5. SENSUS
U
ntuk pengelolaan sumberdaya di suatu perairan tentulah sangat penting informasi tentang jumlah populasi sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan dugong, pertanyaannya adalah dapatkah kita memperkirakan seberapa besar populasi dugong yang ada di suatu perairan? Bisakah dilakukan semacam sensus penduduk dugong? Tentu saja pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Apalagi dugong adalah hewan yang hidup dalam laut yang tidak selalu menetap, dan tak selalu mudah pula dijumpai.
Gambar 5.1. Survei udara dilaksanakan dengan pesawat terbang sepanjang jalur yang direncanakan, dengan kecepatan dan ketinggian terbang yang telah ditetapkan. Beberapa periset duduk di sebelah kiri dan kanan pesawat merekam jumlah dugong yang dijumpai sepanjang jalur yang dilalui (Lawler dkk, 2002)
Para ahli mencoba mencari berbagai jalan keluar untuk itu. Salah satunya adalah dengan melakukan survei udara, yakni dengan menggunakan pesawat terbang yang menyisir luasan pantai tertentu dengan mencoba mencacah jumlah dugong yang dapat diamati dari udara. Teknik survei udara ini kini dipandang sebagai yang terbaik untuk mendapatkan data populasi dugong di suatu daerah.
Tentu saja teknik survei udara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah karena dapat dengan cepat mendapatkan informasi dalam luas kawasan tertentu. Namun juga harus dipertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keakurasiannya. Lebih dari itu, teknik ini tentu saja biayanya mahal. Teknik survei udara ini didasarkan pada rekaman cacah dugong oleh periset yang terbang dalam jalur yang telah ditentukan, dengan kecepatan dan ketinggian terbang yang telah ditetapkan. Teknik ini mulai digunakan pada tahun 1970an, kemudian lebih disempurnakan pada tahun 1980an. Teknik survei udara untuk mencacah jumlah dugong di suatu perairan pernah dilaksanakan di Kepulauan Lease di Maluku, yang mencakup perairan sekitar Ambon, Haruku, Saparua dan Nusa Laut. Survei ini dilaksanakan pada tahun 1990 dan 1992 dalam kerjasama Pusat Studi
Lingkungan Universitas Pattimura (Ambon) dan Leiden University, Amsterdam (Belanda) sebagai bagian dari Dugong Management and Conservation Project yang dibiayai oleh European Development Fund.
Gambar 5.2 . Pesawat terbang Piper Aztec disiapkan untuk survei udara untuk sensus dugong di Kepulauan Lease, Maluku (de Iongh)
Untuk keperluan ini digunakan pesawat ringan Piper Aztec yang menyisir perairan sepanjang jalur yang telah ditetapkan, dengan ketinggian terbang 135 m, dan kecepatan 180 km/jam. Jalur selebar 200 m di kiri dan kanan lintasan penerbangan diamati dengan cermat dan direkam banyaknya dugong yang terlihat. Selain itu juga diamati perjumpaan dengan hiu, lumba-lumba, penyu dan paus. Survei dilaksanakan di delapan lokasi di Kepulauan Lease.
Dari hasil survei udara ini tercatat bahwa pada penerbangan pertama (19 Desember 1990) dijumpai 17 ekor dugong dengan seekor anakan, sedangkan pada penerbangan kedua (6 Agustus 1992) dijumpai 10 ekor dan tak dijumpai adanya anakan. Anakan dugong biasanya mudah dikenali karena selalu didampingi dan dikawal ketat oleh induknya sampai menjelang dewasa. Dari survei itu, diperkirakan populasi maksimum dugong di perairan ini berkisar 22 – 37 ekor. Survei udara untuk merekam populasi dugong telah juga dilaksanakan di banyak negara lain. Survei udara diperairan Australia Utara mengindikasikan bahwa populasi dugong di perairan ini jauh lebih besar dari yang diamati di perairan Kepulauan Lease, Maluku. Laju perjumpaan dugong dalam survei udara di Kepulauan Lease adalah 5 – 11 dugong/jam, yang boleh dikatakan sebanding dengan hasil survei serupa di tempat lain seperti di Palau 5,4 dugong/jam, di Selat Torres (sebelah selatan Papua) 9,2 dugong /jam, dan di Filipina 1,9 dugong/jam. Di perairan sekitar Johor, Malaysia, juga telah diadakan survei udara pada bulan Juli 2010 yang mengindikasikan adanya dugong di perairan ini
Gambar 5.3 . Sekawanan dugong beserta anaknya di lihat dari udara, di Kepulauan Palau (www.static.panoramic.com)
sejumlah 20 individu saja.
Gambar 5.3. Hasil survei udara untuk dugong di Kepualuan Lease tahun 1990 dan 1992. Angka Rumawi menunjukkan lokasi observasi. Angka pembilang (atas) menujukkan jumlah dugong dewasa dan anakan yang dijumpai dalam survei tahun 1990, sedangkan penyebut (bawah) untuk survei tahun 1992. (de Iong dkk, 1995)
Gambar 5.4. Tampilan sebagian padang lamun di zona pasangsurut pantai timur Ambon, yang merupakan habitat dugong, dari hasil survei udara (de Iongh)
Australia telah lebih maju dalam pengembangan teknik survei udara untuk merekam populasi dugong. Disana telah dikembangkan berbagai model matematik dengan memasukkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi ketepatan observasi dugong, misalnya faktor kekeruhan air, kedalaman, peluang luput dari pengamatan, dan lain-lain (Pollock dkk, 2004). Kini survei udara sudah dijadikan standar dalam sensus dugong di banyak negara. Perkembangan survei dugong selain dilakukan dengan pesawat terbang ─ baik pesawat dengan sayap tetap (fixed wing) maupun dengan helikopter ─ juga telah dilakukan dengan pesawat “microlight” yang sangt kecil. Survei udara semacam ini tentulah mempunyai risiko atas keamanan penerbang dan petugas survei. Dalam kenyataannya memang telah terjadi beberapa kecelakaan di manca negara dalam upaya survei udara untuk mengkaji dugong dan satwa laut lainnya. Oleh sebab itu University of Queensland, Australia, sejak tahun 2008 telah memprakarsai pengembangan pesawat udara tanpa awak yang disebut UAV (Unmanned Aerial Vehicle) yang dilengkapi dengan kamera untuk tujuan khusus survei sumberdaya hayati laut, seperti paus, dugong dan penyu. Diharapkan dengan pengembangan UAV ini akan dapat dihindari risiko keamanan dan lebih menjamin keselamatan bagi para peneliti, dan selain itu juga dapat lebih menekan biaya survei. Kembali pada masalah di Indonesia. Tentulah timbul pertanyaan seberapa jauh kemungkinan penerapan survei udara ini dapat dilaksanakan secara luas di perairan Indonesia yang sedemikian luasnya, sementara di lain pihak dugong telah dilaporkan dari berbagai penjuru negeri ini dalam jumlah yang terus semakin menyusut.
Gambar 5.5 . Pesawat tak berawak atau UAV (Unmanned Aerial Vehicle) dengan panjang 3 m yang dikembangkan oleh University of Queensland untuk survei dugong dan lingkungn laut (www.seagrasswatch.org)
Para ahli mencoba mencari alternatif lain, yang mungkin lebih layak (feasible) dilaksanakan di negara yang sedang berkembang, yakni dengan pengikut sertaan masyarakat lokal. Survei lewat wawancara masyarakat tentang pengetahuan dan perjumpaan mereka dengan dugong di berbagai penjuru Indonesia diharapkan dapat membantu untuk mendapat gambaran umum tentang seberapa besar kekayaan kita akan dugong yang kian hari kian terancam punah. Dalam pertemuan di Sarawak, Malaysia, bulan Juli 2011 yang lalu misalnya, negara-negara Asia Tenggara bersepakat untuk menganut teknik baku dalam penyusunan kuesioner dan wawancara untuk survei dugong di kawasan ini. Selain itu telah dipertimbangkan pula metode pendugaan besar populasi dugong dengan mengkaji jejak jalur makan (feeding trail) yang ditinggalkan dugong di suatu padang lamun.
Di samping itu para ilmuwan Jepang juga telah mengembangkan alat AUSOMS-D (Automatic Underwater Sound Monitoring System for Dugong) yang dapat mendeteksi karakteristik suara dugong dalam air dan arahnya, dengan harapan alat ini dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya populasi dugong dan perilakunya di suatu daerah dengan tidak mengintervensi atau mengganggu kehidupan dugong. ---ooo--Anugerah Nontji, 16-05-2012