Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
HARMONI KEHIDUPAN PADA MASYARAKAT PLURAL: STUDI KASUS INTEGRASI SOSIAL
ANTARETNIS DI KABUPATEN
TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI Dr. Lindayanti, M.Hum. Witrianto, S.S., M.Hum., M.Si. Staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang.
Abstrak Dalam banyak konflik kekerasan dan kerusuhan, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) acapkali muncul sebagai faktor pemicu. Etnis, sebagai bagian dari ras, merupakan salah satu unsur yang sering menyebabkan terjadinya konflik. Tak jarang, orang melakukan aksi kekerasan atas nama etnis. Kenyataan tersebut memunculkan asumsi pada sebagian orang bahwa etnis memiliki andil terhadap merebaknya cultur of vioence dalam masyarakat yang plural. Upaya mengurangi ketegangan dan konflik pada masyarakat yang pluralis serta pencarian solusi dari benturan dan dilematis antaretnis dapat dicari dalam konsep dan implementasi ide integrasi antaretnis yang menempati suatu wilayah yang sama di Indonesia. Konsep tersebut merupakan titik temu antara ide-ide nasionalisme serta keberagaman sedemikian rupa sehingga praksis di antara keduanya tidak berbenturan. Kata kunci: plural, etnis, dan integrasi.
~1~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
Pendahuluan Masyarakat yang mendiami wilayah Provinsi Jambi merupakan masyarakat plural yang terdiri dari berbagai etnis, seperti Melayu dan Kerinci yang dianggap sebagai penduduk asli Provinsi Jambi, dan penduduk pendatang seperti, Minangkabau, Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Banjar, Ambon, dan keturunan Arab, India, dan Cina. Di samping mendiami suatu wilayah, mereka juga hidup berdampingan dalam suatu wilayah dalam kondisi damai. Proses integrasi yang mereka alami sudah berlangsung sudah sejak lama, sejak zaman kerajaan sebelum kedatangan bangsa Barat. Pembauran sesamanya pun telah terwujud dalam bentukbentuk budaya yang menjadi milik bersama. Akan tetapi, sejak satu dasawarsa terakhir, sejak otonomi daerah yang diseratai masuknya perusahaan-perusahaan besar, baik milik pengusaha Indonesia maupun pengusaha asing, ataupun pemilihan Kepala daerah secara langsung, kehidupan yang harmoni tersebut di beberapa daerah mulai goyah dan bahkan berubah menjadi konflik fisik. Kerukunan hidup yang selama ini terjaga dengan baik mulai hilang. Bahkan, konflik tersebut seolah-olah dapat pula menggoyahkan sendi-sendi persatuan dan mengancam integrasi bangsa. Kabupaten tanjung Jabung Timur yang multietnis menyimpan potensi konflik, bukan hanya konflik antaretnis tetapi juga antara rakyat kecil dan pengusaha besar. Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jambi yang dapat mempertahankan keharmonian hubungan antaretnis tersebut, baik antar penduduk pendatang maupun antara penduduk pedatang dan penduduk asli. Sepanjang sejarahnya tidak terdapat catatan konflik “berdarah“ sesama mereka. Kehadiran
mereka di Tanjung Jabung Timur pada awalnya lebih disebabkan karena Tanjung Jabung Timur merupakan salah satu pusat perdagangan di kawasan Pantai Timur Sumatra dan Selat Malaka. Kedatangan mereka telah menambah jumlah penduduk, mengubah komposisi penduduk dan membentuk masyarakat yang plural. Mereka melakukan proses integrasi sehingga generasi berikutnya mengidentifikasikan diri sebagai orang Melayu Jambi. Melalui penelitian sejarah dengan melihat proses temporal yang panjang akan dapat dilihat evolusi terbentuknya masyarakat multietnis di Tanjung Jabung Timur, interaksi di antara penduduknya, konflik dan kompromi yang akhirnya terjadi integrasi antara pendatang dan penduduk setempat menuju terbentuknya identitas baru, yaitu sebagai masyarakat Melayu Jambi. Oleh karena itu, penelitian ini mencakup masa pemerintahan Kesultanan Jambi, masa pemerintahan kolonial Belanda, masa Revolusi, masa Indonesia mereka. Kemudian dengan penulisan sejarah sosial akan ditemukan secara evolusi perubahanperubahan di dalam masyarakat tersebut beserta budaya mereka. Melalui penelitian kesejarahan yang menggunakan analisa prosesual akan dapat menjelaskan proses terbentuknya identitas baru, masyarakat Melayu Jambi. Sehingga, darinya dapat dilihat berbagai budaya yang dikembangkannya untuk menjaga keharmonian hidup di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Pada sisi lain, dapat pula dipetik kearifan lokal yang mereka hadirkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat membantu pemerintah dalam rangka integrasi bangsa dengan cara memberi contoh suatu kehidupan yang harmonis di suatu daerah, yaitu Jambi dan akan dapat menjadi contoh bagi
~2~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
kehidupan penduduk di daerah lain dalam lingkup negara Indonesia. Landasan Teoritis Kata “pluralis” berasal dari bahasa Latin “plures” yang berarti “beberapa” dengan implikasi 1 perbedaan. Pluralisme adalah filosofis yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, tetapi menerima adanya keragaman. Pluralisme meliputi bidang kultural, politik, dan agama.2 Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya masyarakat plural adalah karena adanya migrasi atau perpindahan penduduk yang keluar dari daerah asalnya menuju daerah yang didiami oleh etnis yang berbeda. Migrasi merupakan tipe mobilitas penduduk yang berbentuk mobilitas penduduk horizontal yang lebih dikenal sebagai gerak penduduk yang melintasi batas wilayah menuju ke wilayah lain dalam periode waktu tertentu3 Selanjutnya, alasan mengapa seseorang mengambil keputusan bermigrasi antara lain dapat dilihat dari teori kebutuhan dan tekanan (need and stress).4 Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologi. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi, terjadilah tekanan atau stress. Apabila stress yang dialami seseorang di 1
Nurcholis Madjid, “Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus EF (eds.), Passing Over: Melintasi Batas Agama Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 184. 2 Gerald O’ Collins and Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 267. 3 Ida Bagus Mantra, Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia, (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1999), hlm. 1. 4 Ida Bagoes Mantra, Demografi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 231-233.
luar batas, maka orang itu mulai memikirkan untuk pindah dari daerah yang mempunyai nilai kefaedahan (place utility) lebih rendah ke daerah yang mempunyai nilai kefaedahan lebih tinggi, yaitu tempat yang dapat memenuhi kebutuhannya. Di daerah asal (origin) dan daerah tujuan (destination), ada faktorfaktor positif dan negatif. Faktor positif adalah faktor yang memberikan nilai menguntungkan kalau bertempat tinggal di daerah tersebut. Faktor negatif adalah faktor yang memberikan nilai negatif pada daerah yang bersangkutan sehingga seseorang ingin pindah. Selanjutnya, di antara dua tempat itu selalu terdapat sejumlah rintangan antara (intervening obstacles) yang dalam keadaan tertentu tidak seberapa besarnya, tetapi dalam keadaan lain tidak dapat diatasi.5 Misalnya berupa ongkos pindah yang tinggi, terbatasnya sarana transportasi, ongkos pindah.6 Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor individu karena individu itu sendiri yang menilai positif atau negatifnya suatu daerah.7 Akan tetapi menurut Mochtar Naim,8 ada hal lain yang mendorong terjadinya migrasi penduduk, yaitu kebiasaan penduduk yang telah melembaga khususnya berlaku bagi masyarakat Minangkabau.9 Orang Minangkabau dari daerah inti (Luhak Nan Tigo) bermigrasi ke pantai timur dalam gelombang-gelombang migrasi yang berlangsung bergenerasi-generasi sebelumnya. Rantau Minangkabau sebelah timur meliputi daerah hiliran5
Everett S. Lee, “A Theory of Migration” dalam Demography, No. 3, Tahun 1996. hlm. 49. 6 Ida Bagoes Mantra, op cit., hlm. 234. 7 Ibid. 8 Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984). 9 Ibid.
~3~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
hiliran sungai besar: Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Indragiri, dan Batanghari (Jambi) yang secara historis disebut sebagai Minangkabau Timur. Dengan demikian tidaklah mengherankan orang Minangkabau menjadi salah satu etnis penting dalam proses terbentuknya masyarakat Melayu Jambi, di samping itu juga terdapat orang Jawa, orang Banjar, orang Bugis, dan orang Palembang. Berlainan dengan orang Minangkabau, orang Jawa kebanyakan bermigrasi melalui program pemerintah mulai dari kolonisasi masa pemerintahan Belanda dan transmigrasi setelah Indonesia merdeka. Program kolonisasi merupakan kebijakan kependudukan pemerintah kolonial Belanda untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk dan menurunnya taraf hidup penduduk di Jawa, dan sekaligus sebagai kebijakan penyediaan tenaga kerja bagi perusahaan swasta Barat di Luar Jawa10. Pembahasan mengenai program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, antara lain dapat ditemukan dalam karya Patrice Levang. 11 10
Beberapa contoh penulisan mengenai kolonisasi orang Jawa berkaitan dengan kebijakan tenaga kerja dapat dilihat antara lain, Ann Laura Stoler, Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870-1979, (New Haven: Yale University Press,1985), J. Breman, Koelies, Planters en Koloniale Politiek; het Arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust in het begin van de twintigste eeuw, (Dordrecht/Providence: Foris; Leiden: KITLV, 1987), dan Lindayanti, “Kebutuhan Tenaga kerja dan Kebijakan Kependudukan: Migrasi Orang dari Jawa ke Bengkulu 1908-1941”, Disertasi, Yogyakarta: Univesitas Gadjah Mada, 2007. 11 Patrice Levang, Ayo Ke Tanah Sabrang, (terjemahan), (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003).
Selain orang Minangkabau dan orang Jawa, komunitas orang Banjar pun banyak ditemukan di propinsi Jambi.12 Migrasi penduduk akan mengubah jumlah dan komposisi penduduk dan membentuk masyarakat yang plural.13 Pluralitas dalam masyarakat dapat berjalan harmonis karena peran dan fungsi masing-masing kelompok berjalan seimbang.14 Keharmonisan masyarakat plural mulai terganggu ketika jumlah migran pendatang lebih besar daripada peluang ekonomi yang ada dan kompetisi dalam lapangan kerja meningkat.15 Hal ini menyebabkan 12
Mengenai migrasi orang Banjar ke berbagai daerah, termasuk ke daerah Jambi antara laian dapat dilihat Lesley Potter, “Orang Banjar di dalam dan di luar Hulu Sungai Kalimantan Selatan: Studi tentang Kemandirian Budaya, Peluang Ekonomi dan Mobilitas” dalam Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, Berbagai Tantangan Baru, (terj.) (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm. 370-418. 13 Menurut J.S. Furnivall masyarakat yang plural memiliki karakteristik dasar sosial simbiosis ekonomi dan kebersamaan yang saling berjauhan, perbedaan budaya dan keadaan sosial yang terbelah-belah, J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India, (London: Cambridge University Press, 1948). 14 Penulisan mengenai masalah pluralitas etnik misalnya dapat dilihat pada tulisan “Ethnic Plurality and Development in Malaya, From Malacca to Malaysia: Evolution of the Modern State” dalam David Drakkish-Smith, Pasific Asia (DW London, New York: Routledge, 1992) 15 Mengenenai konflik antar etnis antaralain dapat dilihat pada karya Michael Adas, The Burma Delta, Economic Development and Social Change on an Asian Rice Frontier 1852-1941 , (Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 1974) dan Rizal Sukma, ‘Ethnic Conflict in Indonesia: Causes and the Quest for Solution’ dalam Kusuma Sanitwongse (ed) Ethnic Conflicts in Southeast Asia, (Singapore: W. Scott Thompson, 2005),
~4~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
terjadinya kesenjangan kemakmuran antar etnis, migran pendatang lebih makmur daripada penduduk pribumi. Untuk menghindari konflik antar etnis dalam masyarakat plural diperlukan adaptasi kultural dan pembentukan identitas baru. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Irwan Abdullah, bahwa keberadaan seseorang dalam lingkungan tentu di satu pihak mengharuskan penyesuaian terus menerus untuk dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas.16 Dengan demikian mobilitas penduduk ini telah mendorong proses rekonstruksi identitas sekelompok orang.17 Sejalan dengan hal ini, ada dua proses yang dapat terjadi. Pertama, terjadi adaptasi kultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang menyangkut adaptasi nilai dan praktik kehidupan secara umum. Kebudayaan lokal dalam hal ini telah menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilainilainya kepada pendatang, meskipun ia tidak sepenuhnya memiliki daya paksa. Kedua, terjadi proses pembentukan identitas inidividual yang dapat saja mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya. Bahkan dalam konteks ini seseorang dapat saja ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru. Masalah pengaruh budaya dan perubahan sosial pada masyarakat yang terdiri dari beragam suku antara lain dapat dilihat dalam karya M.A.
16
Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), hlm. 42-43 17 Penulisan mengenai pembentukan komunitas dan indentitas baru antara lain dapat dilihat pada Natalie Mobiri-Kesneh, “The Hadrami Awakening Community and Identity in the Netherlands East Indies 19001942”, dalam BKI 152-2, 1996), hlm. 236256
Jaspan18 dan J.J.J.M. Wuisman.19 Apabila Jaspan mencoba melihat perubahan adat Redjang dari patrilinial menjadi matrilinial, maka Wuisman melihat perubahan yang terjadi, khususnya pada suku Rejang dan Pekal yang tinggal di Bengkulu Utara. Perubahan terjadi akibat pengaruh adanya keberagaman suku bangsa yang berdiam di Bengkulu Utara. Wuisman melihat perubahan sosial pada suku Rejang dan Pekal dari bentuk perkawinan dan pola hubungan keluarga. Berdasarkan landasan studi yang telah dilakukan berbagai peneliti maka penelitian akan mengkaji masalah migrasi penduduk, integrasi dan terbentunya identitas baru dalam masyarakat Melayu Jambi. Penulisan berbentuk kajian sejarah sosial dengan obyek penelitian adalah masyarakat Melayu Jambi. Kehidupan antaretnis yang harmonis dan penerapan Adat Melayu Jambi dalam masyarakat multi etnis menarik untuk diteliti. Bagaimana perjalanan pembauran antaretnis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur? Seberapa besar peran Adat Melayu Jambi dapat mengharmoniskan kehidupan berbagai etnis yang tinggal Kabupaten Tanjung Jabung Timur? Keberagaman Etnis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi merupakan kabupaten baru hasil pemekaran yang diresmikan pada tanggal 21 Oktober 1999. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tanjung 18
M.A. Jaspan, “From Patriliny to Matriliny, Structural Change Among the Redjang in the Southwest Sumatra”, Ph.D. thesis (Canberra: Australian National University, 1964). 19 J.J.J.M. Wuisman, Sociale Verandering in Bengkulu, Een CultuurSociologische Analyse, (Dordrecht: Foris Publications, 1985).
~5~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
Jabung yang beribukota di Kuala Tungkal yang kemudian dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Tanjung Jabung Barat dengan ibukota di Kuala Tungkal dan Tanjung Jabung Timur dengan ibukota di Muara Sabak. Terbentuknya Kabupaten Tanjung Jabung Tmur adalah berdasarkan Undang-Undang No. 54 tanggal 4 Oktober 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah 5.445 Km2 atau 10,2% dari luas Provinsi Jambi. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk perairan dan 30 pulau kecil, 11 di antaranya belum memiliki nama, menjadi 13.102,25 Km2. Di samping itu Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki panjang pantai sekitar 191 Km atau 90,5% dari panjang pantai Provinsi Jambi (http//tanjabtimkab.go.id). Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang terletak di pantai Timur Sumatera berbatasan langsung dengan Provinsi Kepulauan Riau dan merupakan daerah hinterland segitiga pertumbuhan ekonomi SingapuraBatam-Johor (SIBAJO). Wilayah perairan Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan bagian dari alur pelayaran kapal nasional dan internasional dari utara ke selatan atau sebaliknya. Dari segi ekonomi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur berhasil menunjukkan keberhasilannya sebagai kabupaten hasil pemekaran yang memiliki Pendapatan Asli Daerah yang besar, yaitu sebesar Rp. 17.067.200.000,- Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pun cukup tinggi, yaitu Rp. 42.198.933,- (tahun
2010), seangkan pada tahun 2009 adalah Rp. 36.079.799,- Potensi wilayah darat Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki tanah subur yang bisa ditanami komoditas unggulan seperti padi, karet, dan sawit. Perairannya dengan panjuang garis yang mencapai 191 Km kaya dengan ikan. Di perut bumi Tanjung Jabung Timur terdapat minyak dan gas yang siap ditambang. Selain memiliki kekayaan alam, Kabupaten Tanjung Jabung Timur pun memiliki kekayaan budaya yang merupakan produk dari berbagai etnis yang bermukim di wilayah ini. Etnis Jawa, etnis Bugis, dan etnis Melayu merupakan etnis mayoritas, di samping beberapa etnis lain yang jumlahnya lebih kecil seperti Minangkabau, Kerinci, Banjar, Batak, dan Tionghoa. Etnis Melayu merupakan penduduk asli di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang oleh masyarakat tempatan dikenal dengan nama Melayu Timur. Masing-masing etnis memiliki spesifikasi pekerjaan, seperti orang Jawa banyak yang berprofesi sebagai petani kebun dan sawah, orang Bugis berprofesi sebagai pencari ikan atau nelayan, dan Orang Minangkabau serta Tionghoa berprofesi sebagai pedagang. Penduduk yang heterogen ini tersebar di 11 kecamatan, yaitu Kecamatan Muara Sabak Timur, Muara Sabak Barat, Mendahara Ulu, Mendahara, Dendang, Geragai, Berbau, Sadu, Rantau Rasau, Kuala Jambi, dan Nipah Panjang. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk Kabupaten tanjung Jabung Timur adalah 204.557 orang dengan penyebaran penduduk yang tidak merata. Konsentrasi penduduk berada di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Muara Sabak Timur, Mendahara, dan Nipah Panjang yang masing-masing berjumlah 30.858 orang; 25.622 orang; dan 25.298 orang.
~6~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
Kecamatan Berbak adalah kecamatan yang paling sedikit penduduknya, yakni sebanyak 9.794 orang. Sebagian besar perkampungan penduduk di Kabupaten Tanjung Jabung Timur memanjang mengikuti aliran Sungai Batanghari. Perkampungan tersebut memiliki sejarah yang panjang karena telah terbentuk sebelum kedatangan bangsa Barat ke Jambi. Sungai Batanghari menjadi tumpuan kehidupan mereka, sebagai sumber perekonomian dan sarana transportasi. Rumah-rumah dibangun berjejer dan berpola memanjang di sepanjang tepian Sungai Batanghari. Keserasian hidup dengan alam membawa dampak keharmonisan kehidupan antaretnis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Secara alamiah Adat Melayu jambi yang memiliki semboyan “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah” telah menyatukan semua etnis yang bertempat tinggal di kabupaten Tanjung Jabung Timur meskipun masing-masing etnis masih tetap menjalankan adat masing-masing.. Untuk memperkuat persatuan antaretnis pada tahun 2009 Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur membentuk Front Pembauran Kebangsaan (FPK) Adat Melayu dilembagakan yang kemudian dikenal sebagai Adat Melayu Jambi. Keberagaman etnis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dituangkan dalam lambang Kabupaten. Lambang Daerah Bagian Atas bertulis “Tanjung Jabung Timur“,berwarna hitam dengan dasar putih dengan Garis Tepi yang melingkari Lambang Daerah berwarna hitam. Bidang Dasar Lambang berbentuk Persegi Lima melambangkan jiwa dan semangat Pancasila dari masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Padi dan Kapas melambangkan cita-cita
masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam menciptakan dan mencapai kemakmuran sandang dan pangan. Padi berjumlah 21 melambangkan tanggal, kapas berjumlah 10 melambangkan bulan dengan arti bahwa Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara resmi berdiri pada tanggal 21 Oktober 1999. Pola Pemukiman di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Persebaran pemukiman penduduk cenderung dipengaruhi oleh bentang alam> Umumnya manusia cenderung mencari topografi yang datar dan mudah dijangkau untuk membangun tempat tinggal, seperti di daerah pantai, tepi sungai, dan muara sungai. Berdasarkan tipologi pola pemukiman tersebut maka di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang memiliki banyak sungai dan berada di muara sungai Batanghari, maka sebagian besar penduduknya bermukim di sepanjang Sungai Batanghari, seperti di Kecamatan Nipah Panjang, Muara Sabak Timur, dan Kuala Jambi, dan di sepanjang pantai, terutama di Kecamatan Sadu. Ciri utama letak pemukiman di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah; (1) pemukiman berada linear di sepanjang delta dan muara sungai. Hal ini berkaitan erat dengan ketersediaan prasarana perhubungan pada saat pemukiman dibentuk yang hanya terbatas pada sungai; (2) pemukiman berada linear di kanan dan kiri jalan raya. Orang Bugis, Makasar, ataupun Wajo yang datang dan menetap di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada tahun 1930-an, tahun 1950-an, mauapun yang datang pada tahun 1970-an dikenal dengan satu nama saja, yaitu orang Bugis. Sebagian besar dari mereka datang sebagai petani, sebagian lainnya bekerja sebagai nelayan dan pedagang eceran.
~7~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
Mereka membuka hutan dan menjadikannya sebagai lahan-lahan pertanian yang ditanami pohon kelapa dan karet. Mereka cenderung bertempat tinggal mengelompok di antara sesama mereka yang berasal dari satu daerah. Kalaupun mereka hidup dalam satu desa yang sama dengan orang Melayu, mereka cenderung mengelompok secara tersendiri dalam kelompok pemukiman orang Bugis. Di Kecamatan Nipah Panjang, pola pemukiman penduduk beragam, yaitu; (1) Mengelompok, etnis yang biasa mengelompok adalah Bugis (umumnya bermukim di Parit Lima, Enam, dan Tujuh), Melayu (bermukim di Parit Bum), dan Jawa (bermukim di Parit Jawa); (2) Membaur, etnis yang telah biasa membaur antara lain Minangkabau, Palembang, Tionghoa, dan Batak. Meskipun masing-masing etnis ada yang masih mengelompok dan ada yang telah membaur, masingmasing pihak tetap menghormati adat Melayu Jambi. Hal ini antara lain dapat dicontohkan pada pemukiman penduduk di Desa Nipah Panjang I dan Desa Pemusiran. Desa Pemusiran yang memiliki penduduk sekitar 3.000 orang, perumahan penduduknya memanjang di sepanjang pinggir Sungai Pemusiran, dengan bemtuk rumah sebagian besar adalah rumah panggung.20 Rumah-rumah tersebut berderet membentuk bedengan dan menyatu dengan jalan utama berupa jalan jerambah.21 Jalan jerambah tersebut memanjang di pinggiran sungai, kemudian jalan berikutnya terletak sejajar di bagian belakang.
Pola pemukiman etnis Bugis yang mengelompok juga ditemukan di Muara Sabak. Selain itu pola pemukiman mengelompok juga ditemui pada etnis Melayu. Pemukiman etnis Minangkabau, etnis banjar, dan etnis Tionghoa di Muara sabak berpola menyebar dan berbaur dengan etnis lain. Wilayah pemukiman etnis Bugis yang gemar merantau, pada umumnya adalah di tanah dataran rendah yang dialiri sungai besar maupun kecil. Selain dari itu pun pemukiman mereka pun berdekatan dengan danau dan laut.22 Berdasarkan tempat tinggal mereka tersebut, tidaklah mengherankan mata pencaharian mereka sebagian besar adalah sebagai petani, nelayan, ataupun pedagang. Dalam perantauan pun mereka akan mencari habitasi yang keadaan geografisnya kurang lebih sama dengan negeri asal mereka. Hal inilah yang menyebabkan daerah muara sungai yang berdekatan dengan laut seperti bagian timur Provinsi Jambi menjadi tujuan mereka. Mereka memulai kehidupan dengan tinggal di atas perahu dengan pola berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda saat pemerintah mengeluarkan peraturan penduduk yang bertempat tinggal di perahu untuk menetap maka baru didapatkan perkampungan migran Bugis yang permanen. Pada masa pemerintahan Indonesia, terutama setelah tahun 1970 orang Bugis mulai banyak ditemukan di Nipah Panjang, terutama di kampung Nipah Panjang, Sungai Lokan, Sungai Sayang, dan Air Itam Laut. Mereka kebanyakan bekerja sebagai nelayan, pedagang sekaligus
20
Rumah panggung adalah rumah yang terbuat dari kayu dan memiliki tiang sebagai dasarnya. 21 Jalan jerambah adalah jalan yang terbuat dari papan yang disusun sedemikian rupa dan diangga oleh tiang kayu.
22
Masalah migrasi orang Bugis lebih lanjut dapat dilihat pada Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis (Yogyakarta: Ombak, 2004).
~8~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
pemilik kapal ataupun berkebun kelapa sawit. Integrasi Antaretnis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Integrasi sosial yang terjadi di Kabupaten tanjung Jabung Timur berjalan alamiah karena tidak ada komunitas etnis yang dominan, beberapa kelompok etnis yang ada adalah warga pendatang jadi tidak ada komunitas yang menempatkan sebagai etnis asli. Dengan demikian kelompok etnis di daerah penelitian, baik di Nipah Panjang mapupun Muara Sabak tidak ada yang merasa superior. Mereka hidup bersama untuk mencari penghidupan, saling toleransi dan bekerja sama meskipun masing-masing komunitas etnis mengukuhkan identitas kulturalnya namun saling menghargai. Kesenian merupakan salah satu alat penyatu etnis yang beragam, misalnya ketika diselenggarakan pentas kesenian Bugis seringkali dihadiri oleh Ketua-Ketua dari perkumpulan etnis lainnya, seperti Ketua Perkumpulan Banjar, Melayu, Minangkabau, dan sebagainya. Masyarakat dari komunitas etnis lain pun bersedia menjadi panitia, dan membantu terselenggaranya kegiatan kesenian ini agar berjalan lancar. Penontonnya yang terdiri dari beragam komunitas etnis menunjukkan sikap empati pada kesenian Bugis. Setiap tahun pada Hari Kemerdekaan RI diadakan festival keseniaan daerah. Hampir seluruh komunitas etnis yang ada di Nipah Panjang dan Muara Sabak berpartisipasi untuk menampilkan kesenaian khas mereka masing-masing. Festival kesenian ini merupakan wujud kesadaran masyarakat dan pemerintah Tanjung Jabung Timur bahwa kebudayaan di daerah mereka bersifat multikultural. Pawai seni dan budaya ini menampilkan arak-arakan masal
dengan menampilkan keunikan seni dan budaya masing-masing komunitas etnis, lengkap dengan pakaian adat mereka. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur hidup beragam komunitas etnis dengan adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Masing-masing komunitas etnis memelihara dan melestarikan adat dan tradisi mereka masing-masing. Di samping menegaskan adat-istiadat dan tradisi masing-masing, semua komunitas etnis disatukan dengan adat istiadat dan tradisi Melayu Jambi. Adat Malayu seperti yang terdapat dalam ungkapan tradisional bahwa “Adat bersendikan Syarak, Syarak bersendikan Kitabullah”. Ungkapan tradisional itu merupakan paradigma, bagi masyarakat Tanjung Jabung Timur. Seluruh aspek kehidupan masyarakat berorientasi pada syariat agama Islam. Penyesuaian antara syariat agama dan kebiasaan lama dapat dicontohkan pada kebiasaan Orang Laut. Di Kampung Laut terdapat tradisi acara melaut, petik laut. Tradisi ini pada masa lalu ditujukan untuk melakukan persembahan kepada penguasa laut agar mendapat panen ikan yang melimpah. Pada saat ini unsur-unsur ritual yang sifatnya animisme sudah diganti dengan memasukkan unsur-unsur agama Islam, yaitu dengan do’a-do’a yang dipanjatkan kepada Allah penguasa alam semesta agar memberikan rezeki yang melimpah. Dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat Tanjung Jabung Timur, lebih banyak diwarnai oleh nuansa Islami. Hal ini dapat dirasakan dalam skala kecil, misalnya banyaknya rumah peribadatan, seperti masjid dan surau, madrasah, serta tempat pendidikan-pendidikan Islam yang terdapat di setiap kampung. Hubungan yang baik antar etnis disimbolkan melalui terjadinya
~9~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
perkawinan antar Etnis. Etnis Tionghoa biasa menikah dengan etnis Banjar dan etnis Melayu tetapi tidak atau jarang terjadi perkawinan etnis Tionghoa dan etnis Bugis. Etnis Bugis ditengarai etnis yang paling jarang melakukan perkawinan antar etnis. Perselisihan antarkomunitas etnis itu juga pernah terjadi di wilayah ini, antara lain antara komunitas etnis Bajau dan Bugis yang terjadi sekitar tahun 1948 yang dipicu persoalan perjudian. Beberapa tahun sebelumnya, yaitu pada 1940 juga terjadi perselisihan antara orang Banjar dan Bugis mengenai masalah mata pencaharian, namun berkat peran mediasi tokoh-tokoh masyarakat yang kharismatik, perselisihan dapat segera diredam. Sampai dengan tahun 1960 kondisi masyarakat secara umum masih rawan konflik. Kehidupan pemuda, misalnya di Muara Sabak sering mabuk-mabukan dan berakhir dengan membuat keonaran dan perkelahian antar mereka. Konflik antar pemuda yang sering terjadi adalah konflik antara etnis Melayu dan etnis Bugis. Hal ini terutama terjadi pada acara pesta perkawinan, mereka minum sampai mabuk dan membuat keonaran. Puncak konflik terjadi pada tahun 1979, di Muara Sabak terjadi konflik berdarah yang mengakibatkan korban meninggal. Dimulai dari aksi kebut-kebutan pemuda Bugis di depan rumah Jalal, etnis Melayu adik dari Ketua Adat Melayu Muara Sabak. Isteri Jalal melaporkan aksi kebutkebutan tersebut pada suaminya, yaitu Jalal. Jalal pun memperingatkan dan menempeleng pemuda tersebut. Pemuda tersebut tidak bias menerima perlakuan Jalal sehingga dia menusuk Jalal dari belakang. Kejadian penusukan terjadi di Los Pasar Bena Muara Sabak. Pada hari itu juga aksi balasan terjadi, keluarga Jalal menghabisi nyawa pemuda Bugis.
Akibatnya suasana memanas di Muara Sabak antara etnis Bugis dan etnis Melayu selama satu minggu. Konflik baru mereda setelah Kepolisian datang mengamankan dan Kepala Adat Melayu dan Perwakilan Adat Bugis melakukan perundingan. (Zubaina) Menurut Samsudin sebelum tahun 1990 perselisihan antar etnis, terutama etnis Bugis dan etnis Melayu sering terjadi. Perselisihan muncul karena persoalan batas tanah, mata pencaharian, dan masalah adat kesopanan. Adat Melayu Jambi biasa digunakan untuk menyelesaikan konflik antar etnis. Dengan Falsafah dimana kaki berpijak disana langit dijunjung maka etnis pendatang di Muara Sabak harus mengikut adat istiadat Melayu Jambi. Misalnya apabila suatu etnis akan melakukan pernikahan diwajibkan menyediakan kain sehelai, sirih sekapur, cincin, dan uang yang besarnya sesuai dengan keadaan zaman. Beberapa tahun yang lalu, menjelang reformasi (tahun 1999) terjadi pembakaran kapal milik orang Cina oleh para nelayan di Kuala Tungkal. Persoalan ini muncul karena kapal yang digunakan adalah sejenis pukat, sehingga akibat tindakan yang ceroboh ini mengakibatkan nelayannalayan hasil lautnya menjadi berkurang secara drastis. Persoalan ini segera dapat diselesaikan setelah pihak pemilik kapal memberikan ganti rugi kepada para nelayan. Tindakan para nelayan yang membabi buta ini dipicu oleh suasana reformasi yang pada waktu itu terimbas pada masyarakat di kota ini. Suasana emosional tampaknya seringkali ditularkan diantara masyarakat sehingga masyarakat cenderung mudah mengimitasi kekerasan. Perselisihan biasanya terjadi karena salah paham dalam pergaulan muda-mudi, antar remaja. Tetapi biasanya perselisihan itu tidak sampai
~ 10 ~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
melebar menjadi perselisihan antarkomunitas etnis. Pernah terjadi perkelahian sampai menghilangkan nyawa pihak lain, tetapi persoalan tersebut segera dapat diredam oleh para tokoh masyarakat yang berpengaruh sehingga tidak membawa persoalan pada tingkat hubungan antarkomunitas etnis. Santoso, Lurah Nipah Panjang II mengakui pernah terjadi bentrok fisik antara etnis Melayu dengan etnis Bugis pada tahun 2000. Perselisihan itu terjadi pada malam takbiran Idul Fitri. Konflik itu kemudian memicu bentrok fisik selama tiga hari. Untuk menyelesaikan konflik itu, membutuhkan waktu sekitar 7 hari yang melibatkan pihak Kepala Adat Melayu, Perwakilan Adat Bugis, dan pihak Kepolisian. Konflik antar etnis kembali meletus pada tahun 2004 di Nipah Panjang. Konflik melibatkan etnis Bugis dan etnis Melayu. Kisahnya berawal dari akhir Ramadhan setiap etnis menampilkan arak-arakan untuk menyambut 1 Syawal. Hadiahnya nanti akan diterima dari Camat. Menurut Ali Umar, yang menang saat itu adalah suku Melayu. Akan tetapi komunitas etnis Bugis tidak bisa menerima kekalahan sehingga timbul perkelahian. Perseteruan itu berlangsung sekitar dua hari belum mereda sehingga perlu didatangkan bantuan keamanan dari Kepolisian dan Koramil. Acara perdamaian diselenggarakan melalui pertemuan pihak Kepala Adat Melayu Jambi dengan perwakilan dari komunitas etnis Bugis dengan disaksikan pihak dari Kepolisian. Menurut Ali Umar, akhirnya perseteruan dapat dicapai dan kedua belah pihak tidak diberi sangsi. Konflik antara Melayu dan Bugis pernah terjadi karena masalah minuman keras. Acara minuman keras biasa terjadi saat perayaan pesta pernikahan dan mereka berselisih saat
mereka sudah mabuk sehingga menimbulkan perkelahian. Masalah perkelahian antar remaja ini biasa diselesaikan oleh masing-masing perwakilan etnis. Jalan keluar yang diambil oleh pemerintah setempat dan masing-masing perwakilan etnis adalah kesepakatan bersama untuk membatasi acara organ tunggal pada acara pernikahan, acara hanya boleh diselenggarakan hingga pukul 17.00 WIB. Kebijakan Pemerintah untuk Menjaga Keharmonisan Hubungan Antaretnis Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam rangka untuk menjaga keharmonisan hubungan antaretnis membentuk berbagai forum, yaitu Foruk Kewaspadaan Dini Masyarakat (FPKPM), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) , Komunitas Intelejen Daerah (Kominda), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) untuk mendeteksi secara dini isu-isu yang terjadi agar bias diambil langkah kongkrit yang efektif. Anggota beberapa forumforum ini terdiri dari berbagai etnis dan berbagai agama dan forum lain adalah pejabat dalam pemerintahan Kabupaten. Misalnya Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) diketuai oleh Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), wakil ketua adalah Ketua Himpunan Masyarakat Melayu, sekretaris dari Lembaga Budaya Batak dan anggotaanggotanya adalah: Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM); Himpunan Masyarakat Kalimantan, Himpunan Keluarga Kerinci (HKK), Himpunan Masyarakat Sumatera Selatan, Forum Silaturahmi Warga Sunda, Ikatan Keluarga Jawa, Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia, Himpunan Masyarakat Aceh, Himpunan Masyarakat Flores, dan Himpunan Masyarakat Riau.
~ 11 ~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) dibentuk berdasarkan Keputusan Bupati Tanjung Jabung Timur No. 148 Tahun 2009. Tugas Forum Pembauran Kebangsaan adalah; 1) Menjaring aspirasi masyarakat di bidang pembauran kebangsaan 2) Menyelenggarakan forum dialog, dengan pimpinan organisasi pembauran kebangsaan, pemuka adat, suku, dan masyarakat 3) Menyelenggarakan sosialisasi kebijakan yang berkaitan dengan pembauran kebangsaan, dan merumuskan rekomendasi kepada Bupati Tanjung Jabung Timur sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pembauran kebangsaan Secara berkala diadakan pertemuan antar forum di kantor Bupati dan dihadiri oleh Bupati. Misalnya pada pertemuan Lintas Forum yang diadakan pada tanggal 15 Juni 2011 di ruang pola Kantor Bupati Tanjung Jabung Timur dihadiri oleh Bupati tanjung Jabung Timur Zumi Zola. Pada kesempatan ini Zumi Zola meminta pada semua forum masyarakat harus satu persepsi dan menjaga kekompakan dan keharmonisan. Bupati meminta pada Kominda turut mendeteksi kerawanan dalam sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan. Pembentukan Forum dapat juga merupakan perpanjangan dari Peraturan yang lebih tinggi misalnya Peraturan Bupati Tanjung Jabung Timur No. 18 tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah Dalam Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah tindak lanjut dari Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Agama No. 9 Tahun 2006. Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ini adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Forum Kerukunan Umat Beragama mempunyai tugas: 1) Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat 2) Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat 3) Menyalurkan aspirasi ormas keagaamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan Bupati Tanjung jabung Timur 4) Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan Hasil dari pembentukan FKUB antara lain adalah keberhasilan forum menyelesaikan sengketa rumah ibadah di Kecamatan Nipah Panjang dan Kecamatan Berbak. Munculnya organisasi-organisasi paguyuban seperti Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), Ikatan Keluarga Minang (IKM), Himpunan Masyarakat Melayu selain bermakna positif tetapi juga dikhawatirkan akan muncul perpecahan. Hal ini dapat terjadi apabila organisasi kedaerahan ini menjadi kendaraan politik para elit tertentu untuk mencapai kekuasaan. Menurut mantan Wakil Bupati Kabupaten Tanjung Jabung Timur Juber -- keterkaitan antar suku dan pendukung fanatik mesti menjadi perhatian bersama. Meski hingga saat ini wilayah Tanjab Timur masih dalam kondisi kondusif-tetapi perlu dilakukan pemantapan dan pembinaan keberadaan Kominda guna menyukseskan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden yang akan datang. Hal ini diungkapkan oleh M. Juber
~ 12 ~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
dalam acara pembinaan eksistensi Komunitas Intelejen Daerah (Kominda) dengan alasan masyarakat Tanjung Jabung Timur yang heterogen sehingga konflik antar suku perlu diwaspadai. Pada Pemilihan Bupati tahun 2010 dapat dikatakan mencerminkan keterwakilan antara tiga etnis besar di Tanjung Jabung Timur, yaitu Etnis Bugis, Etnis Jawa, dan Etnis Melayu. Zumi Zola calon bupati dari etnis Melayu berpasangan dengan calon wakil bupati Ambo Tang dari Etnis Bugis. Pasangan H. Saipudin dan Khairuddin juga merupakan pasangan Melayu - Bugis, sedangkan pasangan lain H. Muhammad Juber dari Etnis Melayu berdampingan dengan Mohammad Isroni dari Etnis Jawa.23 Senin, 01 November 2010 Dalam pemilihan Bupati dan Calon Wakil Bupati Tanjung Jabung Timur tahun 2010 pasangan yang memperoleh suara banyak adalah pasangan Melayu-Bugis dan MelayuJawa karena suara pasangan MelayuBugis terpecah. Pasangan MelayuJawa mendapatkan suara banyak di kecamatan yang menjadi kantung pemukiman Jawa dan sebaliknya pada pasangan Melayu-Bugis. Meskipun demikian pemilihan Bupati dan calonnya dapat berjalan baik tanpa konflik, dan bupati yang terpilih dapat diterima masyarakat Penutup Kearifan Lokal Adat Melayu Jambi yang disimbolkan pinang dan sirih; pinang menyapa orang yang datang dan sirih untuk menanti orang tiba; migran masuk dengan cepat bisa mendapatkan status sebagai warga Jambi karena persyaratan adat berbunyi ‘yang dapat dikatakan sebagai warga Jambi apabila telah tinggal
menetap seumur padi’ memberikan peluang yang besar bagi penduduk pendatang untuk menjadi ‘Orang Jambi’. Adat Melayu Jambi menjadi penengah dalam konflik yang terjadi antar etnis. Akan tetapi pada masa otonomi daerah keharmonisan interaksi antar etnis mulai terganggu. Masuknya perusahaan besar telah menggeser potensi konflik dari konflik antar etnis menjadi konflik antara petani dan pengusaha besar. Benih konflik telah muncul di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yaitu konflik yang tak kunjung usai antara Perusahaan Perkebunanan PT Kasuari Unggul dengan petani Desa Pandan Lagan. Potensi konflik yang dapat mengoyakan keharmonisan dan kebijakan baru Pemerintah Provinsi Jambi melalui pembentukan Lembaga Adat Melayu Jambi perlu menjadi bahan pemikiran bagi pemegang kekuasaan, tokoh adat dan pejabat pemerintah Jambi. Setelah pemerintah membentuk Lembaga Adat dan mengisi pengurus di dalamnya langkah berikut yang penting dijalankan adalah mensosialisasikan Adat Melayu Jambi pada masyarakat, terutama pada generasi muda. Hal ini diperlukan karena dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan fakta bahwa pengetahuan adat dan lembaga adat hanya sebatas diketahui oleh para Kepala Adat. []
23
http://www.jambiekspres.co.id/utam a/16540-suara-nipah-panjang-terpecah.html
~ 13 ~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
Daftar Pustaka Adas, Michael, 1974, The Burma Delta, Economic Development and Social Change on an Asian Rice Frontier 1852-1941, Wisconsin: The University of Wisconsin Press. Akhmad Baktiar Amin, 2004, Pola Hubungan Masyarakat dan Industri (Studi Kasus Interaksi Antara Komunitas Desa Pandan Jaya dengan Perusahaan Tambang PetroChina International Jabung Ltd. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tesis S2, Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Alo Liliweri, 2009, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Andi Ima Kesuma, 2004, Migrasi dan Orang Bugis, Yogyakarta: Ombak. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2011. Sensus Penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2010, Muara Sabak: BPS Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Breman, J. 1987, Koelies, Planters en Koloniale Politiek; het Arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust in het begin van de twintigste eeuw, Dordrecht/Providence: Foris; Leiden: KITLV. Collins, Gerald O’ and Edward G. Farrugia, 1996, Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius. Drakkish-Smith, David 1992, “Ethnic Plurality and Development in Malaya, From Malacca to Malaysia: Evolution of the Modern State” dalam David Drakkish-Smith, Pasific Asia, DW London, New York: Routledge. Furnivall, J.S., 1948, Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India, London: Cambridge University Press. http://www.jambiekspres.co.id/utama/16540-suara-nipah-panjang-terpecah.html http://www.tanjabtimkab.go.id/ pidato Bupati pada ulang tahun 12 Kabupaten Tanjung Jabung Timur http://www.tanjabtimkab.go.id// Sensus Penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2010 Ida Bagoes Mantra, 2000, Demografi Umum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ida Bagus Mantra, 1999, Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Irwan Abdullah, 2006, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Jakarta: Sinar Harapan. Jaspan, M.A., 1964, “From Patriliny to Matriliny, Structural Change Among the Redjang in the Southwest Sumatra”, Ph.D. thesis, Canberra: Australian National University. Lee, Everett S., 1996, “A Theory of Migration” dalam Demography, No. 3, Tahun 1996. Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, 2002, Penduduk Indonesia Etnisitas dan Agama Dalam Era Perubahan Politik, Jakarta: LP3ES. Levang, Patrice, 2003, .Ayo Ke Tanah Sabrang, (terjemahan), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Lindayanti, 2006, “Menuju Tanah Harapan: Kolonisasi Orang Jawa di Bengkulu”, Jurnal Humaniora. Vol. 18, No.3 Oktober 2006, Lindayanti, 2007, “Kebutuhan Tenaga kerja dan Kebijakan Kependudukan: Migrasi Orang dari Jawa ke Bengkulu 1908-1941”, Disertasi, Yogyakarta: Univesitas Gadjah Mada.
~ 14 ~
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas Andalas
Lindayanti, Zulqaiyyim, dan Witrianto, 2009, “Harmoni Kehidupan di Propinsi Multi Etnis: Studi Kasus Integrasi antara penduduk pendatang dan penduduk asli di Jambi”, Penelitian Hibah Strategis Nasional Tahun Anggaran 2009. Mobiri-Kesneh, Natalie, 1996, “The Hadrami Awakening Community and Identity in the Netherlands East Indies 1900-1942”, dalam BKI 152-2. Mochtar Naim, 1984, Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Nurcholis Madjid, 1998, “Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus EF (eds.), Passing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia. Potter, Lesley, 2000, “Orang Banjar di dalam dan di luar Hulu Sungai Kalimantan Selatan: Studi tentang Kemandirian Budaya, Peluang Ekonomi dan Mobilitas” dalam Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, Berbagai Tantangan Baru, (terj.), Jakarta: LP3ES. Rizal Sukma, 2005 , ‘Ethnic Conflict in Indonesia: Causes and the Quest for Solution’ dalam Kusuma Sanitwongse (ed) Ethnic Conflicts in Southeast Asia, Singapore: W. Scott Thompson. Rustam Hadi et.al., 2004, “Survei Produktivitas Komoditas Unggulan Usaha Tani Lahan Bergambut di Tanjung Jabung Timur dalam Buletin Teknik Pertanian Vol. 9 No. 1. Stoler, Ann Laura, 1985, Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870-1979, New Haven: Yale University Press. Wuisman, J.J.J.M., 1985, Sociale Verandering in Bengkulu, Een Cultuur-Sociologische Analyse, Dordrecht: Foris Publications.
~ 15 ~