○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
P ENDAHULUAN
Perkampungan nelayan di Kuala Sekampung, Lampung Selatan.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
1.1 Pesisir Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia. Jumlah pulau mencapai 17.508 buah, serta garis pantai sepanjang 81.000 km, merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Dahuri, et al. 1996). Secara geografis, negara Kepulauan Nusantara ini terletak di sekitar khatulistiwa di antara 94o45' BT - 141o01' BT, dan dari 06o08' LU - 11o05' LS. Secara spasial, wilayah teritorial Indonesia membentang dari barat ke timur sepanjang 5.110 km dan dari utara ke selatan 1.888 km (Sugiarto, 1982). Wilayah Indonesia dibagi dalam 27 propinsi, terdiri dari sekitar 350 daerah Kabupaten/Kota. Lima pulau besar Indonesia adalah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya. Enam puluh lima persen dari seluruh wilayah Indonesia ditutupi oleh laut. Luas total perairan laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial, dan 2,8 juta km2 perairan nusantara, ditambah dengan luas ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) sebesar 2,7 juta km2 (UNCLOS, 1982). Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumberdaya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan tambang lainnya). Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia, karena memiliki ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (sea grass) yang sangat luas dan beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut sebesar 6,7 juta ton per tahun dan yang telah dimanfaatkan 48%. Namun demikian, di beberapa kawasan, terutama Indonesia barat telah mengalami tangkap lebih (overfishing) (Dahuri, et al. 1996). Sumberdaya alam, khususnya di wilayah pesisir dan lautan memiliki arti strategis yang besar, karena (1) Dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk serta semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan, maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang; (2) Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa Atlantik menjadi poros Asia Pasifik yang diikuti dengan perdagangan bebas dunia tahun 2020, tentu akan menjadikan kekayaan sumberdaya kelautan Indonesia, khususnya di KTI (Kawasan Timur Indonesia), sebagai aset nasional dengan keunggulan komparatif yang harus dimanfaatkan secara optimal; (3) Dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan termasuk prioritas utama sebagai pusat pengembangan kegiatan industri, pariwisata, agrobisnis, agroindustri, pemukiman, transportasi dan pelabuhan. Kondisi ini menyebabkan banyak kota-kota
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
1
yang terletak di wilayah pesisir terus dikembangkan dalam menyambut tatanan ekonomi baru dan kemajuan industrialisasi. Tidak mengherankan jika sekitar 65% penduduk Indonesia bermukim di sekitar wilayah pesisir.
Panjang garis pantai Lampung lebih kurang 1.105 km (termasuk beberapa pulau), memiliki sekitar 69 buah pulau. Wilayah pesisirnya dapat dibagi atas 4 wilayah, yaitu Pantai Barat (210 km), Teluk Semangka (200 km), Teluk Lampung dan Selat Sunda (160 km), dan Pantai Timur ( 270 km). Masing-masing wilayah tersebut memiliki potensi fisik/ruang, sosial ekonomi, dan lingkungan ekosistem yang berbeda. Potensi pesisir dan lautan yang dapat dijumpai adalah perikanan tangkap, tambak, kerang mutiara, rumput laut, perhubungan, pariwisata, terumbu karang, mangrove, industri, pemukiman penduduk pesisir, dan hankam. Lampung merupakan daerah beriklim tropis-humid dengan angin laut lembah yang bertiup dari Samudera Indonesia dengan dua musim angin setiap tahunnya, yaitu: 1. Bulan November sampai Maret angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut; yang menyebabkan musim hujan. 2. Bulan April sampai Oktober angin bertiup dari arah Timur dan Tenggara; yang menyebabkan musim kemarau. Kecepatan angin rata-rata mencapai 5,83 km/jam. Temperatur rata-rata berkisar antara 26oC - 28oC. Temperatur maksimum 33oC, dan temperatur minimum 20oC.
1.2 Pesisir Lampung Di Pulau Sumatera terdapat 8 Propinsi, yaitu D.I. Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, dan Lampung. Secara geografis, Propinsi Lampung terletak pada posisi 3o 45' LS - 6o 45' LS dan 103o 40' BT - 105o 50' BT. Luas Propinsi Lampung meliputi areal dataran sekitar 35.376 km2 termasuk pulau-pulau. Lampung terletak pada bagian sebelah paling ujung tenggara Pulau Sumatera, yang berbatasan dengan : a. Sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Sumatera Selatan dan Propinsi Bengkulu, b. Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda, c. Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa, d. Sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia Daerah Propinsi Lampung ditetapkan sebagai propinsi berdasarkan UndangUndang No.14 tahun 1964. Sebelumnya merupakan karesidenan yang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Keadaan alam daerah Lampung dapat dijelaskan sebagai berikut: sebelah barat dan selatan, di sepanjang pantai, merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai sambungan dari jalur pegunungan Bukit Barisan. Di tengah-tengah merupakan dataran rendah, sedangkan ke dekat pantai di sebelah timur, di sepanjang tepi Laut Jawa terus ke utara, merupakan daerah rawa-rawa perairan yang luas (Gambar-1). Daerah Lampung dapat dibagi dalam 5 (lima) unit topografi, yaitu (1) daerah topografis berbukit sampai bergunung; (2) daerah topografis berombak sampai bergelombang; (3) daerah dataran alluvial; (4) daerah rawa dataran pasang surut; dan (5) daerah river basin. Gunung-gunung yang puncaknya tinggi di antaranya Gunung Pesagi (2.262 m), Gunung Seminung (1.881 m), Gunung Tebak (2.115 m), Gunung Tanggamus 2.101 m), Gunung Rindingan (1.506), Gunung Pesawaran (1.661 m), Gunung Betung (1.240 m), dan Gunung Rajabasa (1.261 m). Sedangkan beberapa sungai besar yang terdapat di Lampung adalah Way Sekampung, panjang 256 km dengan luas daerah tangkapan (catchment area-c.a.) 4.795 km2; Way Semangka, panjang 90 km dengan c.a. 985 km2; Way Seputih, panjang 190 km dengan c.a. 7.149 km2; Way Jepara, panjang 50 km dengan c.a. 1.540 km2; Way Tulang Bawang, panjang 136 km dengan c.a. 1.285 km2; dan Way Mesuji, panjang 220 km dengan c.a 2.053 km2.
Aksi bersih pantai bersama masyarakat di desa Ketapang, Padang Cermin Lampung Selatan. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
2
GAMBAR-1 Peta propinsi-propinsi di Indonesia
Perkampungan nelayan di Ujung Bom, Bandar Lampung. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
3
GAMBAR-2 Relief Lampung
Kelembaban udara di beberapa stasiun pengamatan menunjukkan kisaran antara 80% 88%. Pola curah hujan di Propinsi Lampung menunjukkan heterogenitas. Pesisir Barat memperoleh hujan besar. Untuk Pantai Timur corak pola hujan berubah, mungkin karena pengaruh Laut Natuna. Daerah Tanjungkarang - Natar merupakan tempat dengan curah hujan kurang, karena baik angin dari Barat maupun angin dari Timur nampaknya telah kehabisan uap air untuk dijadikan hujan. Labuhan Maringgai memperoleh hujan sedikit, karena mungkin letaknya ‘terlindung’ di belakang Pulau Bangka. Hujan maksimum di Lampung umumnya jatuh pada bulan Desember, sedangkan di daerah pedalaman seperti Kotabumi, ada maksimum sekunder pada bulan Maret. Hujan minimum jatuh pada bulan Juli. Secara administratif, Propinsi Lampung dibagi dalam 10 Daerah Kabupaten/Kota, meliputi 82 kecamatan. Kesepuluh Daerah Kabupaten/Kota tersebut adalah Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Selatan, Kotamadya Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Timur, Kotamadya Metro, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Way Kanan, dan Kabupaten Lampung Utara. Enam Daerah Kabupaten/Kota memiliki wilayah pantai dan 4 (empat) Daerah Kabupaten/Kota tidak memiliki wilayah pantai. Sedangkan dari 82 kecamatan tersebut, 21 kecamatan (26%) memiliki wilayah pantai. Propinsi Lampung memiliki sekitar 184 desa pantai dari total 2008 desa (BPS, 1998). Penduduk Propinsi Lampung sampai tahun 1998 berjumlah 6,95 juta jiwa, terdiri dari 3,55 juta laki-laki dan 3,40 juta perempuan. Sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani. Penduduk Propinsi Lampung pada tahun 1999 diperkirakan berjumlah 7,08 juta jiwa. Mayoritas penduduk Lampung adalah pendatang yang dimulai sejak kolonisasi pertama dari Jawa pada tahun 1905 untuk dipekerjakan di berbagai perkebunan. Sampai sekarang arus migrasi ke Lampung semakin pesat dari berbagai propinsi di Sumatera, Jawa, dan Bali serta berbagai etnis lainnya berkat lancarnya jalan lintas Sumatera - Jawa dan pelabuhan penyeberangan Bakauheni dan Merak yang terbuka selama 24 jam. Jumlah etnis Lampung diperkirakan hanya sebesar 16% saja, yang hanya berjumlah sekitar 1,25 juta jiwa. Etnis ini terbagi atas Lampung Abung sekitar 500.000 jiwa, Way Kanan sekitar 150.000 jiwa, Sungkai sekitar 55.000 jiwa, Tulang Bawang sekitar 75.000 jiwa, Pubian sekitar 100.000 jiwa, Krui-Ranau sekitar 75.000 jiwa, Belalau sekitar 60.000 jiwa, Semangka sekitar 70.000 jiwa, Teluk sekitar 65.000 jiwa, Rajabasa sekitar 55.000 jiwa, Melinting-Meringgai sekitar 45.000 jiwa.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
4
○ ○ ○ ○
2.1 Geomorfologi Geomorfologi daerah pesisir Lampung secara garis besar dibagi menjadi: Pertama, Pedataran terdapat di pesisir Pantai Timur dari Ketapang hingga Mesuji, pesisir Pantai Barat dari Belimbing hingga Krui, pesisir Teluk Lampung dari Kalianda hingga Lempasing dan Teluk Semangka di sekitar Kota Agung. Terletak pada lembah antar perbukitan dan muara-muara sungai. Elevasi ketinggian 0 hingga + 10 m, kemiringan lereng 0 - 3%. Batuan penyusun dominan endapan-endapan aluvium, rawa, serta batu gamping terumbu. Kedua, Kaki Perbukitan terdapat di Teluk Lampung sekitar G. Rajabasa, G. Tanggamus, Teluk Ratai, Teluk Semangka antara Way Nipah hingga Tampang, dan sekitar pesisir pantai perbatasan Lampung dan Bengkulu. Daerah pantai beraneka ragam, terdiri dari perbukitan kasar, bertebing terjal dengan garis pantai yang sempit dan berkelok-kelok. Elevasi ketinggian sekitar 0 hingga +100 m, dengan kemiringan lereng 8 - 30% hingga lebih. Batuan penyusun yaitu lava andesitik-basaltik, breksi gunung api, tufa, batu pasir, konglomerat, dan batu gamping terumbu.
meter dan 120 - 245 meter dengan debit sekitar 0,3 - 1 l/dt pada batuan pasir tufaan. Mata air tersebar di sekitar G. Rajabasa dan Bandar Lampung dengan debit bervariasi antara 50 - 100 l/dt. Bahan galian terutama bahan galian golongan C terdapat secara menyebar dan secara lokal di sekitar Teluk Lampung telah diusahakan secara tradisional dan modern, yaitu andesit dan basalt baik sebagai tubuh intrusif ataupun bongkahan sedimen terdapat di Telukbetung, Tanjungkarang, Panjang, Negeri, dan Canti. Granit, diorit, dan gabro terdapat di sekitar Telukbetung. 2.4 Proses Geologi Proses geologi yang terdapat di daerah penyelidikan adalah; 1. Abrasi, terutama terjadi di sepanjang pesisir Pantai Timur dari Labuhan Maringgai, Ketapang hingga Bakauheni, pantai kaki G. Rajabasa antara Kemuning hingga Kalianda, sekitar Teluk Ratai, serta hampir di sepanjang Pantai Barat seperti Curup-Siging, dan Teluk Krui. Abrasi ini diperparah oleh adanya perubahan lahan hutan bakau menjadi tambak yang berlebihan. 2. Sedimentasi atau pengendapan, dapat terlihat jelas pada citra satelit, sehingga akhirnya mengakibatkan garis pantai bertambah terutama pada delta-delta sungai. Hal ini juga ditandai oleh adanya perubahan pematang pantai yang makin bertambah ke arah lautan, terdapat di sepanjang Pantai Timur. 3. Patahan, merupakan struktur utama di daerah Lampung. Arah utama umumnya utara - selatan dan timur laut - baratdaya. Patahan ini melewati daerah-daerah Way Nipah, Belimbing, Krui, dan Tanjungkarang. Gejala lain yang dapat mengikutinya adalah gerakan tanah atau longsor. 4. Kegempaan, berdasarkan Peta Seismotektonik regional Indonesia (Kertapati dkk. 1992 dan Beca Carter Holling & Ferner Ltd. 1975) terdapat konsentrasi pusat gempa di sekitar Lampung dengan tingkat resiko sedang hingga tinggi (Percepatan maksimum 0,13 hingga 0,33 gal). 5. Intrusi air asin terutama pada morfologi pedataran sudah mulai terdapat dari Labuhan Maringgai hingga Ketapang dan di sekitar Lempasing. Hal ini dapat berakibat lebih buruk oleh adanya perluasan tambak yang berlebihan.
2.2 Litologi Litologi terdiri dari endapan aluvium, dan rawa (Qa & Qs) yang tersebar di Pantai Timur dan Pantai Barat, serta di Teluk Lampung dan Teluk Semangka sekitar Kalianda hingga Lempasing dan Kota Agung, sedangkan batu gamping terumbu (Qg) terdapat di Teluk Lampung dan Pantai Barat. Batuan Kuarter seperti lava, breksi gunung api, batu pasir, batu lempung, dan tufa (Qhv, Qpt, Qtk, & QTI) terdapat di sekitar G. Rajabasa, Labuhan Maringgai, G. Tanggamus; Batuan Tersier seperti breksi gunung api, tufa, lava, batu pasir, dan tufa (Tmps, Tomh, Tpot, & Tmba) terdapat di sekitar Teluk Lampung dan Teluk Semangka serta di Pantai Barat. 2.3 Sumberdaya Geologi Sumberdaya geologi dibagi menjadi sumberdaya air, sumberdaya mineral dan bahan galian. Hidrogeologi dibagi menjadi akuifer produktif sedang dan penyebaran luas terdapat di kaki G. Rajabasa, Bandar Lampung, dan Kota Agung. Akuifer produktif tersebar di Tarahan, Bandar Lampung, Teluk Ratai dan Bawang. Sedangkan air tanah langka terdapat di sekitar Bakauheni dan Batumenyan sebelum Teluk Ratai. Air tanah dangkal di daerah pedataran, kedalaman muka air tanahnya sekitar 0,5 - 4 meter di bawah muka tanah setempat. Air tanah dangkal di sekitar Pantai Timur mulai terasa asin akibat intrusi air laut. Sedangkan air tanah dalam terdapat pada kedalaman 14 - 70
2.5 Satuan Geologi Lingkungan Satuan Geologi Lingkungan merupakan perpaduan dari parameter struktur, litologi, morfologi, dan proses geologi yang terjadi di sekitar pesisir, dapat dibagi menjadi: Satuan Geologi Lingkungan 1 (GL-1); pedataran, endapan aluvium, dan rawa, secara lokal di tempat limpahan banjir, sungai di antaranya Mesuji, Way Seputih dan Way Tulang Bawang berpola meander membawa muatan sedimen, terdapat antara Tanjung Sekopong hingga Kuala Mesuji Pantai Timur, jenis pantai relief rendah,
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
G EOMORFOLOGI LINGKUNGAN PESISIR LAMPUNG
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
5
karakteristik garis pantai terdiri dari endapan lumpur rawa, pasir, lanau secara lokal di tempat pecahan sisa organisme laut. Satuan Geologi Lingkungan 2 (GL-2); pedataran bergelombang rendah terdapat antara Ketapang hingga Labuhan Maringgai tersusun oleh endapan aluvial sungai dan pantai serta tufa. Jenis pantai relief rendah, melengkung halus dari Labuhan Maringgai hingga Ketapang dan berkelok-kelok dari Ketapang hingga Bakauheni. Karakteristik garis pantai terdiri dari pantai pasir putih, kuarsa, silika, lanau dan secara lokal di tempat endapan lumpur rawa. Proses Abrasi kuat terdapat di daerah ini selain sedimentasi. Satuan Geologi Lingkungan 3 (GL-3); merupakan morfologi pantai pada kaki perbukitan, terdapat antara Way Nipah hingga Teluk Tampang, pantai Teluk Semangka dan antara Labuhan Tengor hingga Sukabanjar, tersusun oleh batuan tersier yang telah padu. Jenis pantai relief tinggi dan sempit. Karakteristik garis pantai terdiri dari pasir, kerikil, kerakal, bongkah dan batuan dasar. Runtuhan batuan dapat terjadi. Satuan Geologi Lingkungan 4 (GL-4); merupakan morfologi kaki Gunung Tanggamus dan Gunung Rajabasa tersusun oleh batuan kuarter dapat bertindak sebagai daerah resapan air tanah. Jenis pantai relief rendah hingga tinggi. Karakteristik garis pantai terdiri dari pasir, kerikil, kerakal, bongkah dan batuan dasar. Proses abrasi berlangsung di zona ini. Satuan Geologi Lingkungan 5 (GL-5); pedataran, terdapat antara Kalianda hingga Tarahan, jenis pantai relief rendah, karakteristik garis pantai pasir, kuarsa, silika, lanau secara lokal di tempat pecahan sisa organisme laut. Satuan Geologi Lingkungan 6 (GL-6); merupakan pedataran, endapan aluvium, dan secara lokal batu gamping terumbu, terdapat di Pantai Barat antara Teluk Tampang hingga Krui. Jenis pantai relief rendah, karakteristik garis pantai terdiri dari pasir dan pecahan sisa organisme laut. Satuan Geologi Lingkungan 7 (GL-7); merupakan morfologi perbukitan batu gamping. Terdapat di sekitar Marang, Ujung Tapokan, Krui, dan Negeri. Jenis pantai relief tinggi, bertebing terjal hingga sedang. Karakteristik garis pantai terdiri dari pasir, pecahan sisa organisme laut, dan bongkahan batu gamping. Satuan Geologi Lingkungan 8 (GL-8); merupakan morfologi perbukitan memanjang secara lokal di tempat pedataran aluvium, terdapat antara Krui hingga Negeri, tersusun oleh batuan kuarter dan batuan tersier yang telah padu. Jenis pantai relief tinggi, bertebing dan sempit. Karakteristik garis pantai terdiri dari pasir, kerikil, kerakal, bongkah batuan basalt, dan batuan dasar. Pembagian satuan Geologi Lingkungan (GL) dan keterangannya dapat dilihat pada Peta Geologi Lingkungan Pesisir Lampung dan Tabel-1.
table), dengan akibat ketersediaan air tanah bagi kawasan sekitar menjadi langka. Tanah pucuk (top-soil) tercampur dan dibuang begitu saja. Limbah penambangan tidak ditangani sebagaimana mestinya (belum ada upaya reklamasi bekas daerah galian). 2. Akuifer produktif di daerah pemukiman dapat dikatakan langka. 3. Adanya patahan-patahan dengan tingkat resiko tinggi, meminta perhatian pemerintah dalam pengaturan pemukiman sebagai antisipasi bahaya gempa. Seyogyanya di daerah beresiko gempa tinggi, tidak dibangun dengan konstruksi permanen (beton atau tembok), namun semi permanen (kayu atau setengah batu). 4. Abrasi terjadi di Pantai Timur perlu penanganan serius dan terintegrasi, seperti yang terjadi di Labuhan Maringgai, Muara Gading Mas, Kuala Penet, dan Kuala Sekampung. Perubahan fungsi lahan harus dikendalikan terutama dari hutan bakau menjadi tambak. Pemakaian air tanah untuk keperluan di kawasan pesisir harus merupakan alternatif terakhir, dan dibatasi dengan perizinan dalam debitnya. Dalam usaha pertambakan tidak disarankan untuk mengeksploitasi air tanah dalam atau sumber air terbatas lainnya untuk mencegah intrusi air laut. Alternatif pencegahan abrasi secara jangka pendek dan jangka panjang berupa bahan pemecah gelombang dan penghutanan kembali, pengurugan daerah pantai/reklamasi harus diketahui kondisi fisiknya, perlindungan daerah resapan air untuk pemasok air tanah daerah pesisir harus tetap terjaga, daerah rawan bencana harus selalu diperhatikan, pengawasan daerah pantai yang tumbuh, jalur transportasi harus memperhatikan daya dukung tanah, penggalian dan pengurugan bahan tambang harus tetap menjaga kelestarian, pemakaian air tanah untuk industri harus tetap menjaga debit dan muka air tanah, perlu diwaspadai daerah-daerah limpahan banjir, perlu pemasyarakatan undang-undang, peraturan dan baku mutu lingkungan kawasan pesisir. Untuk informasi sumberdaya geologi dan pekerjaan fisik perlu penyelidikan detail. Usaha penambangan hendaknya mendapatkan izin (setelah lewat penelitian) dari yang berwenang. Tanah pucuk harus dikembalikan fungsinya setelah reklamasi. Teknik penambangan haruslah memperhatikan keselamatan kerja. Limbah penambangan diendapkan atau ditangani lebih dahulu.
2.6 Isu-isu 1. Penggalian bahan galian C dapat mengganggu tata air setempat (mengubah wateratlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
6
GAMBAR-3 Peta Geologi Lingkungan
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
7
TABEL-1 Satuan Geologi Lingkungan Pesisir Lampung SATUAN GEOLOGI LINGKUNGAN
GL-1
Pedataran rendah
Kaki-kaki perbukitan, kemiringan lereng 3 - 25%
Kaki Gunung Tanggamus
Pedataran rendah
Pedataran rendah, Perbukitan batu kemiringan lereng 0-3% gamping, kemiringan lereng 3-30% hingga lebih
Perbukitan kemiringan lereng 3-20%
MORFOLOGI
Pedataran rendah,kemiringan lereng 0 - 30%, sungai bermeander, terdapat muara-muara sungai dan tanjung
(Qa) Aluvium, Kerikilkerikil, lempung dan sisa organisme laut
Batuan tersier, Breksi gunung api, dasitik, lava, tufa, andasitik
Batuan Quarter, breksi lava, tufa, andesitik basaltik
Tufa, batu apung, batu lempung, batu pasir, setempat batu gamping, koral
(Qb) Batu gamping koral, (Qa) Aluvium, pasir, Batuan tersier, batu pasir batu lanau, tufaan
(Qb) Batu gamping koral
LITOLOGI
Aluvium: Lempung, lanau, pasir tufaan di sekitar muara-muara sungai Endapan Rawa: lumpur, lanau dan pasir, setempat batu pasir sisipan, batu lempung
Batuan tersier: breksi gunung api, andesitik basaltik, batu pasir, batu lanau, tufaan
Relief rendah, melengkung halus
Relief rendah
Relief tinggi
Relief tinggi - rendah
Relief rendah
Relief rendah, berkelok halus
Relief tinggi bertebing
Relief tinggi bertebing, setempat rendah
Endapan lumpur, pasir, lanau, setempat terdapat koral.
Pasir pantai, pecahan sisa organisme laut, setempat berlumpur
Pasir kerikil-kerakal, bongkah, batuan dasar
Pasir kerikil - kerakal, bongkah batuan dasar, setempat pecahan koral
Pasir pantai dan lumpur, setempat bongkah batuan
Pasir pantai, setempat batu gamping koral
Koral dan pecahan sisa Pasir pantai, kerikil, kerakal, bongkah, organisme laut batuan dasar
SIFAT FISIK
Lumpur, lembek, daya dukung lemah
Pasir pantai, putih kekuningan, halus-kasar, daya dukung rendah
Breksi berbongkah, daya dukung sedangtinggi
Daya dukung sedang
Pasir, putih kekuningan, daya dukung rendah
Pasir pantai, lepaslepas, batu gamping koral keras
Berongga runcing dan keras
Membulat kekar-kekar
PROSES GEOLOGI
Sedimentasi di muaramuara sungai, gosong pasir di pantai
Sedimentasi di muara sungai, abrasi
Runtuhan bongkah di tebing-tebing pantai
Runtuhan tanah/batuan Sedimentasi dari di tebing-tebing pantai sungai
Sedimentasi di muaramuara sungai serta abrasi.
Abrasi
Sedimentasi kerakalkerikil di muara sungai
JENIS PANTAI
KARAKTERISTIK
GL-2
GL-3
GL-4
GL-5
GL-6
GL-7
AIR TANAH
Akuifer produktif sedang, intrusi air asin.
Akuifer produksi sedang, muka air tanah 0-1 m di bawah muka tanah setempat payau-tawar
Setempat akuiver produktif, muka air tanah 1-3 m di bawah muka tanah setempat, tawar
Air tanah produktif dari pegunungan
Setempat akuiver produktif
Akuifer Produktif sedang
KEGEMPAAN
Zona 4, = 0,13-0, 20g Daerah dengan resiko sedang
Zona 4, = 0,13-0, 20g Daerah dengan resiko sedang
Jalur patahan, Zona 3, = 0,20-0,25g, daerah dengan resiko agak tinggi
Jalur patahan, Zona 3, = 0,20-0,25g, daerah dengan resiko agak tinggi
Jalur patahan, Zona 3, = 0,25g, dengan resiko agak tinggi
Jalur patahan, Zona 3 Jalur patahan, zona 2 = 0,25-0,33g, daerah = 0,25-0,33g, daerah dengan resiko agak dengan resiko agak tinggi. tinggi
-
GL-8
Abrasi
Jalur patahan, zona 2 = 0.25-0,33g, daerah dengan resiko agak tinggi
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
8
○ ○ ○ ○
3.1 Batimetri Perairan Pantai Barat Lampung memanjang dari arah Barat Laut ke Tenggara, membentuk garis pantai yang relatif lurus. Seperti halnya pantai-pantai yang berhadapan dengan perairan Samudera, kondisi Pantai Barat adalah curam. Kecuraman pantai di bagian Barat Lampung mempunyai gradasi dari yang curam di bagian Utaranya hingga yang berkurang kecuramannya di bagian Selatan. Garis isobath (garis khayal yang menghubungkan kedalaman perairan yang sama) 10 m ditemui kurang dari 1 km di Utara hingga 3 km di Selatan. Kedalaman rata-rata perairan Teluk Semangka sekitar 60 m, tetapi sekitar 15 km dari arah teluk kedalaman mencapai 200 m. Isobath 200 m berbelok memasuki Teluk Semangka, dan mencapai 360 m di sebelah Timur Laut P. Tabuan. Teluk lampung mempunyai kedalaman rata-rata 25 m. Di mulut teluk kedalaman berkisar antara 35 hingga 75 m yang ditemui di Selat Lagundi. Menuju ke kepala teluk, perairan mendangkal sekitar 20 m pada jarak yang relatif dekat dengan garis pantai. Kondisi Pantai Timur berlawanan dengan Pantai Barat. Garis isobath 5 m berada pada jarak 12 km di Utara dan 6 km di sebelah Selatan.
Kisaran tinggi muka laut rata-rata mencapai sekitar 176 cm. Kisaran pasut yang besar terjadi pada waktu pasut purnama, sedangkan kisaran pasut yang kecil terjadi pada saat pasut perbani. Pasut purnama adalah pasang yang tertinggi (dan surut terendah) yang dialami oleh suatu perairan, terjadi pada waktu bulan purnama ataupun bulan mati. 3.3 Cuaca dan Arus Musim Iklim di perairan pesisir, terutama Pantai Barat Lampung dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan oleh adanya angin muson dan curah hujan yang tinggi, sekitar 2500 - 3000 mm/tahun (Stasiun Kalianda, 1991). Angin berhembus dari arah Selatan selama bulan Mei sampai September, dan dari arah yang berlawanan selama bulan November sampai Maret. Berlawanan dengan arah angin, arus musim di Pantai Barat Lampung sepanjang tahun mengalir ke arah Tenggara hingga Barat Daya. Kondisi ini diperkirakan disebabkan oleh gradien tekanan antara perairan di Barat Laut dengan perairan di bagian Tenggara dari Pantai Barat Sumatera. Kekuatan arus berkisar antara 1 cm/s hingga 45 cm/s. Pada musim barat antara bulan November hingga bulan Maret, arus mengalir dengan kecepatan 27 cm/s hingga 45 cm/s dan mencapai kecepatan maksimum pada bulan Desember. Arus pada musim barat ini mengalir dengan tetap menuju ke arah Tenggara. Sedangkan arus pada musim timur antara bulan April hingga Oktober melemah dengan kisaran kecepatan 1 cm/s hingga 36 cm/s. Pada bulan Juli arus mencapai minimum, berkisar antara 1 cm/s hingga 5 cm/s. Di perairan mulut teluk, kekuatan arus rata-rata bulanan berkisar antara 1 cm/s hingga 45 cm/s, di mana kecepatan maksimum terjadi pada bulan Januari dan Februari, dan kecepatan minimum pada bulan Maret dan April. Arus rata-rata bulanan di Selat Sunda ini umumnya mengalir ke arah Lautan Hindia, kecuali pada bulan Maret, Agustus, dan Oktober. Bulan Maret, arus mengalir ke Timur Laut (dari Lautan Hindia menuju Laut Jawa) dengan kecepatan rata-rata 1 cm/s. Agustus dan Oktober, arus mengalir ke Timur dengan kecepatan 23 cm/s pada Agustus dan 5 cm/s pada Oktober. Di perairan Pantai Timur Lampung, kecepatan arus rata-rata bulanan berkisar antara 0 cm/s hingga 45 cm/s. Kecepatan maksimum terjadi pada bulan Januari dan Februari (kecepatan rata-rata mencapai 45 cm/s), sedangkan kecepatan minimumnya ditemui pada bulan Maret (kecepatan rata-rata berkisar antara 0,0 hingga 1,0 cm/s). Arah arus pada umumnya mengalir ke arah Selatan, kecuali pada bulan Maret di mana arus mengalir ke arah Timur Laut.
3.2 Pasang Surut Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur, dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari (harian). Karena posisi bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir teratur, maka besarnya kisaran pasut juga berubah mengikuti perubahan posisi-posisi tersebut. Jika perairan tersebut mengalami satu kali pasang dan surut per hari, maka kawasan tersebut dikatakan bertipe pasut tunggal. Jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari, maka pasutnya dikatakan bertipe pasut ganda. Tipe pasut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, dan dikenal sebagai pasut campuran. Tipe pasut ini dapat berubah tergantung terutama pada kondisi perubahan kedalaman perairan atau geomorfologi pantai setempat. Di perairan sebelah Barat dan Barat Daya Lampung, tipe pasut yang ditemui akan mirip dengan tipe pasut Samudera Hindia, yaitu tipe pasut campuran dengan dominasi pasut ganda (Pariwono, 1985). Pengaruh pasut dari Lautan Hindia ini diperkirakan merambat memasuki perairan teritorial Indonesia melalui Selat Sunda. Karena kondisi geografis di Selat Sunda dan Laut Jawa yang dangkal, pasut yang merambat masuk mengalami perubahan dari pasut bertipe campuran dengan dominasi ganda menjadi tipe pasut campuran dengan dominasi tunggal di Laut Jawa.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
K ONDISI OSEANOGRAFI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
9
GAMBAR 4. Salinitas Permukaan Rata-rata Bulanan (psu) Baratdaya Sumatera dan Laut Jawa (Wyrtki, 1961)
3.4 Gelombang Pada umumnya, kondisi gelombang di suatu perairan diperoleh secara tidak langsung dari data angin yang terdapat di kawasan perairan tersebut. Hal ini didasari atas kondisi umum yang berlaku di laut, yaitu sebagian besar gelombang yang ditemui di laut dibentuk oleh energi yang ditimbulkan oleh tiupan angin. Gelombang jenis ini dikenal sebagai gelombang angin. Kuat lemahnya gelombang ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kecepatan angin, lamanya angin berhembus (duration), dan jarak dari tiupan angin pada perairan terbuka (fetch). Pantai Barat mempunyai gelombang yang paling besar di daerah Lampung, karena Pantai Barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Gelombang paling besar dapat terjadi di musim Barat. Hal ini sangat membahayakan bagi para nelayan dan pelayaran. Kondisi gelombang di perairan daerah kepala Teluk Lampung diperoleh dari data sekunder, yaitu dari PT (Persero) Pelindo II Cabang Panjang. Dari informasi tersebut diketahui bahwa gelombang besar di perairan sekitar Panjang terjadi pada bulan-bulan Juni - November. Tinggi gelombang yang ditemui di perairan tersebut berkisar antara 0,50 - 1,00 m
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
3.5 Suhu dan Salinitas Suhu rata-rata bulanan permukaan laut di barat Sumatera relatif stabil sepanjang tahun, berkisar antara 28 - 29 0C, dengan suhu maksimum ditemui pada bulan Mei dan suhu minimum pada bulan Oktober (Wyrtki, 1961). Diperkirakan kisaran suhu ratarata bulanan permukaan perairan di Teluk Lampung lebih besar karena kondisi geografis perairan teluknya. Hal ini didasarkan pada kondisi perairan Teluk Lampung yang mempunyai akses langsung dengan perairan lepas dari Lautan Hindia melalui Selat Sunda. Sedangkan suhu rata-rata bulanan untuk perairan di sebelah Timur Propinsi Lampung hampir sama dengan suhu dari Laut Jawa karena perairan sebelah Timur Propinsi Lampung merupakan bagian dari Laut Jawa. Data salinitas perairan sebelah Baratdaya Sumatera dan Laut Jawa diperoleh dari Wyrtki (1961). Perubahan nilai salinitas rata-rata bulanan di sebelah Barat Daya Sumatera disajikan pada Gambar 4. Salinitas permukaan di perairan ini berkisar antara 32,50 - 33,60 psu, di mana salinitas minimum ditemui pada bulan Januari dan nilai salinitas maksimum terjadi pada bulan Agustus. Pada bulan Februari salinitas di perairan ini meninggi mencapai 32,9 psu. Diperkirakan kisaran salinitas di perairan Pantai Barat dan Pantai Timur Lampung tidak akan jauh berbeda dengan yang tersaji pada Gambar 4.
3.6 Abrasi dan Sedimentasi Sedimen dasar perairan pantai Propinsi Lampung di sebelah Barat termasuk tipe fore-arc basins, yaitu yang terbentuk antara accretion prism dan vulcanic arc. Berbeda dengan di bagian Barat, sedimen dasar perairan di sebelah Timur Propinsi Lampung termasuk tipe back-arc basins, yaitu cekungan (basin) yang terbentuk akibat peregangan kulit benua (continental crust), menipis, dan meretak (Tomascik et al. 1997). Umumnya back-arc basins terletak di belakang vulcanic arc. Sedimen dasar Teluk Lampung dan Teluk Semangka bagian Timur merupakan kelanjutan dari sedimen di Pantai Timur Lampung. Proses tergerusnya garis pantai (abrasi) dan bertambah dangkalnya perairan pantai (sedimentasi, pengendapan) merupakan proses alami yang dapat terjadi di semua pantai. Jika terjadi proses abrasi di suatu kawasan pantai, maka sesuai dengan hukum atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
10
GAMBAR-5 Citra SPOT 28 April 1996 Daerah Teluk Lampung
keseimbangan, akan ada kawasan pantai di tempat lain yang bertambah. Kondisi sebaliknya juga berlaku. Di Pantai Barat, proses abrasi terdapat di hampir sepanjang pantai, meliputi Curup - Singing, Teluk Krui, dan Negeri (CRMP, 1998). Ada pula daerah yang mengalami proses sedimentasi, yaitu terutama di daerah muara-muara sungai. Keadaan tersebut dapat dilihat pada Peta Geomorfologi Pesisir. Proses abrasi yang terjadi di Pantai Barat ini relatif kecil dan berskala lokal. Di Teluk Lampung, proses abrasi terjadi di pantai antara kaki Gunung Rajabasa dengan Ketapang. Proses abrasi tersebut terjadi pada tanah pematang di tepi pantai yang mempunyai ketinggian sekitar 1 m. Proses abrasi juga ditemui di daerah kepala Teluk Semangka. Hasil peninjauan lapangan di pantai antara Kota Agung dan Sukabanjar memberikan indikasi bahwa proses abrasi terjadi di sepanjang pantai sekitar 1,5 km. Daerah pantai di lokasi ini terdiri dari batuan berukuran kecil hingga sebesar kepalan tangan. Belum diketahui secara pasti apakah proses abrasi tersebut disebabkan karena pengambilan batu-batu oleh masyarakat di pantai itu, atau karena proses lainnya.
Di kawasan Pantai Timur Propinsi Lampung, abrasi yang kuat ditemui antara Labuhan Maringgai (garis pantai mundur 300 meter sejak tahun 1992), Ketapang, hingga Bakauheni. Sedangkan proses sedimentasi ditemui terutama di muaramuara sungai besar seperti Way Mesuji, Way Tulangbawang, dan Way Seputih. Sumber sedimen ini berasal dari lumpur yang terbawa sungai dari daerah hulu dan terendapkan di muara, yang mengakibatkan pertumbuhan garis pantai berbentuk cakar ayam (CRMP, 1998).
GAMBAR-6 Citra SPOT 2 Juni 1996 Daerah Teluk Lampung
3.7 Kualitas Perairan Teluk Lampung Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Lampung No. 10 Tahun 1993 tentang Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi, perairan Teluk Lampung terutama pesisirnya diperuntukkan antara lain sebagai kawasan pariwisata. Di wilayah ini juga beroperasi beberapa industri, antara lain tiram mutiara dan pembesaran ikan laut di dalam jaring apung. Selain itu, di perairan yang sama juga terdapat beberapa industri yang dapat menyebabkan lingkungan yang tidak bersih. Sedikit kontroversial antara berbagai kegiatan yang sekarang beroperasi di sekitar Teluk Lampung. Kegiatan pariwisata, rekreasi, dan budidaya mutiara, misalnya menghendaki perairan yang bersih dan jernih. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
11
Sebaliknya, industri semen, batubara, kayu, minyak, rencana pabrik kertas dan kegiatan reklamasi pantai, misalnya, justru akan menghasilkan limbah yang dapat merusak lingkungan. Sementara ini ada keluhan dari beberapa pengguna perairan Teluk Lampung yang mengatakan bahwa perairan tersebut mulai turun kualitasnya. Karena keluhan tersebut tidak disertai dengan data yang mendukung, maka belum dapat diambil kesimpulan apakah memang kualitas perairan Teluk Lampung menurun. Hasil penelitian tentang kualitas air perairan Teluk Lampung memang sangat kurang. Parameter suhu, salinitas, pH, kecerahan, kekeruhan, kandungan minyak, Cu, dan coliform di perairan Teluk Lampung, misalnya, masih tergolong memenuhi syarat baku mutu untuk pariwisata dan rekreasi maupun tujuan budidaya perikanan dan biota laut (lihat Tabel-2). Sebaliknya COD dan kandungan Cd sudah berada di luar batas yang diperbolehkan untuk tujuan kegiatan yang sama. Sedangkan BOD, kandungan oksigen terlarut, Cr, Pb, dan padatan tersuspensi masih memenuhi syarat untuk tujuan rekreasi maupun budidaya di beberapa tempat, tetapi sudah berada di luar batas yang diperbolehkan di beberapa tempat yang lain. Oleh karena itu dibuat suatu formula yang dapat mencerminkan kualitas perairan berdasarkan kandungan beberapa parameter kunci. Parameter kunci tersebut adalah pestisida, logam berat (Hg, Cd, Cu, Pb, dan Cr), minyak, coliform, TSS, dan bahan organik (BOD dan COD). Dengan melakukan pembobotan dan skoring serta penjumlahan nilai, akan didapat nilai akhir yang mengklasifikasikan kualitas perairan. Berdasarkan formula tersebut, dapat disimpulkan bahwa perairan Teluk Lampung bagian dalam diklasifikasikan memiliki kualitas perairan yang cukup baik, dengan taraf tercemar ringan. Di beberapa lokasi, seperti beberapa industri, TPI, dan pemukiman kumuh telah terjadi pencemaran.
TABEL-2 Nilai Konsentrasi Parameter Kualitas Air di Perairan Teluk Lampung No.
3.8 Isu - isu Oseanografi 1. Kondisi oseanografi di perairan Lampung sudah banyak mendapat perhatian peneliti, tapi penelitian yang dilakukan hanya di beberapa titik (sample) saja di suatu wilayah. Selain itu, penyebarluasan hasil penelitian juga sangat terbatas sehingga belum banyak orang/masyarakat yang mengetahui apa yang dihasilkan. 2. Belum ada informasi tentang perubahan atau dinamika pantai di Pantai Timur, abrasi dan sedimentasi (musiman, tahunan ?) 3. Data atau informasi tentang kualitas perairan masih umum dan tidak kontinyu. 4. Dari citra SPOT Juni 1996 dan April 1996, menunjukkan bahwa dinamika perairan Teluk Lampung cukup tinggi yang digambarkan dengan pola sebaran padatan tersuspensi termasuk bahan pencemar yang berbeda nyata (Gambar 5 dan 6).
Parameter
Satuan
1.
Suhu
o
2.
Kisaran
Baku Mutu
C
28,0-31,5
Alami
Salinitas
Psu
22,8-23,5
_ 10%) Alami ( +
3.
pH
-
7,96-8,22
6,5-8,5
4.
Pembacaan Seichi disk
M
1,13-7,55
>3
5.
Kekeruhan
NTU
1,61-3,37
<3
6.
Oksigen Terlarut
mg/l
3,2-6,2
>4
7.
BOD5
mg/l
10-40
< 40
8.
COD
mg/l
398-123
< 40
9.
Minyak (Lapisan)
mg/l
-
10.
Coliform
Sel/100ml
0-700
< 1.000
11.
TSS
mg/l
10-34
< 23
12.
Logam Berat: -Hg (Air Raksa)
mg/l
<0,001-0,104
< 0,003
-Cr (Crom)
mg/l
0,009-0,054
< 0,01
-Pb (Timbal)
mg/ll
0,019-0,069
< 0,01
-Cu (Tembaga)
mg/l
0,013-0,031
< 0,06
-Cd (Cadmium)
mg/l
0,024-0,044
< 0,01
Sumber Baku Mutu
-
: Hasil Analisis, 1999 : Kep-02/Men-KLH/1988 atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
12
GAMBAR-7 Peta Arus Pasang Surut
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
13
○ ○ ○
4.1 Habitat Utama Garis pantai Lampung sangat panjang, 1.105 km (CRMP, 1998) dan beragam yang menampilkan lebih dari 15 jenis habitat yang berbeda, termasuk lingkungan yang dibuat manusia seperti tambak udang dan perkotaan. Pantai Barat hampir seluruhnya didominasi oleh pantai berpasir, hutan pantai tipe Barringtonia, dengan sisipan tanaman perkebunan rakyat, dan dataran rendah yang berhutan Meranti (Dipterocarpaceae) sebagai kelanjutan dari Taman Nasional Bukit Barisan. Pantai sekitar teluk (Teluk Lampung dan Teluk Semangka) pada dasarnya mempunyai tipe yang sama, namun mengalami degradasi dan kohesi lebih besar lagi karena dampak urbanisasi. Kawasan yang semula merupakan hutan mangrove telah berubah menjadi tambak udang, terutama pada beberapa teluk dan muara sungai. Yang sangat jelas terlihat di Pantai Timur adalah daerah tambak udang yang luas dan sedikit sisa hutan mangrove. Terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut dapat dijumpai di sepanjang daratan sempit sekitar pulau-pulau di bagian selatan dan barat. Sebagian habitat ini tumbuh dengan baik di Teluk Lampung dan di Pantai Barat. Hutan rawa di Pantai Timur sudah banyak dikeringkan, dikonversi menjadi sawah dan tambak, dan pohonnya ditebangi sehingga fungsi rawanya telah berubah. Hutan rawa air tawar merupakan lingkungan yang khas di Pantai Timur, namun tinggal sedikit dan dalam kondisi kritis. Sisa paya-paya, rumput, dan Gelagah (Saccarum spontanium) yang masih ada di sepanjang Way Mesuji, Way Tulang Bawang, dan Way Seputih merupakan kolam raksasa pengendali banjir.
Daerah tujuan transmigrasi di Rawa Sragi, Rawa Jitu, dan Rawa Pitu meliputi luas areal 51.500 ha. Akhir-akhir ini terjadi perubahan pemanfaatan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tebu, terutama terjadi di Mesuji dan Way Seputih. Kegiatan penebangan pohon dan pembakaran juga berperan dalam mengubah rawa yang masih ada menjadi lahan Gelam (Melaleuca cajuputi) dan paya-paya gelagah, yang keduanya merupakan tanaman sekunder. 4.2.2 Ancaman. Seluruh hutan mangrove di Lampung akan punah dalam beberapa tahun seandainya pengubahan ke tambak udang tidak dikontrol/diawasi. Mungkin yang tersisa hanya mangrove yang terdapat di pulau-pulau wilayah teluk. Reklamasi dan pendangkalan yang terus berlanjut di daerah pengendalian banjir Way Tulang Bawang (paya-paya belukar) akan membahayakan fungsinya bagi perikanan, kelestarian hidup burung air yang di kenal dunia internasional dan nasional, serta sebagai pengendali banjir bagi daerah sekitarnya. Penangkapan ikan dengan bom merupakan masalah khusus di Teluk Lampung, di mana setidaknya 29 perahu lokal diperkirakan menggunakan cara yang merusak ini. Penggunaan bom merupakan gejala yang baru; yang dimulai pada tahun 1975 setelah diperkenalkan oleh satu keluarga Bugis. Belum diketahui secara pasti apakah penggunaan bom juga terjadi di perairan Pantai Barat. Di sekitar perairan teluk dan Pantai Barat terjadi pemanfaatan rumput laut yang berlebihan. Pemanfaatan berlebihan dengan cara pengumpulan ini telah merusak rumput laut alami yang ada di wilayah tersebut. Eksploitasi rumput laut di Pantai Barat ini sekitar 4 ton berat kering/bulan (Buyung. pers com, 1998). Hampir sepanjang Pantai Barat, Kepulauan Krakatau, dan Pulau Segamat (Lampung Timur) merupakan tempat penyu bertelur. Kepulauan Krakatau dan Pulau Segamat telah mengalami dampak dari perburuan dan pengambilan penyu tersebut. Sampai saat ini, Penyu hijau tetap diburu secara luas dan di jual sebagai cindera mata di tempattempat rekreasi seperti Pantai Pasir Putih. Padahal, Penyu hijau ini masuk dalam Apendix I CITES sebagai fauna yang dilarang untuk diperdagangkan. Sebaran habitat pesisir dapat dilihat pada Peta Sebaran Habitat dan Daerah-daerah Rawan Banjir, Kebakaran, dan Pengeboman Pesisir Lampung.
4.2 Penggunaan dan Ancaman 4.2.1 Penggunaan. Pemanfaatan lahan di sepanjang Pantai Barat, terutama untuk perkebunan rakyat telah berlangsung lebih dari 100 tahun. Pantai Timur mengalami perubahan luar biasa selama 15 tahun terakhir. Jutaan orang masuk dari Jawa, Sulawesi Selatan dan Bali, baik dalam program pemerintah ataupun swakarsa, yang pada gilirannya membuat 90% hutan mangrove diubah menjadi lahan tambak udang dan reklamasi (pembuatan tanggul) dari hampir semua rawa menjadi lahan pertanian. Saat ini luasan mangrove di Pantai Timur tinggal sekitar 2.000 ha (CRMP, 1998) dari semula 20.000 ha. Habisnya mangrove ini merupakan penyebab utama abrasi yang terjadi di sepanjang Pantai Timur (sekitar Labuhan Maringgai). Tapi dampak negatifnya terhadap perikanan tangkap laut masih belum diketahui secara pasti.
4.3 Flora dan Fauna Pantai berpasir, pantai berbatu, dan hutan pantai mempunyai susunan tumbuhan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
EKOSISTEM PESISIR LAMPUNG
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
14
GAMBAR-8 Peta Sebaran Habitat dan Daerah Rawan Banjir
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
15
yang didominasi oleh formasi Barringtonia, seperti Ketapang (Terminalia catappa), Waru Laut (Hibiscus tiliaceus), Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Cemara (Casuarina equisetifolia), dan Rasau Putih (Pandanus tectorius). Penebangan pohon, pembakaran hutan, dan pembukaan lahan secara regular yang terjadi di masa lampau, mengakibatkan terjadinya dominasi lokal oleh Pandanus sepanjang Pantai Barat atau Casuarina sepanjang pantai Taman Nasional Way Kambas. Satwa langka yang dijumpai di pantai Lampung adalah terutama tiga jenis penyu, yaitu Penyu Hijau (Chelonia midas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), dan Penyu Belimbing (Dermochylis cariacea). Sekarang ini, ketiga penyu tersebut telah semakin langka dan secara umum terancam kelestariannya. Menurut CITES dan UU No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistem Indonesia, dilarang untuk mengeksploitasi dan memperdagangkan penyu atau produk dari penyu. Penyu laut secara umum terancam kelestariannya dengan kepunahan secara perlahan. Oleh karena itu, penyu dilindungi di seluruh dunia. Setiap pantai tempat bertelurnya penyu menjadi penting untuk diperhatikan. Karena itu, diperlukan program yang terfokus dan berbasis masyarakat, guna menghentikan eksploitasi penyu yang melanggar hukum. Bibit Tidak ada lagi hutan rawa primer di Lampung. Kegiatan penebangan, pembakaran, dan gangguan hidrologis telah menghasilkan habitat rawa sekunder, termasuk hutan gelam, semak belukar, putri malu, dan paya belukar. Habitat ini sebagian besar dapat dijumpai di bagian Timur Laut Lampung. Hutan gelam dapat mencapai tinggi 10 - 12 meter, dan hampir seluruhnya didominasi oleh Melaleuca cajaputi dengan bagian bawah yang rimbun oleh pakis dan semak belukar. Pembakaran atau kebakaran menyebabkan sulitnya hutan rawa ini mempunyai keanekaragaman tanaman rawa yang tinggi. Putri Malu (Mimosa pigra) yang tumbuh sebagai belukar rawa membentuk rawa bersemak, dengan campuran Barringtonia acutangula, Gluta renghas, Lagerstroemia speciosa. Fagraea fragrans, Licula paludosa, dan Pholidocarpus sumatrana merupakan tanaman yang lazim dijumpai di hutan rawa. Paya-paya seperti ini dapat dijumpai dekat Menggala dan sepanjang Way Tulang Bawang. Daratan rawa Way Tulang Bawang mendukung kehidupan dua koloni terbesar burung air di Indonesia. Daerah ini merupakan tempat berkembang biak bagi Black-crowned Night Heron (diperkirakan 1.677 pasang) dan Oriental Darter (48 pasang) serta koloni kedua di Sumatera (yang terbesar ) untuk Kuntul Jawa (30.338 pasang) dan salah satu tempat utama berkembang biaknya Bangau (Great Egret) sebanyak 1.202 pasang. Sungai-sungai dan rawa-rawa mempunyai keanekaragaman ikan yang tinggi, termasuk
Mangrove di antara mangrove dewasa, Padang Cermin Lampung Selatan.
88 jenis ikan tercatat di bagian hilir Way Tulang Bawang, tidak termasuk jenis di sekitar muara dan lautan. Jenis-jenis yang khas termasuk ikan Baung (Mystus nemurus), Arowana (Scleropagus formosus), Belida (Notopterus chilata dan N. borneensis), serta Malas (Oxyeleotris marmorata). Tiga jenis terakhir ini sudah menjadi semakin langka didapat karena penangkapan lebih, hilangnya habitat berkembang biak, dan pencemaran air oleh industri. Mangrove Keanekaragaman mangrove di Lampung rendah. Sebagian besar didominasi oleh Api-api (Avicennia alba dan Avicennia marina) pada lahan yang baru terbentuk, ditunjang oleh Buta-buta (Bruguiera parviflora dan Excoecaria agallocha) yang lazim dijumpai di daerah muara. Agak ke hulu dijumpai Nipah (Nypa fruticans), Pedada (Sonneratia caseolaris), dan Xylocarpus granatum yang menunjukkan adanya pengaruh air tawar. Bakau (Rhizophora stylosa) terbukti mendominasi mangrove yang berasosiasi dengan terumbu karang. Hal ini terdapat di sepanjang pantai dan pulau-pulau di Teluk Lampung. Vegetasi Mangrove di kawasan Labuhan Maringgai (Pantai Timur Lampung) memiliki ketebalan relatif tipis, yaitu bervariasi antara 50 hingga 150 meter. Hamparan mangrove di kawasan ini membujur dari daerah Way Sekampung bagian selatan hingga ke utara atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
16
GAMBAR-9 Peta Sebaran Mangrove
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
17
daerah Way Penet (perbatasan kawasan Taman Nasional Way Kambas). Di wilayah ini, selain tumbuhan alami, mangrove juga di tanam oleh instansi kehutanan setempat. Vegetasi tanaman mangrove yang ditanam manusia (non-alami) memiliki karakteristik antara lain: jenis yang ditanam adalah Rhizophora mucronata, dengan tingkat pertumbuhan semai dengan jarak tanam 2 X 2 meter, dan 4 X 4 meter. Jenis ini tergolong ke dalam kelompok mangrove sejati. Selain dari jenis mangrove sejati, kawasan ini juga ditumbuhi oleh jenis dari kelompok mangrove semu (false mangrove) yaitu jenis Avicennia marina dan Nypa fruticans. Konsosiasi (mono-species) Avicennia marina yang terdapat di daerah Sriminosari, Labuhan Maringgai terdiri dari konsosiasi tingkat sapihan dengan kerapatan 2.500 batang/ha yang tumbuh di habitat yang lebih mantap. Konsosiasi Avicennia marina tingkat semai terdapat terutama pada habitat yang kurang mantap dan di daerah timbul. Kerapatan dari konsosiasi ini adalah 4.000 batang/ha. Selanjutnya untuk jenis Nypa fruticans, banyak tumbuh di sepanjang sisi sungai, seperti Way Penet. Mengingat jenis vegetasi ini hidup di daerah dengan salinitas yang lebih rendah, maka banyak tumbuh di daerah lebih hulu dari suatu sungai. Kondisi vegetasi mangrove di kawasan Taman Nasional Way Kambas (sekitar Way Kanan) tidak banyak berbeda dengan daerah Labuhan Maringgai, khususnya dalam hal ketebalan. Bahkan di daerah ini, ketebalan mangrove sangat tipis, dengan ratarata ketebalan sekitar 5 meter. Vegetasi mangrove di kawasan ini terkonsentrasi di sepanjang Way Kanan dan Way Penet. Jenis vegetasi yang mendominasi kawasan mangrove di daerah ini adalah jenis mangrove sejati Rhizophora mucronata dengan kerapatan sekitar 400 batang/ha. Tipe vegetasinya merupakan konsosiasi dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 300. Tingkat pertumbuhan jenis ini adalah dari kelompok sapihan. Selain kedua jenis dominan tersebut, khúsusnya di sepanjang sungai dijumpai vegetasi jenis Nypa fruticans. Rawa terdapat juga di dalam kawasan Taman Nasional Way Kambas, yakni di sekitar wilayah Way Kanan. Di dalam rawa ini terdapat juga konsosiasi gelam. Selain dari konsosiasi itu nampak konsosiasi Nibung (Oncosperma tigillaria) dan konsosiasi Sedeng (Livistonia rotundifolia ). Di daerah sempadan sungai banyak tumbuh jenis-jenis Merbau (Initsia palembanica), Barringtonia septica, Eugenia viridis, dan pelbagai anggota Ficus dan Rengas (Gluta renghas). Di wilayah pesisir Kabupaten Tulang Bawang (sekitar PT. Central Pertiwi Bahari) terdapat 2 jenis yang dominan, yaitu jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Untuk jenis Rhizophora mucronata, kawasan ini merupakan konsosiasi hasil tanaman manusia dengan jarak kerapatan sebesar 5 X 5 meter. Seluruh habitat mangrove di lokasi ini berupa konsosiasi, sehingga memiliki nilai INP sebesar 300, serta dengan kerapatan
berkisar antara 257 ind/ha hingga 2500 ind/ha. Ketebalan mangrove di wilayah ini juga bervariasi antara 150 meter hingga 1.200 meter. Tingkat pertumbuhan vegetasi mangrove juga bervariasi, mulai dari tingkat sapihan, semai, tihang, hingga pohon. Untuk tingkat tihang dan pohon (Avicennia marina), nilai potensinya masing-masing 141 m³/ha (pohon) dan 22 m³/ha (tihang). Selain kedua jenis dominan tersebut, di kawasan ini khususnya di sepanjang sungai dijumpai vegetasi jenis Nypa fruticans. Komunitas mangrove di Desa Durian Kecamatan Padang Cermin - Lampung Selatan berupa asosiasi (multi-species), dengan jenis dominan Rhizophora mucronata. INP berkisar antara 236 hingga 249 dan dengan kerapatan berkisar antara 188 ind/ ha hingga 530 ind/ha. Tingkat pertumbuhan pohon di kawasan ini adalah sapihan, tihang, dan pohon. Untuk tihang, nilai potensinya adalah sebesar 212 m³/ha dan untuk pohon sebesar 278 m³/ha. Ketebalan mangrove antara 1 dan 1,5 km. Berbeda halnya dengan komunitas mangrove di Desa Durian, maka tipe vegetasi di Desa Sidodadi (Padang Cermin) bertipe konsosiasi, dengan jenis Rhizophora mucronata sebagai jenis yang dominan dan memiliki INP sebesar 300. Kerapatan individu di daerah ini adalah sebesar 900 ind/ha, dan dengan potensi tihang sebesar 754,7 m3/ha. Komunitas mangrove memiliki ketebalan sekitar 4 km. Sebaran mangrove dapat dilihat pada Peta Sebaran Mangrove Pesisir Lampung. Tidak ada fauna yang tercatat tetap tinggal di mangrove. Beberapa jenis burung air seperti Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Bangau Tontong (Leptoptilus javanicus), Milky Stork (Mycteria cinerea), Storm’s Stork (Ciconia stormi), Pasific Reef Egret atau Kuntul (Egretta sacra), Itik (Anas gibberifrons dan Anas querquedula) serta beberapa burung rawa seperti Tringa totanus dan Actitis hypoleucos memakai hamparan lumpur, mangrove, dan rawa belakang sepanjang Pantai Timur sebagai tempat mencari makan dan bersarang. Beberapa dari burung-burung tersebut membangun sarangnya lebih ke darat lagi. Koloni-koloni burung besar dapat dijumpai di paya-paya sepanjang Way Tulang Bawang (dekat dengan Menggala). Kecuali tipe vegetasi yang telah diuraikan, pesisir Lampung memiliki berbagai ragam komunitas tumbuhan. Umumnya komunitas-komunitas tersebut terdiri dari jenis tanaman budidaya. Ragam komunitas tanaman budidaya yang nampak bernilai penting bagi masyarakat adalah: 1. Perkebunan kelapa yang terutama terdapat di wilayah Padang Cermin, dapat dibedakan menjadi tanaman rakyat yang terdiri dari varietas ‘dalam’ dengan kondisi yang cukup tua dan tanaman perkebunan yang terdiri dari jenis hibrida 2. Komunitas tanaman dalam areal kebun talun. Jenis utamanya adalah Lada (Piper nigrum) dan beberapa varietas Pisang (Musa sp.) atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
18
GAMBAR-10 Peta Kondisi Terumbu Karang di Teluk Lampung
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
19
3. Persawahan/Padi (Oryza sativa).
pembuangan jangkar. Berbeda dengan kawasan Pantai Timur dan Teluk Semangka, kawasan Teluk Lampung memiliki kisaran persen penutupan karang batu yang luas (0 - 75%). Kecenderungan penutupan karang batu di Pantai Timur adalah bahwa pada kawasan yang dekat dengan pangkalan angkatan laut memiliki persen penutupan yang relatif tinggi (40 - 80%), sedangkan pada lokasi yang semakin jauh dari pangkalan angkatan laut memiliki persen penutupan yang lebih rendah (0 - 35%) (Black, 1998). Dari hasil kajian dengan metode LIT (Line Intercept Transect) pada 8 pulau memperlihatkan kisaran penutupan karang batu antara 47.12 % - 91.65% (termasuk kategori baik dan sangat baik (Gomez dan Alcala, 1984)). Tidak ada perbedaan yang nyata antara kedalaman 3 meter dan 10 meter. Keanekaragaman (dilihat dari bentuk hidup karang batu) bervariasi antara 1,67% - 3,43%. Karang tipe Foliose mempunyai persen penutupan karang yang cukup besar (48,8% di P. Sulah, 28,53% di P. Tangkil, 21,26% di P. Balak, 20,65% P. Pahawang, dan 19,1% di P. Condong Laut). Hal ini dapat dilihat pada Peta Kondisi Terumbu Karang di Teluk Lampung. Umumnya kawasan terumbu karang yang dekat dengan pemukiman dan memiliki rataan yang cukup lebar, relatif kondisinya lebih buruk dibanding terumbu karang yang terletak agak jauh dari pemukiman dan dengan kondisi reef flat yang sempit. Kajian dampak kegiatan manusia (pencemaran, perikanan, pelayaran, erosi dan sedimentasi) terhadap ‘’kesehatan terumbu karang’’ belum ada pembuktiannya.
Terumbu Karang Kebanyakan terumbu karang di Lampung adalah dari jenis “fringing reefs”, dengan luasan relatif 20 - 60 meter. Pertumbuhan karang berhenti pada kedalaman 10 - 17 meter. Di bawah kedalaman itu terdapat lumpur atau hamparan pasir. Sejumlah terumbu karang tipe “patch reefs” tumbuh dengan baik, dan dapat dijumpai di sepanjang sisi barat Teluk Lampung. Pendataan awal menunjukkan terdapat sekitar 213 jenis karang keras yang berbeda di Selat Sunda (Kepulauan Krakatau, Teluk Lampung, Kalianda, Pulau-pulau di pesisir barat Pulau Jawa). Hal ini cukup sesuai bila dibandingkan dengan sekitar 139 jenis yang ditemukan di Kepulauan Seribu. Terumbu Karang di Kepulauan Krakatau menunjukkan total 113 jenis karang besar, sekalipun keanekaragaman jenis rata-rata per lokasi agak rendah (yakni 48,6 ± 9.2). Hasil survei memperlihatkan bahwa hampir di semua lokasi, kecuali Teluk Lampung, terumbu karang memiliki penutupan karang batu yang rendah (0 - 10%). Khusus untuk kawasan Teluk Lampung, penutupannya cukup besar yaitu mencapai 75% (CRMP, 1998). Pada bagian selatan Pantai Timur yaitu P. Rimau Balak, P. Mundu, P. Seram Besar, P. Seram Kecil, P. Kuali, dan P. Panjurit, kisaran penutupan karang batu memperlihatkan kisaran yang sangat rendah (0 - 10%). Dijumpai beberapa kegiatan seperti penebangan hutan bakau di kawasan P. Rimau Balak. Kegiatan ini mengakibatkan terjadinya sedimentasi yang cukup tinggi di kawasan perairan ini. Tingginya sedimentasi juga dijumpai pada kelima pulau lainnya. Kegiatan pengeboman ikan cukup dominan pada kawasan ini. Hal ini terlihat dari kerusakan terumbu karang yang umumnya berupa kerusakan fisik. Di samping kegiatan pengeboman, kegiatan penambangan karang batu untuk bahan bangunan dan hiasan (yang banyak diperjualbelikan di kawasan Kalianda) juga menjadi salah satu penyebab kerusakan terumbu karang. Sampai sejauh ini belum diketahui informasi tentang peraturan daerah yang mengatur penambangan karang batu. Namun jika mengacu pada UU Lingkungan nomor 5 Tahun 1990, sebenarnya sudah ada pembatasannya. Seperti halnya Pantai Timur, persen penutupan karang batu di kawasan Teluk Semangka juga rendah (0 - 10%). Pada kawasan ini sedimentasi dijumpai pada perairan sepanjang pantai. Di perairan P. Tabuan terlihat kerusakan terumbu karang berupa kerusakan fisik. Tipe dasar perairan yang dominan adalah pasir dan pecahan-pecahan karang. Di daratan dijumpai tumpukan karang mati yang akan digunakan untuk bahan bangunan dan menguruk jalan. Kerusakan utama terumbu karang di kawasan ini akibat penambangan karang batu dan pengambilan pasir untuk bahan bangunan dan
4.4 Fungsi dan Manfaat Habitat Pesisir Mangrove yang berkembang dengan baik memberikan fungsi dan keuntungan yang besar, baik dalam mendukung perikanan laut, memberi pasokan bahan bangunan, dan produk-produk lain bagi keperluan masyarakat setempat. Di samping itu, mangrove dapat menjaga stabilitas garis pantai. Namun karena kerusakan serius dan hilangnya mangrove di Lampung, maka tidak banyak lagi yang dapat diharapkan. Paya dan hutan rawa air tawar yang ada di Lampung juga mengalami kerusakan. Padahal, keduanya mempunyai fungsi hidrologis dan ekonomis bagi masyarakat pesisir. Paya dan hutan rawa tersebut akan menyimpan sejumlah besar air hujan dan air banjir, dan kemudian dilepaskan secara perlahan sehingga dapat digunakan untuk irigasi, konsumsi manusia dan pengisian kembali air tanah (sehingga mencegah intrusi air laut jauh ke daratan). Paya-paya itu menjadi penting dalam mendukung perikanan, terutama selama musim kemarau dan musim paceklik. Sedangkan koloni besar burung air yang hidup di dalamnya sungguh penting bagi usaha konservasi nasional dan internasional. Pantai yang indah dan pesisir yang berbatu-batu di Lampung Barat merupakan daya atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
20
tarik luar biasa bagi pengembangan pariwisata di masa mendatang. Namun demikian, kondisinya terpencil dan jauh dari pusat-pusat pariwisata, juga kurangnya dukungan infrastruktur seperti bandara setempat, hotel, pasokan air, dan sanitasi umum. Hal ini menghambat pertumbuhan bisnis pariwisata yang sehat. Selain itu, pulau-pulau dan terumbu karang di sekitar Teluk Lampung mempunyai prospek yang lebih cerah untuk pengembangan wisata bahari. Terumbu karang, khususnya di Teluk Lampung, sangat mendukung usaha-usaha perikanan yang produktif. Terdapat sekitar 1.600 bagan yang menggantungkan penghasilan tangkapannya di sekitar terumbu karang. Namun sangat disayangkan, ada indikasi beberapa nelayan bagan yang dalam usaha penangkapannya menggunakan bahan peledak. Terumbu karang juga penting dalam melindungi pantai dari erosi dan menyediakan pasir guna membentuk pantai berpasir. Tanpa adanya terumbu karang, maka banyak tempat wisata pantai akan musnah. Ironisnya, banyak obyek wisata menggunakan terumbu karang sebagai bahan reklamasi. 4.5 Isu-isu Pengelolaan Hampir punahnya mangrove di Lampung menuntut tindakan cepat. Pendekatan saat ini dengan program reboisasi telah gagal dan mangrove tetap diubah menjadi tambak udang. Ada suatu peluang untuk memperbaiki/menegaskan, memperkenalkan, dan memaksakan peraturan tentang “jalur hijau” (Keppres 32/1990 Pasal 27), yang digabungkan dengan stabilisasi produksi udang melalui pengelolaan sumberdaya air sehingga dapat memberikan hasil yang optimal. Guna melindungi usaha perikanan darat, pengendalian banjir, dan perlindungan burung air yang dikenal secara nasional dan internasional, maka paya-paya dari Buang Purus hingga Rawa Pancing sepanjang Way Tulang Bawang hendaknya dilindungi dari usaha pengeringan dan ditetapkan sebagai suaka alam, yang pengelolaannya melibatkan masyarakat setempat. Di samping itu, perlu adanya pengendalian terhadap pengambilan telur dan penangkapan burung muda dari masing-masing koloni burung. Pemberian izin menangkap ikan di sungai-sungai dan rawa-rawa hendaknya dihentikan, guna mendorong kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat setempat dan untuk menerapkan (kembali) tingkat pemanfaatan secara berkesinambungan. Perusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak haruslah dihentikan. Hal ini dapat dilakukan
melalui dua program yang dipusatkan pada: (a) Pengawasan ketat dan tindakan tegas terhadap beberapa kelompok nelayan yang diketahui menggunakan bahan peledak dan racun. (b) Pengembangan program oleh masyarakat setempat di pulau-pulau guna menerapkan kepemilikan terhadap sumberdaya terumbu karang, digabungkan dengan pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Pengawasan terhadap terumbu karang yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dapat menjadi “kontrol sosial”. Para petugas pengawas ini dapat juga sekaligus dilatih sebagai pemandu wisata bahari. Penyu memerlukan usaha-usaha perlindungan yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan menjaga habitat dan tempat bertelurnya penyu. Belum diketahui jenis, skala, dan dampak dari pencemaran sungai dan pesisir yang besar dari limbah perkotaan, erosi lahan dan garis pantai, serta yang berasal dari industriindustri pengolah hasil pertanian.
Kondisi terumbu karang yang baik di Teluk Lampung, Lampung Selatan.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
21
○ ○ ○ ○
Sungai sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir, karena fungsi-fungsinya untuk transportasi, sumber air bagi masyarakat, perikanan, pemeliharaan hidrologi rawa, dan lahan basah. Sebagai alat angkut, sungai membawa sedimen (lumpur, pasir), sampah, dan limbah serta zat hara, melalui wilayah pemukiman ke terminal akhirnya yaitu laut. Dampaknya adalah terciptanya dataran berlumpur, pantai berpasir, dan bentuk pantai lainnya. Seandainya debit sungai berkurang dan beban penggunaannya makin banyak, maka kualitas air semakin menurun sampai titik resiko yang membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Lampung mempunyai 5 sungai besar dan sekitar 25 buah sungai kecil, yang membentuk 8 Daerah Aliran Sungai (DAS), dapat dilihat pada Peta DAS-DAS Utama Propinsi Lampung. Lima sungai besar tersebut ditetapkan menjadi 3 (tiga) Satuan Wilayah Sungai (SWS). Ketiga SWS tersebut adalah Way Mesuji - Way Tulang Bawang; Way Seputih - Way Sekampung; dan Way Semangka. Sekitar 80% sungai-sungai di wilayah Lampung mengalir ke arah timur dan bermuara di Laut Jawa, seperti Way Mesuji, Way Tulang Bawang, Way Seputih, dan Way Sekampung. Sedangkan Way Semangka bermuara di Teluk Semangka. Lahan basah utama yang terdapat di Lampung adalah Rawa Jitu, Rawa Pitu, dan Rawa Sragi yang sebagian besar ada di wilayah Timur dan Timur Laut Propinsi Lampung. Fungsi-fungsi lahan basah ini antara lain: sebagai perikanan air tawar, menahan pasang air laut, sebagai kolam raksasa pencegah banjir, dan tempat suaka aneka burung air. Sungai-sungai di Pantai Timur berkaitan erat dengan 207.800 hektare rawa dan paya-paya yang pernah ada. Sebagian besar rawa dan paya-paya ini telah diubah menjadi lahan pertanian atau perkebunan dalam program transmigrasi besar-besaran. Sungai-sungai di wilayah Teluk Lampung dan Pantai Barat umumnya memiliki daerah tangkapan air yang sempit, karena daerahnya yang terjal atau berlereng (pengaruh pegunungan Bukit Barisan). Daerah ini termasuk tipe berenergi tinggi. Sebagian besar sungai-sungai di Lampung memiliki debit air yang kecil. Hanya Way Mesuji, Way Tulang Bawang dan Way Sekampung yang memiliki debit lebih besar dari 100 m3/detik (Tabel- 3). Semua sungai, kecuali beberapa di Pantai Barat, mempunyai variasi debit air yang nyata. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh musim terhadap sungai-sungai tersebut. Pasang naik di Pantai Timur dapat mendesak air payau ke hulu sejauh 40 - 50 km selama musim kemarau. Hal ini mengakibatkan terjadinya intrusi air laut ke dalam air tanah di daerah-daerah konversi rawa.
Lingkungan desa pesisir yang kurang sehat
5.1 Jenis-jenis Sungai di Lampung 5.1.1 Sungai Berair Hitam Bersifat asam, air berwarna hitam pekat karena kadar fenol dari tanin yang larut dari tanah gambut. Air sungai biasanya mengalir sangat pelan. Jenis sungai ini hanya terdapat di Pantai Timur seperti: Way Pedada (anak Way Tulang Bawang), Way Rasau, dan Way Wako di Way Kambas. Sungai berair hitam miskin zat hara utama, DO rendah, dan rendah produktivitas primernya. Ikan-ikan yang dapat dijumpai termasuk Arowana (Scleropagus formosus) menjadi sangat langka karena penangkapan yang berlebih dan kerusakan habitat. 5.1.2 Sungai Berair Coklat Seluruh sungai besar di Lampung masuk ke dalam kelompok berair coklat bercampur hitam yang kaya dengan zat hara dan endapan, akibat campuran anak sungainya dengan air gambut. Keanekaragaman jenis dan produksi ikannya tinggi karena percampuran habitat pemijahan yang kaya dan tingginya produktivitas primer. Lebih dari 88 jenis ikan ditemukan di perairan Way Tulang Bawang.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
D AERAH ALIRAN SUNGAI & SUMBER PENCEMARAN
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
22
GAMBAR-11 Peta DAS-DAS Utama
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
23
5.1.3 Sungai Berair Jernih Merupakan sungai-sungai berair deras, dengan kandungan zat hara cukup. Hampir semua berasal dari bukit berhutan lebat di Pegunungan Bukit Barisan. Belum diketahui apakah sungai-sungai jenis ini kaya dengan jenis ikan.
teluk dan Pantai Barat adalah 15 - 130 cm, sedangkan Pantai Timur mempunyai kisaran 80 - 160 cm (Dishidros, 1999). Jadi, hendaknya dipelihara jalur hijau (hutan mangrove) sebagai kawasan lindung antara 200-235 meter dari pantai (Keppres No.32 tahun 1990). Biasanya, rawa-rawa di Tulang Bawang atau Taman Nasional Way Kambas terendam air sekitar 1-3 meter pada bulan November sampai Maret, kemudian surut perlahanlahan. Hal ini sangat penting bagi hidrologi kawasan pantai dan kesetimbangan air tawar dengan air asin. Intrusi air laut yang jauh ke daratan merupakan masalah bagi masyarakat pesisir yang sehari-harinya tergantung pada air tanah sebagai air minum. Hal ini terjadi karena hampir punahnya hutan mangrove serta hilangnya rawa dan paya-paya di daratan serta pembukaan sawah.
5.2 Perikanan Sungai dan Rawa Ikan air tawar merupakan sumber protein, lebih-lebih pada saat paceklik (musim kemarau panjang). Umumnya bebas untuk menangkap ikan di wilayah lebung/ lebak tetapi dikelola secara tradisional dengan izin. Di luar wilayah itu, penangkapan ikan dapat dilakukan secara bebas, sehingga mengakibatkan pengurangan insentif dalam pengelolaan perikanan yang berkesinambungan. Diperkirakan sistem DAS Tulang Bawang mampu menghasilkan ikan 20 - 100 kg/ha/tahun, dengan 85% tangkapan berasal dari rawa-rawa. Hasil ini merupakan 40% dari total hasil tangkapan (laut dan daratan) diperoleh dari sungai dan rawarawa di Kabupaten Tulang Bawang. Kecenderungan yang terjadi adalah terjadinya penyusutan produksi ikan secara berangsur-angsur karena degradasi habitat sebagai akibat reklamasi, drainasi, konversi, pencemaran perairan, tangkap lebih, dan tertutupnya permukaan perairan oleh Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dan Kiambang (Salvinia molesta).
5.5 Pencemaran Sungai dan Pesisir Sumber polusi di Lampung berasal dari beberapa lokasi, seperti limbah agroindustri dan tambak udang. Selain itu, limbah kegiatan pertanian (pestisida dan pupuk kimia), limbah perkotaan, limbah rumah tangga, dan air drainasi merupakan sumber polusi yang lainnya. Sementara, sumbangan bahan pencemar dari sektor
5.3 Degradasi Daerah Tangkapan Daerah tangkapan sungai-sungai besar yang mengalir ke timur dalam kondisi kritis. Tingkat kekeruhan air bertambah tinggi karena erosi tanah (lebih dari 60% hutan lindung telah dibabat atau diubah menjadi perkebunan oleh para perambah). Hal ini dapat dilihat pada Peta Sumberdaya Air dan Sungai Propinsi Lampung. Kegiatan reboisasi tidak dapat mengimbangi pembabatan. Lahan kritis dijumpai di seluruh Lampung. Total lahan kritis kurang lebih 634.000 hektare. Hanya sedikit yang sudah diketahui mengenai dampak degradasi pada sungaisungai dan morfologi pesisir (debit, endapan, erosi pantai, dan pelumpuran). Way Tulang Bawang, Way Seputih, Way Jepara, dan Way Sekampung membawa komponen tanah yang besar. Dari Way Seputih saja, terangkut sekitar 10,5 juta ton endapan ke laut setiap tahunnya. 5.4 Hidrologi Perairan Pantai Sepanjang Pantai Barat dan wilayah teluk mempunyai tipe pasang surut semidiurnal, dengan dua kali pasang dan dua kali surut setiap hari. Namun kisaran Perkampungan nelayan yang kurang amplitudo dari dua wilayah tersebut berbeda. Kisaran pasang sehat. surut untuk wilayah
Konversi lahan sawah menjadi tambak di Rawa Seragi, Lampung Selatan
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
24
GAMBAR-12 Peta Sumberdaya Air dan Sungai
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
25
pertambangan, pengolahan logam, industri kimia, dan limpahan minyak dapat dianggap masih dalam batas yang aman.
tapioka sebanyak 35 unit. Disusul dengan pengolahan karet (9 unit) dan pabrik gula (6 unit), dapat dilihat pada Peta Penyebaran Kelompok Industri. Dari COD dan BOD limbah industri, maka dari seluruh jenis industri di Propinsi Lampung, industri tapioka Sumber Pencemaran Utama mempunyai tingkat yang tertinggi (1.427 mg/l untuk BOD dan 2.972 mg/l untuk COD). Di Propinsi Lampung terdapat 160 unit industri PMDN (Penanaman Modal Disusul oleh industri pulp, dengan nilai BOD (650-1.113 mg/l) dan COD (1.240-2.174 Dalam Negeri) dan 33 unit industri PMA (Penanaman Modal Asing). Semua industri mg/l). Limbah industri tapioka juga mempunyai kisaran nilai pH yang paling besar (dari ini dikategorikan dalam kelompok industri menengah dan besar (BKPM, 1997). pH = 4 - 9). Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa penanganan limbah yang tidak Berdasarkan jenisnya, sebagian besar merupakan industri pengolah hasil pertanian. sempurna akan membahayakan perairan, sehingga dapat mematikan biota yang ada Dan industri semacam inilah yang berpotensi mencemari lingkungan jika limbahnya didalamnya (antara lain proses dekomposisi, rendahnya DO, dan adanya bahan beracun). tidak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya; mengingat kandungan bahan Sementara itu, limbah industri pengolah karet, memperlihatkan tingkat potensi organik yang ada pada buangan industri yang bersangkutan. pencemaran yang relatif rendah (BOD antara 54-59 mg/l dan COD antara 118-125 Dari industri yang ada, dapat dikelompokkan menjadi 16 jenis industri, yang mg/l) (Tabel- 4). terdiri dari: makanan dan minuman, kelapa sawit, karet, batu marmer, bahan kimia, Tiga sungai besar di Propinsi Lampung secara intensif dialiri oleh limbah industri. pengolahan kelapa, penyedap rasa (monosodium glutamat), kertas, pengolahan kayu, Ketiga sungai tersebut adalah Way Pangubuan, Way Sekampung, dan Way Tulang sabun, gula, tapioka, sarbitol, asam sitrat, tapioka, nenas, dan tambak udang. Bawang. Way Pangubuan memiliki kisaran nilai BOD serta COD yang tertinggi dibanding Prokasih (Progam Kali Bersih) merupakan program yang berhasil menurunkan dengan dua sungai lainnya, yaitu 123-296 mg/l untuk BOD dan 220-389 mg/l untuk kandungan cemaran dalam air buangan dalam jumlah besar. Namun demikian, total COD. bahan pencemar tetap tinggi, Sebagian besar industri karena peningkatan kapasitas berlokasi di daerah hulu dan hanya TABEL-3 pengelolaan industri itu dan sebagian kecil saja yang berlokasi Ukuran Daerah Tangkapan dan Debit Air Beberapa ketidakmampuan teknologi di daerah hilir. Walaupun pemerinSungai Utama di Lampung pengolahan air limbah. tah daerah telah menyediakan atau Kontrol terhadap sumber menentukan suatu kawasan Sungai/Way Daerah Tangkapan (ha) Jenis Air Sungai Kisaran debit (m3/s) pencemar masih rendah, industri, namun hingga saat ini tamcontohnya kasus pencemaran paknya hanya industri yang baru Mesuji Sebagian besar di Sumsel Coklat (campur hitam) 155 Way Seputih oleh PT. Indo didirikan saja berlokasi di sini Tulang Bawang 1.015.000 Coklat (campur hitam) 80-360 (av.200) Lampung Destilery (1998) sedangkan penataan ulang untuk Seputih 755.000 Coklat (campur hitam) 3-48 (av.26) dan PTP Bunga Mayang (1992 industri lama masih belum Way Jepara 88.000 Hitam 36 dan 1996), yang menyebabkan dilaksanakan. Way Kambas 44.000 Hitam kerugian terhadap lingkungan, Limbah industri di Propinsi 10 Sekampung 567.500 Coklat (campur hitam) masyarakat, dan perusahaan itu Lampung sebagian besar mengalir 216 Ulubelu/Napal/Siring Coklat sendiri. ke Pantai Timur, kemudian Dari 74 unit industri sebagian kecil lainnya ke Teluk Semangka 152.500 Coklat 0,18-247 (av.67,5) berskala besar di Propinsi Semangka dan Teluk Lampung, Krui 66.00 Bening 40 Lampung, ternyata sebagian sedangkan ke Pantai Barat sama besar didominasi oleh industri sekali tidak ada limbah industri yang Sumber: Giesen, 1991; Manik, 1991; BPS, 1997 REPPProt, 1988; PU, 1996
av = Rata-rata atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
26
GAMBAR-13 Peta Penyebaran Kelompok Industri
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
27
mengalir. Limbah di Pantai Timur lebih kompleks yaitu terdiri dari: cairan organik, pengolahan pertanian, plastik, kaleng, pupuk, pestisida, dan sampah alami (debris). Selanjutnya buangan di Teluk Lampung dan Teluk Semangka lebih sederhana yaitu terdiri sampah rumah tangga, plastik, minyak dan sampah alami. Sedangkan kondisi Pantai Barat hingga saat ini sangat bersih karena buangan yang ditemukan hanya terdiri dari sampah alami saja, namun harus diperhatikan di daerah pemukiman akan ditemukan banyak sampah dan limbah rumah tangga yang berpotensi mencemari lingkungan.
TABEL-4 Kisaran Level BOD,COD, dan pH Limbah Industri dari Tahun 1995-1998 No.
Jenis Industri
Jumlah Industri
BOD (mg/l)
COD (mg/l)
pH
1.
Makanan & Minuman
4
63-149
130-327
7,0-8,0
2.
Kelapa Sawit
2
109-348
248-625
7,0-8,5
3.
Karet
9
89-140
198-324
6,0-8,0
4.
Marmer
3
33-217
70-419
6,0-7,0
5.
Bahan Kimia
1
91-147
185-290
8,5-10
6.
Pengolahan Kelapa
1
44-125
109-247
7,0
Sumber Pencemaran yang Lain 190-505 Penyedap Rasa (MSG) 92-295 5,0-7,5 7. 1 Perkembangan pesat sektor pertanian (baik untuk 1.240-2.174 Kertas 650-1.113 6,0-9,5 8. 2 produksi pangan maupun perkebunan) telah 118-125 Pengolahan Kayu 54-59 7,5-8,0 9. 1 meningkatkan penggunaan bahan kimia (misalnya 115-182 Sabun 76-90 7,0-7,5 10. 3 pestisida dan pupuk buatan). Hal ini meningkatkan beban 108-1.910 Gula 51-398 4,5-9,0 11. 6 zat hara dan pencemaran terhadap sungai-sungai yang 96-2972 Tapioka 47-1.427 4,0-9,0 12. 35 menampung limpahan air dari sisa-sisa pertanian. 215-480 Asam sitrat & Sarbitol 105-230 7,0-7,5 13. 2 Belum ada penelitian mendalam yang dapat 208-256 Asam Sitrat & Tapioka 100-120 6,0-7,0 14. 1 memperhitungkan besarnya masalah ini. 180-242 Tapioka & Nanas 79-120 6,0-7,0 15. 3 Penduduk telah meningkat dari 2,7 juta jiwa di tahun 1991 menjadi lebih dari 6,95 juta jiwa di tahun 1998, sekitar 3 kali lipat dalam 7 tahun. Yang perlu Sumber: Modifikasi data Prokasih 1995 - 1998 dengan laporan Amdal, LP UNILA Catatan: Sampel diambil dari keluaran (outlet) diperhatikan adalah bahwa hanya sebagian kecil (sekitar 14 %) dari limbah rumah tangga yang dikumpulkan dan rusak karena endapan sedimen dan proses eutrofikasi air laut. dibuang untuk diproses/diolah dengan baik. Karena kebanyakan pantai dan perairan Menurut laporan, pernah terjadi ledakan kelimpahan plankton secara besarlaut berdampingan dengan pemukiman, maka pantai-pantai di dekat pusat pemukiman besaran atau terjadinya pasang merah (red tides) di Pantai Timur, sekalipun skala dan dikotori oleh tinja dan limbah padat. Beban harian BOD yang dibuang ke perairan dampaknya tidak dicatat. pesisir diseluruh Lampung diperkirakan berjumlah 172,2 ton/hari (Koe dan Aziz, 1995 Tidak ada pemantauan atau pengendalian terhadap limbah lumpur dalam air dalam Chua et al., 1997). buangan yang dihasilkan oleh lebih dari 33.000 hektare tambak. Dan lahan tambak ini Penurunan kualitas perairan Teluk Lampung dan beberapa tempat lain masih diperluas terus (tambak udang menggunakan pakan buatan yang kaya protein, merupakan pengaruh akumulatif dari pencemaran bahan organik. Nilai BOD jauh namun hanya 30% - 50% yang efektif terpakai; 50% - 70% terbuang percuma menjadi melampaui batas ambang, turunnya tingkat kejernihan air, dan tingginya tingkat limbah). bahan padat tersuspensi dan/atau partikel organik, merupakan pengaruh dari bahan Dari hasil pengamatan serta wawancara di lapangan ternyata jenis obat-obat pertanian pencemar daratan yang mengalir ke pantai. Terumbu karang yang dekat dengan pantai atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
28
yang terbanyak digunakan adalah: Diazinon, Urea/NPK, Thiodan, dan Samponin. Selanjutnya diikuti oleh jenis lainnya seperti Fastax, Tiraks, Sipin, Mipecin, Kurator, Gycap, Pospit, Organik, Dursban, Round-up, DMA-46, Cinone, Reaksal, Akodan, Temix, Gandasil, Klerap, Seprax, Quarter, Suprasit, Dolomit, dan Tiodan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel5. Hanya 27% petani yang menggunakan obat-obat pertanian sesuai dengan petunjuk pemakaian yang tertera, sedangkan sebagian besar lainnya hanya menggunakan obatobatan tersebut apabila dianggap perlu saja. Adapun asal obatobatan tersebut hanya didapat dari dua tempat saja, yaitu pasar dan kios-kios pertanian setempat. Pada umumnya, petani menggunakan obat-obat pertanian untuk membasmi walang sangit, hama/penyakit, hama wereng, tikus, ulat, rumput/alang-alang, semut/serangga, dan keong.
TABEL-5 Jenis dan Pemakaian (%) Obat-Obat Pertanian No.
Jenis Obat
Pemakaian (%)
No.
Jenis Obat
Pemakaian
1.
Diazinon
10,4
16.
Reaksal
1,5
2.
Phosphit
3,0
17.
Lestari
1,5
3.
Fastaks
16,4
18.
Temiks
1,5
4.
Matador
13,4
19.
Tiraks
1,5
5.
Thiodan
7,5
20.
Sipin
1,5
6.
Urea
9,0
21.
Gandasil
1,5
7.
Akodan
4,5
22.
Klerap
1,5
8.
Dursban
1,5
23.
Sepraks
1,5
9.
Round-up
1,5
24.
Kuarter
1,5
10.
NPK
1,5
25.
Mipecin
1,5
11.
Darmasan
1,5
26.
Kurator
1,5
12.
Gramoxon
1,5
27.
Gycap
1,5
13.
Indo-bas
1,5
28.
Sampone
1,5
14.
DMA-46
1,5
29.
Suprasid
1,5
15.
Cinone
1,5
Sumber: Survei CRMP 1998
5.6 Isu-isu Pencemaran Pesisir 1. Penanganan pencemaran belum berlangsung secara terintegrasi, sementara penerapan hukumnya masih belum tegas. Integrasi kerja antara lembaga teknis dan yudikatif harus ditumbuhkan. 2. Monitoring lingkungan dan audit terhadap industri belum dilakukan secara teratur (reguler). 3. Terbatasnya parameter pengamatan limbah yang hendaknya dapat diperluas, tidak hanya BOD, COD dan pH namun juga dapat menyajikan data bahan berbahaya dan beracun. 4. Kepedulian masyarakat dan industri terhadap lingkungan masih rendah.
Diskusi pengelolaan dan pemanfaatan teluk Lampung dengan BAPEDALDA Lampung
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
29
○ ○ ○ ○
Propinsi Lampung dengan luas daratan 3,5 juta ha memiliki 1,237 juta ha kawasan hutan dan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi seluas 422.500 ha (12,8%). Selain kawasan konservasi hutan, Lampung memiliki kawasan konservasi laut, kepulauan, dan beberapa lokasi yang diusulkan sebagai taman buru, suaka marga satwa, dan cagar alam rawa air tawar sebagai habitat berbagai jenis burung air. Berdasarkan letaknya, kawasan-kawasan konservasi tersebut, sebagian arealnya meliputi wilayah pesisir dan berbatasan langsung dengan laut seperti Taman Nasional dan Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan di Pantai Barat dan TN. Way Kambas di Pantai Timur. Di Selat Sunda terdapat Cagar Alam Laut Gugus Kepulauan Krakatau. Pulau Sumatera lebih kaya akan keanekaragaman jenis tumbuhannya dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia. Di Sumatera terdapat 17 marga endemik dan didukung oleh berbagai macam tipe vegetasi seperti hutan mangrove, hutan rawa dan pantai, hutan dataran rendah, dan hutan pegunungan. Ditinjau dari keanekaragaman fauna, di Sumatera terdapat 196 jenis mamalia, 20 endemik, 15 jenis yang hanya dijumpai di Indonesia dan 22 jenis hewan mamalia Asia yang tidak terdapat di daerah lainnya di Indonesia. Dari 580 jenis burung, terdapat 14 jenis yang endemik dan sekitar 120 jenis burung yang bermigrasi.
TNBBS dipotong oleh jalan raya antar propinsi yang menghubungkan Lampung dengan Bengkulu yaitu ruas jalan antara Liwa dan Krui (32 km), perbatasan propinsi Bengkulu (5 km) dan antara Kota Agung dan Bengkunat (40 km). Untuk mencapai ujung bagian selatan TNBBS (Belimbing dan Tanjung Cina) hanya bisa melalui laut dari Kota Agung karena belum ada jalan darat. 6.1.3 Potensi Flora Vegetasi utama yang terdapat di Taman Nasional ini adalah hutan hujan tropika basah di sepanjang pegunungan Bukit Barisan. Pada hutan dataran tinggi dan dataran rendah umumnya didominasi oleh tumbuhan marga Lauraceae, Dillentaceae, Dipterocarpaceae, Myrtaceae serta Fagaceae. Di hutan pantai terdapat Bunga Bangkai (Amorphophalus sp) sebagai bunga tertinggi di dunia dan bunga Raflesia (Rafflesia arnoldi) yang dikenal sebagai bunga terbesar di dunia. Vegetasi pantai umumnya didominasi oleh Terminalia catappa, Hibiscus sp., Barringtonia asiatica, Calophyllum inophyllum, Casuarina equisetifolia, Ficus septica dan Pandanus tectorius. Tipe vegetasi lain berupa padang Alang-alang (Imperata cylindrica) dengan luas sekitar 50 ha di Tanjung Belimbing. Di perairan keliling Muara Sleman dan Danau Menjungkut terdapat vegetasi rawa air payau yang didominasi oleh tumbuhan Nipah (Nypa fruticans). Wilayah Taman Nasional bagian barat yang berbatasan dengan pemukiman penduduk terdapat zona penyangga berupa hutan Damar (Shorea javanica). Resin yang dihasilkan tanaman ini memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Damar merupakan produksi khas Pesisir Barat Propinsi Lampung.
6.1 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 6.1.1 Letak dan Luas Kawasan ini resmi menjadi Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984 dengan luas 66.000 ha di wilayah Propinsi Bengkulu dan 290.800 ha di wilayah Kabupaten Lampung Barat. Sebelumnya kawasan ini diperuntukkan menjadi Suaka Marga Satwa (SMS) yang dikenal sebagai SMS Bukit Barisan Selatan I sejak pemerintahan Hindia Belanda.
6.1.4 Potensi Fauna Dari berbagai laporan yang ada, diketahui bahwa kawasan ini dihuni berbagai jenis mamalia darat, baik yang langka maupun yang dilindungi, dapat dilihat pada Tabel-6.
6.1.2 Keadaan Fisik Kawasan TNBBS berbatasan langsung dengan laut di bagian utara yaitu Tanjung Keramat dan di bagian selatan sejak dari Bengkunat sampai Tanjung Cina. Pada umumnya, wilayah pemukiman penduduk yang terdapat di sepanjang Pantai Barat Lampung berupa daerah “enclave” dari TNBBS. Topografi kawasan tengah dan utara merupakan pegunungan, dan wilayah pesisirnya adalah kawasan pemukiman penduduk. Bagian selatan merupakan dataran rendah dan sebagian besar dari kawasan tersebut berbatasan langsung dengan laut. Terdapat dua muara sungai yang membentuk laguna yaitu Muara Sungai Sleman dan Danau Menjungkut (150 ha) yang lokasinya terdapat antara Tanjung Belimbing - Tanjung Cina.
6.1.5 Zona Pemanfaatan Zona pemanfaatan merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional yang memiliki nilai tersendiri untuk tujuan wisata alam dan kegiatan khas lainnya. Salah satu pengembangan zona pemanfaatan yang mulai dikembangkan adalah kawasan wisata buru dan jalur penjelajahan yang terdapat di bagian selatan (TampangBelimbing). Lokasi andalannya yaitu Danau Menjungkut (150 ha) dan Muara Sleman. Pada jalur jelajah ini terdapat menara pengintai satwa untuk melihat atraksi kehidupan secara alami. Lokasi wisata buru terdapat di Pemekahan dengan obyek hewan buruan adalah Babi Hutan (Sus barbatus) yang populasinya cukup banyak tersedia secara alami. Untuk mencapai lokasi ini bisa melalui laut dari Kota Agung atau menggunakan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
K AWASAN KONSERVASI
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
30
pesawat dari Bandar Lampung ke Belimbing. Pengembangan zona pemanfaatan TampangBelimbing dikelola oleh PT. SAC Nusantara yang dibangun sejak tahun 1994.
6.3.2 Keadaan Fisik Kawasan Gugus Kepulauan Krakatau terbentuk setelah terjadi letusan purba yang tidak tercatat dalam sejarah. Anak Krakatau merupakan pulau gunung api yang aktif dan letusan tahun 1883 telah menjadikan Krakatau terkenal secara internasional baik sebagai bahan kajian ilmiah dalam bidang geologi, vulkanologi dan proses suksesi alami flora dan fauna. Puncak tertinggi gugus kepulauan ini adalah Krakatau Besar (813 m) dan Anak Krakatau yang berupa kawah aktif ketinggiannya selalu bertambah sejalan dengan kegiatan letusan yang terjadi. Keadaan topografi gugus kepulauan ini pada umumnya curam kecuali sebagian wilayah Pulau Sertung dan Panjang. Kepulauan ini tidak berpenghuni tetapi sering dijadikan tempat berlindung bagi nelayan.
6.2 Cagar Alam Laut TNBBS 6.2.1 Letak dan Luas Cagar Alam Laut terdapat pada dua lokasi yaitu Tanjung Keramat sepanjang 7 km di perbatasan Bengkulu seluas 1.500 ha dan wilayah perairan pantai dari Bengkunat sampai Tanjung Cina sepanjang 42 km meliputi kawasan seluas 20.000 ha. 6.2.2 Keadaan Fisik Kawasan Pantai Tanjung Keramat berupa tebing terjal, dibentuk oleh batu pasir - batu lempung yang terkikis gelombang Pantai Barat Sumatera. Dasar lautnya langsung curam, tebing pantai membentuk dinding dengan ketinggian antara 20 s/d 40 meter. Di beberapa tempat terdapat formasi terumbu karang yang menjorok ke laut sejauh 50-100 m dan selalu muncul pada saat pasang surut, khususnya perairan di selatan yaitu daerah sekitar Belimbing dan Tanjung Cina.
6.3.3 Potensi Flora dan Fauna Vegetasi yang umum terdapat di Gugus Kepulauan Krakatau terdiri dari hutan pantai yang didominasi oleh Waru Laut (Hibiscus tiliaceus), Cemara Sumatera (Casuarina equisetifolia), dan Ketapang (Terminalia catappa). Semakin ke darat didominasi Hampelas (Ficus sp.) dan Kedondong hutan (Artocarpus sp.). Sedangkan pada pantai berpasir terdapat formasi Ipomoea pescaprae baik di Pulau Anak Krakatau maupun Pulau Sertung. Jenis fauna yang ada pada umumnya dari jenis Biawak (Varanus salvatorius), Ular (Phyton sp.), Burung Elang (Heliastur sp.), dan burung pantai serta Tikus (Rattus sp.). Kehadiran flora dan fauna di Anak Krakatau merupakan proses suksesi alami yang relatif masih baru yaitu berlangsung sekitar 100 tahun.
6.2.3 Potensi Biota Laut Hamparan terumbu karang yang muncul pada saat pasang surut di Kawasan Cagar Alam Laut TNBBS terdapat berbagai jenis rumput laut. Jenis yang dikenal dengan nama Kades (Gelidium sp) telah dijadikan masyarakat sekitarnya sebagai tambahan penghasilan yang diperoleh pada waktu pasang surut (60 ton/tahun). Biota laut lainnya yang terdapat pada terumbu karang tersebut adalah ikan hias dan udang lobster. Jenis udang lobster yang umum terdapat di sini yaitu Panulirus homarus, P.ornatus P. longipes, P. peniciatus, P. longipes dan P. versicolor.
6.3.4 Potensi Biota Laut Terumbu karang di perairan sekitar Gugus Kepulauan Krakatau umumnya dalam kondisi rusak akibat pengeboman ikan. Hamparan terumbu karang berada di sisi bagian luar, sedangkan sisi bagian dalam keadaan perairan pantainya curam dan labil akibat pengaruh aktivitas Anak Krakatau yang makin meluas. Pada pantai berpasir (khususnya Pulau Sertung) diketahui sebagai lokasi penyu bertelur, seperti Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu Hijau (Chelonia midas) yang belum dikelola sebagai aset wisata maupun upaya perlindungannya.
6.3 Cagar Alam Laut Kepulauan Krakatau 6.3.1 Letak dan Luas Kawasan Cagar Alam Laut Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda dan secara administrasi pemerintahan berada dalam Kabupaten Lampung Selatan. Penetapan kawasan cagar alam laut ini merupakan perluasan Cagar Alam Krakatau melalui SK Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/1990, tanggal 26 Februari 1990. Perairan cagar alam laut meliputi areal seluas 12.000 ha sedangkan luas daratannya adalah 2.535 ha, terdiri dari Krakatau Besar (Rakata), Krakatau Kecil (Panjang), Anak Krakatau dan pulau Sertung. Gugus Krakatau ini juga telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sejak tahun 1919.
6.4 Taman Nasional Way Kambas 6.4.1 Letak dan Luas Kawasan Taman Nasional Way Kambas berada di wilayah Kabupaten Lampung Tengah. Status kawasan ini pada awalnya (1924) sebagai Hutan Lindung dan pada atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
31
tahun 1937 diperuntukkan sebagai Suaka Marga Satwa. Status terakhir yaitu sebagai Balai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 dengan luas 130.000 ha. Kawasan ini berada di Pantai Timur dan berbatasan dengan laut sepanjang 68 km antara Way Penet (B.TN 187) di Selatan dengan Way Seputih (B.TN 121) di Utara.
6.4.4 Potensi Fauna Berbagai tipe vegetasi TN. Way Kambas telah mendukung berbagai macam tipe habitat yang mendukung kelangsungan hidup satwa liar yang ada di dalamnya. TN. Way Kambas dihuni tidak kurang dari 286 jenis burung dan banyak jenis hewan mamalia baik sebagai hewan yang dilindungi maupun yang langka. Salah satu jenis burung air endemik Sumatera dan paling langka yaitu Entok/Itik Rimba (Cairina scutulata) terdapat dalam populasi terbesar hanya di TN. Way Kambas dan menjadi habitat terakhir untuk menjaga kelangsungan populasinya. Perairan TN. Way Kambas juga dihuni oleh dua jenis buaya yaitu Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan Buaya Ikan (Tomistoma schelegelii) yang tergolong jenis yang terancam punah. Juga terdapat Biawak (Varanus salvatorius) dan kura-kura air tawar serta berbagai jenis ikan.
6.4.2 Keadaan Fisik Topografi kawasan umumnya landai dan berupa dataran rendah yang dilalui oleh banyak anak sungai dan terdapat banyak rawa air tawar. Dua sungai yang berada dalam kawasan ini yaitu Way Kambas dan Way Wako. Kondisi perairannya dipengaruhi oleh kondisi pasang terutama di musim kemarau. Pada musim hujan, sebagian besar kawasan berubah menjadi rawa air tawar yang sangat luas. Titik tertinggi berada 52 meter di atas permukaan laut. Sebagai kawasan yang pernah mendapat izin penebangan dari tahun 1968 sampai 1974, sebagian besar vegetasinya telah berubah menjadi hutan sekunder dan padang alang-alang yang hampir setiap tahun mengalami kebakaran.
6.4.5 Zona Pemanfaatan Pada beberapa wilayah dalam kawasan TN. Way Kambas telah dikembangkan berbagai fasilitas penelitian dan daerah tujuan wisata andalan Lampung. Tempattempat yang telah dikembangkan untuk tujuan penelitian maupun wisata ilmiah adalah; 1) Pusat Latihan Gajah. Didirikan tahun 1985 pada areal perencanaan 1.000 hektare yang berada 9 km dari pintu gerbang utama (Plang Ijo). Gajah terlatih dari PLG (Pusat Latihan Gajah) dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti gajah tangkap untuk menanggulangi gangguan gajah liar, gajah tunggang untuk patroli dan tunggangan wisatawan, gajah kerja untuk menarik kayu, penarik bajak dan pembawa beban, dan gajah atraksi untuk berbagai pertunjukan yang menarik baik di Way Kambas maupun dikirim ke berbagai kebun binatang di tempat lainnya di Indonesia. 2) Plang Ijo. Dikenal sebagai pintu gerbang utama untuk masuk kawasan Taman Nasional Way Kambas. Beberapa fasilitas yang ada di Plang Ijo ini antara lain camping ground, pusat informasi, dan penginapan yang bernuansa alami serta pos unit perlindungan Badak Sumatera. 3) Way Kanan. Berada sekitar 13 km dari pintu gerbang dan merupakan salah satu resort dari TN. Way Kambas yang terletak di tengah kawasan. Untuk mencapai Way Kanan terdapat fasilitas jalan raya yang melalui hutan alam dan sepanjang jalan sering dijumpai berbagai satwa liar. Way Kanan merupakan obyek kunjungan wisata yang alamnya relatif masih asli dan telah banyak dikunjungi oleh wisatawan dalam dan luar negeri. Potensi wisata alam di Way Kanan telah didukung oleh tempat menginap dan sarana transportasi sungai. Dengan menelusuri aliran sungai pengunjung akan bisa menikmati nuansa flora dan fauna sampai ke muara sungai Way Kambas. 4) Proyek Harimau Sumatera. Sebagai hewan yang terancam punah, studi tentang Harimau Sumatera telah di mulai di Way Kanan. Kegiatan studi ini merupakan kerjasama LIPI, Departemen Kehutanan dengan Yayasan Harimau Sumatera dan Dana Perlindungan Harimau Dunia yang didukung oleh Taman Safari Indonesia dan Kebun Binatang Minnessota. 5) Sumatran Rhino Sanctuary. Kawasan
6.4.3 Potensi Flora TN. Way Kambas memiliki berbagai tipe vegetasi dataran rendah seperti hutan pantai, mangrove, hutan gambut dan rawa pasang surut, rawa air tawar serta hutan dataran rendah. Pada pantai berpasir banyak ditumbuhi oleh Cemara Laut (Casuarina equisetifolia), Waru (Hibiscus tiliaceus), Ketapang (Terminalia catappa) dan Pandan Duri (Pandanus spinosus). Vegetasi hutan mangrove yang terdapat di muara sungai didominasi oleh Api-api (Avicennia sp.), Buta-buta (Bruguiera sp.), dan semakin ke hulu dijumpai formasi Nipah (Nypa sp) dan Nibung (Oncosperma tigilaria) serta berbagai jenis palem di antaranya yaitu Palem Merah (Cyrtostachys lakka) yang bercampur dengan tumbuhan hutan rawa air tawar dengan komposisi tumbuhannya didominasi oleh Gelam (Melaleuca spp) dan Rengas (Gluta renghas). Pada areal yang lebih tinggi dan relatif tidak berupa rawa terdapat jenis pohon perwakilan dari tipe vegetasi hutan hujan dataran rendah seperti Minyak (Dipterocarpus retusus), Merawan (Hopea sp), Meranti (Shorea spp.), Jabon (Anthocephalus chinensis), Puspa (Schima wallichii), dan Sempur (Dillenia excelsa) berupa hutan sekunder sebagai sisa tebangan dari izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang berlangsung antara tahun 1968 sampai dengan tahun 1974. Dalam kawasan TN. Way Kambas juga terdapat padang alang-alang yang cukup luas dan pada waktu musim hujan, areal ini terendam air sedangkan pada musim kemarau mengalami kebakaran. Pada sebagian areal terjadi suksesi dari padang alang-alang menjadi belukar.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
32
ini terletak antara Plang Ijo-Way Kanan dan merupakan upaya penelitian tentang reproduksi Badak Sumatera. Kegiatan ini merupakan kerjasama LIPI, Departemen Kehutanan, Taman Safari Indonesia, Yayasan Badak Dunia, dan Yayasan Rhino Indonesia. Dengan adanya kegiatan proyek penelitian di TN. Way Kambas ternyata telah menjadikan kawasan ini terkenal sebagai sumber informasi ilmiah tentang satwa liar dan masih menyimpan banyak informasi penting lainnya di wilayah pesisir dan aliran sungai serta rawa air tawar.
oleh Geligi (Phragmites karka), Padi Liar (Oryza rufipogon), dan Rumput Liar (Paspalum sp), serta Gelagah (Saccharum spontaneum). Jenis pohon yang dominan adalah Gelam (Malaleuca sp), Nibung (Oncosperma tiggilarium), dan Rengas (Glutta renghas) yang diselingi belukar dari jenis Putri Malu (Mimmosa pigra), Bungur (Lagerstroemia speciosa), dan Palas (Licuala paludosa). Tumbuhan air yang dominan antara lain Genjer (Limnocharis flava), Kangkung (Ipomoea aquatica), Kekapuk (Salvinia spp), Pijes (Cyperus imbricatus), dan Pengajau (Scleria sumatrana). Jenis tumbuhan yang pernah tercatat di kawasan ini berjumlah 141 jenis yang tergabung dalam 58 familia.
6.5 Suaka Marga Satwa dan Cagar Alam Tulang Bawang (Kawasan Usulan)
6.5.4 Potensi Fauna Dalam kawasan yang diusulkan untuk cagar alam dan suaka margasatwa ini terdapat lingkungan mendukung kehidupan berbagai jenis burung air dan ikan rawa air tawar. Ketersediaan ikan di rawa ini berkaitan erat dengan sumber makanan burung air baik yang hidup menetap maupun jenis burung migrasi yang menempati areal ini secara periodik. Perairan sungai dan rawa Tulang Bawang mempunyai keanekaragaman ikan yang tinggi. Diketahui 88 jenis ikan sepanjang Way Tulang Bawang, belum termasuk di daerah muara sungai. Jenis-jenis ikan yang khas di antaranya adalah Arowana (Scleropages formosus), Ikan Malas (Oxyeleotris marmorata) dan Ikan Belida (Notopterus chilata dan N. borneensis) yang ketiganya sudah tergolong langka. Kawasan ini dihuni oleh tidak kurang dari 88 jenis burung yang tergabung dalam 33 familia. 29 jenis di antaranya adalah kelompok burung air. Terdapat dua jenis burung air yang langka dan terancam punah menurut “red data book” IUCN (International Union for Conservation Nation) yaitu Bangau Tontong /Jenggot Solah (Leptoptilos javanicus) dan Wilwo (Mycteria cinerea), sedangkan Belibis Batu (Nettapus coromandelianus) dan Jacana (Cicinia episcopus) merupakan jenis yang terancam punah di Indonesia. Rawa-rawa aliran Way Tulang bawang mewakili koloni berbiak terbesar burung air di Indonesia. Pernah dilaporkan keberadaan 54 pasang Kuntul Kecil (Butorides striatus), lokasi berbiak pertama diketahui di Sumatera untuk 1.700 pasang Kowak Maling (Nycticorax nycticorax), 1.200 pasang Kuntul Besar (Egretta alba) 30.000 pasang Kuntul Putih (Ardeola speciosa), dan 48 pasang burung Pecuk Ular (Anhinga melanogaster). Keanekaragaman jenis burung dan ikan yang tinggi di kawasan ini merupakan suatu bentuk ekosistem yang saling mendukung terutama keterkaitannya dengan upaya pelestarian hutan rawa dan pengawasan pencemaran perairan. Kawasan Konservasi yang terdapat di Lampung dapat dilihat pada Peta Kawasan Konservasi Propinsi Lampung.
6.5.1 Letak dan Luas Way Tulang Bawang merupakan salah satu sungai besar di Lampung yang mengalir ke Pantai Timur. Rawa-rawa di aliran sungai ini terhampar dalam areal seluas lebih dari 86.000 ha. Wilayah ini berada di Kabupaten Tulang Bawang. Berdasarkan penelitian Asian Wetland Bureau (AWB) Indonesia pada tahun 1994, kawasan ini memiliki nilai penting secara nasional maupun internasional untuk konservasi lahan basah. Dalam rangka mempertahankan potensi dan keberadaan lahan rawa ini, AWB telah mengusulkan Rawa Bakung, Rawa Tenuk, Rawa Bungur dan Bawang Lambu Purus serta Bawang Belimbing seluas 12.100 hektare sebagai Suaka Marga Satwa serta Rawa Pacing (600 ha) dan Rantau Kandis (900 ha) sebagai Cagar Alam yang luas keseluruhannya 13.600 ha. 6.5.2 Keadaan Fisik Kawasan Kawasan ini merupakan ekosistem rawa yang kompak, memanjang mengikuti aliran Way Tulang Bawang. Kegiatan perikanan yang dilakukan masyarakat setempat dikenal dengan sistem “lelang lebung” dengan milik usaha perikanan di suatu rawa dipegang oleh aparat pemerintah setempat. Lebung merupakan rawa-rawa air tawar yang kelihatan seperti danau di musim hujan dan seperti kolam di waktu musim kemarau yang menjebak banyak ikan. Banyak terdapat rawa-rawa air tawar sepanjang aliran Way Tulang Bawang dan selama ini telah memberikan hasil yang bermanfaat bagi penduduk setempat dalam segi ekonomi dan sumber protein hewani. Permasalahan yang sering terjadi akhirakhir ini adalah masalah limbah pabrik pengolahan tapioka dan pabrik gula yang dapat mengakibatkan kematian ikan secara masal. 6.5.3 Potensi Flora Rawa Pacing, Bakung, Tenuk, dan Rawa Gelam adalah kesatuan ekosistem yang merupakan habitat limpahan banjir pinggiran sungai dengan rawa-rawa yang di tumbuhi
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
33
TABEL-6 Daftar Beberapa Jenis Satwa yang Terdapat di Kawasan Konservasi Propinsi Lampung dan Statusnya NO.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
1. 2. 3. 4. 5.
NAMA LOKAL
NAMA ILMIAH
STATUS
DISTRIBUSI
NO.
A.MAMALIA Anjing Hutan Badak Sumatera Beruang Madu Harimau Sumatera Kucing Emas Macan Dahan Berang-berang Kerbau Liar Kambing Hutan Tapir Rusa Sambar Kijang Kancil Napu Kelinci Sumatera Gajah Siamang Owa Singapuar Monyet Ekor Panjang Monyet Ekor Pendek Lutung Cecah Babi Hutan Trenggiling
Cuon alpinus Dicerorhinus sumatrensis Helarctos malayamus Panthera tigris sumatrae Felis temmincki Neofelis nebulosa Lutra lutra Bubalus bubalis Capricornis sumatrensis Tapirus indicus Cervus unicolor Muntiacus muntjak Tragulus javanicus Tragulus napu Nesolagus netscheri Elephan maximus sumatranus Symphalangus syndactylus Hylobates agylis Tarcius bancanus Macaca fascicularis Macaca nemestrina Presbytis cristata Presbytis melalophos Sus barbatus Manis javanica
Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka Dilindungi Dilindungi Dilindungi/Langka Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka Dilindungi Dilindungi Dilindungi/Umum Dilindungi Dilindungi/Langka Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi/Langka Umum Umum Umum Umum Umum Dilindungi
BBS,WK BBS,WK BBS,WK BBS,WK WK BBS,WK WK BBS BBS BBS,WK BBS,WK,TB BBS,WK,TB BBS,WK BBS,WK BBS BBS,WK BBS,WK BBS,WK BBS,WK BBS,WK BBS,WK BBS,WK BBS,WK BBS,WK BBS
6. 7.
B. IKAN Arwana Belida Jelabat Seluang Baung
Sclerophages formosus Notopterus spp. Leptobarbus hoevenii Rasbora spp. Mystus spp.
Sumber : Red Data Book, IUCN
Dilindungi/Langka Umum Umum Umum Umum
KETERANGAN:
TB TB,WK TB,WK TB,WK TB,WK,BBS
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
NAMA LOKAL
NAMA ILMIAH
STATUS
DISTRIBUSI
Ikan Malas Ikan Betok
Oxyeleotris marmorata Anabas testudineus
Umum Umum
TB TB,WK
C.BURUNG Enggang (hornbill) Merak Sumatera Kuau Itik Rimba Ayam Hutan Pecuk Ular Belibis Belibis Batu Raja Udang Bangau Tontong Wilwo/Lepipi Jacana Kuntul Kecil Kuntul Besar Kuntul Putih Kowak Maling Burung Jing Elang Laut Elang Bondol Alap-alap
Buceros bicornis Pavo muticus Argusianus argus Cairina scutulata Gallus gallus bancamus Anhinga melanogaster Dendrocygna spp. Nettapus coromendelianus Halcyon sp. Leloptilos javanicus Mycteria cinerea Cicinia episcopus Butorides striatus Egretta alba Ardeola speciosa Nycticorax nycticorax Metopidius indicus Spizaetus cirrhatus Heliastur indus Ichtyophaga ichtyaetus
Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka Umum Langka Umum Langka Umum Langka,RDB Langka,RDB Langka Umum Umum Umum Umum Langka Umum Umum Umum
BBS,WK BBS,WK BBS,WK WK,TB BBS,WK TB BBS,WK,TB TB BBS,WK,TB,K WK,TB TB WK,TB WK,TB WK,TB BBS,WK,TB WK,TB TB BBS,WK,TB,K BBS,WK,TB,K BBS,WK,TB
D. REPTILIA Buaya Muara Buaya Ikan Biawak Penyu Hijau Penyu Sisik Penyu Belimbing
Crocodylus porosus Tomistoma schelegelii Varanus salvatorius Chelonia midas Eretmocheliss imbricata Dermochelys coriacea
Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka Dilindungi/Langka
WK,BBS WK BBS,WK,TB,K BBS,K BBS,K BBS
- DB : Red Data Book, IUCN - BBS : Taman Nasional Bukit Barisan Selatan - WK : Taman Nasional Way Kambas
- TB -K
: Suaka Marga Satwa/Cagar Alam Tulang Bawang (usulan) : Cagar Alam Krakatau
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
34
GAMBAR-14 Peta Kawasan Konservasi dan Sebaran Satwa Liar
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
35
○ ○ ○ ○
Ibukota Propinsi Lampung adalah Bandar Lampung, yang merupakan gabungan dari kota kembar Tanjungkarang-Telukbetung, yang oleh karena pesatnya perkembangan, sekarang telah menjadi satu kota yang luas. Kotamadya Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan, serta pusat kegiatan perekonomian Propinsi Lampung. Lampung dibagi dalam 8 Kabupaten dan 2 Kotamadya. Dari 10 daerah Kabupaten/ Kota tersebut, 6 daerah Kabupaten/Kota di antaranya memiliki wilayah pesisir. Daerah Kabupaten/Kota yang memiliki wilayah pesisir adalah Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Selatan, Kotamadya Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Timur, dan Kabupaten Tulang Bawang, sedangkan yang tidak memiliki wilayah pesisir adalah Kotamadya Metro, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Way Kanan, dan Kabupaten Lampung Utara. Dibawah ini disajikan rincian secara singkat dari keenam DT II pesisir tersebut. Pangkalan Pendaratan Ikan di Krui, Lampung Barat.
7.1 Kabupaten Lampung Barat Secara geografis Kabupaten Lampung Barat terletak pada posisi 4° 47' LS - 5° 57' LS dan 103° 35' BT - 104° 54' BT, dengan luas wilayah mencapai 4.749 km², ibukotanya Liwa. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 1991, tanggal 16 Juli 1991, sebagai wilayah pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Topografi wilayahnya sebagian besar berupa dataran tinggi yang curam, merupakan daerah berbukit sampai bergunung, yang merupakan bagian dari Bukit Barisan yang membentang dari utara ke selatan Sumatera. Kabupaten Lampung Barat secara administratif meliputi 6 (enam) Kecamatan, 8 (delapan) Kecamatan Perwakilan, dan meliputi 167 Desa (tahun 1998), 105 desa di antaranya merupakan desa tertinggal (BPS, 1998). Dari seluruh desa tersebut, terdapat 57 desa pantai yang berada dalam 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Pesisir Utara, Kecamatan Pesisir Tengah, dan Kecamatan Pesisir Selatan. Namun demikian pada kawasan ini juga ada batasan desa berdasarkan keberadaan masyarakat yang diproduksi oleh Departemen Kehutanan. Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Barat (sampai tahun 1998) adalah 389.023 jiwa dengan kepadatan 82 jiwa/km², terdiri dari 202.628 laki-laki dan 186.395 perempuan dengan sex ratio 109.
Undang No. 2/1997 tanggal 3 Januari 1997, dengan ibukota Kota Agung. Kabupaten Tanggamus merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan. Wilayahnya memiliki luas 3.397 km², dengan topografi bervariasi antara dataran rendah dan tinggi, yang sebagian merupakan daerah berbukit sampai bergunung. Wilayah Kabupaten Tanggamus secara administratif meliputi 11 (sebelas) Kecamatan, 6 (enam) Kecamatan Perwakilan, dan meliputi 307 Desa, 8 Kelurahan dan 5 desa persiapan (tahun 1998). Dari seluruh desa tersebut, 37 desa pantai, di bawah 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Wonosobo, Kecamatan Cukuh Balak, dan Kecamatan Kota Agung. Jumlah penduduk Kabupaten Tanggamus (sampai tahun 1998) adalah 797.800 jiwa dengan kepadatan 235 jiwa/km², terdiri dari 413.524 laki-laki dan 384.336 perempuan. Sex ratio-nya adalah 107. 7.3 Kabupaten Lampung Selatan Secara geografis Kabupaten Lampung Selatan terletak pada posisi 5° 15' LS - 6° 0' LS dan 105° 0' BT - 105° 45' BT, dengan luas wilayah mencapai 3.406 km²dengan ibukota Kalianda. Di Kabupaten Lampung Selatan terdapat pelabuhan penyeberangan Bakauheni. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang utama keluar masuknya orang dan barang dari Pulau Jawa. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan secara administratif meliputi 10 (sepuluh) Kecamatan, yang meliputi 337 desa dan 5 kelurahan, 114 desa di antaranya
7.2 Kabupaten Tanggamus Secara geografis Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 4° 50' LS - 5° 41' LS dan 104° 18' BT - 105° 12' BT. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
K OTA DAN KABUPATEN DI PESISIR LAMPUNG
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
36
GAMBAR-15 Peta Administrasi Kec./Kab.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
37
penduduk 0,48%. Kepadatan penduduk mencapai 186 jiwa/km2, dengan sex ratio 103 (BPS, 1997).
merupakan desa tertinggal (BPS, 1998). Dari seluruh desa tersebut, terdapat 53 desa pantai yang berada dalam 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Palas, Kecamatan Kalianda, Kecamatan Penengahan, Kecamatan Sidomulyo, Kecamatan Padang Cermin, dan Kecamatan Katibung. Jumlah penduduk Kabupaten Daerah Kabupaten/Kota Lampung Selatan adalah 1.071.129 jiwa, dengan kepadatan 315 jiwa/km2, terdiri dari 555.144 laki-laki dan 515.985 perempuan dengan sex ratio 107.
7.6 Kabupaten Tulang Bawang Secara geografis Kabupaten Daerah Kabupaten/Kota Tulang Bawang terletak pada posisi 3° 45' LS - 4° 40' LS dan 104° 55' BT - 105° 55' BT, dengan luas wilayah mencapai 7.771 km², ibukotanya Menggala. Kabupaten ini dibentuk bersamaan dengan Kabupaten Tanggamus tahun 1997 dan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Wilayah Kabupaten Tulang Bawang secara administratif meliputi 8 (delapan) Kecamatan, dan 3 (tiga) Kecamatan Perwakilan, serta memiliki 197 desa, 100 desa di antaranya merupakan desa tertinggal (BPS, 1998). Dari seluruh desa tersebut, terdapat 7 desa pantai, yang berada dalam 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Menggala, Kecamatan Gedong Aji, Kecamatan Mesuji Lampung. Jumlah penduduk Kabupaten Tulang Bawang berjumlah 702.482 jiwa, yang terdiri dari 366.172 laki-laki dan 336.310 perempuan dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Kepadatan penduduknya adalah 90 jiwa/km2, dengan sex ratio 109. Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam administrasi wilayah yaitu pelaksanaan dari Keppres No.32 tahun 1990 khususnya Pasal 34 tentang sempadan pantai dan Pasal 27 tentang sabuk hijau (green belt). Sejauh ini belum ada Peraturan Daerah yang mengatur pelaksanaan Keppres ini. Diharapkan dari studi ini dapat menjadi landasan atau dasar informasi untuk dibahas oleh stakeholders.
7.4 Kotamadya Bandar Lampung Secara geografis Kotamadya Bandar Lampung terletak pada posisi 5° 20' LS - 5° 30' LS dan 105° 28' BT - 105° 37' BT. Letaknya di Teluk Lampung bagian selatan dan di ujung selatan pulau Sumatera. Kotamadya Bandar Lampung memiliki luas 192 km², yang terdiri dari 9 kecamatan dan 84 kelurahan/desa, dengan mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk di bidang jasa dan perdagangan. Dari seluruh desa tersebut, terdapat 12 desa pantai, yang berada dalam 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kecamatan Teluk Betung Barat, dan Kecamatan Panjang. Kegiatan reklamasi pantai dijumpai di daerah Desa Sukaraja dan Desa Kangkung. Jumlah penduduk Kotamadya Bandar Lampung mencapai 917.734 jiwa, yang terdiri dari 456.394 laki-laki dan 461.340 perempuan dengan sex ratio 98. Kepadatan penduduknya adalah 4.635 jiwa/km2 (BPS, 1998). 7.5 Kabupaten Lampung Timur Secara geografis Kabupaten Lampung Timur terletak pada posisi 4° 35' LS - 4° 60' LS dan 104° 45' BT - 105° 55' BT, dengan luas wilayah mencapai 4.338 km². Ibukotanya adalah Sukadana. Kabupaten Lampung Timur merupakan daerah Kabupaten/Kota pesisir yang baru terbentuk (tahun 1999), merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Tengah. Pembentukannya bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Way Kanan dan Kotamadya Metro. Wilayah Kabupaten Lampung Timur secara administratif terdiri dari 10 Kecamatan. Kesepuluh kecamatan tersebut adalah Kecamatan Batanghari, Purbolinggo, Raman Utara, Pekalongan, Metro Kibang, Labuhan Maringgai, Jabung, Sukadana, Way Jepara, dan Kecamatan Sekampung. Di Lampung Timur terdapat 9 desa pantai, di bawah 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Labuhan Maringgai, Kecamatan Jabung, dan Kecamatan Sukadana. Di Kecamatan Sukadana ini terdapat TN. Way Kambas. Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Timur (sampai tahun 1997) adalah 851.861 jiwa, terdiri dari 431.814 laki-laki dan 420.047 perempuan. Pertumbuhan
7.7 Isu-isu dalam Administrasi Beberapa permasalahan yang dapat dijumpai dalam bidang administrasi ini adalah: a. Penamaan desa yang belum seragam Data yang dikumpulkan dari tiga instansi yang berbeda (Badan Pusat Statistik Lampung, Kantor Pembangunan Masyarakat Desa Propinsi Lampung, dan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Lampung) menunjukkan jumlah desa pantai yang berbeda dan terdapat beberapa nama yang berbeda. b. Penentuan batas desa Belum ada batas desa yang jelas. Hal ini terjadi karena terdapat ketidaksesuaian antara data BPS, PMD, dan BPN. Desa yang ditunjukkan oleh BPS seringkali tidak terdapat pada peta administrasi yang dibuat oleh BPN. Hal ini terlihat jelas pada daerah Kabupaten Tulang Bawang, di mana saat ini terjadi banyak pemekaran desa. Di Lampung Barat terdapat perbedaan batas desa yang diakui oleh masyarakat dengan yang dibuat pemerintah. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
38
TABEL-7 Nama, Lokasi, dan Luas Pulau-Pulau Kecil di Wilayah Perairan Propinsi Lampung NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
LOKASI PERAIRAN LAUT/SELAT/TELUK
KECAMATAN
KAB./KODYA
LUASTOTAL (Ha)
Selat Sunda Selat Sunda Selat Sunda Selat Sunda Selat Sunda Selat Sunda Selat Sunda Teluk Lampung Selat Sunda Selat Sunda Teluk Ratai Teluk Lampung Teluk Lampung Selat Legundi Teluk Lampung Teluk Pedada Teluk Pedada Teluk Lampung Teluk Lampung Teluk Lampung Teluk Lampung Selat Legundi Selat Legundi Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Teluk Paku Selat Legundi Selat Legundi Teluk Lampung Teluk Lampung Teluk Pedada Teluk Kelumbayan
Kalianda Kalianda Kalianda Kalianda Kalianda Kalianda Kalianda Kalianda Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Cukuhbalak Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Padang Cermin Cukuhbalak Cukuhbalak
Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Tanggamus Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Tanggamus Tanggamus
1.646 16 2.620 1.097 275 287 1.343 19 1.742 50 435 84 8 330 74 2 11 39 98 11 694 33 8 2 2 11 22 167 10 <1 4 4 4 32 20
NAMA PULAU Sebuku Sebuku Kecil Sebesi Sertung Panjang Rakata Kecil Rakata Tungku Tiga Legundi Legundi Tua Kelagian Sijebi Serdang Siuncal Tanjung Putus Lunik Lok Maitem Tegal Puhawang Kecil Puhawang Serot Umang-umang Keramat Kelapa Dua Kandang Lunik Kandang Balak Paku Pertapaan Kepala Siuncal Lalangga Lunik Lalangga Balak Balak Hiu
NO. 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
LOKASI PERAIRAN
NAMA PULAU
LAUT/SELAT/TELUK
Batusulu Cukuh Pandan Kubur Kiluan Tangkil Tutung Balik Lahu Batu Hitam Batu Kagulung Sulah Condong Darat Condong Laut Mundu Seram Suling Segama Kopiah Tompel Rimau Balak Rimau Lunik Panjurit Panjukut Sindu Sikepal Mangkudu Pasaran Pisang Betuah Tabuan Limau Berak Kelapa Zuiduk Bilawang
Teluk Kelumbayan Teluk Kelumbayan Teluk Lampung Teluk Kelumbayan Teluk Lampung Teluk Semangka Teluk Lampung Teluk Kelumbayan Teluk Kelumbayan Teluk Lampung Teluk Lampung Teluk Lampung Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Laut Jawa Teluk Lampung Teluk Lampung Teluk Lampung Samudera Indonesia Samudera Indonesia Teluk Semangka -
KECAMATAN
KAB./KODYA
Cukuhbalak Cukuhbalak Padang Cermin Cukuhbalak Padang Cermin Cukuhbalak Padang Cermin Cukuhbalak Cukuhbalak Katibung Katibung Katibung Palas Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Penengahan Teluk Betung Sel. Pesisir Tengah Pesisir Selatan Kota Agung Cukuhbalak Cukuhbalak Cukuhbalak Cukuhbalak Cukuhbalak
Tanggamus Tanggamus Lampung Selatan Tanggamus Lampung Selatan Tanggamus Lampung Selatan Tanggamus Tanggamus Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Bandar Lampung Lampung Barat Lampung Barat Tanggamus Tanggamus Tanggamus Tanggamus Tanggamus Tanggamus
LUASTOTAL (Ha)
24 3 5 6 11 6 6 4 4 20 26 47 8 3 6 6 2 3 4 380 60 2 9 6 8 6 150 63 3.294 <1 <1 <1 -
Sumber : Kanwil BPN Lampung, 1998. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
39
○ ○ ○ ○
8.1 Penduduk Pada waktu Lampung masih merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Selatan (sampai dengan akhir abad ke-19), perdagangan hasil-hasil bumi berpusat di pelabuhan internasional di kota Menggala. Hasil bumi dari Jabung dan Sukadana diangkut melalui jalan darat untuk diekspor ke Eropa. Menggala sebagai bandar laut sudah tidak ada tetapi cakrawala pemikiran masyarakatnya lebih maju. Orang-orang Menggala banyak yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dibanding masyarakat asli Lampung lainnya. Sejak tahun 1905, pemerintah Hindia Belanda sudah mulai membuat program relokasi, memindahkan petani dari Bagelan, Jawa Tengah dan membangun kota Wonosobo dan Kota Agung, mereka dengan cepat membuka lahan sawah dan kebun di dataran sekitarnya. Dengan pembuatan rel kereta api dari Palembang ke Tanjungkarang menyebabkan kota berkembang di sekitar jalur rel kereta api tersebut. Wilayah yang paling lambat berkembang adalah Pantai Timur. Pada awalnya di areal sempadan pantai banyak pendatang dari laut, yang pada umumnya adalah nelayan yang tidak tetap. Sejak tahun 1932 atas nama Residen Palembang pemerintah membuka lahan dan memetakan wilayah Metro untuk menjadi wilayah transmigrasi dan baru tahun 1937 Kota Metro ditata. Pada waktu perang dunia kedua sampai 1950, program transmigrasi dihentikan sementara. Sejak penyerahan kedaulatan program transmigrasi dilanjutkan dengan membuka lahan rawa untuk menjadi persawahan pasang surut, dari Tulang Bawang sampai Ketapang. Penyebaran penduduk Propinsi Lampung tidak merata. Terjadi perbedaan yang sangat menonjol terhadap jumlah dan kepadatan penduduk antara daerah Pantai Timur, Pantai Barat dan Daerah Teluk. Daerah yang padat penduduk terdapat di Kotamadya Metro, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kotamadya Bandar Lampung. Sedangkan daerah yang masih jarang adalah Kabupaten Tulang Bawang dan Kabupaten Lampung Barat. Penduduk terpusatkan di beberapa kota besar seperti Tanjungkarang dan Telukbetung, Metro, Kota Agung, Kalianda. Sedangkan di Menggala dan Liwa jumlah penduduknya relatif sedikit. Khusus di daerah pesisir Lampung Barat, masih sangat jarang dihuni dan walaupun ada, hanya merupakan kelompok-kelompok kecil yang terpencar. Hal ini terjadi karena sulitnya sarana transportasi di daerah ini. Selain itu, daerah pesisir Pantai Barat dipisahkan oleh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang membentang dari Belimbing sampai perbatasan Bengkulu.
Jumlah penduduk Propinsi Lampung tahun 1971, 1980, dan 1985 masing-masing sebesar 2,777 juta jiwa, 4,624 juta jiwa, dan 5,139 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk pada periode 1971 - 1980 sebesar 5,77 % pertahun dan periode 1980 - 1990 menurun menjadi 5,06% pertahun. Pada dua periode tersebut, laju pertumbuhan penduduk Propinsi Lampung adalah tertinggi di Indonesia setelah DKI Jakarta. Pertumbuhan penduduk Indonesia periode 1985 - 1990 adalah 2,10%. Pertumbuhan yang cepat pada dua periode tersebut adalah akibat langsung program transmigrasi, baik yang dilakukan dengan program pemerintah maupun berupa transmigrasi spontan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk Lampung adalah pendatang dari berbagai propinsi di Sumatera, Jawa, dan Bali. Pertumbuhan penduduk terakhir (tahun 1990 - 1998) adalah 1,02% pertahun. Tahun 1990 penduduknya berjumlah 6,016 juta jiwa, sedangkan tahun 1998 adalah 6,954 juta jiwa. Jumlah dan kepadatan penduduk di daerah Kabupaten/Kota pesisir dapat dilihat pada Tabel-8. Berdasarkan Tabel-8 dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk Lampung Barat dan Tulang Bawang paling kecil (82 dan 90 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk tertinggi mencapai 4.635 jiwa/km2 di Kodya Bandar Lampung.
TABEL-8 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Pesisir Lampung di Enam Daerah Kabupaten/Kota Daerah Kabupaten/Kota
Jumlah (jiwa)
Kepadatan (jiwa/km2)
Bandar Lampung
917.734
4.635
Lampung Selatan
1.071.129
315
Lampung Timur
857.861
186
Tanggamus
797.880
235
Lampung Barat
389.023
82
Tulang Bawang
702.482
90
Dati II Pesisir
4.736.109
924
Propinsi Lampung
6.954.925
210
Sumber: BPS, 1998.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
D EMOGRAFI DESA & KONDISI SOSIAL-BUDAYA
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
40
GAMBAR-16 Peta Administrasi Desa Pesisir
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
41
Daerah Propinsi Lampung merupakan suatu daerah yang sangat strategis baik secara geografis maupun dari segi pengembangan wilayah. Prasarana perhubungan yang baik, cepat, murah dan aman merupakan salah satu faktor penarik mengalirnya arus migrasi dan transmigrasi. Dari catatan pelabuhan diperkirakan bahwa rata-rata per hari mobilitas/ pergerakan penduduk yang meninggalkan Lampung sekitar 9.000 orang, sedangkan yang datang sekitar 10.000 orang. Itu berarti rata-rata 1.000 orang per hari diperkirakan menetap di Lampung. Para transmigran yang datang ke Lampung baik secara spontan maupun yang mengikuti program pemerintah, pada umumnya bertujuan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Sebagian dari transmigran itu ada yang tinggal di daerah pesisir dan memperoleh mata pencahariannya di sana. Sampai tahun 1998 tercatat jumlah penduduk dari 184 desa pantai di Propinsi Lampung sebesar 391.620 jiwa yang terdiri dari: ! Balita sebesar 9.2% (35.573 jiwa) ! 5-6 tahun sebesar 4.9% (18.789 jiwa) ! 7-12 tahun sebesar 11.6% (44.661 jiwa) ! 13-15 tahun sebesar 7.1% (27.273 jiwa) ! 16-18 tahun sebesar 5.4% (20.967 jiwa) ! 19-59 tahun sebesar 58.9% (227.619 jiwa) ! >60 tahun sebesar 3.0% (11.639 jiwa). Dari keterangan di atas terlihat bahwa lebih dari setengah penduduk desa pesisir Lampung masuk dalam usia produktif, sedangkan seperempatnya masuk dalam usia sekolah mulai dari TK sampai SMU. Namun fasilitas pendidikan yang tersedia masih sangat rendah, terutama untuk SLTP dan SMU sehingga sebagian besar dari penduduk berpendidikan hanya sampai tingkat SD. Untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi misalnya SLTP, mereka harus pergi ke kecamatan lain bahkan harus pergi ke ibukota kabupaten bila mereka ingin melanjutkan ke tingkat SMU. Selain itu banyak murid di desa yang tidak menyelesaikan SD karena mereka membantu keluarganya bekerja mencari ikan atau bertani. Kepadatan penduduk yang hidup di wilayah pesisir rata-rata mencapai 105 jiwa/ km2. Di wilayah Pantai Barat mempunyai kepadatan penduduk paling kecil dan di wilayah Teluk Lampung kepadatannya paling tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Peta Tingkat Kepadatan Penduduk Desa Pesisir Lampung.
berimbang jumlahnya. Karena itu, tidak ada bahasa daerah yang dominan, dan sebagian besar komunikasi berlangsung dalam bahasa Indonesia. Keunikan dari heterogenitas masyarakat pesisir salah satunya adalah karena letak geografis di garis pantai, yakni antara lingkungan daratan dan lautan, maka hidup mereka bergantung pada kedua wilayah tersebut. Masyarakat pesisir dituntut untuk lebih ulet berusaha supaya dapat hidup lebih baik. Kehidupan masyarakat pesisir, hampir di seluruh negara maritim atau kepulauan, mengalami kemiskinan dan tekanan hidup yang berkepanjangan. Sebagai contoh, masyarakat yang sebelumnya hidup secara bercocok tanam, karena kepindahannya ke daerah pesisir, maka merupakan suatu keharusan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya serta mengubah pola hidupnya sesuai dengan tuntutan lingkungan di wilayah pesisir. 8.2.1 Penduduk Asli. Penduduk asli Lampung sukar untuk diketahui jumlahnya, karena tidak pernah dicacah menurut penggolongan suku bangsa. Menurut Prof. Hilman Hadikusuma (Unila), jumlah etnis Lampung asli diperkirakan hanya sebesar 16% saja atau kira-kira 1.250.000 jiwa. Jumlah ini terbagi atas Lampung Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang, Pubian, Krui-Ranau, Belalau, Semangka, Teluk, Rajabasa, dan Melinting-Meringgai. Suku-suku tersebut dapat dibagi dua kelompok besar, yaitu PEMINGGIR, yang berkediaman di sepanjang pesisir seperti adat Krui, Ranau, Komering, dan Kayu Agung. Yang kedua adalah PEPADUN, yang berkediaman di daerah pedalaman Lampung seperti Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku, Menggala, Tulang Bawang. Adat budaya Lampung yang lebih dekat ke daratan menyebabkan pemanfaatan wilayah pesisir oleh masyarakat sekitar kurang mendapat perhatian. Masyarakat asli lebih cenderung untuk mengolah lahan pertanian dan perladangannya daripada menangkap ikan di laut. Wawasan ini membuat wilayah pesisir lebih didominasi oleh masyarakat pendatang yang tinggal dan menetap oleh karena beberapa alasan yang intinya agar dapat menikmati kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Lampung dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum adat tersendiri. Bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Kelompok-kelompok tersebut tinggal menyebar di berbagai daerah/tempat. Orang Lampung asli pada umum bermukim di wilayah barat, termasuk Liwa dan Krui. Penangkapan ikan laut tidak banyak dilakukan oleh penduduk asli. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh para pendatang seperti orang Bugis yang kini telah menjadi penduduk tetap (DepDikBud, 1996).
8.2 Etnik Lampung merupakan Propinsi yang mempunyai ragam dan heterogenitas penduduk yang tinggi. Semua suku bangsa/etnis yang ada dan hidup di Lampung hampir
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
42
GAMBAR-17 Peta Tingkat Kepadatan Penduduk Desa Pesisir
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
43
Prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan suatu corak keaslian yang khas penduduk masyarakat etnis Lampung yang disimpulkan dalam 5 (lima) prinsip, yaitu: 1. Pi’il Pasenggiri (menjaga harga diri) 2. Sakai Sambayan (suka tolong menolong) 3. Nemui Nyimah (murah hati/terbuka tangan) 4. Nengah Nyappur (hidup bermasyarakat/suka bergaul) 5. Bejuluk Beadek (punya gelar adat)
dapat juga karena proyek-proyek pemerintah, misalnya program transmigrasi, sedangkan pendatang-pendatang baru lainnya disebabkan oleh proyek swasta di bidang pengolahan lahan produksi, yang mengharuskan suatu masyarakat meninggalkan tanah asalnya dan berpindah ke tempat lain. Kepindahan dari tempat asal ke tempat yang baru membawa dampak terjadinya perubahan dalam mata pencaharian dan kebiasaan hidup. Penyebaran etnis masyarakat pesisir Lampung dapat dilihat pada Peta Penyebaran Etnis Masyarakat Pesisir Lampung. 8.3 Pemanfaatan Lahan yang ‘Terbuka Perolehannya’ Permasalahan yang dijumpai berkaitan dengan sumberdaya yang ‘terbuka perolehannya’ terdiri dari difficulty of exclusion dan subtractability (dari Feeny, 1994; Berkes, 1994; Williams, 1998). Difficulty of exclusion adalah persoalan dalam penanganan para pengguna lahan (stakeholders) tanpa pembatasan tentang siapa yang berhak dan tidak berhak memanfaatkan lahan tersebut. Sedangkan subtractability merupakan hal yang berkaitan dengan konflik itu sendiri yakni dengan terbukanya kesempatan untuk bersaing di antara para pengguna.
8.2.2 Penduduk Pendatang Penduduk pendatang mendominasi hampir 84%. Kelompok etnik terbesar : Jawa (30%), Banten/Sunda (20%), Lampung Asli (16%), Semendo (12%), Minangkabau (10%). Kelompok etnis lain yang juga cukup banyak jumlahnya adalah Bali, Batak, Bengkulu, Bugis, Cina, Ambon, Aceh, Riau, dan lain-lain. Kebanyakan para transmigran yang berasal dari Jawa dan Bali, serta para perambah hutan yang datang spontan dari Jawa maupun dari Sumatera Selatan, mengubah keseimbangan suku di Lampung. Dari tahun 1970 sampai 1982 ada proyek pencetakan sawah di areal Rawa Sragi dengan menyediakan irigasi air tawar dan pembuatan tanggul penangkis untuk mengontrol air tawar dan air laut yang masuk. Lahan sempadan pantai, yang tidak bisa menyediakan air tawar yang cukup dialih-fungsikan menjadi tambak, dengan areal yang dilestarikan sebagai hutan bakau dengan fungsi penahan ancaman ombak laut. Wilayah tambak bandeng disediakan bagi orang yang tidak dapat tanah di dalam tanggul penangkis Rawa Sragi. Tetapi pada waktu itu banyak orang yang tidak mau. Pada tahun 1982, Pesisir Timur masih memiliki hutan mangrove dengan luas 20.000 ha. Karakterisitik mata pencaharian penduduk pendatang asal Jawa pada umumnya memiliki kekhasan dalam beradaptasi, yang mereka bawa dari asalnya untuk diterapkan di wilayah baru. Sebagai contoh masyarakat Jawa - Pati yang berhasil bertahan dengan keahliannya sebagai petambak. Di lahan baru ini, mereka pun melakukan hal yang sama, yang secara kebetulan memiliki kondisi dan situasi yang mendukung untuk usaha pertambakan. Semula mereka berbudidaya bandeng dan jenis ikan lainnya yang biasa mereka lakukan, tetapi seiring dengan berkembanganya trend budidaya udang windu, maka mereka beralih ke jenis yang menguntungkan ini dan ditambah lagi dengan dukungan dari pihak-pihak pemberi modal. Persebaran penduduk dari Pulau Sulawesi misalnya, didorong oleh jiwa merantau mereka yang kuat sehingga terdampar di Lampung atau ada pula yang pindah karena dipaksa oleh situasi politik di tempat asal: pemberontakan Kahar Muzakar. Tetapi
8.3.1 Difficulty of Exclusion Pemanfaatan lahan terbuka merupakan interaksi manusia terhadap sumberdaya
TABEL-9 Perbandingan Perubahan Kondisi Ekosistem Pesisir KONDISI AWAL (70-an)
KONDISI AKHIR (90-an)
EKOSISTEM BELUM TERGRADASI
EKOSISTEM SUDAH TERGRADASI
STATUS JALUR HIJAU DI TANAH NEGARA (State Property) secara defakto dianggap sebagai HAK UMUM
MILIK PERORANGAN/ SWASTA
JALUR HIJAU DI TANAH NEGARA SEBAGAI MILIK UMUM
Konversi Lahan
HAK PERORANGAN/ SWASTA
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
44
GAMBAR-18 Peta Prosentase Jumlah Penduduk
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
45
8.3.2 Subtractability Perlakuan pemanfaatan sumberdaya alam dengan cara ‘merusak’ dan berlebihan didasari oleh faktor keinginan manusia untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dan untuk memperluas penguasaan wilayah demi kesejahteraannya tanpa menghiraukan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut pada lingkungan. Kompleksitas permasalahan dan tidak sederhananya penanganan yang tepat bagi sumberdaya yang bersifat ‘terbuka’ di wilayah pesisir dan laut Lampung disebabkan oleh bervariasinya latar belakang dan keahlian/pekerjaan masyarakatnya. Selain itu, proses perubahan strategi adaptasi mata pencaharian berkaitan erat dengan perubahan sistem ekologi wilayah pesisir. Contoh pertama pada kasus greenbelt yang berimplikasi pada abrasi dan intrusi air laut. (grembel: ujaran dalam masyarakat). Penyebab kerusakan jalur hijau hutan mangrove di Pesisir Timur bermula dari ulah manusia yang secara bertahap menebang jalur hijau baik untuk membuat jalur sampan maupun pemanfaatan TABEL-10 kayu bakau untuk kayu bakar. Lihat Tabel-10. Kategori Hak Kepemilikan di Lahan Pesisir Timur Lampung Adanya tindakan awal yang dilakukan pendatang di pesisir, pada akhirnya Saat Bukaan Tahun 1970-an berkembang menjadi tindakan konversi lahan jalur hijau secara illegal karena adanya beragam persepsi. Dari sejumlah anggapan yang ada tersirat “.....bahwa lahan jalur hijau merupakan lahan yang kurang memiliki fungsi”. “... Pada saat pertama kali lahan dibuka dan juga saat pertama kali membuka tambak ikan nila, grembel (greenbelt) DE FACTO DE JURE JENIS LAHAN masih sekitar 300 m, keadaannya masih bagus tapi karena adanya ombak yang sangat kuat sehingga grembel tersebut tahu-tahu sudah habis. Tapi ada juga yang diambil orang karena Akses Terbuka Akses Terbuka Jalur hijau di Tanah Adat (Tanah mungkin tidak tahu kalau bisa merusak lingkungan, jadi akhirnya sampai grembel habis, Marga) kebetulan ombak laut sudah menyerang tambak tambak itu. Namun untuk kesuburan lahannya dirasa tidak ada pengaruh karena letak lahan tambak jauh dari grembel terebut Hak Kepemilikan Umum Hak Kepemilikan Umum Lahan rawa/hutan di kawasan Tanah ....”. Di Karya Makmur seorang penduduk mengatakan, “Habis hutan bakaunya Adat (Tanah Marga) ditebang dijadikan arang dan dijual, sebagian dijadikan tambak...” Bukti bahwa situasi sempadan Pantai Timur sudah rusak parah terlihat dari pernyataan penduduk desa Muara Gading Mas, Bapak Karto yang petambak, DE FACTO DE JURE JENIS LAHAN “...Keadaan garis pantai Muara Gading Mas saat sekarang (1998) sama seperti keadaan pada tahun 1950- an, sedang antara tahun 50 -80 tumbuh tanaman bakau di pantai”. Akses Terbuka Hak Kepemilikan Negara Jalur hijau di Hutan Register Tetapi seorang penduduk lainnya menambahkan bahwa kondisi garis pantai sekarang hampir sama dengan tahun 1975. Saat ini 120 KK di desa Penet Margasari sudah tenggelam, sedangkan di desa Muara Gading Mas yang pada Hak Kepemilikan Negara Hak Kepemilikan Negara Lahan rawa/hutan di Hutan Register tahun 1975 memiliki jalur hijau setebal 1,5 km sekarang telah habis dan (Dinas Kehutanan) mengakibatkan 50 rumah hanyut terkena abrasi. Contoh kedua adalah pada kasus penangkapan ikan secara ‘merusak’ dan
alamnya. Dalam hal ini para stakeholders terhadap ragam pemanfaatan sumberdaya tersebut beserta faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhinya seperti yang diperlihatkan pada Tabel-9. Teori Property Rights dari Feeny, 1994: 23, seperti tertera pada Tabel -10 dapat ditemui di Pesisir Timur Lampung. Dengan demikian, perubahan pola tata guna lahan ‘terbuka’ dan proses berlangsungnya perubahan hak kepemilikan adalah potensi konflik pemanfaatan dan wewenang yang berangkat dari kisaran efektifitas pengaturan oleh negara ataupun oleh pasar dalam mengatasi masalah pengelolaan sumberdaya ‘terbuka’ secara terpadu serta kesinambungannya terhadap potensi sumberdaya alam secara berkelanjutan. Selain itu, akibat dari perubahan pola tata guna lahan adalah dari lahan ‘terbuka’ menjadi strategi pola umum sawah diversifikasi, kemudian dikonversi menjadi semua berpola uniformitas (keseragaman), yakni bertambak.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
46
GAMBAR-19 Peta Penyebaran Suku Desa Pesisir
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
47
berlebihan, dalam hal ini menggunakan bom dan bubu. Bomb fishing merupakan suatu alat tangkap kategori ‘merusak’ yang disebabkan oleh persebaran racunnya yang mematikan kehidupan habitat pesisir dan menurunkan kualitas fungsi sumberdaya alam yang berkelanjutan. Selama ini dusun Mutun dan dusun Tembikil di Desa Sukajaya, terutama Gudang Lelang Lama, di Teluk Betung dan pulau-pulau di sekitar Teluk Lampung diidentifikasikan sebagai tempat pemberangkatan paling aktif yang menggunakan armada personil dan kapal terbanyak. Bomb fishing dilarang oleh UU No. 5 1990 dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,Kegiatan penangkapan ikan yang ‘merusak’ tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sekitar, akan tetapi juga dimodali oleh beberapa jaringan pengusaha. Ada korelasi pola-pola penangkapan yang bersifat ‘merusak’ tersebut dengan tata niaga pemasaran, pemasokan dan penjualan ikan tangkapan mereka yang biasanya diatur oleh jaringan pengusaha. Pengaturan tata niaga itu umumnya dijalankan dengan menjual hasil tangkapan mereka kepada pengusaha berdasarkan harga yang telah ditentukan oleh pengusaha tersebut dan biasanya hasil penjualan itu sudah merupakan hasil ‘bersih’, karena sebelumnya biaya operasional dan uang kerja nelayan diberikan oleh pengusaha setelah dipotong dari hasil penjualan tadi. Perkiraan bahwa nelayan-nelayan yang berada di Lampung merupakan nelayannelayan baru dan yang belajar karena terpaksa sangatlah tidak tepat. Menurut penuturan Pak Gani dan Pak Ambo, keduanya merupakan penduduk dusun Tembikil, mereka mengenal bomb fishing dari nenek moyang mereka, yang dahulu menggunakan bom untuk keperluan berperang melawan Belanda dan Jepang. Selanjutnya terjadilah pergeseran fungsi. Dalam perkembangannya perakitan bom tersebut digunakan untuk keperluan menangkap ikan dengan hasil yang melimpah. Demikian teknologi ini sampai ke anak-cucu mereka yang banyak merantau ke berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk akhirnya ke Lampung. Penggunaan beberapa bahan-bahan tradisional yang tersedia di sekitar mereka menunjukkan kemampuan nelayan dalam memanfaatkan benda-benda yang ada di lingkungan mereka. Dalam pembuatan bom, menurut informasi dari Pak Ambo, mereka memanfaatkan kepala korek api yang dikikis, bubuk cat (bronze) yang berwarna metalik kekuning-kuningan yang diperoleh dari toko cat, belerang dari gunung atau gua-gua di sekitar tempat tinggal mereka, dan getah Damar putih (terpenthyn). Khususnya untuk penggunaan bahan belerang kadang-kadang diganti dengan menggunakan tawas, karena harganya lebih murah. Di dusun Mutun dan Tembikil Damar putih ini juga jarang dipakai. Mereka memanfaatkan botol obat, botol bir (pigur), dan kaleng cat bekas
sebagai wadah dari bahan-bahan tadi. Bahan yang mengandung unsur peledak itu kemudian dijemur lalu dimasukkan dalam wadah dan diaduk-aduk sebelum ditutup dengan tutup yang sesuai dengan besar wadah dan diberi sumbu serta diberi pemberat (untuk bom yang dilempar) atau menggunakan kabel (pengendaliannya dari atas kapal, dengan sebutan khas: “dodol”). Resiko terbesar yang dihadapi oleh nelayan pemakai bahan peledak adalah pelemparan bom yang salah perhitungan sehingga masih mengenai kapal sendiri. Hal ini dapat berakibat kematian bagi si nelayan atau cacat tubuh. Sekitar tiga tahun yang lalu, anak tertua Pak Haruna yang bernama Gandol meninggal dunia akibat melakukan aktivitas bomb fishing. Meninggalnya karena terlalu lama menyelam di kedalaman 40 meter guna mengambil hasil dari pengebomannya. Tetapi karena terlalu lama di kedalaman, sesampainya di permukaan dia meninggal di atas perahu. Selain itu, korban lainnya adalah Pak Jafar yang mengalami cacat tubuh, yakni buntungnya dua jari di tangan kanannya. Kejadiannya berlangsung saat dia sedang meracik sumbu untuk bom. Lalu mengapa hal ini masih saja mereka lakukan, tidakkah mereka menyesali perbuatannya? Tidak adakah teknologi lain yang bisa menggantikan? Persepsi masyarakat nelayan tentang populasi ikan hanya sebatas turun temurun yang mempercayai bahwa populasi ikan menurut mereka adalah suatu sumberdaya laut yang tak terbatas dan ‘terbuka perolehannya’. Sehingga siapa saja dan dengan cara apa pun dapat dimanfaatkan untuk menghidupi keluarga mereka. Pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman yang didapat dari nenek moyang mereka sebelumnya yang telah memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut, di mana pada saat itu kepadatan penduduk, teknologi perikananan dan ragam pemanfaatan sumberdaya kelautan masih relatif sedikit serta belum terjadi konflik pengelolaan secara sektoral antar para stakeholders. Pemahaman masyarakat seperti itu bahwa kekayaan laut tidak akan ada habisnya, telah mempengaruhi tingkat kesadaran, pola berpikir, dan perilaku nelayan dalam berinteraksi dengan sumberdaya kelautan. Persepsi masyarakat terhadap dampak yang ditimbulkan dari cara penangkapan secara sembrono yang mereka lakukan, dapat dikategorikan rendah. Mereka cenderung tidak menyadari akibat yang ditimbulkan dari cara penangkapan yang mereka gunakan. Alat tangkap ikan lain yang bersifat ‘merusak’ tetapi mempunyai resiko lebih sedikit adalah teknik penangkapan dengan bubu. Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang mempunyai prinsip kerja sebagai perangkap ikan. Cara pemakaian bubu adalah dengan meletakkan perangkap di dasar laut yang berkarang. Untuk melindungi agar perangkap tidak berpindah tempat karena gelombang maka di atas perangkap diberi atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
48
beban yaitu berupa beberapa kilogram batu-batu karang dari sekitar daerah penangkapan. Hal inilah yang merusak ekosistem terumbu karang. Pengambilan sedikit demi sedikit karang yang ada dalam jangka waktu lama akan menjadi banyak dan meluas sehingga menimbulkan kerusakan yang signifikan. Tingkat penyebaran serta penanaman bubu yang tinggi akan mempercepat kerusakan yang kadang tidak disadari oleh masyarakat nelayan. Contoh ketiga adalah bagaimana mekanisme kontrol oleh masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang ‘terbuka’. Berbeda dengan pengelolaan oleh negara ataupun pasar, para stakeholders lainnya, maka penetapan batas perairan yang disepakati secara kolektif oleh warga tertentu di P. Sebesi, Kalianda merupakan suatu fenomena menarik. Dalam situasi absennya pranata dan hak-hak ulayat tradisional serta kurang efektifnya pengaturan oleh pihak negara, kesepakatan komunal terbukti telah mampu mengurangi pemanfaatan secara berlebihan dan ‘merusak’ di wilayah perairan oleh warga setempat. Dasar penetapan batas wilayah perairan sangatlah sederhana bertolak dari kemampuan sampan atau jungkung mereka mengarungi lautan, yakni 1,5 mil. Di sisi lain, pada pesisir yang berdekatan di P. Sebuku, Kalianda, ditemukan persepsi masyarakat setempat terhadap pengklaiman hak individual oleh perusahaan yang dirasakan merugikan karena warga setempat tidak dapat lagi memanfaatkan potensi sumberdaya yang sebelumnya ‘terbuka’ di sana lagi, sekali pun diakui bahwa hal ini telah turut mencegah kerusakan dan pemanfaatan pesisir dan laut yang berlebihan. Potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang sudah pasti meningkat, akan terwujud menjadi konflik yang tidak terelakkan. Sejauh pemahaman para stakeholders maka selama ini pengamatan awal tertuju pada persoalan kewenangan pemerintah yang tumpang tindih dan persaingan antar para pengguna sumberdaya tanpa mengambil manfaat dari mekanisme pemecahan masalah secara terpadu. Peraturanperaturan yang ada tidak cukup melindungi sumberdaya pesisir dan laut serta memberikan jaminan kesejahteraan pada masyarakatnya, belum lagi ketiadaan kebijaksanaan yang bisa diterima secara lokal maupun nasional untuk para pengambil keputusan telah mengakibatkan belum terlaksananya implementasi strategi dan mekanisme tepat-guna bagi pemberdayaan masyarakat serta pembangunan yang berkelanjutan demi masa mendatang. Begitu dasar sumberdaya menipis, konflik akan mencapai tingkat yang membahayakan sampai pada titik keamanan umum dan jiwa manusia terancam. Kesepakatan komunal di antara warga komunitas tertentu tentang batas-batas wilayah perairan sebagai batas kepemilikan mereka ternyata berdaya-guna bagi pencegahan pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan dan merusak pihak luar, dengan demikian di wilayah tersebut terbukti mendukung gagasan Ostrom (1994a; 1994b).
8.4 Persepsi Masyarakat terhadap ICZM Akses manusia terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut seperti terlihat pada aktivitas di atas berawal dari pengetahuan ekologi penduduk setempat tentang berbagai spesies biota di lingkungannya dan dampak strategi pemanfaatan sumberdaya itu pada kondisi ekosistem habitat setempat, termasuk cukup. Akan tetapi kebutuhan jaminan kesejahteraan yang tidak mencukupi berimplikasi terhadap kegiatan/aktivitas pengelolaan pesisir dan laut yang tidak berwawasan lingkungan. Kondisi ini identik dengan kondisi kemiskinan yang selalu menghantui kehidupan nelayan kecil. Kemiskinan nelayan pesisir telah menimbulkan permasalahan di kawasan pesisir yaitu konflik dalam diri nelayan terhadap persepsi mengenai ekologi dan kebutuhannya untuk hidup lebih baik. Persaingan dalam pemanfaatan mendorong mereka menggunakan cara-cara dan teknologi yang merusak dan berlebihan karena mereka tidak mampu bersaing kalau menggunakan cara-cara penangkapan yang ramah lingkungan, dalam hal ini perlu dicari teknologi tepat-guna bagi perikanan skala kecil. Kemiskinan penduduk juga mempengaruhi pola pikir dan cara memperoleh pengetahuan (adopsi teknologi) mereka. Pemikiran untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa memperhitungkan resiko yang dihadapi terjadi pada konflik-konflik yang dikemukakan di atas. Menurut Arihadi (1998:4), pada dasarnya perilaku masyarakat nelayan bersumber pada lima faktor penyebab yaitu kurang permodalan, pengetahuan/keterampilan/kesadaran, kerjasama, dan faktor eksternal seperti keterbatasan pelayanan pemerintah dan isolasi daerah. Mekanisme umpan balik atas akibat dari strategi yang mereka laksanakan dapat terhambat oleh keterbatasan kemampuan pengamatan empiris (pengalaman) mereka. Sebagai contoh menurut Bentley (1989; 1992), pengetahuan penduduk setempat bervariasi, sekalipun mereka memiliki pengetahuan yang baik mengenai beberapa komponen ekosistem, tidak seluruh komponen dapat ditangkap melalui pengamatan tanpa menggunakan peralatan khusus seperti misalnya jenis-jenis serangga mikro, jenisjenis penyakit, dan penyebabnya. Tidak seluruh komunitas pesisir di Indonesia telah mengembangkan sistem perolehan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara kolektif. Di banyak tempat, sering dijumpai adanya pengaturan yang bersifat komunal. Tetapi, penetapan hak ulayat dan sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara tradisional telah dikembangkan dalam kurun waktu yang lama oleh beberapa komunitas pesisir di perairan Indonesia bagian Timur. Contohnya seperti yang terdapat di Kepulauan Maluku. Sementara di bagian barat, contohnya di P. Sebesi-Kalianda, masalah muncul dengan tidak diakuinya sistem tradisional tersebut, hak ulayat, dalam sistem hukum Nasional. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
49
○ ○ ○ ○
Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan lautan. satuan-satuan lahan seperti tertera pada Tabel-11 dan Peta Satuan Lahan Pesisir. Kawasan ini paling padat dihuni manusia serta tempat berlangsungnya berbagai macam (1) Pesisir Barat, terdiri dari satuan lahan pada kelompok fisiografi: (a) Aluvial adalah kegiatan pembangunan. Untuk tujuan studi ini wilayah pesisir dibatasi oleh faktor dataran banjir (21%); (b) Marin adalah beting pantai (6%), dataran lumpur pantai (2%), ekosistem lingkungan daratan yang masih dipengaruhi oleh air laut, sehingga wilayah endapan marin (4%); dan (c) Teras marin adalah Teras marin berombak agak tertoreh pesisir Lampung dibagi empat, yaitu (a) Pesisir Barat (104.111 ha); (b) Pesisir Timur (17,65%) dan Teras marin bergelombang agak tertoreh (36,44); (d) Perbukitan adalah 316.437 ha); (c) Pesisir Teluk Lampung (48.630 ha), dan (d) Pesisir Teluk Semangka Perbukitan agak tertoreh (13%). (62.250 ha), secara rinci tertera pada laporan teknis. (2) Pesisir Timur, terdiri dari satuan-satuan lahan pada kelompok fisiografi: (a) Wilayah Pesisir Lampung memiliki potensi sumberdaya alam untuk pengembangan Aluvial adalah dataran aluvial (11,5%), dasar lembah (0,7%), dan meander sungai (2,6%); kegiatan bidang ekonomi di sektor pertanian. Keadaan sumberdaya alam yang sangat (b) Marin adalah beting pantai (0,8%), dataran pantai (7,2), rawa belakang (38,8), dan mendukung untuk pengembangan kegiatan sektor pertanian mengakibatkan perluasan endapan marin (0,4%); (c) Dataran Tuf Masam adalah dataran tuf masam datar sampai penggunaan lahan pertanian semakin meningkat, dan apabila tidak terkontrol dapat berombak dan bergelombang (32,8%); (d) Dataran adalah dataran datar sampai juga menyebabkan kerusakan, seperti yang terjadi di Pantai Timur, yaitu (a) abrasi pantai berombak (2,7%); (e) Vulkan adalah dataran vulkan (2,3%); (f) Perbukitan adalah sejak tahun 1987 rata-rata mencapai 50 m tiap tahunnya, sebagai akibat adanya alih perbukitan sangat tertoreh (0,3%). fungsi lahan sempadan pantai berhutan mangrove menjadi tambak, (b) alih fungsi lahan (3) Pesisir Teluk Lampung terdiri dari satuan-satuan lahan pada kelompok fisiografi: sawah menjadi tambak di Rawa (a) Aluvial adalah dataran banjir Sragi telah mencapai 3000 ha. (4,4%) dan kipas aluvial TABEL-11 Oleh karena itu, perluasan (18,0%); (b) Marin adalah Fisiografi Wilayah Pesisir Lampung penggunaan lahan tersebut harus endapan marin (10,5); (c) diarahkan dengan baik, ditinjau Dataran Tuf Masam adalah Pesisir Teluk Pesisir Teluk baik dari segi penataan ruang, dataran tuf masam bergelomKelompok Fisiografi Pesisir Barat Pesisir Timur Lampung Semangka jenis komoditas yang diusahakan bang sampai berbukit kecil % Ha % % % Ha Ha Ha maupun suatu tindakan konser(4,7%); (d) Vulkan adalah lereng vasi yang harus dilaksanakan. vulkan bawah (6,3%) dan 1. Aluvial 21,0 21.862 22,4 25,5 14,9 47.062 10.896 15.814 dataran vulkan berombak 2. Marin 12,0 149.187 12.500 10,5 3,3 47,1 5.109 2.062 9.1 Satuan Lahan sampai bergelombang (4,9%); 3. Teras Marin 54,1 56.312 0 0 0 0 0 0 Satuan lahan dibedakan atas (e) Perbukitan adalah perbukit4. Dataran Tuf Masam 0 103.438 0 4,7 0 32,7 2.312 0 dasar karakteristik lahan yang an agak tertoreh sampai sangat 5. Dataran 0 0 0 0 2,7 8.563 0 0 terdapat di daerah studi yang tertoreh (23,5%); (f) Pegunung6. Vulkan 0 0 11,2 12,3 2,3 7.375 5.438 7.687 digambarkan oleh keadaan an adalah pegunungan sangat 7. Perbukitan 12,9 13.437 23,5 29,1 0,3 812 11.428 18.125 8. Pegunungan 0 0 25,2 27,7 0 0 12.260 17.250 fisiografi, bentuk wilayah, iklim, tertoreh (25,2%); (g) lain-lain 9. Lain-lain 0 0 2,5 2,1 0 0 1.187 1.312 sifat-sifat tanah (keadaan drainase, (2,5%). bahan induk, kondisi perakaran, (4) Pesisir Teluk Semangka Jumlah 100 100 100 104.111 316.437 48.630 62.250 100 retensi hara, dan ketersediaan zat terdiri dari satuan-satuan lahan hara tanah). Berdasarkan karakpada kelompok fisiografi: (a) Sumber: Hasil analisis dan pengamatan lapang, 1998. teristik lahan tersebut didapatkan Aluvial adalah lembah aluvial
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
K ESESUAIAN & ARAHAN PENGEMBANGAN LAHAN PERTANIAN
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
50
GAMBAR-20 Peta Satuan Lahan
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
51
(16,5%), lembah tertutup (2,8%), dan dataran banjir (6,1%); (b) Marin adalah endapan marin (3,3%); (c) Vulkan adalah lereng vulkan bawah (12,3%); (d) Perbukitan adalah perbukitan agak tertoreh sampai sangat tertoreh (29,1%); (e) Pegunungan adalah pegunungan sangat tertoreh (27,7%); (f) lain-lain (2,2%). 9.2 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan saat ini di daerah studi dapat dibedakan menjadi penggunaan lahan untuk persawahan, kebun campuran, pemukiman, tegalan, tambak, kebun kelapa, damar, belukar, hutan, hutan rawa, dan gelam, seperti tertera pada Tabel-12 dan Peta Penggunaan Lahan Pesisir.
TABEL-12 Penggunaan Lahan di Pesisir Lampung Jenis Penggunaan No. Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pemukiman Pemukiman/Kb.Camp. Sawah Tambak Tegalan Kebun Kelapa Kb.Camp/Damar Belukar Gelam Hutan Rawa Hutan
Pesisir Barat
Pesisir Timur
Teluk Lampung
Teluk Semangka
Ha
%
Ha
%
Ha
%
Ha
%
1.750 31.785 2.812 24.514 18.625 24.625
- 17,1 30,5 2,7 23,6 17,9 23,6
10.625 72.125 33.250 28.437 9.437 104.875 29.125 28.562 -
3,4 22,8 10,5 9,0 2,9 33,1 9,2 9,1 -
5.312 31.693 1.437 751 5.687 3.750 -
10,9 65,2 3,0 1,5 11,7 7,7 -
36.438 5.236 139 18.312 2.125
58,6 8,4 0,2 29,4 3,4
9.3 Kesesuaian Lahan Evaluasi kesesuaian lahan yang dilakukan di wilayah Pesisir Lampung adalah kesesuaian lahan kualitatif, yaitu merupakan kecocokan penggunaan lahan pertanian dengan potensi wilayah secara fisik (pertimbangan agroekosistem), yang dibagi menjadi empat kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai 100 104.111 100 48.630 316.437 100 Jumlah 100 62.250 marjinal), dan N1 (tidak sesuai saat ini). Kelas kesesuaian lahan didapatkan dengan cara mencocokkan karakteristik masingSumber: Hasil analisis dan pengamatan lapang, 1998. masing satuan lahan dengan persyaratan penggunaan lahan tanaman padi sawah, tanaman pangan (jagung, ubi jalar, ubi kayu, (2) Pesisir Timur: wilayah ini memiliki kelas kesesuaian lahan untuk (a) padi sawah S1 kacang tanah, kedelai, kacang hijau), sayuran (ketimun, bawang daun, bawang merah, (5,7%), S2 (91,7%) dan S3 (1,1%) dengan faktor pembatas kondisi perakaran, rentensi buncis, kacang panjang, terong, cabe, tomat, bayam, kangkung), tanaman buah-1 hara, dan lereng, N1 (1,5%); (b) tanaman pangan, sayuran, buah-1, adalah S2 (27,7%), (nanas, pisang, pepaya, melon, semangka, belimbing), tanaman buah-2 (rambutan, dan S3 (15,3%), dengan faktor pembatas kondisi perakaran, rentensi hara, kesuburan jambu, durian, mangga, sawo, jeruk, duku, salak, nangka), tanaman perkebunan (karet, tanah, ketersediaan air, S1 tidak ada, dan N1 (57,0); (c) buah-2, perkebunan adalah S2 kopi robusta, kelapa, kelapa sawit, lada, tebu, kakao, cabe jawa), dan untuk tambak. (27,7%) dan S3 (10,3%) dengan faktor pembatas kondisi perakaran, rentensi hara, Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan masing-masing satuan lahan di wilayah pesisir kesuburan tanah, dan lereng, S1 tidak ada, dan N1 (62,0%); (d) tambak adalah S1 (61,6), Lampung, didapatkan kelas kesesuaian lahan pertanian seperti tertera pada Tabel-13 dan S2 dan S3 tidak ada, serta N1 (38,4%). dapat dijelaskan sebagai berikut: (3) Pesisir Teluk Lampung: wilayah ini memiliki kelas kesesuaian lahan untuk (a) padi (1) Pesisir Barat: wilayah ini memiliki kelas kesesuaian lahan untuk (a) padi sawah sawah S1 (4,3%), S2 (21,2%) dengan faktor pembatas lereng, S3 (14,9%) dengan faktor adalah S1 (40,4%), S2 (36,4%) dengan faktor pembatas lereng, S3 tidak ada, dan N1 pembatas kondisi perakaran, kesuburan tanah dan lereng, dan N1 (59,6%); (b) tanaman (23,2%); (b) tanaman pangan, sayuran, dan buah-1 adalah S1 (54,1%), S2 dan S3 tidak pangan sayuran buah-1, adalah S2 (4,9%) dan S3 (13,1%) dengan faktor pembatas kondisi ada, N1 (45,9%); (c) buah-2, perkebunan, Damar adalah S1 (54,1%), S2 (12,9%), S3 perakaran, rentensi hara, kesuburan tanah, dan ketersediaan air; S1 tidak ada, dan N1 tidak ada, N1 (33,0%) , dan (d) tambak adalah S1 (33,0%), S2 dan S3 tidak ada, dan N1 (67,0%). atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
52
GAMBAR-21 Peta Penggunaan Lahan Pesisir Lampung
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
53
TABEL-13 Tabel Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Lampung Kelas Kesesuaian Lahan
Padi Sawah Ha
Tanaman Pangan
%
Ha
%
Sayuran Ha
Buah-1 %
Buah-2
Ha
%
Ha
Perkebunan Ha
%
Tambak
%
Ha
%
S1
42.057
40,4
56.312
54,1
56.312
54,1
56.312
54,1
56.312
54,1
56.312
54,1
47.799
45,9
S2
37.937
36,4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
S3
0
0
0
0
0
0
0
0
13.437
12,9
13.437
12,9
0
0
N1
24.117
23,2
47.799
45,9
47.799
45,9
47.799
45,9
34.362
33,0
34.362
33,0
56.312
54,1
104.111
100 .
104.111
100
104.111
100 .
104.111
100 .
104.111
100 .
104.111
100 .
104.111
100 .
S1
18.188
5,7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
30.813
27,7
S2
289.937
91,7
197.062
62,3
197.062
62,3
197.062
62,3
197.062
62,3
197.062
62,3
0
0
S3
3.437
1,1
87.750
27,7
87.750
27,7
87.750
27,7
88.562
28,0
88.562
28,0
0
0
N1
4.875
1,5
31.625
10,0
31.625
10,0
31.625
10,0
30.813
9,7
30.813
9,7
285.624
72,3
316.437
100 .
316.437
100 .
316.437
316.437
100 .
316.437
100 .
316.437
100 .
316.437
100 .
S1
2.125
4,4
0
0
0
100 . . 0
0
0
0
0
0
0
16.004
32,9
S2
6.272
12,9
2.375
4,9
2.375
4,9
2.375
4,9
2.375
4,9
2.375
4,9
0
0
S3
8.750
18,0
6.374
13,1
6.374
13,1
6.374
13,1
30.252
62,2
30.252
62,2
0
0
N1
31.483
64,7
39.881
82,0
39.881
82,0
39.881
82,0
16.003
32,9
16.003
32,9
32.626
67,1
Pesisir Teluk Lampung
48.630
100 .
48.630
100 .
48.630
100 .
48.630
100 .
48.630
100 .
48.630
100 .
48.630
100 .
S1
15.812
25,4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
17.875
28,7
S2
0
0
1.250
2,0
1.250
2,0
1.250
2,0
1.250
2,0
1.250
2,0
0
0
S3
8.937
14,3
12.125
19,5
12.125
19,5
12.125
19,5
43.125
69,3
43.125
69,3
0
0
N1
37.501
60,3
48.875
78,5
48.875
78,5
48.875
78,5
17.875
28,7
17.875
28,7
44.375
71,3
Pesisir Teluk Semangka
62.250
100 .
62.250
100 .
62.250
100 .
62.250
100 .
62.250
100 .
62.250
100 .
62.250
100 .
Pesisir Barat
Pesisir Timur
Sumber: Hasil analisis dan pengamatan lapang, 1998. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
54
GAMBAR-22 Peta Arahan Penggunaan Lahan
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
55
(82,0%); (c) buah-2, perkebunan adalah S2 (4,9%) dan S3 (62,2%) dengan faktor pembatas kondisi perakaran, rentensi hara, kesuburan tanah, dan ketersediaan air, S1 tidak ada, dan N1 (32,9%); (d) tambak adalah S1 (32,9%), S2 dan S3 tidak ada, serta N1 (67,1%), (4) Pesisir Teluk Semangka: wilayah ini memiliki kelas kesesuaian lahan untuk (a) padi sawah S1 (25,4%), S3 (14,3%) dengan faktor pembatas lereng S2 tidak ada, dan N1 (60,3%); (b) tanaman pangan, sayuran, buah-1 adalah S2 (2,0%) dan S3 (19,5%), dengan faktor pembatas rentensi hara, kesuburan tanah, dan lereng, S1 tidak ada, dan N1 (78,5%); (c) buah-2, perkebunan adalah S2 (2,0%) dan S3 (69,3%) dengan faktor
No.
1. 2. 3. 4.
5.
6. 7.
pembatas rentensi hara, kesuburan tanah, dan lereng, S1 tidak ada, dan N1 (28,7%); dan (d) tambak adalah S1 (28,7%), S2 dan S3 tidak ada, dan N1 (71,3%).
9.4 Pengembangan Lahan Pertanian Dengan mempertimbangkan hasil evaluasi kelas kesesuaian lahan kualitatif untuk berbagai jenis tanaman di wilayah Pesisir Lampung, potensi pengembangan lahan pertanian, keberadaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Taman Nasional Way Kambas, ketersediaan lahan, dan faktor lingkungan, maka dapat ditentukan arahan pengembangan lahan pertanian seperti tertera pada Tabel-14 dan Peta Arahan Pengembangan Lahan TABEL-14 Pertanian. (1) Pesisir Barat 33,1% wilayahnya diarahkan untuk Arahan Pengembangan Lahan Pertanian di Pesisir Lampung pengembangan persawahan, 1,8% untuk pemukiman (kota), 0,6% untuk tanaman pangan, sayuran, buah-1, Pesisir Timur Teluk Semangka Pesisir Barat Teluk Lampung 36,5% untuk tanaman buah-2, perkebunan, dan 28,0% Jenis Penggunaan Lahan sebagai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Ha % Ha Ha Ha % % % (2) Pesisir Timur 22,1% wilayahnya diarahkan untuk pengembangan persawahan, 18,9% untuk 1.895 Pemukiman 1,8 0 0 . 4.698 9,6 1,8 1.895 pertambakan, 32,3% untuk tanaman pangan, sayuran, dan buah-1, 0,5% untuk tanaman buah-2, perkebunan, 34.492 Persawahan 33,1 69.774 22,1 3.593 7,4 22,2 13.058 26,2 % sebagai Taman Nasional Way Kambas. (3) Pesisir Teluk Lampung 7,4% wilayahnya 0 Tambak 0 . 59.965 18,9 2.762 5,7 2,4 1.525 diarahkan untuk pengembangan persawahan, 9,6% 635 Tanaman Pangan,Sayuran, 0,6 102.114 32,3 0 0 . 0 . 0 untuk pemukiman (kota), 77,3% untuk tanaman buahdan Buah-1 2 dan perkebunan, dan 5,7% untuk pertambakan. (4) Pesisir Teluk Semangka 22,2% wilayahnya 37.980 Tanaman Buah-2 dan 36,5 1.772 0,5 37.577 77,3 71,6 44.552 diarahkan untuk pengembangan persawahan, 1,8% Perkebunan untuk pemukiman (kota), 71,6% untuk tanaman buah2, perkebunan, 2,4% untuk pertambakan, dan 2,0% 29.109 Tanaman Nasional BBS 28,0 0 0 . 0 0 . 1.220 2,0 sebagai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Tanaman Nasional Way Kambas
Jumlah
0
0 .
82.812
26,2
0
0 .
0
104.111
100 .
316.437
100 .
48.630
100 .
62.250
0 .
100 .
Sumber: Hasil analisis dan pengamatan lapang, 1998. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
56
○ ○ ○ ○
Perikanan budidaya adalah kegiatan usaha pemeliharaan hewan-hewan dan tumbuhan air. Di perairan pesisir Lampung, kegiatan ini berlangsung di seluruh kabupaten yang memiliki wilayah pesisir. Di wilayah pesisir, tambak merupakan kolam-kolam yang berisi air laut atau air payau untuk memelihara udang atau bandeng. Saat ini usaha pertambakan di Propinsi Lampung merupakan produksi udang terbesar di Indonesia. Selain udang, di perairan Lampung terdapat juga usaha pemeliharaan mutiara dan skala kecil kerapu serta rumput laut. Usaha budidaya udang dan mutiara telah menghasilkan devisa negara lebih dari 300 juta dolar Amerika pada tahun 1998 (CRMP, 1999). Kedua jenis usaha ini memberikan lapangan kerja yang besar. Lebih dari 10.000 orang bekerja dalam usaha pertambakan sementara lebih dari 200 orang bekerja dalam usaha budidaya kerang mutiara. Lokasi budidaya dapat dilihat pada Peta Penggunaan Lahan Pesisir Lampung. Usaha budidaya ikan air tawar, seperti ikan gurame, ikan mas, ikan nila, dan ikan lele pada umumnya terdapat di Kabupaten Tulang Bawang dan Lampung Utara. Usaha ini pada umumnya dilaksanakan di kolam atau sungai dengan menggunakan keramba.
Lampung, kecuali di Lampung Barat yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia karena pantainya memiliki ombak yang sangat besar (Wilayah tambak dijelaskan di Peta Penggunaan Lahan Pesisir Lampung). 10.3 Tambak Inti Rakyat di Tulang Bawang Di Kabupaten Tulang Bawang terdapat dua perusahaan inti pertambakan Plasma Inti Rakyat (PIR) yang sangat besar, yakni PT. Dipasena Citra Darmaja (DCD) dan PT. Central Pertiwi Bahari (CPB). Kedua perusahaan ini memproduksi udang windu atau tiger prawn (Penaeus monodon). Jumlah luas lahan konsesi yang dialokasikan kepada kedua perusahaan ini adalah 39.000 hektare; sementara ini yang telah diusahakan sebagai tambak mencapai hampir 12.500 hektare. Berita tentang kesulitan pengelolaan yang dihadapi kedua perusahaan ini sering muncul dalam media cetak setempat. Perusahaan DCD memproduksi udang yang sangat terjamin, yang pada umumnya memiliki kualitas udang yang tinggi dan dampak lingkungan terkontrol, dengan produktivitas lebih dari 50 ton udang beku setiap hari. Negara tujuan ekspor udang ini adalah Singapura. Dari sana, udang kemudian diekspor ke Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa. Selain kedua perusahaan ini, di Tulang Bawang terdapat juga usaha tambak skala kecil (tambak rakyat) yang tiga tahun belakangan ini jumlahnya telah meningkat hampir mencapai 2.000 hektare. Produksi udang di pesisir Lampung dapat dilihat pada Peta Tingkat Produksi Budidaya Udang.
10.1 Pemeliharaan Mutiara di Teluk Lampung Pemeliharaan kerang mutiara membutuhkan air tenang dan berkualitas tinggi. Sebagian kawasan laut di Teluk Lampung dan sekitarnya (lebih dari 5.000 hektare) telah dialokasikan sebagai kawasan usaha dua perusahaan pemelihara kerang mutiara, yaitu PT. Hikari dan PT. Kyoko Shinju. Luasan tersebut adalah 10% dari 50.000 hektare perairan Indonesia yang dianggap cocok untuk budidaya kerang mutiara raksasa Pinctada maximus. Kedua perusahaan tersebut menghasilkan kerang mutiara masing-masing 140.000 dan 400.000 buah per tahun. Kerang mutiara digantung pada tali-tali di dalam air dalam kawasan yang diberi tanda-tanda pembatas, seperti tali-tali dan pelampung tanda yang dibuat agar jelas terlihat. Pembatas ini menunjukkan bahwa nelayan tidak diperkenankan untuk menangkap ikan di dalam kawasan budidaya. Karena itu, kawasan budidaya ini berperan juga sebagai ‘kawasan lindung’ di mana ikan dan habitatnya atau terumbu karang yang ada di dalamnya dapat terlindungi dari ancaman kerusakan.
10.4 Pertambakan Rakyat di Lampung Timur dan Selatan Di Kabupaten Lampung Timur, tepatnya sebelah selatan Taman Nasional Way Kambas, kawasan pesisir sepanjang garis pantai mulai dari Tanjung Penet hingga Ketapang sudah diubah seluruhnya dari rawa-rawa dan hutan mangrove menjadi lahan pertanian padi dan sekarang menjadi tambak udang windu yang sebagian besar dalam bentuk tambak tradisional (cara budidaya sederhana dan modal terbatas), sisanya adalah tambak semi-intensif dan intensif (cara budidaya lebih kompleks dan kebutuhan modal lebih besar). Konversi lahan diawali dari pinggir pantai, kemudian dilanjutkan semakin lebar ke arah daratan. Di sekitar Sungai Pisang lebar kawasan pertambakan ini mencapai 5 kilometer ke arah daratan. Saat ini jumlah luas areal pertambakan dari Tanjung Penet ke Ketapang mencapai sekitar 12.000 hektare (CRMP, 1998). Tambak jenis semi-intensif dan intensif dicirikan dengan adanya tambahan pakan buatan dan kincir-kincir air yang digerakan oleh tenaga listrik atau solar. Kincir-kincir air tersebut berfungsi untuk menambah kandungan oksigen terlarut yang berguna untuk
10.2 Pemeliharaan Udang Kualitas air di pesisir timur Propinsi Lampung sangat cocok untuk budidaya udang. Air yang bebas dari bahan polusi dan banyak mengandung plankton, yaitu tumbuhtumbuhan dan hewan-hewan renik, dibutuhkan oleh udang-udang yang berada di dalam tambak. Usaha pertambakan udang dilaksanakan di setiap kabupaten pesisir di Propinsi
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
P ERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR LAMPUNG
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
57
meningkatkan jumlah makanan alami udang, yaitu fitoplankton. Lama pemeliharaan untuk satu kali panen adalah sekitar 120 hari. Udang windu yang dihasilkan bisa dibeli oleh pedagang di sepanjang jalan dari Labuhan Maringgai hingga Jabung, atau sebagian di antaranya diangkut ke cold storage dengan tujuan ekspor. Selain itu benih udang untuk hampir semua tambak di Lampung diperoleh dari salah satu dari 90 unit pembenihan (hatchery) yang ada di Kalianda. Selain itu, benih udang ada juga yang didapatkan dari Aceh, dan Kalimantan Timur, sedangkan sumber nauplii berasal dari Jawa. Sedangkan pakan udang untuk tambak semi-intensif dan intensif hampir 40% didatangkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat pada Peta Ketersediaan Sumberdaya Udang.
terpaksa menjual tambaknya dan pindah tempat. Pengusaha pindah ke Propinsi Jambi dan ke Teluk Lampung atau Teluk Semangka. Meskipun produksi dapat ditingkatkan kembali pada tahun 1997, bakteri-bakteri epidemik menyerang kembali pada tahun 1998. Bakteri ini bisa bertahan di air dan ditemukan di laut terbuka di Lampung Selatan. Penyakit udang ini salah satu contoh dari resiko usaha pertambakan. Sejarah perkembangan budidaya udang di Lampung dapat di lihat pada Tabel-15. 10.7 Permasalahan Usaha Perikanan Budidaya Saat ini kegiatan budidaya kerang mutiara dan budidaya udang di Propinsi Lampung sedang menghadapi ancaman besar. Bila kualitas air di Teluk Lampung terus memburuk, maka produksi perikanan tersebut akan merosot hingga di bawah batas ekonomis sehingga usaha menjadi tidak menguntungkan. Kelangsungan usaha tambak udang di Lampung Timur sedang terancam oleh empat faktor utama, yaitu: 1. Jumlah pengguna yang berlipat-ganda dan lemahnya pengawasan atau pengendalian telah menyebabkan berkurangnya pertahanan alami yang disediakan oleh hutan rawarawa dan mangrove. Berkurangnya luas hutan rawa dan mangrove akan menurunkan kualitas lingkungan yang dibutuhkan untuk memproduksi udang. Bila hal ini terjadi, usaha budidaya udang intensif dan semi-intensif kemungkinan akan gulung-tikar atau bangkrut karena produksi akan berkurang sangat besar. 2. Banyak dari usaha pembenihan udang dan petambak semi- intensif ini dibangun tidak memiliki surat-resmi lengkap atau telah diperluas melebihi ukuran yang diizinkan. Dengan demikian, mereka sangat mudah menjadi obyek pemerasan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Hal ini telah menambah kesulitan dalam mengelola dan mengendalikan mereka. 3. Usaha pertambakan udang merupakan kegiatan yang menguntungkan namun memiliki resiko tinggi dan memerlukan modal yang besar. Kegagalan produksi satu kali dapat menyebabkan kerugian besar, dan yang kedua kalinya bisa menjadikan bangkrut. Dalam kondisi sekarang, instansi pemerintah masih belum bisa menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh begitu banyak pengusaha pertambakan, baik kecil maupun besar. 4. Kerusuhan sosial yang terjadi di tambak inti rakyat dapat mengacaukan proses produksi udang. Jika hal ini terus berlangsung akan menyebabkan ketidakmampuan perusahaan inti dalam membayar pinjamannya.
10.5 Pembenihan Udang di Kalianda Usaha pembenihan udang skala rumah tangga atau ‘backyard hatcheries’ dapat ditemukan di kedua sisi jalan di Kalianda, dekat kaki Gunung Rajabasa. Kualitas air laut di kecamatan ini sangat baik dan ideal untuk pembenihan udang, karena air laut yang demikian bersih dan pantai-pantainya berpasir putih. Pemerintah Propinsi Lampung telah menetapkan wilayah ini sebagai kawasan pariwisata. Sarana pariwisata telah banyak dibangun namun dalam situasi ekonomi yang memburuk saat ini, usaha pariwisata tersebut menjadi tidak menentu. Sementara itu, pembenihan udang telah menjadi kegiatan ekonomi yang menguntungkan masyarakat di wilayah tersebut. Lokasi hatchery dapat dilihat dalam peta tingkat produksi tambak udang. 10.6 Konsekuensi Peningkatan Usaha Tambak Udang Perluasan dan peningkatan intensitas budidaya udang di Lampung Tengah dan Selatan dapat merupakan ancaman bagi lingkungan perairan pesisir dalam hal kemampuannya untuk menerima limbah pertambakan, misalnya kelebihan pupuk ataupun pakan. Kelebihan limbah akan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan, khususnya kualitas air. Menurunnya kualitas air ini kemudian akan meningkatkan stres atau tekanan kepada udang yang dipelihara. Selanjutnya, peningkatan tekanan ini dapat menurunkan daya tahan udang terhadap penyakit. Sehingga bila kualitas lingkungan di dalam tambak lebih rendah dari batas tertentu maka udang akan mati karena penyakit. Peristiwa seperti ini terjadi pertama kali pada tahun 1996 ketika sebagian besar udang tambak di wilayah selatan Labuhan Maringgai mati karena penyakit yang disebabkan oleh virus. Pada kasus ini beberapa pengusaha tambak intensif menjadi bangkrut, atau menghentikan kegiatan produksinya. Sehingga sebagian pengusaha
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
58
GAMBAR-24 Peta Tingkat Produksi Tambak Udang
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
59
TABEL-15 Peristiwa-Peristiwa Penting dalam Budidaya Air Payau dan Air Laut di Pesisir Lampung Pra 1960
1960-1970
Budidaya tambak (lebung) ekstensif skala sangat kecil untuk bandeng, udang, dan kepiting liar di Tulang Bawang, Lampung Tengah dan Timur.
Januari 1998
Pembukaan wilayah hutan di Pantai Timur yang digunakan sebagai areal sawah pertanian, sekaligus perluasan tambak tradisional untuk konsumsi rumah tangga. Maret
1970' 1976
Perluasan budidaya tambak untuk budidaya bandeng dan udang liar. Tambak udang dibuka di Muara Gading Mas (14 Ha).
1980' 1988
Perluasan tambak udang yang sangat cepat di sepanjang Pantai Timur. P.T. Dipasena Citra Darmaja mulai membuka hutan untuk produksi tambak udang dengan areal 16.000 hektare. Mulai pembuatan konstruksi pembenihan udang P.T. Biru Laut Katulistiwa (BLK) di Kecamatan Kalianda.
1989
1990 1992 1992 1993 1994 1994 September 1996
1997 Juli-Agustus 1997 November 1997 Desember 1997 1998
April Mei Juni-Juli
Dinas Perikanan pertama kali memberikan izin pembukaan tambak di Padang Cermin, Muara Gading Mas dan Ketapang. P.T. BLK beroperasi penuh. Dua usaha pembenihan udang yang pertama dibuka di Kalianda dan Suak. Pembukaan usaha-usaha pembenihan udang lainnnya dengan cepat berlangsung sampai tahun 1997. P.T. Central Pertiwi Bahari membuka tambak yang pertama di Menggala, Tulang Bawang. CP memperkenalkan kincir air untuk tambak intensif di Lampung Tengah dan Selatan. Serangan MBV besar-besaran yang pertama kali terjadi di daerah Labuhan Maringgai (Pengusaha tambak mengurangi padat penebarannya dari intensif menjadi ekstensif). Musim kemarau panjang akibat pengaruh El Nino. Serangan pertama vibrio/whitespot di tambak-tambak intensif di sepanjang wilayah Pantai Timur Lampung. Musim kemarau panjang mendorong perluasan tambak semi intensif di Padang Cermin dan Teluk lampung. Rendahnya tingkat hidup larva akibat rendahnya kualitas / mahalnya artemia. Pengaruh La Nina memperpanjang musim hujan. Tambak semi intensif mendapat produksi yang baik sedangkan tambak intensif menghasilkan tingkat produksi yang rendah.
SeptemberSekarang Status Saat ini
Banyak teknisi tambak meninggalkan Lampung Tengah menuju Sumatera Selatan. Banyak usaha pembenihan benur skala rumah tangga mengalami kesulitan produksi. MBV menyerang 70% tambak udang berumur 3-4 bulan, panen dipercepat. Harga udang meningkat terus, biaya produksi tetap rendah. Beberapa gudang pendingin (cold storage) gagal membayar karena adanya ketidakpastian harga. Kesulitan dalam mempertahankan laju pertumbuhan dan pengeringan tambak antar siklus. Kekurangan produksi benur mengakibatkan padat penebaran lebih rendah dari rata-rata sebelumnya. Harga udang mencapai rekor tertinggi Rp. 125.000,00/kg. Buruknya persiapan tambak (?) mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan udang secara umum di Lampung, rendahnya produksi tambak semi intensif. Jumlah vibrio yang tinggi di semua contoh air. Produksi benur berlebih, konflik antara APPU dan CPB.
Produksi 89 pembenihan udang skala rumah tangga di Kalianda dan sekitarnya mencapai 190 juta PL-12 /bulan. P.T. BLK setiap bulan memiliki produksi yang stabil sekitar 300 juta/bulan. Kapasitas produksi 350-400 juta benur/bulan. Unit pembenihan udang CPB menproduksi 60 juta PL-12/bulan. Kapasitas produksi 250-300 juta benur/bulan. Luas tambak CPB yang berproduksi adalah 3.059 unit , setiap unit 0,5 ha di atas tanah konsesi seluas 23.000 Ha yang memproduksi udang 25-40 ton/hari. Jumlah tambak DCD yang beroperasi sebanyak 18.000 unit, tiap unit 0,2 Ha di atas lahan seluas 16.000 Ha, mampu memproduksi kurang lebih 50 ton/hari. Konflik antara usaha pembenihan skala rumah tangga dan CPB. Tren keuntungan yang terus berfluktuasi. Harga pakan yang tinggi, harga udang rendah, banyak usaha tambak semi intensif beroperasi secara terbatas. Kondisi sosial yang tidak stabil antara masyarakat, petani plasma, dan perusahaan inti merupakan ancaman kelangsungan produksi di DCD dan CPB. Kelangsungan produksi masih diragukan. Parameter kualitas air yang menurun. Tambak merupakan penyumbang kerusakan Pantai Timur khususnya di Labuhan Maringgai.
Sumber : Hasil analisis dan pengamatan lapang, 1998. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
60
GAMBAR-24 Peta Ketersediaan Sumberdaya Budidaya Udang
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
61
○ ○ ○ ○
11.1 Pentingnya Perikanan Tangkap Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi penting bagi Propinsi Lampung karena kontribusinya dalam penyediaan pangan yang berasal dari laut seperti berbagai jenis ikan, udang, cumi, kerang-kerangan, dan hewan lunak lainnya. Produksi perikanan laut pada tahun 1997 yang didaratkan di Teluk Lampung sekitar 51.000 ton, di Pantai Timur sekitar 43.000 ton dan di Pantai Barat sekitar 10.000 ton. Selain menghasilkan pangan, perikanan tangkap juga menghasilkan ikan-ikan hias yang harganya relatif lebih mahal dari ikan konsumsi. Kegiatan perikanan tangkap ini melibatkan sekitar 55 ribu Rumah Tangga Nelayan (RTN) dan menyediakan kesempatan kerja bagi kelompok orang lainnya yang bekerja dalam kegiatan penanganan, pengolahan, dan pendistribusian atau perdagangan produk laut yang dihasilkan nelayan-nelayan tersebut. Sebagian produk perikanan (seperti tuna, cakalang, udang, lobster, ikan karang, ikan hias, rumput laut, dan beberapa jenis lainnya) adalah komoditi ekspor, sehingga kegiatan ini semakin penting sebagai sumber penghasil devisa pada saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi. 11.2 Sumberdaya Ikan dan Lokasinya Sumberdaya ikan yang dieksploitasi oleh armada perikanan tangkap tersebar di tiga perairan terdekat, yaitu pesisir Samudera Hindia, Selat Sunda (termasuk perairan Teluk Lampung dan Teluk Semangka), serta perairan bagian barat Laut Jawa. Jenis sumberdaya ikan ini berkaitan erat dengan kondisi perairan. Ikan-ikan pelagis seperti Tongkol (Euthynnus spp.). Yellowfin tuna/Madidihang (Thunnus albacares) dan Cakalang (Katsuwonus pelamis) termasuk ikan yang suka berada di lapisan permukaan laut agak jauh dari pantai. Ikan pelagis lainnya yang berukuran lebih kecil, seperti ikan Tembang (Sardinela fimbriata) dan Kembung (Rastrelliger spp.) juga biasa ditemukan di air lapisan atas dan bergerombol. Ikan-ikan demersal seperti Manyung (Tachyurus spp.), ikan Pari (Trigonidae), Gulamah (Sciaenidae), serta berjenis-jenis Udang (Peneaus spp.) lebih banyak tertangkap di dasar laut yang relatif dangkal dan berlumpur. Ikan-ikan hias dan ikanikan karang seperti Kerapu (Epinephelus spp.) lebih sering ditemukan di kawasan terumbu karang. Cumi-cumi (Loligo spp.) dan Teri (Stolephorus spp.) biasa tertangkap oleh nelayan bagan karena senang berkumpul di sekitar cahaya yang dinyalakan pada malam hari. Sedangkan sumberdaya lainnya, seperti rumput laut, biasanya dikumpulkan oleh masyarakat dengan tangan langsung di pantai. Kalaupun dengan alat, hanya berfungsi sebagai penggali atau pemecah. Analisis terhadap status sumberdaya ikan di perairan Lampung, seperti juga di
Proses pengeringan ikan teri di Pulau Pasaran, Bandar Lampung
wilayah lain, juga menghadapi kendala yang sama, karena data perikanan tidak lengkap dan tidak sinkron. Data produksi dari suatu alat tangkap tanpa dilengkapi data jumlah trip dan sebaliknya. Selain itu, data hasil tangkapan dicatat berdasarkan daerah administratif tempat pendaratan dan bukan berdasarkan wilayah perairan asal hasil tangkapan tersebut. Berdasarkan kecenderungan produksi hasil tangkapan ikan yang meningkat dan ada data hasil tangkapan yang tidak dicatat, maka dapat dipercaya bahwa nilai dugaan potensi sumberdaya ikan yang dihasilkan dari analisis ini adalah masih minimal (under estimate). Hasil estimasi dengan pendekatan surplus production model (Schaeffer) nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) masih mungkin dilakukan walaupun memberikan nilai yang lebih tinggi. Setiap jenis alat tangkap tentunya memiliki kemampuan daya tangkap atau Fishing Power Index (FPI) yang berbeda. Dengan demikian sebelum melakukan analisis pendugaan potensi, perlu dilakukan standarisasi upaya penangkapan dari setiap jenis alat tangkap yang ada, dengan cara membandingkan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dari masing-masing alat tangkap yang beroperasi di perairan tertentu.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
P ERIKANAN TANGKAP
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
62
GAMBAR-25 Peta Sebaran Alat Tangkap di Pesisir
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
63
Analisis sumberdaya ikan dengan alat tangkap standar Pancing Ulur di perairan Pantai Timur Lampung memberikan nilai 116.500 ton/tahun, sedang nilai upaya optimumnya sekitar 5 juta trip setara pancing ulur. Secara hati-hati dapat dinyatakan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Timur Lampung pada tahun 1997 diperkirakan telah mencapai 88%, sedangkan upaya penangkapannya dapat ditingkatkan sekitar 38% atau 2 juta trip/tahun setara hanya untuk pancing ulur. Penambahan unit alat tangkap jenis yang lain, seperti payang, purse-seine, bagan ataupun jenis gillnet perlu memperhatikan aspek “bio-technico-socio-economic”. Potensi sumberdaya ikan di Pantai Timur bisa dilihat dalam Tabel-16. Wilayah perairan Barat Lampung memiliki karakteristik yang berbeda dengan perairan pesisir Lampung yang lain, karena merupakan bagian dari Samudra Hindia. Kondisi perairan yang ganas menyebabkan aktivitas penangkapan ikan dan tingkat
pemanfaatannya relatif masih rendah. Umumnya ukuran kapal/perahu penangkap ikan yang dioperasikan di perairan Pantai Barat masih dibawah 5 Gross Ton dan dilengkapi dengan alat tangkap sederhana. Berdasarkan analisis sumberdaya ikan, maka nilai dugaan MSY untuk wilayah perairan Barat Lampung, yaitu sekitar 16.600 ton/tahun dengan upaya optimum sekitar 566.800 trip/tahun setara alat tangkap pancing ulur yang beroperasi di perairan pantai saja. Dengan demikian, diduga bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Pantai Barat Lampung (1997) baru mencapai 62%. Peluang pengembangan perikanan tangkap di perairan ini masih besar apalagi untuk daerah lepas pantai (12 mil laut) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). 11.3 Sentra Perikanan dan Sarananya Di Propinsi Lampung terdapat paling sedikit 180 desa pantai yang penduduknya bekerja sebagai nelayan. Saat ini para nelayan masih cenderung melaut dari tempat yang dekat dengan rumahnya. Di Propinsi Lampung terdapat 4 (empat) sentra perikanan dengan fasilitas berupa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), yang merupakan tempat perahu/kapal penangkap ikan berlabuh dan menjual hasil tangkapannya. Namun demikian, tidak semua aktivitas jual beli dilakukan di pangkalan tersebut. Di Pantai Timur dan Teluk Lampung, sentra perikanannya ada di PPI Lempasing (Kodya Bandar Lampung), PPI Ketapang (Lampung Selatan), PPI Labuhan Maringgai (Lampung Tengah), dan PPI Kota Agung (Tanggamus). Sebuah pelabuhan perikanan dengan fasilitas perikanan yang lebih besar skalanya, telah dibangun di Krui untuk melayani kapal/perahu penangkap ikan yang beroperasi di perairan Pantai Barat Lampung atau Samudera Hindia. Namun pelabuhan ini belum banyak dimanfaatkan.
TABEL-16 Analisis Potensi Sumberdaya Ikan di Perairan Timur Lampung dengan Pendekatan Metode Schaeffer. Tahun
Produksi (ton)
Upaya (trip)
CPUE (kg/trip)
1989
69.169
2.063.439
0,034
1990
76.187
2.212.052
0,034
1991
85.133
2.223.463
0,038
1992
83.988
2.236.775
0,038
1993
86.829
3.254.575
0,027
1994
94.425
2.891.681
0,033
1995
100.177
2.908.265
0,034
1996
107.054
2.891.892
0,037
1997
102.193
3.098.873
0,033
11.4 Teknologi yang digunakan Berbagai jenis alat tangkap digunakan nelayan untuk menangkap ikan. Sebagian di antaranya termasuk sederhana dengan nama lokal khusus yang berbeda dengan nama-nama yang digunakan dalam statistik perikanan yang dibuat oleh Dinas Perikanan setempat. Secara umum, ada tiga kelompok alat tangkap yang jumlahnya dominan, yaitu pancing ulur (3.600 buah), bagan (2.700 buah) dan perangkap (2.800 buah). Berbagai jenis ikan tertangkap oleh ketiga jenis alat tangkap ini. Pada tahun 1997, ketiga jenis alat tangkap ini menghasilkan sekitar 50% dari 104.000 ton ikan yang didaratkan di Lampung. Untuk menangkap ikan pelagis kecil, nelayan menggunakan jaring payang (960 unit), jaring insang hanyut (200 unit), dan rawai hanyut (340 unit). Alat-alat tangkap ini atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
64
GAMBAR-26 Peta Produksi Perikanan Tangkap
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
65
11.5 Masalah Perikanan Tangkap 1. Persoalan nyata dalam perikanan tangkap adalah persaingan antar nelayan di perairan atau daerah penangkapan ikan yang terbatas, sementara jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi di dalamnya semakin meningkat. Keterbatasan daerah tujuan penangkapan ini dirasakan oleh para nelayan yang diprioritaskan untuk beroperasi di jalur I (selebar 3 mil dari pantai) karena adanya alokasi kawasan perairan untuk kegiatankegiatan lain, seperti budidaya mutiara dan kawasan TNI Angkatan Laut di Teluk Lampung. 2. Dampak usaha budidaya mutiara terhadap perikanan tangkap adalah pengurangan daerah penangkapan ikan jalur 1 bagi nelayan kecil sementara jalur 2 dan 3 terlalu jauh dan berarus kuat. Juga, menjadikan alur pelayaran menjadi sempit. Pengurangan daerah penangkapan bagi nelayan kecil jalur 1 tidak hanya disebabkan oleh budidaya mutiara tetapi juga oleh pelarangan menangkap ikan di kawasan TNI Angkatan Laut. Dampak positif potensial kawasan budidaya dan kawasan TNI AL sebagai ‘kawasan lindung’ yang menjaga kelestarian habitat ikan, kemungkinan belum terpikirkan oleh nelayan. Studi terhadap kondisi terumbu karang di kawasan tersebut menunjukkan kualitas yang lebih baik dari kualitas terumbu karang yang berada di luar kawasan. 3. Perikanan bagan (yang terdiri dari bagan tancap, bagan perahu, dan bagan rakit atau bagan jerigen) banyak menghadapi persoalan. Pengoperasian bagan ini sering terganggu oleh aktivitas pengoperasian alat tangkap lainnya. Permasalahan utama perikanan bagan rakit adalah sering hanyut dan hilang sehingga biasanya diakui oleh orang lain yang menemukannya. Untuk bagan tancap, permasalahan utamanya adalah kesulitan memperoleh kayu tibung yang digunakan sebagai tiang pancang bangunan bagan. Selain persoalan-persoalan tersebut, perikanan bagan juga membuat masalah bagi pengguna laut lainnya. Sisa-sisa bangunan bagan di laut bukan hanya menjadi hambatan bagi nelayan dalam mengoperasikan alat tangkapnya tetapi juga bagi pelayaran umum di laut. 4. Di kawasan sekitar pertambakan inti rakyat, sejumlah nelayan menggunakan kesempatan untuk menangkap udang-udang tambak yang ‘terbuang’ ke luar tambak melalui saluran-saluran sekunder dan primer pada saat panen. Mereka menggunakan alat tangkap yang dinamakan togog, yang terdiri dari jaring berbentuk kerucut yang dipasang pada tonggak-tonggak di air. Togog ini dipasang di sungai di sebelah hilir dari mulut saluran primer. Pemasangan togog yang tidak teratur dan sisa tonggak yang ditinggalkan meng ganggu kelancaran pelayaran yang menggunakan sungai tersebut.
Penangkapan ubur-ubur, Padang Cermin Lampung Selatan.
banyak dioperasikan oleh nelayan yang tinggal di sekitar Teluk Lampung. Untuk menangkap ikan demersal digunakan jaring insang tetap (84 unit), jermal (107 unit), dan rawai tetap (911 unit); ketiga alat ini seluruhnya ada di Pantai Timur Lampung. Jaring klitik (254 unit), yang dirancang untuk menangkap udang dan juga biasa digunakan menangkap ikan dasar, sangat umum digunakan di Pantai Barat Lampung. Armada perikanan tangkap yang berbasis di Lampung terdiri dari 3.500 buah perahu tanpa motor (hampir 50%), 1.600 perahu bermotor tempel (20%), dan 2.000 buah kapal motor (30%). Sebagian besar perahu/kapal ikan ini berbasis di Kodya Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Tanggamus. Untuk armada perikanan di Pantai Barat Lampung didominasi oleh perahu tanpa motor yang operasinya masih terkonsentrasi di dekat pantai karena terbatas kemampuannya. Periode musim penangkapan ikan untuk setiap jenis alat tangkap dan daerah penangkapan ikan di perairan Lampung berbeda-beda. Secara umum, periode musim penangkapan tersebut dalam setahun antara 3 sampai 9 bulan. Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi laut dan fluktuasi kelimpahan ikan di perairan yang dapat dicapai oleh nelayan yang umumnya masih menggunakan teknologi yang masih terbatas.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
66
5. Pengoperasian trawlnet di perairan Lampung merupakan suatu hal yang sangat bertolakcukup meresahkan mereka. belakang, karena alat ini sebenarnya masih dilarang oleh pemerintah (Keppres No. 10. Pencemaran di perairan Teluk Lampung dirasakan nelayan sangat mengganggu 39/1981). Sebaliknya, para nelayan trawlnet menangkap ikan secara bebas tanpa kelancaran operasi. Sampah rumah tangga yang terapung di laut kadang tersangkut batasan sehingga mengganggu pengoperasian alat-alat statis, baik alat tangkap maupun pada alat tangkap sehingga sebagian waktu nelayan dihabiskan untuk membersihkan alat bantu seperti rumpon milik nelayan pancing. Operasi alat ini bahkan mengganggu alat tangkap dari sampah-sampah tersebut. nelayan yang beroperasi di muara sungai di Tulang Bawang dan Mesuji. 11. Lembaga-lembaga yang seyogyanya membina nelayan dan kegiatan perikanan tangkap 6. Penggunaan bahan peledak oleh nelayan bagan dan penangkap ikan karang yang ingin tampak masih belum mampu menangani permasalahan di atas. Untuk itu perlu menangkap ikan dengan cara mudah namun membahayakan bagi nelayan, cukup dipikirkan upaya untuk meningkatkan kemampuan tersebut. menghawatirkan. Dengan bahan peledak, metode penangkapan ikan menjadi tidak 12. Data statistik perikanan tangkap belum mencerminkan keadaan sebenarnya, karena selektif karena peluang matinya ikan-ikan berukuran kecil menjadi semakin tinggi masih ada beberapa alat tangkap tidak tercantum dalam statistik perikanan, seperti bahkan dapat merusak habitat terumbu karang. Dampak negatif terhadap habitat ini dogol, sondong, mini-trawl, dan lampara dasar. Selain itu, produksi yang didaratkan dapat disaksikan di kawasan terumbu karang di Teluk Lampung, di sekitar Pulau tidak semuanya tercatat, terutama transaksi yang dilakukan di tengah laut. Siuncal, Pulau Legundi, Pulau Sebesi, dan Pulau Sebuku. Penangkapan ikan hias dengan racun juga dapat mengakibatkan ikan-ikan lain yang tidak diinginkan mati dan merusak habitat. 7. Di Lampung terjadi persaingan antara nelayan kecil (yang merupakan mayoritas nelayan Lampung) dengan pengusaha bermodal besar (yang mengoperasikan purse seine dan trawlnet). Kedua jenis unit penangkapan ikan ini umumnya berasal dari luar Lampung. Mobilitas mereka biasanya lebih tinggi, sehingga dapat mencapai lokasi penangkapan lebih cepat dan dengan jangkauan lebih luas serta memiliki kemampuan menangkap ikan yang lebih tinggi. 8. Nelayan Lampung, khususnya nelayan skala kecil, mengalami kesulitan memperoleh bantuan modal dari lembaga-lembaga yang seharusnya menyediakan pinjaman. Hal ini menyebabkan terhambatnya kelancaran operasi penangkapan ikan. Kesulitan modal menyebabkan nelayan terikat kepada pemberi modal yang memanfaatkan kesempatan dengan cara mewajibkan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya kepada mereka dengan harga yang relatif rendah dibandingkan dengan harga pasaran. Kelangkaan garam dan es juga menjadi persoalan yang pelik bagi para nelayan pada umumnya. Kesulitan mereka menjadi lebih berat dengan adanya praktek pungutan liar oleh oknum-oknum. 9. Pemukiman nelayan tidak selalu berdekatan dengan sentra perikanan. Jarak yang jauh dari sarana berlabuh menyebabkan perahu-perahu mereka selalu dihadapkan dengan persoalan perlindungan pada saat musim barat. Pemindahan pemukiman nelayan karena perluasan kawasan pariwisata Pangkalan Pendaratan Ikan, Labuhan Maringgai Lampung Timur. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
67
○ ○ ○ ○
12.1 Pariwisata di Lampung Propinsi Lampung memiliki potensi yang besar untuk pengembangan pariwisata. Tercatat 156 obyek wisata yang tersebar di wilayah Lampung (Lembaga Penelitian UNILA, 1997). Sebagian besar obyek wisata didominasi oleh wisata alam (75 lokasi), wisata budaya (49 lokasi), dan wisata buatan (32 lokasi). Keberhasilan pariwisata antara lain sangat ditentukan oleh peran badan usaha swasta dan masyarakat. Badan usaha sebagai pemilik sekaligus pelaku (actor) usaha/bisnis pariwisata dapat melakukan usaha-usaha jasa pariwisata, pengusahaan obyek wisata, dan usaha sarana pariwisata (Pasal 7 UU Kepariwisataan). Namun sayangnya, peran serta masyarakat dalam pariwisata belum maksimal dan kurang optimal, padahal oleh Pasal 30 UU No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan secara tegas ditetapkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. Kebijakan pariwisata diarahkan agar wisatawan mau memperpanjang masa kunjungannya, yaitu dengan menyediakan akomodasi, rumah makan, dan hiburan. Menurut Dinas Pariwisata Propinsi Lampung, akomodasi yang ada pada tahun 1997
Obyek wisata Pantai Marina, Kalianda Lampung Selatan.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
P ARIWISATA BAHARI PESISIR TELUK LAMPUNG
○
sebagian besar adalah Hotel Melati (109 buah), Hotel Bintang (6 buah), dan Pondok Wisata (2 buah). Usaha rumah makan mencapai 335 buah, sedangkan usaha hiburan yang tersedia, antara lain diskotik (7 buah), motel (16 buah), dan karaoke (4 buah). Wisatawan yang mengunjungi Lampung cenderung meningkat jumlahnya, tahun 1989 jumlahnya 100.756 wisatawan, kemudian pada tahun 1997 mencapai 407.729 wisatawan, seperti tertera pada Tabel-17.
Tahun
Wisnus
Wisman
Jumlah
1989
97.429
3.327
100.756
1990
139.590
10.323
149.913
1991
175.666
12.201
187.867
1992
228.776
19.331
248.107
1993
298.967
20.762
319.729
1994
331.377
20.076
351.453
1995
350.153
21.038
371.191
1996
374.664
22.916
397.729
1997
384.016
23.713
407.729
12.2 Pariwisata Bahari di Teluk Lampung Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan kawasan padat untuk keperluan pemukiman, perindustrian, perhubungan, pariwisata, perikanan, dan pertahanan keamanan. Tidaklah heran jika ada obyek wisata pantai yang lokasinya berdekatan dengan industri (pabrik). Ada kesan, pengembangan obyek wisata bahari diprioritaskan di pesisir Teluk Lampung. Bukan berarti Teluk Semangka, Pesisir Barat, atau Pesisir Timur kurang menarik, mungkin sebaliknya, tapi karena wilayah Teluk Lampung secara administratif merupakan teritorial Kabupaten Lampung Selatan dan Kodya Bandar Lampung, maka infrastruktur dan fasilitasnya relatif sudah tersedia sehingga aksesibilitasnya akan lebih mudah, aman, dan nyaman.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
TABEL-17 Jumlah Wisatawan ke Lampung
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
68
GAMBAR-27 Peta Obyek Wisata Bahari di Pesisir Teluk Lampung
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
69
Lingkungan alam yang diunggulkan dalam Kawasan Teluk Lampung berupa pantai berpasir, laut berombak kecil, dan pulau-pulau. Banyaknya kepentingan yang memanfaatkan Teluk Lampung telah mendorong untuk dilakukannya penimbunan pantai (reklamasi) untuk pariwisata. Daya dukung lingkungan Teluk Lampung memang terbatas, maka perluasan dan pemekaran wilayah pembangunan cenderung mengarah ke lautan daripada ke daratan. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata ada 12 pantai yang diusahakan dan 6 pulau yang potensial untuk pengembangan ekowisata (ecotourism). Penelitian atas eksistensi dan potensi wisata bahari di pesisir Teluk Lampung dapat dilihat pada Peta Obyek Wisata Bahari di Pesisir Teluk Lampung. Keberadaan obyek wisata bahari di dalam peta diberi tanda titik (spot), angka yang terkecil menunjukkan obyek wisata unggulan sehingga dapat digunakan sebagai titik awal kunjungan atau perjalanan wisata bahari. Pengusahaan obyek wisata bahari dapat diketahui dari indikator adanya kunjungan dari wisatawan dan dikenakannya tarif masuk ke lokasi. Di samping itu, dapat pula dipertimbangkan tentang ketersediaan fasilitasnya, karena ada obyek wisata yang tidak menyediakan fasilitas bagi wisatawan, misalnya kamar mandi. Kondisi ketersediaan fasilitas pada obyek wisata di Teluk Lampung tertera pada Tabel-18. Data tersebut menunjukkan bahwa masih ada obyek wisata yang kurang menyediakan bahkan tidak ada fasilitasnya, walaupun sudah banyak wisatawan yang berkunjung, khususnya pada hari libur. Padahal, para pengelola/pengusaha obyek wisata tersebut telah mengutip uang masuk. Mengenai obyek wisata berupa pulau, belum seluruhnya diteliti karena sesungguhnya masih ada pulau-pulau lain yang potensial untuk dikembangkan antara lain Pulau Puhawang, Pulau Lunik, dan Pulau Panjurit.
TABEL-18 Obyek Wisata Bahari, Fasilitas, dan Tarif di Teluk Lampung
No.
Beberapa kawasan wisata bahari di Teluk Lampung dapat dikemukakan berikut ini: 1. Kawasan Wisata Kepulauan Gunung Krakatau Kawasan Kepulauan Gunung Krakatau merupakan kepulauan yang terdiri dari Pulau Sertung, P. Anak Krakatau, P. Krakatau Kecil, dan Pulau Krakatau, terletak di Selat Sunda. Secara administratif, kawasan ini merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan. Oleh karena kawasan Gunung Krakatau berada di tengah laut (Selat Sunda), maka untuk menuju ke lokasi tersebut dapat ditempuh menggunakan kapal motor dari dermaga Canti langsung menuju kawasan dengan waktu tempuh lebih kurang 3 (tiga) jam. Kunjungan ke kawasan Gunung Krakatau dianjurkan pada bulan Maret - Juni, karena pada masa ini iklim dan cuacanya baik. Fasilitas yang ada di kawasan Gunung Krakatau berupa pos jaga, tempat perlindungan(shelter) dan menara pantai.
Obyek Wisata
Fasilitas
Tarif (Rp)
-
-
Pulau Sebesi
Kurang
-
3.
Pulau Sebuku
-
-
4.
Pantai Canti Indah
Kurang
1.000
5.
Pantai Wartawan
Kurang
1.000
6.
Laguna Helau Kalianda
Cukup
250.000
7.
Merak Belantung
Cukup
2.000
8.
Kalianda Resort
Cukup
4.000
9.
Pantai Marina
Cukup
2.000
Tidak ada
3.000
1.
Kawasan G. Krakatau
2.
10.
Pantai Tanjung Selaki
11.
THR Pasir Putih
Cukup
1.500
12.
Pulau Condong
Kurang
-
13.
Pantai Duta Wisata
Cukup
1.250
14.
Pulau Tegal
15.
Pantai Tirtayasa
Cukup
16.
Pantai Ringgung
Tidak ada
500
17.
Pantai Cikupas
Tidak ada
500
18.
Pulau Legundi
-
-
1.500
-
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
70
2. Kalianda Resort Kalianda Resort terletak di Desa Merak Belantung (Kalianda), obyek wisata berupa pantai dengan atraksi berupa panjat tebing buatan (wall climb), outbond, kayak, jet ski, banana boat, cataraft, tenda apung, berkemah, bersepeda (cycling) dan diskotik. Dengan demikian, Kalianda Resort memadukan lingkungan alam (bahari) dan lingkungan buatan dengan kawasan terbangun. Fasilitas yang tersedia di Kalianda Resort sangat memadai, yaitu berupa kawasan terbangun dengan sarana dan prasarana yang modern seperti bungalow, bar, restoran, diskotik, tempat pertunjukan kesenian, ruang pertemuan dengan kapasitas 25 - 100 orang, area untuk berdagang berupa stand, kios, dan pondok. Wisatawan yang berkunjung pada hari libur (Minggu) rata-rata mencapai 100 orang, sedangkan pada hari-hari biasa rata-rata 30 orang. Masyarakat diizinkan berdagang dalam area yang telah disediakan dengan biaya sebesar 20% dari hasil penjualan atau dengan cara konsinyasi. Saat ini belum ada masyarakat yang berdagang dalam kawasan tersebut.
3.
4. 5. 6.
3. THR Pasir Putih THR (Taman Hiburan Rakyat) Pasir Putih terletak di Desa Tarahan (Kecamatan Katibung, Lampung Selatan), berupa obyek wisata berupa pantai untuk berenang dan area bermain anak-anak. Fasilitas yang tersedia antara lain berupa kamar mandi (WC), pondok/tempat istirahat, panggung untuk hiburan dan kesenian, area permainan anak-anak dan alat permainan berupa ayunan, perosotan, warung/kios/stand/kantin untuk berdagang. Area parkir masih menyatu dengan areal rekreasi. Pengelolaan obyek wisata berupa THR memerlukan area yang luas karena wisatawan yang menjadi segmen adalah rakyat (masyarakat) dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam. Perencanaan dan penempatan area (plan layout) yang kurang tertata dengan baik menimbulkan kesan berjubel. 12.3 Isu-isu Pariwisata Bahari di Teluk Lampung 1. Kerjasama dan koordinasi antar lembaga pariwisata masih belum optimal dalam perencanaan dan implementasi program. Sikap ego sektoral dan sikap saling menunggu, khususnya dalam mempersiapkan infra struktur dan fasilitas untuk pengembangan obyek wisata unggulan. 2. Kesenjangan kebijakan pariwisata terjadi karena program dan kegiatan kepariwisataan belum terencana secara terpadu dan menyeluruh. Akibatnya, masing-masing pihak yang berkepentingan dan terkait dengan sektor pariwisata dapat bertindak sesuai
dengan kepentingannya. Walaupun RIPP (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata) sudah ada, tetapi instansi pariwisata (Kanwil dan Dinas) belum dapat mengimplementasikan konsep-konsep yang terdapat dalam dokumen tersebut. Pengelolaan obyek wisata bahari pengelolaannya belum berwawasan lingkungan. Bahkan lingkungan alam di kawasan Gunung Krakatau telah dieksploitasi. Atraksi yang ada di lokasi pariwisata, kadang-kadang dipaksakan sehingga tidak sinkron dengan kondisi lingkungan. Data dan informasi wisata bahari sulit diperoleh, sedangkan data dan informasi yang ada masih perlu diaktualisasikan. Kelemahan pada data dan informasi akan mempengaruhi promosi dan citra pariwisata. Kecenderungan bisnis pariwisata bahari adalah pariwisata masal (mass tourism), dan belum ada pedoman (guidelines) tentang pengelolaan dan pembangunan obyek wisata bahari secara berkesinambungan. Masih terdapat beberapa obyek wisata bahari yang tidak menyajikan keindahan alam pantai, tetapi justru menyajikan hal-hal yang bertentangan dengan moral (tempat mesum).
Potensi pariwisata di Cukuh Balak, Tanggamus. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
71
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
SU BANDAR LAMPUNG 13.1 Kebersihan Motto pembangunan Kotamadya Bandar Lampung adalah terciptanya kota TAPIS BERSERI, yaitu kota yang Tertib, Aman, Patuh, Iman, dan Sejahtera (TAPIS), dalam lingkungan wilayah kota yang BERsih, SEjahtera, Rapih, dan Indah (BERSERI). Dengan motto ini Kotamadya Bandar Lampung bersama jajaran aparaturnya dan masyarakat mengadakan gerakan kebersihan sejak tahun 1987. Untuk pelaksanaan kebersihan tersebut, ada beberapa lembaga/instansi terkait atau yang bertanggung jawab yaitu: a. Dinas Kebersihan sebagai koordinator kebersihan kota, yang bertanggung jawab dalam hal kebersihan jalan-jalan utama, lingkungan perkotaan, terminal, pelabuhan, kantor, gudang, industri, hotel, restoran, dan tempat keramaian lainnya. b. Dinas Pekerjaan Umum bertanggung jawab atas kebersihan siring-siring dan trotoar jalan. c. Dinas Pasar bertanggung jawab atas kebersihan pasar inpres dan non-inpres, pusat perbelanjaan, siring-siring dan trotoar jalan di lingkungan tempat perdagangan dan pusat perbelanjaan. d. Dinas Pertamanan bertanggung jawab membangun dan memelihara kebersihan taman, hamparan hijau, dan hutan kota. e. Kantor PMD bertanggung jawab menggerakkan partisipasi/pemuda masyarakat dalam pengelolaan kebersihan. f. Camat bertanggung jawab atas kebersihan di seluruh wilayah kecamatan, g. Lurah bertanggung jawab atas kebersihan di wilayahnya dengan mengaktifkan SOKLI (Satuan Operasi Kebersihan Lingkungan). Pertumbuhan volume sampah tertera pada Tabel-19 dan sumber sampah dan volumenya tahun 1996 tertera pada Tabel-20. Dari Tabel-19 terlihat bahwa rata-rata per tahun volumenya mencapai 445.608 m3 atau setara 178.243 ton. Sampah tersebut saat ini ditampung di TPA Bakung dan diolah dengan sistem Sanitary Landfill. Dari sampah tersebut yang masih dapat dimanfaatkan oleh pemulung 1,6 ton/hari atau 584 ton/ tahun (1460 m3/tahun). Dari Tabel-20 terlihat bahwa sampah atau limbah dari kawasan industri yang dapat diangkut hanya 97% dari produksi sampah 89 m3/hari, sehingga yang tidak terangkut 3 m3/hari. Penyebaran industri yang terdapat di Kodya Bandar Lampung tertera pada Peta Isu Bandar Lampung. Sebagian besar industri tersebut terletak di wilayah DAS Way Kuala (22 industri), lalu DAS Way Lunik (13 industri), DAS Way Pancoran (5 industri), dan DAS Way
No.
Tahun
Jumlah Rata-rata Volume (m3)
Pertumbuhan (m3)
1.
1992
317.530
-
2.
1993
339.399
21.869
3.
1994
414.095
74.696
4.
1995
499.452
85.357
5.
1996
541.660
42.208
6.
1997
549.057
7.397
7.
1998
554.162
5.105
Jumlah
3.215.355
236.632
Rata-rata
459.336
39.439
Sumber: Dinas Kebersihan Kodya Bandar Lampung,1999.
Kunyit (2 industri), serta 1 industri di Way Kupang. Dari gambaran tersebut, kemungkinan pencemaran oleh industri terjadi di wilayah yang dekat dengan Pelabuhan Panjang. Beberapa masalah yang dihadapi dari kebersihan saat ini adalah: 1. Masalah dana pengelolaan yang sangat minim. Terjadi perbedaan yang tidak proporsional antara iuran sampah rumah tangga dengan iuran sampah hotel, restoran, dan super market. 2. Belum ada suatu instansi yang bertanggung jawab terhadap kebersihan pantai. Masalah sampah pantai seperti di TPI, Obyek Wisata, dan Industri dikelola masingmasing, tapi penanganannya masih minim. 13.2 Reklamasi Reklamasi merupakan teknik membuat lahan bangunan dari tanah di bawah air (laut, danau, sungai, rawa, daerah pegunungan, dan lahan sedimentasi), tanah untuk yang rawan genangan, bekas galian dan tambang, dan lain-lain. Untuk pelaksanaan reklamasi yang berwawasan lingkungan memerlukan biaya yang sangat besar. Pertimbangan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
TABEL-19 Pertumbuhan Volume Sampah di Kodya Bandar Lampung
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
I
72
GAMBAR-28 Peta Isu Bandar Lampung
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
73
TABEL-20 Volume Sampah di Kotamadya Dati II Bandar Lampung Tahun 1996 No.
1. 2. 3. 4.
5. 6. 7.
Sumber
Pemukiman Pasar Pertokoan, Restoran, Hotel Fasilitas Umum: - Terminal - Stasiun Kereta Api - Pelayanan Kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit, dll.) - Tempat Ibadah - Pelabuhan Laut - Tempat Hiburan/Rekreasi - Tempat Pendidikan Sapuan Jalan Kawasan Industri Saluran Total
Timbunan (m3/hari)
Prosentase Total Timbunan
Sampah Terangkut (m3/hari)
tidak dilaksanakan seperti rencana awal, tidak ada lahan bebas sepanjang pantai yang telah ditimbun, yang menurut rencana semula bahwa sepanjang pantai dengan lebar 60 m harus bebas, berupa jalan 20 m, sempadan pantai 30 m, batas jalan dan bangunan 10 m, dan semua bangunan harus menghadap ke pantai, serta setiap masyarakat dapat menikmati keindahan pantai dan laut tanpa harus membayar ke penimbun pantai. Para penimbun pantai dapat memanfaatkan areal timbunannya pada jarak 60 m dari bibir pantai. Kondisi reklamasi pantai saat ini sangat menyedihkan karena bagian-bagian yang telah direklamasi tidak menyatu atau terpotong-potong, muara-muara sungai banyak yang menyempit, tidak ada sempadan sungai, saluran drainase terganggu sehingga dapat menyebabkan banjir atau genangan pada saat hujan lebat bersamaan dengan pasang naik
Prosentase Pelayanan
792 339 104
53,4 22,8 7,0
733 333 97
92,6 97,9 63,3
46 20
3,1 3,4
45 19
97,8 95,0
18 6 13 9 7 40 89 1
1,3 0,4 0,9 0,6 0,5 2,7 6,0 0,1
17 6 11 8 7 40 86 1
94,4 100 . 84,6 88,9 100 . 100 . 96,6 100 .
1.484
100 .
1.402
TABEL-21 Daerah Aliran Sungai di Kodya Bandar Lampung
Sumber: Pemerintah Kodya Dati II Bandar Lampung, 1996.
keuangan berkaitan erat dengan kondisi alam, harga bahan, teknis, keuntungan tambahan/ indirect dan intangible benefit, dan community support (dukungan sosial politis) tentang perlunya reklamasi. Reklamasi pantai telah dilakukan sejak berabad di Jepang, Belanda, dan India. Di Indonesia reklamasi pantai telah dan sedang dilakukan seperti di Jakarta, Manado, Bali, dan Lampung. Reklamasi pantai yang dilakukan di Teluk Lampung sejak tahun 1983, pada awalnya bertujuan untuk merancang kembali kawasan pantai Teluk Lampung (Bandar Lampung dan Lampung Selatan), dengan penimbunan laut sampai dengan kedalaman 3 m, sehingga terbentuk suatu kawasan pantai yang akan mendukung sistem pengembangan kota pantai yang disebut dengan Water Front City. Sejak tahun 1983 s/d 1990 telah diberikan izin penimbunan pantai tidak kurang dari 18 perusahaan dan 7 perorangan, dengan luas 650 ha, yang sebagian besar berada di wilayah Bandar Lampung (450 ha). Pada kenyatannya saat ini proses penimbunan pantai
Sungai Utama
No.
DAS
1.
Way Galih
Way Galih
2.
Way Pancoran
Way Pancoran
3.
Way Lunik
Way Lunik
4.
Way Kuala
Way Kuala
5. 6.
Way Kupang Way Belau
Way Kupang Way Belau
7. 8. 9.
Way Keteguhan Way Sukamaju Way Tataan
Way Keteguhan Way Sukamaju Way Tataan
Arah Sungai Way Galih I Way Galih II Way Laga Way Gubag Way Ketapang Way Lunik Kiri Way Lunik Kanan Way Kedamaian Way Halim Way Awi Way Penengahan Way Balok Way Langkapura Way Kupang Way Betung Way Simpang Kanan Way Simpang Kiri Way Keteguhan Way Sukamaju Way Tataan
Sumber: Proyek PSPB - PU Pengairan, 1997.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
74
TABEL-22 Penyebab Banjir di Kodya Bandar Lampung No.
DAS
1.
Way Galih Panjang
2.
Way Pancoran
3.
Way Lunik
4.
Way Kuala
5.
Way Kupang
6.
Way Belau (Way Kuripan)
7.
Way Keteguhan
8.
Way Sukamaju
9.
Way Tataan
Penyebab Banjir - Perubahan penggunaan lahan di daerah hulu dan daerah resapan semakin kecil. - Penyempitan alur sungai oleh bangunan penduduk. - Pembuangan sampah ke alur sungai. - Perubahan penggunaan lahan dan pemukiman merambah ke daerah perbukitan. - Alur sungai menyempit karena pemukiman penduduk di bantaran sungai. - Sedimen dan sampah mengganggu sungai dan menyumbat gorong-gorong kereta api. - Penambangan batu di daerah hulu mengakibatkan meningkatnya volume sedimen di alur sungai, saat hujan terjadi aliran debris. - Penyempitan alur sungai akibat bangunan penduduk. - Alur sungai sangat datar ditunjang dengan adanya reklamasi pantai dan penyempitan alur sungai menyebabkan terjadinya banjir di daerah hilir. - Perubahan penggunaan lahan di hulu Way Awi sehingga menyebabkan debit limpasan permukaan semakin besar. - Bantaran sungai digunakan untuk pemukiman penduduk, sehingga menyebabkan menyempitnya alur. - Lahan di hilir sangat datar, sistem drainasenya tidak berfungsi dengan baik. - Bantaran sungai dari hulu sampai hilir digunakan pemukiman penduduk. - Kapasitas alur sungai berkurang akibat banyaknya sedimen pada alur sungai. - Tidak terdapat bantaran sungai karena lahan yang ada digunakan untuk pemukiman. - Pemukiman penduduk cukup rapat dan ditunjang dengan kemiringan lahan yang cukup curam sehingga menyebabkan suplai debit limpasan permukaan melalui saluran drainase cukup besar. - Penyempitan alur karena bantaran sungai dipenuhi dengan pemukiman penduduk. - Tidak tersedianya kawasan resapan di bagian tengah, akan menyebabkan debit limpasan permukaan semakin besar. - Kemiringan sungai di bagian hulu curam, sehingga pada saat banjir kecepatannya cukup tinggi, yang akan mensuplai terjadinya banjir pada bagian tengah dan hilir. - Pada bagian tengah kemiringan landai, sedang kapasitas sungai tidak mampu menampung debit aliran. - Penumpukan sedimen akibat kecepatan aliran yang pelan akibat dari kemiringan saluran yang landai. - Pemukiman yang makin padat berakibat semakin berkurangnya lapisan tanah yang mampu meresapkan air dan menjadikan debit limpasan permukaan semakin besar. - Penyempitan alur terjadi karena bantaran sungai dipenuhi dengan pemukiman penduduk. - Lahan dibagian hilir sangat datar dan sistem drainase yang ada tersumbat dengan banyaknya sedimen, sehingga menyebabkan genangan banjir. - Pemukiman penduduk cukup rapat dan ditunjang dengan kemiringan lahan yang cukup curam sehingga menyebabkan suplai debit limpasan permukaan melalui saluran drainase cukup besar. - Penyempitan alur sungai karena proses sedimentasi. - Pemukiman penduduk dibantaran sungai menyebabkan kapasitas alur pada saat banjir berkurang.
air laut (Peta Isu Bandar Lampung). Upaya Pemerintah Daerah untuk mengatasi dampak negataif yang lebih besar, saat ini kegiatan penimbunan pantai sementara dihentikan, berdasarkan usulan dari Tim Pengendalian Penimbunan Pantai Propinsi Lampung yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Lampung No. 6/147/Bapedalda/Hk/ 1998. 13.3 Banjir Banjir yang terjadi di wilayah Kodya Bandar Lampung beberapa tahun terakhir ini telah menjadi masalah rutin. Dengan pengertian bahwa banjir selalu terjadi pada setiap musim hujan dan setiap hujan turun yang mencapai waktu 3 jam. Banjir tersebut secara umum disebabkan oleh meluapnya sungai yang mengalir di wilayah Kodya Bandar Lampung. Sungai-sungai tersebut dapat dibagi menjadi 9 Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti tertera pada Tabel-21, dan semuanya bermuara ke Teluk Lampung. Penyebab banjir di Kodya Bandar Lampung tertera pada Tabel-22. Dampak banjir yang sering terjadi di Kodya Bandar Lampung tersebut dapat berupa dampak negatif secara fisik dan sosial ekonomi. Secara fisik yaitu terjadi kerusakan pada prasarana kota dan menyebabkan terjadinya lingkungan kota yang tidak sehat. Kerusakan terjadi pada prasarana jalan, gorong-gorong, jembatan, listrik, telepon, bangunan umum ataupun rumah tinggal serta perabotannya. Lingkungan menjadi tidak sehat karena tergenang lumpur dan tidak berfungsinya saluran drainase. Kerusakan karena dampak ini menyebabkan kerugian yang besar pada pemerintah dan masyarakat. Dampak negatif sosial ekonomi yaitu berupa rasa tidak aman karena sering tertimpa bencana banjir, suasana lingkungan hidup yang semakin buruk, kesehatan masyarakat menurun. Kesemuanya ini dapat mempengaruhi tingkat produktivitas menjadi semakin rendah. Apabila hal ini berlangsung terus maka mutu sumberdaya manusianya akan semakin rendah, yang pada akhirnya akan berpengaruh buruk bagi pemerintah dan masyarakat secara luas. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
75
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
14.1 Kelembagaan, Administrasi, dan Tataruang 1. Di dalam proses pembentukan desa baru pelaksanaannya belum terkoordinasi dengan baik, sehingga terkesan tanpa persiapan administrasi. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidaksamaan persepsi di antara Biro Pemerintahan Desa, Badan Pusat Statistik, dan Badan Pertanahan Nasional. Pada kasus desa-desa baru tersebut terjadi perbedaan jumlah desa dan nama desa, seperti Kecamatan Mesuji, Gedong Aji, dan Labuhan Maringgai di Pantai Timur; Padang Cermin di Teluk Lampung. 2. Terdapat perbedaan batas wilayah, baik antar desa maupun dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Kabupaten Lampung Barat, antara yang tertera secara administrasi dengan kenyataan yang diakui/dikenal oleh masyarakat, 3. Terdapat 5 (lima) desa persiapan di Teluk Semangka (Kabupaten Tanggamus) yang sejak tahun 1986 sampai sekarang belum menjadi desa definitif. 5. Belum ada tata ruang kawasan pesisir yang secara detil dapat menjadi acuan untuk menentukan peruntukan pemanfaatan wilayah pesisir Lampung. 6. Perkembangan sektor ekonomi baru belum diikuti oleh penataan ruang yang tepat (rencana tata ruang kawasan pesisir) dan terjadi konflik kepentingan di antara usaha pembenihan udang dengan masyarakat dan antara Dinas Perikanan dengan Pariwisata. Hal ini terjadi di kawasan Teluk Lampung. 7. Sosialisasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan peraturan daerah tentang sempadan pantai belum berjalan sebagaimana diharapkan. 8. Ketidakjelasan batas wilayah laut yang telah diperuntukkan/dilarang bagi kapal nelayan, penempatan bagan, alur pelayaran, angkatan laut, wisatawan, dan penduduk, menimbulkan konflik berbagai kepentingan memanfaatkan laut yang semakin meningkat. Hal ini terutama terjadi di pesisir Teluk Lampung.
muara sungai menyebabkan pendangkalan alur pelayaran sehingga aktivitas pelayaran nelayan dari dan ke pelabuhan terganggu (Kuala Penet). 3. Wilayah lahan dalam kawasan hutan register dan sempadan pantai menjadi korban kegiatan alih fungsi secara illegal, yang dapat mendorong semakin kuatnya proses abrasi pantai, yang terjadi di Pantai Timur. 4. Pesisir Barat merupakan wilayah beresiko gempa bumi yang tinggi karena dipengaruhi oleh patahan Semangka. 14.3 Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir 1. Alih fungsi lahan rawa menjadi sawah mengakibatkan berkurangnya kapasitas penampungan limpasan banjir, mengganggu kelangsungan hidup fauna dan flora, mengurangi areal perikanan rawa dan sungai, mengganggu cadangan air tanah, dan meningkatkan intrusi air laut, seperti yang terjadi di wilayah Mesuji dan Rawa Sragi. 2. Pelestarian wilayah Taman Nasional Way Kambas, menjadi cadangan fauna dan flora, pesisir rawa, dan hutan pantai yang dapat dimanfaatkan sebagai laboratorium lapangan untuk pendidikan dan penelitian. 3. Kelanjutan usaha TIR (Tambak Inti Takyat) di Tulang Bawang terancam oleh situasi ekonomi makro, perselisihan pembebasan lahan, dan perbedaan harga pembelian udang oleh inti dibanding harga umum, serta ketidakterbukaan manajemen utang petani plasma yang dikelola oleh perusahaan inti. 4. Pada umumnya pengembangan usaha tambak baru, kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitarnya yang dapat menimbulkan konflik sosial, seperti yang terjadi di Pesisir Timur dan Teluk Lampung. 5. Kondisi terumbu karang pada umumnya terganggu akibat pengeboman ikan, pengambilan karang untuk bangunan, dan akibat jangkar dari perahu nelayan. Kerusakan akibat bom semakin tinggi pada lokasi ke arah luar teluk, yang dimungkinkan semakin ke luar Teluk Lampung semakin lemah pengawasannya. Kondisi ini dapat berakibat pada penurunan hasil tangkapan nelayan. 6. Reklamasi pantai tanpa studi Amdal/izin secara formal dan tanpa perencanaan yang tepat dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan pesisir seperti terjadinya banjir dan perubahan arus perairan laut secara lokal. Hal ini terjadi di Teluk Lampung. 7. Pengusaha tambak belum menghargai proses perizinan dan alih fungsi lahan yang ditumbuhi tanaman bakau dengan usaha tambak yang belum tentu hasilnya (pada umumnya mengurangi daya dukung sumberdaya), seperti yang terjadi di Pesisir Timur.
14.2 Abrasi, Sedimentasi, dan Geologi 1. Abrasi merupakan fenomena alam di Pantai Timur, semakin parah oleh ulah manusia yang mengkonversi lahan pesisir dari rawa dan mangrove menjadi sawah, tambak, dan pemukiman. Daerah-daerah abrasi meliputi Way Burung (Manggala), Kuala Penet, Sri Minosari, Muara Gading Mas, Bandar Agung, Pematang Pasir, Pasir Sakti, Ketapang, dan Bakauheni. Wilayah Pantai Barat meliputi Way Haru, Bengkunat, Siging, Biha, Krui, Pugung Tampak, Balam, dan Negeri. 2. Sedimentasi di Pantai Timur membentuk tanah timbul, seperti yang terjadi di Mesuji, Tulang Bawang, Karya Tani, Bandar Agung (Bunut Selatan), mengakibatkan adanya pemilikan tanah yang tidak legal. Proses sedimentasi di
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
SU-ISU WILAYAH PESISIR LAMPUNG
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
I
76
GAMBAR-29 Peta Isu Utama Teluk Lampung
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
77
8. Kurangnya partisipasi pihak swasta dan masyarakat dalam pembangunan sumberdaya pesisir merupakan akibat dari proses pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang kurang terkoordinasi (kurangnya keterlibatan masyarakat pengguna). Hal ini terutama terjadi di Pesisir Timur dan Teluk lampung. 9. Penduduk Pesisir Barat belum memanfaatkan sumberdaya laut dan pesisir karena sumber ekonomi utama masih mengandalkan usaha pertanian (perkebunan). Selain itu, kondisi perairan Pantai Barat yang berombak besar menyebabkan mereka tidak dapat mengoptimalkan usaha hanya dengan peralatan tradisional. Sementara itu, sumberdaya tersebut dimanfaatkan oleh nelayan pendatang (dari Teluk Lampung) yang pada umumnya menggunakan bom ikan dan racun sianida. 10. Pengambilan rumput laut dan lobster di terumbu karang dilakukan dengan caracara tradisional yang tidak mengikuti kaidah berkesinambungan (eksploitatif), seperti yang terjadi di Pesisir Barat. 11. Prasarana transportasi belum mendukung kelancaran pemasaran produksi usaha perikanan tangkap masyarakat Teluk Semangka. Kondisi ini menyebabkan sulitnya pengembangan usaha perikanan masyarakat di daerah tersebut. Di Lampung Barat, sarana transportasi menuju Bengkunat sepanjang 4 km dari jalan utama yang belum diperkeras menjadi kendala pengangkutan hasil tangkapan nelayan. 12. Perubahan penggunaan lahan dari “repong” Damar (milik masyarakat) menjadi perkebunan kelapa sawit (perusahaan swasta) telah menurunkan fungsi ekologis dan sosial kemasyarakatan. 13. TPI di Krui yang telah dibangun tahun 1997, tidak dimanfaatkan oleh nelayan sebagaimana mestinya dan rusak karena tidak dipakai. 14. Penambangan batu “hitam bulat” khas Desa Tembaka Kabupaten Lampung Barat yang berlebihan akan menurunkan salah satu daya tarik wisata. 15. Kelanjutan usaha tambak skala kecil berbasis masyarakat belum terjamin keberhasilannya, karena cara pengelolaan lingkungan dan budidaya yang belum memadai, seperti yang terjadi di Pesisir Timur. 16. Penegakkan hukum dan peraturan belum berjalan dengan optimal. 17. Beroperasinya mini trawl di wilayah tangkapan masyarakat lokal pesisir Lampung. 18. Masih terjadi pro dan kontra terhadap adanya sistem tengkulak dalam kegiatan perikanan di pesisir Lampung.
2. Langkanya air tawar di daerah pemukiman pantai Teluk Betung dan Panjang terutama di daerah pemukiman yang berada di sempadan pantai. 3. Pembuangan sampah dan limbah padat dari pantai di Kotamadya Bandar Lampung belum dilaksanakan secara terpadu sehingga menimbulkan pencemaran limbah padat dan berbau busuk di wilayah pesisir. 4. Terjadi penurunan kualitas perairan Pantai Timur, karena sebagian besar kegiatan industri membuang limbahnya di aliran sungai Pantai Timur. Sebagian besar limbah industri masuk ke laut melalui DAS Sekampung, Seputih, dan Tulang Bawang. 5. Keinginan pengusaha industri untuk menjaga kualitas limbah cair yang dibuang ke perairan umum masih rendah dan mekanisme kontrol masih belum terintegrasi secara terpadu. Sistem ganti rugi akibat pencemaran tidak efisien secara ekologis, ekonomis, atau sosial. 6. Pola bangunan rumah yang membelakangi pantai menjadikan suasana lingkungan pantai menjadi kotor, seperti yang tejadi di Teluk Lampung. 7. Pesisir Barat bebas dari pencemaran industri, tetapi sarat dengan pencemaran rumah tangga dan sebagian besar sempadan pantai pesisir barat berupa pemukiman, jalan, dan sarana umum lainnya. 8. Terminal Apung Pertamina dengan sistem SPM (Single Point Mooring) di Teluk Semangka Kota Agung berpotensi sebagai sumber pencemaran laut. 9. Sarana dan prasarana pendidikan, serta kesehatan belum mencukupi untuk melayani kebutuhan masyarakat pesisir Lampung. 10. Sarana pendidikan untuk tingkat SLTP di Pantai Barat hanya terdapat di ibu kota kecamatan dan sangat minim jika dibandingkan dengan kesiapan penerimaan lulusan Sekolah Dasar. 11. Pola pengembangan wisata di kawasan pesisir Lampung belum berwawasan lingkungan dan tidak tersedia fasilitas pendukung sehingga terlihat tidak profesional. 12. Berhentinya program “Waterfront City 2000” berakibat pada perubahan situasi yaitu nelayan kembali ke tempatnya semula, di luar perencanaan awal atau kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana yang cukup dari pemerintah, seperti yang terjadi di Pulau Pasaran/Beringin. 13. Potensi wisata alam (pesisir) di Pantai Barat belum banyak disosialisasikan dengan penduduk setempat dan belum didukung oleh sarana penunjang wisata yang memadai. 14. Wisata bahari belum dikelola dengan baik, terutama Pantai Timur Teluk Semangka (Putih doh). 15. Akuifer produktif di daerah pemukiman dapat dikatakan langka. Hal ini menyebabkan semakin minimnya ketersediaan air bersih di pesisir Lampung.
14.4 Sanitasi Lingkungan, Sarana Pendidikan, dan Pariwisata 1. Sanitasi pemukiman pesisir belum mamadai, karena pemahaman masyarakat terhadap sanitasi lingkungan masih rendah sehingga banyak masyarakat yang menggunakan pantai sebagai WC umum. Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah pesisir Lampung.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
78
GAMBAR-30 Peta Isu Utama Pantai Timur
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
79
GAMBAR-31 Peta Isu Utama Teluk Semangka & Pantai Barat
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
80
○ ○ ○ ○
15.1 Wilayah Pesisir Indonesia di Antara Pesisir Dunia Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara dua fenomena: laut dan darat. Mereka menunjukkan perbedaan dua dunia dengan perbedaan flora dan fauna. Wilayah ini secara ekologi tidak dapat berdiri sendiri, karena tergantung pada keseimbangan antara berbagai elemen alam, seperti angin dan air, batu dan pasir, flora dan fauna, yang berinteraksi membentuk ekosistem pesisir yang unik. Jika wilayah pesisir dihitung tanah sepanjang 60 km ke arah darat di sekeliling lautan, laut, dan danau-danau besar di dunia, maka wilayah ini hanyalah sekitar 10 % dari planet bumi. Namun demikian, tekanan terhadap wilayah ini sangatlah besar. Diproyeksikan populasi manusia antara tahun 1990 dan 2050 akan menjadi dua kali lipat (6 milyar). Jika kita memasukkan perairan pantai, maka wilayah pesisir dunia menyokong produksi perikanan yang sangat besar, dan tempat berbagai macam aktivitas dan prasarana industri serta pariwisata, termasuk juga merupakan daerah penyerapan segala macam limbah dari kegiatan manusia. Terlihat nyata, bahwa “Kecenderungan yang ada saat ini dari perubahan ekosistem di wilayah pesisir adalah terjadinya penurunan kapasitas jangka panjang dari sistem ini untuk menyediakan manusia dengan suatu kualitas hidup yang cukup dan menghasilkan kesejahteraan yang langgeng”. Beberapa indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas keberlanjutan dari ekosistem pesisir, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat, dan abrasi pantai telah terjadi di beberapa kawasan pesisir di Indonesia. Di tingkat dunia, telah terjadi penurunan stok ikan, dengan perkiraan total degradasi sumberdaya ikan 70%, degradasi mangrove dan penurunan kualitas perairan dengan adanya penggunaan pupuk kimia yang meningkat pesat dari sekitar 25 juta ton (1960) diproyeksikan menjadi 175 juta ton (2020). Pengaruh langsung terhadap perubahan cuaca global akibat kegiatan manusia yang telah menyebabkan degradasi habitat di wilayah pesisir dapat kita amati dari beberapa fenomena, seperti kenaikan muka laut (dampak di dataran rendah, intrusi air laut, dan hilangnya habitat), peningkatan kerusakan karena badai dan banjir, perubahan curah hujan dan laju air sungai, kemungkinan terjadinya pergeseran sistem arus laut dan up-welling. Secara global, dapat dinyatakan bahwa akumulatif dampak populasi manusia terhadap ekosistem di kawasan ini merupakan fungsi dari jumlah populasi, konsumsi dan teknologi yang diterapkan di kawasan yang rentan perubahan ini. Wilayah pesisir Indonesia yang mempunyai panjang 81.000 km garis pantai, sangat dicirikan dengan produktivitas ekosistemnya yang tinggi. Hal ini sangat mendukung berbagai kegiatan perekonomian di negara ini. Sumberdaya pesisir (termasuk perairan
laut), pada tahun 1997 menyumbang hampir 20% ‘Gross Domestic Product’ (GDP) negara Indonesia, yaitu sekitar US $ 122 milyar (data tahun 1993, ADB report, 1997). Ironisnya, justru masyarakat nelayan dan petani yang hidup di wilayah pesisir masih terjerat dalam kemiskinan. Apa yang salah dalam pengelolaan pesisir dan laut di Indonesia? Pengalaman Orde Baru membuktikan bahwa pembangunan wilayah pesisir dan lautan pada Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I selain telah memberikan dampak positif, tetapi juga menyebabkan penurunan dan kerusakan lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan pesisir akan bertambah buruk dengan konsekuensi ekonomisnya pada 25 tahun mendatang, sejalan dengan laju aktivitas dan pertumbuhan penduduk. Berangkat dari pengalaman yang lalu, maka subyek sumberdaya pesisir dan laut menjadi fokus utama dalam PJP II (1993-2018). Di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1998, tersurat bahwa pengembangan sumberdaya pesisir dan lautan menjadi satu aspek tersendiri, mengingat potensi sumberdaya yang besar di wilayah pesisir dan laut di negara kepulauan terbesar di dunia ini (17.508 pulau dengan 3,1 juta km2 luas wilayah). Namun demikian, degradasi wilayah pesisir telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia, seperti polusi perairan akibat limbah domestik dan industri, tangkap lebih (overfishing), erosi dan sedimentasi, kerusakan terumbu karang dan konversi mangrove untuk pertambakan yang tidak berwawasan lingkungan. Tekanan terhadap wilayah pesisir, terutama di kawasan padat hunian/perkotaan dan padat industri. Ekosistem terumbu karang telah mengalami kerusakan yang parah di Indonesia. Dari estimasi oleh LIPI (Suharsono, 1998), menunjukkan bahwa hanya 6% yang berada dalam kondisi sangat baik, 22% baik, 33,5% sedang, dan 39,5% dalam keadaan rusak. Faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang di Indonesia antara lain penambangan karang, pengeboman dan penggunaan racun dalam penangkapan ikan, pencemaran, sedimentasi, eksploitasi berlebihan dari sumberdaya perikanan dan aktivitas penjangkaran serta perusakan oleh wisatawan. Mengingat wilayah pesisir dan lautan Indonesia, saat sekarang sebagai pusat keanekaragaman hayati sekitar 70 genera, dengan 1800-2000 species ikan di dalam kawasan terumbu karang seluas 85.000 km2 (Tomascik, 1997), maka kerusakan ekosistem terumbu karang yang telah mencapai tingkat yang memprihatinkan dan mengancam daya dukung ekosistem pesisir dan laut akan mempengaruhi lebih jauh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Tantangan bagi kita adalah bagaimana memasuki milenium baru dalam menyongsong pembangunan sumberdaya pesisir dan laut Indonesia secara berkelanjutan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
P ESISIR LAMPUNG MEMASUKI MILLENIUM III
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
81
(karang, ikan, dan padang lamun), sehingga organisasi selam (POSSI, Anemon - Unila, dan Corona) dapat memanfatkannya untuk arena pelatihan selam. Namun demikian, mengingat teluk ini digunakan untuk berbagai kepentingan, sedang para pengguna belum memiliki visi kebersamaan terhadap lingkungan teluk ini, maka tidak dapat dihindari adanya tumpang-tindih fungsi dan kepentingan masing-masing sektor. Masing-masing pihak merasa paling berhak atas satu kawasan pesisir yang didukung oleh peraturan perundangan atas kegiatan sektornya. Pengembangan wilayah pesisir teluk sudah sedemikian pesatnya ditambah lagi dengan munculnya ekonomi baru (budidaya udang), maka peruntukan kawasan teluk sesuai dengan rencana tata-ruangnya tidak bisa dijalankan. PEMDA Lampung merasa kesulitan untuk menangani konflik tata-ruang di kawasan ini, karena banyak hal-hal yang belum dapat diatur oleh PEMDA dan belum ada pembagian kewenangan yang jelas, khususnya dalam koordinasi perencanaan, penataan ruang dan pengawasan. Sehingga ada lokasi yang telah diperuntukkan sebagai kawasan wisata, misalnya, tetapi juga mendapat izin untuk kegiatan lain. Tumpang tindih perizinan antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan peliknya permasalahan. Pantai Bandar Lampung yang mempunyai panjang pantai 18 km merupakan bagian dari Teluk Lampung, mempunyai sembilan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalir ke perairannya. Semua sungai tersebut membawa bahan pencemar ke laut. Dampak negatif dari pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga membahayakan keberadaan spesies utama (manusia), mengurangi atau merusak nilai estetika lingkungan pesisir dan lautan, yang pada gilirannya akan merugikan secara sosial-ekonomi. Bentuk-bentuk dampak pencemaran perairan pesisir yang penting adalah sedimentasi, eutrofikasi, anoksia, kesehatan manusia, perikanan, dan introduksi spesies asing.
untuk mencapai dua tujuan utama, yaitu: (1) pembangunan sumberdaya yang ditujukan untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa di wilayah pesisir dan laut. (2) pembangunan pesisir dan kelautan Indonesia dituntut untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia belum siap menghadapi tantangan pembangunan yang semakin besar pada abad mendatang, dengan kendala utama seperti pukulan krisis ekonomi yang belum berhenti, kemunduran ekonomi yang semakin dalam, dan persaingan pasar bebas ASEAN sudah di ambang pintu tahun 2003. Secercah peluang menunjukkan, bahwa komoditi ekspor dari wilayah pesisir/laut, seperti ikan, udang dan rumput laut, masih mempunyai potensi pada masa krisis ekonomi dan persaingan global. 15.2 Wilayah Pesisir Lampung antara Harapan dan Permasalahannya Lampung mempunyai luas perairan pantai, termasuk wilayah 12 mil laut sekitar 24.820 km2 (Dishidros, 1999). Wilayah pesisir Lampung yang mempunyai garis pantai 1.105 km (CRMP, 1998) dengan 180 desa pantai (414.000 Ha), termasuk di dalamnya 69 pulau juga tidak luput dari perusakan habitat karena aktivitas manusia, sehingga terdapat indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan ekosistemnya. Kerusakan habitat pesisir, seperti di Pantai Timur Lampung (270 km), selain disebabkan oleh faktor alami (erosi pantai), juga dipercepat dengan penebangan tanaman pelindung pantai (mangrove) dan konversi lahan pantai secara besar-besaran, serta pencemaran limbah domestik dan industri. Dengan adanya peningkatan kegiatan “pembangunan”, maka wilayah pesisir yang merupakan habitat primer manusia yang seharusnya menjadi semakin baik, justru pengembangan wilayah pesisir menuju ke arah yang menyebabkan degradasi habitat. Alhasil, wilayah ini sarat dengan konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.
15.4 Terumbu Karang Kasus spesifik tentang degradasi terumbu karang akan diangkat dari perairan di sekitar kita, yaitu Teluk Lampung. Dengan adanya degradasi/perusakan terumbu karang oleh aktivitas manusia, maka fungsi ekologis, fungsi fisik dan fungsi estetika sangat menurun. Hasil dari kajian Tim Proyek Pesisir Lampung yang dibantu oleh partner lokal, menunjukkan bahwa tingkat kerusakan terumbu karang oleh aktivitas pengeboman sudah sangat memprihatinkan. Kita sering mendengar tentang adanya isu-isu penangkapan ikan dengan bom dan racun sianida di Teluk Lampung, tapi sejauh mana pengaruhnya dan di mana saja pusat-pusat kerusakannya? Dari beberapa lokasi survei dengan metoda “Manta tow” dan penyelaman, dapatlah disimpulkan sementara, bahwa di bagian dalam teluk Lampung kondisi karang masih 50% hidup, sedang di teluk
15.3 Perairan Teluk Lampung Teluk Lampung merupakan teluk terbesar di Pulau Sumatera, membentang dari Tanjung Tua (sebelah Timur) sampai dengan Tanjung Tikus, Pidada sebelah Barat, dengan garis pantai sepanjang 160 km. Peruntukan wilayah Teluk Lampung adalah sebagai kawasan pariwisata, kawasan budidaya (pembenihan udang, tambak dan budidaya kerang mutiara), daerah penangkapan ikan (jalur penangkapan I dan II), kawasan pelayaran inti, cagar alam laut (Krakatau), dan latihan TNI Angkatan Laut. Teluk Lampung yang mempunyai luas perairan 1.888 km2 , selain mempunyai potensi sumberdaya hayati (ikan), juga terkandung jasa lingkungan yang sangat asri terutama di kawasan terumbu karangnya. Teluk ini merupakan pusat keanekaragaman hayati
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
82
bagian luar, kerusakan terumbu karang sudah parah, yaitu lebih dari 70 % karang telah rusak. Memang di beberapa area bekas pengeboman, seperti di perairan Pulau Legundi dan Siuncal, telah terjadi perubahan ekosistem mikro terumbu karang, yaitu dengan adanya “rubbles dan sea anemone” dan karang lunak lain, tetapi ekosistem baru tersebut tidak akan mendukung keberadaan ikan-ikan karang untuk kembali. Dampak kedahsyatan pengeboman yang terjadi sekitar sepuluh tahun lalu, masih membekas di kawasan terumbu karang Pulau Tanjung Putus, yang tampak hanya sebagian kecil koloni karang cabang (Acropora) yang mencoba tumbuh di antara ladang pembantaian karang. Dampak negatif dari pengeboman dan racun ikan karang terhadap lingkungan di Teluk Lampung adalah terumbu karang mati, kehilangan habitat, kehilangan daya proteksi terhadap erosi, kematian ikan (target dan non-target species), dan kehilangan pusat keanekaragaman hayati di Lampung. Sedangkan dampak negatif secara sosial adalah dampak erosi pantai, kerusakan bangunan (desa), kematian/kecelakaan karena bom, dan kehilangan potensi pariwisata bahari. Apabila perusakan terumbu karang, masalah pencemaran dan sampah di pesisir, dan pencurian batu apung tidak bisa ditangani, maka pesona alam apalagi yang dapat ditawarkan dari Teluk Lampung? Lebih jauh, warisan keindahan dan sumberdaya alam apalagi yang akan didapatkan oleh anak-cucu kita?
kendala keberhasilan dari program reboisasi masih besar. Di Pantai Timur saat sekarang hanya tersisa sekitar 1.700 ha mangrove yang didominasi jenis Avicennia dan Rhyzophora. 15.6 Prioritas Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Wilayah pesisir dengan ciri-ciri keunikan dan keragaman sumberdaya yang khas, serta adanya keterkaitan ekologis antara ekosistem darat dan laut, mutlak memerlukan pengelolaan secara terpadu, bukannya sektoral. Keterpaduan merupakan aspek yang sangat penting dalam sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, yang menjamin keselarasan internal antara kebijakan dan program aksi antara proyek dan program, serta menjamin keterkaitan antara perencanaan dan pelaksanaan. Chua Thia-Eng (1993), menawarkan tiga jenis keterpaduan, yaitu sistem (dimensi spatial dan temporal), fungsi (harmonisasi antar lembaga), dan kebijakan (konsistensi program daerah dan pusat). Prioritas utama dari pengelolaan wilayah pesisir adalah yang berkaitan dengan degradasi lingkungan di kawasan ini. Jika dilihat dari asal kejadiannya, jenis-jenis kerusakan lingkungan tersebut dapat berasal dari luar sistem kawasan dan yang berlangsung di dalam kawasan itu sendiri. Beberapa degradasi lingkungan dapat dikelompokkan sbb. : " Penurunan kualitas perairan (pencemaran industri, domestik dan pertanian/ perikanan) " Penurunan produksi perikanan (terutama di daerah estuaria) " Perusakan habitat penting (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun) " Penurunan aset keindahan dan budaya " Pembangunan daerah pantai yang tidak tepat " Badai dan banjir (bencana alam)
15.5 Pantai Timur Masalah erosi di Pantai Timur Lampung tidak bisa dipisahkan dengan sedimentasi (deposisi sediment), yang pada awalnya adalah suatu proses alami. Tetapi proses ini sering menyebabkan konflik dengan kepentingan di daerah pantai. Konflik tersebut akan menjadi besar, apabila aktivitas manusia menambah cepatnya laju erosi pantai, seperti mengadakan manipulasi-manipulasi di daerah pantai yang sebenarnya merupakan usaha proteksi daerah pantai, tetapi dampak negatifnya lebih besar dari tujuan awalnya. Tidak jarang, proses erosi diperparah secara langsung dengan adanya pengembangan atau “pembangunan” di daerah pantai (shorefront development) yang tidak mempertimbangkan lingkungan. Sudah merupakan hal yang umum, seperti penebangan mangrove yang berlebihan untuk pertambakan udang di Lampung (khususnya Pantai Timur). Ekploitasi mangrove selain akan mempercepat erosi, juga telah menyebabkan intrusi air laut. Sedimentasi yang menyebabkan adanya tanah timbul di beberapa tempat di Pantai Timur telah menyebabkan konflik pemilikan lahan, karena status lahan dan sistem hukumnya belum jelas. Upaya-upaya untuk menekan laju erosi pun telah dilaksanakan oleh Kanwil/Dinas Kehutanan dengan program reboisasi tanaman pelindung pantai (mangrove), namun
15.7 Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Pemanfaatan sumberdaya pesisir di mana saja dapat diibaratkan sebuah perang, yang hanya dapat dimenangkan melalui kepemimpinan dan pengelolaan yang kuat dari masyarakat itu sendiri. Mengembalikan kepemilikan dan tanggungjawab kepada masyarakat adalah kunci utama kesuksesan dalam pengelolaan sumberdaya alam, karena “.....telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia sendiri, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar “ (QS.30:41). Dari pengalaman-pengalaman yang lalu terlihat bahwa elemen penting dari suksesnya pengelolaan sumberdaya pesisir adalah partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarakat, seperti nelayan, pemda/pusat, LSM, sektor swasta, dan masyarakat lokal. Paradigma yang berlaku sekarang adalah bahwa wilayah pesisir, terutama laut, adalah milik negara atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
83
Karena wilayah pesisir Lampung cukup luas, maka kebutuhan akan kawasan demonstrasi (working model) perlu dibuat, dengan tujuan akhir untuk mencegah praktekpraktek yang merusak lingkungan, dengan cara mengelola aktivitas manusia (pengguna) yang mendukung pada usaha-usaha ekonomi dan konservasi dengan mengontrol aktivitas luar yang merusak sumberdaya. Pengelolaan oleh masyarakat setempat adalah caranya. Dalam pengelolaan berbasis masyarakat, maka komponennya adalah : 1. Peran serta aktif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk generasi mendatang. 2. Mempersilakan kepemilikan oleh masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan dan langsung bertanggungjawab. 3. Tenaga penggerak dari masyarakat tingkat lokal, dan menyediakan keputusan di tingkat lokal (grassroot). Instansi pemerintah hanyalah mengontrol proses tersebut berjalan. 4. Kebijakan (policy) diperlukan untuk perijinan dari tingkat atas. 5. Keuntungan : mengurangi konflik, meningkatkan surveilance, meningkatkan persetujuan bersama, berlanjut, dan mengurangi ongkos penegakan hukum.
sehingga pengelolaannya berada di tangan negara. Tetapi fakta menunjukkan bahwa pemerintah tidak berdaya dan mampu mengelola sumbedaya alamnya tanpa kerusakan (Emil Salim, 1999). Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, tidak hanya tentang pencegahan penggunaan sumberdaya untuk keperluan tertentu yang berguna, seperti produksi pangan saja (sawah atau tambak). Tetapi pengelolaan adalah mempersilakan sistem pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable) dan mengontrol praktek-praktek yang merusak. Jadi, adanya keperluan untuk mengatur suatu rentang aktivitas dalam pemanfaatan sesuai dengan daya dukung lingkungan dan syarat teknis pemanfaatan. Dan yang lebih penting ada proses mendidik (belajar-mengajar) “apa yang menyebabkan kerusakan dan apa yang disebut berkelanjutan”. Kekurangan dan kelemahan pengelolaan biasanya sering hanya karena kurang pendidikan atau pengetahuan. Pengelolaan biasanya akan lebih efektif pada tingkat pengguna (user). Dalam kasus budidaya pantai, tentunya pada tingkat petani/pengelola. Jadi, pengguna lokal dapat dan seyogyanya ditingkatkan kemampuannya untuk mengelola sumberdaya wilayahnya supaya berkesinambungan (jangka panjang). Kekurangan pengelolaan yang efektif, biasanya berasal dari kelemahan kerjasama lintas sektoral dan adanya konflik para pengguna. Resolusi konflik dan permasalahan di tingkat pengguna memerlukan komitmen pada tingkat tinggi (pengambil keputusan), lembaga sektoral dan non-sektoral, bahkan sampai tingkat menteri dan presiden.
15.9 Mengelola Sumberdaya Pesisir dan Lautan berarti Menjamin Masa Depan Kita Salah satu aspek dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah konservasi sumberdaya alam termasuk menjaga keanekaragaman hayati. Tetapi, siapa yang perlu dilindungi? Karena wilayah pesisir merupakan habitat primer manusia, maka segenap upaya konservasi dan pengelolaan sumberdaya pesisir adalah untuk menjamin kelangsungan hidup manusia. Harapan-harapan untuk masa depan : " Masyarakat akan secara efektif mengelola sumberdaya pesisir mereka sendiri " Pembuatan akses-akses yang terbatas menjadi diterima oleh masyarakat " Pendapatan para pengguna sumberdaya pesisir stabil " Pemda (lokal) dan pemerintah pusat mempunyai mandat dan peran yang jelas dalam pengelolaan " Monitoring partisipatif akan berlanjut sesuai dengan perencanaan pengelolaan " Peningkatan investasi (keikutsertaan) swasta dan masyarakat akan mengembangkan proses dalam pengelolaan pesisir secara terpadu " Pengusahaan di wilayah pesisir tidak lagi bersifat eksploitatif (“roof-bouw” = mengambil hasil tanpa menanam kembali) terhadap sumberdaya. Berikut adalah pendapat bebas tentang persepsi generasi muda terhadap lingkungan pesisir di Lampung dari hasil wawancara terhadap beberapa generasi muda pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Lampung. Mereka berpendapat tentang status dan
15.8 Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Proyek Pesisir bersama mitra kerjanya akan mempromosikan pendekatan pengelolaan pesisir terpadu (ICM) yang berbasis masyarakat di wilayah pertambakan rakyat di Pantai Timur Lampung. Peran Proyek Pesisir hanyalah membantu atau sebagai mediator dalam mengidentifikasi, memelihara, dan mempromosikan dalam implementasi rencana pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu. Jadi, Proyek Pesisir adalah proses dalam perencanaan, implementasi, dan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir yang ‘menguntungkan’ dan ‘berkesinambungan’ melalui partisipasi aktif, aksi-aksi bersama dalam pembuatan keputusan. Strategi pendekatan yang akan dikembangkan bersama ‘stakeholders’, misalnya: " Proses partisipatif dalam penilaian sumberdaya " Perencanaan terpadu " Peningkatan ekonomi masyarakat pengguna pesisir " Implementasi pemanfaatan wilayah pesisir/laut yang berbasis masyarakat. " Pelatihan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir " Analisis kebijakan, pemantauan, dan evaluasi.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
84
permasalahan wilayah pesisir ini, 65% (30 responden) menyatakan bahwa wilayah pesisir sudah tercemar oleh sampah rumah tangga dan minyak buangan kapal motor, terutama di pelabuhan dan tempat-tempat rekreasi. Mereka juga menyatakan keprihatinan terhadap kerusakan terumbu karang akibat pengeboman oleh nelayan dan pengambilan batu karang oleh masyarakat. Penebangan mangrove untuk tambak dan masalah reklamasi di Bandar Lampung telah menyebabkan kerusakan habitat pesisir dan meningkatnya wabah malaria. Responden dari kalangan generasi muda ini setuju bahwa wilayah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi, daerah penangkapan ikan, tempat pelayaran, tempat budidaya tambak, sumber mineral dan pemukiman. Masalah yang ada di Teluk Lampung: “ adanya penimbunan di daerah pantai yang dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, tetapi terjadi juga pengerukan pinggir pantai untuk mengambil pasir dan karang, pengeboman ikan dan pencemaran” (Sazli Rais Haz, Pelajar SMU 8 Bandar Lampung); “Pantai Lampung telah tercemar karena banyak yang menbuang sampah di tepi pantai, terumbu karang rusak karena pengeboman, bakau ditebang untuk pembuatan tambak (Victorius, Pelajar SMUN I Padang Cermin), sementara limbah tambak udang windu telah mencemari laut” (Maawiyah Ismail, Pelajar SMUN I Padang Cermin); “Pencemaran di laut sudah memprihatinkan dengan banyaknya sampah rumah tangga, terutama plastik, yang dapat mengganggu baling-baling kapal sehingga dapat merusak citra Pelabuhan di Lampung” (Wahid Guntur, Guru SMK Pelayaran Lampung). Para pembaca dari segenap lapisan masyarakat dapat ikut berpartisipasi aktif dalam pengelolaan dan perlindungan sumberdaya pesisir Lampung untuk menjamin masa depan kita! $ Jika Anda seorang penentu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam, Anda dapat : " Menyebarluaskan informasi dalam Atlas ini kepada karyawan di kantor Anda " Menyebarluaskan informasi dalam Atlas ini kepada instansi lain " Mendiskusikan aksi-aksi yang dapat dilakukan untuk membantu pengelolaan wilayah pesisir
Melakukan penelitian untuk menjawab permasalahan dalam pengelolaan " Melakukan aksi-aksi untuk membantu pengelolaan wilayah pesisir "
$ Jika Anda dari kalangan penggusaha dan pengembang pembangunan, Anda dapat : " "
Meminimkan pengrusakan yang tidak perlu terhadap sumberdaya alam Ambillah langkah yang proaktif dalam memanfaatkan sumberdaya
$ Jika Anda pengguna langsung sumberdaya hayati laut (nelayan dan wisatawan), Anda
dapat : " Menghindari praktek-praktek merusak lingkungan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya " Berpartipasi aktif dalam upaya-upaya perlindungan lingkungan Dan masih banyak jalan bagi Anda dan masyarakat umum untuk ikut berpartisipasi dalam kelestarian lingkungan wilayah pesisir dan laut. Hanya mengandalkan lembagalembaga yang terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir di Lampung saja tidak dapat mencegah kerusakan lingkungan dari ulah manusia. Kita semua memerlukan bantuan Anda!
$ Jika Anda dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau kalangan Instansi
Pendidikan, Anda dapat : " Menciptakan kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan melalui pendidikan umum
Obyek wisata Pulau Lunik, Lampung Selatan.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
85
○ ○ ○ ○
Arihadi, Y. 1998. Beberapa Aspek Sosial Budaya Pengembangan Masyarakat Nelayan Pulau-pulau Kecil dalam Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Pulau Matahari, Kepulauan Seribu, 9-10 Desember 1998. BPP Teknologi.
BPS, 1997. Lampung Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Propinsi Lampung.
Balai Konservasi Sumberdaya Alam II Tanjung Karang. 1998. Informasi Kawasan Konservasi di Propinsi Lampung. Bandar Lampung.
BPS, 1997. Lampung Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Propinsi Lampung.
BPS, 1997. Lampung Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Propinsi Lampung.
BPS, 1997. Tanggamus Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Propinsi Lampung. Bantley. 1989. What farmers don’t know can’t help them: the strengths and weaknesses of indigenous technical knowledge in Honduras. Agricultural and Human Value. 6(3):25-31.
BPS, 1997. Tulang Bawang Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Propinsi Lampung. BPS, 1997. Lampung Tengah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Propinsi Lampung.
BAPPEDA. 1997. Studi Penentuan Status Mutu Air Laut Perairan Persisir Teluk Lampung. Buku Laporan Akhir. CV Madya Rancana.
BPS, 1997. Bandar Lampung Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Propinsi Lampung. BAPPEDA. 1998. Potensi Wilayah Pesisir Pantai dan Kelautan Propinsi Lampung. Bandar Lampung.
BPS, 1998. Laporan Kependudukan Propinsi Lampung. Badan Pusat Statistik. Propinsi Lampung.
Berkes, F. 1994. Property Right and Coastal Fisheries dalam R.S. Pomeroy (ed.) Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and in the Pacific: Concepts, Methods, and Experiences. International Center for Living Aquatic Resources Management. Manila.
Chambers, A., M. Cousins, S. Hedges, J. Newman, G. Riddoch, A. Webb and S. Wilson. 1990. The White-Winged Wood Duck, Cairina scutulata, in the Way Kambas National park, Lampung Province, Sumatra, Indonesia. Southampton University Sumatra Expedition.
Binnie and Partners. 1994a. Southern Sumatra Water Resources Project. Tulang Bawang Feasibility Studies, Final Report, Volume 15, Technical Reports. PU/Binnie and Partners. Bandar Lampung.
Chua Thia-Eng, S. A. Ross and Huming Yu (editors). 1997. Malacca Straits Environmental Profile. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas.
Binnie and Partners, 1994b. Southern Sumatra Water Resources Project. Tulang Bawang Feasibility Studies, Final Report, Volume 6, EIA (ANDAL). PU/Binnie and Partners. Bandar Lampung.
CRISP. 1998. Center for Remote Imaging, Sensing, and Processing. Faculty of Science, National University of Singapore.
Black, M. 1998. Report on Marine Resource Use and Potential Tourism in Lampung Bay. Intern Study for CRMP-Lampung (Draft). Bandar Lampung.
CRMP. 1998. Laporan Penyelidikan Geologi Daerah Pesisir Pantai Propinsi Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung.
BLH. 1995. Prokasih, Program Kali Bersih Propinsi Lampung Tahun 1995. Bandar Lampung.
CRMP. 1998. Profil Perikanan Tangkap Propinsi Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
D AFTAR PUSTAKA
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
86
Feeny, D. 1994. The Frameworks for Understanding Resource Management on the Commons. Dalam R.S. Pomeroy (ed.) Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and in the Pacific: Concepts, Methods, and Experiences. International Center for Living Aquatic Resources Management. Manila.
CRMP. 1998. Significant Coastal Habitats, Wildlife and Water Resources in Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung. CRMP. 1998. Profil Habitat Perairan Pantai Propinsi Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung.
Giesen, W. 1991. Tulang Bawang Swamps, Lampung. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No 15, AWB/PHPA Bogor, 42 pp.
CRMP. 1998. Kesesuaian dan Arahan Pengembangan Lahan Pertanian Pesisir Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung.
Giesen, W. 1993. Indonesian mangroves; an update on remaining area and main management issues. Presented at International Seminar on “Coastal Zone Management of Small Island Ecosystems. Ambon 7-10 April 1993.
CRMP. 1998. Sumber-sumber Pencemaran Wilayah Pesisir Propinsi Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung.
Giesen, W. and Sukotjo. 1991. The Wetlands of Kerinci Seblat National Park, Jambi, Sumatra. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project. Interim Publication No 12. Asian Wetland Burau, Bogor, Indonesia.
CRMP. 1998. An Analysis of Aquaculture in the Coastal Areas of Lampung, Evolution, Status, and Potensial 1998. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung. CRMP. 1998. Profil Wisata Bahari di Kawasan Pesisir Teluk Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung.
Gomez, E.D. and A.C. Alcala. 1984. Survey of Philippine Coral Reefs Using Transect and Quadrat Techniques. In: Comparing Coral Reef Survey Methods. Report of Regional Unesco/ UNEP Workshop. Phuket Marine Biological Centre. Thailand.
CRMP. 1998. Kondisi Oseanografi Perairan Pesisir Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung.
Hadikusuma, H., R. Arifin, RM. Barusman. 1996. Adat Istiadat Daerah Lampung. Kanwil Depdikbud Propinsi Lampung. CV. Arian Jaya. Bandar Lampung.
CRMP. 1998. Oseanografi dan Kualitas Perairan Teluk Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung.
Kertapati dkk. 1992. Peta Seismotektonik Regional Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.
Dahuri R. 1998. Kebutuhan Riset untuk mendukung Implementasi Pengelolaan sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, dalam jurnal Pesisir dan Lautan, Vol. 1, No. 2, hal 53-65. PKSPL-IPB, Bogor.
Mahi A.K. 1997. Evaluasi Lahan. Fakultas Pertanian Unila, Jurusan Ilmu Tanah. Bandar Lampung.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Mahi AK, M. Utomo, T. Syam, A. Hidayat, B. Yudha. 1997. Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Kesesuaian Lahan Kabupaten Lampung Utara, Lampung Tengah, Kodya Bandar Lampung. Lembaga Penelitian Unila. Bandar Lampung.
Dinas Kebersihan Kota. 1999. Pengelolaan Kualitas Kebersihan Lingkungan Perkotaan. Dinas Kebersihan Kotamadya. Bandar Lampung.
Manik, K.E.S. 1991. Analisis Daya Dukung Lingkungan di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai Way Seputih Lampung Tengah. Fakultas Pertanian, UNILA. Lampung.
Diparda Propinsi Lampung. 1995. Penggalian Potensi Gunung Krakatau dalam Perencanaan Pengembangan Pariwisata Daerah Lampung. Makalah Seminar Krakatau, 2 September 1995. Bandar Lampung.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
87
Manik, K.E.S. 1995. Penetapan Baku Mutu Limbah Cair Berdasarkan Daya Dukung Badan Air Sungai. Tulisan dipresentasikan dalam seminar “Penetapan Baku Mutu Limbah Cair Daerah, 28 Maret 1995. BLH - Pemerintah Daerah Propinsi Lampung.
PU, Proyek Pengelolaan Sumber Air dan Pengendalian Banjir. 1998. Pekerjaan Study Terpadu Pengendalian Banjir Bandar Lampung dan Sekitarnya. Buku 3, Laporan Pendukung. Bandar Lampung.
Ostrom, E. 1994a. Institutional Analysis, Design Principles and Threats to Sustainable Community Governance and Management of Commons dalam R.S. Pomeroy (ed.) Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and in the Pacific: Concepts, Methods, and Experiences. International Center for Living Aquatic Resources Management. Manila.
PU. 1996. Publikasi Data Debit Sungai Tahunan di Propinsi Lampung 1996. Proyek Pengelolaan Sumber Air dan Pengendalian Banjir, Lampung.
Pariwono, J.I. 1985. Tides and Tidal Phenomena in the ASEAN Region. Australian Cooperative Programmes in Marine Sciences. Prelim. Rep. FIAMS, South Australia. 77 pp.
Rusila Noor, Y., Giesen, W., Enis Widjanarti H. and M.J. Silvius. 1994. Reconnaissance Survey of the Western Tulang Bawang Swamps, Lampung Sumatra. PHPA/AWBIndonesia, Bogor.
RePPProT, 1988. Review of Phase I Results Sumatra. Regional Physical Planning Programme for Transmigration. Department of Transmigration/ODA. Volume II Annexes.
Pemerintah Daerah Propinsi Lampung, 1994. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1994.
Sandy, I.M. 1987. Iklim Regional Indonesia. Jurusan Geografi FMIPA, Universitas Indonesia. Jakarta.
Pemerintah Daerah Propinsi Lampung, 1995. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1995.
Suharsono. 1998. Condition of Coral Reef Resources in Indonesia. Jurnal Pesisir & Lautan, Vol 1, No 2, 1998.
Pemerintah Daerah Propinsi Lampung, 1996. Lapporan Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1996.
Thomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji and M. Kasim Moosa, 1997. The ecology of the Indonesian Seas. Part I and II. Periplus Editions.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Bandar Lampung. 1996. Ekspose Walikotamadya Kepala Daerah Kabupaten/Kota Bandar Lampung Tentang Sistem Pengelolaan Kebersihan Kota Bandar Lampung. Pemda Kabupaten/Kota Bandar Lampung.
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report. Vol.2, Univ. California, La Jolla. 195 pp.
PU, Proyek Pengelolaan Sumber Air dan Pengendalian Banjir. 1998. Pekerjaan Study Terpadu Pengendalian Banjir Bandar Lampung dan Sekitarnya. Buku 1, Laporan Utama. Bandar Lampung.
Yusuf, T. 1993. Profil Pesisir Lampung. Gunung Pesagi. Bandar Lampung.
PU, Proyek Pengelolaan Sumber Air dan Pengendalian Banjir. 1998. Pekerjaan Study Terpadu Pengendalian Banjir Bandar Lampung dan Sekitarnya. Buku 2, Ringkasan. Bandar Lampung.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
88
○ ○ ○ ○
Abiotik Air payau Akresi Alga Algal bloom
Akuakultur Akuifer Archipelago
Artisanal Atribut
Backshore
: Unsur non-hayati lingkungan; tidak menyangkut kehidupan atau organisme hidup. : Suatu campuran air tawar dan air laut; air payau dapat didefinisikan sebagai mengandung bahan padat terlarut antara 5 - 30 permil. : Proses penumpukan pasir di daerah pantai akibat dari gerakan dan gelombang yang membawa pasir ke daerah tersebut. : Atau ganggang; tanaman berklorofil berukuran dari beberapa mikron sampai bermeter-meter, yang hidupnya tergantung pada gerakan air dan hidup di dalam air tawar dan air laut (Usna, 1997). : Suatu pertumbuhan alga yang berlebihan dalam air sehingga menutupi tanaman air lain dan menggunakan persediaan oksigen dalam air sehingga tanaman membusuk; bloomming sering terjadi karena pencemaran dari masukan nutrien yang berlebihan. : Pengelolaan tanaman atau hewan yang hidup dalam air, misalnya budidaya ikan, dan budidaya udang. : Suatu lapisan geologis yang mengandung air yang dapat diambil secara ekonomis dan digunakan untuk pasokan air. : Suatu kelompok pulau-pulau, termasuk bagian dari pulau-pulau itu, perairan yang menghubungkan, dan bentuk alami lainnya yang begitu deka t kaitannya sehingga pulau-pulau itu, perairan dan bentuk-bentuk alami lainnya membentuk satu kesatuan geografis, ekonomis, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis telah dianggap demikian. : Kegiatan yang didasarkan keahlian perorangan dan kemampuan manual, umumnya pekerjaan “berteknologi rendah”, berorientasi pada sumberdaya. : Teks angka, atau bidang data citra dalam tabel basis data terkait yang menjelaskan suatu bentuk ruang seperti sebuah titik, garis, simbol, daerah atau sel. Suatu ciri dari bentuk geografik disebutkan dengan angka/karakter, disimpan secara spesifik dalam format tabel, dan dihubungkan dengan bentuk itu dengan suatu pengenal. Misalnya atribut sumber air (ditujukan dengan sebuah titik)dapat meliputi kedalaman, tipe pompa, lokasi dan galon per menit. : Daerah akresi atau erosi, terletak ke arah darat dari garis air pasang normal, yang biasanya menjadi basah hanya pada waktu air
pasang tinggi: suatu berm pelindung ombak (timbunan kerikil dan/atau pasir, terbentuk karena gelombang) yang sempit. Suatu timbunan pasir, semak atau bukit pasir yang kompleks ke darat dari air pasang normal. Bagan : Alat tangkap yang menetap (bagan tancap) atau berpindah (bagan apung), dipasang malam hari menggunakan jaring dan lampu (petromaks)sebagai alat penarik ikan supaya berkumpul di bawah lampu. Bakau : Jenis genus pohon yang mampu hidup dan tumbuh di air payau atau tanah payau; sering termasuk komunitas biologis yang subur yang didukung oleh hutan bakau atau beberapa jalur bakau. Benthik : Berada atau kehidupan di atas atau di dasar laut; berada pada atau menempel di dasar laut (kebalikan dari pelagis). Berm : Suatu timbunan pasir atau kerikil memanjang y ang dibawa oleh gerakan gelombang di pantai atas garis air pasang normal. Bio-accumulation : Pengambilan bahan seperti logam berat atau hidrokarbon berklorin yang akan meningkatkan konsentrasi bahan-bahan tersebut dalam organisme laut. Biodiversity : Berbagai jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup dalam suatu habitat tertentu; juga dukungan sosial untuk melindungi jenisjenis biota dan mencegah dari kepunahan. Bulk head : Dinding yang dibangun sejajar dan dekat batas air pasang untuk melindungi lahan di sebelahnya terhadap gelombang dan arus. Cadastral survey: Inventarisasi dan pendaftaran pemilikan lahan di peta. Citra satelit : Citra penginderaan jauh dikumpulkan oleh satelit yang mengelilingi bumi termasuk Landsat, dan SPOT. Citra ini mempunyai panjang gelombang tertentu (sinar tampak, inframerah, dsb.), yang dapat digabungkan untuk maksud interpretasi. Citra ini tampak seperti foto tetapi tidak dapat dibuat dengan metode fotografi, karenanya digunakan istilah image (bayangan) atau imagery (citra). Data dari citra satelit dapat diinterpretasikan secara visual atau dianalisis dengan komputer dalam bentuk digital (angka). Dapat pula langsung dimasukkan dalam sistem informasi geografis. Coastal baseline : Suatu garis diciptakan, secara geografis untuk menentukan jarak ke batas laut wilayah suatu negara.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
D AFTAR ISTILAH
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
89
dan dinikmati pemandangannya; tanaman dan hewan liar, maupun manifestasi budaya yang ditemukan di daerah ini. Effluent : Aliran keluar dari suatu pembuangan limbah, pipa industri, atau pembuangan limbah lainnya. Ekosistem : Suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, bahan dan organisme lainnya serta proses yang menghubungkan mereka; suatu sistem fungsi dan interaksi yang terdiri dari organisme hidup dan lingkungannya. Konsep ini dapat diterapkan pada skala apa pun, dari planet sebagai suatu ekosistem sampai ke koloni mikroba yang mikroskopis dengan sekitarnya, sistem ekologi lengkap yang berlangsung di suatu unit geografi tertentu, termasuk komunitas biologis dan lingkungan fisik, berfungsi sebagai unit ekologis di alam. Ekstentifikasi : Suatu peningkatan produksi (misalnya udang) dalam sistem budidaya perairan atau pertanian yang dihasilkan melalui perluasan sarana; misalnya penambahan areal kolam baru pada sarana budidaya udang. Endemik : Suatu spesies yang secara geografis penyebaran terbatas pada atau unik di tempat atau habitat tertentu. Erosi tanah : Pemindahan tanah oleh angin, air, atau tanah longsor dengan kecepatan yang lebih tinggi dari proses pembentukan tanah untuk menggantinya. Erosi tanah adalah akibat kegiatan manusia seperti pembersihan vegetasi dan penanaman pada lahan yang miring tanpa langkah konservasi tanah. Estuari : Daerah litoral yang agak tertutup (teluk) di pantai, tempat sungai bermuara dan air tawar dari sungai bercampur dengan air asin dari laut, biasanya berkaitan dengan pertemuan sungai dengan pantai. Eutrofikasi : Proses penyuburan perairan yang mengarah kepada pertumbuhan alga dan tumbuh-tumbuhan air lainnya karena masuknya pasokan yang berlebihan dari zat hara seperti nitrat dan fosfat. Exotic species : Jenis biota asing, bukan jenis asli yang hanya terdapat di suatu daerah geografis. Sarana Pengumpul Ikan - Rumpon : Suatu alat sederhana yang dipasang dengan jangkar atau diapungkan dan dapat memikat ikan-ikan kecil untuk berteduh yang pada giliranya memikat ikan-ikan besar yang mencari makan, seperti ikan tuna, tembang, kembung. Floodplain : Daerah pantai yang sering terkena banjir karena badai dan sering ditentukan oleh uji kemungkinan banjir secara statistik: misalnya 1% (100 tahun banjir) atau 5% (20 tahun banjir)
Coliform
: Bakteri/mikroba yang tersebar luas terdapat dalam saluran usus manusia, hewan, dalam tanah; terdapatnya bakteri itu dalam air menunjukkan adanya pencemaran kotoran manusia/hewan dan potensi kontaminasi yang berbahaya oleh mikroba penyakit. Contingency plan : Serangkaian tindakan penanggulangan yang direncanakan sebelumnya untuk meringankan kerusakan karena kecelakaan (tumpahan minyak, pusaran angin/siklun, atau lain-lain). Daerah asuhan : Setiap tempat di zone pantai di mana kehidupan akuatatik stadia larva, yuwana atau stadia muda berkumpul untuk mencari makan atau berlindung. Dataran Pasang Surut (tidal flat): Daerah pasang surut yang tidak ditutupi vegetasi (biasanya berlumpur atau berpasir); daerah darat yang tergenang air surut dan aliran pasang surut; daerah yang terletak di antara air pasang tertinggi dan air susut terendah (lihat;”intertidal zone”). Daya dukung : Batas banyaknya kehidupan, atau kegiatan ekonomis yang dapat didukung oleh suatu lingkungan; sering berarti jumlah tertentu individu dari sejumlah spesies yang dapat didukung oleh suatu habitat atau dalam pengelolaan sumberdaya, berarti batas-batas yang wajar dari pemukiman manusia dan/atau penggunaan sumberdaya. Demersal : Ikan yang hidup dan mencari makanan dekat atau di dasar perairan. Detritus : Partikel terapung yang dihasilkan dari erosi/pembusukan bahanbahan yang besar; umumnya mengacu pada bahan organik yang melayang dalam air atau tenggelam di dasar laut, seperti butir-butir sisa tumbuh-tumbuhan (misalnya dari rumput semak atau daun bakau) yang mengalami berbagai tingkat pembusukan. Dredging : Penggalian, perataan, pengerukan, penarikan dengan tali, pengerukan dengan menggunakan penghisap, atau cara-cara lain untuk mengambil pasir, endapan, pecahan batu, batu karang, atau bahan-bahan di dasar perairan. Dunes : Akumulasi pasir di pinggiran pantai ke arah daratan yang terbentuk melalui proses alami dan biasanya sejajar dengan garis pantai. Ekologically Critical Area (ECA) : Suatu daerah dengan konsentrasi kegiatan biologi yang tinggi dari suatu tipe yang sangat bermanfaat untuk menjaga keanekaragaman biologis dan/atau produktivitas sumberdaya; suatu daerah yang secara ekologis sensitif (ESA). Ekotourism : Suatu perjalanan ke daerah-daerah yang relatif tidak terganggu atau tidak terkontaminasi dengan obyek khusus untuk studi, dikagumi,
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
90
Intensifikasi
: Peningkatan produksi dalam suatu sistem budidaya perairan atau pertanian, melalui peningkatan padat penebaran (produksi yang diharapkan) pada suatu perairan atau lahan basah yang ada. Intrusi : Arti harfiahnya adalah masuk secara paksa, istilah ini sering digunakan tentang proses masuknya air laut kedaratan sehingga air tanah yang berada jauh dari laut terasa payau atau asin. Jalur hijau : Suatu jalur vegetasi sepanjang perbatasan zona peralihan, yang memisahkan suatu tipe daerah sumberdaya dari lainnya. Jetty : Suatu struktur bangunan yang menjorok ke laut, biasanya di mulut suatu pelabuhan atau sungai yang memotong pantai, untuk melindungi alur pelayaran/pelabuhan atau mempengaruhi arus air, sering dibangun berpasangan sepanjang kedua sisi air masuk. Keramba : Suatu struktur atau sarana terdiri dari kerangka (dari bambu, kayu, pipa paralon atau pipa besi) berbentuk persegi, pelampung dan jaring untuk memelihara ikan atau biota air lainnya. Kerangka dan pelampung berfungsi untuk menahan jaring tetap terbuka di permukaan air dan jaring yang tertutup di bagian bawahnya digunakan untuk memelihara ikan selama beberapa bulan. Karang Buatan : Setiap habitat laut yang di bangun untuk maksud memikat jenisjenis organisnme laut atau meningkatkan sumberdaya laut untuk memperbaiki perikanan, biasanya terbuat dari timbunan bahanbahan seperti bekas ban mobil, pecahan-pecahan semen, bangkai kerangka kapal, badan mobil, dsb. Konservasi tanah: Kegiatan yang ditujukan untuk memperkecil berkurangnya tanah karena erosi. Konservasi tanah (soil conservation) dapat dicapai dengan struktur tanah, seperti tepi sungai dan pematang, atau dengan cara biologis, terutama mempertahankan suatu penutupan tanah oleh tumbuh-tumbuhan hidup atau sisa-sisa tumbuhan. Soil conservation juga digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjukkan semua kegiatan yang ditujukan untuk konservasi kesuburan tanah . Kontur : Suatu garis yang menghubungkan titik-titik yang bernilai sama. Biasanya berdasarkan suatu datum horizontal, misalnya kedalaman laut rata-rata. Laguna : Daerah litoral agak tertutup dengan masukan air tawar terbatas, salinitas tinggi dan sirkulasi terbatas; laguna terdapat di belakang
Foreshore
: Bagian pantai yang terkena pasang surut atau bagian depan pantai yang terletak antara bagian pantai atas (atau batas teratas yang terkena air pasang tinggi) dan batas air surut biasa yang biasanya terkena gelombang naik dan gelombang turun ketika air pasang dan air surut. Foto udara : Foto permukaan lahan yang diambil dari pesawat udara, biasanya pada sudut vertical, biasanya dengan skala dari 1 : 50.000 sampai 1:5000. Untuk interpretasi, foto udara dilihat dengan stereoskop untuk memberikan kesan tiga dimensi. Bentuk-bentuk lahan, vegetasi, tataguna lahan dan beberapa prasarana (terutama jalan dan lintasan) dapat langsung terlihat pada foto udara, sedangkan sifat-sifat tanah, geologi dan sifat lahan lainnya memerlukan interpretasi tidak langsung, dan batas-batas administratif tidak dapat dilihat. Foto udara dapat pula digunakan sebagai peta dasar untuk penyajian rencana penggunaan sumberdaya. Foto udara dapat berupa panchromatic (hitam dan putih), berwarna (warna asli) dan warna tiruan. Juga disebut aerial photograph. Gabion : Keranjang kawat yang berbentuk persegi empat yang sangat kuat, diisi dengan batu atau pecahan batu untuk pembangunan dinding penahan atau struktur pelindung erosi. Geo-reference atau geo-referensi : Mengacu pada muka bumi. Informasi yang geo-referenced berarti informasi tersebut harus menunjukkan lokasinya di muka bumi. Groin : Struktur batu besar, beton atau pilar kayu dan papan yang memanjang dibangun tegak lurus pada garis pantai untuk memotong pasir yang hanyut di sepanjang pantai dan mengurangi erosi yang dilokalisir. Ground truth : Observasi langsung permukaan tanah yang dilakukan untuk membuktikan interpretasi data hasil penginderaan jauh. Habitat : Struktur lingkungan tempat hidup tumbuh-tumbuhan atau hewan, biasanya menurut tipe bentuk kehidupan utama (misalnya bakau, lamun, dsb). Hidrologi : Ilmu pengetahuan mengenai sifat-sifat penyebaran dan sirkulasi air di atas bumi. High water : Ketinggian maksimal yang dicapai air pasang tinggi; mean high water ialah ketinggian rata-rata air pasang.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
91
bukit pasir, pulau penghalang dan bentuk penghalang lainnya. Lahan basah (Wetland) : Daerah yang sering terkena banjir atau tertutup air misalnya semak air payau, rawa bakau atau lahan dengan semak-semak tawar. Lamun : Sejenis ilalang laut yang hidup di dasar laut berpasir, tidak begitu dalam di mana sinar matahari masih dapat menembus ke dasar hingga memungkinkan ilalang tersebut berfotosintesa. Land Evaluation: Pengkajian terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan spesifik. Pengkajian dibuat menurut produksi, penyesuaian masukan yang perlu untuk mencapai produksi itu, dan dalam hak klasifikasi penyesuaian lahan secara kuantitatif dan mempertimbangkan pendapatan ekonomis. Land suitability : Kecocokan lahan untuk jenis penggunaan tertentu. Landsat : Satelit NASA(National Aeronautical and Space Administration) yang mengelilingi bumi tanpa awak, yang mengirimkan citra multispektrum (kisaran 0,4 - 1,1 um) dari spektrum elektromagnet ke stasiun penerima di bumi Data digital dan/atau citra yang dihasilkan digunakan untuk mengidentifikasi ciri-ciri bumi dan sumberdaya. Data dikumpulkan terpisah untuk panjang gelombang yang tampak dan yang tidak tampak, yang dapat digabungkan untuk interpretasi. Pada kondisi menguntungkan, resolusi tanah dapat mencapai 30 m. Larva : Suatu tahapan dari jalur hidup ikan dan hewan air lainnya setelah menetas dari telur menjadi larva yang bentuknya sangat berbeda dengan bentuk dewasa dan pada umumnya bergerak pasif mengikuti gerakan air. Littoral drift : Perpindahan pasir dan bahan lain oleh arus litoral (pantai panjang) dengan arah sejajar pantai di sepanjang pantai; biasanya oleh angin. Masterplan : Rencana operasional yang menentukan tata cara , sumberdaya, masalah konservasi, standar pencapaian, kewenangan tujuan, hak penggunaan, pembatasan, pengembangan, partisipasi, mekanisme koordinasi, kondisi perijinan/AMDAL , daerah yang dilindungi, kemunduran, pelatihan, dsb. di bawah rencana ICZPM. Migrasi : Perpindahan, biasanya dipakai untuk hewan yang pindah dari satu tempat ke tempat lain, misalnya burung, ikan, dsb. Model : Suatu pembuatan abstrak dari kenyataan. Model dapat meliputi kombinasi pernyataan logis, persamaan matematis, dan kriteria yang dapat diterapkan untuk simulasi suatu proses, prediksi suatu
hasil atau membuat ciri suatu karakteristik suatu fenomena, istilah model dan analisis sering digunakan bergantian walaupun yang pertama mempunyai lingkup lebih sempit. Penyajian data realitas (misalnya model data ruang meliputi arc-node, geo- relational model, raster atau grids dan TINs). Modelling : Kontruksi simulasi fisik, konseptual atau matematis dunia nyata. Model membantu menunjukkan hubungan antara proses (fisik, ekonomis, sosial) dan dapat digunakan untuk menduga pengaruh perubahan-perubahan dalam penggunaan sumberdaya. Multiple use : Suatu konsep tentang kegiatan intensif di daerah tertentu atau sumberdaya tertentu dengan pengelolanya untuk penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan. Nutrien : Setiap bahan yang diasimilasi organisme hidup untuk pertahanan tubuh atau meningkatkan pertumbuhan. Oksidasi : Dalam pengolahan limbah, oksidasi adalah mengkonsumsi atau menghancurkan limbah organik atau limbah kimia menggunakan mikroba atau oksidan kimia. Organik : Partikel organik kecil yang melayang sebagai detritus biasanya berasal dari vegetatif. Payos atau rumpon : Suatu alat yang di gunakan untuk mengumpulkan ikan. Alat ini dibuat dari daun-daun kelapa yang diikat menjadi satu kemudian diletakkan dalam laut untuk beberapa waktu. Sewaktu-waktu alat ini didatangi pemiliknya untuk menangkap ikan yang telah terkumpul di bawahnya. Alat ini diberi jangkar agar tidak hanyut dan dilengkapi pelampung dan bendera agar mudah dicari. Pelagik : Mampu hidup di segala tempat mulai permukaan sampai dasar di kolom air laut tidak terbatas pada hidup di dasar. Pemilikan lahan: Sistem pemilikan atau penyewaan lahan atau hak penggunanya. Pengguna lahan : Semua orang mendapatkan pekerjaan secara langsung baik seluruhnya atau sebagian dari lahan misalnya petani, pengusaha hutan, pengembala, staf dari taman nasional. Penginderaan jauh : Dalam perencanaan penggunaan sumberdaya, penginderaan jauh berarti pengumpulan informasi dengan menggunakan foto udara dan citra satelit (lihat “LANDSAT”). Penginderaan jauh harus dilakukan bersama dengan survei lapang. Pengkajian dampak : Evaluasi pengaruh ekologis untuk menentukan dampaknya terhadap kebutuhan manusia, lingkungan, sosial dan ekonomi atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
92
Penyangga (buffer) : Suatu zona dengan jarak tertentu di sekeliling suatu obyek seperti sebuah titik, garis/poligon: suatu daerah pengelolaan pesisir yang terkendali dan dilindungi menurut adat. Peran serta masyarakat : Atau keterlibatan warga partisipasi dalam perencanaan oleh orang yang bukan perencana profesional atau pegawai negeri. Ini merupakan suatu proses di mana masyarakat sehari-hari ikut ambil bagian dalam mengembangkan, mengurus dan mengubah rencana komprehensif lokal dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya. Warga ikut berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi masyarakatnya. Perlindungan alam : Suatu daerah yang ditentukan untuk perlindungan (restorasi) sumberdaya lingkungan, termasuk sumberdaya hayati, biasanya memerlukan penghentian semua penggunaan yang eksploitatif. Pestisida : Setiap bahan kimia yang digunakan untuk membasmi hama tumbuh-tumbuhan dan hewan (serangga); beberapa insektisida mencemari air, udara atau tanah dan terakumulasi dalam tubuh manusia, tumbuhan, hewan, lingkungan, dan dapat menimbulkan pengaruh negatif. Peta dasar : Peta yang menunjukkan informasi planimetri, topologi, geologi, politik dan/atau kadaster. Informasi peta dasar tersebut digambar dengan tipe informasi peta dasar dapat sederhana seperti batasbatas administrasi utama, data hidrografi utama, atau jalan utama. Peta digitasi : Informasi yang dipetakan dan disimpan dalam bentuk angka dalam suatu rangkaian koordinat (utara, timur) beserta nilai atau sifat-sifatnya (misal ketinggian, penggunaan sumberdaya, dsb). Plankton : Organisme perairan kecil yang melayang-layang (tumbuhan maupun hewan) yang bergerak pasif atau berenang perlahan. Point Source : Pencemaran yang berasal dari suatu lokasi tetap seperti bagian akhir sebuah pipa. Polikultur : Dalam sistem pertanian yaitu gabungan sejumlah sistem budidaya yang dilakukan secara bersamaan misalnya tambak dan padi. Pollutan : Suatu bahan pencemar yang dalam konsentrasi atau jumlah tetentu menyebabkan perubahan sifat fisik, kimia dan biologis lingkungan yang tidak menguntungkan termasuk patogen, logam berat karsinogen, bahan-bahan yang memerlukan oksigen dan bahanbahan berbahaya lainnya , termasuk tanah yang dikeruk, limbah padat, residu dari alat pembakaran, limbah perkotaan,sampah ,
amunisi, limbah kimia, bahan biologis, limbah industri, limbah kota, limbah pertanian yang masuk kedalam perairan pantai. Prasarana : Sistem pendukung yang biasanya dibangun untuk umum bagi suatu komunitas termasuk jalan, listrik, air, pembuangan limbah,dsb. Pulp : Bubur kayu untuk pembuatan kertas. RADARSAT/SAR : Sebuah satelit yang mengorbit dan diluncurkan pada tanggal 4 November 1995 dan merupakan suatu alat baru untuk pemantauan zona pesisir dan layak diaplikasikan mengingat sensor optik tradisional kurang memberikan hasil atau tidak dapat memberikan informasi yang diperlukan seperti gelombang di permukaan laut. Sedangkan RADARSAT menggunakan suatu sensor SAR frekwensi tunggal, ini memberikan banyak manfaat, baik sebagai informasi yang mandiri atau berhubungan dengan sistem multi spektrum. Rapid Rural Appraisal (RRA) : Suatu prosedur untuk mengumpulkan atau untuk menganalisis suatu informasi tentang kesiapan kondisi sosialekonomi masyarakat dalam rangka pengambilan keputusan pembangunan, dan apabila partisipasi masyarakat merupakan suatu prioritas proses ini dapat d isebut “participatory rural assessment” (PRA), pengkajian partisipasi daerah pedesaan. Raster : Struktur data seluler terdiri dari kolom-kolom dan baris-baris untuk menyimpan gambar citra. Sekelompok sel dengan nilai yang sama akan menggambarkan features. Rehabilitasi : Tindakan yang disengaja untuk menciptakan kembali atau mengubah struktur lingkungan habitat sehingga mengganti kerusakan yang terjadi pada masa lampau. Resolusi : Ketelitian di mana lokasi dan bentuk feature peta dapat digambarkan pada skala peta tertentu. Misalnya suatu peta berskala 1: 63.360 (1 inci = 1 mil), maka sulit mengambarkan daerah yang lebih kecil dari 1/10 mil panjang di peta. Di peta berskala lebih besar, reduksinya lebih kecil, maka resolusi featurenya lebih mendekati feature bumi yang sebenarnya. Kalau skala peta menurun, resolusi juga berkurang karena batas-batas gambar akan halus sederhana atau tidak tampak sama sekali. Restorasi : Rehabilitasi suatu sumberdaya lingkungan untuk memulihkan struktur dan proses ekologi. Revetment : Suatu struktur yang dibangun untuk melindungi pantai dari erosi, dibangun dari batu yang diletakkan di permukaan miring. atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
93
Riprap (Trucuk- bahasa setempat): Suatu lapisan yang menghadap, atau timbunan batu pelindung yang dipasang di samping tanggul untuk mencegah erosi pengikisan atau pengelupasan tanggul atau dinding penahan; dalam hal ini sering digunakan batu. Run off : Bagian dari pencairan, salju meleleh, atau air irigasi yang mengalir dari darat kesungai-sungai atau badan air lainnya, termasuk perairan pantai yang menampungnya. Salinitas : Kadar garam yang umumnya dinyatakan dalam per mil atau per seribu atau ppt. (part per thousand). Sea level rise : Meningkatnya elevasi permukaan air laut akibat fenomena pemanasan global, karena penyebaran panas air laut dan mencairnya puncak es benua antartika : pertama kali dikenal oleh penulis Jules Verne hampir satu abad yang lalu. Sea Wall : Suatu struktur yang dibangun di sepanjang pantai untuk melindungi pantai dan kerusakan lain dari pukulan ombak. Umumnya lebih padat dan mampu bertahan terhadap kekuatan ombak besar dibandingkan dengan sebuah bulk head. Septic tank : Suatu sistem pengolahan limbah rumah tangga menggunakan tangki, dan buangan akan mengalir keluar dari tangki ke bawah tanah melalui pipa pembuangan (lumpur harus dipompa keluar dari tangki pada waktu-waktu tertentu). Silvo Fishery : Kegiatan perikanan dan kehutanan yang dilakukan secara bersamaan. Sistem Informasi Geografik (SIG): Suatu kumpulan perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan tenaga kerja yang teratur yang dirancang secara efisien untuk menangkap, menyimpan, memutakhirkan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan seluruh bentuk seluruh bentuk informasi yang mengacu pada geografi. Operasi spasi tertentu yang kompleks dimungkinkan dalam SIG, yang akan sangat sulit, memakan waktu dan tidak praktis tanpa SIG. Data biasanya berasal dari peta dan nilai yang diperoleh dapat dicetak sebagai peta. Skala : Perbandingan antara jarak di atas tanah dan jarak di atas peta yang mencakup suatu daerah yang luas seperti negara di atas suatu lembar peta, misalnya skala 1:1.000.000. Skala besar berarti yang mencakup suatu daerah kecil di atas suatu lembar peta misalnya 1:10.000. Sludge : Adalah benda padat yang tenggelam di dasar bak pengendapan dalam sarana pengelolaan limbah dan harus dibuang dengan cara pence-
maran atau cara lain untuk melengkapi pengolahan limbah. Sosio analisis : Analisis suatu rencana tentang dampak dari berbagai macam masyarakat. Sosio analisis memberikan perhatian khusus pada kepentingan kelompok minoritas, wanita dan yang kurang mampu. Species indicator: Satu atau beberapa jenis biota dipilih untuk mewakili kondisi lingkungan tempat jenis-jenis biota itu hidup. SPOT (Satellite Prohatoire d’Observation de la Terre): Satelit sumberdaya alam Prancis, yang diluncurkan pertama kali pada tahun 1986. Dalam kondisi yang baik resolusi bumi dapat mencapai 10 m. Bandingkan dengan LANDSAT. Stakeholder : Seseorang (atau entitas) yang mempunyai suatu kepentingan dalam keputusan yang dapat mempengaruhi penggunaan dan konservasi sumberdaya pesisir . Tidak terbatas pada mereka yang memiliki kepentingan finansial. Storm surge : Meningkatnya ketinggian laut karena naiknya air laut di pantai akibat dorongan angin pantai yang kuat seperti angin pantai yang disertai dengan topan atau badai kuat lainnya; tekanan atmosfer yang menurun dapat menyebabkan kenaikan permukaan laut tersebut. Subsisten : Suatu kegiatan usaha yang produksinya hanya untuk dimakan sendiri dan sebagian kecil saja yang dijual. Sumberdaya alam : Sumberdaya lahan dan laut yang relevan dengan potensi penggunaannya, misalnya iklim, air, tanah, lepas pantai, dekat pantai, hutan. Suspended solids : Partikel yang melayang dalam air karena daya gerak hidraulik seperti arus naik atau turbulensi dan suspensi koloid termasuk misalnya endapan atau detritus organik. Tata Guna Lahan: Pengelolaan lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ini meliputi penggunaan lahan di pedesaan, perkotaan, dan penggunaan oleh industri. Tematik : Bersifat tema atau judul; dalam pedoman ini sering dipakai dalam peta misalnya peta tematik yang artinya peta dengan tema atau judul tertentu misalnya peta wisata bahari; sebaliknya peta dasar umumnya menggambarkan garis pantai, batas administrasi, sungai, dan jalan tidak bersifat tema. Terumbu karang : Karang adalah jenis hewan laut berukuran kecil yang disebut polip, hidupnya menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni. Hewan ini atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
94
menghasilkan deposit berupa kalsium karbonat (CaCO3 ) yang terakumulasi menjadi terumbu dan bila hewan yang berada di terumbu itu mati, maka terumbu karang tersebut tidak dapat berkembang dan menjadi batu karang atau karang mati . Tsunami : Gelombang laut yang cepat di perairan dangkal, yang berpotensi menimbulkan bencana, disebabkan oleh gempa bumi atau gunung berapi bawah air, gelombang ini dapat muncul sangat tinggi dan menimbulkan bencana membanjiri lahan di pantai. Turbiditas (kekeruhan): Berkurangnya kejernihan air karena adanya benda-benda yang melayang; juga merupakan suatu ukuran mengenai banyaknya bahan tersuspensi dalam air. Upland : Daerah hulu, ke arah darat dari garis pantai yang hanya sedikit berinteraksi dengan laut. Watershed : Suatu wilayah yang telah ditetapkan secara geografis tempat seluruh air mengalir melalui sistem tertentu yaitu sungai, aliran air, atau badan air lainnya; watershed dibatasi oleh “pembagi watershed” (titik atau tanggul yang tinggi di atas tanah) dan termasuk bukit, lereng, dataran rendah, daerah banjir dan menerima badan air. Zona Ekonomi Eksklusif: Zona maritim yang berdekatan dengan atau yang memmembentang 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur wilayah laut - kewenangan diberikan secara internasional oleh Konperensi PBB III tentang Hukum Laut, negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam di zona tersebut. Zona pesisir (definisi resmi Amerika): Perairan pantai ( termasuk lahan di dalam dan di bawahnya) dan lahan pantai di dekatnya (termasuk perairan di dalam dan di bawahnya), yang saling mempengaruhi dan letaknya berdekatan dengan garis pantai beberapa propinsi (negara bagian) pantai termasuk pulau-pulau, daerah transisi dan pasang surut, semak-semak payau, lahan basah dan pantai. Zona Intent : Peranan umum suatu daerah dan menunjukkan prioritas pada penggunaan yang diizinkan, apabila hal ini dapat dilaksanakan. Zona pasang surut : Zona transisi laut dan darat, disebut sebagai zona yang terletak antara batas air pasang tinggi rata-rata dan air surut rata-rata.
Atlas ini dipersiapkan dengan informasi terbaik yang tersedia di meja penyunting pada saat dipublikasikan. Penerbitan ini menyajikan kajian dasar yang penting mengenai wilayah pesisir Lampung, namun informasi yang terdapat di dalamnya mungkin telah mengalami perubahan pada saat Anda baca. Oleh karena itu, kami mohon bantuan Anda untuk memberikan data terbaru, koreksi atau informasi lain yang berhubungan dengan pesisir Lampung. Masukan dan saran dapat disampaikan kepada : BAPPEDA Kabupaten/Kota Lampung Bidang Fisik dan Prasarana Jl. R.W. Monginsidi No.69 Teluk Betung Bandar Lampung 35401 Indonesia atau Pusat Studi Lingkungan - Universitas Lampung Jl. Sumantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung 35145 Indonesia Untuk itu kami mengucapkan terima kasih.
Tim Editor
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
95
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
a
abrasi 5, 10, 11, 76 administrasi wilayah pesisir 76 administrasi kabupaten dan kecamatan, peta 37 administrasi desa pesisir, peta 41 air tanah 5, 6, tabel 8 anjing hutan (Cuon alpinus) 34 akuiver 6, 78 alat tangkap, peta sebaran 63 alap-alap (Ichtyophaga ichtyaetus) 34 ancaman ekosistem pesisir 14 angin 3, 4, 10 api-api (Avicennia alba, Avicennia marina) 16, 18 arahan penggunaan lahan, peta 55 arahan pengembangan lahan pertanian, tabel 56 arus pasang surut, peta 13 ayam hutan (Gallus gallus bancamus) 34 babi hutan (Sus barbatus) 30 back-arc basins 10 badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) 34 bagan 66 bahan galian 5 bakau (Rhyzophora stylosa) 16 Bakauheni 11 Bandar Lampung, peta isu 73 bakau (Rhizophora stylosa) 16 bangau tontong (Leptoptilus javanicus) 18, 33 banjir 75, tabel penyebab banjir 75 Barringtonia 16 Barringtonia acutangula 16 Barringtonia septica 18 Barringtonia asiatica 30 batuan 5 batimetri perairan 9 belibis batu (Nettapus coromandelianus) 33 berang-berang (Lutra lutra) 34 beruang madu (Helarctos malayamus) 34 biawak (Varanus salvatorius) 31, 34 biota laut, potensi 31 Biru Laut Katulistiwa PT (BLK) 60 BOD 11, tabel 12, 26, tabel 28 bomb fishing, bom 48 buaya ikan (Tomistoma schelegelii) 34 buaya muara (Crocodylus porosus) 34 bubu 48
b
budidaya air payau dan air laut, tabel peristiwa penting 60 budidaya mutiara 11, 66 budidaya udang, peta ketersediaan sumberdaya 61 Bukit Barisan 3, 24 bunga bangkai (Amorphophalus sp) 30 burung elang (Heliastur sp) 31 burung jing (Metopidius indicus) 34 burung pantai 31 burung rawa (Actitis hypoleucos) 18 buta-buta (Bruguiera parviflora, Excoecaria agallocha) 16
c
cagar alam laut 30, 31 calophyllum inophyllum 30 cecah (Presbytis melalophos) 34 Central Pertiwi Bahari PT 60 cemara (Casuarina equisetifolia) 16, 30 CITES 16 COD 11, tabel 12, 26, tabel 28 coliform 11, 12 cuaca 9 daerah aliran sungai (DAS) 20, 74 daerah rawan banjir, peta 15 daerah rawan kebakaran, peta 15 daerah pengeboman, peta 15 daerah tangkapan dan debit air, tabel 26 DAS utama, peta 23 Danau Menjungkut 30 debit air degradasi 24, 81, 83 demografi desa 40 Dipasena Citra Darmaja PT 60
d
e
eceng gondok (Eichornia crassipes) 24 ekosistim pesisir, kondisi 14 elang bondol (Heliastur indus) 34 elang laut (Spizaetus cirrhatus) 34 enggang (Buceros bicornis) 34 erosi 20, 83 etnis 4, 42 Eugenia viridis 18 eutrofikasi air laut 28
fisiografi wilayah pesisir, tabel 50 Ficus 18 Ficus septica 30 flora fauna 31 Fragraea fragrans 16 fringing reefs 20
f g
Gajah (Elephan maximus sumatranus) 34 garis isobath 9 garis pantai 14 gelagah (Saccarum spontanicum) 14 gelam (Melaleuca cajuputi) gelombang 10 gempa 5 geologi 76 geologi, proses 8 geologi lingkungan 6, peta 7 geomorfologi 5 gunung-gunung 3 gunung Krakatau 70 hak ulayat 49 hatchery 58 harimau Sumatra (Panthera Tigris sumatrae) 34 hidrologi 24 hutan dataran rendah 30 hutan damar (Shorea javanica) 30 hutan mangrove 30 hutan pegunungan 30 hutan rawa 14, 20, 30
h
ikan Arowana (Scleropagus formosus) 16, 22, 33 ikan Baung (Mystus nemurus) 16, 34 ikan Belida (Notopterus chilata) 16, 33, 34 ikan Betok (Anabas testudineus) 34 ikan Jelabat (Leptobarbus hoevenii) 34 ikan Malas (Oxyeleotris marmorata) 16, 33, 34 ikan-ikan pelagis 62 ikan Seluang (Rasbora sp) 34 industrialisasi 1, 3 intrusi air asin 5, 24 isu utama Bandar Lampung, peta 73 isu utama Teluk Lampung, peta 77 isu utama Pantai Timur, peta 79 itik (Anas gibberifrons) 18 itik rimba (Cairina scutulata) 34
i
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
NDEKS
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
I
96
jacana (Cicinia episcopus) 33, 34 jaring apung 11 jenis pantai, tabel 8 jumlah penduduk, peta 45 jumlah penduduk pesisir, tabel 40 jumlah etnis 4
J k
Kabupaten Lampung Barat 36 Kabupaten Lampung Selatan 36 Kabupaten Lampung Timur 38 Kabupaten Tanggamus 36 Kabupaten Tulang Bawang 38 kambing hutan (Capricornis sumatrensis) 34 karang batu 20 karakteristik garis pantai 6 kawasan konservasi 30, peta 35, daftar satwa 34 Kalianda 20, 60 Kalianda resort 71 kecepatan angin 3 kekeruhan, tabel 11 kelinci Sumatera (Nesolagus netscheri) 34 kemiskinan 49, 81 kepadatan penduduk pesisir 42, tabel 40, peta 43 kepedulian masyarakat 29 Kepulauan Krakatau 20, 31, 70 Kepulauan Seribu 20 kerang mutiara 57 kerbau liar (Bubalus bubalis) 34 kerusuhan sosial 58 kesesuaian lahan 52 kesesuaian lahan wilayah pesisir, tabel 54 ketapang (Terminalia catappa) 16, 31 kiambang (Salvinia molesta) 24 kijang (Muntiacus muntjak) 34 konflik pemanfaatan lahan 44, 49 konsosiasi sedeng (Livistonia rotundifolia) 18 Kotamadya Bandar Lampung 38 kowak maling (Nycticorax nycticorax) 33, 34 Krui 42 KTI (kawasan timur Indonesia) 1 kualitas air, tabel nilai konsentrasi parameter 12 kualitas perairan Teluk Lampung 11, 28 kuau (Argusianus argus) 34 kucing emas (Felis temmincki) 34 kuntul (Egretta sacra) 18 kuntul besar (Egretta alba) 34 kuntul kecil (Butorides striatus) 33, 34 kuntul putih (Ardeola speciosa) 33, 34
Labuhan Maringgai 11, 16, 18, 60 Lagerstroemia speciosa 16 lahan basah utama 22 lahan kritis 24 Licula paludosa 16 limbah agro industri 24 limbah industri 26, 28 limbah lumpur 28 limbah perkotaan 24 limbah pertanian 24 limbah rumahtangga 24, 28 litologi 5 LIT (Line Intercept Transect) 20 Liwa 40, 42 logam berat, tabel 11 luas total perairan laut 1 luas propinsi Lampung 3 lutung (Presbytis cristata) 34
l
m
macan dahan (Neofelis nebulosa) 34 mangrove 14, 16 mangrove, peta sebaran 17 mangrove semu 18 MBV, serangan 60 Menggala 40 merbau (Initsia palembanica) 18 Metro 40 Milky stork (Mycteria cinerea) 18 millenium III 81 monitoring lingkungan 29 morfologi 24 morfologi, tabel 8 Muara Gading Mas 60 Muara Sleman 30 mutiara, budidaya/pemeliharaan 57, 58, 66
n o
nelayan Lampung 67 nibung (Oncosperma tigillaria) 18 nipah (Nypa fruticans) 16, 18, 30 nyamplung (Calophyllum inophyllum) 16 obat-obat pertanian, tabel 29 obyek wisata bahari, fasilitas, tarif , tabel 70 obyek wisata bahari, peta 69 Oriental Darter, 16 overfishing 1, 81
p
pabrik kertas 11 Padang Cermin 18, 60 Pandanus tectorius 30 pariwisata 11, 21 pariwisata bahari 68, peta 69, isu-isu 71 pasang merah (red tide) 28 pasang surut 9 Pasir Putih (THR) 71 patahan 5 patch reefs 20 pecuk ular (Anhinga melanogaster) 18, 33, 34 pedada (Sonneratia caseolaris) 16 pemanfaatan/penggunaan lahan 14, 44, 52 pemanfaatan sumberdaya pesisir 76 penduduk asli 42 penduduk pendatang 44 pengeboman 20, 48, 76, 81 penyebaran penduduk 40 pengelolaan wilayah pesisir 83, 84 penggunaan lahan, tabel 52, peta 53 penangkapan burung 20 pencegahan abrasi 6 pencemaran air oleh industri 16, pencemaran perairan 67 pencemaran sungai 24 pencemaran pesisir 29 penduduk asli 42 penduduk pendatang 44 pengembangan lahan pertanian 50 penggunaan lahan di pesisir, tabel 52 penyebab banjir, tabel 75 penyebaran kelompok industri 27 penyebaran suku desa pesisir, peta 47 penyu 14, 20 penyu belimbing (Dermocylis cariacea) 16, 34 penyu hijau (Chelonia midas) 16, 31, 34 penyu sisik (Eretmochelys imbricata) 16, 31, 34 perikanan sungai dan rawa 24 perikanan tangkap, peta produksi 65 perikanan tangkap, masalah 66 perikanan budidaya 57, 58 perkebunan kelapa 18 persepsi masyarakat 49 pertambakan rakyat 57 perubahan kondisi ekosistem pesisir, tabel 44 perusakan jalur hijau 46 perubahan cuaca global 81 atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
97
perusakan terumbu karang 20 pembenihan udang 58 perubahan fungsi lahan 6 Pholidocarpus sumatrana 16 PMDN 26 PMA 26 potensi sumberdaya ikan 64 pola curah hujan 4 produksi perikanan tangkap, peta 65 program reboisasi 20 program transmigrasi 40 prokasih 26, 28 property rights, 46 propinsi-propinsi 2 prosentase jumlah penduduk, peta 45 pulau-pulau kecil, nama, lokasi, luas 39 Pulau Sertung 31 Putri malu (Mimosa pigra) 16
r
raflesia (Rafflesia Arnoldi) 30 raja udang (Halcyon sp.) 34 Rantau Kandis 33 Rawa Bakung 33 Rawa Bungur 33 Rawa Gelam 33 Rawa Jitu 14, 22 Rawa Pacing 33 Rawa Pitu 14, 22 Rawa Sragi 14, 22, 44 Rawa Tenuk 33 reboisasi 24 reklamasi 14, 72, 74 reklamasi pantai 12, 76 relief 4 rencana strategis IV, IX rencana tata ruang wilayah (RTRW) 76 rengas (Gluta renghas) 18 Rhizophora mucronata 17, 18
s
salinitas 10, tabel 12 salinitas rata-rata permukaan bulanan, gambar grafik 10 sanitasi lingkungan 78 sarana pendidikan 78 satwa langka 16 satwa liar, peta sebaran 34 satuan lahan, peta 51 satuan geologi lingkungan, tabel 8
sebaran alat tangkap, peta 63 sebaran habitat, peta 15 sedimen 10 sedimentasi 5, 76, 83 sentra perikanan 64 sisa organisme laut 6 subtractability 46 sumberdaya air dan sungai, peta 25 sumberdaya geologi 5 sumberdaya mineral Sosial budaya, kondisi 40 SPOT, citra 11 Srimonosari 18 Stormy stork (Ciconia stormi) 18 sumberdaya ikan 62 sumber pencemaran utama 26 sumber pencemaran 28 sungai-sungai 22 sungai besar 3 SWS (satuan wilayah sungai) 22 Taman Nasional Bukit Barisan 14, 30, 40, 76 Taman Nasional Way Kambas 17, 18, 24, 30, 31, 32 tambak udang 57, 58 tambak udang, peta tingkat produksi 59 tambak inti rakyat 57, 76 tambak intensif 57 tambak semi-intensif 57 Tanjung Belimbing 30, 31 Tanjung Cina 30, 31 Tanjung Karang-Telukbetung 36, 40 Tanjung Keramat 30, 31 teknologi penangkapan ikan 64 Teluk Lampung 3, 28 Teluk Semangka 3, 5, 20, 28 temperatur rata-rata 3, 10 terumbu karang, kondisi, peta 18, 76, 82 Terminalia catappa 30 (lihat : ketapang) tikus (Rattus sp) 31 tingkat kepadatan penduduk pesisir, peta 43 tiram mutiara 11 TPI 11 togog 66 topografi 3, 30 transmigran 42, 44 trawlnet 67 trenggiling (Manis javanica) 34
t
Tringa totanus (burung rawa) 18 TSS, tabel 12 Tulang Bawang, suaka marga satwa 33
u v w
udang lobster 31 udang windu/tiger prawn (Penaeus monodon) 57 Undang-undang Lingkungan 20 volume sampah, tabel pertumbuhan 72 volume sampah di Kodya Bandar Lampung 74 vulcanic arc 10 waru laut (Hibiscus tiliacea) 16 Way Jepara 24 Way Kanan 18 Way Mesuji 11, 14, 22 Way Pedada 22 Way Penet 17 Way Sekampung 17, 22, 24, 26 Way Seputih 11, 14, 22, 24, 26 Way Rasau 22 Way Tulangbawang 11, 14, 16, 22, 24, 26 Way Wako 22 wilwo/lepipi (Mycteria cinerea) 34 (lihat : Milky stork) wisata alam 68 wisata budaya 68 wisata buru 30 wisatawan, tabel jumlah 68
x z
Xylocarpus granatum 16 zona pemanfaatan 30
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
98
ISBN : 979-95617-36
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
99
TIM EDITOR Budy Wiryawan Bill Marsden Handoko Adi Susanto Ali Kabul Mahi Marizal Ahmad Hermawati Poespitasari
CITATION (Indonesia) : Wiryawan, B., B. Marsden, H.A. Susanto, A.K. Mahi, M. Ahmad, H. Poespitasari (Editor). 1999. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Kerjasama PEMDA Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir (Coastal Resources Center, University of Rhode Island dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor). Bandar Lampung. Indonesia. 109 pp. CITATION (English) : Wiryawan, B., B.Marsden, H.A. Susanto, A.K. Mahi, M. Ahmad, H. Poespitasari (Editors). 1999. Lampung Coastal Resources Atlas. Government of Lampung Province and Coastal Resources Management Project (Coastal Resources Center, University of Rhode Island and Centre for Coastal and Marine Resources Studies, Bogor Agricultural University). Bandar Lampung. Indonesia. 109 pp. CREDITS Photographs Maps Line Arts Layout Translations Style Editors ISBN
: Tantyo B., Handoko A.S., Ary S.D. : Tim GIS PKSPL-IPB, BAPPEDA Propinsi Lampung : Production House Proyek Pesisir : Pasus Legowo, Handoko A.S. : Tim Editors : Kun S. Hidayat : 979-95617-36
Funding for preparation and printing of this document was provided by USAID as part of the USAID/BAPPENAS Natural Resources Management Program and the USAID-CRC/URI Coastal Resources Management (CRM) Program atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
100
ATLAS
SumberdayaWilayahPesisirLampung Kerjasama: Pemerintah Daerah Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung
PKSPL-IPB
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
101
○ ○ ○ ○
G
ubernur Lampung menyambut baik dengan diterbitkannya Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung yang disusun atas kerjasama Pemerintah Daerah Propinsi Lampung, Daerah Kabupaten/Kota Kabupaten se-Propinsi Lampung, dan bersama-sama Proyek Pesisir Lampung (Coastal Resources Management Project, USAID-BAPPENAS Program). Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung ini diharapkan dapat digunakan baik oleh masyarakat Lampung maupun masyarakat lainnya secara luas untuk mengetahui, mengenal, dan memanfaatkan potensi Pesisir Lampung secara lestari dan berkesinambungan. Di dalam proses pembuatan atlas ini telah memanfaatkan sumberdaya manusia dan informasi dari semua pihak melalui proses verifikasi dengan semua instansi terkait, sehingga didapatkan kesepakatan mengenai isu-isu pembangunan dan pelestarian Pesisir Lampung. Atas dasar pertimbangan ini kami menekankan agar semua pihak dapat melibatkan diri dalam tahap-tahap selanjutnya untuk menyatukan persepsi terhadap perencanaan dan pengelolaan wilayah Pesisir Lampung secara terpadu. Secara khusus diharapkan pula bahwa setelah pembuatan atlas ini ada tindak lanjutnya dalam bentuk penyusunan Rencana Strategi dan Tata Ruang, yang diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan wilayah Pesisir Lampung. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Proyek Pesisir Lampung dan penghargaan yang tinggi atas kerjasama dan keterlibatan yang intensif mulai dari tahap perencanaan sampai selesainya dokumen ini. Ungkapan yang sama, kami sampaikan juga kepada USAID-BAPPENAS dan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri yang telah menetapkan Propinsi Lampung sebagai salah satu lokasi Proyek Pesisir Lampung. Secara khusus kami juga mengucapkan terima kasih, kepada seluruh jajaran Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, LSM, Kalangan Akademisi dalam dan luar negeri serta seluruh masyarakat Lampung, atas penyampaian data, informasi dan masukan yang konstruktif. Mudah-mudahan dokumen ini akan memberikan manfaat ganda bagi Pembangunan Daerah khususnya dan Pembangunan Nasional pada umumnya. Bandar Lampung, Juli 1999 Gubernur Lampung
Drs. H. OEMARSONO
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
S AMBUTAN GUBERNUR
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
i 102
○ ○ ○ ○
I
t has been a great pleasure for all members of the Proyek Pesisir Team and our partners within and outside Lampung Province to assist with the development of this Atlas. In late 1997 when our National Advisory Committee first proposed to USAID to select Lampung as a candidate province for inclusion in Proyek Pesisir, we had little idea of how significant the coast of Lampung is. Through the determined efforts of local government (PEMDA) and non-government organizations (NGOs), we were encouraged to take a look at the “big picture” (i.e. whole coastline) before focusing on specific sites or issues. This Atlas is the result of that “big picture” survey and has been compiled from local surveys and studies by teams of experts working with project team, including colleagues from the Centre for Coastal Marine Studies at the Bogor Agriculture University and from various faculties of the University of Lampung. We have relied extensively on the active involvement of all stakeholders in the coastal resources of Lampung - communities, individual resource users, industry, non government organizations, local and provincial government agencies, universities, etc. to guide and inform our work. We were delighted by the enthusiasm that all these groups bought to the process of developing, reviewing, and improving this Atlas. It is a common principle in natural resources management that we can not begin to develop strategies for sustainable use of those resources until we know something about them - e.g. what and where they are and who uses them and how. This Atlas is but a “snapshot” of the coastal resources of Lampung and as such will have to be constantly updated in future. It is, however, also an important foundation for management. With these data, we hope that local government, non government organization, and Tim Pesisir will continue to work together to formulate and implement the plans necessary to resolve the many issues identified in this Atlas. We commend this important reference to you and to your children; by working together we can sustain the diverse economic, social and environmental values of the Lampung coast. We also commend this Atlas to organizations in other areas of Indonesia. It is the first such Provincial Atlas and could serve as a model to stimulate coastal management programs.
Kami memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua anggota Tim Proyek Pesisir dan para mitra kerja di dalam maupun di luar, Propinsi Lampung yang selama ini membantu pembuatan Atlas ini. Pada akhir tahun 1997 ketika Tim Penasehat Nasional kami pertama kali mengajukan kepada USAID untuk memilih Lampung sebagai calon propinsi yang disertakan ke dalam rencana Proyek Pesisir, kami mempunyai sedikit sekali bayangan tentang betapa pentingnya wilayah pesisir Lampung. Melalui usahausaha yang terarah dan cermat dari PEMDA dan beberapa LSM, kami terdorong untuk melihat “gambar besar” (misalnya, seluruh garis pantai) sebelum memfokuskan kepada kawasan dan isu-isu yang spesifik. Atlas ini adalah hasil survei dari “gambar besar” yang telah dipadukan dengan surveisurvei dan studi-studi lokal oleh berbagai tenaga ahli yang bekerja dengan tim kami, termasuk mitra kerja dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor, serta dari berbagai fakultas di Universitas Lampung. Kita telah mengikutsertakan secara aktif semua stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir Lampung, seperti masyarakat, pengguna sumberdaya, industri, LSM, instansi/dinas/badan pemerintah di Propinsi dan Kabupaten/Kota, Universitas, dan lain-lain, untuk mengarahkan dan menginformasikan tentang pekerjaan kami. Kami merasa berbahagia atas antusiasme semua stakeholder yang telah berperan serta dalam proses mengembangkan, memberi masukan dan koreksi, serta menyempurnakan Atlas ini. Adalah sebuah prinsip yang umum dalam pengelolaan sumberdaya alam bahwa kita tidak dapat memulai suatu pengelolaan sumberdaya tanpa terlebih dahulu mengetahui sesuatu tentang sumberdaya tersebut, seperti apa dan di mana sumberdaya tersebut, siapa pengguna dan bagaimana cara mereka menggunakannya. Atlas ini hanya merupakan sebuah ‘potret sekejap’ tentang sumberdaya wilayah pesisir Lampung dan tentunya harus terus menerus diperbaharui isinya di masa yang akan datang. Sekalipun demikian, Atlas ini tetap merupakan dasar yang penting untuk suatu pengelolaan. Dengan data-data yang ada, Tim Pesisir akan melanjutkan kerja bersama segenap stakeholders untuk memformulasikan dan mengimplementasikan rencana-rencana yang dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai isu yang diidentifikasi dalam Atlas. Kami merekomendasikan Atlas ini sebagai referensi yang penting kepada Anda dan putra-putri Anda; dengan bekerjasama kita dapat menjaga keragaman nilai-nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan Pesisir Lampung. Kami juga menyarankan agar Atlas ini dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga di wilayah Indonesia yang lain, selain Lampung. Atlas ini merupakan Atlas sumberdaya wilayah pesisir propinsi pertama, dan dapat menjadi model untuk mendorong program pengelolaan wilayah pesisir.
Ian M. Dutton Project Leader, Proyek Pesisir
Ian M. Dutton Pimpinan Proyek Pesisir, CRMP Indonesia
Lynne Zeitlin Hale Associate Director, Global Field Programs
Lynne Zeitlin Hale Deputi Direktur, Program Lapangan CRC
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
S AMBUTAN CRC-URI
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
103 ii
○ ○ ○ ○
A
tlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung (ASWPL) merupakan suatu informasi ini dapat digunakan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir informasi yang menampilkan inspirasi dari pendekatan pengelolaan di masa yang akan datang. wilayah pesisir secara terpadu yang meliputi segenap aspek biofisik, Proses pembuatan Atlas ini diawali diskusi dengan pihak pemerintah daerah tentang sosial-ekonomi-budaya, dan kelembagaan. Informasi ditampilkan dalam rencana pembuatan Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung dan sekaligus dalam bentuk peta-peta tematik dan teks singkat dari ketiga aspek tersebut. rangka sosialisasi Proyek Pesisir ke daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Setelah itu Atlas ini mengidentifikasikan isu-isu pengelolaan wilayah pesisir Lampung yang diadakan penentuan topik yang akan dimuat dalam Atlas berdasarkan kondisi biofisik, dibuat dalam bentuk ‘hot-spot’, seperti konflik dan kesenjangan kewenangan serta sosial-ekonomi-budaya, dan kelembagaan. pemanfaatan yang juga dipresentasikan untuk dapat ditelaah oleh semua pihak. Atlas Proses selanjutnya adalah pengumpulan data, baik data primer melalui survei-survei ini juga menampilkan beberapa prioritas untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir lapangan, maupun data sekunder melalui dinas-dinas terkait dan acuan pustaka lainnya. secara terpadu. Kondisi-kondisi seperti eksploitasi sumberdaya, perpindahan Studi ini melibatkan beberapa tenaga ahli yang berasal dari dalam dan luar negeri, dibantu penduduk, dan perubahan gaya hidup masyarakat, semuanya berdampak terhadap oleh pemerintah daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, Lembaga Swadaya Masyarakat, lingkungan wilayah pesisir. Perguruan Tinggi, industri/swata, media massa, dan masyarakat. Kemudian diadakan Atlas ini merupakan hasil kerjasama antara Pemerintah Daerah Propinsi Lampung ekstraksi hasil studi (survei lapangan dan studi literatur) sebagai bahan Atlas, selanjutnya dan Proyek Pesisir Lampung. Proyek Pesisir Lampung merupakan salah satu dari tiga dibuat peta-peta tematik dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Penyebarluasan program lapangan Proyek Pesisir (Coastal Resources Management Project - CRMP) yang draft awal ke dinas dan instansi terkait merupakan tahap berikutnya. Tahap ini bertujuan mempunyai misi desentralisasi dan penguatan dalam pengelolaan wilayah pesisir di Inuntuk verifikasi, konfirmasi, perbaikan, dan sosialisasi Atlas. Jika ada kekurangan dan donesia. Program lapangan di Lampung (Proyek Pesisir Lampung) dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerjasama (MoU) antara Pusat Sumberdaya Wilayah Pesisir - Universitas Rhode Island (Coastal Resources Center - University of Rhode Island) USA dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB). Inti kegiatan dari Proyek Pesisir Lampung adalah mengajak semua pihak bersama-sama memelihara kawasan pesisir untuk kehidupan yang lebih baik. Di tahun pertama Proyek Pesisir Lampung mempunyai tiga kegiatan utama yaitu sosialisasi proyek dan pentingnya pengelolaan pesisir terpadu, pembuatan Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung, dan penguatan kelembagaan. Hal ini merupakan awal dari permulaan penyadaran masyarakat terhadap lingkungan, khususnya wilayah pesisir dan lautan. Tujuan dari pembuatan Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung ini adalah untuk menyediakan informasi yang obyektif dan akurat serta dapat diakui oleh berbagai pihak yang Pemukiman nelayan di atas air, Mahabang Tulang Bawang. terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir. Selain itu diharapkan,
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
K ATA PENGANTAR
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
iii 104
kesalahan, maka diadakan diskusi dan perbaikan. Verifikasi dilakukan ke instansi dan dinas terkait di Propinsi dan Kabupaten/Kota. Desain dan draft lay-out Atlas dibahas dalam pertemuan NAC (National Advisory Committee - Komisi Penasehat Nasional) dan PSC (Provincial Steering Committee - Komisi Pengarah Propinsi). Tahap akhir adalah pencetakan, perbanyakan dan penyebarluasan Atlas. Atlas ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pembuatan Rencana Strategis (Renstra) Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Propinsi Lampung, serta revisi tata ruang yang saat ini sedang dilaksanakan. Atlas juga ditujukan untuk kalangan akademisi setingkat Sekolah Menengah Tingkat Atas dalam menambah wawasan generasi muda tentang lingkungan, khususnya lingkungan wilayah pesisir Lampung. Atlas ini diawali dengan memaparkan kondisi strategis Propinsi Lampung di antara propinsi-propinsi lain di Indonesia. Lampung merupakan daerah limpahan (spill over) dari pertumbuhan ekonomi kawasan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi). Pertumbuhan ini selain memberikan dampak positif, juga menimbulkan masalah-masalah lingkungan (Bab-1). Bab-2 sampai Bab-6 berisi tentang ringkasan dan peta tematik tentang kondisi dan permasalahan yang berkaitan dengan masalah bio-fisik. Hal ini mencakup bidang geomorfologi, oseanografi dan meteorologi, ekosistem dan habitat, sistem daerah aliran sungai (DAS), dan wilayah konservasi. Bab-7 dan Bab-8 mengulas tentang pembagian wilayah administrasi daerah Kabupaten/Kota Lampung, khususnya wilayah pesisir serta keadaan penduduk, etnik, dan kondisi sosial budayanya. Berbagai macam kegiatan manusia dalam menggunakan kekayaan alamnya dipaparkan dalam Bab-9 sampai Bab-12. Dalam keempat bab ini dimuat kondisi dan permasalahan dalam bidang kesesuaian lahan pertanian, perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pariwisata. Khusus Bab-13, diuraikan isu-isu utama yang terdapat di Ibukota Propinsi Lampung, yaitu Bandar Lampung. Sedangkan bab selanjutnya (Bab14 sampai Bab-16) diuraikan isu-isu yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dalam empat wilayah, yaitu Pesisir Barat, Teluk Semangka, Teluk Lampung, dan Pantai Timur. Semua teks dalam Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung ini merupakan ringkasan dari laporan teknis, sebagai hasil studi mengenai berbagai aspek pengelolaan wilayah pesisir. Sehingga, para pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang tiap-tiap bidang yang terdapat di dalam Atlas dapat mengacu pada laporan teknisnya di Proyek Pesisir Lampung . Namun tentunya masih ada kekurangan-kekurangan dalam Atlas ini. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga Atlas ini dapat mencapai tujuan sebagaimana diharapkan dan bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Panen kerang di Muara Gading Mas, Lampung Timur.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
105 iv
○ ○ ○ ○
M
emperoleh data baru yang obyektif dan akurat merupakan tantangan terbesar dalam pembuatan Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung ini. Dengan partisipasi masyarakat di Propinsi Lampung, bersama tenaga ahli, kami mengadakan hubungan dengan sejumlah besar pejabat yang bekerja di pemerintahan Propinsi Lampung. Selain kerjasama dengan BAPPEDA, Dinas Perikanan, dan Bapedalda, kami juga bekerjasama dengan instansi/dinas terkait lainnya dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, Lembaga Swadaya Masyarakat, sektor swasta, serta masyarakat pengguna wilayah pesisir. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan data literatur dan data-data lain yang tidak diterbitkan. Kami mengucapkan terima kasih kepada Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, Gubernur Lampung, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Propinsi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota, dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Lampung atas kerjasama dan dukungannya yang diberikan selama persiapan pelaksanaan dan penyusunan Atlas ini. UCAPAN TERIMA KASIH TERUTAMA KAMI SAMPAIKAN KEPADA :
M. Butar Butar, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Irwandi Idris, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Sapta Putra Ginting, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Stephen Olsen, Director, Coastal Resources Center (CRC-URI) Lynne Z. Hale, Associate Director, Coastal Resources Center (CRC-URI) Brian Needham, CRMP Desk Officer, Coastal Resources Center (CRC-URI) Lesley Squillante, Associate Director, Coastal Resources Center (CRC-URI) Ian M. Dutton, Chief of Party, Proyek Pesisir Titayanto Peter, USAID Jakarta Rokhmin Dahuri, Direktur Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - IPB Dietriech G. Bengen, Kordinator Proyek Pesisir, PKSPL - IPB Brian Crawford, Technical Advisor, Proyek Pesisir Sulawesi Utara Ramli Malik, Ary Setiabudi, dan staf Proyek Pesisir Kalimantan Timur Johnnes Tulungen dan staf Proyek Pesisir Sulawesi Utara R.J. Moermanto, Database Specialist, PKSPL - IPB Kun Hidayat, Publications Manager Proyek Pesisir Production House Proyek Pesisir : Pepen S. Abdullah (Ass.Publication), Pasus Legowo (Graphic Designer Specialist), Nurwati Khodijah Tim GIS PKSPL-IPB : Yus Rustandi, Celly Catharina, Asep Sukmara dan Galih Learning Team PKSPL-IPB : Fedi A. Sondita, Neviaty P. Zamani, Amiruddin Tahir, Bambang Haryanto, Burhanuddin, Learning. Staf Proyek Pesisir Lampung : Revita M., Susana S., Yudi R., Susilawati (eks OM), Afif K., Efta W. dan Sukatman
Proyek Pesisir Jakarta : Esthy S. Jonathan, Jacob R., Farah S., Tammy C., Pahala N., Dewi S., Vista Y., Noni S. (eks OM), Prawoto dan Sukino Tantyo Bangun, CRMP Photographer PEMDA PROPINSI LAMPUNG Harris Hasyim, Ketua BAPPEDA Propinsi Lampung Prayitno, Kepala Bidang Fisik dan Prasarana BAPPEDA Propinsi Lampung Ediyanto, Staf Bidang Fisik dan Prasarana BAPPEDA Propinsi Lampung Tole Dailami, Staf Bidang Fisik dan Prasarana BAPPEDA Propinsi Lampung Puji Riyanto, Staf Bidang Sekretariat BAPPEDA Propinsi Lampung Fahrizal, Staf Bidang Fisik dan Prasarana BAPPEDA Propinsi Lampung Rahmat Abdullah, Ketua BAPEDALDA Lampung Tonny O.L. Tobing, Staf BAPEDALDA Lampung Rukis Pribadi, Staf BAPEDALDA Lampung Azwar Harun, staf BAPEDALDA Lampung Maharani, staf BAPEDALDA Lampung Suparmo, staf BAPEDALDA Lampung Helmi Mahmud, Kepala Dinas Perikanan Propinsi Lampung Sudjiharno, Kepala Balai Budidaya Laut Lampung dan staf Rotlan Sinaga, Dinas Perikanan Propinsi Lampung Elvizar, Staf Dinas Perikanan Propinsi Lampung Nanang Kosasih, Staf PPNS Dinas Perikanan Propinsi Lampung Jazuli Bahtiar, Staf Dinas Perikanan Propinsi Lampung
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
U CAPAN TERIMA KASIH
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
v 106
Zulkifli Ishak, Staf Dinas Perikanan Propinsi Lampung Sudiono, Kepala Kantor Wilayah Pariwisata, Seni dan Budaya Lampung Yanto Riyanto, Staf Kantor Wilayah Pariwisata, Seni dan Budaya Lampung Tarmizi Ali, Kepala Dinas Pariwisata Propinsi Lampung Edwin Bangsaratoe, Staf Dinas Pariwisata Propinsi Lampung Syamsudin Rahmat, Kepala Kantor Wilayah Kehutanan Lampung Edy Suryadi, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Lampung Yusuf Yakub, Kepala Kantor Wilayah Pertanian Lampung Subagyono Darmowiyono, Kepala Dinas Pertanian Propinsi Lampung H. Thalib Muhammad Mberu, Kepala Kantor Wilayah Pendidikan Lampung H. Danaluddin Mochtar, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Lampung Agus S. Subowo, Staf PU Pengairan Lampung Sumarno, Staf PU Pengairan Lampung Yuswantoro, Kepala BKKBN Propinsi Lampung Tugiman, Kepala Kantor Wilayah BPN Lampung Toni, Staf Kantor Wilayah BPN Lampung Toto Sugito, Kepala Badan Pusat Statistik Lampung Knedi, Staf Badan Pusat Statistik Lampung Harjanto Wahyu Sukotjo, Kepala BKSDA II Tanjung Karang Dody Indriadi, Kantor Wilayah Perindustrian dan Perdagangan Lampung Muhajir Utomo, Rektor Universitas Lampung Sutopo Gani N., Universitas Lampung Sugeng P. Haryanto, Universitas Lampung Erwanto, Universitas Lampung
Zulkifli B., Kepala Dinas PU Kabupaten/Kota Lampung Barat Ahmad Syahputra, Bupati Tanggamus A. Basri, Ketua BAPPEDA Kabupaten/Kota Tanggamus Gatot Susilo, Sekretaris BAPPEDA Kabupaten/Kota Tanggamus Sudiro, Kepala Bidang Fispra BAPPEDA Kabupaten/Kota Tanggamus Herri Azhary, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Tanggamus Supardi Alam, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota Tanggamus Muslani, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Tanggamus Anwar Effendi, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota Tanggamus Basuki R. Widodo, Kepala BPN Kabupaten/Kota Tanggamus Surono Suroso, Kepala BKKBN Kabupaten/Kota Tanggamus A. Syamsuri, Kepala Dinas PU Kabupaten/Kota Tanggamus Amreyza Anwar, Bupati Lampung Selatan M. Ronny, Kepala Bagian Lingkungan Hidup Lampung Selatan M. Abadi, Ketua BAPPEDA Kabupaten/Kota Lampung Selatan Hilman, Sekretaris BAPPEDA Kabupaten/Kota Lampung Selatan Jamal Nasher, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Lampung Selatan Ali Ibrahim, Staf Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Lampung Selatan Darusman, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota Lampung Selatan Maman Kurmana, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Lampung Selatan Basri Madjid, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota Lampung Selatan Nursiwan Ramli, Kepala BPN Kabupaten/Kota Lampung Selatan Rasyid, Kepala BKKBN Kabupaten/Kota Lampung Selatan Sunardi, Kepala Dinas PU Kabupaten/Kota Lampung Selatan Suharto, Walikota Bandar Lampung Opang Suparno, Ketua BAPPEDA Kabupaten/Kota Bandar Lampung Tjandra Tjaya, Ketua Bidang Fispra BAPPEDA Kabupaten/Kota Bandar Lampung Madani, Staf BAPPEDA Kabupaten/Kota Bandar Lampung Marta Lena Sani, Staf BAPPEDA Kabupaten/Kota Bandar Lampung Agus Sutrio, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Bandar Lampung Fanani Idris, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota Bandar Lampung Syahrir Muchtar, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota Bandar Lampung S. Suprihono, Kepala BPN Kabupaten/Kota Bandar Lampung Pulung Musa, Kepala Dinas Kebersihan Kabupaten/Kota Bandar Lampung Ali Latif, Kepala BPS Kabupaten/Kota Bandar Lampung Yusuf Umar, Kepala BKKBN Kabupaten/Kota Bandar Lampung Irfan Nuranda Djafar, Kepala Dinas PU Kabupaten/Kota Bandar Lampung
PEMDA KABUPATEN/KODYA I Wayan Dirpha, Bupati Lampung Barat Herman, Ketua BAPPEDA Kabupaten/Kota Lampung Barat Lisbar Jubairi, eks ketua BAPPEDA Kabupaten/Kota Lampung Barat Fauzi Japri, eks Kepala Bidang Fispra BAPPEDA Kabupaten/Kota Lampung Barat Zulkifli Ishak, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Lampung Barat Rusli Arsyad, Staf Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Lampung Barat Imanuddin Aziz, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota Lampung Barat Guntur, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Lampung Barat Alwi Siregar, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota Lampung Barat Lisdarto, Kepala BPN Kabupaten/Kota Lampung Barat Rusman Arsyad, Kepala BKKBN Kabupaten/Kota Lampung Barat
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
vi 107
Herman Sanusi, Bupati eks Lampung Tengah Herman Akib, Ketua BAPPEDA Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Pramono, Sekretaris BAPPEDA Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Halomoan Sinaga, Kepala Bidang Fispra BAPPEDA Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Badrudin, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Dadan, Staf Dinas Perikanan Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Syamsir Akil, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Isyanto, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Sutomo, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Syaiful Ahri, Kepala BPN Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Zuhairi Abdulah, Kepala BKKBN Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah Sujaswadi, Kepala Dinas PU Kabupaten/Kota eks Lampung Tengah H.M. Nurdin, Bupati Lampung Timur Masdulhaq, Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten/Kota Lampung Timur Ahmad Basri, Ketua BAPPEDA Kabupaten/Kota Lampung Timur Heru Pramono, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Lampung Timur Sahid Alkarim, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Lampung Timur Harjanto Wahyu Sukotjo, Kepala Taman Nasional Way Kambas Santori Hasan, Bupati Tulang Bawang Firdaus Agustian, Ketua BAPPEDA Kabupaten/Kota Tulang Bawang Augustinus Sinaga, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Tulang Bawang Saiful HK, Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Tulang Bawang Kanedi, Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Tulang Bawang Lotar J. Sirait, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Tulang Bawang Hanan AR., Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota Tulang Bawang Rudi Suma’mur, Kepala BPN Kabupaten/Kota Tulang Bawang Arif Makmur, Kepala BKKBN Kabupaten/Kota Tulang Bawang Indra Cahya Marga, Kepala Dinas PU Kabupaten/Kota Tulang Bawang
Harijanto dan staf GAPPINDO Lampung Hertri Wasisto, PT. Charoen Phokphan Marizal Ahmad, Ketua APPU Lampung Sinek Kurniawan, Corona Diving Club dan staf Octopus Dive Center Yanto Riyanto dan staf, pengurus daerah POSSI Lampung Gunawan Sukmadi dan staf PT. Biru Laut Khatulistiwa Christopher Lim, Direktur PT. Dipasena Citra Darmaja Harijanto dan staf Pimpinan PT. Dipasena Citra Darmaja Leo Cababasay, PT. Dipasena Citra Darmaja Taufik Slamet dan Pimpinan PT. Central Pertiwi Bahari Djoko M. Basuki, PT. Centra Pertiwi Bahari Thomas Ananto, Kalianda Resort Barnabas, Andatu Lestari Plywood Harlin Supriyadi, Servitia Cemerlang M. Syafry Sihotang, Pelabuhan Indonesia II Panjang Warnadi, Ketua Koperasi Unit Desa Mina Jaya Lempasing - Bandar Lampung KONSULTAN DAN TIM SURVEI Bill Marsden (Perikanan Budidaya) Max Zieren (Habitat) Wahyudi dan Gingin (Geomorfologi) Ali Kabul Mahi (Pertanian) Ida Farida Rifai (Pencemaran) R. Kaswadji, Neviaty P.Z., Cahyono S., Unggul A., Ario Damar, R. Widodo (Mangrove dan Terumbu Karang) John Pariwono dan R. Kaswadji (Oseanografi) Yunita T. Winarto, Elshinta Suyoso, Glenn Thomas, Heru, Nita Wahju, Tony Hartanto (Sosial Budaya) Gondo Puspito, Sugeng H.S, M. Imron, Wazir Mawardi (Perikanan Tangkap) Wahyu Sasongko dan Mark Black (Pariwisata)
LSM DAN PIHAK SWASTA Abdi Wasik Ali dan staf LSM WATALA Iqbal Pandji Putra, Herza, Yulianti dan staf LSM Mitra Bentala Heri Hermiyantono dan staf LSM Yasadana Neny Hendriyani dan staf LSM Wanacala Guswarman dan staf Forda WALHI Lampung Verry Iwan Stiawan dan staf LSM Alas Indonesia
VOLUNTEER Setia Lesmana, Fahmi, Cici, Menrizal, Suparman, Yopi, Fis, Danang, Nugroho, Anton, Tony, Anne Novita, Hari, Suyadi, Karlan, Upi, Lisa, Titin, Irma, Arief, Uci, Fitriyadi, Mukri, Saud, Puji, Masrori, Hazairin, Andoyo, Faizal, Wandoyo, Yati, Azwarudin, Almuhery, Nurka, Imron, A.J. Saputra, Syaifudin, Asrah, Joko S.S. Hartono, Noto Winoto, Andoyo dan para PPL (Penyuluh Perikanan Lapangan). atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
108 vii
○ ○ ○ ○
ADB AMDAL ASEAN
: Asian Development Bank - Bank Pembangunan Asia : Analisa Mengenai Dampak Lingkungan : Association of Southeast Asian Nations - Perhimpunan NegaraNegara Asia Tenggara ASWPL : Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung AWB : Asian Wetlands Bureau BAKOSURTANAL : Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional BANGDA : Badan Pembangunan Daerah BAPEDAL : Badan Pengendalian Dampak Lingkungan BAPEDALDA : Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BKSDA : Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKKBN : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKPM : Badan Koordinasi Penanaman Modal BLK : Biru Laut Khatulistiwa BOD : Biological Oxygen Demand - Kebutuhan Oksigen Secara Biologis BPN : Badan Pertanahan Nasional BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPS : Badan Pusat Statistik BRLKT : Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah c.a. : catchment area - Daerah Resepan Air CBM : Community Based Management - Pengelolaan Berbasis Masyarakat CCMRS : Centre for Coastal and Marine Resources Studies of the Bogor Agriculture University CITES : Convention of International Trade in Endangered Species COD : Chemical Oxygen Demand - Kebutuhan Oksigen secara Kimia Co-Management : Cooperative/collaborative Management CPB : Central Pertiwi Bahari CPUE : Catch Per Unit Effort - Hasil Tangkapan Per Unit Upaya CRC/URI : Coastal Resources Center of the University of Rhode Island CRMP : Coastal Resources Management Project (RP2 of NRM II), dikenal di Indonesia sebagai “Proyek Pesisir” DAS : Daerah Aliran Sungai
DCD Depdagri Diparda Dishidros Ditjen PHPA Dinas PU DO FPI GBHN GDP GIS GL HNSI HPH ICM ICZM
: : : : : : : : : : : : : : : :
IDT INP IPB IUCN
: : : :
Jabotabek Kaltim Kanwil KK KTI Lanal Landsat LIPI LIT LSM MoU MSY NAC
: : : : : : : : : : : : :
Dipasena Citra Darmaja Departemen Dalam Negeri Dinas Pariwisata Daerah Dinas Hidro-oseanografi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Dinas Pekerjaan Umum Dissolve Oxygen - Oksigen Terlarut Fishing Power Index - Indeks Kemampuan Daya Tangkap Garis-Garis Besar Haluan Negara Gross Domestic Bruto Geographic Information System Geologi Lingkungan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Hak Pengusahaan Hutan Integrated Coastal Management Integrated Coastal Zone Management - Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Inpres Desa Tertinggal Indeks Nilai Penting Institut Pertanian Bogor International Union for Conversation of Nature Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi Kalimantan Timur Kantor Wilayah Kepala Keluarga Kawasan Timur Indonesia Pangkalan Angkatan Laut Land Satellite Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Line Intercept Transect Lembaga Swadaya Masyarakat Memorandum of Understanding Maximum Sustainable Yield - Produksi Maksimum Lestari National Advisory Committee of the CRMP
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
D AFTAR SINGKATAN
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
viii 109
Pasut Pelindo Pemda Perda P3O-LIPI
: : : : :
PJP PKSPL-IPB
: :
PLG PMA PMD PMDN POSSI PPI Prokasih Prolasih PSC PSPB RDB Renstra RSTRP RTN RTRW SMK SMS SMU SOKLI SPM SPOT SulUt SWS THR TIR TNBBS TNI AL TNWK
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Pasang Surut Pelabuhan Indonesia Pemerintah Daerah Peraturan Daerah Pusat Pengembangan dan Penelitian Oseanologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pembangunan Jangka Panjang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor Pusat Latihan Gajah Penanaman Modal Asing Pengembangan Masyarakat Desa Penanaman Modal Dalam Negeri Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia Pangkalan Pendaratan Ikan Program Kali Bersih Program Laut Bersih Provincial Steering Committee Proyek Pengelolaan Sumber Air dan Pengendalian Banjir Red Data Book Rencana Strategis Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Rumah Tangga Nelayan Rencana Tata Ruang Wilayah Sekolah Menengah Kejuruan Suaka Marga Satwa Sekolah Menengah Umum Satuan Operasi Kebersihan Lingkungan Single Point Mooring Satellite Prohatoire d’Observation de la Terre Sulawesi Utara Satuan Wilayah Sungai Taman Hiburan Rakyat Tambak Inti Rakyat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Taman Nasional Way Kambas
TPA TPI TSS UNCLOS UNILA USAID UU UUD WALHI Wisman Wisnus WWF ZEE
: : : : : : : : : : : : :
Tempat Pembuangan Akhir Tempat Pelelangan Ikan Total Suspended Solid United Nation Conference on the Law of the Sea Universitas Lampung U.S. Agency for International Development Undang-undang Undang-Undang Dasar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Wisatawan Mancanegara Wisatawan Nusantara World Wildlife Fund for Nature Zona Ekonomi Eksklusif
Obyek wisata Pantai Marina, Kalianda Lampung Selatan.
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
ix 110
○ ○ ○ ○
SAMBUTAN GUBERNUR LAMPUNG .................................................................
i
FOREWORD FROM COASTAL RESOURCES CENTER - URI .....................
ii
KATA PENGANTAR .................................................................................................
iii
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................................
v
3.4 3.5 3.6 3.7 3.8
Gelombang ............................................................................................................... Suhu dan Salinitas ................................................................................................. Abrasi dan Sedimentasi ....................................................................................... Kualitas Perairan Teluk Lampung ...................................................................... Isu - isu Oseanografi ............................................................................................
10 10 10 11 12
4. 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Ekosistem Pesisir Lampung Habitat Utama ...................................................................................................... Penggunaan dan Ancaman ................................................................................. Flora dan Fauna ................................................................................................... Fungsi dan Manfaat Habitat Pesisir ................................................................... Isu - isu Pengelolaan ............................................................................................
14 14 14 20 21
5. 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
Daerah Aliran Sungai dan Sumber Pencemaran Jenis-jenis sungai di Lampung ............................................................................ Perikanan Sungai dan Rawa ................................................................................ Degradasi Daerah Tangkapan ............................................................................ Hidrologi Perairan Pantai .................................................................................... Pencemaran Sungai dan Pesisir .......................................................................... Isu - isu Pencemaran Pesisir ...............................................................................
22 24 24 24 24 29
6. 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5
Kawasan Konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ............................................................. Cagar Alam Laut TNBBS ................................................................................... Cagar Alam Laut Kepulauan Krakatau ............................................................ Taman Nasional Way Kambas ........................................................................... Suaka Marga Satwa dan Cagar Alam Tulang Bawang .....................................
30 31 31 31 33
7. 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5
Kota dan Kabupaten di Pesisir Lampung Kabupaten Lampung Barat ................................................................................ Kabupaten Tanggamus ....................................................................................... Kabupaten Lampung Selatan ............................................................................ Kotamadya Bandar Lampung ............................................................................ Kabupaten Lampung Timur ..............................................................................
36 36 36 38 38
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................
xiii
BAGAN ALUR PROSES PEMBUATAN ATLAS .................................................
xiv
1. Pendahuluan 1.1 Pesisir Indonesia ................................................................................................... 1.2 Pesisir Lampung ...................................................................................................
1 3
2. 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Geomorfologi Lingkungan Pesisir Lampung Geomorfologi ....................................................................................................... Litologi .................................................................................................................. Sumberdaya Geologi ........................................................................................... Proses Geologi ..................................................................................................... Satuan Geologi Lingkungan ............................................................................... Isu-isu ....................................................................................................................
5 5 5 5 5 6
3. 3.1 3.2 3.3
Kondisi Oseanografi Perairan Pesisir Lampung Batimetri ................................................................................................................ Pasang Surut ............................................................................................................. Cuaca dan Arus Musim ........................................................................................
9 9 9
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
D AFTAR ISI
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
x 111
7.6 Kabupaten Tulang Bawang .................................................................................... 7.7 Isu - isu dalam Administrasi ...............................................................................
38 38
8. Demografi Desa dan Kondisi Sosial -Budaya 8.1 Penduduk ............................................................................................................. 8.2 Etnik ............................................................................................ ........................ 8.3 Pemanfaatan Lahan yang ‘Terbuka Perolehannya’ ......................................... 8.4 Persepsi Masyarakat Terhadap ICZM ..............................................................
40 42 44 49
9. 9.1 9.2 9.3 9.4
Kesesuaian dan Arahan Pengembangan Lahan Pertanian Satuan Lahan ........................................................................................................ Penggunaan Lahan .............................................................................................. Kesesuaian Lahan ................................................................................................ Pengembangan Lahan Pertanian .......................................................................
50 52 52 56
10. 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 10.6 10.7
Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Lampung Pemeliharaan Mutiara di Teluk Lampung ........................................................ Pemeliharaan Udang ........................................................................................... Tambak Inti Rakyat di Tulang Bawang ............................................................ Pertambakan Rakyat di Pantai Timur ............................................................... Pembenihan Udang di Kalianda ....................................................................... Konsekuensi Peningkatan Usaha Tambak Udang .......................................... Permasalahan Usaha Perikanan Budidaya ........................................................
57 57 57 57 58 58 58
11. 11.1 11.2 11.3 11.4 11.5
Perikanan Tangkap Pentingnya Perikanan Tangkap ......................................................................... Sumberdaya Ikan dan Lokasinya ...................................................................... Sentra Perikanan dan Sarananya ....................................................................... Teknologi yang digunakan ................................................................................. Masalah Perikanan Tangkap ..............................................................................
62 62 64 64 66
12. 12.1 12.2 12.3
Pariwisata Bahari di Pesisir Teluk Lampung Pariwisata di Lampung ........................................................................................ Pariwisata Bahari di Teluk Lampung ................................................................ Isu - isu Pariwisata Bahari di Teluk Lampung ..................................................
68 68 71
13. 13.1 13.2 13.3
Isu Bandar Lampung Kebersihan ............................................................................................................ Reklamasi ............................................................................................................... Banjir ......................................................................................................................
72 72 75
14. 14.1 14.2 14.3 14.4
Isu - isu Wilayah Pesisir Lampung Kelembagaan, Administrasi dan Tata Ruang ................................................... Abrasi, Sedimentasi, dan Geologi ...................................................................... Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir ....................................................................... Sanitasi Lingkungan, Sarana Pendidikan, dan Pariwisata ...............................
76 76 76 78
15. 15.1 15.2 15.3 15.4 15.5 15.6 15.7 15.8 15.9
Pesisir Lampung dalam Memasuki Millenium III Wilayah Pesisir Indonesia di antara Pesisir Dunia ............................................ Wilayah Pesisir Lampung antara Harapan dan Permasalahannya ................. Perairan Teluk Lampung ..................................................................................... Terumbu Karang ................................................................................................. Pantai Timur ......................................................................................................... Prioritas dari Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ........................................ Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Mayarakat ............................................. Model Pengelolaan Wilayah Pesisir .................................................................... Mengelola Sumberdaya Pesisir dan Lautan Berarti Menjamin Masa Depan Kita ...........................................................................................................
81 82 82 82 83 83 83 84 84
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
86
DAFTAR ISTILAH .....................................................................................................
89
INDEKS ........................................................................................................................
96
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
xi 112
○ ○ ○ ○
1. Satuan Geologi Lingkungan Pesisir Lampung .......................................................
8
11. Fisiografi Wilayah Pesisir Lampung ........................................................................
50
2. Nilai Konsentrasi Parameter Kualitas Air di Perairan Teluk Lampung ............. 12
12. Penggunaan Lahan di Pesisir Lampung Saat ini ...................................................
52
3. Ukuran Daerah Tangkapan dan Debit Air Beberapa Sungai Utama di Lampung .................................................................................................................
13. Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Lampung ........................................................ . 14. Arahan Pengembangan Lahan Pertanian di Pesisir Lampung ...........................
54
26
4. Kisaran Level BOD, COD, dan pH dari Limbah Industri Tahun 1995 - 1998 .................................................................................................................. 28 5. Jenis dan Pemakaian (%) Obat-obat Pertanian ....................................................
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
60
16. Analisis Potensi Sumberdaya Ikan di Perairan Timur Lampung dengan Pendekatan Metode Schaefer .................................................................................
64
17. Jumlah Wisatawan ke Lampung ............................................................................
68
7. Nama, Lokasi, dan Luas Pulau-pulau Kecil di Wilayah Perairan Propinsi Lampung ...................................................................................................................... 39
18. Obyek Wisata Bahari, Fasilitas, dan Tarif di Teluk Lampung ..........................
70
19. Pertumbuhan Volume Sampah di Kodya Bandar Lampung .............................
72
20. Volume Sampah di Kotamadya Dati II Bandar Lampung tahun 1996 ...........
74
21. Daerah Aliran Sungai di Kotamadya Bandar Lampung .....................................
74
22. Penyebab Banjir di Kodya Bandar Lampung ......................................................
75
8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Pesisir Lampung di Enam Daerah Kabupaten/Kota ......................................................................................... 40 9. Perbandingan Perubahan Kondisi Ekosistim Pesisir ..........................................
44
10. Kategori Property Rights di Lahan Pesisir Timur Lampung Saat Bukaan Tahun 1970-an .............................................................................................
46
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
15. Peristiwa-peristiwa Penting dalam Perkembangan Budidaya Air Payau dan Air Laut di Pesisir Lampung .........................................................
34
○
6. Daftar Satwa Langka yang terdapat di Kawasan Konservasi Propinsi Lampung dan Statusnya ...........................................................................................
56
29
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
D AFTAR TABEL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
xii 113
○ ○ ○ ○
Gambar-1 : Propinsi-propinsi di Republik Indonesia .............................................
2
Gambar-17 : Peta Tingkat Kepadatan Penduduk Desa Pesisir Lampung ............
Gambar-2 : Relief Lampung .......................................................................................
4
Gambar-18 : Peta Prosentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Desa Pesisir Lampung ............................................................... . Gambar-19 : Peta Penyebaran Suku Desa Pesisir Propinsi Lampung......................
43
Gambar-3 : Peta Geologi Lingkungan Pesisir Lampung .........................................
7
45 47
Gambar-4 : Salinitas Permukaan Rata-rata Bulanan (psu) Barat Daya Sumatera dan Laut Jawa (Wyrtki, 1961) ...............................................................
10
Gambar-20 : Peta Satuan Lahan Pesisir Lampung ..................................................
51
Gambar-5 : Citra SPOT 28 April 1996 Daerah Teluk Lampung .............................
11
Gambar-21 : Peta Penggunaan Lahan Pesisir Lampung .........................................
53
Gambar-6 : Citra SPOT 2 Juni 1996 Daerah Teluk Lampung ..............................
11
Gambar-22 : Peta Arahan Penggunaan Lahan Pertanian Pesisir Lampung .........
55
Gambar-7 : Peta Arus Pasang Surut dan Kualitas Perairan di Teluk Lampung ....
13
Gambar-23 : Peta Tingkat Produksi Tambak Udang di Pesisir Lampung ............
59
Gambar-24 : Peta Ketersediaan Sumberdaya Budidaya ..........................................
61
Gambar-25 : Peta Sebaran Alat Tangkap di Pesisir Lampung ................................
63
Gambar-26 : Peta Produksi Perikanan Tangkap Propinsi Lampung ....................
65
Gambar-27 : Peta Obyek Wisata Bahari di Pesisir Teluk Lampung ......................
69
Gambar-28 : Peta Isu Utama Bandar Lampung Propinsi Lampung ......................
73
Gambar-29 : Peta Isu Utama Teluk Lampung Propinsi Lampung ........................
77
Gambar-30 : Peta Isu Utama Pantai Timur Propinsi Lampung .............................
79
Gambar-31 : Peta Isu Utama Teluk Semangka dan Pantai Barat Propinsi Lampung ...................................................................................
80
Gambar-8 : Peta Sebaran Habitat dan Daerah-daerah Rawan Banjir, Kebakaran, dan Pengeboman di Pesisir Lampung .................................................
15
Gambar-9 : Peta Sebaran Mangrove Pesisir Lampung ...............................................
17
Gambar-10 : Peta Kondisi Terumbu Karang di Teluk Lampung ...........................
19
Gambar-11 : DAS-DAS Utama di Propinsi Lampung ...............................................
23
Gambar-12 : Peta Sumberdaya Air dan Sungai di Propinsi Lampung ...................
25
Gambar-13 : Peta Penyebaran Kelompok Industri di Propinsi Lampung ...........
27
Gambar-14 : Peta Kawasan Konservasi dan Sebaran Satwa Liar ...........................
35
Gambar -15: Peta Administrasi Kabupaten dan Kecamatan Pesisir Propinsi Lampung ...................................................................................
37
Gambar-16 : Peta Administrasi Desa Pesisir Propinsi Lampung ............................
41
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
D AFTAR GAMBAR
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
xiii 114
atlas sumberdaya wilayah pesisir lampung
xiv 115