ANALISIS SENS SITIVITAS S INDIKA ATOR PEN NGELOLA AAN HUTAN ALAM A PR RODUKSII RAMAH LINGKUNGAN : STUDI KAS SUS DI IU UPHHK/HP PH PT. SA ARI BUM MI KUSUM MA
RUSMAN
SE EKOLAH PASCAS SARJANA A INSTITUT PE ERTANIA AN BOGO OR B BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis Sensitivitas Indikator Pengelolaan
Hutan Alam Produksi Ramah LIngkungan :
Studi Kasus di IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah adalalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2008
Rusman NRP P052040061
ABSTRACT RUSMAN. Sensitivity Analysis of Indicator of Sustainable Forest Management of Production Natural Forest: Case Study of IUPHHK/HPH of PT Sari Bumi Kusuma. Under academic supervision of Hadi Sukadi Alikodra and Herry Purnomo. Sensitivity analysis of indicator is a modeling with the study objectives of constructing a model of indicators sensitivity of management of production natural forest which interact and inter affecting at the level of Concession Permit of Timber Forest Product Utilization Business (IUPHHK) in the area of PT. Sari Bumi Kusuma. There was environmental change due to human activity pressure (stakeholders and local community) and other natural factors, with indicator which had been determined for a management of production natural forest. Method of vegetation analysis used analysis of Importance Value Index. Soil analysis used USLE. Analysis of owa primate (Hylobates muelleri) used Indices Ponctuel of d’Abundance (IPA). Analysis of indicator sensitivity used the following phases (1) identification of indicators/issues/problems, objectives and definitions; (2) model conceptualization; (3) model specification (4) model evaluation and (5) use of model by constructing scenarios. Results of study, namely analysis on criteria and indicators of vegetation showed difference between virgin forest, logged over forest of Selective Logging and Strip Planting (TPTJ) and logged over forest of Indonesian Selective Logging and Planting (TPTI). Seedling stage in virgin forest comprised 28 000 per hectare, that of sapling stage 2600 per hectare; that of pole stage 204 per hectare; and that of tree stage 184 per hectare. Seedling stage in logged over forest of TPTJ comprised 3 173.73 per hectare; that of sapling stage 546.34 per hectare; that of pole stage 48.78 per hectare; and tree stage 142.07 per hectare. Seedling stage in logged over forest of TPTI comprised 2 357.14 per hectare; that of sapling stage 556 per hectare; that of pole stage 46.84 per hectare; and tree stage 86.76 per hectare. Size of Kalimantan owa primate population (Hylobates muelleri) in virgin forest was 0.109 per hectare, that in logged over forest of TPTJ was 0.087289 per hectare; that in logged over forest of TPTI was 0.065484 per hectare. Soil erosion occurring in primary forest was as much as 0.2310 tons per hectare per year; that in logged over forest of TPTJ was 0.8202 tons per hectare per year; and that of logged over forest of TPTI was 0.943 tons per hectare per year. Indicator which was sensitive in this study was increase in the fraction of growth rate and decrease in the fraction of death rate of seedlings; and increase and decrease of fraction of logging rate which created impacts on vegetation existence at seedling stage, sapling stage, pole stage and tree stage. Vegetation dynamics of each strata would affect the condition of habitat quality and existence of Kalimantan owa population (Hylobates muelleri) per hectare and soil erosion in each rotation. Results of analysis of the five scenarios which described the best forest condition of the annual working plan of 2007, up to year 2056 (rotation I through rotation II) occurred in scenario 2 with logging of 20%, seedling growth rate of 5.54% and seedling mortality rate of 94.47%. Keywords: Sensitivity analysis, indicator, management of natural production forest, environmentally friendly
RINGKASAN
RUSMAN. Analisis Senisitivitas Indikator Pengelolaan Hutan ALam Produksi Ramah Lingkungan : Studi Kasus di IUPHHK/HPH PT. Sari Bumu Kusuma, dibimbing oleh HADI SUKADI ALIKODRA dan HERRY PURNOMO. Karya Ilmiah ini menyajikan suatu pemodelan dengan tujuan penelitian untuk membangun sebuah model sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi ditingkat konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di areal PT. Sari Bumi Kusuma. Adanya perubahan lingkungan akibat pengaruh tekanan aktifitas manusia (stakeholder s and local community) dan pengaruh alam lainnya, dengan indikator yang telah ditentukan untuk suatu pengelolaan hutan alam produksi akan mengalami, perubahan, pengurangan maupun penambahan. Metode analisis vegetasi menggunakan analisis Indeks Nilai Penting = KR + DR + FR , Rumus USLE (Wischermeir dan Smith 1978) adalah : A = R x K x L x S x C x P, analisis primata Owa (Hylobates muelleri ) menggunakan PA (Indices Ponctuel of d’Abundance) berdasarkan rumus Shannon Winner: H' = - S {ni/N x Lnn (ni/N)} (i=1); análisis sensitivitas indikator dengan menggunakan fase-fase (Purnomo 2005), yaitu (1) Identifikasi indikator/isu/masalah, tujuan dan batasan; (2) Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metod seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab-akibat, diagram stok (stoc) dan aliran (flow) atau diagram klas dan diagram sekuens; (3) Spesifikasi model dengan merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen indikator yang diperlukan ; (4) Evaluasi model yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model yang serupa jika ada dan diperlukan ; (5) Penggunaan model yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau alternative kebijakan . Hasil analisis sensitivitas dalam penelitian ini yaitu, Vegetasi pada plot contoh penelitian menunjukan adanya perbedaan antara hutan primer, hutan bekas tebangan TPTJ dan hutan bekas tebangan TPTI. Hutan primer jumlah vegetasi tingkat semai sebanyak 28.000 per hektar; tingkat pancang sebanyak 2.600 per hektar; tingkat tiang sebanyak 204 per hektar; tingkat pohon 184 per hektar. Hutan bekas tebangan TPTJ tingkat semai sebanyak 3.173,73 per hektar; tingkat pancang sebanyak 546,34 per hektar; tingkat tiang sebanyak 48,78 per hektar dan tingkat pohon sebanyak 142,07 per hektar. Hutan bekas tebangan TPTI tingkat semai sebanyak 2.357,14 per hektar; tingkat pancang sebanyak 556 per hektar; tingkat tiang sebanyak 46,84 per hektar dan tingkat pohon sebanyak 86,76 per hektar. Jumlah populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada hutan primer sebanyak 0,109 per hektar, hutan bekas tebangan TPTJ sebanyak 0,087289 per hektar dan hutan bekas tebangan TPTI sebanyak 0,065484 per hektar. Erosi tanah yang terjadi pada hutan primer sebanya 0,2310 ton per hektar per tahun; hutan bekas tebangan TPTJ sebanyak 0,8202 ton per
hektar per tahun dan hutan bekas tebangan TPTI 0.943 ton per hektar per tahun. Indikator yang sensitif dalam penelitian adalah peningkatan fraksi laju pertumbuhan atau penurunan fraksi laju kematian semai, peningkatan dan penurunan fraksi laju penebangan yang memberikan dampak terhadap keberadaan vegetasi tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat pohon. Dinamika jumlah vegetasi masing-masing strata tersebut akan mempengaruhi kondisi lingkunga/kualitas habitat dan keberadaan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) per hektar, serta erosi tanah masing-masing daur. Hasil analisis kelima skenario yang menggambarkan kondisi hutan RKT 2007 terbaik sampai tahun 2056 (daur I sampai Daur II) adalah terjadi pada skenario 2 dengan penebangan 20%, laju pertumbuhan semai 5,54% dan laju kematian semai 94,47%. Keywords :
analisis sensitivitas, indikator, pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS SENSITIVITAS INDIKATOR PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI RAMAH LINGKUNGAN : STUDI KASUS DI IUPHHK/HPH PT. SARI BUMI KUSUMA
RUSMAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
:
ANALISIS SENSITIVITAS INDIKATOR PENGELOLAAN HUTAN ALAM RAMAH LINGKUNGAN STUDI KASUS DI IUPHHK/HPH PT. SARI BUMI KUSUMA
Nama
: Rusman
NIM
:
P052040061
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Com Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal ujian : 16 April 2008
Tanggal lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan perkenaanNya-lah Penelitian ini dapat disusun dengan lancar, sukses dan insya Allah bermanfaatt bagi dunia kehutanan Indonesia. Penelitian yang berjudul “Analisis Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Ramah Lingkung Studi Kasus di IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma” ini bertujuan untuk Mengkaji dan mengidentifikasi indikator-indiktor pengelolaan hutan alam produksi pada hutan alam IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma serta Membangun model sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2006 hingga Agustus 2007 di Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah. Pada kesempatan ini, Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. H.Hadi S. Alikodra, MS. dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp selaku pembimbing yang telah memberikan banyak masukan dan perbaikan dalam penyempurnaan penelitian ini, dan Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS selaku penguji luar Komisi, tidak lupa pula penulis sampaikan terima kasih kepada Dr. dr. Tri Edi Budi Soesilo, M.Si yang telah banyak memberikan masukan dalam pengembangan model analisis sistem. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Ir. Nana Suparna selaku Direktur Produksi PT. Sari Bumi Kusuma yang telah memberikan kesempatan, tempat dan waktu untuk melakukan penelitian di areal kerja IUPHHK/HPH PT . Sari Bumi Kusuma dan staf di lapangan (Camp Nanga Nuak, Camp 53 dan Camp 54) yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan. Penghargaan yang tidak terucapkan kepada istri tercinta yang telah mendorong, mendukung, membantu, memanjatkan do’a dan mendampingi penulis dalam menyelesaikan studi ini, penulis sampaikan terima kasih tak terhingga kepada orangtua penulis, kakak dan adik yang memberikan dukungan do’a, moril dan spiritual selama penulis mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Semoga Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi dunia kehutanan khususnya pengelolaan hutan alam produksi, dan dengan segala kerendahan hati penulis menerima berbagai masukan dalam upaya penyempurnaan penelitian ini. Sekian dan terima kasih. Bogor, April 2008 Rusman
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tangal 19 Mei 1976 dari pasangan Muhamad Yamin (Alm) dan Hadaisa merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Penulis menghabiskan masa remaja sampai dewasa di Kota Malang. Setelah Penulis menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah Umum penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi di kota Malang. Penulis menamatkan sarjana strata satu (S1) di Institut Pertanian Malang pada fakultas Kehutanan tepatnya Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan lulus pada tahun 2000. Kemudian penulis sempat bekerja di beberapa HPH, dan sekarang bekerja di beberapa konsultan kehutanan dan lingkungan sebagai tenaga ahli. Tahun 2004 penulis mempunyai kesempatan untuk melanjutkan ke Strata dua (S2) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkngan dan mengambil bidang minat Konservasi dan Ekowisata, dan menyelesaikan tugas akhir (Tesis) penelitian yang berjudul Model Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan : Studi Kasus di IUPHHK/HPH PT. Sari Bumu Kusuma Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah.
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar ......................................................................................................... Daftar Isi ................................................................................................................. Daftar Tabel ........................................................................................................... Daftar Gambar ..........................................................................................................
i ii iii iv
BAB I 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang ....................................................................................... Kerangka Pemikiran ................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................. Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian ...................................................................................
1 1 6 7 9 9
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
11
Hutan dan Konsep Pengelolaan Hutan Lestari ....................................... Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Lestari ........................... Model Pengembangan dan Analisis Sistem ............................................. Simulasi dan Sensitivitas ......................................................................... 2.4.1 Simulasi .......................................................................................... 2.4.2. Sensitivitas ....................................................................................
11 15 23 26 26 28
BAB III.
METODOLOGI ........................................................................................
30
3.1 3.2
Waktu dan Tempat .................................................................................. Rancangan Penelitan ............................................................................. 3.2.1. Bahan dan Alat .............................................................................. 3.2.2. Jenis Data ...................................................................................... 3.2.3. Metode Pengumpulan Data ........................................................... Metode Analisis Data ............................................................................... 3.3.1. Metode Analaisis Potensi Tegakan ............................................... 3.3.2. Metode Analisis Data Satwa .......................................................... 3.3.3. Model Sensitivitas Indikator-Indikator Pengelolaan Hutan Alam ....
30 30 30 30 32 34 34 35 36
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...............................................
40
Sejarah Pengelolaan Hutan ..................................................................... Letak dan Batas Areal Penelitian ............................................................. Jenis Tanah dan Geologi .......................................................................... Iklim .......................................................................................................... Topografi dan Kelerangan ........................................................................ Komponen Vegetasi ................................................................................. Satwaliar ................................................................................................... Sistem Pengelolaan Hutan .......................................................................
40 41 42 42 43 44 44 44
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
47
Kriteria Indikator ...................................................................................... Kriteria Produksi ...................................................................................... 5.2.1. Vegetasi ......................................................................................... 5.2.2. Kemantapan Tegakan ...................................................................
47 47 47 48
2.1. 2.2. 2.3 2.4.
3.3
BAB IV 4.1 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8. BAB V 5.1. 5.2.
iii
5.3. 5.4. 5.5. 5.6.
5.7. 5.8. 5.9. 5.10.
5.11. 5.12. 5.13. 5.14. 5.15.
5.14.
5.2.3. Potensi Tegakan ............................................................................ Kriteria Ekologi ........................................................................................ 5.3.1. Satwa Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) ................... Erosi ........................................................................................................ Penebangan Pohon Ramah Lingkungan Lingkungan ............................. Model Sensitivitas Indikator Intervensi Penebangan dan Penanaman Vegetasi (Semai, Pancang, Tiang dan pohon), Erosi dan Primata Owa Kalimanta (Hylobates muelleri) ................................................................ Batasan Model ......................................................................................... Sub Model Tegakan ................................................................................ Sub Model Dinamika Erosi ...................................................................... Sub Model Dinamika Primata Owa Kalimantan ((Hylobates muelleri) ..... 5.10.1. Formulasi Diagram Sebab Akibat (Causal Loop Dagram) ........... 5.10.2. Deskripsi Diagram Alir (Stock Flow Diagram) .............................. Pengujian Model ...................................................................................... Kewajaran Model ..................................................................................... Penggunaan Model ................................................................................. Asumsi-Asumsi Dalam Penelitian ............................................................ Simulasi Uji Sensitivitas Penebangan Kayu Terhadap Performance Tegakan, Laju Erosi dan Laju Kematian Satwa Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) ................................................................................. 5.14.1. Skenaio 1 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 27% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ..................................................................... 5.14.2. Skenaio 2 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 20% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ..................................................................... 5.14.3. Skenaio 3 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 15% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ..................................................................... 5.14.4. Skenaio 4 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 10% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ..................................................................... 5.14.5. Skenaio 5 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 15% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ..................................................................... Perbandingan Skenario ...........................................................................
50 53 53 57 60
61 62 62 64 64 64 66 70 70 76 76
77
79
83
86
89
92 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 100 6.1. Kesimpulan ................................................................................................. 100 6.2. Saran ........................................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 102 LAMPIRAN
......................................................................................................... 109
iv
Daftar Tabel
Tabel
Uraian
Halaman
Tabel 1.
Kriteria dan Indikator oleh Armitage (1998) .......................................
19
Tabel 2.
Jenis Data yang Dikumpulkan Dalam Penelitian ................................
32
Tabel 3.
Parameter dan Indikator Pengambilan Data Vegetasi dan Satwa ..................................................................................................
34
Rekapitulasi Data Iklim Selama 10 Tahun (1994-2005) Terakhir di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah .............................
43
Kelas Lereng Areal Kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan ...........................................................................
43
Keanekaragaman Jenis Vegetasi (H’) Plot Contoh Hutan Primer Petak OO.55 dan Hutan Sekunder Petak 8B, C, Y, danZ RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ...............................................
50
Rekapitulasi Komposisi Jenis pada Plot Contoh Petak OO.55 Hutan Primer dan Hutan Sekunder Petak 8B, C, Y dan Z RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ...............................................
51
Jenis-Jenis Pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) di Plot Peneliian .................................................
54
Kepadatan Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Berdasarkan Kepadatan Individu dan Kepadatan Kelompok ..............
57
Laju Erosi Berdasarkan Penutupan Lahan (Faktor Tanaman) dan Kegiatan Eksploitasi si Lokasi Penelitian IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma ...............................................................................................
59
Pembuatan Sistem Pipa Pembuang Melintang (Cross Drain Culverts) dan Jarak yand Direkomendasikan .....................................................
60
Skenario Laju Penebangan Pohon, Prosentasi Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian Semai dan Laju Erosi Dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan .....................
78
Tabel 4.
Tabel 5. Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10.
Tabel 11. Tabel 12.
v
Dafta Gambar
Gambar
Uraian
Halaman
Gambar 1.
Skema Kerangka Pemikiran .......................................................
7
Gambar 2.
Perbandingan Metode Pemecahan Masalah (Grant et al., 1997) ............................................................................................
25
Gambar 3.
Tahap-tahap Simulasi Model (Siswosudarmo et al., 2001) ..........
27
Gambar 4.
Tipe Intervensi Model Parameter Input vs Struktur Model (Siswosudarmo et al., 2001) .........................................................
29
Gambar 5.
Lokasi Penelitian ..........................................................................
31
Gambar 6.
Bentuk Plot Contoh Pengamatan Pengamata Vegetasi ..............
33
Gambar 7.
Tipe Intervensi Model Parameter Input vs Struktur Model (Siswosudarmo et al., 2001) .........................................................
36
Pola Sistem Silvikultur TPTI-Intensif di Areal Kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma .......................................................................
46
Diagram Sebab Akibat (Causal Loop Dagram) Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kabupate Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah .....................
68
Diagram Stock Flow Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kabupate Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ......................................................................
69
Proyeksi Tren Jumlah Vegetasi di Plot Penelitian Akibat Aktifitas Kegiatan Penebangan Pohon (a) Jumlah Pohon dengan Laju Penebangan 25,75%, (b) Jumlah Permudaan Tingkat Tiang Akibat Kegiatan Penebangan, (c) Jumlah Permudaan Tingkat Pancang Akibat Kegiatan Penebangan, (d) Jumlah Permudaan Tingkat Semai Akibat Kegiatan Penebangan, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dan (d) Laju Erosi Akibat Kegiatan Penebangan .......................................................................
73
Skenario 1. Laju Penebangan 27%, Laju Pertumbuhan Semai 6,53%, Laju Kematian Semai 93,47%, Laju (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi ....................................................
82
Gambar 8. Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11
Gambar 12.
Gambar 13.
Skenario 2. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 5,53%, Laju Kematian Semai 94,47%, (a) Pohon, (b) Tiang, (c)
vi
Gambar 14.
Gambar 15.
Gambar 16.
Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20.
Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi ....................................................
85
Skenario 3. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 4,53%, Laju Kematian Semai 95,47%, (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi ....................................................
88
Skenario 4. Laju Penebangan 12%, Laju Pertumbuhan Semai 5,6%, Laju Kematian Semai 94,4%, Laju. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi ....................................................
91
Skenario 5. Laju Penebangan 15%, Laju Pertumbuhan Semai 7%, Laju Kematian Semai 93%, (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi .......................................................................
94
Perbandingan Vegetasi (Semai, Pancang, Tiang dan Pohon) Masing-Masing Skenario (Daur I dan Daur II) ..................................
96
Perbandingan Laju Erosi Masing-Masing Skenario (1, 2, 3 4 dan 5) .........................................................................................................
96
Perbandingan Jumlah Laju Kematian Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Masing-Masing Skenario (1, 2, 3, 4 dan 5) ........................
97
Perbandingan Laju Pendapatan Masing-Masing Skenario (1, 2, 3, 4 dan 5) ..............................................................................................
99
Dafta Lampiran
vii Lampiran Uraian Halaman 1. Tata Waktu Penelitian, Analisis Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan: Studi Kasus IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah .............................................................................................................. 110 2. Skenario Proyeksi Trend (Tahun 2006-2056) Jumlah Vegetasi di Plot Penelitian Akibat Aktifitas Kegiatan Penebangan Pohon (a) Jumlah Pohon dengan Laju Penebangan 25,75%, (b) Jumlah Permudaan Tingkat Tiang Akibat Kegiatan Penebangan, (c) Jumlah Permudaan Tingkat Pancang Akibat Kegiatan Penebangan, (d) Jumlah Permudaan Tingkat Semai Akibat Kegiatan Penebangan, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates Muelleri) dan (d) Laju Erosi Akibat Kegiatan Penebangan ......................................................
110
3. Skenario 1. Skenario 1. Laju Penebangan 27,57%, Laju Pertumbuhan Semai 5,53%, Laju Kematian Semai 94,47%, Laju Pertumbuhan Pancang 23%, Lajui Kematian Pancang 77%, Laju Pertumbuhan Tiang 10,93%, Laju Kematian Tiang 89,17%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi ........................................................................................
111
4. Skenario 2. Penebangan 27,57%, Laju Pertumbuhan Semai 7,53%, Laju Kematian Semai 92,47%, Laju Pertumbuhan Pancang 19,76%, Laju Kematian Pancang 80,24%, Laju Pertumbuhan Tiang 8,93%, Laju Kematian Tiang 63,31%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi ..........................................................................................................................
112
5. Skenario 3. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 10%, Laju Kematian Semai 90%, Laju Pertumbuhan Pancang 7%, Laju Kematian Pancang 93%, Laju Pertumbuhan Tiang 5%, Laju Kematian Tiang 95%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi ................
113
6. Skenario 4. Laju Penebangan 10%, Laju Pertumbuhan Semai 10%, Laju Kematian Semai 90%, Laju Pertumbuhan Pancang 7%, Lajui Kematian Pancang 93%, Laju Pertumbuhan Tiang 10%, Laju Kematian Tiang 90%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi ................
114
7. Skenario 5. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 5,53%, Laju Kematian Semai 94,47%, Laju Pertumbuhan Pancang 23%, Laju Kematian Pancang 77%, Laju Pertumbuhan Tiang 10,93%, Laju Kematian Tiang 89,17%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata, (f) Laju Erosi ..........................................................................................................................
115
8. Rekapitulasi Jumlah Batang (N) dan Volume Rata-rata Per Hektar Menurut Jenis dan Kelas Diameter Pada Petak OO.55 Hutan Primer Tahunan RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ....................................................................................
116
viii 9. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Permudaan dan Tingkat Pohon Pada Petak OO.55 Hutan Primer Tahunan RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ......................................................................................................................
119
10. Rekapitulasi Jumlah Batang (N) dan Volume Rata-rata Per Hektar Menurut Jenis dan Kelas Diameter Pada Petak Petak 8 B, C, Y dan Z Hutan Bekas Tebangan (TPTJ) RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah .................................................
122
11. Analisis Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Permudaan dan Tingkat Pohon Petak 8 B, C, Y dan Z Hutan Bekas Tebangan (TPTJ) RKT 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ..................................................................................................
125
12. Rekapitulasi Jumlah Batang (N) dan Volume Rata-rata Per Hektar Menurut Jenis dan Kelas Diameter Pada Petak 9P dan 9T Bekas Tebangan (TPTI) Tahunan RKT 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah .....................................................................
128
13. Analisis Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Permudaan dan Tingkat Pohon Petak 9P dan 9T Bekas Tebangan Tahunan RKT 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ......................................................................................................................
131
14. Equations Existing Condition ...................................................................................
133
15. Equations Skenario 1 ..............................................................................................
137
16. Equations Skenario 2 ..............................................................................................
141
17. Equations Skenario 3 ..............................................................................................
145
18. Equations Skenario 4 ..............................................................................................
149
19. Equations Skenario 5 ..............................................................................................
153
1
I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Hutan adalah karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada
bangsa Indonesia yang harus dikelola dengan penuh kearifan dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal guna menciptakan kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Keberadaan dan peran sumber daya hutan bagi kelangsungan hidup masyarakat dari berbagai tingkatan sangat vital dan strategis, baik di tingkat lokal, regional maupun global. Kepentingan atas sumberdaya hutan yang bersifat multidimensi, lintas teritorial dan lintas generasi mengharuskan semua pihak (stakeholders) untuk mewujudkan suatu sistem pengelolaan hutan yang lestari (sustainable forest management). Globalisasi dampak yang ditimbulkan oleh pemanfaatan sumberdaya hutan telah memunculkan paradigma baru dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan terutama di negara-negara berkembang. Isu-isu lingkungan dan peran serta masyarakat sebagai bagian dari ekosistem hutan merupakan dua aspek penting. Ngadiono (2004), menyatakan bahwa sertifikasi pengelolaan hutan alam produksi lestari adalah tantangan bagi praktisi kehutanan, dimana selama ini prosedur dan mekanisme pengelolaan hutan hanya berupa petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang merupakan persyaratan dan harus dipenuhi. Kondisi ini sedikit banyak mempengaruhi kinerja Unit Manajemen dalam melaksanakan kegiatannya. Proses sosialisasi sertifikasi tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan, hal ini menurut Ngadiono (2004), disebabkan oleh berbagai hambatan baik teknis maupun non teknis. Hambatan non teknis diantaranya berupa tidak kondusifnya iklim berusaha yang disebabkan oleh kondisi framewok di Indonesia. Penyelesaian makro dan mikro politik secara menyeluruh oleh oleh komponen yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan. Praktek pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia telah berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, yang hanya menekankan maksimalisasi produk kayu tanpa melihat fungsi hutan yang lain. Pemanfaatan hutan yang hanya berorientasi pada produksi tanpa mempertimbangkan kelestarian sumberdaya hutan, dan hanya menghasilkan keuntungan ekonomi sesaat serta terbatas pada sebagian kecil masyarakat, akan menimbulkan kerugian yang sangat besar (Suhariyanto, 2004). Akibat praktek pengelolaan hutan yang tidak bijaksana ini
2
meningkatkan luas lahan kritis pada tahun 2003 mencapai 40 juta ha dengan produktifitas hutan kurang dari 0,5 m/ha/tahun (Anonimous, 2005). Saat ini praktek pengelolaan hutan lestari telah menjadi tuntutan global, baik tingkat internasional, nasional maupun lokal. Pada level internasional terdapat kesepakatan di antara negara-negara anggota International Timber Trade Organization (ITTO) untuk hanya memperdagangkan produk hutan yang dihasilkan dari sistem pengelolaan hutan secara lestari (ITTO 2001). Secara nasional pengelolaan hutan lestari telah menjadi konsensus nasional sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada tingkat lokal pengelolaan hutan produksi lestari juga merupakan kebutuhan bagi masyarakat sekitar hutan yang kehidupannya sangat bergantung kepada sumberdaya hutan (Anonimous, 1999). Menurut Suratmo (2001), deforestasi dan degradasi hutan hujan tropis di Indonesia dimulai tahun 1960 yaitu sejak diperkenalkannya Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) terhadap 64 juta ha hutan produksi dan konversi hutan tropika menjadi lahan non-hutan seluas 30 juta ha. Kebijakan pemerintah atau pengambil keputusan, rencana tataguna hutan, kesalahan menejemen perusahaan hutan produksi oleh perusahaan-perusahaan swasta dan penebangan liar telah memicu kerusakan hutan. Bagaimana cara memberhentikan deforestasi dan degradasi hutan, maka perlu dilakukan strategi khusus untuk memperbaiki kondisi hutan seyogyanya dilakukan pendekatan melelui revisi kebijakan pemerintah, penerapan pengelolaan hutan lestari dan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat. Purnomo (2004), menyatakan bahwa pengelolaan hutan bersama adalah salah satu alternatif untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan serta membangun kelembagaan yang lebih baik di tingkat lokal. Pengelolaan hutan bersama masyarakat adalah sebuah paradigma baru dalam pengelolaan hutan yang menempatkan para profesional kehutanan dan masyarakat lokal dalam suatu kemitraan. Beberapa terminologi yang punya makna serupa dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah joint forest management, shared forest management, co-management dan partisipatory forest management. Partisipasi bisa dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan tertentu seperti perbaikan struktur manejemen atau peningkatan kualitas barang dan jasa. Keberadaan pengetahuan stakeholders lokal, sesuai dengan pengelolaan dan pembangunan sumberdaya. Sebaliknya pengetahuan ilmiah menghasilkan
3
strategi pengelolaan secara teknis yang tidak sesuai untuk diaplikasikan. Pengetahuan masyarakat lokal tidak sesuai dengan pengembangan (rural) pedesaan, konsekuensinya pengetahuan lokal dan ilmu pengetahuan modern sesuai untuk pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Hal ini membutuhkan pendekatan participatory dari pandangan banyak stakeholders (Ostrom et al., 1993). Hasil penelitian Purnomo et al., (2005), terhadap masyarakat lokal sekitar hutan di Indonesia menunjukkan adanya perberdaan persepsi lokasi terhadap indikator pengelolaan lestari yaitu : (1) masyarakat lokal mempunyai persepsi yang berbeda dalam pengertian dimana mereka mempertimbangkan indikator penting dari pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); (2) terdapat persepsi yang berbeda antara pemerintah dan perusahaan kayu; (3) terdapat perbedaan persepsi antara personel urban dan personel lapangan pada organisasi yang sama. Persepsi stakeholder, indikator dikelompokkan ke dalam aspek sosial, ekologi, biofisikal, mata pencaharian (livelihood) dan kebijakan. Masyarakat lokal menerima pengelolaan hutan secara praktis untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dari situasi yang ada, contohnya mereka tertarik dengan konsesi kayu yang secara langsung merupakan sumber finansial dan menyediakan sumberdaya manusia guna memacu perkembangan ekonomi lokal, LSM juga memfokuskan pembagian manfaat antara komunitas atau masyarakat dan konsesi sebagai kondisi pengelolaan hutan yang baik dan memusatkan perhatian tentang ketidakhadiran hukum yang sesuai di daerah tersebut. Masyarakat lokal juga menjelaskan pentingnya pengakuan banyaknya lahan-lahan sawah mereka dan lahan-lahan lainnya yang ada dalam areal konsesi. Perbedaan
ini
terjadi
disebabkan
oleh
cara
pelestarian
yang
diterima/dilakukan. Tiga LSM dalam kajian pelestarian diterima lebih praktis oleh masyarakat lokal. Perbedaan ini juga terjadi karena adanya jarak pendidikan formal diantara stakeholders. Umumnya anggota LSM telah lulus sekolah tinggi atau universitas dan berkerjasama dengan peneliti-peneliti, aktivis universitas dan anggota LSM lainnya ditingkat provinsi, Nasional dan Internasional. Umumnya masyarakat lokal hanya lulus sekolah dasar. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi secara siginifika antara pemerintah dan perusahaan kayu mengenai seperangkat indikator pengelolaan hutan lestari (Purnomo et al., 2005).
4
Efektivitas kolaborasi perencanaan dan pembuat keputusan tergantung pada komunikasi yang baik dan pengertian diantara stakeholders. Pada kenyataannya stakeholders sering berbeda pandangan dan prespektif serta dalam menginterprestasikan suatu keadaan. Pluralitas perspektif ini, termasuk dengan posisi penguasa pada legitimasi, menghasilkan definisi masalah yang cukup luas, definisi masalah yang salah, kesalahpahaman dan polarisasi antar stakeholders untuk membantu pluralitas prespektif dari multistakeholders, sejumlah
peralatan
perencanaan
telah
diusulkan.
Peralatan
ini
dapat
dikategorikan kedalam dua kelas yaitu pendekatan system keras dan pendekatan system lunak (Purnomo et al., 2004). Akibat praktek pengelolaan hutan yang tidak bijaksana ini meningkatkan luas lahan kritis sampai tahun 2004 mencapai 47,4 juta ha dengan produktifitas hutan kurang dari 0,5 m/ha/tahun (Baplan, 2005). Fenomena ini akan terus meningkat dan menyebabkan perubahan ekosistem global yang membahayakan bagi kehidupan manusia. Adanya Protocol Kyoto yang menekankan pada pembangunan berkelanjutan, mengharuskan pengelolaan sumber daya termasuk hutan mengedepankan pada keseimbangan ekosistem. Menurut Aber et al., (N.D), praktek pengelolaan hutan alam secara lestari harus didasarkan pada pengertian bagaimana kerja ekosistem hutan. Oleh karena itu kebijakan pengelolaan kehutanan seharusnya menekankan pada : a
Pemeliharaan kualitas tanah dan persediaan nutrisi hutan.
b
Perlindungan kualitas air dan hasil serta pencegahan banjir dan tanah longsor. Pengelolaan hutan secara lestari melibatkan beberapa komponen, yaitu:
(a) interaksi antara komponen ekosistem hutan; (b) thresholds/kadar nutrisi untuk pertumbuhan tanaman, seperti jumlah phosphat sedikit dalam tanah akan menyebabkan perbedaan pertumbuhan antar setiap jenis tanaman atau antar tahap pertumbuhan; (c) non-linierity, suatu hubungan yang tidak selalu memberikan hasil yang membentuk persamaan garis lurus; (d) feedback, timbal balik; (e) kompleksitas yang tinggi dengan koneksi antar komponen sistem yang berbeda; (f) ekstrapolasi lebih tinggi daripada interpolasi (Vanclay, 2000). Jika keenam hal tersebut berjalan secara seimbang maka keseimbangan produkproduk hutan (tangible dan intangible) akan berjalan. Banyak
bentuk
pengelolaan
hutan
alam
dengan
kriteria
yang
dikembangkan untuk mengelola hutan lestari yang ramah lingkungan. Kriteria-
5
kriteria yang diusulkan terdiri dari tiga komponen utama: (1) sosial dan ekonomi; (2) kegunaan hutan; (3) peraturan dan hukum (Purnomo et al., 2004). Setiap kriteria-kriteria mengandung indikator-indikator yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan hutan alam, sehingga dapat menilai kesesuaian antara manajemen dengan pelaksanaan di lapangan. Indikator pengelolaan hutan digunakan untuk membantu
menjelaskan
mengklasifikasi
tujuan
konteks/situasi
pengelolaan,
yang
mengevaluasi
melatarbelakanginya, compliace/komponen
pegelolaan hutan dengan aturan dan kebijakan serta mengimplementasi suatu perencanaan (Armitage, 1998). Indikator-indikator yang berkembang sebagai respon dari dampak praktek pengelolaan hutan alam perlu dianalisis untuk melihat sensivitasnya sebagai suatu alat melihat keberhasilan atau kegagalan praktek pengelolaan hutan. Analisis sensitivitas dirancang menjadi suatu bentuk model. Pemodelan merupakan suatu ilmu yang memiliki expertise and computer how-know agar dapat mengorganisasi data-data, mengembangkan struktur untuk menganalisis data tersebut dan mengembangkan model-model campuran yang telah diuji untuk dapat menyelesaikan analisis simulasi (Purnomo et al., 2004). Suatu bentuk pemodelan akan berkembang dalam aplikasinya sebagai alat pemecah masalah salah satunya adalah penggunaan model yang digunakan untuk menguji sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam. Model sensivitas ini merupakan suatu perancangan yang dapat menjadi alat analisis indikator dan memprediksi dampak dari penerapan manajemen hutan, dan mengembangkan strategi manajemen dan adaptasi di sektor kehutanan (Vanclay, 2000). Banyaknya model-model yang digunakan untuk analisis sesentivitas akan lebih baik jika model-model tersebut dikolaborasi menjadi suatu model kolaborasi yang bisa mengkover semua perbedaan dan menampung semua respon dari berbagai indikator. Hal ini dibuktikan oleh Purnomo et al., (2004), bahwa sistem model kolaborasi dapat mengakomodasi pandangan-pandanngan stakeholder yang beragam. Bentuk kolaborasi lebih efektif untuk menguji sensifitas indikator pengelolaan hutan daripada yang bukan kolaborasi. Salah satu sistem model kolaborasi adalah Multi-Agen Simulasi (MAS). Model ini digunakan untuk mengembangkan skenario pengelolaan hutan secara lestari yang melibatkan multi-stakeholder. Kolaborasi antara consessioneires dan community merupakan suatu pendekatan yang lebih menjanjikan untuk pengelolaan hutan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar tanpa menurunkan kualitas hutan (Purnomo dan Vanclay, 2003). Model kolaborasi lain untuk menganalisis
6
indikator pengelolaan hutan yang efesien adalah DLMP (Venier et al., 2003). Model ini berguna untuk menguji dan merengking kelestarian pilihan menejemen, mengkuantifikasi pengaruh negatif pada ekosistem. Model DLMP seharusnya ditekankan pada dasar peralatan pengelolaan yang adaptif sehingga akan melengkapi
kajian
monitoring
melalui
pemberian
konteks
yang
menginterpretasikan fluktuasi populasi, indentifikasi indikator yang sensitiv dan ukuran pengaruh biologi. Dalam pelaksanaan pengelolaan hutan ramah lingkungan di lapangan atau di tingkat unit atau Forest Management Unit (FMU) melelui pendekatan uji sentivitas indikator di dunia kehutanan Indonesia belum dianggat sebagai bagian dari
pengelolaan
yang
ramah
lingkungan
dan
berkelanjutan.
Menurut
Siswosudarmo et al., (2001), menyatakan bahwa sensitivitas model adalah respon model terhadap stimulus. Respon ditunjukan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model. Perlakuan tersebut disebut uji sensitivitas. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam model. Hasil uji sensitivitas ini, dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja, yang digunakan untuk menganalisa efek intervensi terhadap model (Siswosudarmo et al., 2001). Vanclay (2000), menjelaskan bahwa model sensivitas ini merupakan suatu perancangan yang dapat menjadi alat analisis indikator dan memprediksi dampak dari penerapan manajemen hutan, dan mengembangkan strategi manajemen dan adaptasi di sektor kehutanan. Pentingnya analisis indikatorindikator ini, maka diperlukan suatu pemodelan yang dirancang untuk melihat sensitifitas indikator sehingga mampu menjadi model sensitifitas umum yang dapat diaplikasikan di hutan alam produksi pada kurun waktu tertentu. Adanya perubahan lingkungan akibat pengaruh tekanan aktifitas manusia (stakeholder dan komuniti lokal) dan pengaruh alam lainnya, indikator-indikator yang telah ditentukan puntuk suatu pengelolaan hutan alam produksi akan mengalami, perubahan, pengurangan maupun penambahan. Oleh karena itu perlu kiranya mencari model-model sensivitas yang up to date dengan perubahan indikator yang ada. 1.2.
Kerangka Pemikiran Secara skematis kerangka pemikiran tersaji pada Gambar 1.
7
Hutan Alam (IUPHHK/HPH) PT Sari Bumi Kusuma
Indikator pengelolaan Hutan Alam oleh FSC Identifikasi Indikator / masalah, tujuan dan batasan Konseptualisasi Model
Spesifikasi model
Evaluasi Model Intervensi Struktur Model
Intervensi Parameter Input Penggunaan Model
Skenario-skenario untuk alternative pengelolaan hutan
Model Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Ramah Lingkungan Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir Pembangunan Model Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma di Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah. 1.3.
Perumusan Masalah Upaya perbaikan menuju tercapainya sistem pengelolaan hutan produksi
lestari merupakan proses yang terus menerus dan berkelanjutan baik pada tataran kebijakan, pengembangan ilmu dan teknologi, pengembangan SDM, maupun penerapan di tingkat unit pengelolaan hutan di lapangan atau unit pengelolaan. Sebagai suatu proses yang berkelanjutan, maka diperlukan monitoring dan evaluasi secara berkala, khususnya pada tingkat implementasi di lapangan. Hal ini penting untuk
mengetahui
bagaimana
perkembangan
pengelolaan
pelaksanaan
pengelolaan hutan alam produksi lestari serta persoalan-persoalan yang dihadapi
8
oleh unit pengelolaan hutan di lapangan sebagai umpan balik bagi perbaikan kebijakan, pengembangan iptek, maupun pengembangan SDM (Soekotjo, 2000). Sebagai salah satu sumberdaya alam dan sistem penentu penyangga kehidupan di bumi, hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, yang mempunyai peranan strategis baik sebagai pelindung ekosistem dan plasma nutfah maupun dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya serta merupakan penghasil devisa bagi negara. Oleh karena itu kegiatan pengusahaan hutan yang dilaksanakan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam upaya pembangunan bangsa Indonesia. Kontribusi ini berkaitan secara langsung terhadap penerimaan devisa negara (foreign exachange) dan secara tidak langsung melalui pengaruh penciptaan kaitan (linkage) kegiatan pengusahaan terhadap industri serta perdagangan dalam negeri. Sumberdaya hutan memegang peranan yang besar bagi pendapatan negara. Manfaat lainnya memberikan fungsi pengaturan tata air, penghasli oksigen, lokasi rekreasi dan wadah pengembangan ilmu pengetahuan. Pemanfaatan sumber daya hutan terus meningkat sehingga diperlukan pengelolaan yang bijaksana agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan hutan dan daerah sekitarnya. Mendoza et al., (1999), mengemukakan bahwa hutan diseluruh dunia telah sangat banyak berkurang sehingga mencapai tingkat yang mengkwatirkan. Sebagai reaksi atas tekanan yang hebat terhadap sumberdaya hutan, banyak sekali usaha dilakukan untuk mencari cara menentukan dan menilai kelestarian hutan yang dapat digunakan diseluruh dunia. Suatu konsep yang telah dikembangkan untuk memantau pengelola hutan yang masih tersisa adalah Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). PHL adalah satu rangkaian sasaran kegiatan dan hasil-hasil usaha yang konsisten dengan usaha mempertahankan atau meningkatkan integritas ekologi hutan dan memberikan sumbangan bagi kesejahteraan manusia baik untuk sekarang maupun untuk masa depan. Agar dapat melaksanakan pengelolaan hutan lestari dengan baik maka diperlukan suatu pengembangan pengukur yang bersifat spesifik untuk lokasi tertentu dan dapat diuji di lapangan sehingga mencerminkan kondisi hutan. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi indikator pengelolaan hutan yang ramah lingkungan (aspek ekologi, aspek sosial dan aaspek produksi/ekonomi berjalan secara seimbang) belum didasarkan atas pertimbangan multisektoral dan
9
multidimensi. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka diperlukan pertanyaan penelitian yaitu : 1. Seberapa sensitif intervensi yang dilakukan IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma terhadap indikator-indikator pengelolaan hutan alam lestari ? 2. Seberapa jauh implementasi indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi (FSC) yang sensitif terhadap intervensi ? 1.4.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membangun sebuah model
sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi ditingkat konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi indikator Forest Stewardship Council (FSC) pengelolaan hutan alam produksi pada hutan alam IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma. 2. Membangun model sensitivitas indikator FSC pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan. 1.5.
Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat IUPHHK khususnya indikator-indikator yang penting dalam pengelolaan hutan ramah lingkungan. b. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang pengelolaan hutan dan kehutanan. 2. Stakeholder Sebagai bahan referensi bagi para stakeholder dengan memperhatikan indikator-indikator yang saling berinteraksi, seberapa besar pengaruh keterkaitannya dibidang pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan. 3. Pemerintah a. Untuk memperoleh gambaran yang holistik mengenai indikator-indikator yang saling berinteraksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditngkat
10
pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan pada HPH/IUPHHK. b. Sebagai acuan bagi Pemerintah Khususnya Departemen Kehutanan dalam pengambilan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan.
11
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Hutan dan Konsep Pengelolaan Hutan Lestari Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial, hutan
sebagai modal pembangunan yang mempunyai manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indinesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya mupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Sumberdaya hutan sebagaimana diamanatkan dalam Undangundang 41 tahun 1999 adalah sebagai penyediaan bahan baku industri dan sumber
pendapatan
karena
itu
harus
dimanfaatkan
memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya.
dengan
teteap
Untuk itu hutan harus
dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang (Anonimous, 1999). Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alamhayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya untuk menegaskan kedudukan hutan sebagai suatu kawasan yang dikuasai oleh negara. Definisi ini memberikan penekanan kepada fungsi ekologis hutan sebagai kesatuan ekosistem dan wujud biofisik hutan berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didimonasi pepohonan dalam persekutuan lingkunagnnya. Dalam definisi ini, walaupun merupakan bagian dari undang-undang, akan tetapi sama sekali tidak mengandung pernyataan yang merangkan status hukum hutan atau lahannya. Definisi ini sepenuhnya berdasarkan perspektif ekologi. Suhendang (2002), menyatakan bahwa hutan dapat ditinjau dari faktorfaktor : wujud biofisik lahan dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional pengelolaan atau kegiatan tertentu lainnya, dan satus hukum lahan hutan. Definisi hutan berdasarkan penekanan pada konsep ekologi, hutan adalah jenis tumbuhan yang dominan (pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lain), sifat pertumbuhan pohon (bersama-sama dan cukup rapat) dan berfungsi sebagai komunitas tumbuhan. Ukuran kerapatan pohon minimal dari sisi fungsi ekologis hutan adalah kemampuannya untuk menciptakan iklim mikro di dalam hutan yang berbeda dengan keadaan disekitar luarnya
12
Helms (1998), menyatakan bahwa hutan adalah sebuah ekosistem yang dicirikan oleh pohon-pohon yang cukup rapat dan luas, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beranekaragam sifat, seperti : komposisi, jenis, struktur, kelas umur, dan proses-preses yang berhubungan; pada umumnya mencakup : padang rumput, sungai, ikan, dan satwa liar. Hutan mencakup pula bentuk khusus, seperti hutan industri, hutan milik non industri, hutan tanaman, hutan publik, hutan lindung dan hutan kota. Definisi diatas lebih menekankan kepada fungsi hutan sebagai sebuah ekosistem dengan ciri-ciri yang khusus, yaitu penutupan yang rapat dan cukup luas dan terdiri dari beberapa tegakan yang memiliki ciri-ciri yang beragam dalam hal komposisi, jensi, struktur, kelas umur dan proses lain yang berhubungan. Adapun yang dimaksud dengan tegakan (stand) adalah sebidang lahan yang homogen dan secara geografis terpusat sertamemiliki kombinasi sifat-sifat fisik lahan, tumbuhan, dan fasilitas minimal yang ditetapkan dalam pengelolaan hutan. Departemen Kehutanan (1989), memberikan definisi hutan sebagai sebuah ekosistem yang bercirikan liputan pohon yang cukup luas, baik yang lebat maupun yang kurang lebat. Dari definis tersebut diatas lebih menekankan fungsi hutan sebagai sebuah ekosistem yang memiliki ciri penutupan pohon yang cukup luas dengan kerapatan pohon lebat (tinggi) atau kurang lebat. Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat berlipat ganda, baik manfaat yang langsung sebagai sumber berbagai jenis barang, seperti kayu, getah, kulit kayu, daun, akar, buah, bunga, dan lain-lain yang dapat dimanfaatkan secara langusung oleh manusia atau menjadi bahan baku berbagai industri yang hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi hampir semua kehidupan manusia maupun manfaat yang tidak langsung yang berupa perlindungan lingkungan, pengelolaan tata air, memberikan keindahan dan kenyamanan dan lain-lain (Djajapertjunda, 2002). Cara lain dalam pengelompokan manfaat hutan yang pada akhir-akhir ini sering dipergunakan adalah pengelompokan manfaat hutan yang dihubungakan dengan kelompok hutan yang dipergunakan dalam konsep pengelolaan hutan lestari (SFM), yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi ekologi, dan fungsi sosial budaya. Manfaat hutan dalam kelompok fungsi produksi atau biasa juga dinamakan fungsi ekonomi adalah keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia dalam melakukan berbagai kegiatan tindakan ekonomi. Termasuk kedalam kelompok ini misalnya hasil hutan untuk bahan baku
13
industri yang memiliki nilai komersial, yaitu kayu untuk bahan baku industri, hasil hutan bukan kayu untuk bahan baku industri, kayu bakar untuk dijual secara komersial, dan jasa hutan untuk menghasilkan air segar untuk dijual secara komersial. Manfaat hutan dalam kelompok fungsi ekologis adalah meningkatkan kualitas lingkungan, misalnya fungsi hutan untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna, dan fungsi hutan untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian. Manfaat hutan dalam kelompok fungsi sosial-budaya adalah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum, terutama
bagi masyarakat sekitar hutan untuk berbagai
kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah penyediaan lapangan kerja, penyedia lahan untuk bercocok tanam, penyedia kayu bakar serta berbagai fungsi yang diperluka dalam rangka melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian serta untuk kegiatan budaya dan keagamaan (Awang, 1999). Menurut Sukotjo (2004), pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an Lembaga Penelitian Hutan Bogor telah melakukan kajian memilih dan menerapkan regime silvikultur yang sesuai untuk dipakai di HPH/IUPHHK yang melakukan pembalakan di hutan Indonesia. Dari kajian tersebut terbit Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor : 35/Kpts/DP/I/1972. dari SK tersebut dipilih tiga regime silvikultur yang dirancang untuk mengolah hutan Indonesia. Ketiga regime silvikultur tersebut adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Dari ketiga regime yang disrankan tersebut hanya TPI yang lebih banyak dipergunakan. Berdasarkan SK Direktur Jenderal No. 35 tersebut aturan yang harus diikuti pada TPI mencakup (a) Pertimbangan, (b) Dasar-dasar, (c) Pelaksanaan, dan (d) sangsisangsi. Pertimbangan TPI yang sangat strategis ini dalam praktek kurang dipertimbangkan, sehingga sangat mengecewakan. Dalam pertimbangan untuk melaksanakan TPI, ada 4 hal pokok yang harus diikuti, yaitu , (1) Asas kelestarian, (2) Teknik Silvikultur, (3) Kelangsungan Pengusahaan hutan, dan (4) Pengawasan yang efisien dan efektif. Soekotjo (2004), menambahkan sampai saat ini penerapan regime silvikultur di Indonesia adalah : -
Monocyclic, regime yang dipilih hanya tebang habis. Regime tebang habis ini untuk menampung jenis-jenis, ddimana semainya sejak semula untuk pertumbuhan yang optimal sangat membutuhkan cahaya penuh, seperti jati dan mahoni.
14
-
Polycyclic, regime yang dipilih adalah Tebang Pilih Indonesia, yang dalam praktek dikenal dengan dua versi yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Sari Bumi
Kusuma melaksanakan sistem silvikultur Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 220/KPTS/IV-BPHH/1997 tanggal 2 Oktober 1997 tentang penerapan sisten Tebang Pilih dan Tanam Jalur yang diterapkan pada areal bekas tebangan (log over area) dan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia pada hutan primer (virgin forest) untuk pohon yang diameter 60 cm ke atas dan 40 cm keatas pada areal bekas tebangan. Sistem silvikutur di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma terjadi perubahan sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.221/VI-BPHA/2005 tanggal 18 Agustus 2005, bahwa PT. Sari Bumi Kusuma ditunjuk/ditetapkan sebagai salah satu pemegang IUPHHK dengan Model Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTI-Intensif), dengan diberlakukannya keputusan tersebut, PT. Sari Bumi Kusuma melaksanakan sisten TPTI-Intensif sejak tahun 2006. Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI-Intensif secara teknis tidak berbeda jauh dengan pelaksanaan sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ). Perbedaan mendasar terletak pada areal efektif yang dikelola, jarak tanam dan jarak antar jalur tanaman. Sistem silvikultur TPTJ diharuskan pada areal bekas tebangan (Log Over area) dengan jarak tanam 5 meter dan jarak antar jalur tanaman 25 meter, sedangkan pada sistem silvikultur TPTI-Intensif diterapkan pada seluruh areal efektif yang dapat diusahakan dengan jarak tanam 2,5 meter dan jarak antar jalur tanaman 20 meter. Davis dan Johnson (1978), lebih menekankan hutan untuk pengelolaan dengan tujuan menghasilkan kayu, yaitu hutan adalah suatu kumpulan bidangbidang lahan yang ditumbuhi (memiliki) atau akan ditumbuhi pohon dan dikelola sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan pemilik lahan berupa kayu atau hasil-hasil lain yang berbuhungan dengan hutan. Hal tersebut diatas diartikan sebagai kumpulan dari bidang-bidang lahan yang pada saat tertentu ditumbuhi pohon-pohon atau tidak dan secara keseluruhan dikelola dalam satu kesatuan pengelolaan. Bidang-bidang lahan yang dimaksud adalah tegakan yang dalam pengelolaan hutan lebih khusus lagi disebut petak (compartement). Pada
15
waktu tertentu petak-petak yang terdapat dalam satu kesatuan pengelolaan hutan tanaman, yang dikelola dengan sistem silvikultur tebang habis, akan memiliki keadaan beragam dari mulai tanah kososng atau terbuka karena ditebang kemudian ditanami, tumbuhan yang masih remaja, tumbuhan pohon yang sudah dewasa sampai pohon-pohon tua yang sudah siap untuk ditebang dan dinamakan tegakan siap tebang. Definisi hutan yang dikemukakan oleh Bruenig (1996), hutan adalah suatu bidang lahan yang tertutupi oleh pohon-pohon yang dapat membentuk keadaan iklim tegakan (iklim makro di dalam hutan), termasuk bagian bidang lahan bekas tebangan melalui tebang habis, di dalam wilayah hutan tetap pada tanah negara atau hutan milik, yang setelah pemanenan (penebangan) terhadap tegakan hutan yang terdahulu, dilakukan pembuatan dan pemeliharaan permudaan alam atau penghutanan kembali (permudaan buatan). 2.2.
Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Lestari Upaya perbaikan menuju tercapainya sistem pengelolaan hutan produksi
lestari merupakan proses yang terus menerus dan berkelanjutan baik pada tataran kebijakan, pengembangan ilmu dan teknologi, pengembangan SDM, maupun penerapan di tingkat unit pengelolaan hutan di lapangan. Sebagai suatu proses yang berkelanjutan, maka diperlukan monitoring dan evaluasi secara berkala, khususnya pada tingkat implementasi di lapangan. Hal ini penting untuk mengetahui bagaimana perkembangan kinerja pelaksanaan pengelolaan hutan alam produksi lestari serta persoalan-persoalan yang dihadapi oleh unit pengelolaan hutan di lapangan sebagai umpan balik bagi perbaikan kebijakan, pengembangan iptek, maupun pengembangan SDM. Mendoza et al., (1999) dalam bukunya “Panduan Untuk Menerapkan Analisis Multikriteria dalam Menilai Kriteria dan Indikakator” menekankan yang harus dipahami oleh stakeholders adalah memahami prinsip, kriteria dan indikator. Prinsip merupakan suatu kebenaran atau hukum pokok sebagai dasar suatu pertimbangan atau tindakan. Prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan lestari diperlukan sebagai kerangka primer untuk mengelola hutan secara lestari. Prinsip-prinsip tersebut memberikan landasan pemikiran bagi kriteria, indikator dan pengukur. Dicontohkan, agar pengelolaan hutan lestari dapat berlangsung, maka “integritas ekosistem harus dipelihara atau ditingkatkan atau agar
16
pengelolaan hutan dapat berlangsung, maka kesejahteraan manusia harus terpenuhi. Kriteria merupakan suatu prinsip atau patokan untuk menilai suatu hal. Oleh karenanya suatu kriteria dapat dilihat sebagai prinsip yang menambah arti dan cara kerja dalam suatu prinsip tanpa membuatnya sebagai suatu pengukur secara langsung. Sedangkan indikator adalah suatu variabel atau komponen ekosistem atau sistem pengelolaan hutan apa saja yang digunakan untuk memperkirakan status kriteria tertentu (Mendoza et al., 1999). Untuk mendukung upaya perbaikan sistem pengelolaan hutan lestari, Departemen Kehutanan antara lain menetapkan “Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan Hutan” (Keputusan Menhut No. 4795/Kpts-II/2002). Kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam lestari (PHAPL) pada unit pengelolaan dalam Keputusan Menhut No. 4795/Kpts-II/2002 ini mengacu pada kriteria ITTO (1998) dengan sejumlah penyederhanaan dan penyesuaian. Kriteria dan indikator PHAPL tersebut meliputi 4 kriteria, yakni kriteria prasyarat, produksi, ekologi, dan sosial yang seluruhnya terdiri 24 indikator. Banyak
bentuk
pengelolaan
hutan
alam
dengan
kriteria
yang
dikembangkan untuk mengelola hutan secara lestari. Kriteria-kriteria yang diusulkan terdiri dari 3 komponen utama: (1) sosial dan ekonomi; (2) kegunaan hutan; (3) peraturan dan hukum (Purnomo et al., 2004). Setiap kriteria-kriteria mengandung indikator-indikator yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan hutan alam, sehingga dapat menilai kesesuaian antara manajemen dengan pelaksanaan di lapangan. Indicator pengelolaan hutan digunakan untuk membantu
menjelaskan
mengklasifikasi
tujuan
konteks/situasi
pengelolaan,
yang
mengevaluasi
melatarbelakanginya, compliace/komponen
pengelolaan hutan dengan aturan dan kebijakan serta mengimplementasi suatu perencanaan. Indikator-indikator yang berkembang sebagai respon dari dampak praktek pengelolaan hutan alam perlu dianalisis untuk melihat sensifitasnya sebagai suatu alat melihat keberhasilan atau kegagalan praktek pengelolaan hutan. Analisis sensitivitas dirancang menjadi suatu bentuk model (Armitage, 1998). Mendoza
dan
Prabhu
(2001),
menjelaskan
dari
pengalaman
menunjukkan kesuksesan pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadi
17
efektif dengan mengkolaborasikan memuat keputusan yang tergantung pada pengertian dan komunikasi. Efektivitas kolaborasi perencanaan dan pembuat keputusan tergantung pada komunikasi yang baik dan pengertian diantara stakeholders. Pada kenyataannya stakeholders sering berbeda pandangan/prespektif serta dalam menginterprestasikan suatu keadaan. Pluralitas perspektif ini, termasuk dengan posisi penguasa pada legitimasi, menghasilkan definisi masalah yang cukup luas, definisi masalah yang salah, kesalah pahaman dan polarisasi antar stakeholders untuk membantu pluralitas prespektif dari multi-stakeholders, sejumlah
peralatan
perencanaan
telah
diusulkan.
Peralatan
ini
dapat
dikategorikan kedalam 2 kelas yaitu pendekatan system keras dan pendekatan sistem lunak (Purnomo et al., 2004). Identifikasi dan ketegorisasi komponen pengelolaan hutan. Proses partisipatori dimulai dengan eksplorasi visi, perspektif, tujuan dan perhatian stakeholders.
Selanjutnya
Purnomo
et
al.,
(2004)
membagi
komponen
pengelolaan hutan menjadi 3 fase yaitu : 1. Fase sosial dan ekonomi 2. Fase kegunaan lingkungan hutan 3. Fase aturan dan hukum Interaksi dan hubungan inter-komponen (fase 2). Pengelolaan hutan dibagi dalam 3 kategori: (1) sosial dan ekonomi; (2) kegunaan hutan dan lingkungan; (3) aturan dan hukum. Pada tahap ini, stackeholder diberi pertanyaan untuk menentukan subkomponen yang dikategorikan pada fase 1. stockeholders dan partisipan modeling juga ditanyai untuk mereview subelement fase 1. ketika indikator-indikator non spesik dispesifikasikan, hal itu menjadi perlu untuk mengidentifikasi indikator pusat yang dapat digunakan sebagai fokus strategis dalam perkembangan skenario alternatif untuk diidentifikasi pada fase 3. Selama proses pemodelan, fasilitator mengasumsikan peran pasif melalui penyediaan lingkungan informal dan comfortable bagi stackeholder untuk berinteraksi, tukar pikiran tentang opini, dan mengekspresikan persepsi pada pengelolaan komunitas hutan. Analisis indikator performan : Indikator kunci untuk ketiga komponen adalah kepastian hukum, jumlah tegakan dan tutupan lahan dan penghasilan dan kewajiban/pajak masyarakat. Dua indikator lainnya adalah
18
tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat dan forest concessionaire revenue (Purnomo et al., 2004). Purnomo et al., (2003), dalam “Collaborative modelling to suport forest management” menjelaskan ada 3 fase dalam proses pemodelan kolaboratif yaitu :
Fase I: Identifikasi komponen manejemen hutan. Fase ini
membagi komponen pengelolaan hutan ke dalam 3 kategori umum: (1) sosial dan ekonomi; (2) kegunaan hutan dan lingkungan; (3) aturan dan hukum. Fase I ini (proses pemodelan kolaborasi, digunakan untuk memahami perspektif stakeholder dari pengelolaan hutan. Fase II: Hubungan intern antara komponen. Pembagian lategori serupa dengan fase I. Partisipan menerima kepastian hukum, yang merupakan kunci indikator hubungan yang melibatkan hukum dan aturan hutan. Kepastian hukum (certainly law) merupakan level transparansi, persistensi, dan enforcement hukum yang diterima oleh semua stakeholder. Hokum yang jelas juga mempengaruhi kualitas aturan kegunaan hutan, pendapatan masyarakat, dan investasi pajak hutan di sektor lain. Fase ini untuk mendirikan hubungan antara komponen kunci menggunakan diagram causal loop. Hal ini menawarkan cara terbaik untuk mengintegrasikan perspektif stakeholder yang berbeda, dan menawarkan suatu basis untuk menyetujui indikator performance pengelolaan hutan. Proses pemodelan kolaborasi adalah cara positif bagi stakeholder untuk mengeksprsikan pandangan dan ketertarikan mereka dalam mengelola hutan. Proses ini membantu partisipan mempercayai bahwa penerimaan tujuan respektif membutuhkan kolaborasi, termasuk pembagian biaya (costs) dan manfaat pengelolaan hutan. Proses ini merupakan cara terbaik untuk mengharmoniskan ketertarikan stakeholder. Pendekatan pemodelan kolaboratif ini dapat melengkapi suatu metode untuk perbedaan persepsi stakeholder, menekan
sebab
akibat
(kausalitas),
dan
untuk
mengusulkan
skenario
pengelolaan hutan (Purnomo et al., 2003). Fase III: Indikator Performan Model. Indikator pada fase ini terdiri dari: (1) kepastian hukum; (2) tegakan dan penutup lahan hutan; (3) pendapatan masyarakat; (4) pajak. Indikator ini digunakan untuk memprediksikan trend masa depan. Hasil proses pemodelan: (1) konsultasi publik; (2) kolaborasi pengelolaan hutan; (3) Public Hearing.
19
Ada
6
indikator
penting
berdasarkan
prioritas:
(1)
pendapatan
masyarakat; (2) Forest standing stock and cover; (3) hukum yang jelas; (4) kesadaran dan partisipasi masyarakat; (5) pajak; (6) forest concessionare revenue (Mendoza dan Prabhu, 2000). Indikator pengelolaan hutan digunakan untuk membantu menjelaskan konteks/situasi yang melatarbelakanginya, mengklasifikasi tujuan pengelolaan, mengevaluasi compliace dengan aturan dan kebijakan serta mengimplementasi suatu perencanaan. Indicator juga digunakan untuk mengakses akibat dan efektifitas hasil pengelolaan dan meningkatkan pengertian bagaimana hutan dan fungsi sosial hutan (Anonimous, 2004). Beberapa kriteria dan indikator yang diusulkan oleh Armitage (1998), seperti tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria dan Indikator oleh Armitage (1998) 1. PERLUASAN SUMBER DAYA HUTAN & SIKLUS KARBON LOKAL ITTO3 TARA CIFOR ATO
CCAD
INDICATORS * Area Penutupan hutan
y
+
+
y
+
* Wood Growing Stock (tegakan)
t
+
+
+
+
* tahap suksesi
+
+
+
+
t
* Struktur Umur
t
+
t
+
t
* Rata-rata Konversi hutan untuk penggunaan lain
+
+
t
T
y
2. INDIKATOR YANG DIPENGARUHI KESEHATAN EKOSISTEM HUTAN & VITALITAS EKSTERNAL * Pengendapan oleh polutan udara
t
t
Y
t
t
* Kerusakan karena erosi oleh angin
t
t
+
+
t
* Insiden gugur daun karena hama penyakit
+
+
t
t
t
* Kesehatan reproduksi
t
t
t
+
t
* Kerusakan karena hama penyakit
+
y
t
T
+
* Kerusakan karena kebakaran dan badai
+
+
T
+
+
* Kerusakan karena binatang liar
+
+
T
t
T
INDIKATOR VITALITAS HUTAN
INDIKATOR YANG DIPENGARUHI HUTAN
INDIKATOR YANG DIPENGARUHI OLEH ANTHROPOGENIC * Kompetisi akibat introduksi tanaman
+
t
t
t
t
* Keseimbangan nutrisi dan keasaman
+
t
t
t
t
* Tren menenam tanaman yang ekonomis
t
+
t
+
t
3. KEANEKARAGAMAN BIOLOGI DALAM EKOSISTEM HUTAN
20
ITTO
TARA CIFOR
ATO
CCAD
INDIKATOR EKOSISTEM * Distribusi ekosistem hutan
t
t
t
+
t
* Perluasan lahan yang dilindungi
y
y
y
y
y
* Fragmentasi hutan
+
t
+
+
+
* Pembersihan lahan tahunan dari jenis endemik
+
+
+
+
+
* Luas dan persentase kawasan hutan dengan perubahan ekologi fundamental
y
y
+
y
y
* Pengendalian kebakaran hutan & ukuran pencegahan
t
t
t
t
y
INDIKATOR SPESIES * Jumlah spesies endemik
t
t
t
+
+
t
+
+
y
y
+
y
+
y
y
+
+
+
+
+
t
+
+
+
+
+
t
t
+
+
y
y
y
y
y
* Tegakan
y
+
+
y
y
* Produksi kayu
y
y
y
y
y
* Produksi hasil hutan non kayu
y
+
t
y
y
Keseimbangan tahunan antara pertumbuhan pohon dan pemanenan kayu
y
y
y
y
y
* Tingkat diversifikasi produksi hutan lestari
+
y
+
y
y
* Tingkat penggunaaan tehnologi yang ramah lingkungan
+
y
y
y
y
* Number terancam
sepesies
endemic
yang
* Reliance of regenerasi secara alam *
Penggunaan sumber daya
system
eksploitasi
* Ukuran konservasi in situ bagi spesies terancam INDIKATOR GENETIK *
Jumlah spesies endemic kisaran berkurang
dengan
4. FUNGSI-FUNGSI PRODUKTIF HUTAN INDICATOR *
*
Persentase lahan berhutan yang dikelola menutut pengelolaan tanaman
5. FUNGSI PERLINDUNGAN HUTAN ITTO TARA
CIFOR
ATO
CCAD
+
yes
yes
INDIKATOR * Kondisi tanah
yes
yes
21
* Kondisi Air
yes
yes
+
yes
+
* Menejemen perlindungan tanah
yes
yes
+
yes
yes
* menejemen saluran air
yes
yes
+
yes
yes
* Lahan yang dikelola untuk tujuan Scenic & Amenity
+
no
no
+
yes
* Areas and Percentage of Forest Lands Managed for Environmental Protection
+
+
+
+
+
* Infrastructure Category
no
no
yes
no
yes
CIFOR
ATO
CCAD
Density
by
FMU
6. SOCIO-ECONOMIC FUNCTIONS AND CONDITIONS ITTO TARA INDIKATOR UNTUK MANFAAT EKONOMI * Nilai produk kayu
+
+
+
+
+
* Nilai produk non kayu
+
+
t
+
+
* Nilai industri primer dan sekunder
+
t
t
t
t
* Nilai energi biomasa
+
t
+
t
t
* Probabilitas ekonomi SFM
y
y
+
+
y
* Efesiensi dan persaingan produksi produk hutan, prosesing dan difersifikasi
+
+
t
t
y
* Tingkat keterlibatan swasta dan non swasta dalam SFM
+
+
+
+
y
t
t
+
t
y
*
Informasi komunitas lokal dan mekanisme referensi dalam SFM
INDICATORS UNTUK DISTRIBUSI MANFAAT * Pengembangan/kondisi tenaga kerja
y
y
y
y
y
* Komunitas yang tergantung hutan
y
y
Y
y
y
y
y
Y
y
y
yes
yes
+
yes
yes
+
+
+
+
+
+
+
+
+
yes
*
Pengaruh/tekanan penggunaan ekonomi hutan terhadap kemampuan hutan memberikan manfaat untuk masyarakat lokal
* Kualitas hidup populasi lokal * Rata-rata pendapatan per kapi ta dalam sector kehutanan *
Jender yang difokuskan partisipasi dalam SFM
pada
7. POLITICAL, LEGAL AND INSTITUTIONAL FRAMEWORK INDICATORS *
*
Framework legal that ensures participation by local governments and private landowners
+
yes
+
+
yes
Standar tehnis & regulator manajemen tanaman
+
+
yes
+
yes
dari
22
* Cadastral updating of the FMU
yes
No
yes
+
yes
Persentase investasi menejemen hutan untuk penelitian hutan
no
+
no
no
yes
* Rata-rata investasi aktifitas FMU: regenerasi, proteksi, dll.
+
+
yes
yes
yes
* Sumber daya tehnikal, manusia & keuangan
+
+
no
+
yes
*
Keterangan: 3 ITTO: International Tropical Timber Organization; TARA: Tarapoto Process; CIFOR: Center for International Forestry Research; ATO: African Timber Organization; CCAD: Comisión Centroamericana de Ambiente y Desarrollo (Central American Commission for Environment and Development). y = Indikator dijelaskan secara eksplisit + = Indikator tidak diekspresikan baik eksplisit, hanya secara implisit t = bukan indikator
Indikator-indikator tersebut akan dianalisis dengan model sensivitas yang sesuai sehingga dapat dijadikan suatu acuan umum untuk merancang suatu pengelolaan hutan alam dengan ciri dan kondisi yang sesuai. Tipe indikator yang banyak dikembangkan (Anonimos, 2004) pada umumnya adalah : a
Kuantitatif dan kualitatif
b
Input, proses, output, dampak. Input dan proses digunakan dalam sistem pengelolaan hutan untuk output dan outcome seperti penanaman dan tegakan, sedangkan output hasil/panen dan outcome adalah habitat binatang dan aktifitas ekonomi
c
Tekanan (misalnya pertumbuhan populasi manusia), pengaruh (misalnya berkurangnya habitat kehidupan liar) dan respon (akibat pengaruh yang ada maka perlu pengkoreksian seperti perlindungan habitat kehidupan liar sebagai suatu respon)
d
Lingkungan, sosial ekonomi dan institusional yang merupakan indikator penting untuk menjaga keseimbangan pelaksanaan pengelolaan hutan. Kriteria dan indikator yang diusulkan pada tingkat nasional oleh The
Montréal Proces Criteria and Indicators (Anonimous, 2000) memberikan peningkatan pemahaman arti pengelolaan hutan. Kriteria dan indikator merupakan alat untuk menguji kondisi dan pengelolaan hutan serta memberikan kerangka kerja secara umum untuk pendiskripsian, monitoring, dan evaluasi yang berberkaitan dengan kelestarian ditingkat nasional.
23
Tujuh kriteria menurut The Montreal Process adalah: 1. Konservasi keragaman biologi, memuat 9 indikator. 2. Pemeliharaan kapasitas ekosistem hutan yang produktif, berisi 5 indikator 3. Pemeliharaan kesehatan dan vitalitas ekosistem hutan, berisi 3 indikator 4. Pemeliharaan dan konservasi tanah dan air, berisi 8 indikator 5. Pemeliharaan hutan terhadap siklus karbon global, berisi 3 indikator 6. Pemeliharaan dan peningkatan manfaat social ekonomi jangka panjang, berisi 19 indikator 7. Legal, institutional dan kerangka kerja ekonomi untuk konservasi hutan dan pengelolaan secara lestari, memuat 20 indikator Kriteria dan indikator ini merupakan pendekatan yang merefleksikan bagaimana fungsi ekosistem hutan dan respon terhadap intervensi manusia, meningkatkan pengalaman
dan
kemampuan
untuk
mengukur
indikator-indikator,
dan
permintaan publik yang berubah-ubah terhadap produk dan layanan hutan (Anonimous, 2000). 2.3.
Model Pengembangan dan Analisis Sistem Analisis sistem adalah sebagai metode penelitian dalam perencanaan
dan pengelolaan sumberdaya alam merupakan penyajian suatu sistem dengan menggunakan azas metode ilmih, sehingga dapat dibentuk sebuah konsepsi dan model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan perubahan-perubahan serta menentukan strategi dan teknik pengambilan kebijakan. Analisis sistem dapat juga didefinisikan sebagai aplikasi metode ilmiah untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan suatu sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik-teknik untuk mempelajari, menggunakan dan membuat prediksi tentang sesuatu yang komplek, yang biasanya dicirikan dengan penggunaan prosedur-prosedur matematik dan statistik dengan komputer (Grant et al., 1997). Menurut Zubair (1994), analisisi sistem merupakan metode analisis yang unit analisisnya berbasis sistem yang biasanya dilakukan dalam penelitian yang bersifat multi atau interdisiplin dan terintergrasi yang seringkali tidak mungkin dilakukan dalam keadaan yang sebenarnya. Analisis sistem dalam arti luas mencakup dua teknik analisis, (1) meneliti keadaan dan proses dalam suatu
24
sistem serta akibat-akibat yang timbul dari perubahan atau manipulasi; aspek ini merupakan
penelitian
gerak
laku
sistem,
dan
(2)
mengoptimalkan,
memaksimalkan atau meminimumkan fungsi perlakuan terhadap sistem; aspek ini termasuk dalam operation research, suatu metode yang sangat berguna dalam pengambilan keputusan. Zubair (1994), membatasi sistem sebagai seperangkat elemen yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Sistem merupakan suatu proses yang sangat rumit yang yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat. Dalam analisis seringkali hubungan ini dirancang menjadi lebih sederhana dalam bentuk model yang diartikan sebagai gambaran abstrak suatu sistem dunia nyata di mana hubungan antar elemen dinyatakan dalam bentuk hubungan sebab akibat. Ide dasar permodelan dalam analisis sistem adalah menghubungkan fenomena dunia nyata dalam bentuk operasi matematik. Dengan demikian, model dapat merupakan suatu simbol yang merepresentasikan secara matematis suatu situasi yang diidealisasikan yang mempunyai ciri struktur penting dari dunia nyata (Hillel, 1977). Dengan model, akan dapat lebih dipahami dan menjelaskan fenomena alam, dan dibawah kondisi yang sama dapat dipakai untuk menduga perilaku sistem. Clayton dan Radcliffe (1996), menjelaskan pendekatan system keras merupakan metode yang diawali dengan penerimaan dasar tujuan dengan pendefinisian yang benar dan spesifikasi masalah. Metode system lunak (Methodelogy Soft System/MSS) adalah system pelatihan yang dipolakan untuk suatu sistem komplek yang didominasi manusia Checkland (1989). Analisis sistem mengandung pengertian tentang cara pengorganisasian data dan teori secara logika berkenaan dengan perilaku siostem kedalam model, menguji
model
untuk
tujuan
validasi
dan
pengembangan
model,
dan
menggunakan model untuk menduga perilaku sistem dimasa mendatang (Hartisari, 2005). Menurut Purnomo (2005), analisis sistem berguna mendekati masalah yang secara intiutif dapat digolongkan kedalam organized complexitasI atau kompleksitas yang terorganisasi. Artinya sistem tersebut kompleks tapi kita yakin ada sebuah pola yang ada pada sistem tersebut. Dengan analisis sistem akan dapat dibentuk suatu konsepsi dan model sebagai dasar dalam pengelolaan untuk melakukan perubahan-perubahan
25
struktur dan metode
serta
menentukan kebijakan,
strategi dan teknik
(Zubair 1994). Tahapan pendekatan sistem meliputi : (1) Evaluasi kelayakan, (2) Pemodelan
Abstrak,
(3)
Rancangan
implimentasi,
(4)
implimentasi
dan (5) Operasi Sistem. Evaluasi kelayakan menyangkut penurunan seperangkat allternatif sistem yang layak, yang mampu memnuhi kebutihan yang telah ditentukan. Dari alternatif sistem terpilih dirancang suatu model guna menemukan peubah-peubah penting dan tepat. Penemuan peubah-peubah erat kaitannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah. Pencirian secara detail sistem dan atau strategi pengelolaan yang didisain dalam fase pemodelan dilakukan dalam rancangan implimentasi. Pada tahap implimentasi diberikan eksistensi fisik bagi sistem yang diinginkan. Operasi sistem merupakan sarana uji bagi kecukupan sistem. Tahap ini seringkali menunjukkan kelemahan-kelemahan yang memerlukan pengkajian kembali melalui modifikasi. Esensi dari analisis sistem tidak hanya terletak pada kumpulan teknik kuantitatifnya, tetapi lebih pada strategi pemecahan masalah-masalah yang sulit atau tidak dapat dipecahkan secara matematis ataupun statistik, seperti yang tersaji pada Gambar 2.
Banyak Banyak data Pemahaman rendah (Statistik)
Banyak data Pemahaman tinggi (Fisika)
Sedikit data Pemahaman rendah
Sedikit data Pemahaman tinggi (Statistik)
Data
Sedikit Analisisi system dan simulasi
Rendah
Tingkat pemahaman proses relatif
Tinggi
Gambar 2. Perbandingan Metode Pemecahan Masalah (Grant et al., 1997)
26
Pemodelan sistem adalah sebuah pengetahuan dan seni. Sebuah pengetahuan karena ada logika yang jelas ingin dibangunnya dengan urutan yang
sesuai.
Sebuah
seni
karena
pemodelan
mencakup
bagaimana
menuangkan persepsi manusia atau dunia nyata dengan segala keunikannya. Tahapan pemodelan yang berbasis komputer yang dikemukakan oleh Purnomo (2005), masih terbatas pada hard system dan berbasis komputer, dengan fasefase sebagai berikut : a. identifikasi isu, tujuan dan batasan; b. Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab akibat, diagram stok (stock) dan aliran (flow), diagram case, diagram klas dan diagram sekuens; c. Spesifikasi model, yaitu merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen model jika perlu; d. Evaluasi model, yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika ada dan perlu; e. Penggunaan model, yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau kebijakan, mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda ke depan. 2.4.
Simulasi dan Sensitivitas
2.4.1. Simulasi Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru perilaku secara bertahap dari sistem yang dipelajari (Grant et al., 1997). Simulasi merupakan eksperimentasi yang menggunakan midel suatu sistem dengan analisis sistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perilaku terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan seperti yang terjadi pada eksperimen biasa. Siswosudarmo et al., (2001), menjelaskan bahwa simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut : a. Penyusunan konsep : gejala atau proses yang akan ditirukan perlu dipahami, antara lain dengan jalan menentukan unsur-unsur yang
27
berperan dalam gejala atau proses tersebut. Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi, berhubungan dan saling berketergantungan. b. Pembuatan model : model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokan menjadi model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik c. Simulasi : simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan mengadakan analisis hubungan sebab akibat antar unsur dengan memasukan data atau informasi yang dikumpulkan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses. d. Validasi hasil simulasi : hal ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil. Hasil simulasi tersebut selanjutnya digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang. Struktur internal masalah dapat dipaahami secara lebih rinci dengan memahami perilaku dan kecenderungannya. Pemahaman ini berguna untuk memperoleh solusi yang terbaik mengenai masalah yang dihadapi dalam manajemen dan memperkirakan kecenderungan keadaan di masa mendatang. Tahan simulasi tersebut secara sederhana tersai pada Gambar 3.
Gejala Proses Validasi Hasil Simulasi Penyusunan Konsep Simulasi
Pembuatan Model Model
Gambar 3.
Tahap-Tahap Simulasi Model (Siswosudarmo et al., 2001)
28
Namun jika model yang dibuat tidak dapat memprediksi kompleksitas dunia nyata, bukan berarti model yang dibangun tidak baik. Lee (1993 dalam Purnomo, 2004) menyatakan bahwa perilaku dari sistem alam tidak dapat dipahami dengan lengkap sehingga prediksi atas perilakunya sering salah dan sulit dilakukan. Purnomo (2004) menyatakan model-model sistem alam jarang teliti dan andal. Kegunaan model tersebut terletak pada kemampuannya untuk memenuhi asumsi-asumsi yang dibuat oleh manusia dalam memahami sistem alam atau dengan kata lain ketepatan prediksi adalah penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana model tersebut bisa dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemodelan yang dilakukan. 2.4.2. Sensitivitas Model Sensitivitas model adalah respon model terhadap stimulus. Respon ditunjukan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model. Perlakuan tersebut disebut uji sensitivitas. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam model. Hasil uji sensitivitas ini, dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja, yang digunakan untuk menganalisa efek intervensi terhadap model (Siswosudarmo et al., 2001). Selanjutnya perlakuan/intervensi
Siswosudarmo terhadap
et
model,
al.,
(2001),
sebagai
menjelaskan
sebuah
tindakan
bahwa adalah
berdasarkan kondisi yang mungkin terjadi dalam dunia nyata, maupun berdasarkan pilihan kebijakan yang mungkin dilakukan. Efek dari tindakan tersebut terhadap perubahan kinerja sistem diamati melalui perubahan nilai rujukan (reference model) nilai rujukan tersebut adalah “level” yang mewakili kinerja model. Sensitivitas model mengungkapkan hasil-hasil intervensi terhadap unsur
dan
struktur
sistem
dalam
rangka
menemukan
alternatif
tindakan/kebijakan baik untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian hasil posistif maupun untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif. Ringkasnya uji sensitivitas adalah intervensi parameter input model dan/atau struktur model untuk melihat seberapa jauh kepekaannya terhadap perubahan output model. Ada dua uji sensitivitas yaitu (1) intervensi fungsional adalah intervensi terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter tertentu dari model dengan menggunakan fasilitas dalam perangkat lunak (Powersim
29
Constructor 2,5) yang cocok atau mewakili perubahan keputusan, kejadian dan keadaan tertentu; (2) intervensi struktur adalah intervensi yang mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur yang dapat dilakukan dengan mengubah unsur atau hubungan yang membentuk struktur model. Secara singkat kedua uji sensitivitas tersebut tersaji pada Gambar 4. Model sensivitas ini merupakan suatu perancangan yang dapat menjadi alat analisis indikator dan memprediksi dampak dari penerapan manajemen hutan, dan mengembangkan strategi manajemen dan adaptasi di sektor kehutanan
(Vanclay,
2000).
Setiap
pembanding
(indikator)
digolongkan
berdasarkan sensivitas terhadap tujuan dan karakteristik (seperti dalam 3 komponen kriteria pengelolaan hutan lestari) agar bisa mengidentifikasi dan mengisolasi perbedaan utama. Hasil respon tersebut mungkin sama terhadap beberapa indikator umum (kanopi, kandungan N2 dan lapisan bahan organik) tetapi berbeda tingkat sensifitasnya seperti respon produk bersih terhadap peningkatan karbondioksida dan respirasi mikroorganisme tanah terhadap
Intervensi Fungsional Input
Intervensi Struktur Model Normal Intervensi
INPUT
Gambar 4.
PROSES
OUTPUT
Tipe Intervensi Model Parameter Input vs Struktur Model (Siswosudarmo dkk 2001, dimodifikasi)
Pembanding sensivitas (indikator) mengimplikasikan adanya kerusakan pada ekosistem hutan termasuk sosial ekonomi masyarakat lokal. Model sensivitas yang beragam tidak selalu sesuai untuk diterapkan di tempat lain yang berbeda, dan selalu mengalami perubahan di setiap waktu. Menurut Lasch et al., (2001) analisis sensivitas yang menekankan pada perubahan lingkungan dan kondisi tempat tumbuh lebih difokuskan pada beberapa hal, yaitu: (a) dampak produktifitas akibat penerapan pengelolaan hutan; (b) karakteristik fungsional yang mungkin dapat berubah (air bawah tanah, biodiversitas); (c) strategi
Dampak
presipitasi dan kelembapan tanah (Potter et al., 2001).
30
pengelolaan me-mitigasi dampak negatif terhadap dinamika hutan; (d) pengaruh penerapan pengelolaan hutan terhadap sequestration N/C pada wilayah yang berbeda. Analisis sensitivitas diperlukan untuk mengetahui keseimbangan persediaan dan dekomposisi bahan organik pada different drought dan suhu ekstrim termasuk emisi gas rumah kaca. Analisis sensitivitas komponen dan proses-proses di ekosistem hutan (tegakan dan tanah) merupakan salah satu alat untuk merekomendasi menejemen hutan alam.
30
III METODOLOGI 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian tentang analisis sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan
produksi pada hutan alam dilaksanakan dalam waktu delapan bulan dengan rincian empat bulan dilakukan di areal kerja konsesi HPH/IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan pengolahan data dan penyusunan model dilakukan di Bogor selama empat bulan. Lokasi penelitian bertempat di areal hutan konsesi HPH/IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma yang memperoleh ijin sejak tahun 1978 dan telah mendapat perpanjangan kedua (SK MENHUT No. 201/Kpts-II/1998) dengan luas areal kerja 208.300 ha (fokus penellitian ini pada kelompok Sungai Sruyan Hulus seluas 147.600). Berdasarkan peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) lokasi tersebut masuk dalam kelompok hutan Sungai Seruyan Hulu dan Kelompok Sungai Jelai Delang yang terletak di Kabupaten Seruyan (dahulu Kabupaten Kotawaringin Timur), Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasi penelitian tersaji pada Gambar 5. 3.2.
Rancangan Penelitian
3.2.1
Bahan dan Alat Untuk menyusun hasil dari model sensitivitas indikator-indikator pengelolaan
hutan alam alat yang digunakan adalah kompas. Phiband, meteran, haga, dan tape recorder kuisioner serta komputer dengan perangkat lunak analisis sistem Powersim Constructor 2,5. Sedangkan bahan yang digunakan adalah areal kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma pada Lokasi Rencana Karya Lima Tahun (RKT) hutan primer dan hutan bekas tebangan tahun 2006 dan tahun berjalan 2007, hal ini digunakan untuk melihat tren estimasi jumlah vegetasi baik tingkat semai, pancang, tiang maupun pohon. 3.2.2
Jenis Data Penelitian model sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan alam ini
membutuhkan data sebagai menunjang pemodelan, yaitu data primer dan data sekunder seperti yang tersaji pada Tabel 2.
31
Lokasi Penelitian
Gambar 5. Lokasi Penelitian IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah
32
Tabel 2. Jenis Data Yang Dikumpulkan Dalam Penelitian Metoda Pengumpulan
No
Kriteria
Parameter
Satuan
I a.
PRODUKSI Vegetasi Hutan
Kemantapan Tegakan
-
Kuadran
M3/Ha
Kuadran
Jenis Pohon Dilindungi Jenis Endemik Jenis
N/Ha, %
Kuadran
N/Ha, %
Kuadran
Jumlah Jenis
Kuadran dan Wawancara
Kekayaan Jenis
Spesies
Kelimpahan
Individu
Pengamatan, Studi Pustaka, Wawancara Pengamatan, Studi Pustaka, Wawancara Pengamatan Wawancara
Potensi Tegakan
b. II a.
III a.
3.2.3
Hasil Hutan Non Kayu EKOLOGI Satwaliar
Penyebaran % Lokal Ekonomi Perusahaan (Pendapatan) Pendapatan Biaya Produksi/Ha Harga Penjualan 3 Kayu/m
Metoda Analisis Deskriptif indeks keanekaragaman (Shanonn Indeks) Deskriptif terhadap kerapatan dan volume tiap jenis Deskriptif terhadap kerapatan dan INP Deskriptif terhadap kerapatan dan INP Tabulasi
Alat Yang Digunakan Kompas,Haga Pt. ukur Dft. Isian Kompas, Haga Pt. Ukur,Df. Isian Kompas, Haga Pt. Ukur,Df. Isian Kompas, Haga Pt. Ukur,Df. Isian Df. Isian
Tabulasi
Binokuler Df. Isian
Tabulasi
Binokuler Df. Isian
Tabulasi, ploting di peta
Binokuler Df. Isian
Wawancara
-
Dft. Isian
Wawancara
-
Dft. Isian
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan
pengamatan langsung terhadap indikator kegiatan pengelolaan hutan alam produksi pada lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta yang berhubungan dengan topik penelitian. 3.2.3.1 Metoda Pengumpulan Data Vegetasi Pengumpulan data vegetasi alam dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung di lapang (observasi lapang) secara diskriptif dengan mencatat jenis-jenis yang ditemukan dan dengan menggunakan metoda jalur berpetak. Pengukuran di lapangan dilakukan dengan Metode Jalur Berpetak dengan panjang 1 km dan lebar 20 m. setiap jarak 20 m dilakukan pengamatan terhadap vegetasi pada berbagai tingkat pertumbuhan. Untuk tingkat semai dan pancang dicatat jenis dan jumlah, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon dicatat jenis, tingkat dan diameter. digunakan untuk masing-masing pertumbuhan adalah sebagai berikut :
Kriteria yang
33
Semai Pancang Tiang Pohon
: Mulai dari anakan sampai tanaman yang tingginya kurang dari 1,5 m. : Mulai dari tinggi 1,5 m – berdiameter 10 cm : Berdiameter diantara 10 cm – 19 cm pada ketinggian 1,3 m : Berdiameter ≥ 20 cm pada ketinggian 1,3 m
Luas petak ukur untuk masing-masing pertumbuhan yang digunakan adalah 2 x 2 m (semai), 5 x 5 m (pancang), 10 x 10 m (tiang) dan 20 x 20 m (pohon). Letak petak ukur masing-masing tingkat pertumbuhan disusun berselang-seling seperti disajikan pada Gambar 6. 20 m
10 m 5m 20 m
2m
Jalur Rintis 2m 5m
10 m
Gambar 6. Bentuk Plot Contoh Pengamatan Vegetasi 3.2.3.2 Metoda Pengumpulan Data Tanah Pengumpulan data tanah dilakukan melalui pengumpulan data sekunder. Data sekunder tersebut dapat diperoleh dari studi pustaka (instansi terkait). Data-data tersebut berupa peta tanah, tataguna lahan, dan status lahan. Data primer tentang tanah diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan. Ada dua bentuk pengamatan yang dilakukan, yaitu: pengamatan tanah dengan bor dan pengamatan tanah profil dengan cara membuat galian profil tanah (pits). Dari setiap profil tanah diambil contoh tanah yang selanjutnya dianalisis di laboratorium. 3.2.3.3 Metoda Pengumpulan Data Satwa (Estimasi Populasi) Pengamatan satwaliar khususnya primata Owa Borneo (Hylobates muelleri dan Hylobates agilis) dilakukan melalui pengamatan langsung (Primer). Pengamatan langsung dilakukan dengan metoda perjumpaan langsung dan membuat transek jalur (line transect sampling) (Subcommittee on Consevation of Natural Pupulations 1981). Transek jalur adalah unit contoh berbentuk empat persegi panjang yang ditempatkan sama dengan transek pengamatan vegetasi, dimana panjang dan lebar transek telah
34
ditetapkan sebelum pengamatan dilakukan. Metode line transect sampling digunakan untuk menghitung kelimpahan relatif dan estimasi kepadatan populasi berbagai jenis mamalia (1>1 kg) (Wallace et al., 1998) metode ini lakukan pukul 06.30 sampai pukul 11.00 (Iskandar, 2006) . Pengamatan secara tidak langsung dilakukan melalui wawancara dengan staff PT. Sari Bumi Kusuma dan penduduk sekitar lokasi penelitian. Parameter dan indikator pengumpulan data vegetasi dan satwa disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Parameter dan Indikator Pengambilan Data Vegetasi dan Satwa No 1
2
Sub Komponen
Indikator
Parameter
Vegetasi
Vegetasi alam
Tipe vegetasi
Dominasi jenis
Vegetasi budidaya
Keanekaragaman jenis
Kerapatan
Keanekaragaman jenis
Status, Jumlah jenis
Tipe habitat
Kelimpahan
Keanekaragaman jenis
Status
Keanekaragaman jenis
Status
Satwa
Satwaliar Satwa budidaya
Titik pengamatan satwaliar sama dengan pengamatan vegetasi, yaitu ditempatkan secara proposional pada 5 transek yang memotong tegak lurus kontur, dengan jarak antar transek adalah 100 meter. Sedangkan pengamatan satwa budidaya dilakukan di desa terdekat. Pengambilan data model estimasi populasi Owa Borneo (Hylobates muelleri) dilakukan melalui pendekatan pohon pakan dan pohon tempat tidur. Identifikasi pohon tempat pakan dan pohon tempat tidur dilakukan saat melakukan pengambilan data vegetasi tingkat pohon yaitu 1) jenis pohon; 2) tinggi; 3) diameter (Iskandar, 2006). 3.3.
Metode Analisis
3.3.1
Metoda Analisis Potensi Tegakan Metoda analisis terhadap vegetasi dilakukan secara matematis, diskriptif, dan
tabulasi ddari ata-data di lapangan, terutama jenis-jenis yang dilindungi undangundang. Keadaan struktur vegetasi hutan alam dapat digambarkan melalui analisis Indeks Nilai Penting (INP). INP ini merupakan kumulatif dari Kerapatan relatif (KR),
35
Frekuensi Relatif (FR), dan Dominasi Relatif (DR) yang dihitung dengan menggunakan persamaan (Surianegara dan Indrawan 1976) berikut ini : INP = KR (%) + DR (%) + FR (%) Untuk mendapatkan nilai KR, DR dan FR digunakan rumus sebagai berikut : Jumlah individu suatu jenis Kerapatan (batang/Ha) = Luas areal seluruh petak contoh Kerapatan suatu jenis Kerapatan Relatif (%) =
x 100 % Total kerapatan seluruh jenis Basal area suatu jenis
Dominansi (m²/Ha)
= Luas seluruh petak contoh Dominansi Relatif (%)
Dominansi suatu jenis =
x 100 % Total dominansi seluruh jenis Jumlah petak terisi suatu jenis
Frekuensi
= Jumlah petak contoh seluruhnya Frekuensi suatu jenis
Frekuensi Relatif (%)
3.3.2
=
x 100 % Total frekuensi seluruh jenis
Metoda Analisis Data Satwa Metoda analisis terhadap satwa/fauna dilakukan secara matematis, diskriptif,
dan tabulasi terhadap data-data lapangan terutama jenis-jenis yang dilindungi undangundang. Analisis data menggunakan metoda IPA (Indices Ponctuel of d’Abundance) berdasarkan rumus Shannon Winner sebagai berikut : Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Dimana : n ni = Nilai INP individu dari jenis i H' = - Σ {ni/N x Ln (ni/N)} N = Jumlah INP individu seluruh jenis i=1 Estimasi populasi primata Owa Borneo (Hylobates muelleri) dilakukan dengan menganalisis data yang telah diperoleh dengan menggunakan persamaaan dari Subcommittee on Consevation of Natural Pupulations (1981), yaitu : P=DxA
36
Dimana : P = Populasi D = Kepadatan Populasi A = Areal yang dihuni Kepadatan populasi dapat diperoleh dengan menghitung jumlah individu yang diidentifikasi dan membaginya dengan luas arela penelitian sehingga akan diperoleh individu per satuan luas tertentu, persamaannya adalah : Jumlah Individu Teriidentifikasi D = ----------------------------------------------Total Areal Penelitian Untuk menduga populasi Owa Borneo (Hylobates muelleri) pada kurung waktu tertentu dan memprediksi populasi untuk waktu yang akan datang, menggunakan perangkat lunak Powersim constructor 2,5. berbagai parameter yang berhubungan dengan Owa Borneo (Hylobates muelleri) seperti data vegetasi tingkat pohon khususnya pohon pakan dan tempat tidur. 3.3.3
Analisis Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Penelitian ini dilakukan dengan maksud mengungkapkan indikator/parameter
yang sensitiv terhadap respon intervensi dan membuat skenario interaksi dari tiap indikator. Model sensitivitas akan mengungkapkan hasil-hasil intevensi terhadap unsur dan struktur sistem hal dimaksudkan dalam rangka menemukan alternatif tindakan. Ringkasnya uji sensitivitas adalah intevensi paramter input model dan/atau struktur model untuk melihat seberapa jauh kepekaannya terhadap perubahan output, sehingga dapat diamat bagaimana efek atau dampak suatu intevensi terhadap kinerja model (Siswosudarmo et al., 2001). Secara skematis intervensi input parameter tersaji pada Gambar 7.
Intervensi Struktur Model Normal Intervensi
INPUT
PROSES
OUTPUT
Gambar 7. Tipe Intervensi Model Parameter Input vs Struktur Model (Siswosudarmo et al.,, dimodifikasi 2008)
Dampak
Intervensi Fungsional Input
37
Ada beberapa fase dalam analisis sesnsitivitas seperti yang dikemukakan oleh Purnomo (2005), sebagai berikut : a. Identifikasi indikator/isu/masalah, tujuan dan batasan Identifikasi indikator/isu atau masalah dan batasan dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menetukan indikator hipotetikal sebanyak 10 indikator. Setelah isu ditentukan, selanjutnya menentukan tujuan pemodelan menyangkut metode pemodelan, ketelitian model dan jenis model yang dinyatakan secara eksplisit. Setelah isu dan masalah berikutnya menentukan batasan terhadap permodelan yang dilakukan. b. Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metod seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab-akibat, diagram stok (stoc) dan aliran (flow) atau diagram klas dan diagram sekuens Tahapan ini dumulai dengan mengidentifikasi semua komponen yang terlibat atau dimasukan dalam pemodelan. Jika komponen-komponen tersebut sangat banyak maka dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori. Komponen-komponen tersebut kemudian mencari hubungannya satu sama lain dengan menggunakan diagram kotak dan panah Dalam konseptualisasi model ini, perlu diperhatikan bahwa komponenkomponen yang membentuk sistem harus dinamis, sensitif terhadap perubahan serta keterkaitannya
dalam
sistem
membentuk
hubungan
sebab-akibat.
Identifikasi
keterkaitan komponen tersebut didasarkan pada keadaan nyata agar hasil yang digambarkan model tersebut mendekati keadaan sebenarnya. c. Spesifikasi model dengan merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen indikator yang diperlukan Spesifikasi model kuantitatif, bertujuan untuk membentuk model kuantitatif dari konsep model yang telah ditetapkan dengan memberikan nilai kuantitatif terhadap masingmasing variabel/indikator dan menterjemahkan hubungan atau keterkaitan antar 10 variabel/indikator dan komponen penyusunan model sistem tersebut kedalam persamaan matematika. Persamaan tersebut dapat diperoleh dari hasil regresi terhadap data yang ada, hasil rujukan atau berdasarkan rekaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara rinci tahapan dalam spesifikasi model kuantitatif terdiri dari : -
Memilih dan menentukan struktur kuantitas model
-
Menentukan satuan waktu dalam simulasi
38
-
Identifikasi bentuk-bentuk fungsional dan persamaan model
d. Evaluasi model yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model yang serupa jika ada dan diperlukan Evaluasi model bertujuan untuk mengetahui keterhandalan model untuk mendikripsikan keadaan sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika ada. Setelah setiap dari model diamati apakah relasi-relasi yang ada logis atau tidak, maka selanjutnya diamati logis tidaknya keterkaitan antar bagian sebagai model yang utuh. Logis dalam hal ini berarti bahwa semua persamaan sesuai dengan apa yang dipercayai orang atau dengan kata lain sesuai dengan paradigma yang ada. Tahapan kedua dari evaluasi model ini adalah mengamati apakah perilaku model sesuai dengan harapan atau perkiraan yang digambarkan pada tahapan konseptualisasi model. Model dijalankan atau dieksekusi pada sebuah komputer, dan diamati hasilnya apakah beberapa komponen yang diamati atau menjadi fokus perhatian sesuai dengan pola perilaku perilaku yang diharapkan. Tahapan ketiga adalah membandingkan periaku model dengan data yang diperoleh dari sistem atau dunia nyata. Jika dalam model terdapat fungsi-fungsi bilangan acak, maka model harus dieksekusi sebanyak 30 kali untuk mengamati keragaman hasil pemodelan tersebut. Berikut ini langkah-langkah penerapan uji sensitivitas terhadap indikatorindikator pengelolaan hutan alam produksi ada lima yaitu : -
Identifikasi alternatif intevensi, yaitu melihat intervensi apa perlu dilakukan untuk mencapai kinerja model yang diinginkan pada waktu mendatang. Untuk itu perlu dilihat dulu hasil simulasi tanpa intervensi, yaitu mengamati apakah kecendurangan kinerja model masih terkendali dan mantap, atau justru memperlihatkan
kecendurangan
melampaui
batas
(overshot)
dan/atau
bergejolak (oscillation). Jika kejadiannya adalah kecenderungan kinerja model masih terkendali dan mantap, bukan berarti tidak diperlukan intervensi, karena lingkungan sistem masa datang terus berubah dengan cepat. -
Uji sensitivitas intervensi terhadap penggunaan paramater input dan intervensi struktur model sehingga menghasilkan output dengan intervensi atau normal.
-
Analisis dampak intervensi, yaitu melihat secara kuantitatif berapa besar dan kapan dampak intervensi menunjukkan hasil.
39
-
Hasil uji parameter/indikator kemudian dievaluasi dengan maksud memilih tiga diantara yang paling sensitiv dari sepuluh indikator pada langkah identifikasi indikator/masalah maupun atau isu-isu.
-
Selanjutnya mensimulasikan dan mengamati hasil dan dampaknya pada keseluruhan kinerja unsur dalam sistem. Perubahan sifat dampak bersifat dinamis
yang
dinyatakan
dalam
prosentase
fungsi
waktu
dan
pola
kecanderungan hasil dan dampak intervensi adalah bersifat non-linier. Hal tersebut akan di uji dengan fasilitas uji sensitivitas variabel/indikator dengan menggunakan perangkat lunak Powersim Constructor 2,5, hal ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam dunia nyata -
Kemudian menentukan dua sampai tiga indikator/variabel yang paling sensitiv terhadap respon intervensi.
-
Menguji hasil model yang telah dikembangkan (mensimulasikan) di lapangan dengan mengukur nilai normal indikator dan melakukan intervensi serta mengamati perbahan nilai indikator.
e. Penggunaan model yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau alternatif kebijakan kemudian mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda kedepan. Model yang telah dibentuk digunakan untuk menccapai tujuan pembentukannya. Kegiatan pertama adalah membuat daftar panjang semua skenario yang mungkin dapat dibuat dari model yang dikembangkan. Semua skenario tersebut dieksekusi, kemudian hasil eksekusi tersebut dicoba untuk dipahami. Dari hasil eksekusi tersebut kemudian dibuat daftar pendek yang memenuhi tujuan pemodelan. Dari daftar pendek tersebut dilakukan penajaman untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan, seperti makna yang lebih rinci dari skenario tersebut dan bagaimana hubungannya dengan komponenkomponen yang diubah-ubah untuk memenuhi skenario tersebut. Langkah kedua adalah menganalisis hasil dari daftar pendek skenario tersebut. Hasil analisis dari hasil eksekusi tiap skenario akan dipakai untuk membuat peringkat skenario - skenario tersebut yang mencerminkan urutan skenario yang lebih cocok untuk diterapkan sesuai dengan model yang dikembangkan. Tahapan terakhir adalah merumuskan skenario tersebut menjadi opsi atau pilihan kebijakan.
40
IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1.
Sejarah Pengelolaan Hutan Pengusahaan hutan atas nama PT. Sari Bumi Kusuma memperoleh izin konsesi
pengusahaan hutan sejak tahun 1978 sejak dikeluarkannya Forest Agreemant (FA) No. FA/N/016/III/1978 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 599/Kpts/Um/1978, tanggal 18 November 1978, tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan luas 84.000 ha di Kelompok Hutan Sungai Jelai-Sungai Delang. Pada tahun 1979 PT. Sari Bumi Kusuma memperoleh tambahan luas menjadi 270.000 ha berdasarkan Addendum FA/N-AD/045/1979 tanggal 14 Juli 1979 dan Addendum Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 666/Kpts/Um/10/1979 tanggal 16 Oktober 1979 tentang penambahan luasan di Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu seluas 186.000 ha. Izin konsesi pengusahaan hutan tersebut telah dijalankan sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian selama 20 (dua puluh) tahun. Setelah masa pengusahaan hutan jangka waktu pertama (20 tahun) berakhir. PT. Sari Bumi Kusuma mengajukan perpanjangan kedua untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, PT Sari Bumi Kusuma memperoleh perpanjangan kedua berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 201/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998, dengan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), berdasarkan pertimbangan para pakar yang menilai bahwa areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma dinilai sangat prospektif untuk melestarikan tanaman meranti, sehingga IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma ditetapkan sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 tentang ditunjuknya PT. Sari Bumi Kusuma sebagai model penerapan sistim silvikultur TPTI Intensif yang menjadi rujukan dan peraga pembelajaran penerapan sistem silvikultur TPTI Intensif (Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. S.88/VI-BPHA/2005 tanggal 23 Februari 2005). Luas total areal hutan IUPHHK
PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan seluas
147.600 ha yang terdiri atas Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 134.153 ha dan Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) seluas 13.447 ha. Sehingga luas areal produktif untuk unit produksi setelah di kurangi areal tidak efektif (Kawasan pelestarian plasma nutfah/KPPN, Sempadan Sungai, Sarana dan Prasarana dan Areal Sumber
41
Daya Genetik/ASDG dan Areal Penggunaan Lain/APL) seluas 119.179 ha dengan jatah tebang tahunan (JTT) sebesar 3.405 ha/thn dengan prosuksi rata-rata dalam 5 tahun terakhir sebesar 270.295 m3/thn.
4.2.
Letak dan Batas Areal Penelitian Lokasi penelitian terletak di dalam areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.201/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 luas areal kerja Seluruhnya adalah 208.300 ha yang terdiri dari dua Unit yaitu Unit I terdapat di Kelompok Hutan Sungai Seruyan seluas 147.600 ha dan Unit II terdapat di Kelompok Hutan Sungai Delang seluas 60.700 ha. Unit I Kelompok Hutan Sungai Seruyan seluas 147.700 ha merupakan areal penelitian. Berdasarkan posisi geografis, areal PT. Sari Bumi Kusuma Unit I Kelompok Hutan Sungai Seruyan terletak pada posisi 00036’ - 01010’00” Lintang Selatan dan 111039’ - 112025’00” Bujur Timur. Secara administrasi pemerintahan, areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma termasuk dalam wilayah Kecamatan Seruyan Hulu Kabupaten Seruyan dan wilayah Kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Batas areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma adalah sebagai berikut : Æ Sebelah Utara
: Hutan Lindung
Æ Sebelah Timur
: Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Areal IUPHHK PT. Kayu Waja, IUPHHK PT. Meranti Mustika, IUPHHK PT. Kardas Trades dan IUPHHK PT. Firs Lamandau
Æ Sebelah Selatan
: IUPHHK PT. Meranti Mustika dan IUPHHK PT. Erna Djuliawati, IUPHHK PT. Kayu Pesaguan dan Hutan Lindung
Æ Sebelah Barat
: IUPHHK PT. Erna Djuliawati dan IUPHHK PT. Kayu Pesaguan
Berdasarkan letak administrasi Kehutanan areal kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma termasuk dalam wilayah KPH Kotawaringin Timur, BKPH Sampit, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah dan berdasarkan kelompok hutannya terletak pada kelompok hutan Sungai Seruyan Hulu.
42
4.3.
Jenis Tanah dan Geologi Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimatan skala 1 : 1.000.000 yang dikeluarkan
oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor – Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPPP) Bogor tahun 1993, areal kerja PT. Sari Bumi Kusuma Unit I Kelompok Hutan Sungai Seruyan didominasi oleh jenis tanah Kambisol Distrik, Podsolik Kandik dan Oksisol Haplik (44,74%). Namun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980, seluruh areal Unit 1 Kelompok Hutan Sungai Seruyan semuanya Podsolik (100%) termasuk dalam klasifikasi peka erosi. Menurut Peta Geologi Indonesia Lembar Kalimantan Tengah skala 1 : 1.000.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung pada tahun 1993, formasi geologi yang mendominasi di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma adalah Lonalit, Granodiorit, Granit, sedikit diorit kuarsa, diorit granit (76,54%).
4.5.
Iklim Sesuai dengan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Scmidt dan Ferguson (1951),
areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma tergolong beriklim tipe A dengan rata-rata curah hujan 281, 8 mm/bulan dan rata-rata hari hujan 12,06 hari. Kondisi iklim di areal PT. Sari Bumi Kusuma/loaksi penelitian didekati berdasarkan data iklim yang tercatat di stasiun pengamatan terdekat, yaitu Stasiun Pengamat iklim Katingan Kuala/PagatanKotawaringin Timur. Rekapitulasi data iklim di areal studi selama 10 tahun(1994-2005) disajikan pada Tabel 4.
43
Tabel 4. Rekapitulasi Data Iklim Selama 10 Tahun (1994-2005) terakhir di Areal IUPHHK PT.
Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah
Bulan
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rata-rata
Curah Hujan (mm) Hari Hujan (hari) Suhu Udara (oC) Kelembaban Udara (%)
328 264 353 274 265 199 168 177 253 383 363 352 3379 281.58
13,9 11,7 11,9 11,0 10,2 8,1 7,6 7,8 8,8 11,8 14,1 14,3 127,2 12,06
26,1 26,1 26,1 26,1 26,8 26,5 26,9 26,2 26,3 26,7 26,3 26,3 26,4
89 85 87 86 86 86 86 83 83 84 84 86 85
Sumber : Stasiun Pengamat Cuaca Katingan Kuala/Pagatan-Kotawaringi Timur
4.6.
Topografi dan Kelerengan Kondisi areal penelitian seluruhnya merupakan lahan kering, dengan ketinggian
tempat antara 100 – 1.552 m dpl, dengan ketinggian rata-rata 400 m dpl. Kondisi fisiografinya berkisar antara landai sampai curam. Secara umum, areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma merupakan sisi selatan punggung lipatan utama (di perbatasan Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Barat). Kondisi topografi areal kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma secara rinci tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Kelas Lereng Areal Kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit I Sungai Seruyan No.
Kelas Lereng
Luas (Ha)
Persentasi (%)
1.
Datar (0 – 8%)
34.982
23,7
2.
Landari (8 – 15%)
35.843
24
3.
Agak Curam (15 – 25%)
46.006
31,21
4.
Curam (25 – 40%)
30.404
21
5.
Sangat Curam (>40%)
305
0,20
147.600
100
Jumlah Sumber : Dokumen Laporan RKUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, 2006
44
4.7.
Komponen Vegetasi Berdasarkan Peta TGHK Provinsi Kallimantan Tengah (Lampiran 7a dan 7b)
areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit I Sungai Seruyan seluas 147.600 ha yang terdiri dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 135.180 ha dan Hutan Produksi tetap (HP) seluas 12,420 ha. Kondisi penutupan vegetasi PT. Sari Bumi Kusuma berdasarkan Peta Citra Landsat Band 542 Path/Row 119/61 dan 120/61 liputan tahu 2005 skala 1 : 100.000, realisasi tebangan hingga RKT Tahun 2004 dan dokumen hasil survei potensi 2004 dengan intensitas sampling 1% adalah sebagai berikut 23.940 ha merupakan hutan primer (virgin forest) dan hutan Sekunder (log over area) seluas 109.603 ha. Serta non hutan seluas 14.057 ha.
4.8.
Satwaliar Berdasarkan dokumen laporan Pembinaaan Hutan dan Lingkungan PT. Sari
Bumi Kusuma tahun 2006 tentang keanekaragaman vegetasi dan satwaliar di kawasan hutan primer dan kawasan hutan sekunder, ditemukan jenis burung sebanyak 117 jenis. Dari 117 jenis tersebut, 1 jenis burung dari family Enggang (Bucerotidae) merupakan jenis endemik dan 14 jenis burung. Sedangkan untuk kelompok jenis mamalia dan reptil ditemukan 27 jenis dan 18 family, dari jumlah tersebut terdapat 15 jenis yang dilindungi dan dua jenis mamalia endemik yaitu Kelampiau/Owa (Hylobates Muelleri) di areal kerja PT. Sari Bumi Kusuma.
4.9.
Sistem Pengelolaan Hutan Pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia berjalan sejak tahun 1960-an dengan
menerapkan regime silvikultur yang sesuai untuk dipakai di HPH/IUPHHK yang melakukan pembalakan di hutan Indonesia. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor : 35/Kpts/DP/I/1972. dari SK tersebut dipilih tiga regime silvikultur yang dirancang untuk mengolah hutan Indonesia. Ketiga regime silvikultur tersebut adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Dari ketiga regime yang disrankan tersebut hanya TPI yang lebih banyak dipergunakan. Berdasarkan SK Direktur Jenderal No. 35 tersebut aturan yang harus diikuti pada TPI mencakup (a) Pertimbangan, (b) Dasar-dasar, (c) Pelaksanaan, dan (d) sangsi-sangsi. Pertimbangan TPI yang sangat strategis ini dalam praktek kurang dipertimbangkan,
sehingga
sangat
mengecewakan.
Dalam
pertimbangan
untuk
45
melaksanakan TPI, ada 4 hal pokok yang harus diikuti, yaitu , (1) Asas kelestarian, (2) Teknik Silvikultur, (3) Kelangsungan pengusahaan hutan, dan (4) Pengawasan yang efisien dan efektif. Soekotjo (2004), menambahkan sampai saat ini penerapan regime silvikultur di Indonesia adalah : -
Monocyclic, regime yang dipilih hanya tebang habis. Regime tebang habis ini untuk menampung jenis-jenis, ddimana semainya sejak semula untuk pertumbuhan yang optimal sangat membutuhkan cahayap penuh, seperti jati dan mahoni.
-
Polycyclic, regime yang dipilih adalah Tebang Pilih Indonesia, yang dalam praktek dikenal dengan dua versi yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Sari Bumi Kusuma
melaksanakan sistem silvikultur Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 220/KPTS/IV-BPHH/1997 tanggal 2 Oktober 1997 tentang penerapan sisten Tebang Pilih dan Tanam Jalur yang diterapkan pada areal bekas tebangan (log over area) dan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia pada hutan primer (virgin forest) untuk pohon yang diameter 60 cm ke atas dan 40 cm keatas pada areal bekas tebangan. Sistem silvikutur di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma terjadi perubahan sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.221/VIBPHA/2005 tanggal 18 Agustus 2005, bahwa PT. Sari Bumi Kusuma ditunjuk/ditetapkan sebagai salah satu pemegang IUPHHK dengan Model Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTI-Intensif), dengan diberlakukannya keputusan tersebut, PT. Sari Bumi Kusuma melaksanakan sisten TPTI-Intensif sejak tahun 2006. Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI-Intensif secara teknis tidak berbeda jauh dengan pelaksanaan sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ). Perbedaan mendasar terletak pada areal efektif yang dikelola, jarak tanam dan jarak antar jalur tanaman. Sistem silvikultur TPTJ diharuskan pada areal bekas tebangan (Log Over area) dengan jarak tanam 5 meter dan jarak antar jalur tanaman 25 meter, sedangkan pada sistem silvikultur TPTI-Intensif diterapkan pada seluruh areal efektif yang dapat diusahakan dengan jarak tanam 2,5 meter dan jarak antar jalur tanaman 20 meter. IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma dalam pelaksanaan dan penerapan di lapangan melakukan modifikasi dalam pembuatan jalur tanam. Pola tanam TPTI-Intensif yang
4 46
ditera apkan di arreal IUPHHK K PT. Sari Bumi Kusu uma adalah dengan membuat jalu ur beba as naungan//bersih seba agai jalur ta anam seleb bar tiga meter untuk meningkatka m an poten nsi produks si hutan ba aik kualitas maupun kuantitas de engan penanaman jeniis kome ersil terutam ma dari jenis kelompokk meranti ya ang diharap pkan dapat memberika an kontinuitas prod duksi serta memudahkan pelakssanaan pen nanaman, pemeriksaan p n, binaan dan pengawasa an. Pola sisttem silvikulttur di areal kerja IUPH HHK PT. Sari pemb Bumii Kusuma dis sajikan pada a Gambar 8. Jalur bersih 3 meter
Jalur bersih b 3 me eter
3 meter
Jalur Antara 17 meter
3 meter m
Jalur Antara J 17 meter
Jalur Antara 1 meter 17
Gambar 8. Pola Sistem Silvvikultur TPTI-Intensif di Areal Kerja a IUPHHK PT. P Sari Bum mi Kusuma Keteran ngan : 1. Lubang Tana am yang jaraknya a dalam satu jalu ur adalah 2,5 me eter dan jarak anttara jalur 20 mete er l 17 meter dan jalur bersih le ebar 3 meter 2. Jalur antara lebar dapat 200 pohon dan dijarangi 2 kali k selama daurr (umur 5 tahun dan d 15 tahun) 3. Diasumsikan dalam 1 ha terd
47
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Kriteria Indikator Kriteria merupakan suatu prinsip atau patokan untuk menilai suatu hal. Oleh
karenanya suatu kriteria dapat dilihat sebagai prinsip yang menambah arti dan cara kerja dalam suatu prinsip tanpa membuatnya sebagai suatu pengukur secara langsung. Sedangkan indikator adalah suatu variabel atau komponen ekosistem atau sistem pengelolaan hutan apa saja yang digunakan untuk memperkirakan status kriteria tertentu (Mendoza et al., 1999). Penentuan kriteria dan indikator hutan alam areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma didasarkan pada kriteria dan indikator yang dikembangkan Forest Stewarship Council (1996). Kriteria dan indikator yang diuji sensitivitas pada hutan alam PT. Sari Bumi Kusuma meliputi: (1) kriteria produksi dengan indikator vegetasi hutan (parameter yang diamati adalah kemantapan tegakan, potensi tegakan dan jenis pohon yang dilindungi); (2) kriteria ekologi dengan indikator vegetasi dan satwa liar (parameter yang diamati adalah kekayaan jenis, kelimpahan dan penyebaran lokal), tanah (parameter yang diamati adalah tekstur dan struktur tanah kaitannya dengan erosi); (3) kriteria sosial ekonomi dengan indikator sosial ekonomi (pola pemanfaatan sumberdaya hutan kaitannya dengan perambahan hutan). 5.2.
Kriteria Produksi
5.2.1
Vegetasi Struktur tegakan dicirikan oleh kerapatan batang per hektar pada masing-
masing tingkat pertumbuhan. Struktur vegetasi hutan di lokasi penelitian, terutama pada Rencana Karya Tahunan (RKT) tahun 2006 dan RKT tahun berjalan (2007) yang tersusun dari tingkat vegetasi semai sampai tingkat pohon, merupakan potret pengelolaan/perlakuan terhadap tegakan untuk memperoleh jatah tebangan yang maksimal dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Pengambilan plot contoh penelitian vegetasi dilakukan pada areal hutan primer di petak tebangan RKT tahun 2007 dan hutan bekas tebangan (LOA) petak tebangan RKT tahun 2007 yang digunakan untuk memperoleh gambaran struktur vegetasi berdasarkan kelas diameter (mulai tingkat semai sampai tingkat pohon) serta data sekunder vegetasi pada RKT tahun 2006. Hal ini dilakukan untuk membandingkan komposisi penyusun vegetasi yang ada. Dari hasil analisis vegetasi tersebut akan dibuat trend atau kecendurangan keadaan/kondisi vegetasi yang ada di
48
areal kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma. Pengukuran vegetasi dilakukan untuk melihat keragaman dan potensi jenis vegetasi yang ada di areal studi (IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma) yang ditentukan oleh kemantapan tegakan per hektar, potensi tegakan per hektar untuk produksi dan jenis pohon dilindungi. Hasil analisis vegetasi terhadap struktur tegakan pada RKT tahun 2007, plot contoh penelitian hutan primer pada plot contoh petak OO.55, untuk permudaan tingkat semai sebanyak 28.000 per hektar termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik, permudaan tingkat pancang sebanyak 2.600 per hektar termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik, permudaan tingkat tiang sebanyak 204 per hektar termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan baik dan tingkat pohon sebanyak 182 per hektar termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik. Sedangkan pada hutan bekas tebangan menunjukkan bahwa kualitas struktur tegakan permudaan tingkat semai sebanyak 3.170,73 per hektar (TPTJ) dan 2357,14 per hektar (TPTI) termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik, permudaan tingkat pancang sebanyak 546,34 pohon per hektar (TPTJ) dan 556,00 per hektar (TPTI) termasuk dalam kelas kualitas sedang, permudaan tingkat tiang sebanyak 48,78 pohon per hektar (TPTJ) dan 46,84 per hektar (TPTI) termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat buruk dan tingkat pohon sebanyak 142,07 pohon per hektar dan 86,76 per hektar (TPTI) termasuk dalam kelas kualitas struktur tegakan sangat baik. Tingkat regenerasi di hutan primer lebih tinggi dari pada di hutan bekas tebangan. Kenyataan ini bertentangan dengan beberapa teori yang menyatakan bahwa regenerasi di hutan primer lebih rendah dari pada di hutan sekunder (Smith, 2005). Tingginya tingkat regenerasi di areal IUHPPK PT. Sari Bumi Kusuma menunjukkan bahwa areal hutan tersebut bukan areal hutan primer. Namun menurut Johns (1997) dan Vanclay (1990), hutan bekas tebangan yang ditinggal sekitar 20 sampai 30 tahun memiliki komposisi vegetasi yang menyerupai hutan primer. Sehingga areal tersebut dapat disamakan sebagai hutan like-primer. Tingginya regenerasi di areal hutan primer dari pada hutan bekas tebangan PT. Sari Bumi Kusuma disebabkan karena jarak waktu antara aktifitas logging dengan pengumpulan data relatif singkat dan tingginya aktifitas loging (Scwartz dan Caro, 2003) sehingga tidak memberikan kesempatan benih atau semai untuk tumbuh. 5.2.2. Kemantapan Tegakan (H’) Kemantapan tegakan (H’) yang merupakan cerminan dari kemantapan komunitas vegetasi yang ada di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, digambarkan
49
oleh tingkat keanekaragaman jenisnya. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman jenisnya, semakin tinggi pula tingkat kemantapan komunitasnya (Indeks Shannon Winner). Oleh karena itu, kondisi vegetasi yang mantap dan stabil ditentukan dengan nilai indeks keanekaragaman yang tinggi. Nilai indeks keanekaragaman jenis pada RKT tahun 2007, plot contoh penelitian hutan primer pada plot contoh petak OO.55 dan hutan bekas tebangan pada plot contoh petak 8 B, C,Y dan Z diperoleh : semai sebesar 0,50 – 2,10 dengan skala kemantapan tegakan cukup mantap sampai mantap (kategori sedang sampai baik), tingkat pancang 0,14 – 3,36 dengan skala kemantapan tegakan mantap (kategori baik), tingkat tiang 0,16 – 3,13 dengan skala kemantapan tegakan cukup mantap sampai mantap (kategori sedang sampai baik) dan tingkat pohon 0,35 – 3,55 dengan skala kemantapan tegakan mantap (kategori baik). Dari kisaran nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kemantapan tegakan di RKT tahun 2007, plot contoh penelitian rata-rata tergolong mantap dan baik, karena nilai rata-rata indeks keanekaragamannya seluruhnya di atas nilai 2,4 (indeks Shannon Winner). Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing kelompok terjadi perbedaan antara hutan primer dan hutan sekunder terutama untuk kelompok jenis meranti. Hal ini disebabkan karena pada hutan primer belum terjadi penebangan dan penebangan diprioritaskan pada jenis kelompok meranti (marketable). Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) dan keanekaragaman jenis (H’) di areal efektif untuk unit produksi disajikan pada Tabel 6. Lampiran 9 dan Lapiran 11. Pada Tabel 6, menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman kelompok meranti (semai, pancang, tiang dan pohon) di hutan primer lebih tinggi dari pada di hutan bekas tebangan. Kariuki et al., (2006) menjelaskan bahwa tingkat keanekaragaman
jenis
di
hutan
bekas
tebangan
akan
mendekati
tingkat
keanekaragaman jenis di hutan primer setelah 30 tahun dari aktifitas penebangan. Namun keanekaragaman jenis kelompok rimba campuran di hutan primer lebih rendah dari pada di hutan bekas tebangan kecuali pada tingkat pancang. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok rimba campuran tingkat semai, tiang dan pohon terdiri dari jenis toleran dibawah naungan (shade tolerant species) sehingga akan merespon adanya celah tajuk hutan.
50
Tabel 6. Keanekaragaman Jenis Vegetasi (H’) Plot Contoh Hutan Primer Petak OO.55 dan Hutan Sekunder Petak 8 B, C,Y dan Z(TPTJ) dan Petak 9P dan 9T (TPTI) RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah
Kelompok
Permudaan Pancang INP H’
Semai INP H’
Tiang INP H’
Pohon INP
H’
Hutan Primer Jenis Meranti Jenis Rimba Campuran
123,63
1,14
73,05
0,97
95,55
0,90
123,59
1,02
71,46
0,85
120,73
1,73
193,46
1,91
151,00
1,69
4,91
0,12
6,22
0,14
10,99
0,16
25,41
0,35
200,00
2,10
200,00
2,84
300,00
2,97
300,00
3,06
35,77 0,591
22,26
0,26
51,39
0,61
259,87
1,43
205,54
2,13
Jenis Dilindungi Jumlah
Hutan Bekas Tebangan TPTJ Jenis Meranti Jenis Rimba Campuran
100,79
0,75
89,48
1,02
9,73
0,15
32,25
0,53
17,88
0,21
43,37
0,53
200,00
1,91
200,00
2,99
300,00
1,91
300,00
3,27
Jenis Dilindungi Jumlah
131,98
1,89
Hutan Bekas Tebangan TPTI Jenis Meranti Jenis Rimba Campuran Jenis Dilindungi Jumlah
48.39
0.50
20.76
0.34
57.76
0.44
22.08
0.31
151.61
1.48
167.26
2.81
230.29
2.56
257.98
2.94
0
0
11.99
0.21
11.95
0.13
19.95
0.31
200.00
1.98
200.00
3.36
300.00
3.13
300.00
3.55
Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)
5.2.3. Potensi Tegakan dan Jenis Pohon Yang Dilindungi Komposisi jenis vegetasi menurut kelas diameter, diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi petak tebangan RKT tahun 2007 (hutan primer dan hutan sekunder) diperoleh jenis vegetasi untuk tingkat permudaan semai sebanyak 28.000 batang per hektar (komposisi jenis kelompok meranti 63,21%, kelompok rimba campuran 35%, kelompok kayu indah 0% dan kelompok kayu dilindungi 1,79%), tingkat permudaan pancang sebanyak 2.600 batang per hektar (komposisi jenis kelompok meranti 38,46%, kelompok rimba campuran 59,08%, kelompok jenis kayu indah 0% dan kelompok dilindungi 2,46%), tingkat permudaan tiang sebanyak 204 batang per hektar (komposisi kelompok jenis meranti 33,33%, kelompok jenis rimba campuran 62,75% kelompok kayu indah 0% dan kelompok dilindungi 3,92%) dan tingkat pohon sebanyak 184 batang per hektar. Jumlah tingkat pohon diameter 40 cm ke atas sebanyak 52,5 pohon per hektar (dengan komposisi jenis meranti 78,81%, jenis rimba campuran 26,19%) di luar jenis dilindungi. Lebih rinci tersaji pada Tabel 7, Lampiran
51
8 dan Lampiran 10. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan persyaratan minimal jumlah pohon kelas diameter ≥ 50 cm untuk wilayah Kalimantan sebanyak 16 batang per hektar sesuai SK Menhut No. 8171/Kpts-II/2002 tentang Kriteria Potensi Hutan Alam pada Hutan Produksi yang dapat diberikan konsesi IUPHHK pada Hutan Alam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa areal tersebut sudah layak untuk dipertahankan sebagai hutan alam dalam konteks pengelolaan hutan. Dengan kata lain, melihat jumlah pohon rata-rata per hektar di areal tambahan semuanya di bawah jumlah pohon rata-rata minimal per hektar, maka areal tersebut layak diusahakan sebagai IUPHHK pada hutan alam dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTI-Intensif). Secara rinci rekapitulasi komposisi jenis vegetasi berdasarkan kelompok jenis pada plot contoh hutan primer petak OO.55 dan hutan bekas tebangan petak 8 B, C, Y dan Z (TPTJ) dan petak 9P dan 9T (TPTI) RKT tahun 2007 tersaji pada Tabel 7, Lampiran 8 dan Lampiran 10. Tabel 7. Rekapitulasi Komposisi Jenis Vegetasi Pada Plot Contoh Petak OO.55 Hutan Primer dan Hutan Sekunder Petak 8 B, C (TPTJ-TPTII) dan Petak 9P dan 9T (TPTI) RKT Tahun 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah No
Kelompok
Permudaan Pohon (N/ha) Semai (N/ha) Pancang (N/ha) Tiang (N/ha)
Hutan Primer 1 Jenis Meranti 2
Jenis Rimba Campuran
4
Jenis Dilindungi Jumlah
17.700
1.000
68
74
9.800
1.536
128
94
500
64
8
14
28.000
2.600
204
184
Hutan Bekas Tebangan TPTJ-TPTII 1
Jenis Meranti
1.890,24
78,05
4,88
26,61
2
Jenis Rimba Campuran
1.158,54
390,24
41,46
103,66
4
Jenis Dilindungi Jumlah
121,95
78,05
2,44
12,80
3.170,73
546,34
48,78
142,07
Hutan Bekas Tebangan TPTI 1
Jenis Meranti
2
Jenis Rimba Campuran
3
Jenis Dilindungi Jumlah
535,71
64.00
9.49
8.82
1,821.43
460.00
36.08
75.29
0
32.00
1.27
2.65
556.00
46.84
86.76
2,357.14
Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot contoh hutan primer petak OO.55 diperoleh potensi per hektar untuk tingkat permudaan semai di dominasi oleh jenis meranti merah (Shorea leprosula) sebanyak 9.350 per hektar, diikuti Bangkirai
52
(Shorea laevifolia) sebanyak 7.600 per hektar, terendah adalah jenis Medang (Litsea firma) Beramangan (Ochanestachys sp) dan Sempotir (Kingiodendron sp) yaitu sebanyak 100 per hektar. Pada permudaan tingkat pancang didominasi oleh jenis ubah (Eugenia sp.) sebanyak 400 per hektar, dan jenis meranti merah (Shorea leprosula) sebanyak 272 per hektar dan yang terendah adalah jenis Ombak (Baccaurea sp) dengan komposisi sebanyak 8 pancang per hektar. Permudaan tingkat tiang didominasi oleh jenis meranti merah (Shorea leprosula) sebanyak 18 per hektar sedangkan yang terendah adalah jenis meranti putih (Shorea hopefolia), Keruing (Dipterocarpus sp.), Mayau (Shorea sp.), Karut, Lagan (Kibessia sp.), Kemayau (Dacriodes rostrata), Sampak (Aglaia sp.), Besirih (Vatica oblongifolia) dan Kulim (Scorodocarpus borneensis) masing-masing sebanyak 2 per hektar. Pada kelas diameter (20 cm up, 30 cm up dan 60 cm up) di dominasi oleh kelas diameter 60 cm up yaitu meranti merah (Shorea leprosula) sebanyak 12 pohon per hektar dan yang terendah adalah medang, uram, asam, manggris dan tengkawang masingmasing sebanyak 0,5 per hektar. Permudaan tingkat semai khusunya jenis rimba campuran antara hutan primer dan hutan bekas tebangan tidak terjadi perbedaan yang signifikan, hal ini disebabkan karena IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma melakukan penebangan hanya pada jenis meranti, sehingga akan mempengaruhi keberadaan permudaan tingkat semai jenis meranti. Schwartz dan Caro (2003) dan Slik et al., (2004), menyatakan bahwa dengan adanya perlakuan tebang pilih (selective) tidak mempengaruhi regenerasi spesies pada hutan utuh atau hutan bekas tebangan. Permudaan hutan diartikan sebagai suatu pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni tegakan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan dan yang akan tumbuh menjadi hutan (Anonimous, 1989). Berdasarkan ukurannya, pemudaan alam dapat bedakan menjadi 3 yaitu permudaan tingkat semai, permudaan tingkat pancang dan permudaan tingkat tiang. Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang tingginya sampai 1,5 meter, permudaan tingkat pancang adalah permudaan yang mempunyai tinggi lebih dari 1,5 meter dengan diameter kurang dari 10 cm. Permudaan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993). Dalam pengelolaan hutan alam dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTI-Intensif) seperti yang diterapkan di areal kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma melakukan perlakuan khusus (pembuatan jalur tanam selebar 3 m untuk penanaman/pengayaan) dengan jarak tanam 2,5 m x 2,5 m, akan tetapi permudaan alam tetap memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan kembali
53
hutan bekas tebangan, hal ini dikarenakan masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur dari jenis-jenis pohon yang akan ditanam sesuai dengan keadaan tempat tumbuh setempat. Disamping itu juga, keadaan permudaan alam merupakan indikator keanekaragaman vegetasi. Kellman (1970), menyatakan bahwa proses penanaman kembali/revegetasi tidak berhubungan dengan keadaan hara tanah dan perubahan kesuburan tanah tidak begitu penting dalam pergantian suksesi. Keadaan lingkungan sekitarnya sangat mempengaruhi perubahan (vegetasi) pertumbuhan tingkat semai seperti radiasi dan temperatur udara. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHHH/93 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts-IV/1994 lain dijelaskan bahwa pada areal tegakan tinggal yang memiliki permudaan minimal 1000 Batang/Ha untuk tingkat semai, 240 Batang/Ha tingkat pancang dan 75 Batang/Ha tingkat tiang yang tersebar merata. 5.3.
Kriteria Ekologi
5.3.1. Satwa Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) 5.3.1.1 Habitat Secara umum, habitat satwaliar dapat diartikan sebagai tempat hidup satwaliar yang menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk hidup dan kelangsungan hidup satwa tersebut sehingga dapat berkembang secara alami. Sumberdaya tersebut meliputi pakan sebagai sumber energi, cover sebagai pelindung dan ruang sebagai tempat melakukan aktivitas harian dan proses regenerasi (berkembang-biak, memelihara dan membesarkan anak). Keberadaan satwaliar pada suatu habitat juga dipengaruhi oleh faktor fisik (iklim, kelerengan) dan keberadaan satwa lain baik sebagai predator, pesaing maupun prey (mangsa) Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, yakni kebutuhan untuk berlindung, sumber pakan dan air serta berkembangbiak (Alikodra, 2002). Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) merupakan satwa endemik kalimantan Tengah yang keberadaannya semakin menurun akibat adanya perubahan struktur vegetasi (habitat) terutama tempat untuk mencari makan dan tempat untuk berkembang biak. Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) adalah satwa primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) yang sangat tergantung pada arboreal sehingga membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan/kerapatan dengan kerapatan relatif tertutup. Menurut Kappeler (1984), menyatakan bahwa syarat habitat yang
54
dibutuhkan oleh Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) sekurang-kurangnya memiliki tiga komponen yaitu (1) hutan dengan komposisi tajuk yang relatif tertutup, (2) tajuk pohon yang memiliki cabang yang horizontal, (3) habitat yang memiliki sumber pakan dan tersedia sepanjang tahun. Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) sangat jarang turun ke permukaan tanah, dan menggunakan waktunya di tajuk pohon bagian atas, sehingga kelangsungan hidupnya tergantung pada pohon sebagai pelindung dan sumber pakan (Kuester, 2000), dengan demikian, faktor utama yang membatasi penyebaran Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) adalah struktur ketinggian pohon yang berfungsi untuk melakukan aktivitas bergelayutan (branchiation), serta keragaman floristic yang berkaitan dengan variasi persediaan pakan (Kappeler, 1984a). Berdasarkan Hasil Analisis Vegetasi pada tiga lokasi (Hutan Primer, Hutan Bekas Tebangan/TPTJ 12 tahun dan Bekas Tebangan/TPTI) menunjukkan bahwa vegetasi yang ada di hutan primer merupakan habitat yang lengkap sebagai tempat untuk hidupnya Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) (pohon pakan dan pohon untuk berkembang biak) tersedia. Hasil analisis vegetasi pohon pakan di tiga lokasi plot penelitian terdapat 31 jenis pohon pakan dan pohon tempat tidur (Tabel 8).
Tabel 8. Jenis-Jenis pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) di Plot Penelitian
No
Nama Daerah
Plot Contoh
Nama Botani
HP
Manfaat Untuk
TPTI TPTJ Primata Manusia *
*
+
*
*
Artocarpus sp
+
*
*
Durian
Durio zibethinus
+
*
*
5
Durian Burung
Durio lissocarpus
+
6
Embak
Baccaurea sp
+
*
*
7
Juhing
Dillenia sp
+
+
8
Kampili
Quercus leneata
+
+
9
Kapuak
Artocarpus tamaran
10
Kedabang
Nephelium sp
+
11
Kemayau
Dacryodes rostata
+
12
Keranji
Dialium sp
+
13
Keruing
Dipterocarpus sp
+
1
Asam
Baccaurea sp
2
Cempedak
Artocarpus integrus
3
Dadak
4
+
+ +
+
+
+
*
+
*
*
*
*
+
* *
+
*
55
No
Nama Daerah
Plot Contoh
Nama Botani
HP
Manfaat Untuk
TPTI TPTJ Primata Manusia
14
Kumpang
Myristica gigantea
+
+
+
15
Lengkeng
Nephelium sp
+
16
Mahabai
Polyalthia sp
+
+
+
*
17
Menjalin
Xanthophyllum excelsum
+
+
+
*
*
18
Mentawa
Artocarpus rigidus
+
+
*
*
19
Meranti Kuning
Shorea fallax
20
Ombak
Baccaurea sp
21
Pihing
Artocarpus sp
22
Pudu
Artocarpus comando
+
+
23
Rambutan
Nephelium cuspidatum
+
+
24
Riga
Dillenia exeminia
+
25
Sampak
Flacourtia rucam
+
26
Sengkuang
Dracontomelon mangiferum
+
27
Simpur
Flacourtia rucam
28
Tengkawang
Flacourtia rucam
29
Tengkawang Bukit Flacourtia rucam
30
Ubah
Eugenia sp
31
Ubah Merah
Flacourtia rucam
*
+ +
+
+
* *
*
*
*
*
*
*
*
* +
+
*
*
* +
*
+
* +
+
*
+
*
+
*
+
*
Sumber : Data Primer 2007, diolah
Tabel 8, menunjukkan bahwa terdapat 31 jenis tumbuhan berkayu yang menghasilkan buah, yang dihitung merupakan klasifikasi vegetasi tingkat pohon yang terdapat di 3 plot penelitian, dan masing-masing blok terdapat 20 jenis pada Hutan Primer, 16 jenis pada blok TPTI dan 17 jenis pada blok TPTJ. Hasil analisis vegetasi terhadap jumlah dan jenis pohon penghasil buah terbanyak terdapat pada blok Hutan Primer (37,74%) hutan bekas tebangan TPTI (30,19%) dan hutan bekas tebangan TPTJ (32,08%). Dari data tersebut terlihat bahwa antara hutan primer dan hutan bekas tebangan, jumlah jenis vegetasi yang berfungsi sebagai pohon pakan dan pohon tepat tidur Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) terjadi perbedaan, hal ini disebabkan karena pada hutan primer lebih lengkap dan hutan bekas tebangan TPTJ dan TPTI terjadi penebangan dan aktivitas silvikultur. Bismark (2006), dalam penelitian tentang populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) endemik Mentawai di kompleks hutan bekas tebangan, menyatakan bahwa pada hutan bekas tebangan lebih dari 30 tahun vegetasi yang berfungsi sebagai pohon pakan dan pohon tidur komposisinya akan menyerupai hutan primer dan lebih dari 60% primata
56
Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) termasuk Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) menggunakan habitat hutan sekunder tua (bekas tebangan) sebagai polasi ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur yang lebih beragam di hutan yang mendekati kondisi hutan primer. 5.3.1.2. Kepadatan Populasi Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) di plot penelitian areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma di tiga lokasi plot (Hutan primer, hutan bekas tebangan TPTJ dan hutan bekas tebangan TPTI) seperti tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan bahwa kepadatan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) di plot penelitian terlihat jelas bahwa antara hutan primer dan bekas tebangan (TPTJ dan TPTI) menunjukkan perbedaan populasi baik individu maupun kelompok. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu : (1) terjadi fragmentasi habitat (Stork et al., 1997); (2) menurunnya pohon pakan (buah) sehingga meningkatnya tingkat konsumsi daun (Alikodra 2002; Wells, at al. 2007); (3) ketersediaan pohon tempat tidur (Alikodra 2002); (4) terganggu oleh adanya aktivitas penebangan (McConkey, 2002). Pengaruh aktifitas penebangan terhadap primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) terjadi jika penebangan melebihi 3,3% (John, 1983 dalam Meijaard et al., 2005). Penebangan pohon (40 cm ke atas) yang terjadi di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma mencapai 24% dari jumlah total yang ada dalam satu hektar, sehingga kepadatan Owa di hutan bekas tebangan TPTJ dan TPTI berturutturut adalah 0,087289% dan 0,065484%. Hal ini disebabkan karena penurunan biomasa Owa secara drastis, kematian langsung, penurunan tingkat kelahiran, penelantaran dan kematian bayi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Owa, serta perubahan pola makan (John, 1983 dalam Meijaard et al., 2005). Menurut McConkey (2002), seleksi buah (pakan Owa) berdasarkan antara lain : warna, kulit dan jaringan buah, hanya akan terjadi jika buah melimpah. Ketika ketersediaan buah menurun maka pola makan Owa mengalami perubahan. Perubahan ini menyebabkan terjadinya malnutrisi bagi Owa sehingga berakibat pada penurunan kepadatan populasi Owa.
57
Tabel 9. Kepadeatan Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Berdasarkan Kepadatan Individu dan Kepadatan Kelompok
No
Kepadatan Individu/Ha
Lokasi
2007
1
Hutan Primer
0,109
2
Hutan Bekas tebangan (TPTJ)
0,087289
3
Hutan Bekas tebangan (TPTI)
0,065484
Sumber : Data Primer (2007) diolah
Menurut Johns (1992), Bennet dan Dahaban (1995) dalam Meijaard (2006) mengungkapkan
bahwa
reaksi
kecenderungan
penurunan
Owa
Kalimantan
(Hylobates muelleri) setelah kegiatan penebangan 1 tahun sampai 12 tahun, yaitu antara 20% hingga 60% di hutan bekas tebangan dan hutan primer. Reaksi dan kecenderungan setelah penebangan (1 sampai 30 tahun setelah kegiatan penebangan) kaitannya dengan kepadatan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) < 20% perbedaan nilai tengah kepadatan di hutan bekas tebangan terhadap hutan primer (Wilson dan Wilson, 1975). 5.4.
Erosi Erosi merupakan peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari
dari suatu tempat lain oleh media alami. Pada eksploitasi hutan, mengacu pada konsep DAS, erosi tanah akan menyebabkan terkikisnya lapisan tanah dan terangkut oleh arus air pada saat hujan ke bagian hilir DAS yang kemudian diendapkan. Hutan bermanfaat secara tidak langsung sebagai pencegah erosi. Penggunaan alat-alat berat seperti traktor pada sistem penyaradan dapat mempercepat erosi permukaan tanah (Hardjowigeno, 1992). Lal
(1993)
menyatakan
bahwa
pada
hutan
yang
sudah
dilakukan
penebangan, besarnya erosi yang terjadi adalah sekitar 27,31 ton per hektar per tahun. Hasil penelitian Ruslan dan Manan (1980) pada jalan sarad HPH di Kalimantan Selatan menunjukkan besaran erosi pada jalan sarad yang belum dilakukan penyaradan 129,57 ton per hektar per tahun dan jalan sarad yang telah dilakukan penyaradan 154,77 ton per hektar per tahun. Hasil penelitian Tinanmbunan (1990), bahwa pada jalan sarad areal HPH di Kalimantan Tengah menunjukkan laju erosi jalan sarad yang telah tiga bulan ditinggalkan mencapai 107,64 ton per hektar per tahun.
58
Erosi dan sedimentasi merupakan dua proses destruksi permukaan tanah yang tidak dapat dipisahkan. Erosi merupakan proses pengikisan kulit bumi yang disebabkan oleh tumbukan air hujan dan limpasan air permukaan. Menurut Hardjowigeno (1992), erosi tanah adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin atau gravitasi. Di daerah-daerah tropis yang lembab seperti kalimantan tengah termasuk di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, dengan rata-rata curah hujan 3118 mm tiap tahun, maka air merupakan penyebab utama terjadinya erosi (Sarief, 1985 dan Hardjowigeno, 1992). Terjadinya erosi merupakan hasil interaksi faktor dari kemampuan hujan dalam mengikis tanah (erosivitas hujan), faktor kekompakan tanah (erodibilitas tanah), panjang lereng dan kemiringan lereng (lereng), faktor pengelolaan tanah dan faktor pengawetan tanah. Erosi yang terjadi di lokasi penelitian (areal PT. Sari Bumi Kusuma) sangat tergantung pada faktor lingkungannya seperti penutupan lahan, topografi dan kedalaman solum tanah serta kondisi curah hujan dan intensitas hujan. Berdasarkan dokumen laporan AMDAL tahun 2004, kondisi erosi yang terjadi di wilayah penelitian menunjukkan variasi antara lokasi pengamatan dan lebih ditentukan oleh kondisi vegetasi dan faktor lereng. Laju erosi yang terjadi (Tabel 10) pada beberapa lokasi pengamatan di areal PT. Sari Bumi Kusuma seperti pada Hutan Primer sebesar 0,29314 ton/ha/tahun, Areal Bekas Tebangan 0,82023 ton/ha/tahun sedangkan erosi yang terjadi di jalan sarad dan jalan angkut berturutturut sebesar 55,1915 ton/ha/tahun dan 39,44212 ton/ha/tahun. Secara rinci laju erosi berdasarkan kemiringan lereng (S), panjang lereng (L), erosivitas (R), erodibilitas (K), penutupan lahan (faktor tanaman = C) dan kegiatan ekploitasi (P) di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 10. Namun kondisi erosi yang terjadi selama 1 tahun (RKT tahun 2006) terakhir berangsur-angsur mengalami penurunan terutama yang dinyatakan sebagai lokasi erosi yang paling besar seperti yang terjadi di jalan sarad dan lokasi-lokasi terbuka saat penebangan pohon. Berdasarkan dokumen laporan triwulan pemantauan lingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, dilokasi hutan primer terjadi sebesar 0,14702 ton/ha/tahun, areal bekas tebangan (TPTJ) terjadi erosi sebesar 0,8202 ton/ha/tahun dan 0,943 ton/ha/tahun (TPTI), jalan sarad terjadi erosi sebesar 43,48052 ton/ha/tahun dan pada jalan angkutan terjadi erosi sebesar 39,85672 ton/ha/tahun. Berdasarkan kriteria tingkat bahaya erosi (TBE) yang tertuang dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 2004, erosi yang terjadi
59
di areal tersebut diatas tergolong sangat ringan sampai ringan (<15 ton/ha/tahun dan 15-60 ton/ha/tahun). Namun berdasarkan hasil analisis dengan persamaan USLE ditemukan tingkat bahaya erosi sangat ringan sampai sangat berat tergantung dari kemiringan lerengan dan panjang lereng yang didukung dengan jenis tanah (Podsolik dan alluvial) yang mudah tererosi atau peka terhadap erosi. Hal ini berdasarkan kriteria penggunaan lahan/land use yang (Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 837Kpts/Um/11/1980, tentang Kriterian dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Tabel 10. Laju Erosi Berdasarkan Kegiatan Eksploitasi dan perlakukan di Lokasi Penelitian IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Plot Contoh
Faktor Faktor Erosivitas Erodibilitas Kelerengan Lereng Tanaman (R) (K) (S)
Laju Erosi (Ton/Ha/Thn)
Hutan Primer
1,37
0,0018
368,854
0,254
15*
0,2310*
Hutan Sekunder TPTJ
4,21
0,0019
368,854
0,278
15*
0,8202* 12.303**
Hutan Sekunder TPTI
4,59
0,0019
368,854
0,293
15*
0.943*
Jalan Sarad
3,17
0,1341
368,854
0,352
15*
55,1932* 163,480**
Jalan Akungkut
2,44
0,1324
368,854
0,331
15*
39,4421* 118,326**
3.466**
14.138**
Sumber : (Laporan Amdal, 2004), dan (hasil analisis 2007) diolah Keterangan : * = Hasil Perhitungan Lapora Amdal 2004 : L x CP x R x K (tanpa Nilai S dalam rumus USLE) ** = Hasil Analisis 2008 : L x FP x R x K x S FP = Faktor Penebangan atau faktor tanaman dan koservasi tanah (Nilai CP) TBE = Tingkat Bahaya Erosi (Arsad, 1999) SR = Sangar Ringan (< 15 ton/ha/thn) R = Ringan (15 – 60 ton/ha/thn) S = Sedang (60 – 180 ton/ha/thn) B = Berat (180 – 480 ton/ha/thn) SB = Sangat Berat (>480 ton/ha/thn)
Berdasarkan pengamatan lapangan terhadap perlakuan tempat-tempat yang potensial terjadinya erosi dari dampak penebangan dan jalan sarad maupun jalan angkutan, PT. Sari Bumi Kusuma telah mengikuti pedoman RIL yang meminimalkan dampak akibat pembalakan dengan memberikan pedoman penebangan dan penyaradan kepada penebang dan penyarad, melakukan revegetasi pada kiri-kanan jalan. Dalam buku Guide To Forestry Best Management Practices in Tennessee (2003), menyatakan bahwa penentuan jalan sarad sangat tergantung dari (1) tanjakan jalan : jalan yang sedemikian rupa akan mengurangi konsentrasi aliran air permukaan; (2) penutupan tajuk : penutupan tajuk terutama kemiringan yang tidak terlalu curam atau di punggung-punggung bukit; (3) kemiringan lahan : kemiringan jalan 2% sampai 3% dan batas maksimal adalah 10%; (4) limpasan air hujan : jika
60
tanah memiliki erodibilitas tinggi dan tanah pada tanjakan dibuat dengan batuan sehingga membantu run-off; (5) water bards dan sistem pipa pembuang melintang (cross drain culverts) : jarak corss drain yang direkomendasikan seperti pada Tabel 11, kegiatan revegetasi/penanaman kembali disekitar pembuatan sistem pipa pembuang melintang (cross drain culverts) secepat mungkin dilakukan secepat mungkin. Tabel 11. Pembuatan Sistem Pipa Pembuang Melintang (cross drain culverts) dan Jarak yang direkomendasikan Kemiringan (%)
Jarak (Feed)
2–5
300 – 500
6 – 10
200 – 300
11 – 15
100 – 200
16 – 20
100
Sumber : Guide To Forestry Best Management Practices in Tennessee (2003)
Tinambunan (1990), mengatakan bahwa erosi pada jalan sarad akan berkurang secara berangsur-angsur dengan melihat umur jalan dengan melakukan revegetasi, secara umum bahwa potensi erosi cenderung menurun menurut waktu. Hasil pengamatan terlihat selain vegetasi alami, PT. Sari Bumi Kusuma melakukan penanaman kiri-kanan. Idris (1996), menyatakan bahwa faktor utama dalam penurunan erosi pada jalan hutan adalah keberadaan vegetasi penutup tanah. Faktor kedua penyebab menurunya potensi erosi adalah terjadinya proses stabilitas tanah secara alamiah yang melepaskan partikel tanah yang paling mudah terlepas lebih dahulu sehingga makin lama yang tinggal adalah partikel yang mekin sulit terlepas sehingga potensi erosi menurun. 5.5.
Penebangan Pohon Ramah Lingkungan Kegiatan penebangan pohon merupakan bagian yang cukup penting dalam
pengelolaan hutan alam produksi, karena memiliki andil terhadap perolehan volume pohon dan mutu pohon yang dihasilkan serta andil dalam memberikan konstribusi terhadap dampak lingkungan. Dalam penebangan tebang pilih di hutan alam (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTI-Intensif), yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2005, dijelaskan cara-cara penebangan serta berbagai kegiatan lapangan lainnya. Dengan petunjuk tersebut, diharapkan dapat dilaksanakan penebangan yang aman dan menghasilkan volume pohon sebanyak-banyaknya dengan kerusakan tegakan tinggal yang minimal serta meninggalkan permudaan dengan standing stock yang baik pada rotasi atau daur berikutnya.
61
Petro (1971), Adeli (1973) dan Soemarsono (1995), menyatakan bahwa kenyataan di lapangan sering dijumpai beberapa masalah akibat penebangan yaitu (1) timbulnya pemborosan pohon dikarenakan kesalahan dalam pembuatan takik rebah; (2) terjadinya penebangan pohon inti yang seharusnya ditinggalkan; (3) akan terjadi pecahnya pohon akibat batang menimpa batu, pohon atau terhempas diantara lembah atau dapat memperbesar kerusakan tegakan tinggal; dan (4) pohon-pohon besar yang ditebang menimpa pohon sekitar sehingga dapat memperbesar kerusakan tegakan tinggal. Penebangan pohon pada hakekatnya merupakan upaya mengubah pohon yang
masih
berdiri
memindahkannya
ke
di
dalam
tempat
hutan
pengolahan
menjadi pohon
batang-batang atau
pohon
pemasaran
dan
sehingga
bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan masyarakat. Kegiatan penebangan pohon terdiri dari empat komponen kegiatan utama, yaitu penebangan, penyaradan, muatbongkar dan pengangkutan. Kegiatan penebangan pohon dipengaruhi oleh bebearapa faktor antara lain; jenis pohon, sifat pohon, potenis pohon, teknik penebangan, topografi lapangan, pertimbangan silvikultur dan pertimbangan iklim (Conway, 1978). Kegiatan penebangan mempunyai peranan yang cukup besar dalam pengelolaan hutan untuk memperoleh mutu dan volume pohon yang dihasilkan. 5.6.
Model Sensitivitas Indikator Intervensi Penebangan dan Penanaman Vegetasi (Semai Pancang, Tiang dan Pohon), Erosi dan Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Sensitivitas indikator dalam penelitian adalah Simulasi implikasi dari skenario
pengelolaan hutan alam produksi oleh IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma dengan melakukan penebangan pohon-pohon yang berdiameter 40 cm ke atas pada Rencana Karya Tahunan (RKT) yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan kepada IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma akan menampilkan kondisi dan jumlah N per hektar (struktur tegakan tertentu). Sensitivitas model indikator diperoleh dengan melakukan simulasi pada model konseptual dengan variabel, auxiliary serta konstanta yang telah ditetapkan berdasarkan hasil analisis masing-masing indikator/variabel. Simulasi dilakukan dengan mengubah/menambah atau mengurangi nilai pada beberapa indikator yang dinilai akan mempengaruhi model yang telah dibangun. Pemilihan indikator, baik indikator maupun
decision indikator dilakukan dengan dampak indikator tersebut
dalam kegiatan pengelolaan hutan alam khususnya penebangan di RKT terpilih dan dikaitkan dengan dampak aktivitas dari penebangan terhadap dampak jumlah
62
vegetasi (semai, pancang, tiang dan pohon), erosi (ton/ha/tahun) serta dampak terhadap primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). 5.7.
Batasan Model Sistem silvikultur yang digunakan dalam pengelolaan hutan di areal IUPHHK
PT. Sari Bumi Kusuma adalah sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTIIntensif), dengan memungut atau menebang jenis-jenis pohon niagawi (komersial) dengan limit diameter 40 cm keatas (pohon masak tebang). Plot contoh penelitian di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, terletak pada Blok RKT tahun berjalan (tahun 2007) yang digunakan sebagai data vegetasi primer dan
Blok
RKT
tahun-tahun
sebelumnya
(tahun
2006)
digunakan
sebagai
pembanding. Tujuan dari penelitian adalah untuk membangun sebuah model sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi ditingkat konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam. Model sensitivitas indikator diperoleh dari data analisis vegetasi RKT tahun 2007 dengan tingkat permudaan semai, pancang, tiang dan kelas diameter pohon (20-29 cm, 30-39, dan 40 cm keatas) serta verifikasi data penebangan yang akan dikaitkan dengan pengaruh aktifitas kegiatan penebangan terhadap erosi dan pengaruh aktifitas kegiatan penebangan terhadap primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Pengujian sensitivitas model terhadap perubahan nilai indikator dilakukan dengan mengubah nilai-nilai pada indikator. Pengujian sensitivitas indikator penentu terpilih terhadap model khususnya terhadap beberapa indikator dilakukan dengan menaikan atau menurunkan nilai indikator tersebut. Perubahan nilai dinaikan sebanyak 50% dan 100% dari nilai awal dan diturunkan sebanyak 25%, 50% dan bahkan 100% dari nilai awal sampai menunjukkan berapa sensitive terhadap tegakan, erosi dan primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Model hubungan tegakan hutan alam pada areal hutan produksi dengan lingkungannya merupakan hubungan yang sangat kompleks sehingga diperlukan batasan untuk menyederhanakan pengertian dari hubungan indikator dari model. Batasan yang dijadikan asumsi dari model adalah sebagai berikut : 5.8.
Sub Model Dinamika Tegakan
a. Kelas permudaan tingkat semai akan ditemukan dari jumlah masuk (stock) dari anakan alami yang tumbuh dan yang perlakuan dari persemaian (anakan hasil
63
persemaian dari biji) yang keluar dari tingkat semai. Jumlah semai yang masuk (stock) akan ditentukan oleh jumlah anakan alami dan dari persemaian, anakan semaian akan ditentukan oleh jumlah produksi biji setiap tahunnya dan pertumbuhan semai setelah penebangan/pemanenan kelas diameter tingkat pohon (diameter 50 cm keatas). Jumlah semai yang keluar akan ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor kematian alami maupun kematian akibat adanya penebangan pohon. Idris dan Suhartana (1996), menyatakan bahwa kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pada eksploitasi hutan dengan menggunakan sistem terkontrol (RIL) dan sesuai dengan petunjuk sistem TPTI untuk kelas permudaan tingkat semai sebesar 5,7% dari jumlah total semai yang tumbuh atau dalam istilah model jumlah semai yang masuk. Berdasarkan hasil analisis vegetasi semai pada plot contoh RKT tahun 2007, pada hutan primer yang tumbuh dari anakan alami sebanyak 28.000 semai per hektar. Pada hutan bekas tebangan (setelah di tebang) di temukan jumlah permudaan tingkat semai sebanyak 3.170,73 semai per hektar ditambah dengan perlakuan dari penanaman semai dalam sistem TPTI-Intensif sebanyak 200 anakan semai per hektar. b. Kelas permudaan tingkat pancang akan ditentukan dari jumlah yang masuk (stock) dari jumlah semai yang tumbuh (seleksi alami) ). Jumlah semai yang keluar akan ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor kematian alami maupun kematian akibat adanya penebangan pohon. Idris dan Suhartana (1996), menyatakan bahwa kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pada eksploitasi hutan dengan menggunakan sistem terkontrol (RIL) dan sesuai dengan petunjuk sistem TPTI untuk kelas diameter tingkat pancang sebesar 4,5%. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot contoh hutan primer dan hutan bekas tebangan RKT 2007 ditemukan pancang per herktar (N/ha) sebanyak 2.600 per hektar dan hutan bekas tebangan sebanyak 546,34. Jumlah pancang akan ditambah dengan jumlah perlakuan dari persemaian sebanyak 200 anakan. c. Kerapatan tiang dan pohon akan mengalami pertambahan maupun pengurangan. Pertambahan merupakan input perpindahan dari tingkat pancang ke tingkat tiang dan dari tingkat tian ke tingkat pohon. Pengurangan akan ditentukan oleh dua faktor yaitu kematian tingkat pancang dan kematian tingkat tiang dan pohon baik secara alami maupun akibat penebangan pohon. Kematian tingkat tiang akibat penebangan sebesar 4,9% dan kematian pohon akibat penebangan sebesar 11,2% (Idris dan Suhartana, 1996).
64
Berdasarkan hasil analisis vegetasi Lampiran 8 dan Lampiran 10, jumlah tingkat tiang per hektar di plot contoh penelitian hutan primer sebanyak 204 per hektar dan hutan bekas tebangan sebanyak 48,78 ditambah dengan hasil penjarangan di sistem silvikultur sebanyak ± 50 pohon. Sedangkan untuk tingkat pohon sebanyak 182 pohon per hektar di hutan primer dan hutan bekas tebangan sebanyak 142,07 per hektar. 5.9.
Sub Model Dinamika Erosi Salah satu dampak fisik yang paling nyata pada lantai hutan akibat aktifitas
penebangan termasuk penyaradan dan kegiatan penanaman adalah terjadinya peningkatan erosi tanah. Model dinamika erosi akan menggambarkan jumlah erosi yang disebabkan oleh penebangan termasuk penyaradan, curah hujan/erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, kemiringan lereng, faktor tanaman dan faktor tindakan manusia dalam pengawetan tanah/pengelolaan tanaman. Berdasarkan data yang diperoleh dari dokumen AMDAL 2004 (Tabel 10), erosi yang terjadi pada hutan bekas tebangan, jalan sarad dan jalan angkutan secara berturut-turut adalah sebagai berikut : 0,82023 ton/ha/tahun, 55,19315 ton/ha/tahun, dan 39,44212 ton/ha/tahun 5.10.
Sub Model Dinamika Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Dinamika kehidupan primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) di hutan-
hutan dapat terus berkelanjutan karena daya dukung habitat primata dapat mendukung kehidupannya seperti ketersediaan tempat tinggal dan ketersediaan sumber pakan dan ketersedian tempat bermain (bergelayutan) tersedia dengan baik. Dengan adanya kegiatan pengelolaan hutan alam produksi (aktifitas dari kegiatan penebangan)
menyebabkan
terjadinya
fragmentasi
hutan,
sehingga
akan
mempengaruhi keberadaan primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dalam suatu kawasan tertentu. Hasil analisis diperoleh jumlah Owa Kalimantan (Hylobates Muelleri) di plot contoh hutan Primer sebanyak 0,109 per hektar, hutan bekas tebangan TPTJ sebanyak 0,087289 per hektar dan TPTI sebanyak 0,065484 per hektar. Bismark (2006), menyatakan bahwa akibat dari aktifitas kegiatan penebangan pada hutan bekas tebangan akan memberikan konstribusi kehilangan Owa Kalimantan (Hylobates Muelleri) sebesar 80% dan hutan primer sebesar 20%. 5.10.1. Formulasi Diagram Sebab Akibat (Causal Loop Diagram) Model sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam dalam hal ini adalah indikator vegetasi, indikator erosi dan indikator primata Owa Kalimantan (Hylobates Muerlleri).
65
Hubungan yang terjadi antara peubah penyusun model dapat positif dan dapat negatif. Hal ini sangat tergantung pada peubah satu dengan yang lainnya. Hubungan sebab akibat antara vegetasi, penebangan, erosi dan Owa Kalimantan (Hylobates Muerlleri) tersaji pada Gambar 9. Kerapatan semai yang ada tergantung pada produksi biji oleh pohon plus pada musim buah. Kerapatan semai di pengaruhi oleh alih tumbuh (ingrowth), tambah tumbuh (upgrowath) dan kematian (mortality). Kerapatan semai akan berkurang yang disebabkan oleh mati karena alami maupun mati karena akibat kegiatan penebangan. Semai (anakan) akan bertahan dan menjadi tingkat pancang, demikian seterusnya tingkat pancang ke tingkat tiang, tingkat tiang ke kelas diameter pohon. Ingrowth dan upgrowth akan memberikan masukan materi dalam hal ini adalah individu tegakan/vegetasi dalam suatu kelas diameter, sedangkan mortalitas menyebabkan berkurangnya jumlah tegakan/vegetasi (flow material) dalam suatu kelas diameter, masuk dan keluarnya material dari suatu kelas diameter menyebabkan terjadinya dinamika tegakan, Aswandi, Purnomo dan Wijayanto (2006). Model sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam : vegetasi dari tingkat permudaan semai, permudaan pancang, permudaan tiang dan kelas diameter pohon kemudian di tebang sesuai dengan ketentuan yaitu 40 cm ke atas yang dihubungkan dengan sensitivitasnya terhadap erosi dan kepada populasi Owa Kalimantan (Hylobates Muerleri) yang dipengaruhi oleh adanya aktifitas kegiatan penebangan dan lingkungan dari aktifitas pengelolaan hutan. Selanjutnya dari peubah-peubah penyusun model dinamika tegakan dicari hubungan antar peubah. Hubungan yang terjadi dapat positif dan dapat pula negatif. Hal ini tergantung dari jumlah anakan semai, pancang, tiang dan pohon serta jumlah yang ditebang per hektar. Selanjutnya vegetasi dalam suatu kelas diameter direpresentasikan dengan adanya aliran material (flow material) mortality dengan dua auxilary yaitu kematian alami dan kematian akibat kegiatan penebangan. Mortality adalah laju kematian dari vegetasi/pohon-pohon dalam tegakan, yang umumnya dinyatakan dengan persen tumbuh per tahun. Menurut Vanclay (1994), bahwa faktor penyebab kematian pohon adalah kematian reguler dan kematian catastropic. Kematian reguler dapat dilihat dari sebab-sebab yang dapat diduga, seperti kerapatan tegakan, ukuran pohon, dampak penebangan, dan sebagainya; sedangkan kematian catastropic pada umumnya berhubungan dengan kejadian
yang
tidak
pasti
dan
jarang
terjadi,
seperti
kebakaran
pencurian/penjarahan, serangan hama atau penyakit dan lain sebagainya.
hutan,
66
Mortality yang diamati dalam penelitian ini adalah kematian reguler seperti mati karena dampak/efek dari kegiatan penebangan pohon dan aktivitas dari intervensi oleh PT. Sari Bumi Kusuma yang didasarkan pada hasil analisis kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan hasil penelitian Elias (1997) serta Idris dan Suhartama (1996). Peluang
mortality
secara
teoritis
berhubungan
dengan
kerapatan
populasi/tegakan dan diameter pohon (Buongiorno et al., 1995). Biasanya kerapatan tegakan dan diameter pohon berpengaruh positif terhadap mortality. Seperti halnya persamaan upgrowth, persamaan mortality dipilih dari berbagai bentuk persamaan yang telah dicoba terhadap data penelitian ini berdasarkan hubungan pengaruh antara peubah penduga dengan peubah responnya dan besarnya nilai R2. Hasil penelitian ini menunjukkan, variasi yang tinggi dan tidak ditemukan suatu regresi yang signifikan dengan kerapatan tegakan. Hal ini terjadi karena mortality yang terjadi bukan hanya kematian alami tetapi juga kematian yang diakibatkan oleh pengaruh penebangan. Hubungan peluang mortality dengan diameter juga tidak nyata dalam penelitian hutan campuran (Fafrichon, 1998). Kematian akibat penebangan meningkat sesaat setelah penebangan dan menurun pada tahun-tahun berikutnya akibat adanya pertumbuhan alami dan perlakukan penanaman oleh IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma. Kematian alami dipengaruhi oleh luas bidang dasar tegakan dimana kematian alami terjadi karena semakin rapatnya luas bidang dasar tegakan. Hal yang sama akan terjadi juga pada tingkat pancang, tingkat tiang sampai kelas diameter pohon, dimana akan dipengaruhi oleh kematian alami dan kematian akibat kegiatan penebangan. Dampak akibat aktivitas kegiatan penebangan pohon akan mempengaruhi tingkat sensitiv (nilai sensitivnya) terhadap erosi dan sensitivnya terhadap primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). 5.10.2. Deskripsi Diagram Alir (Flow Diagram) Sensitivitas Indikator Deskripsi diagram alir (stock flow diagram) menggambarkan hubungan antara variabel-variabel yang saling mempengaruhi. Variabel-variabel pada diagram alir terdiri dari level (nilai berubah pada saat simulasi yang dipengauhi oleh nilai input dan output) dan level adalah mewakili pokok persoalan yang menjadi perhatian (Siswosudarmo et al., 2001). Auxillary (nilai berdasarkan ekspresi matematik yang telah ditetapkan sebelumnya). Konstanta merupakan nilai tertentu yang diperoleh dari hasil perhitungan. Untuk kebutuhan model dalam simulasi scenario konstanta dapat dilakukan perubahan
67
sesuai dengan nilai senstivnya dan kebutuhan dalam model. Diagram alir model sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, tersaji pada Gambar 9.
68
Fraksi Penebangan
Fraksi Pertumbuhan
Biaya Produksi
Harga Log
+ +
Laju Penebangan
Laju Pertumbuhan + + + Semai
+
+
Tiang
+
+ -
+ +
Laju Kematian Fraksi Kematian
-
Produksi Biji
Laju Penebangan Liar +
Fraksi Penebangan Liar
+
Peghasilan PT. SBK
Nilai S
+
+
+
-
Pendapatan PT. SBK
+
Volume Log
Pohon
-
+
+
+
+ Pancang
-
+
+
Seleksi Log
Nilai CP
+
Laju Penambahan Vol Log
+
+
Laju Erosi
+
+
Nilai L
+ +
Fraksi Seleksi Log
Populasi Owa
Nilai K -
Fraksi Kematian Owa
+
Nilai R Jumlah Pohon Minimal
Gambar 9. Diagram Sebab Akibat (Causal Loop Diagram) Sensivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Llingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kabutapen Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah
69
Harga_Log_per_m3 Faktor_Unsur_Hara_akibat_Erosi Fraksi_Kematian_PancangFraksi_Kematian_Tiang
Biaya_Produksi_per_m3 Fraksi_Seleksi_Log Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan
Constant_28
Penghasilan_PT_SBK Fraksi_Pertumbuhan_Tiang Laju_Pertumbuhan_Anakan
Pendapatan_PT_SBK_
Laju_Kematian_PancangLaju_Kematian_Tiang Fraksi_Penebangan_Pohon
Seleksi_Log
Fraksi_Pertumbuhan_Semai Semai
Laju_Pertumbuhan_Pancang Pancang
Laju_Pertumbuhan_Semai
POHON
Laju_Pendapatan
Volume_Log
Tiang Laju_Pertumbuhan_Tiang
Erosi_Tanah
Nilai_S
Laju_Penebangan_Pohon Laju_Penambahan_Vol_Log
Laju_Kematian_Semai Fraksi_Pertumbuhan_Pancang
Laju_Penebangan_LiarFraksi_Volume_Log Jumlah_Pohon_RKT
Angka_Persemaian_Alami
Nilai_R Fraksi_Penebangan_Liar
Fraksi_Kematian_Semai
Nilai_L
Nilai_K Faktor_Erosi_akibat_Pengelolaan_Vegatasi Jmlh_Pohon_Min
Jumlah_Vegetasi_per_RKT Total_Biji_tiap_RKT Faktor_Jumlah_Pohon_RKT
kematian_primata
Populasi_Owa Luas_RKT
Produksi_Biji_per_Pohon
Faktor_Vegetasi
Gambar 10. Diagram Stock Flow Sensivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Llingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kabutapen Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah
70
Gambar 10. dapat dideskripsikan bahwa kerapatan permudaan tingkat semai dalam satu hektar tergantung dari jumlah produksi biji yang tumbuh secara alami dan perlakuan penanaman (Enrichment Planting) oleh IUPPHK PT. Sari Bumi Kusuma. Jumlah anakan yang mengalami pertumbuhan menjadi permudaan tingkat semai akan dipengaruhi oleh jumlah anakan yang tumbuh berkecambah dan jumlah anakan dari perlakuan penanaman oleh PT. Sari Bumi Kusuma. Kerapatan permudaan tingkat semai dalam satu hektar akan berkurang karena adanya proses pertumbuhan dari tingkat semai menjadi permudaan tingkat pancang dan akibat kematian (mortality) baik karena mati alami maupun akibat aktifitas penebangan kayu. Kerapatan permudaan tingkat pancang dipengaruhi oleh jumlah permudaan tingkat semai yang masuk dan jumlah permudaan tingkat pancang yang keluar. Jumlah permudaan tingkat pancang yang masuk merupakan proses pertumbuhan permudaan tingkat semai dalam waktu tertentu dan akan menjadi permudaan tingkat pancang. Sedangkan kerapatan permudaan tingkat pancang berkurang karena terjadi pertumbuhan permudaan tingkat tiang serta kematian baik mati alami maupun mati yang disebabkan oleh aktifitas kegiatan penebangan kayu. Kerapatan permudaan tingkat tiang per hektar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertambahan jumlah yang masuk/input dari proses pertumbuhan permudaan tingkat pancang menjadi permudaan tingkat tiang, dan faktor pengurangan permudaan tingkat tiang disebabkan karena kematian permudaan tingkat tiang baik secara alami maupun mati akibat aktifitas kegiatan penebangan. Kerapatan kelas
diameter pohon
dipengaruhi oleh
masuk/pertambahan dari
pertmbuhan permudaan tingkat tiang dan terjadi pengurangan. Pertambahan/masuk merupakan input dari proses pertumbuhan permudaan tingkat tiang menjadi kelas diameter pohon. Sedangkan pengurangan kelas diameter pohon disebabkan oleh kematian yaitu kematian alami maupun mati karena adanya kegiatan penebangan. Berdasarkan Gambar 10, dapat dibuat simulasi untuk mengetahui interaksi dari masing-masing peubah yang satu dengan yang lainnya. Simulasi dimaksudkan untuk melihat sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam ramah lingkungan. Uji sensitivitas indikator untuk mengamati hasil dan dampaknya pada keseluruhan kinerja variabel indikator dalam sistem. Perubahan sifat dampak bersifat dinamis yang dinyatakan dalam prosentase fungsi waktu dan pola kecenderungan hasil serta dampak intervensi yang bersifat nonlinier, hal ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam dunia nyata.
71
6.11. Pengujian Model Pengujian
model
bertujuan
untuk
mengetahui
keterhandalan
model
dalam
mendikripsikan keadaan sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan kenyataan di lapangan. Setelah setiap model diamati, dan apakah ada relasi-relasi yang logis atau tidak. Selanjutnya dilakukan pengamatan logis/tidaknya keterkaitan antar bagian sebagai model yang utuh. Logis dalam hal ini berarti bahwa semua persamaan sesuai dengan apa yang dipercayai orang atau dengan kata lain sesuai dengan paradigma yang ada. Tahapan kedua dari evaluasi model ini adalah mengamati apakah perilaku model sesuai dengan harapan atau perkiraan yang digambarkan pada tahapan konseptualisasi model. Selanjutnya pengamatan hasil model, apakah beberapa komponen yang diamati atau menjadi fokus perhatian sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan. 6.12.
Kewajaran Model Tegakan atau vegetasi di hutan alam seperti pada hutan primer, pada keadaan
sebenarnya mengalami pertumbuhan secara alami mulai dari permudaan tingkat semai, tingkat permudaan pancang, tingkat permudaan tiang dan sampai mencapai kelas diameter pohon serta terjadi pembuahan untuk memproduksi/menghasilkan biji dan tumbuh menjadi semai. Tegakan atau vegetasi pada hutan alam tanpa adanya gangguan dari dampak kegiatan penebangan akan megalami daur secara alami dan mati secara alami pula. Kematian ini disebabkan adanya proses pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya persaingan secara alami untuk memperoleh unsur hara, sinar matahari, persaingan kerapatan antar satu dengan vegetasi lain (ruang bidang dasar tegakan semakin besar) yang merupakan pembatas proses pertumbuhan. Odum (1971) dan Ewuise (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang membentuk ekosistem hutan sampai mencapai klimaks yaitu : -
Adanya kesempatan untuk berkoloni misalnya benih atau buah, hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam pembetukan komunitas hutan alam pada waktu tertentu.
-
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap proses perkecambahan untuk membentuk semai dan dapat pula tidak baik untuk proses perkecambahan untuk menekan semaisemai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Lingkungan berpengaruh dalam seleksi pembentukan komunitas hutan alam.
-
Terjadinya perubahan/modifikasi lingkungan oleh vegetasi hutan itu sendiri, hubungan yang saling berinteraksi diantara ekosisten hutan alam.
72
Hutan primer merupakan hutan yang belum pernah mendapatkan gangguan manusia, atau telah mendapatkan sedikit gangguan untuk keperluan berburu, berkumpul, dan penebangan pohon secara individual, bukan tegakan, untuk mengambil buah atau kemenyan yang dampak kerusakannya tidak cukup berarti, sehingga hutan tersebut, secara alami, mampu kembali kepada keadaan semula dalam hal struktur, fungsi dan dinamikanya (Bruenig, 1996). Pada hutan primer selain kondisi vegetasi yang tersusun dengan baik seperti yang tersaji pada Tabel 7, kondisi dampak yang terjadi terhadap erosi berbeda dengan hutan bekas tebangan seperti pada Tabel 8, begitu pula dengan keadaan satwa primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) khusunya Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada hutan primer terjadi perbedaan dengan hutan bekas tebangan, hal ini disebabkan karena pada hutan sekunder telah terjadi intervensi oleh manusia yaitu adanya aktifitas kegiatan penebangan (pembukaan wilayah hutan, penebangan kayu, pengangkutan hasil hutan, penyiapan penanaman, pembuatan jalan sarad dan penyaradan kayu, dan pengangkutan kayu lewat jalan angkutan) akan menyebabkan erosi terutama yang terjadi di jalan sarad dan jalan angkutan. Dengan adanya aktifitas kegiatan penebangan akan menimbulkan suara yang mengganggu aktifitas Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) baik dari mesin pemotong chainsow, buldozer, alat angkutan log maupun suara manusia. Selain itu juga tegakan sebagai tempat tidur dan tempat mencari pakan akan berkurang (Nijman 2001, McConkey 2002 dan Stork et al.,1997) menyatakan pada hutan bekas tebangan akan terjadi fragmentasi hutan yang akan menyebabkan terbatasnya habitat sebagai tempat bagi aktiftas primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Fenomena atau tren yang terjadi pada plot contoh RKT tahun 2007 dengan adanya aktifitas kegiatan penebangan pohon akan memberikan tren dampak atau fenomena seperti yang tersaji pada Gambar 11.
73
a
b
500,000
1,000,000
Tiang
400,000
900,000
POHON
300,000
800,000
200,000
700,000
100,000 2,050
2,100
2,150
2,050
2,100
Tahun
c
16,000,000
12,000,000 10,000,000
d
2,500,000
Pancang
14,000,000
Semai
2,150
Tahun
2,000,000 1,500,000 1,000,000
8,000,000
500,000 2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun
2,100
2,150
Tahun
e
350 300 250 200
Erosi_Tanah
Populasi_Owa
400
f
150
100
50
0
150 2,050
2,100
Tahun
2,150
2,050
2,100
2,150
Tahun
Gambar 11. Proyeksi Tren Jumlah Vegetasi di Plot Penelitian Akibat Aktifitas Kegiatan Penebangan Pohon (a) Jumlah Pohon dengan Laju Penebangan 25,75%, (b) Jumlah Permudaan Tingkat Tiang Akibat Kegiatan Penebangan, (c) Jumlah Permudaan Tingkat Pancang Akibat Kegiatan Penebangan, (d) Jumlah Permudaan Tingkat Semai Akibat Kegiatan Penebangan, (e) Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dan (d) Erosi Tanah Akibat Kegiatan Penebangan
74
Gambar 11. menunjukkan vegetasi di plot contoh penellitian yaitu pada petak 8B, 8C, 8Y dan 8Z grafik (d) dinamika permudaan tingkat semai meningkat pada awal tahun yang ditentukan dari jumlah semai yang masuk dan jumlah semai yang keluar dari tingkat permudaan semai. Jumlah semai yang masuk ditentukan oleh jumlah produksi biji setiap tahunnya dan pertumbhan kecambah setelah penebangan. Namun kerapatan semai mengalami penurunan jumlah atau berkurang yang diakibatkan oleh kematian (mortality) alami dan kematian akibat kegiatan penebangan pohon serta pertumbuhan yang mengakibatkan perpindahan dari permudaan tingkat semai ke permudaan tingkat pancang, hasil analisis vegetasi bahwa perpindahan (upgrowth) dari tingkat semai ke tingkat permudaan pancang sebesar 17,23% dari total semai yang terdapat dalam satu hektar. Indris dan Suhartama (1996), menjelaskan bahwa kematian permudaan tingkat semai akibat kegiatan penebangan dengan menggunakan sistem Reduce Impact Logging (RIL) sebesar 5,7%. Ewel dan Conde (1978) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penebangan kayu di hutan tropis basah akan menimbulkan dampak yang salah satunya adalah dampak terhadap jumlah vegetasi meliputi tegakan tinggal. Grafik (c) tingkat permudaan pancang tidak jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi pada permudaan tingkat semai. Kerapatan tingkat pancang mengalami peningkatan pada awal tahun (jumlah pancang saat pengukuran dilakukan) dan mengalami penurunan jumlah akibat kemaitan alami yang diakibatkan oleh pertambahan luas bidang dasar dan kematian akibat kegiatan penebangan pohon. Sama halnya dengan tingkat semai, perpindahan (upgrowth) dari tingkat permudaan pancang ke permudaan tingkat tiang menggunakan proporsi atau prosentase dari permudaan tingkat pancang ke permudaan tingkat tiang yaitu sebesar 17,23% dari jumlah semai per hektar. Hasil analisis vegetasi pada plot contoh penelitian ditemukan jumlah pancang sebanyak 546,34 per hektar dan mengalami pertumbuhan (upgrowth) ke tingkat tang sebesar 8,93%. Kematian akibat kegiatan penebangan sebesar 4,5% (Idris dan Suhartama 1996). Grafik (b) dinamika kerapatan permudaan tingkat tiang dan dinamika kerapatan pohon dapat berubah yang dipengaruhi oleh jumlah tingkat pancang berpindah melalui proses pertumbuhan ke tiang dan kematian alami maupun akibat kegiatan penebangan sebesar 4,9% (Idris dan suhartama 1996), dan perpindahan dari tingkat tiang ke tingkat pohon (20 – 39 cm). Perpindahan dari tingkat pancang ke tingkat tiang merupakan fungsi dari prorporsi alami (pengaruh luas bidang dasar). Hasil analisis vegetasi jumlah permudaan tingkat tiang sebanyak 204 (89,22%) berpidah menjadi tingkat pohon, namun pada plot contoh hutan bekas tebangan permudaan tingkat tiang sebanyak 48,78 per
75
hektar, hal ini disebabkan oleh kematian akibat penebangan, sesuai pernyataan Idris dan Suhartama (1996). Pada tingkat pohon dengan penebangan sebesar 25,75% pohon per hektar dengan tidak diimbangi dengan jumlah pohon yang masuk (ingrowth) dari tingkat tiang ke kelas diameter pohon (20-29 cm dan 30-39) ke kelas diameter 40 cm ke atas maka dinamika yang terjadi adalah penurunan laju penebangan sesuai dengan jangka waktu pengusahaan hutan, hal ini disebabkan karena jumlah standing stock pohon yang ditebang semakin berkurang. Dengan penebangan sebesar 25,75% akan memberikan dampak terhadap laju erosi dan laju kematian primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Letourneau (1979) menjelaskan bahwa kegaitan pemanenan hasil hutan merupakan kunci yang memegang peranan penting dalam mata rantai kegiatan pendayagunaan sumberdaya hutan, tetapi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia justru kegiatan ini yang terlemah sehigga memberikan dampak ekologis seperti erosi dan kematian satwa. Dalam kegiatan penebangan kayu atau pemanenan hasil hutan tropika basah akan ditemukan dampak terhadap beberapa bidang (Ewel dan Conde 1978), yaitu : -
Tanah tererosi dan unsur hara akan berkurang, meliputi aspek fisik dan kimia tanah serta jasad renik
-
Sumber air,mencakup kuantitas dan kualitas akan menurun
-
Vegetasi, meliputi tegakan tinggal dan plasma nutfah akan berkurang baik kemantapan per hektar maupun keragamannya
-
Satwaliar, mencakup perubahan habitat dan kesinambungan hidupnya. Secara keseluruhan dari dinamika yang terjadi sekarang (existing condition)
sebelum dilakukan semiulasi untuk pengujian model melalui pengembangan skenario untuk melakukan analisis sintesis dari ke lima skenario dengan penambahan dan pengurangan laju pertumbuhan atau laju kematian, penambahan dan pengurangan laju penebangan serta perubahan laju erosi akibat perubahan nilai erosivitas, erodibilitas, panjang lereng dan kemiringan lereng serta vegetasi dan pengelolaan tanaman di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma bahwa dengan penebangan sebesar 25,75% akan memberikan dampak terhadap kerapatan permudaan tingkat semai, permudaan tingkat pancang, permudaan tingkat tiang dan keberadaan pohon. Berdasarkan Gambar 11, menunjukkan bahwa laju erosi dan laju kematian satwa primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) semakin bertambah pada daur tebangan ke dua dan daur tebangan ke tiga, seiring dengan bertambahnya prosentasi penebangan pohon dan begitu juga sebaliknya, semakin tinggi prosentasi jumlah penebangan pohon maka akan memberikan dampak laju erosi dan laju kematian primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) semakin tinggi pula, hal ini disebabkan oleh ruang terbuka yang bertambah
76
akibat jumlah pohon yang ditembang bertambah pula sedangka pada laju kematian primata akan bertambah pula akibat penebangan yang menimbulkan fragmentasi habitat primata. Dinamika jumlah vegetasi dalam satu RKT akan memberikan dampak ekologis (keberadaan vegetasi laju erosi dan laju kematian satwa primata). 6.13.
Penggunaan Model Penggunaan model dimaksudkan untuk membuat skenario-skenario ke depan
atau alternatif kebijakan kemudian melakukan evaluasi terhadap ragam skenario atau kebijakan tersebut dalam pengembangan perencanaan pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan. Model yang telah dibentuk digunakan untuk menccapai tujuan pembentukannya. Perlakuan pertama adalah membuat daftar panjang untuk semua skenario yang mungkin dapat dibuat dari model yang dikembangkan. Semua skenario tersebut dieksekusi, kemudian hasil eksekusi tersebut dicoba untuk dipahami. Hasil eksekusi tersebut kemudian dibuat daftar pendek yang memenuhi tujuan pemodelan. Dari daftar pendek tersebut dilakukan penajaman untuk mendapatkan halhal yang diinginkan, seperti makna yang lebih rinci dari skenario–seknario tersebut dan bagaimana hubungannya dengan komponen-komponen yang diubah-ubah untuk memenuhi skenario tersebut. 5.14. -
Asumsi-Asumsi Dalam Penelitian Penelitian dilakukan pada areal Rencana Karya Tahunan tahun 2007 seluas + 5.237 hektar.
-
Jumlah vegetasi (Semai, Pancang,Tiang dan Pohon) dalam penelitian berturutturut sebanyak Semai 3170,73 per hektar, 546.34 per hektar, 48.78 per hektar dan 142.07 per hektar.
-
Jumlah pohon ang ditebang sebanyak 25,27% per hektar dari total jumlah pohon.
-
Fakor kelerengan dianggap sama yaitu 15%..
-
Faktor penebangan pohon mempengaruhi jumlah tanah tererosi selain faktor lereng, erosivitas, erodibilitas maupun faktor tanaman.
-
Faktor unsur hara tidak mempengaruhi pertumbuhan.
-
Ruang gerak Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) terbatas oleh adanya fragmentasi habitat (terjadi fragmentasi vegetasi/pohon).
-
Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dipengaruhi oleh faktor penebangan dan jumlah pohon.
-
Fertilitas Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) untuk berkembangbiak adalah konstan.
77
-
Faktor migrasi dan emigrasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) tidak mempengaruhi model dalam penelitian ini.
5.15.
Simulasi Uji Sensitivitas Penebangan Kayu Terhadap Performance Tegakan, Laju Erosi dan laju kematian Satwa Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Simulasi dimaksudkan untuk mengetahui respon jumlah tegakan per hektar
mulai dari tingkat permudaan semai, tingkat pancang, tingka tiang sampai kelas diameter pohon yang diakibatkan oleh aktifitas kegiatan penebangan dan dampaknya terhadap keberadaan vegetasi per hektar, erosi yang ditimbulkan akibat kegiatan penebangan serta dampaknya terhadap keberadaan primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Hasil analisis uji sensitivitas terhadap model yang telah dibangun diperoleh beberapa variabel yang sensitif terhadap adanya intervensi yaitu pada penambahan atau
pengurangan
laju
penebangan,
penambahan
atau
pengurangan
laju
pertumbuhan semai serta penambahan atau pengurangan penebangan liar. Hasil intervensi tersebut akan memberikan dampak ekologis terhadap jumlah vegetasi pada masing-masing tingkatan (semai, pancang, tiang dan pohon), laju erosi dan laju kematian satwa primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) serta dampak terhadap penghasilan yang berakhir pada dinamika pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma dalam satu RKT pada daur berikutnya. Dalam pengembangan skenario akan dilakukan simulasi intervensi pada konstanta yang memungkinkan terjadinya perubahan atau fenomena terhadap keadaan ekologis terutama dampak terhadap keberadaan tegakan tinggal, dampak terhadap laju erosi dan dampak terhadap laju kematian satwa Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) serta dampaknya terhadap penghasilan per tahun yang telah dikurangi
dengan
biaya
produksi
sehingga
menunjukkan/menggambarkan
pendapatan ekonomi kepada IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma. Pada Tabel 12, akan dilakukan lima skenario pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan dengan beberapa intervensi pada variabel konstanta dengan penambahan atau pengurangan pada laju pertumbuhan dan laju kematian pada tingkat semai, penambahan pada laju penebangan da pengurangan pada laju penebangan serta penambahan atau pengurangan pada laju erosi dari nilai kondisi sebelum dilakukan scenario (existing condition).
78
Tabel 12. Skenario Laju Penebangan Pohon, Laju Penambahan Pertumbuhan dan Laju Kematian dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan Skenario Existing condition
Laju Pertumbuhan Semai (%)
Laju Kematian Semai (%)
4,53
95,47
1
6,53
93,47
2
5,53
94.47
3
4,53
95,47
4
7
93
5
5,6
94,4
Laju Erosi Nilai R Nilai K Nilai L Nilai S Nilai R Nilai K Nilai L Nilai S Nilai R Nilai K Nilai L Nilai S Nilai R Nilai K Nilai L Nilai S Nilai R Nilai K Nilai L Nilai S Nilai R Nilai K Nilai L Nilai S
= 368,854 = 0,304 = 94,77 = 15 = 378 = 0.278 = 70 = 17 = 368 = 0.278 = 15 = 16 = 368,854 = 0.278 = 75 = 10 = 378 = 0.278 = 100 =8 = 360 = 0,278 = 120 = 12
Laju Penebangan (%) 25,27
27
20
15
12
15
Tabel 12 menujukkan bahwa dengan adanya intervensi pada variabel konstanta dengan penambahan laju pertumbuhan dan pengurangan laju kematian serta penambahan atau pengurangan laju penebangan pohon akan memberikan dampak terhadap besarnya kerusakan lingkungan. Pada skenario 1, dengan adanya penambahan laju pertumbuhan pada tingkat semai yang semula 4,53% dinaikan menjadi 6,53%, pengurangan laju kematian yang semula 95,47% menjadi 93,47%, laju penebangan pohon sebesar 27% serta penambahan laju erosi dengan perubahan Nilai Nilai R = 378; Nilai K = 0.278; Nilai L = 70; Nilai S = 17, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik. Seknario 2, penambahan laju pertumbuhan pada tingkat semai yang semula 4,53% dinaikan menjadi 5,53% dan pengurangan laju kematian yang semula 94,47% menjadi 92,47% dengan laju penebangan pohon sebesar 20% serta penambahan laju erosi dengan
79
perubahan Nilai Nilai R = 368; Nilai K = 0.278; Nilai L = 15; Nilai S = 16, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik. Skenario 3, pada skenario tiga laju pertumbuhan pada tingkat semai tetap pada nilai semula yaitu 4,53% dengan laju penebangan pohon sebesar 15% serta penambahan laju erosi dengan perubahan Nilai R = 368,854; Nilai K = 0.278; Nilai L = 75; Nilai S = 10, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik. Skenarion 4, adanya penambahan laju pertumbuhan pada tingkat semai yang semula 4,53% dinaikkan menjadi 7% dengan laju penebangan pohon
sebesar 12% serta
penambahan laju erosi dengan perubahan Nilai Nilai R = 378; Nilai K = 0.278; Nilai L = 100; Nilai S = 8, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik. Skenario 5, laju pertumbuhan pada tingkat semai tetap yang sela pada nilai sebesar 4,53% dinaikkan menjadi 5,6% dan laju kematian sebesar 94,47% dengan laju penebangan pohon sebesar 15% serta penambahan laju erosi dengan perubahan Nilai R = 360; Nilai K = 0,278; Nilai L = 120; Nilai S = 12, akan memberikan dampak ekologis terhadap dinamika vegetasi mulai tingkat semai sampai tingkat pohon serta akan berimplikasi pada jumlah pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma setelah dikurangi dengan biaya produksi per meter kubik. 5.14.1. Skenario 1. Intervensi pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (Tingkat Semai) dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 27% Kaitannya Terhadap Dampak Erosi Tanah dan Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri)
Skenario 1 (Gambar 12) dilakukan intervensi yang menyebabkan perubahan nilai fraksi pertumbuhan dan kematian semai. Nilai fraksi pertumbuhan semai yang semula (existing condition) sebesar 4,53% menjadi 6,53% dan kamtian semai yang semula sebesar 95,47% diturunkan menjadi
93,47%, ternyata menyebabkan adanya
peningkatan pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon sehingga menyebabkan peningkatan jumlah pohon masing-masing strata tiap daur (satu daur = 25 tahun) selama 50 tahun dari kondisi eksisting berturut-turut sebesar 14,92% (daur I) dan 24,93% (Daur
80
II); pancang: 61,71% (daur I) dan 78,92% (daur II); tiang: 40,30% (daur I) dan 47,29% (daur II); pohon: 10,34% (daur I) dan 19,47% (daur II). Peningkatan vegetasi pada skenario 1 terhadap existing condition menyebabkan penurunan erosi tanah sebesar 284,41% (daur I) dan 85,21% (daur II) dan terjadi peningkatan populasi primat/Owa sebesar 42,26% (daur I) dan 59,87% (daur II) (lampiran skenario 1). Penurunan erosi tanah dan menigkatnya populasi primata disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah vegetasi pada masing-masing starata selama daur. Peningkatan jumlah vegetasi, terutama tingkat semai (sebagai tanamn pentup tanah = cover crop) mampu menurunkan kehilangan tanah akibat erosi (Quinton et al., 1997). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Idris (1996) yang menjelaskan bahwa keberadan vegetasi penutup tanah menjadi faktor utama dalam penurunan laju erosi tanah. Erosi tanah yang terjadi pada skenario 1 konstan di setiap daur hal ini disebabkan oleh aktifitas kegiatan penebangan (penebangan, penyaradan, pengumpulan kayu di TPn dan pengangkutan log) dan aktifitas revegetasi/replanting terjadi setiap 25 tahun (akhir dan awal daur). Populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada skenario 1 mengalami peningkatan sebesar 42,26% (daur I) dan 59,87% (daur II) dari kondisi existing. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah vegetasi masing-masing starta terutama tingkat pohon yang menjadi tempat berkembangbiak dan tempat tidur (lampiran skenario 1). Menurut Alikodra (2002), primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) merupakan satwa endemik Kalimantan Tengah yang sangat tergantung pada pohon arboreal sehingga peningkatan vegetasi arboreal akan meningkatkan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada skenario 1. Syarat habitat Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) memiliki tiga komponen: (1) hutan dengan komposisi tajuk yang relatif tertutup; (2) tajuk pohon yang memiliki pohon yang memiliki cabang horizontal; (3) habitat yang memiliki sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun (Kappeler 1984). Namun Peningkatan jumlah vegetasi tidak menyebabkan peningkatan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada skenario 1 (daur I), hal ini disebabkan oleh struktur ketinggian pohon yang menjadi pembatas penyebaran Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) (Kuester 2000), terjadinya fragmentasi habitat (Stork et al., 1997), pengaruh aktifitas penebangan jika penebangan melebihi 3,3% (John 1983 dalam Meijaard, et al., 2005) dan keragaman floristic yang mendukung persediaan pakan setiap tahun (Kappeler, 1984a). faktor lain yang menyebabkan peningkatan kemaatian Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) adalah perbedaan jenis tanaman sebagai sumber pakan
81
setiap daur. Jenis-jenis pohon pakan dan pohon tidur Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) tersaji pada Tabel 10. Peningkatan laju pendapatan pada skenario 1 terhadap kondisi existing terjadi pada daur II (tahun 2056) sebesar 0,34% sedangkan untuk daur I (tahun 2031) sama dengan kondisi eksisting. Tidak adanya peningkatan pada daur I hal ini disebabkan oleh peningkatan aktifitas penebangan yang disesuaikan dengan peningkatan jumlah pohon. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk keperluan penebangan juga meningkat sehingga pendapatan pada daur I tidak mengalami perubahan disbanding kondisi existing. Pendapatan yang dihasilkan pada daur I merupakan tambahan modal untuk aktifitas kegiatan penebangan daur II sehingga pada daur II mengalami peningkatan pendapatan atas peningkatan penebangan jumlah pohon sebesar 27% dari kondisi eksisting (lampiran skenario 1).
82
b
400,000
1,600,000
300,000
a
1,400,000
POHON
Tiang
500,000
1,200,000 1,000,000
200,000 800,000 2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun
2,100
2,150
Tahun
20,000,000
c
d
Pancang
Semai
2,500,000 15,000,000
2,000,000 1,500,000 1,000,000
10,000,000
500,000 2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun
2,150
e
500 450
f Erosi_Tanah
Populasi_Owa
2,100
Tahun
400 350 300 250
100
50
0 2,050
2,100
Tahun
2,150
2,050
2,100
2,150
Tahun
Gambar 12. Skenario 1. Laju Penebangan 27%, Laju Pertumbuhan Semai 6,53%, Laju Kematian Semai 93,47%, Laju (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi
83
5.14.2. Skenario 2. Intervensi pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (Tingkat Semai) dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 20% Kaitannya Terhadap Dampak Erosi dan Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Skenario 2 dilakukan intervensi yang menyebabkan perubahan laju kematian semai dengan mengubah (menaikan dan menurunkan) nilai fraksi pertumbuhan dan nilai fraksi kematian semai. Nilai fraksi pertumbuhan semai yang semula (existing condition) sebesar 4,53% dinaikan sebesar 1% menjadi 6,53% dan kamtian semai yang semula sebesar 95,47% diturunkan 1% menjadi 93,47%, ternyata menyebabkan adanya peningkatan pertumbuhan pada tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat pohon sehingga meningkatkan jumlah vegetasi masing-masing starta tiap daur selama 50 tahun berturut-turut sebesar: tingkat 6,05% (daur I) dan 5,60% (daur II); tingkat pancang: 26,90% (daur I) dan 32,92% (daur II); tingkat tiang: 23,03% (daur I) dan 32,79% (daur II); pohon: 5,31% (daur I) dan 16,57% (daur II). Peningkatan vegetasi pada skenario 2 terhadap existing condition menyebabkan penurunan erosi tanah sebesar 11,01% (daur I) dan 21,92% (daur II) dan terjadi peningkatan jumlah populasi primata/Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) sebesar 27,02% (daur I) dan 45,70% (daur II) (lampiran skenario 2). Penurunan erosi tanah dan laju peningkatan populasi primata Owa disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah vegetasi masing-masing strata selama daur. Peningkatan jumlah vegetasi, terutama tingkat semai (sebagai tanamn pentup tanah = cover crop) dan penambahan jumlah vegetasi dimasing-masing strata (semai, pancang, tiang dan pohon) mampu menurunkan kehilangan tanah akibat erosi (Quinton et al., 1997; Tinambunan, 1990). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Idris (1996) yang menjelaskan bahwa keberadan vegetasi penutup tanah menjadi faktor utama dalam penurunan laju erosi. Laju erosi yang terjadi pada skenario 2 konstan di setiap daur hal ini disebabkan oleh aktifitas kegiatan penebangan (penebangan, penyaradan, pengumpulan kayu di TPn dan pengangkutan log) dan aktifitas revegetasi/replanting terjadi setiap 25 tahun (akhir dan awal daur). Penigkatan jumlah vegetasi pancang dan tian menyebabkan aktifitas penebangan pohon berkurang sehinga jatuhnya air hujan tidak langsung ke lantai hutan, hal ini
disebabkan oleh
tertahannya butir air hujan oleh ranting-ranting vegetasi tingkat pancang, tiang dan pohon serta adanya system perakaran yang kuat dalam memegang partikel-partikel tanah (Zuazo et al., 2004). Populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada skenario 2 mengalami peningkatan sebesar 27,02% (daur I) dan 45,70% (daur II) dari kondisi existing. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah vegetasi masing-masing strata
84
terutama strata tingkat pohon sebagai tempat untuk berkembangbiak, mencarai makan maupun tempat tidur (lampiran skenario 2). Alikodra (2002), mengugkapkan bahwa primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) merupakan salah satwa primata endemik Kalimantan Tengah yang sangat tergantung pada pohon arboreal sebagai sumber pakan sehingga peningkatan vegetasi arboreal akan menurunkan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Penurunan aktifitas penebangan sebesar 20% memberikan kesempatan semai, pancang, tiang relatif baik menjadi pohon sehingga meningkatkan kualitas habitat Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) seperti yang dinyatakan oleh Kappeler (1984). Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) yang meningkat tiap daurnya dipengaruhi oleh perilaku Owa antara areal yang mengalami intervensi penebangan dengan yang tidak mengalami penebangan, hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap populasi/keberadaan Owa hasil sensus (John, 1985). Peningkatan jumlah vegetasi menyebabkan peningkatan populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada skenario 2, hal ini disebabkan oleh struktur ketinggian pohon yang menjadi pembatas penyebaran Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) (Kuester, 2000) dan keragaman floristic yang mendukung persediaan pakan setiap tahun (Kappeler, 1984a). faktor lain yang menyebabkan peningkatan kemaatian Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dengan kondisi existing adalah perbedaan jenis tanaman sebagai sumber pakan setiap daur. Jenis-jenis pohon pakan dan pohon tidur Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) tersaji pada Tabel 9. Penurunan laju penebangan pada Skenario 2, berimplikasi terhadap penurunan laju pendapatan dari kondisi existing sebesar 0,29% terjadi pada daur II. Tidak adanya peningkatan peningkatan laju pendapatan, disebabkan oleh penurunan laju penebangan dari sebesar 25,27% (kondisi exisiting) menjadi 20%. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dampak erosi tanah dan dampak terhadap keberadaan jumlah populasi/keberadaan satwa dan primata Owa. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk keperluan perbaikan aktifitas penebangan dan pengelolaan (menerapkan penebangan yang berdampak minimal = Reduce Impact Logging), juga meningkat sehingga pendapatan pada daur II tidak mengalami peningkatan dibanding kondisi existing. Namun pendapatan yang dihasilkan pada daur I meningkat pada daur II yaitu tahun 2056 (lampiran skenario 2).
85
b
400,000 300,000
a
1,600,000 1,400,000
POHON
Tiang
500,000
1,200,000 1,000,000
200,000
800,000 2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun
2,100
2,150
Tahun
c
d
Pancang
2,500,000
Semai
15,000,000
2,000,000 1,500,000 1,000,000
10,000,000
500,000 2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun 500
2,150
e
f
450
Erosi_Tanah
Populasi_Owa
2,100
Tahun
400 350 300
120
115
110
250 2,050
2,100
Tahun
2,150
2,050
2,100
2,150
Tahun
Gambar 13. Skenario 2. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 5,53%, Laju Kematian Semai 94,47%, (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi
86
5.14.3. Skenario 3. Intervensi pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (Tingkat Semai) dengan Laju Penebangan Penebangan Pohon Sebesar 15% Kaitannya Terhadap Dampak Erosi dan Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Jika faktor laju erosi tanah pada skenario 3 diturunkan nilai (L = 75) dan nila (S = 10%) dan laju penebangan sebesar 15% sedangkan faktor yang tetap dengan kondisi existing maka hasil yang diperoleh terhadap jumlah semai pada skenario 3 meningkat sebesar 4,36% (daur I pada tahun 2031) dan 17,38% (daur II pada tahun 2056), pancang meningkat sebesar 4,56% (daur I) dan 17,49% (daur II), tiang meningkat sebesar 4,79% daur I dan 17,54% daur II dan pohon meningkat sebesar 1,04% daur I dan 13,58% daur II. Secara rinci tersaji grafik vegetasi masing-masing strata tersaji pada Gambar 14. Peningkatan vegetasi pada skenario 3 terhadap kondisi existing menyebabkan penurunan laju erosi sebesar 70,83% (daur I) dan 48,64% (daur II) dan terjadi peningkatan populasi primata/Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) sebesar 23,19% (daur I pada tahun 2031) dan 42,47% (daur II pada tahun 2056) (lampiran skenario 3). Penurunan laju erosi tanah disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah vegetasi selama daur. Peningkatan jumlah vegetasi, terutama tingkat semai (sebagai tanamn pentup tanah = cover crop) dan penambahan jumlah vegetasi dimasing-masing strata (semai, pancang, tiang dan pohon) mampu menurunkan kehilangan tanah akibat erosi (Quinton et al., 1997; dan Tinambunan, 1990). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Idris (1996) yang menjelaskan bahwa keberadan vegetasi penutup tanah menjadi faktor utama dalam penurunan laju erosi. Laju erosi yang terjadi pada skenario 1 konstan di setiap daur hal ini disebabkan oleh aktifitas kegiatan penebangan (penebangan, penyaradan, pengumpulan kayu di TPn dan pengangkutan log) dan aktifitas revegetasi/replanting terjadi setiap 25 tahun (akhir daur). Jumlah populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada skenario 3 mengalami peningkatan sebesar 23,19% (daur I) dan 42,47% (daur II) dari kondisi existing. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah vegetasi pada masong-masing strata terutama tingkat pohon yang berfungsi untuk berkembangbiak, tempat mencari makan dan tempat tidur (lampiran skenario 3). Menurut Alikodra (2002), primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) merupakan satwa endemik Kalimantan Tengah yang sangat tergantung pada pohon arboreal sebagai sumber pakan sehingga peningkatan vegetasi arboreal akan menurunkan laju kematian Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Penurunan fraksi penebangan sebesar 15% dari kondisi existing memberikan kesempatan semai, pancang, dan tiang tumbuh menjadi pohon sehingga meningkatkan kualitas habitat Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) seperti yang dinyatakan oleh
87
Kappeler (1984). Populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) yang meningkat tiap daurnya dipengaruhi oleh perilaku Owa antara areal yang mengalami intervensi penebangan dengan yang tidak mengalami penebangan, hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap popuasi sesuai hasil sensus (John, 1985). Peningkatan jumlah vegetasi akan menyebabkan peningkata populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada skenario 3, hal ini disebabkan oleh struktur ketinggian pohon yang menjadi pembatas penyebaran Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) (Kuester, 2000) dan keragaman floristic yang mendukung persediaan pakan setiap tahun serta struktur ketingian pohon yang berfungsi untuk melakukan aktifitas bergelayutan (branchiation) (Kappeler, 1984a). meningkatnya populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) meningkatkan intensitas penyerbukan beberapa spesies pohon untuk regenerasi (McConkey, 2005). Faktor lain yang menyebabkan peningkatan populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dengan kondisi existing adalah perbedaan jenis tanaman sebagai sumber pakan setiap daur. Jenis-jenis pohon pakan dan pohon tidur Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) tersaji pada Tabel 9. Pendapatan yang diperoleh pada skenario 3 daur I tidak mengalami perubahan/tidak meningkat terhadap kondisi existing. Tidak adanya perubahan ini disebabkan penurunan jumlah pohon untuk ditebang sebesar 10,27% atau (fraksi penebangan pada skenario 3 sebesar 15%dari kondisi eksisting yaitu 25,27% menyebabkan penurunan pendapatan masing-masing daur, namun aktifitas di areal penebangan berkurang sehingga biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan lingkungan menurun. Pada daur II jumlah vegetasi (terutama pohon) meningkat 13,58% (lampiran skenario 3) sedangkan modal dari pendapatan daur I tidak mengalami peningkatan. Dengan demikian perusahaan harus mengeluarkan biaya produksi yang extra sebagai kompensasi untuk penanaman dan pemeliharaan vegetasi sehingga meningkatkan jumlah pohon yang harus dipanen meskipun laju erosi yang menyebabkan kerusakan tempat tumbuh dapat dikurangi mencapai 59,73% sehingga pendapatan daur II mengalami penurunan 0,71% dari kondisi existing, namun pada skenario 3 mampu meningkatkan pendapatan sebesar 1.06% pada daur II (tahun 2056) (lampiran skenario 3).
88
b
500,000
POHON
Tiang
400,000 300,000
1,400,000 1,200,000
200,000
1,000,000
100,000
800,000 2,050
2,100
a
1,600,000
2,150
2,050
Tahun
2,100
2,150
Tahun
c
d
Pancang
2,500,000
Semai
15,000,000
2,000,000 1,500,000 1,000,000
10,000,000
500,000 2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun 500
2,150
e
f
450
Erosi_Tanah
Populasi_Owa
2,100
Tahun
400 350 300
76.5
76.0
250 2,050
2,100
Tahun
2,150
2,050
2,100
2,150
Tahun
Gambar 14. Skenario 3. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 4,53%, Laju Kematian Semai 95,47%, (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi
89
5.14.4. Skenario 4. Intervensi pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (Tingkat Semai) dengan Penebangan Pohon Sebesar 12% Kaitannya Terhadap Dampak Erosi dan Kematian Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Pada skenario 4 dilakukan peningkatan fraksi laju pertumbuhan semai menjadi 7%, penurunan fraksi laju kematian semai menjadi 93%, perubahan faktor-faktor laju erosi (R= 378; L = 100; S = 8%), dan penurunan laju penebangan menjadi 12%. Hasil perubahan pada skenario 4 ini diperoleh adanya peningkatan jumlah vegetasi masingmasing strata, yaitu: tingkat semai sebesar 9,07% (daur I pada tahun 2031) dan 37,51% (daur II pada tahun 2056); tingkat pancang sebesar 44,52% (daur I) dan 59,39% (daur II); tingkat tiang sebesar 44,29% (daur I) dan 59,15% (daur II); tingkat pohon sebesar 12,44% (daur I) dan 35,27% (daur II). Peningkatan vegetasi masing-masing strata disebabkan oleh pengurangan fraksi laju penebangan tiap hektar sebesar 12% dari kondisi eksisting, sehingga terjadi penurunan aktifitas penebangan terutama di lokasi jalan penyaradan dan perubahan beberapa faktor-faktor penyebab erosi tanah mengakibatkan penurunan jumlah erosi tanah sebesar 55,52% pada daur I dan 77,01% pada daur II. Laju penebangan yang diturunkan sebesar 12% memperkecil resiko kerusakan vegetasi cover crop (semai dan tiang). Akibatnya energi potensial air hujan menjadi berkurung sebelum sampai ke lantai hutan (Quinton et al., 1997). Perakaran dan rapatnya vegetasi cover crop juga akan memeperkecil energi kinetik aliran air sehingga dapat memperkecil air limpasan dan terjadinya erosi dari kondisi existing. Peningkatan vegetasi yang terjadi dari daur ke daur tidak mempengaruhi laju erosi yang terjadi (lampiran skenario 4 grafik). Laju erosi yang dipengaruhi oleh kelerengan (S), panjang lereng (L), erosivitas (R), erodibilitas (K) dan faktor pengelolaan tanaman serta faktor konservasi tanah (CP) tidak mengalami perubahan setiap daur penebangan sehingga
laju erosi juga tidak akan mengalami perubahan tiap daur penebangan.
Dengan demikian jumlah vegetasi selalu meningkat tiap daur penebangan kurang berpengaruh terhadap nilai CP sedangkan nilai koservasi dan pengelolaan lahan yang lain termasuk aktifitas penebangan mampu menjaga kestabilan nila CP. Gambar 15e, menunjukkan bahwa populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) mengalami peningkatan sebesar 41,69% pada daur I (tahun 2031), dan cenderung meningkat pada setiap daurnya (daur II sebesar 93,53%) seiring dengan meningkatnya jumlah vegetsai terutama pohon dibandingkan dengan kondisi existing. Sedangkan populasi Owa tiap daur penebangan meningkat sebesar 51,84%,. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan yang dilakukan pada skenario 4 (laju pertumbuhan semai, laju kematian semai, faktor-faktor laju erosi dan faktor laju penebangan) akan
90
membentuk kualitas kondisi lingkungan/habitat Owa meningkat daripada kondisi existing, atau kondisi vegetasi pada skenario 4 pada daur II seperti dengan hutan primer. Pendapatan yang diperoleh pada daur I tidak mengalami perubahan terhadap kondisi existing. Tidak adanya perubahan ini disebabkan penurunan jumlah pohon yang ditebang setiap hektar yaitu sebesar 12% dari kondisi eksisting, peningkatan aktifitas penebangan disesuaikan dengan peningkatan jumlah pohon masing-masing daur. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk keperluan penebangan juga menurun sehingga pendapatan pada daur I tidak mengalami peningkatan dari kondisi eksisting. Pada daur II jumlah vegetasi (terutama pohon) meningkat 23,85% dari kondisi eksisting (lampiran skenario 4) sedangkan modal khususnya untuk biaya produksi dari pendapatan daur I tidak mengalami peningkatan. Dengan demikian perusahaan harus mengeluarkan biaya produksi yang extra sebagai kompensasi meningkatnya jumlah pohon yang harus dipanen pada daur berikutnya meskipun laju erosi yang menyebabkan kerusakan tempat tumbuh dapat dikurangi mencapai 66,26%. Sehingga pendapatan daur II mengalami penurunan sebesar 0,81% dari kondisi existing, namun pendapatan pada skenari 4 cenderung meningkat (daur II) sebesar 0,96% (lampiran skenario 4).
91 b
a 4,000,000
700,000
POHON
Tiang
600,000 500,000 400,000
3,000,000 2,000,000
300,000 200,000
1,000,000 2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun
2,150
3,500,000
c Pancang
30,000,000 20,000,000
d
3,000,000
40,000,000
Semai
2,100
Tahun
2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000
10,000,000 2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun
2,100
2,150
Tahun
1,000
500
Erosi_Tanah
Populasi_Owa
84.05
e
f 84.00
83.95
83.90 2,050
2,100
Tahun
2,150
2,050
2,100
2,150
Tahun
Gambar 15. Skenario 4. Laju Penebangan 12%, Laju Pertumbuhan Semai 5,6%, Laju Kematian Semai 94,4%, Laju. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi
92
5.14.4. Skenario 5. Intervensi pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (Tingkat Semai) dengan Penebangan Pohon Sebesar 15% Kaitannya Terhadap Dampak Erosi dan Kematian Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Prediksi pada skenario 5 menggambarkan keadaan hutan (jumlah vegetasi) meningkat tiap daur penebangan (Gambar 16). Gambaran ini diperoleh dengan meningkatkan laju pertumbuhan semai 5,6%, menurunkan laju kematian semai 94,4%, merubah faktor-faktor laju erosi (R = 360, L = 120 dan S 12%) dan menurunkan laju penebangan 15%. Akibatnya jumlah vegetasi mengalami peningkatan sebesar: semai 1,94% (daur I) dan 18,70% (daur II); pancang sebesar 23,47% (daur I) dan 34,21% (daur II); tiang sebesar 20,74% (daur I) dan 34,12% (daur II); pohon sebesar 4,78% (daur I) dan 20,18% (daur II). Peningkatan jumlah vegetasi dan penurunan laju penebangan pada skenario 5 dari kondisi existing, meningkatkan laju erosi tanah per hektar sebesar 8,94% pada daur I, hal ini disebabkan oleh panjang lereng pada skenario 5 lebih panjang dibanding dengan kondisi eksisting, namun erosi yang terjadi pada daur II skenario 5 mengalami penurunan sebesar 3,69% dari kondisi eksisting hal ini disebsbkan oleh adanya perbaikan pengelolaan vegetasi (lampiran Skenario 5). Begitu pula dengan keberadaan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) yang meningkat sebesar 21,36% (daur I) dan 47,20% (daur II) dari kondisi existing. Sedangkan peningkatan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) tiap daur meningkat sebesar 34,28%. Seperti pada skenario 2 sampai 4, laju erosi pada skenario 5 dipengaruhi oleh faktorfaktor R, K, L, S dan CP. Peningkatan jumlah vegetasi memainkan peranan penting pada nilai CP, meskipun peranannya dapat diimbangi dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai CP sehingga nilai CP akan berubah setiap daur penebangan yang disebabkan oleh perubahan faktor eksploitasi dan faktor pengelolaan vegetasi. Peningkatan jumlah populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) tidak terlepas dari peningkatan jumlah vegetasi terutama tingkat pohon dan perubahan jenis vegetasi yang berperan dalam pembentukan habitat dan sumber pakan Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Peningkantan jumlah vegetasi menyebabkan peningkatan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Hal ini menggambarkan kualitas habitat Owa lebih baik dari kondisi existing, dengan melakukan intervensi seperti perbaikan cara penebangan sehingga mengurangi terjadinya kerusakan tegakan tinggal seperti semai dan pancang dan terutaa tegakan tinggal pohon inti yang berperan untu lehidupan primata Owa, penanam semai dan pengayaan tanaman dengan cara mengubah fraksi laju pertumbuhan dan laju kematian semai, faktor laju erosi dan fraksi laju penebangan pada skenario 5. Perubahan intervensi yang terjadi pada skenario 5 tidak mengancam
93
populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Namun aktifitas penebangan dan erosi yang terjadi pada daur I tetap mengakibatkan peningkatan laju kematian Owa. Populasi primata Owa pada skenario 5 mengalami peningkatan sebesar 21,36% (daur I) dan sebesar 47,20% (daur II) hal ini disebabkan oleh Penurunan fraksi penebangan sebesar 15% dari kondisi existing memberikan kesempatan semai, pancang, dan tiang tumbuh menjadi pohon sehingga meningkatkan kualitas habitat Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) seperti yang dinyatakan oleh Kappeler (1984). Populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) yang meningkat tiap daurnya dipengaruhi oleh perilaku Owa antara areal yang mengalami intervensi penebangan dengan yang tidak mengalami penebangan, hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap popuasi sesuai hasil sensus (John, 1985). Peningkatan jumlah vegetasi akan menyebabkan peningkata populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Penurunan laju penebangan pada skenario 5 sebesar 15% dari kondisi eksisting menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan sebesar 0,67% pada daur II dari kondisi existing sedangkan pendapatan daur I sama dengan kondisi eksisting. Namun pendapata pada skenari 5 cenderung mengalami pendapatan tiap daur penebangan sebesar 1,10% pada skenario 5 di RKT 2007.
94 b
a
2,000,000
400,000
POHON
Tiang
500,000
300,000
1,500,000
200,000
1,000,000
2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun
2,100
2,150
Tahun
c Pancang
Semai
d
2,500,000
20,000,000
15,000,000
2,000,000 1,500,000 1,000,000
10,000,000 500,000 2,050
2,100
2,150
2,050
Tahun
2,150
Tahun
e
500 400 300
f
180
Erosi_Tanah
600
Populasi_Owa
2,100
179
178 177
2,050
2,100
Tahun
2,150
2,050
2,100
2,150
Tahun
Gambar 16. Skenario 5. Laju Penebangan 15%, Laju Pertumbuhan Semai 7%, Laju Kematian Semai 93%, (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi
95
5.15.
Perbandingan Skenario Hasil analisis sensitivitas masing-masing indikator pengelolaan hutan alam
produksi di PT. Sari Bumi Kusuma, menunjukkan bahwa indikator yang sensitif terletak pada intervensi perubahan fraksi laju pertumbuhan dan kematian semai. Faktor-faktor laju erosi dan laju penebangan. Fraksi laju penebangan berpengaruh terhadap laju erosi dan kematian primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri)). Ketiga fraksi berimplikasi terhadap jumlah pendapatan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma per daur penebangan. Prediksi kerusakan laju erosi dari berbagai skenario (1, 2, 3, 4 dan 5) masih dalam kategori ringan sehingga perbaikan dapat dilakukan mendekati kondisi awal. Jumlah populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada semua skenario juga masih tidak terlalu parah walaupun pada skenario 1,3 dan 4 pada daur I mengalami penurunan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) namun pada daur II dan seterusnya cenderung meningkat dan melebihi jumlah populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dari kondisi existing sebagai akibat dari aktifitas kegiatan penebangan. Perbandingan proyeksi indikator pengelolaan hutan alam produksi dari berbagai skenario dengan intervensi pada fraksi laju pertumbuhan dan fraksi laju kematian vegetasi (tingkat semai) dan fraksi laju penebangan yang memberikan dampak negatif terhadap jumlah vegetasi per hektar (tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat pohon), jumlah erosi tanah per hektar, serta populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dan jumlah pendapatan serta dampak positif terhadap jumlah vegetasi per hektar(tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat pohon), jumlah erosi tanah per hektar, serta populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dan pendapatan PT. Sari Bumi Kusuma pada RKT 2007. Hasil analisis kelima skenario yang menggambarkan kondisi hutan RKT 2007 terbaik sampai tahun 2056 (daur I sampai Daur II) adalah terjadi pada skenario 2, hal ini ditunjukan dengan pertimbangan kondisi ekologis terutama penuruna jumlah erosi maupun peningkata jumlah populasi Owa terhadap kondisi existing serta pertimbangan produksi tebangan yang berimplikasi terhadap pendapatan PT Sari Bumi Kusuma. Namun masing-masing skenario mempunyai keunggulan. Gambar 17 menunjukkan bahwa jumlah vegetasi tingkat semai terjadi peningkatan terbanyak dari kondisi existing terjadi pada skenario 4 sebesar 9,07% (daur I) dan sebesar 37,51% (daur II) hal ini dipengaruhi oleh pengurangan laju penebangan sebesar 13,27% dan skenario 5 sebesar 12% dari kondisi existing. Petro (1971) menyatakan bahwa akibat penebangan yang besar atau masalah akibat penebangan di
96
fores st unit manag gement adalah pohon ya ang ditebang akan pecah akibat batan ng menimpa batu u, pohon ata au terhempa as diantara lembah ata au dapat memperbesarr kerusakan tega akan tinggal dan d phpn-po ohon besar yyang diteban ng menimpa pohon sekita ar sehingga dapa at memperbe esar kerusakkan tegakan ttinggal seperrti semai dan n pancang.
Gam mbar 17. Pe erbandingan Vegetasi ((Semai, Pan ncang, Tiang g dan Poho on) MasingMa asing Skenarrio (Daur I da an Daur II)
Gam mbar 18. Perbandingan Laju Erosi M Masing-Masing Skenario o (1, 2, 3 4 dan d 5) s memperlihatkan bahwa penurun nan laju ero osi terbesar Gambarr 18 di atas esar 85,21% terjadi jika perubahan p nilai fraksi laju u pertumbuha an dan kema atian semai, sebe
97
fakto or-faktor laju erosi dan aktifitas a laju penebagan dilakukan seperti pada skenario 1. Seda angkan pad da skenario 2 dimana laju peneb bangan ditin ngkatkan sebesar 27% men ngimplikasika an terhadap penurunan laju erosi se ebesar 11,01% daur I dan d 21,92% pada a daur II. Namun N penurunan laju erosi e tebesa ar pada skenario 1 men ngakibatkan penu urunan pend dapatan pada a daur II yan ng cukup bessar daripada a skenario 2, 3, 4 dan 5, yaitu u berturut-turrut 0,29%, 0,,71%, 0,81% % dan 0,67% sedangkan skenario 1, pendapatan men ningkat sebessar 0,34% da ari kondisi exxisting yang diakibatkan oleh pening gkatan fraksi laju penebangan n.
Gam mbar 19. P Perbandingan Jumlah Laju Kemattian Owa Kalimantan K (Hylobates m muelleri) Masing-Masing g Skenario (1 1, 2, 3, 4 dan n 5) Dari asp pek keberlan ngsungan po opulasi Owa, skenario 1 (daur I) menunjukkan m bahw wa terjadi pe eningkatan populasi sebe esar 41,26% pada daur I dan 59,87% % pada daur II, skenario 2 menunjukkan m peningkatan populasi Owa O sebesa ar 27,02% (d daur I) dan esar 45,70% % (daur II), se ekanrio 3 terjjadi peningka atan populassi Owa sebe esar 23,19% sebe daurr I dan 42,47% daur II, skenario 4 menunjukkan terjadi pen ningkatan po opulasi owa Kalim mantan pada a daur I sebesar 41,69% % dan pada daur II sebe esar 93,53% sedangkan pada a skenario 5 terjadi pen ningkatan pa ada masing-m masing daurr yaitu sebesar 21,36% (dau ur I) dan sebsar 47,20% % (daur II). Penurunan pada kondissi eksisting relatif lebih rend dah dibandin ngkan penurrunan popula asi Hylobate es di kepula auan Mentaw wai sebesar 44,4 4% (Whittake er, 2005). Dengan D dem mikian indikattor yang perrlu mendapa at perhatian utam ma dalam membuat m sua atu Model S Sensitivitas Indikator Pe engelolaan Hutan H Alam Prod duksi Rama ah Lingkung gan (Studi Kasus IUPH HHK-HA PT T. Sari Bum mi Kusuma Kabu upaten Seru uyan dan Kabupaten K K Katingan, Pro ovinsi Kalim mantan Teng gah) adalah interrvensi pada faktor-faktor f erosi yang d disarankan dalam d buku G Guide To Fo orestry Best
98
Management Practices in Tennessee (2003), menyatakan bahwa penentuan jalan sarad sangat tergantung dari (1) tanjakan jalan : jalan yang sedemikian rupa akan mengurangi konsentrasi aliran air permukaan; (2) penutupan tajuk : penutupan tajuk terutama kemiringan yang tidak terlalu curam atau di punggung-punggung bukit; (3) kemiringan lahan : kemiringan jalan 2% sampai 3% dan batas maksimal adalah 10%; (4) limpasan air hujan : jika tanah memiliki erodibilitas tinggi dan tanah pada tanjakan dibuat dengan batuan sehingga membantu run-off; (5) water bards dan sistem pipa pembuang melintang (cross drain culverts) : jarak corss drain yang direkomendasikan seperti pada Tabel 13, kegiatan revegetasi/penanaman kembali disekitar pembuatan sistem pipa pembuang melintang (cross drain culverts) secepat mungkin dilakukan secepat mungkin dan memperhatikan fraksi laju penebangan sebab semakin tinggi penebangan pohon setiap hektar akan memberikan dampak kematian terhadap tegakan tinggal (semai, pancang, tang dan pohon) namun sebaliknya dengan penebangan yang memperhatikan faktor lingkungan akan berdampak positif terhadap jumlah tanah yang tererosi dan kondisi kualitas habitat Owa. Sedangkan perubahan laju penebangan akan mempengaruhi kondisi kualitas habitat dan sumber pakan Owa serta pendapatan PT Sari Bumi Kusuma. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schulze et al. (1994), bahwa prediksi pendapatan tergantung pada keadaan vegetasi sebagai indikator yang paling sensitiv. Menurut Guide To Forestry Best Management Practices in Tinnessee (2003), menyatakan bahwa Kejadian pada masing-masing skenario tergantung dari peningkatan atau penurunan laju penebangan dan besarnya reinventasi perusahaan (PT. Sari Bumi Kusuma) terhadap hutan seperti perbaikan lingkungan (penanaman, pembuatan persemaian dan pembibitan yang berkualitas, penerapan cross drain culverts yang disesuaikan dengan kemiringan serta panjang lereng). Pada kasus PT Sari Bumi Kusuma, laju penebangan pada kelima skenario dibuat konstan tanpa mengikuti peningkatan jumlah pohon yang terjadi setiap daur. Hal ini dianggap penting untuk mengimbangi dampak kerusakan hutan, laju erosi dan habitat Owa serta peningkatan pendapatan akibat penebangan. dengan demikian pengelolaan hutan ramah lingkungan menuju kelestarian hutan tetap terjaga.
99
Gam mbar 20. Perbandingan Laju Penda apatan Masin ng-Masing S Skenario (1, 2, 3, 4 dan 5) Gambarr 20 menunju ukkan bahw wa pendapata an terbesar terjadi pada a skenario 1 u meningkatt sebesar 0,34% 0 (Rp.149.550.788.054,23) pa ada daur I dari d kondisi yaitu existing (Rp.149 9.048.933.519,09), hal ini disebabkan oleh pe enambahan prosentasi a fraksi laju u penebanga an (27%) ya ang lebih besar dari ko ondisi existiing dengan pada kena aikan 6,85% %. Namun kompensassi yang ditterima pada skenario 1 adalah kom mpensasi biaya ekstra te erhadap perb baikan pene ebangan dan n perbaikan lingkungan teruttama untuk mengurangi laju erosi ttanah dan meningkatkan m n jumlah populasi Owa Kalim mantan (Hyllobates mue elleri) lebih besar dibanding skenario o 2, 3, 4 dan 5.
100
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.
Kesimpulan Hasil analisis terhadap kriteria dan indikator pada penelitian ini dapat
disismpulkan sebagai berikut : 1. Vegetasi pada plot contoh penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara hutan primer, hutan bekas tebangan TPTJ dan hutan bekas tebangan TPTI. Hutan primer jumlah vegetasi tingkat semai sebanyak 28.000 per hektar; tingkat pancang sebanyak 2.600 per hektar; tingkat tiang sebanyak 204 per hektar; tingkat
pohon 184 per hektar. Hutan bekas tebangan TPTJ tingkat semai sebanyak 3.173,73 per hektar; tingkat pancang sebanyak 546,34 per hektar; tingkat tiang sebanyak 48,78 per hektar dan tingkat pohon sebanyak 142,07 per hektar. Hutan bekas tebangan TPTI tingkat semai sebanyak 2.357,14 per hektar; tingkat pancang sebanyak 556 per hektar; tingkat tiang sebanyak 46,84 per hektar dan tingkat pohon sebanyak 86,76 per hektar. 2. Jumlah populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada hutan primer sebanyak 0,109 per hektar, hutan bekas tebangan TPTJ sebanyak 0,087289 per hektar dan hutan bekas tebangan TPTI sebanyak 0,065484 per hektar. 3. Erosi tanah yang terjadi pada hutan primer sebanya 0,2310 ton per hektar per tahun; hutan bekas tebangan TPTJ sebanyak 0,8202 ton per hektar per tahun dan hutan bekas tebangan TPTI 0.943 ton per hektar per tahun. 4. Indikator yang sensitif dalam penelitian adalah peningkatan fraksi laju pertumbuhan atau penurunan fraksi laju kematian semai, peningkatan dan penurunan fraksi laju penebangan yang memberikan dampak terhadap keberadaan vegetasi tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat pohon.
Dinamika
jumlah
vegetasi
masing-masing
strata
tersebut
akan
mempengaruhi kondisi lingkunga/kualitas habitat dan keberadaan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) per hektar, serta erosi tanah masing-masing daur.
101
6.2.
Saran Beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian dan pengelolaan hutan
alam produksi ramah lingkungan diantaranya : 1. Jumlah vegetasi hutan primer dan hutan bekas tebangan (eks TPTJ dan TPTI) terjadi perberdaan jumlah per hektar akibat dari penebangan sehingga disarankan bahwa penebangan pohon sebesar 25,27% per hektar (kondisi eksisting) diturunkan menjadi 20% per hektar. 2. Memperbaiki pertumbuhan jumlah semai 4,53% per hektar menjadi 5,53% per hektar sehingga jumlah standing stock pada akhir daur bertambah. 3. Memperhatikan indikator yang sensitif seperti penambahan laju pertumbuhan semai dan penurunan jumlah semai yang mati serta jumlah penebangan. sebab dengan penebangan yang tinggi akan berpengaruh terhadap jumlah kematian semai, pancang tiang dan pohon. Dengan penebangan yang tinggi akan berpengaruh terhadap jumlah erosi tanah yang tinggi per hektar khususnya di jalan sarad dan jalan angkutan kayu serta terjadinya fragmentasi habitat khususnya menurunnya populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) setiap daur. 4. Jenis tanah pada areal PT. Sari Bumi Kusuma termasuk dalam kategori peka erosi disarankan agar perbaikan cross drain culvert (pipa pembuant melintang) atau penahan erosi tanah pada eks jalan sarad dengan revegetasi secepat mungkin karena faktor utama dalam penurunan erosi adalah keberadaan vegetasi (penutup tanah).
102
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan. Anonimous. 2000. The Montreal Process (Meeting and Reports): Criteria and Indicators for The Conservation and Sustainable Management of Temperate and Boreal Forest. ---------------. 2004. The State of British Columbia’s Forest. Aber, J., N. Christensen, I. Fernandez, J. Franklin, L. Hidinger, M. Hunter, J. MacMahon, D. Mladenoff, J. Pastor, D. Perry, R. Slangen, H. van Miegroet. (N.D). Applying Ecological Principles to Management of the U.S. National Forests. [http://www.esa.org/science/issues] Tanggal akses 13 Maret 2006. Alikodra, H.S.1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. Bogor. Armitage, I. 1998. Guidelines for The Management of Tropical Forests: I. The Product of Wood (FAO Forestry Paper 135). Aswandi, H. Purnomo., Wijayanto, N. 2006. Skenario Pengaturan Hasil Hutan Pada Unit Manajemen Hutan Skala Kecil. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Awang, S.A. 1999. Forest For People Berbasis Masyarakat. Penerbit Bayu Indra Grafika, pt, Yogyakarta. Bismark, M. 2006. Populasi Primata Endemik Mentawai di Kompleks Hutan Desa Tiniti, Siberut Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Koservasi Alam. (Accepted). Bols, P.L., 1978. The Iso-Erodent Map Of Java and Madura Belgian Technical Assistance Project, ATA-105 Soil Research Institut, Bogor. Indonesia Bruenig, E.F. 1996. Conservation and Management of Tropical Forest : an Integration Approach to Sustainability. CAB Intenational, Wallingford Buongiorno, J., L. Peyron, F. Houller, and M. Bruciamacchie. 1995. Growth and management mixed species, uneven-aged forest in the French Jura : implication for economic return and tree diversity. Forest Science 41 (3) : 377 – 429
103
Chapman C. A., Sophia R. Balcomb, Thomas R. Gillespie, Joseph P. Skorupa, Thomas T. Struhsaker (2000) Long-Term Effects of Logging on African Primate Communities: a 28-Year Comparison From Kibale National Park, Uganda. Conservation Biology 14 (1), 207–217 Checkland, P (1989) Soft system : methodology. In Rosenhead, J. (Ed). Rational Analysis for a Problematic world : structuring Methods for complexity, Uncertainty and Conflic. John Wiley & sons Ltd., Chichester, England. Clayton, A.M.H. & Radcliffe, N.J. 1996. Sustainability : A System Approach Earthscan Publication Ltd., London. Conway. 1978. Logging Practices. Miller Freeman Publication, Inc. New York. Davis, L.S. and Johnson, K.N. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, New York. Departemen Kehutanan, 2002. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795/KptsII/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengetolaan Hutan Alam Produksi Lestari Pada Unit Manajamen. Departemen Kehutanan, 2003, Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. 42/KptsNI-VPPHP/2003 tentang Pedoman Teknis Penilaian Pengelolaan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam Di Unit Manajemen Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Lestari. Departemen Kehutanan, 1989. Kehutanan, Jakarta.
Kamus
Kehutanan
Volume
I.
Departemen
Djajapertjunda, S. 2002. Hutan dan Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. IPB Press. Bogor. Ewel, J.& L. Conde. 1978. Environmental Implication of any Species Utulization in The Moist Tropics. Proc. of Conference on Improved Utilization of Tropical Forest. Forest Lab. Forest Service US Dept Of Agriculture, p. 106-123. Ewusie, J.Y.b 1980. Element of Tropical Ecology. Heinemann Education Books Inc., New Hampshire. Fafrichon, V. 1998. Modelling the dynamics and species composition of a tropical mixed-species uneven-aged natural forest: effects of alternative cutting regimes. Forest Science 44 (1) : 113-124. Gardner, T and Engelman. 1999. Forest Future : Population, Consumption and Wood Resource. Population Action International, Washington D.C.
104
Grant, W.E. E.K. Pedersen, S.L. Marin. 1997. Ecology and Natural Resource Management System Analysis and Simulation Published Simulataneously in Canada. USA. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Penerbit PT. Medyatama Sarna Perkasa. Jakarta. Hartisari, H. 2005. Bahan Kuliah Pendekatan Sistem dan Pengelolaan Lingkuungan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Helms, J.A. (Editor). 1998. The Dictionary of Forest. The Sociate of American Foresters and CABI Publishing, Bathesda, Wallingford. Idris, M.M. dan Suhartama, S. 1996. Pembalakan Ramah Lingkungan Untuk Minimasi Kerusakan Tegakan Tinggal : Kasus di Satu Perusahaan Hutan di Kalimantan Timur. Jurnal Buletin Penelitian Hutan Vol. 15:3. Idris, M.M. 1996. Dampak Penebangan dan Penyaradan di Hutan Produksi Terbatas Terhadap Erosi Tanah, Keadaan iklim mikro Serta Permudaan Alam: Studi Kasus di Areal Kerja HPH PT. Indexim Utama Corp. Provinsi Dati I Kalimantan Tengah. [Disertasi]. Tidak Diterbitkan. ITTO, 2004. Project ITTO PD. Development and Implimetation of Guidelines to Control Illegal Logging for Sustainable Forest Management in Indonesia. Johns, A.G. 1997. Timber production and biodiversity conservation in tropical rainforests. Cambridge. University Press, Cambridge, UK. Johns, A.G. and Johns, B.G. 1995. Tropical forest primates and Logging: long-term coexistence. Oryx 29:205-211. Johns A.D. 1986. Effects of Selective Logging on the Behavioral Ecology of West Malaysian Primates. Ecology, Vol. 67, No. 3. John A.D.1985. Differential Detectability of Primates Between Primary and Selectively Logged Habitats and Implications for Population Surveys. American Journal of Primatology [AM. J. PRIMATOL.]. Vol. 8, no. 1, pp. 31-36. 1985 Kariuki, Maina and Kooyman, Robert M. and Smith, R. Geoff B. and WardellJohnson, Grant and Vanclay, Jerome K. 2006. Regeneration Changes in Tree Species Abundance, Diversity and Structure in Logged and Unlogged Subtropical Rainforest over a Thirty-Six-Year Period. Forest Ecology and Management 236(2-3):162-176).
105
Kappeler, M. 1984. Diet and Feeding Behaviour of tehe Moloch Gibbon. Dalam: Preuschoft H. et al. (eds): Evolutionary and Behavioural Biologi. Edinburgh University Press. Kappeler, M. 1984a. The Gibbon in Java. Dalam: Preuschoft H. et al. (eds): Evolutionary and Behavioural Biologi. Edinburgh University Press. Kellman, M.C. 1970. Secondary Plant Succcession in Tropical Montane Mindanao. Australian National University. Canberra. Kuester,
J. 2000. Hylobates [http://animaldiversity.ummz.ummich.edu/site/accounts/hylobates] moloch.html.
Moloch.
Lasch, P., F. W. Badeck, W. Cramer, M. Erhard, M. Lindner, J. Schaber, F. Suckow. 2001. Sensitivity and Adaptation of Forests in Europe under Global Change SAFE. LEI, 2000. Slstem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari, Bogor. Letoumeau. L.R. 1979. Factros Influencing Logging System. Forest News for Asia Pasific: Volume 3.,p. 66-68. McConkey K.R. 2005; The Influence Of Gibbon Primary Seed Shadows On PostDispersal Seed Fate In A Lowland Dipterocarp Forest In Central Borneo; Journal Of Tropical Ecology; 21:255-262. McConkey K.R.,1,4 Firman Aldy,2 Anton Ario,3 and David J. Chivers1. 2000 Selection of Fruit by Gibbons (Hylobates muelleri £ agilis) in the Rain Forests of Central Borneo. International Journal of Primatology,Vol. 23,No. 1,February 2002 (c° 2002). Mendoza, G.A. Macoun P., Prabhu R., Sukadri D., Purnomo H., Hartanto H., 1999. Panduan Untuk Menerapkan Analisis Multikriteria Dalam Menilai Kriteria dan Indikator. Center For International Forestry Research (CIFOR) Jakarta. Mendoza, G.A and Prabhu, R. 2000. Multiple Criteria Analysis for Assessing Criteria and Indocators in Sustainable Forest Management: a Case Study on Participatory Decision Making in a Kalimantan Forest. Environmental Managemant 26(6): 659-673. Mendoza, G.A and Prabhu, R. 2001. Prioritizing Criteria and Indicators for Sustainable Forest Management: a Case Study on Participatory Decision Making, in Schmoldt, D., Kangas, J., Mendoza, G.,Pesonen, M. (Eds). The Analityc Hierarchy Process in Natural Resources and Eviromental Decision Making. Kluwer, Dordrecht (chapter 8: in press).
106
Ngadiono, 2004. Refleksi Pengelolaan hutan selama 35 tahun. Yayasan Adi Anggoro. Bogor. Nijman, V. 2001. Conservation of the Javan Gibbon Hylobates moloch: Population estimates, Local exinctions, and conservation prioritas. The Raffles Bullletin of Zoology, 52(1): 271-280. Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd ed. Saunders.Philadelphia. Pennsulvania. Ostrom, E., Schroeder, L. & Wynne, S. 1993. Institutional Incentives and Sustainable Development: Infrastructure Policies in Perspective, Wesview Press. Boulder. Peter C. Schulze, Mark Leighton, and David R. Peart. 1994. Enrichment Planting in Selectively Logged Rain Forest: A Combined Ecological and Economic Analysis. Ecologycal Society of America. volume 4(3):581-592. Potter, C. S., Wary, S., Nikolov, N. T., McGuide, A. D., Liu, J., King, A. W., Kinbal, J. S., Grant, R. F., Frolking, S. E., Clin, J. S., Chen, J. M.,Amthor, J. S. 2001. Comparison of Boreal Ecosystem Model Sensitifity to Variability in Climate and Forest Site Parameters. Journal of Geophysical Research, vol. 106 (D24): 33, 671-33, 688. Purnomo, H., 2005. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan Simulasi Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purnomo, H., Mendoza, G.A., Prabu R. 2004. Memfasilitasi Pengelolaan Hutan Kolaboratif Menggunakan Pemodelan Dinamika Sistem (To Facilitate Collaborative Forest Management Using System Dynamic Modelling). Jurnal Manajenem Hutan Tropika. Vol.X No. 2: 33-47. Punomo,
H., Yasmi, Y, Prabhu R, Hakim, S., Jafar, A.,and Suprihatin, 2003.Collaborative modelling to suport forest management : Qualitataive system analysis at Lumut Montain Indonesia Small scala Forest Economis. Journal Management and Policy 2(2) : 250-275.
Purnomo, H, Mendoza, G.A. Prabu R, 2004. Model for collaborative planning of community-managed resources based on qualitative soft systems approach Journal of Tropical forest science 16(1) : 106-131. Purnomo, H., Guilermo, A., Prabhu, R. 2005. Analysis of Local Perspectives on Sustainable Forest Management: an Indonesian Case Study Journal of Evironmental Management 74: 111-126.
107
Purnomo, H., J. K. Vanclay. 2003. Multi-Agent Simulation of Alternative Scenarios of Collaborative Forest Management. Small-scale Forest Economics, Management and Policy vol. 2(2) : 277-292
Quinton J.N.; G.M Edwards; R.P.C Morgan. 1997. The Influence of Vegetation Species and Plant Properties on Runoff and Soil Erosion: Results From A Rainfall Simulation Study In South East Spain. Soil Use and Management; vol 13 (3): 143-148. Ruslan, M. S dan Manan. 1980. Pengaruh Jalan Sarad Terhadap Erosi dan Runoff di Hutan Stagen, Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Paper Dalam Seminar Hidrologi Dalam Pengelolaan DAS, Surakarta, 6-7 Juni 1980. Sarief, E.S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana Bandung. Bandung Selener, D. 1997. Particypatory Action Research and Social Change The Cornell Particypatory Action Research Network, Cornell University, New York. Schaber, J., F.-W. Badeck, and P. Lasch. 1999. Ein Modell der Sukzessions Dynamik Europäischer Wälder - Forest Ecosystems in a Changing Environment (4C). In Deutscher Verband Forstlicher Versuchsanstalten - Sektion Forstliche Biometrie und Informatik. 11. Jahrestagung und Internationale Biometrische Gesellschaft. Deutsche Region. Arbietsgruppe Ökologie, Herbstkolloquium. D.R. Pelz, O. Rau, and J. Saborowski, editors, Freiburg. 212-217. Schulze, P.C., M. Leighton., D.R. Peart. 1994. Enrichment Planting in Selectively Logged Rain Forest: A Combined Ecologycal and Economic Analysis. Journal Ecologycal Applications, 4(3). pp.581-592. Ecologycal Society of America. Scwartz, M.W. dan Caro T.M. 2003. Effect of Selective Logging on Tree and Understory Regeneration In Miombo Woodland In Western Tanzania. African journal of ecology 41:75-82. Siswosudarmo M., Aminullah, E. Soesilo T.B., 2000. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Slik, J.W. F., Verburg R. W., Keßler P. J.A., 2004. Effects of Fire and Selective Logging on the Tree Species Composition of Lowland Dipterocarp Forest in East Kalimantan, Indonesia. Biodiversity and Conservation. Volume 11:8589. Smith, G. 2005.Human Impact on Flora and Vegetation of Kakamega Forest, Kenya Structure, Distribution and Disturbance of Plant Communities in an East African Rainforest Plant Communities in an East African Rainforest [Dissertation] Universität Koblenz-Landau.
108
Suhariyanto, 2004. Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Melalui Silvikultur Tepatguna. Prosiding Seminar Nasional Dalam Rangka 70 Tahun Prof. Dr.lr H. Soekotjo, Visi Silvikulturis Indonesia Menyosong Kehutanan 2045. Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK) Kampus Fakultas Kehutanan Institu Pertanian Bogor. Bogor. Surianegara, I. dan Indrawan A. 1976. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suratmo, F.G. 2001. The Strategy to Stop the Degradation of Tropical Rain Forest in Indonesia an How to Improve the Condition. Jurnal Manejemen Hutan Tropika Vol VII No.1 : 15-22. Soekotjo, 2000, Silvikultur Intensif Untuk Meningkatan Produktivitas, Efisiensi, Kompetitif, dan Kelestarian Hutan Humida Tropis dad Proceedings Seminar National Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Steinlin, H. 1988. Menuju Kelestarian Hutan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Tinambunan,D. 1990. Perkembangan Keadaan Jalan hutan Menurut Waktu dan Hubungannya dengan Erosi Tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 7:3. Tennessee Department of Agriculture Division of Forestry, 2003. Guide To Forestry Best Management Practices in Tinnessee. Vanclay, J. K. 2000. Models for Integrated Natural Resource Management: An Illustration with Flores. The Forest Land Resource Oriented Resource Envisioning System. Center For Internasional Forestry Research (CIFOR). Vanclay J. K. 1990. Effects of Selection Logging on Rain forest Productivity. Australian Forestry, 53 (3), 200-214. Venier L., Pearce J., Grant C., Wade K, Theberge J, Burgman Mark., Spatial and Temporal Decision Support Tools for Evaluating Impact of Forestry Activities and Wildfire Disturbance on Indicator Species. Wilson, C.C and W.L. Wilson. 1975. The Infulence of selective logging on primates and some other animals in East Kalimantan. Journal Folia Primatologi 23:245-274. Wintle, B., S. Bekessy, L. Venier, J. Pearce, M. Burgman. 2003. Dynamic Landscape Meta-population Models and Sustainable Forest Management.
109
Whittaker D.J. 2005. New population estimates for the endemic Kloss's gibbon Hylobates klossii on the Mentawai Islands, Indonesia; (2005), 39: 458-461 ; Cambridge Journals; vol 39. Weischmeir, W.H., Smidth 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide to Consevation Planing. USDA. Ag. Handbook No. 537. Zuazo, V.H.D., J.R.F. Martínez and A.M. Raya. 2004. Impact of Vegetative Cover on Runoff and Soil Erosion at Hillslope Scale in Lanjaron, Spain. The Envirinmentalist 24:39-48. Zubair, H. 1994. Pola Pengelolaan Kawasan Hutan Berdasarkan Karakteristik Hidrologi di Daerah Aliran Sungai Konto Hulu Malang Jawa Timur. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [Desetasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Lampiran 2. Skenario Proyeksi Trend (Tahun 2006-2056) Jumlah Vegetasi di Plot Penelitian Akibat Aktifitas Kegiatan Penebangan Pohon (a) Jumlah Pohon dengan Laju Penebangan 25,75%, (b) Jumlah Permudaan Tingkat Tiang Akibat Kegiatan Penebangan, (c) Jumlah Permudaan Tingkat Pancang Akibat Kegiatan Penebangan, (d) Jumlah Permudaan Tingkat Semai Akibat Kegiatan Penebangan, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates Muelleri) dan (d) Laju Erosi Akibat Kegiatan Penebangan Time 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045 2,046 2,047 2,048 2,049 2,050 2,051 2,052 2,053 2,054 2,055 2,056
Semai 15,115,377 117,733,622 90,647,203 75,057,565 59,600,994 59,423,962 58,974,547 56,602,255 52,468,152 48,785,757 45,866,352 43,375,726 40,947,607 38,559,230 36,286,903 34,174,966 32,214,447 30,370,795 28,629,088 26,987,172 25,446,350 23,996,235 22,630,508 21,343,576 20,133,269 18,995,574 17,923,234 16,912,288 15,959,341 15,061,304 14,214,883 13,419,682 12,671,825 11,966,041 11,299,940 10,671,601 10,079,105 9,520,277.3 8,993,028.7 8,495,471.5 8,025,896.2 7,582,699.2 7,164,357.2 6,767,473.8 6,391,473.1 6,036,803.3 5,702,206.4 5,386,258.9 5,087,706.9 4,805,629.4 4,539,189.4
Pancang 2,604,490.2 790,824.71 5,366,564.0 4,335,331.1 3,587,929.3 2,855,397.9 2,815,690.2 2,793,891.2 2,685,965.0 2,494,398.1 2,319,505.5 2,179,821.5 2,061,071.3 1,946,046.3 1,832,953.0 1,725,167.9 1,624,723.4 1,531,452.1 1,443,793.5 1,361,002.1 1,282,947.4 1,209,682.5 1,140,739.3 1,075,810.8 1,014,630.0 957,086.64 902,994.15 852,015.45 803,956.14 758,653.79 715,961.30 675,722.90 637,913.67 602,357.03 568,806.29 537,142.30 507,272.63 479,106.38 452,540.88 427,477.01 403,824.84 381,502.92 360,435.00 340,548.70 321,686.92 303,816.63 286,956.65 271,050.83 256,032.18 241,840.95 228,432.75
Tiang 232,542.06 498,293.64 243,053.71 976,909.22 957,622.12 824,694.39 669,831.33 629,660.12 617,346.68 596,187.88 558,682.20 520,497.96 488,223.96 460,827.89 435,121.46 410,105.78 386,116.35 363,611.26 342,663.76 323,020.85 304,499.29 287,036.83 270,629.18 255,194.73 240,662.90 226,972.40 214,090.95 201,979.40 190,571.20 179,818.42 169,682.70 160,130.37 151,127.31 142,661.81 134,700.93 127,195.02 120,112.78 113,431.51 107,130.64 101,188.00 95,581.73 90,291.58 85,299.14 80,587.27 76,139.80 71,926.15 67,934.00 64,163.93 60,606.38 57,247.75 54,074.78
POHON 677,270.42 523,368.39 432,889.30 342,951.85 341,742.56 339,122.81 325,308.25 301,227.19 279,769.34 262,745.89 248,223.30 234,096.83 220,203.73 207,011.59 194,775.23 183,399.04 172,722.88 162,657.84 153,178.87 144,273.91 135,911.43 128,051.66 120,659.53 113,708.62 107,172.06 101,023.58 95,238.23 89,794.62 84,673.34 79,854.10 75,317.51 71,045.79 67,022.72 63,233.23 59,665.08 56,306.25 53,143.38 50,163.78 47,355.97 44,709.63 42,215.11 39,863.28 37,645.58 35,554.00 33,581.06 31,719.79 29,962.26 28,301.50 26,732.38 25,250.25 23,850.44
Laju_Erosi Laju_Kematian_Primata Pendapatan_PT_SBK_ 60.21 982.03 146,431,200,000.00 60.21 758.88 148,175,171,334.59 60.21 627.68 149,522,844,928.43 57.39 497.28 150,637,534,878.21 57.32 495.52 151,520,635,884.03 57.15 491.72 152,400,622,972.79 56.30 471.69 153,273,864,203.04 54.66 436.78 154,111,532,934.10 52.99 405.66 154,887,192,940.24 51.39 380.98 155,607,599,001.58 49.82 359.92 156,284,169,665.11 48.28 339.44 156,923,344,666.30 46.58 319.29 157,526,144,009.47 44.94 300.16 158,093,168,607.64 43.42 282.42 158,626,223,441.88 41.51 265.93 159,127,769,655.20 39.69 250.45 159,600,022,192.41 37.97 235.85 160,044,783,599.98 36.26 222.11 160,463,627,529.27 34.32 209.20 160,858,063,109.03 32.51 197.07 161,229,568,428.86 30.80 185.67 161,579,540,364.62 29.20 174.96 161,909,273,388.09 27.52 164.88 162,219,971,667.09 25.69 155.40 162,512,771,362.92 23.98 146.48 162,788,739,407.50 22.36 138.09 163,048,875,126.61 20.84 130.20 163,294,113,579.71 19.41 122.78 163,525,334,714.01 18.07 115.79 163,743,368,576.10 16.44 109.21 163,948,992,875.60 14.58 103.02 164,142,935,464.87 12.84 97.18 164,325,878,372.94 11.19 91.69 164,498,461,883.93 9.64 86.51 164,661,287,453.78 8.19 81.64 164,814,925,036.43 6.81 77.06 164,959,913,628.79 5.52 72.74 165,096,757,838.91 4.30 68.67 165,225,929,560.41 3.15 64.83 165,347,871,187.80 2.07 61.21 165,462,998,491.97 1.05 57.80 165,571,702,392.82 0.602 54.59 165,674,350,337.50 0.602 51.55 165,771,287,700.38 0.602 48.69 165,862,839,241.05 0.602 45.99 165,949,310,481.66 0.602 43.44 166,030,988,946.61 0.602 41.04 166,108,141,774.32 0.602 38.76 166,181,018,141.83 0.602 36.61 166,249,854,029.24 0.602 34.58 166,314,873,427.00
99
Lampiran 3. Skenario 1. Skenario 1. Laju Penebangan 27,57%, Laju Pertumbuhan Semai 5,53%, Laju Kematian Semai 94,47%, Laju Pertumbuhan Pancang 23%, Lajui Kematian Pancang 77%, Laju Pertumbuhan Tiang 10,93%, Laju Kematian Tiang 89,17%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi Time 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045 2,046 2,047 2,048 2,049 2,050 2,051 2,052 2,053 2,054 2,055 2,056
Semai 15,115,377.2 117,733,622 91,452,203.5 79,266,848.9 62,479,681.9 74,720,281.9 77,333,418.6 76,389,672.4 71,662,554.7 71,131,643.4 71,345,383.3 71,276,483.2 70,091,660.2 69,093,253.5 68,405,387.3 67,879,458.3 67,207,124.5 66,475,047.6 65,769,889.3 65,122,952.2 64,483,965.8 63,836,737.0 63,189,812.9 62,556,929.7 61,936,227.6 61,322,522.2 60,714,154.3 60,114,709.3 59,523,349.3 58,939,580.3 58,362,644.5 57,792,839.5 57,230,183.9 56,674,576.8 56,125,764.9 55,583,634.3 55,048,106.2 54,519,100.2 53,996,773.5 53,481,899.5 52,973,168.3 52,470,490.7 51,973,838.8 51,483,378.2 50,998,919.9 50,520,305.4 50,047,412.1 49,580,190.5 49,118,559.8 48,662,424.3 48,211,685.1
Pancang 2,604,490.2 823,995.08 6,507,939.4 5,039,074.9 4,372,885.2 3,443,718.2 4,122,668.1 4,265,489.3 4,213,759.2 3,952,573.6 3,923,821.6 3,935,723.6 3,932,079.0 3,866,731.5 3,811,786.3 3,773,960.2 3,745,070.6 3,708,072.4 3,667,782.5 3,628,977.3 3,593,385.0 3,558,224.6 3,522,605.4 3,487,000.1 3,452,167.5 3,418,004.0 3,384,223.5 3,350,734.6 3,317,735.7 3,285,180.2 3,253,041.0 3,221,276.4 3,189,902.8 3,158,921.4 3,128,326.7 3,098,104.7 3,068,249.2 3,038,756.0 3,009,620.7 2,980,852.0 2,952,492.8 2,924,470.6 2,896,780.6 2,869,421.4 2,842,402.1 2,815,712.4 2,789,343.5 2,763,288.8 2,737,545.5 2,712,109.3 2,686,974.9
Tiang 232,542.06 597,901.80 187,358.69 1,496,245 1,155,399 1,002,403 789,028.90 945,862.34 978,430.53 966,464.18 906,415.93 899,971.83 902,771.68 901,963.57 886,961.83 874,383.66 865,741.31 859,145.85 850,678.70 841,456.68 832,577.25 824,435.74 816,391.27 808,240.13 800,091.56 792,120.06 784,301.44 776,569.91 768,904.58 761,351.17 753,898.89 746,541.54 739,269.54 732,086.73 724,993.37 717,988.22 711,068.09 704,231.57 697,477.70 690,805.48 684,216.96 677,721.97 671,303.86 664,961.57 658,694.76 652,505.58 646,391.64 640,350.95 634,381.98 628,484.14 622,656.41
POHON Laju_Erosi Laju_Kematian_Primata Pendapatan_PT_SBK_ 677,270.42 60.21 368.26 146,431,200,000.00 528,019.23 60.21 287.11 148,175,171,334.59 457,193.74 60.21 248.60 149,534,820,844.77 359,761.78 58.27 195.62 150,712,094,714.24 430,518.79 60.21 234.09 151,638,481,287.46 445,773.15 60.21 242.39 152,747,067,172.91 440,370.87 60.21 239.45 153,894,933,023.52 413,040.08 59.99 224.59 155,028,888,005.37 409,899.80 59.94 222.88 156,092,466,210.06 411,129.10 59.96 223.55 157,147,958,187.38 410,733.44 59.95 223.33 158,206,615,611.55 403,876.54 59.84 219.61 159,264,254,212.19 398,083.70 59.75 216.46 160,304,236,315.00 394,090.86 59.69 214.29 161,329,301,854.88 391,039.45 59.65 212.63 162,344,085,823.79 387,135.30 59.55 210.50 163,351,012,398.34 382,863.24 59.35 208.18 164,347,885,798.38 378,748.34 59.16 205.94 165,333,758,644.50 374,973.78 58.98 203.89 166,309,035,610.56 371,247.23 58.81 201.86 167,274,593,097.65 367,473.78 58.63 199.81 168,230,554,703.17 363,702.99 58.46 197.76 169,176,799,690.16 360,014.81 58.29 195.76 170,113,334,880.25 356,398.56 58.12 193.79 171,040,373,021.95 352,824.02 57.95 191.85 171,958,099,308.35 349,280.71 57.78 189.92 172,866,621,148.47 345,779.94 57.57 188.02 173,766,018,976.69 342,327.44 57.35 186.14 174,656,402,314.24 338,920.28 57.14 184.29 175,537,895,467.56 335,554.01 56.93 182.46 176,410,615,195.48 332,230.32 56.73 180.65 177,274,666,778.64 328,949.27 56.52 178.86 178,130,159,842.50 325,710.24 56.32 177.10 178,977,204,202.75 322,511.73 56.12 175.36 179,815,908,072.89 319,353.03 55.93 173.65 180,646,375,777.59 316,233.66 55.73 171.95 181,468,709,840.10 313,153.11 55.54 170.28 182,283,011,518.98 310,110.67 55.35 168.62 183,089,380,783.90 307,105.64 55.11 166.99 183,887,915,751.19 304,137.41 54.88 165.37 184,678,712,765.34 301,205.41 54.65 163.78 185,461,866,584.28 298,309.45 54.43 162.20 186,237,470,509.87 295,450.45 54.21 160.65 187,005,617,334.80 292,627.29 53.99 159.11 187,766,402,248.98 289,839.01 53.77 157.60 188,519,917,527.99 287,084.87 53.56 156.10 189,266,252,988.37 284,364.54 53.35 154.62 190,005,496,528.31 281,677.53 53.14 153.16 190,737,735,224.11 279,023.26 52.94 151.72 191,463,054,870.67 276,401.11 52.73 150.29 192,181,539,753.87 273,810.58 52.53 148.88 192,893,272,608.84
100
Lampiran 4. Skenario 2. Penebangan 27,57%, Laju Pertumbuhan Semai 7,53%, Laju Kematian Semai 92,47%, Laju Pertumbuhan Pancang 19,76%, Laju Kematian Pancang 80,24%, Laju Pertumbuhan Tiang 8,93%, Laju Kematian Tiang 63,31%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi Time 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045 2,046 2,047 2,048 2,049 2,050 2,051 2,052 2,053 2,054 2,055 2,056
Semai 15,115,377.2 118,311,748 88,278,598.3 72,285,959.6 57,378,799.5 69,756,396.7 76,617,858.6 77,431,859.1 73,684,824.3 72,941,622.0 74,400,488.9 76,059,546.3 76,513,324.9 76,511,051.2 76,775,900.9 77,405,050.7 78,053,753.8 78,560,033.2 78,992,546.4 79,462,251.3 79,982,212.5 80,510,342.8 81,021,380.5 81,523,860.1 82,032,560.3 82,550,204.8 83,071,250.3 83,592,102.8 84,113,674.5 84,637,986.5 85,165,498.2 85,695,500.6 86,227,475.8 86,761,516.0 87,297,891.5 87,836,675.2 88,377,774.2 88,921,112.3 89,466,694.9 90,014,555.1 90,564,701.1 91,117,117.7 91,671,790.5 92,228,716.1 92,787,894.7 93,348,749.1 93,911,823.0 94,476,959.0 95,044,024.7 95,612,920.2 96,183,702.6
Pancang 2,604,490.2 1,124,845.6 8,904,938.6 6,622,707.8 5,429,282.9 4,306,223.9 5,239,892.7 5,753,595.5 5,814,322.6 5,532,197.2 5,476,658.9 5,586,258.5 5,710,747.5 5,744,548.7 5,744,208.6 5,763,989.1 5,811,135.0 5,859,705.9 5,897,565.3 5,929,891.5 5,965,020.4 6,003,920.9 6,043,427.6 6,081,645.9 6,119,220.3 6,157,261.0 6,195,970.9 6,234,933.0 6,273,877.7 6,312,873.9 6,352,073.5 6,391,510.8 6,431,132.4 6,470,899.4 6,510,818.8 6,550,910.8 6,591,180.9 6,631,622.0 6,672,228.5 6,713,000.7 6,753,941.1 6,795,050.3 6,836,327.0 6,877,770.3 6,919,379.7 6,961,112.6 7,002,966.3 7,044,983.2 7,087,151.2 7,129,460.5 7,171,903.5
Tiang 232,542.06 564,057.15 343,034.57 1,833,309.8 1,703,741.3 1,439,041.7 1,159,779.9 1,284,289.5 1,412,734.3 1,452,367.9 1,405,037.6 1,383,794.0 1,400,862.0 1,429,124.5 1,441,852.8 1,444,476.3 1,448,905.4 1,459,138.5 1,470,902.9 1,480,876.4 1,489,368.5 1,498,095.6 1,507,619.2 1,517,433.5 1,527,054.7 1,536,506.2 1,546,012.8 1,555,663.0 1,565,393.2 1,575,136.6 1,584,892.2 1,594,690.0 1,604,543.2 1,614,444.1 1,624,383.2 1,634,360.0 1,644,378.3 1,654,440.0 1,664,544.1 1,674,689.4 1,684,875.4 1,695,102.8 1,705,371.7 1,715,681.8 1,726,033.0 1,736,414.5 1,746,825.5 1,757,266.0 1,767,744.0 1,778,259.1 1,788,809.2
POHON 677,270.42 507,384.80 414,926.28 328,757.52 399,926.85 439,491.54 444,281.10 422,784.31 418,457.58 426,818.94 436,365.86 438,998.72 438,993.38 440,513.72 444,129.93 447,864.80 450,782.60 453,274.55 455,978.83 458,972.42 462,013.94 464,957.62 467,851.99 470,782.05 473,763.72 476,765.22 479,765.82 482,770.68 485,791.44 488,830.77 491,884.60 494,949.96 498,027.37 501,118.38 504,223.41 507,341.94 510,473.53 513,618.22 516,776.18 519,947.48 523,132.02 526,329.73 529,540.59 532,764.61 536,001.76 539,252.01 542,514.38 545,788.10 549,072.60 552,368.21 555,675.10
Laju_Erosi Laju_Kematian_Primata Pendapatan_PT_SBK_ 51.60 1,058.31 146,431,200,000.00 51.60 792.84 148,310,625,418.83 51.60 648.37 149,718,618,249.98 49.73 513.72 150,870,038,690.78 51.60 624.93 151,782,340,817.72 51.60 686.75 152,892,137,820.69 51.60 694.24 154,111,726,848.20 51.60 660.65 155,344,606,894.06 51.60 653.89 156,517,833,365.23 51.60 666.95 157,679,053,143.26 51.60 681.87 158,863,475,697.91 51.60 685.98 160,074,390,958.61 51.60 685.98 161,292,612,417.66 51.60 688.35 162,510,819,055.50 51.60 694.00 163,733,244,624.72 51.60 699.84 164,965,705,167.00 51.60 704.40 166,208,529,998.51 51.60 708.29 167,459,451,704.83 51.60 712.52 168,717,288,581.85 51.60 717.19 169,982,629,840.23 51.60 721.95 171,256,278,306.16 51.60 726.55 172,538,366,999.80 51.60 731.07 173,828,624,399.13 51.60 735.65 175,126,913,668.45 51.60 740.31 176,433,333,856.86 51.60 745.00 177,748,028,173.82 51.60 749.69 179,071,051,655.73 51.60 754.38 180,402,401,795.57 51.60 759.10 181,742,090,437.19 51.60 763.85 183,090,161,678.50 51.60 768.62 184,446,667,052.06 51.60 773.41 185,811,646,822.77 51.60 778.22 187,185,132,968.90 51.60 783.05 188,567,158,918.38 51.60 787.90 189,957,762,413.00 51.60 792.78 191,356,982,377.77 51.60 797.67 192,764,856,267.28 51.60 802.58 194,181,420,321.95 51.60 807.52 195,606,710,868.62 51.60 812.48 197,040,764,767.13 51.60 817.45 198,483,619,016.00 51.60 822.45 199,935,310,377.84 51.60 827.47 201,395,875,391.19 51.60 832.50 202,865,350,541.25 51.60 837.56 204,343,772,325.56 51.60 842.64 205,831,177,202.78 51.60 847.74 207,327,601,537.94 51.60 852.85 208,833,078,950.53 51.60 857.99 210,347,640,940.48 51.60 863.14 211,871,317,413.58 51.60 868.30 213,404,139,186.46
101
Lampiran 5. Skenario 3. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 10%, Laju Kematian Semai 90%, Laju Pertumbuhan Pancang 7%, Laju Kematian Pancang 93%, Laju Pertumbuhan Tiang 5%, Laju Kematian Tiang 95%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi Time 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045 2,046 2,047 2,048 2,049 2,050 2,051 2,052 2,053 2,054 2,055 2,056
Semai 15,115,377 121,823,596 99,225,086 81,026,689 65,768,017 60,267,119 54,412,864 48,596,889 42,988,633 38,157,554 33,928,065 30,181,248 26,832,963 23,852,354 21,203,407 18,849,965 16,757,905 14,897,904 13,244,252 11,774,159 10,467,259 9,305,425.9 8,272,496.0 7,354,209.4 6,537,862.5 5,812,138.1 5,166,971.8 4,593,420.2 4,083,534.5 3,630,248.0 3,227,277.9 2,869,038.9 2,550,565.7 2,267,444.1 2,015,750.0 1,791,994.8 1,593,077.1 1,416,240.1 1,259,032.5 1,119,275.6 995,032.12 884,580.12 786,388.67 699,096.81 621,494.65 552,506.59 491,176.45 436,654.17 388,184.05 345,094.28 306,787.62
Pancang 2,604,490.2 1,502,942.1 12,178,446 9,897,751.5 8,087,281.2 6,565,624.9 6,018,840.5 5,435,165.4 4,854,797.3 4,294,494.0 3,811,890.3 3,389,375.8 3,015,074.3 2,680,582.8 2,382,822.8 2,118,196.1 1,883,090.2 1,674,095.7 1,488,283.7 1,323,085.7 1,176,225.1 1,045,667.3 929,601.49 826,412.96 734,677.17 653,125.04 580,626.00 516,174.61 458,877.46 407,940.46 362,657.65 322,401.40 286,613.73 254,798.62 226,515.09 201,371.13 179,018.24 159,146.60 141,480.78 125,775.92 111,814.36 99,402.58 88,368.55 78,559.34 69,838.98 62,086.61 55,194.78 49,067.97 43,621.26 38,779.15 34,474.53
Tiang 232,542.06 181,546.86 104,733.21 852,278.31 691,517.60 565,153.99 458,916.20 420,852.13 380,082.81 339,493.73 300,309.04 266,562.05 237,016.40 210,841.89 187,451.03 166,628.89 148,123.76 131,683.00 117,068.18 104,074.50 92,522.33 82,252.49 73,122.69 65,006.29 57,790.40 51,375.39 45,672.52 40,602.71 36,095.68 32,088.94 28,526.95 25,360.36 22,545.27 20,042.67 17,817.86 15,840.02 14,081.72 12,518.60 11,129.00 9,893.64 8,795.41 7,819.09 6,951.14 6,179.54 5,493.59 4,883.78 4,341.67 3,859.73 3,431.28 3,050.40 2,711.79
POHON 677,270.42 553,172.53 451,394.10 366,171.38 335,404.55 302,765.36 270,348.88 239,116.78 212,240.38 188,711.55 167,868.44 149,243.06 132,662.85 117,928.04 104,837.35 93,200.50 82,854.56 73,656.70 65,480.04 58,211.25 51,749.44 46,004.97 40,898.20 36,358.33 32,322.44 28,734.54 25,544.91 22,709.34 20,188.52 17,947.52 15,955.29 14,184.20 12,609.70 11,209.98 9,965.63 8,859.41 7,875.99 7,001.73 6,224.51 5,533.57 4,919.32 4,373.26 3,887.81 3,456.25 3,072.60 2,731.53 2,428.32 2,158.77 1,919.14 1,706.11 1,516.72
Laju_Erosi Laju_Kematian_Primata Pendapatan_PT_SBK_ 0.516 762.75 146,431,200,000.00 0.516 622.99 147,785,740,842.40 0.496 508.36 148,892,085,906.46 0.457 412.38 149,794,874,105.20 0.438 377.73 150,527,216,869.67 0.415 340.98 151,198,025,975.01 0.388 304.47 151,803,556,695.50 0.359 269.29 152,344,254,458.78 0.329 239.03 152,822,488,009.82 0.298 212.53 153,246,968,769.99 0.268 189.05 153,624,391,866.79 0.241 168.08 153,960,128,748.42 0.21 149.41 154,258,614,862.59 0.183 132.81 154,523,940,564.01 0.159 118.07 154,759,796,634.79 0.13 104.96 154,969,471,337.78 0.10 93.31 155,155,872,333.78 0.0735 82.95 155,321,581,459.43 0.0499 73.74 155,468,894,852.49 0.0289 65.56 155,599,854,941.60 0.0102 58.28 155,716,277,447.10 0.00516 51.81 155,819,776,332.34 0.00516 46.06 155,911,786,274.42 0.00516 40.95 155,993,582,673.09 0.00516 36.40 156,066,299,342.11 0.00516 32.36 156,130,944,220.04 0.00516 28.77 156,188,413,304.57 0.00516 25.58 156,239,503,123.59 0.00516 22.74 156,284,921,794.40 0.00516 20.21 156,325,298,835.06 0.00516 17.97 156,361,193,884.82 0.00516 15.97 156,393,104,460.20 0.00516 14.20 156,421,472,851.49 0.00516 12.62 156,446,692,253.31 0.00516 11.22 156,469,112,214.38 0.00516 9.98 156,489,043,482.30 0.00516 8.87 156,506,762,310.63 0.00516 7.89 156,522,514,287.79 0.00516 7.01 156,536,517,741.06 0.00516 6.23 156,548,966,762.63 0.00516 5.54 156,560,033,899.79 0.00516 4.93 156,569,872,546.50 0.00516 4.38 156,578,619,069.42 0.00516 3.89 156,586,394,698.08 0.00516 3.46 156,593,307,205.09 0.00516 3.08 156,599,452,399.94 0.00516 2.73 156,604,915,456.93 0.00516 2.43 156,609,772,095.72 0.00516 2.16 156,614,089,630.82 0.00516 1.92 156,617,927,904.61 0.00516 1.71 156,621,340,116.75
102
Lampiran 6. Skenario 4. Laju Penebangan 10%, Laju Pertumbuhan Semai 10%, Laju Kematian Semai 90%, Laju Pertumbuhan Pancang 7%, Lajui Kematian Pancang 93%, Laju Pertumbuhan Tiang 10%, Laju Kematian Tiang 90%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi Time 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045 2,046 2,047 2,048 2,049 2,050 2,051 2,052 2,053 2,054 2,055 2,056
Semai 15,115,377.2 118,383,225 104,536,036 92,139,380.7 81,184,852.4 90,643,318.1 96,071,713.7 98,445,110.5 98,476,446.5 100,228,289 102,690,480 105,206,289 107,348,818 109,484,431 111,741,256 114,109,787 116,506,166 118,937,698 121,409,896 123,936,662 126,514,464 129,145,969 131,831,484 134,568,830 137,359,242 140,204,236 143,105,142 146,062,677 149,077,663 152,151,064 155,283,923 158,477,240 161,732,000 165,049,199 168,429,853 171,874,993 175,383,904 178,957,287 182,597,754 186,305,720 190,081,655 193,926,396 197,841,103 201,826,802 205,884,423 210,014,880 214,219,128 218,498,134 222,852,853 227,284,231 231,793,210
Pancang 2,604,490.19 2,261,180.51 17,752,913.7 15,649,897.6 13,798,194.3 12,154,532.5 13,574,454.4 14,385,351.1 14,739,830.4 14,743,238.2 15,005,122.4 15,373,012.0 15,748,831.1 16,068,605.2 16,387,378.0 16,724,254.4 17,077,796.7 17,435,427.7 17,798,262.6 18,167,117.6 18,544,075.2 18,928,598.0 19,321,085.1 19,721,577.2 20,129,743.9 20,545,767.2 20,969,870.4 21,402,248.4 21,843,004.1 22,292,256.7 22,750,145.6 23,216,822.6 23,692,432.6 24,177,118.0 24,671,022.6 25,174,293.5 25,686,822.9 26,208,447.9 26,739,542.5 27,280,490.2 27,831,344.4 28,392,168.1 28,963,078.6 29,544,241.1 30,135,800.4 30,737,887.0 31,350,628.2 31,974,157.6 32,608,610.0 33,254,118.6 33,910,814.4
Tiang 232,542.06 181,767.35 157,915.27 1,242,432.59 1,093,689.68 964,035.06 849,068.91 948,622.69 1,005,198.31 1,029,863.04 1,029,992.48 1,048,260.85 1,073,921.16 1,100,118.96 1,122,386.50 1,144,586.82 1,168,051.19 1,192,675.93 1,217,580.10 1,242,843.26 1,268,522.28 1,294,762.69 1,321,526.31 1,348,840.91 1,376,709.01 1,405,107.21 1,434,048.03 1,463,546.84 1,493,616.94 1,524,265.23 1,555,499.72 1,587,329.84 1,619,765.88 1,652,817.61 1,686,494.63 1,720,806.63 1,755,745.98 1,791,301.35 1,827,479.69 1,864,306.69 1,901,808.63 1,939,988.64 1,978,850.55 2,018,402.01 2,058,653.98 2,099,615.97 2,141,296.47 2,183,703.72 2,226,846.39 2,270,733.23 2,315,372.83
POHON 677,270.42 598,663.16 526,800.95 463,361.62 517,915.29 549,389.80 563,165.08 563,371.94 573,503.07 587,768.04 602,354.03 614,759.23 627,125.53 640,197.96 653,924.09 667,812.55 681,832.23 696,089.78 710,665.47 725,539.39 740,702.59 756,153.15 771,903.99 787,962.26 804,336.83 821,035.47 838,062.45 855,422.66 873,121.78 891,165.96 909,561.12 928,313.10 947,427.79 966,911.24 986,769.55 1,007,008.87 1,027,635.40 1,048,653.64 1,070,066.26 1,091,876.27 1,114,088.75 1,136,710.66 1,159,748.24 1,183,207.16 1,207,093.00 1,231,411.61 1,256,168.90 1,281,370.75 1,307,022.96 1,333,131.35 1,359,701.71
Laju_Erosi Laju_Kematian_Primata Pendapatan_PT_SBK_ 51.17 143.01 146,431,200,000.00 49.50 126.42 147,447,105,631.80 47.22 111.24 148,345,100,366.30 44.72 97.85 149,135,301,794.70 46.88 109.36 149,830,344,218.37 47.97 116.01 150,607,217,149.89 48.40 118.92 151,431,301,844.26 48.41 118.96 152,276,049,459.24 48.72 121.10 153,121,107,369.22 49.16 124.12 153,981,361,972.73 49.60 127.20 154,863,014,029.98 49.88 129.81 155,766,545,073.37 50.17 132.43 156,688,683,919.66 50.47 135.19 157,629,372,211.21 50.79 138.08 158,589,669,157.30 51.10 141.02 159,570,555,287.02 51.21 143.98 160,572,274,117.44 51.32 146.99 161,595,022,458.23 51.43 150.07 162,639,157,126.68 51.54 153.21 163,705,155,330.34 51.60 156.41 164,793,464,419.25 51.60 159.67 165,904,518,309.49 51.60 163.00 167,038,748,037.17 51.60 166.39 168,196,604,017.03 51.60 169.85 169,378,547,404.68 51.60 173.37 170,585,052,643.41 51.60 176.97 171,816,605,845.77 51.60 180.63 173,073,699,527.52 51.60 184.37 174,356,833,524.73 51.60 188.18 175,666,516,194.33 51.60 192.07 177,003,265,131.76 51.60 196.03 178,367,606,813.46 51.60 200.06 179,760,076,463.85 51.60 204.18 181,181,218,155.37 51.60 208.37 182,631,585,018.10 51.60 212.64 184,111,739,345.98 51.60 217.00 185,622,252,657.79 51.60 221.44 187,163,705,761.88 51.60 225.96 188,736,686,216.09 51.60 230.56 190,341,785,612.03 51.60 235.25 191,979,600,012.00 51.60 240.03 193,650,733,129.61 51.60 244.90 195,355,799,121.05 51.60 249.85 197,095,421,482.91 51.60 254.89 198,870,232,223.59 51.60 260.03 200,680,871,730.17 51.60 265.26 202,527,989,151.60 51.60 270.58 204,412,242,508.85 51.60 276.00 206,334,298,631.06 51.60 281.51 208,294,833,069.81 51.60 287.12 210,294,530,087.71
103
Lampiran 7. Skenario . Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 5,53%, Laju Kematian Semai 94,47%, Laju Pertumbuhan Pancang 23%, Laju Kematian Pancang 77%, Laju Pertumbuhan Tiang 10,93%, Laju Kematian Tiang 89,17%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata, (f) Laju Erosi Time 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036 2,037 2,038 2,039 2,040 2,041 2,042 2,043 2,044 2,045 2,046 2,047 2,048 2,049 2,050 2,051 2,052 2,053 2,054 2,055 2,056 2,057
Semai 1.51154e7 1.19503e8 1.20278e8 1.24503e8 1.03998e8 1.46646e8 1.79125e8 2.06246e8 2.15418e8 2.4604e8 2.86481e8 3.31267e8 3.68458e8 4.11607e8 4.64733e8 5.26091e8 5.89346e8 6.5814e8 7.36369e8 8.26183e8 9.25555e8 1.0354e9 1.15839e9 1.2973e9 1.4529e9 1.6265e9 1.8205e9 2.0381e9 2.28196e9 2.55484e9 2.86009e9 3.20188e9 3.58468e9 4.01326e9 4.49296e9 5.02997e9 5.63123e9 6.3044e9 7.05802e9 7.90168e9 8.8462e9 9.90364e9 1.1087e10 1.2413e10 1.3897e10 1.5558e10 1.7417e10 1.9499e10 2.183e10 2.444e10 2.7361e10
Pancang 2,604,490 674,539.10 5,410,821 5,426,067 5,621,978 4,682,021 6,611,824 8,059,358 9,270,571 9,655,220 11,005,085 12,769,184 14,685,548 16,207,622 18,023,243 20,271,860 22,886,599 25,585,031 28,542,765 31,930,358 35,829,590 40,136,168 44,896,953 50,230,287 56,256,163 63,003,572 70,530,337 78,942,347 88,378,802 98,953,936 1.107865e8 1.240226e8 1.388439e8 1.554437e8 1.740284e8 1.948297e8 2.181163e8 2.44189e8 2.733801e8 3.060591e8 3.426431e8 3.836006e8 4.294551e8 4.807907e8 5.382622e8 6.026033e8 6.746359e8 7.552792e8 8.45562e8 9.466366e8 1.059793e9
Tiang 232,542.06 259,539.43 66,424.62 540,805.76 540,813.65 559,399.99 464,466.99 657,318.35 800,033.84 918,148.81 952,156.72 1,082,476 1,249,719 1,427,409 1,565,935 1,734,509 1,946,300 2,194,065 2,449,511 2,731,801 3,056,446 3,430,137 3,842,110 4,297,590 4,808,149 5,385,209 6,031,097 6,751,479 7,556,661 8,460,047 9,472,391 10,605,033 11,872,006 13,290,794 14,879,830 16,658,851 18,650,030 20,879,132 23,374,944 26,169,260 29,297,446 32,799,436 36,720,087 41,109,502 46,023,598 51,525,036 57,684,076 64,579,386 72,298,949 80,941,254 90,616,602
POHON Laju_Erosi Laju_Kematian_Primata Pendapatan_PT_SBK_ 677,270.42 34.40 44.51 146,431,200,000.00 684,006.76 34.40 44.95 147,988,921,968.76 708,089.20 34.40 46.53 149,562,137,520.25 591,442.69 34.40 38.87 151,190,742,689.58 833,738.32 34.40 54.79 152,551,060,867.46 1,020,214.57 34.40 67.04 154,468,659,007.02 1,176,737.12 34.40 77.33 156,815,152,517.17 1,230,743.78 34.40 80.88 159,521,647,898.69 1,407,303.26 34.40 92.48 162,352,358,597.22 1,643,084.28 34.40 107.97 165,589,156,096.45 1,907,221.83 34.40 125.33 169,368,249,935.23 2,134,307.62 34.40 140.25 173,754,860,135.59 2,400,296.38 34.40 157.73 178,663,767,665.40 2,722,071.57 34.40 178.88 184,184,449,343.86 3,094,092.54 34.40 203.33 190,445,213,950.21 3,477,368.17 34.40 228.51 197,561,626,785.29 3,890,338.57 34.40 255.65 205,559,573,582.72 4,356,414.77 34.40 286.28 214,507,352,282.29 4,888,542.44 34.40 321.25 224,527,106,258.30 5,476,879.70 34.40 359.91 235,770,753,873.10 6,127,267.33 34.40 402.65 248,367,577,192.93 6,855,056.96 34.40 450.48 262,460,292,047.46 7,676,747.50 34.40 504.47 278,226,923,049.83 8,597,501.83 34.40 564.98 295,883,442,309.75 9,624,950.25 34.40 632.50 315,657,696,521.45 10,773,066.2 34.40 707.94 337,795,082,085.00 12,060,597.9 34.40 792.55 362,573,134,286.83 13,503,603.9 34.40 887.38 390,312,509,485.66 15,118,408.8 34.40 993.50 421,370,798,499.60 16,924,789.9 34.40 1,112.20 456,143,138,630.26 18,947,351.3 34.40 1,245.11 495,070,155,451.53 21,212,555.5 34.40 1,393.97 538,649,063,490.87 23,748,705.9 34.40 1,560.63 587,437,941,077.66 26,587,408.2 34.40 1,747.17 642,059,964,760.68 29,765,224.9 34.40 1,956.00 703,211,003,598.81 33,323,197.9 34.40 2,189.81 771,671,020,953.94 37,306,728.5 34.40 2,451.59 848,314,376,128.87 41,766,279.5 34.40 2,744.64 934,119,851,667.18 46,758,721.3 34.40 3,072.72 1,030,182,294,585 52,347,972.8 34.40 3,440.01 1,137,727,353,556 58,605,481.7 34.40 3,851.22 1,258,127,691,037 65,610,991.1 34.40 4,311.58 1,392,920,298,969 73,453,824.1 34.40 4,826.97 1,543,825,578,551 82,234,123.7 34.40 5,403.96 1,712,769,373,891 92,064,033.3 34.40 6,049.92 1,901,907,858,328 103,068,998 34.40 6,773.11 2,113,655,134,943 115,389,426 34.40 7,582.73 2,350,713,831,085 129,182,556 34.40 8,489.14 2,616,109,510,903 144,624,465 34.40 9,503.89 2,913,229,389,194 161,912,253 34.40 10,639.95 3,245,865,659,042 181,266,547 34.40 11,911.80 3,618,263,840,297
104
116
Lampiran 8. Rekapitulasi Jumlah Batang (N) dan Volume Rata-rata Per Hektar Menurut Jenis dan Kelas Diameter Pada Petak OO.55 Hutan Primer Tahunan RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah PERMUDAAN No.
JENIS KAYU
Semai Pancang N/Ha
A
B
N/Ha
KELOMPOK JENIS MERANTI Meranti Kuning Meranti Merah 9,350 272 Keruing 16 Merawan 1,650 200 Keranji Resak 1,400 176 Meranti Putih 3,900 160 Bintangor Resak 1,400 176 Jumlah A 17,700 1,000 KELOMPOK RIMBA CAMPURAN Medang 100 96 Mahabai 200 32 Mayau Cempaka 16 Kampili 16 Karut Kemayau 56 Kumpang 300 224 Geronam 24 Petai Ombak 8 Merpayang 16 Menjalin 104
KELAS DIAMETER
Tiang
20-29
N/Ha V/Ha N/Ha -
-
N/Ha
40-49
V/Ha
7.50 3 1 5.50 4.50 1 5.50 28
3.14 1.11 0.28 2 1.59 0.24 2 10.36
5.50 1 0.50 0.50 4.50 0.50 0.50 13
4.96 1.14 0.34 0.53 4.14 0.37 0.53 12.03
- 4.50 3 1 - 0.50 1 1 7.50 - 2.50 1 4
1.43 0.79 0.37 0.26 0.36 0.36 2.52 0.90 0.35 1.42
2.50 0.50 1 2.50 1 0.50 4.50
2.32 0.32 0.99 2.15 0.93 0.42 3.31
18
-
2 22 10 2 4 10 68 8 4 2 4 2 2 14 6 4 8
V/Ha
30-39
-
-
N/Ha
50-59
V/Ha
3.50 5.19 0.50 0.62 1.50 2.17 0.50 0.68 1 1.27 0.50 0.68 7.50 10.59 0.50 0.50 0.50 0.50 -
0.57 0.99 0.95 0.70 -
N/Ha
60 up
V/Ha
N/Ha
30 up
V/Ha
0.50 4 1 0.50 1.50 7.50
1.53 10.33 2.71 1.12 4.15 19.85
12 1.50 1 3 0.50 18
57.58 10.52 3.33 12.97 2.26 86.66
1
1.96 -
0.50 0.50 0.50 0.50 1
1.89 1.39 1.69 1.89 4.87
-
N/Ha
20 up
V/Ha
0.50 1.53 25 78.06 4 14.99 2.50 3.63 1 3.33 1 1.21 10 22.53 1 2.63 1 1.21 46 129.13 4.50 0.50 1.50 0.50 1 2.50 1.50 1 5.50
6.73 0.32 2.37 0.99 2.64 2.15 1.63 2.31 8.17
N/Ha
V/Ha
0.50 1.53 32.50 81.20 7 16.10 3.50 3.91 1 3.33 6.50 3.21 14.50 24.12 2 2.87 6.50 3.21 74 139.49 9 3.50 1 2 1.50 2 10 4 1 1 9.50
8.17 1.11 0.37 2.63 1.35 3 4.67 2.54 2.31 0.35 9.59
117
PERMUDAAN No.
JENIS KAYU
Semai Pancang N/Ha
N/Ha
Plonduk Sampak Sempotir 100 184 Ubah 600 400 Uram Lagan 16 Belantik Berangan 100 16 Besirih 500 8 Asam Bangkirai 7,600 280 Bengkal Birung Kapuak Kulim 100 Manggris 16 Segulang Tamang 100 24 Garu Buaya 100 Jumlah B 9,800 1,536 Sub Total (A+B) 27,500 2,536 C KELOMPOK KAYU DILINDUNGI Ulin Tengkawang 200 Durian Burung Jelutung 200 Kempas Durian 24 Nyatoh 100 32
KELAS DIAMETER
Tiang
20-29
N/Ha V/Ha N/Ha 4 2 16 34 2 2 4 8 2 128 196
-
0.50 2.50 2 11.50 0.50 0.50 1.50 2.50 0.50 0.50 0.50 1 50 78
2 4 2
-
0.50 0.50 0.50 2.50
V/Ha
30-39 N/Ha
0.11 0.78 1.50 0.64 4.08 4.50 - 0.50 - 0.50 0.11 0.24 0.40 1 0.86 2.50 0.12 0.17 0.26 0.33 0.50 1 16.86 24.50 27.22 37.50 0.13 0.22 0.19 0.89
0.50 0.50 0.50 2.50
40-49
V/Ha 1.28 3.53 0.53 0.41 1.11 2.33 0.37 0.79 20.78 32.81 0.34 0.36 0.47 2.22
N/Ha
50-59
V/Ha
3.50 5.05 1 1.53 1.50 2.78 8 12.58 15.50 23.17 0.50 1 0.50
0.75 1.84 0.69
N/Ha 0.50 0.50 2 9.50 1 0.50 0.50 1 -
60 up
V/Ha
N/Ha
30 up
V/Ha
0.96 0.50 1.83 0.50 1.86 1.21 0.50 2.82 3.50 36.40 0.50 1.68 0.50 2.68 0.50 1.58 4.13 9.50 60.57 23.98 27.50 147.23 2.57 1.21 1.48 2.66 -
0.50 -
2.75 -
N/Ha
V/Ha
1.50 1.28 9 11.38 1 2.39 0.50 0.41 1.50 2.32 0.50 2.82 7 40.27 2.50 4.83 0.50 2.68 0.50 1.58 1 0.79 44 98.05 90 227.18 0.50 0.34 2.50 6.42 0.50 1.21 0.50 1.48 2.50 4.97 3 2.92
20 up N/Ha
V/Ha
0.50 0.11 4 2.06 2 0.64 20.50 15.45 1 2.39 0.50 0.41 0.50 0.11 0.50 0.24 3 2.72 0.50 2.82 9.50 41.13 0.50 0.12 0.50 0.17 0.50 0.26 3.50 5.16 0.50 2.68 0.50 1.58 1 0.79 94 114.92 168 254.40 1 2.50 1 0.50 3 5.50
0.47 6.42 1.43 1.48 5.16 3.80
118
PERMUDAAN No.
JENIS KAYU
Semai Pancang N/Ha
Rambutan Jumlah C TOTAL (A+B+C)
500 28,000
N/Ha 8 64 2,600
Sumber : Data Primer Lapangan, 2007 (diolah)
Tiang
KELAS DIAMETER 20-29
N/Ha V/Ha N/Ha 8 204
- 0.50 - 4.50 - 82.50
V/Ha
30-39 N/Ha
0.13 1.56 4 28.79 41.50
V/Ha 3.39 36.20
40-49 N/Ha
V/Ha
50-59 N/Ha
2 3.27 3 17.50 26.45 12.50
V/Ha 7.92 31.90
60 up N/Ha
V/Ha
0.50 2.75 28 149.97
30 up N/Ha
V/Ha
9.50 17.34 99.50 244.52
20 up N/Ha
V/Ha
0.50 0.13 14 18.90 182 273.30
119
Lampiran 9. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Permudaan dan Tingkat Pohon Pada Petak OO.55 Hutan Primer Tahunan RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah No. A
B
Jenis
KR
KEL. JENIS MERANTI Meranti Kuning Meranti Merah 27.34 Keruing 11.40 Merawan Geronggang 4.82 Keranji Resak 4.09 Meranti Putih 47.66 Bintangor Resak 0.29 Mersawa 0.58 Jumlah A 95.61 KEL. RIMBA CAMPURAN Medang 0.29 Mahabai 0.58 Mayau Cempaka Kampili Karut Kemayau Kumpang 0.88 Geronam Petai Ombak Merpayang Menjalin Plonduk Sampak Sempotir 0.29
SEMAI FR INP 39.13 66.47 11.40 11.59 11.59 4.82 8.70 12.79 15.94 63.60 8.70 8.99 0.58 84.06 179.67 1.45 2.90 2.90 1.45
1.74 3.48 3.78 1.74
H'
KR
PANCANG FR INP
H'
KR
FR
0.37 9.32 7.96 17.28 0.16 5.48 0.88 6.36 0.17 0.55 8.85 9.40 0.09 6.85 6.85 0.18 6.03 9.73 15.76 0.36 28.22 3.54 31.76 0.14 3.29 9.73 13.02 0.02 1.10 1.10 1.46 59.73 40.71 100.43
0.21 0.11 0.14 0.12 0.20 0.29 0.18 0.03 1.25
7.76 0.86 0.86 9.48 4.31 23.28 3.45 1.72 50
9.30 1.16 9.30 5.81 1.16 2.33 5.81 34.88
0.04 0.07 0.07 0.04
0.14 0.07 0.04 0.04 0.10 0.22 0.06 0.03 0.05 0.14 0.20
3.45 1.72 0.86 1.72 0.86 0.86 6.03 2.59 1.72 3.45 1.72 0.86 6.90
4.65 2.33 1.16 2.33 1.16 1.16 6.98 3.49 2.33 5.81 2.33 1.16 9.30
3.29 6.19 9.48 1.10 2.65 3.75 0.55 0.88 1.43 0.55 0.88 1.43 1.92 3.54 5.46 7.67 11.50 19.18 0.82 1.77 2.59 0.27 0.88 1.16 0.55 1.77 2.32 3.56 5.31 8.87 6.30 8.85 15.15
TIANG DR INP
KR
5.41 22.47 1.03 3.05 12.74 22.90 9.48 5.96 16.08 1.97 26.40 1.63 3.96 5.96 15.22 1.72 34.68 119.57
0.19 0.05 0.20 0.11 0.16 0.21 0.06 0.15 0.03 1.13
0.23 15.12 6.74 3.26 1.63 3.02 30 4.19 1.63 64.19
0.42 0.65 15.55 39.47 70.14 4.62 4.36 15.73 2.10 5.36 1.63 0.84 0.84 4.62 2.05 9.70 9.66 12.30 51.96 1.68 5.66 7.34 4.62 2.05 10.86 1.63 44.12 65.90 174.21
0.01 0.34 0.15 0.07 0.03 0.02 0.11 0.30 0.09 0.12 0.03 1.25
4.48 1.80 0.61 2.92 1.36 0.73 11.29 3.12 2.38 3.58 1.75 1.36 6.44
0.13 0.08 0.04 0.09 0.05 0.04 0.20 0.11 0.08 0.13 0.08 0.05 0.20
4.19 1.63 0.47 0.93 0.70 0.93 4.65 1.86 0.47 0.47 4.42 0.23 1.86 0.93
6.30 2.94 0.84 1.68 1.26 1.68 6.72 3.36 0.84 0.84 7.14 0.42 2.52 1.68
0.15 0.07 0.02 0.05 0.03 0.04 0.13 0.09 0.07 0.03 0.15 0.01 0.08 0.05
12.58 5.85 2.63 6.97 3.39 2.76 24.30 9.19 6.43 12.84 5.80 3.39 22.64
FR
POHON DR INP
H'
4.06 0.76 0.95 1.23 1.60 4.01 0.43 4.14 1.51 0.36
14.55 5.33 1.31 3.56 1.96 2.61 12.61 6.82 5.31 1.74 15.70 0.65 5.89 2.97
H'
120
No.
C
SEMAI KR FR INP Ubah 1.75 5.80 7.55 Uram Lagan Belantik Berangan 0.29 1.45 1.74 Besirih 1.46 1.45 2.91 Asam 3.80 3.80 Bangkirai 28.99 28.99 Bengkal Birung Boyu 51.46 51.46 Emang 0.58 0.58 Gandis 0.58 0.58 Kalam 0.58 0.58 Kapuak 52.05 52.05 Kemahas 52.05 52.05 Kendang 0.27 0.27 Kulim 0.02 1.45 1.47 Lanjau 0 0 Lengkeng 0.29 0.29 Manggris Segulang Tamang 1.45 1.45 Garu Buaya 1.45 1.45 Jumlah B 3.80 14.49 18.29 Sub Total (A+B) 99.42 98.55 197.97 KELOMPOK KAYU DILINDUNGI Ulin Tengkawang 0.58 1.45 2.03 Durian Burung Jelutung 0.58 1.45 2.03 Durian Durian Burung 0.29 0.29 Jenis
PANCANG H' KR FR INP 0.12 13.70 15.04 28.74 0.55 0.88 1.43 0.04 0.55 1.77 2.32 0.06 0.27 0.88 1.16 0.08 0.28 9.59 7.08 16.67 0.35 0.02 0.02 0.02 0.35 0.35 0.01 0.04 0 0.01 0.55 0.88 1.43 0.04 0.82 1.77 2.59 0.04 0.35 40.27 59.29 99.57 1.82 100 100 200
H' 0.28 0.04 0.05 0.03 0.21 0.04 0.06 1.36 2.61
KR 14.66 0.86 0.86 1.72 3.45 0.86 47.41 97.41
FR 17.44 1.16 1.16 1.16 4.65 1.16 61.63 96.51
0.05 0.05 0.01
0.06 0.03
0.86 1.72 0.86
1.16 0.61 2.33 1.75 -
0.82 1.10
1.77 -
2.59 1.10
TIANG DR INP 21.13 53.23 0.87 2.90 1.97 3.99 2.38 5.26 5.15 13.25 1.97 3.99 62.96 172 97.64 291.57 2.63 5.80 0.86
H' 0.31 0.04 0.06 0.07 0.14 0.06 1.59 2.71
KR 9.53 0.47 0.23 0.23 0.23 1.40 0.23 4.42 0.23 0.23 0.23 1.63 0.23 0.23 0.47 33.72 97.91
POHON FR DR INP H' 13.03 7.93 30.49 0.23 0.84 1.12 2.43 0.04 0.42 0.65 0.01 0.42 0.65 0.01 0.42 0.65 0.01 2.52 5.29 9.21 0.11 0.42 0.65 0.01 5.88 27.03 37.33 0.26 0.42 0.65 0.01 0.42 0.51 1.16 0.02 0.42 0.64 1.29 0.02 2.52 0.84 4.99 0.07 0.42 0.65 0.01 0.42 0.65 0.01 0.42 0.89 0.02 52.10 28.10 113.92 1.25 96.22 94 288.13 2.50
0.04 0.08 0.02
0.47 1.16 0.47 0.23 1.40 2.56
0.84 2.10 0.84 0.42 2.10 0.84
6 2.75 -
1.31 9.26 1.31 3.41 3.50 3.40
0.02 0.11 0.02 0.05 0.05 0.05
121
No.
Jenis Nyatoh Rambutan Kedondong Jumlah C TOTAL (A+B+C)
KR 0.58 52.05 52.05 0.58 100
Sumber : Data Primer Lapangan, 2007 (diolah)
SEMAI FR INP 1.45 2.03 52.05 52.05 1.45 2.03 100 200
PANCANG H' KR FR INP 0.05 2.19 1.77 3.96 0.35 70.68 0.88 71.57 0.35 70.68 70.68 0.05 1.86 100 100 200
H' 0.08 0.37 0.37 2.61
TIANG KR FR DR INP 3.45 1.16 0.87 5.48 74.14 74.14 74.14 74.14 2.59 3.49 2.36 8.43 100 100 100 300
H' 0.07 0.35 0.35 0.12 2.83
KR FR 6.51 4.20 70.23 0.42 70.23 2.09 3.78 100 100
POHON DR INP 3.61 14.32 70.65 70.23 6 11.87 100 300
H' 0.15 0.34 0.34 0.15 2.66
122
Lampiran 10. Rekapitulasi Jumlah Batang (N) dan Volume Rata-rata Per Hektar Menurut Jenis dan Kelas Diameter Pada Petak Petak 8 B, C, Y dan Z Hutan Bekas Tebangan (TPTJ) RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah
No. A
B
JENIS KAYU
PERMUDAAN Semai Pancang Tiang
N/Ha N/Ha KELOMPOK JENIS MERANTI Meranti Kuning 29.27 Meranti Merah 1,341.46 Meranti Putih 548.78 Keruing Resak 19.51 Bintangor 9.76 Resak 19.51 Mersawa Jumlah A 1,890.24 78.05 KELOMPOK RIMBA CAMPURAN Medang 29.27 Mahabai 9.76 Mayau Jabon 243.90 Cempedak Cempaka Kampili Karut 9.76 Kayu Bunga Kemayau 39.02 Kumpang 48.78 Garung Geronam Ombak -
20-29
30-39
40-49
KELAS DIAMETER 50-59 60 up
30 up
N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha
N/Ha
V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha
V/Ha
N/Ha
2.44 2.44 4.88
-
3.05 4.27 2.44 0.61 0.61 10.98
1.21 1.41 0.83 0.19 0.18 3.82
2.44 0.61 1.22 0.61 0.61 0.61 6.10
2.40 0.69 1.28 0.36 0.36 0.48 5.58
1.83 1.22 0.61 0.61 4.27
2.68 1.87 0.97 0.86 6.39
1.45 1.56 1.31 1.31 5.63
0.61 1.22 1.83
2.63 5.20 7.83
0.61 2.63 3.66 3.84 6.10 11.74 10.37 13.15 2.44 4.13 4.88 4.96 1.22 1.28 1.83 1.47 1.22 1.67 1.22 1.67 0.61 0.97 1.22 1.15 1.22 1.67 1.22 1.67 1.22 1.34 1.22 1.34 14.63 25.43 25.61 29.25
2.44 2.44 -
-
2.44 1.83 4.88 1.83 0.61 3.66 1.83 3.66 0.61
0.83 0.62 1.88 0.53 0.16 1.29 0.52 1.31 0.23
3.05 1.22 0.61 1.22 0.61 0.61 1.22 0.61 -
2.27 1.17 0.71 1.13 0.50 0.46 1.00 0.64 -
1.22 1.22 0.61 0.61 1.22 0.61 1.22 1.22 1.22 0.61 -
1.76 1.22 3.01 1.81 1.14 0.61 1.22 0.75 1.27 0.75 1.84 1.78 1.50 0.84 -
0.61 1.22 0.61 0.61
3.02 3.40 1.69 1.87
5.49 1.22 1.83 1.83 0.61 1.22 2.44 0.61 2.44 2.44 1.83 1.22 0.61
0.61 0.61 0.61 0.61 2.44
V/Ha
20 up
7.04 1.17 2.52 2.26 1.22 1.26 4.75 0.75 5.24 2.78 2.15 2.53 1.87
N/Ha
7.93 3.05 1.83 6.71 0.61 1.22 2.44 2.44 3.05 2.44 5.49 1.83 4.88 1.22
V/Ha
7.87 1.80 2.52 4.15 1.22 1.26 4.75 1.28 5.40 2.78 3.43 0.52 3.84 2.10
123
No.
JENIS KAYU
PERMUDAAN Semai Pancang Tiang
N/Ha N/Ha Menjalin 19.51 Plonduk 9.76 Sampak 365.85 29.27 Sempotir 29.27 Ubah 365.85 117.07 Uram Lagan 9.76 Belantik Benuang Berangan 60.98 Besirih 121.95 Bengkal 19.51 Birung Emang Gambir Kapuak Kelepu Tamang Udak 19.51 Lemping Garu Buaya Kasai Sinduk Pudu Jumlah B 1,158.54 390.24 Sub Total (A+B) 3,048.78 468.29 C KELOMPOK KAYU DILINDUNGI Ulin 19.51 Tengkawang 19.51
20-29
N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha 4.88 - 4.88 1.97 2.44 - 0.61 0.28 - 3.05 1.09 26.83 - 15.24 4.26 - 0.61 0.13 - 0.61 0.19 2.44 - 1.22 0.52 - 0.61 0.37 - 0.61 0.16 - 0.61 0.26 - 0.61 0.19 41.46 - 50.00 16.81 46.34 - 60.98 20.63 2.44
-
1.22 0.31
30-39 N/Ha 2.44 0.61 9.15 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 25.61 31.71 -
40-49
V/Ha N/Ha 1.68 0.53 0.61 0.61 7.10 4.27 0.61 0.68 0.61 0.61 0.49 0.61 0.47 0.61 0.36 0.78 0.52 21.13 17.68 26.70 21.95 -
0.61 -
KELAS DIAMETER 50-59 60 up
V/Ha 0.83 0.91 6.40 0.90 0.92 0.97 0.80 25.17 31.57
N/Ha V/Ha 0.61 1.22 2.44 5.20 4.88 10.66 7.32 16.29
0.54 1.22 3.00 -
30 up
N/Ha V/Ha N/Ha 3.05 1.22 0.61 1.83 5.12 17.68 0.61 0.61 0.61 0.61 1.22 0.61 0.61 0.61 0.61 2.27 0.61 0.61 0.61 5.49 17.37 53.66 7.32 25.20 68.29
V/Ha 2.91 1.36 0.91 23.82 0.61 0.68 0.90 0.92 1.47 0.47 0.80 0.36 2.27 0.78 0.52 74.33 99.76
3.05 1.22
12.97 4.47
9.44 4.47
4.88 1.22
20 up N/Ha V/Ha 7.93 4.88 1.83 1.64 3.66 2.00 32.93 28.08 0.61 0.61 0.61 0.68 0.61 0.90 1.22 1.06 1.22 1.47 0.61 0.19 0.61 0.47 1.22 0.52 0.61 0.80 1.22 0.73 0.61 2.27 0.61 0.16 0.61 0.78 0.61 0.26 0.61 0.19 0.61 0.52 103.66 91.14 129.27 120.39 4.88 2.44
12.97 4.78
124
No.
JENIS KAYU Durian Burung Jelutung Durian Durian Burung Nyatoh Rambutan Jumlah C TOTAL (A+B+C)
PERMUDAAN Semai Pancang Tiang
20-29
N/Ha N/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha 29.27 - 0.61 0.25 - 0.61 0.19 121.95 9.76 - 0.61 0.18 121.95 78.05 2.44 - 3.05 0.93 3,170.73 546.34 48.78 - 64.02 21.56
Sumber : Data Primer Lapangan, 2007 (diolah)
30-39 N/Ha 0.61 0.61 32.32
40-49
V/Ha N/Ha 0.61 0.42 0.61 0.42 1.83 27.13 23.78
KELAS DIAMETER 50-59 60 up
30 up
20 up
V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha 0.89 0.61 0.89 0.61 0.89 0.61 7.99 0.61 7.99 0.61 7.99 1.22 3.33 1.83 3.76 2.44 4.01 0.89 0.61 0.89 0.61 0.89 0.61 0.19 0.61 0.18 2.31 1.22 3.00 6.10 25.23 9.76 30.96 12.80 31.89 33.88 8.54 19.29 13.41 50.43 78.05 130.72 142.07 152.28
125
Lampiran 11. Analisis Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Permudaan dan Tingkat Pohon Petak 8 B, C, Y dan Z Hutan Bekas Tebangan (TPTJ) RKT 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan,
Provinsi Kalimantan Tengah No. A
B
Jenis
SEMAI FR INP
PANCANG FR INP
KR H' KR H' KR FR KELOMPOK JENIS MERANTI Meranti Kuning 5.36 2.78 8.13 0.13 Meranti Merah 42.31 29.41 71.72 0.37 5.00 4.35 Keruing 17.31 17.31 0.21 5.00 Merawan Keranji 2.78 2.78 0.06 Resak 3.57 2.78 6.35 0.11 Meranti Putih 11.76 11.76 0.17 4.35 Bintangor 1.79 2.78 4.56 0.09 Resak 3.57 2.78 6.35 0.11 Mersawa Jumlah A 59.62 41.18 100.79 0.75 14.29 13.89 28.17 0.49 10.00 8.70 KELOMPOK RIMBA CAMPURAN Medang 5.36 5.56 10.91 0.16 5.00 4.35 Mahabai 1.79 2.78 4.56 0.09 Mayau Jabon 7.69 5.88 13.57 0.18 Cempedak Cempaka Kampili Karut 1.79 2.78 4.56 0.09 4.35 Kayu Bunga Kemayau 7.14 5.56 12.70 0.18 Kumpang 8.93 8.33 17.26 0.21 Garung 5.00 4.35 Geronam -
TIANG DR INP
H'
KR
FR
POHON DR INP
H'
3.56 3.56
12.91 5.00 4.35 22.26
2.56 0.14 7.26 0.07 3.42 1.28 0.85 0.06 0.85 0.85 0.85 0.26 17.95
3.19 7.98 1.60 0.53 1.06 3.72 1.06 1.06 1.06 21.28
0.62 3.37 1.36 6.65 0.80 12.81
6.37 18.62 6.37 1.28 0.53 1.92 10.38 1.92 1.92 2.72 52.03
0.08 0.17 0.08 0.02 0.01 0.03 0.12 0.03 0.03 0.04 0.63
3.56 3.56 4.85 -
12.91 7.91 14.20 -
0.14 0.10 0.14 -
4.26 2.13 1.60 3.19 0.53 1.06 2.13 2.13 2.13 2.13 3.72 1.60 3.72
8.89 0.85 1.26 1.32 0.38 0.38 4.86 1.61 0.63 1.97
18.70 5.12 4.13 7.89 0.96 1.92 5.16 4.22 4.64 8.70 9.18 3.51 9.11
0.17 0.07 0.06 0.10 0.02 0.03 0.07 0.06 0.06 0.10 0.11 0.05 0.11
5.56 2.14 1.28 4.70 0.43 0.85 1.71 1.71 2.14 1.71 3.85 1.28 3.42
126
No.
C
SEMAI KR FR INP Ombak Menjalin Plonduk Sampak 11.54 17.65 29.19 Sempotir Ubah 11.54 17.65 29.19 Uram Lagan Belantik Benuang Berangan 1.92 5.88 7.81 Besirih 3.85 5.88 9.73 Bengkal Birung Emang Gambir Kapuak Kelepu Tamang Udak Lemping Garu Buaya Kasai Sinduk Pudu Jumlah B 36.54 52.94 89.48 Sub Total (A+B) 96.15 94.12 190.27 KELOMPOK KAYU DILINDUNGI Ulin Tengkawang Jenis
PANCANG H' KR FR INP H' 3.57 2.78 6.35 0.11 1.79 2.78 4.56 0.09 0.28 5.36 5.56 10.91 0.16 5.36 5.56 10.91 0.16 0.28 21.43 16.67 38.10 0.32 1.79 2.78 4.56 0.09 0.13 0.15 3.57 2.78 6.35 0.11 3.57 5.56 9.13 0.14 1.02 71.43 69.44 140.87 1.88 1.76 85.71 83.33 169.05 2.38 -
3.57 3.57
5.56 5.56
9.13 9.13
0.14 0.14
KR 10.00 5.00 55.00 5.00 85.00 95.00
FR 13.04 4.35 39.13 8.70 4.35 82.61 91.30
5.00
4.35
TIANG DR INP 7.84 30.88 7.15 16.50 49.94 144.07 10.51 24.21 4.85 9.20 92.26 259.87 95.82 282.12 -
9.35
POHON H' KR FR DR INP 0.85 1.06 0.53 2.45 0.23 5.56 6.38 0.89 12.82 0.16 1.28 1.60 2.88 2.56 3.19 2.36 8.11 0.35 23.08 13.83 29.57 66.47 0.43 0.53 0.96 0.43 0.53 0.96 0.43 0.53 0.96 0.85 1.06 1.97 3.89 0.85 1.06 1.52 3.44 0.43 0.53 0.96 0.43 0.53 0.96 0.20 0.85 1.06 0.66 2.58 0.43 0.53 0.96 0.85 1.06 0.62 2.53 0.11 0.43 0.53 3.32 4.27 0.43 0.53 0.38 1.34 0.43 0.53 0.96 0.43 0.53 0.96 0.43 0.53 0.96 0.43 0.53 0.96 1.43 72.65 67.02 63.95 203.62 1.70 90.60 88.30 76.75 255.65
H' 0.04 0.13 0.04 0.10 0.33 0.02 0.02 0.02 0.06 0.05 0.02 0.02 0.04 0.02 0.04 0.06 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 2.12 2.74
0.11
0.12 0.09
3.42 1.71
4.26 2.13
2.92 3.94
10.59 7.77
127
No.
Jenis Durian Burung Jelutung Kempas Durian Durian Burung Nyatoh Rambutan Jumlah C TOTAL (A+B+C)
SEMAI PANCANG KR FR INP H' KR FR INP 5.36 2.78 8.13 3.85 5.88 9.73 0.15 1.79 2.78 4.56 3.85 5.88 9.73 0.15 14.29 16.67 30.95 100.00 100.00 200.00 1.91 100.00100.00200.00
Sumber : Data Primer Lapangan, 2007 (diolah)
TIANG POHON H' KR FR DR INP H' KR FR DR INP 0.43 0.53 0.96 0.43 0.53 11.68 12.64 0.43 0.53 0.96 0.13 1.71 2.13 3.84 7.68 0.43 0.53 0.96 4.35 4.18 8.53 0.10 0.43 0.53 0.45 1.41 0.09 0.43 0.53 0.42 1.37 0.50 5.00 8.70 4.18 17.88 0.21 9.40 11.70 23.25 44.35 2.88 100.00 100.00100.00 300.00 1.91 100.00 100.00100.00 300.00
H' 0.02 0.13 0.02 0.09 0.02 0.03 0.02 0.55 3.29
128
Lampiran 12. Rekapitulasi Jumlah Batang (N) dan Volume Rata-rata Per Hektar Menurut Jenis dan Kelas Diameter Pada Petak 9P dan 9T Bekas Tebangan (TPTI) Tahunan RKT 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah PERMUDAAN No. A
B
JENIS KAYU
Semai Pancang
N/Ha N/Ha KELOMPOK JENIS MERANTI Meranti Kuning Meranti Merah 464.29 40.00 Meranti Putih 20.00 Keruing Merawan 71.43 Resak 4.00 Jumlah A 535.71 64.00 KELOMPOK RIMBA CAMPURAN Medang 12.00 Mahabai 16.00 Mayau Jabon 12.00 Cempaka 4.00 Kampili 12.00 Karut Kayu Bunga Kemayau 71.43 20.00 Kumpang 36.00 Garung 12.00 Geronam 8.00 Petai 8.00 Ombak Merpayang 4.00 Mentapik -
KELAS DIAMETER
Tiang
20-29
30-39
40-49
50-59
60 up
30 up
20 up
N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha
V/Ha
N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha
V/Ha
N/Ha
V/Ha
N/Ha
V/Ha
0.63 8.23 0.63 9.49
-
5.00 1.53 0.29 0.16 5.29 1.69
0.29 1.18 0.29 1.76
0.31 0.85 0.20 1.36
0.59 0.59
0.97 0.97
0.29 0.70 0.59 0.29 0.69 0.59 1.38 0.59
2.59 2.59
0.29 2.65 0.29 0.29 3.53
0.31 5.11 0.20 0.69 6.31
0.29 7.65 0.29 0.29 0.29 8.82
0.31 6.64 0.20 0.69 0.16 8.00
1.27 1.27 1.27 0.63 0.63 3.16 3.16 1.27 -
-
3.24 5.29 0.88 3.24 1.47 0.29 0.59 1.47 0.59 0.59 0.29
2.06 0.59 3.53 0.29 0.59 0.88 0.88 0.88 0.29 -
1.52 0.43 2.54 0.31 0.46 0.66 0.53 0.81 0.15 -
1.18 0.88 1.18 0.29 0.29 0.29 0.88 -
1.74 1.27 1.72 0.62 0.46 0.36 1.15 -
0.59 0.29 0.29 0.29 -
0.82 4.11 0.87 -
4.12 1.76 4.71 1.18 0.29 0.29 0.29 1.18 1.18 0.88 1.76 0.29 -
5.47 2.29 4.26 4.73 0.31 0.46 0.87 1.49 1.23 0.53 1.96 0.15 -
7.35 7.06 0.88 7.94 1.18 1.76 0.59 0.29 1.76 2.65 1.47 2.35 0.29 0.29
6.71 4.03 0.32 5.43 4.73 0.85 0.62 0.87 1.71 1.74 0.68 2.22 0.15 0.12
1.24 1.74 0.32 1.17 0.54 0.16 0.23 0.51 0.15 0.26 0.12
1.40 0.59 0.66 0.57 -
0.29 0.88 0.29 -
129
PERMUDAAN No.
JENIS KAYU Menjalin Plonduk Ponsi Sampak Sempotir Sengon Ubah Uram Lagan Manyam Sengkuang Sumpit Belantik Benuang Berangan Besirih Asam Bayur Belatung Bengkal Birung Gambir Kapuak Kulim Manggris Mulan Prunsut Riga Segulang
Semai Pancang N/Ha 928.57 71.43 607.14 71.43 71.43 -
Tiang
KELAS DIAMETER 20-29
N/Ha N/Ha V/Ha N/Ha 12.00 1.27 24.00 0.63 1.47 56.00 1.27 2.06 20.00 1.27 8.00 108.00 9.49 7.06 20.00 0.63 0.29 4.00 1.27 0.29 0.63 4.00 0.63 0.59 8.00 0.63 0.29 0.63 0.88 1.27 0.59 4.00 1.27 0.59 20.00 0.63 0.29 4.00 0.63 4.00 0.29 1.18 0.63 -
30-39
V/Ha N/Ha 0.46 0.83 0.88 0.59 2.09 5.88 0.06 0.08 0.19 0.59 0.29 0.11 0.29 0.26 0.29 0.17 1.18 0.24 1.18 0.15 0.09 0.59 0.33 0.29
V/Ha 0.66 0.60 4.35 0.48 0.26 0.19 0.17 0.71 0.85 0.49 0.21
40-49 N/Ha 0.29 0.29 0.59 2.94 0.59 0.29 0.29 0.29 0.29 0.29 0.29 0.29 -
V/Ha 0.41 0.44 0.74 4.28 0.78 0.24 0.39 0.46 0.39 0.40 0.45 0.24 -
50-59 N/Ha 0.29 0.29 1.47 0.29 0.29 -
V/Ha 0.57 0.59 3.03 0.61 0.75 -
60 up N/Ha 0.29 0.29 0.29 0.29 -
30 up
20 up
V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha 0.59 0.97 0.59 0.97 0.29 0.44 1.76 0.90 1.76 1.98 3.82 2.82 0.59 0.60 0.59 0.60 1.64 10.59 13.29 17.65 15.38 0.29 0.06 0.29 0.08 1.18 1.26 1.76 1.45 0.29 0.26 0.29 0.26 0.29 0.19 0.59 0.30 0.29 0.17 1.18 0.44 0.82 1.76 1.76 2.35 1.93 0.59 1.00 0.59 1.00 1.47 1.31 2.06 1.54 0.29 0.39 0.59 0.54 0.29 0.40 0.29 0.40 0.88 1.25 1.18 1.33 1.83 0.29 1.83 0.29 1.83 0.29 0.45 0.29 0.45 0.29 0.24 1.47 0.57 1.46 0.29 1.46 0.29 1.46 0.29 0.21 0.29 0.21
130
PERMUDAAN No.
JENIS KAYU Tamang Dadak Lemping Kasai Jumlah B Sub Total (A+B)
Semai Pancang
20-29
30-39
40-49
50-59
60 up
30 up
20 up
N/Ha N/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha 8.00 12.00 0.63 0.29 0.09 0.29 0.14 0.29 1,821.43 460.00 36.08 - 34.41 11.72 22.35
V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha V/Ha N/Ha 0.29 0.22 0.29 0.22 0.59 16.60 11.76 16.53 4.12 8.76 2.65 11.53 40.88 53.42 75.29
V/Ha 0.09 0.36 65.14
2,357.14 524.00 45.57
-
39.71 13.42 24.12
17.96 12.35 17.50 4.71 10.14 3.24 14.12 44.41 59.73 84.12
73.15
1.27 1.27
-
0.29 0.29 0.29 0.88
0.33 0.21 0.51 1.05
0.59 0.88 1.18 2.65
0.41 0.77 0.88 2.05
2,357.14 556.00 46.84
-
40.59 13.72 25.29
19.01 12.94 18.20 4.71 10.14 3.24 14.12 46.18 61.47 86.76
75.20
C KELOMPOK KAYU DILINDUNGI Ulin Tengkawang Nyatoh Rambutan Jumlah C TOTAL (A+B+C)
KELAS DIAMETER
Tiang
Sumber : Data Primer Lapangan, 2007 (diolah)
4.00 28.00 32.00
0.08 0.12 0.11 0.30
0.29 0.29 0.59 1.18
0.29 0.29 0.59
0.44 0.26 0.70
-
-
-
-
0.29 0.59 0.88 1.76
0.33 0.65 0.77 1.75
131
Lampiran 13. Analisis Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Permudaan dan Tingkat Pohon Petak 9P dan 9T Bekas Tebangan Tahunan RKT 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah No.
Jenis
KR
A KELOMPOK JENIS MERANTI Meranti Kuning Meranti Merah 19.70 Meranti Putih Keruing Merawan 3.03 Geronggang Resak Jumlah A 22.73 B KELOMPOK RIMBA CAMPURAN Medang Mahabai Mayau Jabon Cempaka Kampili Karut Kayu Bunga Kemayau 3.03 Kumpang Garung Geronam Petai Ombak Merpayang Mentapik Menjalin Plonduk -
SEMAI FR INP
H'
KR
PANCANG FR INP
H'
KR
FR
TIANG DR
INP
H'
KR
FR
POHON DR
12.06 31.76 0.29 13.60 16.63 0.21 25.66 48.39 0.50
7.19 3.60 0.72 11.51
2.71 9.91 3.22 6.81 3.32 4.04 9.25 20.76
1.35 3.24 4.59 0.06 0.34 2.06 0.15 17.57 4.59 23.48 45.64 0.29 8.81 0.79 0.74 0.12 1.35 3.24 2.93 7.53 0.09 0.34 2.10 0.34 2.06 2.10 0.08 0.34 2.06 0.34 20.27 11.08 26.41 57.76 0.44 10.17 11.16 0.74
13.60 16.63 0.21 -
2.16 2.88 2.16 0.72 2.16 3.60 6.47 2.16 1.44 1.44 0.72 2.16 4.32
3.12 3.12 3.22 3.32 3.22 3.02 2.81 3.22 3.32 3.32 3.32 3.22 3.12
0.10 0.11 0.10 0.08 0.10 0.11 0.14 0.10 0.09 0.09 0.08 0.10 0.12
5.27 5.99 5.37 4.04 5.37 6.61 9.29 5.37 4.76 4.76 4.04 5.37 7.43
2.70 2.70 2.70 1.35 1.35 6.76 6.76 2.70 2.70 1.35
3.38 3.51 3.38 3.24 3.24 3.78 3.78 3.38 3.38 3.24
1.10 5.89 2.93 2.93 3.27 2.93 2.40 2.93 -
7.18 12.10 9.02 7.53 7.86 13.48 12.94 6.08 9.02 4.59
0.09 0.13 0.11 0.09 0.10 0.14 0.14 0.08 0.11 0.06
8.47 8.14 1.02 9.15 1.36 2.03 0.68 0.34 2.03 3.05 1.69 2.71 0.34 0.34 0.68 -
INP
H'
2.40 10.34 2.44 2.40 2.10 2.40 22.08
0.04 0.12 0.04 0.04 0.03 0.04 0.31
1.01 7.19 16.67 0.16 1.27 12.41 21.81 0.19 2.01 3.03 0.05 1.40 3.79 14.34 0.15 1.93 10.10 13.39 0.14 1.84 3.87 0.06 2.06 2.74 0.04 2.10 3.03 5.47 0.07 1.84 0.57 4.44 0.06 1.66 4.71 0.07 1.80 3.49 0.05 1.84 2.14 6.69 0.08 2.10 2.10 0.03 2.06 2.40 0.04 2.01 2.35 0.04 1.93 2.60 0.04 -
132
No.
Jenis Ponsi Sampak Sempotir Sengon Ubah Uram Lagan Manyam Sengkuang Sumpit Belantik Benuang Berangan Besirih Asam Bayur Belatung Bengkal Birung Gambir Kapuak Kulim Manggris Mulan Prunsut Riga Segulang Tamang Dadak Lemping Kasai Jumlah B Sub Total (A+B)
SEMAI KR FR INP 39.39 8.99 48.39 3.03 13.60 16.63 25.76 10.96 36.72 3.03 13.60 16.63 3.03 13.60 16.63 77.27 74.34 151.61 100.00 100.00 200.00
H' 0.34 0.21 0.31 0.21 0.21 1.48 1.98
PANCANG KR FR INP 10.07 2.61 12.69 3.60 3.12 6.71 1.44 3.32 4.76 19.42 1.81 21.23 3.60 3.02 6.61 0.72 3.32 4.04 0.72 3.32 4.04 1.44 3.32 4.76 0.72 3.32 4.04 3.60 3.12 6.71 0.72 3.32 4.04 0.72 3.32 4.04 1.44 3.22 4.65 2.16 3.12 5.27 82.73 84.52 167.26 94.24 93.77 188.01
TIANG H' KR FR DR INP 0.17 2.70 3.38 5.87 11.95 0.11 2.70 3.38 5.25 11.33 0.09 0.24 20.27 5.14 8.69 34.09 0.11 1.35 3.24 2.93 7.53 0.08 2.70 3.38 4.47 10.55 1.35 3.24 4.59 0.08 1.35 3.24 4.59 0.09 1.35 3.24 4.59 1.35 3.24 4.59 2.70 3.38 5.04 11.13 0.08 2.70 3.38 4.80 10.88 0.11 1.35 3.24 1.30 5.90 0.08 1.35 3.24 2.04 6.63 0.08 1.35 3.24 4.59 0.09 0.10 1.35 3.24 2.93 7.53 2.81 77.03 85.54 67.72 230.29 3.15 97.30 96.62 94.13 288.05
H' 0.13 0.12 0.25 0.09 0.12 0.06 0.06 0.06 0.06 0.12 0.12 0.08 0.08 0.06 0.09 2.56 3.00
POHON KR FR DR INP H' 2.03 1.93 3.96 0.06 4.41 1.53 6.92 12.86 0.14 2.10 2.10 0.03 0.68 2.01 2.69 0.04 20.34 (0.22) 24.50 44.62 0.28 0.34 2.10 2.44 0.04 0.34 2.06 2.40 0.04 2.03 1.88 0.76 4.67 0.06 0.34 2.06 2.40 0.04 0.68 1.93 2.60 0.04 1.36 1.97 0.76 4.08 0.06 2.71 1.93 8.89 13.52 0.14 0.68 2.06 3.62 6.35 0.08 2.37 1.88 2.42 6.68 0.08 0.68 2.06 2.74 0.04 0.34 2.10 1.48 3.92 0.06 1.36 2.01 3.37 0.05 0.34 2.10 2.44 0.04 0.34 2.10 2.44 0.04 1.69 1.93 1.18 4.81 0.07 0.34 2.10 4.73 7.17 0.09 0.34 2.10 2.44 0.04 0.34 2.10 2.44 0.04 0.68 2.06 1.99 4.72 0.07 86.78 74.74 96.46 257.98 2.94 96.95 85.90 97.20 280.05 3.24
133
No. C
SEMAI PANCANG KR FR INP H' KR FR INP KELOMPOK KAYU DILINDUNGI Ulin Tengkawang Nyatoh 0.72 3.32 4.04 Rambutan 5.04 2.91 7.95 Jumlah C 5.76 6.23 11.99 TOTAL (A+B+C) 100.00 100.00 200.00 1.98 100.00 100.00 200.00 Jenis
Sumber : Data Primer Lapangan, 2007 (diolah)
H'
KR
FR
TIANG DR
INP
H'
KR
FR
POHON DR
2.06 0.68 2.01 1.21 0.08 1.02 1.97 0.97 0.13 2.70 3.38 5.87 11.95 0.13 1.36 1.93 0.61 0.21 2.70 3.38 5.87 11.95 0.13 3.05 14.10 2.80 3.36 100.00 100.00 100.00 300.00 3.13 100.00 100.00 100.00
INP
H'
2.06 3.91 3.96 3.90 19.95 300.00
0.03 0.06 0.06 0.06 0.31 3.55
133
EQUATIONS EXISTING CONDITION init
Pancang = Luas_RKT*546.34
flow
Pancang = -dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Pancang +dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Pancang = jumlah pancang
unit
Pancang = pancang per hektar
init
Pendapatan_PT_SBK_ = 146431200000
flow
Pendapatan_PT_SBK_ = +dt*Laju_Pendapatan
doc
Pendapatan_PT_SBK_ = jumlah uang hasil penjualan untuk 1 RKT
init
POHON = Luas_RKT*142.07
flow
POHON = +dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang -dt*Laju_Penebangan_Liar -dt*Laju_Penebangan_Pohon
doc
POHON = jumlah pohon
unit
POHON = pohon per hektar
init
Semai = Luas_RKT*3170.73
flow
Semai = +dt*Laju_Pertumbuhan_Anakan -dt*Laju_Kematian_Semai -dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Semai = jumlah semai
unit
Semai = semai per hektar
init
Tiang = Luas_RKT*48.78
flow
Tiang = +dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Tiang -dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang
doc
Tiang = jumlah tiang
unit
Tiang = tiang per hektar
init
Volume_Log = 2.33
flow
Volume_Log = +dt*Laju_Penambahan_Vol_Log -dt*Seleksi_Log
134 doc
Volume_Log = Kubikasi RKT 2006
unit
Volume_Log = meter kubik per RKT
aux
Laju_Kematian_Pancang= (Fraksi_Kematian_Pancang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Pancang
aux
Laju_Kematian_Semai= (Fraksi_Kematian_Semai+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Semai
aux
Laju_Kematian_Tiang= (Fraksi_Kematian_Tiang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Tiang
aux
Laju_Penambahan_Vol_Log = Laju_Penebangan_Pohon*Fraksi_Volume_Log
aux
Laju_Pendapatan = Penghasilan_PT_SBK
aux
Laju_Penebangan_Liar = POHON*Fraksi_Penebangan_Liar
aux
Laju_Penebangan_Pohon 2031, 25)
aux
Laju_Pertumbuhan_Anakan= ((Total_Biji_tiap_RKT*Angka_Persemaian_Alami)*Faktor_Unsur_Hara_akibat_ Erosi)*Constant_28
unit
Laju_Pertumbuhan_Anakan = anakan per tahun
aux
Laju_Pertumbuhan_Pancang = Pancang*Fraksi_Pertumbuhan_Pancang
aux
Laju_Pertumbuhan_Semai = Semai*Fraksi_Pertumbuhan_Semai
aux
Laju_Pertumbuhan_Tiang = Tiang*Fraksi_Pertumbuhan_Tiang
aux
Seleksi_Log = Volume_Log*Fraksi_Seleksi_Log
aux
Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon=
=
PULSE
(Fraksi_Penebangan_Pohon*POHON,
GRAPH(Laju_Penebangan_Pohon,10000,10000,[0.001,0.029,0.047,0.061,0.07 2,0.08,0.087,0.092,0.096,0.099,0.1"Min:0;Max:0.1;Zoom"]) aux
Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan= GRAPH(Laju_Penebangan_Liar+Laju_Penebangan_Pohon,50000,100000,[0.00 09,0.0037,0.0072,0.0125,0.0197,0.0327,0.0401,0.0452,0.048,0.0493,0.05"Min: 0;Max:0.05;Zoom"])
aux
Faktor_Unsur_Hara_akibat_Erosi= GRAPH(Laju_Erosi,0,286,[1,0.84,0.78,0.71,0.56,0.4,0.19,0.1,0.05,0.03,0.03"Mi n:0;Max:1;Zoom"])
135 aux
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = Semai+Pancang+Tiang+POHON
unit
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = vegetasi per hektar
aux
Laju_Erosi= Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon*Nilai_K*Nilai_L*Nilai_R*Nilai_S
aux
Laju_Kematian_Primata= (Laju_Penebangan_Pohon/Jmlh_Pohon_Min)*kematian_primata
aux
Penghasilan_PT_SBK = Biaya_Produksi_per_m3)
aux
Total_Biji_tiap_RKT = Produksi_Biji_per_Pohon*POHON
unit
Total_Biji_tiap_RKT = biji per tahun
Laju_Penambahan_Vol_Log*(Harga_Log_per_m3-
const Angka_Persemaian_Alami = 0.03 unit
Angka_Persemaian_Alami = tak bersatuan
const Biaya_Produksi_per_m3 = 1100000 const Constant_28 = 1 const Fraksi_Kematian_Pancang = 78.24% const Fraksi_Kematian_Semai = 95.47% const Fraksi_Kematian_Tiang = 69.31% const Fraksi_Penebangan_Liar = 0% const Fraksi_Penebangan_Pohon = 25.27% doc
Fraksi_Penebangan_Pohon = penebangan
const Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = 17.23% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = pancang yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Semai = 4.53% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Semai = semai yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = 8.93% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = rat-rata jumlah tiang yang tumbuh
const Fraksi_Seleksi_Log = 90% doc
Fraksi_Seleksi_Log = Hasil Seleksi Log (Log Grade)
unit
Fraksi_Seleksi_Log = log per RKT
const Fraksi_Volume_Log = 10% doc
Fraksi_Volume_Log = Grade Log
unit
Fraksi_Volume_Log = meter kubik
136 const Harga_Log_per_m3 = 1200000 doc
Harga_Log_per_m3 = harga log per kubik
unit
Harga_Log_per_m3 = Rupiah per meter
const Jmlh_Pohon_Min = 677.286 doc
Jmlh_Pohon_Min = jumlah pohon per ha
unit
Jmlh_Pohon_Min = pohon per ha
const kematian_primata = 80% doc
kematian_primata = kematian primata
unit
kematian_primata = persen
const Luas_RKT = 5237 unit
Luas_RKT = hektar
const Nilai_K = 0.352 doc
Nilai_K = Nilai K (Erodibilitas tanah)
const Nilai_L = 94.77 doc
Nilai_L = Nilai L (Panjang lereng)
const Nilai_R = 368.854 doc
Nilai_R = Nilai R (erosivitas hujan)
const Nilai_S = 15% doc
Nilai_S = Nilai S (kemiringan lereng)
const Produksi_Biji_per_Pohon = 400 unit
Produksi_Biji_per_Pohon = biji per pohon per tahun
spec
start = 2006.00000
spec
stop = 2160.00000
spec
dt = 1.00000
spec
method = Euler (fixed step)
137
EQUATIONS SKENARIO 1
init
Pancang = Luas_RKT*546.34
flow
Pancang = -dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Pancang +dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Pancang = jumlah pancang
unit
Pancang = pancang per hektar
init
Pendapatan_PT_SBK_ = 146431200000
flow
Pendapatan_PT_SBK_ = +dt*Laju_Pendapatan
doc
Pendapatan_PT_SBK_ = jumlah uang hasil penjualan untuk 1 RKT
init
POHON = Luas_RKT*142.07
flow
POHON = +dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang -dt*Laju_Penebangan_Liar -dt*Laju_Penebangan_Pohon
doc
POHON = jumlah pohon
unit
POHON = pohon per hektar
init
Semai = Luas_RKT*3170.73
flow
Semai = +dt*Laju_Pertumbuhan_Anakan -dt*Laju_Kematian_Semai -dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Semai = jumlah semai
unit
Semai = semai per hektar
init
Tiang = Luas_RKT*48.78
flow
Tiang = +dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Tiang -dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang
doc
Tiang = jumlah tiang
unit
Tiang = tiang per hektar
init
Volume_Log = 2.33
flow
Volume_Log = +dt*Laju_Penambahan_Vol_Log -dt*Seleksi_Log
138 doc
Volume_Log = Kubikasi RKT 2006
unit
Volume_Log = meter kubik per RKT
aux
Laju_Kematian_Pancang= (Fraksi_Kematian_Pancang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Pancang
aux
Laju_Kematian_Semai= (Fraksi_Kematian_Semai+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)*Se mai
aux
Laju_Kematian_Tiang= (Fraksi_Kematian_Tiang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Tiang
aux
Laju_Penambahan_Vol_Log = Laju_Penebangan_Pohon*Fraksi_Volume_Log
aux
Laju_Pendapatan = Penghasilan_PT_SBK
aux
Laju_Penebangan_Liar = POHON*Fraksi_Penebangan_Liar
aux
Laju_Penebangan_Pohon 2031, 25)
aux
Laju_Pertumbuhan_Anakan= ((Total_Biji_tiap_RKT*Angka_Persemaian_Alami)*Faktor_Unsur_Hara_akibat_ Erosi)*Constant_28
unit
Laju_Pertumbuhan_Anakan = anakan per tahun
aux
Laju_Pertumbuhan_Pancang = Pancang*Fraksi_Pertumbuhan_Pancang
aux
Laju_Pertumbuhan_Semai = Semai*Fraksi_Pertumbuhan_Semai
aux
Laju_Pertumbuhan_Tiang = Tiang*Fraksi_Pertumbuhan_Tiang
aux
Seleksi_Log = Volume_Log*Fraksi_Seleksi_Log
aux
Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon=
=
PULSE
(Fraksi_Penebangan_Pohon*POHON,
GRAPH(Laju_Penebangan_Pohon,10000,10000,[0.001,0.029,0.047,0.061,0.07 2,0.08,0.087,0.092,0.096,0.099,0.1"Min:0;Max:0.1;Zoom"]) aux
Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan = GRAPH(Laju_Penebangan_Liar+Laju_Penebangan_Pohon,50000,100000,[0.00 09,0.0037,0.0072,0.0125,0.0197,0.0327,0.0401,0.0452,0.048,0.0493,0.05"Min: 0;Max:0.05;Zoom"])
aux
Faktor_Unsur_Hara_akibat_Erosi = GRAPH(Laju_Erosi,0,286,[1,0.84,0.78,0.71,0.56,0.4,0.19,0.1,0.05,0.03,0.03"Mi n:0;Max:1;Zoom"])
139 aux
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = Semai+Pancang+Tiang+POHON
unit
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = vegetasi per hektar
aux
Laju_Erosi= Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon*Nilai_K*Nilai_L*Nilai_R*Nilai_S
aux
Laju_Kematian_Primata= (Laju_Penebangan_Pohon/Jmlh_Pohon_Min)*kematian_primata
aux
Penghasilan_PT_SBK = Biaya_Produksi_per_m3)
aux
Total_Biji_tiap_RKT = Produksi_Biji_per_Pohon*POHON
unit
Total_Biji_tiap_RKT = biji per tahun
Laju_Penambahan_Vol_Log*(Harga_Log_per_m3-
const Angka_Persemaian_Alami = 0.03 unit
Angka_Persemaian_Alami = tak bersatuan
const Biaya_Produksi_per_m3 = 1100000 const Constant_28 = 1 const Fraksi_Kematian_Pancang = 78.24% const Fraksi_Kematian_Semai = 93.47% const Fraksi_Kematian_Tiang = 69.31% const Fraksi_Penebangan_Liar = 0% const Fraksi_Penebangan_Pohon = 27% doc
Fraksi_Penebangan_Pohon = penebangan
const Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = 17.23% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = pancang yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Semai = 6.53% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Semai = semai yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = 8.93% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = rat-rata jumlah tiang yang tumbuh
const Fraksi_Seleksi_Log = 90% doc
Fraksi_Seleksi_Log = Hasil Seleksi Log (Log Grade)
unit
Fraksi_Seleksi_Log = log per RKT
const Fraksi_Volume_Log = 10% doc
Fraksi_Volume_Log = Grade Log
unit
Fraksi_Volume_Log = meter kubik
140 const Harga_Log_per_m3 = 1200000 doc
Harga_Log_per_m3 = harga log per kubik
unit
Harga_Log_per_m3 = Rupiah per meter
const Jmlh_Pohon_Min = 677.286 doc
Jmlh_Pohon_Min = jumlah pohon per ha
unit
Jmlh_Pohon_Min = pohon per ha
const kematian_primata = 40% doc
kematian_primata = kematian primata
unit
kematian_primata = persen
const Luas_RKT = 5237 unit
Luas_RKT = hektar
const Nilai_K = 0.278 doc
Nilai_K = Nilai K (Erodibilitas tanah)
const Nilai_L = 70 doc
Nilai_L = Nilai L (Panjang lereng)
const Nilai_R = 378 doc
Nilai_R = Nilai R (erosivitas hujan)
const Nilai_S = 17% doc
Nilai_S = Nilai S (kemiringan lereng)
const Produksi_Biji_per_Pohon = 400 unit
Produksi_Biji_per_Pohon = biji per pohon per tahun
spec
start = 2006.00000
spec
stop = 2160.00000
spec
dt = 1.00000
spec
method = Euler (fixed step)
141
EQUATIONS SKENARIO 2
init
Pancang = Luas_RKT*546.34
flow
Pancang = -dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Pancang +dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Pancang = jumlah pancang
unit
Pancang = pancang per hektar
init
Pendapatan_PT_SBK_ = 146431200000
flow
Pendapatan_PT_SBK_ = +dt*Laju_Pendapatan
doc
Pendapatan_PT_SBK_ = jumlah uang hasil penjualan untuk 1 RKT
init
POHON = Luas_RKT*142.07
flow
POHON = +dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang -dt*Laju_Penebangan_Liar -dt*Laju_Penebangan_Pohon
doc
POHON = jumlah pohon
unit
POHON = pohon per hektar
init
Semai = Luas_RKT*3170.73
flow
Semai = +dt*Laju_Pertumbuhan_Anakan -dt*Laju_Kematian_Semai -dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Semai = jumlah semai
unit
Semai = semai per hektar
init
Tiang = Luas_RKT*48.78
flow
Tiang = +dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Tiang -dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang
doc
Tiang = jumlah tiang
unit
Tiang = tiang per hektar
init
Volume_Log = 2.33
flow
Volume_Log = +dt*Laju_Penambahan_Vol_Log -dt*Seleksi_Log
142 doc
Volume_Log = Kubikasi RKT 2006
unit
Volume_Log = meter kubik per RKT
aux
Laju_Kematian_Pancang= (Fraksi_Kematian_Pancang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Pancang
aux
Laju_Kematian_Semai= (Fraksi_Kematian_Semai+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Semai
aux
Laju_Kematian_Tiang= (Fraksi_Kematian_Tiang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Tiang
aux
Laju_Penambahan_Vol_Log = Laju_Penebangan_Pohon*Fraksi_Volume_Log
aux
Laju_Pendapatan = Penghasilan_PT_SBK
aux
Laju_Penebangan_Liar = POHON*Fraksi_Penebangan_Liar
aux
Laju_Penebangan_Pohon 2031, 25)
aux
Laju_Pertumbuhan_Anakan= ((Total_Biji_tiap_RKT*Angka_Persemaian_Alami)*Faktor_Unsur_Hara_akibat_ Erosi)*Constant_28
unit
Laju_Pertumbuhan_Anakan = anakan per tahun
aux
Laju_Pertumbuhan_Pancang = Pancang*Fraksi_Pertumbuhan_Pancang
aux
Laju_Pertumbuhan_Semai = Semai*Fraksi_Pertumbuhan_Semai
aux
Laju_Pertumbuhan_Tiang = Tiang*Fraksi_Pertumbuhan_Tiang
aux
Seleksi_Log = Volume_Log*Fraksi_Seleksi_Log
aux
Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon=
=
PULSE
(Fraksi_Penebangan_Pohon*POHON,
GRAPH(Laju_Penebangan_Pohon,10000,10000,[0.001,0.029,0.047,0.061,0.07 2,0.08,0.087,0.092,0.096,0.099,0.1"Min:0;Max:0.1;Zoom"]) aux
Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan= GRAPH(Laju_Penebangan_Liar+Laju_Penebangan_Pohon,50000,100000,[0.00 09,0.0037,0.0072,0.0125,0.0197,0.0327,0.0401,0.0452,0.048,0.0493,0.05"Min: 0;Max:0.05;Zoom"])
aux
Faktor_Unsur_Hara_akibat_Erosi= GRAPH(Laju_Erosi,0,286,[1,0.84,0.78,0.71,0.56,0.4,0.19,0.1,0.05,0.03,0.03"Mi n:0;Max:1;Zoom"])
143 aux
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = Semai+Pancang+Tiang+POHON
unit
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = vegetasi per hektar
aux
Laju_Erosi= Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon*Nilai_K*Nilai_L*Nilai_R*Nilai_S*5
aux
Laju_Kematian_Primata= (Laju_Penebangan_Pohon/Jmlh_Pohon_Min)*kematian_primata
aux
Penghasilan_PT_SBK = Biaya_Produksi_per_m3)
aux
Total_Biji_tiap_RKT = Produksi_Biji_per_Pohon*POHON
unit
Total_Biji_tiap_RKT = biji per tahun
Laju_Penambahan_Vol_Log*(Harga_Log_per_m3-
const Angka_Persemaian_Alami = 0.03 unit
Angka_Persemaian_Alami = tak bersatuan
const Biaya_Produksi_per_m3 = 1100000 const Constant_28 = 1 const Fraksi_Kematian_Pancang = 78.24% const Fraksi_Kematian_Semai = 94.47% const Fraksi_Kematian_Tiang = 69.31% const Fraksi_Penebangan_Liar = 0% const Fraksi_Penebangan_Pohon = 20% doc
Fraksi_Penebangan_Pohon = penebangan
const Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = 17.23% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = pancang yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Semai = 5.53% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Semai = semai yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = 8.93% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = rat-rata jumlah tiang yang tumbuh
const Fraksi_Seleksi_Log = 90% doc
Fraksi_Seleksi_Log = Hasil Seleksi Log (Log Grade)
unit
Fraksi_Seleksi_Log = log per RKT
const Fraksi_Volume_Log = 10% doc
Fraksi_Volume_Log = Grade Log
unit
Fraksi_Volume_Log = meter kubik
144 const Harga_Log_per_m3 = 1200000 doc
Harga_Log_per_m3 = harga log per kubik
unit
Harga_Log_per_m3 = Rupiah per meter
const Jmlh_Pohon_Min = 677.286 doc
Jmlh_Pohon_Min = jumlah pohon per ha
unit
Jmlh_Pohon_Min = pohon per ha
const kematian_primata = 80% doc
kematian_primata = kematian primata
unit
kematian_primata = persen
const Luas_RKT = 5237 unit
Luas_RKT = hektar
const Nilai_K = 0.278 doc
Nilai_K = Nilai K (Erodibilitas tanah)
const Nilai_L = 15 doc
Nilai_L = Nilai L (Panjang lereng)
const Nilai_R = 368 doc
Nilai_R = Nilai R (erosivitas hujan)
const Nilai_S = 16% doc
Nilai_S = Nilai S (kemiringan lereng)
const Produksi_Biji_per_Pohon = 400 unit
Produksi_Biji_per_Pohon = biji per pohon per tahun
spec
start = 2006.00000
spec
stop = 2160.00000
spec
dt = 1.00000
spec
method = Euler (fixed step)
145
EQUATIONS SKENARIO 3
init
Pancang = Luas_RKT*546.34
flow
Pancang = -dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Pancang +dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Pancang = jumlah pancang
unit
Pancang = pancang per hektar
init
Pendapatan_PT_SBK_ = 146431200000
flow
Pendapatan_PT_SBK_ = +dt*Laju_Pendapatan
doc
Pendapatan_PT_SBK_ = jumlah uang hasil penjualan
init
POHON = Luas_RKT*142.07
flow
POHON = +dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang -dt*Laju_Penebangan_Liar -dt*Laju_Penebangan_Pohon
doc
POHON = jumlah pohon
unit
POHON = pohon per hektar
init
Semai = Luas_RKT*3170.73
flow
Semai = +dt*Laju_Pertumbuhan_Anakan -dt*Laju_Kematian_Semai -dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Semai = jumlah semai
unit
Semai = semai per hektar
init
Tiang = Luas_RKT*48.78
flow
Tiang = +dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Tiang -dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang
doc
Tiang = jumlah tiang
unit
Tiang = tiang per hektar
init
Volume_Log = 2.33
flow
Volume_Log = +dt*Laju_Penambahan_Vol_Log -dt*Seleksi_Log
146 doc
Volume_Log = Kubikasi RKT 2006
unit
Volume_Log = meter kubik per RKT
aux
Laju_Kematian_Pancang = (Fraksi_Kematian_Pancang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Pancang
aux
Laju_Kematian_Semai = (Fraksi_Kematian_Semai+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)*Se mai
aux
Laju_Kematian_Tiang
=
(Fraksi_Kematian_Tiang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)*Tia ng aux
Laju_Penambahan_Vol_Log = Laju_Penebangan_Pohon*Fraksi_Volume_Log
aux
Laju_Pendapatan = Penghasilan_PT_SBK
aux
Laju_Penebangan_Liar = POHON*Fraksi_Penebangan_Liar
aux
Laju_Penebangan_Pohon 2031, 25)
aux
Laju_Pertumbuhan_Anakan = ((Total_Biji_tiap_RKT*Angka_Persemaian_Alami)*Faktor_Unsur_Hara_akibat_ Erosi)*Constant_28
unit
Laju_Pertumbuhan_Anakan = anakan per tahun
aux
Laju_Pertumbuhan_Pancang = Pancang*Fraksi_Pertumbuhan_Pancang
aux
Laju_Pertumbuhan_Semai = Semai*Fraksi_Pertumbuhan_Semai
aux
Laju_Pertumbuhan_Tiang = Tiang*Fraksi_Pertumbuhan_Tiang
aux
Seleksi_Log = Volume_Log*Fraksi_Seleksi_Log
aux
Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon
=
PULSE(Fraksi_Penebangan_Pohon*POHON,
=
GRAPH(Laju_Penebangan_Pohon,10000,10000,[0.001,0.029,0.047,0.061,0.07 2,0.08,0.087,0.092,0.096,0.099,0.1"Min:0;Max:0.1;Zoom"]) aux
Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan = GRAPH(Laju_Penebangan_Liar+Laju_Penebangan_Pohon,50000,100000,[0.00 09,0.0037,0.0072,0.0125,0.0197,0.0327,0.0401,0.0452,0.048,0.0493,0.05"Min: 0;Max:0.05;Zoom"])
aux
Faktor_Unsur_Hara_akibat_Erosi = GRAPH(Laju_Erosi,0,286,[1,0.84,0.78,0.71,0.56,0.4,0.19,0.1,0.05,0.03,0.03"Mi n:0;Max:1;Zoom"])
147 aux
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = Semai+Pancang+Tiang+POHON
unit
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = vegetasi per hektar
aux
Laju_Erosi Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon*Nilai_K*Nilai_L*Nilai_R*Nilai_S
=
aux
Laju_Kematian_Primata (Laju_Penebangan_Pohon/Jmlh_Pohon_Min)*kematian_primata
=
aux
Penghasilan_PT_SBK = Biaya_Produksi_per_m3)
aux
Total_Biji_tiap_RKT = Produksi_Biji_per_Pohon*POHON
unit
Total_Biji_tiap_RKT = biji per tahun
Laju_Penambahan_Vol_Log*(Harga_Log_per_m3-
const Angka_Persemaian_Alami = 0.03 unit
Angka_Persemaian_Alami = tak bersatuan
const Biaya_Produksi_per_m3 = 1100000 const Constant_28 = 1 const Fraksi_Kematian_Pancang = 78.24% const Fraksi_Kematian_Semai = 95.47% const Fraksi_Kematian_Tiang = 69.31% const Fraksi_Penebangan_Liar = 0% const Fraksi_Penebangan_Pohon = 15% doc
Fraksi_Penebangan_Pohon = penebangan
const Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = 17.23% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = pancang yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Semai = 4.53% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Semai = semai yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = 8.93% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = rat-rata jumlah tiang yang tumbuh
const Fraksi_Seleksi_Log = 90% doc
Fraksi_Seleksi_Log = Hasil Seleksi Log (Log Grade)
unit
Fraksi_Seleksi_Log = log per RKT
const Fraksi_Volume_Log = 10% doc
Fraksi_Volume_Log = Grade Log
unit
Fraksi_Volume_Log = meter kubik
148 const Harga_Log_per_m3 = 1200000 doc
Harga_Log_per_m3 = harga log per kubik
unit
Harga_Log_per_m3 = Rupiah per meter
const Jmlh_Pohon_Min = 677.286 doc
Jmlh_Pohon_Min = jumlah pohon per ha
unit
Jmlh_Pohon_Min = pohon per ha
const kematian_primata = 80% doc
kematian_primata = kematian primata
unit
kematian_primata = persen
const Luas_RKT = 5237 unit
Luas_RKT = hektar
const Nilai_K = 0.278 doc
Nilai_K = Nilai K (Erodibilitas tanah)
const Nilai_L = 75 doc
Nilai_L = Nilai L (Panjang lereng)
const Nilai_R = 368.854 doc
Nilai_R = Nilai R (erosivitas hujan)
const Nilai_S = 10% doc
Nilai_S = Nilai S (kemiringan lereng)
const Produksi_Biji_per_Pohon = 400 unit
Produksi_Biji_per_Pohon = biji per pohon per tahun
spec
start = 2006.00000
spec
stop = 2160.00000
spec
dt = 1.00000
spec
method = Euler (fixed step)
149
EQUATIONS SKENARIO 4
init
Pancang = Luas_RKT*546.34
flow
Pancang = -dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Pancang +dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Pancang = jumlah pancang
unit
Pancang = pancang per hektar
init
Pendapatan_PT_SBK_ = 146431200000
flow
Pendapatan_PT_SBK_ = +dt*Laju_Pendapatan
doc
Pendapatan_PT_SBK_ = jumlah uang hasil penjualan untuk 1 RKT
init
POHON = Luas_RKT*142.07
flow
POHON = +dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang -dt*Laju_Penebangan_Liar -dt*Laju_Penebangan_Pohon
doc
POHON = jumlah pohon
unit
POHON = pohon per hektar
init
Semai = Luas_RKT*3170.73
flow
Semai = +dt*Laju_Pertumbuhan_Anakan -dt*Laju_Kematian_Semai -dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Semai = jumlah semai
unit
Semai = semai per hektar
init
Tiang = Luas_RKT*48.78
flow
Tiang = +dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Tiang -dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang
doc
Tiang = jumlah tiang
unit
Tiang = tiang per hektar
init
Volume_Log = 2.33
flow
Volume_Log = +dt*Laju_Penambahan_Vol_Log -dt*Seleksi_Log
150 doc
Volume_Log = Kubikasi RKT 2006
unit
Volume_Log = meter kubik per RKT
aux
Laju_Kematian_Pancang = (Fraksi_Kematian_Pancang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Pancang
aux
Laju_Kematian_Semai = (Fraksi_Kematian_Semai+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)*Se mai
aux
Laju_Kematian_Tiang
=
(Fraksi_Kematian_Tiang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)*Tia ng aux
Laju_Penambahan_Vol_Log = Laju_Penebangan_Pohon*Fraksi_Volume_Log
aux
Laju_Pendapatan = Penghasilan_PT_SBK
aux
Laju_Penebangan_Liar = POHON*Fraksi_Penebangan_Liar
aux
Laju_Penebangan_Pohon 2031, 25)
aux
Laju_Pertumbuhan_Anakan = ((Total_Biji_tiap_RKT*Angka_Persemaian_Alami)*Faktor_Unsur_Hara_akibat_ Erosi)*Constant_28
unit
Laju_Pertumbuhan_Anakan = anakan per tahun
aux
Laju_Pertumbuhan_Pancang = Pancang*Fraksi_Pertumbuhan_Pancang
aux
Laju_Pertumbuhan_Semai = Semai*Fraksi_Pertumbuhan_Semai
aux
Laju_Pertumbuhan_Tiang = Tiang*Fraksi_Pertumbuhan_Tiang
aux
Seleksi_Log = Volume_Log*Fraksi_Seleksi_Log
aux
Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon
=
PULSE(Fraksi_Penebangan_Pohon*POHON,
=
GRAPH(Laju_Penebangan_Pohon,10000,10000,[0.001,0.029,0.047,0.061,0.07 2,0.08,0.087,0.092,0.096,0.099,0.1"Min:0;Max:0.1;Zoom"]) aux
Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan = GRAPH(Laju_Penebangan_Liar+Laju_Penebangan_Pohon,50000,100000,[0.00 09,0.0037,0.0072,0.0125,0.0197,0.0327,0.0401,0.0452,0.048,0.0493,0.05"Min: 0;Max:0.05;Zoom"])
aux
Faktor_Unsur_Hara_akibat_Erosi = GRAPH(Laju_Erosi,0,286,[1,0.84,0.78,0.71,0.56,0.4,0.19,0.1,0.05,0.03,0.03"Mi n:0;Max:1;Zoom"])
151 aux
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = Semai+Pancang+Tiang+POHON
unit
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = vegetasi per hektar
aux
Laju_Erosi Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon*Nilai_K*Nilai_L*Nilai_R*Nilai_S
=
aux
Laju_Kematian_Primata (Laju_Penebangan_Pohon/Jmlh_Pohon_Min)*kematian_primata
=
aux
Penghasilan_PT_SBK = Biaya_Produksi_per_m3)
aux
Total_Biji_tiap_RKT = Produksi_Biji_per_Pohon*POHON
unit
Total_Biji_tiap_RKT = biji per tahun
Laju_Penambahan_Vol_Log*(Harga_Log_per_m3-
const Angka_Persemaian_Alami = 0.03 unit
Angka_Persemaian_Alami = tak bersatuan
const Biaya_Produksi_per_m3 = 1100000 const Constant_28 = 1 const Fraksi_Kematian_Pancang = 78.24% const Fraksi_Kematian_Semai = 93% const Fraksi_Kematian_Tiang = 69.31% const Fraksi_Penebangan_Liar = 0% const Fraksi_Penebangan_Pohon = 12% doc
Fraksi_Penebangan_Pohon = penebangan
const Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = 17.23% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = pancang yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Semai = 7% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Semai = semai yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = 8.93% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = rat-rata jumlah tiang yang tumbuh
const Fraksi_Seleksi_Log = 90% doc
Fraksi_Seleksi_Log = Hasil Seleksi Log (Log Grade)
unit
Fraksi_Seleksi_Log = log per RKT
const Fraksi_Volume_Log = 10% doc
Fraksi_Volume_Log = Grade Log
unit
Fraksi_Volume_Log = meter kubik
152 const Harga_Log_per_m3 = 1200000 doc
Harga_Log_per_m3 = harga log per kubik
unit
Harga_Log_per_m3 = Rupiah per meter
const Jmlh_Pohon_Min = 677.286 doc
Jmlh_Pohon_Min = jumlah pohon per ha
unit
Jmlh_Pohon_Min = pohon per ha
const kematian_primata = 80% doc
kematian_primata = kematian primata
unit
kematian_primata = persen
const Luas_RKT = 5237 unit
Luas_RKT = hektar
const Nilai_K = 0.278 doc
Nilai_K = Nilai K (Erodibilitas tanah)
const Nilai_L = 100 doc
Nilai_L = Nilai L (Panjang lereng)
const Nilai_R = 378 doc
Nilai_R = Nilai R (erosivitas hujan)
const Nilai_S = 8% doc
Nilai_S = Nilai S (kemiringan lereng)
const Produksi_Biji_per_Pohon = 400 unit
Produksi_Biji_per_Pohon = biji per pohon per tahun
spec
start = 2006.00000
spec
stop = 2160.00000
spec
dt = 1.00000
spec
method = Euler (fixed step)
153
EQUATIONS SKENARIO 5 init
Pancang = Luas_RKT*546.34
flow
Pancang = -dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Pancang +dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Pancang = jumlah pancang
unit
Pancang = pancang per hektar
init
Pendapatan_PT_SBK_ = 146431200000
flow
Pendapatan_PT_SBK_ = +dt*Laju_Pendapatan
doc
Pendapatan_PT_SBK_ = jumlah uang hasil penjualan untuk 1 RKT
init
POHON = Luas_RKT*142.07
flow
POHON = +dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang -dt*Laju_Penebangan_Liar -dt*Laju_Penebangan_Pohon
doc
POHON = jumlah pohon
unit
POHON = pohon per hektar
init
Semai = Luas_RKT*3170.73
flow
Semai = +dt*Laju_Pertumbuhan_Anakan -dt*Laju_Kematian_Semai -dt*Laju_Pertumbuhan_Semai
doc
Semai = jumlah semai
unit
Semai = semai per hektar
init
Tiang = Luas_RKT*48.78
flow
Tiang = +dt*Laju_Pertumbuhan_Pancang -dt*Laju_Kematian_Tiang -dt*Laju_Pertumbuhan_Tiang
doc
Tiang = jumlah tiang
unit
Tiang = tiang per hektar
init
Volume_Log = 2.33
flow
Volume_Log = +dt*Laju_Penambahan_Vol_Log -dt*Seleksi_Log
154 doc
Volume_Log = Kubikasi RKT 2006
unit
Volume_Log = meter kubik per RKT
aux
Laju_Kematian_Pancang = (Fraksi_Kematian_Pancang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)* Pancang
aux
Laju_Kematian_Semai = (Fraksi_Kematian_Semai+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)*Se mai
aux
Laju_Kematian_Tiang
=
(Fraksi_Kematian_Tiang+Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan)*Tia ng aux
Laju_Penambahan_Vol_Log = Laju_Penebangan_Pohon*Fraksi_Volume_Log
aux
Laju_Pendapatan = Penghasilan_PT_SBK
aux
Laju_Penebangan_Liar = POHON*Fraksi_Penebangan_Liar
aux
Laju_Penebangan_Pohon 2031, 25)
aux
Laju_Pertumbuhan_Anakan = ((Total_Biji_tiap_RKT*Angka_Persemaian_Alami)*Faktor_Unsur_Hara_akibat_ Erosi)*Constant_28
unit
Laju_Pertumbuhan_Anakan = anakan per tahun
aux
Laju_Pertumbuhan_Pancang = Pancang*Fraksi_Pertumbuhan_Pancang
aux
Laju_Pertumbuhan_Semai = Semai*Fraksi_Pertumbuhan_Semai
aux
Laju_Pertumbuhan_Tiang = Tiang*Fraksi_Pertumbuhan_Tiang
aux
Seleksi_Log = Volume_Log*Fraksi_Seleksi_Log
aux
Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon
=
PULSE(Fraksi_Penebangan_Pohon*POHON,
=
GRAPH(Laju_Penebangan_Pohon,10000,10000,[0.001,0.029,0.047,0.061,0.07 2,0.08,0.087,0.092,0.096,0.099,0.1"Min:0;Max:0.1;Zoom"]) aux
Faktor_Kematian_Vegetasi_akibat_Penebangan = GRAPH(Laju_Penebangan_Liar+Laju_Penebangan_Pohon,50000,100000,[0.00 09,0.0037,0.0072,0.0125,0.0197,0.0327,0.0401,0.0452,0.048,0.0493,0.05"Min: 0;Max:0.05;Zoom"])
aux
Faktor_Unsur_Hara_akibat_Erosi = GRAPH(Laju_Erosi,0,286,[1,0.84,0.78,0.71,0.56,0.4,0.19,0.1,0.05,0.03,0.03"Mi n:0;Max:1;Zoom"])
155 aux
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = Semai+Pancang+Tiang+POHON
unit
Jumlah_Vegetasi_per_RKL = vegetasi per hektar
aux
Laju_Erosi Faktor_Erosi_akibat_Penebangan_Pohon*Nilai_K*Nilai_L*Nilai_R*Nilai_S
=
aux
Laju_Kematian_Primata (Laju_Penebangan_Pohon/Jmlh_Pohon_Min)*kematian_primata
=
aux
Penghasilan_PT_SBK = Biaya_Produksi_per_m3)
aux
Total_Biji_tiap_RKT = Produksi_Biji_per_Pohon*POHON
unit
Total_Biji_tiap_RKT = biji per tahun
Laju_Penambahan_Vol_Log*(Harga_Log_per_m3-
const Angka_Persemaian_Alami = 0.03 unit
Angka_Persemaian_Alami = tak bersatuan
const Biaya_Produksi_per_m3 = 1100000 const Constant_28 = 1 const Fraksi_Kematian_Pancang = 78.24% const Fraksi_Kematian_Semai = 94.4% const Fraksi_Kematian_Tiang = 69.31% const Fraksi_Penebangan_Liar = 0% const Fraksi_Penebangan_Pohon = 15% doc
Fraksi_Penebangan_Pohon = penebangan
const Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = 17.23% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Pancang = pancang yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Semai = 5.6% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Semai = semai yang tumbuh
const Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = 8.93% doc
Fraksi_Pertumbuhan_Tiang = rat-rata jumlah tiang yang tumbuh
const Fraksi_Seleksi_Log = 90% doc
Fraksi_Seleksi_Log = Hasil Seleksi Log (Log Grade)
unit
Fraksi_Seleksi_Log = log per RKT
const Fraksi_Volume_Log = 10% doc
Fraksi_Volume_Log = Grade Log
unit
Fraksi_Volume_Log = meter kubik
156 const Harga_Log_per_m3 = 1200000 doc
Harga_Log_per_m3 = harga log per kubik
unit
Harga_Log_per_m3 = Rupiah per meter
const Jmlh_Pohon_Min = 677.286 doc
Jmlh_Pohon_Min = jumlah pohon per ha
unit
Jmlh_Pohon_Min = pohon per ha
const kematian_primata = 80% doc
kematian_primata = kematian primata
unit
kematian_primata = persen
const Luas_RKT = 5237 unit
Luas_RKT = hektar
const Nilai_K = 0.278 doc
Nilai_K = Nilai K (Erodibilitas tanah)
const Nilai_L = 150 doc
Nilai_L = Nilai L (Panjang lereng)
const Nilai_R = 360 doc
Nilai_R = Nilai R (erosivitas hujan)
const Nilai_S = 12% doc
Nilai_S = Nilai S (kemiringan lereng)
const Produksi_Biji_per_Pohon = 400 unit
Produksi_Biji_per_Pohon = biji per pohon per tahun
spec
start = 2006.00000
spec
stop = 2160.00000
spec
dt = 1.00000
spec
method = Euler (fixed step)