111
HUKUM ISLAM SEBAGAI “DIVINE LAW” Oleh: Y. SONAFIST* Abstract : There are some Muslim who declared jurist law as Islamic law along with Shariah or vice versa. Meaning that Islamic law is God law plus jurist law. But, one thing is clear that Islamic law contains regulations and principles which ordained by Allah and which man deduced from those principles. This law then applied to all Muslims. And subtantive law (fiqh) as rational product of jurists constitutes a part of shariah which directly determined either by the Qur’an, Sunnah or human rationalization.
I. Pendahuluan N.J. Coulson menyebut adanya dua kategori hukum Islam; hukum Tuhan (divine law) dan hukum fukaha (jurist law).1 Yang ia maksudkan dengan hukum Tuhan adalah sistem perintah Tuhan yang ditetapkan secara Ilahiyah. Hukum ini merupakan pemberian Tuhan; Tuhanlah yang menentukan nilai tertinggi dan tujuan hidup manusia. Orang Islam harus tunduk kepada hukum Tuhan itu dan menolaknya berarti meninggalkan keyakinan Islam.2 Berseberangan dengan itu, hukum fukaha adalah hukum yang ditetapkan dari hasil kerja intelektual muslim (dalam hal ini fukaha). Para fukaha memahami dan menemukan isyarat dari kehendak Tuhan lalu menterjemahkannya ke dalam sebuah sistem hak-kewajiban yang secara hukum dapat diterapkan. Antara hukum yang diberikan oleh Tuhan dan hukum yang ditetapkan oleh para fuqaha sering kali berbeda, Coulson menyebutnya penuh konflik dan ketegangan. Melalui serangkaian kuliahnya yang kemudian dibukukan menjadi Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, Coulson berusaha membuktikan adanya konflik dan ketegangan dalam hukum Islam; antara wahyu dan akal sebagai sumber hukum; antara stabilitas dan perubahan dalam hukum, antara *
Dr. Alumni UIN Sarif Hidayatullah, Dosen Filsafat Hukum Islam STAIN Kerinci dan Dosen Pascasarjana IAIN STS Jambi. 1 N.J. Coulson, Conflicts and Tension in Islamic Jurisprudence, (Chicago: The Chicago University Press. 1969). h. 3 2 Ibid., h. 1
112
otoritarianisme dan liberalisme dalam menetapkan hukum; antara Idealisme dan realisme; antara hukum dan moral, dan antara keseragaman hukum dan keragamannya. Namun, dalam pandangan Muhammad Muslehuddin, usaha Coulson itu sia-sia belaka. Keseluruhan tulisan dalam buku itu salah karena bertitik dari konsepsi Coulson yang salah tentang hukum Islam. Apa yang disebut oleh Coulson sebagai hukum fukaha, menurut Muslehuddin, bukanlah hukum. "Pendapat ahli hukum sama sekali tidak bisa dianggap sebagai hukum, karena itu hanyalah suatu usaha memaharni atau menemukan hukum, bukan untuk menciptakan atau menentukannya.3 Ia tampaknya ingin menegaskan bahwa hanya hukum Tuhan yang dapat disebut sebagai hukum Islam. Muslehuddin bisa saja menyebut hukum fukaha sebagai bukan hukum Islam, tetapi cukup banyak sarjana muslim yang menyebut hukum fukaha sebagai hukum Islam bersama syariah. Artinya, yang disebut hukum Islam itu adalah hukum Tuhan ditambah hukum fukaha sama dengan pandangan Coulson. Pertanyaannya adalah apakah perbedaan antara hukum Tuhan di satu sisi dan hukum fukaha di sisi lain, harus selalu berarti konflik dan saling bersitegang? Pertanyaan ini menjadi satu persoalan yang akan dibahas dalam makalah ini bersama beberapa persoalan lainnya sekitar pengertian hukum Islam, hukum Tuhan, dan karaktristiknya. II. Hukum Islam Istilah hukum Islam, agaknya, tidak berasal dari khazanah Islam di bidang hukum. Hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah Inggris Islamic Law. Ketika istilah hukum Islam ingin disepadankan dengan istilah hukum dalam Islam, para ahli hukum Islam berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa hukum Islam hanya Syariah dan sebagian yang lainnya berpendapat bahwa hukum Islam mencakup tidak hanya syariah, tetapi juga fikih sekaligus.
3
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Irintalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 157
113
Muslehuddin, seperti sudah disinggung sekilas di atas, mensinonimkan hukum Islam dengan syariah. Dengan mengutip teori klasik, Muslehuddin mendefinisikan syariah sebagai perintah Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Hukum Islam sudah ada sebelum negara atau masyarakat Islam ada. Hukum Islam mengontrol negara dan masyarakat Islam dan bukan sebaliknya. Dengan mengutip Qs. 12:40, 12:67, 12:80, dan 57:5, Muslehuddin menegaskan bahwa hak membuat k.eputusan untuk menetapkan hukum hanya milik Allah.4 Pendapat ulama dan putusan hakim semata-mata, menurut Muslehuddin, hanyalah pendapat bukan hukum. Pendapat ulama atau keputusan hakim baru bisa menjadi hukum jika sudah diperkuat oleh ijmak. Khamar, misalnya, haram hukumnya. Namun, sanksi hukum bagi peminum khamar tidak pernah menjadi hukum sampai datangnya masa kekhalifahan Usman bin Affan. Rasulullah, Khalifah Abu Bakar, dan Umar bin Khathab berbeda-beda dalam menetapkan sanksi hukuman bagi peminum khamar. Ketika Usman bin Affan naik menjadi Khalifah. Dewan Penasehat Khalifah, melalui usulan Ali bin Abi Talib, menetapkan hukuman cambuk 80 kali bagi peminum khamar. Keputusan Dewan ini kemudian menjadi hukum karena telah diterima oleh Ijmak. Berbeda dari contoh ini, pendapat Umar bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh banyak orang diberlakukan hukum qisas untuk setiap orang yang terlibat dalam pembunuhan itu, tidak dapat menjadi hukum meskipun telah menjadi putusan hakim dan didukung oleh Imam Syafii dan Imam Malik, karena tidak dikuatkan dengan Ijmak. Muslehuddin membangun argumentasi untuk menolak pendapat ulama dan putusan hakim menjadi hukum adalah dengan mengatakan bahwa memeriksa sumber hukum dari mana peraturan disimpulkan merupakan kewajiban setiap orang yang memenuhi syarat.5 Kemungkinan terjadinya perselisihan paham dalam "memeriksa sumber hukum" sangat besar. Oleh karena itu, Tuhan memerintahkan orang-orang yang berselisih paham itu untuk kembali kepada Al-Quran dan 4 5
Ibid., h 45 Ibid., h. 115
114
Sunnah (Qs 4:59). Artinya, yang menetapkan hukum pada dasarnya adalah Tuhan. Selain itu, Muslehudin mengemukakan beberapa hadis yang mendorong terjadinya ijtihad. Salah satunya hadis yang menyatakan bahwa hakim bila berijtihad, hasilnya salah apalagi benar, mendapat pahala. Yang disimpulkan oleh Muslehudriin dari hadis ini adalah bahwa ijtihad itu mengandung kemungkinan salah dan hukum Tuhan tidak mungkin salah. Lebih lanjut, Muslehuddin berdalih bahwa ulama-ulama ahli hukum yang mendirikan mazhab-mazhab hukum berkeberatan bila pendapat mereka dijadikan hukum seperti Abu Hanifah, seperti dikutip dari Ibnu Qayim, menyatakan, "Seseorang tidak boleh mengikuti pendapat kami kecuali ia mempelajari sumber dari mana kami mengambil pendapat." Imam Malik pernah memperingatkan Khalifah Harun al-Rasyid untuk tidak menerapkan ajaran mazhabnya pada masyarakat. Ia mengatakan, "Aku hanyalah manusia biasa yang dapat benar dan salah. Perhatikan pendapatku dengan seksama, apa saja yang sesuai dengan AlQuran dan Sunnah, terimalah: apa saja yang bertentangan dengannya, singkirkanlah. Imam Syafii mengatakan: "Jika kau menemukan pernyataanku bertentangan dengan pernyataan Nabi maka ikutilah pernyataan Nabi, jangan meniruku." Terakhir, Imam Ahmad mengatakan, "Jangan meniruku, Malik, Syafii, atau al-Sauri, tetapi pelajarilah sumber yang mereka pelajari." Semua pernyataan para imam tersebut, menurut Muslehuddin, membuktikan bahwa mujtahid bisa salah.6 Berbeda dari Muslehuddin, banyak ahli hukum Islam yang berpendapat bahwa hukum Islam mencakup syariah dan fikih. Mereka berpendapat demikian, sebagian karena memandang syariah dan fikih itu satu dan sebagian lain karena menganggap syariah dan fikih adalah dua hal yang berbeda, tetapi sangat berkait. Yang pertama terlihat pada definisi hukum Islam yang ditulis oleh M. Hasbi ashShiddiegy, "Hukum Islam yang sebenarnya tidak lain daripada fiqh Islam atau Syariat Islam, yaitu 'Koleksi daya upaya para fugaha dalam menerapkan Syariat Islam sesuai 6 7
denqan
kebutuhan masyarakat”.7 Yang
kedua tampak pada
Ibid., h. 113 M. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 44
115
komentar Fathurrahman Djamil terhadap definisi hukum Islam yang dikemukakan oleh Amir Syarifuddin, yaitu, "Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam." Menurut Fathurrahman, definisi hukum Islam ini memberikan pemahaman bahwa hukum Islam mencakup hukum syariah dan hukum fikih.8 Ketiga definisi hukum Islam di atas--definisi Muslehuddin, Hasbi ashShiddieqy, dan Amir Syariuddin-- memerlukan penjelasan-penjelasan lebih lanjut. Muslehuddin menyatakan bahwa hukum Islam hanyalah syariat sambil menegaskan bahwa hukum fuqaha bukanlah hukum. Pernyataan ini segera menqundang pertanyaan, "Bagaimana bisa syariat--dalam arti perintah Tuhan yang terdapat dalam wahyu--yang jumlahnya terbatas dan tidak mungkin bertambah lagi, dapat menghadapi peristiwa-peristiwa hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya yang sangat berbeda." Hasbi ash-Shiddieqy mengatakan bahwa hukum Islam adalah fikih atau syariat. Pendapat ini sulit diterima karena fikih dan syariat memang dua hal yang berbeda; syariat ciptaan Tuhan dan fikih hasil pemikiran manusia. Sementara itu, definisi yang dikemukakan oleh Amir Syarifuddin menimbulkan pertanyaan, apakah yang dimaksudkan dengan penggalan kalimat "peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul". Agaknya yang dimaksud adalah fikih. Kalau ini benar, penggalan kalimat lainnya "berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam" menjadi tidak benar karena fikih tidak bisa mengikat semua orang. Definisi hukum memang tidak ada yang sempurna. Meskipun begitu, definisi syariat yang dirumuskan oleh Mahmud Syaltut atau Abdurrahman I Doi dapat disempurkan untuk diterima sebagai definisi hukum Islam yang memadai. Mahmud Syaltut menulis bahwa:9
8 9
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.12 Mahmud Syaltut, Al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah, (T.t.p.: Dar al-Qalam, 1966), h. 12
116
Artinya : Hukum Islam atau syariah yang dimaksud oleh Mahmud Syaltut adalah peraturan-peraturan
yang disyariatkan--bukan peraturan-
peraturan berdasarkan—oleh Allah atau prinsip-prinsip peraturan vang disyariatkan Allah dan peraturan-peraturan yang disimpulkan manusia dari prinsip-prinsip tersebut. Yang terakhir ini, agakn-ya, maksudnya adalah fikih. Abdurrahman I Doi menulis bahwa syariah berasal dari perintah Allah secara langsung. Namun, ada pula sedikit bagian atau wewenang yang diberikan kepada manusia untuk menginterpretasikan dan menjabarkan perintah tersebut, baik dengan cara deduksi analogis maupun dengan cara dan proses lainnya.10 Kedua tokoh terakhir ini memberi peluang kepada hukum fukaha untuk masuk ke dalam hukum Islam, meskipun yang terakhir agak membatasinya. Oleh karena itu, definisi hukum Islam yang mendekati kesempurnaan adalah dengan menggantungkan definisi Syaltut dengan Amir Syarifuddin, yaitu "Peraturanperaturan atau prinsip-prinsipnya yanq disyariatkan Allah dan peraturan-peraturan yang disimpulkan manusia dari prinsip itu yang berlaku dan mengikat untuk seluruh umat Islam." Rumusan ini mengakomodir fikih dengan syarat fikih yang telah mendapat legitimasi umat melalui ijmak. III. Hukum Tuhan Dari perdebatan tentang pengertian hukum Islam di atas, sudah dapat dilihat apa yang dimaksud dengan hukum Tuhan. Bagi Muslehuddin, hukum Islam adalah hukum Tuhan yaitu hukum yanq bersumber dari Al-Quran, Sunnah, 10
h. 9
Abdurrahman I Doi, Syari'ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993),
117
Ijmak, dan Qiyas. Keabsahan ijmak sebagai sumber hukum Islam dijamin oleh Nabi, "Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan sesuatu yang salah."11 Ijmak di sini diartikan sebagai persetujuan para ahli hukum Islam pada masa tertentu tentang hukum Islam. Muslehuddin membuat ketentuan longgar untuk Ijmak . "Ijmak tidak. dapat
dibatasi oleh
yang
waktu dan negara
tertentu."12 Dengan demikian, ia menolak pembatasan ijmak yang dilakukan oleh Malik, Syafii, dll. Hal ini dilakukan oleh Muslehuddin karena ia ketat terhadap penggunaan qiyas dan tidak menganggap hasil ijtihad semata sebagai hukum Ijmak baginya berfungsi untuk menentukan apakah hasil ijtihat benar atau salah dan mengangkat qiyas ke posisi hukum. Qiyas
secara
umum
diterjemahkan
menjadi analogi.
Muslehudd
memahaminya sebagai "perluasan hukum dari nash ke dalam kasus khusus melalui sebab umum atau illat." Jadi, menurutnya, qiyas hanya membantu mencari illat untuk penetapan hukum, dan ini tidak berarti penetapan hukum baru melalui qiyas. Alasannya adalah proses pencarian illat dengan qiyas tetap bersandar kepada apa yang mungkin saja salah. Inilah empat sumber hukum Islam yang dakui oleh Muslehuddin yang dinilainya mampu, bersama hukum darurat, untuk mengakomodasi perubahan dan menqhadapi berbagai peristiwa.13 Pembatasan Muslehuddin terhadap hukum Islam hanya untuk hukum Tuhan berkait dengan kriteria atau sifat hukum yang digambarkannya. 1. Hukum Islam adalah sistem yanq ditentukan Tuhan dari kehendak Tuhan yang pasti benar yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah 2. Hukum Islam bersifat universal dan untuk sepanjang zaman terutama sekali karena jangkauannya tidak hanya dunia tetapi juga akhirat. 3. Hukum Islam tidak pernah berubah (Qs 35:43). Hukum tidak bisa berubah karena keputusan akhir terletak pada nash dan nash tidak mungkin berubah. Hukum Islam tidak. boleh berubah karena tujuannya adalah mengontrol masyarakat. 11
Muslehuddin, Op. Cit.,h. 56 Ibid., h. 117 13 Ibid., h. 149 12
118
Kesan yang dapat diambil dari tulisan Muslehuddin adalah bahwa ia terlihat memaksakan diri untuk membangun argumentasi dalam menentang pendapat Coulson bahwa hukum Islam terdiri dari hukum Tuhan dan hukum fukaha. Ia berusaha keras menentang hukum fukaha dikatakan sebagai hukum sambi1 menambahkan bahwa sumber-sumber hukum Islam--Alquran, Sunnah, Ijmak, Qiyas, dan Hukum darurat--mampu menyelesaikan persoalan hukum umat Islam. Pertanyaannya adalah ketika hukum darurat hendak diterapkan, tidakkah ketentuan-ketentuannya mengikuti hukum fukaha? Ini tidak berarti Coulson benar. Kekeliruan Coulson adalah kecenderungannya menganggap perbedaan sebagai konflik. Misalnya keputusan sebuah pengadilan di Maroko yang mengabulkan gugat cerai istri yang merasa tersiksa oleh suaminya yang kawin lagi.14 Di sini, Coulson merasa ada konflik dalam hukum Islam, padahal hanya beda penafsiran. Hasbi ash-Shiddieqy, tampaknya, tidak ada menyebut-nyebut tentang hukum Tuhan. Ia justru menyebut "hukum kemanusiaan" sebagai salah satu ciri khas hukum Islam. Maksudnya adalah bahwa hukum Islam adalah hukum yang sungguh memberikan perhatian yang penuh kepada manusia, memelihara segala yang berpautan dengan manusia. Oleh karena itu, Islam tidak mendasarkan hukum atas pemaksaan, menghilangkan kemerdekaan manusia, dan tidak membatasi geraknya.15 Ciri khas Islam yang dikemukakan oleh Hasbi ini tampaknya berbeda dari gambaran hukum Islam Muslehuddin yang dikatakan "mengontrol". Apakah Hasbi tidak memandang ada hukum Tuhan? Tentu saja ada, tetapi terbatas. Menurutnya, Syariat (hukum) Islam adalah hukum-hukum yang bersifat umum lagi kulli yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut kondisi dan situasi masyarakat dan masa. Namun, mengingat bahwa Hasbi menganggap sama antara syariah dan fikih ada dua kemungkinan; ia menganggap hukum Tuhan dominan dalam hukum Islam, atau sebaliknya. Tampaknya yang terakhirlah yang lebih tepat dengan mempertimbangkan watak hukum Islam yang dikemukakannya sebagai berikut, yaitu takamul, wasatiyah, 14 15
Coulson, Op. Cit., h. 2 Hasbi, op. cit., h. 157-160
119
dan harakah. Yang pertama nenunjukkan bahwa hukum Islam itu lengkap, sempurna dan bulat, berkumpul padanya segala pandangan hidup. Yang kedua menunjukkan hukum Islam itu moderat, tidak berat ke sebelah dunia dengan mengabaikan akhirat, dsb. Yang terakhir menunjukkan bahwa hukum Islam mempunyai kemampuan untuk berkembang, mempunyai daya hidup, dan mampu membentuk diri sesuai dengan kemajuan zaman.16 Karaktristik yang agak senada dikemukakan oleh Fathurrahman Djamil. Hanya saja yang terakhir menambahkan sifat ta'aqquli dan ta'abbudi ke dalam karaktristik hukum Islam. Penambahan ini agaknya menegaskan kehati-hatiannya. Sebab, baginya, fikih merupakan bagian dari syariah. "Syariah tertuju atau digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Al-Quran
dan Sunnah, maupun yang telah dicampuri
pemikiran manusia (ijtihad)."
oleh
17
IV. Penutup Para ahli hukum Islam sepakat bahwa perintah Tuhan yang disampaikan melalui wahyu yang disebut syariah adalah hukum Tuhan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang penjabaran dari syariah itu; apakah hukum Tuhan atau tidak. Bagi sebagian kelompok, penjabaran yang bersandar pada nalar tidak termasuk hukum Tuhan. Kelompok ini pun terbagi dua; kelompok yanq menganggap jabaran syariah bukan sebagai hukum Tuhan sekaligus bukan hukum Islam, dan; kelompok yang menganggap jabaran syariah bukan hukum Tuhan tetapi masih hukum Islam. Ketiga, kelompok yang menganggap baik syariah maupun jabarannya adalah hukum Tuhan.
16 17
Ibid., h. 105-108 Fathurrahman, Op. Cit., h. 8