IV. KONDISI UMUM 4.1. Kota Banjarmasin (Propinsi Kalimantan Selatan) 4.1.1 Sejarah Perkembangan Kota Banjarmasin Sejak dahulu Kota Banjarmasin memegang peran strategis dalam lalu lintas perdagangan antar pulau, karena terletak di pertemuan antara Sungai Barito dan Sungai Martapura yang luas dan dalam sehingga dapat dilayari kapal-kapal besar dan dapat merapat hingga kota Banjarmasin. Pada zaman Belanda, Banjarmasin menjadi pelabuhan masuk dan keluar bagi seluruh daerah aliran Sungai Barito dan merupakan pelabuhan transit untuk kapal-kapal yang datang dari Pulau Jawa dan Singapura ke pantai timur Kalimantan. Sedangkan industri yang berkembang milik warga Eropa yang berdiri di Banjarmasin pada waktu itu terdiri dari pabrik es, galangan kapal kecil milik Borneo Industri Mij dan perdagangan yang dikelola oleh Borneo Soematra Handel Mij, Heinneman & Co, dan Kantor cabang dari Javasche Bank en Factorij. Pada masa itu, Banjarmasin mempunyai pelayaran yang teratur dan langsung dengan Sampit, Kotabaru, Samarinda, Martapura, Marabahan, Negara, Amuntai, Buntok, Muara Teweh dan Kuala Kapuas serta di luar Kalimantan dengan Surabaya dan Singapura. Asal mula nama Kota Banjarmasin berasal dari sejarah panjang Kerajaan Banjar. Pada saat Kerajaan Banjar masih berdiri, Kota Banjarmasin ini bernama Banjarmasih. Nama ini diambil dari dari nama patih yang sangat berjasa dalam pendirian Kerajaan Banjar, yaitu Patih Masih yang berasal dari Desa Oloh Masih. Nama Desa Oloh Masih ini dalam bahasa Ngaju berarti orang melayu atau kampung orang melayu. Patih Masih dan beberapa patih lainnya kemudian sepakat mengangkat Pangeran Samudera, yang merupakan putra Kerajaan Daha yang mengasingkan diri di Desa Oloh Masih. Dibawah kekuasaan Pangeran Samudera, Kerajaan Banjar mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan menguasai jalur-jalur sungai sebagai pusat perdagangan pada waktu itu. Kini Kota Banjarmasin yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan mulai berkembang pesat seiring dengan berjalannya waktu. Banjarmasin terus berkembang sebagai pusat perdagangan dan hal tersebut mendorong pertambahan penduduk yang sangat cepat sehingga menadikan kota Banjarmasin
28
memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi dan tergolong ke dalam kategori kota besar dengan jumlah penduduk diatas 500.000 jiwa. Perkembangan kota yang terjadi akhir-akhir ini telah menjauhkan Banjarmasin dari substansinya sebagai kota sungai dengan memusatkan pembangunan pada infrastruktur darat dan membiarkan pembangunan permukiman pada bantaran dan di dalam badan sungai, terutama di pusat kota, sehingga fungsi ekologis bantaran sungai menjadi menjadi hilang dan menyebabkan banjir.
4.1.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi Kota Banjarmasin secara geografis terletak pada koordinat 3'16’32” 3'22’43” Lintang Selatan dan 114°32’02” - 114°38’24” Bujur Timur. Kota ini terhampar di dataran rendah dan berawa-rawa dengan ketinggian 0,16 meter di bawah permukaan laut. Kota Banjarmasin kini berkedudukan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan yang meliputi 5 wilayah kecamatan dan 50 kelurahan seluas 7200 Ha (72 km2) atau 0,22 % dari luas wilayah provinsi, dengan batas administrasi sebagai berikut : • Sebelah Barat
: Kabupaten Barito Kuala (Sungai Barito)
• Sebelah Selatan : Kabupaten Banjar • Sebelah Timur : Kabupaten Banjar • Sebelah Utara
: Kabupaten Barito Kuala (Sungai Alalak)
Wilayah Kota Banjarmasin dibagi dalam 5 wilayah kecamatan dan 60 kelurahan, dengan pembagian wilayah adminstratif Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas, Nama Ibukota Kecamatan, dan Jumlah desa / Kelurahan di Kota Banjarmasin Tahun 2008 Luas Presentase Nama Ibukota (Km2) (%) Banjarmsin Selatan 20,18 28,03 KelayanSelatan Banjarmasin Timur 11,54 16,03 Kuripan Banjarmasin barat 11,66 18,57 Pelambuan BanjarmasinTengah 13,37 16,19 Teluk Dalam Banjarmasin Utara 15,25 21,18 Alalak Utara 72,00 100
No. Kecamatan 1 2 3 4 5
Sumber : Banjarmasin Dalam Angka Tahun 2008
29
Dari gambaran kondisi geografis dan batas administrasi Kota Banjarmasin berada di tepi Sungai Barito dan dikenal sebagai kota seribu sungai karena dilalui berbagai sungai besar dan kecil. Disamping itu Banjarmasin merupakan pintu masuk untuk 2 propinsi yang ada di Pulau Kalimantan yaitu Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah, sehingga sangat potensial oleh pusat perdagangan baik untuk lingkup lokal maupun lingkup regional. Secara spasial batas wilayah administrasi Kota Banjarmasin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta Administratif Kota Banjarmasin (Sumber: Pemerintah Kota Banjarmasin)
4.1.3 Topografi Kota Banjarmasin terletak sekitar 50 km dari muara Sungai Barito dan dibelah Sungai Martapura. Secara topografis, Kota Banjarmasin didominasi oleh daerah yang relatif datar dan berawa-rawa dengan kemiringan tanah 0% - 2% serta berada pada ketinggian 0,16 mdpl. Satuan morfologi ini merupakan daerah dominan yang terdapat di wilayah Kota Banjarmasin. Kondisi ini sangat menunjang bagi perkembangan perkotaan sebagai area fisik terbangun. Namun, ketinggian di bawah permukaan laut menyebabkan sebagian besar wilayah Kota Banjarmasin merupakan rawa tergenang yang sangat dipengaruhi kondisi pasang surut air laut.
30
4.1.4 Hidrologi Kota Banjarmasin, ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan, terletak di tepi Sungai Barito dan terbagi dua oleh Sungai Martapura sebagai sungai utama yang secara dominan keduanya mempengaruhi kondisi hidrologi Kota Banjarmasin. Dengan jarak dari laut ± 23 km, maka muka air sungai sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sungai Martapura mengalir dari Timur Laut ke arah Barat Daya yang membelah Kota Banjarmasin menjadi 5 (lima) wilayah kecamatan yang bermuara di Sungai Barito. Anak-anak Sungai Martapura diantaranya adalah Sungai Kuin (Sungai Pangeran), Sungai Awang yang menyatu dengan Sungai Alalak yang merupakan anak Sungai Barito di sebelah utara, sedangkan anak sungai yang mengalir di selatan adalah Sungai Basirih, Sungai Bagau, Sungai Kelayan, Sungai Pekapuran dan Sungai Gardu. Semua sungai dan anak sungai merupakan urat nadi kehidupan dan perekonomian masyarakat Kota Banjarmasin karena berfungsi sebagai pembuangan air (outlet) drainase secara keseluruhan dan prasarana transportasi air disamping prasarana transportasi darat yang berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Variasi tinggi permukaan air pasang surut, berkisar antara 2,0 meter pada pasang pumama sampai 0,6 meter pasang surut biasa (P3KT Kalimantan, 1990), sedangkan permukaan air Sungai Barito pada saat pasang maksimum mempunyai level + 0,82 dpal, dan pada saat surut - 0,100 dpal (Laporan Hasil Pengukuran Muka Air dan Analisa Kualitas Air di Banjarmasin, DHV/MLD, 1997). Pada daerah permukiman ketinggian muka air pasang surut tergantung dari jarak ke sungai terdekat. Kecuali daerah pasar Kota Banjarmasin dan tanggul sungai, seluruh daratan dan di sekitar kota berada di bawah permukaan air ratarata dan dipengaruhi oleh adanya genangan hujan maupun genangan pasang surut. Dilihat dari kondisi tersebut dapat digambarkan bahwa budaya sungai sangat mendominasi kehidupan Kota Banjarmasin. Tapi kondisi riil di lapangan, pemerintah dan masyarakat sudah mulai kurang menaruh perhatian pada kualitas dan kelestarian sungai-sungai tersebut, sehingga banyak sungai yang tidak berfungsi bahkan hilang.
31
4.1.5 Geologi dan Tanah Keadaan geologi menggambarkan kondisi jenis batuan utama pembentuk lahan. Secara umum, Kota Banjarmasin dibentuk oleh formasi batuan antara lain: formasi berai (tomb) dibentuk oleh batu gamping putih berlapis dengan ketebalan 20 – 200 cm, formasi Dahor (tqd) dibentuk oleh batu pasir kwarsa (tidak padu), konglomerat dan batu lempung lunak, formasi keramaian (kak) dibentuk oleh perselingan batu lanau dan batu lempung, formasi pudak (Kap) yang dibentuk oleh lava ditambah perselingan antara breksi/konglomerat dan batu pasir dengan olistolit (massa batuan asing) berupa batu gamping, basal, batuan malihan, dan ultramafik, formasi tanjung (Tet) dibentuk oleh batu pasir kwarsa berlapis dengan sisipan batu lempung kelabu yang memiliki ketebalan 30 – 150 cm, alluvium (Qa) yang dibentuk oleh kerikil, pasir, lanau, lempung, dan lumpur. Disamping itu banyak juga dijumpai sisa-sisa tumbuhan serta gambut pada kedalaman tertentu, formasi Pitanak (Kvpc) yang disusun dan dibentuk oleh lava yang terdiri atas struktur bantal, berasosiasi dengan breksi-konglomerat, dan Kelompok batuan ultramafik (Mub) disusun oleh harzborgit, piroksenit, dan serpentinit. Jenis tanah di Kota Banjarmasin didominasi oleh jenis tanah alluvial yang berasal dari endapan sungai dengan struktur lempung dan sebagian berupa jenis tanah orgonosol glei humus. Jenis tanah ini mempunyai ciri tanah dengan tingkat kesuburan yang baik sehingga berpotensi untuk pengembangan budidaya tanaman pangan (padi sawah dan hortikultura), akan tetapi pada beberapa kawasan kebanyakan dilapisi oleh gambut dengan ketebalan yang kalau dikembangkan untuk budidaya akan memerlukan teknologi khusus dan biaya cukup mahal.
4.1.6 Iklim Ditinjau dari letak geografisnya Kota Banjarmasin merupakan daerah beriklim tropis dengan 2 musim yang mempengaruhi yaitu musim hujan dan musim kemarau. Tipe iklim Kota Banjarmasin, yaitu tipe iklim A dengan nilai Q=14,29% (rasio jumlah rata-rata bulan kering dengan bulan basah). Kondisi tersebut mempengaruhi suhu udara di Kota Banjarmasin rata-rata antara 25 ºC – 38 ºC, dengan suhu udara maksimum 33 °C dan suhu udara minimum 22 °C. Kota Banjarmasin dipengaruhi oleh musin hujan yang terjadi pada bulan November
32
sampai bulan April dan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai bulan Oktober. Berdasarkan data pengukuran curah hujan dari stasiun pengamat Bandara Syamsudin Noor, curah hujan rata-rata mencapai 2400 mm/tahun dan bervariasi antara 1600 - 3500 mm/tahun. Penyinaran matahari tahunan rata-rata pada saat musim hujan 2,8 jam/hari dan di musim kemarau 6,5 jam/hari dengan kelembaban udara 40% - 100%.
4.1.7 Kependudukan Jumlah penduduk Kota Banjarmasin sekitar 615.570 jiwa (BPS tahun 2007) dengan pertumbuhan rata-rata 1,02%-2,03% yang menyebar di lima kecamatan. Tabel 4. Jumlah Penduduk Kota Banjarmasin Tahun 2000-2007 Tahun
Jumlah Penduduk (jiwa) 2000 532.556 2001 535.949 2002 539.060 2003 566.008 2004 572.300 2005 574.325 2006 602.725 2007 615.570 Sumber : BPS Kota Banjarmasin
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 7.396 7.443 7.487 7.861 7.949 7.976 8.371 8.549
Tingkat kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Banjarmasin Barat dengan 12.735 jiwa/Km2 dan yang terendah di Kecamatan Banjarmasin Utara dengan 6.075 jiwa/Km2. 4.1.8 Sosial Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan, terutama dalam bidang ekonomi. Perkembangan sektor ekonomi yang terbentuk dari laju pertumbuhan akan memberikan gambaran tentang tingkat perubahan ekonomi yang terjadi, dimana pergerakan laju pertumbuhan ini merupakan indikator penting untuk mengetahui hasil pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk menentukan arah dan sasaran pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk menentukan arah dan sasaran pembangunan di masa yang akan datang.
33
Kondisi perekonomian kota Banjarmasin dapat dilihat dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Pada tahun 2006, PDRB Kota Banjarmasin mencapai 2,6 triliun rupiah. Kontribusi terbesar PDRB selama tahun 2006 disumbangkan dari sektor pengangkutan dan komunikasi yang mencapai 26,10%, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi kedua terbesar yaitu 22,32%, sedangkan sektor pertanian adalah sektor terkecil dalam pembentukan PDRB kota Banjarmasin dan cenderung menurun setiap tahunnya.
Gambar 5. Lanskap Sungai Kota Banjarmasin: Kawasan Tepian Sungai Martapura (kiri), Permukiman di sepanjang S. Barito (kanan) (sumber: google image)
Gambar 6. Ruang Terbangun: Kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Banjarmasin (kiri); Kawasan Komersial Kota Banjarmasin (kanan) (sumber: google image)
34
4.2. Kota Yogyakarta (Propinsi D.I. Yogyakarta) 4.2.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Secara historis, Kota Yogyakarta berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Keraton yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun pada tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Pendirian kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua Kerajaan (Surakarta-Yogyakarta) pada tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti. Pada awal perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar selatan-utara. Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari alun-alun utara, Jalan Malioboro, dan hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad ke-20 pola permukiman penduduk dan struktur kota tampak semakin memusat dan padat. Kota Yogyakarta dikenal memiliki karakter khas yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Negara Indonesia merdeka pada tahun 1945, tetapi pada tahun 1946-1949 Negara Indonesia masih berjuang mengusir para tentara sekutu. Pada saat itu, Yogyakarta memegang peranan penting dalam kemerdekaan dan dikenal sebagai Kota Revolusi. Selama tahun 1946-1949, Kota Yogyakarta menjadi ibukota Negara Republik Indonesia dan istana Sultan Hamengkubuwono IX menjadi markas besar tentara Republik Indonesia. Setelah masa kemerdekaan hingga sekarang, Kota Yogyakarta tumbuh besar dan bertambah luas karena terjadi aglomerasi wilayah. Dengan karakter masyarakatnya yang ramah, serta terdapat salah satu pusat pemerintahan tradisional Jawa dengan keunikan budayanya, menjadikan kota ini menjadi kota yang didominasi kegiatan pendidikan dan pariwisata. Setiap tahun aktivitas
pendidikan
pembangunan
dan
pariwisata
fasilitas-fasilitas
terus
pendukung
meningkat
dan
mendorong
pendidikan
dan
pariwisata.
35
Berkembangnya pendidikan dan pariwisata di Kota Yogyakarta menyebabkan pertumbuhan penduduk juga semakin meningkat. Hal ini berdampak pada semakin tingginya jumlah permukiman dan ruang terbuka pun semakin menyusut. Hingga sekarang, Kota Yogyakarta mengalami perubahan demografis, sosial, ekonomi, dan politik. Perubahan demografis dan sosial-ekonomi telah menjadi faktor penting dalam membawa dinamika perubahan tata ruang Kota Yogyakarta dari masa ke masa.
4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota disamping empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Kota Yogyakarta terletak pada 7° 49’ 26” - 7° 15’ 24” Lintang Selatan dan 110° 24’ 19” - 110° 28’ 53” Bujur Timur pada ketinggian rata-rata 114 m dpl. Sebagai ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta menjadi sentra kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya. Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu: • Utara : Kabupaten Dati II Sleman • Timur : Kabupaten Dati II Bantul dan Kabupaten Sleman • Selatan : Kabupaten Dati II Bantul • Barat : Kabupaten Dati II Bantul dan Kabupaten Sleman Secara spasial, wilayah administrasi Kota Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 7.
36
Gambar 7. Peta Admistrasi Kota Yogyakarta (sumber: P4W, Bogor)
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah paling kecil dibanding daerah tingkat II lainnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 3250 Ha (32,5 km2) atau 1,02% luas wilayah propinsi. Secara administratif pemerintahan, wilayah kota Yogyakarta terdiri dari 14 wilayah kecamatan dan 45 kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah kecamatan Umbulharjo kemudian diikuti oleh Kecamatan Gondokusuman dan Kota Gede. Wilayah Kota Yogyakarta terbagi dalam lima bagian kota dengan pembagian sebagai berikut: 1. Wilayah I, terletak pada ketinggian ± 91 m – 117 m diatas permukaan laut (dpl) rata-rata. Yang termasuk dalam wilayah ini adalah adalah sebagian Kecamatan Jetis, Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Ngampilan, Kecamatan Keraton, dan Kecamatan Gondomanan. 2. Wilayah II, terletak pada ketinggian ± 97 m – 114 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Tegalrejo dan sebagian Kecamatan Wirobrajan. 3. Wilayah III, terletak pada ketinggian ± 102 m – 130 m dpl. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan
37
Danurejan, Kecamatan Pakualaman, dan sebagian kecil Kecamatan Umbulharjo. 4. Wilayah IV, terletak pada ketinggian ± 75 m – 102 m dpl. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Mergangsan, Kecamatan Umbulharjo, Kecamatan Kota Gede. 5. Wilayah V, terletak pada ketinggian ± 83 m – 102 m dpl. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Mantrijeron, sebagian Kecamatan Gondomanan, dan sebagian Kecamatan Kecamatan Mergangsan.
4.2.3 Topografi Secara umum, kota yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relatif sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang lebih 1657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara 100-199 m.
4.2.4 Hidrologi Terdapat 3 sungai yang melintasi kota Yogyakarta, yaitu Sungai Gajah Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Code di bagian tengah dan Sungai Winongo di bagian barat kota. Ketiga sungai ini merupakan drainase utama Kota Yogyakarta Wilayah kota Yogyakarta merupakan bagian dari daratan kaki fluvio vulkanik merapi yang mempunyai air tanah dan permukaan cukup melimpah dengan kedalaman air tanah antara 0,5 m – 20 m. Semakin ke hilir permukaan air tanah semakin dangkal dan tercemar. Pencemaran air kebanyakan disebabkan oleh praktek-praktek sanitasi yang buruk baik pada lingkungan permukiman maupun non permukiman. Potensi sumber daya air yang menonjol berasal dari curah hujan dan air tanah.
38
4.2.5 Geologi dan Tanah Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.
4.2.6 Iklim Tipe iklim “AM dan AW”, curah hujan rata-rata 2,012 mm/tahun dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 °C dan kelembaban rata-rata 74,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7 km/jam.
4.2.7 Kependudukan Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun cukup tinggi. Menurut BPS Kota Yogyakarta pada akhir tahun 2007 tercatat bahwa jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 543.917 dengan tingkat kepadatan rata-rata 16735 jiwa/km2. Untuk data pertumbuhan penduduk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2000-2007 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005*) 2006*) 2007*)
Jumlah Penduduk (jiwa) 497.699 503.954 510.404 516.937 523.554 530.256 537.043 543.917
Sumber: Yogyakarta Population Survey
Dalam
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) 15.313 15.506 15.704 15.905 16.109 16.315 16.524 16.735 Angka
2006-2007,
*)
SUPAS
International
39
4.2.8 Sosial Ekonomi Bagi masyarakat Kota Yogyakarta, sektor pariwisata merupakan sebuah industri. Oleh karena itu, perkembangan sektor pariwisata di Kota Yogyakarta telah melibatkan sektor-sektor ekonomi lainnya, seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan, komunikasi, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, serta sektor-sektor jasa lainnya. Kontribusi sektor-sektor itu dalam PDRB mencapai 78,6% dari seluruh kegiatan perekonomian Kota Yogyakarta. Dalam transformasi struktural, Kota Yogyakarta menunjukkan mekanisme transformasi dari agrikultural ke sektor jasa, dimana jasa menjadi leading sector yang dominan.
Gambar 8. RTH Kota Yogyakarta: RTH di sekitar Gedung Agung Yogyakarta (kiri); (b) Lahan Pertanian di Kota Yogyakarta (kanan)
4.3. Kota Medan (Propinsi Sumatera Utara) 4.3.1 Sejarah Kota Medan Kota Medan berawal dari sebuah kampung kecil bernama Medan Putri yang dibangun pada tahun 1590 oleh Guru Patimpus, keturunan Raja Singa Mahraja yang memerintah Negeri Bakerah di Dataran Tinggi Karo. Lokasi Medan Putri yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan di bagian barat Hindia mendorong kampung tersebut berkembang menjadi sebuah kota. Perkembangan kota Medan semakin melesat setelah dunia mengenal tembakau Deli. Jacobus Nienhuys, saudagar tembakau dari Belanda, yang pada tahun 1863 mendapat konsesi lahan lebih dari 3.000 hektar dari Sultan Deli. Lembar-lembar daun tembakau yang dihasilkan pada panen pertamanya langsung diakui oleh para pengusaha cerutu di Rotterdam sebagai pembungkus cerutu terbaik di antara jenis tembakau lainnya di seluruh dunia.
40
Sejak saat itu, Nienhuys melakukan ekspansi lahan perkebunan secara besar-besaran dengan membuka lahan di daerah Martubung, Sunggal, Sungai Beras, dan Klumpang. Kantor perusahaan pun dipindahkan ke Kampung Medan Putri, kampung yang awalnya hanya dihuni ratusan orang. Usaha perkebunan itu menyerap banyak kuli kontrak dari Jawa, buruh-buruh Cina, sampai ke pengusaha perkebunan asing dari Inggris dan Belanda. Letak Medan memang strategis. Kota ini dilalui Sungai Deli dan Sungai Babura. Keduanya merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai. Keberadaan Pelabuhan Belawan di jalur Selat Malaka yang ramai menjadikan Medan pintu gerbang Indonesia bagian barat. Kota Medan berkembang menjadi kota besar, kota metropolitan. Sebagai sebuah kota, ia mewadahi berbagai fungsi, yaitu, sebagai pusat administrasi pemerintahan, pusat industri, pusat jasa pelayanan keuangan, pusat komunikasi, pusat akomodasi kepariwisataan, serta berbagai pusat perdagangan regional dan internasional.
4.3.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi Kota Medan memiliki luas 26.510 Ha (265,10 km2) atau 3,6 % dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Kota Medan merupakan ibukota Propinsi Sumatera Utara yang terletak pada 3°30’ - 3°43’ Lintang Utara dan 98°35’98°44’ Bujur Timur. Kota Medan berada 2,5 – 37,5 m dpl. Secara administratif terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Secara administratif, wilayah Kota Medan berbatasan dengan: • Utara : Selat Malaka • Timur : Kabupaten Deli Serdang • Selatan : Kabupaten Deli Serdang • Barat : Kabupaten Deli Serdang Karena di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang perdagangan barang dan jasa, baik domestik maupun international (ekspor-impor) dan menjadi salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan
41
kehutanan. Secara geografis, Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai, dan lain-lain. Oleh karena itu, Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya. Posisi geografis Kota Medan telah mendorong perkembangan kota ini dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini. Secara spasial, wilayah Kota Medan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Peta Admistratif Kota Medan (Sumber: P4W, Bogor) 4.3.3 Topografi Kota Medan memiliki geografi yang unik, yaitu ramping di tengah dan membesar di sisi utara dan selatan. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 2,5 – 37,5 m dpl dan topografinya cenderung miring ke utara serta menjadi tempat pertemuan dua sungai penting, yaitu Sungai Babura dan Sungai Deli.
4.3.4 Iklim Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Klimatologi Polonia pada tahun 2006 berkisar antara 23,0 °C – 24,1 °C
42
dan memiliki suhu maksimum yang berkisar antara 30,6 C – 33,1 °C. Kelembaban udara di wilayah Kota Medan rata-rata 78% – 82% dan kecepatan angin rata-rata sebesar 0,42 m/detik, sedangkan total laju penguapan tiap bulannya 100,6 mm. Hari hujan di Kota Medan pada tahun 2006 rata-rata 19 hari/bulan dengan curah hujan 211,67 mm/bulan.
4.3.5 Sosial Kependudukan Populasi Kota Medan didominasi oleh beberapa suku, antara lain Melayu, Jawa, Batak, dan Tionghoa. Pada tahun 2008, penduduknya berjumlah 2.102.105 jiwa. Pada siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter). Dibandingkan pada sensus penduduk tahun 2000, maka pada tahun 2006 terjadi pertambahan penduduk sebesar 163.015 jiwa (0,92%). Pada tahun 2007, penduduk Kota Medan meningkat menjadi 2.083.156 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 0,77% dan meningkat kembali pada tahun 2008 dengan jumlah 2.102.105 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,91%. Jumlah penduduk Kota Medan dari tahun 1996 – 2008 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Penduduk Kota Medan 2000 - 2008 Jumlah Kepadatan Penduduk Tahun Penduduk (jiwa) (Jiwa/Km2) 2000 1.904.273 7435 2001 1.926.520 7522 2002 1.963.882 7668 2003 1.993.602 7784 2004 2.006.142 7833 2005 2.038.185 7958 2006 2.067.288 8072 2007 2.083.156 8134 2008 2.102.105 8208 Sumber: Medan Dalam Angka (BPS Kota Medan)
4.3.6 Sosial Ekonomi Perekonomian Kota Medan didominasi oleh kegiatan perdagangan, hotel, dan restoran dengan porsi sebesar 35,02% yang disusul oleh sektor industri pengolahan sebesar 19,07%. Dari besaran nilai kedua sektor tersebut maka
43
dikatakan bahwa potensi unggulan yang paling berkembang di Kota Medan adalah sektor perdagangan dan industri.
Gambar 10. RTH Kota Medan: Taman Universitas Sumatera Utara (USU, Medan) (kiri); Ruang Terbangun: Kawasan Komersial Jalan A. Yani, Medan (kanan)