HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DENGAN STATUS BESI REMAJA PUTRI ANEMIA
ROUSMALA DEWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Hubungan Kadar prohepsidin Dengan status Besi Remaja putri Anemia” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
Rousmala Dewi NRP G851080071
ABSTRACT
Rousmala Dewi. The Relationships between prohepcidin concentration and iron status on anemic adolescent girls. Supervised by MARIA BINTANG and UKEN SOETRISNO.
This research was carried out from june 2010 to January 2011 at MTs Fathusa’adah, Sukaraja and SMP Purnawarman, Rancabungur Kabupaten Bogor. The purpose of the research is to know the relationship between prohepcidin serum concentration and iron status of anemic adolescent girls which recieved iron intervention. The research samples consisted of 55 of girl students which divided into two groups. The first group (traetment group/TG) recieved iron capsule (60 mg iron + 0.25 mg folic acid), the second group (control group/CG) only recieved placebo. The capsules were distributed and consumed twice weekly during 12 weeks. The result showed that before and after treatment energy, protein and nutrients (vitamin A, vitamin C, iron) consumption were very low (<70% Recommanded Dietary Allowans (RDA)). After 12 weeks intervention the Hb were significantly increased (P<0.05) as much as 0.65 ± 0.55 g/dl in the TG, but CG decreased 0.05 ± 0.32 g/dl. The result from multiple regretion analysis (MRA) showed that the change of the Hb concentration were influenced by initial Hb concentration and the consumtion of iron (R(adj)=41.6%). There were a significant increased (P<0.05) of feritin serum on the TG as much as 8.42 ± 18.89 ng/ml, and decreased significanly on CG as much as -7.93 ± 14.87 ng/ml. The change of the feritin serum concentration corelated with the initial feritin serum concentration and consumtion of iron (from MRA, R(adj)=40.6%). The mean of the prohepcidin serum concentration before intervention was 192.77 ± 126.98 ng/ml for TG and 203.91 ± 133.32 ng/ml for CG and after intervention 158.93 ± 74.77 ng/ml for TG and 169.93 ± 81.11 ng/ml for CG, but the decrease was not significant. Result from multiple regretion analysis showed that the change of prohepcidin were influenced by initial prohepcidin concentration and the consumtion of energy and protein (R(adj) = 73,8%) and were not corelated with iron status.
Key words: Anemia, Hemoglobin, Feritin, Prohepcidin, adolescent girls
RINGKASAN
ROUSMALA DEWI. Hubungan Kadar Prohepsidin dengan Status Besi Remaja Putri Anemia (dibawah bimbingan MARIA BINTANG sebagai ketua dan UKEN SOETRISNO sebagai anggota). Penelitian dilakukan di SMP Purnawarman Kecamatan Rancabungur dan Mts Fathusa’adah kecamatan Sukaraja Bogor, terhadap remaja putri kelas VII. VIII dan IX dari bulan Juni 2010 sampai Januari 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran hubungan prohepsidin dan status besi pada remaja putri penderita anemia. Disain penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Sampel dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan yang mendapatkan kapsul zat besi dengan dosis 60 mg besi elemental + 0.25 mg asam folat (Tablet Tambah Darah [TTD] program yang dikapsulkan) dan kelompok kontrol mendapatkan kapsul plasebo. Kelompok perlakuan terdiri dari 29 orang dan kelompok kontrol 26 orang, sehingga jumlah keseluruhan 55 orang. Variabel bebas adalah kadar Hb, kadar feritin, kadar prohepsidin (awal), asupan energi, protein, dan zat besi (akhir), variabel terikat adalah perubahan kadar Hb, perubahan kadar feritin dan perubahan kadar prohepsidin. Kapsul besi diberikan dua kali seminggu setiap hari Selasa dan Jum’at selama 12 minggu. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17 meliputi uji non parametrik, serta regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan dan tingkat kecukupan gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan Zat Besi) responden termasuk defisit berat (<70% Angka Kecukupan Gizi). Terjadi peningkatan kadar Hb secara bermakna
(p<0.05)
pada kelompok perlakuan sebesar 0.65 ± 0.55 g/dl,
sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan kadar Hb tetapi tidak bermakna (P>0.05). Dari hasil analisis regresi linear berganda didapatkan bahwa perubahan kadar Hb dipengaruhi oleh asupan zat besi akhir ((R (adj)=41.6%). Terjadi peningkatan kadar
feritin secara bermakna (P<0.05) pada kelompok
perlakuan sebesar 8.42 ± 18.89 ng/ml, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan rata-rata kadar feririn secara bermakna (P<0.05) sebesar 7.93 ± 14.87
ng/ml, dari hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap perubahan kadar feritin adalah kadar feritin awal, asupan energi dan asupan zat besi akhir (R(adj) = 40.6%). Setelah intervensi terjadi penurunan kadar prohepsidin rata-rata sebesar 29.23 ± 108.78 ng/ml untuk kelompok perlakuan dan 38.98 ± 161.32 ng/ml untuk kelompok kontrol, tetapi secara statistik penurunan tersebut tidak bermakna (P>0.05). Dari hasil analisis regresi linear berganda variabel bebas yang berhubungan dengan perubahan kadar prohepsidin adalah kadar prohepsidin awal dan asupan energi serta protein, dan mampu menjelaskan keragaman perubahan kadar prohepsidin sebesar 73.8% dan tidak berhubungan dengan status besi, dalam hal ini adalah kadar Hb dan feritin. Berdasarkan data-data hasil dan pembahasan diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C dan zat besi) sampel termasuk defisit berat (< 70% AKG). Intervensi zat besi dosis 60 mg besi + 0.25 mg asam folat, dua kali seminggu selama 12 minggu dapat meningkatkan kadar Hb dan feritin secara bermakna (P<0.05) pada kelompok perlakuan. Terjadi penurunan rata-rata kadar prohepsidin setelah intervensi. Perubahan kadar Hb berhubungan dan dipengaruhi oleh asupan zat besi akhir. Perubahan kadar feritin serum berhubungan dan dipengaruhi oleh kadar feritin awal, asupan energi dan asupan zat besi akhir. Perubahan kadar prohepsidin serum tidak berhubungan dengan status besi tetapi berhubungan dengan kadar prohepsidin awal, asupan energi serta protein akhir. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: Dalam upaya perbaikan status anemia pada remaja putri selain dengan intervensi zat besi juga ditambah dengan zat gizi makro dan mikro yang lain. perlu dilakukan penelitian lanjutan melakukan pengukuran terhadap kadar hepsidin aktif secara langsung karena ada kemungkinan kadar prohepsidin serum tidak merefleksikan kadar hepsidin aktif . Beberapa literatur menyatakan bahwa hepsidin atau prohepsidin berhubungan dengan peradangan dan infeksi, sehingga perlu dilakukan test secara genetika terhadap sampel yang memiliki kadar prohepsidin tinggi tanpa adanya sebab peradangan atau infeksi
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalh b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DENGAN STATUS BESI REMAJA PUTRI ANEMIA
ROUSMALA DEWI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Bidang Biokimia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji luar komisi pada Ujian tesis: Dr. Dra. Anna Priangani Roswiem, M.S
Judul penelitian
:
Nama Nomor Pokok Program Studi
: : :
Hubungan Kadar Prohepsidin dengan Status Besi Remaja Putri Anemia Rousmala Dewi G 851080071 Biokimia
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S Ketua
Uken Soetrisno, B.Sc, M.S, Ph.D Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biokimia
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S
Tanggal Ujian : 28 juli 2011
a.n. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sekretaris Program Magister
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Hubungan Kadar Prohepsidin dengan Status Besi Remaja Putri Anemia”. Penelitian Ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biokimia, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dibantu oleh bimbingan para dosen dan pembimbing yang telah mengarahkan dan memperbaiki kekurangan dan kesalahan dalam penulisan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggitingginya kepada: 1.
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S. selaku ketua komisi pembimbing atas kesabaran, bimbingan dan saran dalam penulisan tesis ini.
2.
Uken Soetrisno, B.Sc, M.S, Ph.D. selaku anggota komisi pembimbing atas kesabaran, bimbingan dan saran dalam penulisan tesis ini.
3.
Dosen-dosen di Program Studi Biokimia IPB yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama pendidikan.
4.
Kepala Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor yang telah memberi izin kepada penulis untuk menggunakan data diri dan specimen darah dari penelitian Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor yang bersumber dana dari Program Intensif Riset Untuk Peneliti dan Perekayasa LPND dan LPD Ditjen Dikti Depdiknas berjudul “Efektivitas Suplementasi Zat Gizi Mikro Terhadap Status Besi dan Vitamin A Pada Murid SLTP” dengan ketua pelaksana Ir. Sukati, M.S.
5.
Ibu Ir. Sukati, M.S. yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk ikut ambil bagian pada penelitian tersebut diatas.
6.
Kepala Sekolah MTs Fathusa’adah di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor beserta guru-guru yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.
7.
Kepala Sekolah SMP Purnawarman di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor beserta guru-guru yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.
8.
Murid-murid MTs Fathusa’adah dan SMP Purnawarman serta orang tua murid yang telah banyak membantu dalam kelancaran dan terselesaikannya penelitian ini.
9.
Penulis mengucapkan terimakasih pada teman-teman yang telah memberi bantuan dalam penyelesaian penelitian ini.
10. Penulis mengucapkan terima kasih pada suamiku Drs Syaiful Bahri dan anak-anakku tercinta (Muhammad Kahfi Ridho Abghani, Ahmad Miftahul Fatah dan Muhammad Aflah Fadil) yang selalu berdoa dan mendukung baik secara moril maupun matereil untuk kemudahan dan kelancaran penyelesaian penelitian ini, terima kasih untuk dorongan dan kesabaran serta pengorbanan yang luar biasa selama penulis menjalani pendidikan. 11. Terimakasih untuk kakak-kakakku (Ir Rosihan Anwar dan Ir Endah Suwarni, M.Sc) dan adikku (Muhammad Najib, SP, M.S) atas perhatian, do’a dan semangat serta dukungan secara moril maupun materiel selama penulis menjalani pendidikan.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kelemahannya, untuk dapat disempurnakan oleh peneliti-peneliti lain yang berminat dibidang ini di kemudian hari. Dalam penulisan ini apabila ada kebaikan dan kebenaran semata-mata hanyalah milik Allah SWT adapun kesalahan dan kekurangan itu karena keterbatasan diri penulis. Akhirnya penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat, Amien.
Bogor, 28 Juli 2011 Rousmala Dewi
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara keluarga Bpk HM. Syahran dan Ibu Dra Hj Farial Sabran Thaib yang dilahirkan di Banjarmasin (Kalimantan Selatan), tanggal 28 September 1967. Penulis melewati masa pendidikan SD (SD HIPPINDO) sampai SMP (SMPN 6) di kota Banjarmasin. Tahun 1983 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Analis Kesehatan Surabaya, lulus tahun 1986. Tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Djuanda Bogor jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, lulus tahun 2002. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, mayor Biokima dengan beasiswa dari Badan Litbangkes, Kementrian Kesehatan RI. Setelah lulus dari sekolah Analis Kesehatan, tahun 1986-1987 penulis bekerja di Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin, tahun 1987 penulis hijrah ke kota Bogor dan bekerja di Laboratorium Klinik “CARITAS” Bogor sampai tahun 1991. Tahun 1991-2010 penulis bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Bogor, dan diangkat sebagai PENELITI PERTAMA di Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor tahun 2004. Tahun 2011 penulis bergabung dengan Puslit Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (Puslit 1), Badan Litbangkes, Kementrian Kesehatan RI.
xii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii DAFTAR TABEL.................................................................................................xiii DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xv PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar belakang.......................................................................................................1 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................................4 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ........................................................................4
Kerangka Pemikiran .......................................................................... 4 Hipotesis............................................................................................ 5 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 7 Anemia dan Penyebabnya......................................................................................7 Prevalensi Anemia di Indonesia.............................................................................9 Dampak Anemia ................................................................................................. 10 Fungsi Zat besi, Hemoglobin dan Feritin Dalam Tubuh ...................................... 11 Absorpsi Zat besi ................................................................................................ 14 Metabolisme Zat Besi.......................................................................................... 19 Hepsidin dan Peranannya .................................................................................... 22 Hubungan Hepsidin dengan Metabolisme Besi .................................................... 25 Cara Mencegah dan Mengobati Anemia .............................................................. 27
BAHAN DAN METODE .................................................................................. 27 Disain, Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 30 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................................... 30 Cara Pengumpulan dan Analisis Data .................................................................. 32
Cara Pengambilan Sampel ............................................................... 32 Cara Pemberian Kapsul Besi............................................................ 32 Cara Pengumpulan Data .................................................................. 33 Variabel........................................................................................... 34 Pengolahan dan analisis data............................................................ 34
xiii
Analisis Darah..................................................................................................... 35
Cara Pengambilan Darah ................................................................. 35 Analisis Hemoglobin ....................................................................... 36 Analisis Feritin ................................................................................ 37 Analisis Prohepsidin ........................................................................ 39 Analisis C-Reactive Protein (CRP) .................................................. 41 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 44 Gambaran Umum Sampel ................................................................................... 44 Kepatuhan Minum Kapsul................................................................................... 48 Gambaran Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Gizi.................................. 50 Gambaran Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein............................ 51 Gambaran Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin A dan Vitamin C................ 53 Gambaran Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Besi .......................................... 57 Gambaran Asupan dan Tingkat Kecukupan Serat ............................................... 58 Status Besi .......................................................................................................... 61
Kadar Hemoglobin (Hb) .................................................................. 61 Kadar Fertin..................................................................................... 65 Kadar Prohepsidin ........................................................................... 69 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 73 Kesimpulan............................................................................................... 73 Saran ........................................................................................................ 73 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75 LAMPIRAN.......................................................................................................... 87
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Klasifikasi anemia yang merupakan masalah kesehatan masyarakat ..... 10 Tabel 2. Beberapa faktor yang meningkatkan penyerapan Fe oleh usus .............. 15 Tabel 3. Beberapa faktor yang menghambat penyerapan Fe oleh usus ............... 15 Tabel 4. Petunjuk suplementasi zat besi yang dianjurkan/hari oleh INACG ........ 28 Tabel 5. Dosis antihelmintik yang dianjurkan oleh INACG ................................ 29 Tabel 6. Seri pengenceran CRP .......................................................................... 43 Tabel 7. Gambaran umum sampel.........................................................................44 Tabel 8. Gambaran rata-rata indeks massa tubuh ............................................... 45 Tabel 9. Rata-rata umur orang tua ...................................................................... 46 Tabel 10. Rata-rata jumlah kapsul yang diminum dan persentase kepatuhan ...... 49 Tabel 11. Persentase keluhan selama minum kapsul zat besi .............................. 50 Tabel 12. Rata-rata tingkat kecukupan energi ................................................... 51 Tabel 13. Rata-rata tingkat kecukupan asupan protein ....................................... 52 Tabel 14. Rata-rata tingkat kecukupan asupan vitamin A .................................. 54 Tabel 15. Rata-rata tingkat kecukupan asupan vitamin C................................... 55 Tabel 16. Rata-rata tingkat kecukupan asupan zat besi ....................................... 57 Tabel 17. Rata-rata tingkat kecukupan asupan serat............................................ 60 Tabel 18. Rata-rata kadar hemoglobin ................................................................ 62 Tabel 19. Hasil analisis regresi linear berganda, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar Hb ................................................... 64 Tabel 20. Rata-rata kadar feritin ......................................................................... 65 Tabel 21. Hasil analisis regresi linear berganda, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar Feritin.............................................. 68 Tabel 22. Rata-rata kadar prohepsidin ................................................................ 70 Tabel 23. Hasil analisis regresi linear berganda, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar Prohepsidin ..................................... 72
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka pemikiran............................................................................ 5 Gambar 2: Struktur kimia hemoglobin dalam sel darah manusia ........................ 13 Gambar 3. Absorpsi zat besi. .............................................................................. 16 Gambar 4. Absorbsi besi di usus halus ............................................................... 17 Gambar 5. Regulasi absorbsi besi....................................................................... 18 Gambar 6. Siklus transferin ............................................................................... 19 Gambar 7. Skema metabolisme zat besi ............................................................. 21 Gambar 8. Efek interaksi hepsidin – ferofortin pada eksport besi sellular ........... 23 Gambar 9. Struktur utama hepsidin manusia ...................................................... 24 Gambar 10. Skema hubungan hepsidin dengan metabolisme besi ....................... 26 Gambar 11. Klasifikasi indeks massa tubuh (IMT) ............................................. 45 Gambar 12. Pekerjaan orang tua......................................................................... 47 Gambar 13. Persentase pendidikan orang tua ..................................................... 48
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Diskriptif non-parametrik ............................................................... 88 Lampiran 2. Pekerjaan orang tua ........................................................................ 90 Lampiran 3. Pendidikan orang tua ...................................................................... 92 Lampiran 4. Diskriptif asupan zat gizi ............................................................... 93 Lampiran 5. Diskriptif biomarker status besi dan prohepsidin .......................... 95 Lampiran 6. Korelasi antar kelompok non parametrik ....................................... 97 Lampiran 7. Uji perbedaan sebelum dan sesudah intervensi .......................... 98 Lampiran 8. Regresi linear berganda ................................................................ 100 Lampiran 9. Tahapan pelaksanaan penelitian ................................................... 103 Lampiran 10. Naskah penjelasan penelitian ...................................................... 104 Lampiran 11. Surat pernyataan......................................................................... 106 Lampiran 12. Formulir daftar responden .......................................................... 107 Lampiran 13. Formulir identitas responden ...................................................... 108 Lampiran14. Formulir antropometri dan biokimia darah ................................. 109 Lampiran 15. Formulir data klinis .................................................................... 110 Lampiran 16. Formulir konsumsi makanan ...................................................... 111 Lampiran 17. Tabel angka kecukupan gizi ....................................................... 112 Lampiran 18. Formulir monitoring minum obat ............................................... 113
PENDAHULUAN
Latar belakang Anemia zat besi di Indonesia masih menjadi salah satu masalah gizi dan merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian. Anemia zat besi akan berpengaruh pada ketahanan terhadap infeksi yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan, kemampuan belajar, produktifitas kerja, perilaku dan disamping itu perkembangan otak juga terhambat (Baerd 2000). Anemia zat besi menyebabkan turunnya kualitas sumber daya manusia dan mangakibatkan terhambatnya kemajuan sosial dan ekonomi suatu negara (WHO 2008). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi masalah anemia, seperti suplementasi zat besi untuk penanggulangan jangka pendek maupun program fortifikasi untuk penanggulangan jangka panjang (Soekirman 2003; Mardiyati 2008). Penyuluhan mengenai anemia melalui “Buku Informasi Anemia” telah dilakukan di sekolah melalui guru (Nugraheni 2002), tetapi sampai saat ini masalah anemia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, termasuk pada remaja. Penelitian WHO menunjukkan masih tingginya prevalensi anemia terutama anemia gizi besi (WHO 2008). Diperkirakan prevalensi anemia global pada anak usia sekolah 5-15 tahun sebesar 25.4% dan wanita usia subur 30.2% (WHO 2008). Di Negara-negara berkembang 42% anak-anak di bawah lima tahun dan 53% anak-anak usia 5-14 tahun menderita anemia (Tolentino & Friedman 2007). Laporan Demayer (2003) ditemukan pada remaja putri di beberapa Negara, yaitu di Bangladesh sebanyak 82.5%, di China sebanyak 23.0%, dan di Filipina sebanyak 42.2% menderita anemia. Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 ditemukan prevalensi anemia pada anak sekolah dan remaja sebanyak 26.5 persen. Laporan SKRT tahun 2004, prevalensi anemia pada kelompok umur 5-11 tahun sebesar 39.0 persen. Hasil penelitian Saidin (2009) menunjukkan prevalensi anemia remaja SMP di pedesaan Kabupaten Bogor sebesar 26.5%. Dari aspek kesehatan dan gizi, remaja putri merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak menjadi dewasa, pada masa ini terjadi pertumbuhan yang cepat, sehingga
2
membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia 10-19 tahun, secara normal akan mengalami menstruasi setiap bulan, bersamaan dengan itu akan dikeluarkan sejumlah zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Depkes 2001), sehingga kebutuhan zat besi untuk wanita lebih banyak dibandingkan pria (Beard 2000), untuk pertumbuhan badan dan untuk mengganti hilangnya sejumlah zat besi pada saat menstruasi (Hallberg 1996). Dampak dari penurunan kadar zat besi pada saat menstruasi adalah glositis, jantung berdebar, tidak dapat berkonsentrasi (memory disorder) serta gelisah (Duport et al. 2003). Hal ini akan berpengaruh pada kemampuan belajar. Salah satu upaya penanggulangan anemia di kalangan remaja putri dapat dilakukan dengan pemberian suplementasi tablet besi, dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kadar zat besi, sehingga berpengaruh pada peningkatan konsentrasi belajar remaja juga akan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia
(Depkes 2001).
Sebaliknya bahwa pada keadaan zat besi berlebihan dapat menyebabkan anemia karena terjadi gangguan metabolisme besi. Besi berlebihan adalah suatu keadaan patologis dimana simpanan besi total dalam tubuh meningkat lebih tinggi dari kadar normal, sering kali dengan disfungsi organ sebagai akibat deposisi besi. Penyebab besi berlebihan adalah hemokromatosis (genetik) primer (genetic haemochromatosis, GH), mutasi pada gen untuk hepsidin, hemojuvelin, dan reseptor transferin. Semua mutasi ini dianggap menyebabkan penurunan kadar hepsidin yang berakibat pada peningkatan absorpsi besi. Selain itu besi berlebih juga dapat disebabkan karena komponen makanan dan komponen genetik, zat besi dalam makanan berlebih, eritropoisis yang tidak efektif dengan peningkatan absorpsi besi (misalnya talasemia intermedia), dan dapat juga disebabkan karena transfusi berulang pada pasien dengan anemia refraktur berat misalnya talasemia mayor, meilodisplasia, dimana setiap unit darah mengandung 250 mg zat besi (Metha & Hoffbrand 2006). Keadaan anemia defisiensi besi dapat diketahui dengan mengetahui cadangan zat besi tubuh. Salah satu cara yang mudah mengetahui cadangan zat besi adalah dengan menganalisis kadar feritin darah (Lee & Niemen 1993; Hughes 1998; Bodgen & Kleveay
2000; Suega et al. 2003; Wish 2006),
3
sedangkan untuk mengetahui keadaan besi berlebih dapat dilakukan dengan mengukur konsentrasi hepsidin aktif dalam darah. Dengan test ini, dapat dibedakan antara anemia dan penyakit metabolisme besi yang disebabkan oleh kelainan pada hepsidin atau karena penyebab lain (Johnson 2007; Daniel 2008; DRGNews 2008; Green 2008; Ganz 2008; Bergamaschi & Villani 2009). Hepsidin adalah sebuah hormon peptida yang dihasilkan di dalam hati dan mengatur penyerapan zat besi dalam tubuh. Hepsidin disintesis di dalam hati sebagai prepropeptida 84-asam amino, yang selanjutnya mengalami proses menjadi sebuah peptida prohepsidin 60 sampai 64-asam amino dan terakhir menjadi 25-asam amino hepsidin yang matang dan aktif secara biologi yang dikeluarkan ke dalam serum (Kemna et al 2008). Hepsidin mencegah tubuh menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan yang berasal dari makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel. Keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur oleh interaksi antara hepsidin dan reseptor feroportin yang mengangkut zat besi. Hepsidin mengikat feroportin, menghasilkan pengurangan zat besi dari sel. Kelebihan Hepsidin dalam darah dapat menyebabkan anemia, sementara defisiensi hormon ini menyebabkan penyerapan zat besi berlebihan yang akan merusak organ dalam tubuh (Daniel 2008). Pemberian tablet besi pada remaja putri dan hubungannya dengan perubahan status besi sudah sering diteliti, tapi penelitian hubungan anemia dengan status hepsidin belum banyak dilakukan, sehingga muncul pertanyaan bagaimana hubungan status hepsidin dan status besi
pada remaja yang
diintervensi dengan zat besi. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, feritin dan hepsidin dalam darah remaja putri penderita anemia yang mendapatkan perlakuan supplementasi zat besi untuk mendapatkan informasi hubungan kadar hepsidin serum dengan status besi pada remaja putri yang mendapatkan intervensi zat besi dua kali seminggu selama dua belas minggu.
4
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi hubungan hepsidin dan status besi sebelum dan sesudah pemberian suplemen zat besi pada remaja putri yang menderita anemia. Selain itu, dari penelitian ini ingin mendapatkan informasi kadar hepsidin, kadar feritin, kadar hemoglobin dan menilai konsumsi zat gizi remaja putri penderita anemia sebelum dan sesudah perlakuan.
Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Kerangka Pemikiran Beberapa hal yang meregulasi absorpsi besi dalam usus, yaitu Dietary regulator, (jenis diet dengan bioavailibilitas besi yang tinggi dan adanya faktor en-hancer akan meingkatkan absorpsi besi), Stores regulator (besarnya cadangan besi berupa feritin dapat mengatur tinggi rendahnya absorpsi besi), Erythropoetic regulator (besarnya absorpsi besi berhubungan dengan kecepatan eritropoesis) dan hepsidin yang diperkirakan berperan sebagai soluble regulator absorpsi besi di usus. Hepsidin mencegah tubuh menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan yang berasal dari makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel. Sampel penelitian ini adalah remaja putri murid-murid SMP kelas VII, VIII dan IX di Kabupaten Bogor yang menderita anemia yang mendapatkan perlakuan pemberian supplemen zat besi untuk mendapatkan gambaran hubungan kadar hepsidin serum dengan status besi pada remaja putri yang mendapatkan intervensi zat besi dua kali seminggu selama dua belas minggu. Sampel darah diambil sebanyak dua kali. Sebelum intervensi, murid-murid yang menjadi sampel penelitian diberi obat cacing “Pirantel pamoat” dosis tunggal dan dilakukan pengumpulan data hemoglobin, feritin, prohepsidin dan konsumsi makanan. Selanjutnya intervensi berupa suplementasi kapsul besi (yang berisi ferro sulfate 60 mg dan 0,25 mg asam folat sebanyak dua kali seminggu selama 12 minggu. Setelah intervensi selesai diharapkan terjadi perbaikan status besi dan hepsidin pada murid-murid tersebut dan dilakukan evaluasi dengan pengumpulan data seperti data awal.
5
Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat digambarkan dalam suatu bagan seperti yang disajikan pada Gambar 1.
Yang meningkatkan penyerapan Fe • Zat Makanan (Langsung) Vitamin C, Fruktosa, Asam Sitrat, Protein makanan, Lisin, Histidin, Sistein, Metionin, EDTA Intervensi Fe (ferro sulfate 60 mg + 0,25 mg asam folat) 2X seminggu selama 12 minggu
• Faktor-faktor Endogen (Tidak langsung): Meningkatnya eritropoisis, seperti pada hipoksia, hemolisis, hemoragi • Hormon: kadar hepsidin dalam darah rendah
• Idiopatik: Hemokromatosis (karena kerusakan genetik) Remaja Putri Anemia Hb<12 g/dl + Minum Obat cacing “Pirantel pamoat” dosis tunggal
Usus halus (Absorpsi)
Darah
Yang menghambat penyerapan Fe Darah
• Hemoglobin • Ferritin • Hepsidin • Konsumsi makanan
(II)
• Zat Makanan (Langsung): Oksalat, Tanin, Fitat, Karbonat, Fosfat, Serat (bukan selulosa) • Kelebihan ion: Co2+, Cu2+, Zn2+, Cd2+ Mn2+, Pb2+ Makanan rendah protein
• Hemoglobin • Ferritin • Hepsidin • Konsumsi makanan
(I)
• Faktor-faktor Endogen (Tidak langsung): Tingginya Fe cadangan tubuh (dalam sum-sum tulang) • Infeksi/peradangan, Tidak ada HCL lambung (achylia, achlorohydria) • Hormon: kadar hepsidin dalam darah tinggi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Hipotesis Atas dasar kerangka pemikiran di atas maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara kadar hepsidin dan status besi pada
6
remaja putri yang menderita anemia yang diintervensi dengan kapsul besi seminggu dua kali selama 12 minggu. Sehubungan dengan hipotesis tersebut, maka batasan pengertian yang digunakan adalah sebagasi berikut: -
Intervensi besi adalah pemberian suplemen zat besi dalam bentuk kapsul besi (ferro sulfat) dosis 60 mg + 0,25 mg asam folat dua kali seminggu selama 12 minggu.
-
Remaja putri adalah siswi SMP kelas VII, VIII dan IX usia 12-15 tahun yang menderita anemia.
-
Anemia, apabila kadar hemoglobin ˂ 12 g/dl (WHO 2008)
-
Status besi adalah keadaan besi di dalam tubuh berdasarkan nilai kadar feritin yang diukur dengan metode ELISA, dikatakan normal apabila kadar feritin serum antara 20-250 ng/ml (EIA, Human Feritin Kits Reagen), defisiensi besi apabila kadar feritin serum ˂ 12 ng/ml (INACG/WHO), dikatakan besi berlebihan apabila kadar feritin serum ˃ 300 ng/ml (Wish 2006).
-
Hepsidin adalah kadar prohepsidin dalam darah yang diukur dengan metode ELISA, dikatakan normal apabila kadar prohepsidin serum antara 58,9-158,1 ng/ml (DRG Kit).
TINJAUAN PUSTAKA
Anemia dan Penyebabnya Anemia gizi didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah normal dengan kisaran normal berbeda sesuai usia dan jenis kelamin. Adapun batas normal Hb untuk pria adalah ≥ 13 g/dl sedangkan unt
uk wanita
adalah ≥ 12 g/dl (WHO 2008). Tanda-tanda anemia antara lain : pucat, lemah, lesu, pusing dan penglihatan sering berkunang-kunang. Anemia dapat terjadi karena berbagai sebab. Penyebab yang paling umum diantaranya adalah karena defisiensi zat besi yang diperkirakan 50% dari kasus anemia yang ada saat ini (WHO 2001). Saidin 1997 menyatakan bahwa konsumsi zat besi pada remaja putri di Bandung sebesar 45,5% angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG). Kekurangan (defisiensi) zat besi dapat terjadi karena makanan yang dikonsumsi tidak cukup mengandung zat besi, adanya gangguan pencernaan yang tidak dapat mengabsorpsi zat-zat gizi tersebut dengan baik maka dalam jangka panjang akan terjadi anemia, karena pembentukan sel-sel darah merah dan fungsifungsi lain dalam tubuh terganggu (Lee & Niemen 1993). Pada remaja putri selain karena kurangnya asupan zat besi melalui makanan, anemia juga disebabkan karena banyaknya zat besi yang hilang pada saat menstruasi (NACC 2009). Pada tahap awal kekurangan zat besi mula-mula akan mengalami penurunan cadangan zat besi. Pada tahap ini penurunan cadangan zat besi belum disertai penurunan kadar Hb darah, sehingga yang bersangkutan belum menderita anemia. Tahap selanjutnya zat besi tidak mencukupi untuk pembentukan Hb, sehingga kadar Hb penderita menurun sampai di bawah normal dan timbul anemia (Lee & Niemen 1993). Selain karena kekurangan zat besi, anemia dapat juga disebabkan karena perdarahan, kerusakan sel-sel darah merah karena suatu penyakit, dan produksi sel darah merah tidak berjalan lancar karena kekurangan zat-zat gizi lain seperti asam folat dan vitamin B12 tidak tersedia dalam jumlah yang cukup (Bodgen & Klevay 2000; Tolentino & Friedman 2007) Penyebab lainnya adalah karena infeksi parasit seperti malaria dan infeksi cacing seperti Hookworm, Trichuris trichiura, Schistosomiasis (WHO 1999).
8
Di Indonesia penyakit cacingan masih merupakan masalah yang besar. Penyakit cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digesti), penyerapan (absorbsi) dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacing atau kecacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, juga dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes 2004). Untuk kasus anemia defisiensi besi, diperkirakan cacing menghisap 2-100 cc darah setiap hari (Dirjen PPM & PL 2004). Infeksi akut dan kronis seperti human immunodeficiency virus (HIV), kanker, tuberkulosis dan lain-lain, defisiensi zat gizi mikro yang lain seperti vitamin A, dan B12, asam folat, juga bisa menyebabkan anemia (Tolentino & Friedman 2007). Diduga pula bahwa pada keadaan besi berlebihan dapat menyebabkan gangguan metabolisme besi. Besi berlebihan adalah suatu keadaan patologis dimana simpanan besi total dalam tubuh meningkat lebih tinggi dari kadar normal, sering kali dengan disfungsi organ sebagai akibat deposisi besi. Penyebab besi berlebihan adalah hemokromatosis (genetik) primer (genetic haemochromatosis, GH) merupakan gangguan resesif autosomal yang dihubungkan dengan absorpsi besi berlebih. Sembilan puluh persen kasus bersifat homozigot untuk suatu mutasi pada human hemochromatosis protein (dikenal sebagai gen HFE) yang terletak dekat dengan kompleks human leucocyte antigen (HLA) pada kromosom 6. Penyebab yang lebih jarang meliputi mutasi pada gen untuk hepsidin, hemojuvelin, dan reseptor transferin. Semua mutasi ini dianggap penyebab penurunan kadar hepsidin dan kemudian peningkatan absorpsi besi. Selain itu besi berlebih juga dapat disebabkan karena komponen makanan dan komponen genetik, zat besi dalam makanan berlebih, eritropoisis yang tidak efektif dengan peningkatan absorpsi besi (misalnya talasemia intermedia), dan dapat juga disebabkan karena transfusi berulang pada pasien dengan anemia refraktur berat misalnya talasemia mayor, meilodisplasia, dimana setiap unit darah mengandung 250 mg zat besi (Metha & Hoffbrand 2006). Faktor penyebab anemia yang lain adalah kemiskinan, perilaku kesehatan, lingkungan kurang baik, ketiadaan akses ke layanan kesehatan (Freire 2007).
9
Rendahnya pengetahuan dan perilaku tidak sehat berperan sangat besar yang mengakibatkan tingginya prevalensi anemia (Sakti, Rachmawati, Rahfiludin 2003; Farida 2006; Gunatmaningsih 2007; Proboningrum 2009). Meskipun ketersediaan pangan nasional dan pendapatan perkapita baik, unsur lain yang penting adalah pengetahuan gizi dan daya beli (Atmawikarta 2005),. Penelitian pada remaja putri murid SMU dan MAN di Jawa Barat menunjukkan bahwa remaja putri yang mempunyai pengetahuan tentang anemia yang rendah mempunyai kecenderungan menderita anemia 61% lebih tinggi (Budiman 1997). Selain pengetahuan, anemia bisa disebabkan karena lingkungan yang tidak sehat dan banyaknya pencemaran lingkungan yang terjadi terutama di lingkungan perkotaan, karena banyaknya polutan yang berasal dari kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik berupa senyawa organik maupun logam berat yang bersifat kumulatif dan bersaing dengan zat besi selama metabolisme zat gizi dalam tubuh dan bisa menyebabkan keracunan. Kurangnya akses ke layanan kesehatan serta rendahnya sanitasi lingkungan dan higienis perorangan
juga mempunyai
kontribusi terhadap kejadian anemia (WHO 1999). Penyebab kejadian anemia lainnya adalah faktor kemiskinan. Anemia defisiensi besi umumnya ditemukan pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah (WHO 2001). Hal itu disebabkan karena rendahnya daya beli makanan yang bergizi terutama makanan sumber zat besi.
Prevalensi Anemia di Indonesia Berdasarkan hasil survei NSS-HKI (Nutrition and Health Surveilance System – Helen Keller International) tahun 1999 dan tahun 2000 prevalensi anemia pada balita berkisar 40-70% dan pada wnita usia subur (WUS) berkisar 20-40%. Berdasarkan hasil-hasil penelitian Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada balita usia < 6 bulan 61,3%, bayi usia 6-11 bulan 64,8%, anak usia 12-23 bulan 58%, wanita hamil 40%, wanita usia subur 27,9%, prevalensi anemia pada anak sekolah dan remaja 26,55%. Menurut SKRT tahun 2004 prevalensi anemia semakin tinggi pada kelompok umur 5-11 tahun sebesar 39%, pada balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu
10
nifas 45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun 39,5%. Dari semua kelompok umur di atas, balita dan wanita mempunyai resiko anemia paling tinggi, termasuk remaja putri. Untuk menilai apakah prevalensi anemia menjadi suatu masalah dalam suatu populasi, maka WHO (2001) menetapkan batasan prevalensi anemia yang merupakan masalah kesehatan masyarakat:
Tabel 1. Klasifikasi anemia yang merupakan masalah kesehatan masyarakat Katagori Kesehatan masyarakat
Prevalensi Anemia (%)
Berat
≥ 40
Sedang
20,0 – 39,9
Ringan
5,0 – 19,9
Normal
≤ 4,9 Sumber : WHO 2001
Dampak Anemia Tanda-tanda anemia yang paling umum adalah 5 L yakni lesu, lemah, letih, lelah dan lalai. Jika terjadi pada anak-anak maka dapat menimbulkan dampak seperti kesakitan dan kematian; perkembangan otak dan pertumbuhan fisik terhambat; perkembangan motorik, mental, kecerdasan terhambat; daya tangkap belajar menurun; pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun; interaksi sosial kurang (Aliefien 2005). Tanda-tanda lainnya termasuk pucat, kuku rapuh, pusing dan lekas marah (Anomin 2004). Pada beberapa wanita merasa lelah bahkan sebelum mereka beraktivitas. Sebelum muncul tanda-tanda yang telah disebutkan, terdapat tanda-tanda lain seperti kaki dan tangan dingin, sesak nafas, jantung berdebar, sakit kepala, kehilangan konsentrasi, depresi, kinerja menurun, siklus menstruasi tidak teratur, kehilangan gairah seksual, daya tahan tubuh menurun, kesembuhan pada luka dan jaringan lemah. Zat besi berperan penting pada regulasi temperatur tubuh dan menyebabkan seseorang yang menderita anemia defisiensi besi tidak tahan terhadap udara dingin (WHO 2001).
11
Penelitian Dupport (2003) menunjukkan dampak penurunan kadar zat besi pada saat menstruasi akan menyebabkan glositis, jantung berdebar, tidak dapat berkonsentrasi (memory disorder) serta gelisah. Jika tidak segera ditangani anemia defisiensi zat besi bisa menyebabkan gangguan kesehatan serius. Gejala klinis yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan sangat kurus), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Anemia yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan infertilitas pada wanita usia subur, melahirkan prematur pada wanita hamil, pada anemia yang berat pingsan dan depresi dapat terjadi pada wanita disegala umur (USAID 2005). Namun umumnya anemia ringan tidak mempunyai tanda-tanda atau hanya tandatanda ringan, hal ini menyebabkan wanita sering tidak menyadari tanda-tandanya atau cenderung menganggap tanda-tanda yang ringan tersebut adalah karena stress dari kehidupan modern.
Fungsi Zat besi, Hemoglobin dan Feritin Dalam Tubuh Di dalam tubuh, fungsi utama zat besi adalah dalam produksi komponen pembawa oksigen yaitu hemoglobin dan mioglobin. Hemoglobin terdapat di dalam sel darah merah dan merupakan protein yang berikatan dengan zat besi berfungsi untuk mengangkut oksigen ke berbagai jaringan-jaringan tubuh sedangkan mioglobin terdapat di dalam sel-sel otot dan berfungsi untuk menyimpan dan mendistribusikan oksigen ke dalam sel-sel otot (Hoffbrand, Pettit, Moss 2001) Zat besi sebagai bagian dari molekul hemoglobin yang mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein menjadi energi (ATP). Zat besi juga merupakan bagian dari sistem enzim (sitokrom peroksidase, xanthin oksidase, suksinat dehidrogenase, katalase dan peroksidase) dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip hemoglobin yang terdapat di dalam sel-sel otot (Garrow & James 1993). Mioglobin akan
12
berikatan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel-sel otot. Mioglobin yang berikatan dengan oksigen inilah yang menyebabkan daging dan otot-otot menjadi berwarna merah (Anonim 2004). Zat besi terdapat sebanyak 55 mg/kg berat badan untuk laki-laki dewasa dan 45 mg/kg berat badan untuk wanita dewasa. Secara normal sekitar 60%-70% zat besi tubuh terdapat pada hemoglobin yang bersirkulasi dalam eritrosit (Koury & Ponka 2004). Pada vertebrata, zat besi ditransportasikan dalam tubuh antara bagian absorpsi, penyimpanan dan penggunaan oleh glikoprotein plasma, transferin yang mengikat Fe3+ sangat kuat tetapi bereaksi dapat balik. Pergantian harian besi transferin adalah sekitar 30 mg dan secara normal sekitar 80% dari zat besi ditransport
ke sumsum tulang untuk sintesis
hemoglobin dalam
meningkatkan sel-sel eritroid. Eritrosit yang sudah tua difagositasi oleh magrofag dari sistem retikuloendotelial dimana sebagian heme dibagi dari hemoglobin dan katabolisasi secara enzimatik melalui sintesis heme oksigenase-1 (Maines 1997). Zat besi yang terkurung dalam cincin protoporfirin di dalam magrofag yang dibebaskan, hampir semuanya secara kwantitatif dikembalikan ke sirkulasi. Sisa pergantian harian 5 mg ditukar dengan jaringan eritroid yang disebut hati. Sekitar 1 mg dari diet zat besi diserap tiap hari, dan keseimbangan zat besi total diatur melalui pengeluaran harian 1 mg zat besi melalui mekanisme nonspesifik (hampir semuanya desquamasi sel) (Richardson & Ponka 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Krumel dan Ehterton (1996) kebutuhan zat besi pada kondisi fisiologis remaja putri diperkirakan sekitar 1,9 mg/hari, berdasarkan rata-rata kebutuhan untuk tumbuh 0,5 mg, kehilangan basal 0,75 mg, dan kehilangan darah pada saat menstruasi 0,6 mg. Apabila AKG zat besi 15 mg/hari, dengan asumsi penyerapan 10-15%, akan menghasilkan asupan zat besi 1,5-2,2 mg/hari. Jumlah ini cukup untuk mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam tubuh. FAO/WHO (2001) menyebutkan zat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan remaja pada keadaan fisiologis untuk tumbuh adalah 0,55 mg/hari dengan asumsi kehilangan basal 0,65 mg, dan menstruasi 0,48 mg, sehingga kebutuhan zat besi sekitar 1,68 mg/hari. Jika diperkirakan bioavailibilitas sebesar 5-10% maka diperlukan 17-34 mg/hari. Untuk kebutuhan remaja putri di Indonesia usia 10-12 tahun direkomendasikan sebesar 20 mg/hari
13
dan usia 13-19 tahun sebesar 26 mg/hari berdasarkan pada tingkat bioavailibilitas sekitar 10% (Kartono & Soekarti 2004). Hemoglobin adalah molekul protein oligomer (BM 64.500) yang mengandung empat rantai polipeptida dan empat gugus prostetik heme, yang mempunyai atom besi dalam bentuk fero (Fe2+). Bagian protein yang disebut globin, terdiri dari dua rantai α (masing-masing mempunyai 141 residu) dan dua rantai β (masing-masing mempunyai 146 residu).
Gambar 2: Struktur kimia hemoglobin dalam sel darah manusia C = Karbon, H = Hidrogen, Fe = Iron, N = Nitrogen, O = Oksigen Analisis sinar X telah menemukan bahwa molekul hemoglobin berbentuk agak bulat, dengan diameter kira-kira 5,5 nm. Masing-masing terdiri dari empat rantai mempunyai struktur tersier yang khas, yang mencirikan berlipatnya rantai. Seperti pada mioglobin, rantai α dan β hemoglobin mengandung beberapa potongan α-heliks yang dipisahkan oleh lekukan-lekukan. Keempat rantai polipeptida bersama-sama menyesuaikan diri di dalam suatu susunan yang mendekati tetrahedral, untuk membangun suatu struktur kuartener hemoglobin yang khas. Terdapat satu gugus heme yang terikat oleh masing-masing rantai. Heme-heme ini agak terpisah kira-kira 2,5 nm satu terhadap yang lain, dan terletak dengan kemiringan sudut yang berbeda-beda. Tiap-tiap heme sebagian terlindung di dalam kantung yang dilapisi oleh gugus R hidrofobik. Heme ini terikat pada rantai polipeptida melalui ikatan koordinasi atom besi pada gugus R residu histidin. Ikatan koordinasi keenam dari atom besi tiap-tiap heme tersedia untuk
mengikat
(Lehninger 1982).
molekul
O2 ,
seperti terlihat
dalam
gambar
di atas
14
Selain berfungsi untuk memproduksi hemoglobin dan mioglobin, zat besi juga dapat tersimpan di dalam protein feritin dan hemosiderin di dalam hati, serta di dalam sumsum tulang belakang. Sebagai indikator jumlah zat besi di dalam tubuh, feritin yang bersirkulasi di dalam darah dapat digunakan untuk menilai status zat besi di dalam tubuh. Turunnya kadar feritin berarti cadangan besi tubuh menurun, namun feritin dapat meningkat bila terjadi peradangan atau infeksi, sehingga pada saat menderita infeksi kandungan feritin tidak dapat digunakan sebagai standar cadangan besi tubuh (Wish 2006).
Absorpsi Zat besi Gambaran yang aneh dan mungkin unik dari metabolisme besi adalah bahwa sebenarnya terjadi pada sistem yang tertutup (closed sircuit). Dalam keadaan normal sangat sedikit besi dari makanan yang diserap, jumlah yang dikeluarkan melalui urin adalah minimal, dan sebagian besar dari seluruh besi dalam tubuh secara terus menerus didistribusikan ke seluruh tubuh dalam beberapa lingkaran metabolisme. Karena tidak ada jalan untuk mengekskresikan besi secara berlebihan, absorpsi dari usus harus diatur, bila tidak akan ditimbun di dalam jaringan dalam jumlah yang toksik. Beberapa hal yang meregulasi absorpsi besi dalam usus, yaitu Dietary regulator, (jenis diet dengan bioavailibilitas besi yang tinggi dan adanya faktor en-hancer akan meingkatkan absorpsi besi), Stores regulator (besarnya cadangan besi dapat mengatur tinggi rendahnya absorpsi besi), Erythropoetic regulator (besarnya absorpsi besi berhubungan dengan kecepatan eritropoesis) dan hepsidin yang diperkirakan berperan sebagai soluble regulator absorpsi besi di usus (Agustriadi & Suega 2006). Dalam makanan biasanya terdapat 10-50 mg besi setiap hari, tetapi hanya 10%-15% dari jumlah tersebut yang diabsorpsi Rendahnya zat besi yang dapat diserap ini kemungkinan menjadi penyebab ketidak tersediaan zat besi yang ada dalam makanan dan kontrol endogen terhadap pengambilannya. Besi dalam makanan lebih banyak diserap pada keadaan defisiensi, dan penyerapannya menurun jika tubuh mempunyai banyak simpanan zat besi.
15
Pitat, oksalat, tanin dan bahkan fosfat yang ada dalam bahan makanan nabati cenderung membentuk endapan besi yang tidak larut yang menyebabkan besi tersebut tidak dapat diserap (Linder 1991; Food Nutrition Board 2001; Schlenker 2007). Dalam lingkungan yang alkalis (konsentrasi alkohol tinggi) seperti usus bagian atas dan terutama dalam kondisi aklorohidria (relatif tidak ada produksi HCl dalam lambung) akan membentuk ikatan hidroksida yang tidak larut. Untuk mencegah pengaruh tersebut digunakan pengkilasi Fe seperti
vitamin C,
fruktosa, fumarat dan beberapa asam amino yang menyebabkan zat besi tersebut dalam keadaan larut sehingga dapat diserap (Linder 1991).
Tabel 2. Beberapa faktor yang meningkatkan penyerapan Fe oleh usus Zat Makanan (Langsung) Vitamin C Fruktosa Asam Sitrat Protein makanan Lisin, Histidin, Sistein, Metionin EDTA (pengkilasi alamiah seperti dalam group heme)
Yang meningkatkan penyerapan Fe Faktor-faktor Endogen (Tidak Langsung) Meningkatkan eritropoisis, seperti pada hipoksia (altitut), hemolisis, hemoragi, androgen, garam-garam Ca (pembebasan eritropoitin biasanya terlibat)
Idiopatik Hemokromatosis (karena kerusakan genetik)
Pada orang dewasa memasukkan 25-30 mg vitamin C dalam makanan akan meningkatkan absorbsi zat besi sampai 85% (Gutrie 1995). Vitamin C merupakan pereduksi
ion
ferri
menjadi
ferro
sehingga
lebih
mudah
diserap
(Sharp & Srai 2007).
Tabel 3. Beberapa faktor yang menghambat penyerapan Fe oleh usus Yang menghambat penyerapan Fe Zat Makanan Faktor-faktor Endogen (Langsung) (Tidak Langsung) Oksalat. Tanin. Fitat, Karbonat , Tingginya Fe cadangan tubuh (dalam sum-sum Fosfat tulang) Serat (bukan selulosa) Kelebihan ion: Co2+, Cu2+, Zn2+, Cd2+ Mn2+, Pb2+ Infeksi/peradangan Makanan rendah protein Tidak ada HCL lambung (achylia, achlorohydria) Sumber; Berdasarkan pada Linder MC (1991)
16
Pada metabolisme besi yang normal, absorpsi besi di usus memegang peranan sangat penting. Absorpsi terbanyak terjadi di proksimal duodenum karena pH asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan pada proses absorpsi besi di epitel usus. Zat besi diserap dari usus disimpan sebagai feritin di
epitel usus di
transport dalam plasma sebagai transferrin. Progenitor eritroid memperoleh zat besi untuk sintesis hemoglobin dari transferrin plasma atau dari daur ulang penghancuran eritrosit yang sudah tua oleh magrofag di dalam sumsum tulang, limpa dan hati. Zat besi yang berlebih untuk keperluan produksi hemoglobin disimpan dalam magrofag sebagai feritin, yang dioksidasi menjadi hemosiderin. Simpanan ini dapat dikeluarkan dari magrofag pada saat dibutuhkan atau pada saat eritropoiesis meningkat (Andrews 1999).
Gambar 3. Absorpsi zat besi. (Sumber: Andrews NC,New Engl J Med. 341:1986-1995, Copyright © 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) Proses absorpsi besi dibagi 3 fase: 1. Fase luminal, dimana besi pada makanan dilepaskan ikatannya karena pengaruh asam lambung dan direduksi dari bentuk feri menjadi fero yang siap diserap di duodenum.
17
2.
Fase mukosal, merupakan suatu proses aktif yang sangat kompleks dan terkendali dimana sel absorptif pada puncak vili-vili usus feri dikonversi menjadi fero oleh enzim ferireduktase yang dimediasi oleh duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh protein divalent metal transporter 1 (DMT1).
Gambar 4. Absorbsi besi di usus halus (sumber: Andrews, N.C., 1999. N Engl J Med; 23: 2508-9).
Setelah besi masuk ke sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian dikeluarkan ke katableter usus melalui basolateral transporter (feroportin/FPN). Pada proses ini terjadi oksidasi dari fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase (a.l. hephaestin), lalu feri diikat oleh apotransferin dalam katableter usus. Terdapat fenomena mucosal block, dimana setelah beberapa hari dilakukan bolus besi dalam diet, maka enterosit resisten terhadap absorpsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena akumulasi
18
besi dalam enterosit sehingga menyebabkan set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah berlebihan.
Gambar 5. Regulasi absorbsi besi (sumber: Andrews, N.C., 1999. N Engl J Med; 26: 1986-95).
3. Fase korporeal, zat besi sudah diserap enterosit dan melewati bagian basal epitel usus, memasuki katableter usus lalu dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferrin. Transferrin ini akan melepaskan besi pada sel retikuloendotehelial system (RES) melalui poses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Kompleks besitransferin ini (Fe2-Tf) nantinya akan diikat oleh reseptor transferin (transferrin receptor=Tfr) yang terdapat pada permukaan sel membentuk kompleks Fe2Tf-Tfr, yang akan membentuk
endosom. Suatu pompa proton akan
19
menurunkan pH endosom, sehingga melepaskan ikatan besi dari transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan divalent metal transporter 1 (DMT 1), sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan
sel dan dapat
dipergunakan kembali. (Agustriadi & Suega 2006)
Gambar 6. Siklus transferin (sumber: Andrews, N. C., 1999. N Engl J Med; 26: 1986-95).
Metabolisme zat besi Metabolisme besi pada makrofag diawali dengan fagositisasi eritrosit dan pemecahannya di fagosom, kemudian besi dikeluarkan melalui feroportin dengan bantuan seruloplasmin ferooksidase (yang berperan homolog seperti hepaestin di enterosit), Pada siklus besi dalam tubuh terjadi suatu closed circuit dimana peredaran jumlah besi tubuh sangat efisien, hasil absorpsi besi di usus bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag sumsum tulang untuk keperluan eritropoesis. Selanjutnya, hasil eritropoesis yang inefektif dan besi pada eritrosit yang telah mengalami penuaan, akan dikembalikan lagi kepada makrofag dengan
20
jumlah yang sama dengan keperluan eritropoesis tersebut. Sehingga hasil akhir mekanisme ini adalah keseimbangan jumlah besi tubuh (Ganz 2003). Jumlah zat besi dalam badan orang dewasa sehat kurang lebih sebanyak 4 gram. Sebagian besar (± 2,5 gram) berada di dalam sel darah merah atau hemoglobin. Sebagian zat besi terdapat di dalam pigmen pada otot yang disebut mioglobin. Mioglobin ini berfungsi menangkap dan memberikan oksigen. Enzim intraselular yang disebut porfirin juga mengandung zat besi. Enzim lain yang terpenting diantaranya adalah citokrom yang selalu banyak terdapat di dalam sel. Pada orang yang sehat, sebagian zat besi (± 1 gram) disimpan di dalam jaringan terutama di dalam hati dalam bentuk berikatan dengan protein yang disebut feritin. Untuk menjaga badan agar tidak anemia, maka keseimbangan zat besi di dalam tubuh perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diartikan bahwa jumlah zat besi yang dikeluarkan dari tubuh sama dengan jumlah zat besi yang diperoleh badan dari makanan. Sel-sel darah merah berumur 120 hari, jadi sesudah 120 hari sel-sel darah merah mati, dan diganti dengan yang baru (Linder 1991). Proses penggantian selsel darah merah yang lama dengan sel-sel darah merah yang baru disebut turn over. Setiap hari turn over zat besi ini berjumlah 35 mg, tetapi tidak semuanya harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar, yaitu sebanyak 34 mg didapat dari penghancuran sel-sel darah merah yang tua, yang kemudian disaring oleh tubuh untuk dapat dipergunakan kembali oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel-sel darah merah yang baru Pada keadaan seimbang 1-2 mg zat besi diserap dan dibuang oleh tubuh setiap hari. Diet zat besi diserap oleh entrosit usus dua belas jari. Zat besi dalam tubuh bersirkulasi dalam plasma berikatan dengan transferin. Sebagian besar zat besi digunakan sebagai prekursor eritroid dan sel-sel darah merah dewasa. Lebih kurang 10-15% terdapat dalam serat-serat otot (dalam bentuk mioglobin) dan jaringan lainnya (dalam enzim-enzim dan sitokrom). Zat besi disimpan dalam selsel parenkim hati dan makrofag retikuloenditelial. Makrofag-makrofag ini menyediakan sebagian besar zat besi yang dapat digunakan melalui degradasi
21
hemoglobin pada eritrosit yang sudah tua dan mengambil kembali zat besi pada transferin untuk disebarkan ke sel-sel
Gambar 7. Skema metabolisme zat besi (Sumber: Andrews NC,New Engl J Med. 341:1986-1995, Copyright © 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) Hanya 1-2 mg zat besi dari penghancuran sel-sel darah merah yang tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air kencing. Jumlah zat besi yang hilang melalui jalur ini disebut sebagai kehilangan basal (iron basal losses). Pada wanita zat besi yang dikeluarkan dari tubuh lebih banyak dari pada laki-laki (Beard 2000). Selain kehilangan basal masih ada kehilangan lewat jalur lain. Setiap bulan wanita dewasa mengalami menstruasi, dan setiap periode menstruasi dikeluarkan zat besi rata-rata sebanyak 28 mg/periode. Karena menstruasi terjadi satu kali dalam satu bulan, maka banyaknya zat besi yang dikeluarkan setiap hari adalah 28 mg dibagi dengan 30 sama dengan kira-kira
22
1 mg/hari. Dengan demikian wanita mengeluarkan zat besi dari tubuhnya hampir dua kali lebih banyak dari pada laki-laki dewasa. Zat besi yang dapat diabsorpsi 5-10% (untuk menu makanan yang cukup bervariasi) maka seorang laki-laki dewasa harus mengkonsumsi zat besi sebanyak 13 mg/hari, dan wanita harus mengkonsumsi 26 mg/hari walaupun wanita mengeluarkan zat besi hampir dua kali lebih banyak dari pada laki-laki, tetapi karena wanita lebih efisien mengabsorpsi zat-zat gizi termasuk zat besi maka untuk menjaga keseimbangan zat besi dalam tubuh, wanita dapat mengkonsumsi lebih rendah dari 26 mg/hari asal dalam bahan makanannya ada daging atau ikan dan sumber vitamin C yang cukup (Davidson 1973 dalam Husaini 1989).
Hepsidin Dan Peranannya Hepsidin adalah sebuah hormon peptida yang dihasilkan di dalam hati dan mengatur penyerapan zat besi dalam tubuh. Hepsidin mencegah tubuh menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan baik yang berasal dari makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel. Keseimbangan zat besi dalam tubuh Keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur oleh interaksi antara hepsidin dan reseptor feroportin yang mengangkut zat besi. Hepsidin mengikat feroportin, sehingga mengurangi pengeluaran zat besi dari sel. Kelebihan hepsidin dalam darah dapat menyebabkan anemia, sementara defisiensi hormon ini menyebabkan pembentukan zat besi berlebihan yang akan merusak organ dalam tubuh (Daniel 2008). Ketika konsentrasi hepsidin rendah, zat besi selular dilepaskan ke dalam plasma menembus membran dan bergabung dengan ferroportin (FPN). Ketika konsentrasi hepsidin tinggi, hepsidin berikatan dengan ferroportin, dan ferroportin masuk dan didegradasi oleh hepsidin. Sebagai konsekuensi dari hilangnya ferroportin, eksport zat besi selular berkurang dan besi terakumulasi dalam feritin sitoplasma (Ganz 2007).
23
Gambar 8. Efek interaksi hepsidin – ferofortin pada eksport besi sellular (Sumber: Ganz 2007. J Am Soc Nephrol 18: 394-400, 2007)
Hormon hepsidin pertama kali diisolasi oleh Park et al (2000) pada saat mempelajari karakter antimikrobial berbagai cairan tubuh manusia. Park et al (2001) mengisolasi suatu peptida baru dari urin dan menamakannya hepsidin, berdasarkan tempat diproduksinya (hati, hep-) dan karakter antimikrobial in vitro (-cidin). Studi sebelumnya oleh Krause et al (2000) juga mengisolasi peptida yang sama dari ultrafiltrat plasma dan menamakannya LEAF-1 (Liver expressed antimicrobial peptide), suatu peptida dengan karakter antimikrobial yang diekspresikan oleh hati. Yang istimewa dan tidak seperti peptida antimikrobial lainnya yang sekuen peptidanya sangat bervariasi antar species, pada beberapa spesies mamalia (tikus, babi) dan ikan sekuen hepsidinnya ternyata hampir identik dengan hepsidin manusia dan tikus yaitu pada manusia hanya terdapat satu macam hepsidin, sedangkan pada tikus didapatkan dua macam hepsidin yaitu hepsidin 1 dan 2. Namun Lou et al (2003) menyatakan bahwa ekspresi hepsidin 2 tidak berpengaruh terhadap metabolisme besi seperti hepsidin 1. Di tahun-tahun berikutnya studi-studi mengenai peptida ini makin berkembang sehingga diketahui bahwa peningkatan produksi peptida ini (hepsidin) berhubungan dengan
24
keadaan-keadaan seperti anemia berat, keganasan, peradangan kronis, serta diketahui adanya penurunan produksinya pada hemokromatosis.
Gambar 9. Struktur utama hepsidin manusia N = amino terminal, C = karboksi terminal, pita kuning = jembatan disulfida, pita biru = asam amino. Pola ikatan disulfida dengan 8 sistein terlihat pada sequence asam amino (Sumber: Tomas Ganz, Blood, 1 August 2003, Vol. 102, No. 3, pp. 783-788) Secara struktur, hepsidin manusia merupakan suatu peptida kecil kaya sistein (delapan sistein) yang didapat dari gugus C-terminal dari suatu asam amino prepropeptida, yang dapat diisolasi dari urin dan ultrafiltrat darah, sebagian besar mengandung 25 asam amino (hep-25) dan sebagian lagi ditemukan dengan rantai asam amino yang lebih pendek (hep-20 dan hep-22). Molekul hepsidin berbentuk seperti jepitan rambut (hairpin) kedua lengannya disilang oleh gugusan disulfida. Suatu hal yang tidak biasa yang tampak pada molekul ini adalah susunan sisteinnya, dimana terdapat jembatan disulfida pada dua sistein yang berdekatan sehingga reaktifitas kimianya lebih besar dibandingkan dengan ikatan disulfida pada peptida antimikrobial lainnya seperti pada defensin, takiplesin dan lainnya. Hepsidin ini diyakini sebagai regulator kunci dari homeostasis besi dengan cara meregulasi absorbsi besi di usus, mendaur ulang besi dari makrofag dan mengontrol persediaan besi di dalam hati: Hormon hepsidin ini juga muncul untuk meregulasi transpor besi melalui placental syncytiotrophoblast selama kehamilan
25
(Nemeth & Ganz 2006). Di dalam enterosit, hepsidin terikat pada protein transport besi basolateral (feroportin), inisiasi internalisasi dan mendegradasi ferofortin tersebut dan secara efektif menghambat fluks besi dari sel dan mereduksi absorpsi besi (Nemeth et al. 2004). Pada tikus transgenik over ekspresi hepsidin diasosiasikan dengan anemia pada imflamasi dan anemia defisiensi besi yang berat. Meskipun pada tikus ekspresi hepsidin menunjukkan berbanding terbalik dengan absorpsi dan ekspresi protein transport besi (Frazer et al. dalam Young et al. 2009), namun sampai saat ini hubungan yang signifikan antara ekspresi hepsidin dan absorpsi besi pada manusia belum ditetapkan. Hal ini disebabkan karena ukuran dari protein ini yang kecil (25-AA) sehingga sulit untuk diukur. Hal ini mengarahkan beberapa peneliti untuk mengukur prohepsidin, yaitu suatu 60-AA linear yang merupakan prekursor bagi
peptida
25-AA
yang
mengandung
empat
ikatan
disulfida
(Young et al. 2009).
Hubungan Hepsidin Dengan Metabolisme Besi Hubungan antara hepsidin dan metabolisme besi diungkapkan pertama kali oleh Pigeon et al tahun 2001 (saat meneliti respon hati terhadap beban besi yang berlebihan) yang menyatakan bahwa mRNA hepsidin diproduksi oleh hepatosit dan lipopolisakarida serta beban besi yang berlebihan baik secara oral maupun parenteral dapat merangsang produksi hepsidin sebagai feedback terhadap keadaan besi berlebihan tersebut, sehingga gen hepsidin dianggap sebagai gen upstream stimulatory factor-2 (USF2). Nicolas et al (2001), menyatakan bahwa pada hewan percobaan tikus yang dihilangkan fungsi gen USF2-nya akan mengalami kondisi seperti hemokromatosis, dimana terjadi hiperabsorpsi besi pada usus dan peningkatan pelepasan besi dari makrofag sehingga terjadi peningkatan kandungan besi pada hati dan pankreas serta defisiensi besi pada limpa. Pada hati terjadi kekurangan mRNA hepsidin. Untuk membuktikan bahwa hepsidin dapat secara langsung sebagai sensor pada homeostasis besi, maka pada studi Nicolas et al (2002). berikutnya dibuatlah model tikus percobaan tansgenik dengan over ekspresi hepsidin (kebalikan dari penelitian sebelumnya). Model transgenik tersebut menunjukkan kadar besi tubuh
26
dan anemia mikrositik yang berat, sedangkan fetusnya mati pada masa perinatal dengan anemia defisiensi besi yang berat, sehingga disimpulkan bahwa hepsidin merupakan suatu regulator negatif uptake besi di usus serta release besi dari makrofag maka terjadi retensi besi di makrofag (Agustriadi & Suega 2006).
Gambar 10. Skema hubungan hepsidin dengan metabolisme besi (Andrews NC,New Engl J Med. 341:1986-1995, Copyright © 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.)
Kelebihan zat besi berbahaya, karena menyebabkan pembentukan radikal bebas. Seluruh zat besi tubuh diregulasi terutama pada tingkat absorpsi oleh enterosit, tidak ada jalur regulasi aktif untuk ekskresi zat besi (hanya dapat terjadi karena perdarahan atau pengelupasan enterosit yang memuat zat besi). Regulasi pengambilan zat besi oleh enterosit dan pengeluaran simpanan zat besi dari makrofag dan hepatosit dimediasi oleh hormon hepsidin, dan dampaknya terhadap ferroportin (lihat skema di atas). Hepsidin menurunkan kadar zat besi serum dengan menurunkan absorpsi zat besi dan mencegah makrofag mengeluarkan zat besi ( menyebabkan penumpukan besi). Hepsidin diregulasi oleh kadar zat besi dan eritropoisis. Meningkatnya zar besi akan akan mengatur hepsidin yang selanjutnya menurunkan kadar zat besi dan berakibat buruk. Eritropoisis yang aktif menghambat hepsidin ( membiarkan zat besi diabsorpsi/dikeluarkan untuk
27
sintesis hemoglobin). Kadar hepsidin meningkat karena peradangan sitokin, terutama IL-6 dan penurunan ketersediaan zat besi selama proses peradangan. Karena itu peradangan menyebabkan suatu defisiensi zat besi fungsional karena zat besi tidak dikeluarkan dari makrofag ( menghasilkan peningkatan simpanan zat
besi).
Hal ini menyebabkan anemia pada penyakit
peradangan
(Andrew 1999).
Cara Mencegah dan Mengobati Anemia Kegiatan penanggulangan anemia gizi untuk remaja putri dan Wanita Usia Subur (WUS) yang dilakukan merupakan kegiatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) yaitu promosi atau kampanye tentang anemia kepada masyarakat luas ditunjang dengan kegiatan penyuluhan. Salah satu strategi untuk meningkatkan asupan Fe adalah dengan suplementasi Fe. Berdasarkan Pedoman Penanganan Anemia yang dikeluarkan oleh Depkes tahun 2001 untuk mencegah dan mengobati anemia adalah sebagai-berikut: 1.
Meningkatkan konsumsi makanan bergizi. Makan makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan hewani (daging, ikan, ayam, hati, telur) dan bahan makanan nabati (sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan, tempe). Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C (daun katuk, daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk dan nanas) sangat bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus.
2.
Menambah pemasukan zat besi ke dalam tubuh dengan minum Tablet Tambah Darah (TTD). Tablet Tambah Darah adalah tablet besi folat yang setiap tablet mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat. Tablet Tambah Darah adalah obat bebas terbatas sehingga dapat dibeli di Apotik, Toko Obat, Warung, Bidan Praktek, Pos Obat Desa. Dianjurkan menggunakan Tablet Tambah Darah generik yang disediakan pemerintah dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Disamping itu dapat juga dipergunakan Tablet Tambah Darah dengan merek dagang lain yang memenuhi kandungan seperti Tablet Tambah Darah generik. Tablet Tambah Darah diminum 1 (satu) Tablet Tambah Darah
28
seminggu sekali dan dianjurkan minum 1 tablet setiap hari selama haid. Untuk ibu hamil, minumlah 1 (satu) Tablet Tambah Darah setiap hari paling sedikit selama 90 hari masa kehamilan dan 40 hari setelah melahirkan 3.
Mengobati penyakit yang menyebabkan atau memperberat anemia seperti: kecacingan, malaria dan penyakit TBC.
Berdasarkan panduan yang dianjurkan oleh International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG), penggunaan zat besi untuk suplementasi dalam mencegah dan menangani anemia defisiensi besi dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini:
Tabel 4. Petunjuk untuk suplementasi zat besi yang dianjurkan/hari oleh INACG Group
Dosis
Anak-anak umur 2-5 tahun
20-30 mg zat besi
Anak-anak 6-11 tahun
30-60 mg zat besi
Remaja dan orang dewasa
60 mg zat besi
Pada anak-anak usia 2-5 tahun berdasarkan dosis zat besi 2 mg/kg berat badan/hari. Jika kelompok populasi termasuk remaja atau wanita usia subur, harus menambahkan 400 µg asam folat bersamaan dengan suplementasi zat besi untuk mencegah kelainan kelahiran pada wanita yang nantinya akan mengalami kehamilan. Apabila di daerah tersebut merupakan endemik hookworm (prevalensi 20-30% atau lebih) akan lebih efektif bila mengkombinasikan suplementasi zat besi dengan penanganan antihelmintik baik terhadap orang dewasa maupun anakanak di atas umur lima tahun (Stoltzfus & Dreyfuss 1998).
Dosis untuk
penanganan antihelmintik yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 5. Lama suplementasi pada remaja dapat dilakukan selama tiga bulan (Tee at al 1999; Haidar et al 2003) atau enam bulan (Viteri et al 1999; Sungthong et al 2002). Pemberian suplemen dapat dilakukan tiap hari, satu kali perminggu atau dua kali perminggu. Penelitian yang dilakukan terhadap remaja putri di Lima Peru menunjukkan bahwa pemberian suplemen tablet besi dua kali seminggu menunjukkan hasil peningkatan Hb yang tidak berbeda nyata dibandingkan
29
dengan yang diberikan tiap hari (Zavaleta et al 2000). Respon Hb terhadap suplementasi tablet besi terjadi pada saat konsumsi tablet besi ke-20 dan tidak berpengaruh setelah konsumsi tablet zat besi ke-40 (Ekstom 2001). Karena terdapat perbedaan pola suplementasi yaitu harian dan mingguan, maka pendekatan selain lama suplementasi dapat juga dilakukan berdasarkan jumlah kapsul yang diminum, harus lebih dari 20 tablet (Briawan 2008).
Tabel 5. Dosis antihelmintik yang dianjurkan oleh INACG Antihelmintik
Dosis
Albendazole
400 mg dosis tunggal
Mebendazole
500 mg dosis tunggal
Levamisole
2,5 mg/kg bb dosis tunggal
Pyrantel
10 mg/kg bb dosis tunggal
Penanganan antihelmintik dapat diberikan pada ibu hamil dan ibu menyusui. Namun aturan secara umum tidak boleh memberikan obat pada trimester pertama Bila di daerah yang endemik schistosomiasis saluran kencing, penanganan tahunan untuk anak usia sekolah yang dilaporkan terdapat darah dalam urinnya maka dianjurkan untuk diberikan : Praziquantel
40 mg/kg bb dosis tunggal
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Bogor, yang dilaksanakan pada bulan Juni 2010 - bulan Januari 2011, yang berjudul “Efektivitas Suplementasi Zat Gizi Mikro Terhadap Status Besi dan Vitamin A Pada Murid SLTP” Titik berat penelitian ini adalah pada prohepsidin dan status besi dalam darah pada murid SMP kelas VII, VIII dan IX di Kabupaten Bogor.
Disain, Lokasi dan Waktu Penelitian Disain penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan jenis penelitian terapan. Penelitian dilakukan di dua SMP di Kabupaten Bogor yaitu SMP Purnawarman di Kecamatan Rancabungur dan MTs Fathusa’adah di Kecamatan Sukaraja selama 8 bulan dari bulan Juni 2010 - bulan Januari 2011.
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah murid-murid SMP di Kabupaten Bogor, sedangkan sampel penelitian adalah remaja putri murid-murid SMP Purnawarman Kecamatan Rancabungur dan Mts Fathusa’adah kecamatan Sukaraja kelas VII, VIII dan IX usia 12-15 tahun, dengan kriteria inklusi: tidak menderita sakit infeksi menahun, tidak sedang menstruasi pada saat pengambilan darah dan bersedia ikut serta dalam kegiatan penelitian serta menandatangani surat pernyataan bersedia menjadi objek penelitian. Penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu: kelompok perlakuan yang diberi kapsul besi (ferro sulfate) Dosis 60 mg + 0,25 mg asam folat dua kali seminggu selama 12 minggu dan kelompok kontrol yang diberikan placebo.
Jumlah sampel dihitung dengan harapan kenaikan hemoglobin sebesar rata-rata 1,2 g/dl, dengan rumus sebagai berikut (Lemeshaw, 2000) : 2(Z 1-α/2 + Z 1-β )2 σ2 n = --------------------------------(μ c - μ I )2
31
2(1,96 + 1,28)2( 1, 32) n = ---------------------------------- = 24,6 (1,2)2 Keterangan : n
= Besar sampel
σ
= Simpang baku kadar hemoglobin = 1,3 (Saidin, 2009)
δ
= harapan kenaikan kadar hemoglobin 1,2g/dl.
Z 1-α/2
= nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan (untuk α = 0,05 adalah 1,96)
Z 1-β
= nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kekuatan (power) sebesar yang diinginkan (untuk β = 0,10 adalah 1.28)
μc
= mean outcome sebelum intervensi
μI
= mean outcome setelah intervensi
Jumlah sampel dihitung dengan harapan perubahan prohepsidin sebesar 13 ng/ml, dengan rumus sebagai berikut (Lemeshaw, 2000) : 2(Z 1-α/2 + Z 1-β )2 σ2 n = --------------------------------(μ c - μ I )2 2(1,96 + 1,28)2( 1, 32) n = ---------------------------------- = 20,7 (13)2 Keterangan : N
= Besar sampel
σ
= Simpang baku kadar prohepsidin = 12,9 (Young et al, 2009)
δ
= harapan kenaikan kadar prohepsidin 13 ng/ml.
Z 1-α/2
= nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan (untuk α = 0,05 adalah 1,96)
Z 1-β
= nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kekuatan (power) sebesar yang diinginkan (untuk β = 0,10 adalah 1.28)
μc
= mean outcome sebelum intervensi
μI
= mean outcome setelah intervensi
32
Berdasarkan perhitungan rumus tersebut di atas diperlukan 28 orang remaja putri per kelompok perlakuan (dengan memperhitungkan kemungkinan terjadinya drop out sekitar 10%). Kemudian diambil jumlah sampel tertinggi yaitu berdasarkan perhitungan kenaikan kadar hemoglobin.
CARA PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA Cara Pengambilan Sampel Karena penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Bogor maka cara pengambilan sampel (sampling) mengikuti pelaksanaan dalam penelitian Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor tersebut. Pemilihan SMP dilakukan secara purposive berdasarkan hasil penelitian Saidin, 2009. Terhadap semua anak kelas VII, VIII dan IX dari SMP terpilih akan dilakukan pemeriksaan kadar Hb untuk mendapatkan siswi-siswi yang menderita anemia. Penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok perlakuan (29 orang), dan kelompok kontrol (26 orang). Kemudian kepada seluruh anak diberikan obat cacing Pirantel Pamoat dosis tunggal. Selanjutnya mulai dilakukan pemberian suplemen selama 12 minggu. Kelompok perlakuan mendapat kapsul besi (ferro Sulfat) dosis 60 mg + 0,25 mg asam folat. Kelompok kontrol adalah kelompok pembanding mendapatkan plasebo.
Pemberian tablet besi pada
kelompok kontrol dilakukan setelah kegiatan penelitian selesai.
Cara Pemberian Kapsul Besi Kapsul besi yang diberikan kepada sampel penelitian berasal dari tablet tambah darah (TTD) dari program pemerintah yang mengandung 200 mg fero sulfat atau 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat yang dikapsulkan. Kapsul besi dibuat di Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor dilakukan oleh Apoteker yang sudah berpengalaman. Tablet besi program tersebut dibuat dalam bentuk kapsul dengan tujuan untuk menghindarkan bias pada saat pengumpulan data, agar antara tablet besi dan plasebo tidak dapat dibedakan oleh petugas dilapangan dan responden kecuali peneliti yang bertanggung jawab dalam membagi kelompok suplemen.
33
Kapsul besi dikirim sebanyak 25 kali (satu minggu dua kali selama tiga bulan) ke sekolah selama penelitian berlangsung dilakukan dimulai setelah pengumpulan data dasar (pada awal penelitian). Pemberian kapsul besi dilakuan di sekolah oleh petugas dari Puslitbang Gizi dan Makanan dibantu oleh guru, kecuali bagi responden yang tidak masuk sekolah, kapsul besi diantarkan ke rumah oleh guru atau responden temannya yang tempat tinggalnya berdekatan. Untuk mencegah agar tidak ada responden yang terlambat minum kapsul besi, guru atau setiap murid yang bertugas sebagai distributor kapsul besi dibekali buku catatan yang berisi daftar nama-nama responden dan jadwal waktu minum kapsul besi yang sudah ditentukan, beserta surat pernyataan yang harus ditanda tangani oleh orang tua sampel yang menyatakan bahwa orang tua benar menyaksikan anaknya memakan kapsul yang diberikan oleh sekolah. Bila ada keluhan dari responden dilaporkan kepada guru koordinator dan dicatat, kemudian dilaporkan kepada petugas dari Puslitbang Gizi dan Makanan.
Cara Pengumpulan Data Sampel yang dipilih adalah murid-murid SMP Purnawarman Kecamatan Rancabungur dan Mts Fathusa’adah Kecamatan Sukaraja kelas VII, VIII dan IX berusia 12-15 tahun. Terhadap seluruh murid terpilih dilakukan pengumpulan data identitas diri, seperti nama, umur, nama orang tua, pekerjaan dan pendidikan orang tua, besar keluarga, keadaan ekonomi keluarga; data anthropometri meliputi berat badan dan tinggi badan; status kesehatan; data konsumsi makanan; pengambilan darah untuk pemeriksaan status besi dan kadar hormon prohepsidin. Data menggunakan
identitas
responden
kuesioner.
Data
dikumpulkan berat
badan
dengan
cara
dikumpulkan
wawancara
dengan
cara
penimbangan menggunakan timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg, tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Data konsumsi makanan dikumpulkan dengan cara recall dua kali 24 jam dan diolah dengan menggunakan program nutrisof. Semua pengukuran dan wawancara dilakukan oleh tenaga terlatih dari Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor. Data kesehatan diperoleh dengan pemeriksaan secara fisik yang dilakukan oleh dokter dari Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor. Sedangkan data kadar hemoglobin,
34
kadar feritin dan kadar
prohepsidin yang merupakan prekursor bagi hormon
hepsidin dikumpulkan dengan cara pengambilan contoh darah dari responden sebanyak 2,5 ml melalui vena menggunakan vacutainer dengan ukuran jarum 23G yang dilakukan oleh tenaga analis kesehatan yang terlatih dari Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor. Kadar hemoglobin diukur dengan metode Cyanmethemoglobin dilakukan di laboratorium Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor, sedangkan kadar feritin dan kadar prohepsidin dilakukan dengan metode ELISA oleh tenaga-tenaga terlatih di laboratorium Biokimia, Departemen Biokimia IPB. Setelah tiga bulan pemberian kapsul besi berlangsung, selanjutnya dilakukan pemeriksaan evaluasi dengan mengumpulkan data BB dan TB, konsumsi makanan serta darah untuk pemeriksaan status besi dan hormon prohepsidin.
Variabel Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kadar hemoglobin awal, feritin awal, prohepsidin awal, tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, dan,
sedangkan variabel terikatnya
adalah
perubahan
kadar
hemoglobin, perubahan kadar feritin, dan perubahan kadar prohepsidin.
Pengolahan dan analisis data Manajemen data meliputi kegiatan editing, entri dan cleaning data sebelum dilakukan analisis. Editing mulai dilakukan oleh pewawancara semenjak data diperoleh dari jawaban responden. Pengolahan data diarahkan untuk menjawab tujuan penelitian dengan membuat tabulasi untuk masing-masing variabel. Analisis data dilakukan dengan univariat dan bivariat dengan menggunakan SPSS 17. Analisis univariat ditujukan untuk menjelaskan masing-masing variabel yang diteliti. Data disajikan dalam bentuk rata-rata, simpang baku dan sebaran meliputi kadar Hb, umur, jumlah suplemen (kapsul) yang dikonsumsi, asupan energi dan protein, konsumsi vitamin A, vitamin C dan zat besi. Selanjutnya data numerik yang tidak terdistribusi normal dianalisis dengan menggunakan prosedur uji statistik nonparametrik.
35
Untuk mengetahui kemungkinan variabel-variabel bebas (kadar Hb, kadar Feritin, kadar prohepsidin dan tingkat kecukupan zat gizi) yang mungkin berpengaruh terhadap variabel terikat (perubahan biomarker status besi; perubahan kadar Hb, feritin dan prohepsidin) dilakukan dengan analisis regresi linear berganda.
ANALISIS DARAH Cara Pengambilan darah Sampel darah yang digunakan untuk analisis hemoglobin adalah whole Blood sebanyak 20 µl, sedangkan sampel darah yang digunakan untuk analisis kadar feritin dan kadar hepsidin adalah berupa serum masing-masing sebanyak ± 300 µl dan ditambah untuk back up sampel serum 300 µl sehingga darah yang diambil adalah ± 2,5 ml. Pengambilan darah vena untuk memperoleh darah sebanyak 2,5 ml adalah sebagai berikut:
Alat-alat dan Bahan Alat-alat yang diperlukan untuk pengambilan darah adalah spuit 2.5 ml, jarum ukuran 23 G, alkohol swab 70%, tabung centrifugasi, tabung serum, handyplast, label nama, tourniquit, rak tabung, dan cool box.
Cara pengambilan contoh darah Pertama-tama disiapkan alat-alat dan bahan-bahan untuk keperluan pengambilan darah. Diperhatikan vena yang akan ditusuk, letaknya yang supervisial dan cukup besar, selanjutnya tourniquit dipasang pada lengan atas, jangan terlalu kencang dan tidak boleh terlalu lama. Tempat yang akan ditusuk didesinfeksi dengan alkohol 70 % kemudian vena ditusuk perlahan-lahan. Bila berhasil akan terlihat darah memasuki spuit, kemudian zuiger ditarik perlahanlahan sampai didapatkan jumlah darah yang diinginkan. Setelah itu tourniquit dilepaskan dan sepotong kapas steril yang kering ditempatkan pada tempat penusukkan tadi, lalu jarum dikeluarkan perlahan-lahan. Responden diminta untuk
36
meneruskan menekan kapas tadi selama 2-3 menit sambil lengan direntangkan kemudian bekas tusukkan tadi ditutup dengan handyplast. Jarum dilepaskan dari spuitnya lalu darah dimasukkan ke dalam botol/ tabung perlahan-lahan supaya tidak menimbulkan buih dan sebaiknya dialirkan melalui dinding tabung atau botol. Bila digunakan anticoagulant segera dikocok perlahan-lahan agar tercampur rata. Selanjutnya bekas jarum dibuang pada tempat yang sudah disediakan dan tidak boleh dicampur dengan sampah yang lain. Darah yang sudah didapat disentrifugasi dan diambil serumnya, serum dibagi menjadi tiga dan dimasukkan ke dalam tabung serum, masing-masing untuk analisis kadar feritin, kadar prohepsidin dan untuk cadangan, masing-masing tube serum diberi nama responden dan tanggal pengambilan atau kode yang sudah dibuat untuk masing-masing responden, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Apabila tidak langsung dianalisis maka harus disimpan pada suhu -20 0C atau -70 0
C stabil sampai ± 6 bulan.
Analisis hemoglobin Sampel darah yang digunakan adalah whole blood sebanyak 20 µl dari darah vena yang diambil bersamaan dengan darah vena untuk analisis kadar feritin serum dan kadar prohepsidin serum. Darah yang sudah didapat dari vena sebelum dibiarkan membeku dan dicentrifugasi untuk diambil serumnya, terlebih dahulu diambil sebanyak 20 µl untuk pemeriksaan hemoglobin, dilakukan duplo (2 analisis) agar lebih akurat. Kadar hemoglobin diukur pada panjang gelombang 546 nm menggunakan spektrofotometer HUMALYZER type 840 dilakukan di laboratorium Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor. Pereaksi kit yang digunakan untuk pemerikasaan hemoglobin adalah merek HUMAN dari German siap pakai dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin.
Prinsip reaksi Hemoglobin dengan larutan K 2 Fe(CN) 6 berubah menjadi methemoglobin kemudian menjadi hemoglobin sianida ( HbCN ) oleh KCN dengan absorbansi maksimum pada 546 nm. Pengaturan pH dilakukan dengan menambah KH 2 FO 4 ,
37
untuk mempercepat lisis eritrosit dan mengurangi kekeruhan HbCN ditambah non ionic detergent. Absorbansi warna berbanding lurus dengan konsentrasi Hb.
Alat Alat dan Bahan Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan kadar hemoglobin adalah darah vena dan pereaksi cyanmethemoglobin sedangkan alat yang dibutuhkan adalah pipet mikro 20 µl, pipet mikro 5000 µl, tabung reaksi, rak tabung dan spektrofotometer.
Prosedur Analisis Disiapkan 3 tabung reaksi seukuran 5 ml, masing-masing diberi label pereaksi blanko ( blk), Pereaksi standar ( std ) dan Pereaksi Sampel ( spl ), pada tabung blk diberi 5000 µl ( 5 cc ) Pereaksi Hb Cyanida, dan tabung std diberi 20 µl sample darah standar dan ditambah dengan 5000µl Pereaksi Hb Cyanida dicampur hingga homogen, tabung spl diberi 20 µl sample darah dan ditambah dengan 5000 µl Pereaksi Cyanida, kemudian didiamkan selama minimal 5 menit pada suhu kamar, selanjutnya diukur absorbansi std dan absorbansi spl terhadap pereaksi blanko pada panjang gelombang 546 nm
Analisis Feritin Kadar feritin dianalisis dengan menggunakan EIAgen Feritin merek ADALTIS dari Milano Italy
Cat:
LI4023 96 test, dengan metode ELISA.
Analisis feritin dibaca dengan alat Microplate reader merek BIO-RAD Model 680 Series. Dilakukan di laboratorium Biokimia, Departemen Biokimia IPB Bogor.
Prinsip Reaksi EIAgen Feritin Kit berdasarkan pada pengikatan feritin manusia dengan dua antibodi monoklonal: satu diimobilisasi pada sumur mikroplate, konjugat yang lain dengan horserasdish peroxidase (HPR). Setelah inkubasi pelepasan ikatan ditunjukkan dengan pencucian fase padat sederhana. Enzim pada fraksi ikatan bereaksi dengan substrat tetrametilbenzidin (TMB) membentuk warna biru yang berubah menjadi kuning setelah penambahan stop solution (H 2 SO 4 ). Konsentrasi
38
feritin dalam sampel dikalkulasi berdasarkan seri kalibrator. Intensitas warna proporsional dengan konsentrasi feritin dalam sampel.
Alat-alat dan Bahan Alat-alat yang diperlukan untuk anlisis kadar feritin adalah pipet mikro 20 µl, pipet mikro multichannel 100 µl, dispenser otomatis, microplate reader dengan kemampuan mengukur panjang gelombang 405, pipet tips disposible, tissue penyerap dan kertas grafik. Sedangkan bahan yang diperlukan adalah serum sampel, serum kontrol, aquadest, Microplate dengan 12 x 8 sumur yang di coated dengan antibodi monoklonal anti-feritin yang dapat dipatahkan, 6 vial kalibrator yang mengandung 0, 5, 20, 100, 400, 1000 ng/ml feritin hati manusia dengan gentamicin 0,01% sebagai pengawet, Conjugate yang mengandung antibodi monoklonal anti-feritin yang berkonjugasi dengan horseradish peroksidase (HRP), substrat yang mengandung campuran 0,25 g/l TMB (tetrametilbenzidin) dan H 2 O 2 (hidrogen peroksida), Stop Solution yang mengandung H 2 SO 4 0,3 M, Buffer pencuci 20x yang mengandung 50 ml konsentrat bufer pencuci yang mengandung bufer fosfat 50 mM pH 7,4 dan tween 201 g/l
Preparasi Pereaksi Larutan pencuci diencerkan 1:19 dengan aquadest, contoh : 25mL larutan pencuci + 475 mL aquadest. Stabil sampai tanggal kadaluarsa setelah diencerkan.
Prosedur Analisa Semua pereaksi harus berada pada suhu kamar (18-250C) sebelum digunakan, dan semua pereaksi harus dikocok perlahan sebelum digunakan jangan sampai berbusa, untuk kurva standar harus disiapkan masing-masing dua sumur, satu sumur untuk blanko dan dua sumur untuk masing-masing sampel. Pertama-tama dipipet 20 µl tiap kalibrator dan sample ke dalam masingmasing sumur yang sudah diberi nomer, lalu dipipet 100 µl konjugat ke dalam semua sumur dengan menggunakan pipet mikro multichannel. Setelah itu diinkubasi 60 menit suhu ruang (22-280C), kemudian dicuci dengan Microplate Washer atau dengan pipet mikro multichannel sebanyak 3 kali dengan isi tiap
39
sumur 300 µl. Setelah selesai buang sisa cairan dengan tisue pembersih. Selanjutnya dipipet 100 µl substrat ke dalam tiap sumur lalu diinkubasi kembali selama 10 menit pada suhu ruang (22-280C) pada tempat gelap. Terakhir dipipet 100 ul Stop Solution ke dalam tiap sumur, goyang 5 detik dan dibaca plate dengan Microplate Reader pada 450nm.
Analisis Prohepsidin Pereaksi yang digunakan untuk analisis prohepsidin adalah pereaksi DRG® Hepcidin Prohormone ELISA (EIA-4644) dari Amerika Serikat untuk penentuan kadar prohepsidin dalam serum dan urin
manusia. Metode yang
digunakan adalah metode ELISA. Analisis Prohepsidin dibaca dengan alat Microplate reader merek BIO-RAD Model 680 Series. Dilakukan di laboratorium Biokimia, Departemen Biokimia IPB Bogor.
Prinsip Analisis DRG
Hepcidin
Prohormone
ELISA
Kit
adalah
enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) fase padat, berdasarkan pada prinsip pengikatan kompetitif. Sumur-sumur mikrotiter dilapisi dengan antibodi poliklonal langsung pada sisi antigenik molekul prohepsidin. Prohepsidin endogenus dari sampel pasien bersaing dengan konjugat biotin prohormon hepsidin untuk berikatan pada antibodi yang dilapisi pada sumur-sumur microplate. Setelah inkubasi konjugat yang tidak terikat dicuci. Jumlah yang terikat dengan konjugat biotin adalah berbanding terbalik dengan konsentrasi prohepsidin dalam sampel. Setelah penambahan larutan substrat intensitas warna yang terbentuk berbanding terbalik dengan konsentrasi prohepsidin dalam sampel
Alat-alat dan bahan Alat-alat yang digunakan dalam analisis ini adalah: 1. pipet mikro 50 µl, 2. pipet mikro multichannel 100 µl, 3. dispenser otomatis, 4. microplate reader dengan kemampuan mengukur panjang gelombang 405, 5. pipet tips disposible, 6. tissue penyerap dan 7. kertas grafik. Sedangkan bahan yang digunakan adalah: 1. serum sampel, 2. serum kontrol, 3. Microtiterwells, 12x8 (dapat dipatahkan) strips
40
96 sumur yang sudah dilapisi dengan antibodi poliklonal anti prohepsidin, 4. Standard (Standard 0-6) 7 vial (lyophilized), 1 mL; konsentrasi: 10, 50, 100, 250, 500, 1000 ng/mL peptida hepsidin sintetik yang mengandung < 0.02% methylisothiazolone dan < 0.02% bromonitrodioxane sebagai pengawet, 5. kontrol, 1 vial (lyophilized) 1 mL dengan nilai kontrol dan rentangnya sesuai dengan yang tertera di label vial, 6. Assay Buffer 1 vial 14 mL, siap pakai, mengandung < 0.02% methylisothiazolone dan < 0.02% bromonitrodioxane sebagai pengawet, 7. Biotin Conjugate (fragment prohepsidin berkonjugasi dengan biotin, 1 vial 14 mL yang megandung < 0.02% methylisothiazolone dan < 0.02% bromonitrodioxane sebagai pengawet; siap pakai, 8. Enzyme Complex horseradish peroksidase 1 vial 14mL mengandung < 0.02% methylisothiazolone dan < 0.02% bromonitrodioxane sebagai pengawet, 9. Substrate Solution Tetramethylbenzidine (TMB) 1 vial mengandung 0.5M H 2 SO 4
14 mL siap pakai, 10.
Stop Solution
1 vial 14 mL siap pakai, 11. Wash Solution
(konsentrat 40 X) 1 vial 30 mL, 12. Aquades.
Preparasi Pereaksi Diencerkan 30 mL konsentrat Wash Solution dengan 1170 mL aquades, stabil selama dua minggu pada suhu kamar.
Prosedur analisis Setiap kali menjalankan analisis harus termasuk satu seri kalibrasi. Pertama-tama harus dipastikan semua sumur mikrotiter berada pada mikrotiter holder sesuai nomornya. Dipipet 100 μl Assay Buffer ke dalam masing-masing sumur lalu dipipet 50 μl masing-masing standar, kontrol dan sampel dengan tips sekali pakai baru ke dalam tiap sumur yang sudah dinomori dan untuk masingmasing sampel harus dibuat duplo. Selanjutnya dipipet 100 μl konjugat biotin ke dalam masing-masing sumur, lalu dikocok selama 10 detik, ini penting agar tercampur homogen. Setelah itu diinkubasi selama 120 menit pada suhu kamar (tanpa menutup plate), kemudian isi sumur dibuang dengan cepat dan sumur dibilas 5 kali dengan Wash Solution (400 μl per sumur). Sumur dihentakkan dengan keras ke tissue penyerap untuk membuang sisa-sisa residu. (sensitivitas
41
dan ketepatan pengukuran dipengaruhi kebersihan pada saat pencucian). Selanjutnnya ditambahkan 100 μl Enzyme Complex ke masing-masing sumur, lalu diinkubasi lagi selama 60 menit pada suhu ruang. Isi sumur selanjutnya dibuang dengan cepat dan dibilas 5 kali dengan Wash Solution (400 μl per sumur). Kemudian sumur dihentakkan dengan keras ke tissue penyerap untuk membuang sisa-sisa residu, lalu ditambahkan 100 μl Substrate Solution pada masing-masing sumur. Diinkubasi kembali selama 30 menit pada suhu ruang. Reaksi enzimatik distop dengan menambahakan 100 μl Stop Solution pada masing-masing sumur dan terakhir dibaca pada panjang gelombang 450 ± 10 nm dengan mikrotiter plate reader dalam waktu 10 menit setelah penambahan Stop Solution. Hasil pembacaan dihitung berdasarkan kurva standar (kalibrator).
Analisis C-Reactive Protein (CRP) CRP adalah suatu protein fase akut yang terdapat di dalam serum manusia sebagai respon terhadap berbagai kondisi imflamasi dan nekrosis jaringan dan menghilang seiring dengan kondisi kesembuhan. CRP biasanya ditemukan pada kasus infeksi bakteri, rheumatoid fever aktif dan beberapa neoplasma yang menular dan sering berhubungan dengan kasus rheumatoid arthritis, infeksi virus, dan tuberkulosis. Pereaksi yang digunakan untuk analisis CRP ini adalah CRP Latex Test yang diproduksi oleh Antec Diagnostic dari United Kingdom untuk analisis kulitatif dan semi kuantitatif CRP dalam serum manusia.
Prinsip Analisis Pembacaan ditunjukkan dengan menguji suspensi partikel lateks yang di lapis dengan antibodi CRP manusia terhadap serum yang tidak dikenal. Adanya aglutinasi yang tampak mengindikasikan suatu peningkatan kadar CRP yang bermakna secara klinis yang menunjukkan kemungkinan adanya infeksi atau peradangan.
42
Alat-alat dan bahan Alat-alat yang digunakan dalam analisis ini adalah: pipet mikro 40 µl, 50 µl dan 100 µl, slide test, batang pengaduk (stirer pipet), tabung kecil, larutan salina, rotator dan timer. Bahan - bahan yang dibutuhkan dalam analisis CPR adalah: serum sampel yang jernih, kontrol serum positif dengan konsentrasi ˃ 15 mg/l, kontrol serum negatif mengandung˂
0,1% azide, buffer konsentrat
glisin (sebelum digunakan harus diencerkan 10 kali) pH antara 8,0 – 8,2.
Prosedur Analisis Metode Kualitatif Semua pereaksi harus dipastikan mencapai suhu kamar, kemudian kocok perlahan pereaksi latex untuk membuyarkan partikel latex yang menumpuk agar tidak mengendap. Diambil 40 µl pereaksi latex dengan menggunakan pipet mikro, dan letakkan pada tiap lingkaran pada slide test. Dengan menggunakan stirer pipet tambahkan satu tetes serum ke satu lingkaran pada slide test yang sudah ada pereaksi latexnya, kemudian campur dengan menggunakan stirer dan ratakan di seluruh lingkaran.
Slide test dimiringkan sambil digoyang ke depan dan ke
belakang perlahan-lahan selama sekitar dua menit, lalu interpretasikan hasil gumpalannya (aglutinasinya) kemudian dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif.
Catatan: Mereaksikan serum dengan latex jangan lebih dari dua menit karena dapat menyebabkan hasil yang salah (positif palsu). Terakhir hasil dicatat dan slide test dicuci dengan aquadest dan dikeringkan untuk dipakai kembali. Adanya aglutinasi mengindikasikan bahwa kadar CRP sampel sama dengan ˃ 6 mg/l (Regen Kit CRP Antec Diagnostic, 2010)
43
Tabel 6. Seri pengenceran CRP Pengenceran Serum sampel Saline
1/2 100 µl 100 µl
1/4
1/8
1/16
100 µl
100 µl
100 µl
100 µll Volume sample 6 x titer Mg/ml
50 µl 6x2 12
50 µl 6x4 24
100 µl 50 µl 6x8 48
100 µl 50 µl 6 x 16 96
Metode Semi-kuantitatif Semi-kuantitatif test dapat dilakukan seperti cara kualitatif dengan menggunakan seri pengenceran serum dalam larutan salina, bufer fosfat, atau saline glycin dengan cara seperti pada Tabel 6. Titer CRP diperlihatkan dengan adanya aglutinasi pada pengenceran tertinggi. Misalnya jika terjadi aglutinasi pada pengenceran ke 3, titernya adalah 8 berhubungan dengan konsentrasi 48 mg/l.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah siswi-siswi dari dua Sekolah Menengah Pertama terpilih yaitu SMP Purnawarman di Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor dan MTs Fathusa’adah di Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor, kelas VII, VIII dan IX. Sampel yang diikutkan dalam penelitian ini berjumlah 55 orang, terdiri dari kelompok perlakuan 29 orang dan kelompok kontrol 27 orang. Tetapi satu orang dari kelompok kontrol drop out karena berhenti sekolah sehingga pada kelompok kontrol menjadi 26 orang, tetapi hal ini tidak menjadi masalah karena masih memenuhi persyaratan batas minimal sampel yaitu 25 orang.
Tabel 7. Gambaran umum sampel
Rata-rata Umur ± SD Sudah menstruasi Belum menstruasi Lama menstruasi a
Kelompok Perlakuan (n=29) 13.67 ± 0.81 a 79.3% 20.7% 5.96 ± 0.92 hari
Kelompok Kontrol (n=26) 13.62 ± 1.13 a 76.9% 23.1% 6.15 ± 1.18 hari
P 0.735
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)
Umur siswi-siswi yang menjadi sampel dalam penelitian ini antara 12-15 tahun. Rataan umur responden pada kedua kelompok hampir sama masing-masing sebesar 13.67 ± 0.81 tahun untuk kelompok perlakuan dan 13.62 ± 1.13 tahun untuk kelompok kontrol (Tabel 7). Secara statistik rataan umur pada kedua kelompok tidak berbeda nyata (P > 0.05), 20.7% responden pada kelompok perlakuan dan 23.1% responden pada kelompok kontrol belum mendapatkan menstruasi (Tabel 7). Responden yang sudah mendapatkan menstruasi semuanya menyatakan menstruasinya teratur dengan lama menstruasi rata-rata 5.96 ± 0.92 hari untuk kelompok perlakuan dan 6.15 ± 1.18 hari untuk kelompok kontrol. Perbedaan lama menstruasi ini secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0.05).
45
Berdasarkan status antropometri, rata-rata indeks massa tubuh (IMT) pada kelompok perlakuan 17.86 ± 2.26 dan 18.29 ± 2.74 pada kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan 38% responden termasuk sangat kurus dan 21% termasuk kurus. Pada kelompok kontrol 35% termasuk sangat kurus dan 23% termasuk kurus, sisanya termasuk katagori normal,
masing-masing pada kelompok
perlakuan dan kontrol 41% dan 42% (Gambar 11).
Tabel 8. Gambaran Rata-rata Indeks Massa Tubuh
maksimum
Kelompok Perlakuan (n=29) 17.86 ± 2.26a 13.10
Kelompok Kontrol (n=26) 18.29 ± 2.74a 12.20
minimum
22.10
24.30
IMT± SD
a
P 0.980
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)
IMT Kelompok Perlakuan sangat kurus
kurus
41%
38%
normal
21%
IMT Kelompok kontrol sangat kurus
kurus
42%
35%
normal
23%
Gambar 11. Klasifikasi indeks massa tubuh (IMT)
Pada studi cross sectional, status IMT dapat menjadi faktor resiko kejadian anemia. Hasil analisis data SKRT (2001) menunjukkan determinan anemia remaja diantaranya adalah status gizi, bagi yang berstatus gizi kurus mempunyai kemungkinan terkena anemia sebesar 1.5 kali dibandingkan dengan yang normal (Permaesih dan Herman, 2005), sedangkan hasil analisis data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
yang dilakukan oleh Nead et al.
(2004) menunjukkan bahwa pada kelompok anak dan remaja yang kegemukan beresiko terkena defisiensi zat besi lebih besar dibandingkan yang normal.
46
Kondisi kesehatan responden diperiksa oleh dokter dari Puskesmas di kecamatan tersebut untuk mengetahui riwayat penyakit dan kondisi kesehatan yang diperkirakan akan mempengaruhi indikator biokimia. Semua siswi baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol semuanya dalam keadaan sehat tidak menderita penyakit infeksi/kronis, sehingga kemungkinan anemia tidak diakibatkan oleh penyakit infeksi/kronis, namun untuk mencegah adanya pengaruh penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit (cacingan) yang dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap hasil intervensi kapsul besi maka semua siswi yang menjadi sampel dalam penelitian ini diberi obat cacing pirantel pamoat dosis tunggal (250 mg) tiga hari sebelum intervensi kapsul besi dilaksanakan. Latar belakang keluarga responden berdasarkan rata-rata umur orang tua yang ikut serta dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Rata-rata umur ayah dari kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 45.66 ± 7.07 tahun dan 44.12 ± 6.34 tahun dan ibu masing-masing 40.83 ± 6.89 tahun dan 39.46 ± 5.95 tahun. Rata-rata usia tersebut adalah termasuk usia produktif.
Tabel 9. Rata-rata Umur Orang Tua Kelompok Perlakuan (n=29) umur ayah umur ibu a
a
45.66 ±7.07 40.83±6.89 a
Kelompok Kontrol (n=26) a
44.12±6.34 39.46±5.95 a
P 0.543 0.494
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)
Berdasarkan pekerjaan, dapat dilihat pada Gambar 12 sebagian besar kepala keluarga bekerja sebagai buruh, 37.93% pada kelompok perlakuan dan 30.77% pada kelompok kontrol. Pekerjaan kepala keluarga yang lain adalah pegawai swasta, masing-masing 20.69% dan 15.38% untuk kelompok perlakuan dan kontrol, sedangkan pedagang seperti pedagang keliling, pedagang asongan, pedagang kaki lima, petani dan supir sebesar 28.13% dan 23.68%, serta pekerjaan lainnya masing-masing sebesar 10.34% dan 26.92% dan masih terdapat kepala keluarga yang tidak bekerja masing-maing 3.45% dan 3.25% untuk kelompok kontrol dan perlakuan. Sebagian besar ibu tidak bekerja atau hanya sebagai ibu
47
rumah tangga saja, 79.31% untuk kelompok perlakuan dan 84.62% untuk kelompok kontrol. Sebaran responden menurut latar belakang pekerjaan orang tua antara kedua kelompok tidak berbeda nyata (P > 0.05). Dilihat dari jenis pekerjaan orang tua responden tersebut, diduga sebagian besar responden berasal dari kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah. Pola konsumsi dan keadaan ekonomi akan berdampak pada ketidakmampuan keluarga menyediakan makanan sumber zat besi. Hal ini juga berpengaruh pada tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat besi (Wirakusumah, 1999).
Gambar 12. Pekerjaan orang tua
Latar belakang pendidikan orang tua responden dapat dilihat pada Gambar 13 tingkat pendidikan formal ayah dan ibu pada kelompok perlakuan dan kontrol relatif rendah, masing-masing 55.17% dan 65.39% ayah, 68.97% dan 73.08% ibu hanya berpendidikan formal sampai SD. Masing-masing hanya 13.79% dan 3.38% ayah, 3.45% dan 3.85% ibu yang dapat menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SLTA. Sebaran responden menurut latar belakang pendidikan orang tua
48
antara kedua kelompok tidak berbeda nyata (P > 0.05). Rendahnya tingkat pendidikan orang tua ini dapat mempengaruhi sikap dan pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan.
Gambar 13. Persentase pendidikan orang tua
Kepatuhan Minum Kapsul Kapsul zat besi diberikan kepada responden sebanyak dua kali seminggu setiap hari selasa dan jum’at selama 12 minggu. Selama penelitian ini berlangsung, responden mendapatkan 25 kapsul zat besi. Kapsul yang diberikan diusahakan diminum disekolah di hadapan petugas peneliti dan guru yang membantu dalam penelitian ini. Bagi sampel penelitian yang tidak masuk pada saat pemberian kapsul, maka kapsul tersebut diberikan besok harinya oleh guru di sekolah dan harus diminum di hadapan guru yang bertugas membagikan kapsul, tetapi apabila responden tetap tidak masuk sekolah maka kapsul diantar oleh guru ke rumah responden dan harus diminum di hadapan guru dan orang tua. Karena penelitian ini melewati masa bulan puasa, maka pada saat puasa kapsul diizinkan dibawa pulang oleh responden untuk diminum pada saat berbuka puasa dihadapan
49
orang tua. Setiap responden dibekali surat pernyataan yang harus ditanda tangani oleh orang tua responden yang menyatakan bahwa orang tua responden benarbenar telah menyaksikan anaknya meminum kapsul yang diberikan oleh sekolah. Sebelum bulan puasa peneliti dibantu oleh pihak sekolah telah mengundang orang tua responden penelitian untuk mendapatkan penjelasan mengenai keharusan orang tua untuk ikut serta dalam memantau anaknya meminum kapsul zat besi selama bulan puasa. Jumlah kapsul yang diminum oleh sampel selama bulan puasa dihitung berdasarkan jumlah surat pernyataan dari orang tua yang dikembalikan ke peneliti. Bagi responden yang tidak mengembalikan surat penyataan tersebut dianggap tidak meminum kapsul yang diberikan. Rata-rata tingkat kepatuhan minum kapsul antara kedua kelompok dapat dilihat dapat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rata-rata jumlah kapsul yang diminum dan persentase kepatuhan
Rata-rata ± SD % Kepatuhan a
Kelompok Perlakuan (n=29) 24.31 ± 1.31 a 97.24 a
Kelompok Kontrol (n=26) 24.23 ± 1.79 a 96.92 a
P 0.641 0.641
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney)
Kapsul yang dikonsumsi oleh responden penelitian berkisar antara 24-25 kapsul yaitu 24.31 ± 1.31 butir kapsul untuk kelompok perlakuan dan 24.23 ± 1.79 butir kapsul untuk kelompok kontrol. .Kategori kepatuhan minum kapsul ditetapkan sebesar 80% (20 butir kapsul). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Ekstrom (2001), efektifitas suplementasi tablet besi dimulai sejak konsumsi tablet ke 20 dan tidak berpengaruh setelah tablet ke 40. Kepatuhan minum kapsul ini sangat penting dalam penelitian intervensi. Tingkat kepatuhan yang rendah menyebabkan efikasi yang tidak berbeda antara kelompok kontrol dan perlakuan ( Soekarjo et al 2004). Pada penelitian ini, tingkat kepatuhan tinggi yaitu masing-masing sebesar 97.24% dan 96.92% untuk kelompok perlakuan dan kontrol, sehingga tidak menjadi pengganggu di dalam hasil analisis data biomarker status besi. Kepatuhan yang tinggi ini bisa dicapai karena setiap responden harus meminum kapsulnya di
50
hadapan petugas dan apabila ada yang muntah maka segera diganti dengan kapsul yang baru, dan betul-betul dipastikan bahwa kapsul benar-benar ditelan dengan baik. Sebagian besar sampel (75%) pada kelompok perlakuan termasuk kelompok kontrol yang hanya mendapatkan plasebo menyatakan selama minum kapsul mereka merasa lebih segar dan tidak cepat lelah,
dan sebagian kecil
sisanya menyatakan tidak merasakan dampak apa-apa dari pemberian kapsul.
Tabel 11. Persentase keluhan selama minum kapsul zat besi
Tidak ada keluhan Sakit kepala/pusing Mual/Muntah
Kelompok Perlakuan (n=29) Jumlah yang Persentase mengeluh 26 89.7 2 6.9 1 3.4
Kelompok Kontrol (n=26) Jumlah yang Persentase mengeluh 26 100 0 0 0 0
Selama pemberian kapsul zat besi hanya sedikit (6.9%) pada kelompok perlakuan yang mengeluh pusing dan 3.4% yang mengeluh mual pada minggu ke 2-3 pemberian kapsul, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kapsul zat besi sebanyak dua kapsul per minggu selama 12 minggu tidak memberikan efek samping yang bermakna.
Gambaran Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Gizi Data Konsumsi pangan dikumpulkan dengan metode recall 2 kali 24 jam, sebelum dan setelah intervensi yang dibandingkan dengan angka kecukupan menurut kelompok umur tertentu yang dianjurkan untuk mempertahankan kesehatan yang baik (Depkes, 2004). Meskipun metode recall ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya karena didasarkan pada ingatan seseorang dan tergantung pula pada keterampilan pewawancara, dan berdasarkan penelitian metode recall 24 jam ini cenderung lebih rendah (under estimate) sekitar 30% dibandingkan dengan metode pencatatan (Sa’diyyah dan Briawan 1999), data gambaran tingkat konsumsi energi, protein, vitamin dan mineral ini
dapat
digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kerawanan gizi, termasuk pada
51
remaja putri yang sedang dalam pertumbuhan yang pesat. Besarnya rata-rata konsumsi energi, protein, vitamin dan mineral dapat dilihat pada Tabel 12, 13, 14, 15 dan16.
Gambaran asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein Gambaran rata-rata asupan energi dan protein sampel dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13. Pada awal penelitian perkiraan rata-rata asupan energi pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 1469.62 ± 372.94 kkal dan 1442.12 ± 454.37 kkal. Bila dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan maka asupan energi pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing hanya memenuhi 64.99% ± 16.57% AKG dan 65.46% ± 23.47% AKG. Dilihat dari persentase rata-rata kecukupan energi pada kedua kelompok di atas termasuk mengalami defisit energi tingkat berat (<70% AKG), dan secara statistik dengan uji Mann Whitney tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kelompok (P > 0.05).
Tabel 12. Rata-rata tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah intervensi Asupan (kkal) dan tingkat kecukupan energi (%)
Sebelum Asupan ± SD AKG ± SD Sesudah Asupan ± SD AKG ± SD a 1
Kelompok Perlakuan (n=29)
Kelompok Kontrol (n=26)
P
1469.62 ± 371,94 a 64.99 ± 16.57 a
1442.12 ± 454.37 a 65.46 ± 23.47 a
0.625 0.787
1408.55 ± 271.50 a 62.43 ± 13.15 a
1490.35 ± 433.66 a 67.50 ± 22.13 a
0.781 0.611
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney) Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)
Pada akhir penelitian rata-rata asupan energi pada kelompok perlakuan terjadi penurunan menjadi 1408.55 ± 271.50 kkal atau 62.43% ± 13.15% AKG, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan menjadi 1490.35 ± 433.66 kkal atau 67.50% ± 22.13% AKG,
tetapi secara statistik perubahan asupan
energi pada kedua kelompok tersebut tidak berbeda nyata (P > 0,05).
52
Diawal penelitian rata-rata asupan protein pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing sebesar 37.15 ± 14.60 gram dan 45.75 ± 18.06 gram. Bila dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan maka jumlah tersebut hanya memenuhi masing-masing 67.50% ± 26.27% AKG dan 85.50% ± 36.70% AKG. Tingkat kecukupan protein pada kelompok perlakuan termasuk defisit protein tingkat berat (<70% AKG) sedangkan pada kelompok kontrol termasuk defisit ringan (85%-95% AKG). Perkiraan konsumsi energi di atas diduga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Resting Metabolic Rate (berdasarkan rumus dari Schofield 1995, BMR untuk remaja putri usia 10-18 tahun = 8.4[BB dalam kg]+4.7[TB dalam cm]+200) sekitar 1108–1327 kkal. Apabila keadaan ini terus berlangsung kondisi pertumbuhan tubuh semakin buruk karena kebutuhan energi untuk keperluan berbagai aktivitas metabolisme tubuh tidak terpenuhi, akibatnya tubuh akan mengambil zat gizi lain terutama protein yang disimpan dalam tubuh untuk dimobilisasi menjadi energi. Tabel 13. Rata-rata tingkat kecukupan asupan protein sebelum dan sesudah intervensi Asupan (g) dan tingkat kecukupan protein (%)
Sebelum Asupan ± SD AKG ± SD Sesudah Asupan ± SD AKG ± SD a, b 1
Kelompok Perlakuan (n=29)
Kelompok Kontrol (n=26)
P
37.15 ± 14.60 a 67.50 ± 26.27 a
45.75 ± 18.06 a 85.49 ± 36.70 b
0.056 0.053
40.21 ± 16.04 a, 1 73.04 ± 28.07 a
44.23 ± 18.16 a 82.50 ± 36.38 a
0.453 0.381
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney) Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)
Rata-rata
asupan protein pada kelompok perlakuan diakhir penelitian
tidak mengalami perubahan yang bermakna (P > 0.05) yaitu menjadi 40.21 ± 16.04 gram atau 73.04% ± 28.07% AKG, begitu pula pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan rata-tara asupan protein secara bermakna
53
(P > 0.05) menjadi 44.23 ± 18.16 gram atau 82.50% ± 36.38% AKG. Rata-rata angka kecukupan protein pada akhir penelitian tersebut tergolong defisit sedang (70% - 85% AKG). Apabila kondisis ini berlangsung terus maka pertumbuhan remaja akan terhambat, karena protein yang fungsi utamanya adalah untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh dengan asupan energi yang rendah maka protein akan dipecah menjadi energi untuk menutupi kekurangan energi tubuh, akibatnya fungsi utamanya tidak dapat dilaksanakan dan merugikan pertumbuhan fisik remaja. Dengan rata-rata asupan energi yang sangat rendah dan asupan protein yang juga cukup rendah, hal yang kira-kira dapat menjelaskan mengapa mereka dapat bertahan melakukan kegiatan sehari-hari adalah karena adanya mekanisme homeostasis yang bekerja pada sistem tubuh manusia (Dasqupta & Ray 1986), Tubuh manusia tidak mengambil energi secara langsung dari makanan. Sebagai contoh, glukosa dikonversi menjadi ATP, yang kemudian dipecah untuk mensuplai kebutuhan energi tubuh. Dalam proses pembentukan ATP sejumlah besar fraksi energi dihamburkan sebagai panas. Fraksi energi ini paling tidak sebesar 45-50%, tetapi pada beberapa individu lebih tinggi. Sukhatme dan Margen (1982) berpendapat bahwa asupan energi individual yang tinggi relatif tidak efisien dalam konversi ini. Sebagai contoh, mereka yang biasa mengkonsmsi energi 1900 kkal per hari akan mempunyai efisiensi sebesar 50%, sedangkan mereka yang biasa mengkonsumsi energi sebesar 3200 kkal per hari akan mempunyai efisiensi sebesar 30%.
Gambaran asupan dan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C Gambaran perkiraan rata-rata asupan vitamin A pada kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 14. Pada awal penelitian sebelum intervensi dilakukan perkiraan rata-rata asupan vitamin A pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 301.69 ± 214.37 RE atau 50.28 % ± 35.73% AKG dan 384.46 ± 234.97 RE atau 64.08 ± 39.16 AKG. Pada akhir penelitian setelah intervensi selesai dilakukan rata-rata asupan vitamin A baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol tidak menunjukkan ada perubahan yang nyata (P>0.05) yaitu menjadi 301.34 ± 165.76 RE atau 50.22% ± 27.63% AKG
54
dan 372.62 ± 188.95 RE atau 62.10% ± 31.49% AKG. Dengan uji Mann Whitney perkiraan rata-rata asupan vitamin A pada awal penelitian pada kedua kelompok tidak berbeda nyata (P >0.05). Berdasarkan data sebelum dan sesudah intervensi, rata-rata tingkat kecukupan vitamin A tergolong defisit berat (< 70% AKG). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi kebutuhan vitamin A yang dianjurkan oleh Depkes (2004) untuk orang Indonesia usia 10-15 tahun adalah 600 RE. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan besi di dalam tubuh untuk dapat mensintesa hemoglobin. Beberapa hasil studi cross sectional menunjukkan bahwa peningkatan asupan vitamin A dapat mendorong ke arah peningkatan status besi. Beberapa penelitian membuktikan bahwa vitamin A mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kadar hemoglobin (Suharno 1993; Bloem 1995) karena untuk keperluan sintesis Hb membutuhkan vitamin A, B2, B6, B12 dan asam folat (Lavental 2005). . Dengan asupan vitamin A yang rendah dapat menghambat absorpsi besi dan menurunkan bioavailabilitas zat besi, sehingga berpengaruh terhadap status besi seseorang.
Tabel 14. Rata-rata tingkat kecukupan asupan vitamin A sebelum dan sesudah intervensi Asupan (RE) dan tingkat kecukupan vitamin A (%)
Sebelum Asupan ± SD AKG ± SD Sesudah Asupan ± SD AKG ± SD a 1
Kelompok Perlakuan (n=29)
Kelompok Kontrol (n=26)
P
301.69 ± 214.37 a 50.28 ± 35.73 a
384.46 ± 234.97 a 64.07±39.16 a
0.175 0.175
301.34 ± 165.76 a 50.22 ± 27.63 a
372.62 ± 188.95 a 62.10 ± 31.49 a
0.169 0.169
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney) Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)
Pembentukan hemoglobin dipengaruhi oleh vitamin A, karena vitamin A berperan dalam pembentukan eritrosit, sehingga dapat berinteraksi dengan zat
55
besi ( Almatsier 2003 ). Hubungan vitamin A dengan peningkatan Hb sangat penting, karena zat besi dan vitamin A pada sebagian makanan sangat baik untuk memelihara kesehatan jaringan epitel termasuk endotelium pada pembuluh darah. Kedua zat gizi tersebut membantu mencegah kerusakan pembuluh darah dan dikatakan oleh beberapa ahli bahwa vitamin A dan zat besi secara signifikan membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Kadar vitamin A yang rendah membuat tubuh rentan terhadap serangan infeksi ( virus, bakteri maupun mikroorganisme berbahaya). Selain itu kekurangan vitamin A juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit autonium. Secara sinergis besi dan vitamin A dapat melindungi sel darah putih dari kerusakan akibat serangan radikal bebas (Goetz 1986; Hartman & Shankel 1990). Vitamin A dan β - karoten dapat membentuk suatu kompleks dengan besi untuk membuatnya tetap larut dalam lumen usus dan mencegah efek penghambat dari fitat dan polifenol pada absorpsi besi ( Carcia-Casal et.al 1998 ).
Tabel 15. Rata-rata tingkat kecukupan asupan vitamin C sebelum dan sesudah intervensi Asupan (mg) dan tingkat kecukupan vitamin C (%)
Sebelum Asupan ± SD AKG ± SD Sesudah Asupan ± SD AKG ± SD a 1
Kelompok Perlakuan (n=29)
Kelompok Kontrol (n=26)
P
29.10 ± 33.37 a 48.27 ± 59.20 a
26.88 ± 26.57 a 47.48± 52.06 a
0.698 0.613
24.24 ± 31.21 a 41.00 ± 56.81 a
26.15 ± 26.89 a 46.61 ± 52.57 a
0.324 0.307
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney) Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)
Rata-rata asupan vitamin C pada kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 15. Pada awal penelitian rata-rata asupan vitamin C pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 29.10 ± 33.37 mg atau 48.28% ± 59.20% AKG dan 26.88 ± 26.57 mg atau 47.48% ± 52.06% AKG. Pada akhir penelitian rata-rata asupan vitamin C baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok
56
kontrol mengalami penurunan menjadi 24.24 ± 31.21 mg atau 41.00% ± 56.81% AKG dan 26.15 ± 26.89 mg atau 46.61% ± 52.57% AKG, tetapi secara statistik penurunan tersebut tidak bermakna (P > 0,05). Berdasarkan rata-rata tingkat kecukupan vitamin C tersebut di atas tergolong defisit berat (<70% AKG). Vitamin C mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyerapan besi terutama dari besi non hem yang banyak ditemukan dalam makanan nabati. Bahan makanan yang mengandung besi hem yang mampu diserap sebanyak 37% sedangkan bahan makanan golongan besi nonhem hanya 5% yang dapat diserap oleh tubuh. Penyerapan besi non hem dapat ditingkatkan dengan kehadiran zat pendorong penyerapan seperti vitamin C dan faktor-faktor pendorong lain seperti daging, ayam, ikan (Berdanier 1998). Vitamin C bertindak sebagai enhancer yang kuat dalam mereduksi ion ferri menjadi ion ferro, sehingga mudah diserap dalam pH lebih tinggi dalam duodenum dan usus halus (Hallberg, 1989). Vitamin C menghambat
pembentukan
hemosiderin
yang
sukar
dimobilisasi
untuk
membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nonhem meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C juga berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin (Almatsier 2003). Hasil penelitian Saidin dan Sukati (1997) tentang pemberian tablet besi dengan penambahan vitamin C terhadap perubahan kadar Hb dan feritin serum membuktikan bahwa pemberian tablet
besi dan vitamin C 150 mg, dapat
meningkatkan kadar hemoglobin yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan tablet besi saja dan yang diberikan tablet besi dan vitamin A. Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat memperbesar penyerapan besi sebesar 2, 3, 4, dan 5 kali (Wirakusumah 1999).
Gambaran asupan dan tingkat kecukupan Zat Besi Rata-rata asupan zat besi pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 16. Sebelum dilakukan intervensi, rata-rata asupan zat besi pada kedua kelompok sangat rendah yaitu pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 6.51 ± 9.78 mg atau 19.56% ± 8.74% AKG dan 6.19 ± 5.28 mg atau 27.39% ± 26.29% AKG. Secara statistik perbedaan asupam zat besi pada kedua kelompok tersebut tidak berbeda nyata (P > 0.05).
57
Tabel 16. Rata-rata tingkat kecukupan asupan zat besi sebelum dan sesudah intervensi Asupan (mg) dan tingkat kecukupan zat besi (%)
Sebelum Asupan± SD AKG ± SD Sesudah Asupan± SD AKG ± SD a,b 1
Kelompok Perlakuan (n=29)
Kelompok Kontrol (n=26)
P
6.51 ± 9.78 a 19.56 ± 8.74 a
6.19 ± 5.28 a 27.39 ± 26.29 a
0.489 0.474
20.99 ± 2.47 a, 1 87.01 ± 12.07 a
6.59 ± 5.59b 29.09 ± 27.04b
0.000 0.000
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney) Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)
Melihat rata-rata asupan zat besi sampel di awal penelitian di atas yang sangat rendah, sulit untuk dapat memenuhi AKG yang dianjurkan bila hanya mengandalkan dari makanan sehari-hari, oleh karena itu perlu diberikan tambahan zat besi dari suplemen seperti kapsul zat besi. Pada penelitian ini dengan melakukan intervensi kapsul zat besi dua kali seminggu selama 12 minggu, pada akhir penelitian pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan yang bermakna (P<0.05) menjadi 20.99 ± 2.47 mg atau 87.01% ± 12.07% AKG hal ini disebabkan karena pada kelompok perlakuan mendapatkan tambahan asupan zat besi dari kapsul zat besi yang diberikan rata-rata sebesar 67.41% ± 8.47% AKG. Sedangkan pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan plasebo mengalami sedikit peningkatan menjadi 29.08% ± 27.04% AKG, tetapi secara statistik perubahan tersebut tidak berbeda nyata (P > 0.05). Perempuan dengan konsumsi zat besi yang kurang atau mereka dengan kehilangan besi yang tinggi, akan mengalami anemia gizi besi. AKG besi untuk remaja dan dewasa muda perempuan 19-26 mg setiap hari lebih tinggi dari yang dibutuhkan remaja laki-laki yaitu 13-23 mg per hari, hal ini disebabkan karena selain karena pertumbuhan yang cepat, remaja wanita juga harus mengganti sejumlah zat besi yang hilang pada menstruasi.
58
Zat besi yang terdapat dalam semua sel tubuh berperan penting dalam berbagai reaksi biokimia, terutama diperlukan untuk pembentukan hem dan hemoglobin yang berfungsi. untuk mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Oksigen penting dalam proses pembentukan energi agar produktivitas kerja meningkat dan tubuh tidak cepat lelah. Ketika tubuh kekurangan zat besi maka produksi hemoglobin akan menurun. Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap. Awalnya, terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi yang disebut dengan iron depleted state. Jika keadaan ini berlangsung terus dan tidak dipenuhi dengan masukan zat besi yang cukup maka proses erititropoeisis akan terganggu tetapi secara klinis anemia belum terjadi, lama-kelamaan timbul gejala anemia disertai penurunan Hb yang disebut anemia deficiency besi.
Gambaran asupan dan tingkat kecukupan serat Definisi terbaru tentang serat makanan yang disampaikan oleh the American Association of Cereal Chemist (AACC, 2001) adalah bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau parsial pada usus besar. Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit,
diantaranya
penelitian
menunjukkan bahwa serat berfungsi sebagai anti kanker. Hague et al (1993) melaporkan induksi apoptosis pada sel-sel tumor kolon yang terjadi secara alami oleh asam lemak sodium butirat. Penelitian menunjukkan bahwa asam lemak ini dapat menginduksi apoptosis, karena sodium butirat diproduksi oleh bakteri fermentasi dari serat pangan, maka ini sebagian menjelaskan mengapa diet tinggi serat
dapat memprotek terhadap kanker kolon.
Penelitian lain
menunjukkan bahwa serat juga dapat menurunkan kolesterol. Penelitian yang dilakukan oleh Hunninghake et al (1994) menunjukkan bahwa terjadi penurunan kolesterol plasma
pada manusia akibat pengaruh serat pangan. Pasien yang
menderita hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20 gram/hari ternyata total kolesterol, LDL, serta rasio LDL-HDL plasmanya mengalami penurunan
59
masing-masing 6% dan 8%. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan serat dalam
makanan
merupakan
terapi
konvensional
bagi
penderita
hiperkolesterolemia. Beberapa penelitian juga telah menemukan efek negatif dari serat, khususnya terhadap ketersediaan biologis (biovailabilitas) dan homeostasis mineral di dalam tubuh,
asupan tingi serat kasar menyebabkan peningkatan
keseimbangan negatif dari beberapa mineral seperti seng, kalsium, fosfor dan zat besi (Reinhold 1975). Tetapi berbeda dengan hasil penelitian yang dilakuakn oleh Baig et al 1983, menunjukkan hasil yang sama antara tikus yang diberi diet 59Fe dengan 2% pektin sebagai pembawa, dan tikus yang hanya diberikan
59
Fe saja
dalam 0.1 N HC1. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan pektin sebagai pembawa
59
Fe tidak menghambat penyerapa zat besi.
Beberapa hasil penelitian diatas masih kontroversial, namun serat tetap dibutuhkan dalam diet sehari-hari dan sebenarnya kita tidak perlu takut untuk mengkonsumsi serat asal tidak berlebihan. Untuk orang Indonesia belum ada angka kecukupan serat yang pasti, oleh karena itu sampai saat ini kecukupan serat belum masuk dalam daftar angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk orang Indonesia. Pada saat ini informasi tentang konsumsi serat di Indonesia masih sangat terbatas antara lain karena daftar komposisi bahan makanan Indonesia belum mencantumkan kandungan serat. Dalam upaya memperoleh informasi tingkat konsumsi serat di Indonesia, telah dilakukan analisis tingkat konsumsi serat dengan data survei Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) yang dikumpulkan Direktorat Gizi Masyarakat (2001), rata-rata tingkat konsumsi serat masyarakat Indonesia secara umum yaitu sebesar 10,5 gram/orang/hari sedangkan angka kecukupan serat untuk orang dewasa berkisar antara 25 - 30 gram/hari atau 10-13 gram serat untuk setiap 1000 kkal. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20 tahun) American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat sama dengan umur (dalam tahun) ditambah 5 gram setiap hari. Sebagai contoh, anak berusia 5 tahun, maka kebutuhan seratnya adalah 10 gram per hari, sedangkan pada usia 13 tahun kebutuhan seratnya adalah 18 gram per hari. Tabel 17. Rata-rata tingkat kecukupan asupan serat sebelum dan sesudah intervensi
60
Asupan (g) dan tingkat kecukupan serat (%) Kelompok Kelompok Perlakuan (n=29) Kontrol (n=26) Sebelum Asupan ± SD AKG ± SD Sesudah Asupan ± SD AKG ± SD a 1
P
6.97 ± 3.31 37.51 ± 18.08
7.34 ± 2.90 39.78 ± 16.77
0.800 0.840
6.35 ± 2.87 34.29 ± 16.08
7.06 ± 2.86 38.22 ± 16.31
0.367 0.428
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney) Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)
Pada penelitian ini rata-rata asupan serat sampel pada kedua kelompok, sebelum dan sesudah intervensi tidak menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P>0.05). Rata-rata asupan serat pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi masing-masing sebesar 6.97 ± 3.31 gram atau 37.51 ± 18.08% AKG dan 6.35 ± 2.87 gram atau 34.29 ± 16.08 % AKG, sedangkan pada kelompok kontrol tidak juah berbeda yaitu sebesar 7.34 ± 2.90 gram atau 39.78 ± 16.77 % AKG dan 7.06 ± 2.86 gran atau 38.22 ± 16.31% AKG. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kelompok (P ˃ 0.05). Karena angka kecukupan serat di Indonesia yang ada hanya untuk orang dewasa yaitu antara 25-30 gram/hari, dan pada penelitian ini sampel penelitian berusia antara 12-15 tahun, maka angka kecukupan serat yang digunakan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rekomendasi dari ADA yaitu untuk anak usia 2-20 tahun, angka kecukupan gizinya adalah usia (dalam tahun) ditambah 5 gram/hari.
Bila dilihat dari rat-rata asupan serat diatas maka termasuk sangat
rendah (< 70% AKG), hanya memenuhi sekitar 34 - 39% AKG saja, sehingga hasil intervensi zat besi pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh tingginya kadar serat pada asupan makanan sehari-hari.
Status Besi Kadar Hemoglobin (Hb)
61
Hemoglobin merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan status anemia. Kadar Hb yang rendah mengindikasikan anemia. Distribusi data kadar Hb diawal penelitian tidak normal, dengan nilai rasio skewness terhadap standart error skewness negatif pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing -2.25 dan -4.05, dimana cenderung menjulur ke kiri. Distribusi data dikatakan normal bila skor perbandingan nilai skewness dan nilai standart error skewness berada antara -2 dan 2 (Agusyana, 2002). Selanjutnya dengan uji Mann Withney menunjukkan bahwa rata-rata kadar Hb di awal penelitian pada kedua kelompok tidak berbeda nyata
(P > 0.05), dengan rata-rata masing-masing kelompok
adalah 11.08 ± 0.87 g/dl dan 11.03 ± 0.80 g/dl. Berdasarkan klasifikasi menurut WHO (2001) maka status anemia pada kedua kelompok termasuk anemia ringan (10.00 – 11.99 g/dl).
Berdasarkan data gambaran rata-rata asupan zat besi
sebelumnya di atas diduga anemia yang terjadi disebabkan karena defisiensi zat besi, sebagaimana menurut WHO bahwa kejadian anemia yang ada di dunia saat ini sebagian besar disebabkan karena defisiensi zat besi (WHO 2001). Beberapa penelitian di Indonesia juga mengindikasikan bahwa salah satu determinan kejadian anemia adalah defisiensi zat besi. Nur (2006) melaporan salah satu determinan kejadian anemia pada murid SMP di kepulauan Seribu adalah defisiensi zat besi, begitu pula penelitian terhadap anak remaja di kecamatan Gebog Kabupaten Kudus yang dilaporkan oleh Farida (2006) yang menyatakan bahwa salah satu determinan kejadian anemia pada remaja adalah defisiensi zat besi. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan terhadap remaja putri di SMA Negeri 2 Semarang yang dilaporkan oleh Afiatna (2010). Defisiensi zat besi dapat terjadi karena makanan yang dikonsumsi tidak cukup mengandung zat besi dan karena adanya kesalahan pencernaan yang tidak dapat mengabsorpsi zat-zat gizi tersebut dengan baik maka makin lama akan terjadi anemia, karena pembentukan sel-sel darah merah dan fungsi-fungsi lain dalam tubuh terganggu (Lee & Niemen 1993). Pada remaja putri selain karena kurangnya asupan zat besi melalui makanan, anemia juga disebabkan karena banyaknya zat besi yang hilang pada saat menstruasi (NACC 2009).
Tabel 18. Rata-rata kadar hemoglobin sebelum dan sesudah intervensi
62
Rata-rata Kadar Hemoglobin (g/dl) Kelompok Kelompok Angka Normal Perlakuan kontrol n
P
29
26
Sebelum
11.08 ± 0.74 a
11.04 ± 1.04 a
≥ 12
0.767
Sesudah
11.73 ± 0.54 a, 1
10.99 ± 0.87b
≥ 12
0.000
0.65 ± 0.58 a
-0.05 ± 0.32b
Selisih a, b 1
0.000
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney) Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)
Seseorang yang kekurangan zat besi mula-mula akan mengalami penurunan cadangan zat besi, hal ini dapat kita deteksi dengan melakukan analisis kadar feritin dalam darah. Pada tahap defisiensi zat besi ini, penurunan cadangan zat besi belum disertai dengan penurunan kadar Hb darah, sehingga yang bersangkutan belum menderita anemia. Tahap selanjutnya zat besi tidak mencukupi untuk pembentukan Hb, sehingga kadar Hb penderita menurun sampai di bawah normal dan timbul anemia (Lee & Niemen 1993). Selain karena kekurangan zat besi, anemia dapat juga disebabkan karena perdarahan atau kerusakan sel-sel darah merah karena suatu penyakit, oleh karena itu pada awal penelitian dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter untuk memastikan bahwa anemia yang terjadi bukan disebabkan karena penyakit kronis. Selain itu anemia bisa juga disebabkan produksi sel-sel darah merah tidak cukup karena kekurangan zat-zat gizi lain seperti asam folat dan vitamin B12 tidak tersedia dalam jumlah yang cukup (Bodgen & Klevay 2000; Tolentino & Friedman 2007), oleh karena itu tablet tambah darah (TTD) program pemerintah harus menyertakan asam folat di dalamnya. Penyebab lainnya karena infeksi parasit seperti malaria dan infeksi cacing seperti Hookworm, Trichuris trichiura, Schistosomiasis (WHO, 1999) oleh karena itu diawal penelitian seluruh sampel baik kelompok perlakuan maupun kontrol diberikan obat cacing pyrantel pamoat dosis tunggal (250 mg) untuk memastikan bahwa dampak intervensi tidak dipengaruhi oleh infeksi parasit.
63
Absorpsi zat besi dalam tubuh dipengaruhi oleh bentuk ikatan zat besi dengan senyawa lain dan juga dipengaruhi oleh senyawa-senyawa kimia lain yang terdapat bersama dalam makanan sehari-hari. Ada beberapa hal yang meregulasi absorpsi besi dalam usus, yaitu Dietary regulator, (jenis diet dengan bioavailibilitas besi yang tinggi dan adanya faktor en-hancer akan meningkatkan absorpsi besi), Stores regulator (besarnya cadangan besi dapat mengatur tinggi rendahnya absorpsi besi), Erythropoetic regulator (besarnya absorpsi besi berhubungan dengan kecepatan eritropoesis) dan hepsidin yang diperkirakan berperan
sebagai
soluble
regulator
absorpsi
besi
di
usus
(Agustriadi & Suega 2006). Faktor-fator tersebut diantaranya yang mempengaruhi hasil akhir dari intervensi zat besi pada subjek penelitian. Pada penelitian ini setelah dilakukan intervensi dengan kapsul zat besi dosis 60 mg + 0.25 mg asam folat sebanyak dua kali seminggu selama 12 minggu, pada akhir penelitian pada kelompok perlakuan mengalami kenaikan Hb rata-rata sebesar 0.65 ± 0.55 g/dl, menjadi 11.73 ± 0.80 g/dl. Distribusi data kelompok perlakuan pada akhir penelitian tidak normal dengan nilai rasio skewness -0.49 (distribusi data cenderung menjulur ke kiri) sehingga untuk mengetahui perbedaan antara rata-rata kadar Hb sebelum dan setelah intervensi dilakukan dengan uji Wilcoxon, hasil menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P < 0.05) antara sebelum dan sesudah intervensi.
Peningkatan Hb yang signifikan ini sejalan
dengan tingkat kepatuhan minum kapsul zat besi yang tinggi mencapai 97%. Sedangkan pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan plasebo rata-rata kadar Hb turun 0.05 ± 0.32 g/dl menjadi 10.98 ± 0.86 g/dl. Tetapi dengan uji Wilcoxon perbedaan rata-rata kadar Hb kelompok kontrol sebelum dan setelah intervensi tidak berbeda nyata
(P > 0.05).
Dari data-data di atas dapat kita lihat dampak dari intervensi yang kita lakukan dan dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan intervensi zat besi dengan dosis 60 mg zat besi + asam folat 0.25 mg sebanyak dua kali seminggu selama 12 minggu dapat meningkatkan kadar Hb secara bermakna. Untuk
mengetahui
kemungkinan
adanya
peubah
bebas
yang
mempengaruhi hasil selisih Hb (confouders), yaitu kadar Hb, serum feritin,
64
prohepsidin (awal), tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi (akhir), dilakukan analisis regresi linier berganda dengan model sebagai berikut:
selisih Hb = 3,28 - 0,260 Hb awal - 0,00593 feritin awal + 0,000225 prohepsidin awal - 0,000236 energi akhir - 0,00275 protein akhir + 0,0409 asupan zat besi akhir Tabel 19. Hasil analisis regresi linear berganda, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar Hb Predictor Constant hb1 feritin1 prohepsidin1 energi akhir protein akhir Asupan zat besi akhir
Coef 3,2834 -0,26020 -0,005928 0,0002251 -0,0002356 -0,002752 0,040901
SE Coef 0,8934 0,07454 0,004371 0,0005076 0,0002258 0,004658 0,007715
T 3,67 -3,49 -1,36 0,44 -1,04 -0,59 5,30
P 0,001 0,001 0,181 0,659 0,302 0,557 0,000
VIF 1,040 1,040 1,021 1,589 1,548 1,026
S = 0,468827 R-Sq = 48,1% R-Sq(adj) = 41,6% Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa dari enam jenis peubah bebas yang diseleksi ternyata hanya dua peubah bebas yaitu kadar Hb awal dan tingkat kecukupan zat besi yang berpengaruh nyata (P < 0.05) dan dapat menerangkan sebesar 41.6% terhadap keragaman selisih Hb (R-Sq (ajd ) = 41.6%). Berdasarkan hasil regresi linear berganda tersebut menunjukkan bahwa kadar Hb awal dan tingkat kecukupan zat besi akhir mempunyai korelasi yang erat dan berpengaruh besar terhadap perubahan kadar Hb. Hasil tersebut sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya mengenai intervensi/suplementasi zat besi (Ekstrom et al 2002; Briawan 2008; Farida 2008; Soekati 2010). Hal tersebut juga membuktikan bahwa kemungkinan penyerapan zat besi dipengaruhi oleh kadar Hb awal dan tingkat kecukupan zat besi.
Kadar Feritin
65
Keadaan anemia defisiensi besi dapat diketahui dengan mengukur cadangan zat besi tubuh. Salah satu cara yang mudah mengetahui cadangan zat besi adalah dengan menganalisis kadar feritin darah (Lee & Niemen 1993; Hughes 1998; Bodgen & Kleveay 2000; Suega et al. 2003; Wish 2006). Turunnya kadar feritin berarti cadangan besi tubuh menurun dengan batasan defisiensi besi adalah < 12 ng/ml (INACG 2002),
namun feritin dapat meningkat bila terjadi
peradangan atau infeksi, sehingga pada saat menderita infeksi kandungan feritin tidak dapat digunakan sebagai standar cadangan besi tubuh (Wish 2006). Untuk memastikan bahwa kadar feritin dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh adanya infeksi atau peradangan maka dilakukan analisis kadar C-Reactive Protein (CRP) secara kualitatif dan kuantitatif, tetapi karena hasil analisis kualitatif pada kelompok perlakuan maupun kontrol semua menunjukkan hasil negatif sehingga analisis secara kuantitatif tidak dilakukan.
Tetapi dapat dipastikan bahwa hasil
analisis feritin dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh faktor infeksi atau peradangan.
Tabel 20. Rata-rata kadar feritin sebelum dan sesudah intervensi Rata-rata Kadar feritin (ng/mL) Kelompok Kelompok Angka normal Perlakuan kontrol n
P
29
26
Sebelum
35.65 ± 16.15 a
37.52 ± 13.43 a
20-250
0.448
Sesudah
44.07 ± 16.49 a,1
29.94 ± 11.86b,1
20-250
0.001
8.42 ± 18.89 a
-7.58 ± 14.87b
Selisih a, b 1
0.002
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney) Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)
Pada awal penelitian rata-rata kadar feritin responden pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol masing-masing 35.64 ± 16.15 ng/mL dan 37.52 ± 13.43 ng/mL. Nilai rata-rata seperti ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Beard et al 2002 pada anak usia sekolah di Guatemala yaitu berkisar antara 30-40 ng/mL.
66
Distribusi data pada awal penelitian ini termasuk katagori normal dengan nilai rasio skewness 1.21 dan 0.94 (normal bila nilai rasio skewness antara -2 dan 2) (Agusyana, 2002). Secara statistik dengan uji Mann Withney tidak terdapat perbedaan rata-rata kadar feritin antara kelompok perlakuan dan kontrol. Berdasarkan rata-rata kadar feritin di atas maka baik pada kelompok perlakuan maupun kontrol, bila dibandingkan dengan standar defisiensi besi dari INACG tahun 2002 yaitu <12 ng/mL maka pada ke dua kelompok tidak termasuk defisiensi besi tetapi juga tidak cukup baik bila melihat batasan untuk perempuan 20–150 ng/ml (Muhammad & Sianipar 2005). Pemeriksaan kadar serum feritin terbukti sebagai indikator paling dini, yaitu menurun pada keadaan cadangan besi tubuh menurun. Ambang batas atau cut off kadar feritin sangat bervariasi bergantung metode cara memeriksa yang digunakan atau ketentuan hasil penelitian di suatu wilayah tertentu. Broek dan Letsky (2000) menentukan cut off feritin untuk defisiensi besi sebesar 30 ng/mL, Suominen (1998) ,Choi et al (2005) dan Wish (2006) menentukan sebesar <22 ng/mL. Pada penelitian ini cut off yang digunakan berdasarkan cut off yang ditetapkan oleh WHO sesuai dengan ketetapan International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG) tahun 2002 sebesar <12 ng/mL. Bila simpanan zat besi ini tidak ditingkatkan maka lama kelamaan akan habis dan kebutuhan zat besi untuk produksi hemoglobin yang dimobilisasi dari feritin ini tidak tercukupi dan kadar Hb akan semakin turun dan terjadi anemia. Pada akhir penelitian terjadi peningkatan rata-rata kadar feritin secara bermakna (P<0.05) pada kelompok perlakuan yaitu sebesar 8.42 ± 18.89 ng/mL, sehingga rata-rata kadar feritin setelah intervensi menjadi 44.07 ± 16.49 ng/mL, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan secara bermakna (P<0.05) yaitu sebesar 7.93 ± 14.87 ng/mL sehingga rata-rata kadar feritin menjadi 29.93 ± 11.86 ng/mL. Dengan uji Mann Withney tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P > 0.05) antara kelompok perlakuan dan kontrol sebelum intervensi dilakukan, tetapi terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) setelah intervensi selesai dilakukan. Walaupun distribusi data awal dan akhir sebarannya normal dan bisa langsung dilakukan uji T berpasangan, tetapi untuk keseragaman dengan uji statistik parameter biokimia yang lain maka untuk uji perbedaan kadar feritin
67
antara sebelum dan sesudah intervensi dilakukan uji Wilcoxon, hasil menunjukkan ada perbedaan bermakna (P<0.05) antara rara-rata kadar feritin sebelum dan sesudah intervensi, begitu juga pada kelompok kontrol dengan uji Wilcoxon hasil menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi (P < 0.05). Pada kelompok perlakuan setelah dilakukan intervensi mengalami peningkatan rata-rata, hal ini disebabkan karena intervensi zat besi dengan dosis 60 mg zat besi elemental + 0.25 mg asam folat yang diberikan, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan yang bermakna, hal ini karena kelompok kontrol hanya mendapatkan plecebo dan tidak diimbangi dengan asupan zat gizi lain yang cukup yang juga dibutuhkan untuk metabolisme besi seperti asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, vitamin B12, asam folat dan lain-lain. Untuk melihat kemungkinan variabel bebas apa saja yang barangkali mempengaruhi perubahan rata-rata kadar feritin di atas, dilakukan analisis regresi linear berganda dengan model regresi sebagai berikut:
selisih feritin = 52.3 - 2.09 Hb awal - 0.687 feritin awal + 0.0033 prohepsidin awal - 0.0171 energi akhir + 0.233 protein akhir + 0.771 asupan zat besi akhir
Pada Tabel 21, dari enam peubah bebas yaitu kadar Hb awal, kadar feritin awal, kadar prohepsidin awal, tingkat kecukupan energi, protein dan Zat Besi (akhir) yang diseleksi ternyata hanya tiga peubah bebas yang berpengaruh nyata (P < 0.05) yaitu kadar feritin awal, asupan energi akhir dan asupan zat besi akhir dan dapat menjelaskan sebesar 40.6% terhadap keragaman perubahan kadar feritin tersebut. Kadar feritin selular diregulasi oleh zat besi. Hasil-hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan zat besi pada sel-sel khusus adalah efek dari post-transkripsional dan juga melibatkan translasi. Pengaturan spesifik transkripsi terjadi pada mRNA penyandi feritin. Jika zat besi tidak ada maka sintesis feritin dihambat oleh protein yang mengikat urutan yang disebut elemen respon-besi (iron respone element)
yang terletak pada daerah leader mRNA
feritin, protein yang terikat tersebut akan menghalangi ribosom ketika berusaha
68
mengenali kodon inisiasi. Jika ada zat besi protein pengikat terlepas dan mRNA ditranslasi (Brown, 2002). Tabel 21. Hasil analisis regresi linear berganda, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar Feritin Predictor Constant Hb awal Feritin awal Prohepsidin awal energi akhir protein akhir Asupan zat besi akhir
Coef 52.33 -2.091 -0.6873 0.00328 -0.017145 0.2335 0.7707
SE Coef 27.69 2.310 0.1355 0.01573 0.006996 1.1444 0.2391
T 1.89 -0.91 -5.07 0.21 -2.45 1.62 3.22
P 0.065 0.370 0.000 0.836 0.018 0.112 0.002
VIF 1.040 1.032 1.021 1.589 1.548 1.026
S = 14.5280 R-Sq = 47.2% R-Sq(adj) = 40.6% Perubahan kadar feritin tidak berkorelasi dengan kadar Hb awal dan prohepsidin awal, hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ryu et al
(2007) yang menemukan tidak ada korelasi positif antara kadar
prohepsidin serum dengan kadar feritin serum pada bayi yang anemia maupun tidak anemia. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Roe et al (2007) menunjukkan tidak ada korelasi antara kadar prohepsidin serum dengan kadar feritin serum pada laki-laki dewasa sehat maupun laki-laki dewasa denga hemokromatosis. Hepsidin dinyatakan sebagai suatu regulator kunci dari metabolisme besi (Pigeon et al 2001; Nicolas et al 2001; Nicolas et al 2002; Nicolas et al 2003), sehingga hubungan antara prohepsidin dan absopsi zat besi di usus
sangat
menarik untuk diteliti, karena tidak ada korelasi yang nyata antara absorpsi zat besi di usus dengan prohepcidin serum. Penjelasan yang mungkin untuk hubungan di atas sebagai berikut: prohepsidin serum tidak merefleksikan bentuk aktif dari hepsidin yang mempengaruhi absorpsi zat besi di usus dan batas ukuran status besi dan hubungannya dengan konsentrasi prohepsidin wanita sehat sangat terbatas dibandingkan dengan kondisi klinis yang mempengaruhi metabolisme zat besi, seperti anemia atau hemochromatosis; dan mungkin hepsidin bukan
69
faktor utama yang mempengaruhi absorpsi besi di usus
sebagaimana
hubungannya dengan simpanan besi pada orang sehat.
Kadar Prohepsidin Hepsidin adalah sebuah hormon peptida yang dihasilkan di dalam hati dan mengatur penyerapan zat besi dalam tubuh. Hepsidin disintesis di dalam hati sebagai prepropeptida 84-asam amino, yang selanjutnya mengalami proses menjadi sebuah peptida prohepsidin 60 sampai 64-asam amino dan terakhir menjadi 25-asam amino (hepsidin) yang matang dan aktif secara biologi yang dikeluarkan ke dalam serum (Kemna et al 2008). Hepsidin mencegah tubuh menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan yang berasal dari makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel. Keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur oleh interaksi antara hepsidin dan reseptor feroportin yang mengangkut zat besi. Hepsidin mengikat feroportin, menyebabkan pengurangan pengeluaran zat besi dari sel. Beberapa penelitian telah melakukan pengukuran konsentrasi mRNA di dalam hati, meskipun berkorelasi baik dengan konsentrasi hepsidin matang di dalam serum, biopsi hepatik secara klinis mengindikasikan hanya sejumlah kecil dari situasi tertentu. Beberapa peneliti telah mengembangkan pengukuran dengan dasar
mass spektrometri untuk mengukur hepcidin-25; namun membutuhkan
peralatan khusus yang tidak tersedia secara umum (Frazer & Andersom 2009). Selain itu juga dibutuhkan pengukuran immunologis, meskipun antibodi hepcidin 25 telah terbukti sulit untuk dikembangkan (meskipun bukan tidak mungkin), prohepsidin jauh lebih immunilogis dan enzyme-linked immunosorbent assay telah tersedia secara komersial. Hepsidin memainkan peran utama pada homeostasis besi, tetapi untuk memahami perannya terhambat oleh tidak tersedianya metode analisis untuk quantifikasi dalam darah. Dengan dikembangkannya metode ELISA untuk prohepsidin serum, suatu prekursor hepsidin. Sehingga banyak yang tertarik untuk menggunakannya untuk keperluan klinis atau untuk penelitian klinis. Bagaimana mekanisme kerja dan peran hormon ini dalam metabolisme besi masih belum jelas karena data dan informasi mengenai ini belum banyak.
70
Pada penelitian ini rata-rata kadar prohepsidin serum sebelum intervensi sebesar 182.80 ± 119.53 ng/mL dan 203.92 ± 136.32 ng/mL masing-masing untuk kelompok perlakuan dan kontrol dengan rentang secara keseluruhan antara 49.4 – 445.6 ng/mL. Karena distribusi data tidak normal pada kedua kelompok maka untuk mengetahui perbedaan antar kelompok dilakukan dengan uji Mann Withney, hasil menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan dan kontrol di awal penelitian.
Tabel 22. Rata-rata kadar prohepsidin sebelum dan sesudah intervensi Rata-rata Kadar Prohepsidin (ng/mL) Kelompok Perlakuan
Kelompok kontrol
29
26
Sebelum
182.80 ± 119.53 a
Sesudah Selisih
n
a 1
Angka Normal
P
203.92 ± 136.31 a
58,9-158,1 a
0.478
153.55 ± 69.61 a
164.93 ± 81.12 a
58,9-158,1 a
0.673
-29.25 ± 108.78 a
-38.97 ± 161.32 a
0.919
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Uji Mann Whitney) Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah intervensi (Uji Wilcoxon)
Pada akhir penelitian setelah intervensi terjadi penurunan rata-rata kadar prohepsidin
serum
masing
sebesar
29.20
±
108.79
ng/mL
dan
38.98 ± 161.32 ng/mL untuk kelompok perlakuan dan kontrol, sehingga rata-rata kadar
prohepsidin
serum
pada
masing-masing
kelompok
adalah
155.55 ± 69.61 ng/mL dan 164.93 ± 81.11 ng/mL. Dengan uji Mann Withney penurunan pada kedua kelompok tersebut tidak berbeda nyata (P > 0.05). Untuk melihat perbedaan antara sebelum dan sesudah intervensi dilakukan uji Wilcoxon, hasil
menunjukkan
penurunan tersebut tidak nyata (P > 0.05) baik pada
kelompok perlakuan maupun kontrol Lee et al (2010) menemukan rata-rata kadar prohepsidin serum yang lebih tinggi pada pasien yang terinfeksi oleh H. Pylori dan turun secara signifikan (P =0.011)
setelah pemberian zat besi yang dikombinasi dengan pembasmi
71
H. Pylori dan tidak berbeda nyata antara kelompok yang mendapatkan zat besi saja, pembasmi H. Pylori saja maupun yang mendapatkan zat besi + pembasmi H. Pylori. Hal ini mengacu pada terjadinya perbaikan pada mekanisme transfort dan penyimpanan zat besi tubuh setelah intervensi zat besi. Bila mengacu pada angka normal yang ditetapkan oleh pabrik pereaksi kit ELISA merek DRG yang digunakan untuk analisis pada penelitian ini, kadar prohepsidin dikatakan normal apabila kadar prohepsidin 58,9-158,1
ng/ml,
serum antara
maka rata-rata kadar prohepsidin pada awal penelitian
termasuk katagori tinggi (lebih dari normal), setelah intervensi,
walaupun
penurunan yang terjadi pada kelompok perlakuan dan kontrol tidak nyata, namun penurunan pada kelompok perlakuan memasuki rentang batas normal, sedangkan pada kelompok kontrol turun hanya mendekatai batas normal. Hal ini mungkin disebabkan karena dampak dari intervensi zat besi yang diberikan. Dengan tambahan asupan zat besi memperbaiki sistem metabolisme besi pada khususnya dan metabolisme tubuh lainnya secara umum. Untuk
mengetahui
kemungkinan
peubah
bebas
apa
saja
yang
mempengaruhi perubahan kadar prohepsidin serum tersebut maka dilakukan analisi regresi linear berganda dengan model sebagai berikut:
selisih prohepsidin = 313 - 9.1 Hb awal + 0.084 feritin awal - 0.874 prohepsidin awal - 0.102 energi akhir + 1.93 protein akhir - 0.99 asupan zat besi akhir
Dari hasil analisis berganda pada Tabel 23, perubahan kadar prohepsidin tidak dipengaruhi oleh indiikator status besi ; hemoglobin dan feritin serum tetapi dipengaruhi oleh kadar prohepsidin awal, asupan energi dan protein akhir , dan mampu menjelaskan keragamam dari perubahan kadar prohepsidin tersebut sebesar 73.8 persen.
72
Tabel 23. Hasil analisis regresi linear berganda, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar Prohepsidin Predictor Constant hb awal Feritin awal Prohepsidin awal energi akhir protein akhir Asupan zat besi akhir
Coef 312.9 -9.11 0.0838 -0.87381 -0.10226 1.9340 -0.988
SE Coef T 131.7 2.38 10.99 -0.83 0.6444 0.13 0.07483 -11.68 0.03328 -3.07 0.6867 2.82 1.137 -0.87
P 0.022 0.411 0.897 0.000 0.003 0.007 0.390
VIF 1.040 1.032 1.021 1.589 1.548 1.026
S = 69.1125 R-Sq = 76.7% R-Sq(adj) = 73.8% Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil peneliltian yang dilakukan oleh Kim et al (2010) menunjukkan bahwa pada pasien dengan anemia defisiensi besi kadar prohepsidin serum tidak berkorelasi dengan kadar Hb tetapi berkorelasi dengan kadar CRP. Studi yang dilakukan oleh Young et al (2009) menunjukkan bahwa hepsidin matang (bentuk aktif) tetapi tidak prohepsidin, berkorelasi dengan absorpsi besi, sejalan dengan peneliti-peneliti lain yang menyatakan bahwa konsentrasi prohepsidin tidak merefleksikan konsentrasi peptida matang dan pengukuran prohepsidin bukan merupakan alat yang tepat untuk mempelajari absoprsi besi. Penelitian yang dilakukan oleh Pak et al (2006) menemukan bahwa anemia tidak secara langsung meregulasi ekspresi hepsidin, tetapi menggunakan efeknya pada hormon ini dan metabolisme besi melalui suatu substansi yang belum terkarakterisasi yang dikeluarkan selama erithripoeisis. Melalui mediator dan jalur yang spesifik elemen-elemen ini
mempengaruhi
sintesis hepsidin, dan meninggalkan masalah untuk dijelaskan. Pada penelitian ini tidak ada hubungan antara prohepsidin dan indiktor pengukuran status besi (serum feritin, atau
hemoglobin. Hasil ini mungkin
disebabkan karena jumlah sampel yang terlalu kecil atau mungkin karena memang konsentrasi prohepsidin serum tidak merefleksikan hepsidin dalam bentuk aktif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan data-data hasil dan pembahasan diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C dan zat besi) dan serat pada kelompok perlakuan maupun placebo termasuk defisit berat (< 70% AKG). (2) Intervensi zat besi dosis 60 mg besi + 0.25 mg asam folat, dua kali seminggu selama 12 minggu dapat meningkatkan kadar Hb dan feritin secara bermakna (P<0.05) pada kelompok perlakuan sebesar 0.65 ± 0.25 g/dl untuk Hb dan 8.42 ± 18.89 untuk feritin. (3) Terjadi penurunan rata-rata kadar prohepsidin setelah intervensi, walaupun secara statistik tidak bermakna tetapi cenderung membaik karena turun sampai mencapai angka normal. Hal ini mengindikasikakan bahwa dengan pemberian kapsul besi tersebut terjadi perbaikan pada metabolisme. (4) Perubahan kadar Hb berhubungan dengan asupan zat besi akhir. (5) Perubahan kadar feritin serum berhubungan dengan kadar feritin awal, asupan energi dan asupan zat besi akhir. (6) Perubahan kadar prohepsidin serum tidak berhubungan dengan status besi tetapi berhubungan dengan kadar prohepsidin awal dan asupan energi serta protein akhir.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Dalam upaya perbaikan status anemia pada remaja putri selain
dengan intervensi zat besi juga ditambah dengan zat gizi makro (karbohidrat, protein) dan mikro yang lain (vitamin A, vitamin C, zat besi). (2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah responden yang lebih besar, waktu intervensi yang lebih lama ditambah dengan pendidikan gizi di sekolah. (3) Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan melakukan pemeriksaan infeksi parasit yang mungkin masih ada dan pengukuran berapa banyak zat besi yang dikeluarkan oleh remaja putri melalui kehilangan basal. (4) Mengingat ada kemungkinan kadar prohepsidin serum tidak merefleksikan kadar hepsidin aktif maka perlu dilakukan penelitian lanjutan melakukan pengukuran terhadap kadar hepsidin aktif secara
74
langsung. (5) Beberapa literatur menyatakan bahwa hepsidin atau prohepsidin berhubungan dengan adanya peradangan dan infeksi, sehingga perlu dilakukan test secara genetika terhadap responden yang memiliki kadar prohepsidin tinggi tanpa adanya sebab peradangan atau infeksi
DAFTAR PUSTAKA AACC. 2001. Dietary Fiber Technical Committee. The definition of dietary fiber. Cereal Foods World 46:112. ADA (American Dietetic Association). Complete food and nutrition guide. http://www.amazon.com/American-Dietetic-Association-CompleteNutrition/dp/0471441449 [24 Mei 2011) Afiatna P. 2010. Faktor Determinan Gizi Pada Anemia Remaja Putri Di SMA Negeri 2 Semarang. [Thesis], Program Studi Ilmu Gizi. Universitas Diponegoro, Semarang. Agustriadi O, Suega K. 2006. Hepsidin Pada Anemia Of Chronic Disease. Program Studi Kedokteran Unram Divisi Hemaologi Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah. Denpasar. Agusyana. 2011. Olah Data Skripsi dan Penelitian dengan SPSS 19. PT Elex Media Kompuitindo, Kompas Gramedia. Jakarta. Aliefien. 2005. Anemia: Kurang Pengetahuan Dan http://Jurnalnet.com_Bengkel Informasi. [18 Juli 2010].
Generasi
Loyo.
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Jakarta Andrews NC. 1999. Basic Iron Metabolism New Engl J Med. 341:1986-1995. Anderson D, Phillips BJ, Yu TW, Edwards AJ, Ayesh R and Butterworth KR. (2000) Effects of Vitamin C supplementation in human volunteers with a range of cholesterol levels on biomarkers of oxygen radical generated damage. Pure Applied Chem. 72 No.6, 973-983. Atmarita, Tatang SF. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta. 17-19 Mei 2004. Atmawikarta A. 2005. Prencanaan Nasional Bidang Kesehatan Dalam Peningkatan Status Gizi Masyarakat. Simposium Nasional Ke-2. Badan Litbangkes. Jakarta. Baig MM, Charles W and Cerda JJ. 1983. Effect of Dietary Pectin on Iron Absorption and Turnover in the Rat1. J. Nutr. 113: 2385-2389, 1983. Berdanier, CD 1998, Advanced Nutrition Micronutrients, Professor, Food Nutrition, University of Georgia Athens, Georgia, by CRC press.LCC p.187-192.
76
Beard JL. 2000. Iron Requirement in Adolescent Females. Journal of Nutrition. 130:440S-442S. Beard JL. 2006. Interpretation of Serum Feritin Concentration as Indicators of Total-Body Iron Stores In Survey Population: The Role of Biomarkers For Acute Phase Response. Am J Clin Nutr 84:1498-14505. Benoist dB, McLean E, Egil I, Cogwell M. 2005. Worlwide Prevalence of Anemia 1993-2005. WHO Global Database on Anemia, Geneva. Switzerland. Bergamaschi G, Villani L. 2009. Serum Hepsidin: A Novel Diagnostic Tool In Disorder of Iron Metabolism. Haematologica 94:1631-1633. Bodgen DJ, Kleveay LM. 2000. Clinical Nutrition of the Essential Trace Elements and Minerals. Departement of Preservative Medicine and Community Health. University of Medicine and Dentistry of New Jersey. New Jersey. Bohkasim. 2009. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Remaja Putri Dan Wanita Usia Subur. http://enslicopedy.blogspot.com [26 Mei 2010]. Bloem MW. 1995. Interdependence of vitamin A and iron : an Important association for programmess of anemia control Proc Nutr Soc 54 ; 501 – 508. Briawan D. 2008. Efikasi Suplementasi Besi-Multivitamin Terhadap Perbaikan Status Besi Remaja Wanita. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Broek VDNR and Letsky EA. 2000. Etiology of anemia in pregnancy in south Malawi. American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 72, No. 1, 247S-256s. Brown TA. 2002. Genoms. Bios Scientific Publisher, Dept of Biomolecular Sciences, UMIST, Mancester, UK. Oxfort: Wiley-Liss;2002 ISBN-10:047125046-5 Budiman. 1997. Hubungan Pengetahuan Dengan Status Anemia Pada Remaja Putri Murid SMU Dan MAN Di Enam Daerah Tinggkat II Di Jawa Barat [Tesis]. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. García-Casal MN, Leets I, Layrisse M. Beta-carotene and inhibitors of iron absorption modify iron uptake by Caco-2 cells. J Nutr 2000;130:5-9. Choi CW, Yoon SY, Park KH, Choi IK, Kim SJ, Seo JH, Kim BS, Shin SW, Kim YH, Kim JS and Lee JY. 2004. The cutoff value of serum feritin the diagnosis of iron deficiency in community-residing older persons. Animal of Hematology vol 84; No 6; 358-361.
77
Collin FJ, Marianne WR, Mitchell DK. 2008. Hepsidin Regulation of Iron Transport, J. Nutr. 138:2284-2288. Daniel. 2008. Tes Diagnosa Terbaru Untuk Anemia. Sepember 2008: 16
Majalah Farmasia eds
Dasqupta P and Ray D. 1986. Adapting to Under Nourisment, The Clinical Evident And It’s Implication. Article for The WIDER Conference on Poverty And Hunger: The Poorest Billion. Helsinki Juli 21-25 1986. Demaeyer EM. 1993. Preventing And Controlling Iron Deficiency Anemia Through Primary Healt Care. WHO. Geneva. Depkes RI. 2001. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan Wanita Usia Subur. Depkes. RI.,Jakarta. Depkes RI. 2001. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Depkes. 2004. Angka Kecukupan Gizi Orang Indonesia. Direktorat Gizi. Jakarta. Detivaud L, Nemeth E, Boudjema K, et al. Hepcidin levels in humans are correlated with hepatic iron stores, hemoglobin levels, and hepatic function. Blood 2005;106:746–8. Depkes RI. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi, Jakatra Dirjen Binkesmas. 2004, Program Penanggulangan Anemia Gizi Pada Wanita Usia Subuir (WUS). Direktorat Gizi Masyarakat, Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Depkes RI. Jakarta. Dirjen PPM dan PL. 2004. Pedoman Umum: Program Nasional Pemberantasan Cacingan Di Era Desentralisasi. Subdit Diare Dan Penyakit Pencernaan, Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Direktorat Jenderal PPM & PL. Depkes RI. DRGNews. 2008. New Test Measures Hepsidin, Can Help Diagnose Anemias and Iron Dosorder. University of California Los Angeles. USA. Duport N, Preziosi P, Boutron-Rault MC, Bertrais S, Galan P, Favier A, Lafond JL, Hercbrerg S . 2003.Consequences of iron Depletion on Health in Menstruating Women. European Journal of Nutrition 2003:1169-1175. Ekstrom EC. 2001. Supplementation for nutritional anemias. Di dalam : Ramakrishnan U, editor Nutritional Anemias. Florida: CRC Press: 129-152. FAO/WHO [Food Agricultural Organisation/World Health Organisation]. 2001. Human vitamin and mineral requirements. Rome.
78
Farida I. 2006. Determinan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus Tahun 2006, Magister Gizi Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Frazer DM and Andersom GJ. 2009. Hepcidin compared with prohepcidin: an absorbing story. Am J Clin Nutr February 2009 vol. 89 no. 2 475-476. Freire WB, Kahn SG,McGuire J, Post GL. 2007. Anemia Prevention and Control: What Works. Pan American Health Organization. Washington. Galloway R, McGuire J. 1996. Daily versus weekly: how many iron pills do pregnant women need? Nutr Rev 54(10): 318-323. Ganz T. 2003. A key regulator of iron metabolism and mediator of anemia of inflammation. Blood 102:783-788. Ganz T. 2007. Molecular Control of Iron Transport. J Am Soc Nephrol 18: 394400, 2007. Ganz, T. Obina G, Girelli D, Nemeth E, Westerman M. 2008. Immunoassay for Human Serum Hepsidin. Blood 15; 112:4292. Gary, Gleason, Nevin SS. 2007. An Overview of Functional Sigmnificance of Iron Deficiency, Nutritional Anemia. Editeed by Klaus Kreameer, Michael B, Zimmerman. Sight and Life, basel, switzerloand. Garrow JS and James WPT. 1993. Human Nutrition and Dietetics, Ninth Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone. Page 174-180. Gibson R. 2005. Principles of Nutritional Assessment 2nd ed. Oxford University Press. New York. Goetz LH. 1986. Malnutrition and immunological function with special reference to cell-mediated immunity. Am J Physic Anthropol 29:139-159 Green R, Davey P. 2007. Anemia Due to Iron Deficiency. http://oncologyhematology.jwatch.org/misc/board_about.dtl#aGreen . [24 Pebruari 2010] Green D. 2008. An Immunoassay For Hepsidin, The Master Regulator of Iron Metabolism. Journal Watch Oncology and Hematology, Desember 2008. Gunaatmaningsih D. 2007. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di SMA Negeri 1 Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes [Skripsi]. Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Semarang. Gutrie HA. 1995. Introductory Nutrition. Mosby College Publishy. Boston.
79
Hamid S. 2002. Peran asupan gizi dan faktor lain terrhadap kadar hemoglobin siswi SMUN 3 kota Padang Propinsi Sumatera Barat Tahun 2001. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok Hague A. M. Manning, K. A. Hanlon ,D. Hart, C. Paraskeva, I. Huschtscha. 1993. Sodium butyrate induces apoptosis in human colonic tumour cell lines in a p53-independent pathway: Implications for the possible role of dietary fibre in the prevention of large-bowel cancer International Journal of Cancer vol 55 (3): 498-505. Hadley KB, Johnson LK and Hunt JR. 2006. Iron absorption by healthy women is not associated with either serum or urinary prohepcidin. Am J Clin Nutr 2006; 84:150-155 Haidar J, Omwega AM, Muroki NM and Ayana G. 2003. Daily versus weekly iron supplementation and prevention of iron deficiency anaemia in lactating women. East African Medical Journal Vol. 80 No. 1. Hallberg L, Brune M, Rossander L.1989. The role of vitamin C in iron absorption. Int J Vitam Nutr Res Suppl. 1989;30:103-8. Hallberg L. 1996. Iron Balance and Iron Deficiency in Menstruating and Pregnant Women. Hallberg L. Asp N. G. eds. Iron Nutrition in Health and Disease 1996: 165-182 John Libbey & Co. Hallberg L. 2001. Perspective on nutritional iron deficiency. Annu Rev Nutr 2001(21):1-21. Hallberg L dan Hulthen L. 2003. High serum feritin is not adentical to high iron store. Am J Clin Nutr 78:1225-7. Hartman P, Shankel DM. 1990. Antimutagens and anticarcinogens: A survey of putative interceptor molecules. Environ Mol Mutagenesis 15(3):145-182. Harver HA, Victor WR, Peter AM. 1979. Biokimia (Review of Physiological Chemistry). Lange Medical Publications. Los Altos, California, USA. Diterjemahkan oleh Dr. Martin Muliawan, Doson Biokimia Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. Helda K, Ray Y, Weener S. Drupadi HSD. 1999. World Health Organization Hemoglobin Cut-Off Points for the Detection of Anemia Are Valid for an Indonesian Population, Journal of Nutrition. 1999;129:1669-1674. Hoffbrand V, Pettit JE, Moss PAH. 2001. Kapita Selekta Hematologi, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. Hortopn, S. and J.Ross. 2003. The Economics of Iron Deficiency. Food Policy 28
80
Hughes K. 1998. Serum Feritin and Iron Status In The General Population of Singapore 1993 to 1995. Ann Acad Med. Singapore 27:507-11. Hunninghake DB, Miller VT, LaRosa JC, Kinosian B, Brown V, Howard WJ, Diserio FJ and Connor RRO. 1994. Hypocholesterolemic Effect of Dietary Fiber Supplement. J. Clin. Nutr. 59 : 1050-1054. Husaini MA. 1989. Study Nutritional Anemia an assesment of Information Comtabletation for Supporting and Formulating national policy and program . Laporan Penelitian tahun 1988-1989. Puslitbang Gizi. Bogor. Hyde J, Agble R, Nestel P. .2003. The Role Communication in Comprehensive Anemia Control: A Frame Work For Planning And Implementition A Stratigyc Communication Plan. Printed in the United States of America. Isniati. 2008. Efek Suplementasi Tablet Fe + Obat Cacing Terhadap Kadar Hemoglobin Remaja Yang Anemia di Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Pasir Kec IV Angkat Candung Tahun 2008, J Sains Tek Far. 12 (2)2007. INACG, 2002, Anemia dan Iron De.ficiency. The International Nutritional Anemia Consultative Group, Secretariat: Washington DC). Johnson, R. and Nizet V. 2007 dalam NN, 2009, Pendekatan Baru Penanganan Anemia, Journal Of Clinical Investigation, edisi online juli, 2007. Kartono D dan Soekarti M. 2004. Angka kecukupan mioneral: besi, yodium, seng, mangan, selenium, di dalam LIPI: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globaliosasi, Jakarta, Hal 393-415. Kemna, EH, Tjalsma, H, Willems, HL & Swinkels, DW. Hepcidin: from discovery to differential diagnosis. Haematologica 2008;93:90–7 Kulaksiz H, Theilig F, Bachmann S, et al. The iron-regulatory peptide hormone hepcidin: expression and cellular localization in the mammalian kidney. J Endocrinol 2005;184:361–70. Kevin B H, LuAnn KJ and Janet RH. 2006. Iron absorption by healthy women is not associated with either serum or urinary prohepcidin1. Am J Clin Nutr 2006;84:150 –5. Kim HR, Kim KW, Yoon SY, Kim SH, and Lee SH. 2010. Serum Pro-hepcidin Could Reflect Disease Activity in Patients with Rheumatoid Arthritis. J Korean Med Sci 2010; 25: 348-52 Kim JY, Son YH, Ihm CH. 2010. Serum prohepcidin as an predictor of iron deficiency in anemic patient. Lab Med Online 2011, Apr, 1(2): 88-93.
81
Koury MJ and Ponka P. 2004. New insight into erythropoiesis: the role of folat, vitamin B12, and iron. Annu Rev Nutr 24:105-131. Krause A, Neitz S, Magert HJ, Schulz A, Forssmann WG, Schulz-Knappe P and Adermann K. LEAP-1, a novel highly disulfide-bonded human peptide, exhibits antimicrobial activity. FEBS Lett 480: 147-150, 2000. Krummel DA and Kris-Etherton PM. 1996. Nutrition in women’s health. USA: An Aspen. Laftah AH, Ramesh B, Simpson RJ, et al. Effect of hepcidin on intestinal iron absorption in mice. Blood 2004;103:3940–4. Lameshow, S., Hosmer D. W. dan Klar J. 2000. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Gajah Mada University Press. Yokyakarta. Laventhal A, Kaluski DN. 2005. A national survey asa basis for public health policy. A case study with folic acid . Public Health Rev 29:153-157. Lee, RD. and Nieman DC. 1993. Nutritional Assessment. Dubuque, IA: Wm. C. Brown ... 1995. NY: Alan R. Liss, Inc. New York. Lee SY, Yun YM, Yoon SY, Cho YH, Kim SY and Lee MH, 2010. Serum prohepcidin levels in Helicobacter Pylory infected patients with iron deficiency anemia. Korean J Intern Med 25(2): 195-200. Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia, Jilid 1. Penerjemah; DR. Ir. Maggy Thenawidjaya. Erlangga. Jakarta. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Linder MC. 1991. Nutitional Biochemisty and Metabolism, With Clinical Application, 2nd ed, New Yok. Lou DG, Nicolas G, Lesbordes JC, Viatte L, Grimber G, Szajnert MF, Kahn A and Vaulant S. 2003. Fungtional differences between hepcidin 1 and 2 in transgenic mice. Blood 103(7): 2816-2821. Mardiayati E. 2008. Fortifikasi Garam dengan Zat Besi, Strategi Praktis dan Efektif Menanggulangi Anemia, Pusat Teknologi Farmasi dan MedikaBPPT.Jakarta. MacPhail, P 2000, Iron In: Essentials of Human Nutrition (eds. Mann, and Truswell, S), Oxford University Press, New York Metha, A. dan Hoffbrand V. 2006. At a Glance Hematology. Edisi ke 2. Erlangga. Jakarta.
82
Muhammad A dan Sianipar O. 2005. Penentuan defisiensi besi anemia penyakit kronis menggunakan peran indeks stfr-f. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 9-15 NAAC. 2009. Anemia in Adolescents: The Teen Scene, Part 3 focuses on iron deficiency anemia in adolescents (13-19 years of age). National Anemia Action Council. http://www. content.php.htm [09 Oktober 2010] Nasution AH, Karyadi D. 2004. Pengetahuan Gizi Mutakhir, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Nead KG, Halterman JS, KaczorowskiJM, Auinger P and Weitman M. 2004. Overweight children and Adolescents: A risk group for iron deficiency. Pediatrics vol 114(1):104-108 Nemeth E, Tuttle MS, Powelson J, Vaughn MB, Donovan A, Ward DM, Ganz T, Kaplan J. 2004. Hepsidin regulates cellular iron efflux by binding to ferroportin and inducing its internalization. Science 306:2090–2093. Nemeth E, Gans T. 2006. Regulation of Iron Metabolism by Hepsidin. Annu Rev Nutr 26:323-342. Nicolas G, Bennoun M, Devaux I, et al. 2001. Lack of Hepcidin Gene Expression And Severe Tissue Iron Overload In Upstream Stimulatory Factor 2 (USF2) Knockout Mice. Proc Natl Acad Sci U.S.A. 2001;98:8780-8785. Nicolas G, Chauvet C, Viatte L, et al. The gene encoding the iron regulatory peptide hepcidin is regulated by anemia, hypoxia, and inflammation. J Clin Invest 2002;110:1037– 44. Nicolas G, Bennoun M, Porteu A, et al. Severe iron deficiency anemia in transgenic mice expressing hati hepcidin. Proc Natl Acad Sci U S A 2002;99:4596–601. Nicolas G, Viatte L, Lou DQ, et al. Constitutive hepcidin expression prevents iron overload in a mouse model of hemochromatosis. Nat Genet 2003;34:97– 101. NN, 2004, Anemia, Lung and Blood Institute at the National Institutes of Health. Reviewed March 2004. http://www.woman.gov/faq/anemia.htm. [10 Mei 2010]. NN.
2009. Anemia. [4 Mei 2010].
http://www.indianwomenshealth.com/Anemia-41.aspx.
Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineke Cipta. Jakarta.
83
Nur FRR. 2006 Faktor determinan kejadian anemia siswa SMP di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu: Analisis data sekunder tahun 2005. [thesis], UNSPECIFIED. Pak M, Lopez MA, Gabayan V, Ganz T, Rivera S. 2006. Suppression of hepcidin during anemia requires erythropoietic activity. J Am Soc Hematol. 2006;108:3730-5. Park CH, Valore EV, Waring AJ, Ganz T. 2001. Hepsidin, a urinary antimicrobial peptide synthesized in the hati. J Biol Chem 276:7806–7810. Sharp P and Srai SK. 2007. Molecular mechanisms involved in intestinal iron absorption. World J Gastroenterol 2007 September 21; 13(35): 4716-4724. Permaesih D dan Sudiman H. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja. Buletin Penelitian Kesehatan 33(4):162-171. Pigeon C, Ilyin G, Courselaud B. 2001. A new mouse hati-specific gene, encoding a protein homologous to human antimicrobial peptide hepcidin, is overexpressed during iron overload. J Biol Chem 2001;276: 7811–7819. Prohananto. 2004. Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemia Gizi Besi. Makalah Pribadi. Sekolah Pascasarjana/S3. IPB. Proboningrum F. 2009. Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Remaja, Tingkat Pendapatan Dan Pendidikan Orang Tua Dengan Kadar Hb Remaja Putri Di SMP Muhammadyah 7 Surakarta [Karya Tulis Ilmiah]. Program Studi Diploma III Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadyah. Surakarta. Reinhold, JG, Ismail-Beigi F and Faraji B. 1975. Fiber vs phytate as determinant of the availability of calcium, zinc and iron in breadstuffs. Nutr. Rep. Int. 12: 75-85. Richardson DR and Ponka P. 1998. Pyridoxal isonicotinyl hydrazone and it’s analogs: potential orally effective iron chelating agen for the treatment of iron overload disease. J. Lab. Med. 131: 306-315. Roe MA, Spinks C, Heath ALM, Harvey LJ, Foxall R, Wmperis J, Wolf C and Fairweathe-Tait SJ. 2007. Serum prohepcidin concentration: no association with iron absorption in healthy men; and no relationship with iron status in men carrying HFE mutations, hereditary haemochromatosis patients undergoing phlebotomy treatment, or pregnant womenBritish Journal of Nutrition (2007), 97: 544-549. Ryu EY, Jang SH, Yean JS, Park ES, Sea JH, Lim JY, Park CH, Woo HO, Youn HS. 2007. Corelation between prohepcidin level and iron parameter in
84
infant patients wiht iron deficiency anemia and anemia free infants. Clin Pediatr Hematol Oncol. 2007 Oct;14(2):145-150. Korean. Sa’diyah NY dan Briawan D. 1999. Studi Pengembangan Metode Penilaian Konsumsi Pangan. Media Gizi Keluarga, XXIII (2), 52-66. Saidin. 1997. Efektifitas Suplementasi Tablet Besi Satu Kali Seminggu Dalam Penanggulangan Masalah Anemia Pada Kelompok Wanita Remaja, Laporan Penelitian Rutin, Puslitbang Gizi dan makanan. Bogor. Saidin. 2001. Efektifitas Penambahan Vitamin A dan Zat Besi Pada Garam Yodium Terhadap Status Gizi dan Konsentrasi Belajar Anak Sekolah Dasar, Laporan Penelitian DIP tahun 2001, Puslitbang Gizi dan Makanan. Bogor. Saidin. 2009. Profil Status Gizi, Kebugaran, Prestasi Belajar dan Suplementasi Zat Gizi Mikro Pada Murid SMP. Laporan Penelitian Puslitbang Gizi dan Makanan. Bogor. Sakti H, Rachmawati B, Rahfitudin MZ. 2003. Pengaruh Suplementasi Tablet Besi dan Pengetahuan Gizi, Sikap, Praktek, Tentang Anemia Dan Kadar Hemoglobin (HB) Pada Remaja Putri. Jurnal Media Medika Indonesia 38(1): 24-30. Schlenker E, Long S. 2007. William’s Essentials of Nutrition & Diet Therapy. Ninth edition. Mosby Elsevier. Canada. Schofield WN, Predicting basal metabolic rate, new and review of previous work. Hum Nutr Clin Nutr 1995;39:4-42. Scholl TO. Hediger. 1994. Anemia and iron deficiency anemia: comtabletation of data on pregnancy outcome. Am. J. clin nutr 59: 492S-500S. Schultink W, Gross R, Gliwitzki M, Karyadi D, Matulessi P. 1995..Effect of daily vs twice weekly iron supplementation in Indonesian preschool children with low iron status. Am J Clin Nutr ; 61 p.111–115. Schultink W, Gross R. 1998. The influence of vitamin A on iron status and possible consequences for micronutrient deficiency allenviation programs. In Micronutrient Interaction : Impact on child health and nutrition. Washington DC: USAID/FAO; p.28-35 Sharp P and Srai SK. 2007. Molecular mechanisms involved in intestinal iron absorption. World J Gastroenterol 13(35): 4716-4724. Soekirman. 2003. Fortifikasi Dalam Program Gizi: Apa dan Mengapa, Koalisi Fortifikasi Indonesia. KFI. Jakarta.
85
Soekarti M dan Kartono D. 2004. Angka kecukupan mineral: kalsium, fosfor, magnesium, besi, iodium, seng, selenium, mangan, fluor. Di Dalam LIPI: Widya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. Hal 375-415. Stoltfuz RJ, Dreyfuss ML. 1998. Guidelines for the use of iron supplements to prevent and treat iron defisciency anemia. ILSI Press. New York. Stopler. 2008. Medical Nutrition Therapy for Anemia. http://www.linkedin.com/pub/tracy-stopler-m-s-r-d/6/62/2 [25Maret 2011] Suega K, Bakta IM., Adnyana L, Darmayuda T. 2003. Perbandingan Beberapa Metode Diagnosis Anemia Defisiensi Besi: Usaha mencari cara diagnosis yang tepat untuk penggunaan klinik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RS Sanglah. Denpasar. Suharno, D, West, CE, Muhilal, Karyadi D, Hautvast, JGA 1993, Supplementation with vitamin A and iron for nutritional anemia as in pregnant women in West Java, Indonesia. Lancet ;342 p:1325–8 Sukhatme, P., and S. Margen, (1982), Autorcgulatory homeostatic nature of energy balance, Am J Clin Nut 35: 355-365. Sungthong R, Mo-suwan L, Chongsuvivatwong V and Geater AF. 2002. Once Weekly Is Superior to Daily Iron Supplementation on Height Gain but Not on Hematological Improvement among Schoolchildren in Thailand. J. Nutr. 132:418-422. Suominen P, Punnonen K, Rajamaki A, Irjala K. 1998. Serum Transferrin Receptor and Transferrin Receptor-Feritin Index Identify Healthy Subjects With Subclinical Iron Deficits. Blood vol 92 (8): 2934-2939. Tee E, Kandiah M, Awin N, Chong S, Satgunasingan N, Kamarudin L, Melani S, Alan E, Dugdale and Viteri FE. 1999. School-administered weekly iromfolate supplements improve hemoglobin and feritin concentrations in Malaysian adolecent girls. Am J Clin Nutr 69:1249-1256. Tolentino K, Friedman J. 2007. An Update on Anemia in Less Developed Countries. Am. J. Trop. Med. Hyg. 77(1): 44-55. Turnham, DI 1993, Vitamin A, iron and haemopoesis. Lancet 342 : p: 312- 313. USAID. 2005. Facts for Feeding - Meeting the Iron Requirements of Infants and Young Children. LINKAGES: Breastfeeding, LAM, Related Complementary Feeding, and Maternal Nutrition, Development (AED) by the Bureau for Global Health of the United States Agency for International Development (USAID). Washington.
86
Viteri FE, Hercberg S, Galan P, Guiro A and Preziosi P. 1994. Absorption of iron supplements administered daily or weekly: a collaborative study. Nestlé Foundation Annual Report for 1993. 1994, pp 82 - 96. Viteri FE, Ali F, Tujagve J. 1999. Long-term weekly iron supplementation improves and sustain non-pregnant women’s iron status as well or better than currently recomended short-term daily supplementation. J Nutr. 129:2013-2020. WHO. 1999. Prevention and Control of Deficiency Anaemia in Women and Children.UNICEF Regional Office for Central and Eastern Europe, the Commonwealth of Independence States and the Baltic States. Geneva, Switzerland. P: 17-30 WHO. 2001. Iron Deficioency Anemia, Assesment, Prevention and Control: A Guide for Program Manger. Geneva. P:7-21. WHO. 2004. WHO/CDC expert coonsultation agrees on best indicators to assess iron deficiency, a major cause of anemia. WHO. 2008, Worlwide Prevalence of Anemia 1993-2005. WHO Global Database on Anemia. Geneva, Switzerland. Wirakusumah, ES 1999, Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi, Jakarta : Trubus Agrowidya, hal.1 -30. Wish BJ. 2006. Assessing Iron Status: Beyond Serm Feritin dan Transferrin Saturation. University Hospitals of Cleveland and Departement of Medicine, Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio. Clin J Am Soc Naphrol 1: S4-S8. Wong WW, Butte NF, HegenroederAC, Hill RB, Stuff FE, Smith EO. 1996. Are basal metabolic rate prediction equations appropriate for female children and adolescents?. the American Physiological Society, 24 July 1996. Young MF, Glahn RP, Ariza M – Neeto, Inglis J, Olbina G, westerman M, O’Brien K. 2009. Serum Hepsidin Is Signicantly Associated With Iron Absorption rom ood And Suplemental Source In Healthy Young Women. Am.J Clin Nutr 89:533-538. Zavaleta N, Respicio G, Garcia T. 2000. Efficacy and acceptability of two iron supplenmtation schedules adolescent school girls in Lima, Peru. J Nutr 132:8595-8615.
LAMPIRAN
88
Lampiran 1. Diskriptif non-parametrik
Karakteristik Sampel Kelompok perlakuan Descriptive Statistics N
Minimum Maximum
Statistic umur responden dalam tahun umur ayah umur ibu berat badan tinggi badan nilai IMT jumlah kapsul yamg diminum selama penelitian lama menstruasi Valid N (listwise)
Statistic
Statistic
29
12.7
29 29 29 29 29 29
35 30 127.8 25.5 13.10 21
23 23
4
15.3
Mean
Std. Deviation
Statistic
Statistic
Skewness Statistic
Std. Error
13.669
.8160
.504
.434
63 45.66 57 40.83 155.6 145.772 52.6 38.272 22.10 17.8241 25 24.31
7.072 6.892 6.6855 7.3230 2.34226 1.312
.437 .481 -.997 .003 .164 -1.847
.434 .434 .434 .434 .434 .434
.928
-1.029
.481
7
5.96
Mensis Frequency Valid
1 sudah Mens
Percent
23
2 Belum mens Total
Valid Percent
79.3
Cumulative Percent
79.3
79.3 100.0
6
20.7
20.7
29
100.0
100.0
Kriteria IMT Frequency Valid
1 sangat kurus
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
11
37.9
37.9
37.9
2 kurus
7
24.1
24.1
62.1
3 normal
11
37.9
37.9
100.0
Total
29
100.0
100.0
Keluhan selama mengkonsumsi kapsul zat besi Valid Percent Percent
Frequency Valid
Cumulative Percent
1 Tidak ada keluhan
26
89.7
89.7
89.7
2 Sakit kepal/pusing
2
6.9
6.9
96.6
3 mual muntah
1
3.4
3.4
100.0
29
100.0
100.0
Total
89
Kelompok kontrol Descriptive Statistics N
Minimum Maximum
Statistic umur responden dalam tahun umur ayah umur ibu berat badan tinggi badan nilai IMT jumlah kapsul yang diminum selama penelitian lama menstruasi Valid N (listwise)
Statistic
Statistic
Mean
Std. Deviation
Statistic
Statistic
Skewness Statistic
26
11.6
15.5
13.615
1.1348
.049
.456
26 26 26 26 26 26
33 30 128.7 25.4 12.20 16.00
57 51 162.2 56.2 24.30 25.00
44.12 39.46 145.838 39.196 17.9500 24.2308
6.339 5.955 8.0290 8.0892 2.92332 1.79572
.041 .063 -.207 .129 .429 -4.147
.456 .456 .456 .456 .456 .456
20 20
4
8
6.15
1.182
-.744
.512
Mensis Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1 sudah mens
20
76.9
76.9
76.9
2 belum mens
6
23.1
23.1
100.0
26
100.0
100.0
Total
1=, 2=s, 3=, 4= gemuk, 5 = sangat gemuk Frequency Valid
1 sangat kurus
Std. Error
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
10
38.5
38.5
38.5
2 kurus
6
23.1
23.1
61.5
3 normal
10
38.5
38.5
100.0
Total
26
100.0
100.0
90
Lampiran 2. Pekerjaan orang tua Pekerjaan ayah kelompok perlakuan Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
tidak bekerja
1
3.4
3.4
3.4
pegawai swasta
6
20.7
20.7
24.1
buruh
11
37.9
37.9
62.1
dagang
2
6.9
6.9
69.0
petani
1
3.4
3.4
72.4
supir angkot/ojek
5
17.2
17.2
89.7
alim
3
10.3
10.3
100.0
Total
29
100.0
100.0
Pekerjaan ibu kelompok perlakuan Frequency Valid
tidak bekerja
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
23
79.3
79.3
79.3
pegawai swasta
1
3.4
3.4
82.8
dagang
1
3.4
3.4
86.2
tukang cuci
4
13.8
13.8
100.0
29
100.0
100.0
Total
Pekerjaan ayah untuk kelompok kontrol Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
tidak bekerja
1
3.8
3.8
3.8
pegawai swasta
4
15.4
15.4
19.2
buruh bangunan
8
30.8
30.8
50.0
dagang
1
3.8
3.8
53.8
petani
3
11.5
11.5
65.4
supir angkot/ojek
2
7.7
7.7
73.1
lainnya
7
26.9
26.9
100.0
26
100.0
100.0
Total
91
Pekerjaan ibu kelompok kontrol Frequency Valid
tidak bekerja
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
22
84.6
84.6
84.6
pegawai swasta
1
3.8
3.8
88.5
buruh
1
3.8
3.8
92.3
dagang
1
3.8
3.8
96.2
petani
1
3.8
3.8
100.0
Total
26
100.0
100.0
92
Lampiran 3. Pendidikan orang tua Penddikan ayah kelompok perlakuan Frequency Valid
tidak tamat SD
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
4
13.8
13.8
13.8
16
55.2
55.2
69.0
tamat SMP
5
17.2
17.2
86.2
tamat SMA
4
13.8
13.8
100.0
29
100.0
100.0
tamat SD
Total
Pendidikan ibu kelompok perlakuan Frequency Valid
2 Tidak tamat SD
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
6
20.7
20.7
20.7
3 Tamat SD
20
69.0
69.0
89.7
4Tamat SMP
2
6.9
6.9
96.6
5 Tamat SMU
1
3.4
3.4
100.0
29
100.0
100.0
Total
Pendidikan ayah kelompok kontrol Frequency Valid
Tidak tamat sd
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
7.7
7.7
7.7
17
65.4
65.4
73.1
Tamat SMP
6
23.1
23.1
96.2
Tamat SMA
1
3.8
3.8
100.0
26
100.0
100.0
Tamat SD
Total
Pendidikan ibu kelompok kontrol Frequency Valid
Tidak tamat sd
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
4
15.4
15.4
15.4
19
73.1
73.1
88.5
Tamat SMP
2
7.7
7.7
96.2
Tamat SMA
1
3.8
3.8
100.0
26
100.0
100.0
Tamat SD
Total
93
Lampiran 4. Diskriptif asupan zat gizi
Kelompok perlakuan Descriptive Statistics N Statistic kalori awal AKG_EN1 kalori akhir AKG_EN2 protein total awal AKG_PROT1 protein total akhir AKG_PROT2 vitamin A awal AKG_VITA1 vitaminA akhir AKG_VITA2 vitamin C awal AKG_VITC1 vitamin C akhir AKG_VITC2 zat besi awal AKG_IRON1 Kapsul AKG_KASUL jumlah intake harian akhir ditambah dari suplemen AKG_IRON2_KAP serat awal AKG_FIB1 serat akhir AKG_FIB2 Valid N (listwise)
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Skewness Statistic
Std. Error
29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29
950 40.43 950 40.43 10.36 20.72 10.36 20.72 12 2.00 15 2.50 0 .00 0 .00 1.05 5.25 14.00 53.85 17.17
2795 118.94 1925 93.90 72.67 127.49 72.67 127.49 878 146.33 657 109.50 137 274.00 137 274.00 56.01 38.54 16.67 83.35 26.79
1469.62 64.9890 1408.55 62.4262 37.1484 67.4979 40.2076 73.0403 301.69 50.2817 301.34 50.2238 29.10 48.2755 24.24 41.0021 6.5117 19.5555 16.2090 67.4117 20.9855
371.946 16.57446 271.050 13.14661 14.60281 26.27280 16.04310 28.06939 214.369 35.72788 165.763 27.62677 33.373 59.20442 31.241 56.80843 9.78081 8.73635 .87642 8.47248 2.46551
1.448 1.210 .053 .363 .917 .781 .510 .409 .808 .808 .596 .596 1.820 2.382 2.392 2.926 4.943 .407 -1.842 .844 .739
.434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434 .434
29 29 29 29 29 29
68.62 1.88 10.56 1.88 10.56
107.95 16.40 87.23 11.32 63.60
87.0134 12.06777 6.9655 3.30958 37.5107 18.08493 6.3514 2.87024 34.2910 16.07646
.284 .702 .641 .413 .466
.434 .434 .434 .434 .434
94
Kelompok kontrol Descriptive Statistics
kalori awal AKG_EN1 kalori akhir AKG_EN2 protein total awal AKG_PROT1 protein total akhir AKG_PROT2 vitamin A awal AKG_PVITA1 vitaminA akhir AKG_VITA2 vitamin C awal AKG_VITC1 vitamin C akhir AKG_VITC2 zat besi awal AKG_IRON1 zat besi akhir AKG_IRON2 serat awal AKG_FIB1 serat akhir AKG_FIB2 Valid N (listwise)
N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26
894 38.04 960 40.85 17.24 30.25 17.24 30.25 10 1.67 74 12.33 1 1.54 0 .00 1.84 7.08 1.84 7.08 3.61 19.39 3.61 19.39
2874 140.20 2874 140.20 97.44 194.88 97.44 194.88 1053 175.50 673 112.17 133 266.00 133 266.00 28.12 140.60 28.12 140.60 14.44 80.67 14.44 80.67
1442.12 65.4646 1490.35 67.5019 45.7504 85.4992 44.2327 82.5008 384.46 64.0769 372.62 62.1023 26.88 47.4842 26.15 46.6088 6.1869 27.3892 6.5938 29.0873 7.3362 39.7838 7.0635 38.2158
454.367 23.47419 433.661 22.13039 18.06056 36.69809 18.16412 36.37508 234.967 39.16168 188.952 31.49291 26.570 52.06259 26.893 52.56977 5.27782 26.29402 5.58596 27.03646 2.89599 16.76631 2.86079 16.31427
Skewness Statistic 1.305 1.356 1.351 1.396 1.013 1.093 1.034 1.157 .726 .726 -.090 -.090 2.741 3.157 2.686 3.091 3.293 3.514 2.740 3.097 1.114 1.229 1.131 1.295
Std. Error .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456 .456
95
Lampiran 5. Diskriptif Biomarker Status Besi dan Prohepsidin Kelompok perlakuan Descriptive Statistics
N
Minimum Maximum
Statistic kadar hb awal kadar hb akhir selisih hbawal dg hb akhir kadar feritin awal kadar feritin akhir selisih feritin awal dg feritin akhir kadar prohepsidin awal kadar prohepsidin akhir selisiprohep awal dg akhir Valid N (listwise)
Statistic
Statistic
Mean
Std. Deviation
Statistic Statistic
Skor Skewness Rasio/ Std. Std. Error Error
Skewness Rasio
29 29 29
9.1 10.6 -.2
11.9 12.7 1.8
11.076 11.728 .721
.7419 .5437 .5846
-.978 -.216 .303
.434 .434 .434
-2.25 -0.50
29 29 29
15.6 13.2 -25.7
63.4 70.2 42.4
35.645 16.1522 44.066 16.4889 8.421 18.8988
.524 -.221 -.037
.434 .434 .434
1.21 -0.51
29
51.9
423.9 182.795 119.5314
.880
.434
2.03
29
49.4
270.3 153.551 69.6116
.409
.434
0.94
29
-245.9
165.8
.062
.434
-29.197 108.7777
29
Kelompok kontrol Descriptive Statistics
N
Minimum Maximum
Statistic
Statistic
Statistic
Mean
Std. Deviation
Statistic Statistic
Skor Skewness Rasio/ Std. Error Std. Error
Skewness Rasio
kadar hb awal
26
7.6
11.9
11.035
1.0139 -1.846
.456
-4.05
kadar hb akhir selisih kadar hb awal dan akhir kadar feritin awal kadar feritin akhir selisih kadar feritin awal dan akhir kadar prohepsidin awal kadar prohepsidin akhir selisih kadar prohepsidin awal dan akhir Valid N (listwise)
26 26
8.6 -.60
11.8 1.00
10.985 -.0500
.8657 -1.336 .32404 1.574
.456 .456
-2.93
26 26 26
17.6 16.6 -32.20
66.8 64.4 28.50
26
37.524 13.4349 29.935 11.8598 -7.9269 14.87418
.430 1.285 .210
.456 .456 .456
0.94 2.82
54.6
445.6 203.915 136.3124
.695
.456
1.52
26
51.9
342.7 164.934 81.1237
.525
.456
1.15
26
-331.60
220.70 -38.9769 161.3230 0
-.428
.456
26
96
Rata-rata kadar hemoglobin sebelum dan sesudah intervensi
uji Mann Withney : sebelum P= 0.767, sesudah P= 0.000 Uji Wilcoxon : perlakuan P=0.000, kontrol P=0.137
Rata-rata kadar feritin sebelum dan sesudah intervensi
uji Mann Withney : sebelum P= 0.448, sesudah P= 0.001 Uji Wilcoxon : perlakuan P= 0.033, kontrol P= 0.011
Rata-rata kadar feritin sebelum dan sesudah intervensi
uji Mann Withney : sebelum P= 0.478, sesudah P= 0.673 Uji Wilcoxon : perlakuan P= 0.198, kontrol P=0.367
97
Lampiran 6. Korelasi antar kelompok non parametrik
UJI MANN WHITNEY Biomarker Status Besi Test Statisticsa Mann-Whitney U kadar hemoglobin awal kadar hemoglobin akhir selisih hbawal dg hb akhir kadar feritin awal kadar feritin akhir selisih feritin awal dg feritin akhir kadar prohepsidin awal kadar prohepsidin akhir selisiprohep awal dg akhir
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
359.500 164.500 75.000 332.000 188.000 190.500
794.500 515.500 426.000 767.000 539.000 541.500
-.296 -3.601 -5.110 -.759 -3.186 -3.144
.767 .000 .000 .448 .001 .002
335.000 352.000 371.000
770.000 787.000 806.000
-.709 -.422 -.101
.478 .673 .919
a. Grouping Variable: 1=kelompok besi 2=kelompok kontrol
Asupan Zat Gizi Test Statisticsa Mann-Whitney U kalori awal AKG_EN1 kalori akhir AKG_EN2 protein total awal AKG_PROT1 protein total akhir AKG_PROT2 vitamin A awal AKG_VITA1 vitaminA akhir AKG_VITA2 vitamin C awal AKG_VITC1 vitamin C akhir AKG_VITC2 zat besi awal AKG_IRON1 jumlah intake harian akhir ditambah dari suplemen AKG_IRON2_KAP serat awal AKG_FIB1 serat akhir AKG_FIB2
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
348.000 361.000 360.500 338.000 263.500 262.000 332.500 325.000 296.500 296.500 295.500 295.500 354.000 347.000 318.500 316.500 336.000 334.500 82.000
699.000 712.000 795.500 773.000 698.500 697.000 767.500 760.000 731.500 731.500 730.500 730.500 789.000 782.000 753.500 751.500 771.000 769.500 517.000
-.489 -.270 -.278 -.658 -1.914 -1.939 -.750 -.877 -1.357 -1.357 -1.374 -1.374 -.388 -.506 -.987 -1.021 -.691 -.717 -4.973
.625 .787 .781 .511 .056 .053 .453 .381 .175 .175 .169 .169 .698 .613 .324 .307 .489 .474 .000
280.500 362.000 365.000 323.500 330.000
715.500 797.000 800.000 758.500 765.000
-1.627 -.253 -.202 -.902 -.792
.104 .800 .840 .367 .428
a. Grouping Variable: 1=kelompok besi 2=kelompok kontrol
98
Lampiran 7. Uji Perbedaan sebelum dan sesudah intervensi
Uji Wilcoxon
Kelompok 1 (Perlakuan) c
Test Statistics
kadar kadar Hb akhir - kadar feritin akhir prohepsidin akhir kadar Hb awal - kadar feritin - kadar awal prohepsidin awal -4.322a .000
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
-2.130a .033
a. Based on negative ranks. b. Based on positive ranks. c. Wilcoxon Signed Ranks Test
Test Statisticsc Asymp. Sig. (2tailed)
Z kalori akhir - kalori awal AKG_EN2 - AKG_EN1 protein total akhir - protein total awal AKG_PROT2 - AKG_PROT1 vitaminA akhir - vitamin A awal AKG_VITA2 - AKG_VITA1 vitamin C akhir - vitamin C awal AKG_VITC2 - AKG_VITC1 jumlah intake harian akhir ditambah dari suplemen - zat besi awal AKG_IRON2_KAP AKG_IRON1 serat akhir - serat awal AKG_FIB2 - AKG_FIB1 a. Based on positive ranks. b. Based on negative ranks. c. Wilcoxon Signed Ranks Test
-.734a -.734a -2.062b
.463 .463 .039
-1.820b -.560b
.069 .575
-.560b -1.572a
.575 .116
-1.363a -4.145b
.173 .000
-4.714b
.000
a
.345 .345
-.943 -.943a
-1.287b .198
99
Kelompok 2 (kontrol) Test Statisticsb kadar kadar hemoglobin akhir kadar feritin akhir prohepsidin akhir - kadar - kadar feritin - kadar hemoglobin awal awal prohepsidin awal a
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
-1.488 .137
a
-2.527 .011
a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
c
Test Statistics
Asymp. Sig. (2tailed)
Z kalori akhir - kalori awal AKG_EN2 - AKG_EN1 protein total akhir - protein total awal AKG_PROT2 - AKG_PROT1 vitaminA akhir - vitamin A awal AKG_VITA2 - AKG_VITA1 vitamin C akhir - vitamin C awal AKG_VITC2 - AKG_VITC1 jumlah intake harian akhir ditambah dari suplemen - zat besi awal AKG_IRON2 - AKG_IRON1 serat akhir - serat awal AKG_FIB2 - AKG_FIB1 a. Based on negative ranks. b. Based on positive ranks. c. Wilcoxon Signed Ranks Test
-.944a a -.944 -1.439a
.345 .345 .150
-.535 -.365a
b
.593 .715
-.365a -1.219b
.715 .223
-.677b -4.457a
.498 .000
-.524a -.676b b -.676
.600 .499 .499
a
-.902 .367
100
Lampiran 8. Regresi linear berganda
Regression Analysis: selisih hb versus hb1; fer1; ... The regression equation is selisih Hb = 3,28 - 0,260 Hb awal - 0,00593 feritin awal + 0,000225 prohepsidin awal - 0,000236 energi akhir - 0,00275 protein akhir + 0,0409 iron akhir
Predictor Constant Hb awal Feritin awal Prohep awal energi akhir protein akhir iron akhir
Coef 3,2834 -0,26020 -0,005928 0,0002251 -0,0002356 -0,002752 0,040901
S = 0,468827
R-Sq = 48,1%
PRESS = 13,7545
SE Coef 0,8934 0,07454 0,004371 0,0005076 0,0002258 0,004658 0,007715
T 3,67 -3,49 -1,36 0,44 -1,04 -0,59 5,30
P 0,001 0,001 0,181 0,659 0,302 0,557 0,000
VIF 1,040 1,032 1,021 1,589 1,548 1,026
R-Sq(adj) = 41,6%
R-Sq(pred) = 32,36%
Residual Plots for selisih hb Residual Plots for selisih hb Normal Probability Plot
Versus Fits
99 1
Residual
Percent
90 50
0
10 1
-1
0 Residual
-1
1
-0,5
0,0
Histogram
0,5 Fitted Value
1,0
Versus Order 1
12
Residual
Frequency
16
8
0
4 0
-1,0
-0,5
0,0 0,5 Residual
1,0
-1
1
5
10
15
20 25 30 35 40 Observation Order
45
50 55
101
Regression Analysis: selisih feritin versus hb1; feritin1; ... The regression equation is selisih feritin = 52.3 - 2.09 Hb - 0.687 feritin awal + 0.0033 prohepsidin awal - 0.0171 energi akhir + 0.233 protein akhir + 0.771 iron akhir
Predictor Coef Constant 52.33 Hb awal -2.091 Feritin awal -0.6873 Prohepsidin awal 0.00328 energi akhir -0.017145 protein akhir 0.2335 iron akhir 0.7707
S = 14.5280
SE Coef 27.69 2.310 0.1355 0.01573 0.006996 0.1444 0.2391
R-Sq = 47.2%
PRESS = 13361.3
T 1.89 -0.91 -5.07 0.21 -2.45 1.62 3.22
P 0.065 0.370 0.000 0.836 0.018 0.112 0.002
VIF 1.040 1.032 1.021 1.589 1.548 1.026
R-Sq(adj) = 40.6%
R-Sq(pred) = 30.39%
Residual Plots for selisih feritin Residual Plots for selisih feritin Normal Probability Plot
Versus Fits
99
40
Residual
Percent
90 50 10
20 0 -20
1 -40
-20
0 Residual
20
40
-20
40
9
20
6 3 0
20
40
Versus Order
12
Residual
Frequency
Histogram
0 Fitted Value
0 -20
-24
-12
0 12 Residual
24
1
5
10 15
20 25 30 35 40 Observation Order
45 50
55
102
Regression Analysis: selisih prohepsidin versus hb1; feritin1; ... The regression equation is selisih prohepsidin = 313 - 9.1 Hb awal + 0.084 feritin awal - 0.874 prohepsidin awal - 0.102 energi akhir + 1.93 protein akhir - 0.99 iron akhir
Predictor Constant hb1 feritin1 prohepsidin1 energi akhir protein akhir iron akhir
Coef 312.9 -9.11 0.0838 -0.87381 -0.10226 1.9340 -0.988
S = 69.1125
SE Coef 131.7 10.99 0.6444 0.07483 0.03328 0.6867 1.137
R-Sq = 76.7%
PRESS = 325501
T 2.38 -0.83 0.13 -11.68 -3.07 2.82 -0.87
P 0.022 0.411 0.897 0.000 0.003 0.007 0.390
VIF 1.040 1.032 1.021 1.589 1.548 1.026
R-Sq(adj) = 73.8%
R-Sq(pred) = 66.90%
Residual Plots for selisih proprohepsidin Residual Plots for selisih proprohepsidin Normal Probability Plot
Versus Fits
99 100
Residual
Percent
90 50 10
0
-100
1
-100
0 Residual
100
-300
-200
Histogram 100
7,5
Residual
Frequency
100
Versus Order
10,0
5,0 2,5 0,0
-100 0 Fitted Value
0
-100 -120
-60
0 60 Residual
120
1
5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 Observation Order
103
Lampiran 9. Tahapan pelaksanaan penelitian
Tahap Pelaksanaan Kegiatan
I
II
III
Tahap seleksi Murid-murid SMP terpilih kelas VII,VIII dan IX
Pengumpulan data akhir
Pengumpulan data awal
Paket Intervensi
Analisis Data
Selama 12 minggu
Laporan
104
Lampiran 10. Naskah penjelasan penelitian
NASKAH PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN
HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DAN STATUS BESI REMAJA PUTRI PENDERITA ANEMIA SEBELUM DAN SESUDAH INTERVENSI ZAT BESI Kepada Yth : Bapa/ibu orang tua murid SMP.
Kami Tim dari Puslitbang Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan bermaksud untuk melakukan penelitian
kesehatan
dan gizi pada kelompok
remaja putri SMP usia 12-15 tahun yang menderita anemia.
Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan hepsidin dan status besi sebelum dan sesudah pemberian suplementasi zat besi pada remaja putri yang menderita anemia. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan perencanaan program upaya penanggulangan masalah anemia khususnya pada remaja putri. Bagi dunia ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan cakrawala baru dalam bidang ilmu gizi dan kesehatan di Indonesia. Pemeriksaan yang dilakukan pada remaja putri yang menjadi sampel penelitian ini meliputi: a. Pemeriksaan darah dilakukan 2 kali diawal dan diakhir penelitian. Remaja putri akan merasa sedikit sakit ketika darah diambil sebanyak 2,5 ml dari intra vena dengan spuit 2,5 ml menggunakan wing needle ukuran 23 G. Pengambilan darah dilakukan oleh tenaga analis terlatih dari Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor. b. Darah yang sudah diambil dimasukkan ke dalam tabung untuk dicentifuge kemudian diambil serumnya dimasukkan ke dalam tube serum dan siap untuk dianalisa.
105
Manfaat bagi remaja putri yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah mendapat pemeriksaan kadar hemoglobin, serum feritin dan kadar prohormon hepcidin sehingga dapat mengetahui status anemia. Berdasarkan pengalaman penganbilan darah vena tidak didapati efek samping. Untuk menjamin tidak ada kontaminasi atau akibat yang tidak diinginkan maka pengambilan darah dilakukan dengan seksama memakai tenaga analis terlatih dan menggunakan jarum disposible yang sesuai ukuran 23 G. Bila remaja putri merasa tidak nyaman dan keberatan maka remaja putri dapat menolak atau meneruskan pemeriksaan tanpa sanksi. Apabila remaja putri bersedia ikut dalam penelitian ini mohon orang tua murid untuk menanda tangani lembar persetujuan (informed consent)yang terlampir. Bagi orang tua murid remaja putri yang menanda tangani kami melanjutkan pemeriksaan terhadap remaja putri dan kami menjamin kerahasiaan data yang dikumpulkan.
Peneliti yang dapat dihubungi : Rousmala Dewi, STP : Puslitbang Gizi dan Makanan , Jl Dr Sumeru no: 63, Bogor, Telp 0251-8321763
Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaannya hadir.Ada ungkapan terima kasih dari kami atas kerjasama yang baik dari bapak/ibu sekalian. Semoga ibu berkenan menerimanya.
Ketua Pelaksana Penelitian
Rousmala Dewi, STP
106
Lampiran 11. Surat pernyataan
DEPARTEMEN KESEHATAN RI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN GIZI DAN MAKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
SURAT PERNYATAAN BERSEDIA MENJADI SAMPEL PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Murid Tempat /Tgl lahir Alamat RT/RW Desa/kelurahan Kecamatan
: : : : : :
Telah mendapat penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan kepada saya sebagai peserta penelitian, dengan ini saya menyatakan setuju untuk berperan serta dalam penelitian “HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DAN STATUS BESI REMAJA PUTRI PENDERITA ANEMIA SEBELUM DAN SESUDAH INTERVENSI ZAT BESI ” dan setuju untuk ikut serta dalam penelitian ini, dengan catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan persetujuan ini. . Mengetahui Pelaksana Studi
(Rousmala Dewi, STP.)
Bogor, Julii 2010 Yang Menyetujui
( …………………..)
107
Lampiran 12. Formulir daftar responden
PENELITIAN HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DAN STATUS BESI REMAJA PUTRI PENDERITA ANEMIA SEBELUM DAN SESUDAH INTERVENSI ZAT BESI No
Nama Responden
Binti (nama orang tua laki-laki)
Umur (Thn)
Kelas
Alamat
108
Lampiran 13. Formulir identitas responden PENELITIAN HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DAN STATUS BESI REMAJA PUTRI PENDERITA ANEMIA SEBELUM DAN SESUDAH INTERVENSI ZAT BESI
Form 1 No. Responden : Petugas :…………….. Nama Responden : Tanggal :…………….. Tempat/Tanggal Lahir : Alamat : Kelas : Sekolah : Pekerjaan bapak : Pekerjaan Ibu : 1. Tidak bekerja 1. Tidak Bekerja 2. PNS, TNI, Polisi 2. PNS, TNI, Polisi 3. Pegawai swasta 3. Pegawai swasta 4. Buruh bangunan 4. Buruh bangunan 5. Dagang 5. Dagang 6. Petani 6. Petani 7. Penjahit 7. Penjahit 8. Sopir anggkot, ojek 8. Sopir anggkot, ojek 9. Lainnya 9. Lainnya Pendidikan Bapak : Pendidikan Ibu : 1. Tidak pernak sekolah 1. Tidak pernak sekolah 2. Tidak tamat SD 2. Tidak tamat SD 3. Tamat SD 3. Tamat SD 4. Tamat SLTP 4. Tamat SLTP 5. Tamat SLTA 5. Tamat SLTA 6. Tamat PT 6. Tamat PT Jumlah anggota rumah tangga :……………Orang Status Menstruasi : 1. Sudah 2. Belum Lama Menstruasi : ......... hari
109
Lampiran14. Formulir antropometri dan biokimia darah
PENELITIAN HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DAN STATUS BESI REMAJA PUTRI PENDERITA ANEMIA SEBELUM DAN SESUDAH INTERVENSI ZAT BESI Form 2 Nama Responden
;
Petugas :…………
No. Responden
:
tanggal :
Sekolah/Kelas
:
ANTROPOMETRI Berat Badan
: ………………..kg
Tinggi Badan
: ………………..cm
Nilai IMT
: ........................
Klasifikasi IMT
: ........................
1. Sangat kurus ( )
3. Normal ( )
2. Kurus ( )
4. Gemuk ( )
BIOKIMIA DARAH I Kadar Hemoglabin
: …………………… g/dl
Kadar Hematokrit
: …………………… %
Kadar Feritin serum
: ……………………ng/ml
Kadar Prohormon Hepsidin : ……………………ng/ml CRP
: ..............................
BIOKIMIA DARAH II Kadar Hemoglabin
: …………………… g/dl
Kadar Hematokrit
: …………………… %
Kadar Feritin serum
: ……………………ng/ml
Kadar Prohormon Hepsidin : …...................……ng/ml CRP
: ..............................
110
Lampiran 15. Formulir data klinis
PENELITIAN HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DAN STATUS BESI REMAJA PUTRI PENDERITA ANEMIA SEBELUM DAN SESUDAH INTERVENSI ZAT BESI Form 3 Nama Responden No. Responden Sekolah/Kelas
: : :
Petugas …………... tanggal :
RIWAYAT PENYAKIT 1. Dalam satu minggu/bulan terakhir pernah sakit a. Saluran pencernaan/diare 1 Ya, lamanya………..2 Tidak b. Saluran Pernafasan 1 Ya, lamanya………..2 Tidak c. Lainnya (sebutkan!)…………. 1 Ya, lamanya………..2 Tidak 2. Penyakit sekarang a. Infeksi saluran pencernaan 1. Disentri 1 Ya 2 Tidak 2. Diare 1 Ya 2 Tidak 3. Lainnya,sebutkan 1 Ya 2 Tidak b. Infeksi saluran pernafasan 1. TBC 1 Ya 2 Tidak 2. Batuk Rejan 1 Ya 2 Tidak 3. Phnemonia 1 Ya 2 Tidak 4. Infeksi pernafasan akut 1 Ya 2 Tidak 5. Bronchitis/Asmatis 1 Ya 2 Tidak 6. Lainnya,sebutkan 3. Infeksi lainnya, sebutkan a. Influenza 1 Ya 2 Tidak b. Cacar Air 1 Ya 2 Tidak c. Malaria 1 Ya 2 Tidak d. Lainnya, sebutkan……. 1 Ya 2 Tidak 4. Tanda-tanda anemia a. Muka : 1. Biasa 2. Pucat 3. Lain-lain b. Conjungtiva : 1. Normal 2. Pucat 3. Lain-lain 5. Kesimpulan : ………………………………………………………..
111
Lampiran 16. Formulir konsumsi makanan
PENELITIAN HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DAN STATUS BESI REMAJA PUTRI PENDERITA ANEMIA SEBELUM DAN SESUDAH INTERVENSI ZAT BESI
Form 4 :………… No. Responden Nama Responden/Kelas
Petugas : :
tanggal :
RECALL 1 x 24 JAM Menu
Bahan Makanan
Pagi
Snack
Siang
Snack
Malam
URT = Ukuran Rumah Tangga
Matang URT Gram
URT
Mentah Gram
112
Lampiran 17. Tabel angka kecukupan gizi
SUMBER: Surat Keputusan Mentri Kesehatan, No 1593/MENKES/SK/XI/2005
113
Lampiran 18. Formulir monitoring minum obat MONITORING MINUM OBAT SISWI SMP PURNAWARMAN KELAS VII. 1 Kelompok : ........ Juli-Agustus 2010
NO
NAMA
L/P
TGL LHR
JULI (tgl) 30
Petugas
:
AGUSTUS ( tanggal) 3
6
9
13
18
KETERANGAN/KELUHAN 25
27
31