Yan Christin Br. Sembiring, Arifin Akhmad: Analisis Faktor-Faktor…
PENGARUH SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Hasan Basri Tarmizi*, Safaruddin** *
**
Dosen Fakultas Ekonomi USU Kadis Pertanian dan Peternakan di Kabupaten Serdang Bedagai
Abstract: The main purpose of this study is to analyze the influence of Rice Livestock Integration Sistems (SIPT) on farmers income at Serdang Bedagai, to analyze the impact of Rice Livestock Integration Sistems (SIPT) on the development on the implementing the Sistem of Rice Livestock Integration (SIPT) at Serdang Bedagai.The result showed that the Rice Livestock Integration Sistems (SIPT) effect to increasing the farmers’ income and the positively impact on regional development in Serdang Bedagai. It can be seen from the not significantly differences of rice production, the production cost savings (efficiency), employment and farming sustainable (environmentally). The implication of this study is the farmers need to apply the SIPT and the Serdang Bedagai Government order to develop the SIPT in Serdang Bedagai towards the organic farming to realize sustainable agriculture development. Abstrak: Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pendapatan petani di Serdang Bedagai, menganalisis dampak Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pengembangan pada implementasi Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Serdang Bedagai. Hasil menunjukkan bahwa efek Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) untuk meningkatkan pendapatan para petani dan berdampak positif pada pembangunan daerah di Serdang Bedagai. Hal ini dapat dilihat dari tidak secara signifikan perbedaan produksi padi, penghematan biaya produksi (efisiensi), lapangan kerja dan pertanian yang berkelanjutan (lingkungan). Implikasi dari penelitian ini adalah para petani perlu menerapkan SIPT dan Pemerintah Serdang Bedagai dalam rangka untuk mengembangkan SIPT di Serdang Bedagai menuju ke arah pertanian organik untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Keywords: Productivity, Efficiency, Employment, Sustainable Agriculture, and Regional Development. PENDAHULUAN Pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian bangsa. Sektor pertanian telah berperan dalam pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian mempunyai efek pengganda (multiplier effect) yang besar melalui peningkatan input-output-outcome antar industri, konsumsi dan investasi. Hal ini terjadi secara nasional maupun regional karena keunggulan komparatif sebagian
163
besar wilayah Indonesia adalah di sektor pertanian (Departemen Pertanian, 2005). Menurut BPS PDRB Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009 Atas Dasar Harga Berlaku mencapai Rp.8,4 Triliyun, di mana konstribusi terbesar adalah dari sektor pertanian yaitu ± 41%. Dalam operasionalnya pelaksanaan pembangunan pertanian di tingkat petani umumnya masih bersifat parsial (per subsektor), sehingga petani sebagai pelaku usaha tani dikelompokkan menjadi petani tanaman pangan, hortikultura, ikan, ternak, dan perkebunan. Hal tersebut membawa dampak negatif terutama bagi para petani
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
yang hanya memiliki atau menggarap lahan usaha sempit (0,1-0,5 Ha) karena tidak dapat memanfaatkan aset yang dimilikinya secara optimal. Lahan sawah masih dipandang sebagai media untuk memproduksi bahan pangan berupa padi dan palawija saja. Padahal melalui pemanfaatan teknologi tepat guna, lahan sawah selain dapat dimanfaatkan untuk usaha tani tunggal (single community approach) juga dapat dimanfaatkan untuk usaha tani terpadu (integrated communities farming sistem approach) (Sugandi, 2002). Dengan skala kepemilikan lahan yang sempit dan terbatas tersebut, usaha tani semakin diintensifkan yang memerlukan lebih banyak supply unsur hara dan perlindungan tanaman. Pengusahaan lahan yang intensif dengan menggunakan input luar berupa kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar, tanpa melihat kompleksitas lingkungan disamping membutuhkan biaya usaha tani yang tinggi juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan dan menyebabkan penurunan pendapatan petani (Salikin, 2003). Menurut Jumin, (2002), kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan pupuk nitrogen misalnya, di Indonesia selama tahun 1970-1980 terjadi peningkatan 3 kali lipat, penggunaan pestisida 6 kali lipat. Namun sayangnya produktivitas yang diperoleh hanyalah 1,5 kali lipat. Pengusahaan pertanian yang intensif secara monokultur yang menerapkan teknologi high-input pada areal yang lebih subur, telah mengakibatkan lahan marjinal semakin luas (Reijntjes, 1999). Sejak akhir tahun delapan puluhan mulai tampak tandatanda kelelahan pada tanah dan penurunan produktivitas pada hampir semua jenis tanaman yang diusahakan. Hasil tanaman tidak menunjukkan kecenderungan meningkat walaupun telah digunakan varietas unggul yang memerlukan pemeliharaan dan pengelolaan hara secara intensif melalui bermacam-macam paket teknologi (Sutanto, 2002). Menurut Naipospos (2004), sistem pertanian yang konvensional saat ini dilakukan secara tidak bijaksana. Sehingga menimbulkan permasalahan baru yang akhirnya menggagalkan kestabilan
produksi. Karena sistem pertanian yang tanpa memperhatikan kaidah-kaidah keseimbangan ekologi merupakan bagian dari upaya perusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistem konvensional cenderung mengarah pada penanaman tanaman yang sama (monokultur) yang mengharuskan pemakaian pupuk kimia (anorganik) dan pestisida secara besarbesaran sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem dan pengolahan tanah secara intensif menyebabkan degradasi tanah secara luas dan juga mengakibatkan polusi air permukaan maupun air bawah tanah. Melihat kenyataan tersebut, perlu adanya upaya terobosan untuk mendorong perbaikan lingkungan hidup, dengan mengubah sistem pertanian konvensional menjadi sistem pertanian yang ramah lingkungan. Pertanian Ramah Lingkungan dapat dikembangkan melalui sistem integrasi tanaman dan ternak (crop livestock sistem), karena 2/3 (dua pertiga) dari penduduk miskin di negara-negara berkembang memelihara ternak dan hampir 60% diantaranya bergantung pada sistem tanaman-ternak. Usaha tani (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan) selalu dibarengi oleh usaha ternak artinya peternakan dilakukan sebagai usaha sampingan dengan tujuan sebagai tabungan petani, tenaga kerja (ternak besar), penyediaan pupuk kandang dan sebagainya. Keterkaitan dan keterpaduan usaha tani tersebut sejak dahulu berlangsung di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, tetapi masih sporadis atau berskala kecil dan individu. Ternak yang dipelihara dalam jangka panjang dengan pemeliharaan intensif akan meningkatkan pertambahan berat badan atau menghasilkan anak. Kegiatan peternakan setiap hari menghasilkan kotoran yang merupakan substrat utama pembuatan kompos/bokashi sebagai pupuk organik. Sementara dari kegiatan pertanian tanaman pangan dan hortikultura akan memberikan pula sisa-sisa produksi yang dapat digunakan kembali sebagai pakan ternak, disamping adanya hijauan makanan ternak yang ditanam. Dengan demikian kebutuhan makanan ternak dapat terpenuhi sehingga pertumbuhan berat badan rata-rata ternak dapat terus meningkat. Hal ini
164
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
menunjukkan siklus atau rangkaian kegiatan ini memberikan nilai efisiensi yang tinggi di mana tidak adanya limbah dari kegiatan produksi yang terbuang. Sebagai daerah agraris, Kabupaten Serdang Bedagai mempunyai luas lahan sawah lebih kurang 41.000 hektar dan merupakan salah satu daerah penghasil atau lumbung beras di Sumatera Utara dengan surplus beras rata-rata pertahun 125.000 sampai 130.000 ton. Untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani dalam rangka meningkatkan swasembada beras dan penyediaan protein hewani di Kabupaten Serdang Bedagai, secara berkelanjutan dengan tidak merusak lingkungan maka Sistem Integrasi Padi dan Ternak dapat menjadi salah satu pilihan sistem pembangunan pertanian di Kabupaten Serdang Bedagai. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk mengadakan studi analisis Sistem Integrasi Padi Ternak dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka sebagai permasalahan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Apakah Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berpengaruh terhadap pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai? 2. Bagaimana dampak Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai? Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berpengaruh terhadap pendapatan petani. 2. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berdampak terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. METODE Penelitian ini dilakukan di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Desa Lubuk Bayas merupakan salah satu desa di Kecamatan Perbaungan yang melakukan pola usaha tani dengan Sistem Integrasi Padi Ternak, yaitu ternak sapi potong.
165
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di Desa Lubuk Bayas sebanyak 692 orang yang tersebar pada 6 (enam) kelompok tani. Jumlah petani yang menerapkan SIPT adalah sebanyak 70 petani pada dua kelompok tani, selebihnya sebanyak 622 petani belum melakukan SIPT. Peneliti menetapkan sampel penelitian sebanyak 140 petani, yang terdiri dari 70 petani pelaksana SIPT dan 70 petani non SIPT. Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh SIPT terhadap pendapatan petani, dilakukan dengan membandingkan pendapatan petani dengan SIPT dan pendapatan petani tanpa SIPT melalui uji beda rata-rata. Analisis uji beda rata-rata dilakukan dengan menggunakan rumus uji-t (Steel and Torrie, 1998) sebagai berikut:
dimana: = rata-rata pendapatan petani dengan pola SIPT = rata-rata pendapatan petani tanpa SIPT = varians gabungan n = banyak sampel Selanjutnya nilai t-hitung dibandingkan dengan nilai t-tabel pada 5%. Metode analisis data yang digunakan untuk menjawab hipotesis kedua, yaitu untuk mengetahui dampak SIPT terhadap pengembangan wilayah dilakukan dengan uji beda rata-rata. Analisis uji beda rata-rata dilakukan dengan menggunakan rumus uji-t (Steel and Torrie, 1998) sebagai berikut:
dimana: = rata-rata pertumbuhan produksi padi dan daya serap tenaga kerja dengan pola SIPT = rata-rata pertumbuhan produksi padi dan daya serap tenaga kerja tanpa SIPT = varians gabungan n = banyak sampel Selanjutnya nilai t-hitung dibandingkan dengan nilai t-tabel pada 5%.
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
HASIL Gambaran umum lokasi penelitian Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 2°57” Lintang Utara, 3°16” Lintang Selatan, 98°33” Bujur Timur, 99°27” Bujur Barat dengan luas wilayah 1.900,22 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan kabupaten Deli Serdang. Dengan ketinggian wilayah 0-500 meter dari permukaan laut. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis di mana kondisi iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara per bulan sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 30 sampai dengan 340 mm perbulan dengan periodik tertinggi pada bulan AgustusSeptember, hari hujan per bulan berkisar 826 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Agutus-September. Ratarata kecepatan udara berkisar 1,9 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3,47 mm/hari. Temperature udara per bulan minimum 23,7°C dan maksimum 32,2°C. Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17 Kecamatan, dengan luas wilayah masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut (Tabel 1): Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai No. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Kecamatan Kotarih Silinda Bintang Bayu Dolok Masihul Serbajadi Sipispis Dolok Merawan Tebing Tinggi Tebing Syahbandar Bandar Kalipah Tanjung Beringin Sei Rampah Sei Bamban Teluk Mengkudu Perbaungan Pegajahan Pantai Cermin Jumlah
Rasio terhadap Luas Kabupaten (%) 78,024 4,11 56,740 2,99 95,586 5,03 237,417 12,49 50,690 2,67 145,259 7,64 120,600 6,35 182,291 9,59 120,297 6,33 116,000 6,10 74,170 3,90 198,900 10,47 72,260 3,80 66,950 3,52 111,620 5,87 93,120 4,90 80,296 4,23 1.900,220 100,00
Luas (Km2)
Sumber: Kabupaten Serdang Bedagai Dalam Angka, 2010
Kecamatan Perbaungan adalah salah satu dari 17 kecamatan di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai. Secara geografis Kecamatan Perbaungan terletak antara : 98°54’0”-99°0’0” Bujur Timur dan 3°19’48”-3°28’48” Lintang Utara. Batasbatas administratif wilayah kecamatan Perbaungan adalah: 1. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Teluk Mengkudu 2. Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Pagar Merbau Kab. Deli Serdang. 3. Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Pantai Cermin 4. Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Pegajahan. Secara administratif, kecamatan Perbaungan terdiri dari 24 desa dan 4 kelurahan, dengan luas wilayah 111,620 km2. Luas desa di kecamatan Perbaungan adalah sebagai berikut (Tabel 2). Tabel 2.
Luas Wilayah Kecamatan Perbaungan Berdasarkan Desa
No.
Desa / Kelurahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Adolina Melati II Tanjung Buluh Sei Buluh Sei Sijenggi Deli Muda Hulu Melati 1 Citaman Jernih Batang Terap Simpang Tiga Pekan Kota Galuh Tualang Bengkel Deli Muda Hilir Tanah Merah Lubuk Bayas Sungai Naga Lawan Lubuk Rotan Kesatuan Lidah Tanah Pematang Tatal Lubuk Dendang Suka Beras Cinta Air Pematang Sijonam Lubuk Cemara Jambur Pulau Suka Jadi Jumlah
Sumber:
Kabupaten Serdang Angka, 2010
Luas (Km2) 16,74 11,80 7,39 1,23 2,71 3,77 1,17 1,62 1,97 1,78 3,00 5,04 1,37 4,63 3,39 4,81 5,58 3,64 3,32 4,60 1,89 1,76 3,26 3,52 4,71 2,50 2,47 1,95 111,62 Bedagai
Jumlah Dusun 3 23 2 4 4 2 2 7 4 7 4 11 5 3 3 4 3 5 4 6 4 3 3 4 6 3 4 3 136 Dalam
166
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
Jumlah penduduk di Kecamatan Perbaungan pada tahun 2009 adalah sebanyak 104,014 jiwa, yang terdiri dari 51,636 jiwa laki-laki dan 52,378 jiwa perempuan. Desa Lubuk Bayas yang menjadi wilayah penelitian berjarak 15 km dari ibukota kecamatan, dan secara administratif berbatasan dengan: 1. Sebelah Timur berbatas dengan Desa Tanah Merah 2. Sebelah Barat berbatas dengan Desa Sei Naga Lawan 3. Sebelah Utara berbatas dengan Desa Lubuk Rotan 4. Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Pematang Tatal. Struktur penduduk Desa Lubuk Bayas berdasarkan suku secara umum terdiri dari tiga suku, yaitu suku Jawa sebanyak 34,84%, Banjar sebanyak 30,69% dan suku Melayu 26,92%. Mayoritas penduduk (99%) menganut agama Islam. Sumber mata pencaharian utama penduduk di Desa Lubuk Bayas mayoritas (28.25%) adalah petani. Pada umumnya masyarakat mengusahakan tanaman padi sawah. Deskripsi sistem integrasi padi-ternak Pengembangan budidaya ternak dalam suatu kawasan persawahan dapat dilakukan dengan usaha pemeliharaan ternak yang diketahui dapat memanfaatkan secara optimal sumber daya lokal dan produk samping tanaman padi. Pola pengembangan tersebut telah dikenal dengan sistem integrasi padi ternak (SIPT) dan merupakan suatu sistem usaha tani yang pengelolaannya saling terintegrasi dengan berbagai komponen usaha tani paditernak. Pelaksanaan program SIPT antara lain dapat dilakukan melalui penerapan berbagai macam teknologi pengolahan bahan baku pakan dan kotoran ternak sebagai sumber bahan baku pupuk organik. Produk teknologi pengolahan diharapkan mampu mendukung kegiatan usaha tani padi melalui penyediaan pupuk organik dan penyediaan bahan pakan yang berkelanjutan untuk sapi potong. Secara keseluruhan maka pengembangan SIPT dilaksanakan dengan tujuan untuk antara lain (i) mendukung upaya mempertahankan dan sekaligus
167
memperbaiki struktur dan tekstur lahan pertanian serta menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman pertanian yang seimbang, (ii) mendukung upaya peningkatan produktifitas tanaman padi (sebagai produk utama) dan daging (sebagai produk ikutan), (iii) peningkatan populasi ternak, yang sekaligus, (iv) meningkatkan pendapatan petani. Dalam pelaksanaan SIPT di Desa Lubuk Bayas, petani membentuk kelompok dengan jumlah anggota 5–8 petani per kelompok. Setiap petani memiliki 2–4 ekor sapi, sehingga untuk satu kelompok terdapat 10–32 ekor sapi. Setiap kelompok peternak mempunyai satu kandang bersama, dan dalam pemberian pakan, mereka mengatur jadwal secara bersama. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pakan sapi yang diberikan oleh petani adalah rumput, bukan jerami padi sebagaimana konsep SIPT. Hal ini dlakukan petani karena masih tersedianya rumput di sekitar mereka, dan keterbatasan ketersediaan jerami padi yaitu hanya setelah musim panen. Dalam pola SIPT, beberapa keuntungan yang diperoleh petani dalam hubungannya dengan pertanaman padi adalah: a. Petani menggunakan kotoran sapi sebagai pupuk kandang untuk areal sawah dengan dosis 500 kg/ha, sehingga mengurangi penggunaan pupuk anorganik. b. Urine sapi digunakan sebagai pestisida alami sehingga mengurangi biaya pembelian pestisida. Penggunaan faktor produksi Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usaha tani padi diantaranya adalah bibit, pupuk dan tenaga kerja. Penggunaan faktor-faktor produksi tersebut disajikan per petani dan per ha, sebagaimana Tabel 3.
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
Tabel 3. Persentase Responden Berdasarkan Penggunaan Faktorfaktor Produksi Tanaman Padi Sawah No.
Faktor Produksi
1. Bibit (kg) 2. Pupuk (kg) Urea TSP/SP36 Ponska ZA Kandang 3. Tenaga Kerja Dalam Keluarga Luar Keluarga
Per Petani Non SIPT SIPT 21,2 24,2
Per Ha Non SIPT SIPT 40 40
53 53 26,5 0 265 60,87
121,6 90,4 60,6 59,4 0 66,37
100 100 50 0 500 115
202 149 100 95 0 110
9
2
17
5
52
65
97
104
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011 Penggunaan bibit per petani pada SIPT rata-rata sebanyak 21,2 kg dan non SIPT sebanyak 24,2 kg. Hal ini berhubungan dengan perbedaan rata-rata luas sawah yang diusahakan petani. Namun penggunaan bibit per ha adalah sama, yaitu 40 kg per ha. Hal ini disebabkan karena lahan sawah yang diusahakan oleh petani adalah lahan irigasi teknis dan petani membentuk kelompok tani, di mana dalam kelompok ini aktif mengikuti penyuluhan sistem usaha tani padi sawah. Dalam penggunaan pupuk, dilihat bahwa dalam SIPT jumlah pupuk yang digunakan petani lebih sedikit dibandingkan dengan non SIPT. Tiga jenis pupuk yang digunakan petani adalah sama, yaitu Urea, TSP/SP36 dan Ponska, dengan dosis penggunaan yang lebih rendah pada SIPT. Perbedaan jenis pupuk yang digunakan adalah bahwa petani non SIPT menggunakan pupuk ZA, sedangkan petani SIPT menggunakan pupuk kandang, dalam hal ini adalah kotoran sapi. Dalam hal penggunaan tenaga kerja, dapat dilihat bahwa per petani penggunaan tenaga kerja lebih rendah pada SIPT dibandingkan dengan non SIPT, tetapi per ha bahwa penggunaan tenaga kerja lebih besar pada SIPT daripada non SIPT. Namun demikian dapat dilihat bahwa penggunaan tenaga kerja dalam keluarga lebih efektif pada SIPT dibandingkan dengan non SIPT, dengan demikian penggunaan tenaga kerja luar keluarga lebih banyak pada petani non SIPT dibandingkan
SIPT. Penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usaha tani akan mengurangi angka pengangguran tersembunyi dalam keluarga. Dengan demikian bahwa tenaga kerja dalam keluarga menjadi produktif. Selanjutnya berdasarkan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, maka dapat diketahui jumlah biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam usaha tani padi sawah, sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Dalam hal ini biaya produksi dihitung untuk dua kali musim tanam, karena seluruh petani melakukan pola tanam dua kali dalam satu tahun. Sesuai dengan penggunaan faktor produksi per petani yang lebih banyak pada petani non SIPT, maka biaya produksi juga lebih besar yaitu Rp. 8.398.136, sedangkan petani SIPT adalah Rp. 7.065.324. Demikian juga dalam perhitungan biya per ha, untuk petani non SIPT adalah sebesar Rp. 13.834.680, dan untuk petani SIPT adalah sebesar Rp. 13.315.254. Komponen biaya yang paling banyak berbeda adalah komponen biaya pupuk. Hal ini sesuai dengan penggunaan pupuk yang lebih banyak pada petani non SIPT. Tabel 4. Rata-rata Biaya Faktor Produksi per Tahun (Rp) Per Petani Per Ha SIPT Non SIPT SIPT Non SIPT 1. Bibit 127.200 144.943 240.000 239.143 2. Pupuk 614.266 863.686 1.141.771 1.423.508 3. Pestisida 158.443 161.443 305.444 272.368 Tenaga 4. 2.419.429 2.785.186 4.567.912 4.579.806 Kerja 5. Iuran Air 147.075 168.096 277.500 277.515 6. PBB 66.250.00 75.714 125.000 125.000 Total 7.065.324 8.398.136 13.315.254 13.834.680
No
Faktor Produksi
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
Produksi dan pendapatan Produksi padi yang dihasilkan petani dihitung dalam dua kali musim tanam (total) per tahun, demikian juga dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani. Jumlah produksi padi dan pendapatan petani dari usaha tani padi sawah di Desa Lubuk Bayas per tahun disajikan pada Tabel 5.
168
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
Tabel 5. Rata-rata Produksi dan Pendapatan Responden No. 1. 2. 3. 4.
Per Petani Per Ha Non Non SIPT SIPT SIPT SIPT Produksi (ton) 6,93 7,86 13,06 13,02 Penjualan (Rp)25.646.286 29.067.200 48.317.973 48.170.476 Biaya Produksi 7.065.3248.398.136 13.315.254 13.834.680 (Rp) Pendapatan 18.580.961 20.669.064 35.002.719 34.335.796 (Rp) Uraian
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
Produksi padi per petani lebih tinggi pada petani non SIPT, hal ini sesuai dengan lahan sawah yang diusahakan lebih luas dibandingkan dengan petani SIPT. Tetapi dalam hal jumlah produksi per ha, diketahui bahwa produksi petani SIPT lebih tinggi dibandingkan dengan non SIPT. Total produksi petani SIPT dalam dua kali musim tanam adalah 13,06 ton per ha, sedangkan total produksi petani non SIPT adalah 13,02 ton per ha. Hal ini berarti bahwa dengan pola SIPT dan dengan penggunaan pupuk anorganik yang lebih rendah, produksi padi SIPT masih lebih tinggi dibandingkan dengan produksi padi non SIPT. Padi yang dihasilkan petani pada umumnya dijual dalam keadaan basah kepada agen, dengan harga rata-rata Rp. 3.700 per kg. Tidak terdapat perbedaan harga jual gabah antara petani SIPT dan non SIPT, karena lokasi lahan sawah yang berada di desa yang sama dan dijual kepada agen. Sesuai dengan perbedaan produksi antara petani SIPT dan non SIPT, maka nilai penjualan padi juga berbeda, yaitu Rp. 48.317.973 per ha/tahun pada petani SIPT dan Rp. 48.170.476 per ha/tahun pada petani non SIPT. Setelah dikurangi dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam satu tahun untuk usaha tani padi sawahnya, maka diperoleh pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pendapatan petani SIPT per Ha dalam satu tahun lebih tinggi dari pendapatan petani non SIPT. Jumlah pendapatan petani SIPT dari usaha tani padi sawah adalah Rp. 35.002.719,- sedangkan pendapatan petani non SIPT adalah sebesar Rp. 34.335.796. Selain pendapatan dari usaha tani padi sawah, petani SIPT juga memperoleh pendapatan dari penjualan sapi, yang diperkirakan rata-rata Rp.
169
5.476.000 per tahun. Untuk lengkapnya disajikan pada tabel berikut: Tabel 6. Rata-rata Pendapatan Responden dari Penjualan Sapi No. 1.
2. 3. 4. 5.
Uraian Lama dipelihara (tahun) Biaya produksi (Rp.) Penjualan (Rp) Pendapatan (Rp)-2 thn Pendapatan (Rp) / thn
Jumlah Sapi 2 ekor 4 ekor
Rata-rata
2
2
2
5.640.000
14.600.000
10.248.000
14.000.000
28.000.000
21.200.000
8.360.000
13.400.000
10.952.000
4.180.000
6.700.000
5.476.000
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
PEMBAHASAN Pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pendapatan petani dengan pola SIPT dan non SIPT, di mana pendapatan petani SIPT per hektar lebih tinggi dibandingkan dengan petani non SIPT. Untuk menguji signifikansi perbedaan pendapatan tersebut, dialukan uji t sebagai berikut: Tabel 7. Uji Beda Pendapatan Petani Uraian
Pendapa tan
t
Equal 2,567 variances assumed Equal 2,567 variances not assumed
df 138
123,451
Sig. Mean (2Differen tailed) ce ,011 666923.1 0000 ,011
666923,1 0000
Berdasarkan hasil analisis dengan uji t diperoleh nilai t-hitung sebesar 2,567 dengan signifikansi 0.011 yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada α=5%. Dengan demikian terdapat perbedaan antara pendapatan per hektar petani SIPT dengan pendapatan petani non SIPT. Perbedaan pendapatan adalah sebesar Rp. 666.923 per hektar. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa faktor utama yang menyebabkan pendapatan lebih tinggi pada SIPT adalah karena biaya produksi SIPT lebih rendah dibandingkan dengan petani non SIPT. Hal ini disebabkan karena petani SIPT memanfaatkan pupuk kompos berupa
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
pupuk organik dari ternak sapi sehingga mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Tabel 8. Uji Beda Biaya Pupuk Petani Uraian
Pupuk
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t
df
-17,413
138
-17,413
72,8 92
Sig. (2tailed) ,000
-281736,22857
,000
-281736,22857
Mean Difference
Berdasarkan hasil analisis dengan uji t diperoleh nilai t-hitung sebesar 17,413 dengan signifikansi 0,00 yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada α 5%. Dengan demikian terdapat perbedaan antara biaya pupuk per hektar petani SIPT dengan petani non SIPT. Perbedaan biaya pupuk adalah sebesar Rp. 281.736,23 per hektar, dengan demikian pola SIPT dapat menurunkan biaya pupuk sebesar Rp. 281.736,23 per hektar. Menurut Sutanto (2002), beberapa manfaat penggunaan kompos dalam jangka panjang mampu meningkatkan N, P, K dan Si tanah, disamping itu juga mampu meningkatkan aktivitas mikrobia penyemat nitrogen melalui peningkatan kandungan bahan organik tanah yang mudah terdekomposisi, meningkatkan pembentukan agregat yang stabil dan pertukaran kation. Selanjutnya Poniman (2003) menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan dan mempertahankan keanekaragaman dan kehidupan organisme tanah. Bahan organik merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme tanah. Meskipun pupuk kandang banyak memberikan keuntungan, tetapi pemakaiannya di lapangan juga harus memperhatikan kondisi setiap jenis bahan orgnik yang dikandungnya. Penggunaan pupuk organik yang tidak tepat juga bisa mencemari lingkungan. Dengan demikian harus diketahui jenis bahan organik, jumlah yang harus diberikan, kapan pupuk kandang digunakan secara tepat melalui teknologi diperlukan untuk men-treatment limbah organik pertanian. Menurut Rochayati, at al ((2003) penggunaan pupuk organik di Korea Selatan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Persentase agregat berukuran 1 mm atau lebih, prositas, permeabilitas,
pH, kandungan bahan organik dan KTK meningkat, sebaliknya bulk density dan kekerasan tanah berkurang dengan pemberian pupuk organik. Selanjutnya dikatakan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah perlu terus ditingkatkan sehingga penggunaan pupuk dapat lebih rasional dan efisien berdasarkan analisis tanah, sifat-sifat tanah dan kebutuhan tanaman serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Perimbangan pupuk organik dan pupuk annorganik yang tepat menyebabkan tanaman tumbuh optimal dan produksi meningkat. Berdasarkan penelitian Sutardi et.al (2002) jumlah pupuk anorganik yang tinggi tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi, namun yang menentukan tingkat produksi adalah perimbangan pupuk organik dan anorganik dengan perlakuan kurang 30% atau 105 kg/ha Urea, 45 kg/ha SP-36, dan 30 kg/ha KCL dengan perimbangan pupuk organik 2,5 ton/ha. Faktor genetik juga menentukan berat gabah pertanaman. Keseimbangan pupuk dengan perbandingan <30 persen pupuk kimia merupakan sistem usaha tani dengan teknologi akrab lingkungan yang berdampak terhadap peningkatan keamanan produk pertanian serta menghasilkan produk organik. Pemanfaatan pupuk kandang akan mampu mengurangi kandungan logam berat Cadmium dalam tanah melalui mekanisme penghelatan sehingga mudah diserap oleh tanaman. Penelitian di Maharassta dan Bihar di mana penggunaan pupuk kandang dan kompos sebanyak 1,26 ton per ha dapat meningkatkan hasil gabah 100 kg/ha dan di Orissa meningkatkan hasil 216 kg/ha (Grag et al., 1971 dalam Sutanto, 2002) serta pemanfaatan berbagai jenis kompos untuk tanaman kacang dan jagung ternyata memperoleh hasil yang lebih tinggi daripada menggunakan pupuk kimiawi sesuai dengan dosis anjuran. Menurut Juanda, et-al (2003) perbaikan rekomendasi teknologi pemupukan melalui pemetaan status hara P dan K lahan sawah mutlak diperlukan, karena merupakan kunci dalam upaya menciptakan swasembada pangan. Lebih lanjut dikatakan dengan melakukan pemupukan sesuai hasil analisis tanah, maka dapat dihemat biaya sebesar Rp. 242.884.600-Rp. 315.715.500,-/musim
170
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
untuk pembelian pupuk SP-36 dan Rp. 337.115.100,-/musim tanam untuk pembelian pupuk KCL. Pemakaian pupuk kandang sebagai pupuk organik bukan merupakan hal baru dalam sistem usaha tani, namun penggunaan pupuk kandang untuk memupuk tanaman dan menjaga kesuburan tanah secara besar-besaran di kalangan petani masih sangat terbatas. Kendala yang dihadapi oleh masyarakat pengguna pupuk kandang adalah masih terbatasnya persediaan pupuk kandang, proses pengomposan memakan waktu dan masih sedikitnya instalasi pengomposan baik milik pemerintah maupun masyarakat. Dengan memperhatikan trend dunia dalam mengurangi pemakaian pupuk kimia dan lebih mengedepankan kesuburan berkelanjutan yang ramah lingkungan serta ketersediaan bahan baku limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pupuk melimpah, maka perlu ditingkatkan gerakan sosialisasi dan penyuluhan pemanfaatan pupuk organik dan mengembangkan usaha tani pola integrasi spesifik lokasi (Suwandi, 2005). Dampak Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai Ada Sesuai dengan varibel penelitian, maka pengembangan wilayah sebagai dampak dari SIPT dilihat dari parameter produksi padi dan penggunaan tenaga kerja untuk usaha tani padi sawah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat perbedaan produksi padi sawah per hektar, namun demikian perlu diuji signifikansi perbedaannya dengan uji t sebagai berikut. Tabel 9. Uji Beda Produksi Padi Sawah Uraian
t
df
Equal variances assumed Pro Equal duksi variances not assumed
,570
138
Sig. (2tailed) ,570
,570
119,476
,570
Mean Difference ,03943
,03943
Berdasarkan hasil analisis dengan uji t diperoleh nilai t-hitung sebesar 0,57 dengan signifikansi 0,57 yang berarti tidak terdapat
171
perbedaan signifikan pada α=5%. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan yang nyata produksi padi sawah per hektar petani SIPT dengan petani non SIPT. Hal ini terutama disebabkan karena usaha tani padi sawah di daerah penelitian adalah irigasi teknis, dan para petani tergabung dalam kelompok tani. Tabel 10. Uji Beda Penggunaan Tenaga Kerja Uraian T.Kerja Equal variances assumed
TKDK
t 4,203
Sig. Mean df (2-tailed) Difference 138 ,000 4,97143
Equal variances not assumed Equal variances assumed
4,203 103,09 5
,000
4,97143
11,89 9
138
,000
12,37143
Equal variances not assumed
11,89 73,831 9
,000
12,37143
Berdasarkan hasil analisis dengan uji t diperoleh nilai t-hitung sebesar 4,203 dengan signifikansi 0,00 untuk tenaga kerja total per hektar yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada α 5%. Dengan demikian terdapat perbedaan antara penggunaan tenaga kerja per hektar pada usaha tani SIPT dengan usaha tani non SIPT. Selanjutnya untuk tenaga kerja dalam keluarga diperoleh nilai t-hitung sebesar 11,899 dengan signifikansi 0,00 yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada α 5%. Dengan demikian terdapat perbedaan antara penggunaan tenaga kerja dalam keluarga per hektar pada usaha tani SIPT dengan usaha tani non SIPT. Menurut Rustiadi, dkk (2011), bahwa beberapa indikator perkembangan wilayah berdasarkan tujuan pembangunan adalah produktivitas, efisiensi dan sustainability (keberlanjutan). Berdasarkan hasil analisis terhadap produktivitas, diketahui bahwa produktivitas padi sawah dengan SIPT lebih tinggi daripada produktivitas padi non SIPT, demikian juga dalam hal efisiensi penggunaan modal kerja, terutama pupuk, bahwa usaha tani SIPT lebih efisien dibandingkan dengan usaha tani non SIPT. Dalam hal sustainability (keberlanjutan), usaha tani SIPT menggunakan pupuk organik sehingga penggunaan pupuk anorganik berkurang, yang berarti telah melakukan pola usaha tani untuk
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
sustainability (keberlanjutan). Demikian sebagaimana menurut Rustiadi, dkk tersebut, bahwa usaha tani SIPT berdampak positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Selanjutnya Rustiadi, dkk (2011) juga menyatakan bahwa salah satu indikator pengembangan wilayah berdasarkan proses pembangunan adalah benefit. Hasil analisis menunjukkan bahwa benefit yang diperoleh petani SIPT lebih tinggi dibandingkan dengan petani non SIPT, baik dari usaha tani padi sawah per hektar, maupun berdasarkan pendapatan total. Dengan demikian, bahwa berdasarkan benefit yang diperoleh petani SIPT ternyata usaha tani SIPT berdampak positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. KESIMPULAN 1. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berpengaruh terhadap pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai, di mana terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan per hektar petani SIPT dengan pendapatan petani non SIPT. Perbedaan pendapatan adalah sebesar Rp. 666.923 per hektar. 2. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) memberikan dampak positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan produksi padi pada usaha tani SIPT serta peningkatan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, yang berarti terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja dalam usaha tani SIPT.
DAFTAR RUJUKAN Departemen Pertanian, 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan. Departemen Pertanian, Jakarta. Jumin, H.B, 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologis. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Naipospos, B, 2004. Pertanian Campuran Harga Mati Bagi Lingkungan. Sinar Tani Edisi 28, Januari-Pebruari 2004 No. 3032, Jakarta. Rustiadi, Ernan; Saefulhakim, Sunsun dan Dyah R. Panuju, 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crestpent Pres dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Salikin, K.A, 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta. Steel, Robert H. Dan James H. Torrie, 1998. Statistik Biometrik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sutanto, R. 2002a. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sutardi, A., Musofie, Nurhidayat, dan Soeharsono. 2002. Pengkajian Integrasi Usaha tani Tanaman Pangan dan Ternak Ruminansia di Agroekologi Lahan Sawah Tadah Hujan. Dalam seminar Nasional pada Usaha tani Ramah Lingkungan di Loka Jakenan, Pati Jawa Tengah, Puslitanak Bogor, 11 Desember 2002 Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan RAP-CLS. Tesis, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
172