 1 438.14 miliar rupiah, dan 1.347.37 miliar rupiah (Lampiran 5). Skenario 1 merupakan kondisi yang dapat terjadi walau sangat kecil kemungkinannya, dimana pemerintah mengambil kebijakan memberi prioritas anggaran prasarana jalan nasional di wilayah Timur Indonesia, dan untuk wilayah Barat Indonesia, pulau Sumatera di tetap diberikan sebesar anggaran yang tersedia, sedang pulau Jawa-Bali sedikit (tidak ada) diberikan fasilitas anggaran jalan nasional mengingat kondisi jalan umumnya jauh lebih baik, tingkat kesejahteraan relatif sudah baik dan industri sudah berkembang. Skenario 2 adalah investasi aktual infrastruktur jalan diberikan hanya untuk Jawa-Bali, dengan peningkatan nilai investasi terhadap tahun dasar 2007 adalah sebesar 2 140.582 miliar rupiah, 2 365.623 miliar rupiah dan Rp 2 487.199 miliar
183
rupiah masing-masing untuk tahun 2008, 2009 dan tahun 2010. Kedua skenario simulasi kebijakan tersebut diatas dilakukan secara terpisah (parsial). Mirip dengan skenario 1, skenario 2 merupakan kondisi yang dapat terjadi walau sangat kecil kemungkinannya, dimana pemerintah mengambil kebijakan memberi prioritas anggaran prasarana jalan nasional di wilayah timur Indonesia. Untuk wilayah Barat Indonesia, pulau Jawa-Bali di utamakan sedang pulau Sumatera sedikit (tidak ada) diberikan fasilitas anggaran jalan nasional. Skenario 3 adalah nilai investasi aktual jalan peruntukan Sumatera dan Jawa-Bali diberikan pada sektor jalan dan jembatan secara bersamaan (simultan) pada kedua wilayah tersebut berdasarkan realitas tahun anggaran, yakni kenaikan terhadap tahun dasar 2007 masing-masing sebesar 1 138.127 miliar rupiah pada tahun anggaran 2008, sebesar 1 438.142 miliar rupiah pada tahun anggaran 2009 dan 1 347.371 miliar rupiah pada tahun anggaran 2010 untuk Sumatera. Untuk Jawa-Bali masing-masing 2 140.582 miliar rupiah pada tahun anggaran 2008, sebesar 2 365.623 miliar rupiah pada tahun anggaran 2009 dan sebesar 2 487.199 miliar rupiah pada tahun anggaran 2010. Skenario tiga ini merupakan skenario yang aktual terjadi. Skenario 4 adalah skenario keberpihakan ekstrim terhadap Sumatera dengan tidak menggangu peruntukan anggaran infrastruktur di wilayah Timur Indonesia. Nilai investasi actual jalan peruntukan Sumatera dan Jawa-Bali dijumlahkan, lalu diberikan hanya kepada sektor jalan dan jembatan di Sumatera sebesar 3 278.709 miliar rupiah pada tahun 2008, sebesar 3 803.766 miliar rupiah pada tahun 2009 dan sebesar 3 834.571 miliar rupiah pada tahun 2010. Skenario 5 adalah skenario keberpihakan ekstrim terhadap Jawa-Bali. Nilai investasi aktual jalan peruntukan pulau Sumatera dan Jawa-Bali dijumlahkan,
184
kemudian diberikan hanya kepada sektor jalan dan jembatan di Jawa-Bali sebesar 3 278.709 miliar rupiah tahun 2008, sebesar 3 803.766 miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar 3 834.571 miliar rupiah pada tahun 2010. Kelima skenario tersebut dimaksudkan untuk memotret dampak jalan terhadap output dan pendapatan. 9.1. Skenario Kebijakan terhadap Output Sektoral Hasil simulasi skenario 1 dengan kenaikan sektor jalan dan jembatan pada tahun 2008 terhadap tahun 2007 disajikan pada Lampiran 32 dan 33. Kenaikan investasi pada tahun 2009 terhadap tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 34 dan 35, serta tambahan investasi pada tahun 2010 terhadap tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 36 dan 37. Simulasi dengan skenario 1 menunjukkan bahwa total output perekonomian Sumatera (intra-regional) meningkat sebesar 2.539.51 miliar rupiah tahun 2008 (Lampiran 32), sebesar 3.304.80 miliar rupiah pada tahun 2009 (Lampiran 34) dan sebesar 3.096.21 miliar rupiah pada tahun 2010 (Lampiran 36). Skenario 1 di Sumatera pada tahun 2008, berdampak terutama (tertinggi) kepada kenaikan output sektor konstruksi jalan dan jembatan yang memperoleh injeksi/ shock secara langsung, berkisar 43.7 persen yaitu naik sebesar 1.142.99 miliarrupiah dari total output Sumatera untuk tahun 2008 (Lampiran 32), naik sebesar 1.444.28 miliar rupiah tahun 2009 (Lampiran 34) dan tahun 2010 naik sebesar 1.353.12 miliar rupiah (Lampiran 36). Kenaikan output tertinggi selanjutnya untuk tahun 2008 sampai 2010 adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat dan semen serta sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya. Apabila ditinjau dalam kelompok sektor (intra-regional), pada sektor primerdengan skenario 1 dari tahun 2008 sampai 2010 di Sumatera, output
185
tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor pertambangan dan penggalian lainnya, dan sedikit dibawahnya sektor peternakan dan perikanan, sedang untuk tahun 2009 dan 2010, output tertinggi diperoleh sektor pertambangan dan penggalian lainnya, lalu sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya dan menyusul sektor peternakan dan perikanan. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor primer di Sumatera adalah 238.1 miliar tahun 2008, sebesar 346.98 miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar 325 miliar rupiah tahun 2010. Berdasarkan skenario 1 pada kelompok sektor industri tahun 2008 sampai 2010 di Sumatera, sektor industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat dan semen memperoleh peningkatan output terbesar yaitu 200.78 miliar rupiah pada tahun 2008, disusul sektor industri kertas, percetakan dengan peningkatan output 159.92 miliar. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor industri di Sumatera adalah 558.21 miliar tahun 2008, sebesar 707.36 miliar rupiah tahun 2009, dan 660.83 miliar rupiah tahun 2010. Pada kelompok sektor jasa dengan skenario 1, peningkatan output terbesar setelah sektor jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel meningkat outputnya sebesar 238.22 miliar rupiah tahun 2008, menyusul sektor transportasi dan komunikasi meningkat 149.65 miliar rupiah. Total peningkatan output kelompok sektor jasa di Sumatera adalah 1 743.2 miliar tahun 2008, sebesar 2.252.46 miliar rupiah tahun 2009 dan 2.110.2 miliar rupiah tahun 2010. Berdasarkan analisis kelompok sektor di pulau Sumatera untuk skenario 1 (intra-regional), peningkatan output terbesar adalah sektor industri pengolahan, disusul sektor jasa dan terakhir sektor primer atau berpola I-J-P. Data ini menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan berpotensi kuat untuk mengubah
186
Sumatera sebagai daerah berbasis pertanian menuju industri, namun berdasarkan agregat, salah satu komponen sektor jasa yakni sektor perdagangan, restoran dan hotel memperoleh peningkatan terbesar dari guncangan output prasaran jalan. Investasi infrastruktur jalan dan jembatan hanya di Sumatera (skenario 1) juga berdampak kepada perekonomian di Jawa-Bali sebagai spill-over (limpahan), namun lebih kecil dibandingkan dampaknya terhadap pulau Sumatera, yaitu total perekonomian meningkat masing-masing sebesar 1.172.73 miliar rupiah tahun 2008 (Lampiran 33), sebesar 1481.87 miliar rupiah (Lampiran 35) pada tahun 2009 dan naik sebesar 1.388.34 miliar rupiah pada tahun 2010 (Lampiran 37). Dampak peningkatan output skenario 1 di Jawa-Bali (inter-regional) tahun 2008 sampai tahun 2010 secara agregat terutama pada kenaikan output sektor perdagangan, restoran dan hotel, lalu diikuti sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya, serta sektor bank dan asuransi. Peningkatan output terbesar tahun 2009 dan tahun 2010 juga diperoleh sektor perdagangan, restoran dan hotel. Gambaran ini menunjukkan sektor perdagangan, restoran dan hotel sangat terkait dan terpengaruh dengan pembangunan sektor jalan dan jembatan, dan cukup berperan dalam perekonomian di Jawa-Bali. Hasil ini selaras dengan teori demand-supply, semakin baik infrastruktur jalan, maka road user meningkat dan selanjutnya membutuhkan tempat istirahat dan makan selama perjalanan (demand). Restoran dan hotel dengan sendirinya tumbuh dan berkembang cepat untuk menyediakan kebutuhan tersebut (supply). Berdasarkan kelompok sektor, dampak kenaikan output sektoral di JawaBali (inter-regional) pada sektor primer akibat skenario 1 tahun 2008 sampai tahun 2010 tidak sebesar kenaikan yang dialami oleh sektor jasa maupun industri.
187
Peningkatan output terbesar di sektor primer tahun 2008 adalah sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor sektor peternakan dan penggalian. Peningkatan sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya sebesar 67.06 miliar rupiah di Jawa-Bali pada tahun 2008, sebesar 84.74 miliar rupiah di Jawa-Bali pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 meningkat sebesar 79.39 miliar rupiah di Jawa-Bali.Untuk kelompok sektor industri pengolahan kenaikan output terbesar tahun 2008 adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau mengalami kenaikan output sebesar 188.51 miliar rupiah, disusul sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan yang naik sebesar 173.63 miliar rupiah. Dampak peningkatan output pada sektor jasa tahun 2008 paling tinggi adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel naik 215.74 miliar serta sektor bank dan asuransi naik 130.43 miliar rupiah. Dengan demikian maka dampak skenario 1 di Jawa-Bali lebih dominan menaikkan output sektor jasa serta sektor industri pengolahan dibandingkan menaikkan output sektor primer atau berpola (J-I-P). Skenario 2 dengan shock hanya di pulau Jawa-Bali menunjukkan total output perekonomian di Jawa-Bali meningkat sebesar 5 883.10 miliar rupiah pada tahun 2008 (Lampiran 33), sebesar 6 501.59 miliar rupiah tahun 2009 (Lampiran 35) dan sebesar 6 835.74 miliar rupiah tahun 2010 (Lampiran 37). Peningkatan output tertinggi secara agregat terjadi pada sektor konstruksi jalan dan jembatan yang menerima injeksi (shock) secara langsung berkisar 36.5 persen yaitu naik sebesar 2 148.63 miliar rupiah tahun 2008, lalu meningkat 2 374.51 miliar rupiah tahun 2009 dan pada tahun 2010 meningkat 2 495.55 miliar rupiah. Peningkatan output tertinggi selanjutnya adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, lalu sektor industri makanan, minuman dan tembakau, serta sektor sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya.
188
Apabila ditinjau dalam kelompok sektor primer, skenario 2 tahun 2008 sampai 2010 di Jawa-Bali, output tertinggi pada sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor peternakan dan perikanan, dan jauh dibawahnya sektor pertambangan dan penggalian lainnya, sementara sektor kehutanan dan perburuan sedikit sekali dampaknya. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor primer di Jawa-Bali adalah 348.61 miliar tahun 2008, sebesar 385.25 miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar 405.06 miliar rupiah tahun 2010. Guncangan output skenario 2 kelompok sektor industri tahun 2008 sampai 2010 di Jawa-Bali menunjukkan sektor industri makanan, minuman dan tembakau memperoleh peningkatan output terbesar yaitu 529.87 miliar rupiah tahun 2008, lalu sektor industri kertas, percetakan dengan peningkatan output 481.06 miliar. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor industri di Jawa-Bali adalah 1.483.39 miliar tahun 2008, sebesar 1.639.34 miliar rupiah tahun 2009, dan 1.825.58 miliar rupiah tahun 2010. Peningkatan output terbesar di Jawa-Bali akibat guncangan prasarana jalan adalah logis pada sektor industri makanan, minuman dan tembakau disebabkan semakin baik fasilitas jalan, maka arus pergerakan manusia semakin meningkat yang cenderung mengubah pola menjadi lebih komsumtif, disamping jumlah penduduk Jawa-Bali yang sangat besar. Pada kelompok sektor jasa dengan skenario 2 di Jawa-Bali, peningkatan output terbesar setelah sektor jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel meningkat outputnya sebesar 811.16 miliar rupiah pada tahun 2008, menyusul sektor transportasi dan komunikasi meningkat 369.40 miliar rupiah. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor jasa di Jawa-
189
Bali adalah 4.051.11 miliar tahun 2008, sebesar 4.476.99 miliar rupiah tahun 2009 dan 4.707.09 miliar rupiah tahun 2010. Berrdasarkan analisis kelompok sektor di Jawa-Bali untuk skenario 2, peningkatan output terbesar adalah sektor jasa, disusul sektor industri dan terakhir sektor primer atau berpola J-I-P. Data ini menunjukkan bahwa sektor jasa cukup dominan saat ini di Jawa-Bali. Data ini juga menunjukkan bahwa sektor primer atau sektor pertanian kurang mendapat dukungan cukup signifikan dengan adanya perbaikan dan pembangunan prasarana jalan. Sementara itu dampak skenario 2 di Sumatera sebagai spill-over effect menunjukkan bahwa total output perekonomian meningkat sebesar 513.02 miliar rupiah tahun 2008, sebesar 561.96 miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar 593.54 miliar rupiah tahun 2010. Peningkatan output terbesar skenario 2 secara agregat di Sumatera dari tahun 2008 sampai 2010 terdapat pada sektor industri makanan, minuman dan tembakau diikuti oleh sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya serta sektor perdagangan, restoran dan hotel. Berdasarkan peninjauan kelompok sektor, maka yang mendapat peningkatan dari yang terbesar adalah kelompok sektor industri, sektor primer dan sektor jasa atau berpola I-P-J. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skenario 2 dengan investasi jalan hanya (dominan) di Jawa-Bali, maka peningkatan output terbesar di Sumatera sebagai limpahan (spill-over) pada sektor industri dan selanjutnya sektor primer dan terakhir sektor jasa, sementara di Jawa-Bali, skenario 2 lebih meningkatkan output sektor jasa dan sektor industri pengolahan dibandingkan sektor primer. Skenario 3 yang merupakan skenario yang aktual terjadi menunjukkan hasil bahwa total ouput perekonomian di pulau Sumatera dan Jawa-Bali meningkat
190
cukup tajam dibandingkan kedua skenario kebijakan sebelumnya, artinya kombinasi investasi jalan nasional di Sumatera dan Jawa-Bali secara bersamaan menghasilkan output yang tinggi. Peningkatan total output tersebut dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 di Sumatera masing-masing sebesar 3123.89 miliar rupiah, sebesar 3.866.76 miliar rupiah dan sebesar 3.687.05 miliar rupiah, sementara di Jawa-Bali meningkat sebesar 7055.83 miliar rupiah tahun 2008, sebesar 3.996.67miliar rupiah tahun 2009 dan 8.224.07 miliar rupiah tahun 2010. Peningkatan output sektoral tertinggi baik di Sumatera maupun Jawa-Bali selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 secara agregat adalah output sektor yang menerima injeksi, yakni sektor konstruksi jalan dan jembatan masingmasing di Sumatera naik 1.144.40 miliar rupiah tahun 2008, naik 1.445.84 tahun 2009, dan naik 1.354.76 miliar rupiah tahun 2010. Sementara peningkatan output sektor konstruksi jalan dan jembatan di Jawa-Bali naik 2.150.74 miliar rupiah tahun 2008, naik 1.445.84 miliar rupiah tahun 2009 dan naik 2.499.06 tahun 2010. Peningkatan output terbesar di pulau Sumatera tahun 2008 selanjutnya adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, sektor industri makanan, minuman dan tembakau serta sektor industri kimia, hasil dari tanah liat dan semen. Sementara untuk Sumatera tahun 2009 sampai tahun 2010, posisi sektor industri makanan, minuman dan tembakau turun menjadi urutan ke empat sementara sektor industri kimia, hasil dari tanah liat dan semen naik ke urutan ke 3. Dampak terhadap output sektoral yang sama dengan Sumatera juga terjadi di Jawa-Bali untuk tahun 2008, 2009 dan tahun 2010, yang berbeda adalah besarannya. Bila ditinjau dari kelompok sektor dengan skenario 3 di Sumatera, untuk sektor primer tahun 2008 sampai 2010 diperoleh output tertinggi pada sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor pertambangan dan
191
penggalian lainnya, dan jauh dibawahnya sektor peternakan dan perikanan. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor primer di Sumatera adalah 435.89 miliar tahun 2008, naik sebesar 525.23 miliar rupiah pada tahun 2009 dan sebesar 532.75 miliar rupiah tahun 2010. Guncangan output dengan skenario 3 pada kelompok sektor industri tahun 2008 sampai 2010 di Sumatera menunjukkan bahwa sektor industri makanan, minuman dan tembakau memperoleh peningkatan output terbesar yaitu 255.23 miliar rupiah tahun 2008, sedikit dibawahnya menyusul industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat dan semen dengan peningkatan 250.18 miliar rupiah, lalu sektor industri kertas, percetakan dengan peningkatan output 198.23 miliar rupiah. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor industri di Sumatera adalah 754.28 miliar rupiah tahun 2008, naik sebesar 922.03 miliar rupiah tahun 2009 dan 888.64 miliar rupiah pada tahun 2010. Pada kelompok sektor jasa dengan skenario 3 di Sumatera, peningkatan output terbesar setelah sektor jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel meningkat outputnya sebesar 294.74 miliar rupiah pada tahun 2008, menyusul sektor transportasi dan komunikasi meningkat 195.78 miliar rupiah. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor jasa di Sumatera adalah 1.933.73 miliar rupiah tahun 2008, naik sebesar 2.419.49 miliar rupiah tahun 2009 dan 2.285.92 miliar rupiah pada tahun 2010. Berdasarkan analisis kelompok sektor di Sumatera untuk skenario 3, peningkatan output terbesar adalah sektor jasa, disusul sektor industri dan terakhir sektor primer atau berpola J-I-P. Sama seperti skenario 1 dan 2, guncangan output infrastruktur jalan kurang mendukung sektor primer atau sektor pertanian.
192
Bila ditinjau dari kelompok sektor dengan skenario 3 di Jawa-Bali, untuk sektor primer tahun 2008 sampai 2010 diperoleh output tertinggi pada sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor peternakan dan perikanan, dan jauh dibawahnya sektor pertambangan dan penggalian lainnya. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor primer di Jawa-Bali adalah 435.89 miliar tahun 2008, naik sebesar 525.23 miliar rupiah pada tahun 2009 dan sebesar 532.75 miliar rupiah tahun 2010. Guncangan output dengan skenario 3 pada kelompok sektor industri tahun 2008 sampai 2010 di Sumatera menunjukkan bahwa sektor industri makanan, minuman dan tembakau memperoleh peningkatan output terbesar yaitu 255.23 miliar rupiah tahun 2008, menyusul industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat dan semen dengan peningkatan 250.18 miliar rupiah, lalu sektor industri kertas, percetakan dengan peningkatan 198.23 miliar rupiah. Total peningkatan output kelompok sektor industri di Sumatera adalah 754.28 miliar rupiah tahun 2008, naik 922.03 miliar rupiah tahun 2009 dan 888.64 miliar rupiah pada tahun 2010. Pada kelompok sektor jasa dengan skenario 3 di Jawa-Bali, peningkatan output terbesar setelah sektor jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel meningkat outputnya sebesar 294.74 miliar rupiah pada tahun 2008, menyusul sektor transportasi dan komunikasi meningkat 195.78 miliar rupiah. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor jasa di JawaBali adalah 4 452.15 miliar rupiah tahun 2008, naik sebesar 2 549.4 miliar rupiah tahun 2009 dan 5 331.06 miliar rupiah pada tahun 2010. Berdasarkan analisis kelompok sektor produksi di Jawa-Bali untuk skenario 3, peningkatan output terbesar adalah sektor jasa, disusul sektor industri dan terakhir sektor primer atau berpola J-I-P. Sama seperti skenario 1 dan 2,
193
guncangan output infrastruktur jalan kurang mendukung sektor primer atau sektor pertanian. Skenario 3 yang sebenarnya terjadi memberi gambaran bahwa kebijakan memperbesar anggaran infrastruktur jalan nasional di Sumatera dan Jawa-Bali sangat tepat untuk akselerasi pertumbuhan sektor jasa dan industri. Dengan demikian peningkatan investasi jalan nasional di Sumatera kurang mendukung sektor pertanian. Peningkatan investasi jalan kelihatannya tidak signifikan meningkatkan sektor industri di Jawa-Bali yang memang merupakan daerah basis industri. Justru peningkatan investasi jalan berkontribusi positif terutama terhadap sektor jasa khususnya sektor perdagangan, restoran dan hotel. Skenario 4 dengan keberpihakan anggaran yang lebih ekstrem pada wilayah Sumatera menyebabkan lonjakan total output dalam perekonomian di Sumatera cukup tinggi dibandingkan skenario sebelumnya, dan lebih tinggi dibanding JawaBali. Dampak peningkatan output tersebut (intra-regional) sebesar 7 534.37 miliar rupiah pada tahun 2008, lalu naik sebesar 8 740.94 miliar rupiah tahun 2009 dan pada tahun 2010 naik sebesar 8 859.90 miliar rupiah. Apabila dilihat dari masing-masing agregasi sektoral, urutan peningkatan output terbesar hasil simulasi skenario 4 tidak berbeda dengan skenario 1, hanya besar nilai peningkatan output saja yang berbeda. Sektor yang memiliki peningkatan output terbesar selain sektor yang terkena shock di pulau Sumatera adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, yaitu sebesar 686.27 miliar rupiah tahun 2008, sebesar 721.02 miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar 802.62 miliar rupiah tahun 2010. Skenario 4 menimbulkan peningkatan output kelompok sektor dari yang terbesar adalah sektor industri, jasa dan primer atau berpola (I-J-P).
194
Peningkatan output perekonomian di Jawa-Bali dengan skenario 4 (interregional) kurang dari separuh peningkatan output perekonomian di Sumatera, yakni sebesar 3.378.40 miliar rupiah tahun 2008, sebesar 3.917.61 miliar rupiahtahun 2009 dan sebesar 3.951.16 miliar rupiah tahun 2010. Sektor di JawaBali yangmemiliki peningkatan output terbesar sebagai spill-over adalah pada sektor perdagangan, restoran danhotel yaitu sebesar 621.49 miliar rupiah tahun 2008, sebesar 721.02 miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar 726.85miliar rupiah tahun 2010. Skenario 4 menimbulkan peningkatan output perkelompok sektor di Jawa-Bali dari yang terbesar adalah sektor industri pengolahan, sektor jasa dan sektor primer atau berpola (I-J-P) Skenario 5 merupakan kondisi dengan keperpihakan anggaran yang lebih ekstrem pada wilayah Jawa-Balimenunjukkan peningkatan output perekonomian di Jawa-Bali (intra-regional) masing-masing sebesar 9.011.10
miliar rupiah
tahun 2008, 10.454.16 miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar 10.538.81miliar rupiah tahun 2010. Berdasarkan agregasi output sektoral yang paling meningkat setelah sektor konstruksi jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, serta sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Berdasarkan skenario 5 peningkatan output perkelompok sektor di Jawa-Bali (intra-regional) dari yang terbesar adalah sektor industri, jasa dan primer atau berpola (I-J-P). Peningkatan output perekonomian di pulau Sumatera (inter-regional)yang merupakan spill-over effect jauh lebih kecil dibandingkan pulau Jawa-Bali dan tidak satupun mencapai 1 trilliun rupiah, yakni meningkat sebesar 778.87 miliar rupiahpada tahun 2008, meningkat sebesar 903.59 miliar rupiah pada tahun 2009 dandan meningkat 910.91 miliar rupiahpada tahun 2010. Urutan peningkatan output sektoral tertinggi hasil simulasi skenario 5 tidak berbeda dengan skenario
195
2, hanya berbeda dalam nilai peningkatan output saja. Pada pulau Sumatera, sektor-sektor tersebut adalah industri makanan, minuman dan tembakau, lalu sektor pertanian tanaman pangan dan di urutan ketiga sektor perdagangan, restoran dan hotel. Skenario 5 di pulau Sumatera memberikan peningkatan output lebih besar di sektor primer dibandingkan sektor jasa. Skenario 5 menimbulkan peningkatan output per kelompok sektor di Sumatera (intra-regional) dari yang terbesar adalah sektor industri, jasa dan primer atau berpola (I-J-P). Berdasarkan skenario 1 sampai skenario 5 tahun 2008 sampai 2010, Sektor jasa paling mendapat keuntungan dari shock prasarana jalan, disusul kelompok sektor industri pengolahan dan terakhir sektor primer. Dalam setiap skenario, sektor primer yang mencakup sektor pertanian dan tanaman pangan lainnya tidak memperoleh peningkatan output melebihi sektor jasa maupun industri pengolahan. Rekapitulasi dampak shock prasarana jalan adalah seperti Tabel 12. Tabel 12. Dampak Guncangan Prasarana Jalan terhadap Kelompok Sektor Guncangan output di Jawa-Bali
Guncangan Output di Sumatera Skenario Dampak intraregional (Sumatera) 1
Dampak inter-regional (Jawa-Bali)
I - J-P -
2 3
J - I-P -
Dampak intraregional (Jawa-Bali)
Dampak interregional (Sumatera)
-
-
J-I-P
I-P-J
J-I-P
J-I-P
4
I-J-P
J-I-P
-
-
5
-
-
J-I-P
I - P-J
Keterangan -
P = Kelompok sektor primer I = Kelompok sektor industri pengolahan J = Kelompok sektor Jasa Pada skenario 3, injeksi terjadi bersamaan sehingga dampak intra-regional dan inter-regional saling berinteraksi
Apabila dikaitkan dengan struktur ekonomi di Sumatera yang berpola Jasa– Primer–Industri dan di Jawa-Bali dengan pola Jasa–Industri–Primer, prasarana
196
jalan cenderung mengubah pola struktur ekonomi di Sumatera yang semula dominasisektor jasa menjadi dominasi sektor industri pengolahan bilamana dilakukan keberpihakan anggaran ke Sumatera. Sementara bila dilakukan shock prasarana jalan dengan konsep penganggaran seperti sekarang dimana adanya perimbangan biaya (Skenario 3), serta bila dilakukan keberpihakan anggaran di Jawa-Bali, maka prasarana jalan akan semakin menguatkan dominasi sektor jasa dan industri di Jawa-Bali. Berdasarkan semua konsep skenario, tidak ada skenario yang berpotensi mengangkat dominasi sektor primer. 9.2. Analisis Dampak Sebar dan Dampak Serap Balik Berdasarkan skenario 1 dengan pemberian injeksi 1 138.13 miliar rupiah di Sumatera pada tahun 2008, terjadi peningkatan output total Sumatera dan JawaBali tahun 2008 sebesar 3 712.24 miliar rupiah yang didistribusikan ke Sumatera (self generated effect) sebesar 2 539.51 miliar rupiah (Lampiran 32) dan sebesar 1 172.73 miliar rupiah ke Jawa-Bali sebagai spill-over (Lampiran 33) atau sebesar 103.4 persen dari nilai injeksi. Nilai self generated effect ini terdiri dari dampak langsung sebesar nilai injeksi awal yaitu 1 138.13miliar rupiah (44.82 persen) dan dampak tidak langsung1401.38miliar rupiah (55.18 persen) merupakan dampak serap balik dari Sumatera kembali ke Sumatera cukup berimbang dibandingkan dampak sebar dari Sumatera ke Jawa-Bali 1 388.34 miliar rupiah. Skenario 1 tahun 2009 dengan injeksi 1 438.14 miliar rupiah di Sumatera meningkatkan output total Sumatera dan Jawa-Bali 4 786.67 miliar rupiah (332 persen), terdiri dari self generated effect di Sumatera3 304.80 miliar rupiah (Lampiran 34) dan spill-over effect sebagai dampak sebesar 1 481.87 miliar rupiah (Lampiran 35) atau 103 persen dari injeksi. Self generated effect skenario 2 di
197
Sumatera terdiri dari dampak langsung 1 438.14 miliar rupiah dan dampak tidak langsung sebagai dampak serap balik 1.866.66 miliar rupiah (129 persen). Pada tahun 2010 dengan menggunakan skenario 1 yaitu injeksi 1 347.37 miliar rupiah, terjadi peningkatan output total Sumatera dan Jawa-Bali tahun 2008 sebesar 4 484.55 miliar rupiah (330 persen) yang di distribusikan ke Sumatera (self generated effect) sebesar 3 096.21 miliar rupiah atau 230 persen (Lampiran 36) dan sebesar 1 388.34 miliar rupiahke Jawa-Bali sebagai spill-over (Lampiran 37) atau sebesar 103.04 persen dari nilai injeksi di sumatera. Nilai self generated effect ini terdiri dari dampak langsung yaitu 1 347.37miliar rupiah dan dampak tidak langsung sebesar 1 748.84 miliar rupiah (129.8 persen) merupakan dampak serap balik dari Sumatera kembali ke Sumatera yang cukup berimbang dibandingkan dampak sebar dari Sumatera ke Jawa-Bali 1 347.84 miliar rupiah. Berdasarkan skenario 1 dengan pembiayaan berpihak di Sumatera, diketahui dampak total dari injeksi prasarana jalan sebesar 330 persen, besaran dampak sebar prasarana jalan ke Jawa-Bali lebih dari 103 persen terhadap nilai injeksi di Sumatera, sedangkan dampak serap balik yang diperoleh berkisar 130 persen. Besaran nominal dampak serap balik berimbang atau hanya sedikit lebih tinggi dengan dampak sebar. Dampak perekonomian skenario 1 sama dengan skenario 4 hanya besarannya meningkat disebabkan nilai injeksinya juga meningkat. Kelihatan bahwa sebaran dampak injeksi prasarana jalan dengan skenario 1 berimbang antara dampak langsung, dampak tidak langsung (backwash effect) dan dampak sebar, artinya injeksi yang diberikan di Sumatera dinikmati hasilnya oleh Sumatera relatif sama besarnya dengan yang diperoleh Jawa-Bali. Skenario 2 dengan keberpihakan anggaran pada Jawa-Bali untuk tahun 2008 diberi injeksi prasarana jalan sebesar 2 140.58 miliar rupiah. Total output yang
198
diperoleh 6 396.12 miliar rupiah (298.8 persen) didistribusikan ke Jawa-Bali (self generated effect) sebesar 5 883.10 miliar rupiah atau 275 persen (Lampiran 33), dan hanya sedikit ke Sumatera sebagai spill-over yaitu sebesar 513.02 miliar rupiah (Lampiran 32) atau 23.8 persen dari nilai injeksi. Nilai self generated effect terdiri dari dampak langsung sebesar nilai injeksi yaitu 2 140.58 miliar rupiahdan dampak tidak langsung sebagai dampak serap balik yang kembali ke Jawa-Bali sebesar 3 742.52 miliar rupiah (175 persen). Skenario 2 pada tahun 2009 dengan injeksi sebesar 2 365.62 miliar rupiah di Jawa-Bali menghasilkan total output sebesar 7 063.55 miliar rupiah yang terdistribusikan ke Jawa-Bali sebagai self generated effect sebesar 6 501.59 miliar rupiah (Lampiran 35) dan spill-over effect ke Sumatera sebesar 561.96 miliar rupiah (Lampiran 34) atau 23.76 persen terhadap nilai injeksi. Dampak langsung dari skenario 2 tahun 2009 adalah sebesar injeksi awal dan dampak langsung sebagai dampak serap balik sebesar 4 135.97 miliar rupiah (174.8 persen). Pada tahun 2010 dengan skenario 2 menggunakan injeksi prasarana jalan sebesar 2 487.2 miliar rupiah menghasilkan total output 7 429.28 miliar rupiah (298 persen), didistribusikan ke Jawa-Bali (self generated effect) sebesar 6 835.74 miliar rupiah dan ke Sumatera sebagai spill-over sebesar 593.54 miliar rupiah. Nilai self generated effect ini terdiri dari dampak langsung sebesar 2 487.2 miliar rupiah dan dampak tidak langsung sebesar 4 348.54 miliar rupiah (175 persen). Skenario 2 memberi gambaran bahwa terjadi kebalikan dengan skenario 1. Total output yang diperoleh mencapai 298 persen terhadap nilai injeksi dan khusus di daerah sendiri (self generated), dampaknya mencapai 275 persen dan dampak sebar hanya mencapai 23.8 persen. Kelihatan bahwa injeksi pada skenario 2 dengan keberpihakan ke Jawa Bali, dampak serap balik mencapai lebih dari 7
199
kali dampak sebar, dengan kata lain hanya sedikit yang diberikan ke Sumatera sebagai spill-over dan sebagian besar dari total output kembai ke Jawa-Bali. Berdasarkan analisis dampak serap balik dan dampak sebar masing-masing pulau Sumatera dan Jawa-Bali, diketahui bahwa dampak serap balik yang diterima Jawa-Bali dengan adanya guncangan prasarana jalan di Jawa-Bali mencapai 175 persen sedangkan dampak serap balik yang diterima Sumatera dari guncangan di Sumatera lebih kecil yaitu 130 persen. Dampak sebar yang diterima Sumatera dengan adanya guncangan prasarana jalan di Jawa-Bali hanya sebesar 23 persen, sedangkan yang diterima Jawa-Bali dari guncangan di Sumatera mencapai 103 persen dari besar injeksi. Hal ini berarti bahwa perekonomian JawaBali sangat sensitif dengan perubahan ekonomi Sumatera yang ditimbulkan prasarana jalan karena besarnya spill-over effect yang diterima Jawa-Bali, sedang perekonomian Sumatera kurang sensitif dengan adanya kemajuan ekonomi di pulau Jawa-Bali. Analisis pada skenario 2 menunjukkan besarnya dampak serap balik yang terjadi yaitu sebesar 175 persen dibandingkan dengan dampak sebar yang hanya 23.8 persen. Nilai dampak serap balik yang jauh lebih besar tersebut merupakan indikasi ketimpangan/ kesenjangan ekonomi antar kedua wilayah. Besaran dampak serap balik dan dampak sebar yang relatif seimbang akan memperkecil disparitas ekonomi antar kedua wilayah seperti yang ditunjukkan skenario 1 dengan keberpihakan anggaran prasarana jalan di Sumatera. Besaran dampak sebar pada skenario 2 menunjukkan sektor di Jawa-Bali masih menggunakan sebagian bahan baku (intermediate goods) yang di impor dari Sumatera, namun final goods yang dihasilkan Jawa-Bali di ekspor kembali ke Sumatera sebagai market area dan ini menimbulkan dampak serap balik yang
200
tinggi bagi Jawa-Bali. Untuk mengurangi dampak serap balik dan meningkatkan dampak sebar sehingga kesenjangan lebih kecil, sebaiknya dibangun pusat-pusat kegiatan ekonomi (growth pole theory) di Sumatera, dan alokasi pembiayaan pembangunan jalan dalam rangka mendukung pusat-pusat kegiatan ekonomi tersebut dapat di prioritaskan ke pulau Sumatera. Bilamana pusat kegiatan ekonomi tidak dibangun, maka pembangunan prasarana jalan tidak akan optimum. 9.3. Analisis Dampak Pendapatan Faktor Produksi. Stimulus ekonomi berupa peningkatan investasi pada sektor konstruksi jalan dan jembatan tidak saja berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan blok sektor tersebut (sektor target) dan sektor yang terkait dengan proses distribusi produk barang yang dihasilkan oleh setiap sektor, namun juga akan berpengaruh terhadap sektor atau institusi/ neraca lain melalui proses keterkaitan antar institusi/ neraca dan multiplier. Dengan adanya peningkatan output sektor produksi sebagai dampak investasi dari hasil suatu kebijakan, berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan tenagakerja maupun modal, yang menyebabkan meningkatnya pendapatan faktor produksi tersebut. Kenaikan pendapatan tenagakerja berupa upah gaji dan pendapatan bukan tenagakerja seperti modal ataupun surplus usaha berupa pendapatan sewa (rent). Pendapatan balas jasa tenagakerja seluruhnya ditransmisikan kepada institusi rumahtangga. Sementara itu, pendapatan berupa sewa modal (rent) ditransmisikan kepada institusi (rumahtangga, perusahaan dan pemerintah) sebagai pemilik sesungguhnya faktor produksi berupa peningkatan pendapatan institusi. Simulasi dengan skenario 1 pada tahun 2008 memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan balas jasa tenagakerja dan bukan tenagakerja (modal) di Sumatera (intra-regional impact) sebesar 1 200.57 miliar rupiah dan sebagian
201
besar merupakan pendapatan untuk balas jasa modal yaitu sebesar 702.98 miliar rupiah. Balas jasa modal adalah berupa sewa modal atau capital rent (Tabel 13). Sementara itu, dampak tidak langsung (inter-regional impact) yaitu peningkatan pendapatan faktor produksi di Jawa-Bali akibat adanya investasi jalan dan jembatan yang dilakukan di Sumatera adalah sebesar 574.78 miliar rupiah yang terdiri dari peningkatan penerimaan untuk balas jasa modal sebesar 320.33 miliar rupiah dan sisanya merupakan peningkatan pendapatan upah dan gaji. Untuk simulasi investasi infrastruktur jalan dan jembatan tahun 2009 dan tahun 2010 juga menunjukkan hasil yang sama dimana faktor produksi bukan tenagakerja (modal) sebagai penerima pendapatan terbesar akibat adanya investasi di Sumatera (Tabel 14 dan Tabel 15). Skenario 2 dengan investasi dilakukan di Jawa-Bali memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan terbesar terjadi pada faktor produksi bukan tenagakerja (modal) walau tidak terlalu besar perbedaannya terhadap tenagakerja. Skenario 3, 4 dan 5 pada Tabel 13 (tahun 2008), Tabel 14 (tahun 2009) dan Tabel 15 (tahun 2010) dapat menunjukkan besarnya dampak pendapatan di Jawa-Bali atau Sumatera untuk besaran simulasi dengan total kenaikan nilai investasi kedua pulau yang sama yaitu sebesar 3.278.709 miliar rupiah untuk tahun 2008, Rp 3.803.766 miliar (tahun 2009) dan Rp. 3 834.571 tahun 2010. Dari ketiga skenario simulasi kebijakan tersebut, skenario 4 yaitu simulasi kebijakan investasi hanya dilakukandi Sumatera memberikan dampak total (intra-regional dan interregional impact) tertinggi terhadap penerimaan faktor produksi dibandingkan skenario 3 dan skenario 5. Ini menunjukkan investasi jalan di Sumatera sangat kontributif terhadap peningkatan faktor produksi tenagakerja dan modal.
202
Khusus skenario 3 yang aktual terjadi, dampak injeksi sektor jalan dan jembatan di wilayah Sumatera dan Jawa-Bali terhadap faktor produksi lebih banyak dinikmati oleh faktor modal dibandingkan tenagakerja, namun dengan persentase yang tidak jauh berbeda. Di Sumatera dampak rata-rata terhadap tenagakerja berkisar 41.1 persen sementara terhadap kapital 58.8 persen. Sementara di Jawa-Bali dampak terhadap tenagakerja berkisar 48 persen dan kapital 52 persen. Dari gambaran terlihat penggunaan tenagakerja cukup signifikan di Jawa-Bali sesuai jumlah penduduk yang memang dominan di pulau ini. Dampak injeksi prasarana jalan terhadap faktor produksi pada skenario 3 seperti Gambar 44. 70 58.88
60 50
58.87 41.16
41.12
48.01 41.13
51.99
47.92
52.08
48.01
51.99
41.13
40 30 20 10 0 2008
2009
2010
2008
Sumatra
2009
2010
Jaw a Bali Tenagakerja
Kapital
Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah) Gambar 44. Persentase Dampak Skenario 3 terhadap Faktor Produksi Pada skenario 4 tahun 2008 (Tabel 13), simulasi kebijakan peningkatan investasi jalan dan jembatan bila dilakukan di Sumatera saja berdampak pada peningkatan penerimaan faktor produksi di pulau Sumatera (intra-regional) sebesar 3 458.58 miliar dan pendapatan faktor produksi di pulau Jawa-Bali (interregional) sebesar 1.655.83 miliar.
203
Tabel 13. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Jalan dan Jembatan terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial Tahun 2008 (miliar Rp) INSTITUSI Sumatera Tenagakerja Bukan tenagakerja Total Sumatera Jawa-Bali Tenaga Kerja Bukan tenagakerja Total Jawa -Bali
Skenario 1
Skenario 2
Dampak Skenario 3
Skenario 4
Skenario 5
497.59 702.98 1 200.57
110.28 167.19 277.46
607.87 870.16 1 478.03
1 433.46 2 025.12 3 458.58
168.91 256.08 424.99
254.45 320.33 574.78
1.381.24 1.450.79 2 832.03
1 635.69 1 771.12 3 406.81
733.02 922.81 1 655.83
2 115.64 2 222.16 4 337.80
Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah). Dampak skenario 4 terhadap penerimaan faktor produksi merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan skenario 3 dan skenario 5. Apabila dilakukan simulasi kebijakan skenario 3 tahun 2008, maka penerimaan faktor produksi meningkat sebesar 1.478.03 miliar di Sumatera dan 3.406.81 miliar di Jawa-Bali. Sementara penerimaan faktor produksi di Sumatera meningkat sebesar 424.99 miliardan di Jawa-Bali meningkat sebesar 4337.80 miliar rupiah jika dilakukan simulasi kebijakan skenario 5. Simulasi kebijakan tahun 2009 (Tabel 14) untuk skenario 4 menghasilkan peningkatan pendapatan faktor produksi di Sumatera 4.012.45 miliar rupiah dan peningkatan faktor produksi di Jawa-Bali 1.921.00 miliar rupiah. Sedangkan skenario 3 meningkatkan pendapatan faktor produksi di Sumatera 1823.67 miliar rupiah dan di Jawa-Bali sebesar Rp. 3.856.06 miliar rupiah. Simulasi skenario 5 merupakan peningkatan investasi jalan dan jembatan yang dilakukan hanya di Jawa-Bali saja (nilai investasi merupakan penjumlahan dari Sumatera dan JawaBali) berdampak pada peningkatan penerimaan faktor produksi di Sumatera sebesar 493.05 miliar rupiah dan di Jawa-Bali sebesar 5.032.46 miliar rupiah.
204
Tabel 14. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Jalan dan Jembatan terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial Tahun 2009 (miliar Rp) INSTITUSI Sumatera Tenagakerja Bukan tenagakerja TotalSumatera Jawa-Bali Tenagakerja Bukan tenagakerja Total Jawa-Bali
Skenario 1
Skenario 2
Dampak Skenario 3
Skenario 4
Skenario 5
628.76 888.28 1 517.04
121.87 184.76 306.63
750.63 1.073.04 1 823.67
1 663.01 2 349.43 4 012.45
195.96 297.09 493.05
321.52 404.77 726.30
1 526.45 1 603.31 3 129.76
1 847.98 2 008.08 3 856.06
850.40 1 070.59 1 921.00
2 454.44 2 578.02 5 032.46
Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah)
Hasil simulasi kebijakan yang dilakukan pada besaran nilai investasi jalan dan jembatan tahun 2010 (Tabel 15) memberikan dampak terbesar jika dilakukan investasi di Sumatera saja (Skenario 4) dengan nilai investasi sama seperti skenario 3 dan skenario 5. Semakin besar nilai investasi semakin tinggi dampak terhadap penerimaan faktor produksinya. Dampak penerimaan faktor produksi akibat adanya simulasi kebijakan yang dilakukan pada skenario 4 adalah 4 044.94 miliar rupiah di Sumatera dan 1 936.55 miliar rupiah di Jawa-Bali. Tabel 15. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Jalan dan Jembatan terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial Tahun 2010 (miliar Rp) INSTITUSI
Skenario 1
Skenario 2
Dampak Skenario 3
Skenario 4
Skenario 5
Sumatera Tenaga kerja
589.07
128.14
717.21
1 676.48
197.55
832.22 1 421.29
194.26 322.39
1 026.47 1 743.68
2 368.46 4 044.94
299.49 497.04
Tenaga kerja
301.23
1 604.91
1 906.14
857.29
2 474.32
Bukan tenagakerja
379.23
1 685.71
2 064.93
1 079.26
2 598.89
Total Jawa - Bali
680.45
3 290.61
3 971.07
1 936.55
5 073.21
Bukan tenagakerja Total Sumatera Jawa-Bali
Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah)
205
9.4. Analisis Dampak terhadap Distribusi Pendapatan Institusi Peningkatan permintaan tenagakerja dan modal akan menambah pendapatan faktor produksi sebagai dampak peningkatan output sektoral, yang selanjutnya berdampak kepada institusi sebagai pemilik faktor produksi. Berdasarkan hasil penghitungan skenario 1 sampai 5, diketahui bahwa dengan scenario kebijakan kenaikan investasi di sektor jalan dan jembatan di tahun 2008 (Lampiran 38), tahun 2009 (Lampiran 39), dan tahun 2010 (Lampiran 40), maka institusi rumahtangga, perusahaan dan pemerintah baik di Sumatera maupun di Jawa-Bali dan secara total (nasional), mengalami peningkatan pendapatan. Skenario peningkatan investasi jalan dan jembatan di Sumatera (skenario 1) dibandingkan peningkatan investasi di Jawa-Bali (skenario 2) secara parsial memberikan dampak terhadap pendapatan tertinggi jika investasi dilakukan di Jawa-Bali, baik dampak langsung terhadap peningkatan pendapatan institusi dimana investasi dilaksanakan (intra-regional) maupun dampak tidak langsung terhadap pendapatan institusi wilayah lainnya (inter-regional). Kenaikan investasi sektor jalan dan jembatan di Sumatera (skenario 1) pada tahun 2008, meningkatkan pendapatan institusi (rumahtangga, perusahaan dan pemerintah) di Sumatera sebesar 1.217.05 miliar. Berdasarkan rincian institusi maka akibat kenaikan investasi jalan dan jembatan di Sumatera, total institusi rumahtangga (rumahtangga buruh tani sampai dengan pengusaha golongan atas di kota) menerima pendapatan tertinggi dibandingkan institusi lain (perusahaan dan pemerintah). Sementara akibat dampak peningkatan investasi jalan di Sumatera terhadap pendapatan institusi di Jawa-Bali (spillover) ternyata meningkatkan pendapatan (rumahtangga, perusahaan dan pemerintah) sebesar 661.37 miliar rupiah. Sementara itu, kenaikan investasi yang dilakukan di Jawa-Bali (skenario
206
2), ternyata meningkatkan pendapatan institusi di Jawa-Bali sebesar 3.034.32 miliar rupiah, sedang pendapatan institusi di Sumatera meningkat 581.13 miliar rupiah akibat kenaikan investasi jalan dan jembatan di Jawa-Bali. Selanjutnya, apabila investasi jalan dan jembatandi Sumatera dan Jawa-Bali dilakukan secara simultan (skenario 3) atau nilai investasi di Sumatera dan nilai investasi di Jawa-Bali dijumlahkan dan selanjutnya dilakukan investasi di pulau Sumatera saja (skenario 4), maka dampak terhadap pendapatan institusi akan lebih besar bila investasi dilakukan secara simultan di Sumatera dan Jawa-Bali (skenario 3). Pada lampiran 38 skenario 3 dengan investasi dilakukan di Sumatera dan Jawa-Bali secara simultan tahun 2008, maka pendapatan institusi di Jawa-Bali meningkat 3.695.69 miliar rupiah, sementara institusi di Sumatera meningkat sebesar 1.798.18 miliar rupiah. Namun apabila investasi jalan dan jembatan dilakukan di Sumatera saja (skenario 4) maka berdampak pada pendapatan institusi di Sumatera naik sebesar 3.506.05 miliar rupiah dan pendapatan institusi di Jawa-Bali naik1 905.69 miliar rupiah. Apabila total jumlah nilai investasi di Sumatera dan Jawa-Bali dilakukan di Jawa-Bali saja (skenario 5), maka pendapatan institusi di Jawa-Bali meningkat sebesar 4.647.64 miliar rupiah dan pendapatan institusi di Sumatera meningkat sebesar 890.12 miliar rupiah. Berdasarkan analisis skenario 1, 2, 3, 4 dan 5 untuk tahun 2008, terlihat bahwa skenario investasi jalan dan jembatan pada skenario 5 (investasi dilakukan di Jawa-Bali saja) dengan nilai investasi 3 278.709 miliar rupiah memberikan peningkatan secara total (dampak inter-regional ditambah dampak intra-regional) terhadap pendapatan institusi yang tertinggi dibandingkan dengan skenario 3 dengan shock investasi dilakukan bersamaan di Sumatera dan di Jawa-Bali, atau shock investasi hanya di Sumatera saja (skenario 4). Dampak total terhadap
207
pendapatan institusi di Jawa-Bali pada skenario 5 adalah sebesar 4.647.64 miliar dan di Sumatera sebesar 890.12 miliar rupiah. Skenario serupa (skenario 1, 2, 3, 4 dan 5) juga diterapkan terhadap perubahan investasi jalan dan jembatan pada tahun 2009 dan tahun 2010 dengan nilai investasi yang berbeda dengan tahun 2008. Dampak perubahan pendapatan institusi tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 39 dan dampak perubahan pendapatan institusi pada tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran 40. Perubahan investasi pada tahun 2009 pada skenario 5 memberikan dampak terhadap pendapatan institusi sebesar 5 391.93 miliar rupiah di Jawa-Bali dan 1.032,66 miliar rupiah di Sumatera. Skenario 5 ini merupakan skenario kebijakan investasi jalan dan jembatan tahun 2009 yang memberikan dampak pendapatan institusi yang tertinggi dibandingkan dengan skenario-skenario lainnya. Demikian pula skenario kebijakan peningkatan investasi jalan dan jembatan pada tahun 2010 memberikan kenaikan pendapatan institusi di Jawa-Bali sebesar 5.435.59 miliar rupiah dan pendapatan institusi di Sumatera sebesar1041.02 miliar rupiah pada skenario 5.Sementara itu, jika nilai investasi dalam jumlah yang sama pada tahun 2010 dilakukan di Sumatera saja (skenario 4) akan meningkatkan pendapatan institusi sebesar 4.100.45 miliar rupiah di Sumateradan 2.228.28 miliar rupiah. Selanjutnya jika investasi dilakukan secara simultan di Sumatra dan di Jawa-Bali (skenario 3) berdampak pada peningkatan pendapatan institusi di Jawa-Bali sebesar 4.308.62 miliar rupiah dan pendapatan institusi di Sumatera meningkat sebesar 2.116.03 miliar rupiah. Dari ketiga institusi sebagai pelaku ekonomi dan pemilik faktor produksi yaitu rumahtangga, perusahaan dan pemerintah, maka dampak pendapatan terhadap pendapatan institusi rumahtangga (total rumahtangga) adalah yang
208
terbesar untuk skenario 1, skenario 2, skenario 3, skenario 4 maupun skenario 5 (Lampiran 38, 39, 40). Pendapatan tenagakerja (upah dan gaji) didistribusikan seluruhnya kepada institusi rumahtangga sebagai pemilik faktor produksi tenagakerja dan tambahan pendapatan dari faktor produksi akan ditransmisikan kepada pemilik faktor produksi yang melakukan proses produksi sesuai dengan porsi kepemilikan faktor produksi oleh masing masing institusi. Berdasarkan analisis khusus untuk skenario 3 yang sebenarnya terjadi, menunjukkan bahwa dari tahun 2008 sampai 2010 dampak sektor jalan dan jembatan terhadap institusi di Sumatera paling dinikmati oleh rumahtangga berkisar 48.5 persen, disusul oleh perusahaan berkisar 41 persen dan sebagian kecil sisanya diperoleh pemerintah. 80
69.16
69.08
69.15
70 60 50
48.27 41.51
49.05 40.58
48.38 41.38
40 25.41
30
25.48
25.42
20 10 0 2008
2009
2010
2008
Sumatra
2009
2010
Jaw a Bali Rumahtangga
Perusahaan
Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah) Gambar 45. Dampak Skenario 3 (Aktual) terhadap Faktor Produksi Sementara di Jawa-Bali dari tahun 2008 sampai 2010, rumahtangga juga paling yang menikmati dampak sektor jalan dan jembatan berkisar 69 persen, disusul perusahaan 25.4 persen dan sisanya berkisar 5.6 persen dinikmati perusahaan. Berdasarkan analisis ini, dari aspek persentase, perusahaan jauh lebih
209
menikmati dampak sektor jalan di Sumatera daripada di Jawa-Bali. Dampak injeksi sektor jalan dan jembatan terhadap institusi pada skenario 3 sebagaimana Gambar 45. 9.5. Analisis Dampak terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga. Dari hasil analisis dampak simulasi kebijakan berupa peningkatan investasi di sektor jalan dan jembatan, institusi rumahtangga secara total (golongan rumahtangga buruh tani sampai dengan pengusaha golongan atas di kota) merupakan penerima dampak terbesar berupa peningkatan pendapatan akibat dari adanya peningkatan investasi jalan dan jembatan seperti dalam skenario 1 sampai dengan skenario 5. Hasil simulasi untuk investasi tahun 2008, 2009 dan 2010 terdapat pada Lampiran 38 sampai 40. Hasil simulasi kebijakan tersebut menunjukkan dampak yang berbeda bila ditinjau menurut rincian golongan rumahtangga di Sumatera maupun rincian golongan rumahtangga di Jawa-Bali. Sumber pendapatan rumahtangga berasal dari pendapatan upah dan gaji sebagai balas jasa faktor produksi tenagakerja yang dimiliki oleh rumahtangga, bunga dan surplus usaha sebagai pendapatan atas kepemilikan modal serta pendapatan transfer dari institusi lain. Dalam kerangka Social Accounting Matrix semua balas jasa tenagakerja domestik ditransmisikan ke pendapatan rumahtangga dan balas jasa bukan tenagakerja (modal/ kapital) ditransmisikan ke masing masing pemilik modal/ kapital yaitu rumahtangga, perusahaan serta pemerintah. Pada tahun 2008, rumahtangga golongan rendah di desa Sumatera memperoleh kenaikan pendapatan 199.62 miliar rupiah untuk skenario 1, naik 49.63 milliar rupiah pada skenario 2, naik 249.25 miliar rupiah pada skenario 3 (kondisi sebenarnya), naik 575.06 milliar rupiah pada skenario 4 dan naik 76.02
210
miliar rupiah pada skenario 5. Tahun 2009 terdapat kenaikan pendapatan golongan rumahtangga rendah Sumatera sebesar 252.24 miliar rupiah pada skenario 1, naik 54.85 miliar rupiah skenario 2, naik 307.09 miliar rupiah pada skenario 3, naik 667.15 miliar rupiah pada skenario 4 dan naik 88.19 miliar rupiah pada skenario 5. Untuk tahun 2010, kenaikan pendapatan rumahtangga golongan rendah sumatera naik 236.32 miliar rupiah pada skenario 1, naik 57.67 miliar rupiah pada skenario 2, naik 293.98 miliar rupiah skenario 3, naik 672.56 miliar rupiah skenario 4, naik 88.90 miliar rupiah skenario 5. Kenaikan terbesar pada rumahtangga golongan rendah di desa menunjukkan bahwa prasarana jalan di Sumatera mendukung peningkatan pendapatan rakyat kecil yaitu rumahtangga golongan rendah di desa. Berdasarkan skenario 1 sampai skenario 5 yang disimulasikan, kebijakan skenario 4 dengan keberpihakan anggaran biaya prasarana jalan kepada pulau Sumatera memberikan dampak terbesar terhadap pendapatan rumahtangga golongan rendah di desa dibandingkan dengan golongan rumahtangga lain di Sumatera. Rumahtangga golongan rendah di desa meliputi rumahtangga dengan kepala rumahtangga bekerja sebagai buruh kasar termasuk kuli bangunan atau pekerja konstruksi jalan dan jembatan di pedesaan. Hasil simulasi dengan skenario 1 sampai 5 terhadap pendapatan golongan rumahtangga di Sumatera tahun 2008 sampai tahun 2010 menunjukkan prasarana jalan memberikan dampak terbaik pada golongan rumahtangga berpenghasilan rendah, yaitu rumahtangga golongan rendah di desa yang menerima dampak kenaikan pendapatan tertinggi disusul rumahtangga golongan rendah di kota dan sedikit dibawahnya menyusul rumahtangga golongan atas di desa. Guncangan output prasarana jalan tidak memberikan kontribusi berarti terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga buruh tani dan rumahtangga pengusaha tani. Bahkan
211
rumahtangga golongan atas di kota mendapat peningkatan pendapatan lebih besar daripada buruh tani. Tingkat kenaikan pendapatan golongan rumahtangga di Sumatera juga dapat dilihat dari nilai multiplier pendapatan rumahtangga golongan rendah di desa adalah yang tertinggi berkisar 7.7, disusul rumahtangga golongan rendah di kota dengan nilai multiplier pendapatan 5.0 (Lampiran 41). Analisis kenaikan pendapatan rumahtangga di Jawa-Bali tahun 2008 sampai tahun 2010 menunjukkan bahwa pada setiap skenario yang dilakukan (skenario 1 sampai skenario 5) berdampak terbesar terhadap pendapatan rumahtangga golongan rendah di kota dibandingkan dengan golongan rumahtangga lainnya (Lampiran 38 sampai 40),disusul kemudian rumahtangga pengusaha golongan atas di kota dan selanjutnya rumahtangga pengusaha tani. Sama halnya seperti di Sumatera, rumahtangga buruh tani di Jawa-Bali menerima kenaikan pendapatan paling kecil dari seluruh rumahtangga. Pada tahun 2008, akibat adanya simulasi kebijakan berupa peningkatan investasi jalan dan jembatan untuk skenario 1 berdampak pada peningkatan pendapatan golongan rendah di kota yaitu sebesar 124.24 miliar rupiah, peningkatan pendapatan akibat skenario 2 sebesar 468.90 miliar rupiah, peningkatan pendapatan akibat skenario 3 sebesar 734.89 miliar rupiah dan peningkatan pendapatan akibat skenario 4 sebesar 357.90 miliar rupiah serta skenario 5 sebesar 935.34 miliar rupiah. Demikian pula untuk simulasi tahun 2009 dan tahun 2010 menunjukkan kenaikan tertinggi yang diperoleh golongan rumahtangga rendah di kota. Setiap skenario peningkatan investasi prasarana jalan yang dilakukan di Jawa-Bali untuk setiap nilai investasi jalan dan jembatan tahun 2008 sampai tahun 2010, maka investasi jalan dan jembatan akan memberikan dampak pendapatan
212
terbesar untuk golongan rendah di kota jika investasi dilakukan dengan keberpihakan anggaran ke Jawa-Bali seperti skenario 5. Pendapatan golongan rendah di kota meningkat akibat simulasi skenario 5 yaitu sebesar 935.34 miliar rupiah tahun 2008, sebesar 1 085.12 miiar rupiah tahun 2009 dan sebesar 1 093.91 miliar tahun 2010. Sementara, golongan rumahtangga selain golongan rumahtangga rendah di kota memperoleh dampak pendapatan lebih rendah (Lampiran 38 sampai 40). Berdasarkan analisis pendapatan dengan skenario 3 yang sebenarnya terjadi, untuk Sumatera rumahtangga pengusaha golongan rendah didesa memperoleh benefit yang paling besar yaitu 28.72 persen dari keseluruhan rumahtangga Sumatera disusul rumahtangga golongan rendah di kota (18.96 persen), sementara di Jawa-Bali rumahtangga pengusaha golongan rendah di kota yang paling menikmati dampak prasarana jalan 28.76 persen dari keseluruhan rumahtangga di Jawa-Bali, disusul rumahtangga golongan atas di kota (22.1 persen) dan sedikit dibawahnya rumahtangga pengusaha tani 20.94 persen (Gambar 46). 35
29.94
30
28.72
28.76 22.1
25 20
16.34
15 10 5
18.59
18.96
14.15
13.66 7.98
6.07 3.72
0 RT Buruh Tani
RT Pengusaha Tani
RT Rendah Desa
Sumatera
RT Atas Desa
RT Rendah Kota
RT Atas Kota
Jaw a-Bali
Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah) Gambar 46. Persentase Dampak Skenario 3 (Aktual) terhadap Rumahtangga Tahun 2010
213
Berdasarkan analisis pada Bab V, pendapatan rumahtangga terbesar di kedua pulau Sumatera dan Jawa-Bali adalah rumahtangga pengusaha golongan atas di kota dan selanjutnya rumahtangga pengusaha golongan atas di desa. Dari analisis simulasi diperoleh dampak shock sektor konstruksi jalan dan jembatan dengan skenario 3 (kondisi aktual) terhadap pendapatan rumahtangga di Sumatera didominasi oleh rumahtangga pengusaha golongan rendah di desa dan untuk Jawa-Bali didominasi oleh rumahtangga pengusaha golongan rendah di kota. Hal ini selaras dengan hasil analisis bahwa dampak sektoral investasi sektor jalan dan jembatan paling banyak dinikmati oleh sektor jasa dan kemudian industri. Analisis distribusi pendapatan rumahtangga dilakukan dengan multiplier pendapatan.Indek multiplier pendapatan skenario 1 sama dengan skenario 4 yaitu konsep alokasi biaya prasarana jalan berpihak ke Sumatera, sementara skenario 2 dan skenario 5 indek multipliernya sama karena keberpihakan anggaran ke JawaBali (Lampiran 41). Secara umum besaran indek multiplier pendapatan rumahtangga tertentu dengan skenario berbeda relatifsamadi Jawa-Bali, sementara di Sumatera cukup besar perbedaannya. Berdasarkan rasio multiplier pendapatan (Lampiran 41) dengan skenario 1 sampai 5 di Sumatera dan Jawa-Bali menunjukkan distribusi kenaikan pendapatan rumahtangga adalah divergen, namun distribusi kenaikan pendapatan golongan rumahtangga di Jawa-Bali lebih baik daripada di Sumatera, disebabkan dampak prasarana jalan terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga relatif lebih merata di Jawa-Bali dibandingkan Sumatera.Hasil ini berbeda dengan penelitian Alim (2006) yaitu dampak injeksi pada sektor-sektor produksi menunjukkan bahwa distribusi kenaikan pendapatan di Sumatera lebih merata dibandingkan JawaBali.Pendekatan secara parsial rumahtangga di Jawa-Bali berdasarkan basis rasio
214
tekecil menunjukkan distribusi peningkatan pendapatan rumahtangga buruh tani dan rumahtangga pengusaha golongan atas di desa cenderung convergen sementara golongan rumahtangga yang lainnya cenderung divergen. Berdasarkan analisis multiplier pendapatan, guncangan output prasarana jalan baik di Sumatera atau Jawa-Bali atau kedua wilayah secara bersamaan menyebabkan kesenjangan ekonomi antarrumahtangga di Sumatera melebar mengingat divergensi yang terjadi, peningkatan pendapatan rumahtangga buruh tani sangat kecil dibandingkan rumahtangga golongan rendah didesa (multiplier berkisar 7) dan rumahtangga golongan rendah di kota (multiplier berkisar 5). Kondisi ini mengandung makna bahwa prasarana jalan di Sumatera kurang mendukung pemerataan peningkatan pendapatan rumahtangga. Rumahtangga di Jawa-Bali secara umum divergen, namun tidak se-ekstrim Sumatera. Kondisi ini mengartikan bahwa prasarana jalan di Jawa-Bali lebih mendukung pemerataan antar rumahtangga di Jawa-Bali (intra-regional) dibandingkan Sumatera. 9.6.
Dampak Investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kebijakan
pemerintah
terhadap
infrastruktur
khususnya
prasarana
jalanmerupakan kebijakan yang sangat strategis dalam rangka akselerasi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Output sektoral yang dihasilkan oleh suatu wilayah tidak akan memberikan hasil maksimal bagi pengembangan wilayah tersebutdan peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa didukukung oleh prasaranajalan untuk distribusi barang dan jasa yang baik dan memadai. Untuk mengetahui dampak investasi jalan dan jembatan terhadap pertumbuhan, dilakukan simulasi kebijakan berupa peningkatan investasi jalan dan jembatan yang dilakukan di Sumatera dan Jawa-Bali untuk tahun 2008 sampai dengan 2010 (Tabel 10).
215
Simulasi kenaikan investasi sektor konstruksi jalan dan jembatan suatu wilayah selain meningkatkan output sektor konstruksi jalan tersebut (close loop), juga akan berdampak terhadap output sektor-sektor produksi lainnya (open loop), serta neraca lainnya seperti rumahtangga (transfer loop). Berdasarkan IRSAMJASUM 2007 skenario 3 (kondisi yang sebenarnya terjadi), diperoleh total output sektor produksi dalam bentuk moneter yaitu sebesar 1 471.696 trilliun rupiah di Sumatera, sedangkan di Jawa-Bali sebesar 4 314.123 trilliun rupiah (Tabel 16), yang dapat dipandang sebagai PDB masingmasing wilayah dengan asumsi tidak terjadi perubahan harga (ceteris paribus). Injeksi prasarana jalan sebagai investasi diberikan pada neraca kapital kolom pengeluaran sebesar selisih nilai investasi tahun yang ditinjau terhadap tahun dasar yaitu tahun 2007 (Tabel 16). Tabel 16. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dengan Simulasi Investasi Prasarana Jalan Skenario 3 Wilayah Sumatera
Jawa-Bali
Sumatera+ Jawa Bali
1 471 695 814
4 314 123 725
Peningkatan output 2008 (Juta Rp)
Q 2007 Q 2008 Q 2009
1 473 923 328 1 474 617 311
4321 932 182 4 322 678 058
5 785 819 539 5 795 855 510 5 797 295 369
ΔQ 2008
2 227 514
7 808 457
10 035 971
Peningkatan output 2009 (juta Rp)
ΔQ 2009 ΔQ 2009'
2 921 497
8 554 333
Peningkatan output 2010 (Juta Rp)
ΔQ 2010 ΔQ 2010'
693 983 4 331 880
745876 11 962 229
11 475 830 1 439 859
1 410 383
3 407896
16 294 109 4 818 279
Y 2008
0.151
0.181
0.173
Y 2009
0.047
0.017
0.025
Y 2010
0.096
0.079
0.083
Total output sektoral (juta Rp)
Pertumbuhan ekonomi 2008 (%) Pertumbuhan ekonomi 2009 (%) Pertumbuhan ekonomi 2010 (%)
Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah)
216
Keterangan: -
Q 2007
:
Total output sektoral tahun 2007 berdasarkan IRSAMJASUM 2007
-
Q 2008
:
Total output sektoral tahun 2008 dampak shock prasarana jalan = Q 2007 + ΔQ 2008
-
ΔQ 2009
:
Peningkatan output tahun 2009 terhadap tahun 2007
-
ΔQ 2009
:
Peningkatan output tahun 2009 terhadap tahun 2008
'
-
ΔQ 2010
:
Peningkatan output tahun 2010 terhadap tahun 200
-
ΔQ 2010
:
Peningkatan output tahun 2010 terhadap tahun 2009
'
-
Y 2008
:
Tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2008 terhadap tahun 2007
-
Y 2009
:
Tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2009 terhadap tahun 2008
-
Y 2010
:
Tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2010 terhadap tahun 2009
Hasil shock prasarana jalan pada output sektoral digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi pada masing-masing wilayah.Perhitungan tingkat pertumbuhan ekonomi (Y) secara sederhana dirumuskan sebagai berikut: Yt = (PDBt – PDBt-1)/PDBt-1* 100% Dimana: = tingkat pertumbuhan ekonomi tahun ke t Yt PDB t = Produk Domestik Bruto tahun ke t PDBt-1 = Produk DomestikBruto tahun sebelumnya Pada skenario 3, tingkat pertumbuhan ekonomi di Sumatera tahun 2008 sebesar 0.151 persen lebih kecil dari tingkat pertumbuhan ekonomi di Jawa-Bali sebesar 0.181 persen. Pada tahun 2009, perekonomian di Sumatera akibat shockprasarana jalan tumbuh sebesar 0.047 persen terhadap tahun 2008, sedang di Jawa-Bali hanya dapat tumbuh lebih kecil dari Sumatera yaitu sebesar 0.017.Pertumbuhan ekonomi dampak prasarana jalan di Sumatera pada tahun 2010 terhadap tahun 2009 naik sedikit menjadi 0.096 persen dan di Jawa-Bali naik sebesar 0.079 persen. Secara global dapat dicatat, tingkat pertumbuhan kedua pulau Sumatera dan Jawa-Bali tahun 2008 sebesar 0.173 persen terhadap 2007, pada tahun 2008 naik sebesar 0.025 persen terhadap tahun 2008, dan tahun 2010
217
naik 0.083 persen terhadap 2009. Pertumbuhan ekonomi sebagai dampak injeksi prasarana jalan dapat juga ditinjau dari simulasi dengan skenario ekstrim yaitu skenario 4 dan skenario 5 untuk memberi gambaran kebijakan alokasi anggaran jalan. Tabel 17. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dengan Simulasi Investasi Prasarana Jalan Skenario 4 Wilayah Sumatera Total outputsektoral (juta Rp) Peningkatanoutput 2008 (juta Rp) Peningkatan output 2009 (juta Rp) Peningkatan output 2010 (juta Rp)
Jawa-Bali
Sumatera + Jawa-Bali
Q 2007
1 471 695 814
4 314123725
5 785 819 539
Q 2008 Q 2009
1 479 234 269 1 480 267 277
4 317 503 952 4 317 967 151
5 796 738 221 5 798 234 428
ΔQ 2008
7 538 455
3 380227
10 918682 12 414 889 1496207
ΔQ 2009
8 571 463
3 843 426
ΔQ 2009' ΔQ 2010
1 033 008 12 146 486
463199 5 446459
ΔQ 2010'
3 575 023
1 603033
17 592 945 5 178 056
Pertumbuhan ekonomi 2008 (%)
Y 2008
0.512
0.078
0.189
Pertumbuhan ekonomi 2009 (%)
Y 2009
0.070
0.011
0.026
Pertumbuhan ekonomi 2010 (%)
Y 2010
0.242
0.037
0.089
Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah) Tabel 17 menunjukkan dampak prasarana jalan terhadap pertumbuhan ekonomi bila dilakukan dengan skenario 4. Pada tahun 2008 tingkat pertumbuhan di Sumatera naik cukup signifikan sebesar 0.512 persen terhadap tahun 2007, dapat dimaklumi karena keberpihakan anggaran yang ekstim pada pulau Sumatera menyebabkan terjadinya lonjakan pertumbuhan. Skenario 4 tidak menyebabkan reduksi tingkat pertumbuhan yang besar di Jawa-Bali menjadi 0.078 persen, ini menunjukkan pulau Jawa-Bali sudah begitu mandiri perekonomiannya dan tidak bergantung pada pulau Sumatera.Pada tahun 2009, tingkat pertumbuhan di Sumatera naik sebesar 0.070 terhadap 2008, cukup kecil karena penambahan anggarannya juga kecil. Pada tahun 2010 di Sumatera tingkat pertumbuhan ekonomi karena dampak prasarana jalan naik sebesar 0.242 persen. Secara global,
218
pertumbuhan di Sumatera dan Jawa-Bali tahun 2008 naik 0.189 persen terhadap 2007, lalu pada tahun 2009 naik 0.026 persen terhadap 2008, dan pada tahun 2010 naik lagi sebesar 0.089 persen terhadap tahun 2009. Kebalikannya dengan skenario 4, simulasi dengan skenario 5 memberi anggaran prasarana jalan secara ekstrim kepada pulau Jawa-Bali.Dampak terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi berbalik sedemikian rupa dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi di Jawa-Bali sebagaimana tercantum dalam tabel 18. Tabel 18. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dengan Simulasi Investasi Prasarana Jalan Skenario 5 Wilayah Sumatera
Jawa-Bali
Sumatera + Jawa-Bali
Total outputsektoral (juta Rp)
Q 2007 Q 2008 Q 2009
1471695814 1472475099 1472581886
4314123725 4323139706 4324375183
5785819539 5795614805 5796957069
Peningkatan output 2008 (juta Rp)
ΔQ 2008
779285
9015981
9795266
Pertumbuhan ekonomi 2008 (%)
ΔQ 2009 ΔQ 2009' ΔQ 2010 ΔQ 2010' Y 2008
886072 106787 1255639 369567 0.053
10251458 1235477 14527180 4275722 0.209
11137530 1342264 15782819 4645289 0.169
Pertumbuhan ekonomi 2009 (%)
Y 2009
0.007
0.029
0.023
Pertumbuhan ekonomi 2010 (%)
Y 2010
0.025
0.099
0.080
Peningkatan output 2009 (juta Rp Peningkatan output 2010 (juta Rp)
Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah) Tingkat pertumbuhan global (Sumatera+Jawa-Bali) kelihatannya lebih tinggi bila dilakukan keberpihakan anggaran di pulau Sumatera (skenario 4) dibandingkan skenario 3 dan skenario 5. Hal ini mengandung makna bahwa untuk mengejar ketinggalan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, pada dasarnya investasi prasarana jalan yang lebih besar pada wilayah yang lebih terbelakang adalah salah satu solusi. Standar alokasi anggaran prasarana jalan hanya berdasarkan analisis BCR (Benefit Cost Ratio) kurang tepat untuk memicu tingkat pertumbuhan ekonomi.