INOKULASI MIKROBA SELULOLITIK UNTUK MEMPERCEPAT PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH PASAR DAN PENGARUH KOMPOS TERHADAP PRODUKSI DAN USAHATANI SAYURAN
OLEH SUCI CHOIRIAH
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRACT INOKULASI MIKROBA SELULOLITIK UNTUK MEMPERCEPAT PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH PASAR DAN PENGARUH KOMPOS TERHADAP PRODUKSI DAN USAHATANI SAYURAN CELLULOLYTIC MICROBES INOCULATION TO ACCELERATE DECOMPOSITION PROCESS OF MARKET WASTES AND THE EFFECT OF COMPOST ON PRODUCTION AND ECONOMIC ANALYSIS OF VEGETABLES (Suci Choiriah, Iswandi Anas, Sriani Sujiprihati, Parulian Hutagaol)
The local government spends a lot money and effort to solve the problems of the city waste. City wastes have been reported to contain as much as 80 – 90% of decomposable organic wastes. These organic wastes can be converted to useful compost. The aims of this study were (1) to study the effect of inoculation of cellulolytic microbes to city wastes to speed up the decomposition process of city wastes and (2) to evaluate the effect of compost on production economic analysis of vegetables i. e. Chinese cabbage (Brassica chinensis) and kangkoong (Ipomoea reptans Poir). Market wastes were place on triangle bamboo skeleton to a width of 1.50 m and high of 1.00 m with a length of 2.50 m. The weight of these city wastes was 2 ton with a volume. Six waste piles were prepared and inoculated with four sources of cellulolytic microbes (stardec, cow rumen, goat rumen and chicken manure). As much as 5.25 kg of cellulolytic inoculants were throughly mix with city waste. Temperature, pH, C/N ratio, respiration rate, weight losses of composted materials were measured regularly. The effect of five compost produced were evaluated for their effect of growth of Chinese cabbage and kangkoong. The treatments tested were control (without compost), inorganic fertilizer, combination between compost and inorganic fertilizer, compost with goat rumen inoculant and compost with stardec. Height, fresh weight and nutrient uptake were measured.The results showed that the cellulolytic microbe significantly increased the composting process of city waste compost. The best cellulolityc microbes inoculant were mix inoculant, cow rumen inoculant, stardec and chicken manure inoculant. These inoculant reduced the composting process by six days. Combination between organic fertilizer and inorganic fertilizer showed the highest yield of Chinese cabbage and kangkoong production. This treatment increased the yield 469% of Chinese cabbage and 290% of kangkoong above without any fertilizers and 175% and 110% above the 100% inorganic fertilizer.
Keywords: Cellulolytic microbes, city waste, compost, vegetables
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : Inokulasi Mikroba Selulolitik untuk Mempercepat Proses Pengomposan Sampah Pasar dan Pengaruh Kompos terhadap Produksi dan Usahatani Sayuran. Adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, April 2006
Suci Choiriah
INOKULASI MIKROBA SELULOLITIK UNTUK MEMPERCEPAT PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH PASAR DAN PENGARUH KOMPOS TERHADAP PRODUKSI DAN USAHATANI SAYURAN
Oleh Suci Choiriah P10500030
TESIS Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2006 LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian :
INOKULASI MIKROBA SELULOLITK UNTUK MEMPERCEPAT PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH PASAR DAN PENGARUH KOMPOS TERHADAP PRODUKSI DAN USAHATANI SAYURAN
Nama
:
Suci Choiriah
NRP
:
P10500030
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS Anggota
Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.Sc Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi PSL
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 28 Maret 2006
Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sragen, tanggal 8 April 1976 dari pasangan Bapak Hardi dan Ibu Sri Wilarsi. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 1982 penulis menyelesaikan sekolah di TK Aisyiyah II Banaran kemudian melanjutkan ke SD N I Jetiskarangpung dan lulus tahun 1988. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMPN I Gemolong Sragen dan lulus tahun 1991. Tahun 1991 penulis masuk SMAN 5 Surakarta dan lulus tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis masuk ke PS Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di IPB, penulis pernah aktif di Permusyawaratan Mahasiswa TPB IPB, Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB dan Himpunan Mahasiswa Agronomi. Penulis lulus dari IPB tahun 1999. Pada tahun 2000 penulis di terima di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Tahun 2002
penulis menikah dengan Irawan Indriyanto, Amd.Kom dan dikaruniai seorang putra bernama Rifqi Raihanny Syahmi yang lahir pada tanggal 11 Mei 2003.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan petunjuk yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis dengan judul
‘Inokulasi
Mikroba
Selulolitik
Untuk
Mempercepat
Proses
Pengomposan Sampah Pasar dan Pengaruh Kompos Terhadap Produksi dan Usahatani Sayuran’. Tulisan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Program Magister Sains pada Institut Pertanian Bogor. Penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB karena bantuan berbagai pihak baik berupa moril maupun materiil. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1.
Suami (Irawan Indriyanto Amd.Kom), Orangtua (Bapak Hardi dan Ibu Sri Wilarsi), Mertua (Papa Totok dan Mama yanti), anakku (Qiqi, maafkan mama yang sering meninggalkanmu) dan adik-adikku (Ida, Chandra, Lina dan Reza) serta keluarga besarku yang telah memberikan cinta, semangat, dorongan dan bantuan yang tak ternilai.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS dan Bapak Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dari awal sampai selesainya tulisan ini.
3.
Bapak Prof. Dr. H.M.H. Bintoro, M.Agr yang telah bersedia menjadi penguji dan memberikan banyak masukan bagi penulis untuk sempurnanya tulisan ini.
4.
Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS., selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB
5.
Pak Sarjito, Ibu Asih Karyati, Ibu Juleha, Mbak Tasnim, Ipat dan semua temanteman di Lab. Biologi Tanah atas bantuan dan rasa kekeluargaan yang selalu mengalir dikala penulis me mbutuhkan.
6.
Ibu Eny Widyati, Ibu Ir. Suprihati M.Si dan Ibu Dr. Ir. Rahayu Widyastuti yang selalu membuat penulis tetap tersenyum dan optimis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ini.
7.
Teman-teman PSL 2000, khususnya Lutfi dan suami, Mbak Yani, Mbak Emi, Suraji, Mas Oman dan Hana, atas segala kebaikan dan persaudaraan yang telah terjalin.
8.
Pak Supri, Mas Eko, Bpk. H. Endi dan rekan-rekan di TPA Galuga yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pengomposan di Galuga.
9.
Pak Ibram, Mas Rizal, Haidir, Dayat, Agus, Bu Yuyun, Shinta dan Riyani di Kebun Percobaan IPB Tajur atas bantuan dan kerjasamanya.
10. Warga Wisma Sari atas persahabatan, kebersamaan dan kekeluargaan yang telah terjalin, semoga kita tetap menjadi saudara selamanya. 11. Ninuk Christina atas segala bantuannya. 12. Bapak dan Ibu Zubaidi atas tempat berteduh selama penulis tinggal di Bogor. 13. Semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu yang ikut memberikan sumbangsih dalam bentuk apapun Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor , April 2006
Suci Choiriah
DAFTAR ISI Hal. KATA PENGANTAR………………………………………………………….....
iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………......
v
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………......
vii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………..........
viii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….......
ix
I. PENDAHULUAN …………………………………………………………….. 1.1 Latar Belakang …………………………………………................. 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………..... 1.3 Kerangka Pemikiran………………………………………………... 1.4 Tujuan ………………………………………………………………... 1.5 Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 1.6 Hipotesis ……………………………………………………………..
1 1 3 4 6 7 7
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………........ 2.1 Pengertian, Sifat dan Sumber Sampah....... ……………………... 2.2 Pemanfaatan Sampah ……………………………………………… 2.3 Pengomposan ……………………….………………………………. 2.4 Kematangan Kompos ………………………………………………. 2.5 Akselerasi Dekomposisi…………………………………………….. 2.6 Inokulan………………………………………………………………. 2.7 Isolasi Mikroba ………………………………………………........... 2.8 Selulosa, Enzim Selulase dan Mikroba Selulolitik ....................... 2.9 Tanaman Kangkung (Ipomoea reptans Poir.) ………………..….. 2.10 Tanaman Sawi (Brassica chinensis L.) ………………………….. 2.11 Hara Tanah dan Tanaman ……………………………... 2.12 Aspek Ekonomi Pengomposan dan Budidaya sayuran ………... 2.13 Analisis Biaya Usaha...................................................................
9 9 11 12 18 19 19 21 21 22 23 23 24 25
III. METODE PENELITIAN …………………………………………………..... 3.1 Waktu dan Lokasi …………………………………………............. 3.2 Bahan dan Alat ……………………………………………………... 3.3 Metode Penelitian …………………………………………………... 3.3.1 Tahap Isolasi, Pemurnian dan Seleksi……………………... 3.3.2 Tahap Aplikasi Isolat untuk Pengomposan ……………….. 3.3.3 Tahap Aplikasi Kompos untuk Penanaman Sayuran …….. 3.3.4 Analisis Finansial Usaha Pengomposan............................. 3.3.5 Analisis Finansial Usatani Sayuran.....................................
27 27 27 27 28 31 33 35 36
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………. 4.1 Isolasi Mikroba Selulolitik................……………………………….. 4.1.1 Populasi Mikroba Rumen dan Kotoran Ayam ..................... 4.1.2 Isolasi dan Seleksi Mikroba Selulolitik……………….......... 4.1.3 Pembuatan Inokulan ……………………………………........ 4.2 Pengomposan Sampah Pasar....................................................... 4.2.1 Kondisi Umum Pengomposan ……………………………….
39 39 39 40 41 41 41
iii
4.2.2 Proses Pengomposan ……………………………………….. 4.3 Pengaruh Kompos Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Sayuran......................................................................................... 4.3.1 Kondisi Umum Penanaman …………………………………. 4.3.2 Pertumbuhan Tanaman ……………………………………... 4.3.3 Serapan Hara Tanaman …................................................. 4.4 Analisis Finansial Usaha Pengomposan dan Usahatani Sayuran …................................................................................... 4.4.1 Analisis Finansial Usaha Pengomposan ............................ 4.4.2. Analisis Finansial Usahatani Sayuran ................................
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………....
65
VI. DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………......
66
LAMPIRAN ………………………………………………………………………
69
iv
50 50 52 57 58 58 61
DAFTAR GAMBAR No.
Hal. Teks Kerangka Alur Penelitian …………………………………….. ……
8
2. . 3.
Metode cawan Kuadran ………………………………………..…..
29
Model Pengomposan dengan Bambu Aerasi ……………….......
32
4.
Dinamika Suhu Harian Pengomposan Sampah Pasar …………
43
5.
Tingkat Laju Respirasi Pengomposan Sampah Pasar …………
45
6.
Penurunan Bobot Pengomposan Sampah Pasar ……..............
47
7.
Pengaruh Pemberian Inokulan terhadap Nisbah C/N ..................
48
1.
Lampiran 1.
Tiga Isolat Terpilih berdasarkan Diameter Zona Bening ………..
69
2.
Isolat Pembentuk Zona Bening …………………………………….
69
3.
Tumpukan Kompos dengan Aktivator Berbeda ………………….
69
4.
Petak Tanaman Sawi dan Kangkung ……………………………..
70
5.
Tanaman Sawi dengan Berbagai Pemberian Pupuk ……….......
70
6.
Tanaman Kangkung dengan Berbagai Pemberian Pupuk ………
70
v
DAFTAR TABEL
No.
Hal.
1.
Teks Komponen dan Komposisi Bahan Organik Sampah Kota……
11
2.
Hasil Penghitungan Jumlah Populasi Mikroba dalam Sampel..
39
3.
Pengujian Kemampuan Kapang Selulolitik terhadap Pembentukan Zona Bening …………………………………… .
41
4.
Kandungan Hara Awal Sampah Pasar TU …………………….
42
5.
Dinamika pH Pengomposan dengan Inokulan yang Berbeda ..
44
6.
Hasil Analisis Kandungan Hara Kompos berbagai Inokulan ….
50
7.
Hasil Analisis Kandungan Hara Tanah di Kebun Percobaan IPB Tajur........... ……………...........................................................
51
Pengaruh Pemberian Kompos terhadap Tinggi Tanaman Sawi dan Kangkung …………………………………………………….
52
Pengaruh Pemberian Kompos terhadap Jumlah Daun Sawi dan Kangkung …………………………………………………....
54
Pengaruh Pemberian Kompos terhadap Luas Daun dan Indeks Luas Daun …………………………………………………………
56
Pengaruh Pemberian Kompos terhadap Bobot Segar Tanaman, Bobot Tajuk, Bobot Akar dan Rasio Bobot Akar Tajuk ………
57
12.
Serapan Hara Tanaman Sawi dan kangkung ……...................
58
13.
Biaya Variabel Produksi Kompos dengan Inokulan Berbeda ……
59
14.
Harga Pokok Produksi Kompos dengan Inokulan Berbeda .........
60
15.
Biaya Variabel Produksi Sayuran dengan Kompos yang Berbeda (1 musim tanam/1000 m2).............................................................
62
Harga Pokok Produksi Sayuran dengan Kompos yang Berbeda (1 musim tanam/1000 m2).............................................................
63
8.
9. 10.
11.
16.
vi
DAFTAR LAMPIRAN No.
Hal.
1
Teks Komposisi Media Isolasi .............……………………………................
71
2.
Spesifikasi Kompos dari Sampah organik Domestik .........................
73
3.
Biaya Usaha Pembuatan Kompos dengan Inokulan Stardec.............
74
4.
Biaya Usaha Pembuatan Kompos Tanpa Inokulan.......... ...................
74
5.
Biaya Usaha Pembuatan Kompos Inokulan MIX................................
75
6.
Biaya Usaha Pembuatan Kompos Inokulan RK..................................
75
7.
Biaya Usaha Pembuatan Kompos Inokulan RS..................................
76
8.
Biaya Usaha Pembuatan Kompos Inokulan KA..................................
76
9.
Usahatani Sawi Tanpa Pupuk (1 musim/1000 m2)..............................
77
10.
Usataani Sawi dengan Kompos SK (1 musim/1000 m2).....................
77
11.
Usahatani Sawi dengan Kompos RK (1 musim/ 1000 m2) ..................
78
12.
Usahatani Sawi dengan Kombinasi Kompos dan Pupuk Urea (1 musim/1000 m2) .............................................................................
78
13.
Usahatani Sawi dengan Pupuk Urea (1 musim/1000 m2) ..................
79
14.
Usahatani Kangkung Tanpa Pupuk (1 musim/1000 m2) ....................
79
15.
Usahatani Kangkung dengan Kompos SK (1 musim/1000 m2) ........
80
16.
Usahatani Kangkung dengan Kompos RK (1 musim/1000 m2) .......
80
17.
Usahatani Kangkung dengan Kombinasi Kompos dan Urea (1 musim/1000 m2 ) ............................................................................
81
18.
Usahatani Kangkung dengan Pupuk Urea (1 musim/1000 m2) ........
81
19.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Tinggi Tanaman Sawi…………………………………………………………….. 82
20.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Tinggi Tanaman Kangkung ……………………………………………………... 82
21.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Jumlah Daun Sawi…………………………………………………………………. 83
22.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Ju mlah Daun Kangkung ………………………………………………………….. 83 vii
23.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Luas Daun Sawi…………………………………………………………………. 84
24.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Indeks Luas Daun Sawi…………………………………………………………... 84
25.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Luas Daun Kangkung …………………………………………………………………. 84
26.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Indeks Luas Daun Kangkung……………………………………………………. 84
27.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Bobot Segar Tanaman, Bobot Segar Tajuk, Bobot Segar Akar dan Rasio Bobot Akar Tajuk Sawi ………………………………………………….. 85
28.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Bobot Segar Tanaman, Bobot Segar Tajuk, Bobot Segar Akar dan Rasio 85 Bobot Akar Tajuk Kangkung……………………………………………
viii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari sebuah pembangunan.
Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang
makin meningkat drastis akan berdampak pada timbulnya masalah-masalah lingkungan diantaranya masalah kebersihan lingkungan kota. Membicarakan masalah kebersihan kota tidak terlepas dari pembicaraan masalah sampah. Sampai saat ini sampah masih merupakan masalah yang memerlukan penanganan serius. Jumlah dan komposisi sampah yang dihasilkan dalam suatu kota ditentukan oleh beberapa faktor antara lain 1) Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya; 2)Tingkat pendapatan dan pola konsumsi masyarakat; 3) Pola penyediaan kebutuhan hidup penduduknya dan 4) Iklim dan musim (Jumiono, 2001) Penanganan sampah terutama di kota besar belum memikirkan sistim penanganan sampah terpadu. Umumnya penanganannya masih mengikuti pola konvensional yaitu mengikuti alur kumpul – angkut – buang sehingga rantai distribusinya panjang dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sifatnya sentralis. Selain itu penanganannya masih belum menerapkan prinsip daur ulang.
Hal
tersebut akan menimbulkan berbagai masalah seperti besarnya dana operasional pengelolaan, masalah lingkungan (sumber pencemaran, sumber hama dan penyakit serta hilangnya nilai estetika lingkungan), dan masalah kapasitas TPA yang terbatas sementara lahan pengganti untuk TPA semakin sulit dicari. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa komposisi sampah kota di Indonesia sekitar 80% terdiri dari bahan organik. Namun bagian tersebut masih tercampur dengan sampah anorganik sehingga sukar diolah. Untuk itu perlu penanganan dengan metode yang tepat. Sampah organik (sisa-sisa makanan, sayuran, daun, dan sampah organik lain) dapat dimanfaatkan untuk dijadikan kompos sehingga diperoleh pupuk organik dan manfaat lain yaitu mengurangi pencemaran lingkungan. Kompos adalah bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroba yang bekerja di dalamnya. Kompos sebagai produk dari proses penguraian bahan organik memiliki sifat-sifat yang baik untuk menyuburkan tanah dan menyediakan unsur
2 hara bagi tanaman. Namun orang tidak tertarik untuk mengolah sampah menjadi kompos, karena proses dekomposisi atau pematangannya yang lama. Di alam kompos matang memerlukan waktu yang lama. Selain itu biaya tenaga kerja yang tinggi dan seringnya muncul gulma dan penyakit. Oleh karena itu perlu teknologi dengan bantuan manusia agar mampu mengatasi hal tersebut. Komposisi dan ukuran bahan yang akan dikomposkan, kadar air, aerasi dan inokulan merupakan faktor yang sangat perlu diperhatikan agar proses pengomposan sampah kota dapat berjalan dengan cepat dan kompos yang dihasilkan akan lebih berkualitas. Diantara faktor yang menentukan kecepatan proses pengomposan,
penambahan inokulan berupa mikroba dekomposer
sangat diperlukan, namun masih jarang dilakukan. Sampah kota yang dapat dikomposkan sebagian besar terdiri atas selulosa.
Oleh karena itu, bila bahan diinokulasi dengan mikroba selulolitik
diharapkan proses pengomposan sampah kota dapat berjalan cepat dan kompos yang dihasilkan lebih berkualitas.
Mala (1994) melaporkan bahwa inokulasi
Trichoderma harzianum Rifai Aggr. (mikroba selulolitik) pada pengomposan jerami padi, mampu mempercepat pengomposan menjadi 19 hari untuk mencapai nisbah C/N 20 sebagai kriteria kompos matang. Rumen diduga mengandung mikroba yang mampu mempercepat proses pengomposan dan juga untuk meningkatkan kualitas kompos. Isolasi mikroba yang terdapat dalam cairan rumen menarik untuk dilakukan karena selain mengandung mikroba yang mampu merombak selulosa juga akan mengurangi biaya, tenaga dan kekurangan lain apabila rumen diaplikasikan secara langsung untuk pengomposan. Selain penambahan/pemberian inokulan sebagai aktivator pengomposan juga dapat dipacu dengan pengaturan kondisi iklim mikro seperti suhu, kelembaban dan aerasi sehingga sesuai untuk pertumbuhan mikroba pengurai. Dilihat dari aspek ekonomi, pengomposan yang terdiri atas proses reduce, reuse dan recycling akan memberikan hasil tidak hanya dari penjualan kompos tapi juga dari ketiga proses tersebut. Menurut Rosalina (2003) secara ekonomi terjadi transaksi melalui penawaran dan permintaan berbagai jenis barang yang dikumpulkan dari sampah antara pemulung dengan pembeli, akibat adanya kebutuhan hidup keduanya.
Keberlangsungan proses di atas akan terjamin
apabila ada insentif keuangan kepada pelaku proses pengomposan, selain itu
3 pemerintah harus berperan dalam menciptakan peraturan dan penciptaan kesadaran lingkungan untuk proses tersebut.
Oleh karena itu pengomposan
skala TPA harus dimotori oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat sekitar. Aplikasi kompos pada beberapa tanaman menunjukkan hasil yang positif. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemberian pupuk organik berupa kotoran lembu 30 ton/ha menghasilkan tanaman tertinggi dan hasil terbesar. Sementara itu dalam percobaan lain menyatakan bahwa dengan menggunakan kompos dari sampah kota terhadap tanaman rumput dengan dosis 8 ton/ha memberikan peningkatan hasil sebesar 257,1%. 1.2 Perumusan Masalah Pengelolaan sampah organik padat kota di TPA masih menghadapi berbagai kendala, diantaranya adalah belum dimanfaatkannya sampah-sampah tersebut secara optimal.
Menurut Jumiono (2001) sampah padat kota Bogor
sebagian besar (+ 79,4%) adalah sampah organik yaitu sampah/limbah hasil pertanian dan sisanya adalah sampah yang bisa dipulung atau sampah yang tidak ada nilai ekonominya lagi. Komposisi sampah yang sebagian besar sampah organik sangat menunjang untuk pengolahan lebih lanjut yaitu didaur ulang menjadi kompos.
Pengelolaan tersebut diharapkan selain dapat mengurangi
pencemaran terhadap lingkungan juga memberi manfaat ekonomi terutama dari hasil daur ulang dan kompos yang terjual. Di dalam pengomposan akan terjadi perubahan yang dilakukan oleh mikroba, yaitu berupa penguraian selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin dan lainnya menjadi karbondioksida (CO2) dan air, pengikatan unsur hara oleh mikroba yang akan dilepaskan kembali bila organisme mati serta pembebasan unsur hara senyawa organik yang akan tersedia bagi tanaman. Dengan adanya perubahanperubahan tersebut maka bobot dan isi bahan dasar kompos akan menjadi sangat berkurang (40 – 60%), tergantung bahan dasar kompos dan proses pengomposan, tapi proses tersebut memakan waktu yang lama.
Laju
pengomposan sangat dipengaruhi oleh susunan bahan mentah (C/N ratio bahan), kondisi mikro (suhu, pH, kadar air, aerasi dan ketinggian tumpukan), kandungan nitrogen, pengadukan (Ismawati, 2003). Selain itu keberadaan mikroba dekomposer juga sangat berpengaruh. Kotoran ternak adalah salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai inokulan. Kotoran ternak/isi rumen ternak (ruminansia) adalah salah satu jenis
4 limbah RPH yang dihasilkan secara kontinyu dengan jumlah besar (Siagian dan Simamora, 1994), yaitu berkisar 10 – 12% dari berat hidup hewan tersebut. Apabila kotoran ini dibiarkan maka dapat menimbulkan beban pencemaran yang cukup berat. Limbah ternak tergolong limbah organik berserat dan voluminous sehingga untuk dijadikan inokulan langsung memerlukan banyak tenaga untuk mengangkutnya dan tidak efisien bila digunakan untuk skala industri.
Perlu
perlakuan lebih lanjut untuk mengatasi hal tersebut. Salah satunya adalah dengan mengisolasi mikroba dalam cairan rumen yang berperan dalam perombakan sampah. Hal lain yang menyebabkan rendahnya aktivitas pengelolaan sampah adalah bahwa pelaku daur ulang dan pengomposan adalah pelaku ekonomi informal yang tidak dilindungi undang-undang, serta rendahnya pandangan masyarakat terhadap para pelaku aktivitas tersebut. Sementara pemerintah, terutama Departemen Pertanian yang mencanangkan program Go Organic 2010 belum sepenuhnya memperhatikan hal tersebut untuk mendukung programnya. Di pihak lain petani sendiri masih enggan menggunakan pupuk organik (kompos) dalam proses budidayanya dengan alasan hasilnya tidak secepat dan sebaik apabila menggunakan pupuk an-organik. Hal tersebut menyebabkan permintaan terhadap produk daur ulang (kompos) untuk pertanian juga masih kecil.
Padahal aplikasi pupuk organik pada pertanian berpotensi mensubtitusi
pupuk an-organik sampai mencapai 100%, dan hal tersebut dapat mengurangi beban biaya pemupukan dan ketergantungan modal bagi petani. Beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : -
Jenis
mikroba
apa
dan
bagaimana
menyeleksi,
mengisolasi,
dan
membiakkannya dari isi rumen dan manur ayam untuk pengomposan? - Bagaimana laju pengomposan yang menggunakan aktivator hasil isolasi dan campuran beberapa isolat dan aktivator komersial? - Bagaimana kualitas, produksi dan analisis usaha tani sayuran yang menggunakan kompos hasil pengujian? - Seberapa besar keuntungan ekonomi yang diperoleh dari pengomposan menggunakan sampah organik padat kota dan aktivator hasil isolasi?
5 1.3 Kerangka Pemikiran Konsep pengelolaan sampah adalah mencegah tumpukan sampah secara maksimal dan memanfaatkann sampah secara maksimal serta menekan dampak negatif sekecil-kecilnya dari aktifitas pengelolaan sampah. Selama ini penanganan sampah berhenti pada proses penampungan (TPS) dan kemudian menimbunnya di TPA, sehingga semakin hari timbulan sampah di TPA makin menggunung dan menimbulkan berbagai masalah lingkungan tanpa ada penanganan khusus untuk sampah-sampah tersebut. Hal tersebut tentunya juga akan berdampak negatif bagi manusia. Pengelolaan sampah harus mencakup pencegahan dan pengurangan serta pemanfaatan kembali pada setiap titik pembuangan sampah.
Kegiatan
pencegahan sampah dari sumber dimulai dengan kegiatan pemisahan sampah, meskipun hal ini secara langsung tidak dapat mengurangi timbulan sampah, namun dapat membantu pada proses berikutnya. Kegiatan pengelolaan sampah seharusnya mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Reduce (Pengurangan) Mereduksi timbulan sampah berarti mengurangi semaksimal mungkin kegiatan yang akan menghasilkan banyak sampah, seperti mengurangi konsumsi barang yang dikemas secara berlebihan.
Kegiatan mereduksi sampah tidak
mungkin bisa menghilangkan sampah secara keseluruhan, tetapi secara teoritis aktifitas tersebut mampu mengurangi dalam jumlah nyata.
2. Recycling (Daur ulang) Daur ulang merupakan kegiatan pemanfaatan kembali suatu barang atau produk namun masih perlu kegiatan/proses tambahan.
Kegiatan daur ulang
dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan memisahkan barang-barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan kembali seperti kaleng, botol, koran bekas dan besi bekas. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan mulai dari sumber penghasil sampah sampai TPA. 3. Re-use (Pemanfaatan kembali) Kegiatan ini merupakan penghematan selain dapat mengurangi sampah. Barang atau bahan yang telah digunakan dan masih bisa digunakan tidak dibuang tetapi digunakan kembali. Pada proses tersebut peran pemulung sangat besar. Pemanfaatan kembali ini dapat berjalan dengan baik apabila proses pemisahan berjalan dengan baik. Pemanfaatan kembali sampah secara garis
6 besar terbagi menjadi dua kelompok pemanfaatan yaitu pemanfaatan sampah organik dan sampah anorganik. Pemanfaatan sampah anorganik dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung pemanfaatan sampah anorganik dapat dilakukan dengan pembuatan kerajinan dengan bahan baku barang bekas, sedangkan secara tidak langsung dengan menjual barang-barang bekas tersebut. Pemanfaatan sampah organik terutama adalah dengan mengomposkan sampah-sampah tersebut. Komposisi sampah di Indonesia yang berupa sampah organik berkisar antara 50 – 75%. Melalui proses pengomposan, sampah dapat tereduksi sekitar 10 – 20% dan bila dipadukan dengan proses daur ulang dapat mengurangi dana transport dan kapasitas TPA sampai 50%.
Kompos yang
dihasilkan juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang dapat diaplikasikan pada berbagai bidang pertanian. Kompos sangat diperlukan untuk mendukung peningkatan produksi dengan memperhatikan aspek pendukung kelestarian alam. Pengomposan juga menghasilkan keuntungan ekonomi yaitu hasil penjualan kompos. Hal ini didukung dengan peningkatan permintaan produk organik di pasaran. Selain itu diperoleh substitusi pupuk anorganik dengan pupuk organik yang berarti mengurangi beban biaya pemupukan dan ikut menjaga alam dari kerusakan karena penggunaan pupuk an-organik secara terus menerus tidak efisien
dan
mengganggu
keseimbangan
tanah
sehingga
menurunkan
produktivitas lahan dan mempengaruhi produksi. Dalam jangka panjang, pengelolaan sampah yang baik akan memberikan manfaat yang baik pula bagi manusia 1.4 Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah 1.
Memperoleh isolat mikroba selulolitik dari rumen sapi, rumen kambing dan kotoran ayam untuk dijadikan inokulan.
2.
Menganalisa laju pengomposan sampah organik padat kota menggunakan mikroba selulolitik dari hasil isolasi, inokulan komersial dan campuran beberapa mikroba selulolitik
3.
Menganalisa pertumbuhan, produksi dan analisis usahatani dari penanaman sayuran yang menggunakan media kompos hasil pengomposan.
7 4.
Melakukan analisis biaya usaha terhadap pengomposan untuk memberikan gambaran tentang perkiraan potensi dan keuntungan daur ulang sampah menjadi kompos menggunakan beberapa inokulan.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
terhadap
penanganan masalah sampah terutama dalam teknologi pengomposan. Teknologi dalam hal ini adalah isolasi mikroba untuk dijadikan inokulan yang dapat mempercepat laju pengomposan.
Selain itu memberikan gambaran tentang
manfaat dan pentingnya sampah di daur ulang menjadi kompos. Kompos yang dihasilkan diharapkan memiliki kualitas yang baik sehingga dapat menunjang produksi pertanian dan mendukung program yang dicanangkan pemerintah yaitu Go Organic 2010. 1.6 Hipotesis Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah : 1. Inokulasi mikroba selulolitik kedalam sampah kota akan mempercepat proses pematangan kompos. 2. Pemberian kompos pada tanaman akan berpengaruh pada pertumbuhan, produksi dan nilai usahataninya 3. Pengomposan sampah organik padat kota akan memberikan keuntungan 4. Penggunaan kompos bersama pupuk anorganik (Urea) akan meningkatkan pertumbuhan, produksi sayuran dan keuntungannya.
8 Penyumbat Sal. Drainase Mjd Sumber Penyakit Pencemaran air, udara, tanah
Kecepatan merombak alam tidak secepat penumpukan sampah Sulit mencari lahan penggganti
Masalah Lingkungan
Biaya pengelolaan Biaya pengangkutan
TPA cepat penuh
Masalah
Dana Operasional
SAMPAH KOTA
Penyelesaian
Pengelolaan
MANUSIA
Reduce
Recovery
Recycling
Reuse
Pengomposan
Participation
Kondisi Bahan Keberadaan Mikroba Dek. Kondisi Lingkungan
Kompos
Keuntungan Ekonomi
Keuntungan Bidang Pertanian
Mengurangi Pencemaran
Sumber Konservasi Lingkungan
Gambar 1. Kerangka Alur Penelitian (Perumusan Dan Pemecahan Masalah)
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian, Sifat dan Sumber Sampah Istilah limbah padat atau sampah memiliki arti yang kurang lebih sama. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya, yang ditinjau dari segi sosial ekonomis tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian. Definisi lain menyatakan bahwa yang dimaksud sampah adalah segala sesuatu yang tidak dikehendaki lagi oleh yang punya dan bersifat padat, ada yang mudah membusuk dan ada yang tidak mudah membusuk.
Yang mudah
membusuk terutama terdiri dari zat-zat organik seperti sisa-sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain, sedangkan yang tidak membusuk dapat berupa plastik, kerta, karet, logam dan sebagainya. Secara teknis sampah dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok yaitu (Murtadho dan Said, 1988) : 1.
Sampah organik mudah membusuk (garbage), yaitu sampah padat semi basah berupa bahan organik yang berasal dari pertanian, makanan, sampah sayuran dan kulit buah-buahan. Sampah tersebut mempunyai ciri mudah terurai oleh mikroba dan mudah membusuk karena mempunyai rantai kimia yang relatif pendek.
2.
Sampah an-organik tidak membusuk (rubbish) yaitu sampah padat anorganik cukup kering dan sulit terurai oleh mikroba, sehingga sulit membusuk. Hal ini disebabkan karena rantai kimia yang panjang dan komplek, seperti kaca, plastik dan besi. Sampah ini relatif mudah penanganannya.
3.
Sampah abu (ashes ) yaitu sampah padat yang berupa abu, misalnya abu hasil pembakaran. Sampah tersebut mudah terbawa angin karena ringan tetapi tidak mudah membusuk.
4.
Sampah bangkai binatang (dead animals), yaitu semua sampah yang berasal dari bangkai binatang, seperti tikus, ikan, anjing dan bangkai ternak. Sampah ini jumlahnya relatif kecil, akan tetapi jika terjadi bencana alam misalnya banjir, gunung meletus, kekeringan yang mengakibatkan matinya binatang-
10 binatang, maka sampah tersebut akan menjadi masalah, terutama karena baunya. 5.
Sampah industri (industrial waste), yaitu semua sampah hasil buangan industri. Sampah tersebut sangat tergantung dari jenis industrinya. Dewasa ini sampah industri merupakan sumber utama yang potensial mencemari lingkungan sehingga banyak disorot.
6.
Sampah berbahaya (B3) adalah sampah yang karena jumlahnya atau konsentrasinya atau sifat kimia fisik dan mikrobiologinya berpotensi menimbulkan bahaya sekarang maupun di masa yang akan datang terhadap kesehatan atau lingkungan, apabila tidak diolah, diangkut, disimpan dan dibuang. Sampah tersebut biasanya terdiri atas zat kimia organik maupun anorganik serta logam-logam berat. Pada tiap kegiatan yang menggunakan sumberdaya, sampah selalu
dihasilkan.
Sampah terakumulasi di dalam lingkungan dan sangat tergantung
pada kemampuan lingkungan untuk mengasimilasinya, jumlahnya akan semakin bertambah dan tidak sepenuhnya dapat diserap oleh lingkungan. adanya
teknologi
untuk
pengolahan
sumberdaya
tersebut
Diperlukan agar
dapat
meminimalkan limbah yang dihasilkan Menurut sumbernya sampah dapat diklasifikasikan dalam
empat
kelompok (Hadiwiyoto, 1983) yaitu : 1. Sampah Domestik, yaitu sampah yang berasal dari pemukiman masyarakat. Jenis sampah tersebut umumnya berupa sampah dapur, kaleng atau kertaskertas pembungkus, kulit buah-buahan dan daun-daunan. 2. Sampah komersial, yaitu sampah yang berasal dari jasa-jasa komersial seperti pasar, toko atau warung dan jenis sampahnya beragam sesuai dengan jenis dagangannya. 3. Sampah Industri, yaitu sampah buangan industri, jenis, jumlah dan komposisinya tergantung dari jenis industrinya. 4. Sampah yang berasal dari bencana alam Berdasarkan sifatnya, sifat sampah meliputi sifat fisik, kimia dan biologis. Ditinjau secara fisik sampah yang bersifat padatan sukar untuk dirinci, hal ini disebabkan sampah tersebut selalu tidak homogen. Lain halnya dengan sampah yang berbentuk cairan lebih mudah diadakan identifikasi sifat-sifat fisiknya. Begitu juga dengan sifat biologisnya, sehingga masih sedikit publikasi tentang sifat-sifat
11 fisik dan biologi sampah. Sifat sampah kota terdiri atas serat kasar, lemak, abu mineral, air, amonia, senyawa nitrogen organik dan protein. Secara umum komposisi sampah kota disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen dan Komposisi Bahan Organik Sampah Kota Bahan Organik Serat kasar ( % ) Lemak ( % ) Abu ( % ) Air ( % ) Ammonium (mg/g s ampah) N Organik (mg/g sampah) Total nitrogen (mg/g sampah) Protein (mg/g sampah) Keasaman (pH) Sumber : Hadiwiyoto (1983)
Persentase 41.0 – 61.0 3.0 – 9.0 4.0 – 20 30.0 – 60.0 0.5 – 1.14 4.8 – 14.0 4.0 – 17.0 3.1 – 9.3 5.0 – 8.0
Beberapa studi memberikan angka timbunan sampah kota di Indonesia berkisar antara 2 – 3 liter per orang per hari dengan densitas 200 – 500 kg/m3 dan komposisi utamanya adalah sampah organik 70 – 80 % (Handojo, 1993). 2.2 Pemanfaatan Sampah Pemanfaatan sampah/limbah menjadi suatu produk yang mempunyai nilai ekonomi merupakan aspek yang diharapkan semua pihak. Pemanfaatan limbah padat memerlukan teknologi yang tepat sesuai dengan karakteristik limbah yang ada (Murtadho dan Said, 1988). Negara-negara yang memiliki tingkat teknologi tinggi dapat dengan mudah memanfaatkan bahan-bahan yang tidak mempunyai nilai ekonomi menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomi, sehingga bermanfaat terhadap manusia dan terhadap organisme lain yang dapat meningkatkan kembali mutu lingkungan Di Indonesia terdapat berbagai limbah padat, terutama limbah padat pertanian yang melimpah. Setiap jenis limbah padat mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, maka di dalam pemanfaatannya juga menghendaki teknologi yang berbeda. Dengan ditemukannya teknologi yang tepat, maka selain dapat membantu program penanganan limbah padat, hal ini juga dapat membantu mengembangkan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya akan mendatangkan penghasilan yang berarti bagi masyarakat Menurut Hadiwiyoto (1983), segala jenis sampah organik dapat dijadikan biogas.
Biogas sebenarnya adalah senyawa metana (CH4) dan sering pula
12 disebut dengan gas klar, sewerage gas, gas gobar, bioenergi dan RDF (Refuse derived fuel) = bahan bakar dari sampah. Gas metana bersifat tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah terbakar. Pada umumnya bukan sebagai gas yang murni, tetapi merupakan campuran antara metana lebih kurang 65%, karbon dioksida lebih kurang 30%, H2S lebih kurang 1% dan gas-gas lain dalam jumlah yang kecil. Selanjutnya dikatakan bahwa sampah padat dapat dibuat kompos yang sangat berguna untuk tanaman, dan sampah juga dapat dipakai sebagai bahan pakan ternak. Permasalahannya adalah sejauh mana tingkat pemilikan dan penguasaan
teknologi
serta
kemampuan
dana
dalam
rangka
proses
pengoperasiannya. 2.3 Pengomposan Kompos adalah partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation-kation dan partikel tanah untuk membentuk granulagranula sampah. Dengan demikian, penambahan kompos dapat memperbaiki struktur, tekstur dan lapisan tanah sehingga akan memperbaiki aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air serta berguna untuk mengendalikan erosi tanah (Gaur, 1981) Pengomposan dapat didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dari bahan organik sampah dibawah kondisi yang terkontrol. menggunakan atau tidak menggunakan oksigen.
Proses tersebut dapat
Proses yang menggunakan
oksigen disebut proses aerobik sedangkan yang tidak menggunakan oksigen disebut proses an-aerobik. Pengomposan secara aerobik dapat memproduksi kompos secara cepat dan produknya relatif bebas patogen, sedangkan yang secara an-aerobik membutuhkan waktu dekomposisi yang lama dan jarang bebas dari patogen dan masalah bau (Obeng dan Wright, 1987) Gaur (1981) menyatakan bahwa pengomposan adalah suatu proses biokimia yang mendekomposisi bahan-bahan organik menjadi zat-zat seperti humus (kompos) oleh kelompok-kelompok mikroba campuran dan berbeda-beda pada kondisi yang dikontrol. Biokonversi terhadap bahan-bahan organik pada saat pengomposan dilakukan oleh kelompok-kelompok mikroba heterofilik yang berbeda-beda, yang meliputi bakteri, kapang, protozoa, dan aktinomicetes. Mikroba selulolitik dan lignolitik sangat berperan dalam mendekomposisi komponen dari bahan organik yang terdegradasi secara lambat.
13 Selama pengomposan, bahan-bahan organik didekomposisikan terlebih dahulu menjadi bentuk-bentuk an-organiknya. Bahan-bahan organik sederhana oleh enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh mikroba heterofilik. Keterlibatan mikroba selama proses dekomposisi bahan organik secara umum digambarkan pada bagan berikut : Aktivitas Bahan Organik +
O2
CO2 + H2O + hara + humus + energi Mikroba
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pengomposan adalah kadar air, suplai oksigen, suhu dan pH.
Menurut Obeng dan Wright (1987)
pengomposan dipengaruhi oleh kandungan air, suhu, waktu, ukuran praktikel, suplai oksigen, nisbah C/N dan pH. Kadar Air (Kelembaban) Mikroba
membutuhkan
air
untuk
kehidupannya.
Kelebihan
air
menyebabkan bahan kompos menjadi lebih kompak karena bagian udara terisi air, kondisi menjadi an-aerobik sehingga menimbulkan bau busuk dan selanjutnya proses pengomposan membutuhkan waktu yang lebih lama. Sebaliknya pada kadar air rendah menimbulkan suhu yang tinggi di tengah-tengah tumpukan yang akan menghambat proses dekomposisi Kadar
air
(kelembaban)
diperlukan
untuk
pertumbuhan
mikroba.
Dekomposisi aerobik dapat terjadi pada kadar air bahan 30 - 60%, asalkan dilakukan pembalikan pada bahan yang dikomposkan. Namun, kadar air yang optimal untuk pengomposan adalah 50 – 60%.
Selanjutnya EPA (1989)
menyatakan bahwa kadar air yang berlebihan (diatas 60%) dapat menurunkan suhu dalam gundukan bahan-bahan yang dikomposkan, karena menghambat aliran oksigen serta menyebabkan dihasilkannya bau. Suplai Oksigen Suplai oksigen optimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba aerobik adalah 5 – 15% dari udara yang dibutuhkan atau di atas 5% dari volume gundukan.
Oksigen dibutuhkan untuk mendekomposisi limbah organik yang
dikomposkan.
Menurut Obeng dan Wright (1987) konsumsi oksigen yang
diperlukan oleh proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 1) tahap dalam proses pengomposan, 2) suhu, 3) tahap dekomposisi bahan, 4) komposisi bahan yang dikomposkan, 5) ukuran partikel dan 6) kandungan air.
14 Konsumsi oksigen muncul (meningkat atau menurun) secara logaritmik dengan perubahan suhu. Suplai udara (aerasi) yang cukup pada seluruh bagian tumpukan kompos sangat penting, tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan mikroba dan untuk mengalirkan karbon dioksida yang dihasilkan keluar dari tumpukan bahan. Pada kondisi tanpa udara atau yang disebut sebagai kondisi an-aerobik, dapat memberikan peluang bagi perkembangan mikroba tertentu yang menyebabkan pemasaman atau dengan kata lain terjadi pembusukan sehingga mengeluarkan bau tidak sedap (Dalzell et al., 1987) Nisbah C/N Menurut Gaur (1981), nisbah C/N dari bahan-bahan organik merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pengomposan.
Nisbah C/N
tersebut menunjukkan ketersediaan sumber energi bagi berbagai mikroba yang terlibat dalam proses degradasi.
Berdasarkan hal tersebut EPA (1989)
merekomendasikan nisbah C/N yang dapat memberikan proses dekomposisi yang efektif adalah 30. Bahan organik yang mempunyai rasio C/N tinggi akan menurunkan aktivitas biologis mikroba yang terlibat dan beberapa siklus aktivitas mikrobiologis dapat terjadi, untuk mendegradasi bahan yang mengandung karbon. Nitrogen yang telah dimobilisasi akan didaur ulang yaitu dengan matinya beberapa mikroba, untuk mereduksi kandungan karbon pada residu-residu organik. Oleh karena itu, proses dekomposisi yang sempurna akan berlangsung dalam waktu lama.
Secara umum semakin tinggi nisbah C/N dari bahan organik yang
dikomposkan maka semakin lambat proses dekomposisinya. Sebaliknya dalam kondisi nisbah C/N yang rendah, walaupun proses dekomposisi berlangsung, beberapa nitrogen yang tidak dapat diasimilasi akan hilang akibat proses volatilisasi sebagai amoniak atau denitrifikasi. Pada kondisi nilai C/N rendah dan kondisi yang sesuai, amoniak akan dioksidasi lebih lanjut menjadi nitrit dan nitrat.
Selama pengomposan akan terjadi penurunan nilai
nisbah C/N akibat terbentuknya CO2, sementara nilai N cenderung konstan. Unsur Hara Proses pengomposan dapat berjalan dengan baik atas bantuan mikroba perombak. Mikroba membutuhkan sumber karbon untuk energi dan bahan-bahan untuk penyusun sel baru, yang selanjutnya untuk penyusunan protein sel. Bahan
15 organik yang mengandung nisbah karbon nitrogen terlalu tinggi, penambahan nitrogen ke dalam bahan kompos sangat diperlukan untuk menurunkan nisbah karbon nitrogen bahan. Nitrogen merupakan unsur hara yang penting, semakin tinggi kandungan unsur nitrogen dalam bahan kompos maka nilai nutrisi kompos tersebut juga semakin tinggi. Untuk meningkatkan nilai nutrisi tersebut, terutama untuk bahan dengan kandungan unsur hara yang rendah perlu adanya penambahan hara dan biasanya dilakukan secara bersamaan dengan penambahan inokulum mikroba (Gaur, 1981). Nitrogen sangat sering digunakan sebagai faktor pembatas terhadap aktivitas mikroba dalam proses dekomposisi bahan-bahan organik, namun nutrien-nutrien lainnya juga dapat membatasi dekomposisi bahan organik. Penambahan nitrogen yang berasal dari urea mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik yaitu dalam waktu 8 minggu mencapai nisbah C/N 23, sedangkan nisbah C/N pada kontrol masih lebih tinggi yaitu sebesar 31. Dalam upaya meningkatkan laju dekomposisi bahan organik, beberapa aktivator yang mengandung nitrogen dapat diberikan dalam bahan kompos antara lain urea, tepung tulang, tepung darah, tepung biji kapas dan tanaman leguminosa. Kandungan Bahan Senyawa-senyawa polifenol dan lignin merupakan bahan yang dapat memodifikasi laju dekomposisi bahan organik. Menurut Obeng and Wright (1987) umumnya makin tinggi kandungan polifenol dalam bahan-bahan organik, makin rendah laju dekomposisi dan mineralisasi nitrogen. Hal ini disebabkan polifenol dapat melakukan reaksi dengan protein untuk membentuk senyawa-senyawa nitrogen rekalsitran yang tidak larut, dan dapat menghambat aktivitas mikroba pendegradasi (terutama kapang).
Demikian juga dengan lignin, makin tinggi
kandungan dalam bahan-bahan organik makin lambat proses dekomposisi yang terjadi.
Hal tersebut karena proses dekomposisi lignin akan menghasilkan
senyawa fenolik yang bersifat resisten. Ukuran Bahan Pengomposan dapat dipercepat dengan mengecilkan ukuran bahanbahan organik sehingga luas permukaan kontak lebih tinggi dan menjadi lebih peka terhadap aktivitas mikrobiologis. Ukuran partikel yang sangat baik kurang
16 dari 5 cm, walaupun ukuran yang lebih besar juga dapat dikomposkan dengan memuaskan (Gaur, 1981). Menurut Mathur (1980), biasanya ukuran yang diperlukan dalam proses pengomposan adalah 5 cm, tetapi ukuran yang lebih besar juga dapat memberikan hasil yang baik pada pengomposan. Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah diiris -iris menjadi bagian-bagian kecil sehingga irisan-irisan menjadi lebih rentan terhadap aktivitas mikroba. Pengirisan bahan organik menjadi ukuran yang lebih kecil menyebabkan luas permukaan bahan yang akan diserang oleh mikroba bertambah besar. Ukuran partikel yang sangat besar, mengakibatkan luas permukaan yang akan diserang menjadi lebih kecil, sehingga reaksi menjadi lebih lambat dan bahkan akan terhenti. Tingkat Kemasaman Tingkat kemasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba dekomposer. Pada tahap awal pengomposan pH bahan biasanya sedikit asam, yaitu sekitar 6.
Terbentuknya asam-asam organik selama tahap awal
proses pengomposan menyebabkan pH akan turun lebih rendah lagi sampai sekitar 4.5 – 5.0. Selanjutnya pH bahan akan menjadi alkalin seiring proses dekomposisi, menjadi sekitar 7.5 – 8.5. Peningkatan pH tersebut selain akibat meningkatnya jumlah kation-kation basa seperti kalium, kalsium, dan magnesium juga disebabkan oleh adanya penghancuran protein dan pembebasan amoniak (Gaur, 1981). pH media merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap populasi maupun jenis mikroba. Fungi dapat berkembang pada kisaran pH yang luas berkisar 2 – 9. pH
yang
optimum
untuk
pertumbuhan
bakteri
dan
organisme
pengomposan lain adalah 6.0 – 8.0 (Obeng dan Wright, 1987). Pada pH 8 – 9 dapat menyebabkan nitrogen hilang melalui volatilisasi molekul ammonia, sedangkan pada pH yang terlalu asam (< 5) dapat menyebabkan terhentinya aktivitas mikroba.
pH dapat dikontrol dengan menggunakan tanah kering
sebanyak 5 – 10% (dari bahan yang dikomposkan) sebagai campuran dalam proses pengomposan. Tanah kering tersebut selain berfungsi untuk mengurangi kelembaban juga dapat mengabsorbsi amoniak dan mempengaruhi penampakan kompos yang dihasilkan (memberikan struktur yang lebih granular). Tanah tersebut mengendalikan kondisi asam dan bertindak sebagai diluen dalam menghambat proses -proses anerobik.
17 Selain itu penambahan kapur juga dapat menyesuikan pH yang dikehendaki. Manfaat pemberian kapur selain untuk meningkatkan pH media, juga dapat menyumbangkan unsur kalsium, magnesium serta akan menambah ketersediaan fosfor. Suhu Pada saat proses pengomposan dimulai (penumpukan bahan organik), sebagian besar energi yang dihasilkan oleh proses perombakan bahan akan menyebabkan peningkatan suhu. Proses peningkatan suhu pada setiap bahan organik berbeda-beda tergantung sifat fisik atau sifat kimia bahan organik yang dikomposkan. Peningkatan suhu merupakan indikator adanya proses pengomposan sebagai akibat hubungan kadar air dan aktivitas mikroba. Saat bahan organik dalam tumpukan kompos mulai dirombak oleh mikroba, maka akan dibebaskan sejumlah energi dalam bentuk panas, sehingga meningkatkan suhu kompos dalam tumpukan. Pada tahap awal pemanasan, mikroba memperbanyak diri secara cepat dan menaikkan suhu (Dalzell et al., 1987). Pada periode tersebut senyawa-senyawa yang sangat reaktif seperti gula, karbohidrat dan lemak dirombak. Pada fase aerobik, suhu meningkat pesat mulai dari 300 C (3 hari) hingga mencapai 50 – 600 C pada 15 – 20 hari.
Menurut Gaur (1981), bila suhu
0
mencapai lebih dari 40 C mikroba mesofilik digantikan oleh mikroba termofilik. Jika suhu mencapai 60 0 C kapang berhenti bekerja dan proses perombakan dilanjutkan oleh aktinomicetes dan strain bakteri pembentuk spora. Suhu yang tinggi essensial untuk menghancurkan semua biji-biji gulma dan organisme patogen. Menurut Dalzell et al. (1987) suhu 55 – 600 C perlu dipertahankan selama kurang lebih 3 hari untuk membunuh semua rumputrumputan dan organisme patogen. Suhu maksimal terbaik adalah 71 0 C, namun tidak diperbolehkan karena hanya sedikit mikroba yang aktif melakukan dekomposisi pada suhu lebih dari 700 C. Untuk mencegah panas yang berlebihan dibagian tengah tumpukan bahan kompos, dapat dilakukan pembalikan secara reguler. Mikroba Dekomposer Dekomposisi bahan organik selama pengomposan merupakan suatu proses biokimia yang melibatkan berbagai kelompok mikroba heterotropik yaitu
18 bakteri, fungi, aktinomicetes dan protozoa. Mikroba tersebut memperoleh energi dan karbon dari hasil dekomposisi bahan organik. Fungi membebaskan sedikit karbon dioksida dan mengasimilasi banyak karbon dalam jaringan selnya, sedangkan bakteri aerobik sebaliknya (Gaur, 1981) Mikroba berperan sangat penting di dalam proses perombakan bahan organik. Oleh karena itu mikroba menghendaki faktor lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Berdasarkan suhu lingkungan
hidupnya dikenal beberapa tipe mikroba yaitu tipe psikrofil (mikroba yang dapat hidup pada suhu 20 0 C ke bawah) yang umumnya banyak terdapat di alam. Tipe mesofil (mikroba yang dapat berkembang dengan baik pada suhu 25 – 350 C) dan tipe termofil (mikroba yang dapat hidup pada kisaran suhu 45 – 650 C). Selain suhu, faktor pembatas yang lain adalah ketersediaan nutrisi.
Nutrisi sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Populasi mikroba selama proses pengomposan aerobik berfluktuasi. Kelompok fungi dan bakteri penghasil asam, muncul selama fase mesofilik. Pada saat suhu meningkat lebih dari 40 0 C, mikroba yang ada akan digantikan oleh bakteri termofilik, aktinomicetes dan fungi (Gaur, 1981). Pada suhu tinggi bakteri masih mampu untuk hidup dan kemudian bakteri mesofilik dan fungi akan muncul kembali pada fase suhu kembali turun.
Aktinomicetes sangat aktif dalam
perombakan karbohidrat yang menghasilkan sejumlah besar fraksi terlarut. Fungi termofilik aktif mulai suhu 400 C dengan mendekomposisi hemiselulosa dan selulosa sebagai sumber karbonnya. 2.4 Kematangan Kompos Parameter atau kriteria kematangan kompos bervariasi tergantung dari bahan asal kompos, kondisi dan proses dekomposisi selama pengomposan. Gaur (1981) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan kematangan kompos yaitu: 1) Karakteristik fisik, seperti suhu, warna, tekstur, dan besarnya kelarutan dalam larutan natrium hidroksida atau natrium fosfat; 2) Nisbah C/N, status dari kandungan hara tanaman, dan nilai kompos yang ditunjukkan oleh uji tanaman; 3) Tidak berbau dan bebas dari patogen, parasit dan biji rumput-rumputan. Kematangan kompos menurut Harada, Osada dan Kashino (1993) sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang telah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah, nisbah C/N
19 yang rendah, tidak menyebarkan bau yang ofensif, kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan bagi tanaman dan benih rumput. Oleh sebab itu kematangan kompos merupakan faktor utama dalam menentukan kelayakan mutu kompos. 2.5 Akselerasi Dekomposisi Ada beberapa cara untuk mempercepat proses dekomposisi yaitu secara fisik, kimia dan biologi. Perlakuan fisik dengan pembalikan tumpukan kompos dan memperkecil ukuran bahan baik dengan cara pemotongan, pemukulan, pembelahan maupun kombinasinya. Perlakuan kimia misalnya dengan perlakuan asam/basa tertentu, pemberian hara nitrogen, fosfor, kapur, dan bahan kimia lainnya.
Tujuannya selain untuk mempercepat juga untuk memperkaya
kandungan hara kompos seperti nitrogen, fosfor dan kalsium (Gaur, 1981). Perlakuan secara biologi biasanya diberikan dengan cara menambahkan inokulum mikroba yang berkemampuan tinggi dalam merombak bahan yang didekomposisikan, seperti mikroba selulolitik, lignolitik maupun lignoselulolitik. Beberapa isolat kapang selulolitik seperti Aspergillus sp., Penicllium sp., Trichoderma viridae, Trichoderma spiralis dan Chatomium sp., telah diketahui efisien dalam mendekomposisikan jerami dan sisa tanaman lainnya (Gaur, 1981) 2.6 Inokulan Mikroba dalam Cairan Rumen dan Kotoran Ayam Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur pakan bagi fermentasi mikroba.
Isi rumen
merupakan bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai inokulan, yaitu bahan yang dapat merangsang pertumbuhan mikroba dekomposer dalam pengomposan. Hal ini disebabkan isi rumen masih mengandung karbohidrat, protein, mineral dan vitamin (larut air) yang dibutuhkan oleh mikroba untuk hidup. Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga kelompok utama yaitu : bakteri, protozoa dan jamur (fungi). Menurut Czerkawski (1986), telah teridentifikasi lebih dari 200 spesies bakteri dan 20 spesies protozoa yang terdapat dalam rumen. Kebanyakan dari bakteri rumen hidup dalam kondisi an-aerobik sejati dan banyak dari isolat bakteri rumen yang sangat sensitif terhadap keberadaan oksigen walaupun dalam jumlah yang sedikit. Sebaliknya beberapa kelompok
20 bakteri rumen yang bersifat an-aerobik fakultatif toleran terhadap oksigen bahkan menggunakan oksigen dalam metabolismenya (Czerkawski, 1966). Perbedaan yang utama rumen sapi dan kambing terletak pada volume cairan rumen. Kambing mempunyai volume cairan rumen sekitar 5,3 liter atau 13% dari bobot badannya. Kualitas isi rumen tidak begitu bervariasi antara hewan yang dipotong dari suatu tempat yang sama sebab 24 jam sebelum dipotong hewan dipuasakan terlebih dahulu. Analisa mikrobiologis kotoran ayam mengindikasikan bahwa konsorsium mikroba dominan pada kotoran ayam terdiri atas group mikrobial yang mampu merombak protein bersama
dengan mikroba pengguna amonia.
Dari hasil
analisis tersebut diketahui bahwa group yang paling banyak adalah mikroba proteolitik dan selulolitik dengan kepadatan 10 9 – 1010 cfu/cm2. Disamping itu kepadatan bakteri pereduksi sulfat dan metanogenik yang jumlahnya juga relatif tinggi yaitu berkisar antara 106 – 107 cfu/cm2. Carrier Carrier adalah agen pembawa yang dapat memperlama masa tumbuh suatu inokulan. Subba Rao (1977) menyatakan bahwa material carrier dapat berbentuk powder (dapat lolos saringan 75 – 106 mikron) seperti gambut, lignit, humus atau materi netral yang sama dengan calsium carbonat dan harus steril. Beberapa jenis pembawa telah diteliti oleh Laksmi et al. Dalam Anas (1994) yang menemukan bahwa tanah dan pupuk kandang menghasilkan penghitungan yang terbanyak dari pembawa yang lain. Daya hidup dalam berbagai pembawa dapat dipantau dengan larutan pengenceran inokulan dan menumbuhkannya dalam media. Pembawa yang terbaik adalah pupuk kandang yang telah disterilkan dan ditepungkan yang di campur dengan tanah, dengan pupuk kandang saja atau dengan pupuk kandang dengan arang. Dalam pem bawa ini Azospirrillum dapat hidup sampai 31 minggu. Stardec Mikroba dalam stardec didapatkan dengan mengisolasi lima jenis bakteri pengurai yang berasal dari rumen sapi. Mikroba tersebut di peroleh dari isolasi tanah, akar rumput-rumputan dan kolon sapi yang terdiri atas mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, aminolitik dan mikroba fiksasi nitrogen non simbiotik. Menurut Leksana (2000) penggunaan stardec umumnya di bidang peternakan yaitu dengan mencampurnya dengan pakan ternak sehingga pengurai produksi
21 ternak meningkat. Penggunaan stardec sebagai pengurai limbah padat belum dilaporkan, namun cukup menjanjikan sebagai alternatif usaha pengolahan limbah. 2.7 Isolasi Mikroba Isolasi dan pemilihan mikroba bertujuan untuk mendapatkan galur yang berpotensi komersial untuk memperoleh produk yang diinginkan. Karakteristik galur ideal mikroba yang diinginkan adalah 1). Bebas kontaminan mikroba lain; 2). Pertumbuhan cepat, cepat menghasilkan sel vegetatif maupun spora; 3). Mudah dilakukan mutasi namun gennya cukup stabil; 4). Dapat menghasilkan produk yang diinginkan dalam waktu singkat dan 5). Dapat diawetkan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk memperoleh mikroba dengan sifat yang diinginkan adalah 1). Pemilihan sumber mikroba; 2). Metode isolasi yang digunakan dan 3). Cara pemilihan mikroba. Isolasi agar cawan dilakukan menggunakan goresan kuadran atau metode agar tuang. Goresan cawan kuadran akan menghasilkan koloni terpisah pada setiap cawan.
Seleksi mikroba dimaksudkan sebagai prosedur dengan
selektivitas tinggi untuk mendeteksi dan mengisolasi mikroba yang diinginkan diantara sekian banyak populasi mikroba. 2.8. Selulosa, Enzim Selulase dan Mikroba Selulolitik Selulosa merupakan bagian terbesar dari komponen lignoselulosa tanaman. Kandungan selulosa tanaman tingkat tinggi tidak tetap tetapi bervariasi menurut umur dan jenis tanamannya. Pada umumnya konsentrasinya berkisar antara 15 - 45% dari bobot kering tanaman. Pada rerumputan dan legum yang masih muda kandungan selulosanya relatif sedikit, yaitu sekitar 15% dari bobot kering tanaman (Alexander, 1977). Selulosa merupakan polimer glukosa linier yang seragam dengan ikatan â-1-4 glukosida. Ikatan tersebut dapat dipecahkan menjadi monomer-monomer glukosa baik secara kimiawi maupun secara biologi. Pada proses pemecahan secara biologi selulosa digunakan sebagai sumber energi dan karbon bagi sejumlah spesies biologi.
Mikroba yang mampu merombak selulosa disebut
mikroba selulolitik, yang dapat berupa fungi, bakteri, aktinomicetes dan protozoa. Selulase adalah nama trivial bagi semua enzim yang mampu memutuskan ikatan glikosidik â-1-4 dalam selulosa, selodekstrin, selobiosa dan
22 turunan selulosa lainnya (Enari, 1983). Proses hidrolisis oleh enzim selulase terdiri dari dua tahap yaitu tahap aktivasi dan tahap hidrolisis. Selulosa dihidrolisis dengan cepat oleh organisme aerobik yang berasal dari tanah dan terutama oleh kapang perusak kayu. Pada hewan tertentu terdapat organisme an-aerobik di dalam saluran pencernaannya yang bertanggung jawab terhadap pencernaan selulosa. Fungi adalah mikroba yang mempunyai jenis paling banyak dalam menghasilkan selulase. Komponen selulase yang selalu ditemukan dalam mikroba selulolitik baik fungi maupun bakteri adalah endo-â-1-4 glukanase. Endoglunase sangat aktif memutus ikatan selulosa dapat larut atau selulosa amorf seperti Carboxy Methyl Cellulose (CMC), Hidroxy Ethil Cellulose (HEC), H3PO4-swollen (walseth) selulosa, selotetraosa dan selopentosa (Tun Tedja, 1991). Enz im tersebut lebih terkenal dengan nama CMC-Ase karena aktivitasnya yang sangat tinggi pada substrat CMC. Mikroba selulolitik mempunyai kemampuan tumbuh pada selulosa dan dapat mendekomposisi selulosa tersebut.
Sebagai respon terhadap adanya
selulosa dalam lingkungan hidupnya mikroba selulolitiik ini mampu menghasilkan enzim selulase. Dengan enzim tersebut mikroba dapat menghidrolisis selulosa menjadi gula terlarut yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon dan nutrisi pertumbuhannya. Aktivitas mikroba selulolitik secara umum dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, suhu, aerasi, kelembaban, pH, keberadaan karbohidrat dan proporsi relatif lignin dalam residu. Pada pH yang rendah fungi lebih berperan aktif dalam merombak selulosa dan prosesnya relatif lebih cepat pada kisaran pH 5. 2.9 Tanaman Kangkung Darat (Ipomoea reptans Poir.) Tanaman kangkung darat merupakan tanaman semusim yang termasuk ke dalam famili convolvuceae. Kangkung darat memiliki morfologi tanaman yang serupa dengan kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.), hanya habitat tumbuhnya yang berbeda. Tanaman tersebut cukup banyak dikonsumsi di Indonesia karena mudah penanamannya dan cepat pertumbuhannya, serta rasanya enak dan dapat dijadikan berbagai macam masakan.
Varietas kangkung
darat yang
dikeluarkan oleh Balai Penelitian Hortikultura relatif banyak, antara lain varietas Bangkok, Bira, Cinde, sukabumi dan Sutera (Rukmana, 1994).
23 Kangkung darat dapat tumbuh pada daerah dengan suhu 18 – 28 0 C dari dataran rendah sampai ketinggian 2000 m dpl. Pembungaan terjadi pada hari pendek, bunganya besar dan warnanya putih keunguan. Jika curah hujan rendah, diperlukan irigasi yang rutin setiap hari agar pertumbuhan pucuknya bagus. Pada media yang baik, kangkung darat dapat dipanen 30 – 40 hari setelah tanam (Yamaguchi, 1983). Kangkung
banyak
perawatannya mudah.
ditanam
oleh
petani
karena
penanaman
dan
Potensi hasil daunnya mencapai 12 – 44 ton/ha dan
produksi bijinya 6 ton/ha.
Kandungan gizinya tinggi dan menjadi salah satu
sayuran yang paling banyak di tanam dan dikonsumsi di Indonesia (Rukmana, 1994). 2.10 Tanaman Sawi (Brassica chinensis . L) Tanaman sawi termasuk tanaman sayuran dari famili cruciferae. Sistem perakaran tanaman sawi memiliki akar tunggang (radix primaria) dan cabangcabang akar yang bentuknya bulat panjang menyebar ke semua arah. Akar-akar tersebut berfungsi antara lain menghisap air dan hara dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman.
Batang tanaman sawi pendek dan
beruas-ruas, yang berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun. Struktur daun tanaman sawi halus, tidak berbulu dan tidak membentuk krop (telur). Pada umumnya daun-daun sawi bersayap dan bertangkai panjang yang bentuknya pipih. Tanaman sawi mudah berbunga dan berbiji secara alami, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Struktur bunganya tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh memanjang dan bercabang banyak. Tiap kuntum bunga sawi terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota, empat helai benang sari dan satu putik. Sawi merupakan sayuran daun yang kaya vitamin A, sehingga berguna dalam upaya mengatasi masalah kekurangan vitamin A atau penyakit rabun ayam (Xerophthalmia) yang sampai kini menjadi masalah di kalangan anak balita. 2.11 Hara Tanah dan Tanaman Hasil
tanaman
erat
berkaitan
dengan
kondisi
cuaca
selama
pertumbuhannya. Di lain pihak, varietas tanaman dengan karakter morfofisiologis tertentu merespon kondisi cuaca itu dengan pola pertumbuhan dan potensi hasil
24 yang berbeda. Hasil tanaman berbeda sesuai musim dan varietasnya. Perbedaan tersebut pada gilirannya juga membedakan kebutuhan hara tanaman. Ketersediaan hara dalam tanah sangat bergantung pada sifat tanah. Karenanya takaran pupuk yang diperlukan juga sangat spesifik lokasi. Nilai status hara tanah yang didapatkan melalui analisis atau uji tanah dapat digunakan sebagai dasar penentuan takaran keperluan pupuk secara lebih cepat dan spesifik. Status hara tanah juga dapat ditetapkan berdasarkan hasil tanaman dan persentas e hasil.
Persentase hasil tersebut merupakan perbandingan antara
hasil tanaman tanpa hara (tertentu) dan hasil tersebut dengan hara yang bersangkutan, dinyatakan dalam %. Status hara rendah bila nilai hasil <70%, sedang bila nilai hasil 70-90%, dan tinggi bila nilai hasil >90% (Makarim, 2005). Status hara N, P, K dapat ditentukan melalui analisis tanah, petak omisi, atau perbandingan antara hasil tanaman di sekitar situ antara yang dipupuk satu macam hara dan yang dipupuk NPK lengkap.
Utami dan Handayani (2003)
menyatakan nitrogen merupakan hara makro utama yang sangat diperlukan tanaman. Unsur tersebut disebut unsur makro primer karena paling penting dalam siklus hidup tanaman. N sangat mobil di dalam tanaman dan tanah. Kalium juga merupakan unsur hara makro primer bagi tanaman. Keberadaan unsur tersebut sangat penting untuk pertahanan diri tanaman dari serangan hama dan penyakit dan kekeringan. K mobil dalam tanaman dan sangat mobil di dalam tanah. Peran P dalam tanaman yang penting adalah untuk perkembangan akar, anakan, berbunga awal, dan pematangan. P mobil dalam tanaman, tetapi tidak mobil dalam tanah. 2.12 Aspek Ekonomi Pengomposan dan Budidaya Sayuran Konsep pengelolaan sampah terpadu menuju zero waste merupakan upaya mengubah sampah menjadi bahan yang lebih berguna dan tidak mencemari lingkungan. Konsep zero waste merupakan kombinasi dari berbagai teknologi
pengelolaan
sampah
yang
siap
terap,
antara
lain
teknologi
pengomposan, teknologi daur ulang sampah organik dan non-organik dan teknologi pembakaran (incinerator).
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup
diperediksikan bahwa pengomposan yang dipadukan dengan sistem daur ulang dapat mengurangi dana transport dan kapasitas TPA sampai 50%. Namun pada pelaksanaannya konsep tersebut tidak terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan karena petugas daur ulang dan pengomposan adalah pelaku ekonomi yang tidak
25 dilindungi undang-undang sehingga kurang mendapat penghargaan. Cara terbaik untuk pemisahan sampah pada sumbernya adalah dengan memberikan insentif keuangan, peraturan dan penciptaan kesadaran lingkungan. Prinsip pelaksanaan pemanfaatan sampah organik padat pada awalnya adalah didasarkan atas upaya untuk melakukan daur ulang limbah/sampah yang terbuang untuk memanfaatkan potensi yang masih dikandungnya antara lain bahan an-organik yang masih bisa dimanfaatkan kembali dan unsur hara yang masih berguna bagi pertumbuhan tanaman.
Dengan pengomposan yang
didahului dengan proses separasi dan menggunakan inokulan serta diaplikasikan untuk budidaya sayuran diharapkan akan diperoleh keuntungan antara lain : 1.
Menghemat
biaya
perlakuan
pengelolaan
limbah,
karena
dapat
mempersingkat waktu pengolahan limbah. 2.
Diperoleh keuntungan berupa barang daur ulang dan pupuk organik (kompos).
3.
Diperoleh substitusi pupuk an-organik dengan pupuk organik yang berarti dapat mengurangi beban biaya pemupukan dan ikut menjaga alam dari kerusakan akibat pemupukan an-organik yang terus menerus, selain itu mendukung program pemerintah dalam menyongsong go organik 2010.
2.13 Analisis Biaya Usaha Analisis biaya adalah salah satu prinsip ekonomi yang penting dalam menunjang sistem produksi. Hal ini disebabkan produsen masih belum mampu mengatur harga komoditas yang dijual karena tingkat harga jual ditentukan oleh berbagai faktor diluar kegiatan produksi perusahaan tersebut seperti konsumen, pesaing dan pemasok sehingga pengendalian dan pengaturan biaya merupakan kunci pokok peningkatan pendapatan bersih tersebut. Semakin efisien sistem produksi dilaksanakan maka biaya produksi akan semakin kecil sehingga peluang memperoleh keuntungan lebih besar sekaligus dapat meningkatkan daya saing perusahaan tersebut. Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang telah dikeluarkan atau yang akan dikeluarkan untuk mencapai tujuan tertentu. Biaya yang dikeluarkan tersebut diukur dalam bentuk uang (Mulyadi, 1990). Untuk pengendalian biaya dan pengambilan keputusan biaya dapat digolongkan berdasarkan tingkah laku biaya yang berhubungan dengan volume kegiatan.
26 Biaya tetap (fixed cost) adalah banyaknya biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegiatan tertentu. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang jumlah totalnya berubah-ubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Seluruh biaya digolongkan ke dalam biaya tetap atau biaya variabel (Siregar, 2000) Berdasarkan hasil analisis biaya usaha dapat dihitung bagaimana imbangan penerimaan dan biaya (rasio R/C) dan harga pokok produksi. 1. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (Rasio R/C) Analisis imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk melihat keuntungan relatif kegiatan usaha pengomposan berdasarkan perhitungan finansial.
Biaya digunakan untuk menguji seberapa jauh nilai rupiah dalam
kegiatan usaha pengomposan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaat usaha . Nilai R/C lebih dari satu menunjukkan usaha tersebut akan memberikan pendapatan lebih dari biaya produksi, jika nilai R/C kurang dari satu maka pendapatan tidak dapat menutup biaya produksi. 2. Harga Pokok Produksi Metode pendekatan untuk penentuan harga pokok produksi ada dua metode pendekatan, yaitu : 1. Full costing, merupakan metode pendekatan harga pokok produksi yang mempertimbangkan semua unsur biaya produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik, baik yang berperilaku variabel maupun tetap. 2. Variable costing, merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya mempertimbangkan biaya produksi yang berperilaku variabel kedalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel.
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2004 sampai dengan Agustus 2005. Penelitian terdiri atas tiga tahap percobaan, yaitu : isolasi mikroba selulolitik yang dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian IPB, percobaan pengomposan yang dilakukan di TPA Galuga dan percobaan aplikasi kompos yang dilakukan di Kebun Percobaan IPB Tajur. 3.2 Bahan dan Alat Bahan baku isi rumen sapi segar diperoleh dari RPH Bogor, sedangkan isi rumen kambing segar diperoleh dari tempat pemotongan kambing di Empang Bogor. Kotoran ayam diperoleh dari peternakan ayam di Kelurahan Gunung Batu. Sampah organik pasar segar untuk pengomposan berasal dari TPA Galuga Bogor. Bahan untuk medium isolasi, pemurnian dan seleksi
isolat untuk
pengomposan adalah NA (Nutrien Agar), PDA (Potatoes Dextrose Agar), TSB (Tripticsoy Brooth) dan CMC (Carboxy Methyle Cellulose) dan indikator congo red. Bahan carrier digunakan kompos yang sudah disaring. Stardec digunakan sebagai kontrol positif terhadap pengomposan. Pupuk urea, bahan-bahan kimia untuk analisis kompos, tanah dan jaringan tanaman.
Benih sawi varietas
Tosakan dan kangkung cabut varietas Bangkok LP 1 sebagai tanaman indikator. Alat-alat
yang
digunakan
untuk
isolasi,
pemurnian,
seleksi
dan
karakterisasi mikroba hasil isolasi dan pembuatan carrier adalah autoclave, tabung erlenmeyer, bunsen, cawan petri, tabung reaksi, gelas ukur, ayakan, ose, pipet dan alat pendukung lainnya. Pada tahap pengomposan menggunakan alatalat berupa cangkul, garpu, ember, gerobak dorong, termometer, pHmeter, timbangan, terpal dan alat lainnya, sedangkan untuk penanaman sayuran menggunakan cangkul, koret, penggaris dan lain sebagainya. 3.3 Metode Penelitian Penelitian dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama adalah tahap isolasi, pemurnian dan seleksi mikroba selulolitik dari isi rumen sapi, isi rumen kambing dan kotoran ayam dan pembuatan carrier. Tahap kedua adalah tahap aplikasi
28 mikroba selulolitik hasil isolasi untuk diuji kemampuannya dalam pengomposan. Tahap ketiga adalah aplikasi kompos untuk penanaman sayuran di lapang. 3.3.1 Tahap Isolasi, pemurnian dan seleksi - Penghitungan Populasi Awal Sebelum rumen dan kotoran ayam diperlakukan lebih lanjut, terlebih dahulu dihitung kadar air masing-masing dengan mengoven bahan pada suhu 105
0
C selama 24 jam.
Kadar air rumen sapi mencapai 821,12%, rumen
kambing 741,86% dan kotoran ayam 193,44%. Penghitungan populasi mikroba awal dilakukan untuk mengetahui jumlah populasi yang terdapat dalam isi rumen sapi, kambing dan kotoran ayam. Penghitungan juga dimaksudkan untuk melihat mikroba apa saja yang tumbuh. Tahap ini melalui tahap pengkayaan dan pengenceran. Pengkayaan Pengkayaan dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada seluruh mikroba untuk tumbuh dengan cara mengkondisikan lingkungan sesuai dengan tujuan isolasi. Pengkayaan tersebut dilakukan dengan memberi media tumbuh yang tidak membatasi pertumbuhan semua mikroba. Pengkayaan dilakukan pada masing-masing dua buah labu erlenmeyer 250 ml dengan medium tripticsoy brooth yang sudah disterilkan sebanyak 100 ml dan sampel bahan isolasi sebanyak + 10% dari jumlah medium.
Hasil pengkayaan tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu ruang (+ 280 C) selama 48 jam untuk mengkondisikan mikroba sesuai tujuan isolasi yaitu inokulan untuk pengomposan. Pengenceran Pengenceran dilakukan secara berseri dengan menggunakan garam fisiologis (larutan yang mengandung garam NaCl 0,85%) dan media tumbuh sesuai dengan jenis mikroba (NA untuk bakteri dan PDA untuk kapang). Pengenceran dimulai dengan memipet 1 ml inokulan pada pengkayaan yang telah diinkubasi untuk dimasukkan ke dalam 9 ml larutan NaCl fisiologis sebagai pengenceran 10-1 (P1) dan seterusnya sampai didapatkan pengenceran yang sesuai untuk penghitungan populasi. Untuk penghitungan mikroba total dilakukan pengenceran sampai 1011 dan untuk penghitungan fungi total pengenceran dilakukan sampai 10 4.
Jadi pengenceran tersebut dimaksudkan untuk
menghindari populasi yang terlalu padat saat pemupukan karena apabila terlalu padat akan menyulitkan dalam penghitungan koloni.
29 Setelah dilakukan pengenceran, selanjutnya dilakukan pemupukan dengan metode pour plate dengan cara memipet 1 ml inokulan dari masing-masing tabung pengenceran, kemudian dituangkan dalam cawan petri steril yang telah diberi label. Nutrien Agar atau PDA dituang ke dalam cawan dalam bentuk cair, kemudian dihomogenkan dengan cara menggerakkan cawan di atas meja dengan membentuk angka delapan dan ditunggu media menjadi padat. diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam. dimaksudkan
sebagai
diaplikasikan
dalam
seleksi
untuk
pengomposan
Inkubasi tersebut sekaligus
mendapatkan
yang
Selanjutnya
dilakukan
mikroba di
yang
ruangan
akan
terbuka.
Pemupukan dilakukan secara duplo. - Isolasi dan Pemurnian Isolasi Bahan isolasi diambil dari sampel hasil pengkayaan dengan menggunakan ose steril. Menurut prosedur Hadioetomo (1993) isolasi dilakukan dengan metoda cawan kuadran (Gambar 2) yaitu dengan menggoreskan ose yang berbeda ke media secara berurutan dari daerah 1 - 4. Cawan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam. Morfologi yang dihasilkan diamati dan koloni yang terpisah (isolat) dipindahkan pada agar miring untuk pemurnian dan stock. Isolat disimpan pada suhu 4 – 7 0 C. 1
4 2 3 Gambar 2. Metode Cawan Kuadran Pemurnian Pemurnian dilakukan dengan mengambil satu ose sampel isolat dari agar miring dengan menumbuhkan isolat pada media yang sesuai (NA untuk bakteri dan PDA untuk kapang). Kultur kemudian di inkubasi pada suhu ruang selama 48 jam . Hasil kultur kemudian diuji kemurniannya dengan metoda cawan kuadran - Seleksi Mikroba Selulolitik
30 Seleksi dilakukan dengan melakukan uji aktivitas enzim CMCase. Pengujian dilakukan dengan melihat kemampuan masing-masing isolat dalam merombak selulosa pada media CMC (Gambar Lampiran 1). Isolat yang mampu merombak selulosa akan membentuk daerah bening di sekitar isolat yang kemudian diperjelas dengan menggunakan warna indikator congo red dan HCl 0.1 N.
Indikator congo red di tuangkan di atas media CMC sampai tergenang
semuanya, dan dibiarkan selama 30 menit. Kemudian di siram dengan HCl sampai terlihat jelas zona beningnya. Hasil uji CMC menghasilkan isolat berupa fungi, baik dari rumen sapi, rumen kambing maupun kotoran ayam. Selanjutnya ketiga isolat tersebut di lihat waktu tumbuh yang menghasilkan bobot kering biomassa terbesar dari masingmasing fungi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui waktu inokulasi yang tepat pada carrier. Fungi-fungi tersebut di tumbuhkan pada media PDA cair dalam tabung erlenmeyer sebanyak 40 ml per tabung per hari selama 6 hari. Setiap hari dilakukan pengukuran bobot kering biomassa fungi dengan menyentrifuse 40 ml cairan pada kecepatan 12.000 gravitasi, kemudian endapan dikeringkan dalam cawan petri dengan cara dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 0 C sampai didapatkan bobot kering konstan. - Pembuatan Carrier untuk Pengomposan Pembuatan carrier bertujuan untuk mempermudah aplikasi isolat di lapang.
Carrier yang digunakan terbuat dari kompos. Sebelum pembuatan
carrier terlebih dahulu diukur kadar airnya untuk menentukan jumlah air yang harus ditambahkan saat pembuatan carrier. Kadar air yang direkomendasikan dalam pembuatan carrier adalah 60%.
Kompos kemudian disaring dengan
saringan berukuran 2 mm. Selanjutnya kompos ditambah air sesuai perhitungan kemudian dilakukan sterilisasi. Sterilisasi dilakukan dengan mengautoclave kompos selama 1 jam, kemudian dibiarkan semalam dan di autoclave lagi selama 1 jam pada hari berikutnya.
Kompos yang sudah disteril kemudian diuji sterilitasnya dengan
mengambil sampel untuk ditumbuhkan pada media NA.
Media kemudian
diinkubasi selama 2 hari dan dilihat apakah ada pertumbuhan mikroba atau tidak. Apabila media steril, maka dapat dilakukan inokulasi isolat hasil seleksi. Inokulasi isolat pada carrier ditentukan dengan melihat titik tumbuh tertinggi dari isolat yang dihasilkan. Inokulasi dilakukan pada carrier sebanyak 10
31 ml/500 g kompos.
Setelah diinokulasi, carrier diinkubasi.
Lama inkubasi
disesuaikan dengan titik tumbuh tertinggi masing-masing fungi kemudian carrier diuji pertumbuhan isolatnya dengan mengambil 10 g sampel carrier kemudian di larutkan dalam garam fisiologis 90 ml. Kemudian dilakukan pengenceran pada 106, 107 dan 108. Dari pengenceran kemudian ditumbuhkan di media PDA padat dan dilihat pertumbuhan masing-masing isolatnya. Parameter yang Diamati Parameter yang diamati pada tahap ini adalah : 1. Jumlah Mikroba Total 2. Mikroba Selulolitik Total pada carrier 3.3.2 Tahap Aplikasi Isolat untuk Pengomposan Pada tahap ini dilakukan inokulasi mikroba selulolitik hasil seleksi pada sampah pasar. Perlakuan terdiri atas 6 satuan percobaan, yaitu: Kontrol -
= Tanpa inokulan/mikroba selulolitik
IRS
= Inokulan rumen sapi
IRK
= Inokulan rumen kambing
IKA
= Imokulan kotoran ayam
IMIX
= Campuran semua inokulan
Stardec
= Inokulan yang dijual di pasaran
Pelaksanaan Pengomposan Tahap ini menguji kemampuan mikroba selulolitik hasil seleksi untuk merombak sampah. Mikroba tersebut digunakan sebagai inokulan pengomposan sampah organik pasar. Pengomposan dilakukan secara aerobik. Pengomposan dilakukan dengan menggunakan segitiga bantu berupa segitiga bambu bantu model ERCP CPIS. Segitiga bantu tersebut berupa segitiga sam a sisi dengan sisi 30 cm dan panjang 2.5 m. Timbunan sampah kota yang akan dikomposkan setinggi 1.25 m dan lebar 1.5 m. (Gambar 3). Sampah pasar yang dikomposkan untuk setiap perlakuan sebanyak 2 ton. Tahapan pengomposan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
32
Gambar 3. Model Pengomposan dengan Bambu Aerasi. Pemilahan Sampah yang akan digunakan dipilah menurut jenisnya (sampah organik dan an-organik). Sampah yang tidak terpakai untuk pengomposan (an-organik) dikumpulkan kembali dan dibuang sebagaim ana mestinya. Sampah an-organik seperti tali rafia, plastik, keranjang bekas, bungkus mie, bungkus permen dan sebagainya.
Sampah organik yang akan digunakan untuk pengomposan
selanjutnya dicacah dengan ukuran kurang lebih 5 cm.
Pencacahan
dimaksudkan untuk memperluas permukaan kontak bahan baku dengan mikroba sehingga pengomposan akan berjalan lebih cepat. Penambahan Inokulan Penambahan inokulan dan Stardec (kontrol positif) dilakukan pada awal pengomposan. Pemberian inokulan dilakukan dengan cara menaburkan pada lapisan bahan kompos yang sedang ditumpuk. Jumlah inokulan yang diberikan adalah 2% dari Bobot Kering Mutlak (BKM) bahan kompos. Setiap perlakuan (untuk 2 ton) memerlukan inokulan sebanyak 5.25 kg. Penanaman Kantong Litter Kantong litter ini digunakan untuk mengevaluasi laju dekomposisi berdasarkan hilangnya bobot bahan organik setelah waktu pembenaman. Kantong litter yang digunakan terbuat dari strimin plastik dengan ukuran mess + 2 mm, dan ukuran kantong 20 cm x 20 cm.
Bahan organik yang dimasukkan
sebanyak 50 g Bobot Kering Udara (BKU) sampah yang sudah dicampur dengan inokulan. Kantong litter tersebut kemudian dibenamkan dalam tumpukan bahan organik sedalam 5 -10 cm dari permukaan. Kantong litter yang dibenamkan
33 sebanyak 30 kantong per tumpukan. Pemanenan kantong litter di lakukan tiap minggu sebanyak 5 kantong per tumpukan. Pembalikan Pembalikan dilakukan seminggu sekali. Pembalikan dimaksudkan untuk menghomogenkan kembali bahan kompos sehingga kematangan kompos merata dan lebih cepat. Parameter yang Diamati Parameter-parameter yang akan diamati dalam penelitian ini adalah : 1.
Analisis awal kandungan hara sampah pasar
2.
Suhu pengomposan dan suhu lingkungan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan termometer digital dan dilakukan setiap hari pada siang hari. Hal ini untuk memperoleh gambaran dinamika suhu harian dari bahan organik yang dikomposkan dibandingkan dengan suhu lingkungan.
3.
Nilai pH. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pHmeter dengan frekuensi pengamatan seminggu sekali.
4.
Laju respirasi. Pengukuran dilakukan tiap minggu dengan metode sederhana Verstraete.
5.
Nisbah C/N selama pengomposan yang diukur tiap 2 minggu sekali.
6.
Susut bobot. Pengukuran dilakukan tiap minggu dengan menggunakan sampel pengukuran berupa kantong litter. Setiap pengukuran memakai sampel 5 kantong litter per perlakuan.
7.
Analisis akhir dilakukan terhadap peubah yang diperlukan untuk menilai kualitas kompos yang dihasilkan yaitu produksi kompos yang dihasilkan, kandungan hara, Nisbah C/N dan kapasitas tukar kation. Pada tahap ini data dianalisis secara deskriptif .
3.3.3 Tahap Aplikasi Kompos untuk Penanaman Sayuran Teknik Pengumpulan Data Tahap
ini
bertujuan
untuk
melihat
pengaruh
kompos
terhadap
pertumbuhan kangkung darat dan sawi. Kompos yang digunakan adalah kompos dipilih dari pengujian sebelumnya yaitu kompos stardec dan kompos inokulan rumen kambing. Tanaman yang akan diberi perlakuan adalah sawi (Brassica chinensis L.) dan kangkung (Ipomoea reptans Poir.). Tahap ini menggunakan
34 Rancangan Acak Kelompok satu faktor yaitu pupuk yang digunakan. Perlakuan pada tahap ini adalah : Kontrol
: Tanpa pupuk
PO-PAN
: Campuran kompos dengan pupuk anorganik (Urea)
PO-RK
: Kompos dengan menggunakan rumen kambing
PO-SK
: Kompos dengan menggunakan stardec
PAN
: Penambahan pupuk anorganik Takaran kompos yang diteliti 2.5 kg/m2 dan urea sebanyak 15 g/m 2.
Masing-masing perlakuan diulang 3 kali (blok sebagai ulangan) sehingga terdapat 15 satuan percobaan. Pada masing-masing ulangan pengamatan dilakukan pada 15 tanaman, sehingga didapatkan
225 satuan pengamatan (untuk satu
komoditas). Model linier dari rancangan acak kelompok dalam tahap ini adalah : Yij = µ + K i + Pj +ε ε ij Dengan asumsi secara singkat ditulis sebagai berikut : Pj ~ NI(0,σP2) ; Ki ~ NI (0,σK2) ; serta ∈ij ~ NI (0,σ2) Keterangan : Yij
: Respon pertumbuhan tanaman ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i
µ
: Nilai tengah umum pertumbuhan tanaman
Ki
: Pengaruh kelompok ke-i
Pj
: Pengaruh pupuk kompos ke-j
εij
: Galat percobaan tanaman ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i
NI
: Normal dan bebas
~
: Menyebar secara
Hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut : H0
: Pj = 0 (j=1,2, ...,t) atau
H1
: Minimal ada satu P j ≠ 0 untuk j = 1,2, ..., t
Data yang diperoleh diuji dengan sidik ragam, jika terdapat perbedaan antar perlakuan diuji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) selang kepercayaan 5%. - Pelaksanaan Penanaman Tahap ini dilakukan untuk menguji kompos hasil percobaan.
Dalam
pelaksanaan di lapangan, sebelum penanaman terlebih dahulu dilakukan analisis
35 terhadap kandungan hara tanah dan dilakukan pengolahan tanah yang bertujuan untuk membersihkan lahan dari gulma, dan penyiapan petak tanam yang berukuran 1 m x 4 m dengan jarak tanam untuk baris kangkung 20 cm dan 30 cm untuk jarak antar baris sawi. Jarak antar petak 50 cm. Benih sawi dan benih kangkung darat ditanam langsung pada baris tanam setelah terlebih dahulu di rendam dalam air selama 12 jam. Kompos diberikan dengan menaburkannya di dalam baris lubang tanam.
Sebanyak
2/3 dosis
kompos di inkubasikan terlebih dahulu selama satu minggu sebelum tanam dan 1/3 kompos sisanya diberikan pada saat penanaman. Pupuk urea diberikan pada perlakuan PAN dan PO-PAN dengan dosis 150 kg/ha. Pemberian pupuk urea dilakukan dua kali yaitu pada saat penanaman sebanyak 2/3 dosis dan 1/3 sisanya diberikan satu minggu setelah tanam. Pupuk urea diberikan dengan cara ditabur di baris yang dibuat di samping tanam. Panen dilakukan sekitar 4 – 5 MST Paramete r yang Diamati Parameter tanaman yang dilihat meliputi: (1) Tinggi tanaman, (2) Jumlah daun, (3) Indeks luas daun, (4) Bobot segar tanaman dan (5) Perbandingan tajuk dan akar tanaman (shoot root ratio), (6) Serapan hara tanaman dan (7) Analisis usahatani sawi dan kangkung. Tinggi tanaman dan jumlah daun masing- masing diukur tiap minggu sebagai peubah pertumbuhan tanaman. Indeks luas daun, bobot segar tanaman, perbandingan pucuk dan akar dan analisis NPK diukur pada saat panen. 3.3.4 Analisis Finansial Usaha Pengomposan Pada tahap ini dilakukan perhitungan analisis usaha untuk kegiatan pengomposan.
Penghitungan analisis usaha untuk kelayakan pengomposan
sampah pasar adalah sebagai berikut 1. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C) Ratio Perhitungan ini digunakan untuk melihat keuntungan relatif kegiatan usaha pengomposan berdasarkan perhitungan finansial.
Nilai R/C lebih dari satu
menunjukkan usaha tersebut akan memberikan pendapatan lebih dari biaya produksi (memberikan keuntungan). Jumlah penerimaan (Rp) R/C Ratio
= Jumlah biaya total (Rp)
36
2. Harga Pokok Produksi (HPP) Metode pendekatan yang digunakan untuk menghitung harga pokok produksi masing-masing komponen pembiayaan adalah Full costing, yaitu metode penentuan harga pokok produksi yang mempertimbangkan semua unsur biaya produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead, baik yang berperilaku variabel maupun tetap. Untuk menghitung harga pokok produksi dari komponen pembiayaan digunakan asumsi teknis yang disusun berdasarkan umur produksi kompos. Waktu yang dibutuhkan untuk satu kali pengomposan adalah 1.5 (6 tumpukan), sehingga asumsi teknis yang digunakan untuk menghitung usaha pengomposan adalah sebagai berikut 1.
Segitiga bantu dapat digunakan selama 6 bulan (4 kali pengomposan)
2.
HPP = Harga segitiga bambu 4 Sekop dan garpu dapat digunakan selama 1 tahun (8 kali pengomposan)
3.
HPP = Harga garpu/sekop Ket. : 6 = Jumlah tumpukan 8x6 Termometer dapat digunakan selama 2 tahun (16 kali pengomposan)
4.
HPP = Harga termometer Ket. : 6 = Jumlah tumpukan 16 x 6 Gerobak dorong dapat digunakan selama 1.5 tahun (12 kali pengomposan)
5.
HPP = Harga gerobak dorong 12 x 6 Tenaga kerja
6.
HPP = HOK 6 Harga pokok produksi total
Ket : 6 = Jumlah tumpukan
HPP total = Biaya Total Produksi Total Asumsi ekonomis digunakan untuk menentukan harga kompos yang berlaku pada saat penelitian yaitu Rp. 500/Kg 3.3.5 Analisis Finansial Usahatani Sayuran Usaha penanaman sayuran merupakan suatu kegiatan ekonomi yang mempunyai komponen biaya tetap dan biaya variabel sehingga dapat dihitung analisis finansialnya.
Perhitungan analisis usahatani sayuran yang dilakukan
37 pada tahap ini meliputi imbangan penerimaan dan biaya (R/C) ratio dan harga pokok produksi sayuran.
1. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C) Ratio Perhitungan ini digunakan untuk melihat keuntungan relatif kegiatan usahatani sayuran berdasarkan perhitungan finansial. Nilai R/C lebih dari satu menunjukkan usaha tersebut akan memberikan pendapatan lebih dari biaya produksi (memberikan keuntungan). Jumlah penerimaan (Rp) R/C Ratio
= Jumlah biaya total (Rp)
2. Harga Pokok Produksi (HPP) Metode pendekatan yang digunakan untuk menghitung harga pokok produksi masing-masing komponen pembiayaan adalah Full costing, yaitu metode penentuan harga pokok produksi yang mempertimbangkan semua unsur biaya produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead, baik yang berperilaku variabel maupun tetap. Untuk penghitungan analisis finansial tersebut digunakan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan kondisi pada saat penelitian. Waktu yang dibutuhkan untuk satu musim tanam adalah 1.5 bulan, sehingga asumsi teknis untuk usahatani sayuran adalah sebagai berikut : 1.
Luasan penanaman dikonversi dari plot (12 m2) kedalam 1000 m 2, sehingga setiap perhitungan disesuaikan dengan konversi tersebut.
2.
Biaya sewa lahan disesuaikan dengan harga pada saat penelitian dan berlaku selama 1 semester (6 bulan), yaitu Rp. 2.000.000/tahun/1000 m 2.
Biaya sewa lahan = Harga sewa lahan (1000 m2) 4 3. Cangkul/koret dapat digunakan selama 1 tahun (8 kali musim tanam) HPP = Harga cangkul/koret 8 4.
Harga pokok produksi total HPP total = Biaya Total Produksi Total Asumsi ekonomis yang digunakan untuk perhitungan analisis finansial
usahatani sayuran adalah sebagai berikut :
38 1.
Harga sayuran hasil penelitian disesuaikan dengan harga pasar pada saat itu yaitu Rp. 1.000/kg sayuran Jumlah penerimaan = produksi sayuran per m2 x harga sayuran x 1000 m2
2.
Harga kompos yang digunakan petani sama dengan harga kompos dari TPA Galuga yaitu Rp. 500/kg Biaya pembelian kompos = 2.5 kg/m 2 x 1000 m2 x harga kompos (Rp)
3.
Semua produk sayuran dapat dipasarkan
4.
Tidak ada biaya pengangkutan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi Mikroba Selulolitik 4.1.1 Populasi Mikroba Rumen dan Kotoran Ayam Penentuan jumlah populasi mikroba rumen bertujuan memberikan gambaran tentang jenis dan kepadatan populasi mikroba yang terdapat dalam rumen. Tahap ini merupakan kegiatan pendahuluan sebelum tahap isolasi dan seleksi mikroba penghasil selulase. Jumlah populasi mikroba rumen dan kotoran ayam pada tahap ini adalah 3.7 x 10 12 sel/g isi rumen sapi, 2.0 x 101 2 sel/g isi rumen kambing dan 1.2 x 10 1 2 sel/g kotoran ayam (Tabel 2). Menurut Sutrisno et al. (1994) total bakteri pada sapi adalah 3.4 x 10 1 2 sel/g isi rumen dan pada kambing jumlah bakteri mencapai 3.3 x 10 1 2 sel/g isi rumen. Pengamatan yang dilakukan dalam tahap ini belum memberikan gambaran total mikroba yang terdapat dalam rumen, karena kebanyakan mikroba rumen adalah an-aerob yaitu hidup dan tumbuh tanpa kehadiran oksigen, walaupun demikian masih terdapat kelompok mikroba yang dapat hidup dengan kehadiran oksigen. Kelompok tersebut dinamakan kelompok mikroba fakultatif yang biasanya hidup dan menempel pada dinding rumen dimana terdapat difusi oksigen ke dalam rumen (Czerkawski, 1986). Mikroba jenis inilah yang diduga dapat diamati dalam tahap ini. Tabel 2. Hasil Penghitungan Jumlah Populasi Mikroba dalam Sampel Macam Mikroba Total Bakteri Total Kapang
Sapi 3.7 x 10 1 2 2.5 x 10 5
Jumlah Mikroba (sel/g isi rumen) Kambing Ayam 2.0 x 10 12 1.2 x 10 1 2 5 2.4 x 10 4.0 x 10 5
Bakteri rumen merupakan biomassa terbesar berdasarkan letaknya dalam rumen, menurut hal tersebut bakteri dapat dikelompokkan menjadi :
n Bakteri yang bebas dalam cairan rumen (sekitar 30% dari total) n Bakteri yang menempel pada partikel makanan (sekitar 70% dari total) n Bakteri yang menempel pada ephitel dinding rumen n Bakteri yang menempel pada protozoa Bakteri rumen memiliki fungsi yang sangat penting terhadap fermentasi serat dan tanaman berpolimer. pertumbuhan mikroba.
Fermentasi tersebut akan diikuti dengan meningkatnya
40 Jumlah fungi dalam cairan rumen diperkirakan antara 10 3 - 105 cfu/ml cairan (Soetanto, 1985). Hasil penghitungan fungi dalam penelitian ini adalah 2.5 x 105 cfu/g rumen sapi, 2.4 x 105 cfu/g rumen kambing dan 4.0 x 105 cfu/g kotoran ayam. Fungi /kapang yang terdapat dalam rumen dianggap sebagai pioneer dalam aktivitas fraksi serat, karena fungi/kapang dapat membentuk koloni pada jaringan lignoselulosa partikel pakan. Adanya rhizoid dan fungi yang tumbuh jauh menembus dinding serat tanaman dapat membantu bakteri dan enzim pencernaan untuk mencerna pakan. Fungi yang seperti ini diharapkan dapat membantu proses pengomposan lebih cepat. 4.1.2 Isolasi dan Seleksi Mikroba Selulolitik Isolat yang dihasilkan pada tahap ini adalah 11 isolat dari rumen sapi, 7 isolat dari rumen kambing dan 7 isolat dari kotoran ayam. Isolat dari Sampel rumen sapi terdiri atas 3 isolat bakteri dan 8 isolat kapang. Isolat rumen kambing terdiri atas 5 isolat bakteri dan 2 isolat kapang, sedangkan isolat dari sampel kotoran ayam terdiri atas 3 isolat bakteri dan 4 isolat kapang.
Selanjutnya
dilakukan uji CMC. Pada uji CMC dihasilkan 8 isolat yang mampu menunjukkan aktivitasnya dalam merombak selulosa dengan pembentukan zona bening. Delapan isolat tersebut adalah 5 isolat kapang dari rumen sapi, 1 isolat kapang dari rumen kambing dan 3 isolat kapang dari kotoran ayam. Selanjutnya dihitung nisbah antara diameter zona bening yang terbentuk terhadap diameter koloni kapang. Pada Tabel 3 disajikan hasil pengujian kemampuan isolat dalam membentuk zona bening pada media CMC. Pengujian berdasarkan zona bening yang diperjelas dengan indikator congo red menghasilkan nisbah diameter zona bening terhadap diameter koloni antara 1.03 - 1.51. Kemampuan membentuk zona bening pada substrat amorf seperti CMC menunjukkan adanya enzim endoβ-,4-glukanase (CMC -ase) yang dapat memutuskan ikatan β-1,4 pada serat selulosa tersebut secara acak (Enari, 1983) dan semakin tinggi nisbah tersebut menunjukkan semakin tinggi aktivitas spesifik enzim selulasenya, khususnya enzim endo-β-1,4-glukanase atau CMC -ase.
41
Tabel 3. Pengujian Kemampuan Kapang Selulolitik terhadap Pembentukan Zona Bening Kode Isolat
Sumber Isolat
FRS1 FRS2 FRS3 FRS5 FRS6 FRK2 FKA1 FKA3 FKA4
Rumen Sapi Rumen Sapi Rumen sapi Rumen Sapi Rumen sapi Rumen kambing Kotoran Ayam Kotoran Ayam Kotoran Ayam
Diameter (cm) Zona Koloni 3.5 3.2 5.2 4.6 5.6 4.2 7.6 6.6 6.4 6.2 4.6 3.9 4.4 2.9 2.1 1.8 3.2 2.9
Nisbah 1.09 1.13 1.33 1.15 1.03 1.17 1.51 1.16 1.1
Hasil penelitian ini menghasilkan 3 isolat terpilih (FRS3, FRK2 dan FKA1 (Lampiran Gambar 1) berdasarkan nisbah zona bening tertinggi dari masingmasing sumber isolat. Nisbah diameter zona bening dari ketiga isolat tersebut berada pada kisaran 1.17 - 1.51. Ketiga isolat tersebut selanjutnya digunakan sebagai inokulan dalam pengujian laju pengomposan pada tahap berikutnya. 4.1.3 Pembuatan Inokulan Uji pertumbuhan mikroba selulolitik pada carrier didapatkan hasil sebagai berikut, mikroba selulolitik rumen sapi sebesar 36.8 x 10 6 sel/g carrier, rumen kambing 62.4 x 10 6 sel/g carrier, kotoran ayam 81.3 x 10 6 sel/g carrier dan mikroba selulolitik campuran ketiganya sebesar 112 x 106 sel/g carrier Jumlah koloni yang tumbuh memuaskan apabila dalam satu cawan petri tumbuh antara 30 – 300 koloni per cawan petri (Anas, 1989).
Tabel 4
6
menunjukkan bahwa pada pengenceran 10 pertumbuhan koloni masing-masing carrier sudah memuaskan karena sudah pada kisaran 30 – 300 koloni per cawan dan pengenceran minimal untuk suatu carrier biasanya 106 . 4.2 Pengomposan Sampah Pasar 4.2.1 Kondisi Umum Pengomposan Sampah yang digunakan dalam percobaan ini
adalah sampah pasar
(Sampah pasar TU) yang sebagian besar komposisinya adalah kol, sawi, kulit jagung dan sayur-sayuran lain, sehingga sifatnya sangat basah.
Kadar air
42 sampah tersebut mencapai 790.7%. Sampah yang akan di komposkan terlebih dahulu dianalisis kandungan haranya (Tabel 4).
Tabel 4. Kandungan Hara Awal Sampah Pasar TU Jenis Analisis pH H2O (1:5) C-org (%) N-total (%) P (ppm) Ca (me/100 g) K (me/100 g) Mg me/100 g) Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm)
Metode
Hasil
pHmeter Walkey& Black Kjeldahl Bray 1 N NH4OAc pH 7.0 N NH4OAc pH 7.0 N NH4OAc pH 7.0 0.05 N HCl 0.05 N HCl 0.05 N HCl 0.05 N HCl
5.4 34.93 0.68 0.45 1.4 1.5 0.3 606.3 38.5 114.6 253.6
Dari Tabel 4 terlihat bahwa komposisi kimia sampah pasar masih segar, hal ini ditunjukkan oleh kadar air yang tinggi. Selama pengomposan curah hujan cukup tinggi sehingga tumpukan kompos ditutup menggunakan terpal. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga panas dan melindungi tumpukan kompos dari hujan. Masing-masing tumpukan kompos yang diberi isolat yang berbeda memiliki dinamika yang berbeda pula.
Hal ini dimungkinkan karena masing-
masing isolat memiliki kemampuan adaptasi, tumbuh dan perkembangan yang berbeda. Hal tersebut juga mempengaruhi waktu panen kompos. Hasil yang diperoleh dari pengomposan masing-masing perlakuan kurang dari 15% bahan yang dikomposkan. Berikut adalah gambaran hasil penelitian yang dilakukan. 4.2.2 Proses Pengomposan 1.
Suhu Pengomposan Perubahan suhu pada setiap pengomposan bahan organik berbeda-beda
bergantung pada sifat fisik atau sifat kimia bahan organiknya. Peningkatan suhu merupakan indikator adanya proses pengomposan sebagai akibat hubungan kadar air dan aktivitas mikroba. Saat bahan organik mulai dirombak oleh mikroba akan dibebaskan sejumlah energi dalam bentuk panas, sehingga meningkatkan suhu kompos dalam tumpukan. Gambar 4 menunjukkan bahwa pemberian inokulan meningkatkan suhu pengomposan.
Pemberian inokulan mampu menaikkan suhu pengomposan
43 pada rentang thermophilik (45 – 700 C) yang dibutuhkan untuk memaksimalkan laju dekomposisi. 68 65 62 59 56 53 50 47 44 41 38 35 32 29 26
Stardec Kontrol IMIX IRK
0
Suhu( C)
IKA IRS Lingkungan
1
8
15
22
Waktu (Hari)
29
36
Gambar 4. Dinamika Suhu Harian Pengomposan Sampah Pasar Pada minggu kedua suhu tertinggi dicapai oleh IMIX yaitu 56.640 C, diikuti oleh IKA yaitu 54.86 0 C dan stardec yaitu 53.38 0 C, sedangkan IRK mencapai suhu tertinggi pada minggu ketiga yaitu 64.340 C diikuti oleh IRS yang mencapai 56.30 C. Secara keseluruhan kontrol mencapai suhu maksimum memerlukan waktu lebih lama.
Suhu maksimal yang dicapai kontrol lebih rendah dari
perlakuan lainnya yaitu 49.740 C. Hal tersebut disebabkan karena aktivitas yang terjadi pada kontrol hanya dilakukan oleh mikroba yang terdapat secara alami, bukan dilakukan oleh mikroba yang spesifik. Suhu dalam tumpukan kompos mempengaruhi tipe dan spesies mikroba yang tumbuh di dalamnya.
Pada awal pengomposan terbentuk panas pada
0
kisaran 25 - 45 C (suhu mesophilik) kemudian diikuti dengan suhu termophilik (50 - 650 C) (Polpasret, 1989). Suhu tinggi yang dicapai oleh masing-masing perlakuan merupakan hasil aktivitas mikroba di dalamnya dan tingginya tumpukan kompos sehingga mampu mengisolasi panas yang dihasilkan.
Hal tersebut
sesuai dengan penelitian Leksana (2000) bahwa ketebalan tumpukan dapat mempengaruhi tercapainya suhu optimal pengomposan yaitu 45 – 650 C yang dapat mempercepat pematangan kompos. Pada umumnya kapang selulolitik termofil mempunyai aktivitas selulolitik lebih tinggi dibanding kapang mesofil (Basuki et al., 1995). Menurut Polpasret (1989) secara biologi pembentukan panas selama pengomposan sangat penting untuk dua alasan yaitu untuk memaksimalkan laju
44 dekomposisi dan untuk memproduksi material (kompos) yang secara mikrobiologi aman. Hal ini dimungkinkan apabila selama pengomposan dapat mencapai suhu sekitar 55 - 650 C karena pada suhu tersebut aktivasi terhadap patogen sangat efektif. Suhu yang tinggi dalam proses pengomposan merupakan satu hal yang cukup essensial karena suhu tinggi di perlukan untuk menghancurkan semua bijibiji gulma dan organisme patogen. Menurut Dalzell et al. (1987) suhu 55 - 600 C perlu dipertahankan selama tiga hari untuk membunuh semua rumput-rumputan dan organisme patogen. Reaktivasi fungi yang menghasilkan enzim ekstraselular pada proses dekomposisi bahan organik dipengaruhi oleh suhu yang terjadi. Pada penelitian ini, suhu dipakai sebagai salah satu acuan pematangan kompos selain pengamatan visual. 2.
Tingkat Kemasaman pH media
merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
populasi maupun jenis mikroba.
pH ini sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan mikroba dekomposer pada pengomposan. Sebagai contoh fungi yang dapat berkembang pada kisaran pH 2 - 9. pH optimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri dan organisme pengomposan adalah 6.0 - 8.0 (Obeng dan Wright, 1987). Secara umum dinamika perubahan pH pada percobaan ini hampir sama pada masing-masing perlakuan (Tabel 5). Tabel 5. Dinamika pH Pengomposan dengan Inokulan yang Berbeda Perlakuan
Stardec Kontrol IMIX IRK IKA IRS
pH Minggu ke-0
Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
Minggu ke-4
Panen
Kompos
5.97 5.75 5.70 6.42 5.70 6.03
7.17 7.54 7.48 7.56 7.44 7.44
7.12 7.29 7.38 7.30 7.44 7.28
9.19 8.74 8.68 8.97 9.33 8.75
8.82 8.79 8.99 9.07 9.04 8.99
8.37 9.08 9.16 9.03 9.15 8.93
8.19 7.71 8.29 8.22 8.21 8.34
Hasil percobaan pengomposan menunjukkan bahwa pemberian inokulan mempengaruhi pH. Pada Tabel 5 terlihat bahwa semua perlakuan menunjukkan kenaikan pH mulai minggu pertama kemudian sedikit menurun pada minggu kedua dan selanjutnya naik kembali. Pada tahap awal pengomposan pH
45 perlakuan berkisar antara 5.7 - 6.42.
Pada minggu kedua, pH mengalami
penurunan diduga karena terbentuknya asam-asam organik selama proses pengomposan.
Selanjutnya pH semua perlakuan naik kembali menjadi lebih
alkalin pada kisaran 8 - 9. Peningkatan pH tersebut selain akibat meningkatnya jumlah kation-kation basa seperti kalium, kalsium, dan magnesium juga disebabkan karena adanya penghancuran protein dan pembebasan amoniak (Gaur, 1981).
pH mencapai kisaran 9 diduga karena yang berperan dalam
perombakan kebanyakan adalah fungi. Fungi dapat berkembang pada kisaran pH yang luas. Peningkatan pH yang mencapai kisaran 9 tersebut disebabkan karena asam-asam organik sederhana yang terbentuk mulai dirombak lebih lanjut menjadi CO2 dan produk lainnya.
Disamping itu proses mineralisasi bahan
kompos menjadi lebih alkalin. 3.
Laju Respirasi Pengukuran respirasi merupakan cara yang digunakan untuk menentukan
tingkat aktivitas mikroba. Penetapan respirasi tersebut berdasarkan penetapan jumlah CO 2 yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan jumlah O 2 yang digunakan oleh mikroba tersebut. Gambar 5 menunjukkan dinamika masing-masing perlakuan terhadap laju respirasinya.
Pada minggu ke-0 dan minggu pertama pengomposan, semua
perlakuan menunjukkan tingkat laju respirasi yang relatif sama. Pada minggu kedua IRK memiliki laju respirasi yang paling tinggi yang mencapai 59.39 mg CO2
Kg -1 Hari-1)
Laju Respirasi (mg CO 2-C
–C Kg-1 Hari-1 disusul IRS dan IKA. 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10
Stardec Kontrol IMIX IRK IKA IRS
0
1
2
3
4
Waktu (Minggu)
Gambar 5. Tingkat Laju Respirasi Pengomposan Sampah Pasar
46
Karbon (C) menyusun + 45 - 50% dari bobot kering jaringan tanaman. Bila jaringan tanaman tersebut dikomposkan maka keperluan karbon dan nutrisi mikroba yang terlibat dalam proses pengomposan diperoleh melalui perombakan senyawa karbon yang menyusun jaringan tersebut. Jumlah CO2 yang dihasilkan selama pengomposan sebanding dengan jumlah senyawa karbon organik yang terdekomposisi.
Mengingat dekomposisi senyawa karbon sangat tergantung
pada aktivitas mikroba didalamnya, maka jumlah CO 2 yang dibebaskan bahan kompos merupakan pencerminan tingkat aktivitas mikroba yang terlibat dalam aktivitas pengomposan. Pengukuran respirasi berkaitan dengan kandungan bahan organik, transformasi P atau N, hasil antara, pH dan rata-rata jumlah mikroba. Kecepatan respirasi lebih mencerminkan aktivitas metabolik daripada jumlah, tipe atau perkembangan mikroba. Secara umum reaksi pengujian laju respirasi adalah sebagai berikut : (CH2 0)x + O2
CO2 + H2 O + Zat antara + Bahan sel + Energi
Jumlah CO2 yang dihasilkan/laju respirasi akan sebanding dengan banyaknya senyawa karbon yang dirombak, selain itu juga sebanding dengan pertumbuhan mikroba (bahan asli), ekskresi (zat antara) dan aktivitas mikroba (energi). Dengan demikian semakin tinggi jumlah CO2 yang dihasilkan dari isolat yang diuji, maka semakin kuat isolat tersebut dalam merombak bahan yang dikomposkan. 4.
Penurunan Bobot Pelepasan
CO2 ,
NH3
dan
senyawa-senyawa sederhana lainnya
mengakibatkan terjadinya penyusutan bobot. Besarnya penyusutan bobot dapat digunakan untuk mengukur tingkat dekomposisi bahan kompos. Pada Gambar 3 terlihat bahwa penurunan bobot tertinggi dicapai oleh IMIX yang pada akhir pengomposan penurunan bobotnya mencapai 83.42%. Pada IRK penurunan bobotnya terendah dan pada akhir pengomposan mencapai 63.66%. Hal ini sesuai dengan hasil kompos yang dicapai bahwa IRK kemudian menghasilkan kompos terbanyak (132 kg) dan IMIX menghasilkan kompos paling sedikit (117 kg).
Bobot
47
55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Stardec Kontrol IMIX IRK IKA IRS
0
1
2
3
4
5
Waktu (Minggu)
Gambar 6. Penurunan Bobot Pengomposan Sampah Pasar Inokulan yang dicobakan mampu merombak selulosa pada bahan kompos sebagai sumber karbonnya. Dengan ditambahkannya inokulan tersebut berarti jumlah dekomposer bertambah menjadi lebih banyak dan proses perombakannya khususnya selulosa menjadi meningkat yang tercermin dari peningkatan suhu dan penurunan bobot pada setiap perlakuan. Laju penurunan bobot akan berhubungan dengan kompos yang dihasilkan. Persentase penurunan yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot kompos yang rendah, begitu pula sebaliknya, penurunan kompos yang rendah akan menghasilkan persentase bobot kompos yang tinggi. Penyusutan dapat disebabkan oleh terjadinya perombakan bahan oleh mikroba sehingga kadar air bahan berkurang dan akibat panas yang timbul selama proses pengomposan menyebabkan terjadinya penguapan. Persentase susut bobot yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot kompos yang rendah. Menurut Dalzell et al. (1987), dalam perombakan bahan organik mikroba membutuhkan air dan oksigen dari udara dan makanan dari bahan organik sebagai sumber energi selanjutnya akan melepaskan CO 2, air dan energi panas, hal ini menyebabkan bobot bahan semakin berkurang. 5.
Nisbah C/N Nisbah C/N suatu bahan organik memberikan gambaran tentang mudah
tidaknya bahan tersebut didegradasi, tingkat kematangan dari bahan organik tersebut, ataupun tentang mobilisasi dari nitrogen pada bahan organik.
48 Pengomposan berupaya menurunkan nisbah C/N bahan organik agar mendekati nisbah C/N tanah, yaitu di bawah 20. Pengamatan pada nisbah C/N menunjukkan bahwa pemberian inokulan mampu menurunkan nisbah C/N terutama pada minggu ke-4. Penurunan ini terjadi karena bahan organik di rombak oleh mikroba inokulan dan dipakai sebagai sumber energi. Dalam keadaan demikian, populasi mikroba meningkat, yang ditunjukkan oleh peningkatan suhu kompos. 70 60 C/N ratio
50
Minggu ke-0 Minggu Ke-dua Minggu ke-empat Minggu Ke-enam
40 30 20 10 0 Stardec Kontrol -
IMIX
IRK
IKA
IRS
Perlakuan
Gambar 7. Pengaruh Pemberian Inokulan terhadap Nisbah C/N Gambar 7 menunjukkan bahwa pada minggu kedua IRK dan IKA mengalami kenaikan C/N ratio. Hal ini diduga berkaitan dengan masalah teknis pada waktu pengambilan sampel, yang terambil kemungkinan adalah bahan yang banyak mengandung serat seperti kulit jagung. Penurunan nisbah C/N tergolong lambat, hal ini diduga karena kadar banyak mengandung serat kasar. Hal tersebut menyebabkan energi lebih banyak untuk merombak serat tersebut. Nitrogen yang sudah terbentuk dipergunakan kembali sebagai sumber energi perombakan.
Pada akhir pengomposan C/N ratio
masing-masing kompos sudah di bawah 20 dan telah memenuhi syarat sebagai kompos yang matang. 6.
Kematangan dan Kandungan Hara Kompos Secara umum kematangan dan kualitas kompos dapat ditentukan secara
sederhana yaitu dengan melihat suhu, bau, warna, bentuk fisik penurunan volume/bobot, nisbah C/N, materi asing dan kandungan unsur runut atau logam berat (Wahyono et al., 2003).
Kematangan kompos dalam penelitian ini
49 ditentukan berdasarkan suhu yang stabil dalam beberapa hari, sudah tidak tercium bau, berwarna hitam, bentuknya tidak menyerupai bentuk asli, volume tinggal 25 – 35 % dan terbentuknya aktinomicetes di permukaan tumpukan. Berdasarkan hal tersebut, kompos dalam penelitian ini dipanen pada hari ke-34 untuk stardec, IMIX, IKA dan IRS, sedangkan untuk IRK dan kontrol di panen pada hari ke-40 dan 41. Waktu panen yang berbeda ini diduga karena bahan organik pada IRK banyak mengandung serat kasar sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama, sedangkan kontrol lamanya waktu panen juga berkaitan dengan jumlah mikroba yang bekerja dalam perombakan tersebut. Tingkat kandungan hara kompos sangat ditentukan oleh bahan dasar, cara pengomposan dan cara penyimpanan.
Pada akhir pengamatan dilakukan
analisis terhadap kompos yang dihasilkan oleh masing-masing perlakuan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kandungan hara dari kompos yang dihasilkan. Hasil analisis disajikan pada Tabel 6. Secara umum terjadi peningkatan hara bila dibandingkan kandungan hara pada awal pengomposan. Hal ini terjadi karena selama pengomposan terjadi mineralisasi unsur-unsur hara, sehingga hara makro dan mikro menjadi terlepas dan tersedia. Semakin lama waktu pengomposan akan semakin banyak unsur hara yang tersedia dan nisbah C/N akan semakin menurun. Namun demikian, unsur hara juga dapat menurun bila dibandingkan hara awal. Hal ini disebabkan oleh adanya proses penguapan atau terlarut bersama air lindi yang dihasilkan selama pengomposan.
Kondisi iklim juga dapat mempengaruhi perubahan
kandungan unsur hara kompos. Analisis kandungan hara tersebut masih sesuai dengan spesifikasi kualitas kompos yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) (Tabel Lampiran 2).
50
Tabel 6. Hasil Analisis Kandungan Hara Kompos berbagai Inokulan Jenis Analisis
Metode
Hasil Stardec Kontrol
IMIX
IRK
IKA
IRS
pH H2O (1:5)
pHmeter
8.79
7.71
8.29
8.22
8.21
8.34
C-org (%)
Walkey& Black
27.72
21.53
26.32
25.2
25.83
21.28
N-total (me/100 g)
Kjeldahl
1.6
1.14
1.42
1.2
1.36
1.28
P (me/100 g)
Bray 1
0.47
0.48
0.5
0.48
0.5
0.47
K (%)
N NH4OAc pH 7.0
1.06
1
1.25
1
1.25
1
Ca (%)
N NH4OAc pH 7.0
2.74
2.67
3.24
2.39
2.28
2.52
Mg (%)
N NH4OAc pH 7.0
0.26
0.25
0.29
0.26
0.31
0.24
Na (ppm)
N NH4OAc pH 7.0
226.6
232.3
226.8
547.8
234
375.6
KTK (me/100 g)
N NH4OAc pH 7.0
39.13
34.85
33.29
32.75
35.44
33.1
Fe (ppm)
0.05 N HCl
816.5
830.3
826.7
974
823
968.1
Cu (ppm)
0.05 N HCl
24.3
24.8
17.9
21.8
20
17.5
Zn (ppm)
0.05 N HCl
110
111.7
110.1
272.7
110.2
162.2
0.63
0.76
0.77
0.93
0.83
1.1
Pb (ppm) Hg (ppm)
0
0
0
0
0
0
Cd (ppm)
1.3
1.42
1.45
2.1
0.98
1.15
4.3 Pengaruh Kompos terhadap Pertumbuhan dan Produksi Sayuran 4.3.1 Kondisi Umum Penanaman Penanaman di lakukan di kebun percobaan IPB Tajur. Tanah di tempat tersebut dilakukan analisis sifat fisik dan kimianya seperti dalam Tabel 7. Analisis tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai tingkatan kandungan hara pada tanah yang digunakan. Berdasarkan uji tersebut, maka tanah tempat penanaman termasuk dalam tanah Ultisol. Input tambahan bahan dapat berupa bahan organik untuk menambah hara yang tersedia. Supriyanto (1998) menyatakan bahwa menambahkan komposisi mikrobia, kimia dan fisik dari kompos yang diaplikasikan untuk tanaman dapat membantu mencegah pertumbuhan penyakit tanaman.
Hal tersebut karena
pertumbuhan sel dan dinding sel tanaman akar lebih kuat karena pengaruh kompos.
51
Tabel 7. Analisis Kandungan Hara Tanah di Kebun Percobaan IPB Tajur Jenis Analisis pH H2 O (1:1) C-org (%) N-total (%) P (ppm) Ca (me/100 g) K (me/100 g) Mg me/100 g) Na (ppm) KTK (me/100 g) Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm) Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
Metode pHmeter Walkey& Black Kjeldahl Bray 1 N NH4 OAc pH 7.0 N NH4 OAc pH 7.0 N NH4 OAc pH 7.0 N NH4 OAc pH 7.0 N NH4 OAc pH 7.0 0.05 N HCl 0.05 N HCl 0.05 N HCl 0.05 N HCl Pipet Pipet Pipet
Hasil 6.27 1.66 0.16 136.6 12.1 0.98 1.55 0.43 18.69 0.76 0.92 9.36 17.56 9.79 19.51 70.7
Harkat Agak Masam Rendah Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sangat Rendah Sedang Sedang Sedang Tekstur Tekstur Tekstur
Penanaman sawi dan kangkung dilakukan secara langsung dalam bedeng-bedeng yang berbeda sesuai perlakuannya. Pada awal penanaman kondisi cuaca sangat panas sehingga dilakukan penutupan dengan menggunakan paranet untuk mengurangi penguapan. Namun demikian pertumbuhan tanaman secara keseluruhan tetap bagus dengan daya kecambah sekitar 95% untuk kangkung dan 60% untuk sawi. Hal tersebut karena dilakukan penyiraman secara rutin. Pada saat pertumbuhan, serangan bekicot terjadi pada minggu pertama pertumbuhan, sehingga ada beberapa bedeng yang dilakukan penyulaman. Hama bekicot selanjutnya dibasmi dengan menggunakan siputok yang aman terhadap tanaman karena tidak bersinggungan dengan tanaman. Tanaman sawi mengalami serangan ulat plutella, namun dapat diatasi secara manual, sedangkan pada kangkung serangan hama dilakukan oleh sejenis kumbang kecil yang mengakibatkan daun berlubang. Serangan tersebut dibiarkan karena tidak mengganggu pertumbuhan tanaman.
52 Panen dilakukan pada hari ke-28 untuk sawi dan ke-30 untuk kangkung. Hasil panen dibersihkan kemudian di timbang untuk masing-masing komoditas. Produk kemudian di jual untuk menghitung usahatani sayuran.
4.3.2 Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan dan perkembangan tanaman terjadi karena adanya pembelahan, pembesaran dan diferensiasi sel di dalam tanaman. Ketiga proses tersebut dapat berlangsung bila tersedia cukup fotosintat yang dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesis. 1.
Tinggi Tanaman Tinggi tanaman adalah salah satu indikator pertumbuhan vegetatif
tanaman yang mudah diamati. Pemberian kompos akan menambah kesuburan tanah dengan dilepasnya unsur-unsur hara menjadi tersedia bagi tanaman. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman dalam kegiatan respirasi sel, fotosintesis, polimerisasi protein dan berbagai reaksi enzimatik lainnya. Tabel 8. Pengaruh Pemberian Kompos terhadap Tinggi Tanaman Sawi dan Kangkung
Perlakuan
Tinggi Tanaman Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4 ………….…………..………..(cm)………………………….
Sawi Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN
2.21b 2.51a 2.46a 2.51a 2.29ab
3.99c 6.66a 6.68a 6.97a 4.88b
7.34d 12.93ab 12.50bc 14.07a 11.26c
9.82c 23.77a 20.93b 25.69a 19.87b
Kangkung Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN
5.19dc 5.93a 5.68ba 5.40bc 5.02d
7.92d 13.28a 11.52b 11.76b 9.24c
11.00c 17.99a 15.41b 18.56a 14.90b
17.24c 28.12a 24.78b 29.14a 25.65b
Keterangan : Angka dalam kolom sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
53 berdasarkan uji Duncan 5%
Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian kompos nyata meningkatkan tinggi tanaman tanaman sawi maupun kangkung. Penggunaan kompos yang dikombinasikan dengan pupuk urea (PO-PAN) mampu memberikan pertumbuhan tertinggi, namun penggunaan pupuk urea saja menghasilkan tanaman sawi dan kangkung yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pupuk organik. Pada penggunaan kompos yang dikombinasikan dengan pupuk urea memberikan pertumbuhan lebih tinggi yaitu pada sawi sebesar 25.69 cm namun tidak berbeda nyata dengan PO-SK, sedangkan pada kangkung 29.14 cm, namun juga tidak berbeda nyata dengan PO-SK.
Pertambahan tinggi tanaman
disebabkan pembelahan terus menerus sel-sel meristem ujung tanaman. Menurut Djasmara dan Simanungkalit (1998) pembelahan sel yang menambah tinggi tanaman merupakan pengaruh tersedianya hara-hara dari kompos maupun tanah. Kompos akan menjamin ketersediaan unsur hara tanah karena adanya perbaikan struktur tanah, seperti peningkatan daya serap air, sehingga tanaman mudah menyerap unsur hara yang terdapat dalam larutan tanah, pembentukan agregat tanah yang stabil dan peningkatan porositas tanah (Soepardi, 1983). Hal tersebut dapat merangsang pertumbuhan akar lebih banyak karena banyaknya ruang pori dalam tanah sehingga tanah menjadi gembur dan tercipta lingkungan perakaran yang lebih baik. Baiknya perkembangan bagian tanaman yang ada di dalam tanah seperti perakaran merupakan cerminan bagi pertumbuhan dan perkembangan organ-organ tanaman di atas tanah. Pertumbuhan batang yang vertikal akan lebih tinggi, bersinergi dengan perkembangan sel penyokong pada batang yang banyak dibantu dengan tersedianya unsur hara yang proporsional. Dengan demikian, tanaman akan semakin cepat tumbuh ke arah memanjang (tinggi). 2.
Jumlah Daun Daun merupakan organ tanaman tempat dimana fotosintesis terjadi yang
menghasilkan
karbohidrat
sederhana
yang
selanjutnya
digunakan
untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, walaupun fotosintesis dapat berlangsung pada bagian lain dari tanaman. Pengamatan daun, selain untuk
54 indikator pertumbuhan juga dapat digunakan sebagai data penunjang untuk menjelaskan proses pertumbuhan yang terjadi. Tabel 9 menunjukkan bahwa pemberian kompos juga berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Pengaruh nyata mulai terlihat pada minggu kedua baik pada tanaman sawi maupun kangkung.
Pada akhir pengamatan semua
perlakuan berbeda nyata dengan kontrol baik pada tanaman sawi maupun kangkung. Tabel 9. Pengaruh Pemberian Kompos terhadap Jumlah Daun Sawi dan Kangkung Jumlah Daun Perlakuan
Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4 ………………………..(helai/tanaman)…………………………….
Sawi Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN
0.09b 0.42a 0.38a 0.11b 0.02b
2.27ba 2.62a 2.58a 2.60a 2.16b
2.69c 4.13ba 4.11ba 4.22a 3.62b
3.80c 5.60ba 5.13ba 5.80a 4.91b
0.51b 0.82ba 0.84a 0.71ba 0.56ba
4.69b 5.76a 5.78a 5.60a 4.88a
7.67c 8.71a 8.62a 8.73a 8.11b
10.36c 11.82a 11.60ba 11.98a 11.24b
Kangkung Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN
Keterangan : Angka dalam kolom sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan 5%
Jumlah daun suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan tempat tumbuh. Apabila varietas yang ditanam sama, maka faktor yang lebih dominan dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah faktor lingkungan. Karena itulah jumlah daun dapat mencerminkan pengaruh pupuk yang diberikan.
Pupuk organik mempunyai kemampuan untuk mengubah
berbagai faktor dalam tanah sehingga menjadi faktor yang menjamin kesuburan tanah. Makin besar porsi pupuk organik, semakin banyak jumlah daun. Hal ini disebabkan karena makin banyak pupuk organik makin baik struktur fisik maupun kimia tempat tumbuh tanaman. Daun merupakan salah satu organ pertumbuhan
55 tanaman tetapi bukan titik tumbuh sehingga apabila luas daunnya sudah mencapai optimum, maka hara akan digunakan untuk membentuk daun yang baru sehingga akan menambah jumlah daun. Bagian sawi dan kangkung yang dimanfaatkan adalah daunnya. Oleh karena itu untuk pertumbuhannya, bagian daun tanaman sangat membutuhkan unsur nitrogen dalam jumlah besar dibandingkan unsur-unsur yang lain (Soepardi, 1983). Oleh karena itu nitrogen harus banyak tersedia pada masa pertumbuhan vegetatif tanaman. 3.
Luas Daun dan Indeks Luas Daun Indeks luas daun merupakan perbandingan (ratio) antara luas daun
dengan
luas
tanah
yang
diduduki
tanaman,
yang
keseluruhannya
menggambarkan kemampuan tanaman dalam memproduksi bahan kering (Susylowati, 2005) Tabel 10 menunjukkan bahwa pemberian kompos nyata memberikan pengaruh terhadap luas daun dan indeks luas daun. Luas daun dan indeks luas daun tertinggi untuk sawi dicapai oleh PO-PAN meskipun tidak berbeda nyata dengan PO-SK. Pada kangkung, PO-PAN mencapai luas daun dan indeks luas daun tertinggi dan berbeda nyata dengan semua perlakuan. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan ILD karena bahan organik juga dapat meningkatkan konsentrasi hara dalam tanah, terutama N, P, dan K, serta unsur lainnya. Pengaruh utama pemberian N pada tanaman adalah meningkatkan ukuran dan jumlah daun dan dapat menunda pengguguran daun yang mengakibatkan bertambahnya luas daun yang pada akhirnya meningkatkan hasil.
Secara
keseluruhan pengaruh peningkatan suplai N berupa penambahan yang cepat luas daun total, perkembangan kanopi, dan indeks luas daun yang lebih tinggi. Indeks luas daun merupakan parameter yang menunjukkan potensi tanaman melakukan fotosintesis dan juga merupakan potensi produktif tanaman di lapangan. Indeks luas daun yang tinggi akan menguntungkan jika hasil yang diinginkan adalah biomassa, tetapi bagi tanaman yang dihasilkan berupa biji atau umbi, hal itu tidak menguntungkan karena tidak tersedianya fotosintat yang berlebihan untuk menghasilkan biji dan umbi.
56
Tabel 10. Pengaruh Pemberian Kompos terhadap Luas Daun dan Indeks Luas Daun Perlakuan
Luas Daun ……….(cm2)……..
Indeks Luas daun
Sawi Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN
110.43c 408.10a 279.66b 410.07a 270.95b
1.53c 5.67a 3.88b 5.69a 3.76b
Kangkung Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN
48.01c 135.40b 113.50b 166.54a 122.33b
0.80c 2.26b 1.89b 2.78a 2.04b
Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncan
Indeks luas daun sawi dalam penelitian ini berkisar antara 1 – 5, sedangkan pada kangkung berkisar antara 1 – 2 kecuali pada kontrol. Sawi dan kangkung adalah tanaman yang dimanfaatkan bagian tajuknya terutama daun dan batang jadi dibutuhkan ILD yang besar. Indeks luas daun sebesar 3 sampai 5 diperlukan untuk produksi bobot kering maksimum tanaman yang dibudidayakan. Indeks luas daun yang tinggi juga diperlukan jika tujuannya adalah biomassa total, bukan hasil panen ekonomis, misalnya untuk tanaman budidaya hijauan. 4.
Bobot Segar Tajuk dan Akar Bobot tanaman dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan tanaman.
Bobot segar total tanaman merupakan produk kumulatif pertumbuhan vegetatif jumlah batang, panjang batang, diameter batang, dan daun. Tabel
11
menunjukkan
bahwa pengaruh kompos sangat nyata
meningkatkan bobot segar sawi maupun kangkung. Penggunaan kompos yang dikombinasikan dengan pupuk urea menghasilkan bobot segar tanaman yang paling tinggi yaitu pada sawi sebesar 39.30 g, namun bobot tersebut tidak berbeda nyata dengan PO-RK.
Pada kangkung PO-PAN juga menghasilkan
57 bobot segar paling tinggi sebesar 11.29 g namun tidak berbeda nyata dengan PORK dan PAN. Tabel 11. Pengaruh Pemberian Kompos terhadap Bobot Segar Tanaman, Bobot Tajuk, Bobot Akar dan Rasio Bobot akar Tajuk
Perlakuan
Bobot Segar Bobot Segar Bobot Segar Tanaman Tajuk Akar ……………..…..(g/tanaman)…………………..
Rasio Bobot Tajuk Akar
Sawi Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN
8.38d 30.79b 32.38ba 39.30a 22.45c
8.02d 29.64b 31.41ba 38.36a 21.76c
0.35c 1.15a 0.97a 0.94ba 0.68b
20.5c 26.54bc 33.59ba 44.18a 32.08b
Kangkung Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN
3.89c 10.59a 8.02b 11.29a 10.25a
2.95c 8.54a 6.31b 9.33a 8.05a
0.94c 2.05ba 1.71b 1.95ba 2.19a
3.15c 4.32a 3.79b 4.63a 3.82b
Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncan
Jika dibandingkan dengan kontrol, peningkatan bobot segar PO-PAN mencapai 469% (sawi) dan 290% (kangkung). Dapat dijelaskan bahwa ukuran tanaman yang lebih tinggi, jumlah daun yang lebih banyak, ukuran daun yang lebih lebar akan memberikan hasil fotosintat yang lebih besar sehingga menghasilkan akumulasi biomassa tinggi berupa bobot segar tanaman (Nurhastuti, 1997) Bagian yang dikonsumsi dari sawi dan kangkung adalah bagian tajuknya sehingga kedua tanaman ini memerlukan nitrogen yang cukup untuk membentuk tajuk tanaman. Pengaruh nitrogen yang cukup juga dapat dilihat dari sistem akar yang kecil, sehingga rasio tajuk akar akan semakin tinggi. Rasio tajuk akar sawi paling tingi di capai PO-PAN namun tidak beda nyata dengan PO-RK. Rasio tajuk akar tertinggi kangkung juga dicapai PO-PAN namun tidak beda nyata dengan PO-SK. 4.3.3 Serapan Hara Tanaman Tabel 12 menunjukkan bahwa penambahan bahan organik cenderung menigkatkankan serapan haranya. Terlihat serapan hara N, P dan K yang diberi bahan organik lebih tinggi daripada kontrol atau hanya diberi pupuk an-organik.
58
Tabel 12. Serapan Hara Tanaman Sawi dan kangkung
Perlakuan Sawi Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN Kangkung Kontrol PO-SK PO-RK PO-PAN PAN
Bobot Kering Tanaman (g)
Kandungan Hara Tanaman N P K …………..(%)………….
Serapan Hara Tanaman N P K ……….(mg/tan)……..
1.55 3.7 3.83 4.2 3.03
1.96 1.73 1.82 1.85 1.56
0.91 1.51 1.11 1.00 0.99
0.94 1.44 1.52 1.25 0.82
3.04 6.40 6.97 7.77 4.73
1.41 5.59 4.25 4.21 2.99
1.46 5.33 5.82 5.25 2.48
0.36 0.94 0.74 0.96 0.87
1.17 1.28 1.2 1.51 1.22
1.36 1.29 1.33 1.06 1.21
1.24 1.39 1.51 1.50 1.66
0.42 1.20 1.12 1.45 1.06
0.49 1.21 0.98 1.02 1.05
0.45 1.31 1.12 1.44 1.44
Mineralisasi nitrogen menjadi nitrogen tersedia dipengaruhi oleh N-Total tanah, lama inkubasi dan suhu tanah. Kompos yang diberikan sudah matang sehingga inkubasi yang dilakukan diduga cukup untuk memicu proses mineralisasi segera terjadi sehingga tanaman dapat segera memanfaatkan hara tersebut. Ismawati (2003) menyatakan bahwa pemberian pupuk organik yang dipadukan dengan pupuk anorganik dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan efisiensi penggunaan pupuk baik pada lahan sawah maupun lahan kering. Beberapa
penelitian
melaporkan
bahwa
terdapat
interaksi
positif
pada
penggunaan pupuk organik dan pupuk anorganik secara terpadu. 4.4 Analisis Usaha Pengomposan dan Usahatani Sayuran 4.4.1 Analisis Usaha Pengomposan Pengomposan sampah pasar kota sebagai salah satu kegiatan ekonomi mempunyai komponen biaya yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Berdasarkan analisis biaya tersebut dapat dihitung perbandingan penerimaan dan biaya (Rasio R/C), biaya persatuan produksi dan pendapatan bersih. Biaya produksi kompos merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk memproduksi kompos yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel (Tabel
59 lampiran 3 – 5). Kedua biaya tersebut dijumlahkan sehingga didapatkan biaya total usaha produksi kompos. Biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tidak berubah sampai pada tingkat produksi tertentu. Rincian biaya tetap untuk semua perlakuan pengomposan adalah sama. Komponen biaya tetap dalah usaha pengomposan ini meliputi biaya pembuatan bambu aerasi, biaya pembelian termometer, biaya pembelian sekop/garpu dan biaya pembelian gerobak dorong.
Total biaya tetap untuk
memproduksi kompos adalah sebesar Rp. 11 042,00.
Alokasi biaya tetap
tertinggi adalah untuk pembuatan bambu aerasi yaitu sebesar Rp. 6 667,00. Hal ini dikarenakan bambu mempunyai umur ekonomis yang relatif pendek. Biaya variabel pada usaha pengomposan meliputi biaya tenaga kerja untuk persiapan, pembalikan, pemeliharaan, panen dan pengeringan, biaya penyaringan dan biaya pembuatan inokulan. Tabel 13. Biaya Variabel Produksi Kompos dengan Inokulan Berbeda No.
Komponen
Stardec
Kontrol
IRK
IRS
IKA
IMIX
1.
Persiapan
26 667
26 667
26 667
26 667
26 667
26 667
2.
Pembalikan
20 000
20 000
20 000
20 000
20 000
20 000
3.
Pemeliharaan
33 334
33 334
33 334
33 334
33 334
33 334
4.
Panen pengeringan
dan
6 667
6 667
6 667
6 667
6 667
6 667
5.
penyaringan pengemasan
dan
6 667
6 667
6 667
6 667
6 667
6 667
6.
Inokulan
52 500
0
10 000
10 000
10 000
10 000
Jumlah
145 834
104 376
103 334
103 334
103 334
103 334
Tabel 13 menunjukkan bahwa biaya variabel masing-masing berbeda, sesuai dengan inokulan yang digunakan. Alokasi biaya variabel terbesar untuk stardec adalah untuk pembelian bahan inokulan yaitu sebesar Rp. 52 500,00 (36% dari keseluruhan biaya variabel).
Kontrol membutuhkan biaya variabel
paling keil karena tidak ada alokasi biaya untuk pembelian inokulan. IRK, IRS, IKA dan IMIX mempunyai biaya variabel yang sama yaitu sebesar Rp. 103 334,00 dan alokasi biaya terbesar adaah untuk biaya pemeliharaan sebesar Rp. 33 334,00 (32% dari keseluruhan biaya variabel).
60 Harga pokok produksi yang dikeluarkan untuk memproduksi kompos merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan mulai dari pengadaan bahan baku sampai pendistribusian produk. Harga produksi tiap produk diperoleh dengan membagi total biaya yang dikeluarkan dengan total produksi.
Tabel 14. Harga Pokok Produksi Kompos dengan Inokulan Berbeda Uraian
Stardec
Biaya tetap (Rp) Biaya variabel (Rp)
IRK
IRS
IKA
IMIX
11 042
11 042
11 042
11 042
11 042
11 042
143 334
93 334
103 334
103 334
103 334
103 334
0
0
0
0
0
0
Biaya transportasi (Rp) Biaya total (Rp)
Kontrol
154 376
104 376
114 376
114 376
114 376
114 376
Produksi total (Kg)
118
122
132
120
127
117
Harga jual kompos (Rp)
500
500
500
500
500
500
59 500
61 000
66 000
60 000
63 500
58 500
0.38
0.58
0.58
0.52
0.56
0.51
1 308
856
867
953
901
978
Pendapatan total (Rp) R/C ratio Harga (Rp)
Pokok
Produksi
Tabel 14 menunjukkan bahwa harga pokok produksi masing-masing inokulan berbeda.
Harga pokok produksi terbesar dicapai oleh stardec yaitu
sebesar Rp. 1 308,00.
Hal tersebut diduga karena besarnya biaya variabel
terutama untuk pembelian inokulan. Harga pokok produksi terkecil dicapai oleh kontrol.
Hal ini dapat diduga karena kontrol tidak memerlukan biaya untuk
pembelian inokulan.
Harga produksi untuk inokulan lain berkisar antara Rp.
867,00 – Rp. 978,00 dan yang membedakan besarnya harga pokok produksi tersebut adalah banyaknya kompos yang dihasilkan. Tabel 14 juga menunjukkan bahwa semua R/C ratio masih dibawah 1. Selain itu dapat dilihat bahwa haega pokok produki pembuata kompos masih jauh lebih besar ibandingkan dengan harga jual, sehingga dapat diisimpulkan bahwa produksi kompos masih belum menguntungkan. Salah satu keuntungan kompos adalah dapat memperbaiki kondisi tanah dan dibutuhkan oleh tanaman. Hal ini berarti kompos memiliki nilai kompetitif dan ekonomis, sehingga pasar kompos sebenarnya terbuka luas atau dengan kata lain kompos dapat dijual (Wahyono et al., 2003).
Dengan demikian proses
pembuatan kompos dapat dijadikan suatu usaha komersial yang menguntungkan Namun saat ini usaha pemasaran kompos masih relatif lebih sulit. Hal ini disebabkan karena para petani sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia yang
61 pengaruhnya lebih cepat terlihat pada tanaman. Sementara itu pengaruh kompos tidak langsung terlihat, pengaruhnya sedikit demi sedikit terlihat setelah beberapa kali musim tanam. Oleh karena itu perlu dilakukan pengenalan dan percontohan pemanfaatan kompos untuk berbagai komoditas kepada masyarakat dan disebarluaskan melalui berbagai media secara intensif.
Diharapkan selain
mengenal, masyarakat juga akan melihat langsung demplot percontohannya dan akhirnya timbul kesadaran masyarakat untuk beralih menggunakan kompos. Pendapatan yang diperoleh dalam pengomposan sebenarnya bukan hanya dari kompos yang dihasilkan, tetapi juga dari bahan-bahan hasil pemilahan pada awal pengomposan. Bahan-bahan tersebut dapat dijual atau dimanfaatkan kembali sehingga akan diperoleh pendapatan lain. Usaha pengomposan dapat dilakukan dalam skala individual, skala kawasan dan skala kota. Untuk skala individual tentunya akan sangat dibatasi oleh bahan baku yang akan dikomposkan sehingga untuk usaha komersial kurang cocok. Usaha pengomposan skala kawasan dan skala kota sangat cocok untuk dijadikan usaha komersial. Keuntungan lain jika usaha pengomposan dilakukan secara kontinyu dapat mengurangi jumlah sampah yang harus dikelola di suatu kawasan pemukiman dan perkotaan sehingga dapat mengurangi biaya pengelolaan sampah. Selain itu tempat pembuangan akhir sampah dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama karena sampah yang dibuang berkurang. Pembuatan kompos dapat dilakukan di TPS-TPS sehingga tidak perlu mengangkut ke TPA, dengan demikian akan mengurangi biaya trasportasi sampah. 4.4.2 Analisis Usahatani Sayuran Seperti halnya usaha pengomposan, budidaya sayuran juga merupakan suatu kegiatan ekonomi yang mempunyai komponen biaya tetap dan biaya variabel sehingga dapat diketahui pembiayaan, penerimaan dan keuntungannya. Biaya produksi sayuran merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk memproduksi sayuran yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel (Tabel lampiran 9 – 18). Kedua biaya tersebut di jumlahkan sehingga didapatkan biaya total usahatani sayuran. Biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tidak berubah sampai pada tingkat produksi tertentu. Rincian biaya tetap untuk produksi sayuran dalam satu
62 kali tanam pada luasan 1000 m2 dalam penelitian ini adalah sebesar Rp. 268 750,00. Alokasi biaya tetap tertinggi adalah untuk biaya sewa lahan yaitu sebesar Rp. 250 000,00 (93% dari keseluruhan biaya tetap). Biaya variabel pada usahatani sayuran meliputi biaya penyiapan lahan, biaya pembelian benih, pembelian kompos, biaya penanaman, biaya pemupukan, biaya pemeliharaan dan biaya panen da pascapanen. Tabel 15. Biaya variabel Produksi Sayuran dengan Kompos yang Berbeda (1 musim tanam/1000 m2) No
Komponen
Kontrol
PO-SK
PO-RK
PO-PAN
PAN
Sawi 1.
Benih
22 400
22 400
22 400
22 400
2.
Kompos
0
1 250 000
1 250 000
625 000
0
3.
Pupuk Urea
0
0
0
16 500
16 500
4.
Penyiapan lahan
80 000
80 000
80 000
80 000
80 000
5.
Penanaman
60 000
60 000
60 000
60 000
60 000
6.
Pemupukan
7.
Pemeliharaan
8.
Panen dan pascapanen Jumlah
22 400
60 000
60 000
60 000
60 000
60 000
250 000
250 000
250 000
250 000
250 000
60 000
60 000
60 000
60 000
60 000
472 400
1 782 400
1 782 400
1 173 900
548 900
176 000
176 000
176 000
176 000
176 000
Kangkung 1.
Benih
2.
Kompos
0
1 250 000
1 250 000
625 000
0
3.
Pupuk Urea
0
0
0
16 500
16 500
4.
Penyiapan lahan
80 000
80 000
80 000
80 000
80 000
5.
Penanaman
60 000
60 000
60 000
60 000
60 000
6.
Pemupukan
60 000
60 000
60 000
60 000
60 000
7.
Pemeliharaan
250 000
250 000
250 000
250 000
250 000
8.
Panen dan pascapanen Jumlah
60 000
60 000
60 000
60 000
60 000
626 000
1 936 000
1 936 000
1 327 500
702 500
Tabel 15 menunjukkan bahwa biaya variabel masing-masing berbeda bergantung pada menggunakan kompos atau tidak.
Biaya variabel terbesar
dicapai oleh kompos RK dan SK yaitu sebesar Rp. 1 936 000,00, dengan alokasi biaya terbesar pada pembelian kompos yaitu sebesar Rp. 1 250 000,00 atau sekitar (65% dari keseluruhan biaya variabel).
Kontrol membutuhkan biaya
variabel paling kecil karena tidak ada alokasi biaya untuk pembelian kompos. Harga pokok produksi yang dikeluarkan untuk memproduksi kompos merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan mulai dari penyiapan lahan sampai
63 distribusi sayuran. Harga produksi sayuran per kg diperoleh dengan membagi total biaya yang dikeluarkan dengan total produksi.
Tabel 16. Harga Pokok Produksi Sayuran dengan Kompos yang berbeda (1 musim tanam/1000 m 2) No
Uraian
Kontrol
PO-SK
PO-RK
PO-PAN
PAN
Sawi 1.
Biaya tetap (Rp)
269 750
269 750
269 750
269 750
269 750
2.
Biaya variabel (Rp)
472 400
1 782 400
1 782 400
1 173 900
548 900
3.
Biaya transportasi (Rp)
0
0
0
0
0
4.
Biaya total (Rp)
741 150
2 051 150
2 051 150
1 442 650
817 650
5.
Jumlah Produksi sayuran (Kg)
90
900
1 000
1 550
670
6.
Harga jual sayuran (Rp)
7.
Pendapatan total (Rp)
8.
R/C ratio
9.
Harga pokok produksi (Rp)
1 000
1 000
1 000
1 000
1 000
90 000
900 000
1 000 000
1 550 000
670 000
0.12
0.44
0.49
1.07
0.82
8 235
2 279
2 051
931
1 120
Kangkung 1.
Biaya tetap (Rp)
268 750
268 750
268 750
268 750
268 750
2.
Biaya variabel (Rp)
626 000
1 936 000
1 936 000
1 327 500
702 500
3.
Biaya transportasi (Rp)
0
0
0
0
0
4.
Biaya total (Rp)
894 750
2 204 750
2 204 750
1 596 250
971 250
5.
Jumlah Produksi sayuran (Kg)
1 030
1 740
1 950
1 910
1 550
6.
Harga jual sayuran (Rp)
7.
Pendapatan total (Rp)
8. 9.
500
1000
1000
1000
1000
515 000
1 740 000
1 950 000
1 910 000
1 550 000
R/C ratio
0.58
0.79
0.89
1.20
1.60
Harga pokok produksi (Rp)
869
1 267
1 130
836
627
Tabel 16 menunjukkan bahwa harga pokok produksi sayuran bergantung pada jumlah produksinya. Pada sawi, harga pokok produksi paling tinggi dicapai oleh tanpa pupuk yaitu Rp. 8 235,00. produksi
sementara
hasil
Hal ini diduga karena tingginya biaya
produksinya
sangat
rendah.
POPAN
menghasilkan harga pokok produksi paling rendah yaitu Rp. 931,00.
sawi
Hal ini
sangat dimungkinkan karena hasil produksi POPAN paling tinggi sehingga mampu menutupi biaya produksinya. Hal ini juga didukung dengan R/C ratio sebesar 1.07 yang berarti kombinasi kompos dengan pupuk urea (POPAN) tersebut telah memberikan keuntungan.
64 Harga pokok produksi terbesar pada kangkung dicapai oleh kompos RK yaitu sebesar Rp. 1 267,00. Hal tersebut diduga karena besarnya biaya variabel terutama untuk pembelian kompos sementara hasil produksinya belum optimal. Harga pokok produksi terkecil dicapai oleh PAN yaitu sebesar Rp. 627,00. Hal ini diduga karena PAN tidak memerlukan biaya untuk pembelian kompos sehingga meskipun produksinya lebih rendah dari kompos RK, SK dan POPAN tetapi pendapatan PAN mampu menutupi biaya produksinya, bahkan telah memberikan keuntungan. Hal ini dibuktikan dengan R/C ratio sebesar 1.60. Penggunaan
kompos
dalam
jangka
panjang
akan
memberikan
keuntungan secara ekonomi (hasil pemasaran) dari perbaikan lingkungan. Kompos adalah media yang dapat memperbaiki sifat dan struktur tanah, sehingga dampak positif terhadap produksi sayuran akan semakin terlihat setelah dilakukan beberapa kali masa tanam. Pupuk urea dapat dikurangi sampai 0 kg seiring dengan semakin diperbaikinya sifat fisik, kimia dan biologi tanah oleh kompos. Jumlah kompos yang diberikan juga dapat dikurangi, sehingga hal ini tentunya akan
sangat mengurangi
ketergantungan
modal
bagi
petani
terutama
ketergantungan pupuk kimia dalam jangka panjang. Kombinasi
penggunaan
pupuk
kimia
dan
pupuk
organik
harus
dipertahankan sebelum pertanian organik murni dijalankan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan pupuk an-organik oleh tanaman. Bahan organik yang ditambahkan membutuhkan waktu untuk proses mineralisasi nitrogen dan reaksi unsur lain, sehingga sambil menunggu terjadinya mineralisasi perlu didukung dengan masukan bahan dari pupuk yang mudah tersedia bagi tanaman. Pada pertanian organik padi, penggunaan pupuk urea pada awal sistem pertanian tersebut digunakan sampai masa tanam ke-empat. Dosis pupuk urea dikurangi 15% setiap musim tanamnya, sehingga pada musim tanam ke-lima pertanian padi sudah menggunakan kompos murni. Keuntungan yang diperoleh petani dalam menerapkan metode tersebut tidak berkurang (Pengalaman Petani Organik). Pupuk organik memasok berbagai macam hara terutama berupa senyawa organik berkonsentrasi rendah yang tidak mudah larut. Karena memasok berbagai macam hara dengan konsentrasi rendah dan tidak mudah larut, maka pupuk organik tidak akan menimbulkan ketimpangan hara dalam tanah, bahkan
65 dapat memperbaiki neraca hara. Pasokan bahan organik dapat menyehatkan kehidupan flora dan fauna tanah alami, yang pada gilirannya dapat meningkatkan dan memelihara produktivitas tanah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Mikroba selulolitik nyata mempercepat proses pengomposan sampah pasar menjadi 34 hari. 2. Kompos sampah pasar nyata meningkatkan pertumbuhan dan produksi sawi dan kangkung. Kombinasi kompos dengan pupuk anorganik (urea) nyata meningkatkan pertumbuhan dan produksi sawi dan kangkung dibandingkan dengan kontrol dan pemupukan urea saja. Peningkatan bobot segar POPAN mencapai 469% (sawi) dan 290% (kangkung dibandingkan dengan kontrol). Dibandingkan dengan menggunakan urea saja, peningkatan bobot segar PO-PAN mencapai 175% untuk sawi dan 110% untuk kangkung. 3. Analisis finansial usaha pengomposan belum memberikan keuntungan tetapi berpotensi untuk dijadikan usaha komersial. 4. Usahatani sawi yang menggunakan kombinasi kompos dan pupuk urea telah memberikan keuntungan dengan R/C ratio sebesar 1.07 atau sebesar Rp. 107 350,-. Pada usahatani kangkung, penggunaan kompos dikombinasikan dengan pupuk urea dan penggunaan pupuk urea saja juga telah memberikan keuntungan yaitu sebesar Rp. 313 750,- (R/C ratio 1.20), dan Rp. 578 750,(R/C ratio 1.60) 5.2 Saran 1. Secara ekonomi pengomposan belum mampu memberikan keuntungan tetapi mampu mengatasi masalah sampah dan ketergantungan petani terhadap penggunaan pupuk kimia sehingga pemerintah perlu memberikan subsidi dan dukungan terhadap usaha tersebut. 2. Pemerintah perlu lebih menggalakkan pemanfaatan kompos untuk usahatani sayuran karena dapat memberikan keuntungan dari segi ekonomi dan lingkungan. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat potensi usaha terpadu (integrated farming) dari usaha pengomposan dan budidaya sayuran.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Willey and Sons. Inc. New York Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pusat Antar Universitas
Basuki, I. Anas, R.S. Hadioetomo, T. Purwadaria. 1995. Isolasi dan seleksi kapang termotoleran penghasil selulase untuk pengomposan tandan kelapa sawit. J. Mikrobiol. Indon. 3(1). Czerkawski, J. W. 1986. An Introduction To Rumen Studies. Pergamon Press. Dalzell, H.W.. A.J. Riddlestone, K.R. Gray and K. Thurairajan. 1987. Soil management: compost production and use in tropical and subtropical enviroments. FAO. Rome. Soil Bull 56 :175 – 177 Djasmara, S dan R.D.M. Simanungkalit. 1998. Respon Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau terhadap Inokulasi Jamur Mikoriza Arbuskular pada Berbagai Dosis Pupuk P di Tanah Inceptisol dalam Prosiding Temu Ilmiah Bioteknologi Pertanian. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Bogor. Enari, TM. 1983. Microbial Cellulose. Dalam W.M. Fogarty (ed.) Microbial Enzymes dan Biotechnology. London. EPA. 1989. The Decission Maker Guide to Solid Waste Management. EPA Publ. Co. USA Gaur, A.C. 1981. Improving Soil fertility Through Organic Recycling: A Manual of Rural Composting. FAO/UNDP. Regional Project RAS/75/004. Project Field. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu. Jakarta Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek; Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta. Handojo, O. 1993. Daur Ulang Sampah. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan dan Teknologi Limbah. Proyek Pengembangan Studi Lingkungan. Bandung. Harada, Y.K., Osada, T.H. and Kashino, M. 1993. Quality of compost from animal waste. JAQR 26(4). P. 238-246 Ismawati, E. 2003. Pupuk Organik. Penebar Swadaya. Jakarta Jumiono, A. 2001. Prospek Pendirian Industri Vermikompos Berbahan Baku Sampah Kota (Studi Kasus di Kota Bogor). Tesis. Program Studi
69 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Laksmi, V.A., Satyanarayana Rao, M. Vijayalaksmi, M. Laksuhmi Kumari, K.V.B.R. Tilak and N.S. Subba rao. 1977. Establishment and Survival of Spirrillum lipoforum. Dalam Iswandi Anas. 1994. Bioteknologi Tanah. Jurusan tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Leksana, Y. K. 2000. Pemanfaatan Limbah Sagu untuk Budidaya Tanaman Sayuran. Tesis. Ilmu Pengelolaan Sumberdaya alam dan Lingkungan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Makarim, AK. 2005. Pemupukan Berimbang pada Tanaman Pangan: Khususnya Padi Sawah. Makalah Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor Mala, Y. 1994. Seleksi dan Penggunaan Galur Trichoderma untuk Meningkatkan Laju Pengomposan Jerami Padi. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Mathur, S. 1980. Different methods of composting improving soil fertility trough organic recycling compost technology. FAO/UNDP Regional Project. RAS/75/004. Project Field Doc. (13) : 19 – 23 Mulyadi. 1991. Akuntansi Biaya. STIE YKPN. Yogyakarta Murtadho, D.J. dan E.G. Said. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. Penerbit MSP. Jakarta Nurhastuti, E.E. 1997. Inokulasi Kapang Trichoderma harzianum RIFAI Aggr. Pada Proses Pengomposan Bahan Organik serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan hasil Sawi (Brassica chinensis L.). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Obeng, L.A. and F.W. Wright. 1987. The Co-Composting domestic Solid and Human Wastes. World Bank. Washington. Polprasret, C. 1989. Organic Waste Recycling. Enviromental Engineering Division. Asin Institut of Technologi. Bangkok, Thailand. John Wiley & Sons. Rosalina. 2003. Dampak Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Sukajaya terhadap Kondisi Kesehatan Masyarakat serta Aspek Sosial Ekonomi (Studi Kasus TPA Sampah Sukajaya Kecamatan Sukarami, Palembang). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Rukmana, R. 1994. Bertanam Kangkung. Penerbit Kanisius. Jakarta Siagian, P.H. dan S. Simamora. 1994. Permasalahan penanganan limbah dari usaha peternakan dan rumah potong hewan (RPH). Media Peternakan. 18 (3) : 78 – 89.
70 Siregar, Z. 2000. Analisis Sistem Produksi, Biaya dan Penentuan Harga Jual pada Usaha Kecil Kerajinan Tangan Rumput Walingi, Kecamatan Dramaga, Bogor Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Faperta. IPB Subba Rao, N.S. 1977. Biofertilizers in Agriculture. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi. Supriyanto. 1998. Teknologi kompos menggunakan mikrobia urai. Dalam Buletin Ekoinfo. 2(1): 34-35 Soetanto, H. 1985. Studies on The Rumen Anaerobic Fungi dan Protozoa on Fiber Digestion. Thesis. The Dept. of Biochem, Microbilogy and Nutrition. The University of New England. Armidale. Sutrisno, C.I., Nurwantoro, B. Sulistyo, S. Widyawati dan Wiloeto. 1994. Potensi dan Peluang Penggunaan Isi Rumen (Bolus) sebagai Pakan ternak di Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang. Susylowati. 2005. Pengaruh Pupuk Kalium terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Kualitas Hasil Jagung Manis (Zea saccharata stury) pada Stadia Jagung Semi (Baby Corn) dan Jagung Muda. Diatesis. Fakultas Pertanian. Universitas Mulawarman. Tun Tedja, I. 1991. Produksi Enzim Ekstroselular (Selulase dan Xilanase) dari neurospora sitophila pada Substrat Limbah Padat Kelapa Sawit. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. IPB (Tidak dipublikasikan). Utami, SNH dan S. Handayani. 2003. Sifat kimia entisol pada sistem pertanian organik. Jurnal Ilmu Pertanian 10(2): 63-69. Wahyono, S., F. Sahwan, dan F. Suryanto. 2003. Mengolah Sampah Menjadi Kompos (Sistem Open Windrow Bergulir Skala Kawasan). Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan. BPPT. Jakarta Yamaguchi, M. 1983. World Vegetables. Avi Publishing Company. Connecticut.
71 Lampiran 1. Komposisi Media Isolasi 1. Media Nutrien Agar (NA) Komposisi : Lab Lemco Powder
1.0 g
Yeast Ekstrak
2.0 g
Pepton
5.0 g
Sodium klorida Agar
5.0 g 15 g
Nutrien agar sebanyak 28 g di larutkan dalam 1 liter aquades. Setelah melarut kemudian di sterilkan dalam autoclave selama 15 menit dengan suhu 121 0 C dan pH media 7.2.
2. Tripticase Soy Broth (TSB) Komposisi : Bacto pepton
17
g
Bacto soytone
3
g
Bacto dextrose
2.5 g
Sodium klorida
5
Dipotassium phosphate
2.5 g
g
Bahan dilarutkan dalam 1 liter aquades sebanyak 30 g dengan pH 7.3. Media di sterilkan dalam autoclave selama 15 menit dengan suhu 121 0 C.
3. Potatoes Dextrose Agar (PDA) Komposisi : Potatoes
200 g
D-Glukosa
20 g
Agar
15 g Bahan dihomogenkan dengan aquades 1 liter kemudian di autoclave
selama 15 menit dengan suhu 1210 C.
72
4. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) Komposisi : KH2PO 4
1.0 g
K2 SO 4.7H2 O
0.5 g
NaCl
0.5 g
FeSO 4
0.01 g
MnSO 4
0.01 g
NH4NO 3
10 g
Larutan tepung selulosa
10
Agar
16.0 g
Aquades
0.8
g/200 ml
l
Media dihomogenkan dengan pH 7.6 kemudian di autoclave selama 15 menit dengan suhu 121 0 C.
73
Table Lampiran 2. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. No
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Kadar Air Temperatus warna Bau Ukuran Partikel Kemampuan Ikat Air pH Bahan Asing Bahan Organik Nitrogen (N) Karbon © Phospor (P) C/N Ratio Kalium (K) Arsen (Ar) Kadmium (Cd) Kobal (Co) Kromium (Cr) Tembaga (Cu) Merkuri (Hg) Nikel (Ni) Timbal (Pb) Selenium (Se) Seng (Zn) Kalsium (Ca) Magnesium (Mg) Besi (Fe) Aluminium (Al) Mangan (Mn) Fecal Coli Salmonella Sp.
Satuan
Minimum
% 0C
mm %
Maksimum 50
Suhu Air Tanah Kehitaman Berbau Tanah 0.55
25 58 7.49 1.5 58
6.8 % % % % % % ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm % % % % % MPN/g MPN/4 g
27 0.4 9.8 0.1 10 0.2 * * * * * * * * * * * * * * *
32 20 13 3 34 210 100 0.8 62 150 2 500 25.5 0.6 2 2.2 0.1 1000 3
Sumber : Standar Nasional Indonesia SNI 19-7030-2004. ICS 13.030.40. Badan Standardisasi Nasional.
Keterangan : * = Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
74
Tabel Lampiran 3. Biaya Usaha Pembuatan Kompos dengan Inokulan Stardec Uraian Produksi Biaya Tetap Sekop/garpu Termometer Bambu Aerasi Gerobak dorong Total Biaya Tetap Biaya Variabel Persiapan Pembalikan Pemeliharaan Panen dan pengeringan Penyaringan Bahan inokulan Total Biaya Variabel
Satuan 118 Kg
Harga per satuan (Rp) 500
Nilai (Rp) 59 000
2 buah 1 buah 1 buah 1 buah
15 000 200 000 120 000 15 000
625 2 083 6 667 1 667 11 042
8 HOK 6 HOK 5 Mggu 2 HOK 2 HOK 5.25 Kg
20 000 20 000 50 000 20 000 20 000 10 000
26 667 20 000 33 333 6 667 6 667 52 500 145 834
Biaya Total R/C Ratio
156 876 0.38 1329
Biaya Per satuan produksi
Tabel Lampiran 4. Biaya Usaha Pembuatan Kompos Tanpa Inokulan Uraian Produksi Biaya Tetap Sekop/garpu Termometer Bambu Aerasi Gerobak dorong Total Biaya Tetap Biaya Variabel Persiapan Pembalikan Pemeliharaan Panen dan pengeringan Penyaringan Total Biaya Variabel Biaya Total R/C Ratio Biaya Per satuan Produksi
Satuan 122 Kg
Harga per s atuan (Rp) 500
Nilai (Rp) 61 000
2 buah 1 buah 1 buah 1 buah
15 000 200 000 120 000 150 000
625 2 083 6 667 1 667 11 042
8 HOK 6 HOK
20 000 20 000
26 667 20 000
5 Mggu 2 HOK 2 HOK
50 000 20 000 20 000
33 333 6 667 6 667 93 334 104 376 0.58 856
75
Tabel lampiran 5. Biaya Usaha Pembuatan Kompos Inokulan MIX Uraian Produksi Biaya Tetap Sekop/garpu Termometer Bam bu Aerasi Gerobak dorong Total Biaya Tetap Biaya Variabel Persiapan Pembalikan Pemeliharaan Panen dan pengeringan Penyaringan Carrier Total Biaya Variabel
Satuan 117 Kg
Harga per satuan (Rp) 500
Nilai (Rp) 58 500
2 buah 1 buah 1 buah 1 buah
15 000 200 000 120 000 150 000
625 2 083 6 667 1 667 11 042
8 HOK 6 HOK 4 Mggu 2 HOK 2 HOK 5.25 Kg
20 000 20 000 50 000 20 000 20 000 10 000
26 667 20 000 33 333 6 667 6 667 10 000 103 334
Biaya Total R/C Ratio
114 376 0.51 978
Biaya Per satuan Produksi
Tabel lampiran 6. Biaya Usaha Pembuatan Kompos Inokulan RK Uraian Produksi Biaya Tetap Sekop/garpu Termometer Bambu Aerasi Gerobak dorong Total Biaya Tetap Biaya Varia bel Persiapan Pembalikan Pemeliharaan Panen dan pengeringan Penyaringan Carrier Total Biaya Variabel Biaya Total R/C Ratio Biaya Per satuan Produksi
Satuan 132 Kg
Harga per satuan (Rp) 500
Nilai (Rp) 66 000
2 buah 1 buah 1 buah 1 buah
15 000 200 000 120 000 150 000
625 2 083 6 667 1 667 11 042
8 HOK 6 HOK 4 Mggu 2 HOK 2 HOK 5.25 Kg
20 000 20 000 50 000 20 000 20 000 10 000
26 667 20 000 33 333 6 667 6 667 10000 103 334 114 376 0.58 866
76
Tabel lampiran 7. Biaya Usaha Pembuatan Kompos Inokulan RS Uraian Produksi Biaya Tetap Sekop/garpu Termometer Bambu Aerasi Gerobak dorong Total Biaya Tetap Biaya Variabel Persiapan Pembalikan Pemeliharaan Panen dan pengeringan Penyaringan Carrier Total Biaya Variabel
Satuan 120 Kg
Harga per satuan (Rp) 500
Nilai (Rp) 60 000
2 buah 1 buah 1 buah 1 buah
15 000 200 000 120 000 150 000
625 2 083 6 667 1 667 11 042
8 HOK 6 HOK 4 Mggu 2 HOK 2 HOK 5.25 Kg
20 000 20 000 50 000 20 000 20 000 10 000
26 667 20 000 33 333 6 667 6 667 10 000 103 334
Biaya Total R/C Ratio
114 376 0.52 953
Biaya Per satuan Produksi
Tabel lampiran 8. Biaya Usaha Pembuatan Kompos Inokulan KA Uraian Produksi Biaya Tetap Sekop/garpu Termometer Bambu Aerasi Gerobak dorong Total Biaya Tetap Biaya Variabel Persiapan Pembalikan Pemeliharaan Panen dan pengeringan Penyaringan Carrier Total Biaya Variabel Biaya Total R/C Ratio Biaya Per satuan Produksi
Satuan 127 Kg
Harga per satuan (Rp) 500
Nilai (Rp) 63 500
2 buah 1 buah 1 buah 1 buah
15 000 200 000 120 000 150 000
625 2 083 6 667 1 667 11 042
8 HOK 6 HOK 4 Mggu 2 HOK 2 HOK 5.25 Kg
20 000 20 000 50 000 20 000 20 000 10 000
26 667 20 000 33 333 6 667 6 667 10 000 103 334 114 376 0.56 901
77 Tabel Lampiran 9. Usahatani Sawi Tanpa Pupuk (1 musim/ 1000 m2) Uraian Produksi Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Benih Tenaga Kerja Tetap Penyiapan Lahan Biaya Penanaman Panen dan pasca panen Biaya Variabel Total
Satuan 0.09 Kg/m2
2
Harga Per Satuan (RP) 1000
2
Nilai (Rp) 90000
1000 m 4 buah 3 buah
1 000 000/6 bl/1000 m 30 000 10 000
250 000 15 000 3 750 268750
70 g 1.5 bl 4 HOK 3 HOK 3 HOK
8 000/25 g 50 000 20 000 20 000 20 000
22 400 250 000 80 000 60 000 60 000 472 400
Biaya Total R/C
741 150 0.12 824
Biaya per satuan produksi
Tabel Lampiran 10. Usahatani Sawi dengan Kompos SK (1 musim/ 1000 m2) Uraian Produksi Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Benih Kompos Tenaga Kerja Tetap Penyiapan Lahan Biaya Penanaman Biaya Pemupukan Panen dan pasca panen BiayaVariabel Total Biaya Total R/C Biaya per satuan produksi
Satuan 2 1.00 Kg/m
1 000 m 4 buah 3 buah
2
70 g 2 500 Kg 1.5 bl 4 HOK 3 HOK 3 HOK 3 HOK
Harga Per Satuan (RP) 1 000
2
Nilai (Rp) 1 000 000
1 000 000/6 bl/1 000 m 30 000 10 000
250 000 15 000 3 750 268 750
8 000/25 g 500 50 000 20 000 20 000 20 000 20 000
22 400 1 250 000 250 000 80 000 60 000 60 000 60 000 1 782 400 2 051 150 0.49 2051
78
Tabel Lampiran 11. Usahatani Sawi dengan Kompos RK (1 musim/ 1000 m2) Uraian Produksi Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Benih Kompos Tenaga Kerja Tetap Penyiapan Lahan Biaya Penanaman Biaya Pemupukan Panen dan pasca panen BiayaVariabel Total
Satuan 2 0.9 Kg/m
1 000 m 4 buah 3 buah
2
70 g 2 500 Kg 1.5 bl 4 HOK 3 HOK 3 HOK 3 HOK
Harga Per Satuan (RP) Nilai (Rp) 1 000 900 000
2
1 000 000/6 bl/1 000 m 30 000 10 000
250 000 15 000 3 750 268 750
8 000/25 g 500 50 000 20 000 20 000 20 000 20 000
22 400 1 250 000 250 000 80 000 60 000 60 000 60 000 1 782 400
Biaya Total R/C
2 051 150 0.44
Biaya per satuan produksi
2279
Tabel Lampiran 12. Usahatani Sawi dengan Kombinasi Kompos dan Urea (1 musim/ 1000 m2) Uraian Produksi Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Benih Pupuk Urea Kompos Tenaga Kerja Tetap Penyiapan Lahan Biaya Penanaman Biaya Pemupukan Panen dan pasca panen BiayaVariabel Total Biaya Total
Satuan 1.55 Kg/m2
1 000 m 4 buah 3 buah
2
70 g 15 Kg 1 250 Kg 1.5 bl 4 HOK 3 HOK 3 HOK 3 HOK
Harga Per Satuan (RP) 1 000
2
Nilai (Rp) 1 550 000
1 000 000/6 bl/1000 m 30 000 10 000
250 000 15 000 3 750 268 750
8 000/25 g 1 100 500 50 000 20 000 20 000 20 000 20 000
22 400 16 500 625 000 250 000 80 000 60 000 60 000 60 000 1 173 900 1 442 650
79
R/C
1.07
Biaya per satuan produksi
931
Tabel Lampiran 13. Usahatani Sawi dengan Pupuk Urea (1 musim/ha) Uraian Produksi Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Benih Urea Tenaga Kerja Tetap Penyiapan Lahan Biaya Penanaman Biaya Pemupukan Panen dan pasca panen BiayaVariabel Total
Satuan 2 0.67 Kg/m
Harga Per Satuan (RP) 1 000
Nilai (Rp) 6 700 000
2
1 ha 8 buah 8 buah
150 000/350 m 30 000 10 000
714 167 30 000 10 000 754 167
700 g 150 Kg 1.5 bl 32 HOK 24 HOK 24 HOK 24 HOK
8 000/25 g 1100 50 00 0 20 000 20 000 20 000 20 000
224 000 165 000 250 000 640 000 480 000 480 000 480 000 2 719 000
Biaya Total R/C Ratio
3 473 167 1.93 518
Biaya per satuan produksi
Tabel Lampiran 14. Usahatani Kangkung Tanpa Pupuk (1 musim/ha) Uraian Produksi Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Benih Tenaga Kerja Tetap Penyiapan Lahan Biaya Penanaman Panen dan pasca panen Biaya Variabel Total Biaya Total R/C Ratio
Satuan 2 1,03 Kg/m
Harga Per Satuan (RP) 500
2
Nilai (Rp) 5 150 000
1 ha 8 buah 8 buah
150 000/350 m 30 000 10 000
714 167 30 000 10 000 754 167
80 Kg/ha 1.5 bl 32 HOK 24 HOK 24 HOK
22 000/Kg 50 000 20 000 20 000 20 000
1 760 000 250 000 640 000 480 000 480 000 3 610 000 4 364 167 1.18
Biaya per satuan produksi
424
Tabel Lampiran 15. Usahatani Kangkung dengan Kompos SK (1 musim/ha) Uraian Produksi Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Benih Kompos Tenaga Kerja Tetap Penyiapan Lahan Biaya Penanaman Biaya Pemupukan Panen dan pasca panen Biaya Variabel Total
Satuan 1.95 Kg/m2
Harga Per Satuan (RP) 1 000
Nilai (Rp) 19 500 000
2
1 ha 8 buah 8 buah
150 000/350 m 30 000 10 000
714 167 30 000 10 000 754 167
80 Kg 25 ton 1.5 bl 32 HOK 24 HOK 24 HOK 24 HOK
22 000/Kg 500 50 000 20 000 20 000 20 000 20 000
1 760 000 12 500 000 250 000 640 000 480 000 480 000 480 000 16 590 000
Biaya Total R/C Ratio
17 344 167 1.12 889
Biaya per satuan produksi
Tabel Lampiran 16. Usahatani Kangkung dengan Kompos RK (1 musim/ha) Uraian Produksi Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Benih Tenaga Kerja Tetap Kompos Penyiapan Lahan Biaya Penanaman Biaya Pemupukan Panen dan pasca panen BiayaVariabel Total
Satuan 2 1.74 Kg/m
Harga Per Satuan (RP) 1 000
2
Nilai (Rp) 17 400 00 0
1 ha 8 buah 8 buah
150 000/350 m 30 000 10 000
714 167 30 000 10 000 754 167
80 Kg 1.5 bl 25 ton 32 HOK 24 HOK 24 HOK 24 HOK
22 000/Kg 50 000 500 20 000 20 000 20 000 20 000
1 760 000 250 000 12 500 000 640 000 480 000 480 000 480 000 16 590 000
Biaya Total R/C Ratio
17 344 167 1.00 997
Biaya per satuan produksi
Tabel Lampiran 17. Usahatani Kangkung dengan Kombinasi Kompos dan Urea (1 musim/ha) Uraian Produksi
Satuan 1.91 Kg/m2
Harga Per Satuan (RP) 1 000
Nilai (Rp) 19 116 667
Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Tenaga Kerja Tetap Benih Pupuk Urea Kompos
1 ha 8 buah 8 buah
150 000/350 m 30 000 10 000
714 617 30 000 10 000 754 617
1.5 bl 80 Kg 150 Kg 12.5 ton
50 000 22 000/Kg 1 100 500
250 000 1 760 000 165 000 6 250 000
Penyiapan Lahan Biaya Penanaman
32 HOK 24 HOK
20 000 20 000
640 000 480 000
Biaya Pemupukan
24 HOK
20 000
480 000
Panen dan pasca panen BiayaVariabel Total
24 HOK
20 000
480 000 10 505 000
2
Biaya Total R/C Ratio
11 259 617 1.70 590
Biaya per satuan produksi
Tabel Lampiran 18. Usahatani Kangkung dengan Pupuk Urea (1 musim/ha) Uraian Produksi Biaya Tetap Sewa Lahan Cangkul Koret Total Biaya tetap Biaya Variabel Benih Urea Tenaga Kerja Tetap Penyiapan Lahan Biaya Penanaman Biaya Pemupukan Panen dan pasca panen BiayaVariabel Total
Satuan 2 1.55 Kg/m
Harga Per Satuan (RP) 1 000
Nilai (Rp) 15 500 000
1 ha 8 buah 8 buah
150 000/350 m 2 30 000 10 000
714 167 30 000 10 000 754 167
80 Kg 150 Kg 1.5 bl 32 HOK 24 HOK 24 HOK 24 HOK
22 000/Kg 1 100 50 000 20 000 20 000 20 000 20 000
1 760 000 165 000 250 000 640 000 480 000 480 000 480 000 4 255 000
Biaya Total R/C Ratio Biaya per satuan produksi
5 009 167 3.09 323
82 Tabel Lampiran 19. Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Tinggi Tanaman Sawi Waktu MI
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
KK = 21.08 % M II Perlakuan Blok Galat Total KK = 30.74% M III Perlakuan Blok Galat Total KK = 30.38% M IV Perlakuan Blok Galat Total KK = 31.93%
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F- Hitung
4 2 218 224
3.54 0.40 55.61 59.56
0.89 0.20 0.26
3.47** 0.79tn
4 2 218 224
313.55 67.99 701.67 1 083.22
78.39 33.99 3.22
24.35** 10.56**
4 2 218 224
1 210.01 467.05 2 801.63 4 478.70
302.50 233.53 12.85
23.54** 18.17**
4 2 218 224
6 805.43 2 135.03 8 906.82 17 847.28
1 701.36 1 067.51 40.86
41.64** 26.13**
Tabel Lampiran 20. Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Tinggi Tanaman Kangkung Waktu
MI
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
Derajat Bebas 4 2 218 224
Jumlah Kuadrat 24.17 5.12 132.28 161.58
Kuadrat Tengah 205.97 2.56 0.61
F- Hitung
Perlakuan Blok Galat Total
4 2 218 224
823.86 61.79 1 123.52 2 009.18
205.97 30.89 5.15
39.96** 5.99**
4 2 218 224
1 627.36 288.48 2 379.50 4 295.34
406.84 144.24 10.92
37.27** 13.21**
4 2 218 224
3 938.63 852.86 4 654.17 9 445.66
984.66 426.43 21.35
46.12** 19.97**
9.96** 4.22**
KK = 14.31%
M II
KK = 21.13% Perlakuan M III Blok Galat Total
KK = 21.21% Perlakuan M IV Blok Galat Total
KK = 18.49%
83 Tabel Lampiran 21. Waktu
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Jumlah Daun Sawi
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
MI
Derajat Bebas 4 2 218 224
Jumlah Kuadrat 5.97 0.44 32.19 38.59
Kuadrat Tengah 1.49 0.22 0.15
F- Hitung
4 2 218 224
5.49 0.81 35.68 41.98
1.37 0.40 0.16
8.39** 2.47tn
Blok Galat Total
4 2 218 224
73.91 21.77 353.88 449.56
18.48 10.88 1.62
11.38** 6.71*
Perlakuan Blok Galat Total
4 2 218 224
110.42 22.44 717.61 850.46
27.60 11.22 3.29
8.39** 3.41*
KK = 187.95% Perlakuan M II Blok Galat Total
KK = 175.05% Perlakuan M III
10.11** 1.48tn
KK = 33.92%
KK = 35.94%
Tabel Lampiran 22 Waktu
MI
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Jumlah Daun Kangkung
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
KK = 187.95% Perlakuan M II Blok Galat Total
KK = 13.97% Perlakuan M III Blok Galat Total
KK = 10.60% Perlakuan M IV Blok Galat Total
KK = 10.45%
Derajat Bebas 4 2 218 224
Jumlah Kuadrat 0 0 0 0
Kuadrat Tengah 0 0 0
F- Hitung
4 2 218 224
47.67 1.56 121.42 170.65
11.92 0.78 0.56
21.40** 1.40*
4 2 218 224
39.32 11.48 171.59 222.38
9.83 5.74 0.79
12.49** 7.29**
4 2 218 224
75.02 11.39 309.59 396.00
18.76 5.69 1.42
13.21** 4.01*
0 0
84 Tabel Lampiran 23. Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Luas Daun Sawi Uraian
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
Luas daun
Derajat Bebas 4 2 218 224
Jumlah Kuadrat 2 740 862.24 1 138 859.44 9 402 310.83 13 282 032.52
Kuadrat Tengah 685 215.56 569 429.72 43 129.87
F- Hitung 15.89** 13.20**
KK = 70.20%
Tabel Lampiran 24. Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Indeks Luas Daun Sawi Uraian
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
ILD
Derajat Bebas 4 2 218 224
Jumlah Kuadrat 528.72 219.69 1 813.72 2 562.12
Kuadrat Tengah 132.18 109.84 8.32
F- Hitung 15.89** 13.20**
KK = 187.95 %
Tabel Lampiran 25. Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Luas Daun Kangkung Uraian
Luas Daun
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
Derajat Bebas 4 2 218 224
Jumlah Kuadrat 341 708.62 182 647.78 1 081 015.24 1 605 371.63
Kuadrat Tengah 85 427.15 91 323.89 4 958.79
F- Hitung 17.23** 18.42**
KK = 60.10%
Tabel Lampiran 26. Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Indeks Luas Daun Kangkung Uraian
ILD
KK = 60.10%
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
Derajat Bebas 4 2 218 224
Jumlah Kuadrat 94.92 50.74 300.28 445.94
Kuadrat Tengah 23.73 25.37 1.38
F- Hitung 17.23** 18.42**
85 Tabel Lampiran 27.
Uraian Berat Segar Tan.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Bobot Segar Tanaman, Bobot Segar Tajuk, Bobot Segar Akar dan Rasio Bobot Akar Tajuk Sawi
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
Derajat Bebas 4 2 218 224
Jumlah Kuadrat 25 266.09 6 406.76 79 012.36 110 685.20
Kuadrat Tengah 6 316.52 3 203.38 362.44
F- Hitung
Perlakuan Blok Galat Total
4 2 218 224
24 127.58 6 214.63 74 851.64 105 193.85
6 031.89 3 107.31 343.37
17.57** 9.05**
Perlakuan Blok Galat Total
4 2 218 224
17.16 2.99 85.80 105.95
4.29 1.49 0.39
10.90** 3.79*
Perlakuan Blok Galat Total
4 2 218 224
13 994.73 15 990.29 143 190.52 173 175.54
3 498.68 7 995.15 656.84
5.33** 12.17**
17.43** 8.84**
KK = 71.42% Bobot Segar Tajuk
KK = 71.72% Bobot Segar Akar
KK = 76.41% Rasio Tajuk Akar
KK = 81.68%
Tabel Lampiran 28.
Uraian Berat Segar Tan.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Kompos terhadap Bobot Segar Tanaman, Bobot Segar Tajuk, Bobot Segar Akar dan Rasio Bobot Akar Tajuk Kangkung
Sumber Keragaman Perlakuan Blok Galat Total
Derajat Bebas 4 2 218 224
Jumlah Kuadrat 35 958.14 2 301.16 63 481.53 101 740.83
Kuadrat Tengah 8 989.54 1 150.58 291.19
F- Hitung
Perlakuan Blok Galat Total
4 2 218 224
1 161.63 668.55 3 521.56 5 351.74
290.41 334.27 16.15
17.98** 20.69**
Perlakuan Blok Galat Total
4 2 218 224
44.32 5.18 161.57 211.06282
11.08 2.59 0.74
14.95** 3.49*
Perlakuan Blok Galat Total
4 2 218 224
57.37 108.09 243.53 408.99
14.34 54.04 1.11
12.84** 48.38**
30.87** 3.95*
KK = 73.91% Bobot Segar Tajuk
KK = 71.72% Bobot Segar Akar
KK = 48.67% Rasio Tajuk Akar
KK = 35.94%