HUMOR DALAM KARYA SASTRA Oleh Ari Ambarwati (
[email protected]) FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang Artikel ini membahas tentang bagaimana humor bekerja dalam karya sastra. Humor adalah fenomena kebahasaan yang menarik untui dikaji. Penelitian humor dalam karya sastra Indonesia, khususnya humor tertulis belum banyak dilakukan. Humor yang ditulis dalam karya sastra dapat menjadi jembatan untuk menyukai kegiatan membaca. Penggambaran karakter tertentu, deskripsi dan eksplorasi bahasa yang memunculkan humor dalam karya sastra menjadi daya pikat bagi pembaca. Kata kunci: humor, karya sastra
Pendahuluan
Perhatikan gambar tersebut di atas. Binatang apakah yang tergambar di sana? Ada yang mengatakan gambar seekor bebek yang menoleh ke kiri, tetapi ada juga yang menyatakan gambar tersebut adalah seekor kelinci menghadap ke kanan. Ada pula yang menyatakan gambar tersebut menunjukkan seekor bebek sekaligus seeekor kelinci. Gambar tersebut mengandung ilusi optikal yang menarik perhatian dan menjadi sumber kesenangan bagi yang melihatnya (Coles, 2009:8). Gambar tersebut memunculkan ambiguitas, tetapi itulah yang menjadi daya tarik gambar tersebut. Jika sang penggambar menegaskan gambar tersebut adalah bebek dan bukan kelinci, atau sebaliknya, maka gambar tersebut kehilangan daya tariknya. Ambiguitas
menciptakan kesenangan atas gambar tersebut, sekaligus ‘merusak’ identitas serta keefektifan gambar bebek dan kelinci. Paparan di atas menunjukkan bagaimana sebuah gambar bisa memunculkan ambiguitas dan menimbulkan kesan menarik bagi yang melihat. Ambiguitas juga terjadi saat humor diproduksi, seperti pada teka-teki berikut. 1. + Bagaimana gajah bisa keluar dari kulkas? Sama seperti saat ia masuk ke kulkas. 2. + Bagaimana empat gajah bisa masuk kedalam VW? -
Dua gajah duduk di kursi belakang, dua yang lain duduk di kursi depan.
Ambiguitas dalam dua teka-teki tersebut memunculkan tawa dari pendengarnya. Bagaimana mungkin gajah dengan ukuran tubuh yang luar biasa besar bisa masuk kedalam kulkas maupun ke dalam mobil?. Ambiguitas tersebut jika dijelaskan dengan logika tentu membuat teka-teki tersebut menjadi tidak lucu lagi.Teka-teki tersebut jelas membelokkan logika berpikir. Humor, baik verbal maupun nonverbal pada hakikatnya merupakan rangsangan yang secara spontan memancing tawa dan senyum penikmatnya. Menurut Apte (1985:15), tertawa dan tersenyum merupakan indikator yang paling jelas bagi penikmatan humor. Humor adalah bentuk permainan bahasa yang disukai manusia. Humor dapat ditemukan dalam sastra lisan dengan beragam bentuk seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, dan nyanyian rakyat. Humor dalam sastra tulis bisa berbentuk teka-teki, kartun, karikatur, pelesetan, hiperbol, ironi, satire, dan metafora. Contoh teka-teki dalam karya sastra tulis adalah sebagai berikut. “Ikan bernafas dengan apanya, Pus?ujar Uwi. Lupus berpikir sejenak. Lalu sambil mengunyah roti, dia menjawab,”Dengan insang.” “Ya betul, kalau ular Pus?” “Ular?Ng…Dengan kulitnya!” “Seratus! Kalo gajah bernafas dengan…?” “Hidungnya!” 1
“Salah!” Lupus menelan potongan roti yang terakhir. “Jadi dengan apa? Tanyanya sambil memandang ke arah Uwi. “Gajah bernafas dengan…teman-temannya!” Ujar Uwi sambil menyembunyikan mukanya menahan tawa di balik buku bergambar. “Hihihi…Iya kan? Mereka selalu bergerombol.” (Hariwijaya, 1990:64)
Teka-teki yang menjadi subjek percakapan Uwi dan Lupus memunculkan humor karena Uwi tiba-tiba membelokkan logika berpikir teka-teki sebelumnya. Pembelokkan logika itulah yang kerap disebut sebagai ketidaksejajaran dalam teori humor. 1. Teori-teori Humor Humor adalah fenomena bahasa yang menarik untuk dikaji. Danandjaja (1989:498) menyatakan bahwa humor, baik yang bersifat erotis dan protes sosial, berfungsi sebagai pelipur lara. Dalam konteks tersebut, humor dapat menyalurkan ketegangan batin penikmatnya,bahkan menjadi sarana untuk melakukan protes terhadap ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Apte (1985:14) menyebutkan bahwa ada tiga atribut yang dilekatkan pada humor. Pertama, humor merupakan sumber yang merangsang tindakan potensial. Kedua, humor merupakan aktifitas intelektual dan kognitif yang bertanggung jawab pada persepsi dan evaluasi yang menuntun pada pengalaman penikmatan humor. Ketiga, humor merupakan respon sikap yang diekspresikan melalui senyum, tertawa, atau kedua-duanya. Kemenarikan humor bukan saja terletak pada aspek ketidaksejajaran logika, tetapi juga pada aspek perlawanan dan aspek psikologis yang muncul dalam humor. Hal tersebut sejalan dengan tiga teori klasik tentang humor yaitu, teori ketidaksejajaran (incongruity theory), teori superioritas (superiority theory), dan teori pembebasan (relief theory) (Krikmann, 2002:4).
2
1.1 Teori Ketidaksejajaran Ketidaksejajaran pada dasarnya bertumpu pada kemampuan kognitif seseorang. Teori ini mengasumsikan bahwa tiap aksi melibatkan dua isi rencana yang berbeda. Rencana yang berbeda tersebut bisa berwujud lini pemikiran, kerangka referensi, skema ataupun naskah. Rencana tersebut saling bertentangan, tetapi juga melibatkan bagian umum tertentu yang membuat pergeseran dari satu rencana ke rencana berikutnya menjadi mungkin. Teori ketidaksejajaran mengacu pada pengaruh humor terhadap persepsi pikiran pembaca atau pendengarnya (Wijana, 1994:27). Humor secara tidak kongruen (tidak sejajar) menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda kedalam satu objek yang kompleks Dalam humor, terma ketidaksejajaran merujuk pada kemungkinan dua makna yang dipahami dalam sebuah ujaran (Ross, 2005:40). Hal ini disebut juga sebagai permainan kata-kata (pun). Dalam konteks tersebut, humor memiliki elemen konflik yang diharapkan dengan apa yang kemudian terjadi dalam lelucon. Konflik disebabkan oleh ambiguitas pada tingkatan bahasa. Lini hentak (punchline) humor muncul setelah pun dan kemudian interpretasinya tidak seperti yang diharapkan pendengar ataupun pembaca. Interpretasi tersebut bisa jadi mengejutkan dan tidak terduga hingga membuat pendengar atau pembaca tertawa karena tidak sesuai dengan logika yang mereka pikirkan sebelumnya. Contoh berikut ini akan memperjelas konsep ketidaksejajaran. +Siapa yang mengajarimu bermain anggar? -Zorro ( Wijana, 1994:28) Pertanyaan di atas diajukan dalam kaitannya dengan anggar sebagai bidang olahraga yang memerlukan keahlian profesional. Sang penanya berharap mendapatkan jawaban yang sejajar (jawaban yang diharapkan adalah tokoh nyata yang handal bermain anggar), tetapi jawaban yang diperoleh mengejutkan karena Zorro adalah tokoh fiktif dalam film yang kebetulan handal bermain anggar. Zorro adalah lini hentak (punchline) dalam humor tersebut.
3
1.2 Teori Superioritas Teori superioritas disebut juga sebagai teori peremehan, pengkritikan, atau permusuhan yang menonjolkan perilaku negatif pencetus atau pengguna humor terhadap targetnya. Umumnya humor seperti ini diungkapkan untuk melawan seseorang secara politis, etnis, maupun untuk mengolok-olok gender tertentu. Morreall dalam Billig (2005:127) menyatakan bahwa teori superioritas dianggap sebagai teori humor yang muncul pertama kali jika dilihat dari sejarahnya. Pada awalnya, superioritas bukanlah benar-benar sebuah teori. Baik Plato maupun Aristoteles tidak menggambarkan pandangannya terhadap humor sebagai sebuah teori. Mereka menghasilkan observasi-observasi terpisah saat mendiskusikan pendidikan, retorika serta moralitas sosial secara lebih luas. Lebih jauh lagi, observasi mereka tidak dapat dikatakan mendominasi bidang atau wilayah yang telah ada seperti gelak tawa. Gelak tawa (laughter) bukanlah topik khusus yang diajarkan di kelas dengan kurikulum tertentu pada abad pertengahan. Gelak tawa bukanlah masalah yang sangat menarik perhatian para ahli filsafat sebelum abad ke tujuhbelas dan delapanbelas. Dalam The Republic, Socrates jelas mendiskusikan bagaimana gelak tawa dapat digunakan untuk mengatur tingkatan sosial. Keadaan ideal haruslah berupa komunitas yang secara hirarkis dipimpin oleh para pangeran ahli filsafat, yang dedikasinya adalah mengejar kebenaran dan tidak menolerir oposisi. Seperti juga makan, minum dan aktifitas seksual, gelak tawa adalah kesenangan yang harus dikendalikan. Para bangsawan saat itu tidak terlalu nyaman jika para pengawalnya tertawa terlalu banyak. Keadaan itu dianggap merendahkan martabat mereka sebagai bangsawan. Berikut ini adalah contoh humor yang digunakan untuk mengritik keadaan tertentu. Tak disangsikan, jika di zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat disbanding segantang padi. Triliunan rupiah asset tertanam di sana, miliaran dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln. Namun jika di zoom in, kekayaan ituterperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.
4
Hanya beberapa jengkal dari luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi industry. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga saat malam tiba mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu. (Hirata, 2005:49-50).
Ada gambaran yang kontradiktif dalam kutipan tersebut di atas. Dua hal disandingkan untuk menunjukkan bagaimana kontrasnya kehidupan di dalam dan di luar Gedong. Pernyataan itu digunakan penulis untuk mengkritisi, bahkan menggugat kemiskinan yang dialami sebagian warga Belitong. Dua kalimat terakhir mengandung kata-kata yang menyindir kondisi kemiskinan warga Melayu, karena kebiasaan mereka yang memiliki banyak anak karena tidak memiliki kegiatan produktif lain di malam hari. Ini adalah satire yang menjadi elemen humor dalam fiksi. Satire memunculkan humor yang menertawakan keadaan dan situasi tertentu karena bersifat reflektif. Orang bisa berkaca bahwa kebiasaan memiliki banyak anak di keluarga miskin adalah realitas yang tak terbantahkan dan orang bisa terseyum bahkan tertawa karenanya. Bisa jadi mereka menertawai diri sendiri. 1.3 Teori Pembebasan Teori pembebasan seringkali juga disebut sebagai teori psikoanalitik milik Sigmund Freud. Teori pembebasan berfokus pada penerima humor. Lebih spesifik lagi, teori ini berfokus pada efek psikologis humor terhadap penerimaan seseorang. Freud menyatakan bahwa humor sebagai sebuah mekanisme substitusi yang memungkinkan mengubah dorongan impulsif agresif seseorang, yang ditabukan secara sosial, dapat diterima ((Krikmann, 2002:10). Teori pembebasan memungkinkan seseorang memperoleh pelepasan terhadap tekanan yang dihadapinya melalui humor. Teori pembebasan memandang humor sebagai alat pembebasan dari sesuatu yang menyakitkan atau menakutkan (Wijana, 1994:22). Dalam keadaan tertekan, orang bisa tertawa jika ancaman yang menghantuinya dapat dihilangkan. Tertawa dalam hal ini muncul bila sesuatu 5
yang diharapkan secara tiba-tiba tidak menjadi kenyataan. Adapun yang menjadi kenyataan adalah hal-hal sepele yang tidak diduga-duga (unexpectedly trivial). Contoh berikut ini akan memperjelas konsep pembebasan. + Ada lima orang sedang berlayar tiba-tiba perahunya terbalik.Kelimanya tercebur. -
Lalu?
+ Setelah berenang mencapai pantai keempat orang itu basah kuyup, dari ujung kaki sampai ujung rambut. -
Orang yang satunya bagaimana?
+ Orang yang satunya rambutnya tidak basah sama sekali, hebat kan? -
Kok bisa begitu?
+ Kan dia botak… (Wijana, 1994:22-23) Dalam percakapan tersebut, pendengar begitu asyik mendengarkan cerita lawan bicaranya. Ia merasa heran karena orang kelima tidak basah rambutnya seperti keempat kawannya yang lain. Ia sama sekali tidak menyangka, apalagi berpikir bahwa orang kelima tersebut tidak memiliki rambut alias botak. Pikirannya tersandera pada bayangan bahwa pastilah orang kelima tersebut memiliki keistimewaan. Keistimewaan tersebut adalah sesuatu yang diharap-harapkannya, tetapi justru hal remeh (kepala botak) yang tidak diharapkannya hadir.
2. Kajian Humor dalam Karya Sastra Kajian humor dalam karya sastra di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian humor dalam karya sastra Jawa modern pernah dilakukan Pradopo (Wijana, 1994:12). Penelitian tersebut mengkaji humor dengan pendekatan semantik yang membagi humor dalam sastra Jawa modern menjadi tiga jenis, yakni humor sebagai kode bahasa, humor sebagai kode sastra, dan humor sebagai kode budaya. Sebagai kode budaya dan kode bahasa, humor merupakan hasil 6
budaya masyarakat pendukungnya sehingga identitasnya sebagai humor hanya dapat diberi makna sepenuhnya oleh masyarakat itu sendiri. Humor terikat dengan konteks budaya masyarakat yang menghasilkannya.Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa humor di dalam sastra berperan sebagai pengikat tema dan fakta cerita. Penelitian tentang humor masih banyak dilihat dari sisi linguistik, seperti yang dilakukan Wijana dalam Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kartun (1983), Bahasa Indonesia dalam Cerita Humor (1985), dan Bahasa Humor Anak-anak (1986) (Wijana, 1994:16). Ketiga penelitian tersebut lebih banyak melihat humor sebagai permainan bahasa, sehingga cenderung menguraikan penyimpangan aspek-aspek semantik kebahasaan, seperti polisemi, homonimi, idiom, dan peribahasa. Penelitian sejenis juga pernah dilakukan Soedjatmiko dalam Aspek Linguistik dan Sosiokultural dalam Humor. Ia menyatakan bahwa secara linguistik humor dapat didekati dengan pendekatan semantik dan pragmatik (Soedjatmiko 1994:19). Menurut pendekatan semantik, masalah humor berpusat pada ambiguitas yang dilaksanakan dengan mempertentangkan makna pertama (M1) yang memiliki makna berbeda dengan makna kedua (M2). Pembaca atau pendengar menikmati kelucuan apabila ia mengambil salah satu makna, dan kemudian menertawakan dirinya sendiri karena ia salah. Nielsen (1993:262) menyatakan bahwa humor merupakan aspek yang sangat penting bagi sastra anak maupun sastra orang dewasa. Karya sastra anak yang bermuatan humor mampu menjangkau lebih banyak pembaca anak-anak. Humor juga dianggap mampu memicu anak-anak yang mulanya segan menjadi suka membaca. Zbaracki (2003:122) menyimpulkan bahwa humor memotivasi pembaca anak-anak untuk menggunakan strategi membaca yang bervariasi serta mendorong mereka untuk membagikan apa yang sudah mereka baca kepada orang lain sebagai interaksi sosial di dalam kelas. Humor dalam karya sastra yang ditulis untuk anak-anak membuat mereka lebih antusias membaca. Keterlibatan aktif anak-anak dalam kelas membaca akan membangun pengetahuan, kompetensi sosial, kemahiran membaca, dan motivasi jangka panjang mereka untuk terus membaca (Zbaracki, 2003:123). Kondisi tersebut adalah prasyarat yang dibutuhkan untuk menjadikan anak-anak sebagai pembaca sepanjang hayat. 7
Penelitian Smith (1967:215) menunjukkan bahwa keasyikan menemukan ketidaksejajaran dalam sebuah karakter atau mendapati karakter yang aneh dalam karya sastra merupakan hal yang menimbulkan humor bagi anak-anak maupun orang dewasa. Humor memainkan peran penting dalam karya sastra. Humor menjadi daya pikat untuk menikmati karya sastra. Sebagai homo ludens (mahluk yang bermain), manusia suka bermain dengan bahasa yang diproduksinya. Humor diproduksi manusia untuk menghibur diri sendiri dan orang lain sebagai salah satu bentuk permainan yang menggunakan bahasa. Humor adalah bentuk kreatifitas manusia dalam menggunakan bahasa. Humor dalam drama muncul dalam bentuk komedi. Komedi adalah adegan dalam drama yang menggambarkan kegembiraan dan kelucuan. Dalam drama tradisional, seperti ludruk misalnya, komedi dihadirkan melalui kidungan. Menurut Peacock dalam Maryaeni (2011:17), Kidung merupakan nyanyian yang dibawakan oleh penyanyi laki-laki, wanita, dan pelawak, baik secara solo, duet, maupun koor yang berbentuk puisi lirik dengan diiringi gamelan khas Jawa. Kidung kerap memunculkan humor karena menggunakan permainan bahasa pelesetan yang berbentuk pantun, seperti Yu Ginten Kleleken timba, namung semanten kidungan kula (Mbakyu Ginten tidak sengaja menelan timba, cukup sekian nyanyian saya) (Maryaeni, 2011:18). Kidung yang mengandung humor dalam ludruk juga digunakan untuk melakukan perlawanan seperti dalam ludruk garingan almarhum Markeso. Salah satu kidungan miliknya yang terkenal adalah pagupon omahe dara, melok Nippon uripe sara (Pagupon rumahnya burung dara, ikut Jepang hidupnya sengsara). Itu adalah salah satu bentuk satire yang ditujukan untuk menyindir pilihan sikap orang-orang Indonesia yang pada zaman penjajahan Jepang lebih memilih menjadi kaki tangan Jepang daripada membela tanah airnya sendiri. Dalam novel Indonesia, humor muncul sebagai sarana untuk menghibur pembaca sekaligus alat untuk melakukan koreksi terhadap diri sendiri. Humor muncul dalam kisah-kisah keseharian dalam tetralogi “Drunken” (Drunken Mama, Drunken Monster, Drunken Molen, Drunken Marmut) karya Pidi Baiq. Berikut cuplikan humor dalam Drunken Mama. Tapi kan anak titipan Tuhan / … / berarti terserah Tuhan dong mau nitip kapan? / … / Kalau Tuhan nitipnya pas kami belum nikah? / Berarti kamu dosa! / Kok, Tuhan yang nitip malah kami yang dosa? (Baiq, 2011:110) 8
Mengapa Tuhan tidak menampakkan dirinya?… / … karena, ya itu, kalau Tuhan menampakkan dirinya, berarti Tuhan tidak adil. / Kenapa? / Iya, berarti kasihan orang buta… (Baiq, 2011:l 88)
Humor tersebut bukan sekadar kumpulan humor seperti yang akhir-akhir ini muncul memenuhi rak-rak di toko buku, tetapi dibuat dengan sengaja memasukkan humor sebagai elemen pembangun cerita. Novel-novel Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi juga kental dengan humor. Dalam Laskar Pelangi, ia menggunakan satire (sindiran) yang membuat pembacanya menangis sekaligus tersenyum, seperti dalam cuplikan berikut ini. “Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada guru, ulahnya ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut pemungutan suara yang demokatis untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup mempertanggungjawabkan kepemimpinanku di padang Masyar nanti, anak-anak kumal yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!”(Hirata, 2005:71).
3. Kesimpulan Humor adalah pembengkokan logika berbahasa yang digunakan oleh penulis atau penutur untuk tujuan-tujuan tertentu. Humor bisa digunakan sebagai sarana menghibur pembaca dan pendengar, tetapi juga dapat dipakai sebagai sarana otokritik dan kritik kepada orang lain. Di Indonesia, humor belum menjadi bidang kajian yang banyak ditekuni, padahal humor berkaitan dengan permainan dan kreatifitas penggunaan bahasa. Kajian humor dalam karya sastra juga masih minim jika dibandingkan dengan kajian humor dalam bidang linguistik. Fenomena permainan dan kreatifitas penggunaan bahasa dalam humor berkaitan dengan praktik berbahasa yang melibatkan banyak bidang ilmu, mulai dari pengkajian struktur humor yang bisa didekati secara linguistik, pragmatik, sosiologi, juga melibatkan latar budaya tempat dihasilkannya humor. Indonesia yang multietnis dan multikultur tentu 9
menjadi alasan kuat mengapa kajian humor perlu dilakukan secara serius, khususnya humor dalam karya sastra.. Beberapa penulis khususnya penulis cerita anak dengan sengaja memasukkan humor sebagai elemen pembangun cerita untuk menarik anak-anak agar suka membaca. Misalnya seperti Hilman Hariwijaya yang menulis serial Lupus Kecil. Humor dalam serial Lupus Kecil muncul dalam berbagai ragam, mulai dari permainan teka-teki kata, mengritik orang dewasa, dan pantun jenaka. Meski ditulis oleh penulis yang nota bene orang dewasa, humor dalam Lupus Kecil dapat dinikmati anak-anak dengan rentang usia di atas tujuh hingga 12 tahun. Selanjutnya, humor dalam karya sastra dapat mendekatkan pembaca dengan apresiasi dan kritik sastra.
10
Referensi Apte, Mahadev, L. 1985. Humor and Laughter. Ithaca: Cornell University Press. Baiq, Pidi. 2011. Drunken Mama. Jakarta. Gagas Media. Billig, Michael. 2005. Laughter and Ridicule. London. Sage Publication Ltd. Coles, William, H. 2009. How Humor Works in Fiction. www.storyinliteraryfiction.com. Diunduh 21 Februari 2013. Hariwijaya, Hilman. 1990. Lupus Kecil. Jakarta. Gramedia. Hirata, Andrea. 2005. Laskar Pelangi. Yogyakarta. Bentang Pustaka. Krikmann, Avo. 2002. Contemporary Linguistics of Humor. www.folklore.ee/folklore/vol33/kriku.pdf. Diunduh 5 Januari 2013. Maryaeni. 2011. Kesenian Ludruk: Dampak Akulturasi Budaya Terhadap pendidikan Budi Pekerti Anak Bangsa. Pidato Pengukuhan Guru Besar. UM Nielsen, Don. 1993. Humor Scholarship: A Reasearch Bibliography. Westport. CT: Greenwood Press Ross, Alison. 2005. Language of Humor. London. Routledge. Smith, John. 1967. A Critical Approach to Children Literature. Mc Graw Hill. Wijana, I Dewa Putu. 1994. Wacana Kartun Dalam Bahasa Indonesia. UGM. Disertasi tidak diterbitkan. Zbaracki, Matthew.D. 2003. A Descriptive Study of How Humor in Literature Serves to Engage Children in Their Reading. https://etd.ohiolink.edu/rws_etd/document/get/osu1049147319/inline. Diunduh 8 April 2014.
11
12
13