HAMA PADA TANAMAN JAGUNG MANIS (ZEA MAYS SACCHARATA STURT.) DENGAN SISTEM POLA TANAM MONOKULTUR DAN TUMPANGSARI Herlina Suleman, Rida Iswati, Suyono Dude Program Studi Agroteknologi
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, populasi, kelimpahan dan keragaman hama pada tanaman jagung manis dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari. Penelitian ini dilaksanakan dilahan petani yang bertempat di desa Moutong, Kecamatan Tilongkabila, Kabupaten Bone Bolango. Pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Untuk menyediakan pertanaman monokultur dan tumpangsari dengan kondisi lingkungan yang sama maka dilakukan penanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 famili hama yang sama pada tanaman jagung manis dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari yaitu Acrididae, Noctuidae, Pyralidae dan Aphydidae. Populasi tertinggi adalah Aphis sp, dengan total 1872 ekor/ petak pada monokultur, 1590 ekor/ petak pada tumpangsari. Populasi terendah adalah Ostrinia sp dengan total 7 ekor/ petak pada monokultur dan 3 ekor/ petak pada tumpangsari. Secara keseluruhan hama dengan kelimpahan (K’) tertinggi adalah famili Aphydidae dengan persentase kelimpahan yaitu sebesar 81,28 % dan yang terendah famili Pyralidae dengan persentase kelimpahan 0,15 %. Sedangkan keragaman (H’) hama pada tanaman jagung baik pada monokultur maupun tumpangsari termasuk kategori sangat rendah H<1 yaitu 0,09 – 0,11. Kata kunci : Hama, Jagung Manis, Monokultur, Tumpangsari PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) sampai saat ini masih merupakan komoditas penting kedua setelah padi di Indonesia. Oleh karena selain manjadi bahan makanan pokok sebagian penduduk, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pangan dan pakan. Di Provinsi Gorontalo jagung merupakan komoditi yang diprioritaskan pengembangannya dengan tidak meninggalkan pengembangan komoditi lainnya. Saat ini salah satu jenis jagung yang banyak dikonsumsi dan popular dikalangan masyarakat adalah jagung manis (Zea mays saccharata Sturt). Jagung manis mempunyai sumbangan besar dalam meningkatkan produksi pangan dalam negeri, namun produkivitasnya masih rendah dibandingkan produksi di luar negeri, hal ini akibat penggunaan benih, teknologi usaha tani dan budidaya yang seadanya (Nurhayati, 2002).
Di Provinsi Gorontalo produksi jagung manis belum memenuhi kebutuhan konsumsi karena jenis ini belum ditanam secara luas, benihnya mahal dan belum banyak beredar, serta jagung manis ini lebih rentan terhadap hama dan penyakit dibandingkan dengan jagung biasa. Oleh karena itu perlu adanya usaha peningkatan produksi. Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui pengendalian hama secara terpadu dan peningkatan produktivitas lahan melalui pengaturan pola tanam. Pola tanam terbagi atas sitem pola tanam monokultur atau pertanaman tunggal dan sistem pola tanam tumpangsari atau menanam dua jenis tanaman dalam satu lahan dan dalam waktu yang sama. Jagung dan kacang tanah merupakan dua jenis tanaman yang sesuai untuk ditumpangsarikan, karena kedua tanaman ini mampu beradaptasi pada lingkungan secara luas dan relatif mempunyai syarat tumbuh yang sama. Jagung merupakan tanaman yang agak tanah terhadap kekeringan dan efisien dalam penggunaan cahaya. Sedangkan kacang tanah merupakan tanaman yang tahan terhadap naungan dan akarnya mampu mengikat nitrogen dari udara (Buhaira, 2007). Menurut Achmad dan Tandiabang (2005) bahwa pemilihan kombinasi tanaman tumpangsari yang tidak tepat dapat mengakibatkan perkembangan hama tertentu semakin pesat dan dapat menyebabkan kehilangan hasil pada pertanaman jagung. Kehadiran dan tingkat serangan hama ini banyak ditentukan oleh pola tanam setahun dan sistim pertanamannya baik monokultur maupun tumpangsari. Penanaman jagung secara monokultur yang dilakukan beruntun dari musim ke musim, memperkecil keragaman organisme dan dapat mengakibatkan ledakan populasi hama, sedangkan pada pertanaman tumpangsari serangan hama lebih rendah karena adanya diversifikasi tanaman. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2009), hama yang ditemukan pada tanaman jagung manis adalah penggerek batang (Ostrinia furnacalis Guenee), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera Hubner), kutu daun (Rhopalosiphum maidis Fitch) dan belalang (Oxya sp). Selain itu dikatakan bahwa Pola tanam tumpangsari lebih menguntungkan secara ekonomi dibandingkan dengan pola monokultur. Pengaturan sistem pola tanam merupakan salah satu teknik pengendalian hama terpadu yang tidak hanya bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya alam
secara optimal untuk peningkatan hasil pertanian, efisiensi waktu dan biaya, tetapi juga untuk menekan populasi hama pada pertanaman jagung sehingga mengurangi penggunaan pestisida kimia sintetis secara berlebihan dan berkelanjutan yang tidak ramah lingkungan dan menimbulkan dampak negatif terhadap organisme bukan sasaran yaitu manusia dan hewan. Oleh karena itu, adanya keragama hama yang terdapat pada pertanaman jagung manis baik yang ditanam dengan sistem pola tanam monokultur maupun tumpangsari perlu diketahui. Dengan demikian pengelolaan hama tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan jenis-jenis hama pada tanaman jagung manis dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari.Untuk mengetahui populasi hama pada tanaman jagung manis dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari. Serta untuk mengetahui keragaman dan kelimpahan hama pada tanaman jagung manis dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada lahan petani di Desa Moutong, Kecamatan Tilongkabila, Kabupaten Bone Bolango. Dari bulan Oktober sampai Desembar 2013. Alat Dan Bahan Alat yang digunakan antara lain jaring, aspirator, pinset, lup, kamera digital, termohigrometer, botol koleksi, pitfall trap, buku kunci determinasi serangga dan alat tulis-menulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jagung dan kacang tanah, alkohol 70%, kertas label, kantong plastik. Metode Penelitian Untuk Menyediakan pertanaman monokultur dan tumpangsari dengan kondisi lingkungan yang sama maka dilakukan penanaman pada lahan percobaan seluas 15 m x 30 m2 yang dibagi menjadi dua dengan menggunakan sistem tanam yang berbeda yaitu:
M1
= Jagung Dengan Sistem Tanam Monokultur
T1
= Jagung Dengan Sistem Tanam Tumpangsari
Prosedur penelitian Proses pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor dan dibuatkan alur untuk penanaman, kemudian dibagi menjadi dua petak untuk masingmasing satu pola tanam 7 m x 30 m, dengan jarak antar petak 1 meter. Penanaman jagung dan kacang tanah pada pola tumpangsari, diatur dimana jagung sebagai tanaman pokok dan kacang tanah sebagai tanaman sela dengan menggunakan perbandingan 1:1 (Satu alur jagung dan satu alur kacang tanah). Pada alur tersebut dibuat lubang tanam menggunakan tugal sedalam 3 cm, dengan 1 benih setiap lubang untuk jagung dan 2 benih untuk kacang tanah dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm, kemudian ditutup dengan tanah halus. Pemeliharaan. Setelah benih ditanam dilakukan penyiraman secukupnya, kecuali bila tanah telah lembab, selanjutnya penyiraman tanaman dilakukan pagi dan sore apabila diperlukan atau tidak turun hujan untuk menjaga agar tanaman tidak kekeringan terutaman pada fase awal pertumbuhan dan fase pembungaan. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk NPK sesuai dengan dosis anjuran 300 kg/ ha yang diaplikasikan 7 cm disisi kanan baris tanaman sedalam 5 cm lalu ditutup tanah dan diberikan setelah berumur 30 hari dan 45 hari. Penyulaman, kegiatan ini dilakukan 7 - 10 hari setelah tanam untuk mengganti benih yang tidak tumbuh atau mati. Penyiangan dilakukan 2 minggu sekali dengan menggunakan tangan atau cangkul agar tidak mengganggu perakaran tanaman sekaligus dengan pembumbunan yang bertujuan untuk memperkokoh posisi batang sehingga tanaman tidak mudah rebah. Parameter dan cara pengamatan Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah: Jenis Hama. Pengumpulan hama dilakukan dengan sistem penyapuan ganda metode zig-zag menggunakan jaring serangga, pengambilan dengan tangan secara langsung, pitfall trap yang dipasang pada permukaan tanah dan juga menggunakan aspirator pada setiap lahan percobaan. Pengamatan dilakukan pada pagi hari, setelah tanaman berumur 1 minggu dengan interval waktu seminggu sekali. Hama yang didapat dimasukkan dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70% dan diberi label tentang lokasi, tanggal pengumpulannya dan untuk mengetahui jenis hama, dilakukan
idenifikasi berdasarkan kunci determinasi serangga terbitan Kanisius (1991) sampai batas Famili. Populasi Hama. Hama yang didapat dari masing-masing lahan percobaan dihitung berdasarkan jumlah individu yang sejenis pada setiap minggu. Analisis Data Penelitian ini akan menggunakan analisis data kuantitatif deskriptif. Untuk menghitung keanekaragaman hama dapat dihitung dengan menggunakan rumus jumlah famili dibagi dengan akar jumlah total individu yang ada dilapangan berdasarkan rumus yang digunakan oleh Michael dalam Meidiwarman (2010). Jumlah family Keanekaragaman (H’) = Kriteria untuk nilai keanekaragaman Shanon H’ menggunakan kriteria yang dimodifikasi oleh Suana dan Haryanto (Meidiwarman, 2010). Tabel 1. Kriteria Nilai Keanekaragaman Nilai Keragaman Spsies (H’)
Tingkat Keragaman
H<1
Sangat rendah
1
Rendah
2
Sedang
3
Tinggi
H<4
Sangat Tinggi
Sedangkan perhitungan kelimpahan masing-masing famili yang paling dominan di lapangan dengan menghitung jumlah individu satu famili terkoleksi dibagi dengan jumlah total individu seluruh famili selama pengamatan atau dapat ditulis dengan rumus Michael dalam Meidiwarman (2010): ∑ Individu Satu Famili Kelimpahan (K’) =
X 100 ∑ Total Individu seluruh Famili
HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-jenis Hama Tanaman Jagung Manis Berdasarkan hasil pengamatan selama 10 minggu, terdapat beberapa hama yang sama ditemukan pada pertanaman jagung manis dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari, yaitu ulat grayak, belalang, kutu daun, penggerek batang dan penggerek tongkol. Secara umum ciri-ciri dan klasifikasi dari masingmasing famili hama ini merujuk pada buku kunci determinasi serangga terbitan Kanisius (1991). 1. Ulat Grayak Klasifikasi Phylum
: Arthropoda
Class
: Insekta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Noctuidae
Gambar 1. Spodoptera sp Famili ini memiliki ciri khas, yaitu terdapatnya 2 bintik hitam berbentuk bulan sabit pada ruas abdomen ke empat dan ke sepuluh yang dibatasi oleh alur-alur lateral dan dorsal berwarna kuning yang memanjang sepanjang badan. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dengan kaki-kaki palsu pada ruas abdomen sebagai tambahan dari tiga pasang kaki yang terdapat pada prothoraks, serta mempunyai tipe mulut menggigit. 2. Belalang Klasifikasi Phylum
: Arthropoda
Class
: Insekta
Ordo
: Orthoptera
Famili
: Acrididae
Gambar 2. Locusta sp Ciri-ciri famili Acrididae ini yaitu mempunyai dua pasang sayap, sayap depan panjang dan menyempit, biasanya mengeras seperti kertas perkamen, sayap belakang lebar dan membranus, ukuran tubuh sedang sampai besar. antena pendek, pronotoum tidak memanjang kebelakang, tarsi beruas tiga buah, femur kaki belakang membesar dan ovipositor pendek. Ukuan tubuh betina lebih besar dibandingkan dengan ukuran tubuh jantan. Sebagian besar berwarna abu-abu atau kecoklatan dan beberapa mempunyai warna yang cerah pada sayap belakang, serta mempunyai alat suara (tympana) yang terletak diruas abdomen pertama. Biasanya menggigit daun dari tepi atau bagian tengah. 3. Kutu Daun Klasifikasi Phylum
: Arthropoda
Class
: Insekta
Ordo
: Homoptera
Famili
: Aphididae
Gambar 3. Aphids sp Ciri-ciri dari Aphididae ini yaitu tubuhnya lunak berbetuk buah pear, badan tertutup tepung seperti mengandung lilin, panjang tubuh 4-8mm. Umumnya berwarna hijau. Antena panjang , 3-7 ruas, tidak aktif. Kaki panjang dan ramping tidak untuk
melompat, mempunyai bangunan seperti tanduk sangat kecil di ujung abdomen. Ada yang bersayap ada yang tidak. Yang bersayap venasi sayap depan dan belakang hampir sama, pada waktu istrahat sayap terletak pertikal diatas tubuh. 4. Penggerek Batang Klasifikasi Phylum
: Arthropoda
Class
: Insekta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Pyralidae Gambar 4. Ostrinia sp Ciri-ciri, ngengat ukuran tubuhnya kecil dan lembut. Sayap depan sempit
memanjang berbentuk segitiga, sayap belakang lebar dan bulat. Saat istirahat sayap dapat dilipat bersama-sama dengan rapi dan hampir berbentuk seperti tongkat. Palpus labialis biasanya mencuat (menjorok) kedepan seperti moncong bervariasi dalam kenampakan tetapi umumnya berwarna coklat tua atau kusam. Ciri-ciri dari larva yaitu, memiliki kepala kapsul yang keras, mulut pengunyah dan tubuh lembut yang sebagian mempunyai rambut. Dengan tiga pasang kaki pada bagian thorak dan lima pasang kaki pada ruas abdomen. 5. Penggerek Tongkol Klasifikasi Phylum
: Arthropoda
Class
: Insekta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Noctuidae Gambar 5. Helicoperva sp Ciri-ciri. Ngengat berukuran kecil hingga sedang, badan gemuk tegap, sayap
depan agak sempit, biasanya berwarna suram dengan gari-garis teratur merah, kuning oranye (Spot-spot perak) sayap belakang lebih lebar. Antenna berbentuk benang ramping dan pada jantan berambut seperti sikat. Larva dari hama ini mempunyai warna yang bervariasi, tubuhnya kokoh dan berambut.
Intensitas Kehadiran Hama Intensitas kehadiran 5 famili hama pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari selama 10 minggu disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Intensitas Kehadiran Hama Selama Pengamatan Gambar di atas menjukkan bahwa intensitas kehadiran hama pada tanaman jagung baik pola tanam monokultur ataupun tumpangsari sama, kecuali Spodoptera sp dan Ostrinia sp. Locusta sp merupakan hama dengan intensitas kehadiran tertinggi yaitu sebanyak 8 kali. Tingginya intensitas kehadiran Locusta sp karena serangga ini merupakan hama utama tanaman jagung. Locusta sp dapat memakan daun kelapa, sayuran dan kacang tanah, tetapi spesies ini cenderung memilih makanan yang lebih disukainya. Menurut Adnan (2009) jagung merupakan salah satu tanaman dari kelompok graminae yang paling disukai oleh Locusta sp, pada serangan berat hama ini dapat memakan keseluruhan bagian daun bahkan batang dan tongkol jagung. Intensitas kehadiran yang sama pada pola tanam monokultur dan tumpangsari selanjutnya adalah Aphids sp dengan intensitas kehadiran 4 kali dan Helicoperva sp dengan intensitas kehadiran 1 kali. Sedangkan intensitas kehadiran Spodoptera sp berbeda, dimana pada monokultur
hama ini hadir sebanyak 4 kali dan pada
tumpangsari hadir sebanyak 2 kali. Hal ini diduga karena pada pola mokultur hanya terdapat satu jenis tanaman inang dengan jumlah yang cukup banyak sebagai sumber makananya. Intensitas kehadiran yang berbeda selanjutnnya adalah Ostrinia sp, pada monokultur hama ini hadir sebanyak 3 kali dan pada tumpangsari hadir sebanyak 2 kali. Menurut Nonci (2004) Ostrinia sp merupakan salah satu hama utama tanaman jagung yang perlu diwaspadai keberadaanya karena pada serangan berat larva Ostrinia sp dapat merusak batang, daun, bunga bahkan tongkol muda jagung.
Fluktuasi Populasi Hama pada Tanaman Jagung Manis Fluktuasi populasi hama berdasarkan jumlah masing-masing individu hama dari hasil pengamatan selama 10 minggu pada tanaman jagung manis dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari, disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Fluktuasi Populasi Hama Pada Tanaman Jagung Manis dengan Pola Tanam a) Monokultur b) Tumpangsari Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa fluktuasi populasi hama hampir sama polanya pada monokultur maupun tumpangsari, kecuali fluktuasi dari Locusta sp. Locusta sp pada monokultur sangat fluktuatif dan selalu lebih tinggi. Hal ini karena populasi tanaman jagung sebagai habitat yang sangat disukai oleh Locusta sp lebih tinggi dibandingkan tumpangsari. Kehadiran Spodoptera sp di tumpangsari yang hanya pada awal pengamatan dan tidak hadir untuk minggu selanjutnya, hal ini diduga karena Spodoptera sp tidak menyukai daun jagung yang keras sehingga memungkinkan hama ini pindah pada tanaman kacang tanah. Menurut Nugroho (2013) bahwa larva Spodoptera sp instar 1 dan 2 memakan seluruh permukaan daun kecuali epidermis permukaan atas tulang daun dan larva isntar 3 sampai 5 memakan seluruh bagian helaian daun muda tetapi tidak memakan tulang daun yang tua. Berbeda halnya pada pertanaman monokultur, Spodoptera sp hadir diawal dan akhir pengamatan kemungkinan karena tidak adanya tanaman inang lain sehingga
hama ini tetap bertahan dengan memakan bagian
tanaman yang ada. Hama Aphids sp mulai hadir sejak minggu ke 7 ketika tanaman jagung manis mulai masuk fase generatif. Kemungkinan hama ini pindah dari pertanaman cabe yang ada disekitar lokasi penelitian dan populasinya tampak meninggi dari yang lainnya karena besarnya kemampuan jenis hama ini untuk melahirkan keturunan baru.
Menurut Adnan (2009) bahwa Aphids sp dapat bereproduksi secara pertenogenesis (tanpa kawin). Seekor betina yang tidak bersayap mampu melahirkan rata-rata 68,2 ekor nimfa sementara betina bersayap 49 nimfa (Ganguli dan Raychauduri dalam Adnan, 2009). Diduga ketiadaan fase telur inilah yang menyebabkan populasi Aphids sp cukup tinggi. Total Populasi Hama Pada Tanaman Jagung Manis Dengan Pola Tanam Monokultur dan tumpangsari Perbedaan populasi hama pada tanaman jagung manis dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Total Populasi Hama pada Tanaman jagung Manis dengan Pola Tanam Monokultur dan Tumpangsari. Gambar 9 di atas menunjukkan bahwa populasi hama yang paling tinggi adalah Aphis sp yang total populasi yang hampir sama pada kedua pola tanam. Namun secara keseluruhan total populasi dari semua family hama ini selalu lebih tinggi pada pola tanam monokultur dibandingkan tumpangsari dengan jumlah total populasi Locusta sp 126 ekor pada monokultur dan 67 ekor pada tumpangsari, Spodoptera sp 10 ekor pada monokultur dan 13 ekor pada tumpangsari, Ostrinia sp 7 ekor pada monokultur dan 3 ekor pada tumpangsari, Helicoperva sp 32 ekor pada monokultur dan 22 ekor pada tumpangsari, Aphis sp 1872 ekor pada monokultur dan 1590 ekor pada tumpangsari. Diduga hal ini disebabkan karena pada pertanaman monokultur ketersediaan sumber makanan bagi hama-hama tersebut terkonsentrasi pada satu jenis tanaman saja dan dalam jumlah yang banyak sehingga hama dapat bereproduksi dan bertahan ditanaman. Sebagaimana dikemukakan oleh Nurindah (2006) bahwa peningkatan keragaman vegetasi melalui pola tanam tumpangsari, merupakan salah satu prinsip utama dalam pengelolaan agroekosistem untuk
pengendalian hama. Sehingga populasi hama pada tanaman dengan pola tanam tumpangsari dapat ditekan. Hama Spodoptera sp memiliki total populasi lebih tinggi pada tumpangsari yaitu 13 ekor dan pada monokultur 10 ekor. Hal ini karena tanaman jagung dan kacang tanah yang ditumpagsarikan merupakan tanaman inang dari Spodoptera sp. Hama ini besifat polifag dengan kisaran inang yang cukup luas selain jagung dan kacang tanaman inang lain dari Spodoptera sp adalah cabai, tomat, tebu, jeruk, tembakau, sayuran, pisang dan tanaman hias. Kelimpahan Hama Kelimpahan hama pada tanaman jagung manis dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari disajikan pada gambar 10.
Gambar 10. Kelimpahan Hama Pada Pola Tanam Berbeda Hasil perhitungan kelimpahan famili hama yang terdapat pada tanaman jagung manis dangan pola tanam monokultur dan tumpangsari Secara keseluruhan kelimpahan tertinggi pada kedua pola tanam ini adalah family Aphididae sp dengan persentase kelimpahan 93,80%. Hal ini disebabkan karena selain kemampuan Aphididae sp untuk berkembangbiak secara partenogenesis seperti yang telah diungkapkan di atas juga karena kemampuan penguasaan ruang, yang artiya dalam suatu habitat yang kecil Aphididae sp ini mampu menampung populasinya yang cukup banyak. Kelimpahan famili yang terendah pada tanaman jagung manis dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari yaitu family Pyralidae sp dengan nilai kelimpahan 0,17%. Diduga rendahnya kelimpahan hama ini
ada kemungkinan
karena tidak seluruh populasi dapat teramati dengan teknik pengamatan yang
dilakukan karena ngengat betina dari Pyralidae sp lebih menyukai meletakkan telur pada tanaman jagung yang tinggi terutama pada bagian bawah daun. Nonci (2004) mengemukakan bahwa keberadaan larva Pyralidae sp pada daun muda, daun yang masih menggulung, batang, serta bunga jantan dan bunga betina dapat dideteksi dengan adanya kotoran atau bekas gerekan yang tersisa pada bagian-bagian tanaman tersebut. Keanekaragaman Hama Nilai keanekaragaman famili hama pada tanaman jagung manis dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari disajikan pada tabel 1. Tabel 2. Keanekaragaman seluruh famili hama pada tanaman jagung manis dengan pola tanam monokulur dan tumpangsari. Agroekosistem
Nilai Keanekaragaman
Monokultur
0,08
Tumpangsari
0,09
Hasil analisis data yang disajikan pada tabel diatas menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman (H’) famili hama secara keseluruhan termasuk dalam kategori H<1 atau termasuk kategori yang sangat rendah. Diduga rendahnya keanekaragaman family ini disebabkan karena tidak adanya pergantian dan keragaman tanaman di lokasi penelitian yang sebagian besar hanya terpaku pada budidaya jagung.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengamatan di lokasi penelitian selama 10 minggu dapat disimpulkan bahwa: Hama yang terdapat pada pertanaman jagung manis dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari sama, yaitu terdapat 4 famili dengan 5 jenis hama. Intensitas kehadiran hama tertinggi baik pada pola tanam monokultur maupun tumpangsari adalah Locusta sp (Acrididae) dan
intensitas
kehadiran hama terendah adalah Helicoverpa sp (Noctuidae). Total populasi hama
yang tertinggi terdapat pada tanaman jagung manis pola tanam monokultur. Secara keseluruhan kelimpahan hama tertinggi baik pada pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah famili Aphididae dengan nilai kelimpahan 93,80 % dan famili yang memiliki kelimpahan terendah adalah Pyralidae dengan nilai kelimpahan 0,17 %. Keanekaragaman hama yang terdapat pada tanaman jagung baik pada pola tanam monokultur ataupun tumpangsari termasuk kategori sangat rendah dengan kisaran nilai 0,8 – 0,09 (H<1). Saran Untuk menekan populasi hama maka perlu dilakukan teknik pengendalian, yaitu dengan sistem pola tanam tumpangsari dan hama yang perlu diwaspadai kehadirannya pada tanaman jagung manis baik pada pola tanam monokultur maupun tumpangsari adalah Aphids sp. DAFTAR PUSTAKA Achmad, T. A. Dan J. Tandiabag. 2005. Dinamanika Hama Utama Jagung pada Pola Tanam Berbasis Jagung. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI Komda Sul-Sel. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Sulawesi selatan. Adnan, A. M. 2009. Teknologi Penanganan Hama Utama Tanaman Jagung. Prosiding Seminar Nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia. ____________ 2011. Manajemen Musuh Alami Hama Utama Jagung. Seminar Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Anonim. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Pogram Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu. Kanisius. Yogyakarta. Buhairah. 2007. Respon Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) dan Jagung (Zea mays L.) Terhadap Beberapa Pengaturan Tanam Jagung pada Sistem Tanam Tumpangsari. Jurnal Agronomi vol.11 No.1. hal 41 - 45. Fakultas Pertanian Universtas Jambi. Dadang. 2006. Konsep Hama Dan Dinamika Populasi. Prosiding Workshop Hama dan Penyakit Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas linn.): Potensi Kerusakan dan Teknik pengendaliannya. Hal 1-9. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Fitriani, F. 2009. Hama dan Penyakit Jagung Manis (Zea mays saccharata sturt.) Di Desa Benteng, Cibanteng dan Nagrog, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Listyobudi, V. R. 2011. Perlakuan Herbisida pada Sistem Tanpa Olah Tanah terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Kualitas Hasil Tanaman Jagung
Manis (Zea mays saccharata Sturt). Skripsi Fakultas Pertanian UPN “Veteran”. Yogyakarta. Nonci, N. 2004. Biologi dan Musuh alami Penggerek Batang Ostrinia furnacalis Guene (Lepidoptera: Pyralidae) pada Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian 23 (1). Hal. 8-14. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. Sulawesi selatan. Nuraeni, Y. 2000. Analisis Usaha Tani Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah Dengan sistem Sewa Lahan. Skripsi Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Nurhayati, A. 2002. Pengaruh Takaran Pupuk Kandang dan Umur Panen terhadap Hasil dan Kandungan Gula Jagung Manis. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Terbuka.Yogyakarta. Nurindah. 2006. Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama. Persektif Vol. 5 No.2. Hal 78-85. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Meidiwarman. 2010. Studi Arthropoda Predator Pada Ekosistem Tanaman Tembakau Virginia di Lombok Tengah. crop agro, Vol. 3 No. 2 Hal 92-96 Pracaya. 2009. Hama dan Penyakit Tanaman (Edisi Revisi). Penebar Swadaya. Jakarta. ________ 2008. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Secara Organik. Kanisius. Yogyakarta. Said, M.Y., Soenartiningsih., Tenrirawe A., Adnan A.M., Wakman W., Talanca. A.H dan Syafrudin. 2008. Petunjuk Lapang Hama, Penyakit, Hara Pada Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Setiawan, E. 2009. Kearifan Lokal Pola Tanam Tumpang Sari di Jawa Timur. Jurnal Agrivor Vol 2 No. 2 Hal 79-88. Universitas Trunojoyo. Subekti, N. A., Syarifudi., Efendi R., Susanti S. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros. Tenrirawe. A dan A. H. Talanca. 2008. Bioekologi dan Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. Tim Bina Karya Tani. 2009. Pedoman Bertanam Kacang Tanah. Yrama Widya. Bandung. Warsana, 2009. Introduksi Teknologi Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel.php/one/234/pdf/Introduksi_Te knologi_Tumpangsari_Jagung_dan_Kacang_Tanah.pdf. Diakses 12 Maret 2013.