HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada penelitian kali ini sampel tinja yang digunakan berasal dari tinja yang baru jatuh ke tanah. Tinja dalam kondisi padat berbentuk seperti koin tebal seperti terlihat pada gambar 12.
Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. Tinja unta yang berbentuk padat dengan konsistensi yang lembek menunjukkan bahwa tinja unta dalam keadaan normal atau tidak dalam kondisi diare. Hal ini juga menunjukkan bahwa unta tidak menunjukkan gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi cacing parasitik.
1. Pemeriksaan kualitatif Dari hasil pemeriksaan sampel tinja dua ekor unta punuk satu, hanya ditemukan telur cacing pada satu unta saja yaitu pada unta betina (Rubi). Telur cacing yang ditemukan pada sampel memiliki ciri-ciri sebagai berikut: berbentuk oval tipe Trichurid, memiliki dua polar plug, berdinding tebal, dan memiliki ukuran rata–rata 71 – 77.6 x 30.8 – 37.9 µm (Gambar 13) Ciri-ciri telur tipe yang ditemukan sama dengan ciri-ciri telur jenis Trichurid menurut literatur (FAO 2006, Levine 1977 dan Taylor et al 2007) yaitu
20
mempunyai dinding yang tebal, berbentuk oval, tidak memiliki blastomer, mempunyai dua polar plug pada kedua ujung serta memiliki ukuran panjang 7080 µm dan lebar 30-42 µm (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa telur cacing parasitik yang ditemukan adalah dari genus Trichuris spp.
Gambar 13 Telur Trichurid dari tinja unta punuk satu
Gambar 14 Bentuk telur Trichuris ovis (FAO 2006)
Infeksi Trichuris spp. pada unta punuk satu juga pernah dilaporkan diantaranya oleh Banaja dan Gandhour (1994) dan Magzoub et al. (2000) di Saudi Arabia. Di Pakistan juga pernah dilaporkan bahwa kasus kecacingan tertinggi di unta punuk satu disebabkan oleh Haemonchus contortus serta T. ovis (Anwar dan Hayat 1999). Mohammed et al. (2007) menyatakan unta punuk satu di Nigeria diinfeksi oleh cacing Trichuris sp. serta Strongylus sp. Harwinanto (2007) dari Indonesia, Rahman et al. (2001) dari Sudan, Brown (2004) dari Australia, serta Mahran (2006) dari Mesir juga melaporkan infeksi Trichuris spp. pada unta punuk satu. Infeksi oleh Trichuris pada unta punuk satu umum terjadi di berbagai tempat tidak terbatas pada regional tertentu.
21
2. Pemeriksaan Kuantitatif Pada pemeriksaan kuantitatif juga hanya ditemukan telur cacing pada sampel tinja unta betina (Rubi). Telur yang ditemukan memiliki ciri-ciri yang sama dengan yang ditemukan dengan metode kualitatif. Jenis telur cacing yang ditemukan adalah tipe Trichurid. Berdasarkan hasil perhitungan TTGT (telur tiap gram tinja) ditemukan rata-rata jumlah telur sebesar 333
Tabel 1 Hasil pemeriksaan sampel tinja unta punuk satu dengan metode McMaster no 1
2
Nama hewan / jenis kelamin Rubi / Betina
Oxy / Jantan
sampel ke1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Tipe telur Nilai TTGT Trichurid 200 Trichurid 500 Trichurid 300 Trichurid 200 Trichurid 600 Trichurid 200 -
Nilai rata-rata TTGT 333
-
Hasil nilai rata-rata TTGT yang didapatkan bisa dikatakan infeksi ringan. Hal ini dikarenakan belum adanya gejala klinis yang timbul akibat infeksi cacing. Taylor et al (2007) juga menyatakan infeksi cacing pada domba dengan jumlah TTGT di bawah 150 tergolong infeksi ringan, TTGT 500 tergolong infeksi sedang sedangkan nilai TTGT 1000 termasuk infeksi berat. Nilai TTGT yang berbeda dari tiap sampel ini dapat dikarenakan tidak meratanya distribusi telur dalam tinja. Selain itu pada sampel yang tidak ditemukan telur cacing parasitik belum tentu hewannya tidak terinfeksi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan tidak ditemukannya telur cacing adalah kemungkinan cacing masih dalam tahap perkembangan serta jumlahnya sangat sedikit. Selain itu dapat juga disebabkan karena metode pengambilan sampel untuk pemeriksaan.
22
3. Sistem pemeliharaan unta punuk satu pada TRMS Serulingmas TRMS Serulingmas mempunyai sepasang unta yaitu Oxy (jantan) dan Rubi (betina). Kedua unta terletak dalam satu kandang besar namun dipisahkan oleh pagar besi. Hal ini dilakukan karena kondisi unta betina sedang bunting. Kandang unta dibersihkan sehari sekali pada waktu pagi hari. Pemberian pakan dilakukan dua kali yaitu setiap pagi dan sore. Setiap pemberian diberikan pakan berupa rumput segar sekitar 20 kg dan konsentrat 2 kg untuk tiap-tiap unta. Pakan ditempatkan pada tempat yang terpisah. Tempat pakan yang tersedia cukup sempit sehingga pakan mudah jatuh dan tercemar dengan kotoran (Gambar 15)
Gambar 15 Tempat pakan unta di TRMS Serulingmas yang kecil sehingga pakan mudah tercecer Manajemen kesehatan yang dilakukan di TRMS Serulingmas berupa tindakan pengobatan (curative). Hal ini karena pemberian obat atau suplemen hanya pada saat satwa ada yang menunjukkan gejala klinis, misalnya lemas, diare serta nafsu makan menurun. Tindakan curative dilakukan karena keterbatasan fasilitas maupun tenaga medis serta pendanaan yang jumlahnya terbatas. Pemeriksaan kecacingan pada unta pernah dilakukan, namun tidak teratur. Selain itu hanya dilakukan pemeriksaan secara kualitatif tanpa mengetahui tingkat keparahan infeksi. Pengobatan atau deworming hanya dilakukan pada saat unta menunjukkan gejala klinik berupa diare.
23
Kecacingan yang terjadi pada unta di TRMS Serulingmas disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sumber infeksi, lingkungan yang mendukung serta dari kerentanan unta sendiri. Jenis kelamin juga berpengaruh terhadap kerentanan terhadap infeksi cacing. Unta betina lebih rentan dibandingkan dengan jantan yang terbukti dari hasil penelitian bahwa infeksi positif hanya pada unta betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mahran (2006) dan Saeed et al. (2006) bahwa unta betina lebih rentan terhadap infeksi cacing dibandingkan dengan jantan, teramati dari jumlah infeksi pada betina lebih tinggi dibandingkan yang jantan. Ketahanan unta jantan terhadap infeksi kecacingan ini kemungkinan disebabkan karena genetis jantan yang lebih tahan terhadap infeksi kecacingan. Vanessa et al. (2008) menyatakan bahwa hewan jantan lebih resisten terhadap infeksi parasitik dikarenakan jantan memiliki sistem kekebalan yang lebih kuat terhadap infeksi parasitik. Sumber infeksi kecacingan pada unta ini berasal dari pakan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing. Pencemaran pakan ini dapat terjadi pada saat pengiriman, pengolahan maupun saat pemberian. Seperti dijelaskan di atas, tempat pakan yang kecil menyebabkan pakan tercecer dan bercampur dengan kotoran unta sendiri sehingga dapat tercemar oleh telur. Pada musim kemarau saat rumput kurang, unta betina di TRMS Serulingmas ini mempunyai kebiasaan yaitu memakan kotoran mereka sendiri (coprophagy). Hal ini sangat mendukung terjadinya reinfeksi terhadap cacing khususnya jenis Trichuris spp. yang siklus hidupnya bersifat langsung atau tanpa inang antara. Pemisahan kandang kedua unta terbukti dapat mencegah terjadinya penularan kecacingan di antara unta. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukannya infeksi cacing pada Oxy (jantan). Pemisahan kandang dapat dilakukan pada jenis hewan lainnya untuk program pemberantasan kecacingan. Sebulan sebelum penelitian dilakukan, seluruh unta sudah dilakukan deworming menggunakan obat anti cacing atau (antelmintik). Kedua unta diberikan anthelmintik jenis albendazole. Oxy (jantan) diberikan antelmintik secara rutin selama tiga hari berturut-turut, sedangkan Rubi (betina) hanya diberikan sekali karena kondisinya sedang bunting. Dari cara pemberian dapat disimpulkan bahwa pemberian obat tiga kali berturut-turut terbukti lebih efektif,
24
hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya infeksi cacing pada unta jantan (Oxy). Pemberian sekali dosis hanya dapat menurunkan tingkat infeksi kecacingan namun tidak dapat memberantas secara keseluruhan. Penggunaan antelmintik albendazole secara periodik juga dapat menyebabkan kemunculan kembali infeksi kecacingan. Hal ini juga dijelaskan oleh Keysker et al. (2008) bahwa penggunakan antelmentik secara periodik dapat menyebabkan pengulangan infeksi kecacingan. Adanya telur cacing dalam tinja setelah pemberian benzimidazole dan pyrantel adalah 1 bulan, untuk ivermectin adalah 8 minggu, sedangkan untuk moxidectine adalah 12 minggu. Jenis obat yang diberikan juga berbengaruh terhadap keberhasilan pengobatan seperti diungkapkan Jarvinen (2005) bahwa penggunaan albendazole secara oral dapat mengurangi 100% telur tipe Strongyloid namun hanya mengurangi sekitar
60-80% telur tipe Trichurid. Pemberian albendazole pada
betina bunting juga dapat menyebabkan terjadinya kolik, gejala ini muncul satu dari tiga betina bunting. Penggunaan antelmintik thiabendazole (preparat satu golongan dengan albendazole) pada unta juga pernah dilaporkan Chandrasekharan et al. (1970) bahwa thiabendazole dapat menurunkan 100% jumlah telur Trichostrongylus namun tidak berefek pada Trichuris. Pemakaian albendazole terbukti kurang efektif dan dapat membahayakan bagi betina yang sedang bunting. Penggunaan ivermectin dapat dijadikan pilihan karena dapat menurunkan jumlah telur Trichurid di atas 85% (Boyce et al. 1984) Belum ada literatur yang menjelaskan tentang derajat infeksi pada unta. Namun, pada jumlah infeksi cacing kali ini belum menunjukkan adanya gejala klinis pada hewan.