IDENTIFIKASI TEKSTUR CITRA LIDAH DENGAN METODE GAUSSIAN MARKOV RANDOM FIELD UNTUK DETEKSI DINI PENYAKIT TIFOID Supatman1,2, Eko Mulyanto1, Mauridhi Hery Purnomo1 1.Jurusan Teknik Elektro Insititut Teknologi Sepuluh November,Surabaya 2.Jurusan Teknik Elektro-Universitas Wangsa Manggala, Jln. Wates Km.10.Yogyakarta. E-mail :
[email protected] ,
[email protected] ,
[email protected]
Abstrak: Umumnya diagnosis awal demam tifoid dilakukan dengan melihat kekotoran lidah pasien sehingga proses diagnosa lebih mudah dan sederhana. Untuk menentukan keakuratan diagnosis ini perlu dilakukan tes laboratorium. Cara lain untuk mengidentifikasi penderita demam tifoid yang lebih akurat adalah otomatisasi identifikasi kekotoran pada citra tekstur lidah, elemen dasarnya berupa tekstur yang dikenal dengan texel (texture element) pada pengolahan citra. Dalam penelitian ini texture element digunakan untuk memperoleh ekstraksi ciri dari kekotoran citra lidah menggunakan model Gaussian Markov random Field (GMRF) melalui pembentukan struktur neighbourhood untuk mendapatkan ciri-ciri khusus dalam bentuk matrik sebagai data citra digital. Data citra digital ini diterapkan sebagai vektor masukan proses pengenalan pada learning vector quantization (LVQ) melalui aturan dan proses belajar yang dipetakan ke dalam vektor keluaran. Dari eksperimen 40 data, sistem mampu mengidentifikasi empat jenis model perbedaan kekotoran dari citra lidah sesuai dengan derajat titer tifoid 1/100 (40%), 1/200 (61.53%), 1/400 (92.85%), dan 1/800 (87.50%). . Kata kunci : Tifoid, Texture element, Gaussian Markov Random Field, Neighbourhood Sturucture, LVQ.
1. PENDAHULUAN Tekstur suatu citra dapat dipandang sebagai suatu struktur yang terdiri dari elemen gambar atau piksel yang memiliki kesamaan harga pada region tersebut. Elemen dasar dari suatu tekstur dikenal dengan texel (texture element) dan ini tersusun secara berulang yang akan membentuk suatu pola yang lebih besar yang mempunyai ciri khas. Beberapa peneliti telah berhasil mengaplikasikan jenis texture dari model yang digunakan baik model alami (natural) ataupun buatan (sintesis). Beberapa penelitian yang telah sukses dilakukan pada bidang
pendekatan Gaussian Markov Random Field untuk memodelkan suatu citra [3,7,11,21].
2. DASAR TEORI 2.1. Tifoid Tifoid dan paratifoid (selanjutnya disebut tifoid) adalah penyakit infeksi akut usus halus yang merupakan penyakit endemik di Indonesia. Sinonim tifoid adalah typhoid dan patatyphoid fever, enteric fever, typhus dan paratyphus abdominfis. Etiologinya ialah Salmonella typhi, S. paratytphi A., S. paratyphi B., dan S. paratyphi C [1,2]. Penularan S. typhi terjadi melalui mulut oleh makanan yang tercemar. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus, mencapai jaringan limfoid lalu berkembang biak. Kuman kemudian masuk aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial hati, limpa dan organ-organ lain. Diprediksi proses ini berjalan pada masa tunas, yang berakhir saat sel-sel retikuloendotelial melepas kuman pada peredaran darah dan menimbulkan bakteri untuk kedua kalinya. Kumankuman selanjutnya masuk ke jaringan beberapa organ tubuh, terutama limpa, usus halus dan kandung empedu [1,2]. Ciri-ciri utama penderita demam tifoid berupa tanda-tanda klinis antara lain panas meningkat secara berlahan, gangguan GIT (konstipasi, diare, mual-muntah) dan lidah kotor [19].
2.2. Citra 2.2.1 Format Citra 2.2.1. 1. Komponen Citra Digital Citra adalah representasi dua dimensi untuk bentuk fisik nyata tiga dimensi. Citra dalam perwujudannya dapat bermacam-macam, mulai dari
gambar hitam-putih pada sebuah foto (yang tidak bergerak) sampai pada gambar berwarna yang bergerak pada pesawat televisi. Proses transformasi dari bentuk tiga dimensi ke bentuk dua dimensi untuk menghasilkan citra akan dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor yang mengakibatkan penampilan citra suatu benda tidak sama persis dengan bentuk fisik nyatanya. Faktor-faktor tersebut merupakan efek degradasi atau penurunan kualitas yang dapat berupa rentang kontras benda yang terlalu sempit atau terlalu lebar, distorsi geometrik, kekaburan (blur), kekaburan akibat obyek yang bergerak (motion blur), noise atau gangguan yang disebabkan oleh interferensi peralatan pembuat citra, baik berupa transduser, peralatan elektronik ataupun peralatan optik. Teknik dan proses untuk mengurangi atau menghilangkan efek degradasi pada citra digital meliputi perbaikan/peningkatan citra (image enhacement), restorasi citra (image restoration), dan tranformasi spasial (spasial transformation). Subyek lain dari pengolahan citra digital diantaranya adalah pengkodean citra (image coding), segmentasi citra (image segmentation), representasi dan deskripsi citra (image representation and description). Karena pengolahan citra dilakukan dengan komputer digital maka citra yang akan diolah terlebih dahulu ditransformasikan ke dalam bentuk besaran-besaran diskrit dari nilai tingkat keabuan pada titik-titik elemen citra. Bentuk citra ini disebut citra digital. Setiap citra digital memiliki beberapa karakteristik, antara lain ukuran citra, resolusi dan format lainnya. Umumnya citra digital berbentuk persegi panjang yang memiliki lebar dan tinggi tertentu, yang biasanya dinyatakan dalam banyaknya titik atau piksel (picture elemen/pixel). Ukuran citra dapat juga dinyatakan secara fisik dalam satuan panjang (misalnya mm atau inch). Dalam hal ini tentu saja harus ada hubungan antara ukuran titik penyusun citra dengan satuan panjang. Hal tersebut dinyatakan dengan resolusi yang merupakan ukuran banyaknya titik untuk setiap satuan panjang. Biasanya satuan yang digunakan adalah dpi (dot per inch). Makin besar resolusi makin banyak titik yang terkandung dalam citra dengan ukuran fisik yang sama. Hal ini memberikan efek penampakan citra menjadi semakin halus. Format citra digital ada bermacam-macam. Karena sebenarnya citra merepresentasikan informasi tertentu, sedangkan informasi tersebut dapat dinyatakan secara bervariasi, maka citra yang mewakilinya dapat muncul dalam berbagai format. Citra yang merepresentasikan informasi yang hanya bersifat biner untuk membedakan 2 keadaan
tentu tidak sama citra dengan informasi yang lebih kompleks sehingga memerlukan lebih banyak keadaan yang diwakilinya. Pada citra digital semua informasi tadi disimpan dalam bentuk angka, sedangkan penampilan angka tersebut biasanya dikaitkan dengan warna. Citra digital (digital image) adalah citra kontinyu f(x,y) yang sudah didiskritkan baik koordinat spasial maupun tingkat kecerahannya. Setiap titik biasanya memiliki koordinat sesuai dengan posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan indeks x dan y hanya bernilai bilangan bulat positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1. Citra digital yang selanjutnya akan disingkat ”citra” sebagai matrik ukuran M x N yang baris dan kolomnya menunjukkan titik-titiknya yang diperlihatkan pada persamaan di bawah ini menurut [10]: X=f(x,y)=
f (0,1) ⎛ f (0,0) ⎜ f (1,1) ⎜ f (1,0) ⎜ ... ... ⎜ ⎜ f (M −1,0) f (M −1,1) ⎝
f (0, N −1) ⎞ ⎟ ... f (1,N −1) ⎟ ⎟ ... ... ⎟ ... f (M −1, N −1)⎟⎠
...
(1)
Setiap titik juga memiliki nilai berupa angka digital yang merepresentasikan informasi yang diwakili titk tersebut. Format nilai piksel sama dengan format citra keseluruhan. Pada kebanyakan sistem pencitraan, nilai ini biasanya berupa bilangan bulat positif. 2.2.1. 2. Representasi Citra Digital Komputer dapat mengolah isyarat-isyarat elektronik digital yang merupakan kumpulan sinyal biner (bernilai dua: 0 dan 1). Untuk itu, citra digital harus mempunyai format tertentu yang sesuai sehingga dapat merepresentasikan obyek pencitraan dalam bentuk kombinasi data biner. Citra yang tidak berwarna atau hitam putih dikenal sebagai citra dengan derajat abu-abu (citra graylevel/grayscale). Derajat abu-abu yang dimiliki ini bisa beragam mulai dari 2 derajat abu-abu (yaitu 0 dan 1) yang dikenal juga sebagai citra monochrome, 16 derajat keabuan dan 256 derajat keabuan. Dalam sebuah citra monochrome, sebuah piksel diwakili oleh 1 bit data yang berisikan data tentang derajat keabuan yang dimiliki piksel tersebut. Data akan berisi 0 bila piksel berwarna hitam dan 1 bila piksel berwarna putih. Citra yang memiliki 16 derajat keabuan (mulai dari 0 yang mewakili warna hitam sampai dengan 15 yang mewakili warna putih) direpresentasikan oleh 4 bit data. Sedangkan citra dengan 256 derajat keabuan (nilai dari 0 yang mewakili warna hitam sampai dengan 255 yang
mewakili warna putih) direpresentasikan oleh 8 bit data. Dalam citra berwarna, jumlah warna bisa beragam mulai dari 16, 256, 65536 atau 16 juta warna yang masing-masing direpresentasikan oleh 4,8,16 atau 24 bit data untuk setiap pikselnya. Warna yang ada terdiri dari 3 komponen utama yaitu nilai merah (red), nilai hijau (green) dan nilai biru (blue). Paduan ketiga komponen utama pembentuk warna tersebut dikenal sebagai RGB color yang nantinya akan membentuk citra warna. 2.2.1.3. Tingkat Abu-abu (Grayscale) Kecerahan dari citra yang disimpan dengan cara pemberian nomor pada tiap-tiap pikselnya. Semakin tinggi nomor pikselnya maka makin terang (putih) piksel tersebut. Sedangkan semakin kecil nilai suatu piksel, mengakibatkan warna pada piksel tersebut menjadi gelap. Dalam sistem kecerahan yang umum terdapat 256 tingkat untuk setiap piksel. Scala kecerahan seperti ini dikenal sebagai grayscale. Proses grayscale ini bertujuan untuk merubah citra 24 bit RGB menjadi citra abu-abu. Pemilihan pemrosesan pada tingkat abu-abu ini dipilih karena lebih sederhana, yaitu hanya menggunakan sedikit kombinasi warna dan dengan citra abu-abu dirasakan sudah cukup untuk memproses peta yang semula berupa RGB colour dengan liputan abu-abu. Pengubahan citra 24 bit ke citra abu-abu YUV dengan mengambil komponen Y (luminance) dapat dilakukan dengan mengalikan komponen R, G, B Titik1
B
G
Titik2
R
B
G
Titik3
R
B
G
B
G
2.2.1.4. Aplikasi Tekstur Model Citra Digital mengandung sejumlah elemen-elemen dasar. Elemen-elemen dasar tersebut dimanipulasi dalam pengolahan citra dan dieksploitasi lebih lanjut dengan computer vision, salah satu elemen dasar lainnya adalah tekstur yang merupakan pola atribut yang menyusun sebuah tekstur citra lidah. Tekstur ini terlihat berbeda satu dengan yang lain, meskipun demikian memiliki yang dikenal sebagai tekstur dari elemen gambar atau piksel yang memiliki kesamaan harga pada suatu region tertentu. Elemen dasar dari suatu tekstur dikenal dengan texel (texture element) dan ini tersusun secara berulang yang akan membentuk suatu pola yang lebih besar yang mempunyai ciri khas, sehingga tekstur tidak didefinisikan untuk sebuah piksel karena tekstur dicirikan sebagai distribusi spatial dari derajat keabuan didalam sekumpulan piksel-piksel bertetangga. Untuk mendapatkan piksel-piksel yang bertetangga ini menggunakan GMRF. 2.3. Gaussian Markov Random Field Menurut [3,13] merupakan sebuah proses random X(s), pada ukuran bentuk lattice N1 x N2, dalam hal ini {s : 1 ≤ i ≤ N1, 1 ≤ j ≤ N2}. Dengan aturan bahwa semuanya mempunyai variance yang sama (order homosdecastic) dan dengan observasi zero mean dapat direpresentasikan sebagai berikut :
xs =
∑θ x
r∈N s
r
s +r
+ es
(2)
x merupakan nilai piksel, e adalah zero mean dan autocorrelation
Titik4
R
dari nilai taraf intensitas tiap piksel RGB dengan konstanta (0.299R,0.587G,0.11B).
R
E[es es+r ] =
σ 2 r ≡ (0,0) −θ r σ 2 r ∈ N s
(3)
Gambar 1. Model penyimpanan piksel pada buffer memori[3] R
G
B
(0.299R+0.587G+0.114B
Gambar.3. Himpunan ketetanggaan untuk piksel s dengan order variance 1 [13]
∑
0 Y
Y
Y
Gambar 2. Operasi Pengubahan Citra 24 bit
lainnya
Selanjutnya vektor θ berisi parameter estimasi θr, r ∈ Ns pada persamaan diatas. Berikut ini ditunjukkan salah bentuk neighbourhood GMRF memiliki variance order 1.
Gambar Blok
2.4. Learning Vector Quantization Pengertian LVQ (Learning Vector Quantization) menurut [7] yaitu suatu metode klasifikasi pola yang masing-masing unit keluaran mewakili kategori atau kelas tertentu. Vektor bobot untuk suatu unit keluaran sering dinyatakan sebagai sebuah vektor referens. Diasumsikan bahwa serangkaian pola pelatihan dengan klasifikasi yang tersedia bersama dengan distribusi awal vektor referens. Sesudah pelatihan, jaringan LVQ mengklasifikasikan vektor masukan dengan menugaskan ke kelas yang sama sebagi unit keluaran, sedangkan yang mempunyai vektor referens diklasifikasikan sebagai vektor masukan. Pada dasarnya LVQ merupakan suatu metode pelatihan terhadap lapisan-lapisan kompetitif yang terbimbing. Dikatakan terbimbing karena menggunakan klasifikasi target yang diketahui untuk setiap pola masukan. Apabila beberapa vektor masukan tersebut memiliki jarak yang sangat berdekatan, maka vektor-vektor masukan tersebut akan dikelompokkan dalam kelas yang sama. 3. METODOLOGI Metodologi penelitian yang dilakukan dalam identifikasi ini adalah sebagai berikut : 3.1. Perangkat Keras Sistem perangkat keras terdiri dari objek citra lidah, foto digital dan komputer. 3.2. Pengumpulan Data a. Pengambilan citra, dihasilkan menggunakan Foto Digital dengan resolusi 2592 x 1944 pixel true color. b. Format obyek, berupa sampel citra lidah yang memili corak sesuai dengan kekotoran lidah, dalam hal ini setiap jenis kekotoran lidah memiliki tekstur elemen yang berbeda-beda sehingga pola yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedahan kekotoran citra lidah diperlukan yakni lebar citra, panjang citra dan data intensitas dari tiap piksel. Adapun beberapa sampel citra lidah ditunjukkan pada Gambar 6.
5.
Diagram Perangkat Lunak identifikasi tifoid melalui citra lidah. (a) (b)
(c) (d) Gambar 6. Contoh citra lidah ukuran 64 x 64 piksel (a) Titer 1/100; (b) Titer 1/200; (c) Titer 1/400; (d) Titer 1/800 3.3.1. Preprocessing Persiapan proses pengolahan citra sebelum masuk ke bagian training yaitu bagaimana mencuplik citra, melakukan peningkatan kwalitas citra, menentukan ukuran piksel, menentukan ROI, memilih daerah dengan ukuran MxM (256 x 256), mengkonversi ke color space YUV dengan mengambil komponen Y (luminance). Setelah mendapatkan komponen Y maka dilakukan normalisai dengan zero mean [20].
xs =
(x − µ)
σ
(4)
Dalam hal ini, xs merupakan piksel baru, x piksel semula, µ adalah rata-rata keseluruhan piksel dan σ ialah standar deviasi. 3.3.2. Ekstraksi Ciri Setiap piksel pada citra direpresentasikan sebagai satu node dalam MRF [3].
Gambar 7. Kesesuaian piksel pada node MRF. 3.3. Mendesain perangkat lunak Secara umum diagram blok identifikasi ditunjukkan pada Gambar 5 dibawah ini. Pola Citra
Preproce ssing
Ekstr asi Ciri
Klasifikasi
Pengenalan Pelatihan Pemilihan Ciri Pola Sampel
Pemlatihan
titer tifoid
Disini piksel adalah node-node yang saling berpasangan pada MRF. Lingkaran putih xi adalah hidden nodes yang mempresentasikan sebuah piksel dan lingkaran hitam yi adalah node nyata yang muncul sebagai citra piksel yang memiliki kesamaan warna menurut [3] untuk membentuk sebuah struktur neighbourhood dalam setiap piksel, maka gray value dibuat dalam struktur array atau
vektor yang berupa posisi dari vektor ini dalam (x,y) pada Gambar 8.
Dari eksperimen yang dilakukan maka didapatkan hasil sebagai berikut : 5.1. Normalisai dengan zero mean
Gambar 8 . Kontruksi pembentukan N(i) vektor [3] Kumpulan dari variabel-variabel vektor inilah yang dilakukan estimasi menggunakan distribusi Gaussian MRF dengan Least Square Estimation (LSE). 3.3.3.
Gambar 10. Citra ternormalisasi dengan zero mean
Merancang Arsitektur Jaringan.
Jaringan yang kan dirancang dalam penelitian ini adalah jaringan Learning Vector Quantization (LVQ) sebagai berikut : y_in1
θ1
x-w1
θ2
x-w2
θ3
x-w3
θ4
x-w4
F1
y1
F2
y2
F3
y3
F4
y4
y_in2 y_in3 y_in4
Gambar 9. Arsitektur jaringan yang dirancang Komponen-komponen jaringan yang dibangun memiliki 4 neuron pada lapisan masukan, dan 4 neuron pada lapisan keluaran. Proses yang terjadi pada setiap neuron adalah mencari jarak antara suatu vektor masukan ke bobot yang bersangkutan (w1, w2, w3, dan w4), F1, F2, F3 dan F4 adalah fungsi aktivasi.
Gambar 11. Rekonstruksi citra dengan model GMRF pada order 1 (4 ketetanggaan). Normalisasi dengan zero mean menghasilkan citra lidah dengan nilai intensitas ternormalisasi dan memiliki range antara 0 - 10. 5.2. Rekonstruksi model citra GMRF Rekonstruksi citra dengan membangkit-kan citra dari GMRF menghasilkan citra dengan piksel ketetanggaan sesuai dengan order yang ditentukan, memilik bentuk image dan skala sebagai berikut :
Pada penelitian ini pola tekstur lidah sesuai dengan titer tifoid seperti ditunjukkan Gambar 6. 5.3. Parameter Estimasi. 4. EKSPERIMEN Eksperimen dilakukan menggunakan obyek manusia yaitu 40 orang penderita tifoid, 5 orang sehat, 35 penderita tifoid dan piranti perangkat keras : kamera digital S500, perangkat lunak SO Windows XP, Matlab 7.3 (R2006b), dan Photoshop 7.
5. HASIL & PEMBAHASAN
Parameter estimasi diproses menggunakan least square estimation, sehingga parameter estimasi GMRF yang berupa θ dapat di-generate, untuk order satu diperoleh θ ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1 Parameter Estimasi Order 1 (Empat ketetangaan) Titer
Parameter (θ)
1/100 1/200
1/400
1/800
θ(1,0)
θ(0,1)
θ(1,-1)
θ(1,1)
0.8575 1.1807 0.5164 0.2243 0.2229 0.3808 0.1243 0.3580 0.7022 0.8367 0.8192 0.6117
0.6742 0.0028 0.4978 0.7296 1.0169 0.4254 0.2989 0.1994 0.4082 0.3761 0.7431 0.5383
0.9845 1.0321 0.7519 0.5654 0.3969 -0.0288 0.2847 0.3601 0.5066 0.5048 0.6084 0.6064
0.4549 0.1722 0.2719 0.4646 0.2619 0.4332 0.1554 0.2277 0.6104 0.7324 0.9541 0.5276
Parameter pada jaringan LVQ untuk identifikasi tifoid. Jumlah Data Jumlah Pola Pelatihan Jumlah Data Pengujian Jumlah Pola Target Variasi Laju Pelatihan Variasi pengurangan laju pelatihan (dec α) Minimum laju pelatihan yang diharapkan Maksimum Iterasi
40 (5 sehat dan 35 tifoid) 12 12 + 28 4 1;0.1;0.01;0.001;0.0001 0.1;0.25;0.5;0.75 0.00001 500
5.4. Klasifikasi Klasifikasi demam tifoid menggunakan LVQ yaitu melalui proses pembelajaran dan dilanjutkan dengan pengenalan. Parameter yang digunakan pada jaringan LVQ yaitu sebagaimana Tabel 2. Tabel 2 Pembelajaran mengambil epoch 500 menghasilkan pengelompokan sesuai titer tifoid yaitu 1/100, 1/200, 1/400 dan 1/800. Pengujian terhadap jaringan dilakukan dengan citra atau tekstur pelatihan dan data baru. Untuk titer 1/100 dapat mengenali 40%, untuk titer 1/200 mengenali 61.53%, dan titer 1/400 mengenali 92.85%, serta 1/800 mengenali 87.50%.
6. KESIMPULAN Color space YUV memiliki nilai luminance sangat kuat sehingga cocok untuk pengolahan citra yang bertujuan mendapatkan ciri (feature). Tekstur citra lidah penderita demam tifoid dan citra lidah sehat dapat dikelompokan menjadi empat kelompok sesuai titer tifoid. Perangkat lunak ini telah dapat mengklasifikasi dan mengidentifikasi tekstur citra lidah penderita tifoid sesuai dengan titer tes
laboratorium (tes vidal). Dari eksperimen dengan 40 data, untuk titer tifoid 1/100 (40%), 1/200 (61.53%), 1/400 (92.85%), dan 1/800 (87.50%).
REFERENSI Soeparman, 1995., “Ilmu penyakit dalam”, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. [2]. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, 1982., “Ilmu kesehatan anak jilid 2”, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. [3]. Haryanti Rivai, 2005 “Pengenalan ciri-ciri tekstur kecacatan kain sutera dengan menggunakan metode gaussian markov random field dengan klasifikasi SOMKohonen”, ITS, Surabaya. [4]. Adi Dharma Wibawa, 2005, “Early Detection On The Condition Of Pancreas Organ As The Cause Of Diabetes Mellitus By Iris Image Processing Using Modified SOMKohonen, ICBME, Singapura. [5] Jeremy S. De Bonet & Paul Viola, 1998, “Texture Recognition Using a Nonparametric Multi-Scale Statistical Model“, IEEE, O-8186-8497-6/98 [6]. Matthew J.Langdon,Ph.D, 2003, ”Classification of Gaussian Markov Random Field (GMRF) with Application to Powder images ”, University of Leads. [7]. Minarni, 2004, “Identifikasi sidikjari dalam lima pola utama menggunakan LVQ dengan pemrosesan awal alihragam gelombang singkat”, tesis, UGM. [8]. Andy Song, Vic Ciesielski, 2004 ” Texture Analysis by Genetic Programming”, In Proceedings of the 2004 Congress on Evolutionary, G. Greenwood (Editor), pages 2092-2099, Portland. [9]. Usman Ahmad, 2005, ”Pengolahan Citra Digital dan Teknik Pemrogramannya”, Graha Ilmu, Yogyakarta. [10]. Rinaldi Munir, 2004, “Pengolahan Citra Digital Dengan Pendekatan Algoritmik”, Informatika, Bandung. [11]. Erdogan Çesmeli and DeLiang Wang, 2001, “Texture Segmentation Using Gaussian– Markov Random Fields and Neural Oscillator Networks”, IEEE Transactions On Neural Networks, Vol. 12, No. 2, March. [12]. B.C. Merki, M.R. Mahfouz, 2005, “Unsupervised Three-Dimensional Segmentation of Medical Images Using an Anotomical Bone Altas ”, ICBME, Singapura. [13]. J.T. Pramudito, 2005,“Design and Implemtation Of Early Osteoporosis Detection Software System By Clavicular Cortx Thickness Measurement”, ICBME, Singapura. [1].
[14].
Shao-Jer Chen, 2005, “Quantitative Assessment Of Pathological Findings For Breast Cancer through Sonographic Texture Analysis”, ICBME, Singapura. [15]. B. Jaganatha Pandian, 2005, “AI Based Detection And Classification Of Microcalcifications In Digital Mammogram” , ICBME, Singapura. [16]. M.S.G. Tsuzuki, 2005, “4D Thoracic Organ Modelling from Unsunchronized MR Sequential Images”, ICBME, Singapura. [17]. Mei-Gie Lim, 2005, “Probability Distribution Maps As Medical Image Labeling Tool – Pros and Cons”, ICBME, Singapura.
[18]
[19]. [20]. [21].
[22].
Bing Yue, ”SAR Sea Ice Recognition Using Texture Methods”, University of Waterloo, Systems Design Engineering, Waterloo, Ontario, Canada, 2002 A. Guntur H., 2006, “Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam”, Sebelas Maret University Pers, Surakarta. Duda, R., 2000, “Pattern Classification, 2ed”. Rupert D.Paget Ph.D, ”Non-Parametric Markov Random Field, Models For Natural Textur Images”,Departement of Computer Science & Electrical Engineering The University of Quensland,Australia,1999. …………,”Matlab Image Processing ToolBox.