PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411 - 4216
ESSENSI SILICONE SOFTENER DAN SILANE COUPLING TERHADAP PERFORMANCE KAIN COTTON Indah Molektuz Zuchairah Dept. Teknik Tekstil, FTI-UII, Jalan Kaliurang, KM 14.5, Jogyakarta, Indonesia Phone: +62-274-886569/895287, Fax.+62-274-895007 E-mail:
[email protected] Abstaract The effects of silicone softeners and silane coupling agents on the performance of cotton fabrics were investigated. The silicone softeners were aminofunctional polydimethylsiloxane, reactive polymethylsiloxane of high viscosity, and hydroxy-end-blocked reactive polymethylsiloxane of low viscosity. A cationic softener, distearyldimethylammonium chloride, was also used for comparison. Methyltrimetoxysilane, glysidoxy(epoxy)propyltrimetoxysilane, vinyltriethoxysilane, and aminoethylaminopropyltrimethoxysilane were the coupling agents. The cotton fabric samples were treated with a pad–dry-cure process from an aqeous bath containing and other additives. The results indicate that silicone softeners provide better durable press performance with a higher retention of mechanical properties and durability compared with the cationic softener, as well as treatment conditions such as curing temperature, are crucial factors affecting the performance properties of the treated fabrics. Furthermore, the study of the silane coupling agenst revealed that it plays an important role in improving the durability and performance of silicone softeners, especially the linier reactive type. The results also suggest that improvements in wrinkle recovery are mainly due to the formation of an elastic silicone polymer network, which entraps fibers within its matrix, thus improving the fabric ability to recover from deformation. Key word: softener silicone, silane coupling, sellulosa
Pendahuluan Cotton (sellulosa) merupakan salah satu serat alam yang paling tua dan paling penting dalam industri tekstil karena sifat-sifat fisiknya yang nyaman dan enak dipakai, kekurangan utamanya kecenderungan mengkeret kain cotton ketika dipakai, dan pegangannya kaku. Perlakuan dengan resin konventional guna menambah daya tahan kusut kain cotton dapat mengakibatkan berkurangnya sifat mekanik secara substansial karena berkurangnya ketahanan serat akibat reaksi cross-linking oleh monomerik resin. Softeners seperti surfactan jenis kationic atau non-nionic banyak digunakan pada teknik pencucian rumah tangga, bahkan untuk proses penyempurnaann (wet processing) dengan penambahan zat additive untuk menambah sifat pegangan kain dan sifat mekanik seperti kekuatan sobek dan ketahanan gosok [17]. Namun daya adhesif dari softeners ini terhadap permukaan serat hanya merupakan mekanisme gaya tarik menarik listrik lemah (weak electrical attraction) tanpa terjadinya ikatan kimia [1] sehingga daya tahannya sangat lemah. Disisi lain, penyempurnaan dengan menggunakan softener silicone dapat menambah daya tahan kusut dan daya lipat, nyaman dipakai, pegangan kain lemas dan lembut. Softener silicone untuk penyempurnaan tekstil dikalasifikasikan dalam dua tipe; non-reaktive konventional reaktive group dan organofungsional reaktive group. Non-reaktif silicones merupakan polymethylsiloxane yang membentuk filem yang flexible pada permukaan serat. Polysiloxane melapisi/membungkus serat dan berorientasi dengan atom oxygen pada permukaan serat sementara methyl group menjauh darinya tanpa mengadakan cross-linking dengan serat. Oleh karenaya film bisa pecah atau lepas ketika proses pencucian kerena menggelembung dan selanjutnya mengakibatkan hilangnya ketahanan kain terhadap kekusutan [11,20]. Reaktif silicones konvensional merupakan modifikasi polimer dimetylsiloxane dengan silanol group. Dengan penambahan air, reaktif silicones membentuk silanol group melalui proses hydrolisa dan polymerisasi terjadi pada gugus silanol secara kondensasi, menghasilkan formasi jaringan polymer yang terperangkap didalam metrix serat. Jaringan polymer ini menambah perbaikan daya tahan kusut kain [10, 15]. Kestabilan ikatan kimia polimer siloxane dan sellulose tersebut bukan karena perbedaan sifat elektronegatifitas carbon dan silicone [11, 16]. Beberapa pendekatan sudah dilakukan dalam rangka untuk menghasilkan proses fikasasi yang lebih baik dari polimer reactive silicone terhadap permukaan serat [5, 6, JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-7-1
14]. Klasifikasi paling unik adalah poly-fungsional silicone monomers, disebut silene coupling agents (SCA) yang digunakan untuk menambah cross-linking dari polymer reactive silicone. Silane coupling digunakan secara komersial hubungannya dengan reactive silicone softeners untuk memperoleh daya tahan kusut, tahan lama dan performance kain [5, 6, 8-10, 15]. Organofunctional silicone softeners disisi lain merupakan modifikasi polimer dimethylsiloxane yang mengandung silanol group yang dapat membentuk cross-linking dengan rantai polimer siloxane melalui proses kondensasi. Softener silicone tipe ini juga terdiri dari organofunctional yang mengandung reaktif groups seperti vinyl, epoxy, mercapto, atau organoamine, potentionally yang dapat bereaksi dengan substrat organik lain. Beberapa penelitian [10,15,18] telah difokuskan pada penggunaan softeners untuk menghasilkan pegangan kain yang lembut menakjubkan dan menambah sifat ketahanan tekan kain cotton dan kain blend poliester-cotton. Focus pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi effek dari softener silicone pada kain cotton dibandingkan dengan softener konvensional jenis kationik sekaligus untuk mengidentifikasi pengharuh beberapa parameter pada penggunaan softener silicone dan silane coupling terhadap peningkatan performance kain. Pada penelitian ini menggunakan softener konventional non-durable cationic yang secara kommersial disebut sebagai softener silicone dan silane coupling. Sample kain cotton diproses secara paddry-cure dalam larutan yang terdiri dari softener dan zat additive. Parameter yang dievaluasi meliputi temperatur curing, tipe softener yang diaplikasikan, dan jumlah zat additive yang ditambahkan untuk menentukan kondisi yang paling optimum dalam peningkatan ketahanan dan performance kain dengan cara evaluasi ketahanan tekan (DP) rating, daya tahan kusut (WRA), kekuatan sobek (TS), daya tahan gosok (AR), dan daya tekuk (BS). Metodologi Penelitian a). Material Kain cotton 100% (desized, scoured, dan bleached) dengan anyaman polos, berat 25.8 mg/cm2). Softener kationik distearyldimethylammonium chloride (serbuk) yang diperoleh secara komercial. Tiga macam silicone softeners (Dow-Corning) al: Emulsion 108 (aminofunctional polydimethylsiloxane) dengan viskositas 100,000 cst dan zat aktif 35%, Emulsion 111 (reactive polydimethylsiloxane emulsion) dengan viskositas 100,000 cst dan zat aktif 35%, dan Emulsion 347, (hydroxy-end-blocked reactive polydimethylsiloxane) dengan viskositas rendah 100 cst dan zat aktif 60%. Hasil analisa elemental dari Emulsion 108 memberikan ratio atom silicone/nitrogen sebesar 11.4:1. Amino functional group dari softener silicone berupa diamine, hal ini berarti aminofunctional ditempati satu gugus amine untuk setiap 22.8 atom silicone disepanjang unit polysiloxane. Berat molekul rata-rata polimer dihitung dengan metode empiris menurut Barry [3] dan diperoleh sebesar 100,000, atau derajat polymerisasinya sebesar 1300, sehingga jumlah rata-rata aminofucntional setiap molekul sekitar 50. Zat silane coppling yang digunakan adalah metyltrimethoxysilane (MTMS), glocidoxy(epoxy) propyltrimethoxysilane (ETMS), vinyltriethoxysilane (VTES), dan amino ethylaminopropyl trimethoxy silane (ATMS). Larutan garam organotin merupakan zat aktif yang mengandung dioctyltin bis(isooctylmercaptoacetate) yang digunakan sebagai katalis untuk terbentuknya cross-linking. Sebagai zat pembasah non-ionic digunakan kalium persulfate (KPS).
b). Perlakuan Kain Sample Kain sample ukuran 20x30 cm dimasukkan dalam larutan yang terdiri dari softener, zat coupling, katalis, zat pembasah, dan zat additive selama 2 menit kemudian dipadding melalui roll pemeras dengan tekanan 2.1 kg/cm2. Selanjutnya dimasukkan zat silane coupling yang telah ditambah dengan asam asetat untuk menambah tingkat kelarutan zat coupling. Tipe perlakuan yang diaplikasikan ditabulasikan pada Table 1. Sample yang telah dipedding kemudian ditempatkan pada pin frame yang siap dikeringkan dalam oven pada temperatur 105°C selama 15 menit, kemudian diikuti dengan curing dalam Despatch oven. Kondisi curing disetting pada suhu 140°C selama 1.5 (dengan spesifikasi tertentu). Sementara sample yang diberi perlakuan dengan softener kationic hanya dijemur diudara kamar tanpamelalui proses curing. Table 1: Tipe Formulation Larutan Softener Yang Diaplikasikan Komponent Softener Silicone Softener Kationik Softener 0.5% owfa 0.5% owfa b Silane Coupling 1% owb 0.25% owbb Katalis Organotin Asam Asetat 0.25% owbb JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-7-2
Zat Pembasah 0.25% owbb 0.2% owbb Rasio Vlot 10.1 10.1 a = berdasarkan berat kain, b = berdasarkan berat larutan Sample yang telah diberi perlakuan disimpan dalam ruang standar (27°C and 65% RH) sampai proses evaluasi siap dilakukan. Untuk evaluasi durability, sample yang telah diberi perlakuan softener selanjutnya dicuci mengikuti metode AATC 135-1970 dengan standar diterjent 124. c). Evaluasi Sifat-sifat kenampakan kain yang telah diberi perlakuan dievalusi menggunakan prosedur standar termasuk penilaian ketahanan tekan (DP) AATCC-124-1984, ketahanan kusut (WRA) (ASTM D-1295-67), kekuatan sobek (ASTM D-1424-81), daya tekuk (ASTM D-1175-71 dengan beban 227g pada ujung dan tegangan 908 g. Semua pengujian dilakukan pada arah lusi. Untuk uji WRA nilainya merupakan penjumlahan dari kedua arah yaitu pakan dan lusi. Hasil Penelitian dan Pembahasan Sebagaimana dijelaskan dimuka bahwa fungsi softener pada kain adalah untuk memperoleh perbaikan pegangan kain sekaligus peningkatan performance. Softener konvensional eksist dengan rantai asam lemak panjang yang tentu saja dapat melembutkan kain karena efek permukaan yang halus dapat mengurangi friksi antar serat dan benang pada substrat kain. Efek utama dari softener kain merupakan pemberian minyak dengan cara coting pada filament serat dengan pembentukan lapisan filem tipis [4]. Konsekwensinya pegangan dan sifat mekanik dapat diperbaiki karena terdepositnya softener pada struktur serat. Parameter seperti proses pengeringan, dan temperature proses curing termasuk tipe penggunan zat additive ditargetkan sebagai faktor penting yang berpengaruh secara signifikan terhadap formasi pembentukan coting pada permukaan serat yang berperan terhadap performance kain. a). Perlakuan kain setelah perlakuan dengan softener Penggunaan zat kimia termasuk softener pada penelitian ini memberikan perubahan performance kain secara signifikan. Perubahan yang ditargetkan nilainya rendah adalah kekuatan tarik, sementara nilai daya tahan kusut, nilai tahan lama, kekuatan sobek, dan ketahan gosok dapat bertambah baik. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa untuk semua perlakuan, nilai kekuatan robek berkurang sedikit (dibawah15%), sementara kekuatan sobek bertambah sampai 60%. Bahkan kekakuan kain berkurang sampai 20% dan ketahan gosok naik menjadi lebih dari 400% dengan penggunaan softener 0,5 owf. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengurangan friksi antar serat didalam benang yang signifikan dengan terdeposisinya softener pada permukaan serat sehingga tidak ada pengurangan moisture regain kain. Hasil ini juga menunjukkan bahwa softener silicone memberikan peningkatan kenampakan kain dan daya tahan yang sama baiknya dengan sifat mekanik kalau dibandingkan dengan softener kationik. Reaktif group aminufungsional dari softener silicone (emulsion 108) memberikan daya tahan kusut yang tinggi dan kekakuan kain rendah, juga dengan daya tahan pecah yang lebih rendah dibandingkan dengan dua softener reaftif silicone yang lain sebagimana tercantum pada sub-bab (ad.c). Sebagai tambahan dapat dicatat bahwa tingginya viskositas dari softener reaktif silicone (emulsion 111) memberikan performance yang lebih baik dalam hal daya tahan kusut, kekuatan sobek, dan daya than gosok dibandingkan dengan softener reaktif silicone hydroxy-end-blocked yang viskositasnya rendah (emulsion 347)
Softener Control Kationik Softener Emulsion 108 Emulsion111 Emulsion 347
Tabel 2: Performace Kain cotton 100% yang telah ditreatment dengan softener kationik dan softener silicone WSa WRAb DPc MRd TSe BSf Stiffg 0 113 1,0 100 100 100 100 0 138 1,9 95 164 93 86 5 137 1,2 112 117 93 0 192 3,0 98 196 83 75 5 170 2,5 181 96 90 0 149 2,5 93 194 96 77 5 164 2,3 183 99 87 0 132 2,0 97 192 100 86 5 147 1,4 161 95 93
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
ARh 100 649 174 444 537 586 514 478 239
G-7-3
Note: aWrinkle recovery angle, bDurable Press rating, cPersentase nilai control, dMoisture regain, eBreaking strength, f Tear strength, g Bending stiffness, h Flex abrasion resistance, isample control Hal tersebut diinterpretasikan karena pengaruh struktur kimia dari softener silicone yang mampu membentuk jaringan polimer croslinking secara efektif. Emulsion 108 dan 111 merupakan softener dengan berat molekul tinggi yang dapat membentuk jaringan crosslinking melalui kondensasi silanol dengan katalisasi asam. Amino group pada gugus fungsional silicone (emulsion 108) terprotonisasi dibawah kondisi asam membentuk struktur garam yang dapat menaikkkan tingkat kelarutan [13]. Gugus amine yang telah terprotonasi diyakini terkatalisasi melalui peristiwa kondensasi. Kenaikan tingkat kelarutan dan effek katalis yang diberikan oleh amino fungsional group inilah yang berfungsi menambah performance kain setelah dtreatment dengan softener emulsion 108 dibandingkan dengan yang menggunakan emulsion 111. Sementara Emulsion 347 merupakan softener silicone dengan berat molekul rendah dengan satu silanol group pada setiap ujung rantainya, sehingga formasi pembentukan jaringan crosslinkingnya tidak memungkinkan bila tidak ditambahkan zat silane coupling. b). Zat Silane Coupling Zat silane coupling (SCA) merupakan monomer polyfungsional silicone yang dapat membentuk crosslinking polymer reaktif silicone pada substrat melalui proses kondensasi. Group yang terhydrolisa pada silane coupling diyakini pertama terhydrolida dibawah kondisi asam, kemudian berubah menjadi reaktif group silanol. Dengan pemberian katalis pada kondisi curing maka polyfungsional silane coupling kemudian membentuk crosslinking dengan polimer reaktif silicone sehingga menghasilkan jaringan polimer yang stabil pada permukaan serat melalui kondensasi silanol. Kondensasi untuk membentuk jaringan crosslinking dengan substrat juga pernah dilaporkan [2, 12]. Formula umum silane coupling yang biasa digunakan dengan softener reaktif silicone sbb: OH R-Si-X X
…(3.1)
X merupakan group yang dapat terhidrolisa seperti alkoxy, amine, dan R merupakan group yang tidak dapat terhidrolisa seperti alkyl, vinyl, dan epoxy. Kondensasi dengan rantai sellulosa dapat dihasilkan melalui silanol group atau organofungsional group yang tidak terhidrolisa. Hal itu karena kondensasi terjadi terutama melalui organofungsional reaktif group, yang disebabkan oleh rendahnya reaktifitas hydroksil group dari sellulosa disbanding silanol group [12]. Sebagaimana dijelaskan dimuka bahwa ikatan silicone-hidrogen-karbon dari hasil kondensasi silanolsellulosa ditargetkan mudah terhidrolisa. Mekanisme reaksi kondensasi ini tidak jelas. Namun crosslinking dari polimer reaktif silicone dengan silane coupling mengasilkan klasifikasi softener silicone baru yang mirip dalam struktur kimia organofungsional dari softener reaktif silicone. Struktur kimia dari softener ini terdiri dari silanol group yang dapat membentuk formasi jaringan polimer. Softener polimer ini mengandung fungsional group yang dapat membentuk ikatan yang stabil dengan substrat sellulosa yang secara signifikan dapat meningkatkan ketahanan softener dalam struktur serat atau kain. Bagaimanapun juga peningkatan ketahanan softener ini sangat tergantung pada reaktifitas fungsional group. c). Efek Fungsional Reaktif Group. Penelitian dilakukan terhadap empat macam organo fungsional silane coupling dengan struktur kimia sebagai berikut 1. Methyltrimethoxysilane (MTMS): CH3Si(OH)3, 2. Glycidoxy(epoxy)propyltrimethoxysilane (ETMS): H2C—CHCH2O(CH2)3Si(OCH3)3
3. 4.
O Vinyltriethoxysilane (VTES): H2C=CHSi(OCH2 CH3)3, Aminoethylaminopropyltrimethoxy (ATMS): H2N(CH2)2NH(CH2)2Si(OCH3)3.
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-7-4
Zat silane coupling sebanyak 0,05 M diaplikasikan dalam dalam bath yang berisi softener silicone (Emulsion 111) dan katalist organotin. Kedalam sistem vinyltriethoxysilane ditambahkan kalium persulfat sebagai inisiator radikal bebas. Sample yang sudah dipedding kemudian dikeringkan pada suhu 105°C selama 5 menit, dicuring pada suhu 140°C selama 15 menit. Secara jelas menunjukkan bahwa penggunaan silane coupling pada softener silicone meningkatkan nilai daya tahan kusut sample tanpa pengurangan daya tahan pecah (BS) mirip dengan sample yang direatment dengan softener aminofungsional silicone. Hal ini dapat diartikan bahwa terjadi crosslinking polimer silicone yang selanjutnya dapat membentuk jaringan polimer yang stabil pada permukaan serat/kain. Peningkatkan yang sangat bagus pada kekuatan tarik, daya tekuk, dan daya tahan gosok sangat konsisten dengan adanya sifat meminyaki oleh softener yang akhirnya mendorong peningkatan mobilitas benang dalam kain.
Bath Emulsion 108b Emulsion111c
Tabel 3: Effek Silane Coupling Dan Softener Reaktif Silicone % Retensia WS WRA BS TS Stiff 75 196 83 192 0 90 161 96 170 5 77 190 94 152 0 89 173 97 160 5
AR 444 537 560 504
Emulsion 111 +MTMS
552 79 187 193 193 0 650 85 182 182 182 5 483 85 188 176 176 0 + ETMS 594 87 188 179 179 5 533 84 181 201 201 0 +VTES 630 87 200 183 183 5 478 79 211 194 194 0 +ATMS 524 87 209 180 180 5 Ket: apersentase kain kontrol, bsample ditreatment dg softener aminofungsional silicone (Emulsion 108) tanpa silane coupling, csample ditreatment dengan softener reaktif silicone tanpa silane coupling, Setelah uji pencucian secara berulang semua sample menunjukkan sedikit pengurangan daya tahan kusut. Hal ini karena pecahnya coting polimer dengan adanya penggelembungan serat dan gaya gosok sehingga memungkinkan terjadi hydrolisa oleh polimer-substrat yang ikatannya kurang satabil. Dari 4 silane coupling yang diteliti, vinyl fungsional silane (VTES) memberikan nilai paling baik dalam hal daya tahan kusut, tetapi memberikan nilai durabilitas yang rendah dalam hal kekuatan sobek dan daya tahan pecah (lihat Tabel 3). Setelah procse pencucian, sample yang telah ditreatment dengan VTES menunjukkan nilai ketahanan tarik lebih baik. Untuik kondensasi silanol, bahwa vinyl group pada VTES secara potensial dapat memvulkanisir vinyl group lain dan menyerang rantai polysiloxane [7,19]. Oleh karena itu VTES memberikan fiksasi paling baik dengan terbentuknya jaringan polimerik silicone pada kain yang selanjutnya dapat mengurangi kekuatan karena keterbatasan mobilitas serat/benang dalam struktur kain. d). Efek Temperature Curing Curing pada polimer silicone biasanya terjadi formasi ikatan siloxane secara kondensasi dan membentuk jaringan polimer silicone. Akibat kondensasi kecepatan reaksi berkurang karena berkurangnya jumlah silanol group, menambah steric hendrance dan mengurangi mobilitas. Bahkan softener silicone memerlukan temperatur tinggi untuk menghilangkan moisture regain dari substrat dan untuk mengaselerasi reaksi kondensasi pada polimer silicone [18]. Sisi lain, temperatur tinggi dapat memberikan effek sebaliknya terhadap sifat mekanik serat bahkan dapat menyebabkan perubahan struktur molekul polimer silicone dari bentuk spiral menjadi bentuk rantai lurus [6, 18] yang selanjutnya meningkatkan sifat fisik dan mekanik dari polimer silicone seperti elastisitas. Performance lain yang dihasilkan oleh kain yang mengalami perlakuan softener menunjukkan ketergantungannya pada temperatur curing. 4. Simpulan Hasil evaluasi dari ketiga softener reaktif silicone dan softener kationic pada performance kain cotton menunjukkan bahwa softener reaktif silicone memberikan daya tahan kusut yang lebih baik karena tingginya sifat mekanik dan durabilitas baik dibanding dengan softener kationik. Peningkatan daya tahan kusut dicapai karena adanya peningkatan kekenyalan serat melalui intermolecular crosslinking pada rantai JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-7-5
sellulosa. Perlakuan daya tahan durabilitas, menghasilkan pengurangan sifat mekanik yang drastic termasuk daya tahan pecah, daya tahan sobek dan peningkatan daya tahan gosok. Data penelitian ini menyatakan peningkatan daya tahan kusut kain dengan softener silicone disebabkan adanya mekanisme lain dibanding sekedar intermolecular crosslinking pada rantai sellulosa. Peningkatan daya tahan kusut kain disertai dengan kenaikan kekuatan sobek (sebesar 100%), dan daya tahan gosok sebesar 500% dengan tingkat pengurangan daya tahan pecah (biasanya lebih rendah dari 10%). Data ini konsisten dengan asumsi bahwa softener reaktif silicone sangat miskin dengan crosslinker. Asumsi tersebut didasarkan pada bentuk struktur kimia dan tipe reaktif grup yang dimilikinya. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, reaktifitas silanol group lebih tinggi dibanding hydroksil group sellulosa. Oleh karena itu reaksi yang dihasilkan didominasi oleh reaksi kondensasi silanol group sehingga ditargetkan dapat menghasilkan sedikit kondensasi silanol sellulosa. Lebih lanjut, amine group dari aminofungsional reaktif silicone membentuk crosslinking dengan hydroksil group sellulosa. Disisi lain, hasil data, softener silicone dengan variasi berat molekulnya menyatakan bahwa efek penggunaan silane coupling dengan variasi fungsional group dan efek temperatur curing secara jelas dapat menaikkan kenampakan dan ketahanan durabilitas kain paling baik karenaadanya formasi elastisitas jaringan polimer yang optimum dipermukaan serat Daftar Pustaka [1]. Ackerman, J. A., “How to Choose Cationic for Fabric Softener”, Soap/Cosmet./Chem. Spec. 58, 2832 (1996) [2]. Arkles, B., “Tailoring Surfaces With Silane”, Chemtech. (12), 766-778(1977). [3]. Barry, A. J., “Viscomeric Investigation of Dimethylsiloxane Polymer”, J. App. Physic, 17, 10201024 (1946). [4]. Brooks, J. H., Das, U. K., and Smith, L. T., “Effect of Lubrication On Tensile, Frictional, and Weaving Properties of Sirospun Wool Yarn”, Textile Res. J. 59, 382-388 (1989). [5]. Gilkey, J. W., “Durable Water Repellency by Chemical Bonding of Silicone” Textile. Res. J., 33, 129-137 (1963). [6]. Guise, G. B., and Jones, P. W., “Amine-Cured Epoxysilicones: New Shrink Resist Finish for Wool,” Textile. Chem. Color, 19, 32-36 (1987). [7]. Hardman, B. B., and Torkelson, A., “Silicone Compounds (Silicone), in Encyclopedia of Chemical Techology, Vol.20, John Wiley&Sons, Inc., New York, 1982, pp. 922-962. [8]. Isaharami, J. V., Ultratex-“New Breed of Textile Finish”, Book AATCC Papers, 144-153 (1982). [9]. Johnson, G. C., “Reactive Silicone Poliymer”, Book AATCC papers, 250-255 (1977). [10]. Joyner, M. M., “Aminofunctional Polysiloxanes: Anew Class of Softeners”, Text. Chem. Color. 18, 34-37, (1986). [11]. Kissa, E., “Repellant Finishis”, in Handbook of Fibre Science &Technology, vol. II, M. Levin, and S. B. Sello, Eds., Marcell Decker, Inc. NY, 1984, pp. 142-210. [12]. Pawlenko, S. P., “Organosilicone Chemistry”, Walter de Gruyter, NY, 1986, p. 186. [13]. Plueddemann, E.P., “Silane Coupling Agents”, 2nd ed., Plenum Press, NY, 1991, p. 64. [14]. Polmanteer, K. E., “Current Perspective on Silicone Rubber Technology”, Rubber Chem. Tech., 54, 1051-1080, (1981). [15]. Sabia, A. J., and Metzler, R.B., The Role of Silicones in Non-wovwn Fabric Application, Nonwovens Ind. 14, 16-22 (1983). [16]. Schuyten, H. A., Weaver, J. W., Reid. D., and Jurgens, J. F., “Trimethylsiloxane”, J. Am. Chem. Soc., 70, 1919-1920 (1984). [17]. Shin, Y., Hollies, N. R. S., and Yeh, K., “Polymerization Crosslinking of Cotton Fibres for Superior Performance Properties, Part I, A Preliminary Study”, Textile Res. J., 59, 635-642 (1989). [18]. Turner, J. D., “Improving the DP Appearance of Cotton Fabrics With Additive and Aminofunctional Reactive Silicone”, Textile Chem. Color, 20, 36-38 (1988). [19]. Warrick, E.L., Pierce, O. R., Polmanteer, K. E., and Saam, J. C., “Silicone Elastomer Developments”, 1967-1977, Rubber Chem. Tech. 52 (3), 437-525, (1979). [20]. Watt, J. A., “Water Repellant Treatment of Textiles With Silicones Studies on the Mechanisms of Two Processes”, J. Text. Inst. 48, T 175-T192 (1957).
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-7-6