ETNOGRAFI PRAKTIK LAYANAN DI PERPUSTAKAAN KOTA YOGYAKARTA Retno Andini dan Laksmi Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian ini menganalisis budaya praktik layanan di Perpustakaan Kota Yogyakarta, sebagai perpustakaan yang berada di bawah pemerintah yang mengedepankan standar pelayanan publik. Termasuk pustakawan dan pengguna dalam membangun budaya tersebut serta nilai-nilai sosial yang mendasari terbangunnya budaya tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode etnografi. Data penelitian diperoleh melalui hasil observasi partisipan yang dituangkan ke dalam catatan lapangan serta dokumen Perpustakaan Kota Yogyakarta. Peneliti mencoba menggali bagaimana budaya layanan yang terbentuk melalui pola-pola interaksi antar pustakawan, antar pengguna, maupun antara pustakawan dan pengguna dalam memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya yang muncul atas hubungan antar pustakawan memberikan energi yang baik kepada pustakawan dalam menjalankan tugasnya sebagai penyedia kebutuhan informasi pengguna. Kata kunci : budaya layanan; etnografi; layanan publik; layanan perpustakaan; perpustakaan umum
Abstract This focus of this study is the cultural services in Perpustakaan Kota Yogyakarta, as an institution which is part of the government that promote public services. Including the way of librarians and users in constructing culture. Moreover social values that underlie the culture also covered. This research is qualitative ethnography interpretive. The data were collected from participant observation that poured into field notes and also from Perpustakaan Kota Yogyakarta’s documents. Researcher try to explore how cultural services is formed through the interaction patterns between users, librarians, and between users and librarians in meeting the needs of each party. The conclusion of this research is the culture that emerges on the relationship between librarian provide good energy to librarians in performing their duties as the provider of user information needs. Keywords : ethnography; library services; public library; public services; service culture
1.
Pendahuluan Praktik layanan perpustakaan merupakan kegiatan yang dilakukan pustakawan/ staf
perpustakaan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna. Setiap perpustakaan memiliki perbedaan cara ataupun model dalam pelaksanaan praktik layanannya. Pada perpustakaan umum, layanan yang disediakan adalah atas dasar kesetaraan akses bagi semua, tanpa memandang usia, ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, bahasa atau status sosial (IFLA/UNESCO Public Library Manifesto, 1994) pada (IFLA, 2001). Pada definisi sempit dari keadilan sebagai 'keadilan administratif' layanan perpustakaan dinilai harus diberikan
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
secara adil, dengan hanya contoh terisolasi di mana keadilan harus diimbangi dengan pertimbangan ekonomi (Linley, 1998). Konsep layanan perpustakaan berdekatan dengan pelayanan publik yang pada dasarnya dilaksanakan untuk memberikan layanan sebaik-baiknya kepada pengguna. Jenis layanan yang diberikan tentunya berbeda-beda di tiap institusi, tergantung dalam bidang apa institusi tersebut bergerak. Namun, hal itu tidak menghalangi hak masyarakat sebagai penerima layanan untuk mendapatkan layanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan teratur di berbagai institusi pemberi layanan. Budaya layanan memainkan peran penting dalam penciptaan nilai bagi institusi dan pengguna layanan. Budaya layanan merupakan hal yang sebenarnya banyak kita jumpai secara tidak sadar di banyak institusi, khususnya yang bergerak di bidang jasa. Meskipun hal tersebut merupakan hal yang umum ditemui, namun setiap institusi memiliki signifikansi perbedaan pada budaya layanannya. Bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin, apabila perbedaan ini tentunya ditentukan oleh perbedaan latar belakang pembangunan organisasi dan penanaman pola pikir para penggerak institusi tersebut. Perbedaan inilah yang menjadi kemenarikan untuk diteliti. Setiap budaya tentunya memiliki nilai-nilai tersendiri yang hanya bisa diketahui ketika seseorang benar-benar melebur dan menjadi bagian dari suatu objek yang ingin diteliti tersebut. Masyarakat merupakan sekumpulan orang yang secara tidak sadar telah membentuk kebudayaan dalam komunitasnya. Etnografi masyarakat di suatu ruang publik seperti perpustakaan merupakan sebuah hal yang perlu dikaji karena kompleksitas latar belakang pengguna maupun pustakawan memungkinkan terbentuknya budaya baru. Pemahaman akan budaya yang terjadi dalam suatu perpustakaan merupakan aspek penting dalam proses pencapaian beberapa tujuan awal dibentuknya suatu perpustakaan terkait dengan keputusan pembuatan layanan yang sesuai. Kegiatan operasional layanan di perpustakaan memiliki prinsip yang tidak jauh berbeda dengan prinsip layanan pada organisasi lain, di antaranya yaitu sesuai dengan atau untuk kebutuhan masyarakat yang dilayani; diusahakan berlangsung cepat, tepat, mudah, dan sederhana; serta diciptakan kesan yang menarik dan menyenangkan atau memuaskan penerima layanan (Sutarno, 2004). Perpustakaan umum pada dasarnya memiliki tujuan untuk menyediakan sumber informasi dan layanan dalam berbagai media untuk memenuhi kebutuhan individu maupun kelompok dalam pendidikan, informasi dan pengembangan pribadi termasuk pada rekreasi dan kesenangan (IFLA, 2001). Setiap perpustakaan memiliki perbedaan dalam segi Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
memberikan layanan kepada penggunanya. Hal ini berkaitan dengan adanya perbedaan budaya di daerah tempat perpustakaan tersebut. Untuk meraih kesuksesan jangka panjang perpustakaan, kebudayaan daerah maupun negara tempat perpustakaan berada merupakan hal penting untuk diperhatikan. Keberhasilan akan diraih jika bentuk dan struktur perpustakaan umum dikenali dari negara atau daerah dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda (IFLA, 2001). Penulis memilih Perpustakaan Kota Yogyakarta sebagai lokasi penelitian dikarenakan adanya kemenarikan dari segi jenisnya sebagai perpustakaan umum milik pemerintah yang mengedepankan pemberian layanan prima kepada pengguna. Sesuai dengan visinya yaitu menjadikan perpustakaan sebagai sumber informasi, rekreasi, penelitian, dan pengetahuan, perpustakaan berusaha memberikan layanan terbaiknya kepada pengguna dengan intensitas kunjungan yang tinggi setiap harinya. Selain itu, kebudayaan Yogyakarta saat ini tentunya masih memiliki pengaruh dari masa lampau, sehingga nilai-nilai budayanya pun menarik untuk diteliti untuk melihat keterkaitan dengan layanan yang berjalan di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Kedua hal ini tentu berkaitan dengan salah satu tujuan perpustakaan sebagai sarana mengembangkan komunikasi antar sesama pemakai, dan antara penyelenggara perpustakaan dengan masyarakat yang dilayani (Sutarno, 2003). Dengan adanya hal itu maka secara tidak sadar terbangun suatu budaya pada suatu kelompok kecil yang mana akan menimbulkan solidaritas serta sistem sosial didalamnya. Perpustakaan Kota Yogyakarta bukan seperti Perpustakaan Umun kebanyakan yang memiliki luas ruangan yang besar. Namun dengan keadaan seperti ini, Perpustakaan Kota Yogyakarta mampu memaksimalkan seluruh fasilitas dan layanan yang ada agar bisa didayagunakan oleh pengguna. Peneliti melakukan penelitian mengenai praktik layanan perpustakaan dengan metode etnografi dan pendekatan kualitatif, sesuai dengan yang digunakan pada penelitian sebelumnya di atas. Kegiatan yang dilakukan selama penelitian mencakup observasi, wawancara, dan penelitian etno-historis atau dokumen untuk mendapatkan gambaran serta uraian yang lebih luas mengenai praktik layanan Perpustakaan Kota Yogyakarta. Budaya layanan yang ada di Perpustakaan Kota Yogyakarta sangatlah menarik. Dengan pegawai yang terbatas untuk ukuran perpustakaan umum, pengguna dapat tetap memanfaatkan layanan yang ada dengan bantuan para pustakawan, yang terpusat di front office Perpustakaan Kota Yogyakarta. Setiap pustakawan tidak segan untuk memberikan bantuan kepada pengguna saat mengalami kesulitan. Meskipun bantuan yang diberikan bukan merupakan bagian dari job description yang dimiliki pustakawan tersebut.
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
2.
Tinjauan Teoritis Konsep mengenai budaya dituangkan oleh Greetz sebagai kerangka dari kepercayaan,
simbol ekspresif, dan nilai-nilai dalam hal mana individu mendefinisikan perasaan dan membuat penilaian mereka (Geertz 1957 American Anthropologist 59: 32-54 dalam The Concept of Culture). Budaya sendiri ternyata memiliki hubungan dengan performa kerja, seperti studi yang dilakukan oleh Booz Company (2010: 3). Riset yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan aset potensial dari seluruh organisasi. Mengembang secara disengaja maupun tidak, secara aktif diarahkan ataupun dibiarkan kebetulan. Berikut merupakan hubungan budaya terhadap kinerja di sebuah institusi: -
Kemungkinan terbaik, budaya dapat menjadi aset yang memungkinkan, memberikan energi, dan meningkatkan perilaku manusia - dan ketika digunakan dengan bijaksana, dapat mempercepat dan mempertahankan hasil bisnis
-
Kemungkinan terburuk, budaya dapat menjadi hambatan pada produktivitas dan komitmen emosional. Hal ini dapat menyebabkan kinerja yang kurang dan merusak keberhasilan jangka panjang
-
Dalam kedua kasus, budaya organisasi dapat secara sadar mengarahkan dan mempengaruhi baik meningkatkan dampaknya pada kinerja atau mengurangi resistensi itu dapat memiliki pada perubahan perilaku. Sebuah institusi yang bergerak dalam pelayanan publik, harus memenuhi azas pelayanan berdasarkan Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004 (Nurjati, 9-10). Diantaranya adalah transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak serta kewajiban. Selain itu, menurut Bloch, badan penyedia layanan perlu melakukan inovasi dalam meningkatkan kualitas layanan publik mencakup hal-hal berikut:
-
Keinginan untuk meningkatkan efisiensi dalam pelayanan sektor publik melalui outsourcing, lisensi atau kerja sama, misalnya persaingan bebas antara perusahaan swasta dan milik publik memecahkan masalah pemerintahan umum
-
Meningkatnya permintaan layanan dari masyarakat dan bisnis yang disebabkan oleh perkembangan demografis dan perubahan kondisi kerangka kerja dalam memperluas ekonomi global
-
Peningkatan pengakuan bahwa inovasi sektor publik memiliki dampak yang besar pada kinerja sektor bisnis dalam banyak hal (melalui layanan infrastruktur TI, sebagai sumber inovasi, platform, dll) Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
-
Sektor publik di sebagian besar negara besar dan banyak 'pelayanan publik' yang disediakan oleh perusahaan milik negara dan swasta. Interaksi antara perusahaan dan sektor publik dipandang sebagai sumber penting dari inovasi dan prasyarat untuk efisiensi bisnis dan daya saing global Dalam memberikan pelayanan publik, sebuah institusi dalam hal ini perpustakaan umum perlu mengetahui terlebih dahulu kepada siapa saja pengguna jasa/layanan diberikan. Menurut McMenemy (2009: 52-53), pengguna perpustakaan umum bisa dikategorikan menjadi 10 tipe, yaitu anak-anak dan anak muda, pelajar, orang dewasa yang tidak memiliki pekerjaan, orang dewasa yang bekerja, orang dewasa dengan kekurangan fisik, orang tua, komunitas, pebisnis, sekolah, tempat menanam bibit. Sejauh ini, fungsi perpustakaan umum yang paling banyak diketahui orang adalah meminjamkan koleksi kepada anggotanya. Layanan ini didukung oleh beberapa sistem perpustakaan. Dibutuhkan infrastruktur untuk akuisisi, pemrosesan, dan mengantarkan koleksi tersebut kepada pengguna (McMenemy, 2009). Selain itu, perpustakaan juga menjalankan promosi literasi dan membaca melalui layanan-layanan yang diberikan. Pendukung pelayanan perpustakaan umum percaya bahwa membaca memiliki nilai intrinsik untuk semua warga negara, tidak hanya di lingkungan pendidikan formal, tetapi sebagai sarana untuk menginformasikan dan meningkatkan kehidupan semua orang yang memilih untuk menggunakan (Train, 2003: 30) dalam (McMenemy, 2009). Berbagai aktivitas layanan yang dilakukan di perpustakaan akan selalu dilekati nilainilai. Schwartz membagi 10 nilai dasar yang mencakup seluruh nilai utama yang ada di dunia. Pembagian ini didasarkan pada tiga karakteristik universal kondisi manusia, yaitu kebutuhan individu sebagai mahluk biologis, keperluan untuk interaksi sosial yang terkoordinasi, dan kebutuhan
kelangsungan
hidup
dan
kesejahteraan
kelompok.
Setiap
nilai
dapat
dikarakterisitikkan dengan menggambarkan tujuan motivasional utama (Schwartz, 2009): kemandirian, stimulasi. Kesenangan, hal baru, tantangan dalam hidup, hedonisme, pencapaian, keberhasilan, kekuatan, keamanan, kesesuaian, tradisi, kebajikan, dan universalisme. 3.
Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian mengenai praktik etnografi layanan Perpustakaan kota
Yogyakarta, peneliti menggunakan merode etnografi dengan pendekatan kualitatif. Penggunaan pendekatan kualitatif diharapkan dapat membantu peneliti untuk memahami Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
masalah penelitian dari perspektif yang melibatkan pustakawan dan pengguna di Perpustakaan kota Yogyakarta. Selain itu, pendekatan kualitatif juga efektif dalam mengidentifikasi faktor-faktor tak berwujud, seperti norma sosial, status sosial ekonomi, peran gender, etnis, dan agama, yang berperan dalam isu penelitian yang mungkin tidak mudah terlihat (Mack, 2005: 1). Selama kegiatan pengumpulan data, peneliti melakukan observasi partisipan, wawancara, dan analisis dokumen. Setelah itu, peneliti melakukan analisis berdasarkan data yang telah diperoleh. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interpretatif, yang mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam (Poerwandari, 2007: 191). Peneliti melakukan interpretasi dengan menggunakan tinjauan literatur atau konsep budaya komunikasi yang dimiliki. Interpretasi beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan informan, untuk mengembangkan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampil dalam teks (data mentah atau transkripsi wawancara). 4.
Karakteristik Perpustakaan Kota Yogyakarta Perpustakaan Kota Yogyakarta terletak di kelurahan Kotabaru, Gondokusuman.
Kawasan Kotabaru merupakan daerah peninggalan sejarah dengan tata ruang pola radial, seperti kota-kota di Belanda. Gedung-gedung tua masih berdiri kokoh bersisian dengan ruas jalan yang cukup lebar dengan boulevard di tengahnya. Kotabaru mengalami kemajuan yang amat pesat saat ini. Berbagai kafe, galeri seni, kantor, institusi pendidikan, dan pertokoan berada dalam sebuah kotamadya yang rindang dengan pohon-pohon di sisi jalannya. Lokasinya yang berada di jalan utama dengan posisi siku membuat perpustakaan mudah ditemukan dan dijangkau dengan kendaraan umum. Bangunan dengan dominasi warna hijau dan kuning dengan beberapa ornamen membuat keberadaan perpustakaan diketahui masyarakat yang melewatinya. Berdasarkan letaknya, jarak perpustakaan dengan sekolah, pemukiman penduduk, dan pusat pemerintahan terbilang tidak jauh. Perpustakaan Kota Yogyakarta berdiri di atas tanah seluas 1.200 m2 dengan luas bangunan 600 m2. Bangunan yang terdiri dari dua lantai ini terbagi atas beberapa ruang. Pada lantai satu terdapat front office, bank buku, blind corner, ruang baca, ruang koleksi, ruang pengolahan, ruang foto copy, area OPAC, area display buku baru, ruang penyimpanan peralatan (gudang), ruang staf, area publik (musala, toilet, dll), gazebo, shelter dan ruang penitipan tas. Lantai dua terdiri dari ruang koleksi anak, ruang koleksi referensi, ruang baca, ruang komputer, ruang serbaguna, ruang pertemuan, ruang staf, dan toilet.
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
Perpustakaan Kota Yogyakarta memiliki perencanaan guna memajukan institusinya di masa yang akan datang. Dalam mencapai tujuan, terdapat beberapa hal yang perlu dilaksanakan tentunya. Visi Perpustakaan Kota Yogyakarta adalah menjadikan perpustakaan sebagai sumber informasi, rekreasi, penelitian dan pengetahuan. Sedangkan misi yang dimiliki Perpustakaan Kota Yogyakarta diataranya: meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui pelayanan prima, mensosialisasikan gemar membaca dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perpustakaan, meningkatkan peran serta, partisipasi dan kontribusi masyarakat dalam upaya mengembangkan dan memberdayakan perpustakaan, dan menjadikan perpustakaan sebagai perpustakaan yang dinamis. Perpustakaan Kota Yogyakarta memiliki sebuah misi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui pelayanan prima. Maka, perpustakaan sebagai badan penyedia layanan perlu melakukan inovasi mencakup beberapa hal (Bloch). Dalam berinovasi, Perpustakaan Kota Yogyakarta sedang melakukan beberapa hal, seperti peningkatan efisiensi dalam pelayanan sektor publik melalui perekrutan tenaga kontrak dengan jumlah yang mencukupi. Melalui misinya, mensosialisasikan gemar membaca dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perpustakaan, terlihat ada nilai kepedulian yang dimiliki perpustakaan terhadap masyarakat. Gemar membaca diasosiasikan sebagai bentuk lain dari pembentukan generasi yang cerdas. Dengan adanya misi ini, perpustakaan sebagai institusi penyedia layanan, melibatkan diri dalam usaha pencerdasan masyarakat melalui fasilitas serta layanan yang mampu disediakan. Dalam menjalankan misinya, terlihat bahwa perpustakaan mengedepankan pemberian layanan kepada pengguna. Dengan begitu, hubungan antara pustakawan dan pengguna merupakan hal penting bagi pihak perpustakaan untuk perlu diperhatikan demi ketercapaian. Dari seluruh butir misi perpustakaan, terlihat selalu adanya kata ‘masyarakat’ di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat merupakan pusat orientasi perpustakaan dalam penyediaan layanan. Penambahan layanan serta perubahan sistem dilakukan Perpustakaan Kota Yogyakarta (Puskot), juga semata-mata dalam usaha memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Seperti pada 16 Januari 2014, layanan Taman Masyarakat Sambung Rasa (TAMARA) diresmikan. Dengan memanfaatkan kuota internet terbesar yang diberikan Pemerintah Kota Yogyakarta, Puskot menambah layanan TAMARA didukung beberapa infrastruktur baru serta jam layanan yang menyesuaikan. Pelaksanaan ini tentu terbantu dengan adanya penambahan SDM yang didapatkan melalui kerjasama dengan pihak Prodi Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga sebelumnya. Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
Selain itu, Puskot juga terus menjalankan program-program terkait dengan pengembangan perpustakaan yang melibatkan masyarakat untuk turut serta. Dengan begitu, masyarakat
merasa
kontribusinya
dibutuhkan
dalam
pengembangan
perpustakaan.
Pemahaman mereka mengenai pentingnya perpustakaan pun akan muncul bersamaan dengan itu. Perpustakaan Kota Yogyakarta memiliki misi untuk menjadi perpustakaan yang dinamis. Dalam artian, perpustakaan juga menjadi tempat masyarakat untuk melakukan multi aktivitas, didukung dengan adanya TAMARA yang memungkinkan untuk beraktivitas sampai malam. Dengan harapan, budaya minat baca tidak lagi hanya ke ranah buku, tetapi juga ke ranah digital. Keinginan Puskot untuk menjadi perpustakaan yang ‘hidup’. Dalam artian, perpustakaan juga menjadi tempat yang menarik untuk berinteraksi, datang, bertemu, dan menggunakan jejaring. Pada Perpustakaan Kota Yogyakarta, penulis tidak banyak menemukan tulisan berupa larangan-larangan
yang
dimaksudkan
kepada
pengguna
perpustakaan.
Tata
tertib
perpustakaan hanya terdapat di belakang kartu anggota dan bingkai yang terdapat di tembok front office. Pada meja-meja ruang baca pun tidak ditemukan anjuran untuk tidak berisik atau mengembalikan buku pada raknya. Sedangkan yang terlihat pada dinding area koleksi perpustakaan menampilkan kutipan-kutipan mengenai perpustakaan. Tidak adanya larangan-larangan tertulis pada ruang-ruang perpustakaan, bukan berarti pengguna perpustakaan menjadi bebas bertindak tanpa memperhatikan hak pengguna lainnya. Selama di ruang baca, pengguna berusaha untuk tidak mengeluarkan suara yang mengganggu. Ketika berinteraksi dengan pengguna lainnya, pengguna menyampaikan dengan nada suara yang rendah. Sama seperti ketika salah seorang pengguna mendapatkan telepon. Mereka menjawab dengan suara pelan, lalu pergi ke luar gedung perpustakaan atau meminta si penelepon untuk mengirimkan pesan singkat saja sambil memberitahu kalau sedang berada di dalam perpustakaan. Kejadian ini agak bersebrangan dengan pustakawan yang bertugas di front office. Tidak jarang mereka berinteraksi menggunakan bahasa jawa hingga suaranya terdengar di ruang baca. Mendengar hal itu, beberapa pengguna mencari-cari asal suara tersebut dengan wajah yang agak sebal kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya. 5.
Etnografi Praktik Layanan Perpustakaan Kota Yogyakarta
Pendekatan Pustakawan Terhadap Pengguna
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
Ketika memasuki gedung Perpustakaan Kota Yogyakarta, akan tampak front office yang menghadap ke arah pintu perpustakaan. Front office sebagai tempat melayani pengguna perpustakaan, memiliki meja setinggi dada orang dewasa merupakan media yang digunakan sebagai
perantara
pustakawan
dalam
melayani
penggunanya.
Meja
yang
tinggi
memungkinkan pengguna untuk berdiri menghadap pustakawan yang sedang melayaninya dengan duduk di dalam front office. Area front office dibatasi dengan sekat-sekat kayu yang memungkinkan pengguna yang berada di ruang baca dapat melihat aktivitas di dalam front office. Begitu juga dengan pustakawan yang dapat melihat aktivitas pengguna di ruang baca. Sekat-sekat kayu tersebut menunjukan adanya transparansi yang dilakukan oleh Perpustakaan Kota Yogyakarta yang bergerak di bidang layanan publik. Hal ini juga merupakan usaha pendekatan pustakawan kepada pengguna. Begitu juga dengan ruang pengolahan koleksi dan ruang TU yang dapat ditemui pengguna dengan mudah dan tidak terlihat batasan yang kaku. Sehingga pengguna merasa dekat dengan seluruh pustakawan maupun pegawai perpustakaan. Pendekatan perpustakaan terhadap pengguna juga dilakukan melalui eksistensi Perpustakaan Kota Yogyakarta di dunia maya, khususnya di twitter. Pustakawan merangkap sebagai admin akun twitter, berusaha melakukan interaksi terhadap penggunanya menggunakan bahasa khas anak muda. Dengan begitu, interaksi yang terjadi dengan pengguna perpustakaan yang juga merupakan pengikut dari twitter sangat menarik. Pemberian Layanan Tanpa Pembedaan Perpustakaan Kota Yogyakarta sebagai perpustakaan umum, berkewajiban untuk memberikan layanan ke seluruh pengguna dengan berbagai latar belakang. Mereka adalah anak-anak dan remaja, pelajar, orang dewasa yang tidak memiliki pekerjaan, orang dewasa yang bekerja, orang dewasa dengan kekurangan fisik, orang tua, komunitas, pebisnis, sekolah. Kebutuhannya pun berbeda-beda. Mulai dari anak-anak yang cenderung terlihat berada di ruang koleksi anak untuk membaca buku atau dibacakan oleh pendampingnya dan memanfaatkan layanan internet untuk bermain game online. Anak-anak kebanyakan dibiasakan oleh pendamping mereka untuk melakukan transaksi peminjaman sendiri di front office. Sikap pustakawan yang ramah terhadap seluruh pengguna membuat anak-anak merasa percaya diri untuk melakukan transaksi sendiri. Meski tidak jarang, anak-anak keliru dalam memilih koleksi yaitu koleksi berlabel RF atau referensi. Mereka tidak merasa malu ketika diberitahu pustakawan mengenai jenis koleksi yang bisa
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
dipinjam, sehingga mereka bersemangat untuk menukar buku dengan label SR atau sirkulasi agar bisa dipinjam untuk dibawa pulang. Kegiatan lain anak-anak ketika berada di Perpustakaan Kota Yogyakarta adalah bermain game di komputer area layanan internet. Biasanya anak-anak datang berkelompok. Pada hari libur, mereka datang sejak perpustakaan belum dibuka. Keterbatasan jumlah komputer membuat mereka membiasakan diri bergantian. Jenis permainan yang disukai mereka adalah pertualangan dan perang. Tidak jarang kata-kata kasar dalam bahasa jawa terdengar saat mereka sedang bermain. Diketahui kalau sekelompok anak ini bertempat tinggal di bantaran kali dekat perpustakaan. Hal ini terjadi karena setiap orang telah mengalami proses budaya yang berbeda-beda, sehingga produk budaya yang dihasilkan pun berbeda. Berbeda dengan anak muda yang hampir memanfaatkan seluruh layanan perpustakaan. Mereka biasanya memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat membaca buku, menggunakan Wi-Fi, dan berdiskusi. Anak muda yang kebanyakan merupakan mahasiswa, biasanya meminjam buku yang menunjang perkuliahan. Ketika tidak menemukan buku yang dicari, mereka tidak segan mendatangi pustakawan untuk meminta dicarikan di rak koleksi. Kemudian pustakawan berusaha membantu mencarikan di katalog, tumpukan buku yang berada di front office serta rak koleksi. Ketika buku yang dicari telah ditemukan, pustakawan langsung memberikannya kepada pengguna. Kemudian pengguna memberikan apresiasi melalui ucapan terima kasih. Namun apabila buku tidak ditemukan, pustakawan memberikan kemungkinan kalau buku tersebut sedang dibaca pengguna lainnya kemudian menyarankan pengguna untuk datang kembali hari Senin sore atau Selasa, setelah seluruh koleksi selesai ditata kembali pada hari Senin. Pengguna pun menuruti untuk datang di hari yang disarankan. Pemberian alternatif ini membuat pengguna tidak merasa kecewa atas perolehan layanan yang didapat pada hari itu. Persetujuan pengguna untuk datang kembali menunjukkan rasa percaya terhadap pustakawan. Tipe pengguna perpustakaan lainnya adalah orang dewasa yang bekerja maupun tidak bekerja. Ketertarikan orang dewasa terhadap perpustakaan terletak pada koleksi referensi dan layanan Wi-Fi. Sejak perpustakaan dibuka, beberapa pengguna dari tipe ini langsung menghampiri koleksi koran terbaru di lantai satu. Sebagian pergi menuju lantai dua untuk membaca koleksi referensi. Mereka mengambil beberapa koleksi referensi untuk dibaca di meja baca yang terdapat di ruang koleksi referensi atau di ruang serbaguna dengan duduk lesehan. Pada hari Senin-Jumat, pengunjung pagi hari didominasi oleh orang dewasa yang tidak bekerja. Terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan, biasanya adalah kaos dan celana panjang. Selain itu, orang dewasa yang tidak bekerja juga terlihat dari perkiraan umur Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
seseorang apabila dilihat dari ciri-ciri fisik dan aksesoris yang digunakan. Sedangkan pada siang hingga malam hari, banyak orang dewasa datang menggunakan pakaian formal. Aktivitas yang dilakukan selama di perpustakaan adalah membaca koran terbitan terbaru serta memanfaatkan layanan hotspot yang disediakan. Perpustakaan sering mengalami kunjungan dari berbagai sekolah. Selama penelitian, penulis mengalami satu kali kunjungan perpustakaan yang dilakukan oleh anak-anak Taman Kanak-Kanak dan Playgroup Fastrack. Karena jumlah murid yang tidak sedikit, kunjungan dibagi menjadi tiga hari. Setiap paginya ketika rombongan berdatangan, pihak perpustakaan menyapa dengan ramah menyesuaikan dengan penerimaan anak-anak. Pendamping dari pihak perpustakaan mencoba menginformasikan kepada rombongan mengenai Perpustakaan Kota Yogyakarta dengan sesekali menyelipkan aturan dengan cara yang halus. Pada saat berada di dalam perpustakaan, anak-anak mengobrol dengan agak gaduh, selain itu juga ada anak yang menangis. Pustakawan hanya melihat lalu tersenyum maklum atas apa yang dilakukan anakanak. Pustakawan memperlakukan setiap pengguna yang datang dengan perlakuan yang sama, dengan tidak membedakan penampilan pengguna yang mewah dan pengguna dengan penampilan yang lusuh. Penciptaan Rasa Aman pada Perpustakaan Rasa aman merupakan salah satu hal yang membuat pengguna menentukan suatu tempat untuk dijadikan tempat beraktivitas pada waktu tertentu. Perpustakaan Kota Yogyakarta menciptakan rasa aman melalui beberapa hal, salah satunya adalah adanya layanan penitipan tas. Layanan ini masih menggunakan sistem yang konvensional di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Sistem ini didukung dengan rak kayu dan nomor penitipan tas. Banyaknya jumlah pengunjung yang datang setiap harinya, membuat pustakawan yang bertugas di layanan penitipan tas seringkali kewalahan dalam menemukan tas yang dimaksud pada rak yang padat. Layanan penitipan tas biasanya dijaga 2-3 orang setiap harinya, dikarenakan kerja yang cukup membutuhkan tenaga serta waktu yang dituntut cepat dalam melayani pengguna. Sistem layanan ini membuat suasana area layanan terlihat ramai. Dikarenakan setiap pengguna harus mengeluarkan terlebih dahulu barang-barang yang ingin dibawa selama di perpustakaan. Saat peneliti sedang bertugas di layanan penitipan tas, seorang ibu yang terlihat kerepotan dalam mengeluarkan barang-barangnya menyarankan kepada peneliti, agar perpustakaan membuat tas untuk membawa laptop dan barang bawaan selama di perpustakaan. Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
Sistem layanan penitipan tas yang dianggap kurang efisien dikarenakan banyaknya SDM yang dibutuhkan didalamnya, membuat terjadinya perubahan sistem yang dimulai pada awal Januari 2014. Sistem baru layanan ini memungkinkan pengguna untuk lebih mandiri dalam menjaga barang-barang bawaannya, dengan ketersediaan loker yang berada di sisi kanan dan kiri pintu perpustakaan. Pengguna cukup meninggalkan kartu identitasnya sebagai jaminan, kemudian pengguna mendapatkan kunci loker. Berjalannya sistem yang baru ini menghadirkan berbagai tanggapan dari pengguna. Halhal yang biasanya ditanyakan pengguna mengenai sistem layanan baru ini adalah letak loker, di bagian kanan atau kiri pintu perpustakaan. Kartu identitas atau uang dengan minimal Rp20.000,00 yang dijadikan jaminan pada layanan penitipan tas benar adanya membuat sebagian pengguna kebingungan. Selama penelitian, ditemukan pengguna yang sudah menjadikan kartu identitasnya sebagai jaminan di layanan sirkulasi. Mengetahui itu, pustakawan yang bertugas menyarankan pengguna untuk mengambilnya dari layanan sirkulasi kemudian menjadikannya jaminan di layanan penitipan tas. Terkadang ada pengguna yang tidak membawa kartu identitasnya. Sehingga ada pula pengguna yang ingin menjadikan kartu debitnya sebagai jaminan. Perubahan sistem layanan penitipan tas tidak selalu ditanggapi baik oleh pengguna. Menghadapi respon pengguna yang bermacam-macam, pustakawan tetap menghadapi dengan sikap yang asertif. Kewaspadaan yang dirasakan pustakawan disebabkan karena tidak adanya alat pendeteksi sensor buku yang tidak melalui transaksi sirkulasi. Sehingga sebagai preventif akan adanya pencurian buku, pustakawan harus benar-benar memastikan bahwa pengguna yang masuk ke dalam perpustakaan dalam kondisi sudah menitipkan tasnya di layanan penitipan tas. Selain sistem layanan, sikap pengguna maupun pustakawan juga memiliki peran besar untuk menciptakan rasa aman selama berada di perpustakaan. Selama melakukan penelitian, penulis mengalami suatu peristiwa yang tidak terduga pada 25 Januari 2014. Peristiwa tersebut terjadi ketika penulis sedang berada di sisi kanan perpustakaan. Guncangan hebat terjadi beberapa menit yang diakibatkan adanya gempa bumi dengan kekuatan 6,5 SR yang terjadi di Yogyakarta. Beberapa pengguna memilih untuk keluar dari gedung perpustakaan sampai guncangan terasa berhenti. Tidak lama kemudian, penulis memasuki perpustakaan dan melihat sikap pustakawan yang seakan-akan tidak baru mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan. Sikap pustakawan tersebut meyakinkan pengguna kalau perpustakaan dalam kondisi aman. Setelah terjadinya gempa, aktivitas kembali berjalan normal, di dalam maupun luar gedung perpustakaan.
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
Pembimbingan Anak oleh Orangtua di Perpustakaan Kota Yogyakarta Perpustakaan Kota Yogyakarta seringkali menerima kunjungan anak dengan orangtuanya. Aktivitas yang mereka lakukan umumnya tampak di lantai dua perpustakaan. Perlakuan setiap orangtua kepada anaknya terlihat berbeda, disesuaikan dengan umur dan kemandirian anak. Orangtua awalnya mengarahkan anak untuk memanfaatkan koleksi yang berada di ruang koleksi anak. Anak dengan rentang usia 3-5 tahun diajak orangtuanya untuk ikut mencari koleksi yang diinginkan. Setelah mendapatkan buku dengan cover yang menarik, orangtua membacakan isi buku tersebut sambil memangku ataupun duduk merapat dengan anaknya. Sambil mendengarkan, anak melihat ilustrasi pada buku yang sedang dibacakan orangtuanya. Kemudian orangtua memberikan kesempatan anak untuk memilih buku selanjutnya. Selain itu, anak juga diajarkan membaca dengan mengeja oleh orangtua. Anak dengan rentang usia di atas datang ke perpustakaan didampingi kedua orangtuanya. Dalam mendampingi anaknya, orangtua perempuan (ibu) terlihat lebih mengkhususkan perhatian dengan membacakan maupun mengeja bacaan. Sedangkan orangtua laki-laki (ayah) sebagian besar berada di ruangan yang sama namun dengan kegiatan yang lain, misalnya membaca majalah. Ibu dari anak meminta suaminya untuk mendokumentasikan kegiatan anak ketika sedang berada di depan rak koleksi maupun saat sedang bersama ibu. Meskipun begitu, terdapat beberapa orangtua laki-laki (ayah) yang menuntun anaknya dalam memanfaatkan koleksi di ruang koleksi anak, hal ini biasanya terjadi apabila kunjungan hanya dilakukan ayah dan anaknya. Anak dengan usia 6-8 tahun yang datang dengan didampingi ayah, diberi kepercayaan untuk pergi sendiri ke lantai dua, sedangkan ayah mencari koleksi di rak yang terdapat di lantai satu. Anak menuruti apa yang dikatakan ayahnya untuk mendatangi koleksi anak. Meskipun begitu, ayah tetap berusaha menetap di area yang memungkinkan untuk dapat mengontrol kegiatan anaknya. Berbeda dengan perlakuan ibu terhadap anaknya yang berusia 6-8 tahun ketika berada di ruang koleksi perpustakaan. Ibu terlihat ingin membantu anaknya untuk mencari buku di rak koleksi. Sedangkan, anak ingin memilih buku yang diinginkannya sendiri. Sementara anak sibuk mencari koleksi dan membaca, ibu mengambil majalah di rak koleksi referensi. Kemudian ibu membaca majalah tersebut di ruang yang sama dengan tempat anak beraktivitas. Anak dengan rentang usia 9-12 tahun mulai berani datang ke perpustakaan tanpa didampingi orangtuanya, melainkan bersama teman-temannya. Dalam kelompok teman Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
teman seusia, anak lebih bebas mengekspresikan diri. Mereka membicarakan buku yang sama sambil tengkurap di ruang koleksi anak. Atau memilih buku yang dinginkan sendiri. Bukan berarti anak-anak dengan rentang umur tersebut tidak ada lagi yang datang tanpa dampingan orang tua. Pada akhir pekan, jumlah kunjungan perpustakaan khususnya pada ruang koleksi anak, meningkat. Aktivitas yang dilakukan tidak hanya membaca buku, tetapi juga mendongeng dan mengerjakan tugas sekolah. Kehadiran orangtua yang mendampingi anaknya selama berada di perpustakaan, membantu pustakawan dalam mengawasi aktivitas anak-anak. Pustakawan merasa dengan adanya orangtua, anak menjadi lebih tenang membaca dan tidak berlari-larian di perpustakaan. Selain itu, anak juga segan untuk bermain-main di tangga perpustakaan. 6.
Nilai-Nilai Sosial dalam Praktik Layanan Perpustakaan Kota Yogyakarta
Nilai Gotong Royong Dalam praktik layanan perpustakaan, terlihat beberapa nilai yang terkandung dalam pelaksanaanya, salah satunya adalah nilai gotong royong. Pada penyediaan layanan terhadap pengguna, perpustakaan melibatkan seluruh elemen yang terdapat di struktur organisasi Arpusda untuk sama-sama mewujudkannya. Deskripsi kerja tenaga teknis yang berada di ranah layanan, pada praktiknya tidak hanya itu. Tenaga teknis juga ikut bekerja membantu pustakawan dalam manajemen koleksi. Nilai gotong royong yang sudah melekat pada budaya orang Indonesia menunjukkan kalau nilai ini termasuk dalam nilai tradisi, yang didalamnya terdapat penghormatan, komitmen, dan penerimaan dari kebiasaan dan ide bahwa budaya tradisional atau agama melengkapi diri (Schwartz, 2009). Ketika banyak buku yang belum dilakukan pengolahan, tenaga teknis mengambil sebagian untuk dikerjakan sambil melayani pengguna. Pekerjaan tersebut meliputi pengentrian data, pemberian identitas terhadap buku, dan pemberian sampul. Selain itu, pustakawan pada bagian manajemen koleksi sering meminta bantuan tenaga teknis untuk membuat resensi buku atau tulisan yang akan dimasukkan ke buletin Pradipta. Pustakawan tidak jarang memberikan bantuan kepada tenaga teknis dalam memberikan layanan kepada pengguna. Hal ini terjadi ketika jumlah tenaga teknis yang bertugas sedang tidak banyak atau sedang dalam jam istirahat, pustakawan segera memberikan bantuan untuk bertugas di front office maupun layanan penitipan tas. Adanya keterikatan antara pustakawan tenaga teknis, membuat keduanya mudah berempati ketika salah satu di antaranya
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
membutuhkan bantuan. Rasa empati tersebut melahirkan reaksi berupa sebuah tindakan tanpa diminta terlebih dahulu. Pada awal-awal penetapan jam tambahan layanan pun pustakawan dan karyawan Arpusda ikut membantu memberikan pelayanan terhadap pengguna. Sebelum adanya penambahan tenaga teknis dari mahasiswa fresh graduate UIN, penambahan jam layanan hingga pukul 20.00 membutuhkan banyak bantuan tenaga dari Kantor Arsip. Oleh karena itu, sebelum bulan November 2013, pada jam layanan Jogja Night Reading dan hari akhir pekan, pegawai Kantor Arsip ikut terlibat dalam pemberian layanan kepada pengguna. Dalam mengawali kegiatan, seperti penataan ulang koleksi yang biasa diadakan hari Senin, melibatkan seluruh tenaga teknis, pustakawan, termasuk orang-orang yang berada pada lini pimpinan. Pada pembagian tugas, semua elemen mendapatkan tugas yang setara. Termasuk juga pimpinan yang ikut menjadikan dirinya sebagai pelaksana kegiatan penataan ulang koleksi yang bersifat teknis. Nilai gotong-royong tercermin dari keikutsertaan seluruh pegawai serta pimpinan untuk mencapai suatu tujuan bersama. Sosok pimpinan di Perpustakaan Kota Yogyakarta juga melibatkan dirinya dalam setiap tugas yang diperintahkan kepada pegawai perpustakaan. Misalnya ketika setelah selesainya suatu acara, pimpinan menugaskan office boy untuk merapikan karpet yang sudah dipakai. Sambil menugaskan, pimpinan juga melipat salah satu karpet kemudian pergi meninggalkan office boy tersebut untuk bertugas. Nilai Saling Percaya Maksud dari nilai saling percaya adalah adanya rasa percaya yang dilimpahkan terhadap orang lain selama beraktivitas di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Adanya kelonggaran aturan mengenai bolehnya pengguna membawa minuman ke dalam perpustakaan, menunjukkan adanya kepercayaan yang diberikan kepada pengguna bahwa tidak akan menjadikan minuman sebagai penyebab rusaknya koleksi ataupun fasilitas. Dengan adanya kebijakan untuk menjadikan kartu identitas sebagai jaminan untuk meminjam koleksi dan mendapatkan kunci loker, pengguna menitipkan kepercayaannya kepada perpustakaan. Hampir seluruh pengguna perpustakaan menaati peraturan tersebut. Selama penulis bertugas di layanan penitipan tas, terdapat pengguna yang tidak membawa kartu identitas yang dimaksud perpustakaan, kemudian pengguna tersebut menjadikan kartu debitnya sebagai jaminan. Hal ini menunjukkan bahwa pengguna merasa aman dalam menjadikan kartu debitnya sebagai jaminan.
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
Selama berkegiatan di ruang serbaguna dan gazebo, beberapa pengguna meninggalkan barang berharganya dalam waktu yang cukup lama. Misalnya ketika berada di gazebo, pengguna dalam keadaan menggunakan laptop. Kemudian ia meninggalkan laptopnya, dan pergi ke dalam perpustakaan untuk mendapatkan kode login hotspot. Sebelum meninggalkan laptopnya, ia tidak berpesan kepada pengguna lain untuk menjaga laptopnya. Hal ini juga terjadi di ruang serbaguna, beberapa pengguna meninggalkan barang berharga seperti laptop, handphone, kemudian pergi ke toilet ataupun ke lantai satu untuk membeli minuman. Mereka tidak juga berpesan kepada pengguna lain untuk menjaga barangnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengguna percaya dengan lingkungannya dengan tidak adanya niatan buruk terhadap dirinya. Sementara itu, pegawai perpustakaan juga mudah memberikan rasa percayanya terhadap orang lain. Termasuk kepada mahasiswa PKL yang baru saja memulai bertugas di front office. Mereka dipercaya untuk melayani pengguna yang ingin melakukan transaksi peminjaman dan pengembalian serta pendaftaran kartu anggota. Dikarenakan belum begitu memahami alur pekerjaan, beberapa kesalahan pernah dialami selama bekerja. Namun, pustakawan tidak menyalahkan begitu saja, justru mempercayai mereka untuk terus berlatih melayani pengguna. Selain itu, mereka juga diberi kepercayaan untuk menjadi bagian dari beberapa program perpustakaan. Kepercayaan yang diberikan perpustakaan menimbulkan adanya rasa menyenangkan dan menjadi bagian dari Perpustakaan Kota Yogyakarta. Adanya harmoninasi hubungan antar pustakawan, pustakawan dan pengguna, serta antar pengguna yang diikat melalui rasa percaya membentuk adanya nilai keamanan. Stabilitas masyarakat dan hubungan yang terjalin di antaranya merupakan unsur-unsur dari salah satu nilai dasar, yaitu nilai keamanan (Schwartz, 2009). Nilai Kepedulian Selama melakukan penelitian, penulis menemukan dan mengalami beberapa kejadian yang melibatkan adanya kepedulian dari pustakawan maupun pengguna perpustakaan. Sebelum membahas mengenai kejadian-kejadian tersebut, Perpustakaan Kota Yogyakarta memiliki beberapa layanan yang bersumber atas adanya rasa kepedulian itu sendiri. Layanan tersebut adalah bank buku dan blind corner. Bank buku lahir atas rasa kepedulian terhadap tidak meratanya akses informasi yang didapatkan masyarakat. Begitu juga dengan blind corner yang hadir atas rasa kepedulian terhadap penyandang tuna netra yang memiliki kesamaan hak untuk mendapatkan informasi sesuai kebutuhannya.
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
Disadari atau tidak, adanya dua layanan tersebut menciptakan adanya sikap kepedulian pengguna dalam beraktivitas menggunakan layanan Perpustakaan Kota Yogyakarta, begitu juga dengan pustakawan dalam perannya sebagai penyedia layanan. Seringkali pustakawan membantu pengguna untuk mencarikan koleksi yang tidak ditemukan di rak. Tidak sampai disitu, apabila buku tidak juga ditemukan, pustakawan mencatat judul koleksi tersebut, kemudian menghubungi pustakawan bagian pengolahan untuk memastikan adanya kemungkinan kalau buku tersebut sedang dalam perbaikan. Ketika buku yang dimaksud sudah dipastikan tidak ada, pustakawan menyarankan pengguna untuk datang kembali ke perpustakaan setelah dilakukan penataan (shelving), sehingga koleksi sudah dalam keadaan tertata dan mudah ditelusur. Melihat kondisi meja pada ruang baca yang seringkali terdapat buku-buku yang selesai digunakan, membuat pengguna perpustakaan berinisiatif untuk meletakannya pada meja dorong sebagai tempat yang seharusnya. Sehingga pustakawan tidak lagi perlu memutari ruang baca untuk mengambil buku-buku yang berada di atas meja. Selain itu, selama penulis bertugas di front office, seorang pengguna pernah menghampiri sambil membawa sebuah buku. Kemudian ia mengatakan ‘mbak, ini bukunya robek di halaman yang ini’. Pustakawan mengucapkan terima kasih atas pemberitahuan pengguna. Kemudian pengguna mengatakan bahwa ia hanya mengikuti peraturan yang ada bahwa setiap pengguna perlu melapor apabila menemukan koleksi yang rusak. Dengan begitu, pengguna merasa peduli terhadap koleksi yang dimiliki perpustakaan. Sikap peduli lainnya juga pernah dilakukan pengguna ketika berada di ruang serbaguna. Ketika itu, ruang serbaguna baru saja selesai digunakan untuk acara kunjungan anak-anak dari TK Fastrack. Setelah anak-anak meninggalkan ruangan, beberapa karpet masih digelar di ruang serbaguna. Seorang pengguna yang terlihat ingin segera menggunakan ruang serbaguna, melipat salah satu karpet tersebut kemudian menaruhnya di atas tumpukan bangku. Kemudian ia duduk di ruang serbaguna. Tidak lama kemudian, office boy membereskan ruang serbaguna, termasuk mellipat seluruh karpet yang sudah selesai dipakai. Kepedulian merupakan bentuk lain dari nilai kebajikan yang didalamnya terdapat unsurunsur melestarikan dan meninggikan kesejahteraan orang lain (Schwartz, 2009). Kepedulian terhadap sesama pengguna juga sering muncul selama penulis melakukan penelitian di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Hal-hal seperti menggeser posisi duduk di ruang serbaguna maupun di shelter seringkali dilakukan, agar pengguna lain dapat memanfaatkan fasilitas yang sama. Begitu juga dengan penggunaan meja kayu di ruang serbaguna. Setiap selesai menggunakan, meja ditawarkan kepada pengguna lain yang tidak menggunakan meja dalam Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
beraktivitas. Di ruang serbaguna, terdapat beberapa terminal listrik yang disediakan dan perlu dihubungkan dengan saklar di dinding. Beberapa kali pengguna menghubungkan gadget-nya dengan terminal listrik, namun setelah disadari ternyata daya tidak bertambah. Pengguna lain yang mengetahui kalau terminal listrik tersebut belum terhubung ke saklar, segera memberitahu dan membantu menghubungkannya. Aktivitas di gazebo seringkali juga menunjukkan adanya kepedulian pada sesama pengguna. Ketika baru selesai hujan, bangku-bangku di gazebo biasanya agak basah. Seorang pengguna yang baru ingin duduk di salah satu bangku, dicegah oleh pengguna lainnya kemudian diberitahukan kalau bangku tersebut basah. Pengguna pun mencari bangku lainnya yang kering, atau tidak mempermasalahkan bangku yang basah tersebut. Nilai Keramahan Pada praktik layanan Perpustakaan Kota Yogyakarta setiap harinya, keramahan selalu menjadi bagian sikap pengguna maupun pustakawan dalam berinteraksi. Pustakawan selalu mengawali dengan senyum setiap memulai pelayanan kepada pengguna. Tidak jarang juga pustakawan mengucapkan ‘selamat pagi’ kepada pengguna yang akan menitipkan tasnya di layanan penitipan tas. Keramahan pustakawan dalam melayani, membuat pengguna tidak segan untuk menyapa dan meminta bantuan kepada pengguna. Perpustakaan didatangi banyak pengguna dengan berbagai latar belakang. Sehingga, pengetahuan akan penggunaan perpustakaan tidak selalu dipahami setiap pengguna. Meskipun begitu, melihat pustakawan yang terlihat ramah dan terbuka untuk dimintai bantuan, pengguna tidak segan untuk bertanya mengenai penggunaan OPAC, pencarian koleksi, serta cara menjadi anggota perpustakaan. Pustakawan membiasakan dirinya untuk berperilaku baik dengan adanya keramahan. Dengan begitu, banyak sekali pengguna yang merasa bersahabat dengan pustakawan Perpustakaan Kota Yogyakarta. Pengguna yang pernah merasa terbantu oleh pustakawan, sering terlihat menegur pustakawan ketika tiba di perpustakaan. Selain itu, melalui eksistensi Perpustakaan Kota Yogyakarta di twitter, pengguna menjadi merasa lebih dekat dengan admin perpustakaan. Sehingga, interaksi yang terjadi melibatkan keakraban di antara kedua belah pihak. Nilai keramahan sudah terlebih dahulu hadir pada budaya pegawai Perpustakaan kota Yogyakarta. Setiap memulai hari kerja, para pegawai terbiasa untuk saling menyapa dan bersalaman. Sapaan seperti ‘selamat pagi’, ‘wilujeng enjing’, dan ‘apa kabar?’ sudah biasa dilakukan para pegawai ketika memulai aktivitas di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Para Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
pegawai juga sangat mementingkan tata krama dalam bersikap kepada sesama pegawai dan pengguna. Penggunaan bahasa yang digunakan untuk menghadapi orang yang usianya lebih tua tentu berbeda dengan cara menghadapi anak kecil. Nilai keramahan merupakan bagian dari nilai kesesuaian (konformitas), yang di dalamnya terdapat pengendalian tindakan dan kecenderungan untuk menghadapi orang lain (Schwartz, 2009). Keramahan memiliki fungsi kontrol untuk menciptakan kesesuaian dalam suatu lingkungan organisasi. Kesimpulan Praktik layanan Perpustakaan Kota Yogyakarta membangun budaya yang muncul akibat interaksi yang dilakukan antara sesama pustakawan, pustakawan dengan pengguna, dan sesama pengguna. Budaya yang muncul atas hubungan antar pustakawan memberikan energi yang baik kepada pustakawan dalam menjalankan tugasnya sebagai penyedia kebutuhan informasi pengguna. Pemahaman yang ditanamkan kepada pustakawan mengenai rasa kepemilikan terhadap Perpustakaan Kota Yogyakarta, membuat pustakawan dapat menikmati pekerjaaan mereka. Keterbukaan antar pustakawan membuat masing-masing dapat memberikan saran dan masukan terkait dengan pengembangan perpustakaan. Nilai-nilai yang sudah muncul pada budaya kerja pegawai, seperti nilai gotong royong, kepedulian, kepercayaan, dan keramahan menjadi muncul kembali pada praktik layanan perpustakaan. Pustakawan berusaha memberikan pelayanan prima terhadap pengguna perpustakaan. Kesamaan hak pengguna layanan sangat dijunjung tinggi oleh pustakawan. Selain itu, pustakawan juga mendorong pengguna untuk partisipatif dalam menyuarakan aspirasi, harapan, dan kebutuhannya terhadap perpustakaan. Dalam pemberian layanan, pustakawan berusaha tidak menyulitkan pengguna, dengan menyesuaikan kondisi dan kemampuan keduanya. Pengguna melakukan aktivitasnya di perpustakaan sesuai dengan konsepsi yang mereka dapatkan melalui apa yang dilakukan orang lain dengan posisi dan situasi yang sama. Aktivitas yang dilakukan pengguna sifatnya bebas selama tidak mengganggu hak pengguna lainnya dalam beraktivitas di perpustakaan. Adanya rasa saling menghargai kedudukan masing-masing membuat kehidupan di dalam perpustakaan berjalan dengan harmoni. Saran Layanan Perpustakaan Kota Yogyakarta pada praktiknya sudah membangun budaya yang baik. Meskipun begitu, penulis mengajukan dua saran sebagai berikut: 1. Perlunya pembagian ruang di dalam perpustakaan untuk mendorong pengguna berinteraksi dengan pengguna sebaya. Adanya pembagian ruang yang disesuaikan jenis pengguna, dalam Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
hal ini umur, sangatlah penting. Penciptaan nilai-nilai dapat tumbuh berdasarkan pada kesetaraan latar belakang, terutama untuk pelajar yang belum memiliki ruang khusus untuk beraktivitas di Perpustakaan Kota Yogyakarta. 2. Sebagai perpustakaan umum yang berperan dalam menciptakan nilai pendidikan dan pengajaran, Perpustakaan Kota Yogyakarta seharusnya memberikan ketersediaan informasi yang sama terhadap seluruh kategori anggota. Misalnya ketersediaan koleksi pendukung pelajaran sekolah yang minim sekali jumlahnya, padahal dengan lokasi perpustakaan yang dikelilingi beberapa sekolah, peminat jenis koleksi tersebut sangatlah banyak. Daftar Referensi Booz & Company. (2010). A Perspective on Organizational Culture. 2 Februari 2014. http://www.strategyand.pwc.com/media/file/Strategyand-Perspective-on-OrganizationalCulture.pdf Mack, Natasha, et al. (2005). Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. USA: Family Health International McMenemy, David. (2009). The Public Library. London: Facet Publishing Poerwandari, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Schwartz, Shalom H. (2009). Basic Human Values: An Overview. 19 Mei 2014. http://segrdid2.fmag.unict.it/Allegati/convegno%207-8-10-05/Schwartzpaper.pdf Sutarno NS. (2003). Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia ---------------. (2004). Manajemen Perpustakaan: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Samitra Media Utama The
Concept
of
Culture.
8
Januari
2014
http://classes.uleth.ca/200502/anth1000y/PDF%20slides/concept%20of% 20culture.pdf Tubbs, Stewart L, dan Moss, Sylvia. (2004). Human Communication. New York: McGraw Hill Widodo,
Nurjati.
(2013).
Konsep
Dasar
Layanan
Publik.
12
http://nurjatiwidodo.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/Buku-Ajar.pdf
Etnografi praktik layanan di perpustakaan..., Retno Andini, FIB UI, 2014
Februari
2014