IMPLEMENTASI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM: Catatan Pembaruan Sistem Pendidikan Nasional di Era Global Nanang Martono Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Email:
[email protected] Abstrak Indonesia dikenal dengan negara dengan penduduk Muslim terbanyak, namun nilai-nilai Islam tidak banyak diterapkan di Indonesia. Sistem pendidikan nasional justru banyak menerapkan sistem pendidikan yang sekuler-kapitalistik. Fenomena ini merupakan sebuah hal yang cukup kontradiktif. Artikel ini berupaya menjelasakan mengenai penerapan sistem pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Pada dasarnya prinsip pendidikan Islam mengembangkan nilai-nilai bersifat universal. Pendidikan Islam mengajarkan prinsip kesetaraan, kebersamaan, toleransi, perdamaian dan sebagainya, yang semua nilai tersebut juga dijumpai dalam kepercayaan lain. Selain itu, individu harus diposisikan sebagai “manusia” yang memiliki keunikan. Kata kunci: pendidikan Islam, sekuler, kapitalistik, nilai Islam.
Abstract Indonesia known as the country with the largest Muslim population, but Islamic values are not widely applied in Indonesia. But many national education system to apply the secular education system-capitalistic. This phenomenon is a thing quite contradictory. This article seeks identifies the application of Islamic education system in the national education system. Basically, the principles of Islamic education to develop the values that are universal. Education Islam teaches principles of equality, solidarity, tolerance, peace and so forth, which all values are also found in other faiths. In addition, the individual must be positioned as a "man" which is unique. Key words: education of Islam, secular, capitalistic, Islamic values.
Pendahuluan Bila orang menyadari bahwa ia (mereka) hidup untuk belajar, maka mereka (ia) tidak mementingkan gelar atau simbol-simbol seperti ijasah dan diploma, bahkan juga semua implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya. Yang terpenting adalah “mengeluarkan” potensi dirinya dan membuat dirinya menjadi nyata bagi sesamanya. Dan, proses ini tidak pernah kelar, tidak pernah selesai, sampai mereka memperoleh “anugerah” berupa batu nisan di pekuburan (Jakob Sumardjo, dalam Harefa, 2002). Pendidikan nasional sejak awal kemerdekaan ternyata belum menemukan formulasi yang sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia. Sistem pendidikan nasional dalam kenyataannya masih mencari formula yang paling sesuai. Tak
[page 2]
pelak, hal ini kemudian menyebabkan terjadinya pergantian berbagai komponen dalam sistem pendidikan, mulai dari tujuan yang hendak dicapai, strategi pencapaian, perubahan kurikulum dan sebagainya. Sistem pendidikan juga dituding turut memicu terjadinya berbagai krisis yang terjadi di Indonesia. Wajah buruk pendidikan nasional sudah bukan menjadi rahasia umum. Tawuran antarpelajar, fenomena plagiatisme, kasus-kasus ijasah palsu, jual beli kursi, jual beli nilai, percaloan siswa, dan sederetan cerita buruk lain hampir selalu mewarnai praktik pendidikan di negara ini. Fenomena tersebut bahkan sudah dianggap sebagai hal biasa bagi sebagian masyarakat dan sekaligus sebagai wujud kegagalan institusi pendidikan dalam membangun karakter bangsa. Hal ini diperparah dengan kemunculan makhluk baru bernama globalisasi yang nyaris meluluhlantakkan praktik pendidikan nasional dari berbagai aspek. Era globalisasi merupakan sebuah era yang tengah menjadi bahan pembicaraan masyarakat di seluruh dunia karena dampaknya yang sangat luar biasa. Globalisasi yang melanda dunia membawa berbagai konsekuensi logis bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Aspek politik, sosial, budaya dan ekonomi menjadi imbas munculnya makhluk bernama globalisasi ini. Globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah proses penyeragaman seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Seluruh negara di dunia seolah-olah disatukan oleh sebuah prosesi yang bersifat global ini. Kualitas sumber daya manusia (SDM) dituntut untuk mampu bersaing di tingkat global sehingga mampu menghadapi era globlisasi. Hal ini sangatlah wajar mengingat globalisasi telah menghapus batas budaya antarwilayah geografis. Batas antarnegara pun seolah telah dihapus, semua individu dari semua negara bebas berinteraksi, bahkan mereka bebas menembus batas geografis antarnegara. Mobilitas individu pun menjadi tinggi, bukan lagi dari desa ke kota, bukan antarprovinsi, bahkan mobilitas antarnegara sangat mudah dilakukan. Lebih dari itu, globalisasi bahkan telah menghapus perbedaan ras dan etnis. Satu pertanyaan yang harus dijawab adalah, sudah siapkah sistem pendidikan kita menghadapi era globalisasi ini? Bila ternyata di dalam praktik pendidikan nasional masih diwarnai berbagai citra negatif, mampukah sistem pendidikan nasional menciptakan kualitas SDM yang mampu bersaing di era global? Ada beberapa fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih tergolong sangat rendah, kinerja birokrasi nyaris yang terburuk di dunia, anggaran dan gaji guru adalah terendah, hutang negara nyaris tertinggi, jumlah partai politik terbanyak di dunia, serta berbagai wajah suram lain masih mewarnai negeri ini (Danim, 2003). Bila ini yang terjadi, kiranya perlu dikaji kembali berbagai kebijakan yang berkaitan dengan praktik pendidikan di negara ini. Di sisi lain, data menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen penduduk Indonesia adalah muslim. Namun, berbagai catatan buruk sebagai mana disebutkan sebelumnya, kiranya patut menjadi perhatian. Di negara yang mayoritas muslim ternyata memiliki tingkat korupsi yang tergolong tinggi, praktik
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 3]
pendidikan yang dijalankan juga tidak berdasar pada prinsip-prinsip Islam. Kondisi ini merupakan sebuah ironi. Di tengah penduduk yang sebagian besar muslim tersebut, justru paham kapitalisme yang berasal dari negara barat berkembang dan tumbuh subur dan telah mendarah daging. Jadilah negara kita negara muslim namun berideologi kapitalis yang sekuleristik. Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini menggunakan sistem pendidikan sekuler dan watak sekuler inilah yang mendominasi praktik pendidikan di Indonesia. Dominasi ini nampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transendental pada hampir semua proses pendidikan. Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shalih yang mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi (Aliya, 2010). Sistem pendidikan Islam di Indonesia masih ditempatkan dalam posisi kedua. Berangkat dari fenomena tersebut, kita perlu mempertimbangkan mengenai bagaimana solusi yang dapat dijalankan agar sistem pendidikan nasional mampu berperan dan berfungsi sebagai mana mestinya. Proses reformulasi kebijakan pendidikan harus memperhatikan nilai-nilai Islami yang sesuai dengan kepercayaan sebagian besar masyarakat kita. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana prinsip-prinsip Islam terutama dalam aspek pendidikan dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional? Bagaimana dengan prinsip pluralitas atau kemajemukan Bangsa Indonesia? Tujuan Penulisan Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan strategi penerapan nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan nasional. Dengan penerapan nilai-nilai Islam ini diharapkan ada sebuah pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional yang mampu mengoptimalkan potensi individu. TINJAUAN PUSTAKA Hakikat Pendidikan Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah paedagogie yang berarti “pendidikan”, serta paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak”. Konsep pendidikan tersebut kemudian dapat dimaknai sebagai usaha yang dilakukan orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing atau memimpin perkembangnan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (Arief, 2005). Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu “mengeluarkan dan menuntun”, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai erziehung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Grene mendefinisikan pendidikan dengan usaha manusia untuk menyiapkan dirinya untuk suatu kehidupan bermakna. Secara singkat, dari berbagai definisi tersebut, pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya (Iriani, 2010). Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai suatu usaha yang
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 4]
dilakukan individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaankebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktivitas kehidupan secara efektif dan berhasil. Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proses-proses pemberdayaannya. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat atau suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut (Sanaky, 2010). Pendidikan pada hakikatnya juga dapat didefinisikan sebagai sebuah proses mengubah perilaku individu, tentu saja dalam hal ini adalah perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Proses pendidikan itu sendiri, oleh Freire (2002) dimaknai sebagai sebuah proses untuk membentuk manusia seutuhnya, atau proses memanusiakan manusia (humanisasi). Dewey (1979) memberikan definisi pendidikan secara lebih luas sebagai organisasi pengalaman hidup, serta pembentukan kembali pengalaman hidup. Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi yaitu dari sudut pandangan masyarakat, dan dari segi pandangan individu. Pendidikan dari segi pandangan masyarakat dapat dimaknai sebagai proses pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar kehidupan masyarakat tetap berlanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara. Pendidikan dari sudut pandang individu dapat diartikan sebagai pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi (Yunadi, 2009). Setiap individu memiliki potensi yang berbeda. Pengembangan potensi individu inilah yang harus menjadi perhatian utama dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Hakikat Pendidikan dalam Islam Sistem pendidikan Islam harus dibedakan dengan Sistem Pendidikan Agama Islam. Banyak kalangan yang mencampuradukkan kedua istilah ini, seolaholah kedua istilah tersebut bermakna sama. Anggapan ini adalah sebuah kekeliruan. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi pendidikan Islam dari berbagai sumber. Langgulung (2002) merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peran, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan akhirat. Qardhawi (dalam Iriani, 2010), mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 5]
Menurut Arifin (1981) pendidikan Islam merupakan usaha orang dewasa muslim yang bertakwa yang secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembanngan fitrah anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut Jalaluddin (2001) pendidikan Islam dapat didefinisikan sebagai usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya, dengan berpedoman pada syariat Islam yang disampaikan oleh Rasul Alloh agar manusia dapat berperan sebagai pengabdi Alloh yang setia dengan segala aktifitasnya guna terciptanya suatu kondisi kehidupan Islami yang ideal selamat, aman, sejahtera dan berkualitas serta memperoleh jaminan hidup di dunia dan akhirat. Beberapa uraian tersebut, dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah bahwa pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Pendidikan Islam lebih menekankan pada aspek bimbingan (menuntun) daripada pengajaran serta berupaya untuk mengembangkan potensi individu. Selain itu pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaranajaran Islam. Hal inilah yang cukup membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan secara umum yang banyak dilandasi pada ideologi sekuler. Untuk itu, pendidikan Islam bertujuan untuk mempersiapkan individu dalam menumbuhkan segenap potensi diri yang ada baik jasmani maupun rohani dengan pertumbuhan yang terus menerus agar dapat hidup dan berpenghidupan sempurna sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan umatnya (Arief, 2005). Sistem pendidikan Islam juga memiliki tujuan lain yang lebih luas cakupannya, di antaranya: menurut Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Alloh, pendidikan harus menjadikan seluruh manusia menghambakan diri kepada Alloh, yaitu dengan beribadah kepada Alloh. Konsep ibadah dalam hal ini mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Alloh. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang Islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar. Menurut Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah: pertama, tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuankemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat. Kedua, tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat. Ketiga, tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat (Hadi, 2010). Sistem pendidikan Islam dalam pelaksanaanya memiliki beberapa kaidah yang menjadi dasar proses pendidikan: pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama sehingga proses pembelajaran dan transmisi ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Alloh SWT, sehingga pendidikan
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 6]
merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif. Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan. Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur. Kelima, konstruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina (Iriani, 2010). PEMBAHASAN Pendidikan Islam versus Pendidikan Sekuler-Kapitalistik Berdasarkan uraian pada bagian sebelumya, maka jelas bahwa sistem pendidikan Islam berbeda dengan sistem pendidikan sekuler-kapitalistik. Pemikiran-pemikiran ideologi sekuler-kapitalistik didasarkan pada ide dasar pemisahan agama dari kehidupan, sehingga kehidupan pun kemudian diatur berdasarkan pada pemikiran manusia. Dalam hal pengaturan kehidupan yang menjadi asasnya adalah asas manfaat sedangkan tujuannya adalah mencapai kebahagian/kesejahteraan material semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuannya, terdapat beberapa konsep-konsep yang hendak diwujudkan dan dijaga, demi tetap terjaganya sekulerisme. Konsep-konsep ini berintikan pada konsep kebebasan, yaitu: konsep kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat atau berekspresi, kebebasan beragama/berkeyakinan, dan kebebasan bertingkah laku. Pemikiran ideologi sekuler-kapitalistik dalam sistem pendidikan berlandaskan pada konsep-konsep serta asas-asas tersebut. Dunia pendidikan difungsikan sebagai penopang bagi mesin industri kapitalisme, sehingga tujuan pendidikan dalam ideologi ini adalah untuk mencetak individu-individu yang profesional yang dapat mendukung keberlangsungan industri-industri mereka, intinya adalah mencetak para pekerja yang baik. Oleh karena itu, kadang kala negara diharuskan ikut mendukung bahkan mungkin juga total mendanai masalah pendidikan. Hal ini karena pendidikan dipandang sebagai investasi, dan dengan menggunakan negara maka biaya investasi untuk mencetak pekerja-pekerja yang tangguh bagi mesin industri kapitalis, akhirnya ditanggung oleh masyarakat melalui pajak. Bentuk pendanaan oleh negara dalam dunia pendidikan ternyata bervariasi antara satu negara barat dengan negara yang lainnya. Jadi, bukanlah tabu bagi negara yang berideologi kapitalis, untuk ikut mendanai biaya pendidikan (Sadad, 2010). Sistem pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi antara “pendidikan agama” dengan “pendidikan umum”. Pada dasarnya, setiap bidang pelajaran harus mengaitkan kedua unsur tersebut dalam satu kesatuan. Pada mata pelajaran biologi misalnya, peserta didik harus mengalami proses penyadaran akan kebesaran Alloh yang dibuktikan dengan berbagai ciptaan-Nya di dunia ini. Alloh mampu menciptakan manusia yang terdiri atas milyaran sel yang tidak kasat mata. Sel ini tidak akan mampu ditiru manusia. Pada mata pelajaran fisika, peserta didik dapat melihat wujud kekuasaan Alloh melalui berbagai penampakan benda di luar
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 7]
angkasa (kumpulan bintang atau galaksi) yang jaraknya jutaan tahun cahaya dari bumi. Pada mata pelajaran ekonomi, peserta didik dapat mempelajari berbagai aturan dalam praktik jual beli yang sesuai dengan ajaran Islam, mengingat sampai saat ini, sistem ekonomi syariah belum banyak dikenal siswa sejak dini. Mereka lebih banyak mempelajari sistem ekonomi kapitalistik yang justru banyak menyebabkan berbagai keterpurukan di negara ini. Sistem pendidikan sekuler-kapitalistik yang dipraktikkan di Indonesia dinilai tidak memosisikan individu sebagai individu yang bebas. Setiap individu dibelenggu kebebasannya, sehingga mereka sulit untuk mengembangkan potensinya. Wujud pemaksaan yang dapat dilihat adalah dalam praktik ujian nasional (UN). Peserta didik melalui UN ini dipaksa untuk mampu menguasai bidang ilmu yang bukan menjadi bidang keahliannya. UN juga telah mengesampingkan posisi pendidikan agama karena mata pelajaran ini ternyata tidak dimasukkan dalam UN. Praktik pendidikan dalam sistem sekuler-kapitalistik lebih melihat peserta didik sebagai sebuah investasi. Untuk itu, individu dipaksa untuk bersaing secara bebas. Prestasi adalah segala-galanya, dengan demikian keunikan individu sangat tidak dihargai. Setiap individu dipandang memiliki karakter yang sama serta memiliki kemampuan yang sama, sehingga antara individu satu dengan individu yang lain bisa dibandingkan. Hal inilah yang kemudian bagi sebagian besar masyarakat, prestasi adalah simbol status. Banyak orang tua yang merasa malu manakala buah hatinya tidak secerdas teman-temannya, sehingga buah hati mereka tidak masuk dalam peringkat sepuluh besar misalnya. Demikian juga dalam kasus UN, banyak orang tua yang tertekan manakala buah hati mereka ternyata gagal dan dinyatakan tidak lulus dalam UN. Merekapun kemudian menyalahkan pihak sekolah, gurupun menjadi terdakwa. Pendidikan dalam sistem kapitalistik adalah simbol status. Oleh karena itulah, sebagian besar individu akan berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh status tersebut. Dua kesalahan yang sering dilakukan adalah, mereka berusaha untuk dapat mengenyam pendidikan formal, sehingga posisi pendidikan nonformal dinomorduakan. Kedua, banyak di antara individu yang kemudian menghalalkan berbagai cara untuk mencapai status tersebut. Individu yang merasa kurang berprestasi harus menanggung malu dan mengalami stres. Logika kapitalis pun turut mewarnai praktik pendidikan. Akibatnya pendidikan kemudian menjadi sebuah komoditas yang dikomersialkan. Praktik jual beli hampir selalu menghiasi praktik pendidikan di setiap lembaga pendidikan. Selain itu, dalam praktik pendidikan peserta didik sering diposisikan sebagai modal (baca: calon tenaga kerja). Untuk itu, segala perilaku peserta didik dibentuk agar dapat menjadi tenaga kerja yang baik, penurut, selalu taat dan patuh pada guru yang dianalogikan sebagai “majikan”. Guru lalu memosisikan dirinya sebagai “majikan”, interaksi guru-murid berubah menjadi hubungan “buruh-majikan”. Bagi Freire (2002), relasi guru-murid ini disebut sebagai praktik pendidikan gaya bank. Anak (murid) diposisikan sebagai objek, dan diibaratkan menjadi sebuah “bejana kosong” yang harus terus diisi dengan ilmu pengetahuan. Anak menjadi “bank”
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 8]
yang menjadi sumber investasi masa depan dengan ilmu pengetahuan yang ditanamkan. Guru adalah subjek yang aktif, yang selalu memberikan ilmu pengetahuan kepada siswa yang harus diingat dan dihapal selamanya. Ciri-ciri pendidikan gaya bank: 1. Guru mengajar, murid belajar. 2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa. 3. Guru berpikir, murid dipikirkan. 4. Guru bicara, murid mendengarkan. 5. Guru mengatur, murid diatur. 6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti. 7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. 8. Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri. 9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalisme dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid. 10. Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah objeknya. 11. Guru adalah subjek yang aktif yang selalu memberikan ilmu pengetahuan kepada siswa yang harus diingat dan dihapal selamanya (Freire, 2002; Topatimasang, dkk., 2005). Ciri-ciri tersebut sangat tidak memamusiakan manusia, tidak memosisikan peserta didik sebagai individu yang aktif. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan Islam yang sangat menjunjung tinggi derajat individu. Implementasi Pendidikan Islam Indonesia adalah negara yang sangat plural. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah dapatkah sistem pendidikan Islam diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional? Jawabannya tentu saja “dapat”. Sistem pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang sangat fleksibel dan inklusif. Islam adalah satu-satunya agama yang mengatur hampir semua aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Prinsip pendidikan Islam sangat mudah untuk diimplementasikan. Untuk dapat mengimplementasikan pendidikan Islam harus melibatkan komponen tripusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, sehingga sekolah bukanlah satu-satunya pelaku pendidikan. Proses pendidikan harus dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga memiliki tugas utama untuk mengajarkan kepada individu mengenai nilai-nilai tertentu, seperti kejujuran, keindahan, prinsip kesetaraan dan sebagainya. Nilai-nilai agama juga harus ditanamkan sejak individu tinggal dalam lingkungan keluarga. Di sekolah, individu mulai dikenalkan dengan berbagai ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya adalah ilmu agama. Masyarakat akan mendidik individu untuk menjadi manusia “seutuhnya” yang harus berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas. Di masyarakat individu akan menjadi individu yang menjalani kehidupan yang sebenarnya. Pada dasarnya prinsip pendidikan Islam mengembangkan nilai-nilai bersifat universal. Pendidikan Islam mengajarkan prinsip kesetaraan, kebersamaan,
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 9]
toleransi, perdamaian dan sebagainya, yang semua nilai tersebut juga dijumpai dalam kepercayaan lain. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam sistem pendidikan Islam, individu harus diposisikan sebagai “manusia” yang memiliki keunikan. Tingkat kecerdasan antara individu satu dengan yang lain tidak dapat saling diperbandingkan. Setiap individu memiliki potensi masing-masing, dan kita tidak boleh untuk memaksakan potensi mereka. Pemerintah sebagai institusi kunci dalam proses perumusan kebijakan harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu. Kesempatan ini harus diupayakan baik secara kuantitas maupun kualitas. Pemerintah juga tidak boleh mengkultuskan posisi lembaga pendidikan formal, yang kemudian berdampak pada posisi pendidikan nonformal yang dinomorduakan. Pengkultusan pendidikan formal ini dalam praktiknya justru banyak mengakibatkan dampak negatif. Terlebih lagi, di era global ini, masyarakat dituntut untuk bekerja secara instan. Budaya instan ini ternyata menggerogoti praktik pendidikan nasional. Di lain pihak, beribu masalah yang melanda dunia pendidikan nasional, tidak lepas dari berbagai kekuatan yang melanda negara kita. Pertama, tekanan untuk menerima gelombang globalisasi. Kedua, tekanan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang belum mapan. Masyarakat tidak siap menerima berbagai perubahan kebijakan pendidikan. Ketiga, budaya KKN yang sulit dihapus. Ketiga faktor ini turut memperparah masalah pendidikan nasional. Tekanan modernisasi dan globalisasi memaksa pemerintah untuk menyiapkan SDM yang berdaya saing di tingkat internasional. Segala kebijakan pun diarahkan untuk tujuan ini, maka dibentuklah tipe sekolah semacam SBI (Sekolah Berstandar Internasional), kelas bilingual atau kelas internasional. Pendirian beberapa tipe sekolah ini ternyata memunculkan ketimpangan sosial, menciptakan ketidakmerataan akses pendidikan. Banyaknya masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan adalah pekerjaan rumah yang sangat sulit untuk diatasi. Pendidikan dan kondisi ekonomi adalah dua faktor yang memiliki kedudukan yang sejajar. Dua faktor tersebut saling mempengaruhi. Untuk itu, kedua komponen tersebut harus diperhatikan secara bersamaan tanpa mempertimbangkan mana yang harus didahulukan, mana yang dinomorduakan. Pendidikan adalah kunci perubahan sekaligus kunci peradaban. Tanpa pendidikan, kemajuan peradaban suatu bangsa sulit untuk diraih. Mentalitas korup juga turut memperparah implementasi kebijakan di bidang pendidikan. Berbagai kebijakan sering kali mentah, tidak menghasilkan manfaat apapun, bahkan justru merugikan berbagai pihak terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Kebijakan sekolah gratis misalnya, tidak diimplementasikan dengan benar oleh beberapa lembaga pendidikan. Meskipun pemerintah menggratiskan sekolah negeri, namun kenyataan di lapangan sering kali jauh dari harapan. Sekolah negeri yang seharusnya gratis, ternyata masih memberlakukan berbagai pungutan liar dengan berbagai alasan. Masalah ini kadang kala masih diperparah dengan mekanisme penerimaan peserta didik baru yang tidak sesuai
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 10]
dengan aturan, misalnya dalam masalah transparansi. Banyak sekolah yang tidak transparan dalam mengumumkan hasil seleksi penerimaan peserta didik baru, misalnya melalui amplop atau surat. Mekanisme ini sangat membuka peluang terjadinya kecurangan atau bahkan KKN –Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Masyarakat turut berperan dalam menciptakan kondisi kecurangan ini. Masyarakat lebih mengejar status daripada substansi pendidikan itu sendiri. Para orang tua akan lebih bangga bila anaknya mampu bersekolah di sekolah favorit, sehingga mereka rela bila harus mengusahakan anaknya untuk masuk meskipun melalui “jalur belakang”. Parahnya, trik ini juga dimanfaatkan oleh oknum kepala sekolah. Masyarakat terlena dengan berbagai simbol status, ijasah maupun gelargelar akademik lainnya. Praktik-praktik semacam ini juga merugikan guru sebagai pelaksana teknis dalam proses pembelajaran di sekolah. Guru (dan bahkan dosen) dipaksa untuk mengajar peserta didik yang kemampuanya di bawah rata-rata. Sementara ketika sang siswa tidak mampu memperoleh hasil yang maksimal, aktor yang pertama kali mendapat cemoohan adalah sang guru, misalnya dalam kasus Ujian Nasional. Tekanan globalisasi juga memaksa bangsa ini untuk memasuki era pasar bebas. Era pasar bebas memungkinkan bentuk-bentuk privatisasi. Privatisasi ini mengindikasikan lepasnya campur tangan negara dalam mengatur berbagai fasilitas publik, seperti pendidikan, kesehatan, sektor komunikasi, media massa, ekonomi dan sebagainya. Peran negara dalam hal ini hanya sebatas memberikan regulasi atau kebijakan, sedangkan implementasi diserahkan pada mekanisme pasar. Catatan untuk Kebijakan Sektor pendidikan berbeda dengan sektor yang lain. Pendidikan adalah aset, modal pembangunan yang sangat besar. Ketika pendidikan diposisikan sebagai modal, maka hasil proses pendidikan tidak dapat langsung dirasakan, perlu waktu puluhan tahun untuk menuai hasil dari proses pendidikan ini. Pemerintah dalam mengatasi masalah pendidikan, memiliki pekerjaan rumah yang sangat sulit. Satu kelemahan yang dilakukan pemerintah selaku pembuat kebijakan adalah tidak adanya kontrol serta sanksi yang jelas bagi pelanggar kebijakan. Pemerintah selalu melempar tanggung jawab bila di lapangan ternyata banyak terjadi pelanggaran. Pemerintah menurut penulis, sebenarnya memiliki kekuatan untuk memotong garis birokrasi, artinya bila terjadi pelanggaran, pemerintah pusat dapat langsung melakukan tindakan tanpa harus menunggu laporan dari pemerintah daerah. Ada satu hal yang harus diperhatikan dalam perumusan kebijakan, yaitu aspek sosiologis masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat plural baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, terkait dengan masalah ekonomi, pelapisan sosial. Secara horizontal meliputi masalah kepentingan pribadi dan kelompok, perbedaan kondisi sosial dan budaya. Kepentingan inilah yang sering menyebabkan kebijakan di sektor pendidikan sulit diimplementasikan. Kepentingan di sini juga termasuk kepentingan para elit politik. Banyak kelompok tertentu yang memanfaatkan keuntungan melalui sektor
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 11]
pendidikan ini. Budaya, terkait erat dengan masalah mentalitas sebagian besar masyarakat yang lebih menyukai budaya instant. Masyarakat lebih mendahulukan tujuan daripada proses mencapai tujuan tersebut. Akibatnya, banyak masyarakat yang lebih menyukai cara instant, “yang penting dapat nilai baik, dapat ijasah dan lulus”. Mentalitas inilah harus menjadi bahan pemikiran. Keberadaan mentalitas ini sebenarnya dilegitimasi oleh kebijakan pemerintah sendiri. Sistem ujian lebih banyak terpaku pada hasil bukan pada proses yang terukur dengan berbagai indikator kuantiatif. Aspek penilaian seharusnya lebih memperhatikan proses daripada hasilnya proses pendidikan tersebut. Itulah beberapa catatan yang harus mendapat perhatian dari para penentu kebijakan. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah harus ada political will dari pembuat kebijakan. Janganlah sebuah kebijakan hanya dijadikan alat untuk meraih kepentingan sekelompok orang saja. Simpulan Keterpurukan pendidikan nasional lebih disebabkan berkembangnya prinsip pendidikan sekuler-kapitalistik. Pada sistem ini, individu berada pada posisi yang tidak menguntungkan sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya. Sistem pendidikan Islam dalam praktiknya menggunakan nilai-nilai yang bersifat universal. Pendidikan lebih dimaknai sebagai sebuah ibadah, bukan semata-mata untuk mengejar gelar atau status. Pendidikan dimaknai sebagai sebuah kewajiban sehingga diharapkan setiap individu memiliki kesadaran untuk melakukan proses pendidikan ini. Hal ini tentu saja menyangkut peran pemerintah yang berkewajiban untuk menyediakan kesempatan bagi individu untuk dapat mengenyam pendidikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengkultusan pendidikan formal ini dalam praktiknya justru banyak mengakibatkan dampak negatif. Terlebih lagi, di era global ini, masyarakat dituntut untuk bekerja secara instan. Saran Praktik pendidikan nasional yang bernuansa sekuler-kapitalistik harus segera dibenahi. Praktik pendidikan semacam ini, tidak banyak memberikan kebaikan bagi warga negara Indonesia yang ingin mengenyam pendidikan yang layak. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, pemerintah harus tetap melakukan campur tangan dalam meregulasi praktik penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat yang paling bawah (di tingkat sekolah). Kedua, harus ada kontrol terhadap pihak penyelenggara pendidikan di satuan pendidikan. Kontrol harus dimulai dari pemerintah sampai anggota masyarakat. Ketiga, harus ada pemerataan kesempatan untuk menempuh pendidikan, sehingga hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan akan terpenuhi. Subsidi silang merupakan solusi yang cukup efektif untuk merealisasikan sistem pendidikan yang meritokratis.
Daftar Pustaka Ahmed, Manzoor. 1990. Islamic Education. Qazi Publishers, New Delhi.
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 12]
Aliya, 2010. Menggagas Kembali Konsep Sistem Pendidikan Islam, diakses melalui situs: http://hati.unit.itb.ac.id/?p=43, 12 November 2010. Arief, Armai. 2005. Reformulasi Pendidikan Islam. CRSD Press, Jakarta. Arifin, Muzayin. 1981. Kapita Selekta Pendidikan (Umum dan Agama), Toha Putra, Semarang. Danim, Sudarwan. 2003, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Dewey, John. 1979. Democracy and Education. Mac. Milan, London. Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (diterjemahkan oleh Fuad dari The Politics of Education: Culture, Power and Liberation). Hadi Sopwan. 2010. Definisi dan Tujuan Pendidikan Islam, diakses melalui situs: http://sopwanhadi.wordpress.com/2010/02/28/definisi-dan-tujuanpendidikan-islam/, 12 November 2010. Harefa, Andrias. 2001. Menjadi Manusia Pembelajar. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Iriani.
2010, Memahami Pendidikan Islam, diakses melalui situs: http://www.forumsantri.com/printthread.php?tid=1385, 12 November 2010.
Jalaluddin. 2005, Teologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta. Langggulung, Hasan. 2002. Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, Gaya Media Pratama, Jakarta Sadad, Ali. 2010. Sistem Pendidikan dalam Ideologi Sekuler-Kapitalisme: Studi Kasus Sistem Pendidikan Amerika, diakses melalu situs: http://elbaghdaddy.blogspot.com/2010/01/sistem-pendidikan-dalamideologi.html, 12 November 2010. Sanaky, Hujair A.H. 2010. “Pendidikan Islam di Indonesia (Suatu Kajian Upaya Pemberdayaan)”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, diakses melalui situs http://www.sanaky.com/materi/PENDIDIKAN_ISLAM_DI_INDONESIA.p df, 12 November 2010. Topatimasang, Roem, dkk. 2001. Pendidikan Popular: Menuju Pendidikan Kritis. Insist Press, Yogyakarta. Yunadi, Yun Yun. 2009. Kajian Perbandingan Karakteristik Pendidikan Islam Dan Barat Jurnal Dakwah, diakses melalui situs: http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/kajian-perbandingankarakteristik_11.html, 12 November 2010.
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta
[page 13]
☺☺☺☺☺
JJUURRNNAALL PPEENNEELLIITTIIAANN IINNOOVVAASSII DDAANN PPEERREEKKAAYYAASSAA PPEENNDDIIDDIIKKAANN Vol. 4 Tahun ke-2 April 2012. Puslitjak Kemdiknas, Jakarta