ISLAM DAN PDIP (Studi terhadap Aktivitas Politik dan Pandangan Keagamaan Baitul Muslimin Indonesia)
Oleh Ahmad Sa'di NIM: 204033203116
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
ABSTRAK
Ahmad Sa'di ISLAM DAN PDIP (Studi terhadap Aktivitas Politik dan Pandangan Keagamaan Baitul Muslimin Indonesia)
Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) adalah lembaga sayap Islam di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai yang sejak berdirinya tercitra sebagai rumah bagi kelompok nasionalis dan kelompok abangan kini mulai melihat Islam tidak lagi dengan sebelah mata, karena partai besar ini menyadari bahwa pemilih atau konstituennya mayoritas beragama Islam. PDIP sebenarnya mendapat dukungan yang besar dari masyarakat dengan sikap politiknya yang selama ini didengungkan dan terus menjalin kedekatan dengan wong cilik yang notabene adalah masyarakat Islam. Dalam perjalanannya PDIP menjadi terbuka dan memasukkan unsur Islam sebagai warna baru di tubuh partai besar ini. Islam di tubuh PDIP tidak menjadi asas yang harus tertuang secara formal dan memasukkan syariah yang terkandung di dalam ajaran Islam. Akan tetapi Islam dijadikan sebagai gerakan moral yang akan mewarnai PDIP, khususnya di dalam organisasi masyarakat BAMUSI yang merupakan bentukan PDIP. Penelitian ini ingin mengetahui kapan sayap Islam BAMUSI ini dideklarasikan, hubungan dengan PDIP sendiri, visi dan misi, dan juga aktivitas politik, kerakyatan serta keagamaan yang diperjuangan di BAMUSI. Penelitian ini akan menjadi gambaran tentang pemahaman baru terhadap bagaimana kiprah yang dimainkan oleh BAMUSI. BAMUSI didirikan sebagai langkah strategis untuk menghilangkan dikotomi yang tajam antara islamisme dan nasionalisme. BAMUSI adalah lembaga seasas dengan PDIP yaitu asas Pancasila. BAMUSI dalam kiprahnya akan mengusung suatu pemahaman tentang keagamaan yang cinta tanah air, memadukan islamisme dan nasionalisme. Salah satu kerja BAMUSI yang terpenting adalah membangun ekonomi kerakyatan yang dimulai dari desa-desa terpencil, karena dengan program ini Indonesia akan maju secara ekonomi, dan dapat menjadikan masyarakat makmur. Di sisi lain program ke depan BAMUSI akan melakukan dakwah islamiyah dan lebih menitikberatkan kepada pendidikan keagamaan. Dan yang menjadi tujuan utama adalah menciptakan masyarakat makmur yang berkebangsaan religius.
ISLAM DAN PDIP (Studi terhadap Aktivitas Politik dan Pandangan Keagamaan Baitul Muslimin Indonesia)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Ahmad Sa'di NIM: 204033203116
Di bawah bimbingan Pembimbing,
Idris Thaha, M.Si NIP: 150317723
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul ISLAM DAN PDIP (Studi terhadap Aktivitas Politik dan Pandangan Keagamaan Baitul Muslimin Indonesia) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 2 Juni 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Harun Rasyid, M.A NIP: 150232921
Drs. A. Rifqi Muchtar, M.A NIP: 150282120
Anggota: Penguji I,
Penguji II,
Drs. Agus Nugraha, M.Si NIP: 150299932
Dr. Hamid Nasuhi, M.A NIP: 150241817
Pembimbing:
Idris Thaha, M.Si NIP: 150317723
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang terindah dan patut untuk diucapkan selain kata puji syukur yang tiada terhingga kepada Allah SWT atas nikmat iman dan Islam yang diberikan oleh-Nya kepada kita, khususnya bagi penulis yang telah digerakkan hatinya untuk merampungkan tugas akhir dalam bangku kuliah S1 yaitu menyusun skripsi. Tidak lupa, shalawat dan salam semoga tetap tercurah ke haribaan junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membangun perubahan terhadap budaya-budaya jahiliyah di negeri Arab menuju budaya yang penuh dengan percikan iman yaitu budaya Islam yang sempurna. Dan semoga Allah selalu memberikan curahan rahmat kepada para keluarga dan sahabatnya. Berangkat dari keinginan yang kuat untuk mengetahui apa itu politik dan apa itu dinamika politik, terutama yang terjadi di Indonesia. Penulis menetapkan untuk kuliah di kajian Pemikiran Politik Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Yang pada akhirnya, setelah menjalaninya, ternyata politik itu indah dan begitu luhur ajarannya jikalau makna dasar dan pengertiannya secara sederhana benar-benar dilakukan dan diimplementasikan oleh para elite atau petinggi politik. Penulis adalah manusia biasa yang bisa khilaf dan tidak luput dari kesalahan, sehingga penulis tidak mungkin mampu menuntaskan penulisan skripsi ini tanpa adanya dorongan dari semua pihak untuk menyelesaikannya. Baik mulai dari bimbingan khusus skripsi yang ditentukan oleh Ketua Program, dan juga pihak terkait yang ikut membantu memberikan informasi yang utuh tentang wacana yang penulis tulis dalam skripsi ini. Penulis merasa terlalu pintar kalau tidak ada yang terlibat dan membantu memberikan arahan dan bimbingan serta bersedia meluangkan waktunya untuk proses penyelesaian skripsi ini. Dengan penuh hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils. dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Idris Thaha, M.Si., Selaku Pembimbing Skripsi penulis, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta kritik dalam penulisan skripsi ini. Dan juga telah memberikan ruang untuk berdiskusi dengan penuh rasa kekeluargaan. Juga kepada istrinya yang telah dengan ramah menerima kunjungan penulis ketika menjalani proses bimbingan di rumahnya. 5. Kepada semua jajaran dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat khususnya dosen pada Jurusan Pemikiran Politik Islam. Yang telah menuangkan ilmunya kepada penulis dan memberikan ruang pencerahan intelektual dalam berdiskusi pada saat jam kuliah. 6. Kepada semua jajaran pengurus perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga kepada jajaran pengurus perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah memberikan senyum dan keramahan serta bersedia memberikan informasi yang penulis butuhkan ketika dalam masa perkuliahan. 7. Kepada pengurus dan jajaran Redaksi Majalah Bulanan Baitul Muslimin Indonesia, terutama kepada Bapak Zuhairi Misrawi, Lc., selaku Wakil Pemimpin Redaksi, dan Bapak Alex M., selaku Koordinator Liputan, yang
telah bersedia meluangkan waktunya di sela-sela kesibukannya sebagai wartawan untuk memberikan bahan-bahan referensi atau tulisan terkait dengan skripsi yang penulis tulis. Dan sedikit ruang, juga waktu untuk sejenak berdialog tentang keberadaan Baitul Muslimin Indonesia. 8. Kepada Pengurus Pusat BAMUSI, khususnya Bapak Budi yang telah bersedia memberikan bahan-bahan yang dibutuhkan oleh penulis, di sela-sela kesibukannya berkampanye politik ke daerah Jawa Timur, ia masih bisa menyempatkan diri untuk memberikan bahan-bahan referensi berharga, seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Baitul Muslimin Indonesia dan Buletin Jum'at Baitul Muslimin Indonesia. Dan lebih khusus lagi kepada Bapak Zuhairi yang telah mempertemukan penulis dengan Bapak Budi, Kepada Bapak Zuhairi selaku Ketua Bidang Hub. Antar Agama di Baitul Muslimin Indonesia. Terimakasih atas diskusinya dan dorongan serta pinjaman bukunya untuk segera menyelasaikan skripsi ini. 9. Kepada kedua orangtuaku H. Ghazalie dan Ibunda tercinta Hj. Hamidah, kedua orang inilah yang selalu memberikan dorongan moril dan materil untuk bisa menimba ilmu di perguruan tinggi, dan juga kepada Kakakku yang tak kalah memberikan dukungan, Khoiriyah, Alif Laila, dan adikku Tini Ghazalie. Dan kakak iparku Khoiruddin, Hamdi, dan adik Iparku Darussalam. Semuanya telah memberikan dukungan sehingga penulis menjadi seperti sekarang ini. 10. Kepada teman-teman satu jurusan PPI angkatan 2004. Iskak, Yusuf, Supyan, Khudori, Iin Solihin, Yulita, Saiman, Indra, Tsani, dan semuanya yang tidak penulis sebutkan dalam skripsi ini, penulis ucapkan terimakasih dengan semua dinamika pemikirannya yang dituangkan di saat berdiskusi dalam perkuliahan.
11. Kepada teman-teman di MMS (Moderate Moslem Society), Zuhairi Misrawi, Lc., Agus Muhammad, Very Verdiyansyah, S. Th.I, Hasibullah Satrawi, Lc., Mahalli Sutikno,
Ust. Imam Ghozali dan cak Mun. Yang telah bersedia
menjadi teman untuk sekedar rileks dan minum kopi bareng serta berdiskusi tentang kebangsaan dan keislaman, dan terimakasih juga atas canda dan tawanya selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 12. Kepada teman-teman kerja di Yayasan Pendidikan Islam Amelia Bintaro, yang telah mendorong dan memberi semangat untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. Khususnya kepada Bapak Drs. Bambang Hernowo, BSc, selaku Kepala Sekolah, yang telah dengan bijak dan penuh pengertian memberikan izin pulang lebih awal pada setiap Rabu dan tidak masuk kerja satu hari setiap Kamis selama dua bulanan guna penyelesaian skripsi ini. Lebih khusus kepada Bapak Carly Hernoto, selaku wakil ketua I Yayasan Pendidikan Islam Amelia. Kepadanya penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya, saran dan kritik penulis harapkan dari pembaca, karena dengan kritik yang membangun akan memberikan suatu pemikiran yang utuh tentang karya yang masih jauh dari kesempurnaan. Semoga karya ini bisa memberikan wacana pemikiran baru dan ikut mengisi ruang dinamika pemikiran politik Indonesia dalam isu kebangsaan dan keislaman. Ciputat, 20 Mei 2009 M
Ahmad Sa'di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya gagasan untuk membentuk Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) di tubuh PDIP merupakan langkah strategis yang penuh dengan pertimbangan matang yang digulirkan oleh para elite PDIP, mengingat partai ini adalah partai nasionalis, yang pada awal berdirinya menghilangkan kesan dan pernak-pernih serta warna yang berbau agama. Gagasan ini muncul dikarenakan geliat keagamaan (Islam) di tubuh PDIP bertambah dan meningkat terutama setelah munculnya stigmatisasi bahwa PDIP merupakan partai yang melekat dengan Islam abangan. Keberadaan Islam abangan di PDIP menjadi pecut dan pukulan tersendiri untuk merubah haluan, pola dan sistem politiknya, sehingga keberadaan organisasi baru (BAMUSI) yang merupakan sayap kanan PDIP,
yang bernuansa islami ini niscaya untuk dibentuk dan dibangun.
BAMUSI merupakan terobosan baru bagi PDIP untuk mengembalikan stigmatisasi negatif yang diarahkan kepada PDIP selama ini. BAMUSI akan hadir untuk membangun citra baik terhadap PDIP yang selama ini hanya mendengungkan dan mengusung nasionalisme untuk penyatuan bangsa dalam bingkai NKRI. Islam seakan dinafikan dan tidak dijadikan ruh dalam sebuah perjuangan, melupakan agama (Islam) sebagai salah satu kekuatan dan penggerak mesin dalam pembangunan Indonesia. BAMUSI dengan konsep ajaran dasarnya dalam Islam, akan melakukan gerakan terhadap pemahaman keislaman yang rahmatan lil 'alamin bagi bangsa.1 Memahami Islam sebagai agama yang penuh 1
Wawancara Hamka Haq, "BAMUSI Memperjuangkan Islam Yang Substansial," Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhinekaan, No. 02 Agustus 2008. h.23.
dengan ajaran kemanusian dan kasih sayang untuk kepentingan bersama sebagai anak bangsa yang mencitai tanah airnya. Dalam konstelasi politik Indonesia peran agama menjadi penting ketika dihadapkan pada realitas dinamika politik Indonesia. Isu agama berperan penting dalam menentukan suara ketika ajang pemilu tiba. Agama menjadi isu empuk bagi yang berkepentingan. Peran agama sebenarnya memberikan ruang pembebasan terhadap ruang politik yang luas dengan tetap mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Agama seharusnya dimerdekakan dari negara, sebab manakala agama dipakai dalam pemerintah atau dalam politik, maka agama hanya akan menjadi alat politik saja bagi yang berkepentingan. Urusan dunia hendaknya dipisahkan dari urusan spiritual sehingga agama menempati satu singgasana yang maha kuat dalam kalbunya yang percaya.2 Agama tidak lagi menjadi pedang tajam yang siap menjatuhkan lawan politiknya. Tetapi agama seharusnya menjadi lokomotif pembangunan dalam satu bingkai yaitu Bhineka Tunggal Ika. Ini yang terjadi di Indonesia. Tidak berlebihan jika agama disebut sebagai fenomena abadi yang bersifat kompleks. Ia telah hadir sejak awal keberadaan manusia dan tetap bertahan hingga zaman sekarang. Dengan begitu seakan-akan agama tidak mengenal perubahan zaman, kerena berbagai peristiwa sosial yang dialami manusia menghilangkan eksistensinya. Agama
tidak sampai
bagaimanapun akan selalu berperan dalam
kehidupan sosial, ekonomi dan politik.3 Manuver isu agama dalam politik tidak akan pernah berhenti selama kedewasaan dan pendidikan berpolitik masyarakat masih kurang dan minim sekali 2
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1965), h. 404. 3 Bahtiar Effendy & Hendro Prasetyo, ed., Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM IAIN, 1998), h. vii.
terhadap pengetahuan tentang seharusnya bagaimana berperan aktif dalam pemilihan umum. Karena bagaimanapun isu agama sangatlah riskan dan berpengaruh terhadap kedewasaan berpolitik. Sebuah tantangan besar bagi PDIP, mengingat ia adalah partai besar yang pada pemilu 2004 menjadi partai pemenang dan sebagian besar pemilihnya adalah kaum Islam. Melihat fenomena ini tentunya PDIP menilik kilas dan lebih serius lagi bahwa kepentingan Islam
seharusnya diwadahi dan dimediasi dalam bentuk yang lebih
formal dan lebih memperhatikan serta memberikan sumbangsih kepada kepentingan Islam. Dengan tentunya tetap pada prinsip nasionalisme. Karena nasionalis bukan berarti tidak islamis dan islamis bukan berarti tidak nasionalis. Saatnya PDIP menjadi partai yang mengusung kepentingan bersama dalam satu komitmen memajukan Indonesia baik itu dari kalangan Islam dan nasioanalis. Karena partai politik ke depan yang akan menjadi pelabuhan bagi masyarakat Indonesia bukanlah partai yang mengatasnamakan kepentingan tertentu, melainkan untuk kepentingan bersama dan tujuan bersama membangun kebangsaan yang kuat dan berpijak kepada satu bangunan di bawah bendera keutuhan NKRI. Yang terjadi sekarang perubahan itu muncul pada diri PDIP yang tertuang dalam sayap Islam-nya yaitu BAMUSI. Para petinggi PDIP berkeinginan untuk tetap menjunjung NKRI dan menyelamatkan keutuhan Indonesia dangan pendekatan agama. Mengingat para founding father Indonesia telah bersusah payah dalam penyatuan bangsa yang tentunya berbeda ras, suku dan agama. Seharusnya bangsa berkaca pada mereka para pendiri Indonesia dalam segala tindakannya dan tidak seenaknya. Akan tetapi ada yang lebih penting dari semuanya, yaitu menjaga kebersamaan dan menguatkan tali toleransi antar sesama bangsa yang plural.
Bagi PDIP pendirian BAMUSI merupakan keharusan, karena ini realitanya yang mau tidak mau harus dihadapi. BAMUSI menepis anggapan bahwa partai di Indonesia sekarang bukan partai pada masa ORLA atau ORBA yang masih kental dengan karakter politik aliran. Sekarang, partai aliran bukanlah partai yang akan diminati mengingat kedewasaan berpolitik sekarang mulai terbangun akibat dari banyaknya bangsa Indonesia yang terdidik. Dikotomi politik masih sangat kentara dan terasa di Indonesia antara Islamisme dan Nasionalisme. PDIP yang dalam hal ini secara asas adalah nasionalisme mencoba untuk tampil lebih religius yang kemudian melahirkan pemikiran tentang pembentukan BAMUSI yang merupakan sayap kanan Islam, yang nantinya akan berkiprah secara real akan dirasakan oleh masyarakat Islam. PDIP bukan berarti partai Islam, akan tetapi menganut konsep nasionalisme kerakyatan yang tentunya berhadapan dengan rakyat yang memiliki keberagaman budaya dan agama.4 PDIP, selama ini dikenal dengan tempat bercokolnya orang-orang abangan yang anti dengan Islam. Penuh dengan orang-orang preman dan perusuh pada setiap akan mengadakan kampanye politik. Tetapi kemudian seiring bergulirnya waktu dan dalam proses demokrasi, kini PDIP menjadi partai yang berbeda dan membangun kesadaran serta merubah pandangan negatif masyarakat yang sudah lama dicitrakan, dengan membentuk organisasi masyarakat yaitu, BAMUSI yang akan berperan sebagai lembaga yang nantinya akan merubah pencitraan itu menuju lebih baik, bahwa PDIP sekarang berbeda dengan PDIP kemarin. PDIP sekarang konsern
4
Budiman Sujatmiko, "Tak Ubah Prinsip PDIP," artikel diakses pada 6 Pebruari 2009 dari http://pdi-perjuangan.blogspot.com/2007/02/budiman-sudjatmiko-tentang-baitul.html
terhadap persoalan keislaman karena memang realitas masyarakat Indonesia mayoritas Islam. Upaya terbentuknya BAMUSI bukan hanya menepis isu negatif saja yang diarahkan kepada PDIP. Akan tetapi karena hal penting bahwa kalangan petinggi PDIP mulai untuk berbenah, membangun semangat baru dan mulai bergairah untuk lebih memahami tentang Islam, karena selama ini tudingan sebagai Islam abangan begitu melekat pada diri tubuh PDIP ini.5 Niat baik ini merupakan langkah maju bagi PDIP untuk tetap eksis dan berperan lebih jauh di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Islam. Realitas masyarakat Indonesia tentunya menjadi bahan renungan bagi PDIP yang kemudian menggagas organisasi sayap Islam BAMUSI yang bagi Megawati merupakan bentukan sayap Islam dalam partai, yang natinya akan berfungsi bersamasama dalam menyiarkan Islam yang lebih toleran, inklusif dan tidak menggunakan kekerasan setiap melakukan aksinya dan BAMUSI juga akan menjalin hubungan yang kuat dan selalu bekerjasama dengan ormas-ormas Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah.6
Karena
bagi
Megawati
ormas
Islam
seperti
NU
dan
Muhammadiyah memiliki basis yang kuat sehingga BAMUSI yang merupakan ormas Islam baru bentukan PDIP ini menjadi niscaya untuk membangun hubungan dan silaturrahim yang kuat. Karakter politik yang dipraktikkan di Indonesia yang masih mengandalkan kekuatan agama dalam menentukan pilihan politiknya membuat posisi para elite Islam mudah diorientasikan ke dalam politik kekuasaan dengan iming-iming posisi politik
5 "Bentuk Baitul Muslimin, PDIP lamar Tokoh NU," atikel diakses pada 9 Pebruari 2009 dari http://www.gp-ansor.org/berita/bentuk-baitul-muslimin-pdip-lamar-tokoh-nu.html
6
Antara News, "Megawati Lantik Pengurus Baitul Muslimin PDIP," artikel diakses pada 6 Pebruari 2009 dari http://74.125.47.132/search?q=cache:DNscCQLfkzMJ:www.antara.co.id/arc
strategis, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif dengan bergelimang harta kekayaan. Tidak heran jika PDIP sadar betul bahwa untuk memenangkan Pemilu 2009, mau tidak mau, harus mendekati ormas Islam secara intensif. Maka lahirlah BAMUSI sebagai perpanjangan tangan PDIP untuk meraup suara kelompok Islam. Dalam dinamika perpolitikan PDIP konsep nasionalisme sangatlah mengakar dan tidak akan mengubah haluan konsepnya dalam berpolitik. PDIP tetap menjadi partai nasionalis dan tetap mengusung Pancasila sebagai asasnya dalam bernegara. PDIP dengan lahirnya BAMUSI tidak akan merubah haluannya sebagai partai yang berbasis agama.7 Manuver politik yang dilakukan PDIP untuk merangkul dua organisasi massa (ormas) Islam terbesar; NU dan Muhammadiyah tentu saja memiliki arah yang jelas untuk mempersiapkan Pemilu 2009. PDIP ingin memaksimalkan kekuatan politik umat Islam melalui dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Dalam asumsinya jika NU dan Muhammadiyah berhasil didekati, maka mayoritas umat Islam akan memilih kandidat dari PDIP.8 Bagi umat dan kelompok Islam sendiri, hadirnya BAMUSI juga masih menjadi pertanyaan, benarkah nantinya lembaga itu benar-benar bisa menampung aspirasi umat Islam? Ini adalah pertanyaan besarnya yang kemudian harus ditelaah secara mendalam bagi umat Islam. Bisa jadi dari sebagian kelompok politik Islam melihat ini sebagai intrik politik dan akal-akalan semata demi mendulang suara dari umat Islam.9 7
Tempo Interaktif, " Pramono Anung: PDIP Tak Akan Berbasis Agama," artikel diakses pada 6 Pebruari 2009 dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/11/10/brk,2006111087428,id.html 8
Khamami Zada,"Baitul Muslimin dan Ormas," artikel diakses pada 9 Pebruari 2009 dari http://khamamizada.multiply.com/journal/item/36 9
Ardi Winangun,"Baitul Muslimin, antara Harapan dan Kenyataan," artikel diakses pada 9 Pebruari 2009 dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=164250
PDIP, partai yang identik sebagai wadah asprirasi kaum abangan ini tampak sedang berusaha mencitrakan dirinya sebagai saluran politik yang siap menampung aspirasi kaum santri, dan menepis jauh-jauh stigma nasionalis-sekularistik, dengan mendeklarasikan sebuah organisasi sayap politik baru, bernama Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI).10 Penulis menganggap ini isu penting mengingat problematika perpolitikan di Indonesia sangat fenomenal dan penuh intrik untuk bisa bermain dan menjadi pemenang dalam pemilu. Pemilu 2009 ini merupakan ajang dimana partai-partai politik memulai dengan pendekatan berbeda mengingat masyarakat Indoensia sekarang sudah bisa membaca dinamika politik atau partai-partai yang siap bertarung dan akan berlaga di pentas Pemilu 2009. PDIP, khususnya BAMUSI menjadi kajian menarik bagi penulis untuk mengetahui sejauh mana perhelatan dan dinamikanya dalam berperan sebagai lembaga sayap kanan Islam yang ada dalam tubuh PDIP. Apakah ini memang menjadi naungan yang real akan dirasakan dan dinikmati oleh kaum Islam atau hanya menjadi lipstik belaka untuk meraup massa Islam. Karena massa Islam bagaimanapun menjadi suara penentu untuk pendulangan suara yang signifikan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah BAMUSI merupakan gerakan sayap Islam dalam tubuh PDIP. Dan ini menjadi ketertarikan tersendiri bagi penulis, karena ini merupakan lembaga gerakan baru dan patut untuk dijadikan kajian politik yang menarik dalam kancah politik Indonesia.
10
"Baitul-Muslimin PDIP: Siluet hijau dalam Kanvas Merah?" artikel ini diakses pada 9 Pebruari 2009 dari http://muhsinlabib.wordpress.com/2007/04/15/baitul-muslimin-pdip-siluet-hijaudalam-kanvas-merah/
Yang mana BAMUSI bagi PDIP sendiri merupakan langkah tepat bahwa untuk menjadi partai yang pluralis, dan seharusnya untuk tetap berada pada prinsip nasionalismenya yang melekat pada diri PDIP. Saat inilah dimana mata masyarakat Indonesia terbelalak melihat lahirnya sayap partai yang bernafaskan Islam yang tertuang dalam gerakan BAMUSI. Dalam hal ini penulis bermaksud menulis skripsi seputar sejarah terbentuknya, kapan deklarasinya dan juga aktivitas politik keagamaan PDIP serta analisa terhadap pandangan keagamaan BAMUSI itu sendiri. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut dirumuskan masalah sebagai berikut: Apa keterkaitan dan hubungan organisatoris BAMUSI dengan PDIP serta aktivitasnya dalam politik keagamaan PDIP? Selanjutnya, penulis juga akan menulis pemahaman keagamaan perspektif BAMUSI tentang isu-isu keislaman kontemporer seperti fundamentalisme, gender, nasionalisme, terorisme, kemiskinan, dan lain-lain.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk memperkaya dinamika dan khazanah pemikiran politik di Indonesia. 2. Untuk memberikan gambaran tentang sejarah terbentuknya BAMUSI dalam tubuh PDIP. 3. Untuk memberikan gambaran tentang aktivitas politik dan aktivitas keagamaan BAMUSI dalam tubuh PDIP. 4. Untuk memberikan gambaran tentang konsep pemikiran keislaman dalam tubuh PDIP dalam pandangan BAMUSI.
5. Untuk memenuhi tugas akhir dalam menyelesaikan studi Srata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan library research (penelitian kepustakaan) yang menggunakan buku, bulletin, majalah, dan penelusuran dari media internet yang tentunya terkait dengan penelitian penulis.
Dan penelitian ini lebih
kepada penelitian deskriptif-analitis terhadap aktivitas politik dan aktivitas keagamaan BAMUSI dalam dinamika perpolitikan di Indonesia khususnya menghadapi pemilu 2009. Tidak hanya melalui media tulis dan elektronik saja, tetapi penulis akan menemui salah satu tokoh yang terlibat dalam kepengurusan BAMUSI untuk melakukan wawancara dan interview langsung seputar pendirian BAMUSI dan visimisi ke depan serta aktivitas politik keagamaannya dan juga pandangannya terhadap isu-isu kontemporer tentang keislaman.
E. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari sistematika penulisannya. Dalam hal ini penulis seperti biasa dalam penulisan skripsi dimulai dari pendahuluan yang ada pada bab I, yang meliputi latar belakang masalah yang berisi tentang dinamika dan problematika tentang pembahasan yang akan ditulis oleh penulis. Agar pembahasan dan penulisan skripsi ini tidak melebar terlalu jauh, maka penulis melakukan pembatasan dan perumusan masalah. Kemudian penulis menulis tentang tujuan dan metode penelitian yang ditutup dengan sistematika penulisan. Pada
bab II, berisi tentang sejarah terbentuknya dan kapan dideklarasikannya BAMUSI dan juga bagaimana pandangan tokoh-tokoh Islam tentang didirikannya sayap partai di PDIP yang menaungi kaum Islam. Untuk mengenal lebih lanjut kemudian penulis menuliskan pada bab III tentang BAMUSI dan aktivitasnya, baik aktivitas keagamaan, kemasyarakatan dan politik dalam kancah politik Indonesia. Lebih mendalam lagi bagaimana Islam dan PDIP penulis tuangkan dalam bab IV yang berisi tentang bagaimana pandangan BAMUSI tentang Islam dan isu-isu kontemporer seperti Islam dan gender, Islam dan fundamentalisme, Islam dan nasionalisme, dan lain-lain. Pada bab yang terakhir kemudian ditutup dengan bab V, yang berisi jawaban dan kesimpulan dari permasalahan yang ditulis oleh penulis dan ditutup dengan saransaran yang bertujuan untuk kepentingan bersama demi tujuan ke depan Indonesia tercinta.
BAB II SEJARAH TERBENTUKNYA BAITUL MUSLIMIN INDONESIA (BAMUSI)
A. Deklarasi Terbentuknya BAMUSI Partai
Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP)
pimpinan Megawati
Soekarnoputri mendeklarasikan lembaga baru bernama Baitul Muslimin Indonesia, disingkat (BAMUSI). Deklarasi dipimpin langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di markas DPP, Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada Kamis, 29 Maret 2007.11
Pada waktu itu, hadir sejumlah tokoh Islam antara lain Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj, Ketua pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Pascasarjana UIN Jakarta Azyumardi Azra, dan Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif.
Acara deklarasi berlangsung sangat islami. Hampir semua kader perempuan yang hadir mengenakan kerudung.12 Megawati datang disambut shalawat Badar13 yang dilantunkan oleh grup nasyid Snada. Sekitar 500 orang juga hadir sesaat mengheningkan cipta. 11
NU Online "PDIP Deklarasikan Baitul Muslimin Indonesia," artikel ini diakses pada 9 Pebruari 2009 dari http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8788 12
Kain penutup kepala (muka); cadar, dipakai oleh muslim perempuan. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 491. 13
Shalawat ini pertama kali didengungkan oleh para sahabat Anshar ketika menyambut kedatangan Nabi Muhammad setelah mendapat kemenangan besar. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 73.
Acara dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an. Surat yang dibacakan oleh qari’14 adalah Surat Ali Imron [3] ayat 104-105 yang berisikan perintah kepada umat Islam untuk tidak saling berpecah-belah. Acara dilanjutkan dengan penampilan grup Snada15 membawakan sejumlah lagu-lagu islami.
Disinyalir pendirian BAMUSI itu untuk menampik kesan bahwa PDIP adalah partai merah alias abangan. Sebelumnya, Taufiq Kiemas, suami Megawati, sowan ke kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Taufiq menawarkan beberapa "orang penting" di NU untuk ditempatkan sebagai pengurus BAMUSI.
Dalam deklarasinya, Megawati mengatakan bahwa berdirinya BAMUSI merupakan jawaban atas kekhawatiran yang pada akhir-akhir ini muncul gerakan "garis keras" dan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Baginya kekerasan merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab sehingga seharusnya ditindak secara hukum yang berlaku.
Selanjutnya juga Megawati mengatakan bahwa BAMUSI merupakan ajang atau ormas yang nantinya akan memberikan sumbangsih besar mampu bekerjasama dan bisa bersama-sama membangun komitmen dan silaturrahim yang kuat dengan ormasormas Islam yang moderat seperti NU dan Muhammadiyah.16
Bagi Taufiq Kiemas, BAMUSI terbentuk dari persoalan bangsa yang mengerucut kepada perpecahan bangsa Indonesia lebih-lebih ketika persoalan yang lagi hangat muncul ke permukaan tentang RUU Pornografi, sehingga baginya perlu 14 Pembaca al-Qur'an (laki-laki). Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 491. 15
16
Nama grup musik yang melantunkan nyanyian islami.
Antara News, "Megawati Lantik Pengurus Baitul Muslimin." artikel diakses pada 12 Pebruari 2009 dari http://74.125.47.132/search?q=cache:DNscCQLfkzMJ:www.antara.co.id/arc
tokoh Islam yang ikut berbicara muncul ke permukaan sebagai pemersatu umat untuk tetap berada dalam kesatuan NKRI. BAMUSI merupakan bentukan dari tokoh Islam sendiri yang sama-sama memiliki konsern dengan tetap menjunjung
nilai-nilai
nasionalisme sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara. Karena jelas bahwa negara Indonesia yang berideologikan Pancasila sudah menjadi pengejawantahan dari negara yang religius dan nasionalis.17
Dengan hadirnya beberapa tokoh dari kelompok ormas Islam Indonesia, diaharapkan BAMUSI bisa memberikan warna baru dalam bingkai kebangsaan yang beragam. BAMUSI yang di dalam kepengurusannya ada sebagian dari warga NU, ke depannya diharapkan bisa memerankan sebagai ormas yang lebih mementingkan kerakyatan dan lebih membangun keseriusan dalam membina umat lebih-lebih umat Islam yang belum terakomodir di dalam ormas-ormas yang sudah ada.
B. Pemaknaan Logo BAMUSI BAMUSI berlogo kubah masjid warna hijau dengan latar berwarna merah dengan tulisan "Baitul Muslimin Indonesia" melingkari kubah masjid ini. Lembaga sayap Islam PDIP ini memungkinkan untuk menjadikan BAMUSI sebagai ruang dan media membangun Islam di PDIP dan memberikan perubahan terhadap kinerja di
17
Wawancara: Taufik Kiemas, "Tidak Bisa Sendiri Menyelesaikan Persoalan Bangsa," artikel diakses pada 12 Februari 2009 dari http://www.wartasenayan.co.id/index_files/Page1169.
tubuh PDIP. Dan memiliki semangat perubahan menuju lebih baik dengan kembali ke masjid sebagai central dalam membangun Islam. Di samping itu juga, lambang BAMUSI dimaknai sebagai terobosan baru untuk melebarkan massa Islam yang secara real mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim.18 Logo BAMUSI juga dimaknai sebagai rumah kebangsaan sekaligus tempat dan media berekspresi bagi kaum Islam dalam membangun kebangsaan yang tetap mengacu kepada pemahaman keagamaan yaitu Islam. Logo yang ada dalam BAMUSI berangkat dari torehan cat yang dilahirkan oleh tangan Bung Karno, dan itu merupakan sebuah refleksi dari kecintaan dan kedekatannya dengan Islam.19 Seperti dalam
banyak tulisannya yang terangkum
dalam bukunya, Islam Pancasila NKRI.20 BAMUSI menarik kembali dengan pemaknaan logo-nya bahwa Islam dan kebangsaan sebenarnya dibangun selaras dan bersinergi guna menciptakan suatu pemerintahan yang terus berlangsung dengan menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan keislaman.
Kubah masjid merupakan bangunan kokoh yang selalu berada di atas dan dimaknai akan memberikan kedamaian bagi kaum Islam. Kubah masjid juga merupakan tempat untuk membangun ukhuwah Islamiyah yang kuat di antara kaum Islam itu sendiri. Dan juga menjadi roh pengembangan terhadap semua aktivitas kaum Islam baik itu politik, ekonomi, budaya dan lain-lainnya.
18
NU Online, "PDIP Deklarasikan Baitul Muslimin Indonesia," artikel diakses pada 9 Pebruari dari http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8788 19
20
Lihat, BAB Lampiran Skripsi ini untuk mengetahui logo Baitul Muslimin Indonesia.
Buku ini berisi artikel-artikel keislaman Bung Karno di surat kabar, ceramah-ceramah hari besar, dan amanat kepada parpol dan ormas. Diterbitkan oleh Komunitas Nasional religius Indonesia, 2006.
Jelas, bahwa logo kubah masjid yang terdapat dalam BAMUSI memiliki makna untuk membangun kekuatan sinergis antara islamisme dan nasionalisme. Karena kedua kekuatan ini memiliki sejarah yang tidak bisa dipisahkan, keduanya memiliki andil dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. BAMUSI dengan logo kubah masjid-nya mempunyai cita-cita besar yaitu menyatukan kelompok Islam dan nasionalis dan bersama-sama membangun kebangsaan yang kokoh. Kubah masjid yang dipilih BAMUSI untuk menjadi logonya, otomatis menandakan bahwa PDIP sekarang menjadi pengayom bagi kepentingan Islam. PDIP dengan BAMUSI-nya akan mengakomodir kepentingan dan suara Islam.21 Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, sehingga PDIP dengan penuh kesadaran untuk membuka diri menerima Islam sebagai bagian yang penting untuk ikut andil dalam proses kebangsaan ke depan menuju Indonesia yang lebih baik.
C. Asas Jati Diri dan Watak BAMUSI BAMUSI dalam membangun eksistensinya tidak terlepas dari asas, jati diri dan watak di dalamnya. Dalam sebuah organisasi apapun asas menjadi penting dan jantung yang akan memompa jalannya organisasi itu, begitu juga di dalam organisasi Islam bentukan PDIP ini. Asas BAMUSI yaitu Pancasila 1 Juni 1945.22 Asas Pancasila inilah yang menjadi dasar dan jantung bagi BAMUSI dalam berkiprah di Indonesia yang plural masyarakatnya. Sedangkan jati diri BAMUSI, yang menjadi ciri utamanya yaitu islami, baru kemudian kebangsaan dan keadilan sosial. Jati diri ini menunjukkan bahwa pertama
21
"Baitul Muslimin PDIP Untuk Rangkul Kaum Muslimin," artikel diakses pada 9 Pebruari 2009 pada http://www.kapanlagi.com/h/0000136420.html 22
Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI), Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Baitul Muslimin Indonesia; Periode 2007-2012 (Jakarta: BAMUSI. 2007), h. 24.
kali yang akan dibangun oleh BAMUSI yaitu kedekatan dengan kelompok Islam. Bukan hanya itu, ruh Islam di dalam organisasi ini juga akan menjadi mesin penggerak yang akan mewarnai setiap langkah dalam kebijakan politik, sosial dan keagamaannya. Selain asas dan jati diri BAMUSI , ada juga watak yang terkandung di dalamnya yaitu, religius, demokratis, nasionalis, terbuka dan kekeluargaan.23 BAMUSI yang merupakan sayap Islam PDIP, memiliki watak yang juga religius alias islami. BAMUSI memiliki karakter yang mengedepankan religiusitas Islam untuk membangun langkah-langkahnya ke depan di tubuh organisasi bentukan bentukan PDIP. Watak demokratis, nasionalis, terbuka dan kekeluargaan juga menjadi ruh dan penting, mengingat bangsa Indonesia adalah plural. Kelima watak itulah yang akan mengisi setiap langkah BAMUSI ke depan dalam melakukan kerja dan aktivitasnya di tengah-tengah bangsa Indonesia yang plural.
D. Bentuk dan Status BAMUSI BAMUSI dibentuk sebagai organisasi kemasyarakatan yang berbasis keagamaan dan berwawasan kebangsaan. Basis keagamaan merupakan target baru BAMUSI untuk melakukan aktivitasnya dengan tetap menyerukan pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai kebangsaan. BAMUSI dibentuk untuk membangun keagamaan yang kuat dan tetap memiliki rasa kebangsaan, cintai akan tanah air Indonesia.
23
BAMUSI, Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Baitul Muslimin Indonesia; Periode 2007-2012, h. 24.
Sedangkan status BAMUSI merupakan organisasi yang seasas, seideologi dan seaspirasi dengan PDIP.24 BAMUSI tetap menjadikan PDIP sebagai rujukan penting dan utama tentang hal-hal yang berkenaan dengan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.
Paham
keislaman
dan
kebangsaan
menjadi
barometer
dalam
menggerakkan organisasi masyarakat Islam ini. Keislaman dan kebangsaan harus menjadi kekuatan yang utuh dalam pembangunan Indonesia di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama.
E. Tujuan Fungsi dan Tugas BAMUSI Di dalam BAMUSI terdapat tujuan umum dan khusus. Tujuan umumnya adalah mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sesuai dengan yang dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. BAMUSI sendiri lebih menekankan kepada pembangunan masyarakat yang religius, karena masyarakat yang memahami agamanya dengan baik, pasti akan memiliki pemahaman yang lebih tentang nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam agama. Dalam konteks Indonesia, jiwa pancasilais merupakan modal utama ketika dihadapkan kepada persoalan bangsa di negeri ini. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural dan membutuh masyarakat yamg memiliki pemahaman tentang Pancasila. Karena di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur agama yang harus diimplementasikan dalam bentuk real di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Adapun tujuan khususnya adalah, mewujudkan masyarakat muslim Indonesia yang berwawasan kebangsaan, memperjuangkan aspirasi masyarakat muslim
24
BAMUSI, Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Baitul Muslimin Indonesia; Periode 2007-2012, h. 24-25.
Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan asas, jati diri dan watak PDIP. Dan yang lebih penting yaitu membentuk masyarakat muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kepribadian, dan menjunjung tinggi kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.25 BAMUSI tentunya mempunyai fungsi di dalam membangun masyarakat Indonesia. Karena fungsi sendiri merupakan sarana dalam pembangunan yang diusung oleh BAMUSI. Fungsi itu adalah, bahwa BAMUSI sebagai sarana membentuk dan membangun masyarakat muslim Indonesia yang sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa. Di samping itu ikut andil dalam mendidik dan mencerdaskan masyarakat muslim Indonesia agar bertanggungjawab melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Selain fungsi di atas juga BAMUSI berfungsi untuk menghimpun dan menggerakkan masyarakat muslim Indonesia untuk membangun masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Selain tujuan dan fungsi, BAMUSI juga mempunyai tugas yang harus dilaksanakan yaitu mempertahankan dan mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. BAMUSI juga berfungsi dalam melaksanakan, mempertahankan dan menyebarluaskan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai pandangan hidup bangsa di kalangan masyarakat muslim Indonesia dan ikut membina masyarakat muslim yang demokratis, menghargai kebhinekaan dan toleransi terhadap sesama. Dan yang terpenting menghimpun dan memperjuangkan aspirasi masyarakat muslim Indonesia melalui kebijakan PDI Perjuangan serta mendukung dan mengamankan perjuangan politik dan kebijakan PDI Perjuangan.26
25
BAMUSI, Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Baitul Muslimin Indonesia; Periode 2007-2012, h. 25-27. 26 BAMUSI, Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Baitul Muslimin Indonesia; Periode 2007-2012, h. 27.
Dari tujuan, fungsi dan tugas BAMUSI di atas bisa dilihat bahwa cita-cita untuk membangun Islam terwakili dan terwadahi dalam bentuk bagunan sebuah organisasi besar ini. BAMUSI ingin melakukan kerja nyata yang nantinya akan dirasakan oleh kelompok Islam yang merupakan kelompok mayoritas di Indonesia. Tujuan, fungsi dan tugas BAMUSI akan menjadi pedoman dari semua aktivitasnya dan akan didengungkan ke seluruh daerah-daerah yang merupakan basis-basisnya, mulai dari pusat, daerah, cabang, sampai ranting.27 BAMUSI akan melakukan sebuah perjuangan yang real, yang akan dirasakan oleh kelompok Islam di nusantara. BAMUSI menjadikan Islam sebagai tujuan untuk membangun karakter bebangsaan yang berdaulat dan bermartabat. BAMUSI dengan semangat Islam-nya akan menjadi kekuatan baru yang akan mewarnai perjalanan Indonesia secara moral dan kebangsaan yang religius dan kokoh. BAMUSI akan melangkah pasti dengan membawa bendera baru dengan menjadikan Islam sebagai ruh perjuangannya. F. Struktur Keorganisasian BAMUSI Para pejabat struktural di tubuh BAMUSI merupakan suatu tinjauan yang menarik, karena BAMUSI akan dilihat sebagai organisasi Islam. Bagaimana dengan komposisi dan personalia yang ada dalam BAMUSI. Di dalam SK Penyempurnaan DPP No. 053/TAP/DPP/III/2008 tgl: 18 Maret 2008.28 BAMUSI adalah suara Islam yang berkebangsaan. Karena dilihat dari Dewan Pembina BAMUSI terdapat tokoh kharismatik Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj dari NU dan dan juga seorang tokoh bangsa Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif dari Muhammadiyah. Kedua tokoh besar ini sebagai 27
BAMUSI, Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Baitul Muslimin Indonesia; Periode 2007-2012, h. 61-75. 28
BAMUSI, Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Baitul Muslimin Indonesia; Periode 2007-2012, h. 17.
representasi dari suara Islam. Mengingat kedua tokoh ini adalah tokoh yang berperan di dalam ormas Islam NU dan Muhammadiyah. Sedangkan yang menjabat sebagai Dewan Penasehat, ada pejabatnya yang sudah mencapai gelar doktoral, di antaranya Dr. Faisal Basri, Prof. Dr. H. Muiz Kabri, Dr. H. Marwah M. Diah. MPA. dan lainya yang sudah mencapai gelar master (S2). Dilihat dari personalia Dewan Penasehat BAMUSI, menandakan bahwa para pejabat di BAMUSI memiliki kapabilitas dan menguasai secara keilmuan pada bidang sosial, politik dan ekonomi seperti salah satunya adalah Dr. Faisal Basri. Ketua Umum Pengurus Pusat BAMUSI dinahkodai oleh seorang akademisi dan ulama yaitu Prof. Dr. Hamka Haq. Ia juga memiliki pemikiran moderat dan konsern dengan persoalan keislaman. Ia melihat umat Islam sebagai beban yang tidak ringan, dan persoalan ini menjadi tanggungjawab seorang akademisi dan ulama untuk membina dan memperbaiki sesama umat manusia.29 Hamka juga mengatakan bahwa dunia politik tak ubahnya sebagai sebuah laboratorium sosial dan sebagai seni, karena politik itu sendiri mangandung unsur yang berbeda sehingga perlu untuk sebuah perpaduan atas perbedaan dalam bingkai harmoni dan menghilangkan perbedaan. Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat juga merupakan seorang akademisi yang sudah mencapai gelar doktoral, yang kapabilitas keilmuannya tidak diragukan lagi. Secara umum komposisi di dalam kepengurusan BAMUSI memiliki kepabilitas keilmuan yang mumpuni sehingga eksistensi BAMUSI akan membawa angin segar yang akan dirasakan oleh kelompok Islam secara khusus dan semua masyarakat Indonesia secara umum. BAMUSI memiliki banyak bidang yang harus dikembangkan yang dinahkodai oleh para ahlinya masing-masing. Ada Moh. Said Abdullah, SH, selaku Ketua Bidang
29
Wawancara Hamka Haq, "BAMUSI Memperjuangkan Islam Yang Substansial," h. 24
Dakwah, KH. Hasib Wahab, selaku Ketua Bidang Fatwa, Zuhairi Misrawi, Lc., selaku Ketua Bidang Hubungan Antar Agama, dan yang lainnya.30 Dengan banyaknya bidang dalam kepengurusan di BAMUSI terutama yang terkait dengan pengembangan keagamaan, BAMUSI menjadi sebuah organisasi yang benar-benar memiliki tekad untuk memajukan Indonesia dan umat Islam khususnya di dalam bingkai NKRI yang religius.
G. Hubungan Keorganisasian Baitul Muslimin Indonesia dan PDIP BAMUSI merupakan sayap Islam dalam tubuh PDIP. Dengan sendirinya BAMUSI merupakan organisasi di bawah naungan PDIP secara struktural. BAMUSI ini dibangun dan dibentuk seasas dan seaspirasi dengan PDIP. Sebagai organisasi seasas dan seaspirasi dengan PDIP, BAMUSI berperan penting dan sebagai alat partai untuk mengadakan pengembangan di bidang keagamaan, khususnya di bidang keislaman. BAMUSI dibentuk dengan tujuan untuk membangun relasi ideologis yang positif antara nasionalisme dan islamisme yang selama ini belum terbangun secara struktural formal di tubuh PDIP. Di samping itu, kehadirannya juga diharapkan dapat semakin meningkatkan nilai-nilai religiusitas yang bersifat kultural dalam tubuh PDIP. Di sinilah kemudian BAMUSI menjadi inspirasi tersendiri bagi kelompok Islam yang berada di bawah naungan PDIP dengan tetap berpegang teguh kepada perjuangan semula yang terdapat di tubuh PDIP, yaitu membangun suatu kebangsaan
30
Lihat halaman lampiran, tentang Struktur, Komposisi dan Personalia BAMUSI 2006-2011.
yang kokoh sesuai dengan cita-cita para founding fathers Indonesia dan sesuai dengan cita-cita Pancasila. BAMUSI merupakan mesin penggerak di tubuh PDIP, dan BAMUSI diharapkan untuk memberikan sumbangsih yang real bagi masyarakat Islam dengan sama-sama bergerak dan melakukan perubahan sosial masyarakat menuju lebih baik ke depan khususnya umat Islam. BAMUSI dalam melakukan aktivitasnya, baik itu aktivitas politik, aktivitas keagamaan maupun aktivitas kemasyarakatan, BAMUSI tetap menjadikan PDIP dasar untuk membangun semua aktivitasnya. PDIP menjadi rujukan utama bagi BAMUSI, karena PDIP itu sendiri merupakan rumusan awal bagi BAMUSI untuk berkiprah dan berperan dalam kebangsaan dan juga membangun kualitas Islam di Indonesia.31 Bangunan BAMUSI di PDIP merupakan gerakan penyatuan emosional kelompok Islam di tubuh PDIP. Yang selama ini masih belum terakomodir secara profesional di dalam partai. PDIP mencoba mewadahi kelompok Islam dengan sayap partainya, dengan memberikan ruang gerak memajukan Islam di Indonesia. BAMUSI dan PDIP sudah maju selangkah membangun kesamaan dan sinergi dalam proses pengembangan masyarakat yang demokratis, nasionalis, dan religius. BAMUSI dalam tugas keorganisasiannya menjadi lembaga tersendiri di bawah bendera PDIP dan mandiri, dalam artian mengembangkan organisasi sesuai dengan karakternya yaitu memajukan kebangsaan terutama di bidang keagamaan. Yang sekarang menjadi salah satu agenda besar di PDIP bahwa kemajuan Islam juga kemajuan bangsa Indonesia, sehingga gerak laju organisasi BAMUSI ini menjadi sinergi yang selalu berjalan bersamaan demi tercapainya cita-cita bersama Indonesia 31
Pramono Anung, "PDIP Tak Akan Berbasis Agama," artikel diakses pada 9 Pebruari 2009 dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/11/10/brk,20061110-87428,id.html
tercinta. BAMUSI mempunyai tangan besar yaitu PDIP, yang nantinya juga akan mampu menjadi besar dengan tujuan mulianya sebagai organisasi masyarakat Islam, yang memikul tanggung jawab besar di PDIP, yaitu merekatkan dan menguatkan silaturrahim kelompok Islam Indonesia khususnya di internal partai.
H.
Pandangan Tokoh Islam terhadap Baitul Muslimin Indonesia Berdirinya BAMUSI mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak dan elemen
masyarakat, baik itu yang datangnya dari tokoh politik maupun tokoh agama. BAMUSI menjadi perhatian dan menarik untuk dikaji dengan kacamata politik karena momentum berdirinya mendekati Pemilu 2009. Tidak sedikit kalangan yang memberikan pandangan negatif dengan munculnya sayap Islam PDIP (BAMUSI). Ada yang memaknai munculnya BAMUSI hanya sebagai bumper alat pendulang suara kaum Islam dan ada juga yang memaknai positif dengan munculnya BAMUSI di tengah hiruk-pikuk politik di Indonesia menjelang Pemilu 2009. BAMUSI merupakan jalan tengah yang nantinya akan mempertemukan kebuntuan dalam kekuatan islamisme dan nasionalisme. Islamisme dan nasionalisme tidak lagi dilihat sebagai kekuatan parsial akan tetapi menjadi kekuatan integral dalam satu kekuatan di bawah bendera NKRI. Dalam tulisan ini, penulis menghadirkan sedikit pandangan yang disikapi oleh para tokoh Islam yang terkait langsung dengan berdirinya BAMUSI di PDIP. Di antaranya, Din Syamsuddin sebagai tokoh Islam, intelektual muslim dan juga sebagai ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah. Penulis juga menulis pandangan tokoh NU Hasyim Muzadi yang juga dikenal sebagai tokoh Islam dan menjabat Ketua Umum PBNU, Abu Bakar Baasyir yang merupakan tokoh Islam garis keras dan juga sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Ngruki dan yang tidak kalah menarik adalah pandangan
yang datang dari fungsionaris PDIP sendiri, yaitu Taufiq Kiemas, yang merupakan penggagas berdirinya BAMUSI dan ia juga memiliki latar belakang yang kuat tentang pemahaman Islam. Dari pandangan tokoh-tokoh Islam di atas, setidaknya pandangan kelompok Islam terwakili secara keseluruhan tentang keberadaan BAMUSI. BAMUSI mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia, lebih-lebih di masyarakat Islam yang cinta akan kebangsaan dan keutuhan NKRI yang merupakan mayoritas di Indonesia.
a. Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah) Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin merupakan salah satu penggagas didirikannya BAMUSI di sayap kanan PDIP. Menurutnya sangat penting membangun jembatan ini, islamisme dan nasionalisme di Indonesia dibangun dan dimulai oleh para founding fathers Indonesia. Pada awal-awal Indonesia dibangun memang mengalami perdebatan yang serius ketika ingin merumuskan dan akan dibawa ke arah mana Indonesia ini. Namun, masih bisa disatukan dalam semangat kebangsaan. Bangunan Indonesia yang sedari awal memang dasarnya terbentuk oleh berbagai kalangan suku, agama, ras dan lain-lain. Menjadi renungan bagi founding fathers untuk membangun Indonesia berdiri di atas dasar kebangsaan bukan lagi mengatasnamakan suku, agama, ras dan golongan tertentu. Di tubuh PDIP, dalam pandangan Din Syamsuddin merupakan partai yang memiliki basis konstituen yang merakyat, dan dikenal bahwa ruang dan jarak dengan Islam sangat kentara bagai air dan minyak. Islamisme dan nasionalisme menjadi dikhotomis dan tidak bertemu dan singkron dalam memajukan Islam ke depan. Padahal Islam adalah mayoritas sebagai pemilih di PDIP. Kenapa ini terjadi? Ini pertanyaan besar bagi seorang Din Syamsuddin sebagai ketua salah satu ormas Islam
terbesar yaitu Muhammadiyah. Untuk itu, perlu dibangun jembatan guna mempertemukan kembali antara ruh Islam dan nasionalisme dan ruh nasionalisme dan Islam. Bagi Din Syamsuddin, dengan berdirinya BAMUSI di tubuh PDIP, kaum Islam yang setia dengan PDIP bisa membangun Indonesia secara bersama-sama guna memajukan Indonesia sebagai bangsa yang nasionalis dan religius. Bagi Din Syamsuddin, BAMUSI juga menjadi langkah strategis untuk membangun citra PDIP selama ini yang melekat sebagai partai yang anti terhadap persoalan agama Islam. Kini dengan BAMUSI setidaknya bisa dan mampu menghilangkan stereotip negatif itu dan melihat bahwa PDIP juga konsern dengan persoalan Islam. Dan baginya, stigma lama juga harus dihilangkan yaitu membangun dikhotomi antara Islamisme dan nasionalisme. Islamisme dan nasionalisme sekarang harus merapatkan barisan menuju islamis yang nasionalis dan nasionalis yang islamis. Baginya, Bung Karno, Megawati dan Taufiq Kiemas adalah warga Muhammadiyah dan perlu untuk menjembataninya dengan rumusan strategis untuk menuju PDIP baru yang juga konsern dengan keagamaan.32
b. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) Tokoh Islam yang satu ini, menyambut baik dengan diberdirikannya BAMUSI sebagai sayap Islam di tubuh PDIP. Baginya keberadaan BAMUSI sebagai langkah untuk menghindari formalisme agama dan tetap memakai payung pluralitas, kebhinekaan dan nasionalisme dalam membangun Indonesia ke depan. Karena bagaimanapun diakui bahwa BAMUSI tempat orang Islam yang juga memahami arti
32
Anung, "PDIP Tak Akan Berbasis Agama."
penting dalam membangun Indonesia, sebagai satu kebangsaan yang harus dikedepankan. Baginya, BAMUSI sebuah angin segar yang dihembuskan oleh PDIP, bahwa PDIP juga memiliki semangat perubahan mengingat bangsa Indonesia ke depan memerlukan peleburan dan menghilangkan dikhotomi yang tajam antara Islam dan PDIP. Islam yang selama ini sangat jauh, dalam artian bahwa PDIP tidak merangkul Islam, kini semangat merangkul Islam lebih mendalam itu muncul dan dengan kesadaran bahwa Islam merupakan satu kesatuan Indonesia yang tidak bisa dipungkiri sebagai warga bangsa yang mayoritas di Indonesia. Indonesia ada dan terbangun karena adanya semangat Islam dan kebangsaan yang kuat, meskipun pada awal kemerdekaan Indonesia bersitegang dalam menyatukan formulasi negara Indonesia, antara tokoh Islam dan nasionalis. Tapi kemudian keduanya dapat tersenyum dan bersama-sama membangun sinergi antara kaum Islam dan nasionalis. Bagi Hasyim secara pribadi tidak mengatasnamakan NU, hanya dapat memberikan dukungan dan saran kepada PDIP dengan sayap Islamnya untuk mewujudkan nasionalisme dalam politik ekonomi dan budaya yang mendukung kebangsaan dan nasionalisme Indonesia.33 Tidak hanya itu saran dari tokoh Islam ini, banyak harapannya, yaitu agar produk sayap Islam ini (BAMUSI) menjadi lembaga yang nantinya dapat dan bisa menyantuni umat Islam, dan agar BAMUSI tersebut bisa mengembangkan Islam secara kultural teologis dan ritual agar dapat memperbaiki moral keagamaan dan kebangsaan masyarakat. Baginya juga, BAMUSI harus memiliki ruang untuk menyapa budaya dan lintas agama karena langkah-langkah itu lah yang nantinya akan
33
"Bentuk Baitul Muslimin; PDIP Lamar Tokoh NU," artikel diakses pada 6 Februari 2009 dari http://www.gp-ansor.org/berita/bentuk-baitul-muslimin-pdip-lamar-tokoh-nu.html
memperkuat kebangsaan Indonesia dengan semangat toleransi dan membangun bangsa untuk tetap berada dalam kesatuan NKRI.34 Lebih lanjut Hasyim Muzadi mengatakan, bahwa untuk mengembangkan Islam di Indonesia, khususnya ditujukan pada BAMUSI dalam menjalankan dakwahnya untuk menghindari betul yang namanya formalisme agama, dan payungnya harus mengedepankan pluralitas, kebhinekaan dan nasionalisme itu sendiri.35
c. Abu Bakar Baasyir (Tokoh Islam dan Pimpinan Pondok Pesantren Ngruki) Abu Bakar Baasyir lain lagi. Tokoh yang dibebaskan pada masa Presiden Megawati dari tuntutan hukum dalam kasus terorisme yang dulu menghebohkan ini, tidak menyangsikan keislaman Taufiq Kiemas karena secara kultural layaknya orang Sumatera mewarisi nilai-nilai itu. Namun, tokoh kharismatis Pondok Pesantren Ngruki, Solo, itu mengingatkan, merupakan sebuah kekeliruan bila Baitul Muslimin Indonesia yang kelahirannya berkat dorongan Taufiq Kiemas hanya dijadikan kendaraan politik PDI Perjuangan.36 Baginya, BAMUSI atau Islam tidak dijadikan sebagai kendaraan berpolitik dalam tubuh PDIP. Warna dan semangat Islam benar-benar menjadi ruh, dan semangat untuk membangun kebangsaan terus berkobar dan tidak pernah berhenti. Dan diharapkan juga ke depannya PDIP tidak mendeskriditkan Islam dalam kebijakan-kebijakan politiknya. Dikhawatirkan olehnya Islam hanya sebagai tameng 34
"Bentuk Baitul Muslimin; PDIP Lamar Tokoh NU."
35
M. Rizal Maslan,"Baitul Muslimin Tutupi Kekurangan PDIP Soal Islam Abangan," artikel diakses pada 19 Februari 2009 dari http://movie.detikhot.com/read/2006/12/27/182057 36
Afnan Malay,"Taufiq Kiemas di Mata Tokoh Islam," artikel diakses pada 12 Februari 2009 dari http://pdi-perjuangan.or.id/content/view/733/102/
atau lip-stick belaka untuk kemudian hanya sekedar meraup simpati Islam dengan tujuan-tujuan politis. Ini yang sungguh-sungguh dikhawatirkan oleh tokoh Islam yang satu ini. Ia juga mengatakan bahwa dengan adanya BAMUSI PDIP menjadi wadah dan media yang akan mengantarkan kelompok Islam ke situasi yang lebih baik dan harus benar-benar manyuarakan suara Islam yang sudah memberikan sumbangsih besar bagi Indonesia ini.
d. Taufiq Kiemas (Ketua DPP PDI Perjuangan) Tokoh yang satu ini sebagai ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, mengatakan tidak main-main dengan terbentuknya BAMUSI sebagai sayap kanan PDIP. Organisasi ini merupakan bukti bahwa Islam dan Nasionalis harus dibangun, dan ini bukan hanya sekedar wacana saja yang mengelinding di PDIP. BAMUSI akan bekerja keras demi pembangunan Indonesia dengan mensinergikan kelompok Islam dan Nasionalis. Dalam artian bahwa kelompok Islam dan Nasionalis harus disatukan dalam bingkai kebangsaan demi pembangunan Indonesia ke depan. Baginya, BAMUSI nantinya diharapkan bisa berikhtiar menghimpun semua kelompok Islam yang sejauh ini direpresentasikan melalui personel pengurusnya. Kalaupun tidak semua organisasi Islam tertampung, tidak atau belum mau bergabung. aktivitasnya ditujukan menjadi perekat. Agar Islam tidak mudah dijebak perspekstif yang sempit dan melupakan bahwa mereka berada dalam rumah besar yang sama yaitu Indonesia. Dalam konteks itulah posisi Taufiq Kiemas layak ditempatkan. Dalam peta Islam-Nasionalis ia menjadi semacam mata rantai atau penghubung.37 Bagi Taufiq Kiemas, BAMUSI merupakan terobosan baru guna melekatkan tokoh-tokoh politik yang ada di PDIP dengan Islam. PDIP tidak akan berdiri dan 37
Malay,"Taufiq Kiemas di Mata Tokoh Islam."
berjalan sediri untuk memajukan Indonesia ke depan menuju lebih baik secara kebangsaan, melainkan membutuhkan mitra dan teman untuk perumusan sebuah langkah strategis demi tercapainya cita-cita founding-fathers. Indonesia tidak akan menjadi besar kalau masih terkotak-kotak dalam bangunan tertentu dan tidak disatukan dalam bingkai kebangsaan yang kuat. Di sinilah, di dalam BAMUSI Indonesia satu mulai dibangun demi mencapai Indonesia yang kokoh dengan semangat Islamnya. Bahwa dalam ajaran Islam juga terdapat ajaran cinta akan tanah air. Tanah air harus diperjuangkan walau harus ditebus dengan nyawa. Dalam Islam memperjuangkan tanah air ditempatkan di tempat yang mulia karena itu sebagai bagian dari iman. Taufiq
Kiemas
menambahkan,
bahwa
keberadaan
BAMUSI
lebih
diperuntukkan kepada kebutuhan masyarakat. Selain itu juga BAMUSI dibentuk untuk memperbaiki citra PDIP selama ini. Yang hingga 2006 PDIP dinilai sebagai partai preman, partai non-Islam, dan juga partai yang berisikan kaum komunis.38 Diharapkan dengan BAMUSI PDIP menjadi partai yang dekat dan selalu melakukan kemitraan yang kuat dengan Islam demi Indonesia satu yaitu satu kebangsaan yang kokoh. Sungguh sebuah pemikiran yang cerdas yang dilakukan oleh seorang Taufiq Kiemas, yang mampu membaca kebutuhan masyarakat yang selama ini tidak terealisasi di internal PDIP. Meskipun sudah lama di internal PDIP ada organisasi kepemudaan dan juga pengajian, tetapi BAMUSI ini menjadi sesuatu yang lebih formal dan terorganisir secara rapi dan juga tertuang dalam sebuah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga BAMUSI.
38
19
Sinarharapan,"PDIP Luncurkan Rumah Perempuan," artikel diakses pada Februari 2009 dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0808/26/pol03.html
Taufiq Kiemas berpandangan bahwa dengan adanya BAMUSI, hubungan kelompok Islam dan nasionalis akan menjadi cair dan bisa melakukan kerjasama dalam pembangunan di segala bidang, baik itu politik, ekonomi maupun budaya. Kedua kelompok besar ini tentunya bisa bersatu, jikalau mempunyai suara yang sama yaitu satu kebangsaan Indonesia, kokoh dalam kesatuan NKRI. Tentunya, mempertemukan kelompok Islam dan nasionalis ini adalah tujuan kita bersama sebagai anak bangsa, karena keduanya merupakan tiang kokoh yang harus dijaga demi mneyelamatkan Indonesia dari rongrongan luar yang tidak senang dengan kuatnya persatuan Indonesia, dan ingin membelah NKRI.
BAB III AKTIVITAS BAITUL MUSLIMIN INDONESIA DALAM KANCAH POLITIK INDONESIA
A. Visi dan Misi BAMUSI Ide membentuk sayap Islam di PDI Perjuangan diprakarsai oleh Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Partai ini, Taufiq Kiemas. Secara formal, gagasan ini diumumkan pada hari kedua Ramadhan 1427 H., usai acara buka puasa bersama di kediaman Megawati, Kebagusan, Jakarta Selatan. Pada acara tersebut, Dr. Din Syamsuddin tampil memberikan tausyiah. Hadir dalam acara itu antara lain Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung, Prof. Dr. Hamka Haq, Adang Ruchiyatna, Daryatmo Mardianto dan sejumlah tokoh PDI perjuangan lainnya. Setelah gagasan ini digulirkan, PDI Perjuangan kemudian membentuk tim formatur yang bertugas untuk menuntaskan berdirinya BAMUSI. Tim formatur terdiri atas tujuh orang, diketuai oleh Prof. Dr. Hamka Haq. Sementara para anggotanya adalah Arif Budimanta Sebayang, Irmadi Lubis, Said Abdullah, Zainun Ahmadi, Ahmad Baskara dan Nova Andika. Selanjutnya tim formatur dipandu oleh Taufiq Kiemas serta seorang tokoh non-Islam Sabam Sirait SH, melakukan konsultasi dan pendekatan kepada berbagai organisasi dan tokoh Islam dalam rangka mematangkan pembentukan BAMUSI. Konsultasi dilakukan oleh tim formatur dengan menghadap langsung para ketua umum organisasi Islam, di antaranya KH. Hasyim Muzadi (PBNU), Asri Harahap (KAHMI). Anjangsana serupa juga dilakukan kepada tokohtokoh Islam ternama, di antaranya KH. Said Aqil Siradj, Dr. Syafi'i Ma'arif dan Ir. Akbar Tanjung.
Pada akhirnya, organisasi ini dideklarasikan pada 29 Maret 2007, dengan nama Baitul Muslimin Indonesia. Nama "Baitul Muslimin Indonesia" yang kini dipakai oleh organisasi ini hingga sekarang awalnya diusulkan kepada Taufik Kiemas setelah didiskusikan oleh H. Cholid Ghozali dengan H. Erwin Moeslimin Singajuru melalui konsultasi kepada Dr. Din Syamsudin (Ketua Umum PP Muhammadiyah). Lambang organisasi ini menggambarkan silhouette dua kubah masjid di mana Bung Karno menjadi arsiteknya pada 1938 di Bengkulu. Lambang ini mengabadikan "rasa cinta Bung Karno terhadap Islam". Sekaligus mencerminkan nuansa Islam pada organisasi ini. Dengan demikian, sebenarnya BAMUSI dibentuk dengan dua tujuan strategis, internal dan eksternal. Secara internal, harus digarisbawahi dulu bahwa BAMUSI adalah organisasi sayap PDI Perjuangan. Karena itu, tujuan organisasi ini harus melekat secara inheren sekaligus sejalan dengan tujuan PDI Perjuangan. Sebagai konsekuensi logisnya, ciri utama organisasi ini harus bertumpu kepada penghayatan terhadap wawasan kebangsaan, sense of nasionalism yang tinggi, berasas Pancasila, penghargaan terhadap pluralisme dan cinta kepada tanah air, yang ujungnya bermuara kepada utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks ini, menjadi kewajiban BAMUSI untuk dapat memaknai asas-asas yang tersebut di atas, sesuai dengan cara pandang yang religius dan islami. Sejalan dengan kewajiban ini, BAMUSI dituntut untuk meningkatkan kualitas keislaman bagi semua pemeluk Islam di dalam tubuh PDI Perjuangan sehingga pada gilirannya partai ini harus dapat dicitrakan sebagai partai kebangsaan yang religius. Sedangkan tujuan eksternalnya, BAMUSI harus sejalan dengan tujuan PDI Perjuangan. Dalam konteks outward looking, semua tujuan utama BAMUSI sebagai sayap Islam PDI Perjuangan harus tercermin pada pelaksanaan tugas, kewajiban,
gerakan-gerakan dan kiat-kiat yang semuanya bernuansa islami seiring dengan asas perjuangan PDI Perjuangan. Sebagai contoh, manakala PDI Perjuangan memandang bahwa memenangkan pemilu dan pilpres 2009 merupakan tujuan strategisnya, maka BAMUSI harus "all out" dalam mendukung kemenangan PDI Perjuangan itu. Dalam tingkat yang paling praktis, dengan tujuan eksternalnya ini Baitul Muslimin Indonesia harus dapat merangkul semua eksponen Islam yang selama ini berada di luar PDI Perjuangan untuk bersama-sama memberikan andil bagi kemenangan PDI Perjuangan. Mengapa membangun nasionalisme menjadi penting dilakukan oleh umat Islam di Indonesia? Di kalangan umat Islam dikenal qaul ulama bahwa "cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman)". Berangkat dari motto ini, sejarah membuktikan bahwa di banyak negara berpenduduk Islam, jiwa patriotisme setiap insan Muslim berkobar membela negeri mereka dan pada gilirannya memberikan makna positif
bagi tumbuhnya semangat kebangsaan. Dari sinilah
kemudian terpancar wawasan kebangsaan yang dicita-citakan oleh kaum muslimin, tepatnya wawasan kebangsaan yang dipagari oleh kaidah-kaidah religius. Sejarah mencatat bahwa membendung sense of nationalism adalah pekerjaan yang tidak mudah dan kadang berujung pada kebanggaan diri berlebihan. Contoh aktualnya dapat dilihat dari kisah runtuhnya Federasi Uni Soviet. Negeri ini terpecah menjadi 15 negara berbasis bangsa, masing-masing tiga negara berbasis bangsa Slav (Rusia, Ukrania dan Bela Rus/Rusia Putih), tiga negara Baltic (Latvia, Lithunia dan Estonia) enam negara berbasis bangsa Islam (Azerbayan, Uzbekistan, Kazkhstan, Turkmenistan, Kyrghistan dan Tajikistan), satu negara berbasis bangsa Rumania (Moldavia) dan dua sisinya berbasis bangsa kuno (Armenia dan Georgia).
Contoh kontemporer lain adalah pecahnya negara federal Yugoslavia menjadi enam negara berbasis bangsa (Serbia, Kroasia, Bosnia, Montenegro, Macedonia, dan Slovenia). Saat ini, negara Serbia sendiri masih diamuk ketegangan yang panas dengan akan lepasnya Kosovo (berbasis mayoritas bangsa Albania). Sedangkan provinsi lain di belahan barat laut Serbia (berbatasan dengan Hongaria) masih ada Wojvodina yang sebagian penduduknya adalah etnis Magyar/Hongaria. Kalau negeri ini tidak dikelola secara hati-hati, emosi kebangsaan di provinsi ini juga akan meledak seperti yang terjadi di provinsi Kosovo. Pengalaman serupa juga pada negara bekas Cekoslovakia, yang sekarang terbelah menjadi dua negara berbasis bangsa, yakni negara Ceko dan negara Slovakia. Jika kasus-kasus di atas adalah contoh negara-negara yang pecah karena berbasis bangsa, di belahan dunia lain juga ada fenomena lain bahwa bangsa-bangsa yang semula bercerai-berai kemudian bersatu kembali. Bersatunya kembali Jerman Barat dengan Jerman Timur, misalnya, atau Vietnam Utara dengan Vietnam Selatan adalah contoh menarik dari fenomena itu. Dari berbagai contoh di atas, umat Islam sebagai mayoritas penduduk serta komponen penting di Indonesia harus dapat menangkap dan memberikan makna esensial terhadap semangat wawasan kebangsaan yang pada gilirannya akan bermuara pada tumbuhnya semangat nasionalisme yang tangguh. Karena itu, dalam lingkup PDI Perjuangan, sudah pada tempatnya bila Baitul Muslimin Indonesia dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam memaknai semangat tersebut. Singkat kata, Baitul Muslimin Indonesia harus dapat memberikan makna yang bernuansa religius kepada asas-asas perjuangan bagi tumbuhnya nasionalisme di tanah air yang diusung oleh PDI Perjuangan. Di sisi lain, para aktivis dan fungsionaris Baitul Muslimin Indonesia juga tidak menghindar
dari konstelasi para pendukung
PDI Perjuangan yang
pluralistik. Di sinilah kemudian fenomena kebhinekaan yang ada dalam bangsa dan di atas bumi Indonesia harus dilihat sebagai suatu keniscayaan, bahkan sebuah mozaik kebhinekaan yang indah. Dalam mozaik yang indah itu, peran umat Islam yang merupakan mayoritas di dalam konfigurasi kebangsaan di Indonesia harus terlihat jelas, dengan menceburkan diri ke dalam kancah kebhinekaan dan memberikan warna religius kepada konfigurasi tersebut. Dalam konteks ini, muncul esensi lain dari berdirinya BAMUSI, yakni hendaknya organisasi ini memberikan makna positif bagi heterogenitas
dalam
kebhinekaan yang ada dengan cara berkiprah dinamis dalam lingkungan pluralistik dan heterogen itu. Karenanya, kaum muslimin hendaknya tidak sampai larut menjadi objek proses pewarnaan, tapi justeru menjadi aktor aktif dan dinamis dalam memberikan warna religius kepada konfigurasi kebangsaan yang penuh warna-warni. Kini bagaimana seharusnya BAMUSI memandang Indonesia, yang diyakini sebagai sebuah entitas bangsa yang satu dan tidak terpisah-pisahkan? Dari sejarah dan pengalaman masa lalu, kita perlu menyimak pentingya tonggak-tonggak sejarah perjuangan di dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu tonggak sejarah yang sangat penting adalah berikrarnya pemudapemuda Indonesia 28 Oktober 1928, saat digulirkannya sumpah pemuda. Peristiwa ini kemudian disusul dengan tonggak sejarah penting lainnya, yakni Proklamasi Kemerdekaan NKRI pada 17 Agustus 1945. dari semua peristiwa itu, kita meyakini bawa bangsa Indonesia adalah sebuah entitas yang utuh. Dalam konteks inilah, BAMUSI seharusnya memandang bahwa bangsa Indonesia secara keseluruhan memiliki sebuah negara kesatuan yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh siapapun. Dengan cara pandang ini, BAMUSI sebagai bagian dari PDI Perjuangan bertekad akan selalu all-out dan bekerja tanpa reserve untuk menegakkan dan menjayakan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap dan terus-menerus menghargai pluralisme dan berada pada koridor yang religius dan islami.39 PDIP akan selalu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dengan mengetengahkan wacana yang mengedepankan kepentingan bangsa Indonesia. Karena Indonesia merupakan bangsa yang plural dan membutuhkan pemikiran yang serius agar tetap bisa menjaga keutuhan NKRI.
B. Aktivitas Keagamaan BAMUSI BAMUSI dalam aktivitas keagamaan, menjadikan dakwah sebagai salah satu aktivitasnya yang harus dibangun dan didengungkan. Karena ini adalah sebuah lembaga sayap Islam dalam tubuh PDIP. Maka dakwah islamiyah menjadi sebuah keharusan. Sehingga apa yang menjadi tujuan umum dari terbentuknya BAMUSI ini, yaitu membangun masyarakat Indonesia yang religius dan Pancasilais terlaksana secara baik. Dalam wawancaranya dengan ketua umum Pengurus Pusat BAMUSI, Prof. Dr. Hamka Haq, ia mengatakan bahwa ada dua strategi dakwahnya yaitu menjadikan pesantren-pesantren kecil di pedesaan untuk menjadi basis dakwah dan basis ekonomi. Dakwah BAMUSI ke masyarakat tidak hanya melalui dakwah lisan, tabliq40 atau pidato, BAMUSI akan juga mengembangkan dakwah bilhal atau dakwah konkrit untuk perbaikan dan kesejahteraan rakyat.41
39
Hidayat, Helmi. ed. Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan (Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008), h. 1-8. 40
Penyiaran ajaran agama Islam. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 987. 41
Wawancara Hamka Haq, "BAMUSI Memperjuangkan Islam Yang Substansial," h. 26.
Sesuai dengan visi dan misi diberdirikannya, bahwa BAMUSI bertujuan akan membangun wawasan kebangsaan di kalangan masyarakat Islam Indonesia melalui pendekatan keagamaan yang bersifat kultural. Sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. BAMUSI dibentuk dan diamanatkan oleh PDIP sebagai lembaga dakwah islamiyah yang dalam aktivitasnya selalu melakukan pendekatan dan turun ke masyarakat guna mendakwahkan Islam dan ajarannya yang lurus.42 PDIP
dengan BAMUSI-nya
melakukan
langkah-langkah besar
demi
membangun masyarakat nasionalis-religius yang tentunya sesuai dengan harapan Bapak Proklamator Indonesia Bung Karno. Di mana Bung Karno semasa melakukan perjuangannya sangat dekat dengan Islam. Bukti nyatanya adalah tulisan-tulisan Bung Karno yang dekat dengan Islam, dia mengatakan bahwa "Islam adalah agama kehidupan dan perjuangan". Bagi Bung Karno, perjuangan yang dimaksud ketika itu adalah melawan dan menggempur imperialisme dan kolonialisme. Dan ini merupakan perintah Islam dan perintah Nabi Muhammad SAW. yaitu melawan dan memerangi segala kezaliman di dunia ini.43 Bagi Pramono Anung, BAMUSI dalam aktivitasnya ke depan akan mengadakan aktivitas keagamaan dan memberikan perhatian yang lebih kepada pendidikan keagamaan. Pada awalnya, memang ada di internal PDIP, sudah ada yang namanya Majelis Muslimin Indonesia,44 tetapi ini tidak terorganisir secara baik. Dengan BAMUSI sebagai sayap PDIP nantinya akan memberikan kemudahan dalam hal penanganan, seperti yang dikatakan bahwa nantinya akan mendirikan posko haji
42 "Ikut Kembangkan Keagamaan, PDIP Bentuk Baitul Muslimin," artikel diakses pada 19 Februari 2009 dari http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Pinyuh&id=137248 43
Rahardjo, Imam Toto K. & Sudarso, Suko. Bung Karno Islam Pancasila NKRI. Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia. 2006. h. 340 44
Organisasi ini dijadikan sebagai wadah ibu-ibu muslimah yang ada di PDIP untuk mengadakan pengajian tentang keislaman.
atau komisariat haji di Saudi Arabia sebagai bentuk kepedulian guna memberikan pelayanan yang baik bagi warga Indonesia yang melakukan ibadah haji dengan memberikan kemudahan dalam memberikan informasi seputar pelaksanaan ibadah haji dan juga memberikan pengobatan bagi yang melaksanakan ibadah haji.45 Sungguh merupakan langkah yang patut diapresiasi oleh segenap kaum Islam di tanah air, karena tekad membangun umat Islam ke depan sudah menjadi tujuan bagi oraganisasi sayap Islam di tubuh PDIP. Terobosan ini merupakan strategi besar yang dilakukan oleh PDIP bahwa umat Islam seharusnya dirangkul, diperhatikan, dan diperjuangkan hak-haknya, karena tidak bisa dipungkiri keterlibatan Islam dalam mengantarkan bangsa, menuju kemerdekaan Indonesia mempunyai andil besar sehingga kemerdekaan Indonesia dapat diraih. BAMUSI tetap melakukan cita-citanya yang besar, seperti yang dikatakan Bung Karno, bahwa Islam mempunyai cita-cita. Islam mempunyai macam-macam cita-cita. Yaitu cita-cita mengenai ketatanegaraan dan kehidupan rohani.46 Apa yang menjadi cita-cita rohani menjadi dasar bagi BAMUSI untuk melakukan aktivitas rohani dan keagamaan yang real untuk masyarakat. Langkah ini seharusnya mendapat dukungan yang besar dari semua elite PDIP dan Juga dari semua pengurus BAMUSI secara keseluruhan. Islam memiliki semangat perubahan yang harus ditanamkan pada jiwa setiap generasi muslim. Cita-cita Indonesia sesuai denga cita-cita Islam, yaitu membangun kehidupan masyarakat yang cinta tanah air dan religius. Samangat religius inilah yang menjadi dasar dalam langkah BAMUSI ke depan.
45
Pramono Anung, "PDIP Tak Akan Berbasis Agama," artikel diakses pada 9 Februari 2009 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/11/10/brk,20061110-87428,id.html 46
Suara Bung Karno, "Negara Nasional dan Cita-cita Islam," Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhinekaan, No. 06 Januari 2009. h.31.
C. Aktivitas Kemasyarakatan BAMUSI BAMUSI merupakan sebuah lembaga yang nantinya akan melakukan langkah-langkah kongkrit untuk membangun masyarakat dengan melakukan kegiatan sosial yang melibatkan sebanyak mungkin umat Islam tanpa kecuali. Yang menjadi sasaran BAMUSI adalah umat Islam yang ada di pedesaan dan lemah secara ekonomi. Bahwa intinya, semua umat Islam yang selama ini tidak digarap oleh ormas atau partai yang sudah ada akan di-take-cover. Ke depannya, BAMUSI akan bekerjasama dengan komunitas
"Tumbuh Bersama", badan pelatihan ekonomi rakyat. Fokus
garapannya adalah masyarakat pedesaan yang memiliki potensi ekonomi, tapi belum tergarap secara intensif sehingga kondisi perekonomian mereka bisa berubah lebih baik.47 Komitmen pada kebangsaan pada hakikatnya adalah komitmen terhadap orang-orang miskin. Sebab, salah satu masalah besar yang sudah lama mengganjal kemajuan Indonesia adalah kemiskinan. Kemiskinan adalah persoalan pelik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Problem kemiskinan dapat mengancam nilainilai kebangsaan kita, jika tidak diselesaikan dengan baik oleh pemerintah. Bahkan, masalah kemiskinan dapat memicu munculnya disintegrasi bangsa jika sengaja dipelihara. Persoalan kemiskinan kembali menjadi sorotan saat ini karena hampir semua calon angota legislatif di semua tingkatan, DPD, calon presiden dan partai-partai politik membicarakannya. Memerangi kemiskinan sejatinya merupakan wujud cinta dan komitmen pada nilai-nilai kebangsaan, sekaligus menjadi tuntunan agama, yang secara teologis berkaitan dengan tingkat keimanan, dan kemiskinan juga menjadi
47
Wawancara Hamka Haq, "BAMUSI Memperjuangkan Islam Yang Substansial," h.26.
ancaman yang menyebabkan terjadinya prilaku kafir.48 Sungguh naif apabila masyarakat muslim di Indonesia yang sudah terbangun kokoh keimanannya tentang Islam, kemudian goyah dan hancur akibat dari sulitnya ekonomi di Indonesia. Fenomena inilah yang kemudian ditakutkan oleh MH. Said Abdullah yang termaktub sebagai salah satu Pengurus Pusat BAMUSI. Bagi Said juga ini merupakan persoalan serius dan tantangan di depan mata. Mulut-mulut yang lapar karena menganggur dan miskin membuthkan makanan untuk hidup sehari-hari.49 Ini harus dicarikan solusinya agar masyarakat tidak larut dalam kubangan kemiskinan. Komitmen ini pada hakikatnya merupakan sebuah bagian terpenting dari komitmen kita terhadap Pancasila dan UUD 1945. Jika keadilan sosial merupakan sila yang terakhir dalam Pancasila, maka pesan yang tersirat di dalamnya, bahwa keadilan sosial dan keluar dari perangkap kemiskinan merupakan muara dari seluruh kebijakan politik. Jika negara mengamanatkan perlindungan bagi kalangan fakir miskin, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, maka tugas kenegaraan yang paling luhur yaitu memastikan negara telah melindungi dan memberdayakan orang-orang miskin. Hanya saja, patut disayangkan karena komitmen terhadap orang-orang miskin hanya menjadi slogan politik daripada kerja politik. Manakala genderang pemilu ditabuh, maka komitmen untuk kaum miskin seolah-olah menjadi program utama, tetapi jauh-jauh hari sebelum dilaksanakannya pemilu, komitmen tersebut terlihat sunyi-senyap, tidak ada gemanya. Inilah
kemudian yang dikuatirkan, dengan
ramainya para calon politisi maupun politisi dan partai-partai politik menyuarakan kemiskinan menjelang pemilu 2009.
48 MH. Said Abdullah, "Salam; Komitmen untuk Orang Miskin"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhinekaan, No. 07 Februari 2009. h.3. 49
Abdullah ,"Salam; Komitmen untuk Orang Miskin." h.3.
Maka dari itu, komitmen terhadap orang-orang miskin selama ini hanya menjadi kampanye dan bukan program kerja. Di sinilah awal masalah dari komitmen kita terhadap orang-orang miskin. Rasanya tidak ada ketulusan dan kesungguhan untuk menjadikan upaya pengentasan kemiskinan sebagai cita-cita bersama menuju keadilan dan kesejahteraan sosial. Pada satu sisi, harus diakui ada semacam pengabaian terhadap visi dan citacita utama dalam berbangsa dan bernegara, dan di sisi lain ada semacam pembiaran yang bersifat sistematis untuk menjadikan kemiskinan sebagai titah Tuhan. Dalam hal ini, perlu perubahan yang bersifat radikal. Artinya, perlu komitmen yang memberikan pencerahan, bahwa kemiskinan adalah musuh bersama. Pengentasan kemiskinan harus menjadi agenda utama, karena dari masalah akut ini muncul masalah-masalah lain, seperti kekerasan dan hilangnya solidaritas sosial.50 PDIP dengan BAMUSI-nya akan melakukan langkah-langkah konkret dengan berbagai program yang pro-kerakyatan. Segala aktivitas yang berbasis kerakyatan menjadi program utama karena mengingat Indonesia adalah negara kaya raya jika masyarakatnya diarahkan dengan baik dan diberikan penyuluhan tentang kemandirian secara berkala, maka bangsa Indonesia tidak akan mengalami lagi yang namanya kelaparan bahkan busung lapar yang terjadi di mana-mana. Ini karena pemerintah yang salah urus tidak memperhatikan orang-orang miskin yang memang tugas pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. BAMUSI juga melakukan langkah kongkrit untuk masyarakat, dengan melakukan kerjasama dengan rumah sakit (puskesmas) di daerah tertentu dengan meyediakan mobil ambulance berlogo Baitul Muslimin Indonesia dan gratis bagi masyarakat yang membutuhkan. Ini salah satu agenda di dalam BAMUSI yang
50
Abdullah ,"Salam; Komitmen untuk Orang Miskin." h.3.
langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.51 Kerja nyata untuk masyarakat merupakan langkah besar untuk menolong warga Indonesia di saat kondisi ekonomi tidak stabil. Setidaknya aktivitas BAMUSI yang bersifat kerakyatan mendapat sambutan baik bagi semua kelangan masyarakat. Akitivitas pro-kerakyatan menjadi prioritas utama dalam menjalankan aktivitasnya ke depan di dalam kinerja organisasi sayap kanan PDIP ini. Jelas, bahwa BAMUSI melakukan kinerja dan peran sosial kemasyarakatan lebih intens, karena sejak awal berdirnya BAMUSI bergerak melakukan sosialisasi ke daerah-daerah yang merupakan basis NU dan Muhammadiyah. Ini semua kerena berangkat dari keinginan untuk melakukan silaturrahim dan membangun tali yang erat dengan ormas-ormas Islam yang sudah ada dan sudah lebih berpengalaman dan profesional.52 Dengan tujuan bahwa kerja BAMUSI yang mengarah kepada kerakyatan akan terbangun lebih cepat jika NU dan Muhammadiyah selalu menjadi mitra dalam pembangunan Indonesia.
D. Aktivitas Politik BAMUSI BAMUSI secara struktural memang mempunyai garis organisatoris dengan PDIP, oleh karenanya, BAMUSI sudah menjadi keharusan untuk memenangkan PDIP dalam laga Pemilu 2009. Meskipun dikatakan oleh ketua BAMUSI sendiri bahwa pendirian BAMUSI merupakan langkah murni untuk dakwah islamiyah di dalam tubuh PDIP. Mengingat para elite yang beragama Islam dalam partai yang mengusung
51
Wawancara Pribadi dengan Ketua Bidang Indonesia, Zuhairi Misrawi, Jakarta, 25 Februari 2009. 52
Hub. Antar Agama PP Baitul Muslimin
ANTARA News,"PBNU Dukung Dakwah Baitul Muslimin Indonesia", artikel diakses pada 19 Pebruari 2009 dari http://www.antara.co.id/arc/2007/10/4/pbnudukung-dakwah-baitul-muslimin-indonesia/
partai sebagai rumah kebangsaan ini sangat minim pengetahuan keagamaannya (Islam). Di sinilah kemudian dengan berangkat dari kesadaran yang tulus untuk mempelajari keislaman, dengan didirikannya BAMUSI dengan sendirinya kualitas keagamaannya menjadi meningkat dan menghilangkan stigmatisasi buruk terhadap PDIP sebagai Islam abangan. Dalam kiprahnya, BAMUSI menjadi lembaga yang secara emosional mempunyai tanggungjawab untuk ikut andil dalam dinamika politik di Indonesia, mengingat bahwa BAMUSI secara disadari berada di bawah organisasi besar yaitu di bawah PDIP. Kenyataannya, ini dialami oleh penulis, ketika penulis menemui salah satu pengurus di BAMUSI, penulis mengalami kesulitan untuk melakukan penelitian dan dialog langsung, karena sebagian pengurusnya melakukan kampanye politik di daerah-daerah dalam Pemilu calon legislatif 2009. Ini jelas bahwa bagaimanapun aktivitas di BAMUSI juga berperan dalam politik. Karena BAMUSI yang bentukan PDIP, menjadi tidak etis ketika membiarkan para calon legislatif yang diusung oleh PDIP dan tidak memberikan dukungan serta dorongan emosional. Sama dengan Pemilu Pilpres mendatang pada 8 Juli 2009. Di mana PDIP mengusung Megawati untuk capresnya. Dan dengan sendirinya sebagai organisasi di bawah PDIP seharusnya melakukan kerja nyata untuk ikut mendukung dalam mensukseskan dan mengantarkan pencalonan presiden Megawati yang diusungnya untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia pada Pemilu Pilpres 2009.53 BAMUSI dalam kampanye politiknya, ikut mensosialisasikan nomor urut PDIP ke daerah-daerah dalam menghadapi Pemilu 2009, yaitu nomor urut 28. BAMUSI ikut mengenalkan dan mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa PDIP mempunyai tanggung yang besar dalam membangun masyarakat Indonesia terutama 53
Sinarharapan," PDIP Luncurkan Rumah Perempuan."
wong cilik. BAMUSI ikut turun ke masyarakat memberikan dukungan terhadap kesuksesan PDIP dalam Pemilu 2009.54 BAMUSI juga melakukan aktivitas politik yang intens dan ikut andil dalam pemenangan Pemilu pada 2009. dengan melakukan kinerja yang berkaitan dengan pencitraan terhadap PDIP yang selama ini mengalami penyusutan dan kekendoran di tubuh PDIP. PDIP sekarang mengalami penyusutan drastis yang pada Pemilu 2004 menjadi partai pemenang. Pada Pemilu 2009 PDIP mengalami penurunan suara sehingga dalam pertarungannya berada di peringkat ketiga di bawah Partai Demokrat dan Golkar. Ini artinya, bahwa kinerja BAMUSI ke depan harus mulai meyusun langkahlangkah strategis guna ikut andil dalam politik dengan tidak meningalkan tujuan utamanya sebagai ormas sayap Islam di tubuh PDIP dengan mengembangkan pemahaman keagamaan tentang keislaman dan kebangsaan. Ini seharusnya berjalan seiring dalam membangun pencitraan baru ke depan di tubuh PDIP untuk memajukan Indonesia yang berkarakter kebangsaan dan religius. Bagi BAMUSI, bepolitik juga menjadi tujuan untuk membangun kualitas keagamaan secara utuh dan menyeluruh, dan juga dalam mengembangkan Islam tidak harus berada di dalam partai yang berbasis Islam. Di PDIP juga bisa mengembangkan pemahaman keislaman. Justru di dalam PDIP ini lah tantangan untuk memajukan Islam benar-benar diperjuangkan dan selalu didengungkan. Seperti yang dilansir oleh Ketua Pengurus Pusat BAMUSI Prof. Dr. Hamka Haq bahwa umat Islam juga banyak yang berada di luar partai yang berideologi Islam, dan keberadaannya cukup besar
54
Wawancara Pribadi dengan Ketua Bidang Indonesia, Zuhairi Misrawi, Jakarta, 1 Mei 2009.
Hub. Antar Agama PP Baitul Muslimin
sehingga baginya, menjadi keharusan juga untuk membinanya sebagai bentuk pengabdian kepada umat.55 Dalam persiapannya menjelang Pilpres 2009 PDIP membangun citra sebagai partai yang menjunjung nilai-nilai kerakyatan, di mana Megawati yang diusung sebagai Capresnya untuk meju pada Pilpres mendatang. Setelah beberapa lama PDIP mengadakan koalisi bersama partai-partai yang berhaluan kerakyatan, akhirnya PDIP menetapkan Prabowo sebagai Wapresnya bersanding dengan Megawati. Partai Gerindra yang memiliki visi membangun ekonomi kerakyatan ditetapkan sebagai partai yang sehaluan dengan PDIP dan diajak bersama-sama membangun rakyat Indonesia ke depan dengan konsep ekonomi kerakyatan. Setelah genderang kampanye Pilpres dan Wapres 2009 ditabuh, PDIP dengan Gerindra bergerak dengan cepat membangun opini masyarakat dengan mengadakan deklarasi pasangan Megawati dan Prabowo yang dikenal dengan sebutan Mega-Pro di daerah Bantargebang yang dikenal sebagai tempat kumuh dan tempat bagi para pemulung. Dipilihnya Bantargebang sebagai tempat deklarasi PDIP dan Gerindra merupakan langkah awal dan sebagai bukti bahwa kedua partai ini memiliki komitmen untuk memajukan rakyat Indonesia dengan ekonomi kerakyatan. Dari banyak kegiatan kampanyenya juga Megawati mengunjungi basis-basis konstituennya yang berada di pelosok-pelosok, dan tidak kalah juga Megawati mengadakan kunjungan ke pondok-pondok pesantren di Jawa Timur seperti yang dilakukan oleh Capres dan Wapres lainnya. Pesantren merupakan salah satu tempat bagi safari kunjungan kampanyenya. Karena pesantren-pesantren dilihat sebagai tempat yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Megawati yang pada Pemilu sebelumnya tidak menjadikan pesantren sebagai salah satu agenda safari lawatan 55
Wawancara Hamka Haq, "BAMUSI Memperjuangkan Islam Yang Substansial," h.24.
kampanyenya, kini Megawati membuka ruang untuk bisa dekat dengan pesantrenpesantren, seperti juga yang dilakukan oleh sayap Islamya BAMUSI dalam kegiatan pemberdayaan
ekonomi
kerakyatan
dan
dakwahnya.
Megawati
mengawali
kampanyenya dengan melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh Islam baik dari Ormas Islam maupun tokoh-tokoh di pesantren.
BAB IV PANDANGAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA (BAMUSI) TENTANG ISUISU ISLAM KONTEMPORER
A. Islam dan Nasionalisme Dalam Majalah Bulanan Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI), pada edisi perdana menghadirkan wacana Penjaga Gawang Nasionalisme. "Islam yang sejati tidaklah mengandung asas anti-nasionalis", tutur Bung Karno di dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi. Sedari awal, bangsa ini ditakdirkan lahir dalam kemajemukan agama, suku dan bahasa. Islam dan kebangsaan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam bentangan
sejarah bangsa ini. BAMUSI memiliki
konsern membangun kebangsaan yang religius tentunya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Meskipun demikian wacana dialektika Islam dan kebangsaan tidak pernah surut dari pentas politik nasional. Bermula dari wacana Piagam Jakarta, yang di dalamnya termuat tujuh kata dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun dengan itikad baik untuk menjadikan Negara ini sebagai rumah besar kebhinekaan, para pendiri bangsa ini menyepakati redaksi sila pertama menjadi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Naskah tersebut ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, AA. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejono, Abulkahar Muzakar, H. A. Salim, Ahmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.56 Tidak seperti Negara lain, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, Negara tercinta ini mempunyai ijtihad kebangsaan yang sangat luar biasa. Di tengah 56
Redaksi, " Salam; Rumah Islam Kebangsaan," Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhhinekaan, No. 01 Juli 2008. h. 3
tarikan Negara-negara lain yang menawarkan dua kutub ekstrem, yaitu tarikan fundamentalisme (Saudi Arabia, Pakistan Iran dan Malaysia) dan sekularisme Turki, bangsa ini mengambil jalan tengah, yaitu ijtihad kebangsaan.57 Nadirsyah Hosein (2007) dalam Sharia and Constitutional Reform in Indonesia, menyatakan Indonesia merupakan model dari kalangan moderat-substansialistis dalam mengakomodasi hukum agama tertentu. Sebab meskipun Pancasila menerima keyakinan tentang Tuhan Yang Esa, tetapi di sisi lain menerapkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. KH.
Ahmad
Shiddiq,
tokoh
kharismeatik
dari
Nahdlatul
Ulama
menggarisbawahi teologi kebangsaan yang dapat memperkuat keberislaman, kebangsaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Menurut dia, ada tiga model pertalian yang harus dibangun di ruang publik. Pertama, pertalian keislaman (alukhuwah al-islamiyyah), pertalian kebangsaan (al-ukhuwah al-wathaniyyah) dan pertalian kemanusiaan (al-ukhuwah al-basyariyyah) Ketiga hal di atas merupakan ijtihad yang paling otentik, bahkan dapat dikatakan tidak ditemukan di Negara-negara lain, yang mayoritas penduduknya muslim. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika banyak kalangan yang menyebutkan, bahwa Indonesia merupakan salah satu bentuk peaceful Islam, yaitu Islam berkarakter damai. Dalam wawancara khusus dengan seorang tokoh penting dalam PDIP Taufiq Kiemas mengatakan bahwa berdirinya BAMUSI di tubuh PDIP merupakan langkah awal mengusung Indonesia kepada pintu gerbang nasionalisme sejati. Dan ini mendapat respon baik dari kalangan tokoh-tokoh Islam bahwa lahirnya BAMUSI akan mempertemukan hubungan Islam dan nasionalisme. Secara khusus salah satu
57
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 432.
tokoh Muhammadiyah menyatakan bahwa PDIP seharusnya mengambil langkah strategis untuk menghubungkan keduanya, antara Islam dan nasionalisme, dan menegasikan pandangan yang selama ini melekat pada PDIP sebagai sarangnya orang-orang nasionalis dan tidak memiliki respon terhadap kemajuan Islam.58 Selanjutnya perdebatan yang tida pernah berakhir tentang dikotomi Islam dan nasionalisme sekarang menjadi renungan bagi semua kalangan bahwa kemajuan Indonesia ke depan tidak terletak pada pundak nasionalis saja, atau sebaliknya pada pundak Islam saja. Akan tetapi haruslah berjuang bersama membuang jauh-jauh paradigma dikhotomi Islam dan nasionalisme yang selama ini menjejali pikiran bangsa Indonesia.59 Indonesia adalah negara yang otentik memiliki identitas yang beragam dan tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Negara Indonesia ini adalah negara kesatuan yang harus dijunjung tinggi, jangan sampai terpecah dan terbelah oleh perbedaan pandangan tentang Islam dan nasionalisme. Apalagi sampai terbersit untuk mendirikan Negara Islam. Para founding fathers telah merumuskan sebuah formula final bahwa Negara Kesatuan Republik Indnonesia terdiri dari masayarakat yang plural dan mampu untuk bisa tetap berada kokoh dalam bingkai nasionalisme yang khas Indonesia. Nasionalisme Indonesia bukanlah murni dari cangkokan paham Barat, tetapi nasionalisme yang khas Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno.60 Kesatuan nasionalisme sudah terangkum dalam Pancasila sebagai pedoman dasar dan modal bagi bangsa kita. Dalam Pancasila tidak termaktub bahwa sila-sila 58 Wawancara Taufiq Kiemas, "Penjaga Gawang Nasionalisme,"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhinekaan), No. 01 (Juli 2008): h. 11-15 59
Kiemas, "Penjaga Gawang Nasionalisme," h. 11-15 Wawancara Syafii Anwar, "Halal Bihalal; Damai di Hati, Damai di Bumi,"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhinekaan, No. 04 (Oktober 2008): h.15 60
yang tedapat dalam Pancasila itu bertentangan dengan semangat Islam. Mulai dari sila pertama sampai sila kelima merupakan ajaran agung yang harus ditegakkan di atas bumi pertiwi Indonesia. Islam dan nasionalisme searah dan sejalan demi persatuan Indonesia. Nasionalisme adalah Bhineka Tunggal Ika dan ini menjadi jati diri bangsa yang harus dijadikan dasar dalam berbangsa dan bernegara. Seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Said Aqil Siradj, ia mengatakan bahwa seharusnya bangsa berjuang dan belajar dari fouding father. Para tokoh kemerdekaan berjuang hingga titik darah penghabisan untuk memproklamirkan kemerdekaan. Yang menarik untuk ditiru, kata dia, bagaimana cara berunding tim 9. Ia menegaskan, bahwa tokoh-tokoh ini berasal dari kalangan nasionalis, Syariat Islam, NU, Muhammadiyah, Kristen dan Katolik. Meski berasal dari latar belakang yang beragam, mereka tidak mempersoalkan agama. Kalau semua komponen bangsa bisa memperthankan seperti itu, itulah jati diri bangsa, itulah Bhineka Tunggal Ika yang merupakan jati diri bangsa.61 B. Islam dan Pluralisme Persoalan pluralisme di Indonesia juga menjadi sorotan tersendiri bagi BAMUSI. Menurut pandangan BAMUSI Indonesia yang plural merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dibangun. Fakta sejarah dan juga politik, menunjukkan bahwa founding fathers mendirikan Indonesia di atas fakta pluralisme suku, adat istiadat, agama, bahasa, ideologi dan sebagainya. Namun, dengan bermunculannya berbagai undang-undang dan peraturan yang dengan sengaja menafikan eksistensi kelompok-kelompok masyarakat lainnya, apakah pluralisme masih menjadi masa depan Indonesia?
61 Said Aqil Siradj, "Bhineka Tunggal Ika Sebagai Jati Diri Bangsa,"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhinekaan), No. 01( Juli 2008). h. 17.
Kelihatannya Indonesia sedang digiring menuju perpecahan. Bangsa yang mengusung slogan Bhineka Tunggal Ika ini semakin hari terasa justru semakin rapuh karena perasaan kebersamaan semakin dikikis oleh anak-anak bangsanya sendiri. Artinya, yang mengoyak-ngoyak Indonesia bukan kekuatan luar, melainkan para anak kandung Ibu Pertiwi lewat aksi pemaknaan tafsir tunggal dan dominasi kultur tertentu yang membuat kebersamaan mengalami pelunturan secara sistematis. Arus anti-kebhinekaan yang menjalar liar dalam tubuh bangsa Indonesia akhir-akhir ini menimbulkan kerisauan tentang masa depan negeri ini: apa ada Indonesia di hari esok? Bangsa ini dikuatirkan akan hancur berkeping-keping, dan anak-anak bangsa akan saling mencakar hingga tercabik-cabik. Tanpa mengabaikan bahaya ancaman itu, PDI Perjuangan sebagai penjaga gawang nasionalisme mengambil langkah penyelamatan. Salah satu langkah spektakuler partai yang berpegang teguh pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 ini adalah dengan menjadikan PDI Perjuangan sebagai "Rumah Besar Kaum Nasionalis". PDI Perjuangan menjadi semacam rumah bersama bagi semua masyarakat Indonesia yang setuju dengan ideologi Pancasila, pro-kebhinekaan, dan yang mencintai keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana diamanatkan founding fathers. Pemikiran plural menjadi penting dan harus selalu didengungkan, mengingat bangsa Indonesia nyatanya sebagai bangsa yang plural yang harus dijaga bersama demi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ayal, PDIP sebagai partai yang mengusung kebangsaan selalu mendengungkan bahwa pluralitas bangsa merupakan niscaya dan rahmat dari Sang Pencipta yang harus selalu diindahkan dan selalu berada dalam bingkai kedamaian. Tidaklah mudah bagi masyarakat atau bangsa untuk mengakui pluralisme yang berkembang di Indonesia, tanpa adanya kesadaran yang tinggi bahwa bangsa
Indonesia adalah Negara kesatuan Republik Indonesia. Semua warga negara memiliki kesamaan hak dan kewajiban dan tidak ada diskriminasi, semuanya menjadi kesatuan yang utuh sebagai warga negara Indonesia. Islam di Indonesia seakan-akan harus mengambil karakter yang sama persis dengan kawasan Timur Tengah tanpa sedikitpun berinteraksi dengan budaya lokal setempat. Bukankah tantangan yang dihadapi sangat berbeda antara Indonesia dan kawasan Timur Tengah? Sehingga, Islam hadir dimanapun akan selalu berdialog dengan masyarakatnya. Di sinilah letak historisitas Islam yang dapat dijadikan sebagai pegangan ketika berinteraksi dengan pluralitas budaya. Sejatinya, watak dan karakter Islam yang apresiatif terhadap budaya lokal adalah watak yang damai, ramah, dan toleran. Karena watak Islam yang demikian ini, tidak menyuguhkan praktek kekerasan. Dengan kata lain, tidak menggunakan caracara ekspansi atau kolonialisasi untuk mendialogkan Islam dengan kebudayaan lokal. Penyebaran Islam di Indonesia yang tidak melalui ekspansi ini, memunculkan konsekuensi bahwa Islam di Indonesia lebih lunak, jinak, dan akomodatif terhadap kepercayaan, praktik keagamaan, dan tradisi lokal.62 Sebagaimana dikemukakan Hassan Hanafi, "apa yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu. Di satu sisi, legitimasi teritorial, identitas budaya, nasionalisme, dan khasanah warisan. Di sisi lain, legitimasi modernitas yang ditandai keterbukaan, kebebasan, keadilan, supremasi hukum, dan lain-lain. Dengan dua perpaduan antara Islam normatif dengan Islam historis, maka jalan tengah bagi Islam sebagai agama yang absolut tidak akan kehilangan identitas absolutnya di tengah perubahan zaman. Sebaliknya, budaya sebagai entitas yang 62
Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme (Jakarta: LSIP (Lembaga Studi Islam Progresif), 2004), hal. 34.
otonom di dalam masyarakat tidak ditempatkan di dalam posisi yang subordinatterpinggirkan ketika agama masuk ke dalam wilayahnya. Pada aras inilah, agama dan budaya mengalami proses pembauran yang konstruktif. Dengan kata lain, agama dan identitas kultural masyarakat setempat mengalami proses yang sama untuk secara bersama-sama membangun peradaban yang baru yang tidak saling mengalahkan, melainkan peradaban baru yang khas dialami masyarakt setempat. Dengan demikian, secara lebih luas, agama dan identitas kultural tidak akan mengalami ketegangan, yang akan merusak harmonisasi masyarakat di tengah pluralitas agama dan budaya.63 Islam yang merupakan agama perdamaian, memberikan tentunya meberikan ruang untuk berbeda sebagai bangsa. Mengingat pada awal Islam dibangun di kota Madinah. Di sanalah Islam dibangun dan berkembang. Nyatanya Islam bisa berdiri dan tegak dengan masyarakat yang plural, menjalin sebuah kontrak politik yang saling menguntungkan. Masyarakat atau umat selain Islam juga hidup damai dan mampu berdampingan bahu membahu demi sebuah pemerintahan yang kokoh dan adil. Itu semua muncul karena ada kesadaran bahwa pluralitas suatu bangsa itu adalah bagian dari rahmat Sang Pencipta.
C. Islam dan Gender Wacana gender menjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai, gender selalu dijadikan alasan dalam perbedaan antara laki-laki dan perempuan. BAMUSI sebagai sayap Islam PDIP angkat bicara di dalam Buletin Jum'at Baitul Muslimin Indonesia dan memberikan pandangan tentang persoalan gender64. Bahwa al-Qur'an mengakui perbedaan laki-laki dan perempuan secara anatomis. Meski demikian, al-Qur'an tidak 63
Misrawi dan Zada, Islam Melawan Terorisme, hal. 36.
64
Buletin Jum'at Baitul Muslimin Indonesia, "Perinsip Kesetaraan Jender," No. 15/Th II/ II-
Juni 2008.
menganut pandangan perbedaan gender, dengan kata lain, meskipun terdapat keunikan seksual, tetapi al-Qur'an tidak mengasosiasikannya dengan simbolisme jender. Para ulama juga menjelaskan bahwa pada dasarnya objek pembicaraan yang digunakan al-Qur'an terhadap laki-laki dan perempuan bersifat umum. Meski terdapat beberapa ayat bahkan surah-surah al-Qur'an yang berspesifikasi perempuan seperti surah al-Nisa dan surah al-Thalaq. Ini lebih menunjukkan pada karakteristik dan keistimewaan perempuan, terlebih lagi bagi keberlangsungan generasi manusia. Akan tetapi bagi sebagian ulama ortodoks
dan kalangan konservatif muslim. Hal ini
dianggap sebagai fungsi utama seorang perempuan yaitu menjaga rumahtangganya, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Sebagaimana telah dipraktikkan di beberapa negara muslim atau negara berpenduduk muslim dengan membatasi peranan wanita sebatas dalam rumah. Hal in menimbulkan pertanyaan, benarkah Islam membatasi peranan perempuan? Tidakkah berarti Islam telah menzalimi hak-hak perempuan? Dalam alMar'ah fi al-Tashawwur al-Qurani, Susan Fahd al-Hawwal menjelaskan bahwa Islam memperlakukan wanita setara dengan laki-laki, dengan tidak membeda-bedakan nilai imbalan atau pahala yang diterima keduanya dalam setiap perbuatan baik, sebagaimana
firman
Allah
dalam
surah
Ali
'Imran:
195,
Maka
Tuhan
memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain. Selain itu, pembatasan ruang lingkup perempuan bukanlah permintaan alQur'an. Sebab al-Qur'an tidak mencegah perempuan untuk keluar rumah, juga tidak ada penyebutan bahwa mereka harus ditemani muhrimnya ketika keluar rumah. Hal ini mungkin lebih pada persoalan pencegahan, dan bukan prinsip. Sedangkan di sisi
lain, pada prinsipnya al-Qu'an justru melengkapi perempuan dengan hak mencari nafkah. Begitu pula ketika berbicara mengenai kepatuhan perempuan terhadap suaminya yang biasa dinyatakan beberapa ulama konservatif dengan menyitir QS alNisa ayat 34. Asghar Ali Engineer dalam bukunya Pembebasan Perempuan (2003) menyebutkan bahwa kita tidak akan menemukan konsep tentang kepatuhan yang total terhadap suami di dalam al-Qur'an. Istilah "qanitat" yang digunakan di sini seringkali diterjemahkan sebagai "taat kepada suami". Padahal dalam konteks al-Qur'an, kata ini juga memiliki padanannya yang digunakan untuk laki-laki yaitu "qanitin". Mayoritas ahli tafsir al-Qur'an pun sepakat bahwa ketaatan di sini adalah ketaatan kepada Allah, bukan kepada suami. Hal ini pun akan terlihat jelas apabila kita mempertimbangkan penggunaannya pada beberapa ayat lain, seperti QS. Al-Ahzab 31 dan 35, serta alTahrim ayat 5. Bahkan, meskipun al-Qur'an mengakui perbedaan seksual, tak sekalipun alQur'an menyatakan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki, atau bahwa mereka merupakan unsur ciptaan yang lebih rendah, atau bahkan sebaliknya bahwa laki-laki merupakan unsur ciptaan yang lebih tinggi. Justru al-Qur'an menegaskan bahwa yang menjadi perbedaan mereka bukanlah status seksual mereka, melainkan ketakwaan mereka. Atau sebagaimana yang diistilahkan Amina Wadud adalah perilaku kesalehan dan kesadaran karena Allah dalam menajalankan perilaku tersebut, al-Qur'an Menurut Perempuan, 2006. Nilai perbedaan berdasarkan ketakwaan ini disimpulkan secara jelas dalam surah al-Hujarat: 13:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Begitu pula dalam prinsip kepemimpian, al-Qur'an mengedepankan kesetaraan dalam melaksanakan suatu tugas. Bahwa yang dibutuhkan dalam beraktivitas politik adalah kemampuan memimpin dan kapasitas intelektual. Jadi, sesungguhnya pertanyaannya adalah siapa sebenarnya yang paling cocok melaksanakan tugas kepemimpinan, berdasarkan kualifikasi dan dan karakteristik tersebut. Namun, mengingat al-Qur'an diturunkan pada masyarakat Arab yang kental dengan budaya patriarkinya, di mana laki-laki mapan di ruang publik, sehingga tentu saja laki-laki menjadi yang paling cocok dalam melaksanakan aktivitas politik tersebut. Pada dasarnya, tidak terdapat teks al-Qur'an yang melarang perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Ataupun untuk memiliki suatu pekerjaan atau keahlian selama hal itu bersifat positif. Dan selama ulama sepakat bahwa asal mula suatu hukum adalah mubah (boleh), maka tidak ada nash yang melarangnya. Terlebih lagi penetapan suatu hukum itu berlaku secara setara terhadap laki-laki dan perempuan, kecuali apabila ada nash yang menghususkannya.65 Terkait dengan masalah ini, al-Qur'an telah menjelaskan secara tegas dalam Surah al-Taubah [9] ayat 71-72: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orangorang yang mu'min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar."
65
Juni 2008.
Buletin Jum'at Baitul Muslimin Indonesia, "Perinsip Kesetaraan Jender," No. 15/Th II/ II-
Dalam hal ini, Sayyid Qutub menjelaskan bahwa "sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain", berarti laki-laki dan perempuan saling tolong menolong dan menjalankan perintah Allah, baik dalam menyeru pada kebenaran, mencegah kebatilan, maupun dalam hal kepemimpinan umat manusia di muka bumi. Ini cukup menjelaskan bahwa meskipun laki-laki lebih mapan di ruang publik, tetapi pada realitasnya tidak semua laki-laki memiliki kemampuan dan kemapanan dalam hal politik. Juga tidak memungkiri adanya perempuan yang lebih independen dan berwawasan luas, dan berkompeten dalam memimpin suatu bangsa, meskipun sebagian besar mereka bergerak di ranah internal. Selanjutnya, ayat yang paling penting berkenaan dengan pola hubungan lakilaki dan perempuan, sekaligus sebagai legalitas kepemimpinan laki-laki. Menurut beberapa kalangan para ulama adalah QS. Al-Nisa [6] ayat 34: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." Berkaitan dengan ayat ini, Amina Wadud menekankan dua hal, pertama; "pelebihan" seperti apa yang diberikan, dan yang kedua; "apa yang mereka belanjakan dari harta mereka", yakni norma dan cita-cita sosio-ekonomi. Menurutnya, kedua hal ini adalah syarat laki-laki dapat menjadi "pemimpin" atas perempuan. Apabila tidak terpenuhi salah satu di antaranya, maka laki-laki tidak "qawwam" (tidak menjadi pemimpin) atas perempuan. Berbicara mengenai "pelebihan", al-Qur'an menggunakan istilah fadhdhala, yang memiliki pengertian bahwa "pelebihan" tersebut tidak dapat diperolah melalui
amalan tertentu, melainkan diberikan oleh Allah kepada orang yang dikehendakinya, dan dalam bentuk yang dikehendakinya pula. Selanjutnya, mengenai pelebihan materi, hanya ada satu ayat al-Qur'an yang berbicara mengenai kelebihan laki-laki atas perempuan, yaitu ayat waris. Sehingga, apabila "pelebihan" yang diberikan hanya terbatas materi, tentunya hal itu akan lebih dijelaskan lagi oleh al-Qur'an. Meski demikian, "pelebihan" inipun masih dibatasi pula dengan pembagian "pelebihan" atas sebagian yang lain, (sebagian laki-laki dan sebagian perempuan). Sayyid Qutub menjelaskan bahwa qiwamah seseorang berhubungan dengan keluarga. Dalam hal ini beliau membatasi pada hubungan suami istri, dan adanya kewajiban pemberian nafkah merupakan hak istimewa bagi laki-laki dalam terwujudnya qawwam atas perempuan. Dalam al-Mar'ah fi al-Tashawwur al-Qur'ani juga ditegaskan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam ayat ini, dikhususkan dalam relasi hubungan suami istri (keluarga). Adapun kepemimpinan perempuan di luar lingkup tersebut, tidak terdapat nash yang melarangnya. Sehingga tidak mustahil pembagian "pelebihan" atas yang lain, memungkinkan adanya perempuan yang berkompeten dan handal dalam memimpin, yang tidak dikaruniakan pada sebagian laki-laki lain. Demikian pula sebaliknya, tidak menutup kemungkinan pula lahirnya laki-laki yang sabar dan piawai dalam mengatur rumah tangga dan perawatan anak, yang tidak diberikan pada sebagian perempuan-perempuan lain. Akhirnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Amina Wadud
bahwa kepemimpinan bukan merupakan
karakteristik abadi dari semua laki-laki, maka perawatan anak pun bukanlah karakteristik abadi dari setiap perempuan. Pada kekinian, kiprah perempuan dalam arena publik juga dapat ditelusuri dalam pentas sejarah nasional bangsa Indonesia. Perjuangan kaum perempuan di masa
penjajahan kolonial tak kalah heroiknya dengan kaum pria. Kita kenal Cut Nyak Dien, tokoh pejuang perempuan yang tangguh asal Aceh, Cut Meutia, juga Kartini, yang hingga kini namanya sering dijadikan simbol gerakan emansipasi perempuan. Dan juga banyak dijumpai dewasa ini, perempuan berperan aktif dan berkiprah di ruang publik (politik).66 Seperti aktif menjadi politisi, anggota parlemen, menteri, dan meraih posisi di jabatan publik lainnya. Oleh karena itu, upaya berbagai kalangan untuk menuntut kuota 30% bagi perempuan dalam politik adalah relevan dengan dinamika saat ini. Dari paparan itu sangat jelas bahwa Islam tidak pernah memasung perempuan untuk berkiprah dalam ruang publik.67
D. Islam dan Kepemimpinan Di dalam buku, Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan yang diterbitkan oleh BAMUSI, dikatakan bahwa dalam sejarah peradaban dunia, pemimpin atau kepemimpinan merupakan faktor yang sangat menentukan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa wajah sebuah peradaban adalah wajah pemimpin itu sendiri. BAMUSI dalam kepemimpinan tidak melihat apakah seorang pemimpin itu perempuan atau laki-laki, kepemimpinan itu boleh saja dan untuk siapa saja asalkan seseorang itu mampu dan memiliki kemampuan managerial dan kepemimpinan. Secara mendasar BAMUSI memberikan pemahaman tentang kepemimpinan dalam Islam. Ada sejumlah istilah menunjuk kata "pemimpin" atau "kepemimpinan", di antaranya adalah ra'un atau ra'iyyatun. Istilah ini merujuk kepada hadits Nabi Muhammad SAW bahwa "setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus
66 Vandana Shiva & Maria Mies, Ecofeminism; Perspectif Gerakan Perempuan & Lingkungan (Yogyakarta: IRE Press, 2005), h. 73. 67 Buletin Jum'at Baitul Muslimin Indonesia, "Perempuan dalam Islam," No. 14/Th II/ 1-Juni 2008.
bertanggungjawab atas mereka yang dipimpin." Dari kata ini bisa dipahami bahwa kata rakyat dalam bahasa Indonesia sesungguhnya mempunyai akar historis dengan kata ra'iyyah sebagaimana tertulis dalam hadits tadi. Di dalam al-Qur'an, pemimpin juga disebut dengan qawwam; yaitu merujuk pada al-Qur'an, "laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan..." para ulama tafsir berbeda pendapat, apakah yang harus memimpin adalah laki-laki? Realitasnya tidak semua publik adalah laki-laki. Dalam sejarahnya, perempuan juga tampil sebagai pemimpin publik, baik dalam konteks politik maupun keumatan. Di samping itu, di dalam al-Qur'an disebutkan bahwa pemimpin adalah khalifah. Kata khalifah tercantum dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah ayat 30: " Ingatlah saat Tuhanmu berkata kepada para malaikat bahwa Aku menciptakan khalifah (mandataris) di muka bumi." Kata khalifah di sini tidak spesifik seperti pemimpin. Ayat yang lebih jelas menunjukkan kata khalifah bermakna pemimpin adalah ayat yang berbunyi: "Wahai Daud, sesungguhnya Allah telah menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia; karena itu tegakkanlah hukum." Istilah khalifah yang bermakna pemimpin sudah dipakai sejak Rasulullah SAW wafat. Abu Bakar adalah khalifah pertama melanjutkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin agama dan politik, bukan sebagai nabi. Bersama Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali juga dikenal sebagai Khulafa' al-Rasyidun (penerus Nabi Muhammad SAW). Sejak itu kepemimpinan dikendalikan oleh khalifah, yang lebih dikenal dengan sistem monarki. Khalifah pertama ialah Dinasti Umayyah, monarki keturunan Muawiyah, dilanjutkan Dinasti Abbasiyah, monarki keturunan Abbas. Para pemimpin monarki muslim ini disebut khalifah. Sejak itulah sistem pemertintahan dalam dunia Islam menggunakan istilah khilafah, misalnya kekhalifahan Utsmani/Ottoman Empire, Mogul di India,
Persia dan sejumlah kerajaan kecil. Para kepala negara kerajaan Islam disebut khalifah atau sultan. Ini juga berkembang di Indonesia. Terakhir, istilah pemimpin juga dikenal dengan al-imam, merujuk kepada sebuah hadits bahwa imam itu harus diikuti (oleh makmum). Dari kata ini berkembang istilah al-imamah, yaitu suatu konsep kepemimpinan politik Syiah Dua Belas di Iran yang menegaskan bahwa yang paling berhak melanjutkan kepemimpinan politik dan agama Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib dan keluarganya. Karena itu seluruh kepemimpinan Sunni tidak sah. Syiah dan Sunni bertikai secara politik tentang ini dan mereka berhasil membangun imperium masingmasing. Syiah Dua Belas di Iran adalah kelompok Syiah yang menonjol dan seorang imam Syiah sangat berpengaruh. Contohnya ialah Imam Khumaini. Singkat kata, imam merupakan referensi yang otoritatif secara keilmuan, keagamaan, politik (marja' al-taqlid) dan karena itu sangat dipatuhi, didengar serta diikuti fatwafatwanya. Imam al-Mawardi, dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, mengatakan al-imamah maudhu'atun likhilafatin nubuwwatin fi haratsati al-din wa siyasat al-dunya. Artinya, kepemimpinan itu harus ditegakkan untuk melanjutkan visi kenabian yaitu melestarikan agama dan mengatur kehidupan dunia. Misi kenabian ada sepanjang sejarah. Al-Qur'an menyebutkan Allah SWT mengutus para nabi agar jalan peradaban manusia senantiasa lurus menuju kedamaian sejati. Kenyataan menunjukkan bahwa kebiasaan, sistem kehidupan, kepercayaan, dan sejarah sering diwarnai oleh penyimpangan dan kerusakan di mana-mana. Sisi gelap sejarah dalam al-Qur'an disebut al-dhulumat. Para nabi diutus untuk menyelamatkan umat dari kegelapan, mengajak peradaban baru. Al-Qur'an mengungkapkan misi ini
sebagai pemberian petunjuk kepada manusia (hudan li al-nass), mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju jalan yang terang-menderang. Dalam teori Mawardi, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Pertama, secara politik, Muhammad membangun kepemimpinan berdasarkan prinsip keadilan, toleransi, egalitarianisme, kebersamaan dan persatuan, juga kejujuran. Prinsip-prinsip ini tertuang dalam Piagam Madinah. Dalam Piagam ini tidak ada sedikit pun disebutkan bahwa negara yang dipimpin oleh Muhammad adalah negara Islam, apalagi khilafah. Kedua, secara pribadi, ada empat sifat yang dipegang teguh Muhammad SAW dalam menjalankan kepemimpinannya yaitu shiddiq (berlaku benar, jujur, memihak serta menegakkan kejujuran/kebenaran), tabligh (transparan, toleran, menyampaikan yang benar adalah benar dan salah adalah salah untuk kemaslahatan), amanah (bisa dipercaya dalam mengemban tugas kepemimpinan) dan fathanah (cerdas, peka, mampu membaca tanda-tanda zaman dan membawa umat kepada kehidupan masa depan yang tercerahkan). Ketiga, karena kemuliaan pribadinya, Nabi Muhammad SAW menjadi panutan. Ia sangat didengar dan diikuti, mampu menjaga martabat pribadi dan masyarakatnya. Sebaliknya, masyarakat juga menghargainya. Ia adalah hakim yang mampu menyelesaikan persoalan umat, imam (pemimpin) yang diikuti oleh jamaahnya atau pengikutnya. Tapi, sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW tetap bersahaja, tidak memiliki jarak dengan umat. Maka dari itu, paradigma kepemimpinan sebenarnya tidak mengacu pada jenis kelamin dan status sosial. Kepemimpinan merupakan konsep yang menekankan pada kompetensi, kemampuan yang diterjemahkan dalam konteks keberpihakan terhadap rakyat. Sebagimana disebutkan dalam hadits di atas, kepemimpinan harus
mempertimbangkan kepentingan yang dipimpin, yaitu rakyat. Dalam sebuah kaidah fikih
disebutkan
bahwa
sikap
dari
kebijakan
seorang
pemimpin
harus
mempertimbangkan kepemimpinan dan kemaslahatan bersama. Dari konsep ini tampak bahwa kepemimpinan pada hakikatnya mengacu pada kemampuan dan kepercayaan publik kepada pemimpin terpilih itu. Konsep ini sebenarnya lebih dekat dengan konsep kepemimpinan modern dalam konteks demokrasi, yang di dalamnya seorang pemimpin dipilih karena mempunyai kemampuan dalam seni memimpin dan dipercaya oleh publik melalui mekanisme pemilihan umum. Dalam Islam, perempuan mendapat apresiasi yang tinggi. Salah satu bendera yang dibawanya ialah bendera kesetaraan (al-musawah) dalam harkat kemanusiaan, termasuk antara laki-laki dan perempuan. Derajat perempuan diangkat menjadi sama dengan laki-laki, baik dalam harkat dan martabat maupun dalam hak dan kewajiban. Sejarah Islam mencatat bahwa perempuan yang ikut memainkan peran publik bersama-sama kaum laki-laki. Lihatlah Khadijah dan Aisyah juga ada Hafsah dan Fatimah. Mereka sering ikut berdiskusi tentang tema-tema sosial dan politik. Bahkan, Aisyah pernah menjadi jenderal perang. Sejumlah perempuan tercatat ikut terjun di medan pertempuran, misalnya Nusaibah binti Ka'b dan Ummu Athiyyah. Al-Syifa, seorang perempuan cerdas di era pemerintahan Umar ibn Khattab, pernah diangkat menduduki jabatan sebagai manager pasar di Madinah. Dengan demikian, keberadaan seorang pemimpin tidak ditentukan oleh jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan. Belajar dari kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, kita harus menyadari bahwa kepemimpinan merupakan tanggungjawab
untuk
memajukan
umat,
bukan
justru
menyengsarakannya.
Keberadaan seorang pemimpin sangatlah vital. Tetapi yang jauh lebih penting adalah
pemimpin yang betul-betul memberikan jalan keluar bagi rakyat yang dipimpinnya, terutama dalam rangka mengubah wajah kemiskinan dan kemelaratan menuju wajah keadilan dan kesejahteraan.68
E. Islam dan Kemiskinan BAMUSI, organisasi sayap Islam PDIP memiliki kepekaan terhadap persoalan kemiskinan, bagi BAMUSI kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Lantas begaimana Islam melihat masalah ini? Sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia, tentu pandangan Islam terhadap kemiskinan bisa dijadikan pedoman terhadap kemiskinan bisa dijadikan pedoman dalam menentukan orientasi pembangunan. Islam mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang memiliki harta namun tidak mencukupi kebutuhannya atau orang yang tak punya harta, sekaligus tak punya penghasilan. Dalam persepktif Islam, kemiskinan timbul karena berbagai sebab struktural. Pertama, kemiskinan timbul karena manusia terhadap alam sehingga manusia itu sendiri yang kemudian merasakan dampaknya. Kedua, kemiskinan timbul karena ketidakpedulian dan kekikiran kelompok kaya sehingga si miskin tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan.
Ketiga, kemiskinan timbul karena sebagian manusia
bersikap zalim, eksploitatif, dan menindas sebagian manusia yang lain, seperti memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak halal. Keempat, kemiskinan juga timbul karena konsentrasi kekuatan politik, birokrasi, dan ekonomi di satu tangan. Agar kemiskinan tidak menjadi masalah akut, Islam memberikan resep untuk menuntaskan kemiskinan seperti menciptakan kebijakan negara yang efektif
68
Helmi Hidayat. ed. Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan. Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008. h. 27-38.
menuntaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja untuk membangkitkan gairah ekonomi masyarakat, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor growth). Untuk mencapai pro-poor growth, dapat dilalui dengan dua jalur utama, yaitu pelarangan riba dan mendorong kegiatan sektor riil. Pelarangan riba secara efektif akan mengendalikan inflasi sehingga daya beli masyarakat terjaga dan stabilitas perekonomian tercipta. Bersamaan dengan itu, Islam mengarahkan modal pada kegiatan ekonomi
dan bisnis seperti mudharabah,
muzara'ah, dan musaqat. Dengan demikian, tercipta keselarasan antara sektor riil dan moneter sehingga pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung secara berkesinambungan. Untuk hal ini, pemerintah Indonesia sudah menentukan posisi hukum bank-bank syariah sebagai perbankan nasional. Bank syariah sendiri dalam operasionalnya tidak memberlakukan sistem bunga melainkan menggunakan sistem mudharabah atau bagi hasil. Sayang keberadaan bank model ini belum mendapat respon tinggi seperti bank-bank konvesional lainnya. Pemerintah pun sebgai pemegang kendali kebijakan, rupanya enggan untuk menerapkan sistem ekonomi syariah yang dalam realitasnya sangat imune terhadap kemungkinan krisis. Selain itu juga, Islam mendorong penciptaan anggaran negara yang memihak pada kemiskinan rakyat banyak (pro-poor budgeting). Dalam sejarah Islam, terdapat tiga prinsip utama dalam mencapai pro-poor budgeting yaitu: disiplin fiskal yang ketat, tata kelola pemerintahan yang baik, dan penggunaan anggaran negara sepenuhnya untuk kepentingan publik. Untuk menciptakan pro-poor budgeting, dasar hukum harta negara itu sendiri diatur dalam Islam. Islam memandang bahwa keberadaan harta negara yang
merupakan harta publik. Karena posisinya yang sedemikian rupa, maka penggunaan anggaran negara juga harus diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat, terutama masyarakat kelompok bawah. Dalam Islam juga diatur tentang kebijakan penyediaan pelayanan publik dasar yang berpihak pada masyarakat luas sehingga infrasrukturnya memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor infrastucture). Selain itu, Islam juga memberi aturan tentang pemerataan dan distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin.69 Terdapat tiga instrumen utama dalam Islam terkait distribusi pendapatan yaitu aturan kepemilikan tanah, penerapan zakat, serta menganjurkan qardul hasan, infak
70
, dan
wakaf. 71
F. Islam dan Fundamentalisme Fundamentalisme tidak kalah pentingnya selain isu-isu di atas, karena fundamentalisme melekat dengan intoleransi. Fundemantalisme diartikan sebagai paham yang selalu menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah tanpa mengedepankan dialog damai. Dalam isu fundemantalisme, pada Majalah Baitul Muslimin Indonesia edisi No. 5 November 2008. BAMUSI menyatakan pandangannya
dan
ikut
serta
dalam
meluruskan
pemahaman
tentang
fundamentalisme. BAMUSI ynag merupakan sayap Islam PDIP mengatakan bahwa 69 Topik Utama,"Kemiskinan Tanggung Jawab Siapa?"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhhinekaan, No. 07 (Februari 2009): h. 7.
70
Pemberian (sumbangan) harta dsb (selain zakat wajib) untuk kebaikan. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 378 . 71
Benda bergerak atau tidak bergerak untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 1123 .
fundamentalisme
adalah
fenomena
kultural
yang
melanda
agama-agama.
Fundamentalisme dalam tradisi Kristen di Amerika, misalnya merupakan sebuah perlawanan atas mereka yang ingin "menyimpang" dari doktrin dan teks keagamaan. Begitu pula fundamentalisme dalam tradisi Islam juga merupakan mempertahankan sejarah, doktrin dan teks keagamaan. Oleh karena itu, fundamentalisme adalah fenomena historis, khususnya pergulatan antara doktrin dengan zaman yang senantiasa berubah. Walaupun tidak sama persis, arus-arus fundamentalisme dalam tradisi agama-agama mempunyai kemiripan. Kemiripannya tidak hanya dalam hal interpretasi doktrin keagamaan, melainkan juga ekspresi doktrin keagamaan dalam konteks sosial.72 Melihat gelombang fundamentalisme agama-agama yang semakin gencar, tentu saja tugas reformasi agama amatlah berat dan sulit. Sebab fenomena mutakhir jauh lebih kompleks, merata dan memasuki hampir seluruh arena kehidupan. Di sini, kalangan agamawan harus bekerja keras untuk melakukan sedikitnya dua hal berikut: pertama, kalangan agamawan dari pelbagai agama harus memahami secara betul tentang fungsi dan posisi agama di tengah-tengah masyarakat. Artinya, kalangan agamawan harus mengembalikan agama kepada khittah-nya, yaitu sebagai pembawa obor keadilan sosial dan toleransi. Tatanan politik dan ekonomi, baik dalam konteks global dan nasional sementara ini tidak memberikan harapan bagi keadilan sosial. Agama dalam hal ini harus mampu menjadi lembaga moral dan lembaga kontrol atas pelbagai gerakan yang berbau dan mengarah pada ketidakadilan sosial. Di samping itu harus mengampanyekan pentingya toleransi. Tanpa toleransi, agama akan kehilangan maknanya untuk mencipatakan kehidupan yang humanis.
72
Topik Utama, "Nasionalisme vs Fundamentalisme," Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhinekaan, No. 05 (November 2008): h. 7.
Kedua, kalangan agamawan dari pelbagai agama harus mendorong lahirnya gerakan bersama untuk kemanusiaan. Pluralitas adalah sunnatullah. Sejatinya pluralitas memberi harapan bagi kemaslahatan publik, tanpa harus membatasi pada kepentingan yang bersifat sektarian. Agama harus mempunyai komitmen untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan konflik sosial. Karena dengan cara seperti itu, agama akan memberikan sebuah makna yang lebih dekat dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Kedua hal inilah setidaknya yang akan mampu menetralisir fundamentalisme agama-agama serta mengambilalih peran agama untuk tujuan kemanusiaan dan keadilan sosial. Tapi harus diakui bahwa mewujudkan hal tersebut tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, karena fundamentalisme makin lama makin memperlihatkan kekuatannya. Kolaborasi agama, politik dan ekonomi adalah kekuatan yang betul-betul riil. Atas dasar itu, toleransi dapat dijadikan salah satu alternatif untuk membendung arus fundamentalisme dalam intra-agama. Toleransi meniscayakan adanya pemahaman yang baik, benar dan tepat terhadap apa yang terdapat dalam agama serta mengajak untuk memahami pihak lain dengan perspektif humanis. Sedangkan dalam konteks antar-agama, toleransi dapat membuka cakrawala tentang pentingnya kebersamaan dan kerukunan global. Hidup di tengah " ideologi benturan hanya akan melahirkan sebuah trauma yang berkepanjangan tentang kebencian dan kecurigaan terhadap orang lain." Karena itu, diperlukan sebuah paradigma yang memadai untuk membagun toleransi dalam konteks keberagamaan. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga poin penting yang menjadi catatan berkaitan dengan toleransi berbasis agama: pertama, secara dogmatik, toleransi harus dibangun di atas kesadaran untuk menerima pihak
yang dianggap salah. Dalam khazanah Islam, terutama pasca munculnya denominasi dan mazhab, klaim terhadap kelompok dan tafsir yang salah senantiasa mengemuka dan menjadi senjata ampuh untuk mengeksklusi kelompok lain. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan toleransi untuk memahami pandangan pihak lain yang dianggap salah. Sikap toleransi penting karena setiap orang mempunyai hak untuk salah dan berfikir objektif. Kendatipun ia salah, tetapi ia masih mempunyai hak untuk hidup dan berpendapat. Dalam tradisi Islam, menghargai pihak yang salah sangat penting. Sebab kesalahan dalam berijtihad masih mendapatkan
tempat di sisi Tuhan dari pada
bertaklid. Kalangan fundamentalis pada umumnya tidak pernah memberikan ruang toleransi kepada kelompok yang salah. Mereka cenderung mengambil jalan vonis "sesat"73 dan "kafir"74 terhadap pihak yang salah. Karena itu, kalangan fundamentalis bisa disebut sebagai pihak yang mengembangkan intoleransi, karena menolak untuk menerima pihak yang salah. Bukan hanya itu, mereka menganggap pihak yang salah sebagai pihak yang keluar dari agama. Dalam
pandangan
pemikiran
keislaman
kontemporer
bahwa
istilah
fundamentalisme dipandang oleh sebagian kalangan bukan istilah yang tepat untuk digunakan kalangan Muslim. Muhammad Imarah (1999), pemikir Muslim asal Mesir, melakukan kritik yang mendasar terhadap upaya mencampuradukkan antara fundamentalisme Islam dan fundamentalisme Kristen. Menurut Imarah, keduanya mempunyai doktrin dan pengalaman berbeda. Fundamentalisme dalam tradisi Islam adalah upaya menggali dan bahkan mengembangkan dasar-dasar keagamaan, 73 Tidak melalui jalan yang benar di dalam agama. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 930 . 74 Orang yang tidak percaya kepada Allag dan rasul-Nya. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. h. 429 .
sebagaimana terdapat dalam dasar-dasar agama (ushuluddin) dan dasar-dasar fikih (ushul al-fiqh). Dari segi doktrinal sebenarnya fundamentalisme Islam mempunyai pengalaman yang jauh lebih baik karena telah melahirkan keilmuan Islam yang cukup spektakuler sepanjang sejarah Islam. Tentu saja, pengalaman tersebut bisa dikatakan berbeda dengan pengalaman Kristiani maupun Yahudi yang mana fundamentalisme terkait dengan pengalaman politik kekuasaan yang cenderung menjadikan agama sebagai justifikasi kekuasaan.75 Pandangan tersebut tidak selamanya benar. Karena dalam sejarah Islam juga menyisakan sebuah fase sejarah yang hampir sama. Disiplin ushuluddin dan ushululfiqh juga tidak bisa dipisahkan dari realitas politik pada zamannya. Pertarungan antara faksi Ash'ariyah dan Mu'tazilah dalam komunitas Sunni juga telah melahirkan konflik yang amat menyejarah, bahkan telah mempengaruhi kekuasaan. Di samping itu, pada ranah fikih muncul konflik di antara pengikut mazhab yang juga melibatkan kekuasaan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk melihat fundamentalisme secara objektif. Memandang fundamentalisme yang berbasis agama harus menggunakan perspektif yang lebih tepat. Fundamentalisme yang berbasis agama mempunyai dua karakteristik. Pertama, fundamentalisme positif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi keagamaan sebagai sumber moral dan etika kemaslahatan publik. Fundamentalisme dalam hal ini mempunyai visi dan misi untuk menjadikan doktrin keagamaan sebagai elan vital bagi etika sosial dan pemberdayaan masyarakat. Tapi harus diakui, bahwa fundamentalisme juga bisa terjerembab pada karakter yang kedua, yaitu fundamentalisme negatif, fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi sebagai sumber dan justifikasi atas kekerasan. Dalam hal 75
Topik Utama, "Nasionalisme vs Fundamentalisme," h. 7-8.
ini, agama-agama samawi mempunyai pengalaman yang relatif sama-sama tragis, baik dalam ruang lingkup intra-agama maupun antar-agama. Hal tersebut terjadi, karena agama menjadi tameng bagi kepentingan kelompok tertentu. Fundamentalisme tidak menghadirkan pemahaman yang memadai terhadap agama, tetapi justru menjadikan agama sebagai pelindung bagi kemapanan dan tindakan otoriter yang dilakoni oleh kekuasaan. Oleh karena
itu, fundamentalisme dalam tradisi agama mempunyai
karakternya sendiri-sendiri. Tidak statis dan monolitik. Termasuk dalam rangka membaca fundamentalisme Islam, menggunakan pendekatan empatik saja tidak cukup untuk melihat arus-arus lain yang terdapat dalam gerakan keagamaan kontemporer. Karena fundamentalisme tidak hanya mempunyai satu wajah. Selalu ada wajah ganda dalam
fundamentalisme.
Karenanya,
untuk
melihat
keragaman
corak
fundamentalisme dalam tradisi Islam bisa dilihat dari keragaman aliran, mazhab, institusinya dan tradisinya. Dengan demikian, pandangan Muhammad Imarah tentang fundamentalisme Islam dengan mudah dipatahkan, karena melihat fundamentalisme Islam secara doktrinal saja tidak cukup dan cenderung menyederhanakan masalah. Apalagi hanya melihat fundamentalisme dari sisi positifnya dan tanpa melihat sisi-sisi negatifnya di balik fundamentalisme. Pandangan Muhammad Imarah bahkan bisa dianggap terlalu apologetik, karena fundamentalisme Islam pada hakikatnya tidak berakar kuat pada paham keagamaan yang diwarisi oleh ulama terdahulu, tetapi justru merupakan gerakan-gerakan keagamaan mutakhir, mempunyai cara pandang monolitik terhadap agama serta-merta sebagian dari mereka mewujudkannya dalam tindakan intoleran. Sisi negatif yang mulai kentara dari fundamentalisme adalah pergeseran ranah fundamentalisme dari ranah privat menuju ranah publik. Artinya, bila selama ini
fundamentalisme agama-agama hanya berkutat dalam kaitan umat dengan tekss, maka fundamentalisme mutakhir bergulat dengan politik praktis. Fundamentalisme digunakan sebagai kendaraan untuk merengguh panggung politik. Salah satu fenomena fundamentalisme di era modern adalah kecenderungan politik. Mereka yang mengusung islamisasi politik dan kekerasan dengan atas nama agama bukanlah fundamentalis,
melainkan
gerakan
radikal-politis.
Sebab
fundamentalisme
mempunyai karakter tersendiri yang berbeda dengan kalangan fundamentalis. Mereka juga disebut sebagai kalangan fundamentalis yang politis. Sebab mereka menggunakan kendaraan sebagai kendaraan politik. Contoh penegakan Syariat Islam di pelbagai daerah, baik melalui hak otonomi daerah maupun otonomi khusus, merupakan salah satu bentuk dari fundamentalisme politik. Dalam konteks keindonesiaan, Bung Karno sebenarnya sudah meletakkan pemahaman tentang bagaimana agama diletakkan dalam ruang publik. Ia memberikan pemahaman, bahwa yang dimaksud dengan "ketuhanan" dalam Pancasila adalah ketuhanan yang berkeadaban. Agama bukan untuk membangun gairah keberagamaan saja, melainkan juga bertujuan untuk membangun keadaban publik. Keinginan untuk membangun gairah keberagamaan harus sejarah dengan gairah untuk membangun perdamaian dan toleransi. Keragaman agama merupakan fakta historis yang menyerah pada bangsa ini, karenanya harus dijadikan sebagai kekuatan yang membebaskan, bukan justru sebagai ancaman. Dalam hal ini, ketuhan yang berkeadaban dalam konteks kebangsaan harus didukung oleh demokrasi yang dapat membangun keadilan, yang dikenal dengan sosio-demokrasi. Di samping itu juga didukung oleh kebangsaan yang dapat mendorong kemanusiaan, yang biasa dikenal dengan sosio-nasionalisme. Inti dari itu semua, bahwa yang mesti dibangun dalam konteks kebangsaan adalah gotong-royong.
Karena itu, sebelum gerakan fundamentalisme menjadi sesuatu yang berdampak negatif pada bangsa ini, alangkah indahnya bila semua warga negara menjadikan nasionalisme sebagai pilihan ideologis dalam konteks berbangsa dan bernegara. Adapun agama menjadi kekuatan nilai yang justru mendorong demokrasi dan spirit kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.76
G. Islam dan Terorisme Pada
edisi
perdana
Majalah
Bulanan
Baitul
Muslimin
Indonesia
mengetengahkan wacana Teologi Anti Kekerasan, yang ditulis oleh Siti Musdah Mulia.77 Pembicaraan seputar terorisme kembali menghangat, dan tentu saja dengan pola yang baru. Pembicaraan tersebut kembali menemukan signifikansinya sebagai salah satu bentuk kehati-hatian dan upaya menemukan cara yang paling efektif untuk menghadapi dan menumpasnya. Terorisme dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan ekonomi dan tatanan sistem politik dunia. Pembicaraan tersebut tidak akan pernah berhenti. Berbagai kalangan, pemerintahan,
dan
bangsa
tidak
boleh
mengklaim
dirinya
telah
berhasil
mengidentifikasi dan menumpas terorisme, sehingga kemudian membuai masyarakat dengan rasa aman selama beberapa saat, sehingga tiba saatnya terorisme muncul kembali. Di saat gelombang terorisme meresahkan semua masyarakat Indoneisa dan masyarakat dunia. BAMUSI memberikan pandangan bagaimana Islam memandang suatu kekerasan atau terorisme. Pembahasan Bahtsul Masail di dalam Majalah Baitul
76
77
Topik Utama"Nasionalisme vs Fundamentalisme," h. 9.
Siti Musdah Mulia, "Teologi Anti Kekerasan,"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhhinekaan), No. 01 (Juli 2008): h. 22.
Muslimin Indonesia, mengangkat Pandangan Islam tentang Kekerasan,78 karena kekerasa ini banyak dijakan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Dalam pembahasan itu dikatakan bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan menekankan prinsip anti-kekerasan. Secara kebahasaan, Islam berarti keselamatan dan kedamaian. Adapun Muslim berarti orang yang menyelamatkan dan mendamaikan. Maka, siapapun yang melakukan kekerasan, sebenarnya ia tidak patut menyandang dirinya sebagai muslim.79 Islam memiliki pesan penting yang terangkum di dalam lafadz basmalah yang rutin dibaca, baik dalam memulai shalat maupun memulai aktivitas sehari-hari. Lafadz tersebut bukan hanya bermuatan ritual, melainkan justru memuat ajaran yang sangat fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Basamalah merupakan ajaran yang paling penting dalam Islam, karena di dalamnya mengandung pesan tentang cintakasih. Yang dimaksud dengan cinta kasih tersebut dalam dua tingkatan: cinta kasih yang terbatas (al-rahim) dan cinta kasih yang tidak terbatas (al-rahman). Yang dimaksud dengan cinta-kasih yang terbatas adalah cinta-kasih yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang harus disebarluaskan kepada umatnya, sehingga mampu mewujudkan kedamaian. Di dalam al-Qur'an disebutkan, Dan saya tidak mengutusmu kecuali sebagai tali kasih bagi seantero alam (QS. alAnbiya [21]: 107) . Ibnu 'Asyur dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa cinta-kasih merupakan inti dari ajaran Nabi. Artinya, setiap pesannya senantiasa mendorong agar cinta-kasih menjadi spirit dalam mengambil keputusan dan menyelamatkan umat. Tatkala Nabi ditanya oleh sahabat perihal keberislaman yang paling utama, beliau menjawab 78
Bahtsul Masail, "Pandangan Islam tentang Kekerasan,"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhhinekaan), No. 01 (Juli 2008): h. 36. 79
Bahtsul Masail, "Pandangan Islam tentang Kekerasan," h. 36.
dengan tegas, bahwa menebarkan perdamaian dan manyantuni fakir-miskin merupakan bentuk keberislaman yang paling ideal. Karena itu, cinta-kasih yang terbatas tersebut harus menjadi modal untuk mendaki pada cinta-kasih yang tidak terbatas. Sedangkan cinta-kasih yang tidak terbatas adalah cinta-kasih yang langsung dikendalikan Tuhan. Dia adalah puncak tertinggi dari kasih-sayang. Sebab itu, di dalam al-Qur'an senantiasa dimulai dengan basmalah, tidak lain dan tidak bukan hanya dalam rangka mengingatkan umat Islam agar menebarkan perdamaian dan toleransi. 80 Pasca tragedi 11 September, wacana "Perang Melawan Terorisme" masih mengambang dan menyimpan sejumlah kemungkinan yang bisa membawa dunia pada bahaya yang lebih besar. Perbedaan antara sikap antara dua kubu dalam menentukan definisi terorisme semakin meruncing ketika perang tersebut kemudian menjadi ancaman invasi militer untuk menghentikan "aksi pembebasan" dalam melawan penjajahan atas sebagian tanah airnya. Dalam pandangan Dr. Ahmad Kamal Abul Majd seorang intelektual asal Mesir mengatakan bahwa perlu untuk dikemukakan teori-teori yang diambil dari kajian-kajjian sosial politik, yang semuanya mengatakan gerakan-gerakan radikal dan terorisme seringkali terjadi dan berkembang dalam tiga lingkungan berikut; Pertama; lingkungan di mana kesempatan untuk menikmati demokrasi sangatlah terbatas. Kedua; lingkungan di mana keadilan sosial tidak terwujud dan kesenjangan antara yang kuat, pemilik modal dan kaya dengan kaum lemah dan miskin sangatlah lebar. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan subordinasi yang harus mereka terima dalam mendapatkan hak-haknya secara sah. Ketiga; lingkungan 80
Bahtsul Masail, "Pandangan Islam tentang Kekerasan," h. 36.
tanpa supremasi hukum dan banyak sekali terjadi pelanggaran atas hak-hak dasar individu, khususnya dalam kasus-kasus berkaitan tuduhan dan vonis yang seringkali disertai
tindakan represif dan penyiksaan, sehingga melahirkan keinginan untuk
memberontak dari hukum dan masyarakat secara keseluruhan.81 Adalah hal yang aneh dan bertentangan dengan fakta sejarah apabila mengaitkan Islam dan terorisme. terjadinya kesalahan dalam mengaitkan Islam dengan terorisme, karena tiga hal; Pertama; warisan pertikaian historis klasik, antara "kaum muslim" versus negara-negara Barat. Pertikaian tersebut awalnya timbul akibat persaingan antara pendakwah muslim dengan para misionaris Kristen dalam kapasitas keduanya sebagai agama besar dunia. Kedua, pihak Barat dan Islam selalu berusaha untuk mengajak "orang lain" untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok pemeluk taat dari sebuah keyakinan yang benar seperti yang diklaim oleh kalangan pendakwah muslim dan misionaris Kristen. Pada fase selanjutnya, pertikaian tersebut kemudian berkembang menjadi rentetan perang salib, dimana pihak Eropa dan Barat berusaha menguasai sejumlah negara-negara muslim secara politis atau dalam arti yang sesungguhnya. Pada kedua fase tersebut, para orientalis dan polisi Barat berusaha menanamkan gambaran Islam yang terbelakang, negatif dan buruk dalam nalar
dan hati
para pengikutnya.
Stigmatisasi tersebut lebih ditekankan pada sisi teologis dan kultural Islam, terutama ajaran jihad yang mereka anggap sebagai ekspresi dari kebencian, kekerasan dan sikap otoritarian terahadap orang lain. Dalam konteks sekarang, terjadinya gelombang terorisme merupakan pukulan dahsyat dan dirasakan oleh semua penduduk dunia. Karena ini adalah musuh terbesar dunia saat ini. Terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa yang seperti bom 81
Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme (Jakarta: LSIP (Lembaga Studi Islam Progresif) 2004), h. 11.
waktu yang setiap saat akan terjadi yang namanya pemboman di segala penjuru dunia. Ini meruntuhkan sendi-sendi kemanusian karena di dalam terorisme itu sendiri terdapat kebencian-kebencian yang diakibatkan oleh kecemburuan ekonomi, politik dan rasa tertindas. Akumulasi dari emosi inilah kemudian terjadi sebuah teror yang lahir dari kelompok yang tadi itu dengan mengatasnamakan jihad.82 Terorisme merupakan musuh bersama yang harus diperangi secara bersama. Karena terorisme menciptakan kerusuhan dunia yang
mengakibatkan runtuhnya
saling kepercayaan satu sama lain. Dengan itulah kemudian stabilitas dan perdamaian dunia muncul dan menjadi bumerang bagi perdamaian dunia. Dan ini sungguh sangat berbahaya untuk berlangsungnya masa depan tatanan dunia. Terorisme bagaimanapun bentuknya, tetap menjadi musuh besar agama. Setiap agama, agama apapun tidak mengajarkan kekerasan atau terorisme. Setiap agama selalu menghadirkan kedamaian dan toleransi, karena itu lah justru agama berperan sebagai agama yang damai yang akan memberikan nilai-nilai kehidupan dan norma-norma atau aturan kemanusian yang menyejukkan. Tanpa harus ada teror dari kelompok agama tertentu.
H. Islam dan Toleransi Yang menjadi dasar dalam perjuangan BAMUSI adalah ajaran Islam yang cinta-kasih dan ramah terhadap siapapun. Bagi pandangan BAMUSI, bangunan toleransi yang sebenarnya sudah ada dalam ajaran Nabi Muhammad SAW. dan terbukti pada saat membagun kota Madinah. Kota Madinah adalah suatu gambaran bahwa Nabi sebagai arsiteknya telah berhasil dalam membangun toleransi yang kuat
82
Afnan Malay, "Fatwa Bisa Menghentikan Terorisme?," Koran Tempo, Juli 2007, h. 4.
06
antara kelompok Islam dan non-Islam. Nabi selalu menjadi penengah dan menjadi pembina konsensus (Consensus Builder) di Madinah, dan juga selaku pemersatu dan juru damai antara pihak-pihak saling bermusuhan.83 Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu "tolerantia", yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Dari dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda. Secara etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan baik di dataran Eropa, terutama pada revolusi Perancis. Hal itu terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti dari revolusi di Perancis. Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dangan istilash toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela dan kelembutan.84 Pada tahap selanjutnya, toleransi dalam konsep negara-bangsa harus mampu membangun kesadaran pentingnya menerima yang lain di tengah keberagaman dan perbedaan. Milad Hanna, pemikir Kristen Koptik di Mesir mempunyai alternatif pemikiran dalam rangka membangun toleransi dalam konsep negara-bangsa, yaitu qobulu al-akhar. Konsep tersebut merupakan upaya membentuk kesadaran rasional dalam rangka mempertemukan di antara pelbagai perbedaan agama, aliran dan madzhab, sekaligus mendorong adanya dialog-dialog kultural. Dengan dialog tersebut, akan muncul kesadaran dan perasaan untuk memahami yang lain sebagai sebuah bagian yang tidak terpisahkan dalam konteks kemanusiaan. Manusia ibarat
83
Yudi Latif, "Titik Temu Keagamaan dalam Kebangsaan Multikultural,"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhinekaan), No. 01 (Juli 2008): h. 6. 84
Zuhairi Misrawi, "Paradigma Toleransi," makalah disampaikan pada acara bedah Buku AlQur'an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, yang dilaksanakan pada tanggal 3 April 2008 di PTIQ, Jakarta. h. 3
sebuah keluarga, yang pada hakikatnya antara manusia yang satu dengan manusia yang lain membutuhkan dialog dan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Toleransi dalam komunitas agama-agama harus dimulai dari kesadaran untuk memahami kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Apalagi bila pihak lain melakukan kebenaran, apapun agama, mazhab, ras dan warna kulitnya, tidak ada alasan untuk tidak menghormati mereka. Inilah inti yang pertama dari toleransi, yaitu mengutamakan perspektif kemanusiaan, yang bisa benar juga salah. Tatkala pihak lain melakukan kesalahan, maka sikap yang arif adalah menghargai kesalahan dan kekeliruan tersebut. Ibnu Rusyd berpesan, bila mendapatkan kesalahan yang dilakukan orang berbeda agama, maka sikap yang paling tepat adalah memperbaiki dan memaafkannya. Kedua, toleransi mengandaikan tidak hanya menerima pihak lain yang salah, tetapi juga menebarkan penghargaan dan cinta-kasih kepadanya. Model toleransi yang pertama hanya berhenti pada posisi memaklumi kesalahan, tetapi model toleransi yang kedua mencoba untuk memberikan penghargaan dan cinta-kasih. Toleransi seperti ini lebih bersifat praksis, dan sudah bisa dipastikan tingkatannya lebih tinggi dan mulia. Sebab memahami pandangan dan pilihan orang lain sebagai sesuatu yang berifat manusiawi serta-merta tidak bisa dihindarkan. Agama-agama mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam masalah ini. Dalam tradisi Islam, misalnya, menghargai pemeluk agama lain merupakan sikap yang mulia. Nabi sendiri dikisahkan, pernah meminta kepada istrinya Siti Aisyah agar tidak bersikap emosional terhadap umat lain, terutama kalangan Yahudi. Karena sesungguhnya ajaran yang diusung oleh agama-agama adalah tentang kebaikan dan cinta-kasih. Dalam tradisi Kristiani, ajaran tentang cinta-kasih dan kesukarelaan telah menempati tempat yang sangat mulia, bahkan merupakan jantung dari agama Kristen.
Di sini, toleransi harus diekspresikan dalam bentuk aktif. Artinya, bila ada pihak yang hendak memperlakukan pihak yang salah secara diskriminatif, maka sebaiknya perbuatan tersebut harus dianggap sebagai perbuatan yang tidak sejalan dengan misi agama-agama. Agama apapun tidak menghendaki bila kekerasan dan diskriminasi digunakan sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan perbedaan dan keragaman pendapat. Asyraf Abdul Wahhab berpendapat, bahwa aspek yang penting dalam toleransi yaitu menumbuhkan kesabaran dan sikap moderat. Dalam hal ini, harus dibedakan antara sikap cuek dengan sabar. Sikap cuek cenderung negatif, karena hanya sekedar membiarkan pihak lain. Sedangkan sabar mempunyai makna yang lebih mendalam, yaitu untuk tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak lain. Sabar merupakan salah satu manifestasi untuk melihat pihak lain secara positif. Di samping itu, sabar mempunyai kerelaan untuk memaklumi eksistensi pihak lain. Karena itu, seseorang yang sabar tidak akan mengutamakan kekerasan sebagai jalan keluar dalam setiap persoalan.85 Di sini, kesabaran dan sikap moderat merupakan sikap yang proaktif untuk mengedepankan toleransi. Keduanya mendorong sebisa mungkin untuk tidak menumpahkan darah yang merupakan pelanggaran terhadap hak orang lain. Karenanya, kedua hal tersebut merupakan upaya yang paling mungkin untuk mengatasi pelbagai macam bentuk tindakan intoleran yang dilakukan oleh masyarakat agama-agama. Ketiga, toleransi merupakan upaya yang harus didukung oleh semua pihak, terutama oleh mereka yang mempunyai otoritas dan para penentu kebijakan publik. Dalam ranah negara-bangsa, toleransi harus menjadi kesepakatan bersama di antara 85
Asyraf Abdul Wahhab, al-Tasamuh al-Ijtima'I bayn al-Turats wa al-Taghayyur (Maktabah Usrah, al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, Kairo. 2006), h. 66
pelbagai pihak. Untuk membumikan toleransi dalam konteks yang lebih luas terutama dalam konteks negara-bangsa, maka dibutuhkan sebuah komitmen politik dari pelbagai pihak untuk menjadikan toleransi sebagai pilihan alternatif. Pemikiran tersebut dilandasi pada sebuah kenyataan , bahwa di era demokrasi yang meniscayakan adanya pasar pendapat, pemahaman, bahkan keyakinan dibutuhkan sebuah komitmen bersama untuk menghargai dan merayakan keragaman. Tentu saja, komitmen yang dimaksud bukanlah komitmen yang didasarkan pada ideologi tertentu, tetapi berangkat dari komitmen bersama untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan sosial tanpa ada pemaksaan dan tindakan diskriminatif. Siapapun yang melakukan pelanggaran, main hakim sendiri dan menebarkan kekerasan, mereka harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena itu, jalan menuju toleransi harus digelar kembali dengan pelbagai potensi yang mungkin dilakukan. Tentu saja, jalan tersebut harus dimulai dari khazanah setiap agama, adat dan kelompok masyarakat yang mempunyai konsern untuk membangun kembali toleransi yang mulai rapuh dan punah. Setiap agama dan kelompok masyarakat harus memprioritaskan pentingnya toleransi dan perdamaian. Di
samping,
kelompok-kelompok
tersebut
juga
mendorong
negara
agar
memperhatikan nilai-nilai yang menjadi inti dari agama tersebut. Bilamana mendapatkan negara tidak mempunyai komitmen, atau bahkan bilamana melanggar komitmen perihal toleransi, maka tidak ada pilihan lain, yaitu melakukan peran advokasi dalam rangka mengambil langkah-langkah serius untuk menggaribawahi pentingnya realisasi toleransi. Dengan demikian, lambat-laun toleransi akan menemukan momentumnya di tengah menguatnya tindakan intoleran tersebut. Dalam tradisi Islam, membangun toleransi sebenarnya sudah dibangun ketika Nabi Muhammad membangun sebuah tatanan pemerintahan di Madinah. Bahwa
beliau sangat anti dengan fanatisme kesukuan dan agama. Bahwa beliau menghimbau umat Islam jangan sampai dihinggapi oleh penyakit ashabiyah. Ashabiyah itu adalah penyakit benci, penyakit fanatisme. Fanatisme dalam hal agama dan fanatisme dalam hal suku. Islam bagi Bung Karno sebagai agama yang toleran. Bukan agama yang membenci satu sama lain melainkan agama yang menghendaki saling mengampuni dan memaafkan. Sebagaimana fitrah manusia yaitu tidak membenci, tetapi mencintai antar sesama manusia. Sikap intoleran pada manusia sebenarnya bukan datang dari fitrahnya melainkan karena adanya pengaruh-pengaruh dari luar sehingga seseorang melakukan pertikaian dan gontok-gontokan satu sama lain.86
I. Islam dan Humanisme Dalam konteks Indonesia, isu kemanusian mulai menganga karena hak-hak dasar sebagai manusia tidak terpenuhi. Di sini lah, sebagai ormas Islam BAMUSI memberikan pandangan tentang kemanusiaan. Islam dalam ajarannya, mimiliki ajaran yang mulia, memberikan hak dasarnya sebagai manusia. Kemanusian menjadi isu besar ketika dihadapkan pada kekinian, di mana kehidupan sekarang hak-hak dasar kemanusian selalu terpinggirkan dan tidak mendapat tempat yang sejuk di mana ia tinggal. Teks dan ajaran-ajaran Islam ketika berbicara tentang kemanusiaan yang fungsinya mengatur hubungan antar sesama ras manusia, tanpa membedakan kondisi perang atau damai. Dengan begitu, bisa dilihat perbedaan jauh antara Islam yang pahami oleh mayoritas muslim, dan mereka tidak mungkin sepakat dalam kesesatan, dan antara Islam yang dipahami oleh sempalan kecil kaum muslim yang mengklaim dirinya sebagai wakil Islam. Dengan demikian, seluruh manusia, di Barat ataupun di 86
Imam Toto K. Raharjo & Suko Sudarso, ed., Bung Karno Islam Pancasila NKRI (Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia,2006), h. 422-423.
Timur, akan mengetahui bahwa Islam sedang dan akan memerangi budaya atau peradaban lain. Umat Islam akan bahu-membahu bersama bangsa-bangsa lain melawan sesuatu yang membahayakan ras manusia. Lalu terlibat penuh dalam upaya menciptakan tatanan dunia baru yang berdasarkan toleransi, tenggang rasa, saling membantu dan saling melengkapi. Tatanan baru tersebut diharapkan akan segera terwujud sebagai pengganti tatanan lama yang selalu dipenuhi oleh egoisme, egosentrisme, dominasi, dan despotisme. Sumbangsih Islam terbesar dalam menciptakan tatanan baru dunia yang menganut hubungan antar manusia berdasarkan interaksi terus-menerus, saling membantu, memerangi kekerasan dan terorisme, tergambar dalam ajaran-ajaran fundamental tersebut; 1. Setiap manusia, apapun warna kulitnya, latar belakang, ras, dan keyakinan agamanya, di mata Islam adalah makhluk mulia dan utama dibandingkan makhluk lainnya: "Dan telah Kami muliakan anak-anak Adam." (QS. al-Isra [17]: 70). 2. Pluralisme manusia dan perbedaan adalah nikmat, dan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sebagai sebuah penghalang dan berbahaya. "orang lain" dalam Islam bukanlah neraka, seperti yang dikatakan kaum eksistensialis, melainkan adalah "rahmat lain" yang harus dikenali, didekati dan dibantu. "Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan berkabilah-kabilah, agar kalian saling mengenal." (QS. al-Hujarat [49]: 17). 3. Darah atau jiwa dan harta manusia dilindungi dan tidak boleh ditumpahkan, baik muslim ataupun non muslim. Perlindungan ini adalah wasiat Rasulullah saw. Kepada seluruh umat manusia yang diucapkan pada Haji Perpisahan;
wahai manusia, sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram untuk ditumpahkan. 4. Perjanjian harus dihormati, dalam damai dan perang. "Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian." (QS. al-Ra'du [13]: 20). Menghormati perjanjian tersebut dengan non-muslim, dan tidak boleh untuk melanggarnya walaupun alasannya adalah demi kemaslahatan dan kejayaan kaum muslim. "Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka." (QS. al-Anfal [8]: 72). 5. Perang hanya terpaksa dilakukan demi mewujudkan perdamaian dan cinta antar manusia. Walaupun begitu hal tersebut tidak berarti mengesahkan untuk melakukan apa saja yang keluar dari etika kemanusiaan dan norma-norma yang mengikat manusia dalam masa damai. "Norma-norma perang" tersebut dianggap sebagai bagian dari syariat. Perang tidak boleh melanggar batasanbatasan etis dan normatif. Seseorang yang mengkaji undang-undang internasional pasti melihat bahwa undang-undang perang sebagai awal yang sesungguhnya
dan jelas dalam mewujudkan lahirnya undang-undang
internasional, dalam pengertiannya yang modern.
Dalam Islam ajaran tentang kemanusian mestinya terus di kampanyekan untuk menghilangkan stigma-stigma buruk yang dituduhkan pada Islam. Dengan jelas tadi sudah digambarkan dalam ajaran yang fundamental, bahwa Islam adalah ajaran yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusia.87
Allah menciptakan manusia, memberi
mereka ruh yang khas dibanding makhluk hidup lainnya, dan memerintahkan mereka untuk menjalani hidup berakhlak. Jalan hidup seperti ini membutuhkan cinta, rasa persaudaraan, belas-kasih, dan perdamaian. Hanya jika manusia mematuhi perintah inilah, dunia dapat menjadi tempat yang damai. Perintah Ilahi yang akan membawa kedamaian dan keselamatan kepada seluruh umat manusia dinyatakan di dalam AlQuran sebagai berikut:
"... dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash [28]: 77). Manusia yang merdeka dan bertangungjawab tidak merupakan mainan di tangan Tuhan yang Maha Kuasa. Kemerdekaan dalam memilih tindakan dan tanggungjawab yang menyertainya memberikan kepada manusia keluhuran dan martabat tinggi serta menegakkan kehidupan moral.88 Kehidupan moral inilah yang akan membawakan manusia menuju manusia yang agung. Karena nabi sendiri sebagai utusan adalah sebagai pembawa risalah yang akan membawa umatnya menuju umat yang bermoral.
Islam menjadikan manusia sebagai makhluk yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari malaikat. Dan Islam menghendaki agar supaya manusia sujud kepada Tuhan, mempertsatukan diri dengan Tuhan, tetapi juga mempersatukan diri dengan semua manusia.89 Di sini jelas bahwa Islam dalam konteks humanisme Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Islam juga menonjolkan ajaran persamaan antar 87
Wawancara Pribadi dengan Ketua Bidang Indonesia, Zuhairi Misrawi, Jakarta, 25 Februari 2009. 88 89
Hub. Antar Agama PP Baitul Muslimin
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam (Jakarta:Bulan Bingtang, 1980), h. 101. Raharjo & Sudarso, ed., Bung Karno Islam Pancasila NKRI., h. 288.
sesama manusia.90 Di dalam agama juga diterangkan dan dijelaskan bahwa kita ini dilatih dan dididik menjadi insan masyarakat. Di dalam Islam ada pelaksanaan shalat Jum'at bersama-sama, shalat Idul Fitri dan Idul Qurban bersama-sama, diadakan haji jikalau mungkin setiap hidup sekali, seluruh umat Islam dari seluruh dunia berkumpul di Padang Arafah. Jadi bukan manusia sebangsa saja, tetapi semua bangsa berkumpul di sana, di Padang Arafah. Bahwa kemanusiaan menjadi ruh universal menciptakan kedamaian antar manusia.91
h. 8.
90
Mulia, "Teologi Anti Kekerasan," h. 22.
91
Muhammad Sa'id Al-Ashmawy, Jihad Melawan Islam Ekstrem (Depok: Desantara, 2002),
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) didirikan sebagai sayap Islam di tubuh PDIP, yang seasas dan seideologi dengan PDIP yang berasaskan Pancasila. yang awal berdirinya berangkat dari sebuah pemikiran panjang tentang arti penting sebuah nasionalisme. Nasionalisme adalah cita-cita bangsa indonesia yang plural. Dengan adanya hubungan yang erat secara organisatoris antara BAMUSI dan PDIP, maka keduanya akan menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. BAMUSI menjadi naungan kelompok Islam yang memegang teguh akan nasionalisme. Yang menjadi rumah besarnya adalah PDIP itu sendiri. Lebih lanjut dalam kesimpulan ini penulis melihat bahwa aktivitas yang dibangun oleh BAMUSI ada tiga yaitu, pertama; dalam aktivitas keagamaan, BAMUSI dalam hal ini, membangun pemahaman tentang cinta kebangsaan dengan pendekatan agama. Karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Pendekatan keagamaan dalam menyuarakan kebangsaan menjadi Kedua, aktivitas kemasyarakatan, masyarakat Indonesia adalah mayoritas petani, oleh karena itu, BAMUSI yang konsern dengan persoalan kemasyarakatan dan ikut andil dalam memberikan sumbangsih untuk membangun rakyat kecil dari kubangan kemiskinan. Komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat juga tidak kalah pentingnya diusung oleh BAMUSI, mengingat tujuan akhir dari semangat kebangsaan adalah mencerahkan masyarakat secara pendidikan religius dan sejahtera secara ekomoni. Dengan kesadaran itu diharapkan nantinya ke depan, bangsa Indonesia mengalami transformasi sosial menuju masyarakat yang lebih mempunyai
kemampuan dan kemandirian secara ekonomi. Karena ekonomi juga elan vital dalam mengisi pembangunan Indonesia ke depan yang lebih sejahtera. Ketiga, aktivitas politik, BAMUSI dalam hal ini ikut andil dalam mensukseskan Pemilu, terutama memberikan dukungan demi kesuksesan para calon legislatif yang berlaga di Pemilu. Dan yang paling penting ikut berperan dalam mensukseskan Megawati sebagai Presiden 2009-2014. BAMUSI sebagai sayap Islam PDIP secara garis besar mengusung plat-form yang ada di tubuh PDIP. BAMUSI secara khusus menampilkan dirinya sebagai representasi Islam yang cinta kebangsaan yang mengedepankan toleransi dalam menyebarkan agama Islam yang rahmatan lil 'alamin. Agama tidak ditampilkan sebagai wajah yang garang dan menakutkan, akan tetapi Islam dihadirkan dalam bentuk dialog dengan kebudayaan setempat dan tentunya dengan mengedepankan pendekatan kultural yang toleran dan dengan wajah Islam yang damai dan sejuk. BAMUSI akan melakukan langkah-langkah baru selain tentunya mengusung apa yang yang menjadi ketetapan di tubuh PDIP. BAMUSI juga mempunyai harapan besar bahwa dengan adanya wadah Islam di tubuh PDIP, ini akan menjadi partai yang tetap diperhitungkan dalam kancah politik Indonesia ke depan, karena PDIP sendiri sangat dekat dengan wong cilik yang merupakan basis bagi konstituen PDIP, dan mereka mayoritas muslim. Melihat realitas ini PDIP berharap ke depannya, konstituen PDIP dan para elite partai menjadi lebih religius dalam menjalani keberagamaannya dengan tetap menjadikan NKRI sebagai tujuan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, MH Said. "Salam; Komitmen untuk Orang Miskin"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhhinekaan, No. 07 (Februari 2009): h. 3. Al-Attas, Muhammad. Islam dan Sekularisme, Bandung: Penerbit Pustaka, 1981. Al-Bahi, Muhammad. Islam dan Sekularisme antara Cita dan Kenyataan. ter. Hadi Mulyo. Solo: Ramadhani, 1988. Ali, Tariq. Benturan antar Fundamentalis; Jihat Melawan Imperialis Amerika. Jakarta: Paramadina. 2004. cet. Ket-1 Aminuddin, Nur. Pengantar Studi Sedjarah Pergerakan Nasional. Djakarta: Pembimbing Mass, 1967. Anggaran Dasar & Angaran Rumah Tangga Baitul Muslimin Indonesia; Periode 2007-2012. Jakarta: Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia. 2007. Ardi Winangun," Baitul Muslimin, antara Harapan dan Kenyataan." Artikel diakses pada
9
Pebruari
2009
dari
http://www.suarakarya-
online.com/news.html?id=164250 Barbara, Ward. Manusia dalam Kemelut Ideologi. Bandung: Iqro, 1981. Buletin Jum'at Baitul Muslimin Indonesia, "Perempuan dalam Islam," No. 14/Th II/ 1Juni 2008. _____, "Prinsip Kesetaraan Jender," No. 15/Th II/ II-Juni 2008. _____, "Kiprah Perempuan dalam Politik," No. 17/Th II/ IV-Juni 2008. Dahm, Benhard. Soekarno dan Perjuangan Kmerdekaan. Penerjemah Hasan Basri. Jakarta: LP3ES, Tt.
_____. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Terj. Hasan Basri. Jakarta: LP3ES. T.t. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Trasformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. Esposito, John L. Dinamika Kebangsaan Islam; Watak, Proses, dan Tantangan. Jakarta: CV. Rajawali, 1987. Fukuyama, Francis. Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial. Yogyakarta: Penerbit Qolam. 2002. cet. Ke-2. Hanna, Milad. Menyongsong Yang Lain Membela Pluralisme. Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal. 2005. cet. Ke-1 Hidayat, Helmi. ed. Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan. Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008. Hodgson, Marshall. The Venture of Islam; Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Masa Klasik Islam. Jakarta: Paramadina, 2002. cet. Ke-2. Husein, Muhammad. Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta: LKIS. 2004. Kohn, Hans. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT. Pembangunan. 1967. Legge, John D. Soekarno: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1985. Marwah, Hasan Basri & Verdiansyah, Veri. Islam dan Barat; Teologi dan Dialog. Jakarta: LSIP. 2004. Moghissi, Haideh. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Yagyakarta: LkiS. 2005. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 1982. Ongkhokham. Soekarno; Mitos dan Realitas. Dalam Taufik Abdullah. ed. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES. 1981.
Rahardjo, Imam Toto K. & Sudarso, Suko. Bung Karno Islam Pancasila NKRI. Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia. 2006. Rasyidi, H.M. Islam dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Media Dakwah. T.t Salam, Solichon. Bung Karno Putera Fajar. Jakarta: Gunung Agung. 1984. _____. Bung Karno dan Kehidupan Berfikir dalam Islam. Jakarta: Wijaya. 1964. _____. Wajah Nasional. Jakarta: Pusat Studi dan Penelitian Islam. 1990. Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno versus Natsir. Jakarta: Teraju. 2002. Suseno, Franz Magnis. Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. Syamsuddin, Nazaruddin. Soekarno, Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993. cet. Ke-2. Tempo Interaktif. " Pramono Anung: PDIP Tak Akan Berbasis Agama." Artikel diakses
pada
6
Pebruari
2009
dari
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/11/10/brk,2006111087428,id.html Tim Penulis. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi. Jakarta: CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah. 2007. Topik Utama"Nasionalisme vs Fundamentalisme"Majalah Bulanan Baitul Muslimin, (Keberagamaan, Kebangsaan & Kebhhinekaan, No. 05 (November 2008): h. 6-9. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur'an. Jakarta: Paramadina. 2001. Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu 1999.
Zein, Kurniawan & HA, Sarifuddin, ed. Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945. Jakarta: Paramadina. 2001.
"Baitul-Muslimin PDIP: Siluet hijau dalam Kanvas Merah? ." Artikel diakses pada 9 Pebruari 2009 dari http://muhsinlabib.wordpress.com/2007/04/15/baitulmuslimin-pdip-siluet-hijau-dalam-kanvas-merah/
"Taufiq Kiemas di Mata Tokoh Islam." Artikel ini diakses pada 6 Pebruari 2009 dari http://pdi-perjuangan.or.id/content/view/733/102/
LAMPIRAN
SRUKTUR, KOMPOSISI DAN PERSONALIA BAITUL MUSLIMIN INDONESIA 2006-20011 Sesuai SK Penyempurnaan DPP No. 053/TAP/DPP/III/2008 tgl: 18 Maret 2008
I. Dewan Pembina
: Hj. Megawati Soekarnoputri H.M. Taufiq Kiemas Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif Pof. Dr. KH. Said Aqil Siradj
II. Dewan Penasehat Ketua
: Mayjen TNI (purn) Cholid Ghozali
Anggota
: H. Adang Ruchiatna Puradiredja Dr. Faisal Bahri Prof. Dr. H. Muiz Kabri Drs. H. Basri Barmanda H. Judiherry Justam Dr. H. Marwah M. Diah, SH. MPA. H. Moh. Sobary, MA Drs. Syamsul Alam Makka, M.Si
III. Pengurus Pusat Ketua Umum
: Prof. Dr. H. Hamka Haq
Wakil
: Dr. Ir. Arif Budimanta, M.Sc
Ketua Bidang Kesejahteraan Umat: H. Irmadi Lubis, SE
Ketua Bidang Dakwah: Moh. Said Abdullah, SH
Ketua Bidang Humas & Media: Drs. Ahmad Baskara
Ketua Bidang Fatwa KH. Hasib Wahab
Ketua Bidang Pendidikan & Latihan: Dr. Sudarnoto A. Hakim
Ketua Bidang Siasah: Hj. Tumbu Tumbu Saraswati, SH
Ketua Bidang Keanggotaan & Organisasi: Ir. Abidin Fikri, SH
Ketua Bidang Hubungan Internasional: Drs. Helmi Hidayat, MA
Ketua Bidang Pemberdayaan Muslimat: Raguan Aljufri, S.Ag, MH
Ketua Litbang: Afnan Malay, SH
Ketua Bidang Ekonomi & Zakat: Nurmansyah Tanjung, SE
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga: Eddy Kuscahyanto, M.Sc
Ketua Bidang Hubungan Antar Agama: Zuhairi Misrawi, Lc
Ketua Bidang Seni & Budaya: Indah Nataprawira, SE, M.Si
Ketua Bidang Remaja & Pemuda: Maskut Chandranegara
Sekretaris Jenderal
: Zainun Ahmadi
Wakil Sekjen I
: H.M Nova Andika, M.E
Wakil Sekjen II
: Muchlis Patahna, S.H
Wakil Sekjen III
: Dr. H Idam
Wakil Sekjen IV
: Rahmani Yahya
Wakil Sekjen V
: Fajar Kurniawan
Wakil Sekjen VI
: Fajar Kurniawan
Wakil Sekjen VII
: Ricky Kurniawan, Lc
Wakil Sekjen VIII
: Khusairi
Bendahara Umum
: Ir. Isma Yatun
Wakil Bendahara Umum I
: Ir. Budyarto Linggowiyono
Wakil Bendahara Umum II
: Drs. Djoko Wibowo, Ak
Wakil Bendahara Umum III : A. Nairul Falah Amru, S.E Wakil Bendahara Umum IV : H. Moh. Nakum, AR, SIP Wakil Bendahara Umum V
: Ediwarman Gucci, S.H
Wakil Bendahara Umum VI : Mortaza, M.Pd
Koordinator/Perwakilan Luar Negeri Asia
: Akuat Supriyanto
Amerika Serikat
: Dr. Saleh P. Daulay S.S, M.AS