HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN HARGA DIRI DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING
NASKAH PUBLIKASI
NUR FADHILAH AL-KARIMAH S 300 130 004
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN HARGA DIRI DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Syarat guna Memperoleh Gelar Magister Psikologi dalam Ilmu Psikologi
NUR FADHILAH AL-KARIMAH S 300 130 004
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN HARGA DIRI DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING
Nur Fadhilah Al-Karimah1) Magister Psikologi Sekolah Pascasarjana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris: 1) hubungan antara penyesuaian diri dengan meningkatnya subjective well being pada penyandang tunadaksa; 2) hubungan antara harga diri dengan meningkatnya subjective well being pada penyandang tuna daksa; 3) hubungan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan meningkatnya subjective well being pada penyandang tuna daksa. Subjek penelitian yaitu siswa-siswi penyandang tuna daksa di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso, Surakarta, Jawa Tengah berjumlah 140 siswa. Metode pengumpulan data menggunakan skala penyesuaian diri, skala harga diri dan skala subjective well being. Metode analisis data menggunakan analisis regresi ganda. Hasil analisis data menyatakan ada hubungan yang sangat signifikan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being pada siswa-siswi penyandang tuna daksa. Aspek variabel penyesuaian diri memiliki pengaruh yang lebih kuat pada subjective well being dari pada harga diri, sedangkan aspek yang paling kecil pengaruhnya adalah aspek harga diri. Implikasi bagi psikologi pendidikan menjadi bahan evaluasi serta dibutuhkan peranan ilmu psikologi dalam upaya meningkatkan subjective well being dikalangan penyandang tuna daksa.
Kata kunci: penyesuaian diri, harga diri, subjective well being
1)
Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF ADJUSTMENT AND SELFESTEEM WITH SUBJECTIVE WELL BEING
Nur Fadhilah Al-Karimah2) Master of Science Psychology Post-Graduate School
ABSTRACT
The aims of this research are to prove empirically: 1) relationship between self adjustment with the increasing of subjective well being in people with disability; 2) relationship between self-esteem with the increasing of subjective well being in people with disability; 3) relationship between self adjustment and self-esteem with the increasing of subjective well being in people with disability. The subjects of this research are students with disability in BBRSBD Prof. Dr. Soeharso, Surakarta, Central Java about 140 students. Data collection method used self adjustment scale, self-esteem scale and subjective well being scale. The method of analysis data used multiple regression analysis. The result of data analysis suggests that there is a significant relationship between self adjustment and selfesteem with subjective well being in students with disability. The aspect of self adjustment variable has the most dominant influence towards subjective well being more than self esteem, while the least influenced aspect is self-esteem aspect. Implications for psychological science education that is the subject of the evaluation as well as the necessary role of psychology to increase subjective well being.
Keywords: self adjustment, self-esteem, subjective well being
2)
Student of Master of Science Psychology in Muhammadiyah University Surakarta
1
PENDAHULUAN Individu dapat mencapai tujuan hidup apabila merasakan kebahagian, kesejahteraan, kepuasan, dan positif terhadap kehidupannya. Kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap individu dapat bersumber dari berbagai macam hal dan sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang bersifat subjektif inilah dikenal dengan istilah sebagai subjective well being. Subjective well being yang tinggi akan berdampak pada kondisi yang lebih baik pada kesehatan, kinerja, hubungan sosial, dan perilaku etis. Dengan kondisi Subjective well being yang tinggi diharapkan individu dapat menjadi produktif, khususnya pada individu yang memasuki usia dewasa dimana seseorang harus bisa hidup mandiri. Subjective well being meliputi evaluasi subjektif seseorang terhadap keadaan dirinya saat ini dan merupakan kombinasi antara adanya afek positif atau ketiadaan afek negatif serta kepuasan hidup secara umum (Diener, 2008). Berdasarkan BPS tahun 2004, individu tunadaksa selalu merasa tertekan dan didiskriminasi oleh masyarakat, diantaranya sikap masyarakat mengejek atau menertawakan sebanyak 69,9%, sikap masyarakat menolak kehadiran mereka sebanyak 35,5%, sikap acuh tak acuh sebanyak 15%, dan sikap masyarakat terlalu protektif sebanyak 13,7% (BPS, 2004 dalam Gladys, 2010). Data-data tersebut sejalan dengan temuan-temuan data awal di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso. Data tersebut adalah sebagai berikut :
2
Tabel 1. Hasil Quesioner terbuka Siswa Penyandang Tunadaksa di BBRSBD (26-27 November 2014) 1
Kepuasan hidup siswa
Sangat
puas
Puas 10%
5% 2
puas
50%
35%
puas
Bersama
Bersama
Bersama
Sendirian
menimbulkan kepuasan
teman 45%
keluarga
pasangan 8,3%
8,3%
Sendirian
Tidak punya
28,3%
keluarga
38,3%
Hal yang sering
Tidak punya
Tidak
punya
menimbulkan perasaan
teman 55%
pacar 8,3%
tidak puas 4
Tidak
Hal yang sering
hidup 3
Cukup
8,3%
Kenyamanan hidup
Sangat
Nyaman
Cukup nyaman
Tidak
siswa
nyaman 6,7%
11,7%
48,3%
nyaman 33,3%
5
6
Hal yang mengganggu
Masa
pikiran siswa
suram 45%
Hal
yang
membuat
siswa bahagia
depan
Tidak
Tidak
Diasingkan
pasangan
mempunyai
oleh keluarga
16,7%
teman 30%
8,3%
Bersama
Bersama
teman 66,7%
keluarga
punya
33,3% 7
Hal
yang
siswa sedih
membuat
Merasa tidak
Diasingkan
Jauh
dari
berguna
keluarga
keluarga 25%
41,7%
16,7%
Berpisah dengan teman 16,7%
Berdasarkan hasil quesioner terbuka diperoleh kesimpulan bahwa siswa penyandang tuna daksa merasa cukup puas dengan kehidupannya saat ini dan yang dapat menimbulkan kepuasan hidup ketika bersama dengan teman-temannya. Siswa penyandang tuna daksa beranggapan bahwa dirinya merasa tidak berguna di masyarakat dan memiliki masa depan yang suram. Hasil temuan data awal diatas sesuai dengan pendapat Hallahan (2006) bahwa efek besar yang dialami oleh individu dengan physical disability (tunadaksa) dalam bidang akademik adalah kurangnya pengalaman pendidikan dan tidak bisa
3
memanipulasi materi sekolah dan merespon tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh orang-orang kebanyakan. Dianawati (2005) menambahkan bahwa pada umumnya individu tunadaksa kurang memiliki pengalaman yang positif dikarenakan mereka tidak memiliki posisi yang menguntungkan dalam hubungan sosial sehingga mereka menjadi inferior. Perasaan inferioritas pada individu tunadaksa adalah penerimaan yang buruk mengenai diri sendiri, rendah diri sehingga menyebabkan kurangnya kepercayaan diri, sifat malu pada diri sendiri yang kemudian mengarahkan individu pada usaha mengisolasi dirinya sendiri dan akibatnya individu tersebut cenderung merasa berbeda secara negatif. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being?”. Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik hubungan penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being. Penelitian mengenai subjective well being pada remaja telah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Diantaranya adalah penelitian Riyanto (2010) dengan subjek siswa Sekolah Menengah Atas kelas X-XII, sebanyak 299 siswa. Penelitian ini mengungkap pengaruh self esteem dan pola pendidikan terhadap well being remaja. Hasil penelitian ini menemukan bahwa self esteem dan pola pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap well being remaja. Penelitian mengenai subjective well being juga telah dilakukan di luar negeri. Penelitian Luhman, Eid, Hofmann & Lucas (2012) tentang subjective well being dan adaptasi pada peristiwa kehidupan: sebuah studi meta analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peristiwa hidup memiliki efek yang berbeda pada kesejahteraan afektif dan kognitif dan sebagian besar peristiwa memiliki efek yang lebih kuat dan lebih konsisten pada kesejahteraan kognitif. Perbedaan peristiwa hidup berbeda pada efek subjective well being pada masing-masing individu tetapi efek-efek ini bukan merupakan fungsi untuk menduga peristiwa seperti yang diinginkan.
4
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada metode penelitian, fokus kajian dan subjek yang digunakan. Dalam penelitian yang telah ada dengan menggunakan metode meta analysis, sedangkan penelitian ini menggunakan analisis regresi ganda. Fokus kajian dalam penelitian terdahulu adalah peristiwa hidup, jenis kelamin, dan stress, sedangkan dalam penelitian ini fokus kajiannya pada penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being. Subjek yang digunakan pada penelitian terdahulu dengan menggunakan mahasiswa, sedangkan subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah tuna daksa di BBRSBD Prof Dr. Soeharso Surakarta, dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya. Subjective Well Being Subjective well being dalam bahasa sehari-hari disebut dengan kebahagiaan. Namun, para peneliti lebih memilih untuk menyebut subjective well being karena istilah happiness (kebahagiaan) memiliki bermacam-macam arti yang masih diperdebatkan. Carr (2004) memberikan definisi yang sama antara kebahagiaan dan subjective
well
being,
yakni
sebuah
keadaan
psikologis
positif
yang
dikarakteristikkan dengan tingginya tingkat kepuasan terhadap hidup, tingginya tingkat emosi positif dan rendahnya tingkat emosi negatif. Subjective well being atau bisa disebut kesejahteraan subjective didefinisikan sebagai suatu fenomena evaluasi secara kognitif dan emosional dari individu mengenai kehidupannya seperti yang disebut orang awam yaitu kebahagiaan, ketentraman, dan kepuasan hidup (Diener & Suh, 2000; Pavot & Diener, 2004; Diener & Biswas-Diener, 2008). Aspek-aspek subjective well being menurut Jayawickreme, Forgeard & Seligman (2012) antara lain: emosi positif yaitu perasaan positif yang diperoleh dari hasil pengalaman masa lalu dan harapan di masa yang akan datang, keterlibatan yaitu ikut serta dan menikmati tugas yang diberikan, relasi sosial, kebermaknaan yaitu kesadaran tentang kekuatan dan bakat yang dimiliki, dan pencapaian yaitu penilaian atau prestasi seseorang terhadap keberhasilan dalam memenuhi keinginan atau kebutuhannya.
5
Menurut Diener, Oishi & Lucas (2002) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well being antara lain: diantaranya harga diri, tujuan hidup, kepribadian, hubungan sosial, kesehatan, demografi, sumber pemenuhan kebutuhan, budaya, adaptasi, kognitif, dan religiunitas/spiritualitas. Menurut Fafchamps dan Kebede (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kecacatan dengan Subjective Well Being. Keadaan tubuh yang cacat dapat mengakibatkan perasaan rendah diri, frustasi, merasa diri tidak berguna, dan menarik diri dari lingkungan yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi pencapaian kebahagiaan dalam hidupnya. Penyesuaian Diri Menurut Kartono (2008) penyesuaian diri merupakan usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungan, sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan dan emosi negatif yang lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien dapat dihilangkan. Penyesuaian diri merupakan proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku individu agar terjadi hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungannya. Hurlock (2008) menambahkan aspek-aspek penyesuaian diri yaitu; mampu menilai situasi dan kondisi secara realistik, dapat bertanggung jawab, mampu menilai diri untuk berprestasi ataupun ketika gagal tetap optimis, mampu untuk hidup mandiri. Schneiders (2008) berpendapat bahwa faktor kondisi fisik, perkembangan dan kematangan unsur-unsur kepribadian, pengalaman, kondisi lingkungan dan peran kebudayaan (keyakinan dan agama) dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu. Harga Diri Definisi harga diri yaitu evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri, dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan terhadap keberadaan dan keberartian diri (Dariyo & Ling, 2002; Baron & Byrne, 2004; Chaplin, 2004).
6
Menurut coopersmith (1967) aspek-aspek harga diri meliputi: Self values, diartikan sebagai nilai-nilai pribadi individu yaitu isi dari diri sendiri, harga diri ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang diyakini individu sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya. Leadership popularity, yaitu individu yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung mempunyai kemampuan yang dituntut dalam kepemimpinan (leadership), sedangkan popularitas merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan pengalaman keberhasilan yang diperoleh dalam kehidupan sosialnya dan tingkat popularitasnya mempunyai hubungan dalam harga diri, sehingga semakin populer individu diharapkan mempunyai harga diri yang tinggi. Menurut Mruk (2006) faktor yang mempengaruhi harga diri antara lain: hubungan yang berkenaan dengan orangtua, jenis kelamin, orientasi budaya, faktor sosial dan nilai. Argyle (2008) menambahkan faktor yang mempengaruhi harga diri antara lain: reaksi dari orang lain, peran sosial dan identifikasi. Tuna Daksa Pengertian tuna daksa adalah bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang bersifat primer atau sekunder yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilitas dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi (Fafchamps & Kebede 2008). Hubungan Antara Penyesuaian Diri dan Harga Diri dengan Subjective Well Being Individu penyandang tuna daksa kadang mengalami perlakuan yang kurang nyaman dimana orang-orang sebenarnya melihat mereka tetapi menganggap mereka tidak ada. Hal ini diperparah oleh persepsi negatif publik yang menyatakan bahwa individu tuna daksa itu berbeda, aneh, terasing dari kehidupan sosial, dan lain-lain yang intinya membedakan individu tuna daksa dengan orang-orang normal. Stigma-stigma negatif tentang tuna daksa yang tidak berhasil dikelola, membuat individu tuna daksa menjadi terasing sehingga merasakan ketidakberdayaan pada dirinya. Kecanggungan yang tampak pada tuna daksa memperjelas bahwa sulitnya diterima seperti layaknya individu normal. Lingkungan yang kurang
7
mendukung merupakan bukti rendahnya dukungan sosial, hal ini sangat menghambat inisiatif penyandang tuna daksa untuk bergaul memperluas penyesuaian dirinya (Nur, 2012). Tingkat penyesuaian diri yang rendah pada penyandang tuna daksa turut didukung dengan hambatan internal yang berasal dari diri individu tuna daksa seperti rendah diri, sensitif, tidak mandiri, dengan begitu maka individu tuna daksa semakin menarik diri dari masyarakat. Menarik diri dari kehidupan berpengaruh pada kondisi psikologis yang memperburuk seperti berkurangnya ketrampilan sosial, rendahnya keinginan berkompetisi dan apatis dengan keadaan sekitar. Selain itu, afek negatif seperti perasaan kesepian dan tidak puas dengan kehidupan semakin intens dirasakan. Jika hal ini tidak diatasi maka akan mengarah pada keadaan depresi (Steels & Ones, 2002). Individu yang mengalami cacat fisik dapat berpengaruh pada keadaan mentalnya dan tidak jarang dapat menimbulkan masalah psikologis yang dapat mengganggu dalam pergaulan sehari-hari. Masalah-masalah tersebut diantaranya rendahnya harga diri, rasa malu yang dapat menghambat interaksi sosial serta emosiemosi negatif yang mendominasi akibat masih sulit menyesuaikan diri dalam menjalani hidup dengan kekurangan fisiknya, terutama bagi penyandang tuna daksa akibat kecelakaan (Fafchamps & Kebede, 2008). Harga diri merupakan bagian dari konsep diri yang mempunyai arti sebagai suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersikap positif maupun negatif (Baron dan Bryne, 2004). Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta yakin kehadirannya diperlukan di dunia ini. Individu yang memiliki harga diri rendah akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan berharga (Tambunan, 2001). Setiap individu tentu saja berkeinginan memiliki kepribadian yang sehat termasuk penyandang tuna daksa, dengan harapan kepribadian yang sehat akan muncul perilaku yang positif. Tentu saja penyesuaian diri menjadi bagian yang
8
penting bagi individu. Dengan kata lain apabila penyesuaian dirinya baik maka individu tersebut akan dapat menyesuaikan diri dan berperilaku baik di dalam lingkungannya. Menurut Kartono (2008) individu dikatakan memiliki penyesuaian diri yang memuaskan apabila dapat memenuhi kebutuhan dan mengatasi ketegangan, frustasi dan konflik yang dihadapinya. Dapat pula dikatakan apabila individu memiliki penyesuaian diri yang baik dan di dukung oleh lingkungan keluarga dan sekolahnya maka individu akan dapat menampakkan perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sebaliknya apabila individu kurang mampu menyesuaikan diri, maka individu akan menampakkan perilaku yang negatif. Perilaku negatif tersebut selain dapat merugikan diri sendiri juga dapat merugikan lingkungan sekitarnya. Individu dapat mencapai tujuan hidup dan cita-citanya apabila perasaannya bahagia, sejahtera, puas, serta positif terhadap kehidupannya. Individu yang memiliki perasaan tersebut merupakan individu yang memiliki subjective well being yang baik. Rasa bahagia, sejahtera, puas serta positif akan berdampak pada kondisi yang lebih baik pada kesehatan, kinerja, hubungan sosial, dan perilaku etis (Kasebir & Diener, 2008). Perasaan tersebut didapatkan penyandang tuna daksa ketika dukungan sosialnya baik. Penerimaan diri seorang tuna daksa didapat dari penyesuaian diri yang dilakukan dengan sesama tuna daksa ketika mengikuti program rehabilitasi atau pelatihan-pelatihan di BBRSBD “Prof Dr. Soeharso” Surakarta. Dengan kondisi subjective well being yang baik diharapkan individu dapat menjadi produktif, terlebih pada individu yang memasuki usia dewasa dimana individu tersebut harus bisa hidup mandiri. Hipotesis Berdasarkan telaah pustaka yang telah di uraikan, maka hipotesis yang penulis ajukan adalah sebagai berikut: 1. Hipotesis mayor:
9
Ada hubungan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being. 2. Hipotesis minor: a. Ada hubungan positif antara penyesuaian diri dengan subjective well being. b. Ada hubungan positif antara harga diri dengan subjective well being. METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi penyandang tuna daksa di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta dan jumlah siswa terdiri dari 230 siswa. populasi atau keseluruhan dari subyek yang akan diteliti dalam pembahasan ini adalah
seluruh
siswa penyandang tuna daksa di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso
Surakarta yang mengikuti keterampilan reparasi sepeda motor 22 siswa, pertukangan las 10 siswa, penjahitan 33 siswa, salon kecantikan 12 siswa, elektro 13 siswa, photografi 20 siswa, percetakan 18 siswa, komputer 22 siswa, handycraft 45 siswa, bordir 12 siswa, tataboga 12 siswa, pertukangan kayu 11 siswa. Jumlah total populasi dalam penelitian ini adalah 230 siswa. Dalam menentukan jumlah sampel, Arikunto (2005) memberikan pendapat “jika peneliti memiliki beberapa ratus subjek dalam populasi, maka mereka dapat menentukan kurang lebih 25-30% dari jumlah tersebut.” Diperoleh perhitungan sebagai berikut: 30% dari 230 siswa yaitu 70 siswa-siswi penyandang tuna daksa di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Pengambilan sampel penelitian berdasarkan kelas kursus yang diikuti oleh siswa penyandang tuna daksa sehingga teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan cluster random sampling, dimana semua siswa mendapat peluang yang sama untuk menjadi sampel bukan siswa secara individual atau perseorangan, melainkan secara kelompok (Suryabrata, 2009). HASIL PENELITIAN Hasil analisis data menyatakan bahwa: (1) ada hubungan yang sangat signifikan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being; (2) ada hubungan positif yang sangat signifikan antara penyesuaian diri dengan
10
subjective well being. Semakin tinggi penyesuaian diri, maka semakin tinggi subjective well being pada siswa; (3) ada hubungan positif yang sangat signifikan antara harga diri dengan subjective well being. Semakin tinggi harga diri, maka semakin tinggi subjective well being. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa “ ada hubungan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being” diterima. Nilai koefisien korelasi yang diuji melalui analisis regresi berganda dengan menggunakan program SPSS 21.0 for Windows, menunjukkan bahwa R = 0,478; F regresi = 62,702; p = 0,000 (p < 0,01). Berarti ada hubungan signifikan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being di panti rehabilitasi penyandang tuna daksa BBBRSBD Prof. Dr. Soeharso. Perolehan data menunjukkan subjective well being tergolong sangat tinggi, dengan nilai rerata empirik sebesar 137,7. Berdasarkan hasil analisis diketahui variabel penyesuaian diri memiliki rerata empirik 108,05 lebih besar dari rerata hipotetik 75 yang berarti penyesuaian diri siswa sangat tinggi. Sedangkan peranan atau sumbangan efektif penyesuaian diri terhadap subjective well being sebesar = 34,3%. Hasil tersebut sama halnya dengan penelitian dari Fafchamps dan Kebede (2008) yang menunjukkan bahwa kesejahteraan dari penyandang cacat di Ethiopia dapat berawal dari adaptasi (penyesuaian diri) dari seseorang penyandang. Setelah terdapat pengontrolan untuk peringkat kekayaan, pengaruh kecacatan pada kesejahteraan menghilang. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara dua variabel pada dasarnya memiliki pengaruh adaptasi dari kecacatan pada kesejahteraan material. Pendapat lain dari Luhman (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa peristiwa kehidupan yang berbeda-berbeda dalam efek subjective well being, tetapi dalam efek ini tidak berfungsi dugaan keinginan tentang peristiwa. Hasil dibahas sehubungan dengan implikasi teoritis mereka, dan rekomendasi untuk studi di masa depan dengan adaptasi yang diberikan.
11
Sehingga dari situ dapat dijelaskan bahwa adaptasi dalam penelitian ini penyesuaian diri sangat dibutuhkan dalam menunjang kehidupan sehari-hari, sebab penyesuaian diri merupakan proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku individu agar terjadi hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kartono (2008) bahwa penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungan, sehingga energi-energi negatif yang ada di individu tersebut dapat dihilangkan. Harga diri memiliki rerata empirik 123,81 lebih besar dari rerata hipotetik 90, hal ini berarti bahwa harga diri siswa tergolong sangat tinggi. Sedangkan sumbangan efektif harga diri terhadap subjective well being sebesar = 13,5%. Dalam penelitian Glenna dan John (2014) Pengaruh enkulturasi, harga diri, kesejahteraan subjektif, dan dukungan sosial pada ketahanan antara perkotaan American Indian (AI) remaja dari wilayah Tengah Selatan dari AS dieksplorasi. 30% dari varians dalam ketahanan dipertanggungjawabkan oleh enkulturasi, harga diri, dan dukungan sosial, sementara 34% dari varians dalam ketahanan disumbangkan oleh enkulturasi, kesejahteraan subjektif, dan dukungan sosial. Namun, dukungan sosial dari teman tetap menjadi prediktor terkuat dalam mempengaruhi subjective well being individu tersebut. Hasil analisis diatas sesuai dengan beberapa teori yang menjelaskan tentang bagaimana penyesuaian diri dan harga diri mempengaruhi subjective well being yang mengacu pada persepsi individu tentang keberadaan dirinya atau melihat secara subjective pengalaman hidup individu tersebut. Menurut Diener, Oishi dan Lucas (2002) bahwa persepsi individu akan subjective well being dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu penyesuaian diri dan harga diri. Bagi penyandang tuna daksa, keadaan tubuh yang cacat dapat mengakibatkan perasaan rendah diri, merasa diri tidak berguna dan menarik diri dari interaksi social, hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fafchamps dan Kebede (2008) yang mengatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kecacatan dengan subjective well being.
12
Hasil penelitian lain yang menunjukkan keseluruhan sumbangan efektif variabel penyesuaian diri dan harga diri terhadap subjective well being sebesar 47,8% yang ditunjukkan oleh koefisien determinan (
) 0,478. Hal ini berarti terdapat
52,2% variabel lain yang mempengaruhi subjective well being diluar variabel penyesuaian diri dan harga diri. Variabel lain yang dimaksudkan antara lain yang mempengaruhi subjective well being menurut Jayawickreme, Forgeard dan Seligman (2012) antara lain: emosi positif yaitu perasaan positif yang diperoleh dari hasil pengalaman masa lalu dan harapan di masa yang akan datang, keterlibatan yaitu ikut serta dan menikmati tugas yang diberikan, relasi sosial, kebermaknaan yaitu kesadaran tentang kekuatan dan bakat yang dimiliki, dan pencapaian yaitu penilaian atau prestasi seseorang terhadap keberhasilan dalam memenuhi keinginan atau kebutuhannya. Emosi negatif yang terdapat pada diri siswa penyandang tuna daksa membuat siswa penyandang tuna daksa menjadi sering merasa terasing dari kehidupan sosialnya. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Penyesuaian diri dan harga diri bersama-sama memiliki kontribusi positif terhadap subjective well being pada siswa penyandang tuna daksa di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso. Artinya, penyesuaian diri dan harga diri dapat menjadi prediktor subjective well being. 2. Sumbangan
efektif
yang
diberikan
dari
masing-masing
variabel
independen/prediktor terhadap subjective well being adalah sumbangan efektif penyesuaian diri sebesar = 34,3% dan sumbangan efektif harga diri terhadap subjective well being sebesar = 13,5%. 3. Kategorisasi dari setiap variabel dalam penelitian ini bergerak pada level sangat tinggi.
13
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian beberapa saran yang diberikan oleh peneliti adalah : 1. Bagi siswa penyandang tuna daksa Diharapkan : Untuk meningkatkan penyesuaian diri, harga diri yang masih rendah dengan cara : a. Meningkatkan kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu, bersikap realistik dan objektif setiap menghadapi problemproblem, dan meningkatkan kontrol emosi secara positif. b. Selalu berpikir positif, sikap dan penerimaan yang positif terhadap perlakuan orang lain terhadap dirinya 2. Bagi keluarga siswa penyandang tuna daksa Diharapkan : Untuk selalu mensupport dan memotivasi siswa agar kepercayaan dirinya dapat meningkat sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya dengan penuh percaya diri dan mereka tidak menjadi individu yang introvert, rendah diri yang dapat mengakibatkan siswa penyandang tuna daksa menarik diri dari lingkungan sosial. 3. Bagi BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta Diharapkan : Untuk lebih intensif lagi dalam mengembangkan serta mempertahankan kegiatan-kegiatan balai yang produktif sehingga ketika lulus nanti siswa penyandang tuna daksa dapat memenuhi tuntutan lingkungan baik secara fisik maupun sosial. 4. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan : Untuk menyempurnakan hasil penelitian ini dengan cara memperbarui metode penelitian dan pengumpulan data atau menambah variabel-variabel lain yang belum diungkap. Dengan menggunakan pendekatan mix method data yang
14
diperoleh menjadi semakin terpercaya karena saling mendukung antara kualitatif dengan kuantitatif dalam penelitian, selain itu hasil penelitian akan lebih mendalam dari pada hanya menggunakan metode kuantitatif. DAFTAR PUSTAKA Abdo, H. A., & Alamudin, R. (2007). Predictors of subjective well being among college youth in Lebanon. Journal of Social Psychology, 147 (3), 265-284. Ardhian, R. P. (2014). Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada remaja difabel. (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Argyle, M. (2008). Sosial encounters: Contributions to social interaction. Aldine Transaction. Arikunto, S. (2005). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktis. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Baron, R. A., & Bryne, D. (2004). Psikologi sosial (ed. 1). Jakarta: Erlangga. Branden, N. (2001). Kiat jitu meningkatkan harga diri. Jakarta: Delaprasata. Calhoun, J.F., & Acocella, J. R. (1995). Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan kemanusiaan. Semarang: Press Semarang. Carr, A. (2004). Positive psychology: The science of happiness and human strengths. New York: Brunner-Routledge. Cast, D. A. & Burke, P. J. (2002). A theory of self esteem. Journal of Social Force,80 (3), 115-130. Compton, W. C. (2005). Introduction to positive psychology. New York: Thomson Wodsworth. Damayanti, S., & Rostiana. (2003). Dinamika emosi penyandang tuna daksa pasca kecelakaan. Jurnal Ilmiah Psikologi Arkhe, 8 (1). Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
15
Dewi, P. S., & Utami, M. S. (2008). Subjective well being anak dari orang tua yang bercerai. Jurnal Psikologi, 35 (2), 194-212. Diener, E. (2000). Subjective well being: The science of happiness and proposal for national index. Journal of American Psychologist, 55 (1), 34-43. Diener, E., & Suh, E. (2000). Culture and subjective well being. Cambridge: MIT Press. Diener, E., & Oishi, S. (2005). Subjective well being: The science of happiness and life satisfaction. Dalam C. R. Synder, & S. J. Lopez (Eds). Handbook of possitive psychology (hal. 63-73). New York, NY: Oxford University Press. Diener, E., Biswas-Diener, R. (2008). Happines: Unlocking the mysteries of psychological wealth. USA: Blackwell Publishing. Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, culture, and subjective wellbeing: Emotional and cognitive evaluations of life. Annual Review of Psychology, 54, 403-425. doi: 10.1146/annurev.psych.54.101601. 145056. Fafchamps, M., & Kebede, B. (2008). Subjektive well-being, disability and adaptation: Acase study from rural Ethiopia. Journal of Development Economics, 71 (2), 261-287. Glenna, S. R & John S. C. R. (2014). Resilience among urban american indian adolescents: exploration into the role of culture, self-esteem, subjective wellbeing, and social support. American Indian and Alaska Native Mental Health Research Copyright: Centers for American Indian and Alaska Native Health Colorado School of Public Health/University of Colorado Anschutz Medical Campus (www.ucdenver.edu/caianh). Hadi, S. (2000). Metodologi reseach untuk penulisan paper, skripsi, thesis, dan disertasi. Yogyakarta: Andi Offset. Hadi, S. (2007). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Offset. Hurlock, E. B. (2012). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga. Iskar, A. (2010). Examing psychological well being and self esteem levels of turkish student gaining identity agains role during conflict periodes. Journal of instractional psychology, 39 (1), 41-50.
16
Jayawickreme, E., Forgeard, M. J.C., & Seligman, M. E. P. (2012). The engine of well-being. Journal of American psychological association, 16 (4), 327-342. doi: 10.1037/a0027990. Kartono, K. (2008). Bimbingan anak dan remaja yang bermasalah. Jakarta: Rajawali Pers. Khalek, A. A., & Lester, D. (2013). Mental health, subjective well being, and religiosity: significant associations in Kuwait and USA. Journal of Muslim Mental Health, 7 (2), 1-14. Luhman, M., Eid, M., Hofmann, W., & Lucas, R. E. (2012). Subjective well being and adaptation to life events: A meta-analysis. Journal of Personality and social psychology, 102 (3), 592-615. doi:10.1037/a0025948. Mruk, C. J. (2006). Self esteem research, theroy, and practice, toward a positive psychology of self esteem. New York: Springer Publishing Company. Nur, D. P. (2012). Hubungan antara body image dan self esteem pada dewasa awal tuna daksa. Jurnal ilmiah psikologi, 1 (1), 1-9. Pagan-Rodriguez, R. (2012). Longitudinal analysis of the domains of satisfaction before and after disability: Evidence from the German socio-Economic Panel. Journal of Social Indicator Research, 26 (108), 365-385. Pratisti, W. D. (2015). Model kesejahteraan subjective remaja. (Disertasi sedang dalam proses penerbitan). Program Doktor Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ryff, C. D., & Siner, B. H. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological well being. Journal of Happiness Studies, 4 (9), 13-39. Schimmack, U., & Diener, E. D. (2003). Predictive validity of explicit and implicit self esteem for subjective well being. Journal of Research in personality, 37, 100-106. doi:10.1016/S0092-6566(02)00532-9. Schneiders, A. A. (2008). Personal adjustment and mental health. New York: Holtt Renchart and Winston Inc. Suryabrata, S. (2009). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
17
Ulfah, K. (2012). Hubungan antara dukungan orangtua, dukungan sosial teman, dan harga diri dengan prestasi akademik siswa kms pada jenjang sekolah menengah pertama di kota Yogyakarta. (Tesis tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Vacek, K. R., Coyle, L. D., & Vera, E. V. (2010). Stress, self-esteem, hope, optimism, and well-being in urban ethnic minority adolescents. Journal of Multicultural Counseling And Development 26 (38), 99-111.