ISOLASI DAN ELUSIDASI STRUKTUR SENYAWA PENANDA DARI EKSTRAK MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)
NASKAH PUBLIKASI
Oleh: NORMAIDAH K 100110129
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2015 1
2
ISOLASI DAN ELUSIDASI STRUKTUR SENYAWA PENANDA DARI EKSTRAK MENIRAN (Phyllanthus niruri L.) ISOLATION AND STRUCTURE ELUCIDATION OF ANALYTICAL MARKER OF MENIRAN EXTRACT (Phyllanthus niruri L.) Erindyah R. Wikantyasning*#, Muhammad Da’i*, Normaidah*, AndiSuhendi* *Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl. A. Yani Tromol Pos I, Pabelan Kartasura Surakarta 57102 #E-mail:
[email protected] Abstrak Dalam upaya pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar, senyawa penanda sangat dibutuhkan dalam standardisasi. Ekstrak P. niruri memiliki berbagai senyawa penanda seperti fillantin, hipofillantin, dan korilagin. Isolasi senyawa dari fraksi polar P. niruri menggunakan kromatotron belum pernah dikembangkan. Pada percobaan ini dilakukan isolasi dan elusidasi struktur untuk mendapatkan senyawa penanda dari herba P. niruri L.. Herba P. niruri L. diekstraksi dengan metode maserasi dalam metanol. Ekstrak difraksinasi menggunakan n-heksan, etil aetat, dan metanol : air (2 : 5 v/v). Isolasi senyawa fraksi polar metanol : air dari ekstrak P. niruri L. dilakukan menggunakan kromatotron dengan fase diam silika gel 60 GF254 dengan ketebalan 1 mm, jari-jari 7 cm, dan fase gerak kloroform : metanol sistem gradien. Fraksi yang didapat selanjutnya dielusidasi struktur menggunakan ESI-LC-MS, 1H-NMR, dan 13 C-NMR. Maserasi menghasilkan ekstrak dengan rendemen 18,65% b/b. Isolasi pertama menghasilkan 8 fraksi dan isolasi kedua menghasilkan 17 fraksi. Fraksi 1.8 (18 mg) diprediksi mengandung alkaloid dengan BM 221,104989 g/mol dan belum murni. Dari penelitian ini belum didapatkan senyawa penanda. Kata kunci: Phyllanthus niruri L.; senyawa penanda; kromatotron; ESI-LC-MS; NMR. Abstract In the development of herbal medicineinto astandardized herbal medicine, a marker compoundis needed forstandardization. P. niruri extract has various marker compounds such as phyllanthin, hypophillantin, and corilagin. Isolation of compounds from polar fraction using kromatotron P. niruri has not been developed. This experiment was conducted to isolate and characterize to obtain analytical marker from P. niruri L. herbs. P. niruri L. herbs was extracted by maceration method in methanol. Extract of P. niruri L. was then fractionated using n-hexane, ethyl acetate, and
3
methanol:water (2:5 v/v). The methanol:water fraction was then isolated using chromatotro) with the stationary phase silica gel 60 GF254 with a thickness of 1 mm, finger 7 cm and a mobile phase gradient system of methanol: chloroform. Isolates structure was further elucidated using ESI-LC-MS,1H-NMR, dan13C-NMR. The maseration process yielded extract with a yield of 18.65% w/w. First isolation generated 8 fractions and second isolation generated 17 fractions. Fraction1.8 produce as much as 18 mg as alkaloids with molecular weight 221.104989 g/mol and wasnot pure. This research has not obtained a marker compound. Keywords: Phyllanthus niruri L.; marker compound; chromatotron; ESI-LC-MS; NMR. PENDAHULUAN Ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L.) yang berasal dari famili Euphorbiaceae berkhasiat sebagai hepatoprotektif (Asha, 2011), antitumor (Jia et al., 2013), antidiabetes (Coman et al., 2012), sitotoksik (Harish dan Shivanandappa, 2006) serta memiliki aktivitas antioksidan (Chirdchupunseree dan Pramyothin, 2010). Di Indonesia, P. niruri telah diproduksi dan dipasarkan sebagai fitofarmaka dalam bentuk kapsul dan pada penelitian selanjutnya akan dilakukan formulasi dalam bentuk nanoemulsi sebagai obat herbal terstandar. Dalam upaya pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar, menurut Kepala BPOM Indonesia dalam HK.00.05.41.1384 tahun 2005 harus melalui berbagai tahap uji dan salah satunya adalah standarisasi bahan baku hingga dalam bentuk sediaan. Dalam standarisasi suatu sediaan farmasi dengan bahan dasar ekstrak tanaman diperlukan senyawa penanda atau chemical marker yang umumnya merupakan senyawa mayor (senyawa utama) ataupun senyawa aktif dari tanaman yang bersangkutan (Wahyuno, 2005). P. niruri dalam beberapa penelitian menggunakan korilagin (Colombo et al., 2009), fillantin, dan hipofillantin (Bhattacharyya et al., 2013) sebagai active marker. Beberapa senyawa penanda P. niruri kebanyakan dalam penelitian dilakukan isolasi sendiri seperti fillantin, hipofillantin (Tripathi et al., 2006; Murugaiyah & Chan, 2007), filtetralin, nirantin (Murugaiyah & Chan, 2006), nirurisida (Qian-Cutrone et al., 1996), dan korilagin (Colombo et al., 2009).
4
Pada penelitian Qian-Cutrone et al. (1996), menggunakan kromatografi kolom dengan fase daim Sephadex LH-20 mendapatkan nirurisida sebanyak 12 mg. Rendemen dari senyawa penanda tersebut terbilang sedikit. Teknik isolasi menggunakan kromatografi sistem radial (kromatotron) belum pernah dilakukan untuk mengisolasi P. niruri. Kromatotron dapat mengisolasi lebih cepat, dapat mengisolasi senyawa yang tidak memiliki gugus kromofor, fase gerak yang digunakan dapat berupa sistem gradien dengan mudah, dan harga yang relatif rendah dibanding teknik isolasi lainnya (Kulkarni et al., 2011). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengisolasi senyawa penanda yang terkandung di dalam ekstrak metanol herba P. niruri menggunakan kromatotron dan mengelusidasi struktur isolat tersebut. Diharapkan isolat yang didapat mampu memberikan kemurnian lebih dari 95% sehingga dapat digunakan sebagai
senyawa penanda dalam validasi metode penetapan kadar
ekstrakP. niruri dalam sediaan nano emulsi yang dikombinasi dengan ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata (Burm f.) Ness.).
METODE PENELITIAN Bahan Simplisia kering herba meniran (P. niruri) yang dibeli dari Toko Herba Akar Sari-Solo, metanol teknis, metanol pro analisis, etil asetat pro analisis, kloroform pro analisis,aseton pro analisis, akuabidestillata, serbuk Silika gel 60 GF254 1.07730.0500 Merck, lempeng KLT Silika gel 60 F254 Merck, gas Nitrogen, CD3OD, metanol grade HPLC, Asetonitril grade HPLC, asam fosforik 0,1%, dan asam asetat 0,3%. Alat Bejana
maserasi;
alat-alat
gelas;
bejana
kromatografi
lapis
tipis,
kromatografi radial (kromatotron); lampu UV portable 254nm dan 366 nm; timbangan analitik; oven; rotary evaporator; Alliance® HPLC Waters e2695, detector PDA Alliance® HPLC Waters e2998dengan kolom C18 Cosmosil Packed Column (150 mm, diameter 4,6 µm), NMR JEOL JNM-ECS400 Mhz (Institute of
5
Tropical Disease-UNAIR Surabaya), LC-MS Mariner, software MestReNova 10.0.014381. PersiapansimplisiaP. niruri Simplisia kering herba P. niruri yang akan diisolasi dibeli dari Toko Herba Akar Sari, Jl. Dr. Rajiman 112, Solo. Persiapan ekstrak P.niruri 586,79 g herba P. niruri kering yang telah disortir,dimaserasi 3 kali dalam methanol sebanyak4,5 L sambil dilakukan pengadukan. Ektrakcair yang didapat dievavorasi menggunakan rotary evavorator hingga didapat ekstrak kental. Dihitung rendemen ekstrak yang didapat. Fraksinasi pertama menggunakan corong pisah Ditimbang lebih kurang 22 g ekstrak kentaldan dilarutkan dengan metanol : air (2 : 5 v/v) sebanyak 25,76mL. Disonikasi selama 10 menit. Kemudian dipartisi dalam corong pisah menggunakan n-heksan pro analisis sebanyak 4 kali (20→20→10→20 mL).dan dipisahkan fraksi n-heksan yang terletak di bagian atas. Dilanjutkan dengan partisi menggunakan etil asetat pro analisis sebanyak 4 kali (25→20→50→10 mL) dan dipisahkan fraksi etil asetat yang terletak dibagian atas. Masing-masing fraksi dibiarkan menguap pada suhu ruang. Ditimbang dan dihitung masing-masing hasil fraksinasi. Optimasi Fase Gerak Dilakukan optimasi fase gerak terhadap ketiga fraksi yang didapat menggunakan kombinasi fase gerak metanol : etil asetat (2 : 9 → 2 : 8 → 3 : 7 → 1 : 2→ 5 : 5→ 2 : 1→ 7 : 3→ 8 : 2→ 9 : 2 v/v), kloroform : etil asetat : metanol (4 : 3 : 3→ 1 : 1 : 1 → 2 : 4 : 4 v/v), n-heksan : kloroform (8 : 2 → 7 : 3→ 6 : 4→ 5 : 5→ 4 : 6 v/v), n-heksan : etil asetat (8 : 2 → 7 : 3→ 6 : 4→ 5 : 5→ 4 : 6→ 2 : 8→ 1 : 9 v/v), kloroform : metanol (9 : 1→ 8 : 2→ 7 : 3→ 6 : 4→ 5 : 5→ 4 : 6 v/v), dan air : metanol (6 : 4 v/v). Isolasi Menggunakan Kromatografi Sistem Radial (Kromatotron) Ditimbang seksama 1 g fraksi kental metanol : air (2 : 5 v/v) dan dilarutkan ke dalam 2 mL metanol. Dibuat lempeng kromatotron dengan melarutkan lebih kurang 50 g serbuk serbuksilika gel 60 GF254 1.07730.0500 Merck ke dalam 100 mL 6
akuades dingin, digojog kuat sampai terbentuk bubur, dituang di atas lempeng kromatotron, didiamkan mengering pada suhu ruang. Setelah kering, lempeng diaktifkan dengan memanaskannya di dalam oven bersuhu 1050C selama 10 menit. Disiapkan lempeng dengan ukuran jari-jari 7 cm dan ketebalan 1 mm. Dikondisikan lempeng dengan dialiri n-heksan pro analisis sebanyak 80 mL, ditunggu sampai nheksan keluar dari kromatotron. Dibiarkan sedikit menguap, dimasukkan sampel melalui pipa fase gerak dengan putaran yang rendah. Didiamkan sampai sampel teradsorbsi pada lempeng kromatotron. Dielusi kromatotron menggunakan fase gerak kloroform : metanol (9 : 1 v /v ) sebanyak 50 mL. Dilanjutkan dengan rasio 8 : 2 v/v sebanyak 200 mL, dan terakhir dengan rasio 5 : 5 v/v sebanyak 40 mL. Ditampung fraksi sesuai dengan fluoresensi yang terbentuk dengan pengamatan visual menggunakan lampu UV 366 nm. Ditunggu sampai semua pelarut menguap pada suhu kamar serta dengan bantuan gas nitrogen. Analisis Isolat MenggunakanKromatografi Lapis Tipis (KLT) Isolat yang didapat dilakukan analisis menggunakan KLT dengan fase diam lempeng TLC Silica gel 60 F254 Merck dan fase gerak kloroform : metanol (8 : 2 v/v) dengan panjang elusi 4 cm. Digabungkan isolat yang didapat jika memiliki profil nilai Rf yang sama. Setelah digabungkan, dianalisis kembali menggunakan fase gerak kloroform : metanol (9 : 1 → 8 : 2 v/v) dan metanol : aseton (2 : 8 v/v). Analisis Isolat Menggunakan Liquid Chromatoghraphy-Mass Spectrum (LC-MS) Dilarutkan sampel sebanyak 1 mg dalam metanol grade HPLC, dielusi dengan fase gerak metanol dan asam asetat 0,3% sistem isokratik, mode full-scandari 100 sampai 1200 m/z dengan temperatur kolom HPLC 1400C dan kecepatan alir 0,05 mL/menit. Analisis Isolat Menggunakan Spektroskopi NMR Sebanyak 5 mg isolat dilarutkan ke dalam CD3OD dan ditambahkan dengan TMS, kemudian dianalisis menggunakan NMR 400 Mhz dan 500 MHz. Ditunggu sampai analisis selesai. Dilakukan analisis terhadap peak yang didapat.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Herba P. niruri kering dimaserasi dengan metanol karena metanol merupakan pelarut umum yang digunakan selain etanol untuk ekstraksi (Saifudin, 2014). Disamping itu, pada penelitaian Tripathi et al. (2006), rendemen kandungan fillantin dan hipofillatin terhadap beberapa spesies Phyllanthus dari ekstraksi menggunakan pelarut metanol dengan perlakuan yang sama lebih banyak dibanding menggunakan pelarut heksan, kloroform, maupun etil asetat. P. niruri yang dihasilkan pada penelitian ini didapatkan ekstrak kental berwarna coklat kehitaman yang berbau lemah dengan rendemen 18,65% b/b dari 586 g. 22 g ekstrak kental dilarutkan ke dalam metanol : air (2 : 5 v/v) dan dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan n-heksan dan etil asetat. Fraksi n-heksan, etil asetat, dan metanol : air (2 : 5 v/v) didapatkan masing-masing 6,06 g isolat kental berwarna hitam kehijauan; 13,48 g isolat kental berwarna hitam kecoklatan; dan 8,12 g isolat kental coklat kemerahan. Dalam pengisolasian suatu senyawa menggunakan teknik kromatografi, perludilakukan pengoptimasian agar didapatkan pemisahan yang baik. Pada optimasi fase gerak terhadap semua fraksi, didapatkan pemisahan yang baik dari fraksi metanol : air maupun dari fraksi etil asetat dan fraksi n-heksan menggunakan fase gerak campuran kloroform : metanol dari 9 : 1 v/v, 8 : 2 v/v; dan 7 : 3 v/v, namun terdapat tailing pada fraksi etil asetat dan fraksi n-heksan. Pada fraksi metanol : air, pemisahan dengan fase gerak kloroform : metanol dengan rasio 8 : 2 v/v dan 7 : 3 v/v teridentifikasi ada 2 bercak dengan Rf masing-masing 0,325 berfluoresensi biru dan 0,625 berfluoresensi kuning lemah untuk fase gerak kloroform : metanol dengan rasio 8 : 2 v/vserta 0,725 berfluoresensi biru dan 0,925 berfluoresensi kuning lemah untuk fase gerak kloroform : metanol dengan rasio 7 : 3 v/v. Isolasi ini menggunakan fase gerak kloroform : metanol dengan rasio 9 : 1 v/v tidak didapatkan isolat. Fase gerak ini digunakan untuk pengkondisian lempeng setelah dimasukkan sampel. Pada fase gerak kloroform : metanol dengan rasio 8 : 2 v/v didapatkan 8 faraksi. Fraksi 1.1 dan 1.2 teridentifikasi 4 bercak dengan nilai Rf masing-masing 0,54 (fluoresensi kuning kehijauan); 0,67 (fluoresensi lemah); 0,81(fluoresensi kuning kuat); dan 0,94 (fluoresensi kuning muda kuat). Fraksi 1.3
8
sampai 1.7 memiliki profil yang sama, yakni teridentifikasi 3 bercak dengan nilai Rf masing-masing 0,54 (fluoresensi biru kehijauan); 0,67 (fluoresensi lemah); dan 0,81 (fluoresensi kuning lemah). Fraksi1.8 teridentifikasi memberikan 1 bercak dengan nilai Rf 0,54 (fluoresensi biru kehijauan) (Gambar 1).
Gambar1. Hasil analisis dari isolasi pertama fraksi polar menggunakan kromatotron dengan fase diam silika gel 60 F254 dengan panjang elusi 4 cm ddan fase gerk kloroform : metanol (7 : 3 v/v) yang dilihat dengan sinar UV 366 nm
Fraksi 1.8 dianalisis menggunakan metode KLT dengan fase diam Silika gel 60 F254 Merck dan fase gerak kloroform : metanol (9 : 1 → 8 : 2 v/v) dan metanol aseton (2 : 8 v/v) serta panjang elusi 4 cm. Dari elusi didapatkan masing-masing 1 (satu) bercak namun masih memiliki bercak yang dapat berfluoresensi pada totolan awal serta pada elusi menggunakan kloroform : metanol (9 : 1 → 8 : 2 v/v) masih terdapat tailing (Gambar 2).
Gambar2. Hasil analisis fraksi 1.8 menggunakan KLT dengan fase gerak (A) kloroform : metanol (9 : 1 v/v), (B) kloroform : metanol (8 : 2 v/v), dan (C) metanol : aseton (2 : 8 v/v) panjang elusi 4 cm pada sinar UV 366 nm
Selanjutnaya, hasil analisis fraksi 1.8 menggunakan ESI-LC-MS. Dengan LC mode +ESI ECC Scan. Fraksi 1.8 memiliki waktu retensi 0,86 menit dan terdapat 9
peak lain dengan intensitas rendah yang memiliki waktu retensi 1,778 menit (Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi 1.8 masih belum murni.
Gambar3. Hasil analisis LC menunjukkan peak terbesar memiliki waktu retensi 0,860 menit dengan metode dari Institute of Tropical Disease-UNAIR Surabaya
Pada LC-MS menggunakan ion positif (H+) dengan mode +ESI-MFE-MS, peak dengan waktu retensi 0,860 menit memberikan base peak pada 222,1127 m/z yang berbobot molekul 221,104989 g/mol dengan rumus formula C12H15NO3. Double bond eqivalency (DBE) dari fraksi 1.8 sebanyak 6 (Gambar 4). A
B
Gambar4.Hasil ESI-LC-MS fraksi 1.8 dengan waktu retensi 0,860 menit memiliki base peak 222,1127 m/z menggunakan ion positifESI-MFE-MS pada LC-MS dengan metode dari Institute of Tropical DiseaseUNAIR Surabaya (A) dan hasil spektra ESI-LC-MS isobubbialin dengan ion positif (Zhou et al., 2012) (B)
10
Pada penelitian Houghton et al. (1996), ditemukan dua senyawa alkaloid sekurinega dari Phyllanthus amarus yang yaitu epibubbialindan isobubbialin berbentuk serbuk kristal. Pada Phyllanthus niruroides juga terdapat senyawa niruroidina yang berbentuk padatan amorf (Babady-Bila et al., 1996). Menurut Zhou et al. (2012), P. niruri mengandung isobubbialin dengan spektra ESI-LC-MS pada Gambar 11 yang menunjukkan perbedaan pola fragmentasi. Pada penelitian Zhu et al. (2011), P. niruri mengandung epibubbialin. Dari kesemua isolat tersebut memiliki rumus molekul C12H15NO3 dengan berat molekul 221,105 g/mol. Fraksi 1.8 berupa plek berwarna coklat yang kelarutannya lemah pada kloroform maupun metanol. Fraksi 1.8 diprediksi mengandung senyawa alkaloid yang memiliki karakteristik berbeda dibanding isobubbialin, epibubbialin, dan niruroidin pada hasil analisis menggunakan 1H-NMR400 MHz yang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali analisis, lingkungan kimia, pola spin-spin kopling dan integradsi isolat 1.8 dengan yang lainnya tidak menunjukkan kemiripan (Saifudin, 2014) dan dari data yang diperoleh menunjukkan ketidakstabilan hasil analisis. Ini disebabkan karena fraksi 1.8 masih belum murni, sehingga data yang diperoleh belum dapat diinterprestasikan. Perbedaan hasil 1H-NMR dapat dilihat pada tabel 1.
Gambar5. Struktur epibubbialin (A), isobubbialin (B), dan niruroidina (C)
Fraksi 1.8 pada
13
C-NMR berfrekuensi 400 MHz dengan pelarut CD3OD
terdeteksi beberapa peak dengan intensitas yang sangat rendah dan data tersebut tidak dapat diinterprestasikan (Gambar 14). Menurut Saifudin (2014), pelarut sangat berperan penting dalam menentukan hasil NMR. Pelarut dapat mempengaruhi kemunculan spektra. Ini dikarenakan pada prosesnya, analit tidak terlarut sempurna. DMSO (dimetil sulfoksida) merupakan salah satu pilihan pelarut yang digunakan apabila analit tidak dapat melarut pada pelarut lain.
11
Table 1. Analisis 1H-NMR Epibubbialin (A)dan Isobubbialin (B1) pada 1H-NMR 400 MHz dalam CDCl3 (Houghton et al., 1996), Isobubbialin pada 1H-NMR 500 MHz dalam CD3OD (Zhu et al., 2011) (B2) (Zhou et al., 2012) (B3), niruroidina pada 1H-NMR 500 MHz dalam CDCl3 (Babady-Bila et al., 1996), dan fraksi 1.8 pada1H-NMR 400 MHz dalam CD3OD (dalam ppm)
A
B1
B2
B3
C
2-1
Fraksi 1.8 2-2 2-3 8,82 m 8,81 m 8,72 s 8,66 m 8,66 m
7,46 s 7,07 s
5,80 t
5,83 t
6,72 m 6,46 m 6,24 m
6,72 m 6,46 m 6,24 m
5,20 s 5,13 s
5,20 s 5,13 s
5,83 t
5,75 t
5,74 t 5,67 s
5,34 brs
5,40 brs 5,18 s
4,45 br ddd 4,25 dd
4,20 dd
4,20 dd
3,82 m
3,82 m
4,65 s 4,59 s 4,43 s
4,05 dd 3,99 s 3,80 d 3,72 d
3,74 m 3,64 d 3,32 prt 3,18 prt
3,13 m 3,08 m
3,02 m 2,98 dt 2,68 dt 2,38 dd 2,22 m 2,12 m 1,92 m 1,88 dd 1,70 m
3,27 s
3,27 s
3,06 m 3,02 m 2,96 dt
3,06 m 3,02 m 2,96 dt
2,80 dt
2,80 dt
2,35 dd 2,24 m 2,18 m 1,97 m 1,91 m
2,35 dd 2,24 m 2,18 m 1,97 m 1,91 m
1,74 m
1,74 m
3,26 ddd
3,57 t 3,44 d 3,28 s 3,21 s
3,15 m 3,12 m 3,02 ddd 2,91 m 2,89 m 2,81 dd 2,28 s 1,97 m 1,91 m 1,79 m 1,36 ddd
2,02 s
1,48 s 1,29 s 1,15 s 1,00 s 0,95 s 0,86 s
12
Gambar6. Hasil analisis 13C-NMR fraksi 1.8 dengan CD3OD menggunakan instrumen berfrekuensi 400 MHz
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan beberapa kekurangan penulis, di antaranya adalah penulis tidak melakukan analisis KLT 2 (dua) dimensi. Metode KLT 2 (dua) dimensi dengan fase gerak yang telah teroptimasi dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya dengan 1 (satu) dimensi. Selain itu, penulis juga tidak melakukan uji titik leleh yang merupakan salah satu metode untuk menentukan kemurnian dari suatu analit (Wilbraham, 1992). Setelah hanya didapatkan satu bercak yang tidak meninggalkan bercak pada tempat penotolan, maka perlu dilanjutkan kembali menggunakan metode HPLC/LC dengan kondisi teroptimasi sebelumnya. Suatu senyawa dapat dikatakan sebagai senyawa penanda apabila senyawa tersebut merupakan senyawa mayor atau senyawa yang memiliki aktivitas biologis (Wahyuono, 2005). Senyawa yang terdeteksi dari fraksi 1.8 merupakan suatu alkaloid yang didukung dengan hasil ESI-LC-MS yang menunjukkan adanya atom N yang merupakan ciri khas dari alkaloid (Saifudin, 2014). Namun data penulis belum cukup untuk menentukan struktur yang terkandung di dalamnya mengingat fraksi yang didapat juga belum murni yang terlihat dari masing-masing kromatogram dari kedu fraksi yang dianalisis. Ketidakmurnian dari fraksi yang didapat menyebabkannya tidak dapat digunakan sebagai senyawa penanda untuk penelitian selanjutnya. Ketidakmurnian tersebut dapat dikarenakan tidak adanya pengaturan volume yang terukur dari tabung 13
fase gerak dan terlalu cepatnya perputaran rotor dari kromatotron menyebabkan pengadsorbsian fase gerak pada lempeng kromatotron tidak menyebar sempurna keseluruhan sisi analit, sehingga pada saat masuk ke dalam penampungan senyawa yang memiliki rotasi pendaran berbeda masuk secara bersamaan. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan isolasi kembali. Pada fraksi 1.8 perlu dilakukan pengisolasian dari fraksi 1.2 sampai fraksi 1.7, karena dari fraksi 1.2 sampai fraksi 1.7 memiliki profil hasil KLT yang sama. Pengisolasian fraksi 1.2 sampai fraksi 1.7 dapat dilakukan dengna berbagai pelarut yang memiliki polaritas berbeda pula. Dalam analisis senyawa menggunakan LC-MS, perlu dilakukan optimasi kondisi terlebih dahulu sebelum dilakukan elusi. Sehingga pada hasil kromatogram tidak didapatkan senyawa yang tertumpuk dalam satu peak. Mode EI (electron impact) perlu dilakukan jika mendapatkan peak hasil kromatogram yang tidak melebar,
karena
mode
EI
merupakan
mode
ionisasi
keras
yang
dapat
memfragmentasi senyawa menjadi fragmen-fragmen yang khas sehingga mudah dalam menentukan struktur senyawa. Pada analisis menggunakan NMR, perlu dilakukan penggatian pelarut dengan harapan analit dapat terlarut sempurna dan intensitas spektra yang dihasilkan cukup besar sehingga hasil tersebut dapat diinterprestasikan. Salah satu pelarut yang perlu dilakukan optimasi adalah DMSO (dimetil sulfoksida) karena pelarut ini merupakan pilihan jika analit tidak dapat melarut pada pelarut lain (Saifudin, 2014).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkanhasilpenelitian, dapatdisimpulkanbahwapenelitian ini belum menghasilkan senyawa penanda. Fraksi 1.8 masih berupa senyawa campuran dengan polaritas yang hampir sama. Salah satu senyawa yang diprediksi terkandung dalam fraksi 1.8 pada waktu retensi 0,86 menit merupakan senyawa alkaloid dengan rumus formula C12H15NO3 yang memiliki BM 221,104989 g/mol, namun struktur kimia dari senyawa tersebut belum dapat diinterprestasikan.
14
Saran Pada fraksi 1.2 sampai fraksi 1.7 perlu dilakukan isolasi kembali menggunakan beberapa pelarut dengan polaritas berbeda serta perlu dilakukan analisis ulang dengan LC-MS mode EI dan atau NMR menggunakan pelarut DMSO atau pelarut lain yang telah teroptimasi pada fraksi yang telah diisolasi kembali.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Hibah Bersaing DIKTI tahun 2013 sebagai pihak yang membiayai penelitian penulis dan terima kasih kepada Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah menyediakan fasilitas penulis dalam melakukan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Ardrey, R. E., 2003, Liquid Chromatoghraphy-Mass Spectrometry: an Introduction, New York, John Wiley & Sons. Asha, V., 2011, 9 Hepatoprotective Effects of Plants in the Family Phyllanthaceae, Phyllanthus Species: Scientific Evaluation and Medicinal Applications, 157. Babady-Bila, Gedris, E. T. & Herz, W., 1996, Niruridine, A Norsecurinine-Type Alkaloid from Phyllanthus niruroides, Phytochemistry, 41(5), 1441-1443. Bhattacharyya, S., Pal, P. B. & Sil, P. C., 2013, A 3573xa0 kD Phyllanthus niruri Protein Modulates Iron Mediated Oxidative Impairment to Hepatocytes via the Inhibition of ERKs, p38 MAPKs and Activation of PI3k/Akt Pathway, Food and Chemical Toxicology, 56, 119-130. Chirdchupunseree, H. & Pramyothin, P., 2010, Protective Activity of Phyllanthin in Ethanol-treated Primary Culture of Rat Hepatocytes, Journal of ethnopharmacology, 128, 172-176. Coman, C., Rugina, O. D. & Socaciu, C., 2012, Plants and Natural Compounds with Antidiabetic Action, Notulae Botanicae Horti Agrobotanici Cluj-Napoca, 40.
15
Colombo, R. De L, B., Andrea, N., Teles, H. L., Silva, G. H., Bomfim, G. C., et al., 2009. Validated HPLC method for the standardization of Phyllanthus niruri (herb and commercial extracts) using corilagin as a phytochemical marker. Biomedical chromatography : BMC, 23(6), 573–580. Dehmlow, E. V., Guntenhöner, M. & Ree, T. V., 1999, A Novel Alkaloid from Fluggea virosa: 14,15-Epoxynorsecurinine, Phytochemistry, 52(8), 17151716. Harish, R. & Shivanandappa, T., 2006, Antioxidant Activity and Hepatoprotective Potential of Phyllanthus niruri, Food chemistry, 95, 180-185. Houghton, P. I., Woldemariam, T. Z., O'Shea, S. & Thyagarajan, S. P., 1996, Two Securinega-Type Alkaloids from Phyllanthus amarus, Phytochemistry, 43(3), 715-717. Jessica
& Gliment, 2002, Electrospary Ionization dipresentasikan pada 17 September 2002.
Mass
Spectrometry,
Jia, L., Jin, H., Zhou, J., Chen, L., Lu, Y., Ming, Y. et al., 2013, A Potential AntiTumor Herbal Medicine, Corilagin, Inhibits Ovarian Cancer Cell Growth Through Blocking the TGF-β Signaling Pathways, BMC complementary and alternative medicine, 13, 33. Kepala BPOM RI, 2005, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, Jakarta, BPOM. Murugaiyah, V. & Chan, K.-L., 2007, Determination of Four Lignans in Phyllanthus niruri L. by A Simple High-Performance Liquid Chromatography Method with Fluorescence Detection, Journal of Chromatography A, 1154, 198-204. Qian-Cutrone, J., Huang, S., Trimble, J., Li, H., Lin, P., Alam, M., Klohr, S. E. & Kadow, K. F., 1996, Niruriside, a New HIV REV/RRE Binding Inhibitor from Phyllanthus niruri, J. Nat. Prod., 59, 196-199. Saifudin, A., 2014, Senyawa Alam Metabolit Sekunder: Teori, Konsep, dan Teknik Pemurnian, Yogyakarta, Deepublish. Tripathi, A. K., Verma, R. K., Gupta, A. K., Gupta, M. M. & Khanuja, S. P., 2006, Quantitative Determination of Phyllanthin and Hypophyllanthin in Phyllanthus species by High‐Performance Thin Layer Chromatography, Phytochemical Analysis, 17, 394-397.
16
Wahyuono, S., 2005, Dari Obat Tradisional ke Obat Modern, Simposium dan Seminar Pengembangan Obat Tradisional Indonesia, Yogyakarta, Fakultas Farmasi-UGM. Wilbraham, 1992, Pengantar Kimia Organik 1, Bandung, ITB-Press. Zhou, M., Zhu, H., Wang, K. & Wei, W., 2012, Isolation and X-ray crystal structure of a securinega-type alkaloid from Phyllanthus niruri Linn., Natural Product Research, 26(8), 762-764. Zhu, H., Wei, W., Zhou, M., Yang, D., Fan, X. & Liu, J., 2011, Chemical Constituents of Phyllanthus niruri L., Natural Product Research, 23, 401403.
17