ISSN 2085-8884
Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional Dalam Sistem Hukum Indonesia Kajian Hukum Mengenai Perlindungan Pemilik Merek Terdaar Akibat Penggunaan Nama Domain Secara Tanpa Hak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Tinjauan Tentang Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Hak Pakai Atas Tanah Negara Sebagai Jaminan Utang Dihubungkan Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Perlindungan Hak Cipta Mof Bak Garutan Sebagai Warisan Budaya Tradisional Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas Eksistensi Lembaga Pembiayaan Ilegal Non Bank Dalam Perekonomian Nasional Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen AnalisisYuridis Tindak Pidana Insider Trading Sebagai Kejahatan Bisnis Menurut UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Perlindungan Hukum Terhadap Indikasi Geografis Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek Dikaitkan Dengan Kepenngan Negara Berkembang dalam Era Perdagangan Bebas
JMJN
Vol. 1
No. 8
Hal. 1-128
Different and Disncve
September 2014
i JURNAL MEDIA JUSTITIA NUSANTARA No. 8 Vol. 1 September 2014 ISSN : 2085 -8884 PELINDUNG Pembina : Rektor Universitas Islam Nusantara PENASIHAT Letjen. (Purn) H. Achmad Roestandi, SH ( Ketua Badan Pengurus YIN) Dr. H. Didin Wahidin, M.Pd. (Rektor Uninus) Prof. Dr. H. Achmad Sanusi, SH.,MPA. ( Direktur PPS Uninus) Dr. Suhendra yusuf, MA (Pembantu Rektor I ) Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata (Asisten Direktur I PPS Uninus ) Penanggung Jawab Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara Mitra Bestari Prof. Dr. H. Achmad Sanusi, SH.,MPA. (Universitas Islam Nusantara) Prof. Dr. H. Agus Rasas, SH.,MS. (Universitas Islam Nusantara) Prof. Dr. H. Lili Rasjidi, SH.,S.Sos., LL.M. ( UNPAD) Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH.,MH. ( UIN Bandung) Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja ( UIN Bandung) Dr. H. Mardenis ( Universitas Andalas Padang ) Dr. Abu Sanmas , SH.MH. ( UIN Maluku) KETUA PENGARAH Dr. Ir. H. Fontian, SH.,MH.,ME,CFP KETUA PENYUNTING Dr.Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH. DEWAN PENYUNTING Dr. Sukendar, SH.,MH. Dr. Aslan Noor, SH.,MH.,CN. Dr. Irfan Fachrudin, SH.,MH. Dr. Ir. H. Edy Santoso, MITH., MH. Dr. Juli Asril, SH.,CN.,MH. Penyunting Pelaksana Sayid M. Rifqi N, SH.,MH. Andini Anggraeni Kusnadi, ST Tansah Rahmatullah, ST. . Produksi dan Sirkulasi Wawan Darmawan Entis Sutisna
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Uninus Jl. Sukarno Hatta No. 530 Bandung 40286 www.uninus.ac.id. Email :
[email protected]
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
ii
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Media Justitia Nusantara (MJN) adalah publikasi dari tulisan-tulisan yang diterbitkan secara berkesinambungan, sebagai wadah pertukaran gagasan, telaah, kajian dan hasil-hasil penelitian dari para dosen/akademisi, para pemerhati hukum dan praktisi hukum, untuk tujuan pengembangan dan pembangunan hukum di Indonesia. Jurnal Media Justitia Nusantara (MJN) terbit setahun 2 kali pada bulan Februari dan September. Pada Edisi ini, redaksi menetapkan 7 naskah yang mengkaji berbagai masalahmasalah hukum di Indonesia, antara lain eksekusi putusan arbitrase, perlindungan hak kekayaan intelektual dan hak tanggungan Beberapa hasil penelitian seperti lembaga pembiayaan ilegal dan perlindungan hukum terhadap indikasi geografis sebagai laporan dari hasil penelitian dosen bersama penelitian mahasiswa yang diangkat sebagai tesis juga dipaparkan dalam Jurnal Media Justitia Nusantara (MJN) Mudah-mudahan para pembaca dapat memetik manfaat dari tulisan-tulisan yang kami sajikan baik sebagai sarana informasi ilmiah maupun sebagai sarana memperluas cakrawala pemikiran kita tentang ilmu hukum pada umumnya baik secara praktis maupun teoritis. Perlu kami informasikan pula Jurnal Media Justitia Nusantara (MJN) akan terbit kembali pada bulan Februari 2015, sehubungan dengan itu, kami mengharapkan kepada seluruh civitas akademika dari kalangan dosen, para praktisi hukum, dan pemerhati hukum serta sidang pembaca pada umumnya dapat memberikan kontribusi tulisannya untuk dimuat dalam jurnal ilmu hukum MJN edisi mendatang.
Selamat memperluas cakrawala.
Redaksi.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
iii
ISSN : 2085-8884 DAFTAR ISI
Halaman
Susunan Redaksi ………………………………………………………………………. i Pengantar Redaksi ……………………………………………………………………..
ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………. iii
Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional Dalam Sistem Hukum Indonesia ………………………………………………………………………………. 1 Oleh : Imas Rosidawati Wiradirja Kajian Hukum Mengenai Perlindungan Pemilik Merek Terdaftar Akibat Penggunaan Nama Domain Secara Tanpa Hak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik .……………... Oleh: Gemi Indah Sulistyawati
22
Tinjauan Tentang Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Hak Pakai Atas Tanah Negara Sebagai Jaminan Utang Dihubungkan Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai …………………………………………………………………………………............................................. 42 Oleh : Elis Herlina Perlindungan Hak Cipta Motif Batik Garutan Sebagai Warisan Budaya Tradisional Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas …………………………………………. Oleh : Suhartini
59
Eksistensi Lembaga Pembiayaan Ilegal Non Bank Dalam Perekonomian Nasional Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ……………………………………………………………………………... 78 Oleh: Ade Eliya Rosmawati AnalisisYuridis Tindak Pidana Insider Trading Sebagai Kejahatan Bisnis menurut UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal ................................................... 94 Oleh : Tansah Rahmatullah Perlindungan Hukum Terhadap Indikasi Geografis Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek Dikaitkan Dengan Kepentingan Negara Berkembang dalam Era Perdagangan Bebas ………………………………………...... 111 Oleh : Deni Irawan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
1
PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Oleh : Imas Rosidawati Wiradirja1 Abstract The disputes settlement through arbitration is not a new thing in Indonesia. So far, in its practice the implementation of the arbitration decision still face obstacles. It is due to the settlement of disputes through arbitration that will only be effective if the parties involved in the dispute are bona fide and gentlemen parties. The winning party tried to keep the decision of the Arbitration filed in state court in order to have legal force, and the losing party still respects and does not hinder the execution. The absence of such attitudes lead to the failure of the settlement of disputes through arbitrarion. The losing party often reject to be executed voluntarily, so it had to involve the courts. In fact, the involvement of the execution court will be costly and time consuming so that eventually the settlement of disputes through arbitrarion that are believed to be more fast and cost-effective is not reached. Key words: Arbitrarion, Execution, Settlement. Abstrak Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase bukanlah suatu hal yang baru bagi Indonesia, namun sejauh ini pelaksanaan putusan arbitase masih menghadapi kendala di dalam praktek, karena penyelesaian sengketa melalui Arbitrase hanya akan efektif jika para pihak yang terlibat sengketa adalah para pihak yang bonafide dan gentlemen, pihak yang menang berusaha supaya putusan Arbitrase didaftarkan pada pengadilan negeri agar memiliki kekuatan hukum, dan pihak yang kalah tetap menghormati dan tidak menghalang-halangi eksekusi. Tidak adanya sikap tersebut mengakibatkan kegagalan penyelesaian sengketa melalui arbitase, pihak yang kalah seringkali tidak mau dieksekusi secara sukarela, sehingga terpaksa harus melibatkan pengadilan padahal keterlibatan pengadilan eksekusi ini akan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit sehingga akhirnya penyelesaian sengketa melalui arbitase yang diyakini lebih cepat dan hemat biaya tidak tercapai. Kata Kunci : Arbitase, Eksekusi, Penyelesaian Sengketa.
1
Senior Lecturer, Nusantara Islamic University (UNINUS), Bandung. Indonesia
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan … 1.
2
Pendahuluan Penyelesaian sengketa yang sifatnya efektif merupakan idaman setiap pihak yang
terlibat dalam suatu transaksi bisnis. Salah satu alasan yang menjadi dasar pertimbangan hal demikian adalah bahwa suatu sengketa hampir mutlak merupakan faktor penghambat perwujudan prediksi-prediksi bisnis. Suatu sengketa dapat menghadirkan resiko-resiko merugikan yang tidak dikehendaki, hal ini menjadi sangat perlu diperhatikan terutama dalam kaitan dengan visi bisnis yaitu efisiensi dan profit.2 Dalam rangka mengantisipasi keadaan itu hukum positip kita telah memberikan alternatif pilihan penyelesaian sengketanya. Penyelesaian utama, mereka dapat menyelesaikannya melalui proses litigasi atau Peradilan umum. Namun selain proses litigasi melalui Pengadilan, hukum positip kita memberi alternatif lain bagi mereka untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi melalui lembaga Arbitrase
3
atau
melalui Alternatif Penyelesaian Perkara (APS) atau dalam istilah lain Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. Arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” yaitu berasal dari bahasa latin yang mengandung makna kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara kebijaksanaan 4. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pengertian Arbitrase adalah sebagai berikut : “Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Priyatna Abdurrasyid
memberikan pengertian Arbitrase dalam pengertian
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), karena Arbitrase merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai berikut :5 “Alternatif Penyelesaian Sengketa (termasuk Arbitrase) dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif 2
Sudargo Gautama, Capita Seleta Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 72. Joni Emirson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 96. 3 Jean Robert Course Material pada pelatihan penyegaran ADR/PPS. Fakultas UI dan Departemen Kehakiman dan Asia Foundation. 1999. hlm 1. 3
5
Priyatna Abdurrasyid, Agustus, 2000, hlm 7.
Alternative Disputes Resolution-ADR/Arbitration, Rineka Tama, Jakarta,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
3
atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/Arbitrase agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut”. Jean Robert berpendapat sebagai berikut : “Arbitration means instituting a private jurisdiction in order to be resolved by individuals vested, for a given case, with power to judge such litigation”. 6 Black’s Law Dictionary menyatakan ; “Arbitration,The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator‘s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”. Untuk memilih penyelesaian secara Arbitrase, harus dipenuhi beberapa persyaratan formal yang harus dilakukan diantara para pihak. Dalam penyusunan kontrak diawal hubungan bisnis dimulai, para pihak sudah dapat membuat perjanjian khusus diluar kontrak utama mereka, yang berisi tentang pilihan lembaga Arbitrase tempat menyerahkan penyelesaian sengketa bila kelak dalam perjalanan bisnis terjadi perselisihan tentang isi kontrak yang telah ditandatangani tersebut. Pilihan tempat menyelesaikan sengketa tersebut lazim disebut dengan pilihan forum. Masalah pilihan forum didalam penyusunan suatu kontrak atau suatu perikatan merupakan suatu masalah yang sangat penting untuk diperhatikan, dimana para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan dan mereka dapat memilih sendiri forum yang harus dipakai dalam kontrak7. Para pihak di dalam menyusun suatu kontrak atau perikatan harus benar-benar mengetahui konsekuensi yang akan dihadapi dalam pilihan forum terutama apabila yang dipilih adalah badan arbitrase. Proses penyelesaian sengketa dengan arbitrase atau ADR adalah proses penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui suatu mekanisme lain yang tidak
6
Jean Robert, Op.,Cit, hlm. 2 7 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta. 1987. hlm 168-
169.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan …
4
melalui jalur Pengadilan. Konsep ini berasal dari Amerika Serikat di awal tahun 1970an sebagai reaksi ketidak puasan pada sistem peradilan atau budaya litigasi8. Di Indonesia sendiri proses penyelesaian melalui arbitrase atau ADR bukanlah merupakan hal yang baru dalam nilai-nilai budaya kita. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa yang bersifat kekeluargaan serta tidak mencuatkan konflik ke permukaan, lebih diutamakan dan sangat dihargai hasilnya9. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketasengketa perdata bidang bisnis atau perdagangan baik dalam skala nasional maupun berskala internasional. Akhir-akhir ini peranan arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis atau bidang perdagangan semakin menjadi penting. Banyak kontrak nasional ataupun internasional mencantumkan klausula arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase diyakini oleh kalangan bisnis memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri daripada melalui badan peradilan konvensional. Sedangkan pengakuan serta efektifitas dari putusan arbitrase akan sangat tergantung dari sikap “gentlemen” dari para pihak yang telah memilih lembaga arbitrase tersebut 10 Penyelesaian sengketa melalui lembaga Arbitrase, diakui memiliki beberapa kelebihan-kelebihan yang tidak didapati pada proses penyelesian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri. Secara umum kelebihan proses penyelesaian sengketa di Arbitrase dapat berjalan secara lebih cepat karena putusannya bersifat final and binding11. Proses penyelesaian sengketa dilakukan oleh tenaga ahli (expert) dibidangnya serta dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda dengan proses penyelesaian di Pengadilan Negeri, dapat berjalan bertahun-tahun karena adanya upaya hukum seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali. Selain itu proses 8
Lebih lengkap baca M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. 9 Priyatna Abdurrasyid, Alternative Dispute Resolution-ADR/Arbitration, tp, Jakarta, 2000hlm. 12. 10 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 3 berpendapat sebagai berikut : “Arbitrase hanya akan bermanfaat dalam praktek jika berlangsung antara saudagar-saudagar yang bonafid, arbitrase hanya akan menguntungkan, daripada berpekara di muka pengadilan apabila dapat dipastikan bahwa orang yang akan dikalahkan, memang secara sukarela akan taat dalam pelaksanaan keputusan arbitrase itu. Jika demikian halnya, apabila pihak yang dikalahkan mencari jalan untuk mengelakkan pelaksanaan dari keputusan arbitrase ini, maka perkara melalui arbitrase akan justru membawa lebih banyak pengeluaran biaya dan sama sekali tidak akan lebih cepat dari pada langsung berpekara di pengadilan”. 11 Tercantum dalam Pasal 60 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ditegaskan bahwa putusan arbitrase adalah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak ( final dan binding). Hadirnya pasal 60 ini, secara teori memperkuat pengertian dari “alternatif” sebagai langkah bersama dari para pihak untuk menyelesaikannya di luar ketentuan peradilan.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
5
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
penyelesaiannyapun harus dilakukan secara terbuka. Satu hal yang kurang disukai oleh kalangan bisnis yaitu terbukanya sengketa diantara mereka, apalagi dipublikasikan melalui mass media. Demikian pula sifat bisnis yang menghendaki penyelesian sengketa dalam tenggang waktu yang relatif cepat tidak berkepanjangan menempatkan Arbitrase sebagai tempat yang lebih disukai untuk menyelesaiakan sengketa dikalangan pebisnis. Namun terdapat permasalahan yang sangat krusial sekali, manakala putusan arbitrase (baik arbitrase nasional maupun arbitrase internasional) tidak dilaksanakan oleh pihak yang dinyatakan kalah secara suka rela, maka putusan Arbitrase tersebut harus dimintakan pelaksanaannya (eksekusi) di Pengadilan Negeri. Jika seandainya menurut pandangan Ketua Pengadilan Negeri putusan Arbitrase tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1 dan 2) dan 5 dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui Arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka Arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka”. Pasal 4 ayat (2) berbunyi sebagai berikut : “Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandai oleh para pihak”. Sedangkan bunyi Pasal 5 ayat (1) sebagai berikut : “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Pasal 5 ayat (2) berbunyi sebagai berikut : “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui Arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”. Dengan kewenangan yang ditentukan oleh UU tersebut Ketua Pengadilan Negeri sebelum melaksanakan putusan arbitrase melakukan pengkajian ulang tentang telah dipenuhinya syarat formil ataupun syarat materiel dalam putusan Arbitrase. Karena PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan …
6
perintah Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tersebut Ketua Pengadilan Negeri sebelum menyatakan apakah putusan Arbitraase dapat dilaksanakan atau tidak, diharuskan meneliti terlebih dahulu apakah putusan arbitrase telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau tidak atau bertentangan dengan kesusilaan dan rasa ketentraman masyarakat. Manakala setelah dilakukan pengkajian dan ternyata menurut Ketua Pengadilan Negeri putusan arbitrase tersebut bertentangan dengan hukum (melanggar Pasal 4 dan 5 tersebut), maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dengan tidak dipenuhinya segala persyaratan tersebut maka kandaslah harapan akan mendapatkan penyelesaian sengketa secara cepat, dan bersifat final and binding. Dari uraian di atas maka permasalahan yang akan dibahas adalah, apakah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang eksekusi putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat ?, apakah pengaturan eksekusi putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri ini akan dapat menghambat perkembangan lembaga Arbitrase di Indonesia ?, dan bagaimana eksistensi putusan Arbitrase manakala dinyatakan tidak dapat dieksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri ?.
2.
Pembahasan
a.
Ketentuan-Ketentuan Hukum Yang Mengatur Tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Oleh Pengadilan Negeri (Analisis Terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999 Berkaitan dengan Eksekusi ) Dalam kebijakan pembentukan hukum arbitrase ini, terkandung didalamnya 3
(tiga) aspek pokok kebijakan hukum yaitu, Pertama aspek kebijakan formulatif, berupa penyusunan dan pembentukan perundang-undangan oleh legislator. Kedua aspek kebijakan aplikatif, berupa proses pelaksanaan atau proses operasionalisasi dari ketentuan perundang-undangan tersebut, dan Ketiga adalah aspek kebijakan eksekusi atau pemaksaan pelaksanaan dari kebijakan aplikatif, manakala putusan yang telah diberikan kepada para pihak yang bersengketa tidak dilaksanakan secara suka rela oleh yang dinyatakan kalah. Pada aspek pertama, disinilah mulai dirancang segala sesuatu yang berkaitan dengan akan dibentuknya suatu undang-undang. Sebelum suatu rancangan undangPPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
7
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
undang disahkan berlaku sebagai UU, seharusnya telah melalui pengkajian yang komprehensip, holistik dan sistimatis, sudah dipertimbangkan aspek filosofis dan sosiologisnya agar suatu UU apabila kelak dioperasionalkan tidak banyak mengalami hambatan dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain diharapkan suatu UU yang digoalkan oleh legislator akan meminimalisir perosalan-persoalan hukum yang muncul setelah UU di undangkan. Harus dipertimbangkan pula fungsi-fungsi hukum, baik hukum berfungsi sebagai social control (sebagai perwujudan rasa hukum masyarakat), maupun hukum
berfungsi sebagai law as a tool of social enggineering (hukum
berfungsi sebagai pengarah atau pembentuk masyarakat). Aspek kedua yaitu aspek kebijakan aplikatif, yaitu berupa proses pelaksanaan atau proses operasionalisasi dari ketentuan perundang-undangan tersebut. Pada tataran aplikatif ini terkadang muncul permasalahan yang tidak sempat terpikirkan ketika dirancangnya suatu UU. Hal ini wajar karena perubahan perkembangan permasalahan manusia bergerak begitu cepat, padahal hukum tertulis atau suatu UU tidak dapat secepat itu mengalami perubahannya. Sehingga sering kita dengar suatu pemeo, yaitu begitu suatu peraturan perundang-undangan disyahkan setelah melalui pembahasan yang panjang dan lama, maka sejak disyahkan tersebut perundang-undangan itu telah ketinggalan zaman atau out of date. Pada tataran aplikatif inilah permasalahan hukum baru muncul, karena para pihak yang berkepentingan dengan hukum tersebut mulai memaknai atau menafsirkan makna yang tersurat maupun makna tersirat dari suatu UU. Suatu UU yang kurang tegas atau samar maknanya, dalam perjalanannya pasti akan banyak mengundang debatable atau perdebatan atau akan dapat menimbulkan multi tafsir. Perbedaan pendapat yang beragam dalam kalangan masyarakat sesungguhnya harus diakhiri manakala telah sampai putusan Hakim, karena Hakimlah akhir dari perjalanan perbedaan penafsiran tersebut. Namun permasalahan tidak sesederhana itu, karena dikalangan Hakim sendiri terdapat juga berbagai mazhab atau pendapat dalam menafsirkan suatu peraturan. Minimal dikenal aliran legalistik (legal justice) yang memaknai hukum semata dari bunyi eksplisit dari suatu UU (tekstual). Serta aliran moral justice yaitu aliran yang memaknai hukum sesuai dengan kontekstual, hukum
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan …
8
tidak hanya ditafsirkan semata dari bunyi UU-nya saja, namun harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Dan terakhir adalah aspek atau tataran kebijakan eksekusi atau pemaksaan pelaksanaan dan kebijakan aplikatif manakala putusan yang telah diberikan kepada para pihak yang bersengketa tidak dilaksanakan secara suka rela oleh yang dinyatakan kalah. Putusan arbitrase sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, artinya putusan tersebut adalah putusan yang terakhir tanpa ada upaya hukum lagi. Hal ini dimaksudkan bahwa proses pemeriksaan sengketa para pihak dapat berlangsung secara cepat, efisien, efektif dan dapat segera diketahui hasilnya, karena bagi para pengusaha atau industriawan sesuai dengan karakteristik para pedagang, waktu adalah sangat berharga bagi mereka. Kelemahan utama dalam tataran formulatif dari UU Nomor 30 Tahun 1999 ini khususnya tentang eksekusi dan permohonan pembatalan, menurut penulis minimal terdapat 3 kelemahan utama, yaitu : a).
Tidak lengkap atau tidak tuntasnya pembentuk UU dalam membentuk UU Nomor 30 Tahun 1999 ini khususnya tentang eksekusi. Sebagai layaknya suatu sistem hukum, sudah seharusnya dilengkapi pula dengan seperangkat kelengkapan dalam menjalankan sistem tersebut. Sebagai suatu sistem penyelesaian sengketa perdata melalui badan Arbitrase, seharusnyua dilengkapi pula dengan perangkat eksekusi. Karena eksekusi merupakan proses akhir dari penyelesaian suatu sengketa manakala para pihak tidak mau melaksanakan putusan secara suka rela. Tanpa adanya perangkat eksekusi sulit diharapkan proses pelaksanaan putusan Arbitrase dapat berjalan lancar dan cepat sebagaimana yang diharapkan dari proses penyelesaian suatu sengketa di badan Arbitrase ini. Bukankah pada peradilan pajak serta penyelesaian piutang negara melalui PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) telah dilengkapi dengan perangkat eksekusi sendiri.
b).
Pembentuk UU Nomor 30 Tahun 1999 terkesan kurang percaya pada kemampuan atau capability dari para Arbiter atau Arbitrator. Bukankah lembaga atau badan Arbitrase ini merupakan suatu lembaga yang diberi kewenangan PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
9
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 mutlak untuk menyelesaikan suatu sengketa dagang yang dipilih oleh para pihak sendiri. Dan ini berkonsekuensi yuridis bahwa Pengadilan Negeri terlarang memeriksa suatu perkara yang terdapat klausula Arbitrasenya (kompetensi absolut). Namun pada akhirnya justru Pengadilan Negeri mengontrol putusan Arbitrase tersebut pada saat eksekusi, suatu hal yang kontradiktif.Oleh karena itu seharusnya putusan dari badan Arbitrase ini betul-betul bersifat final and binding, yang terakhir dan tidak ada upaya hukum serta mengikat para pihak. UU Nomor 30 Tahun 1999 memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, rasa kesusilaan dan ketertiban umum demikian juga untuk putusan arbitrase internasional apakah putusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Dengan pengujian putusan badan Arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri ini, jelas akan menghapuskan atau menghilangkan makna final and binding, karena apabila suatu putusan Arbitrase dinyatakan tidak dapat dieksekusi maka habislah sudah makna final and binding tersebut. Walaupun dalam penjelasan Pasal 62 ayat (2) Ketua Pengadilan Negeri tidak boleh memeriksa alasan atau pertimbangan putusan Arbitrase agar putusan Arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final dan mengikat. Namun demikian dapat saja dengan pertimbangan bahwa putusan Arbitrase tidak memenuhi syarat formil maupun materiil, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka akan kandaslah sifat final and binding dari putusan Arbitrase.
c).
Tidak konsistennya sikap dari para pembuat UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, disatu sisi menyatakan putusan badan Arbitrase bersifat final and binding, sementara disisi yang lain membuka peluang untuk menguji atau mengoreksi putusan Arbitrase tersebut baik melalui eksekusi maupun permohonan pembatalan putusan Arbitrase. Terhadap permohonan pembatalan suatu putusan Arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat dimintakan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.Bukankah hal semacam diatas merupakan satu sikap yang ambivalen atau mendua dari pembentuk UU. Disatu sisi menyatakan putusan Arbitrae final and binding,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan …
10
namun disisi yang lain membuka kesempatan menguji melalui lembaga eksekusi dan permohonan pembatalan putusan Arbitrase. Dari kelemahan tataran formulatif diatas, jelas akan menimbulkan pula permasalahan dalam tataran aplikatifnya. Kewenangan yang diberikan oleh UU nomor 30 Tahun 1999 ini kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengoreksi dan menguji apakah putusan badan Arbitrase telah memenuhi syarat formil atau materiil, dan apabila ternyata Ketua Pengadilan Negeri menyatakan bahwa suatu putusan Arbitrase yang dimintakan eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena putusan tersebut tidak memenuhi syarat, maka ini berarti bahwa putusan Arbitrase tersebut dianggap tidak pernah ada dan ini jelas akan merugikan banyak pihak, dan terutama merusak sistem hukum yang dibangun dalam penyelesaian sengketa perdata melalui Arbitrase. b.
Pengaturan Eksekusi Putusan Arbitase Oleh Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase mengandung konsekuensi yuridis,
bahwa manakala putusan dari badan Arbitrase ini tidak ditaati secara suka rela oleh para pihak, maka pelaksanaan putusan tersebut dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian pelaksanaan putusan badan Arbitrase tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya (execution force) melalui mekanisme eksekusi sebagaimana layaknya terhadap putusan Pengadilan Negeri12. Pelaksanaan putusan Hakim (termasuk Hakim Arbitrase) atau eksekusi tersebut pada hakekatnya adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan dimaksud13. Dalam setiap putusan Arbitrase selalu diberi tenggang waktu untuk melaksanakan secara suka rela oleh pihak-pihak yang bersengketa, tenggang waktu tersebut tidak diatur secara limitatif diserahkan kepada kebijakan Arbiter. Manakala para pihak tidak mau melaksanakan putusan Arbitrase secara suka rela, maka para pihak dapat meminta pelaksanaan putusan Arbitrase tersebut secara paksa kepada Ketua Pengadilan Negeri (eksekusi)14.
12
Sebagaimana bunyi Pasal 61 UU No. 30 / 1999, dan secara umum diatur dalam BAB VI Pasal 59 sampai dengan 69. 13 Soedikno Mertoksumo, Op cit, hlm. 193. 14 Periksa Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
11
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 Pelaksanaan eksekusi putusan Arbitrase Nasional oleh Pengadilan Negeri ini
digantungkan pada suatu syarat, bahwa putusan Arbitrase dalam tenggang waktu 30 hari sejak putusan diucapkan harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Apabila dalam waktu 30 hari tersebut putusan Arbitrase tidak didaftarkan atau terlambat mendaftarkannya, maka putusan Arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan atau non executable. Berbeda halnya dengan putusan Arbitrase Internasional tenggang waktu pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Jakarta Pusat tidak dibatasi dengan waktu. Hanya saja dipersaratkan sebelum memohon eksekusi putusan Arbitrase Internasional tersebut putusan harus didaftarkan dulu. Berbeda halnya dengan kesepakatan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 ini, Alternatif Penyeselesaian Sengketa hanya diatur dalam BAB II Pasal 6 terdiri dari 9 ayat, tidak ada satu ayatpun yang menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa manakala tidak dilaksanakan secara suka rela oleh para pihak dapat dipaksakan pelaksanaannya seperti Arbitrase. Pendaftaran kesepakatan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam ayat 7 tidak memiliki nilai eksekutorial (dapat dipaksakan). Pendaftaran tersebut setidak-tidaknya dapat dijadikan rujukan atau petunjuk bagi Hakim di Pengadilan Negeri manakala menangani masalah tersebut. Prosedur pelaksanaan eksekusi atas putusan Arbitrase tersebut diatur atau ditentukan dalam Pasal 59 sampai dengan 64 dari UU Nomor 30 Tahun 1999 untuk Arbitrase Nasional, dan Pasal 65 sampai 69 untuk Arbitrase Internasional. Sebelum eksekusi dilaksanakan UU memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri (eksekusi putusan Arbitrase Nasional) dan Ketua Mahkamah Agung (putusan Arbitrase Internasional), sebelum melaksanakan eksekusi tersebut untuk melakukan pengujian apakah putusan badan Arbitrase tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Yang dimaksudkan dengan syarat formil adalah, kesepakatan para pihak bahwa sengketa mereka akan diselesaikan di Arbitrase, kesepakatan tersebut harus tertuang dalam dokumen tertulis. Dan apakah sengketa mereka termasuk dalam sengketa bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan …
12
yang bersengketa. Selanjutnya yang disebut syarat materiel adalah, bahwa putusan Arbitrase tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Terhadap putusan Arbitrase Internasional, sebelum dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus didaftarkan dulu dan diserahkan
kepada
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Arbitrase Internasional baru dapat dilaksanakan di Indonesia apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1.
Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan purtusan Arbitrase Internasional.
2.
Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
3.
Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
4.
Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan
5.
Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permasalahan akan muncul bila Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mahkamah
Agung menyatakan bahwa seluruh atau sebagian dari putusan badan Arbitrase tersebut tidak memenuhi persyaratan formil dan materiil, sehingga tidak dapat di eksekusi. Kandaslah harapan bahwa penyelesaian sengketa melalui badan Arbitrase yang cepat karena bersifat final and binding atau mengikat para pihak dan tidak ada upaya hukum lagi. Terhadap putusan Arbitrase Nasional yang dinyatakan tidak dapat dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka tidak ada upaya hukum terhadap penolakan Ketua Pengadilan Negeri tersebut.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
13
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 Sebagaimana diketahui bahwa masalah Arbitrase telah dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terhitung sejak tanggal 12 Agustus 1999. UU ini tercatat dalam lembaran negara Republik Indonesia tahun 1999 dengan nomor 138. Walaupun masalah Arbitrase baru dituangkan dalam UU sejak tahun 1999, namun demikian eksistensi Arbitrase ini telah lama ada di Indonesia, dan selama ini eksistensi Arbitrase tersebut dilandaskan pada Pasal 130 HIR HIR/705 Rbg , kemudian Pasal 15, 615-651 Rv
17
15
/154 Rbg
16
, 377
, juga dalam Pasal 108-111 UU
Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung, demikian pula dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari Pengadilan. Dengan telah diterbitkannya UU nomor 30 Tahun 1999 tersebut, maka sumber hukum utama dalam masalah Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa hanya berlandaskan pada UU tersebut, dan segala peraturan yang selama ini dijadikan pedoman dalam penanganan Arbitrase dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebaik
apapun
putusan
Arbitrase,
manakala
para
pihak
tidak
mau
melaksanakannya dengan suka rela, maka akan sia-sialah putusan tersebut. Maka untuk melaksanakan putusan Arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela terutama oleh pihak yang dinyatakan kalah dalam perkaranya, UU memberikan satu bentuk pemaksaan kepada pihak yang tidak mau secara sukarela melaksanakan putusan Arbitrase tersebut, yaitu berupa eksekusi. Eksekusi Arbitrase adalah upaya negara (dalam hal ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri) untuk melaksanakan putusan dari badan Arbitrase (merupakan hukum privat) yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak, terutama pihak yang dinyatakan kalah. 15
Herzeine Indonesich Reglement (HIR) atau Reglemen Indonsia yang Diperbaharui (RIB) hukum acara yang diciptakan oleh Belanda untuk diberlakukan bagi golongan masyarakat Indonesia pribumi yang berdomisili di pulau jawa dan Madura. 16 Rechstreglement Buitengwesten (RBG), hukum acara yang diciptakan oleh Belanda untuk diberlakukan bagi golongan masyarakat Indonesia pribumi yang berdomisili di luar pulau jawa dan Madura. 17 Reglementop de Bergerlijke Rechtvordering (RV) hukum acara yang berlaku bagi golongan penduduk Timur Asing an Eropa.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan …
14
Pelaksanaan putusan (eksekusi) Arbitrase, sesungguhnya merupakan produk hukum dari suatu lembaga (Institusi) dilaksanakan oleh lembaga (Institusi) lain. Dalam hal ini putusan badan Arbitrase dilaksanakan oleh badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri. Dalam praktek pelaksanaan eksekusi ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan hukum atau yuridis, karena secara umum UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan hak dan kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengontrol atau mengoreksi putusan badan Arbitrase Nasional atau Internasonal sebelum dinyatakan apakah putusan Arbitrase tersebut dapat dilaksanakan atau tidak18. Selain dari pada itu, menurut UU Nomor 30 tahun 1999 para pihak masih diperbolehkan mengajukan permohonan pembatalan atas putusan badan Arbitrase tersebut ke Ketua Pengadilan Negeri. Sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 30 tahun 1999 tersebut, putusan badan Arbitrase bersifat final and binding. Tidak ada upaya hukum atas putusan Arbitrase, mengikat para pihak, efisiensi dan efektifitas merupakan karakteristik dari proses Arbitrase. Dengan diperkenankannya upaya kontrol atau pengujian serta permohonan pembatalan atas putusan Arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat berakibat sifat putusan yang final dan binding kehilangan maknanya. Manakala Ketua Pengadilan Negeri dalam proses eksekusi menyatakan putusan Arbitrase tidak dapat dieksekusi karena telah melanggar sarat formil mupun materiel, maka kandaslah segala atau sebagian dari proses penyelesaian sengketa Arbitrase dan pemeriksaan harus diulang seluruhnya atau sebagiannya. Demikian pula dalam permohonan pembatalan putusan Arbitrase, manakala permohonan tersebut dikabulkan, maka kandas pula putusan Arbitrase tersebut. Hal semacam ini pernah juga terjadi pada setiap putusan Pengadilan Agama sebelum munculnya UU Peradilan Agama Tahun 1989, setiap putusan Hakim Agama harus mendapatkan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Setelah tahun 18 Ketentuan Pasal 62 memberikan hak kepada Ketua Pengadilan Negeri, untuk meneliti apakah putusan Arbitrase telah memenuhi ketentuan Pasal 4 dan 5 dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. Ketentuan Pasal 4 yaitu : apakah putusan Arbitrase telah didasarkan pada pilihan forum yang tertuang secara tertulis. Ketentuan Pasal 5 apakah sengketa tersebut termasuk dalam bidang perdagangan dan mempunyai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Demikian pula sengketa yang tidak dapat diperiksa dan diputus dalam Arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan peundang-undangan tidak dapat diadakan pedamaian. Dan Ketua Pengadilan Negeri berhak menilai apakah putusan badan Arbitrase ini betentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum atau tidak.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
15
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
1989 tersebut, putusan Hakim Agama mandiri dan Pengadilan Agama dilengkapi dengan perangkat eksekusi. Permasalahan seputar eksekusi putusan Arbitrase ini akan coba dianalisis secara yuridis, baik berlandaskan pada UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya terutama yang berkaitan dengan hukum formal atau hukum acara perdata. Badan Arbitrase adalah salah satu badan yang melaksanakan tugas penyelesaian sengketa antara anggota masyarakat, maupun badan-badan hukum (hukum privat) diluar Pengadilan (non litigation) yang kedudukannya sama dengan badan peradilan, karena
putusannyapun
berkepala
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Badan ini merupakan alternatif dari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa privat, dimana para pihak dapat memilih menyelesaikan sengketanya di badan Arbitrase karena ada beberapa kelebihan atau keuntungan yang tidak dapat diberikan oleh proses litigasi biasa/konvensional. Hal ini dapat kita baca dari sejarah pembentukan badan Arbitrase internasional. Maksud dan tujuan lain dibentuknya badan Arbitrase ini adalah dalam rangka mencari bentuk penyelesaian sengketa (terutama sengketa bisnis atau perdagangan) yang efektif, efisien dan sederhana. Terasa janggal manakala putusan dari suatu badan penyelesaian sengketa yang diakui eksistensinya secara formal dalam perundang-undangan harus mendapat koreksi dari badan peradilan lainnya. Seyogyanya badan Arbitrase ini dilengkapi pula dengan perangkat eksekusi agar tidak tergantung pada Pengadilan Umum, bukankah Pengadilan Agama saat ini dapat berkembang baik setelah dihilangkannya lembaga fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri. Atau paling tidak eksekusi putusan badan Arbitrase tidak lagi merupakan sarana kontrol dan pengujian oleh Pengadian Negeri terhadap putusan badan Arbitrase. Seakan-akan badan pembentuk Undang-Undang (legislator) kurang meyakini keahlian atau ketrampilan para Arbiter.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan … c.
16
Hak Menguji Ketua Pengadilan Atas Putusan Arbitrase Yang Diajukan Eksekusi Pengadilan Negeri sesuai dengan salah satu fungsinya yaitu penanganan secara
litigasi, sudah sejak awal dilengkapi dengan perangkat eksekusi19. Ketika putusan arbitrase dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri, maka permasalahan dapat muncul karena Pengadilan Negeri diberi wewenang menguji baik terhadap putusan arbitrase nasional maupun terhadap arbitrase internasional (sebagaimana telah diuraikan diatas). Perbedaan pemahaman atau pendapat atas bunyi teks suatu perundang-undangan antar manusia adalah suatu hal yang manusiawi atau merupakan sunnatullah. Namun masalah lumrah dan manusiawi inilah yang dapat memunculkan problema terhadap putusan arbitrase. Dapat saja dengan argumen yuridisnya, Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mahkamah Agung menyatakan putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan, musnahlah sudah makna dari putusan arbitrase yang sifat final and binding. Sebagaimana telah diuraikan diatas, walaupun telah dinyatakan bahwa putusan arbitrase ini bersifat final and binding, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak, ternyata dalam UU No. 30 Tahun 1999 ini membuka kemungkinan dilakukan pengkajian ulang oleh Pengadilan Negeri sebagai eksekutor dari putusan arbitrase manakala putusan arbitrase itu dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Pengkajian ulang oleh Pengadilan Negeri ini dimaksudkan oleh pembentuk UU (legislator) sebagai kontrol apakah putusan arbitrase ini telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan UU. Seperti apakah sebelum ditangani oleh arbiter para pihak telah membuat kesepakatan secara tertulis baik sebelum atau setelah terjadi sengketa diantara para pihak untuk menyerahkan perselisihan mereka kepada arbitrase. Selanjutnya apakah perselisihan ini termasuk bidang hukum perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Demikian pula apakah perselisihan para pihak ini tidak termasuk kedalam sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan pedamaian. Dengan kata lain apakah putusan arbitrase tersebut telah memenuhi persyaratan formil dari penyelesaian suatu
19
Ketentuan Pasal 59-69 UU No. 30 Tahun 1999. Undang-undang No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
17
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
sengketa di arbitrase. Maka apabila putusan arbitrase tersebut menurut pengkajian Ketua Pengadilan Negeri dimana putusan arbitrase itu dimintakan eksekusi tidak memenui persaratan formil, tentulah permohonan eksekusi ini tidak dapat dilaksanakan. Juga apakah putusan Arbitrase ini tidak bertentangan dengan rasa kesusilaan dan ketertiban umum (syarat materiil). Bertentangan dengan rasa kesusilaan dan ketertiban umum, merupakan dua terminologi yang sangat mudah mengundang perbedaan pendapat. Karena bangsa Indonesia yang heterogen sifatnya, terdiri dari bermacam suku bangsa, agama dan beragam budayanya membuka kemungkinan untuk sulit sekali melakukan pengukuran rasa kesusilaan itu. Demikkian pula halnya dengan ketertiban umum, karena tidak ada penjelasan sama sekali dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 ini tentang apa yang dimaksudkan dengan rasa kesusilaan dan ketertiban umum itu. Demikian pula terhadap putusan arbitrase internasional, sebelum dilaksanakan eksekusi yang pengajuannya harus diajukan ke Pengadilan Jakarta Pusat, akan dilakukan pengkajian terlebih dahulu apakah diantara negara Indonesia dengan negara dimana putusan arbitrase tersebut dilakukan telah terdapat ikatan perjanjian baik secara bilateral maupun secara multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Juga dipersyaratkan bahwa sengketa tersebut menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup bidang hukum perdagangan. Persyaratan lain adalah putusan arbitrase internasional tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Dan terakhir apabila salah satu pihak dalam sengketa tesebut adalah pemerintah Indonesia, maka eksekusi tersebut harus mendapatkan eksekuator (persetujuan) terlebih dahulu dari Mahkamah Agung. Oleh karenanya, seyogyanya pada BANI sebagai institusi yang menangani perkara perdata diluar Pengadilan (non litigasi) dilengkapi pula dengan perangkat eksekusi. Sebagaimana bunyi Pasal 24 dari UUD 45 yang menyatakan bahwa peradilan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain. Membaca pasal ini menurut penulis harus diterjemahkan bahwa muara dari segala badan peradilan harus berpuncak pada Mahkamah Agung. Selama ini baru Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berpuncak di Mahkamah Agung. PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan …
18
Dalam perkembangan hukum Indonesia ternyata berkembang penyelesaian sengketa diluar peradilan (peradilan khusus), seperti penyelesaian perburuhan dilakukan di P4D dan P4P, penyelesaian sengketa pajak diselesaikan di Peradilan Pajak, demikian juga dengan penyelesaian sengketa perdata yang dilakukan di badan Arbitrase. Semua bentuk penyelesaian sengketa khusus tersebut seharusnya semuanya tetap bemuara pada Mahkamah Agung. Peradilan khusus tersebut merupakan kekhususan dari Pengadilan Negeri bidang perdata, seperti Peradilan Niaga adalah peradilan khusus yang menangani masalah kepailitan. Keberadaannya tetap di Pengadilan Negeri hanya saja penanganan masalah kepailitan ditangani oleh Hakim khusus. Oleh karena itu seharusnya semua bentuk peradilan tersebut harus terintegrasi kedalam satu puncak peradilan yaitu Mahkamah Agung. Khusus untuk badan Arbitrase menurut hemat penulis sebaiknya diberikan upaya hukum terakhir ke Pengadilan Negeri, hal ini dimaksudkan sebagai kontrol terakhir atas putusan Arbitrase (karena senyatanya walau dikatakan putusannya bersifat final and binding ternyata masih ada upaya kontrol yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri). Hal ini dimaksudkan karena tidak ada manusia yang sempurna, manusia penuh dengan kekhilafan dan kekurangan. Segala kekurangan ini melekat pada
setiap
manusia, oleh karenanya terhadap putusan Arbitrase diberikan satu upaya kontrol yang terang dan jelas yaitu ke Pengadilan Negeri. Dengan terintegrasi kedalam sistem Pengadilan Negeri maka secara otomatis eksekusi merupakan satu bagian tak terpisahkan dari penanganan Arbitrase.
3.
Penutup Dari uraian diatas maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Ketentuan tentang eksekusi atas putusan Arbitrase yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dengan sebelumnya dilakukan terlebih dahulu pengujian atas kebenaran syarat formil dan materiel serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena putusan Arbitrase adalah suatu putusan dari lembaga peradilan negara
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
19
selain Pengadilan Negeri, bagaimana mungkin putusannya dikoreksi lagi oleh lembaga peradilan lainnya. 2.
Pengaturan eksekusi putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri, berpotensi akan menghambat perkembangan lembaga Arbitrase nasional.
3.
Apabila putusan Arbitrase dinyatakan tidak dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, maka putusan Arbitrase tersebut dinyatakan tidak memiliki nilai hukum. Saran / rekomendasi dapat kami kemukakan sebagai berikut :
1.
Sudah seharusnya lembaga arbitrase dilengkapi pula dengan perangkat eksekusi untuk melaksanakan putusan-putusannya.
2.
Mengingat tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase agar penyelesaiannya dapat lebih cepat dan putusannya bersifat final and binding, maka tidak seharusnya lagi putusan arbiter melalui fiat eksekusi oleh Pengadilan Negeri.
3.
Namun bila belum memungkinkan diadakan lembaga eksekusi, maka eksekusinya dapat dilakukan langsung oleh Pengadilan Negeri tanpa harus melalui proses pengujian lagi.
DAFTAR PUSTAKA a.
Buku-Buku Akhmad Ichsan, Kompendum Tentang Arbitrase Perdagangan Intenasional,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1992. Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000. Gay B Born, International Civil Litigation in United Statas Court, Kluwe Law International, 1999. Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Raja Grafindo, Jakarta, 2000. Hadi Setia Tunggal, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Harvindo Jakarta, 2000. Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Pelaksanaan Eksekusi Putusan …
20
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Aksara Pesada Indonesia, edisi kesembilan. Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Mahkamah Agung RI, Cara Penyelesaian Perkara Perdata Dengan Sistem Putusan Sela, Jakarta, 1992. M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. ___________, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991. .__________, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grosse Akta Serta Putusan Pengadilan Dan ArbitraseDan Standar Hukum Eksekusi, Citra Aditia Bakti, Bandung, 1993. Priyatna Abdurrasyid, Alternative Dispute Resolution-ADR/Arbitration, tp, Jakarta, 2000. R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, 1981. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Binacipta, 1987. ___________,Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional Di Indonesia, Oresco, Bandung, 1989. ___________, Aneka Hukum Arbitrase (Kearah hukum Arbitrase yang baru), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981. ___________,Arbitrase Bank Dunia Tentang Penanaman Modal Asing Di Indonesia Dan Yurisprudensi Indonesia Dalam Perkara Perdata, Alumni, Bandung, 1997.
b.
Makalah Course Material pada pelatihan penyegeran ADR/PPS Fakultas Hukum UI dan
Departemen Kehakiman dan Asia Faoundation, 1999.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
21
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 Hartini Mochtar, Memahami Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Seminar Tentang Arbitrase (ADR) dan E-Commerce, 2000. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternatif Dispute Resolution-ADR/Arbitration), Makalah Seminar, Jakarta Agustus, 2000. Sutan Remy Sjahdeini, E-Commerce Tinjauan Dari Aspek Pengamanan Dan Perspektif Hukum, Makalah Seminar Tentang Arbitrase (ADR) Dan E-Commerce, Surabaya, 6 September 2000.
c.
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengekta. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum …
22
KAJIAN HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN PEMILIK MEREK TERDAFTAR AKIBAT PENGGUNAAN NAMA DOMAIN SECARA TANPA HAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK1
Oleh : Gemi Indah Sulistyawati
Abstract Well-known mark has a high reputation and tends to be imitated, falsified or misused by other parties who unauthorized rights. The use of well-known mark without the right has occurred in cyberspace. In online business, mark is used as a domain name for address of company in cyberspace with the aim to promote their products and service, as well as it allows customers to know the company's website. However, legal issues arise for unauthorized party to register mark for domain name is very detrimental for the right owner protection. Therefore, the objective of this paper is to identify trademark right infringement in cyberspace and to examine prevention of trademark right under Indonesian cyber regulations. Keywords : Well-known Mark, Domain Name, Legitimate Interest, Cyber Law Abstrak Merek terkenal memiliki reputasi yang tinggi dan cenderung untuk ditiru, dipalsukan atau disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki hak atas merek tersebut. Penggunaan tanpa hak atas merek terkenal juga terjadi di dalam perdagangan di dunia maya. Di dalam perdagangan sistem online, merek digunakan sebagai nama domain yang berfungsi sebagai alamat situs dari suatu perusahaan untuk mempromosikan produk-produk dan jasanya, serta memudahkan konsumen untuk mengenal situs perusahaan tersebut. Akan tetapi, permasalahan hukum muncul akibat penggunaan nama domain tanpa hak dengan cara mendaftarkan merek tersebut, sehingga sangat merugikan bagi pemilik merek. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan dan menganalisis pelanggaran Hak atas Merek di dunia maya dan meneliti upaya pencegahan terhadap pelanggaran hukum atas merek melalui peraturan hukum siber di Indonesia. Kata kunci : Merek Terkenal, Nama Domain, Penggunaan Tanpa Hak, Hukum Siber
1
Penelitian ini merupakan bagian dari Program Penelitian Skim Hibah Tim Pascasarjana, dibiayai oleh DIPA Kopertis Wilayah IV Jawa Barat Banten, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Hibah Desentralisasi Tahun Anggaran 2014 Skim Hibah Tim Pascasarjana Nomor : 006/LPPM-UIN/ST/V/2014
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
23 A.
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 Pendahuluan Merek dalam usaha bisnis merupakan sesuatu yang sangat penting karena
mewakili citra produk yang ditawarkan. Demikian pentingnya peranan merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum, yakni sebagai objek terhadapnya terkait hak-hak perseorangan atau badan hukum2. Merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Tanda tersebut dapat dicantumkan pada barang yang bersangkutan atau bungkusan dari barang tersebut atau dicantumkan secara tertentu pada hal-hal yang bersangkutan dengan jasa. Merek adalah alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi suatu perusahaan. Maraknya penggunaan internet untuk berdagang menciptakan trend baru untuk mengiklankan suatu produk melalui media internet3. Fenomena yang terjadi saat ini adalah semakin banyaknya persaingan tidak sehat yang terjadi di internet, terutama jika dikaitkan dengan pemakaian nama domain (domain name) yang sering menggunakan nama-nama perusahaan, merek dagang barang dan atau jasa tanpa izin dari yang berhak. Nama domain menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah alamat internet penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet. Nama domain, disamping berfungsi sebagai alamat di internet juga merupakan salah satu aset penting dari setiap perusahaan, karena melalui nama domain ini para konsumen dapat mengidentifikasi, menemukan informasi dan mengubungi perusahaan tersebut di dunia maya (cyberspace.)4
2 Direktorat Jenderal Industri dan Dagang Kecil Menengah Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Perlindungan Merek di Indonesia, Jakarta 2003, hlm.2. 3 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2376/sengketa-idomain-namei-lebih-mudah diselesaikandengan-merek-dagang, Sengketa Domain Name Lebih Mudah Diselesaikan Dengan Merek Dagang 4 Rudi Agustian Hassim, Kompilasi Rubrik Konsultasi Hak Kekayaan Intelektual, RAH & Partners Law Firm, Jakarta, 2009, hlm.23.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum …
24
Fungsi nama domain sebagai identitas bisnis ternyata menimbulkan pertentangan dengan sistem identitas bisnis yang telah lebih dulu ada, yaitu merek yang tunduk di bawah hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI), yang mana bahwa tidak selamanya pendaftaran merek melindungi suatu nama dari pendaftaran pihak lain terhadap suatu nama domain, selama tidak dilakukannya pendaftaran merek tersebut pada kelas yang relevan, meskipun perusahaan tersebut tidak berkecimpung dalam bidang usaha internet. Permasalahan merek yang didaftarkan sebagai nama domain sudah seringkali terjadi, terdapat beberapa contoh kasus mengenai nama domain yang pernah terjadi dan sedang terjadi, yaitu kasus OCBC,
Kasus bank BCA, Kasus Ebay, Kasus
Republika, dan masih banyak lainnya. 1.
Kasus OCBC Nama domain dalam sengketa adalah www.ocbc.my. Penggugat pertama, Oversea-Chinese Banking Corporation Limited, adalah bank komersial terkemuka yang didirikan di Singapura yang telah beroperasi selama bertahuntahun di Singapura dan Malaysia. Penggugat kedua, OCBC Bank (Malaysia) Berhad adalah anak perusahaan dari penggugat pertama yang didirikan di Malaysia dan pemilik merek terdaftar yang sah dari situs web www.ocbc.com.my, yang digunakan untuk mempromosikan bisnisnya5. Dalam kasus ini, panel memutuskan untuk mendukung para penggugat berdasarkan pada dua alasan: yaitu, bahwa nama domain yang disengketakan itu memiliki kemiripan yang membingungkan (confusingly similar) dengan merek OCBC dan merek tersebut telah didaftarkan dengan cara itikad buruk. Tergugat telah diperintahkan untuk mentransfer nama domain yang disengketakan tersebut kepada penggugat kedua. Tergugat tahu bahwa dia menggunakan nama terkenal tersebut karena alasan reputasi dan ketenaran merek OCBC di Malaysia dan negara lain. Panel menyatakan
bahwa
tergugat
telah
mendaftarkan
nama
domain
yang
disengketakan tersebut dengan cara itikad buruk (bad faith)6.
5
Lihat Soo, Michael, Lee Lin Li and Olivia Khor Shook Lin & Bok, Malaysia: New case law shakes up thinking on trademarks, Building and enforcing intellectual property value 2011, hlm.168-169. 6 Sutan Remy Syahdeini, Op.Cit, hlm 54.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
25
2.
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 Kasus bank BCA Kasus internet banking Bank Central Asia (BCA), di mana Steven Haryanto telah membuat beberapa situs yang sama persis, antara lain : www.klikbca.com¸ www.kilkbca.com, www.clikbca.com, www.klickbca.com, www.klikbac.com. Isi dari kelima situs itu dibuat sama persis dengan situs internet banking Bank Central Asia (BCA). Dengan melakukan login disitus-situs tersebut maka user name dan password internet akan terkirim pada pemilik situs gadungan. Setelah mendapatkan user name dan password-nya maka pihak yang meniru situs tersebut dapat membobol rekening milik registrar.7
3.
Kasus Ebay Ebay Inc, perusahaan yang membawahi tempat belanja online terkemuka, termasuk didalamnya www.ebay.com, mengajukan gugatan dalam kasus perbuatan melawan hukum atas pendaftaran nama domain ebay.co.id. Ebay Inc menggugat tiga pihak terkait kasus tersebut, yaitu CV. Ebay Indonesia, Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI), dan PT Telekomunikasi Indonesia, TBK. Kasus ini terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 20-62013 dengan nomor 299/PDT.G/2013/PN.JKT.PST.
4.
Kasus Republika Perusahaan pers nasional, PT Republika Media Mandiri menggugat penanggung jawab situs “www.suararepublika.co”, Ardy Purnawan Sani dan PT. Master web Network sebagai turut tergugat karena dinilai melakukan perbuatan melawan hukum. Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Republika menilai para tergugat melanggar Pasal 23 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Republika menilai ada iktikad buruk dari Ardy saat menamai situsnya dengan menggunakan nama domain yang mengandung kata “Republika”, yaitu “www.suararepublika.co”. Situs ini sangat mirip dengan situs Republika, yaitu “www.republika.co.id” yang merupakan alamat dari
7 Perlindungan terhadap bank menjadi bagian penting dari e-banking, termasuk di dalamnya nomornomor kartu kredit, PIN dan lain-lain. Lihat, Ahmad M. Ramli, Beberapa Permasalahan dan Solusi Hukum Tentang E-Banking di Indonesia Dalam Menghadapi Perkembangan Teknologi Informasi dan Kejahatan Perbankan Internasional, Makalah, Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia, Kuala Lumpur, 8-10 Agustus 2002.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum …
26
berita harian elektronik dengan nama “Republika On Line” atau biasa dikenal “ROL”8 Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat menyebabkan eksistensi hukum di bidang ini mndapat perhatian bgitu banyak pihak. Di Indonesia, regulasi dalam bidang hukum siber diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk dijadikan hukum positif, mengingat aktivitas penggunaaan dan pelanggaran dalam dunia maya telah demikian tinggi, khususnya mengenai sengketa nama domain dengan merek. PANDI (Pengelola Nama Domain Indonesia) yang merupakan organisasi nirlaba yang dibentuk oleh Pemerintah bersama Komunitas Internet Indonesia sebagai registry domain .id, telah membuat kebijakan baru mengenai penggunaan nama Domain Tingkat Tinggi (DTT) .id yang oleh publik disebut dengan istilah anything.id. Domain anything.id adalah sebutan populer untuk penggunaan Domain Tingkat Tinggi (DTT) .id tanpa harus diturunkan terlebih dahulu menjadi Domain Tingkat Dua (DTD). Selama ini publik hanya bisa menggunakan domain .id dalam bentuk Domain Tingkat Dua (DTD), yaitu co.id, biz.id, web.id, my.id, or.id, sch.id, ac.id, desa.id, net.id, go.id, dan mil id. Dengan dirilisnya domain anything.id, publik akan dapat menggunakan domain .id secara langsung, semisal menggunakan nama domain pandi.id, garuda.id, eddy.id, atau yang lainnya. Tahapan peluncuran telah dimulai pada 20 Januari 2014 dengan penerapan Periode Sunrise. “Periode Sunrise adalah tahapan privilege untuk pemegang merek yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Tahapan ini berlangsung dari tanggal 20 Januari 2014 - 17 April 2014. Periode Sunrise akan disusul dengan Periode Grandfather (21 April 2014 - 13 Juni 2014). Pada periode ini, privilege diberikan pada pemegang nama domain kategori kedua .id eksisting (DTD). “Misalnya, pemilik domain kursi.co.id, bisa mendaftarkan nama domain kursi.id”. Seusai Periode Grandfather, dilakukan Periode Landrush (16 Juni 2014 - 15 Agustus 2014) di mana semua Warga Negara Indonesia dan Institusi Indonesia dapat mengajukan nama domain yang diinginkan apabila memenuhi syarat. 8
Happy Rayna Stephany, Republika Gugat Media Online, http://www.hukumonline.com /berita/baca/lt52fe1c8db fc5a/republika-gugat-media-online, Jumat, 14 Februari 2014, Diakses pada tanggal 20 Maret 2014.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
27
Jika pada masing-masing tahapan, privilege ada dua atau lebih pendaftaran nama domain yang sama,
pendaftar yang berhak menggunakan nama domain akan
ditentukan dengan sistem lelang. Pada 17 Agustus 2014, domain anything.id sudah dapat didaftarkan dengan cara biasa menggunakan prinsip pendaftar pertama atau first come first serve yang disebut dengan Periode General Availability. Pada prinsipnya Islam memberikan jaminan perlindungan hak pada setiap orang. Hal ini tertuang dalam al-quran, surat Al-Syu’ara ayat 183 yaitu:9 “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajarela dimuka bumi dengan membuat kerusakan “ Menurut Sudargo Gautama, sekecil apapun gangguan terhadap merek, pengusaha hendaknya melindungi mereknya dari para pendompleng dan pemalsu agar tetap eksis sebagai merek. Apabila dibiarkan maka merek akan kehilangan identitasnya dan mendatangkan kerugian besar10. Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dibatasi dalam 2 (dua) hal diatas yaitu : 1.
Bagaimana pelanggaran hak atas merek yang terjadi di dunia Maya?
2.
Bagaimana upaya pencegahan terhadap pelanggaran hukum atas merek melalui peraturan hukum siber di Indonesia?.
B.
Metode Penelitian Metode penelitian digunakan sebagai alat untuk membantu serta menjawab
permasalahan dalam pokok penelitian melalui prosedur dan teknik dengan menggunakan langkah-langkah penelitian, menggunakan metode penelitian secara normatif, dengan mendeskripsikan ilmu hukum pada lapisan dogmatik hukum. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan : Yuridis normatif, yaitu menelusuri, meneliti, dan mengkaji hak merek (domain name) melalui asas-asas hukumnya baik melalui perundang-undangan nasional serta Konvensi- Konvensi Internasional lainnya. Spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analisis, yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis, 9
Depag RI, ALhikmah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV Dipenogoro, 2009, hlm.29. Rhenald Kasali, Hak atas Merek di Indonesia, 02 Februari 2001, artikel yang pernah dimuat pada www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 4 Maret 2010. 10
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum …
28
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, dalam hal ini menganalisis mengenai pentingnya perlindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar akibat penggunaan nama domain secara tanpa hak. Selanjutnya akan digambarkan pula berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku baik nasional maupun internasional dihubungkan dengan teori-teori hukum, dan praktek dari pelaksanaan perlindungan hukum. Penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan. Pada penelitian kepustakaan ini data yang dicari adalah data sekunder untuk memperoleh bahan hukum primer berupa bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang undangan nasional, konvensi Internasional, perjanjian internasional yang relevan dengan masalah yang dikaji. Bahan hukum sekunder yang meliputi referensi hukum dan non hukum berupa hasil penelitian, lokakarya, seminar, dan karya tulis dari kalangan hukum. Bahan hukum sekunder, yaitu terdiri dari doktrin-doktrin, pendapat para ahli yang dapat terlihat dalam buku-buku hukum dan makalah-makalah yang ditulis oleh para ahli, hasil penelitian hukum UU dan lain-lain yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Disamping itu dikumpulkan pula bahan hukum tersier, yaitu berupa pendapat-pendapat atau opini masyarakat yang dimuat di majalah-majalah, internet, kamus, ensiklopedia yang dapat memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder. Sehingga dapat digunakan sebagai landasan teoritis untuk mengkaji sumber data primer. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Normatif kualitatif11, yaitu berupa pemaparan dan penggambaran secara menyeluruh tentang seluruh masalah yang diteliti, yaitu tentang peraturan perundang-undangan, yang didukung oleh bahan-bahan primer yang diperoleh dari studi kepustakaan. Lokasi penelitian yang digunakan untuk memperoleh data-data sekunder dilakukan di Bandung, yaitu : Perpustakaan Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana UNPAD, Perpustakaan Hukum UNINUS, dan Perpustakaan UNISBA.
11
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2000,
hlm.245.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
29 C.
Hasil Penelitian dan Analisis
1.
Konsep Keberadaan Nama Domain Dalam Jaringan Internet Dikaitkan Dengan Merek. Dalam kehidupan masyarakat, terdapat anggapan bahwa nama domain identik
dengan merek. Hal tersebut dikarenakan nama domain selalu berkaitan dengan merek, khususnya merek terkenal dan nama dari orang terkenal yang mempunyai nilai komersil. Anggapan lain yang menyatakan bahwa nama domain identik dengan merek adalah dengan pemahaman bahwa meski pun nama domain adalah alamat di internet dan tidak berhubungan dengan barang atau jasa, namun pada prakteknya nama domain dijadikan sebagai sarana promosi suatu merek12. Menurut pengertian yang diberikan Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik : “Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet”. Sedangkan pengertian merek menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek : “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh undang-undang tersebut di atas, sebenarnya telah jelas keberadaan nama domain dalam jaringan internet tidak dapat disamakan dengan merek dalam suatu produk atau jasa. Nama domain juga tidak termasuk ke dalam ruang lingkup hak kekayaan intelektual, karena bukan ciptaan yang merupakan hasil setiap karya pencipta, bukan juga merupakan paten, rahasia dagang, desain industri atau desain tata letak sirkuit terpadu. Bahwa terdapat beberapa persamaan atau keterikatan nama domain dengan merek, tidak serta merta dapat dikatakan nama domain identik dengan merek. Persamaan atau keterikatan nama domain dengan merek itu, antara lain : 12
Rizki Yanuar, Perlindungan Terhadap Pemilik Merek Akibat Penggunaan Nama Domain Secara Tanpa Hak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tesis, Universitas Islam Bandung, 2012, hlm.86.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum … 1.
30
Merek maupun nama domain pada umumnya terdapat unsur barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada khalayak umum;
2.
Merek maupun nama domain memiliki unsur sebagai pembeda;
3.
Merek digunakan dalam dunia perdagangan barang dan jasa pada dunia nyata untuk menunjukkan identitas sesuatu yang hendak ditawarkan, hal ini pada prinsipnya juga memiliki kesamaan dengan sebuah nama domain yang dapat digunakan sebagai sarana informasi dan promosi kepada para pengguna internet;
4.
Sengketa nama domain hampir semua atau dapat dikatakan selalu berhubungan dengan merek, khususnya merek terkenal milik orang atau badan hukum. Sekalipun terdapat beberapa persamaan dan keterkaitan antara nama domain
dengan merek, secara tegas dapat dinyatakan bahwa keberadaan nama domain tidak dapat dipersamakan bentuknya dengan merek barang atau jasa karena hal tersebut berbeda karakteristiknya dan juga konstruksi hukumnya. Hal tersebut dapat terbukti, antara lain :13 1.
Nama domain tidak selalu berhubungan dengan barang atau jasa dari pemilik merek yang namanya digunakan untuk tanda bahkan melekat pada produk barang atau jasa;
2.
Nama domain hanyalah alamat dalam jaringan internet. Aktivitas internet ini dibangun berdasarkan atas kaidah kebebasan mendapatkan informasi dan berkomunikasi tanpa ada suatu otoritas terpusat seperti layaknya pemerintahan. Nama domain adalah suatu kepercayaan yang diberikan oleh sistem komunikasi yang terselenggara secara otomatis untuk kepentingan masyarakat pengguna internet, walaupun dalam perkembangannya keberadaan nama domain yang semula sebagai media untuk saling tukar menukar informasi berubah menjadi sarana untuk transaksi perdagangan, bahkan dapat digunakan untuk melakukan transaksi perbankan (e-banking). Keberadaan nama domain semakin bernilai ekonomis ketika penggunaan merek dagang sebagai nama domain menjadikan merek dagang tersebut terkenal ke seluruh dunia. Pemasaran suatu produk
13
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika : Suatu Kompilasi Kajian, Rajawali Press, Jakarta, 2005, hlm.315.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
31
melalui situs web dengan nama domain tertentu, selain lebih praktis dan bersifat global juga dianggap dapat menekan biaya promosi yang besar; 3.
Pendaftaran nama domain tidak seperti merek di mana merek didaftarkan untuk kelas dan jenis barang atau jasa tertentu artinya untuk barang yang satu kelas dan sejenis tidak boleh ada merek yang sama. Penamaan nama domain bersifat global, sedangkan pendaftaran merek terikat dengan hukum merek yang berlaku di suatu negara;
4.
Nama domain sebagai alamat dalam jaringan internet lebih bersifat kepercayaan yang diberikan masyarakat hukum pengguna internet dan prinsipnya first come first serve, sedangkan merek bersifat properti atau kekayaan karena merupakan hasil kreasi intelektual manusia dan prinsipnya first to file;
5.
Nama domain tidak ada pemeriksaan substantif, sementara pada merek harus ada pemeriksaan substantif. Pihak pendaftar nama domain cukup melaksanakan kewajiban formilnya,
sementara kewajiban substansial yang harus dilakukan hanya terbatas pada kejelasan status hukumnya saja, bukan kepada pemeriksaan berhak atau tidaknya orang tersebut atas nama domain yang dimohonkan pendaftarannya. Sepanjang tidak dapat dibuktikan adanya unsur itikad tidak baik maka perolehan nama domain bukanlah suatu pelanggaran, sedangkan pada merek sepanjang tidak mendapatkan izin dari pemegang merek maka penggunaan merek adalah suatu bentuk pelanggaran. 2.
Perlindungan Pemilik Merek Akibat Penggunaan Nama Domain Secara Tanpa Hak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Seiring dengan perkembangan pemakaian nama domain oleh perusahaan di
jaringan internet, berkembang pula gejala pelanggaran merek dijaringan tersebut. Terdapat beberapa bentuk pelanggaran atau tindakan pendaftaran nama domain oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan merek, namun mendaftarkan suatu merek sebagai nama domain dan mengambil keuntungan pribadi dari pendaftaran tersebut antara lain14 : 1.
Cybersquatting. 14
Sutan Remy Syahdeini, Loc.Cit, hlm.45.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum …
32
Cybersquatting adalah tindakan seseorang yang menciptakan dan mendaftarkan nama domain untuk kemudian menjualnya dengan harga tinggi kepada siapa saja yang berminat. Pelaku perbuatan tersebut dikenal dengan cybersquatter. 2.
Typosquatting. Typosquatting adalah meniru nama domain dengan spesifikasi yang sama atau serupa dengan nama domain yang sudah terdaftar sebelumnya15. Pelakunya yang disebut dengan Typosquatter mendaftarkan nama domain yang mirip dengan nama asli dengan maksud dapat mengundang atau membuat perangkap para pengunjung situs yang kurang cermat atau lalainya si pengguna ketika melakukan transaksi dengan sengaja memasukkan identitas pribadi yang mesti dirahasiakan.
3.
Cyberparasite. Adalah tindakan pihak-pihak yang memanfaatkan ketenaran dari nama tertentu dengan mendaftarkan dan menggunakan nama domain yang berkonotasi merek, nama organisasi dan nama perusahaan atau tokoh terkenal.
4.
Domain hijacking. Domain hijacking adalah tindakan perampasan nama domain yang dimiliki orang lain dengan modus operandi dengan cara menipu pihak registrar, seolah-olah perampas bertindak sebagai registrant dan kemudian ia merubah status penguasaan atas nama domain (NIC handle). Dengan berubahnya NIC handle maka berubahlah status kepemilikan atas nama domain tersebut. Kemungkinan lain terjadinya domain hijacking adalah ketika seseorang atau perusahaan yang pada awalnya memiliki nama domain tertentu tidak mau atau lupa untuk memperpanjang masa berlaku nama domainnya, maka domain itu bisa dibeli oleh orang lain sehingga isi dari domain tersebut bisa berubah di mana seringkali perubahan situs ini dapat merusak citra dari suatu merek dagang atau perusahaan.
5.
Passing off Passing off adalah tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih dengan melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum16. Tindakan ini bisa terjadi dengan cara meniru 15
Majalah PC Plus No.35/II, 26 Januari 2000 Rhenald Kasali, Hak atas Merek di Indonesia, 2 Februari 2008, artikel yang pernah dimuat pada www.hukumonline.com. 16
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
33
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 tampilan website kepunyaaan pihak lain yang telah memiliki reputasi baik (goodwill). Adanya pihak yang membonceng reputasi dengan meniru atau memirip-miripkan akan membuat pelanggan terkecoh dan dapat menimbulkan klaim dari pelanggannya, ini akan berakibat kerugian yang berupa turunnya omzet perusahaan.
6.
Consumer Commentary. Consumer Commentary adalah komentar-komentar untuk mengkritik bahkan menghina untuk menjatuhkan suatu bisnis dan produk lain, umumnya perusahaan kompetitor.
7.
Registration by Competitors. Registration by Competitors adalah
perbuatan suatu perusahaan yang akan
mendaftarkan nama domain dari perusahaan pesaingnya yang tujuannya untuk menghambat akses ke nama domain tersebut, yang nantinya dapat digunakan untuk menjatuhkan kompetitor melalui situs yang dikuasainya tersebut. 8.
Conflicting Marks or Uses. Conflicting Marks or Uses adalah pertentangan antara 2 (dua) orang yang memiliki alasan sah untuk menggunakan nama domain, di mana terjadi persaingan karena tempat atau wilayah yang terbatas di dunia internet.
9.
Phising Phising adalah pengiriman email palsu kepada seseorang atau perusahaan atau suatu organisasi dengan menyatakan bahwa pengirim adalah suatu entitas bisnis yang sah. Pengiriman email palsu itu bertujuan untuk menipu penerima agar mengungkapkan informasi mengenai diri penerima, antara lain berupa password, nomor credit card, nomor social security dan nomor rekening. Pengirim email tersebut menampilkan email dalam bentuk dan isi seperti suatu email yang bukan email palsu. Penerima email yang tertipu akan menanggapi email tersebut dengan mengunjungi website yang palsu yang mirip dengan website asli suatu produk dengan merek terkenal. Kepemilikan individu atau badan usaha atas suatu merek perlu mendapat
perlindungan hukum yang memadai. Konsepsi perlindungan hukum terhadap merek sendiri dapat didasarkan pada berbagai teori, yaitu teori yang pertama adalah teori
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum …
34
hukum alam (the natural right). John Locke menyatakan hak milik adalah satu dari 3 (tiga) hal yang tidak dapat dipisahkan manusia. Manusia lahir secara “tabula rasa” artinya dalam keadaan bebas dan setara dibawah hukum kodrat. Hukum kodrat melarang siapapun merusak, menghilangkan kehidupan, kebebasan dan serta hak milik17. Hak untuk memperoleh kepemilikan adalah salah satu dari persoalan-persoalan yang diserahkan hukum alam kepada negara, sebagai badan yang tepat untuk mengatur kehidupan sosial
18
. Menurut Bagir Manan, Negara Kesejahteraan adalah bahwa
negara atau pemerintah tidak semata-mata penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat19. Merek sebagai hak milik yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta dan karsa, yang untuk menghasilkannya memerlukan pengorbanan tenaga, pikiran, waktu dan biaya, menjadikan karya yang dihasilkan mempunyai nilai. Nilai ekonomi yang melekat pada hak milik itu menimbulkan konsepsi kekayaan (property), yang dimana karena adanya konsep kekayaan, maka HKI perlu diberikan suatu perlindungan hukum dan hak, dan oleh si pemilik hak itu perlu dipertahankan eksistensinya terhadap siapa saja yang menggunakannya tanpa ijin. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur mengenai kepemilikan nama domain serta penggunaannya. Dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dinyatakan bahwa: (1) (2)
Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama. Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain.
17
Kess Bertens, Pengantar Etika Bisnis, PT.Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm.72 Friedman, Teori dan Filsafat Hukum-Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 1993, hlm.77. 19 Deddy Ismatullah, Gagasan Pemerintahan Modern Dalam Konstitusi Madinah, Sahifa, Bandung, 2006, hlm.53. 18
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
35
(3)
Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.” Penjelasan Pasal 23 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan melanggar hak orang lain adalah melanggar merek terdaftar, nama badan hukum terdaftar, nama orang terkenal, dan nama sejenisnya yang pada intinya merugikan orang lain, dan kemudian yang dimaksud dengan Penggunaan nama domain secara tanpa hak adalah pendaftaran dan penggunaan nama domain yang semata-mata ditujukan untuk menghalangi atau menghambat orang lain untuk menggunakan nama yang intuitif dengan keberadaan nama dirinya atau nama produknya, atau untuk mendompleng reputasi orang yang sudah terkenal atau ternama, atau untuk menyesatkan konsumen. Penjelasan selanjutnya mengenai itikad tidak baik, UDRP (Uniform Domain name Dispute Resolution Procedure) memberikan panduan sebagai berikut, yaitu :20 a.
Pertama, pemegang nama domain mendaftarkan nama domain dengan tujuan untuk menjual, menyewakan, atau memindahkan nama domain tersebut kepada pemilik merek terdaftar dengan sejumlah imbalan tertentu, atau menjualnya kepada pesaing dari pemilik merek terdaftar.
b.
Kedua, pemegang nama domain dengan sengaja mendaftarkan suatu nama domain untuk menghalangi pemilik merek terdaftar memiliki nama domain sesuai dengan merek yang dimilikinya.
c.
Ketiga, pemegang nama domain mendaftarkan suatu nama domain dengan tujuan untuk mengganggu bisnis yang dijalankan oleh pesaing bisnisnya.
d.
Keempat, pemegang nama domain secara sengaja berusaha untuk menarik perhatian publik dengan mendaftarkan nama domain yang sama atau mirip dengan merek yang didaftarkan pihak lain, sehingga membingungkan konsumen dari merek tersebut.Suatu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan nama domain melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers). ICANN adalah organisasi nonprofit yang bertugas mengatur dan mengawasi sistem registrasi dan pemanfaatan nama domain di seluruh dunia. 20
http://www.icann.org/en/dndr/udrp/policy.htm, diakses pada tanggal 22 Februari 2014.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum …
36
Badan organisasi yang mengatur pengelolaan nama domain di Indonesia adalah Pengelola Nama Domain Internet Indonesia yang merupakan singkatan dari PANDI. PANDI adalah organisasi nirlaba yang dibentuk oleh komunitas internet Indonesia bersama pemerintah pada tanggal 29 Desember 2006 untuk menjadi registry domain .id. Pada 29 Juni 2007, pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika RI secara resmi menyerahkan pengelolaan seluruh domain internet Indonesia kepada PANDI. Selain go.id dan mil.id., Penyerahan pengelolaan domain ini dituangkan dalam Berita Acara Penyerahan Pengelolaan Domain .id No. BA-3443/ DJAT/ MKOMINFO/6/2007 dari Dirjen Aptel ke PANDI. Saat ini PANDI mengelola secara penuh domain co.id, biz.id, my.id, web.id, or.id, sch.id, ac.id, dan net.id serta membantu pemerintah Republik Indonesia mengelola domain.go.id dan mil.id. Sejak tanggal 20 Januari 2014, PANDI telah meluncurkan program domain ‘anything.id’ atas persetujuan Forum Nama Domain Indonesia sebagai pemangku kebijakan tertinggi nama domain internet di Indonesia. Tujuan dibukanya DTT baru anything.id adalah untuk memenuhi permintaan publik dan pemerintah. Pengguna Nama Domain anything.id dari lembaga pemerintahan dapat menggunakannya untuk program kerja tertentu sehingga dapat secara efisien dan efektif dipublikasikan. Pengguna dari kategori perusahaan atau organisasi dapat memproteksi mereknya, dan pengguna dari kategori personal dapat menggunakannya sebagai personal branding untuk tujuan publikasi tertentu. Tahapan ketentuan peluncuran domain anything.id terbagi atas 4 (empat) periode, yaitu : a.
Pertama adalah Periode Sunrise. Periode Sunrise berlangsung sejak 20 Januari 2014 - 17 April 2014, pukul 16.00 waktu server PANDI. Periode Sunrise hanya dapat diikuti oleh pemegang merek yang terdaftar pada Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia atau pendaftar merek dengan Formulir Pendaftaran yang sudah diverifikasi oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
b.
Kedua adalah Periode Grandfather Periode Grandfather berlangsung sejak 21 April 2014 - 13 Juni 2014, pukul 16.00 waktu server PANDI. Periode Grandfather hanya dapat diikuti oleh
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
37
pemegang DTD (Domain Tingkat Dua) yang sudah ada. Domain anything.id yang didaftarkan pada Periode Grandfather harus sama persis dengan nama DTD yang dimiliki oleh Aplikan. c.
Ketiga, Periode Landrush Periode Landrush berlangsung sejak 16 Juni 2014 - 15 Agustus 2014, pukul 16.00 waktu server PANDI. Periode Landrush dapat diikuti oleh semua Warga Negara Indonesia dan Institusi Indonesia yang memenuhi syarat.
d.
Keempat, Periode General Availability Periode General Availability dimulai setelah selesainya periode Landrush, sejak 17 Agustus 2014. Pada periode General Availability berlaku ketentuan umum pendaftaran domain .id yaitu first come first serve. Hukum erat hubungannya dengan masalah pembangunan suatu bangsa dan
perkembangan
hukum
juga
tidak
mungkin
dipisahkan
dari
perkembangan
masyarakat21. Pembangunan di bidang hukum menjadi menjadi hal yang penting dalam mengantisipasi
perubahan-perubahan
yang
terjadi
dalam masyarakat.
Pembangunan hukum merupakan suatu proses yang dinamis, yang harus dilakukan secara berkesinambungan dan tidak pernah selesai. Pembangunan hukum di Indonesia dapat dikatakan mengalami kemajuan yang signifikan. Keberadaan Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional menjadikan pembangunan hukum lebih terarah. Salah satu pembangunan hukum yang berhubungan dengan teknologi informasi diantaranya dengan ditetapkannya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada prinsipnya Islam pun memberikan jaminan perlindungan hak pada setiap orang. Hal ini tertuang dalam Al-Quran surat Al-Syu’ara ayat 183, An-Nisa ayat 29, dan Al-Baqarah ayat 188 yaitu22: “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajarela dimuka bumi dengan membuat kerusakan “(QS. Al Syu’ra [26]:183). “Hai orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka 21
Kutipan dari Pidato Presiden RI dalam Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, 2006. 22 Depag RI, ALhikmah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV Dipenogoro, 2009, hlm.29.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum …
38
sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa’[4]:29). “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]:188). Jika di masa depan terjadi pelanggaran hukum yaitu penggunaan nama domain secara tanpa hak orang lain maka hak orang dilanggar tersebut dapat dilindungi oleh peraturan hukum dan perundang-undangan. Perlindungan hukum terhadap pemilik merek atas penggunaan nama domain secara tanpa hak dapat diselesaikan secara nonlitigasi maupun litigasi. Penyelesaian secara non-litigasi yaitu melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sedangkan penyelesaian secara litigasi yaitu melalui gugatan secara perdata atau melalui tuntutan pidana.
D.
Penutup Sebagai penutup dari hasil penelitian ini penulis menyampaikan simpulan dan
saran sebagai berikut : 1.
Kesimpulan
a.
Keberadaan nama domain dalam jaringan internet tidak dapat dipersamakan bentuknya dengan merek barang atau jasa karena memiliki sistem dan syaratsyarat pendaftaran serta pengakuan eksistensinya secara berbeda. Akan tetapi dalam praktik perdagangan sistem online terdapat banyak pelanggaran terhadap nama
domain
dengan metode
yang beragam seperti, Cybersquatting,
Typosquatting Cyberparasite dan lain sebagainya. b.
Perlindungan terhadap pemilik merek akibat penggunaan nama domain secara tanpa hak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tahun 2008, antara lain : pertama, perlindungan hukum bagi pemilik merek terlihat dari asas pendaftar pertama; kedua: pemilikan dan penggunaan nama domain harus didasarkan pada asas itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak orang lain. Perlindungan terhadap pemilik merek pun semakin terlindungi dengan adanya kebijakan mengenai nama domain
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
39
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 anything.id oleh Pengelola Nama Domain Indonesia (PANDI) atas persetujuan Forum Nama Domain Indonesia yang terdiri dari unsur pemerintah, pakar, dan perwakilan asosiasi/organisasi terkait.
2.
Saran
1. a. Sosialisasi mengenai kebijakan nama domain lebih ditingkatkan, khususnya bagi para pemilik merek yang dimana sarana untuk mensosialisasikan dapat melalui media cetak dan media elektronik. b. Sebaiknya perlu ditingkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya aparat penegak hukum. Selain dari pada peningkatan pengetahuan di bidang hukum untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang semakin kompleks, perlu juga ditunjang pengetahuan di luar bidang sebagai ilmu bantu, seperti pengetahuan tentang teknologi dan informasi teknologi informatika, karena permasalahan hukum di bidang informasi teknologi memiliki karakteristik dan teknis tersendiri yang berbeda dengan cabang ilmu hukum yang selama ini ditekuni oleh masyarakat hukum ; c. Sebaiknya peningkatan kualitas sumber daya manusia terutama lebih mengedepankan masalah moralitas. Jika seseorang memiliki moral yang baik, maka orang tersebut tidak akan melakukan segala macam tindakan yang merugikan orang lain dan mementingkan kepentingan pribadinya sendiri. Seperti dalam dunia ekonomi dan bisnis maka maka orang akan bersaing secara sehat dan tidak saling menjatuhkan rekan bisnisnya ; 2. a. Menambahkan perlindungan nama domain dalam Undang-Undang
Merek atau
menambahkan perlindungan HKI dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta menjadikan kepemilikan HKI sebagai syarat mutlak dalam pembuatan .id.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Gemi IS. Kajian Hukum …
40
DAFTAR PUSTAKA A.
Buku-buku Abdulkadir
Muhammad,
Kajian
Hukum
Ekonomi
Hak
Kekayaan
Intelektual,Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001. Deddy Ismatullah, Gagasan Pemerintahan Modern Dalam Konstitusi Madinah, Sahifa, Bandung, 2006. Depag RI, ALhikmah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV Dipenogoro, 2009. Direktorat Jenderal Industri dan Dagang Kecil Menengah Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Perlindungan Merek di Indonesia, Jakarta 2003. Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika : Suatu Kompilasi Kajian, Rajawali Press, Jakarta, 2005. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum-Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 1993. Kutipan dari Pidato Presiden RI dalam Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, 2006. Prof.Dr.Kess Bertens, Pengantar Etika Bisnis, PT.Kanisius, Yogyakarta, 2000. Rudi Agustian Hassim, Kompilasi Rubrik Konsultasi Hak Kekayaan Intelektual, RAH & Partners Law Firm, Jakarta, 2009. Soo, Michael, Lee Lin Li and Olivia Khor Shook Lin & Bok, Malaysia: New case law shakes up thinking on trademarks, Building and enforcing intellectual property value 2011. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.245. Sutan Remy Syahdeini, E-Commerce Tinjauan Dari Perspektif Hukum, Tulisan pada Buku Kompilasi Hukum Perikatan (Dalam Rangka Menyambut Masa Purnabakti Usia 70 Tahun Mariam Darus Badrulzaman), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. ----, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer,PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
41
B.
Jurnal, Makalah, Tesis Imas Rosidawati dan Edy Santoso, Pelanggaran Internet Marketing Pada
Kegiatan E-Commerce Dikaitkan Dengan Etika Bisnis, Jurnal, International Journal of Arts & Science (IJAS) Conference For Academic Disciplines, Vienna, Austria, 1-5 April 2012. Perlindungan terhadap bank menjadi bagian penting dari e-banking, termasuk di dalamnya nomor-nomor kartu kredit, PIN dan lain-lain. Lihat, Ahmad M. Ramli, Beberapa Permasalahan dan Solusi Hukum Tentang E-Banking di Indonesia Dalam Menghadapi Perkembangan Teknologi Informasi dan Kejahatan Perbankan Internasional, Makalah, Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia, Kuala Lumpur, 8-10 Agustus 2002. Rizki Yanuar, Perlindungan Terhadap Pemilik Merek Akibat Penggunaan Nama Domain Secara Tanpa Hak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tesis, Universitas Islam Bandung, 2012, hlm.86. B.
Artikel Surat Kabar, Majalah, Internet Happy
Rayna
Stephany,
Republika
Gugat
Media
Online,
http://www.hukumonline.com /berita/baca/lt52fe1c8db fc5a/republika-gugat-mediaonline, Jumat, 14 Februari 2014. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2376/sengketa-idomain-nameilebih-mudah diselesaikan-dengan-merek-dagang, Sengketa Domain Name Lebih Mudah Diselesaikan Dengan Merek Dagang http://www.icann.org/en/dndr/udrp/policy.htm Majalah PC Plus No.35/II, 26 Januari 2000. Rhenald Kasali, Hak atas Merek di Indonesia, 02 Februari 2014, artikel yang pernah dimuat pada www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 4 Maret 2010. Tribun news.com. Terkait Penggunaan Nama, Ebay Inc Gugat Ebay Indonesia, tulisan versi elektronik pada situs, http://id.berita.yahoo.com/terkait-penggunaannama-ebay-inc-gugat-ebay-indonesia-083818588.html
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Elis H. Tinjauan Tentang …
42
TINJAUAN TENTANG PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK PAKAI ATAS TANAH NEGARA SEBAGAI JAMINAN UTANG DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI Oleh : Elis Herlina Abstract In the Basic Agrarian Law, which was designated as the right that can be used as collateral with the encumbrance arethe Rights to Use , Leasehold, and Broking, that is as the rights upon land that should be registered and transferable by their nature. In the Basic Agrarian Law, theRights to use was not designated as an object of encumbrance, because it did not include the rights upon land that should be registered. Therefore,it cannot qualify publicity used as collateral for the debt.In its development,theUse Right must be registered, namely the Use Right which was granted bythe state. In Mortgage Act the Use Right is designated as an object of Mortgage Right. As consequences raised some questions aboutprovisions and procedures of loading Encumbrance of the Right to Use on State’s lands. If the holder of the State’s Land Use Right was a stranger, and the right to use were collaterated, then there is possibility to invest the acquired capital abroad. Keywords: security rights, debt guarantees, rights to use Abstrak Dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang ditunjuk sebagai hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, sebagai hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Hak pakai dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenanya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah negara. Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Hak Pakai tersebut ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan. Oleh karena itu timbul permasalahan Bagaimana ketentuan dan prosedur pembebanan Hak Tanggungan terhadap Hak Pakai atas tanah Negara. apabila pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara itu adalah orang asing, dan Hak Pakai tersebut dijaminkan, maka kemungkinan yang terjadi adalah menginvestasikan modal yang telah diperoleh itu ke luar negeri. Kata Kunci : Hak tanggungan, jaminan utang, hak pakai
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
43
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Pendahuluan Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur
berdasarkan
Pancasila
dan
Undang-Undang
Dasar
1945.
Secara
konstitusional hal ini diamanatkan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, maka diperlukan peranan dan kerjasama dari setiap pelaku usaha yang meliputi pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum. Untuk mewujudkan pembangunan di bidang ekonomi dibutuhkan dana yang tidak sedikit, dan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan tersebut, maka meningkat pula keperluan akan tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Indonesia sebagai negara yang basis ekonominya bertumpu pada kredit (credit economy), mengindikasikan bahwa peranan perbankan sangat dominan. Ketersediaan dana yang cukup merupakan hal vital untuk pembangunan di bidang ekonomi. Pada posisi ini , peran perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya sangat dibutuhkan, terutama dalam rangka mendukung percepatan pembangunan yang dilakukan oleh semua stakeholder dengan berbagai dinamika usahanya. Sebagai lembaga intermediasi, perbankan berperan penting dalam ukuran perekonomian suatu negara. Perbankan menerima simpanan dari individu, pemerintah, badan usaha milik negara, maupun swasta. Kemudian dana yang dihimpun perbankan disalurkan berupa pinjaman kredit, dan/atau melakukan kegiatan investasi kepada peminjam atau penerima dana, baik kepada badan usaha milik pemerintah, badan usaha swasta maupun individu. Aktivitas ekonomi dan teknologi yang terus meningkat tidak dapat dipungkiri membutuhkan pembiayaan dana yang tidak sedikit untuk menunjangnya. Hal ini membutuhkan adanya institusi atau lembaga hak jaminan yang mengandung kepastian hukum bagi para pihak yang bersangkutan untuk mencapai iklim yang kondusif dan lebih sehat dalam pertumbuhan dan perkembangan perbankan.
Arie Sukanti Hutagulung, Implikasi Hak Tanggungan Dalam Pemberian Kredit Property Dalam Kerjasama Dengan Pengembang, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 673.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Elis H. Tinjauan Tentang …
44
Bank dalam memberikan pinjaman kredit mengharapkan dapat memperoleh hasil dalam bentuk bunga kredit. Bank sangat berhati-hati dalam menyalurkan bantuan kredit kepada debitur peminjam, karena apabila pinjaman yang diberikan bank tersebut macet, akan berpengaruh pada kesehatan bank. Bank biasanya meminta jaminan kepada debitur sebagai upaya pencegahan apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya (wanprestasi). Undang-Undang telah memberikan jaminan secara umum kepada para kreditur, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur, baik yang ada maupun yang akan ada, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak akan menjadi jaminan bagi utang-utang debitur. Namun pihak bank sebagai kreditur biasanya tidak puas dengan jaminan umum berdasarkan undang-undang tersebut, karena jaminan secara umum itu tidak memberikan referensi kepada para kreditur. Walaupun dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dinyatakan bahwa jaminan bukan merupakan syarat mutlak dan hanya merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi, namun pada kenyataannya dalam pemberian kredit pihak bank selalu mensyaratkan adanya jaminan berupa harta milik debitur. Hal ini menjadi kendala utama dalam mengakses dana dari bank melalui kredit perbankan, karena adanya persyaratan yang pada umumnya oleh masyarakat dianggap memberatkan dan menjadi faktor penghalang. Ketentuan tentang jaminan ini bagi perbankan merupakan konsekuensi dari adanya prinsip kehati-hatian dalam proses penyaluran dana kepada peminjam untuk menjamin pengembalian dana tersebut. Pada praktiknya, bank sering meminta jaminan secara khusus dengan membuat perjanjian jaminan kebendaan maupun perjanjian jaminan
perorangan (personal
guaranty), karena dalam perjanjian jaminan kebendaan dengan jelas ditentukan benda tertentu yang diikat dalam perjanjian dan apabila terjadi kredit macet di kemudian hari, maka dapat dijadikan pelunasan utang.2 2
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal (Suatu Konsepsi Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), PT. Citra Adytia Bakti, 1996, hlm. 15
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
45
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Perjanjian jaminan adalah perjanjian yang bersifat accessoir, artinya suatu perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, yang mengabdi pada perjanjian pokok, dan jika perjanjian pokok batal, maka perjanjian jaminannya ikut batal, dan ikut beralih cessie, subrogasi, maka ikut juga beralih tanpa adanya perjanjian khusus. Dalam praktik perbankan sifat jaminan adalah hak kebendaan yang memberikan kekuasaan langsung terhadap bendanya dan dapat dipertahankan kepada siapapun juga, sedangkan hak perorangan memberikan hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya, tujuan jaminan bersifat kebendaan adalah memberikan hak verbal, yaitu hak untuk meminta pemenuhan piutang kepada kreditur terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari debitur untuk pelunasan prestasinya.3 Tanah merupakan salah satu benda yang dapat dijadikan jaminan pelunasan utang debitur, karena tanah tidak akan cepat musnah, mudah diperjualbelikan dan harganya terus meningkat, selain itu juga tanah mempunyai Surat Tanda Bukti Hak. Agar tanah sebagai jaminan kredit dapat memenuhi kehendak kreditur, maka tanah tersebut harus dibebani dengan hak jaminan. Hak jaminan yang membebani tanah dinamakan hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, disingkat Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) yang mulai berlaku sejak tanggal 9 April 1996. Hadirnya Undang-Undang Hak Tanggungan ini merupakan pelaksanaan dari apa yang diamanatkan dalam pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang ditunjuk sebagai hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, sebagai hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Hak pakai dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenanya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam 3
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jamninan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm.37.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Elis H. Tinjauan Tentang …
46
perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah negara. Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Hak Pakai tersebut ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan.4 Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah : 1.
Bagaimana ketentuan tentang hak pakai ?
2.
Bagaimana ketentuan dan prosedur pembebanan Hak Tanggungan terhadap Hak Pakai atas tanah Negara ?
Pembahasan A.
Hak Pakai Ketentuan umum mengenai hak pakai disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Pokok Agraria, sedangkan secara khusus diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 50 ayat (2) UndangUndang PokokAgraria menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pakai diatur dengan peraturan perundangan, yaitu Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, secara khusus diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 58. Menurut Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UndangUndang Pokok Agraria. Perkataan “menggunakan” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “memungut hasil” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian
4
Penjelasan Atas Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
47
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan.31 Pasal 42 Undang-Undang Pokok Agraria menentukan bahwa yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah : 1.
Warga Negara Indonesia.
2.
Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
3.
Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4.
Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Sedangkan Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 lebih merinci lagi,
bahwa yang dapat mempunyai hak pakai, yaitu : 1.
Warga Negara Indonesia.
2.
Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3.
Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah.
4.
Badan-badan keagamaan dan sosial.
5.
Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
6.
Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
7.
Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa asal tanah
Hak Pakai adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, sedangkan Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 lebih tegas menyebutkan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah tanah negara, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah Hak Milik. Adapun mengenai terjadinya hak pakai berdasarkan asal tanahnya adalah sebagai berikut32:
31
32
Urip Santoso, Hukum Agraria Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 115. Ibid, hlm. 116.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Elis H. Tinjauan Tentang …
48
1.
Hak Pakai Atas Tanah Negara Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Badan Pertanahan Nasional dan terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
2.
Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan dan terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
3.
Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Hak Pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik tanah dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Akta PPAT ini wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat diperbarui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. Pemegang Hak Pakai berkewajiban33: a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah
33
Pasal 50 dan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
49
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik. b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik. c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup. d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah sesudah Hak Pakai tersebut hapus. e. Menyerahkan sertifikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. f. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Pakai. Adapun hak dari pemegang Hak Pakai adalah34: a. Menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya. b. Memindahkan Hak Pakai kepada pihak lain. c. Membebaninya dengan Hak Tanggungan. d. Menguasai dan mempergunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Hak Pakai yang diberikan atas tanah negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila Hak Pakai tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan. Hak Pakai atas tanah negara yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak Pakai yang dipunyai oleh Depatemen, Lembaga Pemerintah 34
Pasal 52 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Elis H. Tinjauan Tentang …
50
Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan internasional tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak Pakai yang dipunyai oleh badan hukum publik disebut Hak Pakai publik ada right to use, yaitu mempergunakannya untuk waktu yang tidak terbatas selama pelaksanaan tugas, namun tidak ada right of dispossal, maksudnya tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun kepada pihak ketiga dan juga tidak dapt dijadikan objek Hak Tanggungan.35 Peralihan Hak Pakai wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertifikat Hak Pakai dari pemegang Hak Pakai semula kepada pemegang Hak Pakai yang baru. Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang. Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan, dan peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemilik tanah yang bersangkutan. Hak Pakai hapus disebabkan karena faktor-faktor sebagai berikut :36 a.
Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya.
b.
Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah sebelum jangka waktunya berakhir, karena : 1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang Hak Pakai dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Pakai; 2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau 3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
35
A.P. Parlindungan dikutip dari Urip Santoso, op.cit, hlm. 122.
36
Pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
51
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
c.
Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
d.
Hak pakainya dicabut.
e.
Diterlantarkan.
f.
Tanahnya musnah.
g.
Pemegang Hak Pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai. Hapusnya Hak Pakai atas tanah Negara mengakibatkan tanahnya menjadi tanah
Negara. Hapusnya Hak Pakai atas Tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan. Hapusnya Hak Pakai atas Tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemilik tanah.
B.
Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Hak Pakai Atas Tanah Negara Undang-Undang Pokok Agraria dalam pasal 25, 33 dan 39 menegaskan bahwa
yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Dalam praktik perbankan dan lembaga-lembaga pembiayaan lainnya, tanah dengan Hak Pakai seringkali pula dijadikan agunan kredit dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa Hak Pakai adalah hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum (pada Kantor Pertanahan) dan dapat dipindahtangankan. Tetapi karena di dalam UUPA Hak Pakai tidak disebutkan sebagai hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan, bank tidak dapat menguasai tanah Hak Pakai itu sebagai agunan dengan membebankan Hipotik atau Credietverband. Cara yang ditempuh oleh bank-bank adalah dengan melakukan pengikatan F.E.O (fiducia) dan/atau dengan meminta surat kuasa menjual dari pemiliknya.37 Kebutuhan praktik menghendaki agar Hak Pakai dapat dibebani juga dengan Hipotik (pada saat ini Hak Tanggungan). Hal ini ternyata telah diakomodir oleh Undang-Undang Hak Tanggungan, tetapi hanya Hak Pakai atas tanah Negara saja 37
St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 58.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Elis H. Tinjauan Tentang …
52
yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah38. Hak pakai dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenanya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara. Sebagian dari hak pakai yang didaftar itu, menurut sifat dan kenyataannya dapat dipindahtangankan, yaitu yang diberikan kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata. Pernyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan objek Hak Tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat. Selain mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional, yang tidak kurang pentingnya adalah bahwa dengan ditunjuknya Hak Pakai tersebut sebagai objek Hak Tanggungan, bagi para pemegang haknya, yang sebagian terbesar terdiri atas golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, menjadi terbuka kemungkinan untuk memperoleh kredit yang diperlukannya dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai jaminan. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan juga dikemukakan bahwa terhadap Hak Pakai atas tanah Negara, yang walaupun wajib didaftar, karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan bukan merupakan objek Hak Tanggungan, seperti Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan Sosial, dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara asing.39 Mengenai ditunjuknya hak pakai atas tanah negara sebagai objek Hak Tanggungan oleh UUHT, Mariam Darus Badrulzaman telah mengemukakan ketidaksetujuannya dengan alasan sebagai berikut :40 38
Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan
39
Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan.
40
Mariam Darus Badruzaman, dikutip dari St. Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 61.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
53
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
a.
Menurut UUPA, hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain (Pasal 41). Untuk tanah hak pakai di atas tanah milik negara, untuk setiap peralihannya diperlukan izin dari pejabat negara (Pasal 43). Hak pakai semula tidak termasuk hak atas tanah yang terdaftar. Berarti hak pakai itu bersifat pribadi yang melekat pada orangnya (right personam) dan tidak bendanya (right in rem). Pada tahun 1966 (Permen Agraria No. 1) ditentukan bahwa Hak Pakai Atas Tanah Negara harus didaftarkan. Pendaftaran ini membawa akibat hak pakai dapat dialihkan. Namun, ada satu syarat yang menunjukkan bahwa hak pakai itu tidak dapat melepaskan diri dari “sifat pribadi”, yaitu untuk peralihannya diperlukan izin (Pasal 43 UUPA jo Permen Agraria No. 1 Tahun 1966 Pasal 2). Merupakan pertanyaan disini dengan adanya pendaftaran Hak Pakai Atas Tanah Negara ini, seyogianya izin itu tidak lagi diperlukan, karena hak pakai itu sudah bersifat hak kebendaan. Jika izin masih diperlukan, berarti sifat hak pakai yang didaftar itu masih mengambang, dualistis, mengikat pribadi dan juga bendanya. Disini tidak ada kepastian hukum yang merupakan asas dalam hukum jaminan.
b.
Dalam hal debitur ingkar janji, merupakan pertanyaan apakah untuk eksekusi tersebut diperlukan izin dari pejabat negara. Berkaitan dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman tersebut, St. Remy
Sjahdeini berpendapat bahwa seyogianya segera dikeluarkan ketentuan perundangundangan yang mengubah ketentuan Pasal 43 UUPA yang menentukan bahwa untuk setiap peralihan tanah hak pakai di atas tanah milik negara diperlukan izin dari pejabat negara. Apabila ketentuan itu belum diubah, unsur bagi terpenuhinya syarat untuk dapat menjadikan Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagai objek Hak Tanggungan tidak terpenuhi. Belum diubahnya ketentuan Pasal 43 UUPA itu akan menimbulkan ketidakpastian bagi eksekusi Hak Tanggungan yang dibebankan atas Hak Pakai Atas Tanah Negara. Tidak ada jaminan hukum bahwa pejabat negara yang dimaksudkan dalam Pasal 43 UUPA itu, akan memberikan izin yang diperlukan untuk peralihan Hak
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Elis H. Tinjauan Tentang …
54
Pakai Atas Tanah Negara itu sebagai syarat dapat dilaksanakannya eksekusi Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan.41 Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, yang mewajibkan semua hak pakai didaftarkan pada buku tanah Kantor Pertanahan, ini semakin membuka peluang untuk digunakannya Hak Pakai sebagai jaminan kredit. Melihat perkembangan pengaturan tentang Hak Pakai ini, apalagi dengan ditempatkannya Hak Pakai sebagai objek hak tanggungan mencerminkan bahwa Hak Pakai dipandang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi masyarakat kecil, serta pemberian Hak Pakai bagi orang asing akan menarik minat pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang akan bermanfaat bagi pembangunan di Indonesia. Fenomena yang ada di masyarakat seringkali terjadi tindakan penyalahgunaan pemanfaatan Hak Pakai ini oleh orang asing (bahkan sebelum dikeluarkannya UndangUndang dan Peraturan Pemerintah baru tersebut), seperti upaya “penyelundupan hukum” yang dilakukan orang asing dengan cara mengawini Warga Negara Indonesia untuk tujuan memperoleh hak pakai atas tanah di Indonesia guna kegiatan usahanya. Setelah keluar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah baru itu pun masih ada upaya pemanfaatan modal yang telah diperoleh dengan memanfaatkan Hak Pakai sebagai objek . Hak Tanggungan, dengan menginvestasikan modal itu ke luar negeri, jelas hal ini tidak sesuai dengan amanat dalam
pemberian Hak Pakai itu, yaitu modal yang
diperoleh haruslah digunakan untuk menunjang kegiatan pembangunan di Indonesia.42 Hal seperti ini masih sulit untuk dicegah, karena masih kurangnya tindakan pengawasan dari aparat penegak hukum terhadap tindakan-tindakan hukum sehubungan dengan pemanfaatan Hak Pakai yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
41
St. Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 62.
42
Fia. S. Aji, Peran Hak Pakai Dalam Pembangunan, http://fiaji.blogspot.com/2007/09/hak pakai
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
55
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Kepala BPN menjelaskan bahwa Hak Pakai atas tanah Negara dijadikan objek hak tanggungan adalah dalam rangka memberi peluang bagi orang asing untuk memiliki bangunan yang dibangun di atas Hak Pakai atas tanah Negara. Dengan ditentukannya Hak Pakai atas tanah Negara dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, maka orang asing dan badan hukum asing dapat menjadikannya jaminan kredit. Pemberian Hak Pakai bagi orang asing dimaksudkan sebagai strategi untuk menarik minat investor asing untuk melakukan penanaman modal di Indonesia.43 Namun Mariam D. Badrulzaman tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang positif, karena mereka justru diharapkan membawa dana ke Indonesia dan bukan memperoleh dana dengan memanfaatkan tanah milik Negara dan menjaminkannya kepada bank atau pihak ketiga.44 Mengenai prosedur pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuannya wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan adalah sebagai berikut :45 1.
Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notariil atau akta di bawah tangan sebagai perjanjian pokoknya.
2.
Adanya penyerahan Hak Pakai atas tanah sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengn Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai perjanjian ikutan.
3.
Adanya pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.
43
Ibid
44
Mariam D. Badruzaman dikutip dari Fia S. Aji, op.cit.
45
Urip Santoso, op.cit, hlm. 121.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Elis H. Tinjauan Tentang …
56
Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Ketentuan umum mengenai hak pakai diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pokok Agraria, sedangkan secara khusus diatur dalam pasal 41 sampai dengan pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria. Menurut pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang.
2.
Hak Pakai dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, tetapi dalam perkembangannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Hak Pakai atas tanah Negara dapat dijadikan objek hak tanggungan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara yang mewajibkan semua Hak Pakai didaftarkan pada Buku Tanah Kantor Pertanahan, maka hal ini semakin membuka peluang untuk digunakannya Hak Pakai sebagai jaminan kredit. Dengan ditempatkannya Hak Pakai sebagai objek Hak Tanggungan, di satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi masyarakat kecil, sehingga
dapat
memperoleh
pinjaman
pada
lembaga
keuangan
guna
mendapatkan modal bagi peningkatan usaha mereka. Tetapi di sisi lain, bila pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara itu adalah orang asing, dan Hak Pakai tersebut dijaminkan, maka kemungkinan yang terjadi adalah menginvestasikan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
57
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
modal yang telah diperoleh itu ke luar negeri. Hal ini jelas tidak sesuai dengan amanat dalam pemberian Hak Pakai tersebut, yaitu modal yang diperoleh haruslah digunakan untuk menunjang kegiatan pembangunan di Indonesia. Selain itu dalam Pasal 53 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara dinyatakan secara tegas bahwa Hak Pakai atas tanah Negara dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan selama Hak Pakai itu masih ada. Jika Hak Pakai hapus, maka Hak Tanggungan akan hapus dengan sendirinya. Hal ini menyebabkan kedudukan kreditur berada pada pihak yang lemah, karena kedudukan preferensinya menjadi hilang. Adapun mengenai prosedur pembebanan hak tanggungan atas hak pakai atas tanah negara adalah sebagai berikut : a. Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notariil atau akta di bawah tangan sebagai perjanjian pokoknya. b. Adanya penyerahan Hak Pakai atas tanah sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengn Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai perjanjian ikutan. c. Adanya pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.
Saran 1.
Seyogyanya segera dikeluarkan ketentuan perundang-undangan yang mengubah ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria yang menentukan bahwa untuk setiap peralihan tanah Hak Pakai Di Atas Tanah Milik Negara diperlukan izin dari pejabat negara, karena akan menimbulkan ketidakpastian bagi eksekusi Hak Tanggungan yang dibebankan atas Hak Pakai Atas Tanah Negara.
2.
Dalam rangka mendayagunakan Hak Pakai ini sesuai dengan peruntukannya seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaannya diperlukan peran serta aparat penegak hukum dan masyarakat
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Elis H. Tinjauan Tentang …
58
DAFTAR PUSTAKA Buku Arie Sukanti Hutagulung, Implikasi Hak Tanggungan Dalm Pemberian Kredit Property Dalam Kerjasama Dengan Pengembang, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003. Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal (Suatu Konsepsi Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jamninan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980. St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai UndangUndang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999. Urip Santoso,Hukum Agraria Hak-Hak AtasTanah, Kencana, Jakarta, 2007.
Perundang-undangan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Sumber dari internet Fia
S.
Aji,
Peran
Hak
Pakai
Dalam
Pembangunan,
http://fiaji.blogspot.com/2007/09/hakpakai
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
59
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 PERLINDUNGAN HAK CIPTA MOTIF BATIK GARUTAN SEBAGAI WARISAN BUDAYA TRADISIONAL DALAM MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS1 Oleh : Suhartini Abstract
Garut Batik is a part of Indonesia Batik which also needs the intellectual property protection. Batik as Indonesia cultural heritage make of conventionally require to be protected and defended. Elemenetry matter in the effort preserve batik art, contemporary batik and specially traditional batik is effort give appreciation in the form of protection to all creator to the result of intellectual property of human being. Protection to batik can be given to through law Number 19 Year 2002 about Copyright.In association with international the Government of Indonesia have ratified some multilateral agreement for example: GATT (General Agreement on Tariff and Trade), Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) with is including Agreement on Trade Related-Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs). Taking part of Indonesian in multilateral agreement, meants as effort to protect law for the owner of Intellectual Property Right toward international relationship and all at once effort to esteem a creation as intellectual properties.In this research will be discussed about how does copyright protection scarping the art of batik is associated with Law Number 19 of 2002 on copyright in the era of free trade and how does the legal protection provide by the Regional Government of the craftsmen Garut batik art scraping. In this study the authors use a normative juridical approach to the specification of this research is descriptive analytical, to provide an overview of the facts with an accurate analysis of the legislation in force, associated with the legal theories in the implementation motif Copyright scraping. Keywords: Batik Garut, Copyright, Folklore Abstrak Batik Garutan merupakan bagian dari Batik Indonesia yang perlu di lindungi oleh Hak Kekayaan Intelektual. Batik sebagai warisan budaya Indonesia perlu di lindungi dan dipertahankan. Hal yang paling mendasar dalam upaya untuk melestarikan seni batik , batik kontemporer dan khususnya batik tradisional adalah upaya untuk memberikan penghargaan berupa perlindungan bagi para pembatik atas hasil karya intelektualnya. Perlindungan bagi karya seni batik dapat diberikan melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam pergaulan 1
Penelitian ini merupakan bagian dari Program Penelitian Skim Hibah Tim Pascasarjana, dibiayai oleh DIPA Kopertis Wilayah IV Jawa Barat Banten, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Hibah Desentralisasi Tahun Anggaran 2014 Skim Hibah Tim Pascasarjana Nomor : 006/LPPM-UIN/ST/V/2014
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Suhartini. Perlindungan Hak Cipta …
60
internasional, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian multilateral antara lain : GATT , WTO termasuk Agreement on Trade Related-Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs). Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian multilateral tersebut, sebagai upaya perlindungan hukum bagi pemilik HKI terhadap pergaulan internasional dan sekaligus sebagai upaya untuk mnghargai suatu ciptaan sebagai kekayaan intelektual. Permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimanakah perlindungan hak cipta seni batik Garutan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta menghadapi era perdagangan bebas dan bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah Daerah Kabupaten Garut terhadap pengrajin seni batik Garutan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian ini adalah Deskriptif Analitis, untuk memberikan gambaran mengenai fakta-fakta disertai analisis yang akurat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dihubungkan dengan teori-teori hukum dalam pelaksanaan Hak Cipta motif batik Garutan. Keywords: Batik Garut, Hak Cipta, Folklor
A.
Pendahuluan Batik yang merupakan warisan budaya Indonesia sudah melekat dalam
kehidupan Rakyat Indonesia, batik biasa digunakan dalam berbagai kesempatan dan kalangan. Pengakuan Malaysia atas batik sangat meresahkan bangsa Indonesia, hal tersebut menyadarkan bangsa kita, betapa pentingnya menjaga warisan budaya bangsa Indonesia. Usaha pemerintah Indonesia dengan memperjuangkan pengakuan dunia bahwa batik merupakan warisan budaya Indonesia yaitu dengan mendaftarkan batik ke United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO)2. Pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO mengakui batik Indonesia sebagai warisan pusaka dunia kategori Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi3. Salah satu tugas khusus UNESCO adalah melindungi warisan budaya
2
Kasiyan, Batik Riwayatmu Kini : Beberapa Catatan Tegangan Kontestisi Makalah disampaikan pada Seminar Batik yang diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 18 Mei 2010 3 Pusat Informasi dan Humas Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Empat Sertifikat UNESCO Bukti Pengakuan Duniahttp://www.menkokesra.go.id/node/66.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
61
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
yang berada dalam pengawasan upaya internasional untuk melindungi kreativitas dan keragaman di seluruh dunia4 Pengakuan UNESCO ini melalui proses yang panjang dengan proses penjurian pada bulan Januari-Mei 2009, setelah itu dilakukan evaluasi dan sidang tertutup pada 11-14 Mei di Paris. Indonesia meratifikasi The Connvention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage pada tanggal 5 Juli 2007 melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007. Konvensi tersebut disetujui pada pertemuan konferensi umum UNESCO di Paris pada tanggal 29 September – 17 Oktober 2003 pada sidang ke-32. Untuk itu, setiap tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional melalui keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009. UNESCO mengakui batik sebagai batik tulis, yang eksistensinya banyak terkait dengan dimensi proses, ritual, dan motifnya, namun pengakuan dan penghargaan atas batik Indonesia tersebut, tidak dalam kaitannya dengan pengakuan batik sebagai Hak Kekayaan Intelektual tetapi hanya pengakuan dan penghargaannya sebagai warisan pusaka dunia milik sah bangsa Indonesia, oleh karena itu masih diperlukan suatu upaya penghargaan berupa perlindungan hukum atas seni batik sebagai karya cipta yang merupakan hasil kekayaan intelektual. Filosofi pentingnya perlindungan terhadap Hak Cipta bukan hanya menekankan pada faktor manusia dan akal, tetapi lebih dari itu adalah penekanan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi. Perlindungan Hak Cipta sangat dibutuhkan dalam rangka untuk memberikan insentif dan meningkatkan penghargaan terhadap karya cipta bagi pencipta, untuk lebih termotivasi dalam menghasilkan karya-karya ciptanya, sehingga dengan adanya keinginan untuk mencipta maka diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Banyak sudah kasus-kasus terjadi dimana orang asing memanfaatkan ke khas an milik masyarakat Indonesia seperti ramuan untuk mencegah efek penuaan dan menyehatkan rambut, terbuat dari zat-zat yang hanya ditemukan pada cabai jawa5.
4
Hubert Gijsen, Perlindungan dan Pengakuan terhadap warisan Budaya nasional sebagai Warisan Budaya Dunia, (Protection and Recognituion of the National Cultural Heritage as World Cultural Heritage), diterjemahkan oleh Tim Media HKI, Media HKI (Vol.V/No5/Oktober 2008) hlm 18. 5 Tim Lindsey dkk, Op.Cit, hlm.64
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Suhartini. Perlindungan Hak Cipta …
62
Demikian juga dengan proses baru pengolahan tempe dan rotan yang dianggap sangat memiliki ciri Indonesia, telah didaftarkan untuk memperoleh perlindungan hukum di luar negeri oleh orang-orang asing walaupun telah digunakan di Indonesia selama berabad-abad dan telah dianggap sebagai milik umum. Kasus lain lagi juga terjadi, seperti motif batik tradisional telah didaftarkan oleh orang asing di Eropa, Jepang, Amerika dan Malaysia. Hal ini yang mengakibatkan beberapa pengusaha batik Indonesia tidak dapat mengeksport produknya ke luar negeri karena diharuskan membayar royalty dengan harga tinggi. Hal ini yang harus diupayakan pemerintah untuk membantu melindungi hasil karya masyarakat untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagaimana di amanatkan dalam pembukaan alinea ke-2 UUD 19456. Kegiatan dan usaha pembatikan terdapat di kabupaten Garut, yang merupakan warisan budaya nenek moyang berlangsung turun temurun dan telah berkembang lama sebelum masa kemerdekaan. Pada tahun 1945 Batik Garut semakin popular dengan sebutan Batik Tulis Garutan. Batik Garutan umumnya digunakan untuk kain sinjang, namun berfungsi juga untuk memenuhi kebutuhan sandang dan lainnya. Bentuk motif batik Garutan merupakan cerminan dari kehidupan sosial budaya, falsafah hidup, dan adat-istiadat orang Sunda, beberapa perwujudan batik Garutan secara visual dapat digambarkan melalui motif dan warnanya. Berdasarkan pemikiran yang melatarbelakangi penciptaan batik Garutan, maka motif-motif yang dihadirkan berbentuk geometrik sebagai ciri khas ragam hiasnya. Bentuk-bentuk lain dari motif batik Garutan adalah flora dan fauna. Bentuk geometrik umumnya mengarah ke garis diagonal dan bentuk kawung atau belah ketupat. Warnanya didomiansi oleh warna krem dipadukan dengan warna-warna cerah lainnya yang merupakan karakteristik khas batik Garutan. Seni batik yang dilindungi Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 melindungi seni batik batik tradisional maupun bukan tradisional, dengan demikian batik Garutan sebagai salah satu warisan budaya mendapat perlindungan hukum. 6
Merupakan “nafas“ perundang‐undangan dibidang ekonomi yang mempunyai makna “adil dan makmur” untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat secara umum.Lihat Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Rafika Aditama, Bandung, 2004, hlm.152.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
63
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 ini ternyata tidak diiringi dengan semangat perlindungan terhadap Hak Cipta itu sendiri, selain karena sosialisasi yang kurang memadai, minimnya pemahaman dari pengrajin batikGarutan tentang Hak Kekayaan Intelektual khususnya Hak Cipta melengkapi ketidakmampuan untuk menegakkan perlindungan terhadap Hak Cipta terutama terhadap seni batik. Hal ini dibuktikan dengan keengganan para pengusaha batik untuk mendaftarkan Hak Cipta atas batiknya. Sistem pendaftaran Hak Cipta yang saat ini berlaku adalah bersifat deklaratif, dan bukan bersifat konstitutif. Hal ini berarti bahwa pendaftaran tersebut tidak bersifat keharusan, melainkan hanya anjuran yang bersifat bebas dan tidak memaksa. Ketentuan Hak Cipta, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. namun ciptaan yang tidak didaftarkan akan memakan waktu pembuktian hak ciptanya daripada ciptaan yang telah didaftarkan. Sistem pendaftaran ini merupakan salah satu faktor pendukung mengapa belum dimanfaatkannya pendaftaran Hak Cipta oleh para pencipta seni batik. Indonesia sendiri sudah memiliki rezim perlindungan bagi pengetahuan tradisional yang berbentuk folklore,7 seperti yang tertuang dalam pasal 10 Undang-undang NO. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta. Akan tetapi, ketentuan dalam pasal tersebut masih sulit untuk diimplementasikan. Salah satu alasannya adalah bahwa pasal ini memerlukan peraturan pelaksanaan yang sampai saat ini belum diterbitkan. Perlindungan seni batik telah ada sejak berlakunya Undang-Undang Hak Cipta, namun pemanfaatan suatu karya batik belum dilakukan secara maksimal. Beberapa penelitian terungkap bahwa kesadaran hukum mengenai hak cipta masih rendah dan kebiasaan saling meniru motif adalah hal biasa dikalangan pengrajin yang sebagian
7
Folklore adalah kreasi yang berorientasi pada kelompok dan berlandaskan tradisi sebagai suatu ekspresi dari budaya dan identitas sosialnya dan pada umumnya disampaikan atau ditularkan secara lisan melalui peniruan atau dengan cara lainnya. Bentuk folklore meliputi antara lain bahasa, karya sastera, musik, tarian, permainan, mitos, upacara ritual, kebiasaan, kerajinan tangan, karya arsitektur dan karya seni lainnya. Michael Blakeney, “What is Traditional Knowledge? Why Should It Be Protect? Who Should Protect It? For Whom?” Undestanding The Value Chain”, dalam WIPO Roundtable on Intellectual Property and Traditional Knowledge, WIPO/IPTK/RT/99/3, (October 6, 1999), 2. Dalam perspektif WIPO, folklore adalah bagian dari pengetahuan tradisional. Lihat WIPO, Intellectual Property Needs, 26.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Suhartini. Perlindungan Hak Cipta …
64
besar merupakan pengusaha menengah kebawah. Masyarakat masih menganggap bahwa hal tersebut bukanlah pelanggaran hak cipta, sehingga pendaftaran hak cipta atas karya cipta batik belum dirasakan manfaatnya8. Perlindungan hukum terhadap batik Garutan sebagai salah satu warisan budaya asli Indonesia, jangan sampai potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai warisan budaya lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing secara tidak sah, oleh karena itu menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan jalan keluar bagi permasalahan tersebut. Industri batik, meskipun tidak sebesar hasil industri lainnya namun seni batik secara historis yuridis merupakan budaya tradisional bangsa Indonesia sehingga perlu dilestarikan dan dilindungi. Sebagai suatu kebudayaan tradisional yang telah berlangsung secara turun menurun, maka sudah selayaknya Hak Cipta atas seni batik ini mendapatkan perhatian yang serius, sehingga diharapkan tidak terjadi lagi pembajakan baik oleh masyarakat Indonesia sendiri maupun oleh pengusaha-pengusaha dari negara lain. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut diatas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah perlindungan Hak Cipta seni batik Garutan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta menghadapi era perdagangan bebas ? (2) Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Garut terhadap pengrajin seni batik Garutan ? (3) Bagaimana konsep perlindungan Batik Garutan yang tepat sesuai dengan sistem komunal di Indonesia ?
B.
Metoda Penelitian. Spesifikasi Penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis9.Teknik
Pengumpulan Data.Adapun dalam penulisan hukum ini mempergunakan 2 cara teknik pengumpulan data yaitu studi dokumen kepustakaan (literature study) dan studi lapangan (research study) melalui wawancara. 8
Kanti Rahayu, “Upaya Perlindungan Batik Lasem Oleh Pemerintah Kabupaten Rembang” Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Lihat juga Hasil Penelitian Mariah Seliriana, “Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Cirebon”Program Studi Magister Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Ekonomi Universitas Indonesia 9 C.F.G Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke 20, Alumni, Bandung, 1994, hlm 120. Lihat pula Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta, 1986, hlm 9-10.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
65
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 Penelitian dilakukan dalam satu tahap, yaitu penelitian kepustakaan (library
research) , penelitian ini dilakukan dengan meneliti dan mengkaji data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sedangkan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk menunjang dan melengkapi data sekunder. Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, digunakan analisis secara yuridis kualitatif. Dalam penelitian ini tidak menampilkan hipotesis berarti dilakukan tanpa menggunakan angka, rumus statistik dan matematik akan tetapi disusun dalam bentuk uraian kalimat-kalimat. Konsep, perspektif, teori, paradigma yang menjadi landasan teoritikal penelitian mengacu pada kaidah hukum yang ada dan berlaku dari pakar hukum yang terkemuka.
C.
Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilakukan ditempat-tempat sebagai berikut :
1.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
2.
Pemerintah Daerah Kabupaten Garut.
3.
Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pengelolaan Pasar Pemerintah Kabupaten Garut.
4.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Garut.
5.
Perusahaan batik tulis “RM” Garutan - Garut.
6.
Perusahaan batik tulis dan cap Garutan “Tulen” - Garut .
7.
Perpustakaan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat.
8.
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara Bandung.
9.
Perpustakaan Universitas Indonesia
D.
Hasil Penelitian dan Pembahasan.
1.
Perlindungan Hak Cipta seni batik Garutan dikaitkan dengan UndangUndang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta menghadapi era perdagangan bebas Batik Garutan sama hal nya dengan batik-batik dari daerah lain yang
membedakannya hanyalah corak maupun motif dan warna juga tentang makna yang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Suhartini. Perlindungan Hak Cipta …
66
ada dalam motif tersebut. Perlindungan hak cipta batik Garutan pun sampai saat ini masih belum jelas karena dari pihak Pemerintah Kabupaten Garut sendiri menyadari belum bisa sepenuhnya melindungi motif-motif batik Garutan. Hal ini disebabkan karena belum adanya payung hukum yang khusus mengatur tentang perlindungan tentang hak cipta batik Garutan10. Hal ini disampaikan juga oleh Kepala Bidang
Industri Non Agro yang
mengatakan bahwa mulai tahun 2015 akan mengusahakan perlindungan terhadap hak cipta batik Garutan dengan cara mendaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia11. Seni batik di Indonesia telah mendapatkan perlindungan sejak UUHC tahun 1987, namun tidak berarti bahwa para pencipta seni batik telah memanfaatkan UUHC dalam upaya untuk mendapatkan perlindungan. Bahkan banyak pencipta seni batik yang tidak mengetahui keberadaan dari UUHC itu sendiri khususnya pengusaha batik menengah kebawah. Hal ini masih terus berlangsung sampai saat ini yaitu UUHC tahun 2002. Meskipun ada beberapa pengusaha batik yang mengetahui keberadaan UUHC itu namun mereka menganggap hal tersebut tidak terlalu penting. Yang menjadi penyebab tidak dimanfaatkannya UUHC tersebut antara lain karena tidak adanya jaminan bahwa meskipun telah didaftarkan maka karya seni batik tersebut tidak akan di tiru oleh orang lain, tidak ada kejelasan antara hak dan kewajiban pemegang hak cipta seni batik, mahalnya biaya pendaftaran , prosedur yang berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang lama. Adapun perkembangan pengaturan seni batik di Indonesia adalah sebagai berikut: a.
Dalam pasal 11 ayat (1) huruf f UUHC tahun 1987 Di dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan seni batik adalah seni batik yang bukan tradisional. Sebab, seni batik yang tradisional seperti parang rusak, sidomukti, truntum dan lain-lain pada dasarnya telah merupakan hasil
10
Wawancara dengan Kristanti Wahyuni – Kasubbag Per undang-undangan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Garut, 30 April 2014 11 Wawancara dengan Imam Prayogi, Kepala Bidang Industri Non Agro, Dinas Perindustrian dan Perdagangan , Pemerintah Kabupaten Garut, 30 April 2014
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
67
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama yang dipelihara dan dilindungi oleh negara.
b.
Pasal 11 ayat (1) huruf k UUHC tahun 1997. Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “batik” adalah ciptaan baru atau yang bukan tradisional atau kontemporer. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya, sedangkan untuk batik tradisional seperti parang rusak, sidomukti, truntum dan lain-lain menurut perlindungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya memang telah berakhir dan menjadi public domain. Bagi orang Indonesia sendiri pada dasarnya bebas untuk menggunakannya.
c.
Pasal 12 ayat (1) huruf I UUHC tahun 2002 Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa batik yang di buat secara konvensional dilindungi sebagai bentuk ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lainlain yang dewasa ini terus dikembangkan. Berdasarkan ketiga ketentuan diatas dapat diketahui bahwa pada UUHC tahun
1987 dan UUHC tahun 1997, seni batik yang mendapat perlindungan hak cipta adalah seni batik yang bukan tradisional dengan pertimbangan bahwa seni batik yang tradisional telah menjadi milik bersama (public domain). Konsekuensi bagi orang Indonesia yang mempunyai kebebasan untuk menggunakannnya tanpa dianggap sebagai suatu pelanggaran. Pada UUHC tahun 2002, unsur yang ditekankan adalah pada “pembuatan” batik secara konvensional. Adapun batik yang dianggap paling baik dan paling tradisional/konvensional adalah batik tulis. Adapun untuk ciptaan yang dilindungi maka pemegang hak cipta seni batik memperoleh perlindungan selama hidupnya dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah meninggal dunia.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Suhartini. Perlindungan Hak Cipta …
68
Selama jangka waktu tersebut, pemegang hak cipta seni batik memiliki hak ekseklusif untuk melarang pihak lain mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya atau memberi
ijin kepada orang lain untuk melakukan pengumuman dan
memperbanyak ciptaan yang dipunyai tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan diatas diperuntukkan bagi seni batik yang bukan tradisional, sedangkan seni batik tradisional tidak memiliki jangka waktu perlindungan. Hal ini disebabkan karena batik tradisional itu diciptakan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia sehingga diperkirakan perhitungan jangka waktu perlindungan hak citannya telah melewati jangka waktu perlindungan yang di tetapkan undangundang. Oleh karena itu, batik-batik tradisional yang ada menjadi milik bersama masyarakat Indonesia. Selain itu hak cipta batik tradisional yang ada dipegang oleh negara. Hal ini berarti bahwa negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional yang ada. Perwakilan oleh negara dimaksudkan untuk menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Selain itu penguasaan oleh negara menjadi sangat penting apabila terjadi pelanggaran hak cipta atas batik tradisional Indonesia yang dilakukan oleh negara asing karena akan menyangkut masalah penyelesaian sengketanya. 2.
Upaya Pemerintah Daerah Kabupaten Garut Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Batik Garutan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Daerah Kabupaten Garut telah
melakukan pendataan dan pendokumentasian terhadap motif-motif batik Garutan. Untuk mendaftarkan hak cipta terhadap motif batik Garutan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri sampai saat ini belum dapat dilakukan karena anggaran belum ada. Menurut rencana, tahun 2015 baru akan dianggarkan untuk pendaftaran hak ciptanya12.
12 Wawancara dengan Imam Prayogi, Kepala Bidang Industri Non Agro, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pengelolaan Pasar Pemerintah Kabupaten Garut, 30 April 2014.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
69
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 Proses pendokumentasian dilakukan untuk mempermudah pembuktian bahwa
pengetahuan tradisional tertentu adalah milik masyarakat tertentu dalam hal ini masyarakat Garut. Sedangkan upaya lain dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Garut adalah penggunaan batik Garutan pada pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut untuk pakaian dinas harian . Hal ini tercantum dalam Peraturan Bupati Garut Nomor 593 Tahun 2011 tentang Pakaian Dinas Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah dan Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Kabupaten Garut13. Menurut Kepala Bidang Industri Non Agro Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut, kurangnya kesadaran dari para pengrajin batik Garutan atas Hak Kekayaan Intelektual terutama hak cipta dikarenakan kurangnya manfaat yang dirasakan dengan didaftarkannya hak cipta tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa mengikuti selera pasar agar produknya laku terjual. walaupun dengan saling meniru motif batik dikalangan pengrajin batik itu sendiri14 Sentra batik garutan sendiri tidak terpusat di satu tempat melainkan tersebar dibeberapa wilayah di Garut. Antara lain di daerah Papandayan, Kampung Sisir, Otto Iskandardinata, Ciledug. Khusus di daerah Papandayan dan Kampung Sisir kebanyakan pengusaha batik merupakan usaha keluarga yang diwariskan secara turuntemurun. Para pengusaha ini adalah orang-orang yang menjalankan usaha dengan memproduksi dan menjadikan usaha batik sebagai penghasilan yang utama15. Di Garut sendiri ada pengrajin dan pedagang, bahkan ada yang menjadi pengrajin sekaligus pedagang batik. Pengrajin ditandai dengan pemilikan showroom dan tempat pembuatan atau sanggar batik yang besar dengan pegawai yang banyak seperti Perusahaan Batik Tulis “RM” Garutan dan Batik Tulis dan Cap Garutan “Tulen”. Sedangkan pedagang hanya menjual batik di tokonya saja dengan mengambil batik dari para pengrajin. Keberadaan pengrajin maupun penjual batik Garutan sangatlah besar guna pelestarian batik Garut. Karena batik-batik Garutan sempat mengalami penurunan
13 Wawancara dengan Kristanti Wahyuni, SH., Kepala Subbagian Perundang-undangan , Pemerintah Kabupaten Garut,. 30 April 2014. 14 Wawancara dengan Wawan Somarwan, S.Sn., Kepala Seksi Nitrahasa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemerintah Kabupaten Garut. 13 Mei 20014 15 Wawancara dengan wawan Somarna, S.Sn, Kepala Seksi Nitrahasa, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerinah Kabupaten Garut, 13 Mei 2014.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Suhartini. Perlindungan Hak Cipta …
70
yang disebabkan oleh semakin pesatnya batik cap/printing, kurangnya minat para generasi penerus pada usaha batik, ketidak tersediaan bahan dan modal serta lemahnya strategi pemasaran. Namun hal ini tidak berlangsung lama dengan adanya semangat dari tokoh-tokoh batik untuk membangkitkan kembali usaha batik Garutan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut seringkali melakukan pembinaan dan sosialisasi kepada para pengrajin industri kecil dan menengah yang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat maupun akademisi. Untuk pembinaan biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pelatihan yang di pandu oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat. Adapun
materi yang
disampaikan pada sosialisasi itu tidak hanya terbatas pada masalah Hak Kekayaan Intelektual tetapi juga tentang Batikmark “Batik Indonesia”16 Batikmark “Batik Indonesia” diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 74/M-IND/PER/9/2007 tentang Penggunaan Batikmark “Batik Indonesia” pada batik buatan Indonesia. Batikmark “Batik Indonesia” merupakan label yang diberikan oleh Balai Besar Kerajinan dan Batik setelah pengusaha batik mengirimkan uji sampel kain batiknya. Selanjutnya, sampel kain batik itu di teliti melalui proses pengujian dilaboratorium uji dan lolos tes Standar Nasional Indonesia (SNI). Label tersebut dapat di sertakan pada batik tulis, batik tulis cap dan batik cap. Adapun tujuan dari Batikmark itu sendiri adalah untuk menjamin mutu batik Indonesia, meningkatkan kepercayaan konsumen Indonesia dalam negeri maupun luar negeri terhadap mutu baik Indonesia, memberikan perlindungan hukum dari berbagai persaingan tidak sehat di bidang Hak Kekayaan Intelektual dalam negeri maupun internasional, memberikan identitas batik Indonesia agar masyarakat Indonesia dan asing dapat dengan mudah mengenali baik buatan Indonesia. Menurut salah satu pengrajin batik Garutan dalam menanggapi adanya logo Batikmark “batik Indonesia” mengatakan bahwa adanya keengganan dari para pengrajin untuk membubuhkan batikmark disebabkan karena adanya biaya yang harus dikeluarkan yang berakibat akan semakin mahalnya harga jual batik tersebut17. 16
Wawancara dengan Imam Prayogi, Kepala Bidang Industri Non Agro, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pengelolaan Pasar Pemerintah Kabupaten Garut, 30 April 2014. 17 Wawancara dengan Jonathan penerus generasi batik tulis dan cap Garutan “Tulen”, 13 Mei 2014
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
71
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Menurut
Jonathan juga,
bahwa dia tidak keberatan apabila beberapa motif
modifikasinya ditiru oleh pengrajin lain dengan alasan dirinya sendiri terkadang meniru motif pengrajin lain. Dan kebiasaan saling meniru motif batik dikalangan pengrajin batik sendiri merupaan hal yang biasa. Bahkan ada kebanggaan tersendiri kalau motif batiknya ditiru oleh orang lain. Upaya lain yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Kebudayaan Kabupaten Garut dalam rangka melestarikan batik adalah dengan jalan mengadakan lomba kreasi pembuatan batik bagi pelajar di tingkat SMK, lomba busana batik, dan belajar membatik. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perlindungan batik Garutan antara lain: a.
Kurangnya minat generasi muda untuk terut serta dalam melestarikan batik.
b.
Sulitnya mendapatkan bahan baku. Disamping sulit juga harganya yang terlalu mahal.
c.
Managemen pemasaran yang masih tradisional.
3.
Konsep Perlindungan Batik Garutan yang Tepat Sesuai Dengan Sistem Komunal di Indonesia. Sejak rezim HKI diperkenalkan , maka muncullah
pemikiran-pemikiran
bagaimana bangsa Indonesia sebagai salah satu negara berkembang agar dapat memberikan perlindungan terhadap sumber daya genetika, pengetahuan tradisional dan ekpresi budaya tradisional atau yang lebih dikenal dengan singkatan SDGPT dan EBT. Secara jujur diakui bahwa rezim HKI yang diperkenalkan di Indonesia dan negara-negara lain tersebut adalah merupakan produk barat. Untuk negara berkembang sendiri seperti Indonesia masalah HKI jika dilihat dari factor budaya sedikit mengalami resistensi artinya suatu ciptaan atau karya itu kalau dilihat dari konsep budaya kita bersifat komunal padahal HKI itu pada hakekatnya bersifat individual. Tetapi sejak rezim HKI dipernalkan dan telah menjadi kebijakan pemerintah maka pergeseran nilai tersebut muncul. Mulai saat itulah batik dan sebagainya menjadi marak dibicarakan walaupun sifatnya masih komunal atau masih milik bersama tetapi sudah mulai ada perasaan tidak senang kalau ada orang lain menggunakan karya atau ciptaan mereka apalagi kalau untuk tujuan komersil dan tanpa ijin.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Suhartini. Perlindungan Hak Cipta …
72
Indonesia sudah menjadi anggota WTO dan kita semua tahu di WTO itu ada TRPIs, tentu kita harus mematuhi ketentuan TRIPs tersebut. Hal tersebut berarti kita harus memberikan perlindungan yang memadai terhadap semua karya intelektual yang ada. Hal ini berarti, kalau ada pelanggaran-pelanggaran HKI di Indonesia kita harus bisa mengambil suatu sikap dan tindakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Indonesia memiliki sumber daya genetika, pengetahuan trdisional dan ekpresi budaya tradisional atau yang lebih dikenal dengan singkatan SDGPT dan EBT atau GRTKF (Genetika Resources, Traditional Knowledge and Folklore) yang banyak juga dimanfaatkan, diexpertasi secara komersil oleh pihak-pihak lain atau pihak-pihak asing. Oleh sebab itu, pemerintah sejalan dengan apa yang diperjuangkan ditingkat internasional melalui forum International Government on Genetic Resources Traditional Knowledge and Folklor (IGC GRTKF). Dalam forum tersebut GRTKF tadi juga bisa mendapatkan perlindungan di masing-masing negara terutama negara berkembang. Hal ini banyak ditentang oleh negara maju, karena mereka tidak bisa lagi mengakses yang selama ini bebas mereka akses. Perbedaan pandangan kedua masyarakat terletak pada konsep dasar dan aspek pemilikannya. Konsep dasar masyarakat Barat yang individual kapitalistik melihat pengetahuan tradisional itu sebagai kekayaan (property) yang dapat dimiliki secara individual, sedangkan masyarakat lokal atau tradisional lebih melihatnya sebagai warisan atau ekspresi kebudayaan (cultural heritage atau cultural expression). Dengan demikian, sebenarnya masih ada peluang untuk menjembatani antara pandangan masyarakat Barat dan masyarakat tradisional mengenai pengetahuan tradisional sebagai kekayaan intelektual. Itulah alasan mengapa kaitan antara sistem HKI dan perlindungan pengetahuan tradisional perlu dikaji secara lebih mendalam. Hal ini terkait dengan persoalan tepat atau tidaknya menerapkan rezim HKI guna melindungi kepentingan-kepentingan dan hak-hak masyarakat lokal. Apabila rezim HKI kurang dapat diandalkan untuk melindungi pengetahuan tradisional bidang keanekaragaman hayati , rezim apa kiranya yang paling tepat untuk melindungi hak masyarakat lokal Indonesia. Pada tingkat internasional seperti halnya dalam forum WIPO, perdebatan mengenai hal itupun belum lagi usai, apalagi menghasilkan keputusan yang dapat diterima semua pihak.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
73
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 Berkaitan dengan keberatan-keberatan terkait dengan pemberlakuan rezim HKI
(Pasal 10 UU Hak Cipta) dalam hal perlindungan folklore ini, maka Pemerintah mempertimbangkan untuk membuat undang-undang sui generis. Beberapa negara mengusulkan sistem perlindungan sui generis sebagai alternatif untuk melindungi pengetahuan tradisional. Kekayaan budaya sudah seharusnya dilindungi oleh negara asal dari kekayaan budaya tersebut. Dalam Hukum Internasional hal itu telah diakui.18 Indonesia dapat mempertimbangkan sistem sui generis mengingat karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat berbeda dengan masyarakat Barat. Karakteristik masyarakat Indonesia masih kuat diwarnai sistem kolektif atau komunal dan religius, sehingga perilaku masyarakatnya pun masih diresapi dan dituntun oleh sistem nilai tersebut.19 Dengan demikian, menciptakan hukum yang berlandaskan sistem nilai yang berbeda hanya akan menimbulkan masalah dalam implementasinya. Perjuangan
negara-negara
berkembang
dalam
rangka
memperjuangkan
pengakuan hak kolektif masyarakat dan tuntutan untuk adanya benefit sharing atas akses yang diberikan. Model Law yang dirumuskan oleh negara-negara berkembang sebaiknya mengacu pada konsep hak bersama dari masyarakat tradisional dan bukan hak bersama yang dikembangkan dari collectivism Barat. Beberapa ketentuan yang perlu dipertimbangkan dalam Model Law antara lain : a.
Bagaimana akses diberikan?
b.
Siapa pihak yang mempunyai otoritas untuk membuka akses
c.
Bagaimana pihak luar yang diberi akses melakukan kegiatan (persoalan persyaratan dan prosedur dalam proses penelitian in situ)?
d.
Hasil apa yang akan dicapai dari akses tersebut?
e.
Apakah dari hasil penelitian dapat diajukan klaim pemilikan individu (intellectual property claim)?
f.
Apakah masyarakat tetap mempunyai hak atas klaim individu tersebut?
18
Rebecca Clements, “Misconceptions of Culture: Native Peoples and Cultural Property Under Canadian Law”, Toronto Faculty of Law Review, (Vol. 49 No. 1, 1991), hlm. 2. 19 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Desember 2003), hlm. 96.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Suhartini. Perlindungan Hak Cipta … g.
74
Hak apakah yang dimiliki oleh masyarakat berkenaan dengan hasil penelitian yang sudah diajukan klaim individu?
h.
Bagaimana pembagian manfaat atas hasil kegiatan yang dilakukan berdasarkan akses tersebut?
i.
Apa bentuk manfaat yang diberikan kepada masyarakat?
j.
Apakah masyarakat dapat secara langsung menerima bentuk pembagian manfaat yang dimaksud, ataukah pembagian manfaat dilakukan melalui negara?
k.
Dalam hal masyarakat dapat menerima secara langsung, siapakah subyek yang diberi otoritas menerima pembagian manfaat atas nama masyarakat yang bersangkutan? Untuk menciptakan sistem perlindungan yang tepat, harus ada upaya yang harus
dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia mengingat masyarakat tidak dapat diharapkan untuk secara aktif mengupayakan sendiri perlindungan yang dimaksud. Dalam konteks ini Pemerintah Indonesia dapat belajar dari pengalaman negaranegara lain, atau bahkan memanfaatkan hasil kerja WIPO atau organisasi internasional lainnya seperti UNEP, yang sudah melakukan berbagai langkah pendahuluan dalam upaya memberikan perlindungan bagi pengetahuan tradisional, dengan penyesuaian yang diperlukan seperti berikut ini : 1.
Unsur-unsur/elements of sui generis intellectual property system for traditional knowledge or expression of folklore, yang diantaranya meliputi: a. Pertimbangan/kebijakan yang mendasari diperlukannya sui generis dimaksud b. Subyek yang akan diatur c. Kriteria yang harus dipenuhi oleh subyek dimaksud d. Pemilik e. Hak dan kewajiban apa yang dimiliki oleh pemilik f.
Bagaimana prosedur untuk memperoleh hak
g. Bagaimana cara mengadministrasikan dan menegakkan hak dimaksud h. Penyelesaian sengketa i.
Kapan hak dimaksud berakhir.
j.
Mekanisme pembagian keuntungan dalam perjanjian kontrak yang melibatkan investor asing.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
75
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Kesimpulan. a.
Undang-Undang Hak Cipta tahun 2002 telah mengatur mengenai pendaftaran karya cipta yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, termasuk didalam lingkup yang dilindungi adalah karya cipta seni batik, namun demikian, minimnya wawasan para pencipta mengenai pentingnya pendaftaran hak cipta bagi karya seni batik membuat kebiasaan meniru atau menjiplak motif batik menjadi hal yang biasa bahkan sulit untuk dihilangkan.
b.
Perlindungan Hukum yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Garut melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Daerah Kabupaten Garut telah melakukan pendataan dan pendokumentasian terhadap motif-motif batik Garutan . Untuk mendaftarkan hak cipta terhadap motif batik Garutan baik yang tradisional maupun kontemporer ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri sampai saat ini belum dapat dilakukan karena anggaran belum ada. Menurut rencana, tahun 2015 baru akan dianggarkan untuk pendaftaran hak ciptanya.
c.
Perlindungan yang tepat sesuai dengan system komunal, bahwa untuk karya cipta batik yang dibuat secara turun - temurun dan tidak dapat diketahui lagi siapa pencipta aslinya maka akan menjadi milik masyarakat secara umum tidak bisa dimiliki oleh individu. Yang wajib mendaftarkan hak ciptanya adalah negara20 .
Saran. a.
Walaupun perlindungan batik Garutan sebagai sebagai warisan budaya tradisional diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UU Hak Cipta tahun 2002. Namun pada kenyataanya belum bisa mengakomodir perlindungan atas motif batik tradisional .
Yang dibutuhkan adalah pengaturan secara khusus tentang
perlindungan terhadap folklore yaitu dengan dibentuknya suatu kerangka pengaturan tersendiri mengenai pengetahuan tradisional untuk melindungi karya tersebut dari peniruan oleh pihak asing.
20 Wawancara dengan Nurbaya, Kasubbdit Penyidikan HAk Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 5 Juni 2014.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Suhartini. Perlindungan Hak Cipta … b.
76
Seharusnya Pemerintah Daerah Kabupaten Garut Membuat Peraturan Daerah yang mengatur tentang perlindungan terhadap batik Garutan.
c.
Tentang konsep perlindungan komunal. Pemerintah Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bekerja sama dengan Pemerintah Daerah harus melakukan identifikasi ulang tentang batik- batik karya komunal yang terdapat diseluruh wilayah Indonesia yang kemudian dimasukkan dalam data base,
serta dibutuhkan adanya perangkat hukum lain yaitu Peraturan
Pemerintah ataupun Peraturan daerah yang mengatur hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
C.F.G Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke 20, Alumni, Bandung, 1994, hlm 120. Lihat pula Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986. Hubert Gijsen, Perlindungan dan Pengakuan terhadap warisan Budaya nasional sebagai Warisan Budaya Dunia, (Protection and Recognituion of the National Cultural Heritage as World
Cultural Heritage), diterjemahkan oleh Tim Media HKI,
Media HKI (Vol.V/No5/Oktober 2008) . Rebecca Clements, “Misconceptions of Culture: Native Peoples and Cultural Property Under Canadian Law”, Toronto Faculty of Law Review, (Vol. 49 No. 1, 1991). Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Desember 2003).
Sumber lain. Kasiyan, Batik Riwayatmu Kini : Beberapa Catatan Tegangan Kontestisi Makalah disampaikan pada Seminar Batik yang diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 18 Mei 2010.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
77
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014 Kanti Rahayu, “Upaya Perlindungan Batik Lasem Oleh Pemerintah Kabupaten
Rembang” Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Lihat juga Hasil Penelitian Mariah Seliriana, “Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Cirebon”Program Studi Magister Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Ekonomi Universitas Indonesia. Pusat Informasi dan Humas Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,
Empat
Sertifikat
UNESCO
Bukti
Pengakuan
Dunia
http://www.menkokesra.go.id/node/66.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Ade ER. Eksistensi Lembaga …
78
EKSISTENSI LEMBAGA PEMBIAYAAN ILEGAL NON BANK DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh : Ade Eliya Rosmawati
Abstract Consumers are every user of goods and services available in the community, either for personal interest, as well as other living beings, and not for sale .Illegal non-bank financial institutions recognized by the public are indicated by many enthusiasts who invest funds, yet the existence of such financial institutions illegal non-banks do not contribute to the improvement of the national economy. The position of non-bank financial institutions have been set in the legislation which the regulation will be sufficient, to protect the interests and rights of consumers. Therefore the aim of this research is to discover the existence of illegal, non-bank financial institutions in an effort to improve the national economy as well as to locate the position of non-bank financial institutions associated with legal protection for consumers. Keywords: Consumer, Illegal Non-Bank Financial Institution, Financial Institution Presence Abstrak
Konsumen merupakan setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan pribadi, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.. Lembaga pembiayaan ilegal non bank diakui oleh masyarakat ditunjukkan dengan banyak peminat yang menginvestasikan dananya, namum demikian keberadaan lembaga pembiayaan ilegal non bank tidak memberikan konstribusi bagi peningkatan perekonomian nasional. Kedudukan lembaga pembiayaan non bank telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mana peraturan tersebut telah cukup memadai, melindungi kepentingan serta hak-hak konsumen. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan eksistensi lembaga pembiayaan ilegal non bank dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional serta untuk menemukan kedudukan lembaga pembiayaan non bank dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi konsumen. Kata kunci : Konsumen, Lembaga Pembiayaan Ilegal Non Bank, Keberadaan Lembaga Pembiayaan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
79
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
I.
Pendahuluan Konsumen merupakan setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Konsumen mempunyai perlindungan yang sering disebut perlindungan konsumen, pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen, tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen pada posisi yang lemah. Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen1. Lembaga pembiayaan adalah salah satu bentuk usaha yang mempunyai peranan sangat penting dalam pembiayaan. Kegiatan lembaga pembiayaan ini dilakukan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan surat sanggup bayar. Lembaga pembiayaan berperan sebagai salah satu lembaga sumber pembiayaan alternatif yang potensial untuk menunjang perekonomian nasional2. Di tinjau dari kaidah ekonomi, di mana ada demand dan di sisi lain ada supply, yang menciptakan institusi tradisional di mana pihak yang kelebihan dana akan mensuplai dana langsug kepada pihak yang membutuhkan dana3. Lembaga pembiayaan merupakan lembaga keuangan bersama-sama dengan lembaga perbankan, namun dilihat dari istilah dan penekanan kegiatan usahanya antara lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan Istilah lembaga pembiayaan merupakan istilah dari bahasa Inggris financing institution. Lembaga pembiayaan, kegiatan
1
Elsi Advendi, Hukum Dalam Ekonomi, PT Grasindi, Jakarta, 2007, hlm. 159. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 5 3 Munir Fuadi, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek- (Leasing, Factoring, Modal Ventura, Pembiayaan Konsumen, Kartu Kredit), Citra Aditya Bakti, Bandung; Cet. Ke-1, 195 Hlm.1 2
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Ade ER. Eksistensi Lembaga …
80
usahanya lebih menekankan pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat4. Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha, untuk dapat mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya5. Keberhasilan suatu pembangunan tergantung dari partisipasi seluruh rakyat, yang berarti bahwa pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk para pengusaha sebagai salah satu anggota masyarakat6. Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 ini, maka kegiatan lembaga pembiayaan diperluas menjadi 6 (enam) bidang usaha, yaitu : a.
Sewa Guna Usaha (Leasing) Leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa-menyewa, karena pada dasarnya leasing adalah sewa menyewa, leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa. Penjelasan leasing dalam bahasa Indonesia sering diistilahkan dengan sewa guna usaha.
b.
Modal Ventura (Ventura Capital) Pasal 4 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 menyebutkan kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura (PMV) meliputi penyertaan saham (equity participation), penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quatie equity participation), dan pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing). Kegiatan-kegiatan usaha tersebut menjadi bentukbentuk penyertaan modal yang dipakai oleh PMV di dalam pemberian modal ventura, namun di dalam praktik pelaksanaan modal ventura di Indonesia bentukbentuk penyertaan tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bentuk penyertaan modal,
4
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan. Sinar Grafika, Jakarta,2008, hlm.1. Yusuf Sofie, ,Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 17. 6 Munir Fuady , Hukum Tentang Lembaga Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek) , PT Citra Aditya , Bandung 2002, hlm. 5. 5
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
81
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
yaitu penyertaan langsung (direct investment) dan penyertaan tidak langsung (indirect investment)7. c.
Anjak Piutang (Factoring) Factoring sering diterjemahkan dengan Anjak Piutang. Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, Factoring merupakan suatu pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan yang terbit dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri. Pasal 6 huruf 1 atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, memberikan arti kepada factoring sebagai kegiatan pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri, yang dilakukan dengan cara pengambilalihan atau pembelian piutang tersebut8.
d.
Pembiayaan Konsumen (consumer finance) Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan finansial, disamping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya. Target pasar dari model pembiayaan konsumen ini adalah para konsumen, suatu istilah yang dipakai sebagai lawan dari produsen. Bidang usaha pembiayaan, maka lembaga pembiayaan konsumen adalah suatu lembaga yang dalam melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan atau keperluan konsumen dilakukan dengan sistem pembayaran tidak secara tunai, tetapi dengan sistem pembayaran secara angsuran atau berkala9.
e.
Kartu Kredit (credit card) Kartu kredit(credit card) adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang atau jasa dengan menggunakan kartu kredit. Kartu kredit pada dasarnya adalah kartu yang diterbitkan oleh bank atau perusahaan tertentu yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran atas transaksi barang atau jasa atau menjamin keabsahan cek yang dikeluarkan di samping untuk melakukan penarikan uang tunai.
7
Budi Rachmat, Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha mikro, kecil dan menengah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 31-33. 8 Ibid, hlm. 57. 9 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 120.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Ade ER. Eksistensi Lembaga …
82
Perkembangan selanjutnya yang paling efisien dan efektif unutk melakukan transaksi yaitu dengan menggunakan uang dewasa ini penggunan uang sebagai alat untuk melakukan pembayaran sudah dikenal luas dan penggunaan uang sebagai sarana pembayaran sudah merupakan kebutuhan pokok hampir di setiap kegiatan mayarakat10. Kartu kredit diterbitkan oleh lembaga pembiayaan yang melakukan usaha pembiayaan dalam transaksi pembelian barang dan jasa kepada nasabah. Penggunaan kartu kredit di Indonesia mulai berkembang sejak adanaya deregulasi yang membebaskan perbankan mengembangkan bisnisnya, itu terjadi karena pertumbuhan kartu kredit tidak terlepas dari dunia perbankan baik sebagai penerbit maupun sebagai pengelola11. Berkaitan dengan pemahaman tentang credit card atau kartu kredit, Z. Dunil memberikan pengertian Credit card atau Kartu Kredit adalah salah satu cara pemberian kredit dengan perjanjian yang menggunakan kartu sebagai sarana penarikan secara tunai maupun melalui pengambilan barang atau jasa pada merchant atas beban pemegang kartu kredit yang bersangkutan.12 Kartu kredit pada hakekatnya merupakan alat pembayaran transaksi yang memberikan fasilitas kredit kepada pemiliknya, dimana pada saat jatuh tempo, tagihan atau transaksi tersebut dapat dibayarkan penuh atau sebagian yang telah ditentukan minimalnya dan sisanya menjadi fasilitas kredit.13 f.
Perdagangan Surat Berharga (Securities Company) Perdagangan Surat Berharga (Securities Company) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk surat berharga, kegiatan perdagangan surat berharga dikeluarkan dari kegiatan lembaga pembiayaan, hal ini disebabkan kegiatan perdagangan surat berharga lebih merupakan lembaga penunjang pasar modal dalam perdagangan terdapat surat-surat berharga yang mudah diperdagangkan, yang
10
Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Keuangan Lainnya,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
hlm.317 11
Ade Arthesa, dan Edia Handiman, Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank, PT. Indeks Kelompok GRAMEDIA, Jakarta, 2006, hlm. 247 12 Z. Dunil, Kamus Istilah Perbankan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2004, hlm. 36. 13 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006, hlm 204.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
83
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
mengandung suatu nilai dan oleh karenanya dapat berpindah-pindah tangan 14 . Surat-surat berharga dapat diperdagangkan, yang gunanya untuk memudahkan pemakaian uang yang akan diterima dari pihak ketiga dan untuk mempermudah penagihan piutang dari pihak ketiga itu15. Bidang usaha pembiayaan perdagangan surat berharga (securities company) berdasarkan Keputusan Menteri No. 1256/KMK.00/1989 tanggal 18 Nopember 1989, dikeluarkan dari kegiatan lembaga pembiayaan. Perdagangan surat berharga dari lingkup usaha lembaga pembiayaan, dikarenakan kegiatan tersebut sangat terkait dengan kegiatan di pasar modal, sehingga pengaturan dan pembinaan kegiatannya dialihkan kepada BAPEPAM sebagai otoritas pasar modal16. Berdasarkan Latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini terdiri dari : 1.
Bagaimanakah eksistensi lembaga pembiayaan ilegal non bank dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional ?
2.
Bagaimanakah kedudukan lembaga pembiayaan non bank dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi konsumen ?
II.
Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan
konstruksi yang ditentukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologi berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu 17 . Penelitian hukum merupakan upaya untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang benar mengenai hukum, yaitu pengetahuan yang dapat dipakai untuk menjawab atau memecahkan secara benar suatu masalah tentang hukum. Mencari dan menemukan itu tentu saja ada caranya, yaitu melalui metode18. Penelitian 14 15
R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Jakarta,1982, hlm.98. CST. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Baru, Jakarta,1979, hlm.
127. 16
Op.Cit Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 42. 18 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.hlm.21. 17
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
84
Ade ER. Eksistensi Lembaga …
tentang lembaga pembiayaan illegal non bank dalam perekonomian nasional, menggunakan
pendekatan
yang
bersifat
yuridis
normatif,
yaitu
dengan
mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif didalam sistem perundang-udangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian yang mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan.Suatu penelitian diskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang korban, keadaan atau gejala-gejala lainnya.19. Deskriftif analitis juga menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan
teori-teori
hukum
dan
praktik
pelaksanaan
hukum
positif
yang
menyangkutpermasalahan-permasalahan20. Penelitian tentang kebijakan perlindungan hukum terhadap lembaga pembiayaan illegal non bank dalam perekonomian nasional, menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Ronny Hanitijo Soemitro mengungkapkan bahwa pendekatan yuridis normatif yaitu sebagai berikut:21 Metode yuridis normatif, yaitu metode yang menggunakan sumber-sumber data sekunder, yaitu peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapatpendapat para sarjana, yang kemudian dianalisis serta menarik kesimpulan dari masalah yang akan digunakan untuk menguji dan mengkaji data sekunder tersebut. Metode pendekatan ini digunakan untuk melakukan penafsiran hukum secara gramatikal dan sistemik, mengingat permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundang-undangan serta kaitannya dengan pengelolaan keuangan negara. Berbagai peraturan akan digunakan dalam tesis ini sebagai bahan referensi diantaranya: Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999.
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian hukum, Jakarta, UI PRESS, 1986, hlm. 10. Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Semarang,1990,hlm.97-98. 21 Ibid, hlm. 34. 20
Indonesia,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
85
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Penelitian ini dilakukan dalam satu tahap yaitu penelitian kepustakaan (library research), penelitian ini dilakukan dengan meneliti dan mengkaji data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dan didukung dengan melakukan sharing dengan pihak yang sekiranya dapat memberikan penjelasan mengenai objek penulisan yang sedang diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian pada dasarnya tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, teknik pengumpulan data terdiri dari studi kepustakaan, pengamatan (observasi),
wawancara
(interview)
dan
penggunaan
daftar
pertanyaan
(kuisioner).Berdasarkan ruang lingkup, tujuan dan pendekatan dalam penelitian ini, maka tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, termasuk documenter.Berbagai peraturan akan digunakan dalam tesis ini sebagai bahan referensi diantaranya: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 serta aturan perundang-undangan dan peraturan lain yang berhubungan dengan masalah ini. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian, yaitu Non Directive Interview atau pedoman wawancara bebas. Data yang dikumpulkan diperoleh dari Jurnal, Karya Ilmiah, Media Cetak, Media Elektronik dan lain-lain. Data primer maupun data sekunder dianalisa secara yuridis kualitatif, artinya penelitian bertumpu pada ketentuan perundang-undangan atau teori yang tidak dapat diukur dengan angka-angka, rumus statistik, dan matematik22,data yang diperoleh akan digunakan pada permasalahan dan kemudian dibuat suatu kesimpulan. Lokasi penelitian yang digunakan untuk memperoleh data-data sekunder di lakukan di Bandung, yaitu :Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Nusantara, BAPUSDA (Badan Perpustakaan Dan Kearsipan Daerah) Kota Bandung, Perpustakaan Universitas Padjadjaran, Perpustakaan Hukum Universitas Pasundan.
22
Lily Rasjidi, Menggunakan Teori/Konsep Dalam Analisis Di Bidang Ilmu Hukum, t.p.,t.k, 2007, hlm.7.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Ade ER. Eksistensi Lembaga …
86
III. Hasil Penelitian Dan Analisis A.
Eksistensi Lembaga Pembiayaan Ilegal Non Bank dalam Perekonomian Nasional Pertumbuhan industri jasa keuangan akan meningkat seiring tingkat literasi
keuangan masyarakat. Regulasi itu diharapkan menciptakan keseimbangan dalam sektor jasa keuangan. Lembaga keuangan tumbuh lebih baik dan konsumen pun terlindungi sehingga tidak permasalahan dari industri dan konsumen berinvestasi dengan aman. Menyikapi berbagai kelemahan yang terdapat pada lembaga keuangan bank dalam rangka menyalurkan kebutuhan dana yang diperlukan masyarakat, maka muncul lembaga keuangan bukan bank yang merupakan lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel dan moderat dari pada bank yang dalam hal-hal tertentu tingkat risikonya bahkan lebih tinggi. Lembaga inilah yang kemudian dikenal sebagai lembaga pembiayaan yang menawarkan model-model formulasi baru dalam hal penyaluran dana terhadap pihak-pihak yang membutuhkannya seperti, leasing (sewa guna usaha), factoring (anjak piutang), modal ventura, perdagangan surat berharga, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen yang diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Munculnya kebutuhan masyarakat pada saat ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan keinginan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mengembangkan kegiatan bisnis. Kebutuhan akan modal atau dana ini pada awalnya dapat diselesaikan melalui lembaga perbankan namun dalam kenyataannya, bank tidak cukup mampu untuk menjangkau seluruh keperluan dana yang ada dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dicarilah bentuk-bentuk penyandang dana baik sebagai broker ataupun dalam bentuk lain untuk membantu pihak bisnis ataupun di luar bisnis dalam rangka penyaluran dana baik yang berkonotasi bisnis maupun yang berkonotasi sosial. Dari adanya permasalahan tersebut, maka terciptalah lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel dan moderat daripada bank, yang dalam hal-hal tertentu bahkan tingkat risikonya lebih tinggi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai lembaga pembiayaan non
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
87
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
bank, yang menawarkan model-model, formulasi baru terhadap pemberian dana, seperti dalam bentuk leasing, factoring, dan sebagainya. Lembaga pembiayaan non bank dikatakan sebagai sumber pembiayaan alternatif, karena di luar lembaga pembiayaan masih banyak lembaga keuangan lain yang dapat memberi bantuan dana, seperti pegadaian, pasar modal, bank, dan sebagainya. Meskipun demikian, dalam kenyataannya tidak semua konsumen atau pelaku usaha dapat dengan mudah mengakses dana dari setiap jenis sumber dana tersebut. Kesulitan memperoleh dana tersebut disebabkan oleh masing-masing lembaga keuangan ini menerapkan ketentuan yang tidak dengan mudah dapat dipenuhi oleh pihak yang membutuhkan dana. Situasi perekonomian dimana persaingan semakin kompetitif sementara kebutuhan akan sumber dana pembiayaan sulit, pihak perbankan yang selama ini dijadikan sumber pembiayaan utama oleh para konsumen akan beralih pada sumber pembiayaan non bank yang berasal dari lembaga pembiayaan. Eksistensi lembaga pembiayaan non bank ini semakin berkembang pesat dan kuat, karena keberadaannya merupakan alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan sumber pembiayaan dana secara formal dan mudah bila dibandingkan dengan lembaga keuangan seperti Bank. Eksistensi lembaga pembiayaan ilegal non bank dalam perekonomian nasional terhadap sistem perekonomian sebuah negara harus mampu memberi keleluasaan dan kemungkinan secara optimal untuk bersaing dengan negara lain baik secara langsung maupun tidak, demikian pula semestinya dengan sistem perekonomian Indonesia. Sistem Perekonomian merupakan hal terpenting bagaimana sebuah sistem tersebut memiliki kemampuan untuk menggerakkan sendi perekonomian nasional, dan memiliki daya saing serta daya tahan terhadap segala pengaruh dari negara dan bangsa lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap negara memiliki sistem perekonomian nasional yang satu sama lain berbeda karena landasan atau falsafah yang dimilikinya pun berbeda-beda pula. Sistem perekonomian negara-negara di dunia, ada beberapa sistem perekonomian yang dianut yaitu sistem perekonomian liberal, sistem perekonomian sosialis, sistem perekonomian demokrasi dan sistem perekonomian kerakyatan, hal yang menarik justru dari beberapa sistem perekonomian dunia tersebut pernah pula diberlakukan di Indonesia sebagai salah satu sistem
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Ade ER. Eksistensi Lembaga …
88
perekonomian nasional. Sistem perekonomian nasional yang berlaku di Indonesia adalah sistem perekonomian liberal, ekonomi sosialis, sistem demokrasi ekonomi, sampai sistem perekonomian kerakyatan yang masih berlaku sampai saat ini. Semua sistem perekonomian nasional tersebut tentu saja memiliki kelemahan dan keunggulanmasing-masing, sehingga memungkinkan diterapkan di sebuah negara dan tidak memungkinkan diterapkan di negara lain. Indonesia sebagai suatu negara berkembang dengan potensi alam yang melimpah, keadaan alam yang berlimpah dan berpulau-pulau ini juga memerlukan sebuah sistem perekonomian nasional yang benar-benar memiliki daya tahan dari pengaruh luar dan memiliki daya saing, sehingga mampu mengoptimalkan segala daya dan kekayaan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Rakyat yang semakin sejahtera pada akhirnya akan melahirkan suatu negara yang sejahtera, kuat, memiliki daya saing dan keberanian untuk berbeda sekaligus mandiri alias tidak dikendalikan oleh kekuatan manapun baik itu kekuatan ekonomi, sosial, budaya, agama dan kekuatan politik luar negeri dari negara lain. Perubahan sebuah sistem bukan serta-merta ada melainkan lahir dari sebuah keinginan besar yang dengan sistem terdahulu tidak bisa tercapai optimal dengan semestinya, perubahan sistem perekonomian di Indonesia dari sistem perekonomian demokrasi kepada sistem perekonomian kerakyatan bisa segera memberi perubahan signifikan sesuai dengan keinginan yang diharapkan. Perubahan ini tidak memberi dampak apapun, maka sebenarnya perubahan sistem perekonomian tersebut hanya sebuah harapan yang tidak pasti. B.
Perlindungan
Hukum
Bagi
Konsumen
Atas
Eksistensi
Lembaga
Pembiayaan Non Bank Perlindungan berasal dari kata lindung yang
memiliki arti mengayomi,
mencegah, mempertahankan, dan membenteng, sedangkan
Perlindungan berarti
konservasi, pemeliharaan, penjagaan, asilun, dan bunker. Peraturan ini merupakan dasar bagi pengembangan tidak semestinya hukum yang mengatur tentang lembaga pembiayaan atau hukum lembaga pembiayaan merupakan hal yangharus ada dalam konteks perkembangan dibidang bisnis, yang nantinya diharapkan
dapat
mengatur
aktivitas
bisnis
lembaga
pembiayaan
tersebut.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
89
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Perkembangan dibidang bisnis menuntut secara cepat agar bidang hukum juga dapat mengimbanginya, seperti dikemukakan oleh Munir Fuady. Mochtar Kusumaatmadja pengertian hukum yang memadai hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. Perlindungan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya23. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah, terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Perangkat hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan 23
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Ade ER. Eksistensi Lembaga …
90
yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di samping Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah dilakukan upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. Sanksi pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur dalam pasal 61, 62 dan 63. Pasal 61 : Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan. Pasal 62 : 1.
2.
3.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda palingbanyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 62 ini memberlakukan dua aturan hukum sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
91
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
IV. Penutup A.
Kesimpulan
1.
Eksistensi lembaga pembiayaan ilegal non bank diakui oleh masyarakat ditunjukkan dengan banyak peminat yang menginvestasikan dananya, namum demikian keberadaan lembaga pembiayaan ilegal non bank tidak memberikan konstribusi bagi peningkatan perekonomian nasional.
2.
Kedudukan lembaga pembiayaan non bank telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mana peraturan tersebut telah cukup memadai, melindungi kepentingan serta hak-hak konsumen.
B.
Saran
1.
Dalam undang-undang perlindungan komsumen terdapat kewajiban bagi pelaku usaha yang harus dilaksanakan dan harus bertanggung jawab apabila terjadi kealfaan atau kelalaian, sehingga pelaku usaha tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawabnya, kecuali dapat membuktikan kesalahan tersebut berasal dari konsumen.
2.
Kedudukan dengan bentuk usaha lembaga pembiayaan ilegal non bank telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mana peraturan tersebut telah cukup memadai, serta bisa melindungi kepentingan seorang
konsumen,
penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha. Serta meningkatan sosialisasi Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, terutama memberi pengetahuan yang cukup kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Dengan mengetahui hak dan kewajibannya konsumen dapat melakukan pilihan yang tepat terutama apabila terjadi perselisihan/sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Konsumen dapat menentukan sikapnya sesuai dengan apa yang dikehendaki atau menjadi tujuan dari Undang-undang Perlindungan Konsumen. Agar tidak ada korban, kunci utama adalah kita harus menggunakan akal sehat dan menyingkirkan nafsu untuk cepat mendapatkan uang tanpa kerja keras tidak ada yang instan dalam investasi semua membutuhkan waktu, kerja keras, dan proses.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Ade ER. Eksistensi Lembaga …
92
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku-buku Abdulkadir Muhammad, dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan
dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung . Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank, PT. Indeks Kelompok GRAMEDIA, Jakarta, 2006. Budi Rachmat, Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha mikro, kecil dan menengah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. Elsi Advendi , Hukum Dalam Ekonomi, PT Grasindi, Jakarta, 2007. Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Keuangan Lainnya,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Lily Rasjidi, Menggunakan Teori/Konsep Dalam Analisis Di Bidang Ilmu Hukum, t.p.,t.k, 2007. M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2007. Munir Fuadi, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek- (Leasing, Factoring, Modal Ventura, Pembiayaan Konsumen, Kartu Kredit), Citra Aditya Bakti, Bandung; Cet. Ke-1, 195 Munir Fuady, Hukum Tentang Lembaga Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), PT Citra Aditya , Bandung 2002. R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Jakarta,1982. Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Semarang,1990 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian hukum, Jakarta, UI PRESS, 1986. Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2006. Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan. Sinar Grafika, Jakarta,2008. Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
93
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Yusuf Sofie , ,Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007. Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Z. Dunil, Kamus Istilah Perbankan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2004.
Undang-undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis …
94
ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA INSIDER TRADING SEBAGAI KEJAHATAN BISNIS MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL Oleh : Tansah Rahmatullah Abstract Information is a very important component of investment. With the information, the investor decides whether to buy, sell or hold their stocks. This research was conducted to answer the problem, namely how the process of Insider Trading as business crime that occurred in the capital market, and any obstacles that will come in law enforcement of Insider Trading Crime by the Capital Market Law No. 8 of 1995. Based on the research, it is known that insider trading is the practice of unfair trading associated with the use of confidential information by corporate officers who can get benefit from that position, because the information is not provided to the public. Law No. 8 of 1995 Concerning Capital Market is only giving a ban to insider and those who unlawfully obtain inside information. While a person who obtained the information by not against the law, such as someone who listened to the conversation Insiders Issuer, can uses that information for transaction cannot be subjected to a criminal offense under the provisions of insider trading. Law no. 8 of 1995 also had the inadequacy of regulations to classify the information as nonpublic information in insider trading. So it is necessary to develop the application of the theory of abuse in insider trading regulations need to be reviewed in order to protect investors from insider trading practices. Keywords : Investment, Information, Crime Abstrak Informasi merupakan komponen yang sangat penting dalam berinvestasi. Dengan informasi, investor memutuskan apakah akan membeli, menjual, atau menahan sahamsahamnya. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan, yakni bagaimanakah proses Insider Trading sebagai kejahatan bisnis itu terjadi di Pasar Modal, dan hambatan apa saja yang muncul dalam penegakan hukum Tindak Pidana Insider Trading berdasarkan UUPM No. 8 Tahun 1995. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa Insider trading adalah praktek perdagangan saham yang tidak fair yang dihubungkan dengan penggunaan informasi yang confidential oleh pejabat perusahaan yang karena jabatannya dapat menarik keuntungan, sebab informasi tersebut tidak diberikan kepada masyarakat luas. Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal hanya memberikan larangan kepada orang dalam dan pihak yang dengan melawan hukum memperoleh informasi orang dalam. Sementara seseorang yang memperoleh informasi dengan tidak melawan hukum, seperti seseorang yang mendengarkan percakapan Orang Dalam Emiten, kemudian menggunakan informasi tersebut untuk bertransaksi tidak dapat dikenakan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
95
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
pidana berdasarkan ketentuan pidana insider trading. UU No. 8 Tahun 1995 juga memiliki ketidakcukupan pengaturan yang dipakai untuk menentukan informasi dikategorikan sebagai informasi nonpublic dalam insider trading. Sehingga perlu dikembangkan penerapan teori penyalahgunaan dalam pengaturan insider trading perlu untuk dikaji dalam rangka perlindungan investor dari praktik insider trading. Kata Kunci : Investasi, Informasi, Kejahatan
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya suatu masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. bahwa Pasar Modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal, serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan. Sejalan dengan hasil-hasil yang dicapai pembangunan nasional serta dalam rangka antisipasi atas globalisasi ekonomi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Penetapan Undang-undang Darurat tentang Bursa (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 79) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 67) dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-undang tentang Pasar Modal ( Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 ) sangatlah penting untuk menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal. Sebagaimana diketahui bahwa hukum berfungsi untuk menciptakan dan menjaga ketertiban serta kedamaian di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu terdapat adagium “Ibiius ubi Societas“, (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Perkembangan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan di dalam masyarakat, menyebabkan pula perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Kondisi demikian mendorong terjadinya perkembangan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis …
96
di bidang hukum privat maupun hukum publik. Kegiatan yang pesat di bidang ekonomi misalnya, menurut sebagian masyarakat menyebabkan peraturan yang ada di bidang perekonomian tidak lagi dapat mengikuti dan mengakomodir kebutuhan hukum di bidang ini, sehingga dibutuhkan aturan yang baru di bidang hukum ekonomi. Hukum Ekonomi Keuangan merupakan salah satu bagian dari Hukum ekonomi yang salah satu aspeknya mengatur kegiatan di bidang Pasar modal. Marzuki Usman menyatakan pasar modal sebagai pelengkap di sektor keuangan terhadap dua lembaga lainnya yaitu bank dan lembaga pembiayaan.1 Pasar Modal merupakan tempat dimana dunia perbankan dan asuransi meminjamkan dananya yang menganggur. 2 Dengan kata lain, Pasar Modal merupakan sarana moneter penghubung antara pemilik modal (masyarakat atau investor) dengan peminjam dana (pengusaha atau pihak emiten). Investasi di Pasar Modal merupakan penanaman modal di bidang aset keuangan yang pada dasarnya mengharapkan suatu hasil atas efek yang dibeli. Walaupun demikian, perlu diperhatikan bahwa pilihan investasi selalu harus mempertimbangkan tingkat harapan keuntungan di satu sisi dan tingkat risiko di sisi lain. 3 Dalam praktek di Pasar Modal terdapat berbagai pihak yang terlibat, dan pada konsepnya keterlibatan para pihak tersebut adalah untuk mencari keuntungan. Dalam konsep yang demikian bukan tidak berarti para pihak memanfaatkan berbagai keadaan demi tujuannya di Pasar Modal. Kegiatan Pasar Modal apabila diukur lebih merupakan objek hukum, artinya para ahli hukum perlu lebih banyak tampil. Hukum yang mengatur kegiatan Pasar Modal mencakup ketentuan mengenai persyaratan perusahaan yang menawarkan saham atau obligasinya kepada masyarakat, ketentuan pedagang perantara, profesi penunjang, lembaga penunjang, perlindungan investor serta aturan main di Pasar Modal. Pelanggaran terhadap aturan main dalam transaksi efek sering disebabkan karena lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh pihak pengelola bursa maupun pengawas bursa, sehingga apabila terjadi pelanggaran transaksi efek baik karena 1
Anuraga, Pandji dan Piji Pakarti, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001,
2
Ibid, hlm. 11 Jusuf Anwar, Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi, Alumni, Bandung, 2005, hal. 4
hlm. 5 3
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
97
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
manipulasi, informasi yang menyesatkan maupun insider trading sulit terdeteksi secara dini. 4 Kejahatan yang terjadi di pasar modal tidak terasa secara langsung oleh investor yang menjadi korbannya, hal ini disebabkan karena tidak ada luka fisik yang dialami. Bagi investor yang awam tidak pernah mempersoalkan bahwa penggunaan informasi orang dalam akan sangat merugikan mereka, karena memang penggunaan informasi tersebut dianggap tidak menyebabkan investor kehilangan uangnya. Kejahatan yang dilakukan di pasar modal sering dianggap tidak memperlihatkan kerugian yang dapat dilihat dengan jelas secara langsung. Kejahatan pasar modal merupakan salah satu kejahatan tercanggih di dunia yang umumnya dilakukan dengan modus operandi yang sangat rumit dan tidak gampang untuk dilacak. Di samping modus operandinya yang canggih-canggih, para pelaku kejahatan pasar modal juga umumnya terdiri dari orang-orang terpelajar sehingga dikatakan bahwa kejahatan pasar modal termasuk ke golongan kejahatan kerah putih (white collar crime). Karena itu kejahatan pasar modal sulit untuk dibuktikan apalagi jika penegak hukum masih menggunakan metode-metode konvensional dalam melakukan law enforcement. Para pelaku kejahatan di bidang pasar modal berupaya agar uang hasil kejahatannya dapat diselamatkan. Salah satu cara adalah melalui mekanisme pencucian uang (money laundering). Dengan cara tersebut, para pelaku kejahatan berusaha mengubah atau mencuci sesuatu yang didapat secara illegal menjadi legal. Pencucian uang ini dilakukan terhadap uang hasil tindak pidana perdagangan narkotika, korupsi, penyelundupan senjata, perjudian, penggelapan pajak, dan insider trading dalam transaksi saham di pasar modal. Dengan pencucian uang ini, pelaku kejahatan dapat menyembunyikan asal-usul yang sebenarnya dana atau uang hasil kejahatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan ini pula para pelaku kejahatan dapat menikmati dan menggunakan hasil kejahatannya secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang legal. Bahwa Informasi merupakan komponen yang amat penting dalam berinvestasi, karena dengan informasi investor memutuskan apakah akan membeli atau menjual 4
Munir Fuady, Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 4
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis …
98
atau menahan saham-sahamnya. Lalu bagaimanakah proses Insider Trading sebagai kejahatan bisnis itu terjadi di Pasar Modal yang merugikan investor ? hambatan/kendala apa saja yang muncul dalam penegakan hukum Tindak Pidana Insider Trading berdasarkan UUPM No. 8 Tahun 1995 ? 2.
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah proses Insider Trading sebagai kejahatan bisnis itu terjadi di Pasar Modal yang merugikan investor ?
2.
Hambatan/kendala apa saja yang muncul dalam penegakan hukum Tindak Pidana Insider Trading berdasarkan UUPM No. 8 Tahun 1995?
B.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier. 5 1.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi
penelitian
ini
adalah
penelitian
deskriptif
analitis
untuk
menggambarkan dan menganalisa masalah yang ada melalui pendekatan penelitian kepustakaan (library research) yang akan disajikan secara deskriptif. 2.
Tahap Penelitian Penelitian hukum normatif ini menggunakan jenis data sekunder karena lebih
menitikberatkan pada studi kepustakaan. Data sekunder sendiri dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 6 a.
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundangan di Indonesia yaitu UUD 1945, KUHP, serta peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan permasalahan penelitian ini.
5
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan Karya Tulis Ilmiah Hukum, (Metode Penelitian Hukum), Monograf, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Nusantara, Bandung, 2012, Hlm. 7 6 Ibid, Hlm. 25 – lihat juga Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 39
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
99
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
b.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis serta memahami bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang relevan, hasil-hasil penelitian para ahli terkait, hasil pertemuan ilmiah (seminar, simposium, diskusi).
c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang akan memberikan petunjuk informasi/penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, index dan lain-lain. Tahapan pertama ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum),
yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum yang diangkat yaitu mengenai insider trading. Tahapan kedua ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban). 7 3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan
dokumen. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan tertulis baik itu bahan hukum primer maupun sekunder serta didukung oleh dokumendokumen yang dikelompokkan sesuai kepentingannya. 4.
Analisis Data Dalam penelitian tesis ini, analisis terhadap bahan hukum yang ada dilakukan
secara deskriptif analitis. Hasil kajian dan analisis menggunakan logika hukum, penafsiran hukum, argumentasi hukum serta asas-asas hukum yang pada gilirannya menghasilkan kesimpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang harus dijawab. 5.
Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan studi kepustakaan sehingga penulis lebih banyak
menggunakan ruang perpustakaan, baik itu perpustakaan Universitas Islam Nusantara, perpustakaan pribadi penulis maupun perpustakaan digital (digital library) dalam melaksanakan penelitiannya.
7 Rusli, Hardijan, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, Hlm. 50
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis …
100
C.
Hasil Penelitian dan Analisis
1.
Lemahnya Pengaturan Insider Trading sebagai Kejahatan Bisnis dalam Undang-undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995. Insider trading adalah suatu kejahatan di Pasar Modal yang sangat sulit untuk
dibuktikan, bahkan di negara yang sudah maju sekalipun seperti Amerika Serikat. Tidaklah mudah untuk membawa pelaku kejahatan ini ke dalam peradilan pidana. Hal ini terkait dengan sulitnya pembuktian atas praktek kejahatan tersebut. Insider trading merupakan istilah teknis yang hanya dikenal dalam pasar modal. Istilah tersebut mengacu kepada praktek di mana orang dalam (corporate insider), melakukan transaksi sekuritas dengan menggunakan informasi eksklusif yang mereka miliki yang belum tersedia bagi masyarakat atau investor. Insider trading adalah istilah yang dipinjam dari praktek perdagangan saham yang tidak fair di Amerika yang dihubungkan dengan penggunaan informasi-informasi yang confidential oleh pejabat perusahaan yang karena jabatannya dapat menarik keuntungan, sebab informasi tersebut tidak diberikan kepada masyarakat luas. Praktek insider trading bertentangan dengan prinsip keterbukaan. Keterbukaan merupakan suatu kewajiban bagi setiap perusahaan yang menjual sahamnya melalui lantai bursa. Prinsip keterbukaan (disclosure principle) merupakan sesuatu yang harus ada, baik untuk kepentingan pengelola bursa, Badan Pengawas maupun calon investor.8 Keterbukaan dalam transaksi efek adalah seluruh informasi mengenai keadaan usahanya yang meliputi aspek keuangan, hukum, manajemen, dan harta kekayaan perusahaan kepada masyarakat. Keterbukaan terhadap kondisi perusahaan yang akan melakukan emisi saham menyebabkan calon investor dapat memahami dan memutuskan kebijakan untuk investasinya. 9 Tujuan dari prinsip keterbukaan tersebut adalah untuk terciptanya efisiensi dalam transaksi efek. Perdagangan yang efisien adalah perdagangan di mana para pihak yang berkepentingan dengan perdagangan efek tersebut dapat melakukan perdagangan
8
Najib A. Gisymar, Insider Trading Dalam Transaksi Efek, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.
9
Ibid, hlm. 2.
1-2.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
101
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
dengan mudah, cepat dan dengan biaya yang relatif murah, termasuk di dalamnya adanya penyelesaian transaksi yang cepat dan murah.10 Efisiensi dalam arti luas tersebut akan memberikan perlindungan bagi investor dalam mendapatkan informasi yang sama di antara sesama pelaku transaksi efek. Perlindungan bagi investor pada akhirnya akan menimbulkan kepercayaan bagi pasar modal itu sendiri.11 Pengertian insider trading lainnya yang diberikan oleh M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya adalah : Bentuk tindak pidana di pasar modal adalah perdagangan orang dalam (insider trading), yang secara teknis pelaku perdagangan orang dalam dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pihak yang mengemban kepercayaan secara langsung maupun tidak langsung dari emiten atau perusahaan publik atau disebut juga sebagai pihak yang berada dalam fiduciary position, dan pihak yang menerima informasi orang dalam dari pihak pertama (fiduciary position) atau dikenal dengan Tippees.12 Menurut Bismar Nasution pengertian insider trading adalah sebagai berikut : Praktek insider trading ini terjadi apabila orang dalam (insider) perusahaan melakukan perdagangan dengan menggunakan informasi yang belum didisclose. Dalam hal ini, insider mempunyai informasi yang mengandung fakta material yang dapat mempengaruhi harga saham. Posisi insider yang lebih baik (informational advantages) dibandingkan dengan investor lain dalam perdagangan saham, oleh karena itu dapat menciptakan perdagangan saham yang tidak fair... mengingat bahwa insider trading adalah suatu praktek yang dilakukan orang dalam perusahaan (corporate insider) melakukan perdagangan saham dengan menggunakan informasi yang mengandung fakta material yang dimiliki sedangkan informasi itu belum terbuka (tersedia) untuk umum (inside non public information).13 Masalah yang menonjol dalam ketentuan insider trading sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Pasar Modal Indonesia adalah berkaitan dengan ketentuan kategori insider yang belum cukup memadai. Di satu sisi, ketentuan kategori insider dalam Undang-Undang Pasar Modal tersebut telah ada kemiripannya dengan yang 10
ibid ibid 12 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal.268 13 Bismar Nasution, “Hukum Pasar Modal Dalam Perdagangan Saham”, Diktat Kuliah Hukum Pasar Modal 2, Jakarta : Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasila 2001, hlm. 30-31 11
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis …
102
pernah berkembang di pasar modal Amerika Serikat mengenai kategori insider. Namun, tidak semua kategori insider sama antara Undang-Undang Pasar Modal Indonesia dan peraturan pasar modal Amerika Serikat. Artinya, insider tidak hanya menganut kategori traditional insider, seperti komisaris, direktur, pemegang saham utama dan pegawai perusahaan, karena kategori insider didasarkan dari seseorang yang mempunyai fiduciary duty14. 15 Undang-Undang Pasar Modal Indonesia sendiri telah mengatur ketentuan kategori seseorang disebut hubungan fiduciary duty, seperti terdapatnya ketentuan dalam Undang-Undang Pasar Modal Indonesia yang menentukan “Penerima Informasi” (tippee) sebagai insider
16
. Akan tetapi Undang-Undang Pasar Modal
tersebut tidak mengatur ketentuan “pihak lain yang menerima informasi tidak langsung dari insider, tetapi informasi diterima dari tippee yang lain” (secondary tippee) sebagai 14
Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya. Dalam pengelolaan perseroan atau perusahaan, para anggota direksi dan komisaris sebagai salah satu organ vital dalam perusahaan tersebut merupakan pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Disini direksi memiliki posisi fiducia dalam pengurusan perusahaan dan mekanisme hubungannya harus secara fair. Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini dapat kita jumpai dalam Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Pasal l79 ayat (1) UUPT pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi Lebih jelasnya pasal 82 UUPT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. sedangkan Pasal 85 UUPT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut. (Bismar Nasution dalam situs http://bismar.wordpress.com/ (diakses pada 27/8/2014 pukul 7.43 pm). 15
Sean P. Leuba, “The Breaks Ranks in United States v. Bryan: Finally, A. Reputation of the Misapproapriation Theory.” Washingtong & Lee Law Review, (Vol. 53, 1996), hlm. 1145 (sebagaimana dikutip oleh Syprianus Aristeus dalam karya ilmiah berjudul Penegakan Hukum Terhadap Insider Trading di Pasar Modal dan Upaya Perlindungan Terhadap Investor, yang diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Perpustakaan Nasional (Katalog Dalam Terbitan (KDT), Jakarta, 2011, hal. 4) 16 Penjelasan Pasal 95 Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
103
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
insider. Tidak hanya pengaturan secondary tippee sebagai insider menandakan Undang-Undang Pasar Modal Indonesia dalam mengatur kategori insider belum secara maksimal mengatur rambu-rambu insider trading dan keadaan pengaturan tersebut membuktikan Undang-Undang Pasar Modal Indonesia belum secara menyeluruh menerapkan pertanggungjawaban hukum insider sesuai dengan pendekatan teori penyalahgunaan (misapproapriation theory) 17. Oleh karena menurut teori penyalahgunaan tersebut bahwa seseorang tidak harus mempunyai hubungan dari suatu fiduciary duty, tetapi mengikuti kewajiban umum keterbukaan di pasar modal. 18 Di Amerika, masalah pelaku yang digolongkan sebagai insider telah mengalami banyak perkembangan, yang menciptakan adanya 3 teori dalam Federal Securities Laws sebagaimana disadur oleh Najib A. Gisymar dan Donald C. Langerscoot dalam bukunya “Insider Trading Regulation”, yaitu : 19 1.
Disclose or Abstain Theory. Pada dasarnya teori ini memandang, hanya dalam yang memiliki hubungan kerja dengan Emitenlah yang dilarang melakukan transaksi atas efek Emiten tersebut, apabila orang dalam tersebut memiliki informasi yang belum terbuka untuk umum. Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung Amerika menyatakan bahwa seseorang yang memiliki hubungan fiduciary dengan perusahaan diharuskan membuka informasi yang dimilikinya kepada orang lain. Teori ini memberi hak pilih kepada seseorang yang memiliki hubungan fiduciary, apakah membuka informasi tersebut kepada pihak lain (investor) atau tidak.
17
Donald C. Langevoort, Insider Trading Regulation, 1989 Edition, (New York: Clark Boardman Company, Ltd, 1989), hlm. 1145 (sebagaimana dikutip oleh Syprianus Aristeus dalam karya ilmiah berjudul Penegakan Hukum Terhadap Insider Trading di Pasar Modal dan Upaya Perlindungan Terhadap Investor, yang diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Perpustakaan Nasional (Katalog Dalam Terbitan (KDT), Jakarta, 2011, hal. 3) 18 David L. Ratner dan Thomas Lee H azen, I, Securities Regulation Cases and Materials, Fourth Edition, (St. Paul Minn: West Publishing, Co, 1991), hlm. 618 (sebagaimana dikutip oleh Syprianus Aristeus dalam karya ilmiah berjudul Penegakan Hukum Terhadap Insider Trading di Pasar Modal dan Upaya Perlindungan Terhadap Investor, yang diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Perpustakaan Nasional (Katalog Dalam Terbitan (KDT), Jakarta, 2011, hal. 4) 19 Chiarella v. United Stated, 445 U.S. 222-228 (1980) (sebagaimana dikutip oleh Syprianus Aristeus dalam karya ilmiah berjudul Penegakan Hukum Terhadap Insider Trading di Pasar Modal dan Upaya Perlindungan Terhadap Investor, yang diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Perpustakaan Nasional (Katalog Dalam Terbitan (KDT), Jakarta, 2011, hal. 18)
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis …
104
Apabila dia memilih tidak membuka informasi material tersebut, maka dia tidak boleh
melakukan
transaksi
perdagangan
(abstain)
atau
dia
tidak
merekomendasikan kepada pihak lain untuk melakukan transaksi atas efek perusahaan tersebut. 2.
Fiduciary Duty Theory. Pada dasarnya teori ini menganut doktrin common law yang menegaskan bahwa setiap orang yang mempunyai fiduciary duty atau hubungan yang berdasarkan kepercayaan dengan perusahaan. Orang yang dibayar Perusahaan mempunyai duty kepada Perusahaan untuk menjalankan tugas tersebut dengan sebaikbaiknya. Dia tidak boleh mengambil manfaat untuk kepentingan pribadinya dari penugasan tersebut. Teori ini berpandangan bahwa seseorang yang melakukan transaksi dengan menggunakan informasi orang dalam sedangkan dia sendiri tidak mempunyai fiduciary duty kepada perusahaan, maka tidak diangggap melakukan insider trading. Seseorang yang menerima “tip” informasi dari orang dalam dan yang bersangkutan tidak melanggar fiduciary duty-nya kepada Perusahaan, maka tidak ada larangan baginya untuk melakukan trading.
3.
Misappropriation Theory. Teori ini tidak mengharuskan adanya pelanggaran terhadap fiduciary duty kepada perusahaan, akan tetapi juga mempertimbangkan adanya suatu ketidakadilan jika ada pihak yang mengambil keuntungan atau suatu informasi di mana dia mengetahui bahwa pihak lain tidak mengetahui bahwa informasi tersebut yang didapatkan dari tippee adalah informasi yang belum terbuka kepada masyarakat. Perkembangan penerapan teori penyalahgunaan (Misappropiriation Theory) dalam pengaturan insider trading perlu untuk dikaji dalam rangka perlindungan investor dari praktik insider trading. Tanpa penerapan teori penyalahgunaan (Misappropiriation Theory) akan menghadapi masalah dalam menentukan kategori insider dan sekaligus menjadi hambatan dalam menjaring pelaku-pelaku insider trading. Selanjutnya yang perlu dikaji dalam masalah pengaturan dalam insider trading
adalah masalah kedua yang menonjol dari insider trading, yaitu ukuran apakah yang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
105
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
dipakai untuk menentukan suatu informasi dikategorikan sebagai informasi non public. Pengkajian tersebut perlu untuk dilakukan, agar tidak menjadi hambatan dalam penentuan adanya insider trading atau penyelesaian kasus-kasus insider trading, misleading information, serta manipulasi pasar. Untuk menghindari akibat yang berpotensi merugikan dan melindungi investor dari praktik insider trading, maka insider trading dikategorikan dalam penipuan. Peraturan Pasar Modal Indonesia juga telah membuat larangan insider trading. Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menyatakan: “Orang dalam dari Emiten atau Perusahaan Publik yang mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan pembelian atau penjualan efek: a. Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; atau b. Perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan Emiten atau Perusahaan Pubilk yang bersangkutan”. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 95 Undang-Undang tersebut menyatakan: “Yang dimaksud dengan “orang dalam” dalam Pasal ini adalah : a. komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik; b. pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik; c. orang perseorangan yang karena kedudukannya atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau d. pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b atau c di atas.” Pengaturan Pasar Modal Indonesia juga membuat larangan mempengaruhi orang lain untuk melakukan transaksi atau memberikan tip kepada pihak lain. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menyatakan: “Orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dilarang: a. mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian atau menjelang Efek dimaksud; atau b. memberi informasi orang dalam kepada Pihak manapun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek.”
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis …
106
Di samping itu, peraturan pasar modal tersebut juga mengatur ketentuan siapasiapa yang dikenakan larangan yang sama dengan larangan bagi insider. Pasal 97 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menyatakan: (1) Setiap pihak yang berusaha untuk memperoleh informasi orang dalam dari orang dalam secara melawan hukum dan kemudian memperolehnya dikenakan larangan yang sama dengan larangan yang berlaku bagi orang dalam sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 95 dan Pasal 96. (2) Setiap pihak yang berusaha untuk memperoleh informasi orang dalam dan kemudian memperolehnya tanpa melawan hukum tidak dikenakan larangan yang berlaku bagi orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96, sepanjang informasi tersebut disediakan oleh Emiten atau Perusahaan Publik tanpa pembatasan. Walaupun peraturan dan pengaturan insider trading di atas tersebut telah mengatur larangan insider trading dan ketentuan yang berkenaan dengan insider atau penerima informasi, namun, disadari peraturan tersebut belum cukup untuk mengatasi praktik insider trading, dan manipulasi pasar. Tidak cukupnya peraturan insider trading tersebut dapat dipahami dari masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan peraturan tersebut. Misalnya, tidak cukupnya ketentuan kategori insider dalam kaitannya dengan tippee dan secondary tippee. Di samping itu, peraturan insider trading tersebut tidak secara menyeluruh menerapkan teori penyalahgunaan sebagaimana telah diterapkan dalam pasar modal Amerika Serikat. 20 Kekurangan peraturan di pasar modal Indonesia berkaitan dengan tidak cukupnya ketentuan kategori insider di luar kategori traditional insider, seperti ketentuan yang menentukan “penerima informasi” (tippee) sebagai insider dan ketidakcukupan pengaturan ketentuan “pihak lain yang menerima informasi tidak langsung dari insider, tetapi informasi diterima dari tippee yang lain” (secondary tippee) sebagai kategori insider. Dengan perkataan lain, peraturan insider trading belum secara tuntas dan menyeluruh menerapkan pertanggungjawaban hukum insider sesuai dengan pendekatan teori penyalahgunaan. Selanjutnya, kekurangan peraturan insider trading tersebut dapat diamati dari ketidakcukupan pengaturan yang dipakai untuk
20
Bismar Nasution, Hukum Pasar Modal, Jakarta: FH UI. 1999. hlm. 242
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
107
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
menentukan informasi dikategorikan sebagai informasi nonpublic dalam insider trading. 21 Perdagangan orang dalam (insider trading) dilarang karena pihak yang memiliki informasi orang dalam, dan kemudian mempergunakannya untuk memperdagangkan efek, pada dasarnya mempunyai keuntungan berhadapan dengan pihak lain, yang tidak mempunyai informasi orang dalam. Pihak yang memiliki informasi orang dalam ini tidak beda dengan seorang pencuri, karena pihak lain tidak mengetahui informasi orang dalam tersebut (apabila dia mengetahui informasi orang dalam tersebut) mungkin tidak akan pernah menjual sahamnya pada harga tersebut. (apabila dia mengetahui bahwa informasi tersebut akan menyebabkan kenaikan harga), ataupun dia mungkin akan menunda membeli saham seandainya pihak tersebut mengetahui bahwa harga efek tersebut akan turun (apabila informasi yang belum dikeluarkan oleh emiten itu akan menyebabkan penurunan harga). Memang tidak semua orang yang membeli atau menjual saham pada harga tersebut mengetahui adanya informasi orang dalam, tetapi bagi pihak yang mengetahui informasi orang dalam dan kemudian menggunakannya bertransaksi, jelas merampas kesempatan pihak lainnya. Larangan perdagangan oleh orang dalam (insider trading), sebagaimana dikatakan di atas, pada dasarnya adalah larangan yang dimaksud agar informasi yang keluar dari perusahaan dapat sampai kepada semua orang (pemodal dan calon pemodal) secara bersamaan dan merata, akan memberikan kepada setiap pihak yang membutuhkan informasi kesempatan yang sama untuk mempergunakan informasi tersebut untuk kepentingan masing-masing. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada satu pihak pun yang diuntungkan, baik karena hubungan yang bersangkutan dengan perusahaan maupun karena yang bersangkutan memperolehnya secara melawan hukum. Perlakuan yang sama dan merata atas informasi emiten ini diperlukan, karena (sekali lagi) informasi di pasar modal merupakan komoditi penting yang membuat orang memutuskan, melakukan atau tidak melakukan investasi.
21
ibid, hlm. 247
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis …
108
Berdasarkan pada berbagai penjelasan diatas dan dengan memperhatikan 3 Teori dalam Federal Securities Laws mengenai peraturan inside trading, maka dapat kita ketahui bahwa Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal hanya menganut teori 1 dan 2 saja, dimana Undang-undang Pasar Modal hanya memberikan larangan kepada orang dalam dan pihak yang dengan melawan hukum memperoleh informasi orang dalam. Sementara seseorang yang memperoleh informasi dengan tidak melawan hukum, seperti seseorang yang mendengarkan percakapan Orang Dalam Emiten, kemudian menggunakan informasi tersebut untuk bertransaksi tidak dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan pidana insider trading.
D.
Penutup
1.
Kesimpulan Insider trading merupakan istilah teknis yang hanya dikenal dalam pasar modal.
Istilah tersebut mengacu kepada praktek di mana orang dalam (corporate insider), melakukan transaksi sekuritas dengan menggunakan informasi eksklusif yang mereka miliki yang belum tersedia bagi masyarakat atau investor. Praktik insider trading terjadi apabila seseorang membeli atau menjual saham berdasarkan informasi dari orang dalam yang tidak publik sifatnya. Posisi investor yang memperoleh informasi dari orang dalam tersebut lebih baik dibandingkan dengan investor lain dalam perdagangan saham. Mereka melakukan perdagangan saham yang tidak fair. Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal telah mengatur larangan insider trading dan ketentuan yang berkenaan dengan insider atau penerima informasi, namun, peraturan tersebut belum cukup atau kurang untuk mengatasi praktik insider trading, dan manipulasi pasar. Kekurangan peraturan insider trading yang lain dapat diamati dari ketidakcukupan pengaturan yang dipakai untuk menentukan informasi dikategorikan sebagai informasi nonpublic dalam insider trading. 2.
Saran Mengingat sampai sekarang di Indonesia belum ada yurisprudensi mengenai
insider trading, maka masalah-masalah yang timbul dari praktik insider trading dapat
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
109
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
diatasi dengan perbaikan terhadap peraturan insider trading yang sekarang berlaku di pasar modal Indonesia. Perkembangan penerapan teori penyalahgunaan dalam pengaturan insider trading perlu untuk dikaji dalam rangka perlindungan investor dari praktik insider trading. Tanpa penerapan teori penyalahgunaan akan menghadapi masalah dalam menentukan kategori insider dan sekaligus menjadi hambatan dalam menjaring pelaku-pelaku insider trading. Selanjutnya yang perlu dikaji dalam masalah pengaturan dalam insider trading adalah masalah kedua yang menonjol dari insider trading, yaitu ukuran apakah yang dipakai untuk menentukan suatu informasi dikategorikan sebagai informasi non public. Pengkajian tersebut perlu untuk dilakukan, agar tidak menjadi hambatan dalam penentuan adanya insider trading atau penyelesaian kasus-kasus insider trading, misleading information, serta manipulasi pasar.
DAFTAR PUSTAKA Buku : Anuraga, Pandji dan Piji Pakarti, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001 Bismar Nasution, Hukum Pasar Modal, Jakarta: FH UI. 1999 Jusuf Anwar, Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi, Alumni, Bandung, 2005 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan Karya Tulis Ilmiah Hukum, (Metode Penelitian Hukum), Monograf, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Nusantara, Bandung, 2012 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2003 Munir Fuady, Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis …
110
Najib A. Gisymar, Insider Trading Dalam Transaksi Efek, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999 Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985 Karya Ilmiah dan Makalah Bismar Nasution, “Hukum Pasar Modal Dalam Perdagangan Saham”, Diktat Kuliah Hukum Pasar Modal 2, Jakarta : Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasila 2001 Rusli, Hardijan, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006 Syprianus Aristeus, Penegakan Hukum Terhadap Insider Trading di Pasar Modal dan Upaya Perlindungan Terhadap Investor, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Perpustakaan Nasional (Katalog Dalam Terbitan (KDT), Jakarta, 2011 UNDANG-UNDANG Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasal Modal
INTERNET http://bismar.wordpress.com/
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
111
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDIKASI GEOGRAFIS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DIKAITKAN DENGANKEPENTINGAN NEGARA BERKEMBANGDALAM ERA PERDAGANGAN BEBAS1
Oleh : Deni Irawan Abstract The globalization in economy and trade in modern era has been giving huge changes on legal system. In the free trade era, there are many countries trying to seek new alternative products to trade. Geographical-based products from developing countries have become the major target since they have great potentials including those are in Indonesia. Indonesia’s indigenous products have been widely accepted and registered in other countries thus their copyrights are also registered on the name of other countries. There are many countries registering and acquiring Indonesia’s indigenous products and developing them to make them very popular in the world. However, these conditions do not give any benefit and contributions to the original owner of the products. Indonesia government has ratified some international agreement such as GATT (General Agreement on Tariff and Trade, Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) yang di dalamnya mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Based on those problems, this research was intended to study the problem of legal protection for geographical indication in Indonesia based on the Law Number 15 year 2001 about branding. This research also discussed how communal people’s economic rights in Indonesia in getting benefit from geographical indication in the free trade era; and how the concept of fair legal protection of geographical indications? . Keywords: The interest of developing countries, legal protection on geographical indications. Abstrak Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas pada zaman modern saat ini telah mempengaruhi perubahan yang sangat besar terhadap bidang hukum. Era perdagangan bebas, banyak negara yang mulai mencari alternatif produk baru untuk diperdagangkan. Produk-produk yang berbasis indikasi geografis dari negara berkembang, tentu saja sangat memiliki kekayaan dan potensi seperti yang berada di Indonesia. Karya-karya / produk-produk anak negeri kenyataannya banyak yang diakui sebagai hak milik bahkan didaftarkan di negara lain untuk dikembangkan lebih jauh, 1
Penelitian ini merupakan bagian dari Program Penelitian Skim Hibah Tim Pascasarjana, dibiayai oleh DIPA Kopertis Wilayah IV Jawa Barat Banten, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Hibah Desentralisasi Tahun Anggaran 2014 Skim Hibah Tim Pascasarjana Nomor : 006/LPPM-UIN/ST/V/2014
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Deni I. Perlindungan Hukum …
112
sehingga produk tersebut mampu menguasai pasar dunia tanpa ada kontribusi terhadap negara atau masyarakat pemilik produk indikasi geografis. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional yaitu, GATT (General Agreement on Tariff and Trade, Agreement Establishing The World Trade Organization (WTO) yang di dalamnya mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Penulis berdasarkan latar belakang tersebut membahas permasalaahn mengenai, bagaimana hak ekonomi masyarakat komunal di Indonesia dalam pemanfaatan Indikasi Geografis di era perdagangan bebas?, dan bagaimana konsep perlindungan Indikasi Geografis yang berkeadilan di Indonesia? Kata Kunci : Kepentingan Negara Berkembang, Perlindungan Indikasi Geografis.
A.
Pendahuluan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia merupakan perwujudan formal gerakan
revolusi bangsa Indonesia, untuk menyatakan baik kepada diri sendiri maupun kepada dunia luar (dunia internasional) bahwa bangsa Indonesia mulai saat itu telah mengambil sikap untuk menentukan nasib bangsa dan tanah air di dalam tangan bangsa sendiri, yaitu mendirikan negara sendiri, antara lain dengan membuat dan menetapkan sendiri tata hukum dan tata negaranya2. Pancasila sebagai dasar negara dijadikan landasan dan pedoman dalam pelaksanaan penyelenggaraan Negara Republik Indonesia termasuk melandasi tatanan hukum yang berlaku, artinya dalam setiap langkah dan tindakan dari aparat pemerintahan negara yang ada, seperti presiden, para menteri, dan pejabat negara yang lain harus mengingat dan mempertimbangkan nilai-nilai luhur sila-sila pancasila agar dapat mencerminkan kepribadian dan budaya bangsa. Pancasila sebagai dasar negara adalah suatu nilai kerohanian3. Landasan kerohanian yang dimaksud menjadi acuan dan arah kebijakan bagi suatu tujuan yang hendak dicapai serta dilaksanakan oleh negara Indonesia. Pancasila dalam kedudukannya sebagai ideologi negara, diharapkan mampu menjadi filter dalam menyerap pengaruh perubahan jaman di era globalisasi ini. Pancasila yang sila-silanya diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah menjadi kesepakatan nasional sejak ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, 2
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. 5, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 10 Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Edisi kedua, PT. Grasindo, Jakarta, hlm. 1 dan 10. 3
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
113
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
dan akan terus berlanjut sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia. Kesepakatan tersebut merupakan perjanjian luhur atau kontrak sosial bangsa yang mengikat warga negaranya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan semestinya. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional. Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas pada zaman modern saat ini telah mempengaruhi perubahan yang sangat besar terhadap bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya. Globalisasi ekonomi semakin dikembangkan berdasarkan prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya yang telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas sulit untuk ditolak dan harus diikuti karena globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional4. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindari karena globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, secara substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melampaui batas-batas negara (cross-border)5. Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar6. 4
John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, Cambridge University Press, 2000, New York, hlm. 23-24. 5 Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan, 20 Nopember 2001, hlm. 4. 6 Lawrence M. Friedman, Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An Introduction, Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990, hlm. 89.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Deni I. Perlindungan Hukum …
114
Era perdagangan bebas, banyak negara yang mulai mencari alternatif produk baru untuk diperdagangkan. Negara mulai mencari bahkan menggali produk-produk yang berbasis pengetahuan tradisional dari negara berkembang yang tentu saja sangat memiliki kekayaan budaya seperti yang berada di Indonesia untuk dapat diakui serta dikembangkan lebih jauh, sehingga produk tersebut mampu menguasai pasar dunia tanpa ada kontribusi terhadap negara atau masyarakat pemilik produk tersebut7. Pengaturan HKI yang didasarkan pada pertimbangan terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) dan di dalamnya mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) telah diratifikasi oleh Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Ratifikasi ini kemudian di implementasikan
dalam revisi terhadap ketiga
undang-undang bidang hak kekayaan intelektual yang berlaku saat itu, diikuti perubahan yang menyusul kemudian, serta pengundangan beberapa bidang hak kekayaan intelektual yang baru bagi Indonesia, yakni Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-Undang No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang serta Undang-Undang No. 29 tahun 2000 tentang Varietas Tanaman. Negara Indonesia dalam pelaksanaan hak kekayaan intelektual bukan hanya karena TRIPs. Sejarah menunjukkan Indonesia sudah mengenal dan menerapkan TRIPs sejak lama bahkan sejak zaman Hindia Belanda. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang adalah merupakan negara kepulauan, dimana Indonesia memiliki lebih dari 20.000 pulau baik pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh wilayah negara Indonesia, dimana masing-masing pulau memiliki adat istiadat, kebiasaan, serta keragaman budaya yang memiliki ciri khas daerah masing-masing. Adat istiadat yang berbagai macam serta keragaman budaya, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menghasilkan berbagai jenis hasil karya dan tradisi dari seluruh wilayah masing-masing di Indonesia,
7 Sudarmanto, Produk Kategori Indikasi Geografis Potensi Kekayaan Intelektual Masyarakat Indonesial, Universitas Indonesia, Depok, 2005, hlm 109-110.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
115
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
sehingga dapat disandingkan dengan kebudayaan maupun hasil karya dunia internasional8. Karya-karya anak negeri yang terjadi saat ini adalah kenyataannya banyak sekali diakui sebagai hak milik dan bahkan didaftarkan di negara asing, seperti ditemukannya kerajinan batik yang didaftarkan di Negara Jepang, Amerika bahkan Singapura, yang mana negara-negara tersebut termasuk ke dalam golongan negara maju, sehingga tidak ragu lagi untuk segera mendaftarkannya sebagai Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) di negaranya, yang pada akhirnya diakui oleh dunia Internasional9. Permasalahan yang berkaitan dengan HKI di Indonesia, sampai sekarang belum bisa hilang yaitu pembajakan masalah HKI di Indonesia memang tergolong komplek untuk dapat diselesaikan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menyesuaikan sistem HKI agar sejalan dengan ketentuan internasional yang telah disepakati, perlahan tapi pasti perubahan menuju lebih baik yang menghargai karya intelektual orang lain akan berusaha untuk dicapai10. Sistem HKI yang ada di nilai tidak cocok bagi masyarakat Indonesia yang sifatnya komunal, sedangkan sistem HKI yang berasal dari negara maju sifatnya individual seperti pribadi masyarakat di negara barat11. Perlindungan indikasi geografis adalah perlindungan terhadap suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan yang pelaksanaannya diatur dan dilindungi oleh hukum. Perlindungan indikasi geografis di Indonesia diatur masih bergabung dengan pengaturan merek yaitu dalam UndangUndang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek) pasal 56-60 dan aturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis (PP Indikasi Geografis). Indikasi geografis jika dilihat dari segi pengaturannya, belum mendapat perhatian sebesar paten dan hak cipta, karena masih 8 Mooryati Soedibyo, Kepentingan Negara Berkembang Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, Universitas Indonesia, Depok, 2005, hlm 73. 9 Mooryati Soedibyo, Ibid hlm 74. 10 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm. 24 11 Ibid. hlm. 25.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Deni I. Perlindungan Hukum …
116
bergabung dengan UU Merek dan hanya terdiri dari beberapa pasal, karena itu perlindungan indikasi geografis menjadi tidak maksimal dan tidak jelas. Indonesia kaya akan produk potensi indikasi geografis dan memiliki peraturan perundang-undangannya, tetapi hanya sedikit yang didaftarkan, seperti kopi Kintamani dari Bali, mempunyai nomor sertifikat indikasi geografis IDIG000000001 dengan nama indikasi geografis yaitu kopi arabika Kintamani Bali12, mebel ukir Jepara, lada putih Munto, kopi arabika Gayo yang diumumkan di berita resmi indikasi geografis pada situs resmi Direktorat Jenderal HKI bulan Januari-April 2010 dan pada pengumuman bulan Maret- Juni 2011, ada tembakau hitam Sumedang juga tembakau mole Sumedang13. Produk potensi indikasi geografis, dampak dari kurang melindungi, pernah terjadi kasus di Indonesia, terjadi pada kopi Gayo, yang telah didaftarkan oleh pengusaha Belanda sebagai merek dagang di Belanda, maka eksportir dari Aceh tidak dapat mengekspor tersebut dengan merek Gayo, dan jika ingin mengekspor ke Negara lain maka kopi tersebut akan dibeli harga jauh dibawah harga pasar. Kasus yang terjadi pada kopi Toraja yang telah didaftarkan oleh Jepang melalui key coffee14. Keadaan ini sangat ironis, mengingat kopinya ditanam di Indonesia seharusnya yang memiliki hak juga Indonesia tetapi yang menikmati keuntungannya adalah negara lain, oleh karena itu sangat penting melindungi produk potensi indikasi geografis, karena Indonesia sangat kaya akan produk potensi indikasi geografis. Ketentuan indikasi geografis yang termuat dalam Undang-Undang Merek tidak jelas, karena sebetulnya UU tersebut adalah UU Merek, seperti ketidakjelasan prosedur dan mekanisme pendaftaran indikasi geografis, serta tata cara atau persyaratan pendaftarannya yang memerlukan waktu lama dan berbelit-belit, menjadi penyebab tidak tumbuhya iklim pendaftaran produk-produk potensi indikasi geografis di Indonesia. Ketentuan Pasal 56-60 tentang indikasi geografis pada UU Merek dan ketentuan dalam PP indikasi geografis seakan tidak berfungsi, karena aturan-aturan didalamnya sulit diterapkan. PP indikasi geografis juga seakan berdiri sendiri, karena 12
Yeti Sumiyati, Masih Ada Harapan Bagi Pandanwangi, http://www.wordpress.com, diakses tanggal 6 April 2014 13 Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Berita Resmi Indikasi Geografis, http://www.dgip.go.id diakses tanggal 6 April 2014. 14 Adrian Sutedi, Hak Kekayaan Itelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 153
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
117
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
aturan mengenai indikasi geografis masih bergabung dengan UU Merek dan tidak ada UU indikasi geografis yang berdiri sendiri. Berdasarkan dari latar belakang tersebut di atas, maka dalam penelitian ini masalah-masalah pokok yang akan menjadi kajian adalah sebagai berikut : Bagaimana hak ekonomi masyarakat komunal di Indonesia dalam pemanfaatan Indikasi Geografis di era perdagangan bebas ? dan bagaimana konsep perlindungan Indikasi Geografis yang berkeadilan di Indonesia? B.
Metode Penelitian Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu suatu metode
dalam penelitian hukum normatif yang menganalis ketentuan-ketentuan yang ada dan menelaah kaidah-kaidah hukum, dengan menggunakan sumber utama data sekunder atau bahan pustaka15. Spesifikasi Penelitian hukum ini bersifat deskriptif analitis16 adalah bertujuan untuk memperoleh gambaran atau uraian mengenai fakta-fakta disertai analisis yang akurat. Analisis dilakukan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (sumber hukum berupa UU) dan juga terhadap pendapat para ahli (sumber hukum berupa doktrine) yang bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diteliti. Maria SW. Sumardjono menjelaskan, deskriptif analisis artinya, bahwa penulis ini bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap ciri-ciri dan keadaan, perilaku pribadi dan kelompok dengan memisahkan data yang telah terkumpul menurut katagori masing-masing, untuk kemudian ditafsirkan dalam usaha menjawab masalah dalam penulisan17. Penelitian ini dilakukan dalam 1 (satu) tahap yaitu, penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer berupa bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundangundang nasional, konvensi internasional yang relevan, bahan hukum sekunder yang 15
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 13 ; lihat pula Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 98. 16 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung,1994, hlm.120. 17 Maria SW. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UNGAMA), Yogyakarta, 1989, hlm 16.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Deni I. Perlindungan Hukum …
118
meliputi referensi hukum, hasil penelitian, karya tulis, dan juga bahan hukum tersier berupa kamus, ensiklopedia dan berbagai artikel di media cetak, yang didukung dengan penelitian lapangan dimaksudkan untuk mendukung dan melengkapi data kepustakaan (data sekunder) dengan melakukan wawancara terhadap narasumber yang relevan, diantaranya pejabat di lingkungan bidang HKI Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Provinsi Jawa Barat di Bandung, Pejabat Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia di Jakarta, Pejabat Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota dan Kabupaten Tasikmalaya serta narasumber lainnya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen dan wawancara. Analisis data yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif karena data yang dianalisis adalah data kualitatif yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan dan data primer hasil wawancara, hasil analisis data tersebut disajikan dalam bentuk deskripsi. Lokasi penelitian dilakukan di beberapa perpustakaan yang berlokasi di dalam dan luar negeri, seperti di Bandung Perpustakaan Fakultas Hukum dan Pascasarjana UNINUS, Perpustakaan Fakultas Hukum dan Pascasarjana UNPAD, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Kanwil Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Barat di Bandung, Kantor Direktorat Jenderal HKI di Kuningan Jakarta, Perpustakaan NUS (National University of Singapore) di Singapura dan lokasi lainnya. C.
Hasil Penelitian dan Analisis
1.
Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Tatanan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual yang
mengatur Indikasi Geografis terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek memberikan perlindungan terhadap indikasi geografis tersebut sebagai merek. Ketentuan Pasal 6 Ayat (1) huruf c UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa :
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
119
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Permohonan pendaftaran merek ditolak apabila mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal. Pengaturan ini adalah merupakan hal baru dalam sistem perlindungan Merek di Indonesia. Selama ini meskipun indikasi geografis dilindungi akan tetapi tidak dapat dipakai dasar penolakan permohonan pendaftaran merek. Pasal 56 Ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Indikasi geografis yang terdaftar mendapat perlindungan hukum yang berlangsung selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar diberikannya perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada, hal itu tercantum dalam Pasal 56 ayat (7) UU Merek jo Pasal 4 Peraturan Pemerintahan tentang Indikasi Geografis. Kepala Seksi Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya mengatakan bahwa perlindungan terhadap produk kerajinan Kota Tasikmalaya didaftarkan dengan Merek Dagang bukan dengan Indikasi Geografis. Proses pendaftaran Merek Dagang atas produk kerajinan khas Tasikmalaya dilakukan melalui Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya untuk selanjutnya didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Dirjen HKI. Produk kerajinan tangan di Kota Tasikmalaya justru tidak didaftarkan secara komunal oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya atau asosiasi ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Dirjen HKI, tetapi pendaftarannya justru didaftarkan secara individu/pemilik dari pengrajin home industri yaitu dengan sertifikasi merek dagang. Kepala Seksi Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tasikmalaya mengatakan bahwa belum adanya perlindungan hukum terhadap kerajinan tangan khususnya Anyaman Rajapolah dan Kelom Geulis, padahal produksi kerajinan Anyaman Rajapolah dan Kelom Geulis sudah menembus pasar internasional dan sudah di ekspor seperti ke Jepang. Keadaan ini jelas perlu dipertanyakan mengenai keberadaan dan peranan Pemerintah setempat dalam upaya melakukan perlindungan hukum terhadap kerajinan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Deni I. Perlindungan Hukum …
120
kerajinan lokal khas Tasikmalaya khususnya Kelom Geulis dan Anyaman Rajapolah. Era perdagangan bebas akan mengancam produk kerajinan Kelom Geulis dan Anyaman Rajapolah itu sendiri dalam eksistensinya dimata dunia Internasional jika tidak didaftarkan secara komunal oleh Pemerintah setempat maupun lembaga atau asosiasi yang mewakili para pengrajin. 2.
Hak Ekonomi Masyarakat Komunal di Indonesia
Dalam Pemanfaatan
Indikasi Geografis di Era Perdagangan Bebas. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, memiliki wilayah teritorial yag sangat luas, sehingga kondisi geografis dan sosial budaya antar kawasan sangat beragam. Kondisi ini sudah barang tentu akan berdampak pada beragamnya produk yang dihasilkan antar kawasan. Produk-produk tersebut antara lain dapat dihasilkan pada sektor-sektor pertanian, kehutanan, kelautan, industri kecil dan seni budaya18. Manfaat yang dapat diambil dari perlindungan indikasi geografis adalah :19 1.
Dapat memberikan perlindungan kepada produsen dari pemalsuan dan perlindungan kepada konsumen dari rasa takut.
2.
Dapat dijadikan sebagai sarana untuk pemasaran produk.
3.
Untuk pengembangan wilayah pedesaan.
4.
Sarana aplikasi hukum dalam bidang ekonomi. Pengaruh dan manfaat langsung dari adanya perlindungan indikasi geografis
yaitu untuk menikmati keuntungan ekonomi bagi mereka yang memiliki pengetahuan dan penguasaan inventif serta untuk meningkatkan biaya terhadap akses. Pengaruh ini nyata-nyata relevan terhadap distribusi yang dicapai antara masyarakat maju dan masyarakat yang sedang berkembang, bahkan apabila terdapat keuntungan ekonomi di dunia secara keseluruhan dengan adanya perlindungan indikasi geografis yang meningkat dengan tetap memberikan perhatian bagi perlindungan terhadap pengetahuan tradisional20.
18
Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi, Perlindungan Indikasi Geografis, Universitas Indonesia, Depok 2005, hlm. 176-177. 19 Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi, Ibid, hlm. 177. 20 Citra Citrawinda, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, Universitas Indonesia, Depok 2005, hlm. 28.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
121
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Perlindungan indikasi geografis dapat digunakan sebagai sarana pengembangan wilayah, khususnya pedesaan, karena indikasi geografis merupakan sebuah pendekatan yang berbeda terhadap suatu proses produksi. Pengembangan produk indikasi geografis berarti akan terjadi proses pemeliharaan dan revitalisasi terhadap proses produksi dengan nuansa kawasan yang memiliki kekhasan lokal (locality). Kekhasan lokal ini akan memberikan nilai tambah pada suatu produk karena adanya praktekpraktek tradisional. Produk indikasi geografis secara langsung akan mempromosikan pertanian, industri kerajinan, kelautan, dan kehutanan yang terjadi secara turuntemurun serta pelestarian adat istiadat dan budaya lokal. Perlindungan indikasi geografis ditinjau dari segi lingkungan hidup akan dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan keragaman hayati21. Perlindungan atas indikasi geografis, akan berpengaruh sangat besar, karena setelah produk indikasi geografis produk kerajinan Kelom Geulis dan Anyaman Rajapolah didaftarkan, selain akan mendapatkan perlindungan, juga wilayah yang bersangkutan dalam hal ini wilayah Tasikmalaya bisa lebih mengoptimalkan potensi dari produksi Kelom Geulis dan Anyaman Rajapolah guna untuk meningkatkan derajat ekonomi komunitas lokal yang miskin, terpencil dan hanya memiliki satu sektor ekonomi andalan, untuk menjadi basis penguatan infrastruktur lokal yang independen dan juga dapat menambah potensi pendapatan asli daerah (PAD) Tasikmalaya. 3.
Konsep Perlindungan Indikasi Geografis Yang Berkeadilan di Indonesia. Era perdagangan bebas, banyak negara yang mulai mencari alternatif produk
baru untuk diperdagangkan dengan menggali produk-produk yang berbasis pengetahuan tradisional dari negara berkembang yang memiliki kekayaan budaya seperti yang berada di Indonesia untuk dapat diakuisisi serta dikembangkan lebih jauh, sehingga produk tersebut mampu menguasai pasar dunia tanpa ada kontribusi terhadap negara atau masyarakat pemilik produk tersebut22. Kasus-kasus yang dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah mengenai penyalahgunaan terhadap produk potensi indikasi geografis, dan/atau 21 22
Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi. Op. Cit, hlm 178. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.
245.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Deni I. Perlindungan Hukum …
122
yang berhubungan dengan pengetahuan tradisional telah menyoroti kebutuhan dan menekankan urgensi untuk memusatkan perhatian pada isu ini, karena seiring dengan meningkatnya tanpa persetujuan atau izin dari para pemegang hak dan tanpa adanya keuntungan/kompensasi yang memadai. Indikasi geografis merupakan tantangan bagi peraturan perundang-undangan di bidang HKI. Indikasi geografis memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dalam alam dunia perdagangan dan dapat dikatakan sebagai aset nasional. Konsep dasar masyarakat Barat yang individual kapitalistik melihat pengetahuan tradisional itu sebagai kekayaan (property) yang dapat dimiliki secara individual, sedangkan masyarakat lokal atau tradisional lebih melihatnya sebagai warisan atau ekspresi kebudayaan (cultural heritage atau cultural expression). Indonesia sebagai negara berkembang sebenarnya masih ada peluang untuk menjembatani antara pandangan masyarakat Barat dan masyarakat tradisional mengenai indikasi geografis sebagai kekayaan intelektual. Perlindungan indikasi geografis diperlukan adanya inovasi dan praktek-praktek tradisional serta kepemilikan sumberdaya oleh masyarakat maka diperlukan perangkat untuk mengatur akses agar ada pembagian keuntungan yang adil dan memadai bagi masyarakat yang secara de facto telah mempraktekkan hal tersebut. Alternatif dapat dilakukan pemerintah berkenaan dengan gagasan perlindungan yang dapat diberikan terhadap hak-hak warga masyarakat lokal di Indonesia, seperti membentuk perundang-undangan baru tentang indikasi geografis, berkenaan dengan persoalan akses orang asing terhadap produk indikasi geografis Indonesia serta persoalan pembagian manfaat kepada warga masyarakat lokal atas akses dan penggunaan sumber daya tersebut. Tindakan yang juga perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah merangsang tumbuh kembangnya partisipasi warga masyarakat dalam rangka ikut serta mengupayakan peningkatan pemanfaatan pengetahuan tradisional untuk kesejahteraan warga masyarakat dalam arti luas23. Teori Hukum Pembangunan berangkat dari teori yang dikembangkan atau dikemukakan oleh Roscoe Pond dengan teorinya “ Teori Hukum sebagai Sarana 23 Imas Rosidawati Wiradirja, “Konsep Perlindungan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan Asas Keadilan Melalui Sui Generis Intellectual Property System”. Universitas Islam Nusantara Bandung. hlm. 173.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
123
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
Rekayasa Sosial” (Law as a Tool of Social Enginering). Teori ini di Indonesia selanjutnya dimodifikasikan oleh Mochtar Kusumaatmadja24. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa: “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan25.” Mochtar Kusumaatmadja26 mengemukakan tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya, selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban27. Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”/”law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:28
24 M. Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009, hlm 21-22. 25 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis) Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 14 26 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun, hlm. 2-3. 27 Mochtar Kusumaatmadja, Ibid., hlm. 13. 28 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional Penerbit Binacipta, Bandung, 1995, hlm. 13.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Deni I. Perlindungan Hukum …
124
Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan. Pembentukan Hukum tentang Indikasi Geografis merupakan konsekuensi dari perkembangan politik dan ekonomi. Pembaharuan hukum harus juga didasarkan pada kebutuhan sosial, ekonomi dan politik. Hukum kenyataannya seringkali dipisahkan dari konteks sosialnya. Lawrence M. Friedman mengemukakan agar hukum dapat bekerja, harus dipenuhi 3 (tiga) syarat,
pertama, aturan itu harus dapat
dikomunikasikan kepada subjek yang diaturnya, kedua, subjek yang diaturnya mempunyai kemampuan untuk melaksanakan aturan itu, ketiga, subjek itu harus mempunyai motivasi untuk melaksanakan aturan itu29. Pemerintah dapat mempertimbangkan penyusunan perundang-undangan khusus indikasi geografis yang di dalamnya mengatur mengenai masalah akses orang asing terhadap produk indikasi geografis yang terkait, serta pembagian manfaat yang terjadi karena akses tersebut. Perundang-undangan yang sama dapat juga mencantumkan pengaturan mengenai contractual practices and clauses30 yang terkait dengan pemberian akses dan pembagian manfaat tersebut di atas. Perlindungan
pembentukan
Undang-Undang
khusus
indikasi
geografis
diperlukan mengingat rezim HKI yang berlaku sekarang ini telah terbukti kurang sesuai untuk diterapkan dikarenakan indikasi geografis masih bergabung dengan Undang-Undang
Merek.
mempertimbangkan
Pembentukan
kondisi
apakah
hukum
Indonesia
yang
dimaksud
memiliki
juga
perlu
kemampuan
untuk
mempertahankan hak-hak masyarakat lokal terhadap misappropriation yang dilakukan oleh pihak asing atas indikasi geografis, artinya pembentukan hukum itu harus dibarengi dengan pembentukan perangkat yang akan mempertahankan hak-hak masyarakat lokal Indonesia terhadap pelanggaran hak yang dilakukan oleh pihak 29
Friedman M. Lawrence, The Legal System A Social Science Respective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, hlm. 56. 30 Marin Cantuaria Lucia Patricia, Providing Protection for Plant Genetic Resources Patents, Sui Generis System, and Biopartnerships, Kluwer Law International, 2002, hlm. 77.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
125
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
asing. Perlindungan hukum atas indikasi geografis di Indonesia belum mengarah pada kondisi tersebut31. Indonesia dapat mempertimbangkan sistem perlindungan indikasi geografis mengingat karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat berbeda dengan masyarakat Barat. Karakteristik masyarakat Indonesia masih diwarnai sistem kolektif atau komunal dan religius,
sehingga perilaku masyarakatnya pun masih diresapi dan
dituntun oleh sistem nilai tersebut, dengan demikian, menciptakan hukum yang berlandaskan sistem nilai yang berbeda hanya akan menimbulkan masalah dalam implementasinya. Perlindungan Indikasi geografis diperlukan sebagai suatu sistem perlindungan yang tepat bagi masyarakat lokal Indonesia. Substansi yang terpenting dari UndangUndang indikasi geografis yang dimaksud adalah adanya pengakuan yang tegas bahwa masyarakat lokal adalah “pemilik” dari pengetahuan tradisional yang bersangkutan32. D.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan
1.
Perlindungan hukum yang diberikan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yaitu terhadap indikasi geografis terdaftar. Perlindungan hukum terhadap indikasi geografis terdaftar berlangsung selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi geografis masih ada. Pemegang hak atas indikasi geografis mempunyai suatu hak monopoli, artinya dapat mempergunakan haknya dengan melarang siapapun tanpa persetujuannya serta dapat mempergunakan dan mempertahankan haknya kepada siapapun juga yang berupaya menyalahgunakan hak atas indikasi geografis, dan hak tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau perusahaan asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
2.
Hak ekonomi masyarakat komunal di Indonesia dalam pemanfaatan Indikasi Geografis di era perdagangan bebas dapat diambil manfaat dari perlindungan Indikasi Geografis yaitu dapat memberikan perlindungan kepada produsen dan
31
Agus Sardjono, Perkembangan Perlindungan Hukum Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional di Indonesia, Universitas Indonesia, Depok, 2005. hlm. 72. 32 Masyarakat lokal mengacu pada kelompok-kelompok masyarakat yang hidup di daerah-daerah di dalam wilayah Indonesia yang biasanya diidentifikasikan sebagai suku bangsa tertentu.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Deni I. Perlindungan Hukum …
126
konsumen, dapat dijadikan sebagai sarana untuk pemasaran produk, untuk pengembangan wilayah yang terdapat produk indikasi geografis, dan sarana aplikasi hukum dalam bidang ekonomi. Pemberian perlindungan indikasi geografis dapat meningkatkan kemakmuran dan mencapai keadilan ekonomi. 3.
Konsep perlindungan Indikasi Geografis yang berkeadilan di Indonesia, dapat mempertimbangkan sistem perlindungan indikasi geografis yang sesuai dengan karakter kepemilikan di Indonesia yaitu bersifat kolektif atau komunalistik. Substansi yang terpenting dari Undang-Undang indikasi geografis yang dimaksud adalah adanya pengakuan yang tegas bahwa masyarakat lokal adalah “pemilik”
dari
pengetahuan
tradisional
yang
bersangkutan,
mengingat
karakteristik kepemilikan masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Barat yang individualistik. Saran 1.
Diperlukan pembentukan hukum atau Undang-Undang yang baru khusus mengatur tentang indikasi geografis, karena cakupan mengenai indikasi geografis di dalam UU RI Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih sangat terbatas hanya terdapat di dalam Pasal 56-60.
2.
Perlu dibangun suatu mekanisme untuk menjamin dilaksanakannya pembagian keuntungan (benefit sharing) kepada penduduk setempat yang memiliki produk indikasi geografis.
3.
Produk kerajinan seperti kelom geulis dan anyaman Rajapolah seharusnya tidak didaftarkan sebagai merek dagang karena kepemilikannya bersifat individual. Perlindungan hukum terhadap kerajinan khas Tasikmalaya yaitu kelom geulis dan anyaman Rajapolah sebaiknya diberikan perlindungan indikasi geografis yang kepemilikannya bersifat komunal.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
127
Media Justitia Nusantara No. 8 Vol. 1 September 2014
DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi, Hak Kekayaan Itelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Agus Sardjono, Perkembangan Perlindungan Hukum Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional di Indonesia, Universitas Indonesia, Depok, 2005. C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke20, Alumni, Bandung,1994. Citra Citrawinda, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, Universitas Indonesia, Depok 2005. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Berita Resmi Indikasi Geografis, http://www.dgip.go.id diakses tanggal 6 April 2014. Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan, 20 Nopember 2001. Friedman M. Lawrence, The Legal System A Social Science Respective, Russel Sage Foundation, New York, 1975. Imas Rosidawati Wiradirja, “Konsep Perlindungan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan Asas Keadilan Melalui Sui Generis Intellectual Property System”. Universitas Islam Nusantara Bandung. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. 5, Bumi Aksara, Jakarta, 2001. John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, Cambridge University Press, New York, 2000. Lawrence M. Friedman, Legal Culture and the Welfare State: Law and SocietyAn Introduction, Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990. M. Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Deni I. Perlindungan Hukum …
128
Maria SW. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UNGAMA), Yogyakarta, 1989. Marin Cantuaria Lucia Patricia, Providing Protection for Plant Genetic Resources Patents, Sui Generis System, and Biopartnerships, Kluwer Law International, 2002. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis) Penerbit Alumni, Bandung, 2002. Mochtar Kusumaatmadj
,
Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun. Mochtar Kusumaatma ja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional Penerbit Binacipta, Bandung, 1995. Mooryati Soedibyo, Kepentingan Negara Berkembang Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, Universitas Indonesia, Depok, 2005. Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Edisi kedua, PT. Grasindo, Jakarta. Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2003. Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 13 ; lihat pula Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Sudarmanto, Produk Kategori Indikasi Geografis Potensi Kekayaan Intelektual Masyarakat Indonesial, Universitas Indonesia, Depok, 2005. Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi, Perlindungan Indikasi Geografis, Universitas Indonesia, Depok, 2005. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2000. Yeti
Sumiyati,
Masih
Ada
Harapan
Bagi
Pandanwangi,
http://www.wordpress.com, diakses tanggal 6 April 2014.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
Jurnal Media Justitia Nusantara (MJN) merupakan jurnal yang sepenuhnya diperiksa oleh penyunting ahli PPS yang berkompeten di bidangnya. Redaksi menerima artikel ilmiah berupa hasil penelitian, gagasan, kajian, dan konsepsi dalam bidang ilmu hukum. Pengiriman naskah : 1.
Naskah dikirimkan dalam bentuk hard copy dengan dilengkapi file dalam bentuk compact disc ( (CD).
2.
Naskah tulisan asli, belum pernah dimuat dimedia lain, atau sedang dalam proses untuk dimuat di media lain. Untuk naskah yang pernah disampaikan dalam ceramah/diskusi/seminar harap disebutkan dalam catatan kaki.
3.
Seluruh naskah yang masuk ke redaksi akan diperiksa oleh penyunting ahli sesuai dengan bidang kajian naskah. Aspek yang diperiksa menyangkut kesahihan informasi, kontribusi substantive naskah terhadap bidang kajian, serta kualitas tulisan.
Ketentuan naskah : 1.
Naskah diketik dalam format MS.Word dengan kertas ukuran A4, spasi 1,5. Huruf Times New Roman ukuran 12 pt. Keseluruhan naskah antara 15 sampai paling banyak 20 halaman untuk artikel dan 20 sampai dengan 30 halaman untuk hasil penelitian disertai abstrak (maksimum 200 kata) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Naskah diberi nomor halaman dengan angka arab.
2.
Naskah tulisan dapat ditulis dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Apabila menggunakan bahasa Indonesia hendaknya memperhatikan kaidah-kaidah yang baku, istilah-istilah asing ditulis dengan huruf miring pada kata tersebut.
3.
Naskah disusun dengan urutan : Judul, nama penulis (tanpa gelar), abstrak, dan kata kunci tidak lebih dari 5 kata. Isi mencangkup : Pendahuluan, pembahasan, penutup , dan daftar pustaka. Jika penulis lebih dari satu orag, nama penulis dicatumkan berurutan kebawah, dengan nama penulis utama dicantumkan di baris paling atas.
4.
Apabila dalam naskah ada keterangan, atau kutipan harus disebutkan sumbernya dan ditulis dalam catatan kaki (footnote).
5.
Daftar pustaka berisi pustaka yang dirujuk dalam tulisan saja. Pustaka dalam daftar pustaka diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama penulis tanpa gelar. Penulis orang asing ditulis family name nya dahulu baru nama depan. Penulisan pustaka tanpa diberi nomor.
6.
Tata cara penulisan daftar pustaka : ‐
Untuk buku : Nama penulis, Judul Buku, Penerbit, Kota terbit, Tahun terbit.
‐
Untuk jurnal /artikel/hasil seminar : Nama penulis, Judul artikel
Judul Jurnal , nomor terbitan, Kota terbit, Tahun terbit, nomor halaman.
‐
Contoh : Ningrum Natasya Sirait, Perilaku Asosiasi Pelaku Usaha Dalam Konteks UU No. 5 /1999, Makalah, Jurnal Hukum Bisnis Vol.19, Yayasan pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, Juni 2002, hlm. 56-57
7.
Redaksi berhak memperbaiki tata bahasa dari naskah yang akan dimuat tanpa mengubah isi.
Diterbitkan Oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Uninus