ENKAPSULASI STARTER YOGHURT (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) MENGGUNAKAN BAHAN PENGISI BERBASIS PATI
SKRIPSI
NORMA ARISANTI KINASIH F34063301
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ENKAPSULASI STARTER YOGHURT (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) MENGGUNAKAN BAHAN PENGISI BERBASIS PATI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: NORMA ARISANTI KINASIH F34063301
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi Nama NIM
:Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati : Norma Arisanti Kinasih : F34063301
Menyetujui, Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si.) NIP 19640810 198803 2 002 001
(Prof. Ir. Abubakar,MS) NIP 19550728 198202 1
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus : 13 Desember 2010
ENCAPSULATION OF YOGHURT STARTER (Streptococcus thermophilus and Lactobacillus bulgaricus) USING STARCH BASED MATERIAL MEMBRAN-COATED Mulyorini Rahayuningsih, Abubakar and Norma Arisanti Kinasih Department of Agroindustrial Engineering, Faculty of Agriculture Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone 62 81332299136, email:
[email protected]
ABSTRACT The viability of lactic acid bacteria (Streptococcus thermophilus and Lactobacillus bulgaricus) in yoghurt is declined during storage. To prevent this condition we need giving protection by encapsulating the bacteria. Encapsulating had been doing by emulsion method. Emulsion method held by emulsify encapsulating material (maize resistant starch and maltodextrin) with vegetable oil (canola oil containing 0,5% tween 80%), with the equivalent of them 1:2:2. 0.1% (cultivated from beginning of log phage) an amount inoculums was added. Emulsion method which used in this research has been modified. The process of adding CaCl2 solution using syringe 23 G (0. 573mm) and 10 cm of the drop distance from alginate-oil solution. The separating held by using shaker during 24 hours and beads collected using filtration. The composition of encapsulating material and filler had been using are alginate 2%: high amylose corn starch 2%, alginate 3%: maltodextrin 1% and alginate 4%. Drying process of wet beads which produced in this method using oven 40oC during two hour. Then, the best encapsulating material had advanced tested based on quality and quantity. Quantity test held by comparising the yoghurt which produced from free cell and commercial starter (yoghurtmert). The best encapsulating material is alginate 3%: maltodextrin 1%. Encapsulating increase the viability of the bacteria 6.09x105cfu/g (on wet beads) and 2.56 x105cfu/g (on dry beads) as compared to free cell. Yoghurt which produced by alginate 3%: maltodextrin 1% is more sour than free cell, but less than commercial starter. The result of hedonic can be describe that yoghurt which produced by alginate 3%: maltodextrin 1% is not different from commonly consumed yoghurt. Keyword: encapsulation, starter, yoghurt, emulsion, beads
Norma Arisanti Kinasih. F34063301. Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati. Di bawah Bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Abubakar, 2010
RINGKASAN Yoghurt merupakan salah satu jenis pangan hasil fermentasi Bakteri Asam Laktat (BAL) (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus). BAL merupakan bakteri yang memberi keuntungan bagi manusia, terutama bagi kesehatan saluran pencernaan. Jumlah bakteri asam laktat yang terkandung pada produk minimal adalah 106-108 cfu/ml. Namun, jumlah viabilitas sel bakteri asam laktat pada produk mengalami penurunan selama proses penyimpanan, sehingga khasiat dan rasa produk menurun saat dikonsumsi. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk mencegah penurunan viabilitas sel bakteri asam laktat selama penyimpanan. Salah satu caranya yaitu dengan mengenkapsulasi bakteri asam laktat dengan bahan enkapsulan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bahan enkapsulan terbaik yang dapat melindungi BAL serta mengetahui karakteristik yoghurt yang dihasilkan dari bahan enkapsulan terpilih. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Cimanggu-Bogor pada bulan April sampai Oktober 2010. Enkapsulasi BAL dilakukan dengan metode emulsi yaitu dengan mengemulsikan larutan pengkapsul (high amylose corn starch dan maltodekstrin) dalam minyak nabati (canola oil) yang mengandung emulsifier (0,5% tween 80%) dengan perbandingan 1:2:2. Jumlah inokulum yang ditambahkan sebesar 0,1% (dipanen pada awal fase eksponensial). Metode emulsi yang digunakan merupakan hasil modifikasi. Modifikasi metode dilakukan dalam beberapa hal antara lain, cara pemasukan larutan CaCl2 dan lama waktu gelifikasi. Pemasukan larutan CaCl2 dilakukan dengan menggunakan syringe 23 G dan jarak tetes 10 cm, pemisahan minyak dilakukan dengan bantuan shaker selama 24 jam (waktu gelifikasi). Bahan pengisi enkapsulan berbasis pati berfungsi sebagai substrat bakteri untuk proses anabolisme. Komposisi bahan enkapsulan dan bahan pengisi yang digunakan adalah alginat 2%: high amylose corn starch 2%, alginat 3%: maltodekstrin 1% dan alginat 4%. Pengeringan beads basah yang dihasilkan dikeringkan dengan oven 40oC selama dua jam. Bahan enkapsulan dan pengisi terpilih kemudian diuji lebih lanjut secara kualitatif dan kuantitatif pada pembuatan yoghurt. Pengujian kuantitatif dilakukan dengan membandingkan bahan enkapsulan terpilih dengan starter komersil (yogourmet) dan sel bebas. Pengujian kualitatif dilakukan dengan uji hedonik. Komposisi bahan enkapsulan dan pengisi terpilih adalah alginat 3%: maltodekstrin 1% dengan jumlah total bakteri 6.52x106cfu/g (pada beads basah), 6.35x105 cfu/g (pada beads kering), 1.13x108cfu/ml (pada kultur kerja), nilai pH sebesar 5.71, nilai total asam sebesar 0.38% dan lama waktu pembentukan 9.74 jam. Enkapsulan alginat 3%: maltodekstrin 1% menghasilkan yoghurt yang lebih asam dibandingkan sel bebas dan tidak lebih asam dibanding starter komersil dengan nilai pH sebesar 5.7, total asam dan viskositas terendah sebesar 2.9% dan 529 cP dan nilai total bakteri terbesar sebesar 1.46x109cfu/ml. Hasil pengujian hedonik menunjukkan bahwa nilai warna, aroma, rasa, tekstur dan penilaian secara umum berturut turut sebesar 3.88, 3.16, 3.08, 3.40, dan 3.44. Berdasarkan hasi uji hedonik tersebut diketahui bahwa yoghurt yang dihasilkan dari bahan pengisi enkapsulan terpilih tidak berbeda nyata (netral) dengan yoghurt yang biasa dikonsumsi.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati “ adalah hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010 Yang membuat pernyataan
Norma Arisanti Kinasih F34063301
BIODATA PENULIS
Norma Arisanti Kinasih. Lahir di Malang, 21 Maret 1988 dari ayah Bambang Trayodoso dan ibu Triwahyu Nugraheni, sebagai putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMUN 6, Surabaya dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Bioproses, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif menjadi pengurus organisasi termasuk menjadi asisten mata kuliah ilmu computer pada tahun 2007 dan bioproses pada tahun 2008. Pada tahun 2007 penulis mengikuti lomba Engineering Science Competition tingkat TPB dan memperoleh juara dua. Pada tahun 2008 penulis mengikuti lomba Bayer Young Environmental Envoy tingkat nasional dan memasuki sepuluh besar. Pada tahun 2010 penulis mengikuti International Agriculture Student Symposium di Malaysia. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan Praktik Lapang di PT Petrokimia Gresik. Pada tahun 2010 penulis melaksanakan kegiatan penelitian dengan judul skripsi Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati di Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian CimangguBogor.
© Hak cipta milik Norma Arisanti Kinasih, tahun 2010 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,foto kopi, mikrofilm dan sebagainya
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati dibiayai Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor dan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Cimanggu-Bogor sejak bulan April sampai Oktober 2010. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.Orang tua tercinta (Ayah dan Ibu), saudara kembarku, adikku serta keluarga besar tercinta, atas kasih sayang, dukungan, dan doa yang sangat berharga bagi penulis. 2.Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi. selaku dosen pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktu dan kesabaran dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. 3.Prof. Ir. Abubakar, M.Si. selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan dan masukannya selama ini kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. 4.Sri Usmiati, SPT,Msi dan Drs. Hadi Setiyanto atas saran dan bimbingannya. 5.Bapak Marman Wahyudi, Bapak Ato, Ibu Tisna, Ibu Chairani,SSi beserta seluruh staf Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian lainnya yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. 6.Teman terdekat ku, Budi Setiawan yang telah memberikan semangat,dukungan dan doa selama penelitian ini. 7.Agustina Dewi Lestari dan Ari Adrianto (Dadih Under Cover 2010), Eka Marliana (Master Talas) atas segala bantuan dan kekompakkannya selama penelitian ini. 8.Sahabat-sahabat terhebatku Resa Desnasta Syarif, Sanchnaz Desta Oktarina, Dina Nur Fitriyanti dan Nurul Fitriyanti atas semangat dan kegembiraannya. 9.Warga Besar HIMASURYA, IKALUM, IAAS terimakasih atas kebersamaannya di IPB. 10. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang penulis tidak dapat sebutkan satu per satu. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang bioindustri. Bogor, Oktober 2010 Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .............................................................................................................. iii DAFTAR TABEL .................................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR................................................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ ix I. PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 3 2.1.YOGHURT ........................................................................................................................ 3 2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT ............................................................................................. 6 2.3. ENKAPSULASI ............................................................................................................... 8 III. METODE PENELITIAN ......................................................................................................... 16 3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ........................................................................... 16 3.2. ALAT DAN BAHAN ........................................................................................................ 16 3.3. METODE PENELITIAN ................................................................................................... 16 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................. 25 4.1. PEMILIHAN METODE ENKAPSULASI ......................................................................... 25 4.2. ENKAPSULASI STARTER YOGHURT ............................................................................ 31 4.2.1. Persiapan mikroba ..................................................................................................... 31 4.2.2. Enkapsulasi starter yoghurt dengan komposisi bahan pengisi enkapsulan berbasis pati .32 4.3. Aplikasi Bakteri Terenkapsulasi ......................................................................................... 35 4.3.1. Pembuatan Kultur Kerja Yoghurt .............................................................................. 35 4.3.2. Pembuatan Yoghurt ................................................................................................... 37
iv
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................. 41 5.1. KESIMPULAN ................................................................................................................. 41 5.2. SARAN ............................................................................................................................ 41 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 42 LAMPIRAN ............................................................................................................................ 49
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Syarat mutu yoghurt ...................................................................................................... 4 Tabel 2. Syarat mutu susu segar................................................................................................... 5 Tabel 3.
Spesifikasi maltodekstrin .............................................................................................. 11
Tabel 4. Kelebihan dan kekurangan metode ekstrusi dan emulsi................................................... 14 Tabel 5. Parameter kuantitatif dan kualitatif perlakuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat ..........................................................................................
28
Tabel 6. Karakteristik beads kering ketiga pengkapsul dan pengisi enkapsulan ............................. 30 Tabel 7. Jumlah bakteri terenkapsulasi dalam beads basah dan beads kering ................................ 33 Tabel 8. Hasil pengujian kultur kerja ........................................................................................... 35 Tabel 9. Hasil pengujian yoghurt secara kuantitatif dari bahan starter terpilih .............................. 36
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Morfologi bakteri Streptococcus thermophilus .......................................................... 7
Gambar 2.
Morfologi bakteri Lactobacillus bulgaricus .............................................................. 7
Gambar 3.
Penampakan pati resisten jagung ............................................................................. 8
Gambar 4.
Struktur amilosa dan amilopektin.............................................................................. 10
Gambar 5.
Penampakan maltodekstrin ....................................................................................... 11
Gambar 6.
Monomer alginat dan ikatan monomer pada alginate ................................................. 12
Gambar 7.
Ikatan CaCl2 dengan alginat ...................................................................................... 13
Gambar 8.
Diagram alir kegiatan penelitian ............................................................................... 17
Gambar 9.
Modifikasi metode emulsi Sheu dan Marshall (1993) dalam Krasaekoopt W (2003) .. 19
Gambar 10. Prosedur pengujian viabilitas bakteri terenkapsulasi .................................................. 21 Gambar 11. Proses produksi kultur kerja dan yoghurt .................................................................. 22 Gambar 12. Rendemen beads alginat 4% yang dihasilkan oleh diameter syringe 20 G, 22G, 23G, 26G, dan 27 G pada jarak tetes 1cm dan 10cm dari larutan emulsi alginatminyak ..................................................................................................................... 24 Gambar 13. Emulsifikasi setelah 20 menit pengadukan menggunakan mixer 400rpm, stabilitas emulsi sesaat setelah ditambahkan CaCl2, stabilitas emulsi setelah waktu gelifikasi 30 menit ................................................................................................................... 26 Gambar 14. Pemisahan beads basah yang dihasilkan dengan waktu gelifikasi 30 menit dan waktu gelifikasi 24 jam............................................................................................. 26 Gambar 15. Bentuk beads basah alginat 2%: high amylose corn starch 2% .................................. 28 Gambar 16. Bentuk beads basah yang dihasilkan dari alginat 3%: maltodekstrin 1% dan alginat 4% ................................................................................................................ 29 Gambar 17. Presentase penurunan berat beads basah selama pengeringan oven 40oC.................... 30 Gambar 18. Karakteristik beads kering dari komposisi alginat 2%: pati resisten jagung 2%, alginat 3%: maltodekstrin 1%, dan alginat 4% setelah pengeringan dua jam dengan oven 40oC ................................................................................................................ 31 Gambar 19. Morfologi (a) Streptococcus thermophilus dan (b) Lactobacillus bulgaricus hasil uji pewarnaan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000 kali ....................... 31
vii
Gambar 20. Penampakan fisik kultur kerja dari perlakuan: alginat 2%: pati resisten jagung 2%, alginat 3%: maltodekstrin 1%, dan alginat 4%.................................................... 37 Gambar 21. Penampakan fisik yoghurt dari perlakuan: alginat 3%: maltodekstrin 1%, sel bebas, dan starter komersil ....................................................................................... 39
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Pengujian............................................................................................................ 50
Lampiran 2.
Rendemen dan ukuran beads yang dihasilkan dari interaksi jarak tetes dan ukuran syringe .................................................................................................... 51
Lampiran 3.
Uji ragam rendemen beads yang dihasilkan dari perlakuan jarak tetes dan ukuran diameter syringe ..................................................................................... 52
Lampiran 4.
Rendemen dan ukuran beads yang dihasilkan dari perlakuan komposisi alginat 2%: pati resisten jagung ........................................................................... 53
Lampiran 5.
Uji ragam rendemen beads yang dihasilkan dari perlakuan perbedaan komposisi alginat dan maltodekstrin .................................................................... 54
Lampiran 6.
Uji ragam ukuran beads yang dihasilkan dari perlakuan perbedaan komposisi alginat dan maltodekstrin .................................................................... 55
Lampiran 7.
Presentase penurunan berat beads basah pada pengeringan oven 40oC ................. 56
Lampiran 8.
Analisis ragam total bakteri pada beads basah ..................................................... 57
Lampiran 9.
Analisis ragam total bakteri pada beads kering .................................................... 58
Lampiran 10.
Analisis ragam waktu koagulasi kultur kerja ........................................................ 59
Lampiran 11.
Analisis ragam pH pembentukan kultur kerja....................................................... 60
Lampiran 12.
Analisis ragam total asam pembentukan kultur kerja ............................................ 61
Lampiran 13.
Analisis ragam total bakteri pembentukan kultur kerja ......................................... 62
Lampiran 14.
Analisis ragam waktu koagilasi sempurna yoghurt ............................................... 63
Lampiran 15.
Analisis ragam pH pembentukan yoghurt ............................................................ 64
Lampiran 16.
Analisis ragam total asam pembentukan yoghurt.................................................. 65
Lampiran 17.
Analisis ragam viskositas pembentukan yoghurt .................................................. 66
Lampiran 18.
Analisis ragam total bakteri pembentukan yoghurt ............................................... 67
Lampiran 19.
Pengujian Organoleptik ....................................................................................... 68
ix
I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang banyak terlibat dalam proses fermentasi pangan seperti yoghurt dan pangan fermentasi lainnya. Yoghurt merupakan olahan susu yang difermentasi menggunakan bakteri asam laktat kombinasi Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Tingginya minat konsumen mengkonsumsi yoghurt antara lain memiliki efek kesehatan dan umumnya dinilai memiliki rasa yang segar dan enak serta harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat luas. Viabilitas bakteri asam laktat mengalami penurunan selama proses penanganan starter susu fermentasi, hal ini berakibat terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Enkapsulasi merupakan suatu upaya perlindungan bakteri asam laktat dalam penanganannya relatif mempertahankan viabilitas bakteri tersebut. Selain untuk alasan kesehatan, enkapsulasi juga dilakukan untuk menjaga mutu produk (utamanya makanan terfermentasi seperti yoghurt) sehingga tetap terjaga hingga ketangan konsumen. Teknik enkapsulasi bakteri asam laktat diklasifikasikan menjadi dua yaitu ekstrusi (droplet method) dan emulsi (sistem dua fase). Kedua teknik ini relatif dapat meningkatkan ketahanan bakteri selama penyimpanan dan penanganannya. Selama enkapsulasi kehadiran chelating agents seperti fosfat, laktat, dan sitrat dapat menyebabkan ketidakstabilan beads (manik) sehingga harus dihindarkan. Salah satu upaya untuk meningkatkan stabilitas beads diantaranya dengan penambahan cryoprotectants seperti gliserol, ikatan silang dengan polimer kation (seperti polyethyleneimine dan glutaraldehide), penyalutan dengan khitosan, serta pencampuran dengan pati dan melakukan pengkapsulan atau penyalutan beads. Pada penyalutan beads diperlukan pemilihan enkapsulan yang tepat. Enkapsulan yang digunakan harus memiliki sifat berdifusi yang baik untuk transfer substrat dan produk, sehingga proses fermentasi berjalan dengan baik. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi enkapsulan adalah lemak, lilin, turunan gliserol, gula, pati alami dan pati termodifikasi, dekstrin, gum, protein, skim, gelatin, dan turunan selulosa. Diantara jenis bahan pengisi enkapsulan tersebut, pati merupakan jenis bahan pengisi enkapsulan yang jumlahnya melimpah di Indonesia. Salah satu sumber pati yang melimpah jumlahnya yaitu singkong dan jagung. Maltodekstrin dan high amylose corn starch merupakan produk turunan singkong dan jagung cocok digunakan sebagai bahan pengisi enkapsulan dalam enkapsulasi bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus karena kedua jenis produk turunan ini dapat berfungsi sebagai substrat anabolisme bakteri. Enkapsulasi diharapkan dapat meningkatkan kestabilan beads bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dan mempertahankan viabilitas kedua bakteri ini dalam starter yoghurt.
1.2. TUJUAN Tujuan penelitian ini antara lain; 1.Menentukan komposisi pati sebagai bahan pengisi penyalut terbaik yang dapat melindungi dan mempertahankan viabilitas bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. 2.Mengetahui karakteristik yoghurt yang dihasilkan dari starter terenkapsulasi kering (dengan bahan pengisi penyalut terbaik).
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1. YOGHURT Pengertian yoghurt menurut SNI 2981:2009 adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Proses pembuatan yoghurt menurut Buckle et al. (1987) dalam Ambawathy (2007) dimulai dari pemanasan susu pada suhu 90 oC selama 15-30 menit, lalu didinginkan sampai suhu 43oC dan inokulasi kultur sebanyak 2% (Lactoacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus). Suhu ini dipertahankan selama tiga jam hingga diperoleh tingkat keasaman yang dikehendaki yaitu 0.85-0.90% asam laktat dan pH 4,0-4,5. Syarat mutu yoghurt menurut SNI 2981:2009 disajikan pada Tabel 1. Oberman (1985) dalam Ambawathy (2007) menyatakan bahwa komposisi produk fermentasi bergantung pada kondisi awal dan metabolisme spesifik dari pertumbuhan kultur mikroorganisme. Proses fermentasi yogurt mengubah laktosa yang terdapat dalam susu menjadi asam laktat. Penggunaan starter yogurt sebanyak 2–5% dari bahan yang digunakan. Penggunaan inokulasi starter (Lactoacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus) memungkinkan terjadinya perubahan laktosa dan produksi asam laktat yang berakibat pada penurunan pH, sehingga kadar asam yogurt relatif tinggi dan terbentuknya gumpalan yogurt (Robinson, 1990). Kadar asam yang dihasilkan oleh gabungan kedua jenis kultur ini lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kultur secara individual. Bahan yang diproduksi selama proses fermentasi tidak hanya membantu proses pertumbuhan kultur starter, tetapi juga mempengaruhi karakteristik sensori yogurt yaitu aroma, rasa dan tekstur (Capela , 2006 dalam Zain, 2010). Bahan baku utama pembuatan yoghurt adalah susu segar. Menurut SNI 01-3141-1998 tentang susu segar menyebutkan bahwa susu murni adalah cairan yang berasal dari puting sapi yang sehat dan bersih diperoleh dengan cara yang benar yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Sedangkan susu segar adalah susu murni dan tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniaannya. Syarat mutu susu segar disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 1. Syarat mutu yoghurt (SNI 2981:2009)
No .
Kriteria uji
Satua n
Yog-
Yog-hurt
Yog-hurt
Yog-
Yog-hurt
Yog-hurt
hurt
rendah
tanpa
hurt
rendah
tanpa
3
lemak 1
Keadaan
1.
Penampakan
1 1.
Bau
2 1.
Rasa
3 1.
Konsistensi
4 2
3
4 5
Kadar lemak (b/b)
Total padatan susu bukan lemak Protein (N x 6,38) (b/b) Kadar abu Keasaman
6
lemak
lemak
lemak
-
Cairan kental-padat
Cairan kental-padat
-
Normal/khas
Normal/khas
-
Asam/khas
Asam/khas
-
Homogen
Homogen
%
Min 3.0
0.6 – 2.9
Maks
Min
0.5
3.0
0.6 – 2.9
%
Min 8.2
Min 8.2
%
Min 2.7
Min 2.7
%
Maks 1.0
Maks 1.0
%
0.5 – 2.0
0.5 – 2.0
mg/kg
Maks 0.3
Maks 0.3
mg/kg
Maks 20.0
Maks 20.0
mg/kg
Maks 40.0
Maks 40.0
mg/kg
Maks 0.03
Maks 0.03
mg/kg
Maks 0.1
Maks 0.1
Maks 0.5
(dihitung
sebagai asam laktat (b/b)
7
Cemaran logam
7.
Timbal (Pb)
1 7.
Tembaga (Cu)
2 7.
Timah (Sn)
3 7.
Raksa (Hg)
4 8
Arsen
4
9
Cemaran mikroba Bakteri coliform
APM/
9.
g atau
1
koloni
Maks 1.0
Maks 10
-
Negatif/25 g
Negatif/25 g
-
Negatif/25 g
Negatif/25 g
Min 107
-
/g 9.
Salmonella
2 9.
Listeria
3
monocytogenes
10
Jumlah bakteri starter
Koloni /g
Sumber : Standar Nasional Indonesia, 2009
Tabel 2. Syarat Mutu Susu Segar (SNI 01-3141-1998) Karakteristik o
Syarat
Berat jenis (pada suhu 27,5 C) minimum
10.280
Kadar lemak minimum
3%
Kadar bahan kering tanpa lemak minimum
8%
Kadar protein minimum
2.7%
Warna, bau,rasa dan kekentalan
tidak ada perubahan
Derajat asam
6-7oSH
Uji alkohol 70%
Negatif
Uji katalase maksimum
3(cc)
Angka refraksi
36-38
Angka reduktase
2-5 jam
Cemaran mikroba maksimum Total kuman
1,000,000 cfu/ml
Salmonella
Negatif
E.coli (patogen)
Negatif
Coliform
20/ml
Streptococcus Group B
Negatif
Staphylococcus aureus
100/ml
Jumlah radang maksimum
400.000/ml
5
Cemaran logam berbahaya maksimum: Timbal (Pb)
0,3 ppm
Seng(Zn)
0,5 ppm
Merkuri (Hg)
0,5 ppm
Arsen (As)
0,5 ppm
Residu:
sesuai dengan peraturan keputusan
Antibiotika
bersama Mentri Kesehatan dan
Petisida/insektisida
Menteri Pertanian berlaku
Kotoran dan benda asing
Negatif
Uji pemalsuan
Negatif
Titik beku
-0,520 oC s/d -0,560oC
Uji peroxidase
Positif
Sumber : Standar Nasional Indonesia, 1999
2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif, katalase positif, tidak membentuk spora, anaerobik hingga mikrofilik. Kemampuan biosintesanya sangat terbatas sehingga non motil dan perolehan energinya semata-mata hanya bergantung pada metabolisme secara fermentatif. Bakteri asam laktat dikelompokkan menjadi heterofermentatif apabila produk akhirnya terutama adalah asam laktat dan heterofermentatif apabila asam laktat yang dihasilkannya bersama-sama dengan asam asetat, karbondioksida dan senyawa diasetil (Tamime dan Robinson, 1999). Pemanfaatan BAL pada produksi pangan semakin mengalami peningkatan terutama untuk memfermentasi. Menurut Misgiyarta dan Widowati (2000) BAL yang digunakan dalam fermentasi perlu diseleksi untuk memperoleh isolat yang memiliki kemampuan unggul, sehingga memiliki kelebihankelebihan: 1. Memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap kondisi lingkungan sehingga memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. 2. Ketersediaan mikroba terjamin, sebab bersumber dari lingkungan alam Indonesia yang dapat diisolasi dari banyak sumber. 3. Memungkinkan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat dengan biaya yang relatif murah untuk industri besar, maupun industri kecil, karena ketersediaan yang cukup serta biaya relatif murah. Pada produk probiotik seperti susu fermentasi (yoghurt, kefir, dan dadih), beberapa BAL dimanfaatkan sebagai bakteri probiotik yang dapat memfermentasi komponen susu membentuk asam laktat, bakteriosin dan komponen flavor lainnya (Tamime dan Robinson, 1999). Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang secara aktif meningkatkan kesehatan konsumen, dengan menyeimbangkan mikroflora dalam saluran pencernaan jika dikonsumsi pada kondisi hidup dalam jumlah yang cukup (Fuller 1992). Berbagai senyawa hasil metabolisme bakteri probiotik seperti asam laktat, H2O2, bakteriosin bersifat antimikroba dan berbagai enzim seperti laktase dapat membantu mengatasi intoleransi
6
terhadap laktosa, serta bile salt hydrolase dapat menurunkan kolesterol serta aktivitas antikarsinogenik dan stimulasi sistem imunitas (Nagao et al., 2000; Schrezenmeir dan de Vrese, 2001). Syarat probiotik adalah tidak patogen, toleran terhadap asam dan garam empedu, mempunyai kemampuan bertahan pada proses pengawetan dan dapat bertahan pada penyimpanannnya serta memiliki kemampuan memberi efek kesehatan yang sudah terbukti (Shortt, 1999). Syarat minimum jumlah kandungan probiotik pada produk terfermentasi pada negara-negara di Eropa dan Jepang adalah 106-108 CFU/ml, sedangkan jumlah viabilitas sel dalam produk yoghurt minimum sebesar 105-106 CFU/ml (Robinson, 1987; Kurmann dan Rasic, 1991).
2.2.1. Streptococcus thermophilus Streptococcus thermophilus dibedakan dari genus Streptococcus lainnya berdasarkan suhu pertumbuhannya yang dapat tumbuh pada suhu 45 oC dan mati pada suhu 10oC (Helferich dan Westhoff, 1980). Tamime dan Robinson (1999) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan Streptococcus thermophilus adalah 37 – 45 oC. Bakteri ini berbentuk kokus dengan diameter 0.7-0.9 µm dan kadangkadang berbentuk rantai. Streptococcus thermophilus termasuk kelompok bakteri gram positif, katalase negatif, anaerob fakultatif, dapat mereduksi litmus milk, tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih dari 6.5%, tidak berspora, bersifat termodurik, dan menyukai suasana netral dengan pH optimal 6.5 (Helferich dan Westhoff, 1980).
Gambar 1. Morfologi bakteri Streptococcus thermophilus (www2.unibas.it) Menurut Tamime dan Deeth (1980), Streptococcus thermophilus bersifat homofermentatif yang memfermentasi laktosa, sukrosa, glukosa, fruktosa, dan pereduksi utamanya adalah L(+) asam laktat. Streptococcus thermophilus memiliki keterbatasan dalam pemanfaatan glukosa, dan fungsi utamanya pada industri susu fermentasi adalah mengkonversi laktosa menjadi asam laktat. Tidak seperti kebanyakan bakteri gram positif lainnya, Streptococcus thermophilus lebih menyukai laktosa sebagai sumber karbon dan penghasil energi dibanding glukosa. Peran utama Streptococcus thermophilus dalam industri susu fermentasi adalah memiliki laju pengasaman yang lebih tinggi dibanding BAL lainnya (Iyer et al., 2009). Kelemahan dari Streptococcus thermophilus adalah sensitif terhadap lingkungan asam lambung, sehingga tidak dapat tumbuh di usus manusia (Iyer et al., 2009). Oleh karena itu Streptococcus thermophilus tidak dapat digolongkan sebagai bakteri probiotik.
2.2.2. Lactobacillus bulgaricus Lactobacillus bulgaricus adalah bakteri gram positif, membentuk koloni dengan diameter tidak tumbuh pada 45 oC , mereduksi “litmus milk”, katalase negatif, tidak berspora dan thermodurik (Kosikowski, 1982). Hutkins dan Nannen (1993) menjelaskan bahwa suhu Lactobacillus bulgaricus 40 – 45 oC dengan pH optimum pertumbuhan berkisar pH 5.5 -5.8.
1-3 µm, bersifat optimal Bakteri
7
asam laktat ini bersifat anaerob, berbentuk batang, koloninya berbentuk pasangan, dan rantai sel-selnya bersifat homofermentatif.
Gambar 2. Morfologi bakteri Lactobacillus bulgaricus (www.novinite.com) Selama proses fermentasi susu, Lactobacillus bulgaricus memecah laktosa menjadi asam laktat serta menghasilkan asetaldehid yang memberi aroma khas pada susu fermentasi. Lactobacillus bulgaricus bersifat proteolitik yang mampu memecah protein sehingga mudah dicerna dan diserap saluran pencernaan (Chaitow dan Tranev, 1990). Tamime dan Deeth (1980) menyatakan bahwa Lactobacillus bulgaricus mempunyai aktivitas proteolitik yang cukup tinggi. Aktifitas proteolitiknya yang penting di dalam susu adalah memecah kasein dengan bantuan enzim protease. Enzim ini optimum pada pH 5.2-5.8 dan temperatur 45-50oC, pada pH yang lebih rendah yaitu 4.5 protease tidak dihasilkan. Dalam proses fermentasi yoghurt Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus akan menghasilkan interaksi yang saling menguntungkan. Streptococcus thermophilus akan menurunkan pH medium yang akan memacu pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus. Selanjutnya Lactobacillus bulgaricus akan melepaskan asetal dehid, asam asetat, diasetil, valin, glisin, leusin, isoleusin, dan histidin ke dalam medium yang membentuk flavor khas susu fermentasi (Tamime dan Robinson, 1999). Lactobacillus bulgaricus memiliki kemampuan menghasilkan senyawa yang bersifat bakteriostatik serta mampu menghasilkan senyawa flavor yang khas. Akan tetapi, Lactobacillus bulgaricus tidak tidak dapat bertahan hidup pada saluran pencernaan manusia sehingga tidak termasuk probiotik (Yuguchi et al., 1992).
2.3. ENKAPSULASI Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan yang disalut dapat dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut enkapsulan sedangkan yang disalut/dilindungi disebut core (Young et al.,1995; Frazier dan Westhoff, 1998; Victor dan Heldman, 2001). Enkapsulasi adalah pembentukan kapsul yang menyelubungi probiotik dari kondisi lingkungan yang ekstrim (Victor dan Heldman, 2001). Teknik enkapsulasi banyak diaplikasikan pada bidang industri bahan pangan karena mampu mengawetkan makanan relatif lebih lama sehingga mengurangi resiko kerusakan bahan makanan oleh mikroba (Victor dan Heldman, 2001). Young et al. (1995); Frazier dan Westhoff (1998); Victor dan Heldman (2001) menjelaskan bahwa enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia. Susu skim adalah salah satu bahan penyalut yang umum digunakan, terutama sebagai penyalut matriks yang diaplikasikan secara oral.
8
Mikroenkapsulasi adalah suatu teknologi pengemasan material padat, cair ataupun gas dalam miniatur pengkapsulan yang dapat melepaskan bahan terkapsul pada laju terkontrol dibawah pengaruh kodisi spesifik (Anal, et al., 2007). Mikroenkapsulasi pada beberapa bakteri probiotik dilakukan untuk meningkatkan viabilitas sel dalam lingkungan asam lambung yang dapat mencapai pH 2. Chandramouli et al. (2003) menyatakan enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik dibandingkan dengan sel bebas tanpa enkapsulasi. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai enkapsulan adalah lemak, lilin, turunan gliserol, gula, pati alami dan pati termodifikasi, dekstrin, gum, protein, skim, gelatin, dan turunan selulosa (Vidhyalakshmi et al., 2009). Beberapa penelitian dilaporkan bahwa mikroenkapsulasi menggunakan kalsium-alginat-polimer pati resisten (Godward dan Kailasapathy, 2003; Sultana et al., 2000), polimer kappakaragenan (Adhikari et al., 2000) dan polimer protein whey (Picot dan Lacroix, 2004) dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik pada yoghurt selama penyimpanan. Dave et al. (1997) dalam Adhikari (2000) menyatakan bahwa penambahan suplemen seperti cystein, bubuk whey, konsentrat protein whey dan hidrolis asam kasein dapat meningkatkan ketahanan bifidobacteria, namun hanya dalam jumlah yang kecil. Sedangkan Sultana et al. (2000) mengenkapsulasi L. acidophilus and Bifidobacterium spp. menggunakan kalsium-alginat-polimer pati resisten menunjukkan penurunan 0.5 log CFU/ml dibandingkan dengan sel bebas selama delapan minggu masa penyimpanan yoghurt. Crittenden et al. (2001) menyatakan penambahan bahan pendorong pertumbuhan atau prebiotik seperti pati dan oligosakarida dapat meningkatkan ketahanan bakteri. Beberapa jenis pati yang dapat digunakan sebagai prebiotik antara lain pati resisten dan maltodekstrin.
2.3.1. High Amylose Corn Starch Menurut Berry (1986) dalam Sajilata et al. (2006) pati dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan respon pati tersebut saat diinkubasi dengan enzim. Jenis pati pertama adalah Rapidly Digestible Starch (RDS). Rapidly Digestible Starch (RDS) adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis sepenuhnya oleh enzim amilase menjadi molekul-molekul glukosa dalam waktu 20 menit. Jenis kedua adalah Slowly Digestible Starch (SDS). Seperti juga RDS, Slowly Digestible Starch (SDS) dapat sepenuhnya dihidrolisis oleh enzim amilase, namun karena satu dan lain hal, hidrolisisnya memakan waktu lebih lama. Jenis pati ketiga adalah Resistant Starch (RS) atau pati resiten yaitu fraksi kecil dari pati yang resisten (tahan) terhadap hidrolisis oleh enzim α-amilase dan enzim pululanase yang diberikan secara in vitro. Pati resisten atau RS tidak terhidrolisis setelah 120 menit inkubasi (Englyst, et al., 1992). Pati yang sampai ke usus besar akan difermentasi oleh mikroflora usus. Oleh karena itu, sekarang pati resisten didefinisikan sebagai fraksi dari pati yang dapat lolos dari pencernaan pada usus halus. Secara kimia, RS adalah selisih dari kadar pati total dengan RDS dan SDS (Sajilata et al., 2006). Pati resisten (resistant starch) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat dan pencernaan tidak mengalami gangguan. Menurut Gonzales, et al. (2004) dalam Anggraini (2007) pati resisten dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam makanan. Pati resisten tipe I (RS tipe I) adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada biji legumes (polong-polongan). Pati resisten tipe II (RS tipe II) adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan seperti pati pisang mentah dan pati kentang mentah. Pati resisten tipe III (RS tipe III) adalah pati hasil retrogradasi yang terbentuk akibat pemanasan suhu tinggi yang disusul dengan penyimpanan pada suhu rendah. Pati resisten tipe IV (RS tipe IV) adalah pati yang dimodifikasi secara kimia.
9
Menurut Asp NG (1992) high amylose corn starch (Hi-Maize) termasuk dalam jenis pati resisten tipe II (RS tipe II). Pati resisten ini memiliki kandungan amilosa yang tinggi dan memiliki karekteristik suhu gelatinisasi yang tinggi yaitu di atas 120oC. Pati kentang mentah juga termasuk dalam golongan pati resiten tipe II (RS II), tetapi pati ini memiliki suhu gelatinisasi yang rendah yaitu sekitar 60oC. Beberapa penelitian in vivo pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa pati resisten memiliki potensi sebagai bahan prebiotik. Penelitian dengan menggunakan pati resisten yang beramilosa tinggi menunjukkan bahwa granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada usus bagian atas, baik pada usus babi maupun manusia, dan diperkirakan dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara menyediakan permukaan untuk melekat bagi prebiotik (Topping, et al., 1997). Penelitian Brown, et al. (1998) menunjukkan bahwa tikus yang diberi ransum yang mengandung Bifidobacterium longum hidup dan pati resisten beramilosa tinggi mengekskresikan bifidobakteria dalam jumlah yang lebih banyak daripada tikus yang tidak diberi pati resisten.
Gambar 3. Penampakan high amylose corn starch (www.kingarturecompany.com)
2.3.2. Maltodekstrin Pati adalah polisakarida yang terbentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1992). Struktur amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan α-(1.4)-glukosidik, sedangkan amilopektin merupakan struktur bercabang terdiri atas ikatan α-(1.4)-glukosidik dengan titik percabangan α-(1.6)-glukosidik (Wilbrahan dan Matta, 1992).
Gambar 4. Struktur amilosa dan amilopektin (www.fmcbiopolymer.com) Menurut Fogarty (1983) dalam Sunarti et al. (2004) pati mudah mengalami hidrolisis yang diakibatkan oleh asam dan enzim. Hidrolisis asam mengakibatkan rusaknya daerah amorph dan akan memotongan ikatan α-(1.4)-D-glukosidik dari amilosa dan α-(1.6)-D-glukosidik dari amilopektin,
10
sehingga ukuran molekul pati menjadi lebih rendah. Hidrolisis pati dengan enzim dapat dilakukan dengan α-amilase. Hidrolisis amilosa dengan α-amilase terjadi dengan dua tahap. Tahap pertama degadrasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosan sebagai hasil akhir dan tidak acak. Pada tahap ini pembentukan relatif sangat lambat, sedangkan pada molekul amilopektin sebagai produk akhir dan tidak acak. Sedangkan pada molekul amilopektin kerja α-amilase akan menghasilkan glukosa, maltosa dan satu seri α-limit dekstrin, serta oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih glukosa yang mengandung ikatan α (1.6) glikosidik. Selama proses hidrolisis, terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan adanya penurunan viskositas dan meningkatnya gula pereduksi. Produk komersil dari hidrolisis pati diklasifikasikan berdasarkan dekstrosa equivalen (DE). Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung α-D-glukosa unit yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1.4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus umum malodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O] (Kennedy et al., 1995). Maltodekstrin DE 5-10 dibuat menurut metode pati singkong dihidrolisis dengan α-amilase (Termamyl 120L) yang mempunyai aktivitas 6147.66 unit/ml pada suhu 85° C selama 65 menit. Untuk menghentikan aktivitas enzim ditambahkan HCl 0.1N sampai pH 3.7 – 3.9. Campuran yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 40-45° C, kemudian dihaluskan, dan terakhir diayak dengan ayakan mesh 100 (Anwar, 2002). Walaupun α-amilase bekerja dengan memotong ikatan pati, namun diduga pati tidak terhidrolisis seluruhnya. Sebagian kecil pati dapat berupa resistant starch yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan yang disebabkan strukturnya berupa kristal tidak larut air.
Gambar 5. Penampakan maltodekstrin (www.wordpress.com) Menurut Blancard dan Katz (1995) maltodekstrin biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose Equivalent). Maltodekstrin dengan DE yang rendah bersifat non-higroskopis, sedangkan maltodekstrin dengan DE tinggi cenderung menyerap air (higroskopis). Maltodekstrin merupakan larutan terkonsentrasi dari sakarida yang diperoleh dari hidrolisa pati dengan penambahan asam atau enzim. Kebanyakan produk ini ada dalam bentuk kering dan hampir tidak berasa. Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa hidrolisis pati yang tidak sempurna, terdiri atas campuran gula-gula dalam bentuk sederhana (mono dan disakarida) dalam jumlah kecil, oligosakarida dengan rantai pendek dalam jumlah relatif tinggi serta sejumlah kecil oligosakarida berantai panjang. Nilai DE maltodekstrin berkisar antara 3 – 20. Blancard dan Katz (1995), menerangkan lebih lanjut sifat-sifat yang dimiliki maltodekstrin antara lain mengalami dispersi cepat, memiliki sifat daya larut yang tinggi maupun membentuk film, membentuk sifat higroskopis yang rendah, mampu membentuk body, sifat browning yang rendah, mampu menghambar kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat. Spesifikasi maltodekstrin disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Spesifikasi maltodekstrin komersil
11
Kriteria
Spesifikasi
Kenampakan
Bubuk putih agak kekuningan
Bau
Bau seperti malt- dekstrin
Rasa
Kurang manis, hambar
Kadar air
6%
DE (Dextrose Euquivalent)
10-20%
pH
4.5 – 6.5
Sulfated ash
0.6% (maksimum)
Total Plate Count (TPC)
1500 cfu/g
Sumber: Blancard dan Katz (1995)
Maltodekstrin sangat banyak aplikasinya antara lain sebagai bahan pengental sekaligus emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah bahan tersebut dapat dengan mudah larut pada air dingin. Aplikasi penggunaan maltodekstrin contohnya pada minuman susu bubuk, minunan berenergi, minuman prebiotik dan produk pangan. Aplikasi maltodekstrin pada produk pangan antara lain pada produk makanan beku sbagai pengikat air (water holding capacity) dan berat molekul rendah sehingga dapat mempertahankan produk beku, makanan rendah kalori, produk rerotian, misalnya cake, muffin, dan biskuit, digunakan sebagai pengganti gula atau lemak. Maltodekstrin merupakan salah satu jenis bahan pengganti lemak berbasis karbohidrat yang dapat diaplikasikan pada produk frozen dessert seperti es krim, yang berfungsi membentuk padatan, meningkatkan viskositas, tekstur, dan kekentalan. Maltodekstrin merupakan oligosakarida yang tergolong dalam prebiotik (makanan bakteri Probiotik), sangat baik bagi tubuh. secara nyata dapat memperlancar saluran pencernaan dengan membantu berkembangnya bakteri probiotik. Menurut Gibson (2005) maltodekstrin, oligosakarida, inulin, galakto-oligosakarida, polidekstrosa merupakan beberapa komponen prebiotik. Maltodekstrin digolongkan prebiotik dikarenakan maltodekstron mengandung oligoskarida. Maltodekstrin memiliki efek prebiotik dengan ditunjukkannya pada peningkatan konsentrasi bakteri menguntungkan dalam fekal termasuk bifidobacteria pada anjing. Kajian secara invitro pada tikus dan mencit menunjukkan asam lemak rantai pendek dihasilkan dengan adanya maltodekstrin dan juga dapat mencegah infeksi saluran pencernaan.
2.3.3. Alginat Alginat merupakan bahan dasar yang umumnya digunakan untuk enkapsulasi. Garam alginat larut dalam air, tetapi mengendap dan membentuk gel pada pH lebih rendah dari tiga. Alginat dapat membentuk gel (formasi egg-box), film, manik (beads), pelet, mikropartikel, dan nano partikel (Ferreira et al., 2007). Oleh karena itu, jel alginat dapat digunakan sebagai penyalut. Alginat adalah fitokoloid atau hidrokoloid yang diekstraksi dari phaeophyceae (alga coklat). Senyawa alginat merupakan suatu polimer linier yang terdiri atas dua satuan yang monomeric, ß -D -asam manuronat dan a -L -asam guluronik (McHugh, 1987). Adapun ikatan monomer alginat dapat dilihat pada Gambar 6.
12
Gambar 6. (A) monomer alginat (B) ikatan monomer pada alginate (www.fmcbiopolymer.com) Kailasapathy (1996) menyatakan alginat adalah polisakarida alami yang diekstrak dari alga coklat dan berfungsi meningkatkan viskositas dan daya ikat pada yoghurt. Kation divalent seperti ikatan kalsium dengan alginat dapat meningkatkan viskositas atau bentuk gel tergantung pada konsentrasinya. Enkapsulasi sel menggunakan sodium alginat telah banyak dilakukan seperti pengikatan kation dengan kalsium pada yoghurt (Kailasapathy, 1996). Penggunaan sodium alginat memungkinkan kapsul yang terdiri atas ruang kosong dapat mengikat ion kalsium pada matriks yoghurt. Ion sodium pada hydrogel alginat dapat digantikan oleh ion kalsium dan fenomena ini dapat meningkatkan daya retak koagulum pada yoghurt. Interaksi antara protein susu dan peningkatan alginat dapat menurunkan nilai pH (Onsoyen, 1992). Williams, et al. (2004) melaporkan bahwa interaksi antara protein susu dan peningkatan alginat dapat menurunkan nilai pH. Proses enkapsulasi sinbiotik menggunakan sodium alginat yang dicampur kedalam larutan CaCl 2 menyebabkan Ca2+ bereaksi dengan monovalen anion karboksilat alginat membentuk jaringan tiga dimensi, hal tersebut menyebabkan proses gelatinisasi semakin cepat sehingga viskositas kapsul yang dihasilkan semakin baik (Winarno,1996). Bentuk jaringan tiga dimensi tersebut disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Ikatan CaCl2 dengan alginate (www.fmcbiopolymer.com) Winarno (1996) lebih lanjut menjelaskan Ca2+ memiliki dua ion positif yang akan bergabung dalam dua gugus karboksil dan molekul algin, disamping itu ikatan sekunder mungkin saja terjadi diantara ion kalsium itu sendiri dan gugus hidroksil polimer alginat, hal tesebut yang menyebabkan penambahan sodium alginat dengan larutan CaCl2 menghasilkan gumpalan dengan ikatan menyilang yang bersifat hidrofob.
2.3.4 Teknik Enkapsulasi Beberapa teknik mikroenkapsulasi yang digunakan antara lain spray drying, freeze drying dan fluidized bed drying. Ketiga teknik ini dapat mengkapsul kultur dan mengubahnya menjadi bentuk bubuk.
13
Enkapsulasi dengan cara ini dapat diterapkan pada produk namun kultur tidak terlindungi oleh lingkungan produk atau selama melalui saluran lambung. Enkapsulasi dengan penjerapan hidrokoloid beads atau sel immobile dalam matriks beads dapat melindungi sel dalam lingkungan saluran lambung (Krasaekoopt et al., 2002). Teknik enkapsulasi probiotik yang digunakan pada produk susu fermentasi diklasifikasikan menjadi dua yaitu ekstrusi (droplet method) dan emulsi (sistem dua fase). Kedua teknik ini dapat meningkatkan ketahanan bakteri probiotik hingga 80–95% (Audet et al., 1988; Rao et al., 1989; Sheu dan Marshall, 1991; Sheu dan Marshall, 1993; Sheu, et al., 1993; Jankowski, et al., 1997; Kebary et al., 1998). Metode ekstrusi dilakukan dengan cara meyiapkan larutan hidrokoloid natrium alginat dan ditambahkan mikroorganisme probiotik, kemudian dimasukkan ke dalam jarum suntik atau syringe needle dan meneteskannya ke dalam larutan CaCl2 sehingga terbentuk beads. Ukuran dan bentuk beads yang dihasilkan bergantung pada diameter jarum. Pada enkapsulasi dengan metode emulsi, sebagian kecil polimer (alginat) disuspensikan ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak conola, atau minyak jagung, kemudian dihomogenisasi dalam bentuk water in oil (w/o). Emulsi tersebut akan membentuk droplet. Ukuran beads pada metode emulsi ditentukan oleh ukuran droplet emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat dikontrol dengan kecepatan pengadukan saat emulsifikasi (Krasaekoopt et al., 2003). Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing, adapun kelebihan dan kekurangannya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kelebihan dan kekurangan metode ekstrusi dan emulsi
Faktor pembanding
Ekstrusi
Emulsi
Susah untuk digandakan
Mudah untuk digandakan
Rendah
Tinggi
Kemudahan pengaplikasian
Tinggi
Rendah
Ketahanan mikroorganisme
80-90%
80-95%
Ukuran beads
2-5mm
25µm-2mm
Kelayakan teknologi Biaya
Sumber: Krasaekoopt et al., 2003
Parameter keberhasilan teknik ini berbeda untuk setiap bahan yang akan dienkapsulasi. Enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang dienkapsulasi memiliki viabilitas sel yang relatif tinggi dan sifat-sifat fisiologis yang relatif sama dengan sebelum dienkapsulasi (Triana et al., 2006).
2.3.4. Enkapsulasi Bakteri Asam Laktat Enkapsulasi adalah metode yang digunakan untuk meningkatkan daya tahan dan pelepasan kultur bakteri (Sultana et al., 2000). Sun dan Griffths (2000), Anal dan Sigh (2007) menyatakan mikroenkapsulasi merupakan alternatif cara meningkatkan resistensi mikroorganisme pada lingkungan asam rendah selama penyimpanan atau garam empedu. Metode ini telah banyak diaplikasikan dalam produk fermentasi. Beberapa panelitian yang telah dilakukan antara lain pengenkapsulan bakteri Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium spp. menggunakan teknik emulsi dengan bahan enkapsulan kalsium alginat dan Hi-Maize starch (prebiotik) yang menunjukkan terjadinya penurunan
14
bakteri sebesar 0.5 log cfu/ml jika dibandingkan dengan sel bebas selama delapan minggu waktu penyimpanan yoghurt di suhu 5oC (Sultana et al., 2000). Penelitian Castila et al. (2009) mengengkapsulasi L. casei dengan metode emulsi dan bahan alginat-pektin menunjukkan bahwa komposisi alginat-pektin terbaik pada semua parameter yang diujikan adalah 1:4 dan 1:6, ketahanan bakteri L. casei dalam yoghurt dan simulasi getah lambung sebanding dengan diameter dan seluruh properti tekstur beads, sedangkan ketahanan bakteri setelah melewati simulasi getah lambung dan garam empedu berkorelasi positif dengan bentuk bulat beads. Enkapsulasi bakteri pada L. casei (Lc-01) dan B. lactis (Bb-12) (0.1%) pada es krim sinbiotik menggunakan metode emulsi dengan bahan enkapsulan 2% alginat dan 2% Hi-Maize menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan sel bebas, ketahan bakteri terenkapsulasi meningkat sebesar 30% selama masa penyimpanan 180 hari dan suhu -20oC ( Homayouni et al., 2008). Penelitian Mandal et al. (2005) menunjukkan bahwa ketahanan bakteri L. casei NCDC-298 yang dienkapsulasi menggunakan metode emulsi pada pH rendah, konsentrasi garam empedu yang tinggi dan selama perlakuan panas memberikan hasil maksimal sebanding dengan peningkatan konsentrasi alginat yang digunakan, konsentrasi alginat terbaik adalah alginat 4%. Purwadhani et al. (2007) menyatakan bahwa enkapsulasi L. acidiphilus SNP 2 menggunakan teknik emulsi menghasilkan ketahanan bakteri yang lebih baik dibanding teknik ekstrusi, jumlah sel probiotik dalam beads metode emulsi sebesar 1010 cfu/ml sedangkan jumlah bakteri dalam beads metode ekstrusi sebesar 109 cfu/ml.
15
III. METODOLOGI
3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilaksanakan mulai bulan April sampai Oktober 2010. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratoriun Kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu-Bogor.
3.2. ALAT DAN BAHAN 3.2.1. Alat Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi cawan petri, bunsen, tabung ulir, tabung reaksi, mikro pipet, mikroskop (LW SCIENTIFIC type: Revelation III (RV 30AT), quebec coloni counter (Hellige), ose, oven (Imperial V), inkubator (Memmert), laminar air flow (Esco), autoklaf (Hirayama), syringe ( Becton, Dickson and Comapany), gelas piala, mixer (Philips), shaker (IKA, KS260 basic), erlemeyer, rheometer (Brookfield), timbangan analitik (Precisa), pH meter (Eutech), desikator, pipet volumetrik, penangas air, gelas ukur, gelas piala, erlemeyer, buret 10 ml, dan thermometer, serta peralatan untuk pengujian organoleptik, kemasan cup plastik jenis polypropylene (pp).
3.2.2. Bahan Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk penelitian pendahuluan ini antara lain;
3.2.2.1. Isolat Bakteri Isolat yang digunakan meliputi Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Strain yang digunakan adalah isolat bakteri koleksi di Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Cimanggu-Bogor.
3.2.2.2. Media Pertumbuhan Produksi biomassa sel Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus menggunakan media deMan Rogosa Sharpe Broth (Pronadisa). Sedangkan media pertumbuhan untuk menghitung jumlah koloni Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus yaitu deMan Rogosa Sharpe Agar (Pronadisa). Selanjutnya, media untuk pembuatan yoghurt digunakan susu sapi segar (telah diuji kesegarannya melalui uji alkohol) dan starter komersil (yogourmet).
3.2.2.3. Bahan Enkapsulasi
16
Bahan-bahan yang digunakan untuk proses enkapsulasi antara lain natrium-alginat, CaCl2 (Merck.), high amylose corn starch 260 (Natural-National Starch), maltodekstrin, vegetable oil (canola oil) (mazolla), Tween 80% (Merck), dan NaCl 0.85% (Merck).
3.2.2.4. Bahan analisis Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain; garam fisiologis (NaCl 0.85%) (Merck), alkohol 70%, indikator fenolftalien (PP) 1% (Merck), buffer pH 7 (Merck), NaOH 0.1M, MRS agar (Pronadisa),dan buffer phosphate 0.1M pH 7 (Merck).
3.3. METODE PENELITIAN Enkapsulasi mikroba untuk starter yoghurt diawali dengan pemilihan metode enkapsulasi. Kemudian, metode enkapsulasi terpilih digunakan untuk mengenkapsulasi mikroba yang telah disiapkan. Mikroba terenkapsulasi kemudian diaplikasikan untuk produksi yoghurt. Adapun garis besar penelitian yang dilakukan disajikan pada Gambar 8.
17
Komposisi bahan enkapsulan terpilih
Persiapan mikroba
Modifikasi metode
Mikroba siap untuk dienkapsulasi
TPC (Total Plate Count)
Enkapsulasi mikroba Beads basah Waktu pengeringan terbaik
Pengeringan beads (t=40oC) Beads kering
Pengujian kultur kerja
Susu segar (setelah uji alkohol)
TPC (Total Plate Count)
TPC (Total Plate Count)
Kultur kerja Kultur kerja terbaik Produksi yoghurt
Kultur komersil mikroba bebas
Yoghurt Pengujian yoghurt
Gambar 8. Diagram alir kegiatan penelitian
3.3.1. Pemilihan Metode Enkapsulasi Proses enkapsulasi sel merupakan salah satu cara untuk meningkatkan viabilitas sel (Chandramouli et al., 2003). Enkapsulasi S. thermophilus dan L. Bulgaricus memodifikasi metode emulsi Sheu dan Marshall (1993) dalam Krasaekoopt W (2003). Modifikasi metode pada penelitian ini dilakukan pada cara pemasukan larutan CaCl2 dan lama waktu gelifikasi. Cara pemasukan larutan CaCl2 dilakukan dengan memasukkan larutan menggunakan syringe pada jarak tertentu dari larutan. Penentuan jarak tetes syringe dari larutan dan ukuran diameter syringe pada modifikasi metode dilakukan dengan model linier RAL (Rancangan Acak Lengkap) dua faktor dengan dua kali ulangan. Perlakuan pertama berupa jarak tetes dari larutan alginat-minyak, yang memiliki dua taraf yaitu 1cm dan 10 cm . Perlakuan kedua berupa ukuran diameter syringe, yang memiliki lima taraf yaitu; (1) 27 G (0.361 mm) (2) 26 G (0.405 mm) (3) 23 G
18
(0.573 mm) (4) 22 G (0.644 mm) (5) 20G (0.812 mm). Adapun model linier statistik yang digunakan adalah sebagai berikut. Yijk
= µ + αi + βj +(αβ)ij + ϵijk
i j
= 1cm, 10 cm (dari larutan alginat-minyak) = 27 G (0.361 mm) (2) 26 G (0.405 mm) (3) 23 G (0.573 mm) (4) 22 G (0.644 mm) (5) 20G (0.812 mm) k = 1,2 Keterangan: Yijk : rendemen beads pengaruh jarak tetes ke-i, ukuran syringe ke-j dan ulangan ke-k µ : rataan umum αi : pengaruh jarak tetes syringe dari larutan ke-i βj : pengaruh ukuran diameter syringe ke-j (αβ)ij : pengaruh interaksi jarak tetes syringe dari larutan ke-i dan ukuran diameter syringe ke-j ϵijk : komponen acak pengaruh jarak tetes syringe dari larutan ke-i, ukuran diameter syringe ke-j dan ulangan ke-k Parameter yang diukur pada perlakuan ini adalah rendemen, ukuran, dan bentuk beads basah yang dihasilkan. Pengukuran rendemen dan bentuk beads disajikan pada Lampiran 1. Ukuran beads basah yang dihasilkan dilakukan secara pengamatan visual. Bahan enkapsulan yang digunakan adalah natrium alginat serta bahan pengisi berupa high amylase corn starch dan maltodekstrin yang berfungsi sebagai substrat anabolisme bakteri. Komposisi bahan pengisi enkapsulan terbaik ditujukan untuk mengetahui komposisi perbandingan antara alginat dengan bahan pengisi maltodekstrin. Komposisi alginat dengan high amylase corn starch mengacu pada penelitian Hamayouni (2003); Sheu and Marshal (1993); Sultana et al. (2000) yaitu 2% : 2%. Penentuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat dilakukan dengan model linier RAK (Rancangan Acak Kelompok) tiga kali ulangan dan enam taraf dalam satu perlakuannya (perbedaan komposisi) dengan penetapan total padatan sebesar 4%. Enam taraf dalam perlakuannya yaitu berdasarkan komposisi alginat dan maltodekstrin yang antara lain adalah; (1) 1% : 3% (2) 1.33% : 2.67% (3) 2% : 2% (4) 2.67% : 1.33% (5) 3% : 1% dan (6) 4% : 0%. Perbandingan nilai rata-rata dianilisis kembali menggunakan uji Duncan. Probability level α = 0.05 digunakan untuk mengindikasikan signifikansi perlakuan terhadap hasil (respon) dengan model linier statistik sebagai berikut. Yij= µ+α i+βj+ϵij i = (1) 1% : 3% (2) 1.33% : 2.67% (3) 2% : 2% (4) 2.67% : 1.33% (5) 3% : 1% dan (6) 4% : 0%. j = 1,2,3 Keterangan: Yij : rendemen dan ukuran beads pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ : rataan umum βj : pengaruh kelompok ke-j αi : perlakuan komposisi alginat dan maltodekstrin ke-i ϵij : komponen acak pengaruh komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat ke-i dan kelompok ke-j
19
Parameter yang diukur dalam perlakuan ini adalah rendemen, bentuk dan ukuran beads. Pengukuran rendemen dan ukuran beads disajikan pada Lampiran 1. Bentuk beads basah yang dihasilkan dilakukan secara pengamatan visual. Komposisi bahan pengisi enkapsulan terpilih selanjutnya akan digunakan sebagai bahan pengisi enkapsulan bakteri asam laktat pada penelitian penelitian berikutnya. Komposisi bahan pengisi terbaik yang terpilih kemudian diuji waktu pengeringan optimalnya dengan mengukur berat beads kering setiap jamnya setelah dikeringkan dengan oven suhu 40oC hingga berat beads kering tersebut stabil. Selain itu juga diukur waktu pengiringan alginat 4% tanpa bahan pengisi sebagai kontrol. Modifikasi metode emulsi yang digunakan disajikan pada Gambar 9. Larutan alginat dan high amylose corn starch (12.5 ml)
Larutan alginat dan maltodekstrin (12.5ml) Na-alginat 3%(b/b)
Na-alginat 2%(b/b)
high amylose corn starch 2%(b/b)
Pencampuran 121oC,15 menit
Pencampuran 40oC,5 menit
Na-alginat steril
high amylose corn starch steril
maltodekstrin 1%(b/b)
Pencampuran 121oC,15 menit
Larutan alginat (12.5ml) Na-alginat 4%(b/b) Pencampuran 121oC,15 menit
Pencampuran
0,1M CaCl2 (25 ml)
Kultur 0,1% (v/v)
Emulsifikasi Mixer 400rpm, 20 menit
Vegetable oil mengandung 0,5% Tween (25ml)
Gelifikasi 24 jam Penyaringan Sel terenkapsulasi (beads basah) Pengeringan oven 40oC Sel terenkapsulasi (beads kering)
Gambar 9. Modifikasi metode emulsi Sheu dan Marshall (1993) dalam Krasaekoopt W (2003)
3.3.2. Enkapsulasi Starter Yoghurt 3.3.2.1. Persiapan Mikroba Persiapan mikroba starter meliputi pemeriksaan kultur starter melalui pemeriksaan mikroskopik dengan metode pewarnaan dan produksi biomassa sel. Pengujian morfologi bakteri asam laktat yang digunakan yaitu Streptococcus thermophilus (ST) dan Lactobacillus bulgaricus (LB) menggunakan metode pewarnaan dilakukan dengan cara menyiapkan preparat bakteri pada gelas objek yang telah
20
difiksasi dan ditetesi dengan methylene blue. Bakteri yang telah diwarnai dicuci dari sisa pewarnaan dan dikeringkan, diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000x. Produksi biomassa sel diawali dengan pembuatan agar miring kultur murni. Kultur murni pada agar miring kemudian dipropagasi pada media deMan Rogosa Sharpe Broth (MRSB) sebagai kultur stok (intermediate culture). Kultur stok yang akan dienkapsulasi dan digunakan sebagai starter sel bebas dipanen pada fase awal eksponensial, yaitu pada jam ke-dua (Suprihanto, 2009). Cara perhitungan kultur yang dipanen pada jam ke-dua disajikan pada Lampiran 1.
3.3.2.2. Enkapsulasi Starter Yoghurt dengan Komposisi Bahan Pengisi Enkapsulan Berbasis Pati Enkapsulasi starter yoghurt dilakukan menggunakan metode enkapsulasi terpilih (Gambar 9). Komposisi bahan pengisi enkapsulan berbasis pati terpilih dan waktu pengeringan terbaik mengacu pada penelitian sebelumnya. Penentuan bahan pengisi enkapsulan terbaik dilakukan dengan menguji komposisi bahan pengisi enkapsulan terpilih pada proses enkapsulasi bakteri asam laktat dan pada saat pengaplikasian ke dalam kultur kerja. Perhitungan viabilitas bakteri dilakukan pada beads basah dan beads kering. Analisis varian (ANOVA) Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor menggunakan software statistik dilakukan untuk menganalisis viabilitas bakteri pada beads basah dan beads kering. Perbandingan nilai rata-rata dianilisis kembali menggunakan uji Duncan. Probability level α = 0.05 digunakan untuk mengindikasikan signifikansi perlakuan terhadap hasil (respon) dengan model linier statistik sebagai berikut. Yij= µ+α i+βj+ϵij i
= (1) starter dengan bahan pengisi enkapsulan alginat 2%: pati resisten jagung 2% (2) starter dengan bahan pengisi enkapsulan alginat 3%: maltodekstrin 1% (3) starter dengan bahan enkapsulan alginat 4%. j = 1,2 Keterangan: Yij : viabilitas beads basah dan kering pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ : rataan umum βj : pengaruh kelompok ke-j αi : perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi ke-i ϵij : komponen acak pengaruh komposisi alginat dan bahan pengisi ke-i dan kelompok ke-j Parameter yang diukur dalam perlakuan ini adalah viabilitas bakteri terenkapsulasi. Pengujian viabilitas S. thermophilus dan L. Bulgaricus terenkapsulasi (beads basah) dan setelah mengalami pengeringan dengan oven suhu 40oC (beads kering) disajikan pada Gambar 10.
21
Viabilitas beads basah 1g beads basah
Viabilitas beads kering 9 ml buffer phospat 0,1 M, pH=7
0,1g beads kering
9,9 ml buffer phospat 0,1 M, pH=7
Homogenasi t=30 menit
Homogenasi t=30 menit
Ditanam pada MRSa
Ditanam pada MRSa
Inkubasi T= 37oC, t= 48 h
Inkubasi T= 37oC, t= 48 h
Perhitungan mikroba
Perhitungan mikroba
Viabilitas mikroba dalam beads basah
Viabilitas mikroba dalam beads kering
Gambar 10. Prosedur pengujian viabilitas bakteri terenkapsulasi Penyetaraan basis perhitungan viabilitas bakteri yang terenkapsulasi pada beads basah dan beads kering dihitung dengan perhitungan sebagai berikut; Viabilitas beads basah (basis kering)
=
Viabilitas beads basah (basis basah) (100-kadar air beads basah) / 100
3.3.3. Aplikasi Starter Yoghurt Terenkapsulasi untuk Produksi Yoghurt 3.3.3.1. Pembuatan Kultur Kerja Aplikasi starter yoghurt terenkapsulasi untuk produksi diawali dengan pembuatan kultur kerja. Proses pembuatan kultur kerja adalah dengan memanaskan susu 90oC yang mengandung skim 2% selama 20 menit, kemudian memasukkan starter yoghurt (beads kering) sebanyak 0.5% (b/v) saat suhu susu telah turun menjadi 40-43 oC (Gambar 11). Jumlah starter kering yang ditambahkan mengacu pada penambahan starter komersil (yogourmet).
22
Uji alkohol
Skim milk 2%
Susu sapi segar
Susu sapi segar
Homogenasi dan pasteurisasi (90oC,20 menit)
Homogenasi dan pasteurisasi (90oC,20 menit)
Pendinginan hingga suhu 40-43oC
Pendinginan hingga suhu 40-43oC
pencampuran
pencampuran
Starter (sel terenkapsulasi)
Uji alkohol
Skim milk 2%
0.5% (b/v) Starter (sel bebas)
pengemasan
Starter komersil
Pengamatan waktu koagulasi
Inkubasi pada suhu 40-43oC
3% (b/v)
pengemasan Inkubasi pada suhu 4043oC
Pengamatan waktu koagulasi sempurna
Pendinginan T< 7oC Kultur kerja Sel terenkapsulasi
yoghurt
analisa Kultur kerja sel bebas
Kultur kerja Starter komersil
analisa
Gambar 11. Proses produksi kultur kerja dan yoghurt Penentuan bahan enkapsulan terbaik yang diaplikasikan ke kultur kerja dilakukan dengan RAL (Rancangan Acak Lengkap) satu faktor analisis varian (ANOVA) dengan dua kali ulangan dan tiga taraf dalam satu perlakuannya (perbedaan komposisi). menggunakan software statistik. Tiga taraf dalam perlakuannya berdasarkan komposisi alginat dan bahan pengisi enkapsulan yaitu ; (1) alginat 2%: pati resisten jagung 2% (2) alginat 3%: maltodekstrin 1% (3) alginat 4%. Perbandingan nilai rata-rata dianalisis kembali menggunakan uji Duncan. Probability level α = 0.05 digunakan untuk mengindikasikan signifikansi perlakuan terhadap hasil (respon) dengan model perhitungan statistik sebagai berikut. Yij= µ+α i+ɛij i
= (1) starter dengan bahan pengisi enkapsulan alginat 2%: pati resisten jagung 2% (2) starter dengan bahan pengisi enkapsulan alginat 3%: maltodekstrin 1% (3) starter dengan bahan enkapsulan alginat 4%.
23
j = 1,2 Keterangan: Yij : karekteristik kultur kerja pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ : rataan umum αI : perlakuan komposisi alginat dan bahan enkapsulan ke-i ɛij : komponen acak komposisi alginat dan bahan pengisi enkapsulan ke-i dan ulangan ke-j Parameter yang diukur dalam pengaplikasian starter kering ke dalam kultur kerja adalah karakteristik kultur kerja yang meliputi viabilitas bakteri dengan uji TPC, pH dan TA (total asam). Pengujian karakteristik kultur kerja disajikan pada Lampiran 1. Bahan pengisi enkapsulan terpilih akan digunakan pada produksi yoghurt.
3.3.3.2. Pembuatan Yoghurt Pembuatan yoghurt diawali dengan pengujian susu sapi segar dengan uji alkohol (Lampiran 1) untuk menguji kualitas kesegarannya. Proses produksi yoghurt disajikan pada Gambar 11. Jumlah starter (dari kultur kerja) yang ditambahkan pada produksi yoghurt adalah sebesar 3% (b/v) (Abubakar, 2009). Proses produksi yoghurt berlangsung hingga penampakan fisik susu berubah menjadi terkoagualasi sempurna menyerupai bentuk yoghurt, tanpa terjadi wheying off (sineresis). Komposisi bahan pengisi enkapsulan terpilih (pada penelitian sebelumnya) diaplikasikan untuk produksi yoghurt. Selanjutnya, yoghurt yang terbentuk diuji secara kuantitatif dengan membandingkan karakteristiknya dengan yoghurt yang dihasilkan dari kultur kerja sel bebas dan kultur kerja starter komersil (yogourmet). Pengujian dilakukan dengan tiga kali ulangan dan tiga taraf dalam satu perlakuan (perbedaan bahan pembentuk). Tiga taraf dalam perlakuannya yaitu berdasarkan bahan pembentuk starter antara lain adalah; (1) starter (beads kering) bahan enkapsulan terpilih (2) starter sel bebas (3) starter komersil (yogourtmet). Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor analisis varian (ANOVA) menggunakan software statistik. Perbandingan nilai rata-rata dianalisis kembali menggunakan uji lanjut Duncan. Probability level α = 0.05 digunakan untuk mengindikasikan signifikansi perlakuan terhadap hasil (respon) dengan model perhitungan statistik sebagai berikut. Yij= µ+α i+ɛij i = (1) starter dengan bahan pengisi enkapsulan terpilih (2) starter sel bebas (3) starter komersil j = 1,2,3 Keterangan: Yij : karekteristik yoghurt pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ : rataan umum αI : perlakuan ke-i bahan pembentuk starter ɛij : komponen acak bahan pembentuk starter ke-I dan ulangan ke-j Parameter pengujian yoghurt meliputi uji pH, TA (Total Asam), viskositas serta viabilitas selnya melalui uji TPC (Lampiran 1). Pengujian kualitatif yoghurt dari perlakuan terpilih (pada penelitian sebelumnya) dilakukan dengan uji organoleptik (panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 25 orang, pegawai Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Cimanggu-Bogor) untuk mengukur tingkat
24
kesukaan panelis meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur yoghurt pada skala hedonik yaitu sangat suka (7), suka (6), agak suka (5), netral (4), agak tidak suka (3), tidak suka (2), sangat tidak suka (1).
25
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PEMILIHAN METODE ENKAPSULASI Penurunan viabilitas bakteri asam laktat produk terfermentasi dalam penanganan dan penyimpanannya dapat menurunkan kualitas produk. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan tersebut adalah keasaman (pH dan total asam), hidrogen peroksida, kandungan oksigen terlarut, konsentrasi asam laktat dan asam asetat dalam produk terfermentasi, suhu penyimpanan dan serta konsentrasi protein whey (Dave dan Shah, 1997; Kailasaphathy dan Supriadi, 1996; Lankaputra, et al., 1996). Salah satu upaya menjaga viabilitas bakteri asam laktat dengan enkapsulasi. Enkapsulasi cenderung menstabilisasi sel, berpotensi meningkatkan viabilitas dan stabilitas selama produksi, penyimpanan dan penanganan kultur bakteri asam laktat. Enkapsulasi adalah suatu teknologi untuk mengemas material padatan, cairan, atau gas dalam miniatur, kapsul yang dapat mengeluarkan isi atau kandungannya dibawah kondisi spesifik yang terkontrol (Rokka dan Pirjo, 2010). Teknik enkapsulasi yang umum digunakan antara lain; ekstrusi, emulsi, spray drying (Anal dan Sigh, 2007). Pemilihan teknik enkapsulasi yang tepat dapat mempengaruhi viabilitas bakteri terenkapsulasi dan properti sensori produk. Besarnya viabilitas bakteri yang dienkapsulasi dengan teknik emulsi sebesar 80-95% (Krasekoopt et al., 2002) dan kecilnya ukuran beads basah yang dihasilkan berkisar antara 20µm-2mm ( Krasaekoopt et al., 2003) serta kemudahannya untuk di scale up, maka atas pertimbangan itulah pada penelitian ini dipilih teknik enkapsulasi secara emulsi. Modifikasi metode enkapsulasi secara emulsi pada penelitian ini dilakukan pada cara pemasukan larutan CaCl2 dan lama waktu gelifikasi. Cara pemasukan larutan CaCl2 dilakukan dengan menggunkan syringe pada jarak tetes tertentu dari larutan alginat-minyak. Penentuan ukuran diameter syringe dan jarak tetes dilakukan untuk mengetahui rendemen terbesar beads yang dapat dihasilkan. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran 2.
Gambar 12. Rendemen beads alginat 4% yang dihasilkan oleh diameter syringe 20 G, 22G, 23G, 26G, dan 27 G pada jarak tetes 1cm dan 10 cm dari larutan emulsi alginat-minyak
26
Berdasarkan perhitungan statistik (Lampiran 3) diketahui bahwa perlakuan jarak tetes dan ukuran dimeter syringe terhadap rendemen tidak berbeda nyata (P>0.05), sehingga pemilihan ukuran diameter syringe dan jarak tetes terbaik dilakukan melalui pendekatan jumlah rendemen tertinggi yaitu diameter syringe 23 G (0.573 mm) dan jarak tetes 10 cm dari larutan emulsi alginat-minyak. Adapun emulsifikasi (water in oil) pada proses enkapsulasi yang terbentuk dengan menggunakan ukuran diameter syringe dan jarak tetes yang terbaik disajikan pada Gambar 13.
(a)
(b)
(c)
Gambar 13. (a) emulsifikasi setelah 20 menit pengadukan menggunakan mixer 400rpm (b) stabilitas emulsi sesaat setelah ditambahkan CaCl2 (c) stabilitas emulsi setelah waktu gelifikasi 30 menit (keterangan: warna hijau merupakan minyak dan warna coklat merupakan alginat) Waktu gelifikasi pada metode emulsi Shue dan Marshal (1993) dilakukan selama waktu 30 menit tanpa menggunakan shaker. Sedangkan pada penelitian ini dilakukan selama 24 jam menggunakan shaker. Pemilihan waktu ini dikarenakan beads kalsium-alginat yang dihasilkan relatif lebih kompak dibanding dengan beads yang dihasilkan dari waktu gelifikasi 30 menit. Hal ini terjadi karena Ca 2+ memiliki dua ion positif akan bergabung dalam dua gugus karboksil dan molekul algin, disamping itu ikatan sekunder mungkin saja terjadi diantara ion kalsium dan gugus hidroksil polimer alginat. Hal tersebut yang menyebabkan penambahan sodium alginat dengan larutan CaCl2 menghasilkan gumpalan dengan ikatan silang yang bersifat hidrofob (Winarno, 1996). Oleh karena itu, semakin lama waktu gelifikasi yang diberikan semakin kuat ikatan menyilang antara ion kalsium dan algin. Selain itu, pada pengamatan tampak bahwa beads basah yang terbentuk dari waktu gelifikasi 30 menit belum sempurna mengendap pada dasar lapisan kalsium klorida (Gambar 14a), sedangkan pada waktu gelifikasi 24 jam, beads kalsiumalginat berada pada dasar lapisan kalsium klorida (Gambar 14b).
(a) (b) Gambar 14. Pemisahan beads basah yang dihasilkan dengan waktu gelifikasi 30 menit (a) dan waktu gelifikasi 24 jam (b)
27
Enkapsulasi teknik emulsi dilakukan dengan menjerap bakteri dalam matriks alginat dengan sistem water in oil (Gambar 13). Penjerapan bakteri dalam matriks gel alginat adalah sistem imobilisasi bakteri yang umumnya digunakan (Champagne et al., 1994). Alginat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi bakteri probiotik dalam yoghurt dibandingkan bahan enkapsulan protein whey (Kailasapathi dan Sureeta, 2004). Selain itu, enkapsulasi menggunakan alginat dapat meningkatkan ketahanan bakteri sebesar 1 log cfu/ml dibandingkan dengan sel bebas selama penyimpanan di skim milk (Talwalkar dan Kailasapathi, 2003). Selain pemilihan teknik yang tepat pemilihan bahan pengisi enkapsulan yang tepat dalam enkapsulasi perlu dilakukan. Bahan pengisi enkapsulan yang digunakan adalah berbasis pati. Pati terdiri dari unit D-glukosa yang bergabung dengan ikatan glikosidik. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa beberapa Bifidobacteria mampu menempel pada granul pati, sehingga pati dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam teknik enkapsulasi (Critenden et al., 2001). Bahan pengisi berbasis pati yang digunakan yaitu high amylose corn starch (Hi-Maize) dan maltodekstrin. Total padatan komposisi bahan enkapsulan dan pengisi yang digunakan sebesar 4%, mengacu pada hasil penelitian Mandal et al. (2005) yang menunjukkan bahwa ketahanan bakteri L. casei NCDC-298 yang dienkapsulasi menggunakan metode emulsi pada pH rendah, konsentrasi garam empedu yang tinggi dan selama perlakuan panas memberikan hasil maksimal sebanding dengan peningkatan konsentrasi alginat yang digunakan. Penentuan komposisi bahan pengisi enkapsulan high amylose corn starch (Hi-Maize) dengan alginat adalah 2% : 2%. Sultana et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan komposisi high amylose corn starch sampai dengan diatas 2% cenderung dapat menurunkan rendemen beads yang terbentuk dan viabilitas bakteri terenkapsulasi. Komposisi ini dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik terenkapsulasi 0.5 log cfu/ml, dibanding bakteri probiotik yang tak terenkapsulasi pada yoghurt selama 8 minggu penyimpanan. Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 4) rendemen yang dihasilkan dari komposisi alginat 2% : high amylose corn starch 2% sebesar 21.31%. Besar rendemen beads basah yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sultana et al. (2000) sebesar 60%. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan kondisi proses dan jenis high amylose corn starch yang digunakan. Menurut metode emulsi Shue dan Marshal (1993) pemisahan beads basah dari lapisan larutan CaCl2 dilakukan dengan sentrifugasi. Pada penelitian ini metode pemisahan dilakukan dengan shaker dan penyaringan. Penyaringan yang kurang akurat dapat menyebabkan loss pada hasil beads basah. Perlakuan yang diberikan memberikan bentuk beads basah yang tidak seragam. Beads basah yang terbentuk (Gambar 15) berbentuk bulat pipih, terkadang cembung dan globular. Ukuran beads basah yang dihasilkan berkisar antara 0.77-0.89 mm. Bentuk beads yang dihasilkan berbeda dengan hasil penelitian Sultana et al. (2000) dan Hamayouni (2003) yang berbentuk bola. Sedangkan ukuran beads yang terbentuk sesuai dengan ukuran beads yang dihasilkan pada penelitian Sultana et al. (2000) sebesar 0.5-1mm dan lebih besar dibandingkan ukuran beads yang dihasilkan pada penelitian Hamayouni (2003) sebesar 17.8µm. Castila et al., (2010) menyatakan bahwa viabilitas bakteri Lactobacillus casei dalam yoghurt dan simulasi asam lambung meningkat seiring ukuran beads yang dihasilkan.
28
Gambar 15. Bentuk beads basah alginat 2%: high amylose corn starch 2% Penentuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat dilakukan untuk menentukan komposisi terbaik yang menghasilkan rendemen terbesar. Parameter penentuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat adalah secara kuantitatif (rendemen dan ukuran beads) dan kualitatif (bentuk beads). Adapun hasil kedua parameter pengamatan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Parameter kuantatif dan kualitatif perlakuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat Komposisi alginat: maltodekstrin 1% : 3% 1.33% : 2.67% 2% : 2% 2.67% : 1.33% 3% : 1% 4% : 0%
Rendemen (%) 7.63±0.90e 12.99±1.77 d 19.89±1.38 c 21.54±0.63 bc 23.75±1.68 b 28.82±1.18 a
Ukuran beads (mm) 0.42±0.07 c 0.60±0.04 bc 0.72±0.12 ab 0.81 ± 0.06 a 0.81 ± 0.20 a 0.99 ± 0.18 a
Bentuk beads Globular Globular Cembung Cembung Cembung Cembung
* Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P <0.05) * Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0.05)
Hasil analisis statistik (Lampiran 5 dan Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rendemen dan ukuran beads basah. Berdasarkan uji Duncan rendemen beads basah yang dihasilkan perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 2%:2% dan 3%:1% terhadap 1%: 3%, 1.33%: 2.67% dan 4%:0% menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) namun berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 2.67%:1.33%. Ukuran beads basah yang dihasilkan pada perlakuan ini tidak seragam (Gambar 16). Ukuran beads basah komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 1%: 3% menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) terhadap 1.33%: 2.67%, 2%:2%, 2.67%: 1.33%, 3%:1% dan 4%:0%, namun berbeda tidak nyata terhadap komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 1.33%:2.67%. Rendemen berkorelasi positif dengan respon ukuran beads basah yang dihasilkan. Rendemen dan ukuran beads meningkat seiring peningkatan konsentrasi alginat yang digunakan. Lee dan Heo (2000) menyatakan bahwa laju kematian B. longum terenkapsulasi alginat turun seiring peningkatan ukuran kapsul dan konsentrasi alginat. Hal ini sesuai dengan hasil bahwa ukuran beads yang terbentuk semakin meningkat seiring meningkatnya konsentrasi alginat, namun pada perlakuan alginat 3 % : maltodekstrin 1% menunjukkan bahwa ukuran beads basah yang terbentuk sama dengan perlakuan alginat 2.67% : maltodekstrin 1.33%. Hal ini kemungkinan karena alginat yang sudah jenuh, sehingga ukuran yang
29
terbentuk menjadi sama. Hasil penelitian ukuran beads basah alginat 4% lebih besar dibandingkan dengan penelitian Purwadhani et al. (2007) yang menggunakan bahan enkapsulan alginat 3% (tanpa bahan pengisi) sebesar 50-100µm. Hal ini kemungkinan diakibatkan lama waktu gelifikasi yang relatif singkat (10 menit) pada alginate 3% dibandingkan alginat 4% (24 jam). Robinson (1987) menyatakan gel yang lebih homogen dan stabil dapat diperoleh melalui pendinginan yang lambat larutan alginat dengan adanya ion kalsium. Secara keseluruhan perlakuan menunjukkan bahwa ukuran beads yang dihasilkan sesuai dengan rentang ukuran beads yang terbentuk dengan metode emulsi yaitu sebe sar 25µm-2mm (Krasekopt et al., 2002). Chandramouli et al. (2004) menyatakan bahwa viabilitas Lactobacillus terenkapsulasi dalam simulasi getah lambung meningkat dengan meningkatnya ukuran kapsul (200-1000µm). Maka, perlakuan yang menghasilkan ukuran beads terbesar digunakan untuk untuk perlakuan berikutnya. Parameter kualitatif menunjukkan bahwa bentuk beads yang dihasilkan oleh komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 1%: 3% dan 1.33%: 2.67% berbentuk globular dan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 2%:2%, 2.67%:1.33%, 3%:1% dan 4%:0% berbentuk cembung. Perubahan bentuk beads basah dari globular menjadi cembung saat komposisi alginat 2% : maltodekstrin 2%. Perubahan ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh semakin tingginya komposisi maltodekstrin, maka semakin rendah komposisi alginat, sehingga matriks alginat yang berikatan dengan Ca2+akan melemah, sehingga bentuk beads basahnya berubah. Berdasarkan parameter secara kuantitatif dan kualitatif (Tabel 5) yang dihasilkan maka komposisi alginat 3%: maltodekstrin 1% dipilih untuk perlakuan selanjutnya. Alginat 4% (menghasilkan rendemen terbesar) akan diuji sebagai kontrol dalam perlakuan selanjutnya. Berikut disajikan bentuk beads basah terpilih pada perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin pada Gambar 16.
(a) (b) Gambar 16. Bentuk beads basah yang dihasilkan dari (a) alginat 3%: maltodekstrin 1% (b) alginat 4% Penentuan waktu pengeringan terbaik dilakukan pada komposisi bahan pengisi enkapsulan terbaik (alginat 2%: high amylose corn starch 2% dan alginat 3%: maltodekstrin 1%) serta alginat 4% tanpa bahan pengisi (sebagai kontrol). Pengeringan dilakukan menggunakan oven suhu 40oC hingga berat beads kering tersebut stabil. Pemilihan suhu 40 oC disesuaikan dengan rentang suhu hidup bakteri yang akan dienkapsulasi yaitu Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Menurut Chitow dan Tranev (1990) bahwa suhu optimal pertumbuhan Streptococcus thermophilus adalah 37 – 45 oC, sedangkan suhu optimal Lactobacillus bulgaricus 40 – 45 oC (Hutkins dan Nannen, 1993). Presentase penurunan berat beads basah tiap jamnya pada tiga perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan disajikan pada Gambar 17 dan Lampiran 7.
30
Gambar 17. Presentase penurunan berat beads basah setiap jamnya selama pengeringan oven 40oC Berdasarkan laju pengeringan (Gambar 17) diketahui bahwa ketiga perlakuan menunjukkan berat yang konstan pada jam ke-dua. Pemilihan waktu tersebut turut pula dilatarbelakangi oleh hadirnya hidrogenperoksida (H2O2) akibat beads basah (yang nantinya berisi mikroba) kontak dengan oksigen selama proses pengeringan menggunakan oven 40oC. Garbut (1997) menyatakan bahwa masuknya oksigen dalam sel bakteri dapat menyebabkan terbentuknya superoksida dan hidroperoksida yang akan merusak DNA bakteri. Waktu pengeringan terbaik akan digunakan untuk penelitian selanjutnya. Karakteristik beads kering (setelah dua jam pengeringan) pada masing- masing perlakuan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 18. Tabel 6. Karakteristik beads kering ketiga bahan pengkapsul dan pengisi enkapsulan Alginat 2%: high Karakteristik bahan pengkapsul dan Alginat 3%: amylose corn starch Alginat 4% pengisi enkapsulan maltodekstrin 1% 2% Bentuk bulat pipih bulat pipih bulat pipih Warna putih coklat muda coklat tua Kelarutan dalam media fermentasi tidak larut tidak larut tidak larut Kadar air beads basah (%) 70.9 ± 6.596 88.41 ± 2.188 88.68 ± 2.782 Kadar air beads kering (%) 7.43 ± 0.48 9 ± 0.87 6.62 ± 0.31 Rendemen beads kering (%) 13.19 ± 1.12 3.73 ± 0.87 4.81 ±1.24
31
(a)
(b)
(c)
Gambar 18. Karakteristik beads kering dari komposisi (a) alginat 2%: pati resisten jagung 2% (b) alginat 3%: maltodekstrin 1% (c) alginat 4% setelah pengeringan dua jam dengan oven 40oC Berdasarkan Tabel 6, komposisi bahan enkapsulan dan pengisinya alginat 3% : maltodekstrin 1% memiliki kadar air tertinggi. Hal ini dipengaruhi oleh sifat umum maltodekstrin yang memiliki daya dispersi yang cepat dan daya larut yang tinggi (Blancard dan Katz, 1995). Jika suatu bahan memiliki daya larut yang tinggi maka daya ikat antar komponennya rendah, sehingga banyak pula air yang terikat oleh ikatan matrik alginat dan maltodekstrin terlepaskan saat pengeringan, sehingga kadar air komposisi ini tinggi.
4.2. ENKAPSULASI STARTER YOGHURT 4.2.1. Persiapan Mikroba Biomassa sel Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus yang digunakan sebagai bahan baku untuk enkapsulasi mikroba berasal dari intermediate culture sedangkan biomassa sel yang digunakan sebagai starter bebas (tidak terenkapsulasi) berasal dari kultur kerja (media susu pasteurisasi yang mengandung 2% skim). Sebelum digunakan dalam enkapsulasi, morfologi bakteri diuji lebih dahulu dengan uji pewarnaan untuk mengetahui kemurnian kultur. Hasil uji pewarnaan mikroba disajikan pada Gambar 19 dibawah ini.
(a)
(b)
Gambar 19. Morfologi (a) Streptococcus thermophilus dan (b) Lactobacillus bulgaricus hasil uji pewarnaan methylene blue menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000 kali
32
Berdasarkan Gambar 19 di atas tampak bahwa Streptococcus thermophilus memiliki morfologi coccus (bulat), membentuk rantai dan Lactobacillus bulgaricus berbentuk bacil (batang). Menurut Chaitow dan Tranev (1990) Streptococcus thermophilus berbentuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µm dan kadang-kadang berbentuk rantai. Menurut Hutkins dan Nannen (1993) bakteri asam laktat yang bersifat anaerob, berbentuk batang, koloninya berbentuk pasangan, dan rantai sel-selnya bersifat homofermentatif adalah Lactobacillus bulgaricus. Berdasarkan hasil uji pewarnaan ini maka kultur yang digunakan bersifat murni. Kultur murni ini kemudian dipropagasi hingga didapatkan intermediate culture, yang selanjutnya digunakan dalam produksi biomassa sel terenkapsulasi. Pengujian viabilitas mikroba dilakukan sebelum digunakan pada proses enkapsulasi. Hasil pengujian viabilitas bakteri asam laktat menunjukkan bahwa Streptococcus thermophilus sebesar 9.85x108 cfu/ml dan Lactobacillus bulgaricus sebesar 1.71 x108 cfu/ml. Kultur yang akan dienkapsulasi dikombinasi dengan perbandingan 1:1 (volume dan populasinya) dan dipropagasi pada media MRSB hingga bakteri mencapai fase awal eksponensial. Pemilihan waktu awal fase eksponensial dikarenakan pada fase tersebut mikroba mulai membelah diri dengan kecepatan rendah pada fase adaptasi ini (Fardiaz, 1988). Enkapsulasi pada awal fase eksponensial diharapkan dapat mempercepat bakteri untuk lepas dari bahan enkapsulan dan dapat memfermentasi susu dengan optimal. Menurut Rahman (1988) inokulum bakteri sebaiknya diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada saat sel aktif melakukan metabolisme (fase pertumbuhan eksponensial). Pada fase eksponensial, mikroba membelah dengan cepat dan konstan mengikuti kurva logaritmik. Pola pertumbuhan pada fase ini sangat dipengaruhi oleh kondisi medium pertumbuhan seperti pH dan kandungan nutrient juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara. Pada fase ini mikroba membentuk enersi lebih banyak dibandingkan fase lainnya (Fardiaz, 1988). Menurut Tamime dan Robinson (1999) dan Suprihanto (2009), waktu awal eksponensial untuk kultur campuran Streptococcus thermophilus dengan Lactobacillus bulgaricus dimulai pada jam ke dua. Jumlah bakteri tersebut (mix culture Streptococcus thermophilus dengan Lactobacillus bulgaricus) setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 jam berjumlah 4.25x108 cfu/ml. Bakteri yang dipanen pada awal fase eksponensial kemudian dienkapsulasi. Populasi inokulum yang dimasukkan dalam larutan alginat adalah sebesar 0.1% (Sultana et al., 2000) yaitu sebesar 4.25x105 cfu/ml.
4.2.2. Enkapsulasi Starter Yoghurt dengan Komposisi Bahan Pengisi Enkapsulan Berbasis Pati Perlindungan tubuh bakteri dari lingkungan yang ekstrim selama penanganan dan penyimpanannya dapat dilakukan secara alamiah oleh suatu bakteri. Enkapsulasi terjadi secara alami pada bakteri ketika sel bakteri tumbuh dan memproduksi EPS (eksopolisakarida) dengan pembentukan kapsul pelindung, mengurangi permeabilitas material yang melewati kapsul guna mengurangi pengaruh lingkungan terhadap ketahanan bakteri, namun jumlah sistesis eksopolisakarida yang dihasilkan kurang untuk melindungi diri mereka dari lingkungannya (Shah, 2002). Enkapsulasi menggunakan enkapsulan, membantu bakteri terlindung dari lingkungannya sebelum bakteri tersebut release ke lingkungannya (Kailasaphati, 2002). Enkapsulasi kultur campuran (mixed culture Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) dilakukan dengan metode emulsi hasil penelitian sebelumnya dengan menjaga kondisi gelifikasi pada suhu rendah, dengan cara membungkus gelas piala dengan jel es (ice gel) agar relatif dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Rahman et al. (1991) menyatakan bahwa bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus tidak tumbuh pada suhu 10oC.
33
Struktur yang terbentuk dari proses enkapsulasi, yang berada di luar core ( bakteri yang dilindungi) disebut wall. Sistem dalam wall dibentuk untuk melindungi core dan melepaskan core di bawah kondisi spesifik selama keluar-masuknya molekul yang melewati membran (Franjone dan Vasishtha, 1995 dalam Kaliaspathy, 2002). Bahan enkapsulan yang digunakan adalah alginat dan bahan pengisi berbasis pati. Bahan pengisi yang digunakan yaitu high amylose corn starch dan maltodekstrin, mengandung oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat dan pencernaan tidak mengalami gangguan. Bahan pengisi tersebut berfungsi sebagai substrat bagi bakteri untuk melakukan anabolisme dan tidak sebagai substrat bakteri dalam melakukan katabolisme. Kaplan dan Hutkins (2000) menyatakan bahwa bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus bukan merupakan bakteri pemfermentasi oligosakarida khusunya golongan fruktooligosakarida, oleh karena itu bakteri hanya memanfaatkan bahan pengisi sebagai substrat anabolisme. Komposisi bahan enkapsulan yang digunakan untuk proses enkapsulasi merupakan bahan enkapsulan beserta bahan pengisi yang terpilih (pada penelitian sebelumnya) yaitu alginat 2%: high amylose corn starch 2%; alginat 3%: maltodekstrin 1%, dan alginat 4%. Jumlah bakteri yang berhasil dijerap pada beads basah dan beads kering adalah sebagai berikut pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah bakteri terenkapsulasi dalam beads basah dan beads kering Kultur awal (cfu/g) Perlakuan komposisi bahan pengisi (basis kering) enkapsulan Beads basah Beads kering alginat 2% : high amylose corn starch 2%
(5.97±0.54) x106
(1.35±0.9) x105
alginat 3%: maltodekstrin 1%
(6.52 ±0.03) x106
(6.35±3) x105
alginat 4%
(1.77±0.21) x107
(1.8±2.12) x105
* Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P <0.05) * Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0.05)
Berdasarkan hasil statistik (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan terhadap jumlah bakteri dalam beads basah tidak berbeda nyata (P>0.05). Viabilitas bakteri terenkapsulasi tertinggi ditunjukkan oleh bakteri yang dijerap dalam matrik alginat 4% (tanpa bahan pengisi) dan viabilitas terendah oleh alginat 2% : high amylose corn starch 2%. Hal ini menunjukkan viabilitas bakteri dipengaruhi oleh konsentrasi alginat yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi alginat, maka viabilitas bakteri yang dijerappun semakin tinggi. Mandal et al. (2005) menyatakan bahwa viabilitas bakteri meningkat seiring peningkatan konsentrasi alginat, jumlah viabilitas bakteri tertinggi ditunjukkan oleh bakteri yang dijerap dengan matrik alginat 4% sebesar 10 9cfu/g . Hasil yang diperoleh (Tabel 7) menunjukkan bahwa penggunaan bahan pengisi high amylose corn starch dapat meningkatkan viabilitas bakteri dibandingkan dengan sel bebas. Penggunaan Hi-Maize dalam enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas bakteri dibandingkan tanpa penggunaan Hi-Maize (Sultana et al., 2000; Iyer dan Kailasapathy, 2005;). Sultana et al. (2000) menyatakan penambahan high amylose corn starch hingga 2% dapat meningkatkan viabilitas bakteri Lactobacillus casei hingga 4.5x1011cfu/g. Jownonski et al. (1997) menambahkan bahwa kapsul alginat/starch memiliki kemampuan mengkapsul Lactobacillus acidophilus tanpa menurunkan viabilitas bakteri dan kemampuan memfermentasinya. Viabilitas bakteri yang dijerap dengan alginat 2% : high amylose corn starch 2% sebesar 5.97x106 cfu/g.
34
Hasil ini lebih kecil jika dibandingkan dengan Sultana et al. (2000) yang mampu menjerap bakterinya hingga 1011 cfu/g. Hal ini kemungkinan terjadi karena ditambahkannya gliserol dalam inokulum sebelum dienkapsulasi. Khalil dan Mansour (1998) dalam Rokka dan Pirjo (2010) menyatakan bahwa penambahan skim milk, gliserol dan adonitol dapat memberikan perlindungan terhadap bakteri. Sultana et al. (2000) menyatakan bahwa penambahan gliserol ke dalam larutan alginat sebelum enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas bakteri 100-fold dibandingkan jika bakteri hanya dikapsul dengan alginat atau alginat dan pati saja. Secara keseluruhan, semua perlakuan yang diberikan memberikan peningkatan viabilitas bakteri dibandingkan dengan sel bebas (sebelum dienkapsulasi) yaitu 4.25x105 cfu/ml. Hasil ini mengindikasikan adanya suatu sinergisme antara high amylose corn starch dan maltodekstrin dengan kalsium – alginat selama pembentukan enkapsulasi yang mengakibatkan adanya sistem perlindungan bakteri mix culture Streptococcus thermophilus dengan Lactobacillus bulgaricus . Berdasarkan hasil statistik (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan terhadap jumlah bakteri dalam beads kering tidak berbeda nyata (P>0.05). Viabilitas bakteri selama pengeringan oven 40oC mengalami penurunan. Pada beads kering alginat 2%: high amylose corn starch 2% jumlah bakteri mengalami penurunan 5.82x106 cfu/g, beads kering alginat 3%: maltodekstrin 1% mengalami penurunan 5.84x106 cfu/g dan 1.75x 107 cfu/g pada perlakuan alginat 4%. Penurunan jumlah bakteri terbesar tampak pada bahan enkapsulan alginat 4%, namun penuruanan ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Purwadani et al. (2007) yang mengalami penurunan 1.26x1010cfu/ml setelah mengalami perlakuan panas 50oC selama 15 menit. Penurunan dimungkinkan terjadi akibat kontak antara bakteri yang terenkapsulasi dengan oksigen selama proses pengeringan oven 40oC. Naidu dan Clemens (2000) menjelaskan bahwa pada kondisi aerob, BAL mampu memproduksi hidrogen peroksida melalui transport aktif dengan bantuan enzim flavin. Hidrogen peroksida dapat merusak susunan mambran lipid dan meningkatkan permeabilitas membran, hal ini merupakan efek bakterisidal dengan mengoksidasi sel bakteri dan menyebabkan kerusakan asam nukleat dan protein sel. Condon (1987) dalam Talwalkar dan Kailasapathy (2004) menyatakan bahwa akumulasi hidrogen peroksida (H2O2) dalam pertumbuhan aerob dapat menghambat pertumbuhan beberapa Lactobacilli. Talwalkar dan Kailasapathy (2004) melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi oksigen seiring dengan penurunan asam laktat di L.acidophilus saat perbandingan laktat dengan asetat di Bifidobakteria menurun. Mikrokapsul dapat pula dikeringkan dengan spray drying dan freeze drying. Penambahan bahan protectan dalam pengeringan spray dan freeze drying dapat dilakukan untuk meningkatkan viabilitas bakteri (Anal dan Sigh, 2007). Skim milk merupakan protectan yang umumnya digunakan dalam spray drying , karena skim milk dinilai merupakan wall yang lebih baik dibanding gelatin, pati terlarut, dan gum arabic (Lian et al., 2002 dalam Rokka dan Pirjo, 2010). Proses spray drying dikontrol dengan cara pemasukan produk, aliran gas dan suhu. Pengeringan menggunakan spray drying memiliki kelemahan yaitu rendahnya viabilitas bakteri yang dihasilkan dan rendahnya stabilitas bakteri selama penyimpanan (Ananta et al., 2005 dalam Rikko dan Pirjo, 2010). Kim dan Bhowmik (1995) menyatakan bahwa laju ketahanan bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus pada pengeringan freeze drying sama menurun seperti spray drying. Penelitian Harmayani et al. (2001) melaporkan bahwa pengeringan bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dengan spray drying secara berturut turut mengalami penurunan sebesar 3.7x1010cfu/g dan 2.9x1011cfu/g. Besarnya penurunan viabilitas bakteri diakibatkan oleh adanya dehirasi (penurunan Aw) dan inaktivasi panas (Johnson dan Etzel, 1995). Menurut Texeria et
35
al. (1995) hilangnya viabilitas sel selama spray drying juga berhubungan dengan kerusakan komponen sel, membrane sel, dinding sel dan DNA. Sedangkan pengeringan dengan menggunakan freeze drying dilaporkan menyebabkan penurunan bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus secara berturut turut sebesar 1010cfu/g dan 2.2x1011cfu/g. Penurunan viabilitas bakteri diakibatkan pada tahap pendinginan sel dan medium untuk mencapai titik pembekuan, pembentukan es intra dan ekstra seluler, meningkatnya konsentrasi solute, lama penyimpanan dan thawing, selain itu disebabkan oleh pengurangan air dalam proses pengeringan (Johnson dan Etzel, 1995). Secara keseluruhan, enkapsulasi bakteri asam laktat memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan dengan sel bebas yang mengalami pengeringan dengan spray drying dan freeze drying. Hasil ini dikarenakan enkapsulasi mencegah kematian sel dari toksisitas bakteri, bead gel alginat menghambat difusi oksigen melalui gel, menciptakan lingkungan anoxic di dalam bead (Talwalkar dan Kailasapathy, 2003).
4.3. APLIKASI BAKTERI TERENKAPSULASI 4.3.1. Pembuatan Kultur Kerja Yoghurt Aplikasi bakteri terenkapsulasi (beads kering) untuk produksi yoghurt diawali dengan pembuatan kultur kerja. Hal ini dimaksudkan agar bakteri terenkapsulasi dapat beradaptasi terlebih dahulu pada media produksi yoghurt. Menurut Rahman (1988) fase adaptasi dapat dikurangi sampai serendah-rendahnya jika komposisi media inokulum yang digunakan sama dengan komposisi media fermentasi, sehingga media cair dengan kultur yang telah aktif kemungkinan dapat mempercepat waktu pembentukan yoghurt. Jumlah inokulum yang ditambahkan pada pembuatan kutur kerja sebesar 0.5% beads kering disesuaikan dengan aplikasi starter komersil (yogourmet) untuk produksi yoghurt. Parameter yang diamati pada pembuatan kultur kerja adalah waktu koagulasi, pH, total asam dan total bakteri. Hasil pengujian karakteristik kultur kerja disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil pengujian kultur kerja Perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan
Waktu koagulasi (jam)
pH
alginat 2% : high amylose corn starch 2%
13.00±0.71(b)
5.86±0.02(a)
0.33±0.05(a)
(3.58±0.3) x108
alginat 3%: maltodekstrin 1%
9.74±0.37(a)
5.71±0.07(b)
0.38±0.04(b)
(1.13±0.35) x108
alginat 4%
10.75±0.35(a)
5.95±0.01(a)
0.33±0.01(a)
(3.4±2.1) x108
Total asam (%)
Total bakteri (cfu/ml)
* Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P <0.05) * Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0.05)
Hasil statistik menunjukkan bahwa perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan berpengaruh nyata terhadap waktu koagulasi (Lampiran 10), pH (Lampiran 11), dan total asam (Lampiran 12), namun berpengaruh tidak nyata terhadap total bakteri (Lampiran 13). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang
36
diberikan mempengaruhi karakteristik sensorik (pH dan total asam) dan kualitas (waktu koagulasi) kultur kerja, serta tidak mempengaruhi kualitas secara mikrobiologis pada kultur kerja yang dihasilkan. Waktu koagulasi merupakan waktu yang dibutuhkan bagi bakteri (starter) mengubah laktosa menjadi koagulan. Tamime dan Robinson (1999) menyatakan bahwa koagulasi terjadi akibat bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus memfermentasi laktosa menjadi asam laktat, sehingga kasein berubah menjadi gel, terkoagulasi. Beradasarkan uji Duncan (Tabel 8) diketahui bahwa waktu koagulasi alginat 3% : maltodekstrin 1% berbeda nyata dibandingkan dengan alginat 2% : high amylose corn starch 2% dan tidak berbeda nyata dengan alginat 4%. Waktu koagulasi dipengaruhi oleh kandungan bakteri dalam starter yang digunakan. Tamime dan Robinson (1999) menyatakan semakin besar jumlah bakteri dalam starter yang diinokulasikan dalam yoghurt maka semakin cepat pula waktu fermentasi yang dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh (Tabel 8) bahwa bakteri terenkapsulasi alginat 3% : maltodekstrin 1% memiliki jumlah bakteri terbesar pada beads kering dan menghasilkan kultur kerja dengan waktu koagulasi tercepat. Secara keseluruhan waktu koagulasi yang dibutuhkan untuk membentuk kultur kerja lebih lama dibandingkan dengan sel bebas. Sel bebas memerlukan waktu 8 jam untuk membentuk kultur kerja. Sultana et al. (2000) menyatakan bahwa sel terenkapsulasi memerlukan waktu yang lebih lama dibanding dengan sel bebas untuk mencapai pH yang sama. Larisch et al. (1994) menyatakan bahwa bakteri terenkapsulasi alginat/ poli-L-lisin memerlukan waktu 17% lebih lama dibandingkan dengan sel bebas untuk mencapai pH 4.5. Hal ini disebabkan matriks enkapsulan merupakan dinding pelindung yang semipermiabel, berbentuk bola, tipis dan merupakan membran yang kuat, sehingga bakteri tertahan dalam matriks enkapsulan (Jankownski et al., 1997). Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang lebih lama oleh bakteri untuk release ke media fermentasi dan melakukan aktifitas fermentasi. Chan et al.(2010) menambahkan bahwa matriks alginat-starch memiliki karakteristik yang rendah daya serapnya, sehingga alginat 2% : high amylose corn starch 2% membutuhkan waktu koagulasi yang lebih lamadibandingkan dua perlakuan lain. Semakin lama waktu koagulasi yang dibutuhkan maka semakin banyak pula jumlah mikroba yang terdapat pada kultur kerja. Astawan (2008) dalam Kunaepah (2008) menyatakan bahwa semakin lama fermentasi maka mikroorganisme berkembangbiak semakin banyak. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh (Tabel 8) bahwa bakteri terenkapsulasi alginat 3% : maltodekstrin 1% yang menghasilkan kultur kerja dengan waktu koagulasi tercepat memiliki jumlah bakteri terkecil pada kultur kerjanya dan bakteri terenkapsulasi alginat 2% : high amylose corn starch 2% yang menghasilkan kultur kerja dengan waktu koagulasi terlambat memiliki jumlah bakteri terbesar pada kultur kerjanya. Lama waktu koagulasi berpengaruh pula terhadap asam laktat yang dihasilkan. Astawan (2008) dalam Kunaepah (2008) menyatakan bahwa semakin lama fermentasi maka kemampuan mikroba memecah glukosa menghasilkan metabolit primer (asam laktat dan alkohol) dan metabolit sekunder (aktivitas antibakteri dan polifenol) semakin banyak. pH kultur kerja yang dihasilkan (Tabel 8) minimum mencapai pH 5.7 dan tertinggi 5.9 serta nilai total asam yang tidak sesuai dengan SNI 2981:2009 sebesar 0.5-2%, sehingga menyebabkan rasa kultur kerja kurang asam. Flavour dan mutu yoghurt banyak berhubungan dengan proses fermentasi dari starter yang digunakan. Starter yang digunakan dalam pembuatan kutur kerja berupa beads kering yang merupakan enkapsulasi bakteri Streptocosccus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus yang telah mengalami proses pengeringan. Franjone dan Vasishtha (1995) dalam Kaliaspathy (2002) menyatakan bahwa material penyelubung dalam proses
37
enkapsulasi berfungsi sebagai pelindung dan barier bakteri di dalamnya untuk tidak release keluar. Sehingga kemungkinan bakteri tidak bekerja optimal memfermentasi laktosa menjadi asam laktat. Suhu saat fermentasi juga mempengaruhi asam laktat yang dihasilkan oleh kultur kerja. Menurut Tamime dan Robinson (1999) Lactobacillus bulgaricus merupakan bakteri asam laktat yang memiliki andil dalam pembentukan rasa yoghurt. Rahman et al. (1991) menambahkan bahwa aktivitas proteolitik Lactobacili bekerja secara optimum untuk memecah protein menjadi peptida pada pH 5.2-5.8 dan pada suhu 45-50oC. Sedangkan pada pembuatan kultur kerja, suhu inkubasi hanya berkisar antara suhu 43-45 o C, maka kemungkinkan Lactobacillus bulgaricus belum bekerja optimal sehingga pH kultur kerja yang dihasilkan besar dan rasa yang dihasilkan kurang asam. Berikut disajikan penampakan kultur keja yang dihasilkan dari perlakuan yang diberikan pada Gambar 20. alginat 2%: pati resisten jagung 2%
alginat 3%: maltodekstrin 1%
alginat 4%
(a)
(b)
(c)
Gambar 20. Penampakan fisik kultur kerja dari perlakuan: (a) alginat 2%: high amylose corn starch 2% (b) alginat 3%: maltodekstrin 1% (c) alginat 4%. Bahan enkapsulan dan bahan pengisi sangat mempengaruhi bentuk fisik kultur kerja yang dihasilkan (Gambar 20). Kultur kerja yang dihasilkan oleh alginat 2% : high amylose corn starch 2% dan alginat 3% : maltodekstrin 1% menunjukkan penampakan sempurna, berbeda dengan kultur kerja yang dihasilkan oleh alginat 4% yang tampak mengapung beads kering pada permukaannya. Hasil serupa didapatkan Widodo et al. (2003) yang menunjukkan bahwa biokapsul yang dihasilkan tidak larut, sehingga dapat menurunkan kualitas fisik yogurt karena adanya butiran yang tidak larut. Hal ini terjadi karena gel kalsium alginat yang tidak larut dalam air, ikatan antara kalsium dengan alginat adalah ikatan khelat antara kalsium dengan rantai L-guluronat dari alginat (Morris, et al., 1978 dalam Natalita, 2010). Berdasarkan penampakan fisik kultur kerja serta keempat parameter penilaian dapat disimpulkan bahwa perlakuan alginat 3% : maltodekstrin 1% adalah terbaik. Maka, hasil perlakuan ini selanjutnya diuji pada pembuatan yoghurt.
4.3.2. Pembuatan Yoghurt Kultur kerja terpilih selanjutnya diaplikasikan untuk pembuatan yoghurt. Pengujian pembuatan yoghurt dilakukan secara kulitatif dan kuantitatif. Pengujian secara kuantitatif dilakukan dengan membandingkan yoghurt dari perlakuan pengkapsulan terbaik dengan yoghurt yang dihasilkan dari kultur sel bebas (tanpa enkapsulasi) dan starter komersil (yogourmet), sedangkan pengujian kualitatif dilakukan dengan uji organoleptik untuk mengetahui kesukaan panelis terhadap perlakuan terpilih. Hasil pengujian secara kuantitatif disajikan pada Tabel 9.
38
Tabel 9. Hasil pengujian yoghurt secara kuantatif dari starter terpilih Yoghurt Perlakuan starter
alginat 3%: maltodekstrin 1% sel bebas (tanpa enkapsulasi) starter komersil
Waktu koagulasi sempurna (jam)
pH
Total asam (%)
4.12±0.231(a)
5.72±0.35(ab)
0.29±0.017(c)
529±63.789(b) (1.46±0.683)x109(a)
3.41±0.202(b)
5.90±0.006 (b)
0.33±0.025(b)
665±20.429(a)
(7.57±2.39) x108 (a)
2.65±0.173(c)
5.36±0.005(a)
0.56±0.002(a)
638±8.622(a)
(2.2±3.4) x105(b)
Viskositas (cp)
Total bakteri (cfu/ml)
* Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P <0.05) * Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0.05)
Hasil statistik menunjukkan bahwa perlakuan starter berpengaruh nyata terhadap waktu koagulasi sempurna (Lampiran 14), pH (Lampiran 15), total asam (Lampiran 16), viskositas (Lampiran 17), dan total bakteri (Lampiran 18). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan mempengaruhi karakteristik yoghurt yang dihasilkan. Pada hasil uji Duncan (Tabel 9) diketahui bahwa perlakuan pemberian jenis starter alginat 3%: maltodekstrin 1% pada waktu koagulasi sempurna berbeda nyata (P <0.05) terhadap sel bebas dan starter komersil. Waktu koagulasi sempurna tercepat terjadi pada yoghurt yang dibuat dari starter komersil diikuti oleh sel bebas dan perlakuan terpilih. Rendahnya waktu koagulasi sempurna perlakuan terpilih kemungkinan masih adanya bakteri yang terjerap dalam matrik enkapsulasi alginat dan maltodekstrin, sehingga membutuhkan waktu untuk release ke media fermentasi. Dembczynski dan Jankowski (2002) menyatakan bahwa penghambatan asam laktat pada pertumbuhan mikroba terenkapsulasi disebabkan oleh rendahnya transfer massa pertumbuhan mikroba dibanding sel bebas. Keasaman yoghurt diukur dengan besar nilai pH dan total asam. Frobisher et al. (1974) menyatakan bahwa pengukuran total asam yang terukur adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi), sedangakan dalam pengukuran nilai pH yang terukur adalah kosentrasi ion hidrogen yang ada pada saat itu dalam bentuk terdisosiasi. Nilai pH yang dihasilkan starter alginat 3%: maltodekstrin 1% berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap starter komersil dan sel bebas, namun nilai total asam yang dihasilkannya berbeda nyata (P<0.05) terhadap starter komersil dan sel bebas. Nilai rataan total asam selalu berbanding terbalik dengan nilai rataan pH. Pada hasil (Tabel 9) diketahui bahwa korelasi pH dan total asam tidak berjalan ideal pada perlakuan alginat 3% : maltodekstrin 1% dan sel bebas. Hal ini diakibatkan adanya sisitem buffer pada produk-produk terfermentasi (Tamime dan Robinson, 1999). Nilai pH dan total asam pada yoghurt starter komersil memenuhi persyaratan yoghurt sesuai SNI 2981:2009, sedangkan yoghurt yang dihasilkan oleh sel bebas dan bahan enkapsulan terpilih belum memenuhi persyaratan. Rendahnya nilai pH dan total asam yang dihasilkan dari starter komersil dibandingkan dari starter dari bahan enkapsulan dan pengisi terpilih karena perbedaan proses pengkapsulan yang dialami kedua starter ini. Starter komersil dikapsul dengan menggunakan metode freeze drying, sehingga mempengaruhi viabilitas bakteri pada starter. Rybka dan Kailasapathy (1997) menyatakan bahwa viabilitas Lactobacillus bulagricus lebih rendah dibanding Streptococcus thermophilus selama freeze drying, hal ini dikarenakan pengaruh rantai hidrogen pada ikatan protein di dinding sel
39
bakteri dan Streptococcus thermophilus merupakan bakteri gram positif yang tahan terhadap seluruh kondisi proses pembekuan dan pendinginan (thawing) (Marth, 1973). Bottazi (1983) dalam Syahrir (2002) menerangkan bahwa S. thermophilus mampu meningkatkan keasamaan atau menurunkan pH secara cepat, oleh karena itu pH yoghurt dari starter komersil lebih rendah dan total asamnya lebih tinggi. Nilai viskositas yoghurt diukur untuk mengetahui tekstur yoghurt yang menyangkut konsistensi atau kekentalan yoghurt. Tekstur yoghurt antara kental dan semi padat karena terkoagulasinya protein susu membentuk struktur gel yang ditandai dengan terbentuknya konsistensi atau tekstur menyerupai “pudding” (Rukmana, 2001). Berdasarkan uji Duncan diketahui bahwa viskositas yang dihasilkan oleh perlakuan alginat 3% : maltodekstrin 1% berbeda nyata (P<0.05) terhadap starter komersil dan sel bebas. Menurut Triyono (2010) semakin tinggi kadar protein dalam yoghurt maka kekentalan semakin tinggi. Terkoagulasinya protein susu merupakan respon terhadap kondisi asam yang dihasilkan oleh aktivitas starter BAL. Tingkat keasaman rendah mengindikasikan jumlah asam laktat yang dihasilkan lebih sedikit sebagai hasil dari metabolisme karbohidrat bakteri kultur starter yogurt (Zain, 2010). Maka semakin besar jumlah bakteri, semakin besar protein yang terkoagulasi dan semakin besar pula nilai viskositasnya. Nilai viskositas sel bebas lebih besar dibanding starter komersil dan starter perlakuan terpilih. Hal ini dimungkinkan akibat tidak adanya matriks penjerap pada bakteri, sehingga bakteri pada starter sel bebas dapat mengkoagulasi protein dengan sempurna. Hasil penampakan fisik yoghurt yang terbentuk disajikan pada Gambar 21. alginat 3%: maltodekstrin 1%
Sel bebas
Starter komersil
(a)
(b)
(c)
Gambar 21. Penampakan fisik yoghurt dari perlakuan: (a) alginat 3% : maltodekstrin 1% (b) sel bebas (c) starter komersil Penggunaan maltodekstrin sebagai bahan pengisi enkapsulan yang berfungsi sebagai substrat anabolisme bakteri dapat bersifat sebagai penstabil agar produk yoghurt mempunyai konsistensi dan stabilitas yang baik, semakin tinggi konsistensinya semakin tinggi protein yang terdapat pada produk. Menurut Triyono (2010) penambahan maltodekstrin yang semakin tinggi sampai 10 % akan mengikat protein semakin tinggi. Hal ini tampak pada penampakan fisik yoghurt (Gambar 21) yang menunjukkan bahwa perlakuan terpilih tidak memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan pembanding (starter komersil dan starter sel bebas). Hasil uji Duncan (Tabel 8) menunjukkan bahwa perlakuan jenis starter alginat 3%: maltodekstrin 1% pada total bakteri yang terkandung pada yoghurt berbeda nyata (P<0.05) terhadap sel bebas dan starter komersil. Jumlah bakteri tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan alginat 3% : maltodekstrin 1%. Peningkatan jumlah bakteri pada perlakuan alginat 3% : maltodekstrin 1% sebesar 1.35x109 cfu/ml, berbeda dengan peningkatan yang terjadi pada kultur kerja yang mencapai kenaikan hingga
40
3.57x108cfu/ml. Hal ini dimungkinkan karena bakteri sudah mulai memasuki fase stasioner, sehingga pertumbuhan bakteri tak lagi optimum. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa produk yoghurt umumnya mengandung 107 cfu/ml dari masing-masing jenis bakteri. Hasil (Tabel 9) menunjukkan bahwa alginat 3% : maltodekstrin 1% memiliki dan sel bebas memiliki jumlah bakteri lebih besar dibanding kandungan bakteri pada umumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan menghasilkan produk yang tidak berbeda dari yoghurt pada umumnya (berdasarkan aspek mirobiologi). Jumlah bakteri pada yoghurt yang dihasilkan starter komersil sejumlah 2.2x105 cfu/ml. Jumlah total bakteri pada starter komersil ini lebih kecil dari hasil penelitian Rajiv dan Nagendra (1996) yang meneliti viabilitas bakteri asam laktat pada berbagai starter komersil, pada penelitiannya jumlah bakteri S.thermophilus berkisar (5.3-2.3)x108 dan L.bulgaricus berkisar (2.87-3.9)x108 (pada empat perlakuannya). Hal ini kemungkinan akibat umur simpan starter komersil yang digunakan sudah lama mengalami penyimpanan. Miwanda et al. (2006) menerangkan bahwa umur starter mempengaruhi kemampuan bakteri memecah laktosa menjadi asam laktat. Sedangkan jumlah bakteri yang dihasilkan dari bahan enkapsulan terpilih lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Rajiv dan Nagendra (1996). Hal ini menunjukkan bahwa bahan enkapsulan terpilih mampu melindungi bakteri S.thermophilus dan L.bulgaricus pada yoghurt. Hasil pengujian secara kualitatif (Lampiran 19) terhadap perlakuan terpilih (alginat 3% : maltodekstrin 1%) menunjukkan bahwa secara visual, warna yoghurt menunjukkan nilai hedonik rata-rata sejumlah 3.88. Sayuti (1992) menerangkan bahwa yoghurt pada umumnya berwarna putih. Hal ini sesuai dengan yoghurt yang dihasilkan (Gambar 21), sehingga perlakuan terpilih tidak berbeda nyata dengan yoghurt pada umumnya. Perlakuan terpilih juga tidak mempengaruhi penilaian aroma yoghurt yang dihasilkan. Ukuran beads yang dihasilkan sangat mempengaruhi karakteristik sensori produk (Rokka dan Pirjo, 2010), namun pada penilaian tekstur yang menunjukkan hasil rata-rata sebesar 3.16. Maka dapat diketahui bahwa penambahan bakteri terenkapsulasi (pada kultur kerja) untuk produksi yoghurt tidak mempengaruhi kesukaan panelis. Nilai pH yoghurt yang tinggi tidak berpengaruh nyata pada penilaian panelis, hal ini dapat dilihat pada hasil nilai rata-rata yang diberikan sebesar 3.40. Penerimaan umum panelis terhadap produk perlakuan terpilih yang dihasilkan menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan dari perlakuan terpilih tidak berbeda nyata dengan yoghurt pada umumnya yang dikonsumsi, hal ini ditunjukkan pada hasil rata-ratanya sebesar 3.44.
41
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN Enkapsulasi merupakan upaya untuk menjaga viabilitas bakteri asam laktat selama produksi dan penyimpanan. Enkapsulasi bakteri asam Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dengan metode emulsi menghasilkan yoghurt dengan karakteristik relatif sama dengan yoghurt pada umumnya. Perlakuan komposisi bahan enkapsulan terbaik adalah alginat 3% : maltodekstrin 1%. Perlakuan ini mampu meningkatkan viabilitas bakteri dalam kultur campuran Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus sebesar 6.09x105cfu/g (pada beads basah) dan 2.56x105cfu/g (pada beads kering) dibandingkan dengan sel bebas. Kultur campuran Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus yang dikapsul dengan alginat 3%: maltodekstrin1% menghasilkan yoghurt dengan pH dan total bakteri lebih tinggi dibandingkan yoghurt dari sel bebas dan starter komersil (yogourmet) sebesar 5.73 dan 1.46x105cfu/ml, nilai total asam dan viskositas sebesar 0.28% dan 529 cP, serta waktu koagulasi sempurna yang lebih lambat 4.12 jam. Secara hedonik yoghurt yang dibuat dari perlakuan terpilih disukai dengan taraf yang sama dengan yoghurt yang pada umumnya dikonsumsi.
5.2. SARAN Jumlah bakteri pada starter yoghurt dari perlakuan terpilih masih kecil oleh karena itu diperlukan penelitian untuk meningkatkan jumlah populasi bakteri pada starter kering yang dihasilkan. Menurunnya jumlah viabilitas bakteri selama pengeringan dapat diminimalisir dengan penambahan oksigen scavenger. Selain itu, perlu penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan bahan enkapsulan lain untuk mengkapsul starter yoghurt menggunakan metode emulsi.
42
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar dan E. purwanti. 2009. Mutu yoghurt susu sapi pada berbagai presentase penambahan starter. http://profabuscientist9.blogspot.com/feeds/posts/default-Agricultural Postharvest Science Research. [8 Agustus 2010] Adhikari K., Mustapha A., Grun, I.U dan Fernando L. 2000. Viability of microencapsulated bifidobacteria in set yoghurt during refrigerated storage. J of Dairy Sci 83:1946–1951 Ambawathy S. 2007. Kualitas mikrobiologis jelly drink bio yoghurt dalam bentuk granul selama penyimpanan [skripsi]. Bogor: Departemen Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Anal A dan Singh H. 2007. Recent advances in microencapsulation of probiotics for industrial applications and targeted delivery. J Trends in Food Sci and Technol 18: 240–251 Anggraini R W. 2007. Resistant starch tipe III dan tipe IV pati ganyong (Canna edulis), kentang (Solanum tuberosum), dan kimpul (Xanthosoma violaceum Schott) sebagai prebiotik [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Anwar E. 2002. Pemanfaatan maltodekstrin dari pati singkong sebagai bahan penyalut lapis tipis tablet. Makara Sains 6:1 Asp NG. 1992. Resistant starch. in: Ann CL (ed). Starch in food. Cambridge: Woodhead Publishing Limited, CRC Press Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methode of Analysis. 14th ed. AOAC. Washington D. C: Arlington Audet P, Paquin C, dan Lacroix C. 1988. Immobilized growing lactic acid bacteria with k-carrageenanlocust bean gum gel. App Microbiol and Biotechnol 29(1): 11–18 Badan Standarisasi Nasional. SNI 2981:2009. Yoghurt. Jakarta:Standart Nasional Indonesia Badan Standarisasi Nasional. SNI 01-3141-1998. Susu segar. Jakarta: Standar Nasional Indonesia Badan Standarisasi Nasional. SNI 01-2782-1998. Metode pengujian susu segar. Nasional Indonesia
Jakarta: Standar
Badan Standarisasi Nasional. SNI 01-2891-1992. Cara uji makanan dan minuman. Jakarta: Standar Nasional Indonesia Blancard PH dan FR Katz. 1995. Starch hydrolisis in food polysaccharides and their application. New York: Marcell Dekker, Inc Brown IL, X Wang, DL Topping, MJ Playne, dan PL Conway. 1998. High amylose maize starch as a versatile prebiotic for use with probiotic bacteria. J of Food Australia 50: 602-609 Buckle, K.A, RA Edwards, GH Fleet, dan M Wotton. 1987. Terjemahan Purnomo dan Adiono. Jakarta: Ilmu Pangan. UI Press Buckle, K.A, RA Edwards, GH Fleet, dan M Wotton. 2007. Ilmu Pangan. Terjemahan. Jakarta: Purnomo dan Adiono. UI-Press
43
Castilla OS, CL Calleros, HS Garcia G, JA Ramirez, EJ Vernon C. 2009. Textural properties of alginatpectin beads and survivability of entrapped Lb. casei in simulated gastrointestinal condition and in yoghurt. Food Res Int 43:111-117 Cahitow L dan Trenev N. 1990. Probiotics. London: Harper T Collins Publishers Chan ES,Sze LW, P PL, Jau SL, Tey BT, Zhibing Z, Denis P, Pogaku R, Soon HP, Zhi HY. 2010. Effects of starch filler on the physical properties of lyophilized calcium–alginate beads and the viability of encapsulated cells. Carbohydr Polym 83: 225–232 Chandramouli V, Kailasapathy K, P Peiris, dan M Jones. 2003. An improved method of microencapsulation and its evaluation to protect Lactobacillus spp. in simulated gastric condition. J of Microbiol Methods 56: 27-35 Chandramouli V, Kailasapathy K., Peiris P dan Jones M. 2004. An improved method of microencapsulation and its evaluation to protect Lactobacillus spp. in simulated gastric conditions. J of Microbiol Methods 56: 27–35 Charley, Helen. 1982. Food Science. Canada: John Willey & Sons,Inc Crittenden RG, LF Morris, ML Harvey, LT Tran, HL Mitchell dan MJ Playne. 2001. Selection of a Biffidobacterium strain to complement resistant starch in a symbiotic yoghurt. J App Microbiol 90: 268-278 Dave RI dan Shah NP. 1997. Viability of Yoghurt and Probiotic Bacteria in Yoghurts Made from Commercial Starter Cultures. Int Dairy J 7(1): 31–41 Dembczynski R dan Jankowski T. 2002. Growth characteristics and acidifying activity of Lactobacillus rhamnosus in alginate/starch liquid-core capsules. Enzyme and Microbial Technol 31:111-115 Fuller R. 1992. Probiotics: the scientific basis. London: Chapman & Hall Edmonton TV dan RSB Saskatoon. 1993. Enhancement of resistant starch (RS3) in amylomaize, barley, field pea and lentil starches. J Food Chemistry 4:527-532 Englyst HN, Kingman SM dan Cummings JH. 1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eur J Clin Nutr 46: 533-550 Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Frazier WC dan DC Westhoff. 1998. Food Microbiology. 4th ed. New York: Mc Graw Hill Inc Fu WY dan MR Etzel. 1995. Spray drying of Lactobacillus lactis sp. Lacts C25 on celluler injury. J of Food Sci 60(1):195-200 Fuller R. 1992. Probiotics : the scientific basis. New York: Chapman & Hall Fobrisher M, RD Hinsdill, KT Crabtree dan RC Goodheart. 1974. Fundamentals of microbiology. London: WB Saunders Company Garbut, J. 1997. Essential of food microbiology. London: Arnold Gibson GR, Roberfroid MB, editor. 2005. Handbook of prebiotics. London: CRC Press Godward G dan Kailasapathy K. 2003. Viability and survival of free, encapsulated and co-encapsulated probiotic bacteria in yoghurt. Milk Science International (Milchwissenschaft) 58:396–399
44
Harmayani E, Ngatirah, Endang SR, Tyas U. 2001. Ketahanan dan viabilitas probiotik bakteri asam laktat selama proses pembuatan kultur kering dengan metode freeze dan spray drying. J Teknologi dan Industri Pangan 12:2 Helferich W dan D Westhoff. 1980. All About yoghurt. New York: Prentice Hall Inc., Inglewood Cliff Homayouni A, A Azizi, MR Ehsani, MS Yarman, SH Razavi. 2008. Effect of microencapsulation and resistant starch on the probiotic survival and sensory properties of symbiotic ice cream. Food Chemistry 111: 50-55 http://www2.unibas.it/parente/starter/gruppi.html [21 Mei 2010] http:www.novinite.com/view_news.php?id=33678[21 Mei 2010] http:// www.fmcbiopolymer.com/ Sodium_alginat.jpg/ [20 Oktober 2010] Hutkins RW dan Nannen NL. 1993. pH homeostatis in lactic acid bacteria. J Dairy Science 76: 23542365 Iyer R dan Kailasapathy K. 2005. Effect of co-encapsulation of probiotic with prebiotic on increasing the viability of encapsulated bacteria under in vitro acidic and bile salt condition and in yoghurt. J of Food Scienc 70:18-23 Iyer R, SK Tomar, TU Maheswari, R Singh. 2009. Streptococcus thermopiles Strains: multifunctional lactic acid bacteria. International Dairy J 30:1-9 Jankowski T, Zielinska M, dan Wysakowska A. 1997. Encapsulation of lactic acid bacteria with alginat/starch capsules. Biotechnol Techniques 11(1): 31–34 Johnson JAC dan MR Etzel. 1995. Properties of Lactobacillus helveticus CNRZ-32 attenuated by spray drying, freeze drying of freezing. J. Diary Sci 78: 761-768. Jownonski T, Zialinska M, dan Wyskakoska A. 1997. Encapsulation of lactic acid bacteriawith alginate /starch capsule. Biotechnol Techniques 11:31-34 Kailasapathy K. 1996. Polysaccharide ingredients in dairy product applications: increase in cheese yield. Food Australia 48:458–461 Kailasapathy K. 2002. Microencapsulation of probiotic bacteria: technology and potential applications. Sydney: Centre for Advanced Food Research Kaplan H dan RW Hutkinks 2000. Fermentation of fructooligosaccharida and their components in: Shetty K, Gopinadhan P, Anthony LP, Robert EL (ed). Functional food and biotechnology. United State of America: Taylor and Fracis Group, CRC Press Kebary KMK., Hussein SA, dan Badawi RM. 1998. Improving viability of Bifidobacteria and their effect on frozen ice milk. Egyptian J of Dairy Sci 26(2):319–337 Kennedy JF, Knill CJ, Taylor DW. 1995. Maltodekstrins. Di dalam: Keasley MW, Dziedzic SZ, editor. Handbook of Hydrolisis Product and Their Derivatives. London: Blackie Academic and Profesional. hlm 65-82. Kim SS dan Bhowmik SR. 1995. Effect of yoghurt preconcentration of survival of lactic bacteriaduring drying. Cult Dairy Product J 30(4):11-18 Kosikowski F. 1982. Cheese and fermented food. New York: Kosikowski And Associated
45
Krasaekoopt W, B Bhandari, H Deeth. 2002. Evaluation of encapsulation techniques of probiotics for yoghurt. Int Dairy J 13: 3-13 Krasaekoopt W, B Bhandari, H Deeth. 2003. Review: evaluation of encapsulation techniques of probiotics for yoghurt. International Dairy J 13: 3–13 Kailasaphathy K dan Supriadi D. 1996. Effect of whey protein concentrate on the survival of Lactobacillus acidophilus in lactose hydrolysed yoghurt during refrigerated storage. Milchwissenschaft 51: 565-569. Kuanaepah U. 2010. Pengaruh lama fermentasi dan konsentrasi glukosa terhadap aktivitas antibakteri, polifenol total dan mutu kimia kefir susu kacang merah [tesis]. Semarang: Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro Lankaputhra WEV, Shah NP dan Britz ML. 1996. Survival of Bifidobacteria during refrigerated storage in the presence of acid and hydrogen peroxide. Milchwissenschaft 51: 65-70. Lee KY dan Heo TR. 2000. Survival Bifidobacterium longum immobilized in calcium alginate beads in simulated gastric juice and bile salt solution. App and Environ Microbiology 66:869-873 McHugh DJ. 1987. Production, properties and uses of alginat. In: production and utilazation of products from commercial seaweeds. Rome: Food and Agriculture Organization of the Unitednations . halm 58-115 Mandal S, AK Puniya, K.Sigh. 2005. Effect of alginat concentration on survival of microencapsulated Lactobacillus casei NCDC-298. Int. Dairy J 16: 1190-1195 Misgiyarta dan Widowati S. 2000.Seleksi dan karakterisasi bakteri asam laktat (BAL) indigenous. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Miwanda INS, SA Lindawati dan W Tatang. 2006. Tingkat efektifitas “starter” bakteri asam laktat pada proses laktosa susu. Denpasar: Fakultas Peternakan Universitas Udayana Muchtadi TR, Muchtadi P, Hariyadi, dan AB Azra. Teknologi pemasakan ekstrusi. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Nagao F, M Nakayama, T Muto, dan K Okumura. 2000. Effects of a fermented milk drink containing Lactobacillus casei strain shirota on the immune sistem in healthy human subjects. Biosci Biotechnol and Biochem 64 (12): 2706-2708 Naidu AS, dan RA Clemens. 2000. Probiotics. in: Natural FoodAntimicrobial Systems. Naidu A.S. (Ed). Cambridge: CRC Press, LLC Natalita IMD. 2010. Pengaruh Rasio Alginat dan Kitosan terhadap Pengembangan Matriks dan Pelepasan Indometasin dari Matriks Kalsium Alginat-Kitosan [usulan penelitian untuk skripsi].Medan: Fakultas Farmasi, Universitas Sumatra Utara. Onsoyen E. 1992. Alginat: in thickening and gelling agents for food (pp. 1–23). New York: Blackie Academic & Professional Picot A dan Lacroix C. 2004. Encapsulation of Bifidobacteria in whey protein based microcapsules and survival in simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt. International Dairy J 14: 505– 515. Purwadani NS, Made S, Endang SR. 2007. Stabilitas thermal agensia probiotik L. Achidiphilus SNP 2 terenkapsulasi metode ekstrusi dan emulsi. Yogyakarta: Seminar Nasional Teknologi
46
Rahman A, Fardiaz S, Rahaju WP, dan CC Nurwitri. 1991. Teknologi fermentasi susu. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Rahman A. 1988. Pengantar teknologi fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Rajiv ID dan Nagendra PS. 1996. Viability of yoghurt and probiotic bacteria in yoghurt made from commercial starter cultures. Int Dairy J 7: 31-41 Rao AV, Shiwnarain N, dan Maharaj I. 1989. Survival of microencapsulated Bifidobacterium pseudolongum in simulated gastric and intestinal juices. Canadian Institute of Food Sci and Technol J 22(4): 345–349 Robinson RK. 1987. Survival of Lactobacillus acidophilus in fermented products. Suid Afrikaanse Tydskrif Vir Suiwelkunde 19: 25-27 Robinson RK. 1990. Dairy Microbiology. Volume ke-2, The Microbiology of Milk Products. Ed ke-2. London: Elsevier Applied Science. Rokka S dan Pirjo R. 2010. Protecting probiotic bacteria by microencapsulation: chalange for industrial application. Eur food Res Technol 231: 1-12 Rukmana HR. 2001. Yoghurt dan karamel susu. Yogjakarta: Kanisius Rybka S dan Kailasapathy K. 1997. Effect of freeze drying and storage on the microbial and physical properties of AB yoghurt. Milchiwissenchaft 52(7):390-394 Sajilata MG, Rekha SS, dan Puspha RK. 2006. Resistant starch- a review: comprehensive reviews in Food Science and Food Safety Vol 5 Sayuti K. 1992. Studi nilai social dan konsumsi makanan traditional dadih di Sumatra Barat, studi kasus di Kecamatan Lembah Gumantri, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Schrezenmeir J dan M de Vrese. 2001. Probiotics, prebiotics and symbiotics-approaching a definition. American J of Clinical Nutrition 73: 361S-364S Shah NP. 2002. The exopolysaccharides production by starter culture and their influence on textural characteristic of fermentated milk [abstrak simposium]. Denmarck: Int Dairy Federation 3 rd Shamai K., HB Peled, dan E Shimoni. 2003. Polymorphism of resistant starch type III. carbohydrate polymers. www.elsevier.com/locate/carpbpol [16 Juni 2010] Sheu TY, dan Marshall, RT. 1991. Improving culture viability in frozen dairy desserts by microencapsulation. J of Dairy Sci, 74 (1): 107 Sheu TY, dan Marshall, RT. 1993. Microencapsulation of Lactobacilli in calcium alginat gels. J of Food Sci 54(3): 557–107561 Sheu TY, dan Heymann H. 1993. Improving survival of culture bacteria in frozen desserts by microentrapment. J of Dairy Sci 76(7): 1902–1907 Shortt C. 1999. The probiotic century: historical and current perspectives. Review on Trend Food Sci and Technol 10: 411-417
47
Sultana K, Godward G, Reynolds N, Arumugaswamy R, Peiris P, dan Kailasapathy K. 2000. Encapsulation of probiotic bacteria with alginat–starch and evaluation of survival in simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt. Int J of Food Microbiol 62: 47–55 Sun W, dan Griffiths, MW. 2000. Survival of Bifidobacteria in yogurt and simulated gastric juice following immobilization in gellan–xanthan beads. Int J of Food Microbiol 61: 17–25 Sunari TC, Indah Y, Nur R. 2004. Perubahan komposisi karbohidrat pada hidrolisis enzimatis pati umbiumbian indonesia [laporan kegiatan]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Suprihanto AJ. 2009. Pengaruh bakteri asam laktat terhadap dadih probiotik selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu rendah [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Surono IS. 2004. Probiotik, susu fermentasi dan kesehatan. Jakarta: PT. Tri Cipta Karya Syahrir IH. 2002. Karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi dadih susu sapi dengan kombinasi starter Lactobacillus plantarum, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus[skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Talwalkar A dan Kailasapathy K. 2003. Effect of microencapsulation on oxygen toxicity in probiotic bacteria. Australian J of Dairy Technol 58: 36-39 Talwalkar A dan Kailasapathy K. 2004. A review of oxygen toxicity in probiotic yoghurts: influence on the survival of probiotic bacteria and protective techniques. Comprehensive Reviews in Food Sci and Food Safety 3: 117–124. Tamime AY dan HC Deeth. 1980. Yoghurt: science and technology 2nd edition. England: Woodhead Publishing Ltd Tamime dan Robinson. 1999. Yoghurt: science and technology 2nd edition. England: Wood Publishing Ltd and CRC Press Ltd Texeria PC, MH Castro, FX Malcata dan RM Kirby.1995. Survival of Lactobacillus delburgi ssp. Bulgaricus following dray drying. J. Dairy Sci 78:105-1031 Topping DL, JM Gooden, IL Brown, DA Biebrick, L McGrath, RP Trimble, M Choct, dan RJ. Illman. 1997. A high amylose (amylomaize) starch raises proximal large bowel starch and increases colon length in pigs. J Nutrition 127: 615-622 Triana E, Eko Y, Novik N. 2006. Uji viabilitas Lactobacillus sp. Mar 8 terenkapsulasi. J. Biodeverstias 7(2): 114-117 Triyono A. 2010. Mempelajari pengaruh maltodekstrin dan susu skim terhadap karakteristik yoghurt kacang Hijau (Phaseolus radiates) [seminar rekayasa kimia dan proses]. Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna – LIPI: ISSN : 1411-4216 Widodo, Soeparno, dan E. Wahyuni. 2003. Bioenkapsulasi probiotik (Lactobacillus casei) dengan pollard dan tepung terigu serta pengaruhnya terhadap viabilitas dan laju pengasaman. J. Teknologi Industri Pangan 14 (2): 98 – 105 Wilbraham AC, dan MS Matta. 1992. Terjemahan. Pengantar kimia organik dan hayati. Bandung: ITB
48
Williams RPW, Glagovskaia, dan Augustin MA. 2004. Properties of stirred yoghurts with added starch: effects of blends of skim milk powder and whey protein concentrates on yoghurt texture. The Australian J of Dairy Technol 59:214–220 Winarno, FG. 1992. Kimia pangan dan gizi. Jakarta: PT. Gramedia pustaka umum www.kingarturecompany.com/hi-maize-natural -fibre-12-oz.htm [17 Agustus 2010] www. empuz.wordpress.com/2009/04/16/maltodekstrin/ [17 Agustus 2010] Victor RP dan DR Heldman. 2001. Introduction to food engineering. 3rd ed. London: Academic Press Vidhyalaksmi R, R Bhakyaraj, dan RS Subhasree. 2009. Encapsulation “the future of probiotic”-a review. Advance in Biological Res 3 (3-4): 96 – 103 Young SL, X Sarda, dan M Rosenberg. 1993. Microencapsulating properties of whey proteins with carbohydrate. J of Diairy Sci 76: 2878-2885 Yuguchi H, T Goto dan S Okonogi. 1992. Fermented milk, lactic drinks and intestinal microflora.in: Nakazawa Y dan A Hosono (ed) Functional of fermented milk: chalage for the health science. England: Woodhead Publishing Ltd Zain WNH. 2010. Karakteristik Mikrobiologis Granul Kultur Starter Sinbiotik Terenkapsulasi untuk Menghasilkan Yogurt dan Dadih Sinbiotik [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor
49
LAMPIRAN
50
Lampiran 1. Pengujian a. Pengukuran rendemen dan ukuran beads (Sultana et al.,2000) Rendemen beads yang terbentuk dihitung dengan rumus sebagai berikut: berat beads (basah/kering) yang dihasilkan Rendemen beads =
X 100 berat awal (larutan alginat/beads basah)
Ukuran beads yang terbentuk dihitung menggunakan jangka sorong b. Uji alkohol/ Kesegaran susu (SNI 01-2782-1998) Pengujian kesegaran susu dilakukan dengan memasukkan sejumlah susu yang akan diuji ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan alkohol 70% pada susu yang akan diuji. Jika susu memecah atau menggumpal setelah bercampur dengan alkohol, maka hal itu menandakan susu tersebut rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi. c. Pengukuran pH dan total asam tertitrasi (Dave et al., 1997) Pengukuran nilai pH menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan standar buffer pH 4.0 dan 7.0. Sedangkan total asam tertitrasi pada yoghurt dihitung dengan mengencerkan 10 g yoghurt pada labu takar 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera. Kemudian ditambahkan 2 tetes phenolphthalein 0,5% dan sampel dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai timbul warna merah muda. Total asam diasumsikan sebagai total asam laktat.
Total asam (% asam laktat) =
ml NaOH 0,1 N x 0,009 x 100 g sampel
c. Total Plate Count (Badan Standardisasi Nasional, 1992) Pemupukan dilakukan dengan media MRSA (deMan Rogosa Sharpe Agar) dengan cara 1 mL inokulan dipipet ke dalam cawan Petri steril dan selanjutnya medium MRSA yang telah dingin (suhu kira kira 40–50 oC) dituangkan ke dalam cawan petri steril tersebut sebanyak 12–15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan membentuk angka delapan. Cawan Petri diinkubasikan setelah agar mengeras dengan posisi terbalik pada suhu 37oC selama 24–48 jam. Jumlah bakteri ditentukan dengan metode hitungan cawan. d. Pengukuran viskositas (AOAC, 1995) Kekentalan diukur dengan menggunakan alat rheometer. Sampel sebanyak 100 ml ditempatkan ke dalam gelas piala 100 ml. Rotor dicelupkan ke dalam sampel sampai tanda tera, kemudian tekan tombol motor on dan rotor dibiarkan berputar selama 1 menit. Nilai viskositas sampel merupakan nilai yang tampak pada layar (cP).
51
Lampiran 2. Rendemen dan ukuran beads yang dihasilkan dari interaksi jarak tetes dan ukuran diameter syringe Jarak tetes 1 cm
Syringe
Rendemen (%)
Jarak tetes 10 cm
Ukuran beads (mm)
Rendemen (%)
Ukuran beads (mm)
27 G
30.22
±
2.72
0.88
±
0.06
33.97
±
0.03
1.64
±
0.03
26 G
28.94
±
0.19
0.98
±
0.03
32.22
±
0.02
1.04
±
0.02
23 G
31.82
±
0.60
1.39
±
0.37
35.80
±
0.11
1.18
±
0.11
22 G
31.63
±
3.79
1.10
±
0.20
33.38
±
0.04
1.23
±
0.04
20 G
29.58
±
0.35
1.93
±
0.24
27.03
±
0.01
1.01
±
0.01
52
Lampiran 3. Uji ragam rendemen beads yang dihasilkan dari perlakuan jarak tetes dan ukuran diameter syringe Variabel terikat: rendemen
Sumber
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Nilai F
Pr > F
Model*
9
121.1403000
13.4600333
1.71
0.2071
Galat
10
78.6317000
7.8631700
Total (terkoreksi)
19
199.7720000
Koefisien diterminasi
Koefisien keragaman
Simpangan baku
Rendemen rata-rata
8.913333
2.804134
31.46000
0.606393
* pemberian jarak tetes dan ukuran diameter syringe pada alginate 4%
Sumber
Derajat bebas
SS tipe III
Kuadran tengah
Nilai F
Pr > F
Syringe
4
70.98805000
17.74701250
2.26
0.1352
Jarak
1
20.72648000
20.72648000
2.64
0.1355
syringe*jarak
4
29.42577000
7.35644250
0.94
0.4819
53
Lampiran 4. Rendemen dan ukuran beads yang dihasilkan dari perlakuan komposisi alginat 2%: high amylose corn starch Berat sampel
Berat beads basah
Rendemen
(g)
(g)
(%)
1
12.3347
2.7649
22.42
bulat pipih
0.8
2
12.2840
2.2449
18.27
bulat pipih
0.8
3
12.3141
2.8601
23.23
bulat pipih
0.9
Ulangan
Bentuk beads
Ukuran beads (mm)
54
Lampiran 5. Uji ragam rendemen beads yang dihasilkan dari perlakuan perbedaan komposisi alginat dan maltodekstrin Variabel terikat: rendemen
Sumber
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Nilai F
Pr > F
Model*
7
874.3823611
124.9311579
60.25
<.0001
Galat
10
20.8712000
2.0735456
Total (terkoreksi)
17
895.2535611
Koefisien diterminasi 0.976838
Koefisien keragaman
Simpangan baku
7.538072
1.439981
Rendemen rata-rata 19.10278
*pemberian alginat dan maltodekstrin dengan komposisi yang berbeda
Sumber
Derajat bebas
SS tipe III
Kuadran tengah
Nilai F
174.8764722
84.34
<.0001
0.0678722
0.03
0.9679
Perlakuan
5
874.3823611
Blok
2
0.1357444
Komposisi alginat: maltodekstrin 1% : 3% 1.33% : 2.67% 2% : 2% 2.67% : 1.33% 3% : 1% 4% : 0%
Rata-rata 7.63 12.99 19.89 21.54 23.75 28.82
Pr > F
Kelompok Duncan E D C BC B A
55
Lampiran 6. Uji ragam ukuran beads yang dihasilkan dari perlakuan perbedaan komposisi alginat dan maltodekstrin Variabel terikat: ukuran
Sumber
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Nilai F
Pr > F
Model*
7
0.47523333
0.06789048
6.18
0.0054
Galat
10
0.10976667
Total (terkoreksi)
17
0.58500000
Koefisien diterminasi
0.01097667
Koefisien keragaman
Simpangan baku
beads Rata-rata
15.11100
0.104770
0.693333
0.639316
*pemberian alginat dan maltodekstrin dengan komposisi yang berbeda
Sumber
Derajat bebas
SS tipe III
Kuadran tengah
Nilai F
Pr > F
Perlakuan
5
0.37400000
0.07480000
6.81
0.0052
Blok
2
0.10123333
0.05061667
4.61
0.0381
Komposisi alginat: maltodekstrin 1% : 3% 1.33% : 2.67% 2% : 2% 2.67% : 1.33% 3% : 1% 4% : 0%
Rata-rata 0.42 0.60 0.72 0.81 0.81 0.99
Kelompok Duncan C BC AB A A A
56
Lampiran 7. Presentase penurunan berat beads basah pada pengeringan oven 40oC Komposisi bahan enkapsulan dan pengisi alginat 2%: pati resisten jagung 2%
alginat 3%: maltodekstrin 1%
alginat 4%
Presentase penurunan berat (%) jam ke-
Kode 0
1
2
3
4
5
1a
0
85.991401
86.241376
86.40136
86.461354
86.471353
1b
0
78.944211
88.10238
88.422316
88.362328
88.312338
1c
0
82.475772
86.082526
86.342292
86.462184
86.412229
2a
0
82.843431
96.660668
96.640672
96.670666
96.70066
2b
0
89.105447
96.891554
96.991504
97.101449
97.131434
2c
0
90.831834
95.270946
95.340932
95.30094
95.410918
3a
0
89.134346
96.341463
96.551379
96.621351
96.681327
3b
0
83.946421
95.361855
95.331867
95.331867
95.501799
3c
0
74.442556
93.880612
93.880612
93.930607
94.0006
57
Lampiran 8. Analisis ragam total bakteri pada beads basah Variabel terikat: total bakteri
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Nilai
bebas
kuadrat
tengah
F
Model*
3
0.55378503
0.18459501
0.92
Galat
2
0.33947078
0.19973539
5
0.95325582
Sumber
Total (terkoreksi)
Pr > F 0.5572
Koefisien diterminasi
Koefisien keragaman
Simpangan baku
Respon rata-rata
0.580941
7.429337
0.446918
6.015579
*pemberian komposisi bahan enkapsulan yang berbeda
Sumber Perlakuan Blok
Derajat bebas 2 1
SS tipe III 0.03870679 0.51507825
Kuadran tengah
Nilai F
Pr > F
0.01935339
0.10
0.9117
0.51507825
2.58
0.249
58
Lampiran 9. Analisis ragam total bakteri pada beads kering Variabel terikat: total bakteri
Sumber
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Nilai F
Pr > F
Model*
3
0.97403424
0.32467808
1.42
0.4382
Galat
2
0.45658122
0.2282906
Total (terkoreksi)
5
1.43061546
Koefisien diterminasi
Koefisien keragaman
Simpangan baku
Respon rata-rata
0.680850
9.045078
0.477798
5.282405
*pemberian komposisi bahan enkapsulan yang berbeda
Sumber
Derajat bebas
SS tipe III
Kuadran tengah
Nilai F
Pr > F
Perlakuan
2
0.73755920
0.36877960
1.62
0.3824
Blok
1
0.23647504
0.23647504
1.04
0.4159
59
Lampiran 10. Analisis ragam waktu koagulasi kultur kerja Variabel terikat: waktu koagulasi
Sumber
Derajat bebas
Jumlah kuadrat Kuadrat tengah
Model*
2
11.16863333
5.58431667
Galat
3
0.76545000
0.25515000
Total (terkoreksi)
5
11.93408333
Koefisien
Koefisien
Simpangan
diterminasi
keragaman
baku
0.935860
4.525523
0.505124
Nilai F
Pr > F
21.89
0.0162
Respon rata-rata 11.16167
*pemberian komposisi bahan enkapsulan yang berbeda pada kultur kerja
Komposisi alginat: maltodekstrin
Rata-rata
alginat 2% : high amylose corn starch 2% alginat 3%: maltodekstrin 1% alginat 4%
13.00 9.74 10.75
Kelompok Duncan B A A
60
Lampiran 11. Analisis ragam pH pembentukan kultur kerja Variabel terikat: pH
Derajat
Jumlah
Kuadrat
bebas
kuadrat
tengah
Model*
2
0.06103333
0.03051667
Galat
3
0.00585000
0.00195000
5
0.06688333
Koefisien
Koefisien
Simpangan
diterminasi
keragaman
baku
0.912534
0.755928
0.044159
Sumber
Total (terkoreksi)
Nilai F
Pr > F
15.65
0.0259
Respon rata-rata 5.841667
*pemberian komposisi bahan enkapsulan yang berbeda pada kultur kerja
Komposisi alginat: maltodekstrin
Rata-rata
alginat 2% : high amylose corn starch 2% alginat 3%: maltodekstrin 1% alginat 4%
5.86 5.71 5.95
Kelompok Duncan A B A
61
Lampiran 12. Analisis ragam total asam pembentukan kultur kerja Variabel terikat: total asam
Sumber
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Nilai F
Pr > F
Model*
2
0.00049592
0.00024796
16.22
0.0246
Galat
3
0.00004587
0.00001529
Total (terkoreksi)
5
0.00054179
Koefisien
Koefisien
Simpangan
diterminasi
keragaman
baku
0.915343
0.744246
0.003910
Respon rata-rata 0.525375
*pemberian komposisi bahan enkapsulan yang berbeda pada kultur kerja
Komposisi alginat: maltodekstrin
Rata-rata
alginat 2% : high amylose corn starch 2% alginat 3%: maltodekstrin 1% alginat 4%
0.33 0.38 0.33
Kelompok Duncan A B A
62
Lampiran 13. Analisis ragam total bakteri pembentukan kultur kerja Variabel terikat: total bakteri
Sumber
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Nilai F
Pr > F
Model*
2
0.30728037
0.15364019
4.14
0.1371
Galat
3
0.11132556
0.03710852
Total (terkoreksi)
5
0.41860593
Koefisien diterminasi
Koefisien keragaman
Simpangan baku
Respon rata-rata
0.734056
2.304815
0.192636
8.357968
*pemberian komposisi bahan enkapsulan yang berbeda pada kultur kerja
63
Lampiran 14. Analisis ragam waktu koagilasi sempurna yoghurt Variabel terikat: waktu koagulasi sempurna
Sumber
Derajat bebas
Jumlah kuadrat Kuadrat tengah
Model*
2
3.22846667
1.61423333
Galat
6
0.24833333
0.04138889
Total (terkoreksi)
8
3.47680000
Koefisien
Koefisien
Simpangan
diterminasi
keragaman
baku
0.928574
5.995361
0.203443
Nilai F
Pr > F
39.00
0.0004
Respon rata-rata 3.393333
*pemberian starter yang berbeda pada yoghurt
Komposisi alginat: maltodekstrin alginat 3%: maltodekstrin 1% sel bebas (tanpa enkapsulasi) starter komersil
Rata-rata 4.12 3.41 2.65
Kelompok Duncan A B C
64
Lampiran 15. Analisis ragam pH pembentukan yoghurt Variabel terikat: pH
Sumber
Derajat bebas Jumlah kuadrat
Kuadrat
Nilai
tengah
F
Model*
2
0.46023889
0.23011944 5.60
Galat
6
0.24676667
0.04112778
Total (terkoreksi)
8
0.70700556
Koefisien
Koefisien
Simpangan
diterminasi
keragaman
baku
0.650969
3.581279
0.202800
Pr > F 0.0425
Respon rata-rata 5.662778
*pemberian starter yang berbeda pada yoghurt
Komposisi alginat: maltodekstrin alginat 3%: maltodekstrin 1% sel bebas (tanpa enkapsulasi) starter komersil
Rata-rata 5.72 5.90 5.36
Kelompok Duncan AB B A
65
Lampiran 16. Analisis ragam total asam pembentukan yoghurt Variabel terikat: total asam
Derajat
Jumlah
Kuadrat
bebas
kuadrat
tengah
Model*
2
0.12615556
0.06307778
Galat
6
0.00166667
0.00027778
8
0.12782222
Sumber
Total (terkoreksi) Koefisien
Koefisien
Simpangan
diterminasi
keragaman
baku
0.986961
4.225352
0.016667
Nilai F
Pr > F
227.08
<.0001
Respon rata-rata 0.394444
*pemberian starter yang berbeda pada yoghurt
Komposisi alginat: maltodekstrin alginat 3%: maltodekstrin 1% sel bebas (tanpa enkapsulasi) starter komersil
Rata-rata 0.29 0.33 0.56
Kelompok Duncan C B A
66
Lampiran 17. Analisis ragam viskositas pembentukan yoghurt Variabel terikat : viskositas
Sumber
Derajat bebas
Jumlah kuadrat Kuadrat tengah
Model*
2
30942.88889
15471.44444
Galat
6
9121.33333
1520.22222
Total (terkoreksi)
8
40064.22222
Koefisien
Koefisien
Simpangan
diterminasi
keragaman
baku
0.772332
6.387154
38.99003
Nilai F
Pr > F
10.18
0.0118
Respon rata-rata 610.4444
*pemberian starter yang berbeda pada yoghurt
Komposisi alginat: maltodekstrin alginat 3%: maltodekstrin 1% sel bebas (tanpa enkapsulasi) starter komersil
Rata-rata 529 665 638
Kelompok Duncan B A A
67
Lampiran 18. Analisis ragam total bakteri pembentukan yoghurt Variabel terikat: total bakteri
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Nilai
bebas
kuadrat
tengah
F
Model*
2
34.30896856
17.15448428
73.71
Galat
6
1.39639471
0.23273245
8
35.70536327
Sumber
Total (terkoreksi) Koefisien
Koefisien
Simpangan
diterminasi
keragaman
baku
0.960891
6.330075
0.482424
Pr > F <.0001
Respon rata-rata 7.621135
*pemberian starter yang berbeda pada yoghurt
Komposisi alginat: maltodekstrin alginat 3%: maltodekstrin 1% sel bebas (tanpa enkapsulasi) starter komersil
Rata-rata 1.46x109 7.57x108 2.2x105
Kelompok Duncan A A B
68
Lampiran 19. Pengujian organoleptik
Warna
Aroma
Tekstur
Rasa
Penerimaan secara umum
1
4
5
3
3
4
2
4
3
2
4
4
3
4
3
3
4
4
4
4
3
4
4
4
5
4
3
4
4
4
6
4
3
4
3
4
7
4
3
4
3
3
8
4
3
2
3
3
9
4
3
3
2
3
10
2
3
2
4
3
11
4
4
3
3
3
12
4
3
3
4
4
13
3
2
3
4
3
14
4
3
2
3
3
15
3
3
4
4
4
16
4
3
3
3
3
17
5
4
4
4
4
18
3
2
4
2
3
19
4
4
3
4
4
20
4
4
4
4
4
21
4
3
2
3
3
22
4
3
2
2
2
23
4
3
4
4
4
24
5
3
3
3
3
25
4
3
2
4
3
rata-rata
3.88
3.16
3.08
3.40
3.44
Panelis
69