Film sebagai media propaganda politik di Jawa pada masa pendudukan Jepang 1942-1945
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh: Widiatmoko C.0502055
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
i
FILM SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA POLITIK DI JAWA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945
Disusun oleh: WIDIATMOKO C0502055
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Drs. Andreas Susanto, M.Hum. NIP 19591129 198803 1001
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. NIP 19540223 198601 2001
ii
FILM SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA POLITIK DI JAWA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945
Disusun oleh: WIDIATMOKO C0502055
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal……………..
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
: Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum NIP 19540223 198601 2001
……………………..
Seketaris
: Insiwi Febriary Setiasih, SS, MA 19800227 200501 2001
……………………..
Penguji I
: Drs. Andreas Susanto, M.Hum NIP 19591129 198803 1001
……………………..
Penguji II
: Drs. Suharyana, M.Pd NIP 1958011 198603 1002
..................................
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A. NIP 19530317 198506 1001
iii
PERNYATAAN Nama : Widiatmoko NIM : C0502055 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Film Sebagai Media Propaganda Politik Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Halhal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari sanksi tersebut. Surakarta, April 2010 Yang membuat pernyataan,
Widiatmoko
iv
MOTTO
Dua Hal Yang Di sia-sia kan Manusia Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. : Rasulullah Saw pernah bersabda, "ada dua anugerah yang disia-siakan manusia: kesehatan dan waktu luang". (Sahih Bukhari)
Ketahuilah, bahwa hati itu bagaikan cermin, memantulkan bayangan dari semua yang ada di hadapannya. Karena itu manusia harus menjaga hatinya, sebagaimana ia menjaga kedua bola matanya (Al Habib Muhammad bin Abdullah Al-Idrus)
Apakah anda takut dengan masa depan? “Saya ragu Pak” jawab Ku Sedangkan dengan Bapak sendiri, Apakah Bapak takut dengan masa depan? “Tidak” jawabnya. “Karena didalam diri Saya ada banyak Sejarah” ia meneruskan jawabannya (Dialog si penakut)
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan pada : Ø Ayah dan Ibu tercinta kesabaran dan ke ikhlasan mu Membuat Ku selalu menangis Ø Kakak dan Adik-adik tercinta Tawa keceriaan yang tak akan habis Ø Keluarga Besar ku di situlah surga kecil ku
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulillah Segala puji dan syukur
kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Selama proses penyususnan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak baik dalam bentuk materi maupun dorongan moral yang besar artinya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada : 1. Drs. Sudarno, M.A. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa. 2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, serta selaku pembimbing akademik yang telah memberikan saran, pengarahan, motivasi dari awal perkuliahan sampai akhir studi dan yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa. 4. Drs. Andreas Susanto, M.Hum, selaku Pembimbing Skripsi, yang memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi ini. 5. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan. 6. Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Monumen Pres, Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran yang telah memberikan kemudahan bagi penulis untuk memanfaatkan fasilitas yang tersedia. 7. Staf bagian Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta, Staf Perpustakaan Nasional, Staf Japan Foundation, Staf Pusat Perfilman Nasional, dan Pusat Perfilman, Dokumentasi Usmar Ismail, dan Perum Pusat Film Nasional yang telah memberikan ijin dan kemudahan dalam melakukan penelitian. 8. Palm Camp. Cramat.
vii
9. Forum Lenteng Budi Wahyono, Nurul Hidayat, Winanto, Hendra. 10. Teman-teman Angkatan 2002. Empat Serangkai Oriza Vilosa, Ponco Suseno, Stevanus Yugo H (Crew Toko Buku dan Rumah Baca Bumi Manusia). 11. Asrama ceria. 12. LPM Kalpadruma. 13. Garba Wira Bhuana. 14. Jong Grha Dede, Widita, Panji. 15. Delapan Penjuru Muni Roh, Pras, Dharma, Iwan T. 16. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga amal kebaikan yang telah diberikan kepada penulisan mendapat imbalan setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Segala saran dan kritik yang bersifat membangun penulis terima dengan tangan terbuka. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Surakarta, April 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................
i
HALAMANPERSETUJUAN.......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN......................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................
vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii DAFTAR ISI ................................................................................................
ix
DAFTAR DAFTAR KOSAKATA DAN NAMA ORANG JEPANG.........
xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xvi
ABSTRAK ...................................................................................................
xvii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………...............
1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………. .
12
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….
12
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………
13
E. Tinjauan Pustaka …………………………………………………..
13
F. Metode Penelitian ………………………………………………….
18
G. Sistematika Penulisan ……………………………………………...
23
BAB II KEDATANGAN TENTARA PENDUDUKAN JEPANG……………………………………………………………….
24
A. Emigran Jepang ke Hindia Belanda ………………………………
24
B. Masa Akhir Pemerintahan Hindia Belanda ………………………..
29
C. Bergantinya Penguasa ……………………………………………..
35
D. Motif Pendudukan Jepang dan Mengambil Simpati……………….
45
E. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang Terhadap Indonesia……………………………………………………………
ix
49
BAB III MEDIA-MEDIA PROPAGANDA JEPANG ……………………
56
A. Sendenhan di Jawa ………………………………………………...
57
1. Ke Selatan………………………………………………………
57
2. Lahirnya Sendenhan..........……………………………………..
67
3. Pembentukan Departemen Propaganda (Sendenbu)……………
74
4. Sendenhan Mulai Beroperasi……………………………………
82
B. Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945……………………………..
85
1. Propaganda Jepang Sebelum Invansi ke Indonesia…………….
85
2. Alat Perang Propaganda Jepang………………………………..
89
a. Dari Pasukan Pena ke Barisan Propaganda………………….
89
b. Almanak Asia-Raya 2603……………………………………
92
c. Kebijakan Jepang Dalam Puisi Indonesia……………………
95
d. Foto di Surat kabar…………………………………………… 99 e. Lagu Jaesjio…………………………………………………..
106
f. Siaran yang Berperang……………………………………….
108
g. Film Bercerita Merupakan Raja Propaganda..........................
112
BAB IV MEDIA PROPAGANDA JEPANG MELALUI FILM………….
116
A. Film Sebagai Alat Perang Tanpa Senjata……………………………. 116 1. Kebijakan Jepang Mengenai Perfilman………………………….. 116 2. Munculnya Lembaga Film Buatan Jepang………………………. 119 B. Para Propagandis di Balik Layar…………………………………….. 122 1. Rancangan Propaganda Media Film…………………………….. 122 2. Propagandis di Balik Layar……………………………………… 123 C. Tema-Tema Film Propaganda……………………………………….. 126
x
D. Metode Penyebar Luasan Pemutaran Film………………………….. 143 1. Pemutaran di Bioskop…………………………………………… 145 2. Layar Putih itu Bernama Layar Tancap…………………………. 150 3. Boui Engo Kai (Badan Pembantu Prajurit)……………………… 153 a. Kebijakan Pembentukan Boui Engo Kai (Badan Pembantu Prajurit)………………………………………………………. 153 b. Pemutaran Film di Boui Engo Kai…………………………… 155 E. Promosi Film Bagian dari Seni Iklan………………………………… 158 1. Iklan Surat Kabar………………………………………………… 158 2. Peran “Pasukan Kuas” di Sendenhan…………………………….. 163 F. Seni Sebagai Media Perlawanan Terhadap Propaganda Jepang……... 165 1. Keimin Bunka Shidosho…………………………………………… 166 2. Seni Sebagai Wahana Penyampaian Aspirasi Bangsa Indonesia… 170 G. Perselisihan Sendenhan dengan Gunseikanbu………………………… 185 H. Respon Masyarakat Terhadap Aksi Propaganda Jepang Melalui Media Film……………………………………………………………………. 200 BAB V KESIMPULAN……………………………………………………… 207 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 211 LAMPIRAN …………………………………………………………………. 221
xi
DAFTAR KOSAKATA DAN NAMA ORANG JEPANG Nama
Arti
Doméi
Nama kantor berita Jepang
Éiga Haikyû Sha
Perusahaan Distribusi Film; disingkat menjadi Eiha
Éiga Hô
Undang-Undang Film
Éihai
lihat Eiga Haikyu Sha
Gunséibu
Badan Pemerintahan Militer
Gunséikan
Kepala Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa
Gunséikanbu
Markas Besar Pemerintahan di Jawa
Gunshiréibu
Komandan Militer
Hôkokukai
lihat Nihon Bungaku Hokokukai
Hôsô
Kanrikyoku Biro Pengawas Penyiaran di Jawa
Jawa Éiga Kôsha
Korporasi Umum Film di Jawa
Jawa Hôkôkai
Himpoenan Kebaktian Rakjat di Djawa
Jawa Shinbunkai
Gaboengan Persoeratkabaran di Djawa
Jawa Shinbunsha
Perusahaan Surat Kabar di Jawa
kamishibai
Pergelaran cerita bergambar yang teksnya dibacakan oleh seorang tukang
Kéimin Bunka Shidôsho
Poesat Keboedajaan; disingkat menjadi Keimin
Kén’étsuhan
Barisan Sensor Militer
Naikaku Jôhôbu
Bagian Penerangan Kabinet
Naikaku Jôhôkyoku
Dinas Penerangan Kabinet; disingkat menjadi
Johokyoku Nichiéi
lihat Nihon Eiga Sha
Nihon Bun’gaku Hôkokukai Perhimpunan Sastrawan untuk Pengabdian pada Negara; disingkat menjadi Hokokukai Nihon Bun’géika Kyôkai
Lembaga Sastrawan Jepang
Nihon Éiga Sha
Perusahaan Film Jepang; disingkat menjadi Nichiei
Pén Butai “Pasukan Pena” Séndénbu
Bagian Propaganda di Jawa
xii
Séndénhan
Barisan Propaganda di Jawa
Taiséi Yokusan Kai
Persatuan Pembantu Pemerintahan Kekais
Daftar Nama Orang Jepang
Nama
Peran
Abé, Tomoji
Novelis Anggota Sendehan
Adachi, Hisayoshi
Pimpinan Sendenbu
Asano, Akira
Kritikus; Anggota Sendenhan
Békki, Atsuhiko
Geolog; Kepala Kantor Riset Budaya Daerah Selatan Nanpo Bunka Kenkyushitsu di Jawa
Gunji, Jirômasa
Novelis; Anggota Sendenhan
Hirano, Kén Kritikus
Tenaga Honorer di Johokyoku
Ichiki, Tatsuo
Penerjemah; Anggota Sendehan; Anggota Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia
Iida, Nobuo
Penggubah lagu; Anggota Sendehan
Imamura, Hitoshi
Komando Pasukan ke-16
Inoué, Shirô
Kepala Seksi Ketiga Bagian Kelima Johokyoku
Ishimoto, Tôkichi
Kepala Cabang Eihai di Jawa
Kikuchi, Kan
Novelis/Penulis Naskah Drama; Ketua Nihon Bungeika Kyokai; Pengurus Hokokukai
Kitahara, Takéo
Novelis; Anggota Sendenhan
Koiso, Kuniaki
Perdana Menteri
Kôno, Takashi
Pelukis; Pembimbing Bagian Seni Rupa Keimin
Konoé, Fumimaro
Perdana Menteri
Kumé, Masao
Novelis; Pengurus utama rangkap Direktur Administrasi Hokokukai
Machida, Kéiji
Pemimpin Sendenhan
Mitsuhashi, Tésséi
Kepala Cabang Nichie di Jawa
Miyamoto, Shizuo
Staf Strategi Pasukan Ke-16
Nakatani, Yoshio
Penerjemah; Anggota Sendenhan
xiii
Ôé, Kénji Novelis;
Anggota Sendehan
Okazaki, Séizaburô
Kepala Staf Pasukan ke-16 Rangkap Gunseikan Jawa
Ôki, Atsuo Penyair;
Anggota Sendenhan
Ono, Saséo Komikus;
Anggota Sendenhan
Ôya, Sôichi Jurnalis;
Anggota Sendehan; Pemimpin Pengurus Jawa Eiga Kosha; Kepala Kantor Besar Keimin rangkap Pembimbing Bagian Film Keimin
Ozaki, Shirô Novelis;
Pengurus tetap Hokokukai
Shimizu, Hitoshi
Propagandis Professional; Kepala Seksi Propaganda di Sendehan/Sendenbu
Shimizu, Norio Filsuf;
Anggota Sendenhan
Takéda, Rintarô
Novelis; Anggota Sendehan; Pembimbing Bagian Kesusastraan Keimin
Taniguchi, Gorô
Kepala Kantor Besar Jawa Shinbunkai
Térauchi, Toshikazu
Komando Tertinggi Pasukan Selatan
Tôjô, Hidéki
Perdana Menteri
Tomisawa, Uio
Novelis; Anggota Sendenhan
Yasuda, Kiyoo
Dramawan; pembimbing Bagian Seni Sandiwara dan Seni Tari Keimin
Yokoyama, Ryûichi
Komikus; Anggota Sendenhan
xiv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Perbandingan Jumlah Bioskop Th 1937 dan Th 1943 di Jawa……….147 Tabel 2 Pembagian Bioskop Dalam 4 Tingkat di Masa Pendudukan Jepang....148
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Oendang-Oendang No. 28........................................................ 221 Lampiran 2 Pendjelasan Oendang-Oendang No.27 dan 28.......................... 223 Lampiran 3 Kan Po (Berita Pemerintah) Pemerintah Agoeng…...................225 Lampiran 4 Sedikit Tentang Film “Pak Kromo”……………………………233 Lampiran 5 Studio Film Djawa……………………………………………..235 Lampiran 6 Para Pekerja Film……………………………………………….236 Lampiran 7 Para Penduduk Menonton Petunjukan Film……………………237 Lampiran 8 Barisan gambar Hidup………………………………………….238 Lampiran 9 Eiga Ho (Undang-undang Film)………………………………..239 Lampiran 10 Surat Perjanjian penyerahan Nippon Eiga sha………………...240 Lampiran 11 Gedung PPFN………………………………………………….241 Lampiran 12 Lirik lagu mari Menabung……………………………………...242 Lampiran 13 Lirik lagu Asia berpadoe………………………………………..243 Lampiran 14 Oendang-Oendang No. 8………………………………………244 Lampiran 15 Asia Raya………………………………………………………245 Lampiran 16 Oendang-oendang No. 2……………………………………….246 Lampiran 17 Oendang-oendang No. 1………………………………………247 Lampiran 18 Oendang-oendang No. 21…………………………………… ..248 Lampiran 19 Oendang-Oendang No. 16……………………………………..249 Lampiran 20 Oendang-oendang No. 6………………………………………...250 Lampiran 21 Oendang-oendang No. 29……………………………………….251
xvi
ABSTRAK
Widiatmoko. C0502055. 2010. Media Film Sebagai Alat Propaganda Film Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Skripsi Jurusan Sastra Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Perumusan masalah dalam penelitian ini meliputi (1) Mengapa Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik, (2) Bagaimana pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film di Jawa, (3) Bagaimana respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film. Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui penyebab Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik, (2) Untuk mengetahui pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film diJawa, (3) Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interprestasi, dan historiografi. Adapun data primer yang diperoleh melalui studi dokumen yang berupa arsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia dan Japan Foundation. Data primer itu ditunjang dengan wawancara dengan beberapa orang yang berhubungan dengan tema ini. Adapun data sekunder didapat dari buku, artikel dan makalah. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa Propaganda merupakan salah satu strategi jitu yang dipilih dan dijalankan oleh pemerintah Jepang di Jawa untuk menumbuhkan perasaan dan sikap antisipasi terhadap bangsa Barat. Propaganda juga dimaksudkan untuk membangun simpati masyarakat Indonesia terhadap Jepang. Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan berbagai media tersebut secara positif, terutama ditekankan kepada media yang mengusik “pendengaran dan penglihatan” (audio visual) seseorang. Media audio visual ini dianggap paling efektif untuk mempengaruhi penduduk yang tidak berpendidikan dan buta huruf serta haus hiburan. Film mempunyai keunggulan dalam mengekpresikan gambar bergerak yang dapat dengan mudah dimengerti oleh penonton. Sedangkan untuk kalangan terpelajar hal ini tidak berpengaruh karena sudah terbiasa akrab dengan berbagai jenis hiburan dan kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang pengetahuan yang luas karena akses informasi dan bisa memberikan landasan penilaian lebih rasional dan akurat mengenai isi pesan film.
xvii
ABSTRAK
Widiatmoko. C0502055. 2010. Film Sebagai Media Propaganda Politik Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Thesis Of History Department Of Fine Arts And Literature Faculty. Sebelas Maret University. Problem statements of this research consist of (1) Why does Japan employ movies as a means of political propaganda. (2) How is its implementation of Japan’s propaganda by making use movies in Java, (3) How are Javanese’s responses toward Japan’s propaganda through movies. Objectives of this research are (1) To reveal Japan’s reasons why movies are employed as a means of political propaganda, (2) To reveal its implementation of Japan’s propaganda by making use movies as their medium in Java, (3) To reveal Javanese’s responses toward Japan’s propaganda by making use movies as their medium. Research method employed is an historical approach, so that procedures applied in this research include heuristically approach, resource’s critic both internal and external, interpretation, and historiography. In addition, primary data obtained are through documentary study which is in form of archives from Arsip Nasional Republik Indonesia and Japan Foundation. Some persons which are relevant to this topic support the primary data as well. Besides, secondary data are obtained from books, articles, papers, etc. Based on analysis, it is concluded that propaganda is one of proper strategies chosen and applied by Japan’s government in Java to raise anticipation’s actions and feelings toward Western. Propaganda is aimed at building sympathy among Indonesians to Japan. Mainly, Japan’s propaganda during war era is characterized by the use of such medium in positive ways, to be the most effective way to influence uneducated and illiteracy society, which are passionate to entertainment. Movies are believed to express motion pictures which are easy and understandable to the viewers so well. In other side, for educated persons, it is not influential way since they are accustomed to sorts of entertainment, while, they own broader knowledge than the uneducated one. It is because they have an easy information access and are able to interpret more rationally and accurately concerning to messages of the movies.
xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah berakhirnya pemerintahan Belanda di Indonesia, maka dimulailah kekuasaan baru yang dipegang oleh Jepang.1 Dengan kekuasaan kependudukan Jepang ini, mereka segera menyusun pemerintahan di daerah yang harus membantu keinginan dan misi Jepang, yakni tercapainya kemenangan perang bagi Jepang. Sifat pemerintahan ini lebih tepat dikatakan sebagai pemerintahan pendudukan dari pada pemerintahan jajahan, sebab perang masih berlangsung dengan sengitnya. Adapun bentuk pemerintahannya adalah pemerintahan militer.2 Pada masa pemerintahan militer ini, kebijakan demi kebijakan yang diambil senantiasa didasarkan atas perkembangan perang yang sedang terjadi. Secara garis besar, kebijakan yang dibuat pemerintahan militer Jepang meliputi tiga tahap, yaitu: tahap pertama (1942-1943) adalah tahap persuasif, pada tahap ini jepang membuat dan memberikan janji-janji yang samar-samar mengenai konsesi-konsesi politik agar bangsa
1
Onghokham, 1989, Runtuhnya kekuasaan Di Hindia Belanda, Jakarta: PT.Gramedia,
2
Bayu Suryaningrat, 1981, Sejarah Pemerintahan Di Indonesia, Jakarta: Dewaruci Press,
hlm 220.
hlm 68.
xix
Indonesia bersedia bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang. Tahap kedua (1943-1944) adalah tahap partisipasi dan mobilisasi, pada tahap ini orangorang Indonesia dilibatkan dalam jabatan-jabatan pada kantor-kantor pemerintahan sebagai pendamping atau penasehat
pejabat
bagi
kepentingan
pemerintahan
pendudukan Jepang. Tahap ketiga (1944-1945) adalah tahap peningkatan mobilisasi dengan memberikan suatu janji-janji politik tentang kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.3 Secara operasional pemerintahan pendudukan Jepang dilaksanakan oleh kepala staf yang disebut Guenseikan. Guenseikan ini membawahi departemen-departemen (bu) yang terdiri atas somubu (Departemen Urusan Umum), Naimubu (Departemen Dalam Negeri), Sangyobu (Departemen Perekonomian), Zaimubu (Departemen Keuangan), Shidobu (Departemen Kehakiman), Keimubu (Departemen Kepolisian), Kotsubu (Departemen
Lalu
Lintas),
Sendenbu
(Departemen
Propaganda).4 Dalam rangka memperlancar pelaksanaan kebijakan mereka di wilayah pendudukan Jawa, Pemerintahan militer memerlukan alat untuk mengambil hati rakyat, dan alat inilah yang 3
Pemda Kotamadya TK. II, 1981, Sejarah Kota Bandung Periode Revolusi Kemerdekaan 1945-1950, Bandung, hlm 57. 4
Nugroho Notosusanto, dkk., 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta:Balai Pustaka, hlm 7.
xx
digunakan sebagai alat propaganda. Alat ini disalurkan ke lapangan- lapangan yang jauh lebih luas dari pada lapangan
kemiliteran,
oleh
karena
itu
organisasi
propaganda-propaganda yang dibentuk jepang mempunyai tugas menyalurkan pesan ke lapangan masyarakat umum, sampai ke lapangan penghiburan dan kebudayaan. Propaganda adalah penyiaran penerangan yang disiarkan dengan maksud mencari pengikut atau bantuan. Propaganda merupakan kata yang tidak asing lagi di kalangan orang Indonesia, terutama yang terlibat langsung dalam masa pendudukan Jepang. Perkataan ini memang sangat populer pada waktu Jepang menduduki Indonesia, dan merasuki hampir di segala aspek kehidupan. Propaganda Jepang dilakukan seiring dengan penaklukan terhadap negerinegeri yang didudukinya. Keinginan yang besar dalam penaklukan ini bukanlah suatu hal yang baru timbul di dalam sejarah Jepang. Anggapan sebagai “bangsa terpilih” menguatkan kepercayaan bangsa ini akan tugas suci Jepang untuk menaklukan dan menguasai negeri orang. Dua ribu enam ratus tahun yang lalu Djinanmu Tennc, kaisar Jepang yang pertama, disebut-sebut sebagai raja pemberi “sabda suci” Hakko Ichiu, yang bertujuan menaruh ke delapan penjuru arah mata angin di bawah panji-panji dari Nippon.5 Bahkan rencana tertentu di dalam politik penaklukan Jepang, seperti rencana “Lingkungan Kesemakmuran Asia Timur Raya”, dapat dicari kembali pada akhir abad-16. Jika Toyomi Hideyoshi, si 5
M.A. Aziz, 1995, Japan’s Colonialism and Indonesia, The Hague: M. Nijhoff, hlm 3.
xxi
Napoleon negeri Jepang itu, menyerang Korea dalam tahun 1592 sebagai batu loncatan untuk menguasai Tiongkok, tidak hanya bertujuan di situ saja. Politik Toyotomi Hideyoshi ialah suatu rencana kerajaan Asia yang besar dengan Tiongkok, Jepang dan Korea sebagai kelompok kesatuan yang pertama dan kemudian diperluas dengan wilayah-wilayah Asia lainnya, sampai-sampai kedaerah Nanyo atau daerah lautan selatan.6 Dalam melakukan ekspansi dan imperialisnya, Jepang tidak hanya menjalankannya secara membabi buta tanpa diiringi sikap moral dan maksud baik dari Jepang. Mereka selalu mengatakan hal-hal seperti: “ingin membebaskan bangsa asia dari penjajahan barat” atau yang lainnya seperti “menciptakan Lingkungan Kesemakmuran Asia Timur Raya terhadap negara-negara yang ditaklukannya”. Hal ini dilakukan untuk menciptakan citra dikalangan rakyat jajahan, bahwa sebenarnya Jepang mempunyai maksud yang baik dan cita-cita yang besar untuk kebesaran bangsa Asia. Dengan bantuan para propagandis yang bersama-sama datang dengan tentara Jepang, mereka terus giat dengan berbagai semboyan yang muluk-muluk. Semboyan-semboyan ini umumnya berdasarkan pada politik rasial. Kita masih ingat propaganda mereka di Indonesia yang berbunyi “Nippon-Indonesia samasama” dan “Asia untuk Orang Asia”. Semboyan ini sangat mempengaruhi orangorang Indonesia, baik tua maupun muda di kala itu, karena tidak banyak orang Indonesia yang mengenal dan mengetahui seluk beluk pemerintah pendudukan Jepang mendarat di pulau Jawa, mereka juga sering menyebut persamaan Nippon
6
Ibid., hlm 6.
xxii
dan Indonesia. Tentu saja hal tersebut sangatlah berkesan di hati orang-orang Indonesia pada mulanya. Hal yang paling utama dan paling giat yang dilakukan Jepang selama mereka
menduduki
apa
yang
mereka
namakan
daerah
selatan,
ialah
men”Jepang”kan penduduk, terutama angkatan mudanya. Men”Jepang”kan penduduk berarti melakukan penjajahan politik, ekonomi, dan budaya, sistem ini sudah terbukti bagi Jepang di negeri-negeri yang sudah jauh lebih dahulu dikuasainya seperti: Taiwan, Korea, dan Mancuria. Sistem penjajahan yang demikian membuktikan bahwa penduduk yang sudah diJepangkan lebih dahulu, mudah dikerahkan untuk berbagai macam usaha peperangan guna kebesaran negeri Matahari Terbit. Sebelum Jepang datang ke Indonesia usaha-usaha untuk menarik simpati orang Indonesia sudah pernah dilakukan. Seperti, diundangnya para tokoh pergerakan, baik pergerakan nasional maupun pergerakan Islam ke Jepang, untuk melihat-lihat keberhasilan yang telah dicapai Jepang. Kepada kaum pelajar, Jepang memberikan beasiswa bagi mereka yang ingin menuntut ilmu di sana. Pada masa pergerakan nasional banyak orang Jepang yang mencari nafkah di Hindia Belanda sebagai pedagang, Mereka dikenal sebagai tuan-tuan toko. Sikap mereka terhadap orang-orang Indonesia yang sangat ramah, menjadikan mereka mendapat simpati dari masyarakat. Maka tak heran ketika Jepang datang, sambutan yang hangat pun diberikan penduduk begitu antusias. Propaganda terus dilakukan. Untuk lebih memudahkan infiltrasi terhadap mereka dan untuk melaksanakan skema propaganda itu ke dalam operasi dilakukan dengan berbagai bantuan alat-alat
xxiii
media. Penggunaan media melalui surat kabar, poster, foto, siaran radio, pameran, pamflet, seni pertunjukan tradisional, pertunjukan gambar kertas, musik, sandiwara, drama, dan film. Di antara media tersebut penggunaan film merupakan alat propaganda yang paling efektif. Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan berbagai
media
tersebut
secara
positif,
terutama
ditekankan kepada media yang mengusik “pendengaran dan penglihatan” (audio visual) seseorang.7 Media audio visual ini dianggap paling efektif untuk mempengaruhi penduduk yang tidak berpendidikan dan buta huruf serta haus hiburan. Pada masa Jepang sendiri, film digunakan sebagai alat propaganda politik. Film mempunyai keunggulan dalam mengekpresikan gambar bergerak yang dapat dengan mudah dimengerti oleh penonton. Hal ini menyebabkan film dengan mudah mendapatkan banyak penggemar. Film merupakan salah satu media propaganda penting pada masa perang. Sebelum Perang Dunia Kedua, media ini tidak pernah digunakan sebagai alat indoktrinasi pilitik di Indonesia. Jepang merupakan satu-satunya negara yang memanfaatkan media film sebagai alat propaganda di dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kebijaksanaankebijaksanaan yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan pemutaran film di
7
Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan di Jawa 1942-1945, Jakarta: PT. Gramedia, hlm 237.
xxiv
Jawa masa pendudukan merupakan tiruan yang digunakan di Jepang masa perang melawan Cina tahun 1930-an.8 Segera setelah Angkatan Darat Ke-16 mengambil alih Jawa, staf Sendenbu bersama-sama pihak militer menyita semua perusahaan film, kemudian pada bulan Oktober 1942, mereka membentuk suatu organisasi sementara untuk menjalankan kebijakan film. Organisasi ini disebut Djawa Eiga Kosha (Korporasi Film Djawa) dan dikepalai oleh Oya Saichi, seorang penulis terkenal Jepang yang dipekerjakan sebagai anggota staf Sendenbu. Di Jawa, secara khusus dikembangkan produksi film yang bermula pada bulan September 1942, setelah korporasi film Jawa membuka studio mereka di Jatinegara, dan setelah bulan April 1943 dilanjutkan oleh Nicchi-ei (perusahaan film Jepang). Pada tahun 1943 perusahaan film Jepang memutar film-film produksinya sendiri. Film-film yang diputar biasanya berjangka waktu pendek, dan menggunakan kata-kata Indonesia serta bertema propaganda seperti film “Torpedo Tempaan Djiwa” yang bercerita tentang kejadiaan sebelum pecahnya perang asia timur raya.9 Film-film yang dibuat di Jawa, disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan lokal. Film-film ini merupakan propaganda dan bersifat instruktif. Salah satu contohnya adalah film “Neppu” yang berisi tentang anjuran agar giat bekerja di pabrik untuk dapat menghancurkan Amerika dan Inggris guna kemenangan tanah air.10 Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah pendudukan di mana penduduk Jawa akan dikerahkan untuk turut serta dalam peperangan. Untuk 8
Grant K. Goodman (edit), 1992, Japanese Cultural Policies in Southeast Asia during world War 2, New York: St. Martins Press, hlm 44. 9
Djawa Baroe, no. 24, 15 Desember 1944, hlm 31.
10
Djawa Baroe, no. 22, 1 agustus 1944, hlm 32.
xxv
itu, maka langkah awalnya adalah mengindoktrinasi mereka akan pentingnya perang bagi penduduk Jawa. Instruksi-instruksi yang terkandung dalam film tidak terbatas pada suasana politik dan spiritual tetapi juga termasuk ajaran-ajaran praktis dan teknis. Sebagai contoh film-film “Pemakaran Tombak Bamboe” dan “Indonesia Raja” mengajarkan ilmu militer dan lagu kebangsaan. Adapula film-film yang memberi pelajaran teknik pertanian dan kerajinan tangan seperti menenun, membajak tanah,menanam padi, dan membuat tambang. Film tentang Tanarigumi (rukun tetangga) menggambarkan kegiatan sehari-hari dari rukun tetangga dan untuk mengembangkan pemahaman peran dan sifatnya. Film Taiteki Kanshi (mewaspadai musuh) menginstruksikan bangsa Indonesia agar bersikap waspada terhadap musuh. Penggunaan film-film semacam ini sebagai sarana instruksi teknis secara keseluruhan merupakan suatu yang baru bagi orang Jepang maupun orang Jawa. Kenyataannya film-film masa perang ini dapat dianggap sebagai perintis pendidikan audio visual kontemporer.11 Topik film berita pada umumnya berhubungan dengan perkembangan politik dan gerakan massa. Kemudian disusul dengan topik film berita yang menyangkut masalah pertahanan dan ekonomi. Produksi film-film cerita dimulai beberapa waktu kemudian. Pertama, adalah “Kemakmoeran” yang diputar pada bulan Januari 1944. Kedua “Berdjoeang” yang diputar pada bulan Maret 1944. Tema-tema film ini didikte oleh Sendenbu. Staf Jepang dari perusahaan film Jepang membuat garis besar kisahnya, yang kemudian ditulis dalam bahasa Indonesia dan para pemerannya dipilih di antara penduduk Indonesia. 11
Aiku Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java Under the Japanese”, dalam Grant K Goodman (editor), hlm 52.
xxvi
Beberapa kategori film yang telah diproduksi dapat digolongkan pada
empat
bagian,
yakini
1)
film-film
yang
menggambarkan kekuatan militer Jepang mengalahkan pasukan Inggris dan Amerika 2) film yang dibuat setelah awal 1943 yang memakai konsep religius dari Hakko Ichiu (delapan penjuru dunia di bawah satu atap) untuk memperkuat politik ekspansionis Jepang 3) film yang dibuat setelah akhir 1943 yang memberi tekanan pada peran yang dimainkan oleh masyarakat Indonesia di lingkungan kemakmuran Asia Raya dan 4) film yang dibuat setelah bulan November 1944 berisikan sekedar menyokong nasionalisme dan kesadaran bangsa Indonesia dalam mempertahankan dirinya.12 Untuk keperluan hiburan dan sekalipun alat propaganda dalam pemutaran film, Jepang menggunakan bioskop-bioskop yang awalnya milik orang Cina. Namun karena kekuasaan jepang, diambil alih kepemilikannya. Setiap pemutaran film dikenakan Harga Tiket Masuk (HTM ). Harga itu sudah ditetapkan Jepang. Tiket untuk pribumi HTM-nya 10 sen, orang cina 25 sen, sedangkan kelas terhormat 50 sen dan satu gulden.13
12
Ibid, hlm 60.
13
Dr. Taufik Abdullah,1993, Film Indonesia, Jakarta: Dewan Film Nasional, hlm 294.
xxvii
Jepang dengan bantuan orang-orangnya, membuat jaringan propaganda disetiap sudut dan pelosok desa (desa mempunyai arti penting sebagai sumber bahan baku dan sumber tenaga manusia). Untuk Jawa dibentuk Chiho Kosakutai (Unit Operasi Distrik) yang meliputi kota-kota besar yakni: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.14 Untuk masyarakat,
menyebarluaskan di
samping
film-film
diputar
di
propaganda
tersebut
bioskop-bioskop,
Jepang
kepada juga
menyelenggarakan pemutaran film secara keliling yang kemudian dikenal dengan sebutan “layer tancep” (bioskop keliling)15 yang dimulai pada bulan Agustus 1942, khususnya untuk di Jawa. Kantor pusat Eihai (perusahaan distribusi film Jepang) mengirim 48 ahli proyeksi film disertai dengan fasilitas yang diperlukan untuk mempromosikan bioskop keliling di daerah-daerah pendudukan di Asia Tenggara. Enam antara para ahli ini dikirim ke Jawa. Pada bulan Desember 1945 lima basis operasional untuk bioskop keliling telah didirikan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Malang dengan 15 tim proyeksi. Beberapa diantaranya dikepalai oleh orang Jepang dan yang lainnya oleh orang Indonesia. Kelompok ini berkeliling dari desa yang satu kedesa yang lainnya dengan membawa proyektor film, generator dan film yang diangkut oleh sebuah truk.16 Biasanya hanya satu atau dua desa yang dipilih dari masing-
14
Asia Raya, 16 Mei 1944.
15
Ibid., hlm 295.
16
Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan di Jawa 1942-1945, Op. Cit., hlm 243.
xxviii
masing Son (sub-distrik) dan Gun (distrik) sebagai tempat pemutaran dan rakyat dari desa-desa tetangga diundang untuk menontonnya. Film-film dipertontonkan di alam terbuka bagi siapa saja tanpa dipungut bayaran. Sedangkan penduduk dari semua desa tetangga, sebelumnya diberitahu lewat para pejabat desa dan kepala tonarigumi. Karena terbatasnya produksi film-film lokal, maka pemerintah mengimpor film-film Jepang yang dipilih secara hati-hati dan hanya yang dianggap berguna bagi propaganda. Di Jawa beberapa dari film-film Jepang itu diputar dengan subjudul Indonesia. Terjemahannya dibuat oleh staf Eihai lokal yang mengerti bahasa Jepang dan Indonesia. Karena di Jawa tingkat buta huruf sangat tinggi, maka biasanya ada seorang penerjemah berdiri di samping layar, dan ia menjelaskan apa yang tengah diproyeksikan dengan bahasa apapun yang digunakan di daerah itu. Seorang penerjemah terkadang dipakai karena di Jawa sebagian besar penduduknya berbicara dalam bahasa-bahasa lokal seperti Jawa dan Sunda dan tidak fasih berbahasa Indonesia. Sebaliknya sedikit di antara penerjemah itu mengerti bahasa Jepang, dan tidak memungkinkan bagi mereka untuk membuat terjemahan kata demi kata. Maka langkah selanjutnya adalah para penerjemah itu sebelumnya mendapat penjelasan tentang isi film dan kemudian mereka menjelaskannya kembali secara umum kepada para penonton. Dampak dari pemutaran film tersebut adalah sangat sedikit untuk mendidik dan membentuk rakyat sesuai keinginan pemerintah, meskipun beberapa film militer mungkin berguna di dalam memberikan kesan kepada rakyat akan kekuatan militer Jepang. Film-film yang dibuat di Jawa jauh lebih efektif
xxix
bagi tujuan-tujuan propaganda, terutama film yang ditujukan pada pengajaran praktis dan teknis.17 Mengenai film-film yang di putar sebagai propaganda hanyalah film yang dinggap berguna bagi kepentingan Jepang. Jenis-jenis film yang dipertontonkan adalah film-film yang mengandung ajaran-ajaran moral dan indoktrinasi politik, seperti “Ke Seberang” yang diputar pada tahun 1944, atau film “12 Djam Sebelum Berangkat ke Medan Perang” yang dikehendaki pemerintah untuk ditransmisikan kepada penduduk Jawa.18 Film-film itu dikategorikan sebagai film “kokusaku eiga” (film-film kebijakan nasional), film-film kebijakan nasional itu bila ditinjau dari segi isinya dapat dibagi ke dalam enam kategori sebagai berikut: 1. Film yang isinya menekankan persahabatan antara bangsa Jepang dengan bangsa-bangsa asia serta pengajaran Jepang. 2. Film yang isinya mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap bangsa. 3. Film yang isinya melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer Jepang. 4. Film yang isinya menggambarkan kejahatan bangsa Barat. 5. Film yang isinya menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang. 6. Film yang isinya menekankan peningkatan produksi dan kampanye perang lainnya.19 Dengan pemutaran film yang dilakukan Jepang berpengaruh terhadap rakyat. Namun dalam menerima pesan Jepang tersebut terdapat keanekaragaman. Kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang pengetahuan yang luas, yang memberi landasan rasional
dan
akurat
17
Aiko Kurasawa, dalam grant K. Goodman, Op. cit, hlm 60.
18
Djawa Baroe, 1 Oktober 1944, hlm 32.
19
Aiko Kurasawa, dalam grant K. Goodman, Op. cit, hlm 239.
xxx
mengenai
isi
pesan
propaganda. Tetapi kalangan tidak terpelajar, yang kurang akrab dengan informasi, cenderung menerima propaganda sebagaimana adanya.20 Sejak diperkenalkan “gambar hidup”, dunia telah mengakui keunggulan film sebagai media komunikasi dan sekaligus sebagai media propaganda.
Film
tidak
hanya
merupakan
media
komunikasi massa, tetapi sudah lebih dari itu, bahkan telah menjadi instrumen yang dapat disesuaikan dengan maksud-maksud tertentu. misalnya saja sebagai instrumen politik. Penulis sendiri tertarik untuk meneliti masalah penggunaan film oleh Jepang sebagai sebuah instrumen politik, sehingga penulis berusaha untuk memperoleh gambaran seberapa besar efektif peranan film sebagai alat propaganda politik.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik? 2. Bagaimana pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film di Jawa? 3. Bagaimana
respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui
media film?
20
Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan di Jawa 1942-1945, Op.Cit, hlm 265.
xxxi
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini, sesuai dengan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui penyebab Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik. 2. Untuk mengetahui
pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film
diJawa. 3. Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film.
D. Manfaat Penelitian Dengan rumusan masalah seperti tersebut diatas, maka manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Secara Subjektif manfaat penulisan ini adalah Tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana, di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas sebelas Maret, surakarta. 2. Secara Objektif penulisan ini bermanfaat untuk pemgembangan ilmu sejarah dalam bidang kebudayaan khususnya sejarah perfilman yang selama ini kurang mendapat perhatian. 3. Memberikan masukan bagi pemerintah untuk digunakan sebagai acuan dalam mebuat kebijakan tentang film nasional dan juga menjadi masukan yang berharga bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
xxxii
E. Tinjauan Pustaka Peristiwa yang terjadi pada kurun waktu 1942-1945 sangat menarik untuk dikaji dan ditulis. Dalam penulisan sejarah ini menggunakan beberapa
literatur
yang
digunakan
sebagai
acuan.
Diantaranya berupa buku yang tentunya ada relevansinya dengan topik pembahasan. Aiko Kurasawa dalam sebuah buku yang berjudul Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan di Pedesaan di Jawa 1942-1945 membahas perubahan
mengenai kebijakan-kebijakan Jepang dan dibidang
sosialo-ekonomi
serta
dampak
psikologi yang terjadi dalam masyarakat di wilayah pedesaan kebijakan
Jawa.
Untuk
Jepang
bisa
memahami
kebijakan-
massa,
diperlukan
terhadap
akses/pendekatan dari berbagai aspek. Pendekatan tersebut memerlukan perangkat yang akan digunakan Jepang untuk menarik
kerja
sama
umum,
seperti
Propaganda,
pendidikan, serta mobilisasi politik. Dalam
rangka
untuk tercapainya kebijakan-kebijakan yang dipakai Jepang sebagai jurus dan usaha-usaha dengan membuat skema propaganda yang semenarik mungkin, sehingga masyarakat akan bersimpati dan ingin bekerja sama dengan pemerintahan Jepang.
xxxiii
Dalam kaitannya dengan propaganda, Aiko Kurasawa membahasnya dalam bab tersendiri. Salah satu media yang dipakai Jepang adalah film. Film sebagai media yang sangat efektif untuk alat propaganda. Dengan media tersebut Jepang memakainya sebagai
penarik
dan
mempengaruhi
jiwa
kolektif
masyarakat. Koichi Otani dalam bukunya yang berjudul Takeda Rintaro Biografi Kritis: Rintaro Takeda bagaimana bukunya menjelaskan perjuangan-perjuangan Sendenhan (barisan propaganda) yang dipimpin oleh Rintaro Takeda menyiapkan bahan propaganda sampai survey keliling jawa untuk mengumpulkan bahanbahan yang akan menjadi tema propaganda. Sampai akhirnya Takeda dan para barisan propaganda mengadakan pertunjukan film untuk penduduk setempat maupun prajurit Jepang di samping mementaskan pertunjukan sandiwara, tarian, dan musik. Dalam pementasan sandiwara, Takeda menjadi sutradara. Dalam buku biografi Hyoden: Takeda Rintaro yang berbahasa Jepang ini juga menggambarkan bagaimana Rintaro Takeda mempunyai rasa bertolak belakang terhadap sikap pendudukan Jepang di Jawa. Buku dengan penyunting utama A. B. Alpian dan J. R. Chaniago yang berjudul Di bawah Pendudukan Jepang: Kenangan 42 Orang yang Mengalaminya menjelaskan tentang bagaimana awal mula kedatangan Jepang ke Indonesia. Dimana pada tanggal 4 Maret tentara Belanda meninggalkan kota Batavia dan keesokan harinya 5 Maret 1942 ibukota Hindia –Belanda jatuh ketangan tentara pendudukan Jepang
xxxiv
Wilayah Hindia-Belanda yang pertama-tama jatuh kekuasaan Jepang adalah kepulauan Tambelan di Laut Cina Selatan yang diduduki pada tanggal 27 Desember 1941 dan tidak lama kemudian, tanggal 11 Januari 1942, Jepang mendarat di Tarakan (Kalimantan-Timur)
dan
Manado(Sulawesi
Utara).
Kemudian menyusul Balikpapan 24 Januari, Ambon 2 Februari, dan Makasar (Ujung Pandang) 9 Februari. Pendaratan di Sumatera Utara sendiri (termasuk pulau Sabang) dan timur dimulai tanggal 12 Maret dan 17 Maret 1942 Padang jatuh ketangan Jepang. Di Nusantara sebelah Timur Jepang melanjutkan pendaratan di Fakfak 1 April dan sorong 4 April, serta Ternate 19 April. Banda Neira, Buru, kepulauan Sula, Lombok, dan Flores diduduki dalam bulan Mei. Kronologi perluasan wilayah Jepang di Nusantara yang diuraikan di atas ini menujukan bahwa masa pendudukan Jepang tidak serentak dialami oleh bangsa Indonesia bersama-sama. Demikian pula berakhirnya masa pendudukan tidak sama. Buku
ini
juga
menjelaskan
usaha-usaha
Jepang
dengan
badan-badan
propagandanya untuk mendapatkan dukungan dan simpati rakyat
Indonesia
dengan
melancarkan
kampanye
propaganda. Salah satu usaha tersebut adalah dengan media film sebagai alat propaganda.
xxxv
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI yang ditulis oleh Marwati Djoened
Poesponegoro
dan
Nugroho
Notosusanto.
Dijelaskan mengenai perubahan sosial dan mobilisasi sosial masyarakat pada masa Pendudukan Jepang. Selama tiga
setengah
tahun
Pendudukan
Jepang
telah
mengguncang bukan hanya sendi-sendi Pemerintahan Hindia Belanda tetapi struktur masyarakat Indonesia sendiri. Kependudukan Jepang dengan militernya ke Indonesia dimulai tanggal 11 Januari 1942 di Tarakan Kalimantan Timur. Untuk bisa membuka Jawa, Jepang harus menguasai Palembang terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Februari 1942 Palembang berhasil ditaklukan sehingga Jawa pun sudah berada dalam genggaman. Tentara Militer Jepang kemudian menguasai Jawa dan akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang. Dr. Taufik Abdullah dalam bukunya Film Indonesia, menguraikan mengenai sejarah film yang ada di Indonesia bagaimana pengaruh dan perkembangannya serta dampak yang terjadi dalam masyarakat dan sosial-politik Indonesia. Dalam menyebar luaskan propaganda politiknya, Jepang memanfaatkan film yang
dianggap
ampuh
mencapai
penduduk,
yang
umumnya masih buta huruf, dan film adalah alat yang sangat efektif untuk mempengaruhi jiwa masyarakat agar
xxxvi
terpengaruhi
sehingga
menimbulkan sikap dan opini
publik terhadap Jepang. Jepang mempunyai badan dan pembantu-pembantu tersendiri dalam penanganan film yang akan dijadikan sebagai media propaganda. Dengan
badan
tersebut
akan
mempermudah,
memperlancar Jepang melakukan pengedaran, penyebaran, dan pendistribusian film yang berisikan tema propaganda. Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibawa kepada pola tingkah laku dan berfikir Jepang, propaganda ditujukan untuk mengindoktinasi bangsa ini agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkunagn Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Betapa propaganda memiliki arti penting bagi Jepang untuk menguasai wilayah dan rakyat Indonesia, sehingga bangsa itu pun telah mempersiapkan sistem propagandanya secara sistematis dan intensif sejak sebelum pelaksanaan invansi ke negeri ini. Melalu media film Jepang menerapkan propaganda-propagandanya seperti dijelaskan Kurasawa Aiko dalam bukunya Propaganda Media on Java Under Japanese 1942-1945”. Perkembangan Perfilman di Indonesia sendiri telah di sejak tahun 1926 ketika seorang porduser film bernama David membuat film bisu berjudul Lely Van Java di Bandung. Kemudian disusul film berjudul Eulis Atjih oleh produser Kruger Co 1927/1928 dan selanjutnya diproduksi film berjudul Lutung kasarung oleh Produser film Carli. Tahun 1936 dalam perkembangannya (ANIF) Algemen Nederlands Indische Film berdiri studio film yang didirikan oleh
xxxvii
Albert Balink bergerak dalam film-film berita dan film cerita. Film pertama yang dibuat studio itu adalah dengan judul Terang Bulan. Pada tahun 1941 pecah perang Asia Timur Raya dan awal tahun 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang maka seluruh kekayaan diambil alih termasuk studio-studio film dibawah pengawasan Sendenbu (Barisan Propaganda) seperti ditulis dalam sebuah karya Buku 50 Tahun Perum Produksi Film Negara yang diterbitkan oleh Direktorat Pemasaran PFN.
F. Metode Penelitian Untuk meneliti peranan film sebagai Media propaganda politik Jepang Yang terjadi pada tahun 1942-1945 penulis menggunakan metode
historis.
Menurut
Louis
Gottschalk,
yang
dimaksudkan dengan metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.21 Berbeda dengan ilmu sosial lain yang menekankan pada pengulangan dan objek yang bersifat general, sejarah justru meneliti sesuatu yang unik. Hal ini karena peristiwa sejarah adalah einmalegh. Artinya, peristiwa yang menjadi kajian sejarah tidak akan 21
Louis Gottschalk, 1986, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, hlm 18.
xxxviii
pernah mengalami pengulangan yang sama persis dalam konstruksi peristiwanya.22 Metode sejarah digunakan karena penggunaan metode harus disesuaikan dengan objek yang dikaji. Hal tersebut menurut Koentjoroningrat, metode yang merupakan cara kerja untuk dapat memahami objek harus sesuai dengan ilmu yang bersangkutan.23 Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan menggunakan ilmu komunikasi. Khususnya komunikasi politik.
Dalam
memahami
komunikasi
politik
ini
kemudian digunakan teori tentang propaganda. Hal ini karena propaganda merupakan salah satu cara dalam komunikasi politik yang sangat efektif dan sesuai dengan background yang akan diteliti. Pendekatan ini kemudian dijalankan dengan metode historis yang terdiri dari empat tahap. Tahapan dalam metode sejarah saling berkaitan antara tahap satu dengan tahap yang lainnya karena tahap yang dilakukan akan berurutan dalam cara kerjanya. Tahapan itu adalah Heuristik, Kritik Sumber, Inteprestasi, dan Historiografi.24
22
Peter Burke, 2003, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm
32. 23
Koentjaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat , Jakarta: P.T. Gramedia, hlm 7. 24
Nugroho Notosusanto, 1988, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: Yayasan Idayu, hlm 36.
xxxix
Tahap pertama adalah Heuristik, yaitu cara mengumpulkan bahan atau sumber-sumber sejarah dengan mengumpulkan jejak-jejak sejarah. Sumber-sumber sejarah tersebut tentunya yang sejaman dan dalam bentuk tercetak, tertulis maupun lisan. Dalam penulisan ini tehnik yang digunakan untuk mendapatkan sumber adalah dengan Studi Dokumen dan Studi Pustaka. Studi Dokumen dalam hal ini adalah suatu cara untuk mendapatkan data primer atau data sejaman atau sumber utama dari tangan pertama yang bisa digunakan untuk menceritakan peristiwa tersebut. Hal ini karena dalam ilmu sejarah tidak akan ada fakta “no fact no history”. Fakta dalam sejarah diartikan sebagai pernyataan atas kenyataan. Dokumen sendiri dibedakan menjadi dua yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas.25 Dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain. Dokumen dalam arti luas adalah termasuk didalamnya foto-foto, artefact, film dan lain sebagainya. Dokumen mempunyai arti yang sangat besar dalam metode penelitian Historis. Dalam dokumen, terkandung banyak data primer
25
Sartono Kartodirjo, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: P.T. Gramedia, hlm. 98.
xl
yang akan bisa menjelaskan peristiwa yang telah terjadi, semakin banyak data primer akan mendapatkan hasil sejumlah besar fakta. Hal ini karena dokumen dapat digunakan untuk menjawab 5W+1H (apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana).26 Dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya adalah arsip-arsip berupa surat resmi maupun tidak resmi, selebaran, foto, film, dan lain-lain. Arsip Adachi, Osahi, Yoshikawa, dan tsuda “Replies Of Questionaire Concerning Sendenbu” dalam arsip Kementerian pertahanan Belanda dengan No. GG-21-1947. Surat resmi yang dikelurkan oleh pemerintahan Jepang berkaitan dengan kondisi dan situasi sekitar keadaan politik pada masa itu yang diperoleh di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di antaranya: Undang-undang No. 1 Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon (7 Maret 1942), Undang-undang No. 2 Tentang Keamanan Masyarakat (Maret 1942), Undang-undang No. 6 tentang memakai waktu Nippon dan mengubah batasan berjalan diwaktu malam (27 Maret 1942), Undang-undang No. 8 tentang mengibarkan bendera “Kokki” (11 April
1942),Undang-undang
No.
27
tentang
perubahan
tata
pemerintahan daerah (5 Agustus 1942), Undang-undang No. 21 tentang pembatasan gelombang pesawat radio (16 juni 1942), Undang26
Sartono Kartodirjo, 1998, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif, Jakarta: P.T. Gramedia, hlm. 97.
xli
undang No. 16 tentang pengawasan baan-badan pengumuman penerangan dan pemilikan pengumuman dan penerangan (25 Mei 1942), Eiga Ho (Undang-undang Film Juli 1938, Eiga Ho petunjuk tambahan oktober 1939. Sumber lain tak kalah pentingnya adalah surat Pembentukan Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan) pada bulan April 1943, pembentukan Nihon Eigasha\Nichi’e (Perusahaan film Jepang) pada bulan April 1943 sebagai produksi film, Eiga haikyusha\Eihai (Perusahaan Pendistribusian Film) pada bulan April 1943 sebagai distribusi film, surat Perjanjian antara Nippon Eiga Sha Production, cabang Jakarta dan Berita Film Indonesia Jakarta (6 Oktober 1945). Di Pusat Perfilman Sinematek Usmar Ismail ada juga koleksi film-film bertemakan propaganda-propaganda Jepang seperti film berjudul Hawai-Marei Oki Kaisen (perang Laut dari Hawaii sampai Malaya), kris Pusaka, Gelombang dll. Juga dipakai sumber berupa surat kabar dan majalah yang memuat berita atau artikel mengenai propaganda Jepang serta hal-hal yang berkaitan dengan film yang bertemakan propaganda jepang. Mayoritas surat kabar yang diambil sebagai sumber adalah surat kabar nasional, dan hanya sedikit yang bersekala daerah, diantaranya Almanak Asia-Raya 2603: Tahoen I, Asia Raya, Djawa Baroe, Jawa Nenkan, Jawa Shinbun, Kan Po, Nihon Gakugei
xlii
Shinbun , Pandji Poestaka, Sande Mainichi , Serebes Shinbun ,Shin Jawa, Star News, Tjahaya, Tokyo Asahi Shinbun, Unabara, dan Wawasan Kepulauan yang kesemuanya itu berada dan diperoleh di perpustakaan nasional, monumen pers nasional, perpustakaan mangkunegaran, Arsip Nasional dan Japan Foudation. Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dengan mempelajari literatur serta buku yang relevan dengan pokok permasalahan. Data yang didapatkan dari studi ini adalah berupa data sekunder. Studi pustaka ini dimaksudkan untuk memperkuat dan menambah data untuk mendukung kelengkapan penulisan. Studi pustaka dilakukan diberbagai perpustakaan yang ada di Surakarta, Jakarta. Selain itu juga di perpustakaan lain yang menyimpan
koleksi-koleksi
buku
berkaitan
dengan
pokok
permasalahan dalam penelitian ini seperti perpustakaan Sinematek. Selain studi dokumen dan pustaka juga dipakai wawancara. Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dan pendukung data yang ada. Agar lebih kredibel dan valid maka wawancara dilakukan terhadap para pelaku sebagai cara untuk menginformasikan fakta yang telah ditemukan sebelumnya dan tentunya
mengklarifikasi serta mencari informasi baru yang
sebelumnya tampak bias pada penulisan sejarah.
xliii
Tahap kedua adalah Kritik terhadap bahan atau sumber yang telah
ditemukan.
Hal
ini
untuk
mendapatkan
keabsahan
(trustworthies) sumber. Dalam kritik ini terdapat dua jenis kritik yaitu pertama kritik ekstern untuk memastikan otensitas dan orisinalitas sumber, dan kedua kritik intern untuk memastikan kapabilitas dan validitas isi sumber. Tahap ketiga adalah intepretasi yaitu penafsiran terhadap sumber yang telah terseleksi, dimana tahap ini adalah pernyataan atas kenyataan berdasarkan sumber yang ditemukan. Intepretasi dalam hal ini adalah analisis terhadap sumber untuk menggambarkan fenomena yang diteliti. Pada tahap ini data-data dikerjakan dan diolah sedemikian rupa sampai berhasil menemukan kebenaran yang dipakai untuk menjawab permasalahan yang diajukan. Tahap Keempat adalah historiografi, yaitu penyusunan sumber-sumber data yang telah di seleksi ke otentikannya tersebut menjadi suatu kisah atau penyajian yang saling berhubungan dengan tetap mengutamakan aspek kronologis.
G. Sistematika Penulisan
xliv
Dalam penulisannya, seperti layaknya suatu karya ilimiah, maka penelitian ini mengandung maksud, agar memudahkan pembaca dalam memahami permasalahan yang disjikan. Untuk memenuhi hal tersebut maka skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode. Bab ini merupakan suatu gambaran penelitian secara umum. Bab II: Kedatangan Tentara Pendudukan Jepang. Bab ini memberikan gambaran mengenai bergantinya penguasa pemerintahan di Indonesia yaitu kedatangan tentara Jepang. Bab
III:
Media-Media
Propaganda
Jepang.
Bab
ini
menggambarkan tentang media-media yang dipakai oleh Jepang pada awal pendudukan Jepang dan menjadikannya sebagai media propaganda politik. Bab IV: Media Propaganda Jepang Melalui Film. Bab ini memberikan gambaran pengaruh dan respon masyarakat terhadap media film yang dipakai Jepang sebagai alat propaganda. Bab V: Kesimpulan. Bab ini merupakan rangkuman atau hasil akhir. Bab ini berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian.
xlv
BAB II KEDATANGAN TENTARA PENDUDUKAN JEPANG
A. Emigran Jepang ke Hindia Belanda Kedatangan orang-orang Jepang ke Hindia Belanda sebenarnya sudah berlangsung sebelum depresi ekonomi tahun 1929. Pada abad ke-17 di Batavia sudah terdapat 30 orang Jepang yang terlibat dalam perniagaan bahari.27 Kelompok ini semakin menjadi khusus dengan adanya kebijakan politik pintu tertutup28 Jepang dari hubungan luar negerinya yang dilakukan oleh Shogun Tokugawa pada tahun 1632 yang berakibat bahwa komunitas Jepang tersebut tidak lagi mempunyai kaitan dengan tanah airnya. Selain itu, tidak banyak yang diketahui tentang komunitas Jepang di Batavia dan Jawa pada abad ke-18 sampai paruh kedua abad ke-19. Emigran29 Jepang ke Hindia Belanda sendiri mulai kembali marak pada awal Restorasi Meiji sampai akhir tahun 1930-an. Perubahan yang dialami Jepang setelah Restorasi Meiji yang didasarkan oleh kebijakan nasional yang kuat dengan 27
Mona Lohanda, “Penetrasi Jepang di Perairan Hindia Belanda” prasarana yang disampaikan dalam seminar sehari Membangun Kembali Peradaban Bahari di Jurusan Sejarah FSUI, Depok, 24 April 1997. 28
Politik Pintu Tertutup (Sakoku) Jepang ini sudah berlangsung pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa mulai tahun 1603 sampai tahun 1862. Politik Pintu Tertutup ini pada awalnya dilaksanakan hanyalah berisi peraturan yang melarang orang asing dating ke Jepang, akan tetapi, pada tahun 1632, aturannya menjadi lebih ketat, melarang juga orang-orang Jepang berada di luar negeri untuk kembali ke Jepang. 29
Emigran adalah orang yang meninggalkan tanah tumpah darahnya dan pergi ke negeri lain untuk tinggal menetap disana. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), hlm 227.
xlvi
bertumpu pada slogan Fukoku Kyohei (Negara Kaya,militer kuat)30 yang untuk mewujudkan cita-cita itu diperlukan adanya tatanan politik, sosial, ekonomi, dan industri yang mendukung kebijakan tersebut. Jepang menginginkan agar mereka sejajar dan dapat diterima sebagai Negara modern, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa Barat yang sudah maju. Salah satu dampak dari Restorasi Meiji ini adalah terjadinya kemiskinan keluarga petani Jepang. Hal ini disebabkan industrialisasi merupakan kebijakan utama Jepang pada masa itu. Untuk mempertahankan hidup mereka, banyak di antara anak laki-laki Jepang dari keluarga petani tersebut mencari daerah baru guna memperbaiki kehidupan perekonomian keluarganya. Dalam tradisi budaya Jepang, anak laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya. Tanggung jawab ini sudah dipikul anak laki-laki Jepang sejak usia sangat muda yang bukan merupakan pewaris keluarga.31 Maka tidaklah mengherankan bila pada masa awal pemerintahan Meiji banyak emigran Jepang berasal dari keluarga miskin di daerah Selatan Jepang. Hal ini diungkapkan oleh pemilik toko Jepang di Jawa: Saya lahir sebagai anak kelima dari keluarga petani miskin di desa pegunungan Kyushu yang terpencil, dan tidak hentinya mendengar orang tua saya mengatakan “Alangkah sulitnya mencari nafkah”, mengalami kemiskinan dan ketidakberda-yaan hidup di pedesaan yang tidak pernah maju dari priode Meiji hingga Taisho. Akibatnya, saya memutuskan untuk berangkat ke negeri seberang dan mulai suatu hidup baru……32
30
Ken Ichi Goto, Sejarah Hubungan Antara Jepang dan Indonesia pada zaman Praperang, Japan Review, Maret 1987, hlm 20. 31
Ruth Benedict,1967, Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan Jepang, Jakarta: Sinar Harapan, hlm 59. 32
Ken Ichi Goto, “Kehidupan dan Kematian Abdul Rachman”: (1906-1949) Satu Aspek dari Hubungan Jepang-Indonesia” dalam Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Penyunting Akira Nagazumi, ( Jakarta: Obor Indonesia, 1988), hlm118.
xlvii
Selain sulitnya perekonomian Jepang, motivasi emigran Jepang ke Hindia Belanda juga didasari oleh berita keberhasilan orang-orang Jepang yang berniaga di Jawa yang dimuat dalam majalah Shin Sheinen (Pemuda Baru) dan lagu-lagu seperti “Bandit Berkuda” dan “Perantau” yang sangat menarik perhatian dan simpati terutama pemuda Jepang yang belum dapat menikmati hasil modernisasi di Jepang.33 Emigran Jepang di Hindia Belanda pada awalnya adalah Kimin, yaitu orang-orang yang ditelantarkan oleh Negara yang diselundupkan ke luart Jepang tanpa paspor untuk mencari pekerjaan di luar negerinya dan sering ditipu atau diculik, yang akhirnya membawa mereka ke Asia Tenggara.34 Emigran Jepang ke Hindia Belanda meningkat pada awal abad ke-20. gelombang kedatangan orang-orang Jepang terbagi dalam dua fase yaitu: 1. Awalnya tahun pemerintahan Meiji (tahun 1880-an) sampai akhir tahun 1910-an porstitusi merupakan mayoritas kegiatan orang Jepang terutama di Jawa.35 2. Awal tahun 1910-an sampai akhir tahun 1930-an. Pemilik toko bebas dan pegawai merupakan mayoritas kegiatan orang Jepang pertama di Jawa.36 Jumlah emigran yang meningkat terutama sesudah tahun 1920 lalu menimbulkan perdebatan di kalangan pejabat Hindia Belanda jika melihat pada 33
Goto, “Sejarah Hubungan Jepang dengan Indonesia”, op.cit., hlm 21.
34
Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi, Orang Jepang di Kota Koloni Asia Tenggara, (Jakarta: Obor Indonesia, 1998), hlm 4. 35
Hal ini dapat dilihat dari catatan pekerjaan para emigrant Jepang tersebut pada tahun 1910-an yang berjumlah 463 orang, 48% diantaranya atau 219 adalah karayukisan (wanita yang pergi ke Cina tetapi kemudian berkonotasi dengan pekerjaan sebagai prostitusi). Lihat Mona Lohanda, op.cit., hlm 2. 36
Saya Shiraishi, op.cit., hlm 12.
xlviii
catatan kependudukan bulan November 1920, jumlah emigran Jepang di Hindia Belanda seluruhnya berjumlah 4.148 orang, termasuk di Jawa 1.734 orang belum dianggap sebagai unsur yang berbahaya.37 Akhir Juni 1922 jumlah ini meningkat menjadi 4.496 orang tetapi pada bulan yang sama tahun 1923 jumlahnya menurun menjadi 4.233. Pada bulan Juni 1926 pemukiman Jepang di seluruh Hindia Belanda baru berjumlah 4.351.38 Jumlah emigran Jepang ke Hindia Belanda setelah Perang Dunia I juga menarik perhatian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Dapat diperoleh gambaran menarik mengenai kepentingan Jepang di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 1924 dari laporan konsul Amerika di Surabaya, Rollin R. Winslow, yang dikirim ke Washington D. C. Menurut laporan ini, populasi Jepang sebanyak 627 orang di Surabaya, 135 orang di Keresidenan Pasuruan, dan 23 orang di Malang. Ini merupakan perkembangan terakhir karena sudah terdapat arus masuk orang Jepang ke Hindia selama tahun perang. Mereka membuka toko-toko kecil dan tinggal di sana, dan pada tahun 1920-an tampak peningkatan perhatian pada karet dan perkebunan tebu.39 Menurut perkiraan sampai tahun 1939 jumlah emigran Jepang di Hindia Belanda berjumlah kira-kira 6.600 orang, sementara 4.000 orang Jepang bermukim di Jawa.40 Dari yang bermukim di Jawa ini, konsentrasi terbesar ada di
37
Mona Lohanda,op.cit., hlm 3.
38
Ibid.
39
Saya Shiraishi,op.cit., hlm 12.
40
‘Verslag van den Adjunct-Refrendaris ter beschikking vanm den Adviseur, Hoofd van den Dienst der Oost-Aziatische Zaken, H. Hagenaar, Omtrent een diienstreis naar de Provinciale Oost-Java, van 29 Oktober-11 november 1939”, dalam Binnenlands Bestuur no. 141 Arsip Nasional.
xlix
Surabaya yaitu berjumlah 1.371 orang. Namun jika melihat pada ketimpangan dibidang perdagangan ekspor impor kekuatan ekonomi Jepang di Hindia Belanda mulai memiliki dominasi di dalam perekonomian Hindia Belanda. Dibukanya konsulat Jepang di Batavia dan di Surabaya tahun 191941 merupakan institusi perwakilan resmi pemerintah Jepang di Hindia Belanda terutama di Jawa. Tugas pertamanya adalah pendataan terhadap orang-orang Jepang yang berada di daerah konsulatnya. Perhimpunan orang Jepang (Nihonjinkai) didirikan di Batavia tahun 1913 dan Surabaya tahun 1921. Tujuan perhimpunan ini adalah untuk menggalang “saling persahabatan dan informasi” diantara penduduk Jepang. Pimpinannya biasanya adalah orang-orang terkemuka Jepang diwilayahnya dan biasanya pendatang perintis. Dengan didirikannya perhimpunan orang Jepang paling tidak orang-orang Jepang yang dating ke Hindia Belanda terutama di Jawa mulai ada ikatan dengan Negara induk mereka. Hal ini dapat dipahami bahwa kehadiran mereka di sini seperti dijelaskan sebelumnya adalah orang-orang yang tidak terkordinasi oleh Negara dan pada umumnya mencari nafkah untuk memperbaiki perekonomian mereka.
Perhatian
yang
diberikan
oleh
pemerintah
Jepang
terhadap
masyarakatnya di luar negeri dirasakan sangat membantu kegiatan orang Jepang di Jawa. Sebagai contoh ketika konsulat dan Nihonjinkai belum terbentuk banyak di antara pedagang Jepang melindungi kegiatan dagang mereka sendiri padahal
41
Saya Shiraishi, op.cit., hlm 23.
l
ketika itu (pada awal abad ke-20 trutama sebelum tahun 1912) status social Jepang sudah disamakan dengan orang Jepang.42
B. Masa Akhir Pemerintahan Hindia Belanda Sejak 12 September 1931 Jhr. B. C. de Jonge, pengganti Jhr. Mr. A. C. D. de Graeff, telah menduduki jabatannya sebagai Gubernur Jenderal yang baru di Hindia Belanda. Ia dihadapkan pada situasi ekonomi dunia yang buruk. Untuk itu ia berusaha untuk tidak akan mempermudah segala tindakan para agitator politik Indonesia43 dimana dalam keadaan seperti itu yang lebih dipentingkannya adalah memelihara ketenangan dan ketertiban.44 Pada bulan September 1932, de Jonge menerapkan peraturan dalam bidang pendidikan yang dikenal dengan nama Organisasi Sekolah Liar (Wild Schoolen Ordonantie). Ordonansi ini pada pokoknya berisi tentang peraturan yng menetapkan bahwa semua guru sekolah swasta harus mempunyai izin khusus dari pemerintah setempat sebelum mereka diperbolehkan mengajar. Peraturan ini secara sekilas nampaknya memang sederhana. Tetapi yang memberatkan para guru sekolah swasta adalah untuk mendapatkan surat izin itu mereka terlebih dahulu harus mempunyai sertifikat dari sekolah negeri atau dari sekolah yang bersubsidi. Kecuali itu surat izin akan diberikan apabila dalam pandangan pemerintah setempat guru yang bersangkutan tidak membayangkan ketenangan dan ketertiban. Keadaan ini merupakan pukulan berat bagi sekolah42
Peter Post,1994, “characteristics Of Japanese Enterpreneurship in the Pre-war Indonesia Economy” dalam Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890’s-1990, J. Th. Lindblad (ed.), Amsterdam, hlm 299. 43
John Ingleson, 1983, Jalan Ke Pengasingan, Jakarta: LPES, hlm 176.
44
Ibid, hlm 197.
li
sekolah pribumi yang kebanyakan guru-gurunya lulusan sekolah tak bersubsidi, yang berarti tidak berhak mendapatkan sertifikat. Lebih menyulitkan lagi ijazah sekolah-sekolah swasta itu tidak diakui oleh pemerintah, sehingga para lulusan kemungkinan kehilangan untuk bekerja pada pemerintah. Ki Hajar Dewantara, seorang pendiri sekolah swasta Taman Siswa, menentang dengan keras atas diberlakukannya ordonasi itu. Melalui sepucuk suratnya yang ditujukan kepada de Jonge, ia menyatakan kekecewaannya atas keputusan pemerintah itu dan ia akan menentang dengan cara mengorganisir “perlawanan Pasif” terhadap ordonasi itu. Sikapnya ini memperoleh dukungan luas baik dari partai-partai politik maupun yang bukan, termasuk Indonesia Muda. Di dalam Volksraad, pemerintah mendapatkan protes keras dari Fraksi Nasional. M. H. Thamrin, yang menjadi ketuanya, menuntut agar pemerintah mencabut peraturan tersebut. Ia bersama dengan anggotanya yang lain mengancam akan mengundurkan diri dari dewan apabila tuntutannya tidak dikabulkan.45 Luasnya dukungan yang diberikan kepada Ki Hajar Dewantara, menimbulkan kekawatiran di kalangan pemerintah, sehingga pada bulan Februari 1933 ordonansi itu secara resmi dicabut.46 Pencabutan ordonansi ini merupakan kemenangan bagi kaum nasional yang harus dibayar cukup mahal. Bagi Indonesia Muda, dukungannya terhadap penentangan Ordonansi berakibat serius. Pada bulan Agustus 1933, pemerintah melarang para pelajar yang bersekolah disekolah negeri untuk menjadi anggota Indonesia Muda . Berbagai tekanan dilakukan pemerintah terhadap orang tua 45
Nugroho Notosusanto, dkk., 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, Jakarta:Balai Pustaka, hlm 222-225. 46
John Ingleson, op.cit, hlm 226-230.
lii
murid agar mengeluarkan anak-anaknya dari anggota Indonesia Muda, karena organisasi ini dianggap telah menyimpang dari tujuan semula.47 Tindakan pemerintah tidak hanya itu. Pada bulan Mei 1936, majalah Indonesia Muda dilarang terbit. Begitu pula dengan Kongres Indonesia Muda yang akan berlangsung pada bulan Juli tahun itu dilarang.48 Tindakan pemerintah yang menekan ini memaksa IM dalam konghresnya yang ke-6 pada akhir tahun itu di Surabaya, memutuskan untuk memperlunak sikapnya dimasa mendatang. Tindakan pemerintah terhadap partai yang berhaluan non-kooperatif lebih keras lagi. Pada tanggal 1 Agustus 1933, sehari sebelum diadakannya rencana rapat-rapat Partindo (Partai Indonesia)49 di Jakarta dan Bandung, Soekarno sebagai pemimpin partai ini ditangkap. H. Colijn, yang menjabat Perdana Menteri Belanda merangkap Menteri Urusan Jajahan, menjelaskan kepada Parlemen Belanda bahwa penangkapan itu disebabkan Soekarno telah menyebarkan gagasan-gagasan revolusioner sehingga membuat sebagian besar orang terdidik memusatkan perhatiannya pada kegiatan politik. Oleh sebab itu tindakan ini perlu diambil untuk melindungi ketertiban umum.50 Nasib yang serupa juga dialami oleh Mohammad Hatta dan St. Syahrir pemimpin PNI-Baru. Keyakinannya bahwa dengan kegiatannya yang lebih tertuju pada pembentukan kader daripada agitasi politik dapat menghindarkan
47
45 Tahun sumpah Pemuda,1974, Jakarta, Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta,
hlm 96. 48
A. K. Pringgodigdo, 1984, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,Jakarta: Dian Rakyat.
49
Partindo berdiri tanggal 1 Mei 1931. Partai ini dan juga PNI-Baru (Pendidikan Nasional Baru) merupakan pecahan dari PNI (Partai Nasional Indonesia) yang dibentuk tahun 1927 dan dibubarkan bulan April 1931. Ibid, hlm 111-116. 50
John Ingleson, op.cit,hlm 240.
liii
campurtangan pemerintah ternyata keliru. Pada tanggal 26 Februari 1934 mereka ditangkap. De Jonge menganggap kegiatan PNI-Baru lebih berbahaya dari pada Partindo. Alasan inilah yang menyebabkan mereka mendapat hukuman yang lebih berat dari Soekarno. Hatta dan Syahrir dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya, sedangkan Soekarno dibuang ke Flores.51 Tindakan menekan yang diambil pemerintah, serta penangkapannya terhadap para pemimpin nasionalis melumpuhkan gerakan non-kooperatif di Indonesia. Pada tanggal 18 November 1936, Partindo terpaksa membubarkan diri. Tidak lama lagi kemudian, pada bulan Mei 1937 sebagian besar anggota ini mendirikan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) tetapi telah meninggalkan azas non-kooperatif. Sedangkan PNI-Baru meskipun tidak pernah dibubarkan, secara praktis tidak ada lagi setelah kedua pemimpinnya ditangkap.52 Pada tahun 1935, PBI (Persatuan Bangsa Indonesia)53 bersama Budi Utomo membentuk Parindra (Partai Indonesia Raya) di bawah pimpinan Sutomo. Parindra merupakan gabungan dari beberapa partai seperti : Budi Utomo, PBI, dan Sarekat Sumatera. Sama dengan partai-partai lain, Parindra menganut azas kooperatif. Tidak ada pilihan lagi bagi kaum nasionalis dalam mengemukakan keinginannya selain dengan cara mengadakan kerja-sama dengan pemerintah. Sarana yang paling tepat untuk maksud ini adalah Volksraad (Dewan Rakyat) yang telah dibentuk tahun 1918. Mereka bersama-sama dengan kaum nasionalis 51
Bernhard Dahm, 1987, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: LP3S, hlm
211-212. 52
John Ingleson, op.cit, hlm 252.
53
PBI merupakan kelanjutan dari Kelompok Studi Indonesia yang berganti nama bulan November 1930, bid, hlm 139-140.
liv
lainnya dari berbagai wilayah di Indonesia memasuki Dewan ini, sehingga secara tidak langsung Volksraad menjadi tempat pertemuan dan sekaligus menyatukan mereka. Meskipun Dewan ini hanya berfungsi sebagai penasehat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, terutama mengenai anggaran belanja, tetapi ia mempunyai hak petisi yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal atau Ratu Belanda. Hak ini telah mereka gunakan dengan sebaik-baiknya untuk menyampaikan kritik-kritik yang tajam terhadap kebijaksanaan pemerintah tanpa takut mendapat hukuman.54 Pada tahun 1936 Sutardjo, wakil pegawai pemerintah di Volksraad, mengajukan sebuah petisi yang berisi mengenai perlunya dibentuk suatu dewan kerajaan yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil bangsa Indonesia dan Belanda. Di dewan ini nantinya mereka akan membicarakan hubungan antara kedua Negara berdasarkan konstitusi yang berlaku, serta akan mempertimbangkan kemungkinan peningkatan kedudukan Indonesia menjadi rekan yang sejajar dengan Belanda. Meskipun petisi ini tidak melanggar undang-undang dan telah setujui oleh mayoritas anggota dewan, pada bulan November 1938 pemerintah menolaknya55 dengan alasan bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab dalam memerintah diri sendiri.56 Penolakan terhadap petisi itu menunjukan kepada kaum nasionalis bahwa pemerintah kurang memperhatikan kepentingan pihak Indonesia. Sebagai reaksi terhadap sikap ini maka pada bulan Mei 1939, atas usaha Mohammad Husni
54
Bernhard Dahm, Op.cit, hlm 105-108.
55
Deliar Noer, 1982, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3S.
56
Nugroho Notosusanto,Op.cit, hlm 234-235.
lv
Thamrin membentuk Gapi (Gabungan Politik Indonesia). Dari penolakan petisi tersebut Gapi mempunyai keinginan dari pemerintah yaitu: 1. Hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. 2. persatuan nasional yang berdasarkan atas demokrasi politik, social dan ekonomi. 3. Sebuah parlemen Indonesia yang dipilih secara demokrasi yang bertanggung jawab kepada penduduk Indonesia. 4. persatuan diantara partai-partai politik Indonesia dengan negeri Belanda untuk membentuk barisan anti fasisme yang kuat.57 Sementara itu kaum nasionalis di dalam dewan terus mendesak pemerintah agar
pemerintah
mau
melakukan
perubahan-perubahan
dalam
bidang
ketatanegaraan. Akibat desakan ini maka, pada tanggal 14 November 1940, pemerintah membentuk sebuah komisi yang akan bertugas menyelidiki dn mempelajari perubahan-perubahan itu. Komisi ini diketuai oleh Dr. F. H. Visman.58 Oleh Abikusno Tjokrosujoso, rancangan Gapi tadi dibahas bersama didalam komisi ini pada tanggal 14 februari 1941. Namun, usaha ini tidak membawa hasil karena tuntutan Gapi oleh pemerintah dianggap hanya sebagai keinginan sebagian kecil orang Indonesia dan tidak didukung oleh mayoritas pemimpin intelektual dan rakyat.59 Sikap pemerintah Belanda yang tidak memperdulikan keinginan bangsa Indonesia membuat kaum nasionalis kecewa. Gerakan tentara Jepang yang semakin mendekati kepulauan Indonesia disambut dengan harapan
dapat
membawa perubahan-perubahan baru. Meskipun fasisme oleh sebagian kecil golongan intelektual dianggap lebih berbahaya daripada Belanda, namun sikap ini 57
George Mc. Turnan, 1980, Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Indonesia, hlm 221. 58
Nugroho Notosusanto,Op.cit, hlm 239.
59
Deliar Noer, Op.cit, hlm 234.
lvi
tidak dapat mempengaruhi sebagian terbesar penduduk Indonesia. Mereka percaya bahwa keadaan akan menjadi lebih baik dibawah pemerintahan Jepang atau setidak-tidaknya keadaan akan lebih buruk.60
C. Bergantinya Penguasa Jepang berhasil mengakhiri pertempuran-pertempuran di laut Jawa dengan kemenangan setelah berhasil mendaratkan Tentara Ekspedisi ke-16 di tiga tempat sekaligus, yaitu di Teluk Banten, Eretan Wetan, keduanya di Jawa Barat, dan di Kragan, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Maret 1942.61 Setelah pendaratan tersebut, ibu kota Batavia (Jakarta) dinyatakan sebagai “kota terbuka” yang berarti bahwa kota ini tidak akan dipertahankan oleh puhak Hindia Belanda. Semua orang penting yang ada di kota ini mengungsi ke Bandung dengan meninggalkan anak istri mereka, sesuai permintaan gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menghindari penuh sesaknya kota Bandung dan untuk mempertahankannya dengan lebih gigih lagi.62
60
George Mc. Turnan Kahin, Op.cit, hlm 124.
61
Lapian, dkk, Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988, hlm. 1-2. 62
Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm 256.
lvii
Setelah Batavia jatuh ke tangan mereka, tentara ekspedisi Jepang langsung bergerak ke Selatan dan berhasil menduduki Buitenzorg (Bogor). Dalam rangka penyerbuan kota Bandung, tentara ekspedisi yang mendarat di Eretan Wetan, sebelah barat Cirebon, terus menerobos ke lapangan terbang Kalijati yang hanya berjarak 40 kilometer dari Bandung. Setelah melalui pertempuran yang singkat tetapi hebat, tentara ekspedisi Jepang berhasil merebut lapangan terbang tersebut.63 Pada tanggal 5 Maret 1942, tentara ekspedisi Jepang bergerak dari Kalijati menyerbu Bandung dari arah Utara. Mulamula digempurnya pertahanan Ciater sehingga tentara Hindia Belanda mundur ke Lembang dan menjadikan kota tersebut sebagai pertahanan terakhir. Tempat inipun tidak berhasil diselamatkan dan dipertahankan sehingga tanggal 7 Maret 1942, petang hari, dapat dikuasai oleh tentara ekspedisi Jepang. Namun sehari sebelumnya, tanggal 6 Maret 1942, dikeluarkan perintah dari Panglima Tentara Hindia Belanda (KNIL), Letnan Jenderal Ter Poorten, kepada Panglima di Jawa Barat, Mayor Jenderal J. J. Pesman, untuk tidak mengadakan pertempuran di Bandung.
63
Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoenoed Poesponegoro (ed),1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 3.
lviii
Gubernur jenderal Tjarda Van Starkenborgh pun sependapat dengan Letnan Jenderal Ter Poorten bahwa saat itu Bandung telah penuh sesak dengan penduduk sipil, wanita, dan anak-anak, sehingga perlu dicegah terjadinya pertempuran di kota ini.64 Dengan
demikian,
kekuasaan
“350
tahun”
yang
telah
membelenggu bangsa Indonesia tinggal menunggu saat ajalnya saja. Sementara itu, pada tanggal 7 Maret 1942, tentara Jepang yang menduduki Batavia telah mengeluarkan Undang-undang No.1, yang menjadi pokok peraturan-peraturan tata negara pada masa Pendudukan Jepang. Undang-undang ini berisi peraturan antara lain: Pasal
1.
Balatentara
Nippon
melangsungkan
pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah yang telah ditempati agar supaya mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera. Pasal 2. Pembesar Balatentara memegang kekuasaan pemerintahan militer tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu berada di tangan gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pasal
3.
Semua
badan-badan
pemerintah
dan
kekuasaan hukum dan undang-undang pemerintahan 64
Ibid, hlm 4.
lix
dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. Pasal
4.
Bahwa
Balatentara
Jepang
akan
menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia pada Jepang.65
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.1 tersebut. Maka secara formal dimulailah Pemerintahan Militer Jepang diPulau Jawa, sementara itu penyerahan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda belum dilakukan. Kembali pada situasi kota Bandung, pada petang hari tanggal 7 Maret 1942, tak lama sesudah posisi tentara KNIL di Lembang berhasil diduduki, pasukan Belanda di sekitar Bandung mengajukan penyerahan lokal. Akan tetapi, Letnan Jenderal Immamura Hitoshi menuntut penyerahan total semua pasukan Serikat di seluruh Jawa (dan bagian Indonesia lainnya). Jika tidak mengindahkan ultimatum Jepang, maka kota Bandung akan di bom dari udara, Letnan Jenderal Immamura Hitoshi pun menuntut agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda ikut dalam
65
Dai Nippon Gunseibu, Oendang-oendang Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon No. 1-20, Betawi, Juni 1942, Hal.1.
lx
perundingan di Kalijati, yang diadakan selambat-lambatnya pada hari berikutnya.66 Akhirnya, “lambang” penguasa yang telah menguasai bumi Indonesia selama 350 tahun tanpa rasa puas, datang untuk menyaksikan kapitulasi tanpa syarat Angkatan Perang Hindia Belanda yang diwakili oleh Letnan Jenderal Imamura Hitoshi. Dengan demikian kekuasaan kemaharajaan Jepang di Indonesia resmi ditegakkan. Setelah dikeluarkan Undang-undang No.1 tanggal 7 Maret 1942, walaupun belum ada kapitulasi dari pihak Hindia Belanda, Jepang tampaknya sudah yakin dapat menguasai sepenuhnya keadaan, maka pada tanggal 8 Maret 1942, di Batavia, dikeluarkan lagi Undang-undang No.2 tentang keamanan masyarakat.67 Sementara itu sambutan masyarakat terhadap kedatangan tentara Jepang, yang penuh harapan tentang pembebasan, tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi di seluruh pelosok kepulauan Indonesia, bahkan di Sumatera Barat, Sumatera Timur, Sulawesi Utara dan Maluku, dibentuk panitia penyambutan lokal yang disponsori oleh orang-orang 66
pro-
Nugroho Notosusanto dan Mawarti Djoenoed Poesponegoro (ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.Cit, hlm 5. 67
Dai Nippon Gunseibu, Op.Cit, hlm 3.
lxi
Jepang. Dapat dipastikan bahwa sambutan yang sedemikian hangatnya itu disebabkan sikap tentara Jepang pada waktu itu yang simpatik dan ramah.68 Beberapa hari kemudian, pemerintah militer Jepang segera membentuk Chian Lji Kai atau Badan Pemelihara Perdamaian, yang langsung berada di bawah supervisi Jepang, yang ditangani Angkatan Darat yang telah berpengalaman dalam pendudukan Cina. Tugasnya adalah untuk memulihkan tatanan sipil dalam mewujudkan orang-orang nasionalis, dengan motivasi politik untuk membuat harapan bahwa badan ini akan menarik dukungan yang lebih besar dari masyarakat.69 Namun badan ini tidak berumur lama sebab segera dihapuskan, tetapi kemudian dibentuk Komite Rakyat yang lebih terencana dan terorganisasi oleh orang-orang nasionalis sebagai badan semi-politik yang independen. Tugas utama komite ini adalah membantu pasukan Jepang dalam mengambil alih kantor Belanda dan untuk memperoleh dekungan bagi pemerintah militer yang baru.70
68
George Sanford Kanahele, The Japanese Occupation Of Indonesia: Prelude to Independence, Ph.D. Thesis, Cornell University, 1967, hlm 26. 69
Ibid.
70
Ibid,hlm 28.
lxii
Komite Rakyat akhirnya dibubarkan dengan alasan bahwa karena tugas komite yang terbatas sebagai semacam polisi bantuan, sering disalah gunakan untuk mencoba memaksa para Sultan untuk turun tahta, di samping Jepang memberikan tuntutan
bagi
kemampuan
komite
untuk
menjalankan
pemerintahan lokal.71 Dengan dibubarkannya komite ini, maka dalam beberapa bulan saja pihak Jepang telah dua kali melakukan kebijaksanaan membuat Chian Lji Kai dan Komite Rakyat dimana orang-orang nasionalis ikut berperan di dalamnya, akan tetapi di kemudian hari dibubarkan dan hal ini juga telah dua kali menghancurkan harapan-harapan kaum nasionalis. Namun yang benar-benar dirasakan sebagai pukulan berat yang menusuk perasaan kaum nasionalis terjadi hanya beberapa hari setelah tentara Jepang berhasil mendarat di jawa, ketika dikeluarkannya Undang-undang No. 3 dan No. 4, pada tanggal 20 Maret 1942.72 Dengan undang-undang tersebut, penguasa militer Jepang di Jawa memutuskan untuk membubarkan partai-partai politik
dan
melarang
semua
71
Ibid, hlm 29.
72
Dai Nippon Gunseibu,Op.Cit, hlm 7-8.
lxiii
kegiatan
politik,
melarang
penggunaan bendera Nasional (Merah Putih). Tampaknya kegiatan-kegiatan
yang
pertama
dilakukan
pihak
Jepang
hanyalah untuk membesarkan harapan dan dukungan kaum nasionalis jika pasukan Belanda akan meneruskan pertempuran. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka mulailah terlihat apa maksud kedatangan tentara pendudukan Jepang di Indonesia yang sebetulnya tak lebih dari penguasa sebelumnya, karena Indonesia dikenal sebagai '‘gudang kekayaan yang luas"” Setelah merasa dapat menguasai keadaan sepenuhnya, maka pada tanggal 27 Maret 1942 dikeluarkan lagi Undangundang No. 6.73 yang pada pasal satunya mengatur penyesuaian penggunaan waktu Tokyo yang berselisih sekitar 90 Menit dengan waktu
Indonesia
bagian
Barat.
Pasal
kedua
mengenai
diberlakukannya jam malam, dan pasal ketiga mengenai dibatasinya penggunaan bahan bakar bensin. Dengan peraturanperaturan ini, semakin tampak bahwa penguasa yang baru ini menancapkan “kuku-kukunya” dan bukan sebagai “saudara tua” yang akan membebaskan “saudara mudanya”. Memasuki bulan April, roda pemerintahan militer Jepang sudah berjalan dengan normal, maka dengan situasi seperti ini 73
Ibid, hlm 7-9.
lxiv
pemerintah militer Jepang mulai memantapkan konsolidasi ke dalam dengan jalan mengadakan pendaftaran bagi orang-orang asing, kecuali bangsa Indonesia dan penduduk Jepang, yang diatur dalam Undang-undang No. 7, tanggal 11 April 1942.74 Kemudian pada tanggal 19 Aparil 1942, dikeluarkan lagi Undangundang No. 8.75 yang menetapkan bahwa pada tanggal 29 April 1942 dijadikan sebagai hari besar “Tenchosetsu” atau hari lahirnya Kaisar Jepang, yang patut dirayakan oleh seluruh penduduk yang tinggal di Indonesia dengan mengibarkan bendera “Kokki” atau bendera Matahari Terbit, selama tiga hari, pada tanggal 28,29,30 April. Dengan keluarnya Undang-undang No. 8 ini, maka pada hakekatnya pemerintah militer Jepang sudah secara terang-terangan ingin menjelaskan bahwa pusat kekuasaan dan orang yang paling berkuasa adalah Kaisar Jepang, sehingga patut dihormati dan harus tunduk pada perintahnya. Selain itu, bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar, tanggal 29 April 1942, sekolah-sekolah milik pemerintah dan partikelir (swasta) yang memakai bahasa Melayu, Sunda, dan 74
Ibid, hlm 9-10.
75
Ibid, hlm 13-14.
lxv
Jawa, serta Madura dibuka kembali setelah sebelumnya ditutup mengingat situasi perang, sesuai dengan Undang-undang No. 12 tentang Pembukaan Sekolah yang dikeluarkan pada tanggal 22 April 1942 (lihat lampiran).76 Bersamaan dengan tanggal tersebut dikeluarkan pula Undang-undang No. 13.77 yang pada pokoknya menginstruksikan agar kantor-kantor pemerintah, seperti: kantor Kas Negara, kantor Pajak Tanah, Rumah Gadai, kantor Perusahaan Monopoli Pemerintah, agar segera dibuka kembali. Seminggu setelah itu dikeluarkan Undang-undang No. 15 tentang penggunaan tarikh “koki” (perhitungan tahun bangsa Jepang) dan sejak itu angka tahun 1942 diganti menjadi tahun 2602. Pada pasal 2 Undangundang tersebut juga diterangkan mengenai sebutan bagi negara matahari terbit, yang harus disebut Dai Nippon atau Nippon, dilarang digunakan nama-nama yang berasal dari bahasa musuh, seperti Depjepoeng dan Japan.78 Pemerintah militer Jepang kelihatannya semakin hari menjadi semakin kuat setelah mengadakan beberapa konsolidasi
76
Ibid, hlm 14-15.
77
Ibid, hlm 15-17.
78
Ibid, hlm 20.
lxvi
ke dalam berbagai sektor. Dan setelah itu keadaan mulai aman, mereka menganggap sudah saatnya untuk mencabut segala macam larangan yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk meyakinkan penduduk pribumi bahwa Jepang datang ke Indonesia benar-benar hanya untuk membebaskan penduduk pribumi dari belenggu penjajahan. Sebagai realisasinya adalah keluarnya Undang-undang No. 18 pada tanggal 5 Juni 1942 tentang pencabutan jam malam,79 serta pada tanggal 15 Juli 1942, dikeluarkan Undang-undang No. 23 tentang pencabutan semua larangan berkumpul dan bersidang.80 Selain itu, pada tanggal 16 Juni
1942,
dikeluarkan
Undang-undang
No.
21
tentang
pembatasan gelombang.81, agar orang-orang tidak mendapat informasi
mengenai
situasi
peperangan
yang
sebenarnya;
informasi tersebut hanya boleh didapat atau didengar dari sumber-sumber pemerintah pendudukan Jepang. Kemudian pemerintah militer Jepang mempermudah koordinasi pemerintahan menetapkan pulau Jawa dibagi menjadi tiga Guneibu (pemerintahan militer) dan dua Kochi (daerah
79
Ibid, hlm 23.
80
Panji Poestaka, No. 16, 25 Juli 1942, hlm 564.
81
Panji Poestaka, No. 12, 27 Juni 1942, hal 429.
lxvii
Kesultanan),
yaitu
Yogyakarta
dan
Surakarta.
Ketiga
pemerintahan militer tersebut adalah: Jawa Barat dengan pusatnya Semarang dan Jawa Timur dengan pusatnya Surabaya. Kemudian Panglima Tentara ke Enambelas Letnan Jenderal Imamura Hitoshi, mengangkat kepala staf, Mayor Jenderal Okazaki Seizaburo, untuk membentuk pemerintahan militer di Jawa dan diangkat sebagai Guenseikan (kepala Pemerintahan Militer di pulau Jawa yang berkuasa penuh atas tiga wilayah pemerintahan tersebut.82 Gunseikan, pada awalnya dibantu oleh staf pemerintahan militer pusat dinamakan Gunseikanbu, yang terdiri dari 4 bu (semacam departemen) yaitu: shomubu (Departemen urusan Umum),
Zaimubu
(Departemen
Keuangan),
Sangyobu
(Departemen Perekonomian), dan Kotubu (Departemen Lalulintas), yang kemudian ditambah bu yang kelima, yaitu Shihobu (Departemen Kehakiman).83 Staf pemerintahan militer ini kemudian dikembangkan lagi, sehingga pada tanggal 1 Desember 1942, susunannya menjadi, Shomubu, Zaimubu, Sangyobu,
82
Panji Poestaka, No. 26, 3 Oktober 1942, hal 933.
83
Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoenoed Poesponegoro (ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.Cit, hlm7.
lxviii
Kotubu, Shihobu, Naimubu (Departemen Kepolisian), dan Sendenbu (Departemen Propaganda).84 Selain departemen-depertemen tersebut diatas, dibentuk pula beberapa jawatan seperti: Takishan Kanribu (Jawatan Harta Benda Musuh), Rikuyu Shokyohu (Jawatan Urusan Pengangkutan Darat), Stushin Shokyoku (Jawatan Urusan Pos), Honsho Kanrekyoku (Jawatan Pengawas Urusan Radio), Kaikei Kantokubu (jawatan pengawas urusan keuangan), Shaiko Hoin (Mahkamah Agung), Shaiko Kenshastukyoku (jawatan kejaksaan umum), Shaibai Kigyo Kanrikodan (Kantor pengawas perusaan kebun), Hundoshan Kanrikodan (Kantor urusan perumahan), dan Shiryoti Kanrikosha (jawatan urusan tanah partikelir).85 Untuk mengatur pemerintah di daerah, maka pada tanggal 5 Agustus 1942 dikeluarkan Undang-undang No.27 tentang perubahan tata pemerintahan daerah86 dan pada tanggal 7 Agustus 1942, dikeluarkan Undang-undang No. 28 tentang aturan pemerintahan Shu dan aturan pemerintahan Tokebetsu-Shi87 menunjukan berakhirnya pemerintahan sementara. Menurut 84
Panji Poestaka, No. 11, 8 Maret 1943, hal. 337.
85
Kan-po, No. 14, 10 Maret 1943.
86
Panji Poestaka, No. 23,12 September 1942 hlm.828.
87
Panji Poestaka, No. 19, 15 Agustus 1942, hlm.672.
lxix
Undang-undang No. 27 seluruh pulau Jawa dan Madura, kecuali kedua kochi, Jogyakarta dan Surakarta, (residen) yang pada prinsipnya sama dengan kekuasaan seperti Shi (walikota) sama dengan
Stadsgemente,
Ken
(kabupaten)
sama
dengan
Regentschap, Gun (kecamatan) sama dengan Onder District, serta Ku (desa) sama dengan desa, pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sesuai dengan Undang-undang No. 28, pemerintahan karesidenan (shu), untuk seluruh Jawa dan Madura, kecuali kedua kochi, mempunyai 17 shu yang terdiri dari 17 shu yang terdiri dari Banten Shu; Jakarta Shu; Kediri Shu; Kedu Shu; Madura; Shu Malang Shu; Madiun Shu; Pati Shu; Pekalongan Shu; Priangan Shu; Semarang Shu; dan Surabaya Shu;. Ke tujuh belas Shu ini ditambah dengan Jogyakarta Kochi dan Surakarta Kochi, serta Jakarta Tokubetsu-Shi. Dengan
demikian
lengkaplah
susunan
pemerintahan
Pendudukan Militer Jepang di Jawa, yang datang mengaku sebagai saudara tua yang akan membebaskan saudara muda nya, namun pada kenyataannya adalah sama dengan penguasa Belanda sebelumnya yang telah menguasai bumi Indonesia selama 350 tahun. Dengan susunan pemerintahan tersebut
lxx
penguasa seumur jagung menguasai Indonesia sampai jagung itu berbuah sendiri dimana bangsa Indonesia akhirnya sampai pada jembatan emas kemerdekaan.
E. Motif Pendudukan Jepang dan Mengambil Simpati Pada masa awal pendudukan Jepang, tidak begitu sukar untuk mendapat simpati rakyat Indonesia, karena propaganda Jepang sudah dimulai sebelum tahun 1942, yaitu dengan kedatangan propagandisnya seperti Ishika Shingo pada tahun 1938. Jepang datang ke Indonesia dengan usaha untuk menarik simpati orang Indonesia. Seperti diundangnya para tokoh pergerakan, baik pergerakan nasional maupun pergerakan Islam ke Jepang, untuk melihat-lihat keberhasilan yang telah dicapai oleh Jepang. Runtuhnya
kekuasaan
penjajahan
Belanda
dalam
waktu
singkat
menimbulkan kekaguman bangsa Indonesia terhadap keperkasaan Jepang. Kejadian ini juga menimbulkan harapan mereka bahwa tidak lama lagi “Indonesia Merdeka” akan menjadi suatu kenyataan. Pemerintah Jepang melalui siaran-siaran radio dari Tokyo, menyatakan bahwa tujuan dari Perang Asia Timur Raya dan pembentukan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya ialah membina suatu keluarga besar yang terdiri dari Negara-negara merdeka, yaitu Jepang dan Negara-negara seluruh Asia termasuk jajahan Barat, dan Indonesia jelas telah
lxxi
dijanjikan diberi kemerdekaan setelah dibebaskan dari belenggu penjajahan Belanda.88 Namun
kenyataannya,
maksud
kedatangan
Jepang
ke
Indonesia
dikarenakan Indonesia merupakan kawasan yang potensial untuk mensuplai kebutuhan minyak Jepang, untuk keperluan perang.89 Tujuan Jepang menduduki Jawa adalah memperoleh sumber-sumber ekonomi dan manusia.90 Untuk mencapai tujuannya, Jepang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung. Kebijakan politik tersebut berdampak pada kebijakan secara ekonomi, karena sasaran utama eksploitasi di Jawa adalah hasil pertanian serta tenaga kerja. Dimana kebijakan tersebut adalah kebijakan yang memeras rakyat.91 Sehingga rakyat Indonesia mengalami kesulitan hidup, seperti timbulnya kelangkaan beras yang hamper merata di seluruh Jawa. Dalam menjalankan kebijakan pemerintah, penguasa militer memegang pada tiga prinsif utama, yaitu (1) mengusahakan agar mendapatkan dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban umum, (2) memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan telah ada, dan (3) meletakan dasar agar wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri untuk menjadikannya pusat persediaan makanan.92 Kebijakan poltik 88
Dr. L. Jong (ed),1991, Pendudukan Jepang di Indonesia”Suatu Ungkapan Berdasarkan Dokumentasi Pemerintahan Belanda, Jakarta: Kesaint Blanc, hlm vii. 89
Ken’ichi Goto, 1998, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm 106. 90
Aiko Kurosawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, hlm xvi-xvii. 91
Ibid.
92
Akira Nagazumi, 1988, Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm 2.
lxxii
Jepang ditujukan untuk memperoleh dukungan yang besar untuk membantu kemenangan Jepang pada perang Pasifik. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut Jepang memerlukan sarana untuk melancarkan propaganda-propagandanya agar tujuan Jepang tercapai di Indonesia . Propaganda Jepang dilakukan seiring dengan penaklukan terhadap negerinegeri yang didudukinya. Keinginan yang besar dalam penaklukan ini bukannlah suatu hal yang baru didalam sejarah Jepang. Anggapan sebagai “bangsa terpilih” menguatkan kepercayaan bangsa ini akan tugas suci Jepang untuk menaklukan dan menguasai negeri lain. Dengan bantuan para propagandisnya yang bersamasama datang dengan tentara Jepang, mereka terus giat dengan berbagai semboyan yang muluk-muluk. Propaganda mereka di Indonesia antara lain berbunyi “Nippon-Indonesia sama-sama” dan Asia untuk orang Asia”.
Dalam persiapan pelaksanaan Perang Asia Timur Raya, Jepang sebagai negara totaliter menyadari sekali kegunaan propaganda, sehingga sewaktu akan mendarat di bumi Indonesia, mereka telah dilengkapi oleh satu barisan khusus, Barisan Propaganda. Tugas Barisan Propaganda ini adalah mengajak rakyat setempat untuk bersama-sama dengan pasukan Jepang mengadakan perlawanan terhadap pasukan Sekutu.93 Bahkan sebelum mereka datang menduduki Indonesia, Jepang telah mulai mengadakan propaganda, antara lain dengan 93
R. De Bruin, Het Japanse Militaire Besyuur in Indie, Wajang Nippon, dalam Bericht Van de Tweede Wereld Oorlog, Amsterdam, Uitgeverij Amsterdam Boek B. V., 1970, hlm 1324.
lxxiii
mengundang orang-orang Indonesia untuk datang ke Tokyo, baik tokoh pergerakan, islam, wartawan maupun mengundang minat kaum muda untuk menuntut ilmu di Jepang.94 Pada awal kedatangan Jepang ke Indonesia, propaganda terus dilakukan, dan untuk melaksanakan skema propaganda ini ke dalam operasi, digunakan berbagai media seperti surat kabar, pamphlet, buku, poster, siaran radio, pameran, pidato, drama, seni pertunjukan tradisional, pertunjukan gambar kertas (kamishibai), musik, dan film.95
Sebelum kedatangannya ke Indonesia, Radio Angkatan Laut
Jepang,
selalu
memperdengarkan
lagu
kebangsaan
Indonesia Raya yang dimainkan oleh Tokyo Philharmonic Orchestra dalam setiap pembuka acara pada siaran bahasa Indonesia yang mereka lakukan.96 Hal-hal tersebut di atas menimbulkan citra lain terhadap bangsa Jepang, disamping sikap-sikap ramah dan bersahabat orang Jepang yang mencari nafkah di Hindia Belanda pada masa sebelum perang, sehingga sewaktu mereka akhirnya mendarat rakyat menyambutnya dengan sangat meriah. Hal itu semua adalah
hasil
karya
propaganda
yang
pernah
dilakukan.
94
Kanahele, Op.cit. hlm 5-7.
95
Akira Nagazumi, Op.cit, hlm 237.
96
Mr. Sudjono, Pulang Ke Tanah Air Tanpa Paspor, dalam Intisari, No. 82, Mei 1970,
hlm 60.
lxxiv
Propaganda yang dalam arti seluas-luasnya adalah tehnik untuk mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia itu.97 Sementara itu titik perhatian dari pelaksanaan propaganda itu selalu berubah setiap tahunnya, tergantung pada situasi yang dibutuhkan. Jika pada tahun 1943 yang menjadi titik perhatian adalah pertahanan nasional, maka pada tahun 1944 yang menjadi titik perhatian pelaksanaan propaganda adalah menanamkan kepercayaan penduduk Jawa dan Madura terhadap apa yang hendak dicapai dalam memenangkan perang dan terutama kemudian
mengenai
janji
Perdana
menteri
Koiso,
serta
mengadakan promosi untuk meningkatkan produksi barangbarang dan mengadakan penghematan di segala bidang.98 Tahun 1944 adalah masa krisis yang di alami penguasaha Jepang di Jawa, karena selain tuntutan dari kalangan nasionalis terhadap kemerdekaan semakin gencar, di medan pertempuran posisi tentara Jepang semakin tersendat, sehingga kerja propaganda pada tahun ini pun perlu dipergiat. Memasuki tahun 1945, karena situasi peperangan sudah semakin ‘menjepit’ Jepang dan kekalahan sudah dapat diduga, maka yang menjadi 97
Encyclopedia Of The Social Science, Vol XII, hlm 340.
98
Nishijima Collection, AD-2, Report on The Activities of Sendenbu.
lxxv
titik perhatian adalah menanamkan semangat Jepang (Bushido) untuk mempertahankan tanah Jawa dan Madura, sebagai pelaksanaan propaganda, juga mengenai pencegahan terhadap mata-mata musuh dengan semboyan: “awas mata-mata musuh” sangat diperhatikan, pun mengenai usaha pencegahan terhadap bahaya serangan udara.99
E. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang terhadap Indonesia Setelah Jepang menduduki Indonesia, langkah-langkah selanjutnya membuat beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memperkukuh keberadaannya di Indonesia untuk menjaga stabilitas di samping memobilitas rakyat dalam rangka perang Asia Timur Raya. Sesuai dengan rencananya semula, pada bulan Maret 1942, setelah Jepang berhasil merebut Hindia Belanda, kebijaksanaan pertama yang ditempuhnya adalah menata kembali perekonomian Indonesia yang telah hancur akibat aksi bumi hangus yang dilancarkan oleh pihak Belanda. Kebijaksanaan yang dibuat adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat transport, telekomunikasi dan lain-lain. Harta bekas milik musuh yang disita dan menjadi hak milik pemerintah Jepang antara lain bank-bank, pabrik-pabrik, pertambangan listrik, dan lain-lain.100 Kehidupan ekonomi kemudian berubah menjadi ekonomi perang untuk membiayai tentara Jepang. Khususnya mengenai perkebunan 99
Ibid.
100
Nugroho Notosusanto (ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.cit, hlm 41.
lxxvi
dikeluarkan Undang-Undang No. 22/1942 yang menyatakan bahwa Gunseikan (kepala Pemerintah Militer) langsung mengawasi perkebunan-perkebunan kopi, kina, karet, gula, dan teh. Pada akhir bulan Maret 1942 dibentuk sebuah perhimpunan dengan Gerakan Tiga A, sebuah nama dari penjabaran semboyan propaganda Jepang pada waktu itu, (Jepang Cahaya, Pelindung, dan Pemimpin Asia) dibentuk.101 Perhimpunan ini merupakan kerja sama antara nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang dengan ketuanya Mr. Samsuddin. Gerakan ini dianggap gagal oleh pemerintah pendudukan dalam usaha mengerahkan orang Indonesia, Pada tanggal 9 Maret 1943, dibentuk organisasi baru yang disebut Poetra (Poesat Tenaga Rakjat) yang di ketuai oleh empat serangkai yakni Soekarno, M. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansjur. Tujuannya adalah untuk mencapai kemenangan dalam perang asia, kenaikan produksi, pertahanan Asia dan penyebaran bahasa Jepang. Sedangkan Usaha Poetra sesuai dengan pasal 3 menyebutkan: (a). Mengambil bagian dalam usaha mempertahankan Asia Timur Raya; (b). Melatih tahan menderita dalam segala kesukaran baik jasmani maupun rohani, untuk menyempurnakan peperangan ; (c). Menganjurkan bahasa Nippon dan meluaskan pemakaian bahasa Indonesia; dan (d). Menghapus pengaruh Amerika, Inggris dan Belanda).102 Di samping orang-orang Indonesia, dalam Poetra terdapat penasihat-penasihat Jepang, yakni S. Miyoshi, seorang bekas konsul jepang di Jakarta. G. Toniguci pemimpin surat kabar Toindo Nippon; Iciro
101
Panji Poestaka, 1942, hlm. 117-118.
102
Noerhadi Soedarno, Poetra (Poesat Tenaga Rakyat), Jakarta, Tinta Mas, 1982, hlm.
18.
lxxvii
Yamasaki, seorang pemimpin badan perdagangan, dan S. Hiranuma, H. Shimizu dan M. Akiyama dari Bank Yokohama.103 Selanjutnya pada tanggal 29 April 1943, berdiri dua organisasi pemuda Seinendan dan Keibodan. Keduanya langsung di bawah pimpinan Gunseikan. Kepada anggota-anggota Seinendan diberikan latihan-latihan militer baik untuk mempertahankan diri maupun untuk penyerangan. Tugasnya adalah untuk mempersiapkan pemuda secara mental maupun teknis untuk memberikan sumbangan kepada usaha perang Jepang, baik dengan meningkatkan produksi maupun dengan
pengamanan garis belakang. Sedangkan Keibodan adalah
pembantu polisi dengan tugas-tugas kepolisian seperti penjagaan lalulintas, pengamanan desa dan lain-lain. Untuk mengisi kekurangan tenaga militernya dalam peperangan, pihak Jepang pada bulan April 1943 membuat sebuah badan pembantu prajurit Jepang atau Heiho yang personelnya direkrut dari para pemuda Indonesia yang telah dilatih dalam teknik kemiliteran. Para prajurit pembantu ini ditempatkan baik dalam
Angkatan
Darat
maupun
Angkatan
Laut
Jepang.
Syarat-syarat
penerimaannya adalah harus berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur 18-25 tahun dan pendidikan terendah sekolah dasar. Karena fungsinya sebagai prajurit pembantu tentara Jepang, maka mereka dapat memegang senjata anti-pesawat, tank, artileri medan, mengemudi dan lain-lain. Pemerintah pendudukan Jepang pun membentuk bagian Pengajaran dan agama dibawah pimpinan Kolonel Harie. Pada bulan Mei 1942, ia mengadakan pertemuan khusus dengan sejumlah pemeluk agama Islam di seluruh Jawa timur
103
Nugroho Notosusanto ( ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.Cit, hlm. 20.
lxxviii
di Surabaya. Di antara hasil pertemuan itu adalah pemerintah pendudukan mengijinkan tetap berdirinya satu organisasi Islam dari zaman Hindia Belanda yakni Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan akan mengikutsertakan golongan Islam di dalam pemerintahan. Cara yang ditempuh adalah dengan jalan menyelenggarakan latihan Kyai. Mereka mendengarkan beberapa ceramah tentang masalah –masalah agama namun yang utama mendapatkan indoktrinasi propaganda Jepang.104 Latihan berlangsung selama satu bulan dibalai urusan agama di Jakarta. Pada bulan Agustus 1942 Pemerintah Militer jepang membentuk sebuah departemen Propaganda (Sendenbu) dengan tujuan untuk mencari dukungan rakyat Indonesia agar mereka ikut bekerja sama berperang melawan Sekutu. Departemen ini terdiri dari Seksi Administrasi, Seksi Berita, Pers, dan seksi Propaganda. Kebijaksanaan berikutnya adalah membentuk sebuah organisasi resmi pemerintah pada tanggal 8 Januari 1944 yang bernama Djawa Hokokai (kebaktian Rakyat Djawa) yang bertujuan (1). Mempelopori pengerahan kekuatan perang, baik yang berupa benda maupun yang berupa tenaga manusia; (2). Memimpin rakyat
untuk
menyumbangkan
segenap
tenaga
berdasarkan
semangat
persaudaraan; dan (3). Memelihara semangat berdiri sendiri dan membela tanah air.105 Berbeda dengan Poetra kepemimpinan dalam Djawa Hokokai di pegang oleh orang-orang Jepang. Sedangkan Soekarno dan K.H. Hasjim Ashari dijadikan
104
M.C. Rickleff, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, UGM Press, 1991, hlm. 309.
105
Djawa Baroe, No. 3, 1 Februari 1945, hlm. 8-9.
lxxix
penasehat utamanya dan pengelolahannya diserahkan kepada M. Hatta dan K.H. Mas Mansjur. Dalam bidang media massa, pemerintah menerbitkan surat kabar Djawa Shinbu yang berbahasa Jepang di bawah pimpinan Bunshiro Suzuki. Beberapa surat kabar yang pernah terbit sebelumnya dilarang beredar. Langkah ini dilakukan dengan alasan untuk menjaga stabilitas dan menghapus pengaruh Barat yang terdapat pada surat kabar sebelumnya. Kemudian kebijaksanaan pemerintah pendudukan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap masyrakat untuk memasuki masa perang kemerdekaan dan revolusi adalah dibentuknya organisasi Pembela Tanah Air (Peta). Organisasi ini dibentuk berdasarkan atas sebuah peraturan Osamu Seirei No. 44, 3 Oktober 1943. Permohonan pembentukan Peta dilakukan oleh Gatot mangkoepradja. Permohonan itu ditujukan kepada Gunseikan yakni supaya dibentuk sebuah tentara yang segenap anggotanya terdiri atas orang Indonesia. Ketentuan yang tertulis dalam Osamu Seirei No. 44 adalah: (1). Tentara Peta beranggotakan orang Indonesia (penduduk asli) dari atas sampai bawah; (2). Di dalam Tentara Peta akan ditempatkan militer Jepang untuk tujuan latihan; (3). Tentara Peta ditempatkan langsung di bawah panglima tentara, lepas dari badan apapun; (4). Tentara Peta merupakan tentara teritorial dengan kewajiban mempertahankan masing-masing daerahnya; dan (5). Tentara Peta di masing-masing daerahnya harus siap untuk melawan sampai mati setiap musuh yang menyerang.106 Di dalam Peta para pemuda Indonesia telah mendapat pendidikan dan teknik-teknik milter dalam rangka turut serta mempertahankan tanah airnya dari serangan 106
Kan-Po, No. 28, 1943, hlm. 20-21.
lxxx
musuh. Para calon perwira tentara Peta mendapat latihan untuk pertama kalinya di Bogor dalam lembaga yang bernama Djawa Bui Giyugun Kanboe Ranseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air Djawa).107 Beberapa kebijakannya yang telah dibuat di Jawa seperti diatas tidak diikuti oleh didaerah-daerah lain di luar Jawa. Di Sumatera misalnya tidak terdapat suatu organisasi sebagai suatu wadah bagi aspirasi rakyat. Penguasa di Sumatera tidak mengizinkan adanya organisasi seperti di Jawa dengan alasan bahwa di Sumatera tidak menggambarkan suatu homogenitas yang terdiri atas beberapa suku, bahasa dan adat istiadat. Baru pada bulan Maret 1945 diijinkan dibentuknya Cuo Sangi In (Dewan Penasehat Pusat). Sedangkan di daerah-daerah yang terjadi di Jawa tidak banyak diketahui karena para penguasanya sengaja menutup-nutupi berita yang dianggap berlawanan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan. Pada bulan Agustus 1944, pihak Jepang semakin terdesak dalam peperangan, yang terbukti dari beberapa wilayah yang didudukinya satu demi satu disebut oleh Sekutu ditambah gencarnya serangan Sekutu terhadap negeri Jepang. Di Indonesia khususnya di Jawa ditandai dengan mundurnya moril masyarakat, produksi perang semakin merosot, yang mengakibatkan kurangnya persediaan senjata dan amunisi, ditambah dengan timbulnya soal-soal logistik karena hilangnya sejumlah besar kapal angkut dan kapal perang. Akibatnya situasi yang tidak menguntungkan itu maka pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso sebagai pengganti Perdana Menteri Tojo, mengumumkan tentang pendirian pemerintahan kemaharajaan Jepang dengan memberi janji kemerdekaan kepada Indonesia. Langkah selanjutnya pada tanggal 1 Maret 1945 pihak Jepang 107
Nugroho Notosusanto, Desertasi, PETA Army During the Japanese Occuption of Indonesia (Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang), Jakarta, Universitas Indonesia, 1977, hlm. 65-67.
lxxxi
mengumumkan
pembentukan
badan
Penyelidik
Usaha-usaha
persiapan
kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Joenbi Cosakai) sebagai realisasi dari janji Koiso. Kemudian tanggal 7 Agustus 1945 badan ini diganti PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Jumbi Inkai. Ketuanya adalah Soekarno, sedangkan M. Hatta ditunjuk sebagai wakil ketua, dan sebagai penasehat ditunjuk Ahmad Soebardjo. Pembentukannya sesuai dengan keputusan Jenderal Terauci, Panglima Tentara Umum Selatan yang membawahkan semua tentara Jepang di Asia tenggara.108 Tanggal 9 Agustus 1945, Soekarno, Hatta dan Radjiman Wediodiningrat dipanggil oleh Jenderal Terauci di Dallat. Kemudian pada tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Terauci memutuskan untuk “memberi kemerdekaan” kepada Indonesia melalui ketiga pemimpin tersebut. Ketiga pemimpin Indonesia tersebut kembali ke Indonesia dari Vietnam pada tanggal 14 Agustus 1945, bersamaan Jepang mengalami pemboman oleh Sekutu atas Hirosima dan Nagasaki ditambah dengan Uni Sovyet yang menyatakan perang terhadap Manchuria. Hal ini berarti Jepang mendekati kekalahan. Akibat situasi tersebut, pihak Jepang berada dalam situasi lemah. kontrol atas wilayah pendudukannya di Indonesia semakin tidak terkendali.109 Sebaliknya dari pihak Sekutu yang telah memenangkan perang belum dapat mengembalikan Indonesia kepada Belanda, sebagai anggota Sekutu. Akibatnya Indonesia berada dalam situasi yang kosong . Dalam keadaan yang demikian maka tanggal 17 Agustus 1945, bangsa
Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya.
108
Kan-Po, No. 7, 1945, hlm. 19.
109
A. Dasuki, Indonesia Dalam Perang Pasifik, Jakarta: Mutiara, 1982, hlm. 45-46.
lxxxii
BAB III MEDIA-MEDIA PROPAGANDA JEPANG
Asal usul kata propaganda sulit ditentukan secara pasti, tetapi ada suatu sumber yang menyatakan bahwa kata itu mulai digunakan pada tahun 1622, ketika Paus Gregory XV mendirikan sebuah organisasi yang diberikan nama Congregatio de Propaganda Fide. Organisasi itu bertugas untuk menyebarkan agama Kristen Khatolik di kalangan masyarakat non-Kristen. Dalam konteks pengertian ini, propaganda diartikan sebagai organisasi yang mengirimkan pesanpesan. Setelah tahun 1622 propaganda tidak hanya diartikan sebagai organisasi, tetapi juga sebagai pesan yang disebarkan oleh organisasi. Dalam perkembangan, pengertian propaganda juga berkaitan dengan teknik yang digunakan untuk menyampaikan pesan,sebagai contoh: iklan, film dan televisi .110 Berdasarkan tujuannya, propaganda juga diartikan sebagai komunikasi yang ditujukan untuk menyebarluaskan tujuan yang diinginkan (sering bersifat tak terlihat secara langsung dan jahat) terhadap pemirsa, dan dilakukan dengan cara-cara yang berpengaruh.111
Pada umumnya propaganda yang memberikan isu-isu
controversial lebih mudah diterima oleh masyarakat.112 Berdasarkan pada pengertian-pengertian ini, sistem propaganda dalam konteks kekuasaan Jepang di Indonesia mencakup organisasi, pesan, dan teknik penyampaian pesan yang
110
Combs, James E. dan Dan Nimmo, 1994, Propaganda Baru: Kediktatoran Perundingan dalam Politik Masa Kin, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 9. 111
Ibid, hlm. 23.
112
Merton, Robert K, 1957, Sosial Theory and Social Structure, Glencoe, Illinois: The Free Press, hlm. 509.
lxxxiii
ditujukan untuk mempengaruhi bangsa Indonesia guna mendukung pencapaian tujuannya. Dalam sistem pemerintahan Jepang di Indonesia, propaganda merupakan bagian penting dan integral. Suatu indikasi bahwa propaganda tidak terpisahkan dari system pemerintahan Jepang di Indonesia adalah dibentuknya departemen propaganda (Sendenbu) dibawah pemerintahan militer Jepang. Untuk menguasai Jawa, Jepang berpegang pada dua prinsip utama yaitu: bagaimana menarik hati rakyat (minshin ha’aku) dan bagaimana mengindroktinasi dan menjinakkan mereka (senbu kosaku). Prinsip ini perlu dilaksanakan untuk memobilisasi seluruh rakyat guna mendukung kepentingan perang dan untuk merubah mentalitas mereka secara keseluruhan. Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibawa kepada pola tingkah laku dan berfikir Jepang, propaganda ditujukan untuk mengindoktrinasi bangsa ini agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkunagn Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.113 Betapa propaganda memiliki arti penting bagi Jepang untuk menguasai wilayah dan rakyat Indonesia, sehingga bangsa itu pun telah mempersiapkan sistem propagandanya secara sistematis dan intensif sejak sebelum pelaksanaan invansi ke negeri ini.
A. Sendenhan di Jawa 1. Ke Selatan Pada tanggal 3 Juli 1941, dalam konferensi di muka kaisar di tetapkan “Prinsip Kebijakan Negara Kekaisaran Berdasarkan Peralihan Sikon Internasional (Josei no Sui I ni tomonau Teikoku Kokusaku Yoko)”. Dengan demikian, 113
Kurasawa,Aiko, 1987,”Propaganda Media on Java Under Japanese 1942-1945”, dalam Indonesia No. 44, October 1987, hlm. 58.
lxxxiv
pemerintah Jepang tiba-tiba mengubah “kebijakan menuju ke Utara” selama itu dan menyatakan sikap untuk “kebijakan menuju ke Selatan.”
114
Pada bulan
September 1941 (tiga bulan sebelum pecahnya Perang Pasifik), Seksi Kedelapan Markas Besar Staf AD mulai menyusun sendenhan di setiap pasukan yang dikirim ke Selatan sebagai persiapan strategi baru. Sendenhan ini ditempatkan masingmasing satu di keempat pasukan yang dikirim ke Selatan, yakni pasukan ke-14 (Filipina), pasukan ke-15 (Birma / Myammar), Pasukan ke-16 (Jawa Borneo [Indonesia], dan pasukan ke-25 (Malaya [Malaysia dan Singapura]).115 Keempat pasukan tersebut dipimpin oleh komando tertinggi Pasukan Selatan, yaitu Jenderal Toshikazu Terauchi. Sementara itu, komando Pasukan ke-16 dalah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, dan kepala stafnya adalah Mayor Jendral Seizaburo Okazaki yang kemudian menjadi Gunseikan Jawa pertama.116 Menurut Machida,117 pertama-tama jumlah anggota di setiap sendehan direncanakan 150 orang budayawan. Mereka harus mampu melaksanakan tugastugas : propaganda terhadap rakyat negara jajahan ; pemberitahuan ke Jepang ; dan juga penyuluhan perwira dan prajurit pasukan masing-masing. Kenyataanya, pihak militer mengalami kesulitan untuk mencari enam ratus orang budayawan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas seperti itu, sehingga pemilihan anggota menjadi sembarangan agar dapat mencukupi jumlah anggota 114
Hayasi, Shigeru, 1993, Nihon no rekishi 25: Taiheiyo Senso (Sejarah Jepang 25: Perang Pasifik), Tokyo: Chuo Koron Sha,hlm. 222. 115
Machida,Keiji, 1967, Tatakau Bunka Butai(Pasukan Budaya yang Berperang), Tokyo: Hara-shobo, hlm.21-22. 116
Machida,Keiji, 1978, Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang Militer : Pedang dan Pena), Tokyo: Fuyoshobo, hlm. 66-68. Di dalamnya ia menulis bahwa Jawa adalah seperti surga dan di sana ia hidup seperti Raja (Memoar Okazaki yang berjudul Tengoku kara Jigoku e “dari surga ke neraka”). 117
Machida,Keiji, op. cit, hlm. 22-23.
lxxxv
yang direncanakan. Sebenarnya, pembentukan Sendehan ini tidak selancar dugaan awal. Hal ini karena di kalangan militer masih ada yang meragukan manfaaat dari strategi perang ideologi dan menyayangkan pengeluaran dana khusus untuk itu. Staf Strategi Pasukan ke-16 Kolonel Shizuo Miyamoto juga berpendapat demikian. Ketika Penulis mendengar rekaman wawancara dengan Masaomi Tanaka masalah propaganda dan sensor, Kolonel Shizuo Miyamoto berkata tidak tahu sama sekali dan memang tidak pernah menaruh perhatian kapada hal-hal semacam itu. Selanjutnya ia berkata dengan nada sarkastis : Propaganda itu pekerjaan orang-orang yang kurang baik dan pintar. Pada dasarnya, sebagai seorang militer, saya kira yang namanya propaganda itu sesuatu yang kotor.118 Mungkin rasa harga diri sebagai perwira tinggi-lah yang membuat Miyamoto mengatakan seperti itu. Namun, kenyataanya, untuk mengambil hati rakyat Indonesia agar rakyat Indonesia tidak melawan Jepang bahkan mau ikut berperang melawan Sekutu, keberadaan Sendehan sangat berbobot. Ia sendiri mengatakan, “Tidak bias berbuat apa-apa kalau dimusuhi penduduk setempat.”119 Pada 21 November 1941, diwamilkan 29 (30?) orang budayawan sebagai gelombang pertama berdasarkan dekret Wajib Militer Nasional (Kokumin Choyo Rei) yang berlaku sejak 15 Juli 1939.120 Dekret ini dikeluarkan berdaarkan UU mobilisasi Keseluruhan Nasional (Kokka Sodoin Ho). Pada masa itu masih banyak 118
Arsip Rekaman wawancara Shizuo Miyamoto (Mantan staf strategi Pasukan Ke-16 Angkatan Darat) di Jakarta pada tanggal 15 November 1996, Jakarta: Koleksi Perpustakaan Nasional. 119
Ibid.
120
Menurut Sakuramoto, 29 orang sedangkan menurut Kamiya,30 orang (ditambah Takeshi Araki). Sakuramoto, 1993, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), Tokyo: Aokishoten hlm. 44. dan Kamiya,”Joron (Pengantar)”. Tadataka Kamiya dan Kazuaki Kimura (ed.), 1996, Nanpo Choyo Sakka: Senso to Bungaku (Sastrawan Wamil Selatan: Perang dan Sastra), Kyoto: Sekaishiso-sha, (Seterusnya dirujuk sebagai Kamiya, “Joron”), hlm. 7.
lxxxvi
yang menderita penyakit paru-paru. Misalnya, pada waktu itu novelis Kensaku Shimagi dan Osamu Dazai juga menerima surat perintah wamil, tetapi dibebaskan setelah pemeriksaan kesehatan oleh dokter. Shimagi jengkel setelah dibebaskan karena penyakiknya yang parah, sedangkan Dazai bergembira setelah melaporkan penyakit dengan sendirinya karena tidak ikut militer. Kondisi yang berlawanan dengan Dazai adalah Uio TOmisawa. Ia nyaris ditolak juga karena terlalu kurus akibat penyakit paru-paru, tetapi akhirnya ia diterima setelah berusaha menyakinkan dokter secara mati-matian.121 Dalam buku Jawa Bunkasen (1943),122 Tomisawa bercerita bahwa waktu itu ia memaksakan diri yang sakit karena merasa terpanggil untuk membantu “ perang Asia Timur Raya” Sampai sekarang kriteria pemilihan anggota Sendenhan tidak jelas, tetapi salah satu pendapat mengatakan itu untuk memberi pelajaran kepada mereka yang non- kooperatif terhadap militer.123 Kritikus Sastra Ken Hirano yang pernah bekerja sebagai tenaga honorer di Seksi Ketiga Bagian Kelima Johokyoku mengakui adanya daftar hitam yang membagi sastrawan ke dalam tiga golongan : kaum kiri, liberal, dan inovatif.124 Dianggap sastrawan non-kooperatif adalah dua
121
Machida, Tatakau-,hlm. 367.
122
Uio Tomisawa, 1943, Jawa Bunkasen (Perang Budaya di Jawa), Tokyo: Nihon Buntai-sha, (Seterusnya dirujuk sebagai Tomisawa, Jawa-), hlm. 224. 123
Pada 1941 tersebar desas-desus bahwa Yoichi Nakagawa, peulis Ten no Yugao (1939), yang membuat daftar hitam dan mengajukannya kepada Johokyoku. Baca Hidetoshi Kuroda, 1976, Chishikijin Genron Dan’atshu no Kiroku (Catatan mengenai Penindasan kebebasan Berbicara terhadap Cendikiawan), Tokyo: Shiraishi-shoten. 124
Hirano, Ken, “Nihon Bungaku Hokokukai no Seiritsu (Bedirinya Nihon Bungaku Hokokukai)” dalam majalah Bungaku (Sastra) (Vol. 29. Mei 1961), Tokyo: Iwanami Shoten, hlm. 6-7.
lxxxvii
golongan pertama. Machida juga mengatakan bahwa katanya ada daftar hitam semacam itu.125 Wamil terhadap budayawan dilakukan sampai gelombang ketiga pada tahun 1944 dan akhirnya jumlah penulis yang diwamilkan menjadi tujuh belas orang lebih.126 Mereka dibagi kedalam lima kelompok tergantung tempat kerja, yaitu daerah Malaya, daerah Birma, daerah Jawa Borneo, daerah Filipina, dan angkatan laut. Tugas utama Hodohan di AL adalah pemberitaan ke Jepang, sedangkan Sendenhan di AD ditugaskan terutama untuk beraktifitas di daerah setempat. Masa tugas mereka bervariasi dari lima bulan sampai tiga tahun. Selain tujuh puluh orang penulis laki-laki diatas, ada juga sastrawati yang diutuskan ke Selatan sebagai sastrawati wamil sementara. Misalnya, novelis Fomiko Hayashi.127 dan Kiyo Mikawa mengunjungi Rintaro Takeda di Jawa. Hingga kini tidak jelas juga nama semua anggota Sendenhan di Pasukan Ke-16. Di sini Penulis hanya menyebut ke sembilan orang penulis yang dikirim ke daerah Jawa Borneo. Mereka adalah jurnalis Soichi Oya (1900-1970), Novelis Tomoji Abe (1903-1973), kritikus Akira Asano (1901-1990), novelis Rintaro Kitahara Takeda (1904-1946), novelis Takeo Kitahara (1907-1973), novelis Uio Tomisawa (1902-1970), penyair Atsuo Oki (1895-1977), novelis Kenji Oe (19051987), dan novelis Jiromasa Gunji (1905-1973). Seperti telah disebut di atas, Asano Akira dan Uio Tomisawa pernah juga ikut Pen Butai yang dikirim ke Cina.
125
Machida, Tatakau-,hlm. 363.
126
Kamiya, Tadataka,1996, “Joron (Pengantar)” dalam Kamiya, Tadataka dan Kamirun,Kazuaki (ed), Nanpo Choyo Sakka: senso to Bungaku (Sastrawan wamil Selatan: Perang dan Sastra), Kyoto: Otori Shobo, hlm. 8-9. 127 Ia (1903-1951) adalah salah satu sastrawati yang paling aktif membantu perang. Sebelumnya ia juga menjadi anggota “pasikan pena”. Dan, di Jepang iamenjadi anggota Perkumpulan Sastrawati (Joryu Bungakushakai) di Hokokukai bersama Chiyo Uno, Fumiko Enchi, dan lain-lain.
lxxxviii
Di Sendenhan sedikit sekali propagandis professional. Memang orang seperti itu susah dicari maka tanpa berfikir panjang pucuk pimpinan militer mencari budayawan-budayawan yang kira-kira bisa membantu. Sepulang dari Jawa, Kitahara menyesalkan kebijakan seperti itu. Ia menulis, “Operasi budaya itu mestinya dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya itu bukan orang awam seperti kami.” Menurutnya, operasi budaya itu ternyata merupakan pekerjaan yang bersifat politis murni bukan pekerjaan cultural. Semakin murni sebagai seniman, ia makin sulit melaksanakan tugas semacam operasi budaya.128 Dalam Unabara Kitahara juga menulis sebagai berikut.
Ada sastra yang kebetulan berguna untuk propaganda akibat sastra itu bermutu sebagai seni, tetapi sejak zaman dahulu tidak pernah ada barang seni bermutu diantara karya yang sengaja di buat sebagai sastra propaganda.129 Salah seorang propaganda propesional adalah Hitishi himisu yang akan menjadi kepala Seksi propaganda di Sendenhan. Ia memulai karirnya di Cina pada tahun 1930-an dan pernah bekerja di Taisei Yokusankai dan Johokyoku. Adapun, Jabatan pemimpin, Sendenbu tidak pernah diserahkan ke tangan sipil dan selalu di kepalai perwira militer, yaitu kolonel Keiji Machida (agustus 1942-Oktober 1943), kemudian Maayor Hiyayoshi Adachi (Februari 1943- April 1945), dan terakhir Kolonel Koryo Takahasi (Mei-Agustus 1945).130 Sendenbu terdiri dari
128
Kitara, “Jawa no Bunka Kosaku (Operasi Budaya di Jawa)” dalam majalah Shincho (Maret 1943), hlm. 30-32., Kitahara “Gendai sishin no yukue (Haluan Jiwa Kini)’” dalam majalah Bungakukai (Mei 1943), Kitahara dan Kenzo Nakajima “Bunka no Honshitsu (Hakikat budaya)” dalam majalah Bungakukai (Juni 1943). 129
Unabara no. 46. 3 Mei 1942.
130
Kurasawa,Aiko,1992, Nihon senroy-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang),Tokyo: soshisha, hlm. 269.
lxxxix
tiga Seksi : seksi administrasi, Seksi berita dan pers, dan Seksi propaganda. Hanya Seksi propagandalah yang dipimpin oleh seorang sipil, H. Shimizu .131 Kedudukan para budayawan di Sendenhan adalah tenaga honorer. Pemilihan anggota Sendenhan dimulai Seksi ke delapan Markas Besar Staf AD Bagian Berita Departemen AD kemudian diserahkan kepada pemimpin barisan yang ditentukan. Pada bulan Oktober 1941, Letnan Kolonel Machida dipanggil ke Departemen AD dan diberi tahu oleh Mayor Jendral Seizaburo Okazaki bahwa ia ditunjuk sebagai pemimpin sendenhan Pasukan ke-16 yang kan diberangkatkan ke medan perang di Hindia Belanda jika terputus perundingan diplomasi yang dilakukan diantara Jepang dan Amerika. Kemudian Machida diberi penjelasan tersendiri mengenai apa yang dimaksud dengan barisan propaganda di Markas Besar Staf AD.132 Mengenai pemilihan anggota, terlebih dahulu Machida berunding dengan Masao Nakayama, presiden direktur Rikugun Gaho Sha (perusahaan Majalah Bergambar memasukkan
Angkatan
Darat).
Dan
mereka
berdua
memutuskan
untuk
Soichi Oya sebagai anggota pertama, yang waktu itu sedang
berpropaganda lewat film di Manchuria.133
Banyak anggota yang
direkomendasikan oleh Oya. Orang penuh ide ini memilih penyair Oki, Penggubah Lagu Iida, stenogreafis Ariyama, pembuat balon untuk Reklame Fukuriya, dan lain-lain. Hitoshi Shimizu dipilih Nakayama sedangkan Tatsuo Ichiki dipilih Staf AD Murakami. Machida menyebut Ichiki sebagai “pengetahuan
131
Kurasawa, Aiko, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Peubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, hlm. 230. 132 Machida, Tatakau-,hlm. 362-364. 133
Sebagai penanggung jawab di Manshu eiga Kyosa Keimin eigabu (Bagian Film Penyuluhan Rakyat, Lembaga Film Manchuria).
xc
dan harapan di Sendenhan”.134 Ia adalah salah seorang dari sedikit orang Jepang yang prihatin pada bahasa Indonesia dan berkukuh menggunakan sebutan “Indonesia-go (bahasa Indonesia)” Pada masa itu, sebagian besar orang Jepang menggunakan sebutan “Marai-go (bahasa melayu)” dan pada 29 April 1945 Jepang baru “mengganti” sebutan Marai-Go menjadi Indonesia-go).135 Sebelum perang, Ichiki sudah menjadi wartawan surat kabar di Jawa dan hilir mudik untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun, ia dipenjara kemudian diusir ke Jepang oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah itu, ia mendaftarkan diri untuk masuk Sendenhan sebagai penerjemah. Keberadaanya sedikit banyak akan mendorong para anggota Sendenhan untuk terlibat dalam pergerakan kebangsaan di Indonesia.136 Setelah Jepang kalah, ia juga tinggal untuk ikut perang kemerdekaan, kemudian gugur di Jawa.137 Sastrawan Sutan Takdir Alisjabana adalah salah seorang yang akrab dengan Ichiki.138 Pada Oktober 1942 didirikan komisi penyempurnaan Bahasa
134
Machida, Tatakau-,hlm. 364-366.
135
Tatsuo Ichiki, “Dokuritsu to Gengo: Indonesia-go no Susumubeki Michi (Kemerdekaan dan Bahasa: Arah Perkembangan Bahasa Indonesia yang semestinya)” dalam Shin Jawa (no.2. Vol.1. 1November 1944), hlm. 50-53., Kaoru Yasuda,”Indonesia-go no Hasshochi (Tempat Asal Bahasa Indonesia)” dalam Shin Jawa (no.7. Vol.2. 1 Juli 1945), hlm. 44. 136
Machida, Tatakau-,hlm. 366. Ada tiga orang penerjemah yang sangat membantu komunkasi antara anggota Sendenhan dan penduduk setempat,yaitu IChiki, Yoshio Nakatani, dan tatashi Tanaka. Akira Asano dan Uio Tomisawa, “Jawa sendenhan wo Chushin ni (Terutama tentang Sendenhan di Jawa)” dalam majalah Genchi Hokoku (Laporan Setempat) (November 1942), hlm. 102-103. 137
Machida, Keiji, 1967, Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena), Tokyo: Fuyoshobo, hlm. 172. 138
Taniguchi, Goro, 1991, “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Research Materialis on the Japanese Occupation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia, Tokyo:Ryukei Shosha, hlm.272-273, pada awal pendudukan Jepang Alisjahbana sebagai penerjemah di Seksi Perencanaan Gunseibu.
xci
Indonesia (Indonesia-go Seibi Iinkai).139 Disana ia menjadi anggotanya bersama Ichiki dan Pane bersaudara.140 Dalam novel Kalah dan Menang yang berlatar belakang masa pendudukan Jepang, Alisjahbana mendatangkan seorang polisi Jepang yang bernama Ichiki. Ia mengakku sengaja memakai nama itu karena ia merasa dekat dengan Ichiki sebagai orang Jepang yang manusiawi selama masa pendudukan Jepang yang penuh dengan kekejaman. 141 Sesuai pemilihan anggota, para anggota Sendenhan mulai mempersiapkan diri. Dalam bukunya, Tatakau Bunka Butai [Pasukan Budaya yang Berperang],142 Machida bercerita mengenai persiapan keberangkatan Sendenhan. Mereka samasama
melakukan
usaha
percobaan
untuk
menyusun
pekerjaan
barisan
propoaganda baru di AD. Pertama-tama, mereka memulai dari pembuatan poster serta naskah penyiaran dan pengumpulan alat-alat perhubungan serta piringan hitam untuk propaganda. Bahkan propaganda yang dianggapnya paling penting adalah bendera Merah Putih dan piringan hitam rekaman Lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan Tatsuo Ichiki dan kawan-kawan. Namun, kedua bahan ini akan dilarang digunakan oleh Markas Besar Kekaisaran tidak lama setelah lama berhasil mendarat. Menurut seorang anggota Sendenhan, Kyochiro Shida, yang dikirim ke Sumatra,
ketika
mendarat
di
Sumatra,
mereka
diperintahkan
untuk
139
Komisi ini bertugas untuk menentukan terminology. Pada akhir pendudukan Jepang, telah ditetapkan sekitar tujuh ribu istilah baru (Sutan Takdir Alisjahbana, 1988, Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, hlm. 76. 140
Keinchi Goto, 1993, Hi no Umi no Bohyo: Aru (Ajiashughisha) no Ruten to kiketsu (Batu Nisan di Lautan Api: Perjalanan dan Akhir seorang (Asiais), Tokyo: Jijitsushin, hlm. 137. 141
Ibid, hlm. 221.
142
Machida, Tatakau, hlm. 15-18.
xcii
membangkitkan semangat rakyat setempat dengan menggunakan Bendera merah putih dan lagu Indonesa Raya. Akan tetapi, belum lampau seminggu lamanya, tiba-tiba hal itu dilarang. Kenyataannya, maklumat Markas Besar Kekaisaran sering berubah-ubah dan maklumat baru datang silih berganti sehingga sulit terjadi hubungan saling percaya antara Markas Besar dan Pasukan-pasukan.143 Tambahan pula, kenpeitai yang didatangkan dari Cina mengasari rakyat setempat, sehingga hal-hal itu menyia-nyiakan usaha Sendenhan.144 H Shimizu mengaku kenpeitai
sering
mengganggu
kegiatan
Sendenhan.145
Menurut
George
S.Kanahele, yang paling merusak hubungan antara Indonesia dan Jepang sejak awal kependudukan adalah kenpitai. Kenpeitai juga dianggap pejabat Besar bagi banyak orang Jepang.146 Adapun
Machida
menganggap
pawai
sebagai
salah
satu
cara
berpropaganda yang efektif. Kepala Seksi propaganda H.Shimizu sering mengadakan pawai dalam berbagai upacara. Biasanya, pawai itu disertai musik dan bendera. Machida berpendapat seperti berikut: Pawai yang diadakan tanpa bendera merah putih lagu Indonesia Raya hanya mematahkan selera. Parade yang memaksa melambailambaikan bendera Negara Jepang adalah hanyalah omong kosong bahkan berefek negatif.147
143
Machida, Aru Gunjin, hlm. 186.
144
Ibid.
145
Shimizu, Hitoshi, 1991, “Minshu Senbu Hitosuji ni (Memusatkan Seluruh Perhatian pada Propaganda Massa Rakyat)” dalam Forum for Research Materialis on the Japanese Occupation of Indonesia. Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian: Indonesia di bawah Pendudukan Jepang), Tokyo: Ryukei Shosha, hlm. 157. 146
Kanahele, George s, 1977, The Japanese Occuption of Indonesia: Prelude to Independence., hlm.97. 147
Machida, Tatakau, hlm. 252.
xciii
Sering kali Machida berkata merasa terenyuh jika ingat rasa cinta rakyat Indonesia terhadap bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya. 2. Lahirnya Sendenhan Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab dari kekalahan Jerman pada PD I adalah kekalahan di bidang perang ideologi. Maka, dengan kesadaran seperti itu, pada masa PD II, Jerman mengorganisasikan sebuah kompi propaganda, yaitu Propaganda Kompanien der Wehrmacht (P.K). anggotanya adalah sastrawan, kritikus, jurnalis, pelukis, dan sebagainya. Mereka diberi juga latihan kemiliteran sebagai seorang prajurit. Melihat aktivitas P.K itu, maka Jepang juga membentuk Senden Butai (Pasukan Propaganda) militer (tidak ada konsistensi sebutan; kadangkala disebut juga Hodohan dan juga Sendenhan)148 pada tanggal 21 November 1941 dan adanya pasukan ini dicanangkan oleh pihak berwenang pada bulan Februari 1942.149 Machida menulis secara panjang lebar mengenai barisan propaganda yang pernah dipimpinnya. “Kalau saya mati, mungkin tidak ada seorang pun di dunia ini yang mencatat tentang kegiatan kami,”150 katanya. Dua puluh tahun setelah perang, Machida mengakui waktu itu ia terburu-buru hanya untuk menekankan keAsiaan dan memaksakan keJepangan secara fanatik kepada rakyat jajahan. Ia juga mengatakan adalah kesalahan besar bahwa mereka mendewa-dewakan Asia 148
Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 11., misalnya, T. Abe menyebut dirinya sebagai anggota Hodohan (hlm. 134) maupun Sendenhan (hlm. 19) dalam satu buku, yaitu Tomoji Abe, 1944, Hi no Shima: Jawa bari no Ki (Pulau Api: Catatan tentang Jawa Bali), Tokyo: Sogensha. 149
Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 8-11, 56. 150
Machida, Tatakau, hlm. 191.
xciv
secara membabi-buta tanpa menilai perbedaan antara Timur dan Barat dengan tepat.151 (Gerakan V maupun AAA merupakan semboyan yang tidak ada sangkutpautnya sama sekali dengan pembangunan Jawa. Bagaimana Jawa sendiri hanya diperas belaka.”152 “Rakyat Jawa adalah obyek propaganda yang sangat cocok disebabkan keter belakangan mereka yang menyedihkan.”153 Demikian pendapat Machida. Demi kepentingan “pembangunan Asia kembali”, ia memanfaatkan segala-galanya. Ia bertutur, “Misalnya surat kabar diterbitkan hanya untuk memobilisasikan rakyat ke satu arah, dan radio serta sandiwara juga demikian.”154 Machida menyatakan, “Sendenhan ini diberi tugas untuk ‘berperang kultural’—jikalau bisa disebut seperti ini—yang lebih menyeluruh” daripada bagian-bagian propaganda yang ada sebelumnya. Pemembentukan Sendenhan itu didorong situasi yang sudah mendesak Jepang untuk membentangkan aktivitas propaganda terhadap luar negeri.155 Berbeda dengan anggota Pen Butai yang diminta ikut perang, anggota Senden Butai ini dipaksa bekerja untuk militer.156 Dalam memoarnya, Michida menulis bahwa Sendenhan di Pasukan ke-16 terdiri dari 150 orang bunkajin (budayawan) dan 250 orang militer.157 Rupanya, Machida tidak ingat atau tidak memegang jumlah anggota pasti di Sendenhan yang dikepalainya. Soalnya, di tempat lain dalam buku yang sama, ia juga 151
Ibid, hlm. 188.
152
Ibid, hlm. 189.
153
Ibid.
154
Ibid, hlm. 190.
155
Ibid, hlm. 19, 21.
156
Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 43. 157
Machida, Tatakau, hlm. 22, 25.
xcv
membenarkan penjelasan Masaaki Tanaka yang menulis, “Keluarga besar Sendenhan di Jawa terdiri dari perwira tinggi sebelas orang, perwira rendah dan prajurit sekitar seratus orang, budayawan yang diwamilkan 87 orang, dan tenaga bayaran 48 orang.”158 Beberapa orangkah budayawan di Sendenhan. Apakah 150 orang? Ataukah 87 orang? Atau juga dua-duanya salah? Tidak ada data resmi pemerintah mengenai hal ini. Agaknya, arti kata “bunkajin” lebih luas daripada kata “budayawan” dalam bahasa Indonesia. Machida sendiri berkata, “Saya tidak tahu orang bagaimana gerakan yang disebut bunkajin – alangkah sembarangnya kata itu.”159 Biar bagaimanapun, tidak dapat disangkal bahwa mereka yang disebut bunkajin adalah orang-orang yang menarik. Sendenhan di Jawa diramaikan oleh kritikus, sastrawan, sarjana/ilmuwan, pelukis, komikus/kartunis, musisi, ahli perfilman. Kamerawan, juru foto, ahli penyiaran, ahli radio, jurnalis, dramawan, komedian, artis, tokoh seni tari, penerjemah, stenografer, ahli cetak, dokter, pendeta Shinto, biksu, pakar agama Katolik dan Protestan, tukang balon untuk reklame, dan banyak lagi.160 Para budayawan itu dibagi ke dalam berbagai seksi: tata usaha; perencanaan; propaganda; pendidikan; surat kabar; komunikasi/korespondensi; penyiaran;
film;
seni
rupa;
foto;
sandiwara;
dan
lain-lain.
Machida
mengkoordinasikan semua seksi dengan menyesuaikan diri dengan sikon (situasi dan kondisi) yang silih berganti. Dalam hal ini, ia menghindari untuk menetapkan batas-batas setiap seksi secara mutlak sehingga dapat menutupi kekurangan tenaga 158
Ibid, hlm. 360.
159
Ibid, hlm. 369.
160
Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 12., Machida, Tatakau, hlm. 360-370.
xcvi
dan melaksanakan tugas propaganda yang meliputi berbagai bidang secara merata.161 Dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen (Almanak Jawa 2604) terdapat bab “Propaganda dan Pemberitaan”. Di dalamnya, Sendenhan di Pasukan ke-16 disebut sebagai “pasukan perang ideologi-budaya skala besar yang tidak pernah ada sepanjang sejarah peperangan dunia.” Selanjutnya, sebagai alat utama pasukan tersebut dicontohkan gelombang udara (radio dan kawat), film (foto, proyektor, dan bioskop), kertas (poster dan selebaran), suara (pengeras suara dan piringan hitam), dan balon untuk reklame.162 Kesemuanya dianggap peluru atau senjata oleh Jepang pada masa itu. Dalam bab itu, poster disebut “peluru kertas.” Adapun, pada masa penghabisan pendudukan Jepang, diterbitkan Shin Jawa, yaitu majalah berbahasa Jepang yang tinggal di Jawa pada masa itu. Dalam kata ucapan selamat untuk penerbitan perdana, Gunseikan Mayjen Shinshichiro Kokubu menganggap majalah itu sebagai “peluru kertas untuk menghancurkan Amerika dan Inggris.”163 Dalam nomor 1 volume 2 majalah yang sama, Seiji Shimaura yang bertugas di Hoso Kanrikyoku (Biro Pengawas Penyiaran di Jawa) menyerukan, “Gelombang udara adalah senjata, siaran radio adalah peluru.”164 Selain itu, dalam Dai Toa Chiiki Shinbun Zasshi Soran (Daftar Surat dan Majalah di Daerah Asia Timur Raya) disebut surat kabar dan majalah adalah : “senjata
161
Ibid, hlm. 362.
162
Jawa Nenkan, hlm. 165., Machida, Tatakau, hlm. 190.
163
Shin Jawa (no.1. Vol.1. 1 Oktober 1944), hlm. 1.
164
“Senso to Hoso wo Kataru (Membicarakan Perang dan Penyiaran)” dalam Shin Jawa (no.1 Vol.2. 1Januari 945),hlm. 74.
xcvii
ampuh dalam perang ideologi.”165 Sementara itu, komikus Saseo Ono (anggota Sendenhan) juga pernah berpendapat bahwa lukisan harus diterapkan sebagai “peluru” dalam kondisi peperangan.166 Tentu semua orang (baik orang militer maupun tidak) dianggap “serdadu” untuk memenangkan “Perang Asia Timur Raya”,167 seperti pernah diutarakan oleh PM Hideki Tojo.168 Dalam bab “Propaganda dan Pemberitaan” dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen tadi, diuraikan juga proses perubahan Sendenhan (Barisan Propaganda) ke Sendenbu (Bagian Propaganda). Sejak awal, Sendenhan bertugas untuk membangun dasar dari urusan-urasan seperti penyiaran, pemberitaan, perfilman, penyuluhan rakyat, sandiwara, dan penyensoran di Jakarta, pada bulan Oktober 1942 Sendenhan dimasukan ke Gunseikanbu dan menjadi Sendenbu. Setelah menjadi Sendenbu, urusan-urusan di atas mulai ditransfer ke badan-badan yang lain: tugas penyiaran kepada Hoso Kanrikyoku yang didirikan pada Oktober 1942; tugas pemberitaan (agen berita Yaesu) kepada kantor berita Domei yang didirikan di Jawa pada Oktober 1942; surat kabar Unabara kepada Jawa Shinbunsha (menjadi Jawa Shinbun); Jawa Eiga Kosha kepada Eihai dan Nichiei yang didirikan di Jawa pada April 1943; urusan pendidikan kepada Bunkyo Kyoku yang
165
Koa sohonbu Chosabu (Bagian Investigasi,Markas Umum Asia Raya) (ed.), 1945,Dai Toa Chiiki Shinbun Zasshi Soran (Daftar Surat Kabar dan Majalah di Daerah Asia Timur Raya), Koa Sohonbu Chosabu, (The Nishijima Collection,. 166
“Kantei Toji to Genzai no genjumin wo Kataru Zandakai (Simposium mengenai Penduduk Setempat yang Sewaktu Pasifikasi dan Kini)” dalam Shin Jawa (no.3. Vol.2. 1 Maret 1945), hlm. 43. 167
Waktu itu Jepang menyebut Perang Pasifik sebagai Perang Asia Timur Raya. Sebutan ini akan dilarang untuk digunakan oleh GHQ (General Headquarters) setelah perang. 168
Pada 8 Desember 1942 (Koa Sai (Ulang Tahun Pecahnya Perang Asia Timur Raya ) pertama) PM Tojo berpidato seperti itu. Lihat Almanak Asia-Raya 2603:Tahoen 1, Djakarta: AsiaRaya Bagian Penerbitan, 1943, (Seterusnya dirujuk sebagai Almanak Asia-Raya-), hlm. 87. Selain itu,pemompin Sendenbu juga berpidato demikian. Lihat Keboedajaan Tomur I (2603),hlm.3.
xcviii
didirikan pada Desember 1942; dan urusan sensor kepada Kenetsuhan (Barisan Sensor) di Gunshireibu (Komandan Militer).169 Mengenai masalah sensor, hingga kini tidak banyak diketahui. Misalnya, tema film cerita ditentukan Sendenbu.170 Menurut mantan Staf Nichiei, Masao Hirai,171 sekali suatu tema film ditentukan,staf Nichiei membuat ringkasan cerita kemudian diserahkan kepada Sendenbu untuk disensor. Setelah lulus sensor, baru disusun skenario lengkap dalam bahasa Indonesia. Sebelum bulan Oktober 1942, semua urusan sensor ditangani Sendenhan.172 Misalnya, sejak 21 Mei 1942, semua orang diharuskan untuk menyerahkan film foto kepada Kantor Besar Foto (Shashin Honbu) di Sendenhan untuk dicuci cetak kemudian disensor disana.173 Masalah sensor disinggung dalam maklumat nomor 16 yang dikeluarkan pada 25 Mei 1942. Pasal keempat dari maklumat tersebut menyatakan bahwa semua penerbitan harus disensor oleh militer Jepang sebelum terbit. Badan penyensoran 169
Jawa Nenkan, hlm. 166., Ada data yang berkata lain, yaitu Sendenhan diubah menjadi Johobu (Bagian Penerangan) Gunseikanbu pada 1Oktober 942. Di dalamnya terdapat Sendenkan (Seksi Propaganda) dan tiga seksi lain. Baca Osamu Shudan Shireibu dan Osamu Shudan Gunseikanbu (Komando Pasukan Ke-16 dan Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa), “Osamu Shudan Gunseikanbu Honbu Kinmu Kitei oyobi onajiku Bunka Kitei no Ken (Revisi Peraturan Dinas Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa serta seksi-seksinya)”, 24 September 1942, (The Nishijima Collection, (JV 1-4) ). 170
Jawa Nenkan, hlm. 170.
171
Kurasawa,Aiko,1992, Nihon senroy-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang), hlm. 279. 172
Pada awal pendudukan,Jepang masih bingung harus melarang buku apa saja, maka dimuatlah pengumuman yang tidak berguna, yaitu “Bekendmaking omtrent met Slechte Strekking (Pengumuman mengenai buku-bku yang isinya Buruk)” dalamkoran Soerabaiasch Handelesblad (Koran Perdagangan Surabaya) (no. 90. 17 April 1942). Hanya ditulis bahwa rakyat harus menyerahkan buku-buku anti-Asia atau anti-Jepang yng “isinya bertentangan dengan Masa baru di Asia” kepada Sendenhan.Menurut artikel itu, jika kemudian ketahuan masih memiliki buku-buku “yang demikian,” maka “pemilik akan mengalami kesukaran-kesukaran besar. “dapat diduga pembaca sangat bingung harus menyerahkan buku bagaomana. Lihat I.J. Brugmans, dkk, 1960, Nederladsch-Ondie onder Japanse Bezetting: Gegevens en Documenten over de Jaren 1942-1945 (Hindia Belanda di Bawah Pendudukan Jepang: Data-data dan Dokumen-dokumen Selama 19421945), Franeker: Uitgave T. Wever, hlm. 209. 173
“Shashin Honbu (Kantor Besar Fto)” dalam Unabara (no.63, 23 Mei 1942),hlm.2.
xcix
militer, menurut pasal kesepuluh, ada di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.174 Menurut mantan kepala kantor besar Jawa Shinbunkai (Gaboengan Persoeratkabaran di Djawa), Goro Taniguchi, urusan sensor bukan diserahkan tetapi waktu Sendenhan pindah dari Gunshireibu ke Gunseikanbu, hak sensor tidak mau dilepas oleh Gunshireibu.175 Sebagaimana biasa di sebuah organisasi, di militer Jepang juga terdapat sektarianisme. Taniguci mengatakan setelah pernyataan Koiso, urusan sensor surat kabar diserahkan sepenuhnya kepada Seksi Surat Kabar Sendenbu.176 Namun, rupanya ini tidak benar. “Osamu Seirei (Oendang-Oendang Osamu) No.6” yang dikeluarkan pada 1 Februari 1944 masih mewajibkan segala penerbitan, naskah film, naskah sandiwara, isi acara kesenian lain,
naskah
pidato
diserahkan
kepada
Kemetsuhan
militer
sebelum
diumumkan.177 Mantan Pemimpin Sendenbu Adachi dan kawan-kawan juga mengatakan bahwa sensor tidak diadakan di Gunseikanbu.178
174
Jawa Nenkan, hlm. 403.
175
Goro Taniguchi, 1953, “Pena ni Yorite (Bergantung pada Pena)” dalam Hitsuroku Daitoa Senshi: (Catatan Rahasia Sejarah Perang Asia Timur Raya: Hindia Belanda), Tokyo: Fuji Shoen, hlm. 126. 176
Goro Taniguchi, 1991, “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Rescarch Materials on the Japanese Occpation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia, Tokyo: Ryukei Shosha, (Seterusnya dirujuk sebagai Taniguchi, “Janarisuto), hlm. 277. 279-280, 292-293. 177
Osamu Kanpo (no.15), hlm. 2-5.,atau Kanpo (no.36), hlm.6-8. Mungkinkah tidak ada pemisahan yang jelas di antara Kenetsuhan dan Sendenbu dalam urusan penyensoran? Rupanya Sendenbu juga mengadakan sensor. Misalnya, di Unit operasi Daerah Sendenbu ada beberapa petugas tetap yang bertanggung jawab atas sensoran. (Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosila di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, (Seterusnya dirujuk sebagai Kurasawa, Mobilisasi-), hlm. 234.) Selain itu, menurut Oya, naskah sandiwara disensor di Barisan sensor (Kenetsuhan) di Sendenbu. (“Nanpo to Bunka Senden (Daerah Selatan dan Propaganda)” dalam Nihon Hyoron (Japang dalam Ulasan) (Januari 1944), (Seterusnya dirujuk sebagai Oya, “Nanpo-“)). Namun, yang jelas, paling tidak sampai Oktober 1943 sensor hanya diadakan oleh Kenetsuhan.Baca Domei Tshushinsa (Kantor Berita Domei),
c
Proses transfer terselesaikan pada bulan April 1943. Setelah selesainya trasnsfer tersebut kegiatan propaganda di daerah lebih diperkuat.179 Sendenbu menarik personilnya dari cabang-cabang di daerahan pada bulan Februari 1944 mereka menyusun dan mengirim Unit Operasi Daerah (Chiho Kosakutai) ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Malang dan Surabaya yang masingmasing terdiri dari orang Jepang dan orang Indonesia.180 Setelah anggota tetap, Sendenbu dengan cerdik sering memobilisasikan pemimpin politik setempat, penyanyi, dalang, badut, penari, musisi, aktor terkenal untuk menarik perhatian rakyat setempat.181 Dengan demikian, markas besar Sendenbu mengonsentrasikan diri untuk perencanaan dan bimbingan dalam urusan porpaganda dan pemberitaan.182 3. Pembentukan Departemen Propaganda (Sendenbu) Salah
satu
usaha
pemerintah
pendudukan
Jepang
untuk
dapat
memenangkan perang adalah berupaya mencari dukungan massa sebanyakbanyaknya. Pemerintah militer mendirikan Departemen Propaganda (Sendenbu)* pada bulan Agustus 1942. Tujuannya agar masyarakat mau bekerja sama dengan 1943, Nanpo Binran (Dai-1-Shu) (Survei Mengenai Daerah Selatan Vol.1.), hlm. 31. (The Nishijima Collection, (AG12)). 178
Hisayoshi Adachi, dkk., “Report on the Activities of Sendenbu”, hlm. 6., (The Nishijima Collection, (AD 2) ). 179
Jawa Nenkan, hlm. 166.
180
Hisayoshi Adachi, “Report to Mr. A.P.M. Audretsch: Replies of Guestionaire Concerning Sendenbu”, 14 April 1947,hlm. 3, (The Nishijima Collection, (AD 3) ). 181
Kurasawa,Aiko,1992, Nihon senroy-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang), hlm. 271-272. 182
Jawa Nenkan, hlm. 166. arti Propaganda adalah informasi terpilih, benar atau salah, yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut sesuatu keyakinan, sikap atau arah tindakan tertentu. Ensiklopedi Indonesia 5, Jakarta, Ichtiar Baru Van aaaaaaahoeve, 1984, hlm.. 2778. *
ci
pemerintah pendudukan Jepang atau untuk memobilisasi seluruh rakyat dalam berperang melawan Sekutu dan untuk dapat mengubah mentalitas.73 Hal ini disertai keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibentuk berdasarkan pola perilaku dan pemikiran Jepang. Mereka mengarahkan propaganda pada indoktrinasi terhadap rakyat Indonesia sehingg mereka dapat menjadi kawankawan yang setia dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Departemen Propaganda bertugas menyelenggarakan propaganda dan penerangan yang berkaitan dengan administrasi sipil, dan merupakan organ terpisah dari
Seksi
Penerangan
Angkatan
darat
ke-16
yang
bertugas
menyelenggarakan propaganda dan penerangan yang berkenaan dengan operasioperasi militer. Aktifitas Sendenbu diarahkan kepada penduduk sipil Jawa, termasuk orang Indonesia, Eurasia, minoritas Asia dan Jepang.74 Meskipun demikian, pihak pemerintah pendudukan Jepang tidak pernah mempercayakan kontrol dari departemen penting ini kepada orang-orang sipil. Lembaga itu selalu dikepalai oleh seorang perwira Angkatan Darat. Pejabat pertama adalah Kolonel Machida Keiji (Agustus 1942-Oktober 1943). Kedua Mayor Adachi Hisayoshi (Oktober 1943-Maret 1945). Dan ketiga Kolonel Takanashi koryo (April-Agustus 1945).75 Lembaga ini mempunyai tiga seksi yaitu: 1. Seksi administrasi; (2).Seksi Berita dan Pers; dan (3).Seksi Propaganda. Seksi yang pertama dan yang kedua masing-masing dikepalai oleh para perwira militer, lain halnya dengan seksi 73
Grant K. Goodman, Janaese Cultural Policies in South East Asia During World War 2, St Martin’s Press, New York, 1991, hlm. 36-65. 74
Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indoneisa, 1993, hal. 230. 75
Ibid., hlm. 230.
cii
ketiga yang dipimpin oleh pejabat sipil. Sendenbu tidak hanya bertindak sebagai sebuah kantor administrasi, tetapi juga secara langsung melaksanakan operasioperasi propaganda. Di dalam menjalankan roda propaganda, semua rencana mengenai propaganda secara garis besar ditangani langsung oleh kepala pemerintah
militer
(Gunseikan),
dan
Sendenbu
bertugas
menjabarkan
pelaksanaannya. Kepala Sendenbu memutuskan rencana operasi dari propaganda, melalui rapat-rapat yang dihadiri oleh setiap kepala seksi yang ada dalam departemen ini.76 Di samping itu, sebuah organisasi bernama Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) dibentuk pada bulan April 1943 sebagai organisasi bantuan dari Sendenbu. Pada saat struktur administrasi militer menjadi semakin rumit, pemerintah membentuk beberapa biro khusus dengan tugas menyelenggarakan berbagai bidang propaganda sebagai badan-badan luar departemen di bawah Sendenbu, dan pelaksanaan operasi propaganda dipercayakan kepada mereka (lihat lampiran II ). Setelah pembentukan organisasi spesialisasi dan biro-biro, Sendenbu sendiri tidak lagi melaksanakan aktifitas secara langsung. Ia hanya menghasilkan rencanarencana dan bahan-bahan propaganda dan mendistribusikannya kepada unit-unit kerja terkait. Pemerintah pendudukan Jepang sangat berhati-hati dalam mengerahkan staf propaganda baik pusat maupun lokal. Mereka yang terlibat propaganda dalam pemerintahan militer mempunyai latar belakang yang sangat berbeda beda. Mereka dapat dibagi atas dua kategori. Pertama, para ahli propaganda dan kebanyakan terlibat dalam perencanaan program. Kedua adalah para spesialis 76
Nishijima Collection, hlm.14.
ciii
dalam bidang khusus, yakni reporter dan editor surat kabar yang sebagian besar dari Asahi Shinbun, penulis, novelis, penyair, penulis esai, pemusik, pelukis, penyiar radio, produser film serta perancang yang biasanya disebut Bunkajin (manusia budaya) dalam masyarakat Jepang.77 Mereka dikenakan wajib militer untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Wajib militer bagi kaum intelektual sipil banyak dilakukan untuk memaksa mereka bekerja sama dengan militer, dan dalam hal ini golongan liberal dan para bekas golongan kiri lebih banyak dikenakan wajib militer dibanding dengan orang orang yang menunjukkan simpati mereka secara terbuka.78 Di samping memanfaatkan intelektual mereka untuk tujuan militer, praktek ini agaknya juga dimaksudkan untuk menguji kesetiaan, serta semacam indoktrinasi bagi orang-orang yang bersifat ragu-ragu (skeptis) terhadap pemerintah Jepang. Walaupun sebagian dari mereka bekerja untuk mempengaruhi masyarakat Jepang di Indonesia, namun sebagian besar dari mereka melakukan hubungan langsung dengan rakyat Indonesia. Sebagian dari mereka menguasai sedikit pengetahuan mengenai bahasa Indonesia, tetapi banyak yang mempelajari bahasa ini setibanya mereka di Indonesia.79 Mereka kebanyakan terlibat dalam pengaturan bahan-bahan propaganda yang sesungguhnya, bersama rekan-rekan mereka dari Indonesia. Banyak dari Bunkajin ini bergabung dengan kelompok propaganda atas permintaan pribadi kolonel Machida Keiji. Meskipun seorang militer profesional, 77
Aiko Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java under the Japanese, 1942-1945”, dalam Grant K. Goodman, editor, hlm. 36. 78
Akira Nagazumi, editor, Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1988, hlm. 8-9. 79
Ibid . , hal. 9.
civ
Machida memiliki keterikatan yang mendalam terhadap kesusastraan dan tampaknya memiliki hubungan yang sangat luas dengan Bunkajin. Berbagai lainnya, meskipun tidak mengenal Machida secara pribadi, telah didorong oleh rekan rekannya yang telah memenuhi permintaan Machida untuk turut bergabung. Mereka berpikir bahwa mereka dapat bekerja lebih bebas di luar negri (Indonesia) dari pada di Jepang dimana pengawasan yang ketat diperlakukan kepada aktifisaktifis kreatif.80 Banyaknya anggota kelompok tersebut menunjukkan besarnya harapan militer terhadap mereka.Sendenhan (Kesatuan propaganda) yang menyertai pendaratan Tentara ke-16 pada bulan Maret 1942, terdiri atas 11 orang perwira, 100 orang prajurit, dan 87 kaum intelektual wajib militer. Sebagian dari mereka kembali ke Jepang, dibebas tugaskan setelah bertugaskan setahun. Tetapi banyak di antara mereka yang secara suka rela tinggal lebih lama, dan pendatangpendatang baru bermunculan. Kegiatan mereka dalam banyak hal termasuk unik dalam melakukan perang urat syaraf sehingga meninggalkan kesan yang dalam pada masyarakat Indonesia. Kaum intelektual yang lebih banyak terpengaruh oleh hubungan dengan rakyat Indonesia. Walaupun sebagian di antara mereka berasal dari pemerintahan militer Jepang, namun mereka tidak seluruhnya terikat di dalamnya, karena aspirasi dan cita-cita mereka sendiri. Mereka sering menjalankan peranan yang berbeda dari garis resmi pemerintahan militer. Banyak orang Jepang yang berasal dari kelompok ini kemudian ikut berjuang dalam mempertahankan republik Indonesia terhadap serangan Belanda.81
80
Aiko Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java under the Japanese, Loc. cit . ,
hlm.40. 81
Akira Nagazumi, editor. Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Op. Cit., hal.10. Kasus yang sangat menarik adalah tulisan Kenichi Goto. Yakni seorang pemuda
cv
Untuk mengerahkan staf Sendenbu yang berkebangsaan Indonesia, pemerintah penduduk mengadakan pembagian kedalam dua kategori. Pertama, orang-orang Indonesia direkrut atas dasar atribut seperti karir mereka sebelum perang, orientasi politik, kedudukan masyarakat tradisional, pribadi-pribadi yang kharismatis dan aktif, mempunyai kemampuan berpidato dan guru-guru sekolah lebih diutamakan. Kedua, mereka yang memiliki beberapa pengalaman dalam gerakan anti-Belanda. Moh. Yamin, penasihat bagi Sendenbu merupakan salah satu contoh.Ia telah aktif dalam gerakan nasionalis anti-Belanda sebagai anggota Indonesia Muda dan Partindo dan pernah bekerja sebagai guru sekolah. Staf lainnya adalah Siti Nurjanah yang pernah mengajar pada sebuah sekolah Islam dan pernah aktif dalam gerakan Islam.82 Sejak masa awal pendudukan, staf propaganda Jepang dikirim ke ibukotaibukota provinsi di Jawa (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya) untuk melaksanakan aktifitas propaganda. Kemudian dibentuk sebuah badan lokal yang lebih luas dan terorganisasi rapih yang disebut Unit Operasi Distrik (Chihokosakutai) di kota-kota tersebut di atas dan di kota Malang. Unit-unit Operasi Distrik ini, berada di bawah kendali langsung Sendenbu. Setiap kantor karesidenan memiliki seksi propaganda dan penerangannya sendiri.83 Sekurangkurangnya satu anggota staf dalam seksi ini adalah orang Jepang yang dikirim dari Jepang yang bernama Ichiki Tatsuo, karena merasa tidak puas atas harapan yang digantungkan kepada pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia, ia akhirnya ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan gugur sebagai “pahlawan”. Ichiki Tatsuo menanggalkan kewarganegaraan Jepang dan menjadi warga negara Indonesia sebagai “Abdul Rachman” Selanjutnya lihat Kenichi Goto, “Kehidupan dan Kematian” Abdul Rachman (1906-1949): Satu Aspek dari hubungan Jepang-Indonesia dalam Akira Agazumi, editor, Op. Cit . , hlm. 114-131. 82
Djawa Gunseikanboe, Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, Yogyakarta, UGM Pers, 1984, hlm. 476. 83
Asia Raja, 16 Mei 1944.
cvi
Jakarta secara khusus. Pada tingkat-tingkat administratif bawah, seperti kabupaten dan kecamatan, terdapat pejabat-pejabat Indonesia yang bertugas untuk propaganda. Pejabat-pejabat ini tidak bekerja secara khusus untuk propaganda saja, tetapi secara bersamaan melakukan fungsi lain sebagai pegawai pemerintah lokal. Salah satu contoh propaganda pada tingkat lokal, adalah Yogyakarta. Komposisi personal dari unit operasi distrik kurang lebih sama dengan kantor pusat di Jakarta. Ia dikepalai oleh orang Jepang dan dibawahnya terdapat banyak propagandis, baik Jepag maupun Indonesia. Staf Jepang biasanya bertanggung jawab untuk perencanaan dan pengawasan, sementara orang-orang Indonesia sebagian besar bekerja penuh pada unit Yogyakarta, yaitu dua operator Kamishibai (Pertunjukan gambar kertas) empat pelakon Manzai (dialog panggung komik) dan tiga orang yang bertugas untuk penyonsoran. Penerbitan-penerbitan atau pidato-pidato umum harus disensor oleh sendenbu dan ada staf yang bekerja penuh untuk itu.84 Sejumlah besar tenaga honorer dan paruh waktu juga diperkirakan pada unit propaganda lokal yang akan membantu sewaktu-waktu dengan permintaan khusus. Secara umum pemimpin-pemimpin politik lokal, pemuka-pemuka, agama, penyanyi, musisi, aktor, dalang, penari, pelawak dan sebagainya sering dimobilisasi untuk operasi-operasi propaganda. Kemashuran dan bakat para penghibur itu dimanfaatkan untuk menarik perhatian rakyat. Di Keresidenan Cirebon misalnya, terdapat 33 sukarelawan propagandis yang dipilih oleh residen (Shucokan). Masing-masing ditugaskan pada satu subdistrik (son), dan mereka ditugaskan untuk memberi penerangan dan tuntunan kepada penduduk lokal secara harian. Latar belakang budaya dan bahasa dari masyarakat adalah sangat penting dalam menentukan sarana-sarana propaganda. Di Jawa karena tingkat melek hurufnya masih sangat rendah, maka tekanan diberikan kepada media audio-visual 84
Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Op. Cit , . hlm. 234.
cvii
(pendengaran dan penglihatan) seperti film, seni pertunjukan, kamishibai, musik, radio dan poster. Bahasa Indonesia merupakan bahasa standar untuk semua bahan propaganda yang diciptakan di Jawa. Hal ini dikarenakan pihak pendudukan Jepang telah menghapus bahasa Belanda dan “bahasa musuh” lainnya di Indonesia, di samping keinginan untuk menjadikan bahasa Jepangsebagai bahasa komunikasi masih sangat jauh dari harapan. Karena penguasaan bahasa Indonesia sebagian masyarakat pedesaan Indonesia sangat terbatas, maka alternatif berikutnya adalah menggunakan bahasa yakni bahasa Jawa dan Sunda. Orangorang Jepang harus menerjemahkan kembali dari bahasa Indonesia ke bahasabahasa lokal agar kegiatan propaganda menjadi efektif. Barangkali di sinilah peran penting dari para seniman dan sastrawan daerah yang direkrut dalam sendenbu. Sedangkan isi dari tema-tema propaganda yang dikeluarkan bagi masing-masing anggaran berbeda-beda dari tahun ketahun.85 Hasil-hasil dari kegiatan propaganda sukar sekali diukur. Keberhasilan mencapai suatu tujuan agaknya bisa diukur dari banyaknya orang yang dapat dipengaruhi di bawah suatu slogan tersebut, tetapi tidak ada cara untuk mengukur intensitas dukungan rakyat. Tugas ini membutuhkan lebih banyak emosi dari pada rasio, dan lebih banyak imajinasi dari pada perencanaan. Para pegawainya pun harus meyakinkan diri mereka sendiri lebih dahulu bahwa suatu tema propaganda tertentu adalah benar dan perlu sebelum mereka dapat membujuk orang lain.86 Namun demikian dalam mempertimbangkan dampak propaganda Jepang harus dibedakan antara reaksi kaum intelektual perkotaan dan dari masyarakat
85
Nishijima collection, hlm. 11.
86
Akira Nagazumi, editot, Op. Cit . , hlm. 9.
cviii
yang tidak berpendidikan. Orang-orang yang terdidik umumnya memperoleh informasi dengan baik tentang masalah dunia dan menambah pengetahuan yang akan memberi dasar kepada mereka untuk penilaian yang lebih rasional dari pesan-pesan propaganda. Sedangkan dari masyarakat yang tidak terdidik dan kurang memperoleh informasi, cenderung menerima propaganda sebagai nilai utama. Jadi sasaran propaganda yang ditujukan kepada generasi muda nampaknya lebih efektif dan mengena kepada masyarakat yang tidak berpendidikan, terutama yang hidup di daerah pedesaan dan terisolasi dari sumber-sumber informasi lainnya. Dana yang terkumpul dari hasil beberapa pertunjukan tersebut diberikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, antara lain untuk pemberantasan buta huruf, membantu desa-desa miskin yang dilanda kelaparan, membantu usaha pemberantasan penyakit dan lain-lain. Sumbangan ini dilakukan oleh barisan Pemuda Asia Raya cabang Jakarta yang mengadakan pertunjukan amal “Dewi Moerni”.87 4. Sendenhan Mulai Beroperasi Setelah berangkat dari Jepang pada 3 Januari 1942, para anggota Sendenhan Pasukan ke-16 menempati Takao di Taiwan untuk sementara, dan pada awal bulan Febuari 1942 mereka berangkat ke Indonesia. Pada 1 Maret 1942 armada pasukan ke-16 mengadakan operasi pasifikasi di tiga tempat, yaitu Merak (teluk Banten) di Jawa Barat, Eretan di Jawa Tengah,dan rembang di Jawa Timur. Di merak tempat induk pasukan mendarat, terjadi peperangan dengan tiga kapal perang sekutu, yang bagian dari ABDACOM ( American Britist Dutch Australian 87
Djawa Baroe, No. 8-9, Januari 1943, hlm. 10.
cix
Command) : Huston (Amerika), Perth (Australia), dan sebuah kapal perang kecil. Satu setengah jam kemudian, ketiga kapal ini diluluhl lantahkan termasuk tujuh buah kapal sekutu. Pihak Jepang juga kehilangan beberapa kapal, termasuk sakuramaru. Selain komandan Tertinggi Imamura, sebagian dari anggota Sendenhan juga harus menyelamatkan diri ke laut. Pada 2 Maret 1942 mereka tiba di serang. Disana semua anggota Sendenhan yang terjadi di kapal-kapal Mizohomar, Akitsumaru, dan sakuramaru bertemu. Kemudian, mereka diutus terpisah lagi ke Batavia, bogor, dan Bandung.89 Pada 5 maret 1942 mereka berhasil menduduki Batavia, yang sudah dinyatakan “kota terbuka “ oleh Belanda. Namun, militer Jepang tidak masuk ke dalam kota Batavia kecuali anggota Sendenhan. Pada 8 Maret1942, K.Machida, U.Tomisawa, Y.Nakatani, anggota Seksi film Sendenhan, koresponden, dan wartawan menuju Kalijati mengejar koferensi penyerahan. Pada 9 Maret 1942 komandan militer Belanda menyerah kepada Komandan Hitoshi Imamura di Kalijati. Tomisawa dan Nakatani langsung berangkat ke Bandung. Nakatani adalah penerjemah Sendenhan dan sebelumnya bekerja di Toko Bromo di Malang sejak sebelum perang. Pada malam harinya, mereka mengambil alih stasion Radio NIROM dan menyiarkan “oendang-oendang Nomor 1 dari Pembesar Balatentara Dai Nippon” dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Jepang, bahasa Indonesia, dan bahasa Belanda.90
89
Ibid.,hlm. 182-183.
90
Tomisawa, Jawa, hlm. 74, 87-88., Tomisawa, “Jawa ni Okeru Sendenhan no Katsudo: Joriku yori Ajia Raya-sha Soritsu made (Kegiatan Sendenhan di Jawa: Dari Pendartan sampai Pendirian Perusahaan Asia Raya)” dalam majalah Toa Bunka Ken (Lingkungan Budaya Asia Timur) (Januari 1943), (Seterusnya dirujuk sebagai Tomisawa, “Jawa”), hlm. 88-95.Mengenao perjalanan mereka ke Kalijati dan usaha propaganda mereka di Bandung,baca juga Yoshio Nakatani, Nakatani Yoshio Danwa: Gunsei no Omoide (Wawancara dengan Yoshio Nakatani:
cx
Sementara itu, anggota Sendenhan yang tinggal di Batavia juga mulai beroperasi disana. Oya memimpin pengambil alihan Konsulat Jendral Inggris, agen berita, perusahaan surat kabar, stasiun radio, perusahaan percetakan, studio film, toko alat-alat foto, took alat-alat radio, dan lain-lain.
Mereka berkeliaran untuk
menempelkan tanda Marusen (symbol Sendenhan) pada tempat-tempat tersebut.91 Sepertiga dari bahan propaganda yang disiapkan mereka sudah tenggelam ke laut, sedangkan dua pertiganya terlambat datang. Oleh karena itu nasib Sendenhan sangat tergantung pada hasil pengambil alihan tersebut.92 Sebelum Belanda menyerah, tugas utama Sendenhan adalah mengadakan Propaganda terhadap musuh dan pemberitaan ke Jepang.93 Setelah Belanda dilucuti, mereka mengutamakan propaganda terhadap penduduk Indonesia. Mengenai kegiatan awal Sendenhan itu, nomor perdana Sekido Ho [Berita Khatulistiwa] yang terbit pada 9 Maret 1942 memuatkan sebuah artikel yang berjudul “Aozora Ni Egaku Ajia Banzai: Sendenhan No Katsuyuka [melukiskan ‘hidup Asia’di langit Biru : Aktivitas Sendenhan]” : [..] Setelah mengambil alih konsulat jendral inggris sebagai pusat , Sendenhan langsung memulai berbagai kegiatan propaganda. Hari ini kami dapat memasang balon iklan di lapangan yang ada di muka Markas Besar Sendenhan berkat aktivitas seksi balon. Orang Indonesia yang melihat [tulisan di balon] itu, tua maupun muda [...] berteriak-triak “hidup Asia”.
Kenangan tentang Pemerintahan Militer), Diambil dari rekaman kaset, 20 November 1956,hlm. 37-83, (The Nishijima Collection, (JV 34-2) ). 91
Kecuali Kitahara, Yokoyama,Iida, dan Takeda yang terlambat datang ke Batavia.
92
Machida, Tatakau, hlm. 191-192.
93
Tomisawa, Jawa, hlm. 72-73.
cxi
Mayarakat setempat menyebut Sendenhan sebagai BP, singkatan dari “Barisan Propaganda.” Kehadiran mereka cukup mengesankan maka anak kecil saja mengenal sebutan BP tersebut.94
B. Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945 1. Propaganda Jepang sebelum Invasi ke Indonesia Jauh sebelum menguasai Indonesia, Jepang sudah mempersiapkan diri untuk mengambil hati rakyat Indonesia yang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan kolonialis Belanda. Propaganda menjadi alat utama bagi Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia, sehingga bangsa itu telah mempersiapkannya secara sistematis selama beberapa tahun sebelum melaksanakan invasi ke wilayah Selatan. Awal persiapan materi propaganda ditandai dengan penerbitan artikel yang ditulis oleh Jenderal Arki,Menteri Urusan Perang, dalam bulan April 1932. artikel itu berjudul The Call of Japan in the Sowa Period (Seruan Jepang pada Masa Sowa), yang memuat ajaran bahwa jepang harus mengikuti Imperial Way (Jalan Kekaisaran) untuk mengangkat bangsa Yamamoto, dan untuk menyelamatkan Asia Timur serta dunia. Jenderal Araki mengakhiri artikel ini dengan suatu penegasan bahwa misi bangsa Jepang adalah menyebarluaskan doktrin Imperal Way diseluruh lautan dan dunia. Jederal Araki juga menulis The Present Position of East Asia, yang menampakkan cirri utama fasisme,yakni rasialis dan imperialis. Dalam artikel itu Ararki menyatakan: “The Japanese Empire, in its own and other eyes,the leader of East Asia and with the power to be so,whose call is Kodo or the Imperial 94
Takeo Kitahara, 1943, Uki Kitaru: Jawa Jugun-ki (Musim Hujan Tiba: Catatan Wamil di Jawa), Tokyo: Buntai-sha, (Seterusnya dirujuk sebagai Kitahara, Uki), hlm. 57.
cxii
Way, to spread out and save oppressed countries, cannot stand aside any longer and look on inactive”95
“Kekaisaran Jepang,dalam sudut pandangnya sendiri dan sudut pandang orang lain, pemimpin Asia Timur dan dengan kekuatan semacam itu, yang disebut Kodo atau Jalan Kekaisaran, dalam rangka perluas dan penyelamatan negeri-negeri yang tertindas, tidak dapat lagi tinggal diam dan hanya melihat tanpa melakukan apapun” (terjemahan oleh Penulis). Dalam
tulisan
tersebut
tampak
jelas
bahwa
Jepang
telah
mempropagandakan dirinya sebagai bangsa pemimpin dan penyelamat bagi bangsa-bangsa Asia yang terjajah, tetapi tanpa menyatakan tindakan agresifnya untuk menguasai wilayah-wilayah lain. Tindakan itu merupakan salah satu karakter pasif Jepang. Seperti kaum fasis yang lain, ketika itu Jepang telah melegitimasi perannya sebagai pemegang kekuatan atas bangsa-bangsa Asia Timur. Slogan kemanusiaan untuk membebaskan bangsa-bangsa yang tertindas oleh bangsa Barat, sesungguhnya merupakan kedok Jepang untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain dan menampilkan diri di panggung kekuasaan dunia.96 Segera setelah pecah perang di eropa dalam bulan September 1939, Jepang mulai mempersiapkan diri untuk mengadakan invasi ke wilayah-wilayah di sebelah Selatan Jepang. Indonesia merupakan sasaran invasi jepang yang penting karena wilayah itu memiliki persediaan bahan mentah seperti minyak, karet,
95
Robentson, Eric, 1979, The Japanese File: Pre-War Japanese Penetrasion in Southeast Asia, London: Heinemann Educational Books Limited, hlm. 87. 96
Riff, a. Michael, Kamus Ideologi Politik Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , hlm.
56.
cxiii
timah, bosit, manggan yang sangat diperlukan untuk mendukung kepentingan perang.97 Untuk persiapan penyerbuan ke wilayah Selatan, propaganda pun semakin diperkuat. Dalam musim panas tahun 1940 Pangeran Konoye meresmikan empat biro propaganda di Tokyo. Biro propaganda yang utama adalah Cabinet Informasion Biro, sedangkan tiga biro yang lain ditempatkan dikementrian luar negeri,markas militer, dan di Taisei Yomusankai (Pergerakan Nasional Baru). Propaganda disiarkan melalui radio, pers, dan pamphlet dan dilaksanakan oleh organisasi-organisasi propagandis, sebagai contoh Great Asia Society South dan Seas Association. Selain melalui media komunikasi, propaganda juga dilakukan secara lisan oleh para propagandis, dan mengundang bangsa-bangsa Asia lainnya untuk mengikuti pendidikan serta bekerja di Jepang.98 Khususnya untuk Indonesia, sasaran pertama Jepang para wartawan atau orang-orang yang bergiat dalam persuratkabaran. Pada tahun 1933 Jepang telah mengundang pemimpin redaksi surat kabar Bintang Timoer, bersama dengan wartawan lainnya, untuk mengunjungi Jepang. Undangan ini dimaksudkan untuk menanamkan rasa hutang budi, sehingga para wartawan Indonesia itu bersedia menyiarkan tulisan-tulisan yang mendukung Jepang.998 Setelah tahun 1940 propaganda Jepang menjadi semakin gencar. Pada tanggal 16 Maret 1941 melalui radio Taihoku di Tokyo disiarkan propaganda sebagai berikut. 97
Aziz. M. A, 1955, Japan’s Colonialism and Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff,
hlm. 100. 98
Robentson, Eric, The Japanese File: Pre-War Japanese Penetrasion in Southeast Asia, hlm. 86-87. 99
Seobagijo, I.N, 1980, Sumanang Sebuah Biografi, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 68.
cxiv
“Co-operation among the natives of Burma, the Philippines, and East Indies should be established. This move should be carried out by themselves. Japan must take a leading role in order to lead them and guide them to proper path of c0-operation and common prosperity, as these countries have been unjustly treated by the foreigners.100 “Kerja sama antara bangsa Birma, Pilipina, dan Hindia Timur harus digalang. Kerja sama ini harus dilaksanakan oleh mereka sendiri. Jepang harus memegang peranan pimpinan untuk memimpin dan mengarahkan mereka ke jalan kerja sama yang benar dank kea rah kemakmurn bersama, karena negeri-negeri ini telah diperlakukan oleh bangsa-bangsa asing secara tidak adil” (terjemahan oleh Penulis). Dalam propaganda di atas tampak jelas bahwa jepang telah mengeluarkan Controversial issu untuk menimbulkan rasa antipathy terhadap bangsa-bangsa Barat yang telah melakukan kolonialisme dan imperialisme di wilayah Asia. Dalam pernyataan itu Jepang telah mengekspresikan juga sikap meremehkan terhadap
bangsa-bangsa
lainnya,
yang
dianggapnya
bahwa
tanpa
kepemimpinannya bangsa-bangsa lain tak berdaya untuk meraih kemakmuran sendiri. Dalam hal ini Jepang telah menunjukan sifat fasisme lagi. Dengan demikian, propaganda memang sangat diperlukan oleh kaum fasis untuk mencapai tujuannya, karena dengan itu mereka dapat mempengaruhi orang lain dengan slogan-slogan indah yang sesungguhnya adalah indoktrinasi demi pencapaian tujuan yang telah mereka tetapkan. Khususnya di Indonesia, seruan anti-Belanda menjadi isu propaganda yang dikumandangkan secara tegas, terutama melalui barisan propagandanya. Propaganda anti-Belanda itu telah mendapat perhatian khusus penduduk Indonesia. 2. Alat Perang Propaganda Jepang a. Dari Pasukan Pena ke Barisan Propaganda 100
Seobagijo, I.N, 1983, Mr. Sudjono Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942. Jakarta: Gunung Agung, hlm. 164.
cxv
Bibit Sendenhan dimulai sejak Insiden Manchuria pada tahun 1931. Setelah mendirikan negara Manchuria, Jepang semakin terpojokkan di dunia internasional. Maka pemerintahan dan militer Jepang memutuskan untuk membentuk sebuah komite ini diresmikan oleh kabinet Koki Hirota101 pada bulan Juli 1936 dengan nama Komite Penerangan Kabinet (Naikaku Joho Iinkai). Kemudian, komite tersebut diubah menjadi Bagian Penerangan Kabinet (Naikaku Johobu) pada 25 September 1937. Komite-komite yang disebut di atas masih bersifat menghubungkan seksi-seksi penerangan yang ada di Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen AD, dan Departemen AL. Pada masa kabinet Fumimaro Konoe kedua (Juli 1940-Juni 1941), Naikaku Johobu diubah lagi menjadi Dinas Penerangan Kabinet (Naikaku Johokyoku; selanjutnya disingkat Johokyoku) yang menyatukan tugas-tugas yang menyangkut penerangan serta porpaganda yang selama ini diurus keemapat departemen tadi. Hal ini diputuskan dalam konfrensi kabinet pada 13 Agustus 1940 dan diresmikan pada 5 (6?) Desember 1940. Johokyoku ini melaksanakan tugas
penerangan,
pemberitaan,
penyensoran,
operasi
propaganda,
dan
sebagainya.102 Johokyoku diawasi langsung oleh perdana menteri dan terdiri dari lima bagian. Seksi Ketiga Bagian Kelima Johokyoku-lah yang bertugas membimbing oraganisasi sastra, seni rupa, musik, dan budaya lainnya. Kepala seksinya Kajin (pencipta tanka) Zushi Hachiro (nama sebenarnya adalah Shiro
101
Sesudah perang, ia akan dihukum mati sebagai penjahat kelas A.
102
Tomio Sakuramoto, 1993, Bunkajin Tachi no ditoasenso: PK Buati ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), Tokyo: Aoki-shoten, (Seterusnya dirujuk sebagai Sakuramoto, Bunkajin), hlm. 56-51., dan Shireru Hayashi, 1993, Nihon No Rekishi 25: Taiheiyo Senso (Sejarah Jepang 25: Perang Pasifik), Tokyo:n Chuo Koron Sha,hlm. 325.
cxvi
Inoue). Inoue ini sangat dibenci di kalangan sastrawan, karena ia menekan mereka seenaknya atas dukungan penuh oleh Bagian Berita Militer.103 Kabinet Konoe kedua tersebut mengumandangkan Gerakan Orde Baru (Shintaisei Undo). Untuk mengawalinya, kabinet itu membubarkan semua partai, dan sebagi gantinya pada 12 Oktober 1940 mendirikan Taisei Yokusankai (Persatuan Pembantu Pemerintah Kekaisaran) yang diketahui Konoe sendiri. Badan ini merupakan organisasi massa yang dikontrol langsung oleh pemerintah, yang kemudian dijadikan model buat Jawa Hokokai (Himpoenan Kebaktian Rakjat di Djawa). Di Taisei Yokusankai terdapat juga Sendenbu (Bagian Propaganda) Ypkusankai. Misalnya dengan dibantu Johokyoku, Sendenbu ini mendirikan Nihon Senden Bunka Kyokai (Lembaga Budaya Periklanan Jepang) yang mengontrol dunia periklanan swasta untuk kepentingan negara pada bulan Mei 1941.104 Gerakan Orde Baru yang diluncurkan kabinet Konoe tersebut menyebar ke segala bidang, termasuk bidang sastra, dan menjadi populer semboyan “Jangan Ketinggalan Bus (yang bernama Orde Baru)”.105 Pada 23 Agustus 1938, satu tahun setelah Perang Jepang-Cina meletus, Naikaku Johobu mengadakan pertemuan dengan dua belas orang sastrawan. Semua sastrawan menyatakan keinginan untuk ikut tentara, kecuali novelis Riichi Yokomitsu yang mengundurkan diri. Akhirnya, Naikaku Johobu memutuskan untuk mengikut sertakan 22 orang sastrawan (yang tentu pro-pemerintah) ke 103
Tomio Sakuramoto,1995, Nihon Bungaku Hokokukai: Dai Toa Senso-ka no Bungakusha-tachi (Nihon Bungaku Hokokukai: para Sastrawan di Bawah Perang Asia timur Raya), Tokyo: Aoki-shoten, (Seterusnya dirujuk sebagai Sakuramoto, Nihon), hlm. 44-45., Sakuramoto, Bunkajin, hlm. 109. 104 Sakuramoto, Bunkajin, hlm. 157-158. 105
Sakuramoto, Nihon, hlm. 10., untuk mengetahui Jawa Hokokai secara ringkas, baca “Pedoman Djawa Hookookai, Himpoenan Kebaktian Rakjat”, 1 Halaman. (The Nishijima Collection, (JV 20) ).
cxvii
medan perang di Cina.106 Rombongan ini dinamai Pen Butai oleh media massa dan sebutan ini menjadi popular di masyarakat luas.107 Butai berarti ‘pasukan’ sedangkan pen berarti ‘pena’. Jadinya “pasukan pena” (selain ini, ada juga yang seperti Rekodo Butai (pasukan piringan hitam) yang beranggotakan penggubah lagu seperti Nobuo Iida yang akan dikirim juga ke Jawa). Pengurus “Pasukan Pena” ini adalah sastrawan Kan Kikuchi, ketua Bungeika Kyokai (Lembaga Sastrawan Jepang). Novelis Shiro Ozaki adalah salah seorang anggota “Pasukan Pena” tersebut. Dalam novelnya Bungaku Butai (Pasukan Pena) (1939), ia menuliskan mereka diberi keterangan oleh seorang Kolonel seperti berikut. Sebenarnya tidak ada pesan apa-apa dari pihak militer. Kalian hanya diharap melihat apa adanya di sana. Kalau nanti kalian tidak menulis apa-apa juga tidak masalah. Jadi, tidak ada tanggung jawab khusus bagi kalian. Kenyataannya, penjelasan ini merupakan tipuan agar para sastrawan bersedia ikut. Sebelumnya sudah ditentukan tugas “sastrawan wamil (sastrawan yang diwajib militerkan)” ini, yaitu memberitakan perjuangan militer Jepang di Cina kepada rakyat Jepang supaya meningkat keinginan rakyat Jepang untuk bersatu untuk maju. Hal ini tercantum dalam “Jugun Bungeika Kodo Keikaku Hyo (Jadwal Rencana Kegiatan Sastra Wamil)” buatan Hodobu (Barisan Berita) militer.108 Belakangan reportage mereka semuanya dikirim ke Jepang dan dimuat
106
Masao Kume, Teppei Kataoka, Matsutaro Kawaguchi, Shiro Ozaki, Fumio Tanba, Akira Asano, kunio Kishida, Sonosuke Sato, Kosaku Takii, Takao Nakaya, Kyuya Fukada, Uio Tomasiwa, Fumiko Hayashi, Kyoji Shirai (AD), Kan Kikuchi, Eiji Yoshikawa, Harou Sato,Seijiro Kojima, Heisuke Sugiyama, Komatsu Kitamura, Hiroshi Hamamoto, Nobuko Yoshiya (AL). Lohat Sakuramoto, Bunkajin, hlm. 15. 107
Ryuji Takasi, 1976, Pen to Senso (Pena dan Perang), Tokyo: Seiko Shobo.
108
Sakuramoto, Bunkajin, hlm. 12-21.
cxviii
di berbagai media massa. Berarti, mereka hanya diharapkan untuk berpropaganda kepada rakyat Jepang sendiri bukan kepada rakyat Cina. b. Almanak Asia-Raya 2603 Pada awal tahun 1943 perusahaam surat kabar Asia Raya menerbitkan sebuah almanak. Almanak yang berjudul Almanak Asia-Raya 2603 ini kecil tetapi cukup tebal dengan ukuran 11 x 16 cm dan terdiri dari 258 halaman. Almanak Asia-Raya adalah satu-satunya almanak berbahasa Indonesia yang terbit di Jakarta selama masa pendudukan Jepang.109 Almanak tersebut terdiri hanya dua kali dan pada tahun keduanya (1944) diterbitkan oleh Djawa Shinbunsha bukan oleh perusahaan Asia Raya 2603-lah yang merupakan almanak murni buatan Sendenbu. Dalam kata pengantarnya, dijelaskan bahwa almanak ini diharapkan untuk dijadikan “pedoman dan toentoetan jang oetama” bagi “oemoem, baik kaoem toea maoepoen moeda, poetera atau poeteri.” Sebelumnya diterangkan mengenai dua kewajiban, yaitu kewajiban surat kabar dan kewajiban rakyat, pertama berbunyi sebagai berikut. KEWADJIBAN SOERAT KABAR pada oemoemnja ialah memberikan penerangan jang sebaik-baiknja kepada oemoem. Teroetama dalam zaman pantjaroba, dalam waktoe peroebahan sekarang ini, perloe sekali penerangan jang sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja kepada oemoem.110 Jika membaca surat kabar masa itu, maka jelaslah rakyat Indonesia tidak diberi penerangan yang “sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja. Rakyat Jepang juga
109
Di Surabaya diterbitkan Almanak Nasional 1942 dan Almanak Soeara Asia 1944 oleh Komisi Penerbitan Almanak Nasional. 110
Almanak Asia Raya, hlm. 13.
cxix
hanya diberi tahui yang bagus-bagusnya saja dan sering diberi keterangan palsu oleh pemerintahan dan militer negaranya sendiri. Hal ini tidak terkecuali untuk karya-karya sastra yang dimuat dalam surat kabar serta media massa lain. Hampir tidak ada yang diciptakan “sebagaibagainja”. Artinya hanya dimuat karya sastra yang dapat membantu Jepang. Dan untuk penjelasan lebih lanjut, dibawah ini kutipan lanjutan dari kutipan di atas mengenai apa gerangan yang dimaksud kewajiban rakyat itu. Poen perloe sekali rakjat diinsjafkan akan kewadjiban dan kedoedoekannja oentoek menjoesoen masjarakat baroe. Kewadjiban jang teroetama ialah mambantoe Pemerintah oentoek mengoeatkan barisan dibelakang garis perang. Menegoehkan semangat, tenaga dan kekoeatan agar soepaja dapat memberi sokongan jang sebaik-baiknja kepada Pemerintah oentoek mentjapai kemenangan achir dalam perang sekarang ini.111 Sebagaimana bagian yang
dicetak miring menujukkan, rakyat Indonesia
diwajibkan untuk mendukung pemerintah Jepang secara total. Maka, dipeladjari dan achirnya dikerdjakan, dengan hati jang tegoeh dan niat jang soetji oentoek mengabdikan diri kepada soesoenan masjarakat baroe.112 Apabila mamperhatikan isi almanak tersebut maka dapat membayangkan citra ideal bagaimana yang diharapkan dari rakyat Indonesia oleh Sendenbu pada masa itu. Di sini, akan dikutip semua semboyan yang dimuat di dalam almanak tersebut guna mengetahui arah propaganda Sendenbu. “Hidoeplah Asia Raya” (hlm.30), “Samoerai dan Ksatrija Pahlawan Asia Timoer Raya” (hlm.105), “Siap Sedia dan Giat Tjepat / Bekerja Mentjapai Asia Raja (sic)” (hlm.153),
111
Ibid.
112
Ibid.
cxx
“Bangoenan-Bangoenan Oemoem Milik Kita Bersama Haroes Kita Djaga dan Bela” (hlm.154), “Hemat dan Tjermat Pangkal Bahagia Roemah Tangga” (hlm.157), “Dai Nippon dan Indonesia Toelang Penggoeng Asia Raya” (hlm.216), “Dosa Kepada Indonesia Haroes diteboes dengan Djiwa” (hlm.224), “Dalam Keloearga Asia Raya Berdirilah Indonesia Moelia” (hlm.226), “Doea Sedjoli Nippon Indonesia Membawa Kemakmoeran Bersama” (hlm.233). semboyansemboyan tersebut rata-rata tidak menyimpang dari kerangka haluan propaganda Sendenbu tahun 1943 yang sudah diuraikan dalam subbab “ A. 2 lahirnya Sendenhan”. Sepintas lalu dapat diketahui bahwa yang paling ditekankan adalah gagasan “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.” Dalam hal ini dititikberatkan juga unsur kekeluargaan dan kebersamaan. Adapun, glosarium “Arti Nama-nama Nippon dari Kantor-kantor Pemerintah dll.” Yang terdapat dalam Almanak Asia Raya 2603 berguna untuk mengetahui sebutan badan-badan Jepang pada masa itu. Misalnya, menurut almanak itu, Gunseikanbu diterjemahkan sebagai ‘Kantor Besar Balatentara.’ Sedangkan Sendenbu berarti ‘Barisan Propaganda.’ Pada masa itu, istilah-istilah bahasa Jepang itu digunakan langsung tanpa diterjemahkan.
c. Kebijakan Jepang dalam Puisi Indonesia Sebagaimana dapat diketahui dari semboyan-semboyan dalam Almanak Asia-Raya 2603 yang sudah dibahas dalam subbab sebelumnya, ada beberapa
cxxi
subbab sebelumnya, ada beberapa subtema propaganda lain selain tema utama yang ditetapkan Sendenbu. Bahkan, rupanya penerapan tema setiap tahun anggaran itu tidak bersifat mutlak. Misalnya, upaya pencegahan mata-mata dilaksanakan sangat ketat sepanjang pendudukan. Dalam rangka itu, sejak 1 Desember 1942 dilarang juga untuk mengunakan bahasa Belanda dan Inggris di telepon.113 Sebagai puisi yang bertemakan hal tersebut ada “Awas Mata-mata Moesoeh!” karya St.P. Boestami yang dimuat dalam majalah Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603). tema ini terdapat juga dalam cerpen “Koerban Gadis” karya Winarno yang dimuat dalam majalah yang sama. Sebagaimana sudah dijelaskan, tema pencegahan mata-mata ini adalah salah satu dari yang ditetapkan sebagai tema utama propaganda tahun 1945. Di bawah ini sajak Boestami seutuhnya. AWAS MATA-MATA MUSOEH! Awaskan wahai, mata-mata moesoeh, Mereka bertadji, lagi bersoesoeh, Tadji dan soesoeh mengandoeng ipoeh,Maksudnja selalu hendak menempoeh. Mata-mata moesoeh terlaloe tadjam, Sifat dan tabi’at terlaloe kedjam, Senantiasa ia hendak menikam, Kita telengah laloe diterkam. Mata-mata moesoeh haroes didjaga, Padanja haroes selaloe tjoeriga, Djika dimasoekkan keroemah tangga, Roesaklah kelak kaoem keloearga.114 Sajak ini mengingatkan kepada rakyat Indonesia bahwa tidak boleh mendengarkan perkataan mata-mata musuh, yaitu mata-mata Sekutu. Sajak yang bertemakan pencegahan mata-mata musuh ini agaknya dipesan dan dibuat untuk memperkuat kebijakan pencegahan mata-mata yang dijadikan kewajiban sehari-hari sejak 2 April 1943.115
113
Jawa Nenkan, hlm. 105.
114
Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603), hlm. 29.
115
Mengenai pencegahan mata-mata, lihat antara lain “Kedjadian-Kedjadian jang Terpenting Sampai hari ini” dalam Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603), hlm. 28-29.
cxxii
Adapun, Boestami adalah penyair yang paling sering menulis dalam Djawa Baroe.116 ia adalah salah satu seorang dari sekian banyak sastrawan yang terjerat oleh kekaguman terhadap kehebatan militer Jepang yang mengusir kekuatan orang berkulit putih dari kawasan Asia Tenggara. Nama penyair tua ini muncul dalam buku kritikus Akira Asano (anggota Sendenhan), yaitu Jawa Kantei Yowa (Anekdot tentang Pasifikasi Jawa) (1944). Menurut tulisan itu, Boestami adalah guru bahasa Indonesia Tatsuo Ivhiki (Mengenai Ichiki, lihat subbab “A. 1 Ke Selatan”). Ia pernah bekerja di Balai Poestaka kemudian menjadi editor bahasa di Asia Raya.117 Sama halnya dengan sajak “Awas Mata-mata Moesoeh!”, sajak “Sembojan” karya Boestami yang dimuat dalam Djawa Baroe juga merupakan pikiran rakyat Indonesia. Sembojan Koerang pertjaja pada Pemerintah, Alamat oesaha akan segera patah. Tindakan jang tidak dipikir dahoeloe, Pasti ‘akibatnya akan membawa piloe. Kalau “so’al” dibawa moesjawarat, Pasti lenjap segala daroerat. Sikap angkoeh,meninggikan diri, Soekarlah kawan akan ditjari. Kalau tegoeh kita bersatoe, Dapat meloeloehkan goenoeng batoe. Kalau bersifat tama’ dan loba, Sekeliling pinggang tjelaan tiba. Djika sifat boros dan aboer, Dalam sengsara masoek kekoeboer. Kalau ta’ada oeang dipegang, Sanak saudara mendjadi renggang. Ta’ tahoe membatja dan menoelis, Soekarlah masoek kedalam madjelis. Tahoe menoelis, dengan membatja, Segala kitab djadi neratja.118
Sajak yang berbentuk gurindam ini mengingatkan karya Raja Ahli Hadji. Terutama bait kedelapannya sangat mirip dengan salah satu bait dari 116
Sepanjang masa penerbitan, Djawa Baroe memuatkan sebanyak dua belas buah sajak. Empat diantaranya merupakan karya Boestami. 117
Akira Asano, 1944, Jawa Kantei Yowa (Anekdot Tentang Pasifikaso Jawa), Tokyo: Hakusuisha,(Seterusnya dirujuk sebagai Asano, Jawa), hlm. 11, 19. 118
Djawa Baroe (no.11. 1.6.2603), hlm. 9.
cxxiii
“Guyrindam” karya Raja Ahli Hadji, yaitu “Kalau tiada emas dipinggang, / Sanak saudara mendjadi renggang.”119 Patut diperhatikan bahwa Boestami sengaja mengunakan bentuk puisi Melayu klasik yang mudah diingat, yakni gurindam. Sebagaimana biasa pada gurindam, sajak “Sembojan” terdiri dari serentetan nasehat yang supaya mudah diingat dibuat rapi dengan rima a-a. Dalam sajak tersebut, terdapat tema-tema: (a) kepercayaan pada pemerintah Jepang; (b) ketidakgegabahan; (c) permusyawaratan; (d) kerendahan hati; (e) solidaritas; (f) keramahan; (g) penabungan; (h) pembangkit semangat untuk belajar secara rajin. Hal-hal itulah yang memang diinginkan oleh Jepang pada waktu itu. Bagi pemerintah Jepang, “kerja sama” dengan rakyat Indonesia merupakan hal utama.120 Oleh karena itu, rakyat Indonesia diharapkan mempercayai pemerintah Jepang dan juga tidak gegabah beraksi atas keinginan sendiri (a-f). subtema (g) juga merupakan hal yang paling diinginkan oleh Jepang pada masa itu, yaitu penabungan serta penghematan.121 Pada masa tahun 1943, “Paus Sastra” H.B. Jassin pernah membuat lagu yang berjudul “Mari Menaboeng” yang terdiri dari empat nomor. Nomor kedua berbunyi sebagai berikut. Hemat hemat itoe lagoe kita. Njaring k’ras soeara kita.Gagah berani kita majoe. Pikiran aman sangat gembira122
119
Radja Ahli Hadji, “Gurindam” dalam Sutan Takdir Alisjahbana, 1950, Puisi Lama, Djakarta: Pustaka Rakjat, hlm. 90. 120
Jawa Nenkan, hlm. 20.
121
Mengenai hal ini, Lihat misalnya, artikel ”Mari Kita Menaboeng oeang!” dalam Djawa Baroe (no.12. 15.62063), hlm. 16-17. 122
Jawa Shinbun (no.63. 9 Februari 1943), hlm. 2.
cxxiv
Sama halnya dengan di Indonesia, rakyat Jepang juga dianjurkan menghemat dan menabung, rakyat Jepang juga dianjurkan menghemat dan menabung. Departemen Keuangan menetapkan jumlah target tabungan setiap tahun. Menurut surat kabar Unabara (no.62. 22 Mei 1942), tabungan rakyat sebagai “daya penggerak untuk pelaksanaan perang suci” sudah melebihi 1 miliar yen pada saat 14 Mei 1942 dan ditargetkan 2,70 miliar yen tahun 1943. Pada masa itu, dramawan Jepang tidak dapat mengadakan pementasan tanpa adanya “kartu bukti kecakapan” yang diterbitkan Markas Besar Kepolisian Metropolitan. Namun, pada 13 Oktober 1943, berdasarkan pertimbangan khusus, tanpa kartu bukti kecakapan tersebut Nihon Bungaku Hokokukai diizinkan untuk mementaskan sebuah “drama sastrawan” yang mempropagandakan pentingnya menabung. Judulnya adalah “Malam 2,7 Miliar”! Masao Kume dan Hidemi Koi main dalam pementasan itu. Penyair Atsuo Oki ikut serta dengan membacakan puisi sebagai atraksi.123 Di samping itu, mengenai subtema (h) dalam sajak “Sembojan”, belajar secara rajin di sini dapat dianggap belajar bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, karena pada waktu itu bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional dan masyarakat Indonesia juga didorong untuk mempelajari bahasa Jepang. Dari subtema-subtema yang dominan, dapat disimpulkan bahwa sajak tersebut bertemakan peningkat rasa solidaritas dan kohesi masyarakat. Semboyan-semboyan yang terkandung dalam sajak “Sembojan” di atas mengingatkan Penulis pada semboyan-semboyan di TVRI, yaitu “Jalin persatuan dan kesatuan”, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, dan sebagainya yang sering dimunculkan di sela-sela program. Memang pesan pemerintah itu argumen 123
Sakuramoto, Nihon, hlm. 395.
cxxv
yang masuk akal. Lebih baik akur, dari pada bertengkar. Untuk memecahkan masalah, lebih baik kita bersatu. Mungkin keinginan para pucuk pimpinan negara itu tidak bedanya sepanjang masa: menginginkan ketentraman di negaranya. Hanya saja, yang menjadi masalah adalah Jepang menyerukan semboyan semacam itu di negeri orang. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu para sastrawan Indonesia masih mempercayai atau belum tahu niat sebenarnya pemerintah Jepang, maka banyak sastrawan menghasilkan karya-karya yang sesuai dengan tema-tema yang dipesan oleh pihak pemerintah Jepang. Sebaliknya, yang sudah sadar pada hal tersebut memilih bungkam. Mereka kelesuan semangat mencipta atau menyimpan karya karena takut ditangkap Kenpeitai (polisi militer). Namun, ada juga yang berani memprotes lewat cara simbolik.124 d. Foto di Surat kabar Dalam majalah Shashin Shuho (Berita Mingguan Foto) yang diterbitkan oleh Johokyoku di Jepang pada tahun 1938 dinyatakan seperti berikut. Jika film dapat disebut sebagai senapan mesinnya perang propaganda, maka foto adalah sangkar yang langsung menusuk hati orang dan juga merupakan lembaran beracun yang kelak disebarluaskan dalam cetakan berjuta-juta.125 “Orang” yang dimaksud di sini adalah hanya orang Jepang. Namun, pemikiran seperti ini akan dipraktekan pula kepada penduduk jajahan Jepang, termasuk
124
Rupanya, pengawasan dan penyensoran di Jepang jauh lebih keras dari pada Indonesia. Yoshinori Watanabe menulis, “Menujukkan sikap protes secara terbuka hanyalah berarti kematian atau kehancuran social. Di bawah situasi yang keras seperti itu, hanya ada perlawanan dalam bentuk tidak membantu perang secara aktif atau mengabaikan perang.” Lohat Yukio Miyoshi, dkk. (ed.), 1979, Nihon Bungaku Zenshi 6: Gendai (Sejarah sastra Jepang 6: Kontemporer), Tokyo: Gaku To-sha, hlm. 266. 125
Sakuramoto, Bunkajin,hlm. 62.
cxxvi
orang Indonesia dengan misalnya majalah bergambar satu-satunya di Indonesia pada masa itu, yaitu Djawa Baroe. Djawa Baroe adalah media massa Indonesia yang paling mewah pada masa itu. Surat kabar Jawa Shinbun126 mengiklankan penerbitan majalah dwimingguan dan dwibahasa tersebut. Jawa Shinbun Sha mulai menerbitkan majalah Djawa Baroe sejak 1 Januari 1943. Majalah tersebut memberitakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Lingkungan Kemakmuran Bersama Selatan (sic) serta Dunia, khususnya yang terjadi di Jawa lewat foto. Majalah ini bertujuan untuk menyusun pribumi dan memperdalam pengertian mereka kepada Jepang sehingga dapat membuat mereka mau membantu menyelesaikan Perang Asia Timur Raya. Iklan ini ditutup dengan permintaan redaksi kepada pembaca Jepang: “mulai sekarang, kami berharap agar para pembaca merekomendasikan majalah ini kepada pribumi sebanyak mungkin.”127 Pembuat foto atau gambar dalam media massa dianggap penting pada masa itu. Contohnya, sejak pertengahan bulan Februari 1943, Sendenbu mulai menyebarluaskan “surat kabar dinding (kabe shinbun) (no.67),128 lembaran yang berjudul Seroean Kita ini lebih dari setengahnya diisi dengan foto atau gambar karena mengingat tingginya tingkat buta huruf di Jawa (Lihat lampiran 5). Adapun, di Sendenhan ada juga yang namanya seksi foto. Kepala seksi itu adalah pengurus tetap Lembaga Foto yang bernama Noboru Matsumoto. “Bidang
126
Jawa Shinbun (no.13. 20 Desember 1942) hlm. 1.
127
Sementara itu, sebuah iklan dalam Jawa Shinbun (no.130. 18 April 1943, hlm. 2) menulis Djawa Baroe adalah “satu-satunya majalah bergambar yang menghubungkan Jepang dan Indonesia dengan foto”. 128
“Genjumin e Chishiki no Kate (Memberi pengetahuan kepada Penduduk Setempat)” dalam Jawa Shinbun (no.67. 13 Februari 1943), hlm. 2.
cxxvii
propaganda foto di Jawa sangat luas,” kata Machida.129 Maksudnya, foto memiliki banyak cara pengunaan sebagai alat propaganda. Selain digunakan tersendiri seperti postrer, foto itu dapat digunakan juga untuk brbagai hal, contohnya di dalam buku, majalah, di bungkus rokok, sebagai gambar perangko, ataupun dijadikan slide. Mengenai ciri foto sebagai alat propaganda, Machida mengatakan seperti yang di bawah ini. Saya selalu memusatkan segala media propaganda untuk satu sasaran setelah menentukan tujuan, objek, dan waktu. (…) Propaganda adalah “penyutradaraan.” (…) Tidak begitu efektif kalau setiap media berdiri sendiri atau kucar-kacir. (…) Sebagai senjata budaya untuk perang, foto itu baru dapat menujukkan kekuatan kalau digabungkan dengan media lain. Saudara Oya pernah berkata, “Apa yang diucapkan di Jakarta pada pagi hari sudah sampai ke Bandung sebelum siang hari itu. Penyesuaian secara lisan adalah cara propaganda yang paling baik di Jawa.” Nmun, sebagai media visual, foto memiliki daya tarik tersendiri: kongret, impresif, dan intuitif, dan jelas lebih efektif dari pada “strategi bisikan.”130 “Sangkar” foto dan “senapan mesin” film. Karena sifat visual itulah, kedua benda budaya ini dapat memperlihatkan kekuatan dahsyat sebagai alat propaganda. Soichi Oya berpendapat, “Sebagai alat propaganda, foto, kamishibai,131 slide, dan sebagainya lebih efektif ketimbang lukisan.”132 Alasannya karena lebih nyata, realistis, dan mengesankan daripada lukisan yang cenderung abstrak. Sementara itu, dalam sebuah simposium yang diadakan pada bulan Januari 1943,133 T. Mitsuhashi (pengurus peredaran Jawa Eiga Kosha) berpendapat bahwa lebih baik 129
Machida, Tatakau, hlm. 244.
130
Ibid., hlm. 246-247., H. Shimizu juga menyetujui Oya (Shimizu, “Minshu”, hlm. 347348). Tetapi rupanya dalam hal dampak, foto lebih unggul dari pada “bisikan”. 131
Pergelaran cerita bergambar yang teksnya dibacakan oleh seorang tukang
132
Oya, “Nanpo”.
133
“Nanpo Kensetsu no Ichinen (Setahun Daerah Selatan)” dalam Serebes Shinbun (9-10 Januari 1943).
cxxviii
menuntut penglihatan penduduk Indonesia dengan film daripada dengan tulisan karena sebagian besar dari mereka adalah buta huruf. Namun, T. Ishimoto (pengurus
produksi
Jawa
Eigha
Kosha)
mengaku
selalu
dipusingkan
keanekaragaman bahasa yang digunakan di Jawa dan sedikitnya orang yang dapat berbahasa Indonesia. Ia menuturkan, “Yang sering menjadi masalah dalam pekerjaan kami adalah masalah bahasa.” Di samping itu, Noboru Matsumoto berpendapat, “Rasanya, propaganda lewat foto paling efektif karena banyaknya orang yang buta huruf.” Pada tahun 1945, diadakan sebuah simposium lain yang dihadiri oleh penggubah lagu N. Iida (Keimin), komikus S. Ono (Sendenbu), penerjemah Yoshi Nakatani dan Senzo Yamamoto (Jawa Shinbunsha). Dalam kesempatan itu, Ishimoto yang sudah menjadi kepala cabang Jawa Nichiei memberi pendapat yang berarti. Sembilan puluh persen dari penduduk Jawa adalah petani. (…) Mereka tidak memahami siaran radio apalagi koran. Akhirnya, tinggal film yang tersisa. Mereka tertarik pada sesuatu yang membimbing mereka lewat penglihatan.134 Ia menyadari bahwa di Jawa Propaganda lewat bahasa baik lisan maupun tulisan tidak begitu efektif. Benda budaya visual yang dijadikan alat propaganda yang tidak kalah penting dengan foto dan film adalah sandiwara. Pada 2 April 1943 diadakan pertemuan pertama Keimin yang dihadiri oleh novelis Rinto Takeda (pembimbing Bagian Kesusastraan), pelukis Takashi Kono (pembimbing Bagian Seni Rupa), S.
134
“Kantai Toji to Genzai no Genjumin wo Kataru Zadankai”, Loc.cit.
cxxix
Oya (pembimbing Bagian Film), N. Iida (pembimbing Bagian Seni Suara), Sanoesi Pane, Armijn Pane, Maria Amin, dan sebagainya.135 Di sana Kiyoo Yasuda (pembimbing Bagian Seni Sandiwara dan Seni Tari) menyatakan: (…) sandiwara dan tari-menari itoe dalam zaman peperangan modern ini adalah satoe sendjata jang tadjam dalam melakoekan “peperangan-pikiran”. Boekankah ra’jat terbanjak, jang tidak tahoe membatja dan meloekis itoe, moedah mendapat penerangan dan pendidikan, apabila semoea ini dilakoekan dengan perantaraan sandiwara.136 Selain sandiwara modern, seni panggung tradisional seperti wayang juga dimanfaatkan oleh Jepang. Dipilih kisah-kisah mengenai peperangan atau pahlawan yang kemudian disesuaikan dengan semasa Jepang melawan Sekutu. Bahkan diciptakan naskah cerita baru
yang sesuai dengan kebijakan
pemerintah.137 Rupanya, sandiwara tradisional lebih menarik perhatian daripada sandiwara modern. Dapat dikatakan bahwa pernyataan K. Yasuda dalam kutipan di atas masih bersifat cita-cita. Ketika Jepang datang, teater Indonesia modern baru mempunyai sejarah selama lima belas tahun.138 “Sejak jaman pendudukan
135
“Ichiriyu Geinoka wo Mora (Meliputi Seniman-seniman Kelas Atas)” dalam Jawa Shinbun (no.115. 2 April 1943),hlm. 2. 136
“Poesat Keboedajaan Melangkah” dalam Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603), hlm. 9., yang paling diutamakan di bidang sandiwara adalah “sandiwara berkeliling”. Selain Keimin, Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (berdiri 1 September 1944) dan Sendenbu juga melakukannya. Keboedajaan Timoer III (2604), hlm. 197. sementara itu, mengenai tarian propaganda,lihat antara lain “Tari Meroentoehkan Amerika/Inggeris” dalam Djawa Baroe (no.23. 1.12.2603), hlm. 31 dan juga fotonya di kulit muka. 137
Noson, hlm. 288-289.
138
Jakob Sumardjo, 1992, Perkembangan Teatre Modern dan Sastra Darama Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 101. Mengenai sandiwara pada masa pendudukan Jepang, Boen Sri Oemarjati, 1971, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, Djakarta: Gunung Agung.Mengenai pergulatan para perintis teatre modern yang mendirikan rombongan Maya pada masa Jepang, H. Rosihan Anwar, “Sekelumit Kenang-kanangan Kegiatan sastrawan di Zaman Jepang (1943-1945)”
cxxx
Jepang perhatian orang Indonesia terhadap drama modern makin bertambah,” tulis Rendra.139 Namun, tidak dapat disangkal bahwa sebagaimana kecendrungan universal, di Indonesia juga drama cenderung dianggap lebih rendah nilainya daripada prosa dan puisi. Pandangan seperti itu menyebabkan kekurangan aktor dan fasilitas yang memadai. R. Takeda menyesalkan sedikitnya jumlah naskah sandiwara dan penulis naskah yang baik.140 Dalam Djawa Baroe terbitan tahun 1944 terdapat sebuah artikel yang berjudul “Sandiwara”.141 Si penulis menyesalkan
pandangan
yang
merendahkan
sandiwara
dan
sebaliknya
menyambut baik pendirian Sekolah Tonil oleh Sendenbu.142 Sekolah ini bertujuan mendidik penulis naskah, aktor, dan staf lainya. Salah seorang pengajar dalah Takeda. Sebenarnya Jepang juga insaf bahwa jika mutu sandiwaranya terlalu rendah maka tidak mungkin dapat mengumpulkan penonton dalam jumlah yang banyak. Sebuah artikel dalam Djawa Baroe terbitan tahun 1945 mengatakan bahwa penonton itu mempunyai permintaannya sendiri. Menurut artikel yang
dalam Budaja Djaja (no.65. th.VI. Oktober 1973), (Seterusnya dirujuk Rosihan, “Sekelumit”), hlm. 589-591. 139
Rendra, 1983, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: Gramedia, (seterusnya dirujuk sebagai Rendra, Mempertimbangkan), hlm. 31. 140
“Nanpo Kenstsu no Ichinen” dalam Serebes Shinbun (9 Januari 1943). Rendra menyatakan harus disadari bahwa teatre modern di Indonesia miskin akan penonton,kritikus, penulis naskah, fasilitas, modal, dramawan yang baik, dan sebagainya (Rendra, Mempertimbangkan, hlm.36. 141
Djawa Baroe (no.3. 1.2.2064), hlm. 32.
142
Mengenai Sekloah Tonil, “Boeah Sekolah Tonil” dalam Pandji Poestaka (no.16. 25.7.1942), hlm. 551.
cxxxi
berjudul “Kemajoean dalam Doenia Seni Sandiwara” itu,143 tidaklah penonton menolak propaganda yang terkandung di dalam sandiwara karena mereka tahu bahwa sandiwara juga harus ikut membantu pelaksanaan perang. Namun, yang harus diingat adalah bahwa biasanya orang menonton sandiwara terutama karena ingin menikmati seni dengan tidak mengindahkan ada tidaknya propaganda di dalam sandiwara yang dinikmati itu. Maka mutu seni juga harus ditingkatkan. “Penduduk di Jawa sangat menyukai sandiwara dan musik,”144 tulis R. Takeda. Selain benda budaya visual, ada juga benda budaya audio seperti lagu/nyanyian (Lihat lampiran 6). Lagu/nyanyian juga tidak kalah banyak penggunaannya jika dibandingkan dengan foto. Pada masa pendudukan Jepang, selain dimanfaatkan sebagai lagu/nyanyian semata-mata, media tersebut sering digunakan dalam film, sandiwara, tarian, pawai, siaran radio, dan sebagainya. Contohnya, lagu “Kanak-Kanak Baik dari Asia Timoer”. Lagu ini dinyanyikan diseluruh sekolah rakyat di Jawa dan diciptakan juga tariannya yang menggunakan bendera hinomaru (bendera kebangsaan Jepang). Secara terperinci menjelaskan cara menari disertai foto.145
e. Lagu Jaesjio
143
“Kemadjoean dalam Doenia Seni Sandiwara” dalam Djawa Baroe (no.14. 15.7.2605),
144
“Jaba no Fukuchan” dakam Tokyo Asahi Shinbun (26 Juni 1942).
145
Djawa Baroe (no.6. 15.3.2604) hlm. 18-19, 32.
hlm.24.
cxxxii
“Orang Indonesia adalah bangsa yang mencintai musik,”146 kata Keiji Machida. A. Oki juga sependapat dengannya. “Oleh karena rakyat setempat sangat menyukai musik maka yang paling diinginkan adalah operasi budaya lewat musik,” tuturnya.147 Pada bulan Juli 1943 sebuah korps musik militer AD yang terdiri dari 27 orang dikirim ke Sendenbu. Pagelaran musik mereka yang sengaja mengunakan gamelan disambut baik oleh rakyat Indonesia. Kemudian, Sendenbu memutuskan untuk membuat sebuah lagu yang dapat dipadu suara oleh orang Indonesia dan orang Jepang. Lirik lagunya dicari dari kalangan perwira dan prajurit.148 Hasil pencarian umum itu diberitakan dalam Unbara.149 Menurut surat kabar tersebut, anggota panitia penilaian adalah antara lain, K. Machida, A. Oki, A. Asano, T. Kitahara, N. Iida, dan novelsi Uio Tomisawa. Dengan suara bulat, mereka memilih “Jaesjio” karya Prajurit Satu Takashi Sasaki. Dengan nada dingin, Oki menilai lagu itu sebagai “karya bermutu yang dapat diterima.” Sementara itu, artikel dalam Unibara tersebut memberi pujian setinggi langit. Katanya, si pencipta menguasai keindahan bahasa Jepang dengan sempurna dan karyanya dapat menyanyikan tujuan “perang suci” dan pembangunan Asia Timur Raya dengan tepat, sehingga karya ini menujukkan tingginya tingkat budaya militer Jepang. Selanjutnya, ditulis bahwa rakyat Indonesia akan disuruh menyanyi dalam bahasa Jepang dan hanya diberi arti ringkas dalam “bahasa Melayu”. Kemudian, lagu itu musiknya digubah oleh pemimpin korps musik
146
Machida, Tatakau, hlm. 231.
147
Atsuo Oki, “Yoi Nihongo de Utae (Nanyilah dengan Bahasa Jepang yang Baik)” dalam Tokyo Asahi Shinbun (6 Oktober 1942). 148
Machida, Tatakau, hlm. 232.
149
Unabara (no.125. 4 Agustus 1942), hlm. 1-2.
cxxxiii
militer AD, yaitu Yushiro Isota, dan diresmikan sebagai Jaesjio: Nyanyian Paduan Suara Selatan. Dalam Almanak Asia-Raya 2603 dimuat lirik lagu vesri bahasa Jepang beserta not dan arti ringkasanya dalam bahasa Indonesia. “Jaesjio” ARTI RINGKASNJA 1. Nyjanjian seroean dari pihak bangsa Nippon: Menjebrangi laoetan jang loeas, Dari negara rahmat jang Mahasoetji, Mendjoendjoeng tjita-tjita amat moerni, Datang kami kemari, hati ichlas, Adar bersoea dengan saudara kami. 2. Njanyi seroean dari dipihak (sic) bangsa Indonesia: Nippon negara tjahaja Asia, Mari, marilah kita ra’jat semoea, Di tanah waringin pohon kelapa, bersoempah saktilah kita setia, menjamboet koernia jang soedah terlimpah. 3. Berjanji bersama-sama: Semoedera loeas mengikat kita, Bangoen, bangoenlah, hai, ra’jat Oenabara150, Satoekan tenaga djadi gelora, Berjoeanglah haibat koeatkan tjita, dirikanlah kembali Asia Raya.151
Tujuan kedatangan Jepang itu murni untuk menolong Indonesia (nomor 1). Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus membantu Jepang (nomor 2). Dan, mereka harus bersatu melawan Sekutu untuk membantu Asia Raya (nomor 3). Lirik lagu yang dibuat pada permulaan masa pendudukan Jepang yang akan banyak dihasilkan pada masa itu.
150
“Oenabara” berarti ‘Samudra’.
151
Almanak Ais-Raya, hlm. 10., Terjemahan lagu ini ada beberapa versi, “Memperkoeat barisan Belakang: Sajembara Karangan dan Menjalin Lagoe JAESJIO” dalam Asia Raya (no.9. 11.1.2603).
cxxxiv
Lagu/nyanyian merupakan salah satu bentuk propaganda yang diutamakan oleh Jepang. Sebenarnya, lagu kebangsaan Indonesia. Nyanyian seperti ini disebut magnetic propaganda songs, yaitu sejenis nyanyian yang diciptakan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu dorongan dan desakan yang menyebabkan komunikan tertarik dan mengikuti jejak dari komunikator.152 Mungkin, bagi orang Indonesia pada masa itu lagu Jaesjio memiliki daya tarik magnetis karena mereka masih mempercayai Jepang yang katanya datang untuk membebaskan Indonesia dari Barat. f. Siaran yang Berperang Selain lagu/nyanyian, dapat dikemukakan radio sebagai “media suara”. Sejak kedatangan di Jawa, kekurangan peralatan menyusahkan Sendenhan. Sebenarnya ada sebuah mobil khusus serbaguna yang dinamai Sego Sha yang dilengkapi peralatan percetakan, proyeksi, penyiaran, dan radio. Mobil ini terpaksa ditinggalkan di pelabuhan Takao di Taiwan saat keberangkatan karena tidak termuat dalam kapal Sakuramaru. Yang paling dirugikan oleh tidak adanya mobil ini adalah Bagian Komunikasi Sendenhan. Maka, setelah memasuki Batavia, Kepala Bagian Komunikasi Sendenhan Masato Suemitsu berniat mengambil alih kantor berita Belanda, Aneta. Pertama-tama, Suemitsu berserta seorang interpreter mencari para anggota Aneta (orang Belanda) yang melarikan diri ke suatu tempat dengan membawa perlatannya setelah Jepang memasuki Bandung.
152
R.A. Santoso Sastropotro, 1991, Propaganda: Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa,Bandung: Penerbit Alumni, hlm. 48-49.
cxxxv
Akhirnya, Sendenhan berhasil mengambil alih kantor berita tersebut dan mulai menerima berita dari kantor berita Domei dari Jepang. Kemudian, mereka juga menjadikan kantor berita Antara sebagai bagian bahasa Indonesia kantor berita Domei. Kantor cabang Domei dibuka di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Malang. Setiap cabang menerbitkan berita berbahas Jepang maupun Indonesia dan menyuplai berita-berita dari setiap propinsi lewat radio.153 Jaringan transmisi serta penyiaran di Jawa cukup dibenahi terutama oleh NIROM (Nederlans Indische Radio Omoep Maatschapij: Persatuan Penyiaran Hindia Belanda). Meskipun demikian, persentasi penyebaran alat penerimanya cukup rendah. Jumlah radio di Hindia Belanda berjumlah sekitar 90.000 buah. Itu pun sebagian besar pemiliknya adalah orang Belanda dan keturunan Tionghoa; 90 persen dari pribumi tidak mempunyai radio.154 Begitu Jepang menduduki Indonesia, Sendenhan mulai menyita radio milik orang Belanda kemudian mendaftarkan dan menyegel radio milik pribumi guna mencegah mereka mendengarkan siaran dari negeri musuh.155 Sitaannya disimpan di Hoso Kanrikyoku (Biro Pengawasan Penyiaran) dan dipinjamkan secara Cuma-Cuma kepada militer dan orang Jepang setempat. Di samping itu, dengan memanfaatkan sitaan tersebut dibangun rajio-to (menara radio) di setiap lapangan perkampungan, pasar, stasiun kereta, dan sebagainya. Menara ini disebut
153
Domei Tsushinsha, op.cit., hlm. 32., Machida, Tatakau, hlm. 208-213.
154
Ibid., hlm. 215.
155
“Oendang-oendang No.21” (16 Juni 2602) dalam Kanpo (N0.1), hlm. 3., “Osamu Seirei No.18” (11 Juni 2603) Kanpo (No.21), hlm. 3.
cxxxvi
“pohon yang bersuara” atau “pohon yang bernyanyi” oleh penduduk setempat.156 Keberadaan menara ini penting agar dapat memproleh pendengar sebanyak mungkin, karena seperti sudah dijelaskan, di Jawa hanya segelintir yang memiliki radio.157 Menara radio itu sudah berjumlah 1.500 buah pada saat 1 Februari 1944.158 Bentuk rajio-to dapat dilihat dalam artikel “Radio dan Masjarakat” yang dimuat dalam Djawa Baroe (no.14 15.7.2605) (Lihat lampiran 7). Adapun artikel “Radio dan Masjarakat” tersebut ditulis oleh orang yang bernama Soetomo dari Hoso Kanrikytoku dimana sastrawan Bahrum Rangkuti bekerja.159 Di bawah ini saya akan mengutip pendapat Soetomo yang nadanya sama dengan artikel-artikel lain semasa itu, yaitu setelah mengejek Barat (Belanda), menekankan jasa Jepang dalam upaya “menyelamatkan” Indonesia. (…) Balatentara Nippon mendarat dipoelaoe-poelaoe Indonesia oentoek melenjapkan kekoeasaan Belanda, dan dengan demikian meniadakan poela segala dajaoepaja Belanda oentoek meroesak-binasakan djiwa Timoer kita. Berlainan sekali dengan pemerintah Belanda, Nippon memberi kesempatan seloeas-loeasnja kepada kita oentoek menjempoernakan dan mengembangkan keboedajaan kita. Oentoek maksoed ini Pemerintah Balatentara Nippon diantaranja menggoenakan siaran-radio (…). Selain dari dimedan perang depan, poen djoega dibelakang garis perang, kita memboetoehkan radio, jaitoe oentoek menggerakan rakjat dilapangan oesaha perang. Oesaha ini lazim diseboet Propaganda atau Penerangan (sic).160
156
Machida,Tatkau, hlm. 218-219., Jawa Nenkan, hlm. 171-174., Noson, hlm. 297-298.
157
Djawa Baroe (no.14 15.7.2605), hlm. 9.
158
Jawa Nenkan, hlm. 174.
159
Anita K. Rustapa, 1997, Bahrum Rangkuti dan Pandangan Dunianya, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 13., 160
Djawa Baroe (no.14 15.7.2605), hlm. 9.
cxxxvii
Artikel ini terang-terang menyatakan bahwa radio difungsikan sebagai alat propaganda untuk mengerakkan rakyat. Dari hal ini dapat diketahui bahwa pada masa itu Jepang yang terdesak cenderung memilih cara hard sell yang memaksakan informasi ideologis secara terang-terangan, bukan cara soft sell ataupun “deep sell” yang berusaha mempengaruhi bawah sadar seseorang. Selain siaran dalam negeri, Jepang juga mengadakan siaran luar negeri dalam pelbagai bahasa yang ditujukan kepada negara-negara musuh. Mengenai siaran seperti itu, Soetomo melanjutkan dlam artikel tersebut. Seperti djoega perdjoerit (sic) menggoenakan peloeroe oentoek memoesnahkan moesoeh, demikian poela propaganda radio boleh kita oempamakan dengan peloeroe, jang diarahkan kepada hati rakjat moesoeh, oenoek mematahkan semangat perlawanannya.161 Sebelum Jepang mendarat, Belanda merusak hampir semua fasilitas penyiaran, termasuk stasiun pemancar di Tanjung Priok. Maka, Sendenhan harus memulihkan fasilitas-fasilitas itu terlebih dahulu. Yang mengatur urusan penyiaran adalah terutama anggota Sendenhan yang diwamilkan dari NHK (Nihon Hoso Kyokai). Ketuanya adalah Mamoru Miyashita. Mereka mengerahkan juga orang Indonesia dan Belanda.162 Salah satu fungsi utama radio pada masa itu adalah untuk menyampaikan pengumuman pemerintah dengan cepat untuk khalayak banyak. Pada 7 Maret 1942 disiarkan “Oendang-oendang Nomor 1 Dari Pembesar Balatentara (Gunshireikan) Dai Nippon”. Undang-undang ini terdiri dari enam pasal. Pasal pertama yang penuh dengan janji yang muluk-muluk berbunyi sebagai berikut. 161
Ibid.
162
Machida, Tatakau, hlm. 216.
cxxxviii
Karena Balatentara Dai Nippon berkehendak memperbaiki nasib rakjat Indonesia jang sebangsa dan setoeroenan dengan bangsa Nippon, dan djoega hendak mendirikan ketentraman jang tegoeh oentoek hidoep dan makmoer bersama-sama dengan rakjat Indonesia atas dasar mempertahankan Asia Raja bersama-sama, maka dari itoe Balatentara Dai Nippon melangsoengkan Pemerintah Militer bagi sementara waktoe didaerah jang telah ditempatinja, agar soepaja mendatangkan keamanan jang sentausa (sic) dengan segera.163 Sesuai pemulihan fasilitas penyiaran, Sendenhan menyerahkan semua urusan penyiaran kepada NHK yang datang ke Jakarta pada 18 Desember 1942. Bekas stasiun radio NIROM di Jakarta dijadikan sebagai stasiun pusat. Sementara itu, pada 1 Oktober 1942 dibentuk Hoso Kanrikyoku yang mengawasi urusan penyiaran di Jawa maupun terhadap luar negeri termasuk Jepang. Program radio dalam negeri yang dibuat di bawah pengawasan Hoso Kanrikyoku pada umumnya dibagi dalam dua bagian: siaran pertama untuk orang Indonesia (menggunakan bahasa Indonesia, Jawa, Sunda); siaran kedua untuk orang Jepang.164 g. Film Bercerita Merupakan Raja Alat Propaganda Film merupakan salah satu media propaganda penting pada masa perang. Sebelum Perang Dunia Kedua, media ini tidak pernah digunakan sebagai alat indoktrinasi pilitik di Indonesia. Jepang merupakan satu-satunya negara yang memanfaatkan media film sebagai alat propaganda di dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan pemutaran film di Jawa masa pendudukan merupakan
163
Almanak Asia-Raya, hlm. 35.
164
Machida, Tatakau, hlm. 217-218., Program radio standar dari Stasiun Pemancar Jakarta pada April 1944 dapat dilihat dalam Jawa Nenkan,hlm. 175., Osamu Shudan Gunseikanbu (Kelompok Osamu, Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa), “Hoso Kanrikyoku Kitei (Persatuan Biro Pengawas Penyiaran)”, September 1942, (The Nishijima Collection, (JV 1-7)). Perincian kegiatan penyiaran Jepang dapat dilihat dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen pada halaman 171-174.
cxxxix
tiruan yang digunakan di Jepang masa perang melawan Cina tahun 1930-an.( Djawa Baroe, No. 8-9, Januari 1943, hal 10) Nokolai Lenin pernah mengumumkan bahwa film adalah senjata politik utama,165 sedangkan Kepala Kantor Besar Keimin Sochi Oya dalam tulisannya pada tahun 1944, pernah berpendapat, “Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kesusastraan merupakan raja alat propaganda, dalam arti paling berinfiltrasi. Khususnya, kesusastraan paling kuat dari segi idologis.”166 Film memiliki mobilisasi yang jauh lebih tinggi dari pada sandiwara. Mobilisai sastra melibihi mobilisasi film tersebut. Sastra lebih portable dan dapat diperbanyak dengan biaya yang jauh lebih murah daripada film atau sandiwara. Berarti, pada saat yang sama, sastra dapat memproleh pembaca yang lebih banyak secara serentak daripada jumlah penonton yang didapatkan jika film atau sandiwara dimainkan. Mungkin tingginya mobilisai sastra ini juga membuat Oya berpendapat seperti dia atas. Namun, Oya menghadapi kesulitan dalam usaha menjadikan sastra Indonesia sebagai alat propaganda. Menurutnya, dua kesulitan utama ialah: (1) Sedikitnya jumlah orang yang memahami bahasa Indonesia; dan (2) Kemiskinan daya ekspresi bahasa Indonesia yang disebabkan kosakata yang sedikit.167
165
Ws Rendra,”Dunia Film Indonesia di Mata Seorang Dramawan” dalam Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 148. 166
Oya, “Nanpo”, hlm. 12.
167
Ibid., hlm. 12-15., Nomor 1 ditunjukan juga oleh Kurasawa, kurasawan Noson, hlm.
274.
cxl
Alasan pertama dapat diterima. Masalah ini sangat erat hubungannya dengan tingginya angka buta huruf rakyat Indonesia pada masa itu. Dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen terdapat penjelasan sebagai berikut. Khalayak umum buta huruf dan polos sehingga sedikit pengetahuan akan gagasan Perang Asia Timur Raya. Maka tanpa memperdulikan siapa penguasa, mereka hanya menginginkan kehidupan yang damai dan selamat (…).168 Menjelang kedatangan Jepang, kaum pribumi masih banyak yang buta huruf dan minim pengetahuan. Menurut data sensus nasional 1930,169 hanya lima persen kurang sedikit dari seluruh rakyat Jawa dan Madura yang dapat membaca abjad. Seorang relawan propagandis Jepang yang bertugas di wilayah pedesaan Kabupaten Cirebon melaporkan bahwa bahan propaganda tertulis hampir tidak berguna terhadap rakyat di bawah tingkat kepala desa.170 Menurut Haris Jauhari, pada tahun 1934 film King Kong diputar di Deli. Dari sekian banyak penonton, hanya sejumlah orang yang percaya bahwa semua adegan di layar itu hanyalah khayalan belaka. Bahwa kebanyakan orang mendukung isu bahwa monyet raksasa itu memang ada dan berkeliaran pada malam hari. Masyarakat resah dan jimatjimat untuk menolak bala itu laku keras.171 Cerita seperti itu malah seolah-olah fiksi bagi kita, orang kota yang hidup di zaman modern. Dalam subbab-subbab sebelumnya, telah di kemukakan pentingnya unsur penglihatan (visual) dan pendengaran (audio) dalam media propaganda.
168
Jawa Nenkan, hlm. 131.
169
Indisch Verslag 1940, hlm. 126, Dikutip kembali dari Kurasawa, Noson, hlm. 579.
170
Jawa Shinbun (5 November 1944) ), Dalam artikel “Fujin no Keimo ni Chikara wo (Dukunglah Penyuluhan Wanita)”. 171
Jauhari, op.cit., hlm. 23.
cxli
Kenyataannya, pada masa pendudukan Jepang, karya sastra Indonesia hampir tidak berhasil sebagai alat propaganda. Bahkan dapat dikatakan bahwa puisi adalah salah satu alat propaganda yang paling gagal. Misalnya, pada nomornomor tahun 1945 majalah Djawa Baroe, puisi dihentikan untuk dimuat, padahal cerpen tetap dimuat. Ciri utama propaganda Jepang adalah penggunaan media audiovisual secara positif. Hal ini tidak lain karena mengingat tingginya tingkat buta huruf di Indonesia dan sedikitnya pemukim kota yang terdidik yang mungkin dapat diperdaya dengan media tulis. Dengan demikina, cara yang paling sering digunakan adalah mengirim kelompok-kelompok propagandis yang terdiri dari proyeksi film, aktor, operator kamishibai, dan musisi yang berpindah dari satu desa ke desa lain sambil mengadakan pertunjukan.172 Dapat diperkirakan bahwa pertunjukan-pertunjukan seperti itu sangat didaktis dan politis tetapi disambut baik oleh penduduk desa karena sebagaimana penduduk desa sekarang, mereka selalu haus akan hiburan apalagi tidak dipungut biaya. Namun, ada satu memahami isi pertunjukan-pertunjukan yang digelar? Konon, untuk membantu pemahaman mereka yang tidak berpendidikan, sering sekali disediakan seorang penerjemah yang berdiri di samping layar dan menjelaskan isi film ke bahasa setempat.173
172
173
Noson, hlm. 274. “Monthly Propaganda Report” No.22., Dikutip kembali dari Kurasawa,Mobilisasi,
hlm. 245.
cxlii
BAB IV MEDIA PROPAGANDA JEPANG MELALUI FILM A. Film Sebagai Alat Perang Tanpa Senjata 1. Kebijakan Jepang Mengenai Perfilman Tidak ada tempat-tempat lain seperti poelau Djawa ini jang moeda sekali mengoempoelkan penonton-penonton,karena dalam tempat seketjil itoe berdiam 50 djoeta ra’jat jang gemar soenggoeh menonton.207 dari “Tentang Bagian Film” (1943) Soichi Oya Presiden Republik Indonesia Soekarno pernah menyatakan bahwa film sudah banyak membantunya untuk mengadakan perubahan di tanah airnya. Pada masa kemerdekaan (10 September 1946) pemerintah RI dan Pusat Peredaran Pilm Indonesia (PPPI) di Yogyakarta membentuk Komisi Pemeriksaan Film dan menegaskan bahwa film merupakan satu alat politik maka film harus bersifat mendidik.208 Paham seperti ini dipegang pemerintah RI hingga kini. “Film bukan semata-mata barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan penerangan.”209 Kalimat ini terdapat di Lampiran A Angka I Sub 16 TAP No.II/MPRS/1960 yang berlaku selama ini. Sebenarnya sejak pertama kali diperkenalkan di Indonesia, film dianggap dapat mengubah pandangan dan perilaku orang. Film yang lahir di perancis pada tahun 1895 masuk ke negeri Sakura pada tahun 1897. Tiga tahun kemudian, barang ajaib yang bernama “gambar idoep” itu masuk ke Indonesia. Lama kelamaan film yang didatangkan dari Barat dianggap mempertontonkan hal-hal
207
Djawa Baroe no.9 1.5.2603, hlm. 8.
208
Rita Sri Hastuti, “Berjuang di Garis Belakang” dalam Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 46-47. 209
Ibu R. Sawarno, “Sekarat di Pasar Bebas” dalam Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 180.
cxliii
yang berpengaruh negatif bagi kaum pribumi dan dapat mengubah pandangan dan perilaku mereka terhadap bangsa Barat. Guna mengantisipasi hal ini, pemerintah kolonial untuk pertama kalinya mengeluarkan undang-undang pengaturan film dan bioskop melalui “Bioscoop Ordonantie (Ordonansi Bioskop)” pada tahun 1916. Dan terbentuklah Komisi Film yang “memiliki gunting besar dan menggunting (film) dengan seenaknya saja”210 agar tidak merusak citra bangsa kulit putih. Rupanya, Jepang juga menyadari kekuatan film yang dapat mempengaruhi pandangan orang dengan cepat. Jelasnya, film dianggap oleh pemerintah Jepang jauh lebih penting dan berpengaruh sebagai alat propaganda daripada karya sastra. Pada tahun 1934 pemerintah Jepang membentuk Panitia Pengontrol Film (Eiga Tosei Iinkai).211 Pada bulan Juli 1938 Kementerian Dalam Negeri Pemerintahan Jepang dalam rapat dengan wakil-wakil penulis scenario mengeluarkan perintah mengenai indoktrinasi termuat dalam isi film yang dikehendaki. Laporannya sebagai berikut.212 1. Gagasan individualistis pengaruh Barat harus dihapuskan. 2. Semangat Jepang, terutama kebajikan system keluarga, harus ditonjolkan, dan semangat pengorbanan diri demi keuntungan Negara dan masyarakat harus didorong. 3. Film harus mengambil peran positif dalam mendidik massa kearah pengesampingan westernisasi di kalangan kaum muda, khususnya para gadis. 4. Tingkah laku dan ucapan yang sembarangan dan sembrono harus disingkirkan dari layar, dan harus dilakukan upaya untuk memperkuat penghargaan kepada kaum tua.
210
Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 21. 211
Junichiro Tanaka, 1976, Nihin Eiga Hattatsushi (Sejarah Perkembangan Film Jepang) (jilid 3), Tokyo: Chuo Koron, hlm. 151, dikutip kembali dari Kurasawa, Noson, hlm. 579. 212
Jawa Nenkan, hlm 174.
cxliv
Kemudian, pada 1 Oktober 1939 pemerintah itu mengeluarkan “UndangUndang Film (Eiga Ho)” guna menghambakan film kepada Negara.213 Pada tahun 1940, diberikan petunjuk tambahan oleh Kementerian Dalam Negeri sebagai berikut.214 1. 2.
3.
4.
5.
Apa yang diinginkan ialah film hiburan yang logis (sehat), dengan tema positif. Pem unculan pelawak dan badut dalam film belum begitu dibatasi pada tahap ini, tetapi mungkin akan dibatasi jika timbul ekses. Yan g berikut ini harus dilarang: cerita-cerita dengan sifat borjuis kecil; semata-mata penggambaran kebahagiaan pribadi; adegan wanita merokok; adegan “café” (tempat hiburan yang menyediakan minuman keras); tingkah laku sembarangan dan sembrono. Disa rankan supaya film yang diproduksi menyajikan sector-sektor produktif di masyarakat, seperti kehidupan desa. Pen yensoran naskah praproduksi dilakukan dengan ketat dan jika ditemukan hal-hal yang tidak diinginkan, maka diperintahkan untuk melakukan penulisan ulang scenario cerita. Sejak awal pendudukan memang kontrol sepenuhnya atas dunia perfilman
merupakan salah satu tugas yang mendesak bagi pemerintah militer. Segera setelah Angkatan Darat ke-16 menduduki Jawa, staf Barisan Propaganda, yang menyertai operasi militer, menyita seluruh perusahaan film. Pada awal bulan Oktober 1942, sebuah organisasi sementara untuk menjalankan ini disebut Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa) yang dikepalai oleh Oya Soichi, seorang kritikus Jepang terkemuka yang berkerja sebagai staf Sendenbu. Berdasarkan Kementerian Dalam Negeri Pemerintahan Jepang dan undang-undang “Undang-Undang Film (Eiga Ho)” ini, semua film disponsori dan diarahkan supaya tidak merugikan pemerintah. Film didistribusikan oleh Shadan213
214
Junichiro Tanaka, op.cit., hlm 580 Ibid.
cxlv
hojin Eiga Haikyu Sha (Perusahaan Distribusi Film (badan hukum)), dan majalahmajalah film juga diawasi setelah digabungkan atau dibredel oleh Nihon Eiga Zasshi Kyokai (Lembaga Majalah Film Jepang).215 2. Munculnya Lembaga Film Buatan Jepang Dalam surat kabar berbahasa Jepang Unabara216 yang diterbitkan Sendenhan di Jawa diberitakan bahwa “Nanpo Eiga Kosaku Yoryo (Prinsip Operasi Propaganda lewat Film di Daerah Selatan)” ditetapkan oleh Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen AD, dan Johokyoku pada 10 September 1942
yang dimaksudkan untuk merumuskan suatu kebijakan
perfilman yang terpadu bagi seluruh wilayah pendudukan di Asia Tenggara. Prinsip itu memutuskan pengaturan urusan perfilman diserahkan kepada Nihon Eiga Sha (Perusahaan Film Jepang) yang disingkat Nichiei (didirikan pada April 1940) dan Eiga Haikyu Sha (Perusahaan Distribusi Film Jepang) yang disingkat Eihai (didirikan pada Januari 1942).217 Pada bulan Oktober 1942 Johokyoku mengirimkan sebanyak 189 orang yang sebagian besarnya merupakan staf Nichiei dan Eihai untuk berpropaganda lewat film ke daerah Selatan. Mereka disebut sebagai “prajurit yang bertugas untuk mengekspansikan film Jepang ke Selatan.” Di sana mereka melaksanakan tugas: pembuatan film, pengedaran film, dan pengelolaan bioskop.218
215
Sakuramoto Tomio, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya Bagi Budayawan: Pasukan PK Maju, Tokyo: Aokisoten, hlm. 114-115. 216
Unabara no.159. 12 September 1942.
217
“Chushin wa Nichiei, Eigahaikyu Ryosha (Intinya Nichiei dan Eihai)” dalam Unabara (no.159. 12 September 1942), hlm. 1. 218
Sakuramoto, op.cit, hlm. 125., Kurasawa menyebutkan pada pertengahan 1943 Eihai mengirim 48 orang operator ke Selatan dan enam di antaranya ke Jawa. Aiko Kurasawa, Nihon
cxlvi
Dalam artikel “Jawa no Ikkagetsu: Nanpo Eiga Kosaku Miyagebanashi (Satu Bulan di Jawa: Kisah Operasi Kultural di Daerah Selatan)” yang dimuat dalam majalah Eiga Shunpo219, Keiji Machida menulis sebagai berikut. Tugas Sendenhan militer meliputi penerangan, pemberitaan, penyensoran, persuratkabaran, penyiaran, perfilman, penerbitan, penyuluhan rakyat, pendidikan, bimbingan kesenian, penggerakan massa serta pemuda, dan lain-lain. Setiap seksi diurus budayawan fungsional yang diwamilkan. Untuk memulai operasi film, saya membuat kerangka pusat film dengan lima orang tenaga honorer di militer. (…) Sebelum pemutaran film, diputar slide yang memunculkan semboyan-semboyan seperti “Asia milik orang Asia”, “Jawa milik orang Asia”, “kita kognat220”, “senasib-sepenanggungan”, atau “Nippon Cahaya Asia”, “Nippon pelindung Asia”, “Nippon pemimpin Asia” dari Gerakan Tiga A. Semboyan-semboyan itu diperoyeksikan langsung ke dalam hati orang Indonesia pada malam hari di negara yang bermusim panas abadi.221 Machida mengaku, “Merasakan benar kehebatan propaganda yang meresap lewat hiburan.222 Dapat dikatakan bahwa anggota Bagian Film Sendenhan cukup berisi. Pada awal bulan Juli 1942, Mantan Duta Besar untuk Indonesia Shizuo Saito dari Gunseikanbu (Markas besar Pemerintahan Militer di Jawa) membawa beberapa orang tambahan untuk Sendenhan. Di antaranya terdapat Tessei Mitsuhashi dari Takarazuka Kagekidan (Rombongan Teater Takarazuka). Dengan kedatangan itu, Guenseikanbu bersama Sendenhan mulai membicarakan pendirian Jawa Eiga Kosha (Korporasi Umum Film di Jawa). Korporasi umum inilah yang dimaksud sebagai kerangka pusat film oleh Machida Senryo-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di Pedesaan Jawa dibawah Pendudukan Jepang), hlm. 283-582. 219
Eiga Shunpo no.77. 1 April 1943.
220
‘sama; berhubungan karena hubungan darah (keturunan)’ Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pusat, hlm. 511. 221
Sakuramoto, op.cit, hlm. 117.
222
Keiji Machida, 1967, Tatakau Bunka Butai (Pasukan Budaya yang Berperang), Tokyo: Hara-shobo, hlm. 224-225.
cxlvii
dalam kutipan di atas. Jawa Eiga Kosha didirikan di Batavia (sekarang Jakarta)223 pada 1 Oktober 1942. Apabila membaca “Jawa Eiga Kosha Kiyaku (Peraturan Jawa Eiga Kosha)”, maka diketahui bahwa korporasi umum ini juga mengurus seni sandiwara dan seni tarian. Cabangnya didirikan di Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Pemimpin pengurusnya Soichi Oya; pengurus produksinya Tokichi Ishimoto serta Fumito Kurata; pengurus pengedarannya Kanji Kawana; pengurus pertunjukannya T. Mitsuhashi. Jawa Eiga Kosha ini dibubarkan bersama dengan pendirian cabang Nichiei, perusahaan yang memonopoli
produksi
film,
dan
cabang
Eihai
yang
bertugas
untuk
mendistribusikan film Jepang ke Indonesia pada 1 April 1943. Yang pertama dikepalai T. Ishimoto sedangkan yang kedua dikepalai T. Mitsuhashi.224 Setelah Belanda dilucuti, Sendenhan mengambil alih rumah produksi film nasional milik Belanda, Multifilm, yang ada di Jatinegara, Jakarta.225 Fasilitas Multifilm jauh lebih canggih daripada yang biasa digunakan di Jepang pada waktu itu. Menurut Takashi Takaba yang bekerja sebagai kameramen di cabang Jawa Nichiei,226 yang betul-betul memproduksi film di daerah Selatan hanya Jakarta dan Manila. Apalagi fasilitas pencucian film lengkap hanya terdapat di Jakarta
223
Sejak 9 Desember 1942, nama Batavia diganti dengan Jakarta. (“Osamu Seirei No.16”), lihat Jawa Nenkan, hlm.420 (Osamu atau Osamushudan adalah nama kode dari Pasukan ke-16) ). Sementara itu, data dari pihak pemerintah Indonesia mengatakan Batavia menjadi Jakarta pada 8 desember 1942, Dinas Museum dan Sejarah, Pemerintah DKI Jakarta, 1994, Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta (1750-1945), hlm. 110-111. 224
Machida, op.cit, hlm. 22., Sakuramoto,op.cit, hlm. 116-118., Jawa Nenkan, hlm. 169170., “Jawa Eiga Kosha Kiyaku (Peraturan Jawa Eiga Kosha)” dan struktur korporasi ini dapat di lihat dalam Osamu Shudan Guseikan: Seizaburo Okazaki, “Jawa Eiga Kosha no Ken Tsucho (Pengumuman mengenai Jawa Eiga Kosha)”, 11 September 1942, (The Nishijima Collection), (JV 1-6) ). 225
Jawa Nenkan, hlm. 169.
226
Kurasawa,op.cit, hlm. 278,. Jawa Nenkan, hlm 170.
cxlviii
sehingga film-film yang direkam di seluruh daerah Selatan dikumpulkan ke Jakarta untuk dicuci dan diedit di sana.
B. Para Propagandis Dibalik Layar 1. Rancangan Propaganda Media Film Setelah munculnya lembaga-lembaga film buatan Jepang, kini perhatian harus dialihkan pada
skema propaganda melalui media film. Rancangan
propaganda dasar untuk setiap tahun anggaran dibuat oleh Gunseikan, kepala pemerintahan militer, mengikuti rencana umum yang ditetapkan oleh Markas Besar Tentara Umum Wilayah Selatan (Nanpo Sogun). Rencana ini kemudian disebar diberitahukan kepada seluruh Lembaga yang berkaitan dan kepada Unit Operasi Distrik. Rancangan kerangka pokok pada setiap tahap pendudukan berubah-ubah sesuai dengan pergeseran dalam kebijakan dasar pemerintah militer. Ketetapan rancangan ini merupakan keputusan Direktur Sendenbu, setelah melakukan konsultasi dengan Lembaga-lembaga film yang bersangkutan. Untuk melaksanakan skema propaganda ini kedalam operasi, digunakan media film . Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan media seperti itu secara positif, terutama yang akan mempengaruhi alat indra manusia “pendengaran dan penglihatan” (audiovisual). Jepang menganggap media ini sangat efektif bagi penduduk desa yang kebanyakan tak berpendidikan dan buta akan huruf, yang merupakan bagian terbesar di masyarakat Jawa. Jepang sendiri juga mengetahui bahwa media tulis seperti buku, majalah, pamflet, dan surat kabar berdampak pada pemukiman kota yang terdidik,
cxlix
tetapi tidak ada gunanya bagi masyarakat desa.227 Dengan demikian, metode yang paling sering mereka gunakan ialah mengirim kelompok-kelompok propagandis dengan proyektor film, aktor, dan musisi yang berpindah-pindah dari satudesa ke desa yang lainnya di masyarakat jawa, sambil melakukan pertunjukan terlebih dahulu. Sebelum pemutaran di mulai biasanya ada pidato oleh pejabat daerah setempat yang mempunyai karisma atau sebagai tokoh panutan yang terkemuka. Isi pidato tersebut mempunyai pesan-pesan dari pemerintah biasanya diselipkan secara halus. Sekalipun warna politiknya sangat jelas, namun pertunjukannya dapat diterima dengan baik. Kemudian diputarlah film yang sangat dinanti-nantikan oleh penonton penuh semangat, karena penduduk desa selalu haus akan hiburan. 2. Propagandis Dibalik Layar Pemerintah militer jepang sangat berhati-hati dalam memilih calon-calon propagandis handal dan berbakat tentunya baik perekrutan dipusat maupun dilokal. Kedudukan tertinggi di kantor pusat terutama dipegang oleh perwira militer. Kedudukan tertinggi yang dijabat oleh seorang sipil ialah Kepala Seksi Propaganda (Sendenka-cho), yang sesungguhnya merupakan orang yang bertanggung jawab atas pengendalian kegiatan propaganda sehari-hari. Jabatan ini dipercayakan kepada seorang pejabat Jepang yang berpengalaman dan berbakat, bernama Shimizu Hitoshi, ia diakui sebagai seorang propagandis professional (senden-kan) yang memulai karirnya sebagai propagandis di Cina pada tahun
227
Jawa Shinbun, hlm 194.
cl
1930-an dan akhirnya ditarik oleh Angkatan Darat ke-16 sebagai Atase Sipil yang bertugas militer dan bertanggung jawab atas propaganda.228 Dibawah kepemimpinannya, banyak orang Jepang berbakat lainnya yang juga direkrutnya sebagai bawahannya. Mereka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, propagandis-propagandis yang ahli propaganda secara umum, dan terutama memegang perencanaan. Kedua, kelompok lain yang terdiri para spesialis dalam perfilman dan tentunya mempunyai kemampuan lebih dalam bidang yang lainnya disebut orang-orang budaya (bunka-jin). Bunka-jin sebagian besar sibuk dengan pembuatan bahan propaganda dan menjalankan operasi propaganda yang sesungguhnya, bersama-sama dengan mitra Indonesia mereka. Bunka-jin handal sudah disiapkan oleh Jepang yang dikirim ke Jawa, menujukan betapa sungguh-sungguhnya Jepang sangat menyadari bagaimana pentingnya propaganda film di wilayah pendudukannya. Selain propagandis –propagandis Jepang, propagandis Indonesia pun direkrutnya. Orang Indonesia direkrutnya atas dasar karier sebelum perang, orientasi politik, kedudukan dalam masyarakat tradisional, sifat karismatik dan agitatif, serta kemampuan berpidato, misalnya guru sekolah sangat disukai, dan propagandis lainnya yang mempunyai latar belakang yang anti akan Belanda diterima dengan senang hati.229 Propagandis-propagandis menyebar di setiap Unit Operasi Distik yang berkantor pusat di Jakarta. Setiap distik dikepalai oleh seorang sipil Jepang dan dibawahnya terdapat banyak propagandis, baik Jepang maupun Indonesia. Staf 228
Kumpulan rekaman wawancara dengan H. Shimizu Data Pribadi Toshio Matsumura Februari 1980, Tokyo) 229 Jawa Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Djawa, Djakarta, 1944, hlm 472.
cli
jepang biasanya bertanggung jawab atas perencanaan dan pengawasan, sementara orang Indonesia kebanyakan bekerja menjalankan operasi propaganda. Dalam kasus Unit Operasi Yogyakarta, terdapat Sembilan staf Indonesia purnawaktu, yaitu dua operator pertunjukan, empat narrator, dan tiga orang yang bertanggung jawab atas penyensoran.230 Disamping ada para staf purnawaktu, unit local barisan propaganda biasanya mempunyai sejumlah besar pembantu informal dan paruh waktu (freeline). Misalnya para pemimpin politik setempat, pemuka agama, penyanyi, musisi, aktor, dalang, penari, dan badut, kerap kali direkrut dimobilisasi untuk operasi-operasi propaganda.231 Jepang sangat lihai dalam merekrut para propagandis yang mengambil keuntungan dari nama besar mereka yang terkenal serta berbakat untuk menarik minat rakyat. Umumnya, penguasa propaganda mencurahkan upaya mereka untuk membangun jaringan yang baik serta menunjuk orang yang tepat di tempat yang sesuai. Jaringan beberapa kegiatan yang telah ada juga dimanfaatkan para penguasa propaganda. Akhirnya, harus disebutkan kegiatan sukarelawan jepang yang mengabdikan diri bagi propaganda pada tingkat masyarakat bawah. Salah satu contoh yang baik ialah kasus 33 propagandis sukarelawan di karesidenan Cirebon. Mereka dipilih oleh residen (shucohokan) dari kalangan orang sipil jepang, dan masing-masing ditugaskan di sebuah kecamatan (son). Tinggal di daerah dan memiliki hubungan pribadi sehari-hari dengan penduduk, para
230
Djawa Baroe, no.2 7.15. 1943, hlm 15.
231
Djawa Baroe, no.1 1.3.1943, hlm 29.
clii
sukarelawan ini menyediakan waktu mereka untuk memberi informasi dan tuntutan kepada penduduk.232
C. Tema-Tema Film Propaganda Usmar Ismail berpendapat bahwa pada masa pendudukan Jepang rakyat Indonesia baru pertama kali menaruh perhatian pada fungsi film sebagai sarana komunikasi sosial.233 Dengan memanfaatkan fasilitas Multifilm tersebut, Sendenhan serta Jawa Eiga Kosha mulai membuat film berita yang berjudul “Djawa Baharoe” setiap bulan. Kemudian, Nichiei melanjutkannya dengan “Berita Film di Djawa” setiap dua mingguan.234 Pada awal tahun 1944, judul film itu diubah menjadi “Nanpo Hodo Nyusu (Warta Berita Selatan)”. Film berita ini dibuat setiap dua mingguan dalam dua versi, yaitu versi bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, dan menjadi salah satu alat propaganda andalan Sendenhan. Filmfilm berita yang rata-rata berdurasi sepuluh menit itu dikirim juga ke pulau-pulau lain seperti Sumatra, Celebes (Sulawesi), Bali, Borneo (Kalimantan), dan Nugini. Selain film berita, Nichiei juga membuat film budaya (bunka eiga), film dokumenter, film cerita, dan mengindonesiakan fim Jepang yang diimpor oleh Eihai.235 Adapun, bunka eiga adalah ‘film untuk meningkatkan derajat
232
Jawa Shinbun, 5 November 1944.
233
Usmar Ismail, “Sari soal dalam Film-film Indonesia” dalam Star News (III, no.5. 25 September 1954), hlm. 30. Dikutip kembali dari Salim Said, 1990, Shadowson the Silver Screen: A Social Hostory of Indonesoan Film. (Terjemahan dari Profil Dunia Film Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers, 1982). Jkarta: The Lontar Fundation, hlm. 34. 234
Jawa Nenkan, hlm.170.
235
Machida, op.cit, hlm. 224-226.
cliii
kecerdasan’236 dan diwajibkan untuk diputar dalam “Eiga Ho” sejak bulan Januari 1941.237 Pada masa itu di pulau Jawa tersebar 117 buah bioskop.238 Semuanya dikelolah oleh peranakan Tionghoa kecuali satu bioskop. Bioskop sudah didominasi film-film buatan Amerika pada masa itu.239 Sejak bulan Mei 1943 dimulai pemutaran film buatan Jepang di bioskop-bioskop tersebut. Di samping itu, Jepang juga mulai menghentikan impor film Barat dan mengganti nama-nama bioskop dengan nama Jepang.240 Persafi (Persatoean Ahli Film Indonesia) mulai memproduksi film cerita sejak 1 September 1943 di bawah pengawasan Nichiei dan Keimin.241 Film yang diproduksi harus berdasarkan “semangat ketimuran sesuai dengan jaman baru.” Ketika itu baru selesai perlengkapan fasilitasnya. Seperti juga yang dialami oleh cabang propaganda yang lain, begitu Jepang masuk film sebagai alat media propaganda juga masuk ke Indonesia. Filmfilm propaganda yang dimaksud berupa slide tentang tentara Nippon, diputar sebelum pemutaran film cerita. Tujuannya, membuat masyarakat mengetahui betapa besar dan kuat bala tentara Jepang yang menghasilkan kemenangankemenangan di dalam peperangan. Dengan begitu, secara psikologis masyarakat Indonesia yang melihat film documenter itu diharapkan terpengaruh. Jepang juga
236
Yukicha Takeda dan Senichi Hisamatsu (ed.), 1957, Kadokawa Kokugo Jiten (Kamus Bahasa Jepang Kadokawa), Tokyo: Kadokawa Shoten, hlm. 665. 237
Sakuramoto, op.cit, hlm. 118.
238
Jawa Nenkan, hlm.118.
239
Machida, op.cit, hlm. 227-229.
240
Ibid., hlm. 230., Hastuti, op.cit., hlm. 40.
241
Jawa Shinbun (no.250. 20 Agustus 1943), hlm. 2., Menurut Jawa Nenkan (hlm. 170), Persafi dibuka pada bulan Oktober 1943.
cliv
ingin memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa jepang bersungguhsungguh dalam melaksanakan ide Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dengan jalan apa pun, termasuk menyingkirkan penghalang yang dapat menggagalkan tujuannya. Situasi ini diperumit pula dengan produksi film cerita yang sangat sedikit, kalau tidak bisa dikatakan terhenti sama sekali. Di mana-mana terjadi kekurangan film, sehingga pemutaran film seringkali dilakukan berulang-ulang di satu tempat. Seperti dialami film berjudul Asmara Moerni. Terpaksa diputar secara bergantian di berbagai bioskop di pulau Jawa. Untuk mengantikan kekurangan film yang sangat sedikit akan didatangkan sejumlah besar film Jepang. Secara resmi ditetapkan sejumlah 52 film Jepang didatangkan dalam setiap tahunnya. Selain itu film Cina dan 6 film dari Negaranegara sekutu Jepang direncanakan akan diimpor.242 Mengenai film-film yang akan didatangkan ke Indonesia, pemerintah berkedudukan Jepang sangat hati-hati, hanya film-film yang dianggap berguna bagi kepentingan propagandalah yang akan diimpor. Film-film tersebut biasanya isinya jelas-jelas harus berisi ajaran moral dan indoktrinasi politik yang sejalan dengan keinginan pemerintah, dan film-film itu dikategorikan sebagai film kokusaku eiga (film-film kebijakan nasional). Film-film kebijakan nasional itu bila ditinjau dari segi isinya dapat dibagi ke dalam enam kategori sebagai berikut.243 1. Film yang isinya menekankan persahabatan antara bangsa jepang dengan bangsa-bangsa Asia serta pengajaran Jepang. 242
Jun’Ichiro Tanaka. 1976. Nihon Eiga Hattatsushi, Vol.3. Tokyo: Chokoron
243
Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, hlm.239.
clv
2. Film yang isinya mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap bangsa. 3. Film yang isinya melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer Jepang. 4. Film yang isinya menggambarkan kejahatan bangsa Barat. 5. Film yang isinya menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang seperti: pengorbanan diri, kasih saying ibu, penghormatan terhadap orang tua, persahabatan yang tulus, sikap kewanitaan, kerajinan, dan kesetiaan. 6. Film yang isinya menekankan peningkatan produksi dan kampanye perang lainnya. Sedangkan jenis film yang mendapat keutamaan tinggi ialah film-film yang termasuk ke dalam film dokumenter, film berita, dan film-film kebudayaan. Untuk film jenis documenter telah mulai digarap sejak Jawa Eiga Kosha membuka studionya di Jatinegara pada bulan September 1942 dan usaha itu dilanjutkan oleh Nichiei. Nichiei melaksanakan pemasokan film documenter dan kebudayaan setiap dua minggu sekali atau sejumlah 24 film dalam setahunnya.244 Film-film itu biasanya mempunyai masa putar 10-20 menit dan mengandung tema-tema propaganda. Sedangkan untuk film berita, Jawa Eiga Kosha melakukan penyuntingan sebulan sekali di bawah judul “Djawa baroe” dan tetap diedarkan sampai mencapai nomor kedelapan pada bulan Maret 1943. usaha tersebut kemudian dilanjutkan oleh Nichiei yang memulai suatu seri dua mingguan yang dinamakan Djawa Nyusu (Berita Film Jawa). Produksi film yang dihasilkan Nichiei mencapai produksi yang ke-19 pada bulan Desember 1943, dan mulai awal 1944 film berita dibuat di bawah judul baru “Nanpo Hodo”.245 Bila film-film berita itu dianalisis akan tanpak sifatnya yang instruktif seperti yang tanpak pada unsur-unsur berikut: 244
Jawa Nenkam, hlm.170.
245
Ibid.
clvi
1. Film-film berita yang isinya menggambarkan kegiatan-kegiatan organisasi social politik, latihan pemuda, peningkatan produksi, pidato para pemimpin pemerintahan dan militer, kemenangan di medan pertempuran, dan lain-lain. Dalam film-film itu fokusnya ditentukan pada upaya-upaya pengajaran moral dan teknis serta bagaimana menyebarkan pesan-pesan pemerintah. 2. Film-film yang berisi pengajaran moral dan teknis. Topic-topik yang dikemukakan ialah teknik perikanan, penanaman kapas, pembuatan keramik, pemeliharaan kesehatan, dan pengenalan tradisi Jepang. 3. Penggunaan narasi bahasa Indonesia dalam film-film berita itu, lebih menekankan kepada ajakan-ajakan perang. Jepang mulai memproduksi film cerita di Indonesia akhir tahun 1943. itu pun dalam jumlah minim, hanya sekitar 1-2 film setahun. Ada yang dibuat dengan masa putar panjang Full Length, seperti Berdjoang dan Habis Hoedjan.246 Ada juga yang dibuat dengan masa putar 30 menit, seperti Mimpikoe, Ke Seberang, Di Menara, Djatoeh, Berkait, Amat Heiho, dan Tonari Kumi.247 Dikenalkan pula film boneka berjudul pak Kropmo, dengan semboyan Awas Mata-mata Moesoeh, dibuat oleh Seseo Ono.248Film-film cerita itu tidak lepas dari selipan propaganda untuk kepentingan perang Jepang. Film yang isinya menekankan persahabatan antara bangsa jepang dengan bangsa-bangsa Asia serta pengajaran Jepang:
246
Djawa Baroe 4 (no.4 15.1.2064), hlm. 32.
247
Djawa Baroe 4 (no.13 1.7.2604), hlm.32.
248
Djawa Baroe 2 (no. 23 12.1.2063), hlm. 6-7.
clvii
Gambar: Film Kota Berdjoang (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Kota Berdjoang249 menceritakan bagaimana Jepang akan melindungi dan mengusir penjajah Barat dari kota di Asia. Setiap kota yang dijajah bangsa Barat akan dilawan oleh prajurit-prajurit Jepang untuk membebaskan Asia dari para penjajah.
Gambar: Film Kati Doki Ondo (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Dari seorang kepala pabrik menjadi penjaga malam. Karena ingin terus bekerja tanpa lelah dengan ikhlas dan ingin terus menyumbangkan tenaga terusmeneru demi kejayaan Asia Timur Raya. Bekerja…bekarja…bekerja…Sorak kemenangan pasti terdengar! Itulah gambaran cerita film Kati Doki Ondo250 (Sorak Kemenangan) yang juga menggambarkan kekerasan hati dan ketebalan
249
Asia Raya (3 1.2.1944).
250
Djawa Baroe (29.5.1945), hlm.32.
clviii
semangat pekerja Nippon dalam jaman peperangan untuk kemenangan Asia dari penjajahan Barat.
Gambar: Film Barisan Mati Dimenara Penjara (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Mempertahankan Negara itulah cita-citanya. Dengan sekuat daya upaya barisan prajurit korea mempertahankan negaranya sekalipun mati adalah taruhannya. Film Barisan-Mati Dimenara Pendjaga juga menggambarkan perasaan cinta seorang prajurit Jepang yang mempunyai kekasih wanita korea. Tetapi kekasihnya pergi gugur dimedan pertempuran. Karena kekasih yang yang ditinggalkannya mempunyai perasaan yang ikhlas, dia merelakan kepergiannya. Film yang isinya mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap bangsa.
Gambar: Film Kesoema Noesa (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
clix
Lin Tse Chi adalah pendekar pujaan bangsa, mempertahankan derajat bangsa dalam melawan menentang Inggris penindas Asia. Film Kesoema Noesa251 ini juga melukiskan halus dan tingginya budi bahasa bangsa timur, penuh filsafat hidup dan perjuangan rohani cinta tanah air dengan pengorbanan yang tulus ikhlas.
Gambar: Film Indonesia Raya (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Film documenter dengan judul “Indonesia Raya”,252 pahamilah sepahampahamnya lagu Indonesia Raya, lagu kebangsaan, lagu kemegahan “Indonesia Raya” penuh gaya dan jaya selalu Indonesia. Nyanyian “Indonesia Raya” tua muda bergelora di angkasa merdu dan suara gemuruh melayang keseluruhan ke penjuru “Indonesia Raya”. Itulah pesan yang ada di film documenter “Indonesia Raya” Film yang isinya melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer Jepang.
251 252
Asia Raya ( 27.12.1945). Asia Raya (29.1.1945).
clx
Gambar: Film Kanto Penjapoe Oedara (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Film
dengan
judul
Kato
Sentokitai253
(Kato
Penjapoe
Oedara)
menggambarkan pesan Prajurit Pilot-pilot dengan hati yang tabah melawan musuh-musuhnya di angkasa dengan pesawat. Para pilot berangkat berjuang bersama-sama dengan susah senang dipikul bersama untuk menentang musuh dengan hati yang tenang.
Gambar: Film Pasoekan Pembom Angkatan Laoet (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Serangan musuh sangat hebat tapi semua itu bisa dilawan dengan patriotisme yang kuat juga. Pergulatan antara musuh dengan Pasukan pembom angkatan laut Jepang, Putra Yamato dengan semangatnya membuktikan betapa tinggi semangat perjuangannya untuk menjatuhkan pesawat musuh. Serang
253
Asia Raya (6.3.1945).
clxi
serang! Gempur! Sampai musuh bertekuk lutut pekiknya dengan lantang. Isi cerita film Kaigun Bakugekitai254 (Pasoekan Pembom Angkatan Laoet). Film yang isinya menggambarkan kejahatan bangsa Barat.
Gambar: Film Shanghai Rikusentai (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Shanghai Rikusentai255 (Angkatan Loet Barat bagian barat di Shanghai) mengesankan tentang perjuangan prajurit Jepang di jembatan Marco Polo. Tjiang Kai Sek menentang Nippon, ini semua karena gara-gara Inggris dan Amerika yang hendak mengacaukan Kemakmuran Lingkungan Asia Timur Raya. Shanghai kota jajahan Barat yang Indah permai, menjadi pangkalan penindasan Asia oleh Barat. Angkatan laut berjuang mati-matian, melawan tentara musuh jauh lebih besar. Pertempuran berjalan dengan sengitnya dengan tekat yang kuat angkatan laut rela merebut Shanghai demi mempertahankan keadilan dan kehormatan Asia Timur Raya.
254
Asia Raya (15.2.1944).
255
Asia Raya (8.5.1945).
clxii
Gambar: Film Kolone ke 5 (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Dai Goreto no Kyohu256 (Kolone ke 5) menceritakan Seorang perempuan menjadi tangan kanan Klone Ke Lima berhianat kepada negeri sendiri, tetapi akhirnya insaf akan angkara dan kejahatan Inggris-Amerika. Kepada tanah air wajib berbakti, film ini juga bercerita bagaimana licinnya dan liciknya mata-mata musuh bekerja. Film yang isinya menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang seperti: pengorbanan diri, kasih saying ibu, penghormatan terhadap orang tua, persahabatan yang tulus, sikap kewanitaan, kerajinan, dan kesetiaan.
Gambar: Film Negeri Sakura (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
256
Asia Raya (10.8.1944).
clxiii
Sakura No Kuni257 (Negeri Sakura) perjuangan batin dua sejoli yang diakhiri dengan pengorbanan. Perkawinan itu bukanlah soal kasih sayang belaka. Melainkan harus meinta pengorbanannya untuk kekasih dan masyarakat juga.
Gambar: Film Senjoeman negara (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Senjoeman Negara258 menceritakan Para prajurit jepang berperang untuk mempertahankan dan mengusir para penjajah barat dari Asia Raya. Sekalipun untuk mempertahankannya tidak mudah, mereka yakin bangsa Asia selalu menunggu kemenangan Asia Raya dengan senyuman.
257
Asia Raya (19.3.1945).
258
Asia Raya (5.7.1944).
clxiv
Gambar: Film Berdjoeang (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Dalam film Berdjoeang259, misalnya, digambarkan seorang pemuda bernama Anang yang dianggap bermoral tinggi karena lebih mengutamakan meninggalkan kampung halaman dan berperang daripada mengurus keluarga. Di situ diceritakan, Anang lebih suka menunda perkawinannya agar bisa ikut Heiho.
Gambar: Film Ke Seberang (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Kalau Berdjoang melukiskan prajurit tempur, maka Ke Seberang260 menggambarkan prajurit ekonomi, barisan pemuda yang setia dikirim ke luar pulau jawa untuk membangun tanah seberang: Kalimantan, Sulawesi, dan lainlain.
Gambar: Film Gelombang 259
DJawa Baroe (no.3 1.2.1944), hlm.31.
260
Djawa Baroe (no.13 1.7.1944), hlm.32.
clxv
(Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Film dengan Judul “Gelombang”261 melukiskan Indonesia yang dijajah oleh orang-orang Barat, sampai pada perang suci yang digemborkan oleh Jepang “Fajar bagi Asia”. Film ini juga bercerita bagaimana orang Indonesia hanya menerima apa adanya hanya nyata dan dengan kedatangan Jepang rakyat Indonesia diajarkan nyanyian dan tarian sebagai barang penghibur. Film yang isinya menekankan peningkatan produksi dan kampanye perang lainnya.
Gambar: Film Malaria (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Semua harus dibasmi itulah semboyan iklan yang ditulis dengan lantang. Film dengan judul Malaria262 menggambarkan penyakit malaria harus dibasmi dan dihilangkan dari lingkungan kehidupan masyarakat Asia. Dimana Malaria itu juga diibaratkan Inggris dan Amerika.
261
Djawa Baroe (no.24 15.12.1943), hlm.31.
262
Asia Raya (28.6.1944).
clxvi
Gambar: Film Bom Penghiboer (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Film yang memperlihatkan dan dibuat untuk menghibur para prajurit Nippon yang tengah bertempur dn selalu menjaga nyawanya dimedan pertempuran. Prajurit harus gembira, harus dapat tertawa sekalipun suara bom selalu ada dimedan pertempuran. Syori no Himade263 (Bom Penghibur) itulah judulnya. Mari…………..Mari Tertawa. Mari…………..Mari Berjuang itulah semboyannya.
Gambar: Film Djantan (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta) Film dengan judul Djantan264 menceritakan bagaimana rela berkorban demi Asia Timur Raya dengan gotong royong membuat terowongan kereta.
263
Asia Raya (21.5.1945).
264
Djawa Baroe (no.2 15.1.1944), hlm.32.
clxvii
Pekerjaan itu dilakukan bersama-sama bahu-membahu dengan perasaan gembira. Semakin gembira kaum pekerja semakin giatlah bekerja dan semakin cepatlah terowongan itu jadi.
Gambar: Film Neppu (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Dalam menghancurkan Inggris dan Amerika guna kemenangan tanah air dengan gilang-gemilang dibutuhkan persenjataan yang banyak. Pabrik baja sebagai satu sayap didalam industry yang terpenting mempunyai suatu kewajiban yang berat untuk kepentingan negeri. Film “Neppu”265 menceritakannya bagaimana para pekerja terbaik Nippon memperkerjakan dengan giat bekerja demi kekuatan Jepang untuk menghancurkan Barat. Lebih tanpa jelas lagi kesan propagandanya adalah produksi tahun 1945, berjudul Koeli dan Romusha266 Karya penulis Indonesia, J. Hoetagaloeng, yang mula-mula berbentuk naskah sandiwara, jelas-jelas mengambarkan perbedaan nasib di Zaman Belanda yang sangat merana dan romusha di jaman Jepang yang nasibnya lebih baik. Katanya, romusha bernasib baik karena berjasa mengabdi kepada baik karena berjasa mengabdi kepada Negara.
265
Djawa Baroe (no.15 1.8.1944), hlm.32.
266
Asia Raya (19.3.2605).
clxviii
Propaganda Jepang juga diperlihatkan melalui film-film yang didatangkan langsung dari Jepang, yang penuh dengan gambaran tentang keunggulan Jepang , seperti Nankai no Hanataba (Bunga dari Selatan), Shogun to Sanbo to Hei (Jenderal dan Prajurit), Singapure Soko Geki (Serangan atas Singapura), Eikoku Koezoeroeroe no Hi (Saat Inggris Runtuh).267 Sangat menarik, meski film Jepang terus masuk dan juga diproduksi di Indonesia, film-film barat tetap boleh beredar. Keadaan itu tampak jelas pada deretan iklan di media massa ketika itu. Bahkan, perbandingan film barat dengan non-barat seimbang. Sebagai gambaran iklan film disurat kabar Asia Raya, terbitan Jakarta. Diketahui, pada tanggal 30 April 1942 saja terdapat 12 bioskop yang
memutar
film
Eropa
dan
Amerika,
3
bioskop
memutar
film
Indonesia/Melayu, dan 1 bioskop memutar film Cina/Tionghoa.268
D. Metode Penyebar Luasan Pemutaran Film Dalam usaha mengambil hati lewat propaganda terhadap masyarakat Jawa melalui media film, pemutaran dan distribusi film berada di bawah tanggung jawab Eihai, dan cabang Jakarta (Jawa Eihai) dibentuk pada bulan April 1943, setahun setelah Jepang menduduki Jawa, dengan Mitshuhashi Tessei sebagai kepalanya yang berhubungan erat dengan Sendenbu, Eihai merumuskan dan menjalankan program umum dengan memanfaakan film demi tujuan propaganda. Tugasnya meliputi pemilihan film yang akan diedarkan, penyebaran film
267
Djawa Baroe (no. 15 1.8.2603), hlm. 30-31.
268
Asia Raya, 4 Joeni 2063.
clxix
kebioskop setempat, pengelolahan seluruh gedung bioskop yang disita, dan memutar film dengan konsep dilapangan terbuka.269 Untuk memperlancar jalannya pengedaran dan penyebaran film ke setiap daerah di Jawa, hal lain yang dirasa perlu ialah membuat jaringan-jaringan propaganda ke setiap sudut dan pelosok desa (desa mempunyai arti penting sebagai sumber bahan baku dan sumber tenaga manusia) untuk pulau Jawa dibentuk Chiho Kosakutai (Unit Operasi Distrik) yang meliputi kota-kota besar yakni: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.270 Unit setiap Unit Operasi Distrik mempunyai wilayah kerja yang meliputi tiga sampai empat Karesidenan sebagai berikut: 1. Unit Operasi Distrik Jakarta meliputi Banten, Jakarta, Bogor, Kotamadya Khusus Jakarta. 2. Unit Operasi Distrik Bandung Meliputi Priangan, Cirebon, dan Banyumas. 3. Unit Operasi Distrik Yogyakarta meliputi Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Madiun, dan Kedu. 4. Unit Operasi Distrik Semarang meliputi Semarang, Pekalongan, dan Pati. 5. Unit Operasi Distrik Surabaya meliputi Surabaya, Bojonegoro, dan Madura. 6. Unit Operasi Distrik Malang meliputi Malang, Kediri, dan Besuki.271 Dengan demikian di samping Unit Operasi Distrik, juga terdapat seksi propaganda dan informasi di setiap karesidenan. Demikian juga di setiap kabupaten dan kecamatan ditempatkan pejabat-pejabat yang bertanggung jawab atas menjalankan propaganda. Hanya perlu diperhatikan Unit Operasi Distrik di
269
Jawa Gunseikanbu, Nyanyian Pemuda, Djakarta: Balai Pustaka.
270
Asia Raya, 16 Mei 1943.
271
Ibid.
clxx
bawah kendali Sendenbu, sedangkan aktifitas propaganda pemerintah daerah berada di bawah badan-badan propaganda yg ditanggung jawabkan. 1.
Pemutaran Dibioskop Film-film barat yang beredar di masa itu, Wizzard of Oz, sebuah film
dongeng yang dibintangi oleh Judi Garland, Ice Faillies dibintangi John Crawford, dan Tarzan Finda & Son dibintangi oleh aktor terkenal ketika itu, Johnny Weismuller.(4 Mei 1942) Beredar juga film-film Cina yang dulu disebut film Tionghoa, seperti Hua Chan Lui, yang dibintangi bintang-bintang Tionghoa, dan film-film Indonesia (film Melajoe), seperti Boedjoekan Iblis yang dibintangi Rodiah dan RD. Mochtar.272 Sampai disitu, tampaknya, per-bioskop-an masih mengalami masa menyenangkan. Sebab, pada mulanya, masa pendudukan Jepang di Indonesia masih menjalankan fungsi film dan bioskop sebagai alat hiburan, dengan membolehkan masyarakat memilih film di luar film Jepang. Meski fungsi sebagai propaganda juga semakin menderas karena pada setiap pemutaran film apa pun, lebih dulu masyarakat harus menonton film-film dokumenter dan slide-slide tentang bala tentara serta kehidupan di Negeri Matahari Terbit.273 Karena film-film asing dari negeri “musuh”, terutama Amerika, tidak bisa diimpor, maka bioskop akhirnya dibanjiri film-film Jepang, disamping sisa filmfilm Jerman (sahabat Jepang), yang diimpor sebelum PD-II, dan film-film dalam negeri buatan tahun 1942 dan sebelumnya. Di antara film-film dalam negeri yang sangat diminanti masa itu adalah film-film yang dibintangi aktris popular 272
Asia Raya 8 Juni 1942.
273
Djawa Baroe 3, 1.1.2064, hlm 32-33.
clxxi
Roekiah, seperti gagak Item (1939), Roekihati (1940) dan Koeda Sembrani (1941).274 Dalam surat kabar Tjahaya (Bandung) terbitan 23 Juli 1944, misalnya dimuat iklan bioskop Taiyo yang memutar film Indonesia. Moestika dari Djemar (1941) dengan bintang-bintang utamanya Rd. Mochtar dan Dhalia. Sedangkan bioskop Fuji memutar film Jerman, Es Leuchten die Sterne. Di bioskop Futaba maupun Nippon (Cimahi) diputar film Cina (sisa sebelum perang), masing-masing Tien Lund an Pai Sheek Kung Tjoe.275 Beberapa film Jepang juga sempat beredar di Indonesia masa itu. Film rikugun Koku Senki misalnya, diputar di bioskop Toyo, sedangkan Wagayo no Kaze di bioskop Ginza. Untuk bioskop disebut terakhir ini diberi keterangan “Istimewa Bangsa Nippon” (khusus buat orang jepang).276 Suplai film tersendat, bioskop terpaksa sering memutar ulang. Ini menyebabkan bioskop berangsur tutup satu demi satu. Catatan pada bulan April 1943 menujukan terdapat 117 buah bioskop di Jawa. Penduduk ketika itu 50 juta orang, berarti satu bioskop untuk 400 ribu orang. Terlalu sedikit. Apalagi dibanding dengan Jepang, yang dengan penduduk sebanyak 76 juta, memiliki 2.350 bioskop, berarti satu bioskop buat 32 ribu orang.277
274
SM. Ardan, tanpa tahun, Sejarah Film Indonesia 1942-1950, Jakarta: Sinematek, hlm
275
Tjahaya, 23 Juli 1944.
276
Ibid.
21.
277
Taufik Abdullah, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Jakarta: Dewan Film Nasional, hlm.160-161.
clxxii
Jumlah 117 bioskop di bulan April 1943 itu merupakan suatu penurunan dibanding sebelum PD-II, 1937 (lihat table berikut).278 Tabel I Daerah
1937
1943
Surabaya
22
12
Jakarta
19
13
Malang
12
6
Semarang
9
7
Bandung/Priangan
8
7
Yogyakarta
4
3
Menyusutnya bioskop itu tentulah disebabkan oleh keputusan pengusaha memiliki lebih baik menutup usahanya dari pada menanggung rugi terus menerus. Lebih-lebih karena mereka diwajibkan menyediakan 50% tempat duduk untuk kelas “ekonomi lemah”. Harga tanda masuk (HTM) paling tinggi Cuma 80 Sen. Sedangkan sebelum PD-II f2,- (dua Gulden/rupiah). Di masa Jepang itu bioskop terbagi dalam 4 tingkat. (lihat table berikut).279 Tabel II Tingkat
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Satu
80 Sen
50 Sen
30 Sen
---
Dua
60 Sen
40 Sen
20 Sen
---
278
Ibid, hlm.170.
279
Ibid,
clxxiii
Tiga
50 Sen
30 Sen
20 Sen
10 Sen
Empat
40 Sen
25 Sen
15 Sen
15 Sen
Sebelum PD-II “kelas rakyat” hanya sekitar 5 sampai 10% dari kapasitas tempat duduk. Kelas paling depan biasa disebut “Kelas Kambing”. Dalam iklan disebutan dengan jelas, khusus diperuntukan bagi “orang Slam” (= Islam, pribumi), yang konon suka bersuit dan berteriak. “ramai seperti kambing mengembik”. HTM-nya 10 sen. Untuk “orang Cina 25 sen”, sedangkan kelas terhormatnya “50 sen dan satu gulden”. Tapi ada pula bioskop yang tertutup bagi pribumi. HTM-nya lebih tinggi, f0,50,- dan f2,-. Bioskop-bioskop khusus untuk orang-orang Belanda (dan orang kulit putih lainnya) di Jakarta waktu itu adalah Capitol di Pintu Air (kini pertokoan) dan Deca Park (Monas sekarang).280 Jadi, dimata penjajah Belanda, pribumi adalah warga kelas tiga, di bawah Belanda dan Cina. Dan 905 bioskop masa itu memang dimiliki orang Cina. Sebagai contoh: Fred Young (1900-1977) adalah pemilik 5 bioskop di Malang. Tan Bersaudara (Khoen Hian & Khoen Yauw) memiliki dua bioskop di Senen dan Tanah Abang dengan nama yang sama, Rialto. Jepang sepintas lalu berhasrat mengangkat pribumi menjadi warga utama, sejajar dengan “saudara tua” Jepang, dan boleh nonton di bioskop manapun, termasuk di Capitol dan Deca Park. Slogan propaganda Jepang: “Nippon-Indonsia sama-sama”. Tapi dalam praktek kenyataannya lain sama sekali. Sehingga Yang terjadi adalah: “Nippon pertama, Indonesia kedua”. Ini antara lain terbukti dari adanya bioskop “Istimewa Oentoek Bangsa Nippon” di Bandung, Ginza. Disitu 280
Ibid, hlm.173
clxxiv
pribumi tidak boleh masuk, sama halnya Capitol dan Deca Park di Zaman Belanda berkuasa. dibioskop Ginza sendiri tak ada pemutaran film pendahuluan, yang memang ditujukan untuk golongan terjajah. Akhirnya ini merupakan keharusan bagi bioskop-bioskop lain. Bioskop khusus semacam Ginza di Bandung itu juga terdapat di kota-kota lain: Tokyo (Jakarta), Nippon (Semarang), Toa (Yogya), Nyoei (Malang) dan Nippon di Surabaya.281 Untuk keperluan hiburan dan sekaligus alat propaganda, bagi penduduk Indonesia, Jepang mengelola langsung 35 bioskop, disamping 117 bioskop yang umumnya milik orang Cina itu, 35 bioskop ini dimiliki langsung oleh Jawa Eihai (pengedar film).282 Bioskop jenis ini terdapat di Jawa Barat (23 buah), Jawa Timur Sembilan dan tiga buah di Jawa Tengah. Satu diantaranya, Hodo Gekijo (gekijo=bioskop) di Semarang, dipergunakan khusus untuk menayangkan film berita dan film pendek, tanpa dipungut bayaran. Sebuah lainnya, Ya’eshio Gekijo di Jakarta, khusus memutar film pendidikan untuk pelajar, secara gratis pula.283 2.
Layar Putih itu Bernama Layar Tancap Untuk keperluan propagandanya, bukan hanya HTM bioskop umum
diturunkan, tapi Jepang juga menyelenggarakan pemutaran film yang kemudian dikenal dengan sebutan “Layar Tancep” (bioskop keliling).284 Untuk keperluan ini sengaja didatangkan ahlinya dari Jepang sebanyak enam orang. Pada Desember 1943 terdapat lima markas operasi “Layar Tancep” di berbagai kota: Jakarta,
281
Asia Raya 23.6.2604.
282
Unabara (no.159. 12 September 1942), hlm.2.
283
Asia Raya 19.7.2603.
284
SM. Ardan, op.cit, hlm.38.
clxxv
Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang. Ada yang dipimpin orang Jepang, tapi ada pula yang dikepalai orang Indonesia. Dengan berkendaraan truk, unit-unit bioskop keliling itu beroperasi dari desa ke desa.285 Sebelum PD-II pemutaran film “layar tancep” sebenarnya sudah dilakukan oleh Belanda di Lapangan Gambir, gerbang timur eks Pekan Raya Jakarta di Merdeka Selatan. Karena yang pertama diputar film penerangan tentang penyakit pes, maka pertunjukan itu lebih dikenal sebagai “film pes”, walaupun kemudian ditayangkan pula penerangan tentang penyakit-penyakit lain.286 Baik film fes Belanda maupun bioskop kililing Jepang itu, gratis dan terbuka untuk umum. Karena pemutaran film pes hanya di tempat-tempat tertentu saja, maka bisa dikatakan bahwa Jepang yang memelopori pertunjukan “layar tancep”, karena daerah operasinya amat luas.287 Meskipun demikian, upaya selama masa pendudukan jepang untuk memanfaatkan bioskop keliling bagi indoktrinasi politik dengan sekala besar sepenuhnya merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sebenarnya Jepang sendiri sudah sangat berpengalaman luas dengan penyelenggaraan bioskop keliling dinegeri asalnya. Dari pengalaman tersebut Jepang kembali menerapkan konsep tersebut di Jawa. Kantor pusat Eihai mengirimkan 48 operator film dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk Asia Tenggara, enam diantaranya dikirim ke Jawa dalam rangka peningkatan penyelenggaraan bioskop keliling. Para operator dan staf 285
Taufik Abdullah, op.cit, hlm.180.
286
Abdul Aziz,1992, Layar Perak:90 Tahun Bioskop Di Indonesia, Jakart: Gramedia,
hlm.42. 287
Taufik Abdullah, op.cit, hlm.183.
clxxvi
perlengkapan pendukungnya berkeliling dari desa ke desa lain, dengan membawa proyektor film, generator, dan film (35 mm), di atas sebuah truck. Masing-masing tim terdiri dari seorang anggota staf Jawa Eihai (seorang operator), seorang pegawai Sendenbu setempat, seorang penerjemah, dan seorang sopir truck.288 Biasanya perlu waktu beberapa hari untuk menyelesaikan sebuah perjalanan keliling, dan dalam kasus sebuah kampanye besar dengan tujuan tertentu, sebuah tim harus melakukan perjalanan selama beberapa minggu. Misalnya, sebuah perjalanan keliling untuk kampanye peningkatan produksi yang dilakukan oleh Unit Operasi Yogyakarta bersama dengan Jawa Eiha berlangsung selama dua minggu, dari tanggal 14 sampai 30 Desember 1943, dan meliputi empat kresidenan.289 Di Kotamadya Khusus Jakarta sendiri pada bulan Desember 1943 pertunjukan film bebas di udara terbuka diselenggarakan di delapan tempat untuk 53.000 penoton, di delapan tempat di Karesidenan Jakarta, dengan keseluruhan penonton sebanyak 104.000, dan delapan tempat di Karesidenan Bogor dengan jumlah penonton sebanyak 96.000 orang. Karena tidak mungkin mengunjungi seluruh desa dengan jumlah dan sarana yang terbatas, satu atau dua desa dipilih dari sebuah Son (kecamatan) sebagai lokasi pemutaran, dan rakyat dari desa-desa tetangga diundang untuk menonton. Film diputar si sebuah lapangan terbuka di dekat balai desa, dan siapa pun boleh menonton secara gratis. Pengumuman
288
Ibid, hlm.190.
289
SM. Ardan, op.cit, hlm.52.
clxxvii
disampaikan pada penduduk seluruh desa tetangga melalui pejabat desa dan ketua Tonarigumi.290 Munculnya bioskop keliling merupakan suatu hiburan yang langkah bagi penduduk desa, karena pada saat itu kehidupan sulit dan penuh penderitaan. Kalau muncul berita kedatangan sebuah bioskop keliling, rakyat biasanya tak sabar menanti, karena biasanya ini merupakan pengalaman pertama mereka menonton film. Pada hari yang dijadwalkan mereka tak segan-segan berjalan beberapa kilometer ke tempat yang telah ditetapkan, sekalipun dalam keadaan lelah dan lapar. Menjelang gelap, banyak penonton telah menanti pertunjukan. Dengan demikian, tidak seperti halnya dengan rapat umum, dimana penguasa mengalami kesulitan mengumpulan massa, pertunjukan film di daerah pedesaan jarang mengalami kesulitan menarik pengunjung.291 3. Boui Engo Kai (Badan Pembantu Prajurit) a. Kebijakan Pembentukan Boui Engo Kai (Badan Pembantu Prajurit) Pada akhir tahun 1943 Saiko Shikikan, dalam Sidang Chuo Sangiin, menanyakan bagaimana cara dan usaha untuk memperkuat peperangan di Asia Timur Raya. Chuo Sangiin mengusulkan agar “memperkukuh dan melindungi prajurit Heiho dan Peta”. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pemerintah Jepang melalui sidang Chuo Sangiin mengesahkan berdirinya suatu badan yang mengurus dan melindungi prajurit Heiho dan Peta maupun keluarganya, serta meyakinkan kepada masyarakat pentingnya semangat prajurit Heiho dan Peta
290
Asia Raya 5.7.2604.
291
Abdul Aziz, op.cit, hlm.43-44.
clxxviii
dalam barisan perang depan maupun barisan perang belakang.292 Badan tersebut diberi nama Boui Engo Kai atau Badan Pembantu Prajurit yang resmi berdiri pada tanggal 8 Desember 1943. Peresmian Boui Engo Kai bertepatan dengan hari pembangunan Asia Timur Raya dan pelantikan prajurit Peta se-Jawa dan Madura. Adapun pokok maksud dan tujuan Boui Engo Kai (Badan Pembantu Prajurit), sebagaimana tertera dalam pasal 2 dari Peraturan Dasarnya,293 yaitu: “Tata Oesaha ini adalah daja oepaja dan perbaktian seloeroeh ra’jat Indonesia yang bermaksoed lahir dan batin menjelenggarakan segala oesaha jang berarti memperkoeat tenaga perang dengan djalan memperkoekoeh dan memperlindoengi pradjoerit Pembela Tanah Air dan Heiho dan djoega anggota Keibodan dan anggota rombongan lain-lain jang disahkan, jang tewas ataoe roesak badan dalam berboeat djasa oentoek Pembelaan Tanah Air, jang semoeanja itoe dengan ringkas dinamakan Boei Sensi (pahlawan pembelaan) serta keloearganja, agar kemenangan achir dan peperangan soetji ini lekas terjapai goena pembangoenan kema’moeran bersama di Asia Timoer Raja”. Maksud “memperkoekoeh” adalah memberikan bekal yang lebih bagi prajurit Heiho dan Peta baik latihan fisik maupun mental agar siap dalam menghadapi perang. Sedangkan maksud ”memperlindoengi” adalah menjaga dan mengayomi dengan memberikan hak-hak istimewa bagi prajurit Heiho dan Peta maupun keluarganya. Adalah Peraturan Dasar tersebut dengan jelas terlihat tujuan pemerintah jepang dengan pembentukan Boui Engo Kai yaitu untuk mencapai kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Dalam pembentukan Boui Engo Kai pada hakekatnya terdapat dua tujuan atau kepentingan yang berbeda antara pemerintah Jepang dengan tentara Heiho dan Peta. Pemerintah jepang dan rakyat Indonesia memiliki impian yang berbeda walaupun dalam setia kegiatan bekerja sama dengan baik. Menurut pemerintah
292
Prajurit, No. 5/8 Desember 1944, hlm.7.
293
Prajurit, No.13, 30 Maret 1945, hlm.12.
clxxix
Jepang pembentukan Boui Engo Kai adalah merupakan salah satu alat propaganda yang sangat efektif untuk mendapatkan simpati dan bantuan dari rakyat Indonesia terutama masyarakat yang tergabung dalam Heiho dan Peta. Kegiatan-kegiatan yang diadakan seperti rapat-rapat propaganda, pertunjukan film dan sandiwara, dan penerbitan majalah Pradjoerit bertujuan untuk menyampaikan doktrin-doktrin tentang Perang Asia Timur Raya Jepang. Doktrin-doktrin yang disampaikan berisi tentang gambaran-gambaran perjuangan tentang perang Jepang di medan pertempuran yang gagah berani dan rela berkorban baik jiwa mapupun raga serta teladan-taladan tentara Jepang yang mengisyaratkan bahwa tentara perang Jepang adalah tentara yang paling hebat dan paling kuat di medan pertempuran. Sisi lain dari tujuan pembentukan Boui Engo Kai menurut masyarakat Indonesia adalah sebagai sarana dan prasarana untuk mendapatkan bekal ilmu pengetahuan tentang peperangan, ilmu kemiliteran serta untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan politik di dunia internasional. Ilmu-ilmu yang diperoleh tersebut dijadikan modal utama bagi masyarakat Indonesia untuk menyusun kekuatan dan memunculkan semangat nsionalisme yang nantinya diterapkan untuk balik melawan Jepang. Tujuan yang kontras tersebut tidak disadari oleh pemerintah Jepang. Sehingga dalam setiap kegiatan baik rapat-rapat propaganda maupun pertunjukan film dan sandiwara, pemerintah Jepang tidak menyadarinya bahwa kegiatan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menggalang semangat nasionaslime dan semangat persatuan dan kesatuan untuk mencapai Indonesia merdeka. Pemerintah jepang mebentuk Djawa Boui Engo Kai di Jakarta yang berlaku sebagai Boui Engo Kai Pusat. Djawa Boui Engo Kai membawahi Boui
clxxx
Engo Kai di tingkat Syu/Kochi. Kedudukan Boui Engo Kai di cabang syu (kresidenan) serta dengan kedudukan Boui Engo Kai
di cabang Kochi yang
keduanya berkedudukan sebagai Boui Engo Kai Pusat Daerah. Di bawah Boui Engo Kai tingkat syu/kochi terdapat Boui Engo Kai tingkat ken/shi (kabupaten), Boui Engo Kai tingkat son (kecamatan), dan Boui Engo Kai tingkat ku (desa). b. Pemutaran film di Boui Engo Kai Pemerintah Jepang mewajibkan menayangkan film-film yang terutama dianggap berguna sebagai bahan propaganda dan menghindari pikiran individualistis ala Barat. Selain itu, film yang diputar harus jelas mengandung ajaran moral dan indoktrinasi politik yang diinginkan pemerintah Jepang untuk dipertunjukkan bagi masyarakat Indonesia, khususnya anggota Boui Engo Kai. Film-film yang jelas mengandung prinsip-prinsip pemerintah disebut dengan Kokusaku Eiga (film-film kebijakan nasional) yang menerima rekomendasi khusus dari pemerintah Jepang. Kebanyakan film Jepang yang dipertunjukan di Indonesia harus bersifat “film kebijakan nasional” tersebut.294 Kegiatan Pemutaran film yang diselenggarakan Boui Engo Kai harus melalui tahap penyensoran yang ketat dari badan sensor milik Jepang yaitu Gun Ken Etu Han. Film-film Jepang dipilih secara hati-hati dan hanya film-film yang terutama dianggap berguna sebagai bahan propaganda saja yang diimpor.295 Dengan kata lain, film impor adalah film yang jelas mengandung ajaran moral dan indoktrinasi politik yang diinginkan oleh pemerintah Jepang untuk dipertunjukan bagi masyarakat Indonesia, khususnya anggota Boui Engo Kai. 294
Taufik Abdullah, op.cit, hlm.279.
295
Kan Po, No. 17, 25 April 1943.
clxxxi
Film-film yang jelas mengandung prinsip-prinsip pemerintah disebut dengan Kokusaka Eiga (film-film kebijakan nasional) yang menerima rekomendasi khusus dari pemerintah Jepang. Kebanyakan film Jepang yang dipertunjukkan di Indonesia harus bersifat “film kebijakan nasional” tersebut. Ketika posisi Jepang mulai berdesakan dari berbagai frot peperangan (sejak Sepember 1944), bahan baku film lantas dihemat. Pembuatan film-film berita, penerangan dan propaganda diutamakan kembali sedangkan film-film cerita ditangguhkan. Akibat kebijakan Jepang di Indonesia tersebut, menyebabkan film-film cerita tidak diproduksi dan hanya film-film yang penuh dengan propaganda saja yang diproduksi. Film yang diproduksi antara tahun 1943-1945 adalah Berjoeang dan Ke Seberang yang disutradarai oleh Rd. Arifin, Di Desa dan Di Menara yang disutradarai oleh HB. Angin, Amat Heiho; Kemakmuran; Koeli dan Romusha yang disutradarai oleh J. Hoetagaloeng dan Indonesia Raya karya Bunka Eiga (Film Kebudayaan) dan lain-lain.296 Film Jepang memang kurang memperhatikan segi komersial dari pembuatan film-film tersebut. Bagi pemerintah Jepang yang terpenting adalah tujuan utama Jepang tercapai yaitu penerangan dan propaganda. Terutama dalam memproduksi film non cerita yang menekankan bahwa militer Jepang bukanlah agregasor melainkan pembebasan bangsa Asia dari perbudakan bangsa-bangsa Barat. Film yang diproduksi oleh Jepang Berjoeang dan Ke Seberang. Berjoeang adalah film yang disadur dari film Jepang dengan judul Minami no Ganbo, menceritakan tentang seorang pemuda yang rela meninggalkan keluarga. Sahabat
296
Pradjoerit, No. 13/30 Maret 1945, hal. 39.
clxxxii
mapun orang yang dicintainya untuk menjadi prajurit Heiho dan ikut bertempur dalam medan perang. Sedangkan Ke Seberang menggambarkan tentang prajuri ekonomi (romusha) yang bersedia dikirim ke luar Jawa untuk membangun tanah seberang; Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Film Berjoeang dan Ke Seberang diputar di seluruh Boui Engo Kai di Jawa Pada bulan Juni sampai akhir Desember 1944. Pemutaran film yang diadakan oleh Boui Engo Kai tersebut dihadiri oleh anggota Boui Engo Kai masing-masing daerah yang merupakan gabungan antara Heiho dan Peta. Berjoeang diputar ditepatnya yang sudah ditentukan di bioskop yang dihadiri oleh anggota. Setiap keluarga mewakilkan dua orang dan akan mendapat tiket masuk dari Boui Engo Kai.
E. Promosi Film Bagian dari Seni Iklan 1. Iklan Surat Kabar Surat kabar setempat diterbitkan sampai 3 Maret 1942 dan mulai dimbil alih oleh jepang pada 7 Maret 1942. Sendenhan mengambil alih juga To-indo Nippo [Harian Hindia Belanda], yakni satu-satunya surat kabar berbahasa Jepang yang ada di Indonesia sejak sebelum Perang. Dengan memanfaatkan kantor dan percetakan (kemudian hari pindah ke bekas kantor perusahaan surat kabar berbahasa Belanda Jaw Bode), mereka menerbitkan nomor perdana surat kabar Sekido Ho [Berita Katulistiwa] pada 9 Maret 1942. Surat kabar ini memuat warta berita dari siaran Tokyo sebagai berita utama.297 Kemudian, pada tanggal 3 April 1942 Sekido ho diubah namanya menjadi Unabara [Samudra], dan surat kabar ini 297
Michida, Tatakau, hlm. 195-197.
clxxxiii
terbit sebanyak 230 nomor sampai 6 Desember 1942. Dalam surat kabar ini, Pemimpin Sendenhan Machida yang cukup perhatian kepada menulis esai berseri tanpa nama (no.60 – no.188) selain menulis puisi (no.31). Sejak terbitnya Unabara ini, kegiatan berpropaganda menjadi lebih terorganisasi dan pengkontrolan terhadap segala media masa mulai diperkeras. Sebagai kebijakan pemerintah militer, segala organ opini masyarakat di jawa diberhentikan untuk sementara dan kemudian diberanguslah sebagian besar surat kabar yang terbit di Jawa tanpa kejelasan atas delik apa. Menurut I. J. Brugmans dan kawan-kawan,298 terdapat delapan surat kabar berbahasa “Melayu” yang diterbitkan (kembali) pada masa itu. Pertama-tama, diterbitkan Asia Raya 29 April 1942. Selain itu, di Batavia terbit juga pembangoen sebagai pengganti Pemandangan dan Kung Yung Pao yang melanjutkan Hong Po yang dahulu. Tidak lama kemudian, pada 1 juni1942 Tjahaja diterbitkan di Bandung. Sesudah itu, Sinar Matahari terbit di Yogyakarta sedangkan Sinar Baroe diterbitkan di Semarang. Di Surabaya pada 17 Juni 1942 Soerabiasch Handelsblad [Surat Kabar Perniagaan Surabaya] dipaksa untuk selanjunya diterbitkan dalam bahasa “melayu” dengan nama Pewarta Perniagaan. Kemudian, di Surabaya Juga terbit Soeara Asia yang akan menyerapa Pewarta Perniagaan.299 Menurut Omisawa, kepala Seksi surat kabar Sendenhan, pernyataan atau pembredelan surat kabar tersebut dimaksud untuk mempermudah pengawasan
298
Brugmans, dkk., op.cit., hlm. 200.
299
Selain Koran-koran tersebut, ada juga Koran illegal. Salah satunya adalah Merah Putih di Surakarta, Tanoguchi, “Janarisuto”, hlm. 291., Wartini Santoso (ed.), 1984, Katalog Surat Kabar, Jakarta: Perpustakaan Nasional. (Seterusnya dirujuk sebagai Santoso, Katalog Surat Kabar) hlm. X.
clxxxiv
terhadap dunia opini. Katanya, hal itu juga masih merupakan hasil kompromi, karena semula ia berharap hanya satu surat kabar yang ada di Jawa. Namun pengawasan yang ketat mengakibatkan monotonnya semua artikel di surat kabarsurat kabar.300 Tentu saja, kepada wartawan juga diadakan pengawasan. Setelah Jepang menyerah, ditemukan dokumen “Sepuluh perintah untuk Wartawan” di kediaman H Shimizu di Jakarta. Misalnya, perintah ke delapan dari dokumen tersebut berbunyi, “Ia (wartawan) harus sama sekali berusaha untuk melaksanakan slogan ‘Asia untuk orang Asia’ dan harus sadar mengenai tugas hati untuk kemerdekaan Asia Timur Raya.”301 Dari Bandung U. Tomisawa pindah ke Batavia. Namun, ia bingung harus memulai dari apa. Abdullah Alatas,302 seorang indo Arab yang menjadi asisten setia Tomisawa di Bandung menyarankan untuk membuat surat kabar berbahasa Indonesia. “dan, kalau bikin, namanya lebik baik Asia Raya saja,” lanjutnya.303 Tomisawa yang sudah mengkhawatirkan monotonnya artikel di surat kabar tadi langsung menyetujui idenya. Tomisawa sadar bahwa lebik baik mengkontrol dari dalam dari pada menekan dari luar. Lalu ia merundingkan ide tersebut dengan ahli percetakan Toshio Kurosawa yang mengelola bekas pabrik percetakan Jawa Bode. Ide itu langsung disetujui A.Asano, Y.Nakatani, T.Ichiki, H.Shimizu, dan filsuf Norio Shimizu juga mendukung. Kemudian, Tomisawa memilih pemimpin
300
Tomisawa, “Genchi-ji Shibun (Koran Bahasa Stempat)” dalam Majalah Bungei Nihon (Juni 1944), (Seterusnya dirujuk sebagai Tomisawa, “Genchi-ji”)., Kartini Santoso (ed.), 1983, Katalog Terbitan Indonesia Pendudukan Jepang 1942-1945, Jakarta: Perpustakaan Nasional, hlm. iii. 301
Brugmans, dkk., op.cit., hlm. 201.
302
Tomisawa menulis esai berseri mengenai Alatas yang berjudul “Indonesia no Asa (Pagi Harinya Indonesia)” dalam surat kabar Tokyo Asahi Shinbun (19-23 Januari 1943). 303
Tomisawa, “Jawa”,hlm. 101., Asano, hlm. 147.
clxxxv
Parindra (partai Indonesia Raya) Soekadjo Wiliano Poeranoto sebagai editor kepala. Akhirnya Asia Raya diterbitkan oleh Sendenhan pada 29 April 1942, bertepatan dengan tenchu setsu (hari kelahiran kaisar Jepang). Tomisawa menjadi presiden direktur Asia Raya. Alatas menjadi direktur operasi. Sementara, itu pemimpin redaksi adalah Ichiki; penulis editorial adalah Oya, Asano, Tomisawa, da N.Shimizu; penerjemah adalah Y.nakatani, Sanoesi Pan, Boetami, A.Oki juga ikut membantu Tomisawa. Tomisawa menulis artikel di nomor perdana yang berjudul “dari Hati ke Hati’ (terjemahan Y.Nakatani).304 Katanya, di Singapura sampai-sampai
diterbitkan
“tanda
bukti
rakyat
baik
(ryminsho)”
yang
membuktikan si pemilik adalah rakyat yang kooperatif pada Jepang. Asia raya ini “terjual laris sebagai semacam jimat, karena kalau membawa itu orang tersebut pasti dianggap pro Jepang.”305 Selain surat kabar, perusahahaan Asia Raya juaga menerbitkan buku-buku. Menurut catatan Kitahara, pada saat 10 Juli 1942, sudah diterbitkan sebuah kamus Jepang-Indonesia susunan abe serta sebuah bacaan bahasa Jepang karya Asano dan sedang dicetak kumpulan sajak oki.306 Pada 3 September 1942 Sendenhan menunjukkan haluan dasar tentang pengkontrolan terhadap surat kabar dalam “konsep Pengawasan Sura Kabar Pusat [Chuo shinbun Tosei An]”.
Dengan ini mereka memperkuat pengontrolan
terhadap surat kabar bahasa Jepang, bahasa Indonesia, maupun Bahasa cina.307
304
Tomisawa, Jawa, hlm. 98-107, 109-111, 119-120, 143., Tomisawa, “Genchi-ji”, Asano, Ensei, hlm. 151., Asano, Jawa, hlm. 60-69., Machida, Tatakau, hlm. 199, 201-207. 305
Ibid., hlm. 206-207.
306
Kitara, Uki, hlm. 64., Mengenai buku Asano yang berjudul Nippon-go no Hon, Asano, Jawa, hlm. 108-125, 174-181.
clxxxvi
Sementara itu, pada 10 September 1942 Markas Besar Kekaiaran memerintahkan perusahaan surat kabar Jepang, Asahi Shinbunsha, mengenai halauan untuk mengemudiakan surat kabat berbahasa Jepang di Jawa dan membimbing surat kabat setempat : Dengan memanfaatkan pengalaman serta kemampuan anda hingga kini dan memberikan tenaga kerja, bahan material, serta dana, diharapkan untuk mendirikan dan mengelola sebuah perusahaan surat kabar dibawah pengawasan Militer; berbakti pada pelaksanaan pemerintahan militer setempat; berusaha supaya kebudayaan Jepang berekspansi dan bersemarak; menyuluh orang Jepang setempat dan mendidik orang jepang setempat; membimbing atau langsung mengeelola surat kabat berbahasa setempat maupun asing.308 Dengan keluarnya perintah ini, Asahi Shinbunsha akan menerbitkan surat kabar yang bernama Jawa Shionbun [Surat kabar Jawa] pada 8 Desember mengingat kao Sai (ulang tahun pecahnya Perang Asia timur raya) pertama.309 Tidak lama kemudian, pada 16 Desember 1942 didirikan Jawa Shinbukai yang mengontrol masalah persurat kabaran di Jawa atas inisiatif Asahi Shinbusha.310 Setelah urusan persurat kabaran diserahkan kepada Asahi Shinbunsha,
sejak
1
januari
1943
Jawa
Shinbunsha
memulai
usaha
penyebarluasan bahasa Jepang dengan menerbitkan majalah dwi-bahasa (bahasa Indonesia dan Jepang) Djawa Baroe.311 Sejak 1 Januari 1944 mereka juga
307
Sendenbu, “Chuo Shibun Tosei An (Konsep Pengawasan Surat Kabar Pusat)” (tulisan tangan), 3 September 1942, (The Nishijima Collection, (JV24), Machida, Tatakau, hlm. 199. 308
Ibid., hlm. 197.
309
Jawa Nenkan, hlm. 176. Mengeni alas an mengapa Asahi Shinbunsha yang ditunjuk sebagai pengelola surat kabar di Jawa, baca Taniguchi, “Janarisuto”, hlm. 273-274. 310
“Osamu Seirei (Oendng-oendang Osamu) No.51” dalam Osamu Kanpo (No.13), hlm. 2-3. atau “Osamu Serei No.51” dalam Kan Po (No.32), hlm. 4-6. 311
Machida, Tatakau, hlm. 199., Dalam penyebarluasan bahasa Indonesia, Jawa Shibunkai juga berperan penting. Taniguci, op.cit., hlm. 286-291. Selain itu, lembaga itu membawa perubahan dalam pengejaan bahasa Indonesia, yaitu dari “oe” ke “u”, Ibid., hlm. 281282.
clxxxvii
menerbitkan surat kabat mingguan Kana Djawa Sjinboen [Surat kabar Jawa berhuruf Kana], “dengan maksud menjebarkan bahasa Nippon jang benar.”312 Salah satu hal penting yang menyangkut persurat kabaran selain isi berita yang selalu dikontrol oleh Pemerintah Jepang adalah mengenai kebijakan tentang iklan didalam surat kabar yang harus dipersetujui oleh dewan redaksi.313 dari kebijakan tersebut termuatlah berbagai macam iklan yang tampil dalam surat kabar. Diantaranya adalah iklan perekrutan kepegawaian pemerintah, berbagai macam iklan komersil untuk umum, dan iklan tentang Penyelenggaraan Film waktu pemutaran dan tempat diputarnya film. Maka dijadikanlah surat kabar sebagai alat promosi yang paling tepat untuk mengenalkan Film. Dapat dikatakan bahwa untuk mengenalkan tentang film harus adanya daya pendukung yang sesuai sebagai alat promosi yang tepat walaupun kadang kalanya
dilakukan
dengan
alat
pengeras
suara
sebagai
pemberitahuan
pengumuman tentang film. Tentu saja ini adalah cara tepat Jepang mengiklankan film sebagai alat promosi yang tepat . Misalnya, dalam surat kabar Asia Raya dan surat kabar lainnya yang ada di Jawa, hampir disetiap nomor dimuat iklan dan artikel synopsis singkat tentu saja di tambahi gambar tentang film-film yang akan diputar. 2. Peran “Pasukan Kuas” Di Sendenhan Seksi seni rupa di Sendenhan disebut “pasukan kuas (efude butai)” oleh Machida. Perkataan ini menunjukkan bahwa seksi ini terutama bertugas di bidang
312
Iklan “Kana Djawa Sjinboen” dalam Daja Baroe (no.24. 15.12.2603), hlm. 8., Dengan adanya iklan ini, diketahui adalah salah satu ingatan bahwa machida berkata Kana Djawa Sjinboen diterbitkan sejak 8 Desember 1943. lihat Machida, Tatakau, hlm. 199. 313
Kan Po no. 14 tahoen ke II Boelan 3-2603
clxxxviii
lukisan bukan ukiran. Di Batavia, meraka melukis dalam berbagai bentuk, misalnya poster, kartu pos gambar, ilustrasi di buku, latar sandiwara, perangko, rambu, reklame, papan nama, desain bungkusan barang kebutuhan sehari-hari, dan lain-lain. Bahkan mereka juga membuat buku pelajaran bagi orang Indonesia.314 Oleh karena lukisan-lukisan yang telah disiapkan di Jepang dan Taiwan ditenggelamkan oleh kapal perang Amerika, Huston, maka anggota Seksi seni rupa sendenhan mendarat di Banten dengan tangan kosong. Meskipun demikian, dalam perjalanan ke Batavia, mereka sempat menggambarkan lukisan dinding di berbagai tempat. Paling aktif pada waktu itu adalah komikus Ryuichi Yokoyama dan Saseo Ono.315 Di dinding-dinding bangunan, ditulis besarbesaran”BELSATOELAH [sic] BANGSA ASIA!” Orang Indonesia yang melihat tulisan itu berteriak-teriak “Hidoep Nippon!” dengan mengangkat jempol. [..] Semboyan tersebut tentu maih bersifat agak murni pada awal perang Asia Timur Raya. Memang pembangunan “lingkungan Kemakmuran Bersama Asia timur Raya” itu cita-cita yang eenaknya(?), tetapi pemikiran untuk membebaskan penjajahan Eropa dan membimbing mereka untuk menentukan jalan meraka sendiri itu masih berkuasa sampai menjelang perang. Misi Sendenhan juga menitik beratkan pemikiran seperti itu, maka wajar saja pertam-tama kami memasang semboyan tersebut. Akan tetapi “bantulah jepang sepenuhnya untuk pelaksanaan perang.” Walhail, Sendenhan menghadapi dilemma seperti buah simalakama.316 Para “Pasukan Kuas” membuat Poster-poster itu dibuat semenarik mungkin dengan gambar secara besar-besar dan permainan warna mencolok sehingga memikat yang melihat. Poster-poster film itu juga dibuat dengan tujuan
314
Machida, Pasukan Budaya yang Berperang.op.cit, hlm238-240.
315
Ibid, hlm.236.
316
Machida, “Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena, op.cit. hlm.182-
183.
clxxxix
mempropagandakan para pemuda untuk bergabung mendaftar Peta. Sebuah poster yang sangat popular dan sering dimuat disurat kabar dan majalah adalah poster yang menggambarkan seorang prajurit bersenjata dan biasanya di dalamnya terdapat tulisan yang bertemakan mengajak, misalnya “Berjoeang Tentara Pembela Tanag Air, Ikoetlah”.317
F. Seni Sebagai Media Perlawanan Terhadap Propaganda Jepang Sejak kedatangan di Indonesia, pemerintah militer Jepang menyadari bahwa selain pers bumiputera, seni merupakan media yang efektif untuk propaganda. Oleh karena itu yang dicetuskannya yang bertujuan untuk menarik simpati rakyat Indonesia dan kepentingan menghadapi peperangan, seni juga dijadikan sebagai salah satu media untuk menyampaikan program-progaram itu. Dalam konteks ini, seni berperan sebagai pendukung program pemerintah militer Jepang. Banyak kemasan seni propaganda diciptakan oleh seniman-seniman yang tergabung dalam Sendenhan dan Keimin Bunka Shidosho. Selain itu, oleh karena adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah militer Jepang terhadap karyakarya yang diciptakan oleh seniman-seniman Indonesia, juga muncul seni yang bernuansa mendukung propaganda jepang, tetapi sebenarnya juga memuat kepentingan bangsa Indonesia. Hal ini terjadi karena Keimin Bunka Shidosho selain menjadi alat propaganda pemerintah militer Jepang, juga dimanfaatkan oleh seniman-seniman Indonesia untuk membahas cita-cita kemerdekaan. Artinya, Keimin Bunka Shidosho memiliki fungsi ganda yang sebenarnya bertolak belakang, yaitu menjadi alat Jepang untuk kepentingan perang, dan sebaliknya
317
Djawa Baroe, 1 Oktober 1943.
cxc
juga menjadi alat bagi seniman nasionalis untuk secara illegal dan sembunyisembunyi memanfaatkannya untuk kepentingan kebangsaan Indonesia.318 1. Keimin Bunka Shidosho Tibalah waktoenja mengembangkan kesenian dan keboedayaan bangsa Toean dengan seloeas-loeasnja sebagai keboedajaan bangsa Timoer. Dari “selintas Kesan Waktoe Pemboekaan kantor “POESAT KEBOEDAJAAN” (1943) Rintaro Takeda Sudah tiba musim gugur (1943) dimana selain semua yang berbakti pada pemerintah militer, satu pohon atau satu rumput di Jawa pun harus menyerbu dengan menjadi bola api.319 dari Jawa Nenken : kigen 2604-nen Jakob Sumardjo320 dan Pamusuk Eneste321 menulis bahwa Keimin mengadakan sensor. Tamabahan pula, Sumardjo menuliskan Keimin mengelola majalah Djawa Baroe. Jelanya, kritikus sastra ini merancukan Keimin, Kenetsuhan (Barisan Sensor), dan Jawa Shinbunsha. Pertama, Keimin tidak mengadakan sensor melainkan hanya seleksi. Seperti sudah diuraikan di subbab “Lahirnya Sendanhan”, sensor diadakan oleh Kenetsuhan. Kedua, yang mengelola majalah Djawa Baroe Jawa Shinbunsha, bukan Keimin juga. Sekarang bagaimana kritikus sastra yang lain? Ajip Rosidi menulis sebagai berikut : Para pengarang beserta dengan para seniman lainnya di kumpulkan oleh Jepang di kantor pusat kebudayaan yang dinamakan Keimin Bunka shidosho. Pemusatan para seniman itu tentu saja tidak bisa lepas dari 318
A.B. Lapian, 1988, Di bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, hlm.72. 319
Jawa Nenkan, hlm.25.
320
Jakob Sumardjo, 1992, Lintasan Sastra Indonesia Modern I, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.97. 321
Pamusuk Eneste, 1990, Leksokon Kesusastraan Modern, Jakarta: Djabatan, hlm.93.
cxci
situasi perangdan maksud Jepang sendiri hendak menguasai seluruh Asia dengan semboyan tiga – A. 322 Geraka Tiga A hanya dijalankan di Indonesia dan gerakan itu juga sudah terbubar pada bulan September 1942, berarti tujuh bulan sebelum berdirinya Keimin.323 Jadi, Gerakan tiga A itu tidak ada sangkut pautnya dengan Keimin. Keimin mengumpulkan para seniman dan mereka dipesan untuk membuat karya seni yang seuai dengan cita-cita Jepang.
Ada artikel menarik dalam
Asia Raya. Surat kabar ini memuat artikel berseri yang berjudul “Ichtisar tentang Goensei” sejak tanggal 19 Oktober 1943 selama lima hari. Artikel itu memaparkan haluan-haluan Gunseikanbu di berbagai bidang. Dalam artikel kali ketiga terdapat penjelasaan tentang propaganda. Kutipan artikelnya sebagai berikut dibawah ini: Propaganda dan oesah-oesaha penerangan jang sesoeai dengan politik Goensi berada dibawah penjelidikan sendenboe. Di kota jang besar-besar diadakan tjabang-tjabangnya jang mengoeroes hal2 juga. Tentang soerat kabar, dilima boeah kota jang besar-besar diterbitkan soerat kabar jang menjiarkan kabar harian Indonesia. Di Djakarta diterbitkan seboeah soerat kabar Nippon. Tentang Penjelenggaraan kabar sedaerah-daerah diperkenankan Domei mengawasinja. Disamping itoe ada lagi beberapa soerat kabar Tionghoa jang memenoehi keinginan keinginan pembatja-pembatja bangsa Tionghoa. Adapoen penjiaran radio, dioeroes oleh Hoso kanrikjokoe dibawah penilikan Sedenboe. Pada azanja gelombang pendek dilarang berhoeboeng dengan oesaha memberantas mata-mata moesoeh (Botjo). Sementara itoe di djalan-djalan oemoem banjak dipasang radio oemoem yang memperdengarkan moesik penghiboer jang sehat, pidato dan kabar-kabar jang penting. Sekaliannja itoe amat penting oentoek propaganda radio didaerah Selatan. Tentang gambar hidoep, maka semoea oeroesan jang bersangkoetan dengan itoe ada dalam satoe tangan. Film moesoeh dilarang dipertoendjoekkan- dipertoendjoekkan di gedoeng-gedoeng bioskoep. 322
Ajip Rosidi, 1986, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: Binacipta, hlm.72.
323
Sunu Waaasono juga menulis Gerakan Tiga A adalah sebuah organisasi yang dibentuk pemerintah Jepang pada April 1942 dan dibubarkan pada maret 1943, Sunu Wasono, 1999, “Teknik Propaganda Dalam Sejumlah Cerpen Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang” (skripsi), Depok: Universitas Indonesia, hlm.18-19.
cxcii
Sementara itoe film perkabaran dan gambar hidoep jang baik boeatan Nippon dimasukkan kemari dan dihidangkan kepada Oemoem. Tidak lama lagi gambar hidoep jang di boeat di Djawa di bawah penilikan kita akan dipertoendjoekkan. Tentang sandiwara, kesoesastraan, moesik dan kesenian lain-lain. Keimin Boenka Sidosjo (Poesat Keboedayaan) jang baroe didirikan memegangpimpinan jang terpenting. Toejoean Poesat Keboedayaanitoe memadjoekan keboedayaan asli dari pendjoeroe oentoek menjokong Keboedayaan Asia Raja jang bebas dari semangat perhambaan kebendaaan Barat.324 Dari kutipan diatas diketahui bahwa Keimin memegang peran penting di bidang kesenian. Namun, keterangan mengenai tujuan pendiriannya terlalu singkat. Maka, untuk lebih jelasnya, simak uraian dalam Jawa Nenken : Kigen 2604-nen. Menurut alamanak ini, tujuan pendirian keimin berbunyi sebagai berikut. Adalah hal pokok dalam pembangunan Asia Timur Raya bahwa memberi bimbingan dan pengarahan spiritual yang tepat dan menciptakan dan meresapkan suasana yang cultural dan spiritual dari negara kekaisaran kepada 50 juta jiwa penduduk Jawa yang di tindas oleh kebijakan colonial Belanda selama tiga ratus tahun. Mengingat hal itu, maka untuk memperlancar penyuluhan dan penyadaran terhadap rakyat terutama dari segi seni budaya [Keimin Bunka Shidosho] didirikan oleh Gunseikanbu sebagai organisasi bimbingan pusat pada April 1943.325 Rosihan Anwar menulis, bahwa Keimin dapat dipandang sebagai “praTIM [Taman Ismail Marzuki]” dengan “skala yang berbeda dan suasana iklim yang lain.”326 Tentu saja, Keimin lain sekali dengan TIM. Pada masa itu Keimin disebut Poesat Keboedayaan. Oleh karena itu, hingga kini nama badan tersebut lazim diterjemahkan sebagai Pusat Kebudayaan. Jika mendengar sebutan itu, maka kita teringat pada Pusat-pusat kebudayaan milik berbagai Negara seperti yang ada di Jakarta, yang didirikan untuk memperkenalkan kebudayaan Negara 324
Asia Raya 21 Oktober 2603, hlm.2.
325
Jawa Nenkan, hlm.167.
326
Rosihan Anwar, Sekelumit Kenang-kenangan Kegiatan Sastrawan di Zaman Jepang (1943-1945)” dalam Budaja Dajaja (no.65. th.VI. Oktober 1973), Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
cxciii
masing-masing dengan menyediakan pustaka atau menyelenggarakan acara budaya. Pusat-pusat kebudayaan itu bertujuan untuk memperlancar saling pengertian antar negara. Namun, Keimin bukan pusat Kebudayaan semacam itu. Jika kita menilik sebutan dalam bahasa Jepang itu kata demi kata, maka terbuka kedoknya. “Keimin” berarti ‘penyuluhan rakyat’; “bunka” berarti ‘kebudayaan’ dan; “shidosho” berate ‘kantor bimbingan.’ Jadinya “Kantor Bimbingan Kebudayaan untuk Penyuluhan Rakyat.” Nama (yang sebenarnya) ini dengan jelas menunjukkan bahwa badan tersebut didirikan atas kesadaran merendahkan dan kepemimpinan orang Jepang terhadap orang Indonesia. Pada masa itu diberitakan bahwa Keimin didirikan atas kemauan orang Indonesia.327 Ketika ditanya tentang Keimin, Mantan kepala Seksi propaganda Sendenbu H.Shiminzu menjawab sebagai berikut. Bukan Jepang [yang mendirikan Keimin] sama sekali. Hal ini permintaan dari pihak Indonesia dan Indonesia yang mendirikannya. Tapi, jika oranng Jepang tidak ikut maka pemerintah mmiliter Jepang tidak mengijinkan. Oleh karena itu, akhirnya semua orang [Jepang di Sendenbu] juga ikut mendirikannya.328 Akan tetapi, mantan Kepala kantor Besar Keimin S. Oya menjelaskan bahwa supaya suatu obyek propaganda
tidak ketahuan sebagai propaganda, maka
propaganda terhadap orang Indonesia lebih efektif jika dilakukan oleh orang Indonesia sendiri dari pada orang Jepang. Oleh karenanya, “tidak usah dijelaskan lagi bahwa tujuan utama [pendirian Keimin] adalah untuk melakukan penyelidikan,
327
pendaftaran,
penyusunan,
dan
pembinaan
propagandis
Artikel “Keimin Bunka Shidosho” dalam Jawa Shinbun (no.86. 4 Maret 1943), hlm.1.
328
Hitoshi Shimizu, 1991, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian: Indonesia di Bawah Pendudukan Jepang), Tokyo: Ryukei Shosha, hlm.318.
cxciv
Indonesia.”329 Jadi pernyataan Oya-lah yang benar sedangkan rupanya H Shimizu berusaha mutupi kenyataan. 2. Seni Sebagai Wahana Penyampaian Aspirasi Bangsa Indonesia Walaupun seni dijadikan sebagai media propaganda oelh pemerintah militer Jepang, merupakan suatu yang tidak dapat dielakan apabila seni juga dijadikan sebagai media penyampaian aspirasi bangsa Indonesia. Namun demikian, jelas ada perbedaan corak diantara keduanya dalam hal penyampaian pesan. Sebagaimana telah terbukti, propaganda pemerintah militer Jepang bersifat eksplisit, sedangkan penyampaian aspirasi bangsa Indonesia pada umumnya dilakukan tidak secara eksplisit, karena adanya pengawasan dari pemerintah militer Jepang dan pemerintah militer Jepang belum memberikan peluang untuk tumbuh kembangnya kesadaran nasional dan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi, seiring dengan adanya perubahan situasi politik dan militer pemerintah militer Jepang, corak penyampaian aspirasi bangsa Indonesia juga mengalami perubahan. Bahkan, meskipun sangat jarang terjadi, kritik terhadap pemerintah militer Jepang ada juga yang disampaikan secara tajam dan relative terus terang, dan hal ini dilakukan justru pada awal berkuasanya pemerintah militer jepang, seperti ditunjukan oleh puisi yang berjudul Bunglon yang ditulis oleh Ashar dibawah ini Bunglon Untuk “Pahlawan”ku Melayang gagah, meluncur ramis Menentang tenang, alam samadi Tiada sedar marabahaya Alam semesta member senjata Selayang terbang ke rumpun bamboo Pindah meluncur di padi masak 329
Soichi Oya, dalam Hihon Hyoron Januari 1944, “Daerah Selatan dan Propaganda”.
cxcv
Bermain mesra di balik dahan Tiada satu dapat mengganggu Ach, sungguh puas berwarna aneka Gampang menyamar mudah menjelma Asalkan diri menurut suasana O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara Biar lahirku diancam derita Tidak daku sudi serupa330 Dua baris terakhir sajak diatas, memperlihatkan penilaian dan sikap penyair terhadap sebagai orang Indonesia yang bersedia bekerja sama dengan jepang, sehingga diibaratkan seperti bunglon. Bagi pemerintah militer Jepang, ungkapan ini dapat ditafsirkan sebagai menebar kebencian kepada pemerintah, karena telah menciptakan situasi yang memaksa setiap orang menuruti kemauan pemerintah. Jika mengingat tidak tersedianya ruang dan tempat yang cukup untuk mengemukakan kritik maupun pandangan-pandangan yang dianggap menebarkan kebencian kepada pemerintah militer Jepang, maka pemuatan puisi di atas dalam Asia Raya menjadi aneh dan sulit dipahami. Hal itu bertentangan dengan keadaan umum yang segala sesuatu berlangsung menurut aturan atau ketentuan pemerintah militer Jepang. Sistem pemerintahan militer Jepang yang sangat represif dapat dikatakan menjadi sebab utama ketidakterusterangan para seniman dalam menyampaikan gagasan mengenai penentuan nasib hidup bangsa sendiri. Ketidakterusterangan itu biasanya dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang bermakna ganda dan hal ini dilakukan dengan tujuan berlindung. Misalnya puisi berjudul Lukisan yang ditulis oleh Rosihan Anwar di bawah ini. ……………… Walaupun engkau tidaklah tahu 330
Asia Raya, 28 November 1942.
cxcvi
Tapi di hati kutanam janji Bersaudara kita semenjak janji Sambut tanganku Satu tujuan: Mari bersama menyusun Kemenangan! Lamalah sudah bangsa menanti331 Lirik “mari bersama menyusun kemenangan” dapat diartikan kemenangan Asia Timur Raya. Akan tetapi dapat pula kemenangan untuk Indonesia sebagai “bangsa yang telah menanti”. Melihat pengarangnya, yang dikenal sebagai seorang nasionalis, dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah kemenangan untuk Indonesia. Usaha membangkitkan kesadaran di kalangan masyarakat melalui puisi juga dilakukan melalui tema kepahlawanan. Ada suatu kecendrungan bahwa kepahlawanan merupakan tema yang sering diangkat oleh para penulis puisi, sehingga puisi yang bertemakan kepahlawanan cukup mendominasi puisi-puisi yang dimuat dalam surat kabar dan majalah. Salah satu contohnya adalah puisi yang ditulis Mahatmanto berjudul Arwah Pahlawan Perang sebagai berikut: Arwah Pahlawan Perang Menggerbak marak kembang kemoening Goegoer berhamboer di atas boemi Alam keliling tentang dan hening Menarik hati oentoek samadi Sekar bertebar di sekitar pagar Pagar poesara Kemegahan Poerba Poesara koejoe kembali segar Oleh taboeran beriboe kesoema Wahai Arwah Pahlawan Perang Mati berkoerban dalam berdjoeang --Toean taboeri loekisan sedjarah --Toean bawakan kenangan megah Oentoek mengembalikan semangat mojang Nan menggetarkan hati moesoeh penjerang 331
Budi Susanto, 1994, Politik Penguasa dan Siasat Pemoeda: Nasionalisme dan Pendudukan Jepang di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, hlm.137.
cxcvii
Dadakoe penoeh, hatikoe megah Mendapat semangat poesaka mojang Semangat ksatria: Berani, Tabah Ta takoet mati dalam berdjoeang Boekan kami meloepakan tambo Kami kenangkan Djohan Pahlawan Imam Bondjol, Pangeran Diponegoro Padahal soedah oentoek teladan… Dirgahajoe oesahamoe toean… Tanaman semangatmoe soeboer merindang Kami poepoek bersama sesaudara Agar kemakmoeran lekaslah dating!332 Ada kesadaran di kalangan penyair bahwa keadaan pada masa Jepang mebuat orang sulit menentukan sikap berkaitan dengan masa depan bangsa. Dalam hal ini, Mahatmanto tampaknya ingin mengatakan bahwa sikap yang telah dipilih oleh para pahlawan dapat dijadikan inspirasi untuk mengambil sikap yang serupa. Memanfaatkan puisi sebagai media untuk menyampaikan aspirasi penyair atau membangkitkan kesadaran nasional tidak hanya dilakukan dalam bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa Jawa. Puisi Kekasihku… karangan Subagijo I.N menyampaikan kerinduan pengarangnya, yang diharapkan juga kerinduan semua orang Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia. Pengarang puisi ini menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia menjadi bangsa yang mandiri. Selengkapnya adalah sebagai berikut: Kekasihku…. Layoe lesoe atmaku pindha taru, Ngantu-antu nunggu tekamu, Aclum alum tumiyung malengkung, Kucem surem tanpa sunar menguwung, 332
Pandji Poestaka, No. 7 Th XXII.
cxcviii
Prandene…. Dinane wus manjalma minggu, Minggune wus dumadi candra… Aku isi ajeg kanthi ninggu saliramu, Nanging pangarep-arepke nora bakal sirna Pangarep-arepkoe isih tetep lana Manehe… Wus dakgambar ing gagasan, Wus daktulis ing pangenthan-enthan… Saliramu teka sarwa nggawa sasmita, Kawibawaning Nusa lan Bangsa. Lan… Sajrone aku cenglungen nganti-nganti, Nora lali daksisihi santi pepuji, Nedel mandhuwur marak Hyang manon Nyuwun supaya kita bisaa sapatemon. Nadyan ta… Wektuna wus tansah lunga teka, Dinane wus ginanti candra… Lan candra musna, kongsi mangsane warsa jana, Saliramu meksa during ana! Nanging pangarep-arepku nora bakal sina Jer… Ing telenging pengangen-angen, Banget anggonku kapang kangen, Kepingin weruh wujudmu kang sanyata, Dhuh kekasihku… Kamardikaning bumui Nusantara!!!333 Meskipun pesan dalam puisi di atas disampaikan secara tersamar, tetapi pada lirik terakhir diungkapkan secara tegas, yaitu kemerdekaan Nusantara. Seperti puisi Bunglon, puisi ini juga lolos sensor sehingga dapat dipublikasikan melalui media massa. Ada kemungkinan hal itu disebabkan karena redaksi Panji Poestaka “kebobolan”.334 Sejauh didasarkan pada sumber-sumber yang berhasil ditemukan, puisi ini merupakan satu-satunya karya sastra yang dipublikasikan 333 334
Panji Poestaka, No. 22 Th XXII, 15 September 1944. Suripan Sadi Sutomo, 1997, Sosiologi Sastra Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.86-88.
cxcix
pada tahun 1945 yang mengangkat tema nasionalisme untuk menggugah semangat bangsa Indonesia.335 Puisi diatas menampilkan kerinduan seseorang terhadap kebebasan atau kemerdekaan Indonesia. Melalui puisi Kekasihku penyair menyatakan bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia merdeka menjadi bangsa yang mandiri. Oleh sebab itu, bagi rakyat, kemerdekaan bangsa Indonesia ibarat seorng kekasih, sehingga kehadirannya sangat dinantikan. Puisi diatas memperlihatkan adanya suatu perubahan yang terjadi secara bertahap dalam cara mengemukakan gagasan nasionaslime. Meskipun masih sangat memperhatikan diksi untuk menghindari sensor pemerintah militer Jepang, keberanian untuk menyampaikan pesan utama menggunakan kata-kata yang bermakna lugas mulai tampak. Hal ini bahkan menjadi semakin jelas dalam puisi Chairil Anwar. Salah satunya adalah puisi yang berjudul Siap Sedia yang berisi ajakan kepada kawan-kawan untuk bangkit dengan kesadaran dan mengayunkan pedang untuk menuju dunia baru. Kawan, kawan Dan kita bangkit dengan kesadaran Mencucuk dan menyerang berulang Kawan-kawan Kita mengayun pedang ke Dunia terang Gunseikanbu mendakwa pengarang, bahwa kata-kata “Dunia Terang” dalam puisi diatas dimaknai negeri Jepang, karena kata itu mengacu pada Negara yang menggunakan matahari (terang) sebagai symbol. Dengan demikian melalui puisi itu Chairil Anwar dituduh menganjurkan pemberontakan terhadap Jepang, dan
335
Sri Widati,dkk, 2001, Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern: Priode Prakemerdekaan, Yogyakarta: Gadjah mada University Press, hlm.271.
cc
sebagai akibatnya ia ditangkap oleh Kempetai dan ditahan selama beberapa waktu.336 Karya sastra yang digunakan sebagai media propaganda untuk kepentingan Indonesia tidak hanya berupa puisi, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa, tetapi Novel. Pada masa pendudukan Jepang, hanya ada dua novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan resmi pemerintah militer Jepang. Kedua novel itu adalah Tjinta Tanah Air karya Nursutan Iskandar dan Palawidja karya Karim Halim yang keduanya diterbitkan pada tahun 1944. Tjinta Tanah Air mengisahkan percintaan antara Astia dan Amiruddin di tengah-tengah suasana perang, sehingga mendorong Amiruddin dan kawankawannya ingin menjadi pasukan relawan. Demikian hal dengan Astia yang kemudian mendaftarkan diri sebagai juru rawat sukarela. Mereka akhirnya menikah secara sederhana sebelum berpisah untuk menunaikan tugas. Keputusan untuk menjadi pasukan dan juru rawat sukarela telah membuat orang tua mereka bangga, karena mereka dinilai lebih mencintai tanah air disbanding cinta mereka sendiri. Sementara itu dalam Palawidja dikisahkan tentang perkawinan amalgamasi antara Sumardi dengan Sui Nio, seorang gadis Tionghoa. Kisah Cinta mereka berawal dari aktivitas di Komite Rakyat yang didirikan dengan tujuan meredam konflik pribumi-Cina yang sempat terjadi setelah kekalahan Belanda atas Jepang. Menjelang perkawinan mereka, muncul masalah karena Sumardi ditangkap oleh Jepang dengan tuduhan penghianatan. Namun akhirnya ia dibebaskan setelah tuduhan itu tidak terbukti, dan akhirnya perkawinan antara 336
Poesponegoro dan Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.64.
cci
Sumardi dan Sui Nio dapat dilangsungkan. Setelah menikah Sumardi menjadi anggota Dewan Daerah dan kemudian menjadi anggota Peta, sedangkan Sui Nio menjadi pengawas Gerakan Putri Indonesia dan Cina. Pada kedua novel diatas, pesan yang hendak disampaikan pada dasarnya adalah agar kaum muda mencintai tanah air. Akan tetapi berbeda dengan kecenderungan yang berlaku pada puisi, anjuran mencintai tanah air pada dalam kedua novel itu tidak disertai dengan penyebaran perasaan benci kepada Jepang. Bahkan kedua novel itu menyebutkan bahwa sarana yang digunakan untuk memperlihatkan cinta tanah air adalah melalui keanggotaan sukarela organisasi yang dibentuk Jepang. Tidak berlakunya kecenderungan pada kedua novel ini seperti yang terjadi pada puisi berupa penyebarluasan kebencian kepada Jepang, dinilai sebagai kekecualian dari pola umum yang berlaku pada karya sastra.337 Bentuk kesenian lain yang digunakan sebagai media untuk menyampaikan aspirasi bangsa Indonesia pada masa pendudukan Jepang adalah seni pertunjukan. Salah satu jenis seni pertunjukan yang telah muncul jauh sebelum Jepang dating di Indonesia adalah ludruk. Pada masa pendudukan Jepang perkumpulan ludruk lebih banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah militer Jepang dan secara efektif difungsikan sebagai media propaganda. Akan tetapi, sebagaimana halnya yang terjadi dikalangan penyair, masih ada kelompok ludruk yang tidak selalu mengikuti kecenderungan itu, yaitu Ludruk Organisatie yang didirikan oleh Cak Durasim pada tahun 1933. Ludruk inilah yang rajin merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal pada zaman pendudukan Jepang karena
337
Budi Susanto, op.cit, hlm.134.
ccii
keberanian Cak Durasim mengeritik pemerintahan militer Jepang dengan kidungan Jula-juli-nya sebagai berikut: Pagupon omahe dara Melok Nippon tambah sengsara (Pagupon rumah burung dara, Ikut Nippon tambah sengsara) Akibat kidungan diatas, ketika sedang pentas di desa Mojokerto, Cak Durasim dan kawan-kawan ditangkap yang kemudian dipenjarakan. Sesudah dibebaskan Cak Duarasim meninggal dunia pada bulan Agustus 1944.338 Pada tahun 1944 terbentuk kelompok Sandiwara Penggemar Maya di Jakarta yang dipelopori oleh Umar Ismail, D. Jayakusuma, Suryo Sumanto, Rosihan Anwar dan Abu Hanifah. Anggotanya adalah para intelektual muda, kaum nasionalis, dan professional (ahli fisika, farmasi, dan lain-lain). Prinsip-prinsip yang dipegang oleh kelompok ini adalah nasionalisme, humanism, dan agama. Kelompok ini didirikan
sebagai reaksi terhadap ketidaksenangannya terhadap kerja Pusat
Kesenian yang menurut mereka terlalu dikontrol Jepang. Mengenai hal ini, salah seorang pendiri Maya mengatakan bahwa pembentukan Maya memang terkait erat dengan suasana persiapan kemerdekaan dan Maya hendak menjadikan dirinya sebagai pelopor di bidang kesenian. Berdasarkan hal ini maka Usmar Ismail menyatakan bahwa Maya merupakan gerakan angkatan baru.339 Dalam perkembangannya sebagai kelompok Sandiwara Penggemar Maya menuju sebuah teater nasional, kelompok ini telah mencapai sebuah titik penting, karena tidak hanya menampilkan hiburan, tetapi merupakan ekspresi budaya yang berdasarkan 338
Poesponegoro dan Notosusanto,op.cit,hlm.64,. dan Henricus Supriyanto, 1994, “Sandiwara Ludruk di Jawa Timur (yang Tersingkir dan Tersungkur) dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Th. V, Jakarta: Rasindo, hlm.79-80. 339 Usmar Ismail, 1945, Maya sebagai Gerakan Angkatan Baroe, Koleksi Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, hlm.2.
cciii
kesadaran nasional. Aspirasi-aspirasinya menuju Humanism dan Relgius.340 Hal itu pula yang menjadikan maya sebagai kelompok sandiwara yang paling terkenal. Sebenarnya ada kelompok sandiwara yang lain, yaitu kelompok Sandiwara Angkutan Muda Matahari yang dibentuk oleh Anjar Asmara tahun 1943 dan sebuah kelompok lain yang didirikan oleh Sanusi Pane. Sayangnya informasi mengenai kedua kelompok sandiwara itu sangat terbatas. Menurut Kosim (1998/1999) kedua kelompok ini juga mementaskan lakon-lakon yang mengespresikan kesadaran dan spirasi yang berembang luas pada masa itudengan baik. Upaya mengekspresikan aspirasi kecintaan terhadap bangsa memang tidak dapat diungkapkan secara leluasa melalui lakon-lakon sandiwara atau drama. Drama seperti karya Usmar Ismail yang berjudul Api dan Tjitra yang mengambil tema kecintaan dan pengabdian kepada tanah air, dan karya El Hakim (dr. Abu Hanifah) yang berjudul Taufan di atas Asia, Intelek Istimewa, dan Dewi Rini merupakan pedang bermata dua yang penuh arti bagi bangsa Indonesia. Dalam lakon-lakon drama itu terkandung pesan-pesan untuk mengorbankan semangat nasionalisme.341 Pihak pemerintah militer Jepang menyadari bahwa kelompok-kelompok sandiwara telah disalahgunakan oleh seniman nasional. Sebagai reaksi atas tindakan para seniman nasionalis, pemerintah militer Jepang kemudian mendirikan Java Eiga Kosya yang antara lain bertujuan untuk mengadatapsi kebudayaan yang menjadi tujuan Asia Timur Raya. Salah satu divisi dalam
340
Saini Kosim, 1998/1999, Teater Indonesia, Sebuah Perjalanan Multikulturalisme, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. IX, hlm.185. 341 Op.cit, Poesponegoro dan Notosusanto, hlm.6.
cciv
organisasi berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan ini adalah badan sensor. Sesuai dengan namanya, badan ini bertugas mencegah masuknya dialog-dialog yang mengekspresikan ide-ide nasionalis dan anti-Jepang dalam lakon-laon sandiwara atau drama.342 Konsekuensi dari adanya badan sensor adalah bahwa naskah-naskah yang akan dipentaskan harus diperiksa oleh badan itu, sehingga kelompok sandiwara atau drama sebagai wahana penyampai aspirasi nasionalis menjadi tidak terlalu efektif lagi. Seiring dengan semakin terdesaknya tentara Jepang dalam peperangan dorongan untuk mewujudkan Indonesia merdeka mancapai bentuk yang semakin nyata. Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman yang melodinya diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda I 1928, liriknya kembali menghiasi halaman majalah dan surat kabar.343 Pemuatan ini tentunya bertujuan untuk mengobarkan semangat kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Dalam bidang seni music komponis Cornel Simanjuntak menciptakan lagu Tanah Tumpah Darahku yang menggambarkan rasa cinta kepada tanah air.344 Begitu juga dengan lagunya Maju Putra-Putri Indonesia yang membangunkan semangat kesadaran bangsa Indonesia untuk membangun Jawa baru dalam rangka Asia Timur Raya.345
342
Ibid, hlm.186.
343
Panji Poestaka, No. 18/19 Th. XXII, 15 September 1944: 569.
344
Djawa Baroe, No. 7 1 April 1945, hlm.24.
345
Djawa Baroe, No. 6, 5 Maret 1944, hlm.34.
ccv
Seni rupa turut mengambil bagian pula dalam usaha menyebarluaskan gagasan nasionalisme. Para seniman seni rupa yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho terdiri atas para pelukis seperti Basuki Abdullah, Agus Djajsoeminta, Otto Djajasoentara, Martono Joedokoesoemo, dan Emiria Soenassa. Selama bergabung dengan Keimin Bunka Shidosho, mereka pernah mengadakan pameran lukisan sebanyak tiga kali. Pameran pertama diadakan pada bulan April sampai Mei 1943. Pameran kedua dan ketiga diadakan pada bulan Juni 1944. Pameran pertama dan kedua diadakan di gedung Keimin Bunka Shidosho, sedangkan pameran yang ketiga dilaksanakan di Taman Raden Saleh Jakarta. Dalam ketiga pameran itu, yang ditampilkan adalah lukisan-lukisan yang dimaksudkan untuk membangkitkan dukungan masyarakat terhadap pemerintah militer Jepang. Namun demikian, sebagaimana yang umum dijumpai di kalangan seniman yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho, seniman perupa juga menggunakan lembaga ini sebagai tempat yang mempertemukan mereka dengan seniman lain untuk berkomunikasi dan berdiskusi mengenai masa depan Indonesia. Kecenderungan yang muncul di kalangan seniman perupa kemudian adalah keinginan untuk menjadikan lukisan sebagai sarana membangkitkan kesadaran nasional. Hal ini antara lain ditunjukan oleh kebiasaan penggunaan warna merah yang menggambarkan semangat oleh pelukis S. Sudjojono dalam melukis. Para pelukis nasionalis itu juga berusaha untuk membatasi hubungan dengan seniman Jepang dengan maksud agar mereka tidak menjadi alat propaganda Jepang. Di antara para seniman yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho adakalanya menjalin kerja sama, misalnya Chairil Anwar dan pemimpin Nasional Bung Karno untuk membuat poster heroic berjudul “Bung, Ayo
ccvi
Bung”.346 Tujuan penciptaan poster ini adalah untuk mempropagandakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya penyampaian aspirasi bangsa Indonesia melalui lukisan telah dimulai sejak awal bergabungnya para pelukis Indonesia dalam Keimin Bunka Shidosho. Hal ini tampak pada lukisan Afandi yang sebenarnya diciptakan untuk kepentingan pameran yang antara lain bertujuan untuk rekrutmen romusha. Akan tetapi karena dalam lukisan Afandi romusha digambarkan sebagai orang-orang yang kurus dalam suasana suram, maka lukisan ini ditolak keikutsertaannya dalam pameran.347 Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam suasana yang sangat refresif di bawah pemerintahan militer Jepang, dalam batas-batas tertentu para seniman telah berusaha untuk mengabdikan keahliannya untuk kepentingan Indonesia. Memang tidak dapat disebutkan suatu patokan atau indicator yang agak pasti untuk mengukur keberhasilan seni, baik sastra, seni pertunjukan maupun seni rupa sebagai wahana untuk membangkitkan nasionalisme dalam rangka mencapai kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, dengan meminjam salah satu pendekatan yang cukup popular di kalangan ahli sastra yang disebut pendekatan mimetic (Teeuw, 1984: 50-51), dapat dikatakan bahwa antara seniman, karya seni, dan masyarakat membentuk satu jaringan yang saling mengikat. Dari sini dapat diketahui bahwa gagasan nasionalisme dan keinginan membentuk Indonesia sebagai bangsa merdeka seperti terkandung dalam karya sastra, seni pertunjukan maupun seni rupa bukan satu-satunya factor yang berperan memunculkan nasionalisme
di
kalangan
masyarakat
346
Indonesia.
Runtuhnya
keyakinan
Lapian, dkk, op.cit, hlm.80-81. Claire Holt, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, hlm.286. 347
ccvii
masyarakat Indonesia terhadap Jepang mengenai Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya serta posisi politik Jepang yang semakin lemah akibat tekanan Sekutu dan posisi tawar tokoh nasionalis Indonesia yang semakin kuat harus dilihat pula sebagai factor yang berpengaruh, atau bahkan dominan, dalam mengkristalnya nasionalisme Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakanbahwa propaganda nasionalisme melalui karya sastra, seni pertunjukan, dan seni rupa serta perkembangan keadaan politik merupakan factor-faktor yang terjalin secara sinergis. Berbagai ungkapan yang menyindir dan menentang kebijakan pemerintah militer Jepang melalui seni kemudian menjadi hal yang biasa terjadi. Fenomena ini sesuai dengan pendapat348 yang menyatakan bahwa kesenian memang mempunyai dua fungsi utama dalam kehidupan social politik, yaitu sebagai corong pemerintah kepada masyarakat dan sebagai alat untuk menyampaikan kehendak rakyat kepada pemerintah.
G. Perselisihan Sendenhan Dengan Gunseikanbu Dalam usaha mendekati rakyat Indonesia, para anggota Sendenhan kewalahan karena ulah prajurit Jepang yang malah menjauhkan mereka dari rakyat setempat. Misalnya ulah prajurit Jepang terhadap seorang penari Indonesia. Kekuasaan dan penaklukan sering kali mengandung kekerasan. Contohnya adalah kejadian seperti ini. Untuk mencegah ulah prajurit yang tidak manusiawi seperti itu, mereka sering memberi peringatan dalam berbagai bentuk. Di Taiwan, Sendenhan sudah membuat selebaran (Leaflet) yang isinya antara lain hal-hal 348
Kathy Foley, 1979, SundaneseWayang Golek, Honolulu: University of Hawaii,
ccviii
yang tidak boleh dilakukan di Indonesia. Setelah tahu selebaran itu sia-sia, maka di Indonesia juga mereka tetap berusaha mengingatkan para prjurit Jepang. Misalnya, dalam surat kabar Unabara, mereka memuatkan sederetan kata peringatan sejak 8 September 1942: “Patut ditertawakan yang memukul pribumi karena merasa mereka lebih tinggi. Dialah badut yang menyedihkan” (2/10/1942); “Tinju yang diacungkan diberi saja pada kepala sendiri. Diberilah yang keras” (17/9/1942; “Bolehkah ‘prajurit kedewaan’ yang datang untuk menolong bangsa yang tertindas memukul pribumi?” (9/9/1942); “Berantaslah pemukulan untuk membangun Jawa yang sehat” (8/9/1942).349 Dalam otobiografi, Rosihan Anwar yang pernah bekerja sebagai wartawan Asia Raya mengenang pengalamannya pada masa pendudukan Jepang sebagai berikut: Agaknya di zaman pendudukan Jepang saya mulai sadar akan identitas saya sebagai orang Indonesia. (…) Orang-orang Jepang kerjanya suka main tempeleng terhadap orang Indonesia (…). Saya kebagian pula kemplangan orang Jepang, di kantor Kenpeitai (…). Saya insaf ada perbedaan antara “pihak sana” (Jepang) dengan “pihak sini” (Indonesia).350 Ada sebuah sajak Rosihan Anwar yang rupanya ditulis atas kesadaran seperti itu. Pada tahun 1944, tema sastra mulai beralih. Umpamanya muncul sajak-sajak yang tidak sepenuhnya propaganda, yang sebelumnya cenderung hanya meningkatkan semangat pertempuran, semangat kerja, dan kecintaan kepada tanah air sebagai anggota Asia Timur Raya. Misalnya, sajak “Djarak Beloem Bertitian” (Djawa Baroe 15 januari 1944). Sajak ini mengungkapkan rasa kecewa terhadap pihak Jepang karena ada perselisihan antara si aku lirik yang 349
Unabara Shinbunsha, 1942, Batavia.
350
Rosihan Anwar, 1983, Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi, Jakarta: Sinar Harapan, hlm.99.
ccix
melambangkan pihak Indonesia dan si kau yang melambangkan pihak Jepang, yaitu perselisihan antara rakyat Indonesia yang ingin merdeka dan pemerintah Jepang yang tidak mau memerdekakan Indonesia. DJARAK BELOEM BERTITIAN Pabila koekenang kepoetoesan kata: “Djangan akoe didamping djoega Lekaslah djaoeh berangkat pergi Tiada kita dapat serasi Dialamkoe engkau “asing” Koerasa…” Akoe tersenjoem …piloe mengerti… Tidaklah kautahoe diroendoeng rindu, Seorang penjair diroendoeng rindu, Pabila dihati damba memakoe Kasih tersimpan, sajang terjantoem? Setiap koekenang, semakin koejakin Biarpoen akoe dipinta pergi, Akan tibalah masanja pasti, Kau koeadjar melihat dialam Seni Soepaja kita saling mengerti!351 Secara tersirat, isi sajak ini menyatakan bahwa orang jepang yang seolah-olah membebaskan rakyat Indonesia ternyata adalah pemeras yang bersikap dingin dan angkih terhadap orang Indonesia dan (memang) bukan “saudara tua” melainkan orang “asing”. Menjelang pertengahan tahun 1943, situasi perang bagi Jepang mulai memburuk.352 Memasuki tahun 1944, situasi perang semakin tegang dan tidak menguntungkan pihak Jepang lagi. Bersamaan dengan peralihan situasi tersebut, pemerasan atas segala sumber daya yang ada di Indonesia pun semakin intensif dilakukan untuk menunjang peperangan.353 Lewat penindasan pihak Jepang yang 351
Djawa Baroe (no.2. 15.1.2604), hlm.31.
352
Kenichi Goto, 1989, Kindai Nihon To Indonesia (Jepang Modern dan Indonesia), Tokyo: Hokuju Shuppan, hlm.82-84. 353
Pemimpin Sendenhan Machida membagi masa pendudukan Jepang (di Jawa) ke dalam tiga kurun waktu isertai kebijakan pokok Jepang saat itu: (1) sesaat setelah pendudukan: Jepang menitik beratkan kebijakan tentang sumber daya untuk keperluan perang; (2) setelah situasi perang
ccx
semakin sengit pada waktu itu, si aku lirik “piloe mengerti” niat Jepang yang sesungguhnya - - Jepang sebenarnya tak mau memerdekakan Indonesia - - karena kalbunya “kalboe seorang penjair” yang peka. Memang betul, dalam konferensi di muka kaisar pada tanggal 31 Mei 1943, seluruh wilayah Indonesia sudah ditetapkan sebagai wilayah Jepang. Namun, penentuan ini tidak diumumkan kepada public. Pada bulan Agustus 1944, pihak Jepang semakin terdesak dalam perang. Hal ini ditandai dengan beberapa wilayah yang didudukinya satu demi satu direbut oleh Sekutu ditambah gencarnya serangan Sekutu terhadap negeri Jepang sendiri. Akibatnya situasi perang yang tidak menguntungkan seperti itu, maka pada tanggal 7 September 1944 di parlemen, PM Jepang Koiso berpidato akan memberikan kedaulatan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan ini merupakan pernyataan jepang yang pertama kali menyinggung kemerdekaan Indonesia secara resmi.354 Dapat disimpulkan bahwa sajak “Djarak Beloem Bertitian” yang bertemakan kekecewaan atas pihak Jepang tersebut menggambarkan hati penyair yang tertekan untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia dan rasa benci terhadap Jepang secara terang-terangan. Tertekan karena menyatakan hal-hal seperti itu bisa mengancam nyawanya. Maka, mungkin karena alasan itulah sajak tersebut dipasang pengaman, yaitu kalimat penutup “soepaja kita saling mengerti!”.
memburuk: Jawa menjadi “surga” Jepang memeras habis Jawa (pemerasan itu dilakukan untuk dioper ke seluruh daerah medan perang, tetapi jalurnya sudah ditutup Sekutu, maka mereka yang di Jawa menyelamatkan semua itu untuk diri sendiri); (3) situasi perang sangat memburuk (hamper kalah): Jepang member umpan yang bernama kemerdekaan untuk menjaga kestabilan politik dan melakukan pemerasan terakhir (Machida,op.cit, hlm.200). Dapat diketahui bahwa sepanjang masa pendudukan, Jepang hanya berusaha memperoleh sumber daya. 354
Kenichi Goto, op.cit, hlm.78.
ccxi
Dengan demikian, sajak ini seolah-olah menjadi sajak cinta seseorang yang merindukan kekasih yang menyuruhnya pergi. Menarik perhatian di sini adalah bahwa masa munculnya sajak itu bersamaan dengan atau sedikit mendahuui masa semakin meburuknya keamanan dan terjadinya gerakan anti-perang. Pada bulan Februari 1944, akan terjadi pemberontakan Singaparna.355 Kemudian, sejak bulan April 1944 akan terjadi sederetan pemberontakan petani di kabupaten Indramayu.356 Tidak seperti petani, penyair Rosihan Anwar tidak gegabah langsung mengamuk, tetapi dalam karya yang merupakan penyalur perasaannya, ia berbisik, “Kita lihat saja nanti.” Jadi, penulisan sajak “Djarak beloem Bertitian” ini dapat dianggap juga sebagai “pemberontakan pujangga” atau “pemberontakan ‘dialam Seni’ “ atas penindasan oleh Jepang. Dalam disertasinya, kritikus Umar Junus menyatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang tidak diterbitkan karya berisikan reaksi negatif kepada Jepang.357 Namun, pernyataan ini tidak benar. Selain sajak tadi, sajak “Meminta dan Memberi”358 karya Usmar Ismail juga berisikan reaksi negatif, yaitu keresahan hati atas pemeresan oleh pihak Jepang. Di bawah ini kutipan sajak seutuhnya. Meminta dan Memberi Ah, djika kautahoe resahnya… 355
Aiko Kurasawa, Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang, op.cit, hlm.471-486. 356
Ibid, hlm.486-504.
357
Umar Junus, 1986, Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, hlm.58. 358
Djawa Baroe (no.4. 15.2.2604).
ccxii
Petjahan aloen dikarang kalboe Ta’ kan kau berkata Ta’ kau bertanja, Tapi kau dalam berdiam ‘kan member segala ada, Karena kau tahoe soedah Akoe ta’ kan meminta Melainkan akan member hanja.359 Dalam sajak diatas Usmar Ismail mengungkapkan rasa resah kepada Jepang yang selama itu berkelit untuk menyinggung soal kemerdekaan Indonesia padahal rakyat Indonesia telah memberikan segala-galanya tanpa menolak dan tanpa menuntut apa-apa. Rupanya, ambiguitas inilah yang memungkinkan adanya sajak-sajak yang lolos dari tangan sensor. Sebagai satu kecenderungan, karya sastra itu makin kurang bernilai sastra, makin langsung menceritakan sikon sewaktu ia ditulis. Pada umumnya, sastra Indonesia-Tionghoa, “roman picisan,” dan sastra masa Jepang lebih langsung menceritakan sikon sezaman daripada karya Putu Wijaya, misalnya. Berkenaan dengan masalah ini, yang mencolok pada puisi masa Jepang adalah kedenotatifan bahasa, meski masih ambigu jika dibandingkan dengan prosa. Hal ini bukan akibat kurangnya kemampuan abstraksi penyair, melainkan karena pengharaman makna ganda oleh pihak Jepang guna menyampaikan atau mengajarkan pesan pemerintah tanpa salah pengertian kepada sebagian besar rakyat yang kurang mengenal kode sastra.360 Sebaliknya, misalnya, dalam Djawa Baroe dimuat sebanyak Sembilan belas buah cerpen, tetapi tidak ada yang mengandung reaksi negative kepada Jepang. Karena sifat prosa yang cenderung 359
Djawa baroe (no.4. 15.2.2604), hlm.31.
360
Menurut A. Teeuw, untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai tiga kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dank ode sastra, A. Teeuw, 1991, Membaca dan Menilai Sastra, Jakarta: Gramedia, hlm.12-15.
ccxiii
“menguraikan kadang sampai merenik”361 itulah maka relatif mudah diketahui oleh penyensor Jepang apabila ada pemikiran berbahaya.362 Menyangkut hal itu, perlu diperhatikan adanya teks terjemahan bahasa Jepang pada hampir setiap cerpen dalam Djawa Baroe, dan tidak adanya teks terjemahan pada puisi. Hal ini mingkin dikarenakan kemampuan bahasa Indonesia penerjemah Jepang yang belum sampai dapat memahami “bahasa puisi” yang bersifat ambigu itu. Oleh karena itu, mungkin adakalanya penyensor Jepang juga tidak mampu memahami makna sajak yang berisikan reaksi negatif secara tersirat, sehingga sajak itu lolos sensor, seperti sajak “Djarak Beloem Bertitian” atau “Meminta dan Memberi”. Sebenarnya, selain kemampuan bahasa penerjemah Jepang, ada factor lain, yaitu sikap atau keseriusan mereka. Dalam pembahasan masalah ini, kita akan membicarakan kasus pada cerpen “Koerban Gadis”363 karya Winarno yang patut diperhatikan adalah pengantar dalam bahasa Jepang yang menyertai cerpen tersebut. Pengantar itu salah menerjemahkan judul cerpen tersebut sebagai “Musume ni-taisuru Gisei” yang artinya “Pengorbanan Terhadap Gadis”. Selanjutnya, pengantar itu menjelaskan bahwa cerpen tersebut adalah “cerpen menarik yang menghadirkan dua gadis dan dua pemuda yang berlainan sifatnya.” 361
Rachmad Djoko Pradopo, 1993, Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotika,Yogyakarta: Gadjah Mada UP, hlm.12. 362
Yang menarik adalah cerpen-cerpen yang dimuat pada “masa pemerontakan rakyat Indonesia”. Djawa baroe tiga bulan pertama tahun 1944, diisi dengan empat cerpen terjemahan Jepang, yaitu “Kitjizo Kemedan Perang” Ashihei Hino (1 Januari), “Ditempat Asoeha” Hoemio Niwa (15 Januari), “Batoe” Tetsoekitji Kawai (1 Februari), “Nogikoe” Kan Kikoetji (15 Februari). Sebelum dan sesudahnya tidak muncul karya terjemahan Jepang. Hal ini mungkin karena (1) walupun dipesan karya propaganda, tidak ada pengarang yang mau menulis, atau (2) yang ditulis adalah semuanya mengandung reaksi negative, maka untuk mengisi lubang, dimuat karya terjemahan. Mungkin saja hal ini terjadi secara kebetulan, tetapi memang hal ini menggoda kita unuk mengetahui alasan pemuatan karya terjemahan yang tiba-tiba. 363
Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603).
ccxiv
Padahal cerpen itu mengisahkan satu gadis dan tiga pemuda yang tentu saja berlainan sifatnya. Hal ini bukan salah baca lagi, melainkan mungkin redaktur majalah tersebut tidak membaca cerpen tersebut dengan serius. Masalah sensor tidak diketahui banyak karena terlalu sedikit datanya. Namun, bagaimanapun kesembarangan dan kesembronoan penerjemah tersebut membuat saya meragukan keseriusan dalam penyensoran serta kemampuan berbahasa Indonesia dari petugas-petugas Jepang. Kita tidak dapat memastikan bahwa hal itu tidak pernah terjadi di Kenetsuhan militer. Sehingga diragukan kebenaran lontaran “diadakan sensor yang ketat” dari berbagai pengamat sastra karena lontaran semacam itu tidak pernah disertai penelitian yang mendalam. Jadi, dapat dikatakan bahwa sensor pada masa itu tidak sekeras/seteliti yang seperti diduga selama ini tetapi (sikap) penyensorannya memang keras. Rosihan Anwar menceritakan pengalaman yang mengerikan dan menggelikan semasa ia menjadi wartawan di Asia Raya. Pada suatu ahri ketika saya tinggal sendirian di ruang redaksi, bordering telepon dari Gun Kenetsu Han, sensur militer Jepang. Saya angkat telepon, dan suara kasar menghardik, “Kowe siapa?” Saya marah dipanggil dengan sebutan “kowe”, dan dengan nada sama saya membalas bertanya: “kowe siapa?” “(Sic) Suara dari Gun Kenetsu Han membentak, “Bakeroo,” (Bodoh) Kantan saya menyahut; “Bakeroo” Untung saya cepat insaf sikap saya demikian dapat membawa maut. Dengan buru-buru saya letakkan kembali gagang telepon, saya keluar meninggalkan kantor (…). Keesokan harinya saya dengar ada seorang Jepang datang ke redaksi Asia Raya tidak lama setelah saya pulang (…)364 Bagaimanapun sering terjadinya kekerasan prajurit Jepang terhadap rakyat Indonesia membuktikan bahwa Sendenhan gagal berpropaganda terhadap prajurit Jepang sendiri. Sebaliknya, dapat juga dikatakan bahwa Sendenhan menjadi korban tipuan pucuk pimpinan Jepang yang sebenarnya tidak ada niat sama sekali 364
Rosihan Anwar, op.cit, hlm.123-124.
ccxv
untuk memerdekakan Indonesia. Menurut Atsuhiko Bekkti, mantan kepala Kantor Riset Budaya Daerah Selatan (Nanpo Bunka Kenkyushitsu) di Jawa, ketika tahu niat pemerintah yang sesungguhnya itu, Machida “marah besar dengan perkataan kena tipu”.365 Selanjutnya, Machida juga menceritakan proses peralihan Sendenhan menjadi Sendenbu. Namun, datanya tidak akurat. Katanya, 7 atau 8 bulan setelah pendudukan dimulai (bulan Oktober atau November 1942),
didirikan
Gunseikanbu dan Sendenhan dimasukkan ke badan tersebut. Namanya diubah menjadi Sendenjohobu.366 Dalam bukunya yang sama, ia juga menulis bahwa pada bulan Juli 1942 Sendenhan mnjadi Johobu di Gunseikanbu, kemudian pada bulan Desember 1942 nama Johobu diubah menjadi Sendenbu.367 Dalam hal sebutan dan tanggal tidak ada konsistensi sama sekali. Pada awal bulan Maret 1942 begitu berhasil menduduki Jawa, militer Jepang mendirikan Gunseibu sebagai organisasi pemerintahan pusat dari Gunshireikan (Komandan Militer).368 Kemudian, pada bulan Agustus 1942 baru mereka mendirikan Gunseikanbu (markas besar pemerintahan militer) dan kepalanya yang dirangkap oleh kepala staf Pasukan Ke-16 disebut Gunsekan. Katerlambatan ini terutama disebabkan oleh kejadian bahwa kapal Taiyomaru yang bermuatan seribu orang pegawai yang berangkat dari Jepang diserang kapal selam Amerika pada 5 Mei 1942 dan kira-kira setengahnya menjadi korban. Pada
365
Atsuhiko Bekki, 1991, “Nanpo Bunka no Kenkyu Tazasawatte (Berkecimbung di Bidang Penelitian Budaya daerah Selatan), Tokyo: Ryukei Shosha, hlm.370-371. 366
Ibid, hlm.215.
367
Ibid, hlm.227.
368
Jawa Nenkan, hlm.53,59.
ccxvi
awalnya, di Gunseikanbu ada lima bagian, yaitu Tata Usaha, Keuangan, Industri, Perhubungan, dan Hukum. Kemudian, pada bulan Oktober 1942 ditambah Sendenbu dan bagian kepolisian (Keimubu) dan akhirnya pada bulan Desember 1942 menjadi delapan bagian dengan didirikannya Bagian Dalam Negeri (Naimubu).369 Jumlah pegawai di Gunseikanbu berjumlah 2.158 orang pada saat bulan Oktober 1942 lalu bertambah menjadi 3.692 orang pada saat bulan November 1944.370 Namun, jumlah ini hanya kira-kira seperempat dari jumlah pegawai pemerintah colonial Belanda. Hal ini menujukkan ketergantungan pemerintah militer Jepang kepada pegawai Indonesia. Gunseibu menjadi Gunseikanbu. Sendenhan sudah menjadi bagian dari Gunseikanbu tersebut. Wal hasil perselisihan antara Sendenhan dan pucuk pimpinan militer menghilang? Ternyata tidak. Keluarga besar Mchida tetap “nakal”. Machida sendiri mengaku memang sengaja menyimpang dari garis resmi pemerintahan militer. Perlahan-perlahan saya mengubah arah Sendenhan dari apa yang diniatkan oleh pihak militer kea rah “kemerdekaan Indonesia” (…). Sebenarnya itu bukan suatu haluan propaganda yang baik buat Jepang pada hari kemudian, tetapi setahu saya sewaktu pembentukan Sendenhan, militer masih berhaluan untuk kemerdekaan Jawa (sic).371 Dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen, disebutkan bahwa untuk mencapai ketiga tujuan besar pemerintahann militer, diperlukan dua prinsip utama. Pertama, prinsip
dalam
pelaksanaan
kebijakan
militer.
Diingatkan
bahwa
yang
bersangkutan harus menyesuaikan diri dengan kebijakan militer. Pemerintahan 369
Aiko Kurasawa, Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang, op.cit, hlm 82., dalam buku yang sama (hlm.267) ia berkata lain: Sendenbu ditambah pada bulan Agustus 1942. 370
Ibid, hlm.83.
371
Keiji Machida, 1978, Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena, Tokyo: Fuyoshobo, hlm.180.
ccxvii
militer berbeda dengan pemerintahan sipil, maka ia harus mengutamakan pelaksanaan kebijakan militer daripada perbaikan tingkat kehidupan rakyat, dan demi operasi militer ia juga harus dapat memungkinkan hal-hal yang tidak mungkin pada pemerintahan waktu normal. Kedua, prinsip dalam “bimbingan” terhadap penduduk Jawa. Mengingat penduduk Jawa adalah “sebangsa dan seturunan,” maka yang bersangkutan harus menghadapi mereka dengan kepercayaan dan kasih sayang sehingga dapat mengambil hati mereka dalam arti sesungguhnya.372 Jadi, sikap Machida yang seperti diutarakan dalam kutipan diatas itu jelas berselisihan dengan prinsip pelaksanaan pemerintahan militer. Mengenai peranannya di Sendenhan, Machida sering menyebut dirinya sebagai sutradara drama. Maksudnya, ia yang menyutradarai sebuah sandiwara yang berjudul “Propaganda di Jawa”, sedangkan anggota Sendenhan dapat diibaratkan sebagai para staf di belakang panggung. Dan panggungnya adalah tentu medan perang. Klihatannya, Machida cukup bangga dengan anggotanya yang merupakan orang-orang pintar yang mewakili Jepang pada masa itu. Namun, seperti biasanya orang pintar, mereka sering bertindak sendiri. H. Shimizu menyebut mereka sebagai lone wolf.373 Tomoji Abe menggunakan kata let loose ‘bertindak semaunya’ untuk menyebutkan sikap para “sastrawan semaunya” di Jawa.374 Sementara itu, dengan nada sedikit bergurau, Machida mengecam mereka sebagai “orang-orang menyebalkan yang tidak pernah lalai.” Kepada mereka, Machida sedapat mungkin member kebebasan. 372
Jawa Nenkan, hlm.19-20.
373
Hitoshi Shimizu, 1991, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian: Indonesia di bawah Pendudukan Jepang, Tokyo: Ryukei Shosha, hlm.341. 374
Isao Mizukami, 1995, Abe Tomoji Kenkyu (Penelitian Tentang Tomoji Abe), Tokyo: Sobunsha, hlm.37.
ccxviii
Adapun, salah seorang anggota Sendenhan yang dipilih Machida secara langsung adalah Norio Shimizu. Dalam esai yang berjudul “Senso (Perang)”, ia berpendapat sebagai berikut: Menurut humanis Eropa, perang itu senantiasa merupakan “kejahatan”. (…) mereka hanya mengakui perang secara pasif sebagai “kejahatan yang perlu”. Mereka melakukan perang untuk kepentingan sendiri, dan tidak tahu adanya perang untuk menyelamatkan umat manusia. Mereka tidak tahu adanya perang untuk pembaharuan atas pengorbanan diri. Mereka tidak tahu adanya perang kekaisaran di dunia ini. (…) Inilah namanya perang yang paling humanistis yang jauh melebihi humanisme mereka.375 Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa N. Shimizu membenarkan “Perang Asia Timur Raya” dengan sepenuhnya. Ia adalah seorang anggota Sumera Juku, yaitu perkumpulan para Asiais di Tokyo. Ia membawa juga sebelas orang pemuda dari perkumpulan tersebut sebagai Seinen Kodotai (Pasukan Aktivitas Pemuda)376 tetapi mereka akhirnya dipulangkan dalam tahun 1943 karena pemikiran dan tindakan mereka terlalu radikal.377 Hal ini tidak lain karena pucuk pimpinan Pasukan Ke-16 mencemaskan keberadaan mereka yang secara aktif memicu terjadinya kemerdekaan Indonesia. Mantan Kepala Staf Pasukan Ke-16 Okazaki berkata, “Di Sendenhan terlalu banyak orang sipil.”378 Sebenarnya, AD sama sekali tidak mengandalkan mereka. Okazaki juga mengatakan, “mereka juga diwamilkan agar mereka tahu
375
Keiji Machida, Tatakau Bunka Butai (Pasukan Budaya yang Berperang), op.cit,
376
Machida menyebutnya sebagai Tokubetsu Seinentai (pasukan Pemuda Khusus), Ibid,
hlm.361.
hlm.366. 377
Aiko Kurasawa, Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang, op.cit, hlm.269-270. 378
George S Kanahele, 1977, The Japanese Occupation of Indonesia: Prelude to Independence, Ph.D. Thesis, Cornell University, hlm.92.
ccxix
apa perang itu.”379 Kanahele berpendapat bahwa dapat dikatakan juga korban terbubarnya Gerakan Tiga A bukan orang Indonesia melainkan orang Jepang. Penyebab “kematian” gerakan tersebut adalah keretakan hubungan di kalangan orang Jepang. Lama kelamaan para pucuk pimpinan mulai terganggu oleh keberadaan para pucuk cendikiawan di Sendenhan, yang sikapnya bandel dan angkuh. Agaknya, yang paling bandel adalah kepala Seksi Propaganda Sendenhan sendiri, yaitu Hitoshi Shimizu. Ia sering tidak member laporan dan berkali-kali mendapat perintah pengusiran dari pucuk pimpinan militer.380 Sebuah Lembaga Penelitian Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Waseda berpendapat bahwa tidaklah berlebihan bila dikatakan H. Shimizu adalah inti dalam kegiatan Sendenbu maka Sendenbu mengadakan kegiatan yang mencerminkan sifat Shimizu; tidak jarang menyeleweng dari kebijakan yang ditetapkan oleh Gunseikanbu.381 Ada beberapa pendapat orang mengenai Shimizu yang tertulis yang menceritakan sedikit kepribadiannya. Dalam buku Nederlandsch-Indie onder Japanese Bezetting, dimuat sebuah kesaksian seorang opsir menengah Jepang tentang H. Shimizu seperti berikut. Als ambtenaar was hij zeer onbeschaafd, hij gehoorzaamde de orders niet, had een zeer hoge dunk wan zichzelf en men kon hem geen geheimen toevertrouwen.382 ‘Sebagai pejabat, ia sangat kurang ajar, ia tidak taat pemerintah, sangat sombong, dan orang tidak dapat mempercayakan rahasia-rahasia kepadanya. 379
Ibid.
380
Ibid, hlm.75.
381
Waseda, 1959, Indonesia ni okeru nihon Gunsei no Kenkyu (Studi mengenai Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia), Tokyo: Kinokuniya Shoten, hlm.247-248. 382
Brugmans, dkk, 1960, Nederlandsch-Indie onder Japanse Bezetting: Gegevens en Documenten over de Jaren 1942-1945 (Hindia Belanda di bawah pendudukan Jepang: Data-data dan Dokumen-dokumen selama 1942-1945, hlm.195.
ccxx
H Shimizu sendiri mengaku, “Mungkin saja Gerakan Tiga A bertahan lebih lama kalau saya bekerja sama dengan AD dengan lebih intim.”383 Sementara itu, Mantan Pemimpin Sendenbu Hisayoshi Adachi dan kawan-kawan berkata, “Sikapnya (Shimizu) kadang-kadang eksentrik.”384 Di samping itu, pakar geologi Atsuhiko Bekki yang pernah bekerja untuk militer Jepang di Jawa dengan sarkstis mengatakan mereka tidak cocok dengan H. Simizu, yang dikritik “orang kasar” oleh orang Indonesia.385 Seperti kata Bekki ini, selain di kalangan orang Jepang, Shimizu juga dibenci di kalangan orang Indonesia. Kesaksian dari pihak Indonesia diberikan oleh pelukis S. Sudjojono sewaktu ia bekerja di Keimin. Shimizu bilang, “Sudjojono-san, sebaiknya Sudjojono-san, menggambar Ramayana”. “Boleh, Shimizu-san”, kata saya. “Tapi, Sudjojono-san, orang-orang Indonesia yang jadi monyet-monyetnya, orang Jepang jadi Ramayana”, Kata saya dalam hati, “Bukan main! Kurang ajar Jepang”.386 Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen dengan bangga menulis bahwa pucuk pimpinan betul-betul memegang dan menguasai pemerintahan militer. Katanya, hal ini disebabkan oleh rapinya penyusunan organisasi, persiapan, dan prapenelitian yang matang.387 Penjelasan ini tidak benar terutama mengenai Sendenhan. Machida mengaku, “Tidak ada yang lebih konyol daripada kenyataan bahwa kami menyusun haluan propaganda terhadap orang Indonesia tanpa tahu
383
Kanahele,op.cit, hlm.96., Mengenai episode tentang Gerakan Tiga A, baca antara lain Hitoshi Shimizu, “San-a Undo kara Dokuritsu Yonin made (Dari Gerakan Tiga A sampai Pengizinan Kemerdekaan Indonesia)” dalam Shin Jawa (no.2. Vol.1. 1 November 1944), hlm.2628. 384
Hisayoshi Adachi, dkk, “Report on the Activities of Sendenbu”, (AD 2), hlm.5.
385
Atsuhiko Bekki, op.cit, hlm.375.
386
A.B.Alpian, op.cit, hlm.82.
387
Jawa Nenkan, hlm.21.
ccxxi
perasaan hati mereka.”388 Pada awalnya Jepang berhaluan dasar untuk mengerahkan rakyat Indonesia secara total sambil meningkatkan (mengasut?) kesadaran nasional dan memperkokoh persatuan rakyat Indonesia. Akan tetapi, kesadaran nasional rakyat Indonesia jauh lebih kuat daripada dugaan mereka sewaktu di Jepang. Di bawah pendudukan Belanda, kesadaran nasional bangsa Indonesia sudah timbul meski perlahan-lahan. Ketika Jepang mendarat, keinginan untuk merdeka sudah memuncak. Dapat dikatakan bahwa memuncaknya kesadaran ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh Jepang. Soekarno pernah mengatakan bahwa peristiwa penting yang paling mempengaruhi Asia pada awal Abad ke-20 adalah perang Jepang-Rusia. Nasionalisme yang masih samar-samar tergerakkan atas dasar rasialime oleh kenyataan bahwa orang berkulit putih dikalahkan oleh orang Asia.389 Singkat kata, peristiwa itu menjadi asal mula bahwa orang berkulit putih mulai/sudah kehilangan tuah di Asia yang sudah lama ditindas. Peristiwa ini pun berhasil menghidupkan asa bangsa Asia. Sejak semula Jepang tidak mau memerdekakan Indonesia, paling tidak sampai dapat mengalahkan Sekutu. Akan tetapi, tingginya kesadaran nasional di Indonesia itu membuat mereka terkejut sehingga mereka terpaksa mengubah haluan dasar. Kesalahan tersebut terutama disebabkan oleh persiapan Jepang yang serba tidak matang di segala bidang untuk menghadapi “Perang Asia Timur Raya”. Sudah lama Jepang tidak mengenal adat-istiadat atau sejarah tentang Asia Tenggara sehingga mereka hampir tidak mempunyai bahan propaganda untuk Negara-negara itu. “Peta akurat saja tidak dimiliki oleh Pasukan ke-16 dan Ke-
388
Machida, “Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena, op.cit, hlm.189.
389
Wawasan Kepulauan (no.15. 25 Oktober 1996), hlm.5.
ccxxii
25,” kata Machida.390 Situasi yang berubah-rubag dengan cepat tidak memberi waktu cukup kepada Jepang untuk mempersiapkan diri.
H. Respon Masyarakat Terhadap Aksi Propaganda Jepang Melalui Media Film Sebagai tuntutan pelaksanaan propaganda di Jawa, pemerintah militer Jepang menggunakan ideology Asia Timur Raya. Pemerintah Jepang harus menumbuhkan image rakyat, bahwa bangsa asing datang ke Asia hanya untuk menindas dan mengeksploitasi rakyat di wilayah itu guna memperoleh keuntungan bagi mereka sendiri.391 Sebagai akibatnya, sebagian besar Asia Timur, termasuk Indonesia, menjadi daerah perluasan kekuasaan Eropa dan selama berabad-abad Bangsa Asia mengalami pemerasan ekonomi. Jepang adalah satusatunya bangsa yang berhasil mengusir imperialisme Barat dan menjanjikan kemerdekaan. Misi suci Nippon adalah untuk membebaskan bangsa-bangsa lain di Asia Timur dari penjajahan Barat. Tujuannya adalah untuk menghapuskan pengaruh pengaruh Barat di Asia Timur, dan membangun suasana kesejahteraan yang baru untuk seluruh rakyat Asia Timur, dan membangun suasana keluarga besar. Cita-cita ini hanya dapat dicapai, jika rakyat Asia Timur mengakui kepemimpinan Jepang dan memusatkan seluruh sumber daya untuk bekerja sama dengan Jepang guna memperoleh kemenangan dalam peperangan melawan
390
Machida, Pasukan Budaya yang Berperang, op.cit, hlm.24.
391
Eric Robertson, 1979, The Japanese File: Pre-War Japanese Penetration in Southeast Asia, London: Heinemann Educational Books Limited, hlm.83.
ccxxiii
kekuasaan Sekutu.392 Tanpa kemenangan dalam perang Asia Timur Raya itu, keberhasilan usaha-usaha rakyat tidak akan tercapai. Kerja sama untuk pembangunan Asia Timur Raya tidak hanya dilakukan bidang politik, militer, dan ekonomi, tetapi juga dalam bidang kebudayaan.393 Untuk kepentingan propagandanya, Jepang telah menciptakan berbagai macam cara diantaranya propaganda berbentuk slogan-slogan yang berpengaruh kuat bagi bangsa-bangsa di Asia yang ketika itu masih dalam belenggu penjajahan kuat bagi bangsa-bangsa di Asia yang ketika itu masih dalam belenggu penjajahan bangsa Barat. Slogan yang sangat terkental “Asia untuk bangsa Asia” merupakan spirit propaganda Jepang yang sangat kuat, karena bangsa mana pun akan sangat sulit untuk menciptakan slogan dengan kekuatan yang sebanding. Demikian juga “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” menjadi jiwa propaganda Jepang yang menjanjikan masa depan yang lebih baik. Slogan yang lebih menarik lagi yaitu Hakko Itjiu yang iartikan sebagai “satu untuk semua dan semua untuk satu”,394 meskipun di balik itu sesungguhnya Jepang ingin menyatukan seluruh dunia dibawah satu atap kepemimpinannya. Selain itu Jepang juga memakai media propaganda yang berbentuk “audiovisual”. Selama pendudukan Jepang, media seperti film ditetapkan sebagai alat komunikasi. Fungsinya sebagai hiburan dan seni, karena jika Jepang melakukan propaganda secara kasar akan menyebabkan reaksi negative, dan bahwa semakin tinggi kualitas artistiknya, mungkin efek propaganda akan semakin besar. Oleh karena itu, perhatian Jepang ialah 392
Shigeru Sato, 1994, War, Nasionalisme and Peasants-Java Under the Japanese Occupation 1942-1945, New York: M.E. Sharpe,Inc, hlm.6-17. 393
Kan po, no.14, bulan Maret 2603.
394
Brugmans, dkk, op.cit, hlm.44.
ccxxiv
bagaimana meningkatkan efek propaganda tanpa merusak aspek-aspek hiburan atau artistiknya.395 Melalui usaha-usaha propaganda melalui media film itu, apa yang ingin dikesankan Jepang kepada masyarakat Indonesia? Dengan kata lain, apa tematema utama propaganda, tampaknya ada rencana indoktrinasi politik jangka panjang serta sasaran jangka pendek, dan kegiatan propaganda selama tiga setengah tahun ini diantara keduanya. Sasaran propaganda Jepang sendiri adalah memobilisasikan masyarakat Jawa khususnya demi upaya perang Jepang, dan demi tujuan tersebut masyarakat di propaganda dengan doktrin-doktrin Jepang salah satunya melalui pesan dari Media film.396 Gagasan Jepang mengenai indoktinasi tanpa jelas dalam pertunjukan film yang dikehendaki pemerintah Jepang. Namun, dalam kegiatan propaganda yang sebenarnya, tekanan lebih diletakkan pada tema-tema praktis dengan sasaran konkret. Penguasan Jepang sangat sadar hal ini, secara bertahap mengalihkan kebijakan demi kebijakan , dan sasaran propaganda terus disesuaikan dengan kebutuhan social-ekonomi yang lebih mendesak. Pergeseran penekanan ini dapat dilihat dari perubahan-perubahan dalam tema-tema propaganda yang dikeluarkan Jepang. Selama tahun pertama pendudukan, tema-tema lebih berorientasi ideology.397 Perhatian pemerintah dipusatkan pada usaha untuk member tahu rakyat mengenai keinginan Jepang dalam keterlibatan prang dan dalam
395
Djawa Baroe (no.14. 15.7.1945).
396
Aiko Kurasawa, op.cit, hlm. 241.
397
Ibid, hlm.260.
ccxxv
menduduki Indonesia. Sasaran kegiatan propaganda pada tahap ini ialah untuk mempengaruhi penduduk setempat supaya menyingkirkan perasaan anti-Jepang. Tahun kedua, tema-tema lebih praktis dan materialistis ditambahkan pada tema-tema ideologis ini. Kebutuhan akan eksploitasi ekonomi menjadi perhatian terpenting pemerintahan militer. Dengan kata lain, propaganda Jepang terutama diarahkan untuk meningkatkan semangat peperangan dan semangat kerja rakyat Indonesia. Peubahan mencolok terjadi sejak paruh akhir tahun 1944. Hal ini menyiratkan adanya ketegangan yang meluas di kalangan orang Indonesia dan jepang pada masa itu, serta kebutuhan untuk mengendorkan saraf. Penguasa Jepang mengakui bahwa kehidupan semakin sulit untuk bisa memberikan perangsang kerja, dan kseulitan itu bisa membawa rakyat kepada anti Jepang dan anti peperangan.398 Untuk menangani masalah itu Sendenbu menganggap penting lebih banyak pelayanan hiburan bagi rakyat. Juga ada gagasan di kalangan pemimpin propaganda Jepang bahwa hiburan barangkali merupakan perangsang yang baik bagi peningkatan produksi dan pertahanan nasional. Misalnya disajikan kegiatan bioskop keliling di Jawa,399 sebagaimana sudah dibahas di sub bab sebelumnya. Dalam menjalankan kegiatan propagandanya, penguasa Jepang juga menaruh perhatian atas bahasa yang digunakan. Meskipun ada dorongan terus-menerus oleh pemerintah militer, penyebaran bahasa Jepang di kalangan rakyat sangat lambat, dan hampir sama sekali tidak mungkin memakai bahasa ini untuk
398
Hisayoshi Adachi, dkk, op.cit, hlm.12.
399
Nippon Nyusu Eigashi, 1977, Kaisen Zenya Shusen Chokugo made (Sejarah Film Berita Jepang: Dari Malam Menjelang Pecah Perang sampai Masa Segera Sesudah Peang), Tokyo: Mainichi Shinbunsha, hlm.43.
ccxxvi
berkomunikasi dengan mereka. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia menjadi penting sebagai standar kegiatan propaganda. Film-film dibuat dengan teks bawah pada film dalam bahasa Indonesia. Bahkan rakyat Indonesia sendiri tidak selalui memahami bahasanya dengan baik, karena mereka selalu memakai bahasa daerah mereka sendiri dalam pembicaraan sehari-hari.400 Oleh karena itu, dalam pelaksanaan sesungguhnya kegiatan propaganda, pesan-pesan Jepang harus diterjemahkan lagi dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah setempat. Kalau suatu tim propaganda melakukan perjalanan ke wilayah pedesaan, staf local yang menyertainya harus menerjemahkan pidato dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah stempat, serta meringkas isi cerita film, dengan narasi atau teks bawah pada film dalam bahasa Indonesia, ke dalam bahasa setempat.401 Media film yang dijadikan Jepang sebagai alat propaganda, secara keseluruhan, propaganda bergaya Jepang tampaknya lebih efektif di kalangan kaum tak pelajar, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, jauh dari sumber informasi-informasi. Di desa-desa, pertunjukan yang berbau hiburan sangat diminati dan sangat menarik hati pengunjung yang dipertunjukan oleh tim propaganda film keliling.402 Tentu saja kesempatan ini di manfaatkan sekali oleh Jepang untuk menarik simpatinya. Masyarakat umumnya datang, tertarik oleh adanya hiburan, tanpan kesadaran bahwa mereka akan “diindoktrinasi”. Dalam kegiatan propaganda Jepang melalui media film mempunyai dampak bagi masyarakat dan akan menimbulkan reaksi. Harus dibedakan antara
400
Djawa Baroe (no.12 15.6.1943).
401
Djawa Baroe (no.4 1.9.1943).
402
Ibid.
ccxxvii
reaksi kalangan terpelajar kota dengan massa yang kurang terpelajar. Bagi kalangan kota umumnya lebih akrab dengan berbagai jenis hiburan, pertunjukan film tidak begitu menari bagi kalangan terpelajar dan yang tinggal dilingkukan desa-desa sangat menarik karena bagi masyarakat desa pertunjukan hiburan film adalah hal yang sangat terhibur dan masyarakat desa sendiri selalu haus akan rangsangan hiburan.403 Apa lagi bagi kaum terpelajar dalam hal kualitas artistik serta nilai hiburan, pertunjukan propaganda tidak berdampak, tetapi cukup canggih bagi kaum tak terpelajar. Mengenai dampak dalam meyakinkan khalayak atas pesan propaganda, juga terdapat keanekaragaman. Kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang pengetahuan yang luas karena akses informasi dan bisa memberikan landasan penilaian lebih rasional dan akurat mengenai isi pesan film. Bagi kalangan tak terpelajar, yang kurang akrab dengan info, cenderung menerima propaganda sebagaimana adanya dengan menerimah isi pesan film dengan mentah-mentah.404
403
Djawa Baroe (no.5 1.3.1943).
404
Ibid.
ccxxviii
BAB V KESIMPULAN
Propaganda merupakan salah satu strategi jitu yang dipilih dan dijalankan oleh pemerintah Jepang di Jawa untuk menumbuhkan perasaan dan sikap antisipasi terhadap bangsa Barat. Propaganda juga dimaksudkan untuk membangun simpati masyarakat Indonesia terhadap Jepang. Antusiasme masyarakat Indonesia dalam menyambut kedatangan Jepang merupakan salah satu bukti yang sulit dibantah mengenai keberhasilan propaganda pemerintah militer Jepang di Jawa. Ketika Jepang telah berkuasa di Indonesia, propaganda menjadi bagian yang tak terpisahkan dan integral dengan pemerintah militer Jepang. Untuk menguasai Jawa, Jepang berpegang pada dua prinsip utama yaitu: bagaimana menarik hati rakyat (minshin ha’aku) dan bagaimana mengindroktinasi dan menjinakkan mereka (senbu kosaku). Prinsip ini perlu dilaksanakan untuk memobilisasi seluruh rakyat guna mendukung kepentingan perang dan untuk merubah mentalitas mereka secara keseluruhan. Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibawa kepada pola tingkah laku dan berfikir Jepang, propaganda ditujukan untuk mengindoktinasi bangsa ini agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkunagn Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Betapa propaganda memiliki arti penting bagi Jepang untuk menguasai wilayah dan rakyat Indonesia, sehingga bangsa itu pun telah mempersiapkan sistem propagandanya secara sistematis dan intensif sejak sebelum pelaksanaan invansi ke negeri ini.
ccxxix
Pada awalnya untuk mengurusi propaganda ini, Jepang membentuk Sendenhan (Pasukan Propaganda) yang bertugas untuk membangun dasar dari urusan-urasan seperti penyiaran, pemberitaan, perfilman, penyuluhan rakyat, sandiwara, dan penyensoran dan juga berfungsi sebagai pasukan mengelilingi pulau Jawa untuk menyusun dan mengumpulkan data-data lapangan dan bahan propaganda guna menerapkan konsep propaganda sebagai dasar memobilisasi rakyat. Di antara media
tersebut
penggunaan
film
merupakan
alat
propaganda yang paling efektif. Perkembangan selanjutnya Sendenhan dimasukan ke Gunseikanbu dan dibentuklah departemen khusus yang disebut Sendenbu di bawah Pemerintahan Militer Gunseikanbu. Selain itu Jepang juga membentuk perangkat aturan mengenai propaganda sekaligus sistem dan lembaga-lembaga propaganda. Termasuk dalam hal ini adalah organisasi Nihon Eigasha atau Nichi’ei (Perusahaan Film Jepang) dan Eiga Haikyusha atau Eihai (Perusahaan Pendistribusian
Film)
yang
berfungsi
sebagai
memproduksi
film
dan
mendistribusikan film sebagai bagian dari mesin propaganda pemerintah militer Jepang di Jawa. Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan berbagai
media
tersebut
secara
positif,
terutama
ditekankan kepada media yang mengusik “pendengaran dan penglihatan” (audio visual) seseorang. Media audio visual ini dianggap paling efektif untuk mempengaruhi
ccxxx
penduduk yang tidak berpendidikan dan buta huruf serta haus hiburan. Film mempunyai keunggulan dalam mengekpresikan gambar bergerak yang dapat dengan mudah dimengerti oleh penonton. Hal ini menyebabkan film dengan mudah mendapatkan banyak penggemar. Film merupakan salah satu media propaganda penting pada masa perang. Organisasi Nihon Eigasha atau Nichi’ei dan Eiga Haikyusha atau Eihai inilah yang mendapat kepercayaan untuk menjalankan kebijakan film. Mengenai film-film yang akan diputar, pemerintah pendudukan Jepang sangat hati-hati. Film-film tersebut biasanya isinya disesuaikan pada tema-tema yang mengandung ajaran moral dan indoktrinasi politik yang sejalan dengan keinginan pemerintah, dan film-film itu dikategorikan sebagai film kokusaku eiga (film-film kebijakan nasional). Sedangkan jenis film yang mendapat priotas tinggi ialah film-film yang termasuk ke dalam film documenter, film berita, dan film-film kebudayaan. Untuk menyebarluaskan film-film propaganda tersebut kepada masyarakat, di samping diputar
di
bioskop-bioskop,
Jepang
juga
menyelenggarakan pemutaran film secara keliling yang kemudian dikenal dengan sebutan “layar tancep” (bioskop keliling).
ccxxxi
Selain film dijadikan alat propaganda yang efektif bagi rakyat Jawa, pemerintah Jepang menyadari bahwa seni juga merupakan media yang efektif untuk propaganda yang juga mempunyai tujuan untuk menarik simpati rakyat Indonesia dan kepentingan menghadapi peperangan. Untuk itu Jepang membentuk Keimin Bunka Shidosho atau Pusat Kebudayaan. Pada awalnya Keimin Bunka Shidosho adalah wadah para seniman yang di mobilisasi Jepang untuk kepentingan Jepang sendiri, secara sembunyi-sembunyi dimanfaatkan oleh seniman-seniman Nasional secara illegal untuk kepentingan
kebangsaan
perlawanan
terhadap
Indonesia
propaganda
sebagai Jepang
media menuju
kemerdekaan. Dalam kegiatan propaganda Jepang melalui media film mempunyai dampak atau pengaruh bagi masyarakat dan akan menimbulkan reaksi. Namun demikian dampak atau pengaruh dari media film dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu golongan terpelajar dan golongan tidak terpelajar. Bagi kalangan terpelajar hal ini tidak berpengaruh karena sudah terbiasa akrab dengan berbagai jenis hiburan dan kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang pengetahuan yang luas karena akses informasi dan bisa memberikan landasan penilaian lebih rasional dan akurat mengenai isi pesan film. Hal ini berbeda dengan
ccxxxii
kaum tak terpelajar yang tinggal dilingkukan desa-desa sangat menarik karena bagi masyarakat desa pertunjukan hiburan film adalah hal yang sangat terhibur dan masyarakat desa sendiri selalu haus akan rangsangan hiburan. Apa lagi bagi penduduk yang tinggal di desa-desa film secara alat dan kualitas artistik cukup canggih.
ccxxxiii
DAFTAR PUSTAKA 1. Arsip 45 Tahun sumpah Pemuda.1974. Jakarta. Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta. The Nishijima Collection. (Kumpulan dokumen yang menyangkut pemerintahan militer Jepang yang dikumpulkan Shigetada Nishijima kemudian disusun oleh Waseda Daigaku Okuma-kinen Shakai Kagaku Kenkyujo (Lembaga Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Waseda, Tokyo) pada tahun 1973, Kode yang menyertai dokumen-dokumen berikut adalah kode yang digunakan dalam catalog The Nishijima Collection.) Adachi, Hisayoshi. “Report to Mr. A.P.M Audretsch: Replies of Questionaire Concerning Sendenbu”. 14 April 1947. (AD 3) dan (AD 2). Gunseikanbu. 2604. Orang-Indonesia jang Terkemoeka di Jawa. Jakarta: Gunseikanbu. Okazaki, Seizaburo: Osamu Shudan Gunsekan (Gunseikan Pasukan Ke-16). “Jawa Eiga Kosha no Ken Tsucho (Pengumuman Mengenai Jawa Eiga Kosha)”. 11 September 1942. Sendenbu. “Chuo Shinbun Tosei An (Konsep Pengawasan Surat Kabar Pusat)” (Tulisan Tangan. 3 September 1942. 2. Buku, Karya Ilmiah, dan Artikel Abdul Aziz. 1992. Layar Perak:90 Tahun Bioskop Di Indonesia.Jakarta: Gramedia. Abe, Tomoji. 1944. Hi no Shima: Jawa bari no Ki (Pulau Api: Catatan tentang Jawa Bali). Tokyo: Sogensha. Ajip Rosidi. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta. Anita Kusuma Rustapa. 1997. Bahrum Rangkuti dan Pandangan Dunianya. Jakarta: Balai Pustaka. Ardan, S. M. tanpa tahun. Sejarah Film Indonesia 1942-1950. Jakarta: Sinematek. Asano, Akira. 1944. Jawa Kantei Yowa (Anekdot Tentang Pasifikaso Jawa). Tokyo: Asano, Akira. 1979. Nihon Bungaku Zenshi 6: Gendai (Sejarah sastra Jepang 6: Kontemporer). Tokyo: Gaku To-sha. Aziz. M. A. 1955. Japan’s Colonialism and Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff. Bayu Suryaningrat. 1981. Sejarah Pemerintahan Di Indonesia. Jakarta: Dewaruci Press. Bekki, Atsuhiko. 1991. “Nanpo Bunka no Kenkyu Tazasawatte (Berkecimbung di Bidang Penelitian Budaya daerah Selatan). Tokyo: Ryukei Shosha.
ccxxxiv
Benedict, Ruth. 1967. Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan. Boen Sri Oemarjati. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Djakarta: Gunung Agung. Bruin ,R De. 1970. Het Japanse Militaire Besyuur in Indie, Wajang Nippon, dalam Bericht Van de Tweede Wereld Oorlog, Amsterdam. Uitgeverij Amsterdam Boek B. V. Budi Susanto. 1994. Politik Penguasa dan Siasat Pemoeda: Nasionalisme dan Pendudukan Jepang di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Combs, James E. dan Dan Nimmo. 1994. Propaganda Baru: Kediktatoran Perundingan dalam Politik Masa Kin. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Dahm, Bernhard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3S. Dai Nippon Gunseibu. Juni 1942 Oendang-oendang Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon No. 1-20. Betawi. Dasuki. A. 1982. Indonesia Dalam Perang Pasifik. Jakarta: Mutiara. Deliar Noer. 1982. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3S. Dinas Museum dan Sejarah. Pemerintah DKI Jakarta. 1994. Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta (1750-1945). Djawa Gunseikanboe. 1984. Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa. Yogyakarta: UGM Pers. Djoko Pradopo. 1993. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotika. Yogyakarta: Gadjah Mada UP. Foley, Kathy. 1979. SundaneseWayang Golek. Honolulu: University of Hawaii. Goodman , Grant K.(edit). 1992. Japanese Cultural Policies in Southeast Asia during world War 2. New York: St. Martins Press. Goodman , Grant K.. 1991. Janaese Cultural Policies in South East Asia During World War 2. New York: St Martin’s Press. Goto ,Ken’ichi. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Goto, Goto. 1989. Kindai Nihon To Indonesia (Jepang Modern dan Indonesia). Tokyo: Hokuju Shuppan. Goto, Keinchi. 1993. Hi no Umi no Bohyo: Aru (Ajiashughisha) no Ruten to kiketsu (Batu Nisan di Lautan Api: Perjalanan dan Akhir seorang (Asiais). Tokyo: Jijitsushin. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
ccxxxv
Haris Jauhari (ed.). 1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hayashi, Shireru. 1993. Nihon No Rekishi 25: Taiheiyo Senso (Sejarah Jepang 25: Perang Pasifik). Tokyo:n Chuo Koron Sha. Hayasi, Shigeru. 1993. Nihon no rekishi 25: Taiheiyo Senso (Sejarah Jepang 25: Perang Pasifik). Tokyo: Chuo Koron Sha. Henricus Supriyanto. 1994. “Sandiwara Ludruk di Jawa Timur (yang Tersingkir dan Tersungkur) dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Th. V. Jakarta: Rasindo. Hirano, Ken. “Nihon Bungaku Hokokukai no Seiritsu (Bedirinya Nihon Bungaku Hokokukai)” dalam majalah Bungaku (Sastra) (Vol. 29. Mei 1961). Tokyo: Iwanami Shoten. Hitoshi, Shimizu. 1991. Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian: Indonesia di bawah Pendudukan Jepang. Tokyo: Ryukei Shosha. Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Ichi Goto, Ken. 1987. Sejarah Hubungan Antara Jepang dan Indonesia pada zaman Pra-perang. Japan Review. Ichi Goto, Ken. 1988. “Kehidupan dan Kematian Abdul Rachman”: (1906-1949) Satu Aspek dari Hubungan Jepang-Indonesia” dalam Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Obor Indonesia. Ingleson, John. 1983. Jalan Ke Pengasingan. Jakarta: LPES. Isao, Mizukami. 1995. Abe Tomoji Kenkyu (Penelitian Tentang Tomoji Abe). Tokyo: Sobunsha. Jakob Sumardjo. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern I. Bandung: Citra Aditya Bakti. Jakob Sumardjo. 1992. Perkembangan Teatre Modern dan Sastra Darama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Jawa Gunseikanbu. Nyanyian Pemuda. Djakarta: Balai Pustaka. Jong, L (ed). 1991. Pendudukan Jepang di Indonesia”Suatu Ungkapan Berdasarkan Dokumentasi Pemerintahan Beland. Jakarta: Kesaint Blanc. Kamiya, Tadakata. 1996. Senso to Bungaku (Sastrawan wamil selatan: perang dan sastra). Kyoto: Sekaishiso-sha. Kamiya, Tadataka. 1996. Nanpo Choyo Sakka: senso to Bungaku (Sastrawan wamil Selatan: Perang dan Sastra). Kyoto: Otori Shobo.
ccxxxvi
Kanahele, George Sanford. 1967. The Japanese Occupation Of Indonesia: Prelude to Independence, Ph.D. Thesis. Cornell University. Kartini Santoso (ed.). 1983. Katalog Terbitan Indonesia Pendudukan Jepang 1942-1945. Jakarta: Perpustakaan Nasional. Kitahara, Takeo. 1943. Uki Kitaru: Jawa Jugun-ki (Musim Hujan Tiba: Catatan Wamil di Jawa). Tokyo: Buntai-sha. Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyaraka. Jakarta: P.T. Gramedia. Kurasawa, Aikiro. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan di Jawa 1942-1945. Jakarta: PT. Gramedia. Kuroda, Hidetoshi. 1976. Chishikijin Genron Dan’atshu no Kiroku (Catatan mengenai Penindasan kebebasan Berbicara terhadap Cendikiawan). Tokyo: Shiraishi-shoten. Lapian, dkk,. 1988. Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. Lexy Moeloeng. 1994. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. M.A. Aziz, 1995. Japan’s Colonialism and Indonesia. The Hague: M. Nijhoff. M.C. Rickleff. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press. Machida, Keiji. 1967. Tatakau Bunka Butai (Pasukan Budaya yang Berperang). Tokyo: Hara-shobo. Machida, Keiji. 1978. Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang Militer : Pedang dan Pena). Tokyo: Fuyoshobo. Merton, Robert K. 1957. Sosial Theory and Social Structure. Glencoe. Illinois: The Free Press. Michael,Riff A. Kamus Ideologi Politik Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nagazumi, Akira, editor. 1988. Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nippon Nyusu Eigashi. 1977. Kaisen Zenya Shusen Chokugo made (Sejarah Film Berita Jepang: Dari Malam Menjelang Pecah Perang sampai Masa Segera Sesudah Peang). Tokyo: Mainichi Shinbunsha. Noerhadi Soedarno. 1982. Poetra (Poesat Tenaga Rakyat). Jakarta: Tinta Mas. Nugroho Notosusanto, Desertasi. 1977. PETA Army During the Japanese Occuption of Indonesia (Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang) Jakarta: Universitas Indonesia.
ccxxxvii
Nugroho Notosusanto, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta:Balai Pustaka. Nugroho Notosusanto. 1988. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Yayasan Idayu. Onghokham. 1989. Runtuhnya kekuasaan Di Hindia Belanda. Jakarta: PT.Gramedia. Otani, Koichi. 1982. Hyoden: Takeda Rintaro (Biografi Kritis: Rintaro Takeda). Tokyo: Nihon Hyoronsha. Pamusuk Eneste. 1990. Leksokon Kesusastraan Modern. Jakarta: Djabatan. Pemda Kotamadya TK. II. 1981. Sejarah Kota Bandung Periode Revolusi Kemerdekaan 1945-1950. Post, Peter. 1994. “characteristics Of Japanese Enterpreneurship in the Pre-war Indonesia Economy” dalam Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890’s-1990, J. Th. Lindblad (ed.). Amsterdam. Pringgodigdo. A. K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. Radja Ahli Hadji. “Gurindam” dalam Sutan Takdir Alisjahbana. 1950. Puisi Lama. Djakarta: Pustaka Rakjat. Rendra, W. S. ”Dunia Film Indonesia di Mata Seorang Dramawan” dalam Haris Jauhari (ed.). 1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rendra, W.S 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia. Rintaro Takeda. 1944. Jawa Sarasa (Batik Jawa). Tokyo: Shikuma Shobo. Rita Sri Hastuti, “Berjuang di Garis Belakang” dalam Haris Jauhari (ed.). 1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Robentson, Eric. 1979. The Japanese File: Pre-War Japanese Penetrasion in Southeast Asia. London: Heinemann Educational Books Limited. Robertson, Eric. 1979. The Japanese File: Pre-War Japanese Penetration in Southeast Asia. London: Heinemann Educational Books Limited. Rosihan Anwar. 1983. Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi. Jakarta: Sinar Harapan. Rosihan Anwar. Sekelumit Kenang-kenangan Kegiatan Sastrawan di Zaman Jepang (1943-1945)” dalam Budaja Dajaja (no.65. th.VI. Oktober 1973). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
ccxxxviii
Saini Kosim. 1998/1999. Teater Indonesia, Sebuah Perjalanan Multikulturalisme, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. IX. Sakuramoto, Sakuramoto. 1995. Nihon Bungaku Hokokukai: Dai Toa Senso-ka no Bungakusha-tachi (Nihon Bungaku Hokokukai: para Sastrawan di Bawah Perang Asia timur Raya). Tokyo: Aoki-shoten. Sakuramoto, Tomio. 1993. Bunkajin Tachi no ditoasenso: PK Buati ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju). Tokyo: Aoki-shoten. Salim Said. 1990. Shadowson the Silver Screen: A Social Hostory of Indonesoan Film. (Terjemahan dari Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers. 1982). Jakarta: The Lontar Fundation Santoso Sastropotro, R. A. 1991. Propaganda: Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa. Bandung: Penerbit Alumni. Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: P.T. Gramedia. Sartono Kartodirjo. 1998. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Suatu Alternatif. Jakarta: P.T. Gramedia. Sato, Shigeru. 1994. War, Nasionalisme and Peasants-Java Under the Japanese Occupation 1942-1945. New York: M.E. Sharpe,Inc. Sawarno, Ibu R. “Sekarat di Pasar Bebas” dalam Haris Jauhari (ed.). 1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Seobagijo, I.N. 1980. Sumanang Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung. Seobagijo, I.N. 1983. Mr. Sudjono Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942. Jakarta: Gunung Agung. Shimizu. 1991. Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian: Indonesia di Bawah Pendudukan Jepang). Tokyo: Ryukei Shosha. Shiraishi, Sayadan, Shiraishi, Takashi. 1998. Orang Jepang di Kota Koloni Asia Tenggara. Jakarta: Obor Indonesia. Soebagyo. 1992. Parikan Jawa: Puisi Abadi. Jakarta: Aksara Garda Pustakatama. Sri Widati,dkk. 2001. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern: Priode Prakemerdekaan. Yogyakarta: Gadjah mada University Press. Suripan Sadi Sutomo. 1997. Sosiologi Sastra Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjahbana. 1988. Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. Takasi, Ryuji. 1976. Pen to Senso (Pena dan Perang). Tokyo: Seiko Shobo.
ccxxxix
Tanaka, Junichiro. 1976. Nihin Eiga Hattatsushi (Sejarah Perkembangan Film Jepang) (jilid 3). Tokyo: Chuo Koron. Tanaka, Masaki. 1956. Ajia Fuunroku (Catatan mengenai Pergolakan di Asia). Tokyo: Tokyo Life Sha. Taniguchi, Goro. 1953. “Pena ni Yorite (Bergantung pada Pena)” dalam Hitsuroku Daitoa Senshi: (Catatan Rahasia Sejarah Perang Asia Timur Raya: Hindia Belanda). Tokyo: Fuji Shoen. Taniguchi, Goro. 1991. “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Rescarch Materials on the Japanese Occpation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia. Tokyo: Ryukei Shosha. Taniguchi, Goro. 1991. “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Research Materialis on the Japanese Occupation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia. Tokyo:Ryukei Shosha. Taufik Abdullah. 1993. Film Indonesia Bagian I (1900-1950). Jakarta: Dewan Film Nasional. Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Tomio, Sakuramoto. 1993. Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju). Tokyo: Aokishoten. Tomisawa, Uio. 1944. Hikari no Jawa (Jawa Dalam Cahaya). Tokyo: Doko-sha. Tomisawa. 1943. Jawa Bunkasen (Perang Budaya di Jawa). Tokyo: Nihon Buntai-sha. Turnan, George Mc. 1980. Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka kementerian Pelajaran Indonesia. Umar Junus. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia. Usmar Ismail. 1945. Maya sebagai Gerakan Angkatan Baroe. Koleksi Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin. Wartini Santoso (ed.). 1984. Katalog Surat Kabar. Nasional.
Jakarta: Perpustakaan
3. Surat Kabar, Majalah, dan Almanak Almanak Asia-Raya 2603: Tahoen I. 1943. Djakarta: Asia Raya Bagian Penerbitan. Asia Raya (23.6.2604), (5.7.2604), (21.10.2603), (28.11.1942), (8.6.1942), (19.3.2605), (28.6.1944), (4.6. 2063), (21.5.1945), (16.5.1943), (16.5.1944), (1.2.1944), (11.1.2603), (27.12.1945), (29.1.1945), (8.5.1945), (10.8.1944), (19.3.1945), (5.7.1944), (19.7.2603).
ccxl
Budaja Djaja (no.65. th.VI. Oktober 1973). Djawa Baroe (no.2. 15.1.2604), (no.9 1.5.2603), (no.2 7.15. 1943), (1.10.1943), (no.1 1.3.1943), (no.4 15.1.2064), (no.4. 15.2.2604), (no.8. 15.4.2603), (no.14. 15.7.1945), (no.12 15.6.1943), (no.4 1.9.1943), (no.5 1.3.1943), (no.4. 15.2.2604), (no.13 1.7.2604), (no. 23 12.1.2063), (no.14 15.7.2605), (1.101944), (no.3. 1.2.2064), (no.11. 1.6.2603), (no.14 15.7.2605), (no. 24 15.12.1944), (no. 3, 1.2.1945), (no. 22, 1 agustus 1944), (no. 8 9.1.1943), (no.8. 15.4.2603), (no.12. 15.62063), (29.5.1945), (no.8. 15.4.2603), (no.23. 1.12.2603), (no.14. 15.7.2605), (no.3 1.2.1944), (no.13 1.7.1944), (no.2 15.1.1944), (no.24 15.12.1943), (no.15 1.8.1944), (no. 15 1.8.2603), (3, 1.1.2064), (no. 7 1 April 1945). Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen (Almanak Jawa tahun 2604). Jakarta: Jawa Shinbunsha. (Dicetak kembali Oleh Biblio. Tokyo.1973). Kan Po (no.15),(no.36), (No. 17, 25 April 1943), (No.13) atau “Osamu Serei No.51), (No.32), (No 14 Maret 2603),(No.14, Maret 2603), (No.14, 10 Maret 1943), (No. 7, 1945), (No. 28, 1943), (No.1)No.18” (11 Juni 2603) Kanpo (No.21) Nihon Gakugei Shinbun (no.1. November 1942). Tokyo: Nihon Bungaku Hokokukai. Nihon Hyoron ( Nomor September 1950). Pandji Poestaka (No. 16, 25 Juli 1942), (No. 22 Th XXII, 15 September 1944), (No. 18/19 Th. XXII, 15 September 1944), (No. 12, 27 Juni 1942), (No. 26, 3 Oktober 1942), (No. 11, 8 Maret 1943), (No. 23, 12 September 1942), (No.16, 25.7.1942), (No. 19, 15 Agustus 1942). Prajurit, (No. 5/8 Desember 1944), (No.13, 30 Maret 1945), No. 13/30 Maret 1945). Sande Mainichi (no 13 Januari 1943). Serebes Shinbun (9-10 Januari 1943). Shin Jawa (no.2. Vol.1. 1 November 1944). Star News (no.5. 25 September 1954). Tjahaya (23 Juli 1944). Toa Bunka Ken (Lingkungan Budaya Asia Timur) Januari 1943. Tokyo Asahi Shinbun (19-23 Januari 1943), (6 Oktober 1942), (26 Juni 1942). Unabara (no.159. 12 September 1942), (no.125. 4 Agustus 1942), ( no.58. 17 Mei 1942), dari nomor 61 (21 Mei 1942) sampai nomor 68 (29 Mei 1942), (no.55. 14 Mei 1942)(no.56. 15 Mei 1942), (no.159. 12 September 1942). Wawasan Kepulauan (no.15. 25 Oktober 1996)
ccxli
4. Arsip The Nishijima Collection. (Kumpulan dokumen yang menyangkut pemerintahan militer Jepang yang dikumpulkan Shigetada Nishijima kemudian disusun oleh Waseda Daigaku Okuma-kinen Shakai Kagaku Kenkyujo (Lembaga Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Waseda, Tokyo) pada tahun 1973, Kode yang menyertai dokumen-dokumen berikut adalah kode yang digunakan dalam catalog The Nishijima Collection.) Adachi, Hisayoshi. “Report to Mr. A.P.M Audretsch: Replies of Questionaire Concerning Sendenbu”. 14 April 1947. (AD 3) dan (AD 2). Gunseikanbu. 2604. Orang-Indonesia jang Terkemoeka di Jawa. Jakarta: Gunseikanbu. Okazaki, Seizaburo: Osamu Shudan Gunsekan (Gunseikan Pasukan Ke-16). “Jawa Eiga Kosha no Ken Tsucho (Pengumuman Mengenai Jawa Eiga Kosha)”. 11 September 1942. Sendenbu. “Chuo Shinbun Tosei An (Konsep Pengawasan Surat Kabar Pusat)” (Tulisan Tangan. 3 September 1942. 5. Lain-lain Rekaman Wawancara Shizuo Miyamoto (mantan Staf Strategi Pasukan Ke-16 Angkatan Darat). Jakarta Pada Tanggal 15 November 1996 (Terjemahan dan Koleksi Masa Omi Tanaka.
ccxlii