FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK
VERRY PURNAMA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Formulasi Surfaktan SMES sebagai Acid Stimulation Agent untuk Aplikasi di Lapangan Karbonat OK adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing akademik serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
Oktober 2013
Verry Purnama NIM F34090017
ABSTRAK VERRY PURNAMA. Formulasi Surfaktan SMES sebagai Acid Stimulation Agent untuk Aplikasi di Lapangan Karbonat OK. Dibimbing oleh ERLIZA HAMBALI dan PUDJI PERMADI. Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik yang memiliki kelebihan dalam hal daya deterjensi, tahan terhadap kesadahan, bersifat terbarukan dan ramah lingkungan. Kelebihan MES ini dapat dimanfaatkan sebagai stimulation agent pada sumur-sumur minyak, sehingga dapat meningkatkan produktivitas sumur minyak. Peningkatan produktivitas sumur minyak dilakukan dengan cara membersihkan sumur minyak dan pori batuan reservoir dari endapan scale yang terbentuk, memperbesar pori-pori batuan reservoir, serta dapat mengubah sifat batuan menjadi water-wet. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan formula larutan surfaktan berbasis MES yang dapat diaplikasikan sebagai acid stimulation agent yang merupakan salah satu metode IOR. Formula yang diujikan adalah kombinasi dari surfaktan sodium MES, HCl, dan CH3COOH. Hasil terbaik yang didapat dari larutan acid stimulation agent adalah dengan nilai IFT < 10-2 dyne/cm, dengan kelarutan batuan mencapai 36%, serta mampu mengubah sudut kontak batuan reservoir dari angka 420 menjadi 680 yaitu pada formula SMES 6% + HCl 7% + CH3COOH 2%. Kata Kunci: Sodium Metil Ester Sulfonat, IFT, IOR, acid well stimulation ABSTRACT VERRY PURNAMA. Formulation of Surfactant SMES as Acid Stimulation Agent for application in Carbonate Fields OK. Be mentored by ERLIZA HAMBALI and PUDJI PERMADI. Methyl Sulfonic Esters (MES) is one type of anionic surfactants which have advantages in terms of its hardness, resistance to deterjensi, the character of renewable and environmentally friendly. Excess MES this can be utilized as stimulation agent in oil wells, so can increase productivity an oil well. Increased productivity an oil well done by means of cleaning oil wells and pore a reservoir fromsediment of scale formed, enlarging the pores of rocks and can changing the nature of rocks being water-wet. This research was carried out to obtain the formula of solution of surfactants-based MES that can be applied as acid stimulation agent that is one method of IOR. Formula tested is a combination of surfactants sodium MES, HCl, and CH3COOH. The formulation is done by determining the optimum concentration of surfactant SMES and HCl gradually. The best results obtained from the solution of acid stimulation agent was with value of IFT < 10-2 dyne/cm with solubility of rock reaches 36%, and was can to change the contact angle of the reservoir rocks of the contact angle number 420 became 680 in formula SMES 6% + HCl 7% and CH3COOH 2%. Keywords : Sodium Methyl Sulfonic Esters, IFT, IOR, acid well stimulation
FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK
VERRY PURNAMA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama
NIIv1
: Formulasi Surfaktan SMES sebagai Acid Stimulation Agent untuk Aplikasi di Lapangan Karbonat OK : Verry Pllrnama : F340900 17
Disetlljlli oleh
Prof. Dr. Erliza Hambali Pembimbing I
Tanggal Lulus :
Prof. Dr. Pudii Permadi
Peillbimbing II
Judul Skripsi Nama NIM
: Formulasi Surfaktan SMES sebagai Acid Stimulation Agent untuk Aplikasi di Lapangan Karbonat OK : Verry Purnama : F34090017
Disetujui oleh
Prof. Dr. Pudji Permadi Pembimbing II
Prof. Dr. Erliza Hambali Pembimbing I
Diketahui oleh
Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang d ilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai September 2013 ini ialah Formulasi Surfaktan SMES sebagai Acid Stimulation Agent untuk Aplikasi di Lapangan Karbonat OK. Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Erliza Hambali dan Prof. Dr. Pudji Permadi selaku pembimbing, serta Dr. Mira Rivai, STP, MSi yang telah banyak memberikan saran dan masukan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ari Imam S., STP, MSi dan seluruh staff laboratorium Surfaktant and Bioenergy Research Center (SBRC) LPPM-IPB, yang telah membantu selama penelitian dan dalam pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya tulis ini bermanfaat.
Bogor,
Oktober 2013
Verry Purnama
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Surfaktan SMES Analisis Fluida Lapangan OK Kondisi Reservoir Lapangan OK Formulasi Larutan Surfaktan Berbasis MES untuk Aplikasi IOR Uji Kinerja Formula Larutan Surfaktan untuk Acid Stimulation Agent di Lapangan OK SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
viii viii viii 1 1 2 2 3 3 3 3 6 6 7 10 10 14 21 21 21 22 24 49
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Hasil analisis surfaktan SMES Hasil analisis air injeksi lapangan OK Hasil analisis air formasi lapangan OK Hasil analisis minyak lapangan OK
6 8 8 10
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Skema metode stimulation dalam IOR Hasil analisis tegangan antarmuka formula larutan surfaktan Hasil analisis densitas formula larutan surfaktan Hasil analisis pH dan salinitas formula larutan surfaktan Hasil analisis densitas formula larutan surfaktan SMES + asam Hasil analisis IFT formula larutan surfaktan SMES + asam Hasil analisis densitas formula larutan surfaktan (Thermal Stability) Hasil analisis IFT formula larutan surfaktan (Thermal Stability) Hasil analisis sudut kontak minyak-batuan dengan perlakuan pertama Hasil analisis sudut kontak minyak-batuan dengan perlakuan kedua Hasil analisis kelarutan batuan Hasil analisis kelakuan fasa formula larutan surfaktan SMES Grafik kelarutan minyak-surfaktan dalam phase behavior
7 11 12 12 13 13 15 15 16 17 18 19 20
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Prosedur Analisis Surfaktan Sodium Metil Ester Sulfonat (SMES) Prosedur Analisis Fluida Lapangan OK Prosedur Analisis Kinerja Formula Surfaktan berbasis SMES Data Hasil Analisis Formula Larutan Surfaktan SMES Hasil Analisis Kinerja Formula Larutan Surfaktan SMES Korelasi Antara Minyak yang Dapat Diproduksi dengan Nilai Capillary Number 7 Peralatan Analisis Formula Larutan Surfaktan SMES 8 Sampel Formula Larutan Surfaktan SMES dan Batuan Karbonat
24 26 33 36 37 42 43 46
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak bumi dikategorikan sebagai energi fosil yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara sebagai sumber perolehan devisa dan sebagai sumber energi. Harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama Januari 2013 naik US$ 4,17 dibandingkan dengan Desember 2012. Pada Januari 2013, harga ICP mencapai US$ 111,07 per barel, naik 3,9 persen dari harga akhir tahun lalu sebesar US$ 106,90 per barel (Dirjen Minyak dan Gas Bumi, 2013). Salah satu penyebab dari kenaikan tersebut adalah karena dalam beberapa tahun terakhir, produksi minyak dunia konstan sementara permintaan akan minyak terus naik. Berdasarkan publikasi OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) pada bulan Juni 2013, diperkirakan terjadi peningkatan permintaan minyak mentah dunia tahun 2013 sebesar 0,8 juta barel per hari sehingga mencapai 90,2 juta barel per hari pada kuartal III-2013. Pada tahun 2010, Indonesia menempati posisi 18 dunia dalam hal konsumsi minyak bumi dengan pemakaian sebesar 1,3 juta barrel minyak per hari (CIA, 2012) dan pemakaian ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Bila kebutuhan minyak bumi dunia (Indonesia) yang terus meningkat tidak diimbangi dengan produksi yang mencukupi, maka akan mendatangkan krisis energi. Krisis energi tersebut akan mengganggu roda perekonomian dunia. Krisis energy (BBM) yang terjadi dapat diatasi dengan cara meningkatkan produktifitas minyak bumi. Peningkatan produktifitas tersebut dapat dilakukan dengan cara memperlancar aliran minyak pada sumur produksi. Cara ini dapat dilakukan karena penurunan produktifitas bisa disebabkan oleh adanya penyumbatan pada sumur produksi minyak. Penyumbatan ini bisa disebabkan oleh terbentuknya scale yang dapat menghambat aliran minyak pada sumur produksi. Perlakuan untuk mencegah, mengurangi atau mengatasi scale ini adalah dengan melakukan stimulasi sumur minyak (oil well stimulation). Oil well stimulation atau stimulasi sumur minyak bumi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi. Stimulasi merupakan penghilangan penyumbatan pada saluran dalam batuan reservoir agar minyak dan gas dapat mengalir. Salah satu metode stimulasi yang bisa digunakan adalah dengan injeksi bahan kimia untuk melarutkan scale yang terbentuk pada batuan atau pun pada dinding sumur produksi. Water well stimulation merupakan salah satu metode improved oil recovery (IOR) yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak dengan cara melarutkan scale yang terbentuk. Surfaktan yang digunakan sebagai bahan acid stimulation agent untuk menghilangkan scale harus mampu menurunkan tegangan antarmuka, mencegah pembentukan emulsi dan mampu memecah emulsi yang telah terbentuk sebelumnya, menjadikan batuan reservoir bersifat water wet dengan mempertimbangkan salinitas dan pH air yang terlibat, tidak mengganggu batuan formasi dan menjaga aktivitas permukaan pada kondisi reservoir. Surfaktan yang biasa digunakan dalam metode IOR adalah petroleum sulfonate yang merupakan turunan dari minyak bumi. Kelemahan surfaktan tersebut adalah sifatnya yang tidak terbarukan, tidak ramah lingkungan dan memiliki ketahanan yang buruk terhadap kondisi sadah, sedangkan kelebihannya
2 adalah mempunyai kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antarmuka, bahkan dilaporkan mencapai 0,1 NN/m atau 10-4 dyne/cm (Salager, 2002). Surfaktan lain yang dapat dipalikasikan pada proses IOR adalah surfaktan yang diperoleh dari olein minyak kelapa sawit yang disebut dengan metil ester sulfonat. Sifatnya yang terbarukan, dapat didegradasi oleh lingkungan (biodegradable), dan karakteristik deterjensi yang baik menjadi keunggulan surfaktan MES. Namun bila dibandingkan dengan petroleum sulfonate, MES memiliki kinerja yang lebih rendah dalam menurunkan tegangan antarmuka. Surfaktan MES merupakan surfaktan anionik yang dihasilkan melalui proses sulfonasi antara metil ester dari minyak nabati atau lemak hewani (Roberts, 2008). Beberapa faktor penting yang menentukan kualitas surfaktan MES yang dihasilkan diantaranya yaitu rasio mol reaktan, suhu reaksi, lama reaksi, konsentrasi gugus sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1997). Menurut MacArthur et.al. (2002), suhu dapat meningkatkan laju reaksi, namun peningkatan suhu yang terlalu tinggi menyebabkan MES yang terbentuk terhidrolisis dan meningkatkan pembentukan komponen disalt yang tidak diinginkan. Untuk mendapatkan formula yang dapat menghilangkan scale dan menghasilkan tegangan antarmuka sesuai untuk aplikasi IOR di lapangan karbonat bersalinitas dan bersuhu tinggi, maka penelitian ini melakukan formulasi larutan SMES yang diharapkan mampu menurunkan tegangan antarmuka dan mengubah sifat batuan formasi menjadi water-wet. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan formula acid stimulation agent yang mampu menurunkan interfacial tention (IFT) dan dapat mengubah wettability batuan karbonat atau limestone. 2. Mendapatkan informasi kinerja formula acid stimulation agent yang dihasilkan Ruang Lingkup Penelitian 1. Formulasi surfaktan SMES dari Olein sawit dengan aditif lainnya untuk fluida dari lapangan OK 2. Analisis formula surfaktan yang dihasilkan meliputi pH, viskositas, densitas, dan salinitas 3. Uji kinerja formula larutan surfaktan berbasis SMES untuk lapangan OK yang meliputi IFT, wettability, uji kelarutan batuan dan phase behaviour
3
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai dengan September 2013 di Laboratorium Surfaktan dan Polimer - Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant and Bioenergy Research Center LPPM-IPB), Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan sodium metil ester sulfonat yang terbuat dari minyak olein sawit dan fluida dari lapangan minyak, HCl, CH3COOH, aquades, dan bahan-bahan lain untuk analisa. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, peralatan gelas, pipet mohr, pipet serologis, gelas piala, gelas ukur, oven, pH meter, spinning drop tensiometer,densitymeter, viskosimeter, phase behavior apparatus, spektrofotometer, magnetic stirrer, hot plate, filter holder, kamera, erlenmeyer, ampul, sentrifuge, buret, labu takar, refraktometer, serta alat-alat lain yang dibutuhkan untuk analisis. Metode Pelaksanaan penelitian “Formulasi Surfaktan SMES sebagai Acid Stimulation Agent untuk Aplikasi di Lapangan Karbonat OK“ dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut. Analisis surfaktan SMES dari Olein sawit Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisiko-kimia surfaktan SMES dari Olein sawit dan fluida dari lapangan OK. Pengujian yang dilakukan terhadap surfaktan SMES adalah pengukuran pH (SBRC, 2012), pengukuran densitas dengan menggunakan density meter DMA 4500M, penentuan viskositas (SNI 064558-1998), dan bahan aktif surfaktan anionik (SBRC, 2012). Prosedur analisis surfaktan dapat dilihat pada Lampiran 1. 1.
2.
Analisis Sifat Fisik-kimia Fluida dari Lapangan OK Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik fluida dari lapangan OK. Fluida lapangan OK terdiri dari air injeksi/formasi dan minyak. Prosedur analisis fluida reservoir dapat dilihat pada Lampiran 2. a)
Analisis sifat fisik-kimia air injeksi/formasi Analisis untuk air injeksi/formasi terdiri dari pengukuran pH (SBRC, 2012), turbidity (SMEWW 21th (2005): 2120-Color.C), total suspended solid (SMEWW 21th (2005): 2540D), total dissolved solid (SMEWW 21th (2005): 2540C), conductivity (SMEWW 21th (2005): 2510B), hardness (SMEWW 21th (2005): 2340-Hardness.C), chloride (SMEWW 21th (2005): 4500-Cl.C), free chlorine (SMEWW 21th (2005): 4500-Cl.Chlorine.B), iron (SMEWW 21th (2005): 3111 B), dan calcium (SMEWW 21th (2005): 3111 B).
4 b)
Analisis minyak Analisis untuk minyak yang akan dilakukan terdiri dari pengukuran viskositas (SNI 06-4558-1998), pengukuran densitas menggunakan density meter DMA 4500M, warna, wujud, dan uji asphaltene (SBRC, 2013). Uji asphaltene dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan aspal pada minyak, dimana kandungan aspal mengindikasikan minyak tersebut bersifat polar. 3.
Data Reservoir Lapangan Minyak Tahapan ini dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data sekunder mengenai fluida dan kondisi reservoir lapangan OK. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran studi pustaka yang bersangkutan. 4.
Formulasi larutan surfaktan berbasis SMES Tahapan ini dilakukan untuk membuat formula surfaktan SMES terbaik untuk aplikasi IOR. Tahapan yang dilakukan untuk pembuatan formula tersebut adalah pemilihan konsentrasi optimal surfaktan SMES dengan variasi konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 % yang mampu menghasilkan nilai IFT terkecil, penambahan konsentrasi HCl dengan variasi konsentrasi 3, 5, 7 dan 9 % serta penambahan CH3COOH sebanyak 2%. Pemilihan konsentrasi HCl optimal ini didasarkan pada kemampuannya dalam membantu menurunkan nilai IFT dan mampu melarutkan endapan karbonat yang terbentuk yang dapat memperbesar pori-pori batuan reservoir. Parameter uji pada tahapan ini adalah pengukuran IFT menggunakan spinning drop tensiometer, pH (SBRC, 2012), densitas dengan menggunakan density meter DMA 4500M, dan salinitas menggunakan salinitymeter. Uji kinerja formula larutan surfaktan berbasis SMES Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh informasi kinerja formula larutan surfaktan berbasis SMES untuk aplikasi IOR di lapangan OK. Uji laboratorium pada tahapan ini adalah IFT menggunakan spinning drop tensiometer, thermal stability (SBRC LPPM-IPB, 2012), phase behavior dan wettability. Prosedur analisis uji kinerja formula yang akan dilakukan disajikan pada Lampiran 3.
5.
a)
Uji IFT Uji ini dilakukan untuk mengetahui kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak-air. Formula surfaktan yang mempunyai kinerja baik adalah formula yang mampu menurunkan tegangan antarmuka sebesar < 10 -2 dyne/cm.
b) Thermal Stability Test Uji ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan panas dari formula surfaktan yang telah dibuat. Pada uji ini surfaktan diharapkan mampu mempertahankan nilai IFT dengan kecenderungan stabil atau peningkatan nilai IFT yang sangat kecil. Uji thermal stability dilakukan selama waktu tertentu pada suhu reservoir yaitu 121oC.
5 c)
Phase Behavior Uji ini dilakukan untuk mengetahui jenis emulsi yang terjadi antara surfaktan dan fasa minyak, fasa yang diharapkan adalah fasa tengah (mikroemulsi) yang mengindikasikan rancangan fluida mudah terdispersi (teremulsifikasi). Kelarutan minyak terhadap fasa surfaktan juga menjadi indikasi kinerja surfaktan. Uji kelakuan fasa ini dilakukan pada suhu reservoir tempat dimana air formasi yang digunakan berasal yaitu 121oC. Pengamatan dilakukan secara periodik selama waktu tertentu. d)
Wettability Uji ini dilakukan untuk mengetahui sudut kontak antara cairan (minyak) atau formula surfaktan dengan batuan. Hasilnya akan memperlihatkan kinerja formula surfaktan dalam mengubah sifat batuan. Analisis sudut kontak ini dilakukan melalui dua perlakuan dan tiap perlakuannya dilakukan tiga tahap perendaman yang berbeda. e)
Uji Kelarutan Batuan Karbonat Uji kelarutan ini dilakukan untuk mengetahui kinerja formula acid stimulation agent dalam melarutkan batuan karbonat. Dalam hal ini diharapkan batuan karbonat tidak hancur atau rusak, akan tetapi melarutkan sebagian batuannya dengan tujuan memperbesar pori-pori batuan. Sehingga dengan bertambah besarnya pori-pori batuan, minyak yang terperangkap dalam poripori tersebut semakin mudah untuk dialirkan melalui sumur produksi.
6
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Surfaktan SMES Surfaktan merupakan bahan aktif permukaan.Surfaktan ini memiliki gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (hidrofobik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antarmuka udaraair, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Analisis surfaktan SMES yang dilakukan meliputi kadar bahan aktif, densitas, pH, dan viskositas. Hasil dari analisis tersebut disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Hasil analisis surfaktan SMES Parameter Kadar bahan aktif SMES (%) Densitas (g/cm3) Viskositas pada suhu 60 0C (cP) Nilai pH
Hasil 30,54 0,9403 1,92 7 ± 0,2
Kadar bahan aktif dapat menunjukkan jumlah surfaktan anionik yang terdapat pada SMES. Salah satu metode untuk pengukuran bahan aktif surfaktan adalah teknik titrasi menggunakan surfaktan kationik sebagai penitran, yang dikenal dengan teknik titrasi dua fasa (Schmitt 2001). Prinsip metode titrasi dua fasa didasarkan pada reaksi antagonis, yaitu surfaktan anionik akan bereaksi dengan surfaktan kationik yang memiliki muatan berlawanan untuk membentuk garam (pasangan ion) yang tidak larut air (Matesic-Puac et al., 2004). Garam yang terbentuk diekstrak oleh lapisan kloroform sehingga membentuk warna biru tua pada lapisan kloroform. Campuran kemudian dititrasi menggunakan surfaktan kationik N-cetyl pyridinium chloride. Selama titrasi warna biru akan bergerak menuju lapisan cairan (larutan surfaktan dalam akuades) secara perlahan. Perpindahan warna terjadi secara cepat pada akhir titrasi. Akhir titrasi dicapai ketika warna kedua lapisan memiliki intensitas yang hampir sama. Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada suhu 25°C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Pengaruh suhu terhadap densitas suatu zat cair tidak dapat diabaikan karena cairan akan meregang mengikuti peningkatan suhu yang terjadi. Sementara viskositas suatu cairan merupakan sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran molekul dan gaya antarmolekul. Densitas umumnya dikaitkan dengan viskositas dimana cairan yang lebih padat akan mempunyai viskositas yang lebih tinggi. Untuk analisis viskositas, suhu yang digunakan adalah 60 0C. Hal ini dilakukan karena SMES pada suhu ruang wujudnya padat. Sehingga pengukuran viskositas pada suhu ruang tidak bisa dilakukan.
7 Nilai pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu bahan. Nilai pH didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (H+) yang terdapat dalam larutan (Fessenden, 1995). Hasil analisis pH SMES dengan pH Meter Schoot pada suhu 39 °C adalah 7. Teknologi Improved Oil Recovery (IOR) Improved Oil Recovery merupakan metode peningkatan perolehan minyak bumi. Menurut Taber (1997), proses produksi minyak bumi dapat dikelompokkan menjadi 3 fase, yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada fase primer diterapkan proses alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir dan proses stimulasi menggunakan metode asam (acidizing), metode fracturing dan metode sumur horizontal (horizontal wells). Pada fase sekunder diterapkan proses immiscible gas flood dan waterflood. Fase primer dan sekunder ini merupakan metode peningkatan perolehan minyak yang disebut IOR. Skema dari metode stimulation disajikan pada Gambar 1.
Stimulation
Water Based Stimulation
Acidizing Stimulation
Fracturing
Oil Based Stimulation
Oil Well Cleaning
Gambar 1. Skema metode stimulation dalam IOR Analisis Fluida Lapangan OK Air formasi adalah air yang terkumpul bersama minyak dan gas di dalam lapisan reservoir, terletak pada kedalaman lebih dari 1000 m dan terletak di bawah zona minyak. Air formasi itu sendiri merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi ke permukaan yang bersifat asin dengan salinitas rata-rata di atas air laut. Di dalam air formasi mengandung beberapa unsur yang dapat ditemukan dalam jumlah besar yaitu Ca2+ (kalsium), Na+ (natrium), dan Cl- (Chlor). Sedangkan yang disebut dengan air injeksi adalah air formasi yang telah diolah untuk diinjeksikan kembali ke dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi untuk meningkatkan perolehan minyak pada fase sekunder (water flooding). Air injeksi yang digunakan dapat berasal dari air laut, air sungai, danau, air suling, sumur resapan ataupun dari air formasi itu sendiri yang sebelumnya dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu. Air formasi pada umumnya mengandung berbagai kation dan anion.Kandungan kation yang terdapat dalam air formasi adalah natrium (Na+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+), barium (Br2+), dan besi (Fe2+). Sedangkan untuk kandungan anion pada umumnya adalah klorida (Cl-), sulfat (SO42-), karbonat (CO32-), dan bikarbonat
8 (HCO3-). Hasil analisis air injeksi Lapangan OK disajikan pada Tabel 2 dan hasil analisis air formasi Lapangan OK disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Hasil analisis air injeksi Lapangan OK Parameter Hasil Satuan pH 8,0 Densitas 0,9927 g/cm3 Turbidity 3,68 Pt Co TSS TDS Conductifity Salinitas Hardness, CaCO3
28 19990 21,95 22,6 860,69
mg/L mg/L mΩ/cm ppt mg/L
19005,03
mg/L
Ammonia, NH3-
24,11
mg/L
Sulphate, SO42Free Clorin, Cl2
108,01 <0,01
mg/L mg/L
0,09
mg/L
19
mg/L
11,53 77,99 20,88 0,75 5842,38 36,73 207,32
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Chloride, Cl-
Phenol Oil & Grease BOD5 COD Barium, Ba2+ Iron, Fe2+ Sodium, Na+ Magnesium, Mg2+ Calcium, Ca2+
Metode Analisis SBRC (2012) SBRC (2012) SMEWW 21th (2005); 2120Color.C SMEWW 21th (2005); 2540 D SMEWW 21th (2005); 2540 C SMEWW 21th (2005); 2510 B Salinometry SMEWW 21th (2005); 2340Hardness. C SMEWW 21th (2005); 4500-Cl.C. SMEWW 21th (2005); 4500NH3.F SMEWW 21th (2005); 4500-SO42SMEWW 21th (2005); 4500Cl.Chlorine.B SMEWW 21th (2005); 5530Phenol.B.D SMEWW 21th (2005); 5520O&G.B SMEWW 21th (2005); 5210 B SMEWW 21th (2005); 5220 C SMEWW 21th (2005); 3111 B SMEWW 21th (2005); 3111 B SMEWW 21th (2005); 3111 B SMEWW 21th (2005); 3111 B SMEWW 21th (2005); 3111 B
Tabel 3. Hasil analisis air formasi Lapangan OK Parameter Hasil Satuan Metode Analisis pH 7,2 SBRC (2012) 3 Densitas 0,9922 g/cm SBRC (2012) Turbidity 5,95 Pt Co SMEWW 21th (2005); 2120Color.C TSS 48 mg/L SMEWW 21th (2005); 2540 D TDS 21190 mg/L SMEWW 21th (2005); 2540 C Conductifity 24,95 mΩ/cm SMEWW 21th (2005); 2510 B Salinitas 23,0 ppt Salinometry Hardness, CaCO3 832,67 mg/L SMEWW 21th (2005); 2340Hardness. C Chloride, Cl 19421,46 mg/L SMEWW 21th (2005); 4500-Cl-.C. Ammonia, NH325,80 mg/L SMEWW 21th (2005); 4500-NH3.F
9 Tabel 3. Hasil analisis air formasi Lapangan OK (lanjutan…)
Sulphate, SO42Free Clorin, Cl2
72,79 <0,01
mg/L mg/L
Phenol
0,10
mg/L
Oil & Grease
59,0
mg/L
20,83 155,98 150,13 1,31 2828,57 39,08 171,16
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
BOD5 COD Barium, Ba2+ Iron, Fe2+ Sodium, Na+ Magnesium, Mg2+ Calcium, Ca2+
SMEWW 21th (2005); 4500-SO42SMEWW 21th (2005); 4500Cl.Chlorine.B SMEWW 21th (2005); 5530Phenol.B.D SMEWW 21th (2005); 5520O&G.B SMEWW 21th (2005); 5210 B SMEWW 21th (2005); 5220 C SMEWW 21th (2005); 3111 B SMEWW 21th (2005); 3111 B SMEWW 21th (2005); 3111 B SMEWW 21th (2005); 3111 B SMEWW 21th (2005); 3111 B
Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa kandungan ion paling banyak adalah ion Natrium (Na+) dan ion klorida (Cl-). Kedua ion ini dapat bereaksi membentuk suatu garam yang disebut garam NaCl, sehingga kadar garam untuk air injeksi dan formasi lapangan OK cukup tinggi. Kandungan hardness juga menunjukan nilai yang cukup tinggi. Hal ini menunjukan bahwa padatan tersuspensi (scale) yang mungkin terbentuk cukup besar. Ion kalsium (Ca2+) yang terkandung dalam air injeksi dan formasi lapangan OK terhitung cukup besar juga. Ion kalsium tersebut dapat bereaksi dengan ion karbonat membentuk scale atau padatan yang tersuspensi (Hardness, CaCO3). Ion magnesium pada umumnya terkonsentrasi dengan volume yang lebih kecil dibandingkan ion kalsium serta dapat membentuk scale setelah bereaksi dengan ion karbonat atau ion sulfat. Meski demikian tingkat pengrusakan yang disebabkan MgCO3 tidak separah dibandingkan dengan CaCO3. Kadar besi secara alamiah yang terdapat pada air formasi mempunyai konsentrasi yang kecil. Keberadaan besi menunjukkan kecenderungan sifat korosif. Adanya komponen besi yang dapat mengendap dapat menyebabkan penyumbatan di dalam pipa alir. Ion barium ini bereaksi dengan ion sulfat sehingga akan membentuk BaSO4 yang tidak dapat larut dalam air. Walaupun dalam jumlah yang tidak cukup banyak, tetapi endapan ini dapat menimbulkan permasalahan. Pembentukan endapan barium sulfat (BaSO4) ini dapat menyumbat aliran minyak pada batuan reservoir dan sulit untuk dibersihkan. Selain dari air injeksi dan air formasi, fluda yang terkandung dalam reservoir adalah minyak mentah. Dari hasil analisis minyak mentah lapangan OK menunjukkan bahwa minyak OK secara visual berwujud cair dan berwarna hitam pekat. Kandungan asphaltene dalam minyak OK terhitung sebesar 6 % atau sekitar 0.06 gram per gram sampel minyak. Kandungan asphaltene ini mengindikasikan jumlah aspal yang terdapat dalam minyak. Semakin tinggi kandungan asphaltene dalam minyak maka semakin polar sifat minyak tersebut. Hasil dari analisis minyak OK disajikan pada Tabel 4 berikut.
10 Tabel 4. Hasil analisis minyak OK Parameter Wujud (pada suhu ruang) Warna Kandungan Asphaltene (g/g sampel) Densitas (g/cm3) 0 API Gravity 15 0C API Specific Grafity Viskositas (cP)
Hasil Cair Hitam Pekat 0.0681 0,8662 24,89 0.9048 1,40
Kondisi Reservoir Lapangan OK Berdasarkan hasil uji dan survey yang dilakukan oleh tim plan of further development pertamina EP dan bpmigas lapangan OK, batuan reservoir lapangan OK termasuk ke dalam jenis batuan gamping yaitu batuan limestones. Sedangkan untuk jenis fluida reservoir struktur OK adalah Black Oil dalam wujud cair. Suhu reservoir lapangan OK pada target obyektif adalah mencapai 1210C dengan viskositas yang berada pada kisaran 1-2 cP. Salinitas air formasi di lapangan OK berkisar antara 15.000 - 24000 ppm. Salinitas yang sangat tinggi ini mendukung kinerja surfaktan SMES yang akan digunakan. Hal ini karena melihat kelebihan dari surfaktan SMES yang kinerjanya tahan dan semakin baik pada tingkat salinitas yang tinggi. Pengembangan Lapangan OK dilaksanakan dengan pemboran menggunakan sistem cluster, sehingga sumur pengembangan biasanya dilakukan secara directional juga dilakukan secara vertikal hal ini sangat tergantung dari kondisi lokasi dimana hampir 40%-nya merupakan daerah rawa. Pemboran ditujukan untuk menembus lapisan target obyektif. Formulasi Larutan Surfaktan Berbasis SMES untuk Aplikasi IOR Tegangan antarmuka antara minyak-air merupakan salah satu parameter penting dalam pelaksanaan IOR. Tegangan antar muka harus dikontrol sebelum sludge emulsi digunakan dalam proses IOR. Hal ini dikarenakan sludge emulsi dapat menyebabkan kerusakan formasi lebih lanjut yaitu tersumbatnya pori-pori reservoir oleh emulsi yang terbentuk. Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada proses Improved Oil Recovery (IOR) dalam bidang pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan hidrokarbon. Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi minyak yang terikat dengan batuan (emulsion block), mengurangi terjadinya water blocking dan mengubah sifat kebasahan (wattability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi batuan yang bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan demikian water cut dapat dikurangi. Surfaktan diharapkan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan air sehingga tekanan kapiler minyak dan batuan berkurang. Tekanan kapiler yang rendah diperlukan untuk me-recovery sebagian besar sisa minyak yang masih tersimpan dalam batuan setelah proses waterflooding dilakukan. Dengan turunnya tegangan antarmuka tersebut, minyak akan terkonsentrasi pada
11 permukaan batuan. Pada akhirnya, surfaktan dapat mengikat minyak dan minyak dapat diproduksi. Pengaruh dari IFT dalam recovery minyak digambarkan oleh kurva capillary desaturation, dimana saturasi residual oil berkorelasi dengan fungsi capillary number. Capillary number (Nc) adalah rasio viskositas dan gaya kapiler. Penghitungan dan gambar korelasi antara minyak yang dapat diproduksi dengan nilai capillary number disajikan pada Lampiran 6. Analisis Formula Larutan SMES + Air Injeksi OK Proses stimulasi surfaktan dilakukan dengan menginjeksikan surfaktan sebagai bahan dasar ke dalam sumur produksi minyak untuk merubah wettability batuan menjadi water-wet, menurunkan tegangan antarmuka, menurunkan gaya kapiler, dan mengurangi terjadinya water cut. Stimulasi surfaktan umumnya terjadi secara optimal pada suhu dibawah 200 0F (94 0C), walaupun demikian injeksi surfaktan dapat juga diaplikasikan pada suhu lebih tinggi dari suhu tersebut sesuai dengan kedalaman sumur. Menurut Milikan 1980, bahwa setiap penambahan kedalaman sumur sebesar 1 ft, maka suhu reservoir sumur minyak bumi akan meningkat sebesar 5 0F. Grafik hubungan antara konsentrasi surfaktan SMES dengan nilai IFT, densitas, serta pH dan salinitas secara berturut turut disajikan pada Gambar 2, 3, dan 4.
Optimal
Gambar 2. Hasil analisis tegangan antarmuka formula larutan surfaktan Nilai IFT yang dihasilkan oleh surfaktan semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi SMES yang ditambahkan. Akan tetapi pada konsentrasi SMES 7 % sampai 10 %, nilai IFT kembali meningkat. Nilai IFT terendah berada pada konsentrasi 6%. Sehingga dari grafik hubungan antara konsentrasi SMES dengan nilai IFT dapat disimpulkan bahwa konsentrasi SMES optimal untuk aplikasi acid stimulation agent di lapangan karbonat OK adalah sebesar 6 %. Densitas merupakan berat jenis suatu cairan atau larutan. Berat jenis ini ditentukan dengan jumlah komponen cairan yang berbeda yang terkandung di dalamnya. Hal ini karena setiap cairan atau larutan mempunyai berat jenis masing-masing. Terlihat dari hasil analisis mengenai densitas larutan surfaktan dengan persentase surfaktan yang berbeda, yaitu penambahan konsentrasi surfaktan dapat merubah nilai densitas yang dihasilkan. Analisis densitas larutan surfaktan disajikan pada Gambar 3 berikut.
12
Gambar 3. Hasil analisis densitas formula larutan surfaktan Nilai densitas larutan yang dihasilkan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi surfaktan yang ditambahkan, semakin besar pula densitas larutan yang dihasilkan. Akan tetapi berbeda pada konsentrasi 9 dan 10%, densitas larutan yang dihasilkan nilainya menurun. Hal ini diduga pada konsentrasi surfaktan 9 dan 10% dalam larutan tidak tercampur merata yang disebabkan oleh pengadukan yang tidak sempurna. Sementara itu nilai pH larutan surfaktan cenderung menurun dengan adanya peningkatan konsentrasi surfaktan SMES. Hasil analisis pH dan salinitas formula larutan surfaktan disajikan pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4. Hasil analisis pH dan salinitas formula larutan surfaktan Nilai salinitas formula larutan SMES menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi surfaktan SMES semakin tinggi pula nilai salinitasnya. Hal ini diduga karena adanya ion sodium (Na+) dalam surfaktan SMES yang dapat berikatan dengan ion klorida (Cl-) yang terkandung dalam pelarut (air injeksi) membentuk garam NaCl. Akan tetapi pada konsentrasi 7 % salinitas larutan sedikit menurun dan pada konsentrasi 8-10 % kembali meningkat. Hal ini diduga karena adanya ikatan lain yang tidak diketahui dengan komponen-komponen yang terkandung
13 dalam pelarut (air injeksi) yang dapat menyebabkan penurunan nilai salinitas larutan. Penambahan Asam Klorida (HCl) dan Asam Asetat (CH3COOH) Asam HCl merupakan jenis asam kuat yang umum digunakan pada proses stimulasi asam. Jenis asam ini pada umumnya digunakan pada stimulasi asam batuan formasi karbonat limestone, namun dapat juga digunakan pada stimulasi asam formasi batuan sandstone. Pada stimulasi formasi batuan sandstone, asam HCl digunakan dalam kombinasi dengan asam HF. Disamping kombinasi HCl-HF, kombinasi dengan asam organik juga bisa diaplikasikan tergantung kebutuhannya (Allen and Robert, 1993). Penambahan asam organik dilakukan apabila penggunaan asam kuat HCl atau HF dianggap sangat reaktif yaitu dapat melarutkan mineral limestone dengan jumlah yang besar. Sehingga dengan penambahan asam organik dapat menurunkan sifat reaktif dari HCl dan HF. Hal ini dilakukan karena yang diharapkan pada proses acid stimulation agent adalah memperbesar pori-pori batuan dan bukan memusnahkan batuan. Hasil pengujian dari nilai densitas dan IFT terhadap penambahan HCl dan CH3COOH secara berturut-turut disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6 berikut.
Gambar 5. Hasil analisis densitas formula larutan surfaktan SMES + asam
Gambar 6. Hasil analisis IFT formula larutan surfaktan SMES + asam
14 Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi HCl yang ditambahkan, semakin tinggi nilai densitasnya. Peningkatan nilai densitas seiring peningkatan konsentrasi HCl yang ditambahkan ini terjadi karena adanya densitas dari HCl itu sendiri, sehingga semakin banyak HCl yang ditambahkan dalam larutan akan meningkatkan densitas larutan. Hasil analisis tegangan antarmuka menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan HCl pada larutan surfaktan dapat memperbesar nilai IFT. Hal ini terlihat dari perbandingan nilai IFT pada awal formulasi dalam menentukan konsentrasi optimal surfaktan SMES. Pada Gambar 2 terlihat nilai IFT terkecil yang menunjukkan konsentrasi optimal surfaktan SMES adalah 4,21x10-3 dyne/cm yaitu pada konsentrasi SMES 6%. Kemudian terlihat pada Gambar 6, pada konsentrasi SMES 6%, nilai IFT cenderung naik dengan adanya penambahan HCl. Analisis selanjutnya adalah dengan menambahkan asam asetat (CH3COOH) pada setiap tingkat penambahan HCl. Asam asetat yang ditambahkan adalah sebesar 2%. Penambahan CH3COOH ini digunakan sebagai penurun tingkat reaktifitas atau penghambat reaksi asam HCl dalam melarutkan batuan karbonat. Terlihat dari hasil analisis nilai IFT pada Gambar 6, penambahan CH3COOH tidak berpengaruh besar. Nilai IFT yang dihasilkan masih berada pada angka 10-2 dyne/cm. Sehingga penambahan CH3COOH sebesar 2% bisa digunakan dalam metode acid stimulation agent sebagai penghambat kereaktifan HCl pada suhu tinggi. Akan tetapi jika dilihat pada Gambar 6 di atas, nilai IFT terkecil berada pada konsentrasi SMES 6% + HCl 7% + CH3COOH 2% yaitu pada nilai 3,94x10-2 dyne/cm. Untuk melihat apakah ada perubahan dan perbedaan kinerja dari semua hasil formulasi pada Gambar 6 dengan penambahan CH3COOH 2%, maka semua formula tersebut dilakukan pengujian ketahanannya terhadap suhu reservoir OK yaitu pada suhu 1210C. Uji Kinerja Formula Larutan Surfaktan untuk Aplikasi Acid Stimulation di Lapangan OK Sebelum diaplikasikan langsung dilapangan, formula yang didapat harus diuji terlebih dahulu ketahanannya terhadap suhu, kemampuan mengubah wettability batuan reservoir, serta kemampuannya dalam melarutkan batuan karbonat untuk memperbesar pori-pori batuan dan menghilangkan scale yang terbentuk. Formula yang diharapkan adalah yang mampu mempertahankan nilai IFT pada suhu reservoir, mengubah sifat batuan dari oil-wet menjadi water-wet, serta mampu membersihkan sumur minyak dan pori-pori batuan dari scale yang terbentuk. Formula yang dihasilkan juga diharapkan bukan jadi merusak formasi, akan tetapi mampu memperbesar pori-pori batuan dengan proses pelarutan dengan asam. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam proses produksi minyaknya. Thermal Stability Untuk mengetahui apakah kinerja formula larutan surfaktan masih bisa bekerja dengan optimal atau tidak, maka dilakukan uji ketahanan formula terhadap suhu reservoir (stabilitas termal pada suhu 1210C). Larutan surfaktan yang diharapkan adalah yang mampu mempertahankan nilai tegangan antarmuka (IFT) pada hari ke nol atau minimal masih berada pada angka 10-2 dyne/cm.
15 Analisis yang dilakukan pada uji stabilitas termal adalah densitas dan tegangan antarmuka. Hasil analisis densitas dan tegangan antarmuka secara berturut-turut disajikan pada Gambar 7 dan Gambar 8 berikut.
Keterangan : A = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 3% + CH3COOH 2% B = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 5% + CH3COOH 2% C = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 7% + CH3COOH 2% D = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 9% + CH3COOH 2%
Gambar 7. Hasil analisis densitas formula larutan surfaktan (Thermal Stability)
Keterangan : A = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 3% + CH3COOH 2% B = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 5% + CH3COOH 2% C = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 7% + CH3COOH 2% D = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 9% + CH3COOH 2%
Gambar 8. Hasil analisis IFT formula larutan surfaktan (Thermal Stability) Hasil analisis densitas di atas menunjukkan bahwa nilai densitas larutan surfaktan semakin meningkat seiiring dengan semakin lamanya waktu termal. Peningkatan densitas ini diduga karena terjadinya penurunan volume larutan dengan massa yang konstan pada suhu yang tinggi. Hasil analisis IFT pada stabilitas termal juga menunjukkan hal yang sama dengan hasil densitas larutan. Nilai IFT larutan surfaktan semakin meningkat
16 seiring dengan bertambahnya waktu termal. Semua formula yang diujikan kestabilannya terhadap termal masih mampu mempertahankan nilai tegangan antarmukanya sampai hari ke tiga. Peningkatan nilai tegangan antarmuka yang terjadi terhitung masih kecil karena masih berada pada 10-2 dyne/cm (kondisi awal /hari ke nol) terkecuali pada formula dengan penambahan HCl 9%. Pada formula dengan konsentrasi HCl 9% tersebut, mulai hari ke nol nilai tegangan antarmuka yang didapat adalah 10-1 dyne/cm dan peningkatan yang terjadi selama proses termal juga masih berada pada angka 10-1 dyne/cm (kondisi hari ke nol). Wettability Wettability merupakan sifat kebasahan permukaan suatu batuan. Batuan yang bersifat water-wet cenderung lebih mudah dibasahi oleh air dari pada minyak. Begitu juga sebaliknya batuan yang bersifat oil-wet cenderung lebih mudah dibasahi oleh minyak dari pada air (Wahyono, 2011). Kemampuan pembasahan dan reaktifitas akan menentukan kualitas ikatan antara dua material. Kemampuan pembasahan ini diukur dari sudut kontak antara cairan dan padatan/batuan seperti yang disajikan pada Lampiran 5. Histogram dari hasil analisis sudut kontak dari beberapa formula larutan surfaktan yang dibuat disajikan pada Gambar 9 dan Gambar 10 berikut.
Keterangan : Tahap 1 = Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam Tahap 2 = Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam minyak OK selama 6 jam Tahap 3 = Batuan yang sama (batuan tahap kedua) dicuci dengan air formasi dan kemudian direndam dalam larutan air injeksi + HCl + CH3COOH 2% selama 6 jam Tahap 4 = Batuan yang sama (batuan tahap ketiga) direndam dalam larutan formula surfaktan SMES 6% + HCl + CH3COOH 2% Tahap 5 = Batuan yang sama (batuan tahap keempat) direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam *) Semua perendaman dilakukan dalam oven bersuhu reservoir (1210C)
Gambar 9. Hasil analisis sudut kontak minyak-batuan dengan perlakuan pertama Analisis sudut kontak ini dilakukan dengan penyesuaian kondisi sebenarnya di dalam reservoir. Kondisi reservoir awal adalah terendamnya batuan oleh air formasi dan minyak. Hasil analisis pada perlakuan pertama menunjukkan bahwa
17 sudut kontak antara minyak dan batuan semakin besar setelah adanya perlakuan perendaman dengan larutan formula. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kinerja surfaktan dalam mengubah sifat batuan menjadi lebih water-wet. Akan tetapi perubahan sudut kontak yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sudut kontak setelah perendaman dengan larutan formula masih di bawah angka 900. Sehingga batuan yang diuji tersebut dapat dikatakkan masih bersifat oil-wet. Hasil ini diperoleh diduga karena waktu yang dibutuhkan untuk proses stimulasi umumnya berlangsung selama 6-8 jam, dan dalam waktu singkat tersebut proses untuk pengubahan sifat batuan oleh surfaktan tidak cukup karena secara umum pengubahan sifat batuan berlangsung selama 3 bulan. Akan tetapi dengan adanya peningkatan nilai sudut kontak, minyak akan lebih mudah untuk diproduksikan.
Keterangan : Tahap 1 = Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam Tahap 2 = Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam formula larutan surfaktan SMES 6% + HCl + CH3COOH 2% selama 6 jam Tahap 3 = Batuan yang sama (batuan tahap kedua) direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam *) Semua perendaman dilakukan dalam oven bersuhu reservoir (1210C)
Gambar 10. Hasil analisis sudut kontak minyak-batuan dengan perlakuan kedua Hasil analisis dari perlakuan kedua juga menunjukkan adanya peningkatan nilai sudut kontak setelah dilakukan perendaman dengan larutan formula. Akan tetapi berbeda dengan hasil pada perlakuan pertama, pada tahap ketiga di perlakuan kedua, nilai sudut kontak kembali mengalami penurunan. Tapi nilai sudut kontaknya masih lebih besar dari kondisi awal yaitu kondisi setelah perendaman dengan air formasi. Hal ini diduga karena kondisi batuan yang dibuat tanpa adanya minyak bumi yang dapat bereaksi dengan surfaktan yang ditambahkan. Gambar perubahan sudut kontak minyak-batuan disajikan pada Lampiran 5. Kelarutan Batuan Pada pengasaman batuan karbonat, asam HCl dan asam asetat (CH3COOH) akan melarutkan mineral limestone dan dolomite membentuk garam yang soluble. Konsentrasi asam HCl yang umum digunakan dalam proses acid stimulation agent adalah berkisar pada 5-15 % (Allen and Robert, 1993). Hasil dari analisis kelarutan batuan disajikan pada Gambar 11 berikut.
18
Keterangan : A = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 3% + CH3COOH 2% B = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 5% + CH3COOH 2% C = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 7% + CH3COOH 2% D = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 9% + CH3COOH 2%
Gambar 11. Hasil analisis kelarutan batuan Hasil dari analisis kelarutan batuan menunjukkan bahwa kelarutan batuan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi HCl yang ditambahkan. Analisis ini dilakukan dengan cara merendam sebanyak 2 ± 0,5 gram potongan batuan reservoir dalam 10 ml larutan surfaktan. Pada konsentrasi HCl 5, 7, dan 9 % menunjukkan kelarutan yang cukup besar yaitu berada pada kisaran 30-40 %. Berbeda halnya pada konsentrasi HCl 3 %, batuan yang terlarut cenderung kecil, yaitu sebesar 18 %. Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam metode IOR adalah emulsi fasa tengah atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Tim lemigas, 2002). Pada kondisi tersebut nilai tegangan antarmuka (IFT) yang dihasilkan adalah yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi pun dapat berjalan secara efektif. Terbentuknya mikroemulsi fasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi fasa bawah maupun fasa atas. Namun demikian, untuk tercapainya kondisi mikroemulsi ini diperlukan beberapa persyaratan diantaranya adalah faktor konsentrasi surfaktan yang digunakan. Kelarutan fasa minyak dalam air atau sebaliknya fasa air dalam minyak dapat diketahui melalui penghitungan dari ketinggian fasa air dan minyak tang terbentuk pada saat dilakukan pengujian kelakuan fasa. Penghitungan kelarutan dari ke tiga tipe fasa tersebut disajikan pada Lampiran 5. Hasil analisis kelakuan fasa dari semua formula yang dibuat disajikan pada Gambar 12 berikut.
19
Jam ke 0
A
B
Jam ke 3
C
D
A
Jam ke 6
A
B
B
C
D
Jam ke 9
C
D
A
B
C
D
Keterangan : A = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 3% + CH3COOH 2% B = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 5% + CH3COOH 2% C = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 7% + CH3COOH 2% D = Air Injeksi + SMES 6% + HCl 9% + CH3COOH 2%
Gambar 12. Hasil analisis kelakuan fasa formula larutan surfaktan SMES Dari hasil pengamatan visual di atas, dapat dilihat bahwa mikroemulsi terbentuk pada fasa bawah yang ditandai dengan berlebihnya larutan surfaktan pada campuran minyak dan surfaktan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis mikroemulsi yang terbentuk adalah basa bawah atau tipe II (-). Perbandingan antara larutan surfaktan dan minyak yang ditambahkan adalah 70% larutan surfaktan dan 30% minyak. Volume larutan yang ditambahkan adalah 1,4 ml, sedangkan volume minyak yang ditambahkan adalah 0,6 ml. Terlihat setelah jam ke 3 dan ke 6 dimana telah terjadi excess water yang ditandai dengan penambahan volume larutan surfaktan. Pada uji ini juga dilihat rasio kelarutan minyak dan air terhadap lama pemanasan. Kelarutan minyak ditentukan oleh volume minyak dari volume surfaktan dalam mikroemulsi. Selama 9 jam pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kelakuan fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah hanya terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa minyak. Oleh karena itu,
20 dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Hasil dari perhitungan kelarutan disajikan pada Gambar 13 berikut.
Gambar 13. Grafik kelarutan minyak-surfaktan dalam phase behavior Berdasarkan Gambar 13 di atas diketahui bahwa kelarutan minyak (Po) meningkat. Meningkatnya kelarutan tersebut mengindikasikan bahwa mikroemulsi telah terbentuk dengan waktu 6 jam. Kelarutan minyak tersebut menunjukkan kinerja larutan surfaktan yang baik karena mampu membentuk mikroemulsi.
21
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil analisis yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa formula larutan yang dapat diaplikasikan sebagai acid stimulation agent dilapangan karbonat OK adalah dengan proporsi SMES 6% dengan penambahan HCl 7% serta CH3COOH sebanyak 2%. Kinerja dari larutan formula yang dapat diaplikasikan tersebut adalah bahwa larutan formula tersebut dapat menurunkan nilai tegangan antarmuka dan dapat mempertahankannya pada kondisi reservoir sampai sekitar tiga hari pada angka 10-2 dyne/cm dan telah sesuai dengan spesifikasi tegangan antarmuka yang diperlukan untuk proses acid stimulation. Begitu juga dengan nilai sudut kontak yang diperoleh, larutan formula yang dibuat mampu meningkatkan sudut kontak batuan dengan minyak meskipun sudut kontak yang dihasilkan setelah perendaman larutan formula masih berada di bawah angka 900. Hasil analisis kelarutan batuan karbonat juga menunjukkan kelarutan yang cukup besar pada proporsi tersebut yaitu sebesar 36% batuan yang larut. Saran Diharapkan untuk penelitian selanjutnya mengenai acid stimulation agent, batuan reservoir yang digunakan adalah benar-benar batuan karbonat yang berasal dari lapangan OK. Karena hasil dari penelitian ini, batuan yang digunakan adalah batuan dari lapangan minyak yang lain yang juga merupakan batuan karbonat. Hal ini dimaksudkan supaya hasil pengujian yang dilakukan dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya untuk lapangan OK.
22
DAFTAR PUSTAKA Allen TO dan Roberts AP. 1984.Production Operation 2 : Well Completions, Workover and Stimulation. Oil & Gas Consultants International (OGCI) Inc., Tulsa, Oklohoma, USA. Allen, T.O. dan A.P. Roberts. 1993. Production Operations 2 : Well Completions, Workover, and Stimulation. Oil & Gas Consultants Inter-national (OGCI), Inc., Tulsa, Oklahoma, USA. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Washington: AOAC. BP MIGAS. 2009. SpesifikasiTeknis Surfaktan untuk Aplikasi EOR. Jakarta: BP MIGAS. Dunning H N. 1999.“Foaminbg Agents for Removal of Liquids Foams Gas Wells”. Foster N.C. 1997. Sulfonation and Sulfation Processes.The Chemithon Corporation.http://www.chemithon.com/papers_brochures/Sulfo_and_Sulfa. doc.pdf [24 Mei 2013] Harper TR dan Buller DC. 1986. Formation Damage and Remedial Stimulation. Clay Minerals 21: 735-751. The Mineralogical Society. Hasenhuetti GH. 2000. Design and Application of Fat-Based Surfactans.Didalam: O’Brien Rd, editor. Introduction to Fats and OilsTechnology.Illinois: AOCS Press, Champaign. Lemigas.2008. Prosedur Analisis Surfaktan dan Polimer untuk EOR. Jakarta: Lemigas. Mac Arthur, W Brian, WB Sheats. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. WWW.The Chemithon Corporation. [terhubung berkala]. [24 Mei 2013] Matesic-Puac R, Sak-Bosnarb M, Bilica M dan Grabaricc BS.2004. Potensiometric Determination of Anionic Surfactants using a New Ion- PairBased All-Solid-State Surfactant Sensitive Electrode. Elsevier B.V. Roberts DW. 2008. Chemistry of Methyl Ester Sulfonates. Biorenewable Resources 5: 2-19. Salager J.L. 2002. Surfactants Types and Uses.Version 2. FIRP Booklet # E300A: Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English. Universidad De Los Andes, Mérida-Venezuela. http://www.firp.ula.ve/cuadernos/E300A.pdf [20 April 2013. Schmitt TM. 2001. Analysis of Surfactant. Edisi ke-2. New York: Marcel Dekker, Inc. Shaw D.J. 1980. Introduction to Colloid and Surface Chemistry.Butterworths, Oxford, England. Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC-LPPM IPB).2012. Prosedur Operasi Baku Pengujian. Bogor: SBRC-LPPM IPB.
23 Taber J.J., F.D. Martin, dan R.S. Seright. 1997. EOR Screening Criteria Revisited. Society of Petroleum Engineers. Tulsa, Oklahoma. USA. Tim Lemigas. 2002. Studi Awal Implementasi Injeksi Kimia di Formasi Talang akar, Struktur Talang Akar Pendopo Lapangan Prabumulih: Penentuan Parameter Batuan, Fluida reservoir dan rancangan Fluida Injeksi. Lemigas. Wahyono Kuswo. 2011. Reservoir Engineering. Direktorat Hulu Pertamina. http://www.agussuwasono.com/artikel/oil-knowledge/419-reservoirengineering.html
24 Lampiran 1. Prosedur Analisis Surfaktan Sodium Metil Ester Sulfonat (SMES) 1. Penentuan Bahan Aktif Surfaktan Anionik Melalui Titrasi Kationik (SBRC, 2012) Surfaktan yang akan diuji ditimbang dengan tiga bobot yang berbeda (berderet 1, 2, dan 3 gram) dengan menggunakan neraca analitik dalam gelas ukur asah 25 ml. Sebanyak 5 ml chloroform, 1 ml indicator bromocresol green, dan 6 ml buffer phosfat ditambahkan lalu dikocok pelan sampai warna bagian atas terlihat berwarna biru, sedangkan bagian bawah tidak berwarna. Larutan kemudian dititrasi dengan hyamine 0,001 M. Titrasi dilakukan sampai warna biru larutan bagian atas berpindah ke bagian bawah dan bagian atas menjadi tidak berwarna. Setiap penambahan hyamine, kocok sampel dengan kuat. Volume titrasi dicatat sebagai volume kationik. Dibuat grafik hubungan antara volume titran (sumbu Y) dengan bobot sampel (sumbu X), kemudian dilihat slope dari garis linier yang terbentuk dan hitung kadar bahan aktif dengan rumus berikut. Bahan Aktif (%) = slope x konsentrasi titran (M) x BM surfaktan x 0,1 2. Pengukuran pH (SBRC, 2012) Nilai pH dari larutan contoh ditentukan dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan pH-meter komersial. Alat pH-meter disiapkan dan dikalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan buffer pH 4,0 dan 9,0. Elektroda kemudian dibilas dengan air bebas CO2 yang memiliki pH antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam formula larutan SMES yang telah disiapkan. Nilai pH dibaca pada pH-meter setelah angka stabil. Elektroda kemudian dibilas kembali dengan aquades. Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran termasuk kalibrasi. 3. Penentuan Viskositas Menggunakan Rheometer Brookfield DV-III Ultra Pertama spindle yang tersedia dipasang ke viscometer dan kemudian diturunkan perlahan sehingga spindle masuk ke dalam sampel. Volume sampel yang digunakan jangan terlalu banyak atau berlebihan karena sangat menentukan system kalibrasi. Untuk memperoleh sampel yang mewakili, ketinggian cairan diatur segaris dengan batang spindle pada garis kira-kira 3,2 mm di atas bagian atas spindle yang meruncing dan kabel pengukur suhu pada alat dipasangkan. Rhometer kemudian dijalankan dengan kecepatan 6 rpm dan kemudian baca nilai viskositas setiap 2 detik selama 1 menit. Nilai viskositas akan terbaca secara otomatis oleh alat. Data hasil pembacaan di-export ke dalam format .xlsx dan beberapa data pertama dari hasil pembacaan dibuang karena dianggap kondisi putaran spindle belum stabil. Pengambilan data dimulai dari nilai yang mulai terbaca stabil. Ubah data viskositas, torque, shear rate, dan shear stress menjadi dua angka desimal dan temperatur menjadi satu angka desimal. Setelah itu rata-ratakan data dari semua nilai pengukuran.
25
4. Pengukuran Densitas Menggunakan Density Meter DMA 4500M Anton Paar Densitymeter DMA 4500M Anton Paar dinyalakan.Sebelum dipakai, densitymeter dilakukan warming up selama 15 menit. Pilih mode density, lalu sambungkan selang pompa ke adapter dan aktifkan. Lakukan kalibrasi hingga nilai densitas udara pada 20 oC terbaca 0,00120 gram/cm3 (factor koreksi + 0,00005), dalam rentang 0,00125 hingga 0,00115. Pengukuran dilakukan pada temperatur maksimal alat, yaitu sebesar 70oC. Sampel yang telah disiapkan diinjeksikan ke densitymeter dengan menggunakan syringe. Pembacaan dapat dilakukan setelah data dinyatak valid oleh alat. Setelah hasil pengukuran terbaca, bilas U-Tube dengan menggunakan aquades minimal 5 kali. Bilas kembali U-Tube dengan menggunakan pelarut yang mudah mengering sebanyak 2 atau 3 kali. Pembersihan akan membuat akurasi alat pada pengukuran selanjutnya menjadi akurat.
26 Lampiran 2. Prosedur Analisis Fluida Lapangan OK 1. Penentuan Viskositas Menggunakan Rheometer Brookfield DV-III Ultra Pertama spindle yang tersedia dipasang ke viscometer dan kemudian diturunkan perlahan sehingga spindle masuk ke dalam sampel. Volume sampel yang digunakan jangan terlalu banyak atau berlebihan karena sangat menentukan system kalibrasi. Untuk memperoleh sampel yang mewakili, ketinggian cairan diatur segaris dengan batang spindle pada garis kira-kira 3,2 mm di atas bagian atas spindle yang meruncing dan kabel pengukur suhu pada alat dipasangkan. Rhometer kemudian dijalankan dengan kecepatan 6 rpm dan kemudian baca nilai viskositas setiap 2 detik selama 1 menit. Nilai viskositas akan terbaca secara otomatis oleh alat. Data hasil pembacaan di-export ke dalam format .xlsx dan beberapa data pertama dari hasil pembacaan dibuang karena dianggap kondisi putaran spindle belum stabil. Pengambilan data dimulai dari nilai yang mulai terbaca stabil. Ubah data viskositas, torque, shear rate, dan shear stress menjadi dua angka desimal dan temperatur menjadi satu angka desimal. Setelah itu rataratakan data dari semua nilai pengukuran. 2.
Pengukuran Densitas Menggunakan Density Meter DMA 4500M Anton Paar Densitymeter DMA 4500M Anton Paar dinyalakan.Sebelum dipakai, densitymeter dilakukan warming up selama 15 menit. Pilih mode density, lalu sambungkan selang pompa ke adapter dan aktifkan. Lakukan kalibrasi hingga nilai densitas udara pada 20oC terbaca 0,00120 gram/cm3 (faktor koreksi + 0,00005), dalam rentang 0,00125 hingga 0,00115. Pengukuran dilakukan pada temperatur maksimal alat, yaitu sebesar 70oC. Sampel yang telah disiapkan diinjeksikan ke densitymeter dengan menggunakan syringe. Pembacaan dapat dilakukan setelah data dinyatakan valid oleh alat.Setelah hasil pengukuran terbaca, bilas U-Tube dengan menggunakan aquades minimal 5 kali. Bilas kembali U-Tube dengan menggunakan pelarut yang mudah mengering sebanyak 2 atau 3 kali. Pembersihan akan membuat akurasi alat pada pengukuran selanjutnya menjadi akurat. Penentuan oAPI Gravity Menggunakan Density Meter DMA 4500M Anton Paar Derajat API juga diukur dengan menggunakan Densitymeter DMA 4500M Anton Paar. Pertama alat tersebut dinyalakan. Sebelum dipakai, densitymeter dilakukan warming up selama 15 menit. Pilih mode API gravity pada menu, lalu sambungkan selang pompa ke adapter kemudian diaktifkan. Pengukuran dilakukan pada temperatur maksimal alat, yaitu sebesar 70oC atau sesuai dengan suhu yang dibutuhkan. Sampel yang telah disiapkan diinjeksikan ke densitymeter dengan menggunakan syringe. Pembacaan dapat dilakukan setelah data dinyatak valid oleh alat. Setelah hasil pengukuran terbaca, bilas U-Tube dengan menggunakan aquades minimal 5 kali. Bilas kembali U-Tube dengan menggunakan pelarut yang mudah mengering sebanyak 2 atau 3 kali. Pembersihan akan membuat akurasi alat pada pengukuran selanjutnya menjadi akurat. 3.
27
4.
Uji Asphaltene (SBRC 2012) Asphaltene merupakan persentase massa dari wax-free material yang tidak larut dalam heptane tapi larut dalam benzene panas. Prinsip utama uji asphaltene adalah melarutkan sejumlah kecil sampel dalam heptane dan material yang tidak larut terdiri atas asphaltene dan senyawa wax, dipisahkan dengan sentrifugasi. Pengujian ini bersifat kualitatif karena hanya bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya asphaltene di dalam sampel. Sebanyak crude oil dimasukkan ke dalam 5 buah tabung ulir masing-masing sebanyak 1 ml. Kemudian ke dalam lima tabung ulir tersebut ditambahkan heksan sebanyak masing-masing 2, 4, 6, 8, dan 10 ml kemudian dikocok sampai homogen. Sampel-sampel tersebut kemudian disentrifugasi selama 15 menit. Untuk melihat kandungan asphaltine pada sampel, tabung ulir diletakkan dalam posisi terbalik. Uji asphaltene dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan aspal pada minyak, dimana kandungan aspal mengindikasikan minyak tersebut bersifat polar. 5.
Pengukuran pH (SBRC, 2012) Nilai pH dari larutan formula surfaktan dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan pH-meter komersial. Alat pH-meter disiapkan dan dikalibrasi terlebih dahulu.Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan buffer pH 4, 7 dan 10. Elektroda kemudian dibilas dengan air bebas CO2 yang memiliki pH antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam serbuk NaCl yang telah dilarutkan dalam air aquades. Nilai pH dibaca pada pHmeter setelah angka stabil.Elektroda kemudian dibilas kembali dengan aquades. Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran termasuk kalibrasi. Turbiditas (SMEWW 21th(2005):2130, B) Turbiditas diukur dengan metode turbiditimetri dengan menggunakan alat turbidimeter. Metode turbidimetri adalah perbandingan antara insensitas cahaya yang dihamburkan dari suatu sampel air dengan insensitas cahaya yang dihamburkan oleh sesuatu larutan standar pada kondisi yang sama. Sebelum instrument dijalankan, jarum pada meteran diperiksa menunjukkan nol atau tidak, jika tidak maka sekrup diputar pada lokasi meteran sehingga menunjukkan tepat di posisi nol. Turbidimeter kemudian distandardisasi dengan beberapa standard kekeruhan. Sampel dikocok untuk kemudian dimasukkan ke dalam tabung (cuvet) turbidimeter dan diukur kekeruhan sampel. 6.
Total Suspended Solid/TSS (SMEWW 21th(2005):2540, D) Siapkan peralatan vakum filtrasi, dan kertas saring. Lakukan penyaringan untuk 100 ml sampel sampai sampel habis tersaring.Lepaskan kertas saring dan letakkan pada cawan alumunium. Keringkan pada oven dengan suhu 103-1050C selama 1 jam. Simpan dalam desikator sampai dingin untuk menyeimbangkan penimbangan. Perhitungan:
7.
Mg total suspended solids/L = Dimana:
𝐴−𝐵 𝑥 1000 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙 )
28 A= berat kering residu+cawan ( mg)dan B= berat cawan ( mg) 8.
Total Disolved Solid/TDS (conductometer) Panaskan cawan pada suhu 1800C ± 20C selama 1 jam dalam oven. Simpan dalam desicator, timbang sebelum digunakan. Aduk sampel dengan menggunakan magnetik stirer dan pipet volume yang akan diukur ke glass fiber filter yang sudah dirangkaikan dengan vakum. Cuci/bilas tiga kali berturut-turut dengan 10 ml air air aquades. Lalu lanjutkan dengan penghisapan selama sekitar 3 menit sampai penyaringan selesai. Tuangkan larutan hasil pengaringan ke cawan penguap beserta air bilasan. Uapkan cawan penguap pada oven dengan suhu 103-1050C. Setelah air teruapkan, naikan suhu oven menjadi 180 ± 2 0C selama minimal 1 jam. Setelah penguapan selesai, masukkan cawan ke dalam desikator, lalu dinginkan. Timbang cawan penguap.Ulangi tahap di atas untuk blanko. Perhitungan: Mg total suspended solids/L =
𝐴−𝐵 𝑥 1000 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙 )
Dimana: A= berat kering residu+cawan ( mg)dan B= berat cawan ( mg) Kesadahan (SMEWW 21th(2005):2340-Hardness,C) Sampel dipipet sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer.Sampel kemudian ditambahkan 25 ml aquades dan 1 ml larutan buffer pH 10. Setelah itu larutan ditambahkan indikator EBT (Erichrome Black T) hingga larutan berwarna merah anggur. Larutan dititrasi dengan dengan larutan EDTA 0,01 N hingga mencapai titik akhir titrasi yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna dari merah anggur menjadi warna biru.
9.
𝑲𝒂𝒅𝒂𝒓𝑪𝒂𝑪𝑶𝟑 =
𝒗𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆𝒕𝒊𝒕𝒓𝒂𝒏𝒙𝑵𝒕𝒊𝒕𝒓𝒂𝒏𝒙𝑩𝑴𝑪𝒂𝑪𝑶𝟑 𝒙𝟏𝟎𝟎𝟎 𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍
10. Klorida (SMEWW 21th (2005):4500-Cl,B) a. Persiapan sampel: gunakan 100 mL sampel atau diencerkan sampai volume 100 mL. Jika sampel sangat berwarna, tambahkan 3 ml Al(OH3) suspensi, aduk, biarkanmenetap, dan filter. Jika mengandung sulfida, sulfit, tiosulfat tambahkan 1mL H2O2 dan aduk selama 1 menit. Titrasi: Langsung titrasi sampel dalam kisaran pH7 sampai 10. SesuaikanpHsampel untuk7 sampai 10 dengan H2SO4 atau NaOH jika tidakdalam kisaran ini. Untuk penyesuaian, sebaiknya menggunakan pH meter dengan jenis elektroda referensi non-klorida. b. Tambahkan1,0mLlarutan indikatorK2CrO4. Titrasi denganstandar titran AgNO3ke titik akhir kuning kemerahan. Standarisasi titran AgNO3 dan membuat reagen nilai blanko dengan metode titrasi yang diuraikan di atas. Perhitungan: Mg Cl-/L =
𝐴−𝐵 𝑥𝑁𝑥 35450 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙 )
29 dimana: A = mL titrasi dari sampel B = mL titrasi dari blanko, dan N = normalitas dari AgNO3 Mg NaCl/L = (mg Cl-/L) x 1.65 11. Sulfat (SMEWW 21th (2005):4500-SO42) Sampel sebanyak 150 ml sesuaikan pH dengan menambahkan 1 ml HCl pekat agar pH berkisar 4,5 - 5,0. Tambahkan indikator metil merah 5 tetes. Contoh air dipanaskan sampai mendidih dan aduk perlahan, kemudian tambahkan larutan BaCl2 sambil diaduk, tambahkan BaCl2 secara berlebihan sebanyak 2 ml, jika jumlah endapan kecil tambahkan BaCl2 5 ml. Tutup dengan gelas arloji dan tahan pada temperatur 80-90 oC selama 2 jam. Endapan yang terbentuk disaring, cuci dengan air suling panas sampai air pencuci benar-benar bebas Khlorida. Letakkan kertas saring dan isinya yang sudah dilipat kedalam cawan porselen yang sudah ditimbang. Cawan dipanaskan kedalam furnace secara perlahan-lahan, jangan sampai kertas saringnya menyala, hingga seluruh kertas saringnya menjadi arang, kemudian bakar selama 1 jam pada temperatur 800 oC atau sampai terlihat seluruh karbon telah terbakar habis. Dinginkan dalam desikator, kemudian timbang. Perhitungan : SO4, mg/L =
BaSO 4 𝑚𝑔 𝑥 411,6 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙 )
12. Minyak Mineral (SMEWW 21th(2005):5520-O&G,B,) Pindahkan contoh uji ke corong pisah. Tentukan volume contoh uji seluruhnya (tandai botol contoh uji pada meniskus air atau timbang berat contoh uji). Bilas botol contoh uji dengan 30 mL pelarut organik dan tambahkan pelarut pencuci ke dalam corong pisah. Kocok dengan kuat selama 2 menit.Biarkan lapisan memisah, keluarkan lapisan air. Keluarkan lapisan pelarut melalui corong yang telah dipasang kertas saring dan 10 g Na2SO4 anhidrat, yang keduanya telah dicuci dengan pelarut, ke dalam labu bersih yang telah ditimbang. Jika tidak dapat diperoleh lapisan pelarut yang jernih (tembus pandang), dan terdapat emulsi lebih dari 5 mL, lakukan sentrifugasi selama 5 menit pada putaran 2400 rpm. Pindahkan bahan yang disentrifugasi ke corong pisah dan keringkan lapisan pelarut melalui corong dengan kertas saring dan 10 g Na2SO4, yang keduanya telah dicuci sebelumnya, ke dalam labu bersih yang telah ditimbang. Gabungkan lapisan air dan emulsi sisa atau padatan dalam corong pisah. Ekstraksi 2 kali lagi dengan pelarut 30 mL tiap kalinya, sebelumnya cuci dahulu wadah contoh uji dengan tiap bagian pelarut. Ulangi langkah pada butir e) jika terdapat emulsi dalam tahap ekstraksi berikutnya. Gabungkan ekstrak dalam labu destilasi yang telah ditimbang, termasuk cucian terakhir dari saringan dan Na2SO4 anhidrat dengan tambahan 10 mL sampai dengan 20 mL pelarut. Destilasi pelarut dalam penangas air pada suhu 85°C. Untuk memaksimalkan perolehan kembali pelarut lakukan destilasi.Saat terlihat kondensasi pelarut berhenti, pindahkan labu dari penangas air. Dinginkan dalam desikator selama 30 menit pastikan labu kering dan timbang sampai diperoleh berat tetap. Perhitungan:
30 Jumlah minyak-lemak dalam contoh uji: Kadar minyak-lemak (mg /L) =
A−B 𝑥 1000 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙 )
dimana: A adalah berat labu + ekstrak, mg; B adalah berat labu kosong, mg. 13. Ion Kation (Barium, Besi, Natrium, Magnesium, Kalsium) (SMEWW 21th(2005):3111B) Persiapan sampel: 50 mL sampel dimasukkan ke erlenmeyer 125 mL, lalu ditambahkan 5 mL HNO3 pekat, lalu panaskan sampel sampai volumenya 15-20 mL, lalu tambahkan asam clorida 5 mL dan pemanasan dilanjutkan hingga warna larutan menjadi jernih. Dinginkan sampel, lalu saring ke labu ukur 50 mL dan tera dengan air aquadest, lalu homogenkan.Larutan siap diukur dengan menggunakan AAS. 14. Salinitas (Salinometry) Salinitas bekerjaberdasarkan daya hantar listrik, semakin besar salinitas semakin besar pula daya hantar listriknya. Alat ini digunakan di laboratorium, berbeda dengan refraktometer yang biasa digunakan di lapangan atau outdoor. Cara menggunaka salinometer adalah sebagai berikut: ambil gelas ukur yang panjang, isi dengan air sampel yang akan diukur salinitasnya. Salinitas akan terbaca pada skalanya. 15. Alkalinitas (SMEWW 20th(2005):2320 C) Alat pH meter dikalibrasi dengan larutan penyangga yang mendekati pH percontoh. Sampel air/larutan surfaktan dimasukan ke gelas piala sebanyak 50 ml, ukurpHnya. [Analisis alkalinitas ini harus dikerjakan segera setelah penetapan pH, untuk meminimalkan kesalahan karena terjadi dekomposisi bikarbonat]. Contoh air dititrasi dengan asam standar sambil diaduk [dengan pengaduk magnetik] sampai pH = 8,1 dan catat volume ini sebagai P. Jika percontoh tersebut mempunyai pH = 8,1 [atau dibawah 8,1] maka catat P = 0. Titrasi dilanjutkan sampai pH = 4,5 dan catat jumlah volume asam standar yang digunakan ini sebagai T. Perhitungan: Hasil-hasil yang diperoleh dari titrasi tersebut diklasifikasikan secara stoikiometri dengan tiga bentuk prinsip alkalinitas. Keberadaan ion-ion diindikasikan oleh hubungan-hubungan seperti terlihat dalam tabel dibawah ini. Volume Larutan Asam StandarYang sesuai dengan Hasil Titrasi Bikarbonat Karbonat Hidroksida P=0 T 0 0 P<½T T–2P 2P 0 P=½T 0 2P 0 P>½T 0 2[T–P] 2P–T P=T 0 0 T
31 Hubungan Volume Titrasi untuk Perhitungan Alkalinitas Keterangan : T = jumlah volume titrasi [ml] P = volume titrasi sampai pH 8,1 [ml] Dengan menggunakan hubungan diatas [tabel], kalkulasi ion-ion adalah: = ml asam x N asam x 61 x 1000 Bikarbonat mg/L HCO3ml percontoh = = ml asam x N asam x 30 x 1000 Karbonat mg/L CO3 ml percontoh Hidroksida mg/L OH =ml asam x N asam x 17 x 1000 ml percontoh 16. Konduktivitas (conductometer) Pengukuran konduktivitas menggunakan alat konduktometer. Langkah yang dilakukan untuk analisis konduktivitas, yaitu tempatkan sample dalam wadah. Cuci elektroda dengan aquadest, keringkan dengan tisu. Celupkan elektroda kedalam sample yang akan diukur. Tekan tombol ON, tunggu sampai muncul angka. Tekan tombol untuk mencari pengukuran konduktivitas. Baca hasil pengukuran (satuan mS). 17. Klorin Bebas (SMEWW 21th(2005): 4500-Cl,Chlorine,B) Tambahkan 5mL asam asetat, atau cukup untuk mengurangi pH antara 3,0 dan 4,0 dalam labu atau casserole porselen putih. Tambahkan sekitar 1 gram KI diperkirakan pada spatula. Tuangkan sampel dan campuran dengan batang pengaduk. Lakukan titrasi dengan 0,025 N atau 0,01 N Na2S2O3 dari buret sampai warna kuning dari iodin yang dibebaskan hampir habis. Tambahkan 1 ml larutan strach dan titrasi sampai warna biru habis. Lakukan untuk blanko. 1) Jika warna biru berkembang, titrasi dengan 0,01 N atau 0,025 N Na2S2O3 sampai hilangnya warna biru dan hasil rekaman. B (lihat 4, di bawah) adalah negatif. 2) Jika tidak ada warna biru terjadi, titrasi dengan larutan yodium 0,0282 N sampai warna biru muncul. Hitam titrasi dengan 0,01 N atau 0,025 N Na2S2O3dan mencatat perbedaan, B adalah positif. Perhitungan: Untuk standardisasi larutan klorin untuk standar sementara: (A±B) x N x 35,45 Mg Cl as Cl2/mL = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙 ) untuk menentukan jumlah residu klorin tersedia dalam sampel air: (A±B) x N x 35,45 Mg Cl as Cl2/mL = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙 )
dimana: A = mL titrasi sampel B = mL titrasi blanko (positifatau negatif), dan N = normalitas dari Na2S2O3 18. Sulfida (SMEWW 21th(2005):4500-S2-,D) Tambahkan 2 mL HCl 6 N. Pipet 200 mL sampel ke dalam labu, pemakaian sampel bawah permukaan solusi. Jika warna yodium menghilang, menambahkan
32 lebih banyak yodium sampai warnanya tetap. Kembali titrasi dengan larutan Na2S2O3, menambahkan beberapa tetes larutan pati sebagai titik akhir didekati, dan berlanjut sampai warna biru menghilang. Perhitungan: Mg-S2 /L=[(A x B) -(C xD)] x 16000 mL sampel Dimana; A = ml larutan yodium B = normalitas larutan iodine C = ml larutan Na2S2O3 D = normalitas larutan Na2S2O3
33 Lampiran 3. Prosedur Analisis Kinerja Formula Surfaktan berbasis SMES 1. Uji IFT (SBRC, 2012) Pengukuran tegangan antarmuka minyak-air dilakukan dengan menggunakan Spinning Drop Interfacial Tensiometer. Uji ini dilakukan dengan memasukkan sampel formula sebanyak 0,3 mikron ke dalam tube. Tube tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat yang kecepatan putarnya disetting 6000 rpm pada suhu 95 0C, lalu diukur lebar droplet yang terbentuk. Nilai tegangan antarmuka dapat dihitung juga dengan menggunakan rumus berikut. Y = ¼ 𝝎2 D3∆p, dengan syarat : (L/D ≥ 4) Keterangan : Y = nilai tegangan antarmuka (dyne/cm) 𝜔 = kecepatan angular (s-1) D = radius droplet pada axis (cm) ∆p = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (g.cm3) 2. Thermal Stability (SBRC, 2012) Pada pengujian ini disiapkan sampel dan ampul dengan jumlah yang disesuaikan dengan lama pengujian. Jumlah ampul yang digunakan untuk tiap pengujian adalah 10 buah, yaitu 7 untuk pengukuran rutin dan 3 buah lagi untuk cadangan. Larutan formula dimasukkan ke dalam ampul masing-masing sebanyak 20 ml dan diberi tanda dengan spidol permanen. Masing-masing ampul dipasangkan pada manifold kemudian pompa vakum dinyalakan untuk menghilangkan udara (O2) dalam ampul. Kondisi vakum dipertahankan selama satu jam. Setelah itu keran menuju pompa vakum ditutup dan kemudian gas N2 dialirkan selama satu jam. Setelah ampul jenuh oleh gas N2, bagian ujung ampul kemudian diseal dengan cara dipanaskan menggunakan flame torch sesuai dengan SOP penggunaannya. Ampul yang sudah tertutup dengan sempurna disimpan dalam rak kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu sesuai dengan suhu reservoir. 3. Phase Behavior (SBRC, 2012) Alat yang digunakan untuk analisa kelakuan fasa adalah phase behavior apparatus. Sebelum digunakan, alat ini harus diperiksa indikator suhu dan kecepatan putarnya supaya bisa bekerja dengan baik. Alat ini kemudian diisi dengan silicon oil sampai tanda batas yang telah ditentukan. Sampel formula diaduk pada suhu reservoir selama satu jam dengan kecepatan 400 rpm di atas hot plate dengan pengaduk magnetic bar. Pada kondisi teraduk tersebut, sampel diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung uji berskala 3 ml. Kemudian contoh minyak dimasukkan ke dalam tabung uji berskala sebanyak 1 ml dan tandai batas minyak dengan air. Tabung tersebut kemudian diseal dengan flame torch dan dimasukkan ke dalam test tube berulir. Silicon oil dimasukkan ke dalam test tube berulir sampai tabung uji berskala terendam sempurna dan test tube ditutup rapat. Kemudian test tube dimasukkan ke penjepit phase behavior apparatus. Suhu yang digunakan diatur sesuai dengan suhu reservoir.Kecepatan putar alat diatur pada kecepatan 3-4 rpm. Setelah test tube dimasukkan, kemudian
34 alat dinyakalan dan sampel diamati setiap minggu dengan sampling sebagai berikut : a) Test tube diambil dan tabung uji berskala dikeluarkan b) Tabung uji berskala ditempatkan pada rak pengamatan c) Kemudian disimpan di dalam oven pada suhu reservoir selama 2 jam d) Rak pengamatan dikeluarkan dari oven e) Sampel test tube difoto f) Perubahan volume larutan surfaktan dan minyak diukur dengan menggunakan jangka sorong. Sampling dilakukan dengan tahapan yang sama untuk sampel lainnya di minggu berikutnya. 4. Wettability (SBRC, 2012) Pengujian dilakukan dengan mengukur sudut kontak (θ) yang terbentuk oleh permukaan padatan dengan garis singgung terhadap permukaan fluida pada titik kontak dengan padatannya. Sampel batuan karbonat yang akan diuji sudut kontaknya dengan minyak awalnya dilakukan proses pencucian dengan toluene. Pengujian dilakukan dengan dua perlakuan. Tiap perlakuan dilakukan tiga tahap perendaman. Tahap perendaman dari tiap perlakuan adalah sebagai berikut. Perlakuan pertama : 1) Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam 2) Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam minyak OK selama 6 jam 3) Batuan yang sama (batuan tahap kedua) dicuci dengan air formasi dan kemudian direndam dalam larutan air injeksi + HCl + CH3COOH 2% selama 6 jam 4) Batuan yang sama (batuan tahap ketiga) direndam dalam larutan formula surfaktan SMES 6% + HCl + CH3COOH 2% 5) Batuan yang sama (batuan tahap keempat) direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam Perlakuan kedua : 1) Batuan yang telah dicuci direndam dalam air formasi kemudian diuji sudut kontaknya dengan meneteskan minyak pada batuan. 2) Batuan yang sama (batuan tahap 1) direndam langsung dengan larutan formula dan diuji kembali sudut kontaknya dengan meneteskan minyak pada batuan. 3) Batuan pada tahap 2 direndam kembali dengan menggunakan air formasi dan kemudian diuji dengan ditetesi minyak. *) Keterangan : semua perendaman batuan dilakukan selama 6 jam dalam suhu reservoir (1210C). Kelarutan Batuan Kelarutan batuan oleh larutan formula yang dibuat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut. 1) Batuan karbonat yang akan diuji dicuci dengan menggunakan toluene pada soxclet. 5.
35 2) Batuan dikeringkan dalam oven untuk menghilangkan toluene yang terserap batuan dan dinginkan dalam desikator. 3) Timbang batuan yang sudah kering sebagai berat awal batuan. 4) Batuan yang sudah ditimbang direndam dalam larutan formula selama 6 jam pada suhu reservoir (1210C). 5) Batuan kembali dicuci dengan toluene dalam soxclet untuk menghilangkat kotoran-kotoran yang terserap oleh batuan ketika perendaman. 6) Batuan dikeringkan dalam oven dan dinginkan dalam desikator kemudian ditimbang kembali sebagai bobot akhir. Perhitungan persentase kelarutan batuan oleh larutan formula adalah sebagai berikut. % kelarutan =
(𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 −𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑘 ℎ𝑖𝑟 ) 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑥 100
36 Lampiran 4. Data Hasil Analisis Formula Larutan Surfaktan SMES 1) Hasil analisis larutan surfaktan SMES (perlakuan konsentrasi SMES) Formula S-MES 1 % S-MES 2 % S-MES 3 % S-MES 4 % S-MES 5 % S-MES 6 % S-MES 7 % S-MES 8 % S-MES 9 % S-MES 10 %
pH
Densitas (g/cm3)
Salinitas (g/l)
8,91 ± 0,09 8,68 ± 0,08 8,65 ± 0,02 8,56 ± 0,01 8,54 ± 0,01 8,51 ± 0,01 8,46 ± 0,01 8,42 ± 0,01 8,33 ± 0,02 8,20 ± 0,03
0.9922 ± 1,13E-04 (g/cm3) 0.9926 ± 2,12E-05 0.9926 ± 1,41E-05 0.9926 ± 7,07E-06 0.9928 ± 4,95E-05 0.9931 ± 5,66E-05 0.9933 ± 7,07E-06 0.9937 ± 2,12E-05 0.9942 ± 7,07E-06 0.9948 ± 4,24E-05
17,35 ± 0,21 18,05 ± 0,07 18,45 ± 0,07 19,49 ± 0,01 19,85 ± 0,21 19,80 ± 0,14 19,65 ± 0,35 19,75 ± 0,21 20,05 ± 0,07 19,90 ± 0,14
Tegangan antarmuka (dyne/cm) 5,69E-02 ± 3,20E-03 2,50E-02 ± 9,12E-04 1,03E-02 ± 4,95E-05 8,81E-03 ± 2,62E-04 6,18E-03 ± 5,09E-04 4,21E-03 ± 6,29E-04 7,22E-03 ± 6,29E-04 8,76E-03 ± 1,44E-03 1,61E-02 ± 1,37E-03 1,51E-02 ± 8,06E-04
2) Hasil analisis larutan surfaktan SMES + asam
(g/cm3)
37 Lampiran 5. Hasil Analisis Kinerja Formula Larutan Surfaktan SMES 1) Hasil analisis larutan surfaktan SMES + Asam (stabilitas termal)
2) Hasil analisis sudut kontak minyak-batuan (wettability) Gambar di bawah ini menunjukkan perubahan sifat batuan dari mulai bersifat oil-wet ( ∅ = 00 ) menjadi water-wet ( ∅ = 1800 ). Perubahan tersebut menggambarkan tingkat pembasahan batuan reservoir oleh larutan surfaktan. Semakin besar sudut kontak antara batuan dengan minyak maka semakin sempurna tingkat pembasahan batuan reservoir oleh larutan surfaktan dan semakin mudah minyak untuk diproduksi. Hal ini menunjukan bahwa sudut kontak antara minyak dan batuan yang diharapkan adalah sebesar 1800.
a) Perlakuan 1 : Tahap 1 = Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam Tahap 2 = Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam minyak OK selama 6 jam Tahap 3 = Batuan yang sama (batuan tahap kedua) dicuci dengan air formasi dan kemudian direndam dalam larutan air injeksi + HCl + CH3COOH 2% selama 6 jam Tahap 4 = Batuan yang sama (tahap ketiga) direndam dalam larutan formula surfaktan SMES 6% + HCl + CH3COOH 2% Tahap 5 = Batuan yang sama (batuan tahap keempat) direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam *) Semua perendaman dilakukan dalam oven bersuhu reservoir (1210C)
38 1. Larutan Surfaktan S-MES 6% + HCl 3% + CH3COOH 2% Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
46.060
40,240
46,760
Tahap 4
Tahap 5
54,190
66,630
2. Larutan Surfaktan S-MES 6% + HCl 5% + CH3COOH 2% Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
37,390
32,070
51,670
Tahap 4
Tahap 5
52,900
64,780
39 3. Larutan Surfaktan S-MES 6% + HCl 7% + CH3COOH 2% Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
40,900
34,950
54,950
Tahap 4
Tahap 5
60,580
63,640
4. Larutan Surfaktan S-MES 6% + HCl 9% + CH3COOH 2% Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
48,740
37,260
55,690
Tahap 4
Tahap 5
61,530
68,270
b) Perlakuan 2 : Tahap 1 = Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam Tahap 2 = Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam larutan surfaktan selama 6 jam Tahap 3 = Batuan yang sama (batuan tahap kedua)direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam *) Semua perendaman dilakukan dalam oven bersuhu reservoir (1210C)
40 1.
2.
3.
4.
Larutan Surfaktan S-MES 6% + HCl 3% + CH3COOH 2% Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
37,16 0
71,81 0
76,29 0
Larutan Surfaktan S-MES 6% + HCl 5% + CH3COOH 2% Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
47,27 0
74,38 0
67,90 0
Larutan Surfaktan S-MES 6% + HCl 7% + CH3COOH 2% Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
42,21 0
71,42 0
68,86 0
Larutan Surfaktan S-MES 6% + HCl 9% + CH3COOH 2% Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
37,31 0
75,09 0
75,80 0
41 3) Hasil analisis kelarutan batuan dalam formula larutan surfaktan SMES
4) Analisis kelakuan fasa (Phase Behaviour) (a) bila fasa II (-) yang terbentuk 𝑃𝑜 =
( 𝑉𝑜 − 𝑉𝑜′ ) 𝑉𝑠
dimana, 𝑉𝑠 =
𝑚𝑠 𝜌𝑠
(b) bila fasa II (+) yang terbentuk ( 𝑉𝑤 − 𝑉𝑤 ′ ) 𝑃𝑤 = 𝑉𝑠 dimana, 𝑉𝑠 =
𝑚𝑠 𝜌𝑠
(c) bila fasa III yang terbentuk
Keterangan : Po = Rasio kelarutan fasa minyak Pw = Rasio kelarutan fasa air Vo = Volume awal fasa minyak VoI = Volume akhir fasa minyak Vw = Volume awal fasa air
Vs Ve ms ρs VwI
𝑃𝑜 =
( 𝑉𝑜 − 𝑉𝑜′ ) 𝑉𝑒
𝑃𝑤 =
( 𝑉𝑤 − 𝑉𝑤 ′ ) 𝑉𝑒
= Volume larutan surfaktan = Volume emulsi = Bobot surfaktan = Bobot jenis surfaktan = Volume akhir fasa air
42 Lampiran 6. Korelasi Antara Minyak yang Dapat Diproduksi dengan Nilai Capillary Number
𝑁𝑐 =
𝑣𝜇 𝜎 cos 𝜃
Keterangan : V = laju alir efektif (cm/s) µ = viskositas larutan pendesak (Cp) 𝜎 =tegangan antarmuka (dyne/cm) 𝛩 = sudut kontak kebasahan/wetting angle Peningkatan nilai capillary number menandakan peningkatan recovery minyak sisa (residual oil). Peningkatan viskositas dari fluida menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan perpindahan yang tidak efektif. Akan tetapi, nilai Nc yang besar dapat dicapai dengan cara menurunkan tegangan antarmuka minyak-air dengan menggunakan bahan kimia yaitu surfaktan. Waterflood pada kondisi water-wetbiasanya memiliki nilai capillary number (Nc) berkisar antara 10-7-10-5, sedangkan untuk critical capillary number berkisar antara 10-5-10-4. Namun pada kondisi desaturasi oil-wet, nilai Nc berada pada kisaran 10-2-10-1.
43
Lampiran 7. Peralatan Analisis Larutan Surfaktan SMES
Spinning Drop Interfacial Tensiometer
Alat uji sudut kontak (Phoenix)
Density meter Anton Paar 4500
Pemotong batuan
44
Soxchlet
Konduktometer
Oven 1210C
Sentrifuge
45
pH-meter Schott
Hot plate
Neraca analitik
Flame torch
46
Lampiran 8. Sampel Formula Larutan Surfaktan SMES dan Batuan Karbonat
Larutan SMES 6% + air injeksi
Larutan SMES 6% + air injeksi + asam
Sampel sebelum uji termal
Sampel setelah ditermal
47
Uji asphaltene (sebelum sentrifugasi)
Uji asphaltene (setelah sentrifugasi)
Perendaman batuan dalam formula larutan (uji wettability perlakuan 1)
Perendaman batuan dalam formula larutan (uji wettability perlakuan 2)
48
Perendaman batuan dalam formula larutan (dalam uji kelarutan batuan)
Sampel potongan batuan
49
RIWAYAT HIDUP Verry Purnama dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat dari ayah H. Dayat Hidayat dan ibu Hj. Atik Herawati pada tanggal 14 Nopember 1990. Penulis adalah putra ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan penulis diawali dari TK TPA Al-Hidayah pada tahun 1995. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya ke SD Negeri Gunung Lipung II Tasikmalaya dari tahun 1997-2003. Setamat dari Sekolah Dasar, penulis meneruskan sekolahnyake pendidikan menengah pertama (2003-2006) di SLTP Negeri II Tasikmalaya dan pendidikan menengah atas (2006-2009) di SMU Negeri II Tasikmalaya. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogorpada Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FakultasTeknologi Pertanian pada tahun 2010/2011, Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin) pada tahun 2011/2012, Forum Agroindustri Indonesia (Foragrin) pada tahun 2010. Selain itu, penulis juga pernah mendapat kepercayaan untuk menjadi asisten pratikum mata kuliah Teknologi Pengemasan Distribusi dan Transportasi.Pada tahun 2012, penulis melaksanakan Praktek Lapang (PL) di PT. Givaudan Indonesia yang bertempat di jalan Raya BogorDepok. Perusahaan tersebut bergerak di bidang industri flavor dan fragrances. Pada tahun 2013, penulis melaksanakan penelitian di Laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC-LPPM IPB) dan menulis skripsi dengan judul “Formulasi Surfaktan MES sebagai Acid Stimulation Agent untuk Aplikasi di Lapangan Karbonat OK”. Penulis dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau melalui mobile phone +62 85723999966/+62 85223293036.