8
n
x s
2
i
x
i 1
RSD(%)
n 1 s 100% x
Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji Kelor Berkulit Pengujian Alkaloid Satu gram contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 3 tetes NH3 dan dikocok. Lima mL HCl3 ditambahkan lalu divorteks sampai homogen. Contoh disaring, 5 tetes H2SO4 2M ditambahkan ke dalam filtrat. Akan terbentuk dua lapisan. Lapisan atas atau lapisan asam dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian ditambahkan pereaksi Dragendorff, Mayer, dan Wagner. Perubahan yang terjadi diamati. Pengujian Fenolik Campuran 5 g contoh dan 100 mL akuabides dipanaskan selama 5 menit. Contoh disaring, dan filtrat dibagi tiga, masingmasing untuk uji flavonoid, tanin, dan saponin. Untuk uji flavonoid, filtrat berturut-turut ditambahkan bubuk Mg, HCl-etanol (1:1), dan 1 mL amil alkohol. Perubahan warna yang terjadi pada lapisan amil alkohol diamati. Filtrat ditambahkan 3 tetes FeCl3 10% dan diamati perubahan warnanya dalam uji tanin. Sementara untuk uji saponin, filtrat dikocok kuat dan dilihat apakah terbentuk buih yang stabil. Pengujian Terpenoid Contoh diambil sebanyak 1 g, ditambahkan etanol, divorteks sampai homogen, lalu dipanaskan. Saat masih panas contoh disaring. Filtrat dipanaskan kembali sampai kering, lalu ditambahkan 1 mL dietil eter dan dikocok sampai homogen. Setelah itu, 1 mL H2SO4 pekat dan 1 tetes anhidrida asetat ditambahkan ke dalamnya, dan diamati perubahan warna yang terjadi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji Kelor Berkulit Pengujian fitokimia biji kelor dan biji kelor berkulit dilakukan untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam contoh. Hasil pengujian ini secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil pengujian fitokimia biji kelor dan biji kelor berkulit Biji Biji Parameter Kelor Kelor Berkulit Alkaloid A. Dragendorff + + B. Mayer + + C. Wagner + + Fenolik A. Flavanoid B. Tanin C. Saponin + + Terpenoid A. Steroid B. Triterpenoid Pengujian alkaloid dalam biji kelor dan biji kelor berkulit menunjukkan hasil yang positif. Contoh direaksikan dengan pereaksi Dragendorff menghasilkan endapan jingga, dengan pereaksi Mayer menghasilkan endapan putih, dan dengan pereaksi Wagner menghasilkan endapan cokelat. Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya alkaloid bersifat basa dengan satu atau lebih atom nitrogen, biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Prekursor alkaloid yang paling umum adalah asam amino (Harborne 1987). Hasil uji fenolik menunjukkan bahwa dalam contoh biji kelor dan biji kelor berkulit terdapat saponin. Hal itu dibuktikan dengan terbentuknya buih yang stabil setelah contoh diberi perlakuan dan dikocok. Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, yang dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa (Harborne 1987). Koagulan alami yang telah dikaji sifat fitokimianya antara lain Bridelia ferruginea dengan kandungan tanin dan alkaloid sebagai senyawa bioaktif utama. Selain itu, terdapat pula steroid, terpenoid, dan saponin sebagai senyawa aktif lainnya (Kolawole et al. 2006).
9
Penetapan pH Optimum Penelitian ini diawali dengan penetapan pH yang tidak memengaruhi penurunan kekeruhan air pada perlakuan tanpa pemberian koagulan biji kelor. Pengaturan kisaran pH sangat penting dalam proses koagulasi yang optimum (Bratby 1980). Hasil penelitian (Lampiran 4) menunjukkan bahwa pH 5–9 tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan kekeruhan; kekeruhan hanya menurun sebesar 2,00–5,60%. Karena itu, pada penelitian ini pH tersebut dipilih untuk proses optimalisasi, sebab proses koagulasi pada nilai pH kurang dari 5 atau lebih dari 9 akan terjadi tidak hanya karena penambahan koagulan, tetapi juga dipengaruhi oleh pH. Hubungan persen penurunan kekeruhan dengan pH tanpa penambahan koagulan dapat dilihat pada Gambar 5.
Penurunan Kekeruhan (%)
120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13
pH
Gambar 4 Kurva hubungan antara pH dan persen penurunan kekeruhan tanpa penambahan koagulan. Setelah diperoleh rentang pH yang tidak memengaruhi proses koagulasi secara signifikan, dilakukan penetapan pH optimum untuk penurunan kekeruhan contoh menggunakan koagulan biji kelor maupun biji kelor berkulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH optimum untuk penurunan kekeruhan menggunakan koagulan biji kelor adalah 6, dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 94,91%. Secara umum, persen penurunan kekeruhan menggunakan biji kelor berkulit pada pH 5–9 relatif sama. pH 7 memberikan persen penurunan terbesar, yaitu sebesar 97,87%, (Gambar
5). P e n u r u n a n k e k e ru h a n (% )
Pengujian terpenoid terhadap contoh menunjukkan hasil yang negatif baik untuk steroid maupun untuk triterpenoid. Hasil pengujian fitokimia biji kelor dan biji kelor berkulit dapat dilihat pada Lampiran 3.
120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 5
6
7
8
9
pH Biji kelor
Biji kelor berkulit
Gambar 5 Kurva hubungan antara pH dan persen penurunan kekeruhan padapenetapan pH optimum untukkoagulan biji kelor dan biji kelor berkulit. Proses koagulasi air baku berkaitan dengan nilai potensial zeta larutan biji kelor dan air baku itu sendiri. Potensial zeta air sintetik adalah −46mV (Rambe 2009). Pada pH tinggi spesies negatif dominan (Bratby 1980). Bahan koagulan dalam biji kelor adalah protein kationik yang larut dalam air. Potensial zeta larutan 5% biji kelor tanpa kulit sekitar +6 mV (Ndabigenggesere et al. 1995). Hal ini menunjukkan bahwa larutan ini didominasi oleh tegangan positif meskipun merupakan campuran heterogen yang kompleks. Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pada pH netral partikel-partikel dalam air bermuatan negatif. Akibatnya, koagulasi partikel tersuspensi dengan biji kelor dipengaruhi oleh proses destabilisasi tegangan negatif koloid oleh polielektrolit kationik. Penetapan Konsentrasi Optimum Penetapan konsentrasi optimum koagulan biji kelor dan biji kelor berkulit dilakukan dengan variasi konsentrasi 10–500 mg/L terhadap contoh dengan kekeruhan awal 228,00 NTU. Setelah penambahan koagulan biji kelor dengan konsentrasi 50 mg/L, kekeruhan berkurang menjadi 3,29 NTU. Konsentrasi tersebut optimum, karena pada saat konsentrasi biji kelor ditingkatkan nilai kekeruhan akhir naik kembali menjadi 3,98 NTU (Gambar 6).
P e n u ru n a n k ek e ru h a n (% )
10
100.00 95.00 90.00 85.00 80.00 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 200 300 400 500
kulitnya yang menjadi zat aktif untuk proses koagulasi (Pandia & Husin 2005). Perubahan visual air baku setelah koagulasi dapat dijadikan indikator awal keberhasilan proses tersebut. Perubahan visual yang nyata seperti terlihat pada Gambar 7 dan 8.
Konsentrasi koagulan (mg/L) Biji kelor berkulit
Gambar 6 Kurva hubungan antara konsentrasi koagulan dan persen penurunan kekeruhan pada penetapan konsentrasi optimum koagulan biji kelor dan biji kelor berkulit. Penetapan konsentrasi optimum koagulan biji kelor berkulit dilakukan terhadap contoh dengan kekeruhan awal 240,00 NTU. Penambahan koagulan biji kelor berkulit sebesar 80 mg/L mengurangi kekeruhan menjadi 4,06 NTU. Pada saat konsentrasi koagulan ditingkatkan menjadi 90 mg/L, kekeruhan akhir naik menjadi 4,15 NTU (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi optimum untuk koagulan biji kelor berkulit adalah 80 mg/L. Penambahan koagulan biji kelor dalam dosis tertentu meningkatkan jumlah kation yang berfungsi menetralkan muatan negatif dari partikel-partikel koloid. Penambahan ion positif akan mengurangi gaya tolak-menolak sesama koloid. Terjadi destabilisasi sistem koloid yang memungkinkan koloid saling mendekat dan membentuk mikroflok. Mikroflok-mikroflok tersebut cenderung bersatu dan membentuk makroflok karena sudah mengalami destabilisasi dan akhirnya mengendap. Pada konsentrasi koagulan yang tepat, seluruh koloid dapat terikat dan bergabung menjadi flok yang besar. Gambar 6 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi koagulan biji kelor maupun biji kelor berkulit melebihi jumlah optimum justru akan menurunkan persentase penurunan kekeruhan. Koagulan berlebih dapat menutupi mikroflok sehingga tidak terbentuk makroflok. Mekanismenya adalah polimer-polimer yang berlebih akan menutupi seluruh permukaan partikel koloid sehingga tidak ada tempat untuk rantai akhir menempel dan proses flokulasi tidak terjadi. Keadaan ini dapat menstabilkan kembali partikel koloid. Data penetapan konsentrasi optimum selengkapnya diberikan di Lampiran 5. Perbedaan dosis optimum antara koagulan biji kelor dan biji kelor berkulit berkaitan dengan kandungan protein dalam biji kelor dan
(a) (b) Gambar 7 Air baku sebelum (a) dan setelah dikoagulasi (b) dengan biji kelor.
(b) (a) Gambar 8 Air baku sebelum (a) dan setelah dikoagulasi (b) dengan biji kelor berkulit. Penetapan Waktu Pengenapan Optimum Selain penetapan pH dan konsentrasi optimum, juga dilakukan penetapan waktu pengenapan (settling time) optimum. Lampiran 6 dan Gambar 9 menunjukkan bahwa waktu pengenapan optimum untuk masing-masing koagulan adalah 60 menit dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 99,00% untuk koagulan biji kelor dan 98,98% untuk koagulan biji kelor berkulit. 100,00 Penurunan kekeruhan (%)
Biji kelor
99,00 98,00 97,00 96,00 95,00 94,00 93,00 92,00 91,00 10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Waktu pengenapan (menit)
Biji kelor
Biji kelor berkulit
Gambar 9 Kurva hubungan antara waktu dan persen penurunan kekeruhan pada penentuan waktu optimum proses pengenapan untuk koagulan biji kelor dan biji kelor berkulit.
11
Waktu pengenapan yang optimum adalah 60 menit. Namun, mulai menit ke-10 telah diperoleh persen penurunan kekeruhan sebesar 94,17% untuk koagulan biji kelor dan 96,12% untuk biji kelor berkulit. Nilai kekeruhan akhir yang diperoleh berturut-turut 13,30 dan 8,86 NTU. Nilai tersebut telah memenuhi baku mutu air bersih untuk parameter kekeruhan, yaitu 25 NTU (Depkes 1990). Karena itu, pengenapan 10 menit dapat diaplikasikan pada proses koagulasi untuk pengolahan air bersih. Perbandingan Hasil Koagulasi Biji Kelor dan Biji Kelor Berkulit dengan Koagulan Anorganik Secara umum, besi dan mangan dalam air tidak menyebabkan risiko kesehatan yang berarti, tetapi dapat menyebabkan air menjadi berwarna, berasa, dan berbau. Selain itu, dapat timbul masalah pada sistem distribusi air karena penempelan logam tersebut yang membentuk kerak pada pipa (Lin 2007). Baik besi maupun mangan dalam air biasanya terlarut dalam bentuk senyawaan atau garam bikarbonat, sulfat, hidroksida, dan juga dalam bentuk koloid atau bergabung dengan senyawa organik. Salah satu cara menghilangkan zat besi dan mangan dalam air adalah dengan koagulasi (Said & Wahyono 1999). Senyawa 4-(α-L-ramnosiloksi)benzil isotiosiana larut dalam air (Goyal et al. 2007). Gugus hidroksil dalam zat aktif tersebut dapat mengikat logam berat. Hidrogen yang semula terikat pada alkohol akan digantikan oleh logam berat yang lebih elektronegatif (Muharto et al. 2007). Biji kelor juga mengandung asam amino sistein yang dapat menangkap logam berat (Muharto et al. 2007). Air sungai dikoagulasi menggunakan koagulan (a) biji kelor pada pH 6 dengan konsentrasi 50 mg/L serta waktu pengenapan 60 menit, (b) biji kelor berkulit pada pH 7, konsentrasi 80 mg/L, dan waktu pengenapan 60 menit, serta (c) ACH pH 7, konsentrasi 10 mg/L, dan waktu pengenapan 10 menit. Ketiganya merupakan kondisi optimum yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Hasil koagulasi pada kondisi optimum untuk masing-masing koagulan diukur penurunan kekeruhan, konsentrasi logam besi dan mangannya. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan koagulasi menggunakan ACH sebagai koagulan anorganik yang telah diaplikasikan pada proses pengolahan air
bersih di IPA. Pembandingan dilakukan secara statistik dengan menggunakan uji beda nyata. Uji beda nyata dilakukan dengan menghitung nilai F hitung untuk membandingkan variasi data yang dihasilkan. Selain itu, juga dihitung nilai t hitung dengan metode tidak berpasangan dua arah untuk mengetahui apakah data yang dihasilkan saling berbeda nyata. Uji beda nyata dilakukan pada taraf kepercayaan 95%. Perbandingan Persen Penurunan Kekeruhan Kekeruhan akan sangat mengubah estetika maupun dari segi mutu air (Efendi 2003). Cara paling lazim untuk menurunkan kekeruhan adalah dengan pengenapan. Proses pengenapan dapat dipercepat dengan pemberian koagulan (Sutrisno 2006). Contoh air baku yang digunakan memiliki kekeruhan awal 380,00 NTU. Tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai rerata persen penurunan kekeruhan air baku menggunakan biji kelor, biji kelor berkulit, dan ACH berturut-turut 99,10; 99,07; dan 99,71%. Tabel 3 Persen penurunan kekeruhan air baku hasil koagulasi Ulangan 1 2 3 4 5 6 Rerata SD %RSD
Biji kelor (%) 99,01 99,08 99,17 99,07 99,08 99,22 99,10 0,078 0,079
Biji kelor berkulit (%) 99,06 99,13 99,14 99,02 99,00 99,06 99,07 0,053 0,054
ACH (%) 99,70 99,71 99,72 99,70 99,74 99,73 99,71 0,016 0,016
Diperoleh nilai F hitung 23,76, lebih besar daripada F tabel untuk perbandingan koagulan biji kelor dengan ACH. Artinya, data kekeruhan akhir air baku hasil koagulasi menggunakan kedua koagulan tersebut berbeda nyata. Nilai t hitung juga diperoleh jauh lebih besar daripada t tabel. Perbedaan nyata juga diperoleh antara hasil koagulasi dengan biji kelor berkulit dan dengan ACH. Diperoleh nilai F hitung dan t hitung berturutturut 10,97 dan 28,32. Perhitungan selengkapnya diberikan pada Lampiran 7.
12
Perbandingan Persen Penurunan Konsentrasi Ion Besi
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam APHA-AWWA (2005).
Contoh air baku yang digunakan memiliki konsentrasi awal ion besi sebesar 8,63 mg/L. Tabel 4 memperlihatkan nilai rerata persen penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku setelah dikoagulasi menggunakan biji kelor, biji kelor berkulit, dan ACH berturut-turut adalah 98,30; 98,45; dan 98,98%.
Perbandingan Persen Penurunan Konsentrasi Ion Mangan
Tabel 4
Ulangan 1 2 3 4 5 6 Rerata SD %RSD
Persen penurunan konsentrasi ion besi hasil koagulasi Biji kelor (%) 98,22 98,25 98,49 98,27 98,33 98,26 98,30 0,099 0,101
Biji kelor berkulit (%) 98,27 98,49 98,37 98,40 98,49 98,69 98,45 0,143 0,146
ACH (%) 99,11 98,91 98,98 98,98 99,04 98,86 98,98 0,092 0,093
Rerata persen penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku yang dikoagulasi menggunakan biji kelor dan ACH memiliki nilai F hitung 1,16, lebih kecil daripada F tabel. Artinya, variasi kedua kelompok data tersebut tidak berbeda nyata. Sementara itu, nilai t hitung (12,32) yang lebih besar daripada t tabel. Artinya, persen penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku hasil koagulasi menggunakan biji kelor dan dengan ACH berbeda nyata. Koagulan biji kelor berkulit dan ACH memberikan nilai yang serupa. Nilai F hitung lebih kecil daripada F tabel. Artinya, variasi persen penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku hasil koagulasi dengan biji kelor berkulit dan dengan ACH tidak berbeda nyata. Nilai t hitung (7,63) juga lebih besar daripada t tabel. Artinya, penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku hasil koagulasi menggunakan biji kelor berkulit dan dengan ACH berbeda nyata. Perhitungan selengkapnya diberikan pada Lampiran 8. Berdasarkan APHA-AWWA (2005), nilai %RSD yang dipersyaratkan pada pengukuran logam dalam contoh air menggunakan AAS adalah di bawah 10%. Hasil koagulasi menggunakan ketiga jenis koagulan untuk parameter ion besi memberikan %RSD di bawah 10%. Artinya, ketiga perlakuan memiliki nilai %RSD yang baik dan
Air baku yang digunakan sebagai contoh memiliki konsentrasi awal ion mangan sebesar 0,3143 mg/L. Tabel 4 memperlihatkan rerata persen penurunan konsentrasi ion mangan dalam air baku yang telah dikoagulasi menggunakan biji kelor, biji kelor berkulit, dan ACH berturut-turut sebesar 77,87; 81,08; dan 78,65%. Tabel 5
Ulangan 1 2 3 4 5 6 Rerata SD %RSD
Persen penurunan konsentrasi ion mangan hasil koagulasi Biji kelor (%) 76,49 78,06 79,59 76,70 78,88 77,47 77,87 1,220 1,567
Biji kelor berkulit (%) 80,13 81,63 81,57 80,69 81,01 81,44 81,08 0,588 0,725
ACH (%) 79,31 81,42 78,68 78,62 76,53 77,34 78,65 1,692 2,152
Dari hasil koagulasi menggunakan koagulan biji kelor dan dengan ACH, diperoleh nilai F hitung 1,92, lebih kecil daripada F tabel. Artinya, variasi hasil koagulasi menggunakan biji kelor dan ACH tidak berbeda nyata. Sementara itu, nilai t hitung 0,92 lebih kecil daripada t tabel. Artinya, kadar ion mangan dalam air baku hasil koagulasi menggunakan biji kelor dan dengan ACH tidak berbeda nyata. Perhitungan hasil koagulasi menggunakan biji kelor berkulit dan dengan ACH menghasilkan nilai F hitung lebih besar daripada F tabel. Artinya, variasi penurunan konsentrasi ion mangan dalam air baku hasil koagulasi biji kelor berkulit dan dengan ACH berbeda nyata. Nilai t hitung 3,35 lebih besar daripada t tabel. Artinya, konsentrasi ion mangan dalam air baku hasil koagulasi dengan biji kelor berkulit dan ACH berbeda nyata. Perhitungan selengkapnya diberikan pada Lampiran 9. Nilai %RSD pengukuran kadar mangan dalam air baku hasil koagulasi dengan biji kelor, biji kelor berkulit, dan ACH juga memenuhi persyaratan %RSD yang ditetapkan dalam APHA-AWWA (2005).