KAJIAN BEBERAPA ASPEK AGRONOMI TANAMAN OBAT MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.)
EVA OKTAVIDIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul : Kajian Beberapa Aspek Agronomi Tanaman Obat Meniran Hijau (Phyllanthus niruri L.) dan Meniran Merah (Phyllanthus urinaria L.) adalah benar-benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing, bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012 Eva Oktavidiati NIM. A361020111
ABSTRACT EVA OKTAVIDIATI. Study of Agronomic character of Medicinal Plants Meniran (Phyllanthus niruri L. and Phyllanthus urinaria L.) Supervised by : M. AHMAD CHOZIN as the chairman, NURHENI WIJAYANTO, MUNIF GHULAMAHDI and LATIFAH K. DARUSMAN as the member of advisory committee. Phyllanthus niruri L. and Phyllanthus urinaria L. were identified as weeds in rice plants and used as a medicinal plant. The objectives of this research were (1) to identify and analyze public opinion which is the existence and used of phyllanthus as medicinal plants, (2) to identify and analyze the morphological character and contain of bioactive that can be used as selection criteria for biomass production and high production of bioactive, (3) to identify and analyze the diversity and genetic proximity 13 accessions of morphological character, anthocyanin content and RAPD markers, (4) to identify and analyze the effects of environmental factors (light, water and nutrients) on growth, biomass production and contain of bioactive meniran. Exploration in Bangkalan and Gresik, East Java Province, get 13 accessions belonging to six green meniran (Phyllanthus niruri L.) accessions from Bangkalan, one red meniran (Phyllanthus urinaria L.) accession from Bangkalan and six green meniran (Phyllanthus niruri L.) accessions from Gresik. The results of a survey of public opinion indicated that the meniran plant have already known and used by the community. Morphological characters are correlated positively and significantly to the production of dry biomass were plant height, leaf number, branch number, stem diameter and total wet weight. Stem diameter, number of branches, total wet weight and leaf number directly affects the production of dry biomass and can be used as characters for selection. Exploration result carried out 13 accessions and 2 types meniran, green meniran (Phyllanthus niruri L.) and red meniran (Phyllanthus urinaria L.), that developed two groups including group A consists of all accessions green meniran and group B consist of one red meniran accessions, based on RAPD markers. Among 12 accessions of green meniran 2 accessions, green meniran from Bangkalan (A6) and Gresik (A7), were higher on potential growth and biomass production than the others. Though, red meniran from Bangkalan accession (A13) has the great potential bioactive production. Based on the analysis, Phyllanthus response to the differences treatment of shade, fertilization and soil water level shown that to achieve the high growth and biomass production, green meniran (A6 and A7) need opening condition until 25% shading, combination of fertilizer manure + NPK and 100% soil water available to plants.Green meniran (A7) could produce the high contain phyllantin under the without shade condition and manure treatment. The high contain of hypophyllantin on green meniran (A7) need 50% shading there with given manure. Red meniran on considerably conditions (manure + NPK treatment and the availability of 50% soil water for the plants) produce the high contain of anthocyanin leaf. Key words: Phyllanthus, phyllantin, hypophyllantin, anthocyanin, flavonoid
RINGKASAN EVA OKTAVIDIATI. Kajian Beberapa Aspek Agronomi Tanaman Obat Meniran Hijau (Phyllanthus niruri L.) dan Meniran Merah (Phyllanthus urinaria L.). Komisi Pembimbing : M. AHMAD CHOZIN (Ketua), NURHENI WIJAYANTO, MUNIF GHULAMAHDI dan LATIFAH K. DARUSMAN (Anggota). Meniran (Phyllanthus niruri L. dan Phyllanthus urinaria L.) teridentifikasi sebagai gulma tanaman padi yang keberadaannya tidak dikehendaki. Meskipun demikian, sebagian masyarakat sudah mengenal dan menggunakan meniran sebagai salah satu tanaman berkhasiat obat. Hasil penelitian farmakologi menunjukkan bahwa meniran mempunyai aktivitas antihepatotoksik, hipoglikemik, antibakteri, diuretik, aktivitas antimicrobial dan aktivitas antiplasmodial. Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap komoditas tanaman obat maka usaha pembudidayaan tanaman obat menjadi penting untuk dilakukan agar ketersediaannya berlangsung secara terus menerus. Sejauh ini belum banyak ditemukan teknik agronomi yang tepat dalam pembudidayaan tanaman meniran. Penelitian dilakukan dalam lima kegiatan yaitu (1) Eksplorasi meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa Timur, (2) Analisis keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan hubungan kekerabatan 13 aksesi meniran menggunakan penanda molekuler, (3) Pertumbuhan dan kandungan total filantin dan hipofilantin aksesi meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada berbagai tingkat naungan, (4) Pertumbuhan dan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada berbagai cara pemupukan, (5) Pertumbuhan dan kandungan antosianin daun meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada berbagai kadar air tanah tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi dan menganalisis pendapat masyarakat tentang keberadaan dan pemanfaatan tanaman meniran sebagai tanaman obat, (2) mengidentifikasi dan menganalisis karakter morfologi dan kandungan bioaktif yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi produksi biomassa dan produksi bioaktif yang tinggi, (3) mengidentifikasi dan menganalisis keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin dan hubungan kekerabatan aksesi meniran berdasarkan penanda RAPD, (4) mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh faktor lingkungan (cahaya, air dan unsur hara) terhadap pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan bioaktif meniran. Eksplorasi meniran di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa Timur mendapatkan 13 aksesi meniran yang terdiri dari enam aksesi meniran hijau asal Bangkalan, satu aksesi meniran merah asal Bangkalan dan enam aksesi meniran hijau asal Gresik. Hasil survei terhadap pendapat masyarakat menunjukkan bahwa tanaman meniran sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini sangat mendukung untuk menjadikan tanaman meniran menjadi tanaman obat yang dapat dibudidayakan di masyarakat mengingat keberadaannya akan punah apabila dilakukan pengambilan secara terus menerus tanpa ada kegiatan pembudidayaan.
Karakter morfologi yang berkorelasi positif dan nyata terhadap produksi biomassa kering adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total. Diameter batang, jumlah cabang, bobot basah total dan jumlah daun berpengaruh langsung terhadap produksi biomassa kering dan dapat dijadikan sebagai karakter untuk seleksi. Dari karakter morfologi yang diamati, tidak satupun karakter yang dapat digunakan sebagai karakter seleksi terhadap kandungan flavonoid. Hasil eksplorasi 13 aksesi meniran mendapatkan 2 jenis meniran yaitu meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) yang membentuk 3 kelompok berdasarkan keragaman karakter morfologi dan kandungan antosianin daun. Diantara 12 aksesi meniran hijau terdapat 2 aksesi yaitu aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) mempunyai potensi pertumbuhan dan produksi biomassa yang lebih tinggi. Sedangkan aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai potensi produksi bioaktif yang besar. Selanjutnya aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) dipilih untuk digunakan pada penelitian selanjutnya. Berdasarkan kekerabatan secara molekuler terdapat 2 kelompok yaitu kelompok A terdiri dari semua aksesi meniran hijau dan kelompok B terdiri dari satu aksesi meniran merah. Berdasarkan hasil analisis tanggap tanaman meniran terhadap perlakuan pemberian naungan, pemupukan dan kadar air tanah yang berbeda didapatkan hasil bahwa untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi, meniran hijau (A6 dan A7) membutuhkan kondisi terbuka hingga ternaungi 25%, pemberian pupuk berupa kombinasi pemberian pupuk kandang + NPK dan kadar air tanah 100% tersedia bagi tanaman. Meniran hijau (A7) membutuhkan kondisi tanpa naungan dan pemberian pupuk kandang untuk menghasilkan kandungan filantin yang tinggi. Kandungan hipofilantin yang tinggi pada meniran hijau (A7) membutuhkan kondisi ternaungi 50% disertai pemberian pupuk kandang. Meniran merah (A13) dengan pemberian pupuk kandang + NPK, kadar air tanah 50% tersedia bagi tanaman menghasilkan kandungan antosianin daun yang tinggi Kata kunci : Meniran merah, meniran hijau, biomassa, bioaktif, potensi
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN BEBERAPA ASPEK AGRONOMI TANAMAN OBAT MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.)
EVA OKTAVIDIATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S. Dr. Ani Kurniawati, SP, M.Si Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Sc Dr. James Sinambela, Apt.
Judul Disertasi
:
Kajian Beberapa Aspek Agronomi Tanaman Obat Meniran Hijau (Phyllanthus niruri L.) dan Meniran Merah (Phyllanthus urinaria L.)
Nama
: Eva Oktavidiati
NIM
:
A361020111
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M.Ahmad Chozin, M.Agr Ketua
Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S Anggota
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S Anggota
Prof. Dr. Ir. Latifah K.Darusman, M.S Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 10 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanawataa’la atas segala Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul ‘Kajian Beberapa Aspek Agronomi Tanaman Obat Meniran Hijau (Phyllanthus niruri L.) dan Meniran Merah (Phyllanthus urinaria L.)’. Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr selaku ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto. M.S, Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S dan Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S selaku anggota Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam mengarahkan dan membimbing penulis. Semoga semua ini menjadi ilmu yang bermanfaat dan amal jariah dimana pahalanya mengalir terus sampai ke Yaumil Akhir. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Koordinator Kopertis Wilayah II Palembang dan Rektor Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang telah memberikan izin belajar. 2. Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS. 3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. 4. Dr. Ir. Ahmad Junaidi, MSc dan Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc selaku penguji luar komisi saat Ujian Kualifikasi Program Doktor yang telah memberikan saran-saran dan koreksi konstruktif. 5. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S dan Dr. Ani Kurniawati, SP, M.Si selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup yang telah memberikan saransaran dan koreksi konstruktif. 6. Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Sc dan Dr. James Sinambela, Apt. selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka yang telah memberikan saransaran dan koreksi konstruktif.
7. Dosen di Fakultas Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB atas semua ilmu yang telah diberikan, khususnya kepada (Almarhumah) Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS, Dr. Muhammad Syukur,SP,MSi dan Dr. Rahmi Yuniarti, SP, MSi yang banyak memberikan Ilmu tentang Pemuliaan Tanaman dan nasehat agar penulis tetap semangat. 8. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MS berturutturut sebagai moderator pada kolokium dan seminar hasil penelitian di Pascasarjana IPB. 9. Dekan dan rekan-rekan Dosen di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu atas semua bantuan dan doanya. 10. Staf dan Pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB atas kerjasama dan bantuannya. 11. Ibunda tercinta Hj. Aminah Djamil yang telah menemani hari-hari penulis menempuh dan menyelesaikan pendidikan dari kecil hingga saat ini dengan kasih sayang dan doa yang tak putus-putusnya agar ananda dapat berhasil dan berguna dalam kehidupan ini. Almarhun Ayahanda Syamsulbahri semoga dilapangkan kuburnya dan diampuni oleh Allah Subhanawataa’la seluruh khilaf dan dosanya yang sampai akhir hidupnya selalu mendoakan ananda agar dapat menyelesaikan studi S3 di IPB. 12. Ibu Mertua Hj. Soepatmi yang selalu memberikan doa dan pengertiannya. 13. Suami tercinta Dr. Ir. Sunaryadi, MS dan ananda tersayang Yesa Vadina Afrasari, Divka Rayadi Ichmantara dan Davincka Muhammad Rayadi atas pengertian, pengorbanan, doa dan kasih sayangnya, yang telah menguatkan mama selama ini. 14. Bapak Adang Ruhiat selaku Kepala Kebun Percobaan Sawah Baru, Bapak Milin selaku Kepala Kebun Percobaan Rumah Kaca Cikabayan, Bapak Yudiansyah, Bapak Joko Mulyono, Ibu Ismi, Pak Ari, Agung Zaim, Mbak Nunuk di Laboratorium. 15. Saudaraku Ir. Yulius Hero, MSc, Trismana Fitra Jaya, SE, Yopita Sari S.Hut dan Nova Dewi Yani, S.Agb dan keluarga masing-masing, serta keluarga Dr. Ir. Dwi Wahyuni Ganefianti, MSi atas semua bantuan dan doanya.
16. Saudara ipar Eliyawati, SP dan John Harry atas semua bantuan dan doanya. 17. Teman-teman di semua angkatan, Mbak Siti, Mbak Robi, Mbak Ika, Mbak Arifah, Yuk Atra, Yuk Mega, Mbak Reni, Mbak Ririn, Pak Amin, Pak Ismail, Pak Edison, Pak Bahar, Pak Agus, Bu Widi, Mbak Sri, Mbak Mawi, Ajis, Amis Naipa, Hilda, Maisura, Safrizal, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, diucapkan banyak terima kasih. 18. Rekan-rekan seperjuangan satu bimbingan, Pak Haris, Bu Selvie, Pak Hadi dan Pak Dwi yang telah sama-sama berbagi semangat dan satu cita-cita untuk bisa menyelesaikan program doktor tepat waktu sebelum dieliminasi.
Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangaan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian.
Bogor, Januari 2012 Eva Oktavidiati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengkulu Selatan pada tanggal 5 Oktober 1968, merupakan putri ketiga dari lima bersaudara, dari Ayahanda Syamsulbahri (Almarhum) dan Ibunda Aminah Djamil. Penulis menikah dengan Dr. Ir. Sunaryadi, M.Si. pada tanggal 14 Mei 1995. Sampai saat ini penulis telah dikaruniai tiga orang anak, seorang putri bernama Yesa Vadina Afrasari (Dina) dan dua orang putra Divka Rayadi Ichmantara (Divka) dan Davincka Muhammad Rayadi (Davi). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 1991. Jenjang strata dua (S2) di Program Studi Agronomi Program Pascasarjana IPB lulus tahun 2001. Selanjutnya, sejak tahun 2002 mengikuti jenjang starata tiga (S3) pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis adalah penerima Tunjangan Ikatan Dinas (TID) dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan ditempatkan di Kopertis Wilayah II Palembang diperbantukan (dpk) pada Universitas Muhammadiyah Bengkulu pada tahun 1994 dan sampai sekarang penulis merupakan Staf Pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Karya ilmiah yang berjudul ‘Pertumbuhan Tanaman dan Kandungan Total Filantin dan Hipofilantin Aksesi Meniran (Phyllanthus sp. L.) pada Berbagai Tingkat Naungan’ telah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Tanaman Industri 17(1): Maret 2011. Karya ilmiah ini merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………..
xvii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………….
Xx
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………..
xxi
PENDAHULUAN Latar Belakang………………………………………….. Perumusan Masalah ……………………………………. Tujuan Penelitian ………………………………………. Hipotesis………………………………………………… Ruang lingkup penelitian……………………………….. TINJAUAN PUSTAKA
1 4 5 5 6
Klasifikasi, Botani dan Syarat Tumbuh Meniran……….. Manfaat dan Kandungan Kimia………………………… Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid………………… Senyawa Bioaktif Golongan Lignan……………………. Jalur Pembentukan Lignan……………………………… Pengaruh Cahaya, Air dan Unsur Hara…………………. EKSPLORASI MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) DI KABUPATEN BANGKALAN DAN GRESIK PROPINSI JAWA TIMUR Abstrak………………………………………………….. Abstract…………………………………………………. Pendahuluan…………………………………………….. Bahan dan Metode……………………………………… Hasil dan Pembahasan………………………………….. Simpulan………………………………………………… ANALISIS KERAGAMAN KARAKTER MORFOLOGI, KANDUNGAN ANTOSIANIN DAUN DAN HUBUNGAN KEKERABATAN 13 AKSESI MENIRAN MENGGUNAKAN PENANDA MOLEKULER Abstrak…………………………………………………… Abstract…………………………………………………… Pendahuluan ……………………………………………… Bahan dan Metode……………………………………….. Hasil dan Pembahasan……………………………………. Simpulan ………………………………………………….
9 10 11 15 17 19
23 23 24 26 30 46
47 47 48 49 55 64
Halaman PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN TOTAL FILANTIN DAN HIPOFILANTIN AKSESI MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN Abstrak……………………………………………………. Abstract…………………………………………………… Pendahuluan ……………………………………………… Bahan dan Metode……………………………………….. Hasil dan Pembahasan……………………………………. Simpulan………………………………………………….. PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN TOTAL FILANTIN DAN HIPOFILANTIN MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA BERBAGAI CARA PEMUPUKAN Abstrak……………………………………………………. Abstract…………………………………………………… Pendahuluan ……………………………………………… Bahan dan Metode………………………………………... Hasil dan Pembahasan……………………………………. Simpulan………………………………………………….. PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN ANTOSIANIN DAUN MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA BERBAGAI KADAR AIR TANAH TERSEDIA Abstrak……………………………………………………. Abstract…………………………………………………… Pendahuluan ……………………………………………… Bahan dan Metode……………………………………….. Hasil dan Pembahasan……………………………………. Simpulan………………………………………………….. PEMBAHASAN UMUM…………………………………………. SIMPULAN DAN SARAN………………………………………. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………… LAMPIRAN ……………………………………………………….
65 65 66 67 71 77
79 79 80 82 87 97
99 99 100 103 107 112 113 127 129 139
DAFTAR TABEL
Halaman 1
2 3 4 5
6 7 8 9 10
11
12
13 14 15 16 17
Daftar aksesi meniran beserta asal-usulnya yang diperoleh dari hasil eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa Timur…………………………………………………….. Keadaan iklim, kadar air tanah dan keasaman tanah pada setiap lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Bangkalan…. Keadaan iklim, kadar air tanah dan keasaman tanah pada setiap lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Gresik……… Uraian deskripsi informasi masyarakat tentang tanaman meniran………………………………………………………… Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun majemuk, jumlah cabang, bobot basah total, bobot kering total dan kandungan flavonoid 13 aksesi meniran………………………………… Koefisien korelasi antar pasangan karakter pada 13 aksesi meniran ………………………………………………………. Pengaruh langsung dan tidak langsung beberapa karakter morfologi terhadap bobot kering total ………………………... Pengaruh langsung dan tidak langsung beberapa karakter morfologi terhadap kandungan flavonoid…………………… Bahan reaksi PCR analisis RAPD keragaman 13 aksesi meniran………………………………………………………… Pengaruh aksesi terhadap tinggi tanaman, jumlah daun majemuk, jumlah cabang, diameter batang dan bobot 1000 biji meniran umur 10 MST………………………………………… Pengaruh aksesi terhadap bobot basah akar (BBA), batang (BBB), daun (BBD) dan bobot basah total (BBT) meniran umur 10 MST …………………………………………………. Pengaruh aksesi terhadap bobot kering akar (BKA), batang (BKB), daun (BKD) dan bobot kering total (BKT) meniran umur 10 MST …………………………………………………. Pengaruh aksesi terhadap kandungan antosianin daun meniran umur 10 MST …………………………………………………. Nilai ciri dua komponen utama 14 karakter 13 aksesi meniran.. Karakter morfologi pembentuk komponen utama…………….. Jumlah pita polimorfisme yang dihasilkan oleh 5 primer……... Pengaruh naungan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun majemuk dan diameter batang 13 aksesi meniran umur 10 minggu setelah tanam………………………………………….
30 33 34 37
39 39 41 43 53
55
56
57 58 60 60 62
71
Halaman 18 19
20
21 22 23 24 25 26
27 28
29 30 31
33
34
35
Pengaruh interaksi naungan terhadap jumlah cabang 13 aksesi meniran………………………………………………………… Pengaruh aksesi terhadap bobot basah daun, bobot basah batang, bobot basah akar dan bobot basah total meniran umur 10 minggu setelah tanam………………………………………. Pengaruh aksesi terhadap bobot kering daun, bobot kering batang, bobot kering akar dan bobot kering total meniran umur 10 minggu setelah tanam………………………………………. Kandungan total filantin dan hipofilaantin dari tiga aksesi meniran pada berbagai tingkat naungan……………………….. Pengaruh pemupukan terhadap jumlah cabang dan diameter batang dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam…….. Interaksi pemupukan terhadap tinggi tanaman dua jenis meniran umur 4 minggu setelah tanam……………………….. Interaksi pemupukan terhadap jumlah daun majemuk meniran umur 2 minggu setelah tanam…………………………………. Interaksi pemupukan terhadap bobot basah batang dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam………………………. Pengaruh pemupukan terhadap bobot kering akar, bobot kering daun, bobot kering total dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam………………………………………………….. Interaksi pemupukan terhadap bobot kering batang dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam………………………. Pengaruh pemupukan terhadap bobot kering akar, bobot kering daun, bobot kering total dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam…………………………………………………... Interaksi pemupukan terhadap kandungan antosianin daun dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam………………… Kandungan total filantin dan hipofilantin dari tiga aksesi meniran pada berbagai cara pemupukan………………………. Pengaruh kadar air tanah tersedia terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang dan diameter batang dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam………………………. Pengaruh kadar air tanah tersedia terhadap bobot kering akar, bobot kering batang, bobot kering daun dan bobot kering total dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam…………….. Interaksi kadar air tanah tersedia terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, total klorofil dan antosianin daun dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam………………………. Persyaratan mutu simplisia meniran berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia (2008)……………………………………….
72
73
74 76 87 88 89 91
92 93
94 95 96
107
110
111 125
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Diagram alur penelitian……………………………………….. Penampilan meniran hijau dan meniran merah……………….. Jalur pembentukan metabolisme primer dan sekunder pada tanaman ………………………………….................................. Jalur pembentukan fenilpropanoid dan jalur biosintesis flavonoid ………………………………................................... Struktur kimia antosianin……………………………………… Struktur kimia filantin dan hipofilantin……………………….. Senyawa aromatik berasal dari asam 5-dehidrokuinat……….. Senyawa aromatik berasal dari asam p-kumarat……………… Peta Kabupaten Bangkalan dan letak lokasi pengambilan sampel…………………………………………………………. Peta Kabupaten Gresik dan letak lokasi pengambilan sampel... Diagram lintas beberapa karakter morfologi yang berpengaruh terhadap bobot kering total ………..…………………………. Diagram lintas beberapa karakter morfologi yang berpengaruh terhadap kandungan flavonoid……………………………….. Dendrogram analisis gerombol karakter morfologi 13 aksesi meniran………………………………………………………… Analisis komponen utama karakter morfologi 13 aksesi meniran………………………………………………………… Dendrogram 13 aksesi meniran berdasarkan profil pola pita DNA dengan teknik RAPD…………………………………… Kandungan total filantin dan hipofilantin meniran aksesi tujuh pada berbagai tingkat naungan………………………………… Kandungan hara N, P, dan K pada jaringan tanaman meniran hijau dan meniran merah pada berbagai cara pemupukan……. Kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau asal Gresik (A7) pada berbagai cara pemupukan………………….. Penampilan (a) meniran hijau terserang hama, (b) dan meniran merah yang sehat ……………………………………………... Tepi daun (a) meniran hijau tanpa trikoma, (b) meniran merah dengan trikoma ………………………….…………………….
7 10 13 14 15 16 17 18 32 35 42 45 59 61 62 76 97 99 120 121
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Data biner 32 pita DNA dari 5 primer RAPD pada 13 aksesi meniran………………………………………………………….. Metode analisis kandungan klorofil dan antosianin daun (mg g1 bobot kering)………………………………………………….. Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar Nitrogen (N)…………………………………………………….. Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar Posfor (P) ………………………………………………………. Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar Kalium (K)……………………………………………………… Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum penelitian pemupukan... Hasil analisis kandungan unsur hara, kadar air dan abu pupuk kandang (kotoran ayam)………………………………………… Hasil analisis kandungan NPK jaringan tanaman meniran…….. Kromatografi hasil analisis HPLC dan contoh perhitungan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran………………
140 141 142 143 145 146 146 147 148
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi yang tersebar di berbagai tipe habitat. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30 ribu tumbuhan jauh melebihi daerah tropis lainnya seperti Amerika Selatan dan Afrika barat. Diketahui, sekitar 9600 spesies berkhasiat obat dan sekitar 200 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat penting bagi industri obat tradisional (Sampoerno 1999, Zuhud et al. 2001; Azmy 2002). Pada tahun 2008 penduduk Indonesia yang menggunakan obat tradisional termasuk diantaranya obat herbal mencapai 22.26% (BPS 2009). Menteri kesehatan dalam laporannya menyebutkan bahwa menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 80% penduduk dunia bergantung pada pengobatan tradisional, termasuk obat herbal (Depkes 2009). Perubahan pola pikir masyarakat menuju gerakan hidup kembali ke alam (back to nature) yang dalam pelaksanaannya membiasakan hidup dengan menghindari bahan-bahan kimia sintesis dan lebih mengutamakan bahan-bahan alami, semua yang serba natural semakin digemari dan dicari orang (WHO 2000; Wayland 2004; Lynch dan Berry 2007). Kecenderungan untuk kembali ke alam sudah menjadi gaya hidup dan kebutuhan pada berbagai kalangan masyarakat, tidak hanya di pedesaan, masyarakat di perkotaan dan kalangan menengah ke atas juga mulai banyak mengkonsumsi jamu untuk menjaga kebugaran dan kesehatan tubuhnya. Meniran (Phyllanthus sp. L.) teridentifikasi sebagai gulma tanaman padi (Soerjani et al. 1987) yang keberadaannya tidak dikehendaki. Meskipun demikian, sebagian masyarakat sudah mengenal dan menggunakan meniran sebagai salah satu tanaman berkhasiat obat. Hasil penelitian farmakologi menunjukkan bahwa meniran mempunyai aktivitas antihepatotoksik (Syamasundar et al. 1985; Sabir dan Rocha 2008; Manjrekar et al. 2008), hipoglikemik, antibakteri, diuretika (Narayana et al. 2001; Manjrekar et al. 2008; Lopez-Lazaro 2009), aktivitas antimicrobial (Chitravadivu et al. 2009; Akin-Osanaiye et al. 2011)) dan aktivitas antiplasmodial (Oluwafemi dan Debiri 2008; Njomnang Soh et al. 2009). Uji toksiksitas akut terhadap Phyllanthus niruri L. termasuk dalam kelas toksik ringan
2
berdasarkan kriteria Gleason dengan LD50 1588.781 mg kg BB-1 dan tidak ditemukan gejala klinis ketoksikan yang nyata pada mencit sebagai hewan percobaan. Dengan demikian herba meniran aman untuk digunakan bagi manusia (Halim 2010). Uji fitokimia yang dilakukan pada tanaman meniran asal B2P2TO-OT Tawangmangu menunjukkan meniran mengandung metabolit sekunder dari golongan flavonoid, fenol hidroquinon, steroid, tanin, saponin dan lignan (Wahyuni 2010). Akin-Osanaiye et al. (2011) menyatakan pada daun, akar dan batang Phyllanthus amarus (Schum dan Tonn) terdapat alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, glikosida tetapi tidak ditemukan steroid. Sejauh ini kualitas meniran ditentukan berdasarkan kandungan senyawa penanda tunggal dari golongan lignan (Elfahmi 2006; Murugaiyah dan Chan 2008). Lignan utama dari genus ini adalah filantin dan hipofilantin. Keberadaan filantin dapat digunakan sebagai senyawa identitas dalam menganalisis ekstrak kental herba meniran (BPOM 2004). Figuera et al. (2006) mendapatkan kandungan lignan dari 0.65 hingga 1.24% bobot kering diantara 4 daerah yang diteliti. Kultivar amarus CIM-Jeevan mempunyai kandungan filantin 0.70-0.77% bobot kering (tanaman kontrol filantin 0.30-0.36% bobot kering) sedangkan kandungan hipofilantin berkisar antara 0.32-0.37% bobot kering (tanaman kontrol 0.12-0.17% bobot kering) (www.freepatentsonline.com). Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap komoditas tanaman obat maka usaha pembudidayaan tanaman obat menjadi penting untuk dilakukan agar ketersediaannya berlangsung secara terus menerus. Sejauh ini belum banyak ditemukan teknik agronomi yang tepat dalam pembudidayaan tanaman meniran. Beberapa pustaka menunjukkan pengaruh dari naungan terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa meniran (Tunggal 2002, Tresnawati 1993; Emmyzar et al. 1993) tetapi tidak ada informasi adanya hubungan antara perlakuan budidaya terhadap kandungan bioaktifnya. Sampai saat ini sangat sulit menemukan petani atau pihak tertentu yang membudidayakan meniran secara khusus. Ghulamahdi (2003) menyatakan bahwa untuk berproduksi tinggi maka budidaya tanaman obat harus dilakukan di tempat yang lingkungannya cocok untuk kebutuhan spesies tersebut. Adapun kondisi lingkungan yang diperlukan untuk masing-masing spesies dapat dilihat dari tempat asal spesies tersebut
3
ditemukan.
Pengetahuan mengenai taksonomi berupa pengelompokan jenis
spesies dalam famili akan sangat membantu cara perbaikan dan budidaya spesies tersebut. Hal ini yang mendasari penyusunan perbaikan cara budidaya, peningkatan produksi per satuan luas dan peningkatan kandungan bioaktif tanaman. Berdasarkan hal yang telah dikemukakan maka deskripsi tanaman merupakan hal penting untuk dilakukan karena dapat memberikan informasi tentang ciri-ciri dan sifat-sifat tanaman yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam penelitian para pemulia dan budidayanya. Identifikasi tanaman dan analisis hubungan kekerabatan antar tanaman dapat dilakukan secara kombinasi menggunakan penanda morfologi, sifat agronomi atau analisis biokimia seperti isozim (Waugh 1997). Analisis keragaman morfologi dilakukan dengan menggunakan data hasil pengamatan atau pengukuran karakter morfologi tertentu. Kelemahan analisis genetik menggunakan penanda morfologi adalah biasanya dipengaruhi oleh lingkungan makro dan mikro serta umur suatu individu. Kesulitan lain akan terjadi apabila karakter kuantitatif yang diatur oleh banyak gen terekspresi pada akhir pertumbuhan seperti karakter hasil (Weising et al. 1995). Informasi mengenai keragaman genetik tanaman merupakan modal dasar bagi para ahli pemuliaan dalam upaya melakukan perbaikan dan pengembangan tanaman. Karakterisasi fenotip perlu didukung oleh karakterisasi yang dilakukan melalui penanda molekuler. Analisis pada tingkat molekul dapat dilakukan dengan teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Teknik RAPD memiliki kelebihan dibanding dengan teknik lainnya yaitu lebih sederhana. Dengan hanya menggunakan beberapa nanogram DNA total genom telah mampu mendeteksi pola pitanya. Primer oligonukleotida yang digunakan relatif lebih pendek yaitu hanya 10 sampai 20 mer. Namun teknik ini memiliki kekurangan karena tidak mampu mengidentifikasi heterozigot (Waugh 1997). Stimulasi produksi bioaktif pada tanaman dapat dilakukan melalui manipulasi faktor lingkungan seperti cahaya, air dan pemupukan. Gould dan Lister (2006) mendapatkan terjadinya peningkatan kandungan flavonoid pada tanaman yang mengalami cekaman cahaya. Peningkatan ini akan semakin tinggi
4
apabila diikuti dengan terjadinya cekaman air. Hal ini merupakan mekanisme sistem pertahanan tanaman terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan dengan mengeluarkan senyawa metabolit sekunder (Gould dan Lister 2006). Unsur hara esensial seperti nitrogen, fosfor dan kalium merupakan unsur penting yang diperlukan dalam proses metabolisme pertumbuhan tanaman. Pupuk anorganik (NPK) dapat menyediakan unsur hara tersedia langsung bagi tanaman. Sedangkan pupuk kandang sebagai pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik dan meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk organik memberikan bagian yang terbesar untuk lokasi pertukaran kation di dalam tanah dengan kapasitas buffer bahan organik yang rendah (Babbar dan Zak 1994). Perumusan Masalah Meniran (Phyllanthus niruri L. dan Phyllanthus urinaria L.) merupakan tanaman berkhasiat obat. Produksi kandungan bioaktif meniran dibutuhkan sebagai bahan baku obat yang keberadaanya harus tersedia terus menerus. Hal ini membutuhkan penyediaan bahan tanam maupun teknik budidaya yang tepat di lapangan. Mengingat meniran masih dianggap sebagai tumbuhan liar dan ada juga yang mengelompokan sebagai gulma maka penelitian mengenai keberadaan meniran yang ada di alam maupun meniran yang sudah dibudidayakan perlu dilakukan. Penelitian dimulai dengan melakukan eksplorasi terhadap keberadaan tanaman meniran di alam. Sebagai pembanding dilakukan penanaman meniran dari alam dalam kondisi lingkungan yang sama untuk melihat gambaran pertumbuhan tanaman dari penanaman hingga panen. Dari beberapa aksesi yang ada selanjutnya dilakukan seleksi terhadap karakter morfologi yang berhubungan dengan peningkatan bobot kering total dan kandungan flavonoid. Selanjutnya dilakukan analisis keragaman morfologi dan genetik untuk melihat hubungan kekerabatan diantara aksesi yang ada. Untuk melengkapi data dilakukan penelitian melalui pengumpulan data dari masyarakat sekitar lokasi pengumpulan tanaman. Data yang dituju adalah seberapa besar pengetahuan masyarakat tentang tanaman meniran, manfaat sebagai tanaman obat maupun kegiatan budidayanya. Kegiatan penelitian berikutnya adalah melihat respon yang ditunjukkan oleh tanaman terhadap faktor lingkungan tanaman seperti cahaya, unsur hara dan air. Sejauh ini,
5
informasi tentang respon pertumbuhan dan produksi bioaktif terhadap perlakuan naungan, pemupukan dan penentuan kadar air tersedia bagi tanaman meniran belum banyak dilaporkan. Hal ini sangat perlu dilakukan karena kondisi ideal untuk tanaman obat adalah kombinasi biomassa dan bioaktif yang tinggi.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai keragaman plasma nutfah meniran dan mendapatkan rancangan teknologi budidaya (naungan, pemupukan dan kadar air) terbaik dalam rangka menghasilkan produksi bioaktif yang tinggi. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan kegiatan yang bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi
dan
menganalisis
pendapat
masyarakat
tentang
keberadaan dan pemanfaatan tanaman meniran sebagai tanaman obat. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis karakter morfologi dan kandungan bioaktif yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi produksi biomassa dan produksi bioaktif yang tinggi. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan hubungan kekerabatan aksesi meniran berdasarkan penanda molekuler (genetik). 4. Mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh faktor lingkungan (cahaya, air dan unsur hara) terhadap pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan bioaktif meniran.
Hipotesis Dari setiap tahapan penelitian dapat ditarik beberapa hipotesis sebagai berikut : 1. Ada sebagian masyarakat yang telah mengetahui keberadaan tanaman meniran dan manfaatnya sebagai obat. 2. Terdapat keragaman karakter morfologi antar aksesi meniran, diperoleh karakter morfologi yang dapat dijadikan kriteria seleksi untuk perbaikan produksi biomassa dan kandungan bioaktif meniran.
6
3. Diperoleh keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan hubungan kekerabatan beberapa aksesi meniran berdasarkan penanda molekuler. 4. Terdapat perbedaan tanggap pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan bioaktif aksesi meniran pada naungan, pemupukan dan kadar air tanah yang berbeda.
Ruang Lingkup Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, maka strategi penelitian yang dilakukan harus mempunyai keterkaitan yang satu dengan penelitian lainnya. Penelitian ini terdiri atas dua aspek : (1) keragaman plasma nutfah meniran dan (2) tanggap perubahan karakter meniran. Kedua kelompok tersebut dikelompokan menjadi 5 judul penelitian : (1) eksplorasi meniran (Phyllanthus niruri L. dan Phyllantus urinaria L.) di Kabupaten Bangkalan dan Gresik. (2) analisis keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan hubungan kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan penanda molekuler, (3) pertumbuhan dan kandungan total filantin dan hipofilantin aksesi meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada berbagai tingkat naungan, (4) pertumbuhan dan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada berbagai cara pemupukan, (5) pertumbuhan dan kandungan antosianin daun meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) pada berbagai kadar air tanah tersedia. Garis besar dari keseluruhan kegiatan penelitian disajikan dalam Gambar 1.
7
Keragaman Tanaman di Lapangan (Survei di Kabupaten Bangkalan dan Gresik)
Keragaman morfologi dan genetik pada kondisi terkontrol
Pengaruh faktor Lingkungan
Keragaman karakter agronomi Keragaman produksi biomassa dan kandungan bioaktif Keragaman genetik
Cahaya Air Unsur hara
Tanggap pertumbuhan, produksi biomassa dan produksi bioaktif beberapa aksesi meniran terhadap pengaruh faktor lingkungan
Rancangan Teknologi Budidaya Meniran
Gambar 1 Diagram alur penelitian.
8
9
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Meniran Meniran (Phyllanthus sp. L.) tergolong dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Geraniles, famili Euphorbiaceae, genus Phyllanthus (Webster 1986; de Padua et al. 1999). Penyebarannya di seluruh Asia termasuk Indonesia (Heyne 1987; Soerjani et al. 1987), Malaysia, India, Peru, Afrika, Amerika dan Australia (Taylor 2003). Penyebarannya di seluruh Indonesia teridentifikasi dengan adanya nama daerah yang berbeda untuk menyebutkan tanaman meniran. Di Sumatera dikenal dengan nama sidukung anak, dudukung anak, ba’me tano. Di Sulawesi dikenal dengan nama bolobungo. Di Maluku dikenal dengan nama gosau ma dungi, gosau ma dongi roriha, belalang babiji (Kardinan dan Kusuma 2004). Meniran tumbuh di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian ± 1000 m di atas permukaan laut (Heyne 1987). Tumbuh secara liar di tempat yang berbatu dan lembab seperti di tepi sungai, pantai, semak, lahan bekas sawah atau tumbuh di sekitar pekarangan rumah, baik di pedesaan maupun di perkotaan ( De Padua et al. 1999). Iklim tropis merupakan syarat tumbuh tanaman meniran. Tanaman meniran berakar tunggang, batang tegak, tinggi mencapai 40-100 cm, batang bulat berkayu, permukaan kasar dan bercabang. Daun tersusun majemuk, duduk melingkar pada batang, anakan daun mengkilap, bentuk bulat telur dengan panjang 1.5-3 cm, lebar 1– 1.5 cm, ujung daun runcing, pangkal tumpul dan tepi yang rata. Daun berwarna hijau (Soerjani et al. 1987, De Padua et al. 1999, Dalimartha 2000). Bakal buah beruang enam, mahkota berbentuk tabung, ujung membulat berwarna kuning. Buahnya bulat, mempunyai 5-6 ruang, diameter 5-10 mm. Apabila masih muda buah berwarna hijau setelah tua menjadi coklat. Biji buah berbentuk ginjal, pipih berwarna coklat (De Padua et al. 1999). Spesies meniran yang biasa digunakan untuk pengobatan hanya dua spesies yaitu meniran hijau dan meniran merah (Gambar 2). Khusus untuk pengobatan, Phyllanthus niruri L. (meniran hijau) lebih dominan digunakan dibandingkan dengan Phyllanthus urinaria L. (meniran merah). Komponen yang terkandung dalam meniran hijau lebih banyak dibandingkan dengan meniran merah (Taylor 2003).
10
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran hijau mampu menghambat aktivitas virus hepatitis B sebesar 70%, lebih baik daripada meniran merah yang hanya mampu menghambat sebesar 28%. Terdapat perbedaan morfologi antara meniran hijau dan meniran merah. Meniran hijau memiliki batang berwarna hijau muda atau hijau tua. Setiap cabang atau ranting terdiri dari 8-25 helai daun. Daun berwarna hijau. Ukurannya 0.5-2 x 0.25-0.5 cm. Buah bertekstur licin, bulat pipih dengan diameter 2-2.5 mm. Kepala sari meniran hijau yang sudah matang akan pecah secara membujur. Sedangkan meniran merah memiliki batang berwarna merah coklat. Setiap cabang terdiri dari 7-13 helai daun. Warna daun hijau coklat dengan ukuran 0.5-2 cm x 1-8 mm. Buah bertekstur kasar, bulat dengan diameter 3 mm. Kepala sari meniran merah yang sudah matang akan pecah secara melintang (Soedibyo 1998; Soerjani et al. 1987).
b
a Gambar 2 Penampilan (a) meniran hijau, (b) meniran merah Manfaat dan Kandungan Kimia
Meniran memiliki bahan aktif alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, glikosida tetapi tidak ditemukan steroid (Akin-Osanaiye et al. 2011), Uji fitokimia yang dilakukan pada tanaman meniran asal B2P2TO-OT Tawangmangu menunjukkan meniran mengandung metabolit sekunder dari golongan
flavonoid, fenol
hidroquinon, steroid, tanin, saponin dan lignan (Wahyuni 2010). Flavonoid dalam tanaman meniran diidentifikasi sebagai quercetin, quercitrin, isoquercitrin, astragalin dan rutin (Taylor 2003). Hasil penelitian farmakologi menunjukkan bahwa meniran mempunyai aktivitas antihepatotoksik (Syamasundar et al. 1985; Sabir dan Rocha
11
2008; Manjrekar et al. 2008), hipoglikemik, antibakteri, diuretika (Narayana et al. 2001; Manjrekar et al. 2008; Lopez-Lazaro 2009), aktivitas antimicrobial (Chitravadivu et al. 2009; Akin-Osanaiye et al. 2011)) dan aktivitas antiplasmodial (Oluwafemi dan Debiri 2008; Njomnang Soh et al. 2009). Khasiat yang beragam dari tanaman meniran berhubungan erat dengan zat atau senyawa yang dikandungnya. Than et al. (2006) mendapatkan niruriflavone yang merupakan senyawa antioksidan baru flavone sulfonic acid dari ekstrak Phyllantus niruri. Senyawa flavonoid yang ada dalam meniran merupakan senyawa anti oksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan vitamin E. Senyawa ini mampu merangsang kekebalan tubuh. Flavonoid rutine dan quercetin mampu menghambat sintesis histamin yang merupakan mediator penting penyakit dermatitis alergika (eksim). Nirurin dan quercetin yang terdapat dalam meniran berkhasiat sebagai peluruh air seni (diuretik). Filantin, hipofilantin, tanin berperan dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan sebagai hepatoprotektor. Hasil penelitian Rudiyanto (2006) mendapatkan terjadinya regenerasi sel parenkim hati yang telah mengalami kerusakan akibat paparan karbon tetraklorida dengan pemberian ekstrak etanol meniran. Hal ini berkaitan dengan kemampuan menahan oksigen dalam darah sehingga antibodi dapat berkembang. Ekstrak meniran merupakan salah satu imunomodulator dari bahan biologi aktif
nonsitokin
yang
tidak
berefek
samping.
Selama
ini
obat-obatan
imunomodulator banyak digunakan pada pasien dengan gangguan pada sistem imun tubuh yang banyak ditemukan pada pasien AIDS. Imunomodulator adalah obat yang bekerja dengan cara melakukan modulasi pada sistem imun (Elfahmi 2006). Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid Flavonoid adalah golongan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman. Markham (1988) menyebutkan bahwa sekitar 2% (1 x 109 ton per tahun) dari seluruh karbon yang difotosintesis diubah menjadi flavonoid yang merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kulit kayu, tepung sari, nektar, bunga, buah dan biji (Gould dan Lister 2006). Flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, yaitu suatu kombinasi antara gula dan alkohol. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan
12
tumbuhan. Disamping itu, sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas (Harborne 1988). Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid Oglikosida (satu atau lebih gugus hidroksi flavonoid terikat pada gula), pengaruh glikolisasi menyebabkan flavonoid menjadi kurang efektif sehingga mudah larut dalam air, kondisi seperti ini memungkinkan flavonoid tersimpan dan berada dalam vakuola sel (Markham 1988, Gould dan Lister 2006). Gould dan Lister (2006) menyebutkan bahwa pada tumbuhan flavonoid dapat meningkatkan dormansi, meningkatkan pembentukan sel-sel kalus, sebagai enzim penghambat pembentukan protein, menghasilkan warna pada bunga untuk merangsang serangga, burung dan satwa lainnya untuk mendatangi tumbuhan tersebut sebagai agen dalam penyerbukan dan penyebaran biji. Dalam dunia pengobatan beberapa senyawa flavonoid berfungsi sebagai antibiotik, misalnya anti virus dan jamur, peradangan pembuluh darah, dan dapat digunakan sebagai racun ikan. Davies dan Schwinn (2006) menyebutkan bahwa proses biosintesis flavonoid merupakan biosintesis gabungan dari jalur asam sikimat dan jalur asetat malonat. Pada jalur sikimat akan terbentuk phenylalanine yang merupakan salah satu senyawa asam amino aromik yang selanjutnya akan menghasilkan p-coumaric acid, sedangkan pada jalur asetat malonat akan terbentuk acetyl CoA yang akan menghasilkan malonyl CoA, setelah mengikat satu molekul CO2. Secara garis besar jalur pembentukan metabolisme primer merupakan awal dari pembentukan jalur pembentukan fenilpropanoid dan jalur biosintesis flavonoid disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
13
Gambar 3
Jalur pembentukan metabolisme primer dan sekunder pada tanaman (Cseke et al. 2006)
14
Gambar 4 Jalur pembentukan fenilpropanoid dan jalur biosintesis flavonoid (Davies dan Schwinn, 2006)
15
Antosianin merupakan bagian dari flavonoid yang merupakan salah satu senyawa polifenol yang disintesis melalui gabungan dua lintasan biosintesis yang berbeda (Gambar 5).
Gambar 5 Struktur kimia antosianin (Davies dan Schwinn, 2006). Menurut Sudiatso (2001), antosianin merupakan salah satu pigmen pada tumbuhan, larut dalam air, berwarna jingga, merah dan biru yang tergabung dalam kelompok besar pigmen flavonoid. Umumnya antosianin terdapat dalam buah dan sayuran, dan biasanya terdiri dari kombinasi beberapa pigmen (4-6 pigmen). Pigmen ini stabil dalam lingkungan asam. Oleh karena itu sebaiknya disimpan dalam medium asam. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan antosianin pada tanaman berfungsi dalam hal resistensi terhadap penyakit. Antosianin mampu menghambat pertumbuhan sel kanker diantaranya sel kanker perut, kanker usus besar, kanker payudara, dan kanker paru-paru (Zhang et al. 2005). Katsube et al. (2003) menyatakan antosianin khususnya delphinidin yang diekstrak dari bilberry mampu menghambat pertumbuhan sel kanker darah (leukemia) dan colon carcinoma secara in vitro.
Senyawa Bioaktif Golongan Lignan Lignan secara biogenik adalah produk kombinasi antara dua unit fenilpropana turunan asam sinamat, C6-C3 (Gambar 6 dan Gambar 7). Cincin aromatiknya selalu teroksigenasi. Semua lignan alam mengandung satu atau lebih atom karbon asimetrik dan aktif optik, jarang dijumpai lignan dengan struktur 2fenilpropana seperti pada asam pinastrat dari Lepraria flava. Lignan juga mencakup senyawa yang mempunyai dua cincin benzena pada ujung rantai C6 dan senyawa lignan yang rantai alifatiknya diselingi dengan atom oksigen. Uji fitokimia yang dilakukan pada tanaman meniran asal B2P2TO-OT Tawangmangu menunjukkan meniran mengandung metabolit sekunder dari
16
golongan flavonoid, fenol hidroquinon, steroid, tanin, saponin dan lignan (Wahyuni 2010). Pada daun, akar dan batang Phyllanthus amarus (Schum dan Tonn) terdapat alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, glikosida tetapi tidak ditemukan steroid (AkinOsanaiye et al. 2011). Sejauh ini kualitas meniran ditentukan berdasarkan kandungan senyawa penanda tunggal dari golongan lignan (Elfahmi 2006; Murugaiyah dan Chan 2008). Lignan utama dari genus ini adalah filantin dan hipofilantin (Gambar 5). Keberadaan filantin dapat digunakan sebagai senyawa identitas dalam menganalisis ekstrak kental herba meniran (BPOM 2004). Figuera et al. (2006) mendapatkan kandungan lignan dari 0.65 hingga 1.24% bobot kering diantara 4 daerah yang diteliti. Annamalai dan Lakshmi (2009) mendapatkan bagian daun Phyllanthus amarus Schum dan Thonn (Phyllanthus niruri L.) mengandung filantin 0.83% bobot kering, cabang 0.046% bobot kering, biji 0.054% bobot kering dan akar 0.0016% bobot kering. Kultivar amarus CIM-Jeevan mempunyai kandungan filantin 0.700.77% bobot kering (tanaman kontrol filantin 0.30-0.36% bobot kering) sedangkan kandungan hipofilantin berkisar antara 0.32-0.37% bobot kering (tanaman kontrol 0.12-0.17% bobot kering) (www.freepatentsonline.com).
Gambar 6 Struktur kimia (1) filantin, (2) hipofilantin (Murugaiyah & Chan 2007).
Jalur Pembentukan Lignan Jalur biosintesis senyawa aromatik berasal dari asam dihidrokuinat dikemukakan Robinson (1991) (Gambar 6 dan Gambar 7). Pengubahan asam kuinat menjadi asam 5-dehidrokuinat dikendalikan oleh kalmodulin dan protein kinase. Kemungkinan lain berbagai asam hidroksi benzoat dan turunannya terbentuk karena penguraian molekul yang lebih besar. Jalur utama untuk pembentukan asam sinamat dan asam p-kumarat berturut-turut dari fenilalanin dan tirosin tidak berlangsung
17
melalui asam keto dan asam hidroksi yang sesuai, tetapi terjadi dengan penghilangan asam amonia dalam satu langkah. Secara umum, aktivitasnya merupakan tahap penentu laju untuk semua biosintesis fenilpropanoid. Hal ini dijumpai pada semua tumbuhan hijau dan beberapa tumbuhan rendah. Aktivitas tirosin amonia liase (tirase) sering berkaitan dengan FAL dan tidak pernah diperoleh tanpa FAL, walaupun hal yang sebaliknya sering terjadi. Hidroksilasi cincin aromatik harus terjadi pada beberapa titik dalam jalur ini, tetapi tempat titik yang pasti belum diketahui. Dari segi enzim, hidroksilasi awal asam sinamat menjadi asam o-kumarat atau p-kumarat dikatalisis oleh sistem P-450 mikrosom dan hal ini diduga sebagai tahap penentu laju pada biosintesis fenilpropanoid. Hidroksilasi cincin tambahan dapat pula terjadi akibat kerja oksigenase P-450, tetapi hidroksilasi kedua yang mengubah asam p-kumarat menjadi asam kafeat dikatalisis oleh fenol oksidase yang khas untuk reaksi ini.
Hidroksilasi asam p-kumarat menjadi asam kafeat dapat
menggunakan ester atau tioester CoA sebagai substrat sesungguhnya dan bukan asam.
Gambar 7 Senyawa aromatik berasal dari asam 5-dehidrokuinat (Robinson, 1991).
18
Gambar 8 Senyawa aromatik berasal dari asam p-kumarat (Robinson, 1991). Pembentukan turunan CoA mendahului pengesteran awal asam sinamat tetapi begitu senyawa ester terbentuk berbagai reaksi pengesteran lintas dapat membentuk ester lain tanpa perantaraan turunan CoA. Reduksi asam sinamat menjadi alkohol yang sesuai terjadi melalui turunan CoA juga. Pada pembentukan lignan, terjadi penggandengan awal secara oksidasi dua satuan fenilfropanoid (seperti koniferil alkohol) diikuti oleh substitusi tambahan pada cincin. Oleh karena itu, struktur lignin yang lengkap belum diketahui, mekanisme pembentukan secara tepat tidak dapat ditunjukkan. Robinson (1991) mengemukakan bahwa tahap pertama ialah penghilangan atom hidrogen fenol dari koniferil alkohol secara enzimatik menghasilkan radikal bebas yang dapat mengalami tata ulang non enzimatik dan bereaksi dengan molekul lain. Mula-mula membentuk senyawa dimer (lignan adalah salah satu jenis dari dimer senyawa itu) dan akhirnya membentuk lignin.
Pengaruh Cahaya, Air dan Unsur Hara Stimulasi produksi bioaktif pada tanaman dapat dilakukan melalui manipulasi faktor lingkungan seperti cahaya, air dan pemupukan. Gould dan Lister (2006)
19
mendapatkan terjadinya peningkatan kandungan flavonoid pada tanaman yang mengalami cekaman cahaya. Naungan merupakan salah satu bentuk stress cahaya rendah. Studi tentang pengaruh cekaman intensitas cahaya rendah terhadap menurunnya pertumbuhan dan produksi tanaman serta terganggunya berbagaai metabolisme tanaman telah terdokumentasi cukup baik pada beberapa tanaman. Defisit cahaya pada padi gogo menyebabkan respon metabolisme terganggu, yang berimplikasi pada menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chozin et al. 2000). Naungan menyebabkan menurunnya pertumbuhan dan produksi padi gogo (Supriyono et al. 2000). Padi gogo yang ditanam di bawah pohon karet berumur 3 tahun (± 50% naungan) hasil bijinya berkisar 5-55% dari tanaman kontrol, sedangkan pada naungan pohon karet umur 4 tahun berkisar antara 5-35% dari kontrol. Sejalan dengan hasil penelitian Sopandie et al. (2003) pada tanaman padi gogo yang mendapatkan adanya perbedaan morfologi daun tanaman dan kandungan klorofil a, b serta nisbah klorofil a/b antara tanaman yang toleran dan peka terhadap naungan. Luas daun genotipe padi gogo toleran naungan lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe yang peka, tetapi ketebalan daun, ketebalan mesofil dan kerapatan stomata lebih rendah. Nisbah klorofil a/b pada genotipe toleran dan peka terjadi penurunan pada naungan 50% dibandingkan dengan kontrol, namun penurunan yang tertinggi terjadi pada genotipe peka. Chozin et al. (2000) menyatakan daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun yang ditanam pada areal terbuka, disebabkan oleh pengurangan jumlah lapisan palisade dan sel-sel mesofil. Pada tanaman kedelai. Pemberian naungan 35% menurunkan hasil 2-56% (Asadi et al. 1997). Naungan 50% menyebabkan terjadinya penurunan pada jumlah polong, jumlah polong bernas dan jumlah polong hampa lebih rendah pada kedelai toleran naungan dibandingkan dengan yang peka (Elfarisna 2000). Pada kebanyakan tanaman, kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan tergantung kepada kemampuannya dalam melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Pada tanaman obat seperti pegagan, naungan 25% menghasilkan kandungan flavonoid, steroid dan triterpenoid yang cukup tinggi sedangkan pada naungan 5575%
kandungan
tiga
metabolit
sekunder
tersebut
mengalami
penurunan
(Rachmawaty 2004). Pada kedelai pigmen antosianin meningkat pada persentase naungan yang semakin tinggi (Lamuhuria et al. 2006), daun jinten menghasilkan
20
kadar fumarat dan fanilat tertinggi pada naungan 75% (Urnemi et al.
2002),
sedangkan beberapa klon daun dewa yang ditumbuhkan pada kondisi 100% cahaya menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al. 2006). Peningkatan kandungan flavonoid akan semakin tinggi apabila diikuti dengan terjadinya cekaman air. Hal ini merupakan mekanisme sistem pertahanan tanaman terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan dengan mengeluarkan senyawa metabolit sekunder (Vickery dan Vickery 1981; Gould dan Lister 2006). Rahardjo et al. (1999) mendapatkan terjadinya peningkatan asam asiatikosida pada pegagan dengan adanya perlakuan cekaman air 60% kapasitas lapang atau tingkat kekeringan 40%. Penelitian terhadap penggunaan Polietilen Glikol (PEG) menunjukkan gejala yang terjadi akibat adanya cekaman air pada tanaman. PEG merupakan kimia organik yang dapat digunakan sebagai osmotikum dan menyebabkan cekaman air pada tanaman. Pemberian PEG akan menghambat penyerapan air sehingga kalus atau akar rambut mengalami cekaman. Kekurangan air akan menginduksi protein mengkode gen-gen pembentuk enzim yang terlibat dalam metabolisme sekunder. Dengan meningkatnya kandungan enzim dalam jaringan tanaman maka diharapkan kandungan metabolisme dapat meningkat pula. Aktivitas enzim dipengaruhi antara lain oleh adanya prekusor senyawa yang bersangkutan dan akumulasi produk metabolisme sekunder tersebut (Ernawati 1992). Bozhkov dan Arnold (1998) menyebutkan bahwa gejala spesifik yang terjadi akibat cekaman air adalah berkurangnya kemampuan pembesaran sel sehingga ukuran sel menjadi kecil, komposisi dinding sel berubah yaitu terjadinya penurunan perbandingan selulosa dan hemiselulosa dan mempengaruhi akumulasi bahan metabolisme primer maupun metabolisme sekunder dalam sel tanaman. Pupuk anorganik (NPK) dapat menyediakan unsur hara tersedia langsung bagi tanaman. Sedangkan pupuk kandang sebagai pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik dan meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk organik memberikan bagian yang terbesar untuk lokasi pertukaran kation di dalam tanah dengan kapasitas buffer bahan organik yang rendah (Babbar dan Zak 1994). Pupuk organik yang banyak digunakan pada budidaya tanaman adalah pupuk kandang. Penggunaan pupuk kandang dapat menjadi sumber bahan organik yang membantu dalam pembentukan struktur tanah dan pembentukan humus (Laegreid et al. 1999). Oades (1984)
21
menambahkan bahwa disamping sebagai sumber bahan organik, pupuk kandang dapat mendorong agregasi atau dispersi agregat. Peningkatan agregasi terjadi melalui pengikatan oleh polisakarida dan mucilage yang dihasilkan oleh bakteri, hifa jamur maupun melalui akar. Pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam memiliki kandungan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan lainnya. Penelitian pada tanaman daun dewa menunjukkan pemberian dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8 g tanaman-1 menghasilkan pertumbuhan tanaman, serapan hara NPK dan SO4, produksi flavonoid dan antosianin per tanaman tertinggi dibanding tanpa pemupukan, sedangkan produksi kuersetin tertinggi diperoleh pada pemberian pupuk kandang ayam 50g + SO4 0.4 g tanaman-1 (Nirwan et al. 2007). Sedangkan
pada
tanaman
kolesom
(Talinum
triangulare
(Jacq.)
Willd.)
menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan kandungan total bahan bioaktif kualitatif flavonoid, steroid, saponin dan tanin pada daun dan umbi dengan semakin tinggi dosis pupuk kandang ayam yang diberikan (Susanti et al. 2007). Hasil Penelitian Mualim et al. (2009) menunjukkan produksi antosianin kolesom dipengaruhi oleh pemupukan. Pemupukan yang memberikan antosianin yang tertinggi dengan media tanah dan pupuk kandang adalah NK (100 kg urea ha-1 dan 100 kg KCl ha-1), dimana kalium merupakan faktor pembatas pada produksi antosianin.
22
23
EKSPLORASI MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) DI KABUPATEN BANGKALAN DAN GRESIK PROPINSI JAWA TIMUR Abstrak Penelitian bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan menganalisis pendapat masyarakat tentang keberadaan dan pemanfaatan tanaman meniran sebagai tanaman obat, (2) mengidentifikasi dan menganalisis karakter morfologi yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi produksi biomassa dan kandungan flavonoid yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplorasi meniran di Kabupaten Bangkalan dan Gresik mendapatkan 13 aksesi yang terdiri dari 6 meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) asal Bangkalan, 6 meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) asal Gresik dan 1 meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) asal Bangkalan. Masyarakat telah mengenal dan memanfaatkan tanaman meniran sebagai obat diuretik, obat penurun panas, sakit gigi dan perawatan setelah persalinan. Diameter batang, jumlah cabang, bobot basah total dan jumlah daun berpengaruh langsung dan dapat dijadikan sebagai karakter untuk seleksi terhadap produksi biomassa kering. Dari 6 karakter yang diamati, tidak satupun karakter yang dapat digunakan sebagai karakter seleksi terhadap kandungan flavonoid. Aksesi meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) asal Bangkalan (A6) dan asal Gresik (A7) dipilih sebagai aksesi berpotensi mempunyai produksi biomassa tinggi. Sedangkan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) asal Bangkalan (A13) dipilih sebagai aksesi berpotensi mempunyai kandungan flavonoid tinggi. Kata kunci : eksplorasi, flavonoid, seleksi, aksesi, karakter
Abstract The objectives of this research were (1) to identify and analyze public opinion which is the existence and used of plant Phyllanthus as medicinal plants (2) to identify and analyze the morphological characters that can be used as selection criteria of biomass production and its high flavonoid. The results of the research show that Phyllanthus exploration in Bangkalan and Gresik acquire 13 accessions including 6 green meniran (Phyllanthus niruri L.) from Bangkalan, 6 green meniran (Phyllanthus niruri L.) from Gresik and 1 red meniran (Phyllanthus urinaria L.) from Bangkalan. The community has been known and used this plant as drugs for diuretic, febrifuge, toothache and treatment after childbirth. Stem diameter, number of branches, total wet weight and number of leaves were direct influences and can be used as characters for selection the production of dry biomass. The six characters were observed but neither of them ca be use as a selection character for the flavonoid. Accession green meniran (Phyllanthus niruri L.) from Bangkalan (A6) and from Gresik (A7) were selected as the accession potentially had high biomass production. The red meniran (Phyllanthus urinaria L.) from Bangkalan (A13) was selected as the accession potentially had high flavonoid . Keywords: exploration, flavonoids, selection, accession, character
24
Pendahuluan Meniran telah digunakan secara turun temurun dalam menyembuhkan berbagai penyakit di Indonesia.
Pengobatan penyakit malaria, sariawan, diare
sampai nyeri ginjal banyak menggunakan herba meniran. Pemanfaatan meniran untuk mengobati demam dan sebagai peluruh air seni (diuretik) banyak dilakukan di Thailand. Dalam pengobatan tradisional India, meniran digunakan untuk pengobatan penyakit kuning (jaundice), diabetes, gangguan pada kulit dan gangguan menstruasi (Soerjani et al. 1987; Heyne 1987; Sulaksana dan Jayusman 2004). Efek pengobatan yang dimiliki oleh tanaman ini antara lain disebabkan oleh adanya senyawa bioaktif seperti flavonoid, lignan, alkaloid, triterpenoid, tanin dan asam lemak yang terkandung di dalamnya. Eksplorasi terhadap tanaman obat unggulan telah dilakukan oleh Pusat Studi Biofarmaka bekerjasama dengan BPOM terhadap daerah sentra produksi tanaman obat di Indonesia. Jawa Timur termasuk dalam daerah sentra tanaman obat mengingat kapasitas daerah dalam menghasilkan komoditas tanaman obat yang termasuk dalam kelompok unggulan. Eksplorasi terhadap tanaman meniran yang tumbuh secara liar di alam dilakukan untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan kondisi agrobiofisik dan sampel tanaman di lapangan. Data ini dapat digunakan sebagai data pembanding untuk menyusun kegiatan budidaya pada tahapan selanjutnya. Ghulamahdi (2003) menyatakan bahwa untuk berproduksi tinggi maka budidaya tanaman obat harus dilakukan di tempat yang lingkungannya cocok untuk kebutuhan spesies tersebut. Adapun kondisi lingkungan yang diperlukan untuk masing-masing spesies dapat dilihat dari tempat asal spesies tersebut ditemukan. Pengetahuan mengenai taksonomi berupa pengelompokan jenis spesies dalam famili akan sangat membantu cara perbaikan dan budidaya spesies tersebut. Hal ini yang mendasari penyusunan perbaikan cara pembiakan, budidaya, peningkatan produksi per satuan luas dan peningkatan kandungaan bioaktif tanaman. Langkah awal dalam kegiatan pemuliaan untuk perbaikan genetik adalah memiliki koleksi plasma nutfah dengan keragaman genetik yang tinggi. Belum ada informasi yang lengkap tentang data karakterisasi dan hubungan kekerabatan antar aksesi meniran yang ada di alam maupun yang telah dibudidayakan .
25
Karakterisasi dilakukan untuk mendapatkan data sifat atau karakter morfoagronomis (deskripsi morfologi dasar) dari aksesi plasma nutfah. Dari data karakterisasi dapat dibedakan dengan cepat dan mudah fenotipe dari setiap aksesi dan jumlah aksesi yang sebenarnya untuk menghindari adanya duplikasi dalam rangka mengurangi biaya pemeliharaan koleksi. Pada tanaman meniran, produksi biomassa dan kandungan bioaktif merupakan faktor penting yang menentukan produktivitas tanaman meniran sebagai tanaman obat secara keseluruhan. Untuk meningkatkan produktivitas meniran perlu diketahui komponen pertumbuhan yang dapat digunakaan sebagai kriteria seleksi dengan cara memilih karakter yang memberikan kontribusi besar terhadap produksi biomassa dan kandungan bioaktifnya. Pengetahuan mengenai korelasi antar komponen pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan bioaktif sangat diperlukan untuk menentukan kriteria seleksi tidak langsung terhadap produksi biomassa dan kandungan bioaktifnya. Hubungan yang dinyatakan dengan korelasi sederhana seringkali mengakibatkan diperolehnya informasi yang semu disebabkan adanya interaksi yang akan menutup pola hubungan yang sebenarnya. Analisis lintas (path analysis) dapat digunakan untuk mengatasi masalah dimana masing-masing sifat yang dikorelasikan dengan produksi biomassa maupun dengan produksi bioaktif dapat diuraikan menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung. Penggunaan analisis korelasi dan sidik lintas untuk mempelajari keeratan hubungan antar komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil serta untuk pengembangan kriteria seleksi telah banyak dilakukan. Martono et al. (2010) menggunakan analisis korelasi dan analisis lintas untuk mempelajari keeratan hubungan antara komponen pertumbuhan dengan produksi terna dan asiatikosida pada pegagan. Ganefianti et al. (2006) pada tanaman cabe, Mursito (2003), Wirnas et al. (2006) pada kedelai, Nasution (2008) pada tanaman nenas dan Sinaga (2008) pada tanaman manggis. Hubungan kekerabatan antar aksesi dapat memberikan informasi tentang ciri khas karakter dari tiap kelompok aksesi yang terbentuk. Informasi ini dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk menentukan aksesi potensial yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Penelitian yang mempelajari seberapa kuat hubungan
26
antara karakter morfologi meniran belum terungkap. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan menganalisis pendapat masyarakat tentang keberadaan dan pemanfaatan tanaman meniran sebagai tanaman obat, (2) mengidentifikasi dan menganalisis karakter morfologi yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi produksi biomassa dan kandungan flavonoid yang tinggi.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian Eksplorasi dilakukan pada bulan September 2006 sampai dengan Januari 2007 di dua lokasi di Propinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Gresik. Pada setiap kabupaten diambil tiga kecamatan dan selanjutnya dipilih enam desa berdasarkan ketinggian tempat dan tipe lahan yang berbeda (Tabel 1). Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah enam aksesi meniran hijau asal Bangkalan, enam aksesi meniran hijau asala Gresik dan satu aksesi meniran merah asal Bangkalan, satu set bahan kimia untuk analisis tanah, dan analisis kandungan bioaktif tanaman. Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan survei lapangan, data primer dan sekunder, peralatan analisis tanah dan peralatan analisis kandungan bioaktif tanaman. Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode eksplorasi (survei) yaitu dengan cara mengamati morfologi meniran di lapangan, pengamatan anatomi di laboratorium dan analisis kandungan bioaktif di laboratorium. Tanaman yang dijadikan sampel adalah tanaman yang telah memasuki fase generatif yang ditandai dengan adanya bunga dan buah. Selama kegiatan eksplorasi berlangsung dilakukan kegiatan pengambilan data dari penduduk setempat dalam bentuk kuisioner. Penentuan responden dilakukan secara acak di tempat pengambilan sampel tanaman. Masing-masing titik diambil 10
27
orang responden sehingga secara keseluruhan terdapat 120 orang responden. Data dan informasi yang dibutuhkan meliputi : 1. Data primer berupa data tanaman, lingkungan dan data kuisioner, diperoleh melalui penelitian lapangan berupa inventarisasi dan identifikasi aksesi meniran dan pendapat setiap responden dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan dan wawancara mendalam terhadap setiap responden untuk pertanyaan yang memerlukaan keterangan yang lebih luas. 2. Data sekunder, diperoleh dari berbagai sumber antara lain Instansi pemerintah daerah seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan, Biro Pusat Statistik, Badan Meteorologi dan Geofisika, dan bahan pustaka lainnya yang mendukung penelitian. Pelaksanaan Kegiatan dimulai dengan cara menentukan lokasi Kabupaten Bangkalan dan Gresik secara sengaja. Setiap tempat yang dijadikan titik pengamatan ditemukan minimal 10 tanaman meniran per kuadran (50 cm x 50 cm). Dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel tanaman, sampel tanah dan pengisian kuisioner. Pengamatan 1. Pengumpulan data berupa pendapat masyarakat dilakukan secara langsung di lapangan. 2. Pengamatan terhadap kartakter morfologi tanaman meliputi : (1). Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk tanaman. (2). Jumlah daun majemuk, dihitung apabila daun telah membuka sempurna (3). Jumlah cabang, dihitung cabang yang terbentuk dari batang utama, maupun dari cabang primer. (4). Diameter batang (mm), dilakukan pengukuran panjang diameter pada sisi tengah batang dengan menggunakan jangka sorong digital. (5). Produksi biomassa basah total (g), didapat dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik seluruh tanaman. (6). Produksi biomassa kering total (g), didapat dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik seluruh bagian tanaman yang telah dioven pada suhu 105oC selama 24 jam.
28
(7). Analisis fitokimia kandungan flavonoid (pengamatan secara kualitatif). Pembuatan ekstrak : 5 g sampel kering yang sudah dihaluskan direndam dalam aquades, dipanaskan selama 5 menit, kemudian disaring sehingga didapatkan filtrat. Filtrat ditambah serbuk Mg, HCl pekat dan amil alkohol. Apabila dihasilkan warna jingga menunjukkan positif flavonoid. Kriteria penilaian, 3+ = kuat, 2+ = sedang, 1+ = lemah. 3. Pengamatan terhadap tanah meliputi : pengambilan data sekunder pada instansi terkait dan pengambilan sampel tanah komposit untuk analisis kandungan air tanah, dan keasaman tanah (pH) di Laboratorium Fisika Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. 4. Pengukuran intensitas cahaya (naungan) yang diterima meniran yang berada di bawah tanaman lain, dilakukan dengan menggunakan Light Meter. Analisis Data Data berupa pendapat masyarakat dihitung berdasarkan persentase jawaban kuisioner terhadap jumlah responden secara keseluruhan. Data tanaman meniran dianalisis dengan menggunakan analisis lintas, analisis komponen utama dan analisis gerombol. Analisis lintas. Sebelumnya dilakukan analisis korelasi sederhana antar karakter yang diamati dengan bantuan program SAS versi 9.1. Masing-masing koefisien korelasi diuji pada taraf 0.05 atau 0.01 (Gomez dan Gomez 1995;Mattjik dan Sumertajaya 2002). Besarnya koefisien korelasi (rij) antara peubah x dan y dapat dihitung dengan rumus :
Selanjutnya dilakukan analisis lintas (path analysis) untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung dari karakter morfologi, produksi biomassa dan kandungan flavonoid meniran dengan menggunakan metode aljabar matriks menurut Singh dan Chaudhary 1979. Pengolahan data dibantu oleh program SAS versi 9.1.
29
Berdasarkan persamaan diatas, nilai Ci (pengaruh langsung) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Gaspersz 1995) :
Dimana : Rx = matriks korelasi antar peubah; Rx-1 = invers matriks Rx Ci = vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung setiap peubah bebas yang telah dibakukan terhadap peubah tak bebas. Ry = vektor koefisien korelasi antar peubah bebas Xi (i=1,2,.. p) dengan peubah tak bebas Y Menurut Hutagalung (1998), koefisien lintas yang kurang dari 0.05 dapat diabaikan. Apabila nilai korelasi antar faktor penyebab dan akibat hampir sama besarnya dengan pengaruh langsungnya (perbedaannya tidak lebih dari 0.05) maka koefisien tersebut menjelaskan hubungan yang sebenarnya dan seleksi langsung terhadap variabel tersebut akan sangat efektif.
30
Hasil dan Pembahasan Eksplorasi Berdasarkan kapasitas daerah dalam menghasilkan komoditas tanaman obat yang termasuk dalam kelompok unggulan, Jawa Timur termasuk daerah sentra tanaman obat di Indonesia.
Tabel 1 Daftar aksesi meniran beserta asal-usulnya yang diperoleh dari hasil eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa Timur. Jenis meniran
Nomor aksesi
Lokasi (kabupaten)
Asal-usul Habitat
Ketinggian tempat (m dpl)
Meniran hijau A1
Bangkalan
18
Gresik
Kebun naungan mangga Tegalan terbuka Tegalan terbuka Tegalan terbuka Pekarangan terbuka Pekarangan terbuka Tegalan terbuka Tegalan terbuka Kebun naungan mangga Kebun naungan mangga, pisang Kebun naungan pisang Tegalan terbuka
A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
Bangkalan Bangkalan Bangkalan Bangkalan Bangkalan Gresik Gresik Gresik
A10
Gresik
A11
Gresik
A12 A13
Bangkalan
Tegalan terbuka
27
86 57 72 74 27 5 1 2 4 13 10
Meniran merah
Dari observasi pada 13 titik pengamatan didapatkan 12 aksesi meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik dan 1 aksesi meniran merah asal Bangkalan. Keadaan Umum Propinsi Jawa Timur Propinsi Jawa Timur terletak pada 110o54 BT sampai 115o57 BT 5o 371 LS sampai 8o48 LS. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur
31
berbatasan dengan Laut Bali dan Selat Bali, sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan berbatasaan dengan Samudera Hindia. Berdasarkan karakteristik tinggi tempat diatas permukaan laut (dpl), Jawa Timur terbagi atas 3 kelompok wilayah yaitu : 1. 0 – 500 m dpl meliputi 83% dari luas wilayah dan morfologinya relatif datar. 2. 500 – 1000 m dpl meliputi sekitar 11% dari luas wilayah dengan morfologi berbukit dan bergunung-gunung. 3. 1000 m dpl meliputi sekitar 6% dari luas wilayah dengan morfologi terjal. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, 52% wilayah mempunyai iklim tipe D. Keadaan suhu maksimum rata-rata mencapai 33oC sedangkan suhu minimum rata-rata mencapai 22oC. Keadaan curah hujan pertahun mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Kurang dari 1750 mm per tahun meliputi 35.54% wilayah 2. 1750 sampai dengan 2000 mm per tahun meliputi 44.00% wilayah 3. Lebih dari 2000 mm per tahun meliputi 20.46% Kabupaten Bangkalan Kabupaten Bangkalan terletak diantara koordinat 6o51’39’’–7o11’39’’ Lintang Selatan dan 112o40’06’’– 113o08’04’’ Bujur Timur mempunyai luas areal kurang lebih sebesar 126 014 km2 terdiri dari 18 kecamatan yaitu Kecamatan Kamal, Labang, Kwanyar, Modung, Blega, Konang, Galis, Tanah Merah, Tragah, Socah, Bangkalan, Burneh, Arosbaya, Geger, Kokop, Tanjung Bumi, Sepulu dan Klampis. Kabupaten Bangkalan berada pada ketinggian 2–100 m di atas permukaan laut. Wilayah yang terketak di pesisir pantai, seperti Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Socah, Kamal, Modung, Kwanyar, Arosbaya, Klampis, Tanjung Bumi, Labang dan Kecamatan Burneh mempunyai ketinggian antara 2–10 m di atas permukaan laut. Sedangkan wilayah yang terletak di bagian tengah mempunyai ketinggian antara 19– 100 m di atas permukaan laut, tertinggi adalah kecematan Geger dengan ketinggian 100 m diatas permukaan laut.
32
A13
Gambar 9 Peta Kabupaten Bangkalan dan letak lokasi pengambilan sampel (Sumber : Bangkalan dalam Angka, 2008). Tanah di Kabupaten Bangkalan sebagian besar memiliki kemiringan 2–15 % yaitu sekitar 50.45% atau 63 002 hektar dan kemiringan 0–2 % sekitar 45.43% atau 56 738 hektar. Apabila dilihat dari tekstur tanahnya maka sebagian besar bertekstur sedang yaitu seluas 116 267 hektar atau sekitar 93.10%. Berdasarkan kedalaman spektip tanahnya maka persentase terbesar adalah tanah yang kedalamannya 90 cm yaitu sekitar 64 131 hektar atau 51.35%. Tata guna lahan daerah Kabupaten Bangkalan terbagi menjadi dua yaitu : lahan basah yang meliputi sawah, waduk rawa dan tambak dan lahan kering yang terdiri dari pemukiman, tegalan, kebun, hutan dan lain- lain.
33
Tabel 2 Keadaan iklim, kadar air tanah dan keasaman tanah pada setiap lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Bangkalan No. Iklim Kadar air tanah Keasaman Aksesi
(%)
tanah
Suhu
Kelembaban
Intensitas cahaya
(oC)
(%)
(fc)
A1
28
56
185
6.64
8.30
A2
31
32
872
2.78
7.73
A3
32
36
984
2.48
7.97
A4
34
31
875
12.17
8.22
A5
32
39
500
3.28
8.10
A6
31
45
545
30.88
8.00
A13
31
45
650
30.25
8.00
(pH H20)
Keterangan : A1-A6= meniran hijau asal Bangkalan, A13 : meniran merah asal Bangkalan, suhu dan kelembaban : diukur pada waktu pengambilan sampel, kadar air tanah dan pH H20 : hasil analisis di Laboratorium fisikadan kimia tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
Kabupaten Bangkalan mempunyai iklim tipe Monsoon dengan dua musim yaitu hujan yang berlangsung antara bulan Nopember–April dan Kemarau antara bulan Mei–Oktober. Kondisi topografi, disamping angin Monsoon sangat mempengaruhi besarnya curah hujan, semakin tinggi letaknya di atas permukaan laut semakin besar pula curah
hujannya bila dibandingkan dengan daerah dataran.
Bagian tengah berupa perbukitan dan gunung, curah hujannya jauh lebih besar daripada curah hujan di dataran yang merupakan pantai, baik di bagian utara maupun di bagian selatan. Di daerah perbukitan curah hujan bahkan > 2000 mm per tahun yang memberikan kontribusi yang besar terhadap resapan air kedalam tanah. Sedangkan di daerah pantai curah hujan berkisar antara 500–1000 mm per tahun. Kabupaten Gresik Kabupaten Gresik berada antara 7o dan 8o Lintang Selatan dan antara 112o dan 113o Bujur Timur. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-12 meter di atas permukaan laut kecuali sebagian kecil di bagian utara (Kecamatan Panceng) mempunyai ketinggian sampai 25 meter di atas permukaan laut.
34
Tabel 3 Keadaan iklim, kadar air tanah dan keasaman tanah pada setiap lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Gresik Lokasi Iklim Kadar air tanah Keasaman Aksesi
(%)
tanah
Suhu
Kelembaban
Intensitas cahaya
(oC)
(%)
(fc)
A7
30
52
811
7.73
8.19
A8
31
45
855
13.97
8.04
A9
33
42
145
11.43
7.77
A10
31
45
155
35.07
7.88
A11
32
42
150
12.22
7.99
A12
32
39
600
24.16
8.17
(pH H20)
Keterangan : A7-A12 : meniran hijau asal Gresik, Suhu dan Kelembaban : diukur pada waktu pengambilan sampel, kadar air tanah dan pH H20 : hasil analisis di Laboratorium fisika dan kimia tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
Bagian Utara Kabupaten Gresik dibatasi oleh Laut Jawa, bagian Timur dibatasi oleh Selat Madura dan Kota Surabaya, bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Mojokerto, sementara bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Lamongan. Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Gresik terdiri dari jenis Aluvial, Grumusol, Mediteran Merah dan Litosol. Curah hujan di Kabupaten Gresik adalah relatif rendah, yaitu rata-rata 2000 mm per tahun sehingga hampir setiap tahun mengalami musim kering yang panjang.
35
A7 A9
Gambar 10 Peta Kabupaten Gresik dan letak lokasi pengambilan sampel (Sumber : Gresik dalam Angka, 2008). Berdasarkan ciri-ciri fisik tanahnya, Kabupaten Gresik dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu: 1.
Kabupaten Gresik Bagian Utara meliputi wilayah Panceng, Ujung Pangkah, Sidayu, Bungah, Dukun, Manyar adalah bagian dari daerah pegunungan Kapur Utara yang memiliki tanah relatif kurang subur (wilayah Kecamatan Panceng). Sebagian dari daerah ini adalah daerah hilir aliran Bengawan Solo yang bermuara di pantai Utara Kabupaten Gresik (Kecamatan Ujung pangkah). Daerah hilir Bengawan solo tersebut sangat potensial karena mampu menciptakan lahan yang cocok untuk permukiman maupun usaha pertambakan. Potensi bahan-bahan galian di wilayah ini cukup potensial
36
terutama dengan adanya beberapa jenis bahan galian golongan C. Kondisi tanah tidak termasuk Pulau Bawean 2.
Kabupaten Gresik Bagian Tengah meliputi wilayah : Duduk Sampeyan, Balong Panggang, Benjeng, Cerme, Gresik, Kebomas merupakan kawasan dengan tanah relatif subur. Wilayah ini mempunyai sungai-sungai kecil antara lain Kali Lamong, Kali Corong, Kali Manyar sehingga di bagian tengah wilayah ini merupakan daerah yang cocok untuk pertanian dan pertambakan.
3.
Kabupaten Gresik Bagian Selatan meliputi Menganti, Kedamean, Driyorejo dan Wringin Anom adalah merupakan sebagian dataran rendah yang cukup subur dan sebagian merupakan daerah bukit-bukit (Gunung Kendeng). Potensi bahan-bahan galian di wilayah ini diduga cukup potensial terutama dengan adanya beberapa jenis bahan galian golongan C, bahan galian yang bukan strategis dan juga bukan vital seperti batu kapur, posphat, dolomit, batu bintang, tanah liat, pasir dan bahan galian lainnya. Sebagian dari bahan golongan C ini telah diusahakan dengan baik, dan sebagian lainnya masih dalam taraf eksplorasi.
4.
Kabupaten Gresik Wilayah Kepulauan Bawean dan pulau kecil sekitarnya yang meliputi wilayah Kecamatan Sangkapura dan Tambak berpusat di Sangkapura.
Pengetahuan dan Pemanfaatan Tanaman Meniran Sebagai Tanaman Obat Berdasarkan data hasil survei (Tabel 4) diketahui bahwa sebagian besar (81.67%) masyarakat di Kabupaten Bangkalan dan Gresik sudah mengenal dan memanfaatkan tanaman meniran, hanya 18.33% yang belum mengenal dan mengetahui manfaat tanaman meniran sebagai tanaman yang berpotensi sebagai tanaman obat.
37
Tabel 4 Uraian deskripsi informasi masyarakat tentang tanaman meniran No. Informasi Masyarakat
Jawaban
Jumlah (frekuensi) (%)
1.
2.
3.
4.
Mengenal tanaman meniran
Nama yang diketahui
Mengambil tanaman
Mengenal
98 (81.67)
Tidak mengenal
22 (18.33)
Meneran, memeniran
50 (41.67)
Meniran
48 (40)
Dari alam
98 (81.67)
Budidaya
0 (0%)
Bagian yang digunakan untuk Seluruh tanaman
98 (81.67)
pengobatan Daun
5.
6.
Cara memanen tanaman
Penyakit yang diobati
56 (46.67)
Mencabut seluruh bagian tanaman
98 (81.67)
Memetik daun
56 (46.67)
Susah buang air kecil
75(62.50)
Sakit gigi
45(37.50)
Panas karena demam
65(54.17)
Perawatan persalinan
25(20.83)
Perbedaan dalam menyebutkan nama tanaman hanya disebabkan kebiasaan dalam pengucapan yang berbeda dimana di Kabupaten Bangkalan dikenal sebagai meneran atau memeniran, sedangkan di Gresik mengenal dengan sebutan meniran. Masyarakat yang mengenal meniran di dua kabupaten (81.67%), sebagian besar masih mengambil tanaman meniran dari alam dan belum ditemukan masyarakat yang membudidayakannya. Yang menarik (hasil wawancara mendalam) masyarakat
38
telah mengetahui siklus hidup tanaman meniran sehingga mereka mengambil dengan cara rotasi atau bergiliran antara tempat satu dengan tempat lainnya. Masyarakat menggunakan dua cara pengambilan tanaman. Pengambilan seluruh bagian tanaman dengan cara mencabut seluruh bagian tanaman dari bagian akar hingga bagian ujung daun (81.67%). Sedangkan 46.67 % menggunakan hanya bagian daun saja dengan cara memetik sejumlah daun yang akan digunakan untuk mengobati penyakit. Beberapa penyakit biasa diobati dengan menggunakan tanaman meniran. Untuk penyakit susah buang air kecil dan panas karena demam biasanya masyarakat merebus seluruh bagian tanaman dari akar hingga pucuk tanaman. Air rebusan diminum sampai gejala berkurang. Selain itu untuk sakit gigi dan penyembuhan sehabis persalinan menggunakan daun meniran yang dicampur dengan beberapa tanaman obat lainnya. Hasil survei menunjukkan bahwa tanaman meniran sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dimana tanaman meniran berada sebagai tanaman obat. Pengetahuan tentang manfaat tanaman didapat secara turun temurun dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat mendukung untuk menjadikan tanaman meniran menjadi tanaman obat yang dapat dibudidayakan di masyarakat mengingat keberadaannya akan punah apabila dilakukan pengambilan secara terus menerus tanpa ada kegiatan pembudidayaan tanaman.
Korelasi fenotipik dan sidik lintas keragaman morfologi 13 aksesi meniran Aksesi meniran menunjukkan variasi yang besar dalam beberapa karakter morfologi. Pada Tabel 5 dapat dilihat rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, bobot basah total, bobot kering total dan kandungan flavonoid 13 aksesi meniran. Uji korelasi antar karakter dilakukan terhadap tujuh karakter komponen pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan flavonoid yang diduga saling berkorelasi. Koefien korelasi antar karakter ditunjukkan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 terlihat bahwa tinggi tanaman (X1), jumlah daun (X2), jumlah cabang (X3), diameter batang (X4) dan bobot basah total (X5) mempunyai korelasi positif sangat nyata terhadap bobot kering total, masing-masing dengan nilai r1y =
39
0.85, r2y = 0.86, r3y = 0.64, r4y = 0.89 dan r5y = 0.90. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan nilai pada karakter tersebut maka produksi biomassa kering akan meningkat. Tabel 5 Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun majemuk, jumlah cabang, bobot basah total, bobot kering total dan kandungan flavonoid 13 aksesi meniran Aksesi TT JD JC DB BBT BKT Flavonoid (cm) (mm) (g) (g) 1. 37.80 66.00 16.40 4.20 19.30 2.90 3.00 2.
48.20
85.60
18.40
5.10
20.30
3.20
2.00
3.
34.60
64.80
15.20
4.80
19.40
2.70
2.00
4.
29.90
65.60
14.20
3.20
18.32
2.30
3.00
5.
29.40
66.60
14.80
3.60
18.32
2.30
2.00
6.
60.20
104.2
20.20
6.40
21.50
4.30
3.00
7.
64.60
102.2
20.50
6.40
21.00
4.20
3.00
8.
50.80
72.60
20.60
4.60
19.80
2.80
1.00
9.
51.00
68.40
20.90
3.60
19.20
2.60
2.00
10.
61.80
104.4
18.40
6.40
20.80
3.50
2.00
11.
60.20
104.8
20.20
6.40
20.20
3.20
1.00
12.
60.20
100.8
15.20
6.20
20.50
3.20
2.00
13.
20.20
58.20
13.40
2.60
16.20
2.00
3.00
Keterangan :
Aksesi 1-6 : meniran hijau asal Bangkalan, Aksesi 7-12 : meniran hijau asal Gresik, Aksesi 13 : meniran merah asal Bangkalan, TT : tinggi tanaman (cm), JD : jumlah daun, JC : jumlah cabang, DB : diameter batang (mm), BBT : bobot basah total (g), BKT : bobot kering total (g), analisis fitokimia flavonoid dengan kriteria : 3 = kuat, 2 = sedang, 1 = lemah.
Tabel 6 Koefisien korelasi antar pasangan karakter 13 aksesi meniran Karakter TT JD JC DB BBT Flavonoid BKT
TT 1
JD 0.900** 1
JC 0.779** 0.541 1
DB 0.897** 0.945** 0.549 1
BBT Flavonoid BKT 0.909** -0.3007 0.847** 0.835** -0.165 0.859** 0.685* -0.363 0.644* 0.913** -0.238 0.886** 1 -0.203 0.903** 1 0.108 1
Keterangan : TT : tinggi tanaman (cm), JD : jumlah daun, JC : jumlah cabang, DB : diameter batang (mm), BBT : bobot basah total (g), BKT : bobot kering total (g) analisis fitokimia flavonoid dengan kriteria 3 = kuat, 2 = sedang, 1 = lemah.
40
Produksi biomassa kering yang tinggi disebabkan karena pertambahan tinggi tanaman yang diikuti dengan semakin banyak cabang, semakin banyak daun dan semakin besar diameter batang sehingga menghasilkan produksi biomassa basah yang tinggi. Produksi biomassa basah yang tinggi mengakibatkan bertambahnya produksi biomassa kering. Hasil ini didukung oleh data hasil korelasi antar pasangan karakter yang menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman berkorelasi positif sangat nyata terhadap jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total. Karakter jumlah daun berkorelasi positif sangat nyata terhadap diameter batang dan bobot basah total. Karakter diameter batang berkorelasi positif sangat nyata dengan bobot basah total.
Sedangkan karakter kandungan flavonoid berkorelasi negatif
tidak berbeda nyata pada semua karakter yang lain.
Analisis lintas karakter morfologi dan kandungan flavonoid terhadap produksi biomassa kering Dalam analisis korelasi diasumsikan bahwa selain kedua karakter yang dipasangkan, yang lain dianggap konstan. Selain itu analisis korelasi tidak dapat digunakan untuk menggambarkan besarnya sumbangan dari suatu peubah terhadap peubah yang lain. Dengan analisis lintas masalah ini dapat diatasi karena masingmasing sifat yang dikorelasikan dengan hasil dapat diuraikan menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung. Mursito (2003) menyatakan karena banyaknya peubah yang harus dipertimbangkan dalam matriks korelasi, maka kriteria seleksi tak langsung menjadi kompleks dan kurang menentu. Kontribusi setiap karakter terhadap produksi biomassa kering baik langsung maupun tidak langsung dianalisis melalui analisis lintas. Dari Tabel 7 dan Gambar 11 dapat dilihat bahwa pengaruh langsung terbesar ditunjukkan oleh karakter diameter batang (C4 = 0.69, r4y = 0.89). Diameter batang memiliki pengaruh langsung yang kuat yang menentukan bobot kering total diikuti oleh karakter jumlah cabang (C3 = 0.41, r3y = 0.64), tinggi tanaman (C1 = -0.30, r1y = 0.85), bobot basah total (C5 = 0.26, r5y = 0.90) dan jumlah daun (C2 = 0.11, r2y =. 0.86). Tinggi tanaman mempunyai hubungan langsung yang bernilai negatif. Jika koefisien korelasi bernilai positif tetapi pengaruh langsungnya negatif maka pengaruh tidak langsung menjadi penyebab korelasi. Dengan demikian semua variabel bebas harus diperhatikan dan diperhitungkan secara serempak.
41
Hasil analisis terhadap pengaruh tidak langsung menunjukkan bahwa karakter jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total mempunyai pengaruh tidak langsung yang negatif, hanya karakter kandungan flavonoid yang menunjukkan pengaruh langsung yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan tinggi tanaman menyebabkan penurunan pada bobot kering total. Keadaan ini karena karakter tinggi tanaman pada waktu survei dilakukan sangat beragam karena umur tanaman yang diambil untuk sampel sangat bervarisi dengan rentang yang lebar. Karakter kandungan flavonoid tidak dapat digunakan karena analisis sidik terhadap kandungan flavonoid menunjukkan koefisien korelasi yang tidak berbeda nyata. Tabel 7 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung beberapa karakter morfologi, kandungan flavonoid terhadap bobot kering total (BKT) Peubah bebas yang dibakukan
Pengaruh langsung (Ci)
Pengaruh tidak langsung melalui peubah Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6
Pengaruh total (rxy)
TT
Z1
-0.30
-
-0.27
-0.23
-0.27
-0.27
0.09
0.85
JD
Z2
0.11
0.10
-
0.06
0.10
0.09
-0.02
0.86
JC
Z3
0.41
0.32
0.22
-
0.23
0.28
-0.15
0.64
DB
Z4
0.69
0.62
0.65
0.38
-
0.63
-0.16
0.89
BBT
Z5
0.26
0.24
0.22
0.18
0.24
-
-0.05
0.90
Flavo*
Z6
0.40
-0.12
-0.07
-0.15
-0.10
-0.08
-
0.11
Keterangan : TT : tinggi tanaman (cm), JD : jumlah daun, JC : jumlah cabang, DB : diameter batang (mm), BBT : bobot basah total (gram), BKT : bobot kering total (gram), flavonoid : analisis fitokimia flavonoid dengan kriteria 3=kuat, 2=sedang, 1=lemah.
Analisis lintas yang dibangun dengan menggunakan enam karakter sebagai karakter bebas mampu menjelaskan ragam produksi biomassa kering sebesar 0.89 atau 89% sedangkan pengaruh karakter lain yang tidak dimasukkan dalam diagram lintas berupa pengaruh sisaan adalah sebesar 0.11 atau 11% artinya model yang digunakan sudah dapat menggambarkan hubungan kausal secara keseluruhan.
42
Gambar 11
Diagram lintas karakter tinggi tanaman (X1), jumlah daun majemuk (X2), jumlah cabang (X3), diameter batang (X4), bobot basah total (X5), kandungan flavonoid berupa data kualitatif (X6) yang berpengaruh terhadap bobot kering total.
43
Analisis lintas karakter morfologi terhadap kandungan flavonoid Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa tinggi tanaman berkorelasi negatif tidak nyata (r1y = -0.30) terhadap kandungan flavonoid. Sedangkan tinggi tanaman berkorelasi positif dan sangat nyata terhadap jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang, bobot basah total dan bobot basah kering. Korelasi tidak berbeda nyata terhadap flavonoid juga ditunjukkan oleh karakter jumlah daun (r2y = -0.16), jumlah cabang (-0.36), diameter batang (-0.24), bobot basah total (r5y = -0.20) dan bobot basah kering (r6y = 0.11). Tabel 8 Pengaruh langsung dan tidak langsung beberapa karakter morfologi terhadap kandungan flavonoid Peubah bebas yang dibakukan
Pengaruh langsung (Ci)
Pengaruh tidak langsung melalui peubah Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6
Pengaruh total (rxy)
TT
Z1
0.60
-
0.54
0.46
0.53
0.54
0.50
-0.30
JD
Z2
-0.11
-0.10
-
-0.06
-0.10
-0.10
-0.09
-0.16
JC
Z3
-1.00
-0.74
-0.52
-
-0.52
-0.65
-0.61
-0.36
DB
Z4
-1.70
-1.53
-1.61
-0.94
-
-1.55
-1.51
-0.24
BBT
Z5
-0.48
-0.43
-0.40
-0.33
-0.44
-
-0.43
-0.20
BKT
Z6
2.25
1.91
1.93
1.45
2.04
2.03
-
0.11
Keterangan : TT : tinggi tanaman (cm), JD : jumlah daun, JC : jumlah cabang, DB : diameter batang (mm), BBT : bobot basah total (g), BKT : bobot kering total (g), flavonoid : analisis fitokimia flavonoid dengan kriteria 3=kuat, 2=sedang, 1=lemah.
Dari Tabel 8 dan Gambar 12 dapat dilihat bahwa pengaruh langsung terbesar ditunjukkan oleh karakter bobot kering total (C6 = 2.25, r4y = 0.11) diikuti oleh karakter diameter batang (C4 = -1.70, r4y = -0.24), jumlah cabang (C3 = -1.00, r3y = -0.36), tinggi tanaman (C1 = 0.60 r2y = -0.30), bobot basah total ( C5 = -0.48, r5y = -0.20) dan jumlah daun (C2 = -0.11 r2y = -0.16). Diameter batang, jumlah cabang, tinggi tanaman, bobot basah total dan jumlah daun menunjukkan hubungan langsung yang negatif. Peningkatan diameter batang, jumlah cabang, bobot basah total dan jumlah daun akan menurunkan
44
kandungan flavonoid pada meniran. Dengan demikian karena semua koefisien korelasi ini positif dan negatif tidak berbeda nyata maka semua karakter tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk mendapatkan genotipe meniran yang berpotensi memiliki kandungan flavonoid yang tinggi. Penelitian terhadap pegagan (Martono et al. 2010), menunjukkan tidak ada satupun karakter morfologi yang berhubungan dengan pertumbuhan yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk mendapatkan kandungan asiatikosida pegagan yang tinggi. Pada penelitian meniran ini, analisis fitokimia kandungan flavonoid berupa data kualitatif sehingga belum menggambarkan keberadaan flavonoid sebenarnya. Analisis lintas yang dibangun dengan menggunakan enam karakter sebagai karakter bebas dapat menjelaskan ragam sebesar 0.74 atau 74%. Pengaruh faktor lain yang tidak dimaasukkan dalam diagram lintas adalah sebesar 0.26 atau 26%.
45
Gambar 12 Diagram lintas karakter tinggi tanaman (X1), jumlah daun majemuk (X2), jumlah cabang (X3), diameter batang (X4), bobot basah total (X5), bobot kering total (X6) yang berpengaruh terhadap kandungan flavonoid.
46
Simpulan 1. Masyarakat
di
sekitar
lokasi
eksplorasi
telah
mengenal
dan
memanfaatkan tanaman meniran sebagai tanaman obat sehari-hari. 2. Karakter morfologi yang berkorelasi positif dan nyata terhadap produksi biomassa kering adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total. 3. Diameter batang, jumlah cabang, bobot basah total dan jumlah daun berpengaruh langsung terhadap produksi biomassa kering dan dapat dijadikan sebagai karakter untuk seleksi. 4. Dari enam karakter yang diamati, tidak satupun karakter yang dapat digunakan sebagai karakter seleksi terhadap kandungan flavonoid.
5. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan asal Gresik (A7) dipilih sebagai aksesi berpotensi mempunyai produksi biomassa tinggi. Sedangkan meniran merah asal Bangkalan (A13) dipilih sebagai aksesi berpotensi mempunyai kandungan flavonoid tinggi.
47
ANALISIS KERAGAMAN MORFOLOGI, KANDUNGAN ANTOSIANIN DAUN DAN HUBUNGAN KEKERABATAN 13 AKSESI MENIRAN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan menganalisis kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan penanda molekuler (genetik). Sebanyak 13 aksesi meniran yang berasal dari eksplorasi meniran di Kabupaten Bangkalan dan Gresik dianalisis keragaman genetiknya. Peubah yang diamati menggunakan penanda morfologi adalah 12 karakter kuantitatif dan 2 karakter kualitatif. Sebanyak 5 primer digunakan dalam analisis RAPD untuk proses amplifikasi DNA. Hasil analisis komponen utama mendapatkan 2 komponen utama dengan proporsi keragaman kumulatif sebesar 91.90%. Analisis gerombol berdasarkan karakter morfologi dan kandungan antosianin pada taraf kesamaan sekitar 100-91.90% terbentuk 3 kelompok. Pada taraf kesamaan 69.82% terbentuk 2 kelompok utama yang terdiri dari kelompok A beranggotakan semua aksesi meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan kelompok B beranggotakan aksesi meniran merah (Phyllanthus urinaria L.). Pengelompokan berdasarkan RAPD, pada tingkat kesamaan 63% terbentuk 2 kelompok utama yang terdiri dari kelompok A beranggotakan semua aksesi meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan kelompok B beranggotan aksesi meniran merah (Phyllanthus urinaria L.). Berdasarkan keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan penanda molekuler terdapat 2 jenis meniran hasil eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Gresik yaitu meniran hijau dan meniran merah yang membentuk 2 kelompok terdiri dari kelompok A semua aksesi meniran hijau dan kelompok B satu aksesi meniran merah. Kata kunci : morfologi, genetik, RAPD, gerombol, analisis komponen utama
Abstract The objectives of this research were to identify and analyze the variability and genetic relationship of 13 accessions of Phyllanthus based on morphological characters, anthocyanin content and RAPD markers. There were 13 accessions that come from Phyllanthus exploration in Bangkalan and Gresik that analyzed by its genetic diversity. The five primers with RAPD analysis. The result of principal component analysis had two primary components 91.90% cumulative proportion of diversity. Cluster analysis based on morphological character and anthocyanin content at the similarity coefficient range from 1.00 – 0.91 formed three groups. Two primary group at similarity of coefficient 0.70 : group A consist of all accession green meniran (Phyllanthus niruri L.) and red meniran (Phyllanthus urinaria L.) in group B. In general, clustering analysis based on RAPD, at similarity of coefficient 0.63 formed two main groups consist of all green meniran (Phyllanthus niruri L.) accession in group A and red meniran (Phyllanthus urinaria L.) accession in group B. Bassed on RAPD markers results of exploration in Bangkalan and Gresik found two types of meniran, green (Phyllanthus niruri L.) and red meniran (Phyllanthus
48
urinaria L.) by grouping all accession green meniran (Phyllanthus niruri L.) in group A and red meniran (Phyllanthus urinaria L.) in group B. Key words: morphology, genetics, RAPD,clustering, principal component analysis.
Pendahuluan Meniran (Phyllanthus sp. L.) tergolong dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Geraniles, famili Euphorbiaceae, genus Phyllanthus (Webster 1986; de Padua et al 1999). Penyebarannya di seluruh Asia termasuk Indonesia (Heyne 1987; Soerjani et al 1987), Malaysia, India, Peru, Afrika, Amerika dan Australia (Taylor 2003). Genus Phyllanthus mempunyai lebih dari 600 spesies tetapi yang lebih dikenal dan biasa digunakan untuk pengobatan hanya dua spesies yaitu Phyllanthus niruri L. dan Phyllanthus urinaria L. Khusus untuk pengobatan, Phyllanthus niruri L. (meniran hijau) lebih dominan digunakan dibandingkan dengan Phyllanthus urinaria L. (meniran merah). Komponen yang terkandung dalam meniran hijau lebih banyak dibandingkan dengan meniran merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran hijau mampu menghambat aktivitas virus hepatitis B sebesar 70%, lebih baik daripada meniran merah yang hanya mampu menghambat sebesar 28% (Taylor 2003). Perbedaan morfologi ditemukan antara meniran hijau dan meniran merah. Meniran hijau memiliki batang berwarna hijau muda atau hijau tua. Setiap cabangnya terdiri dari 8-25 helai daun. Daunnya berwarna hijau, berukuran 0.5-2 x 0.25-0.5 cm.
Buahnya bertekstur licin, bulat pipih dengan diameter 2-2.5 mm.
Kepala sari meniran hijau yang sudah matang akan pecah secara membujur. Sedangkan meniran merah memiliki batang berwarna merah coklat. Setiap cabang terdiri dari 7-13 helai daun. Warna daun hijau coklat dengan ukuran 0.5-2 cm x 1-8 mm. Buah bertekstur kasar, bulat dengan diameter 3 mm. Kepala sari meniran merah yang sudah matang akan pecah secara melintang (Heyne 1987; Soerjani et al. 1987, Soedibyo 1998). Menurut Roy (2000), koleksi plasma nutfah harus dievalusi secara tepat. Karakter yang dievalusi dapat berupa karakter anatomi, morfologi, kimia, biokimia maupun fisiologis. Karakter morfogi lazim digunakan untuk karakterisasi dan
49
analisis kekerabatan pada kondisi lingkungan yang normal. Van Beuningen dan Bush (1997) menyatakan analisis molekuler (marka molekuler) dapat dilakukan untuk mengatasi pengaruh faktor lingkungan terhadap karakter morfologi yang jumlahnya terbatas. Salah satu marka molekuler yang dapat digunakan adalah analisis RAPD yang merupakan teknik yang lebih cepat dan lebih mudah dilakukan. Menurut Sjamsuhidajat dan Nurendah (1992) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan zat kimia dalam tanaman antara lain habitat, pemupukan dan umur tanaman. Khan et al. (2010) mendapatkan pengaruh faktor lingkungan dan faktor genetik terhadap peningkatan kandungan filantin pada Phyllanthus amarus (Phyllanthus niruri).
Keberagaman karakter dapat digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan, sehingga perlu dilakukan evaluasi kekerabatan antara aksesi meniran yang ada di alam. Keragaman genetik dan hubungan kekerabatan di antara aksesi meniran dapat terungkap dengan menggunakan analisis morfologi dan molekuler. Penanda morfologi ditujukan pada karakter kuantitatif dan kualitatif yang mengarah pada karakter agronomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis keragaman karakter morfologi, kandungan antosianin daun dan hubungan kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan penanda molekuler (genetik).
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai dengan Januari 2010. Penanaman dilakukan di lahan penelitian Desa Padasuka Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Produksi Departemen AGH IPB dan Laboratorium Molekuler dan Kloning Departemen AGH IPB. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji meniran hasil eksplorasi dari Kabupaten Bangkalan dan Gresik berupa 6 aksesi meniran hijau (A1,A2,A3,A4,A5,A6) dan 1 aksesi meniran merah (A13) yang berasal dari Kabupaten Bangkalan dan 6 aksesi meniran hijau (A7,A8,A9,A10,A11,A12) yang
50
berasal dari Kabupaten Gresik. Bahan untuk penanaman adalah pupuk kandang, pupuk NPK, tanah, polibag ukuran (25 x 30) cm, insektisida hayati. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis RAPD antara lain : SIGMA-Aldrich
TM
Extraction
and dellution kit, aquabidestilata, campuran chloroform dan isoamilalkohol (CIA) 24:1, Etanol Absolut, PCR amplification reagents dari Vivantis, DNA ladder, primer acak, gel agarose, buffer TAE (Tris Acetic Acid EDTA) 1x, Loading die, dan Ethidium Bromide. Peralatan budidaya yang digunakan adalah alat budidaya secara umum. Peralatan yang digunakan untuk pengamatan adalah meteran, penggaris, kaca pembesar dan jangka sorong. Peralatan yang digunakan dalam analisis RAPD adalah gunting, oven, water bath, microtube 2 ml, pelampung microtube, mikro pipet 1000 μl, mikro pipet 100 μl, rak tip dan microtube, centrifuge, desicator vacuum pump, timbangan analitik, hot plate, labu Erlenmeyer, elektroforesis chamber, sisir gel mesin PCR, mesin elektroforesis dan UV transiluminator. Metode Penelitian Keragaman morfologi tanaman Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAK) dengan satu faktor yaitu 13 aksesi meniran dengan 3 kali ulangan (kelompok) sehingga terdapat 39 kombinasi percobaan. Biji meniran yang didapat dari eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Gresik dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai.
Media
semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan 1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang ternaungi. Setelah tumbuh kecambah, tutup plastik dibuka. Dilakukan pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke polibag yang berukuran (25 x 30) cm. Bibit yang dipindah telah mempunyai minimal empat daun majemuk. Kegiatan
pemeliharaan
tanaman
meliputi
penyiraman,
pemupukan,
penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari selama satu bulan pada awal penanaman dengan asumsi tidaak ada hujan. Selanjutnya penyiraman dilakukan sesuai dengan keperluan.
51
Pengendalian hama dan penyakit dengan insektisida organik. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara penyiangan. Pengamatan karakter morfologi 1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk tanaman, diamati setiap 2 minggu. 2. Jumlah daun majemuk, dihitung bila daun telah membuka sempurna, diamati setiap 2 minggu. 3. Jumlah cabang, dihitung setiap 2 minggu. 4. Diameter batang (mm), diamati pada tanaman yang sudah dipanen dengan cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah batang dengan menggunakan jangka sorong digital. 5. Bobot 1000 biji (g), diamati pada buah yang telah masak, pecah dan biji telah keluar dengan cara menimbang 1000 biji dengan menggunakan timbangan neraca analitik. 6. Produksi biomassa basah (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik bobot basah akar, daun dan batang. 7. Produksi biomassa kering (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik bagian akar, daun dan batang yang telah dioven pada suhu 105oC selama 24 jam. 8. Analisis antosianin daun. Sampel daun adalah daun yang telah terbentuk sempurna dan daun yang terkena matahari secara langsung. Cara kerja disajikan pada Lampiran 2.
Penanda Molekuler dengan analisis RAPD Pelaksanaan Pelaksanaan analisis RAPD dibagi dalam dua kegiatan utama, yakni isolasi DNA dan amplikasi DNA menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Analisis RAPD dilakukan pada 13 aksesi meniran dengan menggunakan 10 primer acak. Dari 10 primer yang dipilih secara acak, ada 5 primer menunjukkan hasil yang polimorfik yang selanjutnya digunakan dalam analisis RAPD.
52
Isolasi DNA Metode yang digunakan adalah metode ekstraksi menggunakan Kit SIGMA yang dimodifikasi. Larutan ekstrak dari kit Sigma yang digunakan sebanyak 100 μl yang ditempatkan dalam mikrotube 2 ml. Gunting yang akan digunakan dicuci dengan alcohol 70% kemudian dikeringkan dengan tissue. Sampel daun dipotong sebanyak 0.02 gram dan dimasukkan ke dalam microtube yang sudah berisi ekstrak kit. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 95oC menggunakan water bath selama 5 menit. Setelah dipanaskan, ke dalam microtube ditambahkan larutan dilusi sebanyak 100 μl dan aquabides sebanyak 500 μl. Selanjutnya cairan dalam microtube diambil tanpa mengikutkan potongan daunnya. Cairan tersebut dimasukkan ke dalam tabung baru yang berukuran 1.5 ml (militube) dan ditambahkan chloroform isoamylalkohol (CIA 24:1) sebanyak 150 μl kemudian diaduk dengan vortex mix selama kurang lebih 10 detik dan dicentrifuge pada kecepatan 15 000 RPM atau kurang lebih 12 000 G selama 5 menit. Setelah dicentrifuge, supernatant dipindahkan pada microtube 1500μl. Kemudian ditambahkan etanol absolute 2 kali volume supernatant. Jika gumpalan lender tidak terlihat, maka larutan tersebut dimasukkan ke dalam freezer selama 10 menit kemudian dicentrifuge pada kecepatan 7 000 RPM (± 5000 G) selama 5 menit. Kemudian larutan etanol dibuang dan sisa lender yang berupa pellet (DNA) dikeringkan di atas kertas tissue. Jika alkohol sudah tidak ada yang menetes, DNA dikeringkan dengan vacum pump sampai kering. Yang terakhir DNA dilarutkan dengan air double destilate 50-200 μl. DNA hasil isolasi ini disimpan dalam freezer jika tidak digunakan langsung untuk amplifikasi PCR.
Amplifikasi DNA dengan PCR Amplifikasi DNA dilakukan dengan PCR reagent dari Vivantis dengan modifikasi konsentrasi taq DNA polymerase 1.5 kali konsentrasi anjuran (Tabel 9). Campuran bahan PCR terdiri dari 10 μl PCR reagent vivantis, 5 μl primer acak, dan 5 μl DNA template. Semua campuran bahan PCR sebanyak 20 μl tersebut dimasukkan ke dalam PCR tube dan diamplifikasi pada mesin PCR Effendorf. Proses amplifikasi DNA dibagi dalam tiga bagian yaitu : 1) denaturation (penguraian utas ganda DNA menjadi utas tunggal) selama 5 menit pada suhu 95oC, 2) anneling (penempelan primer) selama 30 detik pada suhu annealing (TM(melting
53
temperature) primer -4oC) dan 3) elongation (pemanjangan utas DNA primer yang komplemen dengan DNA template menggunakan enzyme taq DNA Polymerase) selama 1 menit pada suhu 72oC. Proses amplifikasi PCR dilakukan sebanyak 45 siklus.
Tabel 9 Bahan reaksi PCR analisis RAPD keragaman 13 aksesi meniran Bahan reaksi PCR
Konsentrasi (stock solution) 400 μl
Volume yang diambil (per reaksi) 2 μl
2 mM dNTP mix
160 μl
0.8 μl
50 mM MgCl2
120 μl
0.6 μl
Taq DNA polymerase
48 μl
0.24 μl
Double destilate water
1.272 μl
6.36 μl
Primer
1 000 μl
5 μl
DNA
1 000 μl
5 μl
Volume total
4 000 μl
20 μl
10 x Vivantis Buffer A
Elektroforesis Fragmen DNA hasil amplifikasi menggunakan PCR dapat dilihat melalui elektroforesis. Media yang digunakan adalah gel yang dibuat dari agarose sebanyak 0.6 gram yang ditambah dengan TAE 1x sebanyak 40 ml. Gel ditempatkan pada alat elektroforesis dan dibuat sumur untuk menempatkan DNA hasil amplifikasi kemudian ditambah TAE 1x hingga rata menutupi gel. Campuran DNA yang dielektroforesis adalah 9 μl hasil reaksi PCR dicampur dengan 1-2 μl loading dye. Kemudian 5 μl dari 1000 bp DNA ladder disimpan pada salah satu sumur untuk mengukur pita-pita DNA yang dihasilkan dari masing-masing aksesi meniran. Elektroforesis dilakukan selama 90 menit pada 90 Volt. Gel hasil elektroforesis diwarnai dengan Ethidium bromide selama 15 detik kemudian direndam dalam aquades selama 30 menit. Selanjutnya gel yang telah diwarnai divisualisasikan di atas ultra violet transluminator dan didokumentasikan dengan kamera. Analisis Data Analisis gerombol. Metode pengerombolan yang digunakan adalah metode aglomeratif dan ukuran ketidakmiripan yang digunakan adalah jarak euclide.
54
Peubah yang menjadi dasar pengerombolan adalah peubah yang telah direduksi dari hasil analisis komponen utama.
Pengolahan data ini dibantu oleh program
MINITAB 15.0. Analisis komponen utama.
Analisis komponen utama (Principal
Componen Analysis) dilakukan untuk menyederhanakan variabel yang baru menjadi lebih sedikit, namun informasi tidak berubah. Analisis ini memberikan gambaran berupa besarnya pengaruh persentase nilai keragaman dari beberapa komponen utama (biasanya 3 komponen utama) yang dapat dibentuk dari minimal 70% keragaman yang dimiliki oleh karakter-karakter pada populasi yang dikarakterisasi (Nasution 2008). Pengolahan data dibantu oleh program MINITAB 15.0 Data hasil RAPD diskoring berdasarkan ada tidaknya pita. Skor 0 jika tidak ada pita dan skor 1 jika ada pita pada tingkat migrasi yang sama antar aksesi meniran. Setiap profil pita DNA berhubungan dengan lokus yang mengandung alel tertentu. Pita hasil amplifikasi pada posisi yang sama pada laju elektroforesis yang sama untuk setiap tanaman meniran, dianggap sebagai satu lokus homolog. Selanjutnya data hasil skoring dianalisis menggunakan Seguential Agglomerative, Hierarchical and Nested (SAHN)-UPGMA (Unweighted pair-group method, arithmetic average) pada program NTSYSpc untuk menganalisis kemiripan antar aksesi (matriks jarak genetik). Hasil analisis disajikan dalam bentuk dendrogram.
55
Hasil dan Pembahasan Keragaman morfologi 13 aksesi meniran Tabel 10 Pengaruh aksesi terhadap tinggi tanaman, jumlah daun majemuk, jumlah cabang, diameter batang dan bobot 1000 biji meniran umur 10 MST Peubah pengamatan Aksesi Tinggi Jumlah Jumlah Diameter Bobot tanaman daun cabang batang 1000 biji (cm) majemuk (mm) (g) Meniran hijau A1 54.20 abc 106.33 a 23.00 ab 2.07 c 0.17 b A2 51.47 d 107.80 a 23.27 ab 1.93 c 0.17 b A3 53.20 bcd 108.20 a 21.80 ab 2.07 c 0.16 b A4 53.73 abc 109.00 a 23.60 a 2.07 c 0.17 b A5 54.13 abc 108.27 a 23.47 ab 2.07 c 0.17 b A6 55.40 a 110.07 a 22.67 ab 2.57 a 0.17 b A7 54.80 ab 109.93 a 23.33 ab 2.33 ab 0.17 b A8 54.73 ab 106.87 a 22.80 ab 2.30 ab 0.17 b A9 54.80 ab 106.07 a 22.33 ab 2.07 c 0.17 b A10 54.47 ab 108.60 a 22.73 ab 2.07 c 0.16 b A11 54.07 abc 110.20 a 23.60 a 2.00 c 0.17 b A12 52.47 cd 109.73 a 21.67 b 2.27 b 0.17 b Meniran merah A13 12.07 e 99.02 b 17.27 c 1.57 d 0.21 a Keterangan : angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Kisaran tinggi tanaman aksesi meniran adalah 12.07 – 55.40 cm. Aksesi tanaman tertinggi adalah aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan terendah adalah aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13). Jumlah daun majemuk pada 12 aksesi meniran hijau asal Bangkalan berbeda nyata dengan meniran merah (A13). Antara kedua belas aksesi meniran hijau (A1-A12), jumlah daun majemuknya tidak berbeda nyata. Jumlah daun majemuk 12 aksesi meniran hijau berkisar antara 106.07 sampai dengan 110.20 daun, sedangkan meniran merah (A13) mempunyai jumlah daun majemuk paling sedikit (99.02 daun). Demikian juga dengan bobot 1000 biji, semua aksesi meniran hijau (A1 sampai A12) bobot 1000 bijinya tidak berbeda nyata. Bobot 1000 biji meniran hijau (12 aksesi) berbeda nyata dengan meniran
56
merah (A13). Kisaran bobot 1000 biji meniran hijau 0.16 – 0.17 gram. Meniran merah mempunyai bobot 1000 biji terbesar 0.21 gram. Jumlah cabang per tanaman 13 aksesi meniran bervariasi dengan kisaran 17.27 – 23.60 cabang. Berdasarkan hasil uji Duncan keragaman jumlah cabang dapat dibedakan menjadi 3 kelompok. Kelompok yang memiliki jumlah cabang tertinggi adalah kelompok I terdiri dari A11, A4, A5, A7, A2, A1, A8, A10, A6, A9, A3 dengan jumlah cabang 21.80 – 23.60, kelompok II adalah A12 (21.67 cabang) dan kelompok III adalah aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan 17.27 cabang. Diameter batang maksimal (2.57 mm) ditunjukkan aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6), diikuti meniran hijau asal Gresik (A7 dan A8). Meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai diameter batang terendah (1.57 mm).
Tabel 11 Pengaruh aksesi terhadap bobot basah akar (BBA), batang (BBB), daun (BBD) dan bobot total (BBT) meniran umur 10 MST Aksesi Peubah pengamatan Bobot basah Bobot Bobot Bobot basah akar basah basah daun total (g tan-1) batang (g tan-1) (g tan-1) -1 (g tan ) Meniran hijau A1 3.50 abc 9.22 bcd 7.39 bc 20.12 cd A2 3.45 c 9.16 d 7.38 c 19.99 d A3 3.46 bc 9.26 bcd 7.39 bc 20.12 cd A4 3.48 abc 9.23 bcd 7.39 bc 20.10 cd A5 3.47 bc 9.24 bcd 7.38 c 20.09 cd A6 3.53 a 9.52 a 7.44 a 20.49 a A7 3.51 abc 9.43 ab 7.42 ab 20.37 ab A8 3.49 abc 9.40 abc 7.38 c 20.27 abc A9 3.46 bc 9.24 bcd 7.36 c 20.06 cd A10 3.46 bc 9.26 bcd 7.38 c 20.10 cd A11 3.46 bc 9.19 cd 7.39 bc 20.05 cd A12 3.46 bc 9.36 abcd 7.40 bc 20.21 bcd Meniran merah A13 3.52 ab 7.85 e 7.39 bc 18.75 e Keterangan : angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Bobot basah akar per tanaman bervariasi dengan kisaran 3.45 – 3.53 gram. Bobot basah batang bervariasi dengan kisaran 7.85 – 9.52 gram per tanaman. Bobot
57
basah daun bervariasi dengan kisaran 7.38 – 7.44 gram per tanaman. Bobot basah total bervarisai dengan kisaran 18.75 – 20.49 gram per tanaman. Aksesi dengan bobot basah akar, batang, daun dan bobot basah total tertinggi adalah aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6).
Tabel 12 Pengaruh aksesi terhadap bobot kering akar (BKA), batang (BKB), daun (BKD) dan bobot kering total (BKT) meniran umur 10 MST Aksesi Peubah pengamatan Bobot kering Bobot kering Bobot kering Bobot kering akar batang daun total (g tan-1) (g tan-1) (g tan-1) (g tan-1) Meniran hijau A1 0.75 abc 1.67 bcd 0.84 bc 3.27 cd A2 0.70 c 1.61 d 0.83 c 3.14 d A3 0.71 bc 1.71 bcd 0.84 bc 3.27 cd A4 0.73 abc 1.68 bcd 0.84 bc 3.25 cd A5 0.72 bc 1.69 bcd 0.83 c 3.24 cd A6 0.78 a 1.97 a 0.89 a 3.64 a A7 0.76 abc 1.88 ab 0.87 ab 3.52 ab A8 0.74 abc 1.85 abc 0.83 c 3.42 abc A9 0.71 bc 1.69 bcd 0.81 c 3.21 cd A10 0.71 bc 1.71 bcd 0.83 c 3.25 cd A11 0.72 bc 1.64 cd 0.84 bc 3.20 cd A12 0.71 bc 1.81 abcd 0.85 bc 3.36 bcd Meniran merah A13 0.77 ab 1.30 e 0.84 bc 2.90 e Keterangan : angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Bobot kering akar per tanaman bervariasi dengan kisaran 0.70 – 0.78 gram per tanaman. Bobot kering batang bervariasi dengan kisaran 1.30 – 1.97 gram per tanaman. Bobot kering daun bervariasi dengan kisaran 0.81 – 0.89 gram per tanaman. Bobot kering total bervarisai dengan kisaran 2.90 – 3.64 gram per tanaman. Aksesi dengan bobot kering akar, batang, daun dan bobot kering total tertinggi adalah aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6).
58
Keragaman kandungan antosianin daun Tabel 13 Pengaruh aksesi terhadap kandungan antosianin daun meniran umur 10 MST Aksesi Kandungan antosianin daun (mg g-1) Meniran hijau A1 0.58 bcd A2 0.58 bcd A3 0.53 cd A4 0.51 cd A5 0.54 cd A6 0.67 b A7 0.60 bc A8 0.46 d A9 0.55 bcd A10 0.53 cd A11 0.51 cd A12 0.50 cd Meniran merah A13 0.84 a Keterangan :
angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai kandungan antosianin daun tertinggi (0.84 mg g-1). Aksesi meniran hijau asal Gresik (A8) mempunyai kandungan antosianin daun terendah (0.46 mg g-1). Keragaman 13 aksesi meniran berdasarkan karakter morfologi dan kandungan antosianin daun Dengan metode analisis gerombol menggunakan program MINITAB 15 dapat dilihat keragaman aksesi berdasarkan seluruh peubah yang diamati. Hasil analisis dapat menampilkan jarak perbedaan dan kesamaan berbagai aksesi dalam bentuk dendrogram disajikan pada Gambar 13.
59
Gambar 13 Dendrogram analisis gerombol karakter morfologi dan kandungan antosianin daaun 13 aksesi meniran Berdasarkan hasil analisis gerombol (Gambar 13) terhadap karakter morfologi dan kandungan antosianin daun diperoleh dendrogram pengelompokan aksesi sebanyak 2 kelompok pada koefisien kemiripan sebesar 69.82%. Kelompok A terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan yaitu aksesi nomor 1,2,3,4,5,6, dan meniran hijau asal Gresik aksesi nomor 7,8,9,10,11,12 dan kelompok B terdiri dari aksesi meniran merah asal Bangkalan aksesi nomor 13. Karakter yang menentukan terbentuknya pengelompokkan dapat dianalisis pada nilai analisis komponen utama. Analisis Komponen Utama (AKU/Principal Component Analysis) digunakan untuk (1) identifikasi peubah baru yang mendasari data peubah ganda, (2) mengurangi banyaknya dimensi peubah yang banyak dan berkorelasi menjadi peubah baru yang tidak berkorelasi dengan mempertahankan keragaman pada himpunan data dan (3) menghilangkan peubah asal yang mempunyai sumbangan informasi yang relatif kecil. Banyaknya komponen utama yang dipilih yaitu apabila persentase keragaman kumulatif minimum 70% (Supranto 2004).
60
Tabel 14 Nilai ciri dua komponen utama 14 karakter 13 aksesi meniran Komponen utama
Nilai ciri
Persen keragaman
Persen akumulasi keragaman
1
8.57
61.20
61.20
2
4.30
30.70
91.90
Tabel 15 Karakter morfologi pembentuk komponen utama. Komponen utama KU I
Jumlah karakter 9
KU II
4
Jenis karakter Bobot basah total Bobot basah batang Tinggi tanaman Bobot 1000 biji Jumlah daun Bobot kering batang Diameter batang Jumlah cabang Bobot kering total Bobot basah akar Bobot kering akar Bobot kering daun Bobot basah daun
Nilai 0.340 0.339 0.326 -0.322 0.318 0.314 0.305 0.296 0.287 0.450 0.446 0.432 0.418
Hasil analisis komponen utama pada penanda morfologi dan kandungan antosiani daun dapat dijelaskan oleh 2 komponen utama yang mencakup 91.90% data dari total keseluruhan data (Tabel 14). Analisis komponen utama menunjukkan akumulasi keragaman komponen tinggi, hanya dengan dua komponen utama pertama sudah menghasilkan nilai akumulasi 91.90% keragaman. Artinya dua komponen utama telah mewakili 91.90% dari 14 karakter diperoleh dari 2 komponen utama. Jumlah karakter penentu pembentuk pengelompokan terpilih adalah selaras dengan nilai ciri yaitu sembilan karakter pada komponen utama 1 dan empat karakter pada komponen utama 2 (Tabel 15). Berdasarkan hasil analisis komponen utama terbentuk 3 kelompok. Kelompok A terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1,2,3,4,5, aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 8,9,10,11,12. Kelompok B terdiri dari aksesi 6 berupa meniran hijau asal Bangkalan dan nomor 7 aksesi meniran hijau asal Gresik.
61
Kelompok C terdiri dari aksesi nomor 13 meniran merah asal Bangkalan (Gambar 14).
Gambar 14 Analisis komponen utama karakter morfologi dan kandungan antosianin daun 13 aksesi meniran
Analisis kekerabatan berdasarkan penanda molekuler Hasil pengelompokan berdasarkan penanda molekuler (RAPD) menunjukkan kedua belas akesesi meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik (A1 sampai A12) memiliki hubungan genetik yang cukup dekat yang ditunjukkan dengan mengelompoknya keduabelas aksesi meniran hijau dalam satu kelompok. Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) cenderung memisah dan membentuk kelompok sendiri. Hasil analisis RAPD menggunakan 5 primer pada 13 aksesi meniran menunjukkan tingkat polimorfisme yang relatif tinggi. Menurut Jubera et al. (2009) data marka molekuler dalam hubungannya dengan data morfologi berguna untuk menetapkan tingkat perbedaan dan kemiripan antar kultivar.
62
MH-1 MH-3 MH-4 MH-6 MH-7 MH-8 MH-9 MH-10 MH-5 MH-2 MH-11 MH-12 MM-13
Koefisien Kemiripan
0.63
0.72
2 Koefisien0.8 kemiripan
0.91
1.00
Coefficient
Koefisien kemiripan Gambar 15 Dendrogram 13 aksesi meniran berdasarkan profil pola pita DNA dengan teknik RAPD Fragmen atau pita hasil amplikasi RAPD diasumsikan sebagai satu lokus. Hasil amplikasi diskoring 1 jika ada pita dan 0 jika tidak ada pita yang teramplifikasi.
Hasil
amplifikasi
menggunakan
5
primer
adalah
yang
keseluruhannya polimorfisme (Tabel 16).
Tabel 16 Jumlah pita polimorfisme yang dihasilkan oleh 5 primer pada 13 aksesi meniran No Nama Primer Sekuen (5’ – 3’) Jumlah pita polimorfik 1.
OPE-1
CCCAAGGATCC
5
2.
OPE-19
ACGGCGTATG
6
3.
OPH-5
AGTCGTCCCC
8
4.
OPH-13
GACGCCACAC
8
5.
OPM-20
AGGTCTTGGG
5
63
Data hasil skoring pita polimorfik selanjutnya digunakan untuk menganalisis tingkat kemiripan dari 13 aksesi meniran yang diamati. Pada Gambar 15 dapat dilihat pada tingkat kemiripan dari 100% sampai 63%, 13 aksesi yang dianalisis dapat dikelompokan menjadi 7 kelompok. Kelompok A terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 3, 4, 6, dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 7, 8, 9, 10 yang mempunyai tingkat kemiripan sebesar 100%. Kelompok B terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1 dengan aksesi kelompok A dengan tingkat kemiripan sebesar 97%. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 5 dengan kelompok B dengan tingkat kemiripan 96%. Kelompok D terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 2 dengan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 11 yang mempunyai kemiripan sebesar 94%. Kelompok E yaitu gabungan kelompok C dan kelompok D dengan tingkat kemiripan sebesar 90% sampai dengan 100%. Kelompok F merupakan gabungan dari kelompok E dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 12 dengan tingkat kemiripan sebesar 83% sampai dengan 100%. Kelompok G terdiri dari gabungan semua meniran hijau (aksesi nomor 1 hingga aksesi nomor 12) dan meniran merah (aksesi nomor 13) dengan tingkat kemiripan sebesar 63% atau perbedaannya sebesar 27%. Hasil pengelompokan aksesi meniran berdasarkan marka RAPD tidak selaras dengan kelompok berdasarkan karakter morfologi. Aksesi yang mengerombol dalam satu kelompok dalam dendrogram berdasarkan RAPD memiliki karakter morfologi yang berbeda. Ketidakselarasan tersebut menunjukkan bahwa pita-pita DNA tersebut tidak berhubungan dengan karakter-karakter yang diamati di lapangan. Pengelompokan berdasarkan marka RAPD juga menunjukkan bahwa aksesi yang berasal dari wilayah yang berdekatan tidak selalu mengerombol dalam satu kelompok. Demikian pula sebaliknya aksesi yang berasal dari wilayah yang berbeda dan jauh secara geografis dapat mengerombol dalam satu kelompok. Hal ini dapat terjadi karena adanya mutasi spontan dan seleksi alami yang terjadi sehingga timbul perbedaan genetik antar aksesi. Menurut Indriani (2000), aksesi yang berasal dari satu negara atau letak geografis yang sama cenderung memiliki jarak genetik yang dekat. Keragaman genetik yang terjadi cenderung disebabkan oleh adaptasi yang terus menerus sehingga terjadi perubahan-perubahan baik secara biokimia maupun fisiologisnya.
Sebaliknya
menurut
Hartati
(2007),
pengelompokan
tidak
64
berhubungan dengan letak geografis melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Seleksi akan sulit dilakukan pada karakter yang mempunyai keragaman genetik yang sempit. Fehr (1987) menyatakan bahwa efektivitas seleksi sangat ditentukan antara lain oleh keragaman genetik. Keragaman genetik yang luas diharapkan akan membawa kemajuan genetik yang besar.
Simpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat keragaman karakter morfologi dan kandungan antosianin daun 13 aksesi meniran hasil eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Gresik yang membentuk 3 kelompok. 2. Karakter pembentuk komponen utama 1 terdiri dari 9 karakter yaitu bobot basah total, bobot basah batang, tinggi tanaman, bobot 1000 biji, jumlah daun majemuk, bobot kering batang, diameter batang, jumlah cabang dan bobot kering total. Karakter pembentuk komponen utama 2 adalah bobot basah akar, bobot kering akar, bobot kering daun, dan bobot basah daun. 3. Berdasarkan analisis molekuler terdapat 2 kelompok aksesi terdiri dari kelompok A semua aksesi meniran hijau (Aksesi 1 sampai aksesi 12) dan kelompok B satu aksesi meniran merah.
65
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN TOTAL FILANTIN & HIPOFILANTIN AKSESI MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh naungan terhadap pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan total filantin dan hipofilantin beberapa aksesi meniran. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru IPB, Bogor, Jawa Barat dengan ketinggian 250 m dpl dari Maret 2009 sampai September 2009. Percobaan disusun dalam rancangan petak terbagi dengan 3 kali ulangan. Petak utama adalah taraf naungan (N) terdiri dari 0% (N0), 25% naungan (N1) dan 50% naungan (N2). Anak petak adalah aksesi meniran (A) terdiri dari A1, A2, A3, A4, A5, A6 merupakan meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dari Bangkalan dan A7, A8, A9, A10, A11, A12 merupakan meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dari Gresik. A13 merupakan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) dari Bangkalan. Hasil penelitian menunjukkan untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi, meniran hijau (A6 dan A7) membutuhkan kondisi terbuka hingga naungan 25%. Meniran hijau (A7) pada kondisi tanpa naungan menghasilkan kandungan total filantin yang tinggi (0,12% bobot kering) pada kondisi ternaungi 50% menghasilkan kandungan hipofilantin yang tinggi (0.13%). Meniran merah (A13) pada naungan 50% terdeteksi menghasilkan kandungan total filantin tertinggi. Kata kunci : filantin, hipofilantin, naungan, aksesi, biomassa
Abstract The objectives these researches were to identify the effect of intensity of shade on the growth, biomass production and total containt of phyllanthin and hypophyllanthin from some accession Phyllanthus sp. L. The experiment was arranged in split plot design with three replications. The main plot was intensities of shade (N) throughout 0% (N0), 25% shading (N1) and 50% shading (N2). The sub plot was accessions of Phyllanthus (A) that consist of A1, A2, A3, A4, A5, A6, green meniran (Phyllanthus niruri L.) from Bangkalan and A7, A8, A9, A10, A11, A12 green meniran from Gresik. A13 was red meniran (Phyllanthus urinaria L.) from Bangkalan. The result of this research indicated that high level on growth and biomass production can achieve, green meniran (A6 and A7) need to open condition until 25% shading. Green meniran (Phyllanthus niruri L.) without shading identified the high total phyllantin content (0,12% dry weight) with 50% shading reached the high total hypophyllantin content (0,13% dry weight). The highest total phyllantin came from red meniran (Phyllanthus urinaria L.) were considerably shading (50%). Key words : phyllanthin, hypophyllanthin, shading, accession, biomass
66
Pendahuluan Cahaya merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena selain berperan dominan pada proses fotosintesis, juga sebagai pengendali, pemicu, dan modulator respon morfogenesis khususnya pada tahap awal pertumbuhan tanaman (Mc Nellis dan Deng 1995). Spektrum cahaya yaang dibutuhkan tanaman berkisar antara 400–700 nm, yang biasanya disebut photosynthetically active radiation (PAR). Chozin et al. (2000), Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa daun yang ternaungi memiliki total klorofil tiap pusat reaksi yang lebih banyak, memiliki rasio klorofil b/a yang lebih besar dan daunnya lebih tipis. Sel palisade lebih pendek dan konsentrasi rubisco lebih sedikit. Daun yang ternaungi mempunyai laju fotosintsis yang lebih rendah daripada daun yang tidak ternaungi. Titik kejenuhan akan cahaya pada sun plant 10-20 μmol m-2s-1 dan shade plant sekitar 1-5 μmol m-2s-1. Nilai kejenuhan cahaya tanaman shade plant lebih rendah karena laju respirasinya sangat rendah sehingga dengan sedikit saja fotosintesis netto dihasilkan sudah cukup membuat laju pertukaran netto CO2 menjadi nol. Laju respirasi yang rendah menunjukkan bentuk adaptasi tanaman bertahan terhadap lingkungan dengan cahaya yang terbatas. Stimulasi produksi bioaktif pada tanaman dapat dilakukan melalui manipulasi faktor lingkungan seperti cahaya, air dan pemupukan. Khan et al. (2010) mendapatkan pengaruh faktor lingkungan dan faktor genetik terhadap peningkatan kandungan filantin pada P. amarus (P. niruri). Gould dan Lister (2006) mendapatkan terjadinya peningkatan kandungan flavonoid pada tanaman yang mengalami cekaman cahaya. Hasil penelitian Nirwan et al. (2007) pada tanaman daun dewa menunjukkan terjadinya perubahan mekanisme adaptasi tanaman daun dewa antara yang tumbuh pada cahaya 100% dan dalam naungan dengan periode pencahayaan yang berbeda-beda. Jumlah stomata, jumlah trikoma dan tebal daun cenderung lebih rendah pada naungan yang semakin tiinggi dibandingkan dengan cahaya penuh. Kandungan enzim superoxide dismutase (SOD) mengalami peningkatan dengan srmakin meningkatnya persentase naungan, sedangkan rasio klorofil a/b semakin rendah dan kloroplas mengalami pembengkakan (dilatasi).
67
Struktur kloroplas antara 50-25% naungan memiliki bentuk yang proporsional. Naungan dan periode pencahayaan yang optimum yang menghasilkan antosianin, total flavonoid kasar (17.371%) dan kadar kuersetin tertinggi adalah naungan 50% dibandingkan dengan periode pencahayaan 25 dan 100%. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh naungan terhadap pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan total filantin dan hipofilantin beberapa aksesi meniran.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sawah Baru Dramaga Kabupaten Bogor Jawa Barat pada bulan April 2009 sampai dengan September 2009. Analisis antosianin dan klorofil di Laboratorium Molekuler dan Kloning Departemen AGH IPB. Analisis anatomi daun di Laboratorium Teknik mikro Departemen AGH IPB. Analisis kandungan bioaktif filantin dan hipofilantin di Laboratorium Terpadu Pusat Studi Biofarmaka IPB berakhir pada Desember 2010.
Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan 13 aksesi meniran yang berasal dari Jawa timur terdiri dari enam aksesi meniran hijau (A1, A2, A3, A4, A5, A6) asal Kabupaten Bangkalan, enam aksesi meniran hijau (A7,A8,A9,A10,A11,A12) asal Kabupaten Gresik dan satu aksesi meniran merah (A13) asal Kabupaten Bangkalan. Paranet 25%, dan 50%, 400 kg ha-1 Urea (46% N), 150 kg ha-1 SP-36 (36% P205) dan 200 kg ha-1 KCl (60% K20) serta pupuk kandang (pupuk organik) 20 ton per hektar, insektisida hayati, bambu dan bahan pembantu untuk penanaman.
Bahan kimia yang digunakan antara lain untuk analisis kadar
antosianin, klorofil, dan analisis kandungan bioaktif filantin dan hipofilantin. Peralatan yang digunakan terdiri atas peralatan tanam, satu set peralatan pengamatan anatomi daun, analisis antosianin, klorofil dan analisis bahan bioaktif filantin dan hipofilantin.
68
Metodologi Penelitian Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Petak Terpisah (split plot design) dengan 3 ulangan. Petak utama adalah persentase naungan (N) yang terdiri dari tanpa naungan (No), naungan 25% (N1), dan naungan 50% (N2). Sebagai anak petak adalah aksesi meniran (A) yang berasal dari Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Gresik yang terdiri dari A1, A2, A3, A4, A5, A6, A7, A8, A9, A10, A11, A12, A13. Secara keseluruhan terdapat 39 kombinasi perlakuan dan diulang 3 kali sehingga terdapat 117 kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan terdapat 10 polibag tanaman sehingga terdapat 1170 satuan percobaan. Model linier yang digunakan adalah : Yijk
= µ + Ki +Nj +δij +Kk +(NK)jk + Єijk
Dengan : Yijk = nilai pengamatan akibat pengaruh kelompok ke-I, naungan ke-j dan aksesi ke-k µ
= nilai rata-rata umum
Ki
= nilai pengamatan akibat pengaruh kelompok ke-i
Nj
= nilai pengamatan akibat pengaruh naungan ke-j
δij
= galat akibat pengaruh kelompok ke-I dan naungan ke-j
Kk
= nilai pengamatan akibat pengaruh aksesi ke-k
(NK)jk = nilai interaksi antara faktor naungan ke-j dengan aksesi ke-k Єijk
= galat akibat pengaruh kelompok ke-I, naungan ke-j dan aksesi ke-k Data pengamatan diuji keragamannya. Analisis sidik ragam menggunakan
software SAS versi 9.1, jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Steel dan Torrie 1993; Mattjik dan Sumertajaya 2002). Penataan tempat percobaan Naungan dibuat dengan sistem para-para dengan ukuran 5 m x 4 m dengan tinggi 2 meter dan disusun sesuai dengan pengacakan perlakuan. Polibag diisi media tanah dan pupuk kandang sehingga bobot akhirnya menjadi 5 kg.
69
Kemudian disusun pada lokasi penelitian dan dibiarkan selama satu minggu. Pengukuran jumlah cahaya yang masuk ke dalam naungan menggunakan lux meter. Penanaman Biji meniran yang didapat dari eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Gresik dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai. Media semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan 1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang ternaungi. Setelah tumbuh kecambah, tutup plastik dibuka. Dilakukan pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke polibag. Bibit yang dipindah telah mempunyai minimal 4 daun majemuk. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari pada awal tanam selama sebulan dengan asumsi tidak ada hujan. Selanjutnya dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Pengendalian hama dan penyakit dengan cara mekanis dan bila perlu menggunakan insektisida hayati. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara penyiangan.
Pengamatan 1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk tanaman, diamati setiap 2 minggu. 2. Jumlah daun majemuk, dihitung bila daun telah membuka sempurna, diamati setiap 2 minggu. 3. Jumlah cabang, dihitung setiap 2 minggu. 4. Diameter batang (mm), diamati pada tanaman yang sudah dipanen dengan cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah batang dengan menggunakan jangka sorong digital. 5. Produksi biomassa basah (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik bobot basah akar, daun dan batang.
70
6. Produksi biomassa kering (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik bagian akar, daun dan batang yang telah dioven pada suhu 105oC selama 24 jam. 7. Analisis High Performance Liquid Chromatography (HPLC) kandungan total filantin (% bobot kering) dan hipofilantin (% bobot kering) berdasarkan Tripathi et al. (2006) yang dimodifikasi. Prosedur analisis : 1 gram sampel kering meniran yang telah dihaluskan diekstraksi dengan metanol (3 x 10 ml masing-masing 10 jam) pada suhu kamar (25 ± 5oC), selanjutnya disaring untuk mendapatkan filtrat yang ditera menjadi 50 ml. Analisis HPLC : menggunakan Shimadzu (Tokyo, Japan) model LC 20AD yang dilengkapi dengan dioda Shimadzu SPD-M20A dilengkapi PAD (Photodiode Array Detector) untuk menentukan kemurnian puncak dan kesamaan uji lignan. Pelarut HPLC disaring dengan nylon membrans filter 0.45 μm x 47 mm. Kolom menggunakan LiChroCART®250-4RP18e(5μm). Panjang gelombang deteksi 220 nm. Volume injeksi untuk standar dan sampel 20 μL. Contoh perhitungan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran disajikan pada Lampiran 9.
71
Hasil dan Pembahasan Perlakuan naungan dan aksesi berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun majemuk dan diameter batang (Tabel 17). Perlakuan naungan secara nyata meningkatkan tinggi tanaman. Makin tinggi persentase naungan makin tinggi pertumbuhan tanaman meniran. Pada keadaan tanpa naungan rata-rata tinggi tanaman adalah 45.96 cm, lebih rendah dan berbeda nyata dengan tinggi tanaman pada naungan 25% sebesar 58.56 cm dan naungan 50% sebesar 62.15 cm. Tabel 17 Pengaruh naungan terhadap tinggi tanaman,jumlah daun majemuk dan diameter batang 13 aksesi meniran umur 10 minggu setelah tanam Peubah pengamatan Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun Diameter (cm) majemuk batang (mm) Aksesi Meniran hijau A1 55.11 b 240.89 b 3.59 abc A2 56.11 b 235.56 b 3.63 abc A3 55.62 b 239.67 b 3.47 bc A4 55.22 b 248.00 b 3.31 c A5 55.55 b 241.33 b 3.49 bc A6 63.56 a 317.00 a 3.87 ab A7 62.78 a 342.67 a 3.91 a A8 57.55 b 243.89 b 3.47 bc A9 54.11 b 247.67 b 3.55 abc A10 55.33 b 228.56 b 3.39 c A11 57.00 b 258.89 b 3.32 c A12 56.14 b 248.67 b 3.42 c Meniran merah A13 37.78 c 165.11 c 3.41 c Naungan 0% 45.96 c 281.21 a 3.99 a 25% 58.56 b 244.69 b 3.41 b 50% 62.15 a 225.92 c 3.17 c Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
yang sama
Sebaliknya, perlakuan naungan secara nyata menurunkan jumlah daun majemuk dan diameter batang. Semakin tinggi persentase tingkat naungan semakin rendah jumlah daun majemuk dan diameter batang. Pada keadaan terbuka menghasilkan daun majemuk sebanyak 281.21 dengan diameter batang 3.99 lebih tinggi dan berbeda nyata dengan jumlah daun majemuk dan diameter batang pada
72
naungan 25% (244.69; 3.41) dan naungan 50% (225.92; 3.17). Salisbury dan Ross (1995) mendapatkan tanaman yang hidup pada kondisi ternaungi akan menunjukkan gejala etiolasi. Perubahan yang lebih tinggi pada tanaman yang ternaungi disebabkan karena morfogenesis tanaman yang lebih cepat karena peningkatan zat pengatur tumbuh tanaman terutama auksin dan giberelin. Devlin dan Witham (1983) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dalam kondisi ternaungi memiliki kandungan auksin dan giberelin yang tinggi dan berpengaruh pada plastisitas dinding sel sehingga morfogenesis pada tanaman mengalami peningkatan. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya interaksi naungan terhadap parameter jumlah cabang 13 aksesi meniran (Tabel 18). Tabel 18 Pengaruh interaksi naungan terhadap jumlah cabang 13 aksesi meniran Aksesi Naungan 0% 25% 50% Meniran hijau A1 65.00 cde 46.00 efghij 36.33 hij A2 79.33 bc 43.33 fghij 34.33 hij A3 82.67 bc 47.33 efghij 30.67 ij A4 56.67 defg 52.67 defgh 32.33 hij A5 69.33 cd 48.33 efghij 36.33 hij A6 93.33 ab 82.00 bc 50.00 defghi A7 106. 67a 79.33 bc 42.67 fghij A8 80.00 bc 57.33 defg 32.67 hij A9 57.33 defg 39.33 ghij 28.00 j A10 50.00 defghi 46.00 efghij 33.00 hij A11 64.00 cde 58.33 defg 34.67 hij A12 60.33 def 58.00 defg 38.33 ghij Meniran merah A13 42.33 fghij 30.67 ij 38.33 ghij Keterangan :
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Berdasarkan hasil uji Duncan terhadap jumlah cabang terdapat 3 kelompok aksesi yang mempunyai respon yang berbeda terhadap naungan. Kelompok 1 terdiri dari A1, A4, A6, A9, A10, A11 dan A12. Jumlah cabang pada aksesi kelompok ini turun secara nyata bila berada pada kondisi ternaungi hingga 50%. Kelompok 2 terdiri dari A2, A3, A5, A7 dan A8 dimana naungan 25% telah dapat menurunkan secara nyata jumlah cabang. Sedangkan kelompok 3 adalah A13. Aksesi nomor 13 mempunyai jumlah cabang yang tidak berbeda
73
nyata antara kondisi tanpa naungan dengan naungan 25% maupun 50%. Hal ini menunjukkan bahwa A13 merupakan aksesi yang memiliki kemampuan dapat beradaptasi pada kondisi cahaya matahari penuh maupun di bawah naungan. Meniran merah (A13) toleran terhadap intensitas cahaya yang berbeda dan dapat digunakan sebagai sumber genetik apabila ingin mengembangkan tanaman meniran dengan gen yang toleran terhadap cahaya. Adanya perbedaan respon meniran terhadap cahaya berhubungan dengan asal usul tanaman yang berbeda habitatnya. Khan et al. (2010) mendapatkan terjadinya perbedaan tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah biji P. amarus dengan adanya perbedaan ketinggian tempat karena faktor lingkungan dan genetik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Tunggal (2004), penggunaan taraf naungan yang semakin meningkat dan jarak tanaman yang lebar dapat menurunkan pertumbuhan dan produksi herba meniran. Pembudidayaan meniran pada kondisi tanpa naungan menghasilkan pertumbuhan dan produksi herba yang tertinggi, sedangkan penggunaan naungan dapat menurunkan hasil. Tabel 19 Pengaruh aksesi terhadap bobot basah daun (BBD), bobot basah batang (BBB), bobot basah akar (BBA) dan bobot basah total (BBT) meniran umur 10 minggu setelah tanam Peubah Pengamatan Aksesi Meniran hijau A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 Meniran merah A13
BBD (g tan-1)
BBB (g tan-1)
BBA (g tan-1)
BBT (g tan-1)
7.20 bc 6.19 c 6.57 bc 8.45 b 6.98 bc 10.89 a 10.75 a 6.59 bc 6.64 bc 5.82 c 6.67 bc 6.10 c
7.68 bc 7.15 bc 6.10 bc 8.35 ab 7.27 bc 10.15 a 8.17 ab 7.46 bc 6.91 bc 5.82 c 7.79 bc 7.01 bc
1.05 bc 0.99 bc 1.12 bc 1.21 bc 1.15 bc 1.14 bc 1.18 bc 1.16 bc 1.03 bc 0.79 c 1.25 ab 1.06 bc
15.93 cd 14.28 cd 13.79 d 18.00 bc 15.40 cd 22.17 a 20.10 ab 15.21 cd 14.58 cd 12.42 d 15.72 cd 14.16 cd
7.33 bc
6.72 bc
1.59 a
15.64 cd
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
74
Tabel 19 menunjukkan perlakuan aksesi mempunyai pengaruh nyata terhadap bobot basah daun, batang, akar dan bobot basah total. Perlakuan naungan menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap bobot basah daun, batang, akar dan total. Sejalan dengan pertumbuhan tanaman, aksesi no. 6 diikuti aksesi no. 7 merupakan aksesi dengan bobot basah daun, bobot basah batang dan bobot basah total tertinggi. Bobot basah akar tertinggi ditunjukkan pada A13 (1.59 gram tanaman-1). Meniran merah (A13) mempunyai keunggulan dalam perakaran. Kondisi di lapangan menunjukkan adanya pertumbuhan akar serabut pada cabang tanaman paling bawah yang berhubungan dengan tanah disamping akar utama yang berkembang sempurna. Hal ini menunjukkan
bahwa meniran merah
kemungkinan toleran terhadap kekeringan dan potensial digunakan sebagai aksesi yang toleran terhadap kekeringan.
Tabel 20 Pengaruh aksesi terhadap bobot kering daun (BKD), bobot kering batang (BKB), bobot kering akar (BKA) dan bobot kering total (BKT) meniran umur 10 minggu setelah tanam Peubah Pengamatan Aksesi -1 BKD (g tan ) BKB (g tan-1) BKA (g tan-1) BKT (g tan-1) Meniran hijau A1 2.98 c 2.92 ab 0.57 bcd 6.48 cd A2 2.88 c 2.63 abcd 0.51 cd 6.01 cd A3 2.97 c 2.31 cd 0.60 bcd 5.89 cd A4 2.91 c 2.31 cd 0.58 bcd 5.79 cd A5 3.04 c 2.45 bcd 0.56 bcd 6.05 cd A6 5.05 a 3.31 a 0.88 a 9.25 a A7 4.18 b 3.05 ab 0.68 bc 7.91 b A8 3.32 c 2.84 abc 0.60 bcd 6.76 bc A9 2.68 c 2.13 de 0.51 cd 5.32 cd A10 2.48 c 2.08 de 0.388 d 4.95 d A11 2.93 c 2.72 abc 0.55 bcd 6.19 cd A12 3.22 c 2.36 cd 0.52 cd 6.09 cd Meniran merah A13 2.80 c 1.73 e 0.75 ab 5.28 cd Keterangan :
Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
yang sama
Aksesi meniran menunjukkan keragaman yang nyata dalam bobot kering daun, batang, akar dan bobot kering total. Perlakuan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering daun, batang, akar dan total (Tabel 20). Aksesi
75
meniran hijau asal Bangkalan (aksesi nomor 6) mempunyai bobot kering daun (5.05 g tanaman-1), bobot kering batang (3.31 g tanaman-1), bobot kering akar (0.88 g tanaman-1) dan bobot kering total (9.25 g tanaman-1) tertinggi diikuti aksesi nomor 7 mempunyai bobot kering daun 4.18 g tanaman-1, bobot kering batang 3.05 g tanaman-1 dan bobot kering total 7.19 g tanaman-1. Aksesi nomor 6 dan nomor 7 menunjukkan pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun majemuk dan jumlah cabang maksimal. Hal ini akan mempengaruhi laju fotosintesis di dalam daun yang akan mempengaruhi jumlah fotosintat yang dihasilkan. Pada aksesi nomor 6 dan nomor 7 didapatkan bobot kering daun, batang, akar dan bobot kering total yang maksimal. Penambahan bobot kering daun, batang, akar dan bobot total maksimal terdapat pada A6 yaitu 5.05 gram tanaman-1, 3.31 gram tanaman-1, 0.88 gram tanaman-1 dan 9.25 gram tanaman-1 (Tabel 20). Hal ini sejalan dengan pertumbuhan vegetatif yang baik pada A6 menyebabkan tanaman dapat menghasilkan bobot kering yang maksimal. Perbedaan diantara aksesi akibat perlakuan naungan menunjukkan hasil kandungan total filantin maupun hipofilantin yang berbeda. Aksesi enam dan aksesi tujuh dipilih untuk dilakukan analisis lebih lanjut karena memperlihatkan respon terhadap parameter pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan aksesi meniran hijau lainnya. Aksesi nomor 13 merupakan meniran merah yang menunjukkan potensi kandungan bioaktif yang tinggi. Data ini tidak dianalisis statistik karena merupakan hasil analisis komposit (analisis dilakukan dengan cara mencampurkan bahan contoh menjadi satu pada perlakuan yang sama dari 3 ulangan). Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 16, kandungan total filantin tertinggi (0.12 % bobot kering) dihasilkan aksesi meniran hijau asal Gresik (A7) tanpa naungan (N0). Kandungan total hipofilantin tertinggi (0.13 % bobot kering) ditunjukkan oleh perlakuan pemberian naungan 50% pada aksesi meniran hijau asal Gresik (A7).
76
Tabel 21
Kandungan total filantin dan hipofilantin dari tiga aksesi meniran pada berbagai tingkat naungan Aksesi A7 (meniran hijau) Filantin (%)
A6 (meniran hijau)
Naungan
0% 25% 50%
0.05 0.08 0.08
0.12 0.11 0.09
A13 (meniran merah)
td td 0.001
Hipofilantin (%) 0% 25% 50%
0.06 0.09 0.08
0.12 0.12 0.13
td td td
Keterangan : td = tidak terdeteksi
0.14
0.12
0.13
0.12 0.11
0.12 persen (%)
0.12
0.1
0.09
0.08 0.06
filantin
0.04
hipofilantin
0.02 0 0
25
50
Tingkat naungan (%)
Gambar 16 Kandungan total filantin dan hipofilantin meniran aksesi tujuh pada beberapa tingkat naungan. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan total filantin maupun hipofilantin meniran pada perlakuan naungan yang berbeda. Perlakuan pemberian naungan 50% meningkatkan kandungan total hipofilantin sedangkan perlakuan tanpa naungan didapatkan kandungan total filantin tertinggi. Hasil penelitian Figuera et al. (2006) menunjukkan adanya produksi biomassa, kandungan lignan (filantin dan hipofilantin) yang berbeda diantara 4 daerah yang
77
diteliti. Produksi biomassa berkisar antara 16.97 hingga 20.75 g tanaman-1 dan kandungan lignan dari 0.65 hingga 1.24 % berat berat-1. Untuk meniran merah asal Bangkalan (A13), kandungan total filantin dapat terdeteksi pada perlakuan naungan 50% sebesar 0.001 %, sedangkan pada perlakuan yang lain tidak terdeteksi. Meniran merah (A13) pada hampir semua perlakuan naungan tidak terdeteksi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Tripathi et al. (2006) yang menggunakan analisis HPLC dan HPTLC terhadap P. amarus, P. fraternus, P. urinaria, P. maderaspatensis, P. virgatus dan P. debilis yang menunjukkan bahwa P. urinaria dan P. debilis tidak terdeteksi. Kandungan total filantin pada naungan 50% menunjukkan bahwa terpacunya pembentukan filantin pada meniran merah (A13) dengan adanya naungan.
Simpulan 1. Meniran hijau membutuhkan kondisi terbuka hingga ternaungi 25% untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi. 2. Meniran hijau membutuhkan kondisi tanpa naungan, merah memerlukan naungan 50% untuk menghasilkan filantin. 3. Meniran hijau membutuhkan naungan kandungan total hipofilantin yang tinggi.
50%
untuk menghasilkan
79
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN TOTAL FILANTIN & HIPOFILANTIN MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA BERBAGAI CARA PEMUPUKAN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh berbagai cara pemupukan terhadap pertumbuhan dan kandungan filantin dan hipofilantin dua jenis meniran (Phyllanthus niruri L. dan Phyllantus urinaria L.) Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB di Babakan Sawah Baru, Bogor, Jawa Barat dengan ketinggian 250 m dpl dari dari bulan Pebruari sampai dengan Mei 2010. Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah Pemupukan (P) yang terdiri dari tanah (P0 = tanpa pupuk), pupuk kandang (P1), pupuk NPK (P2), pupuk kandang + pupuk NPK (P3). Faktor kedua adalah jenis meniran (M) yang terdiri dari M1 = meniran hijau (Phyllantus niruri L.) asal Bangkalan (A6), M2 = Meniran hijau (Phyllantus niruri L.) asal Gresik (A7), dan M3 = meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) asal Bangkalan (A13). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi, aksesi meniran hijau (A6 dan A7) membutuhkan pemberian pupuk berupa kombinasi pemberian pupuk kandang + NPK. Meniran hijau (A7) membutuhkan pemberian pupuk kandang untuk menghasilkan kandungan total filantin tertinggi (0,17 % bobot kering) dan hipofilantin tertinggi (0,26% bobot kering). Meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK menghasilkan antosianin tertinggi (5.00 mg g-1). Kata kunci : meniran hijau, meniran merah, filantin, hipofilantin, antosianin
Abstract The objective of this research was to identify the effects of various ways of fertilizer on growth and phyllantin contents and also hypophyllantin of two species Phyllanthus (Phyllanthus niruri L. and Phyllantus urinaria L.) The research conducted at Lahan Penelitian IPB Babakan Sawah Baru, Bogor, West Java with an altitude of 250 m above sea level from February to May 2010. Experiment based on randomized block design (RGD) factorial which divided in two factors. The first factor is about the fertilization (P) that consist of soil (P0 = without fertilizer), manure (P1), fertilizer NPK (P2), manure + NPK fertilizer (P3). The second factor is the type meniran (M) which consists of M1 = green meniran (Phyllantus niruri L.) from Bangkalan (A6), M2 = green meniran (Phyllantus niruri L.) from Gresik (A7), and M3 = red meniran (Phyllanthus urinaria L.) from Bangkalan (A13). The results said that to increase growth and achieve high biomass production; green meniran (Phyllantus niruri L.) accession (A6 and A7) need a combination of fertilizer manure + NPK. Green meniran (A7) found to contain the highest amounts of phyllanthin (0.17% dry weight) and hypophyllantin (0.26% dry weight) with given of manure. On the other side, red
80
meniran (Phyllanthus urinaria L.) needs manure + NPK to produce the highest contain of anthocyanin (5.00 mg g-1). Key words: green meniran, red meniran, phyllantin, hypophyllantin, anthocyanin
Pendahuluan Produksi pada tanaman obat tidak hanya ditentukan oleh kuantitas produksi, tetapi juga oleh kandungan bioaktif yang terdapat di dalam tanaman. Kandungan bioaktif berhubungan dengan kandungan metabolit sekunder yang dihasilkan dari perubahan metabolit primer dalam metabolit sekunder. Kandungan dan jumlah metabolit primer dan sekunder sebagai komponen produksi dalam tanaman obat dipengaruhi oleh unsur hara yang diserap tanaman. Kecukupan jumlah dan jenis unsur hara dalam bentuk pupuk maupun yang alami dari tanah sangat menentukan dalam pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman yang optimal. Menurut Fageria (2009) Kebutuhan jumlah hara makro yang lebih tinggi berhubungan dengan perannya dalam pembentukan karbohidrat, protein daan lemak. Sedangkan hara mikro berperan paling besar dalam proses enzimatis dalam tanaman. Jumlah metabolit sekunder dalam tanaman obat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah unsur hara (Saharkhiz dan Omidbaigi 2008). Winarto (2003) menyatakaan, pengaruh ini bisa berupa peningkatan dan penurunan dan diduga akan mengakibatkan perubahan efek atau khasiat tanaman obat. Menurut Indriani (2002) aplikasi pupuk kandang ke lahan-lahan pertanian memberikan keuntungan antara lain : memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara bagi tanaman, menambah kandungan humus atau bahan organik dalam tanah, meningkatkan aktivitas jasad renik, meningkatkan kapasitas menahan air, mengurangi erosi dan pencucian dan meningkatkan kapasitas tukar kation dalam tanah. Pemupukan dapat berupa pupuk organik maupun anorganik.
Menurut
Prasad dan Power (1997) pupuk organik meliputi bahan-bahan yang berasal dari tanaman atau hewan dalam berbagai bentuk berbeda dari dekomposisi yang ditambahkan ke tanah untuk memasok hara kepada tanaman dan memperbaiki sifat-sifat fisik tanah. Salah satu pupuk organik yang banyak digunakan adalah
81
pupuk kandang. Pupuk kandang memiliki kelebihan karena mengandung unsur hara yang cukup lengkap dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Aplikasi pupuk kandang 20 ton ha-1 dapat menambah jumlah hara dalam jumlah besar. Pupuk kandang juga mengandung hara mikro sehingga penggunaan secara berkesinambungan dapat mencegah defisiensi hara mikro akibat penggunaan pupuk anorganik dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu lama. Pupuk anorganik memiliki kelebihan dibandingkan pupuk kandang, yaitu jumlah dan kandungan unsur hara yang sudah pasti sehingga jumlah yang diberikan ke dalam tanaman lebih akurat. Disamping itu ketersediaannya di tanah setelah aplikasi juga lebih cepat. Penggunaan pupuk organik sebagai sumber tunggal hara tanaman memiliki beberapa masalah. Kandungan hara yang rendah, beragam dan secara umum tidak seimbang agak menyulitkan dalam memenuhi ketersediaan hara yang tepat dan seimbang. Berdasarkan hal tersebut dan adanya pemikiran akan sistem pertanian berkelanjutan menimbulkan gagasan untuk memadukan penggunaan pupuk organik dan anorganik (Prasad dan Power 1997). Chand et al. (2001) menyatakan aplikasi hara secara terpadu mempunyai pengaruh yang baik untuk pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman. Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui pemupukan. Djauharia et al. (1993) mendapatkan pertumbuhan dan produksi herba meniran meningkat dengan penggunaan 400 kg ha-1 Urea (46% N), 150 kg ha-1 SP-36 (36% P205) dan 200 kg ha-1 KCl (60% K20) serta pupuk kandang (pupuk organik) 20 ton per hektar. Namun belum diketahui peningkatan kandungan bioaktif tanaman karena pemupukan. Secara umum produksi bahan bioaktif merupakan perkalian antara bobot bagian tanaman yang dipanen dengan kandungan bahan bioaktifnya. Pemupukan lengkap NPK pada peppermint (Mentha piperita L.) meningkatkan tinggi dan bobot biomassa sebesar 18-79% sedangkan kadar minyak atsiri meningkat 23-86%. Pemupukan tanaman menthe juga meningkatkan kadar menthol dalam minyak menthe (Jeliazkova et al. 1999). Pupuk kalium dapat meningkatkan kadar pyrethrin yang berkorelasi dengan konsentrasi K dalam jaringan apical pada tanaman pyrethrum (Tanacetum cinerariifolium). Pengaruhnya berlangsung selama 2 musim. Sedangkan pupuk P meningkatkan bioaktif pyrethrum dan berkorelasi dengan peningkatan konsentrasi
82
P dalam tanah, dalam jaringan daun, produksi biomassa dan konsentrasi pyrethrin (Salardini et al. 2006). Pertumbuhan tanaman Datura inoxia meningkat dengan meningkatnya pemberian nitrogen dari 150 mg/l hingga 450 mg/l dan mengalami penurunan dengan kenaikan dosin 600 mg/l. Pemberian N dalam bentuk NH4 atau urea lebih memacu pertumbuhan dibandingkan dalam bentuk NO3. Dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara persentase N dalam organ tanaman dan konsentrasi alkaloid (Ruminska dan El Gamal 1978). Sedangkan pemupukan N pada medicinal pumpkin (Cucurbita pepo convar, pepo var styriaca) meningkatkan jumlah klorofil dan kandungan N daun dibandingkan tanaman yang tidak dipupuk N. Peningkatan klorofil dan N tertinggi pada dosis 225 dan 300 kg N/ha, sedangkan kandungan B-sitosterol tertinggi didapatkan pada dosis 75 kg N/ha (Aroiee dan Omidbaigi 2004). Lillo et al. (2008) melaporkan kandungan flavonoid meningkat sebagai respon kekurangan nitrogen dan posfor pada tanaman. Manipulasi senyawa ini kemungkinan dapat digunakan untuk mengontrol tingkat senyawa yang diinginkan dan memperbaiki kualitas tanaman. Enzim kunci dalam shikimate pathway yang merupakan penghasil prekusor untuk lintasan flavonoid, diatur transkripsinya sebagai umpan balik asam amino aromatik dan mungkin dikontrol redox melalui fotosintesis. Analisis transkripsi pada Arabidopsis menyimpulkan bahwa level transkripsi pada shikimate pathway yang dipengaruhi oleh hara lebih kecil dibandingkan dengan flavonoid pathway. Cyanidin dan turunan flavonol meningkat sebagai respon terhadap kekurangan nitrogen. Kaemferols merupakan flavanol dominan dalam daun Arabidopsis pada kondisi normal, tetapi akumulasi quercetin dapat ditriger oleh kekurangan nitrogen dengan kombinasi faktor-faktor abiotik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan bioaktif antosianin, filantin dan hipofilantin dua jenis meniran.
83
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sawah Baru IPB, Dramaga Kabupaten Bogor Jawa Barat dari bulan Pebruari 2010 sampai dengan Mei 2010. Analisis unsur hara tanah dan pupuk kandang dilakukan di Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah Jurusan Ilmu Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Analisis NPK jaringan tanaman di Laboratorium Pusat Penelitian Tanah Bogor. Analisis antosianin di Laboratorium RGCI AGH IPB, analisis kandungan bioaktif filantin dan hipofilantin di Laboratorium Terpadu Pusat Studi Biofarmaka IPB.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah biji dua jenis meniran yaitu meniran hijau asal Bangkalan, meniran hijau asal Gresik dan meniran merah asal Bangkalan, pupuk NPK terdiri dari 400 kg ha-1 Urea (46% N), 150 kg ha-1 SP-36 (36% P205) dan 200 kg ha-1 KCl (60% K20). Pupuk kandang (kotoran ayam) 20 ton per hektar, dan pestisida hayati. Bahan yang dipakai untuk analisis di laboratorium adalah : satu set bahan untuk analisis unsur hara, analisis antosianin, klorofil dan analisis kandungan total filantin dan hipofilantin. Alat yang dipakai dalam percobaan di lapangan adalah, satu set peralatan untuk penanaman, pengamatan dan satu set alat tulis. Sedangkan alat yang digunakan dalam analisis laboratorium adalah satu set peralatan analisis unsur hara, analisis antosianin, klorofil dan analisis kandungan total filantin dan hipofilantin.
Metodologi Penelitian Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah Pemupukan (P) yang terdiri dari tanah (P0 = tanpa pupuk), pupuk kandang (P1), pupuk NPK (P2), pupuk kandang + pupuk NPK (P3). Faktor kedua adalah jenis meniran (M) yang terdiri dari M1 = meniran hijau asal Bangkalan (A6) M2 = Meniran hijau asal Gresik (A7) dan M3 = meniran merah asal Bangkalan (A13). Terdapat 12 kombinasi
84
perlakuan yang diulang 3 kali sehingga secara keseluruhan terdapat 36 kombinasi perlakuan. Model linier rancangan yang digunakan adalah : Yijk
= μ + άi + βj + (άβ)ij + έijk
Yijk
= nilai pengamatan karena adanya pengaruh pemupukan ke-i atau jenis meniran ke-j pada kelompok ke-k
μ
=
nilai rata-rata hasil pengamatan untuk setiap satuan percobaan
άi
=
nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan pemupukan ke-i
βj
= nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan jenis meniran ke-j
(άβ)ij = nilai pengamatan karena pengaruh interaksi pemupukan ke-i dan jenis meniran ke-j έijk
= pengaruh galat pada perlakuan pemupukan ke-i, jenis meniran ke-j dan kelompok ke-k
i
= 1,2,3,4 untuk perlakuan pemupukan
j
= 1,2,3 untuk perlakuan jenis meniran
k
= pengaruh ulangan/kelompok Data pengamatan diuji keragamannya. Analisis sidik ragam menggunakan
software SAS 9.1, jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Steel dan Torrie 1993; Mattjik dan Sumertajaya 2002). Persiapan Media Tanam Tanah dikeringanginkan dan diayak. Sebagian tanah dipisah, sedangkan sebagian yang lain dicampur dengan dengan pupuk kandang ayam sebanyak 10 ton hektar-1. Pupuk NPK diberikan dalam bentuk 400 kg Urea hektar-1, 150 kg SP36 hektar-1 dan 200 kg KCl hektar-1. Pupuk kandang dan SP-36 diberikan seluruhnya pada waktu tanam sedangkan urea dan KCl diberikan dua kali yaitu pertama pada saat tanaman umur 1 bulan setelah tanam dan kedua pada saat umur tanaman 1.5 bulan setelah tanam. Masing-masing perlakuan dimasukkan ke dalam polibag ukuran (25 x 30) cm. Dilakukan inkubasi selama 7 hari.
85
Biji meniran yang didapat dari eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Gresik dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai. Media semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan 1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang ternaungi. Setelah tumbuh kecambah, tutup plastik dibuka. Dilakukan pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke polibag. Bibit yang dipindah telah mempunyai minimal empat daun majemuk. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari selama satu bulan pada awal penanaman dengan asumsi tidaak ada hujan. Selanjutnya penyiraman dilakukan sesuai dengan keperluan. Pengendalian hama dan penyakit dengan insektisida organik. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara penyiangan.
Pengamatan 1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk tanaman, diamati setiap 2 minggu. 2. Jumlah daun majemuk, dihitung bila daun telah membuka sempurna, diamati setiap 2 minggu. 3. Jumlah cabang, dihitung setiap 2 minggu. 4. Diameter batang (mm), diamati pada tanaman yang sudah dipanen dengan cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah batang dengan menggunakan jangka sorong digital. 5. Produksi biomassa basah (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik bobot basah akar, daun dan batang. 6. Produksi biomassa kering (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara menimbang
dengan timbangan neraca analitik bagian akar, daun dan
batang yang telah dioven pada suhu 105oC selama 24 jam. 7. Analisis kesuburan tanah sebelum percobaan. Disajikan pada Lampiran 6.
86
8. Analisis kandungan N,P dan K pada pupuk kandang kotoran ayam yang digunakan. Disajikan pada Lampiran 7. 9. Analisis jaringan tanaman tanaman untuk penetapan N (metode Kjedahl), penetapan P dan K (metode pengabuan kering). Disajikan pada Lampiran 8. 10. Analisis antosianin daun. Sampel daun adalah daun yang telah terbentuk sempurna dan daun yang terkena matahari secara langsung. Sampel diambil pada akhir penelitian. Analisis menggunakan metode Yosida et al. (1976) yang telah dimodifikasi (Sims dan Gamon 2002). Disajikan pada Lampiran 2. 11. Analisis High Performance Liquid Chromatography (HPLC) kandungan total filantin (% bobot kering) dan hipofilantin (% bobot kering) berdasarkan Tripathi et al. (2006) yang dimodifikasi. Prosedur analisis : 1 gram sampel kering meniran yang telah dihaluskan diekstraksi dengan metanol (3 x 10 ml masing-masing 10 jam) pada suhu kamar (25 ± 5oC), selanjutnya disaring untuk mendapatkan filtrat yang ditera menjadi 50 ml. Analisis HPLC : menggunakan Shimadzu (Tokyo, Japan) model LC 20AD yang dilengkapi dengan dioda Shimadzu SPD-M20A dilengkapi PAD (Photodiode Array Detector) untuk menentukan kemurnian puncak dan kesamaan uji lignan. Kolom menggunakan LiChroCART®250-4RP18e(5μm). Penyaringan menggunakan nylon membrans filter 0.45 μm x 47 mm. Panjang gelombang deteksi 220 nm. Volume injeksi untuk standar dan sampel 20 μL.
Kromatografi hasil analisis HPLC dan contoh
perhitungan disajikan pada Lampiran 9.
87
Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan tanaman Perlakuan pemupukan dan jenis meniran berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang dan diameter batang (Tabel 22). Tanaman meniran yang diberi pupuk menunjukkan peningkatan jumlah cabang dan diameter batang. Pada keadaan tanpa pupuk, rata-rata jumlah cabang sebesar 45.56 dengan diameter batang sebesar 4.07 mm lebih rendah dan berbeda nyata dengan jumlah cabang dan diameter batang pada tanaman yang diberi pupuk kandang sebesar 73.56 dan 5.41 mm, pupuk NPK sebesar 101.78 dan 5.97 mm, dan pupuk kandang + NPK sebesar 129.94 dan 7.49 mm.
Tabel 22
Pengaruh pemupukan terhadap jumlah cabang dan diameter batang dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam Perlakuan Peubah pengamatan Jumlah cabang Diameter batang (mm) Jenis Meniran
Hijau asal Bangkalan (A6)
112.54 a
6.59 a
Hijau asal Gresik (A7)
79.38 b
6.89 a
Merah asal Bangkalan (A13)
71.21 b
3.73 b
Tanpa pupuk
45.56 c
4.07 c
Pupuk kandang
73.56 b
5.41 b
Pupuk NPK
101.78 a
5.97 b
Pupuk kandang + NPK
129.94 a
7.49 a
Pemupukan
Keterangan : angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Pemberian pupuk NPK dan pemberian pupuk kandang + NPK menghasilkan jumlah cabang yang tidak berbeda nyata. Demikian pula dengan pemberian pupuk kandang maupun pemberian pupuk NPK menghasilkan diameter batang tidak berbeda nyata. Pemberian pupuk kandang + NPK menunjukkan penambahan jumlah cabang dan diameter batang yang maksimal. Pada Tabel 22 dapat dilihat, meniran hijau asal Bangkalan mempunyai jumlah cabang maksimal (112.54) dan berbeda nyata dengan meniran hijau asal
88
Gresik (79.38) dan meniran merah asal Bangkalan (71.21). Sedangkan meniran hijau asal Gresik mempunyai diameter batang terbesar (6.89 mm) dan tidak berbeda nyata dengan meniran hijau asal Bangkalan (6.59 mm). Meniran merah asal Bangkalan mempunyai diameter batang terkecil (3.73 mm). Meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik secara umum menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dibandingkan meniran merah. Diduga hal ini berhubungan dengan kemampuan menggunakan unsur hara yang ada secara efektif dan efisien. Meniran hijau menunjukkan kemampuan untuk menggunakan hara nitrogen, fospor dan kalium yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran merah.
Tabel 23 Interaksi pemupukan terhadap tinggi tanaman dua jenis meniran umur 4 minggu setelah tanam Jenis Meniran Pemupukan Hijau asal Hijau asal Merah asal Bangkalan Gresik Bangkalan (A6) (A7) (A13) Tanpa pupuk 13.73 de 13.33 de 6.40 f Pupuk kandang
18.20 cd
21.67 bc
8.53 ef
Pupuk NPK
26.67 ab
25.80 ab
9.27 ef
Pupuk kandang + NPK
31.53 a
30.87 a
11.93 ef
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Hasil analisis statistik menunjukkan pada umur 4 MST terjadi interaksi antara pemupukan dengan jenis meniran terhadap tinggi tanaman. Tabel 23 menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata diantara jenis meniran terhadap perbedaan pupuk yang diberikan. Pada 4 MST tinggi tanaman yang tertinggi (31.53 cm) ditemukan pada meniran hijau asal Bangkalan dengan pemberian pupuk kandang + NPK diikuti meniran hijau asal Gresik dengan pemberian pupuk kandang + NPK (30.87 cm), meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik dengan pemberian pupuk NPK (26.67 cm; 25.80 cm). Pemberian pupuk pada meniran hijau meningkatkan tinggi tanaman. Hal ini berkaitan erat dengan jumlah hara yang meningkat dan serapan hara yang relatif meningkat pula. Meniran merah asal Bangkalan tanpa pemupukan mempunyai tinggi tanaman terendah (6.40 cm).
89
Demikian juga dengan meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik tanpa pemupukan mempunyai tinggi tanaman yang rendah (13.73 cm; 13.33 cm). Terdapat perbedaan pengaruh yang nyata antara pemberian pupuk pada meniran hijau dibandingkan meniran merah. Sebaliknya pada berbagai perlakuan pemupukan, meniran hijau asal Bangkalan menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata dengan meniran hijau asal Gresik. Hasil sidik ragam menunjukkan jenis meniran dan pemupukan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun majemuk. Pada 2 MST terdapat interaksi antara jenis meniran dengan pemupukan terhadap jumlah daun majemuk (Tabel 24). Interaksi antara pemupukan dengan jenis meniran terhadap jumlah daun majemuk menujukkan meniran hijau asal Gresik yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai jumlah daun majemuk terbanyak (21.13) diikuti meniran hijau asal Bangkalan dengan pemberian pupuk yang sama (18.93). Meniran merah asal Bangkalan menunjukkan jumlah daun majemuk lebih sedikit dan terendah pada perlakuan tanpa pemupukan (5.60; 5.73; 7.13; 8.00).
Tabel 24 Interaksi pemupukan terhadap jumlah daun majemuk dua jenis meniran umur 2 minggu setelah tanam Jenis Meniran Pemupukan Hijau asal Hijau asal Merah asal Bangkalan Gresik Bangkalan (A6) (A7) (A13) Tanpa pupuk 10.07 efg 8.00 fgh 5.60 h Pupuk kandang 11.67 def 13.27 cde 5.73 h Pupuk NPK 15.47 bcd 16.07 bc 7.13 gh Pupuk kandang + NPK 18.93 ab 21.13 a 8.00 fgh Keterangan :
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Kandungan NPK pada jaringan tanaman Gambar 16 menunjukkan bahwa pemberian pupuk meningkatan kadar hara N,P dan K pada jaringan tanaman semua jenis meniran. Meniran hijau asal Bangkalan yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara N, P dan K yang lebih tinggi (2.31%; 0.35%; 2.36%), meniran hijau asal Gresik yang diberi
90
pupuk kandang +NPK mempunyai kadar hara N,P dan K pada jaringan tanaman yang lebih tinggi (3.04%; 0.32%; 2.45%). Meniran merah asal Bangkalan yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara N, P dan K lebih tinggi (2.88%; 0.34%; 2.15%) dibandingkan dengan berbagai perlakuan pemupukan lainnya.
Persen (%)
4 3 2 1
Nitrogen
0
Fospor Kalium
Kombinasi Perlakuan
Gambar 17 Kandungan hara N,P dan K pada jaringan tanaman meniran hijau dan meniran merah dengan perlakuan pemupukan (data tidak dianalisis). Meniran hijau asal Gresik dengan pemberian pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara N (3.04%) dan K (2.45%) tertinggi, sedangkan meniran hijau asal Bangkalan yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara fospor tertinggi (0.35%). Meniran merah asal Bangkalan dengan berbagai kombinasi pemupukan menunjukkan kadar hara K terendah .
Bobot Basah Tanaman Hasil sidik ragam menunjukkan pemupukan dan jenis meniran berpengaruh sangat nyata terhadap bobot basah batang, bobot basah akar dan bobot basah total tanaman. Sedangkan jenis meniran pengaruhnya tidak berbeda nyata terhadap bobot basah akar. Ada interaksi antara jenis meniran dengan pemupukan terhadap bobot basah batang.
91
Tabel 25
Interaksi pemupukan terhadap bobot basah batang dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam Jenis Meniran Pemupukan Hijau asal Hijau asal Merah asal Bangkalan Gresik Bangkalan (A6) (A7) (A13) Tanpa pupuk 2.76 e 2.14 e 1.67 e Pupuk kandang
6.36 dc
3.13 e
2.18 e
Pupuk NPK
9.34 abc
7.37 bc
2.73 e
Pupuk kandang + NPK
13.40 a
10.32 ab
3.40 de
Keterangan :
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Meniran hijau asal Bangkalan dengan pemberian pupuk kandang + NPK mempunyai bobot basah batang maksimal (13.40 g tanaman-1) diikuti meniran hijau asal Gresik dengan pemberian pupuk kandang + NPK (10.32 g tanaman-1) dan meniran hijau asal Bangkalan yang diberi pupuk NPK (9.34 g tanaman-1). Secara umum, meniran hijau menunjukkan penambahan bobot basah batang dengan adanya penambahan pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang + NPK. Meniran merah asal Bangkalan tanpa pemupukan mempunyai bobot basah batang (1.67 g tanaman-1) terendah dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemberian pupuk kandang (2.18 g tanaman-1), pupuk NPK (2.73 g tanaman-1) maupun pemberian pupuk kandang + NPK (3.40 g tanaman-1). Sedangkan meniran hijau asal Gresik mempunyai pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap bobot basah batang antara perlakuan tanpa pemupukan dengan perlakuan pemberian pupuk kandang saja. Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai bobot basah batang terendah pada perlakuan tanpa pemupukan (1.67 g tanaman-1). Tanaman membutuhkan unsur hara seiring dengan meningkatnya pertumbuhan. Kekurangan unsur hara esensial akan menghambat proses metabolisme primer dan sekunder yang berlangsung dalam tanaman.
92
Tabel 26
Pengaruh pemupukan terhadap bobot basah akar, daun dan total dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam Peubah pengamatan Perlakuan Bobot basah Bobot basah Bobot basah akar daun total (g tan-1) (g tan-1) (g tan-1) Jenis Meniran
Hijau asal Bangkalan (A6)
5.50
10.76 a
24.22 a
Hijau asal Gresik (A7)
6.46
8.59 b
20.79 a
Merah asal Bangkalan (A13)
5.88
7.62 b
15.99 b
Tanpa pupuk
3.43 c
4.87 c
10.49 d
Pupuk kandang
5.18 b
6.76 c
15.83 c
Pupuk NPK
6.55 b
9.96 b
22.99 b
Pupuk kandang + NPK
8.62 a
14.37 a
32.03 a
Pemupukan
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai bobot basah daun (10.76 g tanaman-1) dan bobot basah total (24.22 g tanaman-1) tertinggi. Bobot basah total meniran hijau asal Bangkalan tidak berbeda nyata dengan bobot basah total (20.79 g tanaman-1) meniran hijau asal Gresik. Sedangkan bobot basah daun (7.62 g tanaman-1) terendah terdapat pada meniran merah asal Bangkalan dan tidak berbeda nyata dengan bobot basah daun (8.59 g tanaman-1) meniran hijau asal Gresik. Perlakuan pemupukan meningkatkan bobot basah akar, bobot basah daun dan bobot basah total tanaman. Bobot basah akar (8.62 g tanaman-1), bobot basah daun (14.37 g tanaman-1) dan bobot basah total (32.03 g tanaman-1) tertinggi didapat pada pemberian pupuk kandang + NPK. Penambahan pupuk akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Unsur hara yang tersedia di dalam pupuk kandang ayam mengandung sejumlah unsur hara makro seperti N, P, K, Mg dan S sedangkan pupuk NPK yang ditambahkan menyediakan unsur hara makro esensial yang langsung tersedia. Semua unsur hara tersebut dibutuhkan tanaman dalam proses metabolisme (Marschner 1995). Nirwan (2007) mendapatkan peningkatan bobot basah tajuk yang dipengaruhi oleh pemupukan pada tanaman daun dewa.
93
Peningkatan bobot basah tajuk tertinggi dihasilkan pada penggunaan pupuk kandang ayam dan penambahan SO4.
Bobot Kering Tanaman Hasil sidik ragam menunjukkan jenis meniran dan pemupukan berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering batang dan bobot kering total tanaman. Sedangkan bobot kering akar dan bobot kering daun pengaruhnya tidak berbeda nyata. Ada interaksi antara jenis meniran dengan pemupukan terhadap bobot kering batang.
Tabel 27 Interaksi pemupukan terhadap bobot kering batang dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam Jenis Meniran Pemupukan Hijau asal Hijau asal Merah asal Bangkalan Gresik Bangkalan (A6) (A7) (A13) Tanpa pupuk 0.87 f 1.05 f 0.70 f Pupuk kandang
4.42 cde
1.78 ef
1.07 f
Pupuk NPK
7.09 abc
5.26 bcd
1.44 ef
Pupuk kandang + NPK
11.19 a
8.17 ab
2.10 def
Keterangan :
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Tabel 27 menunjukkan meniran hijau asal Bangkalan dengan pemberian pupuk kandang + NPK mempunyai bobot kering batang (11.19 g tanaman -1) maksimal diikuti meniran hijau asal Gresik dengan pupuk kandang + NPK (8.17 g tanaman-1) dan meniran hijau asal Bangkalan dengan pupuk NPK (7.09 g tanaman-1). Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai respon yang baik pada parameter bobot kering batang dengan adanya pemupukan baik dengan penggunaan pupuk kandang, pupuk NPK maupun gabungan keduanya. Meniran hijau asal Gresik memberikan respon yang baik terhadap pupuk NPK dan gabungan pupuk kandang + NPK pada bobot kering batang. Sedangkan bobot kering batang terendah (0.70 g tanaman-1) ditunjukkan meniran merah asal Bangkalan pada berbagai perlakuan pemupukan.
94
Tabel 28 Pengaruh pemupukan terhadap bobot kering akar, daun dan total dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam Peubah pengamatan Perlakuan Bobot kering Bobot kering Bobot kering akar daun total (g tan-1) (g tan-1) (g tan-1) Jenis Meniran Hijau asal Bangkalan (A6)
3.47
6.95
16.31 a
Hijau asal Gresik (A7)
4.48
6.04
14.58 a
Merah asal Bangkalan (A13)
3.72
4.57
9.63 b
Tanpa pupuk
1.48 c
2.58 c
4.94 d
Pupuk kandang
3.21 b
4.17 c
9.81 c
Pupuk NPK
4.48 ab
6.59 b
15.67 b
Pupuk kandang + NPK
6.39 a
10.06 a
23.61 a
Pemupukan
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar, bobot kering daun dan bobot total meniran. Perlakuan jenis meniran berpengaruh nyata terhadap bobot kering total dan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar dan bobot kering daun. Pemberian pupuk kandang + NPK mempunyai bobot kering akar (6.39 g tanaman-1), bobot kering daun (10.06 g tanaman-1) dan bobot kering total (23.61 g tanaman-1) maksimal. Bobot kering akar maksimal pada perlakuan pemberian pupuk kandang + NPK tidak berbeda nyata dengan penggunaan pupuk NPK saja. Perlakuan tanpa pemupukan mempunyai bobot kering akar (1.48 g tanaman-1), bobot kering daun (2.58 g tanaman-1) dan bobot total tanaman (4.94 g tanaman-1) terendah dimana bobot kering daun tanpa pemupukan tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemberian pupuk kandang. Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai bobot total tanaman tertinggi (16.31 g tanaman-1) dan tidak berbeda nyata dengan bobot total (14.58 g tanaman1
) meniran hijau asal Gresik. Meniran merah asal Bangkalan mempunyai bobot
kering total (9.63 g tanaman-1) terendah (Tabel 28).
95
Hasil analisis statistik menunjukkan terjadi interaksi jenis meniran dengan pemupukan terhadap kandungan antosianin daun meniran umur 10 minggu setelah tanam. Tabel 29 Interaksi pemupukan terhadap kandungan antosianin daun dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam Jenis Meniran Pemupukan
Tanpa pupuk Pupuk kandang Pupuk NPK Pupuk kandang + NPK Keterangan :
Hijau asal Bangkalan (A6) 2.38 cd
Hijau asal Gresik (A7) 2.07 d
Merah asal Bangkalan (A13) 2.37 cd
3.15 b
3.05 bc
2.71 bcd
2.60 bcd
3.25 b
2.94 bc
3.23 b
2.72 bcd
5.00 a
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Meniran merah asal Bangkalan dengan pemberian pupuk kandang + NPK mempunyai kandungan antosianin daun (5.00 mg g-1) tertinggi. Meniran hijau asal Gresik tanpa pupuk mempunyai kandungan antosianin (2.07 mg g -1) terendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran merah secara genetis mempunyai kandungan antosianin yang tinggi. Disamping itu peningkatan kandungan antosianin juga dipengaruhi oleh penambahan unsur hara melalui pemberian pupuk kandang + pupuk NPK. Berdasarkan hasil analisis kesuburan tanah dan kandungan hara pada pupuk kandang, ditemukan kandungan hara makro esensial yang terdiri dari N, P, dan K. Penambahan unsur hara makro N, P dan K melalui pemupukan semakin memberikan kecukupan hara bagi pertumbuhan tanaman. Unsur hara makro N, P dan K dalam tanaman secara bersama-sama berperan penting dalam pembentukan klorofil daun, pembentukan metabolit sekunder dan proses translokasi dalam tanaman (Marschner 1995, Malkin dan Niyogi 2000). Hornok (1992) menyatakan bahwa produksi senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid dipacu dengan adanya unsur S dalam tanaman. Sulfur dalam berntuk sulfat menstimulasi pembentukan senyawa asetil CoA yang memacu pembentukan senyawa golongan flavonoid.
96
Hasil Penelitian Mualim (2009) Produksi antosianin kolesom dipengaruhi oleh pemupukan. Pemupukan yang memberikan antosianin yang tertinggi dengan media tanah dan pupuk kandang adalah NK (100 kg urea ha-1 dan 100 kg KCl ha1
), dimana kalium merupakan faktor pembatas pada produksi antosianin.
Tabel 30
Kandungan total filantin dan hipofilantin dari tiga aksesi meniran pada berbagai perlakuan pemupukan Jenis meniran
Pemupukan
Hijau asal Bangkalan (A6)
Hijau asal Gresik (A7)
Merah asal Bangkalan (A13)
Filantin (%) Tanpa pupuk
0.060
0.140
0.002
Pupuk kandang
0.080
0.180
0.002
Pupuk NPK
0.050
0.060
0.001
Pupuk kandang +
0.090
0.070
0.001
NPK Hipofilantin (%) Tanpa pupuk
0.130
0.180
0.003
Pupuk kandang
0.100
0.260
0.002
Pupuk NPK
0.060
0.080
0.001
Pupuk kandang +
0.090
0.090
0.002
NPK
97
0.26
0.3
Persen (%)
0.25 0.2 0.15
0.18 0.14
0.17 0.08
0.1
0.06
0.05
0.09 0.07
Filantin Hipofilantin
0 Tanpa pupuk
Pupuk kandang
Pupuk NPK
Pupuk kandang + NPK
Pemupukan
Gambar 18
Kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau asal Kabupaten Gresik pada berbagai perlakuan pemupukan.
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 30 dan Gambar 18, belum terlihat pola penurunan maupun peningkatan kandungan total filantin dan hipofilantin pada berbagai perlakuan pemupukan. Meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik menunjukkan kandungan total filantin dan hipofilantin yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran merah. Pemberian pupuk kandang pada meniran hijau asal Gresik menunjukkan kandungan total filantin yang tertinggi sebesar 0.18 % berat kering dan hipofilantin tertinggi sebesar 0.26 % berat kering.
Simpulan 1. Meniran hijau membutuhkan pemberian pupuk berupa kombinasi pemberian pupuk kandang + NPK untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi 2. Meniran
hijau
membutuhkan
pemberian
pupuk
kandang
untuk
menghasilkan kandungan total filantin dan hipofilantin yang tinggi. 3. Meniran merah membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK untuk menghasilkan kandungan antosianin daun yang tinggi.
98
99
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN ANTOSIANIN DAUN MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri L.) DAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria L.) PADA BERBAGAI KADAR AIR TANAH
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh berbagai kadar air tanah terhadap pertumbuhan dan kandungan antosianin dua jenis meniran (Phyllanthus niruri L. dan Phyllanthus urinaria L.) Penelitian dilakukan di di Rumah Kaca University Farm IPB Cikabayan, Dramaga Bogor terletak pada ketinggian 250 m di atas permukaan laut (dpl). dimulai pada bulan Juni 2010 sampai dengan September 2010. Percobaan disusun berdasarkan percobaan faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah tingkat ketersediaan air tanah (K) terdiri dari 100% air tersedia (K0), 75% air tersedia (K1), 50% air tersedia (K2), 25% air tersedia (K3). Faktor kedua adalah dua jenis meniran (M) terdiri dari M1 = meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) asal Bangkalan (A6), M2 = meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) asal Gresik (A7), dan M3 = meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) asal Bangkalan (A13). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi, meniran merah (A13) membutuhkan kadar air tanah 100% tersedia bagi tanaman. Meniran merah (A13) membutuhkan kadar air tanah 100% tersedia bagi tanaman untuk menghasilkan klorofil a, klorofil b dan total klorofil yang tinggi. Meniran merah (A13) membutuhkan kadar air tanah 50% tersaedia bagi tanaman untuk menghasilkan antosianin yang tinggi. Kata kunci : meniran hijau, meniran merah, antosianin, klorofil, kadar air tanah
Abstract The objective of this research was to study the effects of differences in soil moisture content on growth and contain of anthocyanins of two species Phyllanthus (Phyllanthus niruri L. dan Phyllanthus urinaria L.) The research was observed at the Rumah Kaca University Farm Cikabayan IPB, Bogor Dramaga at an altitude of 250 m above sea level (asl) from June 2010 to September 2010. This work used factorial experiment in randomized block design (RGD), which consists of two factors. The first factor was the availability of ground water level (K) consists of 100% of water available (K0), 75% of water available (K1), 50% of water available (K2), 25% of water available (K3). The second factor is two species of Phyllanthus (M) which consists of M1 = green meniran (Phyllanthus niruri L.) from Bangkalan (A6), M2 = green meniran (Phyllanthus niruri L.) from Gresik (A7), and M3 = red meniran (Phyllanthus urinaria L.) from Bangkalan (A13). The results indicated that to increase growth and high biomass production, red meniran (A13) requires 100% soil moisture available to plants. Thus, red meniran (A13) requires 100% soil moisture avaiable to plants to produce the high
100
level of chlorophyll a, chlorophyll b and total chlorophyll. The high contain of anthocyanins is able to achieve with 50% soil moisture available to plants. Key words: green meniran, red meniran, anthocyanin, chlorophyll, water content
Pendahuluan Air merupakan komponen utama pada tanaman. Air sangat dibutuhkan tanaman karena dapat berperan sebagai zat pelarut, transportasi hara, penjaga turgiditas sel dan sebagai bahan fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2002). Menurut Filter dan Hay (1994) kandungan air pada tanaman dapat mencapai 70-90% dari bobot segar jaringan dan organ tanaman dan sebagian besar dikandung dalam sel. Jumlah air yang dapat diserap dan tersedia bagi tanaman adalah perbedaan antara batas jumlah air tanah di dalam tanah pada kapasitas lapang sampai jumlah air pada persentase kelayuan permanen (Darmawan dan Baharsjah 2010). Kandungan air tanah sangat dipengaruhi oleh luas permukaan partikel tanah (Gardner et al. 2008). Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa selama masa hidupnya tanaman umumnya memerlukan air untuk melakukan transpirasi dari daunnya mencapai 100 kali berat tubuhnya. Hillel (1990) menyebutkan dari seluruh total jumlah air yang diserap hanya sedikit air yang dipergunakan untuk keperluan fotosintesis dan keperluan metabolismenya, selebihnya sekitar 99% air tersebut akan hilang sebagai uap melalui proses transpirasi pada daun dan kanopi tanaman. Dengan demikian jika tanaman memiliki ukuran yang besar maka akan membutuhkan air dalam jumlah yang besar. Kemampuan tanah untuk menyimpan air disebut kapasitas lapang. Kapasitas lapang yaitu kemampuan tanah untuk dapat menahan air setelah dilakukan pemberian air sampai jenuh. Nilai kapasitas lapang sangat beragam tergantung jenis tanah. Tanah liat atau tanah dengan kandungan humus tinggi mampu menahan air sampai 40% dari volume kapasitas lapang setelah beberapa hari. Sangat berbeda dengan tanah berpasir yang hanya dapat menahan 3% air dari volume kapasitas lapang (Taiz dan Zeiger 2002). Ketersediaan air dalam tanah bagi tanaman umumnya pada kapasitas lapang dengan potensial air tanah -0.03 MPa dan layu permanen -1.5MPa. Ketersediaan air tanah yang dapat diserap tanaman adalah pada potensial air -0.03 sampai -0.5 MPa dan pada kondisi tersebut tanaman mengabsorbsi air sekitar 55-65% dari yang tersedia.
Pada
101
kondisi potensial air sekitar -0.5 sampai -1.5 MPa tanaman menunjukkan gejala kelayuan walaupun tanaman dapat mengabsorbsi air. Besarnya air yang dibutuhkan tanaman selalu meningkat bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air juga dipengaruhi oleh faktor genetis dari tiap varietas. Menurut Sinclair dan Ludlow (1986), respon tanaman terhadap kekeringan dibagi dalam tiga level. Kekeringan level pertama ialah : air masih cukup banyak, tanaman dapat mengambil air untuk transpirasi dan stomata terbuka penuh. Kekeringan level kedua, akar tanaman tidak mampu lagi menunjang suplai air yang cukup ke bagian atas tanaman (daun) dan stomata secara bertahap menutup menyesuaikan dengan kehilangan air agar turgor daun dapat dipertahankan. Kekeringan level ketiga, ketika akar tanaman sudah tidak bisa lagi mencukupi air untuk transpirasi, stomata menutup dan semua proses fisiologi yang terlibat dalam pertumbuhan termasuk fotosintesis terhambat. Darmawan dan Baharsjah (2010) menyatakan bahwa tersedianya air tanah secara tidak langsung mempengaruhi kadar air sel daun yang seterusnya mempengaruhi
terbukanya
stomata
sehingga
mempengaruhi
fotosintesis.
Salisbury dan Ross (1995), Cseke et al. (2006) menyebutkan senyawa-senyawa golongan flavonoid dapat mengalami peningkatan karena pengaruh cahaya. Cahaya dalam proses fotosintesis akan menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai prekusor pembentukan asetil CoA yang selanjutnya menghasilkan senyawa flavonoid termasuk antosianin. Pada tanaman, antosianin berfungsi dalam hal resistensi terhadap penyakit. Menurut Jones et al. (1992) mekanisme ketahanan tanaman terhadap kekeringan adalah (1) penghindaran terhadap defisit air yang meliputi : a) melepaskan diri dari cekaman misalnya dengan memperpendek siklus pertumbuhan dan memperpanjang periode dorman, b) konservasi air pada tanaman yang diwujudkan dalam bentuk ukuran daun yang kecil, penutupan stomata, kultivar tanaman yang resisten dan penyerapan radiasi matahari yang terbatas, c) penyerapan air yang efektif, diwujudkan dalam bentuk morfologi akar yang memanjang, dalam dan tebal, (2) toleran terhadap defisit air yaitu dengan cara, a) memelihara tekanan turgor, b) mengaktifkan larutan pelindung untuk
102
aktifitas enzim yang toleran kekeringan dan (c) mekanisme efisiensi melalui pengggunaan air yang tersedia secara efisien dan memaksimalkan indeks panen. Untuk mengatasi terjadinya cekaman oksidatif karena kekeringan, tanaman memiliki mekanisme untuk meningkatkan ketahanannya, diantaranya dengan meningkatkan pembentukan dan aktivitas enzim antioksidan seperti glutation peroksidase (GPX), Glutation reduktase (GR), Superoxida Dismutase (SOD) dan senyawa antioksidan lainnya yang dapat menyelamatkan tanaman dari ROS (Rhodes dan Samaras 1994). Kerusakan cekaman oksidatif terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara kemampuan enzim antioksidan dan toksifikasi ROS (Rodriguez et al. 2002). Selain enzim antioksidan tanaman juga meningkatkan mekanisme untuk menghadapi kekeringan dengan mengakumulasi senyawa osmoprotektan dan larutan yang sesuai seperti prolin. Akumulasi prolin merupakan upaya tanaman untuk melindungi enzim dari proses denaturasi. Selain itu, prolin juga dapat berinteraksi dengan membrane, mengatur keseimbangan kemasaman sitosol dengan perbandingan NADH/NAD+ berfungsi sebagai sumber energi dan membantu sel untuk menghadapi cekaman oksidatif. Oleh karena itu prolin disebut sebagai osmoprotektan (Konstantinova et al. 2002). Rahardjo et al. (1999)
menyatakan bahwa kandungan asiatikosida
tanaman pegagan di lapang pada kondisi normal (100%) adalah 2.93%. Kandungan asiatikosida meningkat menjadi 3.56% apabila tanaman mengalami cekaman air (50%).
Penelitian terhadap tiga kultivar Eragrostis curvula
menunjukkan terjadinya penurunan mencapai 50% berat kering tanaman setelah mengalami cekaman kekeringan (Colom dan Vazzana 2000). Pada tanaman meniran, belum diketahui berapa besar kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman.
Demikian juga dengan informasi hubungan antara
kebutuhan air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhadap pembentukan senyawa bioaktifnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar air tanah tersedia terhadap pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan antosianin meniran.
103
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca University Farm IPB Cikabayan, Dramaga Bogor terletak pada ketinggian 250 m di atas permukaan laut (dpl). dimulai pada bulan Juni 2010 sampai dengan September 2010. Analisis kandungan antosianin dan kadar klorofil daun pada waktu panen dilaksanakan di Laboratorium Molekuler dan kloning AGH IPB. Pengamatan stomata dan trikoma pada minggu terakhir pengamatan di Laboratorium Mikro Teknik AGH IPB. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan antara lain adalah bahan tanam berupa biji meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik dan meniran merah asal Bangkalan, tanah, pupuk kandang kotoran ayam pupuk NPK, polibag ukuran 25 x 30 cm, air, dan bahan untuk analisis klorofil dan antosianin. Alat yang digunakan antara lain alat untuk penanaman, alat untuk pengamatan, alat analisis penentuan kadar air, alat analisis klorofil dan antosianin, alat tulis dan oven.
Metodologi Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan percobaan faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah tingkat ketersediaan air tanah (K) terdiri dari 100% air tersedia (K0), 75% air tersedia (K1), 50% air tersedia (K2), 25% air tersedia (K3). Faktor kedua adalah dua jenis meniran (M)
yang terdiri dari M1 = meniran hijau asal
Bangkalan (A6) M2 = Meniran hijau asal Gresik (A7) dan M3 = meniran merah (A13). Dengan demikian terdapat 12 kombinasi perlakuan dengan tiga kali ulangan sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Model linier rancangan yang digunakan adalah : Yijk
= μ + άi + βj + (άβ)ij + έijk
Yijk = nilai pengamatan karena adanya pengaruh tingkat ketersediaan air tanah ke-i atau jenis meniran ke-j pada kelompok ke-k μ
= nilai rata-rata hasil pengamatan untuk setiap satuan percobaan
104
άi
= nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan tingkat ketersediaan air tanah ke-i
βj
= nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan jenis meniran ke-j
(άβ)ij = nilai pengamatan karena pengaruh interaksi tingkat ketersediaan air tanah ke-i dan jenis meniran ke-j έijk = pengaruh galat pada perlakuan tingkat ketersediaan air tanah ke-i, jenis meniran ke-j dan kelompok ke-k i
= 1,2,3,4 untuk perlakuan tingkat ketersediaan air tanah
j
= 1,2,3 untuk perlakuan jenis meniran
k
= pengaruh ulangan/kelompok Data pengamatan diuji keragamannya. Analisis sidik ragam menggunakan
software SAS versi 9.1, jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Steel dan Torrie 1993; Mattjik dan Sumertajaya 2002). Pelaksanaan Penelitian Penentuan pemberian air untuk setiap perlakuan dilakukan berdasarkan air tersedia. Air tersedia dalam tanah ditentukan dengan mencari selisih antara kadar air kapasitas lapang dan titik layu permanen. Penetapan kadar air kapasitas lapang menggunakan alat ‘pressure plate apparatus’ dan penetapan kadar air titik layu permanen menggunakan alat ‘pressure membrane apparatus’. Penetapan kadar air kapasitas lapang menggunakan contoh tanah utuh sedangkan untuk titik layu permanen digunakan contoh tanah kering udara berdiameter ≤ 2 mm. Contoh tanah utuh diambil dengan menggunakan tabung tembaga (copper ring) pada kedalaman 0 – 20 cm. Selanjutnya contoh tanah tersebut dijenuhi dengan air sampai berlebihan dan dibiarkan selama 48 jam. Alat ditutup rapat, kemudian diberi tekanan sesuai dengan pF yang dikehendaki. Jika telah tercapai keseimbangan contoh tanah dikeluarkan dan ditetapkan kadar airnya dengan metode gravimetri.
105
Untuk menentukan kadar air tanah kering udara dilakukan dengan cara menimbang contoh tanah kering udara (BKU). Kemudian contoh tanah tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 24 jam (BK). Selanjutnya kadar air tanah pada keadaan kering udara dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut : BKU - BK KA
=
x 100% BK
Dimana :
KA
= Kadar air tanah kering udara
BKU = Bobot tanah kering udara BK
= Bobot tanah kering mutlak (oven)
Untuk menentukan tingkat kadar air tersedia dari masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut : 1. 100% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah = (100/100 x % kadar air tersedia) + % kadar air titik layu permanen 2. 75% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah = (75/100 x % kadar air tersedia) + % kadar air titik layu permanen. 3. 50% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah = (50/100 x % kadar air tersedia) + % kadar air titik layu permanen. 4. 25% air tersedia, kadar air tanahnya adalah = (25/100 x % kadar air tersedia) + % kadar air titik layu permanen. Penyesuaian kadar air tanah untuk masing-masing perlakuan dilakukan setiap hari dengan menimbang bobot tanah dan tanaman yang ada dalam polibag. Koreksi terhadap pertambahan bobot tanaman dilakukan dengan mencabut tanaman dan menimbang bobot tanaman sesuai kombinasi perlakuan setiap 2 minggu dengan menggunakan contoh tidak tetap yang disediakan khusus untuk koreksi bobot basah tanaman. Penanaman Biji meniran yang didapat dari eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Gresik dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai. Media semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan
106
1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang ternaungi. Setelah tumbuh kecambah, tutup plastik dibuka. Dilakukan pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke polibag. Bibit yang dipindah telah mempunyai minimal empat daun majemuk. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi sesuai dengan perlakuan. Pengendalian hama dan penyakit dengan insektisida organik. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara penyiangan.
Pengamatan 1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk tanaman, diamati setiap 2 minggu. 2. Jumlah daun majemuk, dihitung bila daun telah membuka sempurna, diamati setiap 2 minggu. 1. Jumlah cabang, dihitung setiap 2 minggu. 2. Diameter batang (mm), diamati pada tanaman yang sudah dipanen dengan cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah batang dengan menggunakan jangka sorong digital. 3. Produksi biomassa basah (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik bobot basah akar, daun dan batang. 4. Produksi biomassa kering (g), diamati pada akhir percobaan dengan cara menimbang
dengan timbangan neraca analitik bagian akar, daun dan
batang yang telah dioven pada suhu 105oC selama 24 jam. 5. Analisis klorofil dan antosianin daun. Analisis klorofil dilakukan untuk mendapatkan kandungan klorofil a, klorofil b dan total klorofil tanaman. Semua analisis dilakukan pada akhir penelitian. Menggunakan metode Yosida et al. (1976) yang telah dimodifikasi (Sims dan Gamon 2002). Cara kerja disajikan pada Lampiran 2.
107
Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan tanaman Perlakuan kadar air tanah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang dua jenis meniran. Perlakuan kadar air tanah tersedia berpengaruh nyata terhadap diameter batang. Sedangkan jenis meniran pengaruhnya tidak berbeda nyata.
Tabel 31 Pengaruh kadar air tanah tersedia terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang dan diameter batang dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam Peubah pengamatan Perlakuan Tinggi Jumlah Jumlah Diameter tanaman daun cabang batang (cm) (mm) Jenis Meniran Hijau asal Bangkalan (A6)
72.58 a
267.53 b
38.00 b
3.99
Hijau asal Gresik (A7)
72.08 a
216.23 b
34.58 b
4.06
Merah asal Bangkalan (A13)
36.33 b
301.32 a
58.08 a
4.01
100%
67.56 a
342.78 a
53.56 a
4.54 a
75%
63.78 a
314.20 a
53.67 a
4.02 ab
50%
59.00 ab
269.78 ab
37.24 b
3.96 b
25%
53.67 b
200.02 b
29.56 b
3.56 b
Kadar air tanah
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai tinggi tanaman (72.58 cm) maksimal diikuti oleh meniran hijau asal Gresik (72.08 cm). Meniran merah asal Bangkalan mempunyai tinggi tanaman (36.33 cm) terendah. Namun pertambahan tinggi tanaman pada meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik tidak diikuti dengan penambahan jumlah daun dan jumlah cabang. Meniran merah asal Bangkalan mempunyai jumlah daun (301.32) dan jumlah cabang (58.08) maksimal. Demikian juga dengan penambahan diameter batang terdapat kecendrungan meniran merah mempunyai diameter batang lebih besar dibandingkan dengan kedua meniran hijau lainnya.
108
Adanya perbedaan pertumbuhan antara meniran hijau dan meniran merah diduga erat kaitannya dengan faktor genetik yang mengontrol ketahanan tanaman terhadap kadar air tanah yang berbeda. Adanya perbedaan toleransi antar tanaman terhadap kadar air yang berbeda juga dilaporkan Winarbawa (2000) pada dua tipe kapolaga Sabrang. Sukarman et al. (2000) mendapatkan pada kondisi cekaman air yang sama, tapak dara bunga merah lebih baik pertumbuhannya dibandingkan tapak dara bunga putih. Perlakuan kadar air tanah tersedia secara nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang dan diameter batang. Kadar air tanah tersedia 100% mempunyai tinggi tanaman (67.56 cm), jumlah daun (342.78), jumlah cabang (53.56) dan diameter batang (4.54 mm) maksmial, diikuti oleh kadar air tanah 75% (63.78 cm; 314.20; 53.67; 4.02 mm) dan kadar air tanah tersedia 50% (59.00 cm; 269.78; 37.24; 3.96 mm) yang tidak berbeda nyata. Pada kadar air 25% didapatkan tanaman dengan tinggi tanaman (53.67 cm), jumlah daun (200.02), jumlah cabang (29.56) dan diameter batang (3.56 mm) terendah, diikuti kadar air tanah 50% dengan tinggi tanaman 59.00 cm, jumlah daun, 267.78, jumlah cabang
37.24, dan diameter batang 3.96 mm. Hal ini erat
kaitannya dengan menurunnya aktivitas fotosintesis dan translokasi hara di dalam tanaman (Levit 1980).
Bobot Basah dan Bobot kering tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan jenis meniran berpengaruh nyata terhadap bobot basah batang dan bobot basah total. Sedangkan bobot basah akar dan bobot basah daun tidak berpengaruh nyata. Perlakuan kadar air tanah tersedia berpengaruh nyata terhadap bobot basah akar, bobot basah batang, bobot basah daun dan bobot basah tanaman. Tabel 32 menunjukkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai bobot basah batang (10.41 g tanaman-1) tertinggi. Meniran hijau asal Bangkalan mempunyai bobot basah batang (7.49 g tanaman-1) terendah diikuti meniran hijau asal Gresik mempunyai bobot basah batang (7.66 g tanaman-1) yang tidak berbeda nyata. Bobot basah total (29.91 g tanaman-1) tertinggi pada meniran merah asal Bangkalan diikuti bobot basah total
(26.10 g tanaman-1) meniran hijau asal
109
Bangkalan. Hasil ini diduga berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk bertahan terhadap cekaman yang muncul dalam pertumbuhannya sehingga dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan batang dengan diameter batang, jumlah daun dan cabang yang tinggi. Keadaan ini menyebabkan tanaman meniran merah dapat menghasilkan bobot batang dan bobot basah total yang maksimal. Terlihat kecenderungan meniran merah mempunyai bobot basah akar dan bobot basah daun yang tinggi. Kemampuan tanaman meniran merah terhadap cekaman berhubungan dengan adanya trikoma dan antosianin pada daun meniran. Keadaan ini menyebabkan tanaman dapat bertahan terhadap cekaman yang terjadi dan tetap melanjutkan proses pertumbuhan dan pembentukan biomassanya. Tabel 32 Pengaruh kadar air tanah terhadap bobot basah akar, batang, daun dan total dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam Peubah pengamatan Perlakuan Bobot Bobot Bobot basah Bobot basah akar basah daun (g tan-1) basah total (g tan-1) batang (g tan-1) -1 (g tan ) Jenis Meniran Hijau asal Bangkalan (A6)
2.94
7.49 b
15.66
26.10 ab
Hijau asal Gresik (A7)
2.47
7.66 b
14.19
24.32 b
Merah asal Bangkalan (A13)
3.26
10.41 a
16.24
29.91 a
100%
3.79 a
11.21 a
20.83 a
35.84 a
75%
2.89 ab
8.99 a
16.88 ab
28.76 b
50%
2.88 ab
8.09 ab
13.93 bc
24.89 b
25%
2.01 b
5.78 b
9.81 c
17.60 c
Kadar air tanah
Keterangan :
Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Pemberian air pada tanaman meniran, pada kadar air 100% tersedia menunjukkan bobot basah akar (3.79 g tanaman-1), bobot basah batang (11.21 g tanaman-1), bobot basah daun (20.83 g tanaman-1) dan bobot basah total (35.84 g tanaman-1) maksimal.
Terjadi penurunan yang nyata pada bobot basah total
(17.60 g tanaman-1) pada kadar air 25%. Penurunan ini diduga erat kaitannya dengan menurunnya translokasi hara dan aktivitas fotosintesis pada tanaman.
110
Tabel 33
Pengaruh kadar air tanah tersedia terhadap bobot kering akar, berat kering batang, berat kering daun dan berat kering total dua jenis meniran umur 10 minggu setelah tanam Peubah pengamatan Bobot Bobot Bobot Bobot Perlakuan kering kering kering kering akar batang daun total (g tan-1) (g tan-1) (g tan-1) (g tan-1) Jenis Meniran Hijau asal Bangkalan (A6) 1.70 2.36 5.61 ab 9.67 ab Hijau asal Gresik (A7) 1.37 2.59 4.46 b 8.42 b Merah asal Bangkalan (A13) 1.55 2.39 6.27 a 10.20 a Kadar air tanah 100% 3.79 a 3.18 a 6.39 a 11.78 a 75% 2.89 ab 2.50 a 5.91 a 10.03 b 50% 2.88 ab 2.37 ab 5.35 ab 9.09 b 25% 2.01 b 1.73 b 4.14 b 6.82 c
Keterangan : Angka rata-rata pada satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
Tabel 33 menunjukkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai bobot kering daun (6.27 g tanaman-1) dan bobot kering total (10.20 g tanaman-1) tertinggi diikuti meniran hijau asal Bangkalan dengan bobot kering daun sebesar 5.61 g tanaman-1 dan bobot kering total sebesar 9.67 g tanaman-1. Meniran hijau asal Gresik mempunyai bobot kering daun (4.46 g tanaman-1) dan bobot kering total (8.42 g tanaman-1) terendah dan tidak berbeda nyata dengan meniran hijau asal Bangkalan. Kemampuan meniran merah untuk
tumbuh dengan baik
menyebabkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai bobot kering daun dan bobot kering total yang tinggi. Tanaman meniran dengan kadar air 100% tersedia mempunyai bobot kering akar (3.79 g tanaman-1), bobot kering batang (3.18 g tanaman-1), bobot kering daun (6.39 g tanaman-1) dan bobot kering total (11.78 g tanaman-1). Terjadi penurunan nyata pada bobot kering total tanaman (6.82 g tanaman-1) pada kadar air 25%. Tanaman dengaan kadar air 50% sampai dengan 75% mempunyai bobot kering total yang tidak berbeda nyata. Hasil penelitian Winarbawa (2000) menunjukkan perbedaan kadar air tanah berpengaruh terhadap jumlah daun, panjang dan lebar daun dan diduga juga mempengaruhi laju fotosintesis di dalam daun yang akan mempengaruhi juga
111
terhadap bobot kering batang, rimpang dan daun kapolaga sabrang. Penelitian Rahardjo et al. 1999) menunjukkan bahwa pemberian cekaman air dapat menurunkan akumulasi biomassa (bobot kering daun,tangkai daun dan batang) dan peningkatan cekaman air sebesar 1% kapasitas lapang dapat menurunkan bobot biomassa sebesar 191 mg.
Klorofil dan Antosianin Daun Hasil analisis ragam menunjukkan adanya interaksi jenis meniran dan kadar air terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, total klorofil dan antosianin tanaman meniran.
Tabel 34
Interaksi kadar air tanah terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, total klorofil dan antosianin daun dua jenis meniran umur 10 MST Jenis Meniran Kadar air tanah Hijau asal Hijau asal Gresik Merah asal Bangkalan (A7) Bangkalan (A6) (A13) -1 Klorofil a (mg g ) 100% 2.15 cde 2.59 cd 6.98 a 75% 1.63 de 1.43 e 4.32 b 50% 2.86 c 1.25 e 5.37 b 25% 3.22 c 1.61 de 4.63 b -1 Klorofil b (mg g ) 100% 0.93 efg 1.08 efg 2.79 a 75% 0.70 g 0.73 fg 1.68 cd 50% 1.21 ef 0.64 g 2.17 b 25% 1.33 de 0.76 fg 1.87 bc -1 Total klorofil (mg g ) 100% 3.08 efg 3.66 ef 9.77 a 75% 2.34 fg 2.16 fg 5.99 cd 50% 4.06 e 1.99 g 7.54 b 25% 4.55 de 2.37 fg 6.49 bc Antosianin (mg g-1) 100% 0.99 a 0.25 c 0.56 bc 75% 0.29 c 0.91 ab 0.29 c 50% 0.27 c 0.55 bc 1.02 a 25% 0.43 c 0.30 c 0.91 ab
Keterangan :
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada ά : 0.05.
112
Meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan kadar air tanah tersedia 100% mempunyai kandungan klorofil a (6.98 mg g-1), kandungan klorofil b (2.79 mg g-1) dan total klorofil (9.77 mg g-1) terbesar. Kandungan antosianin terbesar (1.02 mg g-1) ditemukan pada meniran merah asal Bangkalan dengan kadar air tanah tersedia 50%, diikuti meniran hijau asal Bangkalan (0.99 mg g-1) dengan kadar air tanah 100% (0.99 mg g-1) dan meniran hijau asal Gresik dengan kadar air tanah tersedia 75% . Keberadaan air dalam tanah yang berada dalam keadaan tersedia untuk tanaman akan mempermudah tanaman dapat menyerap air. Selanjutnya tersedianya air tanah secara tidak langsung akan mempengaruhi kadar air dalam sel daun. Hal ini akan mempengaruhi proses membukanya stomata sehingga mempengaruhi proses fotosintesis (Darmawan dan Baharsjah 2010). Pada tanaman, dalam kloroplas terdapat dua macam klorofil (klorofil a dan klorofil b) yang merupakan pigmen penyerap energi yang utama. Energi cahaya digunakan untuk mengoksidasi H20 membentuk ATP dan NADPH yang kaya energi yang diperlukan untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat. Prekusor utama dalam pembentukan klorofil adalah glutamat yang merupakan senyawa organik intermediet (Gambar 3). Pada pembentukan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman, intensitas cahaya juga berperan penting. Awad et al. (2001) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berbeda dapat menghasilkan kandungan golongan flavonoid yang berbeda pada kulit buah apel kultivar Jonagold. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan peningkatan antosianin karena pengaruh cahaya.
Simpulan 1. Meniran merah membutuhkan kadar air tanah 100% tersedia bagi tanaman untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi. 2. Meniran merah membutuhkan kadar air tanah 100% tersedia bagi tanaman untuk menghasilkan klorofil a, klorofil b dan total klorofil yang tinggi. 3. Meniran merah membutuhkan kadar air tanah 50% tersedia bagi tanaman untuk menghasilkan kandungan antosianin daun yang tinggi.
113
PEMBAHASAN UMUM Meniran (Phyllanthus sp. L.) tergolong dalam divisi Spermatophyta, subdivisi
Angiospermae,
kelas
Dicotyledonae,
ordo
Geraniles,
famili
Euphorbiaceae, genus Phyllanthus (Webster 1986; de Padua et al. 1999). Penyebarannya di seluruh Asia termasuk Indonesia (Heyne 1987; Soerjani et al. 1987), Malaysia, India, Peru, Afrika, Amerika dan Australia (Taylor 2003). Pusat Studi Biofarmaka (2008) telah melakukan pemetaan tanaman obat di Indonesia termasuk meniran yang mencakup 10 daerah studi yaitu Kabupaten Bagor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung (Propinsi Jawa Barat), Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Semarang (Propinsi Jawa Tengah), Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo (Jawa Timur), Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur). Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa secara agronomis tanaman meniran belum dibudidayakan secara intensif, kadar bahan aktif dominan pada kelompok rendah dan sedang dengan lokasi yang bervariasi. Eksplorasi meniran di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa Timur mendapatkan 13 aksesi meniran yang terdiri dari enam aksesi meniran hijau (A1, A2, A3, A4, A5, A6), satu aksesi meniran merah (A13) asal Bangkalan dan enam meniran hijau (A7, A8, A9, A10, A11, A12) asal Gresik. Hasil survei terhadap pendapat masyarakat menunjukkan bahwa tanaman meniran sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat mengambil seluruh bagian tanaman untuk mengobati beberapa penyakit seperti untuk penyakit susah buang air kecil, panas karena demam, sakit gigi dan digunakan dalam perawatan persalinan. Pengetahuan tentang manfaat tanaman didapat secara turun temurun dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat mendukung untuk menjadikan tanaman meniran menjadi tanaman obat yang dapat dibudidayakan di masyarakat mengingat keberadaannya akan punah apabila dilakukan pengambilan secara terus menerus tanpa ada kegiatan pembudidayaan. Hasil eksplorasi terhadap 13 aksesi meniran menunjukkan variasi yang besar dalam beberapa karakter morfologi dan kandungan bioaktif. Kondisi morfologi tanaman ditunjukkan oleh karakter pertumbuhan dan produksi
114
biomassa. Produksi bioaktif ditunjukkan oleh kandungan flavonoid. Tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total mempunyai korelasi positif sangat nyata terhadap bobot kering total, masingmasing dengan nilai r1y = 0.85, r2y = 0.86, r3y = 0.64, r4y = 0.89 dan r5y = 0.90. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan nilai pada karakter tersebut maka produksi biomassa kering akan meningkat. Pengaruh langsung terbesar terhadap bobot kering total ditunjukkan oleh karakter diameter batang (C4 = 0.69, r4y = 0.89), diikuti oleh karakter jumlah cabang (C3 = 0.41, r3y = 0.64), tinggi tanaman (C1 = -0.30, r1y = 0.85), bobot basah total (C5 = 0.26, r5y = 0.90) dan jumlah daun (C2 = 0.11, r2y =. 0.86). Hasil analisis terhadap pengaruh tidak langsung menunjukkan bahwa karakter jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total mempunyai pengaruh tidak langsung yang negatif terhadap bobot kering total, hanya karakter kandungan flavonoid yang menunjukkan pengaruh langsung yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pada tinggi tanaman menyebabkan penurunan pada bobot kering total. Keadaan ini diduga disebabkan tinggi tanaman pada waktu survei dilakukan sangat beragam karena umur tanaman yang diambil untuk sampel sangat bervarisi dengan rentang yang lebar. Karakter tinggi tanaman dalam hal ini tidak dapat digunakan sebagai karakter yang digunakan dalam seleksi. Analisis lintas terhadap keberadaan flavonoid menunjukkan diameter batang, jumlah cabang, tinggi tanaman, bobot basah total dan jumlah daun mempunyai hubungan langsung yang negatif. Koefisien korelasi semua karakter positif dan negatif tidak berbeda nyata maka semua karakter tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Analisis komponen utama menunjukkan akumulasi keragaman komponen tinggi, hanya dengan dua komponen utama sudah menghasilkan nilai akumulasi 91.90% keragaman. Jumlah karakter penentu pembentuk pengelompokan terpilih adalah selaras dengan nilai ciri berupa 9 karakter yaitu bobot basah total, bobot basah batang, tinggi tanaman, bobot 1000 biji, jumlah daun, bobot kering batang, diameter batang, jumlah cabang dan bobot kering total pada komponen utama 1 dan 4 karakter yaitu bobot basah akar, bobot kering akar, bobot kering daun dan
115
bobot basah daun pada komponen utama 2. Berdasarkan hasil analisis komponen utama terhadap karakter morfologi dan kandungan antosianin daun terbentuk 3 kelompok. Kelompok A terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1,2,3,4,5, dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 8,9,10,11,12. Kelompok B terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 6 dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 7. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran merah asal Bangkalan nomor 13. Berdasarkan hasil analisis gerombol terhadap keseluruhan karakter morfologi dan kandungan antosianin daun diperoleh dendrogram dengan pengelompokan aksesi sebanyak 2 kelompok pada koefisien kemiripan sebesar 69.82%. Kelompok A terdiri dari semua aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A1, A2, 3, A4, A5, A6) dan semua aksesi meniran hijau asal Gresik (A7,A8,A9, A10, A11, A12). Kelompok B terdiri dari aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13.) Hasil pengelompokan berdasarkan penanda RAPD menunjukkan pada tingkat kemiripan 100% sampai 63%, 13 aksesi yang dianalisis dapat dikelompokan menjadi 7 kelompok. Kelompok A terdiri dari meniran hijau asal Bangkalan aksesi nomor 3,4,6, meniran hijau asal Gresik aksesi nomor 7,8,9, dan 10 yang mempunyai tingkat kemiripan sebesar 100%. Kelompok B terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1 dengan aksesi kelompok A dengan tingkat kemiripan sebesar 97%. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 5 dengan kelompok B dengan tingkat kemiripan 96%. Kelompok D terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 2 dengan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 11 yang mempunyai kemiripan sebesar 94%. Kelompok E yaitu gabungan kelompok C dan kelompok D dengan tingkat kemiripan sebesar 90% sampai dengan 100%. Kelompok F merupakan gabungan dari kelompok E dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 12 dengan tingkat kemiripan sebesar 83% sampai dengan 100%. Kelompok G terdiri dari gabungan semua meniran hijau (nomor 1 sampai nomor 12) dan meniran merah (aksesi nomor 13) dengan tingkat kemiripan sebesar 63% atau perbedaannya sebesar 27%. Keragaman suatu populasi tanaman dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Keragaman yang luas dari suatu karakter akan memberikan peluang yang baik
116
dalam proses seleksi karena proses perbaikan karakter tanaman dapat sesuai dengan yang diharapkan. Bahar dan Zen (1993), menyatakan bahwa pelaksanaan seleksi secara visual yaitu memilih fenotipe yang baik belum memberikan hasil yang memuaskan tanpa berpedoman pada nilai karakter genetik yaitu ragam genetik, heritabilitas dan kemajuan genetik. Hasil seleksi terhadap karakter morfologi dan kandungan bioaktif yang dilanjutkan dengan analisis komponen utama berdasarkan keragaman karakter morfologi dan kandungan antosianin daun terhadap 13 aksesi meniran menunjukkan, dari 12 aksesi meniran hijau, 2 aksesi meniran hijau yaitu aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) dapat dipilih untuk penelitian selanjutnya. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik (A6 dan A7) mempunyai potensi pertumbuhan dan produksi biomassa secara nyata lebih tinggi dibandingkan aksesi lainnya. Sedangkan 1 aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) didapatkan mempunyai potensi kandungan bioaktif yang lebih besar. A6, A7 dan A13 yang terpilih akan digunakan dalam penelitian untuk melihat respon tanaman terhadap pengaruh faktor lingkungan (cahaya, air dan unsur hara). Analisis kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan RAPD menunjukkan aksesi meniran hijau mengelompok dalam satu kelompok sedangkan aksesi meniran merah memisah pada kelompok yang lain. Pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman meniran sangat ditentukan oleh faktor lingkungan sehingga untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik, produksi biomassa dan produksi bioaktif yang tinggi diperlukan adanya perlakuan yang tepat pada budidaya tanaman. Perlakuan budidaya yang diberikan adalah dengan mengatur intensitas naungan dan intensitas cahaya, pemberian unsur hara melalui pemupukan dan pengaturan kadar air tanah tersedia yang tepat dalam menunjang pertumbuhan, produksi biomassa dan produksi bioaktif meniran. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) menunjukkan respon pertumbuhan dan peningkatan biomassa yang tinggi pada berbagai perlakuan naungan. Untuk menghasilkan produksi biomassa yang tinggi melalui peningkatan diameter batang, jumlah daun majemuk dan jumlah cabang meniran hijau cenderung membutuhkan keadaan terbuka tanpa naungan hingga ternaungi 25%. Aksesi meniran merah (A13) secara umum menunjukkan respon
117
pertumbuhan dan peningkatan biomassa total yang rendah tetapi menunjukkan kemampuan dapat beradaptasi pada kondisi cahaya penuh maupun di bawah naungan dalam membentuk cabang dan pertumbuhan akar yang baik dengan adanya bobot basah akar tertinggi. Perlakuan pemberian naungan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada produksi biomassa seperti bobot basah akar, bobot basah daun, bobot basah batang, bobot basah total, bobot kering akar, bobot kering daun, bobot kering batang, bobot kering batang. Diduga hal ini dikarenakan letak antar tanaman dalam polibag yang terlalu dekat (± 30 cm) sehingga terjadi penaungan antar daun tanaman yang berdekatan. Penaungan juga terjadi antar daun dalam satu tanaman. Semuanya ini akan mempengaruhi banyaknya sinar matahari yang jatuh ke permukaan daun. Daun bagian atas menerima radiasi langsung dan radiasi difusi sedangkan daun-daun bagian bawah menerima sebagian kecil dari radiasi langsung berupa bercak-bercak sinar matahari yang lewat dari daun lapisan luar. Hal ini mengakibatkan tanaman tidak memberikan respon pada produksi biomassa yang dihasilkan dari pertumbuhan tanaman. Radiasi tidak langsung menjadi nyata disebabkan radiasi yang dipancarkan melalui daun dan dipantulkan kembali dari daun serta permukaan tanah (Gardner et al. 2008). Aksesi meniran hijau asal Gresik (A7) pada kondisi cahaya penuh kandungan total filantinnya sebesar 0.12%.
Pada tingkat naungan 50%
menunjukkan kandungan total filantin 0.09 % lebih rendah dibandingkan naungan 25% sebesar 0.11%. Sedangkan kandungan total hipofilantin menunjukkan peningkatan dengan bertambahnya tingkat naungan (50%). Pada kondisi tanpa naungan dan ternaungi 25%, kandungan total hipofilantinnya sebesar 0.12%. Pada tingkat naungan 50%, kandungan hipofilantin aksesi meniran hijau asal Gresik (A6) meningkat sebesar 0.13%. Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) menunjukkan kandungan total filantin dapat terdeteksi pada perlakuan pemberian naungan 50% sebesar 0.001% bobot kering. Hasil ini menunjukkan bahwa terpacunya pembentukan filantin pada meniran merah (A13) dengan adanya naungan. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa untuk pertumbuhan, produksi biomassa dan produksi bioaktif berupa kandungan total filantin, meniran hijau
118
cenderung membutuhkan cahaya penuh (tanpa naungan). Sedangkan apabila ingin mendapatkan kandungan hipofilantin yang tinggi pada meniran hijau dan filantin pada meniran merah membutuhkan naungan hingga 50%. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) menunjukkan respon pertumbuhan dan peningkatan biomassa yang tinggi pada berbagai perlakuan pemupukan. Untuk peningkatan tinggi tanaman, jumlah daun majemuk, bobot basah batang dan bobot kering batang, meniran hijau membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK atau pupuk NPK saja. Diduga hal ini berhubungan dengan kemampuan menggunakan unsur hara yang ada secara efektif dan efisien. Meniran hijau menunjukkan kemampuan untuk menggunakan hara nitrogen, fospor dan kalium yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran merah. Meniran hijau asal Gresik yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara nitrogen dan kalium jaringan tanaman yang lebih tinggi
(3.04%;
2.45%) Meniran hijau asal Bangkalan yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara fospor jaringan tanaman tertinggi (0.35%). Tanaman meniran hijau maupun merah tanpa pemupukan menunjukkan kadar hara NPK pada jaringan tanaman yang lebih rendah (Gambar 16). Produksi biomassa total yang tinggi membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK. Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan pemberian pupuk kandang + NPK mempunyai kandungan antosianin daun tertinggi. Diduga Hal ini berhubungan dengan faktor genetis. Meniran merah secara genetis mempunyai kandungan antosianin yang tinggi. Disamping itu, peningkatan kandungan antosianin pada meniran merah juga dipengaruhi oleh penambahan unsur hara yang lengkap melalui pemberian pupuk kandang + NPK. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ramesh et al. (2001) pada tanaman kalmegh (Andrographis paniculata Nees) yang banyak digunakan sebagai anti HIV activity dan imuno stimulan menunjukkan peningkatan pertumbuhan, hasil herba (ton per hektar) dan peningkatan kandungan andrographolide dengan kombinasi penggunaan pupuk organik + pupuk anorganik. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) mempunyai kandungan total filantin dan hipofilantin yang lebih tinggi daripada meniran merah asal Bangkalan (A13). Aksesi meniran hijau asal Gresik (A7) dengan
119
pemberian pupuk kandang mempunyai kandungan total filantin yang tertinggi sebesar 0.18% dan kandungan hipofilantin tertinggi sebesar 0.26% (Gambar 17). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Susanti et al. (2008) terhadap kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd) dimana terjadi penurunan kandungan senyawa bioaktif pada daun dan umbi dengan peningkatan dosis pupuk kandang ayam, sedangkan pupuk kandang ayam 15 ton per hektar dapat menghasilkan produksi biomassa yang tertinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan dan produksi biomassa, meniran hijau membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK. Untuk menghasilkan kandungan total filantin dan hipofilantin tertinggi, meniran hijau membutuhkan pupuk kandang saja. Sedangkan produksi antosianin yang tinggi pada meniran merah membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK. Respon yang berbeda ditunjukkan oleh aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) terhadap pertumbuhan dan peningkatan produksi biomassa pada perlakuan kadar air tanah yang berbeda. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) mempunyai tinggi tanaman maksimal. Sedangkan aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) menunjukkan penambahan jumlah daun dan jumlah cabang yang maksimal. Demikian juga dengan penambahan diameter batang terdapat kecendrungan meniran merah mempunyai diameter batang yang lebih besar. Hal ini menyebabkan penambahan produksi biomassa total pada meniran merah asal Bangkalan (A13) yang lebih tinggi dibandingkan meniran hijau. Adanya perbedaan pertumbuhan vegetatif antara meniran hijau dan meniran merah diduga erat kaitannya dengan faktor genetik yang mengontrol ketahanan tanaman terhadap kadar air tanah yang berbeda. Meniran merah mempunyai kandungan antosianin yang tinggi pada daunnya. Sukarman et al. (2000) mendapatkan pada kondisi cekaman air yang sama, tapak dara bunga merah lebih baik pertumbuhannya dibandingkan tapak dara bunga putih. Adanya perbedaan toleransi antar tanaman terhadap kadar air yang berbeda juga dilaporkan oleh Hamim (2004), Widiyasari dan Sugiarta (1997). Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai produksi biomassa yang lebih tinggi. Hasil ini diduga berkaitan dengan kemampuan
120
tanaman untuk bertahan terhadap cekaman yang muncul dalam pertumbuhannya sehingga dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan batang dengan diameter batang, jumlah daun dan cabang yang tinggi. Keadaan ini menyebabkan meniran merah dapat menghasilkan produksi biomassa yang maksimal. Pada umur tanaman 2 MST terjadi serangan hama pada lokasi penelitian (Gambar 19). Serangga kutu kebul mengisap cairan tanaman dengan cara hinggap pada daun tanaman lalu meletakkan dan menusukkan stiletnya. Keberadaan trikoma pada tepi daun meniran merah dapat menghalangi proses tersebut. Pada tepi daun meniran hijau tidak ditemukan trikoma (Gambar 20). Diduga hal ini yang menyebabkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai tingkat ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7). Suimmons dan Gurr (2005) mengemukakan trikoma yang terdapat pada spesies liar Lycopersicon menunjukkan ketahanan tanaman terhadap serangga. Glandular trikoma menunjukkan efek yang negatif terhadap serangga. Resistensi terhadap anthropoda berhubungan dengan tingginya kerapatan trikoma pada Lycopersicon.
a Gambar 19
b Penampilan (a) meniran hijau terserang hama, (b) meniran merah yang sehat
121
a
b
Gambar 20 Tepi daun (a) meniran hijau tanpa trikoma, (b) meniran merah dengan trikoma Peningkatan pertumbuhan tanaman membutuhkan kadar air 50% hingga 100% tersedia bagi tanaman. Peningkatan produksi biomassa total membutuhkan kadar air 100% tersedia. Terjadi penurunan yang nyata pada produksi biomassa total pada kadar air 25%. Penurunan ini diduga erat kaitannya dengan menurunnya translokasi hara dan aktivitas fotosintesis pada tanaman. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa pada kondisi air terbatas, pembentukan klorofil dihambat. Jiang dan Huang (2001) mendapatkan penurunan kandungan klorofil pada daun rumput Tall fescue dan Kentucky bluegrass dengan semakin terbatasnya air yang dapat diserap oleh tanaman. Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) membutuhkan kadar air tanah 100% tersedia untuk menghasilkan kandungan klorofil a (6.98 mg g-1), klorofil b (2.79 mg g-1) dan total klorofil (9.77 mg g-1) maksimal. Sedangkan peningkatan kandungan antosianin maksimal (1.02 mg g-1) didapatkan pada aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan kadar air tanah tersedia 50%, diikuti meniran hijau asal Bangkalan (A6) dengan kadar air tanah 100% dan meniran hijau asal Gresik (A7) dengan kadar air tanah tersedia 75%. Hal ini menunjukkan bahwa aksesi meniran merah (A13) membutuhkan air tersedia yang lebih sedikit dibandingkan aksesi meniran hijau (A6 dan A7) untuk menghasilkan antosianin yang maksimal.
122
Hasil penelitian Winarbawa (2000) menunjukkan perbedaan kadar air tanah berpengaruh terhadap jumlah daun, panjang dan lebar daun dan diduga juga mempengaruhi laju fotosintesis di dalam daun yang akan mempengaruhi bobot kering batang, rimpang dan daun kapolaga sabrang. Penelitian Rahardjo et al. 1999) menunjukkan bahwa pemberian cekaman air dapat menurunkan akumulasi biomassa (bobot kering daun,tangkai daun dan batang) dan peningkatan cekaman air sebesar 1% kapasitas lapang dapat menurunkan bobot biomassa sebesar 191 mg. Keberadaan air dalam tanah yang berada dalam keadaan tersedia untuk tanaman akan mempermudah tanaman dapat menyerap air. Selanjutnya tersedianya air tanah secara tidak langsung akan mempengaruhi kadar air dalam sel daun. Hal ini akan mempengaruhi proses membukanya stomata sehingga mempengaruhi proses fotosintesis (Darmawan dan Baharsjah 2010). Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa pada kondisi air terbatas, pembentukan klorofil dihambat. Pada tanaman, dalam kloroplas terdapat dua macam klorofil (klorofil a dan klorofil b) yang merupakan bahan penyerap energi yang utama. Energi cahaya digunakan untuk mengoksidasi H20 membentuk ATP dan NADPH yang kaya energi yang diperlukan untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat. Pada pembentukan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman, intensitas cahaya juga berperan penting. Intensitas cahaya yang berbeda dapat menghasilkan kandungan golongan flavonoid yang berbeda pada kulit buah apel kultivar Jonagold (Awad et al. (2001). Salisbury dan Ross (1995) menyatakan terjadinya peningkatan antosianin karena pengaruh cahaya. Konsentrasi antosianin pada kulit buah apel mengalami peningkatan pada level cahaya yang berbeda sampai sekitar 50% dari cahaya matahari penuh (Barritt 1997). Antosianin pada daun terdapat pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun sehingga terjadi akumulasi yang tinggi (Gould dan Lister 2006). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dibuat suatu rancangan teknologi budidaya meniran sebagai berikut. Rancangan teknologi budidaya meniran Persyaratan tumbuh Meniran tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 1500 m dpl (Kartasubrata 2010) dengan curah hujan 2000 – 3000 mm per tahun. Hasil
123
eksplorasi menunjukkan meniran tumbuh di tempat lembab, kebun, tegalan, pekarangan dengan cara bergerombol dalam jumlah yang cukup banyak.
Bahan tanam dan pembenihan Perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji. Biji didapat dari tanaman yang sudah tua, dipanen dan dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai. Media semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan 1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang ternaungi. Setelah tumbuh kecambah 7-10 hari, tutup plastik dibuka. Dilakukan pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke lahan atau pot. Bibit yang dipindah telah mempunyai minimal 4 daun majemuk (umur 1 bulan setelah tanam). Budidaya meniran Persiapan lahan dan media pot Meniran dapat ditanam di lahan maupun dijadikan tanaman dalam pot. Penanaman di lahan dengan cara membuat bedengan 1.5 x 2.5 m (Sulaksana dan Jayusman 2004). Pengolahan tanah sedalam 30 cm. Jarak tanam 20 x 20 cm (Kartasubrata 2010, Kardinan dan Kusuma 2004). Pot yang digunakan berukuran diameter 20 cm. Dasar pot dilubangi untuk membuang kelebihan air. Pemeliharan tanaman Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari pada awal tanam selama sebulan dengan asumsi tidak ada hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran membutuhkan kadar air tanah tersedia yang cukup (50-100% air tanah tersedia) untuk pertumbuhan dan produksi biomassanya. Pemberian air yang cukup dapat digunakan oleh tanaman dapat meningkatkan kandungan antosianin daun pada meniran merah. Pengendalian hama dan penyakit dengan cara mekanis dan bila perlu menggunakan pestisida hayati. Selama penelitian berlangsung terjadi serangan
124
hama yang menyerang daun dan tidak ditemukan gejala serangan penyakit. Pengendalian dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida organik pada tanaman dengan bahan utama insektisida berupa daun sereh. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara penyiangan secara manual. Pupuk yang digunakan adalah 400 kg ha-1 urea (46% N), 150 kg ha-1 SP36 (36% P205) dan 200 kg ha-1 KCl (60% K20) serta pupuk kandang (kotoran ayam) 20 ton per hektar (Djauharia et al. 1993). Pupuk kandang dan SP-36 diberikan seluruhnya pada waktu tanam sedangkan urea dan KCl diberikan dua kali yaitu pertama pada saat tanaman umur 1 bulan setelah tanam dan kedua pada saat umur tanaman 1.5 bulan setelah tanam. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi biomassa meniran hijau secara maksimal dan terjadi peningkatan kandungan antosianin daun meniran merah. Penggunaan pupuk kandang saja dapat meningkatkan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau. Pola tanam Penanaman dapat dilakukan secara monokultur atau polikultur. Meniran menunjukkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang maksimal bila ditanam pada kondisi tanpa naungan. Pada keaadaan cahaya penuh, meniran hijau menunjukkan kandungan total filantin yang tinggi. Pada penanaman secara polikultur dapat ditanam dengan tanaman semusim yang mempunyai akar serabut dan tidak memiliki percabangan yang rimbun. Penanaman di bawah tegakan hutan dapat dilakukan pada kondisi tanaman utama berumur kurang dari 5 tahun dan tidak memiliki percabangan yang rimbun. Hasil penelitian menunjukkan kondisi naungan 50% dapat meningkatkan kandungan total hipofilantin meniran hijau dan filantin meniran merah. Panen Panen dilakukan pada umur 3 – 4 bulan setelah tanam (Kartasubrata 2010). Panen pada penelitian ini dilakukan pada umur 3.5 bulan. Hasil produksi total segar maksimal dengan pemberian pupuk kandang + NPK sebesar 32.03 g tanaman-1 dan produksi total kering maksimal sebesar 23.61 g tanaman-1. Penggunaan pupuk kandang saja menghasilkan produksi total segar 15.83 g tanaman-1 dan produksi total kering 9.81 g tanaman-1.
125
Pascapanen Herba hasil panen dicuci bersih, dikeringkan dengan alat pengering dengan suhu tidak melebihi 60oC atau dapat dijemur di bawah matahari dengan kadar air maksimal 14%. Selanjutnya digiling, dikemas dalam wadah plastik hampa udara dan diberi label.
Tabel 35 Persyaratan mutu simplisia meniran berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia (2008) Persyaratan Jumlah (%) Susut pengeringan
Tidak lebih dari 14%
Abu total
Tidak lebih dari 7.2%
Abu tidak larut asam
Tidak lebih dari 1.2%
Sari larut air
Tidak kurang dari 16.0%
Sari larut etanol
Tidak kurang dari 8.0%
Kandungan kimia simplisia
Kadar flavonoid total tidak kurang dari 0.90% dihitung sebagai kuersetin
127
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Masyarakat di Kabupaten Bangkalan dan Gresik telah mengenal dan memanfaatkan tanaman meniran sebagai obat. Tanaman meniran dapat dibudidayakan sebagai tanaman obat. 2. Terdapat 2 jenis meniran hasil eksplorasi di Kabupaten Bangkalan dan Gresik yaitu meniran hijau dan meniran merah yang membentuk 2 kelompok terdiri dari kelompok A semua aksesi meniran hijau dan kelompok B satu aksesi meniran merah berdasarkan keragaman morfologi, kandungan antosianin daun dan molekuler (genetis). 3. Diantara 12 aksesi meniran hijau terdapat 2 aksesi yaitu aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) yang mempunyai potensi pertumbuhan dan produksi biomassa yang lebih tinggi. Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai potensi produksi bioaktif yang besar. 4. Meniran hijau membutuhkan kondisi terbuka hingga naungan 25%, pemberian pupuk berupa kombinasi pemberian pupuk kandang + NPK dan kadar air tanah 100% tersedia bagi tanaman untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang tinggi,. 5. Meniran hijau membutuhkan kondisi tanpa naungan dan pemberian pupuk kandang untuk menghasilkan kandungan total filantin yang tinggi. Meniran merah memerlukan naungan 50% untuk menghasilkan kandungan total filantin. 6. Meniran hijau membutuhkan naungan 50% dengan pemberian pupuk kandang untuk menghasilkan kandungan total hipofilantin yang tinggi. 7. Meniran merah membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK dengan kadar air tanah 50% tersedia bagi tanaman untuk menghasilkan antosianin daun yang tinggi.
128
Saran 1. Perlu dilakukan eksplorasi terhadap tempat dengan ketinggian yang lebih besar dan daerah yang berbeda untuk mendapatkan aksesi dengan jarak genetik yang lebih luas. 2. Perlu dilakukan beberapa tahap seleksi terhadap produksi biomassa dan produksi bioaktif meniran dengan menggunakan karakter kualitatif maupun karakter kuantitatif. 3. Perlu dilakukan penelitian terhadap waktu panen yang tepat agar didapatkan produksi biomassa dan bioaktif yang tinggi. 4. Perlu dikaji ulang penetapan dosis pemupukan yang tepat untuk meniran merah yang tidak bisa disamakan dengan dosis pemupukan meniran hijau.
129
DAFTAR PUSTAKA Akin-Osanaiye CB, Gabriel AF, Alebiosu RA. 2011. Characterization and antimicrobial screening of ethyl oleate isolated from Phyllanthus amarus (Schum and Thonn). Annals of Biol Res 2(2):298-305. Aroiee H, Omidbaigi R. 2004. Effect of nitrogen on productivity of medical pumpkin. Acta Hort 629:415-419. Asadi D, Arsyad M, Zahara H, Darmijati H. 1997. Pemuliaan kedelai untuk toleran naungan dan tumpangsari. Bul Agrobio 1(2):15-20. Awad M.A. 2001. The Apple Skin : Colourful Healthiness. Developmental and environmental regulation of flavonoid and chlorogenic acid in apples. Egypt: Mansoura University. 142p. Azmy HJ. 2002. Dampak konservasi dan konservasi lahan hutan terhadap kehidupan. Bul Leuser 4(11) : 21-22. Babbar LI, Zak DR. 1994. Nitrogen cycling in coffee agroecosystems. Agric Eco Environ 48:107-113. Barritt BH, Drake SR, Konishi BS, Rom CR. 1997. Influence of sunlight level and rootstock on apple fruit quality. Acta Hort 451:569-577. Bozhkov P, Arnold SV. 1998. PEG promotes maturation but inhibits further development of picea abies somatic embryos. Physiol Plant 104:221-224. [BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Volume 1. Jakarta:BPOM RI. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Indikator Kesehatan 1995-2008. [terhubung berkala]. http://www.bps.go.id. [18 Januari 2010]. Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL. 2000. Biochemistry and molecular biology of plants. Rockville Maryland:American Society of Plants Physiologists. Chand S, Anwar M, Patra DD. 2004. Influence of fertilizer levels on growth, yield and nutrient uptake of ratoon crop of stevia (Stevia rebaudiana). J Med Arom Plant Sci 21(4):947-949. Chitravadivu C, Manian S, Kalaichelvi K. 2009. Antimicrobial studies on selected medicinal plants, erode region, Tamilnadu, India. Middle-East J Sci Res 4(3):147-152.
130
Chozin MA, Sopandie D, Sastrosumarjo S, Suwarno. 2000. Physiology and genetic of upland rice adaptation to shade. Final Report of Graduate Team Research Grant, URGE Project. Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture. Colom MR, Vazzana C. 2000. Water stress effects on three cultivars of Eragrotis curvula. Ital J Agron 6:127-132. Cseke LJ, Lu Casey R, Kornfeld A, Kaufman PB, Kirakosyan A. 2006. How and Why these compounds are synthesized by plants. Di dalam: Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber SL, Duke JA, Brielmann HL, editor. Natural Products from Plants. Boca Raton, London, New York: Taylor and Francis Group LCC CRC Pres. hlm 51-100. Darmawan J, Baharsjah J. 2010. Dasar-dasar Ilmu Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: SITC. 86 hal. Dalimarta S. 2001. Atlas tumbuhan obat Indonesia. Jakarta:Penebar Swadaya. Davies KM, Schwinn KE. 2006. Molecular biology and biotechnology of flavonoid biosynthesis. Di dalam: Andersen OM, Markham KR, editor. FLavonoids Chemistry, Biochemistry and Applications. Boca Raton, London, New York: Taylor and Francis Group LCC CRC Pres. hlm 143218. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2009. Nilai Perdagangan Jamu di Indonesia Rp 4 trilyun per tahun. [terhubung berkala]. http://www.depkes.co.id. [15 Januari 2009] De Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemmens RHMJ, editor. 1999. Plant Resources of South-East Asia 12. Medical and poisonous plants 1. Netherlands:Backhys Pub. Devlin R, Witham FH. Publisher.
Plant physiology (4th edition). Quezon City: PWS
Desta W, Widodo I, Sobir, Trikoesoemaningtyas, Soepandie D. 2006. Pemilihan karakter agronomi untuk menyusun indeks seleksi pada 11 kedelai generasi F6. Bul Agron 34(1):19-24 Djauharia E, Emmyzar, Undang R. 1993. Pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi meniran (Phyllanthus niruri L.) Prosiding Seminar Meniran dan Kedawung. Bagian I:Meniran, Phyllanthus niruri L. Surabaya:13-14 Agustus. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia.
131
Elfahmi. 2006. Phytochemical and biosynthetic studies of lignans with a focus on Indonesia Medicinal plants [thesis]. Netherlands: University of Groningen. Elfarisna. 2000. Adaptasi kedelai terhadap naungan : Studi morfologi dan anatomi. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Emmyzar, Ngadiman, Rochimat I. 1993. Pengaruh berbagai media tumbuh terhadap pertumbuhan dan produksi meniran. Prosiding Seminar Meniran dan Kedawung. Bagian I:Meniran, Phyllanthus niruri L. Surabaya:13-14 Agustus. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Ernawati A. 1992. Produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder dengan kultur jaringan tanaman I. Di dalam : Wattimena GA. Bioteknologi Tanaman I. Bogor : PAU Bioteknologi IPB. Hal 169-220. Fageria NK. 2009. The Use of Nutrients in Crop Plants. Florida:Taylor and Francis Group. Fehr RW. 1987. Principles of Cultivation Development. Theory and Technique. Vol. I. New York:McMillan Inc. 1:165-171. Figueira GM, De Magalhaes PM, Rahder VIG, Sartoratto A, Vaz APA. 2006. Chemical preliminary evaluation of selected genotype of Phyllanthus amarus Schumach. Grown in four different counties of Sao Paulo State. Rev Bras Pl Med 8:43-45. Fitter AH, Hay RKM. 2002. Environmental Physiology of Plants. Ed ke-3. San Diego: Academic Press. Hlm 79-130. Ganefianti D.W, Yulian, Suprapti A.N. 2006. Korelasi dan sidik lintas antara pertumbuhan, komponen hasil dan hasil dengan gugur buah pada tanaman cabai. J Akta Agro 9 (1):1-6. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan Herawati Susilo. Jakarta: Universitas Indonesia. 428 hal. Gaspersz V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan 2. Bandung: Penerbit Tarsito. 719 hal. Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian (edisi kedua). Jakarta: UI Press. 698 hal. Gould KS, Lister C. 2006. Flavonoid functions in plants. Di dalam: Andersen OM, Markham KR, editor. FLavonoids Chemistry, Biochemistry and Applications. Boca Raton, London, New York: Taylor and Francis Group LCC CRC Pres. hlm 397-441.
132
Ghulamahdi M. 2003. Teknik budidaya, panen dan pasca panen tanaman obat. Pelatihan tanaman obat dan produksi obat tradisional, Bogor 3-4 Mei 2003. Pusat Studi Biofarma Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Ghulamahdi M, Aziz SA, Batubara I. 2006. Produksi senyawa bioaktif daun dewa (Gynura pseudhocina (L.) DC) melalui studi agrobiofisik, studi keragaman, lama penyinaran dan optimalisasi pemupukan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XIV Tahap I. Bogor : Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB. Hale MG, Orcutt DM. 1987. The physiology of plant under stress. USA: John Willey and Sons, Inc. Halim Z. 2010. Penentuan ketoksikan akut Phyllanthus niruri L. [artikel ilmiah]. Semarang. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Hamim. 2004. Underlying drought stress effects on plant:inhibition of photosynthesis. Hayati 11(4):164-169 Harborne JB. 1988. Introduction to ecological biochemistry third edition. Academic Press. Hartati
D, Rimbawanto A, Sulistyaningsih E, Taryono, Widyatmoko. 2007. Pendugaan keragaman genetik di dalam dan antar proven pulai (Alstonia scholaris (L) R. Br.) menggunakan penanda RAPD. J. Pemul Tan Hutan 1(2):1-9.
Haryudin W, Rostiana O. 2009. Karakteristik morfologi tanaman cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.) di beberapa sentra produksi. Bul Littro 20(1):1-10. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 1. Jakarta:Badan Litbang Kehutanan Indonesia. Hornok L. 1992. Cultivation and processing of medicinal plants. New York: John Wiley and Sons. 338p. Hutagalung JCSBY. 1998. Analisis lintas komponen produksi tanaman padi (Oryza sativa L.) [skripsi]. Bogor. Jurusan Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Indriani CF, Sutopo I, Sudjindro, Suginato AN. 2000. Keragaman genetik plasma nutfah kenaf (Hibiscus cannabinus L) dan beberapa spesis yang sekerabatan berdasarkan analisis isozim. http://images.hughet.multiply.com/attachment/0/RvnPKAoKCh8AAAPW qOgl/publikasi %20ilmiah%20febria.doc?nmid=59432286. [ 22 Agustus 2009].
133
Jeliazkova EA, Zheljazkov VD, Craker LE, Yamkov B, Gergieva T. 1999. NPK fertilizer and yields of pepermint, mentha piperita. Acta Hort. 502:231236. Jiang Y, Huang B. 2001. Drought and heat stress injury to two cool-season turfgrass in relation to antioxidant metabolism and lipid peroxidation. Crop Sci 41:436-442. Jones HG. 1992. Plant and Microclimate. A Quantitive to Environment. Plant Physiology (Second Edition). Cambridge University Press. hlm 265-269. Kardinan A, Kusuma FR. 2004. Meniran penambah daya tahan tubuh alami. Jakarta: Agromedia Pustaka. Kartasubrata J. 2010. Sukses Budidaya Tanaman Obat. Bogor: IPB Press. 88 hal. Katsube N, Iwashita K, Tsushida T, yamaki K, Kobori M. 2003. Induction of apoptosis in cancer cells by bilberry (Vaccinium myrtillus) and anthocyanins. J Agric Food Chem 50:519-525. Khan S, Al-Qurainy F, ram M, Ahmad S, Abdin MZ. 2010. Phyllanthin biosynthesis in Phyllanthus amarus: Schum and Thorn growing at different altitudes. J Med Plant Res 4(1):041-048. Laegreid M, Bockman OC, dan O Karstaad. 1999. Agriculture Fertilizers and the Environment. CABL Publishing in Association with Norsk Hydro ASA. Lamuhuria, Sopandie D, Khumaida N, Trikoesoemaningtyas, Darusman LK, June T. 2006. Mekanisme fisiologi dan pewarisan sifat toleransi kedelai (Glycine max (L.) Merrill) terhadap intensitas cahaya rendah. Bogor: Makalah Seminar Sekolah Pascasarjana IPB. Levitt J. 1980. Responses of Plant to Environmental Stresses. Vol II. Water, Radiation, Salt, and Other Stresses. New York:Academic Press. Lillo C, Huang D, wang S. 2004. Effect of potassium levels on fruit quality of muskmelon in soilless medium culture. Sci Hort. 102:53-60. Lopez-Lazaro M. 2009. Distribution and biological activities of the flavonoid luteolin. Mini-Reviews in Med Chem 9:31-59. Lynch N, Berry D. 2007. Differences in perceived risks and benefits of herbal, over-the-counter conventional, and prescribed conventional medicines and the implications of this for the safe and effective use of herbal products. Complem Ther Med 15:84-91.
134
Malkin R, Niyogi K. 2000. Photosynthesis. In:Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL editor. Biochemistry and molecular biology of plants. Rockville Maryland: American Society of Plant:Physiologists. Pp:568-628. Manjrekar AP, Jisha V, Bag PP, Adhikary B, Pai MM, Hedge A. 2008. Effect of Phyllanthus niruri Linn. treatment on liver, kidney and testes in CCl4 induced hepatotoxic rats. Indi J Experimen Bio 46:514-520. Martono B, Ghulamahdi M, Darusman LK, Aziz SA, Bermawie N. 2009. Kriteria penanda seleksi produktivitas terna dan asiatikosida pada pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). J Littri 16(1):12-19. Markham KR. 1988. Cara mengidentifikasi flavonoid. Bandung:Institut Teknologi Bandung. 117 hal. Marschner. 1995. Mineral nutrition of higher plants (second edition). London:Academic Press Limited. 861p. Martin FW. 1985. Difference among sweet Potato in response to shading. Trop Agric 62:161-165. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan : Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I ed. ke-2. Bogor:IPB Press. McNellis T, Deng XW. 1995. Light control of seedling morphogenic pattern. The Plant Cell 7:1749-1761. Mualim L, Aziz SA, Melati M. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam pada produksi antosianin daun kolesom. J. Agron. Indones 37(1):55-61. Mursito D. 2003. Heritabilitas dan sidik lintas karakter fenotipik beberapa galur kedelai (Glycine max. L. Merrill). J Agrosains 6(2):58:63. Murugaiyah V, Chan K-L. 2007. Determination of four lignans in Phyllanthus niruri L. by a simple high performance liquid chromatography method with fluorescence detection. J Chromatogr A, 1154:198-204. Narayana KR, Reddy MS, Chaluvadi MR, Krishna DR. 2001. Bioflavonoid classification, pharmacological, biochemical effects and therapeutic potential. Indi J Pharmacol 33:2-16. Nasution MA. 2010. Analisis korelasi dan sidik lintas antara karakter morfologi dan komponen buah tanaman nenas (Ananas comosus L. Merr.) Crop Agro 3(1): 1-8. Nirwan, Sopandie D, darusman LK, Aziz SA, Ghulamahdi M. 2007. Produksi flavonoid daun dewa (Gynura pseudochina (L.)(DC.)) asal kultur in vitro
135
melalui periode pencahayaan daan pemupukan [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Njomnang Soh P, Banzouzi JT, Mangombo H, Lusakibanza M, Bulubulu FO, Tona L, Diamuini AN, Luyindula SN, Benoit-Vical F. 2009. Antiplasmodial activity of various parts of Phyllanthus niruri according to its geographical distribution. Afri J Pharm Pharmacol 3(2):598-601. Oades JM. 1984. Soil organic matter and structural stability: mechanism and implications for management. Plant Soil 76:319-337. Oluwafemi F, Debiri F. 2008. Antimicrobial effect of Phyllanthus amarus and Parquetina nigrescens on Salmonella typhi. Afri J Biomed Res 11:215219. Prasad R, Power JF. 1997. Soil Fertility Management for Sustainable Agriculture. New York: Lewis Publ. Hlm 323-327. Rahmawaty RY. 2004. Pengaruh naungan dan jenis pegagan (Centella asiatica L. (Urban)) terhadap pertumbuhan, produksi dan kandungan triterpenoidnya sebagai bahan obat [skripsi]. Bogor :Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Rahardjo, Rosita M, Fathan R, Sudiarto. 1999. Pengaruh cekaman air terhadap mutu simplisia pegagan. J Littri 5(3):92-97. Ramesh G, Shivanna M.B., Ram Santa A. 2011. Interactive influence of organic manures and inorganic fertilizers on growth and yield of kalmegh (Andrographis paniculata Nees.). J Plant Sci 2(1):16-21. Rhodes D, Samaras Y. 1994. Genetic control of osmoregulation in plants. Di dalam : Strange K, editor. Cellular and Molecular Physiology of Cell Volume Regulation. Boca Raton, London, New York and Francis Group LCC CRC Press. hlm 347-361. Robinson T. 1991. The organic constituents of higher plants, 6 th edition. Penerjemah Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB. Rodriguez AA, Grunberg KA, Taleisnik EL. 2002. Reactive oxygen species in the elongation zone of maize leaves are necessary for leaf extension. Plant Physiol 129: 1627-1632. Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New Delhi: Kalyani Publishers. 340p. Ruminska R, Gamal ESE. 1978. Effect of nitrogen fertilizer on growth, yield and alkaloid content in Datura innoxia Mill. Acta Hort. 73:173-179.
136
Rudiyanto W. 2006. Regenerasi sel parenkim hati oleh Ekstrak Etanol Meniran (Phyllantus niruri). [laporan penelitian]. Lampung. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Sabir SM, Rocha JBT. 2008. Water-extractable phytochemicals from Phyllanthus niruri exhibit in vito antioxidant and in vivo hepatoprotective activity against paracetamol-induced liver damage in mice. Food Chem 111:845-851. Saharkhiz MJ, Omidbaigi R. 2008. The effect phosphorus on the productivity of feverfew (Talacetum parthenium (L.) Schultz Bip). Adv Natur Appl Sci 2(2):63-67. Salardini A.A., Chapman KSR, Holloway R.J. 2006. Effect of basal sidedressed phosphorous on the achene tield and pyrethrins concentration in the achenes of pyrethrum (Tanacetum cinerafolium) and soil and plant phosphorous. Aus J Agric Res 45(3):647-656. Abstract. Salisbury, Ross C. 1995. Fisiology Tumbuhan Jilid 1,2,3. Penerbit ITB Bandung. Sampoerno H. 1999. Pengembangan dan pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia. Paper Presented at The National Seminar on Medicinal Plants From Indonesia Tropical Forest. 28 April 1999. Bogor, Indonesia. Simmons AT, Gurr GM. 2005. Trichomes of Lycopersicon species and their hybrids: effects on pests and natural enemies (Review article). Agric Forest Entomol 7:265-276. Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationships between leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures and developmental stages. Rem Sen Environ 81:337-354. Sinaga S. 2008. Analisis keanekaragaman genetik dan fenotip manggis (Garcinia mangostana L.) dan kerabat dekatnya [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 140 hal. Sinclair TR, Ludlow MM. 1986. Influence of soil water supply on the plant water balance of four tropical grain legumes. Aus J. Plant Physiol. 13:329-341. Sjamsuhidajat SS, Nurendah PS. 1992. Kajian fitokimia tanaman obat. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan Budidaya Tanaman Obat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor. 204 hal. Soedibyo M. 1998. Alam sumber kesehatan, manfaat dan kegunaan. Jakarta: Balai Pustaka.
137
Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G, editor. 1987. Weeds of rice in Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka. hlm 290-295. Sopandie D, Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, Suhardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati (10) 3 : 91-95. Subarnas A, Sidik. 1993. Phyllanthus niruri L, kimia, farmakologi dan penggunaannya sebagai obat tradisional. Prosiding Seminar Meniran dan Kedawung. Bagian I:Meniran, Phyllanthus niruri L. Surabaya:13-14 Agustus. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Sukarman, Darwati I, Rusmin D. 2000. Karakter morfologi dan fisiologi tapak dara (Vinca rosea L.) pada beberapa cekaman air. J Littri 6(2):50-54. Sulaksana J, Jayusman DI. 2004. Meniran : Budidaya dan Pemanfaatan untuk Obat. Penebar Swadaya. 83 hal. Supriyono B, Chozin MA, Soepandie D, Darusman LK. 2000. Perimbangan PatiSukrosa dan Aktivitas enzim sukrosa fosfat sintase pada padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. Hayati 7(2):31-34. Susanti H, Aziz SA, Melati M. 2008. Produksi biomassa dan bahan aktif kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd. Dari berbagai asal bibit dan dosis pupuk kandang. Bul Agron. 36:48-55. Syamasundar V, Singh B, Thakur S, Husain A, Hikino H. 1985. Anti-hepatotoxic principles of Phyllanthus niruri herbs. J Ethnopharm 14(1):41-44. Taylor L. 2003. Technical data report for chanca piedra “stone breaker” (Phyllantus niruri). http://www.rain-tree.com/chanca-techreport.pdf. [14 Mei 2006]. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. California:The Benyamin/Cummings Pub. Co.Inc. 559p. Than NN, Fotso S, Poeggeler B, hardeland R, Laatsch H. 2006. Niruriflavone, a new antioxidant flavones sulfonic acid from Phyllanthus niruri. Z. Naturforsch 61b:1-4. Tresnawati E Hadjuri, S. 1993. Pengaruh jarak tanam dan pupuk nitrogen terhadap hasil panen tanaman meniran. Prosiding Seminar Meniran dan Kedawung. Bagian I:Meniran, Phyllanthus niruri L. Surabaya:13-14 Agustus. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Tripathi AK, Verma RK, Gupta AK, Gupta MM, Khanuja SPS. 2006. Quantitative determination of phyllantin and hypophyllantin in phyllanthus species by high-performance thin layer chromatography. Phytochem Anal 17:394-397.
138
Tunggal L. 2004. Pengaruh intensitas naungan dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi herba meniran (Phyllanthus niruri L.) pada sistem pertanian organik [skripsi]. Bogor. Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Urnemi, Yahya S, Darusman LK. 2002. Pengaruh pupuk fosfor dan pupuk herbal pada tiga taraf naungan terhadap pertumbuhan dan kadar metabolit sekunder tanaman daun jinten (Coleus ambonicus Lour). Forum Pasca 25(2):135-145. Van Beuningen LT, Bush RH. 1997. Genetic diversity among North American Spring Wheat Cultivar: III. Cluster analysis based on quantitative morphological traits. Crop Sci 37:981-988. Wahyuni SWT. 2010. Pengoptimuman dan validasi sidik jari kromatografi cair kinerja tinggi ekstrak Phyllanthus niruri L [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Waugh R. 1997. RAPD analysis: use for genome characterization, tagging traits and mapping. In: Clark MS Editor. Plant Molecular Biology-A Laboratory Manual. New York : Springer. Hlm 305-396. Wayland C. 2004. The failure of pharmaceuticals and the power of plants:medicinal discourse as a critique of modernity in the Amazon. Soc Sci Med 58:2409-2419. Webster GL. 1986. A revision of Phyllanthus (Euphorbiaceae) in Eastern Melanesia. Pacific Sci 40:88-105. Weising K, Nybom H, Wolff K, Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plants and Fungi. Boca Raton : CRC Press. WHO. World Health Organization. 2000. Development of national policy on traditional medicine. Report of Workshop on Development of National Policy on Traditional Medicine. 11-15 Oktober 1999. Beijing, Cina. Winarbawa S. 2000. Pengaruh kadar air tanah terhadap pertumbuhan dan produksi dua tipe kapolaga sabrang. Bul Agron 28(1):1-8. Wirnas D, Widodo I, Sobir, Trikoesoemaningtyas, Soepandie D. 2006. Pemilihan karakter agronomi untuk menyusun indeks seleksi pada 11 kedelai generasi F6. Bul Agron 34(1):19-24. Yosida S, Farno DA, Cook JH, Games KA. 1976. Laboratory manual for physiological studies of rice. Manila: The International Rice Research Institute.
139
Zhang Y, Vareed SK, Nair MG. 2005. Human tumor cell growth inhibition by nontoxic anthocyanidins, the pigments in fruits and vegetables. Life Sci 76:1465-1472. Zuhud EAM, Aziz SA, Ghulamahdi M, Andarwulan N, Darusman LK. 2001. Dukungan teknologi pengembangan obat asli Indonesia dari segi budidaya, pelestarian dan pasca panen. Paper Presented at The Workshop on Agribusines Development Based on Biopharmaka. 13-15 November 2001. Departemen Pertanian, Jakarta, Indonesia.
139
LAMPIRAN
140
Lampiran 1 Data biner 32 pita DNA dari 5 primer RAPD pada 13 aksesi meniran Primer OPE1
Pita
1. 2. 3 4. 5. OPE19 1. 2. 3. 4. 5. 6. OPH5 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. OPH13 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. OPM20 1. 2. 3. 4. 5.
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Aksesi 7 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
11 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
13 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0
141
Lampiran 2 Metode analisis kandungan klorofil dan antosianin daun (mg g-1 bobot kering) Bahan : daun meniran, acetris (aceton dan tris dengan perbandingan 85:15) Alat
: eppitube 2 ml, centrifuge dan spektrofotometer Analisis kandungan klorofil a, b dan total klorofil dilakukan dengan
menggunakan metode yang digunakan Sims dan Gamon (2002). Cara kerja : 1. Daun digerus sampai halus dengan menggunakan 1 ml acetris. Selanjutnya dipindahkan kedalam eppitube 2 ml sampai batas tera pada tabung dengan menambahkan terus acetris. 2.
Centrifuge dengan kecepatan 14 000 rpm selama 10 menit.
3. Pipet 1 ml hasil centrifuge ke dalam tabung reaksi, tambahkan acetris 3 ml. 4. Dilakukan pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 537, 663 dan 647 nm. 5. Kandungan korofil a, b, total klorofil dan antosianin dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Klorofil a = 0.01373 x A663 – 0.000897 x A537 – 0.003046 x A647 Klorofil b = 0.02405 x A647 – 0.004305 x A537 – 0.005507 x A663 Total klorofil = klorofil a + klorofil b Antosianin = 0.081713 x A537 – 0.00697 x A647 – 0.002228 x A663
142
Lampiran 3 Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar Nitogen (N) Metode : Kjeldahl Cara Kerja : 1. Timbang 200 mg contoh tanaman kering giling lolos saringan 40 mesh dan masukkan ke dalam labu kjeldahl. 2. Tambahkan satu canting kecil campuran SeCuSO4 dan Na2SO4. 3. Tambahkan 5 ml H2SO4 pekat ke dalam labu kemudian goyangkan perlahan-lahan agar semua sampel terbasahi oleh H2SO4. 4. Tambahkan 5 tetes paraffin cair. 5. Panasi labu di dalam kamar asap dengan api kecil, kemudian perlahanlahan api diperbesar hingga diperoleh suatu cairan yang berwarna terang (hijau-biru), pemanasan masih dilakukan 15 menit lagi. 6. Tambahkan ± 150 ml aquades, goyangkan sebentar kemudian pindahkan isi labu kjeldahl ke dalam labu destilasi. 7. Ke dalam labu destilasi tambahkan 5 ml NaOH 50%. 8. Destilasi dimulai, tamping destilasi dengan Erlenmeyer 125 ml yang telah diisi campuran 10 ml H3BO3 4% dan 5 tetes indicator Conway, isi destilat kira-kira 100 ml. 9. Titrasi destilat dengan HCl yang telah dibakukan. Titik titrasi dicapai apabila terjadi perubahan warna dari hijau ke merah muda. 10. Lakukan juga penetapan blanko seperti cara kerja di atas tetapi tanpa menggunakan sampel tanaman. Perhitungan : (ml titrasi contoh – ml titrasi blanko) x N HCl x 14 x 100%) N (%) = 200 mg contoh Keterangan : N = Normalitas 14 = Molekul N
143
Lampiran 4 Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar Posfor (P) Metode : Pengabuan kering Preparasi : 1. Timbang dan masukkan ke dalam cawan porselin 1gram contoh tanaman yang sudah digiling halus. 2. Panaskan dalam tanur dengan suhu 550oC selama 2 jam sehingga sampel dalam cawan membentuk abu putih. 3. Setelah agak dingin, angkat dan masukkan dalam desikator. 4. Di dalam ruang asap, tambahkan 5 tetes HCl perkat ke dalam cawan, aduk dengan pengaduk gelas hingga merata. 5. Panaskan di atas hot plate dengan suhu ± 90oC. Biarkan hingga uap HCl hilang. 6. Angkat dan dinginkan. 7. Penambahan dengan HCl pekat 5 tetes diulangi dua kali lagi. Setiap penambahan diaduk merata. Dipanaskan di atas hot plate, diangkat dan didinginkan. 8. Ke dalam cawan tambahkan 10 ml HCl 1 N, aduk merata lalu disaring dan ekstraknya ditampung dengan tabung plastic. 9. Pipet 1 ml hasil saringan dan masukkan ke dalam labu ukur 50 ml. Tambahkan dengan aquades dan himpitkan hingga tanda tera. 10. Ekstrak ini dapat digunakan untuk penetapan P dan K. Penetapan Posfor pada jaringan tanaman : 1. Pipet 1 ml ekstrak dalam labu ukur 50 ml tadi dan masukkan ke dalam tabung reaksi. 2. Tambahkan 4 ml aquades, kocok sebentar. 3. Tambahkan berturut-turut 5 ml larutan P-B dan 5 tetes larutan P-C. Kocok sebentar serta biarkan 15 menit. 4. Ukur dengan alat ukur spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm.
144
Lampiran 4 (Lanjutan) 5. Buat penetapan blanko dan buat seri standar baku P yang mempunyai konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm P. Perhitungan : 10/1 x 50/1 x 10/1 x 0.00821 x pembacaan %P= 10000 Keterangan : 10
= ml HCl 1 N
1
= 1 gram contoh
50
= pengenceran 50 kali
1
= 1 ml ekstrak
10
= 1 ml ekstrak + 4 ml aquades + 5 ml P-B
0.00821 = standar baku P 10000
= dari ppm ke %
145
Lampiran 5 Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan Kalium (K) 1. Pipet 1 ml ekstrak yang sudah mengalami pengenceran tadi (dalam labu ukur 50 ml) dan masukkan ke dalam tabung reaksi. 2. Tambahkan 9 ml aquades dan kocok sebentar 3. Tetapkan K dengan alat ukur Flame Fotometer (foto nyala) dengan filter K 4. Buat satu seri larutan standar baku K yang mempunyai konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20 dan 25 ppm K. Perhitungan : 1000/1 x 10/1 x 50/1 x10/1000 x 2.50 x pembacaan K (%) = 10000 Keterangan : 1000/1, 10 = 10 ml HCl 1 N 1
= 1 gram contoh
10/1, 10 = 10 ml HCl 1 N 1
= pipet 1 ml
50/1, 50 = Pengenceran (dalam labu ukur 50 ml) 1
= dipipet 1ml
10/1000, 10 = 1 ml ekstrak + 9 ml H2O 1000 = dipipet 1 ml 2.50 = standar baku K 10 000 = dari ppm ke %
146
Lampiran 6 Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum penelitian pemupukan Parameter pH H20
Nilai 6.00
Tanah Keterangan Agak masam
C-organik (%)
1.23
Rendah
N-total
0.10
Rendah
P-Bray I (ppm)
3.30
Rendah
Ca (me/100 g)
2.51
Tinggi
Mg (me/100 g)
1.87
Sangat tinggi
K (me/100 g)
0.40
Sedang
Na (me/100 g)
0.41
Sedang
KTK (me/100 g)
18.49
Sedang
Kejenuhan Basa (%)
26.90
Rendah
Tekstur
-
Liat
Sumber : Analisis tanah di Pusat Penelitian Tanah Bogor
Lampiran 7
Hasil analisis kandungan unsur hara, kadar air dan abu pupuk kandang (kotoran ayam)
Parameter
Pupuk kandang
pH H20
Nilai 6.60
Kriteria Netral
C-organik (%)
3.48
Tinggi
N-total
2.13
Sangat tinggi
P-Bray I (ppm)
1.04
Sangat rendah
K (me/100 g)
0.62
Sedang
Kadar air (%)
55.93
-
Kadar abu (%)
40.28
-
Sumber : Analisis pupuk kandang di Laboratorium Kimia Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
147
Lampiran 8. Hasil analisis kandungan NPK jaringan tanaman meniran Kombinasi perlakuan
Kandungan unsur N (%)
P (%)
K (%)
Meniran hijau (A6) tanpa pupuk (M1P0)
1.70
0.21
2.16
Meniran hijau (A6) + pupuk kandang (M1P1)
1.98
0.28
2.18
Meniran hijau (A6) + NPK (M1P2)
2.26
0.32
2.22
Meniran hijau (A6) + Pupuk kandang + NPK 2.31
0.35
2.36
(M1P3)
Meniran hijau (A7) tanpa pupuk (M2P0)
1.71
0.25
1.62
Meniran hijau (A7) + pupuk kandang (M2P1)
2.04
0.26
1.84
Meniran hijau (A7) + NPK (M2P2)
2.52
0.30
2.07
Meniran hijau (A7) + Pupuk kandang + NPK 3.04
0.32
2.45
(M2P3)
Meniran merah (A13) tanpa pupuk (M3P0)
1.66
0.22
1.53
Meniran merah (A13) + pupuk kandang (M3P1)
1.79
0.23
1.57
Meniran merah (A13) + NPK (M3P2)
2.05
0.27
1.83
Meniran merah (A13 + Pupuk kandang + NPK 2.88
0.34
2.15
(M3P3) Sumber : Analisis jaringan tanaman meniran di Pusat Penelitian Tanah Bogor.
148
Lampiran 9
Kromatografi hasil analisis HPLC dan contoh perhitungan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran
Respon detektor
filantin hipofilantin
Waktu retensi
No. Waktu retensi
Luas area
Konsentrasi sampel
1.
14.718
4899195
1.760982
2.
16.062
3452276
2.598798
Perhitungan untuk mendapatkan nilai kandungan total filantin sebagai berikut : Luas area standar filantin = 5796004 Luas area sampel = 4899195 Konsentrasi larutan standar = 50 ppm Konsentrasi injeksi = (LA sampel/LA standar) x 50 ppm = 42.26356 ppm Bobot sampel = 1.2 gram Kandungan total filantin (mg g-1 bobot kering) = ([injeksi] x 0.05)/bobot sampel Kandungan total filantin = 1.760982 mg g-1 bobot kering
149
Lampiran 9 (Lanjutan) Perhitungan untuk mendapatkan nilai kandungan total hipofilantin sebagai berikut : Luas area standar hipofilantin = 2767526 Luas area sampel = 3452276 Konsentrasi larutan standar = 50 ppm Konsentrasi injeksi = (LA sampel/LA standar) x 50 ppm = 62.37116 ppm Bobot sampel = 1.2 gram Kandungan total hipofilantin (mg g-1 bobot kering) = ([injeksi] x 0.05)/bobot sampel Kandungan total hipofilantin = 2.598798 mg g-1 bobot kering