5.1 BAHAN BELAJAR MANDIRI
5 IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KRITIK DAN APRESIASI SENI RUPA DI SEKOLAH DASAR Oleh: Bandi Sobandi PENDAHULUAN Pemberlakuan kurikulum baru membawa perubahan paradigma terhadap pelaksanaan pembelajaran. Pada kurikulum 1994 dan sebelumnya, paradigma kurikulum bersifat konservatif, guru sebagai pelaksana pembelajaran kurang diberi kebebasan untuk melakukan inovasi dan perubahan dalam pembelajaran. Sementara itu, kehadiran kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) membawa perubahan terhadap paradigma pendidikan dan pembelajaran yang inovatif-kreatif bagi guru. Fenomena itu merupakan sebuah tantangan dan sekaligus harapan yang perlu dihadapi dengan bijak oleh para guru karena sebaik apapun kurikulum yang telah dirancang oleh para pakar, keberhasilannya akan tergantung dalam praktek pembelajaran di sekolah. Istilah “kritik” dan “apresiasi“ dalam kontek pembelajaran seni bagaikan dua mata uang yang tidak dipisahkan. Kegiatan kritik diibaratkan sebagai pisau analisis yang dapat digunakan dalam melakukan apresiasi karya seni. Untuk itu guru dan siswa perlu memiliki kemampuan dasar dalam mengenal konsep dasar seni rupa (unsur seni, prinsip seni, fungsi seni, sejarah seni, dan materi pendukung lainnya) sehingga proses pembelajaran ini berjalan dengan baik.
5.2 Dalam implementasinya, kegiatan kritik dan apresiasi seni pada jenjang pendidikan formal belum sesuai dengan harapan. Berdasarkan hasil penelitian penulis ditemukan bahwa ada beberapa faktor yang menghambat dalam proses pembelajaran apreaiasi seni rupa pada jenjang SMP di Kota Bandung di antaranya: kebijakan pendidikan dan sekolah, kesiapan guru, ketersediaan sarana dan prasarana yang kurang mamadai, dan dukungan guru lain (Sobandi, 2006). Bila kita cermati secara seksama Standar Kompetensi yang dicanangkan dalam KTSP maka kegiatan pembelajarn seni rupa di SD mencakup kegiatan: mengapresiasi karya seni rupa dan mengekspresikan diri melalui karya seni rupa. Hal ini ditemukan pada tiap tingkatan kelas dari kelas rendah sampai kelas tinggi pada jenjang sekolah dasar. Hal ini ditegaskan dengan Peraturan Mentri Nomor 22 Tahun 2006 mengenai Standar Isi bahwa standar kompetensi lulusan pada mata pelajaran Seni Budya khusunya Seni Rupa pada jenjang pendidikan SD, adalah: 1. Mengapresiasi dan mengekspresikan keartistikan karya seni rupa terapan melalui gambar ilustrasi dengan tema benda alam yang ada di daerah setempat 2. Mengapresiasi dan mengekspresikan keartistikan karya seni rupa murni melalui pembuatan relief dari bahan plastisin/tanah liat yang ada di daerah setempat 3. Mengapresiasi dan mengekspresikan keunikan karya seni rupa Nusantara dengan motif hias melalui gambar dekoratif dan ilustrasi bertema hewan, manusia dan kehidupannya serta motif hias dengan teknik batik 4. Mengapresiasi dan mengekspresikan keunikan karya seni rupa Nusantara dengan motif hias melalui gambar dekoratif dan ilustrasi dengan tema bebas 5. Mengapresiasi dan mengekspresikan keunikan karya seni rupa Nusantara melalui pembuatan benda kreatif yang sesuai dengan potensi daerah setempat Berdasarkan strandar kompetensi di atas maka kegiatan pembelajaran apreasiasi yang dapat dilakukan dengan model pembelajaran kritik perlu dilakukan. Pada Bahan Belajar Mandiri 5 ini Anda akan mempelajari tiga kegiatan pembelajaran, yaitu: konsep Model Pembelajaran Kritik Seni Rupa, Konsep Pembelajaran Apreasiasi Seni Rupa, dan Implementasi Pembelajaran Kritik dan Apresiasi Seni Rupa di Sekolah Dasar.
5.3 Setelah mempelajari Bahan Belajar Mandiri ini diharapkan Anda dapat: 1. Mendefinisikan kembali model pembelajaran menurut para ahli. 2. Menjelaskan manfaat pembuatan model pembelajaran dalam konteks pembelajaran seni rupa di sekolah dasar. 3. Menjelaskan model-model pembelajaran kritik dan apresiasi seni. 4. Menjelaskan fungsi kritik seni 5. Mebedakan jenis penilaian kritik 6. Membedakan tipe kritik 7. Menjelaskan tahap penyajian dalam melakukan kritik seni 8. Menerapkan metode kritik seni dalam konteks pembelajaran seni rupa
5.4 Bahan Belajar Mandiri 1
KONSEP MODEL PEMBELAJARAN KRITIK SENI Proses pembelajaran di sekolah dasar perlu berangkat dari tujuan mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di sekolah. Tujuan mata pelajaran tersebut seperti tersurat pada Kepmen No 22 tahun 2006 bahwa: 1. 2. 3. 4.
Memahami konsep dan pentingnya seni budaya dan keteramilan Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya dan keterampilan Menampilkan kreativitas melalui seni budaya dan keterampilan Menampilkan peran serta dalam seni budaya dan keterampilan dalam tingkat local, regional, maupun global. Kemampuan
dalam
mengapresiasi
seni
dapat
dibina
dan
ditumbuhkembangkan melalui pembelajaran kritik seni. Dalam kelas siswa dan guru bersama-sama membicarakan karya seni dan permasalahannya. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui kegiatan diskusi, presentasi secara lisan, membahas karya seni secara tertulis dan sebagainya. Untuk
melakukan melakukan pembelajaran tersebut,
para siswa
sebelumnya perlu dibekali pengetahuan dan konsep dasar seni rupa. Pembelajaran apresiasi perlu dilakukan dalam kontek pembelajaran seni. Hal ini bertujuan untuk menanamkan sikap dan kebiasaan kritis dan salain menghargai antar sesama.
A. Model Pembelajaran Kritik 1. Pengertian Model Pembelajaran Secara umum model pembelajaran merupakan gambaran upaya guru untuk membuat situasi dalam kegiatan pembelajaran sehingga mendorong siswa untuk belajar. Hal ini ditegaskan Sukmadinata (2004: 243) bahwa: “Model pembelajaran adalah suatu desain yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa/mahasiswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa”. Pendapat yang sama dikemukakan Soekamto dan Winataputra (1997: 78-79) bahwa model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
5.5 suatu aktivitas tertentu.
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual
yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pemandu bagi para perancang desain pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. 2. Manfaat dan Tujuan Pembuatan Model Pembelajaran Suatu model pembelajaran yang baik menurut Chauchan (Sukmadinata, 2003: 243) memiliki beberapa karakteristik, yaitu: memiliki prosedur ilmiah, hasil belajar yang spesifik, kejelasan lingkungan belajar, kriteria hasil belajar, dan proses pembelajaran yang jelas. Suatu model pembelajaran dapat memberikan beberapa manfaat bagi guru. Pertama, memberikan pedoman bagi guru dan siswa bagaimana proses mencapai tujuan pembelajaran. Kedua, membantu dalam pengembangan kurikulum bagi kelas dan mata pelajaran lain. Ketiga, membantu dalam memilih media dan sumber. Keempat, membantu meningkatkan efektivitas pembelajaran. Penggunaan suatu model pembelajaran selain memiliki manfaat, juga memiliki tujuan yang diharapkan. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2005) menyebutkan tiga tujuan utama perumusan sebuah model, yaitu: (1) memberikan gambaran atau deskripsi kerja sistem untuk periode tertentu, dan di dalamnya secara implisit terdapat seperangkat aturanuntuk melaksanakan perubahan, atau memprediksi cara sistem beroperasi di masa depan; (2) memberikan gambaran tentang fenomena tertentu menurut diferensiasi waktu atau memproduksi seperangkat aturan yang bernilai bagi keteraturan sebuah sistem; (3) memproduk model yang mempresentasikan data dan format ringkas dengan kompleksitas rendah. Memilih suatu model mengajar, harus sesuaikan dengan potensi siswa, daya dukung, lingkungan sekolah yang ada, keterampilan guru, dan pandangan hidup yang akan dihasilkan dari proses kerjasama dilakukan antara guru dan peserta didik. Dalam konteks pembelajaran penerapan istilah model pembelajaran didefinisikan Kuswana (2005) bahwa: “Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur
5.6 materi peserta didik, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya”.
3. Model Pembelajaran Kritik Model pembelajaran kritik bisa dikembangkan dan memodifikasinya dari model-model kritik seni yang sudah ada. Smith (1995: 354) mengemukakan pandangan tentang model-model kritik untuk menganalisis dan memahami seni, yaitu: 1. Model Edmund B. Feldman. Model ini berisi empat tahapan, yaitu; deskripsi (description), analisis formal (formal analysis), interpretasi (interpretation), dan evaluasi (evaluation). 2. Model Ralph A. Smith. Model ini juga memiliki empat tahap, yaitu deskripsi (description), karakterisasi dan analisis (analysis and characterization), interpretasi (interpretation), dan evaluasi (evaluation). 3. Model Robert Chelement. Metode induktif-ilmiah yang digunakan pada model ini ada tiga tahapan, yaitu:
1) mengamati fakta-fakta yang berkaitan, 2)
mencoba mengajukan hipotesis terhadap fakta yang diamati, dan 3) menguji kebenaran hipotesis baru yang bertentangan dan mengamati fakta-fakta. 4. Model Per Johansen. Pelaksanaan model ini berupa dialog antara siswa dan guru untuk mempertajam pengembangan estetik dengan melalui tiga tahapan, yaitu: kesan (impression), ekspresi (expression), dan tanggung jawab (commitment). 5. Model Louis Lankford. Model yang fenomenoligis ini terdari dari lima tahap (dirancang dalam sebuah urutan, tetapi tidak…) terdiri dari: penerimaan (receptiveness), penentuan tujuan (orienting), pengumpulan/penggolongan (bracketing),
analisis
penafsiran
(interpretative
analysis),
perpaduan/
kesimpulan (synthesis). 6. Model Tom Anderson. Secara kontekstual metode ini terdiri dari lima tahapan, yaitu reaksi (reaction), analisis perseptual (perceptual analys), penafsiran secara perorangan (personal interpretation), pengujian kontekstual (contextual examination), dan kesimpulan (synthesis).
5.7 4. Metode-Metode dalam Kritik Seni Penggunaan metode sangat penting agar para siswa mengerti proses dalam kritik seni dan membawa mereka ke arah pemahaman dalam kriteria yang digunakan. Chapman (1978: 80) menyebutkan metode kritik seni dalam upaya mengembangkan kemampuan dan kepercayaan diri siswa dalam melakukan kritik seni. Metode-metode tersebut, yaitu: metode induktif, deduktif, emphatik dan interaktif. Penjelasan singkat berkaitan dari empat metode tersebut terrangkum dari penjelasan Chapman (1978: 80-89), yaitu: a. Metode Induktif Metode ini merupakan metode yang disukai dalam menilai karya seni. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bukti-bukti visual yang mirip dengan teman Sherlock Holmes, Dr. Waston. Langkah-langkah secara umum yang dikembangkan dengan mengumpulkan hasil pengamatan berupa infentory atau menghitung elemen visual dalam karya seni, menggambarkan hubungan antara elemen visual yang ada, da ketika kita telah percaya behwa karya yang di bahwas diterima maka kemudian membuat ringkasan dari kesan dengan kata-kata. Ini penting untuk menghindari reaksi emosi atau terlalu didni dalam melakuan penilianan karya. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam melaksanakan metode ini adalah: 1. Gambarkan dasar karakter karya. a. Bagian dasar: kebiru-biruan, abu-abu, elips, gelap. b. Area keseluruhan: kedalaman alur klaster, pola biji-bijian. 2. Gambarkan hubungan antar bagian. a. Area dasar: area ini lebih terang dari ini b. Bagian keseluruhan: bagian samping kiri ini lebih halus dibandingkan dengan bagan kanan. c. Hubungan skala pengulangan: warna biru diulang. 3. Gambarkan wilayah “(tempat) dan kualitas keseluruhanya. a. Aspek non manusiwi: bidang ini memanjang b. Kualitas manusiawi: semangat, brooding, nyaman.
5.8 4. Tafsirkan aspek-aspek yangdihubungkan dengan pengalaman. a. Apakah menggambarkan atau memerankan: perahu, kuda, orang. b. Apa yang disarankan: tulang-tulang ini seperti dinosaurus, garis seperti sebuah daun 5. Tafsirkan dan ringkas ide, tema, kualitas ekpresi dari makna dari karya. 6. Evaluasi karya dengan kriteria kritik dan tunjukkan bukti-bukti untuk mendukung penilian b. Metode Deduktif Pendekatan deduktif ini sering disebut dengan nama pendektan Sherlock Holmes. Dia menjadi terkenal
dengan kemampuannya untuk memecahkan
kekeliruan dengan pengembangkan suatu teori yang mengizinkan untuk menarisk suatu kesimpulan. Orang-orang menganggap bahwa pendektan deduktif adalah sesuatu yang tidak alamiah (unnatural) dan bersifat membatasi (restrictive). Mereka berpendapat bahwa jika mengikuti aturan yang berkaitan dengan fakta-fakta, maka seharusnya mempertahankan jarak antara perasaan individu (personal feelings) dengan kemampuan intelektual (intellectual performance). Dalam pertentangan, pendektan dapat mempertinggi keterlibatan antara pekerjaan seni, secara khusus jika kita mau untuk meletakkannya sebagai percobaan, untuk dibicarakan, yang memerlukan waktu bayak dengan standar perbedaan masingmasing. Pendekatan ini juga memberikan peluang bentuk pembahasan yang dapat membuktikan ketertarikan dan kejelasan tentang karya seni. Prosedur yang dikembangkan dalam pendekatan ini dilakukan dengan pemilihan kriteria untuk menilai (judging) dari sebuah karya seni (kriteria desain, subjek, material dan fungsi). Langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan ini adalah: 1. Tentukan kriteria yang akan digunakan 2. Uji karya seni untuk mengidentifikasi fkta-fakta yang spesifik 3. Tentukan tingkat (degree) kriteria yang dipandang pantas.
5.9 c. Metode Empatik Pendekatan ini dilakukan dengan dasar pemikiran bahwa ketika kita menaruh perhatian (empati) dengan suatu karya seni, kita dapat menghubungkan perasaan dengan kapasitas nya yang telah hidup dan bertahan. Kita dapat melihat garis dan dapat merasakan garis tersebut bergerak, aktif, berirama. Ketika melihat lukisan sebatang pohon, kita merasakan kesunyian atau memikirkan suatu yang menyedihkan.. Analogi tadi sebagai contoh yang dapat membantu kita dalam pengalaman seni. Ada beberapa teknik yang dapat membantu kita dalam mengembangkan rasa empati dan keterlibatannya ketika kita menilai suatu karya seni, di antaranya: 1. Jangan memandang karya seni terlalu berlebihan karena dapat melupakan orang yang lebih terlatih pada bidag seni. 2. Bagaimanapun, untuk memandang kualitas visual secara murni. 3. Gunakan
analogi
dan
metaphora
untuk
menghubungkan
untuk
menghubungkan apa yang kita lihat dan apa yang kita rasakan. 4. Gunakan pengalaman dan poengetahuan sendiri untuk membandingkan apa yang kita lihat dapat dirasakan. 5. Dengan kejegan, jangan takut untuk meningggalkan satu aspek dari karya, coba untuk memahami mengapa kita menjaga kembali hal itu. 6. Dengan seluruh pengertian, dapatkan secara fisik dan imajinasi.. 7. Menilai karya jika kita mau melakukannya. d. Metode Interaktif Pendekatan interkatif sama halnya dengan induktif, hanya tidak suka semata-mata pendekatan deskriptif, hal ini bermaksud untuk menemukan sampai terjadi siskusi dan debat secara berkelompok untuk membahas karya seni. Diskusi ini merupakan dasar dalam pendekatan induktif. Setelah kelompok telah lelah memperbincangkanya dengan pendekatan deduktif, kemudian beberapa orang mencoba untuk untuk merumuskan hipotesis tentang arti dari karya seni yang sedang dibahas. Meskipun pendekatan ini memungkinkan untuk melakukan analisis, namun perbedaan wawasan dapat memperkaya pemahaman bersama. Meskipun
5.10 demikian, suatu karya seni disebut “bagus” jika hal tersebut tidak melawan usaha untuk menganalisisnya dan jika pengalaman berkaya tidak dirusak dengan analisis. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan ini adalah: 1. Pilihlah moderator dan jelaskan aturan mainnya 2. Gambarkan seperti banyak orang yang memungkinkan untuk masuk ke dalam proses menjelaskan karya (Gunakan kerangka induktif dalam memandu pepenjelasan). 3. Ketika orang kelihatan untuk keluar dari penjelasan, kemudian panggil hipotesis. 4. Bawa kelompok untuk mendiskusikan hipotesis sehingga beberapa peserta diskusi memperlihatkan penafsiran dengan kesepakatan kelompok. Cara ini memungkinkan untuk memahami makna karya seni. Untuk lebih jelasnya penerapan metode kritik dalam konteks pembelajaran akan pelajari pada Kegiatan Pembelajaran 3 BBM ini.
B. Konsep Kritik Seni Kehadiran kritik seni berawal dari suatu kebutuhan memahami makna seni, kemudian memperoleh kesenangan dari kegiatan pembicaraan tentang seni, kemudian mencoba memberikan pendapat atau tanggapan tentang suatu karya seni. Kegiatan ini akan berguna untuk dijadikan kriteria atau patokan dalam proses penciptaan seni. 1. Fungsi Kritik Seni Kritik seni memiliki fungsi pokok sebagai penilaian seni dan pacu pengembangan apresiasi terhadap seni. Barrett (1994: 16) menyoroti fungsi kritik seni sebagai “the description, interpretation, and evaluation of new art”. Kegiatan kritik merupakan salah satu cara untuk memberi tanggapan apresiatif terhadap karya seni. Hal ini ditegaskan Flacus (Sutopo, 1996: 2) bahwa: Kritik seni sebagai suatu studi rinci dan apresiatif tentang sesuatu karya tunggal. Berbagai pertanyaan tentang teknik artistik ditelusuri dengan alat dan cara yang khas untuk mengkaji berbagai kemungkinan pengaruh artistik. Seni memerlukan tanggapan apresiatif, dan kritik seni merupakan salah satu jawabannya. Disatu sisi kritik merupakan keyakinan dan semangat yang
5.11 lebih besar dari logika seorang pecinta seni yang berusaha mendukung karya, sedang di sisi lain ia merupakan satu analisis cendikia dan teliti atas karya dan berbagai tafsiran tentang alasan-alasannya. 2. Jenis Penilaian Kritik Jenis penilaian kritik dibagi menjadi: Kritisisme Formatif, Kritisisme Ekspresivistik, dan Kritisisme Instrumentalistik (Bangun, 2000: 54-63; Feldman, 1967: 457-467). Sementara itu, Supangkat (1992: 3-4) menyebut jenis penilaian kritik ini sebagai suatu pendekatan, yaitu: pendekatan formalistik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan instrumentalisme. Namun demikian, meski terdapat perbedaan istilah antara kritisme dan pendekatan, namun memiliki maksud dan pemahaman yang sama. Adanya pandangan yang berbeda berkaitan cara atau metode penilaian kritik seni ini disebabkan oleh pandangan mengenai sumber nilai yang menjadi dasar kegiatan kritik seni. Pernyataan tersebut ditegaskan Sutopo (1996: 4) bahwa: Perbedaan pandangan mengenai sumber nilai yang paling penting tersebut mengakibatkan terjadinya pemihakan kritik seni sehingga dalam sejarah kritik terdapat tiga aliran pokok yaitu (1) kelompok kritik genetik atau historis, (2) kelompok kritik formalistik atau kritik instrinsik, dan (3) kelompok kritik emosional. Sumber nilai dari setiap karya seni pada dasarnya berkaitan langsung dengan tiga komponen utama yang menunjang kehidupan seni di dalam masyarakat. Tiga komponen kehidupan seni tersebut meliputi (1) seniman, (2) karya seni, (3) penghayat. Dalam prakteknya, tiga komponen tersebut saling berinteraksi dan menentukan nilai setiap karya seni. Maka sepantasnya, bila ingin mendapatkan pemahaman yang utuh tentang suatu karya seni, maka kegiatan evaluasi karya seni dilakukaan dengan melibatkan ketiga komponen sumber nilai tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kritik seni holistik merupakan cara pemecahannya. a. Kritik Formatif Kritik seni formalis mengasumsikan bahwa kehidupan seni memiliki dunianya sendiri, terlepas dari kehidupan nyata sehari-hari. Clive Bell, seorang tokoh kritik formalis mempertentangkan metode kritik ini dengan metode teori
5.12 seni imitasi yang menekankan pentingnya hubungan seni dengan pengalaman manusia di luar seni. Kriteria kritik seni formalis untuk menentukan ekselensi karya seni adalah “significant form’ yakni kapasitas bentuk seni yang melahirkan emosi estetik bagi pengamat seni. Untuk memahami dan merasakan signifikansi bentuk. Seseorang cukup dengan menggunakan bekal cita rasanya dalam mempresepsi bentuk, warna, dan ruang tiga dimensional. Dengan demikian, kriteria ekselensi seni adalah kualitas tatanan formal karya seni yang mengutamakan relasi antarunsur visual yang terpadu pada sebuah karya. Para kritikus formalis menolak segala unsur yang secara estetis tidak relevan seperti deskripsi sosial, kesejarahan, psikologis, asosiasi literer yang emosional, dan imitasi atau representasi objek alami. b. Kritik Ekspresivistik Kritik seni ekspresivistik memiliki konsep seni yang menganggap karya seni sebagai rekaman emosi kreatornya. Melalui karya ini seorang kreator dapat mengkomunikasikan gagasannya kapada publik. Kehadiran kritik ekspresivistik ini pada abad ke-19 antara lain dipelopori oleh Wordsorth dan Shelly dalam pusisi, Victor Hugo dalam seni drama, serta Gericault dan Delacrioix dalam seni lukis. Keberhasilan suatu karya seni menurut faham kritik seni ekspresivisme ini terletak pada sampai sejauh mana karya seni itu dapat membangkitkan emosi secara efektif, intensif, dan penuh gairah. Seni lukis anak-anak sangat menarik bagi penganut kritik ini karena hasil karya gambar anak-anak banyak ditemukan kemurnian
ekspresi
dan
dorongan
impulsif
untuk
komunikasi
tanpa
mempertimbangkan kualitas teknis atau struktur formal lukisan. Untuk menganalisis hasil karya, kritik ekspresiviseme ini melakukan analisa terhadap fenomena seni, apresiasi, dan penilaian dengan memakai standar yang sama yaitu pengalaman individual seniman penciptanya, seperti ekspresi pribadi, ekspresi dan komunikasi emosi serta pembahasan pengalaman estetis. Namun demikian, bukan berarti penguasaan teknis dan penataan struktur
5.13 diabaikan begitu saja, tanpa penataan dan struktur yang baik tentunya suatu karya seni kurang memberikan getaran pengalaman emosional. c. Kritik Instrumentalistik Teori seni ini menganggap seni sebagai sarana untuk memajukan dan mengembangkan tujuan moral, agama, politik atau psikologi. Seni dipandang sebagai alat atau instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, nilai seni terletak pada manfaat dan kegunaannya. Pendangan kritik ini berpendapat bahwa kemampuan kreasi artistik tidak terletak pada kemampuan seniman mengolah material ataupun masalah internal karya seni. Demikian pula keberhasilan suatu karya tidak didasarkan pada kriteria keintensifan dan kejelasan ekspresi untuk mengkomunikasikan perasaan atau gagasan, melainkan berurusan dengan akibat dari gagasan yang diekspresikan melalui seni kepada masyarakat. Salah satu kesulitan dalam penafsiran seni intrumentalis adalah dalam hal sejarah seni. Sebagai contoh ketika kita menyaksikan hasil karya seni rupa klasik Indonesia seperti candi Borobudur dan Prambanan, kita sangat kagum akan keindahan kedua maha karya tersebut. Sementara faktor keagamaan di balik kedua karya tersebut tidak menjadi bagian penting dalam aktivitas apresiasi. d. Kritik Seni Holistik Jenis-jenis penilaian kritik seperti uraian di atas tentunya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Untuk mengatasi masalah kelemahan itu maka perlu diajukan bentuk kerangka kerja yang dipandang mampu mengantisipasi kekurangan-kekurangan dari jenis penilaian kritik seperti di atas. Atas dasar fenomena tersebut, dipandang perlu untuk mengajukan Kritik Seni Holistik sebagai suatu sintesa. Permasalahan penting di dalam memilih metode kritik seni terletak pada pemahaman struktur kritik yang didasarkan pada pilihan sumber nilai pendukung kualitas karya sebagai sasaran kajian. Hal ini menimbulkan perbedaan dalam perkembangan kritik seni. Sumber nilai dari setiap karya seni pada dasarnya
5.14 berkaitan langsung dengan tiga komponen utama yang menunjang kehidupan seni di dalam masyarakat yaitu seniman, karya seni, dan penghayat. Perbedaan pandangan mengenai sumber nilai yang paling penting tersebut mengakibatkan terjadinya pemihakan kritik seni sehingga dalam sejarah kritik terdapat tiga aliran pokok yaitu (1) kelompok kritik genetik atau historis, (2) kelompok kritik formalistik atau kritik instrinsik, dan (3) kelompok kritik emosional (Sutopo, 1988). Penjelasan mengenai kajian ketiga aliran tersebut dikemukakan Sutopo (1995: 9) bahwa: …Pengikut historisme menekankan pengkajian pada faktor seniman dan latar belakang budayanya (genetic). Kecendrungan pada historisme dapat dilihat pada kritik seni yang menggunakan asumsi realis dan ekspresionis (Osborne, 1955), formistik (Pepper, 1970), instrumentalis (Feldman, 1981), dan juga kritik simbolik (read, 1969). Kelompok formalisme menekankan nilai pada karya seni itu sendiri (objektif). Kecenderungan kritik ini menurut pandangan barat dianggap paling rasional (Munro, 1965). Kelompok kritik ini dapat dilihat pada kritik seni dengan asumsi konfigurasional (Osborne,1955), Kritik organistik (Pepper, 1970), strukturalisme dan formalisme (Bell, 1958; Feldman. 1981; Fry, 1956). Kelompok kritik emosionalisme menekankan pada emosi yang timbul pada penghayatnya (afektif). Kelompok ini bias dilihat pada kritik yang menggunakan asumsi emosional dan transcendental (Osborne, 1955), kritik mekanistik, dan kritik eksprresivisme (Read, 1967). 1) Seniman sebagai sumber informasi genetik Figur seniman sebagai pribadi dan sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat dijadikan sumber informasi berkaitan dengan pribadi kesenimanannya, kondisi psikologisnya, seleranya, kemampuan, pengalamannya, latar belakang sosial budayanya, dan juga berbagai peristiwa di sekitarnya yang berhubungan dengan proses penciptaan karya seni. Faktor ini terdiri dari faktor genetik yang bersifat subjektif (terdapat pada diri senimannya) dan faktor genetik yang objektif (iklim budaya lingkungan senimannya). 2) Karya seni sebagai sumber informasi objektif Karya seni secara kongkrit biasa disebut sebagai fakor objektif (instrinsik), berupa kondisi objektif dari karya seni. Nilai estetik dinyatakan biasa dibentuk oleh karya itu sendiri. Standar yang dipandang pantas adalah yang mempersyaratkan karya itu sendiri, bukan yang datang dari luar karya yang
5.15 dipandang sebagai faktor ekstra estetik. Oleh para pengikutnya faktor objektif dipandang sebagai yang paling penting untuk menjadi dasar evaluasi. Faktor ekstra estetik dinyatakan tidak relevan dengan kegiatan evaluasi karya seni. Seni harus terpisah dari pandangan moral dan sosial. Pandangan semacam ini oleh Dewey (dalam Ladd, 1928) dinyatakan sebagai pandangan yang membuat tumpul moralitas, tidak mendalam dan hanya benar menurut dirinya sendiri, serta biasa mendorong seni tidak punya disiplin dan bersifat parasitis. Menurut ukuran Barat bentuk karya kritik semacam ini dipandang paling rasional dan objektif dalam mengukur kualitas karya seni, namun ternyata struktur ini tumpul di dalam mengahadapi seni Timur yang memilki dasar pada bantuk struktur yang sangat berbeda dengan struktur rasional. Barat karya seni yang bersifat mistis di Timur pada umumnya tak bias dipahami secara utuh dan diterima dengan pemikiran rasional Barat (Munro, 1965). 3) Penghayat sebagai sumber informasi afektif Informasi yang berupa dampak emosional pada diri penghayat dapat dijadikan salah satu sumber informasi tentang karya seni. Dampak ini timbul setelah penghayat mengahayati karya dengan beragam tafsir, makna, dan nilai sebagai akibat dari kegiatan melakukan interaksinya secara dialektis dengan karya seni di dalam proses penghayatan. Pandangan yang menekankan pada komponen ini didasarkan pada pendapat bahwa emosi yang muncul pada diri pengahayat pada waktu merenungi karya seni, merupakan satu-satunya kenyataan yang ada yang seharusnya menjadi dasar evaluasi karya seni. Karya merupakan pacu pengahayatan yang berupa aktivitas penciptaan nilai. Nilai estetik sebenarnya terbentuk dan tercipta di dalam diri penghayat. Oleh karena itu, penghayatan juga merupakan aktivitas kreatif. Seniman mencipta dengan kreativitas artistik, dan penghayat mencipta nilai dengan kerativitas estetik. Tanpa penghayat tak akan ada keindahan, dan nilai karya seni adalah nilai yang ada dan dirasakan pada penghayatan. Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
5.16 1. Bila nilai karya seni hanya didasarkan pada emosi penghayatan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya, maka kedudukan seniman biasa tergeser sama sekali dari proses pembentukan nilai dengan pesan-pesan yang mungkin disajikannya lewat beragam bentuk karya artistik. Kelemahan utama pada kritik dengan kecenderungan ini adalah subjektivitasnya yang sangat menonjol. 2. Kritik yang hanya menekankan pada salah satu komponen kehidupan seni mengakibatkan kepincangan dalam penilaian karya. Ketiga komponen kehidupan seni tersebut adalah nyata dan saling berkaitan erat serta saling tergantung dalam menentukan nilai karya seni. Keberadaannya tak biasa dipisah-pisahkan, dan jelas sebagai sumber nilai yang wajib diperhatikan dan dianalisis secara utuh, tepat, dan teliti bagi penyusunan keputusan tentang makna karya. Ketiga komponen tersebut bukan dipakai sebagai standar nilai, melainkan sebagai sumber informasi dalam aktivitas evaluasi. 3. Pandangan ini merupakan sintesis yang memandang ketiga faktor (genetik, objektif, dan afektif) tak terpisahkan dalam kesatuan nilai karya sehingga bentuk kritik seni semacm ini disebut sebagai kritik seni holistic (Sutopo, 1987; 1989). 4. Sebagai suatu sintesis, struktur kritik holistik
bukan sekedar merupakan
gabungan apa yang ada pada tiga kelompok besar kritik seni, tetapi lebih merupakan perpaduan atau persenyawaan yang mampu menampilkan bentuk dan warna baru dalam proses penampilan dan penentuan nilai dalam kritik. Struktur kritik holistic yang diajukan Sutopo (1995: 15) terbagi menjadi empat bagian meliputi (1) kerangka kerja kritik, (2) sumber nilai kritik, (3) alasan kritik, dan (4) penampilan kritik. Secara sekematik, alur struktur kritik seni holistik tersebut disajikan pada gambar berikut.
5.17
Gambar 5.1 Struktur kritik Holistik Sumber: Sutopo (1995: 15)
5.18 Pada kerangka kerja kritik, terdapat tiga lingkaran titik-titik yang menunjukkan bahwa tiga kelompok aliran kritik yang sudah dilebur dalam kerangka kerja kritik holistik yang digambarkan dengan lingkaran penuh, dengan anak panah yang mengarah pada ketiga sumber nilai kritik, yang di dalam penelitian merupakan kelompok informasi. Tiga sumber nilai ini wajib dikaji secara lengkap dan seimbang agar tidak terjadi kepincangan evaluasi. Alasan kritik terdapat lingkaran yang menggambarkan alasan genetik (berupa informasi latar belakang), alasan objektif (berupa informasi objektif dari sasaran yang dikaji), dan alasan afektif (berupa informasi mengenal dampak, persepsi, atau hasil yang biasa dicapai). Dari lingkaran alasan genetik terdapat arah panah ke karya seni yang dalam penelitian merupakan sasaran/masalah yang dikaji (faktor objektif), dari karya seni ke arah seniman atau latar belakang (faktor genetik), dan akhirnya kembali ke alasan genetik. Pada bagian penampilan kritik terdapat empat lingkaran yaitu deskripsi latar belakang penyajian genetic, analisis formal yang menyajikan sumber informasi objektif, informasi yang menyajikan afektif, dan simpulan atau sintesis yang
merupakan
sajian
makna
tafsir
berdasarkan
masukan
dengan
mempertimbangkan hasil deskripsi latar belakang, analisis formal, dan interpretasi. Gambar deskripsi latar belakang, analisis formal dan interpretasi tumpang tindih karena batas ketiga aspek tersebut sangat tipis sehingga saling bersinggungan. 3. Tipe Kritik Seni Rupa Tipe kritik seni rupa menurut Feldman (1967: 452-456) terdiri dari: Kritik Jurnalistik (Jurnalistic Criticism), Criticsm),
Kritik
Kritik Pedagogik
Akademik (Scholary Criticism),
(Pedagogical
Kritik Populer (Popular
Criticism). a. Kritik Jurnalistik Kegiatan kritik seni rupa di Indonesia semakin mengalami perkembangan. Kondisi ini dirasakan semakin kondusif dalam upaya memberikan pendidikan apresiasi terhadap masyarakat, khususnya yang memiliki kepedulian terhadap
5.19 perkembangan seni rupa. Kondisi ini ditenggarai oleh semakin banyaknya tulisan dan pembahasan berkaitan dengan seni rupa baik di surat kabar, majalah, katalog pameran, dan sebagainya. Dalam kenyataanya, kritik seni rupa bukan suatu pekerjaan yang khusus. Oleh karena itu, tidak ada pendidikan khusus sehingga kriteria dan kualifikasinya sangat sulit. Ini menimbulkan suatu perdebatan. Untuk menulis suatu kritik seni seseorang harus mendapat predikat sebagai kritikus, namun di pihak lain untuk mendapatkan predikat kritikus ternyata sulit digariskan dalam bentuk aturan yang jelas. Berkaitan dengan fenomena di atas, Supangkat (Bangun, 2000: 107) mengungkapkan bahwa kritik seni yang berkembang di Indonesia adalah kritik jurnalistik. Kritik ini sangat efektif untuk apresiasi bagi masyarakat. Namun demikian, ada kalanya para wartawan/kritikus terjebak pada kepada keinginan membuat berita yang sensasional seperti harga lukisan atau masalah yang ditimbulkan adalah adanya upaya seniman untuk mencari popularitas dengan merlukan suatu cara “kritik amplopan” yang disangsikan kejujuran dan objektivitasnya. b. Kritik Pedagogik Kegiatan kritik edukatif biasanya diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar d di lembaga pendidikan tinggi pendidikan kesenian. Model ini bisa dikembangkan oleh dosen atau guru dengan tujuan untuk mengembangkan bakat dan fotensi artistik-estetik peserta didik sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan dirinya. Berdasarkan pandangan di atas, idealnya para pendidik memahami standar nilai dunia seni profesional dan mampu berperan sebagai kritikus. Namun demikian, kriteria tersebut tidak digunakan secara mutlak dalam kegiatan menilai karya siswa. Kriteria profesional dan kemampuan kritik diharapkan memicu tumbuhnya diskusi antara guru dan siswa atau siswa dengan siswa sendiri. Peran guru dalam proses kritik edukatif ini adalah sebagai fasilitator. Guru sebagai kritikus pedagogik membimbing para siswa dalam proses menganalisis dan menafsirkan nilai seni dan memahami karya seni masing-masingnya.
5.20 Kritik seni yang bersifat mendidik perlu menjabarkan latar belakang karya seni secara komprehensif. Ada beberapa pendekatan yang sering digunakan dalam kritik seni, yaitu: pendekatan formalistik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan instrumental. Pendekatan formalistik dilakukan dengan membahas karya seni melalui aspek teknik dan proses berkarya. Dalam prakteknya, untuk membahas suatu karya seni diperlukan pengenalan dan wawasan dalam hal: komposisi, struktur, teknik, susunan warna, permainan ruang, dan sebagainya. Pendekatan ekspresif merupakan pendekatan umum yang banyak dilakukan oleh para kritikus kita. Pendekatan ini memang efektif dalam hal menganalisis karya yang cenderung menganalisis “figuratif ekspresif” dari karya yang ditampilkan. Karya yang disajikan dapat dianalisis dari gambar objek serta elemen-elemen estetisnya. Sedangakn pendekatan instrumental didasarkan pada penggunaan metode kritik seni untuk mengamati aspek moral, masalah sosial, masalah kultural, masalah agama, dan masalah-masalah psikologis. Pendekatan ini berkaitan dengan tematema politik, kemasyarakatan, kewanitaan, kejiwaan, lingkungan, kehidupan dan agamaan. c. Kritik Ilmiah/Akademik Istilah kritik ilmiah atau kritik akademik yang digunakan di Indonesia merupakan terjemahan dari “scholary criticism” sebagaimana disebutkan Feldman. Pertumbuhan kritik akademik di Indonesia kurang memenuhi harapan. Kritik akademik merupakan kegiatan keilmuan yang didukung oleh kepekaan yang tinggi dan kemempuan menilai yang mantap. Kritik akademik bersifat melakukan pencarian yang kompleks pada pengamatan dan analisa, biasanya melalui penelitian ilmiah. Untuk itu, perlu pemahaman sejarah perkembangan, analisa estetik, pemahaman idiom, dan pengetahuan tentang perkembangan perupa. Upaya pembedahan berawal dari keyakinan bahwa terdapat bobot yang bermakna pada karya perupa itu dari sisi nilai maun peranannya dalam sejarah perkembangan seni rupa. Salah satu bentuk pelaksanaan kritik akademik ini adalah pada pameran restrospektif yang dilakukan seniman untuk mengundang pengujian (Supangkat,1992: 3).
5.21 d. Kritik Populer Kritik populer didasarkan pada dorongan intuitif, kegiatan ini tidak didominasi oleh kritikus saja, orang awampun bila tertarik akan suatu keindahan akan hasil karya maka akan mampu memberikan kritik. Kritik populer sering digunakan orang pada kegiatan sehari-hari, misalnya ketika pembukaan pemeran, diskusi-diskusi atau pertemuan seni rupa. Bentuk penerapan kritik pada media masa kadang-kadang disebut “resensi”.
4. Penyajian kritik seni Pada hakikatnya, aktivitas kritik seni lebih bersifat empirik daripada deduktif. Tahapannya mulai dari hal yang khusus ke hal yang umum, fokusnya adalah fakta visual, kemudian menarik kesimpulan tentang nilai secara keseluruhan. Penyajian kritik dalam teori kritik seni dikenal empat tahap kegiatan. Hal ini dikemukakan Feldman (1967: 469), yaitu: Deskripsi (Description), Analisis Formal (Formal Analysis), interpretasi (Interpretation), dan evaluasi atau penilaian (Evaluation or Judgement). a. Deskripsi (Description) Barrett (1994: 22) mendefinsikan “describing” sebagai: “… a kind of verbal pointing a critic does so that feature of work art will be noticed and appreciated. It is also a data-gathering process. Based on his or her descriptions, the critic will form interpretations and judgement…”. Tahap ini dilakukan dengan menemukan dan mencatat apa saja yang terlihat pada suatu karya dan menjauhkan diri dari kecenderungan menarik suatu kesimpulan. Secara khusus, pada bagian ini (seperti Feldman pada bagian analisa fomal), Barrett membahas unsur “informasi internal” dan “ informasi eksternal”. Informasi internal suatu karya berkaitan dengan aspek subject matter, medium dan form, sedangkan informasi eksternal berkaitan dengan kontek, fakta atau peristiwa dan waktu pembuatan karya (Barrett, 1994: 22).
5.22 1) Subject matter, materi dalam karya seni adalah figur-figur, objek-objek, tempat-tempat, dan peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam suatu karya seni. 2) Medium: materi secara fisik yang digunakan dalam pembuataan karya seni. Secara khusus pula istilah ini mengidentifikasikan materi-materi secara spesifik yang dipakai oleh sorang seniman. 3) Form: Semua karya seni memiliki bentuk. Bentuk itu bisa realistis atau abstrak, representasional atau nonrepresentasional, dibuat secara cermat dengan persiapan yang matang atau dibuat dengan spontan ekspresif. Aspek aspek yang dapat dibahas dalam sebuah karya dapat berupa aspek komposisi, aransmennya dan kontruksi visualnya. Elemen-elemen formal sebuah karya meliputi titik, garis, shape, cahaya, tekstur, massa, ruang, dan isi. Bagaimana elemen-elemen formal ini diorganisir sering menggunakan „prinsip-prinsip desain‟ meliputi skala, proporsi, unity/kesatuan/kepaduan dan keragaman, repetisi, ritme, keseimbangan, kekuatan arah, kontras, penekanan, dominasi, dan subordinasi. Kegiatan mendeskripsikan tidak semudah yang kita bayangkan. Ini perlu latihan yang terus-menerus. b. Analisis Formal (Formal Analysis) Pembahasan analisis formal (Feldman) memiliki kesamaan dengan Barrett seperti telah diuraikan pada poin a. Pada tahap ini kritikus mencoba menelusuri bagaimana yang kita temukan terorganisir menjadi tatanan bentuk, warna, kontur, tekstur, dan lokasi dalam ruang c. Interpretasi (Interpretation) Tahapan menafsirkan makna suatu karya berkenaan dengan apa tema yang digarap, bagaimana menggarapnya, apa pula masalah yang dikedepankan dan seberapa jauh masalah tersebut dapat diselesaikan. Dalam menafsirkan makna suatu karya, penafsir perlu memiliki wawasan dalam memahami subject matter. Makna dapat diperoleh bila susunan1suatu karya telah diketahui dan difahami rinciannya. Dengan kata lain, untuk menyampaikan
suatu
tujuan
atau
makna
karya,
seorang
seniman
5.23 menyampaikannya dengan bahasa visual dalam bentuk elemen-elemen rupa (garis, bidang, bentuk, warna, komposisi, keseimbangan, kesatuan, ritme, dan sebagainya). Konsep atau
pengertian tentang keindahan adalah hasil penafsiran.
Tentunya, tiap orang apakah seniman, kolektor, kritikus, apresiator, penguasa, pengusaha, dan yang lainnya memiliki penafsiran berbeda tentang suatu keindahan karya. Huges (Marianto, 2002: 21-22) menjelaskan pandangan tentang kelompok penafsir yang beranggapan bahwa kenyataan bukan sesuatu yang berada di luar sana, tetapi berada dalam diri si penafsir. Proses dan hasil penafsiran tiap orang akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip penafsiran yang dikemukakan Barrett (1994; 71-78), yaitu: 1. Penafsiran adalah argumen-argumen yang bersifat persuasif (interpretation are persuasive arguments) 2. Beberapa tafsir lebih baik dari beberapa tafsir-tafsir lain (some interpretations are better than others) 3. Tafsir yang baik adalah tafsir lebih berbicara mengenai karya seni yang bersangkutan, bukan mengenai kritikusnya (good interpretation of art tell more about the artwork than they tell about the critic). 4. Rasa adalah pedoman penafsiran (Fellings are guides to interpretations). 5. Tafsir-tafsir atas satu karya seni yang sama bisa saja berlainan, bersaingan, bahkan bertentangan satu sama lain (there can be different, competing, and cintradictori interpretation of the same artwork). 6. Tafsir-tafsir sering didasarkan pada suatu pandangan dunia (interpretations art often based on a world view). 7. Tafsir dapat dinilai dengan melihat koherensi, korespondensi dan sifat inklusifnya (interpretations can be judge by cohenrence, correspondence, and inclisiveness) 8. Penafsiranan tidak selalu mutlak kebenarannya, tapi lebih atau kurang, kemungkinan
banyak
alasan,
keyakinan,
penerangan
dan
informasi
5.24 (interpretations are not so much absolutely right, but more or less, reasonable, convincing, enlightening, and informative). 9. Suatu karya seni tidak harus sebagaimana apa yang diinginkan oleh seniman kreatornya (an artwork in not necessarily about what the artist wanted it to be about). 10. Seorang kritikus seharusnya tidak menjadi juru bicara untuk seniman (a critic ought not be the spokesperson for the artist). 11. Tafsir seharusnya menghadirkan keadaan terbaik karya seni yang dikupas bukan keadaan terburuknya (interpretation ought to present the work in its best rather than its weakest light). 12. Objek-objek penafsiran adalah karya seni, bukan senimannya (the objects of interpretation are artwork not artists). 13. Semua karya seni mengandung sesuatu yang berkenaan dengan dunia/keadaan tempat karya itu muncul (all art is in part about the world in which it emerged). 14. Semua karya seni mengandung sesuatu dalam dirinya yang berkaitan dengan atau mengenai karya seni lain (all art is in part about other art) 15. Tidak ada suatupun tafsir yang bias sepenuhnya merengkuh makna suatu karya seni (no single interpretation is ex haustiveof the meaning of an artwork). 16. Makna karya seni menurut seorang penafsir boleh jadi berbeda dengan makna yang ditangkap oleh pemirsa lain (the meaning of and artwork may be defferent from its significance to the viewer). 17. Menafsir pada akhirnya merupakan suatu upaya komunal dan komunitaslah yang pada akhirnya sebenarnya mengkoreksi diri (interpretation is ultimately a communal andeavor, and the community is ultimately self-corrective). 18. Tafsir yang baik mengundang kita untuk menafsir karya yang bersangkutan menurut penafsiran kita sendiri (good interpretations invite us to see for our selves and to continue on our own).
5.25 d. Evaluasi atau penilaian (Evaluation or Judgement) Merupakan proses menetapkan derajat karya seni dengan dengan karya seni lainnya yang sejenis. Tingkatannya ditetapkan berdasarkan nilai estetik relatifnya. Proses penilaian dalam mengapresiasi seni berlangsung dalam pencarian nilai-nilai seni, memahami isi dan pesan dari karya seni, mengadakan perbandingan-perbandingan
sehingga
didapatkan
suatu
kesimpulan.
Kenyataannya memberikan penilaian terhadap seni merupakan pekerjaan yang kompleks, karena penangkapan terhadap makna seni tidaklah mudah, meski nampaknya seakan-akan demikian terhadap beberapa hasil karya seni tertentu. Barrett (Marianto, 2002: 49) menjelaskan bahwa ketika kritikus menafsir karya seni, mereka ingin memastikan kandungan karya seni yang dimaksud. Kritika kritikus menilai karya seni, mereka ingin menentukan baik tidaknya karya yang sedang dinilai, mengapa dan dengan criteria apa bisa dikatakan demikian. Penilaian atas karya seni, sebagaimana tafsir, bukanlah permasalahan salah atau benar, melainkan apakah argumen-argumen yang menghasilkan penilaian itu meyakinkan atau tidak. Penilaian dalam dilakukan dengan berbagai kriteria. Penilaian bisa dilakukan dengan criteria kasat mata, bisa dilihat fungsi simbolisnya, dari aspek ekonomis, dan sebagainya. Barrett (1994: 102) menyederhanakan kriteria penilaian
seni
menjadi
empat
kategori/pendekatan,
yaitu:
Realisme,
Ekspresionisme, Formalisme, dan Instrumentalisme. Realisme pandangan pendekatan ini berstandar pada kebenaran dan keindahan. Karya seni yang baik adalah yang indah yang mampu memotret alam. Paham Ekspresionisme lebih bersifat subjektif, keindahan terletak tidak pada objek yang dilukis, tapi tergantung pada pemaknaan atau penafsiran subjek yang memaknainya. Hal ini lebih mengutamakan sensibilitas dan ekspresivitas pengalaman para seniman dalam membuat karya seni. Formalisme memiliki cara pandangan bahwa seni itu dapat dilihat dari seni itus endiri. Ajarannya menekankan bahwa bentuk (form) adalah kriteria satusatunya untuk menilai karya seni. Pengikut ini berpandangan bahwa nilai seni
5.26 lebih otonom tidak ada kaitannya dengan nalai-nilai lain seperti: agama, ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain. Pendekatan Instrumentalisme memandang bahwa seni itu erat kaitanya dengan kehidupan nilai-nilai dan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Peran seni dapat digunakan untuk kepentingan aspek kehidupan lain misalnya untuk kepentingan politik, pendidikan, dan sebagainya. Paham ini didukung oleh pandangan Plato dan Leo Tolstoy bahwa seni akan bias mempengaruhi jiwa atau prilaku seseorang.
LATIHAN Untuk mengetahui pemahaman Anda terhadap materi yang telah dipelajari, silahkan Anda mengejakan latihan.
1. Apa yang dimaksud dengan model pembelajaran? 2. Sebutkan manfaat dari pembuatan model pembelajaran 3. Jelaskan fungsi kritik bagi siswa dalam prose pembelajaran seni 4. Jelaskan penilaian kritik seni dan tipe-tipe kritik seni 5. Aspek apa yang disajikan dalam kritik seni 6. Sebutkan metode kritik seni dalam konteks pembelajaran dan berikan contoh penerapannya RANGKUMAN Model pembelajaran merupakan suatu disain yang menggambarkan rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang terencana yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan prilaku. Pembuatan model ini memiliki manfaat dalam proses dan hasil pencapaian belajar secara optimal. Melalui kritik anak akan mapu melihat karya seni seara kontekstual dan konseptual dengan cara mendeskripsikan, melakukan analisis, menafsirkan, dan melakukan penilaian terhadap karya seni. Jenis penilaian kritik seni merupakan pandangan atau pemahaman para kritikus. Jenis penilaian ketiki ini terdiri dari kritik formatif, ekspresifistik,
5.27 instrumenta dan holistic. Sementara itu, dalam implementasinya di lapangan pemahaman atau pandangan jenis penilian kritik dijabarkan dalam tipe-tipe kritik, yang terdiri dari tipe jurnalistik, edukatif, akademik dan popular. Penyajian kritik seni dimualai dari deskripsi, analisis formal, penapsiran (interpretasi), dan evaluasi (judgement). Secara khusu dalam kontek pembelajarn seni dikenal penerpan kritik seni ini dengan metode induktif, deduktif, empatik, dan interaktif.
TES FORMATIF 1 Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memilih a, b, c, atau d pada jawaban yang paling benar 1. Model pembelajaran merupakan suatu desain yang menggambarkan proses rincian
dan
penciptaan
situasi
lingkungan
yang
memungkinkan
siswa/mahasiswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa. Pendapat ini dikemukakan oleh… a. Nana Syaodih Sukmadinata. b. Soekamto dan Winataputra c. Kuswana d. Oemar Hamalik 2. Yang tidak termasuk metode pembelajaran kritik seni menurut Chapman (1978) adalah …. a. Metode Induktif b. Metode Deduktif c. Metode Empatik d. Metode Problematik 3. “Memberikan pedoman bagi guru dan siswa bagaimana proses mencapai tujuan pembelajaran” merupakan…model pembelajaran. a. tujuan b. manfaat c. fungsi d. persyaratan
5.28 4. Model tahapan dalam penyajian kritik: deskrisi, analisis formal, interpretasi dan evaluasi dikeumkakan oleh…. a. Tom Anderson b. Ralph A. Smith c. Robert Chelement d. Edmund B. Feldman 5. Yang tidak termasuk jenis penilaian kritik adalah…. a. Formatif b. Jurnalistik c. Ekspresivistik d. Instumentalistik 6. Sumber nilai yang dijadikan analisis oleh kritik holistik adalah seniman, …, dan apresiator. a. Media seni b. Karya seni c. Tujuan seni d. Teknik seni 7. Tipe kritik kritik yang biasanya diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di lembaga pendidikan tinggi pendidikan kesenian dan model ini
bisa
dikembangkan oleh dosen atau guru dengan tujuan untuk mengembangkan bakat dan fotensi artistik-estetik peserta didik sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan dirinya adalah tipe. a. Jurnalistik b. Akademik c. Edukatif d. Formalistik 8. Siswa melakukan pengamatan terhadap karya lukis yang dilihatnya. Berdasarkan hasil pengamatanya siswa mengetahui dan dapat menyebutkan tentang objek/figure yang digambarkan pada lukisan tersebut. Hal ini merupakan kegiatan.…dalam penyajian kritik seni. a. deskripsi
5.29 b. analisis formal c. penafsiran d. penilaian 9. Faham atau jenis penilaian kritik yang mengutamakan keindahan bentuk benda adalah kritik …. a. Formatif b. Holistik c. Ekspresivistik d. Instumentalistik 10. Guru mengundang seniman untuk berdiskusi dengan siswa. Di dalam kelas. Metode nyang digunakan guru dalam pembelajaran kritik tersbut adalah…. a. Metode Induktif b. Metode Deduktif c. Metode interaktif d. Metode Empatik Untuk melihat kemampuan anda, coba cocokan jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat pada akhir Bahan Belajar Mandiri ini. Kemudian hitunglah jawaban Anda yang benar dan gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap Materi Kegiatan Pembelajarn 1 ini. Rumus: Tingkat penguasaan= Jumlah Jawaban Anda yang benar x 100% 10 Arti tingkat penguasan yang Anda capai: 90 - 100%
= baik sekali
80 - 89%
= baik
70 - 79%
= cukup
< 70%
= kurang
Catatan: Bila Anda mencpai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Pembelajaran 2, tetapi bila tingkat penguasan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum Anda kuasai.