Dhimas Wisnu Mahendra
GEGER SATRIO PININGIT (1) Eka Parwa: Serat Kalatidha
Penerbit
GEGER SATRIO PININGIT Eka Parwa: Serat Kalatidha
Oleh: Dhimas Wisnu Mahendra Copyright © 2011 by Dhimas Wisnu Mahendra
Penerbit ARYANI Books
http://aryani-books.blogspot.com
[email protected]
Desain Sampul: Dhimas Wisnu Mahendra
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
“BANGUNLAH, NGGER!” “S… Siapa?” “Bangunlah dari tidur panjangmu. Sadarilah kembali sejatinya dirimu.” “Aku?... Siapakah Aku?” “Masa lima ratus tahun sudah lewat. Saatnya menagih hutang janji dan membalaskan dendam kesumat. Aku kembali datang setelah terasing di negeri seberang. Akulah yang akan menuntun jalan untuk memenuhi takdirmu! Kau adalah yang tersembunyi dan engkaulah yang terang! Kau adalah yang dinanti, dan saatnya telah datang! ” ”Tapi, aku tak mengerti...” ”Saat ini kau memang belum mengerti, tapi Aku datang untuk mendampingi. Ikutilah kata hati! Dengarkan kata-kataku, karena Akulah yang samar namun nyata adanya. Aku yang selalu hadir namun tetap tersembunyi. Singgasana-Ku adalah persemayaman dalam hati nurani. Dan segala titah-Ku mesti berkuasa atasmu, harus engkau laksanakan! Maka lakukanlah, Ngger! Kerjakan apa yang harus engkau kerjakan! Aku akan mengilhami. Nanti juga kau akan mengerti!” ”Jadi... Apa yang harus Aku lakukan?” ”KELUAR DARI PINGITAN!!!” ***
SEKARANG!!! 27 NOVEMBER 2011 13:50 WIB, 10 MENIT LAGI…
SEPULUH menit. Hanya itulah sisa waktu yang mereka miliki. Tik! Jam digital nan tersembunyi itu berganti detik. Sementara dua digit angka kecil yang terus berlari di kanannya tak mau berhenti. Di tingkah detak jantung berdebar kencang, degup gugup naluri memacu deras adrenalin, menyembur dalam denyutan kalut nadi. Langkah-langkah kaki itu susul-menyusul berebut menuruni tangga batu, mengejar milidetik meluncur laju. Hitungan mundur bergulir. SEMBILAN menit lagi, dan kian mendekati akhir... DRANG! DRANG! DRANG!... BRANG!!! Gerendel itu pun hancur! Rantai besi bergembok yang menjerat gerbang menuju lorong terbawah bangunan tua bersejarah dirusak paksa dengan tebas kapak dan parang! CARI! BERPENCAR!! TEMUKAN!!! “PASTI di sini! HARUS di sini! Tak mungkin salah! MESTI ADA!! DI SINI!!!” Melongok lewat celah batang demi batang jeruji, memecah sunyi, derap langkah berlari. Menyusuri kelam suram penjara bawah tanah yang menyimpan seribu kisah pilu dan sayat lengking penuh misteri, korban pembantaian dan kebiadaban yang amat jauh dari manusiawi, lebih setengah abad lalu, DI SINI! Menepikan kuduk yang bergidik ngeri, saat ini bukan waktunya memikirkan ratusan makhluk gaib mengambang yang bersarang dan menjadi penghuni! Setan penasaran, lelembut dan hantu jejadian, arwah gentayangan, muncul penampakan, suara-suara lirih menyeramkan, tepiskan semua!!! Sesosok kabut putih pecah ditembus peluru yang ditembak oleh salah satu pelari. Bayangan hitam tinggi besar yang menghalang dan tak kunjung menepi harus rela ditebas parang yang dilumuri basah lisan dzikir tanpa henti dari lelaki berjenggot yang bersurban dan berpakaian serba putih. Di sudut lain, suara jerit wanita berbaur dengan tawa wanita lain mengikik dengan lengkingan meninggi disusul tembakan kalap menyalak senjata api. Ini bukan waktunya takut pada yang semestinya sudah mati! Jika mereka gagal, akan jauh lebih banyak lagi yang menemani mati! Nasib semua orang bahkan penduduk seluruh negeri kini bergantung pada mereka yang ada di bawah sini, saat ini! Jika hidup terlalu berharga untuk diakhiri, peluang bertahan hidup dalam sempitnya waktu menjadi begitu berarti! Ini saatnya berjudi dengan waktu, bertaruh hidup dan mati! DELAPAN menit lagi! Atau tak ada esok hari!
“… DI SINIIII!!!” Spontan keempat teman yang sedang histeris berjibaku dengan makhluk penguasa alam gelap dan bayangannya sendiri, berhenti… Tegang sesaat, menoleh ke arah datang jeritan, lalu tergopoh berlari menghampiri, menghambur, dan tiba hampir bertabrakan. Mereka berkerumun di depan salah satu sel jongkok setinggi satu meter yang pengap lagi berbau, becek, lembab. Genangan air keruh yang busuk begitu menusuk. Bangkai tikus got teronggok di banyak sudut bercampur tajam aroma anyir darah peninggalan kesadisan masa lalu, membuat mual, pusing, nyaris muntah, mengocok perut bergolak jadi satu. Seperti sang pemanggil, yang lain pun turut menggigil! Bergetar hebat menahan ketakutan, berjuang mengatur nafas untuk menenangkan diri. Di hadapan kelimanya kini, jauh di lorong gelap penuh liku dengan beribu pilar jeruji besi dan pintu, di penjara bekas saluran pembuangan air yang masih menggenangi sel-sel terendah di bawah tanah, persis di atas gedung tua berlantai dua setengah peninggalan Belanda, saksi kekejaman Jepang, juga kepatriotan para pemuda pejuang Indonesia yang terletak di simpang kota, sebuah peti mati terbuat dari kayu jati teronggok di remang seram! Bergeming di pojok ruang! Tutupnya tergeser setengah terbuka… Tentu saja ini bukan cerita tentang Drakula! Dalam hening yang mencekam, bunyi detikan itu begitu nyaring menggema di seantero dinding lapuk bawah bumi. Merayap jauh ke dasar lubuk hati menggetarkan tiap lapis membran tipis sanubari. TUJUH menit dan sepuluh detik lagi tinggal mereka miliki! Di dalam peti, sepasang tabung besar setinggi orang dewasa dengan banyak rangkaian kabel melilit, memangku kotak hitam dengan celah yang memendarkan dari dalam, pulas warna merah darah, empat digit deret angka penunjuk waktu tersisa:
06:59 Menuju tamat riwayat REPUBLIK INDONESIA![]
~={o EKA PARWA o}=~
SERAT KALATIDHA
PURWACARITA
Awal Mei 2009. Museum Radya Pustaka, Surakarta gempar. Sejumlah 42 naskah kuno dipastikan hilang dari museum tertua di Indonesia yang mulai dibangun 28 Oktober 1890 oleh Kanjeng Adipati Sosroningrat IV, pepatih dalem pemerintahan Pakubuwono IX dan X. Nancy K. Florida1, anggota tim pembuatan mikrofilm dari UNESCO2, 25 tahun silam pernah meneliti lalu membuat daftar koleksi naskah kuno warisan budaya leluhur, peradaban tinggi dan sejarah luhur Jawa di museum itu, yang setelah Indonesia merdeka diresmikan pembukaannya oleh Presiden Soekarno, 11 November 1953. Ketika Nancy berkunjung, Februari tahun ini, ia menyempatkan menginventarisasi dan memverifikasi. Tak dinyana, setelah cross-check data dengan petugas perpustakaan, banyak karya agung pujangga, tak sedikit yang langka, tak lagi berada di tempatnya, raib tak tentu rimbanya! Entah terselip, tercecer, dipinjam, belum atau tak kembali, hingga lenyap tercuri. Di antara karya agung yang tak terhingga nilainya adalah naskah tulisan tangan langsung pujangga besar keraton, Raden Ngabehi Ronggowarsito; sebuah versi adaptasi Kakawin Bharatayudha adikarya Mpu Panuluh dan Mpu Sedah dari zaman Prabhu Jayabaya, Raja Kediri abad ke-12; bergambar dan memiliki iluminasi prada emas. Raden Ngabehi Ronggowarsito (14 Maret 1802 - 24 Desember 1873), bernama kecil Bagus Burham, adalah pujangga besar Keraton Surakarta di abad ke-19. Sebagai cucu kandung Yosodipuro II, tokoh pujangga generasi sebelumnya, Ronggowarsito juga menulis beragam karya abadi sarat nilai humaniora, dari falsafah, sejarah, lakon wayang, primbon, kisah raja-raja, ilmu kebatinan, dongeng, syair, adat kesusilaan, hingga serat-serat yang konon mengandung ramalan masa depan negara yang kini bernama Indonesia. Karyanya yang terkenal antara lain Serat Kalatidha, Jayabaya, Jokolodang, Sabdatama, Sabdajati, Paramayoga, Nitisruti, Candrarini, Cemporet, dan Pustakaraja. Jika sebuah patung dapat menangis, maka patung Ronggowarsito yang dipajang di halaman museum mungkin akan menjerit sekeras-kerasnya tatkala di tahun 2007 menjadi saksi bisu dipalsukannya lima arca klasik dan yang asli dicuri. Kelak diketahui, pencurian itu adalah hasil konspirasi “orang dalam” dengan pialang tenar dan agen barang antik. Kelima arca yang hilang adalah Ciwa Mahadewa, Durga Mahisasuramardhini, Agastya, Mahakala dan Durga Mahisasuramardhini II. Meski akhirnya berhasil ditemukan dan ”diselamatkan” oleh anak bangsa yang peduli dari tangan kurator asing di balai lelang Amsterdam, Belanda, apa yang terjadi pada arca-arca itu sebelum ”kembali” mungkin tak ada yang mengetahui. Hanya yang memiliki mata batin kewaskitaan lebih jernih dapat awas menyadari, dua kejadian di tempat sama pada waktu berbeda, pencurian naskah serta arca kuno itu, adalah pemicu rentetan kegemparan yang akan mengguncang tanah air dalam waktu tidak lama lagi. Fajar merah berdarah menyingsing di ufuk timur. Tirai kisah ini pun perlahan tersibak...[]
1
2
http://www.manassa.org/main/media/index.php?detail=20090507155636
The United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
PAMBUKANING GAPURA
“Aku Cinta… Kamu Cinta… Semua Cinta… Buatan Indonesia…” Lamat-lamat dari dalam kamar yang penuh berserakan mainan, terdengar alunan nyanyian di luar: Sepenggal irama pembuka acara Apresiasi Film Nasional di stasiun televisi kebanggaan satu-satunya milik pemerintah, Televisi Republik Indonesia (TVRI). Siaran warta tiga puluh menit Dunia Dalam Berita baru saja usai. Jam dinding bundar bergambar latar tokoh wayang Semar nan bertubuh bulat tambun bertengger tenang dan anggun, bak burung hantu sabar mengintai mangsanya di balik kegelapan. Bilah jarum yang diserupakan sepasang tangan Ki Lurah Badranaya, yang panjang menunjuk tepat ke bawah, yang pendek menuding ke arah kiri agak ke atas, searah tubuh Hyang Ismaya menghadap. Pukul dua puluh satu malam lewat tiga puluh menit, Waktu Indonesia Barat. Seiring tirai merah tebal di panggung perlahan terbelah, dibuka melebar, suara merdu kelompok musik Bimbo yang tenar di era delapan puluhan itu mengundang pria lanjut usia bertubuh ringkih kurus tak terlalu tinggi untuk beringsut dari sofa butut dan berdiri, tertatih berjalan dengan bantuan tongkat kayu mendekati box televisi hitam putih lalu memutar kenop Power ke kiri dan Off, mematikannya. Sesaat ia menguap, sebelum balik badan menghampiri pintu setengah terbuka, kamar berlampu masih menyala… “Jadi, Nak, sudah siap mendengar kisah baru lagi malam ini?” “Oh! SIAPPPP, Eyang!!!” Bocah lelaki tampan gemuk sehat dan berkulit putih bersih itu tersenyum lebar! Kepalanya mengangguk semangat. Tatapan polos berbinar, spontan melempar kepingan Lego, dibiarkan berserak acak di lantai marmer. Melompat sigap ke atas kasur bersprei biru muda, ia lalu menarik selimut tebal ke atas pangkuan. Duduk bersila, dada anak kecil berusia sepuluh tahun itu bergemuruh kencang, berdebar menanti lanjutan dongeng sang kakek yang berdiri di depan pintu. Berjalan tertatih bertumpuan tongkat, masuk kamar tidur mendekati kasur, wajah tirus mata sipit namun memiliki sorot teduh ramah itu mengulas senyum tipis di bibir hangat yang tak sepucat kerut garis tua di raut keriput senja. Sejumput putih rambut bagai ilalang kering menyembul dari balik topi pet lusuh kelabu, yang baru saja dilepas dari kepala lelaki berusia tujuh puluh tahun itu. Sejenak topi kumal itu ditepuk-tepuk dan diletakkan di atas bantal. Tongkat disandarkan di sebelah kanan dipan. Pria renta itu menyisir gemetar rambut jarang ke belakang, lalu beringsut perlahan duduk di hadapan anak kecil bersenyum terkembang, sambil mengusap lembut rambut berponi lebat dengan penuh curah kasih sayang… “Hari ini kita akan berkenalan dengan Abimanyu. Kau tahu siapa Abimanyu?” “Putera kesayangan Arjuna, Eyang!” “Anak pintar!! Bagaimana kamu tahu?”
Si bocah menyeringai semakin lebar. Ia memang menggemari kisah wayang. “Ya, Abimanyu adalah putera Arjuna dengan Dewi Wara Subadra, adik kandung Prabu Kresna, Raja Dwarawati yang juga adalah penasihat keluarga Pandawa dalam perang saudara Bharatayudha. Sesuai namanya, ‘Abhi’ dalam bahasa Sansekerta berarti ‘berani’, ‘Man’yu’ artinya ‘tabiat’. Watak Abimanyu pemberani, tapi juga halus, baik tingkah laku dan budi bahasanya, terang dalam ucapan, berhati keras, besar tanggung jawab dan tak pernah kenal takut. Abimanyu mewarisi kecakapan olah keprajuritan, ilmu kanuragan dan senjata sakti dari ayahnya, Raden Arjuna - Ksatria Panengah Pandawa, dididik kebijaksanaan dan ketatanegaraan oleh pamannya, Sri Kresna, serta digembleng olah kebatinan oleh kakeknya, Begawan Abiyasa alias Kresna Dwipayana.” “Kenapa Kakek ingin bercerita tentang Abimanyu?” “Karena dia seorang pemuda istimewa, seperti KAMU!” “Abimanyu walau masih muda dikagumi lantaran keberanian dan kesetiaannya terhadap tanah air. Segala kecintaan dan baktinya tercurah kepada keluarga Pandawa. Sejak masih dalam kandungan ibunya, Abimanyu telah dianugerahi Wahyu Hidayat oleh Dewata yang membuatnya mampu memahami segala hal dengan mudah. Di usia remaja, berkat kecerdasan di atas rata-rata dan kesungguhannya dalam bertapa brata, Abimanyu ‘kejatuhan’ Wahyu Makutha Raja dan Wahyu Cakraningrat, yang menegaskan bahwa hanya dari garis keturunannyalah kelak terlahir raja-raja besar penerus tahta kerajaan agung leluhur: HASTINAPURA!”[]