0667: Ahmad Suhendra dkk.
KO-64
APLIKASI INOKULASI FUSARIUM UNTUK MEMPERCEPAT PROSES PEMBENTUKAN DAN PRODUKSI GUBAL GAHARU DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR Ahmad Suhendra∗ , Yuda Purwana Roswanjaya, dan Dwi Pangesti Handayani Pusat Teknologi Produksi Pertanian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jl. MH. Thamrin 8, Jakarta Pusat 10340 Tel. (021) 3169638 ∗
e-Mail:
[email protected]
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Gubal yang dihasilkan pohon gaharu merupakan respon terhadap infeksi mikroba/cendawan yang masuk ke dalam jaringan luka. Luka pada pohon gaharu dapat disebabkan secara alami maupun buatan, dan respon gaharu terhadap luka tersebut umumnya dengan mengeluarkan suatu senyawa fitoeleksin. Senyawa fitoeleksin dapat berupa resin aromatik yang pada gaharu didominasi oleh seskuiterpen dan kromon yang berwarna coklat atau hitam serta merupakan senyawa penentu kualitas dan aroma harum dari gubal gaharu yang banyak digunakan sebagai pengharum dan obat-obatan. Saat ini telah banyak ditemukan cendawan yang diisolasi dari gubal gaharu di alam tetapi belum diketahui potensinya dalam membentuk gubal gaharu itu sendiri sehingga dibutuhkan suatu kajian untuk melihat potensinya melalui proses inokulasi buatan. Cendawan yang umumnya diperoleh dari hasil isolasi pada gubal gaharu adalah dari genus Fusarium. Pada penelitian ini telah dilakukan proses inokulasi buatan menggunakan 3 inokulum Fusarium F1, F2 dan F3 (milik BPPT) dan 1 inokulum Fusarium F4 (milik FORDA) sebagai kontrol positif dan 1 buah kontrol negatif (F0). Penelitian dilakukan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimatan Timur. Inokulasi dilakukan pada 100 pohon gaharu (Aquilaria beccariana) dengan metoda penyuntikan pada lubang hasil pengeboran dengan jarak 10 cm tiap lubang secara vertikal yang memiliki kedalaman sepertiga diameter batang. Pengamatan hasil inokulasi dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada hari ke-77 dan ke-148 setelah inokulasi dengan parameter pengamatan berupa tingkat keharuman, penyebaran infeksi arah vertikal dan horisontal serta luas permukaan infeksi. Berdasarkan hasil analisis statistik dapat disimpulkan bahwa inokulum F1 merupakan inokulum yang paling potensial dari 3 koleksi isolat milik BPPT meskipun potensinya masih di bawah inokulum F4. Kata Kunci: Gaharu, gubal, Aquilaria beccariana, inokulasi buatan, Fusarium
I.
PENDAHULUAN
Gaharu merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang harganya lebih tinggi dibandingkan HHBK lainnya. Gaharu digunakan sebagai bahan dasar dalam industri parfum, dupa, kosmetik, dan obat-obatan sehingga gaharu bisa dikatakan sebagai salah satu jenis komoditi HHBK yang memiliki nilai multiguna (Sumarna, 2002).[13] Ada beberapa jenis pohon gaharu yang berpotensi untuk memproduksi gubal dan sudah banyak dieksplorasi. Jenis pohon gaharu tersebut antara lain Aquilaria sp, Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonsystylus yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua (Sidiyasa & Suharti, 1987).[11] Pohon gaharu dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi
dan hampir pada semua jenis tanah. Gubal dihasilkan pohon gaharu sebagai respon terhadap infeksi mikroba/cendawan yang masuk ke dalam jaringan luka (Oldfield et al., 1998 dalam Barden et al., 2000),[2] luka dapat disebabkan secara alami maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian. Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi patogen (Zubair, 2008).[16] Menurut Shimada et al., (1982) dalam Yagura et al., (2003)[15] senyawa fitoeleksin dapat berupa resin aromatik yang pada gaharu didominasi oleh seskuiterpen dan kromon yang berwarna coklat atau hitam serta merupakan senyawa harum penentu kualitas gubal ga-
Prosiding InSINas 2012
0667: Ahmad Suhendra dkk. haru. Gubal gaharu adalah bagian dari pohon yang terinfeksi cendawan, berwarna coklat kehitaman dan harum baunya bila dibakar. Santoso et al., (2007)[10] menduga bahwa terbentuknya gaharu berkaitan dengan gejala patologis sedangkan menurut Burkill (1935),[4] gubal gaharu terbentuk sebagai reaksi pohon gaharu terhadap serangan patogen. Serangan patogen menyebabkan terbentuknya resin yang terdeposit pada jaringan kayu, akibatnya jaringan kayu mengeras, berwarna kehitaman dan berbau wangi (Zubair, 2008).[16] Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh endemik beberapa species gaharu komersial dari marga Aquilaria seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. filaria dan lain-lain (Sidiyasa & Suharti, 1987).[11] Menurut Burkill (1935),[4] perdagangan gaharu Indonesia sudah dikenal sejak lebih dari 600 tahun silam yakni dalam perdagangan Pemerintah Hindia Belanda dan Portugis. Gaharu dari Indonesia banyak yang dikirim ke Negara Cina, Taiwan dan Saudi Arabia. Kabupaten Penajam Paser Utara di propinsi Kalimantan Timur memiliki potensi pohon kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi untuk dikembangkan, salah satunya adalah pohon gaharu. Adapun jenis pohon gaharu yang banyak ditemukan adalah Aquilaria beccariana (Wollenberg, 2001)[14] namun populasinya sudah semakin sedikit karena banyak diburu dan ditebang. Menurut penelitian Suhartono et al., (2002),[12] di Kalimantan Timur rata-rata pohon gaharu yang ditebang sekitar 15.000 pohon per tahun. Gubal gaharu yang banyak diperdagangkan adalah gubal yang terbentuk secara alami, sehingga untuk mendapatkannya para pemburu menebang pohon gaharu yang tumbuh di hutan dan berakibat pada penurunan populasi. Beberapa tahun ke belakang sudah banyak para petani yang membudidayakan tanaman gaharu tetapi proses pembentukan gubal secara alami membutuhkan waktu yang lama dengan berbagai faktor pembatas seperti jenis cendawan penginfeksinya yang spesifik dalam menghasilkan gubal. Oleh karena itu dibutuhkan suatu teknologi inokulasi buatan dengan cendawan potensial yang dapat menginduksi pembentukan gubal yang lebih cepat. Cendawan yang secara umum telah diketahui dapat menginduksi pembentukan gubal gaharu adalah dari genus Fusarium (Budi et al., 2010).[3] Cendawancendawan tersebut diperoleh dari hasil isolasi pada gubal yang sudah terbentuk di alam, namum demikian efektivitasnya tersebut dalam menginduksi pembentukan gubal belum diketahui secara jelas. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kajian untuk melihat potensinya melalui proses inokulasi buatan. Pusat Teknologi Produksi Pertanian, BPPT sudah memiliki beberapa koleksi Fusarium hasil isolasi dari
KO-65 gubal gaharu yang membutuhkan pengujian untuk melihat efektivitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh teknologi inokulasi buatan dan untuk mengetahui efektivitas Fusarium dalam mempercepat pembentukan gubal gaharu.
II.
METODOLOGI
Penelitian dibagi menjadi 2 kegiatan yaitu perbanyakan inokulum Fusarium di Laboratorium Proteksi, BPPT dan inokulasi buatan di kebun gaharu yang berlokasi di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. A. Perbanyakan Inokulum Fusarium Perbanyakan 3 isolat Fusarium dilakukan dalam medium cair Potato Dextrose Broth (PDB). Sterilisasi media dilakukan menggunakan autoklaf pada suhu 121 ◦ C selama 20 menit. Perbanyakan pada media PDB dilakukan secara bertahap dari media kecil ke media yang lebih besar pada kondisi suhu kamar dan dishaker pada kecepatan 170 rpm sampai syarat inokulum dapat terpenuhi yaitu mengandung minimal 106 cfu spora/mL media. B.
Inokulasi Buatan di Lapangan Pengujian lapang dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor yaitu 4 jenis Fusarium (F1, F2, F3 dan F4) dan 1 kontrol (F0). Sebagai kontrol positif adalah inokulum F4 sedangkan kontrol negatif adalah F0. Setiap perlakuan diulang 4 kali dengan masing-masing 5 sampel sehingga terdapat 100 satuan pengamatan. Pelaksanaan inokulasi dilakukan dengan menyuntikkan inokulum Fusarium pada 100 pohon gaharu Aquilaria beccariana yang memiliki diameter pohon 15-20 cm dan berumur 6-7 tahun. Proses inokulasi dilaksanakan dengan menyuntikkan setiap inokulum pada batang gaharu yang telah dilubangi dengan cara di-bor. Proses pengeboran batang gaharu dibuat secara vertikal dan horisontal dengan jarak masing-masing lubang 10 cm dan memiliki kedalaman sepertiga diameter batang. Inokulum Fusarium yang akan disuntikkan dihaluskan terlebih dahulu dengan cara diblender agar tidak menyumbat lubang spuit. Volume inokulum Fusarium yang disuntikkan sebanyak 2 mL per lubang. Diagram proses inokulasi di lapangan dapat dilihat pada G AMBAR 1. Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada 77 dan 148 hari setelah inokulasi (HSI). Parameter yang diamati meliputi tingkat keharuman, penyebaran infeksi arah vertikal dan horisontal serta luas permukaan infeksi.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tingkat Keharuman Pengujian tingkat keharuman sebagai variabel non parametrik dilakukan menggunakan Uji Kruskal WalProsiding InSINas 2012
0667: Ahmad Suhendra dkk.
KO-66
infeksi dan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan (Eka Novriayanti, 2008).[5] Menurunnya aktivitas cendawan berkorelasi dengan penurunan sintesis metabolit sekunder, di mana pada tahap ini tanaman melakukan proses pemulihan dengan tertutupnya luka dan tidak terjadi lagi akumulasi metabolit sekunder. Fenomena ini terlihat pada perlakuan F3 (2-5). B.
G AMBAR 1: Proses Inokulasi Fusarium
lis. Data pada TABEL 1 menunjukkan bahwa tingkat keharuman hasil infeksi berubah dari pengamatan 1 (77 HSI) ke pengamatan 2 (148 HSI). Pada pengamatan 1, nilai pengamatan keharuman dari nilai tertinggi sampai dengan terendah berturut-turut adalah F4, F3, F1, F2 dan F0, sedangkan pada pengamatan kedua adalah F1, F4, F2, F0 dan F3. Uji Kruskal Wallis hanya melihat ranking dari keharuman rata-rata dari aroma yang dihasilkan yaitu: tidak wangi, wangi pedas dan wangi (G AMBAR 2). Tingkat keharuman gaharu hasil inokulasi dipengaruhi oleh akumulasi dan komposisi senyawa seskuiterpen dan kromon (Ishihira et al., 1993;[6] Konishi et al., 2005[7] ). Kedua senyawa ini merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan gaharu sebagai bentuk perlawanan terhadap infeksi cendawan, sehingga akumulasi senyawa ini akan mempengaruhi perubahan ranking tingkat keharuman dari masing-masing perlakuan pada pengamatan 1 dan 2. Kenaikan ranking tingkat keharuman seperti yang terlihat pada perlakuan F0f(5-4), F1(3-2) dan F2 (4-3) diduga oleh peningkatan akumulasi senyawa seskuiterpen dan kromon. Menurut Raffa et al., (1985)[9] gubal gaharu terbentuk karena adanya produksi dan akumulasi resin di dalam jaringan batang tanaman penghasil gaharu. Kenaikan ranking tingkat keharuman ini juga menunjukkan bahwa cendawan yang diinokulasikan masih aktif tumbuh dan menyebabkan gaharu terus mengeluarkan senyawa metabolit sekunder sebagai bentuk pertahanannya (Ng et al., 1997).[8] Penurunan ranking tingkat keharuman diduga dipengaruhi oleh faktor aktivitas cendawan yang diinokulasikan, faktor genetik tanaman yang resisten terhadap
Luas Infeksi Karateristik infeksi Fusarium dapat dilihat dari adanya proses browning disekitar lokasi infeksi (G AM BAR 3 ). Browning di sekitar tempat infeksi Fusarium menunjukkan telah terjadi akumulasi metabolit sekunder sebagai respon atas pelukaan dan infeksi cendawan (Santoso et al., 2007).[10] Berdasarkan pengamatan terhadap luas areal infeksi dapat diketahui bahwa gejala browning yang muncul bervariasi antar perlakuan. Luas infeksi dihitung berdasarkan sebaran browning secara vertikal dan horisontal. Sebaran browning secara ver-
G AMBAR 2: Pengaruh inokulasi terhadap aroma
Prosiding InSINas 2012
0667: Ahmad Suhendra dkk.
KO-67 TABEL 1: Ranking Keharuman Hasil Inokulasi
Uji Kruskal Wallis Ranking Keharuman 77 HSI Ranking Keharuman 148 HSI 5 F0(-) 36,50) 32,13)4 3 F1 51,50) 66,58)2 4 F2 44,00) 58,53)3 2 F3 54,00) 25,00)5 1 F4(+) 66,50) 64,20)1 Chi.square 19,939 48,805 df 4 4 Asymp.Sig 0,01 0,000 Ket: angka menunjukkan ranking Jenis Inokulum
G AMBAR 4: Pengaruh inokulasi Fusarium terhadap infeksi horisontal dan vertikal
G AMBAR 3: Browning di sekitar lokasi infeksi
tikal lebih besar dari pada horisontal hal ini karena infeksi vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang tanaman yang tersusun atas sel-sel vessel secara vertikal dan berfungsi sebagai jalur transportasi air dan cairan nutrisi, di mana hifa jamur dapat menggunakan sel-sel tersebut untuk memperluas invasi (Eka Novriayanti, 2008).[5] Perkembangan infeksi secara horisontal cenderung melambat seiring waktu (G AMBAR 4). Hasil analisis statistik pada pengamatan ke-2 menunjukkan bahwa peningkatan luas areal infeksi terjadi pada semua perlakuan. Luas areal infeksi tertinggi diperoleh dari perlakuan F4, namun demikian peningkatan luas areal tertinggi dihasilkan dari perlakuan F1. Hal ini diduga bahwa Fusarium F1 memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain (G AMBAR 5). Secara umum peningkatan luas infeksi berkorelasi dengan peningkatan tingkat keharuman yang terjadi karena kedua parameter tersebut dipengaruhi oleh aku-
G AMBAR 5: Pengaruh inokulasi Fusarium terhadap luas infeksi
mulasi metabolit sekunder di area sekitar lubang infeksi. Pada perlakuan F3, meskipun terjadi peningkatan luas infeksi tetapi tingkat keharuman justru menurun. Hal tersebut diduga bahwa luasan infeksi yang terlihat adalah jejak infeksi yang sempat meluas, tetapi sebenarnya tanaman sudah masuk ke tahap pemulihan di mana infeksi cendawan telah terhenti sehingga tanaman tidak memproduksi senyawa metabolit sekunder. Prosiding InSINas 2012
KO-68 C.
Potensi Hasil Berdasarkan G AMBAR 6 dapat diketahui bahwa potensi inokulum dalam menginduksi gaharu apabila diurutkan dari yang paling potensial adalah F4, F1, F2, F0 dan F3 sesuai dengan peringkat yang diperoleh dari uji Kruskal wallis.
G AMBAR 6: Potensi Inokulum Fusarium dalam membentuk gaharu
Suatu inokulum dikatakan potensial jika mampu menghasilkan gaharu yang berkualitas. Kualitas gaharu tersebut apabila diurutkan dari nilai tertinggi adalah keharuman kemudian kuantitas/massa yang dihitung berdasarkan luas infeksinya. Densiti kayu yang terinfeksi dan kedalaman infeksi dianggap konstan sehingga peningkatan massa berbanding dengan peningkatan luasan infeksi. Potensi berbanding lurus dengan keharuman dan luas infeksi sehingga semakin harum dan semakin luas infeksinya maka semakin besar pula potensinya dalam menghasilkan gaharu (BSN, 2011).[1] Pada pengamatan ke-2, walaupun F0 hanya berisi ekstrak kentang akan tetapi terlihat gejala infeksi yang menghasilkan bau khas gaharu. Hal ini disebabkan karena ekstrak kentang dapat menjadi media tumbuh bagi cendawan dari alam yang dapat membentuk gaharu. Dengan demikian potensi inokulum F0 secara statistik lebih tinggi dibandingkan F3. Turunnya potensi inokulum F3 disebabkan karena tidak terdeteksinya aroma khas gaharu pada pengamatan ke-2.
IV.
KESIMPULAN
Kualitas gaharu ditentukan oleh komponen keharuman dan kemampuan cendawan dalam menginfeksi tanaman yang ditunjukkan oleh luas areal infeksi. Inokulum Fusarium F1 memiliki potensi yang lebih tinggi untuk menghasilkan gaharu dibandingkan inokulum lainnya meskipun potensinya lebih rendah dibandingkan kontrol positif (F4).
DAFTAR PUSTAKA [1] Badan Standardisasi Nasional. (2011). Standar Nasional Indonesia. Gaharu. SNI 7631:2011. Jakarta.
0667: Ahmad Suhendra dkk. [2] Barden, A., N. Awang Anak, T. Muliken, and M. Song. (2000). Heart of the Matter: Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC Network. [3] Budi, S. W., Santoso, E., Wahyudi, A. (2010). Identifikasi Jenis-Jenis Fungi yang Potensial Terhadap Pembentukan Gaharu dari Batang Aquilaria spp. Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 1, No.1. pp 1-5. [4] Burkhill I.H. (1935) ”Dictionary of economic products of the Malay Peninsula” Vols 1-2 Crown Agents for the Colonies, London, Vol 1 A-H [5] Eka Novriayanti (2008) ”Peranan Zat Ekstraktif dalam Pembentukan Gaharu Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria microcarpa Baill” Institut Pertanian Bogor, pp 44-50. [6] Ishihira, M., Tsunega, T., and Uneyama,K. (1993). Sesquiterpene Constituents in Agarwood. 4 fragrant sesqiterpenes from agarwood. Phytochemistry, Vol 33, No. 5. pp 1147 ? 1155. [7] Konishi, T., Konoshima, T., and Kiyosawa, S. (2005). Six New 2-(2 phenylethyl) Chromones from Agarwood. Chem. Pharm. Bull, Vol 50, No. 3. pp 419-422. [8] Ng, L. T., Chang, Y. S., and Kadir, A. A. (1997). A Review of Agar (Gaharu) Producing Aquilaria Species. Journal of Tropical Forest Products, Vol 2, No. 2. pp 272 ? 285. [9] Raffa, K. F., A. A. Berryman, J. Simasko, W. and B. L. Wong. (1985). Effect of Grandfir Monoterpenes on the Firengraver, Scolytus ventralis, and Its Symbiotic Fungus. Envirol Entomol, Vol 14. pp 552-556. [10] Santoso, E., Agustini, L., Sitepu, I., Turjaman, M. (2007). Efektivitas Pembentukan Gaharu dan Komposisi Senyawa Resin Gaharu pada Aquilaria spp. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol 4. No. 6. pp 543-551. [11] Sidiyasa, K., dan M. Suharti. (1987). Jenis-Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu. Makalah Utama Diskusi Pemanfaatan Kayu Kurang Dikenal. Cisarua, Bogor 13-14 Januari 1987. [12] Soehartono, T., and Adrian, C. Newton. (2002). ”The Gaharu Trade in Indonesia: Is it Sustainable?”. Economic Botany pp. 271-284. [13] Sumarna, Y. dan E. Santoso. (2002). ”Budidaya dan Pengembangan Rekayasa Produksi Gaharu”. (Unpublished), Makalah Semiloka Gaharu, Mikoriza, Arang, Cuka Kayu, Biro KLN dan Investasi, Setjen Departeman Kehutanan. Jakarta. [14] Wollenberg. E. K. (2001). Incentives for Collecting Gaharu (Fungal-Infected Wood of Aquilaria spp.; Thymelaeaceae) in East Kalimantan. Economy Botany. Vol 55, No. 3. pp 444-456. [15] Yagura, T., N. Shibayama, M. Ito, F. Kiuchi, and G. Honda. (2003). Three Novel Diepoxy Tetrahydrochomones from Agarwood Artificially Produced Prosiding InSINas 2012
0667: Ahmad Suhendra dkk.
KO-69
by Intentional Wounding. Tetrahedron Letters, Vol, 46. pp 4395-4398. [16] Zubair Mat Isa. (2008). Extraction of Gaharu Essential Oil Using Ultrasonic Assisted Hydrodistillation. Faculty of Chemical Engineering and Natural Resources. Universiti Malaysia Pahang.
Prosiding InSINas 2012