M.P.I. Vol.1 NO.3. Desember
2007,82
- 91
INCUSTRI BESI CAN LOGAM MERUPAKAN SUMBER EMISI GAS CO2 Erwin Siregar Peneliti Madya Bidang Perencanaan Pusat
Energi
Abstract Iron and metal industry is one of the most energy consuming industries that have the biggest contribution to the greenhouse gases (GHG) emissions such as CO2 CH4 and N20 in the atmosphere that would lead to the global warming. Indonesia is an archipelago country that would have biggest potential impact from the global warming such as increasing the sea level, flooding, and acid rain. Therefore, reducing the GHG emissions such as CO2 emission from energy utilization is important for Indonesia. Coal has the highest C02emission among other energy sources. As coal is the main energy source for iron and metal industry; an increase on iron and metal demand would lead to an increase on coal utilization in that industry. As a result, the increase on iron and metal production activities will increase C02emission in the atmosphere. Reducing CO2 emission in energy supply and utilization can be conducted by choosing the low emission coefficient energy as an option such coal substitution to natural gas. Reducing CO2 emission from energy source also can be implemented by technological options on exhaust gas utilization, and utilization of exhaust gas pressure on ore reduction to produce electricity. The utilization of exhaust gas also will impact on reduction of energy consumption Kata kunci : Besi, logam, emisi, gas CO2
PENDAHULUAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap sumber emisi gas rumah kaca (GRK) dari berbagai jenis industri, industri padat energi seperti industri besi dan logam (baja), semen, alumunium, kertas dan amoniak merupakan salah satu penyumbang emisi GRK terbesar yang dapat mepenyebabkan terjadinya pemanasan global. Sebagian besar dari emisi gas tersebut berasal dari pembakaran energi fosil, seperti bahan bakar batubara, minyak dan gas bumi dalam kegiatan proses produksi di tungku dan konversi energi di boiler. Pemanasan global dapat memberikan dampak yang sangat besar pada perubahan ekosistem dan iklim dunia. Meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida (C02), methane (CH4), dinitrogen oksida (N20), perflourocarbon, (PFC), hexafluoride (Sf6), dan haloflourocarbon (HFC) di atmosfir diperkirakan menjadi penyebab utama kejadian tersebut. Gas CO2 merupakan GRK sebagai penyebab utama terjadinya
82
pemanasan global, antara lain terjadinya peningkatan permukaan air laut dan tak menentunya (anomali) iklim di muka bumi yang dapat merugikan lingkungan hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengurangan emisi GRK terutama emisi CO2 dari penggunaan energi perlu dilakukan. Indonesia sebagai negara kepulauan diperkirakan akan menerima dampak pemanasan global akibat meningkatnya emisi GRK di atmosfir. Di antara jenis industri yang ada dalam kelompok industri manufaktur tersebut, industri besi dan logam merupakan industri yang mengalami perkembangan cukup pesat, khususnya di Indonesia. Apalagi dengan lebih diperketat dan dibatasinya izin penebangan hutan yang menyebabkan suplai kayu hutan untuk pertukangan di dalam negeri semakin terbatas. Berkurangnya suplai kayu dalam negeri berdampak pad a bergesernya permintaan kayu pertukangan ke logam. Meningkatkan konsumsi bahan bakar di industri besi dan logam (baja) tersebut akan meningkatkan emisi gas rumah kaca yang pada akhirnya ISSN 1410-3680
Industri Besi Dan Logam Merupakan
Sumber Emisi Gas CO2 (Erwin Siregar)
akan meningkatkan emisi CO2 di atmosfir. Oleh karena itu, industri besi dan logam merupakan sektor yang potensial untuk pengurangan CO2 dari penggunaan energi. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk dapat menekan dan mengurangi tingkat produksi gas CO2 dari industri besi dan logam, yaitu usaha yang dapat dilakukan dari sisi suplai dan sisi kebutuhan. Usaha dari sisi suplai dilakukan melalui strategi penyediaan energi baik melalui peningkatan efisiensi energi dalam proses produksi dan penggunaan sumbersumber energi yang berkadar karbon rendah. Sementara itu pengurangan emisi CO2 dari luar dapat dilakukan dengan menambah atau menggantikan teknologi yang digunakan dengan teknologi yang memiliki efisiensi lebih tinggi. Untuk itu, maka akan dilakukan penelitian mengenai perkiraan emisi CO2 dari teknologi peralatan boiler dan tungku di industri besi dan logam (baja) dan usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya emisi CO2 tersebut.
METODE PENELlTIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian untuk menghitung dan menentukan besarnya emisi GRK dari
kegiatan produksi di industri logam, khususnya yang dihasilkan dari teknologi peralatan seperti boiler dan furnace (tungku) didasarkan atas ketentuan sesuai dengan buku petunjuk IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change Work BOOk) untuk inventarisasi
emisi GRK Nasional. Dalam buku petunjuk tersebut sudah ditentukan faktor koefisien atau faktor emisi setiap jenis GRK seperti CO2, CH4 dan N20 untuk setiap jenis bahan bakar atau sumber energi seperti minyak, gas, batubara, dan biomasa. Sedangkan untuk menghitung total emisi gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran energi merupakan hasil perkalian antara total konsumsi energi dengan dengan faktor emisi untuk setiap bahan bakar. Faktor Emisi
Faktor emisi adalah nilai rata-rata yang berhubungan dengan jumlah emisi dari kegiatan atau proses teknologi energi. Faktor emisi ini biasanya dinyatakan dalam satuan berat dari emisi dibagi dengan unit energi yang diproduksi, misalnya kg/TJ. Untuk mengetahui jumlah emisi CO2 yang dihasilkan dari proses produksi terlebih dahulu perlu ditentukan faktor emisi (F.E) dari CO2.
Tabel1. Faktor Emisi Carbon Berbagai Jenis Bahan Bakar
Crude Oil
20,0
Other Oil
E.F Carbon (kg C/GJ) 20,0
Natural Gas Liquid
17,2
Anthracite
26,8
Gasoline
18,9
Cooking Coal
25,8
Jet Kerosene
19,5
Bituminus Coal
25,8
Other Kerosene
19,6
Sub-bituminus
Gas/Diesel Fuel
20,2
Lignite
Residuel Fuel Oil
21,1
LPG
17,2
BKB & Patent Fuel
25,8
Ethane
15,8
Coke
29,5
Naptha
20,0
Natural Gas (dry)
15,3
Bitumen
22,0
Solid Biomass
29,9
Lubricant
20,0
Liquid Biomass
20,0
Jenis Bahan Bakar
E.F Carbon (kg C/GJ)
Petroleum Coke
27,5
Retockfinery
20,0
Feeds
Jenis Bahan Bakar
Coal
-. Peat
Gas Biomass
26,2 27,6 28,9
30,6
Sumber: IPCC Work Book ISSN 1410-3680
83
M.P.I. Vol.t
NO.3. Desember
2007, 82 - 91
Faktor emisi menunjukkan hubungan antara emisi yang dikeluarkan dengan input energi atau aliran output dari setiap teknologi pengguna/penghasil energi. Jadi, emisi CO2 yang dihasilkan selain dipengaruhi oleh jenis energi yang digunakan juga sangat dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan. Faktor emisi (kg/T J) dari berbagai berbagai jenis bahan bakar dan teknologi yang digunakan ditentukan berdasarkan informasi dari IPCC Work Book untuk inventori nasional gas rumah kaca. Emisi gas CO2 pada sektor energi dihasilkan dari reaksi antara karbon dengan oksigen sa at terjadi proses pembakaran. Besarnya emisi gas CO2 dipengaruhi oleh jumlah kandungan karbon dalam bahan bakar dan sistem pembakaran yang digunakan. Mengingat setiap jenis bahan bakar mempunyai kandungan karbon dan unsur lainnya yang berbeda, sehingga prosentase setiap emisi yang dihasilakan berbeda demikian pula dengan emisi gas C02nya. Relatif tingginya kandungan karbon pada setiap jenis bahan bakar menyebabkan emisi gas CO2 merupakan yang dominan dalam GRK. Perkiraan besarnya emisi gas CO2 yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar didasarkan atas jenis bahan bakar dan besarnya kandungan karbon, dengan asumsi bahwa semua kandungan karbon dalam bahan bakar berubah menjadi CO2. Total emisi gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran energi merupakan hasil perkalian antara total konsumsi energi dengan dengan faktor emisi untuk setiap bahan bakar. Hasilnya dikalikan dengan faktor 44/12 yang berasal dari berat molekul (BM) CO2 dibagi dengan Berat Molekul Carbon (C). Faktor ini digunakan untuk merubah berat C menjadi berat CO2. Pendekatan untuk memperkirakan besarnya emisi CO2 di masa yang akan datang selain perlu mengetahui faktor emisi dari CO2 (E.F Carbon) juga perlu diketahui total konsumsi energi menurut jenis bahan bakarnya seperti ADO, batubara, fuel oil, LPG dan gas. Berdasarkan kedua besaran tersebut dapat dihitung besarnya emisi CO2 yang dihasilkan dari proses produksi berbagai jenis produk logam di industri logam dalam jangka panjang. Total emisi gas CO2 (T.E CO2) (T. E CO2) 44/12 (total konsumsi bahan bakar x Faktor Emisi Carbon - karbon yang tertinggal x fraksi oksidasi)
=
!NDUS~R! lOGAM Proses Produksi
INDONESIA lndustri
Logam
Walaupun l.idonesia telah memiliki dan berpengalaman dalam industri logam lebih dari empat puruh tahun, namun sampai sa at ini belum dapat memenuhi kebutuhan logamnya secara mandiri, selain produksi dalam neqeri sebagian besar dari kebutuhan loqam dalam negeri masih harus diimpor. Belum mampunya industri logam Indonesia dalam memenuhi kebutuhan log am dalam negeri disebabkan keterbatasan kapasitas produksi bijih besi industri-industri logam dalam negeri. Bila ditinjau dari teknologi proses pembuatan logam, sebagian besar dari industri logam (baja) di Indonesia memakai direct reduction-electric arc furnace (DREAF) dan scrap-electric arc furnace (scrap EAF). Sedangkan bila ditinjau dari kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan bahan bakunya sendiri, saat ini Indonesia hanya memiliki satu industri logam terpadu, yaitu PT.Krakatau Steel. Industri ini menggunakan teknologi HYL untuk proses reduksi bijih besi dan EAF untuk proses produksi baja. Sedangkan industri logam lainnya merupakan perusahaan swasta yang hampir seluruhnya memakai EAF. PT. Krakatau Steel merupakan industri baja terpadu memiliki proses yang lengkap dari besi spon sampai ke produk akhir, sedangkan industri baja swasta hanya memiliki sebagian dari tahapan proses. Tahapan
Proses Produksi
Logam
Berdasarkan sumber dan jenis bahan bakunya, industri baja dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok primary steel yang bahan bakunya terutama berasal dari biji besi (dan sebagian dari besi scrap) dan baja secondary steel yang bahan bakunya seluruhnya berasal dari baja scrap. Proses Produksi
Pig Iron Dari Bijih Besi
Produksi pig iron secara tradisional dilakukan melalui tiga tahapan proses, yaitu tahap pertama produksi kokas, tahap kedua peleburan bijih besi dan tahap ketiga produksi pig iron di dalam tanur. Pada umumnya kokas diproduksi dari batubara (bituminous) yang dilakukan dengan cara memanaskan batubara sampai mencapai temperature 1100 QC dalam oven tanpa oksiqen (proses pirolisa), selanjutnya
Industri Besi Dan Logam Merupakan
Sumber Emisi Gas CO2 (Erwin Siregar)
batubara atau kokas tersebut didinginkan sampai mencapai temperatur sekitar 200 QC. Kokas sangat dibutuhkan sebagai reduktor besi di dalam tanur. Pada umumnya campuran pig iron pada umumnya terdiri dari 95% iron (besi), 3-4% carbon dan sekitar 1-2% unsur lainnya seperti mangan, phosphor, sulphur dan silikat. Bijih besi sebelum menjadi pig iron terlebih dahulu diolah dengan cara digerus dan dibentuk seperti pelet. Produk berbentuk pelet ini selanjutnya diproses di dalam tanur (dengan membatasi jumlah oksigen dalam tanur),dan dicampur dengan kokas dan debu kapur (lime) serta dipanaskan pada temperature sekitar 1500 "C menghasilkan pig iron. Bijih besi tersebut direduksi oleh kokas menjadi pig iron dengan produk sampingannya berupa slag dan gas.
4:
pangsa produksi besi dan logam dengan teknologi ini hanya tinggal 3,2% terhadap total produksi logam dunia (1). Teknologi Basic Oxygen Furniture (BOF) sama dengan teknologi OHF, tetapi pada teknologi BOF untuk mengoksidasi CO menjadi CO2 digunakan udara. Penggunaan udara . sebagai oksidator CO menjadi CO2 ini akan mengurangi waktu pemrosesan dan akan meningkatkan efisiensi energi dan produktifitas lebih tinggi dibandingkan dengan OHF. Hal ini sangat mendukung terjadinya proses penggantian OHF dengan BOF secara lebih cepat. Apalagi dengan penggantian teknologi ini pangsa scrap yang dapat digunakan ditingkatkan hingga mencapai sekitar 10-25% sehingga dapat menekan biaya produksi.
Jenis Tungku
Ada 3 jenis tungku yang dapat digunakan untuk membuat baja (Iogam) dari pig iron yaitu Open Heart Furnice (OHF), Basic Oxygen Furnice (BOF), dan Electric Arch Furnice (EAF). EAF merupakan jenis tungku yang biasa digunakan untuk memproduksi baja campuran (secondsry steel), sedangkan tungku jenis OHF dan BOF lebih banyak digunakan untuk memproduksi baja kualitas baik (primary steel) yang bahan bakunya sebagian besar berasal dari bijih besi. Proses peleburan yang terjadi di masing-masing tungku adalah sebagai berikut: 4: OHF (Open Heart Furnice) merupakan tungku yang teknologinya sudah kuno dan kurang efisien dalam penggunaan energi, dalam tungku ini besi scrap dan biji besi dilebur dalam wadah berbentuk panci yang dindingnya dibatasi dengan dinding bata. Batubara dan udara dipanaskan di bawah wadah tersebut hingga mencapai suhu 1650°C, sehingga besi scrap dan biji besi akan mencair. Kelebihan karbon dalam logam yang mencair ini dikurangi dengan menggunakan besi scrap (Fe203) menjadi besi, sedangkan untuk mengoksidasi gas CO menjadi CO2 digunakan oksigen dari udara. Rendahnya efisiensi tungku ini menyebabkan teknologi OHF secara perlahan pemakaiannya terus menurun di dunia, tungku ini digantikan dengan tungku dengan teknologi Basic Oxygen Furnice (BOF). Pada tahun 2004, ISSN 1410-3680
Pada tahun 2004 sekitar 63% dari produksi logam dunia diproduksi dengan teknologi ini (1). Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Electric Arc Furnice (EAF) umumnya digunakan untuk memproduksi logam secondary, kapasitas tungku ini biasanya lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas OHF dan BOF. Umumnya tungku ini berbentuk mini mills dan lebih dikhususkan untuk memproduksi logam campuran, lebih banyak digunakan untuk memproduksi produl<-produk baja yang berbentuk panjang (seperti kabel dan tube) dan menggunakan bahan baku terutama dari bahan besi scrap. Sumber energinya terutama listrik, tetapi apabila terjadi keterbatasan suplai listrik, kekurangannya dapat disubstitusi dengan cara menginjeksikan bahan bakar lainnya. Pada tahun 2004 sekitar 33,8% dari produk logam dunia diproduksi dari tungku ini (1).
ANALlSIS HASIL EMISI C02
PENELlTIAN
TOTAL
Total emisi CO2 sangat tergantung pada konsumsi bahan bakar, jenis bahan bakar yang digunakan dan teknologi pembakaran yang digunakan dan pemanfaatan gas buang.
4:
Konsumsi Bahan Bakar
Analisis hasil penelitian perkiraan konsumsi bahan bakar dan total proyeksi emisi CO2 dari proses di industri baja dihitung secara rata-rata dalam setiap periode, mulai dari tahun 85
M.P.1. Vol.1 NO.3. Desember
<;;(
2007, 82 - 91
2006 sampai dengan tahun 2030 dengan periode waktu lima tahunan dengan tahun tengah setiap periode tahun 2008, 2013, 2018, 2023 dan 2028. Berdasarkan besarnya kebutuhan bahan bakar industri besi dan logam atau baja per wilayah, sekitar 99% dari industri baja berlokasi di P.Jawa, sedangkan sisanya sekitar 1% berada wilayah lainnya seperti Sumatera, Kalimantan, dan pulau lainnya. Terpusatnya banyak industri baja di Jawa disebabkan memang P. Jawa merupakan lokasi potensial bagi pasar hasil produksi industri logarn. Selain itu tersedianya infrastruktur dan sistem pendistribusian listrik yang sudah lebih mantap di wilayah ini, sehingga kesinambungan suplai listrik yang sangat dibutuhkan dalam pembentukan dan produksi logam akan lebih terjamin. Berdasarkan perkembangan kebutuhan bahan bakar, kebutuhan bahan bakar di industri baja dari periode tahun 2008
<;;(
s.d. periode tahun 2030 diperkirakan akan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 10,6%, sehingga dari 5 PJ/tahun pad a tahun 2008 menjadi 155,54 PJ/tahun pada periode tahun 2030. Kebutuhan energi tersebut sebagian besar atau sekitar 98% digunakan untuk kebutuhan panas di tungku sedangkan sekitar 2% saja yang digunakan untuk produksi uap dan produksi listrik di boiler. Prosentase kebutuhan energi baik di tungku maupun di boiler tersebut dalam kurun waktu 30 tahun relatif tetap dan kebutuhan bahan bakar di tungku tetap lebih besar yang disebabkan karena memang dalam proses produksi baja di industri baja sebagian besar terjadi di tungku. Meskipun banyak dari industri baja yang telah memiliki pembangkit sendiri, namun sebagian besar dari kebutuhan listriknya masih di suplai dari luar.
180.UU
150,00 140.00 ,.. 120.00
!
!:;r: 0.
+-----------
-f------------------+------------------
50.00
+--------"'-'""""'----.---, -1-----,---,----,--...,,--------1 +---------------
40.00
+-----------
20.00 0,00
+-----+--""',_11..-..,. __
100,00 80.00
2008
2013
2018
2023
2028
Periods IDADO
Sumber:
Ou0utMARKAL,
IIICoal 0 FO 0 Kero IDLPG 11 Gasl
BPPT
Gambar 1. Kebutuhan Bahan Bakar Industri Besi Dan Logam
Gas bumi dan batubara merupakan dua jenis bahan bakar yang sang at berperan dalam proses produksi di industri baja. Selama kurun waktu dua puluh empat tahun dari periode tahun 2008 s.d. periode tahun 2028 diperkirakan kebutuhan kedua jenis bahan bakar tersebut terus meningkat Kebutuhan gas bumi meningkat dari 2,45 p J/hhl'~ :-,_,.J~~.. vinr:!e t~h, ,n ')1"'1'1(') r- -'''';~~'i
95,33 PJ/tahun pad a periode tahun 2028 dengan rata-rata tingkat pertumbuhan pertahun sebesar 11,36%, sedangkan batubara pada kurun waktu yang sama meningkat dari 2,32 PJ/tahun pada periode tahun 2008 menjadi 55,64 PJ/tahun pada periode tahun 2028 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar
Industri Besi Dan Logam Merupakan
Sumber Emisi Gas CO2 (Erwin Siregar)
tersebut FO, ADO, LPG dan minyak tanah juga dibutuhkan di industri baja, meskipun kebutuhannya relatif kecil. Ditemukannya cadangan gas yang besar, keterbatasan daya tampung pelabuhan batubara dan kegiatan lainnya yang dilakukan pemerintah dalam usaha memenuhi kebutuhan bahan bakar di dalam negeri. Sehingga selama dua puluh enam tahun gas bumi dan batubara saling bergantian sebagai penyuplai utama kebutuhan bahan bakar di industri baja. Pada periode tahun 2008 diperkirakan prosentase kebutuhan gas bumi, batubara, FO dan ADO yang masingmasing berturut-turut sebesar 49%, 46%, 3% dan 1%, sedangkan LPG dan minyak tanah persentasenya sangat kecil prosentase keduanya hanya mencapai 1% dari total kebutuhan bahan bakar di industri baja. Pada periode tahun 2008 kebutuhan gas bumi di industri baja adalah yang paling besar, hal ini disebabkan karena masih besarnya cadangan gas bumi dan telah ditemukannya cadangan gas bumi baru dalam jumlah yang relatif besar di Blora Jawa Tengah baru-baru ini serta keberhasilan dilakukannya kegiatan intensifikasi pencarian sumber-sumber gas bumi baru yang sedang dilakukan. Namun, adanya kebijakan pemerintah untuk lebih meningkatkan pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar di dalam negeri, sehingga mulai periode tahun 2013 terjadi peningkatan kebutuhan batubara di sektor industri umumnya dan khususnya di industri baja. Batubara dan gas bumi merupakan dua jenis bahan bakar penyuplai utama kebutuhan energi di industri baja. Mulai akhir periode tahun 2008 batubara diperkirakan mulai dapat bersaing dengan gas bumi, hal ini terlihat dari terjadinya peningkatan kebutuhan batubara dari 2,32 PJ/tahun pada periode tahun 2008 menjadi 21,06 PJ per tahun pada periode tahun 2018 atau meningkat dengan tingkat pertumbuhan ratarata pertahun sebesar 15,9%. Sementara itu selama kurun waktu tersebut peningkatan kebutuhan gas bumi tidak terlalu tinggi hanya hanya meningkat dari 2,47 PJ/tahun menjadi 19,43 PJ/tahun. Sebagai akibat meningkatnya kebutuhan batubara tersebut diperkirakan akan mengakibatkan meningkatnya emisi polutan debu dan emisi. Selain itu meningkatnya kebutuhan batubara tersebut juga mengakibatkan semakin terbatasnya kapasitas tampung batubara di P. Jawa. Oleh karena itu, setelah periode tahun 2023 terjadi penurunan tingkat pertumbuhan kebutuhan batubara, namun mulai pertengahan periode ISSN 1410-3680
tahun 2023 tersebut kebutuhan gas bumi meningkat pesat. Peningkatan kebutuhan ini selain disebabkan oleh tak mampunya pelabuhan batubara untuk menampung batubara juga disebabkan oleh berhasilnya dibangun jaringan pipa gas dari Sumatera dan Kalimantan ke lokasi industri, khususnya sentra industri baja di Jawa yang diperkirakan akan terlaksana pada sekitar tahun 2020an. Sehingga prosentase gas bumi terhadap total kebutuhan bahan bakar di industri ini meningkat dari 59% pada tahun 2023 menjadi 63% pada periode tahun 2028. Gas bumi yang bersifat lebih bersih dan bersahabat dengan lingkungan dibandingkan dengan batubara merupakan salah satu daya tarik gas bumi lebih dipilih sebagai sumber energi. Produksi Emisi CO2
Terjadinya peningkatan kebutuhan bahan bakar fosil di industri baja sebanyak 31 kali lipat dari periode tahun 2008 sampai periode tahun 2028 mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi emisi CO2 yang relatif besar akibat bahan bakar fosil tersebut. Dalam kurun waktu 24 tahun tersebut terjadi peningkatan emisi CO2 sebesar empat kali dari 15,33 ton/tahun pada tahun 2008 menjadi 66,9 ton/tahun pada tahun 2028 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata pertahun 9,4%. Peningkatan emisi gas CO2 tersebut disebabkan kebutuhan batubara dan gas bumi yang besar dan terus meningkat. Berdasarkan prosentasenya, prosentase terbesar dari emisi gas CO2 tersebut berasal dari batubara yang meningkat dari sekitar 8,36 ton/tahun pada periode tahun 2008 menjadi sekitar 31,5 ton/tahun pada periode tahun 2028 dengan pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 4,5%, sedangkan gas bumi meningkat dari 6,25 ton/tahun pada periode tahun 2008 menjadi sekitar 34,92 ton/tahun pada periode tahun 2028 dengan tingkat
M.P.I. Vol.1 NO.3. Desember
2007, 82 - 91
LPG. Sementara itu, berdasarkan dilihat dari asal teknologinya, sebagian besar atau sekitar 98% dari emisi gas CO2 tersebut dihasilkan dari proses pembakaran bahan
bakar di tungku, dan sisanya sekitar 2% berasal dari produksi uap atau pembangkitan listrik di boiler.
80.00 70.00
t:
:::3 .s::: t'$
~
c 0
to-
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
2013
2008
2018
2023
2028
Periode
I
[J
ADO 118atubara 0 FO 0 LPG 11Gasl
Sumber : Output MARKAL, BPPT Gambar 2. Emisi CO2 Industri Besi Dan Logam
Di antara bahan bakar fosil, gas bumi merupakan sumber energi yang memiliki koefisien emisi CO2 terkecil sehingga menghasilkan emisi gas C02/ton terkecil dibandingkan dengan jenis bahan bakar lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan bahan bakar dan emisi gas CO2 yang dihasilkan dari tiap jenis bahan bakar. Pada periode tahun 2008, meskipun gas bumi menyuplai sekitar 49 % dari kebutuhan bahan bakar di industri baja, namun bahan bakar ini hanya menghasilkan emisi CO2 sekitar 40.8% dari total emisi gas CO2 dari industri baja. Sementara itu bahan bakar batubara (yang memiliki faktor emisi yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar gas bumi) yang mensuplai 46% dari total kebutuhan bahan bakar mengkontribusi emisi gas CO2 yang lebih besar yakni sebesar 54.6% dari total produksi emisi CO2, Ditemukannya cadangan gas bumi yang besar di Jawa Tengah dan kemungkinan keberhasilan pelaksanaan kegiatan intensifikasi pencarian sumbersumber gas baru dan pelaksanaan pembangunan jaringan pipa gas dari Sumatera dan Kalimantan ke P.Jawa diperkirakan mulai periode tahun 2020an
akan terjadi peningkatan suplai gas bumi ke P. Jawa. Meskipun sampai dengan periode tahun 2023 pangsa kebutuhan gas bumi lebih tinggi dibandingkan dengan batubara tetapi emisi gas CO2 dari gas bumi masih lebih kecil dibandingkan dengan batubara. Namun semakin meningkatnya kebutuhan gas bumi yang mencapai prosentase sekitar 63% terhadap total kebutuhan pada periode tahun 2028, sehingga emisi gas CO2 dari penggunaan gas juga meningkat hingga pangsanya mencapai 52% terhadap total emisi gas CO2, Terpusatnya sebagian besar dari lokasi industri baja di P. Jawa mengakibatkan sekitar 97% dari emisi CO2 indutri ini berada di wilayah ini.
UPAYA PENGURANGAN
EMISI CO2
Sebagian besar dari industri besi dan logam menggunakan proses yang kontinyu yang membutuhkan suplai energi yang tidak boleh terganggu apalagi terputus, suplai listrik dan uap yang dibutuhkan harus sesuai dengan kebutuhan prosesnya. Kebutuhan energi ini antara lain untuk kebutuhan uap baik untuk pembangkitan
Industri Besi Dan Logam Merupakan
Sumber Emisi Gas CO2 (Erwin Siregar)
listrik maupun untuk kebutuhan prosesnya. Upaya yang dapat dilakukan pada tungku dan boiler industri baja untuk mengurangi emisi gas CO2 dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain sebagai berikut: 1) Tungku CDQ pada pembuatan kokas. Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk menghemat bahan bakar pad a pemrosesan logam dalam tungku dengan penambahan peralatan, pemanfaatan gas buang, penggantian kokas dengan batubara butiran dan gas 2) Pengurangan pemakaian bahan bakar melalui penambahan peralatan Coke Dry Quenching Untuk mendinginkan kokas yang baru dikeluarkan dari oven dari temperature 1100 QC hingga mencapai suhu 200 QC biasanya dilakukan dengan cara menyemprotkan air. Sebenarnya panas buang (terbuang) ini dapat dimanfaatkan dengan jalan menangkapnya dengan cara mengalirkan gas tepat di atas kokas yang didinginkan tersebut. Caranya adalah dengan membuat suatu wadah berupa bak untuk menampung kokas yang akan didinginkan. Dengan mengalirkan udara yang bergerak secara lambat diatasnya, sehingga dapat diperoleh energi berupa panas. Energi panas yang diperoleh tersebut dapat digunakan untuk membuat steam untuk kebutuhan pembangkitan listrik skala kecil atau steam untuk proses. Dengan cara ini dapat diperoleh beberapa keuntungan antara lain : penghematan bahan bakar sebesar 0,37 GJfton produksi baja, penghematan bahan bakar, meningkatkan kwalitas kokas dan kualitas tungku (1). 3) Substitusi kokas dengan Pulverised Coal Injection (PCI). Peranan kokas sebagai bahan pereduksi pig iron, dapat digantikan dengan batubara (yang dibuat dalam bentuk butiran) dengan cara memasukkan batubara butiran (pulverized coal) ke dalam tungku. Penggunan batubara butiran untuk menggantikan peran kokas sebagai bahan pereduksi logam pad a produksi pig iron ini terus dilakukan oleh para peneliti di industri logam. Penggantian peranan kokas ini berdampak pada pengurangan pemakaian kokas, dan sekaligus dapat memanfaatkan jenis batubara subitiminous yang cadangannya masih sangat besar. Menurut informasi (Farla et ai, 1998) ISSN 1410-3680
dengan cara ini dapat dilakukan penghematan penggunaan batubara sekitar 0,77 GJft logam panas dengan penggunaan PCI 130 kgfton log am panas (1) 4) Memanfaatkan Top Pressure Recovery Turbin (TRT) Dengan menggunakan turbin Top Pressure Recovery dan memanfaatkan gas buang yang terjadi pada proses reduksi bijih besi dapat diperoleh suatu tenaga atau tekanan yang sangat tinggi, tekanan gas yang sangat tinggi ini dapat dimanfaatkan untuk memproduksi listrik tambahan. Dengan memanfaatkan jenis turbin ini ada dua keuntungan yang dapat diperoleh yaitu penghematan bahan bakar untuk produksi listrik dan mengurangi emisi gas CO2. Turbin Top Pressure Recovery dapat memproduksi listrik antara 15 s.d 40 kwhfton pig iron (telco, 1993), sedangkan untuk perhitungan pengurangan emisi diqunakan asumsi 30 kwhft pig iron (1). 5) Pemanfaatan Basic Oxygen Furnice (BOF) gas untuk memperoleh panas dan/atau listrik pada produksi logam Tingginya temperatur dan nilai kalor netto yang dihasilkan dari penggunan BFG pada produksi besi dan juga pada penggunaan BOF gas pada produksi logam, kedua proses ini dapat menghasilkan panas (heat recovery) yang sangat cocok untuk dimanfaatkan oleh gas turbin. Menurut Worrel at al.(1999) dengan penggunaan BFG dapat diperoleh energi hingga 916 MJfton. Sementara itu, untuk perhitungan pengurangan emisi apabila tungku tersebut digunakan sebagai penangkap panas (heat recovery) diasumsikan dapat diperoleh penghematan bahan bakar hingga 0,5 (GJft). Bila digunakan sebagai combustion (pembakar) pada system gas turbin combined cycle diasumsikan --" dapat menghasilkan listrik sampai 13 kWhfton logam. Pemanfaatan BOF gas paling tidak dapat menghasilkan panas hingga 0,9 GJ fton logam cair (1). 6) Boiler Apabila dalam proses produksi masih digunakan boiler dengan efisiensi produksi uap yang rendah, sehingga untuk memperbaiki efisiensi dan meningkatkan produksi uap, maka usaha peningkatan efisiensi dan penggantian boiler merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan. Tabel 2. berikut ini memperlihatkan karakteristik teknis dari 89
M.P.I. Vol.1 NO.3. Desember
2007,82
- 91
boiler uap industri yang terbaru yang dapat digunakan sebagai pengganti. Selain itu jenis teknologi boiler, bahan bakar yang digunakan dan kapasitasnya akan berpengaruh terhadap konsumsi energi dan produksi emisi gas CO2. Hal ini berkaitan dengan besarnya perbandingan antara unsur hidrogen dan carbon yang terkandung di dalam bahan bakar tersebut. Pada proses pembakaran terjadi reaksi antara hidrogen yang terkandung dalam bahan bakar dengan
oksigen dalam udara sehingga membentuk air, dan air ini kemudian akan menyerap panas yang timbul dari proses pembakaran. Oleh sebab itu dengan memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar boiler akan diperoleh tingkat efisiensi yang paling maksimum, sedangkan bahan bakar lainnya diasumsikan efisiensinya sedikit lebih rendah.
Tabel2. Biaya Investasi, Operasi Dan Perawatan Pembangkit Listrik Yang Berpotensi Mengurangi Emisi CO2 Jenis Pembangkit
Bahan Bakar
25
300
Biaya Investasi US$/KW 722,96
Life Time
Kapasitas (MW)
(tahun) Gas C.Cycle
Natural Gas
FIXOM
VAROM
Efisiensi
US$/KW
US$/KW
(%)
7,49
38,.8 45,75
Nat Gas C.C.
Natural Gas
25
300
722,96
7,49
Field Gas Turbin
Natural Gas
20
100
495,48
4,38
0,67
25,8
N. Gas F Gas Turbin
Natural Gas
20
100
495,48
4,38
0,67
21,67
Gas Turbin
Natural Gas
20
100
252,17
3,96
1,11
37,92
Nat.Gas Turbin
Natural Gas
20
100
252,17
3,96
1,11
27,00
New Gas Steam
Natural Gas
25
200
1142,58
13,17
0,73
40,37
Panas Bumi
Panas Bumi
25
55
1582,60
33
40,30
IGCC Coal
Batubara
25
230
2131,50
62,91
2,22
41,85
PFBC
Batubara
25
230
2131,50
62,91
2,22
39,99
SHS
Matahari
15
50
10.000
Sumber: Input Model MARKAL,BPPT
-~.
KESIMPULAN
•
90
Batubara merupakan bahan bakar fosil yang paling tinggi faktor emisi CO2 nya diantara bahan bakar fosil lainnya dan batubara antrasit merupakan jenis batubara yang paling tinggi faktor emisi CO2 nya di antara jenis batubara. Sementara itu gas alam kering merupakan bahan bakar yang paling kecil emisi CO2 nya.
•
•
Gas bumi dan batubara merupakan jenis bahan bakar yang mendominasi kebutuhan bahan bakar di industri baja. Bahan bakar LPG, ADO maupun FO karena kebutuhannya sedikit sehingga emisi gas CO2 yang dihasilkan dari ke tiga bahan bakar inipun relatif kecil, pada setiap periode dari periode tahun 2008 s.d periode tahun 2028 total emisi gas CO2 yang dihasilkan dari ketiga bahan bakar ini dibawah 1 ton. ISSN 1410-3680
Industri Besi Dan Logam Merupakan
•
•
•
Sumber Emisi Gas CO2 (Erwin Siregar)
Pada periode tahun 2008 diperkirakan tingkat kebutuhan gas alam di industri baja relatif hampir sama dengan tingkat kebutuhan batubara, namun mulai periode tahun 2013 dan periode 2018 batubara dapat bersaing dengan gas bumi sehingga bahan bakar ini mendominasi kebutuhan bahan bakar pada industri tersebut. Tetapi dengan tuntutan lingkungan udara global dan keterbatasan daya tampung pelabuhan batubara serta ditemukannya sumber gas yang potensial sehingga diperkirakan mulai periode tahun 2023 gas alam lebih mendominasi penggunaan bahan bakar pada industri baja. Berdasarkan perkiraan emisi CO2 yang diproduksi dari penggunaan energi pada industri baja, batubara merupakan penghasil CO2 yang terbesar sampai dengan tahun 2023, namun pada periode tahun 2028 gas alam menjadi penghasil emisi CO2 terbesar. Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk menghemat bahan bakar dan sekaligus mengurangi emisi CO2 adalah dengan pemanfaatan energi yang mempunyai koefisien emisi kecil pemanfaatan gas buang pada proses pembuatan kokas, penggantian kokas dengan butiran batubara yang diinjeksikan pada tungku, substitusi batubara (kokas) dengan gas bumi, pemanfaatan tekanan gas buang yang tinggi pada proses reduksi bijih besi untuk memproduksi tambahan listrik.
ISSN 1410-3680
DAFT AR PUST AKA
1. Hayashi D, Krey. M., C02 emtsston reduction potential of large-scale energy efficiency measures in heavy industry in China,lndia, Brazil, Indonesia and South Africa, November 2005. 2. . , The HWWI Research Programme International Climate Change, paper no.10., BPPT.Hasil run Model MARKAL, Agustus 2007 3. . , Greenhouse Gas Inventory Reference Manual, Intergovermental Panel on Climate Change 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, volume 2, BPPT, Input Model MARKAL. Revised 1996 4. . , First Exercise on Initial National Communication Under the United Nations Framework Convention on Climate Change, State Ministry For Environment Republic Of Indonesia 1998.
RIWAYAT PENULlS Siregar, lulusan Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Bandung Tahun 1985. Sejak 1987 sampai sekarang aktif melakukan penelitian bidang perencanaan energi. Erwin
91