HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN KARAKTERISTIK USAHA MIKRO DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN PENGUSAHA MIKRO (Kasus di Desa Cikarawang-Dramaga, Kabupaten Bogor)
LISA AUDINA EKA PUTRI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Karakteristik Perempuan dan Karakteristik Usaha Mikro dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan Pengusaha Mikro (Kasus di Desa Cikarawang-Dramaga, Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagaian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016
Lisa Audina Eka Putri NIM I34110046
ABSTRAK LISA AUDINA EKA PUTRI. Hubungan Karakteristik Perempuan dan Karakteristik Usaha Mikro dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan Pengusaha Mikro. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI. Usaha mikro adalah salah satu cara untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan dalam pembangunan. Pada pelaksanaannya, karakteristik perempuan dan karakteristik usaha mikro merupakan hal penting dalam meningkatkan keberdayaan perempuan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi tingkat keberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro, menganalisis hubungan karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro, menganalisis hubungan karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro. Metode penelitian menerapkan pendekatan kuantitatif dengan metode survei yang didukung data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro tinggi. Keberdayaan perempuan pengusaha mikro ditentukan oleh karakteristik perempuan yakni umur, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan. Kata kunci : karakteristik perempuan, karakteristik usaha mikro, pemberdayaan perempuan
ABSTRACT LISA AUDINA EKA PUTRI. The relationship between woman characteristics and micro enterprise characteristics with level of empowerment of woman micro entrepreneurs. Supervised by TITIK SUMARTI. Micro enterprise is one way to increase the empowerment of women in promoting development. In the implementation, women characteristics and micro enterprise characteristics is important in improving the empowerment of women. The aim of research are to to identify the level of empowerment of women through micro-enterprise development, analyze the relationship between the women characteristics with level of woman empowerment through microenterprise development, analyze the relationship between the micro-enterprises characteristics with level of woman empowerment through micro-enterprise development. The methodology used a quantitative research with survey method and supported of qualitative data. The results showed that the level of empowerment of women micro-entrepreneurs is high. Empowerment of women micro-entrepreneurs determined by the characteristics of the women, that age, education level, and number of dependents. Keywords: micro enterprise characteristics, woman characteristics, woman empowerment
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN KARAKTERISTIK USAHA MIKRO DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN PENGUSAHA MIKRO (Kasus di Desa Cikarawang-Dramaga, Kabupaten Bogor)
LISA AUDINA EKA PUTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa NIM
: Hubungan Karakteristik Perempuan dan Karakteristik Usaha Mikro dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan Pengusaha Mikro (Kasus di Desa CikarawangDramaga, Kabupaten Bogor) : Lisa Audina Eka Putri : I34110046
Disetujui oleh
Dr Ir Titik Sumarti MC, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah. MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Karakteristik Perempuan dan Karakteristik Usaha Mikro dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan Pengusaha Mikro (Kasus di Desa Cikarawang-Dramaga, Kabupaten Bogor)” ini tepat pada waktunya. Skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti MC, MS selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi, kritik, dan saran yang membangun hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Segenap jajaran Desa Cikarawang dan responden yang telah membantu memberikan informasi dan data untuk penelitian ini. 3. Keluarga tercinta, Ayah dan Ibu serta adik-adik yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan baik secara moral, material, dan spiritual. 4. Seluruh dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis mengemban pendidikan di Institut Pertanian Bogor, juga seluruh staf sekretariat dan karyawan. 5. Keluarga LPQ dan ISC Al-Hurriyyah, serta keluarga besar Asrama TPB IPB; khususnya Senior Resident yang telah membersamai perjuangan penulis selama di IPB, yang selalu siap membantu, memberikan semangat, dan motivasi selama ini. 6. Keluarga besar SKPM 48 yang telah membersamai penulis di setiap momentum selama 4 tahun di IPB. 7. Seluruh kerabat, sahabat, rekan, dan pihak yang telah membantu hingga skripsi ini diterbitkan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016 Lisa Audina Eka Putri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Hipotesis Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Teknik Pengambilan Responden dan Informan Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data PROFIL DESA CIKARAWANG Sejarah Desa Kondisi Geografis Kondisi Sosial Kondisi Ekonomi Profil Kelompok Wanita Tani (KWT) TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN PENGUSAHA MIKRO Kesejahteraan Akses Kesadaran Kritis Partisipasi Kontrol Tingkat Keberdayaan Perempuan KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN Umur Tingkat Pendidikan Jumlah Tanggungan Status Perkawinan KARAKTERISTIK USAHA MIKRO DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN Formalitas Organisasi dan Manajemen Pola atau Sifat Proses Produksi Orientasi Pasar Sumber Modal PENUTUP
x xi xi 1 1 2 3 3 5 5 13 13 14 19 19 19 19 19 20 21 21 21 21 23 23 27 27 28 28 29 30 31 33 33 34 36 37 39 39 40 42 43 44 47
viii
Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
47 47 49 51
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Definisi operasional karakteristik perempuan Definisi operasional karakteristik usaha mikro Uji reliabilitas data Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan umur tahun 2011 Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2011 Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan jenis mata pencaharian tahun 2013 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut umur, Desa Cikarawang Tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan umur, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan tingkat pendidikan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan jumlah tanggungan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut status perkawinan perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan status perkawinan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut jenis formalitas usaha mikro, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan formalitas, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut jenis organisasi dan manajemen usaha mikro, Desa Cikarawang tahun 2015 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan organisasi dan manajemen, Desa Cikarawang tahun 2015
16 17 20 22 22 23 27 28 29 30 31 31 33 34 35 35 36 36 37 38 39 40 40 41
viii
25 Jumlah dan persentase responden menurut pola atau sifat proses produksi, Desa Cikarawang tahun 2015 26 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan pola atau sifat proses produksi, Desa Cikarawang tahun 2015 27 Jumlah dan persentase responden menurut jenis orientasi pasar, Desa Cikarawang tahun 2015 28 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan orientasi pasar, Desa Cikarawang tahun 2015 29 Jumlah dan persentase sumber modal responden menurut jenis sumber modal, Desa Cikarawang tahun 2015 30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan sumber modal, Desa Cikarawang tahun 2015
42 42
43 44 44 45
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka berpikir 2 Lokasi penelitian
13 53
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 1
Denah lokasi penelitian Kerangka sampling Hasil uji statistik Rank Spearman dan Chi Square Catatan lapang Dokumentasi penelitian Riwayat hidup Denah lokasi penelitian
53 54 56 59 61 62 53
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia pada pembangunan dirasakan semakin penting. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Perempuan merupakan makhluk sosial dimana sebagian besar menganggap pekerjaan mereka hanyalah sebatas mengurus rumahtangga, berperan sebagai istri dan ibu. Selain itu, perempuan merupakan makhluk sosial yang rentan akan kemiskinan.1 Selama tujuh tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan tahunan perempuan yang memasuki pasar kerja jauh lebih tinggi dibanding laki-laki, sebagian dikarenakan adanya perluasan kesempatan kerja di sektor jasa dan adanya kemajuan pendidikan perempuan.2 Namun, partisipasi perempuan di sektor formal masih rendah. Sebaliknya, mereka yang terlibat dalam ekonomi informal justru lebih banyak jumlahnya. Akan tetapi, keterlibatan mereka pada sektor informal jarang diakui. Oleh karenanya perempuan didorong untuk berpartisipasi aktif di sektor publik, sekaligus tetap harus menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu (Nursyahbani 1999 diacu Handayani dan Artini 2009). Menurut Ratnawati (2011), perempuan miskin perdesaan umumnya bersifat sangat tertutup, sehingga pemberdayaan untuk mereka membutuhkan kesabaran dan pendekatan secara personal atau kelompok yang dilakukan secara intens serta melalui suasana informal. Keterlibatan perempuan miskin perdesaan dalam pemberdayaan ekonomi keluarga, dengan pendapatan yang dihasilkan perempuan dari kegiatan ekonomi produktif, baik di sektor pertanian maupun non pertanian di perdesaan, menunjukkan bahwa perempuan mempunyai posisi sentral dalam ekonomi keluarga. Oleh karena itu, perempuan miskin perdesaan perlu diberikan upaya-upaya pemberdayaan perempuan melalui; (a) upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya pelatihan bagi para ibu rumahtangga dalam rangka peningkatan keterampilan kerja para perempuan miskin, (b) perempuan miskin perdesaan terbukti mampu memberi kontribusi yang cukup memadai terhadap pendapatan keluarganya, untuk itu diharapkan agar pemerintah daerah lebih memperhatikan kelompok perempuan tersebut berupa pemberian bantuan permodalan dengan bunga rendah agar dapat berwirausaha di luar sektor pertanian khusus pada masa jedah yaitu antara musim hujan dan musim kemarau (sesudah panen) sesuai keterampilan yang mereka miliki, dan (c) menggalakkan sektorsektor produktif serta membantu dalam pemasaran produk dengan memberikan pelatihan manajemen pemasaran serta peran pemerintah dalam jaring pemasaran. Menurut Handayani dan Artini (2009), partisipasi wanita saat ini bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai 1
Menurut data BPS 2009, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 32,53 juta jiwa (14,15%) sedangkan 70 persen dari mereka adalah perempuan 2 http://kemenpppa.go.id Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2014. Pertumbuhan Tahunan Perempuan yang Memasuki Pasar Kerja.
2
arti bagi pembangunan dalam masyarakat di Indonesia. Secara umum, alasan perempuan yang bekerja adalah membantu suami untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Bagi perempuan yang sudah tidak memiliki suami, mereka memang dituntut bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dan bertahan hidup. Namun, ada pula perempuan yang bekerja hanya sebagai sambilan untuk mengisi waktu luang. Keadaan ekonomi yang semakin tidak menentu, harga kebutuhan pokok meningkat, kepadatan penduduk semakin bertambah, lapangan pekerjaan yang belum berkembang sesuai jumlah kepadatan penduduk mengakibatkan terganggunya perekonomian keluarga. Kondisi ini mendorong perempuan yang sebelumnya hanya mengurus rumahtangga, kemudian ikut terlibat dalam sektor publik. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi tulang punggung sektor informal di Indonesia dan mayoritas pekerja perempuan terkonsentrasi di bidang ini. UMKM menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, mempekerjakan antara 80 persen (Laporan MDG RI diacu KEMENPPA 2014) sampai 96 persen (World Bank 2010 diacu KEMENPPA 2014) pekerja yang ada dalam angkatan kerja bagi lebih dari 99 persen dari semua unit bisnis. UMKM memberikan kontribusi hampir 58 persen dari PDB (Laporan MDG Pemerintah dalam KEMENPPA 2014), tapi hanya menerima sekitar setengah dari kredit bank. Distribusi kelompok usaha berdasar ukurannya menunjukkan usaha mikro jumlahnya terbesar (83%), usaha kecil 16 persen, menengah 7 persen dan besar 0,2 persen. Perempuan menjalankan 39 persen dari seluruh usaha mikro dan kecil dan 18 persen dari usaha menengah dan besar (Sensus Ekonomi 2006 diacu KEMENPPA 2014). Pengembangan usaha berskala kecil (UMKM) kemudian menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah surpus tenaga kerja, utamanya ditujukan untuk menjadi wadah bagi upaya pembinaan wirausaha di kalangan masyarakat (Tjiptoherijanto 1999 diacu Handayani dan Artini 2009). Contohnya penjual makanan, pedagang sayuran, dan sebagainya. Pengembangan usaha berskala kecil dapat meningkatkan keberdayaan perempuan melalui keterlibatan dan akses mereka terhadap pelatihan-pelatihan, keterampilan, pengambilan keputusan, dan perluasan pasar. Oleh sebab itu, penting mengkaji bagaimana pemberdayaan perempuan pedesaan melalui pengembangan usaha mikro?
Masalah Penelitian Pembangunan usaha berskala kecil dianggap dapat meningkatkan keberdayaan perempuan. Berbagai kegiatan usaha berskala kecil dapat dilakukan seperti usaha makanan, sayuran, dan sebagainya. Hal ini menarik untuk diketahui dan dianalisis mengenai tingkat keberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro. Pemberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro tentunya memiliki hubungan-hubungan yang dapat mempengaruhinya, terutama karakteristik perempuan. Sebab, setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini penting untuk dilihat bagaimana hubungan karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan perempuan. Selain itu, usaha mikro yang dijalankan tentunya
3
memiliki sifat dan perbedaan. Oleh sebab itu, patut diketahui bagaimana hubungan karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan perempuan.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro. 2. Menganalisis hubungan karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro. 3. Menganalisis hubungan karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk memperoleh pengetahuan tentang faktor dan hasil program pemberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan dari penelitian ini. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam bidang Pengembangan Masyarakat. 2. Bagi Tim Pengembangan Sumber Daya Manusia (Community Developer) Penelitian ini dapat menjadi bahan serta pembelajaran dalam menyusun perencanaan program sumber daya manusia yang lebih baik. 3. Bagi masyarakat Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai pentingnya peran perempuan melalui pengembangan usaha mikro dalam meningkatkan keberdayaan.
4
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pemberdayaan Secara konseptual, pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata power yang berarti kekuatan atau kekuasaan. Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan ini selalu bersentuhan dengan konsep kekuasaan. Ife (1995) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi kehidupan masa depannya dengan memberikan sumberdaya, peluang, pengetahuan, dan keterampilan. Berdasarkan sudut pandang ilmu penyuluhan, Slamet (2003) menyatakan bahwa istilah pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan, yang berarti mampu = berdaya = tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Konteks pengembangan masyarakat, Sumodiningrat (1999) menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat memerlukan persiapan penguatan kelembagaan masyarakat. Dengan kelembagaan masyarakat yang kuat diharapkan menjadi wadah bagi pengembangan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan. Sejalan dengan konteks pengembangan masyarakat tersebut, Ndraha (1987) memberi ciri-ciri pemberdayaan: (1) meningkatkan kemampuan, (2) mendorong tumbuhnya kebersamaan, (3) kebebasan memilih dan memutuskan, (4) membangkitkan kemandirian, dan (5) mengurangi ketergantungan serta menciptakan hubungan yang saling menguntungkan. Suhartono (1997) diacu Mardikanto dan Soebiato (2013) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui 5 (lima) P strategi pemberdayaan yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan, dan Pemeliharaan. 1. Pemungkinan, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat miskin berkembang secara optimal. 2. Penguatan, memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 3. Perlindungan, melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. 4. Penyokongan, memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat miskin mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya.
6
5. Pemeliharaan, memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
Pemberdayaan Perempuan Menurut Pujiwati (1983) diacu Handayani dan Artini (2009), peranan wanita pada dasarnya menganalisis dua peranan wanita. Pertama, peran wanita dalam status atau posisi sebagai ibu rumahtangga yang melakukan pekerjaan yang secara tidak langsung menghasilkan pendapatan, tetapi memungkinkan anggota rumahtangga yang lain melakukan pekerjaan mencari nafkah. Kedua, peranan wanita pada posisi sebagai pencari nafkah (tambahan atau pokok) dalam hal ini wanita melakukan pekerjaan produktif yang langsung menghasilkan pendapatan. Teknik Analisis Longwe atau biasa disebut dengan Kriteria Pemberdayaan Perempuan (Women’s Empowerment Criteria atau Women’s Development Criteria) adalah suatu teknik analisis yang dikembangkan sebagai suatu metode pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria analisis yang meliputi: kesejahteraan, akses, kesadaran, partisipasi, dan kontrol. Lima dimensi pemberdayaan ini adalah kategori analitis yang bersifat dinamis, satu sama lain berhubungan secara sinergis, saling menguatkan dan melengkapi, serta mempunyai hubungan hirarkhis. Di samping itu kelima dimensi tersebut juga merupakan tingkatan yang bergerak memutar seperti spiral, makin tinggi tingkat kesetaraan otomatis makin tinggi tingkat keberdayaan. 1. Welfare (Kesejahteraan) Tingkat ini adalah tingkat pemerataan/persamaan perempuan dibanding laki-laki dalam hal seperti: status gizi, tingkat kematian, kecukupan pangan, pendapatan, tingkat pendidikan, dll. Hal ini membuat kita lebih melihat situasi perempuan dari angka-angka statistik daripada sebagai pelaku pembangunan yang mampu memperbaiki nasibnya sendiri, seakan-akan mereka adalah penerima pasif dari manfaat kesejahteraan. Istilah kesenjangan gender berarti kesenjangan tingkat kesejahteraan antara laki-laki dan perempuan yang diukur melalui perbedaan tingkat kesejahteraan perempuan dan laki-laki sebagai kelompok untuk masingmasing kebutuhan dasarnya. Pada tingkat pemerataan/persamaan kesejahteraan, perempuan tidak begitu dilihat sebagai pelaku aktif pembangunan dan penghasil dari kebutuhan materilnya. Tingkat ini adalah tingkat nihil dari perempuan (zero level of women’s empowerment), padahal upaya perempuan untuk memperbaiki kesejahteraannya memerlukan keterlibatan perempuan dalam proses pemampuan dan pada tingkat pemerataan/persa-maan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, jika tingkat kesejahteraan yang rendah dari perempuan disebabkan oleh diskriminasi gender yang sistematik maka mengatasi diskriminasi itu mengharuskan adanya proses pemampuan (empowerment) menuju tingkat pemerataan yang lebih tinggi. 2. Access (Akses) Akses diartikan sebagai kemampuan perempuan untuk dapat memperoleh hak/akses terhadap sumberdaya produktif seperti tanah, kredit, pelatiham, fasilitas pemasaran, tenaga kerja, dan semua pelayanan publik yang setara dengan
7
perempuan. Akses terhadap teknologi dan informasi juga merupakan aspek penting lainnya. Melalui teknologi dan informasi, perempuan dapat meningkatkan produktivitas ekonomi dan sosial mereka dan mempengaruhi lingkungan tempat ia tinggal. Tanpa akses, pemahaman, serta kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi, perempuan miskin jauh lebih termarjinalisasi dari komunitasnya, negaranya, dan bahkan dunia. Kesenjangan gender pada tingkat pemerataan/persamaan kesejahteraan muncul dari ketimpangan dalam akses terhadap sumbersumber, termasuk kerjanya sendiri (seringkali perempuan memikul kerja yang begitu berat sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk mengurus dan meningkatkan kemampuan dirinya). Upaya perempuan untuk mengatasi keterbatasan akses ini banyak memperoleh hambatan karena adanya diskriminasi gender. Oleh karena itu perlu proses penyadaran. 3. Consientization (Kesadaran kritis) Tingkat ini menyangkut kesadaran dari pelaku pembangunan akan adanya ketimpangan struktural dan diskriminasi gender. Penyadaran ini sulit dilaksanakan karena kadang-kadang perempuan sendiri yang menghambat. Mereka tidak menyadari adanya ketimpangan struktural dan diskriminasi gender, karena sudah dianggap “normal” dan “kodrati” sehingga tidak perlu dirubah. Untuk itu perlu pemahaman mengenai perbedaan antara peranan kodrati (sex) dan peranan gender, dan bahwa peranan gender itu bersifat kultural, oleh karenanya dapat berubah. Pemberdayaan di tingkat ini berarti menumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas: bahwa subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil diskriminasi dari tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender dan merupakan elemen ideologis dalam proses pemberdayaan yang menjadi landasan konseptual bagi perubahan kearah kesetaraan. 4. Participation (Partisipasi) Tingkat ini kita berbicara mengenai pemerataan/ persamaan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan pada semua tahapan proyek: perumusan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring/ evaluasi. Kesenjangan perempuan dalam partisipasi aktif ini mudah diidentifikasi, misalnya dalam bidang legislatif, eksekutif, organisasi politik. Partisipasi secara umum dapat dilihat dari adanya peran serta setara antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat, maupun negara. Tingkat program yaitu dilibatkannya perempuan dan laki-laki secara setara dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengelolaan, implementasi, dan monitoring evaluasi. Meningkatnya peranserta perempuan merupakanhasil dari pemberdayaan sekaligus sumbangan penting bagi pemberdayaan yang lebih luas. 5. Equality of Control (Kesetaraan dalam kekuasaan atau kontrol) Meningkatnya partisipasi perempuan pada tingkat pengambilan keputusan akan menyebabkan meningkatnya pemampuan untuk mempunyai kontrol (penguasaan) yang lebih banyak terhadap faktor-faktor produksi, dan untuk menjamin persamaan akses terhadap pembagian sumber dan manfaat. Kesetaraan dalam kekuasaan berarti adanya kekuasaan yang seimbang antara laki-laki dan
8
perempuan, satu tidak mendominasi atau berada dalam posisi dominan atas lainnya. Artinya perempuan mempunyai kekuasaan sebagaimana juga laki-laki, untuk mengubah kondisisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya.
Konsep Karakteristik Perempuan Sumber daya yang terpenting dalam organisasi adalah sumber daya manumur, orang-orang yang memberikan tenaga, bakat, kreativitas, dan usaha mereka kepada organisasi agar suatu organisasi dapat tetap eksistensinya. Setiap manumur memiliki karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Robbins (2003), karakteristik individu mencakup umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan masa kerja dalam organisasi. Siagian (2008) menyatakan bahwa “...karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja...” a. Umur Siagian (2008) menyatakan bahwa umur adalah hal penting karena mempunyai kaitan yang erat dengan berbagai segi kehidupan organisasional. Misalnya kaitan umur dengan tingkat kedewasaan teknis yaitu keterampilan tugas. Umur mempunyai kaitan erat dengan berbagai segi organisasi, kaitan umur dengan tingkat kedewasaan psikologis menunjukkan kematangan dalam arti individu menjadi semakin bijaksana dalam mengambil keputusan bagi kepentingan organisasi. Robbins (2003) berpendapat bahwa kinerja menurun dengan pertambahan umur. Karyawan tua dianggap kurang menguasai teknologi baru, tetapi kemungkinan keluar dari pekerjaan adalah kecil. Hal ini disebabkan makin tuanya para pekerja maka sedikit kesempatan untuk mencari alternatif pekerjaan lain. Hubungan kinerja dengan umur sangat erat kaitannya, alasannya adalah adanya keyakinan yang meluas bahwa kinerja merosot dengan meningkatnya umur. Pada karyawan yang berumur tua juga dianggap kurang luwes dan menolak teknologi baru. Namun di lain pihak ada sejumlah kualitas positif yang ada pada karyawan yang lebih tua, meliputi pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. Hubungan kinerja dan umur sangat erat kaitannya. Ini dikarenakan adanya keyakinan yang meluas bahwa semakin meningkatnya umur, semakin merosot pula kinerja seseorang. Pada tenaga kerja yang berumur tua dianggap kurang luwes dalam bekerja dan menolak adanya teknologi baru. Namun di lain pihak, tenaga kerja yang lebih tua dianggap lebih memiliki pengalaman dan etika kerja yang kuat serta memiliki komitmen terhadap mutu. Tenaga kerja yang lebih muda cenderung memiliki fisik yang kuat sehingga diharapkan dapat lebih bekerja keras. Namun di sisi lain, tenaga kerja yang lebih muda cenderung kurang disiplin, kurang bertanggung jawab dan sering berpindah-pindah pekerjaan dibandingkan tenaga kerja yang lebih tua. b. Jenis Kelamin Menurut Robbins (2003), implikasi jenis kelamin para pekerja merupakan hal yang perlu mendapat perhatian secara wajar, dengan demikian perlakuan
9
terhadap merekapun dapat disesuaikan sedemikian rupa sehingga mereka menjadi anggota organisasi yang bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Studi-studi psikologi telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita dalam memiliki pengharapan untuk sukses. Tetapi sejauh ini tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, dan kemampuan belajar. Bukti konsistes juga menyatakan bahwa wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih tinggi daripada pria. c. Masa Kerja Menurut Robbins (2003), masa kerja dan kepuasan saling berkaitan positif. Memang, ketika umur dan masa kerja diperlakkan secara terpisah, tampaknya masa kerja akan menjadi indikator perkiraan yang lebih konsisten dan mantap atas kepuasan kerja daripada umur kronologis. Masa kerja yang lama akan cenderung membuat seorang karyawan lebih merasa betah dalam suatu organisasi, hal ini disebabkan diantaranya karena telah beradaptasi dengan lingkungannya yang cukup lama sehingga seorang karyawan akan merasa nyaman dengan pekerjaannya. d. Tingkat Pendidikan Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan mental, seperti kemampuan dalam menganalisis dan meramalkan suatu kondisi atau keadaan baik ekonomi, politik, maupun kondisi pasar. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa untuk mengetahui seberapa besar tingkat kemampuan intelektual seseorang dapat dilakukan dalam berbagai pengukuran yang dirancang, tergantung pada penggunaan hasil pengukuran tersebut. Seseorang yang memiliki tingkat kemampuan intelektual yang dimaksud merupakan modal dasar bagi seseorang untuk bertindak sekaligus berperilaku di dalam menghadapi suatu tugas pekerjaannya. Kemampuan intelektual seseorang pada umumnya dapat memiliki paling tidak ada tujuh indikator, yaitu; kecerdasan numerik, pemahaman verbal (comprehensive), kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan ingatan (Robbins 2003). e. Status Perkawinan Perkawinan memaksakan peningkatan tanggung jawab yang membuat suatu pekerjaan yang tetap menjadi lebih berharga dan penting. Seseorang yang telah menikah merasa lebih mantap dengan pekerjaannya yang sekarang, hal ini dikarenakan bahwa mereka melihat sebagai jaminan untuk masa depannya. Karyawan yang menikah akan lebih sedikit absensinya, tingkat perputaran tenaga kerja yang rendah, dan lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada rekan kerjanya yang masih bujangan atau lajang. Besar kemungkinannya bahwa karyawan yang tekun dan puas terhadap pekerjaannya terdapat pada karayawan yang telah menikah. Selain itu, karyawan yang telah menikah memiliki tanggungan yang lebih besar dibandingkan karyawan yang belum menikah. Sehingga dapat dikatakan status pernikahan dapat memberikan kontribusi terhadap produktivitas kerja karyawan (Robbins 2003).
10
a. Jumlah Tanggungan Siagian (2008) menyatakan bahwa, “Jumlah tanggungan adalah seluruh jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan seseorang”. Berkaitan dengan tingkat absensi, jumlah tanggungan yang lebih besar akan mempunyai kecenderungan absen yang kecil, sedangkan dalam kaitannya dengan ‘turn over’ maka semakin banyak jumlah tanggungan seseorang, kecenderungan untuk pindah pekerjaan semakin kecil.
Konsep Karakteristik Usaha Mikro Menurut Tambunan (2009), dari perspektif dunia, diakui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memainkan suatu peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan, tidak hanya di negara-negara yang sedang berkembang (NSB), tetapi juga di negara-negara maju (NM). Di NM, UMKM sangat penting tidak hanya karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja dibandingkan usaha besar (UB), seperti halnya di NSB, tetapi juga di banyak negara kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi dari UB. Menurut Piper (1997) diacu Tambunan (2009), misalnya dikatakan bahwa sebanyak 12 juta orang atau sekitar 63,2 persen dari jumlah tenaga kerja di Amerika Serikat (AS) bekerja di 350.000 perusahaan yang memperkerjakan kurang dari 500 orang, yang di negara tersebut masuk di dalam kategori UMKM. Di NSB di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, UMKM juga berperan sangat penting, khususnya dari perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan. Dan pembangunan ekonomi pedesaan (Tambunan 2006, 2007a,b, 2008a,b diacu Tambunan 2009) Karakteristik-karakteristik UMKM menurut Tambunan (2009) adalah: 1. Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah UB) terutama dari kategori usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK). Dan hal ini juga didasarkan pada karakter usaha mikro dan usaha kecil yang tersebar diseluruh pelosok pedesaan termasuk di wilayah yang relatif terisolasi. 2. Karena sangat padat karya, berarti mempunyai suatu potensi pertumbuhan kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari kebijakan-kebijakan nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan, terutama bagi masyarakat miskin. 3. Kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok UMKM pada umumnya dari berbasis pertanian. Oleh karena itu upaya-upaya pemerintah mendukung UMKM sekaligus juga merupakan cara tak langsung, tetapi efektif untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi disektor pertanian. 4. UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih “cocok” terhadap proporsi-proporsi dari faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang ada di negara sangat berkembang, yakni sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja berpendidikan rendah yang berlimpah.
11
5.
Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa bertahan pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar pada tahun 1997/1998. 6. Walaupun pada umumnya masyarakat pedesaan miskin, banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa menabung dan mereka mau mengambil risiko dengan melakukan investasi. Dalam hal ini,UMKM bisa menjadi suatu titik permulaan bagi mobilisasi tabungan/investasi di perdesaan dan disisi lain bisa meningkatkan kemampuan berwirausaha dari orang-orang desa. 7. Kelompok usaha ini dapat memainkan suatu peran penting lainnya, yaitu sebagai suatu alat untuk mengalokasikan tabungan-tabungan perdesaan, yang kalau tidak akan digunakan untuk maksud-maksud yang tidak produktif. Walaupun banyak barang yang diproduksi oleh UMKM juga untuk 8. masyarakat kelas menegah dan atas, tetapi terbukti secara umum bahwa pasar utama bagi UMKM adalah untuk barang-barang konsumsi sederhana denganharga relatif murah seperti pakaian jadi, mebel dari kayu, alas kaki dan lainnya yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dari masyarakat miskin atau berpendapatan rendah. 9. Sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM yang mampu meningkatkan produktivitasnya lewat investasi dan perubahan teknologi. 10. Seperti sering dikatakan dalam literatur, satu keunggulan dari UMKM adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relatif terhadap pesaingnya (usaha besar). Menurut Tambunan (2009), karakteristik utama dari usaha mikro adalah: a. Formalitas: beroperasi di sektor informal, usaha tidak terdaftar, tidak/jarang bayar pajak. b. Organisasi dan manajemen: dijalankan dengan pemilik, tidak menerapkan pembagian tenaga kerja internal (internal division of labor (ILD)), manajemen dan struktur organisasi formal (management & formal organizational structure (MOF)), sistem pembukuan formal (formal bookkeeping system (ACS)). c. Sifat dan kesempatan kerja: kebanyakan menggunakan anggota-anggota kerja tidak dibayar. d. Pola atau sifat dari proses produksi: derajat mekanisme sangat rendah/umumnya manual; tingkat teknologi sangat rendah. e. Orientasi pasar: umumnya menjual ke pasar lokal untuk kelompok berlaba rendah. f. Profil ekonomi dan sosial dari pemilik usaha: pendidikan rendah & dari rumah tangga (RT) miskin, motivasi utama; survival. g. Sumber-sumber dari bahan baku dan modal: kebanyakan pakai bahan baku local dan uang sendiri. h. Hubungan-hubungan eksternal: kebanyakan tidak menpunyai akses ke programprogram pemerintah dan tidak punya hubungan-hubungan bisnis dengan usaha besar (UB). i. Wanita pengusaha: rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha cukup tinggi.
12
Contoh usaha mikro: a. Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan pembudidaya; b. Industri makanan dan minuman, industri meubel, pengolahan kayu dan rotan, industri pandai besi pembuat alat-alat; c. Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dll; d. Peternakan ayam, itik dan perikanan; e. Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit. Menurut Santosa dan Setyanto (2007) diacu Astuti (2012), Social Entreprenuers makin berperan dalam pembangunan ekonomi karena ternyata mampu memberikan daya cipta nilai-nilai sosial maupun ekonomi, yakni: (1) Menciptakan kesempatan kerja, (2) Manfaat ekonomi yang dirasakan dari Social Enterpreneurship di berbagai negara adalah penciptaan kesempatan kerja baru yang meningkat secara signifikan, (3) Melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat, (4) Menjadi modal sosial, modal sosial merupakan bentuk yang paling penting dari berbagai modal yang dapat diciptakan oleh social Enterpreneur karena walaupun dalam kemitraan ekonomi yang paling utama adalah nilai-nilai : saling pengertian (shared value), trust (kepercayaan) dan budaya kerjasama (a culture of cooperation), kesemuanya ini adalah modal sosial, (5) Peningkatan Kesetaraan (equity promotion), dan (6) Pemerataan kesejahteraan masyarakat. Melalui social Enterpreneurship tujuan tersebut akan dapat diwujudkan, karena para pelaku bisnis yang semula hanya memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal, selanjutnya akan tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan agar dapat dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang pasar (Suryana 2003 diacu Ratnawati 2011). Wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi yang tidak pasti (Kasmis 2007 diacu Ratnawati 2011). Menurut Dasaluti, et al. (2010), jenis usaha yang dilakukan masyarakat dapat digolongkan menjadi tiga tipe usaha mikro, yaitu: (1) usaha mandiri, yaitu usaha skala mikro yang dimiliki dan dikelola secara pribadi oleh perorangan, (2) usaha secara berkelompok, yaitu usaha mikro yang dimiliki dan dikelola secara bersama-sama dalam suatu kelompok, terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota kelompok, (3) usaha dengan bermitra (kemitraan), yaitu yang pengembangannya bekerja sama dengan pemilik usaha yang lain. Kerangka Pemikiran Ife (1995) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi kehidupan masa depannya dengan
13
memberikan sumberdaya, peluang, pengetahuan, dan keterampilan. Longwe (1988) menyatakan bahwa terdapat lima tingkatan pemerataan dalam kerangka kemampuan wanita, yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol. Proses menentukan tingkat keberdayaan perempuan, diduga terdapat hubungan antara karakteristik perempuan dan karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan perempuan. Menurut Robbins (2003), karakteristik individu mencakup umur, tingkat pendidikan, dan status perkawinan. Siagian (2008), menyatakan bahwa karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, status perkawinan, dan jumlah tanggungan. Menurut Tambunan (2009), UMKM tidak saja berbeda dengan UB, tetapi di dalam kelompok UMKM itu sendiri terdapat perbedaan karakteristik antara UMI dengan UK dan UM dalam sejumlah aspek yang dapat mudah dilihat seharihari di NSB, termasuk Indonesia. Aspek-aspek itu termasuk formalitas usaha, sistem organisasi dan manajemen yang diterapkan di dalam usaha, pola atau sifat proses produksi, orientasi pasar, dan sumber-sumber dari bahan-bahan baku dan modal. Karakteristik Perempuan Tingkat Keberdayaan Perempuan Pengusaha Mikro (Y)
X1. Tingkat umur X2. Tingkat pendidikan X3. Jenis status perkawinan X4. Tingkat jumlah tanggungan Karakteristik Usaha Mikro X5. Jenis formalitas X6. Jenis organisasi dan manajemen X7. Jenis pola atau sifat proses produksi X8. Jenis orientasi pasar X9. Jenis sumber modal
1. Tingkat kesejahteraan 2. Tingkat akses 3. Tingkat kesadaran kritis 4. Tingkat partisipasi 5. Tingkat kontrol
Keterangan: : berhubungan
Gambar 1. Kerangka berpikir
Hipotesis Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara umur dengan tingkat keberdayaan perempuan. 2. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat keberdayaan perempuan.
14
3. Terdapat hubungan antara status perkawinan dengan tingkat keberdayaan perempuan. 4. Terdapat hubungan antara jumlah tanggungan dengan tingkat keberdayaan perempuan. 5. Terdapat hubungan antara formalitas dengan tingkat keberdayaan perempuan. 6. Terdapat hubungan antara organisasi dengan manajemen dengan tingkat keberdayaan perempuan. 7. Terdapat hubungan antara pola atau sifat proses produksi dengan tingkat keberdayaan perempuan. 8. Terdapat hubungan antara orientasi pasar dengan tingkat keberdayaan perempuan.
Definisi Operasional
Tingkat Keberdayaan Perempuan Tingkat keberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro adalah unsur yang harus diperhatikan dalam proses pemberdayaan perempuan. Proses penentuan tingkat keberdayaan perempuan dilakukan dengan menjumlahkan skor pertanyaan terkait kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol. Jumlah pertanyaan terdiri dari 41 pertanyaan yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: Ya = skor 2 Tidak = skor 1 Kriteria untuk tingkat keberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha mikro sebagai berikut: a. Tingkat keberdayaan tinggi : skor 69-82 b. Tingkat keberdayaan sedang : skor 55-68 c. Tingkat keberdayaan rendah : skor 41-54 Definisi terkait peran tersebut diantaranya: 1. Kesejahteraan Menurut BPS (2005), indikator kesejahteraan di antaranya: pendapatan, konsumsi/pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, akses pelayanan kesehatan, akses pendidikan, akses fasilitas transportasi. Jumlah pertanyaan terdiri dari 6 pertanyaan yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: Ya = skor 2 Tidak = skor 1 Kriteria untuk tingkat kesejahteraan perempuan melalui pengembangan usaha mikro sebagai berikut: a. Tingkat kesejahteraan tinggi : skor 11-12 b. Tingkat kesejahteraan sedang : skor 9-10 c. Tingkat kesejahteraan rendah : skor 6-8
15
2. Akses Kemampuan perempuan untuk dapat memperoleh hak/akses terhadap sumberdaya produktif (tanah, kredit, pelatiham, fasilitas pemasaran, tenaga kerja, teknologi dan informasi, dan semua pelayanan publik yang setara dengan perempuan). Jumlah pertanyaan terdiri dari 6 pertanyaan yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: = skor 2 Ya Tidak = skor 1 Kriteria untuk tingkat akses perempuan melalui pengembangan usaha mikro sebagai berikut: a. Tingkat akses tinggi : skor 11-12 b. Tingkat akses sedang : skor 9-10 c. Tingkat akses rendah : skor 6-8 3. Kesadaran Kritis Pemahaman atas perbedaan peran jenis kelamin dan peran gender dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Jumlah pertanyaan terdiri dari 6 pertanyaan yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: Ya = skor 2 Tidak = skor 1 Kriteria untuk tingkat kesadaran kritis perempuan melalui pengembangan usaha mikro sebagai berikut: a. Tingkat kesadaran kritis tinggi : skor 11-12 b. Tingkat kesadaran kritis sedang : skor 9-10 c. Tingkat kesadaran kritis rendah : skor 6-8 4. Partisipasi Dalam Mardikanto dan Soebiato (2013), partisipasi merupakan suatu bentuk keterlibatan dan keikutsertaan secara aktif dan sukarela, baik karena alasanalasan dari dalam (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan, yang mencakup pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian (pemantauan, evaluasi, pengawasan), serta pemanfaatan hasil-hasil kegiatan yang dicapai. Jumlah pertanyaan terdiri dari 19 pertanyaan yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: Ya = skor 2 = skor 1 Tidak Kriteria untuk tingkat partisipasi perempuan melalui pengembangan usaha mikro sebagai berikut: a. Tingkat partisipasi tinggi : skor 32-38 b. Tingkat partisipasi sedang : skor 25-31 c. Tingkat partisipasi rendah : skor 19-24 5. Kontrol Kesetaraan dalam kekuasaan atas faktor produksi, dan distribusi keuntungan sehingga baik perempuan maupun laki-laki berada dalam posisi yang dominan.
16
Jumlah pertanyaan terdiri dari 4 pertanyaan yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: Ya = skor 2 Tidak = skor 1 Kriteria untuk tingkat kontrol perempuan melalui pengembangan usaha mikro sebagai berikut: a. Tingkat kontrol tinggi : skor 7-8 b. Tingkat kontrol sedang : skor 5-6 Tingkat kontrol rendah : skor 4 Karakteristik Perempuan Proses menentukan tingkat keberdayaan perempuan, diduga terdapat hubungan antara karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan perempuan. Menurut Robbins (2003), karakteristik individu mencakup umur, tingkat pendidikan, dan status perkawinan. Siagian (2008), menyatakan bahwa karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, status perkawinan, dan jumlah tanggungan. Berikut ini adalah definisi operasional konsep karakteristik perempuan yang terdiri atas variabel umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, dan status perkawinan: Tabel 1
Definisi operasional konsep karakteristik perempuan
No
Variabel
1
Tingkat umur
2
Tingkat pendidikan
3
Status perkawinan
Definisi Operasional
Indikator
Satuan waktu (hari, 1. Muda (<39 bulan, tahun) yang tahun) pernah dilalui 2. Menengah seseorang dalam (39-51 kehidupannya. tahun) 3. Tua (>51 tahun) Tahapan pendidikan 1. Tidak yang ditetapkan sekolah dan berdasarkan tingkat belum perkembangan tamat SD peserta didik yang 2. Tamat SMP ditamatkan dan dan tamat kemampuan yang SMA dikembangkan. 3. Tamat SMA dan sarjana muda Seseorang yang 1. Cerai mati berstatus kawin 2. Cerai hidup apabila mereka 3. Kawin terikat dalam 4. Belum perkawinan saat kawin pencacahan, baik
Jenis Data Ordinal
Sumber Rujukan BPS, 2009
Ordinal
BPS, 2009
Nominal
BPS, 2013
17
No
4
Variabel
Jumlah tanggungan
Definisi Operasional
Indikator
yang tinggal bersama maupun terpisah, yang menikah secara sah maupun yang hidup bersama yang oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sah sebagai suami istri Seluruh jumlah 1. Rendah (<3 anggota keluarga orang) yang menjadi 2. Sedang (4-5 tanggungan orang) seseorang 3. (>6 orang)
Jenis Data
Ordinal
Sumber Rujukan
Siagian (2008)
Karakteristik Usaha Mikro Proses menentukan tingkat keberdayaan perempuan, diduga terdapat hubungan antara karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan perempuan. Menurut Tambunan (2009) karakteristik usaha mikro adalah formalitas, organisasi dan manajemen, pola atau sifat proses produksi, orientasi pasar, dan sumber modal. Berikut ini adalah definisi operasional konsep karakteristik usaha mikro yang terdiri atas variabel formalitas, organisasi dan manajemen, pola atau sifat proses produksi, orientasi pasar, dan sumber modal Tabel 2
Definisi operasional karakteristik usaha mikro Definisi No Variabel Indikator Operasional 1 Formalitas Pemberian izin 1. Usaha tidak kegiatan usaha terdaftar tertentu dan status 2. Usaha badan hukum bagi terdaftar saha sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. 2 Organisasi Upaya 1. Tidak dan pengendalian menerapkan manajemen sumber daya dalam pembagian mencapai tujuan. tenaga kerja internal 2. Menerapkan pembagian tenaga kerja
Jenis Data Nominal
Sumber Rujukan Tambunan (2009)
Nominal
Tambunan (2009)
18
No 3
4
5
Definisi Indikator Operasional Pola atau Derajat mekanisme 1. Manual/ sifat proses sangat tradisional produksi rendah/umumnya 2. Menggunakan manual; tingkat teknologi teknologi sangat rendah Orientasi Umumnya menjual 1. Tergantung pasar ke pasar lokal pesanan untuk kelompok 2. Tidak berlaba rendah bergantung pada pesanan Sumber Asal modal yang 1. Modal asing/ modal didapat untuk hutang mendirikan usaha 2. Modal sendiri Variabel
Jenis Data Nominal
Sumber Rujukan Tambunan (2009)
Nominal
Narver dan Slater (1990)
Nominal
Riyanto (2010)
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian Penelitian tentang hubungan karakteristik perempuan dan karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif melalui metode survei yang didukung oleh data kualitatif. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang diperoleh dari responden, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan (Singarimbun dan Efendi 1989).
Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja). Alasan memilih lokasi tersebut adalah Desa Cikarawang merupakan desa yang terdapat perempuan yang menjalankan usaha mikro. Proses penelitian dimulai dari bulan Januari hingga Desember 2015. Penelitian di lapangan dilakukan selama empat minggu, yaitu pada bulan Maret hingga Mei 2015. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi.
Teknik Pengambilan Responden dan Informan Populasi pada penelitian ini adalah perempuan Desa Cikarawang berusia lebih dari 15 tahun yang memiliki usaha mikro. Kerangka sampling adalah perempuan pengusaha mikro berusia lebih dari 15 tahun yang memiliki usaha sendiri berjumlah 53 orang. Jumlah responden yang diteliti adalah 36 perempuan desa yang mengembangkan usaha mikro. Metode penarikan responden yang digunakan adalah simple random sampling (Lampiran 3). Sementara itu, informan dalam penelitian ini adalah pihak yang terkait dengan pelaksanaan usaha mikro di Desa Cikarawang, yaitu Ketua Kelompok Wanita Tani di Desa Cikarawang.
Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden yaitu 36 perempuan yang menjalankan usaha mikro. Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner yang dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden serta ditujukan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian.
20
Selain itu dilakukan wawancara mendalam dengan salah satu Ketua Kelompok Wanita Tani di Desa Cikarawang. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen pihak-pihak terkait dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, yaitu buku, jurnal penelitian, skripsi, dan internet.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuesioner yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Setelah seluruh data terkumpul, dilakukan pengkodean data. Setelah itu, dilakukan perhitungan persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabel tabulasi silang dan diolah secara statistik dengan menggunakan software SPSS (Statistical Program for Social Sciences) for Windows versi 20.0. Beberapa variabel disajikan dalam bentuk tabel frekuensi yaitu karakteristik perempuan (umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan jumlah tanggungan), karakteristik usaha mikro (formalitas, organisasi dan manajemen, pola atau sifat proses produksi, sumber modal). Data yang diperoleh dianalisis dan diuji dengan beberapa teknik, yaitu dengan tabel frekuensi dan uji korelasi Rank Spearman dan Chi Square. Sebelum melakukan uji korelasi, dilakukan uji reliabilitas untuk melihat validitas data yang digunakan. Berikut ini adalah hasil uji reliabilitas data: Tabel 3. Uji reliabilitas data Cronbach's Alpha .775
n of Items 76
Hasil menunjukkan bahwa cronbach’s alpha uji reliabilitas lebih dari cronbach’s alpha 0.5 yakni 0.775. Aturan dalam penentuan nilai alpha adalah jika alpha > 0.90 maka reliabilitas sempurna, jika alpha 0.70 < alpha < 0.90 maka reliabilitas tinggi. Jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.05 maka reliabilitas moderat, dan jika nilai alpha < 0.5 maka reliablitas rendah. Angka tersebut membuktikan bahwa data yang digunakan untuk uji korelasi memiliki reliabilitas tinggi. Uji korelasi Rank Spearman dilakukan antara variabel karakteristik perempuan (umur, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan) dengan tingkat keberdayaan perempuan. Uji korelasi Chi Square dilakukan antara variabel karakteristik perempuan (status perkawinan) dengan tingkat keberdayaan perempuan, dan variabel karakteristik usaha mikro (formalitas, organisasi dan manajemen, pola atau sifat proses produksi, orientasi pasar, dan sumber modal) dengan tingkat keberdayaan perempuan. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara digunakan sebagai data pendukung hasil penelitian kuantitatif.
PROFIL DESA CIKARAWANG
Pada bab ini dipaparkan mengenai profil Desa Cikarawang, yakni sejarah desa, kondisi geografis, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi.
Sejarah Desa Pada awalnya Desa Cikarawang dengan Kelurahan Situ Gede adalah satu desa yaitu Desa Cikarawang bagian dari Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Namun, karena terjadi pemekaran desa, terbentuklah kecamatan baru yaitu Kecamatan Dramaga yang terdiri atas 10 Desa, yaitu Desa Purwasari, Desa Sukadamai,, Desa Petir, Desa Sukawening, Desa Ciherang, Desa Neglasari, Desa Sinarsari, Desa Dramaga, Desa Babakan, dan Desa Cikarawang. Konon, Desa Cikarawang memiliki sejarah dua versi. Pertama, dikisahkan dahulunya wilayah tersebut hidup beberapa kepala keluarga dengan mata pencaharian bertani dan memiliki alat gamelan dari Karawang yang sering dipentaskan. Namun, ketika mereka sudah tidak lagi menggunakannya, alat gamelan tersebut dikubur supaya tidak dipakai lagi. Artian bahasa sunda yang mereka gunakan “Jarang Mulang Cikarawang” dan bahasa dikenal sampai sekarang menjadi “Kampung Carang Pulang, Desa Cikarawang”. Kedua, konon wilayah desa tersebut dikelilingi oleh dua sungai, yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Ciapus, masyarakat menyebutnya Cai Karawang dan sampai saat ini dikenal menjadi Desa Cikarawang.
Kondisi Geografis Desa Cikarawang merupakan salah satu desa di Kecamatan Dramaga yang mempunyai luas wilayah sekitar 226,56 Ha. Batas-batas administratif pemerintahan Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga sebagai berikut: 1. Sebelah Utara : Sungai Cisadane 2. Sebelah Timur : Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor 3. Sebelah Selatan : Sungai Ciapus 4. Sebelah Barat : Sungai Ciapus / Sungai Cisadane Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga secara umum berupa dataran dan persawahan yang berada pada ketinggian antara 193 M di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata berkisar antara 25°C sampai dengan 30°C. Desa Cikarawang terdiri dari 3 Dusun, 7 RW, dan 32 RT.
Kondisi Sosial Kondisi sosial Desa Cikarawang terdiri atas masyarakat yang heterogen, yakni penduduk asli dan penduduk pendatang. Jumlah penduduk Desa
22
Cikarawang sebanyak 8227 jiwa yang terdiri dari 4199 laki-laki dan 4028 perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2114 KK. Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan struktur umur disajikan pada tabel berikut: Tabel 4
Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan umur tahun 2009 Umur n (orang) % 0 - 12 bulan 241 3.0 1 - 4 tahun 725 8.8 5 - 6 tahun 170 2.1 7 - 14 tahun 716 8.7 15 - 56 tahun 6087 73.9 >56 tahun 288 3.5 Jumlah 8227 100.0
Sumber: Data Monografi Desa Cikarawang 2009
Tabel 4 menunjukkan sebagian besar umur penduduk antara 15 sampai 56 tahun (73.9%). Dalam kategori struktur umur, penduduk Desa Cikarawang tergolong ke dalam struktur umur produktif. Berikut ini adalah jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan tingkat pendidikan: Tabel 5
Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2009 Tingkat pendidikan n (orang) % Buta huruf 0 Tidak tamat SD 441 12.1 Tamat SD 1002 27.6 Tamat SMP 1002 27.6 Tamat SMA 1074 29.6 Tamat Perguruan Tinggi 115 3.1 Jumlah 3634 100.0
Sumber: Data Monografi Desa Cikarawang 2009
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebanyak 29.6 persen (1074 penduduk) di Desa Cikarawang tamat SMA. Hal ini merupakan persentase terbesar jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lain. Umumnya penduduk Cikarawang setelah tamat SMA tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ekonomi untuk membiayai sekolah, maka penduduk lebih memilih untuk mencari pekerjaan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Prasarana pendidikan yang terdapat di Desa Cikarawang, diantaranya SMP (1 buah), SD (4 buah), dan pesantren (1 buah). Fasilitas umum lainnya yang terdapat di desa ini, diantaranya posyandu (7 buah), puskesdes (1 buah), dokter (1 orang), bidan (3 orang), dan kader posyandu (35 orang), dan dukun terlatih (7 orang).
23
Kondisi Ekonomi Jumlah penduduk Desa Cikarawang tahun 2009 sebanyak 2114 KK dan jumlah keluarga miskin sebanyak 777 KK, dengan persentase 35.3 persen jumlah keluarga yang ada di Desa Cikarawang. Berikut ini adalah jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan jenis mata pencaharian: Tabel 6
Jumlah dan persentase penduduk Desa Cikarawang berdasarkan jenis mata pencaharian tahun 2009 Mata Pencaharian n (orang) % Buruh Tani 225 12.8 Buruh Swasta 750 42.6 Pertanian 310 17.7 Peternakan 3 0.2 Perikanan 2 0.1 Perkebunan 25 1.4 Perdagangan 31 1.7 Industri Rumah Tangga 12 0.7 Bidan 3 0.2 PNS 180 10.2 Montir 3 0.2 Pensiunan 215 12.2 Jumlah 1759 100.0
Sumber: Data Monografi Desa Cikarawang 2009
Tabel 6 menunjukkan bahwa sebanyak 42.6 persen (750 penduduk) di Desa Cikarawang merupakan buruh swasta di perusahaan konveksi pakaian dan Agribusiness Development Station (ADS). Kemudian bekerja sebagai buruh tani, sebagian penduduk ada yang bekerja di lahan pertanian milik orang lain. Lahan pertanian yang digarap di antaranya tanaman singkong, jambu kristal, dan tanaman hortikultura lainnya. Selain itu, ada pula yang berprofesi sebagai supir angkutan umum dan tukang ojek.
PROFIL KELOMPOK WANITA TANI (KWT) Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa di wilayah Desa Cikarawang mempunyai potensi yang sangat bagus di bidang pertanian, terutama komoditi padi sawah dan ubi jalar. Awalnya, potensi yang ada dikelola oleh Kelompok Tani yang ada di Desa Cikarawang, yakni Kelompok Tani Hurip. Komditi tersebut dijual dan dikembangkan menjadi produk olahan. Pada saat itu Kelompok Tani Hurip telah mengolah ubi jalar menjadi tepung ubi, sehingga timbul keinginan ibu-ibu untuk membentuk kelompok wanita tani yang diberi nama KWT Melati. Melalui KWT tersebut, ibu-ibu mengolah tepung ubi menjadi kue. Selain itu dapat menyalurkan aspirasi dan menjadikan KWT sebagai wadah pembelajaran bagi anggota KWT. Namun, kondisi saat ini jumlah anggota KWT Melati menurun menjadi 20 orang.
24
Visi KWT Melati adalah menciptakan KWT yang produktif dan kreatif. Misinya, yaitu: (1) meningkatkan sumberdaya anggota kelompok tani, (2) menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan instansi pemerintah, perguruan tinggi dan swasta, dan (3) mengakses para anggota kelompok ke lembaga permodalan pasar, informasi, dan teknologi. Susunan pengurus KWT Melati terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, pembina, penasehat, seksi pertanian, seksi humas, seksi produksi, seksi pemasaran, dan seksi konsumsi. Administrasi dan pembukuan KWT terdiri atas buku rencana kerja, buku kepemilikan lahan, buku hadir rapat, buku organisasi kelompok, buku realisasi kegiatan, buku notulen pertemuan, buku pengguna dana, buku surat masuk, buku surat keluar, buku inventaris barang dan penerima bantuan, buku kas kelompok, dan buku daftar anggota. Selain yang pekerjaan yang ada pada Tabel 6, ada pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian besar perempuan Desa Cikarawang dan bergerak di sektor informal. Perempuan desa ada yang bekerja dan ada pula yang menjalankan usaha mikro. Usaha mikro yang dijalankan berupa makanan, minuman, dan hasil panen dari lahan pertanian. Makanan yang dijual diantaranya kue kering (keripik singkong, keripik bayam, rempeyek, rengginang), kue basah (brownis, dodol, kue mangkuk, dan gorengan), minuman (sari jambu, sari talas), tepung singkong, dan saus sambal. Mereka yang menjalankan usaha mikro tergabung dalam kelompok wanita tani (KWT), dan di Desa Cikarawang terdapat tiga sekretariat KWT. Namun, hanya ada satu KWT yang masih berjalan aktif baik dari segi pelatihan maupun keikutsertaan setiap ada pameran yang dilaksanakan oleh pihak luar, yakni KWT Melati. Hal ini terkadang membuat anggota di KWT yang lain ikut bergabung dengan kegiatan-kegiatan di KWT Melati. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ketua KWT Melati: “...dulu anggota KWT itu banyak Kak. Ada sekitar 40 orang, tapi lama kelamaan berkurang, biasa kan udah pada tua, kesehatan terganggu, yang udah punya cucu biasanya ngerawat cucunya. Tapi kalo ada pelatihan mereka masih suka dateng, lumayan nambah ilmu katanya. Kadang, anggota KWT dusun sebelah ikut gabung kesini kalo ada pelatihan, kegiatan bikin kue, karena disini lebih aktif...” (Nm, 42 tahun) Potensi usaha kelompok yang bisa dijalankan diantaranya ternak unggas, tanaman toga, tanaman hias, sayuran, dan buah-buahan. Usaha mikro yang dijalankan perempuan Desa Cikarawang sebagian besar dijalankan secara mandiri oleh masing-masing individu, baik dari segi sumber modal maupun hasil penjualan. Untuk pemasaran biasanya dijual ke warung-warung terdekat. Kalau belum laku semua, dagangan tersebut dipindah ke sekretariat KWT untuk dijual kembali. Penghasilan dari usaha mikro ini tidak tetap, karena setiap orang berbeda cara. Ada yang menjual makanannya kalau hanya ada pesanan saja, ada pula yang melakukan produksi terus menerus. Berdasarkan penelitian di lapang, sebagian besar penghasilan perempuan mikro berkisar antara Rp 150.000 hingga Rp 500.000 setiap bulannya. Namun, ada pula yang penghasilannya lebih besar dari nilai tersebut.
25
Organisasi Kelompok Wanita ini tentunya memiliki permasalahan dan solusi, ada 3 masalah. Pertama, ada beberapa orang anggota KWT kurang aktif, solusinya meningkatkan kembali pembinaan agar menyadari pentingnya berkelompok. Kedua, pemasaran produk yang diproduksi oleh KWT, solusinya mencari pasar dengan cara menghubungi toko-toko, dinas instansi terkait, dan perguruan tinggi. Ketiga, membuat kebun KWT untuk kegiatan bersama, solusinya menyewa lahan untuk ditanami beraneka ragam tanaman yang dapat menunjang perekonomian anggota KWT.
TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN PENGUSAHA MIKRO Tingkat keberdayaan perempuan diukur menggunakan lima variabel yang dikemukakan oleh Longwe (1988) yakni kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol.
Kesejahteraan Aspek ini dikatakan salah satu aspek yang penting dalam upaya peningkatan pemberdayaan perempuan, karena berkaitan dengan bagaimana perempuan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini kesejahteraan diukur dari keadaan tempat tinggal, fasilitas yang dimiliki di tempat tinggal, kesehatan keluarga, akses pelayanan kesehatan, akses pendidikan, dan akses fasilitas transportasi. Berikut ini adalah data responden menurut tingkat kesejahteraan perempuan: Tabel 7
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Rendah 1 2.8 Sedang 15 41.7 Tinggi 20 55.6 Jumlah 36 100.0
Tabel 7 menunjukkan bahwa kesejahteraan perempuan di Desa Cikarawang sudah cukup baik, yakni sebesar 55.6 persen (20 responden) berada dalam kategori tinggi. Kesejahteraan perempuan dilihat dari keadaan tempat tinggal sudah permanen (tembok), fasilitas yang dimiliki tergolong cukup, kesehatan tergolong baik dan tidak ada yang menderita penyakit parah. Untuk akses rata-rata sudah baik; puskesmas, sekolah, dan transportasi dapat dijangkau. Hal ini seperti yang disampaikan oleh responden sebagai berikut: “...keadaan tempat tinggal sudah permanen. Fasilitas air minum, wc, alat elektronik sudah ada, lengkap. Kesehatan keluarga juga bagus, jarak rumah ke rumah sakit dekat dan mudah, sekolahan dekat, kendaraan cukup, ada lah...” (Us, 41 tahun) Hal ini juga didukung oleh responden yang lain. “...tempat tinggal dinding tembok, lantai ubin biasa. Fasilitas hanya ada tv, wc, dan alat memasak. Tidak ada yang mempunyai penyakit parah. Jarak rumah sakit dekat, cukup membantu, tidak terlalu jauh. Akses pendidikan cukup mudah dan ringan. Transportasi dapat di minimalisir...” (St, 26 tahun)
28
Akses Dalam bahasa Longwe (1988), akses diartikan sebagai kemampuan perempuan untuk dapat memperoleh hak/akses terhadap sumberdaya produktif seperti tanah, kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran, tenaga kerja, dan semua pelayanan publik yang setara dengan perempuan. Kemampuan perempuan dalam mendapatkan akses dibuktikan dengan data sebagai berikut: Tabel 8
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Rendah 9 25.0 Sedang 13 36.1 Tinggi 14 38.9 Jumlah 36 100.0
Tabel 8 menunjukkan bahwa akses perempuan di Desa Cikarawang sudah cukup baik, yakni sebesar 38.9 persen (14 responden) berada dalam kategori tinggi. Akses dilihat dari kemudahan perempuan dalam mendapatkan pelatihan, hak pemanfaatan sumber daya alam, memiliki tenaga kerja, penggunaan alat komunikasi, dan kemudahan dalam mendapatkan informasi. Sebagian besar sudah mendapatkan pelatihan, dalam hal ini pelatihan membuat kue. Kemudian sumber daya alam juga bisa dimanfaatkan oleh perempuan Desa Cikarawang, contohnya jambu kristal, singkong, dan tanaman hortikultura lainnya. Perempuan Desa Cikarawang juga sudah memiliki alat komunikasi sendiri; telepon genggam, televisi. Untuk akses informasi, sebagian besar memanfaatkan televisi sebagai sumber berita. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah satu responden sebagai berikut: “...pernah dapat pelatihan bikin kue, 1 bulan sekali dari mahasiswa IPB. Punya hak pemanfaatan usaha karena punya sendiri, tapi masih sistem pemesanan. Kalau untuk informasi biasa dapat dari koran, televisi, internet, handphone, telepon rumah. Kalau cari sendiri biasanya nyari di internet atau tanya-tanya masyarakat...” (Nm, 42 tahun)
Kesadaran Kritis Kesadaran kritis adalah pemahaman atas perbedaan peran jenis kelamin dan peran gender dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Kesadaran kritis mencakup pemahaman peran laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, dan keberpihakan terhadap perempuan yang bekerja dan meningkatkan perekonomian keluarga. Berikut ini adalah data responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan:
29
Tabel 9
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Rendah 0 0.0 Sedang 8 22.2 Tinggi 28 77.8 Jumlah 36 100.0
Tabel 9 menunjukkan bahwa kesadaran kritis di Desa Cikarawang sudah baik, yakni sebesar 77.8 persen (28 responden) berada dalam kategori tinggi. Kesadaran kritis tergolong tinggi karena sebagian besar perempuan sudah memahami pentingnya peran perempuan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga (mengakses sumberdaya alam, ikut mengambil keputusan, dll). Hal ini seperti diungkapkan oleh responden sebagai berikut: “...istri tugasnya mengurus rumah tangga dan anak-anak, suami mencari nafkah. Peran istri penting dalam ekonomi karena istri yang mengatur ekonomi keluarga. Penting juga dalam mencari nafkah agar bisa membantu menambah pendapatan keluarga, setidaknya dapat menjadi pendorong agar suami mau berusaha lebih giat lagi mencari nafkah. Setuju aja kalau perempuan kerja biar mengisi waktu luang di sela kesibukan mengurus rumah tangga dan ada tambahan uang...” (Sy, 40 tahun) Hal ini juga didukung oleh responden yang lain. “...lelaki sebagai kepala keluarga. Peran perempuan penting dalam perkembangan ekonomi karena emansipasi wanita dan membantu suami. Kalau istri kerja, kebutuhan sedikit terpenuhi karena dibantu sama istri yang bekerja, meringankan suami...” (Ns, 32 tahun)
Partisipasi Venhagen (1979) dalam Mardikanto dan Soebiato (2013) menyatakan bahwa partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Partisipasi diukur dengan 4 tahap; tahap pengambilan keputusan, tahap pelaksanaan, tahap menikmati hasil, dan tahap evaluasi. Pertama, tahap pengambilan keputusan meliputi keterlibatan dalam struktur Kelompok Wanita Tani (KWT), keterlibatan dalam keputusan untuk mendirikan usaha, dan memberikan kritik dan saran serta solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan usaha. Kedua, tahap pelaksanaan meliputi keikutsertaan dalam melaksanakan suatu program, menyebarkan informasi, mengikuti pelatihan, dan memberikan sumbangan berupa materi dan tenaga. Ketiga, tahap menikmati hasil meliputi pemanfaatan sumber daya. Keempat, tahap evaluasi meliputi keterlibatan
30
diri dalam evaluasi program kegiatan yang sudah dilaksanakan. Keterlibatan perempuan dalam berpartisipasi dibuktikan dengan data sebagai berikut Tabel 10 Jumlah dan persentase responden menurut perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n Rendah 2 Sedang 5 Tinggi 29 Jumlah 36
tingkat
partisipasi
% 5.6 13.9 80.6 100.0
Tabel 10 menunjukkan bahwa partisipasi perempuan Desa Cikarawang, dari 36 responden terdapat 29 responden (80.6%) yang berpartisipasi tinggi. Sebagian besar responden sudah berpartisipasi dengan baik dalam menjalankan usaha mikro. Hal ini seperti diungkapkan oleh responden sebagai berikut: “...saya terlibat dalam KWT sebagai sekretaris. Saya menjalani usaha karena kebutuhan. Kalau untuk kritik dan saran biasanya terkait dengan modal usaha sama persaingan yang banyak. Kalau program kegiatan yang dijalani, ya sesuai dengan kemampuan aja, lokasi yang strategis. Saya biasa ikut pelatihan untuk menunjang kewirausahaan, pelatihan bikin kue...” (Tm, 40 tahun) Hal ini juga disampaikan oleh Ibu An yang sudah memiliki jaringan pemasaran usahanya: “...saya di bendahara KWT. Saya usaha ternak ayam, ada pelatihan cara perakitan kandang ayam, pemisahan ayam biar cepat berkembang biak. Kalau sudah panen, saya jual ke Rumah Makan Galuga. Biasanya ada pertemuan dengan Rumah Makan Galuga...” (An, 46 tahun) Kemudian bentuk partisipasi juga disampaikan oleh Ibu Ns terkait kebutuhan bagi para pengusaha mikro: “...kritik dan saran yang dibutuhkan biasanya terkait pengemasan yang bagus dan pemasaran yang baik, dan bagaimana cara mencari jaringan penjualan. Pelatihan yang diikuti itu pelatihan buat kue. Kalau saya libur ada pelatihan dari IPB, saya ikut. Supaya usaha saya dan ibu saya maju. Ibu-ibu harus punya UKM untuk menambah ekonomi keluarga...” (Ns, 30 tahun)
Kontrol Kontrol merupakan kesetaraan dalam kekuasaan atas faktor produksi, dan distribusi keuntungan sehingga baik perempuan maupun laki-laki berada dalam
31
posisi yang dominan. Kemampuan perempuan dalam mengontrol usahanya dibuktikan dengan data sebagai berikut Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Rendah 3 8.3 Sedang 7 19.4 Tinggi 26 72.2 Jumlah 36 100.0 Tabel 11 menunjukkan bahwa kontrol perempuan di Desa Cikarawang sudah baik, yakni sebesar 72.2 persen (26 responden) berada dalam kategori tinggi. Kontrol tergolong tinggi karena sebagian besar usaha yang dijalankan oleh perempuan berasal dari kemauan dan sesuai kemampuan pribadi, sehingga kontrol usaha yang dilakukan dikelola secara pribadi. Hal ini seperti diungkapkan oleh responden sebagai berikut: “...punya kekuasaan wewenang sendiri karena usaha berjalan sendiri, contohnya saat melakukan pemasaran. Memutuskan kebijakan sendiri agar usaha dapat berkembang, contohnya aturanaturan dalam pembayaran.” (St, 26 tahun)
Tingkat Keberdayaan Perempuan Tingkat keberdayaan perempuan telah dipaparkan sebelumnya melalui kelima variabel pemberdayaan (kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol). Hasilnya menunjukkan pelaksanaan usaha mikro di Desa Cikarawang sudah efektif. Hal ini dapat ditunjukkan dari persentase setiap variabel pemberdayaan yang berada pada kategori tinggi. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Rendah 0 0.0 Sedang 5 13.9 Tinggi 31 86.1 Jumlah 36 100.0 Tabel 12 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan berada pada kategori tinggi yakni 86.1 persen (31 responden). Tingkat keberdayaan ini dilihat dari 5 tingkatan; kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, kontrol. Pada umumnya, perempuan Desa Cikarawang menjalankan usahanya sendiri, dan dengan modalnya sendiri. Setiap usaha tersebut dapat dikontrol langsung dengan mudah. Akan tetapi, masih ada perempuan yang belum mengalami kontrol
32
sepenuhnya dalam mengembangkan usaha mikro. Hal ini seperti diungkapkan oleh responden sebagai berikut: “...tidak memiliki kuasa atas usaha karena berbagi kegiatan satu sama lain, saling menghargai. Kebijakan-kebijakan juga dilakukan dengan musyawarah...” (Tm, 40 tahun) Meskipun demikian, pengembangan usaha mikro di Desa Cikarawang termasuk berjalan baik. Hal ini dilihat dari keinginan para perempuan dalam merubah kondisi perekonomian keluarga menjadi lebih baik. Hal ini seperti diungkapkan oleh responden sebagai berikut: “...perempuan penting cari nafkah untuk membantu suami. Soalnya suami hasil petaninya sedikit, makanya dibantu sama usaha...” (Mm, 60 tahun)
KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN Bab ini akan menjelasikan tentang hubungan antara karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan perempuan dimana karakteristik perempuan terdiri atas 4 variabel yang dikemukakan oleh Robbins (2006) diacu Lestari (2012) dan Siagian (2008) yakni umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, dan status perkawinan.
Umur Berdasarkan data BPS (2006), struktur umur pengusaha di UMKM menurut kelompok umur menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (34.5%) pengusaha UMKM berusia di atas 45 tahun, dan hanya sekitar 5.2 persen pengusaha UMKM yang berumur 25 tahun. Secara rata-rata pengusaha UMKM berusia 41.9 tahun. Selanjutnya, sebagian besar dari jumlah pengusaha dari kategori UMI berumur di atas 45 tahun, dengan rata-rata umur 41.2 tahun Berikut ini adalah data responden menurut tingkat umur: Tabel 13 Jumlah dan persentase responden menurut umur, Desa Cikarawang Tahun 2015 Kategori n % Muda ( < 39 tahun) 10 27.8 Menengah (39-51 tahun) 14 38.9 Tua ( > 51 tahun) 12 33.3 Jumlah 36 100.0 Tabel 13 menunjukkan bahwa dari 36 responden, sebagian besar umur perempuan berada dalam kategori sedang (antara 39 tahun sampai 51 tahun) sebanyak 14 orang (38.9%). Hal ini merupakan jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan kategori umur yang lain, karena rata-rata perempuan yang bekerja melakukan usaha mikro umumnya yang sudah berkeluarga, memiliki anak dan cucu. Menurut BPS (2009), umur kategori sedang termasuk kategori umur produktif dimana suatu individu memiliki kemampuan beraktivitas secara rutin serta membantu dalam kelancaran segi perekonomian dan pembangunan. Selain tabel frekuensi yang digunakan untuk mengetahui data responden menurut tingkat umur, dilakukan pula uji statistik menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa tingkat umur dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro. Berikut ini adalah hasil uji statistik melalui tabulasi silang antara tingkat umur dan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro (Tabel 14):
34
Tabel 14 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan umur, Desa Cikarawang tahun 2015 Tingkat Umur Tingkat Keberdayaan Muda Menengah Tua Perempuan n % n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang 1 10.0 0 0.0 4 33.3 Tinggi 9 90.0 14 100.0 8 66.7 Jumlah 10 100.0 14 100.0 12 100.0 Tabel 14 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan yang tinggi sebagian besar dialami oleh perempuan yang berada pada tingkat umur menengah, yakni 39 sampai 51 tahun. Hal ini diperkuat dengan hasil uji statistik menggunakan Rank Spearman dimana nilai α sebesar 0.044 yang menunjukkan hubungan signifikan antara kedua variabel tersebut. Hasil yang signifikan disebabkan nilai α lebih kecil dari nilai signifikansi 0.10. Selain itu nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar -0.288, yang artinya tidak searah karena bernilai negatif. Jadi, korelasi antara tingkat umur dengan tingkat keberdayaan perempuan memiliki hubungan dimana semakin tinggi tingkat umur perempuan maka tingkat keberdayaannya semakin rendah. Hasil uji statistik tersebut juga diperkuat dengan pernyataan responden sebagai berikut: “...dulu anggota KWT itu banyak kak, yang aktif bisa sampai 80 orang. Makin kesini, makin sedikit. Soalnya sudah pada tua, kesehatan mereka terganggu. Kalo ada pelatihan, kadang ikut. Tapi kalo untuk rapat-rapat mereka jarang. Soalnya sudah susah kalo mau jalan jauh. Belum lagi kalo mereka sudah ada cucu, biasanya ya jaga cucunya di rumah...” (Nm, 42 tahun)
Tingkat Pendidikan Berdasarkan BPS (2006), pada UMI, jumlah pengusaha hanya dengan pendidikan sekolah dasar lebih banyak dibandingkan UK dan UM. Sedangkan untuk kategori yang tamat sarjana, persentasenya lebih tinggi di UM dibandingkan UMI. Struktur pengusaha menurut tingkat pendidikan formal ini memberi kesan adanya suatu hubungan positif antara tingkat pendidikan rata-rata pengusaha dengan skala usaha; semakin besar skala usaha, yang biasanya berasosiasi positif dengan tingkat kompleksitas usaha yang memerlukan keterampilan tinggi dan wawasan bisnis yang lebih luas, semakin banyak pengusaha dengan pendidikan formal tersier. Industri pakaian jadi, makanan dan minuman, serta kerajinan, kebutuhan modal awal sangat sedikit dan produsen/ pengusaha tidak perlu memiliki pendidikan formal yang tinggi dan tidak perlu ada tempat khusus untuk kegiatan produksi. Mungkin untuk alasan ini, kegiatan produksi usaha mikro di kelompokkelompok industri tersebut lebih banyak dilakukan oleh perempuan dan anak-anak
35
sebagai suatu kegiatan paruh waktu, dan dilakukan di dalam rumah pemilik usaha/ pengusaha. Menurut Nurhayati dan Sahara (2008) diacu Handayani dan Artini (2009), semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan cepat tanggap terhadap perkembangan teknologi dan kemampuan seseorang. Berikut ini adalah data responden menurut tingkat pendidikan: Tabel 15 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD) 17 47.2 Sedang (tamat SMP) 3 8.4 Tinggi (tamat SMA dan perguruan tinggi) 16 44.4 Jumlah 36 100.0 Tabel 15 menunjukkan bahwa dari 36 responden, sebagian besar tingkat pendidikan perempuan berada dalam kategori rendah sebanyak 17 orang (47.2%), tapi persentase tersebut tidak berbeda jauh dengan tingkat pendidikan kategori tinggi sebanyak 16 orang (44.4%). Perempuan pengusaha mikro umumnya setelah tamat SMA tidak melanjutkan kembali pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan keterbatasan ekonomi untuk membiayai sekolah. Selain tabel frekuensi yang digunakan untuk mengetahui data responden menurut tingkat pendidikan, dilakukan pula uji statistik menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman. Berikut ini adalah hasil uji statistik melalui tabulasi silang antara tingkat pendidikan dan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro: Tabel 16 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan tingkat pendidikan, Desa Cikarawang tahun 2015 Tingkat Pendidikan Tingkat Keberdayaan Rendah Sedang Tinggi Perempuan n % n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang 4 23.5 0 0.0 1 6.2 Tinggi 13 76.5 3 100.0 15 93.8 Jumlah 17 100.0 3 100.0 16 100.0 Tabel 16 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan yang tinggi sebagian besar dialami oleh perempuan yang berada pada tingkat pendidikan sedang, yakni tamat SMP. Hal ini diperkuat dengan hasil uji statistik menggunakan Rank Spearman dimana nilai α sebesar 0.098 yang menunjukkan hubungan signifikan antara kedua variabel tersebut. Hasil yang signifikan disebabkan nilai α lebih kecil dari nilai signifikansi 0.10. Selain itu nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar 0.220, yang artinya searah karena bernilai positif. Jadi, korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat keberdayaan perempuan memiliki hubungan dimana jika perempuan semakin tinggi tingkat pendidikannya maka tingkat keberdayaannya semakin tinggi.
36
Jumlah Tanggungan Menurut Handayani dan Artini (2009), banyaknya jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk bekerja. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang tidak bekerja maka tanggungan keluarga juga lebih besar sehingga mengharuskan seseorang untuk bekerja lebih keras. Jumlah tanggungan adalah jumlah anggota keluarga yang ditanggung kehidupannya dari segi pemenuhan kebutuhan ekonomi. Besarnya keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang. Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya. Berikut ini adalah data responden menurut tingkat jumlah yang ditanggung: Tabel 17 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Rendah ( < 3 orang) 13 36.1 Sedang (4-5 orang) 19 52.8 Tinggi ( > 6 orang) 4 11.1 Jumlah 36 100.0 Tabel 17 menunjukkan bahwa dari 36 responden, sebagian besar jumlah tanggungan perempuan berada dalam kategori sedang sebanyak 19 orang (52.8%). Selain tabel frekuensi yang digunakan untuk mengetahui data responden menurut tingkat jumlah tanggungan, dilakukan pula uji statistik menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman. Berikut ini adalah hasil uji statistik melalui tabulasi silang antara tingkat jumlah tanggungan dan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro: Tabel 18 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan tingkat jumlah tanggungan, Desa Cikarawang tahun 2015 Tingkat Jumlah Tanggungan Tingkat Keberdayaan Rendah Sedang Tinggi Perempuan n % n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang 4 30.8 1 5.3 0 0.0 Tinggi 9 69.2 18 94.7 4 100.0 Jumlah 13 100.0 19 100.0 4 100.0 Tabel 18 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan yang tinggi dialami oleh perempuan yang memiliki jumlah tanggungan pada tingkat tinggi, yakni lebih dari 6 orang. Hal ini diperkuat dengan hasil uji statistik menggunakan Rank Spearman dimana nilai α sebesar 0.016 yang menunjukkan hubungan signifikan antara kedua variabel tersebut. Hasil yang signifikan disebabkan nilai α
37
lebih kecil dari nilai signifikansi 0.10. Selain itu nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar 0.358, yang artinya searah karena bernilai positif. Jadi, korelasi antara tingkat jumlah tanggungan dengan tingkat keberdayaan perempuan memiliki hubungan dimana semakin tinggi jumlah tanggungan perempuan maka semakin tinggi pula tingkat keberdayaan perempuan. Hasil uji statistik tersebut juga diperkuat dengan pernyataan responden sebagai berikut: “...peran seorang perempuan dalam perkembangan ekonomi penting untuk membantu perekonomian rumah tangga dan membantu kekurangan di dalam keluarga...” (Mr, 45 tahun) Hasil penelitian di lapang menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan desa menjalankan usaha mikro untuk membantu suami dalam menanggung tanggungan keluarga. Akan tetapi, bagi seorang janda, mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya karena ia sebagai tulang punggung keluarga. Namun, ada pula dari mereka yang dibantu oleh anak kandungnya yang juga bekerja. Sehingga, tidak terlalu berat menanggung biaya hidup. Status Perkawinan Menurut Robbins (2006) diacu Setiawan (2007), salah satu riset menunjukkan bahwa karyawan yang menikah lebih sedikit absensinya, mengalami pergantian yang lebih rendah, dan lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada rekan sekerjanya yang bujangan. Pernikahan memaksakan peningkatan tanggung jawab yang dapat membuat suatu pekerjaan yang tetap menjadi lebih berharga dan penting. Berikut ini adalah data responden menurut status perkawinan: Tabel 19 Jumlah dan persentase responden menurut perempuan, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n Cerai Mati 6 Kawin 30 Jumlah 36
status
perkawinan
% 16.7 83.3 100.0
Tabel 19 menunjukkan bahwa dari 36 responden, sebagian besar status perkawinan perempuan adalah kawin (83.3%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang mengembangkan usaha mikro dan telah menikah, memulai usahanya dengan dukungan penuh dari suami. “...tugas perempuan adalah menjaga anak dan membantu suami. Kalau ternak ayam sudah banyak, aku kirim ke Galuga, Situ Gede...” (An, 46 tahun)
38
Selain itu ada pula perempuan yang memutuskan untuk tetap berdagang selepas ditinggal suami. Hal ini dilakukannya agar tetap dapat bertahan hidup, seperti yang disampaikan oleh Ibu Mn (53 tahun): “...perempuan penting cari nafkah, karena pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Perempuan juga bekerja supaya bisa menambah penghasilan perekonomian dan membantu kekurangan di dalam keluarga...” (Mn, 53 tahun) Selain tabel frekuensi yang digunakan untuk mengetahui data responden menurut status perkawinan, dilakukan pula uji statistik menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Chi Square. Berikut ini adalah hasil uji statistik melalui tabulasi silang antara status perkawinan dan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro: Tabel 20 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan status perkawinan, Desa Cikarawang tahun 2015 Jenis Status Perkawinan Tingkat Keberdayaan Perempuan Cerai Mati Kawin n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 Sedang 1 16.7 4 13.3 Tinggi 5 83.3 26 86.7 Jumlah 6 100.0 30 100.0 Tabel 20 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan yang tinggi sebagian besar dialami oleh perempuan yang berstatus kawin. Namun, persentase tersebut tidak selisih jauh dengan perempuan yang berstatus cerai mati. Hal ini diperkuat dengan uji statistik menggunakan Chi Square dimana nilai α sebesar 0.829 yang menunjukkan hubungan tidak signifikan antara kedua variabel tersebut. Kesimpulannya, status perkawinan dengan tingkat keberdayaan perempuan tidak memiliki hubungan, karena perempuan yang berstatus kawin atau cerai mati tetap survive dan mengalami tingkat keberdayaan tinggi. Hasil uji statistik tersebut diperkuat dengan pernyataan sebelumnya oleh Ibu An (46 tahun) dan Ibu Mn (53 tahun). Ibu An mendapat dukungan dari suami dalam menjalankan usaha mikro. Berbeda dengan Ibu Mn yang berstatus janda, beliau menjalankan usaha mikro untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
KARAKTERISTIK USAHA MIKRO DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN Bab ini akan menjelasikan tentang hubungan antara karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan perempuan dimana karakteristik usaha mikro terdiri atas 5 variabel yang dikemukakan oleh Tambunan (2009) yakni formalitas, organisasi dan manajemen, pola atau sifat proses produksi, orientasi pasar, dan sumber modal.
Formalitas Menurut Tambunan (2009), formalitas UMI beroperasi di sektor informal, usaha tidak terdaftar, dan tidak atau jarang bayar pajak. Umumnya UMKM banyak yang tidak memiliki perizinan atau legalitas formal, padahal legalitas formal menentukan kelangsungan usaha tersebut. Menurut Amiaty (2015), realita yang terjadi adalah hanya sebagian kecil UMKM yang memiliki izin usaha dan cenderung tidak terikat dalam formalitas. Berikut ini adalah data responden menurut jenis formalitas usaha mikro: Tabel 21 Jumlah dan persentase responden menurut jenis formalitas usaha mikro, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Terdaftar 1 2.8 Tidak terdaftar 35 97.2 Jumlah 36 100.0 Tabel 21 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang memiliki usaha mikro, sebagian besar responden memiliki usaha yang tidak terdaftar sebanyak 35 orang (97.2%). Memiliki izin bagi UMKM belum menjamin adanya fasilitas maupun insentif dari pemerintah yang dapat dinikmati UMKM (Amiaty 2015). Hal ini disebabkan karena usaha mikro yang dilakukan masih bersifat sederhana, modal dan keuntungan yang belum terlalu besar, seperti yang dialami oleh Ibu Ns (30 tahun). “...biaya saya belum banyak, masih kecil, modal juga masih kecil. Kalo jualan keripik singkong dimasukin ke warung aja...” (Ns, 30 tahun) Selain tabel frekuensi yang digunakan untuk mengetahui data responden menurut jenis formalitas usaha, dilakukan pula uji statistik menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Chi Square. Berikut ini adalah hasil uji statistik melalui tabulasi silang antara jenis formalitas dan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro (Tabel 22):
40
Tabel 22 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan jenis formalitas, Desa Cikarawang tahun 2015 Jenis Formalitas Tingkat Keberdayaan Terdaftar Tidak Terdaftar Perempuan n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 Sedang 0 0.0 5 14.3 Tinggi 1 100.0 30 85.7 Jumlah 1 100.0 35 100.0 Tabel 22 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan yang tinggi dialami oleh perempuan yang memiliki perizinan usaha (terdaftar). Usaha yang memiliki perizinan dapat memperluas pasar. Namun, berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Chi Square, antara kedua variabel tersebut menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini karena nilai α lebih besar dari nilai signifikansi 0.10, yakni 0.684. Kesimpulannya, jenis formalitas dengan tingkat keberdayaan perempuan tidak memiliki hubungan, karena perempuan yang memiliki usaha mikro terdaftar atau tidak terdaftar mengalami tingkat keberdayaan tinggi. Hasil uji statistik tersebut diperkuat dengan kondisi Ibu Nm (42 tahun) yang sudah memiliki usaha mikro terdaftar. Bentuk usaha milik beliau adalah makanan yang sudah memiliki merk. Setiap ada pameran beliau selalu ikut serta untuk menjajakan dagangannya. Kasus lain terjadi pada Ibu An (46 tahun) yang memiliki usaha mikro belum terdaftar. Bentuk usaha mikro beliau adalah ternak ayam dan sudah memiliki jaringan ke rumah makan.
Organisasi dan Manajemen Tambunan (2009), perbedaan antara UMKM dan UB bisa dilihat menurut status pekerja. UB tidak ada pekerjanya yang tidak dibayar, sedangkan UMKM, menurut data BPS (2006), jumlah pekerja yang tidak dibayar mencapai 43.7 persen. Pada UMK jumlah pekerja yang digaji lebih sedikit dibandingkan di UM. Jadi, komposisi tenaga kerja tidak dibayar memiliki kecenderungan berbanding terbalik dengan skala usaha, yang artinya semakin besar skala usaha semakin kecil komposisi tenaga kerja tanpa upah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengusaha mikro terlibat langsung sebagai tenaga kerja dalam menjalankan usahanya, atau banyak melibatkan anggota keluarganya sebagai tenaga kerja. Berikut ini adalah data responden menurut jenis organisasi dan manajemen usaha mikro: Tabel 23 Jumlah dan persentase responden menurut jenis manajemen usaha mikro, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n Memiliki tenaga kerja 4 Tidak memiliki tenaga kerja 32 Jumlah 36
organisasi dan % 11.1 88.9 100.0
41
Tabel 23 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang memiliki usaha mikro, sebagian besar responden memiliki usaha yang tidak memiliki tenaga kerja sebanyak 32 orang (88.92%). Usaha yang dijalankan perempuan desa masih sangat sederhana, hanya mengandalkan warung, pesanan, dan sekretariat KWT untuk pemasarannya, sehingga belum cukup biaya untuk menggunakan jasa orang lain dalam membantu usahanya. Akan tetapi, ada pula perempuan pengusaha mikro yang memiliki tenaga kerja, diantaranya Ibu Eb (65 tahun) memiliki 3 orang tenaga kerja, Ibu Uk (55 tahun) memiliki 2 orang tenaga kerja, Ibu Nm (42 tahun) memiliki 3 orang tenaga kerja, dan Ibu Tm (40 tahun) memiliki 3 orang tenaga kerja. Selain tabel frekuensi yang digunakan untuk mengetahui data responden menurut jenis organisasi dan manajemen, dilakukan pula uji statistik menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Chi Square. Berikut ini adalah hasil uji statistik melalui tabulasi silang antara jenis organisasi dan manajemen dan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro: Tabel 24 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan jenis organisasi dan manajemen, Desa Cikarawang tahun 2015 Jenis Organisasi dan Manajemen Tingkat Keberdayaan Memiliki Tenaga Tidak Memiliki Tenaga Perempuan Kerja Kerja n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 Sedang 1 25.0 4 12.5 Tinggi 3 75.0 28 87.5 Jumlah 4 100.0 32 100.0 Tabel 24 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan yang tinggi sebagian besar dialami oleh perempuan yang tidak memiliki tenaga kerja. Mereka yang tidak memiliki tenaga kerja dapat mengelola usahanya sendiri, sehingga keterlibatannya dalam hal yang berkaitan dengan usaha mikro tinggi. Namun, berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Chi Square, antara kedua variabel tersebut menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini karena nilai α lebih besar dari nilai signifikansi 0.10, yakni 0.496. Kesimpulannya, jenis organisasi dan manajemen dengan tingkat keberdayaan perempuan tidak memiliki hubungan karena perempuan yang memiliki tenaga kerja atau tidak memiliki tenaga kerja mengalami tingkat keberdayaan tinggi. Hasil uji statistik tersebut diperkuat dengan kondisi Ibu Eb, Ibu Uk, Ibu Nm, dan Ibu Tm yang memiliki tenaga kerja, selain itu juga diperkuat oleh Ibu Sn (65 tahun) yang mengalami tingkat keberdayan tinggi tapi tidak memiliki tenaga kerja. Ibu Sn lebih memilih untuk mengelola usahanya sendiri daripada menyewa tenaga kerja, karena modal usaha dan pendapatannya kecil, sehingga belum mampu untuk membayar tenaga kerja.
42
Pola atau Sifat Proses Produksi Penggunaan teknologi pada usaha mikro umumnya rendah dan menjalankan usaha tersebut dengan cara-cara yang manual atau tradisional. Usaha mikro memakai teknologi yang lebih “cocok” terhadap proporsi-proporsi dari faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang ada, yakni sumber daya alam dan tenaga kerja berpendidikan rendah yang berlimpah, tetapi modal serta sumber daya manusia atau tenaga kerja berpendidikan tinggi terbatas. Berikut ini adalah data responden menurut jenis pola atau sifat proses produksi usaha mikro: Tabel 25 Jumlah dan persentase responden menurut pola atau sifat proses produksi, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Manual/tradisional 35 97.2 Menggunakan teknologi 1 2.8 Jumlah 36 100.0 Tabel 25 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang memiliki usaha mikro, sebagian besar responden memiliki usaha yang bersifat manual atau tradisional sebanyak 35 orang (97.2%). Usaha makanan yang dijalankan oleh perempuan desa umumnya diproduksi secara manual, tidak membutuhkan teknologi canggih. Hanya ada 1 orang yang menggunakan teknologi, yakni Ibu Nm (42 tahun). Teknologi digunakan oleh Ibu Nm untuk membuat tepung singkong dan saus sambal. Selain tabel frekuensi yang digunakan untuk mengetahui data responden menurut jenis pola atau sifat proses produksi usaha, dilakukan pula uji statistik menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Chi Square. Berikut ini adalah hasil uji statistik melalui tabulasi silang antara jenis pola atau sifat proses produksi usaha dan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro: Tabel 26 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan pola atau sifat proses produksi, Desa Cikarawang tahun 2015 Jenis pola atau sifat proses produksi Tingkat Keberdayaan Manual Teknologi Perempuan n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 Sedang 5 14.3 0 0.0 Tinggi 30 85.7 1 100.0 Jumlah 35 100.0 1 100.0 Tabel 26 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan yang tinggi dialami oleh perempuan yang menggunakan teknologi dalam menjalankan usahanya. Teknologi dianggap dapat memproduksi usaha dengan efektif dan efisien, seperti yang dilakukan oleh Ibu Nm saat memproduksi tepung singkong dan saus sambal dimana kedua produk ini memiliki nilai jual lebih tinggi daripada
43
makanan (kue, rengginang, dan sebagainya). Namun, berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Chi Square, antara kedua variabel tersebut menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini karena nilai α lebih besar dari nilai signifikansi 0.10, yakni 0.684. Kesimpulannya, jenis pola atau sifat proses produksi usaha dengan tingkat keberdayaan perempuan tidak memiliki hubungan, karena perempuan yang memiliki usaha mikro yang menggunakan teknologi atau cara manual mengalami tingkat keberdayaan tinggi. Hasil uji statistik tersebut diperkuat dengan kondisi Ibu Nm yang menggunakan teknologi, selain itu juga diperkuat oleh Ibu Tm dan 29 perempuan lainnya yang mengalami tingkat keberdayaan tinggi, meski tidak menggunakan teknologi dalam menjalankan usaha mikronya.
Orientasi Pasar Narver dan Slater (1990) menyatakan bahwa orientasi pasar sangat penting dalam manajemen pemasaran modern. Orientasi pasar dalam hal ini menggunakan dua jenis orientasi; memproduksi hasil usaha jika ada pesanan dan memproduksi hasil usaha tanpa harus menunggu pesanan. Berdasarkan hasil penelitian di lapang, hasil usaha mikro umumnya dijual ke pasar lokal. Responden menjual produknya ke pasar terdekat, warung, dan sekretariat KWT. Namun, apabila produk di pasar dan warung tidak laku habis terjual maka produk dialihkan ke sekretariat KWT. Kondisi lain, ada pula responden yang menjual produk hanya saat datangnya pesanan dari pihak luar. Berikut ini adalah data responden menurut jenis orientasi pasar usaha mikro: Tabel 27 Jumlah dan persentase responden menurut jenis orientasi pasar, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Sistem pemesanan 15 41.7 Tidak harus menunggu pesanan 21 58.3 Jumlah 36 100.0 Tabel 27 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang memiliki usaha mikro, sebagian besar responden menjalankan usaha mikro tanpa harus menunggu pesanan sebanyak 21 (58.3%). Selain tabel frekuensi yang digunakan untuk mengetahui data responden menurut jenis orientasi pasar usaha, dilakukan pula uji statistik menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Chi Square. Berikut ini adalah hasil uji statistik melalui tabulasi silang antara jenis orientasi pasar dan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro (Tabel 28):
44
Tabel 28 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan orientasi pasar, Desa Cikarawang tahun 2015 Jenis orientasi pasar Tingkat Keberdayaan Tidak harus menunggu Sistem pemesanan Perempuan pesanan n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 Sedang 3 20.0 2 9.5 Tinggi 12 80.0 19 90.5 Jumlah 15 100.0 21 100.0 Tabel 28 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan yang tinggi sebagian besar dialami oleh perempuan yang memproduksi usahanya tanpa harus menunggu pesanan. Mereka memproduksi usahanya untuk dijual ke warung terdekat dan sekretariat kelompok wanita tani. Namun, berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Chi Square, antara kedua variabel tersebut menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini karena nilai α lebih besar dari nilai signifikansi 0.10, yakni 0.370. Kesimpulannya, jenis orientasi pasar dengan tingkat keberdayaan perempuan tidak memiiki hubungan karena perempuan yang menjalankan usaha mikro melalui pesanan atau tanpa pesanan mengalami tingkat keberdayaan tinggi. Hasil uji statistik tersebut diperkuat dengan kondisi perempuan desa yang memproduksi usahanya. Sebagian dari mereka yang memproduksi usaha makanan tanpa harus menunggu pesanan biasa menjualnya ke warung terdekat atau dijual ke sekretariat. Selebihnya, mereka yang memproduksi usaha makanan jika ada pesanan juga dapat mengalami tingkat keberdayaan tinggi, hanya saja mereka tidak mau mengambil resiko apabila terus memproduksi usaha makanan sebab usahanya masih kecil dan keuntungannya kecil.
Sumber Modal Menurut Riyanto (2010), modal adalah faktor usaha yang harus tersedia sebelum melakukan kegiatan. Besar kecilnya modal akan mempengaruhi terhadap perkembangan usaha dalam pencapaian pendapatan. Modal usaha dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu modal sendiri dan modal asing atau hutang. Berikut ini adalah data responden menurut jenis sumber modal: Tabel 29 Jumlah dan persentase sumber modal responden menurut jenis sumber modal, Desa Cikarawang tahun 2015 Kategori n % Modal asing / hutang 4 11.1 Modal sendiri 32 88.9 Jumlah 36 100.0
45
Tabel 29 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang memiliki usaha mikro, sebagian besar responden memiliki usaha dengan modal sendiri sebanyak 32 orang (88.9%). Selain tabel frekuensi yang digunakan untuk mengetahui data responden menurut jenis formalitas usaha, dilakukan pula uji statistik menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Chi Square. Berikut ini adalah hasil uji statistik melalui tabulasi silang antara jenis formalitas dan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro: Tabel 30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberdayaan perempuan dan sumber modal, Desa Cikarawang Tahun 2015 Jenis sumber modal Tingkat Keberdayaan Modal asing / hutang Modal sendiri Perempuan n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 Sedang 0 0.0 5 15.6 Tinggi 4 100.0 27 84.4 Jumlah 4 100.0 32 100.0 Tabel 30 menunjukkan bahwa tingkat keberdayan perempuan yang tinggi dialami oleh perempuan yang menjalankan usahanya dengan hutang. Namun, berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Chi Square, antara kedua variabel tersebut menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini karena nilai α lebih besar dari nilai signifikansi 0.10, yakni 0.394. Kesimpulannya, jenis sumber modal dengan tingkat keberdayaan tidak memiliki hubungan karena perempuan yang menjalankan usaha mikro dengan modal sendiri atau hutang mengalami tingkat keberdayaan tinggi. Hasil uji statistik tersebut diperkuat dengan pernyataan Ibu St (26 tahun) yang mendirikan usaha dengan modal sendiri, agar tidak perlu memikirkan hutang. Namun ada pula yang memanfaatkan dana pinjaman dari PNPM seperti yang dilakukan Ibu Nh (35 tahun).
46
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil deskripsi mengenai profil desa, analisis tingkat keberdayaan perempuan, analisis karakteristik perempuan, analisis karakteristik usaha mikro analisis hubungan karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan perempuan, dan analisis hubungan karakteristik usaha mikro dengan tingkat keberdayaan perempuan, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro di Desa Cikarawang sebagian besar sudah berdaya. 2. Tingkat keberdayaan perempuan tinggi ditentukan oleh karakteristik perempuan pengusaha mikro yang berada pada kategori umur produktif menengah (39-51 tahun), tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan tinggi, dan memiliki jumlah tanggungan lebih dari 6 orang. 3. Status perkawinan perempuan pengusaha mikro dan karakteristik usaha mikro (formalitas, organisasi dan manajemen, pola atau sifat proses produksi, orientasi pasar, dan sumber modal) tidak memiliki hubungan dengan tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro, hal ini disebabkan karena status perkawinan dan karakteristik usaha mikro tidak mempengaruhi tingkat keberdayaan perempuan pengusaha mikro.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan masukan atau saran diantaranya sebagai berikut: 1. Perlunya meningkatkan akses informasi dan jaringan usaha dengan tujuan agar dapat mengetahui kabar terbaru (update) yang dapat dikembangkan melalui usaha mikro yang dijalankan. 1. Perlunya meningkatkan sistem pemasaran seperti pengemasan produk (packaging) dan alur distribusi penjualan, agar dapat meningkatkan perluasan pasar serta meningkatkan kuantitas dan kualitas produk hasil usaha mikro.
48
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia. [Internet]. [Diunduh 12 November 2014]. Tersedia pada: http://www.bps.go. ----. 2014. Persentase Rumah Tangga menurut Status Perkawinan. [Internet]. [Diunduh 12 November 2014]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/linkTa [GBHN] Garis-Garis Besar Haluan Negara. [Tidak Ada Tahun]. [KEMENPPA] Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2014. Pertumbuhan Tahunan Perempuan yang Memasuki Pasar Kerja. [Internet]. [Diunduh 12 November 2014]. Tersedia pada: https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&c ad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwie9O_1mLfJAhUVC44KHZu9BA0QFggdM AA&url=http%3A%2F%2Fwww.kemenpppa.go.id%2Findex.php%2Fdaftarbuku%2Fpolicy-brief%3Fdownload%3D418%253A4-lapangan-pekerjaanmigrasi-dan-akses----. 2014. Keterkaitan antara IPM, IPG, dan IDG. [Internet]. [Diunduh 12 November 2014]. Tersedia pada: http://www.kemenpppa.go.id/index.php/ Astuti M. 2012. Pemberdayaan Perempuan Miskin Berbasis Pemanfaatan Sumberdaya Lokal Melalui Pendekatan Sosial Enterpreneurship. Dalam Jurnal Sosiokonsepsia. [Internet]. [Diunduh 23 Oktober 2015]. 17(3):241251. Tersedia pada: http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/fc2b6e6742 Dasaluti T, Hubeis AVS, Wiyono ES. 2010. Analisis pengembangan usaha mikro dalam mendukung pemberdayaan perempuan di Pulau Bunaken, Kota Manado, Sulawesi Utara. Dalam: Jurnal Manajemen IKM [Internet]. [Diunduh 5 Oktober 2014]. 5(2):157-165. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle123456789/52236 Data Monografi Desa Cikarawang. 2014. Handayani MT, Artini NWP. 2009. Kontribusi Pendapatan Ibu Rumah Tangga Pembuat Makanan Olahan Terhadap Pendapatan Keluarga. Dalam Jurnal Priramida. [Internet]. [Diunduh 6 Oktober 2014]. 5(1). Tersedia pada: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ca d=rja&uact=8&ved=0CCIQFjAB&url=http%3A%2F%2Fojs.unud.ac.id%2Fi ndex.php%2Fpiramida%2Farticle%2Fdownload%2F2986%2F2144&ei=Od4 yVKurDNfc8AXunILQAw&usg=AFQjCNHQ-8_AaZpb5OYgCcBpPKTnGCAA&sig2=tsM Ife JW. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives (Vision Analysis and Practice). Australia: Longman Press Longwe S. 1988. From Welfare to Empowerment. Dalam Report of the Meeting to Establish an African Women’s Development and Communication Network. [Internet]. [Diunduh 23 Oktober 2015]. Tersedia pada: http://femnet.co/index.php/en/ Mardikanto T, Soebiato P. 2013. Pemberdayaan Masyarakat: Dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta Narver JC, Slater SF. 1990. The Effect of Market Orientation on Business Profitability. Dalam Journal of Marketing. [Internet]. [Dikutip 28 Oktober 2015]. Hal: 20-35. Tersedia pada: http://bear.warrington.ufl.edu/weitz/mar7786/Articles/narver%
50
Ndraha T. 1987. Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta Ratnawati S. 2011. Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Pedesaan Melalui Pengembangan Kewirausahaan. Dalam Jurnal Kewirausahaan. [Internet]. [Dikutip 5 Oktober 2014]. 5(2):1-10. Tersedia pada: http://lp3m.widyakartika.ac.id/lp3m/wp-content/uploads/2012/10/MODELPEBERDAYAAN-PEREMPUAN-MISKIN-PEDESAAN-MELALUI-PEN Robbins SP. (2003). Perilaku Organisasi (Alih bahasa Hadyanc Pujaatmaka dan Benyamin Molan). Jakarta: PrenhaHindo Riyanto B. 2010. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE Slamet M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press Siagian SP. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara Singarimbun M, Effendi S. 1987. Metode Penelitian Survai. Yogyakarta (ID): LP3ES. Sumodiningrat G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Jakarta: Gramedia Tambunan TTH. 2009. UMKM di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia
LAMPIRAN
52
53
Lampiran 1. Denah lokasi penelitian Peta Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
Gambar 2. Lokasi Penelitian
Keterangan: Nama Wilayah: Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor Batas-batas Geografis: Utara : Sungai Cisadane Timur : Kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor Selatan : Sungai Ciapus Barat : Sungai Ciapus / Sungai Cisadane
54
Lampiran 2. Kerangka sampling No Nama (Populasi sample) 1 Atit (At)
Alamat Kp. Carangpulang Bubulak
2
Casmawati (Cs)
Kp. Carangpulang Bubulak
3
Nati (Nt)
Kp. Carangpulang Bubulak
4 5
Titin Maryani (Tm) Mihara M (Mr)
Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak
6
Mina (Mn)
Kp. Carangpulang Bubulak
7
Norma Yanti (Nm)
Kp. Carangpulang Bubulak
8
Meri Mayasari (Mm)
Kp. Carangpulang Bubulak
9 10
Nanah Suryani (Ns) Haji Amas (Ha)
Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak
11 12 13
Armi (Ar) Uus Susilawati (Us) Nani (Nn)
Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak
14 15 16 17 18 19 20 21
Nara (Nr) Anita Nurlela Ningtin Arsi Kanjo Ade Uning Yayah Mimin (Mi)
Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Bubulak Kp. Carangpulang Kidul
22
Irma (Ir)
Kp. Carangpulang Kidul
23
Juriah (Jr)
Kp. Carangpulang Kidul
24
Umayah (Uy)
Kp. Carangpulang Kidul
25
Umik (Um)
Kp. Carangpulang Kidul
26
Rasmi (Rs)
Kp. Carangpulang Kidul
27
Nengsih (Ng)
Kp. Carangpulang Kidul
Jenis Usaha Pedagang rengginang Pedagang rengginang Pedagang rengginang Pedagang sayuran Pedagang kue, keripik, dan rempeyek Pedagang rengginang Pedagang kue basah dan kering Pedagang gorengan Pedagang keripik Pedagang kue kering dan basah Pedagang keripik Pedagang keripik Pedagang kue dan daur ulang Pedagang keripik Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang gorengan, lontong, dan nasi uduk Pedagang kue kering dan basah Pedagang gorengan Pedagang kue kering dan basah Pedagang rengginang Pedagang kue mangkuk Pedagang keripik
55
28
Suherti (Sh)
Kp. Carangpulang Kidul
29
Suryani (Sr)
Kp. Carangpulang Kidul
30
Widyarti (Wy)
Kp. Carangpulang Kidul
31
Siti Rosmiati (St)
Kp. Carangpulang Kidul
32 33
Ana (An) Umah (Um)
Kp. Carangpulang Kidul Kp. Carangpulang Kidul
34
Yati (Yt)
Kp. Carangpulang Kidul
35
Runi (Rn)
Kp. Carangpulang Kidul
36
Enok Hasanah (En)
Kp. Carangpulang Kidul
37
Ria Rusgianti (Rr)
Kp. Carangpulang Kidul
38
Embay (Eb)
Kp. Carangpulang Kidul
39 40 41 42 43
Enar Hasanah Euis Suminar Nani Arni (Ai)
Kp. Carangpulang Kidul Kp. Carangpulang Kidul Kp. Carangpulang Kidul Kp. Carangpulang Kidul Kp. Cangkrang
44
Titin (Tt)
Kp. Cangkrang
45
Nanah Mulyanah (Nh)
Kp. Cangkrang
46
Sanah (Sn)
Kp. Cangkrang
47 48 49 50 51 52 53
Ani Apat Warni Inah Mani Fatmawati Enda
Kp. Cangkrang Kp. Cangkrang Kp. Cangkrang Kp. Cangkrang Kp. Cangkrang Kp. Cangkrang Kp. Cangkrang
*) Nama yang diblok adalah responden
Pedagang kerupuk dan sembako Pedagang ayam dan rempeyek Pedagang kue kering Pedagang kue dan perabotan rumah tangga Pedagang ayam Pedagang rengginang Pedagang rengginang Pedagang kue kering dan basah Pedagang kue kering dan basah Pedagang kue kering dan basah Pedagang rengginang Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue kering dan basah Pedagang dodol dan rengginang Pedagang dodol dan kosmetik Pedagang kue, dodol, dan rengginang Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue Pedagang kue
56
Lampiran 3. Hasil uji statistik Rank Spearman dan Chi Square Reliability Statistics Cronbach's
N of Items
Alpha ,775
76
Correlations
1,000
Tingkat Keberdayaan -.288*
.
.044
Tingkat Umur Correlation Coefficient Tingkat Umur
Sig. (1-tailed) N
Spearman's rho
Correlation Coefficient Tingkat Keberdayaan
Sig. (1-tailed) N
36
36
-.288*
1,000
.044
.
36
36
Tingkat Pendidikan 1,000 . 36 ,220 .098
Tingkat Keberdayaan ,220 .098 36 1,000 .
36
36
*. Correlation is significant at the 0.10 level (1-tailed). Correlations
Tingkat Pendidikan Spearman's rho Tingkat Keberdayaan
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
N *. Correlation is significant at the 0.10 level (1-tailed). Correlations
Correlation Coefficient Tingkat Jumlah Tanggungan
Sig. (1-tailed)
Tingkat Keberdayaan
Tingkat Keberdayaan ,358*
.
.016
36
36
Correlation Coefficient
,358*
1,000
Sig. (1-tailed)
.016
.
36
36
N
Spearman's rho
Tingkat Jumlah Tanggungan 1,000
N *. Correlation is significant at the 0.10 level (1-tailed).
57
Chi-Square Tests (Status Perkawinan dengan Tingkat Keberdayaan) Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
,046a
1
,829
Continuity Correctionb
,000
1
1,000
Likelihood Ratio
,045
1
,833
,045
1
,832
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
36
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,83. b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests (Formalitas dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan) Value Pearson Chi-Square Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-sided)
,166a
1
,684
,000
1
1,000
,304
1
,582
,161
1
,688
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
36
a. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,14. b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests (Organisasi dan Manajemen dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan) Value Pearson Chi-Square Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-sided)
,465a
1
,496
,000
1
1,000
,400
1
,527
,452
1
,502
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
36
a. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,56. b. Computed only for a 2x2 table
58
Chi-Square Tests (Pola atau Sifat Proses Produksi dengan Tingkat keberdayaan Perempuan) Value Pearson Chi-Square Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-sided)
,166a
1
,684
,000
1
1,000
,304
1
,582
,161
1
,688
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
36
a. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,14. b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests (Orientasi Pasar dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan Value Pearson Chi-Square Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-sided)
,803a
1
,370
,166
1
,684
,791
1
,374
,781
1
,377
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
36
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,08. b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests (Sumber Modal dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan) Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-sided)
,726a
1
,394
,007
1
,932
1,274
1
,259
,706
1
,401
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
36
a. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,56. b. Computed only for a 2x2 table
.
59
Lampiran 4. Catatan lapang “...sebenernya aawal-awal dulu anggota KWT itu banyak kak. Satu dusun bisa sampai 40 orang, cuma kesini-sini jadi sedikit karena sudah pada tua, gak kuat fisik, gak kuat jalan. Ada juga yang jaga cucunya karena anaknya kerja. Kalo yang janda biasanya masih rajin, tapi kalo yang punya anak dan anaknya udah kerja biasanya jarang ikutan kegiatan kak. Tapi kalo ada pelatihan misalkan pelatihan dari kampus, pelatihan bikin brownis mereka mau, tapi kalo ‘yok kumpul kita rapat’, mereka biasanya ‘ya sok weh’ gitu kak...” (Nm, 42 tahun) “...kalo pendapatan gak nentu ya, kita kan soalnya dagang kalo ada pesanan aja. Soalnya gak berani mbak, takut gak balik modal. Untungnya juga gak banyak, kadang suka gak habis laku juga...” (Nr, 53 tahun) ”...kalo disini info tentang usaha dapat dari BP3K. Program KWT biasanya di posdaya. Kegiatannya ada menanam kangkung, merajut (kerajinan), bikin kue...” (Rn, 41 tahun) “...kalo akses disini sudah lumayan enak. Kemana-mana bisa dijangkau. Kalo info tentang dagang gitu biasanya dari tokoh masyarakat, dari ketua kelompok...” (Rr, 37 tahun) “...saya gak kerja, sekarang lagi usaha buat kue mangkuk. Sistemnya pesanan, biasanya kalo ada yang hajatan baru buat kue. Dapat menambah pendapatan, cukup membantu suami. Usahanya punya sendiri, semua saya yang pegang...” (Rs, 55 tahun) “...saya dagang sayuran, dagang kue juga. Kalo kue pesanan aja. Perempuan dagang Cuma sebagai membantu, membantu kekurangan di dalam keluarga, membantu perekonomian rumah tangga karena pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Di KWT saya sebagai sekretaris, kebijakan-kebijakan didapat dengan musyawarah. Masalah-masalah usaha biasanya modal, meski modal sendiri untuk sendiri, persaingannya banyak. Kegiatan di KWT biasanya ngadain kegiatan yang telah kami coba sesuai dengan kemampuan. Kalo untuk pelatihan biasanya kita dapat pelatihan kewirausahaan, kayak pembuatan kue, meningkatkan kualitas produk-produk. (Tm, 40 tahun) “...saya dagang perabotan rumah tangga sama produksi kue. Uangnya buat biaya sekolah sama kebutuhan sehari-hari. Alhamdulillah kalo kesehatan gak punya penyakit parah. Aksesnya juga cukup membantu, tidak terlalu jauh Usahanya pakai modal sendiri, jadi gak perlu mikirin hutang. Kalo untuk peran laki-laki dan perempuan ya laki-laki sebagai pencari nafkah. Peran perempuan juga penting untuk membantu ekonomi keluarga, menambah keuangan, tidak selalu mengendalikan laki-laki untuk kebutuhan pribadi. Di KWT biasa dapat pelatihan kewirausahaan...” (St, 26 tahun)
60
“...modal sendiri mbak untuk dagang, soalnya gak perlu modal terlalu banyak. Kalo dagang biasanya ditaro di warung bunder kelompok tani. Pelatihan-pelatihan sering disini mah, pelatihan bikin kue, bikin kerajinan. Kalo info-info biasanya disampein lewat penyuluhan dari pembinan kelompok tani...” (Ai, 42 tahun) “...saya sama suami usaha ternak ayam mbak. Relasinya biasanya ke rumah makan sekitar kampus. Jadi kalo sudah besar ayamnya biasanya kita langsung ngedatengin rumah makan itu mbak atau gak kita informasikan ke rumah makan dimana tempat kita jualan mbak...” (An, 46 tahun) “...laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan bertanggung jawab kepada keluarga. Perempuan untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak, dan membantu suami mencari tambahan uang. Perempuan hanya membantu saja, karena sudah ada kepala keluarga (suami)...” (Uy, 42 tahun) “...disini pelatihan lumayan sering kak, macem-macem. Ada pelatihan bikin brownis, keripik, pelatihan bikin air manisan gitu dari talas, dari jambu kristal. Tapi jambu sekarang agak musiman kak, lagi gak panen sekarang mah. Jadi kita juga kadang suka susah...” (Nm, 42 tahun)
61
Lampiran 5. Dokumentasi penelitian
1. Daftar hadir responden
2. Sekretariat Gabungan Kelompok Tani dan Kelompok Wanita Tani
3. Penelitian di lapang bersama para responden, pengisian kuesioner
4. Pelatihan olahan ubi jalar
5. Hasil Tanaman
6. Produk dari usaha wanita tani
62
Lampiran 6. Riwayat hidup
RIWAYAT HIDUP Lisa Audina Eka Putri dilahirkan di Kuala Tungkal pada tanggal 25 Maret 1994 adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Syaiful Ikbal dan Legiah. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SDN 66 Palembang, SMPN 8 Palembang, SMAN 5 Palembang. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor tanpa tes melalui jalur SNMPTN Undangan. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan di dalam kampus. Saat Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis aktif sebagai pengurus ISC Al-Hurriyyah, Forum Silaturrahim Dewan Mushalla Asrama (FSDMA) Div. Bina Baca Quran (BBQ), dan Club Ilmiah Asrama (CIA). Memasuki tingkat tiga di IPB, penulis aktif sebagai Senior Resident di Asrama Program Pembinaan Kompetensi Umum (PPKU) dan pernah menjadi Pembina Dewan Mushalla Asrama A1, Pembina BBQ, dan koordinator Senior Resident di Asrama Putri PPKU. Pengalaman kerja penulis adalah menjadi asisten dosen pada Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam tahun ajaran 2012/2013 selama 2 semester. Saat ini penulis aktif mengajar tahsin di Lembaga Pengajaran Quran (LPQ) Al-Hurriyyah dan mengajar Baca Tulis Quran (BTQ) di SMA Kornita IPB.Lampiran 2. Sketsa lokasi penelitian
Sketsa Desa Pangradin, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor
63
Gambar 2. Lokasi Penelitian Keterangan: Nama Wilayah: Desa Pangradin, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor Batas-batas Geografis: Utara : Desa Sipak Timur : Desa Kalong Sawah Selatan : Taman Nasional dan Perhutani Barat : Desa Jugalajaya
64
Lampiran 3. Jadwal kegiatan penelitian Tabel 1. Pelaksanaan penelitian tahun 2015 Kegiatan Penyusunan proposal penelitian Kolokium Perbaikan proposal penelitian Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Uji petik Sidang skripsi Perbaikan skripsi
Januari Februari Maret April Mei 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
65
Lampiran 4. Daftar kerangka sampling No
Kelompok
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
1
2
3
Nama Penerima PKH Uc Na Ne Su Ju Oc Ke Ma Ma Pu Na Sa Na Nt Su El At Op Ri Ri Ka Ne I Su Nu So En Ro Mi Em Yo Ed En Su NA Ne Iv Ne On En Ya Nu
No. Kelompok 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
3
4
5
Nama Penerima PKH Ar Ti Ri Ob Ar Te En Mi Mu At De Ru Mi Nu Sa Ar NA Mi At Sa SE Ma Ay Ru Ii Ap Su Ya AU Sa Li NL Ju Mi Im En Mu Un Er SM Uu Hin
66
No
Kelompok
85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112
5
6
Nama Penerima PKH Uu Aa Ra An Ti Ro Ya En Su Mu Ne Pa Ma SA En Em Li Ar Wi Wa An Nu Ot Iy Ti Ij Us Ne
No
Kelompok
113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140
6
7
8
Nama Penerima PKH Iy Su Um Ru Nu Ju Ka MS To Un Ta Uc Su At De Iy At Is IM Ke Da Sa Id Er En Su Su SA
69
Lampiran 4. Hasil Uji Statistik Rank Spearman Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,916
N of Items 76 Correlations
Correlation Coefficient Efektivitas Program
Efektivitas Program 1,000
Tingkat Pendampingan ,424**
.
,001
60 ,424**
60 1,000
,001 60
. 60
Sig. (2-tailed)
N Correlation Coefficient Tingkat Pendampingan Sig. (2-tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Spearman's rho
Correlations
Spearman's rho
Correlation Coefficient Efektivitas Program Sig. (2-tailed) N Correlation Besar dan Struktur Coefficient Keluarga Sig. (2-tailed) N
Efektivitas Program 1,000
Besar dan Struktur Keluarga -,029
. 60 -,029
,829 60 1,000
,829 60
. 60
70
Correlations
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Efektivitas Program Spearman's rho Tingkat Pendidikan
Efektivitas Program 1,000
Tingkat Pendidikan -,035
. 60 -,035
,788 60 1,000
,788 60
. 60
Efektivitas Program 1,000
Bantuan diluar PKH ,116
. 60 ,116
,378 60 1,000
,378 60
. 60
Correlations
Efektivitas Program Spearman's rho Bantuan PKH
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation diluar Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlations
Efektivitas Program Spearman's rho Penerimaaan perkapita perbulan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Efektivitas Program 1,000
Penerimaaan perkapita perbulan -,025
. 60 -,025
,849 60 1,000
,849 60
. 60
71
Lampiran 5 Catatan lapang Profil desa “...kalau dari total tanah pemukiman di sini, sekitar 40%nya punya orang miskin. Tapi mereka hanya punya rumah aja. Jadi tanahnya udah abis buat rumah jadi gak bisa dipakai buat pekarangan gitu...” (W, Pr, 37 tahun). “...disini harus naik ojek neng kalau gak punya motor. Ke pasar Jasinga aja ongkosnya 20 ribu neng, kan pulang pergi...” (T, Pr, 35 tahun). “...ya suka kadang dapet kadang enggak neng, kalau lagi musim panen buah, ya suka ikut ngangkutin buahnya dari kebon. Kalo lagi banyak bisa sampai Rp 50 000 sehari. Tapi biasanya sehari-hari cuman Rp 30 000 Kalau lagi musim kering agak susah...”(L, Pr, 37 tahun). “...orang disini, mayoritas lulus SD, tapi ada juga yang gak tamat sekola. Sebenarnya mereka bisa kalau mau, tapi kendalanya sekolah SMP dan SMA jauh harus keluar desa. Jadi abis lulus SD, lebih memilih menikah karena alasan gak punya biaya sekolah...” (S, Pr, 57 tahun). Profil PKH “...awalnya, kita semua dapet surat dari kepala desa. Ada nama sama alamatnya gitu neng. Tapi pas pembagian surat, belum ada pemberitahuan mau dapet PKH. Pokoknya kalau dapet surat wajib ikut kumpul di balai desa..” (L, Pr, 35 tahun). “..untuk lihat miskin atau tidak selain dari BPS juga dilihat dari ukuran orang sini, dia miskin kalau rumah gubuk, gak punya kendaraan, dan gak bisa beli baju baru dalam setahun. Tapi kalau punya rumah gubuk punya tanah hektaran ya masuknya gak miskin. Kalau hanya mengikuti ukuran BPS, paling hanya beberapa keluarga yang memenuhi itu...” (W, Pr, 37 tahun). “...iya, dari awal memang sudah dilihat apakah penerima benar benar layak untuk menerima bantuan atau tidak. Meskipun tidak layak, mereka tetap memeroleh bantuan tersebut karena sudah terdaftar sebagai peserta. Kalau tidak dikasih nanti takut bermasalah dengan pihak lainnya. Untuk itu mau ada pendataan ulang tahun ini supaya mereka yang tidak layak tidak lagi mendapatkan bantuan...” (W, Pr, 37 tahun). “...dari awal, sudah dikasih tau bu kalau perolehan tahap 2 akan ada tambahan Rp 200 000 dari bantuan tetap keluarga, makanya dana bantuan PKHnya bertambah. Tapi karena pada lupa, suka ada aja yang protes ke saya, kok uangnya berkurang ditahap ke tiga dan ke empat, gak sama kaya tahap kedua...” (A, Lk, 38 tahun).
72
“...PKH ini berlangsung untuk lima tahun bagi keluarga yang masih memenuhi syarat. Nah selama lima tahun ini ada pendataan, kalau masih memenuhi syarat sebagai penerima PKH, dia masuk ke golongan transisi. Kalau tidak, masuk ke golongan graduasi. Bagi keluarga yang masuk ke golongan graduasi, akan dialihkan ke program KUBE...” (A, Lk, 38 tahun). Implementasi pemberdayaan masyarakat miskin “...waktu itu, saya tau informasi kalau dinas perternakan dan disperindag punya dana hibah untuk meningkatkan ekonomi KSM (keluarga sangat miskin). Kemudian saya tawarkan ke Ibu W, aparat Desa Pangradin. Ibu W kemudian menawarkan ke penerima PKH dan mereka bersedia untuk ikut, barulah saya bersama mereka membuat proposal pengajuan...” (A, Lk, 38 tahun). “...pertama ada ternak lele, itu di dapat dari dinas pertanian. tapi karena yang ikut dalam kegiatan itu bapak-bapak jadi kordinasinya kurang berjalan dengan baik sehingga kegiatan berhenti. Setelah itu, ada pembentukan pelatihan kue in dari disperindag. Awalnya saya tawarkan ke desa lain karena Pangradin sudah pernah dapat kegiatan. Tapi desa lainnya menolak dan merasa keberatan sehingga saya menawarkan ke Pangradin lagi dan alhamdulillah antusiasmenya lebih tinggi dan bisa berjalan sampai sekarang...” (A, Lk, 38 tahun). “...setiap pelaksanaan posyandu, memang kita catat siapa yang hadir dan tidak. Fungsinya ya untuk mengetahui siapa yang tidak hadir agar kita bisa menemui langsung kerumahnya untuk ditanyakan alasannya. Selain itu, kita bisa langsung merujuk ke pusat kesehatan apabila ternyata alasan tidak datang ke posyandu karena anaknya menderita penyakit yang tidak bisa ditangani posyandu...” (Y, Pr, 37 tahun). Profil pendampingan PKH “...dari Pak A memang mengingatkan supaya jangan mempersulit, atau dengan kata lainnya memudahkan si penerima PKH untuk bisa sekolah dan cek kesehatan. Kadang kita juga ngingetin mereka supaya anakanaknya tetap sekolah...”. (W, Pr, 37 tahun). “...waktu pelatihan kue itu neng, semua barang-barang dikasih sama pendamping. Dari tepung, telor, pelatih, sampai oven dan mikser juga gratis buat mereka. Mereka (penerima PKH) tinggal dateng dan belajar...” (W, Pr, 37 tahun). “memang saya melihat dulu potensi ibu-ibu penerima PKH. mereka bilang mau kalau ada pelatihan kue, ya saya coba ajukan proposal ke disperindag dan alhamdulillah dapat.” (A, Lk, 38 tahun). “...saya mengadakan pertemuan dengan ketua kelompok setiap 1 bulan sekali. Pertemuan dengan ketua kelompok tersebut bertujuan sebagai
73
ruang diskusi antara saya dengan penerima PKH. Saya suka kasih penjelasan ulang kalau ada ibu-ibu yang protes karena jumlah dananya beda padahal jumlah anaknya sama. Pelatihan kue sendiri udah tiga kali. Di balai desa yang pertama, lalu di Jogja, dan di Puncak..” (A, Lk, 38 tahun). “...setiap satu bulan sekali suka dicek sama pendamping PKH. dilihat daftar hadir anak-anak yang dapet PKH kurang dari 85% akan dicatet untuk ditindak lebih lanjut. Misalnya gak sempat datang ke sekolah, beliau nanti akan menghubungi via telepon...” (S, Pr, 57 tahun). “...dari dana keseluruhan, sekitar Rp 80 000 000 pak A sudah membagi kedalam amplop uang-uang yang akan digunakan. Setiap kebutuhan memiliki amplop atau bagiannya tersendiri...”(W, Pr, 37 tahun). Efektivitas PKH “...rata-rata penerima PKH jarang yang masih nifas dan hamil. Paling punya balita karena hamilnya pas tahun pertama dapet PKH jadi udah lahir anaknya ..” (W, Pr, 37 tahun). “...dipertemuan itu dijelasin tujuan PKH, kewajibannya, sama hukuman kalau anaknya gak dimasukin sekolah. Trus sama cara dapet duitnya harus ambil di pos Jasinga kalau udah dapet kuitansi dari bapak A..” (LM, Pr, 42 tahun). “...ya lumayan neng, uang PKH bisa buat alat sekolah, BSM bisa dipake untuk beli kacamata anak supaya bisa belajar. Kalau dulu mau beli buku aja susah apalagi kacamata neng....” (M, Pr, 40 tahun). “...sekarang anak gizi buruk paling kurang dari 5 orang. kita selalu cek ke anak-anak RTSM baik penerima PKH atau bukan kehadirannya di posyandu. Kalau misalnya dia ga ke posyandu, kita datangi langsung ke rumahnya. Kita cek anaknya di rumahnya dan dikasih tau ke ibunya besok-besok wajib datang ke posyandu...” (Y, Pr, 37 tahun). "...pas pembagian di pos, ada bapak A. ya abis kita dapat uangnya, sama dia gak ditanya uangnya dipake buat apa neng, ya cuma diingetin anakanak harus tetep sekolah dan cek kesehatan..." (E, Pr, 35 tahun). Peran pendamping “...suka ditanya neng, alasan gak ke posyandu gitu. Nanti kalau udah berkali-kali gak dateng, akan dikunjungin sama Pak Azwar ke rumahnya. Di kasih pemahaman lagi...” (M, Pr, 34 tahun). “...pas pertemuan pertama, dikasih tau uangnya harus dipake buat anak sekolah. Jadi uang yang kita dapet ini punya anak kita. Kalau kita pake uangnya untuk kebutuhan lain, dianggapnya kita lagi pinjem uang anak.
74
Jadi harus tetep dikembaliin dengan kita beliin anak alat-alat sekolah...” (L, Pr, 35 tahun). “...ada 8 kelompok yang dibentuk, anggotanya dipilih yang rumahnya berdekatan agar informasi yang dikasih sama pendamping cepat sampai ke anggota lainnya. soalnya kamu tau sendiri, desa ini kan sinyalnya susah jadi sulit kalau menyampaikan pesan lewat sms atau telepon, mending ketemu langsung...” (W, Pr, 37 tahun). “...anggota yang ikut kelompok kue itu dipilih sama ketuanya yang gak punya anak dan emang mau ikut pelatihan dan mau jualan kue. Kalau saya, gak ikut karena emang punya balita kan repot neng. Soalnya bikin kuenya pagi-pagi, supaya bisa jualan di kantin sekolah. Tapi kalo bikin kerajinan tangan gitu, saya mau ikut...” (M, Pr, 32 tahun). “...pelatihan bikin kue udah tiga kali neng, yang pertama seluruh anggota ikut pelatihan bikin kue di Balai Desa. Kita belajar bikin donat, bolu kukus, brownies, dan kue lainnya. Terus yang kedua di Jawa Tengah, waktu itu ke Jogja tapi cuma beberapa aja dari Pangradin, katanya disana berkunjung ke pabrik olahan ketela, terus yang ketiga ke Puncak itu bikin pengemasannya supaya harga kuenya bisa lebih mahal dan bagus kemasannya. Kalo bagus kan bisa dijual ke luar desa gak disini-sini aja...” (L, Pr, 35 tahun). “...sebelum ikut kelompok kue, saya memang udah jualan makanan neng setiap pagi. Saya jualan nasi uduk sama gorengan aja. Tapi semenjak gabung di kelompok kue lumayan, dagangan saya makin banyak dan makin banyak juga yang beli. Untungnya juga nambah ga kaya dulu neng...” (AP, Pr, 43 tahun). “...jadi ketua ada enak dan enggaknya neng. Enggak enaknya kadang saya dituduh yang nggak-nggak seperti saya yang motong uang bantuan mereka, atau saya pilih kasih ngasih informasinya setengah-setengah. Kalau udah gak kuat ya saya kalau lagi ketemu Bapak A, saya cerita. Atau saya juga suka sms. Nanti sama dia dikasih saran, ya gak usah didengerin orang kaya gitu dan harus sabar kalau menghadapi masyarakat. Kadang juga diceritain kasus PKH di desa lain neng sama dia...” (M, Pr, 34 tahun). “...Bapak A mah bisa pake komputer (laptop) neng, soalnya suka dibawa pas ketemu sama kita. Ngomongnya juga enak, bisa nyambung gak pake bahasa tinggi-tinggi padahal kan dia pinter. Suka pake bahasa sunda juga jadi akrab...” (M, Pr, 44 tahun). “...orangnya baik neng, tapi gak pernah ngobrol sama kita (pribadi) gitu. Dia paling ngobrolnya kalo kita lagi kumpul rame-rame atau ketua kelompok. Jadi saya gak bisa cerita masalah sekolah anak saya ke dia
75
langsung. Paling saya ceritanya ke ketua atau temen saya yang samasama dapet PKH...”. (LM, Pr, 32 tahun). “... ya gak pernah neng, malu kalau ketemu juga paling senyum aja. Kan ketemunya mah cuman pas bagiin uang di POS ...” (U,Pr, 25 tahun). Hubungan peran pendamping dengan efektivitas PKH “...setau saya, di PKH desa lain di Jasinga gak ada yang bikin kue atau ada program-program kaya di Pangradin ini. Ya alhamdulillah, karena ada kelompok kue, kita ga cuma dapet uang bantuan dari PKH aja tapi juga bisa nambah-nambah uang jajan anak dari jualan kue..Trus kitanya jadi takut kalo ga nge-sekolahin anak karena rapot anak selalu dipantau sama dia...” (L, Pr, 37 tahun). Karakteristik keluarga penerima PKH “...dulu adik saya sama istrinya tinggal disini sampai punya anak bayi. Tapi pas adik saya itu udah kerja dia tinggal misah, tinggal saya sama anak-anak sama bapaknya (suami). Anak-anak lagi pada sekolah, bapaknya ke kebon. Ini bayi yang saya pegang anaknya adik saya, tinggalnya deket dari sini makanya suka main...” (E, Pr, 45 tahun). “...istrinya baru meninggal pas tahun baru kemarin (2015), ya dia tetap dapat PKH meskipun seharusnya penerima PKH itu kan ibu-ibu. Cuman kita kasih uangnya ke neneknya aja soalnya ibu-ibu PKH lain itu gak percaya sama bapaknya. Itu aja kata tetangganya istrinya meninggal karena stres masalah ekonomi...” (W, Pr, 37 tahun). “..ini rumah emak saya, saya harus tinggal disini sama anak-anak saya supaya bisa ngejagain emak saya neng, kasian emak udah tua ga bisa nyari duit lagi. Biarin gubuk juga yang penting bisa ngejagain orangtua neng...” (U, Pr, 40 tahun). “...orang disini, mayoritas lulus SD, tapi ada juga yang gak tamat sekola. Sebenarnya mereka bisa kalau mau, tapi kendalanya sekolah SMP dan SMA jauh harus keluar desa. Jadi abis lulus SD, lebih memilih menikah karena alasan gak punya biaya sekolah...” (S, Pr, 57 tahun). “...kondisi penerima PKH macem-macem neng, dari yang miskinnya parah banget kaya gak bisa tidur di rumahnya sendiri, sampai yang miskinnya biasa aja kaya ga bisa sekolahin anaknya gitu. Kalau cuma mengandalkan uang dari PKH pasti kurang karena mereka itu kan termasuk rumah tangga sangat miskin. Jadi dari desa, yang dapat PKH pasti dapat raskin dan jamkesmas. Kalau bantuan lainnya, tergantung gimana kondisi masing-masing keluarga...” (W, Pr, 37 tahun). “...sehari-hari penghasilannya ya kadang dapet kadang enggak neng, hari ini aja saya belum dikasih uang sama suami. Paling 30 ribu sih. Pernah 50 ribu sehari tapi jarang banget. Ya gimana neng, saya juga gak bisa
76
bantuin nyari uang kan saya punya bayi. Kakaknya juga masih balita ga bisa ditinggal...” (K, Pr, 35 tahun).
Hubungan karakteristik keluarga penerima PKH dengan efektivitas PKH “...ibu E, dia punya empat anak yang masih sekolah tapi aktif banget neng. Dia setiap pagi nyuruh anaknya berangkat sekolah bareng anak saya. Gak kaya ibu P, anaknya malah jarang sekolah padahal anaknya cuma satu...” (K, Pr, 35 tahun). “...waktu sosialisasi pertama kali, kita memang tidak membedakan penerima PKH berdasarkan pendidikan kepala keluarga. Apapun tingkat pendidikannya, kalau memang penerima PKH mendengarkan dengan baik pasti menjalankannya dengan baik...” (W, Pr, 37 tahun). “... kita memberi bantuan sesuai kebutuhan. Kalau benar-benar miskin yang sampai tidur aja ditempat yang tidak layak, ya akan diberi bantuan RTLH. Kalau mau lihat keluarga paling miskin ya bisa dibilang yang banyak dapat bantuan. Karena memang tidak ingin miskin ya mereka aktif ngejalanin PKH ...” (W, Pr, 37 tahun). “..dari awal memang sudah dilihat apakah penerima benar benar layak untuk menerima bantuan atau tidak. Meskipun tidak layak, mereka tetap memeroleh bantuan tersebut karena sudah terdaftar sebagai peserta…jadi udah tau sebenarnya yang mana yang tidak miskin, tapi justru yang saya liat, yang tidak miskin yang menjalankan PKH dengan baik..” (W, Pr, 37 tahun). “...ketua PKH penting banget neng untuk membantu kita (aparat desa dan pendamping). Mereka kan tinggal dekat dengan penerima PKH lain yang jadi anggotanya, jadi otomatis dia yang lebih tau. Udah gitu, informasi jadi mudah disebar kalau ada informasi-informasi dari pendamping, sama mereka bisa mantau dan ngasih tau kita kalau ada masalah di lapang...” (W, Pr, 37 tahun). “...karena keinginan keluar dari kemiskinannya kuat, jadi yang miskin ngejalanin PKHnya bener-bener...” (W, Pr, 37 tahun).
77
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
7. Kegiatan pendampingan PKH di Balai Desa Pangradin
8. Pembagian bibit lele kepada kelompok lele penerima PKH tahun 2013
9. Pelatihan pengemasan kue kepada kelompok kue tahun 2014
10. Pelatihan kue tahun 2014
11. Kunjungan pendamping ke ketua kelompok PKH
12. Sosialisasi PKH di Balai Desa Pangradin tahun 2013
78
Lampiran 7. Riwayat hidup
RIWAYAT HIDUP Raila Adnin dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 September 1993 adalah anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Dr Ir Dody Prayitno M.Eng dan Dra RR Susi Handayani. Pendidikan formal yang pernah dijalani baik didalam dan luar negeri adalah Tadika Ihsan Johor Bahru Malaysia tahun 1998-1999, Sekolah Kebangsaan Taman Sri Pulau, Johor Bahru Malaysia tahun 1999-2002, SDN Pengasinan 4 Kota Bekasi tahun 2002-2005. Pada masa Sekolah Menengah Pertama penulis bersekolah di SMPIT AL-Kahfi Bogor tahun 2005-2008 yang merupakan sekolah berasrama sehingga penulis belajar hidup berbagi. Hal inilah yang membuat penulis mulai tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai masyarakat miskin. Pada tahun 2008-2011 penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 06 Kota Bekasi dan mulai aktif beroganisasi. Pada tahun 2011, penulis dinyatakan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor tanpa tes melalui jalur SNMPTN Undangan. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan didalam dan luar kampus. Penulis aktif sebagai pengurus Koran Kampus sejak tahun 2012 dan pengurus Forsia sejak tahun 2012. Penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitiaan didalam dan luar kampus. Penulis menjadi panitia Fema Berkurban pada tahun 2012 divisi Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi, panitia Communication Day pada tahun 2013 divisi Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi, panitia Education Day SMAN 06 Kota Bekasi pada tahun 2012 divisi Badan Pengurus Harian, dan panitia Masa Perkenalan Departemen tahun 2013 divisi Badan Pengurus Harian. Pengalaman kerja penulis adalah menjadi asisten dosen pada Mata Kuliah Sosiologi Umum tahun ajaran 2013/2014 selama 2 semester