GOLONGAN PUTIH (GOLPUT) MENURUT PANDANGAN ELIT POLITIK ISLAM DI MALAYSIA
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MOHD RIDZUAN BIN MOHAMAD NIM: 109045200010
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. i DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...……vii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………... 1 B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah…………………… 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………… 6 D. Kajian Terdahulu………………………………………………… 7 E. Kerangka Teori dan Konsepsional…………………………….…12 F. Metode Penelitian…………………………………………………15 G. Sistematika Penulisan……………………………………………..17
BAB II
SEJARAH SINGKAT GOLONGAN PUTIH DI MALAYSIA A. Sejarah Kemunculan Golongan Putih di Malaysia………………..17 B. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Golongan putih Sebelum dan Sesudah di Masa Kontemporer…………………….21 C. Karakteristik dan Jumlah Golongan Putih di Malaysia……...……25
BAB III
GOLONGAN PUTIH DI DALAM PENELITIAN FIQH SIYASAH A. Golongan putih di dalam Konsep Fiqh Siyasah…………………..32 B. Pandangan Hukum Islam terhadap Golongan Putih…………...…38
vii
BAB IV
PANDANGAN GOLONGAN ELIT POLITIK ISLAM MALAYSIA TERHADAP GOLONGAN PUTIH A. Kategorisasi Golongan Elit Politik Islam di Malaysia……………45 B. Pandangan Golongan Elit Politik Islam di Malaysia…………...…50 C. Undang-undang Terkait Pemilihan Umum……………………….59
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………….............................70 B. Saran……………………………………………..……………….71
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..74 LAMPIRAN: Undang-Undang Pemilihan Umum …………………………………….78
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Golongan putih merupakan salah satu permasalahan yang sudah lama berlaku di dalam sistem politik di Malaysia. Permasalahan tentang golongan putih akan muncul di dalam politik Malaysia ketika pemilihan umum, pembahasan tentang partai-partai politik, dan sistem pemerintahan Raja Beparlimen (monarki konstitusional).1 Di dalam perspektif politik Islam di Malaysia, keberadaan golongan putih mencerminkan perkembangan di dalam hukum, dan terkait dasar implementasi konsep fiqih siyasah melalui fatwa-fatwa yang dikemukakan ulama kontemporer di sana.2Seperti pandangan Ustadz Harun Taib merupakan ketua Dewan Ulama PAS Pusat, menghukumkan sifat yang terdapat bagi golongan putih adalah haram, jika negara Islam masih ditindas oleh pihak barat.3Terdapat kategorisasi golongan elit politik Islam di Malaysia di dalam memberi pandangan
1
Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293 2 Khalid Ali Muhammad, Sistem Politik Islam, ( Selangor: Telaga Biru Sdr Bhd, 2008), cet. I, h. 33 3 Harun Taib, Model Kerajaan Islam Membangun Bersama Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Ulama PAS Pusat, 2000), cet. I, h. 13
1
2
golongan putih. Seputar pengenalan golongan elit politik Islam, Abdul Rahman Haji Abdullah membahagikannya kepada tiga golongan: Pertama, golongan elit politik Islam tradisional, yaitu golongan yang memperjuangkan hak-hak politik Islam melalui partai-partai yang tidak terdaftar di bawah undang-undang Malaysia. Akan tetapi, pengaruh masyarakat dan inspirasinya dapat mengancam kebijakan negara. Di sini, golongan elit adalah tokoh-tokoh atau ketua partai mereka. Kedua, golongan elit politik Islam reformis, yaitu golongan yang memperjuangkan hak-hak politik Islam melalui partai yang terdaftar dan sah menurut undang-undang di Malaysia, seperti (Parti Islam se-Malaysia) PAS. Perjuangan hak-hak politik dilakukan
langsung di dalam parlemen Malaysia
untuk memberi inspirasi terhadap kebijakan negara yang sah menurut undangundang. 4 makanya golongan elit adalah tokoh-tokoh atau ketua partai mereka. Ketiga golongan elit politik Islam modernis, yaitu golongan yang memperjuangkan
hak-hak
politik,
tetapi
lebih
menfokuskan
semangat
nasionalisme seperti (United Malays National Organization) UMNO. 5 Partai ini juga sah menurut undang-undang Malaysia dan golongan elit adalah tokoh-tokoh atau ketua partai mereka.
4
Pasal 18 UU. Tahun 1954 Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya”, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13 5
3
Yang dimaksudkan golongan elit politik dari sudut konsep politik barat adalah yang pertama, dikemukakan oleh David Froth dan Frank L Wilson disebut sebagai gladiators,yaitu golongan yang sangat aktif dalam dunia politik dan mempunyai nisbah 5-7% populasi dari seluruh lapisan masyarakat.6Kedua, menurut Aristoteles (falsafah klasik) adalah golongan yang sedikit dalam pemerintahan dan berkedudukan di dalam kelompok masyarakat samada harta, militer dan sebagainya.7 Adapun di dalam konsep politik Islam, golongan elit menurut pengertian sejarah adalah lebih menfokuskan kepada perlimen perang, dan mempunyai tokoh di dalam bidang peperangan seperti keberanian dan sebagainya. 8
Di dalam analisis berpolitikan di Malaysia, golongan putih merupakan faktor yang penting, terutamanya dalam hal penentuan hasil suara pemilihan umum, ketika Pemilihan Umum pada tahun 2008, persentase
masyarakat yang
mengunakan hak pilihannya sebesar 77,1%.9 Masalah ini ramai dibicarakan oleh golongan elit politik di Malaysia dari golongan elit Islam dan bukan Islam. Persoalannya mengapa mereka tidak pergi memilih, apakah mereka tidak 6
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 372 7 Hendi Suhendi, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I, h. 236 8 http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam 1021 13/4/2010 WIB 9 Karaktristik dan Jumlah Yang Tidak Pengeluar Mengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 18.00 WIB
4
menyokong
partai mana pun di dalam pemilihan umum? Atau partai-partai
politik tidak menjamin hak-hak mereka? Dengan persoalan di atas, penulis ingin menengahkan perbincangan ini dengan beberapa pendapat di kalangan golongan elit politik Islam di Malaysia yang masih hidup, terutamanya dua tokoh utama yaitu Abdul Hadi Awang dan Anwar Ibrahim. Kedua tokoh ini merupakan ketua partai yang besar di Malaysia, yaitu Abdul Hadi Awang sebagai presiden Partai Islam se-Malaysia (PAS) dan Anwar Ibrahim sebagai presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR). Sebagai contoh pandangan Abdul Hadi Awang terhadap golongan putih adalah mereka yang tidak mengetahui dasar atau nilai-nilai Islam terhadap pemerintahan, seperti konsep demokrasi di dalam Islam, dan hukum sistem pemilihan umum menurut ulama Islam kontemporer dan sebagainya.10 Sementara pendapat Abdul Hadi Awang sependapat dengan Anwar Ibrahim. Berdasarkan huraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih mendalam masalah yang berkait dengan kedua pandangan tokoh tersebut sehingga penulis angkat menjadai judul skripsi: “ Golongan Putih (Golput) Menurut Pandangan Elit Politik Islam Di Malaysia”
10
Abdul Hadi Awang Fahaman atau Ideologi Umat Islam (Selangor:PTS Publications &Distributors Sdn Bhd jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II, h. 211
5
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, penulis membatasi dan hanya menfokus pada pandangan golongan elit politik Islam terhadap golongan putih, dan hanya berlaku di seluruh negeri-negeri bagian di Malaysia kecuali Serawak, dan juga khusus pada berlaku pemilihan umum 2008. Kemudian melihat sejauh mana implementasi hukum Islam dan kritikan mereka terhadap aktivitas golongan putih terhadap partai dan negara, khususnya bagi memberi kebijakan terhadap kekuasaan negara Islam. 2. Perumusan Masalah Berdasakan huraian di dalam latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi sebagai berikut: a. Bagaimanakah penerapan hukum Islam tentang golongan putih di dalam konsep fiqih siyasah di Malaysia? b. Bagaimanakah pandangan golongan elit politik Islam terhadap kegiatan golongan putih di Malaysia? c. Bagaimanakah undang-undang yang terkait dengan golongan putih?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya: 1. Bagi mengetahui penerapan hukum Islam di dalam konsep fiqih siyasah. 2. Untuk mengetahui pandangan golongan elit politik Islam terhadap kegiatan golongan putih di Malaysia. 3. Untuk mengetahui undang-undang yang terkait terhadap golongan putih. Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut: a. Secara akademis untuk mendapat jawaban terhadap berbagai persoalan yang terkait dengan golongan putih di Malaysia. b. Memberi pengetahuan dan infomasi tentang penerapan golongan putih di Malaysia. c. Sebagai sumbangan kepada ahli-ahli politik dan juga kepala pemerintah dalam menangani segala permasalah yang berlaku di Malaysia. d. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan khususnya di bidang ketatanegaraan Islam di Malaysia.
7
D. Kajian Terdahulu Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang politik Islam telah dilakukan, baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkaji secara umum yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang berupa buku maupun skripsi, di antaranya: Penelitian yang ditulis Nurjana yang berjudul “Analisis Budaya Organisasi dan Pengaruhnya terhadap Keinerja Karyawan”, tahun 2008.11 Skripsi ini membahaskan tentang gambaran umum dalam kajian budaya dan kelompok masyarakat. Seterunya merupakan salah satu faktor penting kajian masyarakat di dalam studi politik dan ekonomi, dalam masa yang sama kebuntuhan negara terhadap ekonomi dan politik amat memerlukan bagi memberi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Penelitian yang ditulis Ahmad baha yang berjudul “Analisis Pemikiran Politik Anwar Ibrahim di Malaysia”,tahun 2009.12 Skripsi ini membahaskan tentang gambaran kajian Anwar Ibrahim sebagai tokoh politik Islam yang aktif bergerak di dalam politik Malaysia, dan banyak mengkaji masalah di dalam bidang politik, terutamanya kelompok kepentingan dan penyokong perbagai partai politik. 11
Nurjanah,”Analisis Budaya Organisasi dan Pengaruhnya terhadap Keinerja Karyawan” (Skripsi SI Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008). 12 Ahmad Baha, “Analisis Pemikiran Politik Anwar Ibrahim di Malaysia”, (Skripsi SI fakultas Syariah dan Hukum ,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
8
Penulis ingin menengahkan kajiannya terhadap golongan putih, kerana pada dasarnya Anwar mahu mengembalikan kedudukan orang Melayu di Malaysia dari sudut pemerintahan daripada dikuasai selain golongan Melayu, terutamanya golongan Cina yang telah menguasai di dalam bidang ekonomi. Matlamatnya mahu mengembalikan golongan putih kepada golongan aktif mahupun pasif, kerana golongan putih dapat merugikan kebijakan negara terutamanya hak kedudukan bangsa Melayu di Malaysia. Penelitian yang ditulis Nabhawi yang berjudul “Golput Dalam Persepektif Islam”, tahun 2005 . 13 Skripsi ini membahaskan secara umumnya implementasi hukum Islam terhadap golongan putih di dalam konsep sistem pemerintahan Islam. Penelitian yang ditulis Abdul Hadi Ripin yang berjudul “ Nilai-Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Perlaksaan Pemilu di Malaysia”, tahun 2008.14 Skripsi ini membahaskan sistem penerapan pemilihan umum di Malaysia, dan foktor yang mempengaruhi masyarakat Malaysia di dalam kegiatan
partai-
politik, dan juga masyarakat yang tidak terlibat di dalam partai atau pemilihan umum di sebut sebagai golongan putih. Selain Skripsi di atas, sejumlah penelitian dengan bahasan tentang golongan putih di Malaysia telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik 13
Nabawi. ”Golput Dalam Persepektif Islam”, (Skripsi SI fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) 14 Abdul Hadi Ripin, “Nilai-Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Perlaksanaan Pemilu di Malaysia”, (skripsi SI Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
9
topik tersebut maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karyakarya penelitian tersebut: Buku pertama,“Fahaman atau Ideologi Umat Islam”, Karya Abdul Hadi Awang15. Buku ini membahaskan ideologi umat Islam bermula zaman rasulullah sehingga zaman sekarang, dan kesannya terhadap pemerintahan. Dalam perbahasan ini, Abdul Hadi Awang meneliti terhadap penyokong Islam yang keluar dari partai Islam se-Malaysia
(PAS) disebabkan kesan ideologi
keagamaan dan sebagainya. Buku kedua, “Islam dan Demokrasi”, Karya Abdul Hadi Awang.16 Dalam buku ini ditulis beberapa bab tentang “politik dan agama, pemisahan politik dan agama, pahaman kebangsaan, serta perinsip-perinsip dan konsep politik dalam Islam”. Intinya buku ini membahas tentang bagaimana hubungan politik Islam sebuah negara dan hak-hak rakyat di dalam pemilihan kepempinan dan tokoh-tokoh Islam. Buku ketiga, “Pembentukan Partai Politik Islam”, Karya Taqiyuddin anNabhani17. Buku ini membahas dan meneliti dasar-dasar pembentukan partai Islam sebagai jalan atau wasilah untuk menegakan negara Islam, bermula kajian sifat seorang muslim sehingga dapat membentuk partai Islam yang mantap. 15
Abdul Hadi Awang, Fahaman atau Ideologi Umat Islam, (Selangor:PTS Publications &Distributors Sdn Bhd jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II 16 Abdul Hadi Awang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I 17 Taqiyuddin an-Nabhani, at-Taklil al-Hizbi, edisi Indonesia, terjemahan oleh: M.Siddiq Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet. II
10
Buku keempat, “ Pemikiran Islam di Malaysia sejarah dan Alirannya”, karya Abdul Rahman Haji Abdullah. 18 Buku ini membicarakan sifat orang Islam Melayu di Malaysia dari sudut perkambangan sejarah terhadap pemerintahan, akidah, ekonomi, budaya dan politik. Intinya menjadi sumber rujukan terhadap sejarah perkembangan partai politik di Malaysia. Buku kelima, “Model Kerajaan Islam Memebangun Bersama Islam”, karya Harun Taib. 19 Buku ini di antaranya membicarakan konsep kepimpinan dalam Partai Islam Se-Malaysia (PAS) khususnya di Negara Bagian Kelantan, akhlak dan disiplin dalam Harakah islamiyyah, model kerajaan Islami, ulama dan tokoh politik di Malaysia. Buku keenam, “Muqaddamah Ibn Khaldun”, terjamahan oleh Ahmadie Thoha.20 Buku ini merupakan buku utama, dan menjadi sumber kajian penting terhadap sosial masyarakat dan hubungan terhadap pembetukan sebuah negara yang bertamadun berdasarkan konsep dan implementasi hukum dan filsafat Islam. Buku ketujuh, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, karya Miriam Budiardjo.21 Buku ini membahaskan asas-asas penerapan ilmu politik secara umumnya, dan
18
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I 19 Harun Taib, Model Kerajaan Islam Membangun Bersama Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Ulama PAS Pusat, 2000), cet. I 20 Ahmadie Thoha, Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. IIV 21 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I
11
memberi kefahaman yang mudah terhadap kajian masalah politik terutamanya golongan putih di dalam sebuah negara. Buku kedelapan, “Pengantar Sosialogi Politik”, karya Michael Rush dan Phillp.22 Buku ini membahaskan kajian politik terutamanya golongan putih atau lebih dikenali dengan kata istilah apatis, di dalam buku ini juga membahaskan ciri-ciri golongan putih yang berlaku di masa kontemporer. Buku kesembilan, “Sosialogi dan Politik”, karya Nurul Aini dan Ng Philipus.23 Buku ini lebih meneliti terhadap kajian masyarakat yang terpengaruh kepada politik atau tidak, dan disebut sebagai golongan aktif, pasif dan apatis. Dengan kajian yang dibuat, buku ini mudah menjadi rujukan kerana mempunyai kandungan isi yang mudah difahami. Buku kesepuluh, “Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya & Dinamika Hubunganya dengan Indonesia”, karya Khoridatul Anissa. 24Buku ini meneliti terhadap sistem pemerintahan di Malaysia secara lengkap bermula sosial, ekonomi, dan politik. Di dalam kajian politik, buku ini lebih mendalami terhadap konsep negara Islam dan pembentukan partai politik di Malaysia. Dari beberapa kajian terdahulu di atas, khususnya mengenai golongan putih dari sudut pandangan elit politik Islam di Malaysia sebagai mana telah disebut di atas, penulis belum menemukan tulisan yang membahas atau mengkaji 22
Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, diterjemah oleh: Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. III 23 Ng Phlippus, dan Nurul Aini, Sosialogi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. V 24 Khoridatul Anissa, Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya& Dinamika Hubungannya Indonesia, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2009), cet. I
12
golongan putih di Malaysia khususnya. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Nabawi dengan judulnya Golput dalam Persepektif Islam hanya hubung kait implementasi dan dasar-dasar hukum Islam, seterusnya perbahasan ini hanya seputar golongan putih di Indonesia, jadi perbahasan ini tidak menyentuh terhadap kajian di Malaysia dan juga pendapat golongan elit politik Islam di Malaysia. Dengan demikian, peneliti yang penulis lakukan dalam skripsi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
E. Kerangka Teori dan Konsepsional Hukum Islam adalah hukum yang mempunyai ciri khas yang tidak berubah, sempurna, harmonis dan berkembang sesuai dengan keadaan zaman. Artinya bahawa hukum Islam merupakan hukum yang mampu mendamaikan stabilitas dengan perubahan, sehingga akan berguna untuk menyelesaikan masalah dan memenuhi tujuan hidup manusia. Ada beberapa teori tentang sifat atau praktek golongan putih, di antaranya; 1. Golongan putih administratif, yaitu orang yang tidak memilih kerana persoalan administrasi. Mereka adalah orang-orang yang secara hukum sesungguhnya berhak memilih, tetapi namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih atau terjadi kesalahan administrasi sehingga mereka kehilangan hak pilinya. 2. Golongan putih teknis, yaitu orang yang tidak memilih kerana masalah teknis, seperti sakit sehingga tidak bisa datang ke tempat pemungutan suara (TPS),
13
atau saat jam-jam pemilihan umum turun hujan lebat, atau TPS-nya jauh dari rumah dan mengalami kendala transportasi, dan sebaginya. 3. Golongan putih ideologis, yaitu orang secara hukum mahupun teknis sebenarnya tidak ada kendala, tetapi mereka sengaja tidak mengunakan hak pilihnya kerana pertimbangan tertentu. Misalnya tidak percaya kepada caloncalon (legislatif maupun eksekutif) yang ada, atau tidak percaya lagi kepada sistem atau makenisme pemilihan yang ditetapkan oleh pemerintah atau penyelengaraan pemilu, dan sebagainya. Dalam Islam, kedudukan golongan putih terhadap konteks fiqih masih lagi berada diruang lingkup masalah ijtihadiyyah, Dalam literatur(kajian)fiqih dan ushul fiqih istilah golongan putih atau abstain diistilahkan dengan kata “tawaqquf” yang secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts” yang berarti berdiam diri dan berhenti. Adapun secara istilah maka sikap tawaqquf bermakna ‘sikap yang diambil oleh seorang mujtahid dengan tidak memberikan pendapat dalam sebuah permasalahan ijtihadiyah yang disebabkan karena tidak nampak baginya sisi yang benar dalam permasalahan tersebut. Adapun kerangka dan kesimpulan Konsepsional; 1. Al-Quran dan Al-Hadis sebagai dasar atau panduan utama dalam menyelesaikan sesutau permaslahan, kerana kedudukan dari sudut nash terbahagi kepada 2 bagian yaitu pertama Qatiyyatu Thubut dan kedua
14
Zoniyyatul Thubut , sementara kedudukan penunjuk terhadap hukum terbagi kepada 2 bagian yaitu; Qatiyyatu Dilalah dan Zoniyyatul Dilalah. 2. Ijtihad adalah hasil hukum yang di keluarkan oleh para mujtahid melalui mentode yang sudah ditetapkan, seperti mentode qias, istihsan, masholih almursalah, sad az-zaraie, dan qowaid kuliyyah. 3. Fiqih adalah hukum yang sifat mengikat dalam bentuk halal, haram dan sebagainya, dalam hal ini, para imam mazhab adalah memengan tugas utama dalam mengeluarkan hukum-hukum tersebut. Sementara ini, hukum yang dikeluarkan adalah bersifat kondifikasi atau tidak dengan menilai kesusuaian masa dan tempat ketika itu. 4. Penarikan kesimpulan (istimbath) hukum Islam terhadap masalah golongan putih yang dilakukan oleh ulama atau intlektual Islam kontemporer adalah; a. Merujuk nash al-Quran dan al-Hadis melalui tekstual, seterusnya dalam rangka penafsiran samada melalui dilalah mafhum, manthuq, isyarat dan meneliti
dari
sudut
khafi,mujmal,musykil,
kedudukan mutsyabih,
makna nash,
samada
zohir,
kedudukan
muffassar
dan
muhkam.sebagai contoh, golongan putih disebut sebagai “tawaqquf” yang secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts”. b. Menilai dari sudut konteks, atau disebut sebagai maslahah,dalam hal ini, konteks maslahah berpadukan garis kulliyyah, qothiyyah dan dharuriyyah, dan bukan yang menyimpang garis panduan di atas, seperti pemahaman
15
realisme dan rasionalisme. Adapun contoh kaedah yang mengeluarkan hukum bagi masalah golongan putih (
)
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1.
Jenis Penelitian Untuk pemasalahan pengumpulan dan meneliti data dalam skripsi ini,
penulis mengunakan metode penelitian pustakaan (library research). Penulis mencoba mengumpulkan data-datanya berasal dari sumber-sumber kepustakaan, baik berupa buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini. 3.
Obyek Penelitian Yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah golongan putih dan subyek
adalah lebih menfokuskan pemikiran, pendapat dan latar belakang golongan elit politik Malaysia. 3.
Teknik Pengumpulan dan sumber data Untuk mendapat data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan
data dilakukan dengan setudi dokumentar dari bahan-bahan tertulis yakni dengan mencari bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan obyek penelitian. Data yang diperolehi dapat dibedakan menjadi data primer dan skunder. Yang termasuk ke dalam sumber data primer adalah buku Karangan Thahani Miswan tentang judul ‘8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golput’ dan karangan Abdul Rahman Abdullah dengan judul ‘Pemikiran Islam di
16
Malaysia’ Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku, seperi buku karangan Abdul hadi Awang, dengan judul Islam dan Demokrasi, dan Ideologi Umat Islam, seterusnnya karangan-karangan lain yang terkait dengan judul skripsi ini, literature-literature, dan website yang berkaitan dengan obyek penelitian. Kemudia data tertier berupa kamus, jurnal dan artikal 4.
Teknik Analisis Data dan teknik penarikan kesimpulan Pembahasan skripsi ini mengunakan teknik deskriptif analitis. Yaitu data
yang terkait jumlah golongan putih adalah dikeluarkan oleh Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) atau disebut sebagai panetra pemilihan umum pada tahun 2008, sementara data-data lain adalah seperti jumlah penduduk yang mengeluarkan hak pilih dalam pemilihan umum. Makanya dengan melalui pendekatan kualitatif ini sebagai rujukan primer dalam skripsi ini. Metode atau teknik diskriktif adalah suatu metode yang meneliti status kelompok, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau pun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskriptif (gambaran) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antara
fenomena yang diselidiki. Sedangkan yang dimaksudkan
dengan study analitis ialah menganalisis (menguji) hipotesa-hipotesa dan mengadakan interpretasi yang lebih mendalam tentang hubungan fakta-fakta, sifat-sifat, dan antar fenomena yang diselidiki. Pendekatan yang bersifat deskriptif dalam pendekatan ini diperlukan untuk mengambarkan golongan putih atau
17
Malaysia. Dan metode analitis dimaksudkan untuk menelaah metodologi pandangan atau keritikan golongan elit politik Islam di Malaysia. 25 5.
Teknik Penulisan Skripsi Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syasiah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudahkan dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, penelitian skripsi ini ditulis dengan mengunakan sistematika memebahas sebagai berikut: Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian terdahulu, kerangka teori dan konsepsional, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian. Selanjutnya pada bab II merupakan tinjauan umum terhadap studi sejarah kemunculan dengan membahas sejarah golongan putih di Malaysia, faktor yang mempengaruhi perkembangan sebelum dan sesudah di masa kontemporer, karakteristik dan jumlahnya.
25
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghlia Indonesia, 1983), cet. III, h. 63
18
Untuk mengetahui lagi kedudukan hukum Islam yang terkait masalah golongan putih, maka pada bab III, membahaskan tentang penerapan di dalam konsep fiqih siyasah dan pandangan hukum Islam terhadap golongan putih. Agar lebih mendalam lagi perkembangan hukum Islam yang melibatkan kedudukan masa dan tempat, bab IV membahaskan pendapat dan pandangan golongan elit politik Islam khususnya hanya berlaku di Malaysia, dengan bermula dari sudut pengenalan kategorisasi, dan undang-undang terkait Pemilihan Umum. Kemudia skripsi ini penulis tutup dangan kesimpulan dan saran pada bab V.
BAB II SEJARAH SINGKAT GOLONGAN PUTIH DI MALAYSIA
Penelitian terhadap golongan putih di dalam kajian politik terutamanya di Malaysia lebih menfokuskan terhadap hubung kait terhadap sistem pemilihan umum. sudah dimaklumi bahawa sistem pemerintahan Malaysia mengamalkan sistem Raja Berparlemen,1 maka pemilihan umum tidak semua suara rakyat memberi inspirasi terhadap kebajikan negara di dalam sistem pemilu yang berlaku pada 5 tahun sekali.2 Menurut sejarah pemilihan umum di Malaysia yaitu di Pulau Pinang dengan dibentuknya pejabat sementara yang dinamakan Jawatankuasa Penilai ( Committee of Assesror ) pada tahun 1801. 3 Pada awalnya pejabat ini bertanggung jawab atas aspek pembangunan kota supaya lembaga ini dapat memenuhi kebuntuhan penduduk setempat, termasuk di dalamnya urusan jalan, pembangunan sistem saluran jalanan, pejabat pelaksanaan undang-undang, urusan keamanan, serta urusan pajak. Penduduk–penduduk Asia dan Britis yang kaya terlibat dalam musyawarah yang memilih anggota Jawatankuasa sukarela ini, walau bagaimanapun, pengurusan Jawatankuasa ini dilantik oleh Lieutenant Governor, 4 yang kemudian Jawatankuasa ini berubah menjadi Majlis Perbandaran hingga sekarang.
1
Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, ( Selangor Darul Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I, h. 77 2 Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293 3 Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia, ( Kuala Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I, h. 18 4 Lieutenant Governor adalah gubenur Negara Inggris ketika menjajah negeri-negeri selat
18
19
Secara dasarnya, golongan putih yang berlaku pada awal pemilihan umun di Malaysia tidak lagi menjadi sumber penelitian oleh golongan elit politik Islam, kerana menurut sejarah, yang berlaku pemilihan umum pada tahun 1945 adalah rancangan oleh pihak penjajah untuk memberi hak kebebasan rakyat bagi memilih pemimpin, dalam masa yang sama Inggris masih lagi menguasai sepenuhnya tanah Melayu pada saat itu dari sudut undang-undang pemerintahan.
A. Sejarah kemuculan Golongan Putih di Malaysia. Pada tahun 1953, Partai Persekutuan menuntut agar anggota Majlis Musyawarah Undangan Persekutuan dipilih melalui sistem pemilihan umum bukan oleh pihak Inggris. Ini akan memberikan peluang
kepada pimpinan-
pimpinan Partai Perserikatan untuk dapat menjadi anggota majlis Musyawarah kerajaan yang merupakan sebuah badan penting dalam penyelengaraan Negara. Disamping itu, Partai Persekutuan juga menuntut pihak Inggris agar pilihan umum (pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan parlemen) agar diadakan selambat-lambatnya pada tahun 1954, dan anggota Majlis Musyawarah Undangan Persekutuan yang dipilih melalui pemilihan umum hendaklah berdasarkan suara terbanyak dalam majlis tersebut. 5 Akhirnya dengan persetujuan Inggris, pemilu Majlis Perundangan Persekutuan yang pertama bagi Negara Malaysia secara rasmi dilaksanakan pada 5
Tajuddin Bin Hussen, Malaysia Negara Kita, (Kuala Lumpur: Mdc Publisher Sdn Bhd, 2007), cet. I, h, 269-270
20
tanggal 27 juli 1955. Sehari sebelum yang bersejarah itu, setiap partai politik yang terlibat
dalam
pemilihan
umum
akan
mengadakan
kampanye
setelah
mengumumkan calon pimpinannya yaitu pada tanggal 15 juli 1955. Dalam pemilihan umum tersebut, kelompok-kelompok Partai perikatan yaitu UMNO, MCA dan MIC telah mengadakan beberapa perundingan untuk membagikan wilayah pemilahan dan jumlah kerusi yang diperbuatkan. Hasilnya, UMNO memenan di 35 wilayah, MCA di 15 wilayah dan MIC di 2 wilayah. Dalam pemilu ini, Partai Perserikatan memenangkannya dengan memperoleh 51 kursi dari 52 kursi yang diperebutkan, sedangkan 1 kursi lagi diraih oleh Partai Islam Se-Malaysia (PAS).6 Sudah dijelaskan sejarah ringkas sistem pemilu di Malaysia. Pada peringkat permulaanya di dalam sistem pemilihan umum di sana, secara dasar golongan putih sudah berlaku kepada mansyarakat Melayu pada saat itu, dalam masa yang sama, hak-hak suara rakyat di dalam memberi kebijakan terhadap sistem demokarasi masih lagi tidak menyeluruh. Pada saat itu apa yang di jelaskan lagi oleh Abdul Rahman di dalam bukunya adalah masyarakat Melayu mempunyai pemikiran atau ideologi yang terpenggaruh, 7dan terjadilah pinggiran
6
Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia, ( Kuala Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I, h. 32 7 Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 17
21
atau dikecualikan dari memberi hak pemilihan di dalam sistem pemilu, yaitu di sebut dari sudut etimologis adalah apatis atau lebih dikenali golongan putih. 8 Amalan apatis atau golongan putih bermula di kalangan golongan Melayu menurut logman adalah dengan bermula kedatangan penjajah barat yang membawa kemasukkan ramai pekerja asing bukan Islam dari India dan Tanah Besar Cina. Penjajah membuka ladang-ladang dengan mengunakan tenaga buruh dari India dan membuka kawasan perbandaran baru dengan peluang ekonominya lebih banyak dikuasai oleh pekerja dari Cina. 9 Dengan pembentukan bandar-bandar baru itu menyebabkan kebanyakan bandar diduduki oleh bukan Islam khususnya Cina, orang Melayu-Islam tinggal sebagai petani di luar bandar dan masyarakat India tinggal di ladang-ladang. Penjajah membuka peluang pedangan direbut oleh masyarakat Cina. Justeru sifat pedangan bebas itu mengundang amalan monopoli, maka peniaga itu terbiar dengan amalan monopolinya hingga tertutup ruang pedangan bagi orang Melayu dalam semua bidang. Segala hasil pertanian orang Melayu tidak mendapat pasaran meluas dan layanan yang adil, berbeda dengan hasil pertanian orang Cina. Monopoli kaum itu menyebabkan petani Melayu tertindas. Di setiap bandar penjajah membuka persekolahan lengkap yaitu sekolah Inggeris dan peluang pelajaran banyak terbuka kepada penduduk bandar. Sekolah di desa-desa untuk
8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poiltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 372 9 Logman, Sejarah Malaysia, (Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009), cet. I, h. 55
22
orang Melayu tidak sempurna. Sekolah-sekolah pondok tidak diberi bantuan dan tidak digalakkan. Menjelang kemerdekaan sekolah yang penting adalah sekolah Inggeris. jumlah guru kebanyakannya Cina. Guru Melayu amat kurang. Ia membuka ruang penindasan terhadap anak-anak Melayu di sekolah Inggeris, kebayakan murid Melayu pinggir tetapi murid-murid Melayu di sekolah bantuan penuh kerajaan seperti Malay College, kebayakan murid Melayu boleh mencapai kejayaan, pinggiran pelajar Melayu itu ada hubungannya dengan penindasan guru-guru bukan Melayu, maka menyebabkan rata-rata orang Melayu ketinggalan dalam bidang pelajaran. Ketinggalan orang Melayu di bidang ekonomi dan pelajaran adalah berpunca dari penindasan monopoli kaum pedagang Cina dan guru-curu Cina, Pelajar India dan nasib orang India dalam ekonomi terus ketinggalan, penindasan atau diskriminasi ini tidak berlaku sebelum kedatangan penjajahan barat, dalam masyarakat Islam sebelum kedatangan barat, semua penduduk diberi layanan adil sesuai dengan ajaran Islam, hingga orang Melayu mengunakan bahasa pasar atau lokal yang susah bagi mudahkan ia difahami oleh Cina dan India semata-mata mahu melicin dan melancarkan komunikasi dan hubungan.
23
Layanan adil terhadap golongan minoriti itu adalah bertolak dari ajaran dan keadilan Islam yang melarang pendindasan. Diskriminasi
monopoli dan
penindasan atas golongan minoriti adalah zalim dan perbuatan itu berdosa.10 Sikap dan perbedaan ini terbawa-bawa hingga selepas kemerdekaan. Monopoli ekonomi terus berlaku. Kerajaan gagal mewujudkan sekurang-kurang 30 persen bagi bumiputera ialah kerana peluang pedangan kebanyakananya ditangan kaum Cina, kerajaan Pro Melayu pula memberi lesen atau stafikat dan peluang banyak kepada orang Melayu, tetapi monopoli pedangan ada di tangan orang Cina, maka semua lesen itu terjual kepada orang Cina. Dengan kesimpulan ini, apa yang dijelas oleh Logman di dalam bukunya yaitu sejarah Malaysia, 11 sejarah muncul golongan putih adalah berpunca dari kemasukan orang-orang India dan Cina dari pihak Inggris sekitar pada awal abad ke 18, maka terbentuklah sifat apatis bagi golongan masyarakat Melayu di dalam berpolitikan di Malaysia.
B. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Golongan Putih Sebelum dan Sesudah di Masa Kontemporer.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan golongan putih sebelum kontemporer adalah ditinjau banyak sudut, pertama dari sudut sosiolisasi. 10
Ahmadie Thoha,Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. IIV, h. 10 11
cet. I, h. 60
Logman, Sejarah Malaysia,(Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009),
24
Menurut konsep sosiologi, sesuatu kelompok itu berlaku perubahan dengan tiga faktor: 1. Kesedaran dan kedudukan psikologi. 2. Hubungan atau kontrak sosial. 3. Suasana atau kondisi tempat. 12 Golongan putih tidak terlepas daripada
tiga faktor di atas, yang
menyebabkan berlaku perubahan di dalam sistem politik sesebuah negara, khususnya di Malaysia. Kedua, yang menyebabkan mempengaruhi golongan putih ini berkembang adalah ditinjau dari sudut berpolitikan yang berlaku di dalam sesebuah negara, sebagai contoh, Malaysia mengamalkan sistem Raja Beparlemen (monarki konstitusional), suara rakyat mesti didahulukan.
13
Dan juga banyak berlaku di
sana pertubuhan partai-partai politik, bagi memberi inspirasi yang sah dan bersistem menurut undang-undang, yaitu menerima suara rakyat menjadi sebagai dasar perlembagaan negara. Secara dasarnya, faktor yang mempengaruhi golongan putih sebelum zaman kontemporer adalah foktor politik saat itu, sebagai contoh, pada zaman pemerintahan Tunku Abdul Rahman yaitu Perdana Menteri yang pertama, adalah pada saat itu Malaysia baru menjelang kemerdekaan, dan masyarakat Melayu secara meyoritasnya masih lagi merasakan politik atau kekuasaanya dijajah, dan 12
Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. 3, h. 46 13 Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293
25
semangat ideologi tradisionalisme terus mempengaruhi pada setiap lapisan masyarakat. 14 Pemikiran atau semangat golongan putih pada awalnya, sudah berlaku dan mempengaruhi di dalam partai politik pada saat itu, tetapi pada akhirnya golongan ini berlaku kesedaran dan perubahan terhadap kepentingan pertubuhan partaipartai politik, yaitu kepentingannya adalah hak-hak perjuangan untuk menghalau penjajah Inggeris. 15 Faktor yang mempengaruhi sesudah kontemporer kurang lebih sama pada masa sebelumnya, yaitu foktor sosiolisasi dan politik, cuma dari sudut politik ianya meluas pada masa sebelumya. Jika ditinjau dari sudut politik, kemunculan partai-partai politik semakin bertambah sehingga terbentuk sistem multi partai pada saat ini, dan suara rakyat terus dilayani oleh pihak pemerintah walaupun berada dikawasan perdalaman disebabkan kecangihan teknologi dan sebagainya. Tetapi menurut kajian kenapa golongan putih terus meningkat persentasenya di Malaysia dan semakin bertambah pada saat ini? Secara dasarnya, sistem multi partai yang diamalkan di Malaysia adalah punca menyebabkan banyak golongan putih muncul. Diantara kelemahanya adalah:
14
Khoridatul Anissa, Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya& Dinamika Hubungannya Indonesia, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2009), cet. I, h. 41 15 Logman, Sejarah Malaysia, (Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009), cet. I, h. 179
26
Mempunyai kecederungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu hal ini. 1. Tidak ada suatu partai yang cukup kuat untuk membentuk koalisi dengan partai-partai lain. 2. Partai-partai oposisinya kurang memainkan peranan yang jelas kerana sewaktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Faktor dalaman setiap partai-partai politik, seperti berlaku korupsi dan sebagainya menyebabkan penyokong hilang kepercayaan. 16 Sebagai kesimpulanya, faktor yang menyebabkan mempengaruhi pemikaran golongan putih di Malaysia adalah, pertama sisiolisasi dan kedua berpolitikan. Dan secara dasarnya, di dalam sejarah masyarakat
Melayu mempunyai tiga
pemikiran yang menyebabkan kurang tambahnya golongan putih di sana,17 yaitu pertama golongan tradisionalisme,18 kedua golongan modernisme,19 dan ketiga golongan reformisme.20
16
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poiltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 418 17 Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya, ,(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13 18 Istilah tradisionalisme digunakan dalam pengertian konservatif atau mempertahankan yang lama atau ditinjau dari sudut pemikiran adalah menekankan persoalan agama di dalam kehidupan. 19 Istilah modernisme menurut Roger Garaudry adalah Westernisme yaitu aliran yang berasaskan kebudayaan dan pemikiran barat. 20 Istilah reformisme adalah semangat puritanisme, yaitu penekanan kepada ajaran Islam yang murni (pristine).
27
C. Karakteristik dan Jumlah Golongan Putih di Malaysia. Secara dasarnya, karaktreristik dan jumlah golongan putih di Malaysia adalah ditinjau karaktristik dan jumlah yang lain terlebih dahulu, yaitu jumlah penduduk, data pemilihan umum dan seterusnya jumlah golongan putih.
1. Karakteristik dan jumlah penduduk Malaysia:21
Tabel 1 Luas
Bumi-Putra
wilayah
(%)
4.188.876
7.960
Johor
2.740.625
Labuan
Negara bagian
Penduduk
China (%)
India (%)
Selangor
43,5
35,7
19,6
18.987
57,1
35,4
6,9
76.067
92
79,6
15,8
1,3
Putrajaya
45.000
148
94,8
1,8
2,7
Perak
2.051.236
21.005
44,7
37,0
20
Kedah
1.649.756
9.425
76,6
14,9
7,1
Kuala Lumpur
1.379.310
243
38,6
46,5
13,4
Penang
1.313.449
1.031
27,5
61,5
10,6
Kelantan
1.313.014
15.024
95,0
3,8
0,3
Terengganu
898.825
12.955
96,8
2,8
0,2
859.924
6.644
57.9
25,6
16,0
Melaka
635.791
1.652
63,8
29,1
6,5
Perlis
204.450
795
85,5
10,3
1,3
Sabah
2.603.485
73.619
80,5
13,2
0,5
Negeri Sembilan
21
Karaktristik dan Jumlah Penduduk dan Luas Negeri Bagian di Malaysia, Sumber data: Sensus Nasional Malaysia tahun 2008 oleh Departemen Statistik Malaysia.
28
Data di atas, jumlah penduduk Malaysia bagi seluruh Negeri Bagian adalah 22.931.314 jiwa kecuali Negari Bagian Serawak. Masyarakat Melayu masih lagi mempunyai karaktristik yang tinggi berbanding bangsa lain. Dari sudut partisipasi, masyarakat Melayu mempunyai hak suara yang lebih di dalam politik Malaysia. Adapun karaktristik dan jumlah pemilih yang melakukan hak pemilihan di dalam pemilihan umum pada setiap lima tahun sekali adalah seperti berikut: 2. Jumlah pemilih yang dikeluarkan oleh panetra pemilihan umum atau jabatan Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) kali ke 12.22 Tabel 2 No
Negeri
Jumlah pemilih
Keluar memilih
1
Perlis
120,081
97,386 (81%)
2
Kedah
873,674
697,384 (79,8)
3
Kelantan
735,417
607,674 (82.6)
4
Terengganu
521,527
443,182 (85.0)
5
Pulau Pinang
709,323
553,755 (78.1)
6
Perak
1,196,160
871,731 (72.9)
7
Pahang
603,242
464,826 (77.1)
8
Selangor
1,536,111
1,187,511 (77.3)
9
Negeri Sembilan
462,015
354,596 (76.7)
10
Melaka
371,594
297,179 (80.0)
11
Johor
1,312,120
997,817 (76.0)
22
Karaktristik dan Jumlah Pengeluar Pengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 17.55 WIB
29
12
Sabah
786,142
544,185(69.2)
Jumlah
9,227,476
7,117,226 (77.1)
Berdasarkan sumber data di atas, bilangan atau jumlah penduduk Malaysia sebanyak 22.931.314 jiwa,
23
dan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
sudah berdaftar sebagai layak memilih dengan jumlahnya 9.227.476 jiwa.24Maka persentase golongan putih adalah sebanyak 13.703.838 jiwa, yaitu mereka yang tidak mengeluarkan hak pemilihan pada pemilihan umum kali ke-12 pada tahun 2008. Jadi sebanyak 13.703.838 jiwa, adakah dikatakan kepada mereka sebagai golongan putih kerana tidak memberi hak inspirasi rakyat terhadap kebijakan pemerintah? Disini berbagai persoalan yang dikemukakan oleh golongan elit politik, terutamanya golongan elit plitik Islam di dalam penelitian permasalahan ini. Dalam hal yang sama, jumlah
pendaftaran yang dibuat oleh panetra
pemilihan umum atau Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) dengan sebanyak 9.227.476
orang yang layak memilih, tetapi pada pilihan umum kali ke-12
sebanyak 20% yang tidak mengunakkan pemilihannya di dalam pemilihan umum
23
Karaktristik dan Jumlah Penduduk dan Luas Negeri Bagian di Malaysia, Sumber data: Sensus Nasional Malaysia tahun 2008 oleh Deparmen Statistik Malaysia. 24 Karaktristik dan Jumlah Pengeluar Mengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya. diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 17.55 WIB
30
pada saat itu, ini bermakna, jumlah penduduk yang tidak mengundi semakin bertambah. 25 Dengan kesimpulan di atas, karaktristik dan jumlah golongan putih di Malaysia terbahagi kepada dua bahagian: 1. Sebanyak 13.703.838 jiwa, yaitu mereka yang tidak melakukan haknya di dalam pemilihan umum pada tahun 2004, dan jumlah ini dinisbahkan kepada jumlah penduduk sebanyak 22.931.314 jiwa termasuk kanak-kanak dan orang yang tidak layak memilih disebab tertentu. Jadinya keseluruhan jumlah di atas tidak lagi dikategorisasikan sebagai golongan putih. 2. Sebanyak 20% mereka yang tidak memilih, dengan dinisbahkan kepada jumlah penduduk yang sudah berdaftar sebagai layak untuk memilih sebanyak 9.227.478 jiwa. Dan jumlah ini disebut sebagai golongan putih di dalam perbincangan ini. Kesimpulan di atas dapat dilihat: No
Jumlah penduduk
Jumlah Layak memilih
Golongan
Tahun
putih 1
22.931.314
25
9.227.476
2. 445.016
2008
Karaktristik dan Jumlah Yang Tidak Pengeluar Mengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 18.00 WIB
31
Sebanyak 2.445.016 jiwa yang tidak mengunakan haknya dalam pemilihan umum pada tahun 2008 yaitu disebut golongan putih (golongan putih ), dan sumber data ini telah dikeluarkan oleh panetra pemilihan umum atau Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR). Adapun
jumlah ini, tidak termasuk hitungan golongan putih di seluruh
Malaysia, kerana 1 Negeri Bagian lagi masih tidak dihitung yaitu Serawak, kerana Negeri Bagian ini tidak termasuk di dalam analisis ini. sementara kedudukan undangundang pemilihan umum di dalam Perlembagaan Persekutuan bagi negeri Serawak adalah, ( Bagian 8, tentang Pilihan Raya Perkara 113, No 3) menyatakan, NegeriNegeri Tanah Melayu hendak termasuk wilayah-wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,Labuan dan Putrajaya. Yaitu Negeri Bagian Serawak tidak termasuk perlaksanaan undang-undang pilihan raya ini, dan mempunyai undang-undang lain di bawah Undang-undang Dasar di Malaysia. 26 Setelah di jelaskan sumber data di atas dengan melalui deskriptif analitis makanya hepotesa-hepotesa tersebut di lakukan melalui teknik induktif, untuk lebih akurat dan faktual dalam bab seterusnya, yaitu inti atau kesimpulanya lebih komprehensif akan
membahaskan kedudukan golongan putih antara hubungan
hukum Islam dan fiqh siyasah.
26
Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, (Selangor Darul Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I, h. 77
BAB III GOLONGAN PUTIH DI DALAM PENELITIAN FIQH SIYASAH
Penelitian golongan putih di dalam konsep fiqh siyasah tidak terlepas dari beberapa hak di dalam sistem politik Islam. Terutamanya hak pemilu di dalam pemerintahan yang mengamalkan sistem demokrasi, dalam masa yang sama, punca yang menyebabkan berlaku golongan putih adalah kesalafaham sistem demokrasi Islam, seperti berlaku pada kelompok Hizbut Tahrir yang menolak sistem demokrasi yang berlaku politik dunia saat ini.1Tetapi kelompok Hizbut Tahrir tidak dikatakan golongan putih, kerana mereka tetap memperdulikan hak-hak perjuangan politik pada Islam, kerana golongan putih dari sudut etimologis adalah ‘sikap yang tidak mengambil peduli di sekitarnya’.
2
adapun dari sudut pengertian politik adalah
‘golongan yang tidak melibatkan hak-haknya di dalam sistem politik’ terutamanya hal-hal terkait sistem pemilihan umum. Jika dibicarakan sistem demokrasi di dalam Islam, ianya mempunyai perbahasan yang panjang sebagai contoh, tokoh-tokoh yang menerima sistem ini diterapkan di dalam Islam yaitu Muhamad Abduh (1849-1905 M), Muhamad Iqbal (1873-1938 M), Muhamad Husain Haikal (1888-1945 M), Fazlur Rahman (1919-
1
Taqiyuddin an Nabhan, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2009), cet. III, h. 13 2 Paul H. Mussen dan Anne B.Wiszynsk, Personality and Political, (Human Relation,1951), cet. 5, h. 78
30
31
1988) dan ramai lagi tidak tercatat, untuk lebih luas perbahasan ini lihat dalam buku (fiqh siyasah) karangan Khmami Zada dan Mujar tentang masalah ini.3 Sebagai dasar implementasi hukum Islam di dalam sistem demokrasi tidaklah menjadi hukum Qathi’ di dalam istidhlal hukum, Cuma membawa kepada dilalah zhanni.4 Kerana ia membawa kepada perkara khilafiyyah. Dalam literatur fiqh dan ushul al-fiqh istilah golongan putih/abstain diistilahkan dengan kata “tawaqquf” yang secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts” yang berarti berdiam diri dan berhenti.5 Adapun secara istilah maka sikap tawaqquf bermakna ‘sikap yang diambil oleh seorang mujtahid dengan tidak memberikan pendapat dalam sebuah permasalahan ijtihadiyah yang disebabkan karena tidak nampak baginya sisi yang benar dalam permasalahan tersebut’. Pada dasarnya, berbalik kepada perbincangan hubungan golongan putih antar demokrasi. Adalah fahaman mereka terhadap demokrasi masih lagi mengangap sistem ini adalah sistem yang dijajah seluruh dunia, walau pun ia sudah lama dilahirkan dan mengalami perubahan serta banyak perkara kemanusian yang baik dan buruk. Semua penganut ideologi sama ada di timur atau di barat mengaku menjadi pendukung demokrasi kerana mereka tidak menemui idealogi yang lain. Oleh itu, Islam yang datang lebih awal dari demokrasi mempunyai pertimbangan sendiri bagi
3
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, fiqh Siyasah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), cet. I, h. 41 4 Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali, Perbahasan Usul Ahkam, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 2005), cet. I, h. 336 5
http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golongan
diakses pada tanggal 13 April 2010, pukul 10.30WIB
putih.html?lang=
32
menyelamatkan manusia dari kancah perubahan di sepanjang sejarah. Islam tidak menolak yang baik walau pun di mana ia di lahirkan dan bila ia di temui. Untuk kesimpulannya, penerapan golongan putih di dalam implementasi fiqh siyasah bukanlah perkara kecil di dalam hukum Islam, bahkah ada sebahagian ulama kontemporer menhukumkan haram bagi golongan putih tersebut, seperti disebut oleh Miswan Thahani di dalam bukunya. 6
A. Golongan Putih di dalam Konsep Fiqh Siyasah. Penelitian fiqh siyasah terhadap golongan putih tidak terlepas dari kaitan hak-hak di dalam politik Islam, seperti telah disebut di atas, cuma di sini menjelaskan lagi konsep dan tujuan terhadap hukum-hukum tersebut. Yang pertamanya hubungan pemilu dan kaitannya terhadap golongan putih. Adapun pengertian pilihan umum atau pemilu adalah ‘memilih sesorang penguasa, pejabat atau lainnya dengan jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau dengan memberikan suara dalam pemilihan umum’. Meskipun istilah ini merialisasikan makna “memilih”, tetapi tidak digunakan dalam syariat untuk pembahasan pemilihan umum
seorang
penguasa. Pada hakikatnya istilah
pemilihan umum umum mirip dengan istilah syar’i, yaitu syura.7 Untuk kesimpulannya, penerapan hukum Islam di dalam sistem pemilu menjadi suatu kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang menegakkan daulat Islamiyyah, 6
Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golongan putih, (Jakarta: Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 45 7 Abu Nashr , Membongkar Dosa-Dosa Pemilu, (Yogyagarta: Prisma Media), cet. I, h. 29
33
dan golongan putih tidak terlepas di dalam konsep fiqh siyasah tersebut, dengan beberapa contoh kaedah fiqhiyyah kuliyyah yang menyebut:
Artinya: tidak sempurna sesuatu kewajiban malainkan dengan suatu perkara tersebut maka(sesuatu perkara tersebut)menjadi wajib.8
Artinya: sesuatu kewajiban itu tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan kewajiban yang lain. 9
Pengertian kaedah yang pertama adalah, pemilu itu tidak akan berlaku jika golongan putih muncul di sini dan membawa kepada kelemahan umat Islam untuk menegakkan negara yang bersyariatkan Islam. Adapun pengertian kedua adalah apabila hukum pemilu menjadi kewajiban maka golongan putih tidak boleh dibatal hukum tersebut. Yang kedua, penelitian golongan putih di dalam fiqh siyasah adalah hubungan partai-partai politik. Sebelum dibahas lebih panjang, terlebih dahulu mengenal pengertian partai politik menurut pandangan Islam, adalah: Sebuah organisasi yang mempunyai empat konsep utama;
8
Taqiyuddin an-Nabhani, at-Taklil al-Hizbi, edisi Indonesia: terjemhan oleh, M. Shiddiqi, Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet. II, h. 45 10.As-Suyuti, Al-Asyabah Wa an-Nazair Fil Qowaid Fiqyiyyah, (Kairo: Dar Kutub,2007) cet. I, h. 196
34
1. Pemikiran (fikrah) yang menetukan tujuan serta yang menjadi asas untuk menyatukan masyarakat dengan partai. 2. Mentode (thariqah) yang ditempuh partai untuk meriah tujuan. 3. Anggota-anggota partai serta sejauh mana keyakinan mereka terhadap pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah) partai. 4. Cara (kafiyah) untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut. 10 Seterunya, berdasarkan al-Hadis:
…… 11
Artinya: diceritakan oleh Mohd bin Muthanna, dan dari Al Walid bin Muslim, dari Ibnu Jabir diceritakan padaku oleh Busru bin Ubaidillah Al-hadramiyyu bahawa telah didengari oleh Aba Idris Al-Khulani dan dari Huzaifah AlYamani
telah
mendengar
darinya
menyatakan…….sabda
nabi
s.a.w…hendaklah kamu bersama dengan kelompok kaum muslimin dan kepimpinanya, berkata (huzaifah):jika tidak terdapat kelompok kaum muslimin tersebut dan kepimpinannya? Maka sabda nabi s.a.w: Hendaklah kamu pisahkan dari kelompok tersebut semuanya (kelompok yang menetang ajaran Islam, selain kelompok yang pertama tadi) , bahkan kamu (memisahkan dari kelompok tersebut) dalam keadaan memakan akarakar pokok dan mati kerananya (kelaparan) dan kamu tetap keadaan tersebut. 11. Muhammad Hawari, Politik Partai Startegi Baru Perjuangan Partai Politik Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2003), cet. II, h. 3 11 Shahih Bukhari
35
Hadis ini menunjukan dengan kalimat soreh terhadap orang Islam itu wajib berada di dalam kelompok muslimin dan para kepimpinannya. Dan kalimat jamaah di sini menunjukkan penyatuan kaum muslimin dalam menegakkan syiarsyiar Islam. Dan berkata Abu Ishak Ibrahim bin Musa As-Syatibi di dalam kitabnya, jamaah itu adalah ‘jama’atul muslim yang sepakat atas seseorang amir’. Seterunya, jika ditinjau dari sudut al-Quran adalah:
( . : /
)
Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Menurut tafsir Ibnu Katsir berkenaan ayat tersebut : yang di maksudkan dengan “tali Allah”, ada berberapa pendapat: Pendapat pertama mengatakan “janji dengan Allah”
36
Pendapat kedua mengatakan ‘ al-Quran’ yaitu al-Quran merupakan tali Allah yang kuat dan jalan yang lurus. Dalam masa yang sama, ayat yang selepasnya menyebut ‘janganlah bercerai-berai’. Ayat ini menyatakan, Allah menyuruh mereka bersatu dan melarang mereka bercerai-berai. 12 Menurut tafsir Al-Qurthubi berkenaan ayat diatas, yang dimaksudkan dengan ‘tali Allah’ adalah al-Quran, menurut pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Dan menurut Abdullah bin Mas’ud dengan jalur riwayat Taqi bin Makhlak meriwayatkan, Yahya bin Hamid, Husyaim, dari Awwam bin Hausyab dan dari Asy-Sya’bi berkenaan ayat ‘janganlah kamu bercerai-bera’ adalah: Allah memerintahkan untuk bersatu dan melarang sikap bercerai-berai, dan sikap ini membawa kepada kebinasaan. 13 Jika dilihat pula pandangan ulama kontemporer berkenaan pembentukkan partai-partai politik adalah wajib hukumnya bagi tujuan menegakkan sebuah negara yang bersyariatkan dengan syariat Islam. 14 Berdasarkan kesimpulan di atas, yaitu
penerapan al-Quran, al-Hadis,
kaedah fiqih dan pandangan ulama kontemporer, hubungan golongan putih dengan partai politik tidak boleh dipisahkan terhadap konsep fiqh siyasah.
12
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2009), cet. I, h.561, Jilid 1. 13 Muhammd Ibrahim Al-Hifnawi (Ta’liq) dan Mahmud Hamid (Takhrij), Tafsir AlQuthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) cet. I, h. 399 Jilid 4. 14 Taqiyuddin an-Nabhani, at-Taklil al-Hizbi, edisi Indonesia: terjemhan oleh, M. Shiddiqi, Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet. II, h.70
37
Yang ketiga, penelitian golongan putih di dalam fiqh siyasah adalah hubungan terhadap sistem demokrasi. Terlebih dahulu jika dilihat di dalam sistem demokrasi, sebagaian ulama kontemporer dan intelektual Muslim mengatakan konsep demokrasi mempunyai persamaan dengan sistem syura di dalam Islam, antara persamaan adalah sistem demokrasi ini merupakan sistem pemerintahan meyoritas yang menerapkan metode permusyawaratan dalam pengambilan keputusan.
15
Adapun sebahagian yang lain membedakan dua konsep tersebut
dengan pelbagai dalil dan kritikan yang dikemukakan. Adapun prinsip demokrasi ,terhadap penerapan admininstrasi negara di dalam penelitian fiqh siyasah adalah: 1. Prinsip kesadaran kemajmukan. 2. Prinsip musyawarah. 3. Prinsip cara haruslah sejalan dengan tujuan, prinsip ini mengemukakan dasar bahawa suatu tujuan yang baik haruslah diabsahkan dengan kebaikkan cara yang ditempuhi untuk meriahnya. 4. Prinsip permuafakatan yang jujur. 5. Prinsip pemenuhan kehidupan ekonomi dan perancangan sosial budaya. 6. Prinsip kebebasan nurani (freedom of conscience). 16 Jadinya, dengan kesimpulan ketiga-tiga konsep di atas, yaitu hubungan
15
Artani Hasbi, Musyawarah & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2001), cet. I,
16
Sukran Kamil, Islam & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media, Pratam, 2002), cet. I, h. 31
h. 1
38
golongan putih antar pemilu, partai-partai politik dan sistem demokrasi, tidak boleh memisahkan di dalam penetapan fiqh siyasah bagi tujuan hifdh al-ummah sebagai maqasid al-syariah untuk menegakkan sesebuah negara Islam. 17 Maka apa yang terkait di dalam sistem pemerintahan di Malaysia seperti sistem pemilihan umum, demokrasi adalah alat untuk mendirikan sebuah negara yang bersyariatkan Islam. B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Golongan Putih Seputar hukum Islam terhadap golongan putih dari inti perbahasan di dalam konsep fiqh siyasah di atas, di sini hukum yang dikeluarkan oleh ulama kontemporer dengan beberapa hukum di dalam Islam yang dapat ditinjaukan seperti berikut: Ketogeri pertama, mengatakan golongan putih itu hukumnya haram di dalam Islam, antara hubung kait yang membawa kepada hukum tersebut dengan beberapa persoalan : 1. Mengapa harus ada pemilu ? 2. Apakah umat Islam harus perlu ikut pemilu? 3. Apakah ikut pemilu itu hak atau kewajipan? 4. Apakah umat Islam perlu memiliki partai sendiri untuk ikut pemilu? 5. Apa yang dimaksudkan partai Islam? 6. Apakah umat Islam harus memilih partai Islam?
17
Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III, h. 257
39
7. Bagaimana seharusnya umat Islam menyinkapi menang atau kalah dalam pemilu? 18 Dengan penerapan Fiqh siyasah di atas, sudah terjawab, yaitu menyatakan semua ketujuh-tujuh konsep tersebut adalah perlu dan wajib di laksanakan, dan jika dilihat dari sudut pendapat dan fatwa terkini adalah seperti berikut: Pertama, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan,”Apabila kita melihat kepada peraturan seperti peraturan pemilu atau pemberian suara maka hal tersebut di dalam pandangan Islam adalah suatu persaksian untuk memilih sesuatu yang paling layak.” Beliau melanjutkan,”Barangsiapa yang bersaksi terhadap orang yang tidak shaleh dan menyatakan bahwa dia orang shaleh maka sesungguhnya ini adalah suatu dosa besar karena telah memberikan kesaksian palsu bahkan ditempatkan setelah syirik terhadap Allah swt dalam firman-Nya :
( .: /
)
Artinya : “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”
Kedua, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syeikh Abdur Razaq ‘Afifi dan Syeikh Abdullah bin Ghodyan, dari Komisi Riset dan Fatwa (Saudi) pernah ditanya tentang pemilu di Aljazair yang di negara tersebut ada partai-
18
Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golongan putih, (Jakarta: Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 48
40
partai yang mengajak kepada hukum Islam dan sebagian partai lainnya menolak hukum Islam. Bagaimana hukumnya bagi seorang pemilihan umum? Mereka menjawab,”wajib bagi kaum muslimin yang berada di negaranegara yang tidak berhukum dengan syariat Islam untuk memberikan segenap kemampuannya untuk berhukum dengan syariat Islam dan saling bekerja sama bagai sebuah tangan dalam membantu partai yang diketahuinya akan menerapkan syariat Islam. Adapun membantu partai yang tidak ingin menerapkan syariat Islam maka ini tidak diperbolehkan bahkan bisa mengajak orang itu kepada kekufuran.19 Ketiga, menyinkapi fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI). Dalam konsideran Sidang Komisi Masa’il Asasiyah Wathaniyah yang merupakan salah satu komisi dalam sidang Ijtima Ulama MUI se-Indonesia III, terdapat empat pembasahan pokok. Tiga pembasahan berkenaan dengan argumentasi dasar hubungan Islam dengan negara. Pembahasan keempat langsung mengerucut pada menggunaan hak pilih dalam pemilu. Poin keempat ini berisi hal-hal sebagai berikut: 1. Pemilihan umum Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
19
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/bagaimana-hukumnya-golongan putih.htm,
diakses pada tanggal 13 April 2010, pukul 10.30WIB
41
2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pengaturan) dalam kehidupan bersama. 3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujudnya kemaslahatan dalam masyarakat. 4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathunah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam “hukumnya adalah wajib”. 5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali, padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. 20 Jadinya kesimpulan yang dapat dilihat di sini adalah, sikap golongan putih secara pasif ( tenpa kempennya kepada orang lain) termasuk mengabaikan sesuatu yang wajib yang dengan sendirinya dilarang, dalam tijauan syariat Islam. Sedangkan sikap golongan putih secara aktif (dengan kempengnya kepada orang lain agar juga golongan putih) termasuk dalam sikap” menghalang-halangi manusia dari jalan Allah” (saddun an sabilillah) yang lebih jelas dilarang lagi. Ketogeri kedua, seputar hukum harus, sunnah dan wajib terhadap golongan putih. Di dalam pendekatan fikih politik, pada dasarnya boleh. Sebab, golongan
20
: http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golongan putih.html?lang
diakses pada tanggal 13 April 2010, pukul 10.30WIB
42
putih merupakan persoalan mu'amalah ijtihadiah bahkan hukumnya dapat menjadi wajib. Artinya, kalau warga negara itu menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif, justru berdosa. Namun golongan putih dapat juga haram hukumnya. Artinya, seorang yang tidak menggunakan hak pilihnya merupakan dosa besar.21 Perubahan dari hukum dasar golongan putih boleh menjadi wajib dan haram karena proses hukum(illat) yang memengaruhi hukum dasar itu dan yang menjadi pertimbangan selanjutnya. 22 Antara golongan putih itu menjadi sunnah, yang di kemukakan oleh Keputusan Majlis Fatwa dan Riset Eropa,
23
tentang
keikut-sertaan seorang muslim dalam perpolitikan di Eropa adalah, pada asalnya disyariatkan keikut-sertaan politik di negara Eropa berada di antara boleh, sunnah atau bahkan wajib sebagaimana ditunjukan firman Allah swt:
(٢:٥/
)
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah”
21
Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golongan putih, (Jakarta: Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 10 22 http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/03/kha1.htm, diakses pada tanggal 13 April 2010, pukul 10.30WIB 23 http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/bagaimana-hukumnya-golongan putih.htm diakses pada 13 April 2010,pukul 10.35 WIB
43
Untuk kesimpulan keseluruhannya hukum di atas, berdasarkan kaedah fiqih;24
. Artinya: perubahan sesuatu hukum itu dengan mengikut perubahan masa, tempat, keadaan,adat dan niat. Impelementasi golongan putih di dalam hukum Islam adalah berpandukan maqasid syariah, di dalam penetapan hukum bagi membawa kepada hukum tersebut adalah haram, sunnah, wajib dan harus.25 Seterusnya, inti dari penarikan atau istinbaht hukum-hukum yang terkait tentang permaslahan golongan putih di dalam konteks fiqih siyasah dapat di simpulkan dalam perbahasan di atas, pertama; sifat golongan putih adalah haram dan yang kedua adalah harus dan yang ketiga adalah sunnah. Agar perbahasan ini lebih mendalam dan meluas maka akan di bahaskan pada bab berikutnya tentang kedudukan atau ideologi golongan putih
di Malaysia, dan bagaimana pula
pandangan atau kritikan ulama atau tokoh-tokoh elit politik Islam Malaysia tentang masalah ini di sana.
24
Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III, h. 36 25 Moh Kurdi Fadal, Kaedah-Kaedah Fiqh, ( Jakarta: CV Arhta Rivera, 2008), cet. I, h. 17
BAB IV PANDANGAN GOLONGAN ELIT POLITIK ISLAM MALAYSIA TERHADAP GOLONGAN PUTIH
Pandangan dan kritikan yang dikemukakan oleh golongan elit politik Islam terhadap golongan putih mempunyai jawaban yang berbeda, biarpun mereka berada pada lingkungan yang sama di dalam pemikiran Islam, terlebih dahulu mengenal apakah yang dimaksudkan golongan elit politik Islam di Malaysia? Yang dimaksudkan golongan elit politik dari sudut etimologis adalah golongan yang terpengaruh tinggi di dalam kelompok masyarakat dan mempunyai kepercayaan terhadap gerakan politik, terutamanya gerakan partai-partai politik.1 Seterusnya pegertian dari sudut konsep politik barat adalah
yang pertama,
dikemukakan oleh David Froth dan Frank L Wilson disebut sebagai gladiators, yaitu golongan yang sangat aktif dalam dunia politik dan mempunyai nisbah 5-7% populasi dari seluruh lapisan masyarakat.2 Kedua, menurut Aristoteles (falsafah klasik) adalah golongan yang sedikit dalam pemerintahan dan berkedudukan di dalam kelompok masyarakat samada harta, militer dan sebagainya.3 Ketiga, menurut Ronald Lippit adalah golongan disebut otoriter, yaitu golongan atasan dalam pemerintahan dan di bawahnya terdapat golongan agresif dan apatis.4
1
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Budaya, dan Sains, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), cet. I, h. 39 2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 372 Hendi Suhendi, Filsafat Umum daripada Metologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I, h. 236 4 Bambang Pranowo, Sosiologi , (Jakarta: Isa Laboratorium, 2008), cet. I, h. 153
44
45
Adapun di dalam konsep politik Islam, golongan elit menurut pengertian sejarah adalah terlebih fokus kepada perlimen perang, dan mempunyai tokoh di dalam bidang peperangan seperti keberanian dan sebagainya, seperti Solahuddin alAyub. 5 Dengan lebih jelas lagi, pegertian golongan elit politik Islam Malaysia menurut Abdul Rahman Haji Abdullah adalah golongan yang aktif di dalam bidang politik dan memperjuangkan hak-hak Islam melalui partai,
dan mempunyai
pemikiran yang berbeda. 6
A. Kategorisasi Golongan Elit Politik Islam di Malaysia Penjelasan kategorisasi golongan elit politik Islam di Malaysia melibatkan pemikiran, organisasi, dan dasar perjuangan. Kategorisasi pertama teradisional, yaitu tradisionalisme digunakan dalam pengertian konservatif atau mempertahankan yang lama, seperti kata Karl Mannheim, “ Sesuai dalam pegertian tersebut, tradisionalisme melihat sejarah hanya sebagai inspirasi atau sesuatu yang harus dipertahankan, kerana para pendukunnya dikatakan bersikap negetif terhadap pembaruan dan perubahan”.
5
http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam 1021 13/4/2010 WIB 6 Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13
46
Menurut Roger Garaudy adalah “golongan yang menganggap kemunduran umat Islam disebabkan mereka menjaukan diri dari ajaran yang lalu”. 7 Adapun organisasi ini di Malaysia adalah seperti al-Arqam, yang diketuai Ustadz Ashaari Muhamad dan terdapat beberapa orang pembantu utama yang disebut timbalan (wakil) dan naib-naib syekh al-Arqam, dan masing-masing dibantu oleh beberapa orang musa’id. Terdapat biro-biro khusus yang disebut syu’bah, yang dipimpin seorang mudir (ketua) di bantu oleh musa’id-musa’id. Kemudian di tingkat negeri, terdapat cabang atau perkampungan-perkampungan Darul Arqam dengan ketua masing-masing. Dan pada tingkat pusat, cabang juga mempunyai biro-biro sendiri. Jelaslah di sini terwujud sebuah organisasi yang cukup sisitematis, persis sebuah “kerajaan kecil”. Pada Agustus 1994, Majlis Fatwa Kebangsaan melarang keberadaan organisasi ini. Kementerian Dalam Negeri segera memperkuat larangan tersebut dengan menahan tokoh-tokoh besarnya, khusunya Ustadz Ashaari Muhamad. Sebelum dibebaskan, pemimpin-pemimpin Darul Arqam telah membuat semacam pengakuan tentang kesalahan mereka sebelum ini, dari segi politik, perubahan yang ada ialah tindakan Ustaz Abdul Halim Abbas, bekas wakil Syekh Arqam yang mengajukan permohonan menjadi anggota UMNO. Adapun dasar pemikiran tokoh-tokoh mereka adalah menegakkan Islam melalui cara tersendiri dan menolak sistem pemerintahan yang menpuyai unsurunsur yang dibawa dari barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, pemilihan 7
Roger Garaudy, Janji-janji Islam, terj. ( Jakarta: Bulan Bintang, 1982), cet. I, h. 6
47
umum dan sebagainya, adapun konsep pemerintahan mereka adalah menegakan agama Islam yang tulin dan bersih walaupun di luar batasan Undang-undang.8 Kategorisasi kedua modernis, menurut Roger Garaudy modesnisme, tidak lain adalah westrenisme, yakni berasaskan kebudayaan dan pemikiran barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka selama empat abad terakahir. Dan ciri-cirinya ialah nasional, kapitalis, dan sistem perlemen. 9 Menurut Prof. Hamid Algar menegaskan bahawa mereka telah mengabaikan kontradiksi pokok antara mentalitas modern dan agama. Islam berada pada realitas imperatif dari Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan dunia modern sebaliknya cenderung untuk menyangkal realitas Ilahi secara aktif terhadap alam dan manusia. 10 Adapun organisasi ini di Malaysia adalah partai-partai semangat kebangsaan seperti partai ‘United Malays Nasional Organization (UMNO)’, yaitu diketuai oleh Najib Tun Abdul Razak dan merupakan Perdana Menteri Malaysia pada saat ini. Jadinya di antara organisasi politik awal yang mendukung gagasan nasionalis konservatif adalah UMNO di dalam sejarah politik Malaysia, sifat konservatif UMNO bukan hanya sekadar mempertahankan tradisi kebangsaan Melayu,11 tetapi juga mempertahankan tradisi kerjasama dengan pihak kolonial.
8
Abdul Rahman Haji Abdullah, Op. cit., hlm. 118 Muhamad Bahi, Penentang Islam terhadap Aliran Pemikiran Perosak, (Kuala Lumpur: Penerbit Hizbi, 1985) cet. I, h. 52 10 Hamid Algar, Islam dan Tantangan Intelektual daripada Kebudayaan Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), cet. I, h. 325 11 Konservatif, menurut Kamus Politik dan Ideologi, (Surabaya, Gitamedia: 2006) adalah; tertutup daripada pengaruh atau pembaharuan/ adat mempertahankan tradisi atau kebiasaan 9
48
Pada tahun 1948, pihak Inggris sendiri menhendaki kerjasama penuh dengan UMNO. Misalnya sekretaris, A. Newbolt, telah memberi jaminan kepada UMNO bahawa pegawai-pengawai kerajaan tidak akan dihukum kerana berpolitik. Adapun dasar pemikiran dan perjuangan tokoh-tokoh mereka adalah: 1. Memperjuangkan hak-hak bangsa Melayu. 2. Mempertinggikan kedudukan Raja-Raja Melayu. 3. Semangat perjuangan atas dasar nasional atau kebangsaan. 4. Memperjuangkan agama Islam dengan didasari perlembagaan Undang Undang Inggris 5. Terpengaruh semangat kolonial barat.12 Kategorisasi ketiga reformis, ciri-ciri yang utama adalah semangat puritanisme, yaitu penekanan kepada ajaran Islam yang murni (pristine). Ada semacam persamaan dengan aliran tradisional yang menekanakan ortoduksi. 13 Bertolak semangat puritanisme, aliran reformis sangat menekankan ishlah dan tajdid merupakan upaya memperbaiki atau membersihkan Islam dari pemalsuan dan penyelewengan. Sedangkan tajdid adalah memperbarui atau menyegarkan kembali paham dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan tuntutan zaman.14
12
Ishak Saat, Sejarah Politik Melayu Pelbagai Aliran, ( Selangor: Karisma Publications Sdn Bhd, 2007), cet. I, h. 33 13 Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 21 14 Abdul Ghani Hj.Shamsuddin, Tajdid dalam Pendidikan dan Masyarakat, (Kuala Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1989), cet. I, h.567
49
Adapun organisasi ini di Malaysia adalah seperti Partai Islam se-Malaysia (PAS), yang diketuai oleh Abdul Hadi Auang (2003 hingga saat ini), dan Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang diketuai oleh Anwar Ibrahim. Adapun PAS merupakan partai oposisi yang berjuang untuk menegakkan Islam ke dalam kehidupan masyarakat Malaysia. PAS didirikan pada tahun 1951 oleh kaum ulama yang keluar dari UMNO dengan alasan “kebajikan kompromosinya terhadap orang-orang non-Melayu dan kerana hal yang mereka anggap sebagai sikap ambivalen terhadap Islam”. Dengan basis pedesaan dan dukungan kaum ulama konservatif, PAS yang mengangap dirinya sebagai partai politik dan gerakan Islam telah berpartisipasi dalam pemilihan umum sejak pemilihan umum pertama di Malaysia tahun 1955, dan secara rasminya menjadi partai politik yang sah di dalam undang-undang Malaysia.15 Adapun dasar pemikiran dan perjuangan tokoh-tokoh mereka adalah: 1. Menyeru umat manusia kepada syariat Allah dan sunnah Rasulnya melalui dakwah secara lisan, tulisan, dan amalan. 2. Memupuk dan memperkuatkan ukhuwah Islamiyah dan menyuburkan rasa perpaduan di kalangan rakyat untuk memelihara kehidupan politik dan masyarakat yang sehat dan berkebajikan. 3. Menyertai dan berkerjasama dengan badan-badan, persatuan-persatuan, atau pertubuhan-pertubuhan yang tidak berlawanan tujuan dengan PAS bilamana
15
Khamami Zada dan Arie R Arofa, Diskursus Politik Islam, ( Jakarta: Perum Pondok Karya Permai, 2004), cet. I, h. 123
50
dan selama berhak dan sesuai serta tidak bercangah (bertentangan) dengan Undang-undang negara. 4. Melakukan usaha dan tindakan dalam batas-batas Perlembagaan dan Undangundang Negara untuk mencapai semua tujuan PAS ke dalam dan ke luar.
B. Pandangan Golongan Elit Politik Islam di Malaysia Seputar pengenalan golongan elit politik Islam Malaysia di atas, seterusnya penelitian pandangan mereka terhadap golongan putih adalah melibatkan tokoh-tokoh berikut: 1. Katogarisasi pertama, yaitu kelompok tradisional, adalah Ustadz Ashaari Muhamad. 2. Katogarisasi kedua, yaitu kelompok modernis, adalah Mahathir Mohamad. 3. Katogarisasi ketiga, yaitu kelompok reformis, adalah adalah Abdul Hadi Auang dan Anwar Ibrahim. Pandangan katogarisasi pertama, oleh Ustadz Ashaari Muhamad: a. golongan putih hukumnya harus bahkan membawa kepada wajib di dalam arena politik di Malaysia, kerana tinjauan mereka adalah golongan putih mempunyai hubung kait pemilihan umum dan sistem pemerintahan, di mana dua sistem tersebut yaitu pemilihan umum dan sistem pemerintahan ini mempunyai unsur kolonial barat,
terutamanya kolonial Inggris saat itu.
Dalam kontek kedua, pemilihan umum itu satu kaedah dimpor dari barat dan diciptakan orang kafir, kegiatan kampennya pemilihan umum bukan saja tidak
51
memperdulikan adab berbicara, tetapi juga tidak mempersoalkan apakah hadirin menutup aurat atau tidak. Semua itu dibiarkan semata-mata untuk mendapatkan dukungan. Lagi pula, kita menundukkan orang banyak kepada Islam secara paksa, bukanya atas kesadaran dan dorongan Imam. 16 b. kenapa golongan putih menjadi wajib di dalam pemilihan umum di Malaysia? Menurut pandangnya lagi, dan sejalan apa yang kemukakan oleh Abu Nashr Muhamad Al-Imam adalah sistem pemilihan umum itu terdapat unsur-unsur maksiat, dan di sini dikemukan 34 unsur, tersebut adalah: 1. Menyekutukan Allah. 2. Menuhankan meyoritas. 3. Menuduh hukum Syariat tidak sempurna. 4. Menhilangkan wala’(kesetian kepada Allah). 5. Tunduk kepada undang-undang sekuler. 6. Mengelabui kaum muslimin. 7. Memberi warna syariat demokrasi. 8. Membantu kaum Yahudi dan Nasrani. 9. Menyalahi cara Rasulullah saw dalam menhadapi musuh. 10. Pemilihan umum adalah media diharamkan. 11. Mencabik-cabik persatuan kaum muslimin. 12. Menhancurakan ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan sesama muslim)
16
Ustadz Ashaari Muhaamad, Inilah Pandanganku, (Kuala Lumpur: Dewan Pustaka Fajar, 1986) cet. I, h. 192
52
13. Mengandung fanatisme yang sangat dimurkai. 14. Memberi pengakuan sesuai kepentingan. 15. Ambisi orang yang dicalonkan adalah memuaskan para pemilihnya. 16. Penuh dengan penipuan dan manipulasi. 17. Hanya membela partai semata. 18. Membuang-buang waktu saat kampenya. 19. Membelanjakan harta tidak sesuai dengan syariat Islam. 20. Calon pimpinan merayu pemilihannya dengan harta. 21. Mementingkan kuantitas bukan kualitas. 22. Mementingkan
cara
bagaimana
bisa
mencapai
kekuasaan
tanpa
mempertimbangankan kerusakkan akidah. 23. Calon pimpinan diterima tanpa memandang kerusakkan akidah. 24. Calon pimpinan diterima tanpa memandang syarat-syarat syar’iyyah. 25. Mengunakan dalil-dalil agama bukan pada tempatnya. 26. Tidak memperhatikan syarat-syarat persaksian sesuai tuntutan syariat. 27. Menekankan persamaan yang tidak berdasar pada syariat. 28. Mengikutsertakan dan mencalonkan perempuan dalam pemilihan umum. 29. Mengajak manusia untuk hadir ke majlis-majlis penuh dusta. 30. Kerjasama dalam dosa dan persamaan. 31. Pemilihan umum menguras kerja tanpa hasil. 32. Hanya mengumbar janji-janji palsu.
53
33. Para pendukung pemilihan umum menamakan sesuatu bukan dengan nama yang sebenar. 34. Mengandung koalisi inklusif yang masih samar.17 Kesimpulan di atas, katogarisasi pertama berpendapat, golongan putih adalah suatu alat di dalam arena politik, untuk menjauhkan dari dosa-dosa yang penyimpangan di dalam syariat Islam, khususnya hubungkait tata negara dan admininstrasi pemerintahan di Malaysia. Pandangan katogarisasi kedua, oleh Mahathir Mohamad: Pandangan dan kritikan katogarisasi ini terhadap golongan putih tidak terkait di dalam kontek Islam, yaitu tidak membicarakan halal atau haram dan sebagainya, tetapi lebih menfokuskan kepada garis panduan Undang-undang, kerana dasar pemikiran Mahathir Mohamad adalah modernis yang terpengaruh unsur pemikiran kolonial barat saat itu. Dalam masa yang sama, Akta atau Undang-undang yang lebih khusus membicarakan terhadap golongan putih tidak termuat dalam Perlembagaan Malaysia, cuma hubungan kait terhadap Pemilihan Umum sahaja. 18 Sebagai aktivis politik, Mahathir Mohamad membahagikan golongan putih ini dengan tiga pengertian, seiring dengan pandangan barat yaitu Morris Rosenberg adalah:
17
Abu Nashr , Membongkar Dosa-Dosa Pemilu, ( Yogyagarta: Prisma Media,2004 ), cet. I, h. 29-176 18 Perlembagaan Persekutuan, Bab 2, Perkara 113. Perjalanan Pilihanraya.
54
1.
Apatis, sikap lebih sekadar menifestasi keperibadian otoriter, pada dasarnya, ia hanya menunjukkan suatu hambatan untuk tertarik pada urusan-urusan politik. Hal ini dapat terjadi akibat ketertutupan terhadap rangsangan politik individu merasakan bahawa topik mengenai politik kurang menarik. Lebih jauh, ia merasakan pula bahawa kegiatan politik kurang atau tidak bermanfaat atau kepuasan langsung.
2.
Anomi, hal ini menunjukkan pada sikap tidak mampu, terutama pada keputusan yang dapat diantisipasi. Individu mengakui kegiatan politik sebagai suatu yang berguna. Ia merasa bahawa ia benar-benar tidak dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa dan kekuatan-kekuatan politik dan setiap kasus di luar kontrolnya. Perasaan ketidak berdayaan, jika hal ini menjadi ekstrem dan meluas hingga mencakup sesuatu perasaan ketidak mampuan mengendalikan hidup secara umum maka hal ini dikenal sebagi anomi.
3.
Alienasi, merupakan persaan tidak percayaan pada pemerintah yang berasal dari keyakinan bahawa pemerintah tidak atau kurang memberi dampak bagi kehidupan peribadi. Dalam pandangan Lane dinyatakan bahawa pemerintahan dijalankan oleh orang lain dan untuk orang lain berkenaan dengan seperangkat aturan yang asing. Dengan demikian, individu yang teralienasi tidak hanya menarik diri dari kegiatan politik tetapi juga dapat mengambil bentuk tindakan politik alternatif sebagai usaha untuk menggulingkan pemerintahan
55
yang ada dengan cara-cara kekerasan, untuk menggantikannya dengan caracara tanpa kekerasan, atau melakukan hijrah.19 Kesimpulan apa yang di jelaskan oleh Mahathir Mohamad adalah lebih menfokuskan kedududukan praktek atau prilaku golongan putih yaitu halhal yang terkait sosiologi samada melencing atau tidak, seterusnya hubung kait tentang perkembangan psikologi dan ideologi sikap golongan putih terhadap kedudukan politik, terutamanya kedudukan politik di Malaysia.
Pandangan katogarisasi ketiga, oleh Abdul Hadi Auang dan Anwar Ibrahim: Kedua-dua tokoh ini tidak mempunyai perbedaan bagi memberi pandangan terhadap golongan putih yang berlaku di dalam politik di Malaysia. Dasar perbahasan golongan putih terhadap kedua-dua tokoh ini adalah terkait dengan partai politik dan sistem demokrasi. Sebagai contoh Abdul Hadi Auang berpandangan, bahawa kerajaan Islam mesti ditegakkan di Malaysia dengan cara atau konsep perdamaian dan pertenganhan yaitu muwajjahah silmiyyah, makanya sistem yang berlaku di Malaysia sekarang ini wajib diikuti dengan seiring konsep syariah Islam, terutamanya pemilihan umum dan sistem demokrasi. 20 Jadi apakah pandangan mereka terhadap golongan putih? Kedua-dua tokoh tesebut menjelaskan, bahawa golongan putih tidak boleh berlaku di dalam
19
Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. III, h. 144 20 Abdul Hadi Auang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I, h. 157
56
kontek politik Islam, terutamanya negara masih lagi berfahaman dengan ideologi barat atau mengamalkan sistem pemerintahan dan undang-undang barat.21 Golongan putih hukumnya tidak bisa sama sekali jika sekiranya adalah: 1.
Negara masih lagi mengamalkan sistem atau undang-undang penjajah.
2.
Dasar perjuangan partai politik adalah menegakkan syariat Islam.
3.
Partai-partai Islam masih lagi lemah apabila berdepannya partai semangat nasional dan sebagainya.
4.
Pemilihan umum adalah wajib bagi kontek sekarang di Malaysia, dan jika berlaku sebahagian kelompok yang tidak memberi sumbangan terhadap perjuangan Islam, merupakan satu penyimpangan atau kesalahan di sisi syariat Islam.
5.
Jika tedapat sesebuah partai Islam itu para kepimpinanya berlaku sedikit penyimpangan, makanya tidak lagi bisa terjadi golongan putih.
Sebab-sebab terjadinya golongan putih di dalam politik Malaysia adalah: 1. Kerana sebahagian masyarakat masih lagi jahil atau jumud terhadap konsep politik di Malaysia, terutamnya pemilihan umum dan sistem demokrasi. 2. Terdapat
masyarakat yang tidak mengambil berat terhadap maslahah-
maslahah atau kepentingan dalam berpolitikan.
21
Abdul Hadi, Auang Fahaman atau Ideologi Umat Islam (Selangor:PTS Publications &Distributors Sdn Bhd jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II, h. 211
57
3. Masyarakat yang menolak terus terhadap konsep politik yang terdapat unsurunsur barat dan mereka masih lagi berfahaman dengan semangat tradisional, seperti tarikat, aliran tasawuf dan sebagainya. 4. Masyarakat yang tidak mempunyai inspirasi terhadap tokoh-tokoh politik dengan sebab tertentu bagi memberi kebijakan bersama terhadap negara. 5. Masyarakat yang kurang berpendidikan dari sudut akademik kerana faktor keuangan dan sebagainya.22 Dengan lebih jelas lagi, adakah Abdul Hadi Auang dan Anwar Ibrahim menhukumkan haram terhadap golongan putih atau sebaliknya? Dijawab persoalan tersebut dari pandangan yang dikemukakan oleh mereka dan sama pendapatnya apa yang ditulis oleh Miswan Thahadi di dalam bukunya adalah, golongan putih itu terdapat tiga katogarisasi: Pertama, golongan putih administratif, yaitu orang yang tidak memilih kerana persoalan administrasi. Mereka adalah orang-orang yang secara hukum sesungguhnya berhak memilih, tetapi namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih atau terjadi kesalahan administrasi sehingga mereka kehilangan hak pilihnya. Kedua, golongan putih teknis, yaitu orang yang tidak memilih kerana masalah teknis, seperti sakit sehingga tidak bisa datang ke tempat pemungutan
22
157
Abdul Hadi Auang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I, h.
58
suara (TPS), atau saat jam-jam pemilihan umum turun hujan lebat, atau TPS-nya jauh dari rumah dan mengalami kendala transportasi, dan sebaginya. Ketiga, golongan putih ideologis, yaitu orang secara hukum mahupun teknis sebenarnya tidak ada kendala, tetapi mereka sengaja tidak mengunakan hak pilihnya kerana pertimbangan tertentu. Misalnya tidak percaya kepada caloncalon (legislatif maupun eksekutif) yang ada, atau tidak percaya lagi kepada sistem atau makenisme pemilihan yang ditetapkan oleh pemerintah atau penyelengaraan pemilu, dan sebaginya. 23 Terhadap golongan putih jenis pertama maupun kedua tidak membawa permasalahan terhadap hukum Islam, bahkan menurutnya keduanya, golongan ini tidak bisa disebut sebagai golongan putih. Adapun jenis ketiga, inilah yang bisa disebut golongan putih, dan di sini perlu ditinjau secara mendalam kerana golongan ini memutuskan untuk tidak memilih, munkin punya alasan-alasan yang sudah dipetimbangkan, tetapi pada alasan-alasan itulah hukum syarak suatu amal bisa ditetapkan. Berdasarkan al-Hadis menyebut dengan mafhumnya ‘bahawa setiap amalan itu dengan niat’. Selain faktor niat, faktor lain yang mempengaruhi nilai dan hukum amal seseorang adalah cara operasional (kaifiyah) amalnya, apakah sesuai dengan syariat atau tidak. Jika niatnya benar tetapi diamalkan dengan cara melanggar syariat, maka amal itu tertolak dan dengan sendirinya hukunya haram. 23
Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golput, (Jakarta: AlItishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 48
59
C. Undang-Undang Terkait Pemilihan Umum Menurut Tun Salleh Abas, yaitu bekas ketua hakim negara Malaysia, menjelaskan prinsip perlembagaan persekutuan di dalam bukunya, 24 menyatakan pemerintah berbentuk demokrasi berbeda dari pemerintahan berbentuk kuku besi dan berbeda dari segi cara mendapatkan kekuasaan memerintah negeri. Bagi kerajaan yang berbentuk demokrasi, kuasa ini ditentukan melalui pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, rakyat diberi hak memilih kerajaan mereka sendiri. makanya kerajaan yang berbentuk demokrasi adalah kerajaan yang tertakluk kepada persetujuan rakyat dan menjalankan tugas-tugas dan dasarnya untuk memperlakukan kehendak rakyat. Oleh sebab kerajaan demokrasi bergantung pada pemilihan umum untuk menentukan kuasa pemerintah, makanya amatlah penting pemilihan umum dilaksanakan dengan adil. Pemilihan umum yang mengandungi perkara yang menyimpang sama seperti mendapat suatu kuasa dengan cara tipu dan tidak memuaskan kehendak rakyat. Ini boleh terjadi pemberotakan bersenjata sebagaimana yang berlaku di sesetengah negara yang lain. Untuk mengadakan pemilihan umum yang baik agar tidak berlaku hal-hal penyimpangan, adalah penting mewujudkan syarat-syarat di bawah ini:
24
Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, (Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 169
60
1. Pemilihan umum itu hendaklah diadakan oleh satu badan atau panetra yang jujur dan boleh dipercaya oleh rakyat. 2. Undang-undang pemilihan umum itu mestilah berasaskan keadilan dan menjauhkan hal-hal penyimpangan 3. Segala pembentrokan tentang pemilihan umum mestilah diselesaikan di Makhamah Khas. Sudah disebut bahawa golongan putih tidak termuat di dalam Akta atau Perlembagaan secara khusus, tetapi Undang-undang yang terkait pemilihan umum adalah menfokuskan terhadap pemilih. Pertama kelayakan pemilih, yang termuat di dalam perlembagaan perkara 119 adalah, pemilih dalam pemilihan umum Dewan Rakyat dan Dewan Negeri mestilah: 1.
Ahli kerakyatan Malaysia.
2. Berumur 12 tahun pada tanggal kelayakan memilih, bersempena tanggal tersebut, dia juga mestilah tinggal dalam kawasan pemilihan umum, atau jika tidak tinggal, dan dianggap oleh undang-undang sebagai seorang pemilih yang tidak datang. Seterusnya, seseorang itu tidak layak menjadi pemilih dalam pemilihan umum, samada dalam pemilihan umum bagi Dewan Rakyat atau Dewan Negeri, jika pemilih termasuk dalam golongan yang berikut:
61
1.
Seorang yang telah ditangkap sebagai orang yang tidak sempurna akal atau kerana telah menjalankan hukuman penjara yang dikenakan ke atasnya pada tanggal kelayakannya.
2.
Seseorang yang didapati bersalah dan dihukum mati atau penjara lebih dari 12 bulan dalam mana-mana negara komanwel. Sebelum tanggal kelayakkan itu pula dia masih lagi menjalankan hukuman kesalahan. 25 Kedua daftar pemilih, walaupun seseorang warganegara itu mempunyai
kelayakkan memilih sebagai orang yang tinggal tetap atau pemilih yang tidak datang, dia masih tidak memilih jika namanya tidak ada dalam daftar pemilih. Daftar pemilih itu menjadi satu keterangan prima facie untuk menentukan samada seorang itu berhak atau tidak memilih dalam pemilihan umum di suatu kawasan itu. Seseorang itu berhak dibenarkan memilih di mana-mana tempat memilih kecuali namanya ada dalam daftar pemilih tempat memilih itu. Mengikut undangundang seseorang itu tidak boleh di masukkan ke dalam daftar pemilih kepada lebih dari satu kawasan pemilihan umum. 26 Tiap-tiap orang yang berkelayakan mestilah tercatat namanya sebagai pemilih bagi pemilihan umum Persekutuan dan pemilihan umum Negeri. Mereka boleh menghantar permohonan kepada panetra pemilihan umum atau kepada penolong panetra pemilihan umum. Permohonan ini hendaklah dihantar dalam
25
Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, (Selangor Darul Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I, h. 77 26 Peraturan Pemilihan Umum, Perkara 14, 15 (UU Tahun 1959) dan Perkara 69 (UU Tahun1959).
62
tempoh ditentukan oleh Suruhanjaya Pilihan Raya atau panetra pemilihan umum atasan, yaitu tidak kurang dari 30 hari dan tidak lebih dari 60 hari. Biasanya tempoh ini ditetapkan bermula pada tiap-tiap tahun pada 1 September dan berakhir pada 30 Oktober.27 Sesiapa yang tidak senang hati tentang daftar pemilih yang telah disiapkan itu (samada disebabkan namanya tidak terkandung dalam daftar itu ataupun nama orang lain yang tidak layak terkandung di dalamnya) bolehlah dia menuntut supaya namanya dimasukkan ke dalam daftar itu. Ia juga boleh membuat bantahan supaya dibatalkan nama orang yang ada dalam didaftar itu. Bantahan dan tuntutan ini hendaklah dibuat dalam tempoh 28 hari dari tanggal tersebarnya kenyataan daftar pemilih itu dalam warta kerajaan. Apabila tututan di lakukan, pegawai pendaftaran hendaklah menampal satu kenyataan di kantornya yang mengandung nama dan alamat orang yang membuat tuntutan itu. Apabila satu bantahan telah dibuat, maka pegawai atau panetra pendaftar hendaklah menghantar satu kenyataan kepada nama yang dibantah dalam pendaftaran itu. Tiap-tiap daftar pemilih yang telah disiapkan hendaklah diakui sah sebagai muktamad. Pengkuan ini bolehlah dibuat apabila pegawai pendaftaran membuat keputusannya tentang segala tuntutan dan bantahan itu telah di rayu dan masih lagi belum dibicarakan oleh pengawai penyemak. Siaran tentangnya hendaklah dibuat dalam surat rasmi atau Warta Kerajaan dan hendaklah dinyatakan bahawa daftar itu telah diakui sah dan boleh diperiksa. Daftar pemilih yang telah diakui 27
Peraturan Pemilihan Umum, Perkara 8, (UU Tahun 1989)
63
sah itu mula berkuat kuasa pada tanggal siaran itu (tertakluk kepada apa-apa perubahan yang akan dibuat sementara menanti keputusan rayuan) dan akan tamat pada tiap-tiap 31 Mac satu pengakuan yang lain dibuat tentangnya.28 Ketiga, kesalahan-kesalahan yang terkait pemilihan umum. Mengikut Akta kesalahan pemilihan umum Tahun 1954 terbahagi kepada 3 jenis: 1. Kesalahan yang dimaksudkan kesalahan pilihan raya. 2. Kesalahan dengan sebab melakukan perbuatan yang tidak jujur. 3. Kesalahan dengan sebab melakukan amalan salah. Kesalahan jenis pertama, sesiapa yang melakukan kesalahan jenis ini, jika tersangka salahnya, boleh dihukum penjara tidak lebih dari tiga tahun atau denda tidak lebih dari RM 2000 ataupun kedua-dua sekali. Selain hukuman ini, orang yang tersangka kesalahanya tidak boleh menjadi pemilih atau calon selama lima tahun mulai tanggal tersangka kesalahannya atau pada tanggal di dibebaskan dari penjara. Jika pada tanggal ditersangka kesalahannnya ia terpilih dalam manamana pemilihan umum, makanya tempat akan menjadi kesalahan pilihan raya adalah berikut: 1. Telah membuat kenyataan palsu tentang permohonan pendaftaran pemilih.
28
Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, (Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 177
64
2. Telah memalsukan kertas penamaan atau dengan niat hendak menipu, telah merosakan atau membinasakan kertas penamaan atau telah menyerahkan kertas penamaan yang dia tahu telah dipalsukan. 3. Telah memalsukan atau meniru atau dengan niat hendak menipu telah merosakkan atau membinasakan kertas pemilih atau tanda rasmi yang ada pada kertas pilih itu. 4. Tanpa mempunyai kuasa, telah memberi kertas pilih kepada seseorang. 5. Telah menjual atau menjaja atau membeli atau bersedia hendak membeli kertas pilih. 6. Ada dalam miliknya kertas pilih yang sudah ditandakan dengan tanda rasmi, pada hal dia tidak berhak memiliki kertas pilih itu. 7. Telah memasukkan benda-benda atau kertas pilih ke dalam peti pilih yang hanya dibenarkan oleh undang-undang. 8. Tanpa mempunyai kuasa, telah membawa keluar kertas pilih dari tempat memilih atau telah didapati kertas pilih ada dalam miliknya di luar tempat itu. 9. Tanpa mempunyai kuasa, telah membinasakan, mengambil, membuka atau dengan apa-apa jalan sekali pun telah mengusik peti pilih, atau bungkusanbungkusan kertas pilih yang sedang digunakan atau hendak digunakan untuk mana-mana pemilihan umum.
65
10. Telah memilih dalam sesuatu pemilihan umum, pada hal ia tidak berhak memilih.29 Jenis kesalahan kedua, yaitu kesalahan amalan yang tidak jujur, terbahagi kepada 5 jenis: 1. Menyamar. 2. Memberi layanan makan minum. 3. Pengaruh yang tidak jujur. 4. Rasuah atau korupsi. 5. Perbuatan-perbuatan tentang iklan. Yang dimaksudkan menyamar adalah, melakukan perbuatan meminta kertas pilih dalam seseuatu pemilihan umum dengan mengunakan: 1. Nama orang lain, sama ada nama orang yang masih hidup atau sudah meninggal dunia. 2. Nama rekaan. 3. Namanya sendiri, jika sudah memilih dalam pemilihan umum itu. Yang dimaksudkan pengaruh tidak jujur adalah: a.
Orang yang menggunakan
kekerasan atau ugutan hendak merosak,
merugikan atau membuat apa-apa bahaya, supaya orang yang dipaksa atau dipaksa itu memilih atau melakukan segala perbuatan ini kerana seorang itu sudah memilih atau sudah menahan dirinya dari memilih dalam pemilihan umum. 29
Tun Salleh Abas, op, cit., hlm 191
66
b. Orang yang menghalang atau menahan seseorang pemilih dari mengunakan pilihannya, atau memaksa atau memujuk sesorang pemilih itu supaya memilih atau menahan dirinya dari memilih dalam sesuatu pemilihan umum. c.
Orang yang mengangu seseorang pemilih supaya ia tidak dapat mengunakan dengan bebas hak pemilihannya, umpamanya seseorang pemilih itu disuruh percaya bahawa dia atau seseorang yang berkaitan dengannya akan dimurkai oleh Tuhan kerana berdosa di sisi agama. Yang dimaksudkan memberi layanan makan minum adalah, menyediakan
makanan, jamuan atau uang atau sebarang benda, untuk
mempengaruhi
sesesorang itu pergi memilih ataupun perbuatan itu dibuat kerana seseorang itu telah memilih atau telah menahan dirinya dari memilih. Yang dimaksudkan rasuah atau korupsi adalah: 1. Memberi pimjaman atau berjanji hendak memberi uang atau barang yang berharga kepada pemilih supaya pemilih itu akan memilih atau menahan dirinya dari memilih atau telah menahan dirinya dari memilih. 2. Memberi atau berikhtiar memberi kerja atau jawatan kepada seseorang pemilih supaya memilih atau menahan diri dari memilih. 3. Memberi hadiah uang atau pinjaman uang kepada seseorang supaya orang itu berikhtiar menjayakan pilihan seseorang calon atau mendapat pilih dari seorang pemilih. 4. Berikhtiar dan berusaha menjayakan pilihan seseorang atau mendapatkan pilih seorang pemilih setelah menerima hadiah uang atau pinjamam uang.
67
5. Membayar uang atau memberi pinjamam uang untuk dibelanjakan sebagai rasuah atau untuk membayar hutang yang wujud disebabkan membelanjakan uang sebagai rasuah. 6. Memberi uang, pinjamam uang, barang-barang yang berharga, jawatan atau kerja, atau berikhtiar memberi perkara-perkara ini kepada seseorang supaya orang itu bersetuju menarik dirinya dari menjadi calon. Yang dimaksudkan perbuatan-perbuatan tentang iklan adalah: 1. Mencetak, menyiar, menyebar atau mengumpulkan apa-apa iklan, surat tangan, kertas pelekat atau poster yang bertersangka dengan sesuatu pemilihan umum yang pada iklan-iklan dan kertas-kertas yang tersebut itu tidak ada tentera di atas nama dan alamat orang yang mencetak dan menerbitnya. 2. Jika dia membuat atau menyiarkan sesuatu kenyataan salah tentang diri atau kelakuan calon dengan tujuan hendak memberi kemenangan atau kekalahan kepada seseorang calon itu. 3. Jika seseorang yang menjadi calon atau wakil pemilihan umum bagi seseorang calon telah membuat satu pengakuan palsu tentang perbelanjaan pemilihan umum, pada hal dia tahu bahawa pengakuan itu palsu. Seterunya hukuman bagi kesalahan-kesalahan di atas adalah, bagi seseorang yang didapati bersalah melakukan amalan tidak jujur yang lain darinya perbuatan menyamar akan dihukum penjara selama enam bulan dan denda sebnyak RM
68
500. Orang yang didapati bersalah kerana melakukan perbuatan menyamar pula akan dihukum penjara selama 12 bulan dan denda sebanyak RM 500.30 Jenis kesalahan ketiga, kesalahan dengan sebab melakukan amalam salah. Akta kesalahan pemiliham umum 1954 mengariskan peraturan dan larangan yang mesti dipatuhi oleh calon, wakil pemilihan umum dan sesiapa juga. Kegagalan mematuhui perturan dan larangan itu dianggap satu amalan salah dan sesorang yang tersangka kesalahannya boleh dihukum denda sebanyak RM 500. Dalam tempoh lima tahun itu juga mulai dari tanggal tersangka kesalahannya, dia tidak boleh memilih dalam mana-mana pemilihan umum sekalipun. Jika dia menjadi calon dan berjaya dalam sesuatu pemilihan umum ,maka tempatnya adalah dianggap kosong semenjak tanggal yang ia didapati tersangka kesalahannya. Perbuatan dan larangan yang menimbulkan amalan salah itu adalah melanggar peraturan-perturan di bawah: 1. Tiap-tiap uang untuk perbelanjaan pemilihan umum mestilah diserahkan dan berada dalam jagaan Wakil pemilihan umum. Segala perbelanjaan mestilah dibuat olehnya atau orang yang diberi kuasa olehnya. Seseorang calon itu boleh membelanjakan uang setakat RM 1000 untuk perbelanjaan dirinya. 2. Uang untuk perbelanjaan pemilihan umum itu mestilah tidak lebih daripda yang dihadkan, yaitu RM 20 000 untuk pemilihan umum Dewan Rakyat, RM 15 000 untuk pemilihan umum Dewan Negeri, RM 10 000 untuk pemilihan
30
Tun Salleh Abas, op, cit., hlm 197
69
umum pihak berkuasa tempatan, dan RM 3000 untuk pemilihan umum majlis tempatan. Jumlah ini tidak termasuk bayaran kepada wakil pemilihan umum. Wakil calon tidak boleh berkerja dengan percuma sahaja, tetapi sekiranya ia dibayar dia boleh menerima RM 1000 bagi pemilihan umum Dewan Rakyat, RM 750 bagi pemilihan umum Dewan Negeri,RM 500 bagi pemilihan umum pihak yang berkuasa tempatan dan RM 250 bagi pemilihan umum majlis tempatan. 3. Segala pembayaran dan perbelanjaan yang dibuat mestilah disokong oleh surat hutang dan resit, melainkan bayaran itu kurang dari RM 10 atau sememangnya tidak memakai resit setem. 4. Pada hari memilih pula, setiap majikan mesti memberi peluang dan kebebasan kepada pekerja-pekerjanya pergi memilih dengan tidak memotong gaji mereka. 5. Pada hari memilih juga, perkakas-perkakas, bunyian-bunyian dan pembesar suara tidak boleh digunakan untuk menyiarkan dakyah-dakyah politik. Pada hari itu juga bendera-bendera, poster dan label yang membezakan fikiranfikiran yang diakui oleh seseorang calon dengan seseorang calon yang lain tidak dibenarkan dipakai, digunakan atau di bawa.31 Sebagai kesimpulan, apa yang terkait undang-undang pemilihan umum antara golongan putih tidak terdampak secara komprehensif, tetapi secara
31
Tun Salleh Abas, op, cit., hlm 201
70
revalansinya memberi kesan positif, yaitu praktek yang di lakukan oleh mansyarakat kearah mengabaikan hak pemilihan umum tidak digalakkan, seperti jika majikan itu tidak memberi hak pemilih pada hari pemilihan umum akan dikenakan hukuman dan salah menurut undang-undang di Malaysia. Yaitu apa yang sudah disebut di atas. Agar memperjelaskan lagi, akan dilampirkan undang-undang yang khusus bagi pemilihan umum di muka terakhir. Bagi mengetahui lagi hubung kait undang-undang
antar
golongan
putih
di
Malaysia,
adalah
bagaimana
implementasi negara terhadap segala permasalahan yang berlaku di dalam arena politik, khasnya politik Islam yang menjadikan agama Islam sebagai agama rasmi di Malaysia.
BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari apa yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, kemudian penulis juga menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait. A. Kesimpulan Dari penjelasan bab-bab terdahulu untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Secara umumnya golongan putih yang terdapat di Malaysia merupakan suatu kajian oleh golongan elit politik semenjak dahulu hingga saat ini. Dalam masa yang sama, golongan putih tidak terlepas juga berlaku di negara-negara lain, yaitu bagi negara yang mengamalkan sistem pemerintahan demokrasi. Ditinjau dari sudut serajah perkembanganya adalah melibat beberapa faktor, yang lebih menfokuskan adalah hubung kait antara pemilihan umum dan sistem pemerintahan demokrasi. Karakteristik dan jumlah golongan putih di Malaysia semakin meningkat saat ini, dalam perbahasan yang dikemukakan oleh golongan elit politik Islam dengan pelbagai pandangan, mereka menfokuskan sebab terjadinya adalah kejahilan, kejumudan, dan terpengaruhnya ideologi
71
72
tradisional atau kolonial barat yang memberi kesan terhadap masyarakat saat ini. 2.
Golongan putih tidak terlepas dari implementasi hukum Islam, khususnya melibatkan dalam konteks fiqh siyasah. Dalam masa yang sama, agama rasmi bagi negara Malaysia adalah agama Islam, maka hubung kait hukum-hukum Islam terhadap golongan putih menjadi perbahasan dikalangan golongan elit politik Islam, dalam perbahasan tersebut ada yang menghukumkan harus, wajib, haram dan sebagainya.
3.
Golongan putih tidak terlepas dari Undang-undang di Malaysia, terutamanya melibatkan undang-undang dalam pemilihan umum, walau pun dalam masa yang sama, tidak lagi terdapat di dalam Perlembagaan atau Akta terbaru yang menbicarakan masalah golongan putih secara khusus, untuk menentukkan kebenaran dan kesalahan.
B. Saran-saran Sedikit sebanyaknya terdapat kekurangan masalah golongan putih menurut penulis. Di bawah ini merupakan suara hati yang ikhlas dari penulis sebagai salah satu warga negara agar Malaysia lebih menjamin keamanannya, dari segala permasalahan di dalam sistem pemerintahan dengan berdepannya konflik masyarakat, terutamanya golongan putih di dalam politik Islam di Malaysia. Saran-saran penulis diantanranya sebagai berikut: 1. Diambil dari beberapa pendapat golongan elit politik Islam, faktor yang mempangruhi golongan putih adalah sifat kejahilan yang berlaku dikalangan
73
masyarakat, jadinya peran dan wewenang bagi pihak berkuasa, terutamanya pihak pemerintah agar menangani segala permasalahan tersebut dengan kebijaksanaan. 2. Penerapan hukum tentang segala permasalahan yang terbaru, terutamanya golongan putih, agar pihak yang terlibat sama ada golongan politik Islam, mufti,
jabatan-jabatan agama supaya memberi penjelasan yang bijaksana
mengikut maslahah-maslahah umum dalam kontek bernegara, dan bukan kepentingan peribadi dan sebagainya agar menjauhi segala permusuhan dan perpecahan yang lebih besar. 3. Penerapan Undang-undang sama ada di dalam Perlembagaan atau Akta mestilah di tinjau dari banyak pihak yang terlibat, terutamanya
ahli-ahli
hukum, sarjana Islam atau sebagainya, agar lebih menjamin kemakmuran negara yang melibatkan penduduk pelbagai bangsa dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahan (Departemen Agama Republik Indonesia), Bandung: PT. Syamil Cipta Media, tth Abdullah, Abdul Rahman Haji, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” ,(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I Ali Muhammad, Khalid, Sistem Politik Islam, (Selangor: Telaga Biru Sdr Bhd, 2008), cet. I Althoff, Michael Rush and Phillip, Pengantar Sosialogi politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. III Aini, Ng. Phlippus, dan Nurul, Sosialogi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. V An-Nabhani, Taqiyuddin, at-Taklil al-hizbi, edisi Indonesia: terjemahan oleh, M.Shiddqi, Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet.II ------Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2009), cet. III Anissa, Khoridatul, Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya& Dinamika Hubungannya Indonesia, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2009), cet. I Anne B, Wiszynsk, Paul H. Mussen, Personality and Political (Human Relation,1951), cet. 5 Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2009), cet. I, Jilid 1. As-Suyuti, As-Asyabah Wa an-Nazair fil Qawaid al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al-Kutub, 2007) cet. I Ashaari Muhaamad, Inilah Pandanganku, ( Kuala Lumpur: Dewan Pustaka Fajar, 1986) cet. I Awang, Abdul Hadi, Fahaman atau Ideologi Umat Islam (Selangor: PTS Publications & Distributors Sdn Bhd Jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II
74
75
------Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu poltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- Rambu Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III Fadal, Moh Kurdi, Kaedah-Kaedah Fiqh, ( Jakarta: CV Arhta Rivera, 2008), cet. I Garaudy, Roger, Janji-janji Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1982), cet. I Hamid Algar, Islam dan Tantangan Intelektual dari Kebudayaan Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), cet. I Hasbi, Artani, Musyawarah & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2001), cet. I, h. Hawari, Muhammad, Politik Partai Startegi Baru Perjuangan Partai Politik Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2003), cet. II Ibrahim Al-Hifnawi, Muhammd (Ta’liq) dan Hamid, Mahmud (Takhrij), Tafsir AlQuthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) cet. I, Jilid 4. Kamil, Sukran, Islam & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2002), cet. I Logman, Sejarah Malaysia, (Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd, 2009), cet. I Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, ( Selangor Darul Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, diterjemah oleh: Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. III Muda, Abd Latif dan Rosmawati Ali, Perbahasan Usul Ahkam, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 2005), cet. I Muhamad Bahi, Penentang Islam terhadap Aliran Pemikiran Perosak, (Kuala Lumpur: Penerbit Hizbi, 1985) cet. I
76
Nasution, Lahmuddin, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafie (Bandung: Penerbit Pt Remaja 2006), cet. I Nashr,Abu , Membongkar Dosa-Dosa Pemilu, (Yogyagarta: Prisma Media), cet. I Pranowo, Bambang, Sosiologi Sebuah Pengantar , ( Jakarta: Isa Laboratorium, 2008), cet. I Saat, Ishak, Sejarah Politik Melayu Pelbagai Aliran, (Selangor: Karisma Publications Sdn Bhd, 2007), cet. I Shamsuddin,Abdul Ghani, Tajdid dalam Pendidikan dan Masyarakat, (Kuala Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1989), cet. I Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia,(Kuala Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I Suhendi, Hendi, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I Syarif, Mujar Ibnu dan, Khamami Zada, fiqh Siyasah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), cet. I Taib, Harun, Model Kerajaan Islam: membangun Bersama Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Ulama PAS Pusat, 2000), cet. I Thahani, Miswan, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golput, (Jakarta: Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I Thoha, Ahmadie, Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. IIV Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, hukum, ekonomi, Budaya dan Sains, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), cet. I Zada, Khamami dan Arie R Arofa, Diskursus Politik Islam, ( Jakarta: Perum Pondok Karya Permai, 2004), cet. I
77
Situs Internet: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 18.00 WIB http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/bagaimana-hukumnya-golput.htm jam diakses pada tanggal 13 April 2010, jam 10:30 WIB http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golput.html?lang= diakses pada tanggal 13 April 2010, jam 10:30 WIB http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/03/kha1.htm diakses pada tanggal 13 April 2010, jam 10:30 WIB http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam 1021 13/4/2010 WIB
LAMPIRAN
Perlembagaan Persekutuan Malaysia/Pilihan Raya Perkara 113. Penjalanan pilihan raya. (1) Maka hendaklah ada suatu Suruhanjaya Pilihan Raya yang hendaklah ditubuhkan mengikut Perkara 114, yang, tertakluk kepada peruntukan undang-undang persekutuan, hendaklah menjalankan pilihan raya ke Dewan Rakyat dan Dewan-Dewan Undangan Negeri dan menyediakan dan menyemak daftar pemilih bagi pilihan raya itu. (2) (i) Tertakluk kepada perenggan (ii), Suruhanjaya Pilihan Raya hendaklah, dari semasa ke semasa, sebagaimana yang difikirkannya perlu, mengkaji semula pembahagian Persekutuan dan Negeri-Negeri kepada bahagian pilihan raya dan mengesyorkan apa-apa perubahan mengenainya yang difikirkannya perlu supaya dipatuhi peruntukan yang terkandung dalam Jadual Ketiga Belas; dan kajian semula bahagian-bahagian pilihan raya bagi maksud pilihan raya ke Dewan-Dewan Undangan hendaklah dijalankan pada masa yang sama dengan kajian semula bahagian-bahagian pilihan raya bagi maksud pilihan raya ke Dewan Rakyat. (ii) Maka hendaklah ada lat tempoh tidak kurang daripada lapan tahun antara tarikh siapnya satu kajian semula, dengan tarikh bermulanya kajian semula yang kemudiannya, di bawah Fasal ini. (iii) Kajian semula di bawah perenggan (i) hendaklah disiapkan dalam tempoh yang tidak melebihi dua tahun dari tarikh bermulanya kajian semula itu. (3) Jika Suruhanjaya Pilihan Raya berpendapat bahawa berikutan dengan suatu undang-undang yang dibuat di bawah Perkara 2 kajian semula yang disebut dalam Fasal (2) perlu dijalankan, maka Suruhanjaya itu hendaklah berbuat sedemikian sama ada atau tidak lapan tahun telah berlalu semenjak kajian semula yang terakhir dijalankan di bawah Fasal itu. (3A) (i) Jika bilangan ahli dipilih bagi Dewan Rakyat diubah berikutan dengan apaapa pindaan kepada Perkara 46, atau bilangan ahli dipilih bagi Dewan Undangan sesuatu Negeri diubah berikutan dengan suatu undang-undang yang diperbuat oleh Badan Perundangan sesuatu Negeri, Suruhanjaya Pilihan Raya hendaklah, tertakluk kepada Fasal (3B), menjalankan kajian semula pembahagian kawasan yang tersentuh dengan pengubahan itu kepada bahagian
pilihan raya persekutuan atau Negeri, mengikut mana-mana yang berkenaan, dan kajian semula itu hendaklah disiapkan dalam tempoh yang tidak melebihi dua tahun dari tarikh permulaan kuat kuasa undang-undang yang membuat pengubahan itu. (ii) Kajian semula di bawah perenggan (i) tidaklah menyentuh lat tempoh yang diperuntukkan di bawah perenggan (ii) Fasal (2) berkenaan dengan kajian semula di bawah perenggan (i) Fasal itu. (iii) Peruntukan Jadual Ketiga Belas hendaklah terpakai bagi kajian semula di bawah Fasal ini, tetapi tertakluk kepada apa-apa ubah suaian yang difikirkan perlu oleh Suruhanjaya Pilihan Raya. (3B) Jika sesuatu pindaan kepada Perkara 46 atau suatu undang-undang yang diperbuat oleh Dewan Undangan sesuatu Negeri yang disebut dalam perenggan (i) Fasal (3A) mula berkuat kuasa selepas lapan tahun berlalu dari tarikh siapnya kajian semula yang terakhir di bawah Fasal (2) dan Suruhanjaya Pilihan Raya berpendapat bahawa perlu dijalankan suatu kajian semula di bawah Fasal (2), maka Suruhanjaya Pilihan Raya tidak boleh menjalankan kajian semula di bawah perenggan (i) Fasal (3A) tetapi sebaliknya hendaklah menjalankan kajian semula di bawah Fasal (2) dan dalam mengendalikan kajian semula sedemikian hendaklah mengambil kira mana-mana kawasan yang tersentuh berikutan dengan pindaan atau undang-undang yang disebut dalam perenggan (i) Fasal (3A). (4) Undang-undang persekutuan atau Negeri boleh memberi kuasa Suruhanjaya Pilihan Raya untuk menjalankan pilihan raya selain pilihan raya yang disebut dalam Fasal (1). (5) Setakat yang perlu bagi maksud fungsinya di bawah Perkara ini, Suruhanjaya Pilihan Raya boleh membuat kaedah-kaedah, tetapi mana-mana kaedah yang sedemikian hendaklah berkuat kuasa tertakluk kepada peruntukan undang-undang persekutuan. (6) Kajian semula yang berasingan di bawah Fasal (2) hendaklah dijalankan bagi Negeri-Negeri Tanah Melayu dan bagi tiap-tiap satu daripada Negeri Sabah dan Sarawak, dan bagi maksud Bahagian ini ungkapan "unit kajian semula" ertinya, bagi bahagian pilihan raya persekutuan, kawasan yang sedang dikaji semula dan, bagi bahagian pilihan raya Negeri, ertinya Negeri itu, dan ungkapan "Negeri-Negeri Tanah Melayu" termasuklah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya. (7) Tertakluk kepada Fasal (3), tempoh bagi kajian semula kali pertama di bawah Fasal (2) bagi mana-mana unit kajian semula hendaklah dihitung mulai dari
penyempadanan kali pertama bahagian pilihan raya bagi unit itu di bawah Perlembagaan ini atau di bawah Akta Malaysia [Akta 26 tahun 1963]. (8) Walau apa pun Fasal (7) Perkara ini tempoh bagi kajian semula di bawah Fasal (2) bagi unit kajian semula bagi Negeri-Negeri Tanah Melayu yang dijalankan selepas lulusnya Akta Perlembagaan (Pindaan) (No. 2) 1973 hendaklah dihitung mulai dari penyempadanan kali pertama bahagian pilihan raya bagi unit itu sebaik selepas lulusnya Akta itu. (9) Tarikh bermulanya sesuatu kajian semula di bawah Fasal (2) atau Fasal (3A), mengikut mana-mana yang berkenaan, ialah tarikh tersiarnya notis yang disebut dalam seksyen 4 Jadual Ketiga Belas dalam Warta. (10) Tarikh siapnya sesuatu kajian semula di bawah Fasal (2) atau Fasal (3A), mengikut mana-mana yang berkenaan, ialah tarikh laporan dikemukakan kepada Perdana Menteri di bawah seksyen 8 Jadual Ketiga Belas, dan notis mengenai tarikh itu hendaklah disiarkan dalam Warta oleh Suruhanjaya Pilihan Raya. Perkara 114. Keanggotaan Suruhanjaya Pilihan Raya. (1) Suruhanjaya Pilihan Raya hendaklah dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong selepas berunding dengan Majlis Raja-Raja, dan hendaklah terdiri daripada seorang pengerusi, seorang timbalan pengerusi dan lima orang anggota lain. (2) Pada melantik anggota Suruhanjaya Pilihan Raya, Yang di-Pertuan Agong hendaklah mengambil perhatian tentang peri mustahaknya suatu Suruhanjaya Pilihan Raya yang mendapat kepercayaan awam. (3) Seseorang anggota Suruhanjaya Pilihan Raya terhenti daripada memegang jawatan apabila mencapai umur enam puluh lima tahun atau apabila hilang kelayakan di bawah Fasal (4) dan boleh pada bila-bila masa meletakkan jawatannya melalui surat yang ditandatangani sendiri olehnya yang ditujukan kepada Yang di-Pertuan Agong, tetapi tidaklah boleh dipecat daripada jawatan kecuali atau alasan dan mengikut cara yang sama seperti seorang hakim Mahkamah Persekutuan. (4) Walau apa pun apa-apa jua dalam Fasal (3), Yang di-Pertuan Agong hendaklah melalui perintah memecat daripada jawatan mana-mana anggota Suruhanjaya Pilihan Raya jika anggota itu— (a) seorang bankrap belum lepas; atau
(b) melibatkan diri dalam apa-apa jawatan atau pekerjaan berbayar di luar tugas jawatannya; atau (c) ahli mana-mana satu Majlis Parlimen atau Dewan Undangan sesuatu Negeri. (4A) Sebagai tambahan kepada apa-apa kehilangan kelayakan yang diperuntukkan di bawah Fasal (4), pengerusi Suruhanjaya Pilihan Raya hilang kelayakan untuk memegang jawatan itu jika selepas tiga bulan pelantikannya ke jawatan itu atau pada bila-bila masa selepas itu dia ialah atau menjadi anggota mana-mana lembaga pengarah atau lembaga pengurusan, atau pegawai atau pekerja, atau melibatkan diri dalam hal ehwal atau urusan, mana-mana organisasi atau badan, sama ada diperbadankan atau selainnya, atau mana-mana pengusahaan komersil, perindustrian atau pengusahaan lain, sama ada atau tidak dia menerima apa-apa saraan, hadiah, untung atau faedah daripadanya: Dengan syarat bahawa kehilangan kelayakan itu tidaklah terpakai jika organisasi atau badan itu menjalankan apa-apa kerja kebajikan atau sukarela atau tujuan yang berfaedah kepada masyarakat atau mana-mana bahagiannya, atau apa-apa kerja atau tujuan lain yang bersifat khairat atau sosial, dan anggota itu tidak menerima apa-apa saraan, hadiah, untung atau faedah daripadanya. (5) Parlimen hendaklah melalui undang-undang membuat peruntukan bagi saraan anggota Suruhanjaya Pilihan Raya, dan saraan yang diperuntukkan sedemikian hendaklah dipertanggungkan pada Kumpulan Wang Disatukan. (5A)Tertakluk kepada peruntukan Perkara ini, Parlimen boleh melalui undangundang membuat peruntukan bagi terma jawatan anggota Suruhanjaya Pilihan Raya selain saraan mereka. (6) Saraan dan terma lain jawatan bagi seseorang anggota Suruhanjaya Pilihan Raya tidaklah boleh, selepas pelantikannya, diubah menjadi kurang baik baginya. (7) Jika, dalam apa-apa tempoh, Pengerusi Suruhanjaya Pilihan Raya telah diberi kebenaran bercuti oleh Yang di-Pertuan Agong atau tidak dapat menunaikan fungsinya kerana dia tidak ada di dalam Persekutuan, sakit atau apa-apa sebab lain, maka timbalan pengerusi hendaklah menunaikan fungsi pengerusi selama tempoh itu, dan jika timbalan pengerusi juga tidak ada atau tidak dapat menunaikan fungsi itu, maka seorang anggota Suruhanjaya Pilihan Raya boleh dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong untuk menunaikan fungsi pengerusi selama tempoh itu.
Perkara 115. Bantuan kepada Suruhanjaya Pilihan Raya. (1) Suruhanjaya Pilihan Raya boleh mengambil kerja apa-apa bilangan orang, mengikut apa-apa terma dan tertakluk kepada apa-apa syarat, yang ditentukan olehnya dengan persetujuan Yang di-Pertuan Agong. (2) Apabila diminta oleh Suruhanjaya, semua pihak berkuasa awam hendaklah memberikan apa-apa bantuan sebagaimana yang dapat dilaksanakan kepada Suruhanjaya dalam menunaikan tugasnya; dan pada menjalankan fungsinya bagi membuat syor bagi menyempadankan bahagian pilihan raya bagi pilihan raya yang disebut dalam Fasal (1) Perkara 113, Suruhanjaya hendaklah meminta nasihat daripada dua orang pegawai Kerajaan Persekutuan yang mempunyai pengetahuan khas mengenai topografi dan taburan penduduk dalam unit kajian semula bagi pilihan raya persekutuan, dan pegawai itu hendaklah dipilih bagi maksud itu oleh Yang di-Pertuan Agong. Perkara 116. Bahagian pilihan raya persekutuan. (1) Bagi pemilihan ahli-ahli ke Dewan Rakyat, sesuatu unit kajian semula hendaklah dibahagikan kepada bahagian pilihan raya mengikut peruntukan yang terkandung dalam Jadual Ketiga Belas. (2) Jumlah bilangan bahagian pilihan raya hendaklah sama dengan bilangan ahli supaya seorang ahli dipilih bagi setiap bahagian pilihan raya, dan daripada jumlah bilangan bahagian pilihan raya di dalam Negeri-Negeri Tanah Melayu itu suatu bilangan yang ditentukan mengikut peruntukan yang terkandung dalam Perkara 46 dan Jadual Ketiga Belas hendaklah diuntukkan bagi setiap Negeri. (3) (Dimansuhkan). (4) (Dimansuhkan). (5) (Dimansuhkan). Perkara 117. Bahagian pilihan raya Negeri. Bagi pemilihan ahli-ahli ke Dewan Undangan sesuatu Negeri, Negeri itu hendaklah dibahagikan kepada seberapa banyak bahagian pilihan raya mengikut bilangan ahli yang dipilih supaya seorang ahli dipilih bagi setiap bahagian pilihan raya; dan pembahagian itu hendaklah dibuat mengikut peruntukan yang terkandung dalam Jadual Ketiga Belas. Perkara 118. Cara mencabar pemilihan.
Tiada pemilihan ke Dewan Rakyat atau ke Dewan Undangan sesuatu Negeri boleh dipersoalkan kecuali melalui petisyen pilihan raya yang dikemukakan kepada Mahkamah Tinggi yang mempunyai bidang kuasa di tempat pilihan raya itu diadakan. Perkara 118A. Cara mempersoalkan petisyen pilihan raya mengenai tidak adanya pemilihan. Sesuatu petisyen yang mengadukan hal bahawa tiada apa-apa pemilihan telah dibuat ke Dewan Rakyat atau Dewan Undangan hendaklah disifatkan sebagai satu petisyen pilihan raya dan Mahkamah Tinggi boleh membuat apa-apa perintah yang difikirkannya patut mengenainya untuk memaksa suatu pemilihan dibuat tetapi kegagalan membuat pemilihan dalam mana-mana tempoh yang dinyatakan oleh Perkara 54 atau 55 atau oleh peruntukan yang bersamaan dalam Perlembagaan mana-mana Negeri, mengikut manamana yang berkenaan, tidaklah menjadi suatu alasan bagi mengisytiharkan bahawa seseorang ahli telah tidak dipilih dengan sewajarnya. Perkara 119. Kelayakan pemilih. (1) Tiap-tiap warganegara yang— (a) telah mencapai umur dua puluh satu tahun pada tarikh kelayakan; (b) bermastautin di dalam sesuatu bahagian pilihan raya pada tarikh kelayakan yang sedemikian atau, jika tidak bermastautin sedemikian, ialah seorang pengundi tidak hadir; dan (c) didaftarkan, di bawah peruntukan mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan pilihan raya, dalam daftar pemilih sebagai pemilih dalam bahagian pilihan raya tempat dia bermastautin pada tarikh kelayakan, berhak mengundi di dalam bahagian pilihan raya itu dalam mana-mana pilihan raya ke Dewan Rakyat atau Dewan Undangan melainkan jika dia hilang kelayakan di bawah Fasal (3) atau di bawah mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan berkaitan dengan pilihan raya; tetapi tiada seorang pun boleh mengundi dalam pilihan raya yang sama di dalam lebih daripada satu bahagian pilihan raya. (2) Jika seseorang berada di dalam sesuatu bahagian pilihan raya semata-mata oleh sebab dia ialah seorang pesakit di suatu institusi yang disenggarakan keseluruhannya atau terutamanya untuk menerima dan merawat orang yang mengidap penyakit mental atau kecacatan mental atau semata-mata oleh sebab dia ditahan dalam jagaan, maka dia
hendaklah bagi maksud Fasal (1) disifatkan tidak bermastautin di dalam bahagian pilihan raya itu. (3) Seseorang hilang kelayakan untuk menjadi pemilih dalam mana-mana pilihan raya ke Dewan Rakyat atau Dewan Undangan jika— (a) pada tarikh kelayakan dia ditahan sebagai orang yang tidak sempurna akal atau sedang menjalani hukuman pemenjaraan; atau (b) sebelum tarikh kelayakan dia telah disabitkan atas suatu kesalahan di dalam mana-mana bahagian Komanwel dan dihukum dengan hukuman mati atau pemenjaraan selama tempoh melebihi dua belas bulan dan pada tarikh kelayakan itu dia masih kena menjalani apa-apa hukuman bagi kesalahan itu. (4) Dalam perkara ini— (a) "pengundi tidak hadir" ertinya, berhubung dengan mana-mana bahagian pilihan raya, mana-mana warganegara yang berdaftar sebagai pengundi tidak hadir berkenaan dengan bahagian pilihan raya itu; (b) "tarikh kelayakan" ertinya tarikh seseorang memohon supaya didaftarkan sebagai pemilih dalam sesuatu bahagian pilihan raya, atau tarikh dia memohon untuk menukar pendaftarannya sebagai pemilih dalam suatu bahagian pilihan raya yang lain, mengikut peruntukan mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan pilihan raya. Perkara 120. Pemilihan terus ke Dewan Negara. Jika mengikut Fasal (4) Perkara 45 peruntukan dibuat oleh Parlimen bagi pemilihan ahli-ahli Dewan Negara dengan cara undi terus oleh pemilih, maka— (a) keseluruhan sesuatu Negeri hendaklah menjadi satu bahagian pilihan raya dan dalam mana-mana pilihan raya ke Dewan Negara setiap pemilih hendaklah mempunyai undi sebanyak bilangan kerusi yang hendak diisi dalam pilihan raya itu; dan (b) daftar pemilih bagi pilihan raya ke Dewan Rakyat hendaklah juga menjadi daftar pemilih bagi pilihan raya ke Dewan Negara; dan (c) Perkara 118, 118A dan 119 hendaklah terpakai berhubung dengan pilihan raya ke Dewan Negara sebagaimana Perkara-Perkara itu terpakai berhubung dengan pilihan raya ke Dewan Rakyat.