FEMALE AGENCY DAN UPAYA REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM: TELAAH DAN KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN R.A KARTINI
oleh Nur Fajriyah NIM. M113014
Tesis diajukan sebagai pelengkap persyaratan Untuk gelar Magister Pendidikan
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
0
FEMALE AGENCY DAN UPAYA REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM: TELAAH DAN KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN R.A KARTINI
oleh NUR FAJRIYAH NIM. M113014
Tesis diajukan kepada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Salatiga sebagai pelengkap persyaratan untuk gelar Magister Pendidikan Islam Salatiga,
Maret 2017
ttd
Dr. H. Sa’adi, M.Ag PEMBIMBING
1
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis ini merupakan hasil karya sendiri dan sepanjang pengetahuan dan keyakinan saya tidak mencantumkan tanpa pengakuan bahan-bahan yang telah dipublikasikan sebelumnya atau ditulis oleh orang lain, atau sebagian bahan yang pernah di ajukan untuk gelar atau ijasah pada Institut Agama Islam Negeri Salatiga atau perguruan tinggi lainnya.
Salatiga,
Maret 2017
Yang membuat pernyataan
Nur Fajriyah
2
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PROGRAM STUDI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS
Nama
: Nur Fajriyah
NIM
: M113014
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Konsentrasi
: Pendidikan Agama Islam
Tanggal Ujian
: Jum‟at, 24 Maret 2017
Judul Tesis
:
Female
Agency
dan
Upaya
Rekonstruksi
Pendidikan Islam: Telaah dan Kontekstualisasi Pemikiran R.A Kartini
Panitia Munaqosah Tesis
1.
Ketua Penguji
: Dr. H. Zakiyuddin, M. Ag. ___________________
2.
Sekretaris
: Dr. Winarno, S.Si., M. Pd.___________________
3.
Penguji I
: Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA._________________
4.
Penguji II
: Dr. H. Sa‟adi, M. Ag.______________________
3
ABSTRAK “Female Agency dan Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam: Telaah dan Kontekstualisasi Pemikiran R.A Kartini“ Penelitian ini berupaya melihat R.A. Kartini dari sisi female agency, dengan menitikberatkan keterlibatan sosial R.A. Kartini dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang lebih menitikberatkan kepada pendidikan perempuan, serta relevansinya dalam pendidikan Islam Indonesia masa kini. Penelitian ini menggunakan metode “analisis isi kualitatif“ dan “hermeneutika“ untuk membedah dan mengkontekstualisasikan pemikiran R.A. Kartini. Sebagai analisisnya, penulis menggunakan konsep agency dan pendidikan humanistik, dalam hal ini humanistik-Islami. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pemikiran pendidikan yang dikemukakan R.A Kartini? (2) Sejauhmana pemikiran pendidikan R.A Kartini bersentuhan dengan konsep “pendidikan humanistik”(3) Bagaimana kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini dalam rekontruksi pendidikan Islam di Indonesia? Pemikiran pendidikan R.A. Kartini bertumpukan pada pendidikan karakter dan pendidikan perempuan. R.A. Kartini melihat bahwa pendidikan perempuan adalah sebuah investasi bagi bangsa. Pendidikan adalah hak bagi setiap manusia, termasuk perempuan. Perjuangan R.A. Kartini akan pendidikan perempuan, telah membukakan mata kita, akan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Melalui perjuangan R.A Kartini, perempuan Indonesia sekarang lebih maju dan bisa berkarya sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini kita bisa melihat agency R.A. Kartini dalam memperjuangkan dan mewujudkan pendidikan bagi perempuan. Di samping itu, R.A. Kartini juga menekankan pendidikan karakter, yang bisa menjadi penyangga kemajuan sebuah bangsa. Pemikiran R.A. Kartini bersentuhan dengan pendidikan humanistik, yang menekankan pengembangan individu, memanusiakan manusia dan aktualisasi diri. Hanya saja, perlu kiranya dicatat bahwa pendidikan humanistik yang menjadi perhatian R.A. Kartini tidaklah bersifat atheistic namun bersifat theistic. Hal ini antara lain terlihat dalam diri pribadi R.A. Kartini sendiri yang dalam tulisan-tulisannya menyiratkan bahwa dia tidak berupaya menjadi “super woman“ namun menjadi “khalifatullah fil ard“. Pemikiran R.A. Kartini bisa dijadikan inspirasi dan landasan untuk menata ulang pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini antara lain terkait dengan tema-tema seperti: pendidikan Islam yang sadar akan gender dan pemberdayaan perempuan, pendidikan Islam anti-kekerasan, pendidikan karakter dan pendidikan karakter bangsa.
4
ABSTRACT Female Agency and The Attempt of Reconstructing Islamic Education: Assesment and Contextualization of R.A. Kartini’s Thoughts This study investigates R.A. Kartini side from the perspective of female agency, with an emphasis on R.A. Kartini‟s social engagement R.A. Kartini in developing education in Indonesia. Educationin this sense is focused on the education of women, as well as its relevance in contemporary Indonesian Islamic education. This study uses “qualitative content analysis” and “hermeneutics” to analyze and contextualize the ideas of R.A. Kartini. To analyze the data, the author uses the concept of agency and humanistic education, more specifically theistic humanistic education. This study deals with the following research questions (1) What are the educational ideas of R.A Kartini? (2) What is the relevance of educational ideas of R.A Kartini with the concept of humanistic education? (3) How is the contextualization of R.A Kartini‟s thoughts in the reconstruction of Islamic education in Indonesia? Educational thoughts of R.A. Kartini are concentrated on character education and women‟s education. R.A. Kartini sees that female education is an investment for the nation. Education is a right for every human being, including women. The struggle of R.A. Kartini in the field of women‟s education has opened our eyes on the importance of education for women. Through her struggle, Indonesian women are now more advanced and able to work according to their ability. In this regard we can see the agency R.A. Kartini in fighting and realizing education for women. In addition, R.A. Kartini also emphasizes character education, which may provide a pillar for the progress of the nation. The thoughts of R.A. Kartini have its relevance with humanistic education, which emphasizes the development of the individual, humanizing the human and selfactualization. It is worth noting that Kartini‟s concern of humanistic education is not atheistic, but rather theistic. This is partly visible in the personage of R.A. Kartini herself in her writings, which suggests that she was not trying to be a "super woman" but rather to be a "khalifatullah fil ard" (God‟s vicegerent on earth). The ideas of R.A. Kartini could be used as inspiration and foundation for reconstructing Islamic education in Indonesia. This is concerned with such themes as: Islamic education which is aware of gender and women's empowerment, antiviolent Islamic education, character education and education of the nation character.
5
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia, dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pengerjaan tesis ini sampai selesai. Tentunya tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan penulisan tesis ini yang masih banyak kekurangan. Namun demikian segala hambatan dan tantangan, dalam penyajian tesis ini, bisa penulis lewati sehingga bisa terselesaikan dengan baik. Penulis mengambil judul “Female agency dan upaya rekonstruksi pendidikan Islam: telaah dan kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini”. Penulis tertarik meneliti R.A Kartini dari sisi pendidikannya, karena dari R.A Kartini penulis banyak belajar semangatnya dalam mendidik anak-anak bangsa, dalam hal ini perempuan. Di dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak, baik lewat diskusi, literatur maupun terjun langsung wawancara ke museum R.A Kartini di Rembang. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. H. Rahmat Hariyadi, M. Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Dr. Zakiyudin Baedhowi, selaku Direktur Pasca Sarjana. 3. Dr. H. Sa‟adi, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan fikirannya dalam memberikan pengarahan dalam pengerjaan tesis ini.
6
4. Segenap Dosen Pasca Sarjana IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmu, sekaligus memberikan motivasi agar tetap semangat dalam belajar. 5. Teman-teman Pasca Sarjana IAIN Salatiga, Angkatan 2013/2014. 6. Kedua Orang tua, yang selalu memberikan motivasi, dukungan dan do‟a. 7. Anak saya Naora, terima kasih sudah menghibur mama dengan kelucuan dan celotehmu. Mama sayang kamu nak. 8. Suami sekaligus partner dalam hidup saya. Terima kasih telah menumbuhkan semangat saya untuk belajar kembali. 9. Dan semua pihak, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan mendapatkan balasan dari Allah SWT, amin. Akhirnya penulis sadari, penulisan tesis ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca.
Salatiga,
April 2017
Penulis,
Nur Fajriyah
7
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………… ……... i HALAMAN PENGESAHAN…………………………………….. ……... ii HALAMAN PERNYATAAN …………………………………….. ……... iii ABSTRAK…………………………………………………………. ……... iv KATA PENGANTAR…………………………………………………….. v DAFTAR ISI ………………………………………………………. ……... vi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1 A. Latar Belakang …………………………………………………….. 1 B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 2 C. Signifikansi Penelitian …………………………………………….. 8 1. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 8 2. Manfaat Penelitian ……………………………………………... 8 D. Kajian Pustaka 1. Review Penelitian Terdahulu……………………………………. 9 2. Kerangka Teori ……………………………………..................... 11 E. Metode Penelitian………………………………………………….. 13 F. Sistematika Penulisan ……………………………………………... 15 BAB II R.A KARTINI: KEHIDUPAN DAN AKTIVISME…………….. 17 A. Genealogi R.A Kartini …………………………………………….. 17 B. Latar Belakang Pendidikan R.A Kartini…………………………… 20 C. Kondisi Pendidikan Jawa pada Zaman R.A Kartini ………………. 23 D. Kumpulan Surat R.A Kartini dan Yayasan Sekolah Kartini………..27 E. R.A Kartini dan Perjuangan untuk Kemajuan Bangsa……………...30 F. R.A Kartini dan Interaksinya dengan Kiai Saleh Darat……………. 34 G. R.A Kartini Feminis Islam dari Indonesia…………………………. 39 BAB III PEMIKIRAN PENDIDIKAN R.A KARTINI………………….. 45 A. R.A Kartini dan Pendidikan Perempuan…………………………… 45 B. R.A Kartini dan Pendidikan Karakter……………………………… 51 C. Relevansi Pemikiran R.A Kartini terhadap pendidikan Humanistik. 56
8
BAB IV KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN R.A KARTINI DALAM REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM…………………… 66 A. Pentingnya Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia………….. 66 B. Kontekstualisasi Pemikiran Kartini tentang Pendidikan Karakter….69 C. Pendidikan Islam Anti Kekerasan: Kontekstualisasi Pemikiran R.A Kartini ………………………………………………………………… 74 D. Pendidikan berwawasan Gender dan Pemberdayaan Perempuan: Kontekstualisasi Pemikiran R.A. Kartini ……………….. 76 BAB V PENUTUP ………………………………………………………... 81 A. Kesimpulan ……………………………………………………. 81 B. Saran ……………………………………………………………. 83 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 84 BIOGRAFI PENULIS ……………………………………………………. 86
9
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Raden Ajeng Kartini atau Raden Ayu Kartini (untuk selanjutnya disebut R.A Kartini), lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, dan wafat di Rembang 17 September 1904 pada usia 25 tahun.1 Anak kelima dari sebelas bersaudara ini sangat gemar membaca dan menulis, akan tetapi orang tuanya mengharuskan R.A Kartini menimba ilmu hanya sampai Sekolah Dasar karena harus dipingit. Karena tekad bulat R.A Kartini untuk mencapai cita-citanya, R.A Kartini mulai mengembangkan dengan belajar menulis dan membaca bersama teman sesama perempuannya. Saat itu juga R.A Kartini juga belajar bahasa Belanda. Semangat R.A Kartini tidak pernah padam, dengan rasa keingintahuan yang sangat besar, ia ingin selalu membaca surat kabar, buku-buku dan majalah Eropa. Dari situlah terlintas ide
memajukan
wanita
Indonesia
dari
keterbelakangan.
Karena
kemampuannya berbahasa Belanda, R.A Kartini juga seringkali melakukan surat-menyurat dengan korespondensi dari Belanda. Sempat terjadi suratmenyurat antara R.A Kartini dan Mr. J.H Abendanon untuk pengajuan beasiswa di negeri Belanda, tetapi semua itu tidak pernah terjadi karena R.A Kartini harus menikah pada 12 november 1903 dengan Raden Adipati
1
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini Sebuah Biografi Rujukan Figur Pemimpin Teladan, Jakarta: Balai Pustaka, edisi revisi 2011, 24.
10
Joyodiningrat yang sudah memiliki tiga isteri. Perjuangan R.A Kartini tidak berhenti setelah menikah, R.A Kartini memiliki suami yang selalu mendukung akan cita-citanya dalam memperjuangkan pendidikan dan martabat kaum perempuan. Maka pada tahun 1912 didirikannya sekolah R.A Kartini di Jepara dan Rembang. Pendirian sekolah wanita tersebut berlanjut di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Sekolah R.A Kartini didirikan oleh yayasan R.A Kartini, adapun yayasan R.A Kartini sendiri didirikan oleh keluarga Van Deventer dan tokoh politik etis.2 R.A Kartini meninggal selang beberapa hari setelah melahirkan anak pertama bernama R.M Soesalit pada 13 September 1904, tepatnya 4 hari setelah kelahiran R.M Soesalit, saat itu usia R.A Kartini masih 25 tahun. Setelah kematian R.A Kartini, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda J.H Abendanon mulai membukukan surat menyurat R.A Kartini dengan teman-temannya di Eropa dengan judul “Door Duisternis tot Licht“ yang artinya Habis Gelap terbitlah terang.
3
Kumpulan surat-surat R.A Kartini dibuat setelah beliau terinspirasi penafsiran Kiai Saleh Darat terhadap Surat al-Baqarah ayat 257, (
) yang artinya dari kegelapan
menuju cahaya yang terang. Adapun kedekatan R.A Kartini dengan Islam bermula dari pertemuannya dengan Kiai Saleh Darat dari Semarang. Saat itu R.A Kartini
2
Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2013, 51. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) Kumpulan Surat R.A Kartini yang Menginspirasi Wanita-wanita di Indonesia Sepanjang Masa, Jakarta: Penerbit Narasi, 2011, 58. 3
11
hadir dalam pengajian Kiai Saleh yang digelar di Pendopo Kesultanan Demak, saat itu R.A Kartini berkunjung ke kediaman pamannya, Ario Hadiningrat, sang bupati Demak. Kiai Saleh mengupas makna surat alFatihah, R.A Kartini yang tertarik pada cara Saleh menguraikan makna ayat-ayat tersebut meminta agar al Quran diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa. Kartini menyatakan, “Selama ini surat al-Fatihah gelap artinya bagi saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo kiai (Saleh Darat) telah menerangkan dalam bahasa Jawa yang saya pahami„„. Karena masih penasaran dengan makna yang terkandung dalam ayatayat al-Quran, R.A Kartini meminta pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat agar berkenan mempertemukannya kembali dengan Kiai Saleh Darat. Ketika keduanya bertemu, maka berlangsunglah sebuah dialog yang berkenaan dengan makna yang terkandung dalam al-Quran.4 Dialog tersebut adalah sebagai berikut: Kiai, perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya jika ada seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya?“, tanya R.A. Kartini Kiai Saleh Darat menimpalinya dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?“ Kiai, selama hidup saya baru kali ini berkesempatan memahami makna surat al Fatihah, surat pertama dari induk al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,“ ujar R.A Kartini. Kiai Saleh Darat tertegun mendengar jawaban dari R.A Kartini. Ia seolaholah tak punya kata untuk menyela. Lalu R.A Kartini melanjutkan pembicaraannya dengan sang Kiai. Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran
4
Amirul Ulum, Kartini Nyantri, Yogyakarta: Pustaka Alam, 2015, 176.
12
ke dalam bahasa Jawa. Bukankah al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?.
Dari pertemuan tersebut, muncullah ide Kiai Saleh Darat untuk membuat al-Quran berbahasa Jawa. Ide kiai Saleh Darat, disambut gembira oleh R.A Kartini, meski Kiai Saleh Darat, mengetahui hal ini bisa membuatnya di penjara. Maklum, pada masa itu pemerintah Hindia-Belanda melarang segala bentuk penerjemahan al Quran. Kitab tafsir al-Quran berbahasa Jawa segera dikerjakannya. Agar tidak dicurigai penjajah, Kiai Saleh menggunakan huruf Arab gundul atau tanpa harakat (pegon) yang disusun membentuk kata-kata dalam bahasa Jawa. Al-Quran terjemahan ke dalam Bahasa Jawa diberi judul Fayd al-Rahman. Dalam pembukaan kitab Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan yang memakai bahasa Arab Pegon, Kiai Saleh Darat menulis alasannya mengapa ia harus menulis tafsir terjemahan al-Quran tersebut. Ia menulis alasannya: “Saya melihat secara umum pada orangorang awam tidak ada yang memperhatikan tentang maknanya al-Quran karena tidak tahu caranya dan tidak tahu maknanya karena al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka dari itu saya bermaksud membuat terjemahan arti al-Quran.“5 Kitab tafsir dan terjemahan yang disusunnya itu menjadi kitab tafsir berbahasa Jawa pertama di Nusantara yang ditulis dalam aksara Arab. Setelah dicetak, Saleh menghadiahkan satu eksemplar kitab tersebut pada 5
Misbahus Surur, Metode dan Corak Tafsir Faidh Ar-Rahman Karya Muhammad Shaleh Ibn Umar As-Samarani, Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2011, 48.
13
R.A Kartini saat menikah dengan Bupati Rembang, Raden Mas Joyodiningrat. Saat menerima al-Quran terjemahan bahasa Jawa itu, dengan perasaan senang R.A Kartini berucap, “Selama ini surat al-Fatihah gelap artinya bagi saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo kiai (Saleh Darat) telah menerangkan dalam bahasa Jawa yang saya pahami.“ Terbantu memahami lebih banyak isi al-Qur„an, R.A Kartini terpikat pada suatu ayat yang menjadi favoritnya, yakni “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya“, dalam surat al-Baqarah ayat 257. Oleh sastrawan Sanusi Pane, judul buku kumpulan surat R.A Kartini dalam Bahasa Belanda Door Duisternis Tot Licht diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, mengacu pada ayat favoritnya itu.6 Berawal saat menerima al-Quran terjemahan bahasa Jawa yang ditulis oleh Kiai Saleh Darat, R.A Kartini akhirnya mengerti makna yang terkandung dalam surat al-Baqarah. Sehingga mempengaruhi pemikirannya mengenai pendidikan yang beliau tulis dalam kumpulan surat-surat yang ditujukan kepada teman-temannya di Eropa, salah satu suratnya mengenai pendidikan. Telah lama dan telah banyak saya memikirkan perkara pendidikan, terutama akhir-akhir ini. Saya pandang pendidikan itu sebagai kewajiban yang demikian mulia dan suci, sehingga saya pandang kejahatan apabila tanpa kecakapan yang sempurna saya berani menyerahkan tenaga untuk perkara
6
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, R.A Kartini, Sebuah Biograf..., 45.
14
pendidikan. Bagi saya pendidikan itu merupakan pembentukan budi dan jiwa.7
Dalam kerangka tersebut, ada indikasi bahwa pemikiran pendidikan R.A Kartini bersentuhan dengan konsep pendidikan humanistik. Pendidikan humanistik adalah di mana seseorang harus mempunyai kemampuan untuk mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar (self regulated learning), apa yang akan dipelajari dan sampai tingkatan mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Ide pokoknya adalah bagaimana seseorang yang belajar mengarahkan diri sendiri, sekaligus memotivasi diri sendiri dalam belajar daripada sekedar menjadi penerima pasif dalam proses belajar. Dari beberapa penelitian dengan mengarahkan dan memotivasi diri sendiri, seseorang lebih memiliki motivasi besar untuk belajar.8 Pendidikan humanistik merupakan sebuah filosofi belajar yang sangat memperhatikan keunikan-keunikan yang dimiliki oleh seseorang, bahwa setiap pribadi mempunyai cara sendiri dalam mengkonstruk ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Pembelajaran dengan pendekatan ini juga lebih menghargai domain-domain lain yang ada dalam diri seseorang selain domain kognitif dan psikomotorik, sehingga dalam proses pembelajarannya nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri seseorang mendapatkan perhatian untuk dikembangkan.9
7
Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang..., 111 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008, 142. 9 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran..., 143 8
15
Penelitian mengenai “Female agency dan upaya rekonstruksi pendidikan Islam, telaah dan kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini“, ini penting dilakukan. Mengingat R.A Kartini, merupakan sosok wanita pertama di Indonesia yang mampu merubah tradisi lama Jawa, dimana perempuan tidak bisa memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki. Karena menganggap bahwa perempuan hanya bisa menjadi istri dan ibu rumah tangga biasa. Dari pemikiran beliau yang dituangkan melalui suratmenyurat kepada sahabatnya di Eropa, kita bisa membaca bahwa sosok R.A Kartini adalah pahlawan wanita yang berjasa untuk kemajuan bangsa Indonesia terutama perempuan dalam memperoleh pendidikan. Selama ini R.A Kartini sering diidentikkan dengan feminis sekuler, yang sama sekali tidak berakar dari tradisi Islam. Melalui penelitian ini, penulis akan menelaah dan menganalisis pemikiran pendidikan R.A. Kartini dengan melihat akar dan inspirasinya dari tradisi Islam. Selain itu penelitian ini juga akan melihat kontekstualisasi pemikiran R.A. Kartini dalam upaya rekonstruksi pendidikan Islam masa kini di Indonesia. B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah pemikiran pendidikan yang dikemukakan R.A Kartini?
2.
Sejauhmana pemikiran pendidikan R.A Kartini bersentuhan dengan konsep “pendidikan humanistik”?
3.
Bagaimana
kontekstualisasi
pemikiran
R.A
Kartini
dalam
rekonstruksi pendidikan Islam di Indonesia? 16
C. Signifikansi Penelitian 1.
Tujuan Penelitian
a. Menjelaskan pemikiran pendidikan yang digagas oleh R.A Kartini b. Menjelaskan kaitan antara pemikiran pendidikan R.A Kartini dengan konsep “pendidikan humanistik”. c. Melacak kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini dalam upaya rekonstruksi pendidikan Islam di Indonesia.
2.
Manfaat Penelitian
a. Secara akademik diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan kajian untuk memahami female agency R.A Kartini yang terutama sekali terefleksikan dalam aktivisme dan pemikiran pendidikan R.A Kartini. Sumbangsih lebih lanjut dari penelitian ini adalah konstektualisasi dari pemikiran pendidikan R.A Kartini, untuk melihat relevansinya dalam rekonstruksi pendidikan Islam, yang adil kepada gender. b. Secara praktis, penelitian ini bisa memberikan sumbang saran dan dukungan kepada perempuan dan aktivis perempuan, terutama dalam hal meningkatkan kemampuan kreatifnya, di era modern. Terlebih bagi aktivis perempuan yang berkecimpung dalam ranah pendidikan Islam, sehingga nuansa pendidikan Islam yang dikembangkan di lembaga pendidikan tidak terlalu berpusat pada laki-laki (male-centred).
17
D. Kajian Pustaka 1.
Review Penelitian Terdahulu Sejauh informasi yang diperoleh, penelitian dalam bentuk pemikiran
R.A Kartini telah dilakukan oleh Dri Arbaningsih (2005) dalam bentuk disertasi dengan judul Kartini dari Sisi Lain, Menelaah Pemikiran Kartini tentang Emansipasi “Bangsa“. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh suratsurat dan dua nota R.A Kartini. Menurut Dri Arbaningsih, R.A Kartini lebih dari sekedar tokoh emansipasi wanita seperti dimengerti orang selama ini. Emansipasi R.A Kartini jauh lebih luas, yakni “emansipasi bangsa“ Jawa (kebangsaan nasional Indonesia ketika itu belum lahir), yang ternyata merupakan embrio kebangkitan “bangsa-bangsa“ lain. Pengakuan R.A Kartini dan beberapa pelajar STOVIA (dalam korespondensi mereka) atas kesadaran eksistensial-esensial sebagai “rakyat“ dan “bangsa“, yakni Jong Java, ternyata membuahkan bukan saja Boedi Oetomo melainkan juga Soempah Pemoeda 1928 oleh pelbagai Jong “bangsa-bangsa“ Nusantara. Karena itulah, R.A Kartini adalah salah seorang perintis Kebangkitan Nasional. Buku
Door Duisternis Tot Licht (1911), merupakan buku
kumpulan surat-surat R.A Kartini yang disusun dan diterbitkan oleh J.H Abendanon, berhasil mereduksi dan memposisikan R.A Kartini hanya sebagai tokoh emansipasi saja.10
10
Dri Arbaningsih, R.A Kartini dari Sisi Lain, Menelaah Pemikiran R.A Kartini tentang Emansipasi “Bangsa“, Jakarta: Kompas, 2005, 12.
18
Selain Dri Arbaningsih, penelitian mengenai R.A Kartini juga dilakukan oleh Jean Stewart Taylor, yang mengambil judul “Raden Ajeng Kartini“, yang ditulis dalam sebuah jurnal Signs: Journal of Women in Culture and Society. Tulisan Taylor, mengangkat R.A Kartini sebagai sosok yang mempunyai pengaruh dan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia, dan dianggap sebagai feminis yang menerjemahkan ide-ide Eropa ke dalam masyarakat Indonesia. Stewart menggambarkan bahwa R.A Kartini juga mempunyai mimpi besar untuk perubahan bagi kemajuan perempuan Jawa, terutama dalam hal pendidikan, seni tradisional, kesehatan publik, dan kesejahteraan ekonomi.11 Penelitian tersebut di atas memilih materi yang berbeda dengan penelitian yang akan penulis paparkan, sehingga penelitian yang diberi judul “Female Agency dan Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam: Telaah dan Konstektualisasi Pemikiran R.A Kartini“ ini layak dilakukan. Menurut hemat penulis inspirasi yang dilakukan oleh R.A Kartini baik dalam isi surat-suratnya
dan
semangatnya
dalam
pendidikan
pembebasan
dipengaruhi oleh al-Quran, yakni surat al-Baqarah ayat 257, yang artinya “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya“. Karena di dalam surat-surat tersebut R.A Kartini banyak memberikan pencerahan tidak hanya bagi perempuan Jawa yang selama ini terkukung oleh tradisi, tapi bagaimana R.A Kartini memberikan semangat pembebasan agar laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan untuk 11
Jean Stewart Taylor, “Raden Ajeng Kartini”, Signs: Journal of Women in Culture and Society, Volume. 1 Number. 3, Part 1, ( Spring, 1976), 639-661.
19
maju bersama, sebagaimana isi dari kumpulan surat-suratnya yang terangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Penelitian penulis juga memiliki kekhasan tersendiri, dalam hal kerangka konsep pendidikan, karena penelitian ini menerapkan konsep agency untuk membedah keterlibatan sosial R.A Kartini dalam pendidikan dan pemberdayaan perempuan. 2.
Kerangka Teori Untuk penelitian ini penulis menggunakan konsep agency yang
ditawarkan oleh Emirbayer dan Mische.12 Agency adalah sebuah konsep yang penting untuk melihat dan menganalisis keterlibatan sebuah aktor, dalam hal ini R.A Kartini. Agency adalah proses temporal dari keterlibatan sosial, berdasarkan pengetahuan dan kesadaran akan masa lampau (dalam bentuk habitual), berorientasi pada masa depan (dalam bentuk kemampuan projective untuk membayangkan kemungkinan alternatif) dan juga pada masa sekarang (dalam bentuk kemampuan practical evaluative untuk mengkontekstualisasi habitus masa lampau dan proyek masa depan dalam konteks masa sekarang. Ketiga aspek agency tersebut menurut hemat penulis sangat relevan untuk memotret dan mengkaji keterlibatan R.A Kartini dalam proses sosial yang melingkupinya.
12
Mustafa Emirbayer and Ann Mische, “What is Agency“, American Journal of Sociology, volume. 103, number. 4, (January, 1998), 962-1023. Lihat juga: Asfa Widiyanto, Religious Authority and the Prospects for Religious Pluralism in Indonesia: The Role of Traditionalist Muslim Scholars, (Zuerich: LIT Verlag, 2016), 13-14.
20
Contoh dari konsep agency ini penulis cuplik dari kumpulan surat R.A Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang“. Hal ini terlihat dari kutipan berikut: “Bagaimana pernikahan dapat membawa kebahagiaan, jika hukumnya dibuat untuk semua lelaki dan tidak untuk wanita? Kalau hukum dan pendidikan hanya untuk lelaki? Apakah itu berarti ia boleh melakukan segala sesuatunya?“. 13 Dari kutipan ini terlihat agency dari R.A Kartini, terutama aspek practical-evaluative. Dalam hal ini R.A Kartini mengkritisi habitus masa lampau masyarakat Jawa, terutama sekali budaya patriarki, yang memberikan peran kuat pada laki-laki terutama dalam pendidikan dan hukum. Sebagai evaluasi dan tindak lanjut dari hal itu, maka R.A Kartini berupaya memberdayakan perempuan dalam hal pendidikan, yang pada gilirannya akan memberdayakan perempuan dalam hal hukum dan aspekaspek sosial yang lain. Selain agency, penulis juga menggunakan konsep “pendidikan humanistik“. Pendidikan humanistik memandang bahwa belajar bukan sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh bagian atau domain yang ada. Domain-domain tersebut meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan kata lain, pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga tujuan
13
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang..., 10.
21
yang ingin dicapai dalam proses belajar itu tidak hanya dalam domain kognitif saja, tetapi bagaimana menjadi individu yang bertanggungjawab, penuh perhatian terhadap lingkungannya, serta mempunyai kedewasaan emosi dan spiritual.14 E. Metode Penelitian Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan penelitian pustaka (library research). Untuk menganalisis data yang diperoleh, penulis menggunakan metode “analisis isi kualitatif“ (qualitative content analysis). Adapun langkah-langkah utama dari metode ini adalah: 1.
menyusun “kategori” (formulating the categories),
2.
mendefinisikan “kategori” (defining the categories),
3.
mengindikasikan kata-kata yang mewakili “kategori” tersebut.15 Selain
itu,
penulis
menggunakan
metode
hermeneutika.
Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam teks, mitos ataupun simbol.
16
Dalam penelitian ini,
metode hermeneutika terutama sekali dibutuhkan untuk melihat sebuah teks dalam konteks awal saat teks tersebut ditulis, untuk kemudian melihat substansi dari pesan teks tersebut, kemudian dicari relevansinya dalam 14
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran..., 142. Margrit Schreier, Qualitative Content Analysis in Practice, California: Sage, 2012. 16 “Hermeneutics: Principles of Biblical Information“, Encyclopaedia Britannica, http://www.britannica.com/topic/hermeneutics-principles-of-biblical-interpretation, diakses 20 Februari 2016. 15
22
konteks masa sekarang, dengan tetap mempertimbangkan substansi pesan tersebut.17 Sumber premier dari penelitian ini adalah buku kumpulan surat R.A Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) Kumpulan Surat Kartini yang menginspirasi Wanita-wanita di Indonesia Sepanjang Masa (Jakarta: Penerbit Narasi, 2011). Selain itu penulis juga merujuk pada biografi R.A Kartini yang ditulis oleh Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soertoto, yang berjudul Kartini, Sebuah Biografi, Rujukan Figur Pemimpin Teladan (Jakarta: Balai Pustaka, 2011). Sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini adalah karya-karya yang ditulis oleh para ilmuwan tentang sosok R.A Kartini. F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam penulisan tesis ini, penulis membuat sistematika dalam lima bab yaitu: Bab I, Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, kerangka teori, review penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, Biografi R.A Kartini menjelaskan tentang gambaran umum mengenai sosok R.A Kartini, permasalahan dan kendala yang dihadapi
17
Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, London: Center for Middle Eastern Studies, 1982, 40-55.
23
oleh R.A Kartini, dan perjuangan R.A Kartini untuk memberikan pendidikan kepada kaum perempuan agar setara dengan laki-laki. Bab III, pemikiran pendidikan R.A Kartini, yang meliputi pemikiran pendidikan R.A Kartini tentang pendidikan perempuan dan pendidikan karakter. Pada surat-surat R.A Kartini tertulis pemikiranpemikirannya khususnya menyangkut kebebasan untuk menuntut ilmu dan belajar. Dalam bab ini juga akan dibahas apakah pemikiran R.A Kartini tentang
pendidikan
bersinggungan
dengan
konsep
“pendidikan
humanistik“. BAB
IV,
kontekstualisasi
pemikiran
R.A
Kartini
dalam
rekonstruksi pendidikan Islam. Dalam bab ini, penulis berupaya menyelaraskan pemikiran R.A Kartini pada masa lalu ke dalam konteks sekarang, terutama dalam kaitannya dengan upaya rekonstruksi pendidikan Islam masa kini, yang sadar akan gender dan pemberdayaan wanita. Bab V: Penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bagian akhir adalah daftar pustaka dan lampiran.
24
BAB II R.A KARTINI: KEHIDUPAN DAN AKTIVISME
A. Genealogi R.A Kartini Raden Ajeng Kartini lahir di Mayong, Jepara, Jawa Tengah, pada tangggal 21 April 1879. Lahir dari pasangan Ario Sosroningrat dan Ibu Ngasirah. R.A Kartini merupakan anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. R.A Kartini digambarkan sudah menunjukkan kemandirian dan rasa ingin tahunya yang tinggi sejak dini.18 Ayah Kartini, R.M. Sosroningrat, Bupati Jepara, mempunyai dua orang istri. Yang pertama dinikahinya pada tahun 1872, ketika ia masih berpangkat wedana di Mayong. Istrinya, Mas Ajeng Ngasirah, berasal dari kalangan rakyat biasa anak Nyai Hajjah Siti Aminah dengan Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Desa Telukawur, Jepara.19 Masih dalam kedudukannya sebagai Wedana, pada tahun 1875 ia menikah lagi dengan seorang putri bangsawan tinggi keturunan Raja Madura, yaitu Raden Ajeng Wuryam atau Muryam putri R.A. Citrowikromo, Bupati Jepara sebelum Sosroningrat. Istri kedua ini kemudian diangkat menjadi “garwa padmi”, sedangkan Mas Ajeng Ngasirah sebagai “garwa ampil”. Sebutan “garwa 18
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi, Rujukan Figur Pemimpin Teladan, Jakarta: Balai Pustaka, 2011, 24. 19 Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 9.
25
padmi” adalah sebutan untuk istri utama yang mendampingi suaminya pada upacara-upacara resmi. Sedangkan istri yang lain, yang dinikahi dengan sah maka disebutnya sebagai “garwa ampil”. Berikut skema dari silsilah keluarga R.A Kartini, yang berasal dari kakeknya, R.M Sosroningrat. Silsilah keluarga Sosroningrat20 R.M. Sosroningrat – Bupati Jepara
Garwa Ampil: M.A Ngasirah
Garwa Padmi: R.A. Sosroningrat
1. R.M Slamet (15 Juni 1873)
3. R.A Sulastri (9Januari 1877)
2. R.M Busono (11 Mei 1874)
6. R.A Rukmini (4 Juli 1880)
4. R.M Kartono (10 April 1877)
8.R.A Kartinah (3Juni 1883)
5. R.A Kartini (21 April 1879) 7. R. A Kardinah (1 Maret 1881) 9. R.M Muljono (26 Desember 1885) 10. R.A Sumatri (11 Maret 1888) 11. R.M Rawito (16 Oktober 1892)
20
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 10.
26
Pada skema tersebut, terlihat urutan putra dan putri R.M.A.A Sosroningrat, serta dari istri mana mereka dilahirkan. Anak ke-1
: R.M Slamet
Anak ke-2
: R.M Busono, bergelar P.A Sosrobusono, Bupati Ngawi
Anak ke-3
: R.A Sulastri, menikah dengan R. Cokrohadisosro, Patih
Kendal Anak ke-4
: R.M Kartono, bergelar R.M.P Sosrokartono dan terkenal
sebagai “Ndoro Sosro”. Anak ke-5
: R.A Kartini, menikah dengan R.A.A Joyoadiningrat
Anak ke-6
: R.A Rukmini, menikah dengan R. Santoso
Anak ke-7
: R.A Kardinah, menikah dengan R.M.A.A Reksonegoro,
Patih Pemalang, kemudian menjadi Bupati Tegal Anak ke-8
: R.A Kartinah, menikah dengan R. Dirjoprawiro
Anak ke-9
: R.M Mulyono
Anak ke-10
: R.A Sumatri, menikah dengan R. Sosrohadikusumo
Anak ke-11
: R.M Rawito
B. Latar Belakang Pendidikan R.A Kartini R.A Kartini memulai pendidikan formalnya di ELS (Europese Lagere School). Di sekolah inilah R.A Kartini belajar bahasa Belanda. Hanya sampai usia 12 tahun, R.A Kartini diperbolehkan sekolah di ELS, selebihnya ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Sekolah R.A Kartini letaknya di samping kabupaten Jepara.
27
Di sekolah, R.A Kartini termasuk sosok yang kritis dan cerdas, R.A Kartini dengan mudah dapat beradaptasi dan bersaing dengan temantemannya dari Belanda baik perempuan maupun laki-laki. Ia berbicara bahasa Belanda dengan fasih. Hal ini dibuktikan ketika seorang inspektur Belanda datang ke sekolah R.A Kartini, inspektur tersebut memberikan tugas kepada anak-anak membuat karangan dalam bahasa Belanda. Menurut hasil penilaiannya, ternyata karangan R.A Kartini paling bagus dibanding semua karangan dari seluruh sekolah di daerah inspeksinya.21 R.A Kartini bisa membuat karangan dengan baik, karena tidak lepas dari didikan ayahnya semenjak kecil. R.A Kartini terbiasa membaca buku-buku dan koran yang berbahasa Belanda, sehingga menjadikan R.A Kartini tidak asing dalam mempelajari bahasa Belanda secara fasih. Selain itu, ayahnya selalu memperkenalkan putri-putrinya kepada tamu bangsa Belanda yang datang ke kabupaten. Dengan demikian secara tidak langsung R.A Kartini beserta adik-adiknya belajar berkomunikasi dalam Bahasa Belanda. Di antara buku yang dibaca R.A Kartini antara lain adalah, „Tujuan Pergerakan Wanita‟ dari Dr. Aletta Jacobs dan „Droomen van het Ghetto‟ (impian dari Ghetto) dari Zangwill. Buku „Moderne Maagden‟ dari Marcel Prevost menarik hatinya karena menggambarkan pergerakan wanita yang memikat dan mengharukan. Begitu pun artikel „Apakah tugas wanita modern?‟ dari majalah Wettenschappelijke Bladen. R.A Kartini menyukai
21
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 38.
28
buku „Barthold Meryan‟ dari sosialis Cornelie Huygens, karena membahas tentang sosialisme, pernikahan, dan kedudukan wanita. Kegemarannya dengan buku, mengantarkan sahabat, ayah, dan kakaknya menghadiahkan buku yang berkualitas kepada R.A Kartini. Seperti buku-buku dari Henri Borel, yaitu „De Laatste Incarnatie‟ dan „Het Jongetje‟. Karya Borel mampu menampilkan bahasa yang menawan sehingga menarik hati R.A Kartini untuk membacanya.22 Mengenai
kegemarannya
membaca,
R.A
Kartini
pernah
menceritakan perihal tersebut kepada Nyonya R.M Abendanon – Mandri. Bila hatinya sedang bersedih, ia hanya dapat menemukan hiburan dari sahabatnya yang tak pernah bergerak yaitu “buku-buku”. Ia selalu gemar sekali membaca, namun kini kesenangannya bacaan sudah menjadi bagian hidupnya. Apabila ia telah menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, segera ia memegang buku atau surat kabar. Ia membaca semuanya yang tertangkap oleh bola matanya. Ia melahap semua bacaan, bercampur antara yang baik dan yang buruk. Banyak sekali buku yang dinikmatinya, buku yang tak terkatakan bagusnya yang membuatnya dapat melupakan semua kesedihan dalam hidupnya. Tabiattabiat baik, pandangan hidup mulia, jiwa dan pikiran besar, membuat hatinya berkobar-kobar kegirangan dan gemetar karena berbesar hati. Ia menghayati sepenuhnya semua yang dibaca.23
Sebuah buku yang sangat menyentuh rasa nasionalisme R.A Kartini, adalah „Max Havelaar‟ karya besar Eduard Douwes Dekker yang terkenal dengan nama samaran Multatuli. Dia seorang penulis jenius yang belum ada tandingannya dalam sastra Belanda. „Max Havelaar‟ berisikan tentang roman otobiografi Multatuli, yang berisi gugatan sosial yang menggemparkan masyarakat di Eropa dan Hindia Belanda (Indonesia). 22 23
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 18. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah…, 70.
29
Berkat bukunya itu nama Mulatatuli tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai pembela bangsa Indonesia. Baru pada tahun 1972 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh HB. Jassin dengan kata pengantar oleh Drs. G. Termoshuizen. Sebelumnya buku „Max Havelaar‟ telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa dan menjadi literatur dunia.24 Jika kita telaah lebih dalam, melalui kegemaran membaca, telah mengantarkan R.A Kartini pada pengetahuannya yang luas mengenai berbagai persoalan yang menimpa rakyat Indonesia pada masa itu. Tidak hanya sekedar membaca, R.A Kartini mampu memahami dan menyelami pemikiran sang penulis dalam kehidupan sehari-hari. Hingga akhirnya hasil bacaan tersebut, mampu menghasilkan renungan yang ia tuliskan dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat, dan teman penanya dari Indonesia maupun Eropa. Pembelajaran secara otodidak yang dilakukan oleh R.A Kartini, menjadikan dia fasih dalam bahasa Belanda selain juga kecakapan untuk tulis menulis.
C. Kondisi Pendidikan Jawa pada zaman R.A Kartini Pada tahun 1870-an, kondisi dan budaya Jawa tidak menginginkan perempuan maju setara dengan laki-laki. Perempuan ningrat sebelum menikah harus dipingit di dalam rumah, untuk menjaga harkat dan martabatnya sebagai perempuan. Hal ini dilihat oleh R.A Kartini sebagai
24
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 119.
30
ketidakadilan terhadap kaum perempuan dan sebagai bentuk diskriminasi. R.A Kartini mengkritisi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan. Perempuan ingin belajar menuntut ilmu masih sering dianggap tabu oleh masyarakat. Hal ini karena persepsi bahwa perempuan ningrat yang keluar rumah adalah melanggar aturan adat, sehingga tidak ada yang berani melanggarnya. Ketidakberuntungan juga terlihat di perempuan kelas bawah. Sekalipun mereka diperbolehkan keluar rumah untuk mencari nafkah, namun mereka sering dipaksa untuk dinikahkan dengan laki-laki yang sudah beristri. Perempuan secara umum pada zaman itu bisa dikategorikan sebagai kelompok termarginalkan. R.A Kartini memberi perhatian akan fenomena perempuan di Jawa yang tidak mempunyai akses untuk mengenyam pendidikan. Hal ini antara lain terlihat dalam korespondensinya dengan Nyonya N. van Kol. Begitu banyak azab dan sengsara yang diderita oleh perempuan bumiputra. Berbagai penderitaan itu yang telah saya saksikan dalam masa kanak-kanak saya, sehingga menimbulkan keinginan dalam hati untuk melawan adat istiadat yang seolah-olah membenarkan dan menganggap adil keadaan itu. Usaha kami mempunyai dua tujuan, yaitu turut berusaha memajukan bangsa kami dan merintis jalan bagi saudarasaudara perempuan kami menuju ke keadaan yang lebih baik, yang setara dengan martabat manusia. Kami mengajukan permohonan: bantulah kami untuk mewujudkan cita-cita kami yang bertujuan memberi kebahagiaan bagi bangsa dan kaum kami yaitu perempuan. Didiklah perempuan Jawa, cerdaskan menurut perasaan dan pikiran. Dengan demikian tuan sekalian akan mendapat teman bekerja yang tangkas dan cakap dalam melaksanakan kerja raksasa tuan yang mulia dan indah, yaitu membuat bangsa beradab, cerdas dan bangkit! 25
25
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 151.
31
Dalam suratnya yang lain, yang ditujukan kepada Nyonya N. van Kol, R.A Kartini menyatakan cita-citanya agar kaum perempuan juga diberikan kesempatan menimba ilmu kedokteran. Hal ini dikarenakan, R.A Kartini melihat banyak orang Jawa yang sakit dan masih sedikit yang mengerti tentang ilmu kedokteran. Keinginaan R.A Kartini mengenai citacitanya, dia tuliskan kepada Nyonya N. van Kol. Saya dan Roekmini akan bekerjasama. Yang juga kami harap dapat diajarkan pada sekolah yang kami cita-citakan itu ialah: ilmu kesehatan, ilmu merawat, dan ilmu membalut luka! ilmu pengetahuan inilah yang selalu akan berguna bagi kami, dan banyak berguna bagi masyarakat di sekeliling kami ketika harus merawat orang sakit. Sangat menyedihkan bila melihat orang yang kami sayangi menderita, sedang kami tidak tahu bagaimana meringankan penderitaan mereka. Pengetahuan ilmu kesehatan, ilmu merawat dan kepandaian membalut luka harus menjadi bagian dari pendidikan. Kecelakaan dapat dihindari, atau setidaknya jumlahnya dapat ditekan serendah-rendahnya apabila pengetahuan itu diajarkan baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan. Sama sekali kami tidak bermaksud menjadikan orang Jawa sebagai bangsa Jawa Eropa dengan pendidikan bebas. Kami hanya ingin memberikan berbagai kelebihan bangsa lain kepada mereka disamping berbagai kelebihan yang sudah ada pada mereka sendiri. Bukan untuk menggeser sifat-sifat bawaan mereka sendiri, melainkan untuk membuatnya lebih 26 halus dan luhur!
R.A Kartini mengajukan permohonan kepada pemerintah kerajaan Belanda agar memberikan akses pendidikan kepada rakyat. R.A Kartini menilai bahwa pendidikan sangat penting untuk pembentukan akal pikiran dan juga pembentukan karakter. Ini bisa dilihat sebagai aspek projektif dari agency R.A Kartini, yaitu keinginan dan cita-cita untuk memajukan pendidikan pada generasi muda. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Kami hendak berhubungan dengan kaum laki-laki bangsa kami terpelajar, yang suka akan kemajuan; hendak berusaha bersahabat dengan mereka dan selain itu mencoba mendapat bantuannya. Bukan orang laki-laki yang 26
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 153.
32
kami lawan, melainkan pendapat kolot yang turun-temurun, adat yang tidak terpakai bagi tanah jawa kami masa depan. Dari Jawa baru ini beberapa orang lain, baik laki-laki maupun perempuan, bersama-sama kami merupakan pelopor. Sepanjang masa perintis jalan itu dalam bidang apapun berat tanggung jawabnya, kami tahu. Senang sekali mempunyai cita-cita dan tujuan hidup.27
R.A Kartini meminta adanya sekolah kejujuran yang dilengkapi asrama untuk para gadis. Setiap sekolah harus memiliki perpustakaan yang memadai, agar para siswa fasih berbahasa Belanda selain bahasa Indonesia.. Tentang bahasa, R.A Kartini pernah mengatakan, “saya tidak mengerti satu pun bahasa modern. Sayang! Adat tidak mengizinkan kami, para gadis untuk belajar lebih banyak. Kami mengerti bahasa Belanda saja, sudah dianggap keterlaluan. Saya belajar bahasa, bukan hanya untuk bicara dalam bahasa itu, melainkan supaya saya dapat membaca karya para pengarang asing yang bagus dalam bahasa aslinya!”28 R.A Kartini dalam suratnya, juga mengemukakan keinginannya untuk menjadi guru. Ia memandang tugas pendidik sangat mulia, Hal tersebut dinyatakan kepada Ny. Abendanon: Saya berpendapat mendidik adalah tugas yang luhur dan suci. Tanpa memiliki keahlian memadai adalah dosa mencurahkan diri di bidang tersebut. Bagi saya pendidikan berarti pembentukan watak dan akal pikiran. Tugas pendidik tidak berhenti pada pengembangan akalnya saja. Ia juga wajib memelihara pembentukan wataknya. Secara moral dia berkewajiban, walau tidak ada hukum yang mengharuskannya melakukan itu. Patut diingat, bahwa perkembangan intelektual saja tidak menjamin nilai kesusilaannya.29
27
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 55. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 13. 29 R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 111. 28
33
Suratnya kepada Prof. Anton yang menyatakan kewajiban seseorang berpendidikan: Kami memohon dengan sangat supaya di sini diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Bukankah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki, melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi ibu yang menjadi pendidik anak-anak mereka.30
Selain masalah pendidikan secara umum, R.A Kartini juga menuliskan pendidikan secara khusus bagi anak-anak. Sebagaimana tertuang dalam suratnya yang ditujukan kepada Dr.Anton: Ibu adalah pusat kehidupan rumah tangga. Kepada mereka dibebankan tugas besar mendidik anak-anaknya, pendidikan yang akan membentuk budi pekertinya. Berilah pendidikan yang baik bagi anak-anak perempuan. Siapkanlah masak-masak untuk menjalankan tugasnya yang berat. Hendaknya para ibu mengetahui jika mereka dikaruniai kebahagiaan sebesar sebagai seorang perempuan, yaitu kemewahan ibu! Bersamanya seorang anak mendapatkan masa depannya. Di depan matanya jelas tergambar kewajiban yang dibebankan keibuannya kepada dirinya. Mereka mendapatkan anak bukan untuk dirinya sendiri. Mereka harus mendidiknya untuk keluarga besar, keluarga raksasa yang bernama masyarakat, karena anak itu kelak akan menjadi anggotanya!.31
Begitu besar perhatian R.A Kartini terhadap pendidikan, yang beliau tuangkan dalam isi surat-suratnya kepada para sahabat penanya. R.A Kartini menghendaki sistem pendidikan yang mengutamakan pembinaan watak untuk semua disiplin ilmu, terutama yang bermanfaat
30 31
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 339. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 339.
34
bagi masyarakat luas, seperti kesehatan, kedokteran, bidan/perawat, apoteker obat tradisional, pamong praja, hukum juga agama.32
D. Kumpulan Surat R.A Kartini dan Yayasan Sekolah Kartini Pada tanggal 13 September putranya lahir dan empat hari kemudian, pada tanggal 17 September 1904, R.A Kartini meninggal dengan tiba-tiba dalam usia 25 tahun. Kabar meninggalnya R.A Kartini telah sampai kepada keluarga Abendanon. Suami dari R.A Kartini, Bupati Joyodiningrat menyampaikan berita meninggalnya R.A Kartini dengan menulis surat kepadanya. Dengan halus dan tenang ia menghembuskan napasnya yang terakhir dalam pelukan saya. Lima menit sebelum hilang, pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya ia adalah lambing cinta. Pandangannya dalam hidup sedemikian luas sehingga tidak ada di antara saudara-saudaranya perempuan yang dapat menyamainya. Jenazahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu. 13 pal dari kota.33
Berita wafatnya R.A Kartini diterima oleh keluarga Abendanon ketika mereka masih di Batavia. Kabar yang mengejutkan ini, membuat Abendanon menyesal, karena telah membujuk R.A Kartini untuk melepaskan izin yang telah dipegangnya untuk belajar di Nederland. Dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” dituliskan kata pengantar oleh Abendanon, “Kawat yang memberitakan kematian mendadak pada tanggal 17 September 1904 menimbulkan kesedihan yang mendalam.
32 33
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…., 365. M. Vierhout. Raden Ajeng Kartini, Den Haag: 1943, 189.
35
Seperti yang hanya kami rasakan pada berlalunya orang-orang yang paling kami cintai”.34 Untuk
menghormati
R.A
Kartini,
Abendanon
akhirnya
menerbitkan surat-surat Kartini sebagai penghargaan tertinggi kepada R.A Kartini. Buku Door duisternis tot licht terbit pertama kali pada bulan April 1911, sekitar 6,5 tahun setelah wafatnya R.A Kartini. Penerbitan perdana buku Door duisternis tot licht bertepatan dengan hari lahir R.A Kartini, 21 April 1911. Buku tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Nederland, mereka kagum membaca pikiran-pikiran R.A Kartini yang ditulis dalam bahasa Belanda yang indah. Dalam waktu yang lama Door duisternis tot licht menjadi pembicaraan di koran-koran, majalah, dan bukunya menjadi best seller. Orang Belanda jadi mengenal sosok R.A Kartini lebih dekat, mengenai pemikiran dan cita-citanya terhadap pendidikan.35 Selain peran Abendanon, sosok lain yang berjasa dalam mendirikan sekolah R.A Kartini adalah Nyonya Hilda de BooyBoissevain. Hilda sangat aktif untuk mencarikan dana dengan propaganda berkeliling Nederland memperkenalkan cita-cita R.A Kartini di kalangan masyarakat Belanda. Dalam kata pengantar Door duisternis tot licht, Abendanon memberitahukan bahwa semua hasil penjualan buku diserahkan untuk Sekolah Kartini yang akan didirikan.
34 35
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, vi. Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 340-341.
36
Gagasan R.A Kartini dalam Door duisternis tot licht untuk mendirikan sekolah bagi perempuan Jawa juga telah mengetuk hati Mr. C. Th. Van Deventer yang pernah bekerja di Hindia Belanda. Setelah membaca surat-surat R.A Kartini, ia memperoleh pandangan baru mengenai sosok R.A Kartini. Selama ini Van Deventer melihat orang Jawa adalah orang malas, tidak punya pendidikan, dan hanya bisa sebagai budak. Dengan membaca buku Door duisternis tot licht ia membuat penilaian yang berbeda. Kekaguman Van Deventer terhadap sosok R.A Kartini, ia tuliskan dalam sebuah karangan dengan judul „Kartini‟ dalam majalah De Gids, di mana ia menyatakan rasa kagum dan simpatinya terhadap cita-cita Kartini. Van Deventer aktif dalam kampanye keliling bersama Nyonya Hilda de Booy dalam membantu melaksanakan perkumpulan “Dana Kartini”. Sebagai hasil anjuran dari Abendanon, maka pada tanggal 27 Juni 1913 di kota Gravenhage didirikan Komite “Dana Kartini” yang diketuai Mr. C. Th. Van Deventer. Pencetus ide “Dana Kartini” diprakasai oleh Hilda de Booy-Boissevain, yang merupakan sahabat pena Kartini.36 Hasil dari pengumpulan dana yang dilakukan oleh Hilda dan Vandeventer, akhirnya pada tanggal 15 September 1913 dibuka Sekolah Kartini di Jomblang (Semarang Selatan) yang dibuka oleh residen Semarang. Setelah itu disusul pendirian Sekolah Guru (Kweekschool) untuk guru-guru wanita di Salatiga pada tahun 1918. Tahun 1921
36
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 344-345.
37
pemerintah
membuka
Sekolah
Normal
(Normaalscholen)
untuk
pendidikan guru yang tingkatannya lebih rendah dari Kweekschool. Pada tahun 1913 didirikan “Perkumpulan Kartini” (Kartini Vareeniging) di Batavia dan tempat-tempat lain. Berkat bantuan dari “Dana Kartini” di Nederland dan Hindia Belanda serta subsidi pemerintah, maka kemudian dapat didirikan Sekolah Kartini di kota lain. Seperti di Batavia (1913), Meester Cornelis (1913), Buitenzorg (1913), Madiun (1914), Malang (1916), Pekalongan (1917), Cirebon (1916), dan Indramayu (1918).37
E. R.A Kartini dan Perjuangan untuk Kemajuan Bangsa R.A Kartini berkorespondensi kepada Nona E.H. Zeehandelaar yang merupakan sahabat dalam bertukar pikiran dan ide. Perkenalan R.A Kartini dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Lelie, majalah wanita yang waktu itu terkenal dengan sumbangan karangan dalam bidang sosial dan sastra.38 Salah satu isi surat R.A Kartini yang ditujukan kepada Stella, menceritakan bagaimana keberadaan perempuan Jawa yang tidak bisa mengakses pendidikan secara maksimal. Hingga usia 12 tahun, R.A Kartini harus dipingit di rumah dan tidak boleh bepergian. Kebudayaan Jawa yang membatasi perempuan keluar dari rumah, karena menganggap jika perempuan keluar rumah tanpa didampingi oleh suami, adalah merupakan aib bagi keluarga. Namun hal itu dilawan R.A Kartini dengan semangat kemajuan, dimana keberadaan beliau yang dipingit tidak 37 38
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 348. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 507.
38
menjadikannya diam dan pasrah dengan keadaan. Semangat untuk maju dan rasa ingin tahu yang tinggi, yang menjadikan R.A Kartini ingin terbebas dari kungkungan budaya yang lama, dan membawa perubahan pada budaya yang baru. Kami, anak-anak gadis yang masih terantai pada adat istiadat lama, hanya boleh mendapatkan sedikit kemajuan di bidang pendidikan. Anak-anak gadis setiap hari meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah sudah merupakan pelanggaran besar terhadap adat istiadat negeri kami. Untuk diketahui, adat di negeri kami melarang keras para anak gadis pergi ke luar rumah. Apalagi sampai pergi ke tempat lain, tidak boleh. Satusatunya lembaga pendidikan yang ada di kota kecil kami, hanya sekolah rendah umum biasa untuk orang-orang Eropa. Pada usia 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk “kotak”, terkurung di rumah, terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh kembali ke dunia itu lagi selama belum memiliki suami- seorang lelaki yang sama sekali asing, yang dipilih orang tua bagi kami untuk menikahi kami, sungguh tanpa sepengetahuan kami. Suatu kebahagiaan besar bagi saya bahwa saya masih boleh membaca buku-buku Belanda dan berkorespondensi dengan kawan-kawan yang ada di Belanda. Semua itu merupakan satu-satunya penerangan dalam masa saya yang suram dan sedih.39
Hal ini juga terlihat dalam kutipan surat R.A. Kartini berikut: Perkenalkan namaku Raden Ajeng Kartini, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Berumur 23 tahun. Lahir di Mayong, daerah Jepara, pada 21 April 1879. Menginginkan dididik menjadi guru (ijazah guru bantu dan guru kepala) di negeri Belanda. Dan yang terakhir ini ada banyak alasannya. Pertama, untuk memperluas pandangan, memperluas cakrawala pandangan jiwa, membuang prasangka yang masih melekat padanya dan menyebabkan hambatan, mengunjungi beberapa perguruan dan lembaga pendidikan di sana untuk mengetahui cara pendidikan dan pengajaran di Nederland; ini semua dimaksudkan agar dapat lebih baik menunaikan tugas yang ingin dipikulnya. Tujuan cita-cita ingin belajar di Eropa tersebut ialah: memberikan yang baik dari peradaban Belanda kepada bangsa kami, untuk memuliakan adat-istiadatnya; membawa bangsa itu kepada pandangan tata susila yang lebih tinggi sebagai sarana untuk mencapai keadaan masyarakat yang lebih baik dan lebih bahagia. Jalan yang kami harapkan untuk mencapai tujuan itu ialah: mendirikan 39
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 9.
39
sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan Jawa. Untuk sementara sebagai percobaan dan contoh, adalah sebuah sekolah berasrama untuk anak-anak perempuan kepala-kepala Bumiputra. Tujuannya ialah: agar ibu-ibu di pulau Jawa yang maju dan cerdas, dan akan meneruskan kemajuan dan kecerdasannya itu kepada anak-anaknya; anak-anak perempuannya yang akan menjadi kaum ibu lagi; anak-anak laki-lakinya, yang suatu ketika akan dipanggil, turut menjaga suka duka bangsa!.40
R.A.
Kartini
berusaha
mengatasi
konservativisme
dan
otoritarianisme. Perlu dicatat bahwa yang dilawan R.A. Kartini adalah ide, bukan orang. Sehingga dia bisa bekerjasama dan berinteraksi dengan kaum pria yang tercerahkan, yang tidak mendukung konservativisme. R.A. Kartini sangat menekankan penguasaan bahasa asing, yakni dalam hal ini bahasa Belanda. Pengetahuan bahasa asing bisa dan sangat berpotensi untuk memajukan seseorang, secara pribadi, dan bangsa, secara umum. Pengetahuan ini memungkinkan orang memahami wacana dan ide maju dari bangsa lain, untuk kemudian mencari inspirasi dan sintesis untuk kemajuan bangsanya. Pengetahuan ini juga memungkinkan orang untuk berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain, bergerak dalam aktivisme dan terlibat dalam jaringan (network) yang memungkinkan seseorang untuk membangun gerakan yang solid untuk mencari solusi dari masalah bangsa dan atau memberikan arah bagi kemajuan bangsa. Pertanyaan yang harus kami jawab itu semuanya sangat penting dan justru yang memenuhi benak dan sanubari kami, karena itulah kami tidak dapat dan tidak mau menjawabnya serampangan saja. Untuk menyebutkan contoh, pertanyaan pertama berbunyi: “Tindakan apa yang cocok untuk membuat bangsa Jawa lebih maju dan sejahtera?” Pertanyaan yang telah dipelajari oleh orang-orang yang beruban dan ahli. Dan pertanyaan itu harus kami jawab cepat dan lengkap pula. Pertanyaan 40
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 265-266.
40
kedua: “Ke arah mana pengajaran harus diperbaiki dan diperluas?. Ini pertanyaan yang bagi saya cukup dijawab dengan sepatah kata. Pertanyaan itu berbunyi, apakah arti perempuan dalam memajukan orang Jawa oleh para negarawan tidak terlalu sedikit diperhatikan? Yang mengajukan pertanyaan seperti itu pastilah seorang yang berpikiran modern. Dan pertanyaan yang terakhir, bagaimanakah cara memulai suatu usaha untuk lebih meningkatkan peradaban dan kemajuan perempuan jawa dari tingkat tinggi atau bawah, dan tidakkah dengan demikian usaha itu bertentangan dengan adat kebiasaan negeri?”41
Hal ini juga terlihat dalam kutipan surat R.A. Kartini berikut: Bantulah, teman-teman. Bantulah mengusahakan kami pergi dari sini untuk bekerja mewujudkan cita-cita kami. Akan tiba saat permulaan untuk mengakhiri ketidakadilan yang besar, yang menyebabkan ribuan hati perempuan dan anak hancur luluh. Saya hendak menekuni Bahasa Belanda sungguh-sungguh, menguasainya dengan sempurna, agar saya dapat berbuat dengan bahasa itu semau saya. Dan saya akan mencoba dengan pena saya menumbuhkan perhatian mereka, yang dapat memberi bantuan dalam usaha kami untuk memperbaiki nasib perempuan Jawa. Kami hendak berhubungan dengan kaum laki-laki bangsa kami terpelajar, yang suka akan kemajuan; hendak berusaha bersahabat dengan mereka dan selain itu mencoba mendapat bantuannya. Bukan orang laki-laki yang kami lawan, melainkan pendapat kolot yang turun-temurun, adat yang tidak terpakai bagi tanah jawa kami masa depan. Dari Jawa baru ini beberapa orang lain, baik laki-laki maupun perempuan, bersama-sama kami merupakan pelopor. Sepanjang masa perintis jalan itu dalam bidang apapun berat tanggung jawabnya, kami tahu. Senang sekali mempunyai cita-cita dan tujuan hidup.42
F. R.A Kartini dan Interaksinya dengan Kiai Saleh Darat R.A Kartini menurut Pramoedya Ananta Toer adalah seorang yang relijius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan, atau syariat, jadi ia termasuk golongan jawa, atau golongan kebatinan, di mana Tuhan dipahami sebagai sumber hidup yang mengikat setiap orang dengannya, tak peduli apa pun agama yang dianut, bahkan juga bagi si ateis sekalipun, 41 42
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 384. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 52.
41
sebagaimana jelasnya dinyatakannya dalam hubungan dengan buku Edna lyall „We Two‟. Ia dapat menerima agama apa pun, dan ia tidak dapat menerima pemutar balikan atas agama apa pun, sebagaimana halnya pernyataannya dalam hubungan dengan buku Sienkiewicz „Quo Vadis‟?43 Tahun berganti tahun, kami namanya orang Muslim, karena kami keturunan orang Muslim, dan kami namanya Muslim, lebih daripada itu tidak. Tuhan, Allah, bagi kami semata-mata kata seruan. sepatah kata, adalah bunyi tanpa arti dan rasa. Demikian kami hidup terus, sampai tiba hari yang membawa perubahan dalam kehidupan jiwa kami.44
Pandangan R.A Kartini mengenai agama sangat dekat dengan teologi pembebasan yang kita kenal sekarang. Agama seharusnya mencerahkan dan memajukan peradaban, bukan menjadi legimitasi orang untuk melakukan kekerasan pada orang lain, atau melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut: Kami mendapatkan banyak perhatian dari sahabat kalangan rakyat biasa. Dan alasan mengapa kami agak sedikit mengacuhkan agama sebab kami melihat banyak kejadian tak berperikemanusiaan yang dilakukan orang dengan berkedok agama. Lambat laun barulah kami tahu, bukan agama yang tiada memiliki kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu.45
Pencarian R.A Kartini akan adanya Tuhan semesta alam, tentu tidak lepas dari batinnya yang bertanya tentang adanya hidup di dunia. Kekosongan demi kekosongan telah menimbulkan tanda tanya dalam dirinya untuk mencari keberadaan seorang Tuhan. Dalam suratnya kepada Abendanon, tanggal 15 Agustus 1902, R.A Kartini pernah menceritakan tentang pertemuannya kepada orang tua yang telah membukakan 43
Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, 260-261. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 300. 45 R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 364. 44
42
pencariannya akan adanya Tuhan dalam Islam. Orang tua yang dimaksud disini adalah Kiai Saleh Darat dari Semarang. Di sini ada seorang tua, tempat saya meminta bunga yang berkembang di dalam hati. Sudah banyak yang diberikan kepada saya, sangatlah banyak lagi bunga simpanannya. Dan saya ingin lagi, senantiasa ingin lagi. Dan dengan sungguh-sungguh terdengarlah suaranya mengatakan: “Berpuasalah satu hari satu malam dan jangan tidur selama itu, juga harus mengasingkan diri di tempat yang sunyi.” “Habis malam datanglah cahaya, Habis topan datanglah reda, Habis duka datanglah suka, Berdesau-desaulah dalam telinga saya sebagai rekuiem. Saya tidak mau belajar lagi belajar membaca al Quran, belajar menghafalkan amsal dalam Bahasa asing, yang tidak saya ketahui artinya. Dan boleh jadi guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga tidak mengerti. “Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar semuanya.” Saya berdosa, kitab suci yang mulia itu terlalu suci untuk diterangkan artinya kepada kami.
Pertemuan R.A Kartini dengan Kiai Saleh Darat Semarang terjadi pada 19 Februari 1892 M, di kediaman Pangeran Ario Hadiningrat saat sedang diadakan pengajian bulanan yang diisi oleh Kiai Saleh Darat. Menurut catatan Ibu Nyai Fadhila Sholeh, cucu Kiai Saleh Darat, ketika pengajian yang diselenggarakan di rumah pangeran Ario Hadiningrat berlangsung, R.A Kartini dan pamannya ikut serta mendengarkan wejangan ilmu agama yang disampaikan oleh Kiai Saleh Darat. Materi yang disampaikan
adalah
tentang tafsir
surat
al-Fatihah.
R.A
Kartini
menyimaknya dengan seksama di balik tabir beserta dengan Raden Ayu atau Raden Ajeng yang lainnya. Ia kagum dengan apa yang disampaikan oleh Kiai Saleh Darat, sebab selama hidupnya, arti ayat-ayat al-Quran, terlebih al-Fatihah yang merupakan surat pertama yang diajarkan kepada
43
R.A Kartini dari guru ngajinya begitu asing. 46 “Selama ini surat al-Fatihah gelap artinya bagi saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai (Saleh Darat) telah menerangkan dalam bahasa Jawa yang saya pahami,” kata R.A Kartini usai mendapatkan penjelasan mengenai makna yang terkandung dalam surat al-Fatihah yang disampaikan Kiai Saleh Darat. Karena masih penasaran dengan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran, R.A Kartini meminta pamannya, pangeran Ario Hadiningrat agar berkenan mempertemukannya dengan Kiai Saleh Darat. Ketika keduanya bertemu, maka berlangsunglah sebuah dialog yang berkenaan dengan makna yang terkandung dalam al-Quran. Dialog tersebut adalah sebagai berikut: Kiai, perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya jika ada seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya?“, tanya R.A. Kartini Kiai Saleh Darat menimpalinya dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?“ “Kiai, selama hidup saya baru kali ini berkesempatan memahami makna surat al Fatihah, surat pertama dari induk al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,“ ujar R.A Kartini.
Kiai Saleh Darat tertegun mendengar jawaban dari R.A Kartini. Ia seolah-olah tak punya kata untuk menyela. Lalu R.A Kartini melanjutkan pembicaraannya dengan sang Kiai. Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-
46
Amirul Ulum, Kartini Nyantri, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Ulama, 2015, 177.
44
Quran ke dalam bahasa Jawa. Bukankah al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?47
Pertemuan Kiai Saleh Darat dengan R.A Kartini yang menjadi alasan Kiai Saleh Darat untuk menulis tafsir yang bernama Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan. Pertemuan tersebut terjadi sebelum 19 Februari 1892, atau sebelum R.A Kartini masuk pingitan (sekitar umur 12 tahun). sebab, Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan itu mulai ditulis pada malam Kamis 19 Februari 1892, dan selesai pada tanggal 9 Desember 1892. Dalam pembukaan kitab Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan yang memakai Bahasa Arab pegon, Kiai Saleh Darat menulis alasannya mengapa ia harus menulis tafsir terjemahan al-Qur‟an tersebut. Ia menulis alasannya sebagai berikut: “Saya melihat secara umum pada orang-orang awam tidak ada yang memperhatikan tentang maknanya al-Qur‟an karena tidak tahu caranya dan tidak tahu maknanya karena alQur‟an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka dari itu saya bermaksud membuat terjemahan arti al-Qur‟an.” Tentang alasan mengapa Kiai Saleh Darat memakai Bahasa Arab Pegon dalam menulis tafsirnya, hal ini disebabkan karena salah satunya agar tidak diketahui Belanda yang di waktu itu melarang penerjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Melayu atau Jawa. Terjemah tafsir tersebut diberikan
47
Matsuki HS dan M. Ishom El Seha, “Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren”, Jakarta: Diva Pustaka, 2006, 151.
45
kepada R.A Kartini pada tahun 1902. Di waktu memberikan tafsir itu, usia Kiai Saleh Darat sekitar 82 tahun.48 Ketika menerima terjemah tafsir al-Quran tersebut, R.A Kartini sangat bahagia. Bahasa Arab yang selama menjadi Bahasa yang sulit dipahami, melalui kitab Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan, R.A Kartini menjadi antusias mempelajari bahasa Arab meskipun mengalami sebuah kesulitan. Ia mengagumi isi yang terkandung dalam tafsir huruf arab pegon tersebut yang mengandung banyak makna. Dalam isi suratnya kepada tuan Abendanon, R.A Kartini secara jelas menerangkan sosok orang tua yang memberikan kepadanya sebuah naskah Arab Pegon. Karena merasa senangnya, seorang tua telah menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa yang kebanyakan menggunakan huruf Arab. Karena itu kini kami ingin belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Sampai saat ini buku-buku Jawa itu semakin sulit sekali diperoleh lantaran ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak. Kami sekarang sedang membaca puisi bagus, pelajaran yang arif dalam Bahasa yang bagus. Saya ingin sekali kamu mengerti bahasa kami. Aduhai, ingin benar saya membawa kamu untuk menikmati semua keindahan itu dalam Bahasa aslinya. Maukah kamu belajar Bahasa Jawa? Sulit, itu sudah tentu, tetapi bagusnya bukan main! Bahasa jawa itu Bahasa perasaan, penuh puisi dan kecerdikan. Kami sendiri sebagai anak negeri kerapkali tercengang tentang ketajaman bangsa kami.49
G. R.A Kartini feminis Islam dari Indonesia Kata feminisme berasal dari kata latin femina (perempuan) yang mempunyai makna “memiliki kualitas perempuan”, dan mulai dipakai istilah tersebut pada tahun 1890-an di sebuah publikasi The Athenaeum, 27 April 1895. Menurut Tuttle, pada zaman tersebut istilah feminisme baru
48 49
Amirul Ulum, Kartini Nyantri…, 179. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 123.
46
merupakan sebuah kesadaran dan belum merupakan sebuah kesadaran politik apalagi teoritis. Sejarah feminisme membuktikan bahwa wacana feminis kemudian berkembang pesat pada abad ke-20 dan kini merupakan salah satu teori yang sangat berpengaruh di hampir segala bidang ilmu, salah satunya masalah mengenai pendidikan.50 Dua
terminologi,
yakni
feminisme
dan
Islam,
keduanya
mempunyai semangat yang sama dalam mencapai keadilan antara laki-laki dan perempuan. Feminis, yang pada awal gerakannya muncul di barat sesungguhnya merupakan pergerakan sosial dan juga politik. Menurut Simone de Beauvoir, pergerakan perempuan paling awal dapat ditemui sejak abad ke -15. Christine de Pizan pada abad tersebut telah mengangkat penanya dan menulis soal ketidakadilan yang dialami perempuan.51 Sama halnya Islam, Nabi Muhammad saw dan beberapa perempuan, seperti Aisyah dan Khadijah, memusatkan perhatiannya pada bagaimana memberikan perempuan hak, status, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan muslim secara langsung terlibat dalam membentuk jati diri sebagai seorang perempuan muslim dengan menyajikan
“penafsiran
alternatif
al-Qur‟an”.
Dengan
demikian,
sebenarnya pergerakan kaum feminis bukanlah hal yang baru dalam tradisi Islam. Gerakan
feminisme
telah
banyak
membuktikan,
minimal
menyumbangkan inspirasi pemikiran, bahkan pemahaman terhadap 50
Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, 412. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2008, 125. 51
47
terciptanya dunia yang lebih baik dan lebih adil. Gerakan feminisme tidak hanya mempengaruhi lembaga-lembaga birokrasi pembangunan, sosial, bahkan juga mempengaruhi pandangan berbagai agama, paling tidak memaksa kaum agamawan untuk melihat, mengevaluasi kembali tafsiran terhadap posisi perempuan yang selama ini ada. Gerakan ini pula yang mendorong munculnya gugatan atas pelbagai kultur, tradisi yang mempengaruhi kondisi dan posisi perempuan di banyak tempat.52 Seperti juga yang dialami oleh R.A Kartini pada jamannya, yang melihat posisi perempuan diperlakukan tidak adil baik dari hak untuk mendapatkan pendidikan, memilih suami berdasarkan rasa cinta, dsb. Hal diatas berusaha R.A Kartini perjuangkan, demi mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Misalnya dalam hal poligami, yang diperbolehkan oleh agama Islam. Suami berhak memiliki istri lebih dari dua. Hal ini ditentang oleh R.A Kartini, yang dianggapnya perempuan merasa dirugikan, karena telah dimadu. Seperti yang diungkapkan Kartini dalam isi suratnya yang ditujukan kepada Nyonya R.M AbendanonMandri: Saya merasa putus asa. Dengan rasa pedih perih, saya pelintir tangan saya menjadi satu. Sebagai manusia, saya merasa tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu seorang diri, lebih-lebih dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi kebodohan perempuan itu sendiri. Aduh! Mungkin saja suatu waktu, nasib membebankan kepada saya, siksaan bernama poligami itu!”saya tidak mau!” mulut menjerit dengan kerasnya, dan hati menggemakan jeritan itu ribuan kali.
R.A Kartini tidak bisa menerima ketika poligami menjadi pilihan seorang laki-laki. Karena menurut R.A Kartini, dengan berpoligami, 52
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial…, 127.
48
pertama seorang suami sama saja menyakiti hati istri. Yang kedua, poligami menunjukkan sikap egoistik dari kaum lelaki. Dua hal tersebut menunjukkan bahwa posisi tawar seorang perempuan sangat rendah. Sehingga perempuan tidak dihargai dengan perlakuan yang dilakukan oleh lelaki. Munculnya gerakan feminisme, timbul akibat penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.53 Gerakan feminisme memiliki sejarah cukup panjang, yaitu dimulai di Barat sejak abad XVII, mengalami pasang surut. Baru pada tahun 1960ann khususnya di Amerika, mulai marak kembali dengan skala pengkajian dan penyebaran lebih intens dan meluas. Dalam kurun waktu itu dikenal berbagai aliran atau sebutan gerakan feminisme, seperti Feminisme liberal, Teori Feminisme Radikal, Teori Feminisme Marxis dan Sosialis, Teori Poststrukturalis dan Postmodernisme.54 Teori Feminisme Liberal Teori ini memfokuskan pada pertanyaan-pertanyaan mengapa anak perempuan banyak mengalami kegagalan meraih pendidikan tinggi. Mengapa mereka memilih ke jalur pendidikan praktis dan adakah stereotip-stereotip dalam pendidikan? Pembahasan feminisme liberal terutama berkisar pada persoalan akses pendidikan, peningkatan partisipasi 53
Achmad Muthali‟in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001, 41. 54 Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati…, 413.
49
sekolah pada anak perempuan, menyediakan program-program pelayanan bagi anak perempuan dari keluarga tidak beruntung dan melakukan penuntutan kesetaraan pendidikan yang sifatnya tidak radikal atau tidak mengancam. Teori Feminisme Radikal Kaum
feminis
radikal
melihat
penyebab
utama
adanya
ketidakadilan bagi perempuan di dalam dunia pendidikan adalah karena system patriarkal yang berlaku di masyarakat setempat. Diskursus yang dipakai dalam teori adalah budaya patriarkal, opresi seksualitas, pemberdayaan perempuan, mensentralkan kepentingan perempuan. 55 Teori Feminisme Marxis dan Sosialis Teori ini melihat ketidaksetaraan dalam pendidikan terjadi karena institusi-institusi pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih melayani kelas ekonomi atas. Teori yang di usung dalam marxis ini adalah mengenai kelas, produksi, dan kemiskinan. Teori Poststrukturalis dan Postmodernisme Teori ini pada dasarnya merupakan teori yang mengkritik dan mendekonstruksi filsasfat yang berpihak pada “fondasionalisme dan absolutisme”. Teori ini mengajak agar merubah kurikulum tetapi melihat bagaimana kurikulum bias jender terbentuk dan beroperasi secara luas.
55
Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati…, 414.
50
Dari sejarah panjang dan berbagai aliran tersebut diatas, jika diringkas feminisme memiliki dasar preposisi sebagai berikut: a. Feminisme muncul sebagai reaksi kesadaran beroposisi terhadap fitnah dan ketidakadilan perlakuan terhadap perempuan dalam bentuk oposisi dialektis terhadap praktek misogini. Yaitu, kekejaman kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. b. Ada keyakinan dalam masyarakat yang perlu diretas, dinyatakan bahwa identitas sosial jenis kelamin bersifat kultural, bukan bersifat biologis. c. Berkeyakinan
bahwa
adanya
kelompok
sosial
perempuan
merupakan penegas eksistensi kelompok sosial laki-laki, dalam arti bahwa kelemahan atau kelebihan kelompok sosial jenis kelamin tertentu sekaligus pula menampakkan kelompok sosial jenis kelamin yang lainnya. Maksudnya tidak ada jenis kelamin tertentu yang unggul secara mutlak dalam kehidupan. d. Adanya kesamaan sudut pandang dalam melihat dan memahami warisan sistem nilai yang berlaku, yang kemudian digunakan untuk menentang perbedaan dan pembatasan jenis kelamin yang dikonstruksi oleh budaya. e. Adanya
keinginan
untuk
menerima
konsep
manusia
dan
perikemanusiaan secara lebih hakiki.56
56
Achmad Muthali‟in, Bias Gender dalam Pendidikan…, 42.
51
Preposisi di atas dimaksudkan agar setiap manusia diberi peluang dan kesempatan yang sama menjadi yang terbaik khususnya perempuan. Dengan demikian, feminisme adalah merupakan gerakan untuk mencari peluang guna meraih kebebasan dan kemerdekaan kaum perempuan dari penindasan dan ketidakadilan.
52
BAB III PEMIKIRAN PENDIDIKAN R.A KARTINI
A. R.A Kartini dan Pendidikan Perempuan Perjuangan R.A Kartini dalam merintis pendidikan pada awalnya mengalami kesulitan, hambatan dan tantangan. Apalagi R.A Kartini adalah sosok seorang perempuan yang masih keturunan priyayi (kelas bangsawan Jawa), sehingga akses beliau untuk menempuh pendidikan banyak menemui hambatan. Namun niat R.A Kartini untuk memajukan perempuan Jawa, tidak berhenti begitu saja. Ide-ide yang terpendam dalam benak R.A Kartini, ia tuliskan kepada sahabat-sahabatnya dari Eropa. Surat yang ia tulis pada 7 Oktober 1900, kepada Nyonya R.M Abendanon–Mandri
mencurahkan
tentang
keinginannya
untuk
memberdayakan perempuan agar mandiri. Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, dan lubang. Jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendul, licin, belum dirintis. Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Sebab jalan tersebut sudah terbuka dan saya turut membantu meneratas jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan bumiputera. Saya sudah akan puas, apabila orangtua anak-anak perempuan lain yang juga hendak berdiri sendiri, tidak akan lagi dapat mengatakan: „Masih belum ada seorang pun di antara kita yang telah berbuat demikian.57
R.A Kartini menyadari bahwa pendidikan perempuan adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan. R.A Kartini dalam hal ini adalah seorang perintis dalam pendidikan perempuan di Indonesia. Pendidikan 57
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) Kumpulan Surat R.A Kartini yang Menginspirasi Wanita-wanita di Indonesia Sepanjang Masa, Jakarta: Penerbit Narasi, 2011, 99.
53
bagi perempuan adalah sebuah pembebasan terutama dari kekangan tradisi dan norma-norma adat yang kurang mendukung pendidikan untuk perempuan. Upaya R.A Kartini untuk memperjuangkan pendidikan perempuan bisa dilihat sebagai perwujudan agency R.A Kartini terutama aspek proyektifnya, yakni Kartini menginginkan bahwa perempuan Jawa punya kebebasan dalam menempuh pendidikan. Ini antara lain sejalan dengan perjuangan teman-teman R.A Kartini di Eropa yang memperjuangkan pendidikan perempuan. Upaya R.A Kartini juga bisa dilihat aspek agency lainnya, yakni practical evaluative. Dalam hal ini R.A Kartini melihat bahwa tradisi dan budaya Jawa saat itu belum mendukung pendidikan perempuan. Masyarakat Jawa pada saat itu lebih melihat dan memposisikan perempuan sebagai kelas kedua. Perempuan adalah pendukung suami dan dia tidak selayaknya diberi peran lain selain ibu rumah tangga. Idiom-idiom Jawa semacam kanca wingking, surga nunut neraka katut, menunjukkan kecenderungan ke arah sana. Perjuangan R.A Kartini
agar perempuan
diberikan akses
pendidikan terus ia gaungkan. Karena melalui tangan perempuan, seorang anak pertama kali mendapatkan nilai kasih sayang dan pendidikan dari sang ibu. Jika, ibunya memiliki pola asuh yang mengedepankan pendidikan, maka kelak ketika dewasa si anak juga akan mencontoh apa yang sudah diajarkan oleh seorang ibu. Sebagaimana yang ia tuangkan
54
dalam salah satu suratnya yang ia tujukan kepada Nyonya R.M Abendanon – Mandri, tertanggal 21 Januari 1901. Dengan gembira saya benarkan pikiran suami nyonya yang demikian jelas terbaca dalam surat edaran tentang pengajaran untuk anak-anak perempuan bumiputra: perempuan sebagai pendukung peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau yang buruk akan berakibat besar bagi kehidupan: bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia. Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata. Dan makin lama makin jelaslah bagi saya, bahwa pendidikan yang mulamula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimanakah ibu-ibu bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?58
R.A Kartini menyadari peran sentral perempuan dalam pendidikan terutama dalam menyiapkan generasi penerus. R.A Kartini melihat bahwa perempuan adalah pendidik pertama dalam keluarga. Ungkapan Kartini “meninggikan kadar kesusilaan manusia”, menunjukkan posisi sentral perempuan dalam meneguhkan dan membangun pendidikan nilai sebuah bangsa yang tentunya dimulai dari keluarga. Dari sisi itu R.A Kartini melihat pentingnya mendidik perempuan antara lain karena peran mereka dalam mendidik bangsa dan generasi penerus. Masa depan bangsa sangat tergantung pada kadar pendidikan perempuan. Dalam hal ini kita bisa melihat agency R.A Kartini terutama aspek proyektifnya, yakni ambisi dan keinginan R.A Kartini untuk menyiapkan perempuan pendidik yang sangat penting bagi kemajuan bangsa.
58
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 112.
55
Pemikiran pendidikan R.A Kartini dalam upaya memajukan perempuan di Indonesia dengan cara mendirikan sekolah untuk para perempuan. Sekolah tersebut merupakan salah satu cita-cita Kartini untuk memajukan perempuan Indonesia dari keterbelakangan. Dalam salah satu suratnya, R.A Kartini mengemukakan idenya tersebut kepada sahabatnya yang berada di Belanda, Tuan H.H van Kol. Di mana R.A Kartini, ingin sekolah ke Eropa (Belanda), tidak lain karena ingin memajukan pendidikan bagi perempuan di Jawa dengan mendirikan sekolah-sekolah. Tujuan cita-cita ingin belajar di Eropa tersebut ialah: memberikan yang baik dari peradaban Belanda kepada bangsa kami, untuk memuliakan adat-istiadatnya; membawa bangsa itu kepada pandangan tata susila yang lebih tinggi sebagai sarana untuk mencapai keadaan masyarakat yang lebih baik dan lebih bahagia. Jalan yang kami harapkan untuk mencapai tujuan itu ialah: mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan Jawa. Untuk sementara sebagai percobaan dan contoh, adalah sebuah sekolah berasrama untuk anak-anak perempuan kepala-kepala Bumiputra. Tujuannya ialah: agar ibu-ibu di pulau Jawa yang maju dan cerdas, dan akan meneruskan kemajuan dan kecerdasannya itu kepada anak-anaknya; anak-anak perempuannya yang akan menjadi kaum ibu lagi; anak-anak laki-lakinya, yang suatu ketika akan dipanggil, turut menjaga suka duka bangsa!59
Tekad dan perjuangan R.A Kartini untuk maju dan berpikir secara modern, tentu tidak lepas dari buku-buku yang dibacanya. Dari kakaknya, Kartono ia selalu mendapat buku-buku mengenai masalah-masalah dunia modern, seperti emansipasi, revolusi Prancis, dan buku-buku sastra dari penulis kenamaan. Semua itu mengantarkan R.A Kartini kepada pengertian mengenai soal-soal sosial politik.60
59
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 265. Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi, Rujukan Figur Pemimpin Teladan, Jakarta: Balai Pustaka, 2011, 64. 60
56
Ia selalu gemar sekali membaca, namun kini kesenangannya terhadap bacaan sudah menjadi bagian hidupnya. Apabila ia telah menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, segera ia memegang buku atau surat kabar. Ia membaca semuanya yang tertangkap oleh bola matanya. Ia melahap semua bacaan, bercampur antara yang baik dan yang buruk. Banyak sekali buku yang dinikmatinya, buku yang tak terkatakan bagusnya yang membuatnya dapat melupakan semua kesedihan dalam hidupnya. Tabiat-tabiat baik, pandangan hidup mulia, jiwa dan pikiran besar, membuat hatinya berkobar-kobar kegirangan dan gemetar karena berbesar hati. Ia menghayati sepenuhnya semua yang dibaca.61
Kegemaran
R.A
Kartini
akan
bacaan
mengantarkan
pengetahuannya yang luas dalam mengenal budaya dan wawasannya terhadap dunia. R.A Kartini tidak sekedar membaca buku, tapi ia berusaha menyelami pemikiran sang penulis dalam kehidupan sehari-hari. Hingga akhirnya hasil bacaan tersebut, menghasilkan renungan yang ia tuliskan dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat, dan teman penanya. Sementara adat feodal yang terjadi di lingkungan kerajaan, membatasi akses perempuan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Karena perempuan pada usia 12 tahun juga harus diipingit, tidak diijinkan untuk bergaul dengan dunia luar. Hal ini R.A Kartini sampaikan kepada sahabat penanya di Belanda Nona Stella Zeehandelaar. Perkenalan Kartini dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Lelie, majalah wanita yang banyak membahas mengenai sosial dan sastra. Itu pikiran yang mulia, nyonya. Kalau hal itu dilaksanakan tentu akan membawa berkah bagi dunia wanita bumiputra. Berkah itu akan menjadi semakin besar jika anak-anak perempuan juga diberi kesempatan mempelajari salah satu kepandaian yang memungkinkannya dapat menempuh jalan hidupnya sendiri. Tentunya apabila setelah mendapat pelajaran tersebut ia kembali lagi ke dunianya yang dulu. Anak perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan serta pandangannya telah diperluas tidak akan sanggup lagi hidup dalam dunia nenek moyangnya.62 61 62
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 70. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 86.
57
Suratnya yang ditujukan kepada Nyonya M.C.E Ovink-Soer, R.A Kartini mengutarakan agar perempuan diberikan kesempatan untuk pendidikan yang lebih tinggi. R.A Kartini bercerita kepada Nyonya Ovink yang dianggap sebagai ibunya sendiri, agar bisa pergi belajar ke Eropa (baca: Belanda). Kartini berkata, “Saya ingin belajar menjadi guru, agar dapat mengajarkan kepada para calon ibu- disamping ilmu pengetahuanjuga pengertian kasih dan keadilan seperti yang kami ketahui dari orangorang Eropa”. Keinginan
R.A
Kartini
tersebut
tentu
tidak
berlebihan,
menginginkan agar perempuan dan laki-laki diberikan akses yang sama untuk menuntut ilmu. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hujarat ayat 13:
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal (Q.S. al-Hujurat: 13).
58
Dalam konteks modern, pendidikan perempuan dianggap sebuah investasi yang strategis bagi pengembangan sumber daya manusia. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Educating girls and women is probably the single most effective investment a developing country can make, whether or not women work outside the home. It creates a multitude of positive remunerations for families including better family health and nutrition, improved birth spacing, lower infant and child mortality, and enhanced educational attainment of children63 (Mendidik para gadis dan perempuan adalah investasi paling efektif dalam membangun bangsa, baik perempuan itu bekerja di luar rumah atau tidak. Ini menciptakan banyak manfaat positif bagi keluarga, termasuk kesehatan keluarga dan nutrisi, meningkatnya jarak kehamilan, menurunnya angka kematian bayi dan anak, dan meningkatnya tingkat pendidikan anak).
B. R.A. Kartini dan Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merumuskan pendidikan karakter sebagai proses pendidikan yang melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action), sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup seseorang.64 Dalam
hal
pendidikan
karakter,
R.A
Kartini
pernah
mengemukakan idenya tersebut dalam suratnya yang ditujukan kepada Nyonya N. van. Kol yang dianggap sebagai ibu sendiri. Isi suratnya tersebut R.A Kartini sampaikan bahwa pendidikan erat kaitannya dengan 63
Ilhan Ozturk, “The Role of Education in Economic Development”, Journal of Rural Development and Administration, Volume 33, No. 1, Winter 2001, 40-41. 64 Budhy Munawar-Rachman, Pendidikan Karakter: Pendidikan Menghidupkan Nilai untuk Pesntren, Madrasah, dan Sekolah, Jakarta: The Asia Foundation, Yayasan Paramadina, dan Associatian for Living Values Education Indonesia, 2015), xvi.
59
tata susila atau akhlak, dimana jika seseorang yang berpendidikan maka akan menjadikan masyarakat yang mempunyai derajad dan peradaban yang tinggi. R.A Kartini berkata, ”Saya berharap dengan pendidikan dapat membantu pembentukan watak, dan yang paling utama adalah cita-cita. Cita-cita ini wajib dikembangkan oleh pendidikan, terus-menerus, tak henti-hentinya”.65 Di lain hal, R.A Kartini juga mengemukakan bagaimana pentingnya mengenyam pendidikan agar masyarakat pandangannya menjadi maju dan terbuka. Hal-hal yang baik dari bangsa lain, kini ingin sekali kami berikan kepada bangsa sendiri. Bukan untuk mendesak sifat-sifat asli yang baik dan menggantinya dengan yang asing, melainkan untuk memuliakannya. Turut membantu menaikkan derajad bangsa, meningkatkannya ke arah pandangan tata susila yang lebih tinggi hingga mencapai masyarakat yang lebih baik dan lebih bahagia, adalah cita-cita kami yang patut kami perjuangkan seumur hidup! Bagaimana cara mencapai cita-cita itu? Dengan apa? Semua harus dimulai dari awal yaitu: pendidikan!66
Dari kutipan tersebut kita bisa melihat bahwa pendidikan bukanlah mengambil peradaban dan budaya lain ke dalam budaya Indonesia atau budaya Jawa. Pendidikan karakter seharusnya menjadi bagian utama dari pendidikan. R.A Kartini memahami pendidikan karakter harus berakar pada nilai-nilai budaya setempat, dalam hal ini budaya Jawa. Peradaban yang asli tidak akan pernah lahir dari percampuran budaya dan peradaban asing. Tapi harus berakar dari budaya dan peradaban setempat, tentunya dengan berinteraksi dengan nilai-nilai positif dari budaya lain. Pandangan R.A Kartini tentang pendidikan karakter terbentuk dari keseharian kondisi sosial
65 66
R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 298. R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 111.
60
kultural masyarakat Jawa pada era itu. Dalam hal ini kita bisa melihat agency R.A Kartini, terutama aspek practical evaluative, yakni R.A Kartini memberi respon terhadap masyarakat Jawa yang kurang apresiatif terhadap pendidikan dan melihat pendidikan adalah upaya westernisasi (pembaratan). Sebagai respon terhadap hal itu, R.A Kartini menyatakan bahwa inti dari pendidikan adalah pendidikan karakter, yang berakar pada budaya setempat. Pendidikan yang ditujukan tidak bermaksud mencerabut seseorang dari akar budayanya dan menjadikannya orang asing. Telah lama dan telah banyak saya memikirkan perkara pendidikan, terutama akhir-akhir ini. Saya pandang pendidikan itu sebagai kewajiban yang demikian mulia dan suci, sehingga saya pandang suatu kejahatan apabila tanpa kecakapan yang sempurna saya berani menyerahkan tenaga untuk perkara pendidikan. Sebelumnya harus dibuktikan, apakah saya mampu menjadi pendidik. Bagi saya pendidikan itu merupakan pembentukan budi dan jiwa. Aduh, sama sekali saya tidak akan dapat berpuas diri apabila sebagai guru, saya merasa tidak dapat menjalankan tugas seperti yang saya wajibkan sendiri kepada pendidik yang baik, walaupun misalnya orang tidak merasa tidak puas juga terhadap saya. Saya merasakan demikian, bahwa dengan mengembangkan pikiran saja tugas pendidik belum selesai, belum boleh selesai. Seorang pendidik harus juga memelihara pembentukan budi pekerti, walaupun tidak ada hukum yang secara pasti mewajibkannya melakukan tugas itu. Secara moral ia wajib berbuat demikian. Peradaban, kecerdasan pikiran, belumlah merupakan jaminan bagi kesusilaan. Dan orang tidak boleh terlalu menyalahkan mereka yang budi pekertinya tetap jelek meskipun pikirannya cerdas benar. Sebab dalam kebanyakan hal, kesalahan tidak terletak pada mereka sendiri, melainkan pada pendidikan mereka.67
Kalimat R.A Kartini yang menyatakan “Bagi saya pendidikan itu merupakan pembentukan budi dan jiwa”, adalah merupakan bagian dari pendidikan karakter, dimana kepribadian total manusia secara seimbang dilatih melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia itu sendiri. R.A Kartini juga mengemukakan 67
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 111.
61
bagaimana seorang guru atau pendidik juga mempunyai akhlak yang baik. Karena dari tangan seorang pendidik, akan lahir anak-anak yang pintar namun juga terjaga tingkah lakunya. “Seorang pendidik harus juga memelihara pembentukan budi pekerti”. Menurut Ahmad Muhammad Jamal, pendidikan Islam dan dakwah Islam dapat dibedakan atas dasar objek formalnya. Objek pendidikan Islam adalah subjek didik yang dididik di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sedangkan objek dakwah Islam adalah masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam, dan para rasul diutus untuk meluruskan penyimpangan tersebut. Menurut Muhammad Jawwad Rida, inti pendidikan Islam sebagai „madrasah‟ (tempat belajar) bagi umat Islam. Berdasarkan pengertian itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai usaha yang dilakukan Islam dalam rangka pembentukan masyarakat „baru‟, sebagai lawan bagi masyarakat Jahiliyyah. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Muhammad al-Sayyid Sultan, bahwa Islam adalah suatu kekuatan edukatif (quwwah tarbiyah). Dalam arti, Islam memiliki peranan edukatif dalam membentuk suatu masyarakat agar mempunyai nilai-nilai moral dan sosial dalam pengertian yang luas. Secara lebih rinci Abdurrahman
al-Nahlawi
menyebutkan
bahwa
pendidikan
Islam
merupakan suatu proses penataan individual dan sosial yang dapat menjadikan seseorang tunduk dan taat sekaligus menerapkan Islam secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. Berdasarkan pengertian itu, pendidikan Islam bertugas membimbing manusia agar
62
dapat menjalankan amanat yang diembannya. Amanat itu bersifat individual dan sosial.68 Dalam suratnya yang lain, R.A Kartini menuliskan juga bagaimana mendidik tidak sekedar menjadi guru. Tapi juga harus bisa memberikan contoh yang baik kepada peserta didik. Jika sudah pasti tidak bisa mendidik satu bangsa yang jumlah penduduknya 27 juta jiwa, maka lebih mudah untuk sementara mendidik pada lapisan-lapisan tertinggi bangsa itu. Lapisan yang telah maju itu akan merupakan berkah bagi lapisan-lapisan di bawahnya. Rakyat biasanya sangat lekat dengan bangsawannya dan apa yang datang dari bangsawan akan mudah ditiru oleh rakyat. Bangsawan berhak akan sanjung puji rakyat dan itu harus patut dijunjung tinggi. Budi luhur ini akan sangat berguna bagi rakyat. Ke arah itulah bangsawan harus dibawa oleh pemerintah. Dan ini hanya dapat dicapai apabila bangsawan diberi pendidikan yang baik, pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguhsungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula. Dengan kecerdasan otak, maka dengan sendirinya perasaan akan menjadi beradab, menjadi mulia. Begitu banyak yang tak terhitung yang membuktikan, bahwa kecerdasan pikiran yang tinggi masih belum merupakan jaminan yang mutlak untuk keluhuran budi. Pendidikan harus memperhatikan perkembangan akhlaknya. Tanpa budi pekerti, pengajaran yang terbaik pun tidak akan menghasilkan sesuatu sangat diharapkan.69
Pada kalimat “pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula. Dengan kecerdasan otak, maka dengan sendirinya perasaan akan menjadi beradab, menjadi mulia”, dengan jelas R.A Kartini menggambarkan bahwa pendidikan itu penting, namun yang lebih utama dalam pendidikan adalah menjaga akhlak dengan baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman, bahwa Islam
68
Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, 46-47. 69 R.A. Kartini, Habis Gelap terbitlah Terang…, 468.
63
memandang
ilmu
pengetahuan
itu
baik,
yang
buruk
adalah
penyalahgunaannya. Manusia boleh mengembangkan ilmu pengetahuan asal disertai dengan tanggung jawab (responsibility). Menurut Rahman, manusia memiliki kebebasan (freedom). Dengan kata lain, manusia memiliki
kebebasan
dalam
melakukan
apapun,
termasuk
dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Jika tidak bisa menjaga akhlaknya maka manusia akan mengalami krisis. Sebagaimana Fazlur Rahman dalam analisisnya menyatakan bahwa krisis yang dialami manusia meliputi krisis identitas, krisis kesadaran, dan krisis kepercayaan, karena manusia lupa akan dirinya dan mengembangkan potensi dirinya.70
C. Relevansi Pemikiran R.A Kartini terhadap Pendidikan Humanistik Pendidikan humanistik adalah di mana seseorang harus mempunyai kemampuan untuk mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar (self regulated learning), apa yang akan dipelajari dan sampai tingkatan mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Ide pokoknya adalah bagaimana seseorang yang belajar mengarahkan diri sendiri, sekaligus memotivasi diri sendiri dalam belajar daripada sekedar menjadi penerima pasif dalam proses belajar. Dari beberapa penelitian dengan mengarahkan dan memotivasi diri sendiri, seseorang lebih memiliki motivasi besar untuk belajar.71
70
Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam…, 38. Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008, 142. 71
64
Aliran humanistik memandang bahwa belajar bukan sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh bagian atau domain yang ada. Domain-domain tersebut meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan
kata
lain,
pendekatan
humanistik
dalam
pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar itu tidak hanya dalam domain kognitif saja, tetapi bagaimana menjadi individu yang bertanggungjawab, penuh perhatian terhadap lingkungannya, serta mempunyai kedewasaan emosi dan spiritual.72 Seperti kutipan dari surat R.A Kartini yang ditujukan kepada Tuan E.C Abendanon. Bagaimana jalannya memasukkan landasan budi pekerti itu pada orang dewasa dan setengah dewasa? Menurut pertimbangan saya adalah dengan bacaan. Patutlah diterbitkan majalah yang berisi bacaan ringan (supaya banyak dibaca orang), tetapi selalu dengan maksud hendak mendidik. Cita-cita yang serupa dengan yang hendak kami capai dalam usaha mendidik anak-anak yaitu sambil bermain-main kami beri pelajaran dan kami didik, kenapa tidak dapat diturut pula dalam usaha mendidik orang dewasa?73
Hal ini juga terlihat dalam kutipan surat R.A. Kartini lainnya:
Jika sudah pasti tidak bisa mendidik satu bangsa yang jumlah penduduknya 27 juta jiwa, maka lebih mudah untuk sementara mendidik pada lapisan-lapisan tertinggi bangsa itu. Lapisan yang telah maju itu akan merupakan berkah bagi lapisan-lapisan di bawahnya. Rakyat
72 73
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran…, 142. R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 389.
65
biasanya sangat lekat dengan bangsawannya dan apa yang datang dari bangsawan akan mudah ditiru oleh rakyat. Bangsawan berhak akan sanjung puji rakyat dan itu harus patut dijunjung tinggi. Budi luhur ini akan sangat berguna bagi rakyat. Ke arah itulah bangsawan harus dibawa oleh pemerintah. Dan ini hanya dapat dicapai apabila bangsawan diberi pendidikan yang baik, pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguhsungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula. Dengan kecerdasan otak, maka dengan sendirinya perasaan akan menjadi beradab, menjadi mulia. Begitu banyak yang tak terhitung yang membuktikan, bahwa kecerdasan pikiran yang tinggi masih belum merupakan jaminan yang mutlak untuk keluhuran budi. Pendidikan harus memperhatikan perkembangan akhlaknya. Tanpa budi pekerti, pengajaran yang terbaik pun tidak akan menghasilkan sesuatu sangat diharapkan.74
Dari pernyataan R.A Kartini di atas, terlihat jelas bahwa apa yang dituliskan oleh R.A Kartini adalah selaras dengan konsep pendidikan humanistik. Di mana seseorang dinilai tidak hanya pintar secara aspek kognitif saja, melainkan juga emosi dan spiritual berperan penting dalam pembentukan akhlak dan karakter individu. Seperti kutipan yang ditulis R.A Kartini, “pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula. Dengan kecerdasan otak, maka dengan sendirinya perasaan akan menjadi beradab, menjadi mulia”. Para ahli psikologi pendidikan menyatakan bahwa pada dasarnya pendidikan humanistik bukanlah sebuah strategi belajar, melainkan sebagai sebuah filosofi belajar yang sangat memperhatikan keunikankeunikan yang dimiliki oleh seseorang, bahwa setiap pribadi mempunyai cara sendiri dalam mengkonstruk ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.
74
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 468.
66
Pembelajaran dengan pendekatan ini juga lebih menghargai domaindomain lain yang ada dalam diri seseorang selain domain kognitif dan psikomotorik,
sehingga
dalam
proses
pembelajarannya
nilai-nilai
kemanusiaan yang ada dalam diri seseorang mendapatkan perhatian untuk dikembangkan.75 Pendidikan humanistik dalam The Encyclopedia of Education dimaknai sebagai: an education shaped by these guiding assumptions of humanism– will be a nonspecialist or general education, an education in humanity rather than in the knowledge peculiar to a distinct profession. Accordingly, each interpretation of the distinctively human powers could in principle generate a corresponding form a nonspecialist education entitled to be called humanistic. (pendidikan yang bersumber dari asumsi ajaran humanisme. Model pendidikan ini lebih merupakan pendidikan kemanusiaan daripada pendidikan tentang pengetahuan-pengetahuan yang khusus untuk profesi tertentu. Pendidikan humanistik adalah pendidikan umum sehingga bukan pendidikan spesialis. Penafsiran terhadap kekuatan manusia yang unik pada dasarnya dapat menghasilkan bentuk yang sama dengan pendidikan non-spesialis yang disebut dengan humanistik).76 Sebagaimana yang dikemukakan oleh R.A Kartini dalam salah satu suratnya. Kami telah turut merintis jalan menuju ke situ dan itu pun sudah membuat hati kami bahagia. Jangan cemas, calon suami saya tidak akan membatasi gerak saya. Bahkan sebaliknya, karena cita-cita saya yang membumbung tinggi itulah, maka pandangannya terhadap saya naik. Karena itu maka akan lebih banyak lagi kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengembangkan sayap saya. Lapangan usaha saya akan diperluasnya.77
75
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran…, 143. Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”, Jurnal Kajian Islam, vol. 3, no. 2, 2011, 167. 77 R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, 427. 76
67
Juga terlihat dalam surat R.A Kartini yang lain: Simpati saudara sekalian terhadap usaha kami membuat kami bahagia, simpati seperti itu bagi kami merupakan bantuan batin yang besar dan membuat kami memiliki harapan yang lebih banyak lagi, memiliki keberanian yang lebih banyak dan kepercayaan yang lebih banyak menghadapi hari depan, yang pasti sekali bukan hanya akan membawakan bunga dan cahaya matahari bagi kami, melainkan banyak sekali perjuangan, kesusahan dan barangkali duka cita pula. Tetapi tanpa perjuangan dan susah payah di manakah akan kita peroleh sesuatu yang bernilai? Kami sudah dapat memastikan harus berjuang dengan gigih dan tegar hati. Sebab pendapat lama yang turun-temurun, pikiran yang telah berkarat, tidak akan tersisihkan dengan satu helaan napas. Harus banyak air mata meleleh, harus banyak darah luka hati mengalir, untuk menghanyutkan warisan pikiran turun-temurun yang tak membawa rahmat, untuk menghapus pikiran yang telah berkarat. Kami tahu, tetapi kami tetap berlutut juga di muka altar keinginan jiwa kami, cita-cita kami!. Keberatan, kesulitan, tak dapat diingkari adanya. Tetapi haruskah karena segala itu kami mengabaikan perkara kami dan duduk bertopang dagu?. Begitu indah kemenangan yang hendak kami capai atas kebodohan, atas prasangka bangsa kami bagi bangsa itu sendiri. Kemenangan yang gilang gemilang patut kami perjuangan seumur hidup, sebab kemenangan itu akan mendatangkan rahmat bagi amat banyak orang.78
Pemikiran R.A. Kartini tentang pendidikan, lebih lanjut, bisa dilihat keselarasannya dengan konsep pendidikan humanistik teistik, atau lebih spesifik, humanistik-Islami. Humanistik teistik adalah sebuah pandangan humanistik yang berdasar pada nilai-nilai ketuhanan. Dalam hal ini humanistik teistik adalah sebuah respons terhadap konsep humanistik ateistik, yang lebih menekankan kebebasan individu, dengan mengabaikan peran dan kuasa Tuhan.79 Konsep
“pendidikan
humanistik-Islami”
mencakup dua konsep
pendidikan yang ingin diintegrasikan, yakni pendidikan humanistik dan pendidikan Islam. Dalam pengintegrasian dua konsep pendidikan ini
78 79
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 369-370. Arthur James Balfour, Theism and Humanism, Seattle: Inkling Books Seattle, 2000, 19-20.
68
dimaksudkan juga untuk mengurangi kelemahannya. Pendidikan humanistik yang menekankan kemerdekaan individu diintegrasikan dengan pendidikan religius (Islam) agar dapat membangun kehidupan sosial yang menjamin kemerdekaan dengan tidak meninggalkan nilai ajaran agama. Kemerdekaan individu dalam pendidikan humanistik-Islami dijiwai dengan spirit ajaran Islam yang bersumber pada al-Quran dan Hadits. Nilai-nilai agama diharapkan menjadi pendorong perwujudan nilai-nilai kemanusiaan. Pemisahan antara kedua konsep tersebut akan menyebabkan tidak terwujudnya nilai-nilai humanisme Islam dalam sistem pendidikan.80 Kata “Islam” dalam istilah tersebut tidak dimaksudkan untuk mendikotomikannya dari jenis pendidikan lain, meskipun dengan sendirinya memasuki wilayah perbedaan antara keduanya. Lafal “Islam” hanya untuk menegaskan bahwa kajiannya didasarkan pada nilai-nilai atau ajaran Islam. Karena itu, “pendidikan humanistik-Islami” hanyalah merupakan suatu model pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam yang pelaksanaannya menggunakan humanisme sebagai pendekatan. Pendidikan ini menjadikan humanisme Islam sebagai pijakan dalam pelaksanaannya.81 Dalam Islam, pemikiran pendidikan humanistik bersumber dari misi utama kerasulan Muhammad, yaitu memberikan rahmat dan kebaikan kepada seluruh umat manusia dan alam semesta. Sebagaimana terdapat pada Al Quran surat Saba’/34 ayat 28. 80 81
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 166. Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 167.
69
Artinya: “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Spirit ayat inilah yang mengilhami pemikiran pendidikan yang dikembangkan menjadi pendidikan humanistik. Pendidikan Islam yang dibangun atas dasar sifat dan karakteristik dan nilai-nilai humanisme disebut pendidikan humanistik-Islami. Pemikiran ini merupakan sebuah hasil olah pikir atau ijtihad para cendekiawan muslim pakar pendidikan tentang upaya mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar humanisme Islam. Hal ini menunjukkan titik sinkron antara konsep pendidikan Islam dan makna dasar humanisme yang berarti pendidikan bagi manusia.82 Pendidikan humanistik dalam Islam bisa didefinisikan sebagai “proses pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius, ‘abdullah dan khalifatullah, serta sebagai individu yang
diberi
kesempatan
oleh
Tuhan
untuk
mengembangkan
potensi-
potensinya”.Pendidikan humanistik-Islami akan merealisasikan tujuan humanisme Islam,
yaitu
keselamatan
kemuliaannya. Sistem
pendidikan
dan ini
menjadi ‘abdullah dan khalifatullah sebagai
82
kesempurnaan akan
manusia
membentuk
manusia
karena
peserta
mulia.
didik
Pemikiran
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 168.
70
pendidikan ini Pendidikan humanistik memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Allah dengan fitrah-fitrah tertentu. Hal ini ditandai dengan kepemilikan hak hidup dan hak asasi manusia.83 Pengembangan potensi ini hanya mungkin terwujud bila pelaksanaan pendidikan didasarkan pada prinsip humanisme, yaitu terlindunginya nilai-nilai hidup, harkat, dan martabat manusia. Al-Attas mendasarkan konsep ta’dib pada sebuah Hadis Nabi: Addaba-ni Rabbi fa-ahsana ta’dibi (Tuhan telah mendidikku dan kemudian menyempurnakan pendidikan akhlakku). Kandungan ta’dib adalah akhlak. Ta’dib dimaksudkan dengan mendidik yang lebih tertuju kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak. Konsep ini sesuai dengan tema sentral humanisme Islam, yaitu kebaikan akhlak. Hal ini berbeda dengan humanisme Barat yang pendidikannya ditujukan hanya untuk pengembangan diri yang matang (self actualization). Akhlak mulia tidak sama dengan moralitas di Barat. Di sinilah terletak hakekat pengembangan potensi dalam paradigma pendidikan Islam.84 Pengembangan potensi ini hanya mungkin terwujud bila pelaksanaan pendidikan didasarkan pada prinsip humanisme, yaitu terlindunginya nilai-nilai hidup, harkat, dan martabat manusia. Perlindungan ini berfungsi untuk menjamin potensi anak didik supaya bisa teraktulisasi secara maksimal. Pendidikan humanistik dalam Islam berupaya memahami kebenaran, kebaikan universal, dan aktualisasi diri lebih jauh ke kehidupan spiritual (dimensi vertikal), di samping memahami realitas dan permasalahan kehidupan manusia (dimensi horizontal) dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, pendidikan humanistik-Islami 83 84
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 169. Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 169.
71
adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai humanisme Islam, yaitu liberasi, humanisasi, dan transendensi. 85 Konsep
pendidikan
humanistik
disinyalir
berakar
dari
psikologi
humanistik, yang dikembangkan Abraham Maslow. Maslow merumuskan hirarki kebutuhan (hierarchy of needs), yang mencakup: (a) kebutuhan fisiologis (physiological needs), (b) kebutuhan akan rasa aman dan nyaman (safety and security), (c) kebutuhan akan kasih sayang dan keterikatan (love and belonging), (d) kebutuhan akan harga diri (self esteem), dan (e) kebutuhan akan aktualisasi diri.86 Pengembangan potensi ditujukan pada ciri utama manusia, berupa kemampuan diberi motivasi guna mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan ini dalam pandangan Maslow memberikan tekanan lebih besar pada pengembangan potensi seseorang, terutama potensinya untuk menjadi manusiawi, memahami diri dan orang lain serta berhubungan dengan mereka, mencapai pemuasan atas kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, tumbuh ke arah aktualisasi diri. Pendidikan ini akan membantu orang menjadi pribadi yang sebaik-baiknya sesuai kemampuannya. Dengan teraktualisasinya potensi itu, manusia akan menjadi manusia yang sesungguhnya.87 Dengan demikian, hubungan humanisme dengan pendidikan berkisar pada asumsi etis yang diasosiasikan dengan konsep yang ditawarkan kalangan humanis tentang
kemampuan
manusia.
Manusia
diasumsikan
sebagai
sumber
85
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 170. Abraham Maslow, “A Theory of Human Motivation”, Psychological Review, vol. 50 (1943), 370. 87 Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 168. 86
72
kesempurnaan dan kebaikan. Sifat baik itu dimiliki setiap orang yang memiliki kesempatan dan kemampuan intelektual untuk menerima pendidikan. Untuk itu, teori pendidikan harus didasarkan pada identifikasi yang sebenarnya tentang manusia
dan
merancang
pembelajaran
yang
akan
menyempurnakan
kemampuannya berdasar atas nilai kemanusiaan tersebut.88 Pemikiran R.A. Kartini tentang pendidikan bersentuhan dengan konsep psikologi humanistik, terutama tentang aktualisasi diri. R.A. Kartini sendiri adalah wujud nyata dari proses aktualisasi diri. Dia tidak berhenti pada kebutuhan yang berkisar pada fisiologis dan psikologis, namun sudah beranjak ke aktualisasi diri. Namun perlu dicatat bahwa aktualisasi diri R.A. Kartini tidak berhenti pada wilayah yang duniawi dan tidak terkait dengan Tuhan. Aktualisasi diri R.A. Kartini terkait dengan pendidikan akhlak, yang merupakan penyangga utama dari pendidikan Islam. Dalam surat-surat R.A. Kartini terlihat pemikirannya tentang pendidikan akhlak. Dengan demikian, arah dari aktualisasi diri R.A. Kartini bukanlah menjadi
“super woman” (perempuan super) namun
menjadi
“khalifatullah fil ‘ard” (orang yang diberi tugas menjadi sosok pemimpin di muka bumi).
88
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 168.
73
BAB IV KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN R.A. KARTINI DALAM REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM
A. Pentingnya Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia Pengertian
pendidikan
Islam
menurut
Ali
Ashraf
adalah
pendidikan yang melatih sensibilitas murid-murid sedemikian rupa sehingga perilaku kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, serta pendekatan pada semua ilmu pengetahuan mereka diatur oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan.89 Dalam memberikan definisi pendidikan Islam, Ashraf lebih menekankan aspek sensibilitas. Pengertian tersebut mengandung unsur praktis yang dilakukan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Apabila murid-murid dapat memiliki sensibilitas yang diatur oleh nilai-nilai etika Islam, berarti usaha pendidikan dikatakan telah berhasil. Karena pendidikan Islam bersentuhan langsung dengan pendidikan akhlak.90 Sebagaimana yang dikemukakan dalam „World Conference on Muslim Education‟ yang pertama di Mekkah tanggal 31 Maret sampai April 1977, disebutkan: Education should aim at balanced growth of the total personality of man through the training of many spirit, intellect, the rational self, feelings, and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects: spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic both individually and 89
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, alih bahasa Sori Siregar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, 23. 90 Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, 48.
74
collectively and motivate all these aspects towards goodness and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity and large.91 (Pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan kepribadian total manusia secara seimbang melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, linguistik baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Islam terletak pada realisasi kepasrahan mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya). Konsep pendidikan menurur World Conference tersebut selaras dengan konsep pendidikan menurut Seyyed Hossein Nasr. Menurut Nasr pendidikan Islam merujuk pada totalitas manusia yang mencakup aspek rasional, moral dan spiritual. Konsepsi tentang tujuan pendidikan yang demikian kiranya senada dengan yang dikemukakan para pakar lain semisal Al-Attas yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah bukan untuk mewujudkan warga negara yang baik, namun untuk mewujudkan manusia yang “baik” yakni, manusia paripurna (al-insan al-kamil) yang bercirikan universalis dalam wawasan dan otoritatif dalam ilmu yakni sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia di mana ia membawa dua misi, yaitu sebagai khalifat Allah fî al-ard} dan sebagai hamba Allah (‘abd Allah).92 Pendidikan Islam tentunya memperhatikan aspek-aspek khusus dari masyarakat setempat. Dalam konteks Indonesia, pendidikan Islam 91
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988, 308. Asfa Widiyanto, „Rekontekstualisasi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang Bangunan Ilmu dan Pendidikan Islam“, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, vol. 11, no.2, (2017), 292. 92
75
tentunya memperhatikan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Dalam kerangka
itu,
memperhatikan
pendidikan
Islam
keindonesiaan
dan
yang
di
keislaman.
Indonesia,
tentunya
Dengan
demikian
pendidikan dimaksudkan untuk proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih dari sekedar pengajaran, dengan proses transfer namun lebih kepada pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.93 Seperti yang dituliskan oleh R.A Kartini mengenai pendidikan yang harus memperhatikan tingkah laku dan budi pekerti yang baik. “Pendidikan harus memperhatikan perkembangan akhlaknya. Tanpa budi pekerti, pengajaran yang terbaik pun tidak akan menghasilkan sesuatu sangat diharapkan”.94 Lalu apa kaitannya dengan pendidikan Islam Indonesia. Menurut definisi KH. Afifuddin Muhajir dalam tulisannya menyatakan bahwa Islam Indonesia adalah paham dan praktik keislaman di bumi nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas budaya setempat. 95 Dengan demikian pengertian pendidikan Islam Indonesia mengandung pengertian bahwa pendidikan yang sudah terakulturasi (tercampur) dan sudah disesuaikan dengan kondisi budaya Indonesia. Sedangkan Pendidikan Islam di Indonesia menyiratkan adanya pola pendidikan Islam yang bersumber dari nilai-nilai Islam seperti dalam al Quran dan Hadits
93
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, 3. 94 R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 468. 95 Akhmad Sahal, Islam Nusantara, Bandung: Mizan Pustaka, 2015, 17.
76
dan kemudian diterapkan serta diajarkan di Indonesia. Seperti yang dirumuskan oleh Hasan Langgulung, bahwa pendidikan Islam merupakan sebuah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.96 Pendidikan Islam di Indonesia perlulah senantiasa ditata ulang sehingga selaras dengan kemajuan zaman dan tuntutan masyarakat. Dalam hal ini kiranya perlu dikemukakan pernyataan Toto Suharto tentang pendekatan kontekstual dalam Filsafat Pendidikan Islam: Maksud pendekatan kontekstual di sini adalah pendekatan yang mencoba memahami Filsafat Pendidikan Islam dalam konteks sosial, politik, budaya dan sebagainya di mana pendidikan Islam itu berada. Ia bermaksud menjelaskan situasi-situasi dan perkembangan suatu proses pendidikan yang muncul dari konteks-konteks itu. Jadi, pendekatan konstektual lebih mengarah kepada situasi dan kondisi yang sosiologisantropologis. Aspek sosiologis dan antropologis suatu pendidikan dibedah sedemikian rupa dalam filsafat pendidikan, sehingga diketahui relevansi dan akseptabilitasnya dengan suatu tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Pendekatan ini pada intinya mempertanyakan apakah proses pendidikan yang dilaksanakan secara sosiologis-antropologis itu sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan secara filosofis ataukah tidak? Atau sebaliknya, apakah tujuan pendidikan yang telah dirumuskan itu sesuai dengan tuntutan masyarakat secara sosiologisantropologis di lapangan atau tidak.97
Pendidikan Islam di Indonesia perlulah senantiasa ditata ulang karena mengingat bahwa zaman sudah berkembang dan begitu juga dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Pendidikan Islam di Indonesia juga perlu ditata ulang mengingat ada keterbatasan dan kelemahan dari produk pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu kelemahan dari pendidikan Islam di Indonesia adalah masih melahirkan pribadi-pribadi 96 97
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru…, 5. Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006, 57.
77
yang berkepribadian pecah (split personality), misal: beribadah rajin tapi disisi lain juga melakukan tindak pencurian, beribadah rajin tapi melakukan kekerasan terhadap orang lain, beribadah rajin tapi kurang menghormati
perbedaan
agama.
Pendidikan
Islam
idealnya
bisa
melahirkan pribadi yang utuh, bukan hanya saleh secara ritual, namun juga saleh secara sosial dan profesional.
B. Kontekstualisasi
Pemikiran
R.A.
Kartini
tentang
Pendidikan
Karakter Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang artinya „mengukir‟. Dari arti bahasa ini, arti mengukir dimaknakan sebagai sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Tidak mudah using tertelan waktu atau aus terkena gesekan.98 R.A Kartini mengemukakan akan pentingnya pendidikan akhlak sebagai inti dari peradaban sebuah bangsa. Dalam tulisannya, R.A Kartini mengemukakan: Bila orang hendak sungguh-sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan pertumbuhan budi harus sama-sama dimajukan. Siapa yang paling banyak berbuat untuk yang terakhir, yang paling banyak membantu mempertinggi kadar budi manusia? Wanita, ibu. Karena manusia pertama-tama menerima pendidikan dari seorang perempuan. Dari tangan seorang perempuanlah, anak-anak mulai belajar merasa, berpikir, dan berbicara. Didikan pertama kali itu bukan tanpa arti bagi seluruh penghidupan. Salah satu sifat orang Jawa yang kurang baik, dan kalau perlu dibasmi, adalah sifat gila sanjungan. Jika sampai berhasil dibasmi, tentu hal itu akan banyak membantu memakmurkan Jawa dan kami hanya dapat mencapainya melalui pendidikan akhlak.99
98
Abdullah Munir, Pendidikan Karakter, membangun karakter anak sejak dari rumah, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2010, 2. 99 R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 51.
78
R.A Kartini mengemukakan bagaimana pentingnya pendidikan karakter yang dimulai dari keluarga. Dalam hal ini perempuan yaitu ibu yang memegang peranan penting untuk mendidik anak-anak, agar kelak ketika dewasa mereka sudah dibekali dengan akhlak yang baik, sehingga bisa menjadi pribadi yang rendah hati, tidak mudah puas dengan apa yang dicapai. Karena kunci kesuksesan bukan hanya pada kecerdasan otak belaka namun kecerdasan emosi juga mendapatkan andil dalam menentukan keberhasilan. Pemikiran R.A. Kartini tentang pendidikan karakter menemukan relevansinya dalam kurikulum 2013 yang sangat menekankan pendidikan karakter. Kita menyaksikan ada dan berkembangnya fragmentasi kehidupan, menguatnya egoisme pribadi dan kolektif, marak dan meluasnya aneka konflik, rusaknya komunitas moral, dan meluasnya aneka kesenjangan yang mengisi pemberitaan media publik. Identitas karakter bangsa semakin tidak jelas, nyaris kehilangan jati diri. Menghormati jabatan lebih penting dari menghormati pribadi sebagai manusia.
Pemahaman
dan
penghormatan
terhadap
manusia
dan
kemanusiaannya terlupakan.100 Pendidikan karakter dimaksudkan antara lain untuk memberikan solusi dan mencegah kasus-kasus tersebut, di samping tentunya menanamkan nilai-nilai positif yang memainkan peranan penting dalam menumbuhkan pribadi unggul dan berkarakter. Kemajuan sebuah bangsa 100
Suyata, Pendidikan Karakter dalam Prespektif Teori dan Praktik, Yogyakarta: UNY Press, 2011, 3.
79
diyakini sangat bergantung pada kekuatan karakter dari generasi penerus bangsa. R.A. Kartini sangat memperhatikan tentang karakter bangsa. Hal ini antara lain terlihat dalam kutipan pemikiran R.A. Kartini berikut: “Halhal yang baik dari bangsa lain, kini ingin sekali kami berikan kepada bangsa sendiri. Bukan untuk mendesak sifat-sifat asli yang baik dan menggantinya dengan yang asing, melainkan untuk memuliakannya”.101 Pemikiran R.A. Kartini tersebut menemukan relevansinya dan bisa kita kontekstualisasikan dalam konteks sekarang yakni, terkait dengan pengembangan karakter bangsa. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang R.A. Kartini dan karakter bangsa, perlu kiranya dikemukakan apa yang dimaksud dengan karakter bangsa. Karakter bangsa dipahami sebagai “tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan dan masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut”.102 Karakter bangsa menjadi perhatian dari pemerintah, terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini antara lain terlihat dari pasal 3 UU No. 20 tahun tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi, peserta didik agar menjadi manusia yang beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, 101 102
R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 111. Ade Armando, Refleksi Karakter Bangsa, Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia, 2008,
8.
80
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Karakter bangsa terbentuk dari suatu masyarakat yang merupakan bagian penting dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Masyarakat Indonesia dari dahulu, sekarang, dan yang akan datang terus majemuk, plural, beraneka ragam, namun diharapkan dapat hidup berdampingan, saling bertenggang rasa. Dengan harapan Indonesia bisa menjadi negara yang utuh, demokratis, adil, dan makmur tanpa diskriminasi, yang didasarkan pada ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 103 Konsep karakter bangsa belakangan ini semakin menguat dalam wacana pendidikan Indonesia. Hal ini terutama ditujukan untuk penguatan jati diri bangsa, untuk mewujudkan generasi penerus yang sadar akan jati dirinya
sebagai
bangsa
Indonesia,
yang
pada
gilirannya
akan
menumbuhkan sikap rela berkorban dan mengabdi untuk kemajuan bangsa. Konsep karakter bangsa sangat berkaitan dengan Islam dan karenanya juga sangat layak dikembangkan dalam pendidikan Islam. Karakter bangsa dalam wacana Indonesia merupakan hasil akulturasi dari berbagai budaya dan agama di Indonesia, yang tentunya Islam sebagai agama terbesar di Indonesia tidak bisa dikesampingkan, bahkan mempunyai peranan penting dalam proses pembentukan karakter (character building).
103
Suyata, Pendidikan Karakter dalam Prespektif Teori dan Praktik…, 6.
81
Seperti yang dituturkan oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai pendidik bangsa, yang menjelaskan perwujudan kebudayaan mempunyai tiga jenis yakni: (1) mengenal rasa kebatinan atau moral, (2) mengenal kemajuan angan-angan, dan (3) mengenal kepandaian. Yang termasuk kebudayaan rasa kebatinan adalah agama, adat istiadat, tata negara, kesosialan. Kebudayaan jenis angan-angan antara lain pengajaran, ilmu bahasa, ilmu pengetahuan. Kebudayaan jenis kepandaian antara lain, pertanian, industri, pelayaran, kesenian dan lain-lain. Kebudayaan adalah buah dari perbuatan manusia, timbul dari kematangan budi, kehalusan perasaan, kecerdasan pikiran, dan kekuatan kehendak. Dalam konteks kebudayaan itu masyarakat Indonesia bersendikan kekeluargaan, kegotongroyongan, sosialisme, komunalisme. Ki Hajar Dewantara menegaskan pentingnya memilih dan menegaskan pentingnya memilih dan mengembangkan kebudayaan kebangsaan yang merdeka.104 Dengan demikian dari penjelasan Ki Hajar Dewantara, kita bisa menyimak bahwa pendidikan Islam erat kaitannya dengan pendidikan karakter bangsa. Dengan membangun karakter bangsa yang bersumber pada pendidikan Islam diharapkan akan menghasilkan generasi penerus yang sadar akan nilai-nilai universal Islam, namun juga sadar akan tanggung jawabnya sebagai Muslim Indonesia dan bangsa Indonesia. Mereka tidak mempertentangkan “keindonesiaan” dan “keislaman”,
104
Suyata, Pendidikan Karakter dalam Prespektif Teori dan Praktik..., 7-8.
82
namun sebaliknya mereka melihat bahwa kedua nilai tersebut adalah berkaitan dan menyatu dalam diri mereka.
C. Pendidikan Islam yang Anti Kekerasan: Kontekstualisasi Pemikiran R.A. Kartini
R.A. Kartini hidup pada akhir abad 19, namun beliau sudah sangat kritis melihat fenomena agama dan masyarakat. Dia bisa membedakan dengan jernih mana yang masuk dalam ranah “ajaran ideal agama” dan mana yang masuk dalam ranah “perilaku umat beragama”. Perilaku umat beragama tidak mesti mencerminkan ajaran ideal yang terkandung dalam agamanya. Hal ini terlihat dalam kutipan R.A. Kartini berikut: Kami mendapatkan banyak perhatian dari sahabat kalangan rakyat biasa. Dan alasan mengapa kami agak sedikit mengacuhkan agama sebab kami melihat banyak kejadian tak berperikemanusiaan yang dilakukan orang dengan berkedok agama. Lambat laun barulah kami tahu, bukan agama yang tiada memiliki kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. 105
Dari kerangka itu, R.A. Kartini kemudian melihat aspek kekerasan dalam agama. Kartini melihat bahwa agama pada dasarnya mengajarkan kasih sayang dan cinta sesama. Hanya saja, nilai-nilai luhur ini kadang dikaburkan oleh penganut agama, dengan melakukan tindak kekerasan pada yang lain. Yang dikritisi R.A. Kartini di sini adalah orang-orang yang menjustifikasi (mencari pembenaran) agama untuk melakukan tindakan kekerasan pada orang lain.
105
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 364.
83
Pemikiran R.A. Kartini tentang agama anti kekerasan tersebut bisa kita kontekstualisasikan dalam ranah pendidikan Islam di Indonesia. Saat ini, pendidikan di Indonesia (termasuk di dalamnya pendidikan Islam) masih terdapat adanya praktek-praktek kekerasan: baik itu berupa tawuran antar pelajar, pelecehan seksual, ataupun intimidasi pada orang yang berbeda agama. Pendidikan Islam di Indonesia sudah selayaknya merespons maraknya isu-isu kekerasan tersebut dengan merancang dan menerapkan pendidikan anti kekerasan. Pendidikan anti kekerasan tersebut antara lain bertumpu pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Dalam kerangka itu, secara teologis, rahmat Allah diyakini meliputi semuanya, semua makhluk, termasuk makhluk yang berbeda dengan kita. Sejalan dengan kerangka itu, perlu dikembangkan nilai-nilai semacam kasih sayang, menghormati sesama, menghormati yang berbeda, dan pantang melakukan kekerasan yang tidak dibenarkan. Nilai-nilai itu kemudian dijabarkan lewat kurikulum dan terutama sekali ditujukan agar dihayati dan diamalkan para siswa, sehingga menjadi nilai-nilai yang hidup. Guru, sebagai pendidik di sekolah, juga memberi contoh dengan tidak melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik, baik kepada siswa maupun kelompok lain.
84
D. Pendidikan yang Sadar akan Gender dan Pemberdayaan Perempuan: Kontekstualisasi Pemikiran R.A. Kartini Gagasan dan perjuangan R.A. Kartini tentang pendidikan untuk perempuan sudah kita rasakan hasilnya sekarang. Saat ini perempuan di Indonesia sudah bisa menikmati dan mendapatkan akses pendidikan, yang memungkinkannya untuk maju dan setara dengan kaum pria. Pemikiran R.A. Kartini saat itu lebih didasari kondisi riil masyarakat Jawa yang kurang memberi kebebasan kepada perempuan untuk menempuh pendidikan. Dalam hal ini R.A. Kartini melihat bahwa kaum perempuan adalah kaum tertindas (the oppressed), karena itu R.A. Kartini berusaha untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan tersebut. Perjuangan R.A. Kartini tentang pendidikan dan pemberdayaan perempuan tadi belum lah selesai. Perempuan masih harus berjuang bersama-sama untuk meningkatkan kualitas diri mereka (antara lain dengan pendidikan) dan meningkatkan akses mereka untuk mempunyai hak yang sama dalam karir, tentunya sepanjang hal itu tidak menyalahi kodrat biologis mereka.106 Dalam kacamata sosiologi, sex (jenis kelamin) adalah kodrat biologis, sedangkan gender adalah bentukan masyarakat tentang peran yang idealnya diperankan oleh laki-laki dan perempuan. Gender, dengan demikian adalah konstruksi sosial, dan tidak bersifat tetap. Gender sebagai 106
Untuk perjuangan gender yang dilakukan oleh Sinta Nuriyah Wahid silakan lihat: Asfa Widiyanto, “Female Religious Authority, Religious Minority and the Ahmadiyya: The Activism of Sinta Nuriyah Wahid“, Journal of Indonesian Islam, Vol. 9, No. 1 (2015), 1-24.
85
konstruksi sosial dibangun dan diinspirasi oleh nilai-nilai budaya dan pemahaman keagamaan yang ada pada suatu negara, atau tempat.107 Konstruksi gender di Indonesia dengan demikian erat berkaitan dengan
pemahaman
keagamaan
yang
berkembang
di
Indonesia.
Azyumardi Azra, misalnya, menyatakan bahwa salah satu karakteristik “Islam Indonesia” adalah bahwa perempuan memiliki peran yang menonjol di ruang publik.108 Hal ini antara lain terlihat bahwa di Indonesia, perempuan bisa menjadi anggota DPR, presiden, dan bisa menjadi hakim. Fenomena hakim perempuan (bahkan di pengadilan agama (Islam) adalah sesuatu yang menarik, dan tentunya unik, jika kita membandingkan dengan negara Islam yang lain. Juga jika kita membandingkan dengan fiqih klasik, yang menyatakan bahwa kesaksian perempuan adalah separuh kesaksian laki-laki. Menjadi saksi saja perempuan ada kesulitan, apalagi menjadi hakim. Perlu kiranya dicatat, bahwa Islam Indonesia di sini bukanlah suatu aliran baru, namun merupakan ekspresi agama khas yang berkembang di Indonesia, sebagai hasil dialog antara ajaran Islam dan budaya lokal. Dari sisi ajaran, Islam Indonesia menekankan sisi moderasi, baik terkait aspek teologis, fiqih maupun tasawuf. Dengan bekal moderasi dari sisi ajaran,
107
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, 12. 108 Azyumardi Azra, “Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn”, dalam Jajat Burhanuddin dan Kees van Dijk, Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations, (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013), 63-70.
86
Islam Indonesia menjadi sangat mudah berdialog dengan budaya-budaya yang ada di Indonesia. Salah satu yang menjadi tantangan dari gerakan pemberdayaan perempuan saat ini, bila ditinjau dari kacamata pendidikan Islam, adalah adanya segelintir aktivis perempuan yang “sangat melampaui” pemikiran R.A. Kartini. Segelintir aktivis ini sangat memperhatikan dan mengikuti jejak feminis-feminis kontemporer di Barat sehingga kadang kurang melihat kodratnya sebagai perempuan, yang tentunya mempengaruhi konsepsi dan keharmonisan keluarga (yang dibangun oleh perempuan dan laki-laki, dan tentunya atas konstruk sosial tentang peran suami dan isteri dalam keluarga). Hal ini agak berbeda dengan ide yang diperjuangkan R.A. Kartini. R.A. Kartini melihat bahwa pemberdayaan tidak harus semata bertumpukan pad ide-ide dan konsepsi Barat, namun juga harus berlandaskan pada inspirasi dari Timur, terutama sekali Islam. Dalam kerangka itu, kita bisa melihat bahwa R.A. Kartini belajar dan mengapresiasi
ajaran-ajaran
Kyai
Saleh
Darat,
yang
tentunya
mempengaruhi pemikiran R.A. Kartini tentang Islam. Disini ada seorang tua, tempat saya meminta bunga yang berkembang di dalam hati. Sudah banyak yang diberikan kepada saya, sangatlah banyak lagi bunga simpanannya. Dan saya ingin lagi, senantiasa ingin lagi. Dan dengan sungguh-sungguh terdengarlah suaranya mengatakan: “Berpuasalah satu hari satu malam dan jangan tidur selama itu, juga harus mengasingkan diri di tempat yang sunyi.” “Habis malam datanglah cahaya, Habis topan datanglah reda, Habis duka datanglah suka, Berdesau-desaulah dalam telinga saya sebagai rekuiem.
87
Saya tidak mau belajar lagi, belajar membaca al Quran, belajar menghafalkan amsal dalam Bahasa asing, yang tidak saya ketahui artinya. Dan boleh jadi guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga tidak mengerti. “Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar semuanya.” Saya berdosa, kitab suci yang mulia itu terlalu suci untuk diterangkan artinya kepada kami.109
Agama sering dianggap masalah, bahkan dijadikan kambing hitam atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender. Hal yang sangat menganggu misalnya tentang penggambaran bahwa Tuhan seolah-olah adalah laki-laki, penggambaran semacam ini terjadi dalam hampir semua agama. Sejauhmanakah pandangan tersebut dipengaruhi oleh atau mempengaruhi kultur yang dikenal sebagai patriarki?. Spirit apa yang dibawa islam pada awal kelahirannya, yakni melakukan perbandingan atas posisi dan kondisi perempuan pada zaman sebelum dan sesudah Islam. Banyak sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra-Islam atau yang dikenal zaman jahiliyah, posisi perempuan dalam masyarakat sangatlah rendah dan amat buruk kondisinya, serta dianggap tidak lebih berharga
dari
suatu
komoditas.
Dari
berbagai
uraian
tentang
penggambaran kedudukan kaum perempuan, yang menonjol diantaranya adalah bahwa jika seorang suami meninggal dunia, saudara laki-laki lainnya mendapat waris untuk memiliki jandanya. Bahkan kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik merendahkan kaum perempuan yang membentang luas di dunia Arab pada zaman pra-Islam. Rendahnya martabat kaum perempuan juga terlihat dari hakikat
109
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 299.
88
perkawinan yang posesif sifatnya. Salah satunya adalah praktek poligami, yang membolehkan suami boleh memiliki banyak istri.110 Al-Quran sebagai rujukan masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 124.
Artinya: “Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik lakilaki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun”. Keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity), di mana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan al-Quran menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip alQuran terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah setara.
110
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial…, 129.
89
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Pemikiran pendidikan R.A. Kartini bertumpu pada dua hal: pendidikan perempuan dan pendidikan karakter. Bagi R.A Kartini, pendidikan perempuan mutlak diperlukan karena perempuan adalah sosok yang dekat dengan anak dan keluarga. Jika perempuan mendapatkan akses pendidikan yang memadai, maka diharapkan bisa mendidik anak-anak sebagai
generasi
penerus
bangsa.
Upaya
R.A
Kartini
untuk
memperjuangkan pendidikan perempuan bisa dilihat sebagai aspek perwujudan agency Kartini terutama aspek proyektifnya, yakni perempuan Jawa mempunyai kebebasan dalam menempuh pendidikan. Aspek lain selain agency, yakni practical evaluative, dalam hal ini Kartini melihat bahwa tradisi dan budaya Jawa saat itu belum mendukung pendidikan perempuan. R.A Kartini sangat memperhatikan pendidikan karakter yang erat kaitannya dengan pendidikan Islam. Bagi Kartini, pendidikan tidak hanya mencakup kecerdasan otak belaka, namun yang lebih penting adalah pendidikan yang bertumpu pada budi pekerti. Hal ini sejalan dengan
konsep
yang
diusung
oleh
pendidikan
Islam,
yang
mengedepankan pengetahuan yang berdasarkan pada etika Islam. 2. Pemikiran pendidikan R.A. Kartini tentang pendidikan bersentuhan dengan konsep psikologi pendidikan humanistik, terutama tentang 90
aktualisasi diri. R.A. Kartini sendiri merupakan wujud nyata dari proses aktualisasi diri. Dia tidak berhenti pada kebutuhan yang berkisar pada fisiologis dan psikologis, namun sudah beranjak ke aktualisasi diri. Namun perlu dicatat bahwa aktualisasi diri R.A. Kartini tidak berhenti pada wilayah yang duniawi dan tidak terkait dengan Tuhan. Aktualisasi diri R.A. Kartini terkait dengan pendidikan akhlak, yang merupakan penyangga utama dari pendidikan Islam. Dalam surat-surat R.A. Kartini terlihat pemikirannya tentang pendidikan akhlak. Dengan demikian, arah dari aktualisasi diri R.A. Kartini bukanlah menjadi “super woman” (perempuan super) namun menjadi “khalifatullah fil ‘ard” (orang yang diberi tugas menjadi sosok pemimpin di muka bumi). 3. Kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini dalam ranah ke Indonesiaan, mencakup dua hal, yakni pendidikan yang berkaitan dengan gender dalam upaya pemberdayaan untuk kaum perempuan dan pendidikan anti kekerasan. Pemikiran R.A. Kartini mengenai pendidikan, patut mendapatkan apresiasi bagi pendidik maupun seluruh elemen bangsa. R.A Kartini telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan pendidikan perempuan di Indonesia. Kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini dalam hal pemberdayaan perempuan sudah kita rasakan hasilnya sekarang. Saat ini perempuan di Indonesia sudah bisa menikmati
dan
mendapatkan
akses
pendidikan,
yang
memungkinkannya untuk maju dan setara dengan kaum pria. Pemikiran R.A. Kartini saat itu lebih didasari kondisi riil masyarakat Jawa yang
91
kurang memberi kebebasan kepada perempuan untuk menempuh pendidikan. Dalam hal ini R.A. Kartini melihat bahwa kaum perempuan adalah kaum tertindas (the oppressed), karena itu R.A. Kartini berusaha untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan tersebut. Pemikiran R.A. Kartini tentang agama anti kekerasan tersebut bisa kita kontekstualisasikan dalam ranah pendidikan Islam di Indonesia. Saat ini, pendidikan di Indonesia (termasuk di dalamnya pendidikan Islam) masih terdapat adanya praktek-praktek kekerasan: baik itu berupa tawuran antar pelajar, pelecehan seksual, ataupun intimidasi pada orang yang berbeda agama. Pendidikan Islam di Indonesia sudah selayaknya merespons maraknya isu-isu kekerasan tersebut dengan merancang dan menerapkan pendidikan anti kekerasan. Pendidikan anti kekerasan tersebut antara lain bertumpu pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
B. SARAN 1.
Penelitian tesis ini masih terbatas menggunakan buku „Habis Gelap Terbitlah Terang‟, alangkah baiknya bila ada penelitian yang menggunakan manuskrip surat-surat dan arsip-arsip sejarah lain yang terdapat di museum dan perpustakaan lain.
2.
Korespondensi R.A Kartini dengan Kyai Saleh Darat belum diungkap secara mendalam di tesis ini. Apabila ada penelitian lain yang membahas mengenai penelitian tersebut, dengan merujuk pada karya-
92
karya Kyai Saleh Darat tentu akan menambah wacana lain, terutama pengetahuan R.A Kartini mengenai Islam.
93
DAFTAR PUSTAKA Arbaningsih, Dri. R.A Kartini dari Sisi Lain, Menelaah Pemikiran R.A Kartini tentang Emansipasi “Bangsa“. Jakarta: Kompas, 2005. Arivia, Gadis. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006. Armando, Ade. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia, 2008. Ashraf, Ali. Horison Baru Pendidikan Islam. alih bahasa Sori Siregar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Azra, Azyumardi. “Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn”, dalam Jajat Burhanuddin dan Kees van Dijk, Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013. Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990. Baharuddin dan Wahyuni, Esa Nur. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008. Balfour, Arthur James. Theism and Humanism. Seattle, Inkling Books Seattle, 2000. Emirbayer, Mustafa and Ann Mische. “What is Agency“, American Journal of Sociology. Volume. 103, number. 4, (1998): 962-1023. El Seha, Matsuki HS, M.Ag dan M. Ishom, M.Ag. Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren. Seri 2, Jakarta, Diva Pustaka, 2006. Freire, Paolo. Education for Critical Consciousness. New York: The Continum Publishing Company, 2000. Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2008. Idi, Abdullah dan Suharto, Toto. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Kartini, R.A. Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) Kumpulan Surat R.A Kartini yang Menginspirasi Wanita-wanita di Indonesia Sepanjang Masa. Jakarta: Penerbit Narasi, 2011. Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988. Maslow, Abraham. “A Theory of Human Motivation”, Psychological Review, volume. 50, (1943): 370. Musthofa. “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”, Jurnal Kajian Islam, volume. 3, number. 2, (2011): 167. Munir, Abdullah. Pendidikan Karakter, membangun karakter anak sejak dari rumah. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2010.
94
Muthali‟in, Achmad. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001. Munawar, Budhy, Rachman. Pendidikan Karakter: Pendidikan Menghidupkan Nilai untuk Pesntren, Madrasah, dan Sekolah. Jakarta: The Asia Foundation, Yayasan Paramadina, dan Associatian for Living Values Education Indonesia, 2015. Ozturk, Ilhan. “The Role of Education in Economic Development”, Journal of Rural Development and Administration, Volume 33, No. 1, (Winter 2001): 40-41. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition. London, Center for Middle Eastern Studies, 1982. Sahal, Akhmad. Islam Nusantara. Bandung: Mizan Pustaka, 2015. Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006. Suyata. Pendidikan Karakter dalam Prespektif Teori dan Praktik, Yogyakarta: UNY Press, 2011. Surur, Misbahus. Metode dan Corak Tafsir Faidh Ar-Rahman Karya Muhammad Shaleh Ibn Umar As-Samarani, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2011. Soeroto, Sitisoemandari dan Myrtha Soeroto. R.A Kartini, Sebuah Biografi, Rujukan Figur Pemimpin Teladan, Jakarta: Balai Pustaka, 2011. Schreier, Margrit. Qualitative Content Analysis in Practice, California: Sage, 2012. Toer, Pramoedya Ananta. Panggil Aku Kartini Saja, Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta, 2013. Taylor, Jean Stewart. “Raden Ajeng Kartini”, Signs: Journal of Women in Culture and Society, Volume. 1 Number.3, (1976): 639-661. Ulum, Amirul. Kartini Nyantri, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Ulama, 2015. Widiyanto, Asfa. Religious Authority and the Prospects for Religious Pluralism in Indonesia: The Role of Traditionalist Muslim Scholars, Zuerich: LIT Verlag, 2016. Widiyanto, Asfa, „Rekontekstualisasi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang Bangunan Ilmu dan Pendidikan Islam“, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, vol. 11, no.2, 2017. Widiyanto, Asfa, “Female Religious Authority, Religious Minority and the Ahmadiyya: The Activism of Sinta Nuriyah Wahid“, Journal of Indonesian Islam, Vol. 9, No. 1, 2015. Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
95
96
BIOGRAFI PENULIS
Nur Fajriyah lahir di Rembang pada tanggal 21 April 1983. Pendidikan menengah di MAKN Surakarta (1999-2001), kemudian melanjutkan studi Strata satu di Univesitas Islam Negeri, Yogyakarta dengan mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab (2001-2006). Lulus tahun 2006, Nur Fajriyah memutuskan bekerja menjadi Jurnalis di Kedaulatan Rakyat, cabang Jakarta. Pernah bekerja di Kementerian Pemuda dan Olahraga, sebagai tim Asistensi staf Ahli Kepemudaan dari tahun 2008 sampai dengan 2013. Saat ini, penulis berdomisili di Salatiga dan mengambil Magister Pendidikan Islam, dengan NIM. M113014. Untuk informasi lebih
lanjut,
penulis
bisa
dihubungi
melalui
alamat
email:
[email protected]
97