EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) SELAMA 21 HARI LAKTASI TERHADAP BOBOT BADAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
MUHAMMAD SOFYAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor,
Februari 2012
Muhammad Sofyan B04070014
ABSTRACT MUHAMMAD SOFYAN. The Effectiveness of Ethanol Extract of Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) During 21 Days of Lactation on The Body Weight of Pups. Supervised by HERA MAHESHWARI and PUDJI ACHMADI. Purwoceng is one of Indonesian’s plant that has been known and functions as herb medicine. The goal of this research was to study the effect of ethanol extract of purwoceng during 21 days of lactation on the body weight of pups. Six female lactating rats were devided into two groups; control group and treatment group. Purwoceng extract was given at dose of 25 mg/300 g BW orally for treatment group whereas no treatment given for control group. The body weight of 47 pups were measured until 21 days of lactation. The result obtained was statistically analysed by analysis of variance (ANOVA). The result showed that treatment group had higher body weight than control group and male pups of the treatment group had higher body weight than female pups of the treatment group. Keywords: purwoceng, body weight, lactation
RINGKASAN MUHAMMAD SOFYAN. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI and PUDJI ACHMADI. Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang akarnya dilaporkan berkhasiat obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan stamina tubuh). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng sudah langka karena mengalami penurunan populasi secara besar-besaran, bahkan populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan areal pegunungan di Jawa Timur dilaporkan sudah musnah. Tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng, bukan di habitat aslinya melainkan di areal budidaya yang sangat sempit di Desa Sekunang (Rahardjo et al. 2005). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek pemberian ekstrak etanol purwoceng pada tikus laktasi terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir dari hari pertama sampai hari ke-21 masa laktasi. Pemberian ekstrak etanol purwoceng pada induk laktasi diharapkan dapat menyebabkan sel-sel kelenjar ambing lebih aktif berproliferasi dan berpengaruh terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir sampai dengan lepas sapih. Penelitian berlangsung mulai pada bulan April 2011 sampai dengan Agustus 2011. Enam tikus betina menyusui dibagi menjadi dua kelompok; kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pencekokkan ekstrak etanol purwoceng pada tikus betina laktasi dilakukan pada hari 1-21 masa laktasi. Penentuan dosis
ekstrak
purwoceng
pada
tikus
berdasarkan
penelitian
terdahulu
(Taufiqurrachman 1999) yaitu sebesar 25 mg/cc untuk bobot badan tikus sebesar 300 g atau sebesar 83.33 mg/kg BB. Dalam penelitian ini digunakan 0.5 cc untuk 300 g tikus (larutan stok mengandung 50 mg/cc). Masing-masing kelompok ditimbang
bobot badan anaknya selama 21 hari masa laktasi untuk dilihat perubahan pertambahan bobot badan untuk kemudian dibandingkan antar kelompok. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) (Steel dan Torrie 1989). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan tidak berbeda dari bobot badan dari kelompok kontrol dan anak tikus jantan dari kelompok perlakuan memiliki bobot badan yang tidak berbeda dari anak tikus betina dari kelompok perlakuan.
Kata kunci: purwoceng, bobot badan, laktasi
©Hak Cipta milik IPB,tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) SELAMA 21 HARI LAKTASI TERHADAP BOBOT BADAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
MUHAMMAD SOFYAN
Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Nama
: Muhammad Sofyan
NIM
: B04070014
Disetujui,
Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc Pembimbing I
Drs. Pudji Achmadi, M.Si Pembimbing II
Diketahui,
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai bulan April 2011 dengan mengambil judul “Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)”. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada:
1. Ibu Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc, selaku dosen pembimbing I dan Bapak Drs. Pudji Achmadi, M.Si, sebagai dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan petunjuk dan nasehat hingga tersusunnya karya ilmiah ini, 2. Ayahanda Muhammad Ali dan Ibunda Wa Ode Melati Ido atas segala perhatian, kasih sayang, doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan limpahan doa, kasih sayang dan semangat, 3. Ibu Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc dan Bapak drh. Supratikno, M.Si, PAVet yang telah bersedia menjadi dosen penilai dan moderator pada seminar skripsi, 4. Ibu drh. Ni Wayan Kurniani Karja, MP, Ph.D dan Ibu Dr. drh. Sri Murtini, M.Si yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada ujian akhir sarjana dan atas saran-saran yang telah diberikan, 5. Ibu Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet, selaku dosen pembimbing akademik, 6. Pak Edi yang telah membantu di kandang hewan percobaan, 7. Teman sekelompok penelitian Julianto, SKH, Sandra Hapsari, SKH, Divo Jondriatno, Meta Levi Kurnia, SKH dan Wisnugroho Agung Pribadi, 8. Keluarga Gianuzzi 44 yang telah menjadi keluarga baru selama berada di Bogor,
9. Pimpinan beserta staf dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor atas bekal ilmu selama penulis mengikuti proses pendidikan, 10. Semua pihak yang membantu tersusunnya karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dikemudian hari untuk masyarakat luas.
Bogor, Februari 2012 Muhammad Sofyan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tanggal 4 Oktober 1988 dari ayah Muhammad Ali dan ibu Wa ode Melati Ido. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Kemaraya Barat Kendari dan lulus tahun 2001. Pendidikan penulis dilanjutkan ke SLTP Negeri 2 Kendari (2001-2004). Masa SMA penulis diselesaikan di SMA Negeri 4 Kendari dan lulus tahun 2007 dan melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Mayor yang dipilih penulis di IPB adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………….....
xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………
xv
PENDAHULUAN ……………………………………………………………. Latar Belakang …………………………………………………………… Tujuan …………………………………………………………….……… Hipotesa …………………………………………………………….……. Manfaat …………………………………………………………………..
1 1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………. Tanaman Purwoceng …………………………………………………….. Biologi Tikus Putih ………………………………………………………. Perkembangan Kelenjar Susu dan Pembentukan Susu …………………... Kelenjar Susu dan Laktasi ………………………………………….. Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Susu …………………… Proses Pembentukan Susu ………………………………………..…. Proses Pengeluaran Susu ………………………….………………… Hormon Steroid ………………………………………………………...... Fitoestrogen …………………………………………………………..…..
4 4 6 8 8 8 10 11 12 16
BAHAN DAN METODE PENELITIAN ……………………………………. Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………………… Alat dan Bahan ……………………………………………………….…. Persiapan Purwoceng ……………………………………………………. Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng ……………………………………. Persiapan Hewan Percobaan ……………………………………………... Perlakuan Hewan ………………………………………………………… Parameter Percobaan ……………………………………………………..
18 18 18 18 19 19 20 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………. Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan yang Diberi purwoceng ………………………………………………….. Pertambahan Bobot Badan Anak Betina yang Diberi Purwoceng ………………………………………………….. Pertambahan Bobot Badan Anak Betina dan Jantan yang Diberikan Purwoceng ……………………………………….
21
PENUTUP ……………………………………………………………………. Simpulan ………………………………………………………………….
27 27
21 24 25
Saran ……………………………………………………………………...
27
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
28
LAMPIRAN …………………………………………………………………..
32
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rataan pertambahan bobot badan anak tikus jantan dari induk yang dicekok purwoceng dan kontrol ……………………………………………………… 2. Komposisi kandungan zat kimia pada ekstrak etanol purwoceng …....………
21 22
3. Rataan pertambahan bobot badan anak tikus betina dari induk yang dicekok purwoceng dan kontrol ………………………………………………………
24
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pimpinella alpina KDS ……………………………………………………
4
2. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley …………………..
6
3. Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya …………………
13
4. Struktur kimia estrogen dan flavonoid ……………………………………
17
5. Rataan perkembangan bobot badan anak betina dan jantan perlakuan …………………………………………………………...
25
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Laporan hasil uji fitokimia akar purwoceng ………………………………… 33 2. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-1 ……...
34
3. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-2 ……...
34
4. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-3 ……...
34
5. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-1 ……...
35
6. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-2 ……...
35
7. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-3 ……...
35
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman obat merupakan tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan berbagai jenis penyakit. Penggunaan tanaman obat sebagai ramuan obat di Indonesia telah dikenal sejak dahulu. Saat ini penggunaan tanaman obat sebagai salah satu obat alternatif untuk menyembuhkan penyakit atau untuk menjaga kesehatan tubuh semakin meningkat. Hal ini disebabkan tanaman obat mudah didapat, harga relatif murah, cara pembiakan mudah dan hampir tidak ada efek samping yang ditimbulkan. Di Indonesia banyak ditemukan berbagai macam tanaman obat yang memiliki khasiat tersendiri. Masyarakat Indonesia di daerah pelosok pada umumnya masih mempercayakan perawatan kesehatan dan penyembuhan penyakitnya dengan menggunakan tanaman obat. Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang akarnya dilaporkan berkhasiat obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan stamina tubuh). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng sudah langka karena mengalami penurunan populasi secara besar-besaran, bahkan populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan areal pegunungan di Jawa Timur dilaporkan sudah musnah. Tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng, bukan di habitat aslinya melainkan di areal budidaya yang sangat sempit di Desa Sekunang (Rahardjo et al. 2005). Studi farmakologi terhadap purwoceng juga menjadi topik yang menarik untuk diketahui. Data yang dihasilkan dapat menjadi acuan dalam penggunaannya secara klinis bagi manusia. Beberapa peneliti telah menguji efek penggunaan akar purwoceng pada tikus. Salah satu teknik yang digunakan oleh Caropeboka (1980) adalah dengan mengebiri tikus jantan dan menyuntiknya dengan ekstrak akar
2
purwoceng dalam minyak zaitun dengan dosis 20 mg-40 mg. Efek yang teramati adalah adanya peningkatan bobot kelenjar prostat dan kelenjar seminalis secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas androgenik dari ekstrak akar purwoceng. Demikian juga ketika tikus betina tanpa indung telur disuntik dengan ekstrak akar purwoceng dalam minyak zaitun pada dosis yang sama, maka tampak adanya peningkatan yang sangat nyata pada bobot uterus. Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas estrogenik dari ekstrak akar purwoceng. Kosin (1992) melakukan penelitian terhadap anak ayam jantan, hasilnya adalah efek androgenik ekstrak purwoceng terhadap peningkatan pertumbuhan ukuran jengger. Tikus sebagai hewan percobaan banyak digunakan dalam berbagai penelitian karena siklus reproduksinya singkat, mudah dalam penanganan, siklus hidup pendek, murah dan mudah dipelihara. Tikus adalah hewan politokus dengan jumlah anak antara 6-12 ekor tiap kali melahirkan (Harkness dan Wagner 1989). Pada penelitian ini tikus dari galur Sprague Dawley digunakan dalam keadaan induk yang sedang laktasi untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan pada pertambahan bobot badan anak setelah induk tikus tersebut diberi ekstrak purwoceng selama 21 hari laktasi. Penelitian ini dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa purwoceng bersifat estrogenik. Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 1-13 hari dengan dosis 25 mg/300 g BB selama kebuntingan tikus putih cenderung meningkatkan bobot ovarium dan uterus tikus putih (Hapsari 2011). Pemberian ekstrak etanol purwoceng pada kebuntingan 13-21 hari dengan dosis yang sama cenderung memberikan pengaruh terhadap peningkatan bobot ovarium, uterus, dan anak tikus putih (Kurnia 2011). Diasumsikan bahwa ada bahan aktif dalam purwoceng yang dapat berperan seperti estrogen atau bersifat estrogenik. Estrogen adalah hormon yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel (Ganong 2003). Purwoceng yang diberikan pada tikus laktasi, diharapkan akan membuat sel-sel kelenjar ambing menjadi lebih banyak yang berproliferasi sehingga lebih aktif dalam mensekresikan susu dan diharapkan bobot badan anak menjadi lebih besar.
3
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek pemberian ekstrak etanol purwoceng pada tikus laktasi terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir dari hari pertama sampai hari ke-21 masa laktasi.
Hipotesis Penelitian Pemberian ekstrak etanol purwoceng pada induk laktasi dapat menyebabkan sel-sel kelenjar ambing lebih aktif berproliferasi dan berpengaruh terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir sampai dengan lepas sapih.
Manfaat Penelitian Data yang diperoleh dapat menjadi dasar untuk penelitian dibidang reproduksi pada hewan politokus lainnya seperti babi, terutama diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas susu hewan ternak maupun ASI pada manusia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS ) Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan tinggi antara 15 cm sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi sekitar 20003000 dpl di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tanaman ini memiliki nama daerah berbeda-beda, antara lain antanan gunung, gebangan depok, rumput dempo atau suripandak abang. Purwoceng banyak dicari orang karena memiliki khasiat obat yang bersifat diuretik terutama digunakan sebagai afrodisiak.
Gambar 1 Pimpinella alpina KDS (Prajoko 2010)
Tjitrosoepomo (1994) mendiskripsikan purwoceng sebagai tumbuhan yang temasuk terna dari suku Umbelliferae yang berumur pendek atau panjang. Batang berongga dan beralur atau bergerigi membujur pada permukaannya. Daunnya tersebar, berseling atau berhadapan, majemuk ganda atau banyak berbagi, tanpa daun penumpu tetapi memiliki pelepah yang pipih besar (perikladium) dan tidak membungkus batang. Bunganya majemuk dan tersusun seperti payung atau suatu kapitulum, berukuran kecil, berumah satu, aktinomorfik atau sedikit zigomorfik, dan berbilangan lima. Kelopaknya sangat kecil, mahkotanya berjumlah lima dengan ujung yang melengkung ke dalam, berwarna kuning atau keputih-putihan, jarang berwarna
5
merah muda atau lembayung. Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan mahkota. Bakal buah tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi dua, beruang dua, dan dalam tiap ruang terdapat satu tangkai biji yang bergantungan. Tangkai putik berjumlah 2 dan letaknya terpisah. Buahnya berbelah dua (diakenium), tiap bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor. Dalam kulit buah terdapat saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji mempunyai tanduk. Sifat-sifat anatomis yang penting antara lain adanya saluran-saluran resin skizolisigen dalam gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya kolenkim dalam korteks primer batang dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi sederhana dalam trakea, adanya rambutrambut lain yang bukan merupakan kelenjar. Akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, dan saponin (Caropeboka dan Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida, triterpenoid-steroid dan tannin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokuramin seperti bergapten, isobargapten, dan sphondin (Sidik et al. 1985), sitosterol dan vitamin E (Rahardjo et al. 2005). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiaka diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo et al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa sitoesterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya. Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, menunjukkan bahwa zat yang terkandung di dalam akar purwoceng adalah flavonoid, tanin, steroid, triterfenoid, glikosida, dan alkaloid. Flavanoid, alkaloid, steroid yang terdapat dalam purwoceng merupakan golongan fitoestrogen yang mampu berfungsi seperti estrogen karena diduga dapat menduduki reseptor estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen. Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah berikatan dengan reseptor estrogen. Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid merupakan antioksidan. Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang terdiri atas 15 atom karbon sebagai kerangka dasarnya. Susunan rantai karbon dari
6
senyawa polifenol menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid. Purwoceng memiliki dua bahan aktif yang berfungsi sebagai prekursor estrogen di dalam tubuh yaitu flavonoid dan steroid. Jika dibandingkan keduanya, flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan dibandingkan steroid, karena pada hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat, sedangkan steroid positif lemah (Balitro 2011). Biologi Tikus Putih
Gambar 2 Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley (Tocang 2010)
Menurut Malole dan Pramono (1989), hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Tikus putih sudah sejak lama digunakan sebagai hewan laboratorium untuk penelitian-penelitian yang berhubungan dengan kepentingan medis, embriologi, maupun tentang tingkah laku. Hal ini didasarkan pada pertimbangan faktor ekonomis dan efisiensi. Tikus mempunyai bentuk morfologis yang kecil sehingga ruangan pemeliharaan yang dibutuhkan relatif kecil, mudah dalam penanganan, murah, mudah didapat dan cocok untuk penelitian jangka panjang (Harkness dan Wagner 1989).
7
Harkness dan Wagner (1989) menuliskan taksonomi tikus norwegia sebagai berikut: Kingdom
:
Animalia
Phylum
:
Chordata
Subphylum
:
Vertebrata
Class
:
Mamalia
Subclass
:
Theria
Infraclass
:
Eutheria
Order
:
Rodensia
Suborder
:
Myomorpha
Family
:
Muridae
Superfamily
:
Muroidea
Subfamily
:
Murinae
Genus
:
Rattus
Spesies
:
Rattus norvegicus
Terdapat tiga galur tikus putih yang sudah dikembangkan sebagai hewan percobaan yaitu Sprague Dawley, Wistar dan Long Evans. Sprague Dawley lebih mudah dan cepat berkembangbiak, merupakan jenis tikus albino yang memiliki kepala yang kecil dengan ekor yang lebih panjang dari badannya. Wistar mempunyai kepala yang lebar, telinga yang panjang dan ekor yang lebih pendek dari panjang badan sedangkan Long Evans lebih kecil dari kedua galur lainnya, mempunyai bercak hitam pada bagian atas kepala dan di belakang leher (Veterinary Library 1996). Tikus dapat hidup lebih dari tiga tahun, mencapai umur antara 2,5-3,5 tahun. Bobot badan jantan dan betina dewasa berkisar masing-masing 450 g-520 g dan 250 g-300 g. Masa pubertas dapat dicapai pada umur 65-110 hari, baik pada jantan maupun pada betina. Pada umur tersebut bobot badan tikus mencapai 250 g untuk betina dan 300 g untuk jantan dan sudah dapat dikawinkan (Malole dan Pramono 1989). Tikus termasuk hewan poliestrus yaitu hewan yang berahinya lebih dari dua kali dalam setahun. Siklus berahi berlangsung empat sampai lima hari dengan lama
8
estrus 12 jam setiap siklus. Periode siklus berahi pada tikus terdiri atas beberapa tahap yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Harkness dan Wagner 1989). Kebuntingan terjadi selama 21-23 hari dengan jumlah anak perkelahiran 6-12 ekor (Harkness dan Wagner 1989). Pada tikus jarang terjadi bunting semu (Veterinary Library 1996). Sejak umur kebuntingan 14 hari sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar susu (Malole dan Pramono 1989). Bobot lahir anak tikus berkisar 5 g-6 g. Anak tikus disapih pada umur 21 hari dengan bobot badan sudah mencapai 25 g-30 g (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).
Perkembangan Kelenjar Susu dan Pembentukan Susu Kelenjar Susu dan Laktasi Pertumbuhan dan daya tahan anak selama prasapih dipengaruhi oleh jumlah anak, bobot lahir anak dan tingkat produksi susu induk selama laktasi (Tuju 2001). Produksi susu induk selama laktasi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel epitel kelenjar susu selama periode kebuntingan, awal laktasi (Tucker 1987), laju penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar serta kelengkapan perangkat sintesisnya selama laktasi, dan laju involusi sel-sel kelenjar (Wilde dan Knight 1989). Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Susu Kelenjar susu dianggap homolog dengan kelenjar keringat karena keduanya berasal dari kulit yang tumbuh kedalam. Setiap kelenjar terdiri atas beberapa lobus. Lobus yang satu dengan lobus yang lain dihubungkan dengan jaringan pengikat yang disebut stroma. Tiap lobus terdiri atas saluran-saluran yang dikenal dengan duktus laktiferus. Percabangan duktus ini dipengaruhi hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, laktogen plasenta, dan relaksin. Percabangan duktus laktiferus membentuk ranting-ranting terminal yang disebut lobulo-alveolar. Lapisan lobulo-alveolar menyusun permukaan sekretori (epitel) tempat proses sintesis susu terjadi (Turner dan Bagnara 1995). Knight dan Peacker (1982) mengemukakan bahwa selama kehidupan hewan, kelenjar susu tersebut kemungkinan mengalami perubahan lebih banyak dan lebih besar dalam ukuran, struktur, komposisi dan aktivitas dibandingkan
9
jaringan atau organ lainnya. Perubahan tersebut dimulai sejak stadium fetus sampai kelenjar mencapai pematangan dan kemudian pada periode dewasa hanya sedikit mengalami pengerasan dan surut kembali mengikuti daur reproduksi. Pertumbuhan kelenjar susu merupakan proses yang sangat kompleks karena dipengaruhi oleh faktor instrinsik (kontrol lokal) pada kelenjar itu sendiri maupun pada keseluruhan hewan (kontrol sistemik) sebagai pengaruh eksternal seperti lingkungan, iklim dan makanan (Knight dan Peacker 1982). Hurley (2000) mengemukakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu terjadi selama lima fase yang berbeda yaitu: prenatal, sebelum pubertas, selama pubertas, selama kebuntingan dan awal laktasi. Pada waktu lahir, kelenjar susu terdiri atas sistem duktus yang masih kurang berkembang dibandingkan dengan bagian stroma. Namun ketika memasuki masa pubertas, terjadi pemanjangan duktus ke dalam stroma. Pada siklus estrus pertama, sistem duktus tumbuh dengan cepat melebihi laju pertumbuhan tubuh umumnya yang dikenal dengan pertumbuhan allometrik. Pada tikus pertumbuhan allometrik diteruskan untuk beberapa siklus estrus dan kembali lagi ke pertumbuhan isometrik sama seperti organ-organ tubuh lainnya. Alveoli yang sesungguhnya pada kelenjar susu masih belum terbentuk sampai konsepsi. Pada saat konsepsi, terjadi pemanjangan duktus pada pembentukan alveoli serta permulaan perletakan bantalan lemak (Tucker 1987). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat dipengaruhi oleh hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, dan laktogen plasenta. Progesteron berfungsi mengatur perkembangan lobolo-alveolar kelenjar susu, estradiol berfungsi mengatur perkembangan pertumbuhan duktus kelenjar susu, dan hormon laktogen plasenta dapat menguatkan efek dari hormon steroid yang dihasilkan oleh ovarium dan hormon pituitari pada perkembangan kelenjar laktasi selama kebuntingan (Fahey 1998). Total pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan berkisar antara 48% sampai 94%, bergantung pada masing-masing spesies. Pada tikus, kira-kira 12% pertumbuhan kelenjar susu terjadi sebelum konsepsi, 48% terjadi selama kebuntingan sedangkan sisanya terjadi selama laktasi (Tucker 1987).
10
Proses Pembentukan Susu Alveolus terdiri dari selapis sel epitel membentuk suatu lumen. Lumen tersebut dibungkus oleh jaringan mioepitel dan dikelilingi oleh suatu basement membrane yang terdiri atas jaringan ikat. Darah akan mengalir melalui stroma yakni ruang inter-alveolar yang terdiri atas jaringan fibroblast, leukosit, sel adiposa, dan jaringan ikat lain. Lobuli dibentuk dari beberapa alveolus. Beberapa lobuli akan membentuk beberapa lobus (Hurley 2000). Di lumen alveolus akan dibentuk susu yang diambil dari bahan-bahan asal dari darah. Alveolus tempat pembentukan susu akan mengambil cairan dan komponen darah dengan kemampuan daya selektif yakni keistimewaan memilih bahan-bahan yang diperlukan serta mengubah bahan-bahan asal darah menjadi bahan yang lain bentuknya. Susu akan keluar dari lumen epitel dengan cara terjadi ruptur sel. Susu masuk ke lumen alveoli kemudian masuk ke dalam saluran-saluran halus. Saluran halus dari tiap-tiap lobuli berkumpul untuk membentuk saluran yang lebih besar dan akhirnya masuk ke dalam sisterna ambing. Sisterna ambing adalah suatu ruangan yang berada di bawah kuartir. Selanjutnya susu dialirkan ke ruang puting susu/kisterna puting. Ruangan akhir penampungan susu dihubungkan oleh sebuah saluran menuju lubang puting susu. Lubang puting susu memiliki otot-otot sirkuler yang berfungsi untuk membuka dan menutup lubang puting. Adanya rangsangan saraf dan tekanan dalam ambing mengakibatkan otot sirkuler mengendur dan susu dapat keluar (Hurley 2000). Komponen-komponen susu terdiri dari protein, lemak, laktosa, mineral, vitamin, dan air. Prekursor protein susu adalah casein, β-laktoglobulin, dan αlaktalbumin yang disintesis jaringan ambing. Serum albumin, immunoglobulin, dan γ-casein diserap melalui darah. Lemak disintesis di jaringan ambing. Makanan dengan kadar lemak yang rendah dapat menurunkan konsentrasi lemak dalam susu. Laktosa merupakan karbohidrat terpenting yang ditemukan dalam susu. Laktosa adalah disakarida yang terdiri atas 1 mol galaktosa dan 1 mol glukosa dan hanya ditemukan didalam susu. Laktosa disintesis di jaringan ambing diambil dari bahan asal glukosa darah, asam asetat dan asam amino darah. Vitamin dan mineral disintesis
11
melaui darah dan disekresikan ke susu. Mineral yang terpenting di dalam susu adalah kalsium (Hurley 2000). Proses Pengeluaran Susu Pada induk betina yang menyusui dikenal 2 refleks yang masing-masing berperan sebagai pengeluaran susu yaitu refleks prolaktin dan refleks “Let down” (Cowie 1980). 1. Refleks prolaktin. Menjelang akhir kehamilan terutama hormon prolaktin memegang peranan untuk membuat kolostrum, namun jumlah kolostrum terbatas, karena aktifitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang kadarnya memang tinggi. Pada saat setelah partus, lepasnya plasenta dan kurang berfungsinya korpus luteum, maka progesteron sangat berkurang, ditambah lagi dengan adanya isapan anak yang merangsang puting susu dan payudara, akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris yang befungsi sebagai reseptor mekanik. Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medula spinalis dan mesensephalon. Hipotalamus akan menekan pengeluaran faktor-faktor yang menghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin. Faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin akan merangsang adenohipofise (hipofise anterior) sehingga keluar prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat susu. Kadar prolaktin pada induk betina yang menyusui akan menjadi normal saat penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada peningkatan prolaktin walaupun ada isapan anak, namun pengeluaran susu tetap berlangsung. Pada induk betina yang menyusui, prolaktin akan meningkat dalam keadaan-keadaan seperti: penurunan stres, anastesi, operasi, rangsangan puting susu, kopulasi, obat-obatan tranqulizer hipotalamus seperti reserpin; klorpromazin; fenotiazid. Sedangkan keadaan-keadaan yang menghambat pengeluaran prolaktin adalah gizi yang jelek dan obat-obatan seperti ergot dan 1-dopa (Cowie 1980).
12
2. Refleks let down (milk ejection reflex). Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh adenohipofise, rangsangan yang berasal dari isapan anak ada yang dilanjutkan ke neurohipofise (hipofise posterior) yang kemudian dikeluarkan oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini diangkut menuju uterus yang dapat menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi involusi dari organ tersebut. Oksitosin yang sampai pada alveoli akan mempengaruhi sel mioepitelium. Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah terbuat dari alveoli dan masuk ke sistem duktulus yang untuk selanjutnya mengalir melalui duktus laktiferus masuk ke mulut anak. Faktor-faktor yang meningkatkan refleks let down adalah: melihat anak, mendengarkan suara anak dan mencium bayi. Faktor-faktor yang menghambat refleks let down adalah stres seperti keadaan bingung/pikiran kacau, takut, dan cemas. Bila ada stres dari induk betina yang menyusui maka akan terjadi suatu blokade dari refleks let down. Ini disebabkan oleh karena adanya pelepasan dari adrenalin (epinefrin) yang menyebabkan vasokontraksi dari pembuluh darah alveoli, sehingga oksitosin sedikit harapannya untuk dapat mencapai target organ mioepitelium (Cowie 1980).
Hormon Steroid Hormon steroid merupakan turunan dari kolesterol. Selain vitamin D, semua turunan
kolesterol
memiliki
struktur
dasar
yang
sama
yaitu
cincin
siklopentanoperhidrofenantrena dengan sistem penomoran yang sama dengan kolesterol. Penurunan kolesterol (C27) menjadi berbagai jenis hormon steroid diawali dengan reaksi yang menghasilkan suatu senyawa isokaproaldehida (C6) dan pregnenolon
(C21).
Berdasarkan
jumlah
atom
karbonnya
hormon
steroid
dikelompokkan menjadi tiga yaitu pregnan (C21), androstan (C19), dan estran (C18) (King 2004).
13
Androstan
Pregnan
Estran
Gambar 3 Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya (Guyton 1994)
Devlin (1993) diacu dalam Ibrahim (2001), menyatakan bahwa hormon steroid di bagi ke dalam dua kelas yaitu hormon adrenal dan hormon seksual (testosteron, estrogen, dan progesteron). Sedangkan King (2004) membagi steroid menurut asalnya yaitu hormon steroid adrenal dan steroid gonadal. Korteks adrenal bertanggung jawab dalam memproduksi tiga kelas utama hormon-hormon steroid yaitu :
1)
glukokortikoid,
yang
meregulasi
metabolisme
karbohidrat,
2)
mineralokortikoid, yang meregulasi kadar Na dan K dalam tubuh, 3) androgen, yang memiliki fungsi serupa dengan steroid yang dihasilkan dari gonad jantan. Ketidaktersediaan hormon-hormon adrenal disebut penyakit Addison, dan bila tidak diberikan hormon steroid pengganti akan menyebabkan kematian. Hormon steroid adrenal
adalah
deoksikortisol,
kortisol
(glukokortikoid),
aldosteron
(mineralokortikoid), androstenedion, dan dehidroepiandrosteron (DHEA). Steroid gonadal diproduksi oleh testis dan ovari, dua steroid yang utama adalah testosteron dan estradiol. Androgen ialah senyawa steroid produk dari testis, ovarium, korteks adrenal, dan kemungkinan juga dari plasenta. Terdapat lima senyawa androgen yang penting yaitu dehidroepiandrosteron (DHEA); ∆ 4-androstene-3, 17-dion; testosteron; 11βhidroksi-∆4-androsten-3, 17-dion; dan adrenosteron. Androgen yang paling aktif adalah androsteron dan testosteron, masing-masing memberikan aktivitas biologis sebesar satu unit internasional pada jumlah μg (androsteron) dan 13-16 μg testosteron (King 2004).
14
Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi kolesterol kemudian kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari pregnenolon menjadi progesteron melalui beberapa perubahan hingga menjadi testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya steroid binding globulin (β-globulin) yang disekresikan oleh sel sertoli akibat adanya rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah berada dalam keadaan terikat dan sisanya merupakan testosteron yang bebas masuk ke organ target.
Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim α-reductase dalam
sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Johnson dan Everitt 1984). Hormon steroid seksual terdiri dari testosteron, estrogen dan progesteron (Ibrahim 2001). Hormon testosteron berfungsi sebagai hormon seksual pada jantan. Hormon estrogen dan progesteron merupakan hormon seksual pada betina yang juga berfungsi merawat kebuntingan dan menstimulasi perkembangan kelenjar susu (Ganong 2003). Hormon estrogen merupakan hormon utama pada hewan betina, dalam proses pembentukannya melibatkan 2 sel yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel teka akan berkembang di bawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH) dan sel granulosa akan berkembang di bawah pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Di dalam sel teka yang berkembang, estrogen disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari progesteron berubah menjadi androstenedion dengan bantuan enzim 17α-hidroksi progesteron, kemudian berubah menjadi testosteron. Sel granulosa mendapat asupan testosteron dari sel teka dan akan berubah menjadi estrogen setelah diaromatisasi oleh enzim aromatase yang distimulasi oleh FSH. Ada 3 bentuk estrogen di dalam plasma hewan betina yaitu 17β-estradiol, estron, dan estriol (Johnson dan Everitt 1984). Estrogen adalah senyawa steroid yang berfungsi terutama terutama sebagai hormon seks wanita. Walaupun terdapat dalam tubuh pria maupun wanita,
15
kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Hormon ini menyebabkan perkembangan dan mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder pada wanita, seperti payudara, dan juga terlihat dalam penebalan endometrium maupun dalam pengaturan siklus haid. Pada saat menopause, estrogen mulai berkurang sehingga dapat menimbulkan beberapa efek, diantaranya hot flash, berkeringat pada waktu tidur, dan kecemasan yang berlebihan (Anwar 2001). Unit lobuler saluran terminal dari jaringan payudara wanita-wanita muda sangat responsif dengan estrogen. Pada jaringan ambing, estrogen menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi saluran epitelium, menginduksi aktivitas mitotik saluran sel-sel silindris, dan menstimulasi pertumbuhan jaringan penyambung. Estrogen juga menghasilkan efek seperti histamin pada mikrosirkulasi ambing. Densitas reseptor estrogen pada jaringan payudara sangat tinggi pada fase folikuler dari siklus menstruasi dan menurun setelah ovulasi. Estrogen menstimulasi pertumbuhan sel-sel kanker ambing. Pada wanita-wanita postmenopause dengan kanker ambing, konsentrasi estradiol tumor tinggi, karena aromatisasi in situ, meskipun adanya konsentrasi estradiol serum yang rendah (Guyton 1994). Hormon estrogen disekresikan oleh teka interna dan sel granulosa folikel ovarium, korpus luteum, dan plasenta. Jalur biosintesis yang melibatkan hormon androgen dan juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion di dalam sirkulasi. Aromatase (CYP 19) merupakan enzim yang mengkatalis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna mempunyai banyak reseptor LH. LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion pada sel granulosa. Sel granulosa membuat estradiol bila mendapat rangsangan dari androgen dan disekresikan dalam cairan folikel. Sel granulosa memiliki banyak reseptor FSH untuk meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dengan bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga memiliki reseptor LH yang kemudian akan merangsang pembentukan estradiol (Ganong 2003).
16
Fitoestrogen Fitoestrogen atau sumber estrogen berbasis merupakan
senyawa
non-steroidal
mempunyai
tumbuh-tumbuhan yang
aktivitas
estrogenik
atau
dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang memiliki khasiat mirip estrogen, meskipun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen tetapi memiliki inti yang sama persis dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus –OH/hidroksil yang berjarak 11.0-11.5 A° pada intinya, sama persis dengan inti estrogen sendiri. Para peneliti sepakat jarak 11 A° dan gugus –OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik, yakni memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Tsourounis 2004). Suatu substrat baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen (Tsourounis 2004). Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa fitoestrogen yang terdapat dalam tanaman antara lain: Isoflavone pada buah-buahan, teh hijau, kacang kedelai, dan produk kedelai seperti tempe, tahu, dan tauco. Lignane pada biji gandum dan wijen. Coumestane pada kacang-kacangan dan biji bunga matahari. Glikoside Tripterpen pada tanaman Cimifuga racemosa (black cohosh) tumbuh di hutan Amerika Selatan, saat ini telah diekstraksi dan dikemas menjadi produk obat menopause. Senyawa-senyawa estrogenik lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti flavones, chalcone, diterpenoid, triterpenoid, coumarine, dan acyclic. Zat yang paling banyak dalam akar purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid. Alkaloid dan flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen. Berdasarkan struktur kimianya, seluruh senyawa golongan flavonoid pada tanaman merupakan induk flavon. Flavonoid merupakan senyawa larut air, etanol, methanol, dan mengandung
17
sistem aromatik yang terkonjugasi. Secara umum flavonoid ditemukan pada tumbuhan sebagai campuran dan terikat pada gula seperti glikosida, aglikon atau dalam kombinasi beberapa bentuk aglikon. Senyawa flavonoid diklasifikasikan menjadi 10 golongan yang terkarakterisasi oleh warna pada teknik spektrofotometer dan pemisahan pada teknik kromatografi. Golongan tersebut adalah antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, flavonon, dan isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid mempunyai efek hormonal khususnya efek estrogenik, karena mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Flavonoid pada ekstrak akar purwoceng merupakan senyawa fitoestrogen yang mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia. Berikut adalah kemiripan struktur kimia antara estrogen dan flavonoid.
Estrogen
Flavonoid
Gambar 4 Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1994)
Flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogen (RE), di dalam tubuh ada dua reseptor estrogen yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan reseptor estrogen beta (REβ). Reseptor estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, adrenal, dan payudara. Sedangkan reseptor estrogen β terdapat di ovarium, prostat, paru-paru, kandung kemih, dan tulang (Barnes dan Kim 1998).
BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan April 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
dan
Laboratorium
Fisiologi,
Departemen
Anatomi,
Fisiologi,
dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan – IPB. Alat dan Bahan Hewan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang terdiri atas tikus betina yang telah dewasa kelamin sebanyak 6 ekor dengan berat badan berkisar antara 150 g-200 g dan tikus jantan yang telah dewasa kelamin sebanyak 6 ekor dengan berat badan berkisar antara 350 g-400 g. Bahan lain yang diperlukan adalah larutan fisiologis NaCl 0.9%, kertas saring Whatman no 42, etanol 70%, akuades, dan ekstrak purwoceng. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, gelas objek, mikroskop binokuler, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spuit 1 ml, sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton buds, dan timbangan analitis. Persiapan Purwoceng Bagian akar purwoceng dikeringkan dengan penjemuran panas matahari (suhu tidak melebihi 50˚C). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipistipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga di dapat serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak 350 g direndam dalam 3,5 l etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam, setiap 2 jam sekali diaduk agar homogen, kemudian disaring menggunakan kain saring. Hasil
19
ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampas direndam kembali dalam 3,5 etanol 70% selama 24 jam, setiap 2 jam diaduk. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam erlenmeyer ukuran 5 l, kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan Rotary Evaporator (Rotavapor) Buchi dengan suhu 48˚C dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm, selanjutnya ekstrak kering diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering selanjutnya disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 g simplisia adalah sejumlah 95 g. Ekstrak kering ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades atau 50 mg/cc. Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian terdahulu (Taufiqurrachman 1999) yaitu sebesar 25 mg/cc untuk bobot badan tikus sebesar 300 g atau sebesar 83.33 mg/kg BB. Dalam penelitian ini digunakan 0.5 cc untuk 300 g tikus (larutan stok mengandung 50 mg/cc). Persiapan Hewan Percobaan Tikus percobaan diadaptasikan selama 1 minggu dalam kandang kolektif agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mendapatkan tikus betina bunting dilakukan perkawinan secara alamiah dengan mencampurkan pejantan dan betina dalam satu kandang. Perkawinan ditandai dengan adanya sperma dalam ulasan vagina dan pada umumnya tikus telah bunting, sehingga tercatat sebagai hari pertama kebuntingan (H1). Kemudian tikus bunting dipelihara hingga partus dan laktasi selama 21 hari. Pemeliharaan tikus laktasi dilakukan di dalam kandang hewan individu yang terbuat dari plastik berukuran 30 cm × 20 cm × 12 cm (panjang × lebar × tinggi) dan dilengkapi dengan kawat kasa penutup pada bagian atasnya. Satu ekor tikus
20
ditempatkan dalam satu kandang. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Penggantian sekam minimal dan pencucian kandang plastik dilakukan setiap 3 hari sekali. Perlakuan Hewan Kelompok tikus laktasi : 6 ekor tikus betina digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: A: kelompok tikus laktasi sebanyak 3 ekor yang tidak diberi perlakuan. B: kelompok tikus laktasi sebanyak 3 ekor yang dicekok purwoceng pada umur laktasi 1-21 hari. Tahapan yang dilakukan adalah: 1. Perkawinan Proses perkawinan dilakukan dengan cara meletakkan betina dan jantan dalam satu kandang selama 1-7 hari. Betina yang telah dikawinkan dan diketahui bunting melalui tes swab vagina, dipisahkan pada kandang tersendiri dan merawatnya selama 21-22 hari. 2. Kelahiran Menghitung jumlah total anak keseluruhan, menghitung jumlah total anak betina, dan menghitung jumlah total anak jantan. 3. Laktasi Pada saat laktasi, induk perlakuan dicekoki ekstrak purwoceng selama 21 hari, serta menimbang anak dari induk perlakuan maupun kontrol untuk mengetahui perkembangan dari bobot badannya. Parameter Percobaan Masing-masing kelompok ditimbang bobot badan anaknya selama 21 hari masa laktasi untuk dilihat perubahan pertambahan bobot badan untuk kemudian dibandingkan antar kelompok. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) (Steel dan Torrie 1989).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan yang Diberi purwoceng Sejumlah 14 ekor anak tikus jantan dari 3 ekor induk yang dicekok ekstrak etanol purwoceng dibandingkan bobot badannya dengan 12 ekor anak jantan dari 3 ekor induk tikus kontrol yang tidak diberi purwoceng. Hasil yang diperoleh adalah bahwa pertambahan bobot badan tikus jantan yang induknya diberi ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari masa laktasi tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan pertambahan bobot badan tikus anak tikus kontrol.
Rataan pertambahan bobot
badan anak tikus jantan tiap minggu selama 21 hari disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Rataan pertambahan bobot badan anak tikus jantan dari induk yang dicekok purwoceng dan kontrol. Induk
Σ anak Tikus Jantan Perlakuan
A B C
6 4 4 Rata-rata
Rataan Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan (g) Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
Kontrol
Perlakuan
Kontrol
Perlakuan
Kontrol
Perlakuan
3
4.65
2.56
10.05
7.60
16.77
Kontrol 11.66
3
4.40
4.57
11.30
14.67
22.65
24.84
6
3.50
2.40
9.80
6.78
15.15
14.29
4.18±0.60
3.18±1.21
10.38±0.80
9.68±4.34
18.19±3.95
16.93±6.98
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji 5%.
Berdasarkan tabel 1 tersebut memberikan gambaran bahwa pemberian purwoceng tidak mempengaruhi bobot badan jantan anak tikus. Jumlah anak yang berbeda disetiap induknya kemungkinan menjadi faktor penyebab rataan bobot badan anak jantan yang tidak berbeda antara perlakuan dan kontrol. Rataan bobot badan anak jantan perlakuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, kecuali untuk induk B rataan bobot badan anak jantan perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan anak jantan kontrol (untuk setiap minggunya). Hal ini disebabkan jumlah anak keseluruhan untuk induk B perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan kontrol. Purwoceng mengandung zat fitoestrogen yang bersifat estrogenik. Fitoestrogen merupakan sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis 2004).
22
Hasil uji fitokimia dengan metode kualitatif dari kandungan ekstrak akar purwoceng yang di pakai pada penelitian ini tertera pada Tabel 2 (Balitro 2011): Tabel 2 Komposisi kandungan zat kimia pada ekstrak etanol purwoceng Zat yang terkandung pada akar purwoceng Alkaloid Saponin Tanin Fenolik Flavonoid Triterfenoid Steroid Glikosida Keterangan
Kadar zat yang terkandung pada akar purwoceng +++ + +++ + + +
: - negatif; + positif lemah; ++ positif; +++ positif kuat; ++++ positif kuat sekali
Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, menunjukkan bahwa zat yang terkandung di dalam akar purwoceng adalah flavonoid, tanin, steroid, triterfenoid, glikosida, dan alkaloid. Flavanoid, alkaloid, steroid yang terdapat dalam purwoceng merupakan golongan fitoestrogen yang mampu berfungsi seperti estrogen karena diduga dapat menduduki reseptor estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen. Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah berikatan dengan reseptor estrogen.
Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid merupakan
antioksidan. Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang terdiri atas 15 atom karbon sebagai kerangka dasarnya. Susunan rantai karbon dari senyawa polifenol menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid. Purwoceng memiliki dua bahan aktif yang berfungsi sebagai prekursor estrogen di dalam tubuh yaitu flavonoid dan steroid. Jika dibandingkan keduanya, flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan dibandingkan steroid, karena pada hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat, sedangkan steroid positif lemah (Balitro 2011). Bahan-bahan yang ada pada purwoceng ini diduga bersifat estrogenik, maka diduga bahwa purwoceng dapat mempengaruhi kondisi ambing tikus pada saat menyusui.
23
Setiap kelenjar terdiri atas beberapa lobus. Lobus yang satu dengan lobus yang lain dihubungkan dengan jaringan pengikat yang disebut stroma. Tiap lobus terdiri atas saluran-saluran yang dikenal dengan duktus laktiferus. Percabangan duktus ini dipengaruhi hormon mamogenik. Percabangan duktus laktiferus membentuk ranting-ranting terminal yang disebut lobulo-alveola. Lapisan lobuloalveolar menyusun permukaan sekretori (epitel) tempat proses sintesis susu terjadi (Turner dan Bagnara 1995). Knight dan Peacker (1982) mengemukakan bahwa selama kehidupan hewan, kelenjar susu tersebut kemungkinan mengalami perubahan lebih banyak dan lebih besar dalam ukuran, struktur, komposisi dan aktivitas dibandingkan jaringan atau organ lainnya. Perubahan tersebut dimulai sejak stadium fetus sampai kelenjar mencapai pematangan dan kemudian pada periode dewasa hanya sedikit mengalami pengerasan dan surut kembali mengikuti daur reproduksi. Pertumbuhan kelenjar susu merupakan proses yang sangat kompleks karena dipengaruhi oleh faktor instrinsik (kontrol lokal) pada kelenjar itu sendiri maupun pada keseluruhan hewan (kontrol sistemik) sebagai pengaruh eksternal seperti lingkungan, iklim dan makanan (Knight dan Parker 1982). Hurley (2000) mengemukakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu terjadi selama lima fase yang berbeda yaitu: prenatal, sebelum pubertas, selama pubertas, selama kebuntingan dan awal laktasi. Pada waktu lahir, kelenjar susu terdiri atas sistem duktus yang masih kurang berkembang dibandingkan dengan bagian stroma. Namun ketika memasuki masa pubertas, terjadi pemanjangan duktus ke dalam stroma. Pada siklus estrus pertama, sistem duktus tumbuh dengan cepat melebihi laju pertumbuhan tubuh umumnya yang dikenal dengan pertumbuhan allometrik. Pada tikus pertumbuhan allometrik diteruskan untuk beberapa siklus estrus dan kembali lagi ke pertumbuhan isometrik sama seperti organ-organ tubuh lainnya. Alveoli yang sesungguhnya pada kelenjar susu masih belum terbentuk sampai konsepsi. Pada saat konsepsi, terjadi pemanjangan duktus pada pembentukan alveoli serta permulaan perletakan bantalan lemak (Tucker 1987). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat dipengaruhi oleh hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, dan laktogen plasenta (Fahey 1998).
Purwoceng yang mengandung bahan estrogenik yaitu
24
flavonoid diduga dan diharapkan turut berperan seperti estrogen endogen di dalam tubuh yang dapat merangsang peningkatan pertumbuhan duktus pada kelenjar susu selama laktasi. Total pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan berkisar antara 48% sampai 94%, bergantung pada masing-masing spesies. Pada tikus, kira-kira 12% pertumbuhan kelenjar susu terjadi sebelum konsepsi, 48% terjadi selama kebuntingan sedangkan sisanya terjadi selama laktasi (Tucker 1987).
Pertambahan Bobot Badan Anak Betina yang Diberi Purwoceng Pertambahan bobot badan dari 10 ekor anak tikus betina dari 3 ekor induk yang dicekok ekstrak etanol purwoceng dibandingkan dengan pertambahan bobot badan dari 11ekor anak tikus betina dari 3 ekor induk kontrol yang tidak diberi perlakuan, Pertambahan bobot badan anak betina pada kelompok tikus yang diberi purwoceng secara umum cenderung tidak berbeda dibandingkan dengan pertambahan bobot anak betina tikus kontrol. Hasil analisa statistik yang didapat tidak berbeda nyata antara kelompok tikus perlakuan dengan kontrol (p>0.05). Rataan pertambahan bobot badan anak tikus betina tiap minggu selama 21 hari disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Rataan pertambahan bobot badan anak tikus betina yang dicekok purwoceng dan kontrol. Induk
Σ anak tikus betina
Rataan Pertambahan Bobot Badan Anak Betina (g) Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
Perlakuan
Kontrol
perlakuan
kontrol
perlakuan
kontrol
perlakuan
kontrol
A
2
4
3.75
3.02
9.50
8.35
14.93
13.15
B
5
3
3.96
5.63
10.02
14.33
19.68
23.43
4
3.60
2.15
9.73
6.35
16.23
12.64
3.77±0.18
3.60±1.18
9.75±0.26
9.68±4.15
16.95±2.45
16.41±6.09
C
3 Rata-rata
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji 5%.
Rataan bobot badan anak betina perlakuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, kecuali untuk induk B rataan bobot badan anak betina perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan anak betina kontrol (untuk setiap minggunya). Hal ini disebabkan jumlah anak keseluruhan untuk induk B perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan kontrol. Menurut Tuju (2001) pertumbuhan dan daya tahan anak selama prasapih dipengaruhi oleh jumlah anak, bobot lahir anak dan
25
tingkat produksi susu induk selama laktasi. Produksi susu induk selama laktasi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel epitel kelenjar susu selama periode kebuntingan, awal laktasi (Tucker 1987), laju penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar serta kelengkapan perangkat sintesisnya selama laktasi, dan laju involusi sel-sel kelenjar (Wilde dan Knight 1989). Jumlah anak yang berbeda setiap induk merupakan faktor penyebab dari rataan bobot badan anak betina yang tidak menampakkan perbedaan. Fitoestrogen yang terkandung pada ekstrak etanol purwoceng pada induk laktasi memberikan peningkatan terhadap hormon estrogen. Menurut Ganong (1994), Pada jaringan ambing, estrogen menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi saluran epitelium, menginduksi aktivitas mitotik saluran sel-sel silindris, dan menstimulasi pertumbuhan jaringan penyambung. Semakin aktifnya pertumbuhan dan diferensiasi pada duktus kelenjar mamae akan meningkatkan produksi susu pada induk laktasi. Menurut Forbes (1992), estrogen di dalam plasma dapat meningkatkan metabolisme lemak di dalam jaringan adiposa. Di dalam jaringan adiposa terdapat reseptor estrogen, sehingga estrogen dapat berperan dalam peningkatan metabolisme lemak. Meningkatnya produksi susu pada jaringan ambing induk laktasi dan kemungkinan meningkatnya konsentrasi estrogen pada jaringan adiposa anak tikus betina akan menambah bobot badan anak tikus betina seperti yang terjadi pada anak tikus jantan. Pertambahan Bobot Badan Anak Betina dan Jantan yang Diberikan Purwoceng Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari laktasi terhadap peningkatan bobot badan anak jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 5. 20 15 10 5 0 minggu I
minggu II
Jantan perlakuan
minggu III Betina perlakuan
Gambar 5 Rataan perkembangan bobot badan anak betina dan jantan perlakuan.
26
Androgen ialah senyawa steroid produk dari testis, ovarium, korteks adrenal, dan kemungkinan juga dari plasenta. terdapat lima senyawa androgen yang penting yaitu dehidroepiandrosteron (DHEA); ∆ 4-androstene-3, 17-dion; testosterone; 11βhidroksi-∆4-androstene-3, 17-dion; dan adrenosteron. Androgen yang paling aktif adalah androsteron dan testosteron, masing-masing memberikan aktivitas biologis sebesar satu unit internasional pada jumlah μg (androsteron) dan 13-16 μg testosteron. Peningkatan sintesis protein di dalam tubuh dapat meningkatkan bobot badan tubuh. Meningkatnya produksi susu pada induk laktasi yang diberi purwoceng ditambah dengan efek anabolik hormon androgenik yang dikandung purwoceng menyebabkan bobot badan jantan lebih tinggi dari bobot badan betina. Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi kolesterol kemudian kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari pregnenolon menjadi progesteron melalui beberapa perubahan hingga menjadi testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya steroid binding globulin (β-globulin) yang disekresikan oleh sel sertoli akibat adanya rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah berada dalam keadaan terikat dan sisanya merupakan testosteron yang bebas masuk ke organ target.
Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim α-reductase dalam
sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Johnson dan Everitt 1984). Menurut Rudiono (2005) pemberian hormon testosteron pada kambing kacang betina dengan dosis 0.77 mg/kg BB/hari pada umur 7-9 bulan memberikan hasil terbaik dan mampu meningkatkan ukuran fibril otot longisimus dorsi, otot rectus femoris, dan luas mata rusuk, namun tidak meningkatkan bobot otot-otot tersebut. Pemberian hormon testosteron secara berlebih, yakni sampai dengan 2.31 mg/kg BB/hari, tidak mampu memberikan respon positif terhadap perkembangan otot. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena testosteron mampu merangsang peningkatan pengeluaran hormon lain, seperti Growth Hormone (GH) dari hipothalamus dengan
27
optimal. Selanjutnya GH memacu pembentukan jaringan otot melalui peningkatan aktivitas ribosom serta peningkatan produksi DNA oleh inti sel.
BAB V PENUTUP Simpulan 1. Bobot badan anak yang diberi ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari laktasi tidak berbeda dengan bobot badan anak tikus kontrol. 2. Bobot badan anak jantan tidak berbeda dengan bobot badan anak betina yang induk dari keduanya diberi ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari laktasi. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian efek ekstrak etanol purwoceng dengan dosis optimum yang efektif diberikan, serta perlu adanya penambahan jumlah sampel tikus untuk mendapatkan data statistik yang lebih akurat. 2. Perlu dilakukan penelitian pemberian ekstrak etanol purwoceng pada tikus bunting untuk membandingkan hasil dari pemberian ekstrak etanol purwoceng pada tikus laktasi. 3. Perlu dilakukan penelitian tentang efek pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap kadar hormon estrogen pada induk laktasi.
DAFTAR PUSTAKA Anwar NS. 2001. Manfaat obat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya untuk menjaga stamina. Makalah pada seminar setengah hari “Menguak Manfaat herbal bagi Vitalitas Seksual”. Jakarta, 13 Oktober 2001. Hlm 8. [BALITRO] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Laporan Hasil Uji Fitokimia Purwoceng. Bogor. Barnes S, Kim H. 1998. Soy isoflavone, estrogens and growth factor signaling. The soy connection news letter Vol 6. http://www.soyfoods.com/nutrition/isoflavone.html. [27 Oktober 2004] Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. terhadap sistem reproduksi tikus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 73 hlm. Caropeboka AM, Lubis I. 1975. Pemeriksaan pendahuluan kandungan kimia akar Pimpinella alpina (Purwoceng). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Obat I. Bogor, 8-9 Desember 1975. Bogor: Bagian Farmakologi-Dept. Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan-IPB. Hlm 153-158. Cowie AT. 1980. The Mammary Gland and Lactation. London: William Heinemann Medical Book. Fahey TD. 1998. Anabolic androgenic steroid: mechanism of action and effect on performance. http://www.sportsci.org/encyc. [3 Maret 2011]
Forbes JM. 1992. Effects of estradiol 17p on voluntary food intake in sheep and goats. J. Endocrinol. 52:viii. Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran Bagian III. Edisi ke-7. Jakarta: EGC. Hapsari S. 2011. Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus sp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian bogor. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB. Harkness JE, Wagner JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents. 3rd Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Cetakan I. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta.
30
Hurley
WL. 2000. Lactation biology ANSCI http//www.classes.acces.uiuc.edu/AnSci308/index.html. [24 April 2011].
308.
Ibrahim M. 2001. Isolasi dan uji aktivitas biologi senyawa steroid dari lintah laut, Discodoris sp. [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Johnson M, Everitt B. 1984. Essential Reproduction. 2nd Ed. London and Beccles: William Clowes limited. King MW. 2004. Steroid hormones. http://web.indstate.edu/thcme/mwking. [8 Maret 2011]. Knight W, Peacker M. 1982. Development of The Mammary Gland. J. Reprod. Fert. 65: 521-536. Kosin AM. 1992. Efek androgenik dan anabolik ekstrak akar Pimpinella alpina Molk. (Purwoceng) terhadap anak ayam jantan [skripsi]. Bogor: Universitas Pakuan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Biologi. Kurnia ML. 2011. Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13-21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus Putih (Rattus sp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Malole MBM, Pramono CS. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prajoko
S. 2010. Purwoceng, the viagra of java. http://kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2010/11/20/purwoceng-the-viagra-ofjava/. [10 Maret 2011].
Rahardjo M, Wahyuni S, Trisilawati O, Djauhariya E. 2005. Ciri agronomis, mutu dan lingkungan tumbuhan tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan MOLK.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII; Bogor, 15-16 September 2005. Rostiana O et.al. 2003. Eksplorasi potensi purwoceng dan cabe jawa serta perbaikan potensi genetik menunjang industri obat tradisional afrodisiak. Laporan teknis Penelitian Penguasaan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Tahun 2003/2004. Bogor: Balitro. Rudiono D. 2005. Pengaruh Hormon Testosteron dan Umur Terhadap Perkembangan Otot pada Kambing Kacang Betina [skripsi]. Lampung: Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Lampung,.
31
Sidik, Sasongko, Kurnia E dan Ursula. 1985. Usaha isolasi turunan kumara dari akar purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) asal dataran tinggi Dieng. Prosiding Penelitian Tanaman Obat I. Bogor. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1987. The Care, Breeding and Management of Experimental Animals for Research in the Tropics International Development Program of Australia Universities and College (IDP). Canberra. Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. B. Sumantri, penerjemah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar testosterone, LH, dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Sprague dawley [tesis]. Semarang: Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro. Tjitrosoepomo G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan.Yogyakarta: Universitas gajah Mada Press. 447 hlm. Tocang. 2010. Agen tikus putih. http://tocang.blogspot.com/2010/07/agen-tikus-putih.html. [10 Maret 2011]. Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clinical Obstetricts and Gynecology. J. dairy Sci. 44 (4): 836-42 Tucker HA. 1987. Quantitative stimate of mammary growth during various physiological states: A review. J. dairy Sci. 70: 1958-1966. Tuju EA. 2001. Peningkatan sekresi hormon kebuntingan melalui superovulasi untuk meningkatan efesiensi reproduksi pada tikus putih. Disajikan pada Seminar Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Turner CD, Bagnara JT. 1995. Endokrinologi Umum. Harsojo, penerjemah; Surabaya: Universitas Airlangga. 746 hlm. Veterinary Library. 1996. The labrotary rat. http://www.animalz.co.nz/library/small pet/rats.html. [9 Februari 2011]. Wilde CJ, Knight CH. 1989. Metabolic adaptions in mammary growth during the declining phase of lactations. J. dairy Sci. 72: 1697-1692.
32
33
34
Lampiran 2 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Jantan Minggu ke-1 SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 12.55 4.183334 0.365835 Column 2 3 9.53 3.176667 1.462433 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 1.52007 1 1.52007 1.662852 0.266729 7.708647 Within Groups 3.656536 4 0.914134 Total
5.176606
5
Lampiran 3 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Jantan Minggu ke-2 SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 31.15 10.38333 0.645832 Column 2 3 29.05 9.683333 18.81823 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0.735002 38.92813
Total
39.66313
df 1 4
MS 0.735002 9.732033
F 0.075524
P-value 0.797068
F crit 7.708647
5
Lampiran 4 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Jantan Minggu ke-3 SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 54.56666 18.18889 15.57954 Column 2 3 50.79 16.93 48.6553 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 2.377198 128.4697
Total
130.8469
df 1 4 5
MS 2.377198 32.11742
F 0.074016
P-value 0.799043
F crit 7.708647
35
Lampiran 5 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Betina Minggu ke-1 SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 11.31 3.77 0.0327 Column 2 3 10.8 3.6 3.2799 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0.04335 6.6252
Total
6.66855
df 1 4
MS 0.04335 1.6563
F 0.026173
P-value 0.879322
F crit 7.708647
5
Lampiran 6 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Betina Minggu ke-2 SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 29.25334 9.751112 0.067837 Column 2 3 29.03 9.676667 17.24013 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0.008313 34.61594
Total
34.62425
df 1 4
MS 0.008313 8.653985
F 0.000961
P-value 0.976759
F crit 7.708647
5
Lampiran 7 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Betina Minggu ke-3 SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 50.84334 16.94778 6.023446 Column 2 3 49.22 16.40667 37.06043 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0.439204 86.16776
Total
86.60696
df 1 4 5
MS 0.439204 21.54194
F 0.020388
P-value 0.893362
F crit 7.708647