Floribunda 4(6) 2013
129
ANALISIS VARIASI GENETIK AMORPHOPHALLUS MUELLERI BLUME DARI BERBAGAI POPULASI DI JAWA TIMUR BERDASARKAN SEKUEN INTRON trnL Erta Puri Rosidiani*), Estri Laras Arumingtyas & Rodliyati Azrianingsih Program Studi Magister Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Malang *) e-mail:
[email protected] Erta Puri Rosidiani, Estri Laras Arumingtyas & Rodliyati Azrianingsih. 2013. Analysis of Genetic Variation of Amorphophallus muelleri Blume from Several Populations in East Jawa Based on Sequence Intron trnL. Floribunda 4(6): 129–137. — The objective of this study is to determine the genetic variability of porang at different populations based on analysis of trnL intron sequences. Research was conducted in East Jawa, which is porang population at Jember (Mayang: MY), Malang (Lawang: LW, Kalipare: KP), Blitar (Brongkos: BL), Nganjuk (KPH tritik: TR), Madiun (Klangon: KL, KPH Saradan: MD), Bojonegoro (Klino: KN). Exploration conducted in 8 populations to take samples of young leaves as many as three sheets at two different individuals of each population. Then extract the DNA, and amplify the trnL intron using universal primers 'c' and 'd', then were purified and sequenced. The results of sequencing were analyzed the genetic variation and relationship based on Maximum Parsimony tree by MEGA5 software. Sequencing of 16 individuals porang, produce 13 individuals which have a clear chart chromatography which is resulting in the proper sequence and can be used in subsequent analyzes. The sequences showed the differences in nucleotide base composition of each individual. Six region is also known as conserved region, 52 sequences nucleotide variability, and 8 deletion. The phylogeny tree showed four clade Major. Porang were clustered randomly, not based on the population to which the individual is taken. Thus, the origin of porang at each study site cannot be identified based on the geographical analysis. Keywords: Amorphophallus muelleri, genetic variability, sequences, trnL intron, East Jawa. Erta Puri Rosidiani, Estri Laras Arumingtyas & Rodliyati Azrianingsih. 2013. Analisis Variasi Genetik Amorphophallus muelleri Blume dari Berbagai Populasi di Jawa Timur Berdasarkan Sekuen Intron trnL. Floribunda 4(6): 129–137. — Penelitian ini bertujuan mengetahui variasi genetik porang pada populasi yang berbeda berdasarkan analisis sekuen intron trnL. Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur, yaitu di Jember (Mayang: MY), Malang (Lawang: LW, Kalipare: KP), Blitar (Brongkos: BL), Nganjuk (KPH tritik: TR), Madiun (Klangon: KL, KPH Saradan: MD), dan Bojonegoro (Klino: KN). Eksplorasi di delapan populasi bertujuan untuk mengambil sampel daun muda sebanyak tiga lembar pada dua individu berbeda di masingmasing populasi. Selanjutnya DNA diekstrak, diamplifikasi menggunakan primer universal ‘c’ dan ‘d’, lalu dipurifikasi dan disekuensing. Hasil sekuensing dianalisis variasi genetik dan kekerabatan berdasarkan pohon Maksimum Parsimony menggunakan program MEGA5. Berdasarkan sekuensing 16 individu porang diperoleh 13 individu dengan grafik kromatografi yang jelas, menghasilkan pembacaan sekuen yang tepat sehingga dapat digunakan dalam analisis selanjutnya. Sekuen yang dihasilkan menunjukkan perbedaan komposisi basa nukleotida pada masing-masing individu. Enam region diketahui sebagai ”conserved region”, perubahan basa nukleotida sebanyak 52 sekuen, dan delesi pada 8 sekuen. Pohon filogeni menunjukkan adanya empat klad besar. Individu porang mengelompok secara acak, tidak berdasarkan lokasi populasi pengambilan sampel. Sehingga, asal porang pada masing-masing populasi tidak dapat diketahui berdasarkan analisis geografi. Kata kunci: Amorphophallus muelleri, intron trnL, porang, populasi, sekuen, variasi genetik, Jawa Timur. Amorphophallus muelleri mempunyai persebaran dari Thailand tengah ke selatan melalui Sumatera, Jawa hingga ke Kepulauan Sunda Kecil. Porang (A. muelleri Blume) merupakan satu dari 27 jenis Amorphophallus yang ada di Indonesia dan dari 170 jenis yang dikenal di dunia. Porang merupakan tanaman sumber karbohidrat alternatif
yang mengandung glukomanan tertinggi di antara jenis Amorphophallus lainnya di Indonesia (Jansen et al. 1996, Sumarwoto 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Poerba & Martanti (2008) pada 50 aksesi di Jawa Timur melalui metode RAPD, diketahui adanya variasi genetik yang ditunjukkan pada perbedaan pola pita DNA,
130 yaitu 69.05% merupakan polimorfik. Hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan adanya pemisahan aksesi ke dalam dua klaster utama, dengan nilai keanekaragaman genetik tertinggi ada pada populasi Saradan. Selain informasi keanekaragaman genetik, Azrianingsih et al. (2008) melaporkan adanya ciri morfologi yang paling menonjol, yaitu warna dan corak tangkai daun yang ditemukan pada sembilan sampel porang, dari sembilan lokasi di Jawa Timur. Kombinasi keanekaragaman morfologi dan molekular diperlukan untuk identifikasi dan seleksi sumberdaya genetik porang sebagai materi dasar pemuliaan tanaman. Penelitian sumberdaya genetik yang dilakukan Poerba & Martanti (2008) terhadap porang pada level infraspesies memiliki kelemahan pada metode yang digunakan. Metode random amplified polymorphic DNA (RAPD) yang digunakan Poerba & Martanti (2008), memiliki kelemahan dalam konsistensi hasil amplifikasi. Ketika dilakukan pengulangan amplifikasi dengan primer dan sampel yang sama maka hasil yang didapatkan berbeda dengan hasil amplifikasi awal, sehingga akan mempengaruhi hasil analisis. Hal ini terjadi karena ukuran sekuen primer yang pendek, sehingga dapat menempel pada sekuen yang berbeda dari amplifikasi awal (Jones et al. 1997). Oleh karena itu perlu digunakan penanda molekular lain yang dapat memberikan hasil amplifikasi yang konsisten. Penanda molekular yang telah digunakan dalam analisis filogenetik dan memiliki hasil amplifikasi yang konsisten adalah sekuen intron DNA kloroplas seperti matK, rbcL, trnK dan trnL (Cabrera et al. 2008; Sedayu et al. 2010 dan Grob et al. 2004). Intron kloroplas matK, rbcL dan trnL merupakan marka molekular yang sering digunakan dalam analisis filogenetik pada tumbuhan. Ketiga marka molekular tersebut memiliki tingkat substitusi yang tinggi, cepat berevolusi dan memiliki variasi genetik yang cukup tinggi, sehingga tepat jika digunakan dalam analisis filogenetik dan variasi genetik (Selvaraj et al. 2008). Analisis filogenetik Amorphophallus dengan menggunakan sekuen intron rbcL dan matK mengungkapkan posisi Amorphophallus dan Araceae lainnya sebagai klad monofiletik, yaitu berada dalam satu kelompok evolusi (Tamura et al. 2004). Marka molekular menggunakan intron matK, rbcL dan trnL telah berhasil digunakan dalam analisis filogenetik, namun kemampuan marka matK dan rbcL dalam mengungkap hubungan kekerabatan terbatas pada tingkat taksa famili dan genus (Selvaraj et al. 2008). Hal ini
Floribunda 4(6) 2013 berbeda dengan trnL yang mampu mengungkapkan hubungan kekerabatan di tingkat infra spesies. Taberlet et al. (2007) mengungkapkan bahwa intron trnL memiliki resolusi lebih tinggi pada konteks yang spesifik, misalnya individu spesies yang berasal dari ekosistem tunggal. Selain itu primer yang digunakan sangat ”conserved” dan sistem amplifikasinya sangat baik (”robust”). Sehingga trnL menjadi kandidat marka molekular untuk analisis variasi genetik pada infraspesies. Pengetahuan tentang keanekaragaman genetik penting untuk program pemuliaan tanaman dan menjadi dasar dalam menentukan langkah perbaikan kualitas dan kuantitas porang. Sejauh ini, studi keanekaragaman genetik pada porang infra spesies di Jawa Timur masih terbatas pada pembuktian ada atau tidaknya variasi genetik menggunakan metode RAPD, belum pada variasi genetik pada basa nukleotidanya. Untuk menyediakan informasi tersebut perlu dilakukan serangkaian penelitian yang terdiri dari studi variasi genetik pada porang infra spesies beda populasi di Jawa Timur dengan menggunakan marka molekular intron trnL, serta melakukan pengamatan variasi morfologi sebagai dasar identifikasi spesies. Dengan informasi variasi genetik yang diperoleh, diharapkan dapat membantu upaya pemuliaan dengan mengembangkan plasma nutfah, sedangkan kekerabatan yang diketahui, diharapkan dapat menjadi data dasar dalam usaha pelestarian porang (A. muelleri) di Jawa Timur. BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel dilakukan secara eksplorasi di hutan jati Kabupaten Jember (Desa Mayang), Malang (Kecamatan Lawang dan Kecamatan Kalipare), Blitar (Desa Brongkos), Nganjuk (KPH Tritik desa Bendoasri), Madiun (Desa Klangon, dan KPH Saradan), Bojonegoro (Kecamatan Klino), Jawa Timur. Ekstraksi dan analisis kekerabatan dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Kultur Jaringan dan Mikroteknik (FKM) dan Laboratorium Biologi Molekuler, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang. Produk PCR dikirim ke Macrogen Inc. Korea untuk mendapatkan hasil sekuensing. Pengambilan sampel dilakukan secara acak, yaitu memilih dua individu A. muelleri dalam satu populasi dengan jarak 5–10 meter dan memiliki corak tangkai yang berbeda dan terdapat bulbil pada percabangannya. Individu yang terpilih selanjutnya diambil tiga daun muda yang sehat.
Floribunda 4(6) 2013 Ekstraksi DNA dilakukan dengan mengikuti metode ekstraksi menggunakan CTAB (Doyle & Doyle 1987, Taberlet et al. 1991). Amplifikasi dilakukan menggunakan Master Cycler Gradient Eppendorf dan mengamplifikasi sebanyak 30 mL mix reaction yang terdiri dari 6 mL air milliQ, 15 mL PCR Intron Master Mix, 3mL Primer Forward (‘c’), 3 mL Primer Reverse (‘d’) dan 3 mL DNA sampel. Siklus amplifikasi terdiri dari 35 siklus dengan fase denaturasi awal pada 95°C selama 1 menit, denaturasi pada 95°C selama 45 detik, annealing pada 60.2–61.7°C selama 45 detik dan fase ekstensi pada 72°C selama 45 detik dan ekstensi terakhir 10 menit pada suhu 72° C. Amplikon hasil PCR yang selanjutnya dipurifikasi dan disekuensing di perusahaan Macrogen, Inc. Korea. ”Alignment” dilakukan secara langsung dengan menjajarkan sekuen menggunakan program Bioedit untuk Microsoft Windows dan dilakukan BLAST untuk mengkonfirmasi identitas gen. Sekuen yang telah disejajarkan kemudian diamati setiap basa nukleotidanya. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan basa nukleotida, mengetahui ”conserved region” dan pendugaan jenis perubahan (mutasi) yang terjadi. Selanjutnya dibuat pohon filogeni menggunakan metode Maximum Parsimony dengan program MEGA5 (Molecular Evolutionary Genetics Analysis) (Tamura et al. 2011). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pola pengelompokkan individu porang. HASIL Analisis Keragaman Genetik Berdasarkan Sekuen Intron trnL Sekuensing dari 16 individu porang menghasilkan 13 individu porang dengan hasil sekuen yang baik, yaitu memiliki grafik kromatografi yang jelas sehingga menghasilkan pembacaan sekuen yang tepat yang dapat digunakan dalam analisis selanjutnya. Tiga sekuen individu porang yang tidak dapat digunakan yaitu LW1, KP2, dan BL2, karena sekuen tersebut memiliki grafik kromatografi yang tidak dapat dibaca dengan jelas, sehingga menghasilkan pembacaan sekuen yang rancu. Ketiga sekuen tersebut tidak digunakan dalam analisis selanjutnya. Berdasarkan sekuen dari 13 individu porang, diketahui sebanyak 6 daerah yang tidak mengalami perubahan basa. Keenam region ini diduga merupakan “conserved region”. Keenam “conserved region” tersebut adalah pada posisi basa ke: 54–151; 153–177; 179–285; 287–302; 337–430;
131 dan 432–458. “Conserved region” terdiri atas basa yang berulang dan memiliki kemiripan basa nukleotidanya. Selain “conserved region”, diketahui juga adanya daerah yang mengalami perubahan basa. Daerah ini diduga merupakan “variable region” dan menjadi “site of mutation”. “Site of mutation” ini diketahui terjadi pada 52 daerah, yaitu pada basa ke 1–53;152; 178–179; 286; 456–570. Jenis basa yang berubah pada masing-masing “site of mutation” dapat di lihat pada Tabel 1. Nilai yang muncul pada titik (node) percabangan merupakan nilai bootstrap. Bootstrap merupakan nilai yang menyatakan peluang terjadinya perubahan susunan klad dan “sister klad” pada pohon filogenetik. Jika nilai bootstrap di antara 70–100 maka peluang terjadinya perubahan susunan klad adalah rendah, dengan demikian ketika dilakukan analisis, percabangan dan pohon yang dibentuk mencapai konsistensinya dan tidak akan berubah. Sebaliknya, jika nilai bootstrap kurang dari 70 maka peluang terjadinya perubahaan susunan klad adalah tinggi, sehingga ketika dilakukan analisis, percabangan dan pohon yang dibentuk masih dapat berubah-ubah (Simpson 2006). Pada gambar 1, nilai bootstrap klad I kurang dari 70 sehingga susunan “sister klad” dan anggotanya masih dapat berubah, demikian pula pada klad II, susunan “sister klad” dan anggotanya masih dapat berubah. Hal ini berbeda dengan nilai bootstrap antara klad I dan II yang mencapai lebih dari 70 yaitu 99, yang menunjukkan bahwa susunan kedua klad tersebut telah mencapai konsistensinya, peluang terjadinya perubahan susunan adalah rendah, sehingga ketika dilakukan analisis ulang akan tetap menghasilkan dua percabangan besar (2 “Major Klad”) pada individu porang tersebut. Pohon filogeni yang terbentuk (Gambar 1), menunjukkan 4 klad besar, yaitu klad I, II, III, dan IV. Klad I terdiri atas 3 sub-klad yaitu sub-klad pertama terbagi menjadi dua “sister klad”. “Sister klad” pertama terdiri dari individu Madiun2, Mayang1 dan Klangon1, “sister klad” kedua terdiri dari Madiun1, Tritik1, dan Tritik2. Sub-klad kedua terdiri dari Klangon2, Blitar1, Kalipare1 dan Klino2. Sub-klad ketiga terdiri dari individu Mayang2. Klad II terdiri dari individu Klino1 dan Lawang2. Klad III dan IV terdiri dari outgrup Margaritifer (A. margaritifer) dan Konkanensis (A. konkanensis). Analisis menggunakan Maximum Parsimony menghasilkan hipotesis hubungan kekerabatan infraspesies A. muelleri di Jawa Timur berdasarkan similaritas sekuen intron trnL (Tabel 2).
A
G
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
KL1
KL2
KN1
KN2
LW2
MD1
MD2
MY1
MY2
TR1
TR2
34
KP1
G C T T T G T G T T T G G
1
BL1
Sampel
BL1 KP1 KL1 KL2 KN1 KN2 LW2 MD1 MD2 MY1 MY2 TR1 TR2
Sampel
T C A T A A G
2
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
A
G
35
A G T A C T T T
3
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
C
G
38
T G G G A G G G A
4
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
-
A
41
C G C C C G C C C C C T T
5
A A A A A A A T A T A A G
6
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
-
A
49
T T T T T T T T T T T T A
7
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
C
A
53
T A G G G G G G G T
8
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
C
T
152
C C C C G C A C C C C C G
9
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
C
T
286
C A A A A G A A G A A A C
10
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
A
G
474
G T G G G A C G A G G G G
11 A C A A C T C A T A C A A
12
G
G
G
G
G
G
G
G
G
A
G
A
A
476
C C C C C C T C C C C C C
13
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
A
G
483
T A T T T T T T T T T T T
14 G A G G G G G G G G G G G
16
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
C
T
490
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
T
A
494
Sekuen ke-
T C T T T T G T T T T T T
15
Sekuen ke-
A A A G A A T G -
17
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
C
A
499
G A G G G G G G G G G G G
18
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
G
T
502
T T T T T C T T T T T T T
19
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
C
T
504
A C A A A A A A A A A A A
20
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
C
A
509
T C T T T T T T T T T T T
21 G T G G G G G G G G G G G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
A
C C G C G C G G G G G G G
23
521
22
Tabel 1. Perbedaan jenis basa pada urutan sekuen intron trnL dari 13 individu porang
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
A
T
532
G T A G A G A A T T A A T
24
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
C
T
543
A T A A A A A A A A A
26
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
T
C
551
C T C C C C C C C C C C C
28
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
G
A
G
556
T C T T T T T T T T T T T
29 A C A A A A A A A A A A A
30
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
G
T
563
A A C C C A C C C C C C C
31
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
A
T
570
T C T T T T T T T T T T T
32
132 Floribunda 4(6) 2013
Floribunda 4(6) 2013 Perbedaan genetik pada “sister klad” pertama yaitu individu Madiun2 dan Mayang1 adalah sebesar 2%, hal ini menunjukkan bahwa kedua individu tersebut memiliki kemiripan dalam susunan basa nukleotida. Perbedaan genetik Madiun2, Mayang1 terhadap Klangon1 adalah sebesar 2%, hal ini menunjukkan bahwa ketiga individu tersebut memiliki kemiripan susunan basa nukleotida, sehingga dikelompokkan ke dalam satu klad. Perbe-
133 daan genetik pada “sister klad” kedua yaitu individu Tritik1 dan Tritik2 adalah sebesar 2%, hal ini menunjukkan bahwa kedua individu tersebut memiliki kemiripan dalam susunan basa nukleotida. Perbedaan genetik Tritik1, Tritik2 terhadap Madiun1 adalah sebesar 1–2%, hal ini menunjukkan bahwa ketiga individu tersebut memiliki kemiripan susunan basa nukleotida, sehingga dikelompokkan ke dalam satu klad.
Analisis Kekerabatan Berdasarkan Sekuen Intron trnL
Madiun2 Mayang1 Klangon1 Madiun1 Tritik1 Tritik2
I
Klangon2 Blitar1 Kalipare1 Klino2 Mayang2 Klino1 Lawang2 Margaritifer
II
III
Konkanensis IV
Gambar 1. Pohon Maximum Parsimony dari 13 Individu Porang dan outgroup Perbedaan genetik pada sub-klad kedua yaitu individu Klino2 terhadap Kalipare1 adalah sebesar 8%, hal ini menunjukkan bahwa kedua individu tersebut memiliki kemiripan dalam susunan basa nukleotida yang rendah, meskipun terletak dalam satu titik percabangan yang sama (Gambar 1). Intron trnL berevolusi lebih cepat, sehingga memiliki variasi genetik yang tinggi dan memiliki perbedaan antar individu dalam satu spesies (Kuhsel et al. 1990). Sedangkan Klino2, Kalipare1 terhadap Blitar1 dan Klangon2 adalah sebesar 2%, hal ini menunjukkan bahwa keempat individu
tersebut memiliki kemiripan susunan basa nukleotida, sehingga dikelompokkan ke dalam satu klad. Perbedaan genetik sub-klad ketiga yaitu individu Mayang2 terhadap sub klad pertama dan kedua adalah sebesar 2–8% , hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki kemiripan dalam susunan basa nukleotida, sehingga berada pada klad yang sama. Perbedaan genetik pada klad II yaitu individu Klino1 terhadap Lawang2 sebesar 2%, hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki kemiripan dalam susunan basa nukleotida, sehingga berada pada klad yang sama.
134
Floribunda 4(6) 2013 Tabel 2. Nilai similaritas sekuen intron trnL pada 13 individu porang
Sampel
BL1
KP1
KL1
BL1
ID
KP1
0.917
ID
KL1
0.982
0.916
ID
KL
0.987
0.917
0.987
KL2
KN1
KN2
LW2
MD1
MD2
MY1
MY2
TR1
TR2
ID
KN1
0.977
0.916
0.989
0.982
ID
KN2
0.982
0.916
0.975
0.979
0.973
ID
LW2
0.97
0.916
0.986
0.977
0.985
0.97
ID
MD1
0.98
0.912
0.987
0.989
0.985
0.979
0.979
MD2
0.977
0.916
0.986
0.985
0.985
0.984
0.98
0.987
ID
MY1
0.979
0.914
0.987
0.991
0.984
0.975
0.979
0.994
0.989
ID
MY2
0.98
0.917
0.998
0.985
0.991
0.975
0.987
0.986
0.986
0.986
ID
TR1
0.98
0.916
0.987
0.989
0.984
0.979
0.98
0.994
0.985
0.991
0.986
ID
TR2
0.98
0.909
0.982
0.977
0.977
0.973
0.972
0.98
0.977
0.98
0.98
0.982
PEMBAHASAN Variasi Genetik Berdasarkan Sekuen Intron trnL Analisis perubahan basa yang terjadi pada masing-masing ”site of mutation” didasarkan atas perubahan basa tunggal terhadap basa dominan. Sebagai contoh, pada sekuen ke 34, basa Adenosin merupakan basa yang selalu ada pada tiap individu porang, dibandingkan dengan basa Guanin yang hanya ada pada salah satu individu, yaitu individu KP1. Dengan demikian, maka individu KP1 dinyatakan mengalami perubahan pada sekuen ke 34. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui daerah “site of mutation” dan jenis basa yang berubah pada masing-masing individu po-rang. Individu BL1 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 1, 2, 3, 4, 8, 10, 23, 24, 31, dan 476, serta mengalami delesi pada sekuen ke 17. Individu KP1 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 1, 2, 3, 5, 8, 11, 12, 14, 15, 16, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 28, 34, 35, 38, 53, 152, 286, 474, 476, 483, 490, 494, 499, 502, 504, 509, 521, 532, 543, 551, 556, 563 dan 570, serta terjadi delesi pada sekuen ke 41 dan 49. Individu KL1 tidak ditemukan terjadinya perubahan basa, tetapi terdapat delesi pada sekuen ke 8 dan 17. Individu KL2 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 32, 24 dan 476, serta terjadi delesi pada sekuen ke 2, 3, 4 dan 17. Individu KN1 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 3, 9 dan 12, serta terjadi delesi pada sekuen ke 2, 8 dan 26. Individu KN2 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 1, 2, 3, 4, 5, 10, 11, 12, 19, 23, 24 dan 31, tetapi tidak ditemukan adanya delesi. Individu LW2 mengalami
ID
ID
perubahan basa pada sekuen ke 9, 11, 12, 13, 15 dan 17, serta mengalami delesi pada sekuen ke 26. Individu MD1 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 1 dan 6 serta mengalami delesi pada sekuen ke 2, 3 dan 4. Individu MD2 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 10, 11, 12 dan 24, serta mengalami delesi pada sekuen ke 2 dan 3. Individu MY1 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 6, 17 dan 24, serta mengalami delesi pada sekuen ke 2, 3 dan 4. Individu MY2 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 12 dan mengalami delesi pada sekuen ke 8 dan 17. Individu TR1 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 1, 5 dan 17, serta mengalami delesi pada sekuen ke 2, 3 dan 4. Individu TR2 mengalami perubahan basa pada sekuen ke 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan 24, serta mengalami delesi pada sekuen ke 17. Pada analisis di atas, diketahui individuindividu yang mengalami perubahan basa nukleotida paling sering dan jarang. Adapun individu dengan perubahan basa nukleotida paling sering sampai jarang, berturut-turut adalah KP1, KN2, BL1 dan TR2, LW2, MD2,KL2, KN1, MY1, TR1, MD1, MY2 dan KL1. Sedangkan delesi paling banyak dialami oleh individu KL2, KN1, MY1, TR1, KP1, KL1, MD2, MY2, BL1, LW2, TR2 dan KN2. Perubahan basa yang diamati pada ketigabelas individu porang menunjukkan bahwa individu KP1 mengalami banyak perubahan basa, jika dibandingkan dengan individu lain. Adapun jumlah perubahan yang terjadi pada individu KP1 adalah sebanyak 45 perubahan. Delesi paling banyak terjadi pada individu KL2 yaitu sebanyak 4 delesi. Perubahan basa yang terjadi merupakan substitusi,
Floribunda 4(6) 2013 yaitu perubahan basa purin menjadi basa subsekuennya, yaitu pirimidin. Perubahan basa dan delesi pada sekuen tersebut mempengaruhi variasi genetik, sehingga mempengaruhi hubungan kekerabatan tanaman porang. Adanya delesi pada suatu sekuen menyebabkan proses translasi yang menghasilkan protein yang berbeda dari protein yang seharusnya. Perubahan protein yang drastis ini dapat menyebabkan perubahan morfologi (Yuwono 2005). Pada penelitian ini, tidak tampak adanya pengaruh perubahan basa dan delesi terhadap variasi morfologi. Hal ini ditunjukkan oleh individu KP1 dan KL2. Individu KP1 diketahui memiliki perubahan basa terbanyak jika dibandingkan dengan individu lain, tetapi ciri morfologi yang menonjol, yaitu corak tangkai daun yang tidak berbeda jauh dengan individu lainnya (LW2, BL2, TR2 dan KN2). Sedangkan KL2 yang diketahui memiliki jumlah delesi sekuen terbanyak, juga memiliki ciri morfologi yang sama dengan MD1 dan KP2. Jika sekuen antara KP1 disejajarkan dengan LW2, TR2 dan KN2 menunjukkan tidak adanya korelasi antara variasi genetik dengan kesamaan karakter morfologi yang dimiliki. Hal tersebut juga terjadi pada pensejajaran sekuen KL2 terhadap MD1 dan KP2. Hal ini ditunjukkan juga pada pohon Maximum Parsimony (Gambar 1), yaitu individu-individu yang memiliki kesamaan ciri morfologi tidak mengelompok ke dalam satu titik percabangan yang sama. LW2, KP1, BL2, TR2 dan KN2 yang secara morfologi memiliki kesamaan corak tangkai daun tidak mengelompok dalam satu titik percabangan. Demikian juga pada KL2 dan MD1 yang tidak berada dalam satu titik percabangan yang sama. Dengan demikian dapat dibuat kesimpulan bahwa variasi genetik intron trnL pada ketigabelas individu porang tidak mempengaruhi perubahan morfologi. Gen trnL (UAA) merupakan gen yang berperan dalam pembentukan protein Leusin, tidak pada pembentukan corak tangkai daun. Lebih lanjut, variasi genetik pada intron trnL tidak mempengaruhi variasi morfologi, karena sifat dan peranan alami intron trnL tersebut yang tidak mengkode protein tertentu dan mengalami ”splicing” saat proses sintesis protein. Intron trnL merupakan intron Group 1 yang diketahui sebagai intron tertua (ancient) yang mampu mengkatalisis pemotongan intronnya sendiri tanpa ”spliceosome”, sehingga mengalami ”self splicing” saat proses translasi mRNA (Costa 2004, Yuwono 2005). Sebuah studi terbaru melakukan uji coba menghilangkan empat sekuen ”conserved region”
135 dari non-coding DNA (intron) pada mencit dan diketahui tidak mengalami perubahan signifikan pada karakter fenotipnya (Ahituv et al. 2007). Dengan demikian, intron trnL tidak berpengaruh dan berperan dalam pembentukan corak tangkai daun Amorphophallus, karena mengalami ”splicing”, tidak ditranslasi dan tidak diekspresikan sebagai protein. Kekerabatan Porang Berdasarkan Sekuen Intron trnL Pohon filogeni yang terbentuk dari hasil analisis menggunakan Maximum Parsimony menunjukkan adanya monofiletik pada setiap kelompok taksa. Monofiletik memiliki arti bahwa setiap kelompok taksa berasal dari satu nenek moyang (ancestor) yang sama. Monofiletik menjadi parameter penting dalam analisis filogenetik, karena dalam analisis evolusi, jumlah ancestor yang lebih dari satu akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan perubahan karakter yang terjadi selama evolusi. Kerancuan tersebut terjadi akibat adanya ketidakpastian ancestor mana yang menurunkan karakter yang dimilikinya kepada taksa keturunannya (Simpson 2006). Perbedaan genetik pada masing-masing individu dalam klad menunjukkan tingkat kemiripan basa nukleotida yang dimiliki. Jika nilai perbedaan genetik adalah 1–2%, hal ini menunjukkan individu yang dibandingkan memiliki kemiripan susunan sekuen basa nukleotida dan diduga merupakan individu yang identik atau mirip. Sebaliknya, jika nilai perbedaan genetik lebih dari 2%, maka individu yang dibandingkan tidak memiliki kemiripan susunan sekuen basa nukleotida dan diduga merupakan individu yang berbeda atau spesies yang berbeda (Simpson 2006). Perbedaan basa tersebut menjadi ciri khusus yang dimiliki masing-masing individu. Dengan kata lain, menjadi karakter apomorphy. Nilai yang muncul pada node percabangan merupakan nilai bootstrap. Pada Gambar 1, nilai bootstrap klad I kurang dari 70 sehingga susunan “sister klad” dan anggotanya masih dapat berubah, demikian pula pada klad II, susunan “sister klad” dan anggotanya masih dapat berubah. Hal ini berbeda dengan nilai bootstrap antara klad I dan II yang mencapai lebih dari 70 yaitu 99. Hal ini menunjukkan bahwa susunan kedua klad tersebut telah mencapai konsistensinya dan peluang terjadinya perubahan adalah rendah. Nilai bootstrap ini juga menunjukkan kedua klad tersebut merupakan spesies yang sama tetapi diduga berbeda varian. Hal ini dikarenakan nilai bootsrap yang tergolong
136 tinggi yaitu 99 yang menunjukkan kepastian bahwa individu-individu dalam klad besar tersebut akan selalu terbagi menjadi dua. Bootstrap merupakan nilai yang menyatakan peluang terjadinya perubahan susunan klad dan “sister klad” pada pohon fiogenetik. Jika nilai bootstrap diantara 70–100 maka peluang terjadinya perubahan susunan klad adalah rendah, dengan demikian ketika dilakukan analisis, percabangan dan pohon yang dibentuk mencapai konsistensinya dan tidak akan berubah. Sebaliknya, jika nilai bootstrap kurang dari 70 maka peluang terjadinya perubahaan susunan klad adalah tinggi, sehingga ketika dilakukan analisis, percabangan dan pohon yang dibentuk masih dapat berubah-ubah (Simpson 2006). Klad I dan II berada pada kelompok monofiletik, dengan demikian kedua klad besar tersebut memiliki ancestor yang sama dan diduga berasal dari daerah yang sama. Kedua klad tersebut monofiletik terhadap klad III yang merupakan outgroup, dengan demikian individu-individu yang berada pada klad I dan II merupakan spesies yang sama tetapi berbeda asal, dan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan outgroup karena memiliki ancestor yang sama. Penelitian tentang DNA porang pada analisis ITS dan analisis gen trn-F dan rbcL, menunjukkan bahwa porang yang berasal dari Madiun, Nganjuk, Bojonegoro dan Blitar adalah A. muelleri (Indriyani 2011). Analisis lebih lanjut menghasilkan dugaan asal usul pada masing-masing individu porang. Berdasarkan pada pola pengelompokkan individu yang acak, masing-masing individu tidak mengelompok berdasarkan populasi asal diambilnya individu tersebut. Pada gambar 1 tampak bahwa pada anggota “sister klad” pertama merupakan individu yang berasal dari Madiun, Mayang dan Klangon. Jika dilihat berdasarkan pohon yang terbentuk, individu Madiun2 dan Mayang1 berasal dari induk yang sama yang di duga berkerabat dengan Klangon1. Pada “sister klad” kedua individu Tritik1 dan Tritik2 berasal dari induk yang sama dan diduga berkerabat dekat dengan Madiun1. Kedua “sister klad” ini membentuk monofiletik dan dengan demikian diduga bahwa asal individu Madiun2, Mayang1, Klangon1, Madiun 1, Tritik1 dan Tritik2 berasal dari satu induk yang sama. Pada sub-klad kedua diketahui bahwa individu Kalipare1 dan Klino2 berasal dari induk yang sama yang diduga berkerabat dengan Blitar1. Dengan demikian induk dari Blitar1 dan Kalipare1 dengan Klino2 adalah sama yang diduga berkerabat dengan Klangon2. Berdasarkan penjelasan
Floribunda 4(6) 2013 diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa individu Madiun2, Mayang1, Klangon1, Madiun1, Tritik1, Tritik2, Klangon2, Blitar1, Kalipare1, dan Klino2 berasal dari satu induk yang sama. Analisis lebih lanjut menghasilkan dugaan bahwa induk dari sepuluh individu yang telah disebutkan di atas diduga berasal dari induk yang sama dengan individu Mayang2. Selanjutnya, induk individu Klino1 dan Lawang2 diduga juga berasal dari induk yang sama dengan induk antara Mayang2 dan sepuluh individu sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh individu yang diteliti berasal dari satu induk yang sama. Asal induk tersebut belum diketahui secara pasti, sebab jika ditelaah berdasarkan kondisi geografis, individu-individu yang terletak pada geografis yang sama yaitu seperti Madiun, Klangon, Klino, Tritik tidak mengelompok menjadi satu yang menunjukkan adanya hubungan kekerabatan dengan lokasi geografis. Dengan demikian, asal porang di masing-masing lokasi penelitian tidak dapat diketahui berdasarkan analisis secara geografis, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait analisis sosial budaya porang, untuk mendapatkan informasi originalitas porang di area studi. KESIMPULAN Variasi genetik intron trnL dipengaruhi oleh perubahan basa nukleotida dan delesi pada masing-masing individu.Intron trnL individu porang pada studi ini memiliki “conserved region” pada basa ke: 54–151; 153–177; 179–285; 287–302; 337–430; dan 432–458. Perubahan basa nukleotida terjadi pada 52 “site of mutation” yaitu antara basa ke 1–53;152; 178–179; 286; 456– 570.Individu dengan perubahan basa nukleotida paling sering sampai jarang, berturut-turut adalah KP1, KN2, BL1 dan TR2, LW2, MD2,KL2, KN1, MY1, TR1, MD1, MY2 dan KL1. Sedangkan delesi paling banyak dialami oleh individu KL2, lalu KN1, MY1, TR1, KP1, KL1, MD2, MY2, BL1, LW2, TR2 dan KN2. Seluruh individu yang diteliti berasal dari satu induk yang sama. Asal induk tersebut belum diketahui secara pasti, sebab jika ditelaah berdasarkan kondisi geografis, individu-individu yang terletak pada geografis yang sama tidak mengelompok menjadi satu yang menunjukkan adanya hubungan kekerabatan akibat lokasi geografis yang sama.
Floribunda 4(6) 2013 PUSTAKA ACUAN Ahituv N, Zhu Y, Visel A, Holt A, Afzal V, Pennacchio LA & Rubin EM. 2007. Deletion of ultraconserved elements yields viable mice. PLos Biol. 5: 9. Azrianingsih R, Ekowati G & Wahono T . 2008. Seleksi varian porang (Amorphophalls oncophyllus) berdasarkan struktur tanaman, kadar glukomannan dan Ca-oksalat umbinya. Laporan Hasil Penelitian Program Research Grant I-MHERE. Universitas Brawijaya. Malang. Cabrera LI, Salazar GA, Chase MW, Mayo SJ, Bogner J & Dávila P. 2008. Phylogenetic relationships of aroids and duckweeds (Araceae) inferred from coding and noncoding plastid DNA. Amer. J. Bot. 95(9): 1153– 1163. Costa JL. 2004. The tRNA Leu (UAA) Intron of Cyanobacteria. Towards understanding a genetic marker. Dissertation. Faculty of Science and Technology. Uppsala University. Swedia. Doyle JJ & Doyle. 1987. A rapid DNA isolation procedure from small quantities of fresh leaf tissues. Phytochem. Bull. 19: 11–15. Grob GBJ, Gravendeel B & Eurlings MCM. 2004. Potential phylogenetic utility of the nuclear FLORICAULA/LEAFY second intron: comparison with three chloroplast DNA regions in Amorphophallus (Araceae). Mol. Phyl. Evol.30: 13–23. Indriyani S. 2011. Pola pertumbuhan porang (Amorphophallus muelleri Blume) dan pengaruh lingkungan terhadap kandungan oksalat dan glukomanan umbi. Disertasi Program Pascasarjana, Universitas Airlangga. Surabaya. Jansen PCM, Westphal E & Wulijarni-Soetjipto N. 1996. Plant Resources of South-East Asia 9: Plants Yielding Non-Seed Carbohydrates. Prosea Foundation. Bogor. Jones CJ, Edwards KJ, Castagiole S, Winfield, F Sala MO, Wiel C van del, Bredemeijer G, Vosman B, Matthes M, Daly A, Brettsshneider R, Bettini P, Buiatti M, Maestri E, Malcevschi A, Marmiroli N, Aert R, Volckaert G, Rueda J, Linacero R, Vasquez A & Karp A. 1997. A reproducibility testing of
137 RAPD, AFLP and SSR markers in plants by a network of European laboratories. Molecular Breeding 3(5): 382–390. Kuhsel MG, Strickland R & Palmer JD. 1990. An ancient group I intron shared by Eubacteria and chloroplast. Science 250: 1570–1573. Poerba YS & Martanti D. 2008. Keragaman genetik berdasarkan marka random amplified polymorphic DNA pada Amorphophallus muelleri Blume di Jawa. Technology 9: 245– 249. Sedayu A, Eurlings MCM, Gravendeel B & Wilbert LA. 2010. Morphological character evolution of Amorphophallus (Araceae) based on a combined phylogenetic analysis of trnL, rbcL and LEAFY second intron sequences. Botanical Studies 51: 473–490. Selvaraj D, Sarmadan RK & Sathiskumar R. 2008. Phylogenetic analysis of chloroplast matK gene from Zingiberaceae for plant DNA barcoding. Bioinformation 3(1): 24–27. Simpson MG. 2006. Plant Systematics. Elsevier Academic Press. San Diego, California. Sumarwoto. 2005. Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) deskripsi dan sifat-sifat lainnya. Biodiversitas 6(3): 185–190. Taberlet P, Coissac E, Pompanon F, Gielly L, Miquel C, Valentini A, Vermat T, Corthier G, Brochmann C & Willerslev E. 2007. Power and limitations of the chloroplast trnL (UAA) intron for plant DNA barcoding. Nucleic acids research 35(3): 14. Taberlet P, Gielly L, Pautou G & Bouvet J. 1991. Universal primers for amplification of three non-coding regions of chloroplast DNA. Plant Mol. Biol. 17: 1105–1109. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M & Kumar S. 2011. MEGA5: Molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol. Biol. Evol. 28(10): 2731–2739. Tamura MN, Yamashita J, Fuse S & Haraguchi M. 2004. Molecular phylogeny of Monocotyledons inferred from combined analysis of plastid matK and rbcL gene sequences. J. Plant. Res. 117: 109–120. Yuwono T. 2005. Biologi Molekuler. Penerbit Erlangga. Jakarta.