BAB V ANALISA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai analisis has hasil il pembobotan kriteria dan sub-kriteria riteria dengan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP), analisis sensitivitas metode Grey Relational Analysis, Analysis, dan analisis model evaluasi performansi supplier saat ini dengan usulan model evaluasi performansi supplier yang baru. 5.1
Analisis Pembobotan dengan Metode Analitycal Hierarchy Process (AHP)
Hasil Pembobotan Kriteria dengan AHP Price
Delivery
Quality
Production Facilities
Design and Technical Capability
Warranties and Claims
Partnership Relationship 0.234 0.245 0.187 0.130 0.098 0.064
0.042
Kriteria
Gambar 5.1 5.1 Grafik pembobotan kriteria dengan AHP 114
115
Gambar 5.1 di atas merupakan grafik hasil pembobotan kriteria-kriteria evaluasi supplier dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Dari hasil tersebut terlihat bahwa kriteria Quality (kualitas) memiliki bobot yang paling besar diantara beberapa kriteria lainnya. Kualitas dari suatu produk mengambil andil yang cukup besar dalam kepuasan pelanggan. Dengan kualitas yang baik, maka tidak banyak komplain dari pelanggan dan penjualan meningkat sehingga keuntungan dan citra perusahaan tetap terjaga. Jika kualitas produk menurun, maka akan terjadi keluhan atau komplain dari pelanggan, dan jika hal ini tidak segera ditindak lanjuti maka bisa terjadi penurunan penjualan, sehingga hal ini tentunya akan berakibat ke penurunan jumlah omset atau keuntungan perusahaan. Oleh karena itu, kriteria Quality (kualitas) menempati bobot kriteria terbesar dalam evaluasi supplier ini. Kriteria ini mempunyai bobot sebesar 0.245. Dalam kriteria kualitas terdapat beberapa sub-kriteria, yaitu kualitas barang tanpa cacat, kesesuaian barang dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan, Jumlah barang yang dapat digunakan dengan quality limit (AOD), dan Kemampuan memberikan kualitas yang konsisten. Masingmasing memiliki proporsi dari bobot kriteria kualitas sebesar 26%, 34.6%, 8.7%, dan 30.8%, sehingga sub-sub kriteria tersebut memiliki bobot masing-masing sebesar 0.063, 0.085, 0.021, dan 0.075. Kriteria Price (harga) juga menjadi pertimbangan yang penting dalam evaluasi supplier. Hal ini disebabkan karena kriteria price sangat berpengaruh terhadap anggaran keuangan perusahaan dan perusahaan sendiri cenderung memilih alternatif supplier yang memberikan harga paling rendah, tetapi tidak mengurangi spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan perusahaan. Kriteria Price (harga) ini
116
memiliki bobot sebesar 0.234. Kriteria Price (harga) memiliki 4 sub-kriteria sebagai indikatornya yaitu harga yang kompetitif, negosiasi harga kepada supplier, harga tetap dalam masa validity, dan perincian harga yang diberikan oleh supplier. Untuk subkriteria harga yang kompetitif memiliki proporsi yang cukup besar dalam kriteria Price yaitu sebesar 53%. Selanjutnya subkriteria yang memiliki proporsi terbesar kedua adalah subkriteria negosiasi harga kepada supplier yaitu sebesar 20%. Proporsi terbesar ketiga dan proporsi yang paling kecil adalah subkriteria harga yang tetap dalam masa validity dan perincian harga. Kedua subkriteria ini memiliki proporsi sebesar 13.8% dan 13% dari bobot kriteria Price. Jadi, untuk setiap sub-sub kriteria ini memiliki bobot masing-masing sebesar 0.124, 0.047, 0.032, dan 0.030. Selanjutnya kriteria Delivery (pengiriman) yang menempati urutan ketiga dalam
pembobotan
kriteria evaluasi supplier. Kriteria ini penting untuk
dipertimbangkan karena jika bahan baku terlambat datang ke perusahaan maka kelancaran produksi perusahaan akan terhambat atau terganggu dan akan menambah daftar inventory work in process. Diantara kriteria delivery (pengiriman) ini adalah ketepatan terhadap jumlah pemesanan. Jika jumlah barang yang diterima tidak sesuai yang dipesan atau tidak sesuai dengan purchase order, maka akan berpengaruh terhadap kesesuaian jumlah output produksi. Kriteria Delivery (pengiriman) ini mempunyai bobot sebesar 0.187. Kriteria Delivery (pengiriman) memiliki 3 buah subkriteria yaitu ketepatan jadwal pengiriman, pencegahan kerusakan, dan ketepatan jumlah barang. Untuk subkriteria ketepatan jadwal pengiriman memiliki proporsi sebesar 43.6% atau memiliki bobot sebesar 0.081. Subkriteria yang kedua, pencegahan kerusakan, memiliki proporsi sebesar 28.9% atau memiliki bobot 0.054,
117
dan subkriteria yang ketiga, ketepatan jadwal pengiriman, memiliki proporsi sebesar 27.5% atau memiliki bobot sebesar 0.051. Lalu kriteria berikutnya yang berada di peringkat ke empat adalah kriteria Design and Technical Capability (Desain dan kemampuan teknis). Kemampuan supplier dalam mengaplikasikan desain yang diberikan oleh perusahaan jugalah penting. Dengan begitu, perusahaan bisa mendapatkan apa yang diinginkan dan dapat memenuhi permintaan pasar. Pengembangan dan kecanggihan teknologi yang digunakan supplier dalam pembuatan pesanan perusahaan juga tak kalah penting. Dengan kecanggihan teknologi yang ada, dapat mempercepat hasil produksi dan kemungkinan mengurangi jumlah kecacatan pada produk. Kriteria Design and Technical Capability (Desain dan kemampuan teknis) ini mempunyai bobot sebesar 0.130. Sub-sub kriteria dalam kriteria ini adalah mampu memproduksi sesuai dengan desain pesanan dengan proporsi sebesar 53.8%, pengembangan teknologi dengan proporsi sebesar 27.7%, dan kecanggihan teknologi dengan proporsi sebesar 18.5%. Dengan kata lain, untuk setiap subkriteria memiliki bobot masing-masing sebesar 0.070, 0.036, dan 0.024. Kriteria selanjutnya adalah Warranties and Claims Policies yaitu kebijakan dan proses jaminan dan klaim yang diberikan supplier. Kualitas yang buruk atau tidak sesuai yang diharapkan tentu akan ditindak lanjuti oleh perusahaan dalam berupa klaim atau keluhan ke supplier, begitu juga dengan masalah pengiriman pasokan komponen yang terlambat. Hal ini untuk mengetahui apakah supplier yang ada bertanggung jawab atas kelalaian yang dapat merugikan perusahaan. Jaminan dan klaim ini akan memberikan kepastian atau garansi pada pihak perusahaan untuk
118
mengganti kerugian yang terjadi, misalnya menerima kembali barang yang reject (cacat) sehingga perusahaan tidak mengeluarkan biaya untuk scrap (menghancurkan) barang yang reject (cacat) tersebut dan memperbaiki atau mengganti sejumlah barang yang reject tersebut karena produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang buruk atau tidak sesuai dengan spesifikasi. Kriteria ini memiliki bobot sebesar 0.098. Pada kriteria Warranties and Claims Policies memiliki 3 subkriteria yaitu supplier menerima kembali barang yang reject dan memperbaikinya, kecepatan respon terhadap komplain, dan memberikan data yang diminta. Setiap subkriteria memiliki proporsi masing-masing di dalam kriteria ini. Untuk subkriteria supplier menerima kembali barang yang reject memiliki proporsi sebesar 30.9%. Pada subkriteria kecepatan respon terhadap komplain memiliki proporsi sebesar 51.8%, dan subkriteria ketiga, memberikan data yang diminta, memiliki proporsi sebesar 17.3%. Dari proporsi yang dimiliki masing-masing subkriteria bisa didapatkan bobot untuk setiap sub-subkriteria tersebut. Subkriteria supplier menerima kembali barang yang reject memiliki bobot sebesar 0.030. Kemudian subkriteria kecepatan respon terhadap komplain memiliki bobot sebesar 0.051, dan yang terakhir, subkriteria memberikan data yang diminta, memiliki bobot sebesar 0.017. Kriteria berikutnya adalah kriteria production facilities (kecapakan produksi). Kriteria ini mengukur kapasitas produksi dan fasilitas produksi yang dimiliki supplier Kriteria ini menjadi salah satu pertimbangan bagi perusahaan karena produksi yang dilakukan perusahaan cukup besar sehingga dibutuhkan juga supplier yang dapat menyokong perusahaan. Kriteria ini memiliki bobot sebesar 0.064. Dalam kriteria ini dibagi menjadi dua subkriteria, yaitu memiliki kapasitas produksi yang tinggi dan
119
memiliki jadwal dan prosedur equipment maintenance. Masing-masing subkriteria memiliki proporsi dalam kriteria ini sebesar 66.2% dan 33.8% atau setara dengan bobot sebesar 0.042 dan 0.022. Kriteria yang terakhir adalah kriteria Partnership Relationship (hubungan kerjasama). Kriteria ini mengukur seberapa lama dan bagaimana hubungan yang dijalin selama supplier melakukan kerjasama dengan perusahaan. Kriteria ini memiliki bobot yang paling kecil. Walaupun begitu, kriteria ini memiliki peran yang cukup penting. Dengan adanya hubungan kerjasama yang baik dan harmonis, maka akan tercipta hubungan komunikasi yang bagus antara supplier dan perusahaan. Komunikasi yang terjalin akan memudahkan perusahaan dalam pentransferan informasi dan kemudahan dalam berhubungan antara kedua belah pihak. Kriteria ini bisa bersifat kualitatif ataupun kuantitatif. Untuk pengukuran secara kualitatif, pengukurannya dengan skala penilaian score. Semakin tinggi nilai score yang dinilai, semakin baik pula penilaian yang didapat oleh supplier. Kriteria ini memiliki bobot sebesar 0.042. 5. 2
Analisis Sensitivitas Grey Relational Analysis (GRA) Kesimpulan yang sama mengenai prioritas pemasok berdasarkan grey
relational grade tercapai dengan koefisien pembeda diantara 0.1 - 1.0, seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.2. Berikut hasil dari grey relational grade dapat dilihat pada tabel 5.1 :
120
Tabel 5.1 Rekapitulasi grey relational grade (Γ) 0.1 PT AB PT CD PT EF
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
Γଵ 0.499 0.574 0.628 0.669 0.701 0.727 0.749 0.768 0.783 0.797 Γଶ 0.384 0.471 0.535 0.583 0.622 0.653 0.680 0.702 0.722 0.739 Γଷ 0.409 0.465 0.512 0.551 0.584 0.612 0.637 0.658 0.677 0.694
PT GH Γସ 0.325 0.417 0.482 0.532 0.572 0.606 0.634 0.658 0.680 0.698 PT IJ
PT KL
Γହ 0.186 0.288 0.364 0.423 0.472 0.513 0.547 0.577 0.603 0.626 Γ 0.592 0.655 0.699 0.732 0.758 0.779 0.796 0.811 0.824 0.835
PT MN Γ 0.649 0.703 0.739 0.765 0.786 0.803 0.817 0.829 0.840 0.849
Grey Relational Grade
0.900 0.800
0.1
0.700
0.2 0.3
0.600
0.4
0.500
0.5
0.400
0.6
0.300
0.7
0.200
0.8
0.100
0.9
0.000 PT AB
PT CD
PT EF
PT GH
PT IJ
PT KL
PT MN
Gambar 5.2 Grafik hasil grey relational grade dengan ζ 0.1 – 1.0
1.0
121
Berdasarkan gambar 5.2, menunjukkan bahwa koefisien pembeda 0.1 hasil grey relational grade untuk alternatif 2 dan 3 (PT CD dan PT EF) masih belum stabil. Pada koefisien pembeda 0.1, urutan grey relational grade untuk dua alternarif tersebut adalah PT EF > PT CD. Hasil urutan akhirnya dari tertinggi hingga terendah adalah PT MN, PT KL, PT AB, PT EF, PT CD, PT GH, dan PT IJ. Dengan koefisien pembeda 0.2 hingga 1.0 menghasilkan nilai grey relational grade yang sama. Urutan peringkat mulai stabil pada rentang koefisien pembeda 0.2– 1.0. Hal ini dapat dilihat melalui grafik yang membentuk kurva yang sama. Pada koefisien pembeda dalam rentang tersebut, urutan peringkat performansinya dari tertinggi hingga terendah adalah sebagai berikut: PT MN, PT KL, PT AB, PT CD, PT EF, PT GH, dan PT IJ. Seharusnya pada koefisien pembeda 0,1 hasil peringkat yang dihasilkan sama dengan hasil peringkat pada koesfisien pembeda lainnya. Perbedaan rataan koefisien grey antara PT CD dengan PT EF tidak signifikan, yaitu sebesar 0,1. Hal ini terjadi disebabkan karena adanya pembulatan pada perhitungan sehingga pada hasil terjadi perbedaan hasil perhitungan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemilihan supplier dengan menggunakan model GRA stabil dan dapat diandalkan. Selain itu, model yang diusulkan efektif dapat menggabungkan kriteria kualitatif dan kuantitatif dalam proses pemilihan supplier. Dari hasil studi kasus, dapat menegaskan bahwa metode AHP dan GRA merupakan pendekatan efektif dan praktis untuk memecahkan masalah pemilihan supplier komponen semi finish.
122
5. 3
Analisis Model Evaluasi Performansi Supplier Saat Ini dengan Model Usulan Evaluasi Performansi Supplier yang Baru Perancangan model evaluasi performansi usulan ini mempunyai 7 kriteria
dalam penilaiannya. 6 dari 7 kriteria tersebut memiliki beberapa subkriteria sehingga membuat total faktor penilaian ini menjadi 20. Beberapa faktor yang digunakan dalam model usulan ini mengambil faktor-faktor yang digunakan perusahaan dalam mengevaluasi dan memilih supplier karena untuk menyesuaikan keadaan yang sebenarnya pada perusahaan. Dengan model evaluasi performansi usulan ini diharapkan pihak perusahaan mempunyai sedikit gambaran mengenai sejauh mana pencapaian yang ditunjukkan para supplier selama ini. Model usulan ini menggunakan metode kombinasi AHP dan GRA. Pendekatan yang dilakukan metode ini adalah menggunakan koefisien grey, yaitu meminimalkan simpangan antara harapan dan kenyataan. Hal ini yang membuat metode kombinasi ini beda dengan metode AHP. Metode AHP hanya menilai hasil tingkat kepentingan dari evaluator. Berikut perbandingan evaluasi yang dihasilkan dengan menggunakan metode evaluasi perusahaan saat ini, metode AHP, dan metode kombinasi AHP dan GRA dapat dilihat pada tabel 5.2 :
123
Tabel 5.2 Hasil perbandingan Model evaluasi Kombinasi AHP yang digunakan
AHP dan GRA
saat ini Jumlah Kriteria
Hasil evaluasi
3
7
7
1. PT AB
1. PT KL
1. PT MN
2. PT KL
2. PT MN
2. PT KL
3. PT GH
3. PT AB
3. PT AB
4. PT MN
4. PT GH
4. PT CD
5. PT EF
5. PT IJ
5. PT EF
6. PT IJ
6. PT CD
6. PT GH
7. PT CD
7. PT EF
7. PT IJ
(pe-ranking-an)
Dari ketiga metode tersebut, hasil pe-ranking-an berbeda satu sama lain. Pada metode yang digunakan perusahaan saat ini hanya menggunakan 3 kriteria yaitu kualitas, ketepatan waktu pengirimandanharga. Urutan performansi supplier yang dihasilkan dari nilai tertinggi hingga terendah yaitu PT AB, PT KL, PT GH, PT MN, PT EF, PT IJ, dan PT CD. Kelemahan pada metode ini adalah hasil penilaian kurang merepresentasikan performansi supplier yang sebenarnya. Pada kenyataannya permasalahan yang terjadi tidak hanya dari segi kualitas dan ketepatan jadwal. Permasalahan respon terhadap komplain, harga, kemampuan dalam mendesain, kapasitas produksi, dan hubungan kerjasama terkadang sering timbul sebagai masalah selama supplier menyuplai produknya ke perusahaan. Respon yang lambat terhadap komplain yang diajukan perusahaan ke supplier dapat menghambat jalannya
124
produksi. Harga yang terlalu tinggi dan fluktuatif dapat menjadi masalah dalam perencanaan keuangan perusahaan. Ketidak mampuan supplier dalam mendesain produk yang sesuai dengan desain pesanan supplier dan tidak pernah melakukan perbaikan terhadap metode kerja yang digunakan dapat juga menghambat jalannya produksi perusahaan. Jika suatu supplier memiliki penilaian kualitas dan ketepatan jadwal yang bagus tetapi kapasitas produksinya rendah, tetap saja akan menjadi permasalahan karena supplier tidak mampu memenuhi pesanan dari perusahaan sehingga akan menghambat jalannya produksi PT X. Tidak lancarnya komunikasi dan pertukaran informasi dapat merusak hubungan kerjasama antara supplier dengan perusahaan. Pada penilaian yang hanya menggunakan metode AHP, kriteria yang digunakan adalah kriteria-kriteria usulan. Terdapat 7 kriteria dan beberapa subkriteria di setiap kriteria. Urutan performansi supplier yang dihasilkan dari nilai tertinggi hingga terendah dapatdilihatpadatabel 5.3 Tabel 5.3 Hasil perankingan menggunakan metode AHP Supplier
Penilaian AHP
Rangking
KL
0.422
1
MN
0.419
2
AB
0.415
3
GH
0.385
4
IJ
0.378
5
CD
0.368
6
EF
0.359
7
125
Terdapat perubahan peringkat supplier karena dalam metode AHP. Perubahan peringkat ini terjadi karena mempertimbangkan tingkat kepentingan tiap-tiap kriteria (pembobotan) yang dilakukan dalam metode AHP. Pada sub-kriteria harga kompetitif PT KL lebih unggul dibandingkan PT MN dan PT AB, oleh sebab itu PT KL menenpati peringkat pertama. Pada umumnya kinerja PT KL, PT MN dan PT AB sama-sama bagus, hal ini bisa dilihat pada selisih hasil penilaian menggunakan AHP yang tidak terpaut jauh, yaitu PT KL 0.422, PT MN 0.19 dan PT AB 0.415. Kelemahan jika hanya menggunakan metode AHP adalah penilaian akhir akan sangat terpengaruh oleh tingkat bobot tiap kriteria. Dengan kata lain, dengan metode AHP saja maka supplier-supplier yang paling menonjol hanyalah supplier yang memiliki nilai tertinggi pada bobot yang tinggi juga. Pada penilaian yang menggunakan metode kombinasi AHP dan GRA, kriteria yang digunakan adalah kriteria-kriteria usulan. Terdapat 7 kriteria dan beberapa subkriteria di setiap kriteria. Metode ini menggunakan AHP untuk menentukan nilai bobot masing-masing kriteria dan metode GRA untuk melakukan pe-ranking-an supplier. Terjadi perubahan juga untuk urutan performansi supplier. Urutan performansi supplier dari tertinggi hingga terendah dapat dilihat pada tabel 5.4
126
Tabel 5.4 Hasil per-angking-an menggunakan metode kombinasi AHP dan GRA 0.1
R
0.2
R
0.3
R
0.4
R
0.5
R
0.6
R
0.7
R
0.8
R
0.9
R
1.0
R
PT MN
Γଵ
0.649
1
0.739
1
0.720
1
0.765
1
0.786
1
0.803
1
0.817
1
0.829
1
0.840
1
0.849
1
PT KL
Γଶ
0.592
2
0.699
2
0.669
2
0.732
2
0.758
2
0.779
2
0.796
2
0.811
2
0.824
2
0.835
2
PT AB
Γଷ
0.499
3
0.628
3
0.611
3
0.669
3
0.701
3
0.727
3
0.749
3
0.768
3
0.783
3
0.797
3
PT CD
Γସ
0.384
5
0.535
4
0.511
4
0.583
4
0.622
4
0.653
4
0.680
4
0.702
4
0.722
4
0.739
4
PT EF
Γହ
0.409
4
0.512
5
0.492
5
0.551
5
0.584
5
0.612
5
0.637
5
0.658
5
0.677
5
0.694
5
PT GH
Γ
0.325
6
0.482
6
0.487
6
0.532
6
0.572
6
0.606
6
0.634
6
0.658
6
0.680
6
0.698
6
PT IJ
Γ
0.186
7
0.364
7
0.328
7
0.423
7
0.472
7
0.513
7
0.547
7
0.577
7
0.603
7
0.626
7
PT MN menempati peringkat pertama dengan metode kombinasi ini, sedangkan dengan model yang digunakan saat ini dan metode AHP saja PT MN menempati peringkat kedua. Perubahan peringkat ini terjadi dikarenakan metode kombinasi AHP dan GRA ini menggunakan pendekatan dengan koefisien grey, yaitu dengan meminimalkan simpangan antara harapan dan kenyataan. PT MN menepati urutan pertama dikarenakan hasil rataan koefisien grey untuk PT MN adalah hasil yang paling besar dibandingkan supplier lain, yaitu sebesar 0.79 (ζ = 0.5). PT AB yang pada model evaluasi saat ini menempati urutan pertama, ternyata rataan koefisien grey yang dimiliki hanya sebesar 0.71 (ζ = 0.5) dan PT KL yang pada model evaluasi dengan metode AHP hanya memiliki rataan koefisien grey sebesar 0.73 (ζ = 0.5). PT CD yang pada model evaluasi perusahaan saat ini dan metode AHP menempati peringkat ketujuh dan keenam, tetapi dalam model usulan ini PT CD menempati urutan keempat dengan rataan koefisien grey sebesar 0.62 (ζ = 0.5).
127
Begitu juga pada PT EF, PT GH, dan PT IJ yang terjadi perubahan urutan performansi. Ketiga supplier tersebut memiliki rataan koefisien grey sebesar 0.6, 0.56, dan 0.46 pada ζ = 0.5. Dengan kata lain, dalam metode GRA melihat keunggulan dari supplier yang satu dibandingkan dengan supplier lainnya untuk masing-masing subkriteria dengan melihat perbedaan antara kinerja yang dihasilkan para supplier dengan kinerja yang diharapkan perusahaan. Dalam metode GRA, menggunakan rangkaian data referensi (harapan) dan rangkaian data pembanding (kenyataan). Rangkaian data tersebut diperoleh dari hasil penilaian performansi masing-masing supplier. Rangkaian data tersebut dinormalisasi dan dihitung simpangan antara hasil normalisasi rangkaian data referensi dan hasil normalisasi rangkaian data pembanding. Jika nilai hasil normalisasi rangkaian data pembanding makin besar akan membuat simpangan menjadi semakin kecil. Nilai simpangan ini digunakan untuk menghitung koefisien grey relational.